Anda di halaman 1dari 62

PORTOFOLIO KLINIS I

KASUS PENYAKIT DALAM

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Eksaserbasi Akut dengan Cor


Pulmonale Chronicum

Disusun Oleh

dr. Intan Permata Sari

Dokter Intership RSUD Kota Bengkulu

Pembimbing :

1. dr. Meidi Fazirin


2. dr. Khairul Yulian Zohri

Dokter Konsulen bagian penyakit dalam : dr. Bobby Prima, Sp. PD

PROGRAM INTERSHIP DOKTER INDONESIA

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bengkulu

2017

1
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari (....................) tanggal (...../...../.......), telah dipresentasikan kasus


portofolio oleh :
- Nama : dr. Intan Permata Sari
- Judul/topik : PPOK Eksaserbasi Akut dengan Cor Pulmonale
Chronicum
- Dokter Pembimbing : dr. Meidi Fazirin, dr. Khairul Yulian Zohri
- Dokter Konsulen : dr. Bobby Prima, Sp. PD
- Wahana : RSUD Kota Bengkulu

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya

Menyetujui,

Dokter Penbimbing 1, Dokter Pembimbing 2,

dr. Meidi Fazirin dr. Khairul Yulian Zohri

Dokter Konsulen Penyakit Dalam

dr. Bobby Prima, Sp. PD

2
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular atau non-communicable diseases (NCD) yang telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, namun
permasalahan terkait dengan PPOK telah menjadi permasalahan global. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan
faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian
PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khussusnya pada kelompok usia muda,
serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja.

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 56 juta kematian terjadi di


seluruh dunia selama tahun 2012. Dari jumlah tersebut, 38 jutanya terjadi akibat
NCD, terutama penyakit kardiovaskular, kanker dan PPOK. Hampir tiga perempat
dari kematian NCD ini (28 juta) terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah.Termasuk Indonesia yang masuk dalam kategori Negara Berkembang.
Jumlah kematian NCD yang ada terus meningkat di seluruh dunia dan di setiap
wilayah sejak tahun 2000. Kematian NCD Kematian NCD telah meningkat paling
banyak di WHO Wilayah Asia Tenggara, dari 6,7 juta di tahun 2000 menjadi 8,5 juta
pada tahun 2012, dan di Wilayah Pasifik Barat, dari 8,6 juta sampai 10,9 juta.
Sedangkan nomor tahunan. Penyebab utama kematian NCD pada tahun 2012 adalah:
penyakit kardiovaskular (17,5 juta kematian, atau 46,2% kematian NCD), kanker
(8,2 juta, atau 21,7% dari kematian NCD), penyakit pernafasan, termasuk asma dan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (4,0 juta, atau 10,7% kematian NCD) dan diabetes
(1,5 juta, Atau 4% kematian NCD). Bagi kami, keempat NCD utama ini bertanggung
jawab 82% kematian NCD (WHO, 2015).

3
BAB II

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. SM
Umur : 85 thn
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Alamat : Lempuing
RM : 23****
Tgl masuk : 19 Juni 2017
Tgl keluar : 22 Juni 2017

II. ANAMNESIA

A. Keluhan Utama : Sesak napas


B. Keluhan Tambahan : Batuk dan demam
C. Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUD Kota Bengkulu dengan keluhan sesak
napas sejak 3 hari SMRS disertai batuk kering dan demam. Os
mengalami penurunan nafsu makan. Os sudah berobat ke dokter
umum 2 hari SMRS dan diberikan obat omeprazole dan simeticone.
Namun keluhan tidak membaik. Os sering mengalami sesak sejak 1
tahun terakhir, namun keluhan membaik dengan istirahat. Os
mengaku jika sesak muncul saat melakukan aktivitas berat. Os tidur
harus menggunakan 2-3 bantal.
D. Riwayat Pekerjaan
Os sudah tidak bekerja.
E. Riwayat Penyakit Dahulu
Maag (+) Diabetes Melitus (-) CHF (-) PPOK (-)
F. Riwayat Penyakit Keluarga
DM (-) HT (-) Malaria (-) Penyakit serupa (-)

4
G. Riwayat Pengobatan
Pengobatan rutin (-)
H. Riwayat Gaya Hidup
Os merupakan perokok aktif selama ± 40 tahun. Sehari menghabiskan
3-4 batang rokok/hari. Os mulai berhenti rokok sejak 2 tahun terakhir.
Riwayat mengkonsumsi alkohol (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum : Tampak Sesak
B. Kesadaran : Compos mentis
C. Vital sign : Tekanan darah : 140/60 mmHg
Nadi : 134 x/menit,
reguler
Suhu : 38,6 oc
Frekuensi pernafasan : 40 x/menit
D. Status Umum

1. Pemeriksaan Kepala
- Kepala : Mesochepal, simetris, tumor (-), tanda radang (-),
bekas luka(-)
- Rambut : Distribusi merata, tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera tampak kekuningan
(-/-), kelopak edema (-/-)
- Telinga : Discharge (-), Deformitas (-)
- Hidung : Discharge (-), Perdarahan (-), deviasi septum (-),
nafas cuping (-)
- Mulut : Mukosa pucat (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah
tremor (-), mulut mencucu (-)
2. Pemeriksaan leher
JVP meningkat, Kaku kuduk (-), deviasi trakhea (-), pembesaran
limfonodi (-), pembesaran kelenjar thyroid (-), massa (-).
3. Pemeriksaan thoraks
 Pulmo
- Inspeksi : tampak adanya retratsi intercostalis.
- Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri simetris, nyeri
tekan (-)
5
- Perkusi : kedua lapangan paru redup
- Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler (↑/↑)
Suara tambahan : Ronkhi basah kasar
(+/+), wheezing (+/+)
 Cor
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Perkusi : Kanan atas : SIC II LPS Sinistra
Kiri atas : SIC II LPS Dextra
Kanan bawah : SIC IV LPS Dextra
Kiri bawah : SIC V 1 jari medial
LMC Sinistra
- Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
- Auskultasi : S1 / S2 irreguler, bising (-), murmur (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi daripada dinding
dada, tidak ada luka.
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, undulasi
(-), turgor kulit <3” (+) nyeri tekan (-)
Palpasi Ginjal : Nyeri ketok ginjal (-/-)
- Perkusi : Tes pekak beralih (-), timpani (+)
6. Pemeriksaan Ekstremitas
- Udem (-/-) , ekstremitas hangat (-)
- Gerakan B B
B B
- Kekuatan 5 5
5 5

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tgl 19 Juni 2017

1) Elektro Kardio Grafi (EKG)

6
Interpretasi :

- Frekuensi : 1500/11 = 136x/menit, reguler


- Irama : Atrial
- Axis : Deviasi axis ke Kanan
- Gelombang P : Tampak P runcing (P Pulmonal), dengan
tinggi 2 kotak kecil. Gelombang P diikuti gelombang
QRS.
- PR Interval 0.12 (normal)
- Gelombang QRS didahului gelombang P. Tampak
gelombang Rr’ pada lead II, III, avF. QRS Interval 0.08
(normal)
- Gelombang T : Tinggi gelombang T 1 kotak kecil.
- QT Interval : Durasi QT interval 0,06 (Memendek
[normal=0,36-0,44])

2) Laboratorium Darah

- HB : 12,2 (gr/dL) ( 14 - 18 )
- Leukosit : 10,8 (ribu/uL) ( 4 – 10)
- HMT : 37 (%) ( 42 – 52 )
- Trombosit : 211 (ribu/uL) ( 150 – 450 )
- Gula darah sewaktu : 132 (mg/dL) (60-140)

V. DIAGNOSIS BANDING
1) Aterosklerosis Heart Diseases
2) Asma Bronkial Berat

7
VI. DIAGNOSIS KERJA
Dypnue ec. PPOK Eksaserbasi Akut + Cor Pulmonal
VII. TERAPI
- Infus Mikro Ringer Laktat Asnet (10 tpm) + drip Aminophilin 1
Ampul dalam 500 cc RL
- Nasal Canul O2 3 lpm
- Nebulizer Ventolin 2,5 mg : Pulmicord (1:1) /8jam
- Inj. Furosemid 1 Amp (20 mg) /24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam
- Inj. Dexamtehason 5 mg/8 jam
- Po Parasetamol tab 500 mg/8 jam
- Po Ambroxol syr (30 mg) 5cc/8 jam
- Pemasangan Kateter Foley (Urine output pre-furosemid 200cc)
VIII. RENCANA
RO Thorax AP
IX. FOLLOWUP

19 Juni 2017

H1

S: Pasien datang dari IGD, keluhan sesak mulai berkurang. OS masih


merasakan lemah, batuk berdahak berwarna kuning kehijauan, disertai penurunan
nafsu makan.

O: KU : Sedang, CM

TD : 110/60 mmHg
N : 120 x
R : 22 x
T : 38,1 C
Kepala : CA (-/-), SI (+/+), edema (-/-)
Leher : JVP (↑)
Thorax : Pulmo : suara dasar vesikuler(↑/↑), wheezing (+/+),
ronkhi basah kasar (+/+)
Cor : S1/S2 tunggal regular, bising jantung (-),
ST (-)

8
Abdomen : Supel (-) peristaltic normal, timpani, nyeri tekan (+)
turgor kulit <2” (+).
Ekstremitas : Hangat (+) CR<1”(+)
Urine Output : 200 cc
A: PPOK Eksaserbasi Akut + Cor Pulmonal
P:

- Infus Mikro Ringer Laktat Asnet (10 tpm) + drip Aminophilin 1


Ampul dalam 500 cc RL
- Nasal Canul O2 3 lpm
- Nebulizer Ventolin 2,5 mg : Pulmicord (1:1) /8jam
- Inj. Furosemid 1 Amp (20 mg) /24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam
- Inj. Dexamthason 5 mg/8 jam
- Po Parasetamol tab 500 mg/8 jam
- Po Ambroxol syr (30 mg) 5cc/8 jam

20 Juni 2017

H2

S: Sesak berkurang dari hari sebelumnya. Nafsu makan mulai membaik.

O: KU : Sedang, CM

TD : 110/80 mmHg
N : 80 x
R : 27 x
T : 36,5 C
Kepala : CA (-/-), SI (+/+), edema (-/-)
Leher : JVP (↑)
Thorax : Pulmo : suara dasar vesikuler(↑/↑), ronkhi
basah kasar (↓/↓)
Cor : S1/S2 tunggal regular, bising jantung (-),
ST (-)
Abdomen : Supel (-) peristaltic normal, timpani, nyeri tekan (+)
turgor kulit <2” (+).

9
Ekstremitas : Hangat (+) CR<1”(+)
Urine Output : 1700 cc
A: PPOK Eksaserbasi Akut + Cor Pulmonal
P:

- Infus Mikro Ringer Laktat Asnet (10 tpm) + drip Aminophilin 1


Ampul dalam 500 cc RL
- Nasal Canul O2 3 lpm
- Nebulizer Ventolin 2,5 mg : Pulmicord (1:1) /8jam
- Inj. Furosemid 1 Amp (20 mg) /24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam
- Inj. Dexamthason 5 mg/8 jam
- Po Parasetamol tab 500 mg/8 jam
- Po Ambroxol syr (30 mg) 5cc/8 jam
- Hasil Ronsen Thorax

Hasil Pembacaan foto thorax proyeksi PA, Erect, simetris, inspirasi dan kondisi
cukup:

- Corakan brochovaskular meningkat


- Thrachea di tengah, tak menyempit

10
- Mediastinum superior tak melebar
- Hilus tak menebal
- Cor, CTR=0,54, dengan kalsifikasi dan penonjolan aortic knob
- Sinus costophrenicus dextra et sinistra lancip
- Diapragma dextra et sinistra licin
- Sistema tulang tervisualisasi intact
- Kesan : bronchitis, Cardiomegali dengan elongatui aorta dan
aortosklerosis

21 Juni 2017

H3

S: Tidak ada keluhan sesak maupun demam. Nafsu makan membaik.

O: KU : Sedang, CM

TD : 110/80 mmHg
N : 80 x
R : 27 x
T : 36,5 C
Kepala : CA (-/-), SI (-/-), edema (-/-)
Leher : JVP (↑)
Thorax : Pulmo : suara dasar vesikuler(↑/↑), ronkhi
basah kasar (-/-), wheezing (-/-)
Cor : S1/S2 tunggal regular, bising jantung (-),
ST (-)
Abdomen : Supel (-) peristaltic normal, timpani, nyeri tekan (+)
turgor kulit <2” (+).
Ekstremitas : Hangat (+) CR<1”(+)
Urine Output : 1600 cc
A: PPOK Eksaserbasi Akut + Cor Pulmonal
P:

- Infus Mikro Ringer Laktat Asnet (10 tpm) + drip Aminophilin 1


Ampul dalam 500 cc RL

11
- Nasal Canul O2 3 lpm
- Nebulizer Ventolin 2,5 mg : Pulmicord (1:1) /8jam
- Inj. Furosemid 1 Amp (20 mg) /24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam
- Inj. Dexamethason 5 mg/8 jam
- Po Parasetamol tab 500 mg/8 jam
- Po Ambroxol syr (30 mg) 5cc/8 jam

22 Juni 2017

H4

S: Tidak ada keluhan sesak maupun demam. Nafsu makan membaik.

O: KU : Sedang, CM

TD : 100/70 mmHg
N : 80 x
R : 24 x
T : 36,5 C
Kepala : CA (-/-), SI (-/-), edema (-/-)
Leher : JVP (↑)
Thorax : Pulmo : suara dasar vesikuler(↑/↑), ronkhi
basah kasar (-/-), wheezing (-/-)
Cor : S1/S2 tunggal regular, bising jantung (-),
ST (-)
Abdomen : Supel (-) peristaltic normal, timpani, nyeri tekan (+)
turgor kulit <2” (+).
Ekstremitas : Hangat (+) CR<1”(+)
Urine Output : 1600 cc
A: PPOK Eksaserbasi Akut + Cor Pulmonal
P : Pasien Acc Rawat jalan dengan pemberian obat pulang :

- Rethapyl (teofilin) tab 300 mg 1x1


- Metil Prednisolone 4 mg 2x1 tab
- Ambroxol syr 30 mg 3x1C
- Furosemid tab 40 mg 1x1

12
- Cefixime 100 mg 2x1 caps

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara
saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan
berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap
gas atau partikel yang berbahaya (PDPI, 2003).

2. Epidemiologi

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang


tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab
penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan
sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6
menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata
sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi
terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7% (WHO, 2005).
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini
sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992
menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial
menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.

2. Faktor Risiko
3.1 Faktor Risiko (bersama) Penyakit Tidak Menular
Bukti-bukti dari berbagai studi dan penelitian dari seluruh
dunia baik klinik, laboratorium maupun berbasis populasi menunjukan
bahwa penyakit tidak menular utama termasuk PPOK memiliki faktor
risiko bersama (common risk factors) (WHO, 2005). Faktor risiko

14
bersama yang paling penting adalah penggunaan tembakau, diet tidak
sehat dan seimbang, konsumsi energi yang berlebihan, dan tidak atau
kurang melakukan aktivitas fisik. Dalam perkembangan selanjutnya akan
terekspresi dalam bentuk faktor risiko perantara melalui peningkatan
tekanan darah, peningkatan glukosa darah, lipid darah yang abnormal
(terutama low-density lipoprotein-LDL cholesterol), kelebihan berat
badan (Index Masa Tubuh >25 kg/m2) dan obesitas (Index Masa Tubuh
>30 kg/m2) (Rahmawati, 2013).
Faktor-faktor fisiko utama baik yang dapat dimodifikasi maupun
yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur dan hereditas sangat terkait
dengan meningkatnya penyakit jantung, stroke, penyakit paru kronik
(PPOK, Asma bronkial), diabetes melitus dan beberapa jenis kanker
tertentu. Anak-anak tidak dapat memilih lingkungan dimana mereka
hidup, termasuk diet, lingkungan bermain dan paparan terhadap asap
tembakau. Mereka juga memiliki kemampuan yang terbatas untuk dapat
memahami konsekuensi jangka panjang terhadap perilakunya. Oleh
karenanya secara lebih dini anak-anak mudah terpapar dengan asap
rokok dan perilaku tidak sehat sebelum mencapai usia cukup dewasa
(Rahmawati, 2013).

3.2 Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah hal-


hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan
terjadinya PPOK pada
seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebutmeliputi: a.
Faktor pejamu (host), b. Faktor perilaku (kebiasaan) merokok, dan c.
Faktor lingkungan (polusi udara) (Rahmawati, 2013).
a. Faktor pejamu (host)
Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiper responsif jalan
napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor.
Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap
rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa

15
kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan
fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan
dengan risiko mendapatkan PPOK (Rahmawati, 2013).

b. Perilaku (Kebiasaan) Merokok


Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya
PPOK. Prevalens tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan
penurunan faal paru adalah pada perokok.Usia mulai merokok, jumlah
bungkus pertahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal ini mungkin
berhubungan dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok
selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Rumah tangga
mengeluarkan proporsi yang cukup tinggi dari penghasilan
bulanannya untuk membeli produk tembakau. Pada tahun 2001
pengeluaran untuk tembakau adalah 9,6% rata-rata pengeluaran
bulannya, lebih tinggi daripada untuk ikan (6,2%), sayur mayur
(5,1%), serta daging, telur, dan susu (6,4%) (Rahmawati, 2013).
Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan
menyebabkan 70% kematian karena penyakit paru kronik dan
enfisema. Lebih dari setengah juta penduduk Indonesia menderita
karena penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh penggunaan
tembakau pada tahun 2001 (Rahmawati, 2013).
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan
hubungan dose response. Hubungan dose response tersebut dapat
dilihat pada Index Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok
perhari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya
bronkhitis 10 bungkus tahun artinya kalau seseorang itu merokok
sehari sebungkus, dia menderita bronkhitis kronik minimal setelah 10
tahun merokok. Kanker paru minimal 20 bungkus tahun artinya kalau
sehari mengkonsumsi sebungkus rokok berarti setelah 20 tahun
merokok ia bisa terkena kanker paru (Rahmawati, 2013).
Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang
memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan
negara ke-5 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia,

16
dengan 31,5% prevalensi merokok, 80% diantaranya mengkonsumsi
rokok kretek, dan lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Pada
tahun 2002, jumlah rokok yang dihisap penduduk Indonesia mencapai
lebih 200 miliar batang (Rahmawati, 2013).
Lebih dari 43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan
perokok dan terpajan pada asap tembakau pasif atau asap tembakau
lingkungan (ARL). The Jakarta Global Youth Survey melaporkan
bahwa 89% dari anak-anak sekolah yang disurvei terpajan ARL di
tempat tempat umum. Anak-anak yang terpapar pada asap tembakau
mengalami pertumbuhan paru yang lambat, lebih mudah terkena
bronkhitis dan infeksi saluran pernapasan dan telinga serta asma
bronkial. Kesehatan yang buruk di usia dini mungkin akan
menyebabkan kesehatan yang buruk pula di saat dewasa (Rahmawati,
2013).
Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya
disebut asap rokok utama (main stream smoke), sedang asap yang
berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan
(side stream smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok
utama yang dihembuskan lagi oleh prokok dan asap rokok sampingan
disebut asap rokok lingkungan (ARL) atau Environmenttal Tobacco
Smoke (ETS) (Rahmawati, 2013).
Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata
lebih tinggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau
terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak
dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan
mengeluarkan lebih banyak bahan kimia. Oleh karena itu ARL
berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada kadar pajanan minimal ARL
yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia berbahaya keluar melalui
asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari aseton (bahan cat), amonia
(pembersih lantai), arsen (racun), butane (bahan bakar ringan),
kadmium (aki kendaraan), karbon monoksida (asap knalpot), DDT
(insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), methanol (bensin roket),
naftalen (kamper), toluene (pelarut industri), dan vinil klorida
(plastik) (Rahmawati, 2013).

17
c. Faktor Lingkungan (Polusi Udara)

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor)


seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar,
asap obat nyamuk bakar, dan lain-lain), polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor,
debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain, dan
polusi di tempat kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun)
(Rahmawati, 2013).
Pajanan yang terus menerus oleh gas dan bahan kimia hasil
industri merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar
ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil
dibandingkan asap rokok. Sedangkan polusi dalam ruangan (indoor
polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang
digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko
lainnya. Riwayat infeksi berat semasa anak–anak berhubungan
dengan penurunan faal paru dan meningkatkan gangguan pernapasan
saat dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hiperesponsif
jalan napas dan infeksi virus. Status sosioekonomi merupakan faktor
risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan dengan polusi,
ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk atau
faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi (Rahmawati, 2013).
Selain itu polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit
dan gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi
udara juga dapat meningkatkan kejadian asma bronkial dalam
masyarakat. Zat yang paling banyak pengaruhnya terhadap saluran
pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan
ozon. Ketiga zat tersebut dapat menurunkan faal paru (Rahmawati,
2013).

3. Patogenesis Dan Patofisiologi


Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat

18
fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema
(Rahmawati, 2013):
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.
Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas
(Rahmawati, 2013).
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil
bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK
yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya
dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara
yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa
fibrosis yang nyata (Rahmawati, 2013).
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil
yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon
inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan
mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi
hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas
tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan
mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi
penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos (Rahmawati, 2013).

19
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang
sehat.

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan
septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (
sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar (
perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema
dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema
ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas
yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi
(Rahmawati, 2013).
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin
dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak
seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi a 1 antitripsin menjadi
dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan
limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan
struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan
inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan
menetap meskipun setelah berhenti merokok (Rahmawati, 2013).
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan
memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam
sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah
leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth
related oncogene a, TNF a, IL-1ß dan TGFß. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas

20
protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor
risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan
makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi
lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada (Rahmawati,
2013).
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta
disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan
obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan
air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada
abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang padatahap lanjut dapat berupa
hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada
hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi.
Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel
dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi
Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi
terhadap hipertensi pulmonal (Rahmawati, 2013).

Konsep patogenesis PPOK

21
Perbedaan patogenesis asma dan PPOK

4. Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK


Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 sebagai berikut:
(1) PPOK Ringan
Gejala klinis:
-Dengan atau tanpa batuk
-Dengan atau tanpa produksi sputum.
-Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri:
-VEP =80% prediksi ( normal spirometri ) atau
-VEP1 /KVP<70%

(2) PPOK Sedang


Gejala klinis:
-Dengan atau tanpa batuk
-Dengan atau tanpa produksi sputum.
-Sesak napas : derajat sesak 2 ( sesak timbul pada saat aktivitas ).
Spirometri:
-VEP KVP <70% atau
-50%< VEP1<80% prediksi.

22
(3) PPOK Berat
Gejala klinis:
- Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.
- Eksaserbasi lebih sering terjadi
- Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri:
- VEP1/KVP <70%,
- VEP1 <30% prediksi atau
- VEP1 > 30 % dengan gagal napas kronik

Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan


analisa
gas darah, dengan kriteria:
- Hipoksemia dengan normokapnia, atau
- Hipoksemia dengan hiperkapnia
Global Inivitaive for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) telah
mengeluarkan sebuah panduan terbaru pada Tahun 2017. Pada pasien dengan
dispnea, batuk kronis, produksi sputum, dan memiliki riwayat terpapar faktor resiko
penyakit menjadi kunci pentng untuk diketahui adanya PPOK. Pasien baru yang
diduga memiliki PPOK, sangat penting untuk ditegakkan diagnosis melalui
spirometri. Dengan klinis yang telah memenuhi kriteria PPOK, dan pasca pemeriaan
bronchodilator FEV1/FVC <0,70 membuktikan bahwa adanya hambatan aliran udara
persisten dan diagnosis PPOK dapat ditegakkan. Spirometri adalah alat yang paling
mudah digunakan, mudah didapat, dan non-invasive. Namun, meskipun
sesitivitasnya tinggi, spirometri tidak bisa semata-mata digunakan sebagai puncak
andalan diagnostik (GOLD, 2017).

23
Tabel 1. Kunci penegakan Diagnosis PPOK (GOLD, 2017)

Word Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk semua pasien


dengan PPOK untuk dilakukan mengecekan Alpha-1 antitrypsin defisiency (AATD).
Pasien dengan konsentrasi AATD yang rendah (<20% Normal) menunjukan
defisiensi homozygous. Maka skrining pada anggota keluarga yang lainpun harus
juga dilakukan (GOLD, 2017).

Untuk penilaian PPOK, GOLD merekomendasi penilaian multidimensi pada


kasus PPOK dengan penilaian derajat serangan dan penialaian gejala/dampak yang
dirasakan oleh penderita (GOLD, 2017).

Tabel 2. Derajat Serangan PPOK (GOLD, 2017).

Skala Sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas

24
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat

2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Tabel 3. Skala Sesak pada PPOK (PDPI 2003; GOLD 2017)

Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas
terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi
alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali
terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara
umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut (PDPI,
2003) :
a) Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis i leher dan edema tungkai
b) Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah
- Sela iga melebar
c) Perkusi:
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil
- Letak diafragma rendah

25
- Hepar terdorong ke bawah
d) Auskultasi:
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
 Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips breathing
 Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
 Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.

Penilaian dampak/gejala yang mempengaruhi hidup penderita PPOK


dilakukan melalui kuisioner CAT (COPD Assesment Test). Interpretasi CAT pun
bila skoring <10 dikatakan ringan, dan bila skoring ≥ 10 dikatakan sedang-berat.

26
Tabel 4. Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) Assesment Test
(GOLD, 2017).

5. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan Panduan PPOK yang dikeluarkan oleh Persatuan Dokter Paru
Indonesia pada tahun 2003, maka adapun pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Adapun pemeriksaan rutin maupun
pemeriksaan khusus (PDPI, 2003).
a) Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
- Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

27
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- - VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
2) Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
3) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
4) Radiologi
- Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain
- Pada emfisema terlihat gambaran :
o Hiperinflasi
o Hiperlusen
o Ruang retrosternal melebar
o Diafragma mendatar
o Jantung menggantung (jantung pendulum / tear
drop / eye drop appearance)
- Pada bronkitis kronik :
o Normal

28
o Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 %
kasus
b) Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1) Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3) Uji provokasi bronkus
- Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada
sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus
derajat ringan
4) Uji coba kortikosteroid
- Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon)
sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6) Radiologi
- CT
- Scan resolusi tinggi

29
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks
polos
- Scan ventilasi perfusi
- Mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
- Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi
- Menilai funfsi jantung kanan
9) Bakteriologi
- Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan
kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman
dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10) Kadar alfa-1 antitripsin
- Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1
jarang ditemukan di Indonesia.

6. Diagnosis Banding
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB
paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung
kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik serta
penyakit yang lain dapat dilihat melalui bagan dibawah ini:

30
Tabel 5. Diagnosis Banding PPOK (GOLD, 2017)

7. Penatalaksanaan PPOK
a) Penatalaksanaa Umum
Berdasarkan Panduan PPOK Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
pada tahun 2003, adapun tujan penalataksanaan PPOK diantaranya adalah
sebagai berikut :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
- Edukasi
- Obat – obatan
- Terapi oksigen
- Ventilasi mekanik
- Nutrisi

31
- Rehabilitas
Penatalksanaan PPOK terbagi menjadi 2 bagian, diantaranya:
- Penatalaksanaan PPOK stabil
- Penatalaksanaan pada waktu eksaserbasi akut

A. Penatalaksanaan PPOK stabil


Dalam penatalaksanaan PPOK yang stabil termasuk disini
melanjutkan pengobatan pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis
paru baik setelah mengalami serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya,
seperti pemeriksaan fungsi paru, analisis gas darah, kardiologi dll. Obat-
obatan diberikan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit dan
mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai dengan mempertahankan
bronkodilatasi dan penekanan inflamasi.Obat-obatan yang digunakan pada
PPOK stabil berdasarkan GOLD 2017 adalah sebagai berikut :

a) Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang meningkatkan FEV1 dan / atau
mengubah variabel spirometrik lainnya. Obat bronchodilator pada
PPOK paling sering diberikan secara teratur untuk mencegah atau
mengurangi gejala. Timbulnya toksisitas akan terkait dengan
dosis yang diberikan pada pasien tersebut. Penggunaan
bronkodilator kerja pendek secara teratur umumnya tidak
direkomendasikan (GOLD, 2017).
Agonis beta 2
- Tindakan utama agonis beta2 adalah untuk merelaksasi
otot polos jalan nafas dengan merangsang beta2
- Reseptor adrenergik, yang meningkatkan AMP siklik dan
menghasilkan antagonisme fungsional
Bronkokonstriksi
- Short Acting Beta Agonis (SABA) dan long-acting beta
agonis (LABA).
- Formoterol dan salmeterol adalah LABA yang dapat
diberikan dua kali sehari yang secara signifikan

32
memperbaiki FEV1 dan volume paru-paru, dyspnea, status
kesehatan, tingkat eksaserbasi dan jumlah rawat inap, tapi
tidak berpengaruh terhadap angka kematian atau tingkat
penurunan fungsi paru.
- Indacaterol adalah LABA yang diberikan sekali sehari
yang meningkatkan kejadian sesak napas, status kesehatan
dan tingkat eksaserbasi.
- Oladaterol dan vilanterol tambahan sekali sehari LABAs
dapat memperbaiki fungsi paru dan gejala.
- Efek samping. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat
menghasilkan sinus takikardia saat istirahat dan memiliki
potensi gangguan ritme jantung yang pasien. Kejang
somatik dapat terjadi pada beberapa pasien yang lebih tua
dan pemberian dosis yang tinggi.
b) Obat antimuscarinic
Obat antimuskarinik menghambat efek bronchoconstrictor
acetylcholine pada M3 muscarinic, sebuah reseptor
diekspresikan dalam otot polos jalan nafas. Antimuscarinics
short-acting (SAMA), yaitu ipratropium dan oxitropium dan
long acting antimuskarinik Antagonis (LAMAs), seperti
tiotropium, aclidinium, glycopyrronium Bromida dan
umeclidinium bekerja pada reseptor dengan cara yang
berbeda. Tinjauan sistematis terhadap RCT menemukan
bahwa ipratropium saja memberikan sedikit manfaat Agonis
beta2 short-acting dalam hal fungsi paru-paru, status
kesehatan dan kebutuhan oral steroid. Uji klinis menunjukkan
efek yang lebih besar pada tingkat eksaserbasi untuk
pengobatan LAMA (Tiotropium) versus pengobatan LABA.
Efek samping obat antikolinergik inhalasi adalah kurang
dapat diserap sehingga mengganggu efek sistemik dari atropin
yang diharapkan. Penggunaan kelas ini secara ekstensif dalam
berbagai dosis dan pengaturan klinis telah menunjukkan

33
bahwa mereka sangat aman untuk digunakan. Efek samping
utamanya adalah kekeringan mulut (GOLD, 2017).
c) Methylxanthines
- Kontroversi efek samping pada turunan xantin slalu
dilaporkan.
- Teofilin, adalah methylxanthine yang paling umum
digunakan, dan dimetabolisme oleh sitokrom P450 dan
oksidasi. Pembersihan obat menurun seiring bertambahnya
usia.
- Penelitian membuktikan bahwa methylxantin memberikan
hasil yang baik untuk membantu efek bronkodilator
sederhana dibandingkan dengan plasebo dalam keadaan
PPOK stabil.
- Penambahan teofilin pada salmeterol menghasilkan
peningkatan FEV1 yang lebih besar dan kejadian sesak
nafas dari pada salmeterol saja.
- Sangat sedikit dan kontradiktif penelitian mengenai efek
teofilin dalam dosis rendah dalam meningkatkan
eksaserbasi.
- Efek samping. Toksisitas terkait dosis, yang merupakan
masalah khusus dengan turunan xanthine karena rasio
terapeutiknya kecil dan sebagian besar manfaatnya terjadi
hanya bila dosis yang hampir toksitokosis (GOLD, 2017).
d) Kombinasi terapi bronkodilator
Menggabungkan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi
aksi yang berbeda dapat meningkat bronkodilatasi dengan
risiko efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan
peningkatan dosis bronkodilator secara tunggal (GOLD,
2017).
- Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul dibandingkan
dengan pengobatan tunggal dalam memperbaiki FEV1 dan
gejala PPOK.

34
- Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium pada
inhaler terpisah memiliki dampak lebih besar pada FEV1
daripada salah satu komponen saja.
- Ada banyak kombinasi dari LABA dan LAMA dalam
inhaler tunggal yang tersedia.
- Dosis yang lebih rendah, rejimen dua kali sehari untuk
LABA / LAMA juga telah terbukti memperbaiki ejala dan
status kesehatan pada pasien PPOK

35
Tabel 6. Daftar obat yang dapat digunakan pada PPOK stabil (GOLD, 2017)

36
Tabel 7. Daftar evidence penggunaan bronkodilator dalam PPOK Stabil

e) Agen anti-inflamasi
Sampai saat ini, eksaserbasi mewakili titik akhir klinis utama
yang relevan yang digunakan untuk kemanjuran Penilaian
obat dengan efek antiinflamasi (GOLD, 2017).
- Kortikosteroid inhalasi (ICS)
ICS dikombinasikan dengan terapi bronkodilator yang
bekerja lama. Pada pasien dengan PPOK dan eksaserbasi
moderat sampai sangat parah, ICS dikombinasikan dengan
LABA lebih efektif dari kedua komponen saja dalam
memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan
mengurangi eksaserbasi.
Efek samping : Ada bukti kualitas tinggi dari uji coba
terkontrol secara acak (RCT) itu. Penggunaan ICS
dikaitkan dengan prevalensi kandidiasis oral yang lebih
tinggi, suara serak, kulit yang memar dan pneumonia.

37
Tabel 8. Obat anti-inflamasi dalam pengobatan PPOK Stabil (GOLD, 2017)
f) Triple terapi inhalasi
Langkah pengobatan LABA plus LAMA plus ICS (triple
therapy) bisa terjadi dengan berbagai pendekatan baik. Dari
beberapi penelitian, dilaporakn bahwa dapat memperbaiki
fungsi paru-paru pasien. Menambahkan LAMA ke LABA /
ICS dapat memperbaiki fungsi paru dan pasien yang
dilaporkan eksaserbasi berkurang. Secara keseluruhan,
diperlukan lebih banyak bukti untuk menarik kesimpulan
tentang manfaat triple Terapi LABA / LAMA / ICS
dibandingkan dengan LABA / LAMA (GOLD, 2017).
g) Glukokortikoid oral
Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, termasuk
miopati steroid yang dapat berkontribusi pada kelemahan
otot, penurunan fungsi, dan kegagalan pernafasan pada pasien
dengan PPOK yang sangat parah. Sementara glukokortikoid
oral berperan dalam pengelolaan eksaserbasi akut, mereka
tidak memiliki peran dalam perawatan sehari-hari kronis pada
PPOK karena kurangnya manfaat seimbang terhadap tingkat
komplikasi sistemik yang tinggi (GOLD, 2017).

38
h) Penghambat Phosphodiesterase-4 (PDE4)
Roflumilast mengurangi eksaserbasi sedang dan berat yang
diobati dengan kortikosteroid sistemik pada pasien dengan
bronkitis kronis, PPOK berat sangat parah, dan riwayat
eksaserbasi. Efek samping: Penghambat PDE4 memiliki efek
yang lebih buruk daripada yang dihirup. Efek samping obat
untuk PPOK yang paling sering adalah mual, mengurangi
nafsu makan, kehilangan berat badan, sakit perut, diare,
gangguan tidur, dan sakit kepala (GOLD, 2017).
i) Antibiotik
Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa
penggunaan antibiotik macrolide secara teratur dapat
mengurangi tingkat eksaserbasi (GOLD, 2017).
j) Mucolytic (mucokinetics, mucoregulators) dan agen
antioksidan (NAC, carbocysteine)
Pada pasien PPOK yang tidak dapat menggunakan
kortikosteroid inhalasi, perawatan rutin dengan mucolytics
seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat mengurangi
eksaserbasi dan dengan sederhana memperbaiki status
kesehatan (GOLD, 2017).

Tabel 9. Edukasi dan Rehabilitasi pasien PPOK (GOLD, 2017)


k) Terapi oksigen dan dukungan ventilasi
- Terapi oksigen.
Pemberian oksigen jangka panjang (> 15 jam per hari)
kepada pasien dengan penyakit kronis dan kegagalan
pernafasan telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan
hidup pasien yang memiliki resiko hipoksemia.

39
- Dukungan ventilasi
Ventilasi noninvasive (NIV) berupa ventilasi tekanan
positif noninvasif (noninvasive positive pressure
ventilation- NPPV) adalah standar perawatan untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dirawat
di rumah sakit dengan eksaserbasi PPOK dan gagal napas
akut.
Pasien stabil
NPPV dapat memperbaiki kelangsungan hidup bebas
rawat inap pada pasien tertentu setelah dirawat inapkan,
terutama pada mereka yang mengalami hiperkapnia
persisten siang hari. Pada pasien dengan PPOK dan apnea
tidur obstruktif ada manfaat yang jelas.

B. Penatalaksanaan PPOK eksaserasi


Eksaserbasi PPOK terbagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat.
Berdasarkan GOLD 2017 berikut klasifikasinya :
- Mild (ringan)
Terapi dengan SABA tunggal
- Moderate (sedang)
Terapi SABA dengan antibiotik dan atau oral
kortikosteroid
- Severe (berat)
Pasien yang datang ke UGD baik dengan gagal napas
maupun tidak.
Pasien dengan eksaserbasi PPOK adalah kejadian penting dalam pengelolaan
PPOK karena memiliki dampak negatif pada status kesehatan, tingkat rawat inap dan
penerimaan kembali, dan perkembangan penyakit. Eksaserbasi adalah peristiwa
kompleks yang biasanya dikaitkan dengan peningkatan peradangan jalan nafas,
peningkatan produksi lendir dan perangkap gas yang ditandai. Perubahan ini
berkontribusi terhadap peningkatan dyspnea yaitu gejala utama dari eksaserbasi.
Gejala lainnya termasuk peningkatan purulensi dahak dan volume, bersama dengan
peningkatan batuk dan wheeze. Karena co-morbiditas umum terjadi pada pasien

40
PPOK, eksaserbasi harus dibedakan secara klinis dari kejadian lain seperti sindrome
koroner akut, memperburuk gagal jantung kongestif, emboli paru dan pneumonia
(GOLD, 2017).
Tujuan pengobatan untuk eksaserbasi PPOK adalah meminimalkan dampak
negatif karena eksaserbasi dan mencegah perkembangan kejadian selanjutnya.
Bergantung pada beratnya eksaserbasi dan / atau tingkat keparahan penyakit yang
mendasarinya, eksaserbasi dapat ditangani Baik rawat jalan atau rawat inap. Lebih
dari 80% eksaserbasi dikelola pada rawat jalan dengan terapi farmakologis termasuk
bronkodilator, kortikosteroid, dan Antibiotik (GOLD, 2017).
Gambaran klinis eksaserbasi PPOK bersifat heterogen, oleh karena itu GOLD
2017 merekomendasikan hal tersebut pasien rawat inap tingkat keparahan
eksaserbasi harus didasarkan pada tanda klinis pasien Dan rekomendasikan
klasifikasinya adalah sebagai berikut:
a) Tidak ada kegagalan pernapasan:
- Tingkat pernapasan: 20-30 napas per menit;
- Tidak ada penggunaan otot pernafasan aksesori;
- Tidak ada perubahan status mental;
- Hipoksemia membaik dengan pemberian oksigen tambahan via masker
venturi 28-35% oksigen terinspirasi (FiO2); Tidak ada kenaikan PaCO2.
b) Gagal pernapasan akut - tidak mengancam jiwa:
- Tingkat pernapasan:> 30 napas per menit;
- Menggunakan Otot pernafasan aksesori;
- Tidak ada perubahan status mental;
- Hipoksemia membaik dengan suplemen Oksigen melalui masker Venturi
25-30% FiO2; Hipcarbia i.e., PaCO2 meningkat dibandingkan dengan
baseline atau meningkat 50-60 mmHg.
c) Gagal pernapasan akut - mengancam jiwa:
- Tingkat pernapasan:> 30 napas per menit;
- Menggunakan Otot pernafasan aksesori;
- Perubahan status mental yang akut;
- Hipoksemia tidak membaik dengan Oksigen tambahan melalui masker
Venturi atau membutuhkan FiO2> 40%;

41
- Hypercarbia i.e., PaCO2 meningkat bila dibandingkan dengan baseline
atau peningkatan> 60 mmHg atau adanya asidosis (pH <7,25).

Tabel 10. Indikasi Rawat Inap pasien PPOK (GOLD, 2017)

Tabel 11. Management terapi PPOK Berat namun tidak mengancam jiwa
(GOLD, 2017)

Tabel 12. Managemen pasien PPOK dengan eksaserbasi (GOLD, 2017)


Adapun terapi dukungan pernapasan yang diberikan pada pasien dengan
PPOK adalah dengan terapi oksigen. Dalam pemberian terapi oksigen menjadi kunci
penting dalam kasus eksaserbasi akut. Oksigen tambahan harus dititrasi untuk
memperbaiki hipoksemia pasien dengan kejenuhan target 88-92%. Setelah oksigen

42
dimulai, gas darah harus sering diperiksa untuk memastikan bahwa oksigen yang
diberikan sesuai sehingga mengakibat retensi karbondioksida dan atau asidosis yang
memburuk (GOLD, 2017).
Dukungan Ventilasi
Beberapa pasien perlu segera masuk ke perawatan pernafasan atau unit
perawatan intensif (ICU). Dukungan ventilasi pada eksaserbasi dapat diberikan
dengan baik noninvasive (nasal atau Masker wajah) atau ventilasi invasif (oro-
trakeal tube or trakeostomy). Stimulasi pernafasan tidak dianjurkan untuk gagal
napas akut.
- Ventilasi mekanis noninvasif
Penggunaan ventilasi mekanis noninvasif (NIV) lebih disukai daripada
ventilasi invasif (Intubasi dan ventilasi tekanan positif) sebagai mode awal
ventilasi untuk pengobatan Gagal napas akut pada pasien yang dirawat di
rumah sakit karena eksaserbasi akut PPOK.

Tabel 13. Indikasi pemakaian NIV (GOLD, 2017)

Tabel 14. Indikasi Pemakasi Invasive Mechanical Ventilation (GOLD, 2017)

43
Tabel 15. Terapi intervensi untuk mengurasi PPOK dengan eksaserbasi
(GOLD, 2017)

44
COR PULMONALE

A. Defisini

Kor pulmonal kronik adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat


hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi
yang bermakna patologis menurut Weitzenblum sebaiknya diganti menjadi
perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan. Untuk menetapkan adanya kor
pulmonal secara klinis pada pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan
fisis yakni edema. Hipertensi pulmonal “sine qua non” dengan kor pulmonal maka
defenisi kor pulmonal yang terbaik adalah: hipertensi pulmonal yang disebabkan
penyakit yang mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal
menghasilkan pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan berlanjut
dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit paru obstruktif
konis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dan kor
pulmonal, diperkirakan 80˘ 90% kasus.

Sedangkan Kor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan akibat


hipertensi pulmonal akut, sering disebabkan oleh emboli paru massif, sedangkan kor
pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru obstruktif atau restriktif. Pada
PPOK, progresivitas hipertensi pulmonal berlangsung lambat. Perubahan
hemodinamik kor pulmonal pada PPOK dari normal menjadi hipertensi pulmonal,
kor pulmonal, dan akhirnya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal
jantung.

B. Patofisiologi

45
Gambar 3. Keadaan Paru dengan Hipertensi Pulmonary

Sirkulasi paru-paru terletak di antara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan
pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskuler paru-
paru tidak hanya tergantung dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada
pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi paru-paru normal merupakan sirkulasi yang
bertekanan dan resistensi rendah maka curah jantung dapat meningkat sampai
beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik) tanpa peningkatan
bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat terjadi karena besarnya
kapasitas anyaman vaskuler paru-paru, dimana perfusi normal hanya 25% dalam
keadaan istirahat, serta kemampunan untuk menggunakan lebih banyak pembuluh
sewaktu latihan fisik. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonale
adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti
emboli paru-paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliaran darah paru-paru
akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif. PPOK terutama jenis bronkitis,
merupakan penyebab tersering dari kor pulmonal. Penyakit-penyakit pernapasan
restriktif yang menyebabkan kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit ´intrinsik´
seperti fibrosis paru-paru difus, dan kelainan ´ektrinsik´ seperti obesitas yang
ekstrim, kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang melibatkan otot-otot
pernapasan. Akhirnya, penyakit vaskuler paru-paru yang mengakibatkan obstruksi
terhadap aliran darah dan kor pulmonal cukup jarang terjadi dan biasanya merupakan
akibat dari emboli paru-paru berulang. Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul
kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru-paru dan
hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja
dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal
jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan
resistensi vaskuler paru-paru pada arteri dan arteriola kecil. Dua mekanisme dasar
yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru-paru adalah :

1. Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru.

Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis kor


pulmonal. Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari
PPOK bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana
kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan

46
yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia.
Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos
arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.
Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat
polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnea, juga ikut meningkatkan tekanan arteri di paru-paru.

2. Obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru.

Mekanisme kedua yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan tekanan


arteri paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan
bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari
kapiler-kapiler di sekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen
menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif,
pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume
paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap
anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam
patogenesis kor pulmonal. Kira-kira dua per tiga sampai tiga per empat dari anyaman
vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan
arteri di paru-paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa
penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar
umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi. Dalam pembahasan di atas jelas
diketahui bahwa setiap penyakit paru-paru yang mempengaruhi pertukaran gas,
mekanisme ventilasi, atau anyaman vaskuler paru-paru dapat mengakibatkan kor
pulmonale.

C. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari kor pulmonal umumnya tidak spesifik. Gejala-gejala


mungkin samar terutama pada tahap awal penyakit. Adapun beberapa manifestasi
klinis antara lain:

1. Pasien mungkin mengeluh kelelahan, tachypnea, dyspnea , dan batuk.

2. Nyeri dada juga dapat terjadi dan mungkin karena iskemia ventrikel kanan
(biasanya tidak berkurang dengan pemberian nitrat) atau peregangan arteri paru.

47
3. Hemoptisis mungkin terjadi karena pecahnya arteri paru yang melebar atau
aterosklerosis. Kondisi lain seperti tumor, bronkiektasis, dan infark paru, harus
disingkirkan sebelum menghubungkan hemoptisis dengan hipertensi pulmonal.

4. Kadang, pasien mengeluh suara serak akibat kompresi pada saraf laringeal
rekuren kiri oleh arteri paru yang melebar.

5. Berbagai gejala neurologis dapat dilihat karena curah jantung menurun dan
hipoksemia.

6. Pada tahap lanjutan, kongesti hati akibat kegagalan ventrikel kanan yang
parah yang menimbulkan gejala anoreksia, rasa tidak nyaman di kuadran kanan atas
perut, dan jaundice.

7. Sinkop dapat terjadi pada keadaan yang berlanjut. Hal ini mencerminkan
ketidakmampuan relatif untuk meningkatkan cardiac output selama berolahraga
dengan berakibat pada penurunan tekanan arteri sistemik.

8. Edema perifer. Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan


meningkatnya tekanan di atrium kanan, pembuluh darah perifer, dan tekanan kapiler.

Dengan meningkatkan gradien hidrostatik, itu mengarah pada transudasi


cairan dan akumulasi edema perifer. Hipotesis lainnya menjelaskan gejala ini,
terutama di sebagian kecil dari pasien dengan PPOK yang tidak menunjukkan
peningkatan tekanan atrium kanan adalah penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR)
dan penyaringan natrium dan stimulasi vasopresin arginine karena hipoksemia
berperan dalam terjadinya patofisiologi ini dan juga terjadinya edema perifer pada
pasien dengan kor pulmonall yang mengalami peningkatan tekanan di atrium kanan.

D. Pemeriksaan Fisik

Temuan pada pemeriksaan fisik mungkin mengarah pada penyakit paru-paru


yang mendasari atau hipertensi paru, hipertrofi ventrikel kanan , dan kegagalan
ventrikel kanan.

- Inspeksi: peningkatan diameter dada, sesak nafas dengan retraksi dari


dinding dada distensi vena jugularis dan sianosis dapat dilihat.

48
- Palpasi: Hipertrofi Ventrikel Kanan ditandai dengan mengangkat
parasternal atau subxiphoid kiri. Hepatojugular refluks dan hati yang
teraba adalah tanda-tanda kegagalan RV dengan kongesti vena sistemik.
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah terdapat edema pitting.
- Perkusi: Hipersonor dari paru-paru mungkin menjadi tanda mendasari
PPOK, ascites dapat terlihat pada keadaan yang lebih lanjut .
- Auskultasi: Mengi(+) dan crackles(+) karena penyakit dasar, bruits
sistolik di paru-paru karena turbulensi, Suara jantung kedua dengan
aksentuasi dari komponen pulmonal dapat didengar dalam tahap awal.
Ejeksi sistolik dari arteri pulmonalis dapat didengar dalam keadaan
lanjut, bersama dengan diastolik regurgitasi murmur. Temuan lain adalah
murmur suara jantung ketiga dan keempat dan regurgitasi trikuspid pada
sistolik.
E. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Pemeriksaan laboratorium diarahkan mengidentifikasi etiologi


yang paling potensial mendasari serta penilaian komplikasi kor pulmonal. Dalam
kasus tertentu, hasil laboratorium yang mungkin ditemukan adalah:

1. Hematokrit untuk polisitemia, menurunnya serum alpha1-antitrypsin

2. Pemeriksaan darah arteri memberikan informasi penting tentang tingkat


oksigenasi dan jenis gangguan asam-basa

3. Peningkatan brain natriuretic peptida (BNP) sebagai tanda kompensasi


Kor Pulmonal dan gagal jantung kanan.

F. Elektrokardiogram

Kelainan EKG pada kor pulmonal menggambarkan Hipertrofi ventrikel


kanan, Ventrikel kanan yang meregang, atau penyakit paru yang mendasarinya.
Perubahan elektrokardiografi yang mungkin ditemukan adalah:

1. Axis dengan deviasi ke kanan

2. Rasio R / S di V1 >1

49
3. Rasio R / S di V6 < 1 4. Gambaran P-pulmonale (peningkatan gelombang
P di lead II,III, dan aVF)

5. Gambaran S1 Q3 pola T3 dan tidak lengkap (atau lengkap) RBBB,


terutama jika disebabkan emboli paru.

6. tegangan rendah QRS karena PPOK dengan hiperinflasi

Doppler echocardiography sekarang digunakan untuk memperkirakan


tekanan arteri paru, menilai insufisiensi trikuspid yang fungsional pada hipertensi
pulmonal.

G. Doppler echocardiography

Doppler dianggap paling dapat diandalkan. Scanning paru dengan menilai


Ventilasi / perfusi (V / Q), angiografi paru, dan CT scan thoraks dapat diindikasikan
untuk mendiagnosis tromboemboli paru sebagai etiologi yang mendasari kor
pulmonal. Ultrafast, EKG-gated CT scanning telah dievaluasi untuk mempelajari
fungsi ventrikel kanan, memperkirakan ejeksi ventrikel kanan fraksi (RVEF), dan
memperkirakan ketebalan dinding ventrikel kanan. Magnetic Resonance Imaging
(MRI) jantung merupakan modalitas yang dapat memberikan informasi berharga
tentang massa/ketebalan ventrikel kanan, septum dan fungsi ventrikel.
Ventriculography Radionuklida dapat menentukan RVEF noninvasif.

H. Terapi Medis
Terapi medis untuk pulmonale cor kronis umumnya difokuskan pada
pengobatan penyakit paru yang mendasarinya dan peningkatan fungsi oksigenasi dan
ventrikel kanan dengan meningkatkan kontraktilitas RV dan mengurangi
vasokonstriksi paru. Namun, pendekatannya mungkin berbeda sampai tingkat
tertentu dalam keadaan akut, dengan prioritas diberikan untuk menstabilkan pasien.
Dukungan kardiopulmoner untuk pasien yang mengalami pulmonale akut
dengan kegagalan ventrikel kanan akut yang akut mencakup pemuatan cairan dan
vasokonstriktor (misalnya epinephrine) untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat. Tentu saja, masalah utama harus diperbaiki, jika memungkinkan. Misalnya,
untuk embolisme paru yang besar, pertimbangkan pemberian antikoagulan, agen
trombolitik atau operasi embolektomi, terutama jika keruntuhan sirkulasi terjadi;

50
pertimbangkan pengobatan bronkodilatasi dan infeksi pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK); dan pertimbangkan agen steroid dan imunosupresif
pada penyakit paru infiltratif dan fibrotik.
Terapi oksigen, diuretik, vasodilator, digitalis, teofilin, dan terapi
antikoagulan adalah semua modalitas yang berbeda yang digunakan dalam
manajemen jangka panjang dari cor pulmonale kronis.
1. Oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis (COPD), terutama bila diberikan secara terus menerus. Dengan cor
pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2) cenderung di bawah 55 mmHg dan
menurun lebih lanjut dengan olahraga dan saat tidur.
Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi pulmonal hipoksemik, yang
kemudian meningkatkan curah jantung, mengurangi vasokonstriksi simpatik,
mengurangi hipoksemia jaringan, dan memperbaiki perfusi ginjal.
Secara umum, pada pasien dengan COPD, terapi oksigen jangka panjang
dianjurkan bila PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi O2 kurang dari 88%.
Namun, dengan adanya cor pulmonale atau gangguan fungsi mental atau kognitif,
terapi oksigen jangka panjang dapat dipertimbangkan walaupun PaO2 lebih besar
dari 55 mmHg atau saturasi O2 lebih besar dari 88%.
Meskipun dampak terapi oksigen pada kelangsungan hidup pada pasien
dengan cor pulmonale karena gangguan paru selain COPD tidak jelas, hal itu
mungkin memberikan sedikit bantuan dan peningkatan gejala pada status fungsional.
Oleh karena itu, terapi oksigen memegang peranan penting baik dalam pengaturan
segera dan pengelolaan jangka panjang, terutama pada pasien yang mengalami
hipoksia dan memiliki COPD.

2. Farmakoterapi
Diuretik digunakan untuk menurunkan volume pengisian ventrikel kanan
(RV) yang meningkat pada pasien dengan pulmonale cor kronis. Penghambat saluran
kalsium adalah vasodilator paru arteri yang memiliki beberapa khasiat dalam
pengelolaan jangka panjang pulmonale kornea kronik akibat hipertensi arterial paru
primer (PAH) (Sitbon, 2004)
Analog prostacyclin yang disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) dan antagonis reseptor endothelin tersedia untuk pengobatan Pumonalry

51
Artery Hypertension (PAH). Peran menguntungkan glikosida jantung, yaitu digitalis.
Namun penggunaan digitalis pada gagal ventrikel kanan masih kontroversial.
Golongan ini memang dapat memperbaiki fungsi RV tetapi harus digunakan dengan
hati-hati dan harus dihindari selama episode hipoksia akut karena justru akan
membahayakan.
Indikasi utama antikoagulan oral dalam pengelolaan cor pulmonale adalah
dalam setting kejadian tromboemboli yang mendasari atau PAH, dikarenakan
penyebab terbanyak terjadinya corpulmonale adalah emboli paru yang terjadi
berulang-ulang.
Methylxanthines, seperti teofilin, dapat digunakan sebagai pengobatan
tambahan untuk cor pulmonal kronik akibat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Selain efek bronchodilatory moderat dari methylxanthine, agen ini memperbaiki
kontraktilitas miokard, menyebabkan efek vasodilatasi paru ringan, dan
meningkatkan kontraktilitas diafragma.
Diuretik digunakan dalam pengelolaan kor pulmonal kronis, terutama ketika
volume pengisian RV meningkat secara nyata dan dalam pengelolaan edema
periferal yang terkait. Agen ini dapat menyebabkan peningkatan fungsi ventrikel
kanan dan kiri. Namun, diuretik dapat menyebabkan efek samping hemodinamik jika
tidak digunakan dengan hati-hati. Penipisan volume yang berlebihan dapat
menyebabkan penurunan curah jantung.
Komplikasi potensial lain dari diuresis adalah produksi alkalosis metabolik
hipokalemik, yang mengurangi keefektifan stimulasi karbon dioksida pada pusat
pernafasan dan mengurangi dorongan ventilasi. Efek elektrolit dan asam basa yang
merugikan dari penggunaan diuretik juga dapat menyebabkan aritmia jantung, yang
dapat mengurangi curah jantung. Oleh karena itu, diuresis, sementara
direkomendasikan dalam pengelolaan chronic pulmonale, perlu digunakan dengan
sangat hati-hati.
Obat vasodilator telah dianjurkan dalam pengelolaan jangka panjang
pulmonale cor kronis dengan hasil yang sederhana. Penghambat saluran kalsium,
khususnya pelepasan nifedipid oral (Singh, 1985). dan diltiazem, dapat menurunkan
tekanan paru-paru, walaupun agen ini tampak lebih efektif pada hipertensi pulmonal
primer daripada sekunder (Rich, 1991).
Kelas vasodilator lainnya, seperti agonis beta agonis, nitrat, dan penghambat
enzim pengubah angiotensin (ACE) telah dicoba, namun secara umum, vasodilator

52
tidak menunjukkan manfaat berkelanjutan pada pasien COPD, dan mereka tidak
rutin digunakan. Percobaan terapi vasodilator hanya dapat dipertimbangkan pada
pasien COPD dengan hipertensi pulmonal yang tidak proporsional.
Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan dari efek clearance
bronkodilator dan mukosiliar. Kateterisasi jantung kanan telah direkomendasikan
selama pemberian vasodilator awal untuk menilai efikasi secara obyektif dan
mendeteksi konsekuensi hemodinamik yang mungkin timbul dari vasodilator.
Analog prostacyclin dan recepter agonis seperti epoprostenol, treprostinil,
dan bosentan adalah analog prostasiklin (PGI2) dan memiliki sifat vasodilatory yang
manjur (Anderson, 2010). Epoprostenol diberikan secara intravena (IV). Treprostinil
dapat diberikan IV dan subkutan (SC); FDA telah menyetujui formulasi oral dan
inhalasi. Iloprost biasanya dihirup namun membutuhkan dosis yang sering.
Dari analog prostasiklin ini, epoprostenol telah menjadi yang paling banyak
dipelajari dan telah menunjukan adanya fungsi untuk memperbaiki kelangsungan
hidup pada hipertensi arteri paru idiopatik serta beberapa manfaat pada kelompok
klasifikasi-klasifikasi hipertensi pulmoner tipe lainnya sesuai yang ditetapkan oleh
Worl Healt Organization (WHO) lainnya, terutama pada pasien dengan status
fungsional lebih parah (Barst, 1994).
Selexipag adalah agonis reseptor prostasiklin, yang berfungsi untuk
vasodilasikan vaskular paru. Ini diberikan secara oral dan telah terbukti mengurangi
perkembangan penyakit di PAH (Sitbon, 2015).
Antagonis reseptor endotel seperti bosentan dan macitentan merupakan
antagonis reseptor endothelin-A dan endothelin-B, sedangkan ambrisentan adalah
antagonis reseptor endothelin-A selektif. Endothelins adalah peptida yang bekerja
melalui vasokonstriks, dengan demikian endotelin antagonis reseptor menunjukkan
hasil pada vasodilatasi berikutnya. Dalam uji klinis, bosentan memperbaiki kapasitas
olahraga, menurunkan tingkat kemunduran klinis, dan hemodinamik yang lebih baik.
(Anderson, 2010).
Antagonis reseptor endotelin ditunjukkan pada hipertensi arteri pulmonal
idiopatik serta hipertensi pulmonal sekunder akibat gangguan jaringan ikat
(hipertensi pulmonal kelompok I). Efek samping yang umum meliputi temuan fungsi
fungsi hati yang meningkat.
Penghambat fosforesterase tipe 5 (PDE5) berfungsi dengan mencegah
degradasi GMP siklik dan kemudian memperpanjang efek vasodilatasi oksida nitrat.

53
Dari jumlah tersebut, sildenafil telah dipelajari secara intensif (Singh, 2006) dan
disetujui oleh FDA untuk pengobatan hipertensi pulmonal. Sildenafil merangsang
relaksasi otot polos selektif pada pembuluh darah paru. Tadalafil dan vardenafil
adalah inhibitor PDE5 lainnya yang juga disetujui oleh FDA untuk pengobatan PAH
untuk meningkatkan kemampuan berolahraga. Namun data yang tersedia mengenai
kemanjuran obat ini pada pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder, seperti pada
pasien dengan COPD tidak cukup untuk membuktikan efektifnya obat ini.
Penggunaan glikosida jantung, seperti digitalis, pada pasien dengan cor
pulmonale masih kontroversial, dan efek menguntungkan obat ini tidak begitu jelas
seperti pada setting gagal jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah
mengkonfirmasi efek sederhana digitalis pada ventrikel kanan yg gagal pada pasien
dengan pulmonale kornea kronik. Obat ini harus digunakan dengan hati-hati,
bagaimanapun, dan tidak boleh digunakan selama fase akut insufisiensi pernafasan
ketika fluktuasi kadar hipoksia dan asidosis yang besar dapat terjadi. Pasien dengan
hipoksemia atau asidosis berisiko tinggi mengalami aritmia karena digitalis melalui
mekanisme yang berbeda, termasuk stimulasi sympathoadrenal.
Teofilin, selain efek bronchodilatory, teofilin telah dilaporkan mengurangi
resistensi vaskular paru dan tekanan arteri pulmonal akut pada pasien dengan
pulmonale kron kronik akibat COPD. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah
dan dengan demikian dapat memperbaiki ejeksi ventrikel kanan dan kiri. Dosis
teofilin dosis rendah juga disarankan memiliki efek antiinflamasi yang membantu
mengendalikan penyakit paru-paru yang mendasari seperti COPD. Akibatnya,
dengan mempertimbangkan penggunaan teofilin sebagai terapi tambahan dalam
pengelolaan pulmonale cor kronis atau dekompensasi, masuk akal pada pasien
dengan COPD yang mendasarinya. Teofilin memiliki indeks terapeutik yang sempit,
dan efek sampingnya meliputi kejang, takikardia, dan aritmia jantung lainnya.
Warfarin, antikoagulasi dengan warfarin direkomendasikan pada pasien yang
berisiko tinggi mengalami tromboemboli. Peran antikoagulan yang bermanfaat
dalam memperbaiki gejala dan kematian pada pasien dengan PAH primer telah
ditunjukkan pada beberapa penelitian. Bukti manfaat, bagaimanapun, belum
ditemukan pada pasien dengan PAH sekunder. Oleh karena itu, terapi antikoagulan
dapat digunakan pada pasien dengan cor pulmonale akibat fenomena tromboemboli
dan dengan PAH primer yang mendasarinya.

54
Terapi trombolitik ditunjukkan pada pasien dengan pulmonale akut karena
emboli paru yang mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik. Dalam beberapa
kasus, terapi trombolitik dapat ditunjukkan pada pasien dengan disfungsi RV berat
tanpa hipotensi yang dihasilkan untuk mencegah dekompensasi lebih lanjut. Agen
trombolitik, termasuk aktivator plasminogen jaringan (tPA), menghasilkan lisis
gumpalan yang meningkat dan dapat diberikan secara sistemik atau melalui kateter.
Seperti biasa, risiko pendarahan harus menjadi pertimbangan kuat saat menggunakan
terapi trombolitik (Meyer, 2014).

I. Komplikasi
Komplikasi cor pulmonale meliputi sinkop, hipoksia, edema pulmo, kongesti
hati pasif, dan kematian.

55
BAB IV

PEMBAHASAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis atau PPOK adalah salah satu penyakit yang
kerap kali terjadi di Indoensia, dimana WHO pada tahun 2015 telah menemukan
bahwa angka PPOK terus meningkat terutama pada negara berkembang seperti di
Indonesia. Angka kejadian PPOK yang terus meningkat tidak terlepas dari tingginya
angka perokok baik itu perokok aktif maupun pasif, sebagaimana rokok menjadi
faktor resiko yang paling kuat pada angka kejadian PPOK.

Pada pasien ini datang dengan keluhan sesak yang telah sering kambuh-
kambuhan. Namun keluhan sesak memberat dalam seminggu sebelum masuk rumah
sakit disertai batuk yang semakin sering dan berdahak warna kuning kehijauan.
Berdasarkan klasisifikasi berdasarkan keadaan klinis pasien, dimana pasien
pernapasan >30x/menit dan telah menggunakan otot-otot bantuan pernapasan namun
tidak disertai perubahan status mental , maka pasien masuk kategori acute
respiratory failure-non-life-threatening. Pasien segera diberikan terapi oksigen
dengan canul O2 3-4 lpm. Saat pemeriksaan saturasi oksigen didapatkan saturasi
oksigen 56%, padahal saturasi normal pada usia diatas 64 tahun adalah 95,5%
(O'driscoll, 2017). Pasien menderita PPOK maka hanya dipertahankan dengan canul
O2 dengan kekuatan 4-5 liter per menit.

Pada pertolongan pertama, pasien diberikan canul O2 dengan 3-4 liter/menit.


Sesuai dengan Guideline yang diterbitkan oleh BMJ tahun 2017 bahwa pasien
dengan sesak napas pada pertolongan awal diberikan canul 0 2 2-6 liter per menit atau
dengan simple face mask 5-10 liter per menit. Pada pasien-pasien dengan keadaan
yang bersiko hiperkapnea seperti COPD maka penanganan sesuai harus dengan
menggunakan algoritma alert card (O'driscoll, 2017).

56
Tabel 13. Pemberian oksigen pada pasien dengan PPOK (O'driscoll, 2017).

Alert card yang diberikan pada pasien PPOK dalam bentuk seperti dibawah
ini:

Dari kartu diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pasien dengan PPOK
maupun penyakit lain yang beresiko hipercapnea tidak boleh diberikan oksigen lebih
dari 28%. Pasien hanya boleh diberikan oksigen dengan ventury mask dengan kisal
3-4 liter/menit. Target O2 pada pasien khusus inipun hanya 89-92%. Saat akan
diberikan nebulizer, pasien harus diberikan bersamaan dengan oksigen canul 2 Liter/
menit.

Penanganan pasien dengan PPOK di IGD kerap kali terjadi kesalahan. Pasien
dengan saturasi dibawah 80%, terburu-buru diberikan ventury mask dengan oksigen
10-15 L/menit yang sebenarnya tidak boleh diberikan pada pasien dengan PPOK.
Keterbatasan penegakan diagnosis PPOK yang sering kali ditegakkan berdasarkan
gejala klinis dan anamensis saja, membuat diagnosis ini kerap kali timpang tindih
dengan diagnosis yang lain. Tidak tersedianya spirometri di IGD khususnya, IGD di

57
provinsi Bengkulu, membuat penegakan diganosis dan followup terapi dengan
spirometri sulit dilakukan.

Pada pasien ini mendapatkan terapi Nebulizer ventolin yang merupakan short
beta agonis, dicampur dengan pulmicort yang merupakan kortikosteroid. Pemberian
obat-obatan pada awal kedatangan pasien, telah sesuai dengan panduan PPOK. Pada
pasien dengan eksaserbasi, pemberian SABA boleh disertai atau tanpa disertai anti-
kolinergik. Jika melihat sediaan di RSUD Kota Bengkulu, maka pemilihin
combivent merupakan pilihan yang telah berisikan salbutamol selaku SABA dan
ipatrium bromide selaku anti kolinergik.

Pasien dirawat inapkan dan diberikan terapi cairan infus RL dengan


menggunakan infus set mikro karena kecurigaan pasien juga mengarah kepada
Congestive Heart Failure (CHF) grade 2. Infus RL diberikan bersamaan dengan drip
aminophilin sebagaimana aminophilin merupakan salah satu golongan methylxantin,
yang merupakan turunan xantin. Pemberian turunan xantin masih diperbolehkan,
namun pemberiannya harus secara perlahan dan hati-hati. Berdasarkan GOLD 2017,
pemberian methylxantin hanya boleh diberikan pada pasien PPOK stabil. Dengan
evidance B, pemberian methylxantine tidak direkomendasi pada pasien dengan
PPOK eksaserbasi akut mengingat efek sampingnya yang berbahaya. Resiko
overdosis golongan methylxantin dikarenakan kelebihan ketekolamin dan
antagonisme adenosisn. Pemblokkan adenosin memang akan mengurangi produksi
histamin dan secara tidak langsung akan membalikkan bronkospasme. Selain itu,
kadar yang tinggi juga dapat menghambat fosfodiesterase yang menghasilkan elevasi
siklik adenosin monofosfat (cAMP) dan stimulasi adrenergik (Hymel, 2016).

Penggunaan golongan xantin telah diteliti dibeberapa negara. Penggunaan


xantin memang tidak begitu berefek pada kematian pasien dengan PPOK jika hanya
pada penggunaan teophilin jangka panjang (sebagai kontroler). Sebagai mana
penelitian meta-analisis di Jepang yang dilakukan oleh Horita dkk pada tahun 2015
menemukan bahwa golongan xantin seperti teophilin hanya memiliki sedikit peran
yang sebagai penyebab kematian pada pasien dengan PPOK. Namun, penelitian ini
menemukan bahwa golongan xantin dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular,
sistem saraf pusat, gastrointestinal, paru, muskuloskeletal, dan metabolik.
Hipokalemia, hiperglikemia, hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan asidosis bisanya

58
terjadi pasca overdosis akut. Maka pada keadaan eksaserbasi akut, pemberian
golongan methylxantin tdk terlampau direkomendasikan (Horita, 2015).

Pada pasien ini ditemukan adanya peningkatan vena jugularis, dengan


didukung adanya penemuan pada EKG mengarahkan pasien pada keadaan cor
pulmonal yang terjadi akibat abnormalitas paru sehingga mengakibatkan pembesaran
ventrikel kanan. Cro pulmonale yang terjadi akibat hipertensi pulmonal yang
dicetuskan oleh emboli pulmo yang berulang-ulang. Pada ronsen si pasien terlihat
adanya gambaran paru yang bronkitis kronis yang menjadi penyebab utama sering
terjadinya hipertensi pulmonal. Dengan dukungan adanya ditemukan JVP yang
meningkat, EKG patologis, dan adanya edema pulmo membuat semakin
menyakinkannya ada corpulmonale yang terjadi. Pemberian injeksi furosemide
dikarenakan adanya edema pulmo yang terjadi akibat edema pulmo pada cor
pulmonale.

Pada pasien ini diberikan Teofilin, yang sebagaimana penggunaannya pada


fase akut PPOK tidak direkomendasi. Namun komplikasi yang terjadi pada pasien ini
yaitu cor pulmonale, membuat pertimbangan digunakannya teofilin. Dikarenakan,
selain efek bronchodilatory, teofilin telah dilaporkan mengurangi resistensi vaskular
paru dan tekanan arteri pulmonal akut pada pasien dengan pulmonale kron kronik
akibat COPD. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah dan dengan demikian
dapat memperbaiki ejeksi ventrikel kanan dan kiri. Dosis teofilin dosis rendah juga
disarankan memiliki efek antiinflamasi yang membantu mengendalikan penyakit
paru-paru yang mendasari seperti COPD. Akibatnya, dengan mempertimbangkan
penggunaan teofilin sebagai terapi tambahan dalam pengelolaan pulmonale cor
kronis atau dekompensasi, masuk akal pada pasien dengan COPD yang
mendasarinya. Ada beberapa efek samping teofilin meliputi kejang, takikardia, dan
aritmia jantung lainnya yang telah menjadi pertimbangan.

59
BAB V

KESIMPULAN

PPOK merupakan kasus yang kerap kali didapatkan di IGD RSUD Kota
Bengkulu. Dibutuhkan keahlian anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik yang
cermat untuk menegakkan diagnosa PPOK Klinis. Terburu-buru memberikan
oksigen dengan Mask ventury sampai dengan 10-15 lpm pada pasien saturasi
dibawah 80%, menjadi sesuatu yang sangat berbahaya pada pasien dengan PPOK
dan penyakit resiko hipercapnea lainnya. Edukasi pada keluarga pasien terkait
konten alert cards perlu dilakukan, mengingat implementasi alert card di Indoensia
khususnya Bengkulu belum diterapkan.

Pemberian terapi pada saat serangan pada pasien PPOK mengikuti algoritma
ABC. Pemberian SABA+Anti-kolinergik dapat menjadi pilhan bila serangan yang
terjadi berat atau bahkan sampai mengancam jiwa daripada hanya memberikan
SABA saja. Pemberian sistemik kortikosteroid harus segera diberikan. Pemantauan
saturasi oksigen terus dilakukan mengingat sangat rentannya pada pasien PPOK
terutama disaat serangan. Antibiotik menjadi kunci penting yang harus diberikan
pada pasien dengan PPOK eksaserbasi. Pemberian bronchodilator, kortikosteroid ,
mucogenerator dapat diberikan sebagai kontroler pasca serangan. Kombinasi triple
terapi yaitu LAB+LAMA+ICS masih menjadi pihan dan rekomendasi untuk pasien
dengan PPOK stabil.

Pada pasien PPOK dengan kompilkasi cor pulmonal, pentingnya untuk


memikirkan kontralitas jantung. Penggunaan furosemid yang terjadi pada pasien cor
pulmonale dengan edema pulmo dan adanya edema perifer menjadi pilihan. Cor
pulmonale yang memiliki hubungan erat dengan hipertensi pulmonale yang kerap
kali terjadi akibat emboli paru yang terjadi berulang-ulang. Penggunaan anti-
trombolitik dapat dipikirkan bila terbukti ditemukan adanya emboli paru yang
sedang terjadi.

60
DAFTAR PUSTAKA

Anderson JR, Nawarskas JJ. Pharmacotherapeutic management of pulmonary arterial


hypertension. Cardiol Rev. 2010 May-Jun. 18(3):148-62. [Medline].

Barst RJ, Rubin LJ, McGoon MD, Caldwell EJ, Long WA, Levy PS. Survival in
primary pulmonary hypertension with long-term continuous intravenous
prostacyclin. Ann Intern Med. 1994 Sep 15. 121 (6):409-15. [Medline].

O'driscoll, B.R., Howard, L.S., Earis, J. and Mak, V., 2017. BTS guideline for
oxygen use in adults in healthcare and emergency settings. Thorax, 72(Suppl
1), pp.ii1-ii90.

Horita, N., Miyazawa, N., Kojima, R., Inoeue, M., Ishigatusoba, Y., Kaneko, T.
Chronic Use of Theophyline and Mortality in Cgronic Obstructive Pulmonary
Diseases: A Meta-analysis. Arch Bronconeumol. 2015 Nov, 20.

Hymel, Greg., 2016. Theophylline Toxicity : Epidemiology, Pathophysiology.


Medscape.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategi for
the Diagnosis, Management and Prevention of COPD. New GOLD 2017
Pocket Guide.

Kepmenkes. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jakarta.


Menkes

Meyer G, Vicaut E, Danays T, et al, for the PEITHO Investigators. Fibrinolysis for
patients with intermediate-risk pulmonary embolism. N Engl J Med. 2014
Apr 10. 370 (15):1402-11. [Medline].

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003., Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.

61
Rahmawati, A.F., Kholis, F.N. and Ngestiningsih, D., 2013. Hubungan Derajat
Klinis PPOK dengan Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru Berdasarkan
Spirometri(Doctoral dissertation, Diponegoro University).

Rich S, Kaufmann E. High dose titration of calcium channel blocking agents for
primary pulmonary hypertension: guidelines for short-term drug testing. J
Am Coll Cardiol. 1991 Nov 1. 18(5):1323-7. [Medline].Singh H, Ebejer MJ,
Higgins DA, Henderson AH, Campbell IA. Acute haemodynamic effects of
nifedipine at rest and during maximal exercise in patients with chronic cor
pulmonale. Thorax. 1985 Dec. 40(12):910-4. [Medline]. [Full Text].

Singh TP, Rohit M, Grover A, Malhotra S, Vijayvergiya R. A randomized, placebo-


controlled, double-blind, crossover study to evaluate the efficacy of oral
sildenafil therapy in severe pulmonary artery hypertension. Am Heart J. 2006
Apr. 151(4):851.e1-5. [Medline].

Sitbon O, Channick R, Chin KM, et al, for the GRIPHON Investigators. Selexipag
for the Treatment of Pulmonary Arterial Hypertension. N Engl J Med. 2015
Dec 24. 373 (26):2522-33. [Medline].

Sitbon O, Humbert M, Jais X, et al. Long-term response to calcium channel blockers


in idiopathic pulmonary arterial hypertension. Circulation. 2005 Jun 14.
111(23):3105-11. [Medline].

World Health Organization, 2015. Global status report on noncommunicable


diseases 2014. 2014. URL: http://apps. who.
int/iris/bitstream/10665/148114/1/9789241564854_eng. pdf [accessed 2016-
10-11][WebCite Cache ID 6lBPfdfFf].

62

Anda mungkin juga menyukai