Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

ABSES HEPAR

Oleh:
dr. Muhammad Verza Praditya

Pembimbing:
dr. Novita Pane, Sp.PD, FINASIM

Pendamping:
dr. Ibrahim Muhammad

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT AR BUNDA LUBUK LINGGAU
SUMATERA SELATAN
2022

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul
“ABSES HEPAR”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban kepaniteraan dokter
internsip. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Novita Pane, Sp.PD, FINASIM atas bimbingan dan segala
masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan sebaik–baiknya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
tulisan ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya, serta bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Lubuk Linggau, 06 Januari 2022

Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

Abses hepar adalah kumpulan peradangan supuratif pada parenkim liver yang
dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, atau mikroorganisme seperti parasit. 1 Abses
hepar dibagi menjadi 2 berdasarkan penyebabnya, yaitu bakteri pyogenic dan
amoebic. Menurut Yu-Jang, lebih banyak pasien laki-laki (63.5%) yang terkena abses
hepar dari pada perempuan (36.5%). Dan pada laki-laki cenderung berusia lebih muda
untuk terkena abses hati daripada perempuan.2

Abses hepar pyogenic terjadi karena adanya infeksi oleh bakteri aerob maupun
anaerob yang mengarah ke descending infection.bakteri tersebut masuk melalui
sirkulasi sistemik, seperti sistem portal, yang akhirnya menyebabkan rusaknya sel
pada jaringan hati. Selain sirkulasi sistemik, abses hepar pyogenic juga dapat
disebabkan oleh obstruksi dari saluran empedu. Hal ini menyebabkan kenaikan
marker laboratorium, seperti bilirubin, SGOT dan SGPT, serta didapatkan penurunan
Hb dan albumin pada pasien abses hepar pyogenic. Kerusakan yang disebabkan oleh
bakteri kebanyakan multipele pada lobus kanan abses hepar.3 Pada Asia Barat 84%
pasien terdiagnosis sebagai abses hepar karena bakteri pyogenic, yaitu Klebsiella
penumnie.4 Abses hepar karena bakteri pyogenic mempunyai pravelensi sebesar 48%
terhadap seluruh jenis abses pada jaringan.5

Abses hepar amoebic adalah manifestasi ekstrakranial terbanyak pada infeksi


dari protozoa Entamoeba histolitica. Parasit ini masuk melalui jalur ascending dari GI
Tract atau melalui vena portal. Setelah masuk parasit ini mengeluarkan enzim
proteolitik yang akhirnya dapat meningkatkan kadar leukosit dengan sangat tinggi.
Karena memasuki lewat vena portal maka lobus yang terkena lebih banyak pada lobus
kanandengan karakteristik single dengan ukuran lebih besar.3

Abses hepar adalah penyakit yang ada sejak zaman dahulu yang sering
berhubungan dengan akut appendicitis atau infeksi intra-abdominal. 6 setelah diketahui
keberadaan antibiotik maka angka mortalitas dapat diketahui hingga kurang dari 10%.
Angka kematian yang mencapai 30% biasanya menandakan keberadaan komplikasi
seperti ruptur abses. Jika pasien memiliki faktor komorbid yang mendukung
terjadinya prognosis lebih buruk maka akan menaikkan mortality rate tiga kali lipat.7

2
BAB II

STATUS PASIEN

2.1. IDENTITAS PASIEN

● Nama : Tn. D
● Jenis Kelamin : Laki-laki
● Umur : 37 tahun
● Pekerjaan : Karyawan swasta
● Agama : Islam
● Status Pernikahan : Menikah
● Alamat : Lubuk linggau
● Suku : Jawa
● No.RM : 210204**

2.2. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama : Demam


B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan demam tinggi yang
dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi bersifat
naik turun sepanjang hari. Demam dengan suhu tinggi diikuti dengan
menggigil pada malam hari sehingga mengganggu tidur pasien. Demam
menghilang setelah meminum obat penurun panas. Riwayat kejang saat
demam tidak dijumpai.
Pasien juga mengeluh nyeri dan terasa membesar pada perut kanan atas,
sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri seperti ditusuk-tusuk bersifat
hilang timbul. Nyeri menjalar ke ulu hati, nyeri tidak berhubungan dengan
perubahan posisi.
Keluhan lain disertai mual sejak 1 minggu dan muntah tidak dijumpai.
Nafsu makan menurun. Riwayat penurunan berat badan tidak dijumpai.
Batuk dijumpai disertai dengan dahak sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit. pilek tidak dijumpai, sesak nafas tidak dijumpai, dan nyeri menelan tidak
dijumpai.

3
BAK berwarna merah tua, dan sudah 2 hari tidak BAB sejak masuk rumah
sakit.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit seperti ini sebelumnya (-), riwayat sakit kuning (-),
hipertensi (-), infeksi paru (-), diabetes melitus (-), penyakit jantung (-).

D. Riwayat Kebiasaan
riwayat rokok (+), alcohol (+), riwayat jamu-jamuan (-).

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum
⮚ Keadaan umum : Tampak sakit sedang
⮚ Kesadaran : Compos mentis
⮚ Tekanan darah : 130/80 mmHg
⮚ Nadi : 90x/menit
⮚ Pernapasan : 20x/menit, reguler
⮚ Suhu : 40 0C
⮚ Berat badan : 92 kg
⮚ Tinggi badan : 175 cm
⮚ BMI : 30,0 kg/m2 (obesitas stage 1)

B. Status Generalis
⮚ Kulit : warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (+)
⮚ Kepala : normosefali, rambut putih, distribusi merata
⮚ Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+, pupil bulat isokor
3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung
+/+
⮚ Telinga, Hidung,Tenggorokan
❖ Telinga :
- Inspeksi :
a. Preaurikuler : hiperemis (-/-)
b. Preaurikuler : hiperemis (-/-)
c. Postaurikuler : hiperemis (-/-), abses (-/-), massa (-/-)

4
d. Liang telinga : lapang, serumen (-/-), otorhea (-/-)
- Palpasi : nyeri tekan (-)
❖ Hidung :
- Inspeksi : deformitas (-), sekret (-/-), deviasi septum (-/-), edema (-)
- Palpasi : nyeri tekan sinus maksilaris (-/-), etmoidalis(-/-), frontalis
(-/-)
❖ Tenggorokan dan rongga mulut :
- Inspeksi :
a. Bucal : warna normal, ulkus (-)
b. Lidah : pergerakan simetris, plak (-)
c. Palatum mole simetris pada keadaan diam dan bergerak, arkus
faring simetris, penonjolan (-)
d. Uvula : normal
e. Tonsil : T1/T1, kripta (-/-), detritus(-/-)
f. Dinding faring hiperemis (-),
⮚ Leher : simetris, tidak teraba pembesaran KGB, kaku kuduk (-).
⮚ Pemeriksaan Thoraks
❖ Pemeriksaan Jantung:
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordus teraba di ICS V Linea Midclavikularis
Sinistra
- Perkusi : batas kanan ICS IV Linea Sternalis Dextra, batas kiri
ICS V, 2 jari lateral linea Midclavikularis Sinistra
- Auskultasi : S1 – S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
❖ Pemeriksaan Paru
- Inspeksi : pergerakan naik-turun dada simetris kanan kiri
- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri, tidak ada benjolan
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
❖ Columna Vertebralis : lurus di tengah, skoliosis (-), kifosis (-)
⮚ Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : jejas (-), perut buncit

5
- Palpasi : nyeri tekan (+) kuadran kanan atas, ludwig sign (+)
yakni menekan sela iga ke-6 setentang line axilaris anterior, hepar teraba
membesar, lien tidak teraba
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus (+) normal
⮚ Pemeriksaan Ekstremitas : akral hangat +/+, edema -/-, CR < 2 detik

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium ( Tanggal 30 Desember 2021 – 02.06 WIB)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 10.2 g/dL 13-18

Hematokrit 30 % 40-52

Leukosit 20.1 ribu/ul 4,4-11,3

BSE – Jam ke-1 39 mm/jam 1-15

Basophil 0 %

Eosinophil 0 %

Segmen 84 % 40-70
%
Lymphocyt 10 30-45
ribu/ul
Trombosit 292 150-450
juta/uL
Eritrosit 3.4 4,0-5,9

MCV 88 74-108

MCH 30 27-32

MCHC 34 32-26

KIMIA KLINIK

Glucosa sewaktu 90 mg/dL 74-139

IMUNOSEROLOGI –

WIDAL SLIDE

Typhi H 1/80 Negatif

Paratyphi A – H 1/160 Negatif

6
Typhi O 1/80 Negatif

Paratyphi A – O 1/80 Negatif

IMUNOSEROLOGI – CRP

CRP >120 Mg/l <5

Swab Antigen Negatif Negatif

Kesan :
● Terjadi penurunan Hb ditandai dengan adanya anemia
● Terjadi leukositosis ditandai dengan adanya infeksi
● Hasil widal negatif

2.4.3. Radiologi

Foto Thorax, PA View, Posisi erect, Asimetris, Inspirasi kurang dan


kondisi cukup, Hasil:

● Corakan bronchovascular normal


● Sinus costophrenicus lancip
● Diafragma dextra sedikit meninggi, tak mendatar
● COR, CTR < 0,5

7
● Sistem tulang yang tervisualisasi intak

Kesan :
● Subdiafragma proses
● Pulmo tak tampak kelainan
● Cor dalam batas normal

2.5. DAFTAR MASALAH


1. Demam tinggi
2. Ikterus
3. Nyeri perut kanan atas
4. Pembesaran hepar

2.6. DIAGNOSA
Diagnosis Klinis : Ikterus ec. Abses Hepar Pyogenik
Diagnosis Banding : 1. Ikterus ec. Abses Hepar Pyogenik
2. Ikterus ec. Hepatitis
3. Ikterus ec. Kolesistitis

2.7. PENATALAKSANAAN
⮚ Tirah baring
⮚ IVFD RL gtt 20/menit makro
⮚ Inf. Paracetamol 1 fls
⮚ Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
⮚ Cek lab, Rontgen Thorax, Swab Antigen
⮚ USG, HbsAg, Faal hati
⮚ Alih rawat dr. Novita Pane, Sp.PD, FINASIM

2.8. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
2.9. FOLLOW UP

Tanggal Keterangan
Kamis, S : Keluhan : demam (+), perut kembung (+), mual (+), baruk (+), BAK
30 Desember
warna merah tua, tidak bisa BAB 2 hari.
2021
O : CM
TD : 120/80 MmHg
N : 80/menit
RR : 20x/menit

8
T : 38,7 oC
Kulit : warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (+)
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+.
Pemeriksaan Abdomen

- Inspeksi : jejas (-), perut buncit


- Palpasi : nyeri tekan (+) kuadran kanan atas,
ludwig sign (+) yakni menekan sela iga ke-6 setentang line
axilaris anterior, hepar teraba membesar, lien tidak teraba
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus (+) normal

Pemeriksaan penunjang:

USG Upper dan Lower abdomen, Hasil:

● Hepar : ukuran membesar dan echostructure normal, permukaan licin,


sistema bilier dan vaskuler intrahepatal tak prominent. Tampak lesi
hipoekoik di segmen VII hepar, bentuk membulat, batas relatif tegas,
ukuran 1 k 8,59x 9,25 cm.
● VF : ukuran normal, dinding tak tampak menebal, tak tampak massa,
batu maupun sludge.
● Lien : ukuran dan ekostruktur normal, tak tampak massa/nodul, hilus
lienalis tak prominent.
● Pankreas : ukuran dan ekostruktur normal, tak tampak massa maupun
kalsifikasi. Duktus pankreatikus tak prominent.
● Ren dextra : ukuran dan ekostruktur normal, batas korteks dan medula
tegas, SPC tak melebar, tak tampak massa/batu.
● Ren sinistra : ukuran dan ekostruktur normal, batas korteks dan medula
tegas, SPC tak melebar, tak tampak massa/batu.
● Vesica urinaria : terisi cairan, dinding tampak reguler tak tebal, tak
tampak batu maupun massa.

9
● Prostat : ukuran dan ekostruktur normal, tak tampak massa.
● Limfonodi paraaorta : tak tampak prominent.

Kesan :
● Gambaran abses di segmen VII hepar dengan hepatomegali
● Tak tampak kelainan pada vesica felea, lien, pankreas, kedua rena,
vesica urinaria maupun prostat

HbsAg dan Faal hati

Kesan :
● HbsAg negatif, ditandai tidak adanya penyakit hepatitis
● Terjadi peningkatan pada hasil faal hati, ditandai dengan adanya
penyakit Abses hepar

A : Ikterik ec. Abses hepar pyogenik


P : Tirah baring
Diet hati III
IVFD RL 20 tpm
Inj. Omeprazole 1x40 mg
Inj. Ondancetron 2x8 mg
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Infus. Metronidazole 3x500 mg
Inj. Dexamethasone 3x5 mg
Paracetamol tablet 3x500 mg
Curcuma tablet 3x1

10
Jumat, S : Keluhan : demam (+), perut kembung (+), mual (+), baruk (+), Cegukan
31 Desember
(+)
2021
O : CM
TD : 139/85 MmHg
N : 88/menit
RR : 21x/menit
T : 38 oC
Kulit : warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (+)
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+.
Pemeriksaan Abdomen

- Inspeksi : jejas (-), perut buncit


- Palpasi : nyeri tekan (+) kuadran kanan atas,
ludwig sign (+) yakni menekan sela iga ke-6 setentang line
axilaris anterior, hepar teraba membesar, lien tidak teraba
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus (+) normal

A : Ikterik ec. Abses hepar pyogenik


P : Tirah baring
Diet hati III
IVFD RL 20 tpm
Inj. Omeprazole 1x40 mg
Inj. Ondancetron 2x8 mg
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Infus. Metronidazole 3x500 mg
Inj. Dexamethasone 3x5 mg
Paracetamol tablet 3x500 mg
Curcuma tablet 3x1
CPZ 2x1/2
Rencana rujuk RS. Untuk drainase abses

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Hati

Gambar 3.1 Anatomi hati

Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar, beratnya Antara 1000 -
1500 gram, kurang lebih 25% berat badan orang dewasa dam merupakan metabolisme
tubuh dengan fungsi yang sangat komplek dan ruwet. Hati terdiri dari dua lobus
utama, kanan dan kiri. lobus kanan dibagi dengan menjadi segmen medial dan lateral
oleh ligamentum falsiformis yang dapat di lihat dari luar. Setiap lobus hati dibagi lagi
menjadi lobulus merupakan unit fungsional. Mikroskopik dalam hati manusia terdapat
50.000 – 100.000 lobuli. Setiap lobulus merupakan bentuk heksagonal yang terdiri
atas lembaran berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di
antara lembaran sel hati terdapat kapilar yang di namakan sinusoid, yang merupakan
cabang vena porta dan arteria hepatika. Sinusoid tidak seperti kapiler lain, dibatasi
oleh sel fagositik atau sel kupffer. Sel kupffer merupakan sistem retikoloendotel dan
mempunyai fungsi utama menelan bakteri dan benda asing lain dalam tubuh. Hanya
sumsum tulang yang mempunyai masa sel retikuloen dotel yang lebih banyak
daripada hati. Jadi hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan tubuh
terhadap serangan bakteri dan agen toksik.8

12
Gambar 3.2 Vaskularisasi hati

Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui
vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah
hepatica. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya
adalah darah vena porta. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang
menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan
vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-lobulus. Vena-vena ini selanjutnya
membentuk sinusoid yang berjalan diantara lempengan hepatosit dan bermuara dalam
vena sentralis.
Vena sentralis dari beberapa lobulus membentuk vena sublobularis yang
selanjutnya kembali menyatu dan membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus
dari arteria hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi
campuran darah arteria dari arteria hepatika dan darah vena dari vena porta.
Peningkatan tekanan dalam sistem ini sering menjadi manifestasi gangguan hati
dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh darimana darah portal
berasal.  berasal. Beberapa Beberapa lokasi anastomosis anastomosis portakaval
portakaval memiliki memiliki arti klinis yang penting. penting. Pada obstruksi aliran
ke hati, darah po Pada obstruksi aliran ke hati, darah porta dapat di rta dapat dipirau
ke sistem vena sistemik. pirau ke sistem vena sistemik.
Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1.500 ml
dialirkan melalui vena hepatika dekstra dan sinistra, yang selanjutnya bermuara pada
vena kava inferior.8

13
Gambar 3.3 Pembagian segmen hati

Hati, secara makroskopis dibagi menjadi empat lobus yaitu dua lobus utama:
lobus kanan dan lobus kiri yang dibagi oleh ligamentum falciformis di bagian anterior,
serta dua lobus aksesoris yaitu lobus quadratus dan lobus caudatus. Berdasarkan
fungsinya hepar memiliki 3 bagian fungsional utama: lobus kaudatus, lobus kanan dan
lobus kiri. Lobus kanan dibagi menjadi 4 segmentum yaitu segmentum V, VI, VII,
VIII, lobus kiri menjadi 3 segmentum yaitu II,III dan IV, serta segmentum I adalah
lobus kaudatus.9
Hati dipersyarafi oleh Nervus simpatikus : dari ganglion ganglion seliakus,
berjalan bersama pembuluh darah pada seliakus, berjalan bersama pembuluh darah
pada lig. hepatogastrika dan masuk hepatogastrika dan masuk  porta hepatis.
Nervus vagus : dari trunkus trunkus sinistra sinistra yang mencapai mencapai
porta hepatis hepatis menyusuri menyusuri kurvatura minor gaster dalam omentum.8

3.2 Abses Hepar

3.2.1 Definisi

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati.10

3.2.2 Klasifikasi

A. Abses Hepar Amoebik

14
Abses hati amebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba hystolitica yang
tinggi. Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis mengeluarkan
tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. tropozoit dan kista bersama kotoran
mereka. Infeksi biasanya terjadi setelah meminum air atau memakan makanan
yang terkontaminasi kotoran yang mengandung tropozoit atau kista tersebut.
Dinding kista akan dicerna oleh usus halus, keluarlah tropozoit imatur.
Tropozoit dewasa tinggal di usus besar terutama sekum. Strain Entamoeba
hystolitica tertentu dapat menginvasi dinding kolon. Strain ini berbentuk tropozoit
besar yang mana di bawah mikroskop tampak menelan sel darah merah dan sel
PMN. Pertahanan tubuh penderita juga berperan dalam terjadinya amubiasis
invasif.
Amubiasis invasif dapat disebabkan perdarahan usus besar, perforasi, dan
pembentukan fistula. Bila terjadi perforasi biasanya terjadi dari daerah sekum
infeksi amuba invasif pada tempat-tempat yang jauh meliputi paru, otak dan
terutama hepar. Abses  pada hepar diduga berasal dari invasi sistem vena porta,
pembuluh limfe mesenteriu porta, pembuluh limfe mesenterium, atau penjalaran
melalui intraperitoneal. Dalam parenkim hepar terbentuk tempat mikroskopis
terutama terjadi trombosis, sitolisis, dan pencairan, suatu proses yang disebut
hepatitis amuba. Bila tempat-tempat tersebut bergabung maka terjadilah abses
amuba.
B. Abses Hepar Pyogenik
Abses hati pyogenik dapat disebabkan infeksi berasal dari sistem porta dan
hematogen melalui arteri hepatika. Infeksi yang berasal dari abdomen dapat
mencapai hati melalui embolisasi melalui vena porta. Infeksi intraabdomen
ini biasanya berasal dari appendisitis, divertikulitis, inflammatory bowel disease
dan  pylephlebitis. Sementara itu infeksi secara hematogen biasanya disebabkan
oleh  bakteremia dari endokarditis, sepsis urinarius, dan intravenous drug abuse.11

3.2.3 Etiologi
Abses piogenik disebabkan oleh Enterobactericeae,
Microaerophilic streptococci, Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumoniae,
Bacteriodes, Fusobacterium, Staphilococcus aereus, Staphilococcus milleri, Candida
albicans, Aspergillus, Eikenella corrodens, Yersinis enterolitica, Salmonella thypii,
Brucella melitensis dan fungal.
Dilaporkan 21-30% dari abses hepar berasal dari penyakit biliaris yaitu
obstruksi ekstrahepatik, kolangitis, koledokolitiasis, tumor jinak atau ganas biliaris.
Anastomosis anterobiliaris (choledochoduodenostomy atau choledochojejunostomy)

15
juga dilaporkan dilaporkan sebagai penyebab abses hepar di samping komplikasi
biliaris dan transplantasi hati.
Trauma tumpul dan nekrosis hati yang berasal dari vascular injury selama
laparaskopi cholecystectomy juga merupakan penyebab abses hepar.12

3.2.4 Faktor risiko


DM adalah faktor predisposisi untuk abses hati. Penelitian telah menemukan
DM sebagai penyakit penyerta pada 29,3% -44,3% pasien dengan abses hati.
Misalnya, hiperglikemia diketahui mengubah metabolisme neutrofil. Penyakit
diabetes  juga telah terbukti mengganggu kemotaksis dan fagositosis leukosit
polimorfonik (PMN) yang melemahkan pertahanan kekebalan melawan infeksi dan
menyebabkan  pasien DM lebih rentan terhadap pembentukan abses.13

Seperti penderita diabetes, pasien dengan sirosis hati memiliki peningkatan


risiko abses hati karena status kekebalan mereka yang terganggu. Sirosis 15,4 kali
lebih mungkin mengembangkan abses hati dibandingkan populasi umum.14
Kondisi dan perawatan lain dapat membahayakan sistem kekebalan dan
membuatnya tidak memadai untuk melawan patogen. Ini termasuk berbagai
imunodefisiensi, terapi kemoterapi, keganasan padat, terapi imunosupresi setelah
transplantasi organ, serta splenektomi, semuanya telah dikaitkan dengan peningkatan
risiko abses hati.13
Penggunaan obat PPI juga terbukti meningkatkan risiko pembentukan abses
hati. Hal ini diduga karena obat PPI meningkatkan pH lambung, yang menurunkan
pertahanan alami lambung terhadap bakteri.15
Sebagian besar kasus abses hati terjadi pada usia lanjut. Satu studi melaporkan
usia rata-rata> 57 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa individu yang lebih tua
lebih rentan terhadap infeksi bakteri.15

16
Tabel 3.1 Faktor risiko Abses Hepar

3.2.5 Patofisilogi

Gambar 3.4 Patofisiologi abses hepar

A. Abses Hepar Amoebik


Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme:
1. Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.

17
2. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung
pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran
cerna terutama pada flora lingkungan saluran cerna terutama pada flora
bakteri.
Mekanisme terjadinya amebiasis hati:
1. Penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
2. Pengerusakan sawar intestinal.
3. Lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons
imun cell- mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga
dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutris tuberkulosis, malnutrisi,
keganasan dll.
4. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena porta.
Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti
dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa.
Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya
amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului
riwayat disentri amebiasis.10

B. Abses Hepar Pyogenik


Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari:
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan
pielflebitis porta atau emboli septik.

18
2. Saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis
septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga
batu empedu, kanker, striktura kanker, striktura saluran empedu ataupun
anomali saluran empedu kongenital.
3. Infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti
abses perinefrik.
4. Septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
5. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ
lanjut usia.10

3.2.6 Manifestasi Klinis

19
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan. Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:
1. Darah mengalir ke daerah hepar dengan abses meningkat.
2. Suhu daerah hepar dengan abses meningkat karena meningkatnya
pasokan darah.
3. Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
4. Kemerahan setempat daerah hepar dengan abses.
5. Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
6. Tanda peradangan : panas, bengkak, kemerahan, dan sakit.
Manifestasi sistemik abses hepar pyogenik biasanya lebih berat daripada abses
hepar amubik. Sindrom klinis abses hepar pyogenik berupa:
1. Nyeri perut kanan atas yang menetap
2. Demam tinggi yang naik turun disertai menggigil
3. Keringat malam
4. Muntah
5. Anoreksia
6. Penurunan berat badan
7. Diare
8. Batuk yang tidak produktif
9. Ikterik dijumpai apabila penyakit telah lanjut
Sedangkan pada abses hepar amubik berupa:
1. Nyeri spontan perut kanan atas disertai dengan jalan membungkuk ke
depan dengan kedua tangan diletakkan diatasnya
2. Mual dan muntah
3. Anoreksia
4. Penurunan berat badan
5. Kelemahan tubuh
6. Pembesaran hati yang juga terasa nyeri
7. Mempunyai riwayat penyakit diare atau disentri
8. Demam intermitten.10

3.2.7 Diagnosis
A. Anammnesis
Keluhan awal abses hepar dapat berupa:
1. Demam/menggigil T > 38oC,

20
3. Nyeri abdomen seperti tertusuk dan ditekan kadang didapatkan
penjalaran ke bahu dan lengan kanan
4. Anokresia/malaise
5. Batuk disertai rasa sakit pada diafragma
6. Mual/muntah
7. Penurunan berat badan
8. Keringat malam
9. Diare maupun riwayat disentri beberapa bulan sebelumnya.
B. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
1. Pada beberapa pasien mungkin ditemukan abses yang telah menembus
kulit.
2. Anemis dan ikterus (jarang) 25% kasus
Palpasi
1. Ludwig sign (+) yakni menekan sela iga ke-6 setentang line axilaris
anterior
2. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
3. Nyeri tekan regio epigastrium bila abses di lobus kiri, hati hati efusi
perikardium
4. Nyeri tekan menjalar ke lumbal kanan abses di  postoinferior lobus
kanan hati
5. Nyeri pada bahu sebelah kanan
6. Hepatomegali teraba sebesar 3 jari sampai 6 jari di bawah arcus-costa,
permukaan hepar licin dan tidak jarang teraba fluktuasi
Perkusi
1. Peningkatan batas paru-hati relatif/absolut tanpa  peranjakan
Auskultasi
1. Friction rub bila ruptur abses ke perikardium
2. Bising usus menghilang kemungkinan perforasi ke  peritoneum16

C. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang diperiksa adalah darah rutin yaitu
kadar Hb darah, jumlah leukosit darah, kecepatan endap darah dan
percobaan fungsi hati, termasuk kadar bilirubin total, total protein dan

21
kadar albumin dan glubulin dalam darah. Banyak penderita abses hepar
tidak mengalami  perubahan  perubahan bermakna pada tes
laboratoriumnya. Pada penderita akut anemia tidak terlalu tampak tetapi
menunjukkan leukositosis yang bermakna. Sementara  penderita abses
hepar kronis justru sebaliknya. 17
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang tinggi
dengan  pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah,
peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan serum
bilirubin, berkurangnya kadar albumin serum dan waktu protrombin yang
memanjang menunjukan  bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang
disebabkan abses hati.
2. Pemeriksaan Fungsi Hati
Abnormalitas tes fungsi hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada
abses hati amebik dibanding abses hati piogenik. Hiperbilirubinemia
didapatkan hanya pada 10 % penderita abses hepar. Karena pada abses
hepar amebik terjadi  proses destruksi parenkim hati, maka PPT (Plasma
Protrombin Time) meningkat.
3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA ( Indirect
Hemagglutination), GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-
linked   Immunosorbent  Immunosorbent Assay),
counterimmunelectrophoresis, indirect immunofluorescence, dan
complement fixation. IHA dan GDP merupakan  prosedur yang paling
sering digunakan.
● IHA dianggap positif jika pengenceran melampaui 1 : 128.
Sensitivitasnya mencapai 95%. Bila tes Sensitivitasnya mencapai 95%.
Bila tes tersebut diulang, sensitivitasnya dapat mencapai 100%. IHA
sangat spesifik untuk amubiasis invasif. Tetapi, hasil yang positif bisa
didapatkan sampai 20 tahun setelah infeksi mereda.
● GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hepar. GDP dapat
mendeteksi 95% abses hepar karena amuba dan juga mendeteksi colitis
karena amuba yang non-invasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi tidak
spesifik untuk abses amuba hepar. Namun demikian, GDP mudah
dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan setelah

22
sembuhnya abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi
ditemukan lesi "space occupying" di hepar, GDP sangat membantu
untuk memastikan apakah kelainan tersebut disebabkan amuba.
4. Pemeriksaan radiologis
● CT Scan

Gambar 3.5 CT Scan abses hepar


⮚ Hipoekoik
⮚ Massa oval dengan batas tegas
⮚ Non-homogen
● USG

Gambar 3.6 USG abses hepar


⮚ Bentuk bulat atau oval
⮚ Tidak ada gema dinding yang berarti
⮚ Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
⮚ Bersentuhan dengan kapsul hati
⮚ Peninggian sonik distal (distal enhancement)

● MRI

23
Gambar 3.7 MRI abses hepar
⮚ Hiperintens pada bagian abses.18

Abses Hepar Piogenik Abses Hepar amuba


● Usia 50-70 tahun ● Usia 20-40 tahun
Demografi
● Laki-laki = perempuan ● Laki-laki > perempuan

● Infeksi bakteri akut, khususnya


intra abdominal Berpergian atau menetap di daerah
Faktor risiko mayor
● Obstruksi bilier/manipulasi endemik (pernah menetap)
● Diabetes melitus

Akut: demam tinggi, menggigil,


Nyeri perut regio kuadran kanan atas, nyeri abdomen, sepsis.
demam, menggigil, rigor, lemah, Sub akut: penurunan berat badan,
Gejala klinis malaise, anoreksia, penurunan berat demam, dan nyeri abdomen relatif
badan, diare, batuk, nyeri dada jarang.
pleuritik. Khas: tak ada gejala kolonisasi usus
dan kolitis.

Hepatomegali disertai nyeri tekan, nyeri tekan perut regio kanan atas
Tanda klinis
massa abdomen, ikterus bervariasi.

Leukositosis, anemia, peningkatan


enzim-enzim hati (alkali fosfatase Leukositosis bervariasi dan anemia
melebihi aminotransferase, Tidak ditemukan eosinofilia
Laboratorium
peningkatan bilirubin, Alkali fosfatase meningkta, namun
hipoalbuminemia, kultur darah positif aminotraserase biasanya normal
(50%-60%)

Khas: abses tunggal (80%)


Abses multifokal (50%) Biasanya lobus kanan
Pencitraan Biasanya lobus kanan Rounded atau oval, bersepta
Tepi ireguler Wall enchanment pada CT Scan
dengan kontras intravena

Purulent Konsistensi dan warna bervariasi


Cairan aspirasi Tampak kuman pada pewarnaan Steril
gram kultur positif (80%) Tropozoit jarang ditemukan

Tabel 3.2 Perbedaan gambaran Abses Hepar10

24
3.2.8 Kriteria diagnosis

Tabel 3.3 Kriteria diagnosis Abses hepar

25
3.2.9 Diagnosa banding

26
TABEL 3.4 Diagnosa banding Abses Hepar19
3.2.10 Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
Abses Hepar Pyogenik
1. Ampisilin dan aminoglikosida diberikan bila sumber infeksi terdapat
pada saluran empedu.
2. Sefalosporin generasi ketiga merupakan pilihan apabila sumber infeksi
berasal dari usus.
3. Metronidazol diberikan pada semua AHP dengan berbagai sumber
infeksi untuk mengatasi infeksi anaerobik.
4. Kombinasi beta laktam dan penghambat aktivas beta laktamase yang
diberikan untuk AHP dengan sumber infeksi dari usus, dimana
kombinasi ini juga dapat mengatasi infeksi anaerobik.

Bila terdapat hasi kultur, antibiotik disesuaikan dengan kuman yang spesifik.
Antibiotika intravena diberikan sedikitnya selama 2 minggu, dilanjutkan
dengan antibiotika oral selama 6 minggu. Apabila infeksi disebabkan oleh
streptococcus, pemberian antibiotika oral dosis tinggi disarankan selama lebih
dari 6 minggu.

Abses Hepar Amuba

1. Terapi dimulai dengan metronidazole 3x750 mg per oral selama 7-10


hari atau dengan nitoimidazole kerja Panjang (Tinidazole 2 gram PO dan
Ornidazole 2 gram PO) dilaporkan efektif sebagai dosis tunggal. Terapi
kemudian dilanjutkan dengan preparat luminal amubisida untuk
eradikasi kista dan mencegah trensmisi lebih lanjut, yaitu dengan,
lodoquinol 3x650 mg selama 20 hari, diloxanide furoate 3x500 mg
selama 10 hari, Aminosidine (paromomycin 25-35 mg/kg perhari dibagi
dalam 3 dosis) selama 7-10 hari.
2. Emetine dan chloroquine dapat digunakan sebagai terapi alternatif, tetapi
sebaiknya dihindari sebisa mungkin karena efek kardiovaskular dan
gastrointestinal. Selain karena tingginya angka relaps. Chloroquine
phospate 1000 mg (chloroquine base 600 mg) diberikan oraal selama 2

27
hari dan dilajutkan dengan 500 mg (chloroquine base 300 mg diberikan
oral selama 2-3 minggu, perbaikan klinis diharapkan dalam 3 hari.20

B. Non-Medikamentosa

Diet hati
Terdapat 3 jenis diet khusus penyakit hati. Hal ini didasarkan pada gejala dan
keadaan penyakit pasien. Jenis diet penyakit hati tersebut adalah Diet Hati I
(DH I), Diet Hati II (DH II), dan Diet Hati III (DH III). Selain itu pada diet
penyakit hati ini juga menyertakan Diet Garam Rendah I.
1. Diet Garam Rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan
atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak
menambahkan garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar
natriumnya. Kadar Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400
mg Na.
2. Diet Hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma
sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan.
Melihat keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk cincang atau
lunak. Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam
bentuk mudah dicerna. Formula enteral dengan asam amino rantai cabang
(Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin
dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian
cairan maksimal 1 L/hari.
Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin; karena
itu sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja. Menurut beratnya
retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati I Garam
rendah. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik,
diberikan Diet Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi,
selain makanan per oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan
glukosa.
3. Diet Hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II
kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien,
makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg

28
berat badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam
bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat
besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut beratnya
retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah
garam. Bila asites hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet
Rendah garam I.
4. Diet Hati III (DH III)
Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau
kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis
Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat
menerima protein, lemak, mineral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat.
Menurut beratnya tetensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet
Hati III Garam Rendah I.

Adapun tujuan Diet Hati secara umum antara lain:


1. Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal tanpa memberatkan
fungsi hati, dengan cara:
2. Meningkatkan regenerasi jaringan hati dan mencegah kerusakan lebih
lanjut dan/atau meningkatkan fungsi jaringan hati yang tersisa.
3. Mencegah katabolisme protein.
4. Mencegah penurunan BB atau meningkatkan BB bila kurang.
5. Mencegah atau mengurangi asites, varises esophagus, dan hipertensi
portal.
6. Mencegah koma hepatik.

Syarat Diet
1. Energi tinggi untuk mencegah pemecahan protein, yang diberikan
bertahap sesuai kemampuan pasien, yaitu 40-45 kkal/Kg BB.
2. Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energo total, dalam bentuk
yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi. Bila pasien mengalami
steatorea, gunakan lemak dengan asam lemak rantai sedang. Pemberian
lemak sebanyak 45 Kg dapat mempertahankan fungsi imun dan proses
sintesis lemak.
3. Protein agak tinggi, yaitu 1.25-1.5 g/Kg BB agar terjadi anabolisme
protein. Asupan minimal protein 0.8-1g/Kg BB, protein nabati

29
memberikan keuntungan karena kandungan serat yang dapat mempercepat
pengeluaran amoniak melalui feses.
4. Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan tingkat defisiensi. Bila perlu,
diberikan suplemen vitamin B kompleks, C, dan K serta mineral Zn dan
Fe bila ada anemia.
5. Natrium diberikan rendah, tergantung tingkat edema dan asites. Bila
pasien mendapat diuretika, garam natrium dapat diberikan lebih leluasa.
7. Cairan diberikan lebih dari biasa, kecuali bila ada kontraindikasi.
8. Bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual dan muntah, atau makanan
biasa sesuai kemampuan saluran cerna.

Bahan Makanan yang Dibatasi:


Bahan makanan yang dibatasi untuk Diet Hati I, II, dan III adalaha dari sumber
lemak, yaitu semua makanan dan daging yang banyak mengandung lemak dan
santan serta bahan makanan yang menimbulkan gas seperti ubi, kacang merah,
kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka.

Bahan Makanan yang tidak dianjurkan:


Bahan makanan yang tidak dianjurkan untuk Diet Hati I, II, III adalah
makanan yang mengandung alkohol, teh atau kopi kental.21

Aspirasi jarum perkutan


Indikasi :

1. Risiko tinggi untuk terjadinya abses yang didefinisikan dengan ukuran


kavitas lebih dari 5 cm.
2. Abses pada lobus kiri hati yang dihubungkan dengan mortalitas tinggi
dan frekuensi tinggi bocor ke peritoneum atau perikardium.
3. Tak ada respon klinis terhadap terapi dalam 3-5 hari
4. Untuk menyingkirkan kemungkinan abses piogenik, khususnya pasien
dengan lesi multipel.

30
Drainase Perkutan

Drainase perkutan dilakukan dengan tuntutan USG abdomen dengan abses


berukuran >5 cm menggunakan indwelling drainage catheter. Pada abses
multipel, hanya abses berukuran besar yang perlu untuk diaspirasi. Abses kecil
cukup dengan penggunaan antibiotika.

Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ intra abdomen,


infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase.

Drainase dengan pembedahan

Drainase dengan pembedahan dilakukan pada abses hepar yang mengalami


kegagalan setelah dilakukan drainase perkutaneus, abses dengan ancaman
ruptur, ikterik yang tidak sembuh, penurunan fungsi ginjal, serta pada abses
multilokuler. saat ini drainase dengan pembedahan dilakukan dengan
laparoskopik.

Reseksi hati

Pada abses hepar piogenik multiple diperlukan reseksi hati. Indikasi spesifik
jika didapat abses hati dengan karbunkel ( Liver carbuncle) dan disertai
dengan hepatolithiasis terutama lobus kiri hati.

Berdasarkan kesepakatan PEGI (perhimpunan Endoskop Gastrointestinal


Indonesia) dan PPHI ( Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia ) di Surabaya pada
tahun 1996:

1. Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi dengan medikamentosa, bila


respon terapi negative dilakukan aspirasi
2. Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi dengan aspirasi berulang
3. Abses hati dengan diameter > 8 cm: drainase perkutan.10

31
3.2.11 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5-15,6%,
perforasi abses ke berbagai organ tubuh seperti ke pleura, , paru, pericardium, usus,
intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah
aspirasi atau drainase. Dapat juga komplikasi seperti:

● Infeksi sekunder
Merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus. Kuman
penyebab tersering staphylococcus dan streptococcus.
● Ruptur akut dengan penjalaran langsung
Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi
paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum
(terutama amubiasis hati di lobus kiri), selanjutnya pericardium dan
amubiasis kutis maupun organ-organ lain.
● Komplikasi vaskuler
Ruptur ke dalam v. porta (trombosis vena porta), saluran empedu
(trombosis vena hepatica) atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.
● Parasitemia, amoebiasis serebral
histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain
misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal
intrakranial.
● Ileus obstruktif
● Koma hepatikum.10

32
3.2.12 Pencegahan
Infeksi amuba disebarkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar
dengan kista. Karena pembawa asimptomatik dapat mengeluarkan hingga 15 juta kista
per hari, pencegahan infeksi membutuhkan sanitasi yang memadai dan pemberantas
pembawa kista. Pada daerah beresiko tinggi, infeksi dapat diminimalkan dengan
menghindari konsumsi buah dan sayuran yang tidak dikupas dan penggunaan air
kemasan. Karena kista tahan terhadap klor, desinfeksi oleh iodine dianjurkan. Sampai
saat ini tidak ada profilaksis yang efektif.
Pencegahan terbaik adalah dengan mengetahui sedini mungkin sumber-sumber infeksi
yang dapat menyebabkan abses hepar piogenik, diikuti dengan penanganan yang
tepat.10
3.2.13 Prognosis
Dengan diagnosis yang cepat disertai penggunaan antibiotika pada tahap dini
dan drainase perkutaneus, angka kematian karena Abses hepar pyogenik telah jauh
menurun. Angka kematian pada negara maju sekitar 2-12%. Faktor utama penyebab
kematian adalah pembedahan dengan drainase terbuka, keganasan, serta infeksi dari
kuman anaerobik.
Prognosis baik dengan harapan hidup lebih dari 50%, bila abses tunggal dan
terletak pada lobus kanan. Namun, kematian dapat mencapai 100% pada abses hepar
pyogenik yang tidak diterapi. Angka kematian tinggi juga disebabkan oleh infeksi
polimikrobial, abses multipel terutama dengan sumber infeksi pada sistem bilier,
adanya malfungsi multiorgan, keganasan, hiperbilirubinemia, hipoalbuminemia,
adanya komplikasi efusi pleura terutama pada orang tua, serta sepsis.
Pada abses hepar amuba:
1. Abses hepar amuba merupakan penyakit yang sangat “treatable”
2. Angka kematiannya <1% bila tanpa penyulit
3. Penegakan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit abses ruptur
sehingga meningkatkan angka kematian:
● Ruptur ke dalam peritoneum, angka kematian 20%
● Ruptur ke dalam perikardium, angka kematian 32-100%.10

33
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien D, seorang laki-laki, usia 37 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan keluhan
demam tinggi, sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan
demam tinggi bersifat naik turun, demam diikuti menggigil. Pasien juga mengeluhkan
nyeri perut kanan atas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Mual diumpai sejak 1
minggu, batuk disertai dahak dan nafsu makan menurun. Pasien juga mengeluhkan
BAK berwarna merah tua dan tidak BAB sudah 2 hari. Pasien sebelumnya pernah
dirawat dengan diagnosa penyakit demam tifoid.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai konjungtiva anemis dan sklera ikterik, pada
pemeriksaan abdomen dijumpai nyeri tekan perut kanan atas dan pembesaran hati,
perut kembung. Untuk pemeriksaan penujang dijumpai Hb menurun, leukositosis,
hematokrit meningkat, dan pemeriksaan faal hati dijumpai peningkitan bilirubin,
SGOT, dan SGPT. Pada pemeriksaan USG tampak lesi hipoekoik disegmen VII hepar
dan pembesaran hepar dengan ukuran 8,59 x 9,25 cm.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini
diagnosis dengan Ikterik ec. Abses Hepar Pyogenik, karena ditemukan ikterus,
anemia, leukositosis sehingga kemungkinan disebabkan infeksi bakteri akut.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan antibiotik sefalosporin generasi ke III
seperti seftriakson dengan dosis 2 gram iv tiap 12 jam dan infus metronidazole 3x500
mg. Tatalaksana lain diberikan obat simtomatik sesuai klinis pasien. Kemudiaan
pasien ini dirujuk untuk dilakukan tindakan drainase abses.
Prognosis pada pasien ini secara hidup dan sembuh adalah baik. Edukasi yang
diberikan kepada pasien dan keluarga adalah (1) menjaga higienitas makan dan
minum (2) menghindari aktivitas berat, (3) tirah baring, (4) mengenali tanda-tanda
gawat (5) mengetahui sedini mungkin sumber-sumber infeksi yang dapat
menyebabkan abses hepar dan diikuti dengan penanganan yang tepat.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Mavilia MG, Molina M, Wu GY, The evolving nature of hepatic abscess: a


review. Journal of Clinical and Translational Hepatology. 2016 Jun 28; 4(2):
158-168.
2. Su YJ, Lai YC, Lin YC, Yeh YH. Treatment and prognosis of pyogenic liver
abscess. International Journal of Emergency Medicine. 2010 Dec; 3(4): 381.
3. Beal E, Black S. Shackelford's Surgery of the Alimentary. Edisi ke-8: Elsevier;
2019. hlm. 1430- 45.
4. Abbas MT, Khan FY, Muhsin SA, Al-Dehwe B, Abukamar M, Elzouki AN.
Epidemiology, clinical features and outcome of liver abscess: a single reference
center experience in Qatar. Oman Medical Journal. 2014 Jul;29(4):260.
5. Davis J, McDonald M. Pyogenic liver abscess. 2018 (diakses 21 April 2019).
Tersedia dari: https://www.uptodate.com/contents/pyogenic-liverabscess.
6. Misdraji J, Masia R. Liver and bile duct infections. Dalam: Kradin RL, editor
(penyunting). Diagnostic pathology of infectious disease: Elsevier Health
Sciences; 2010. hlm. 255.
7. Ayles HM, Bailey SL. Hepatic abscesses and cysts. Dalam: Friedman L, Martin
P, editor (penyunting). Handbook of Liver Disease: Elsevier; 2017. hlm. 395-412.
8. Keith, L.M. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis. Jakarta: Erlangga.
9. Syaifudin. 2016. Ilmu Biomedik Dasar. Jakarta : Salemba Medika.
10. Wenas, Tendean N, Waleleng B.J, Abses hati piogenik. Dalam: Sudoyo, Aru W,
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 40-461.
11. Iida H, Aihara T, Ikuta S, Yamanaka N. Risk of abscess formation after liver
tumor radiofrequency ablation: A review of 8 cases with a history of enterobiliary
anastomosis. Hepatogastroenterology 2014;61:1867 – 1870.
12. Keshav, Satish. Structure and function. In : The Gastrointestinal System at A
Glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-28.
13. Eltawansy SA, Merchant C, Atluri P, Dwivedi S. Multi-organ failure secondary to
a Clostridium perfringens liver abscess following a self-limited episode of acute
gastroenteritis. Am J Case Rep 2015 and 10.12659/AJCR.893046, 16:182 – 186.
14. Kumar D, Ramanathan S, Al Faki A, Nepal P. Faecolith migrating from the
appendix to produce liver abscess after subhepatic laparoscopic appendecttomy.
15. Wang YP, Liu CJ, Chen TJ, Lin YT, Fung CP. Proton pump inhibitor use
significantly increases the risk of cryptogenic liver abscess: a population-based
study. Aliment Pharmacol Ther 2015 and 10.1111/apt.13203, 41:1175 – 1181.
16. Lardière-Deguelte S, Ragot E, Armoun K, Piardi T, Lardière-Deguelte S, Ragot
E, Armoun K, Piardi T, Dokmak S, Bruno O, et al. Hepatic okmak S, Bruno O, et
al. Hepatic abscess: diagnosis and management. J Visc Surg 2015;152:
231 – 243..2015.01.013.
17. Zhu X, Wang S, Jacob R, Fan Z, Zhan Zhu X, Wang S, Jacob R, Fan Z, Zhang F,
and Ji G. A g F, and Ji G. A 10-Year Retrospective Analysis 10-Year
Retrospective Analysis of Clinical Profiles, Laboratory Characteristics and
Management of d Management of Pyogenic Pyogenic Liver Abscesses in a
Chinese Hospital. Gut Liver 2011;5:221 11;5:221-7.
18. Iida H, Aihara T, Ikuta S, Yamanaka N. Risk of abscess formation after liver
tumor radiofrequency ablation: A review of 8 cases with a history of enterobiliary
anastomosis. Hepatogastroenterology 2014;61:1867 – 1870.

35
19. Yu Y, Guo L, Hu C, Chen K. Spectral CT imaging in the differential diagnosis of
necrotic hepatocellular carcinoma and hepatic abscess. Clin Radiol 2014;69:
e517 – e524..2014.08.018.
20. Raifold DS, Liver abscess In: Yamada T, Alpers DH, Kalis AH, et al, eds.
Textbook of gastroenterology 5th Blackwell Publishing Ltd; 2009.
21. Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

36

Anda mungkin juga menyukai