Anda di halaman 1dari 55

PRESENTASI KASUS

Anastesi Umum Menggunakan LMA pada Pasien Appendicitis Akut

Dengan Status ASA II

Diajukan Kepada :

dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An

Disusun Oleh :

Intan Permata Sari

20100310161
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Presentasi Kasus dengan judul

Anestesi Umum Menggunakan LMA pada Pasien Appendicitis Akut

Dengan Status ASA II

Disusun Oleh :

Intan Permata Sari

20100310161

Mengetahui,
Dokter pembimbing,

dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An


BAB I

STATUS UJIAN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. DL

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 20 Juni 1970

Umur : 45 tahun

Alamat : Pundong, Bantul

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Suku : Jawa

Bangsa : Indonesia

Status Perkawinan : Sudah menikah (1x)

Tanggal Masuk RS : 30 November 2015

No. Rekam Medis : 456***

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama

Nyeri perut di bagian kanan bawah

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut terutama dikanan bawah sejak ±

2 minggu yang lalu. Keluhan awalnya dirasakan disemua bagian perut

namun kemudian memusat pada bagian kanan bawah. Pasien mengeluh

perut terasa mual tanpa disertai mutah. Terjadi penurunan nafsu makan dan

perasaan tidak enak diperut. Pasien mengeluh badannya terasa lemas. 2

minggu yang lalu pasien menstruasi selama 3 hari. Dalam sehari pasien

mengganti pembalutnya sebanyak 3-4kali dengan ukuran pembalut normal.

Pasien mengalami gangguan siklus menstruasi sejak 3 tahun yll. Tidak

terdapat demam. Tidak terdapat keluhan BAK maupun BAB.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

Riwayat TBC : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Operasi : disangkal

Riwayat Maag : (+)

4. Riwayat Keluarga

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

Riwayat TBC : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal


Riwayat Operasi : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan Umum          : Baik

 Kesadaran                   : Compos mentis

 Berat Badan : 45 kg

 Tanda vital

- Suhu : 36,20C

- Nadi : 76 kali/menit, isi dan tegangan cukup

- Pernafasan : 20 kali/menit, regular

- Tekanan darah : 110/70 mmHg

 Status general

1. Kepala : normochepale

- Mata : pupil isokor, conjungtiva anemis (+/+), sklera

ikterik (-/-)

- Hidung : simetris, sekret (-/-)

- Mulut : mukosa bibir lembab, tonsil T0/T0, faring

hiperemis (-), Mallampati II, buka mulut >3 jari,

- Telinga : simetris, daun telinga utuh

2. Leher

Tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe, tidak teraba adanya massa,

peningkatan JVP (-), jarak tyromandibula >6,5cm, pergerakan leher

bebas.
3. Thorax

Jantung

- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

- Palpasi : iktus cordis teraba pada sela iga ke-4 linea

midclavicula kiri

- Perkusi : (tidak dilakukan)

- Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru

- Inspeksi : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi

intracostal (-), retraksi substernal (-)

- Palpasi : fremitus (+/+)

- Perkusi : sonor (+/+)

- Auskultasi : vesicular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

4. Abdomen

- Inspeksi : supel

- Auskultasi : peristaltik (+)

- Perkusi : tympani (+)

- Palpasi :

o hepar dan lien tidak teraba, massa (-)

o Terdapat nyeri tekan di daerah Mcburney (+) Nyeri Alih

(+)

5. Ekstremitas

Akral hangat, nadi kuat, capillary refill time < 2 detik, edema kaki (-/-)
A = jalan nafas clear, jarak tyromandibula >6,5cm, buka mulut >3 jari,

Mallampati II, pergerakan leher bebas

B = Spontan, RR : 20x/menit, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)

C = TD: 110/70 mmHg, N: 76x/menit, S1-S2 reguler

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Rontgen Thorax : Cor dan Pulmo dalam batas normal

 EKG : normal sinus rithym

 USG

Appendic : Tampak penebalan dinding mukosa (0,95 cm), dinding oedema

touse, ireguler, dan tampak abses massa

Myioma Uteri : ukuran membsar, lesi ischoectoic inhomogen, bentuk

membulat dengan panjang 4,6 cm

 Laboratorium

Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 9,1 12,0 – 16,0 gr/dL

Leukosit 8,82 4 – 11 ribu/uL

Eritosit 4,9 4–5 ribu/uL

Trombosit 281 150 – 450 ribu/uL

Hematokrit 31,9 36 – 46 ribu/uL

Eusinofil 8 2–4 %

Basofil 1 0–1 %
Batang 1 2–5 %

Segmen 53 51 – 67 %

Limfosit 30 20 – 35 %

Monosit 7 4–8 %

GOL. DARAH

Golongan darah A

HEMOSTASIS

PPT 14,0 12-16 detik

APTT 34,1 28-38 detik

Control PPT 14,3 11-16 detik

Control APTT 31,1 28-36,5 detik

FUNGSI GINJAL

Ureum 24 17 – 43 mg/dl

Creatinin 0,61 0,6 – 1,1 mg/dl

DIABETES

GDS 97 80 – 200 mg/dl

ELEKTROLIT

Natrium 143,9 137 – 145 mmol/l

Kalium 3,98 3,5 – 5,1 mmol/l

Klorida 111,1 98 – 107 mmol/l

DIABETES
HbsAg Negative negatif

E. DIAGNOSIS KERJA

 Pre Operasi Appendictomi pada Appendicitis Kronis dengan status fisik

ASA II dengan eosinofilia.

 Rencana Anestesi Umum dengan LMA

F. PENATALAKSANAAN ANASTESI

1. Pra Anastesi

Instruksi pra anastesi

- Lengkapi Informed Consent Anestesi

- Puasa 8 jam sebelum operasi

- Inj. Dexametason 10 mg (IV) pre op (pukul 20.00)

- Transfusi PRC 1 Kolf pre op

- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik

- Tidak menggunakan gigi palsu

- Memakai baju khusus kamar bedah

- Lain-lain ikut dokter penanggungjawab.

2. Anastesi

 Diagnosis Pra Bedah : Appendicitis kronis

 Diagnosis pasca Bedah : Appendicitis kronis

 Premedikasi : Midazolam 2, 5 mg

Fentanyl 50 µg
 Induksi : Propofol 100 mg

 Jenis Anestesi : General Anestesi

 Teknik : LMA no. 3

 Pemeliharaan : O2 2 lpm,, N20 2, Sevoflurance 2%

 Obat-obat : Ondansentron 4 mg

Tramadol 100 mg

 Jenis Cairan : Ringer laktat

 Kebutuhan cairan selama Operasi

- MO (Maintenance Operasi) : 2 cc/kgBB

: 2 x 45 kg = 90 cc

- PP (Pengganti Puasa) : lama puasa (8 jam) x MO

: 8 x 90 cc = 720 cc

- SO (Stress Operasi) : 6 cc/kgBB/jam (operasi sedang)

: 6 x 45 = 270 cc

- Kebutuhan Cairan jam I : ½ x 720 + 90 + 270 = 720 cc

- Perdarahan : ±100 cc

- Urin Output :0

- Total kebutuhan cairan : Kebutuhan Cairan jam I +

Perdarahan + Urin Output

: 720 cc + 100 cc + 0 cc = 820 cc

- Jumlah pemberian cairan : RL 600 cc

- Sisa Kebutuhan : 600-720 = -120 cc

- EBV (Estimastion Blood Volume): 65 x 43 = 2925 cc


- ABL (Average Blood Loss) : 20% x 2925 = 585 cc

 Lama Operasi : 35 menit

3. Post Anastesi

 Maintanence anastesi

B1 (Breathing): Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol

B2 (Bleeding) : Perdarahan ± 100 cc

B3 (Brain) : Pupil Isokor

B4 (Bladder) : tidak terpasang kateter

B5 (Bowel) : BU (-)

B6 (Bone) : Intak

 Pemantauan di ruang PACU/RR

- Monitoring Tekanan Darah, Nadi, Respirasi, Saturasi O2

- Oksigenasi 2 lt/menit dengan nasal canul

Skor Aldrete Pasien

Jam I
Skor Aldrate Jam II Jam III Jam IV
(per 15 mnt)

Kesadaran 1 2

Sirkulasi 2 2

Pernafasan 2 2

Aktifitas 1 1

Warna Kulit 2 2

TOTAL 8 9

Ket : Pasien boleh pindah ke bangsal jika Skor Aldrete >8

 Instruksi Pasca Operasi


- Observasi : Awasi KU dan VS setiap ½ jam

- Posisi : Supine

- Infus : Ringer Laktat 20 tpm

- Analgetik : Inj. Tramadol 100 mg/8 jam/IV mulai jam 17.00

- Anti muntah : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam/IV K/P mulai jam

17.00

- Mobilisasi : Jika sadar penuh, peristaltik (+), mual (-), muntah

(-), coba makan minum bertahap.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Appendicitis

1. Defisini

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. apendisitis adalah kondisi dimana

terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang

paling sering terjadi.


2. Anatomi

Gambar 1. Anatomi Colon

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Luemnnya sempit dibagian

proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, ada bayi apendsiks

berbentuk erucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.

Keadaan ini mungkin menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin

menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus,

apendiks terletak intraperiotoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks

bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya (De Jong, 2011).


Pada kasus selebihnya, apendiks terleltak retriperitoneal, yaitu du belakang

sekum, di belakang kolon assendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala

klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks (De Jong, 2011).

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti

arteri mesenterika superior dan arteri apendikulariis, sedangkan persarafan

simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada

pandisitis bermula disekitar umbilikus (De Jong, 2011).

Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan

arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada

infeksi, apendiks akan mengalami gangren (De Jong, 2011).

3. Fisiologi

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir pada normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran

lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (De

Jong, 2011).

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated

lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks

ialah IgA. Imunoglubullin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap globulin

itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,

pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah


jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran

cerna dan di seluruh tubuh (De Jong, 2011).

4. Epidemiologi

Insidens apendicitis di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terkahir kejadiannya menurun

secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan

makanan berserat dalam menu sehari-hari (De Jong, 2011).

Apendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang

dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30

tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan biasanya

sebanding, kecuali pada umur 20-20 tahun. insidens lelaki lebih tinggi (De Jong,

2011).

5. Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakeri. Berbagai hal berperan sebagai

faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apndiks merupakan faktor yang diajukan

sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor

apendiks, dan cacing askaris.dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain

yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena

parasit seperti E. Histolytica (De Jong, 2011).

Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasana makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi


akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan

fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (De Jong, 2011).

6. Patologi

Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dana kemudian melibatkan

seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha

pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks

dengan omentum, usus haluss, atau adneksa sehingga terbentuk massa

periapendikuler yang secara salah dikenal dengan infiltrat apendiks. Didalamnya

dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika

tidak terbentuk abses, apendiksitis akan sembuh dan massa periapidikuler akan

menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (De Jong,

2011).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

disekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut

kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan

dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut (De Jong, 2011).

7. Gambaran Klinis

Apendicitis akut sering tampil dengan gejala kahas yang didasari oleh

radanga mendakdak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai


mauoun tidak disertai rangsang periotoneum lokal. Gejala klasik apendisiti ialah

nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium

di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan muntah kadang ada

muntah. Umumnya nads makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan

berpindah ke kanan bwah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam

dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat, kadang tidak

ada nyeri epigastrium, tetappi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa

memerlukan obat pencahar, tindaka itu dianggap berbahaya karena bisa

mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum,

biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (De Jong, 2011).

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindungi

oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bwah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda

rangsangan periotoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul

pada saat berjalan karena kontraksi musculus psoas mayor yang menegang dari

dorsal (De Jong, 2011).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga

peristalsis meningkat., pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berkemih, dapat terjadi penignkatan frekuensi kencing karena rangsangan

dindingnya (De Jong, 2011).

Gejala apendisitis akut pada anak tidak sepsifik. Gejala awalnya sering

hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyeri
muntah dan anak menjadi lemah dan letargis. Karena gejala yang tidak khas tadi,

sering apendicitis diketahui perforasi. Pad abayo 8090% apendisitis baru diketahui

setelah terjadi perforasi (De Jong, 2011).

Pada beberapa keadaan, apndisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak

ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia

lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh

penderita baru dapat didagnosis setelah perforasi (De Jong, 2011).

Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan

muntah. Yang perlu diperhatikan ialah pada kehamilan trimester pertama sering

juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks

terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakna di perut kanan bwah

tetapi lebih ke regio lumbal kanan (De Jong, 2011).

8. Pemeriksaan

Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 oC-38,5oC. Bila suhu

lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar

dan rektal sampai 1oC. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik.

Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan

perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikulaer (De Jong,

2011).

Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa

disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan


peritoneium parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci

diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri diperut kanan

bawah yang disebut sebagai tanda rovsing. Pada apendisitis retrisekal atau

retriileal, diperlukan palapasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri (De

Jong, 2011).

Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus,

keluhan nyeri pada apendisitis seaktu hamil trimester II dan III akan bergeser ke

kanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda

dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri

berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan

berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bikan berasal dari

apendiks (De Jong, 2011).

Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya

ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis

perforata (De Jong, 2011).


Gambar 2. Pemeriksaan psoas sign dan Obturator sign

Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat

dicapai dengan jari telunjuk. Misalnya pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis

pelvika, tanda perut sering meragukan. Maka kunci diagnosis adalah nyeri

terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator

merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks.

Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi

panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan

ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di otot psoas mayor, tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat

bilamana apendiks yang meradang itu bersentuhan dengan otot obturator internus

yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi

panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apensisitis pelvika

(De Jong, 2011).

9. Diagnosis

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis

klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.

Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan

lelaki. Hal ini dapat didasari mengingat pada perempuan, terutama yang masih

muda, sering timbul gangguan yang menyerupai apendisitis akut. Keluhan itu

berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau

penyakit ginekologik lain (De Jong, 2011).


Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis meragukan, sebaiknya

penderit diobservasi di rumah sakit dengan frekuensi setiap 1-2 jam. Foto barium

kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan akurasi diganosis.

Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan (De Jong, 2011).

Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis apendisitis

akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan

komplikasi (De Jong, 2011).


Tabel 2. Alvarado Score

Sumber : Ohle, 2011


10.Komplikasi

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi., baik berupa

bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendidingan

sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiksl sekum, dan lekuk

usus halus (De Jong, 2011).

Tabel 1. Perjalanan Alami Appendisitis Akut.

App. Mukosa

Appendisitis Flegmonose Sembuh

Appendisitis dgn nekrosis


setempat

Perforasi
Appendisitis Supurativa

Appendisitis Gangrenosa

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi., baik berupa

bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendidingan


sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiksl sekum, dan lekuk

usus halus (De Jong, 2011).

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai

dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi selutuh perut, dan perut

menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di selutuh

perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum diregio iliaka kanan,

peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik.

Abses rongga peritoneium dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di

suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiagfragma. Adanya massa

intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses.

Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya kantong nana. Abses

subdiagfragma dapat dibedakan dengan abses hati. Abses subdiagfragma harus

dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura. USG membantu

dana foto rongen dada akan membantu membedakannya (De Jong, 2011).

a. Appendisitis rekurens

Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada

riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bwah yang

mendorong dilakukannya apendektomi.

b. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semuua

syarat berikut teroenuhi yaitu riwayat nyeri perut kanan bawah yang

lebih dari dua minggu, terbukti terjadi radang krinik apendiks baik

secara makroskopik maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang


pasca apendiktomi. Kriteria mikroskopik meliputi fibrosis

menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial atau totalpada

lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa,

dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

c. Mukokel apendiks

Merupakan dilatasi kistik daari apendiks yang berisi musin akibat

adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, biasanya berupa jaringan

fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi.

Walaupun jaranga, mukokel dapar disebabkan oleh kistadenoma

yang dicurigai dapat berubah menjadi keganasan.

11.Tata Laksana

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan

satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa

komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibioktik, kecuali pda apendisitis

gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil

memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi (De Jong, 2011).

Apendektomu bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila

apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dilakukan dipilih oleh para

ahli bedah (De Jong, 2011).


B. Anestesi Pada Appendisitis

Ahli anestesia harus menentukan teknik anestesi yang dianggap oaling

baik untuk dilaksanakan selama keadaan pembedahan. Seringkali teknik yang

paling sederhana yang biasa digunakannya, sesuai untuk keselamatan dan

kenyamanan penderita, adalah yang paling cocok. Tindakan berlebihan yang tidak

dibutuhkan dapat membahayakan (Boutlton, 2012).

Ada beberapa teknik anestesia yang dijadikan pilihan untuk pembedahan

pada pasien dengan appendisitis salah satunya adalah dengan anestesia umum.

Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadara dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesia

yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot (Jornoerham, 1989).

Metode anestesia umum dilihat dari cara pemberian obatnya terbagi

menjadi 3 yaitu :

a. Parenteral

Anestesia umum yang diberkan secara parenteral baik intravena

maupun intrsmuscular boasanya digunakan untuk tindakan yang


singkat untuk induksi anestesia. Obat yang umum dipakai adalah

tiopental. Kecuali untuk kasus-kasus tertentu dapat digunakan

kettamin, diazepam dll. Untuk tindakan yang lama biasanya

dikombinasikan dengan obat anestesika lainnya (Joenarham, 1989).

b. Perektal

Anestesia umum yang diberikan secara perektal kebanyakan

dipakai pada anak, terutama untuk induksi anestesia atau tindakan

singkat.

c. Perinhalasi, melalui pernapasan.

Anestesia perinhalasi ialah anestesia dengan menggunakan gas atau

cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat

anestetika melalui udara pernapasan. Zat anestetika uang

dipergunakan beruapa suatu campuran gas (dengan O2) dan

konsentrasi zat anestika tersebut tergantung daru tekanan

parsialnya. Tekanan parsial dalam haringan otak menentukan

kekuatan daya anestesia, zat anestika disebut kuat bila dengan

tekanan parsial rendah sudah mampu memberika anestesia yang

adekuat. Anestesia inhalasi masuk dengan inhalasi/inspirasi

melalui peradaran darah ke jaringan otak. Faktor-faktor lain seperti

respirasi, sirkulasi dan sifat-sifat zat anestetika mempengaruhi

kekuaran maupun kecepatan anestesia (Joenarham, 1989).

Adapun beberapa kontraindikasi tidak boleh dilakukan anestesia umum

atau general anestesi adalah :


a. Mutlak

dekomp.kordis derajat

III – IV : AV blok derajat

II – total

b. Relatif

hipertensi berat/tak terkontrol, DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis,

GNA .

1. Stadium Anestesia

Mengetahui stadium anestesia akan membantu kita menetukan dimana

letak obat-obatan yang akan kita berikan akan bereaksi. Stadiumnya diantaranya :

 Stadium I (analgesia)

Mulai pemberian zat anestesi sampai dengan hilangnya kesadaran

mengikuti perintah, rasa sakit hilang.

 Stadium II ( Delirium )

Mulai hilangnya kesadaran sampai dengan permulaan stadium

bedah, gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak teratur,

midriasis, takikardi.

 Stadium III (Pembedahan)

Tingkat 1 : nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak

menurut kehendak, nafas dada dan perut seimbang.

Tingkat 2 : nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata

tidak bergerak, pupil mulai melebar, mulai relaksasi otot.


Tingkat 3 : nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot

sempurna.

Tingkat 4 :nafas perut sempurna, tekanan darah menurun,

midriasis maksimal, reflek cahaya ( - )

 Stadium IV (Paralisis) :

nafas perut melemah, tekanan darah tidak terukur, denyut nadi

berhenti dan meninggal.

2. Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian bantuan psikologis atau obat untuk

melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi. Ada beberapa tujuan

diberikan premedikasi diantaranya adalah :

a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien dengan menghilangkan rasa

khawatir dan memberikan ketenangan.

b. Membuat amnesia.

c. Memberikan analgesia

d. Mencegah mual dan muntah

e. Mempermudah/memperlancar induksi

f. Mengurangi jumlah obat anestesia yang diberikan.

g. Menekan reflek-reflek yang tidak dinginkan.

h. Mengurangi sekresi kelenjar saluran napas (Trubus, 2012).


Ada beberapa obat-obatan yang seringkali digunakan dalam premedikasi

dalam penggunaan teknik anestesi umum atau general anestesia, diantaranya :

a. Ansiolitik

Penggunaannya adalah untuk mengurangi kecemasan pada masa prabedah.

Obat ini meliputi hipnotik guna memastika waktu tidur malam yang

cukupsebelum pembedahan, dan penangan pada saat sebelum anestesia

(Boulton, 2011)

b. Analgesik

Jika penderita merasakan nyeri sebelum anestesia bedah, maka

premedikasi harus meliputi anelgesik. Kebanyak analgesik (termasuk

opiod) juga mempengaruhi alam perasaan dan dapat diberikan terutama

karena alasan itu (Boulton, 2011).

c. Sedasi basal

Premedikasi sedatif merupakan faktor penting untuk memastikan

kemudahan diterimanya zat anestesi oleh penderita. Sejak induksi anestesi

rutin hampir semuanya dilakukan dengan obat intravena, maka pemberian

sedasi prabedah yang kuat menjadi tidak diperlukan lagi pada sebagian

besar orang dewasa, dan hanya sedikit diperlukan pada beberapa teknik

anestesi pada anak (Boulton, 2011).

d. Antisialagog

Pengurangan sekresi saluran pernapasan bagian atas merupakan hal paling

penting jika sering menggunakan eter yang dapat merangsang sekresi

saliva. Kebutuhan ini pada premedikasi menjadi lebih sedikit pada


penggunaan agen inhalasi yang mukhtahir, terutama dengan teknik

intubasi (Boulton, 2011).

e. Vagolitik

Obat vagolitik seperti atropin atu hiosin, disamping sebagai antisialogog,

juga mengurangi pengaruh farmakologis atau refeleks yang dapat terjadi di

jantung. Sebagai contoh, agen inhalasi trikloroentilen atau relaksan otot.,

suksinikolin, dapat menimbulkan adanya bradikardia yaitu dapat dikurangi

dengan agen antivagus. Insiden dan beratnya gangguan refleks irama

jantung yang dihasilkan oleh intubasi trakea dapat juga berkurang setelah

diberikan obat vagolitik (Boulton, 2011).

f. Antiemesis

Pengaruh premedikasi dapat diperlias dengan masa awal postooperasi,

setelah pembedahan singkat. Obat antivagus dan antisialogog hiosin, dan

atropin mempunya efek antiemetik. Antiemetik juga diperlukan untuk

melawan pengaruh emetik opoiod, dan obat pada campuran pramedikasi.

Untk mual pada pembedahan yang lebih hebat, lebih baik dikendalikan

dengan suntikan intravena atau intramuskular pascabeah (Boulton, 2011).

g. Antihistamin

Terutama fenotiazin dan penghambatan reseptor H1 lain dapat digunakan

untuk mengurangi atau mencegah bronkospasme pada penderita yang

menderita bronkokontraksi akibat alergi. Fenotiazin seringkali juga bekerja

sebagai sedatif, antiemetik, dan mengurangi sekresi (Boulton, 2011).

h. Netralisasi asam lambung


Inhalasi dari regurgitasi asam lambung dan pneumonitis yang

ditimbulkannya, adalah penyulit berbahaya dalam anestesi. Pada penderita

yang rentan (sebagai contoh ibu hamil dan pendeira hiatus hernia)

antasida atau penghambat reseptor H2 harus diberikan (Boulton, 2011).

Jenis obat-obatannya diantaranya adalah :

 Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.

 Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.

 Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.

 Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

a. Midazolam

Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan

sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Golongan

benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam

(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), Midazolam bersifat larut

dalam air serta merupakan benzodiazepin pilihan untuk pemberian parenteral.

Penting untuk diketahui bahwa obat ini dapat bersifat menjadi larut lemak pada

pH fisiologuis sehingga dapat dengan cepat menembus sawar darah otak dan

menimbulkan efek sentral. Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja

menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat

di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum system

limbic serta korteks serebri. Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik,


sedative, anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di

sentral.Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABAA. Afinitas pada reseptor

GABAA berurutan seperti berikut lorazepam > midazolam > diazepam.  Reseptor

spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang terdapat

pada reseptor GABA. Midazolam memiliki onset yang lebih cepat, eliminasi

waktu paruh yang lebih pendek (2-4 jam), serta kurva dosis responsif yang lebih

curam daripada benzodiazepin lain yang tersedia. Oleh karena itu, midazolam

seringnya diberikan secara intravena sebelum pasien masuk ke dalam kamar

operasi. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila

sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa

premedikasi narkotika sebelumnya.

Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi,

basal sedasion sebelum tindakan diagnostik atau pembedahan yang dilakukan di

bawah anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini

dikontraindikasikan pada keadaan sensitif terhadap golongan benzodiazepine,

pasien dengan insufisiensi pernafasan, dan acute narrow-angle glaucoma.

Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum

tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau

analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum

pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05

mg/kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-

10 menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5

mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.


b. Fentanil

Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan

termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk

sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan

remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan

untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang

deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx,

dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana

meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan

toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah

digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi

inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek

depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan

analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna

diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik

yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil

menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh

efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh

nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat

digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan

untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol.

Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol)


diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan

dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut

sebagai neurolepanestesia.

c. Sulfas Atropin

Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi

sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari

perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis

klinik (0,4–0,6 mg) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan perangsangan

nervus Vagus. Pada dosis yang lebih besar (> 2 mg) akan menghambat nervus

Vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu melemaskan nervus otot

polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal dan

mengurangi rasa mual serta muntah.

Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan

kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam

dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan

pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 – 2 mg

intra vena.

Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.

Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.

Pemberian : SC, IM, IV.

d. Pethidin

Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya depresi nafas dan

efek sentral lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian sub cutan
atau intra muskular, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis toksik menimbulkan

perangsangan SSP misal tremor, kedutan otot dan konvulsi. Pada saluran nafas,

akan menurunkan tidal volume sedang frekuensi nafas kurang dipengaruhi

sehingga efek depresi nafas tidak disadari. Secara sistemik menimbulkan anestesi

kornea dengan akibat hilangnya refleks kornea. Obat ini juga meningkatkan

kepekaan alat keseimbangan sehingga menimbulkan mual, muntah dan pusing

pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat baring, obat ini tidak

mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi penderita berobat jalan dapat timbul

sinkop orthostotik karena hipotensi akibat vasodilatasi perifer karena pelepasan

histamin.

Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada

pemberian IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin

dimetabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang

diberikan. Preparat oral dalam tablet 50 mg, parenteral dalam bentuk ampul 50 mg

per cc. Dosis dewasa 50-100 mg disuntikkan SK atau IM. Jika secara IV efek

analgesiknya tercapai dalam waktu 15 menit.

e. Ondansetron

Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat

menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi.

Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan

basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi

konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat

ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam
hati.5 Dosis ondansentron yang biasanya diberikan untuk premedikasi antara 4-8

mg/kgBB. Dalam suatu penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang

diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang

diberikan saat induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah

muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan

dexamethasone

3. Airway Managemen

Operasi appendicitis pada umumnya berdurasi 30-45 menit. Untuk


mempertahankan jalan napas dan memasukkan anestesi inhalasi atau anestesi
valotile dapat digunakan LMA atau Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan
alat jalan napas supraglotic yang dikembangkan oleh British Anesthesiologist Dr.
Archi Brain semenjak 1988. Di rancang untuk digunakan pada kamar operasi
sebagai metode elektif ventilasi dan merupakan alternarif yang bagus dari bag-
valve-mask ventilasi.

LMA berbentuk seperti endotracheal tube pada bagian proksimalnya dan


terhubung ke elliptical mask pada bagian distalnya. Dirancang untuk menduduki
hipofaring pasien dan menutupi struktur supraglotic, Sehingga memungkinkan
isolasi trakea.

a. Tipe-tipe LMA :
1. LMA Classic : reusable
2. LMA Unique : disposale version
3. LMA Fastrach, intubaling LMA (ILMA)
4. LMA Flexible
5. LMA ProSeal : bisa digunakan untuk menghisap isi perut
b. Indikasi
1. Jalan napas susah
a. Setelah tidak berhasil di intubasi, LMA bisa sebagai gantinya
b. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi tapi bisa di ventilasi
c. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi atau pun di ventlasi.
Untuk persiapan cricothyroideotomy
2. Cardiac Arrest
a. Tahun 2005, America Heart Association guidlines
mengindikasikan LMA sebagai alternatif tindakan yang bisa
diterima untuk manajemen jalan napas pada pasien henti
jantung (Class IIa)
3. Pada pasien anak-anak

c. Kontra Indikasi
1. Absolut :
a. Tidak bisa membuka mulut
b. Obstruksi total jalan napas bagian atas
2. Relatif :
a. Meningkatnya resiko aspirasi
i. Prolonged bag-valve-mask ventilation
ii. Obesitas
iii. Kehamilan semester dua dan tiga
iv. Perdarahan gastrointestinal bagian atas
b. Abnormalitas anatomi dari supraglotic

Gambar 3 . Laringeal Mask Airway (LMA)


Gambar 4 . Teknik Pemasangan LMA
Tabel 3. Ukuran LMA berdasarkan Berat Badan.

Sumber : Morgan dkk, 2006

4. Induksi

Dalam anestesi umum, agen intravena yang dipilih sebagai agen induksi

menjadi metode yang menjadi pilihan sekarang kecuali pada anak atau penderita

dengan gangguan vena. Cara ini cepat dan menyenangkan bagi penderita karena

stadium kegelisahan, dan polusi atmosfer yang hampir tak terhindarkan dengan

induksi inhalasi, dapat dihindarkan dengan cara tersebut, dan pengaruh agen

intravena yang bekerja cukup lama pada anestesi inhalasi, dapat memudahkan

pengendalian anestesi. Tetapi induksi ini relatif mudah menimbulkan kelebihan

dosis bagi penderita sehingga menjadi penyulit pada pernapasan dan jantung, atau
bahkan mematikan. Janula intravena harus selalu dipasang, dan infus intrabema

dipasang pada semua kasus kecuali pada pembedahan yang singkat (Boulton,

2011).

a. Obat-obatan induksi intravena

 Tiopenton (405mg/kg). Obat ini paling sering digunakan sebagai

agen induksi. Tidak terdapat nyeri ketika disuntikan tetapi dapat

menyebabkan trombosis vena setempat pada beberapa kasus. Mula

kerja anestesinya cepat (20 detik), dan lancar. Obat ini disalurkan

kembali mulai-mula ke jaringan ikat, kemudian jaringan lemak, da

akhirnya secara perlahan dilepaskan selama berjam-jam, dan

dihancurkan oleh hati. Kadar subanestesi dalam darah dapat

ditoleransikan berguna, ketika anestesi inhalasi dipertahankan.

Obat ini dapat menyebabkan nyeri, thrombosis, dan gangren jika

disuntikan ke dalam arteri (Boulton, 2011).

 Metoheksiton (1,0-1,3 mg/kg). Terdapat nyeri pada tempat

suntikan dan dapat terjadi klonus otot oto dan cegukan. Mula kerja

anestesi lebih lambat daripada tiopenton, tetapi jadinya iritasi pada

vena dan arteri lebih kecil. Juga dapat salurkan kembali, tetapi

kadar dalam darah kurang subaneatatik dibandingkan dengan

tiopenton, sehingga berhuna bagi penderita rawat jalan (Boulton,

2011).

 Etomidat (0,3-0,4mg/kg). Mula kerja anestesia cepat tetapi

mungkin terdapat nyeri pada tempat suntikan. Obat ini paling kecil
kemungkinan dalam timbulnya gangguan kardiovaskular atau

pelepasan histamin. Obat ini dapat menekan produksi kortisol

terutama jika diberikan memalui jalur infus (Boulton, 2011).

 Ketamin (1-2 mg/kg). Tidak menimbulkan nyeri dan tidak

menimbulkan iritasi. Mula kerja anestesi dianggap lebih lambat

bila dibandingkan dengan tiopenton, dan pada permulaan dapat

terjadi klonus otot dan rigiditas, obat ini dapat merangsang

kardiovaskular (tekanan darah dipertahankan pada oebderita

berisiko buruk), dan sebagai bronkodilator. Batas keamanannya

lebih besar, walaupun kerjanya berlangsung lebih lama

dibandingkan dengan tiopenton (10-15 menit berbanding dengan

6-8 menit). Obat ini diuraikan dalam tubuh, sehingga

pemulihannya menjadi normal dapat terjadi dengan cepat. Jika

anestesi dipertahankan dengan inhalasi selama lebih dari 40 menit

setelah suatu dosis tunggal induksi ketamin, rekasi kedaruratan

psikis yang berkaitan dengan obat ini akan terjadi – pada

pembedahan yang lebih singkat, obat ini dapat dibatasi dengan

menggunakan dosis penenang benxodiazepin (Boulton, 2011).

 Propofol (2,0-3,0 mg/kg). Mula kerjanya dalam waktu 30 detik.

Lama kerjanya 3-4 menit. Rasa nyero terasa pada tenpat suntikan

tetapi tidak mengganggu vena. Diuraikan dalam tubuh/ bisa terjadi

hipertensi pada permulaan tetapi kini obat ini merupakan obat

pilihan pada pasien rawat jalan. (Boulton, 2011).


 Benzodiazepine juga digunakan, terutama penderita dengan resiko

buruk, tetapi mula kerja lebih lambat, dan dosis lebih besar

dibandingkan dengan kebutuhannya untuk sedasi (diazepam 0,25-

0,5 mg: midazolam 0,07-0,1 mg/kg) (Boulton, 2011).

b. Anestesi Valotile (Inhalasi)

Induksi dengan menggunakan obat-obat inhalasi mempunyai sejarah yang

panjang dalam praktek anestsi. Iritasi jalan napas adalah salah satu sifat

terpenting dari agen anestesi inhalasi, khuusnya bila kita gunakan untuk

induksi. Adada teknik ibuksi inhalasi dengan menggunakan obat-obatan

seperri halothane, isoflurance, dan sevoflurance. Obat inhalasi terbaru yang

ditemukan secoflurance menyebab anestesiologi memimikikan lagi untuk

memberikan anestsi dengan satu macam obat dari mulai induksi sampai

pemeliharaan anestesi yang disebut sebagai VIMA (volatile Induction an

Maintenance of Anesthesia) (Tandjung, 2012).

Sevoflurance dengan kelarutan dalam darah rendahm dan baru yang tidak

menyengat, tidak mengiritasi saluran napas, dan kardiovaskular yang stabil

menyebabkan induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus. Umumnya,

induksi inhalasi dengan Sevoflurance berhalan dengan baik, kejadin mehana

napas, batuk, eksitasi, spasme laring sangat rendah. Penambahan N2O saat

induksi secara nyata mengurangi jeadian eksitasi. Waktu idnuksi akan menjadi

lebih cepat bila Sevoflurance diberikan bersama dengan N2O 66% dimana

waktu induksi hanya 45 detik pada infand dan anak yang lebih tua (Tandjung,

2008).
Adapun dosisn inhalasi adalah :

INHALASI (%)

Halothan 3,5%-4%

Sevoflurance 5^08%

Isoflurance 3,5%-4%

Ethraine 3%-4%

Sumber : Trubus, 2012

Pada teknik anetesi volatile lebih diutamakan dengan resprasi spontan

karena mempunyai kelebihn. Hal in bermandaat sebagai derajat kedalaman

anestesi, dan mengindari apneu, jika terjadi putusnya hubungan dengan peralatan

anestesia (Boulton, 2011).


Sumber: Tandjung, 2008

5. Terapi Cairan

Terapi cairan dengan resusitasi mempunyai 3 prisnip yaitu mengganti

kehilangan cairan elektrolit yang hilang sebelumnya, kehilangan cairan yang

sedang berlangsung, dan kebutuhan cairan dan elektrolit rutin (Trubus, 2012)
Cairan tubuh akan didistribusikan kedalam kompartemen intraseluler,

ekstraseluer dan transeluler. Fisiologi sirkulasi darah normal memerlukan 3 unsur

yang bekerja optimal yaitu :

a. Jantung sebagai pompa

Kontraktilitas dan cardiac output normal.

b. Volume darah

Sebagai cairan yang dipompa cukup (normovolume).

c. Pembuluh darah

Sebagai pipa yang mengalirkan ke seluruh tubuh normal

(vasodilatasi/vasokontriksi) (Trubus, 2012)

Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang

diakibatkan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi

lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus

obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain – lain. Kebutuhan cairan untuk

dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi

ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2% BB, dehidrasi sedang perlu

cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat sebesar 7% BB. Setiap

kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.

b. Durante operasi

Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan karena

proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi ringan


4ml/kgBB/jam, sedang 6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam. Bila terjadi

perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10% EBV

maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume

darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat

dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1 – 2

kali darah yang hilang. Sedangkan apabila terjadi perdarahan lebih dari

20% akan dipertimbangkan untuk dilakukannya transfusi.

c. Post operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit

cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.

6. Pemulihan

Pemantauan terahdap kompilasi pasca operasi harus diperhatikan. Adapun

beberapakomplikasi yang mungkin terjadi adalah :

a. Komplikasi respirasi

Obstruksi jalan napas, spasme bronchial, hipoventilasi, hiposekmia.

b. Mual muntah

c. Pulih sadar lambat

d. Nyeri pasca operasi

e. Komplikasi kardiovaskular

Hipertensi, hipotensi, aritmia, dan iskemia miokard.

f. Hipertemia

g. Hipotermia
h. Oliguria

(Trubus, 2012)

Maka pentingnya untuk melakukan penilaian dengan menggunakan

Aldrete scoring system yang dikelompok berdasarkan beberapa kategori penilaian

yaitu :

a. Activity (able to move voluntary or on command)

- 4 ekstremitas (2)

- 2 ekstremitas (1)

- 0 esktremutas (0)

b. Respiration

- Dapat bernapas dalam dan batu (2)

- Dyspnea, bernapas dangkal dan terbatas (1)

- Apneau (0)

c. Circulation

- BP ± 20 mm of preanaesthesia level (2)

- BP ± 20 to 50 mm of preanaesthesia level (1)

- BP ± 50 mm of preanaesthesia level (0)

d. Consciousness

- Sadar penuh (2)

- Bangun bila dipanggil (1)

- Tidak ada Respon (0)

e. Oxigen Saturation

- ≥ 92% dengan udara kamar (2)


- ≥ 90% dengan oksigen (1)

-  90% (0)

Sumber : Trubus, 2012

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan

anestesi yang biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu

ruangan untuk observasi pasien pasa operasi atau anestesi.Ruang pulih sadar

adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih

memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi

atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau

pengaruh anestesinya.

Analgesik yang dapat diberikan pasca operasi adalah :

a. Tramadol

Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.

Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat

sehingga mengeblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu

tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari saraf aferen yang sensitif

terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.

Indikasi: Efektif untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri

pasca pembedahan. Dosis tunggal 50 mg. Dosis tersebut biasanya cukup untuk

meredakan nyeri, apabila masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg setelah

selang waktu 30-60 menit. Dosis maksimum: 400 mg sehari. Dosis sangat

tergantung pada intensitas rasa nyeri yang diderita.


b. Ketorolac

Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena.


Setelah suntikan intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30
menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan
penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.
Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer
tanpa mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti NSAID lain
tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan,
wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan
dan bedah tonsilektomi. Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30
mg ketorolac = 12 mg morfin = 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan
antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan dengan
opioid.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50
kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.
Sediaan : dalam ampul 5mg / 5ml
Pemberian : IM atau IV

Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak,

ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain

obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme

laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan

aspirasi Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien

belum sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang berkepanjangan

adalah akibat dari pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan

hiperkarbi.Hipoksia dan hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan

nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek
vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat

berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung. Dengan demikian pasien pasca

operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena

operasi atau pengaruh anestesinya.


BAB III

KESIMPULAN

Pada kasus yang dihadapi pada pasien ini adalah appedicitis kronis yang

ditegakkan diagnosisnya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil

pemeriksaan USG menyokong adanya appedicitis kronis yang terjadi pada pasien

ini.

DAFTAR PUSTAKA
Boulton, Thomas., Blogg, Colin. Anestesiologi Edisi 10. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta: 2012

Ohle, R., O'Reilly, F., O'Brien, K. K., Fahey, T., & Dimitrov, B. D. (2011). The

Alvarado score for predicting acute appendicitis: a systematic

review. BMC medicine, 9(1), 139.

De jong, Wim., Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Penerbit Buku

Kedokteran. EGC. Jakarta:2011

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2006. Clinical Anesthesiology.

(4thed.). USA : Mcgraw-Hill Companies, inc.

Tandjung, Qadri Fauzi. Perbandingan Sevoflurane 8% +N2O 50% dengan

Propofol 2 mg/kgBB IV Sebagai Obat Induksi Anestesi Dalam Hal

Kecepatan dan Perubahan Hemodinamik. Thesis strata dua. Dapartemen


Anestesiologi dan reanimasi fakultas kedokteran Universitas Sumeteran

Utara. Medan:2008

Trubus, Kurnianto. 2012. Anestesiologi dan Terapi Intensif. Anentsia dan Terapi

Intensif RSUD Penambahan Senopati Bantul. Yogyakarta:2012

Trubus, Kurnianto. 2012. Terapi Cairan dan Elektrolit. Anentsia dan Terapi

Intensif RSUD Penambahan Senopati Bantul. Yogyakarta:2012

Anda mungkin juga menyukai