Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

ANESTESI SPINAL PADA APPENDIKTOMI


Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Salatiga

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Rista Nurul Fitria


20174011076

Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul

ANESTESI SPINAL PADA APPENDIKTOMI

Disusun Oleh :

Rista Nurul Fitria


20174011076

Hari/tanggal: Sabtu/03 Maret 2018

Disahkan oleh:

Dokter pembimbing,

dr. Tinon Anindita, Sp. An


BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Umur : 30 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status pernikahan : Menikah

Alamat : Tengaran, Kab. Semarang

Tanggal Masuk : 28 Februari 2018


ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyri perut kanan bawah (+)

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan nyeri perut kanan

bawah (+) sejak 2 hari SMRS. Demam (+) 1 hari SMRS, mual (+), muntah (-),

nafsu makan turun. Terakhir buang angin 1 hari SMRS. BAK berwarna

kuning tua, nyeri setelah BAK, BAB normal. Keluhan lain disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi, jantung, DM, kejang, asma disangkal oleh pasien

Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa disangkal

Adanya anggota keluarga yang memiliki penyakit jantung, DM, asma

disangkal oleh pasien

PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan Umum : cukup

b. Kesadaran : compos mentis

c. GCS : E4M6V5 = 15

d. Vital Sign : TD 150/80 mmHg

N : 102 x/menit

R : 20 x/menit

S : 36,5°C

e. Status Generalis

- Kepala : normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,

reflek cahaya (+/+)

- Hidung : Discharge (-), deformitas (-)

- Telinga: Discharge (-), deformitas (-)

- Mulut : Bibir tidak kering, lidah tidak kotor

- Leher : Trakea di tengah, limfonoduli tidak teraba, JVP tidak

meningkat

- Thorax : Jejas (-)

Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba, tidak kuat angkat

Perkusi : Tidak ditemukan cardiomegali

Auskultasi : S1S2 reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri

Perkusi: Sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : SD : Vesikuler

ST : Tidak ada

- Abdomen

Inspeksi : Tampak datar

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), massa (-), hepar/lien

tidak teraba, nyeri ketuk kostovertebra (+/-)

Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen


Auskultasi : Bising usus (+) Normal

- Ekstremitas : teraba hangat, edem (-)

DIAGNOSA KERJA

Suspek appendicitis akut dan ISK

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Lekosit 10.59 4.5-11

Eritrosit 5.8 3.8-5.8

Hemoglobin 11.7 11.5-16.5

Hematokrit 36.9 37-47

Trombosit 248 150-450

MCV 62.7 85-100

MCH 19.9 28-31

MCHC 31.7 30-35

Differential

Netrofil 79.3 40-75

Limfosit 17.3 20-45

Monosit 2.7 2-8

Eosinofil 0.7 1-6

Golongan darah O

PPT 14.4 11-18

APTT 29.7 27-42

GDS 167 <140

HBsAg - -

KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:

Diagnosis pre operatif : Appendicitis akut+ISK

Status operatif : ASA II

Jenis operasi : Appendiktomi

Jenis Anestesi : Spinal Anaesthesia

TINDAKAN ANESTESI

Bunascan 20 mg/ml

Vomceran 4 mg

Torasic 30 mg

O2 3 liter/menit
Pelaksanaan Anestesi

Pukul 10.45 :

o Pasien dibaringkan diatas meja operasi

o Pasang infus cairan Asering pada tangan kanan abbocath No.18

o Mulai anestesi spinal

o Memasang monitor EKG dan oksimeter pulse

o Mengukur TD : 120/80 mmHg, nadi 85x/mnt

o Diberikan nasal canule dengan O2 3 liter/menit

Pukul 10.50 :

o Operasi dimulai

Pukul 11.00 :

o Pemberian Vomceran 4 mg dan Torasik 30 mg

o TD : 110/60 mmHg, Nadi : 90x/mnt, SaO2 : 100%

Pukul 11.20 :

o Operasi selesai

o TD : 110/70mmHg, Nadi : 86x/mnt, Sa O2 :100%

o Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2

dipertahankan.

o Setelah pasien bangun infus dihentikan sejenak

o Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke

ruang pemulihan atau recovery room (RR).


Terapi Cairan

Cairan yang diberikan selama anestesi adalah Asering 500 cc

Pengawasan Anestesi

EKG ritme jantung dalam batas normal, saturasi oksigen 100%.

Post Operasi

- Tiba di ruang recovery pukul : 12.20 WIB

- Kesadaran : compos mentis, dapat dibangunkan

- Pernafasan : spontan, pasien dapat bernafas dalam

- Tekanan darah : 110/70 mmHg

- Nadi : 80x/mnt

- SpO2 : 100%

Penilaian pulih sadar menurut aldrette score :

- Kesadaran :2

- Pernafasan :2

- Tekanan darah :2

- Aktivitas :2

- Warna kulit :2

Total score = 10

Pasien pindah keruang perawatan biasa pukul 11.30


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

APPENDIKTOMI
A. DEFINISI

Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang


meradang (Smeltzer & Bare, 2002). Apendiktomi diindikasikan untuk semua
kasus apendisitis akut yang ditemukan dalam 72 jam pertama, tetapi tidak pada
anak-anak. Sesudah 72 jam mungkin terdapat massa peradangan sehingga
apendiktomi dilakukan kira-kira 6 minggu kemudian (Thorek, 1992). Apabila
penderita dijumpai dalam dua hari pertama mengalami serangan apendisitis
akut, maka tidak diperlukan untuk pengobatan yang lain. Umumnya dilakukan
pengangkatan apendiks atau sering disebut apendiktomi.

B. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI

Indikasi dilakukannya Apendiktomi adalah:


- Apendisitis akut.
- Apendisitis kronik
- Peri appendicular infiltrate dalam stadiu tenang (a-Froid)
- Appendiks terbawa pada laparatomi operasi VU.
- Appendisitis perforasi.
Kontra indikasi apendiktomi adalah:
- Wanita dengan kehamilan trimester kedua dan ketiga
- Penyulit radang pelvis dan endometriosis
Operasi mungkin dilakukan menggunakan insisi terbuka atau melalui
laparoskopi. Pada appendiktomi terbuka, sebuah sayatan kecil (insisi
McBurney) dibuat di dinding perut. insisi dibuat di sisi kanan bawah perut, di
sekitar appendix atau dilakukan insisi tranversal 5 cm atau oblik dibuat di atas
titik maksimal nyeri tekan atau massa yang dipalpasi pada fosa iliaka kanan.
Otot dipisahkan ke lateral rektus abdominalis. Kemudian menentukan lokasi
dan memeriksa appendik. Jika tidak ada komplikasi yang melibatkan jaringan
sekitarnya, Mesenterium apendikular dan dasar apendiks diikat dan apendiks
diangkat. Tonjolan ditanamkan ke dinding sekum dengan menggunakan
jahitan purse string untuk meminimalkan kebocoran intra abdomen dan sepsis.
Jika fokal infeksi (abses) terbentuk, maka akan dibersihkan. Kavum
peritoneum dibilas dengan larutan tetrasiklin dan luka ditutup. Diberikan
antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka sepsi pasca operasi yaitu
metronidazol supositoria. Insisi kemudian ditutup dan prosedur selesai.
Dalam kebanyakan kasus, ahli bedah memilih prosedur laparoskopi untuk
mengangkat appendix di mana kamera video kecil (laparoskop) dimasukkan
ke dalam perut melalui sayatan yang sangat kecil. Selama prosedur
laparoskopi, digunakan kamera video untuk melihat rongga perut dan isinya.
Karena daerah perut dapat dilihat dengan mudah, teknik ini sangat berguna
ketika diagnosis apendisitis tidak jelas. alat-alat bedah khusus yang dapat
dimasukkan melalui Insisi kecil digunakan untuk mengangkat appendix
dengan cara yang sama seperti untuk prosedur bedah konvensional terbuka.
Meskipun pendekatan laparoskopi dapat memakan waktu lebih lama untuk
melakukan, manfaat dari bedah laparoskopi termasuk ketidaknyamanan pasca
operasi dan waktu pemulihan lebih cepat.
Dalam kasus appendicitis perforasi, metode laparatomi eksplorasi mungkin
lebih disukai karena terkait dengan insiden yang lebih sedikit dari abses perut
pasca operasi.

C. PERSIAPAN APENDIKTOMI
1. Persiapan Fisik Pre-Operasi
Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum
operasi menurut Majid ( 2011), antara lain :
a. Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status
kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit
seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan
fisik lengkap, antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler,
status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi
imunologi, dan lain-lain.
b. Status Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah
(albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk
defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan.
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada
dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat
dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme
asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi
ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik.
d. Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien
dipuasakan. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam, yang
bertujuan untuk menghindari aspirasi dan menghindari kontaminasi
feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi
pasca pembedahan. Pada pasien yang membutuhkan operasi segera,
maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan
NGT (naso gastric tube).
e. Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan. Tindakan
harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka.
Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan
daerah yang akan dioperasi.
f. Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena
tubuh yang kotordapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
g. Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.
2. Saat Operasi
a. Apendiktomi laparotomi
b. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
c. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin
mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan
operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
3. Post-Operasi
a. Observasi TTV
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah
c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selam pasien dipuasakan
e. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.Berikan minum
mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
f. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di
tempat tidur selama 2x30 menit
g. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
h. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
D. KOMPLIKASI
1. Peritonitis
2. Peforasi
3. Infeksi luka
4. Abses intra-abdomen
5. Obstruksi Intestinum

ANESTESI SPINAL

A. DEFINISI

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5.
B. ANATOMI
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah
satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan
tentang penyebaran analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level
analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan/keselamatan tindakan anestesi
spinal.

Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12


torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4
lekukan, yaitu lordosis servikalis, kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis
sakralis.
Lekukan kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat
analgetika lokal dalam ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi
pada vertebra lumbal 3 dan terendah pada torakal 5.
Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12
torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya
kelompok-kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen
tengah torakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas.
Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah.
Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis.
Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis.
Hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta
tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada
medula spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari
luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan
duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak
sampai medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan
piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,
sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang
berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang
berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada
sisi vertebra lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir
pada sisi bawah vertebra lumbal.

C. MEKANISME KERJA
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana
tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah
meradang tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya
keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan
aktifitas dari zat anestesi lokal (pH nanah sekitar 5)8. Anestesi lokal mencegah
pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit
saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya
peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat
depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi
lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik
(voltase sensitive Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di
dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap,
kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan
faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini
akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan
dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf8,9.
Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan
saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift)
melalui membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat
perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa10 :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat
keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.
Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi
lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat
non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus
dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan
untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang
bergabung dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial
aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus
menembus jaringan sekitarnya8.
Tabel.1 Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.
Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual
zat anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga
semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama
kerja anestesi lokal tersebut.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan
dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat
anestesi lokal mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat
serta memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan
pengambilan (uptake) obat dari jaringan.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat
(faster conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut
postganglionyc C yang tak bermielin dengan daya hantar lambat
(slowerconducting). Pada percobaan laboratorium dan klinik didapatkan bahwa
semua preganglionyc sensitif terhadap pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis
ini banyak terdapat pada rami communicantes alba pada rantai saraf simpatis.
Efek yang terjadi adalah hipotensi. Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek
samping anestesi regional. Glissen dan kawan-kawan, menemukan bahwa serabut
A lebih sensitif daripada serabut B dan C. Rosenberg dan kawan-kawan, justru
mendapatkan bukti bahwa hampir seluruh serabut-serabut saraf itu (A, B dan C)
mempunyai resistensi yang sama besar. Data dari percobaan laboratorium pada
suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen tergantung pada perubahan temperatur
dan serabut bermielin memberikan reaksi terhadap pendinginan dimana serabut A
resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini terjadi karena serabut A-delta yang
mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif dibanding serabut C yang juga
mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya hantar yang lebih cepat. Nyeri
patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang terjadi pada robeknya rahim
(ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan melakukan blok epidural pada
penanggulangan nyeri persalinan.
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut
sensorik menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat
anestesi spinal memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan
menunjukkan selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang
berbeda. Sensitivitas relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari
penempatannya pada berkas saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat
sensitivitas terhadap blokade adalah sebagai berikut (dimulai dari yang paling
sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu sentuh, propioseptik dan serabut motorik.
Tampak bahwa serabut motorik adalah yang paling sukar di blockade / dihambat.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia
dapat juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi
kejadian hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe
pembedahan dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index
(BMI), tekanan darah dan denyut jantung.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum
sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3
pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural
berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak.
Gambar Anestesi Spinal
D. PERSIAPAN PASIEN
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal
(informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi
umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan.
Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan
ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah
prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal
jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37ºC cairan
serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang
ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene)
dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal8.

E. TEKNIK ANESTESI SPINAL


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut :
1.Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2.Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3.Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4.Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml.
5.Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.
Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian
masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan
pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan
posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6.Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.

F. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

Kesuksesan spinal anestesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti


faktor yang mempengaruhi penyebaran anestetik dan faktor yang mempengaruhi
lama kerja anestetik.

a. Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestetik:


1) Faktor utama: berat jenis anestetik (barisitas), posisi pasien,
dan dosis serta volume anestetik.
2) Faktor tambahan: ketinggian suntikan, kecepatan suntikan,
ukuran jarum, keadaan fisik pasien, dan tekanan intraabdominal.
b. Faktor yang mempengaruhi lama kerja anestetik:
1) Jenis anestesia
2) Besarnya dosis
3) Ada tidaknya vasokonstriktor
4) Besarnya penyebaran anestetik

G. INDIKASI ANESTESI SPINAL


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.

H. KONTRAINDIKASI
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang
tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan
tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum
melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk
mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis14.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,
herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma,
hal ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi
tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang
untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli
anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi
spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan14.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang
belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit
neurologis, seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam
percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal
sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa
anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk
menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal14.

I. KOMPLIKASI
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan
gastrointestinal.
Komplikasi sirkulasi:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun
dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah,
maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung
dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi
spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih
terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis
seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan
melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat.
Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam14.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena
blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5
mg intravena14.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi
spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit
kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya
dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal
dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan
terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring
secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi
4 skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai
dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila
duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual
dan muntah.
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik
invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak
semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah
diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif
meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-
obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif
meliputi Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen,
pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan
mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura
dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari
asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi
CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah
status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah
dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF
optimal, dimanaselama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka
dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap
PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural
pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini
dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek
massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah
tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan
intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon
terhadap tindakan blood patch ini.
Komplikasi Respirasi
1.Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
2.Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
3.Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
4.Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan
Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,
dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.

J. OBAT-OBAT ANESTESI SPINAL


BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih
menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan
untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-
22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain 16. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri
pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2
jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik
anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska
bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk
pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %,
epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal
adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.
KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk
obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga
mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi
dari pemberian secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena (1-
3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan epidural
(1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan
kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi
dan anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan
stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin.
Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis mungkin
dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain
juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari
kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan
dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia,
hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja
secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya
untuk menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini
telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit
renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan
pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
EFEDRIN
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang
secara alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai
gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara
langsung” pada sel efektor. Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada
reseptor α, α1, α219. Efek pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat
aktivasi adenil siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-
adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi
penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan TD20. Efek perifer efedrin
melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak
langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus
menerus dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah
karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun ini
disebut takifilaksis terhadap efek perifernya.21 Hanya I-efedrin dan efedrin
rasemik yang digunakan dalam klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin
tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga
biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan
tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh
stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah
jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal
terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang,
sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan
Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin20.
Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin
karena efek efedrin pada α1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga
respon peningkatan TD lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin
berupa peningkatan TD, HR, CO, aliran darah koroner dan peningkatan SVR.
Efedrin bolus 5-10 mg pada orang dewasa normal sedikit meningkatkan SVR dan
peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari akumulasi
dari peningkatan SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin terjadi
vasokontriksi pada vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah lain
melalui reseptor α2. Melalui reseptor â1 akan meningkatkan kontraktilitas otot
jantung.
Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi
karena subarakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan
inhalasi. Untuk mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3-10 mg IV atau 25-50
mg IM. Pemberian efedrin sampai dosis 70μ/kgBB tidak meningkatkan TD secara
bermakna. Efedrin dapat menurunkan renal blood flow (RBF), dan efek metabolik
berupa peningkatan gula darah, namun peningkatan gula darah ini tidak sebesar
akibat epinefrin. Efek efedrin terhadap uterus akan mengurangi aktivitas otot
uterus, dan pada bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus,
sehingga dapat dipakai untuk pengobatan asthma bronchial . Bronkorelaksasi
oleh efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama dibandingkan dengan
epinefrin21.
Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek
cahaya, daya akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus
dikurangi oleh efedrin : efek ini dapat dimanfaatkan pada dismenore. Efedrin
kurang efektif dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan
Epinefrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah.
Vasopresor yang ideal sebaiknya mempunyai efek sebagai berikut:
 Mempunyai efek kronotropik dan inotropik positif
 Tidak menstimulasi saraf pusat
 Tidak menyebabkan hipertensi yang berkepanjangan.
EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis,
dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan
efek metabolik lain. Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan
dilepas sebagai respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan
secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine
(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang
dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga
disekresi oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus
dan disimpan dalam granul kromafin. Norepineprine merupakan neurotransmitter
utama yang bekerja pada reseptor adrenergik α- dan β1. Norephineprine
merupakan vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon
terhadap hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya
dalam bentuk garam bitartat.
Aktivitas neural adrenergik mempengaruhi aktivitas renin plasma. Efek
adrenalin, adalah menstimulasi reseptor β pada jantung, meningkatkan frekuensi
denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung, meningkatkan curah jantung,
meningkatkan metabolisme otot jantung dan konsumsi oksigen, mengakibatkan
sistole jantung abnormal karena tingginya frekuensi denyut jantung, dan aritmia
ventrikel. Sedangkan efek noradrenalin 2-10 kali lebih kecil dari adrenalin, yaitu
menghasilkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, dan membran mukosa,
vasodilatasi pada pembuluh darah otot skelet dengan peningkatan jumlah reseptor
β,berakibat menurunnya tahanan perifer pembuluh darah. Efek
adrenalin/noradrenalin pada kerja jantung, meningkatkan tekanan sistole jantung
oleh karena aktivitas otot jantung dan menurunkan tekanan diastole dengan
peningkatan tahanan perifer. Efek kedua hormon ini terhadap kerja otot jantung
dapat dihambat dengan agent pemblok reseptor β seperti propranolol.
Adrenalin (epinefrin) digunakan sebagai adjuvant pada anestesi regional.
Adrenalin digunakan untuk mengurangi konsentrasi plasma pada obat dan
meningkatkan tindakan anestesi. Adrenalin bersifat vasokonstiksi, dengan
mengurangi aliran darah pada tempat penyerapan lokal anestesi dan dan opioid,
dapat menguatkan dan memperpanjang obat-obat anestesi. Mekanisme yang
kedua yaitu dengan memperbaiki hambatan perifer oleh adrenalin dijelaskan
dalam dua jenis kompartemen, kompartemen luar (jaringan epineurial) dan
kompartemen dalam (endoneurium dan serabut-serabut saraf).
Adrenalin 200-500 µg (dosis tunggal) ditambahkan ke dalam anestesi
spinal sehingga memberikan hasil yang bervariasi sehingga memperpanjang blok
yang mempengaruhi dosis adrenalin dan anestesi lokal yang digunakan. Selain itu,
misalnya, pemberian adrenalin 200 µg intratekal pada 7,5 mg bupivakain dapat
memperpanjang modalitas sensorik, memperpanjang blokade motorik, dan
memperpanjang waktu untuk hambat sekitar 30-50 menit.

FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa
sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak
sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan23.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang
analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60
menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi
Fentanyl 12,5 µg menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah
tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek
samping24.
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan
kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan
opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga
insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan
dimulainya blok terhadap sensorik pada T6. Dari penelitian ini terbukti bahwa
dengan penambahan fentanil pada anastesi spinal dapat mengurangi dosis
bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan penurunan tekanan darah sistolik
dapat menurun juga.

ANESTESI SPINAL PADA APENDIKTOMI


Terapi bedah apendisitis dilakukan dengan operasi appendiktomi dengan diagnosis pre-
operatif appendisitis derajat III – IV. Pada kasus ini telah terjadi proses gangren dan ruptur
apendiks. Gejala yang paling menonjol adalah demam dan nyeri tekan pada regio abdomen
kanan bawah (titik Mc Burney).
Pada operasi pasien ini, teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi regional (spinal).
Sebagai premedikasi dipakai Ondancetron 4mg. Ondancetron digunakan sebagai antiemetik
sebanyak 4mg yang diberikan secara intravena. Induksi dilakukan dengan menggunakan
Bunascan 20mg dengan menggunakan jarum spinal ke ruang subarachnoid antara kanalis
spinalis VL 3 –VL 4. O2 3lpm dipasang dengan menggunakan kanul ke hidung pasien untuk
memberikan jalan nafas pasien.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi selalu dimonitor.
Infus asering diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan. Beberapa saat sebelum operasi
selesai diberikan Ketorolac tromethamin 30 mg IV sebagai analgesik setelah operasi.
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN

Ny. S dengan diagnosis appendicitis. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pre
operatif menunjukkan keadaan pasien ASA I
Urutan tindakan :

1. Pasien diposisikan duduk membungkuk dengan memeluk bantal di depan. Lalu


dilakukan teknik anestesi spinal, yaitu dengan mensterilkan bagian yang ditusuk
dengan betadine, dilanjutkan penusukan jarum dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-
L5. Jika kita yakin penusukan jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90O biasanya likuor akan keluar. Dilanjutkan
dengan memasukkan bunascan 0,5% 1 ampul (20mg). Lalu tidurkan pasien
dengan menggunakan bantal.
2. Kemudian dipasang monitor vital sign dan saturasi O2. Lalu kita lakukan
pemeriksaan tanda vital dan pemasangan infus asering dikarenakan agar pasien
tidak kekurangan cairan.
3. Kemudian masukan Vomseron 4 mg dan Torasik 30 mg (bisa diberikan di tengah-
tengah operasi).
4. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak
cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Jika stadium anestesi
sudah cukup dalam, reflek bulu mata hilang, nasal canule dipasang dengan aliran
oksigen 3 lpm
5. Selama operasi perhatikan tanda-tanda vital.
6. Operasi berlangsung 30 menit, tanda vital dan SaO2 baik selama operasi.
7. Pada saat pasien sudah berada di recovery room oksigenasi dengan O2 tetap
diberikan, kemudian dilakukan fungsi vital menurut Aldrette’s score

 Kesadaran : orientasi baik, dapat dibangunkan


 Pernafasan : spontan, pasien dapat bernafas dalam
 Warna kulit : merah muda, tanpa oksigen Sat O2 > 98%
 Aktivitas : 2 ekstrimitas bergerak
 Tekanan darah: 110/70 mmHg
 Nadi : 82 x/mnt

Pada pasien ini :


 Kesadaran :2
 Warna kulit :2
 Aktivitas :2
 Respirasi :2
 Tekanan darah :2
Jumlah pulih sadar :10
Kesimpulan : pasien diperbolehkan ke ruang perawatan

B. KESIMPULAN

Spinal anestesi adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan


obat anestetik local ke dalam ruang subarachnoid dan memberikan keuntungan
tertentu selama intraoperative TURP. Pada pasien ini digunakan spinal anestesi
karena memenuhi beberapa indikasi dilakukannya spinal anestesi dan tidak
melanggar kontraindikasinya karena pada pasien ini tidak memerlukan waktu
operasi yang lama dan tidak memerlukan penjagaan nafas.
Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan appendiktomi harus benar-
benar diperhatikan sejak pre-operatif, intra-operatif, dan post-operatif.. Selama
anestesi dan operasi barlangsung tidak didapati kendali/masalah. Setelah operasi
berhasil pasien segera dipindahkan ke ruang pulih sadar. Dan berdasarkan kriteria
skala pulih sadar yang dinilai pada pasien ini, didapatkan penilaian pulih sadar
dengan nilai 10, yang bermakna pasien dapat langsung dipindahkan ke dalam
ruang perawatan.
Perforasi merupakan komplikasi tersering yang terjadi selama proses
operasi apendiktomi. Perforasi terjadi akibat terpaparnya peritonitis oleh infeksi
bakteri yang bisa terjadi selama operasi. Pada anestesi spinal dapat
mempertahankan kesadaran pasien, dalam keadaan sadar pasien akan lebih mudah
untuk dipantau.pada kasus ini tindakan anestesi dan tindakan operatif berjalan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal 786-787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade. In : Cousins
MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain.
Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. Pages 203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan bupivakain
pada blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah berkala X-IDSAI.
Bandung; 520-521.
4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.
Hal 101-104.
5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and Analgesia.
Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI. Jakarta.
2001. Hal 124-127.
7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta.
2006.
8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E, Basori
A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.
10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical Anesthesia. Forth
Edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co. 2001. Pages 449-465.
11. Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas Diponegoro.
12. Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FAkultas
Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang
13. Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi. Jurnal
Anestsiologi Indonesia
14. Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. 2009. British Journal of Anasthesia.
Comparison of Intrathecal Fentanyl and Sufentanil in Low Dose Dilute Bupivacaine Spinal
Anasthesia for Transurethral Prostectomy”. Vol 103,Number 5. Page 750

Anda mungkin juga menyukai