Disusun oleh :
Disusun Oleh :
Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An
Disusun Oleh :
Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 30 tahun
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah (+) sejak 2 hari SMRS. Demam (+) 1 hari SMRS, mual (+), muntah (-),
nafsu makan turun. Terakhir buang angin 1 hari SMRS. BAK berwarna
kuning tua, nyeri setelah BAK, BAB normal. Keluhan lain disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
c. GCS : E4M6V5 = 15
N : 102 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,5°C
e. Status Generalis
- Kepala : normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
meningkat
Cor
Pulmo
Auskultasi : SD : Vesikuler
ST : Tidak ada
- Abdomen
DIAGNOSA KERJA
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
Differential
Golongan darah O
HBsAg - -
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
TINDAKAN ANESTESI
Bunascan 20 mg/ml
Vomceran 4 mg
Torasic 30 mg
O2 3 liter/menit
Pelaksanaan Anestesi
Pukul 10.45 :
Pukul 10.50 :
o Operasi dimulai
Pukul 11.00 :
Pukul 11.20 :
o Operasi selesai
dipertahankan.
Pengawasan Anestesi
Post Operasi
- Nadi : 80x/mnt
- SpO2 : 100%
- Kesadaran :2
- Pernafasan :2
- Tekanan darah :2
- Aktivitas :2
- Warna kulit :2
Total score = 10
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDIKTOMI
A. DEFINISI
C. PERSIAPAN APENDIKTOMI
1. Persiapan Fisik Pre-Operasi
Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum
operasi menurut Majid ( 2011), antara lain :
a. Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status
kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit
seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan
fisik lengkap, antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler,
status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi
imunologi, dan lain-lain.
b. Status Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah
(albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk
defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan.
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada
dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat
dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme
asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi
ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik.
d. Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien
dipuasakan. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam, yang
bertujuan untuk menghindari aspirasi dan menghindari kontaminasi
feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi
pasca pembedahan. Pada pasien yang membutuhkan operasi segera,
maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan
NGT (naso gastric tube).
e. Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan. Tindakan
harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka.
Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan
daerah yang akan dioperasi.
f. Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena
tubuh yang kotordapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
g. Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.
2. Saat Operasi
a. Apendiktomi laparotomi
b. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
c. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin
mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan
operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
3. Post-Operasi
a. Observasi TTV
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah
c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selam pasien dipuasakan
e. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.Berikan minum
mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
f. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di
tempat tidur selama 2x30 menit
g. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
h. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
D. KOMPLIKASI
1. Peritonitis
2. Peforasi
3. Infeksi luka
4. Abses intra-abdomen
5. Obstruksi Intestinum
ANESTESI SPINAL
A. DEFINISI
C. MEKANISME KERJA
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana
tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah
meradang tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya
keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan
aktifitas dari zat anestesi lokal (pH nanah sekitar 5)8. Anestesi lokal mencegah
pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit
saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya
peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat
depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi
lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik
(voltase sensitive Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di
dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap,
kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan
faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini
akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan
dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf8,9.
Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan
lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan
saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift)
melalui membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat
perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa10 :
1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat
keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok.
Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi
lokal terletak di dalam saluran natrium.
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat
non-polar lemak, misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus
dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan
untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang
bergabung dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial
aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus
menembus jaringan sekitarnya8.
Tabel.1 Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.
Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual
zat anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga
semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama
kerja anestesi lokal tersebut.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan
dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat
anestesi lokal mencapai membran sel. Terjadinya vasokontriksi akan menghambat
serta memperpanjang efek, sedangkan vasodilatasi akan meningkatkan
pengambilan (uptake) obat dari jaringan.
Serabut-serabut preganglionik B bermielin dengan daya hantar cepat
(faster conducting) 3 kali lebih sensitif dibandingkan dengan serabut
postganglionyc C yang tak bermielin dengan daya hantar lambat
(slowerconducting). Pada percobaan laboratorium dan klinik didapatkan bahwa
semua preganglionyc sensitif terhadap pengaruh obat anestesi lokal. Serabut jenis
ini banyak terdapat pada rami communicantes alba pada rantai saraf simpatis.
Efek yang terjadi adalah hipotensi. Hal ini sering didapatkan atau merupakan efek
samping anestesi regional. Glissen dan kawan-kawan, menemukan bahwa serabut
A lebih sensitif daripada serabut B dan C. Rosenberg dan kawan-kawan, justru
mendapatkan bukti bahwa hampir seluruh serabut-serabut saraf itu (A, B dan C)
mempunyai resistensi yang sama besar. Data dari percobaan laboratorium pada
suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen tergantung pada perubahan temperatur
dan serabut bermielin memberikan reaksi terhadap pendinginan dimana serabut A
resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini terjadi karena serabut A-delta yang
mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif dibanding serabut C yang juga
mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya hantar yang lebih cepat. Nyeri
patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang terjadi pada robeknya rahim
(ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan melakukan blok epidural pada
penanggulangan nyeri persalinan.
Sensitivitas serabut Aδ yang lebih besar dari pada serabut C mungkin
menerangkan fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan
hantaran kedua jenis serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut
sensorik menghantarkan impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat
anestesi spinal memblokade bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan
menunjukkan selektivitas yang sama terhadap berbagai serabut saraf yang
berbeda. Sensitivitas relatif dan jenis serabut yang berbeda tergantung dari
penempatannya pada berkas saraf (nerve bundle). Kesimpulannya, tingkat
sensitivitas terhadap blokade adalah sebagai berikut (dimulai dari yang paling
sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu sentuh, propioseptik dan serabut motorik.
Tampak bahwa serabut motorik adalah yang paling sukar di blockade / dihambat.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya
dalam meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia
dapat juga terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi
kejadian hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe
pembedahan dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index
(BMI), tekanan darah dan denyut jantung.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum
sampai lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3
pada bayi, sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural
berakhir di sakral 2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak.
Gambar Anestesi Spinal
D. PERSIAPAN PASIEN
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal
(informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang
mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan
perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi
umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan.
Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan
ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah
prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal
jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37ºC cairan
serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang
ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene)
dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal8.
H. KONTRAINDIKASI
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.
Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat
suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan
peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang
tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan
tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum
melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk
mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis14.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal,
herniasi otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma,
hal ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi operasi
tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang
untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli
anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi
spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan diperlukan14.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang
belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit
neurologis, seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam
percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati dalam perawatan anestesi mereka
deformitas dari kolomna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam
menempatkan anesetesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal
sebelumnya semua faktor dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa
anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk
menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal14.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan
gastrointestinal.
Komplikasi sirkulasi:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun
dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah,
maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung
dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi
spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih
terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis
seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan
melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat.
Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam14.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena
blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5
mg intravena14.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi
spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit
kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya
dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal
dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan
terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring
secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi
4 skala yakni:
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk
berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai
dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai
dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila
duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual
dan muntah.
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik
invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak
semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah
diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif
meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-
obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif
meliputi Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen,
pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan
mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura
dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari
asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi
CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah
status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah
dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF
optimal, dimanaselama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka
dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap
PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural
pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini
dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek
massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah
tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan
intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon
terhadap tindakan blood patch ini.
Komplikasi Respirasi
1.Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
2.Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
3.Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
4.Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan
Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,
dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.
FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa
sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak
sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan23.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang
analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60
menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi
Fentanyl 12,5 µg menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah
tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek
samping24.
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan
kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan
opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga
insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan
dimulainya blok terhadap sensorik pada T6. Dari penelitian ini terbukti bahwa
dengan penambahan fentanil pada anastesi spinal dapat mengurangi dosis
bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan penurunan tekanan darah sistolik
dapat menurun juga.
A. PEMBAHASAN
Ny. S dengan diagnosis appendicitis. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pre
operatif menunjukkan keadaan pasien ASA I
Urutan tindakan :
B. KESIMPULAN
1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal 786-787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade. In : Cousins
MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain.
Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. Pages 203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan bupivakain
pada blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah berkala X-IDSAI.
Bandung; 520-521.
4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.
Hal 101-104.
5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and Analgesia.
Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI. Jakarta.
2001. Hal 124-127.
7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta.
2006.
8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E, Basori
A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.
10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical Anesthesia. Forth
Edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co. 2001. Pages 449-465.
11. Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas Diponegoro.
12. Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FAkultas
Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang
13. Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi. Jurnal
Anestsiologi Indonesia
14. Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. 2009. British Journal of Anasthesia.
Comparison of Intrathecal Fentanyl and Sufentanil in Low Dose Dilute Bupivacaine Spinal
Anasthesia for Transurethral Prostectomy”. Vol 103,Number 5. Page 750