Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

“PEMBERIAN TATALAKSANA ANALGETIK PADA PASIEN

POST OPERASI SECTIO CAESAREA”

Meisari Rezki Rahmatia S

2015730084

Pembimbing:

dr. Dessy Januarrifianto, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIA


RSIJ CEMPAKA PUTIH JAKARTA PUSAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Pemberian
Tatalaksana Analgetik pada pasien Sectio Caesaria”. Laporan kasus ini penulis
ajukan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kepanitraan klinik
Stase Anestesi di Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya. Atas
selesainya laporan kasus ini, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dokter yang telah memberikan
persetujuan dan pembimbingan. Semoga laporan kasus ini dapat menambah ilmu
pengetahuan bagi penulis dan para pembaca.

Jakarta, Maret 2021

Penulis

Meisari Rezki Rahmatia S

2
BAB I
STATUS MEDIS PASIEN

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. SA
Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Jakarta, 30 September 1987
Usia : 33 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kp. Mangga, Kel. Tugu Selatan, Kec. Koja, Jakarta Utara
No. RM : 00687170
Tangga masuk RS : 23/02/2021

1.2. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Pasien hamil 39 minggu dengan keluhan perut terasa kencang.

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien hamil 39 minggu datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan
perut terasa kencang sejak 1 hari SMRS. Sebelumnya pasien merasa
adanya darah yang keluar bercampur dengan lendir, setelah itu disusul
keluhan perutnya yang terasa kencang. Akhirnya pasien segera ke rumah
sakit dan saat diperiksa hasilnya janin letak sungsang dan terlilit tali pusar.
Kemudian pasien mendapatkan penanganan lebih lanjut dengan
dilakukannya tindakan sectio caesaria.

 Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya,
karena ini merupakan kehamilan pertama.
 Riwayat DM, hipertensi, hepatitis, penyakit jantung dan paru pada
pasien disangkal.
 Riwayat penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti ini.

3
 Ayah pasien menderita hipertensi.
 Riwayat DM, hepatitis, penyakit jantung dan paru pada keluarga
disangkal.
 Riwayat Pengobatan
Selama kehamilan pasien mengkonsumsi vitamin seperti zat besi dan
vitamin B12.
 Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi makanan, obat-obatan, lateks, plester, debu
maupun cuaca pada pasien.
 Riwayat Operasi dan Anestesi
Tidak ada riwayat operasi dan tindakan anestesi pada pasien sebelumnya.
 Riwayat Puasa
Pasien telah berpuasa 6 jam sebelum dilakukannya tindakan operasi.
 Riwayat Pasang Gigi Palsu dan Alat Bantu Dengar
Pasien tidak menggunakan gigi palsu maupun alat bantu dengar.
 Riwayat Psikososial
 Pasien jarang mengkonsumsi teh dan kopi, pasien juga mengaku
jarang berolahraga.
 Pasien tidak merokok dan tidak meminum alkohol.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
 TD : 134/86 mmHg
 Nadi : 86 kali/menit
 Respirasi : 20 kali/menit
 Suhu : 36,50C
Antropometri
 Berat Badan : 68 kg
 Tinggi Badan : 160 cm

4
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Mulut : Buka mulut 3 jari  tidak dilakukan
Mallampati  tidak dilakukan
Leher : Trakea terletak di tengah leher, massa (-)
Paru
a. Inspeksi : Dada simetris (+/+), retraksi dinding dada (-/-)
b. Palpasi : Tidak dilakukan
c. Perkusi : Tidak dilakukan
d. Auskultasi : Tidak dilakukan
Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Tidak dilakukan
c. Perkusi : Tidak dilakukan
d. Auskultasi : Tidak dilakukan
Abdomen
a. Inspeksi : Cembung
b. Auskultasi : Tidak dilakukan
c. Palpasi : Tidak dilakukan
d. Perkusi : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Tidak dilakukan

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
Tgl 25/02/21
Hemoglobin 12.4 g/dL 11.7 – 15.5

5
1.6. ASSESMEN PRA INDUKSI
Diagnosis Pra Bedah : G1P0A0 H39w letak sungsang terlilit tali pusar
Jenis Pembedahan : SC
Klasifikasi Status Fisik : ASA II
Teknik Anestesi : Anestesi regional dengan spinal L3-L4
menggunakan spinocan no. 26

1.7. TATALAKSANA ANESTESI


 Persiapan Anestesi
 Pasien datang dari ruang rawat
 Dilakukan assesment pre anestesi kepada pasien.
 Dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan
operasi, lembaran konsultasi anestesi, obat-obatan dan alat-alat yang
diperlukan.
 Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi.
 Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi telentang.
 Memasang elektroda.
 IV line terpasang di tangan kanan, manset tekanan darah terpasang di
tangan kiri dan pulse oxymetri terpasang di digiti II manus kanan.
 Pre-medikasi : tanpa premedikasi
 Spinal Anestesi :
Dilakukan dengan pemberian Bunascan 10 mg dan Fentanyl 0,025 mg
 Perhitungan dosis :
 Bupivacaine hydrochloride 0,5%
Dosis : 8 - 10 mg (sampai T10)
Sediaan 1 amp = 4 ml (5mg/ml)
Pemberian : 10 mg  2 ml
 Fentanyl
Dosis : 0,5 - 2 mg
Sediaan 1 amp = 2 ml (0,05 mg/ml)
Pemberian : 0,025 mg  ½ ml

6
 Medikasi selama operasi
 Metvel 0,4 mg
 Oksitosin 20 mg
 Medikasi Post-Operasi (SC)
 Ceftriaxon 2000 mg
Intravena continous (48 jam)  menggunakan disposible infusion
pump (Copdex)
 Perhitungan dosis :
 Fendex
Dosis : 50 mg
Sediaan 1 amp = 50 mg / 2 ml
Pemberian : 250 mg  10 ml
 Petidin
Dosis : 10 - 25 mg
Sediaan 1 amp = 2 ml (50 mg/ml)
Pemberian : 250 mg  5 ml
 Granon
Dosis : 1 - 3 mg
Sediaan 1 amp = 1 mg/ml
Pemberian : 2 mg  2 ml

 Perhitungan Kebutuhan Cairan


Berat badan : 68 kg
Lama puasa : 6 jam
Operasi berlangsung selama : 60 menit

 Perhitungan Pengganti Cairan


Rumus :
- Kebutuhan cairan maintanance:
(4x10) + (2x10) + (1x48) = 108 ml
- Puasa

7
Lama puasa x kebutuhan cairan maintanance
6 jam x 108 ml = 648 ml
- Stress operasi
Operasi sedang  4 - 6 ml/KgBB
4 - 6 ml x 68 = 272 - 408 ml
- 1 jam pertama
Keb. cairan maintenance + stress operasi + ½ puasa
108 ml + 408 ml + 324 ml = 840 ml
- Jam ke 2 dan 3
(1/4 x puasa) + keb. cairan maintenance + stress operasi
(1/4 x 648 ml) + 108 ml + 408 ml = 678 ml
- Jam ke 4
Keb. cairan maintenance + stress operasi
108 ml + 408 ml = 516 ml

 Monitoring
- Tanda-tanda vital
- Gambaran EKG
- SpO2 dan CO2 setiap 5 menit, kedalaman anestesi dan perdarahan

8
 Monitoring post bedah
Monitoring TTV Aldrette Score

- Kesadaran : Compos Mentis - Aktivitas : mampu mengangkat


- BP : 120/80 mmHg semua ekstremitas (1)
- HR : 90 x/menit - Pernapasan : Dapat Bernapas
- RR : 22 x/menit Dalam (2)
- T : 360C - Sirkulasi : Tekanan Darah ±
SpO2: 98 % 20% dari Nilai Pra Anetesi (2)
- Kesadaran : bangun ketika
dipanggil (2)
- Saturasi O2 : ≥ 92 % dengan
udara kamar (2)
Skor : 9/10

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang
Sectio Caesarea merupakan tindakan pembedahan dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim atau vagina atau suatu histerotomi untuk
melahirkan dari dalam rahim. Memberikan anestesi dengan teknik yang aman dan
efektif pada seksio sesarea membutuhkan pemahaman yang menyeluruh tentang
perubahan fisiologi yang terjadi pada kehamilan, proses melahirkan, dan kelahiran
bayi. Perubahan ini terjadi sebagai akibat teknik anestesi untuk tindakan seksio
sesarea yang diakibatkan oleh indikasi seksio sesarea, kondisi pasien, dan
keterampilan anestesiolog.
Pembedahan pada sectio caesaria merupakan suatu tindakan yang dapat
menimbulkan nyeri akibat terlepasnya senyawa mediator nyeri seperti asetilkolin,
bradikinin dan sebagainya yang meningkatkan sensitivitas saraf reseptor nyeri.
Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri post sectio caesarea
berupa penanganan farmakologi, untuk menghilangkan nyeri digunakan analgesik
yang terbagi menjadi dua golongan yaitu analgesik non narkotik dan analgesik
narkotik. Yang perlu diwaspadai adalah jika nyeri disertai dengan komplikasi
setelah pembedahan seperti luka jahitan yang tidak menutup, infeksi pada luka
operasi, dan gejala lain yang berhubungan dengan jenis pembedahan. Tingkat dan
keparahan nyeri pasca operasi tergantung dari fisiologi dan psikologis individu
dan toleransi yang dapat menimbulkan nyeri. Penatalaksanaan nyeri pasca operasi
sectio caesarea idealnya menimbulkan efek samping minimal bagi ibu dan bayi

B. Farmakologi Analgetik
Secara umum analgesik dibagi dalam dua golongan, yaitu dan narkotik (opioid)
dan non-narkotik (non-opioid)
1. Opioid (Narkotik)

10
Opioid adalah salah satu jenis obat yang telah lama digunakan dalam praktik
kedokteran. Seluruh bahan kimia dengan elemen farmakologi yang dapat
disebut opiat dapat disebut sebagai opioid. Opioid terbagi menjadi dua
golongan, yaitu (1) opioid golongan sintetik yang tidak menggunakan
alkaloid opiat alami sama sekali dan (2) opioid golongan semi sintetik
merupakan hasil modifikasi struktur kimia alkaloid opiat alami. Opioid
golongan semi sintetik merupakan opioid yang paling umum dan rutin yang
digunakan dalam praktik klinis sehari-hari.
 Mekanisme kerja opioid
Efek senyawa opioid bekerja melalui sebuah kompleks yang melibatkan
sejumlah reseptor opioid dan susunan sistem saraf. Reseptor opioid
adalah reseptor G-protein coupled yang dapat ditemukan dalam berbagai
sel dan jaringan tubuh manusia. Respons senyawa opioid bergantung
pada ikatan homomerik dan heteromerik antara reseptor opioid dan non-
opioid.
(1) Interaksi opioid dengan susunan reseptor G-protein coupled mampu
menghentikan pembukaan kanal ion kalsium tipe N- dan P / Q di
nukleus traktus solitarius dan mengaktivasi pembukaan kanal kalium
tipe T di ganglicon radiks dorsalis.
(2) Interaksi dengan reseptor G-protein coupled juga menyebabkan
hambatan pada adenylyl cyclase yang berdampak pada penurunan
proses sintesis CAMP sehingga kadarnya di intraseluler menjadi jauh
berkurang melalui dua proses kerja terscbut, depolarisasi pada neuron
dan pelepasan neurotransmiter menjadi terhambat. Akibatnya,
hantaran sinyal nyeri akan terhambat dan rasa nyeri berkurang atau
hilang.
 Reseptor Opioid
Jenis reseptor opioid diberi nama berdasarkan nama ligan yang berikatan
dengan reseptor terkait atau berdasarkan nama jaringan asal reseptor
terkait ditemukan, yaitu reseptor µ atau MOP (µ- morfin; µ opioid
peptide), reseptor k atau KOP (K-ketocyclazocine; K opioid peptide),
reseptor ô atau DOP (ô-diisolasi dari vas deferens tikus; ô opioid

11
peptide), dan reseptor NOP (nociception) atau ORL1. Reseptor berita
populer dalam berbagai sel dan jaringan di dalam tubuh, namun sebagian
besar dapat ditemukan pada sistem saraf. Reseptor opioid terdapat pada
area abu periakuaduktal, lokus seruleus, dan rostral ventromedial medulla
dalam otak. Sedangkan pada medula spinalis reseptor opioid berada di
interneuron dan saraf aferen primer kornu dorsalis. Reseptor opioid di
luar sistem saraf pusat dapat ditemukan pada sel imun maupun saraf
sensorik perifer. Tabel 14.1. menjelaskan efek kerja interaksi senyawa
opioid dengan reseptornya masing-masing.

Pembagian opioid juga dapat dilakukan berdasarkan interaksi yang


terjadi, yaitu:
(1) Agonis berinteraksi dengan reseptor dan memberikan efek maksimal
dari reseptor tersebut. Pemberian obat morfin yang menghasilkan efek
analgesia merupakan contoh dari sistem kerja agonis.
(2) Antagonis berinteraksi dengan reseptor untuk mencegah agonis
berikatan dengan reseptor tersebut. Misalnya, memberikan nalokson
yang mampu menghalangi agonis untuk berikatan dengan reseptor karena
senyawa nalokson sudah lebih dahulu sebelum reseptor opioid.
(3) Agonis Antagonis berinteraksi dengan beberapa reseptor sekaligus
sehingga menghasilkan efek agonis pada satu reseptor dan efek antagonis
pada reseptor lainnya. Jenis obat ini memiliki efek langit-langit, di mana

12
penambahan dosis obat hingga konsentrasi tertentu sudah tidak
memberikan efek yang diharapkan dan justru memperbesar risiko efek
samping obat tersebut.
(4) Agonis Parsial Berikatan dengan reseptor namun tidak memberikan
efek maksimal dari reseptor tersebut.

ABSORPSI

Hidromorfon, metadon, petidin, fentanil, dan sufentanil dapat diberikan


secara epidural atau intratekal, sedangkan remifentanil tidak dapat
diberikan secara intraspinal karena dapat menyebabkan paralisis motorik
sementara akibat kandungan glisin yang terkandung di dalamnya. Kateter
epidural atau intratekal dapat ditempatkan secara perkutaneus (tunneled
epidural catheter) atau diimplan untuk memberikan efek analgesia yang
lebih lama, dihubungkan dengan pompa eksternal untuk pasien rawat
jalan. Pada beberapa keadaan, terapi ajuvan harus digunakan, termasuk
pengunaan intermiten dari anestetik lokal atau gabungan dari opioid

13
dengan anestetik lokal (bupivakain atau ropivakain 2-24 mg/hari),
klonidin 2-4 mcg/kg/jam atau 48-800 mcg/hari), atau agonis GABA
(baclofen), klonidin secara khusus berguna untuk terapi nyeri neuropati.
Namun, pada dosis tinggi, obat tersebut dihubungkan dengan kejadian
hipotensi dan bradikardi. Secara umum, pemberian opioid dapat
dilakukan dengan :

(a) Oral
- Untuk penggunaan opioid dalam jangka waktu yang panjang
- Dilakukan melalui selang nasogastrik atau pipa nasogastrik, bila
pasien tidak kooperatif atau dalam kondisi tidak sadar.
(b) Transdermal
- Sediaan transdermal ditujukan untuk pasien yang memiliki
episode nyeri breakthrough pain jarang, namun konstan.
- Dalam 1-2 jam, konsentrasi fentanil sudah dapat diukur dalam
darah. Dalam 12-18 jam berikutnya, analgesia telah mencapai
efek plato. Konsentrasi fentanil dalam darah akan menurun
secara perlahan dengan waktu 15-21 jam bila sediaan transdermal
tersebut dapat dilepaskan.
(c) Subkutan
Hidromorfon, morfin, dan fentanil merupakan pilihan obat yang
dapat digunakan dalam bentuk sediaan subkutan.
(d) Intravena
Untuk anestesi umum dan tata laksana nyeri, pemberian opioid secara
intravena merupakan pilihan utama karena titrasi opioid dalam darah
dapat terjadi secara cepat schingga efek analgesia yang diinginkan
juga dapat tercapai dalam waktu singkat.
(e) Intramuskular
Pemberiaan secara intramuskular tidak memberikan efek analgesia
yang lebih cepat dibandingkan secara intravena dan tidak
memberikan keuntungan lebih dibandingkan secara subkutan.
(f) Neuraksial

14
Pemberian obat melalui metode neuraksial sering digunakan untuk
anestesi, tata laksana nyeri akut dan kronis, nyeri kanker atau tata
laksana nyeri persalinan. Opioid epidural dan intratekal memiliki
keuntungan berupa total dosis dari opioid yang digunakan lebih
rendah dan efek samping yang lebih sedikit. Teknik infus kontinu
mengurangi jumlah obat yang diberikan (dibandingkan dengan bolus
intermiten), efek samping, dan risiko oklusi kateter.

DISTRIBUSI

Setelah masuk ke dalam tubuh, opioid akan mengalami proses distribusi.


Waktu mula kerja dari obat ditentukan melalui proses distribusi ini.
Untuk mencapai proses distribusi, obat harus dapat berdifusi dengan
bebas dan meninggalkan aliran sirkulasi. Proses difusi dapat berjalan
dengan baik bila obat tidak terionisasi dan tidak berikatan dengan yang
lainnya. Mula kerja obat yang cepat merupakan tanda bahwa proses
difusi obat tersebut berjalan baik. Volume distribusi dapat meningkat jika
obat memiliki tingkat kelarutan lemak yang tinggi. Dengan
meningkatnya volume distribusi, maka konsentrasi plasma akan semakin
menurun. Alfentanil merupakan contoh obat yang memiliki volume
distribusi rendah. Oleh karena itu, alfentanil memiliki mula kerja yang
cepat disertai durasi kerja yang singkat. Pada dasarnya, proses distribusi
terbagi menjadi dua, yaitu:

(1) Fase awal-terdistribusi pada jaringan atau sistem organ yang


memiliki perfusi tinggi (jantung, hati, ginjal)
(2) Fase lanjutan-terdistribusi pada jaringan atau sistem organ yang
memiliki perfusi rendah (otot, lemak, kulit)

Setiap jenis opioid memiliki waktu paruh yang berbeda pada plasma.
Pemberian opioid titrasi dengan waktu paruh panjang akan mencapai
efek optimal obat tersebut dalam waktu yang cukup lama, sedangkan
pada opioid dengan waktu paruh pendek dapat mencapai efek optimal
obatnya dalam waktu singkat. Levorphanol dan metadon membutuhkan

15
waktu sekitar 70-120 jam untuk mencapai keadaan tunak (steady state)
dalam darah sehingga dapat dikatakan bahwa kedua obat tersebut
tergolong sebagai obat dengan waktu paruh panjang. Untuk golongan
opioid dengan waktu paruh pendek, morfin dan hidromorfon hanya
membutuhkan 10-12 jam untuk mencapai keadaan tunak dalam darah.
Jenis opioid dengan waktu paruh lama dan disertai metabolit aktif dapat
terakumulasi jika diberikan dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti
norpropoksifen dan normeperidin.

METABOLISME

Untuk dapat diekskresi melalui ginjal, opioid akan mengalami proses


konjugasi sehingga dapat diubah menjadi metabolit polar. Hal yang
berperan penting pada proses konjugasi tersebut adalah UGT (uridine 5-
diphosphate-glucuronyltransferase), di mana enzim tersebut akan
membantu proses opioid dengan kelompok hidroksil. Dengan bantuan
asam glukuronida, opioid glukuronida akan terbentuk dan menjadi dapat
dibuang melalui ginjal. Proses metabolisme sebagian opioid juga dapat
dibantu oleh sitokrom P-450, CYP3A4, dan CYP2D6 dengan hasil akhir
berupa metabolit yang disertai perubahan aktivitas (lebih besar atau lebih
kecil).

EKSKRESI

Sebagian besar proses ekskresi obat golongan opioid dibantuk oleh ginjal
dan sebagian lainnya juga diekskresi melalui cairan empedu. Metabolit
polar hasil metabolism opioid akan diekskresi melalui ginjal, sedangkan
konjugat glukuronida yang melabi sirkulasi enterohepatik akan
diekskresikan pada cairan empedu.

16
 Efek samping opioid

17
- Efek sedatif hipnotik
- Efek epileptogenik
- Depresi napas
- Efek terhadap pupil
- Kaku otot
- Mual dan muntah
- Gangguan pada traktus gastrointestinal dan traktus urinarius
- Gangguan kardiovaskular

2. Non-Opioid (Non-Narkotik)
Analgesik non-opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri akut pada
pembedahan, trauma, dan berbagai kondisi medis lainnya. Obat ini dapat
digunakan secara tunggal maupun kombinasi dengan analgesik lainnya.
Secara tunggal, analgesik non-opioid dapat bermanfaat untuk pasien rawat
jalan, pasien bedah gigi, dan pasien bedah minor. Kombinasi dengan opioid
dapat digunakan untuk pembedahan besar seperti laparotomi, torakotomi, dan
lain-lain.
 Asetaminofen
Asetaminofen (Parasetamol) adalah analgesik oral dan obat antipiretik
yang baru-baru ini tersedia dalam sediaan intravena untuk penggunaan
pasien rawat inap.
Cara kerja : menghambat sintesis prostaglandin sehingga bermanfaat
sebagai analgetik dan antipiretik, tetapi bukan sebagai antiinflamasi yang
baik.
Efek samping : Asetaminofen memiliki efek samping hepatotoksik pada
dosis tinggi. Hal ini disebabkan adanya metabolit dari asetaminofen
berupa N-acetyl- p-benzoquinoneimine (NAPIQ) yang mendeplesi
antioksidan glutation dari hepar dan merusak hepar secara langsung.
Asetaminofen memiliki efek analgesia pusat yang dimediasi oleh aktivasi
jalur serotonergik descending. Pada susunan saraf tulang belakang,
asetaminofen memiliki sifat kerja yang berlawanan dengan

18
neurotransmisi melalui N-methyl-d-aspartate (NMDA), substance-P, dan
jalur nitric oxide.
Dosis : Berkisar 325 - 650 mg setiap 4-6 jam, namun dosis hariannya
tidak boleh melebihi 4000 mg atau 2000 mg pada alkoholik kronik.
Untuk mengurangi risiko terjadinya hepatotoksik, Food and Drug
Administration dari Amerika Serikat pada tahun 2009 merekomendasikan
dosis maksimum harian menjadi 2600 mg dan menurunkan dosis tunggal
dari 1000 mg menjadi 650 mg. Asetaminofen dapat ditoleransi dengan
baik dan memiliki insidens yang rendah pada efek samping saluran cerna,
namun overdosis akut tetap dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati
yang berat. Penggunaan kronis sebanyak 2000 mg per hari umumnya
tidak terkait dengan gangguan hati.

 NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs)


Cara kerja : menghambat sintesis prostaglandin melalui inhibisi enzim
yang memediasi biokonversi asam arakidonat, yaitu cyclooxygenase
(COX). Prostaglandin menyensitisasi dan memperkuat input nosiseptif.
Blokade sintesis prostaglandin menghasilkan efek analgetik, antipiretik,
dan anti-inflamasi yang merupakan karakteristik NSAID. Setidaknya, ada
dua jenis COX telah dikenal :
(1) COX-1 bertugas untuk mengatalisasi produksi prostaglandin yang
terdapat pada sejumlah fungsi fisiologis, termasuk pemeliharaan
fungsi ginjal normal, perlindungan mukosa pada saluran cerna, dan
produksi proaggregatory thromboxane A2 pada trombosit.
(2) COX-2 selective inhibitors (dikenal sebagi coxibs) memiliki
toksisitas yang lebih rendah terhadap saluran cerna dibandingkan
NSAID non-selektif, namun dapat meningkatkan risiko
kardiovaskular yang lebih tinggi.

Efek samping : sakit perut, mulas, mual, dan dispepsia. Faktor risiko
terjadinya komplikasi saluran cerna akibat NSAID meliputi pemberian
dosis tinggi, usia yang terlalu tua, infeksi Helicobacter pylori, riwayat
terjadinya ulkus lambung, dan penggunaan secara berlebih obat aspirin,

19
antikoagulan, atau kortikosteroid. Oleh karena itu, pasien dengan faktor
risiko saluran cerna sebaiknya diberikan terapi COX-2 selektif atau
NSAID non-selektif yang disertai terapi perlindungan pada saluran cerna.
Diklofenak tersedia sebagai preparat oral maupun gel topikal atau patch
yang lebih tidak menyebabkan gangguan lambung. Efek samping lain
dari NSAID di antaranya adalah pusing, nyeri kepala, dan mengantuk.

 Antidepresan

20
 SNRI (Serotonin and Noreepinefrin reuptake inhibitor)
SNRIS Milnacipran (Ixel®, Savella®, Dalcipran®, Toledomin®)
bersama dengan SNRI duloxetine (Cymbalta®) mempunyai waktu paruh
8 jam, secara minimal dimetabolisme oleh hepar dan diekskresikan
terutama melalui urine tanpa perubahan menjadi metabolitnya.
Duloxetine berguna dalam terapi nyeri neuropati dan depresi. Memiliki
waktu paruh sekitar 12 jam, dimetabolisme oleh hepar, dan hampir
seluruh metabolitnya diekskresikan melalui ginjal.
Kontraindikasi absolut dan relatif untuk penggunaan SNRI meliputi :
hipersensitivitas, interaksi dengan obat lain yang bekerja di susunan saraf
pusat (termasuk monoamine oxidase inhibitor), gangguan liver dan
ginjal, glaukoma sudut tertutup yang tidak terkontrol, serta gagasan untuk
bunuh diri.
Efek samping : mual, nyeri kepala, pusing, konstipasi, insomnia,
hiperhidrosis, hot flushes, muntah, palpitasi, mulut kering, dan hipertensi.
 Antikonvulsan

C. Anestesia pada Seksio Sesarea


Anestesi regional merupakan pilihan utama untuk tindakan seksio sesarea.
Keuntungan dari anestesi regional :
1. Penurunan risiko ibu terhadap aspirasi
2. Paparan janin terhadap obat yang bersifat depresan akan berkurang
3. Ibu yang tetap tidak sadar saat kelahiran anaknya

21
4. Penggunaan opiod pada teknik tulang belakang sebagai manajemen nyeri
pascabedah.

Anestesia Regional
Anestesi epidural memiliki keunggulan pada teknik anestesi regional karena dapat
mengontrol nyeri pascabedah lebih baik dibandingkan anestesi spinal. Namun,
anestesi spinal memiliki awitan yang lebih cepat dan dapat diprediksi. Apa pun
teknik anestesi regional yang dipilih, anestesi umum tetap harus dipersiapkan.
Ketinggian blok yang dibutuhkan pada tindakan seksio sesarea yang melibatkan
jaras nosiseptif mencapai ketinggian dermatom T4. Insisi horizontal yang biasa
dilakukan pada tindakan seksio sesarea (Pfannenstiel) termasuk dermatom T1l-
T12. Tarikan kulit dan manipulasi intraperitoneal selama tindakan akan mencakup
2 sampai 4 segmen lebih tinggi. Anestesi regional, terutama anestesi spinal,
kontrol dengan efek blok simpatis yang akan menyebabkan penurunan tekanan
darah sebanyak 10%. Pemberian cairan ringer laktat (1.000–1.500 ml) sebagai
cairan pre-loading dapat mengeliminasi kondisi hipovolemia yang telah ada
sebelumnya. Bila terjadi hipotensi, dapat diberikan fenilefrin dan efedrin (5-10mg
intravena).

I. ANESTESI SPINAL
Pasien diposisikan lateral dekubitus atau posisi duduk. Anestesi spinal
dilakukan dengan menyuntikkan larutan bupivakain (10–15mg) atau lidokain
(50-60mg) hiperbarik intratekal. Jarum spinal ukuran 27-gauge atau lebih
kecil dengan ujung pensil-ujung akan menurunkan dari PDPH. Penambahan
obat ajuvan seperti fentanil (10-25 µg) akan meningkatkan intensitas obat
anestesi lokal, morfin (0,1–0,3mg) akan meningkatkan durasi efek analgesia
pascabedah hingga 24 jam. Bila terjadi hipotensi pada anestesi spinal,
penggunaan fenilefrin dalam insiden asidosis janin yang lebih kecil
dibandingkan efedrin. Anestesi tulang belakang juga cukup aman digunakan
pada pasien preeklamsia.

II. ANESTESIA EPIDURAL

22
Anestesi epidural untuk tindakan seksio sesàrea biasanya dilakukan dengan
menggunakan kateter yang memungkinkan pemberian obat anestesi tambahan
dan sebagai rute mempersembahkan opioid pascabedah. Pemberian lidokain
2% (biasanya dengan tambahan epinefrin 1: 200.000) dapat menjadi pilihan
obat anestesi lokal pada anestesi epidural. Setelah dipastikan kateter masuk ke
ruang epidural dengan dosis uji negatif, total volume 15-35 mL dapat
disuntikkan melalui kateter epidural secara bertahap sebanyak 5ml untuk
mengurangi risiko toksisitas anestesi lokal secara sistemik. Pemberian obat
ajuvan fentanil (50– 100 mcg) dapat meningkatkan intensitas obat anestesi
lokal dan memperpanjang tanpa memengaruhi luaran janin. Efek tidak teratur
dari anestesi epidural dapat diatasi dengan pemberian ketamin 10-20 mg dan
midazolam 1-2 mg intravena, Bila dijumpai rasa nyeri yang tidak tertahankan
meskipun tingkat sensorik tampak memadai, maka anestesi umum dengan
intubasi endotrakea harus dilakukan. Morfin epidural (2 mg) pada akhir
operasi akan memberikan efek analgesia hingga 6–24 jam pascabedah.
Analgesia pasca operasi dapat diberikan pula melalui epidural kontínu fentanil
25-75 mcg / jam, atau sufentanil, 5-10 mcg / jam, dengan laju volume kira-kira
10 mL / jam.

III. COMBINED SPINAL EPIDURAL


Teknik CSE memiliki keunggulan keunggulan teknik anestesi spinal dan
epidural, yaitu awitan yang cepat dan intensitas blok dari anestesi spinal serta
fleksibilitas dari kateter epidural. Perhatian khusus harus diberikan saat
mempersembahkan obat secara titrasi karena lubang akibat jarum tulang
belakang dapat memfasilitasi penyebaran obat epidural menuju cairan
serebrospinal.

23
BAB III

KESIMPULAN

Suatu proses pembedahan setelah operasi atau post operasi sectio caesarea
akan menimbulkan respon nyeri. Post sectio caesarea akan menimbulkan nyeri
hebat dan proses pemulihannya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan
persalinan normal. Tindakan operasi menyebabkan terjadinya perubahan
kontinuitas jaringan tubuh. Pada proses operasi digunakan anastesi agar pasien
tidak merasakan nyeri, namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar akan
merasakan nyeri pada bagian tubuh yang mengalami pembedahan. Nyeri dapat
diatasi dengan penatalaksanaan nyeri farmakologis dan non farmakologis. Secara
farmakologis dapat diatasi dengan menggunakan obat-obatan analgetik.
Analgetik diartikan sebagai obat untuk meredakan rasa nyeri tanpa
mengakibatkan hilangnya kesadaran. Secara umum analgesik dibagi dalam dua
golongan, yaitu non-narkotik (non-opioid) dan narkotik (opioid).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan G.E. 2006. Anestesi for patients with Respiratory Disease in


Clinical Anaesthesiology 4th edition.
2. Heri Dwi Purnomo. Anestesiologi dan Terapi Intensif edisi I. Buku Teks
KATI-PERDATIN. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2019.

25

Anda mungkin juga menyukai