Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

STATUS ANESTESIA SPINAL pada PASIEN DENGAN


DIABETIC FOOT DEXTRA PRO DEBRIDEMENT
AMPUTASI BELOW KNEE

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh :
Destian Fajar Rahmawan
22004101074

Pembimbing
dr. Joni Budhi, Sp.An. M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KANJURUHAN KEPANJEN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Regional anestesi adalah salah satu teknik anestesi untuk anggota/daerah
tubuh tertentu, khususnya daerah lengan dan abdomen bagian bawah/tungkai.
Adapun keuntungan dari regional anestesi diantaranya adalah: penderita tetap
sadar, sehingga bahaya aspirasi (masuknya cairan lambung ke dalam paru) bisa
dihindari; relatif tidak diperlukan pengelolaan jalan napas (mudah); komunikasi
dengan penderita tetap bisa berlangsung; teknik sederhana; alat yang diperlukan
minimal murah; menghasilkan relaksasi otot yang optimal; perawatan pasca bedah
berkurang; teknik tertentu ideal untuk penderita rawat jalan; mengurangi polusi
obat-obat anestesi inhalasi; dalam keadaan tertentu bisa untuk pengelolaan nyeri
pasca bedah bahkan kadang-kadang bisa sampai beberapa hari; dan untuk daerah
tertentu, misalnya lengan, tidak mengganggu pernapasan/kardiovaskuler.1
Ulkus kaki diabetik adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus yang
mengalami perubahan patologis akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan dengan
abnormalitas neurologis, penyakit vaskular perifer dengan derajat bervariasi, dan
atau komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah. Prevalensi ulkus
kaki diabetik pada populasi diabetes adalah 4 – 10%, lebih sering terjadi pada
pasien usia lanjut. Sebagian besar (60-80%) ulkus akan sembus sendiri, 10-15%
akan tetap aktif, dan 5-25% akan berakhir pada amputasi dalam kurun waktu 6-18
bulan dari evaluasi pertama. Tujuan utama dari tatalaksana ulkus kaki diabetik
adalah untuk penyembuhan luka yang lengkap. Gold standard untuk terapi ulkus
kaki diabetik meliputi debridement luka, tatalaksana infeksi, prosedur
revaskularisasi atas indikasi, dan off-loading ulkus. Debridement harus dilakukan
pada semua luka kronis untuk membuang jaringan nekrotik dan debris.3
Surgical debridement adalah metode yang paling efisien dan langsung untuk
membersihkan luka, yang dipertimbangkan sebagai gold standard. Tindakan ini
dilakukan menggunakan blade scalpel, selanjutnya semua jaringan nekrotik
dibuang hingga jaringan dasar ulkus yang sehat. Bau adalah indikator yang baik
untuk menilai keberhasilan debridement, jika luka tidak berbau, bisa menjadi
tanda bahwa tindakan debridement berhasil. Jika dicurigai terdapat iskemia berat,
debridement yang agresif harus ditunda hingga pemeriksaan vaskular dilakukan,
dan jika diperlukan, prosedur revaskularisasi dapat dilakukan. Metode anestesi
yang digunakan pada beberapa kasus adalah teknik regional anestesi yaitu block
spinal anesthesia/BSA.3
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. J
Umur : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Alamat : Ngajum
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal operasi : 7 September 2021
Diagnosa : Diabetic foot dextra
2.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama :
Nyeri pada kaki kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke Poli orthopedi dengan keluhan terdapat luka di betis
kaki kanan sekitar 3 minggu yang lalu, luka terjadi karena tersandung saat
membersihkan rumah. Pasien mengatakan awalnya luka berwarna merah,
namun semakin lama berwarna kehitaman, bernanah dan berbau tidak
sedap. Pasien juga mengatakan sempat mengalami demam 3 hari setelah
mengalami luka.
Pasien juga mengeluh badannya terasa lemah, nafsu makannya banyak
tapi berat badannya semakin menurun, dan pasien sering merasa haus,
minum ± 3,5 liter/hari. pasien juga mengatakan sering BAK (kencing lebih
dari 4x/hr). Keluhan-keluhan tersebut timbul sejak ± 12 tahun ini.
3. RPD: Pasien mengaku memiliki Riwayat hipertensi sejak 15 tahun yang
lalu dan diabetes mellitus tipe 2 sejak 12 tahun yang lalu. Pasien sering
meminum obat DM yaitu glibenklamid dan tidak pernah minum obat
hipertensi.
4. Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : adik kandung pasien (+)
- Riwayat alergi : disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Cukup
2. Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6)
3. Tanda Vital : TD = 166/95 mmHg; Nadi = 86x/menit ; RR
= 20x/menit; Suhu = 38,60C; SpO2 = 98%.
4. Leher, Thoraks, Abdomen, Sistem Collumna Vertebralis: : dalam batas
normal
Ekstremitas: Terdapat luka pada regio cruris dextra dengan warna
kehitaman, pus (+), nyeri (-)
2.4 Diagnosa
Diabetic foot dextra
2.5 Rencana Terapi
Operatif : Pro debridement dan amputasi below knee.
2.6 Status Anestesi

Assesment Pra Induksi / Pra Sedasi


1. B1 (Brain)
GCS : 15 (E4V5M6) status mental : CM (tenang), pupil isokor, reflek cahaya
(+)
2. B2 (Breathing)

airway paten, bentuk dada simetris, tipe pernapasan thorakoabdominal, RR :


20x/menit, wheezing (-), rhonchi (-)

3. B3 (Blood)
TD: 166/95 mmHg, nadi: 86x/menit, kuat angkat, regular, S1/S2 tunggal,
mur-mur (-), gallop (-), akral kering, hangat, kemerahan
4. B4 (Bowel)

distended (-), soefl (+), bising usus (+), nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran
hepar dan spleen
5. B5 (Bladder)
BAK baik
6. B6 (Bone)
Gerakan kaki kanan terbatas, fraktur (-), deformitas (-)
Layak induksi anastesi

KEADAAN PRA BEDAH (10.40 WIB)


Keadaan umum : gizi cukup
TD : 142/68 mmHg, N : 78 x/menit, RR : 20 x/mnt, Tax : 36,3°C, BB : 50 kg,
Lekosit: 19.700, neutrophil 36,1, limfosit: 8, SGOT: 39, SGPT: 43
Penyakit-penyakit lain: Hipertensi stage 1, Diabetes Mellitus 2
Status fisik : ASA 2
Premedikasi : Glibenclamid
Efek: (-)
Posisi : Supine
Teknik anastesi : Spinal Anestesi (Sub Arachnoid Block).
Prosedur anastesi :
- Pasien berbaring dalam posisi supine, terpasang infus dengan iv cateter di
tangan kanan dengan cairan maintenance RL. Terpasang monitor standar.
- Prosedur SAB: pasien posisi duduk, identifikasi L3-L4, asepsis dan desinfeksi
dengan betadine dan alkohol 70%, insersi jarum spinocaine 26G dengan
paramedic approach, LCS (+) mengalir, darah (-). Injeksi bupivacaine 0.5%
20mg
- Premedikasi : inj midazolam 2 mg, ondansentron 8 mg, ephedrine 10 mg
- Induksi : Injeksi bupivacaine 0.5% 20 mg
PERNAPASAN : SPONTAN

OBAT ANASTESI
1. Bupivacaine HCl 20 mg
2. Midazolam 2 mg
3. Ondansentron 8 mg
4. Ephedrine 10 mg
5. Tramadol 100 mg

DURANTE OPERASI
1. Pasien mulai masuk ke ruang operasi pada pukul 10.30 WIB. Selanjutnya
dipasang alat-alat monitoring pasien yaitu tensimeter dan pulse oximetry
untuk menilai tekanan darah, nadi, dan saturasi O2. Status monitoring yang
didapatkan (jam 10.40) yaitu; TD 142/68, Nadi 78x/menit, Saturasi Oksigen
99%
2. Pasien diberikan resusitasi cairan RL 500 ml secara IV
3. Pada jam 10.35 dilakukan anestesi spinal menggunakan obat Bupivacain
0,5% 20mg dengan teknik sebagai berikut:
Pasien posisi duduk  identifikasi interspace L3-L4  asepsis dan
desinfeksi dengan betadine  inersi jarum spinocaine ukuran 25G + stylet
paramedia approach  ambil stylet pada jarum  LCS (+) mengalir, darah
(-)  injeksi bupivacaine 0,5% 20mg
4. Setelah itu pasien diberikan obat premedikasi Ondansentron 8 mg dan
midazolam 2 mg IV bolus.
5. Setelah efek induksi anestesi bekerja (bupivacaine), terjadi efek samping
hipotensi pada pasien, TD pasien 103/57, nadi 73x kemudian di injeksi
ephedrine total 20 mg IV bolus.
6. Selanjutnya dilakukan monitoring setiap 5 menit hingga operasi selesai.
7. Jam 11.15 operasi selesai.
8. Pada pukul 11.20, dilakukan injeksi tramadol 100 mg IV bolus.
Lama operasi dan jumlah perdarahan: 35 menit dan 1000 cc
Infus : Pre Operasi ± 500 cc RL, Durante Operasi ±500 cc

MONITOR HEMODINAMIK
Nadi Tekanan Saturas
Waktu
(x/ darah i Keterangan
(WIB)
menit) (mmHg) (%)
Awal masuk ruang
10.40 78 142/68 99
operasi
10.45 73 164/79 97 Premedikasi dan induksi
10.50 67 103/57 98 Pemberian ephedrine
10.55 73 133/71 99 Operasi dimulai
11.00 80 108/61 99 -
11.05 79 137/75 99 -
11.10 81 110/60 99 -
11.15 83 108/61 98 Operasi Selesai
11.20 86 117/66 99 Pemberian tramadol

PASCA BEDAH DI RUANG PEMULIHAN / RECOVERY ROOM


Masuk : 11.25 WIB
KU : Sadar
Tek. Darah : 120/74 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : Baik, 18x/menit
SpO2 : 98%
Alat kesehatan yang dipakai : Infus

BROMAGE SCORE

Jika skor <2 pasien boleh pindah ruang perawatan


Total skor : 1

INSTRUKSI PASCA BEDAH

Awasi : Keadaan Umum, Tensi, Nadi, Pernapasan, Suhu,


Perdarahan tiap 5 menit

Posisi : Tidur terlentang dengan bantal, imobilisasi 24jam

Makan/minum : Sadar penuh diperbolehkan makan dan minum


Infus : RL 1000 cc dalam 24 jam

Obat-obatan : Inj. Tramadol 100 mg, ephedrine 20 mg

Lain-lain : Lapor Dokter


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 REGIONAL ANESTESI


3.1.1 Definisi
Regional anestesi adalah salah satu teknik anestesi untuk
anggota/daerah tubuh tertentu, khususnya daerah lengan dan abdomen
bagian bawah/tungkai. Regional anestesi menggangu transmisi impuls pada
saraf perifer dan medulla spinalis tanpa menyebabkan hilangnya kesadaran
pada pasien. Manfaat dari regional anestesi diantaranya adalah:4
1. Sebagai anestesi untuk prosedur pembedahan.
2. Menurunkan respon stress.
3. Meningkatkan aliran darah regional.
4. Untuk diagnosis atau terapi pasien dengan sindrom nyeri kronik.

3.1.2 Anatomi Columna Vertebralis

Anatomi columna vertebralis. Medulla spinalis dan nerve roots berada


dalam columna vertebralis. Medulla spinalis terbentang dari foramen magnum
hingga level L1 pada orang dewasa dan L3 pada anak-anak.4
Tulang vertebra terdiri atas 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah
tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Kolumna vertebralis
mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat kepala dan dan
batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan keluarnya
nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh.5,7
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai
kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis
melalui articulatio sacroilliaca. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh
bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen
dan otot-otot.5-7
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis di dalam kolumna vertebralis.
Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju
ke konus medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi
kauda equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi
antara vertebra T12 hingga L1.8
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah:5,7,8
1. Vertebra C7: merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling terlihat
di daerah leher.
2. Papilla mammae: lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4.
3. Epigastrium: lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6.
4. Umbilikus: lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10.
5. Krista Iliaka: lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5.

Gambar 1. Kolumna Vertebralis

Medulla spinalis dilapisi oleh meninges yang terdiri atas pia mater,
arachnoid mater, dan dura mater. CSF terletak diantara pia mater dan arachnoid
mater di dalam subarachnoid space.4

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal:7,9
1. Kutis
2. Subkutis: ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah meraba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
3. Ligamentum supraspinosum: ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
4. Ligamentum interspinosum.
5. Ligamentum flavum: ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal
dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat
melewati ligamentum dan masuk ke ruang epidural.
6. Epidural: ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluar dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
7. Duramater: sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
8. Subarachnoid: merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.

Gambar 2. Lokasi Penusukan Jarum pada Anestesi Spinal7

3.1.1 Subarachnoid Block (SAB)/ Spinal Anestesi


Teknik ini dilakukan dengan memasukkan obat lokal anestesi ke dalam
ruang subarachnoid sehingga didapatkan anestesi pada segmen yang terblok, ke
bawah. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai blok spinal
intradural atau blok intratekal.1,5,7
a) Anatomi
Corda spinalis sampai L1-L2, sehingga punksi di atas L2 bisa
menyebabkan lesi pada corda spinalis. SAB dilakukan pada rongga antara
L3-L4 atau L4-L5.1
b) Indikasi
Indikasi dari SAB adalah untuk pembedahan, daerah tubuh yang
dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila mamae kebawah). Dengan
durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. Luas daerah yang
teranestesi, tergantung dari: dosis, volume, kecepatan penyuntikan, tempat
penyuntikan, dan panjang columna vertebralis. Teknik ini digunakan
pada:1,5,7
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan
c) Kontraindikasi
Kontraindikasi umum dari SAB terbagi menjadi dua yaitu
kontraindikasi absolut dan relatif.1,5,7
1. Kontraindikasi absolut:1,5,7
a) Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
b) Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare:
karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
c) Koagulapati atau mendapat terapi koagulan.
d) Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intrakranial, dan
bisa menimbulkan komplikasi neurologis.
e) Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus
dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya.
f) Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
g) Pasien menolak.
2. Kontraindikasi relatif:1,5,7
a) Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.
b) Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
c) Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan
hingga 150 menit.
f) Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi ke arah
jantung akibat efek obat lokal anestesi.
g) Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan.
h) Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-
ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.
d) Kelebihan
1) Secara teknik lebih mudah (teknik LP (lumbal Puncture).4
2) Tingkat keberhasilan yang tinggi, onset cepat.4
e) Kelemahan
1) “high spinal”
2) Hipotensi karena blok simpatik
3) Post dural puncture headache
f) Persiapan
1) Pasien: penerangan dan premedikasi.1
2) Alat-alat: alat untuk resusitasi dan alat untuk SAB: jarum suntik, jarum
spinal, alat desinfeksi, kain penutup, kassa (semua harus steril).1
3) Obat-obat: obat resusitasi dan obat lokal anestesi: Lidocain 2%, Lidocain
5% (Lidoderx 5%); Adrenalin atau Bupivacain 0,5% (semua harus steril).1
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum. Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal
adalah:7,9
1) Informed consent: pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
2) Pemeriksaan fisik: pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
3) Pemeriksaan laboratorium anjuran: pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb, masa protrombin (PT) dan
masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan
pembekuan darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat
dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah:5,7
1) Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oximetri, EKG.
2) Peralatan resusitasi/anestesia umum.
3) Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G.
4) Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5) Kapas/kasa steril dan plester.
6) Obat-obatan anestetik lokal.
7) Spuit 3 ml dan 5 ml.
8) Infus set.

Gambar 3. Jenis Jarum Spinal2

g) Teknik Pelaksanaan Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan
tempat lengkap dengan alat manajemen jalan napas dan resusitasi tersedia.
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.7-9
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan
adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan
untuk spinal anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam
posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.7-9
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis crista illiaca,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.7-9
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.7-9

Gambar 4. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus7

4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa dispo 5
cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
secara kontinyu dapat dimasukan kateter.7-9
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit–ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.7-9
Gambar 5. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal2,7-9

h) Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal


Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid
menghasilkan respon fisiologis yang penting dan luas. Respon fisiologis
yang terjadi kadang dibingungkan dengan komplikasi dari teknik anestesia
spinal. Pemahaman terhadap etiologi dari efek fisiologis yang terjadi
menjadi kunci dalam manajemen pasien selama anestesia spinal dan
mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia spinal.7,9
1. Efek Pada Kardiovaskular
Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada anestesia spinal
adalah pada sistem kardiovaskular. Efek yang terjadi sama dengan pada
penggunaan kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic blockers, dimana nadi
dan tekanan darah menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan
bradikardi. Hal ini karena blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal.
Level blok simpatis mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia
spinal, dimana semakin tinggi blok saraf yang terjadi semakin besar
pengaruhnya terhadap parameter kardiovaskular.7,9
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output
(CO) dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan
vasodilatasi baik pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah pada
vena lebih besar (kurang lebih 75% dari total volume darah) dan otot
dinding pembuluh darahnya lebih tipis dibandingkan dengan arteri, efek
venodilatasi yang terjadi lebih dominan. Akibat dari venodilatasi terjadi
redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas inferior yang menyebabkan
venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung berkurang
sehingga CO menurun. Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya menurun
15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.7,9
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok
tinggi disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers yang terdapat
dari T1 sampai T4. Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap
penurunan tekanan pada atrium kanan akibat pengisian atrium yang
berkurang menyebabkan penurunan peregangan pada reseptor kronotropik
yang terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.7,9
2. Efek Pada Respirasi
Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama anestesia
spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak
berubah selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya berkurang
sedikit dari 4,05 menjadi 3,73 liter. Penurunan kapasitas vital lebih
disebabkan oleh penurunan expiratory reserve volume (ERV) akibat dari
paralisis otot-otot abdomen yang penting pada ekspirasi paksa
diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf frenikus atau diafragma.
Henti nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak berhubungan dengan
disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh hipoperfusi
pada pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang mendukung
pernyataan tersebut adalah kembalinya pernafasan pasien apneu setelah
mendapatkan resusitasi yang cukup baik secara farmakologi ataupun dengan
pemberian cairan untuk meningkatkan cardiac output dan tekanan darah.7,9
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya
paralisis otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori,
karena jika terjadi paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan
pembersihan sekresi bronkus menjadi terganggu.7,9
3. Efek Pada Gastrointestinal
Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal adalah traktus
gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang
mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya
hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus)
dan relaksasi dari spinkter yang terdapat pada traktus gastrointestinal.
Atropin efektif mengurangi mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid
yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak, kombinasi dari usus yang
berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal memberi keuntungan
karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus untuk operasi.7,9
4. Efek pada Termoregulator
Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia spinal memiliki
pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum. Tiga
mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya hipotermia selama anestesia
spinal antara lain redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat dari
vasodilatasi oleh blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang berhubungan
dengan penurunan ambang vasokontriksi dan menggigil dibawah level yang
terblok, dan peningkatan hilangnya panas dari vasodilatasi yang terjadi
dibawah level yang terblok.7,9
i) Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
Komplikasi tindakan anestesi spinal adalah:5,7
1. Hipotensi berat. Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia. Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi
akibat blok sampai T2.
3. Hipoventilasi. Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas.
4. Trauma saraf.
5. Mual-muntah.
6. Menggigil.
7. Kejang.
Tabel 4. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal7
3.2
D

iabetic Foot
Ulkus kaki diabetik adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus yang
mengalami perubahan patologis akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan dengan
abnormalitas neurologis, penyakit vaskular perifer dengan derajat bervariasi, dan
atau komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstrimitas bawah. Prevalensi ulkus
kaki diabetik pada populasi diabetes adalah 4–10%, lebih sering terjadi pada
pasien usia lanjut. Sebagian besar (60-80%) ulkus akan sembus sendiri, 10-15%
akan tetap aktif, dan 5-25% akan berakhir pada amputasi dalam kurun waktu 6-18
bulan dari evaluasi pertama. Faktor risiko pada ulkus kaki diabetik adalah
neuropati diabetik, penyakit arteri perifer, dan trauma pada kaki.3
Pemeriksaan fisik pada kaki diabetik melalui penilaian terhadap kulit,
vaskular, neurologi, dan sistem muskuloskeletal. Klasifikasi Wagner adalah yang
paling popular dan tervalidasi untuk klasifikasi ulkus kaki diabetik (Tabel 5).
Tujuan utama dari tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah untuk penyembuhan
luka yang lengkap. Gold standard untuk terapi ulkus kaki diabetik meliputi
debridement luka, tatalaksana infeksi, prosedur revaskularisasi atas indikasi, dan
off-loading ulkus. Debridement harus dilakukan pada semua luka kronis untuk
membuang jaringan nekrotik dan debris.3

Tabel 6. Sistem Klasifikasi Wagner3


Derajat Lesi
1 Ulkus diabetik superfisial
2 Ulkus yang meluas ke ligament, tendon, kapsul
sendi, atau fascia dengan tanpa abses atau
osteomielitis
3 Ulkus dalam dengan abses atau osteomielitis
4 Gangren pada sebagian kaki
5 Gangren luas pada seluruh kaki

3.2.1 Faktor Risiko Untuk Pasien Diabetes 


Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai
mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal.
Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari
arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami
komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia.
Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah
4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung.
Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat
meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:10
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit
pembuluh darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar
3.2.2 Pengaruh Obat Anestesi Pada Penderita DM 
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula
darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan
stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.10 
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan
perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat
kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis
glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan
sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah
kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada
pasien diabetes belum terbukti.10
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan
memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan.
Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang
sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia
pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis
sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus
intravena pada pasien di ICU.10 
Teknik anestesia dengan opioid dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik.
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk
transport glukosa melalui membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati.
Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena  
kurang   pengaruhnya   terhadap   peningkatan   hormone pertumbuhan,
peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan
dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak
sama pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran
dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.10 
Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien
diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari
sirkulasi. Meskipun hal ini tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol
digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini
dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka
panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai
efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.10 

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. J berusia 49 tahun dengan diagnosis Diabetic foot dextra,


dilakukan tindakan debridement dan amputasi below knee pada tanggal 7
September 2021. Dari data anamnesis didapatkan adanya penyulit berupa penyakit
DM tipe 2 yang terkontrol dan hipertensi grade 1. Pada dasarnya urutan dalam
anestesi terdiri atas:

1. Persiapan
2. Premedikasi
3. Induksi/anestesi
4. Maintenance Monitoring
5. Terminasi (menutup gas-gas anestesi)
6. Ke RR/Recovery Room (ruang pemulihan) Monitoring
Pada tahap persiapan, dilakukan informed consent terkait tindakan yang
akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik lokalis
tempat penyuntikan dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi seperti
skoliosis, kifosis, ataupun infeksi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah
pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan.
Selanjutnya dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American
Society of Anesthesia. Dengan keadaan tersebut di atas, pasien termasuk dalam
kategori ASA II. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
I : Pasien normal dan sehat fisik dan mental yang memerlukan operasi
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada pasien
ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih
tepatnya spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan
teknik anestesi tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu:
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum,
bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah
abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anestesia umum
ringan. Adapun, pada pemeriksaan fisik ataupun laboraturium juga tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga
anestesi spinal dapat menjadi pilihan dalam tindakan pada kasus ini.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat.
Tujuan dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakan kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih
lama dengan berat molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan
pemberian cairan menggunakan kristaloid Ringer laktat.
Adapun, pramedikasi pada pasien yang mana dapat diartikan sebagai
pemberian obat sebelum dilakukannya induksi bertujuan:
1. Memberikan rasa nyaman kepada pasien: menghilangkan rasa cemas,
memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah.
2. Memudahkan atau memperlancar induksi.
3. Mengurangi dosis obat anestesi.
4. Menekan reflex yang tidak diharapkan.
5. Mengurangi sekresi: saluran nafas, saliva
6. Mengurangi resiko aspirasi.
7. Merupakan salah satu teknik anestesi
Namun, pada kasus ini tidak dilakukan pemberikan pramedikasi.
Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional
dengan tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid dibawah vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera
medulla spinalis. Penentuan posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan
kesanggupan spesialis anestesi. Pada pasien ini, posisi yang digunakan
adalah posisi duduk.
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan
aseptik area tempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien.
Penyuntikan jarum spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-
30° terhadap bidang horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan
menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, lapisan duramater dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet
setelah dirasakan jarum memasuki ruang intratekhal ditandai dengan
keluarnya cairan serebrospinal. Suntikkan obat anestetik lokal yang telah
dipersiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk
memperpanjang durasi kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti
adrenalin.
Anestesi spinal memiliki beberapa efek samping, salah satunya yang
paling sering adalah hipotensi yang diakibatkan blokade simpatis. Keadaan
ini dapat ditangani dengan pemberian vasokontriktor seperti phennylephrine
atau ephedrine. Pada kasus ini, selama anestesi dan pembedahan
berlangsung, terdapat penurunan tekanan darah sehingga dibutuhkan
pemberian vasokontriktor untuk mencapai tekanan darah awal pasien berupa
pemberian ephedrine 10 mg secara bolus IV.
Pada akhir proses pembedahan, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dengan melanjutkan oksigenasi 3 lpm dengan kanul oksigen,
diawasi tanda vital setiap 15 menit hingga stabil, memposisikan head up
hingga 24 jam pasca operasi, dan penanganan hemodinamik pasien.
BAB V
KESIMPULAN

1. Regional anestesi adalah salah satu teknik anestesi untuk anggota/daerah


tubuh tertentu, khususnya daerah lengan dan abdomen bagian
bawah/tungkai.
2. Subarachnoid Block (SAB)/Spinal Anestesi. Teknik ini dilakukan dengan
memasukkan obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid sehingga
didapatkan anestesi pada segmen yang terblok, ke bawah. Anestesi spinal
(anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal.
3. Indikasi dari SAB adalah untuk pembedahan, daerah tubuh yang
dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila mamae kebawah). Dengan
durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam.
4. Diabetic foot adalah kaki pada pasien dengan diabetes melitus yang
mengalami perubahan patologis akibat infeksi, ulserasi yang berhubungan
dengan abnormalitas neurologis, penyakit vaskular perifer dengan derajat
bervariasi, dan atau komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstrimitas
bawah.
5. Gold standard untuk terapi diabetic foot meliputi debridement luka,
tatalaksana infeksi, prosedur revaskularisasi atas indikasi, dan off-loading
ulkus. Debridement harus dilakukan pada semua luka kronis untuk
membuang jaringan nekrotik dan debris.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan


Anestesi. Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius;-.
2. Press CD. Subarachnoid Spinal Block. Medscape (Serial online). 2015
(Citied December 29, 2016); (7 Screens). Available from:
<http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview>.
3. Wesnawa MAD. Debridement Sebagai Tatalaksana Ulkus Kaki Diabetik.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar-Bali (Serial online).
2014 (Citied December 29, 2016); (7 Screens). Available from: <
http://eprints.undip.ac.id/48368/3/BAB_II.PDF>.
4. Altindas F. Regional Anesthesia. Department of Anesthesiology (Serial
online). 2006 (Citied December 29, 2016); (49 Screens). Available from:<
http://194.27.141.99/dosya-depo/ders-notlari/fatis-altindas/Regional_Anesth
esia.pdf>.
5. Purmono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2015.
6. Gunawan S. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2007.
7. Liou S. Spinal and Epidural Anesthesia. Medlineplus (serial online). 2013
(Citied December 29, 2016); (1 Screens). Available from:
<http://www.nlm.nih. gov/medlineplus/ency/article/007413.html>
8. Mansjoer A et all. Catatan Anestesi. Media Makassar: Aesculapius; 2010.
9. Hemant L et all. Analgesia, Regional and local. . Medscape (Serial online).
2015 (Citied December 29, 2016); (1 Screens). Available from:
<http://emedicine.medscape.com/article/149337-overview#showall>.
10. Paramitha A. Manajemen Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus. Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti Bagian Anestesi – RSAL
MINTOHARDJO. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti; 2013.

Anda mungkin juga menyukai