Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA ec HBV

Oleh : dr. Elfani Lisa Alvionita Ifada

Pembimbing : dr Abdul Rohman, Sp.PD

RSUD PROVINSI BANTEN


2019
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................1

BAB 2 LAPORAN KASUS...............................................................................2

BAB 3 DISKUSI KASUS..................................................................................18

BAB 4 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................21

4.1 Sirosis Hepatis......................................................................................... 6

4.1.1 Definisi.............................................................................................. 6

4.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko ............................................................. 6

4.1.3 Patofisiologi...................................................................................... 8

4.1.4 Gambaran Klinis ............................................................................. 9

4.1.5 Diagnosis ........................................................................................ 11

4.1.6 Tatalaksana.................................................................................... 14

4.1.7 Komplikasi ..................................................................................... 20


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 penyebab tersering sirosis hepatis (starr & raines, 2011) ....................... 6
Gambar 2 Terjadinya Komplikasi Gagal Organ Pada Pasien Sirosis Hepatis
(Angeli, Et Al., 2018) ............................................. Error! Bookmark not defined.
Gambar 3 Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis (Lindseth, 2006) ............................ 10
Gambar 4 pemeriksaan fisik yang sering ditemukan pada pasien sirosis hepatis . 12
Gambar 5 Pemeriksaan Laboratorium Pada Kelainan Hati Kronis (Heidelbaugh &
Bruderly, 2006) ..................................................................................................... 13
Gambar 6 Algoritma Diagnosis Sirosis dan Chronic liver faiure (heidelbaugh &
bruderly, 2006) ...................................................................................................... 14
Gambar 7 Upaya Preventif Sirosis Hepatis (Wiegand & Berg, 2013) .................. 15
BAB 1
PENDAHULUAN

Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan


stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini
terjadi akibat adanya nekrosis hepatoselular. Sirosis hati mengakibatkan terjadinya
35.000 kematian setiap tahunnya di Amerika. Di Indonesia data prevalensi sirosis
hepatis belum ada. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar
4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1
tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40% pasien sirosis adalah asimptomatis sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan
pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain (Nurdjanah, 2009) .
Penyebab munculnya sirosis hepatis di negara barat tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia kebanyakan disebabkan akibat hepatitis B atau
C. Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian terakhir memperlihatkan adanya
peranan sel stelata dalam mengatur keseimbangan pembentukan matriks
ekstraselular dan proses degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu yang
berlangsung secara terus menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen.2 Terapi sirosis ditujukan untuk mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi . Walaupun sampai saat ini belum ada
bukti bahwa penyakit sirosis hati reversibel, tetapi dengan kontrol pasien yang
teratur pada fase dini diharapkan dapat memperpanjang status kompensasi dalam
jangka panjang dan mencegah timbulnya komplikasi (Riley, Taheri, & Schreibman,
2009).

1
BAB 2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 39 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kaserang RT002/001 pontang, provinsi Banten
Tanggal Masuk RS : 28 Maret 2019

II. ANAMNESIS (ALOANAMNESIS)

Keluhan Utama : pingsan

Riwayat Penyakit Sekarang:


- Pingsan dialami 4 jam SMRS, sebelumnya pasien merasa lemas dan cepat
lelah saat beraktifitas seperti berjalan menaiki tangga sejak 1 bulan yang lalu.
Pusing dirasakan saat pasien melakukan aktifitas sehari- hari. Kadang-
kadang pasien merasa penglihatan berkunang- kunang sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit.
- Tidak ada riwayat kejang
- Demam sejak 2 hari SMRS, terus menerus sepanjang hari, tidak menggigil,
dan hanya turun dengan obat penurun panas.
- Mata tampak kuning sejak 2 bulan SMRS, warna kuning kehijauan, tidak
disertai gatal pada mata.
- Nafsu makan dirasakan menurun sejak 1 bulan terakhir,
- Penurunan berat badan dalam 2 tahun terakhir , BB awal 82 kg, saat ini 52
Kg
- Mual (-), Muntah darah disangkal, tidak terdapat nyeri ulu hati.
- Buang air kecil warna seperti teh pekat

2
- Buang air besar hitam dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,
frekuensi 3 kali, konsistensi encer, warna hitam seperti aspal, ampas ada,
lendir tidak ada.
- tidak ada riwayat mimisan dan perdarahan gusi

Riwayat Pengobatan:
Pasien dirawat di RSUD Banten tanggal 19 februari-26 februari 2019 dengan
diagnosis SHD ec HBV, pengobatan selama di RS :
 IVFD aminofusin hepar/24 jam:D5% 10 tts/mnt
 Cefotaxim 3 x 1 gr (iv)
 Furosemid 2 x 20 mg (iv)
 Spironolakton 1 x 100mg (po)
 Lactulac 1 x 15 cc (po)
 Curcuma 3 x 1 (po)
 Lesichol 1 x 300 mg (po)
 Ricovir 1 x 300 mg (po)
 Channa 3 x 2 (po)
 Ondansetron / 8 jam (iv)

Riwayat Penyakit Dahulu :


- riwayat hipertensi disangkal,
- riwayat diabetes melitus disangkal,
- riwayat penyakit paru (-),
- riwayat merokok disangkal,
- riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal, riwayat hipertensi,
diabetes melitus, penyakit paru dan jantung pada keluarga pasien disangkal

Riwayat Kebiasaan :
Riwayat konsumsi alkohol disangkal,

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital :
Tekanan Darah 90/40 mmHg (a. Brachialis)
Nadi :113 x/menit reguler dan teraba kuat (a. Radialis)
Pernapasan : 22 x/menit reguler, torakoabdominal
Suhu : 36.5 0C (aksila)
SpO2 : 98 % dengan room air
BB : 52 kg
TB : 160 cm
BMI : 20,3 (normooweight)

Kepala : normocephal.
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+, palpebra
edema (-) pupil bulat isokor 2mm/2mm.
Hidung : epistaksis (-), nafas cuping hidung (-).
Telinga : sekret telinga (-), nyeri tekan prosesus masstoideus (-)
Mulut : bercak darah (-), bibir kering (+) lidah kering (-),
Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), Perdarahan gusi (-)
Leher : trakea ditengah, KGB tidak ada pembesaran,
JVP : 5+2 cm H2O
Thorax :
• Paru
Inspeksi : bentuk dan pergerakan pernapasan simetris, retraksi (-),
spider nevi (-)
Palpasi : Fremitus raba simetris kiri = kanan, nyeri tekan (-)
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI kanan
Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler
• Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba

4
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung
kanan di linea parasternalis dextra, batas jantung kiri
di linea midclavicularis sinistra ICS V, batas
jantung atas ICS II)
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan(-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, caput medusa (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-),
Hepar : tidak tereraba, nyeri tekan (-)
Lien : teraba scuffner 2
Perkusi : Timpani, ascites (-), shifting dullnes (-).
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Ekstremitas
 akral hangat +/+, CRT <2” +/+, cyanosis -/- , edema -/-, Eritem
Palmaris (-), flapping tremor (-).

IV. DIAGNOSIS KERJA


 Koma hipoglikemia
 Sirosis hepatis dekompensata e.c HBV
 Melena e.c susp pecahnya varises esofagus
 Anemia ec perdarahan saluran cerna saluran atas

V. PENATALAKSANAAN AWAL
Terapi :
- Diet hepar II, diet lunak
- IVFD D40% 2 fl kemudian maintenance D10%/12 jam
- Pantau ketat gula darah
- Inj ondansetron /12 jam
- Inj omeprazol / 12 jam
- Inj Vit K / 8 jam
- Inj asam tranexamat / 8 jam
- Sucralfate syr 5 ml/12 jam oral

5
- Transfusi PRC 250 cc
- Klisma/ hari

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


28 maret 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Golongan darah + rhesus
Golongan darah B
Rhessus +/positif
Patologi klinik hematologic
Haemoglobin 3,2 g/dl 12-14
Leukosit 4,5 103/ ul 5 – 10
Hematokrit 8 % 30 – 40
Trombosit 35 103/ul 150 – 500
Eritrosit 0,70 Juta/ul 4–5
Patologi klinik kimia darah
karbohidrat
Glukosa darah sewaktu 65 mg/dl <200

Pemeriksaan laboratorium sebelumnya


Tanggal 18 februari 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Golongan darah + rhesus
Golongan darah B
Rhessus +/positif
Patologi klinik hematologic
Haemoglobin 9,7 g/dl 12-14
Leukosit 2,2 103/ ul 5 – 10
Hematokrit 29 % 30 – 40
Trombosit 45 103/ul 150 – 500
Eritrosit 2,79 Juta/ul 4–5

6
Patotogi klinik kimia darah
fungsi hati
Albumin 1,6 g/dl 3,5-5,5
Bilirubin direk 1,2 mg/dl
Bilirubin indirek 1,6 mg/dl
SGOT 51 /ul 10-37
SGPT 32 /ul 10-37
Bilirubin total 2.8 mg/dl 0,1-1
Patologi klinik kimia darah
karbohidrat
Glukosa darah sewaktu 106 mg/dl <200
Patologi klinik darah elektrolit
Natrium 134 mmol/l 135 – 155
Kalium 4,6 mmol/l 3,6 - 107
Chloride 100 mmol/l 95 – 107
Hepatitis marker
HBsAg rapid/kualitatif Positif Negative
HCV Negative Negative

7
USG whole abdomen (21 februari 2019)

8
Ekspertise USG whole abdomen
Hepar :
Ukuran mengecil, sudut tajam, permukaan tidak rata, tekstur parenkim homogen
halus, kapsul tidak menebal, tidak tampak bayangan nodul/massa, vena porta dan
vena hepatica tidak melebar, tampak koleksi cairan disekitarnya.
Kendung empedu :
Besar normal, dinding normal, tidak tampak batu/sludge
Ductus biliaris intra/ekstrahepatal tidak melebar, tidak tampak bayangan
hiperekhoik dengan accoutic shadow.
Pancreas :
Besar normal, kontur normal, tekstur parenkim homogen, tidak tampak
massa/kalsifikasi. Ductus pankreatikus tidak melebar
Spleen :
Ukuran membesar, tekstur parenkim homogen halus, tidak tampak nodul/massa/
vena lienalis tidak melebar, tampak koleksi cairan disekitarnya.
Ginjal kanan-kiri:
Ukuran normal, kontur normal, parenkim normal, intensitas gema normal, batas
tekstur parenkim dengan central echocomplek normal. Tidak tampak bayangan
hiperekhoik dengan acoustic shadoe. System pelviokalises tidak melebar, ureter
tidak terdeteksi
Vesical urinaria:
Cukup terisi penuh, dinding tidak menebal, regular, tidak tampak bayangan
hiperekoik dengan acoustic shadow/massa/ tampak koleksi cairan disekitarnya
Uterus :
Ukuran normal, tekstur parenkim homogen, tidak tampak massa isoelektrik
Kesan :
- Hepar mengecil irregular dengan splenomegaly dan ascites ec sirosis
hepatis
- USG kandung empedu, pancreas, ginjal kanan/kiri, vesical urinaria
dan uterus saat ini tidak tampak kelainan.

9
Endoskopi (16 april 2019)

Esofagus
- Upper third : normal
- Middle third : VE grade 1
- Lower third : VE grade 1 dan gr 3
Stomach
- Cardia : normal
- Fundus : hyperemic mucosa
- Corpus : hyperemic mucosa
- Antrum : hyperemic mucosa
- Pylorus : hyperemic mucosa

10
Duodenum
- 1st part : normal
- 2nd part : normal
Info tambahan : mukosa hiperemis sedang, dengan snake skin appearence
VE gr 3 jam 12, yang lain grade 1

Kesimpulan : VE grade 1-3


Pan-gastritis sedang berat
Snake skin appearance + dengan bile refluks
Saran : PPI adekuat

11
Follow Up

29-3-2019

S : Masih merasa lemas , BAB hitam (-), BAK dbn, tidak ada muntah, perut terasa
nyeri
O:
KU : sedang; Kes : CM
TD: 130/80 RR: 28 x/i
HR : 98x/i T: 36,5°C
Kepala : normosefal
Mata : CA +/+ SI+/+
Toraks: suara nafas vesikuler ronki -/-, wh -/-, BJ I-II murni regular, bunyi jantung
tambahan (-)
Abdomen: asites (-), BU(+), NT (-)
Extremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, flapping tremor (-), palmar eritem (-)
Pemeriksaan Laboratorium Hasil Satuan Nilai rujukan
Patologi klinik hematologic
Haemoglobin 6,5 g/dl 12-14
Leukosit 2,2 103/ ul 5 – 10
Hematokrit 19 % 30 – 40
Trombosit 23 103/ul 150 – 500
Eritrosit 1,82 Juta/ul 4–5
A:
- Hipoglikemia (perbaikan)
- Sirosis hepatis dekompensata e.c HBV
- Melena e.c susp pecahnya varises esofagus
- Anemia ec perdarahan saluran cerna saluran atas
P:
 Diet hepar II, diet lunak
 IVFD aminofusin hepar/24 jam
 Inj ondansetron /12 jam
 Inj omeprazol 2x40mg

12
 Inj VIT K 3 x 1
 Inj asam tranexamat 3 x 1
 Lactulac syr 2 x 15 cc (po)
 Transfusi PRC 250 ml
 Klisma/ hari

30-3-2019
S : Lemas sudah mulai berkurang, BAB hitam (-), BAK dbn, Nyeri perut berkurang
O:
KU : sedang HR : 80x/i
Kes : CM RR: 20 x/i
TD: 90/60 mmhg T: 36,7°C
Kepala : normosefal
Mata : CA +/+ SI+/+
Toraks: suara nafas vesikuler ronki -/-, wh -/-, BJ I-II murni regular, bunyi jantung
tambahan (-)
Abdomen: asites (-), BU(+), NT (-)
Extremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, flapping tremor (-), palmar eritem (-)
Pemeriksaan Laboratorium Hasil Satuan Nilai rujukan
Patologi klinik hematologic
Haemoglobin 7,3 g/dl 12-14
Leukosit 2,1 103/ ul 5 – 10
Hematokrit 21 % 30 – 40
Trombosit 24 103/ul 150 – 500
Eritrosit 2,12 Juta/ul 4–5
Patologi klinik hemostasis
APTT 48,8 Detik 27,9 - 37,7
PT/INR 16,1 9,2 – 12,4
A:
- Hipoglikemia (perbaikan)
- Sirosis hepatis dekompensata e.c HBV
- Melena e.c susp pecahnya varises esofagus

2
- Anemia ec perdarahan saluran cerna saluran atas
P:
 Diet hepar II, diet lunak
 IVFD aminofusin hepar/24 jam
 Inj ondansetron /12 jam
 Inj omeprazol / 12 jam
 Inj Vit K / 8 jam
 Inj asam tranexamat / 8 jam
 Klisma/ hari
 Transfuse FFP 4 bag
 Cek H2TL post transfusi, PT, APTT
 Klisma/ hari

31-3 2019
S : Lemas berkurang, belum BAB 2 hari, pusing (+)
O:
KU : sedang HR : 88x/i
Kes : CM RR: 20 x/i
TD: 100/60 T: 37,2°C
Kepala : normosefal
Mata : CA +/+ SI+/+
Toraks: suara nafas vesikuler ronki -/-, wh -/-, BJ I-II murni regular, bunyi jantung
tambahan (-)
Abdomen: asites (-), BU(+), NT (-)
Extremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, flapping tremor (-), palmar eritem (-)
A:
- Hipoglikemia (perbaikan)
- Sirosis hepatis dekompensata e.c HBV
- Melena e.c susp pecahnya varises esofagus
- Anemia ec perdarahan saluran cerna saluran atas
P:
 Diet hepar II, diet lunak

2
 IVFD aminofusin hepar/24 jam
 Inj ondansetron /12 jam
 Inj omeprazol / 12 jam
 Inj Vit K / 8 jam
 Inj asam tranexamat / 8 jam
 Lactulac 2 x 15 ml (po)
 Bicnat 1 x 300 mg (po)
 Ricovir 1 x 300 mg
 Klisma/ hari

1-4-2019
S : masih merasa lemas, nyeri perut berkurang, nyeri kepala (+), penglihatan
kadang buram,mual (+), muntah (-)
O:
KU : sedang HR : 88x/i
Kes : CM RR: 20 x/i
TD: 100/70 T: 36.5 0C

Kepala : normosefal
Mata : CA +/+ SI+/+
Toraks: suara nafas vesikuler ronki -/-, wh -/-, BJ I-II murni regular, bunyi jantung
tambahan (-)
Abdomen: asites (-), BU(+), NT (-)
Extremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, flapping tremor (-), palmar eritem (-)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Patologi klinik hematologic
Haemoglobin 6,1 g/dl 12-14
Leukosit 1,5 103/ ul 5 – 10
Hematokrit 18 % 30 – 40
Trombosit 13 103/ul 150 – 500
Eritrosit 1,79 Juta/ul 4–5

2
Patologi klinik hemostasis
APTT 45,5 Detik 27,9 - 37,7
PT/INR 14,8 9,2 – 12,4

A:
- Hipoglikemia (perbaikan)
- Sirosis hepatis dekompensata e.c HBV
- Melena e.c susp pecahnya varises esofagus
- Anemia ec perdarahan saluran cerna saluran atas
P:
Diet hepar II, diet lunak
 IVFD aminofusin hepar/24 jam
 Inj ondansetron /12 jam
 Inj omeprazol / 12 jam
 Inj Vit K / 8 jam
 Inj asam tranexamat / 8 jam
 Lactulac 2 x 15 ml (po)
 Bicnat 1 x 300 mg (po)
 Ricovir 1 x 300 mg
 Transfusi PRC 2 bag
 Klisma / hari

2-4-2019
S :Lemas (-), BAB (+) 2 kali, BAK (+), Muntah (-). Nyeri perut (-), Pusing (-),
Keluhan (-)
O:
KU : sedang HR : 98x/i
Kes : CM RR: 20 x/i
TD: 100/70 T : 36,7 0C

Kepala : normosefal
Mata : CA +/+ SI+/+

2
Toraks: suara nafas vesikuler ronki -/-, wh -/-, BJ I-II murni regular, bunyi jantung
tambahan (-)
Abdomen: asites (-), BU(+), NT (-)
Extremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, flapping tremor (-), palmar eritem (-)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Patologi klinik hematologic
Haemoglobin 10,3 g/dl 12-14
Leukosit 2,5 103/ ul 5 – 10
Hematokrit 30 % 30 – 40
Trombosit 19 103/ul 150 – 500
Eritrosit 3.06 Juta/ul 4–5

A:
- Hipoglikemia (perbaikan)
- Sirosis hepatis dekompensata e.c HBV
- Melena e.c susp pecahnya varises esofagus
- Anemia ec perdarahan saluran cerna saluran atas
P : pasien boleh pulang

VII. RESUME
Pasien datang ke IGD dengan keluhan Pingsan 4 jam SMRS, pasien
merasa lemas dan cepat lelah saat beraktifitas seperti berjalan menaiki tangga
sejak 1 bulan yang lalu. Pusing dirasakan saat pasien beraktifitas sehari- hari.
Kadang- kadang pasien merasa penglihatan berkunang- kunang sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Mata tampak kuning sejak 2 bulan SMRS, Buang
air besar hitam dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 3 kali,
konsistensi encer, warna hitam seperti kopi, ampas ada, lendir tidak ada. Demam
sejak 2 hari SMRS, sepanjang hari, tidak menggigil, dan turun dengan obat
penurun panas. Nafsu makan dirasakan menurun, dan terdapat Penurunan berat
badan.
Pada pemeriksaan keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran komposmentis kooperatif. Tanda vital tekanan Darah 90/40 mmHg,

2
nadi 113 x/menit reguler dan teraba kuat angkat, frekuensi pernapasan 20
x/menit reguler, suhu 36.5 0C dan BMI 25,39 kg/m2 dengan kesan normoweight.
Pada pemeriksaan USG whole abdomen didapatkan kesan Hepar
mengecil irregular dengan splenomegaly dan ascites ec sirosis hepatis.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Haemoglobin 3,2 g/dl , Leukosit
4,500 /ul, Hematokrit 8%, Trombosit 35.000/ul, Eritrosit 0,70 juta/ul,
GDS 65 mg/dl. Dan pemeriksaan HBsAg rapid didapatkan hasil positif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien
tersebut didiagnosis dengan koma hipoglikemia + melena e.c susp pecahnya
varises esofagus + Sirosis hepatis dekompensata + Anemia ec perdarahan
saluran cerna bagian atas.

VIII. TATALAKSANA
1. Diet hepar II, diet lunak
2. IVFD aminofluid 12 jam
3. Inj omeprazol 2x40mg
4. Inj VIT K 3 x 1
5. Inj asam tranexamat 3 x 1
6. Sucralfate syr 5 ml 2 x1(Po)
7. Lactulac syr 2 x 15 cc (po)
8. Bicnat 1 x 300 mg (po)
9. Ricovir 1 x 300 mg
10. Klisma/ hari

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

2
BAB 3
DISKUSI KASUS
Pada kasus ini, Ny. N seorang wanita berusia 39 tahun datang ke IGD
RSUD Banten diantar oleh keluarga dengan keluhan utama pingsan 4 jam SMRS.
Anamnesis dilakukan secara aloanamnesis, didapatkan Pingsan 4 jam
SMRS, pasien merasa lemas dan cepat lelah saat beraktifitas seperti berjalan
menaiki tangga sejak 1 bulan yang lalu. Pusing dirasakan saat pasien beraktifitas
sehari- hari. Kadang- kadang pasien merasa penglihatan berkunang- kunang sejak
2 hari sebelum masuk rumah sakit. Mata tampak kuning sejak 2 bulan SMRS,
Buang air besar hitam dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 3
kali, konsistensi encer, warna hitam seperti kopi, ampas ada, lendir tidak ada.
Demam sejak 2 hari SMRS, sepanjang hari, tidak menggigil, dan turun dengan obat
penurun panas. Nafsu makan dirasakan menurun, dan terdapat Penurunan berat
badan. Riwayat konsumsi alkohol disangkal. Pasien pernah dirawat di RSUD
Banten tanggal 19 februari-26 februari 2019 dengan diagnosis SHD ec HBV,
pengobatan selama di RS IVFD aminofusin hepar/24 jam:D5% 10 tts/mnt,
Cefotaxim 3 x 1 gr (iv), Furosemid 2 x 20 mg (iv), Spironolakton 1 x 100mg (po),
Lactulac 1 x 15 cc (po), Curcuma 3 x 1 (po), Lesichol 1 x 300 mg (po), Ricovir 1 x
300 mg (po), Channa 3 x 2 (po), Ondansetron / 8 jam (iv).
Pasien dengan sirosis hepatis kompensata dapat memunculkan keluhan non
spesifik seperti anoreksia, penurunan berat badan atau mudah lelah, ketika sudah
berkembang pada fase dekompensata, pasien dapat mengeluhkan kuning, pruritus,
dan tanda-tanda perdarahan saluran serna, distensi abdomen (asites), atau
penurunan kesadaran hingga hepatic ensefalopati (Suva, 2014). Ikterus terjadi
sedikitnya pada 60% penderita selama perjalanan penyakitnya dan biasanya hanya
minimal (Lindseth, 2006).

Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : Compos Mentis, tampak sakit sedang
- Tanda Vital :
Tekanan Darah :90/40 mmHg (a. Brachialis), Nadi: 113 x/menit
reguler dan teraba kuat (a. Radialis), RR: 22 x/menit, reguler

3
Mata : mata cekung -/-, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik
+/+ palpebra edema (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, caput medusa (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba, nyeri tekan (-)
Lien : teraba scuffner 2
Ikterus terjadi selama fase dekompensasi disertai dengan gangguan reversible
pada hati, splenomegali pada sirosis terjadi karenga kongesti pasif kronis akibat
aliran balik dan tekanan darah yang tinggi pada bena lienalis (Lindseth, 2006).

Pemeriksaan penunjang
Pada pasien dari hasil laboratorium didapatkan :
Hb: 3,2 g/dL, Leukosit 4,500 /μL, Ht 8% trombosit 35x103 /μL, eritrosit
0,70x106 /μL, HBsAg rapid/ kualitatif positif. Dari hasil USG whole abdomen
ditemukan Hepar mengecil irregular dengan splenomegaly dan ascites ec sirosis
hepatis. pada pemeriksaan endoskopi ditemukanVE grade 1-3, Pan-gastritis
sedang berat, snake skin appearance + dengan bile refluks.
Gangguan hematologic yang sering terjadi adalah kecendrungan
perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Anemia, Leukopenia, dan
trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya
membesar tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi.
Mekanisme lain yang dapat menimbulkan anemia adalah defisiensi folat, vitamin
B12 dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan
hemolisis eritrosit (Lindseth, 2006). virus hepatitis B merupakan penyebab utama
sirosis hepatis didunia, virus Hepatitis B dapat menyebabkan inflamasi hati dan
kerusakan yang dapat berkembang menjadi sirosis hepatis pada beberapa dekade
(Center for Integrated Healthcare, 2013)
tatalaksana
Inj asam tranexamat 3 x 500 mg (iv)
Ricovir tab 1 x 300 mg (po)
Propanolol 2 x 10 mg (po)

4
Curcuma tab 3 x 200 mg (po)
Spironolakton 1 x 100 mg (po)
Omeprazol 2 x 20 mg (iv)
Ondansetron 3 x 8 mg (iv)
Lactulac syr 2 x 1 cth (po)
Transfusi PRC 500 cc
Transfusi TC 12 unit
Pasien yang baru dikenal dengan asites stadium 2 dapat diberikan obat anti-
mineralokortikoid (spironolakton, canrenone atau K-canrenoat) secara tunggal,
dimuai pada 100 mg/ hari dinaikkan bertahap setiap 72 jam (100 mg) hingga
maksimal 400 mg/hari jika tidak ada respon pada dosis terendah (angeli, et al.,
2018).
Nen-selektif beta bloker dan ligase endoskopi varises dapat menurunkan
risiko perdarahan varises dan meningkatkan angka ketahanan hidup (Harrison,
2015). Pada pasien dengan HBsAg positif fengan sirosis hepatis dekompensata
dapat ditatalaksana dengan antiviral, entecavir dan tenofovir merupakan obat utama
(terrault, et al., 2016). Entecavir dan tonofovir digunakan sebagai obat lini pertama
karena potensisnya sebagai antiviral dan berisiko rendah terhadat terjadinya
resistensi obat. Tenofovir dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
ginjal,disfungsi tubulus renalis dan menurunkan densitas tulang (Lok, et al., 2016).
Transfusi darah dilakukan pada pasien dengan haemoglobin <7 g/dl dan target 7-9
g/dl (angeli, et al., 2018).

5
BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Sirosis Hepatis


4.1.1 Definisi
Hati adalah organ internal terbesar pada tubuh, dengan fungsi yang sangat
kompleks (Center for Integrated Healthcare, 2013). Hati berperan dalam
metabolisme asam amino, karbohidrat, lipid dan vitamin, kolesterol dan toxin,
menghasilkan factor pembekuan dan menyimpan glikogen (heidelbaugh &
bruderly, 2006).
Pada sirosis hepatis, jaringan normal akan berubah menjadi skar, sehingga akan
menghambat fungsi organ hati (Center for Integrated Healthcare, 2013). Sirosis
hepatis adalah stadium akhir dari penyakit kronik hati dengan progresifitas yang
lambat (wiegand & berg, 2013). Sirosis merupakan penyebab kematian ke 12 di
Amerika Serikat dan merupakan faktor risiko utama terjadinya hepatoselular
karsinoma (starr & raines, 2011).

4.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab tersering sirosis hepatis di jerman adalah alkoholik dan non
alkoholis sirosis serta infeksi virus hepatitis (B dan C). pada penemuan hasil
autopsy didapatkan 70% orang dengan overweight menderita fatty liver dan 35%
ditemukan pada orang dengan normoweight. (wiegand & berg, 2013).

Gambar 1 penyebab tersering sirosis hepatis (starr & raines, 2011)

6
alcoholic liver disease : pada sebagian besar orang dengan sirosis berhubungan erat
dengan penggunaan alcohol dalam jangka Panjang, tetapi faktanya alkohol bukan
satu-satunya penyebab sirosis. Sirosis alkoholik biasanya berkembang setelah
beberapa dekade konsumsi alcohol. Pada wanita, konsumsi 2-3 gelas alcohol
perhari dapat dihubungkan dengan sirosis dan pada laki-laki, konsumsi 3-4 gelas
perhari dapat dihubungkan dengan sirosis hepatis alkoholik. Alkohol dapat
merusak hati dengan menghambat metabolisme protein, lemak dan karbohidrat.

Hepatitis C kronik : virus hepatitis C dan penggunaan alcohol merupakan


penyebab utama pada chronic liver disease dan sirosis hepatis di Amerika Serikat.
Infeksi virus dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan ringan pada hati yang
kemudian dalam beberapa dekade dapat berkem.bang menjadi sirosis hepatis.
Hepatitis B dan D kronik : virus hepatitis B merupakan penyebab utama sirosis
hepatis didunia, tetapi sdjarang di Amerika Serikat dan negara barat. Seperti
hepatitis C, virus Hepatitis B dapat menyebabkan inflamasi hati dan kerusakan yang
dapat berkembang menjadi sirosis hepatis pada beberapa dekade. Hepatitis D
merupakan virus lain yang juga dapat menginfeksi hati, namun hanya pada orang
yang telah memiliki hepatitis B.
Hepatitis autoimun: kelainan ini dapat disebabkan oleh gangguan system imun
pada hati yang disebabkan oleh inflamasi, kerusakan dan paling sering disebabkan
skar dan sirosis.
Kelainan bawaan : defisiensi alfa-1 antitripsin, hemokromatosis, Wilson disease,
galaktosemia, dan kelainan penyimpanan glikogen merupakan kelainan bawaan
yang dapat berhubungan dengan produksi hati, proses metabolisme dan
penyimpanan ensim, protein, besi dan substansi lain yang dibutuhkan tubuh untuk
menjalakan fungsinya.
Nonalcoholic steatohepatitis (NASH) : pada NASH, lemak tumbuh didalam hati
dan sering menimbulkan jaringan skar. Hepatitis tipe ini dapat berhubungan dengan
diabetes, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri coroner, dan pengobatan
dengan kortikosteroid.
Obat-obatan, toxin dan infeksi: reaksi berat dari obat-obatan, pajanan toxin dari
longkunan dalam jangka waktu yang panjang, infeksi parasite skistosomiasis, dan

7
gagal jantung berulang dengaan kongesti hati dapat berkembang menjadi sirosis
(Center for Integrated Healthcare, 2013).
4.1.3 Patofisiologi
Chronic liver disease berhubungan dengan kematian sel hepatosit akibat
inflamasi yang kemudian diikuti dengan fibrosis hati, ditandai dengan peningkatan
kadar serum transaminase. Karena sel hepatosit mati, hati kehilangan kemampuan
untuk memetabolisme bilirubin (pada akhirnya akan meningkatkan kadar bilirubin
serum) dan untuk mensintesis protein seperti faktor pembekuan darah (wiegand &
berg, 2013). Fibrosis dipicu oleh aktifasi sel stellata dan sel kupfer, merusak sel
hepatosit dan mengaktifasi platelet. Sel stellata diaktivasi oleh banyak sitokin dan
reseptor. Pada stadiuam awal aktivasi, sel stelata yang membengkak kehilangan
retinoit yang mengatur reseptor untuk fibrogenik dan citokins proliferasi seperti
transforming growth factor β1 (TGF- β1) dan PDGF (Suva, 2014).

Secara makroslopis, pada stadium awal terjadi pembesaran hati dengan


progresifitas yang lambat. Permukaan hati menjadi iregular dengan permukaan
yang keras dan warna kuning yang berhubungan dengan steatosis. Terdapat 3
tipemakroskopik yang berhubungan dengan ukuran modul : mikronodular,
makronodular dan mixed sirosis. Pada mikronodular, perkembangan ukuran nodul
kurang dari 3 mm. Pada makronodular sirosis, ukuran nodul lebih dari 3 mm. Mixed
nodular memiliki nodul dengan berbagai ukuran (Suva, 2014).

Perubahan dari sirosis hepatis kompensata menjadi sirosis hepatis


dekompensata terjadi sekitar 5-7% setiap tahunnya. Ketika sirosis hepatis
dekompensata telah terjadi, sirosis menjadi gangguan sistemik dengan disfungsi
multi-organ. Pada stadium ini, pasien menjadi rentan terhadap infeksi karena
disfungsi imunitas, yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
sirosis hepatis dekompensata (angeli, et al., 2018).
Gambaran klinis pada sirosis hepatis dekompensata adalah akibat dari
gangguan hemodinamik, sindrom hiperdinamik sirkulasi, vasodilatasi arteri perifer
yang akan memperngaruhi sirkulasi daerah splanknik. Vasodilatasi tersebut
menyebabkan tidak adekuatnya volume darah, kemudian mengakibatkan
hipoperfusi jaringan dan akhirnya menyebabkan gangguan ginjal. Penurunan

8
volume darah akan mengaktivasi system renin-angiotensin-aldosteron (RAAS),
system saraf simpatis dan sekresi arginin-vasopressin. Sehingga terjadi retensi
natrium dan air yang menyebabkan asites dan hepatorenal syndrome (HRS), selain
itu dapat juga terjadi hepato-pulmonary syndrome (HPS), rentan terjadi syok dan
penurunan respon fisiologis dan farmakologis kardiovaskular terhadap stimulus
vasokonstriktor yang kemudian dapat mengakibatkan disfungsi kardiak hingga
cirrhotic cardiomyopathy (CCM) (angeli, et al., 2018).
Pasien dengan sirosis hepatis harus dilakukan skriningg hepatocellular
carcinoma setiap 12 bulan menggunakan pencitraan (CT-Scan atau USG hepar),
dengan atau tanpa pemeriksaan serum α-fetoprotein (wiegand & berg, 2013).

4.1.4 Gambaran Klinis


Gejala klinis dini biasanya bersifat nonspesifik meliputi kelelahan,
anoreksia, dyspepsia, flatulen, perubahan kebiasaan defekasi (konstipasi atau
diare), dan berat badan sedikit berkurang. Mual muntah sering terjadi terutama pada
pagi hari. Pasien juga dapat mengeluhkan sensasi nyeri perut pada kuadran kanan
atas abdomen pada sekitar separuh penderita sirosis. Manifestasi utama dan
lanjutan dari sirosis hepatis terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis : gagal sel
hati dan hipertensi porta (Lindseth, 2006).
Manifestasi gagal hepatoseluler
Ikterus terjadi sedikitnya pada 60% penderita selama perjalanan
penyakitnya dan biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih
sering terjadi. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis, hormone korteks
adrenal, testis dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati normal. Spider
navi, atrofi testis, ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta palmar eritem
diduga disebabkan karena kelebihan estrogen dalam sirkulasi. Peningkatan
pigmentasi kulit diduga disebabkan peningkatan aktivitas hormone perangsang
melanosit (melanocyte-stimulating hormone, MSH) yang bekerja secara
berlebihan.
Gangguan hematologic yang sering terjadi adalah kecendrungan
perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Anemia, Leukopenia, dan
trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya

9
membesar tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi.
Mekanisme lain yang dapat menimbulkan anemia adalah defisiensi folat, vitamin
B12 dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan
hemolisis eritrosit (Lindseth, 2006).

Gambar 2 Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis (Lindseth, 2006)


Manifestasi Hipertensi Porta
Asites merupakan penimbunan cairan intra peritoneal yang mengandung
sedikit protein. Faktor utama pathogenesis terjadinya asites adalah peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi porta) dan penurunan tekanan
osmotic koloid akibat hypoalbuminemia. Faktor lain yang berperan adalah retensi

10
natrium dan air serta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati. Varises esofagus
muncul pada sekitar 70% penderita sirosis lanjut. Sirkulasi kolateral juga
melibatkan vena superfisial dinding abdomen sehingga menimbulkan dilatasi vena-
vena sekitar umbilicus (kaput medusa) dan system vena rektal membantu
dekompensasi tekanan porta menyebabkan munculnya hemoroid interna.
Splenomegali diakibatkan kongesti pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan
darah yang lebih tinggi pada vena lienalis (Lindseth, 2006).
4.1.5 Diagnosis
Anamnesis
Sirosis sering tanpa gejala hingga stadium dekompensasi. Beberapa faktor
risiko yang dapat menjadi predisposisi terjadinya sirosis adalah durasi
konsumsi alkohol, selain itu kemungkinan transmisi hepattis B dan C seperti
riwayat transfusi dan riwayat kelainan autoimun pada dirinya dan keluarga
atau kelainan hepatik lainnya. Pada sirosis hepatis kompensata dapat
memunculkan gejala anoreksia, penurunan berat badan, mudah lelah dan
osteoporosis. Pada sirosis hepatis dekompensata sering mengeluhkan
kuning pada mata dan kulit, pruritus dan perdarahan saluran cerna.
(heidelbaugh & bruderly, 2006).
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan sirosis memiliki banyak sekali
temuan yang dapat dibedakan menjadi pemeriksaan hepatik atau
gastrointestinal. banyak pasien dengan sirosis berat ditemukan asites pada
pemeriksaan fisik (heidelbaugh & bruderly, 2006).

11
Gambar 3 pemeriksaan fisik yang sering ditemukan pada pasien sirosis hepatis

Pemeriksaan laboratorium
Bilirubin serum dapat normal pada sirosis hepatis kompensata, dapa
meningkat sesuai progresifitas sirosis. Kadar Aspartate aminotransferase (AST)
dan Alanin Aminotransferase (ALT) dapat meningkat pada sirosis, jika keduanya
normal sirosis hepatis belum dapat disingkirkan (Verhelst, Geerts, & Vlierberge,
Cirrhois : Reviewing the Literature and Future Perspectives, 2016). Penurunan
kadar albumin kurang dari 28 g/l, peningkatan kreatinin serum lebih dari 130 μmol/l
dan PT yang memanjang (Suva, 2014).

12
Gambar 4 Pemeriksaan Laboratorium Pada Kelainan Hati Kronis (Heidelbaugh &
Bruderly, 2006)

Pemeriksaan radiologi
Ultrasonografi menilai perubahan ukuran, bentuk dari hati dan menemukan
hepatocelular carcinoma. Pemeriksaan CT Scan penting untuk menilai
hepatoselular carcinoma, endoskopi dapat dilakukan untuk mendeteksi dan
menatalksana hipertensi porta dan varises. MRI dilakukan untuk menilai tumor
jinak (hemangioma) (Suva, 2014).

13
Gambar 5 Algoritma Diagnosis Sirosis dan Chronic liver faiure (heidelbaugh & bruderly,
2006)

4.1.6 Tatalaksana
Penanganan pasien pada stadium awal menjadi sangat penting, karena
chonic liver failure berkembang lambat dan dengan diagnosis dan tatalaksana tepat
dapat mencegah terjadinya sirosis dan hepatoselular karsinoma. Pengobatan
penyakit utama dapat menghambat perkembangannya menjadi sirosis hepatis
(antiviral untuk hepatitis B atau C, supresi imun pada hepatitis autoimun,
pengobatan kelebihan besi pada hemokromatosis dan kelebihan tembaga pada
wilson disease). Pada beberapa kasus penyebab sirosis berhubungan erat dengan
prognosis (wiegand & berg, 2013).

14
Gambar 6 Upaya Preventif Sirosis Hepatis (Wiegand & Berg, 2013)

Mengobati etiologi sirosis hepatis dekompensata


Menghilangkan faktor penyebab kerusakan hati merupakan point penting
pada penanganan sirosis. Metode ini sangat efektif dalam mencegah terjadinya
sirosis dekompensata. Meskipun, hasil pada pasien dengan sirosis dekompensata
kurang efektif dan tergantung banyak faktor. Pada pasien sirosis alkoholik
dekompensata harus menghindari konsumsi alcohol, yang sangat berhubungan
dengan progresifitas sirosis dan prognosis pasien tersebut, dengan menghindari
konsumsi alcohol diharapkan progresifitas dapat berkurang. Pada pasien dengan
infeksi HBV, pengobatan antiviral dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan
pada beberapa pasien, tetapi tidak semua pasien (angeli, et al., 2018).
Pada pasien dengan HBsAg positif fengan sirosis hepatis dekompensata
dapat ditatalaksana dengan antiviral, entecavir dan tenofovir merupakan obat utama
(terrault, et al., 2016). Entecavir dan tonofovir digunakan sebagai obat lini pertama
karena potensisnya sebagai antiviral dan berisiko rendah terhadat terjadinya
resistensi obat. Tenofovir dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
ginjal,disfungsi tubulus renalis dan menurunkan densitas tulang (Lok, et al., 2016).
Menargentkan pada kunci proses patogenik untuk mencegah progresifitas
sirosis
Penggunaan rifaximin menunjukan penurunan risiko perkembangan
komplikasi sirosis seperti ensefalopati hepatis. Selain itu pengobatan dengan

15
norfloxacin juga menurunkan risiko SBP (spontaneous bacterial peritonitis) dan
HRS (hepatorenal syndrome). Untuk efektifitas sirkulasi dan fungsi ginjal dengan
penggunaan jangka Panjang albumin pada pasien dengan sirosis hepatis
sdekompensata masih menjadi perdebatan, perbedaan dosis albumin juga masih
menjadi kendala. Pada penelitian lain menemukan hasil yang menarik, dengan
penggunaan statin dapat mengurangi terjadinya hipertensi porta dan meningkatan
ketahanan hidup pasien dengan sirosis hepatis stadium lanjut. Penggunaan
propranolol tidak hanya efektif pada hipertensi porta yang mengakibatkan
perdarahan varises tetapi juga menurunkan risiko komplikasi sirosis yang
berhubungan dengan sirosis seperti asites, HRS, SBP dan ensefalopati hepatis
(angeli, et al., 2018).
Penatalaksanaan pada komplikasi sirosis hepatis dekompensata
- Asites
Stadium Penatalaksanaan
asites
Stadium 1  Belum membutuhkan perawatan di RS.
 Membatasi konsumsi natrium
Stadium 2  Belum membutuhkan perawatan di RS.
 Membatasi konsumsi natrium : dapat
mengurangi asites pada 10% pasien. Pembatasan
natrium yang terlalu ketat (<40 mmol/hari) dapat
berkembang menjadi hyponatremia dan gagal
ginjal. Pembatasan konsumsi natrium berkisar
80-120 mmol/hari.
 Diuretik :
- Pasien yang baru dikenal dengan asites stadium 2
dapat diberikan obat anti-mineralokortikoid
(spironolakton, canrenone atau K-canrenoat) secara
tunggal, dimuai pada 100 mg/ hari dinaikkan bertahap
setiap 72 jam (100 mg) hingga maksimal 400 mg/hari
jika tidak ada respon pada dosis terendah.

16
- Pada pasien yang tidak berespon dengan anti-
mineralokortikoid, diketahui dengan penurunan berat
badan kurang dari 2 kg/hari, atau pada pasien yang
berkembang menjadi hiperkalemia, furosemide dapat
diberikan dengan menaikkan dosis perlahan dimulai
dari 40 mg/hari hingga maksimal 140 mg/hari.
- Pasien dengan asites berulang dapat ditatalaksana
dengan kombinasi anti-mineralokortikoid dan
furosemide, dengan dosis dinaikkan perlahan hingga
mendapat respon positif.
- Torasemid dapat diberikan pada pasien yang memiliki
respon lemah terhadap furosemide
- Ketika pengobatan diuretik penurunan berat badan
maksimal adalah 0.5 kg/hari pada pasien tanpa udem
dan 1 kg/hari pada pasien dengan udem.
- Ketika asites sudah mengalami perbaikan, diuretik
diturunkan hingga dosis efektif terendah.
- Pada pasien dengan gejala perdarahan saluran cerna,
gangguan ginjal, ensefalopati hepatic, hyponatremia
atau perunahan konsentrasi kalium, kelainan ini harus
dikoreksi sebelum penggunaan diuretik dimulai.
- Diuretik dihentikan jika ditemukan hyponatremia
berat (konsentrasi natrium serum <125 mmol/L),
AKI, tanda-tanda ensefalopati hepatic, atau
munculnya kram otot.
- Furosemide dihentikan pada hipokalemia berat (<3
mmol/L), anti-mineralokortikoid dihentikan pada
hiperkalemia berat (>6 mmil/L)
- Penggunaan albumin infus atau baclofen(10 mg/ hari)
dengan peningkatan 10 mg/hari hingga 30 mg perhari
direkomdasikan pada pasien kram otot.

17
Stadium 3  Parasentesis dalam volume besar adalah terapi
lini pertama pada pasien dengan asites yang
besar, yang akan berkurang dalam jumlah besar
dalam sekali terapi.
 Pada pasien dengan parasentesis lebih dari 5 liter
cairan asites, volume plasma yang hilalng harus
diganti dengan memberi cairan albumin (8g/L
cairan asites yang dibuang).
 Pada pasien dengan parasentesis kurang dari 5
liter cairan asites, kemungkinan terjadinya post
parasentesis sirculatory disfunction sangat kecil.
 Setelah dilakukan parasentesis dalam jumlah
yang besar, pasien harus tetap menerima diuretik
dalam dosis minimal untuk mencegah terjadinya
asites kembali.

Tabel 1 tatalaksanan asites (angeli, et al., 2018)

- Perdarahan saluran cerna akut (angeli, et al., 2018)


 Penggantian volume harus segera dilakukan untuk menjaga
hemodinamik tetap stabil. Dengan menggunakan koloid dan atau
kristaloid.
 Transfusi darah dilakukan pada pasien dengan haemoglobin <7
g/dl dan target 7-9 g/dl.
 Antibiotic profilaksis direkomendasikan pada pasien perdarahan
saluran cerna untuk mengurangi insidens infeksi dan
meningkatan angka ketahanan hidup. Ceftriaxone 1g/ 24 jam
merupakan pilihan pertama pada pasien dengan sirosis hepatis
dekompensata, jika tidak tersedia quinolone oral (norfloxacin
400 mg / 12 jam) dapat diberikan pada beberapa pasien.
 Pengobatan dengan vasoaktif dimulai segera jika dicurigai
terjadinya perdarahan varises dan dilakukan sebelum endoskopi.

18
Terlipressin, somatostatin atau ocreotide merupakan pilihan
terapi yang dapat diberikan. Pada pasien dengan perdarahan
varises pegobatan dapat dilakukan 3-5 hari.
 Gastroskopi dilakukan sebelum 12 jam, untuk melihat penyebab
perdarahan dan untuk melakukan terapi endoskopik.
 Ketika perdarahan akut varises ditemukan pada saat endoskopi,
ligasi varises dapat segera dilakukan.
 Beta bloker dan vasodilator tidak boleh digunakan saat
perdarahan akut.

Gambar 1 algoritma tatalaksana perdarahan saluran cerna akut pada pasien dengan
sirosis hepatis dekompensata

Transplantasi hati
Pasien dengan tanda-tanda sirosis hepatis dekompensata dapat dipersiapkan
untuk dilakukan transplantasi hati. Dengan teknik operasi, penerimaan organ yang
baik dan imunosupresan dapat mempengaruhi hasil post operasi. Pada awal tahun
1980, presentase ketahanan hidup pasien 1 dan 5 tahun setelah transplantasi hati
70% dan 15%. Sekarang pasien dengan 1 tahun survival rate setelah transplantasi
hati 85-90% dan 5 tahun post-transplantasi hati lebih dari 70% (Suva, 2014).

19
4.1.7 Komplikasi
Kehilangan fungsi hati dapat berdampak pada tubuh. Beberapa masalah atau
komplikasi yang dapat muncul diakibatkan oleh sirosis diantaranya (Center for
Integrated Healthcare, 2013):
Edema dan asites : ketika hati kehilangan kemampuan untuk memetabolisme
protein, albumin akan berkurang, penumpukan cairan pada kaki (edema) dan perut
(Asites).
Perdarahan : ketika fungsi hati terganggu dalam menghasilkan protein untuk
faktor pembekuan darah, data mengakibatkan mudah terjadi perdarahan dan
memar, palmar dapat menjadi terlihat merah (palmar eritem).
Ikterik : ikterik dapat terlihat pada kulit dan sklera ketika hati gagal mengabsorbsi
bilirubin.
Hipertensi portal : normalnya, darah dari usus halus dan limpa akan menuju hati
melalui vena porta. Tetapi sirosis meningkatkan tekanan pada vena porta, keadaan
ini disebut hipertensi porta
Varises : ketika aliran darah menuju venaporta menurun, aliran darah dari intestinal
dan limpa akan kembali ke pembuluh darah lambung dan esofagus. Pembuluh darah
ini dapat membesar karena ketidak mampuan menampung banyaknya darah.
Pembesaran pembuluh darah ini disebut varises, yang memiliki dinding tipis dan
tekanan yang tinggi dan pembuluh darah ini mudah pecah. Jika pembuluh darah ini
pecah, dapat menimbulkan perdarahan yang serius pada esofagus atau bagian atas
lambung.
Hepatoseluler karsinoma : keganasan hati yang paling sering disebabkan oleh
sirosis, ini meningkatkan angka mortalitas.
masalah pada organ lain: sirosis dapat menyebabkan disfungsi system imun,
meningkatkan risiko infekksi. Asites dapat terinfeksi bakteri normal intestinal.
Sirosis dapat juga menyebabkan impotensis, disfungsi hingga gagal ginjal dan
osteoporosis.

20
DAFTAR PUSTAKA

angeli, p., bernardi, m., villanueva, c., francoz, c., mookerje, r. p., trebicka, j., . . .
gines, p. (2018). EASL clinical practise guidelines for the management of
patients with decompensated cirrhosis. journal of hepatology, 406-460.
Center for Integrated Healthcare. (2013). Cirrhosis of the Liver. VA Health Care,
1-7.
Harrison, P. M. (2015). Management of Patien with Decompensated Cirrhosis.
Clinical Medicine, 201-203.
heidelbaugh, j. j., & bruderly, m. (2006). cirrhosis and shronic liver failure: part I.
Diagnosis and evaluation. americal family physicians, 756-762.
Lindseth, G. N. (2006). Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam
S. A. Price, & L. M. Wilson, Patofisiologi: konsep klinis Proses-Proses
Penyakit (hal. 495-501). jakarta: EGC.
Lok, A., McMahon, B., Brown, R., Wong, J. B., Ahmed, A. T., Farah, W., . . .
Prokop, L. (2016). Antiviral Therapy for Chronic Hepatitis B Viral Infection
in Adults: A systematics Review and Meta-Analysis. American Association
for the Study of Liver Disease, 284-304.
Nurdjanah, S. (2009). sirosis hepatis. Dalam A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alvi,
M. Simadibrata, & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (hal. 668-
673). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Riley, T., Taheri, M., & Schreibman, I. (2009). Does weight history affect fibrosis
in the setting of chronic liver disease? J Gastrointestin Liver Dis, 299-302.
starr, p., & raines, d. (2011). cirrhosis: diagnosis, management, and prevention.
american academy of family physicians, 1353-1359.
Suva, M. A. (2014). A Brief Review on Liver Cirrhosis: Epidemiology, Etiology,
Pathophysiology, Symptoms, Diagnosis and Its Management. Molecular
Pharmacology, 1-5.

21
terrault, n. a., Bzowej, N. H., Chang, K.-M., Hwang, J. P., Jonas, M. M., & Murad,
M. H. (2016). AASLD Guidelines for Treatment of Chronic Hepatitis B.
American Association for the Study of Liver Disease, 261-284.
Verhelst, X., Geerts, A., & Vlierberge, H. V. (2016). Cirrhois : Reviewing the
Literature and Future Perspectives. European Medical Journal, 111-117.
Verhelst, X., Geerts, A., & Vlierberghe, H. V. (2016). Cirrhosis : Reviewing the
Literature and Future Perspectives. Eropean Medical Journal, 111-118.
wiegand, j., & berg, t. (2013). the etiology, diagnosis and prevention of liver
cirrhosis. Liver cirrhosis, 85-92.

22

Anda mungkin juga menyukai