Oleh :
Destian Fajar Rahmawan
22004101074
Pembimbing
dr. Joni Budhi, Sp.An. M.Kes
3. B3 (Blood)
TD: 166/95 mmHg, nadi: 86x/menit, kuat angkat, regular, S1/S2 tunggal,
mur-mur (-), gallop (-), akral kering, hangat, kemerahan
4. B4 (Bowel)
distended (-), soefl (+), bising usus (+), nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran
hepar dan spleen
5. B5 (Bladder)
BAK baik
6. B6 (Bone)
Gerakan kaki kanan terbatas, fraktur (-), deformitas (-)
Layak induksi anastesi
OBAT ANASTESI
1. Bupivacaine HCl 20 mg
2. Midazolam 2 mg
3. Ondansentron 8 mg
4. Ephedrine 10 mg
5. Tramadol 100 mg
DURANTE OPERASI
1. Pasien mulai masuk ke ruang operasi pada pukul 10.30 WIB. Selanjutnya
dipasang alat-alat monitoring pasien yaitu tensimeter dan pulse oximetry
untuk menilai tekanan darah, nadi, dan saturasi O2. Status monitoring yang
didapatkan (jam 10.40) yaitu; TD 142/68, Nadi 78x/menit, Saturasi Oksigen
99%
2. Pasien diberikan resusitasi cairan RL 500 ml secara IV
3. Pada jam 10.35 dilakukan anestesi spinal menggunakan obat Bupivacain
0,5% 20mg dengan teknik sebagai berikut:
Pasien posisi duduk identifikasi interspace L3-L4 asepsis dan
desinfeksi dengan betadine inersi jarum spinocaine ukuran 25G + stylet
paramedia approach ambil stylet pada jarum LCS (+) mengalir, darah
(-) injeksi bupivacaine 0,5% 20mg
4. Setelah itu pasien diberikan obat premedikasi Ondansentron 8 mg dan
midazolam 2 mg IV bolus.
5. Setelah efek induksi anestesi bekerja (bupivacaine), terjadi efek samping
hipotensi pada pasien, TD pasien 103/57, nadi 73x kemudian di injeksi
ephedrine total 20 mg IV bolus.
6. Selanjutnya dilakukan monitoring setiap 5 menit hingga operasi selesai.
7. Jam 11.15 operasi selesai.
8. Pada pukul 11.20, dilakukan injeksi tramadol 100 mg IV bolus.
Lama operasi dan jumlah perdarahan: 35 menit dan 1000 cc
Infus : Pre Operasi ± 500 cc RL, Durante Operasi ±500 cc
MONITOR HEMODINAMIK
Nadi Tekanan Saturas
Waktu
(x/ darah i Keterangan
(WIB)
menit) (mmHg) (%)
Awal masuk ruang
10.40 78 142/68 99
operasi
10.45 73 164/79 97 Premedikasi dan induksi
10.50 67 103/57 98 Pemberian ephedrine
10.55 73 133/71 99 Operasi dimulai
11.00 80 108/61 99 -
11.05 79 137/75 99 -
11.10 81 110/60 99 -
11.15 83 108/61 98 Operasi Selesai
11.20 86 117/66 99 Pemberian tramadol
BROMAGE SCORE
Medulla spinalis dilapisi oleh meninges yang terdiri atas pia mater,
arachnoid mater, dan dura mater. CSF terletak diantara pia mater dan arachnoid
mater di dalam subarachnoid space.4
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal:7,9
1. Kutis
2. Subkutis: ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum supraspinosum: ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
4. Ligamentum interspinosum.
5. Ligamentum flavum: ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal
dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat
melewati ligamentum dan masuk ke ruang epidural.
6. Epidural: ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluar dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
7. Duramater: sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
8. Subarachnoid: merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.
4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa dispo 5
cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
secara kontinyu dapat dimasukan kateter.7-9
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit–ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.7-9
Gambar 5. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal2,7-9
iabetic Foot
Ulkus kaki diabetik adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus yang
mengalami perubahan patologis akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan dengan
abnormalitas neurologis, penyakit vaskular perifer dengan derajat bervariasi, dan
atau komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstrimitas bawah. Prevalensi ulkus
kaki diabetik pada populasi diabetes adalah 4–10%, lebih sering terjadi pada
pasien usia lanjut. Sebagian besar (60-80%) ulkus akan sembus sendiri, 10-15%
akan tetap aktif, dan 5-25% akan berakhir pada amputasi dalam kurun waktu 6-18
bulan dari evaluasi pertama. Faktor risiko pada ulkus kaki diabetik adalah
neuropati diabetik, penyakit arteri perifer, dan trauma pada kaki.3
Pemeriksaan fisik pada kaki diabetik melalui penilaian terhadap kulit,
vaskular, neurologi, dan sistem muskuloskeletal. Klasifikasi Wagner adalah yang
paling popular dan tervalidasi untuk klasifikasi ulkus kaki diabetik (Tabel 5).
Tujuan utama dari tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah untuk penyembuhan
luka yang lengkap. Gold standard untuk terapi ulkus kaki diabetik meliputi
debridement luka, tatalaksana infeksi, prosedur revaskularisasi atas indikasi, dan
off-loading ulkus. Debridement harus dilakukan pada semua luka kronis untuk
membuang jaringan nekrotik dan debris.3
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Persiapan
2. Premedikasi
3. Induksi/anestesi
4. Maintenance Monitoring
5. Terminasi (menutup gas-gas anestesi)
6. Ke RR/Recovery Room (ruang pemulihan) Monitoring
Pada tahap persiapan, dilakukan informed consent terkait tindakan yang
akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik lokalis
tempat penyuntikan dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi seperti
skoliosis, kifosis, ataupun infeksi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah
pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan.
Selanjutnya dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American
Society of Anesthesia. Dengan keadaan tersebut di atas, pasien termasuk dalam
kategori ASA II. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
I : Pasien normal dan sehat fisik dan mental yang memerlukan operasi
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada pasien
ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih
tepatnya spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan
teknik anestesi tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu:
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum,
bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah
abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anestesia umum
ringan. Adapun, pada pemeriksaan fisik ataupun laboraturium juga tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga
anestesi spinal dapat menjadi pilihan dalam tindakan pada kasus ini.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat.
Tujuan dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakan kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih
lama dengan berat molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan
pemberian cairan menggunakan kristaloid Ringer laktat.
Adapun, pramedikasi pada pasien yang mana dapat diartikan sebagai
pemberian obat sebelum dilakukannya induksi bertujuan:
1. Memberikan rasa nyaman kepada pasien: menghilangkan rasa cemas,
memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi.
3. Mengurangi dosis obat anestesi.
4. Menekan reflex yang tidak diharapkan.
5. Mengurangi sekresi: saluran nafas, saliva
6. Mengurangi resiko aspirasi.
7. Merupakan salah satu teknik anestesi
Namun, pada kasus ini tidak dilakukan pemberikan pramedikasi.
Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional
dengan tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid dibawah vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera
medulla spinalis. Penentuan posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan
kesanggupan spesialis anestesi. Pada pasien ini, posisi yang digunakan
adalah posisi duduk.
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan
aseptik area tempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien.
Penyuntikan jarum spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-
30° terhadap bidang horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan
menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, lapisan duramater dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet
setelah dirasakan jarum memasuki ruang intratekhal ditandai dengan
keluarnya cairan serebrospinal. Suntikkan obat anestetik lokal yang telah
dipersiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk
memperpanjang durasi kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti
adrenalin.
Anestesi spinal memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang
paling sering adalah hipotensi yang diakibatkan blokade simpatis. Keadaan
ini dapat ditangani dengan pemberian vasokontriktor seperti phennylephrine
atau ephedrine. Pada kasus ini, selama anestesi dan pembedahan
berlangsung, terdapat penurunan tekanan darah sehingga dibutuhkan
pemberian vasokontriktor untuk mencapai tekanan darah awal pasien berupa
pemberian ephedrine 10 mg secara bolus IV.
Pada akhir proses pembedahan, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dengan melanjutkan oksigenasi 3 lpm dengan kanul oksigen,
diawasi tanda vital setiap 15 menit hingga stabil, memposisikan head up
hingga 24 jam pasca operasi, dan penanganan hemodinamik pasien.
BAB V
KESIMPULAN