Anda di halaman 1dari 110

2

PANDUAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT KARDIOVASKULAR PADA


PANDEMI COVID-19

Edisi pertama, 9 Mei 2020


Editor:
Isman Firdaus
Renan Sukmawan
Anwar Santoso
Dafsah A. Juzar

PENGURUS PUSAT
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULAR INDONESIA
9 Mei 2020
3
Kontributor

Isman Firdaus Oktavia Lilyasari


Renan Sukmawan Badai Tiksnadi
Anwar Santoso Yusra Pintaningrum
Dafsah A. Juzar Sunu Budi Raharjo
Doni Firman Arindya Rezeki
Daniel PL Tobing Bayushi Eka Putra
Nizam Akbar R. Ahmad Anzali
Budi Yuli Setianto Aldo Ferly
Siti Elkana Nauli Eka Adip Pradipta
Dyana Sarasvasti
4
Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, maka buku “Panduan diagnosis dan tatalaksana
penyakit kardiovaskular pada pandemi COVID-19” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Kami mengharapkan buku ini dapat dipergunakan sebagai pedoman dan pegangan dalam memberikan
pelayanan Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh
Indonesia.

Kami sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim penyusun buku panduan ini yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan keahliannya untuk menyelesaikan tugas ini hingga buku ini dapat diterbitkan.

Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kardiovaskular, buku panduan ini akan selalu dievaluasi dan
disempurnakan agar dapat dipergunakan untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas.

Semoga buku panduan ini bermanfaat bagi kita semua.

Walaikumsalam wr. wb

Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

DR. Dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA, FaSCC, FESC, FACC, FSCAI
5

Daftar Isi

Kata Pengantar 4

Daftar Isi 5

1. Pendahuluan 8

2. Epidemiologi 9
2.1 Dampak Komorbiditas Kardiovaskular terhadap Luaran Infeksi COVID-19 9
2.2 Manifestasi kardiovaskular dan perjalanan penyakit infeksi COVID-19 11

3. Patofisiologi - Mekanisme penyakit dan kaitannya dengan sistem kardiovaskular 12


3.1 Hubungan antara hipertensi, angiotensin converting enzyme 2 dan COVID-19 15
3.2 Cedera Kardiak Akut dan Miokarditis pada COVID-19 15
3.3 Disregulasi sistem imun dan penyakit kardiovaskular pada COVID-19 15

4. Strategi diagnosis SARS-CoV-2 16

5. Tindakan Pencegahan Bagi Tenaga Kesehatan Dan Pasien Dalam Bidang Kardiologi 19
5.1 Penilaian Risiko Umum Dan Tindakan Pencegahan 19
5.1.1 Risiko infeksi SARS-CoV-2 pada tenaga kesehatan 19
5.2 Pelayanan dalam Beberapa Situasi 25
5.2.1 Situasi Rawat Jalan 25
5.2.2 Situasi Rawat Inap 25
5.2.3 Situasi IGD 26
5.2.4 Setting Pelayanan Intensif 26
5.2.5 Setting Cath Lab 26
5.2.5.1 Pasien dengan ST-segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) 26
5.2.5.2 Pasien dengan Non ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTE-ACS) 27
5.2.6 Setting Lab Elektrofisiologi 27
5.2.7 Tindakan TEE, CPAP dan juga Pasien Terintubasi 28
5.3 Pasien 29

6. Sistem Triase (Reorganisasi dan Redistribusi) 31


6.1 Prinsip Umum Triase 31
6.2 Rumah Sakit dan Network Ambulan 32
6.3 Unit Gawat Darurat 32
6.4 Penanganan di ICU/ICVCU/ICCU dan Unit Intermediate 34

7.Diagnosis kasus Cardiovascular Pada Pasien COVID-19 34


7.1 Presentasi Klinis 34
7.1.1 Nyeri dada 34
6
7.1.2 Sesak, Batuk dan Sulit Bernafas 35
7.1.2.1 Sesak 35
7.1.2.2 Batuk 35
7.1.2.3 Sulit Bernafas (Acute Respiratory Distress Syndrome) 35
7.1.3 Syok Kardiogenik 36
7.1.4 Henti Jantung Diluar Rumah Sakit, Pulseless Electrical Activity (PEA), Kematian Jantung
Mendadak, Takiaritmia, Bradiaritmia 37
7.1.5 Perawatan Kasus Pneumonia dan Juga Peningkatan Risiko Kematian Akibat Masalah
Jantung 38
7.2 Elektrokardiogram 38
7.3. Biomarker 39
7.3.1. Elevasi Biomarker Terkait Kondisi Kardiovaskular pada Pasien dengan Infeksi COVID-19
40
7.3.1.1. Cardiac Troponin I / T 40
7.3.1.2. B-Type Natriuretic Peptide / N-Terminal B-Type Natriuretic Peptide 41
7.3.1.3. D-Dimers 42
7.3.2. Mekanisme Potensial yang Mendasari Peningkatan Biomarker 42
7.3.3. Biomarker Mana Yang Harus Diukur dan Kapan? 42
7.4.Pencitraan Non-Invasif 43
7.4.1. Ekokardiografi Transtoraks dan Transesofagus 44
7.4.2. Computed Tomography (CT) 45
7.4.3. Kardiologi Nuklir 45
7.4.4. Cardiac Magnetic Resonance 46
7.5. Diagnosis Banding 46

8. Kategorisasi Darurat / Urgensi Prosedur Invasif 47

9. Manajemen / Tatalaksana Perawatan 50


9.1. Non-ST-Segment Elevation Acute Coronary Syndrome (NSTE-ACS) 50
9.2. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) 51
9.3. Syok Kardiogenik 54
9.4. Chronic Coronary Syndrome 57
9.4.1. Pertimbangan Praktis tentang Terapi Medis 58
9.4.2. Pemeriksaan Non-Invasif 58
9.4.3. Penilaian invasif dan revaskularisasi 59
9.5. Gagal Jantung 60
9.5.1. Gagal Jantung Akut 60
9.5.2. Miokarditis 61
9.5.3. Gagal Jantung Kronik 62
9.5.3.1. Pencegahan Infeksi SARS-CoV-2 62
9.5.3.2. Petunjuk Diagnostik 63
9.5.3.3. Tatalaksana Penyakit Jantung Kronik 63
7
9.5.3.4. Telemedicine dan Pengiriman Obat ke Rumah 63
9.5.4. Perangkat Bantuan Ventrikel Kiri dan Transplantasi Jantung 65
9.6.Penyakit Jantung Katup 66
9.6.1.Manajemen Pada Stenosis Katup Aorta 66
9.6.2.Tatalaksana Regurgitasi Katup Mitral 67
9.7. Hipertensi 68
9.7.2. Hipertensi dan COVID-19 70
9.7.3. Pengobatan Antihipertensi dengan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors atau
Angiotensin Receptor Blockers 70
9.7.4. Manajemen Jarak Jauh Hipertensi pada Pasien Isolasi di Rumah 71
9.7.5. Hipertensi dan Pasien Rawat Inap dengan Infeksi COVID-19 71
9.8. Emboli Paru Akut - Pencegahan dan Diagnosis 72
9.9. Aritmia 73
9.9.1. Pemantauan dan Tindak Lanjut Pasien dengan Alat Implan Jantung 74
9.9.2. Pertimbangan untuk Elektrofisiologis dan Prosedur Alat Implan 76
9.9.3. Tata laksana Aritmia Jantung pada Pasien dengan Infeksi COVID-19 77
9.9.3.1. Takiaritmia 77
9.9.3.1.1. Takikardia Supraventrikular 77
9.9.3.1.2. Atrial Fibrilasi and Flutter 77
9.9.3.1.3. Aritmia Ventrikel 79
9.9.3.1.4. Kanalopati 82
9.9.3.2. Bradiaritmia 84

10. Tata laksana infeksi SARS-CoV-2 infection 84


10.1. Aritmogenik dan Pertimbangan QTc pada Terapi COVID-19 85
10.1.1. Evaluasi QTc untuk Mencegah Proaritmia karena Obat 88
10.1.2. Aspek Teknis Penilaian QT 90
10.2. Pertimbangan Terapi Antikoagulan pada Pasien COVID- 19 90

11. Informasi untuk Pasien 93


11.1 Siapa yang berisiko menderita SARS-CoV-2 derajat berat ? 93
11.2 Apa saja terapi yang bisa didapatkan selama pandemi COVID-19 ? 93
11.3 Interaksi sosial, gaya hidup sehat, dan tips kesehatan selama pandemi COVID-19 95

12. Keterangan dan Ucapan Terimakasih 97

Daftar Pustaka 97
8

1. Pendahuluan

● Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 ​ (SARS-CoV-2), penyebab coronavirus disease


(COVID-19), telah mencapai status pandemi;
● Pasien dengan faktor risiko kardiovaskular (KV) dan riwayat penyakit kardiovaskular (PKV) merupakan
populasi rentan yang berisiko tinggi ketika terkena COVID-19;
● Pasien dengan cedera kardiak dalam konteks COVID-19 memiliki peningkatan risiko morbiditas dan
mortalitas yang bermakna

Virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab dari COVID-19 telah dinyatakan sebagai pandemi terhitung sejak Maret
2020. Di tengah langkanya pilihan terapi medikamentosa dan vaksin, COVID-19 memberikan dampak global
yang tidak terbayangkan sebelumnya terhadap kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan. Oleh karena
tingginya kebutuhan unit rawat intensif (​intensive care unit/​ ICU, ​intensive cardiovascular care unit​/ICVCU,
intensive cardiac care unit/​ ICCU) yang dilengkapi dengan alat bantu pernapasan dan ventilasi mekanik,
dibutuhkan suatu mekanisme redistribusi dan reorganisasi sumber daya dari rumah sakit dengan berbagai
konsekuensi bagi seluruh staf medis. Di samping itu, tindakan pencegahan terhadap SARS-CoV-2 menjadi
sangat penting terutama bagi para personel tenaga kesehatan (nakes) yang berkontak langsung dengan pasien
COVID-19 dan juga pasien non-COVID-19 lainnya baik di unit rawat jalan maupun rawat inap. Terbatasnya
sumber daya menghadapkan nakes kepada pilihan sulit secara etik dalam menentukan prioritas pemberian
pelayanan kesehatan kepada setiap pasien, sekaligus memberikan pelayanan pasien COVID-19 yang optimal
tanpa melalaikan pelayanan kegawatdaruratan medis lainnya. Selain itu, hingga saat ini masih terdapat
berbagai keterbatasan dalam hal sensitivitas dan spesifisitas metode deteksi virus pada pasien dengan dan
tanpa gejala yang akan dibantu dengan pemeriksaan antibodi untuk menentukan pasien yang telah terinfeksi
sebelumnya.

Tidak hanya menyebabkan pneumonia viral, SARS-CoV-2 juga memiliki dampak terhadap sistem
kardiovaskular. Pasien dengan faktor risiko KV, antara lain berjenis kelamin pria, usia lanjut, diabetes melitus,
hipertensi dan obesitas serta pasien dengan riwayat PKV dan penyakit serebrovaskular (PSV) telah diketahui
sebagai populasi berisiko dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi ketika terkena COVID-19.
Terlebih, sebagian besar pasien akan mengalami cedera kardiak dalam konteks COVID-19 yang menandakan
adanya peningkatan angka mortalitas selama masa rawat. Terlepas dari terjadinya komplikasi trombotik vena
dan arteri. seperti sindrom koroner akut (SKA) dan tromboemboli vena (TEV), miokarditis memegang peranan
penting pada pasien dengan gagal jantung akut. Terlebih lagi, beragam jenis aritmia telah banyak dilaporkan
pada pasien COVID-19 dan memperumit tatalaksana pasien, termasuk efek samping pro-aritmia dari terapi
medikamentosa COVID-19 dan penyakit lainnya. Terkait redistribusi sumber daya pelayanan kesehatan, akses
penanganan kegawatdaruratan meliputi terapi reperfusi juga terkena dampaknya tergantung dari derajat
beratnya epidemi pada tingkat lokal. Hal tersebut juga diperberat dengan adanya kekhawatiran mengenai
terlambatnya kedatangan pasien dengan kegawatdaruratan kardiovaskuler oleh karena pasien enggan untuk
mencari pertolongan medis di masa pandemi.

Oleh karena seluruh alasan inilah, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
mengumpulkan sekelompok ahli dan praktisi berpengalaman dalam penanganan pasien COVID-19 untuk
memberikan suatu dokumen panduan yang relevan dari berbagai aspek pelayanan kardiovaskuler selama
masa pandemi COVID-19. Dokumen panduan PERKI ini mengadopsi panduan yang diterbitkan oleh
perhimpunan European Society of Cardiology (ESC) dan sudah mendapatkan izin sebelumnya terkait adopsi
9
dan translasi panduan ini. Meski terbilang komprehensif, penting diingat bagi para pembaca bahwa terdapat
batasan pada dokumen ini, antara lain:

● Dokumen ini bukanlah sebuah pedoman tatalaksana melainkan sebuah panduan. Rekomendasi pada
dokumen ini merupakan hasil dari observasi dan pengalaman personal dari nakes yang berada pada
garda terdepan selama masa pandemi COVID-19. Bukti ilmiah terkait SARS-CoV-2 dan penyakit yang
diakibatkannya sejauh ini masih bersifat observasional dan studi intervensi prospektif masih belum
tersedia untuk menjadi dasar dari rekomendasi berbasis bukti;
● Dokumen panduan ini tidak menggantikan pedoman resmi PERKI dan hanya sahih selama status
pandemi masih dipertahankan oleh WHO;
● Dokumen panduan ini tidak mengenyampingkan tanggung jawab individu sebagai nakes profesional
dalam mengambil keputusan yang tepat untuk masing-masing individu pasien, dan keputusan akhir
terhadap seorang pasien tetap harus dilakukan oleh dokter/tim dokter yang bertanggung jawab
terhadap pasien;
● Panduan yang tercantum dalam dokumen ini seyogyanya tidak boleh mengintervensi rekomendasi
yang diberikan oleh petugas kesehatan yang berwenang baik pada tingkat lokal dan nasional;
● Pandemi yang berlangsung bersifat dinamis dengan puncak dan masa plateau terjadi pada titik waktu
yang berbeda-beda di berbagai daerah di seluruh dunia. Oleh karena itu, beberapa aspek dalam
dokumen ini mungkin hanya berlaku pada daerah yang sangat terpengaruh oleh dampak pandemi
COVID-19, sementara kriteria lainnya berlaku pada daerah yang terdampak lebih ringan;
● Dokumen ini hanya memberikan gambaran sewaktu dengan informasi awal yang masih dapat berubah
dan diperbaharui seiring berjalannya waktu dengan bertambahnya informasi, bukti dari studi
prospektif dan perubahan dari pandemi itu sendiri.
● Hingga saat ini belum tersedia tatalaksana berbasis bukti yang kuat untuk infeksi COVID-19 dan terapi
eksperimental mungkin memiliki efek samping kardiak. Kami mendukung terapi eksperimental untuk
menjadi bagian dalam uji klinis terkendali jika memungkinkan.

2. Epidemiologi

2.1 Dampak Komorbiditas Kardiovaskular terhadap Luaran Infeksi COVID-19

Pokok Utama
● Komorbid kardiovaskular kerap dijumpai pada pasien dengan infeksi COVID-19;
● Penyakit kardiovaskular berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas pada infeksi COVID-19;
● Faktor risiko dan penyakit KV berkorelasi seiring bertambahnya usia

Per tanggal 10 Maret 2020, 4296 orang di seluruh dunia telah meninggal akibat COVID-19. Satu bulan
kemudian, per 10 April 2020 1,6 juta orang terbukti positif dan lebih dari 100.000 orang telah meninggal
dunia.​1 Angka kematian kasus COVID-19 secara umum sangat tergantung dari negara yang terkait dan
bergantung dari fase epidemik, kapasitas pemeriksaan, registrasi, demografi, pelayanan kesehatan dan
keputusan pemerintah.​2 Terlebih, infeksi COVID-19 memiliki angka infeksi yang serupa untuk kedua jenis
kelamin; meskipun angka kematian lebih tinggi pada pria.​3 Laporan harian dari pandemi COVID-19
disosialisasikan oleh WHO pada situs resminya. Gambar 1 memberikan gambaran dari evolusi kasus
terkonfirmasi laboratorium COVID-19 di Indonesia.
10

Gambar 1. Angka kasus positif laboratorium dari COVID-19 di Indonesia (covid.go.id)

Sebuah studi besar dari Cina menganalisa 72.314 rekam medis pasien yang terdiri atas 44.672 (61,8%) kasus
terkonfirmasi, 16.186 (22,4%) kasus suspek, dan 889 (1,2%) kasus asimtomatik.​3 Di antara kasus terkonfirmasi
dalam studi ini, 12,8% memiliki hipertensi, 5,3% diabetes dan 4.2% PSV.​3 Mengejutkannya, angka tersebut
ternyata lebih rendah dibandingkan prevalensi dari faktor risiko PKV pada populasi Cina tipikal, namun perlu
diingat bahwa data tersebut tidak disesuaikan dengan kelompok usia dan 53% kasus tidak memiliki data
komorbiditas.​4 Pada analisis retrospektif awal berdasarkan data dari 138 data di Wuhan, Cina, sekitar 50% dari
pasien dengan infeksi COVID-19 memiliki satu atau lebih komorbiditas.​5 Terlebih, pada populasi pasien yang
dirawat dengan infeksi COVID-19 berat proporsi tersebut meningkat hingga 72%.​5 Masih belum diketahui
secara pasti apakah diabetes, hipertensi dan PSV memiliki hubungan sebab-akibat dengan COVID-19 atau
semata-mata karena keterlibatan faktor usia sebagai perancu.​6 Bagaimanapun, dapat diambil sebuah pesan
penting bahwa pasien yang mengalami perjalanan penyakit lebih berat bisa jadi disebabkan oleh penyakit
komorbiditas, meliputi PSV.

Verity dkk​6 memperkirakan rasio kematian kasus di Cina (disesuaikan berdasarkan demografi) sebesar 1,38%
namun angka perkiraan kematian kasus sangat bergantung dari strategi pemeriksaan pada kasus yang tidak
berat karena masih terdapat banyak kasus yang belum terverifikasi. Angka kematian kasus tertinggi pada
kelompok usia lebih tua: rasio kematian kasus sebesar 0.32 pada pasien berusia <60 tahun dibandingkan
dengan 6.4% pada pasien >60 tahun.​6 ​Di Italia, angka kematian kasus berkisar antara 0% pada kelompok usia
<30 tahun hingga 3,5% pada populasi 60-69 tahun dan 20% pada populasi diatas 80 tahun.​7 Hal tersebut
menunjukkan fakta bahwa pertambahan usia merupakan faktor risiko penting pada infeksi COVID-19. Riwayat
PKV juga berkaitan dengan risiko infeksi COVID-19 berat yang lebih tinggi. Pada studi kohort retrospektif dari
72.314 kasus di Cina​8 pasien dengan komorbiditas KV memiliki risiko mortalitas lima kali lebih tinggi (10,5%),
11
meskipun tanpa dilakukan penyesuaian usia. Analisis kohort multinasional dapat memberikan petunjuk
mengenai prevalensi dan risiko komorbiditas KV pada infeksi COVID-19. Terdapat beberapa mekanisme
potensial yang dapat menjelaskan mengenai perjalanan penyakit yang lebih berat pada pasien dengan faktor
risiko KV dan PSV.​9​ Mekanisme tersebut dijabarkan pada seksi 3 dan 9.

2.2 Manifestasi kardiovaskular dan perjalanan penyakit infeksi COVID-19

Pokok Utama
● Infeksi COVID-19 berat dikaitkan dengan cedera miokardium dan aritmia;
● Pemantauan toksisitas kardiak dari terapi antiviral direkomendasikan

Wabah virus korona sebelumnya seperti ​severe acute respiratory syndrome (SARS) dan ​Middle east respiratory
syndrome (MERS) dikaitkan dengan beban komorbiditas dan komplikasi KV yang signifikan. 9,10 ​ Komplikasi
kardiak yang umum terjadi pada pasien SARS meliputi hipotensi, miokarditis, aritmia dan kematian mendadak
(​sudden cardiac death​/SCD).​11,12 Pemeriksaan diagnostik ketika infeksi SARS menunjukkan perubahan
elektrokardiografi, gangguan diastolik ventrikel kiri subklinis dan peningkatan troponin. MERS juga dikaitkan
dengan terjadinya miokarditis dan gagal jantung.​11

Infeksi COVID-19 ditengarai memiliki manifestasi kardiak yang serupa. Otopsi dari pasien dengan infeksi
COVID-19 menunjukkan adanya infiltrasi sel inflamasi mononuklear interstisial pada miokardium.​13 Infeksi
COVID-19 berkaitan dengan peningkatan kadar penanda biologis kardiak akibat cedera kardiak.​13=15 Cedera
miokardial dan peningkatan kadar penanda biologis diduga berkaitan dengan miokarditis dan iskemia
terinduksi infeksi.​16 Pada studi oleh Shi dkk​15​, pada 416 pasien dimana 57 pasien diantaranya meninggal dunia,
cedera kardiak merupakan temuan yang umum terjadi (19,7%). Pada pasien yang meninggal, 10.6% memiliki
penyakit jantung koroner (PJK), 4.1% memiliki gagal jantung, dan 5.3% memiliki PSV.​15 Terlebih, pada analisa
multivariat, cedera kardiak berkaitan secara independen dan signifikan dengan kematian (hazard ratio [HR]:
4.26).​15 Serupa juga dengan studi oleh Guo dkk,​14 peningkatan kadar troponin T akibat cedera kardiak
berkaitan dengan mortalitas yang lebih tinggi secara bermakna. Pasien tersebut umumnya berjenis kelamin
pria, lebih tua dan memiliki komorbiditas lebih banyak seperti hipertensi, PJK.​14 Infeksi COVID-19 berat juga
diduga berkaitan dengan aritmia kardiak setidaknya sebagai akibat dari miokarditis terkait infeksi.​5

Selain komplikasi akut, infeksi COVID-19 juga berkaitan dengan peningkatan risiko KV jangka panjang. Sudah
cukup banyak bukti bahwa pada pasien dengan pneumonia, hiperkoagulabilitas dan aktivitas inflamasi
sistemik dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama.​2,9 Terlebih lagi, studi pemantauan dari epidemi SARS
menunjukkan bahwa pasien dengan riwayat infeksi SARS-coronavirus kerap memiliki hiperlipidemia, gangguan
sistem KV atau metabolisme glukosa.​9,11 Namun, SARS diterapi dengan menggunakan bolus metilprednisolone
berkala yang dapat menjadi menjelaskan dari gangguan metabolisme lipid jangka panjang ketimbang
konsekuensi dari infeksi itu sendiri.​13 Secara alamiah, tidak terdapat dampak jangka panjang dari infeksi
COVID-19 yang diketahui dengan pasti, namun dampak yang diberikan oleh infeksi SARS sebelumnya
setidaknya dapat dipertimbangkan sebagai alasan dalam memantau pasien COVID-19 yang telah sembuh.
12
3. Patofisiologi - Mekanisme penyakit dan kaitannya dengan sistem kardiovaskular

Pokok Utama
● Patobiologi dari infeksi virus korona melibatkan proses pengikatan virus SARS-CoV-2 pada reseptor
angiotensin-converting enzyme 2​ (ACE-2) di tubuh inang untuk proses masuk ke dalam sel;
● ACE-2, yang banyak diekspresikan di jaringan paru, jantung dan pembuluh darah, merupakan
komponen utama dari sistem renin angiotensin (SRA) yang penting dalam patofisiologi PKV;
● PKV terkait COVID-19, kemungkinan melibatkan disregulasi dari sistem SRA/ACE-2 akibat infeksi
SARS-CoV-2 dan komorbiditas lainnya, seperti hipertensi;
● PKV dapat menjadi fenomena utama pada COVID-19, namun juga sekunder terhadap gangguan paru
akut, yang menyebabkan peningkatan beban kerja jantung dan dapat menjadi masalah pada pasien
dengan riwayat gagal jantung;
● Badan sitokin, yang berawal dari ketidakseimbangan aktivasi sel T dengan pelepasan interleukin (IL) -6,
IL-17, dan sitokin lainnya yang tidak teregulasi, mungkin berperan dalam PKV pada COVID-19. Terapi
yang mengintervensi IL-6 sedang dalam proses uji terapeutik;
● Aktivasi sistem imun bersama dengan perubahan metabolisme imun dapat menyebabkan instabilitas
plak, yang berperan dalam terjadinya kejadian sindrom koroner akut.

COVID-19 disebabkan oleh virus corona beta baru yang diberikan nama resmi SARS-CoV-2 oleh WHO. Virus
korona merupakan virus asam ribonukleat untai tunggal dengan lapisan pelindung serta tonjolan permukaan
yang berkorespondensi dengan protein permukaan yang menonjol.​17 Kelelawar krisantemum diduga sebagai
wadah alami dari SARS-CoV-2,​18 namun inang intermediet dari virus tersebut masih belum diketahui secara
pasti. SARS-CoV-2 merupakan virus yang sangat virulen dan memiliki kapasitas transmisi yang lebih tinggi
dibandingkan virus SARS sebelumnya (wabah tahun 2003), dengan kadar virus yang tinggi pada pasien
terinfeksi (hingga mencapai satu miliar kopi RNA/cc sputum) dan stabilitas jangka panjang pada permukaan
yang terkontaminasi.​19 SARS-CoV-2 lebih stabil pada plastik dan besi baja dibandingkan tembaga dan papan
kartu, dan virus yang viabel masih terdeteksi hingga 72 jam setelah kontaminasi virus pada permukaan
material tersebut.​19 Meski tingkat infektivitas dari SARS-CoV-2 lebih tinggi dibandingkan influenza atau
SARS-coronavirus, diperlukan data lebih dalam lagi untuk kesimpulan yang lebih akurat.​20 Transmisi umumnya
terjadi melalui kombinasi penyebaran ​droplet​, dan kontak langsung atau tidak langsung, serta masih terdapat
kemungkinan bersifat ​airborne​. Periode inkubasi virus berkisar antara 2-14 hari, (umumnya 3-7 hari).​21 Virus
bersifat menular pada masa laten.

SARS-CoV-2 dapat mulai terdeteksi 1-2 hari sebelum awitan gejala saluran napas atas. Kasus ringan umumnya
memiliki bersihan virus yang lebih awal, dengan 90% kasus menunjukkan hasil negatif pada pemeriksaan
reverse ​transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) pada hari ke-10 pasca awitan pertama.​22 Durasi
median dari peluruhan virus adalah 20 hari (rentang interkuartil: 17-24 hari) pada penyintas.​23 Durasi
peluruhan virus terlama yang tercatat pada penyintas mencapai 37 hari.​23

Reseptor dari inang yang digunakan sebagai jalur masuk SARS-CoV-2 untuk memicu infeksi adalah ACE-2
(gambar 2).​24,25 ACE-2 merupakan protein multifungsi. Peran fisiologis utamanya antara lain dalam konversi
enzimatik angiotensin (Ang) II menjadi Ang-(1-7) dan Ang 1 menjadi Ang (1-9), yang merupakan peptida
protektif kardiovaskular.​26 Namun, dalam konteks COVID-19, ACE-2 juga terlibat pada proses infeksi SARS
sebagai reseptor virus korona.​27 Ikatan protein tonjolan SARS-CoV-2 kepada ACE-2 memfasilitasi proses
masuknya virus kedalam sel epitel alveolus paru, dimana ekspresi ACE-2 sangat tinggi, melalui proses yang
melibatkan ​transmembrane protein serine 2 (TMPRSS2) pada permukaan sel (gambar 2).​28 Di dalam sitoplasma
13
sel inang, RNA genom virus akan dilepaskan dan bereplikasi yang berujung kepada pembentukan genom RNA
baru, yang akan diproses menjadi vesikel yang mengandung virion dan berfusi dengan sel membran untuk
melepaskan virus. SARS-CoV-2 utamanya disebarkan melalui ​droplet dari saluran napas​, s​ ekresi sistem
respirasi dan kontak langsung Keseimbangan SRA/ACE-2 tampaknya terganggu dengan adanya infeksi
SARS-CoV-2, yang diduga kuat berperan dalam proses patogenesis pada cedera paru berat dan gagal nafas
pada COVID-19.​29 Selain paru-paru, ACE-2 juga banyak diekspresikan pada jaringan jantung, pembuluh darah
dan saluran gastrointestinal manusia.​30,31

Gambar 2. Peran penting ACE-2 dalam regulasi invasi virus ke dalam sel yang mengekspresikan ACE-2.
Skema ini meliputi sel pneumosit kardiomiosit, perisit, endotelium dan kemungkinan sel lainnya.
Panel A. SARS-CoV-2 protein ​spike (S1) ditandakan dengan protease serin TMPRSS2 (​transmembrane protease serine 1) yang memungkinkan interaksi
dengan protein ACE-2 pada membran sel. Hal tersebut diperlukan untuk internalisasi dan replikasi virus.
Panel B. ACE-2 membran sel dapat terlepas dari membran sel oleh enzim ADAMST17 (disintegrin dan metalloproteinase 17) untuk menghasilkan protein
ACE-2 terlarut. Mekanisme tersebut dapat menekan laju invasi virus.

COVID-19 sejatinya merupakan penyakit respiratori, namun banyak pasien yang menunjukkan manifestasi
berupa PKV, meliputi hipertensi, cedera kardiak akut dan miokarditis (gambar 3).​10,32 Manifestasi tersebut
dapat bersifat sekunder akibat konsekuensi dari penyakit paru, karena cedera paru akut sendiri dapat
meningkatkan beban kerja jantung dan dapat menimbulkan masalah khususnya pada pasien dengan penyakit
komorbid gagal jantung. PKV juga dapat bersifat fenomena primer mengingat pentingnya peran patofisiologi
14
dan fisiologi dari SRA/ACE-2 pada sistem KV dan fakta bahwa ACE-2 banyak diekspresikan di jantung, sel
vaskular dan perisit manusia.​33

Gambar 3. Keterlibatan sistem kardiovaskular pada COVID-19 - manifestasi utama dan hipotesis mekanisme.
SARS-CoV-2 berikatan pada protein ACE-2 trans-membran untuk menginvasi sel inang, seperti pneumosit tipe 2, makrofag, sel endotel, perisit, dan
kardiomiosit yang berujung kepada inflamasi dan kegagalan organ multipel. Infeksi dari sel endotel atau perisit sangat penting karena dapat
menyebabkan disfungsi mikrovaskular dan makrovaskular yang berat. Selain itu, over-reaktivitas dari sistem imun dapat mengganggu plak
aterosklerotik dan menjadi penyebab dari sindrom koroner akut. Infeksi dari saluran pernapasan, khususnya pneumosit tipe 2, oleh SARS-CoV-2
dimanifestasikan dalam bentuk progresi dari inflamasi sistemik dan overaktivasi dari sel imun yang menyebabkan "badai sitokin", menyebabkan
peningkatan kadar sitokin seperti IL-6, IL0-17, IL-22 dan CXCL10. Oleh karenanya, sangat memungkinkan bahwa sel T yang teraktivasi dan makrofag
dapat menginfiltrasi miokardium yang terinfeksi sehingga menyebabkan terjadinya miokarditis fulminan dan cedera kardiak berat. Proses tersebut
dapat diperberat oleh badai sitokin. Dengan cara yang serupa, invasi virus dapat menyebabkan cedera langsung terhadap kardiomiosit menyebabkan
disfungsi miokardial dan terjadinya aritmia. Diadopsi dari ​Guzik, dkk. COVID-19 and the cardiovascular system - implications for risk assessment,
diagnosis dan treatment options. Cardiovasc Res., 2020.
15
3.1 Hubungan antara hipertensi, angiotensin converting enzyme 2 dan COVID-19

Prevalensi dari riwayat hipertensi tampak lebih tinggi pada pasien COVID-19 yang mengalami sakit berat
dibandingkan dengan yang tidak.​23,24 Hal serupa juga ditemukan pada populasi yang mengalami sindrom
distres napas akut (SDNA) atau kematian. Studi-studi awal tidak melakukan analisa penyesuaian kelompok usia
dan pengaruh faktor usia masih harus dipelajari lebih lanjut. Mekanisme yang mendasari hubungan potensial
antara hipertensi dan COVID-19 masih belum diketahui namun mempertimbangkan peran penting SRA/ACE-2
dalam patofisiologi hipertensi, disregulasi dari sistem tersebut mungkin memiliki peran penting. Berdasarkan
hal tersebut juga telah diajukan suatu konsep bahwa terapi hipertensi dengan penghambat SRA dapat
mempengaruhi proses pengikatan SARS-CoV-2 kepada ACE-2, sehingga mendukung proses infeksi.​35 Usulan
tersebut didasari atas temuan eksperimental bahwa penghambat SRA yang menyebabkan peningkatan
ekspresi ACE-2 sebagai kompensasi dari terapi​36​, dan penyekat ACE dapat bersifat merugikan pada pasien yang
terpajan SARS-CoV-2.​37 Namun, penting ditekankan bahwa belum ada bukti yang jelas bahwa penggunaan
penyekat ACE dan penghambat reseptor angiotensin (​angiotensin receptor blocker​/ARB) dapat memicu
up-regulation dari ACE-2 pada jaringan manusia. Data yang tersedia dari sampel darah menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara kadar ACE-2 yang bersirkulasi dengan agen antagonis SRA.​38 Selain itu juga
tampak bahwa pada model eksperimental penggunaan ARB justru memiliki potensi protektif.​39,40 Hingga saat
ini tidak terdapat bukti klinis yang mendukung pengaruh baik atau buruk dari penghambat SRA pada pasien
COVID-19 dan sesuai dengan panduan dari organisasi bidang ilmu kardiovaskular besar lainnya, pasien dengan
agen penyekat ACE dan ARB tidak dianjurkan untuk menghentikan pengobatan mereka.​38,41

3.2 Cedera Kardiak Akut dan Miokarditis pada COVID-19

Miokarditis muncul pada pasien COVID-19 beberapa hari setelah adanya demam. Hal tersebut menandakan
cedera miokardium disebabkan oleh infeksi viral. Mekanisme SARS-CoV-2 menyebabkan miokarditis mungkin
berkaitan dengan peningkatan regulasi ACE-2 pada jantung dan pembuluh darah koroner.​32,41 Gagal napas dan
hipoksia pada COVID-19 juga dapat menyebabkan kerusakan pada miokardium dan mekanisme imun dari
inflamasi miokard merupakan faktor yang penting..​16,32,41 Sebagai contoh, cedera karadiak, berujung kepada
aktivasi respon imun ​innate dengan melepaskan sitokin pro-inflamasi, begitu juga dengan aktivasi mekanisme
sejenis autoimun adaptif melalui mimikri molekular.

3.3 Disregulasi sistem imun dan penyakit kardiovaskular pada COVID-19

Mekanisme inflamasi dan aktivasi respon imun mendasari beragam PKV meliputi aterosklerosis, gagal jantung
dan hipertensi.​43,44 Disregulasi tersebut mungkin memiliki derajat yang berbeda pada COVID-19. Pertama,
reseptor lainnya yang digunakan oleh SARS-CoV-2 untuk masuk ke dalam sel lainnya adalah ​cluster of
differentation 209 (CD209).​45 CD209 diekspresikan pada makrofag mendukung invasi virus ke dalam sel imun
pada jaringan kardiak dan vaskular. Lebih penting lagi, pada kasus COVID-19 yang berat, ditemukan
peningkatan sistemik berbagai sitokin seperti IL-6, IL-2, IL-7, ​granulocyte colony-stimulating factor (GCSF),
kemokin motif C-X-C 10 (CXCL10), kemokin (C-C motif) ligan 2, dan ​tumour necrosis factor-​ α (TNF- α),​46 yang
berhubungan dengan karakteristik sindrom pelepasan sitokin (SPS). Permeabilitas vaskular yang terganggu
juga dapat menyebabkan edema paru non-kardiogenik dan memicu SDNA serta disfungsi multi-organ. Kadar
serum IL-6 yang tinggi merupakan karakteristik yang umum terjadi pada SPS. IL-6 merupakan prediktor klinis
kematian pada COVID-19.​47 Oleh karena itu, intervensi IL-6 dapat digunakan pada pasien COVID-19 untuk
16
mengatasi SPS. Terakhir, data menunjukkan bahwa hipertensi berkaitan dengan jumlah limfosit yang
bersirkulasi pada pasien​48 dan disfungsi sel T CD8 dengan proses PKV.​49 Sel T CD8 merupakan pilar imunitas
antiviral, sehingga disfungsi sel tersebut dapat membuat organisme tidak efisien dalam mengatasi sel yang
terinfeksi virus.

4. Strategi diagnosis SARS-CoV-2

Pokok Utama
● Diagnosis COVID-19 bergantung kepada kombinasi kriteria epidemiologis (kontak selama masa
inkubasi), adanya gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium (tes amplifikasi asam nukleat) dan
pemeriksaan pencitraan;
● Pemeriksaan ​enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berbasis antibodi dan antigen sedang dalam
fase pengembangan dan belum sepenuhnya tervalidasi;
● Pemeriksaan massal terbukti efisien pada fase pengendalian epidemi;
● Kualitas dari pengambilan sampel (i.e swab nasal dalam) dan waktu pengiriman menuju laboratorium
sangat penting dalam mencegah hasil negatif palsu;
● Pencitraan ​computed tomography (CT) paru dapat digunakan sebagai metode diagnostik kunci
COVID-19

Seperti yang ditunjukkan oleh epidemi sebelumnya, meliputi SARS dan MERS, pemeriksaan laboratorium yang
sangat spesifik dan sensitif memegang peranan kunci dalam identifikasi kasus, penelusuran kontak, penemuan
hewan sumber, dan tindakan pengendalian yang efisien dan rasional.​50 Identifikasi kasus yang presisi sangatlah
penting dalam rangka mengisolasi individu yang rentan. Berdasarkan analisis epidemiologis sementara ini, PKV
memberikan risiko penyakit COVID-19 yang lebih berat,​10,32 oleh karena itu, pemeriksaan sebaiknya
dipertimbangkan untuk diutamakan pada pasien dengan PKV. Terlebih, serupa dengan influenza, pemeriksaan
yang efisien dari orang yang merawat dan terpajan dengan pasien risiko tinggi mampu melindungi individu
dengan komorbiditas multipel. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan sebaiknya didasarkan atas faktor
klinis dan epidemiologis dan berkaitan dengan penilaian derajat kemungkinan infeksi, khususnya ketika
ketersediaan alat pemeriksaan terbatas. Strategi pemeriksaan yang tersedia digambarkan pada Tabel 1.

Meski isolasi dari materi virus menggunakan elektron mikroskopi merupakan metode diagnostik paling
spesifik, namun pemeriksaan tersebut membutuhkan fasilitas dengan level keamanan biologis level 3 yang
tidak banyak tersedia di sebagian besar institusi kesehatan. Pemeriksaan deteksi antibodi dan antigen serum
merupakan alternatif termudah dan tercepat, namun belum tervalidasi, dan terdapat kemungkinan reaksi
silang dengan tipe virus korona lainnya, terutama SARS-coronavirus. Oleh karena itu, RT PCR masih menjadi
metode diagnostik laboratorium yang paling banyak digunakan untuk menegakkan diagnosis COVID-19 di
seluruh dunia.
17
Tabel 1. Tipe pendekatan diagnosis COVID-19, masih dalam tahap eksperimental, tersedia untuk penelitian; POC - ​point of care
Tes Mekanisme deteksi Materi Ketersediaan POC Hasil positif Kegunaan
penelusuran menandakan pemeriksaan
Tes amplifikasi Deteksi RT-PCR dan Rawat jalan: swab Tidak: perlu Konfirmasi infeksi Pemeriksaan
asam nukleat NGS untuk sekuens nasofaring, sputum dilakukan di dalam SARS-CoV-2 saat ini individual
(TAAN) genetik dari regio Rawat inap: laboratorium
konservatif dari regio sputum, aspirasi
virus (e.g gen N, E, S endotrakeal, BAL,
dan RdRP). Perlu darah, feses
deteksi dua sekuens
independen
Immunoassay ELISA mendeteksi Serum Ya (tergantung dari IgM (+): 3-5 hari Angka
berbasis antibodi IgM atau IgG antibodi desain instrumen pasca awitan imunitas/infeksi
anti-SARS-CoV-2 tes) IgG (+): riwayat keseluruhan di suatu
infeksi lampau komunitas
Immunoassay ELISA mendeteksi Swab nasofaring, Ya (tergantung dari Konfirmasi infeksi Pemeriksaan
berbasis antigen protein viral e.g S sputum atau sekret desain instrumen SARS-CoV-2 saat ini individual
(protein ​spike) a​ tau​ N
​ saluran napas tes)
(nukleokapsid) bawah lainnya,
BAL, darah, feses
Tes klinis Gejala klinis Gambaran Ya Kemungkinan Sistem triage untuk
(demam/batuk) radiologis ​CT-scan infeksi menentukan kandidat
Riwayat pemeriksaan
epidemiologis selanjutnya
Pencitraan (CT)
BAL: ​bronchoalveolar lavage ;CT: ​computed tomography ;ELISA: enzyme-linked immunosorbent assay ;NGS: ​next generation sequencing​; POC: ​point of
care.​

Perbandingan tingkat sensitivitas dan spesifisitas dari metode pemeriksaan tersebut perlu dinilai dengan
seksama ketika sudah tersedia data yang lebih mumpuni. Penting untuk diingat bahwa hasil negatif dari
pemeriksaan molekular (RT-PCR) tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi SARS-CoV-2 dan sebaiknya tidak
digunakan sebagai dasar tunggal dalam menentukan tatalaksana pada pasien namun perlu disertai dengan
hasil observasi klinis, riwayat pasien dan informasi epidemiologis. Terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan hasil negatif pada individu yang terinfeksi. Faktor tersebut meliputi kualitas spesimen yang
kurang baik (jumlah material sedikit), pengambilan sampel terlalu awal atau dini pada masa infeksi, cara
penanganan/pengiriman spesimen yang tidak baik, serta alasan teknis lainnya dari metode pemeriksaan itu
sendiri seperti mutasi virus atau inhibisi PCR. Oleh karena itu, pemeriksaan ulang dianjurkan 48 jam pasca
pemeriksaan pertama pada kasus dengan klinis yang mencurigakan namun hasil tes negatif.

Penting untuk selalu menggunakan standar prosedur operasi (SPO) yang adekuat dan staf dilatih untuk
metode pengambilan, penyimpanan, pengemasan dan pengantaran spesimen yang tepat dan adekuat. Hal
tersebut harus senantiasa dipantau dalam rangka memastikan keandalan dan keamanan pemeriksaan bagi
staf dan pasien.

Materi pemeriksaan yang optimal meliputi swab nasal ketimbang faringeal. Dalam rangka mengambil swab
dengan kedalaman yang cukup, sampel harus diambil oleh staf yang terlatih dan berpengalaman. Berdasarkan
suatu studi komparatif menggunakan CT sebagai standar baku emas, sensitivitas dari swab nasofaring terbatas
pada kisaran 60-70%.​53 Selain itu telah disimpulkan juga bahwa hasil pemeriksaan sepertinya tidak banyak
mengubah keputusan klinis dan pertimbangan diagnostik pada subjek dengan ​pretest probability diatas
60-70% (e.g pasien dengan kriteria klinis dan epidemiologis yang terpenuhi). Namun demikian, hal tersebut
bukan berarti bahwa pemeriksaan tersebut tidak perlu dilakukan untuk memastikan status infeksi, namun
penting juga untuk pemeriksaan diulang ketika terdapat kecurigaan klinis dari infeksi COVID-19. Pemeriksaan
CT paru memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi untuk diagnosis COVID-19 pada pasien di rawat inap dengan
18
hasil RT-PCR positif. Dalam sebuah studi yang dilakukan antara 6 Januari dan 6 Februari 2020 di rumah sakit
Tongji, Wuhan, Cina, dengan populasi studi 1014 pasien, ditemukan bahwa ketika menggunakan RT PCR
sebagai standar baku emas, tingkat sensitivitas dari pencitraan CT paru untuk diagnosis COVID-19 mencapai
97%.​53 Selain itu, 60-93% pasien dengan hasil CT paru yang positif pada pemeriksaan awal konsisten dengan
hasil RT-PCR positif yang muncul kemudian.

Peluruhan asam nukleat juga menjadi metode pemeriksaan penting dalam memverifikasi perkembangan
pasien, meski 42% dari pasien menunjukkan perbaikan berdasarkan hasil pemindaian CT paru sebelum hasil RT
PCR berubah negatif.​53 Namun demikian, penting untuk diingat bahwa peluruhan asam nukleat tidak selalu
menandakan adanya virus hidup.

Strategi pemeriksaan massal meliputi pemeriksaan ​drive-through di Korea selatan. Namun, kapasitas
pemeriksaan umumnya tidak mumpuni untuk metode tersebut. Oleh karenanya, penentuan prioritas
pemeriksaan telah diusulkan pada sistem kesehatan individu seperti yang diajukan oleh ​Centers for Disease
Control (CDC) di Amerika Serikat (AS) (Tabel 2). Strategi pengumpulan sampel massal di lingkungan masyarakat
juga dapat dipertimbangkan oleh karena pengambilan sampel merupakan metode yang paling efisien biaya
untuk melakukan penapisan populasi massal, contohnya pengambilan sampel di bandara.
19
Tabel 2. Prioritas pemeriksaan pada pandemi COVID-19 berdasarkan ​Center for Disease Control​, AS
PRIORITAS 1
Memastikan pelayanan optimal bagi seluruh pasien rawat inap, menurunkan risiko infeksi nosokomial, dan menjaga integritas dari
sistem layanan kesehatan
● Pasien rawat inap
● Tenaga kesehatan dengan gejala
PRIORITAS 2
Memastikan bahwa individu dengan risiko komplikasi infeksi tertinggi dapat diidentifikasi sedini mungkin dan di-triage dengan tepat
● Pasien di fasilitas layanan jangka panjang dengan gejala
● Pasien berusia 65 tahun atau lebih dengan gejala
● Pasien dengan riwayat komorbiditas dengan gejala
● First responder​ dengan gejala
PRIORITAS 3
Jika sumber daya memungkinkan, periksa individu di komunitas sekitar rumah sakit dengan jumlah kasus yang meningkat pesat
untuk menekan penyebaran infeksi di komunitas dan memastikan kondisi kesehatan tenaga kerja terkait
● Tenaga kerja pada sektor infrastruktur vital dengan gejala
● Individu yang tidak memenuhi kriteria di atas namun dengan gejala
● Seluruh tenaga kesehatan dan ​first responder
● Individu dengan gejala ringan di lingkungan komunitas yang memiliki angka rawat inap COVID-19 yang tinggi
NON-PRIORITAS
Individu tanpa gejala

5. Tindakan Pencegahan Bagi Tenaga Kesehatan Dan Pasien Dalam Bidang Kardiologi

5.1 Penilaian Risiko Umum Dan Tindakan Pencegahan

Dengan mempertimbangkan minimnya dokumen terkait jenis dan tingkat perlindungan tenaga kesehatan,
dokumen panduan PERKI mempertimbangkan dokumen WHO,​34 ​pedoman dari ​American Center for Disease
Control and Prevention mengenai COVID-19​55​, ​pedoman ​European Centre for Disease Control mengenai
COVID-19;​56 serta data dari Cina​57,58 dan pengalaman dari berbagai negara di Eropa dengan wabah COVID-19
terbesar. Penting untuk diingat bahwa dokumen panduan PERKI ini bertujuan untuk mengajukan skema
perlindungan tingkat tinggi bagi seluruh tenaga kesehatan dengan asumsi skenario transmisi infeksi
SARS-CoV-2 terburuk. Perbedaan situasi, seperti negara tanpa kasus, negara dengan kasus sporadik, negara
yang mampu membuat klaster kasus dengan cepat, lokasi geografi dan/atau pajanan umum sebaiknya
mempersiapkan dengan asumsi skenario kesehatan masyarakat yang berbeda, dengan memahami bahwa
tidak ada satu skema yang bersifat universal dalam menangani kasus dan wabah dari COVID-19. Setiap negara
seharusnya senantiasa melakukan penilaian berkala dari risiko yang ada dan mengubah dengan cepat
kebijakan berdasarkan situasi setempat, fase dari epidemi, demografi, kapasitas layanan kesehatan dan
keputusan pemerintah dan pihak berwenang.

5.1.1 Risiko infeksi SARS-CoV-2 pada tenaga kesehatan

Pada laporan terbaru terkait 138 kasus COVID-19 terkonfirmasi, 41,3% diduga mendapatkan infeksi dari rumah
sakit dan lebih dari 70% pasien tersebut merupakan tenaga kesehatan.​39 Tenaga kesehatan memiliki risiko
lebih tinggi terinfeksi oleh virus, seperti yang ditunjukkan oleh Wu dkk, yang melaporkan bahwa di Cina 1.716
dari 44.672 (3,8%) dari individu yang terinfeksi merupakan profesional.​8

Pada umumnya, perlindungan terhadap COVID-19 perlu dibedakan berdasarkan tingkat risiko berdasarkan
presentasi pasien, tipe prosedur dan interaksi serta status risiko tenaga kesehatan. Tabel 3 menjabarkan
rekomendasi umum
20
Tabel 3 Rekomendasi umum bagi Tenaga Kesehatan, dengan perubahan disesuaikan dengan tingkat risiko komunitas setempat dan
strategi pengendalian infeksi
● Monitor dan catat status kesehatan, meliputi suhu tubuh dan gejala sistem pernapasan dari seluruh tenaga kesehatan
● Jika terdapat gejala yang relevan, tenaga kesehatan secepatnya mengisolasi diri, menghentikan aktivitas pelayanan pasien
dan menjalani pemeriksaan swab nasofaring atau pemeriksaan asam nukleat, jika tersedia
● ​
Gejala yang sesuai dengan infeksi SARS-CoV-2 meliputi 60,61
o demam (>37,2 C, dapat bersifat intermiten atau tidak muncul pada beberapa pasien)
o batuk
o sesak napas
o nyeri tenggorokan
o anosmia dan/atau ageusia (kehilangan kemampuan pengecap dan/atau peciuman)
o pegal linu
o mual dan/atau muntah
o diare
o nyeri abdomen
o nyeri kepala
o pilek
o kelelahan
● Tenaga kesehatan dianjurkan untuk menggunakan masker bedah di fasilitas rumah sakit (setidaknya di daerah dengan
skenario transmisi infeksi SARS-CoV-2 terburuk
● Gunakan masker pelindung level II atau III (FFP2, FFP3 atau N95) saat memeriksa pasien suspek atau probabel atau
menangani kasus terkonfirmasi
● Menekankan ​hand hygiene;​ membatasi jumlah staf yang memberikan pelayanan mereka, menerapkan skema optimalisasi
alat pelindung diri (APD)
● Tenaga kesehatan sebaiknya menghindari transmisi ke anggota keluarga (tindakan higienis e.g menjaga jarak, mencuci
tangan) terutama jika mereka tinggal dengan orang yang rentan (e.g lansia, pasien dengan komorbiditas multipel). Di kala
kelangkaan masker berstandar medis, mereka dapat menggunakan masker swadaya pada lingkungan rumah atau ruang
publik
● Batasi jalur masuk virus untuk menekan risiko infeksi baik tenaga kesehatan dan pasien; tunda kunjungan pasien rawat jalan
elektif, gunakan ​telemedicine sebisa mungkin, batasi pintu masuk dan jumlah penunggu pasien. Mengadakan pembagian
lalu lintas aktivitas di dalam rumah sakit untuk memisahkan pasien positif SARS-CoV-2 dan negatif
● Memantau penerapan peraturan ​social distancing​ intra rumah sakit
● Seluruh kewaspadaan yang relevan sebaiknya diterapkan untuk menekan pajanan COVID-19 kepada tenaga kesehatan
dengan komorbiditas dan/atau kehamilan

Tindakan pencegahan yang diterapkan bergantung pada definisi kasus COVID-19 seperti yang didefinisikan
pada Tabel 4.

Tabel 4 Status risiko pasien​54


Jenis kasus Definisi
Kasus terkonfirmasi Seseorang dengan konfirmasi infeksi SARS-CoV-2 laboratorium, terlepas dari tanda dan gejala klinis
Kasus probabel A) Kasus suspek dengan hasil tes SARS-CoV-2 inkonklusif
ATAU
B) Kasus suspek tanpa hasil pemeriksaan karena tidak dapat dilakukan oleh sebab apapun
Kasus suspek A) Pasien dengan demam atau setidaknya 1 (satu) tanda/gejala yang sesuai dengan infeksi SARS-CoV-2
DAN riwayat bepergian ke atau bertempat tinggal di lokasi yang melaporkan adanya transmisi lokal
komunitas COVID-19 dalam 14 hari sebelum awitan gejala
ATAU
B) Pasien dengan demam atau setidaknya 1 (satu) tanda/gejala yang sesuai dengan infeksi SARS-CoV-2
DAN memiliki kontak dengan kasus terkonfirmasi atau probabel COVID-19 dalam 14 hari sebelum
awitan gejala
ATAU
C) Pasien dengan gejala pernapasan akut berat DAN memerlukan rawat inap DAN tidak terdapat
diagnosis alternatif yang dapat menjelaskan gambaran klinis tersebut
Kasus negatif A) Seseorang tanpa gejala COVID-19 yang memiliki kontak dengan kasus COVID-19 terkonfirmasi atau
probabel dengan hasil tes SARS-CoV-2 negatif
ATAU
B) Kasus suspek dengan dua kali hasil tes SARS-CoV-2 negatif
ATAU
21
C) Pasien COVID-19 yang sudah dinyatakan sembuh berdasarkan 2 (dua) kali pemeriksaan dalam
rentang waktu setidaknya 48 jam
Definisi dari kontak​54
Kontak didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami satu dari skenario pajanan berikut terhadap kasus probabel atau terkonfirmasi 2 hari sebelum
atau 14 hari sesudah pasien tersebut menimbulkan gejala
● Kontak tatap muka dengan kasus terkonfirmasi atau probabel dalam jarak 1 meter dan lebih dari 15 menit
● Kontak fisik langsung dengan kasus terkonfirmasi atau probabel
● Merawat langsung pasien dengan infeksi SARS-CoV-2 terkonfirmasi atau probabel tanpa menggunakan alat pelindung diri yang sesuai ; ATAU
● Situasi lain yang ditentukan berdasarkan penilaian pihak berwenang setempat

Tingkat perlindungan dari tenaga kesehatan bergantung kepada status risiko pasien, situasi dan prosedur yang
dilakukan (Tabel 5). Disamping penggunaan APD oleh tenaga kesehatan, seluruh pasien suspek/probabel atau
terkonfirmasi SARS-CoV-2 sebaiknya menggunakan masker bedah sekali pakai di ruangan yang terdapat
tenaga kesehatan atau individu lain.

Tabel 5 Manajemen alat pelindung diri terkait SARS-CoV-2​54,62


Level proteksi Alat pelindung diri Waktu penggunaan/Prosedur
Proteksi Level I Tutup kepala bedah sekali pakai Triase pra-pemeriksaan, unit rawat jalan (tanpa
Masker bedah sekali pakai pasien suspek/probabel SARS-CoV-2)​a
Baju kerja ​uniform
Sarung tangan lateks
Proteksi Level II Tutup kepala bedah sekali pakai Seluruh pasien suspek/probabel atau
Masker pelindung medis (N995/FFP2) terkonfirmasi SARS-CoV-2 sebaiknya
Baju kerja ​uniform menggunakan masker bedah sekali pakai​b
Gaun Unit rawat jalan (pasien suspek/probabel atau
Sarung tangan bedah sekali pakai terkonfirmasi SARS-CoV-2)
Google Bangsal isolasi atau area ICU
Pengambilan spesimen non-respiratori dari pasien
suspek/probabel atau terkonfirmasi SARS-CoV-2
Tindakan TEE pada pasien suspek/probabel atau
terkonfirmasi SARS-CoV-2
Prosedur invasif perkutan (angiografi koroner,
PCI, tindakan EP) pada pasien suspek/probabel
atau terkonfirmasi SARS-CoV-2
Membersihkan instrumen bedah atau diagnostik
(transduser TTE/TEE, stetoskop) yang digunakan
pada pasien suspek/probabel atau terkonfirmasi
SARS-CoV-2
Proteksi Level III Tutup kepala bedah sekali pakai Prosedur penghasil aerosol (PPA): swab
Masker pelindung medis (FFP3) nasofaring, intubasi endotrakeal atau prosedur
Baju kerja ​uniform lainnya yang dapat memicu cipratan atau
Gaun semburan sekret saluran napas, cairan tubuh atau
Sarung tangan bedah sekali pakai darah pada pasien suspek/probabel atau
Instrumen pelindung saluran napas ​full-face atau terkonfirmasi SARS-CoV-2
powered air-purifying respirator​, jika tersedia
a​
Di beberapa negara masker digunakan dengan masif sesuai dengan kebijakan pihak berwenang setempat dalam konteks COVID-19. Di area dengan
prevalensi COVID-19 yang tinggi di komunitas masker bedah dapat digunakan dalam setiap interaksi tenaga kesehatan dan pasien, sementara hal
tersebut tidak perlu dilakukan pada area komunitas dengan prevalensi rendah.
b​
Pasien suspek/probabel atau terkonfirmasi SARS-CoV-2 sebaiknya menggunakan masker bedah:
● FFP2 dan FFP3: masker respirator ​filtering face piece (​ FFP) kelas 2 dan 3
● Di kala keterbatasan masker, FFP2 dan FFP3 dapat digunakan hingga 6 jam
● Pada saat melakukan TEE, gunakan FFP3 jika tersedia untuk meningkatkan keamanan
● Sarung tangan harus selalu diganti setiap setelah melakukan pemeriksaan pasien
● Kacamata personal atau lensa kontak TIDAK termasuk pelindung mata yang adekuat
● Seluruh tenaga kesehatan sebaiknya menghindari untuk menyentuh wajah pada saat bekerja

Masker FFP3, FFP2, dan N95 dirancang untuk mampu bersifat kedap ketika dikenakan dan memiliki
kemampuan filtrasi partikel ​airborne yang sangat efisien. ​Powered air-purifying respirator (PAPR) merupakan
22
tipe APD yang terdiri atas respirator dalam bentuk ​hood​, yang mengambil udara bebas terkontaminasi dan
menyaring partikel patogen secara aktif kemudian mengalirkan udara bersih tersebut ke dalam ​hood untuk
dihirup oleh pengguna (Gambar 4)

Gambar 4. Berbagai jenis masker untuk digunakan berdasarkan jenis prosedur dan tingkat risiko.
Masker FFP3, FFP2, dan N95 dirancang untuk mampu bersifat kedap ketika dikenakan dan memiliki kemampuan filtrasi partikel
airborne yang sangat efisien. ​Powered air-purifying respirator (PAPR) merupakan tipe APD yang terdiri atas respirator dalam bentuk
hood,​ yang mengambil udara bebas yang terkontaminasi dan menyaring secara aktif partikel patogen kemudian mengalirkan udara
bersih ke dalam ​hood​ tersebut untuk dihirup oleh pengguna.
23
Seluruh tenaga kesehatan harus mampu melakukan pemasangan dan pelepasan APD yang tepat termasuk
pelindung mata (Gambar 5 dan 6).​58

Gambar 5. Panduan cara pemasangan alat pelindung diri (APD) dalam menangani pasien COVID-19 (dimodifikasi dari "Handbook of
COVID-19 Prevention and Treatment")​58
24

Gambar 6. Panduan cara pelepasan alat pelindung diri (APD) dalam menangani pasien COVID-19 (dimodifikasi dari "Handbook of
COVID-19 Prevention and Treatment")​58
25

5.2 Pelayanan dalam Beberapa Situasi


5.2.1 Situasi Rawat Jalan

● Jika memungkinkan, disarankan untuk memberikan masker bedah pada setiap pasien rawat jalan dan
juga tenaga medis yang melayani terutama di negara-negara yang mengalami transmisi komunitas
● ​
Fasilitas untuk melakukan triase sebaiknya dibentuk untuk menilai status risiko pasien (Tabel 4). 55
● Ini diperlukan untuk membagi pasien menjadi dua kategori:kategori memungkinkan / diduga atau
tidak memungkinkan/ dugaan rendah. Pasien kategori pertama sebaiknya ditangani di bagian rawat
jalan dengan proteksi HCP tingkat II, sedangkan untuk pasien kategori kedua dapat ditangani dalam
setting rawat jalan dengan proteksi HCP tingkat I (Tabel 5)

5.2.2 Situasi Rawat Inap

● Jika memungkinkan, disarankan untuk memberikan masker bedah pada setiap pasien rawat jalan
beserta penunggu pasien pada negara-negara dengan transmisi komunitas. 56,58​
● Pasien yang masuk dalam bangsal kardiologi sebaiknya harus dianggap sebagai memiliki risiko tinggi
terinfeksi dengan SARS-CoV-2 sesuai dengan tabel 4. 63 ​ Pada pasien-pasien ini sebaiknya dilakukan
pemeriksaan swab dan ditangani dengan proteksi level II atau III. Pasien-pasien ini sebaiknya ditangani
di bagian khusus dalam bangsal
● Pasien dengan kasus terkonfirmasi sebaiknya ditangani dengan proteksi tingkat II atau III apabila
memungkinkan, idealnya dilakukan penanganan di ruang khusus untuk satu pasien dengan kamar
mandi terpisah. Namun, kami menyadari bahwa Sebagian besar rumah sakit akan mengumpulkan
beberapa pasien suspek COVID-19 di dalam satu ruangan karena tempat yang tidak cukup untuk
isolasi individu
● Penggunaan alat khusus (seperti pengukur tekanan darah, stetoskop dan termometer) untuk
kasus-kasus terkonfirmasi/memungkinkan/diduga COVID-19 ini sebaiknya dilakukan. 56 ​ ​Jika tidak
memungkinkan, disinfektasi pada pasien perlu dilakukan sesuai dengan instruksi medis
● Apabila hasil pemeriksaan swab ini negative, namun kecurigaan terhadap infeksi SARS-CoV-2 ini masih
tinggi, disarankan untuk dilakukan pemeriksaan swab yang kedua, aspirasi endotrakeal dan juga
pemeriksaan CT scan pada paru-paru, tergantung dari kemampuan lokal dan juga gejala pasien, perlu
dipertimbangkan juga keterbatasan sensitivitas dari pemeriksaan swab. Pasien ini sebaiknya ditangani
di bagian khusus di bangsal, dengan kamar tersendiri dan kamar mandi khusus, dan sebaiknya diisolasi
dari pasien-pasien lain sampai hasil pemeriksaan sudah jelas.​46
● Kasus-kasus lainnya sebaiknya ditangani dengan proteksi tingkat 1 (lihat tabel 5) pada daerah bersih di
bangsal.​55
● Apabila ada sumber daya yang cukup, sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada pasien-pasien yang tidak
memiliki gejala COVID-19 terutama pada daerah-daerah dengan prevalensi yang tinggi
26
​5.2.3 Situasi IGD

● Disarankan untuk memberikan masker bedah pada setiap pasien IGD terutama pada daerah-daerah
yang mengalami transmisi dari komunitas
● Keamanan dari tenaga medis pada setting IGD dan ICU ini merupakan tantangan tersendiri dan
membutuhkan pelatihan khusus mengani penggunaan APD
● Triase pasien COVID-19 perlu dilakukan dan area khusus perlu ditentukan untuk menangani
pasien-pasien yang memiliki dugaan kuat .​55
● Sebelum dilakukan konsultasi bidang kardiologi di IGD, sebaiknya dilakukan pemeriksaan via telepon
untuk menentukan apakah pasien memiliki gejala COVID-19 atau faktor risiko tertentu terhadap
COVID-19 (lihat Tabel 3) atau memiliki gambaran rontgen thorax dan CT scan yang mencurigakan.​ 55
● Jika ada kecurigaan dan penanganan bidang kardiologi dirasakan sangat mendesak dimana menunggu
hasil swab tidak dimungkinkan, pasien sebaiknya dianggap positif SARS-CoV-2 dan penggunaan APD
maksimum perlu digunakan (proteksi level II, proteksi level III apabila prosedur yang menghasilkan
aerosol akan dilakukan) (lihat Tabel 5)
Kasus-kasus IGD lainnya sebaiknya ditangani dengan proteksi tingkat I (Tabel 5)

5.2.4 Setting Pelayanan Intensif

● Mengingat mayoritas pasien yang masuk ke ICU/ICCU/ICVCU dalam situasi kritis dan memerlukan
dukungan ventilasi (seperti penggunaan continuous positive airway pressure (CPAP) serta intubasi
orotrakeal), proteksi dengan derajat yang lebih tinggi perlu dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan kasus suspek/ terkonfirmasi/ kemungkinan kuat COVID-19. Kita perlu mempertimbangkan APD
tingkat II dan III pada kondisi prosedur yang menghasilkan aerosol
● Sebaiknya pasien memiliki ruangan tersendiri dan pasien non-COVID-19 ditangani dengan APD tingkat

I, pada tenaga medis khusus yang berbeda dengan orang yang menangani pasien COVID-19 57,58

5.2.5 Setting ​Cath Lab

● Pemberi pelayanan kesehatan sebaiknya memiliki teknik yang baik dalam menggunakan dan juga
melepaskan APD termasuk proteksi mata (lihat gambar 5 dan gambar 6). Pemimpin dari ​cath lab
sebaiknya memastikan keberadaan, pergantian dan juga pelatihan penggunaan alat APD ini
● Seluruh pasien yang diberikan pelayanan di cath lab sebaiknya menggunakan masker bedah

5.2.5.1 Pasien dengan ​ST-segment Elevation Myocardial Infarction​ (STEMI)

Oleh karena tidak ada waktu yang cukup untuk menunggu hasil swab nasofaring, prosedur ini sebaiknya
dilakukan pada cath lab khusus untuk pasien COVID-19, apabila memungkinkan pasien sebaiknya ditriase
27
sesuai dengan panduan pada tabel 4. Pada daerah-daerah dengan tingkat transmisi komunitas yang tinggi,
sebaiknya semua pasien dianggap positif SARS-CoV-2 dan petugas medis menggunakan APD yang sesuai.

5.2.5.2 Pasien dengan Non ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTE-ACS)

● Pada pasien dengan risiko sangat tinggi mengalami NSTE-ACS penanganan perlu disesuaikan dengan
panduan STEMI dan penggunaan APD yang sesuai pada tenaga Kesehatan
● Pasien sebaiknya melakukan swab nasofaring segera setelah pasien pulang (Gambar 10 dan apabila
didapatkan dua hasil negatif dalam 48 jam dan tidak didapatkan gejala yang khas terhadap infeksi
virus, angiografi koroner dan juga PCI perlu dilakukan pada cath lab yang khusus untuk pasien
SARS-CoV-2 negatif
Pasien dengan hasil SARS-CoV-2 positif
● Jika didapatkan bahwa ada indikasi kuat untuk melakukan prosedur invasif, sebaiknya prosedur ini
dilakukan di fasilitas Cath lab yang khusus ditujukan bagi pasien-pasien COVID-19 apabila
memungkinkan
● Threshold dilakukannya intubasi pada pasien-pasien dengan gangguan status respirasi yang tinggi
sebaiknya diturunkan untuk mencegah intubasi emergen dan juga generasi aerosol di cath lab
● Mengingat transportasi pasien dari bangsal ke cath lab meningkatkan risiko transmisi infeksi
intra-rumah sakit, prosedur-prosedur yang biasanya dilakukan di cath lab (pemasangan kateter
Swan-Ganz, perikardiosentesis dan juga pemasangan IABP) perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
di-bedside
● Staff yang bertugas di cath lab sebaiknya diminimalisir dan pada kondisi-kondisi instabilitas
hemodinamik, sebaiknya menggunakan APD tingkat II atau tingkat III (lihat tabel 5), termasuk
didalamnya adalah sarung tangan, gown dan juga google (termasuk pelindung wajah) dan juga masker
tingkat II atau III (lihat gambar 4)
● Prosedur intubasi, suction atau resusitasi jantung-paru (RJP) dapat memproduksi aerosol dan juga
menghasilkan sekresi respirasi yang meningkatkan paparan pada staff. Oleh karena itu, pertimbangkan
penggunaan pembersih udara ruangan, jika memungkinkan. (lihat gambar 4)
● Jika dilakukan ventilasi manual saat dilakukan resusitasi jantung paru (RJP), filter partikulat efisiensi
tinggi mungkin diperlukan di antara tuba dan juga masker untuk mengurangi dispersi aerosol pada
pasien
● Oleh karena mayoritas cath lab tidak didesain untuk isolasi infeksi pada kondisi tekanan negatif,
pembersihan terminal dan juga sanitasi perlu dilakukan setelah prosedur. Perlu dipertimbangkan
bahwa proses pergantian udara di cath lab perlu diperiksa (minimal 15 pergantian udara setiap
jamnya, idealnya 30 pergantian udara setiap jam nya)

5.2.6 Setting Lab Elektrofisiologi


28
Di lab elektrofisiologi (EP), aktivitas ini akan berkurang secara drastis atau dihentikan pada daerah-daerah
yang terjangkiti COVID-19. Aktivitas residual EP perlu dipertahankan untuk beberapa kategori pasien (lihat
tabel 7 dan tabel 13).
Proteksi tenaga medis:​64
● Laboratorium EP yang khusus didedikasikan pada pasien-pasien yang memiliki potensi terinfeksi
SARS-CoV-2 kemungkinan tidak tersedia di mayoritas institusi, namun sebaiknya perlu diadakan
apabila memungkinkan
● Semua pasien dengan indikasi klinis untuk prosedur EP perlu dilakukan swab nasofaring segera setelah
admisi
● Pada kondisi ketidakstabilan hemodinamik dan juga kemungkinan kasus COVID-19, prosedur perlu
dilakukan dengan APD tingkat II (Tabel 5)
● Pada kondisi kritis seperti syncope dan juga AV block total, pasien sebaiknya ditransfer ke lab EP untuk
pemasangan pacemaker menggunakan proteksi tingkat II (tabel 5). Setelah prosedur ini dijalankan,
pasien ini sebaiknya ditransfer ke daerah yang didedikasikan untuk pasien COVID-19 untuk skrining
infeksi SARS-CoV-2 ini dijalankan
● Apabila didapatkan hasil negatif dalam 48 jam dan juga tidak adanya gejala COVID-19, prosedur perlu
dijalankan menggunakan APD standard.
Pada pasien dengan pemeriksaan SARS-CoV-2 positif:
● Pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik, prosedur ablasi perlu ditunda menggunakan obat
antiaritmia sesuai dengan indikasi aritmia yang mendasari
● Akses pasien dan keluarnya pasien dari lab EP perlu ditentukan terlebih dahulu
● Jumlah operator perlu dibatasi ke jumlah yang esensial. Secara ideal, satu perawat, satu operator, satu
asisten di konsol serta satu anestesiologis apabila diindikasikan
● Tidak ada instruksi spesifik tergantung dari jenis teknik implant dan juga alat yang akan diimplantasi
namun, harusnya memiliki teknologi remot kontrol
● Pembersihan dan sanitasi dari lab EP perlu dilakukan segera setelah prosedur

5.2.7 Tindakan TEE, CPAP dan juga Pasien Terintubasi

Jumlah virus pada saluran nafas pada kondisi SARS-CoV-2 kemungkinan besar tinggi dan sangat infeksius.​65
Kondisi ini akan meningkatkan risiko pada tenaga medis yang melakukan tindakan ventilasi secara non-invasif
menggunakan CPAP atau ventilasi invasif dengan intubasi orotrakeal. Oleh sebab itu, kewaspadaan tingkat
tinggi diperlukan untuk mencegah penularan infeksi saat melakukan prosedur CPAP, intubasi atau saat
memasukkan probe transesofageal ekokardiografi (TEE) ke orofaring.

● Setiap pasien yang akan menjalani prosedur TEE ini harus diperiksa (diketahui ) status SARS-CoV-2.
● Apabila didapatkan hasil pemeriksaan negatif dua kali dalam waktu 48 jam dan tanpa gejala, prosedur
dapat dilakukan dengan menggunakan alat pelindung diri yang sesuai.

Pada pasien dengan status SARS-CoV-2 positif atau dengan status yang tidak diketahui:
29
● Pemeriksaan ultrasound terfokus / ​“Point-of-care” focused ultrasound (POCUS) dapat dilakukan secara
bedside pada pasien dengan SARS-CoV-2 positif. Disarankan untuk menunda tindakan TEE untuk
menghindari paparan infeksi pada tenaga medis.
● Tindakan ventilasi invasif, CPAP dan TEE dilakukan dengan menggunakan alat pelindung diri (APD)
tingkat III.

5.3 Pasien

Pokok Utama:
● Pada pasien kardiovaskular, perlindungan terhadap eksposisi tehadap infeksi SARS-CoV-2 perlu
menjadi prioritas mengingat outcome yang lebih buruk pada grup pasien ini
● Pasien perlu diedukasi bagaimana melindungi diri mereka sendiri dari kontak terhadap firus serta
informasi baiknya perlu disampaikan dengan illustrasi yang menarik (lihat gambar 7)
● Pasien yang masuk kedalam bangsal perlu berada di rumah sakit dengan waktu sesingkat mungkin,
untuk mengurangi paparan terhadap virus
● Sumber daya yang cukup perlu disediakan untuk menangani pasien dengan kegawatan kardiovaskular
pada pasien yang bebas COVID-19 dan juga pasien yang terinfeksi
● Pelayanan elektif yang ditujukan baik untuk diagnosis maupun teraputik perlu ditunda sampai kondisi
pandemic ini selesai (agar tidak membebani sistem Kesehatan dengan hospitalisasi yang tidak urgent
dan juga menjaga pasien-pasien cardiovascular lainnya tidak terpapar pada infeksi virus)
● Member dari staff perlu diedukasi mengenai prosedur pencegahan dan juga lokasi untuk social
distancing saat menunggu antrian perlu dipertimbangkan

Sekarang sudah diketahui secara pasti bahwa pasien kardiovaskular yang mengalami infeksi COVID-19
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk perburukan intra-rumah sakit.​9 Inilah mengapa diperlukan proteksi
efektif untuk melindungi mereka dari kontak dengan subjek yang terinfeksi dimana gejala dari COVID-19 ini
masih tidak jelas dan juga tidak spesifik. Wang et al melaporkan bahwa persentase signifikan transmisi virus
COVID-19 ini berhubungan dengan rumah sakit (12.3% dari seluruh pasien) data ini berasal dari kohort
pasien-pasien yang sedang dirawat di rumah sakit di Wuhan pada awal pandemi.​5 Berdasarkan data ini, pasien
yang ke rumah sakit karena penyakit kardiak akut tanpa gejala infeksi viral perlu dilakukan penegakan
diagnosis di area yang bersih dan juga memiliki akses ke bangsal yang bebas COID-19. Perlu dipertimbangkan
untuk menjaga pasien-pasien rawat jalan kronis di rumah sebaik-baiknya untuk mencegah lama rawat pasien
dengan masalah jantung sesingkat mungkin. Adopsi dari pembatasan kunjungan pasien yang ketat juga perlu
dipertimbangkan.​66
Prosedur elektif juga perlu dihindari pada saat pandemic COID-19 untuk mencegah overload dari sistem
Kesehatan dan juga meningkatkan resiko penularan penyakit. Dalam konteks ini, untuk mencegah penularan
COVID-19 penggunaan telemedicine sangat membantu terutama untuk pasien berisiko tinggi seperti pasien
usia lanjut. Selain itu, telemedicine memberikan kesempatan untuk konsultasi online dengan spesialis dan juga
professional yang berbeda, sehingga pasien mendapatkan terapi komprehensif tanpa perlu pindah dari rumah
ke klinik rawat jalan ataupun rumah sakit. Telerehabilitasi (atau program rehabilitasi berbasis rumah dengan
telepon ke tim rehab) adalah opsi pada pasien yang telah pulang dari rumah sakit setelah kondisi akut. Setelah
itu, follow up ​telemedicine pada pasien gagal jantung akan menjadi standard yang perlu dipertimbangkan.
Telemedicine perlu dipertimbangkan bahwa memiliki kontribusi yang signifikan untuk pembatasan outbreak
30
virus dan mencegah kondisi Kesehatan pasien semakin menurun karena misdiagnosis atau CVD yang tidak
tertangani dengan baik.​67
Selain ​telemedicine​, implementasi dari “​home care”​ atau “klinik mobile” dipertimbangkan pula menjadi salah
satu solusi untuk mencegah pergerakan pasien yang tidak diperlukan ke rumah sakit, perlu diingat bahwa
perawat dan dokter sebaiknya menggunakan APD yang lengkap. Solusi ini cukup baik terhadap ketidakstabilan
klinis dari berbagai penyakit jantung (seperti gagal jantung kronis), dan juga meyakinkan pasien terhadap
ketaatan minum obat serta membentuk “penanganan berbasis komunitas” yang lebih bermanfaat
dibandingkan dengan “berbasis pasien”. Pasien yang terinfeksi dan dirawat inap memakan sumber daya yang
lebih besar.​68
Disaat pasien kardiovaskular diperlukan mengakses fasilitas rumah sakit untuk alasan diagnostik maupun
terapeutik, sebaiknya mereka menggunakan masker bedah, menerapkan secara paripurna pembatasan sosial
dan juga mencuci tangan secara teratur menggunakan larutan alkohol yang disiapkan oleh rumah sakit.​69
Pasien juga sebaiknya menggunakan APD apabila penularan COVID-19 di komunitas dirasakan tinggi.

Gambar 7: Bagaimana saya melindungi diri sendiri?


31

6. Sistem Triase (Reorganisasi dan Redistribusi)

6.1 Prinsip Umum Triase

Pokok Utama:
● Prioritas yang tinggi diberikan pada pasien dengan infeksi COVID-19 karena dapat membahayakan
triase pasien non-COVID-19 dengan CVD
● Triase pasien yang benar akan membagi pasien di rumah sakit berdasarkan status infeksi dan juga
menyebabkan penggunaan alat protektif baik pada pemberi layanan Kesehatan maupun pada pasien
● Pasien dengan Riwayat penyakit jantung akut yang harus segera masuk ke intensive cardiac care unit
(ICCU) atau pada cath lab tanpa pemeriksaan lanjutan perlu dianggap sebagai positif Sars-COV 2
sampai terbukti tidak mengalami infeksi

Triase pasien ini sangatlah penting terutama saat servis medis mengalami kelebihan beban pada saat kondisi
pandemic dan juga keterbatasan sumber daya. Hal ini terutama penting pada saat pandemic COVID-19 dimana
munculnya penyakit ini sangat berdampak pada sistem Kesehatan seluruh dunia, beberapa aspek penting yang
perlu diperhatikan saat melakukan triase adalah sebagai berikut:
● Gejala awal dair COID 19 seperti kesulitan bernafas, nyeri dada atau asthenia yang mungkin
menyerupai gejala awal dair penyakit kardiovaskular. Sehingga kolaborasi yang baik antara berbagai
profesi dan spesialis, untuk melakukan work up kondisi pasien perlu dilakukan secepat mungkin.
Pasien dengan COVID-19 juga seringkali memiliki penyakit jantung akut seperti ACS atau embolisme
pulmoner dan mungkin datang ke rumah sakit untuk alasan ini. Pada kasus ini, penanganan segera
pada kedua penyakit ini juga berkontribusi untuk outcome yang lebih baik.
● Di setiap institusi, algoritma diagnostik yang eksplisit untuk pasien-pasien yang diduga mengalami
infeksi COVID-19 ini penting untuk diinformasikan ke triase. Pasien dengan kemungkinan / infeksi
COVID-19 yang terkonfirmasi perlu ditriase sebagai pasien COVID-19
● Pada pasien kritis dengan penyakit kardiovaskular (STEMI, out of hospital cardiac arrest(, pemeriksan
medis dan juga penanganan intervensi perlu dilakukan dengan rekomendasi sesuai guidelines terbaru.
Pasien perlu dianggap positif infeksi SARS CoV-2 kecuali terbukti tidak mengalami infeksi. Pemberi
layanan Kesehatan sebaiknya menggunakan APD yang layak. Terutama pada fase triase pasien-pasien.
Rekomendasi yang dibuat oleh WHO untuk kewaspadaan kontak (menggunakan face mask, kacamata,

jas lab yang hydro-repellent dan sarung tangan) perlu dipertimbangkan pada triase pasien awal. 71,72
● Dokter yang melakukan triase pada pasien yang memerlukan penanganan intensif jantung yang
memiliki atau diduga memiliki infeksi COVID-19 harus ditangani sesuai dengan protokol yang berlaku
di tempat dan juga pertimbangan etis serta ketersediaan sarana dan prasarana yang ada. 74​

6.2 Rumah Sakit dan ​Network​ Ambulan


32

Pokok Utama:
● Beberapa rumah sakit dengan Cath Lab yang beroperasi 24 jam / 7 hari seminggu perlu tetap
menjalankan fungsinya untuk penanganan acut CVD
● Sumber daya dan spesialis jantung dan pembuluh darah perlu berkonsentrasi di pusat-pusat jantung
untuk penanganan akut pada pasien dengan masalah jantung yang membutuhkan pertolongan
● Jaringan ambulans perlu diatur sesuai dengan pusat-pusat penanganan jantung dan diorganisasi
dengan baik

Pusat rujukan ini akan memberikan pelayanan reperfusi akut pada semua pasien yang memerlukan PCI ​urgent​.
Pasien dengan STEMI atau risiko tinggi NSTEMI sebaiknya di-triase oleh tim IGD yang ditransportasikan ke
pusat rujukan, jika memungkinkan. Sebagai panduan umum, kita merekomendasikan jumlah cath lab yang
tersedia untuk primary PCI tidak berkurang saat pandemic ini untuk mencegah peningkatan waktu
door-to-balloon,​ mengurangi risiko infeksi saat transfer baik kepada tenaga medis maupun ke pasien, dan juga
untuk mengurangi beban sistem Kesehatan. Jaringan STEMI regional sebaiknya diadaptasikan terhadap
perubahan dinamis pada pandemic ini di setiap regio sesuai dengan beban logistic atau medis. Sebagai contoh,
di Lombardy, Italia, sistem rujukan COVID-19 ini telah didefinisikan pada saat dimulainya epidemi virus ini,
menurunkan lebih dari 60% jumlah pusat rujukan dalam 24 jam/ 7 hari kapasitas dalam menjalankan primary
PCI. Shift aktif ini juga diberikan pada kardiologis intervensi sesuai dengan peningkatan jumlah pasien STEMI
dan NSTEMI yang masuk ke rumah sakit.​76
Network ambulans juga sebaiknya diorganisir ulang untuk mengirimkan pasien langsung ke rumah sakit
rujukan COVID-19, melewati rujukan-rujukan perantara yang dapat menghabiskan waktu dan juga
menyebabkan waktu menjadi terbuang. Tujuan utama ini adalah untuk meningkatkan waktu penanganan CVD
akut, meskipun jelas akan ada keterlambatan yang berhubungan dengan epidemic. Secara fungsional juga baik
bagi pasien untuk dirujuk ke rumah sakit rujukan COVID-19 dan juga fasilitas terisolasi untuk COVID-19 yang
menangani pasien CVD pada mereka yang diduga kuat mengalami COVID-19 China adalah salah satu negara
pertama yang memiliki rekomendasi spesifik untuk program transportasi yang didukung oleh otoritas
Kesehatan.​77

6.3 Unit Gawat Darurat

Pokok Utama:
● Pengaturan ulang dari IGD ini sangat penting untuk membagi pasien yang diduga mengalami COVID-19
dengan pasien tanpa infeksi SARS-CoV-2
● Protokol lokal untuk melakukan triase pada pasien dengan gejala saluran nafas sebaiknya tersedia
bersama fasilitas untuk menunggu untuk menunggu hasil skrining COVID-19 ini. Pasien dengan gejala
ringan dan kondisi penyakit stabil sebaiknya dipulangkan

Pada negara-negara yang dipengaruhi oleh pandemic COVID-19, IGD sebaiknya diatur untuk memberikan
pelayanan kepada pasien COID19 dengan area akses dan juga fasilitas isolasi dari saat masuk ke rumah sakit.
33
Protokol lokal untuk melakukan triase secara cepat pada pasien dengan gejala saluran nafas sebaiknya
dilakukan untuk mendiferensiasi pasien CVD dengan pasien COVID-19. Di Cina, pasien tanpa riwayat geografis
yang sesuai, tidak ada paparan terhadap virus, tidak ada demam, tidak ada gejala saluran nafas, diare maupun
rasa lemas dinyatakan sebagai “risiko rendah COVID-19” dan biasanya gejala CVD nya ditangani dengan
protokol standar.​78
Ceklis perlu diadopsi secara cepat untuk mendiferensiasi pasien dengan risiko tinggi atau risiko rendah
mengalami infeksi COVID-19 dari pasien non-infeksius (lihat tabel 3 dan tabel 4). Pasien dengan gejala yang
ringan dan stabil sebaiknya dipulangkan dari IGD secepatnya (Gambar 8) dengan saran untuk pulang ke rumah
untuk isolasi diri apabila COVID-19 telah diduga atau dikonfirmasi

Gambar 8 Algoritma untuk triase pasien yang masuk ke IGD dengan suspek penyakit kardiovaskular

Pasien dengan kebutuhan masuk rumah sakit dengan CVD akut dengan kemungkinan tinggi infeksi SARS-Co2
sebaiknya diperlukan pemeriksaan lanjutan dan ditangani sebagai infeksi SARS-CoV-2 sampai memiliki hasil tes
negatif sebanyak dua kali dalam 48 jam berurutan. Pasien yang memerlukan masuk ke rumah sakit yang tidak
diduga mengalami infeksi SARS-CoV-2 sebaiknya ditangani sesuai dengan standar
34

6.4 Penanganan di ICU/ICVCU/ICCU dan Unit Intermediate

Pokok Utama:
● Pasien non-COVID-19 dengan CVD akut sebaiknya dimasukan ke ICU/ICVCU/ICCU yang bebas
COVID-19, kebanyakan berada di pusat rujukan COVID-19
● Penanganan pada pasien dengan COVID-19 dengan penyakit CVD berat akan diturunkan ke tingkatan
intensitas yang lebih rendah, terutama apabila prognosis pasien buruk dan juga tempat tidur
ICU/ICVCU/ICCU ini sedikit

Bed ICU/ICVCU/ICCU sebaiknya diberikan pada pasien-pasien COVID-19 dengan komplikasi yang
membutuhkan penanganan intensif, yang memiliki CVD dibawahnya dan memiliki prognosis buruk. 8,79​ Pada
kondisi pandemic ini, pemberian pelayanan sesuai prinsip etis memaksimalkan kebermanfaatan pada pasien
adalah hal yang penting untuk alokasi sumber daya medis,​80 hal ini akan menimbulkan masalah pada pasien
dengan usia lanjut dan CVD yang lebih berat yang tidak akan menerima prioritas utama untuk mendapatkan
penanganan.
Pasien CV yang dites negatif (dan tidak memiliki kecurigaan klinis yang tinggi) untuk infeksi COVID-19
sebaiknya diidentifikasi dan masuk ke rumah sakit, jika memungkinkan, area ICU/ICVCU/ICCU yang bebas dari
COVID-19 yang didedikasikan untuk pasien-pasien COVID-19 perlu disiapkan, terutama pada rumah
sakit-rumah sakit rujukan COVID-19. Apabila fasilitas yang benar-benar “bersih”ini tidak tersedia, oleh karena
meningkatnya jumlah pasien yang diduga mengalami COVID-19, sebaiknya ruangan khusus untuk mengisolasi
infeksi yang diperantarai oleh udara ini diset secara khusus, sehingga memisahkan pasien-pasien dengan
COVID-19 dari pasien yang lain untuk meminimalisasi risiko infeksi. Organisasi ini sebaiknya memberikan
proteksi yang cukup untuk pemberi layanan Kesehatan dan juga membuat pathway khusus untuk penggunaan
ruang isolasi, untuk menghindari penyebaran infeksi.​72
Unit intermediate (disebut juga ICCU level II atau level I sesuai dengan ​Position Paper yang diterbitkan oleh
Acute Cardiovascular Care​) memiliki masalah yang cukup mirip dengan ICU/ICVCU/ICCU, umumnya HCU ini
dilengkapi dengan alat CPAP untuk ventilasi non-invasif. Solusi yang sama juga didiskusikan pada ICU dan juga
dapat diaplikasikan di unit intermediet ini. Pasien-pasien kardiovaskular yang membutuhkan bantuan CPAP
sebaiknya di-triase dan dibedakan dari pasien COVID-19 dengan pneumonia . Ruangan isolasi COVID-19 untuk
pasien kardiovaskular yang positif (dengan acute heart failure sebagai contoh) sebaiknya dipisahkan dengan
pasien yang negatif COVID-19

7.Diagnosis kasus Cardiovascular Pada Pasien COVID-19

7.1 Presentasi Klinis


7.1.1 Nyeri dada
35
Pokok Utama:
● Nyeri dada dan kesulitan bernapas adalah gejala yang cukup sering dialami oleh pasien dengan infeksi
COVID-19
● Presentasi klinik ACS akut dan kronis umumnya dihubungkan dengan gejala saluran nafas.

Gejala dari nyeri dada dan juga dada yang dirasakan tertekan adalah gejala yang cukup sering dialami oleh
pasien infeksi COVID-19. Umumnya gejala nyeri dada ini tidak dapat dilokalisasi dengan baik dan mungkin
berhubungan dengan rasa sesak yang disebabkan oleh pneumonia. Umumnya hipoksemia yang disertai
dengan takikardia akan menyebabkan gejala nyeri dada dan juga perubahan elektrokardiografi akan
menunjukan myocardial ischaemia. Seringkali juga ada perubahan biomarker yang disebabkan oleh
Myocardial Infarction (MI) tipe 2. Pasien dengan ACS umumnya memiliki gejala yang lebih khas karena
iskemia. Adanya infeksi COVID-19 menyebabkan differential diagnosis kasus ini menjadi lebih sulit, gejala
sesak ini seringkali muncul dan muncul lebih dahulu dibandingkan gejala-gejala yang berhubungan dengan
masalah jantung

7.1.2 Sesak, Batuk dan Sulit Bernafas


7.1.2.1 Sesak
Sesak (dyspnea) adalah gejala khas dari COVID-19, dari 1099 pasien rawat inap dan juga rawat jalan di RRT,
18.7% pasien muncul dengan dyspnea. 61 ​ Dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda, tingkat presentasi
gejala dyspnea ini meningkat tergantung dari tingkat keparahan penyakit (31-55% pada pasien yang dirawat di
ruang rawat biasa dan mencapai 92% pada pasien yang masuk ke ICU).​5,46

7.1.2.2 Batuk
Batuk ini muncul pada sekitar 59.4-81.% pasien dengan COVID-19 dan tidak banyak berhubungan dengan
tingkat keparahan penyakit.​23,82 Batuk kering dirasakan lebih sering, produksi sputum didapatkan pada

23-33.7% dari pasien. 5,23,46,61

7.1.2.3 Sulit Bernafas (​Acute Respiratory Distress Syndrome)​


ARDS ini dikarakterisasikan sebagai opasifikasi dari hasil pemeriksaan imaging dari dada (bilateral ground glass
opacification dari pemeriksaan CT) dan juga hipoksemia yang tidak disebabkan oleh hal lain. 83 ​ Dari
pemeriksaan 1099 orang dewasa yang dirawat inap maupun rawat jalan di China, ARDS ini muncul pada 3.4%

pasien,​61 namun pada pasien yang dirawat, tingkatan ini meningkat secara signifikan (19.6 – 41.8%). 5,23,82
Median waktu dari mulainya penyakit sampai ARDS ini berkisar antara 8-12.5 hari.​46 Risiko dari ARDS ini
meningkat pada usia lanjut (>=65 tahun), munculnya komorbid-komorbid lainnya (hipertensi, diabetes),
neutrofilia, lymphocytopenia, peningkatan dari marker-marker yang menunjukan disfungsi organ (​lactate
dehydrogenase (LDH), Inflamasi (​C-reactive protein​) dan D-dimer.​82 Mortalitas pasien yang mengalami ARDS

pada COVID-19 ini tinggi (52%-53%). 5,23,46,47,61,82,83
36
7.1.3 Syok Kardiogenik

Pokok Utama:
● Pada pasien dengan COVID-19 dengan masalah perfusi end-organ dan juga syok kardiogenik (misalnya
infark miokard akut yang luas) perlu mempertimbangkan pula sepsis sebagai etiologic penyerta pasien
● Myocarditis juga sebaiknya dipertimbangkan sebagai faktor pencetus dari syok kardiogenik

Diagnosis cepat, akurat dari syok kardiogenik pada mereka yang terkonfirmasi atau diduga mengalami infeksi
COVID-19 ini sangat penting. Insidensi dari gejala syok kardiogenik pada pasien-pasien ini tidak diketahui
secara pasti. Durasi median antara awal gejala sampai saat masuk ke ICU/ICVCU/ICCU pada pasien dengan
COVID-19 yang kritis antara 9-10 hari, hal ini disebabkan penurunan kondisi pernafasan pada rata-rata pasien.
85​
Klasifikasi yang sederhana dari diagnosis CS ini baru-baru ini dirancang.​86
Pasien COVID-19 yang mengalami penyakit kritis dan memiliki risiko tinggi mengalami syok kardiogenik
(termasuk disini infark miokard akut yang luas, gagal jantung yang akut terkompensasi, Stage A dari Society of
Cardiovascular Angiography and Intervention).​86 Sepsis dan etiologi-etiologi campuran dari syok kardiogenik
perlu dipertimbangkan sebagai etiologic lanjutannya.Parameter yang dapat diukur untuk membedakan antara
syok kardiogenik dan juga syok sepsis adalah adanya vasodilatasi dan juga saturasi vena sentral yang sebaiknya
diukur. Pada beberapa kasus, terutama pada pasien-pasien yang mengalami penurunan kondisi hemodinamik
yang penyebabnya tidak jelas, hemodinamik invasif via kateter arteri pulmonal mungkin akan memberikan
informasi yang sangat berguna.
Pemeriksaan diagnostik dari pasien-pasien yang kritis dengan dugaan kuat COVID-19 atau COVID-19 yang
terkonfirmasi perlu berbagai pertimbangan:
● Tingkatan monitoring yang perlu dipertimbangkan pada pasien, termasuk disini status hemodinamik
pada pasien, tergantung dari resource-resource lokal. Pemeriksaan diagnostik utama perlu dilakukan
pada pasien-pasien yang diduga mengalami syok kardiogenik seperti EKG, ekokardiografi, angiografi
koroner urgent/emergent, sebaiknya diintegrasikan dengan protokol diagnostik lokal (termasuk disini
adalah APD yang cukup) untuk menghasilkan pelayanan yang optimal dengan risiko infeksi viral yang
minimal pada pasien dan juga tenaga Kesehatan
● Dari pengalaman anecdotal, dan juga bukti-bukti eksperimen menunjukan bahwa >7.5% sel miokard
ini memiliki ekspresi reseptor ACE-2 dimana menjadi sasaran dari SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel
manusia, myocarditis ini menjadi penyulit dari COVID-19 dan sebaiknya menjadi pertimbangan
penyebab dari syok kardiogenik pada pasien.

Pertimbangkan kondisi sebagai berikut:


● Hipotensi relatif atau takikardia
● MI akut yang luas
● Gagal jantung dengan dekompensasi akut
37

Gambar 9 Pertimbangan untuk Pasien diduga (atau berisiko) mengalami syok kardiogenik dan juga infeksi COVID-19

7.1.4 Henti Jantung Diluar Rumah Sakit, ​Pulseless Electrical Activity (PEA), Kematian
Jantung Mendadak, Takiaritmia, Bradiaritmia

Pokok Utama:
● Gejala bradiaritmia dan takiaritmia ini tidak berbeda dengan gejala klinis yang sering dijumpai
● Pada konteks pandemic SARS-CoV-2, tim pelayanan Kesehatan sebaiknya terus waspada terhadap
gejala taki dan bradi karena pasien seringkali masih berisiko mengalami gangguan irama jantung dan
juga aritmia supraventrikular / ventrikular
● Sebaiknya dibuat pathway khusus untuk deteksi awal dan manajemen khusus untuk kondisi gangguan
irama jantung ini

Literatur yang tersedia mengenai munculnya aritmia pada konteks infeksi dari virus SARS-CoV-2 ini cukup
terbatas. Pada penelitian di 138 pasien dengan COVID-19 di Wuhan, Aritmia dilaporkan pada 16.7% pasien dan
16 sampai 36 pasien masuk ke ICU (44%), meskipun pengarang tidak menjelaskan secara lebih detail mengenai
tipe-tipenya.​5 Publikasi yang ada pada berbagai institusi menunjukan ventrikular takikardi (VT)/ ventricular
fibrilasi (VF) adalah komplikasi COVID-19 yang sering dijumpai pada 11 dari 187 pasien (5.9%), dengan
insidensi yang lebih tinggi pada pasien-pasien dengan peningkatan troponin T.​14 Studi observasional dari RRT
38
menunjukan bahwa dari 1099 pasien yang dirawat di 552 rumah sakit di RRT tidak melaporkan adanya
kejadian aritmia pada pasien-pasien tersebut.​61 Namun, perlu diketahui bahwa kondisi hypoxaemia dan juga
hiperinflamasi yang akut pada pasien akan meningkatkan risiko munculnya new-onset A pada pasien,
meskipun tidak ada data yang telah dipublikasi sejauh ini. Pertimbangan yang perlu didiskusikan terhadap
management ritme ini termasuk interaksi obat dengan obat-obatan COVID-19 serta obat antikoagulan.
Presentasi klinis dari kondisi brady dan takiaritmia dalam konteks COVID-19 ini tidak berbeda dengan yang
sudah dideskripsikan sebelumnya (palpitasi, dyspnea, rasa pusing, nyeri dada, syncope). Namun, ada
kekhawatiran bahwa pada konteks area-area dengan epidemic yang luas, kemampuan rumah sakit untuk
menangani konsultasi emergensi masalah-masalah kardiak akan berkurang. Penyebab dari kondisi ini masih
tidak diketahui, namun salah satunya adalah kekhawatiran di rumah sakit untuk tertular COVID-19.

7.1.5 Perawatan Kasus Pneumonia dan Juga Peningkatan Risiko Kematian Akibat
Masalah Jantung

Pokok Utama:
● Pneumonia, influenza dan SARS meningkatkan risiko-risiko jangka pendek kondisi kardiovaskular
seperti ACS
● Kewaspadaan terhadap kejadian kardiovaskular seperti ACS dan juga thromboembolisme perlu
menjadi perhatian terutama pada paska-kejadian ACS dan juga thromboembolic terutama pada
individu-individu yang memliki faktor risiko kardiovaskular

Pneumonia dan juga infeksi influenza berat memiliki hubungan yang signifikan terhadap peningkatan risiko
jangka pendek mengalami MI dan juga meningkatnya mortalitas, lebih sering dialami oleh mereka yang
berusia lanjut, tinggal di panti jompo, dan juga memiliki riwayat gagal jantung, penyakit jantung koroner dan
juga hipertensi. Pada kondisi influenza epidemi ini, ada peningkatan dari penyakit jantung koroner pada
pasien-pasien ini.​92 IMA juga seringkali ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami SARS yang disebabkan
oleh coronavirus.​93
Data dari RRT menunjukan bahwa kerusakan sel jantung akibat infeksi COVID-19 yang ditandai dengan
peningkatan kadar troponin ini menunjukan salah satu predictor dari risiko komplikasi kardiovaskular dan juga
risiko klinis.​14,15 Peningkatan dari kejadian thromboembolic ini juga seringkali dilihat pada konteks infeksi
COVID-19

7.2 Elektrokardiogram

Pokok Utama:
● Kriteria diagnostik EKG pada pasien dengan penyakit jantung dengan SARS-CoV-2 sama dengan
populasi pada umumnya
39
Sampai saat ini tidak ada perubahan spesifik dari EKG yang dideskripsikan pada pasien dengan SARS-CoV-2.
Oleh karena itu, kita mengasumsikan bahwa kerusakan yang terjadi pada sel miokard masih diklasifikasikan
sebagai kerusakan minimal (lihat bagian biomarker untuk keterangan selanjutnya) dan tidak menyebabkan
perubahan EKG yang khas pada mayoritas pasien, meskipun ST-segmen elevasi dijumpai pada pasien
​ Sebagai konsekuensinya, kriteria diagnostik EKG ini sama pada pasien yang
myocarditis pernah ditemukan. 41
mengalami infeksi SARS-CoV-2 maupun pada populasi umum. Masih tidak diketahui apakah ada hubungan
antara COVID-19 dan juga aritmia. Salah satu laporan pada 138 pasien mendeskripsikan adanya aritmia pada
16.7% pasien dan jumlah ini meningkat menjadi 44.4% pada 16 pasien yang masuk ke ICU.​5 ​Untuk
pertimbangan aritmia dan juga QT interval terkoreksi (QTc) dan juga terapi COVID-19 lihat bagian 10.1

7.3. Biomarker

Pokok Utama

• Cedera kardiomiosit, yang diukur dengan konsentrasi troponin jantung T/I, dan stres
hemodinamik, yang diukur dengan ​B-type natriuretic peptide (BNP) dan ​N-terminal B tipe
natriuretic peptide (NT-proBNP) dapat terjadi pada infeksi COVID-19 seperti pada pneumonia
lainnya. Tingkat biomarker tersebut berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit dan kematian;
• Konsentrasi troponin T/I dan BNP/ NT-proBNP harus diinterpretasikan sebagai variabel kuantitatif;
• Pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19, peningkatan ringan pada troponin
jantung T/I dan/ atau konsentrasi BNP/ NT-proBNP secara umum adalah hasil dari penyakit
jantung yang sudah ada sebelumnya, dan/ atau cedera atau stres akut terkait dengan COVID-19 ;
• Dengan tidak adanya nyeri dada angina tipikal dan/ atau perubahan EKG iskemik, pasien dengan
peningkatan ringan (misalnya <2-3 kali batas atas normal) TIDAK memerlukan tatalaksana untuk
infark miokard tipe 1 (T1MI);
• Pada pasien dengan COVID-19, seperti pada pasien dengan pneumonia lainnya, pemeriksaan
konsentrasi troponin jantung T/I hanya disarankan jika diagnosis T1MI dipertimbangkan
berdasarkan klinis, atau pada disfungsi LV onset baru. Terpisah dari diagnosis, pemeriksaan
troponin jantung T/I dapat membantu untuk tujuan prognostikasi;
• D-Dimers dapat meningkat pada sepertiga pasien dengan COVID-19 karena berbagai alasan.
Pemantauan konsentrasi D-Dimer dapat membantu mengantisipasi perburukan kasus tetapi juga
dapat menyebabkan kebingungan mengenai keberadaan PE akut. Oleh karena itu, D-dimer hanya
dipertimbangkan bila secara klinis dicurigai PE berdasarkan algoritma diagnostik yang
direkomendasikan. Penanda lain dari aktivasi koagulasi dapat dipantau untuk tujuan prognostikasi.

7.3.1. Elevasi Biomarker Terkait Kondisi Kardiovaskular pada Pasien dengan Infeksi
40
COVID-19

7.3.1.1. ​Cardiac Troponin I / T

COVID-19 adalah pneumonia virus yang dapat menyebabkan peradangan sistemik dan ARDS yang parah, dan
kedua kondisi tersebut memiliki efek mendalam pada jantung.​15, 23, 94 ​Sebagai penanda kuantitatif cedera
kardiomiosit, konsentrasi troponin jantung I/T pada pasien dengan COVID-19 harus dilihat sebagai kombinasi
dari keberadaan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya dan cedera akut terkait COVID-19.​15, 23, 70, 94-96

Studi kohort dari pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 di Cina menunjukkan bahwa 5-25%
pasien mengalami peningkatan troponin jantung T/I, dan lebih umum ditemukan pada pasien yang dirawat di
ICU dan di antara mereka yang meninggal dunia.​13-15, 23, 47, 94 ​Konsentrasi tetap dalam kisaran normal di sebagian
besar penyintas COVID-19. Pada yang tidak selamat, kadar troponin semakin meningkat secara paralel dengan
keparahan COVID-19 dan perkembangan ARDS (Gambar 10).​13, 15, 23, 47, 94

​ ari onset penyakit pada pasien COVID-19 yang


Gambar 10. Perubahan sementara konsentrasi ​high-sensitivity cardiac troponin I d
dirawat di rumah sakit
Perbedaan signifikan antara penyintas dan yang tidak selamat untuk semua titik waktu yang ditunjukkan. ULN sebagai
batas atas normal. (Diadaptasi dari Zhou dkk​23​)

Peningkatan ringan pada konsentrasi troponin jantung T/I (misalnya <2-3 kali batas atas normal), terutama
pada pasien yang lebih tua dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, TIDAK memerlukan
tatalaksana atau pengobatan untuk T1MI, kecuali adanya nyeri dada angina dan/ atau perubahan EKG
(Gambar 11). Peningkatan ringan seperti itu pada umumnya terkait dengan kombinasi kemungkinan penyakit
jantung yang sudah ada sebelumnya DAN/ ATAU cedera akut yang terkait dengan COVID-19.
41

Gambar 11. Konsentrasi ​High-sensitivity cardiac troponin​ (hs-cTn) T/I​ h


​ arus diinterpretasikan sebagai variabel kuantitatif

Pada pasien COVID-19 yang tidak kritis, peningkatan ringan ( s/d 3 kali nilat batas atas normal) pada umumnya disebabkan kombinasi antara
kemungkinan penyakit jantung yang sudah ada DAN cedera kardiomiosit akut terkait COVID-19. Sedangkan peningkatan kosentrasi yang lebih tinggi
mengindikasikan adanya penyakit jantung akut yang lebih spesifik misalnya T1MI, miokarditis, atau sindroma Tokotsubo.

ULN= batas atas normal, HF= heart failure, PE= pulmonary embolism, ARSD= acquired respiratory distress syndrome,
T1MI= type 1 Myocardial Infarction

Peningkatan nyata pada konsentrasi troponin jantung T/I (misalnya > 5 kali batas atas normal) dapat
mengindikasikan adanya syok sebagai bagian dari COVID-19, gagal napas berat, takikardia, hipoksemia
sistemik, miokarditis, sindrom Takotsubo atau T1MI yang dipicu oleh COVID-19 .​15,23,70,94 ​Dengan tidak adanya
gejala atau perubahan EKG yang menunjukkan T1MI, ekokardiografi harus dipertimbangkan untuk
mendiagnosis penyebab yang mendasarinya. Pasien dengan gejala dan perubahan EKG yang sugestif T1MI
harus ditatalaksana sesuai dengan pedoman ESC terlepas dari status COVID-19.​13, 47, 96, 97

7.3.1.2. ​B-Type Natriuretic Peptide / N-Terminal B-Type Natriuretic Peptide

BNP/ NT-proBNP sebagai biomarker kuantitatif dari stres hemodinamik dan gagal jantung sering meningkat
pada pasien dengan penyakit inflamasi dan/ atau pernapasan yang parah. Sementara pengalaman pada pasien
dengan COVID-19 terbatas, sangat mungkin pengalaman pada pasien dengan pneumonia lainnya dapat
diterapkan pada pasien dengan COVID-19.​ 15, 98-100

Sebagai penanda kuantitatif dari stres hemodinamik dan gagal jantung, konsentrasi BNP/ NT-proBNP pada
pasien dengan COVID-19 harus dilihat sebagai kombinasi dari keberadaan penyakit jantung yang sudah ada
sebelumnya DAN/ ATAU stres hemodinamik akut terkait dengan COVID-19.​15, 98-100 ​Setidaknya sampai batas
tertentu, pelepasan BNP/ NT-proBNP tampaknya terkait dengan tingkat stres hemodinamik ventrikel kanan.

7.3.1.3. D-Dimers

D-dimer dihasilkan oleh pembelahan monomer fibrin oleh protrombin dan menunjukkan adanya
pembentukan trombin atau mencerminkan respons fase akut yang tidak spesifik dari infeksi atau peradangan.
D Dimers juga dapat menunjukkan adanya koagulasi intravaskular diseminata terkait dengan syok.​101 ​Sangat
42
menarik untuk berspekulasi bahwa penanda aktivasi koagulasi atau gangguan fibrinolisis dapat berkontribusi
pada cedera miokard akut, yang akhirnya juga mempengaruhi kapiler koroner. Oleh karena itu, penanda
hemostasis termasuk waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT), waktu protrombin (PT), produk degradasi
fibrin (fibrinogen) dan D-Dimers harus dipantau secara rutin. Secara khusus, peningkatan D-Dimers telah
dikaitkan dengan keluaran yang buruk.​65 Nilai D-dimer memiliki spesifisitas yang lebih rendah untuk diagnosis
PE akut, 32-53% pasien masih memiliki D-dimer normal dan sebagian besar lainnya memiliki D-dimer di bawah
1000 ng/ ml.​5,23,61 ​Oleh karena itu, algoritma diagnostik dengan menggabungkan penilaian probabilitas pra-tes
dan tes D dimer direkomendasikan digunakan dalam kasus yang diduga PE akut.​102 ​Secara khusus, algoritma
yang menerapkan ambang batas D-dimer tergantung probabilitas pra-tes dapat menghasilkan spesifisitas yang
layak.​103-105

7.3.2. Mekanisme Potensial yang Mendasari Peningkatan Biomarker

Mekanisme potensial yang mendasari cedera miokard pada mereka dengan infeksi COVID-19 tidak
sepenuhnya dipahami. Namun, sesuai dengan peradangan parah lainnya dan/ atau penyakit pernapasan,
kemungkinan besar penyebabnya adalah cedera miokard langsung (non-koroner). Miokarditis, syok septik,
takikardia, gagal napas berat, hipoksemia sistemik, sindrom Takotsubo, atau T1MI yang dipicu oleh COVID-19,
merupakan penyebab alternatif. Keterlibatan miokard langsung yang dimediasi melalui ACE-2, badai sitokin,
atau hipoksia menyebabkan kalsium intraseluler yang berlebihan yang mengarah ke apoptosis miosit jantung
telah diperkirakan sebagai mekanisme alternatif.​2, 35, 106 ​Sebagai biomarker kuantitatif dari stres miokard
hemodinamik dan gagal jantung, tekanan pengisian intrakardiak dan tekanan dinding akhir diastolik
tampaknya menjadi pemicu utama pelepasan BNP/ NT-proBNP.​98-100

7.3.3. Biomarker Mana Yang Harus Diukur dan Kapan?

Sebagaimana pada pasien tanpa COVID-19, konsentrasi troponin jantung T/I harus diukur bila secara klinis
diduga T1MI.​96 ​Pada pasien dengan COVID-19, algoritma diagnostik cepat untuk mengesampingkan dan/ atau
menegakkan diagnosis MI pada pasien dengan nyeri dada akut berdasarkan algoritma ESC dengan troponin
jantung sensitivitas tinggi (hs-cTn) T/I pada 0/ 1 jam memberikan karakteristik tampilan yang sebanding
seperti pada sub kelompok dengan konsentrasi awal yang lebih tinggi lainnya seperti pada lansia dan pasien
dengan disfungsi ginjal: keamanan yang sangat tinggi untuk mengesampingkan dan akurasi yang tinggi untuk
menegakkan, tetapi efektifitasnya berkurang dengan persentase yang lebih tinggi pada pasien di zona
pengamatan.​96,107-109 Penilaian klinis terperinci mulai dari karakteristik nyeri dada, penilaian severitas
COVID-19, pengukuran hs-cTn T/I pada 3 jam, dan pencitraan jantung termasuk ekokardiografi adalah elemen
kunci untuk identifikasi MI pada sub kelompok heterogen ini.​96,107-109

Demikian pula, BNP/ NT-proBNP harus selalu diperiksa bila secara klinis diduga HF.​15, 98-100 Pada pasien yang
tidak sakit kritis, ​cut-off ​untuk menegakkan HF tetap memiliki nilai prediktif positif yang tinggi bahkan pada

pasien dengan pneumonia.​15,998-100 ​Sebaliknya, ​cut-off yang direkomendasikan saat ini tidak boleh diterapkan
pada pasien dengan sakit kritis, karena pada sebagian besar pasien sakit kritis terjadi peningkatan BNP/
NT-proBNP substansial, kemungkinan besar karena adanya stres hemodinamik dan gagal jantung pada
pasien-pasien ini.​15, 98-100

Ini adalah masalah perdebatan yang sedang berlangsung apakah troponin jantung T/I harus diperiksa sebagai
penanda prognostik pada pasien dengan COVID-19. Hubungan yang kuat dan konsisten dengan mortalitas
yang diamati dalam laporan yang tersedia saat ini dari pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19,
43
dengan beberapa bukti lain menunjukkan troponin jantung T/I bahkan sebagai prediktor independen
mortalitas, harus dilihat mendukung pendekatan ini.​14,15,23,94 ​Di sisi lain, pada saat ini, berdasarkan tiga
argumen, kami berpandangan pendekatan yang lebih konservatif bahkan lebih sesuai.​15,23,47,70,94-96 ​Pertama, di
luar troponin jantung T/I, variabel klinis dan laboratorium lain yang tersedia secara rutin juga muncul sebagai
prediktor kuat kematian pada COVID-19 termasuk usia yang lebih tua, penilaian skor ​Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) yang lebih tinggi, D dimer, IL-6 dan jumlah limfosit. Tidak mungkin bahwa troponin jantung
T/I memberikan nilai tambahan untuk model lengkap. Kedua, adanya risiko intervensi diagnostik dan
terapeutik yang tidak tepat baru-baru ini dipicu berdasarkan konsentrasi troponin jantung T/I yang diukur
untuk tujuan prognostik. Ketiga, pada pasien dengan COVID-19 serta pneumonia lain atau pasien dengan
ARDS, pada saat ini, tidak ada intervensi terapeutik spesifik yang dapat dibenarkan berdasarkan penggunaan
troponin jantung T/I sebagai penanda prognostik.​15, 23, 47, 70, 94-96

Oleh karena itu, pengukuran rutin kadar troponin jantung T/I dan/ atau BNP/ NT-proBNP pada pasien dengan
COVID-19 memberikan bukti yang sangat terbatas pada saat ini untuk nilai tambah dalam pengambilan
keputusan klinis.

7.4.Pencitraan Non-Invasif

Pokok Utama

• Direkomendasikan untuk tidak melakukan pencitraan jantung secara rutin pada pasien dengan
dugaan atau terkonfirmasi COVID-19;

• Cegah kontaminasi dari pasien ke pasien lain, kepada operator dan peralatan pencitraan;

• Lakukan pemeriksaan pada pasien terduga atau terkonfirmasi COVID-19 hanya jika pemeriksaan
tersebut mempengaruhi strategi tatalaksana pasien.

• Re-evaluasi teknik pencitraan yang paling baik untuk pasien dari segi hasil diagnostik dan risiko
infeksi bagi lingkungan;

• Protokol saat dilakukannya prosedur pencitraan harus diupayakan dalam waktu sesingkat mungkin

Prosedur pencitraan jantung yang tidak bersifat urgen atau elektif sebaiknya tidak dilakukan secara rutin pada
pasien dengan dugaan infeksi COVID-19. Apabila memungkinkan, pemeriksaan yang tidak urgen atau elektif,
dapat ditunda terlebih dahulu (keputusan penundaan diserahkan kepada dokter yang merawat, disesuaikan
dengan keadaan atau kebijakan di RS setempat) (Tabel 6).​110, 111

Tabel 6. Pemeriksaan uji kardiovaskular dengan beban dan pemeriksaan pencitraan non-invasif yang potensial ditunda dalam
pandemic COVID (disadur dari Gluckman dkk.​110​)

· Uji Beban (EKG tanpa pencitraan [ekokardiografi, radionuklir, MRI] pada pasien penyakit jantung iskemik stabil (rawat
jalan dan rawat inap)

· Uji Latih kardiovaskular untuk menilai kapasitas fungsional (rawat jalan dan rawat inap)

· Ekokardiografi transtorakal (rawat jalan)


44
· Ekokardiografi transesofagus pada pasien stabil (rawat jalan dan rawat inap)

· CT kardiovaskular (rawat jalan)

· MRI kardiovaskular (rawat jalan)

· Pencitraan nuklir jantung (SPECT dan PET) (rawat jalan dan rawat inap)

· Pencitraan vaskular untuk kaludikasio (rawat jalan dan rawat inap)

· Pencitraan untuk tujuan penapisan (seperti skor kalsium koroner, penapisan AAA dan plak karotis dengan USG) (rawat
jalan dan rawat inap)

AAA= abdominal aortic aneurism; CT= computed tomography; EKG= elektrokardiogram; MRI= magnetic resonance imaging; PET=
positron emission tomography; SPECT= single photon emission computed tomography

7.4.1. Ekokardiografi Transtoraks dan Transesofagus

Pokok Utama

• ​ ada
Hindari melakukan ekokardiografi transtorakal, transesofageal, dan ​stress echocardiography p
pasien bila hasil tes tidak mengubah strategi manajemen;
• TEE meningkatkan risiko penyebaran COVID-19 karena pajanan penyedia layanan kesehatan
terhadap aerosolisasi dengan viral load yang besar dan tidak boleh dilakukan jika modalitas
pencitraan alternatif tersedia;
• Pada pasien yang terinfeksi COVID-19, ekokardiogram harus dilakukan semata-mata fokus pada
perolehan gambar yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan klinis untuk mengurangi kontak
pasien dengan mesin dan penyedia layanan kesehatan yang melakukan tes;
• POCUS, ​Focused Cardiac Ultrasound Study (FoCUS) dan ekokardiografi perawatan kritis yang
dilakukan di samping tempat tidur adalah pilihan efektif untuk menyaring komplikasi
kardiovaskular dari infeksi COVID-19.

Ekokardiografi dapat dilakukan di samping tempat tidur untuk menegakkan diagnosis kardiovaskular dan
memandu tataaksana. Pemeriksaan ekokardiografi perawatan kritis secara terfokus menjadi modalitas yang
lebih dianjurkan untuk pencitraan pasien dengan COVID-19. Penggunaan ultrasonografi paru dapat beguna
untuk membedakan ARDS (artefak vertikal tunggal dan/ atau konfluen, daerah paru-paru putih kecil) dengan
gagaj jantung.​112 ​Ditemukannya dilatasi ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal dapat menjadi indikasi
dilakukan CT kontras untuk menyingkirkan diagnosis emboli paru. Pada pasien yang terinfeksi COVID-19,
ekokardiografi harus fokus pada pengambilan gambar yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan klinis
dalam usaha mengurangi kontak pasien dengan mesin dan operator.

Hal penting lainnya adalah kewaspadaan terhadap risiko infeksi yang dapat terjadi di ruang baca dan karena
itu alat-alat yang digunakan harus sering dibersihkan dengan menggunakan cara dan bahan desinfeksi yang
direkomendasikan.

7.4.2. ​Computed Tomography​ (CT)


45
Pokok Utama

• CT kardiovaskular dilakukan pada pasien rawat inap hanya dengan indikasi di mana hasil
pencitraan akan berdampak pada tatalaksana;
• CCTA dapat menjadi modalitas pencitraan non-invasif pilihan untuk mendiagnosis CAD karena
pemeriksaan ini mengurangi waktu pajanan pasien dan tenaga kesehatan;
• CT kardiak lebih dipilih daripada TEE untuk menyingkirkan trombus di ​appendage atrium kiri (LAA)
dan trombus intrakardiak sebelum kardioversi;
• Pada pasien dengan ​distress pernapasan, CT thoraks direkomendasikan untuk mengevaluasi fitur
pencitraan khas COVID-19;
• Periksa fungsi ginjal bila terdapat indikasi penggunaan zat kontras

CT kardiak harus dilakukan bila terdapat dampak potensial pada manajemen klinis, termasuk evaluasi
kecurigaan CAD simptomatik, disfungsi katup jantung akut yang simptomatik, disfungsi alat bantu ventrikel kiri
(LVAD), PE, intervensi struktural yang urgen.​113 ​CT kardiak lebih dipilih daripada TEE untuk menyingkirkan
adanya trombus intrakardiak. Pada pasien dengan nyeri dada akut dan dugaan CAD obstruktif, CCTA adalah
modalitas pencitraan non-invasif yang lebih dipilih karena akurat, cepat dan minimal terhadap paparan pasien.
Pada pasien dengan ​distress pernapasan, CT paru direkomendasikan untuk mengevaluasi fitur pencitraan yang
khas terhadap COVID-19 dan membedakan dari penyebab lain (HF, PE).​78 ​Namun, pemeriksaan ini tidak boleh
digunakan untuk menyaring atau sebagai tes lini pertama untuk mendiagnosis COVID-19 dan hanya dilakukan
terhadap pasien yang sedang dalam perawatan di rumah sakit.​114 ​Dianjurkan penggunaan pemindai CT
terpisah yang khusus digunakan untuk pasien terduga atau terkonfirmasi COVID-19 lebih disukai. Seperti
dalam modalitas pencitraan lainnya, standar lokal untuk pencegahan penyebaran virus dan perlindungan
personel harus dipatuhi.

7.4.3. Kardiologi Nuklir

Pokok Utama

• Kardiologi nuklir harus dilakukan hanya dalam indikasi spesifik dan ketika tidak ada modalitas
pencitraan lain yang dapat dilakukan;
• Haruns menggunakan durasi waktu pemindaian dan paparan terpendek;
• Disarankan menggunakan pencitraan dosis standar dengan protokol akuisisi data yang cepat;
• Pertimbangkan pencitraan dengan koreksi atenuasi;
• Tomografi emisi positron (PET) meminimalkan waktu akuisisi.

Banyak diagnosis dapat dievaluasi dengan modalitas pencitraan lain yang membatasi risiko penyebaran virus.
Pemeriksaan kardiologi nuklir membutuhkan waktu panjang dalam akuisisi dan paparan pasien dengan teanga
kesehatan.​115 ​Penggunaan PET-CT dapat dibatasi pada pasien dengan dugaan endokarditis katup prostetik atau
perangkat intrakardiak ketika modalitas pencitraan lainnya tidak konklusif atau untuk menghindari
penggunaan TEE yang terkait dengan risiko penyebaran yang lebih besar. Single photon emission computed
tomography (SPECT) atau PET juga dapat digunakan untuk mendiagnosis iskemia pada pasien dengan dugaan
CAD obstruktif ketika CCTA tidak layak dikerjakan atau tidak tersedia.

7.4.4. ​Cardiac Magnetic Resonance


46
​Pokok Utama

• Gunakan protokol cardiac magnetic resonance (CMR) yang dipersingkat untuk mengatasi masalah
klinis;
• Periksa fungsi ginjal bila menggunakan zat kontras;
• CMR merupakan pemeriksaan pilihan pada miokarditis akut.

Risiko kontaminasi selama pemindaian CMR mungkin mirip dengan pemindaian CT, tetapi lebih rendah
dibandingkan studi ekokardiografi. Pemindaian CMR hanya dilakukan bila secara klinis yang mendesak.​116

Pemaparan waktu yang lebih lama dalam pemindai mungkin akan meningkatkan kemungkinan kontaminasi
peralatan dan staf. Untuk meminimalkan waktu pemeriksaan, dilakukan protokol CMR singkat yang difokuskan
spesifik untuk menjawab masalah klinis saat itu saja.​116 ​Sangat bermanfaat bila tersedia pemindai MR terpisah
yang khusus ditujukan pasien dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19. Berikan waktu untuk pembersihan
mendalam setelah pemeriksaan setiap pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi infeksi COVID-19.

Peran CMR pada pasien COVID-19 saat ini belum jelas. Pada pasien ini, indikasi diagnostik untuk pemeriksaan
dapat dianggap sesuai, namun tidak boleh dilakukan kecuali secara klinis diperlukan dan setelah
mempertimbangkan kembali modalitas pencitraan yang paling sesuai.​111

Perhatian penting lainnya adalah penggunaan kontras CMR pada pasien dengan COVID-19. Fungsi ginjal
mungkin menurun pada pasien dengan COVID-19 dan dapat menjadi suatu kontraindikasi dalam pemindaian
urgen CMR.

Satu indikasi mendesak untuk CMR adalah kecurigaan miokarditis akut, yang telah dilaporkan pada pasien
dengan COVID-19.​117 ​Gejala yang khas mungkin berupa peningkatan troponin, disfungsi ventrikel, dan/ atau
aritmia berat yang tidak dapat dijelaskan dengan metode diagnostik dan pencitraan lainnya.​9

7.5. Diagnosis Banding

Pokok Utama

• Kehadiran infeksi COVID-19 tidak boleh menghalangi pencarian sistematis untuk kejadian
kardiovaskular, termasuk ACS;
• Cedera terkait infeksi COVID-19 harus diingat sebagai diagnosis banding;
• Harus ditapis adanya manifestasi dan komplikasi lain dari infeksi COVID-19 yang menyerupai
penyakit jantung.

Pada pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan presentasi klinis yang kompatibel dengan penyakit
kardiovaskular, tiga entitas utama harus dipertimbangkan:

• Pasien dengan infeksi COVID-19 dapat mengalami kejadian jantung yang dapat berkaitan oleh
infeksi ataupun tidak. Diantaranya termasuk ACS (STEMI dan NSTEMI), HF akut, aritmia, kejadian
thoromboembolik, CS, dan henti jantung. Sindrom tersebut memerlukan diagnosis dan
penatalaksanaan yang cepat, dan tidak boleh diabaikan karena adanya infeksi COVID-19;
• Cedera jantung karena infeksi juga dapat menyebabkan presentasi klinis yang sugestif
menunjukkan kejadian jantung, dan juga harus dianggap sebagai diagnosis diferensial.
47
• Pasien dengan infeksi COVID-19 dapat datang dengan gejala yang menyerupai kejadian
kardiovaskular, termasuk nyeri dada, sesak napas, dan syok, bahkan tanpa adanya cedera jantung.

8. Kategorisasi Darurat / Urgensi Prosedur Invasif

Penataan ulang pelayanan kesehatan diperlukan untuk menghadapi pandemi COVID-19 yang telah
menimbulkan serangkaian masalah yang relevan pada prioritas prosedur invasif jantung.​118 ​Berbagai daerah di
Eropa dan di seluruh dunia memiliki perbedaan secara substansial dalam hal sumber daya layanan kesehatan
lokal, kepadatan epidemi dari wabah COVID-19, perubahan epidemi dari waktu ke waktu dan akses ke layanan
kesehatan selain dari perawatan COVID-19. Perbedaan-perbedaan ini memiliki berbagai implikasi untuk
layanan kesehatan nasional/ regional, otoritas perawatan kesehatan nasional dan redistribusi sumber daya di
rumah sakit. Berbagai daerah (juga dalam negara yang sama) dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok
sesuai dengan tingkat keterlibatan dalam epidemi, dengan implikasi berbeda berikutnya untuk sistem
kesehatan seperti dirangkum dalam Tabel 7.

Tabel 7. Dampak pandemi terhadap sistem pelayanan kesehatan dan keterlibatan daerah

Keterlibatan daerah terhadap pandemik

Ringan Sedang Berat

Dampak pada sistem Tidak ada atau sedikit Banyak Pembatasan (mayor) Tidak mampu untuk
kesehatan dan pelayanan pembatasan (minor) menyediakan
regular

Indikasi yang disediakan dalam dokumen ini merujuk terutama pada skenario epidemi dengan keterlibatan
yang berat dan, sebagian, pada skenario keterlibatan sedang. Yang penting, layanan kesehatan harus terus
diberikan sesuai dengan standar perawatan seperti yang dijelaskan oleh pedoman praktik klinis, selama
tingkat keterlibatan regional dalam epidemi memungkinkannya. Alasan untuk secara penting mengurangi
jumlah rawat inap elektif adalah tiga kali lipat:

• Untuk meningkatkan kapasitas pasien COVID-19;


• Untuk mengurangi paparan individu yang tidak dapat dibenarkan (yaitu pasien yang
membutuhkan prosedur yang tidak mendesak dan kerabat mereka) ke rumah sakit dan lingkungan
sekitarnya;
• Untuk mengurangi pajanan penyedia layanan kesehatan pada pasien COVID-19 yang
asimptomatik.

Strategi ini mengakibatkan penundaan waktu tatalaksana intervensi kardiovaskular urgen dan
perpanjangan waktu tunggu untuk pasien yang membutuhkan intervensi koroner elektif, katup
jantung atau intervensi CV lainnya.

Dalam konteks ini, diperlukan cara untuk mengidentifikasi mana pasien dalam kondisi yang
memungkinkan untuk menunda prosedur dan mana mereka yang tidak. Kekhawatiran yang nyata
adalah bagaimana untuk mempertahankan standar perawatan dan akses tepat waktu ke terapi
referfusi pada pasien ACS-STEMI. Pada pasien sindrom koroner kronis (CCS), prinsip-prinsip
48
penentuan prioritas dapat didasarkan pada stratifikasi risiko, dengan mempertimbangkan implikasi
prognostik dari gejala, serta adanya lesi kritis dari arteri cabang utama kiri (LM) atau daerah
proksimal dari arteri left anterior descending (LAD) yang diketahui dari angiogram koroner
sebelumnya atau CCTA.1​19 ​Demikian pula, pasien dengan stenosis aorta berat (AS) dekompensasi dan
simtomatik, harus diprioritaskan untuk penggantian katup aorta transcatheter.​120 ​Tabel 8 merangkum
kategorisasi prosedur jantung invasif berdasarkan urgensi yang dapat diterapkan pada daerah yang
terkena dampak wabah COVID-19.

Tabel 8. Kategorisasi strategis prosedur jantung invasif selama pandemi COVID-19

Kondisi EMERGENSI URGEN PRIORITAS RENDAH ELEKTIF


klinis (tidak boleh ditunda) (dilakukan dalam (dilakukan dalam (dapat ditunda
beberapa hari)​a < 3 bulan)​a > 3 bulan)

Penyakit jantung · STEMI · IMA-NEST pada pasien · PJK lanjut dengan · CTO interventions
iskemik · NSTE-ACS pada dengan risiko sedang gejala angina kelas · Sindrom coroner
pasien dengan · Angina tidak stabil III atau NYHA III kronis dengan gejala
risiko sangat tinggi · IKP pada ​left main · Stage PCI ​lesi angina kelas II dan
dan risiko tinggi · IKP pada pembuluh non-kulprit pada NYHA II
· Syok kardiogenik darah yang belum IMA-EST
direvaskularisasi · IKP pada proksimal
· Gagal jantung LAD
dekompensasi karena
iskemik
· Angina pektoris kelas
IV
· CABG pada pasien
IMA-NEST yang tidak
cocok dilakukan IKP

Penyakit jantung · ​BAV sebagai · TAVI pada pasien · TAVI/ SAVR pada · TAVI/ SAVR pada
katup jembatan menuju stenosis aorta stenosis aorta berat pasien stenosis aorta
TAVI/SAVR pasien dekompensata (AVA<0.6 cm​2​, mean simptomatik (AVA<1.
pasien · Transcatheter mitral transvalvular cm​2​, mean
dekompensasi edge to edge repair gradient >60 mmHg, transvalvular
yang terpilih pada pasien bergejala dan gradient​ >40 mmHg)
· ​Operasi diseksi Insufisiensi Mitral akut aktivitas ringan)) · TAVI/ SAVR pada
aorta atau trauma tidak stabil yang tidak · TAVI/ SAVR pada pasien stenosis aorta
kardiovaskular cocok dilakukan pasien stenosis simptomatik
· ​Perbaikan/ operasi aorta ​low-flow paradoksal dengan
penggantian pada · Operasi katup mitral low-gradient low-flow
kegagalan katup pada pasien (AVA<1. cm​2​, mean low-gradient (​ AVA<1.
akut baik natif Insufisiensi Mitral akut transvalvular cm​2​, mean
maupun prostetik tidak stabil terkait gradient <40 mmHg, transvalvular
yang menyebabkan iskemik LVEF <50%) gradient <40 mmHg,
syok · Insufisiensi katup · Operasi katup mitral LVEF >50%)
mitral dan aorta pada atau ​Transcatheter · Operasi katup mitral
pasien dengan mitral edge to edge atau ​Transcatheter
endokatditis repair pada pasien mitral edge to edge
· Risiko tinggi insufisiensi mitral repair pada pasien
embolisasi pada dengan gagal insufisiensi mitral
pasien endokarditis jantung kongestif dengan gagal jantung
infeksi yang tidak stabil
· Operasi miksoma pada dengan terapi obat
atrium kiri

Gagal jantung akut · Bantuan sirkulasi · Transplantasi jantung · LVAD


/ kronik mekanik pada urgen
pasien syok
49
kardiogenik (<65
tahun)

Penyakit jantung · Implantasi PM · Implantasi ICD pada · Ablasi kateter untuk · Ablasi dan prosedur
aritmia pada Blok AV atau pasien henti jantung tatalaksana AF implantasi alat
sinus node atau VT dengan sinkop resisten dengan laju jantung elektif
​ engan
dysfunction d sebagai profilaksis ventrikel yang cepat
systolic pause yang sekunder
simtomatik · Ablasi kateter pada VT
VF refrakter rekuren
· Ablasi kateter pada AF
dengan WPW dan laju
preeksitasi ventrikel
yang tinggi
· Penggantian baterai
pada pasien dengan
ketergantungan padap
Pacing
· Lead extraction pada
pasien dengan
endokarditis infeksi

Intervensi lainnya · ​Perikardiosintesis · Biopsi · LAA occlusion p ​ ada


pada tamponade pasien stabil
jantung · PFO closure
· ASD closure
· Right heart
catheterization
· Alcohol ablation in
hypertrophic
cardiomyopathy
· Invasive evaluation
of dilated
cardiomiopathy
​a​ Waktu dapat dipengaruhi oeleh permintaan yang luar biasa terhadap sistem kesehatan pada kondisi wabah COVID-19

ASD= atrial septal defect, AVA= aortic valve area, CTO= chronic total occlisopns, IMA-EST= infark miokard akut dengan elevasi ST; LAA left atrial appendage, LAD= left anterior
descending coronary asrtery, LVAD= left ventricle assist device, LVEF= left ventricle ejection fraction, NYHA New York Heart Assosiation, IKP= intervensi koroner perkutan,
PFO= patent foramen ovale, TAVI transcatheteraortic valve interventions.

9. Manajemen / Tatalaksana Perawatan

9.1. ​Non-ST-Segment Elevation Acute Coronary Syndrome (​ NSTE-ACS)

Manajemen pasien dengan NSTE ACS harus dipandu oleh stratifikasi risiko.​96 ​Pengujian untuk SARS-CoV-2
harus dilakukan sesegera mungkin setelah kontak medis pertama, terlepas dari strategi perawatan, untuk
memungkinkan staf RS menerapkan langkah-langkah perlindungan dan jalur manajemen yang memadai
(bagian 5). Pasien harus dikategorikan ke dalam 4 kelompok risiko (yaitu risiko sangat tinggi, risiko tinggi, risiko
menengah, dan risiko rendah) dan dikelola sesuai kelompok risiko tersebut (Gambar 12).

Pasien dengan peningkatan Troponin dan keadaan akut dengan klinis yang tidak stabil (perubahan EKG,
kekambuhan nyeri) mungkin dikelola dengan pendekatan konservatif. Pencitraan non-invasif menggunakan
CCTA dapat mempercepat stratifikasi risiko, menghindari pendekatan invasif​121 ​memungkinkan selesai
perawatan lebih awal.

Untuk pasien dengan resiko tinggi, strategi medis bertujuan untuk stabilisasi sambil merencanakan strategi
invasif awal (<24 jam). Namun waktu dari strategi invasif mungkin lebih lama dari 24 jam menyesuaikan
50
dengan waktu hasil pengujian (COVID-19). Dalam kasus tes SARS-CoV-2 positif, pasien harus dipindahkan
untuk manajemen invasif ke rumah sakit yang dilengkapi fasilitas untuk mengelola pasien postif COVID-19.

Pasien dengan risiko sedang harus dievaluasi secara hati-hati dengan mempertimbangkan diagnosis alternatif
untuk MI tipe 1, seperti MI tipe 2, miokarditis, atau cedera miokard akibat gangguan pernapasan atau
kegagalan multi organ atau Takotsubo. Jika diagnosa diferensial tampak masuk akal, strategi non invasif harus
dipertimbangkan dan CCTA harus diutamakan, jika peralatan dan keahlian tersedia.

Ketika ada hasil tes positif SARS-CoV-2, pasien harus dipindahkan untuk manajemen invasif ke rumah sakit
yang dilengkapi fasilitas untuk mengelola pasien COVID-19-positif. Pada saat kebutuhan yang tinggi namun
ketersediaan laboratorium atau operator kateterisasi berkurang, manajemen konservatif non-invasif dapat
dipertimbangkan dengan pemulangan awal dari rumah sakit dan rencana tindak lanjut klinis yang
direncanakan.

Gambar 12. Rekomendasi ESC untuk manajemen NSTE-ACS selama wabah COVID-19

9.2. ​ST-Segment Elevation Myocardial Infarction​ (STEMI)

Pandemi COVID-19 tidak boleh membahayakan reperfusi yang tepat waktu pada pasien STEMI. Sejalan dengan
pedoman saat ini, terapi reperfusi tetap diindikasikan pada pasien dengan gejala iskemia dengan durasi <12
jam dan peningkatan segmen ST yang persisten pada setidaknya dua lead EKG yang berdekatan.​97 ​Bersamaan
itu pula, keamanan staf pelayanan kesehatan harus dipastikan.​118 ​Untuk tujuan itu, dengan tidak adanya
pengujian SARS-CoV-2 sebelumnya, semua pasien STEMI harus dikelola seolah-olah mereka COVID-19 positif.
Kami memberikan panduan umum untuk mengatasi pengaturan sistem pelayanan kesehatan dan
menggambarkan alur yang mungkin digunakan untuk manajemen STEMI dengan kondisi spesifik. Tindakan
yang tidak berdasarkan bukti (evidence-based) mungkin perlu diadaptasi (disesuaikan) untuk memenuhi
regulasi rumah sakit dan otoritas kesehatan setempat serta dapat berubah sehubungan dengan
perkembangan pandemi COVID-19. Sementara langkah-langkah umum untuk sistem perawatan kesehatan
51
tentang redistribusi jaringan rumah sakit untuk kedaruratan kardiovaskular dan reorganisasi alur emergensi
rumah sakit masing-masing dijelaskan dalam bagian 7 dan 8, prinsip-prinsip utama manajemen STEMI dalam
pandemi COOVID-19 adalah sebagai berikut:

1. Penundaan maksimum dari diagnosis STEMI hingga reperfusi selama 120 menit harus tetap
menjadi tujuan terapi reperfusi dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Primary PCI tetap menjadi terapi reperfusi pilihan jika memungkinkan dalam jangka waktu ini
dan dilakukan di fasilitas yang disetujui untuk perawatan pasien COVID-19 dengan cara yang
aman untuk penyedia layanan kesehatan dan pasien lain;
b. Alur ​Primary PCI mungkin tertunda selama masa pandemi (hingga 60 menit - menurut banyak
pengalaman) karena keterlambatan dalam pemberian perawatan dan penerapan tindakan
perlindungan;
c. Jika waktu target tidak dapat dipenuhi dan tidak ada kontraindikasi fibrinolisis, maka
fibrinolisis harus menjadi terapi lini pertama;
2. Karena hasil tes SARS-CoV-2 tidak segera tersedia pada pasien STEMI, setiap pasien STEMI harus
dianggap berpotensi terinfeksi;
3. Semua pasien STEMI harus menjalani pengujian untuk SARS-Co-V2 sesegera mungkin setelah
kontak medis pertama terlepas dari strategi reperfusi, paling lambat pada saat masuk ke ICU pasca
tindakan ​Primary PCI.​ Sampai hasil tes diketahui, semua tindakan pencegahan harus diambil untuk
menghindari infeksi potensial dari pasien lain dan penyedia layanan kesehatan;
4. Pertimbangkan revaskularisasi lengkap segera bila ada dan sesuai indikasi untuk menghindari
prosedur bertahap serta mengurangi masa tinggal di rumah sakit;
5. Semua dokter yang terlibat dalam pengelolaan pasien dengan STEMI harus terbiasa dengan
indikasi, kontraindikasi dan dosis fibrinolisis dan mematuhi protokol administrasi yang ditetapkan
(Tabel 9 dan Tabel 10).

Alur khusus untuk manajemen pasien STEMI diilustrasikan pada Gambar 13. Disarankan untuk melakukan
ventrikulografi kiri selama kateterisasi pasien ACS untuk mengurangi kebutuhan akan ekokardiografi serta
mempersingkat masa tinggal di rumah sakit.

Tatalaksana lesi non-kulprit harus dikelola sesuai dengan stabilitas klinis pasien serta gambaran lesi pada
angiografi tersebut. Bila dihadapkan adanya bukti iskemia simtomatik yang persisten, stenosis sub-oklusif,
dan/ atau lesi non-kulprit yang secara angiografis tidak stabil, maka PCI dalam masa rawat inap yang sama
harus dipertimbangkan. Bila tidak ada, maka direncanakan pada periode rawat inap baru setelah puncak
wabah.
52

Gambar 14. Rekomendasi ESC untuk manajemen STEMI selama wabah COVID-19

​ )
Tabel 9. Rekomendasi untuk terapi fibrinolisis (disadur dari 97​

Rekomendasi Kelas​ a Level​b

Jika fibrinolisis sebagai strategi referfusi, maka direkomendasikan untuk inisiasi terapi segera setelah I A
diagnosis IMA-EST ditegakkan, lebih dipilih pada saat pra-hospital

Direkomendasikan menggunakan ​Fibrin-specific agent (i.e. tenecteplase, alteplase, reteplae) I B

Pemberian setengah dosis Tenecteplase harus dipertimbangkan pada pasien dengan usia 75 tahun IIa B

Ko-terapi Antiplatelet dengan fibrinolisis

Aspirin p.o. atau i.v. diindikasikan I B

Clopidogrel diindikasikan sebagai tambahan pada aspirin I A

DAPT (Aspirin ditambah P2Y12 inhibitor) diindikasikan diberikan sampai dengan 1 tahun pada pasien I C
setelah fibrinolisis dan dilakukan IKP susulan

Ko-terapi antikoagulan dengan fibrinolisis

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien yang diterapi dengan pengencer darah sampai tindakan I A
revaskularisasi (bila dilakukan) atau untuk lama rawat di rumah sakit yang melebihi 8 hari.
Antikoagulan, diantaranya:

· Enoxaparin i.v. diikuti s.c. (lebih dipilih dibanding UFH) I A

· UFH diberikan dengan penyesuaian berat badan secara i.v. diikuti secara infus I B
53
· Pada pasien yang diterapi dengan Streptokinase: fondaparinus i.v. diikuti s.c. IIa B
diberikan setelah 24 jam kemudian

Intervensi setelah fibrinolisis

Angiografi emergensi dan IKP bila indikasi direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung/ syok I A

Angiografi emergensi dan IKP diindikasikan bila adanya iskemia rekuren atau ada bukti re-oklusi I B
setelah fibrinolisis inisial berhasil

a​
Kelas rekomendasi, ​b​ Level pembuktian

9.3. Syok Kardiogenik

Pokok Utama
● Manajemen Syok Kardiogenik (SK) dan Henti Jantung Luar Rumah Sakit (HJLRS) sangat
bergantung pada waktu. Karenanya, membutuhkan jaringan khusus dan keahlian multidisiplin;
54
● Alokasi sumber daya harus tetap diupayakan dalam memberikan pendekatan berbasis tim
terstandar mencakup availabilitas dan kelayakan penggunaan dukungan sirkulasi mekanik
(DSM).
● Angiografi koroner invasif (AKI) akan tetap menjadi pengobatan utama. Namun, pertimbangan
khusus perlu dipertimbangkan untuk meminimalkan meluasnya risiko infeksi nosokomial;
● Pada pasien yang juga mengalami infeksi COVID-19, peningkatan tatalaksana ke DSM harus
dipertimbangkan dengan hati-hati terhadap risiko terjadinya koagulopati yang terkait dengan
infeksi COVID-19 dan kebutuhan untuk perawatan khusus (posisi tengkurap - prone position)
yang merupakan tatalaksana cedera paru akut;
● Dalam persyaratan penggunaan DSM, oksigenasi membran ekstrakorporeal (OME) dapat
menjadi DSM temporer yang menjadi pilihan karena kemampuannya dalam mendukung
oksigenasi;
● Dalam kasus gagal ginjal akut, tindakan continuous renal replacement therapy (CRRT) perlu
dipertimbangkan hanya pada kasus tertentu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan;
● Skor SOFA (daily SOFA) dan skor sistem intervensi terapi (TISS) perlu dievaluasi setiap hari
terutama pada pasien-pasien yang kritis. Hal ini penting untuk mendapatkan keputusan yang
sesuai dengan kondisi pasien saat itu;
● Keamanan petugas medis menjadi prioritas utama untuk menghindari paparan infeksi.

Syok Kardiogenik (SK) dan Henti Jantung Luar Rumah Sakit (HJLRS) adalah penyakit yang sangat
tergantung pada waktu dan membutuhkan sumber daya yang sesuai, sistem yang sudah teruji dan
terlatih, serta jejaring penyedia layanan kesehatan khusus untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Secara umum, pengobatan SK dan HJLRS harus mengikuti pedoman dan bukti terbaru.​84, 97, 119, 122, 123
Namun, mengingat kondisi unit ICU/ICVCU/ICCU yang terbebani akibat infeksi pandemi COVID-19,
tidak memungkinkan untuk semua pasien menerima perawatan ICU/ICVCU/ICCU karena sumber daya
yang terbatas. Pada situasi-situasi sulit demikian, empat prinsip etika kedokteran yang diakui secara
luas menjadi acuan yang penting (keuntungan bagi pasien/beneficence, tidak
mencelakakan/non-maleficence, menghormati otonomi pasien (autonomy), dan kesetaraan(equity))
terutama pada kondisi kelangkaan sumber daya. Jika sumber daya yang tersedia tidak mencukupi
untuk memungkinkan semua pasien menerima perawatan yang idealnya dibutuhkan, maka patut
dipertimbangkan dan direkomendasikan prinsip-prinsip dasar untuk diterapkan sesuai dengan aturan
prioritas berikut:

a. Kesetaraan: Sumber daya yang tersedia dialokasikan tanpa diskriminasi (mis. Tanpa
perlakuan tidak adil yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan usia, jenis kelamin, tempat
tinggal, kebangsaan, afiliasi agama, status sosial atau asuransi, hingga cacat kronis). Prosedur
alokasi harus adil, objektif dibenarkan dan transparan. Dengan prosedur alokasi yang adil,
keputusan sewenang-wenang, khususnya, dapat dihindari;

b. Mempertahankan sebanyak mungkin nyawa: Dalam kondisi kelangkaan yang akut, semua
tindakan disesuaikan dengan tujuan untuk meminimalkan jumlah kematian. Keputusan harus
dibuat sedemikian rupa untuk memastikan bahwa sesedikit mungkin orang menjadi sakit
parah atau meninggal;

c. Perlindungan terhadap profesional yang terlibat: Protokol triase diperlukan untuk


memaksimalkan manfaat dan mencegah petugas kesehatan memberikan keputusan pribadi
55
terhadap keputusan tentang siapa yang akan dirawat atau bahkan menempatkan di ruang
isolasi.

Strategi triase, berdasarkan bukti penelitian saat ini dan protokol triase perawatan kritis yang
sebelumnya telah dikembangkan oleh kelompok kerja selama pandemi influenza di seluruh dunia,​124
dirangkum dalam Tabel 11 dan Tabel 12. Rekomendasi spesifik diberikan untuk pasien dengan dan
tanpa infeksi bersamaan pada Gambar. 14. Dua skenario akan dipertimbangkan:
1. Pasien tidak terinfeksi
2. Pasien curiga terinfeksi (ODP/PDP) dan pasien positif COVID-19

Infeksi tersebut patut dicurigai sesuai dengan kriteria epidemiologis dan klinis terkini.​125

Tabel 11. Kriteria inklusi dan eksklusi terperinci untuk triase di unit perawatan intensif (ICU) setelah masuk (dimodifikasi dari
Chritian et al)
56
Tabel 12. Kriteria untuk sedikit atau tidak ada manfaat dengan perawatan ICU (Setidaknya 1 kriteria)

Gambar 14. Manajemen pasien dengan SyokKardiogenik (SK)/Henti Jantung Luar RUmah Sakit (HJLRS) Pada Saat Pandemik
COVID-19

9.4. ​Chronic Coronary Syndrome

Petugas medis mengelola pasien dengan ​chronic coronary syndrome (CCS) pada wilayah geografis
yang sangat dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 harus beberapa mempertimbangkan pokok utama
berikut:
● Pasien CCS umumnya berisiko rendah terhadap kejadian kardiovaskular yang memungkinkan
untuk menunda prosedur diagnostik dan / atau intervensi pada sebagian besar kasus;
● Terapi medis harus dioptimalkan dan / atau diintensifkan tergantung pada status klinis;
● Tindak lanjut klinis tanpa tatap muka perlu dipersiapkan untuk meyakinkan pasien dan
menjaga terhadap kemungkinan perubahan dalam status klinis yang mungkin memerlukan
perawatan di rumah sakit pada pasien profil risiko tinggi tertentu.
57
9.4.1. Pertimbangan Praktis tentang Terapi Medis

Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) telah diidentifikasi sebagai faktor risiko potensial untuk
presentasi klinis serius pada infeksi SARS-CoV-2.​126 Potensi dampak terapi aspirin kronis telah
dipertanyakan. Namun, pada dosis rendah apabila diberikan pada kasus CCS, aspirin memiliki efek
antiinflamasi yang sangat terbatas. Oleh karena itu, pasien CCS tidak dianjurkan untuk menghentikan
penggunaan aspirin untuk pencegahan sekunder.

Terapi statin telah terbukti dengan hasil yang bervariasi terhadap efek yang menguntungkan pada
pasien dirawat dengan influenza atau pneumonia.​127, 128 ​ Di sisi lain, pasien dengan COVID-19
kadang-kadang dilaporkan mengalami rhabdomiolisis berat atau peningkatan enzim hati.​129 Apabila
muncul komplikasi tersebut, mungkin akan lebih disarankan untuk sementara waktu tidak
menggunakan terapi statin.

Untuk pasien CCS yang diobati dengan obat antihipertensi dapat dilihat di bagian 9.7.

9.4.2. Pemeriksaan Non-Invasif

Pemeriksaan non-invasif pada pasien dengan CCS dirancang berdasarkan presentasi klinis yang
berbeda.​130 Pada daerah dengan tingkat tinggi infeksi SARS-CoV-2, evaluasi pasien CCS asimptomatik
dengan tes non-invasif harus ditunda agar tidak memaparkan pasien ini ke risiko infeksi yang tidak
perlu atau membebani sistem perawatan kesehatan.

Untuk pasien simptomatik dengan dugaan penyakit jantung koroner (PJK) dan probabilitas pretest
sebesar 5-15%, pencitraan fungsional untuk mendeteksi iskemia miokard atau CT angiografi koroner
biasanya direkomendasikan sebagai tes awal untuk mendiagnosis PJK. Di daerah dengan situasi kritis
dan sistem medis yang terbebani oleh pandemi COVID-19, skrining PJK bahkan pada pasien bergejala
mungkin harus ditunda pada sebagian besar pasien. Namun, jika diperlukan, dengan tetap
mempertimbangkan pada kemampuan dan ketersediaan ahli, CT angiografi koroner menjadi yang
lebih disukai (bagian 7.4).

Namun, peningkatan beban kerja departemen CT perlu diperhatikan karena sebelumnya pun sudah
terdapat banyak permintaan CT paru untuk pasien dengan COVID-19. Selain itu, kelayakan / akurasi CT
angiografi koroner mungkin terhambat pada pasien dengan COVID-19 untuk kejadian umum takikardia
dan kadang-kadang disfungsi ginjal yang parah. Jika CT angiografi koroner tidak mampu laksana (mis.
Ketidakmampuan menurunkan detak jantung, dll.) walaupun alatnya tersedia, pengujian non-invasif
harus ditunda. Modalitas pencitraan alternatif harus dicegah selama fase pandemi akut kecuali
terdapat dugaan iskemia berat untuk meminimalkan akses pasien ke sistem perawatan kesehatan
(SPECT / PET) atau untuk mencegah kontak erat antara pasien dan personel medis (stress
echocardiography).

Untuk pasien yang telah terdiagnosis CCS, tindak lanjut klinis harus dilakukan sebagian besar melalui
telemedicine (saluran komunikasi khusus harus disediakan untuk pasien). Karena itu, dokter dapat
menangani sebagian besar kekhawatiran pasien terkait dengan kelanjutan atau perubahan dalam
terapi medis. Kemungkinan timbul / kambuhnya gejala yang tidak stabil harus diperkirakan dalam
58
riwayat klinis pasien untuk menimbang kebutuhan untuk rawat inap ataupun perlunya pengujian
diagnostik.

9.4.3. Penilaian invasif dan revaskularisasi

Pasien simptomatik dengan kemungkinan klinis yang sangat tinggi mengalami PJK obstruktif umumnya
dirujuk untuk dilakukan tindakan angiografi koroner tanpa dilakukan tes diagnostik non-invasif
sebelumnya. Namun, bahkan pada pasien ini, terapi medikamentosa medis harus dilakukan terlebih
dahulu sebelum dilakukan tindakan intervensi koroner angiografi dengan kemungkinan revaskularisasi
ad-hoc hanya pada kasus klinis yang tidak stabil, terutama di daerah dengan sistem pelayanan
kesehatan yang mengalami overload beban pasien dengan COVID-19.​131 Revaskularisasi (baik dengan
intervensi koroner perkutan (IKP) atau bedah pintas koroner/coronary artery bypass graft (CABG)),
dapat ditunda pada sebagian besar pasien CCS. Namun, di rumah sakit yang ICUnya didedikasikan atau
kelebihan beban dengan jumlah pasien COVID-19 yang tinggi, dampak pada penangguhan CABG
mungkin bahkan akan lebih terasa. Prioritas diberikan untuk menjaga tempat tidur ICU tersedia untuk
pasien COVID-19 yang membutuhkan perawatan kritis. Oleh karena itu, sistem perawatan kesehatan
mungkin mengidentifikasi rumah sakit bebas COVID-19 yang berfungsi sebagai penghubung untuk
pasien CCS tertentu pada kondisi prosedur invasif dan bedah tidak dapat ditunda. Pada pasien yang
terakhir ini, infeksi SARS-CoV-2 harus disingkirkan dengan aspirasi swab/ trakeobronkial nasofaring
dan/atau CT scan sebelum masuk rumah sakit. Atau, pada pasien tertentu, revaskularisasi hybrid
CABG/IKP atau bahkan IKP murni dapat dipertimbangkan oleh tim jantung berdasarkan kondisi klinis
pasien dan situasi lokal (lihat Tabel 13).

Tabel 13. Manajemen sindrom koroner kronis selama pandemi COVID-19


59
9.5. Gagal Jantung

Pasien dengan komorbid kardiovaskular mengalami peningkatan risiko presentasi yang lebih parah
dan komplikasi COVID-19. Dalam meta-analisis dari 6 studi (n = 1527), hipertensi dan penyakit kardio /
serebrovaskular mencapai 17,1%, dan 16,4%, masing-masing dari pasien COVID-19 yang dirawat di
rumah sakit, dan mengalami risiko hingga ~ 2 kali lipat dan ~ 3 kali lipat lebih tinggi, untuk mengalami
COVID-19 dengan manifestasi severitas berat.​132

9.5.1. Gagal Jantung Akut

Pokok utama

● Gagal jantung akut dapat mempersulit perjalanan klinis COVID-19, khususnya pada kasus yang berat;
● Mekanisme yang mendasari gagal jantung akut pada COVID-19 dapat meliputi iskemia miokard akut,
infark atau peradangan (miokarditis), sindroma distres napas akut, cedera ginjal akut dan
hipervolemia, kardiomiopati yang diinduksi stres (Takotsubo kardiomiopati), miokarditis, dan
takiaritmia;

● Pneumonia COVID-19 dapat menyebabkan status hemodinamik yang memburuk karena hipoksemia,
dehidrasi, dan hipoperfusi;

● Presentasi klinis, komorbiditas kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya, dan temuan ro thorax
dada menunjukkan gagal jantung (mis. Kardiomegali dan/atau efusi pleura bilateral) menjadi sangat
penting;

● Level BNP / NT-proBNP yang meningkat secara signifikan juga menunjukkan gagal jantung akut.
Penggunaan bedside point of care (POC) transthoracic echocardiography (TTE) dapat
dipertimbangkan, dengan perhatian untuk mencegah kontaminasi dari pasien personil medis
dan/atau peralatan;

● Strategi pengobatan yang sama untuk gagal jantung akut dapat diterapkan pada pasien dengan dan
tanpa COVID-19. Data tentang gagal jantung akut pada COVID-19 masih sangat jarang. Dalam satu
laporan, sebanyak 23% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami gagal jantung,
sementara prevalensi gagal jantung secara signifikan lebih tinggi dalam kasus fatal dibandingkan
pada kasus yang selamat (52% vs 12%, P <0,0001).​23

Pada 21 pasien yang dirawat di ICU untuk COVID-19 yang berat, sebanyak 7 pasien (33,3%) mengalami
komplikasi kardiomiopati dilatasi, ditandai oleh penurunan fungsi sistolik LV global, tanda-tanda klinis shock
kardiogenik, peningkatan creatine kinase (CK), atau kadar troponin I, atau hipoksemia tanpa riwayat disfungsi
sistolik sebelumnya.​70 Analisis penyebab kematian pada pasien COVID-19 (150 dirawat di rumah sakit / 68
meninggal) mengungkapkan bahwa kerusakan miokard / gagal jantung dan gabungan gagal napas / kerusakan
miokard / gagal jantung berkontribusi atas kasus dengan severitas yang fatal pada masing-masing kategori
hingga 7% dan 33%.​47
60
Ada beberapa, walaupun tidak bersifat eksklusif, mekanisme gagal jantung akut dalam COVID-19 sebagai
berikut:

1. Cedera miokard akut (didefinisikan sebagai peningkatan serum hs-cTnI> persentil ke-99 dari batas
atas atau kelainan baru pada EKG ataupun ekokardiografi) terjadi pada 8% pasien COVID-19.​132 ​Hal ini
mungkin disebabkan oleh iskemia, infark, ataupun peradangan (miokarditis). Pada pasien dengan
infeksi berat, bukti cedera miokard akut terjadi pada 22,2 - 31% kasus.​5, 23, 46 Sebuah meta-analisis
dari empat studi (n = 341) menyatakan bahwa pada pasien dengan infeksi berat, hs-cTnI secara
signifikan lebih tinggi pada saat awal perawatan (perbedaan standar rata-rata 25,6 ng/L)
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami severitas berat.​73 Selain itu, kadar troponin yang
tetap tinggi terjadi pada pasien non-survivor selama perjalanan klinis dan meningkat dengan
terjadinya penurunan kondisi klinis.​23 Riwayat gagal jantung lebih sering terjadi pada pasien dengan
cedera miokard akut dibandingkan dengan yang tidak (14,6% vs 1,5%).​15 Cedera miokard akut juga
lebih sering dikaitkan dengan peningkatan secara signifikan kadar NT-proBNP (median 1689 pg /
mL);​15

2. Sindrom distres pernapasan akut, hipoksia, cedera ginjal akut, hipervolemia, kardiomiopati akibat
stres, dan aktivasi inflamasi sistemik yang berat ('badai sitokin') disertai karakteristik infeksi berat
dan disfungsi multiorgan juga dapat berkontribusi pada gagal jantung akut atau eksaserbasi gagal
jantung kronis pada infeksi COVID-19;

3. Aritmia jantung berkelanjutan / berulang juga dapat menyebabkan penurunan fungsi jantung.
Aritmia jantung telah dijelaskan pada 16,7% dari semua pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit
dan 44,4% dari pasien yang membutuhkan perawatan intensif.

9.5.2. Miokarditis

Pokok utama

● Pengalaman klinis yang saat ini masih terbatas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat menyebabkan
miokarditis fulminan;

● Miokarditis harus dicurigai pada pasien dengan COVID-19 dan nyeri dada onset akut, perubahan
segmen ST, aritmia jantung, dan ketidakstabilan hemodinamik. Selain itu, dilatasi ventrikel kiri,
hiperkontraktilitas ventrikel kiri global / multi-segmental (pada point of care echocardiography), dan
peningkatan yang signifikan pada troponin jantung dan level BNP / NT-proBNP juga dapat ditemukan
pada PJK denfan obstruksi non-signifikan;

● Kecurigaan miokarditis harus diperhatikan terutama pada pasien COVID-19 dengan gagal jantung /
syok kardiogenik akut tanpa gangguan kardiovaskular sebelumnya;

● CT angiografi koroner harus menjadi pendekatan yang lebih dipilih untuk menyingkirkan
kemungkinan terdapatnya PJK;

● MRI jantung (jika tersedia) dapat digunakan untuk penilaian diagnostik lebih lanjut;

● Biopsi endomiokardial tidak direkomendasikan pada pasien COVID-19 dengan dugaan miokarditis;
61
● Tidak ada rekomendasi yang jelas dapat diberikan untuk perawatan miokarditis terkait-SARS-CoV-2.

● Kerusakan miokardium terbukti berasosiasi dengan tingginya mortalitas (RR 7.95; CI 95% 5.12-12.34)
dan tingginya kebutuhan perawatan ICU (RR 7.94; CI 1.51-41.78%) pada pasien dengan COVID-19

Insiden, mekanisme yang mendasari dan faktor risiko miokarditis terkait SARS-CoV-2 saat ini tidak diketahui
secara jelas. Baru-baru ini, viral load yang tinggi telah dilaporkan pada 4 pasien yang kemudian mengalami
miokarditis fulminan. Satu kasus melibatkan laki-laki berusia 38 tahun yang mengalami nyeri dada, hipotensi,
pneumonia bilateral dengan efusi pleura dan peningkatan segmen ST, tetapi dengan CT angiogram koroner
yang normal. Ekokardiografi menunjukkan dilatasi dan penurunan fraksi ejeksi LV (LVEF), dengan disertai efusi
perikardial hingga 2 mm. Tingkat Troponin I dan BNP sangat tinggi. Pasien kemudian berhasil pulih setelah
menerima terapi antiinflamasi parenteral glukokortikoid dan imunoglobulin dosis tinggi, bersama dengan
pemberian terapi lainnya.

9.5.3. Gagal Jantung Kronik

​Pokok Utama

• Risiko infeksi COVID-19 mungkin lebih tinggi pada pasien gagal jantung kronis karena usia lanjut dan
adanya beberapa komorbiditas;

• Pada pasien gagal jantung yang dicurigai COVID-19, penilaian klinis rutin, pengukuran suhu dengan
perangkat non-kontak, EKG (aritmia, iskemia miokard, miokarditis), rontgen dada (kardiomegali,
pneumonia COVID-19) dan temuan laboratorium (peningkatan tingkat sedimentasi, fibrinogen,
protein C-reaktif, dan limfositopenia) dapat memberikan petunjuk diagnostik;

• Transtorakal ekokardiografi dan CT scan toraks dapat digunakan untuk penilaian lebih lanjut.
Perhatian terutama harus diberikan pada pencegahan penularan virus ke penyedia layanan kesehatan
ataupun terjadinya kontaminasi peralatan;

• Pasien dengan gagal jantung kronis harus mengikuti langkah-langkah perlindungan untuk mencegah
infeksi;

• Pasien gagal jantung stabil yang dapat beraktivitas (tanpa keadaan darurat jantung) harus
mengurangi kunjungan ke rumah sakit;

• Terapi medis yang disarankan sesuai pedoman (termasuk beta-blocker, ACEI, ARB atau sacubitril /
valsartan, ivabradin, dan antagonis reseptor mineralokortikoid), harus dilanjutkan pada pasien gagal
jantung kronis, terlepas dari terdapat atau tidaknya infeksi COVID-19;

• Telemedicine harus dipertimbangkan sedapat mungkin untuk memberikan saran medis dan tindak
lanjut dari pasien gagal jantung yang stabil.

9.5.3.1. Pencegahan Infeksi SARS-CoV-2


Selama wabah COVID-19, pasien dengan gagal jantung kronis harus disarankan untuk mengikuti
langkah-langkah perlindungan yang ditujukan untuk mencegah penularan penyakit (mis. Isolasi diri, jarak
sosial, sering mencuci tangan, menggunakan pembersih tangan dan memakai masker di ruang publik). Pasien
62
gagal jantung stabil yang dapat beraktivitas (tanpa keadaan darurat jantung) harus mengurangi kunjungan ke
rumah sakit.

9.5.3.2. Petunjuk Diagnostik


Pemeriksaan klinis rutin, EKG (aritmia, iskemia miokard, miokarditis) dan rontgen dada (kardiomegali,
pneumonia COVID-19) dapat memberikan petunjuk diagnostik. Karena sensitivitas rontgen dada yang relatif
rendah untuk mendeteksi pneumonia COVID-19, pasien dengan kecurigaan klinis tingkat tinggi (takipnea,
hipoksemia), tetapi dengan temuan rontgen dada yang ambigu, harus dirujuk untuk pemeriksaan CT scan
toraks.​133 Temuan laboratorium seperti peningkatan laju sedimentasi eritrosit, protein fibrinogen dan C-reaktif,
serta limfositopenia mungkin dapat meningkatkan kecurigaan terhadap pneumonia COVID-19. TTE sangat
penting, tidak hanya untuk mengevaluasi disfungsi LV yang sudah ada sebelumnya pada gagal jantung, tetapi
juga untuk menilai pasien yang diduga menderita miokarditis terkait SARS CoV-2. Selama dilakukan prosedur
medis, perhatian harus ditujukan terutama untuk mencegah penularan virus ke petugas medis.

9.5.3.3. Tatalaksana Penyakit Jantung Kronik


SARS-CoV-2 menggunakan reseptor ACE-2 untuk masuk sel. Beberapa studi menunjukkan bahwa ACEI dan ARB
dapat meningkatkan regulasi ACE-2,​135 sehingga diduga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Baru-baru
ini, serial kasus sebanyak 12 pasien dengan ARDS terkait COVID-19 menunjukkan bahwa kadar Ang II dalam
plasma secara nyata meningkat dan secara linier terkait dengan viral load dan cedera paru dalam mengekang
cedera paru yang diperantarai oleh Ang II. Dengan demikian, secara jelas penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk menyelesaikan kontroversi mengenai peran ACEI / ARB dalam COVID-19.

Saat ini tidak ada bukti klinis dari hubungan antara pengobatan ACEI / ARB dan kerentanan terhadap infeksi,
atau perjalanan klinis. Penghentian terapi medikamentosa pada pasien gagal jantung dapat meningkatkan
risiko perburukan gagal jantung.​136 Data yang tersedia tidak mendukung penghentian ACEI / ARB dan dapat
direkomendasikan bahwa pasien gagal jantung dapat melanjutkan terapi medis yang diarahkan sesuai dengan
pedoman, termasuk beta blocker, ACEI, ARB, atau sacubitril / valsartan, serta antagonis reseptor
mineralokortikoid, terlepas dari infeksi COVID-19.​137

Pasien COVID-19 dapat mengalami hipotensi karena dehidrasi dan gangguan hemodinamik. Oleh karena itu,
penyesuaian dosis obat harus dipertimbangkan.

9.5.3.4. Telemedicine dan Pengiriman Obat ke Rumah


Penggunaan telemedicine yang lebih luas harus semakin dikembangkan untuk meminimalkan risiko penularan
SARS-CoV-2, pada pasien HF dan personil medis. Kapanpun memungkinkan, teknologi ini harus digunakan
untuk memberikan saran medis dan tindak lanjut pasien gagal jantung yang stabil, dan untuk memesan kontak
penyedia pasien langsung dalam kondisi darurat. Disarankan bahwa petugas medis melakukan kontak telepon
dengan pasien gagal jantung kronis rawat jalan selain untuk memverifikasi kebutuhan untuk kunjungan rumah
sakit, juga untuk memberikan dukungan psikologis. Jika memungkinkan (dan diperlukan), pengiriman di rumah
dan pengiriman obat-obatan gagal jantung standar kepada pasien dapat pilihan yang patut dipertimbangkan.
63
9.5.4. Perangkat Bantuan Ventrikel Kiri dan Transplantasi Jantung

Pokok Utama

● Pasien dengan alat bantu ventrikel kiri/left ventricular assist device (LVAD) memiliki kerentanan yang
lebih besar terhadap infeksi dan tindakan pencegahan yang ketat harus diterapkan untuk
menghindarinya;

● Penerima transplantasi jantung mungkin berisiko lebih tinggi terkena penyakit COVID-19 yang parah
atau memperpanjang waktu transmisi virus, karenanya kepatuhan yang ketat terhadap tindakan
pencegahan harus disarankan untuk menghindari infeksi;

● Data yang ada saat ini masih terbatas mengenai presentasi dan prognosis COVID-19 pada penerima
transplantasi jantung. Namun, hasil klinis yang bervariasi pada penerima organ dalam wabah
​ 139 menunjukkan bahwa rawat inap, pemantauan
coronavirus sebelumnya (SARS dan MERS), 138,
ketat, dan pengobatan yang tepat untuk pasien transplantasi jantung COVID-19 dapat
direkomendasikan.

Karena sifat dari perangkat LVAD, pasien yang menggunakan LVAD memiliki kerentanan yang meningkat
terhadap infeksi dan setiap upaya harus dilakukan untuk mencegah penularan virus. Pemantauan yang
hati-hati dan pengelolaan terapi antikoagulan sangat disarankan, karena baik COVID-19 dan obat antivirus
dapat mempengaruhi dosis antikoagulan. Jika secara teknis memungkinkan, penilaian fungsi LVAD dengan
telemonitoring lebih direkomendasikan. Rekomendasi umum untuk semua pasien LVAD juga harus diterapkan,
terlepas dari terinfeksi COVID-19 ataupun tidak.

Kerentanan terhadap infeksi dan perjalanan klinis COVID-19 pada penerima transplantasi jantung tidak
diketahui secara jelas. Baru-baru ini, terdapat dua kasus (satu dengan ringan dan satu dengan severitas berat)
dari COVID-19 pada penerima transplantasi jantung di Cina.​140 Hal yang penting untuk diperhatikan adalah
gejala yang muncul mirip dengan orang-orang yang imunokompeten, termasuk demam, peningkatan penanda
inflamasi (misalnya C- protein reaktif), limfositopenia, hingga CT dada menunjukkan gambaran ground glass
opacity (GGO). Perawatan pasien dengan infeksi yang lebih parah termasuk penghentian sementara
obat-obatan imunosupresan awal dan glukokortikoid dosis tinggi, imunoglobulin dan antibiotik
fluoroquinolone, bersama dengan langkah-langkah perawatan lainnya. Dari hasil yang didapatkan, kedua
pasien tersebut pulih.

Namun, laporan lain pada 87 penerima transplantasi jantung dari Tiongkok menunjukkan bahwa kepatuhan
yang tinggi terhadap tindakan pencegahan (lihat di atas) menghasilkan tingkat kemungkinan infeksi yang
rendah serta gejala yang tidak signifikan (misalnya 4 pasien dilaporkan memiliki infeksi saluran napas dan 3
dari mereka memiliki hasil tes SARS-CoV-2 negatif, sementara 1 pasien tidak diuji).​141 Hal terpenting dari studi
tersebut, semua pasien pulih sepenuhnya setelah perawatan.
64
9.6.Penyakit Jantung Katup
Pokok Utama

● Pasien dengan penyakit jantung katup (terutama yang dengan gangguan terkait ventrikel kiri atau
kanan, atau hipertensi paru) kemungkinan memiliki risiko terpapar selama pandemi COVID-19;
● Alokasi sumber daya yang terkoordinasi di tingkat rumah sakit dan regional sangat penting untuk
mempertahankan kapasitas ICU;
● Perlu untuk menjaga fungsi Tim Jantung/​heart team dalam proses pengambilan keputusan (meskipun
pertemuan tatap muka tidak memungkinkan).

Meskipun penyakit jantung katup belum secara eksplisit dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas pada awal seri kasus COVID-19, hampir 40% dari pasien yang dirawat di ICU memiliki riwayat gagal
jantung kongestif sebelumnya. Penyakit jantung katup umumnya terdapat pada lansia dan gejala
perkembangan penyakit (terutama dyspnea) dapat menyerupai infeksi paru. Selain itu, penyakit jantung katup
dapat memperburuk perjalanan infeksi COVID-19 dan mempersulit control tatalaksana hemodinamik dari
respon inflamasi sistemik (badai sitokin), 142 ​ sindrom distres pernapasan akut, dan kombinasi septikemia
46
bakteri (diamati pada sepertiga pasien ICU).​

Intervensi bedah dan transkateter elektif pada penyakit jantung katup berpotensi menghabiskan sumber daya
perawatan kesehatan yang signifikan dan mungkin kurang sesuai untuk diterapkan selama pandemi mengingat
beratnya beban yang dialami pada fasilitas perawatan akut dan intensif. Meskipun demikian, pasien dengan
penyakit jantung katup yang parah harus tetap di bawah pengawasan yang ketat dan dianjurkan untuk
melaporkan progresifitas gejala melalui metode ​telemedicine​. Dengan ini diharapkan kebutuhan terhadap
penggunaan ICU dan ventilator berkurang.

Prosedur intervensi katup harus mempertimbangkan keseimbangan antara prognosis akut maupun jangka
pendek pasien dengan sumber daya yang tersedia serta risiko bagi pasien dan tenaga medis tertular infeksi di
rumah sakit. Dalam hal ini, penggunaan prosedur yang kurang invasif (khususnya implantasi katup aorta
transkateter/​transcatheter aortic valve implantation [TAVI] melalui pendekatan transfemoral yang dilakukan
dengan sedasi dan/atau anestesi lokal), dapat memberikan peluang untuk meminimalkan penggunaan ICU dan
lama perawatan di rumah sakit. Keputusan klinis oleh Tim Jantung​/Heart Team menjadi hal yang penting dan
penggunaan ​telemedicine (atau sarana komunikasi virtual lainnya) merupakan hal yang esensial jika
pertemuan tatap muka sulit (atau tidak memungkinkan) selama fase akut pandemi.

9.6.1.Manajemen Pada Stenosis Katup Aorta


Pokok utama

● Prioritas harus diberikan kepada pasien stenosis aorta dengan sinkop dan gagal jantung, dan
pasien dengan gradien transvalvular yang tinggi (atau sangat tinggi) dan/atau gangguan fungsi
ventrikel kiri;
● Prosedur yang tidak mendesak sebaiknya ditunda berdasarkan kriteria objektif yang dinilai
oleh Tim Jantung (​Heart Team​);
65
● Penggunaan TAVI transfemoral (sebagaimana dinilai tepat oleh Tim Jantung) dapat
dipertimbangkan dengan utilisasi sumber daya kesehatan yang optimal.

Prognosis pasien dengan stenosis katup aorta yang berat tergantung pada beberapa faktor, termasuk usia,
status gagal jantung, kecepatan jet aorta puncak / gradien transvalvular rata-rata,​143, 144 fraksi ejeksi ventrikel

kiri, hipertensi pulmonal,​145 dan peningkatan biomarker (peptida natriuretik atau troponin). 146-148 Mortalitas
pasien dengan stenosis katup aorta simptomatik berat yang dirawat secara konservatif cenderung tinggi,
mencapai 50% dalam 1 tahun dan 70-80% dalam 2 tahun.​149 Penundaan tindakan penggantian katup aorta
secara bedah atau tindakan implantasi katup aorta dengan transkateter selama beberapa bulan dapat
mempengaruhi prognosis.

Dalam kondisi pandemi COVID-19, Tim Jantung/​Heart Team harus melakukan penilaian risiko individu yang
sistematis berdasarkan kriteria objektif yang menentukan perkembangan penyakit. Prioritas harus diberikan
kepada pasien dengan sinkop atau gagal jantung (New York Heart Association [NYHA] Kelas III / IV), gradien
transvalvular tinggi atau sangat tinggi dan pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun. Sesuai yang
dijabarkan pada Tabel 8, strategi ​watchful waiting lebih tepat pada mereka dengan minimal atau tanpa gejala.
TAVI (atau valvuloplasti balon aorta) dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak
stabil (COVID-19 positif / negatif). Namun, manfaat potensial dari intervensi katup pada pasien positif
COVID-19 dengan sakit kritis (hingga saat ini belum ada kasus yang dilaporkan) harus dipertimbangkan
terhadap kemungkinan prognosis buruk pasca tindakan mengingat > 60% kematian pasien COVID-19 positif
yang terjadi di ICU.​150

Seluruh kasus dianjurkan untuk didiskusikan oleh Tim Jantung dan indikasi untuk dilakukan tindakan TAVI
dapat diperluas pada pasien dengan severitas moderat​151,152 dan pasien berisiko rendah.​153, 154 Prosedur TAVI
transfemoral (bila memungkinkan) dapat menghemat sumber daya dengan menghindari anestesi umum dan
intubasi, memperpendek waktu (atau mencegah) rawatan ICU dan rawat inap serta pemulihan pasien.​155

9.6.2.Tatalaksana Regurgitasi Katup Mitral


Pokok Utama

● Sebagian besar pasien dengan regurgitasi mitral (RM) bersifat stabil sehingga tindakan
intervensi bedah atau transkateter kemungkinan dapat ditunda;
● Prioritas harus diberikan pada pengobatan pasien dengan MR akut akibat komplikasi infark
miokard akut atau pada endokarditis infektif (IE), dan pasien dengan MR primer atau MR
sekunder simptomatik berat yang tidak responsif terhadap pengobatan medis dan ​device yang
ada, serta pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Pilihan intervensi harus
ditetapkan oleh Tim Jantung/​Heart Team.​

Manajemen RM berbeda sesuai dengan etiologi dan tampilan klinis pasien. RM primer kronis (​flail leaflet dan
Barlow disease​) umumnya stabil dan dapat ditoleransi dengan baik. Sebaliknya, mitral regurgitasi
sekunder/​secondary mitral regurgitation (SMR) memiliki entitas yang lebih bervariasi, dimana sebagian pasien
dalam kondisi stabil dalam tatalaksana terapi dan ​device yang dianjurkan (termasuk penggunaan sacubitril /
valsartan dan terapi sinkronisasi jantung bila diindikasikan),​156 sementara sekelompok pasien lain dapat
66
mengalami komplikasi sindrom gagal jantung yang tidak stabil dan cenderung refrakter terhadap perawatan
medis, khususnya dalam konteks infeksi akut.​157

Dalam kondisi pandemi COVID-19, prioritas harus diberikan pada pengobatan pasien dengan RM primer akut
sebagai akibat dari infark miokard akut atau infektif endokarditis, serta pasien dengan mitral regurgitasi
primer maupun sekunder berat yang tetap bergejala meskipun dengan tatalaksana medikamentosa yang
optimal. Pasien RM dengan kondisi stabil dapat dikelola secara konservatif.​156-159

Transcatheter mitral ​edge-to-edge repair dapat dipertimbangkan pada pasien yang berisiko tinggi atau tidak
dapat dioperasi serta cocok secara anatomis dengan MR akut (tidak termasuk pasien dengan infektif
endokarditis) atau pasien dengan regurgitasi mitral primer maupun sekunder dengan gagal jantung bersifat
refrakter. Meskipun risiko komplikasi yang memerlukan perawatan di ICU rendah,​160 prosedur ini tetap
membutuhkan anestesi umum (berbeda dengan TAVI transfemoral) dan evaluasi ekokardiografi yang
kontinyu, sehingga berpotensi mengekspos intervensionis dan tim anestesi terhadap risiko penularan
COVID-19. Penggunaan alat bantu mekanik temporer untuk menjaga hemodinamik (pompa balon intra-aorta
atau Impella) harus dibatasi untuk pasien dengan prognosis yang baik secara klinis untuk menjaga sumber
daya ICU yang terbatas.

9.7. Hipertensi

Pokok utama

● Ada kemungkinan bahwa hubungan yang dilaporkan antara hipertensi dan risiko komplikasi berat
atau kematian akibat infeksi COVID-19 dapat dikacaukan oleh kurangnya penyesuaian usia. Saat ini
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko independen untuk
komplikasi berat atau kematian akibat infeksi COVID-19;

● Meskipun banyak spekulasi, saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pengobatan
sebelumnya dengan ACEI atau ARB meningkatkan risiko infeksi COVID-19, atau risiko munculnya
komplikasi berat dari infeksi COVID-19;

● Pengobatan hipertensi harus mengikuti rekomendasi yang ada dalam Pedoman ESC-European
Society of Hypertension (ESH). Tidak ada perubahan untuk rekomendasi pengobatan ini yang
diperlukan selama pandemi COVID-19;

● Pasien yang diisolasi sendiri dengan kondisi hipertensi dan sedang dirawat tidak perlu mengunjungi
rumah sakit untuk kunjungan pemeriksaan rutin selama pandemi ini. Pasien dapat menggunakan
pemantauan tekanan darah di rumah secara berkala, dengan konferensi video, atau konsultasi
telepon hanya jika diperlukan;

● Pasien dengan hipertensi mungkin mengalami risiko yang meningkat terhadap aritmia jantung akibat
dari penyakit jantung yang mendasarinya, atau akibat dari seringnya pasien mengalami hipokalemia
pada kondisi infeksi COVID-19 berat;

● Terapi antihipertensi mungkin perlu dihentikan sementara pada pasien infeksi akut di rumah sakit
yang mengalami hipotensi atau cedera ginjal akut sekunder akibat infeksi COVID-19 yang berat;

● Pada pasien yang sebelumnya dirawat karena hipertensi yang memerlukan ventilasi invasif, obat
antihipertensi parenteral hanya diindikasikan untuk mereka yang mengalami hipertensi berat
67
persisten.
68
9.7.2. Hipertensi dan COVID-19

Laporan awal dari Tiongkok mencatat bahwa hipertensi merupakan salah satu komorbiditas yang
paling umum (20-30% kasus) terkait dengan kebutuhan terhadap ventilator karena komplikasi
pernafasan yang parah dari infeksi COVID-19.​5, 46, 61, 82, 161 Sayangnya, analisis ini tidak menyesuaikan
usia yang merupakan faktor perancu penting karena hipertensi sangat umum terjadi pada orang tua
(~ 50% pada orang berusia di atas 60 tahun menderita hipertensi) dan prevalensi hipertensi
meningkat tajam pada orang yang sangat tua. Usia yang lebih tua juga merupakan faktor risiko paling
penting untuk komplikasi berat dan kematian akibat COVID-19. Dengan demikian, frekuensi
hipertensi yang tinggi diperkirakan terjadi pada pasien yang lebih tua dengan infeksi yang berat
karena usia mereka yang lebih tua. Tentu saja, frekuensi hipertensi yang lebih tinggi dapat
diperkirakan pada pasien yang terinfeksi COVID-19 yang lebih tua, daripada yang telah dilaporkan
pada studi.

Dimungkinkan bahwa hubungan yang dilaporkan antara hipertensi dan risiko komplikasi berat atau
kematian akibat infeksi COVID-19 tidak sahih karena tidak adanya penyesuaian usia. Saat ini tidak
ada bukti yang menunjukkan bahwa hipertensi adalah faktor risiko independen untuk komplikasi
berat atau kematian akibat infeksi COVID-19.

9.7.3. Pengobatan Antihipertensi dengan Angiotensin Converting


Enzyme Inhibitors atau Angiotensin Receptor Blockers

Blokade RAS dengan ACEI atau ARB adalah dasar terapi antihipertensi dalam pedoman ESC-ESH
untuk pengelolaan hipertensi arteri (2018).​162 Pengobatan hipertensi yang dianjurkan untuk sebagian
besar pasien adalah kombinasi ACEI atau ARB dengan penghambat kanal kalsium/calcium channel
blocker (CCB) atau thiazide / thiazide like diuretic.​162

Namun, ada kekhawatiran bahwa pengobatan dengan ACEI atau ARB dapat meningkatkan risiko
infeksi atau berkembang menjadi konsekuensi infeksi yang berat dengan COVID-19.​10, 34, 163
Kekhawatiran ini berasal dari hipotesis yang menghubungkan pengamatan bahwa COVID-19
menyerang sel dengan mengikat ke enzim ACE-2 yang ada di berbagai macam organ yang terutama
diekspresikan pada permukaan sel alveoli di paru-paru.​28, 30, 164 Dalam sebagian besar penelitian pada
hewan, ACEI atau ARB telah terbukti meningkatkan kadar ACE-2 terutama di jaringan jantung.​36, 165, 166

Namun, sejauh ini belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa obat penghambat RAS
meningkatkan kadar ACE-2 dalam jaringan manusia dan tidak ada penelitian pada hewan atau
manusia yang menunjukkan bahwa obat penghambat RAS meningkatkan kadar ACE-2 di paru-paru,
ataupun bahwa tingkat ekspresi ACE-2 di paru-paru adalah merupakan faktor pembatas/limiting
factor dari infeksi COVID-19.

Selain itu, belum ada penelitian pada manusia yang menunjukkan hubungan independen antara
penggunaan blocker RAS dan manifestasi komplikasi yang berat dari infeksi COVID-19, setelah
penyesuaian usia dan komorbiditas lainnya.

Sebaliknya, penelitian pada model hewan dengan infeksi influenza atau coronavirus menunjukkan
bahwa ACE-2 penting dalam melindungi paru-paru dari cedera parah dan bahwa obat penghambat
RAS juga melindungi terhadap cedera paru-paru parah akibat virus ini.​167-169 Studi pada manusia
69
tentang Blokade RAS atau ACE-2 rekombinan untuk mencegah dekompensasi pernapasan pada
pasien yang terinfeksi COVID-19 telah disarankan, direncanakan atau sedang berlangsung.​170, 171

Akibatnya, saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ACEI atau ARB harus dihentikan karena
kekhawatiran tentang infeksi COVID-19. Pengobatan hipertensi bila diindikasikan, harus terus
mengikuti rekomendasi pedoman ESC-ESH yang ada.​172

9.7.4. Manajemen Jarak Jauh Hipertensi pada Pasien Isolasi di Rumah

Sebagian besar pasien dengan hipertensi hanya memerlukan kunjungan yang jarang ke klinik untuk
mengelola hipertensi mereka. Banyak pasien dengan hipertensi yang diobati dalam kondisi isolasi
untuk mengurangi risiko infeksi COVID-19 dan tidak dapat hadir ke poliklinik untuk kontrol seperti
biasa. Bila memungkinkan, pasien harus memantau tekanan darah mereka sendiri seperti biasanya
dengan menggunakan monitor tekanan darah komersial yang sudah divalidasi.​162

Konferensi video atau konsultasi telepon dengan pasien bila diperlukan dapat memfasilitasi tindak
lanjut dokter yang mendesak sampai kunjungan klinik dapat diadakan kembali.

9.7.5. Hipertensi dan Pasien Rawat Inap dengan Infeksi COVID-19

Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami infeksi yang lebih berat bahkan
memerlukan alat bantu pernapasan. Kelompok pasien ini cenderung usianya lebih tua dan memiliki
komorbid seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal kronis. Pasien dengan penyakit berat juga
dapat mengalami komplikasi multi-organ pada severitas yang berat.

Pasien hipertensi mungkin juga mengalami hipertrofi ventrikel kiri atau penyakit jantung dan berisiko
lebih tinggi terkena aritmia, terutama ketika mengalami hipoksia.​173 Kadar kalium plasma harus
dipantau karena aritmia dapat diperburuk akibat dari seringnya terjadi penurunan kadar kalium
plasma atau hipokalemia. Kejadian ini pertama kali dilaporkan pada infeksi coronavirus SARS​174 dan
laporan kasus hingga saat ini juga menunjukkan kondisi yang serupa pada pasien yang terinfeksi
COVID-19 dengan perawatan di rumah sakit.​175 Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan
kehilangan kalium dari urin, yang dapat diperburuk dengan terapi diuretik.

Jika pasien mengalami perburukan klinis dan mengalami hipotensi atau mengalami cedera ginjal akut
karena penyakitnya yang berat, terapi antihipertensi mungkin perlu dihentikan. Sebaliknya, obat
antihipertensi parenteral jarang tetapi masih mungkin diperlukan untuk pasien hipertensi yang
mendapatkan tatalaksana ventilasi mekanik dengan tekanan darah yang tidak terkontrol setelah
dihentikannya pengobatan hipertensi sebelumnya (yaitu hipertensi grade 2, BP> 160/100 mmHg)
tetapi tujuan dalam situasi akut adalah untuk mempertahankan tekanan darah di bawah level
tersebut dan tidak bertujuan untuk kontrol tekanan darah yang optimal.
70

9.8. Emboli Paru Akut - Pencegahan dan Diagnosis

Pokok utama

● Pertimbangkan pemberian antikoagulan dengan dosis profilaksis standar pada semua


pasien yang dirawat dengan ​coronavirus disease 19 (​ COVID-19);
● Pertimbangkan kemungkinan adanya emboli paru akut pada pasien yang terkonfirmasi
infeksi COVID-19 dengan perburukan fungsi sistem pernapasan yang tidak terduga,
takikardia baru/yang tidak dapat dijelaskan, penurunan tekanan darah yang tidak
disebabkan oleh takiaritmia, hipovolemia maupun sepsis, perubahan EKG (onset baru) yang
mengindikasikan suatu emboli paru/​pulmonary embolism (PE), dan tanda-tanda trombosis
vena dalam pada ekstremitas;
● Ketika telah dikonfirmasi adanya emboli paru akut, pemberian terapi harus berdasarkan
pada stratifikasi risiko sesuai dengan pedoman ESC saat ini;
● Antikoagulan oral non-antagonis vitamin K/​New oral anticoagulant (NOAC) dapat
berinteraksi dengan beberapa obat yang diteliti untuk COVID-19, terutama lopinavir /
ritonavir. Dalam kasus demikian, penggunaan NOAC harus dihindari. Tidak ada interaksi
bermakna yang telah dilaporkan antara obat yang diteliti untuk COVID-19 dan heparin.

Meskipun bukti kuat belum tersedia hingga saat ini, sejumlah laporan kasus mengindikasikan bahwa
insidensi emboli paru pada pasien dengan infeksi COVID-19 mungkin tinggi.​176-178 Dengan
mempertimbangkan hal ini, bersama dengan peradangan sistemik, aktivasi koagulasi, hipoksemia,
dan imobilisasi yang berkaitan dengan infeksi COVID-19, pemberian antikoagulan dengan dosis
profilaksis standar harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
infeksi COVID-19.

Pasien dengan infeksi COVID-19 sering mengalami gejala saluran napas dan mungkin juga
melaporkan adanya nyeri dada dan hemoptisis.​61 Gejala-gejala ini sebagian besar mirip dengan
presentasi PE akut, sehingga dapat menghambat diagnosis PE akut sebagai komplikasi yang relevan
dengan COVID-19.​179 Perburukan fungsi respirasi yang tidak terduga, penurunan tekanan darah yang
tidak disebabkan oleh takiaritmia, hipovolemia maupun sepsis, perubahan EKG (onset baru) yang
memberikan kesan PE, dan tanda-tanda trombosis vena dalam pada ekstremitas harus meningkatkan
kecurigaan adanya PE. Pemeriksaan diagnostik untuk PE dianjurkan hanya bila terdapat kecurigaan
secara klinis, walaupun tetap direkomendasikan untuk lebih siaga dan mempertimbangkan
kemungkinan PE sedini mungkin. Spesifisitas tes D-dimer mungkin lebih rendah pada pasien dengan
COVID-19 dibandingkan dengan kondisi klinis lainnya. Meski demikian, masih disarankan untuk
mengikuti algoritma diagnostik yang dimulai dengan menilai probabilitas pre-test (prevalensi) dan
pengujian D-dimer, terutama ketika digunakan ambang probabilitas pre-test bergantung pada nilai
D-dimer.​103-105 Hal ini dapat membantu merasionalisasi distribusi sumber daya dan personel untuk
mengirim pasien ke departemen radiologi dengan tetap melakukan semua tindakan pencegahan
isolasi yang dianjurkan. Dalam skenario klinis pasien dengan COVID-19, yang baru saja menjalani CT
71
paru tetapi hasil temuan tidak dapat menjelaskan tingkat keparahan gagal napas, CT paru angiografi
dapat [atau harus] dipertimbangkan sebelum pasien meninggalkan ruang radiologi.

Ketika telah dikonfirmasi adanya PE akut, pengobatan harus diberikan berdasarkan stratifikasi risiko
sesuai dengan pedoman ESC saat ini.​102 Pasien dengan syok harus menerima terapi reperfusi segera.
Pasien dengan kondisi hemodinamik stabil dapat diterapi dengan pemberian heparin yang tidak
terfraksi/​unfractionated heparin (UFH), heparin dengan berat molekul rendah/​low molecular weight
heparin (​ LMWH), atau NOAC, tergantung pada fungsi ginjal, apakah pasien memungkinkan untuk
mendapatkan terapi peroral, dan kondisi lainnya. Ketika memilih obat dan rejimen yang tepat
(parenteral versus oral) untuk terapi antikoagulasi awal di rumah sakit, kemungkinan terjadinya
penurunan fungsi sistem kardiorespirasi yang mendadak akibat COVID-19 harus diperhitungkan.
Yang perlu diperhatikan, beberapa obat yang diteliti untuk COVID-19 mungkin memiliki interaksi
yang relevan dengan NOAC. Secara khusus, hal ini terjadi pada lopinavir/ritonavir melalui peran
enzim Cytochrome P450 3A4 (CYP3A4) dan/atau inhibisi P-glikoprotein (P-gp). Pada kasus demikian,
risiko perdarahan dapat meningkat dan penggunaan NOAC harus dihindari. Chloroquine, obat
dengan waktu paruh sekitar 2 minggu, telah dikaitkan dengan efek inhibisi ringan pada P-gp, yang
dapat menurunkan kadar NOAC dalam plasma ketika diberikan secara bersamaan; relevansi klinis
dari interaksi ini tidak diketahui. Karena diperlukan pemantauan ketat, yang dapat berkontribusi
terhadap penyebaran infeksi, penggunaan antagonis vitamin K/​vitamin K antagonist (VKA) hanya
boleh dipertimbangkan dalam keadaan khusus, seperti pada pasien dengan katup prostetik mekanis
atau sindrom antifosfolipid.​102

9.9. Aritmia
Pokok Utama
● Untuk pemantauan dan tindak lanjut pasien dengan alat implan kardiak, pemantauan dari
jarak jauh harus sering dilakukan;
● Ablasi elektif dan prosedur pemasangan alat implan kardiak harus ditunda dan prosedur
mendesak hanya dilakukan pada kasus yang khusus setelah pertimbangan yang sangat
hati-hati dari pilihan obat farmakologis lainnya;
● Pada pasien perawatan dengan atrial fibrilasi/atrial flutter dengan hemodinamik stabil,
hentikan obat antiaritmia dan mulai obat untuk kontrol laju nadi agar pemberian
hidroksiklorokuin dan/atau azitromisin aman diberikan sebagai obat antivirus sebagai terapi
pilihan yang diberikan;
● Interaksi obat-obatan termasuk obat antivirus, antiaritmia, dan antikoagulasi harus
dipertimbangkan sebelum pemberian obat
● Pada pasien kritis dengan hemodinamik tidak stabil karena terjadinya ventrikel takikardi atau
atrial fibrilasi/atrial flutter, amiodaron intravena merupakan pilihan obat antiaritmia. Akan
tetapi, kombinasi dengan hidroksiklorokuin dan azitromisin sebaiknya dihindari;
● Perhatian khusus harus diberikan untuk menghindari ventrikel takikardi ​Torsades de Pointes
(TdP) pada keadaan COVID-19 dan pemberian obat antivirus yang menyebabkan
72
pemanjangan interval QT (hidroksiklorokuin dan azitromisin) dengan kombinasi obat
antiaritmia, gangguan elektrolit, gangguan fungsi ginjal, dan/atau bradikardi;
● Terapi TdP adalah menghentikan semua obat-obatan yang menyebabkan pemanjangan
interval QT, target K+ >4.5 mEq/L, suplementasi magnesium intravena, dan peningkatan laju
nadi (menghentikan agen bradikardi dan jika perlu isoproterenol intravena atau pacu
jantung sementara)
● Ekokardiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan aritmia ventrikel malignan yang
baru yang tidak terkait pemanjangan QT, untuk menilai fungsi ventrikel dan keterlibatan
miokardium;
● Setelah pemulihan dari infeksi COVID-19, pilihan terapi pada AF/atrial flutter untuk kontrol
irama dan laju jantung harus dinilai kembali, dan obat antikoagulan jangka panjang harus
dilanjutkan berdasarkan skor CHA2DS2-VASc. Kebutuhan untuk pacu jantung permanen
pada bradikardi dan untuk ablasi kateter, pemasangan defibrilator kardiak implan (DKI) atau
defibrilasi sebagai profilaksis sekunder yang dapat digunakan untuk takiaritmia ventrikel
perlu dievaluasi kembali
Hanya sedikit data yang tersedia untuk tata laksana antiaritmia, terutama pada pasien COVID-19.
Oleh karena itu, dokumen ini menggambarkan suatu konsensus berdasarkan bukti yang terbatas.
Dokumen ini akan diperbarui jika ada informasi tersedia.
Prinsip umum dari tata laksana pasien dengan aritmia kardiak dan alat implan kardiak selama
pandemik adalah sebagai berikut:
● Melindungi tenaga kerja kesehatan untuk memberikan tata laksana yang tepat pada semua
pasien dengan infeksi COVID-19;
● Meminimalkan risiko infeksi nosokomial pada pasien yang tidak terinfeksi dan tenaga
kesehatan;
● Menyediakan kualitas baik pada keadaan gawat darurat untuk semua keadaan aritmia dan
alat implan yang mengancam nyawa.
Berbagai perkumpulan nasional dan layanan kesehatan termasuk ​Heart Rhythm Society, National
Health Service ​(UK), dan ​Cardiac Society of Australia and New Zealand mempunyai masalah
rekomendasi yang serupa untuk mencapai tujuan ini dan panduan tatalaksana pada pasien dengan
aritmia jantung dan alat implan jantung selama pandemic COVID-19.​180-182

9.9.1. Pemantauan dan Tindak Lanjut Pasien dengan Alat Implan Jantung
● Pemantauan jarak jauh harus sering dilakukan untuk mengganti kunjungan interogasi alat rutin ke
rumah sakit, klinik, dan praktik. Kunjungan klinik harus diganti dengan kontak dari jauh lewat
telepon atau internet oleh dokter menggunakan alat komunikasi:
o Pada pasien yang sudah dilakukan pemeriksaan melalui pemantauan jarak jauh, dapat
menunda evaluasi. Hal ini dapat berimplikasi secara psikologis, dimana pasien mungkin
merasa hal tersebut memperlambat pemeriksaan rutin sehingga mengganggu kualitas alat
73
mereka. Jaminan kepada pasien harus disampaikan ketika pasien harus menunda
kedatangannya ke poliklinik.
o Pada pasien yang tidak dilakukan pemeriksaan melalui pemantauan jarak jauh, mengaktifkan
alat tersebut biasanya membutuhkan langkah membuat program selama kunjungan klinik,
pencatatan transmitter, dan mengambil persetujuan dari pasien. Hal ini menempatkan
pasien untuk risiko infeksi dan memakan waktu untuk ke rumah sakit. Akan tetapi, memulai
pemantauan jarak jauh tanpa pasien datang ke rumah sakit dapat menjadi untuk alat Boston
Scientific and Abbott (PM dan DKI), selama pemantauan jarak jauh deprogram nyala (​ON)​
sebagai standar pada alat ​cardiovascular implantable electronic devices (CIEDs) ini. Untuk
alat lain (seperti semua alat CIEDs Medtronic dan Biotronik), pemantauan jarak jauh butuh
melakukan program dari poliklinik menyala (​ON​), kecuali sudah dilakukan pada saat
pemasangan implan sesuai standar di beberapa negara dan pusat kesehatan. Ketika CIED
sudah diprogram menyala (​ON)​ , untuk semua alat, pasien hanya perlu menyalakan alat
transmitter di rumah yang akan aktif secara otomatis (Biotronik; Abbott), setelah menekan
tombol (Boston Scientific), atau setelah beberapa langkah (Medtronic) yang dipandu dari
telepon. Produsen menunjukkan adanya keterbatasan terhadap regulasi privasi untuk secara
langsung mengirimkan transmitter ke rumah pasien dan harus menyediakan alat dari rumah
sakit yang harus dikirimkan pada tahap selanjutnya
● Pemantauan jarak jauh mungkin butuh pengaturan kembali dari rumah sakit yang mungkin
menghindari pemindahan skala besar dari keadaan rawat jalan ke model telemetri selama waktu
COVID-19 dimana kegiatan rumah sakit terbatas;
● Alat pasien yang sudah terjadwal untuk poliklinik yang harus ditunda dapat diyakinkan bahwa
perubahan besar pada integritas alat dapat ditandai dengan alarm. Pasien harus diinstruksikan
untuk menghubungi pusat kesehatannya jika alarm berbunyi;
● Pasien tanpa gejala baru atau alarm harus dilakukan penjadwalan ulang untuk tindak lanjut alat
setelah pandemik;
● Interogasi alat secara urgen di rumah sakit atau ambulatori mungkin dibutuhkan untuk pasien
dengan kecurigaan adanya disfungsi baru dan berat pada ​lead; deplesi baterai khususnya pada
pasien dependen terhadap pacu jantung; deteksi aritmia maligna; baik atau tidaknya
penghantaran ICD jika tidak dapat diatur dari pemantauan jarak jauh;
● Semua pasien harus dilakukan pemeriksaan untuk gejala, atau terpaparnya terhadap infeksi
COVID-19 sebelum admisi:
o Pada pasien tanpa dicurigai atau terkonfirmasi infeksi COVID-19:
▪ Interogasi harus dipilih menggunakan komunikasi tanpa kabel, mengurangi kontak
langsung serta mengambil jarak aman dan menggunakan APD yang sesuai;
▪ Interogasi harus dilakukan pada area untuk non-infeksi (sesi 5);
74
o Pada pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi infeksi COVID-19:
▪ Protokol rumah sakit untuk menggunakan suatu set khusus yang memprogram dengan
area penyimpanan, pembersihan sebelum dan sesudah penggunaan, penggunaan sekali
tongkat pelindung, dan APD lengkap yang direkomendasikan. Interogasi sebaiknya
menggunakan komunikasi tanpa kabel untuk menghindari kontak langsung

9.9.2. Pertimbangan untuk Elektrofisiologis dan Prosedur Alat Implan


Kategori prosedur EP pada keadaan COVID-19 digambarkan pada Tabel 14. Singkatnya, seluruh ablasi
elektif dan prosedur alat implan jantung harus ditunda dan obat antiaritmia harus ditinjau kembali
dan ditambahkan jika perlu, untuk mengatur aritmia dengan simptom yang berulang selama periode
pandemi COVID-19.
Prosedur EP yang urgen tanpa kecurigaan atau konfirmasi terinfeksi COVID-19 harus dilakukan pada
area laboratorium kateterisasi khusus non-infeksi dengan membatasi kontak langsung dengan
personil dan menggunakan APD yang sesuai selama prosedur. Pada pasien dengan kecurigaan atau
terkonfirmasi infeksi COVID-19, prosedur harus dilakukan pada area laboratorium kateterisasi yang
khusus dengan membatasi kontak langsung dengan personil dan APD yang sesuai selama prosedur.
Jika butuh intubasi, hal ini harus dikerjakan diluar laboratorium untuk menghindari kontaminasi.
Rawat inap rumah sakit dan seluruh prosedur tambahan (EKG dan ekokardiografi) sebaiknya
dikurangi sebisanya dan dilakukan setelah penilaian klinis kembali terhadap kebutuhan pemeriksaan
tersebut.

Tabel 14 Kategori prosedur elektrofisiologis pada keadaan COVID-19


75

9.9.3. Tata laksana Aritmia Jantung pada Pasien dengan Infeksi COVID-19
Insidensi dan tipe aritmia jantung sebagai konsekuensi langsung infeksi COVID-19 masih belum
diketahui. Pada studi retrospektif satu pusat kesehatan dengan 138 pasien perawatan dengan infeksi
pulmonal COVID-19 di Wuhan, Cina, aritmia jantung terjadi pada 23 pasien (16,7%) dan injuri kardiak
akut pada 10 pasien (7,2%, yang diartikan peningkatan troponin, atau perubahan EKG baru dan
abnormalitas ekokardiografi). Aritmia jantung dipikirkan sebagai komplikasi utama dan terjadi paling
sering pada pasien yang dikirim ke ruang intensif (ICU) dibanding pasien pada perawatan biasa (16
pasien dari 36 pasien [44%] vs 7 pasien dari 102 pasien [6.9%], p<0.001). Akan tetapi, tipe dan durasi
aritmia tidak disebutkan secara jelas pada laporannya.​ 183, 184,185,185-188 189
Secara umum, tatalaksana akut pada aritmia seharusnya tidak berbeda signifikan dari tata laksana
pasien non-COVID dan harus sesuai dengan panduan ESC, ​European Heart Rhythm Association dan
panduan lainnya yang terkait.

9.9.3.1. Takiaritmia
9.9.3.1.1. Takikardia Supraventrikular
Tidak ada laporan khusus terhadap insidensi dari tipe non-AF/atrial flutter dari takikardia
supraventrikular paroksismal (TSVP) selama infeksi COVID-19. Berdasarkan teori, eksaserbasi dari
TSVP atau TSVP baru mungkin terjadi pada pasien dengan infeksi COVID-19. Pertimbangan khusus
selama pandemik COVID-19 adalah tidak tersedianya sementara prosedur kateter ablasi sebagai
tatalaksana definitif, risiko infeksi nosokomial pada kunjungan IGD berulang, dan kemungkinan
interaksi dengan obat antiaritmia (Sesi 10).
● Adenosin intravena dapat digunakan secara aman untuk terminasi akut, tapi kurang sebagai data
konfirmasi;
● Terapi selanjutnya dengan obat BB (atau CCB jika BB kontraindikasi) harus dimulai dengan dosis
rendah. Interaksi obat dengan obat antivirus harus dievaluasi, termasuk menghindari bradikardi
untuk menghindari kelebihan pemanjangan interval QT (lihat Sesi 10);
● Setelah pandemik COVID-19, indikasi untuk ablasi kateter perlu dinilai ulang

9.9.3.1.2. Atrial Fibrilasi and Flutter


Tidak ada pelaporan spesifik mengenai munculnya AF pada pandemik COVID-19. Ada kemungkinan
munculnya AF dipicu dengan adanya pneumonia berat, ARDS, dan sepsis, insiden terjadinya AF saat
perawatan dikatakan tinggi. Sekitar 23-33% pada pasien kritis dengan sepsis atau ARDS terjadi AF

dan 10% muncul AF baru. 189-192 AF yang baru muncul pada sepsis dan ARDS berkaitan dengan
tingginya mortalitas jangka panjang maupun pendek, sangat tinggi kejadian yang berulang serta
meningkatkan risiko gagal jantung dan stroke. 189-192 Laporan baru di Italia, sekitar 355 pasien
COVID-19 yang meninggal (usia rata-rata 79,5 tahun, 30% wanita), grafik retrospektif menunjukkan
adanya riwayat AF sekitar 24,5%.​7 Hal ini didukung dengan perkiraaan pasien yang masuk ICU
76
terutama usia tua dengan COVID-19 terjadi AF baru atau AF yang berulang sehingga menimbulkan
komplikasi dalam penatalaksanaannya. Faktor spesifik yang memicu pada keadaaan ini adalah
hipokalemia dan hipomagnesemia (dipicu oleh mual, anoreksia, diare, dan obat-obatan), asidosis
metabolic, penggunaan agen inotropil (khususnya dobutamine dan dopamine), disinkronisasi
ventilator, kelebihan cairan, peningkatan tonus simpatis, inflamasi, iskemia, superinfeksi bakterial,
dan kerusakan miokardium.​ 189
Pada semua pasien AF, tujuan terapi harus mempertimbangkan kontrol laju ventrikel, kontrol irama,
dan profilaksis tromboemboli. Khususnya pada infeksi COVID-19, pertimbangan ini harus dipikirkan
(Gambar 16):
● Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil karena AF baru dan atrial flutter, kardioversi
elektrikal perlu dipertimbangkan. Personel yang tersedia harus dipertimbangkan dan
kemungkinan dibutuhkan intubasi (dengan meningkatkan risiko aerosol virus);
● Pada pasien kritis dengan hemodinamik tidak stabil karena AF baru atau atrial flutter,
amiodaron intravena menjadi obat pilihan untuk kontrol irama, walaupun kombinasi dengan
hidroksi klorokuin dan atau azitromisin harus dihindari. Jika digunakan, keuntungan dari
tatalaksana harus seimbang dengan risiko proaritmia karena prolongasi QT (lihat sesi 10, tabel
15)
● Pada pasien dengan gangguan pernafasan akut berat, kardioversi biasanya tidak memberikan.
Keuntungan tanpa disertai tata laksana yang baik karena adanya hipoksemia, inflamasi, dan
pemicu lainnya seperti hipokalemia, asidosis metabolik, infus katekolamin, kelebihan cairan,
peningkatan tonus simpatis, dan superinfeksi bakterial;
● Pada pasien yang dirawat dengan terapi antiviral dengan AF baru/atrial flutter maupun yang
berulang tapi dengan hemodinamik stabil, penghentian obat antiaritmia (terutama sotalol dan
flekainid , selain itu amiodaron dan propafenone) dan inisiasi terapi kontrol laju nadi dengan
penyekat beta (atau CCB jika ada kontraindikasi, dengan atau tanpa digoxin; tetap perhatikan
interaksi obat) lebih dipilih untuk pilihan terapi. Kardioversi spontan ke irama sinus mungkin
terjadi dalam beberapa jam atau hari pada. Pasien COVID-19 yang stabil dengan AF baru dengan
presentasi klinis ringan-sedang tanpa adanya inflamasi;
● Pada pasien perawatan dengan atrial flutter baru, kontrol laju nadi lebih sulit disbanding AF. Jika
pasien tetap simptomatik atau adanya masalah hemodinamik, kardioversi elektrik dapat
dipertimbangkan;
● Antikoagulan untuk mencegah stroke yang terkait AF atau emboli sistemik perlu dipandu dari
skore CHA2DS2-VASc. Antikoagulan terapeutik perlu dipertimbangkan pada pasien laki-laki
dengan CHA2DS2-VASc ≥ 1 dan perempuan ≥ 2, dan diindikasikan pada pasien laki-laki dengan
CHA2DS2-VASc ≥ 2 dan perempuan ≥ 3.
● Kebutuhan ekokardiogram harus dipertimbangkan baik karena perlu kontak erat antara dokter
dan pasien serta kontaminasi alat. Hanya Jika dibutuhkan untuk terapi secepatnya pada pasien
kritis untuk menilai fungsi ventrikel kiri dan keterlibatan perikardium dan miokardium.
Ekokardiografi torakal lebih dipilih dibanding esofageal untuk menghindari tindakan aerosol.
Jika mungkin bisa ditunda setelah masa penyembuhan
● EKokardiografi esofageal sebaiknya dihindari pada awal pemberian antikoagulan pada pasien
AF.baru
● Interaksi obat-obat termasuk antiviral, antiaritmia, dan antikoagulan harus dipertimbangkan
sebelum pemberian (lihat sesi 10, Tabel 15 dan Tabel 16)
77
● Setelah sembuh dari COVID-19, pilihan terapi kontrol irama atau kontrol laju jantung harus
dinilai kembali, dan antikoagulan jangka Panjang harus dilanjutkan berdasarkan skor
CHA2DS2-VASc.

Gambar 18. Panduan tatalaksana Atrial Takiaritmia

9.9.3.1.3. Aritmia Ventrikel

Walaupun belum ada yang melaporkan adanya insidensi aritmia ventrikel pada populasi general
pasien dengan infeksi COVID-19, suatu studi retrospektif di satu pusat kesehatan dari Wuhan
menganalisis adanya kejadian dan aritmia ventrikel maligna yang signifikan pada 187 pasien yang
dirawat dengan infeksi COVID-19. Dari 187 pasien (usia rata-rata 58 ± 14.7 tahun, 49% laki-laki), 43
pasien (23%) meninggal saat perawatan. Secara keseluruhan, 66 pasien (35,3%) dengan penyakit
kardiovaskular termasuk hipertensi (32,6%), penyakit jantung koroner (11,2%), dan kardiomiopati
(4,3%), dan 52 pasien (27,8%) terdapat injuri miokardium dengan peningkatan level Troponin T.
Selama perawatan, aritmia ventrikel maligna (VT menetap atau VF) terjadi pada 11 pasien (5,9%).
VT/VF terjadi paling sering dengan peningkatan level troponin (17.3% vs 1.5%, p < 0.001).​14 Hal ini
menunjukan adanya aritmia ventrikel maligna sebagai penanda terjadinya injuri miokardium akut
dan mungkin menunjukkan kebutuhan pemberian antiviral dan imunosupresan yang lebih agresif.
Pada pasien dengan riwayat kardiovaskular dan aritmia ventrikel, eksaserbasi VT/VF dapat terjadi
78
karena infeksi COVID-19. Walaupun laporan belum ada untuk COVID-19, korelasi antara kebutuhan
terapi ICD dan pandemi influenza sudah diketahui.​ 193

Pertimbangan khusus selama pandemik COVID-19 digambarkan pada Gambar 17 dan dirangkum
seperti di bawah ini:

● Pasien yang tidak responsif tanpa bernafas, protocol local Bantuan Hidup Dasar dan Advans
harus dilakukan. Selama bantuan hidup dasar, ventilasi tidak dilakukan hanya kompresi
kardiak, untuk menghindari kegiatan aerosol. Untuk Bantuan Hidup Lanjut, hanya tenaga
kesehatan dengan APD lengkap yang dapat melakukan intubasi
● Pada pasien dengan VF, defibrilasi asinkronasi, dan pada pasien dengan VT hemodinamik
tidak stabil, kardioversi elektrikal tersinkronisasi harus dilakukan;
● Pada pasien dengan VT monomorfik menetap:
o Kardioversi elektrik harus dipertimbangakan pada pasien dengan obat kombinasi
antiviral yang membuat pemanjangan QT interval, khususnya pada pasien yang
sudah dalam ventilasi
o Prokainamid intravena (jika ada) atau lidokain, perlu dipertimbangan pada pasien
dengan obat antivral kombinasi yang membuat pemanjangan QT interval jika
hemodinamik mendukung;
o Amiodarone intravena harus dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit jantung
struktural dan gangguan fungsi ventrikel kiri. Akan tetapi hal ini dapat
memperlambat konversi VT dan kombinasi dengan hidroksiklorokuin dan azitrmoisin
harus dihindari. Keuntungan terapi harus seimbagn dengan meningkatnya rsiko
proaritmia karena pemanjangan interval QT (lihat Sesi 19, Tabel 15)
● Pada pasien dengan rekuren VF (​VT storm)​ intravena amiodarone dipilih sebagai obat
antiaritmia. Akan tetapi, kombinasi dengan hidroksiklorokuin dan azitromisin harus dihindari
dan Keuntungan terapi harus seimbagn dengan meningkatnya rsiko proaritmia karena
pemanjangan interval QT
● Lidokain intravena dapat dipertimbangkan karena lebih aman tapi kurang efektif
dibandingkan amiodaron, terutama jika dicurigai terdapat iskemia:
o Penambahan penghambat simpatetis (contoh esmolol) perlu dipertimbangkan
o Intubasi (dengan resiko penularan virus), sedasi dan ventilasi bisa dipertimbangkan
untuk menghentikan ​VT storm
o Pacu jantung temporer untuk terminasi ​overdrive perlu dipertimbangkan , melihat
keseimbangan antara manfaat terapi invasive dengan risiko terhadap personel.
● Pada pasien dengan gangguan respiratorik akut, koreksi pemicu yang mendasari harus
dipertimbangkan seperti hipoksia, hipovolemia, gangguan elektrolit seperti hipokalemia dan
hypomagnesemia, asidosis metabolic, infus katekolamin, kelebihan cairan, peningkatan
tonus simpatis, tamponade, pneumothoraks, iskemia, superinfeksi bacterial,dan obat
proaritmia;
● Perhatian khusus harus dilakukan untuk mencegah VT TdP pada keadaan infeksi COVID-19;
79
o TdP adalah VT polimorfik dengan pemanjangan QT dan dipicu oleh obat antiviral
yang menyebabkan pemanjangan QT (hidroksiklorokuin dan azitrmoisin), terutama
dengan kombinasi obat antiaritmia (terutama sotalol), gangguan elektrolit (terutama
K+ dan Mg2+), gangguan ginjal, dan/atau bradikardi, terutama pada perempuan dap
pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri atau gangguan fungsi ventrikel kiri

o Terapi TdP terdiri dari:


▪ Menghentikan semua obat-obat yang memperpanjang QT interval
▪ Mengembalikan level potassium (target > 4.5 mEq/L)
▪ Suplementasi magnesium intravena
▪ Meningkatkan denyut jantung, dengan menghentikan obat bradikardi jika
perlu isoproterenol intravena atau pacu jantung temporer (menimbang
manfaat dan risiko terhadap personel). Isopreterenol dikontraindikasikan
pada pasien sindrom pemanjangan QT kongenital.
● VT polimorfik tanpa pemanjangan QT bukan TdP tapi biasanya sinyal iskemia atau injuri
miokardium akut
● Ekokardiografu sebaiknya dieprtimbangkan pada semua pasien dengan ventriker aritmia
malignan yang tidka terkait pemanjangan QT utnuk menilai fungsi ventriken dan keterlibatan
miokardial
● Setelah sembuh dari infeksi COVID-19 yang membutuhkan ICD sebagai profilaksis, ablasi
kateter, atau defibrillator yang dapat digunakan (pada kecurigaan kardiomiopati transien
karena miokarditis) perlu dievaluasi kembali.
80

Gambar 17 Panduan tatalaksana Takiartimia Ventrikel

9.9.3.1.4. Kanalopati
Tidak ada laporan spesifik terhadap kejadian pada pasien COVID-19 dengan kanalopati. Akan tetapi,
infeksi COVID-19 dapat terjadi pada pasien yang diketahui kongenital LQTS, sindrom Brugada,
atecholaminergic polymorphic ventricular tachycardia (CPVT), dan sindrom pemendekkan QT dengan
risiko proaritmia. Spesifik interaksi pada kanalopati ini telah ditinjau pada beberapa tinjauan

pustaka. 194
Pertimbangan khusus pada kongenital LQTS dengan infeksi COVID-19 adalah kombinasi obat antiviral
(hidroksiklorokuin dan azitrmoisin) dan faktor stress (gangguan elektrolit dan gangguan ginjal) yang
81
dapat memperpanjang QTc. QTc harus dipantau ketat. Semua obat yang membuat QT memanjang
yang tidak perlu harus dihentikan, dan jika QTc > 500 ms atau jika QTc meningkat ≥ 60 ms dari dasar,
sebaikanya obat antiviral perlu ditinjau kembali dan batas potassium harus tetap > 4.5 mEq/L (Sesi
10, Gambar 19)

Pada sindrom Brugada dengan infeksi COVID-19, perhatian utama ada demam yang memicu aritmia
ventrikel malignan. Oleh karena itu, demam harus diturunkan secara agresif dengan parasetamol.
Seperti yang telah dilaporkan pada laporan kasus terbaru, demam COVID-19 dapat menimbulkan
​ EKG harus dipantau jika terapi antipiretik tidak efektif dan suhu > 38.5 C
gejala pada pasien ini. 195
pada risiko tinggi pasien dengan Brugada.
Pada pasien dengan CPVT dan infeksi COVID-19, penyekat beta dan flekainid harus dilanjutkan
dengan pemantauan interaksi obat dengan obat antiviral (lihat Sesi 10, Tabel 15) dan pasien dengan
kondisi kritis, infus katekolamin harus diberikan harus dengan hati-hati dan butuh pemantauan terus
menerus

Gambar 18 Kanalopati
82
9.9.3.2. Bradiaritmia

Tidak ada laporan khusus kejadian bradikardi pada infeksi COVID-19. Secara teori, eksaserbasi
system konduksi atau gangguan nodus sinus atau blok AV derajat tinggi yang baru atau disfungsi
nodus sinus dapat terjadi pada infeksi COVID-19, terutama pada keterlibatan miokardium. Studi
eksperimen dari 1999 menunjukkan kelinci yang terinfeksi coronavirus memiliki abnormalitas EKG
termasuk AV blok derajat dua karena miokarditis dan gagal jantung. Pada psien kritis di ICU,
bradikardia transien dan asistol dapat terjadi karena kecenderungan respirasi, intubasi, atau
pengisapan trakea sehingga meningkatkan reflex tonus vagal.​ ​ ​ Hipoksemia harus disingkirkan.
189​

Laju jantung/selisih temperatur diobservasi pada pasien dengan COVID-19. 5, 85 Laju jantung pada
perawatan sekitar 80x/m, semakin pelan di banding pasien dengan demam. Hal ini juga diobservasi
pada penyaki infeksi lain seperti tifoid.
Pertimbangan khusus pada pemasangan pacu jantung permanen pada pasien dengan COVID-19
memiliki prognosis buruk pada pasien dengan ventilasi mekanik, meningkatkan risiko superinfeksi
bakterial dan infeksi alat pada pasien kritis, risiko infeksi nosokomial pada saat pemasangan pasien
tanpa COVID-19 dan efek bradiaritmia transient karena terapi antiviral.
● Beberapa terapi untuk COVID-19 dapat meningkatkan kemungkinan AV blok atau ​bundle
branch block​, seperti klorokuin (berkurang pada hidroksiklrokuin) atau fingolimod (Tabel 15).
Beberapa efek mungkin muncul setelah beberapa minggu;
● Oleh karena itu, pasien yang sudah sembuh dari COVID-19 harus diperingati gejala seperti
pusing, presinkop atau sinkop, dan diinstruksikan untuk ke pusat kesehatan jika muncul
gejala tersebut;
● Untuk menghindari bradikardi sebagai hasil dari interaksi obat-obat, pemantauan kadar obat
dan dosis harus disesuaikan kembali
● Pada kasu bradikardi simtomatik persisten karena AV blok atau disfungsi nodus sinus yang
berulang dengan pause:
o Semua obat karena bradikardi harus dihentikan
o Idoprenalin dan atropine harus diberikan
o Pacu jantung temporer harus dipikirkan dan dievaluasi kembali

10. Tata laksana infeksi SARS-CoV-2 infection

Pokok Utama
● Terdapat kelangkaan bukti ilmiah terkait efikasi dan risiko dari berbagai strategi tata laksana
pada pasien dengan COVID-19
● Semua pasien diberikan terapi antiviral, hal ini yang penting dalam faktor predisposes
pemanjangan QTc: gangguan elektrolit, obat-obat penyerta, dan bradikardia;
● EKG awal mungkin tidak perlu sebelum terapi antiviral, terutama jika EKG sebelumnya sudah
ada dan tidak ada indikasi klinis (seperti sinkop). Hal ini menyelamatkan tenaga kerja
kesehatan dari waktu dan penyebaran nosokomial;
● Pada saat pemberian terapi, EKG direkomendasikan untuk menyingkirkan adanya
pemanjangan QTc (>500ms atau >60 ms dari EKG awal)
83
● Alokasi sumber daya harus dipertimbangkan secara local tergantung ketersediaan. Dalam hal
ini bisa dipertimbangkan alternative monitor EKG lainnya
● Pada pasien COVID-19 dengan indikasi terapi antikoagulan oral, fungsi ginjal dan liver, dan
interaksi obat antara obat antikogulan dan terapi COVID-19 harus dipertimbangkan untuk
mengurangi risiko perdarahan dan komplikasi tromboemboli;
● Pada pasein yang dpat diberikan NOAC (tanpa katup mekanik, mitral stenosis sedang-berat
atau sindrom antifosfolipid), NOAC lebih dipilih dibanding VKA karena lebih aman dan dosis
tetap tanpa butuh monitoring lab daeri efek antikoagulan
● Apoxaban, rivaroxaban, atau edoxaban dabat diberikan secara solusio oral atau dihancurkan
melalui selang intubasi, pasien kritis berat dapat diberikan antiokoagulan secara parenteral
yang secara klinis tidak ada interaksi obat dengan terapi COVID-19 (kecuali dengan
azitromisin tidak bisa digabung dengan UFH)

10.1. Aritmogenik dan Pertimbangan QTc pada Terapi COVID-19


Strategi tatalaksana SARS-CoV-2 dapat menggunakan kombinasi beberapa obat untuk memiliki efek
sinergis. Oleh karena kurangnya bukti ilmiah untuk efikasinya, obat yang dipikirkan memiliki efek
virisida yang digunakan dianggap ‘​off-label’​ termasuk klorokuin/hidroksiklorokuin, inhibitor protease
(seperti lopinavir-ritonavir atau beberapa kasus darunavir-kobisistat), remdesivir, dan azitromisin.
197-200 ​
Pada kasus spesifik, interferon dan untuk ARD diberikan glukokortikoid dan/atau tocilizumab.​201

Chloroquine ​banyak digunakan sebagai obat antimalaria dan tatalaksana reumatologi seperti SLE
dan artritis rheumatoid dan ditemukan dapat menghambat pertumbuhan SARS-CoV-2 secara ​in vitro.
197-199

Hydroxychloroquine ​adalah analog klorokuin dengan kurangnya intoleransi gastrik dan kurang
interaksi obat. Secara ​in vitro,​ hidroksiklorokuin lebih poten dibanding klorokuin.​198 Suatu studi klinis
kecil, menunjukkan sekresi nasofaringeal yang positif SARS-CoV-2 secara signifikan berkuran pada
hari ke-6 setelah inklusi (hari kesepuluh setelah onset gejala) pada pasien terinfeksi COVID-19 yang
diterapi (26 pasien) dibanding terapi suportif saja (16 pasien). Akan tetapi, keterbatasan utama
(jumlah sampel yang sedikit; grup yang tidak homogen dengan perbedaaan ​viral load,​ jumlah hari
setelah simptom muncul, dan kualitas pemantauan; dan administrasi obat-obatan yang terlambat
sehingga mungkin mendekati waktu pembersihan virus yang ada), menyebabkan keraguan dari hasil
penelitian ini. 202 ​Bukti terbaru tidak menunjukkan translasi (hidroksi)klorokuin ​in vitro secara klinis
berkaitan dengan dengan luaran. Hasil dari uji klinis efikasi klorokuin/hidroksiklorokuin pada terapi
SARS-CoV-2 harus menunggu rekomendasi definit yang disediakan. Perhatian utama pada obat ini
adalah risiko pemanjangan QTc yang sangat jarang dan TdP/ kematian mendadak, Metaanalisis
terbaru pada kardiotoksisitas aritmogenik pada kuinolon dan secara struktural berkaitan pada obat
antimalaria risiko ini minimal (tidak ada kejadian kematian jantung mendadak dan VF yang
terdokumentasi TdP pada 35558 individu, 1207 konsumsi klorokuin).​203 Akan tetapi, selama infeksi
COVID-19, risiko QT dapat meningkat karena obat-obat lain dan gangguan elektrolit (hipokalemia,
hypomagnesemia, dan atau hipokalsemia). Perhatian kedua dengan klorokuin/hidroksiklrokuin
84
adalah terjadinya gangguan konduksi walaupun sangat jarang dang biasanya berkaitan dengan terapi
jangka panjang (Tabel 15).

Inhibitor protease ​lopinavir-ritonavir ​menunjukkan efektif melawan SARS-coronavirus. 204-207


​ dan
MERS-coronavirus ​in vitro pada model hewan. Suatu studi ​randomized controlled menunjukkan
pasien dirawat dengan COVID-19 berat, kombinasi lopinavir-ritonavir tidak memberikan manfaat
tambahan dibandingkan terapi standar.​208 Kritik utama pada penelitian ini adanya keterlambatan
dari onset penyakit terhadap pemberian terapi (median 13 hari). Hal yang penting, tidak ada
kejadian efek samping utama dengan proaritmia di kedua grup dan hanya ada satu kejadian
pemanjangan QTc pada grup lopinavir-ritonavir (tidak ada detail pada derajat adanya faktor
konkomitan lainnya berkaitan dengan interval QT).​208 Akan tetapi, interaksi obat-obat dijelaskan
(terutama karena adanya poten inhibitor CYP3A4 dengan metabolisme (hidroksi)klrokuin) yang harus
dipertimbangkan. Pada beberapa kombinasi, dosis dinilai ulang atau berubah jika perlu. Ketika
lopinovir-ritonivir tidak tersedia dan/atau pasien tidak bisa, ​darunavir-cobicistat dapat diberikan
sebagai alternative.

Studi animal dan ​in vitro menunjukkan bahwa ​remdesivir efektif melawan zoonotic dan
SARS-coronavirus and MERS-coronavirus pandemik​.209-211 Beberapa studi ​randomized controlled saat
ini masih berjalan di pandemik SARS-CoV-2 saat ini, Studi ​in vitro menunjukkan efikasi yang lebih
baik pada remdesivir dibanding lopinavir-ritonavir.​211 ​Keuntungan obat ini tidak ada interaksi obat
yang signifikan dan tidak berpengaruh terhadap QT. Akan tetapi, belum ada secara global masih
dalam penelitian.

Penggunaan ​azithromycin ​(inhibitor ​CYP3A4 lemah) muncul karena ada penelitian studi
non-randomisasi dari pasien COVID-19 dengan pemberian hidroksiklorokuin dan pasien dengan
terapi suportif. Sebanyak 6 pasien, ditambahkan dengan azitrosmisin menunjukkan reduksi signifikan
pada SARS-CoV-2 di sekresi nasofaring.​199 Azitromisin dilaporkan terdapat kasus yang berkaitan

dengan pemanjangan QT dan TdP terutama pada pasien berisiko. 212,213 Dua studi telah mengevaluasi
hubungan adanya asosiasi antara klorokuin dan azitromisin untuk pencegahan dan tata laksana
malaria di Afrika dengan 144 dari 1445 individu, pada grup dengan kombinasi. 214,215 Hubungan antara
klorokuin dan azitromisin menunjukkan aman dalam profilnya.
85

Tabel 15 Pertimbangan Aritmogenik pada Eksperimen obat Farmakologis untuk COVID-19


86

10.1.1. Evaluasi QTc untuk Mencegah Proaritmia karena Obat


87
Pemanjangan QT karena beberapa obat secara teori dapat menyebabkan VT polimorfi (TdP). Hal ini
merupakan komplikasi yang sangat jarang dan dipertimbangkan keseimbangan antara manfaat dan
risiko dari terapi pasien COVID-19. Gambar 19 menunjukkan alur grafik untuk pasien dalam
mencegah TdP sebagai panduan waktu dan pengulangan EKG dan penilaian QTc.

Secara singkat, berikut tahap yang dapat dilakukan:

1. Identifikasi faktor risiko yang berkaitan dengan QTc


a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi: kongenital LQTS, pemanjangan QT
sebelumnya pada obat yang menyebabkan pemanjangan QT, perempuan, usia>65
tahun, penyakit jantung struktural (SKA, gagal jantung yang tidak dapat
dikompensasi, HOCM), gangguan ginjal, gangguan liver;
b. Risiko yang dapat dimodifikasi: hipokalsemia, hypokalemia, hypomagnesemia, dan
obat-obatan.
2. Identifikasi dan perbaiki faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Kalium harus batas atas (​≥​4.5
mEq/L);​245
3. Lakukan EKG awal. Pasien dengan awal EKG QT ≥ 500 ms memiliki risiko tinggi Td Patau
kematian jantung mendadak. Hal in harus memperitmbangkan untung rugi untuk pasien.
4. EKG dilakukan ketika dalam terapi. Jika QTc ≥ 500 ms atau ∆QTc ≥ 60 ms, peritmbangkan
perubahan obat dengan risiko pemanjangan QT yang lebih rendah, mengurangi dosis obat,
atau lanjut terapi. Pemantauan ketat dan keseimbangan elektrolit harus dipertahankan.

Bradikardi memperpanjang QT dan memicu TdP. Ketika obat COVID-19 memiliki efek bradikardi
lemah, konkomitan penggunaan BB, CCB, ivabradine dan digoxin harus dievaluasi. JIka digoxin
dibutuhkan untuk pasien, perlu dicek kadar plasma darah.
88

Gambar 19 Algoritma Tata Laksana QTc

10.1.2. Aspek Teknis Penilaian QT


Untuk pasien dengan QRS lebar ((≥ 120 ms) karena ​bundle branch block atau ​ventricular pacing,​
penyesuaian QTc dibutuhkan. Ada formula yang bisa dilakukan, tapi dengan lebih mudah batas QTC
menjadi 550ms. Beberapa menyarankan menggunakan ​a rule of thumb untuk menilai minus QT
(lebar QRS 100 ms)

Standar 12-lead EKG mungkin tidak mudah dikerjakan karena meningkatkan risiko kontak tenaga
kesehatan. Penggunaan EKG modern genggam dat dipertimbagkan untuk mengurangi EKG
tradisional. Pada studi terbaru, QTc pada lead-I dan lead-II dibanding EKG tradisional dan KEG gagal
pada 99 orang sehat dan 20 pasien perawatan dengan irama sinus diberikan dofetilide atau sotalol.
QT pada EKG genggam menunjukkan sangat sesuai dibanding EKG 12-lead. 246 ​ EKG genggam ini
memiliki spesifitas yang tinggi mendeteksi QTc > 450 ms dan harus dipikirkan efektif pada pasien
rawat jalan untuk monitor pasien dengan pemanjangan QTc.

10.2. Pertimbangan Terapi Antikoagulan pada Pasien COVID- 19


Banyak pasien kardiak atau pasien dengan riwayat kardiovaskular memiliki indikasi untuk
antikoagulan. Pasien COVID-19 dalam penggunaan antikoagulan oral dapat diubah menjadi
parenteral antikoagulan LMWH dan UFH ketika perawatn ICU dengan presentasi klinis yang berat.

Kami akan menjelaskan kembali disini reduksi dosis konvensional untuk NOAC, untuk pasien yang
dapat diberikan secara oral. Untuk lebih lanjut, termasuk penilaian fungsi renal dan liver serta
89
peritmbangan lain pada pasien dengan NOAC, harap dilihat di Panduan Praktikal 2018 EHRA pada

pasien AF. 247

● Apixaban: dosis standar (2 x 5 mg) harus dikurangi menjadi 2 x 2.5 mg jika terdapat dua dari
tiga kriteria (berat badan < 60 kg, usia > 80 tahun, kreatinine > 133 μmol/l [1.5 mg/dL] atau
creatinine clearance​ [CrCl] 15–29 mL/min);
● Dabigatran: dosis standar 2 x 150 mg and 2 x 110 mg. Tidak ada kriteria reduksi yang spesifik
tapi, sesuai table obat, 2 x 110 mg harus diberikan pada usia > 80 years, bersamaan dengan
verapamil, meningkatkan risiko bleeding;
● Edoxaban: dosis standar (1 x 60 mg) harus dikurangi menjadi 1 x 30 mg jika berat badan < 60
kg, CrCl < 50 mL/min, bersamaan dengan obat dengan penghambat P-gp yang kuat;
● Rivaroxaban: the standard dose (1 x 20 mg) harus dikurangi menjadi 1 x 15mg jika CrCl < 50
mL/min.

Pada pasien yang sulit menelan, NOAC dapat diberikan dengan cara:

● Dihancurkan (lewat selang nasogastric) tidak mengubah bioavailabilitas apixaban, edoxaban,


dan rivaroxaban​.248-250
● Apixaban dapat diberikan secara solusio oral atau selang nasogastric ataupun gastrik pada
perut kosong (makanan mengganggu bioavailabilitas pada tablet yang dihancurkan). Solusio
oral apixaban 5mg (12.5 mL dari 0.4mg/mL oral solusio lewat ​oral syringe dengan 240 mL air)
telah tersedia;
● Rivaroxaban dapat diberikan solusio oral atau via selang nasogastric dengan suplementasi

nutrisi (tiba enteral tidak boleh di distal lambung); 251
● Kapsul dabigatran sebaiknya tidak dibuka karena meningkatkan bioavailabilitas sebanyak

75%. 251
90
Tabel 19 Interaksi obat antikoagulan dengan obat COVID-19
91
11. Informasi untuk Pasien
Pokok utama :
● Informasi untuk pasien merupakan hal yang sangat penting dalam pandemi COVID-19,
terlebih saat alokasi sumber daya kesehatan masih menjadi perdebatan.
● Penyakit kardiovaskular memiliki efek langsung terhadap risiko penularan serta angka
kesembuhan SARS-CoV-2.
● Kejadian SARS dapat mengakibatkan komplikasi kardiovaskular serta turut memengaruhi
pilihan terapi COVID-19.
● Informasi yang jelas untuk pasien merupakan kunci agar pengendalian penyakit dapat
berjalan dengan lebih baik. Hal tersebut juga penting agar strategi pengobatan yang spesifik
dapat segera dikembangkan.

11.1 Siapa yang berisiko menderita SARS-CoV-2 derajat berat ?


Beberapa penyulit seperti asma, PPOK, gagal jantung kronis, diabetes, dan penyakit kardiovaskular
lain berhubungan dengan manifestasi klinis SARS-CoV-2 yang berat. Pasien harus mengerti tentang
hal tersebut. Pasien juga harus selalu menerapkan langkah-langkah pencegahan penularan
SARS-CoV-2 seperti pembatasan jarak sosial terutama saat berada dalam kondisi berisiko tinggi dan
sumber daya medis tidak memadai.

11.2 Apa saja terapi yang bisa didapatkan selama pandemi COVID-19 ?
● COVID-19 dapat mengganggu stabilitas penyakit kardiovaskular yang bersifat kronis. Kondisi
tersebut dapat diperburuk oleh konsumsi obat-obatan rutin yang terputus. Pasien harus
selalu menghubungi dokter sebelum memodifikasi obat-obatan yang rutin dikonsumsi.
● Aspirin pada pasien COVID-19 yang diberikan sebagai terapi pencegahan ​atherothrombosis
tidak boleh terputus tanpa kontraindikasi yang jelas seperti perdarahan ataupun rencana
tindakan invasif.
● Sebagian besar pasien risiko tinggi SARS-CoV-2 rutin mendapat terapi ​inhibitor ​RAS seperti
ACEIs. ACE-2 mempermudah coronavirus untuk masuk ke dalam sel sementara ACEIs dan
Ang II ​type 1 ​receptor blockers t​ idak mampu menghambat atau bahkan mempercepat proses
tersebut. Oleh karena itu pasien sebaiknya tidak menghentikan obat-obatan tersebut
sebelum berkonsultasi dengan dokter.
● Beberapa obat-obatan rutin mungkin memerlukan penyesuaian ketika diberikan bersamaan
dengan terapi spesifik untuk COVID-19. Kemungkinan interaksi obat yang dapat terjadi
terangkum dalam Tabel 17 dan Tabel 18.
92
Tabel 17 Kondisi Penyerta yang Memperberat Kondisi infeksi SARS-COV-2

· Penyakit Paru Kronik

· Gagal Jantung Kronik (NYHA 3 atau 4)

· Rencana Operasi Jantung

· Imunodefisiensi atau butuh transplantasi organ

· Hipertensi

· Penyakit Jantung Koroner

· Penyakit serebrovaskular

· Diabetes

· ​ erat (>40 kg/m​2


Overweight b

Tabel 18 Obat yang Berpotensi Berinteraksi dengan obat COVID-19

Obat COVID-19 Interaksi Saran

Klorokuin dan Penyekat Beta Monitor EKG


Hidroksiklorokuin Obat yang memperpanjang QT
interval

Metilprednisolon Warfarin Monitor INR

Obat Antiretoviral Warfarin Monitor INR

Statin Mulai dosis kecil rosuvastatin


atau atorvastatin

NOACs Hindari apixaban dan


rivaroxaban

Antiaritmia Penggunaan obat-obat yang


mempengaruhi QTc atau
digoxin dosis rendah dengan
hati-hati
93

11.3 Interaksi sosial, gaya hidup sehat, dan tips kesehatan selama pandemi
COVID-19
Hal-hal di bawah ini penting untuk diketahui oleh pasien dengan penyakit kardiovaskular :
● Interaksi sosial :
o Menghindari kontak dengan orang yang sakit.
o Sedapat mungkin menjaga jarak minimal 2 meter dengan orang lain.
o Mencuci tangan dengan air hangat dan sabun selama minimal 20 detik.
o Menutup mulut dan hidung saat batuk/bersin menggunakan tisu atau bagian dalam
lengan.
o Tidak menyentuh mata, hidung, dan mulut.
o Membersihkan permukaan benda yang sering disentuh seperti gagang pintu dengan
cairan desinfektan.
o Melakukan isolasi mandiri saat menderita gejala seperti demam, batuk, atau infeksi
pernapasan.
o Tidak bepergian ke luar rumah.
o Tetap beraktivitas fisik serta menjaga kesehatan
o Mematuhi peraturan pemerintah untuk menekan penyebaran COVID-19

● Gaya hidup sehat.


Terapkan gaya hidup sehat (makan makanan bergizi, berhenti merokok, membatasi
konsumsi alkohol, waktu tidur yang cukup, berolahraga). Aktivitas fisik harus tetap dilakukan
di dalam rumah maupun di luar rumah dengan menjaga jarak sosial agar kebugaran tetap
terjaga.
● Tips kesehatan :
o Melanjutkan obat-obatan penyakit kardiovaskular yang sebelumnya rutin dikonsumsi.
o Segera berkonsultasi dengan dokter bila muncul gejala seperti nyeri dada.

Tetap kontrol dan berkonsultasi dengan ahli kardiologi bila terdapat kondisi kardiovaskular yang
memburuk.
94
95
Gambar 20. Informasi Pasien pada Pandemik COVID-19

12. Keterangan dan Ucapan Terimakasih

PERKI mengucapkan terimakasih kepada perhimpunan European Society of Cardiology (ESC)


atas izin yang diberikan untuk mengadopsi dan mentranslasi panduan ini. Perlu diketahui
bahwa dokumen panduan PERKI berikut merupakan dokumen organik yang bersifat dinamis
dan masih akan diperbaharui secara reguler sesuai dengan berkembangnya informasi dan
data yang tersedia perihal COVID-19 pada penyakit kardiovaskular.

Tanggal translasi dokumen: ​1 Mei 2020

Sumber translasi:
ESC Guidance for the Diagnosis and Management of CV Disease during the COVID-19
Pandemic [Internet]. European Society of Cardiology. [Tanggal: 1 Mei 2020]. Sumber:
https://www.escardio.org/Education/COVID-19-and-Cardiology/ESC-COVID-19-Guidance?hi
t=home&urlorig=/vgn-ext-templating/

Daftar Pustaka
1. Dong E, Du H, Gardner L. An interactive web-based dashboard to track COVID-19 in real time. Lancet Infect Dis 2020.
https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30120-1
2. Clerkin KJ, Fried JA, Raikhelkar J, Sayer G, Griffin JM, Masoumi A, Jain SS, Burkhoff D, Kumaraiah D, Rabbani L,
Schwartz A, Uriel N. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) and Cardiovascular Disease. Circulation
2020. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.120.046941
3. Novel Coronavirus Pneumonia Emergency Response Epidemiology T. [The epidemiological characteristics of an
outbreak of 2019 novel coronavirus diseases (COVID-19) in China]. Zhonghua Liu Xing Bing Xue Za Zhi 2020;41(2):145-
151. https://doi.org/10.3760/cma.j.issn.0254-6450.2020.02.003
4. Zhao D, Liu J, Wang M, Zhang X, Zhou M. Epidemiology of cardiovascular disease in China: current features and
implications. Nat Rev Cardiol 2019;16(4):203-
212. https://doi.org/10.1038/s41569-018-0119-4
5. Wang D, Hu B, Hu C, Zhu F, Liu X, Zhang J, Wang B, Xiang H, Cheng Z, Xiong Y, Zhao Y, Li Y, Wang X, Peng Z. Clinical
Characteristics of 138 Hospitalized Patients With 2019 Novel Coronavirus-Infected Pneumonia in Wuhan, China.
JAMA
2020. https://doi.org/10.1001/jama.2020.1585
6. Verity R, Okell LC, Dorigatti I, Winskill P, Whittaker C, Imai N, Cuomo-Dannenburg G, Thompson H, Walker PGT, Fu H,
Dighe A, Griffin JT, Baguelin M, Bhatia S, Boonyasiri A, Cori A, Cucunubá Z, FitzJohn R, Gaythorpe K, Green W, Hamlet
A, Hinsley W, Laydon D, Nedjati-Gilani G, Riley S, van Elsland S, Volz E, Wang H, Wang Y, Xi X, Donnelly CA, Ghani AC,
Ferguson NM. Estimates of the severity of coronavirus disease 2019: a model-based analysis. The Lancet Infectious
Diseases 2020. https://doi.org/10.1016/S1473- 3099(20)30243-7
7. Onder G, Rezza G, Brusaferro S. Case-Fatality Rate and Characteristics of Patients Dying in Relation to COVID-19 in
Italy. JAMA 2020. https://doi.org/10.1001/jama.2020.4683
8. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
Outbreak in China: Summary of a Report of 72314 Cases From the Chinese Center for Disease Control and Prevention.
JAMA
2020. https://doi.org/10.1001/jama.2020.2648
9. Driggin E, Madhavan MV, Bikdeli B, Chuich T, Laracy J, Bondi-Zoccai G, Brown TS, Nigoghossian C, Zidar DA, Haythe J,
Brodie D, Beckman JA, Kirtane AJ, Stone GW, Krumholz HM, Parikh SA. Cardiovascular Considerations for Patients,
Health Care Workers, and Health Systems During the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pandemic. J Am Coll
Cardiol 2020. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2020.03.031
10. Zheng YY, Ma YT, Zhang JY, Xie X. COVID-19 and the cardiovascular system. Nat Rev Cardiol 2020.
https://doi.org/10.1038/s41569-020-0360-5
96
11. Xiong TY, Redwood S, Prendergast B, Chen M. Coronaviruses and the cardiovascular system: acute and long-term
implications. Eur Heart J
2020. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehaa231
12. Yu CM, Wong RS, Wu EB, Kong SL, Wong J, Yip GW, Soo YO, Chiu ML, Chan YS, Hui D, Lee N, Wu A, Leung CB, Sung JJ.
Cardiovascular complications of severe acute respiratory syndrome. Postgrad Med J 2006;82(964):140-
4. https://doi.org/10.1136/pgmj.2005.037515
13. Xu Z, Shi L, Wang Y, Zhang J, Huang L, Zhang C, Liu S, Zhao P, Liu H, Zhu L, Tai Y, Bai C, Gao T, Song J, Xia P, Dong J,
Zhao J, Wang F-S. Pathological findings of COVID-19 associated with acute respiratory distress syndrome. The Lancet
Respiratory Medicine 2020. https://doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30076-X
14. Guo T, Fan Y, Chen M, Wu X, Zhang L, He T, Wang H, Wan J, Wang X, Lu Z. Cardiovascular Implications of Fatal
Outcomes of Patients With Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). JAMA Cardiol 2020.
https://doi.org/10.1001/jamacardio.2020.1017
15. Shi S, Qin M, Shen B, Cai Y, Liu T, Yang F, Gong W, Liu X, Liang J, Zhao Q, Huang H, Yang B, Huang C. Association of
Cardiac Injury With Mortality in Hospitalized Patients With COVID-19 in Wuhan, China. JAMA Cardiology
2020. https://doi.org/10.1001/jamacardio.2020.0950
16. Madjid M, Safavi-Naeini P, Solomon SD, Vardeny O. Potential Effects of Coronaviruses on the Cardiovascular System:
A Review. JAMA Cardiol
2020. https://doi.org/10.1001/jamacardio.2020.1286
17. Cui J, Li F, Shi ZL. Origin and evolution of pathogenic coronaviruses. Nat Rev Microbiol 2019;17(3):181-192.
https://doi.org/10.1038/s41579-018-0118-9
18. Zhou P, Yang XL, Wang XG, Hu B, Zhang L, Zhang W, Si HR, Zhu Y, Li B, Huang CL, Chen HD, Chen J, Luo Y, Guo H, Jiang
RD, Liu MQ, Chen Y, Shen XR, Wang X, Zheng XS, Zhao K, Chen QJ, Deng F, Liu LL, Yan B, Zhan FX, Wang YY, Xiao GF,
Shi ZL. A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin. Nature
2020;579(7798):270-273. https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7
19. Van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN, Tamin A, Harcourt JL,
Thornburg NJ, Gerber SI, Lloyd-Smith JO, de Wit E, Munster VJ. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as
Compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med 2020. https://doi.org/10.1056/NEJMc2004973
20. Zhao S, Lin Q, Ran J, Musa SS, Yang G, Wang W, Lou Y, Gao D, Yang L, He D, Wang MH. Preliminary estimation of the
basic reproduction number of novel coronavirus (2019- nCoV) in China, from 2019 to 2020: A data-driven analysis in
the early phase of the outbreak. Int J Infect Dis 2020;92:214-217. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2020.01.050
21. Guo YR, Cao QD, Hong ZS, Tan YY, Chen SD, Jin HJ, Tan KS, Wang DY, Yan Y. The origin, transmission and clinical
therapies on coronavirus disease 2019 (COVID-19) outbreak - an update on the status. Mil Med Res 2020;7(1):11.
https://doi.org/10.1186/s40779- 020-00240-0
22. Liu Y, Yang Y, Zhang C, Huang F, Wang F, Yuan J, Wang Z, Li J, Li J, Feng C, Zhang Z, Wang L, Peng L, Chen L, Qin Y, Zhao
D, Tan S, Yin L, Xu J, Zhou C, Jiang C, Liu L. Clinical and biochemical indexes from 2019-nCoV infected patients linked
to viral loads and lung injury. Sci China Life Sci 2020;63(3):364-374. https://doi.org/10.1007/s11427-020- 1643-8
23. Zhou F, Yu T, Du R, Fan G, Liu Y, Liu Z, Xiang J, Wang Y, Song B, Gu X, Guan L, Wei Y, Li H, Wu X, Xu J, Tu S, Zhang Y,
Chen H, Cao B. Clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients with COVID-19 in Wuhan, China: a
retrospective cohort study. Lancet 2020. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30566-3
24. Walls AC, Park YJ, Tortorici MA, Wall A, McGuire AT, Veesler D. Structure, Function, and Antigenicity of the
SARS-CoV-2 Spike Glycoprotein. Cell
2020. https://doi.org/10.1016/j.cell.2020.02.058
25. Yan R, Zhang Y, Li Y, Xia L, Guo Y, Zhou Q. Structural basis for the recognition of SARS- CoV-2 by full-length human
ACE-2. Science 2020;367(6485):1444-
1448. https://doi.org/10.1126/science.abb2762
26. Santos RAS, Sampaio WO, Alzamora AC, Motta-Santos D, Alenina N, Bader M, Campagnole-Santos MJ. The
ACE-2/Angiotensin-(1-7)/MAS Axis of the Renin- Angiotensin System: Focus on Angiotensin-(1-7). Physiol Rev
2018;98(1):505- 553. https://doi.org/10.1152/physrev.00023.2016
27. Li W, Moore MJ, Vasilieva N, Sui J, Wong SK, Berne MA, Somasundaran M, Sullivan JL, Luzuriaga K, Greenough TC,
Choe H, Farzan M. Angiotensin-converting enzyme 2 is a functional receptor for the SARS coronavirus. Nature
2003;426(6965):450 ​https://doi.org/10.1038/nature02145
28. Hoffmann M, Kleine-Weber H, Schroeder S, Kruger N, Herrler T, Erichsen S, Schiergens
TS, Herrler G, Wu NH, Nitsche A, Muller MA, Drosten C, Pohlmann S. SARS-CoV-2 Cell Entry Depends on ACE-2 and
TMPRSS2 and Is Blocked by a Clinically Proven Protease Inhibitor. Cell 2020.
https://doi.org/10.1016/j.cell.2020.02.052
29. Wu Y. Compensation of ACE-2 Function for Possible Clinical Management of 2019-nCoV- Induced Acute Lung Injury.
Virol Sin 2020. https://doi.org/10.1007/s12250-020- 00205-6
30. Hamming I, Timens W, Bulthuis ML, Lely AT, Navis G, van Goor H. Tissue distribution of ACE-2 protein, the functional
receptor for SARS coronavirus. A first step in understanding SARS pathogenesis. J Pathol 2004;203(2):631-
7. https://doi.org/10.1002/path.1570
31. Zou X, Chen K, Zou J, Han P, Hao J, Han Z. Single-cell RNA-seq data analysis on the receptor ACE-2 expression reveals
the potential risk of different human organs vulnerable to 2019-nCoV infection. Front Med 2020.
https://doi.org/10.1007/s11684- 020-0754-0
97
32. Chen C, Zhou Y, Wang DW. SARS-CoV-2: a potential novel etiology of fulminant myocarditis. Herz 2020.
https://doi.org/10.1007/s00059-020-04909-z
33. Chen L, Li X, Chen M, Feng Y, Xiong C. The ACE-2 expression in human heart indicates new potential mechanism of
heart injury among patients infected with SARS-CoV-2. Cardiovascular Research 2020.
https://doi.org/10.1093/cvr/cvaa078
34. Fang L, Karakiulakis G, Roth M. Are patients with hypertension and diabetes mellitus at increased risk for COVID-19
infection? Lancet Respir Med
2020. https://doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30116-8
35. Kuster GM, Pfister O, Burkard T, Zhou Q, Twerenbold R, Haaf P, Widmer AF, Osswald S. SARS-CoV-2: should inhibitors
of the renin-angiotensin system be withdrawn in patients with COVID-19? Eur Heart J 2020.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehaa235
36. Ferrario CM, Jessup J, Chappell MC, Averill DB, Brosnihan KB, Tallant EA, Diz DI, Gallagher PE. Effect of
angiotensin-converting enzyme inhibition and angiotensin II receptor blockers on cardiac angiotensin-converting
enzyme 2. Circulation 2005;111(20):2605-10. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.104.510461
37. Deshotels MR, Xia H, Sriramula S, Lazartigues E, Filipeanu CM. Angiotensin II mediates angiotensin converting enzyme
type 2 internalization and degradation through an angiotensin II type I receptor-dependent mechanism.
Hypertension 2014;64(6):1368- 1375. https://doi.org/10.1161/HYPERTENSIONAHA.114.03743
38. Vaduganathan M, Vardeny O, Michel T, McMurray JJV, Pfeffer MA, Solomon SD. Renin- Angiotensin-Aldosterone
System Inhibitors in Patients with Covid-19. N Engl J Med 2020. https://doi.org/10.1056/NEJMsr2005760
39. Sun ML, Yang JM, Sun YP, Su GH. [Inhibitors of RAS Might Be a Good Choice for the Therapy of COVID-19 Pneumonia].
Zhonghua Jie He He Hu Xi Za Zhi 2020;43(3):219- 222. https://doi.org/10.3760/cma.j.issn.1001-0939.2020.03.016
40. Danser AHJ, Epstein M, Batlle D. Renin-Angiotensin System Blockers and the COVID-19 Pandemic: At Present There Is
No Evidence to Abandon Renin-Angiotensin System Blockers. Hypertension 2020:HYPERTENSIONAHA12015082.
https://doi.org/10.1161/HYPERTENSIONAHA.1 20.15082
41. Inciardi RM, Lupi L, Zaccone G, Italia L, Raffo M, Tomasoni D, Cani DS, Cerini M, Farina D, Gavazzi E, Maroldi R, Adamo
M, Ammirati E, Sinagra G, Lombardi CM, Metra M. Cardiac Involvement in a Patient With Coronavirus Disease 2019
(COVID-19). JAMA Cardiol 2020. https://doi.org/10.1001/jamacardio.2020.1096
42. Tomaszewski M, Maffia P, D’Acquisto F, Nicklin S, Marian AJ, R. N, Murray E, Guzik B, Berry C, Touyz RM, Kreutz R,
Wang DW, Sagliocco O, Crea F, Thomson EC, McInnes I. COVID-19 and the cardiovascular system - implications for
risk assessment, diagnosis and treatment options. Cardiovasc Res. 2020;In press.
https://doi.org/10.1093/cvr/cvaa106
43. Drummond GR, Vinh A, Guzik TJ, Sobey CG. Immune mechanisms of hypertension. Nat Rev Immunol
2019;19(8):517-532.https://doi.org/10.1038/s41577-019-0160-544.
44. Maffia P, Guzik TJ. When, where, and how to target vascular inflammation in the post- CANTOS era? Eur Heart J
2019;40(30):2492- 2494. ​https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehz133
45. Li Z, Guo X, Hao W, Wu Y, Ji Y, Zhao Y, Liu F, Xie X. The relationship between serum interleukins and T-lymphocyte
subsets in patients with severe acute respiratory syndrome. Chinese medical journal 2003;116:981-4.
46. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, Zhang L, Fan G, Xu J, Gu X, Cheng Z, Yu T, Xia J,
Wei Y, Wu W, Xie X, Yin W, Li H, Liu M, Xiao Y, Gao H, Guo L, Xie J, Wang G, Jiang R, Gao Z, Jin Q, Wang J, Cao B. Clinical
features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet 2020;395(10223):497-506.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5
47. Ruan Q, Yang K, Wang W, Jiang L, Song J. Clinical predictors of mortality due to COVID- 19 based on an analysis of
data of 150 patients from Wuhan, China. Intensive Care Med 2020. https://doi.org/10.1007/s00134-020-05991-x
48. Siedlinski M, Jozefczuk E, Xu X, Teumer A, Evangelou E, Schnabel RB, Welsh P, Maffia P, Erdmann J, Tomaszewski M,
Caulfield MJ, Sattar N, Holmes MV, Guzik TJ. White Blood Cells and Blood Pressure: A Mendelian Randomization
Study. Circulation
2020. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.119.045102
49. Youn JC, Yu HT, Lim BJ, Koh MJ, Lee J, Chang DY, Choi YS, Lee SH, Kang SM, Jang Y, Yoo OJ, Shin EC, Park S.
Immunosenescent CD8+ T cells and C-X-C chemokine receptor type 3 chemokines are increased in human
hypertension. Hypertension 2013;62(1):126-
33. https://doi.org/10.1161/HYPERTENSIONAHA.113.00689
50. Chan JF, Yip CC, To KK, Tang TH, Wong SC, Leung KH, Fung AY, Ng AC, Zou Z, Tsoi HW, Choi GK, Tam AR, Cheng VC,
Chan KH, Tsang OT, Yuen KY. Improved molecular diagnosis of COVID-19 by the novel, highly sensitive and specific
COVID-19-RdRp/Hel real-time reverse transcription-polymerase chain reaction assay validated in vitro and with
clinical specimens. J Clin Microbiol 2020. https://doi.org/10.1128/JCM.00310-20
51. World Health Organization. Laboratory testing for coronavirus disease 2019 (COVID- 19) in suspected human cases:
interim guidance, 2 March 2020. (2020; date last accessed). https://apps.who.int/iris/handle/10665/331329
52. China National Health Commission. National health commission of the people’s republic of China. Chinese clinical
guidance for covid-19 pneumonia diagnosis and treatment (7th edition). (March 16, 2020; date last accessed).
http://kjfy.meetingchina.org/msite/news/show/cn/3337.html
53. Ai T, Yang Z, Hou H, Zhan C, Chen C, Lv W, Tao Q, Sun Z, Xia L. Correlation of Chest CT and RT-PCR Testing in
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) in China: A Report of 1014 Cases. Radiology 2020:200642.
https://doi.org/10.1148/radiol.2020200642
98
54. World Health Organization. Global surveillance for COVID-19 caused by human infection with COVID-19 virus: interim
guidance, 20 March 2020. (2020; date last accessed). https://extranet.who.int/iris/restricted/handle/10665/331506
55. Center for Disease Control and Prevention. Coronavirus (COVID- 19).
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-nCoV/index.html
56. European Centre for Disease Prevention and Control. ECDC technical report- Infection prevention and control for
COVID-19 in healthcare settings - first update 12 March 2020 (March 12, 2020; date last accessed).
https://www.ecdc.europa.eu/sites/default/files/documents/COVID-19-infection-
prevention-and-control-healthcare-settings-march-2020.pdf
57. Chen X. Protecting cardiologists during the COVID-19 epidemic – lessons from Wuhan, China. (March 26, 2020; date
last accessed). https://www.escardio.org/Education/COVID-19-and-Cardiology/protecting-
cardiologists-during-the-covid-19-epidemic-lessons-from-wuhan
58. Editor-in-Chief P, Yu L. Handbook of COVID-19 Prevention and Treatment; 2020. https://covid-19.alibabacloud.com/
59. Luo M, Cao S, Wei L, Tang R, Hong S, Liu R, Wang Y. Precautions for Intubating Patients with COVID-19.
Anesthesiology: The Journal of the American Society of Anesthesiologists 2020.
https://doi.org/10.1097/aln.0000000000003288
60. Center for Disease Control and Prevention. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) - symptoms of Coronavirus. (March
20, 2020; date last accessed). https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/symptoms-testing/symptoms.html
61. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, Liang WH, Ou CQ, He JX, Liu L, Shan H, Lei CL, Hui DSC, Du B, Li LJ, Zeng G, Yuen KY, Chen RC,
Tang CL, Wang T, Chen PY, Xiang J, Li SY, Wang JL, Liang ZJ, Peng YX, Wei L, Liu Y, Hu YH, Peng P, Wang JM, Liu JY,
Chen Z, Li G, Zheng ZJ, Qiu SQ, Luo J, Ye CJ, Zhu SY, Zhong NS, China Medical Treatment Expert Group for C. Clinical
Characteristics of Coronavirus Disease 2019 in China. N Engl J Med 2020. ​https://doi.org/10.1056/NEJMoa2002032
62. World Health Organization. Advice on the use of masks in the context of COVID- 19. (April 6, 2020; date last
accessed). https://www.who.int/publications-
detail/advice-on-the-use-of-masks-in-the-community-during-home-care-and-in-
healthcare-settings-in-the-context-of-the-novel-coronavirus-(2019-ncov)-outbreak
63. Shi H, Han X, Jiang N, Cao Y, Alwalid O, Gu J, Fan Y, Zheng C. Radiological findings from 81 patients with COVID-19
pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study. The Lancet Infectious Diseases 2020;20(4):425-434.
https://doi.org/10.1016/S1473- 3099(20)30086-4
64. Zeng J, Huang J, Pan L. How to balance acute myocardial infarction and COVID-19: the protocols from Sichuan
Provincial People’s Hospital. Intensive Care Medicine
2020. https://doi.org/10.1007/s00134-020-05993-9
65. Chen N, Zhou M, Dong X, Qu J, Gong F, Han Y, Qiu Y, Wang J, Liu Y, Wei Y, Xia Ja, Yu T, Zhang X, Zhang L.
Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a
descriptive study. The Lancet 2020;395(10223):507-513. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7
66. Lee IK, Wang CC, Lin MC, Kung CT, Lan KC, Lee CT. Effective strategies to prevent coronavirus disease-2019
(COVID-19) outbreak in hospital. J Hosp Infect 2020. https://doi.org/10.1016/j.jhin.2020.02.022
67. Hollander JE, Carr BG. Virtually Perfect? Telemedicine for Covid-19. N Engl J Med 2020.
https://doi.org/10.1056/NEJMp2003539
68. M. N, Ciocca A, Giupponi A, Brambillasca P, Lussana F, Pisano M, Goisis G, Bonacina D, Fazzi F, Naspro R, Longhi L,
Cereda M, Montaguti C. At the Epicenter of the Covid-19 Pandemic and Humanitarian Crises in Italy: Changing
Perspectives on Preparation and Mitigation. Catalyst non-issue content 2020;1(2).
https://doi.org/10.1056/CAT.20.0080
69. Rombola G, Heidempergher M, Pedrini L, Farina M, Aucella F, Messa P, Brunori G. Practical indications for the
prevention and management of SARS-CoV-2 in ambulatory dialysis patients: lessons from the first phase of the
epidemics in Lombardy. J Nephrol 2020;33(2):193-196. ​https://doi.org/10.1007/s40620-020-00727-y
70. Arentz M, Yim E, Klaff L, Lokhandwala S, Riedo FX, Chong M, Lee M. Characteristics and Outcomes of 21 Critically Ill
Patients With COVID-19 in Washington State. JAMA 2020. ​https://doi.org/10.1001/jama.2020.4326
71. Adams JG, Walls RM. Supporting the Health Care Workforce During the COVID-19 Global Epidemic. JAMA 2020.
https://doi.org/10.1001/jama.2020.3972
72. World Health Organization. COVID 19: Occupational Health. (March 9, 2020; date last accessed).
https://www.who.int/news-room/detail/09-03-2020-covid-19- occupational-health
73. Lippi G, Lavie CJ, Sanchis-Gomar F. Cardiac troponin I in patients with coronavirus disease 2019 (COVID-19): Evidence
from a meta-analysis. Prog Cardiovasc Dis 2020. https://doi.org/10.1016/j.pcad.2020.03.001
74. Vergano MBGG, A.; Gristina, G.; Livigni, S.; Mistraletti, G.; Petrini, F. Clinical Ethics Recommendations for the
Allocation of Intensive Care Treatments in exceptional, resource limited circumstances - Version n. 1. (Mar 16, 2020;
date last accessed). http://www.siaarti.it/SiteAssets/News/COVID19%20-
%20documenti%20SIAARTI/SIAARTI%20-%20Covid-19%20- %20Clinical%20Ethics%20Reccomendations.pdf
75. Regione Lombardia. Coronavirus – Ultimi provvedimenti. (March 30, 2020; date last accessed).
https://www.regione.lombardia.it/wps/portal/istituzionale/HP/DettaglioRedazionale
/servizi-e-informazioni/cittadini/salute-e-prevenzione/Prevenzione-e-benessere/red- coronavirusnuoviaggiornamenti
76. Grasselli G, Pesenti A, Cecconi M. Critical Care Utilization for the COVID-19 Outbreak in Lombardy, Italy: Early
Experience and Forecast During an Emergency Response. JAMA 2020. https://doi.org/10.1001/jama.2020.4031
99
77. National Health Committee of the People's Republic of China. Notice of the general office of the national health and
health commission on printing and distributing the work plan for the transport of pneumonia cases with new
coronavirus infection
(trial). (January 27, 2020; date last accessed).
http://www.nhc.gov.cn/yzygj/s7653p/202001/ccee6ec0942a42a18df8e5ce6329b6f5. shtml
78. Han Y, Zeng H, Jiang H, Yang Y, Yuan Z, Cheng X, Jing Z, Liu B, Chen J, Nie S, Zhu J, Li F, Ma C. CSC Expert Consensus on
Principles of Clinical Management of Patients with Severe Emergent Cardiovascular Diseases during the COVID-19
Epidemic. Circulation
2020. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.120.047011
79. Porcheddu R, Serra C, Kelvin D, Kelvin N, Rubino S. Similarity in Case Fatality Rates (CFR) of COVID-19/SARS-COV-2 in
Italy and China. J Infect Dev Ctries 2020;14(2):125- 128. https://doi.org/10.3855/jidc.12600
80. Biddison LD, Berkowitz KA, Courtney B, De Jong CM, Devereaux AV, Kissoon N, Roxland BE, Sprung CL, Dichter JR,
Christian MD, Powell T, Task Force for Mass Critical C, Task Force for Mass Critical C. Ethical considerations: care of
the critically ill and injured during pandemics and disasters: CHEST consensus statement. Chest 2014;146(4
Suppl):e145S-55S. https://doi.org/10.1378/chest.14-0742
81. Bonnefoy-Cudraz E, Bueno H, Casella G, De Maria E, Fitzsimons D, Halvorsen S, Hassager C, Iakobishvili Z, Magdy A,
Marandi T, Mimoso J, Parkhomenko A, Price S, Rokyta R, Roubille F, Serpytis P, Shimony A, Stepinska J, Tint D,
Trendafilova E, Tubaro M, Vrints C, Walker D, Zahger D, Zima E, Zukermann R, Lettino M. Editor's Choice - Acute
Cardiovascular Care Association Position Paper on Intensive Cardiovascular Care Units: An update on their definition,
structure, organisation and function. Eur Heart J Acute Cardiovasc Care 2018;7(1):80-95.
https://doi.org/10.1177/2048872617724269
82. Wu C, Chen X, Cai Y, Xia Ja, Zhou X, Xu S, Huang H, Zhang L, Zhou X, Du C, Zhang Y, Song J, Wang S, Chao Y, Yang Z, Xu
J, Zhou X, Chen D, Xiong W, Xu L, Zhou F, Jiang J, Bai C, Zheng J, Song Y. Risk Factors Associated With Acute
Respiratory Distress Syndrome and Death in Patients With Coronavirus Disease 2019 Pneumonia in Wuhan, China.
JAMA Internal Medicine 2020. https://doi.org/10.1001/jamainternmed.2020.0994
83. Ferguson ND, Fan E, Camporota L, Antonelli M, Anzueto A, Beale R, Brochard L, Brower R, Esteban A, Gattinoni L,
Rhodes A, Slutsky AS, Vincent JL, Rubenfeld GD, Thompson BT, Ranieri VM. The Berlin definition of ARDS: an
expanded rationale, justification, and supplementary material. Intensive Care Med 2012;38(10):1573- 82.
https://doi.org/10.1007/s00134-012-2682-1
84. Thiele H, Ohman EM, de Waha-Thiele S, Zeymer U, Desch S. Management of cardiogenic shock complicating
myocardial infarction: an update 2019. Eur Heart J 2019;40(32):267 2683. ​https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehz363
85. Yang X, Yu Y, Xu J, Shu H, Xia Ja, Liu H, Wu Y, Zhang L, Yu Z, Fang M, Yu T, Wang Y, Pan S, Zou X, Yuan S, Shang Y.
Clinical course and outcomes of critically ill patients with SARS- CoV-2 pneumonia in Wuhan, China: a single-centered,
retrospective, observational study. The Lancet Respiratory Medicine. https://doi.org/10.1016/S2213-
2600(20)30079-5
86. Baran DA, Grines CL, Bailey S, Burkhoff D, Hall SA, Henry TD, Hollenberg SM, Kapur NK, O'Neill W, Ornato JP, Stelling
K, Thiele H, van Diepen S, Naidu SS. SCAI clinical expert consensus statement on the classification of cardiogenic
shock: This document was endorsed by the American College of Cardiology (ACC), the American Heart Association
(AHA), the Society of Critical Care Medicine (SCCM), and the Society of Thoracic Surgeons (STS) in April 2019.
Catheter Cardiovasc Interv 2019;94(1):29-37. ​https://doi.org/10.1002/ccd.28329
87. Hu H, Ma F, Wei X, Fang Y. Coronavirus fulminant myocarditis saved with glucocorticoid and human immunoglobulin.
Eur Heart J 2020. ​https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehaa190
88. Musher DM, Abers MS, Corrales-Medina VF. Acute Infection and Myocardial Infarction. N Engl J Med
2019;380(2):171-176. ​https://doi.org/10.1056/NEJMra1808137
89. Kwong JC, Li P, Redelmeier DA. Influenza morbidity and mortality in elderly patients receiving statins: a cohort study.
PLoS One 2009;4(11):e8087. ​https://doi.org/10.1371/journal.pone.0008087
90. Corrales-Medina VF, Musher DM, Wells GA, Chirinos JA, Chen L, Fine MJ. Cardiac complications in patients with
community-acquired pneumonia: incidence, timing, risk factors, and association with short-term mortality.
Circulation 2012;125(6):773-81 https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.111.040766
91. Corrales-Medina VF, Alvarez KN, Weissfeld LA, Angus DC, Chirinos JA, Chang CC, Newman A, Loehr L, Folsom AR,
Elkind MS, Lyles MF, Kronmal RA, Yende S. Association between hospitalization for pneumonia and subsequent risk of
cardiovascular disease. JAMA 2015;313(3):264-74. https://doi.org/10.1001/jama.2014.18229
92. Madjid M, Miller CC, Zarubaev VV, Marinich IG, Kiselev OI, Lobzin YV, Filippov AE, Casscells SW, 3rd. Influenza
epidemics and acute respiratory disease activity are associated with a surge in autopsy-confirmed coronary heart
disease death: results from 8 years of autopsies in 34,892 subjects. Eur Heart J 2007;28(10):1205-9.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehm035
93. Peiris JS, Chu CM, Cheng VC, Chan KS, Hung IF, Poon LL, Law KI, Tang BS, Hon TY, Chan CS, Chan KH, Ng JS, Zheng BJ,
Ng WL, Lai RW, Guan Y, Yuen KY, Group HUSS. Clinical progression and viral load in a community outbreak of
coronavirus-associated SARS pneumonia: a prospective study. Lancet 2003;361(9371):1767- 72.
https://doi.org/10.1016/s0140-6736(03)13412-5
94. Gao C, Wang Y, Gu X, Shen X, Zhou D, Zhou S, Huang JA, Cao B, Guo Q, Community- Acquired Pneumonia-China N.
Association Between Cardiac Injury and Mortality in Hospitalized Patients Infected With Avian Influenza A (H7N9)
Virus. Crit Care Med 2020;48(4):451-458. https://doi.org/10.1097/CCM.0000000000004207
100
95. 95. Flores F, Walter J, Wussler D, Kozhuharov N, Nowak A, Dinort J, Badertscher P, Martin J, Sabti Z, du Fay de Lavallaz
J, Nestelberger T, Boeddinghaus J, Zimmermann T, Koechlin L, Glatz B, Czmok R, Michou E, Gualandro DM,
Breidthardt T, Mueller C. Direct comparison of high-sensitivity cardiac troponin t and i for prediction of mortality in
patients with pneumonia. J Clin Chem Lab Med 2019;2(2):1000131.
96. 96. Roffi M, Patrono C, Collet JP, Mueller C, Valgimigli M, Andreotti F, Bax JJ, Borger MA, Brotons C, Chew DP, Gencer
B, Hasenfuss G, Kjeldsen K, Lancellotti P, Landmesser U, Mehilli J, Mukherjee D, Storey RF, Windecker S, Group
ESCSD. 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-segment elevation: Task Force for the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients
Presenting without Persistent ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J
2016;37(3):267-
97. 315. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehv320
97. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H, Caforio ALP, Crea
98. F, Goudevenos JA, Halvorsen S, Hindricks G, Kastrati A, Lenzen MJ, Prescott E, Roffi M, Valgimigli M, Varenhorst C,
Vranckx P, Widimsky P, Group ESCSD. 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST- segment elevation: The Task Force for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J
2018;39(2):119-177. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx393
99. Christ-Crain M, Breidthardt T, Stolz D, Zobrist K, Bingisser R, Miedinger D, Leuppi J, Tamm M, Mueller B, Mueller C.
Use of B-type natriuretic peptide in the risk stratification of community-acquired pneumonia. J Intern Med
2008;264(2):166- 76. ​https://doi.org/10.1111/j.1365-2796.2008.01934​.
100. Mueller C, Laule-Kilian K, Frana B, Rodriguez D, Scholer A, Schindler C, Perruchoud AP. Use of B-type natriuretic
peptide in the management of acute dyspnea in patients with pulmonary disease. Am Heart J
2006;151(2):471-​471-7. https://doi.org/10.1016/j.ahj.2005.03.036
101. Mueller C, McDonald K, de Boer RA, Maisel A, Cleland JGF, Kozhuharov N, Coats AJS, Metra M, Mebazaa A, Ruschitzka
F, Lainscak M, Filippatos G, Seferovic PM, Meijers WC, Bayes-Genis A, Mueller T, Richards M, Januzzi JL, Jr., Heart
Failure Association of the European Society of C. Heart Failure Association of the European Society of Cardiology
practical guidance on the use of natriuretic peptide concentrations. Eur J Heart Fail 2019;21(6):715-731.
https://doi.org/10.1002/ejhf.1494
102. Giannitsis E, Mair J, Christersson C, Siegbahn A, Huber K, Jaffe AS, Peacock WF, Plebani M, Thygesen K, Mockel M,
Mueller C, Lindahl B, Biomarker Study Group of the European Society of Cardiology Acute Cardiovascular Care A. How
to use D-dimer in acute cardiovascular care. Eur Heart J Acute Cardiovasc Care 2017;6(1):69-80.
https://doi.org/10.1177/2048872615610870
103. Konstantinides SV, Meyer G, Becattini C, Bueno H, Geersing GJ, Harjola VP, Huisman MV, Humbert M, Jennings CS,
Jimenez D, Kucher N, Lang IM, Lankeit M, Lorusso R, Mazzolai L, Meneveau N, Ainle FN, Prandoni P, Pruszczyk P,
Righini M, Torbicki A, Van Belle E, Zamorano JL, The Task Force for the d, management of acute pulmonary embolism
of the European Society of C. 2019 ESC Guidelines for the diagnosis and management of acute pulmonary embolism
developed in collaboration with the European Respiratory Society (ERS): The Task Force for the diagnosis and
management of acute pulmonary embolism of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Respir J 2019;54(3).
https://doi.org/10.1183/13993003.01647-2019
104. Kearon C, de Wit K, Parpia S, Schulman S, Afilalo M, Hirsch A, Spencer FA, Sharma S, D'Aragon F, Deshaies JF, Le Gal G,
Lazo-Langner A, Wu C, Rudd-Scott L, Bates SM, Julian JA, Investigators PES. Diagnosis of Pulmonary Embolism with
d-Dimer Adjusted to Clinical Probability. N Engl J Med 2019;381(22):2125- 2134.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa1909159
105. Van der Hulle T, Cheung WY, Kooij S, Beenen LFM, van Bemmel T, van Es J, Faber LM, Hazelaar GM, Heringhaus C,
Hofstee H, Hovens MMC, Kaasjager KAH, van Klink RCJ, Kruip M, Loeffen RF, Mairuhu ATA, Middeldorp S, Nijkeuter
M, van der Pol LM, Schol- Gelok S, Ten Wolde M, Klok FA, Huisman MV, group Ys. Simplified diagnostic management
of suspected pulmonary embolism (the YEARS study): a prospective, multicentre, cohort study. Lancet
2017;390(10091):289- 297. ​https://doi.org/10.1016/S0140-6736(17)30885-1
106. van der Pol LM, Tromeur C, Bistervels IM, Ni Ainle F, van Bemmel T, Bertoletti L, Couturaud F, van Dooren YPA, Elias
A, Faber LM, Hofstee HMA, van der Hulle T, Kruip M, Maignan M, Mairuhu ATA, Middeldorp S, Nijkeuter M, Roy PM,
Sanchez O, Schmidt J, Ten Wolde M, Klok FA, Huisman MV, Artemis Study I. Pregnancy-Adapted YEARS Algorithm for
Diagnosis of Suspected Pulmonary Embolism. N Engl J Med 2019;380(12):1139-1149.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa1813865
107. Patel AB, Verma A. COVID-19 and Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors and Angiotensin Receptor Blockers:
What Is the Evidence? JAMA 2020. https://doi.org/10.1001/jama.2020.4812
108. Boeddinghaus J, Nestelberger T, Twerenbold R, Neumann JT, Lindahl B, Giannitsis E, Sorensen NA, Badertscher P,
Jann JE, Wussler D, Puelacher C, Rubini Gimenez M, Wildi K, Strebel I, Du Fay de Lavallaz J, Selman F, Sabti Z,
Kozhuharov N, Potlukova E, Rentsch K, Miro O, Martin-Sanchez FJ, Morawiec B, Parenica J, Lohrmann J, Kloos W,
Buser A, Geigy N, Keller DI, Osswald S, Reichlin T, Westermann D, Blankenberg S, Mueller C, Apace B, Investigators
T-A. Impact of age on the performance of the ESC 0/1h- algorithms for early diagnosis of myocardial infarction. Eur
Heart J 2018;39(42):3780- 3794. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy514
109. Nestelberger T, Wildi K, Boeddinghaus J, Twerenbold R, Reichlin T, Gimenez MR, Puelacher C, Jaeger C, Grimm K,
Sabti Z, Hillinger P, Kozhuharov N, du Fay de Lavallaz J, Pinck F, Lopez B, Salgado E, Miro O, Bingisser R, Lohrmann J,
101
Osswald S, Mueller C. Characterization of the observe zone of the ESC 2015 high-sensitivity cardiac troponin
0h/1h-algorithm for the early diagnosis of acute myocardial infarction. Int J Cardiol 2016;207:238-45.
https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2016.01.112
110. Twerenbold R, Badertscher P, Boeddinghaus J, Nestelberger T, Wildi K, Puelacher C, Sabti Z, Rubini Gimenez M,
Tschirky S, du Fay de Lavallaz J, Kozhuharov N, Sazgary L, Mueller D, Breidthardt T, Strebel I, Flores Widmer D,
Shrestha S, Miro O, Martin- Sanchez FJ, Morawiec B, Parenica J, Geigy N, Keller DI, Rentsch K, von Eckardstein A,
Osswald S, Reichlin T, Mueller C. 0/1-Hour Triage Algorithm for Myocardial Infarction in Patients With Renal
Dysfunction. Circulation 2018;137(5):436- 451. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.117.028901
Gluckman TJ. General guidance on deferring non-urgent cv testing and procedures during the COVID-19 pandemic.
(March 24, 2020; date last accessed).
111. Skulstad H, Cosyns B, Popescu BA, Galderisi M, Di Salvo G, Donal E, Petersen SE, Gimelli A, Haugaa KH, Muraru D,
Almeida AG, Schulz-Menger J, Dweck MR, Pontone G, Sade LE, Gerber B, Maurovich-Horvat P, Bharucha T, Cameli M,
Magne J, Westwood M, Maurer G. COVID-19 pandemic and cardiac imaging. EACVI recommendations on precautions,
indications, prioritisation and protection for patients and healthcare personnel. Eur Heart J Cardiovasc Imaging 2020.
https://doi.org/10.1093/ehjci/jeaa072
112. Soldati G, Smargiassi A, Inchingolo R, Buonsenso D, Perrone T, Briganti DF, Perlini S, Torri E, Mariani A, Mossolani EE,
Tursi F, Mento F, Demi L. Is there a role for lung ultrasound during the COVID-19 pandemic? J Ultrasound Med
2020. https://doi.org/10.1002/jum.15284
113. Choi AD, Abbara S, Branch KR, Feuchtner GM, Ghoshhajra B, Nieman K, Pontone G, Villines TC, Williams MC,
Blankstein R. Society of Cardiovascular Computed Tomography Guidance for Use of Cardiac Computed Tomography
Amidst the COVID-19 Pandemic. Journal of Cardiovascular Computed Tomography.
https://doi.org/10.1016/j.jcct.2020.03.002
American College of Cardiology. ACR recommendations for the use of chest radiography and computed tomography
(ct) for suspected COVID-19 infection. (March 22, 2020; date last accessed).
https://www.acr.org/Advocacy-and-Economics/ACR-
Position-Statements/Recommendations-for-Chest-Radiography-and-CT-for-Suspected- COVID19-Infection
114. Skali H, Murthy VL, Al-Mallah MH, Bateman TM, Beanlands R, Better N, Calnon DA, Dilsizian V, Gimelli A, Pagnanelli R,
Polk DM, Soman P, Thompson RC, Einstein AJ, Dorbala S. Guidance and Best Practices for Nuclear Cardiology
Laboratories during the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pandemic: An Information Statement from ASNC and
SNMMI. Zenodo 2020;Preprint. https://doi.org/10.5281/zenodo.3738020
115. Society for Cardiovascular Magnetic Resonance. SCMR’s covid-19 preparedness toolkit. (March 25, 2020; date last
accessed). https://scmr.org/page/COVID19
116. Ferreira VM, Schulz-Menger J, Holmvang G, Kramer CM, Carbone I, Sechtem U, Kindermann I, Gutberlet M, Cooper
LT, Liu P, Friedrich MG. Cardiovascular Magnetic Resonance in Nonischemic Myocardial Inflammation: Expert
Recommendations. J Am Coll Cardiol 2018;72(24):3158-3176. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2018.09.072
117. Stefanini GG, Azzolini E, Condorelli G. Critical Organizational Issues for Cardiologists in the COVID-19 Outbreak: A
Frontline Experience From Milan, Italy. Circulation 2020. https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.120.047070
118. Neumann FJ, Sousa-Uva M, Ahlsson A, Alfonso F, Banning AP, Benedetto U, Byrne RA, Collet JP, Falk V, Head SJ, Juni
P, Kastrati A, Koller A, Kristensen SD, Niebauer J, Richter DJ, Seferovic PM, Sibbing D, Stefanini GG, Windecker S,
Yadav R, Zembala MO, Group ESCSD. 2018 ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization. Eur Heart J
2019;40(2):87-165. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy394
119. Baumgartner H, Falk V, Bax JJ, De Bonis M, Hamm C, Holm PJ, Iung B, Lancellotti P, Lansac E, Rodriguez Munoz D,
Rosenhek R, Sjogren J, Tornos Mas P, Vahanian A, Walther T, Wendler O, Windecker S, Zamorano JL, Group ESCSD.
2017 ESC/EACTS Guidelines for the management of valvular heart disease. Eur Heart J 2017;38(36):2739-2791.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx391
120. Kucharski AJ, Russell TW, Diamond C, Liu Y, Edmunds J, Funk S, Eggo RM, Sun F, Jit M, Munday JD. Early dynamics of
transmission and control of COVID-19: a mathematical modelling study. The lancet infectious diseases 2020.
121. Mebazaa A, Combes A, van Diepen S, Hollinger A, Katz JN, Landoni G, Hajjar LA, Lassus J, Lebreton G, Montalescot G,
Park JJ, Price S, Sionis A, Yannopolos D, Harjola VP, Levy B, Thiele H. Management of cardiogenic shock complicating
myocardial infarction. Intensive Care Med 2018;44(6):760-773. https://doi.org/10.1007/s00134-018-5214- 9
122. Perkins GD, Olasveengen TM, Maconochie I, Soar J, Wyllie J, Greif R, Lockey A, Semeraro F, Van de Voorde P, Lott C,
Monsieurs KG, Nolan JP, European Resuscitation C. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation: 2017
update. Resuscitation 2018;123:43-50. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2017.12.007
123. Christian MD, Hawryluck L, Wax RS, Cook T, Lazar NM, Herridge MS, Muller MP, Gowans DR, Fortier W, Burkle FM.
Development of a triage protocol for critical care during an influenza pandemic. CMAJ 2006;175(11):1377-81.
https://doi.org/10.1503/cmaj.060911
124. Deng SQ, Peng HJ. Characteristics of and Public Health Responses to the Coronavirus Disease 2019 Outbreak in China.
J Clin Med 2020;9(2). https://doi.org/10.3390/jcm9020575
125. Basille D, Plouvier N, Trouve C, Duhaut P, Andrejak C, Jounieaux V. Non-steroidal Anti inflammatory Drugs may
Worsen the Course of Community-Acquired Pneumonia: A Cohort Study. Lung 2017;195(2):201-208.
https://doi.org/10.1007/s00408-016- 9973-1
126. Douglas I, Evans S, Smeeth L. Effect of statin treatment on short term mortality after pneumonia episode: cohort
study. BMJ 2011;342:d1642. https://doi.org/10.1136/bmj.d1642
102
127. Fleming DM, Verlander NQ, Elliot AJ, Zhao H, Gelb D, Jehring D, Nguyen-Van-Tam JS. An assessment of the effect of
statin use on the incidence of acute respiratory infections in England during winters 1998-1999 to 2005-2006.
Epidemiol Infect 2010;138(9):1281-8. https://doi.org/10.1017/S0950268810000105
128. Xu L, Liu J, Lu M, Yang D, Zheng X. Liver injury during highly pathogenic human coronavirus infections. Liver Int 2020.
https://doi.org/10.1111/liv.14435
129. Knuuti J, Wijns W, Saraste A, Capodanno D, Barbato E, Funck-Brentano C, Prescott E, Storey RF, Deaton C, Cuisset T,
Agewall S, Dickstein K, Edvardsen T, Escaned J, Gersh BJ, Svitil P, Gilard M, Hasdai D, Hatala R, Mahfoud F, Masip J,
Muneretto C, Valgimigli M, Achenbach S, Bax JJ, Group ESCSD. 2019 ESC Guidelines for the diagnosis and
management of chronic coronary syndromes. Eur Heart J 2020;41(3):407- 477.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehz425
130. Maron DJ, Hochman JS, Reynolds HR, Bangalore S, O'Brien SM, Boden WE, Chaitman BR, Senior R, Lopez-Sendon J,
Alexander KP, Lopes RD, Shaw LJ, Berger JS, Newman JD, Sidhu MS, Goodman SG, Ruzyllo W, Gosselin G, Maggioni
AP, White HD, Bhargava B, Min JK, Mancini GBJ, Berman DS, Picard MH, Kwong RY, Ali ZA, Mark DB, Spertus JA,
Krishnan MN, Elghamaz A, Moorthy N, Hueb WA, Demkow M, Mavromatis K, Bockeria O, Peteiro J, Miller TD, Szwed
H, Doerr R, Keltai M, Selvanayagam JB, Steg PG, Held C, Kohsaka S, Mavromichalis S, Kirby R, Jeffries NO, Harrell FE,
Jr., Rockhold FW, Broderick S, Ferguson TB, Jr., Williams DO, Harrington RA, Stone GW, Rosenberg Y, Group IR. Initial
Invasive or Conservative Strategy for Stable Coronary Disease. N Engl J Med 2020;382(15):1395-1407.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa1915922
131. Li B, Yang J, Zhao F, Zhi L, Wang X, Liu L, Bi Z, Zhao Y. Prevalence and impact of cardiovascular metabolic diseases on
COVID-19 in China. Clin Res Cardiol 2020. https://doi.org/10.1007/s00392-020-01626-9
132. Yang W, Cao Q, Qin L, Wang X, Cheng Z, Pan A, Dai J, Sun Q, Zhao F, Qu J, Yan F. Clinical characteristics and imaging
manifestations of the 2019 novel coronavirus disease (COVID-19):A multi-center study in Wenzhou city, Zhejiang,
China. J Infect 2020;80(4):388-393. https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.02.016
133. Celutkiene J, Lainscak M, Anderson L, Gayat E, Grapsa J, Harjola VP, Manka R, Nihoyannopoulos P, Filardi PP, Vrettou
R, Anker SD, Filippatos G, Mebazaa A, Metra M, Piepoli M, Ruschitzka F, Zamorano JL, Rosano G, Seferovic P. Imaging
in patients with suspected acute heart failure: timeline approach position statement on behalf of the Heart Failure
Association of the European Society of Cardiology. Eur J Heart Fail 2020;22(2):181-195.
https://doi.org/10.1002/ejhf.1678
134. Furuhashi M, Moniwa N, Mita T, Fuseya T, Ishimura S, Ohno K, Shibata S, Tanaka M, Watanabe Y, Akasaka H, Ohnishi
H, Yoshida H, Takizawa H, Saitoh S, Ura N, Shimamoto K, Miura T. Urinary angiotensin-converting enzyme 2 in
hypertensive patients may be increased by olmesartan, an angiotensin II receptor blocker. Am J Hypertens
2015;28(1):15-21. https://doi.org/10.1093/ajh/hpu086
135. Halliday BP, Wassall R, Lota AS, Khalique Z, Gregson J, Newsome S, Jackson R, Rahneva T, Wage R, Smith G, Venneri L,
Tayal U, Auger D, Midwinter W, Whiffin N, Rajani R, Dungu JN, Pantazis A, Cook SA, Ware JS, Baksi AJ, Pennell DJ,
Rosen SD, Cowie MR, Cleland JGF, Prasad SK. Withdrawal of pharmacological treatment for heart failure in patients
with recovered dilated cardiomyopathy (TRED-HF): an open-label, pilot, randomised trial. The Lancet
2019;393(10166):61-73. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)32484-X
136. Seferovic PM, Ponikowski P, Anker SD, Bauersachs J, Chioncel O, Cleland JGF, de Boer RA, Drexel H, Ben Gal T, Hill L,
Jaarsma T, Jankowska EA, Anker MS, Lainscak M, Lewis BS, McDonagh T, Metra M, Milicic D, Mullens W, Piepoli MF,
Rosano G, Ruschitzka F, Volterrani M, Voors AA, Filippatos G, Coats AJS. Clinical practice update on heart failure 2019:
pharmacotherapy, procedures, devices and patient management. An expert consensus meeting report of the Heart
Failure Association of the European Society of Cardiology. Eur J Heart Fail 2019;21(10):1169-
1186. https://doi.org/10.1002/ejhf.1531
137. Kumar D, Tellier R, Draker R, Levy G, Humar A. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) in a liver transplant
recipient and guidelines for donor SARS screening. Am J Transplant 2003;3(8):977-81.
https://doi.org/10.1034/j.1600-6143.2003.00197.
138. AlGhamdi M, Mushtaq F, Awn N, Shalhoub S. MERS CoV infection in two renal transplant recipients: case report. Am J
Transplant 2015;15(4):1101-4. https://doi.org/10.1111/ajt.13085
139. Li F, Cai J, Dong N. First Cases of COVID-19 in Heart Transplantation From China. The Journal of Heart and Lung
Transplantation. https://doi.org/10.1016/j.healun.2020.03.006
140. Ren Z-L, Hu R, Wang Z-W, Zhang M, Ruan Y-L, Wu Z-Y, Wu H-B, Hu X-P, Hu Z-P, Ren W, Li L-C, Dai F-F, Liu H, Cai X.
Epidemiological and clinical characteristics of heart transplant recipients during the 2019 coronavirus outbreak in
Wuhan, China: A descriptive survey report. The Journal of Heart and Lung Transplantation.
https://doi.org/10.1016/j.healun.2020.03.008
Mehta P, McAuley DF, Brown M, Sanchez E, Tattersall RS, Manson JJ. COVID-19: consider cytokine storm syndromes
and immunosuppression. The Lancet 2020;395(10229):1033-1034. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30628-0
141. Rosenhek R, Binder T, Porenta G, Lang I, Christ G, Schemper M, Maurer G, Baumgartner H. Predictors of outcome in
severe, asymptomatic aortic stenosis. N Engl J Med 2000;343(9):611-7.
https://doi.org/10.1056/NEJM200008313430903
142. Rosenhek R, Zilberszac R, Schemper M, Czerny M, Mundigler G, Graf S, Bergler-Klein J, Grimm M, Gabriel H, Maurer
G. Natural history of very severe aortic stenosis. Circulation 2010;121(1):151-6.
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.109.894170
103
143. Zlotnick DM, Ouellette ML, Malenka DJ, DeSimone JP, Leavitt BJ, Helm RE, Olmstead EM, Costa SP, DiScipio AW,
Likosky DS, Schmoker JD, Quinn RD, Sisto D, Klemperer JD, Sardella GL, Baribeau YR, Frumiento C, Brown JR, O'Rourke
DJ, Northern New England Cardiovascular Disease Study G. Effect of preoperative pulmonary hypertension on
outcomes in patients with severe aortic stenosis following surgical aortic valve replacement. Am J Cardiol
2013;112(10):1635-40. https://doi.org/10.1016/j.amjcard.2013.07.025
144. Bergler-Klein J, Klaar U, Heger M, Rosenhek R, Mundigler G, Gabriel H, Binder T, Pacher R, Maurer G, Baumgartner H.
Natriuretic peptides predict symptom-free survival and postoperative outcome in severe aortic stenosis. Circulation
2004;109(19):2302-8. https://doi.org/10.1161/01.CIR.0000126825.50903.18
145. Chin CW, Shah AS, McAllister DA, Joanna Cowell S, Alam S, Langrish JP, Strachan FE, Hunter AL, Maria Choy A, Lang
CC, Walker S, Boon NA, Newby DE, Mills NL, Dweck MR. High-sensitivity troponin I concentrations are a marker of an
advanced hypertrophic response and adverse outcomes in patients with aortic stenosis. Eur Heart J
2014;35(34):2312-21. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehu189
146. Clavel MA, Malouf J, Michelena HI, Suri RM, Jaffe AS, Mahoney DW, Enriquez-Sarano M. B-type natriuretic peptide
clinical activation in aortic stenosis: impact on long-term survival. J Am Coll Cardiol 2014;63(19):2016-25.
https://doi.org/10.1016/j.jacc.2014.02.581
147. Otto CM, Prendergast B. Aortic-valve stenosis--from patients at risk to severe valve obstruction. N Engl J Med
2014;371(8):744-56. https://doi.org/10.1056/NEJMra1313875
148. Yang J, Zheng Y, Gou X, Pu K, Chen Z, Guo Q, Ji R, Wang H, Wang Y, Zhou Y. Prevalence of comorbidities in the novel
Wuhan coronavirus (COVID-19) infection: a systematic review and meta-analysis. Int J Infect Dis2020.
https://doi.org/10.1016/j.ijid.2020.03.017
149. Leon MB, Smith CR, Mack MJ, Makkar RR, Svensson LG, Kodali SK, Thourani VH, Tuzcu EM, Miller DC, Herrmann HC,
Doshi D, Cohen DJ, Pichard AD, Kapadia S, Dewey T, Babaliaros V, Szeto WY, Williams MR, Kereiakes D, Zajarias A,
Greason KL, Whisenant BK, Hodson RW, Moses JW, Trento A, Brown DL, Fearon WF, Pibarot P, Hahn RT, Jaber WA,
Anderson WN, Alu MC, Webb JG, Investigators P. Transcatheter or Surgical Aortic- Valve Replacement in
Intermediate-Risk Patients. N Engl J Med 2016;374(17):1609- 20. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1514616
150. Makkar RR, Thourani VH, Mack MJ, Kodali SK, Kapadia S, Webb JG, Yoon SH, Trento A, Svensson LG, Herrmann HC,
Szeto WY, Miller DC, Satler L, Cohen DJ, Dewey TM, Babaliaros V, Williams MR, Kereiakes DJ, Zajarias A, Greason KL,
Whisenant BK, Hodson RW, Brown DL, Fearon WF, Russo MJ, Pibarot P, Hahn RT, Jaber WA, Rogers E, Xu K, Wheeler
J, Alu MC, Smith CR, Leon MB, Investigators P. Five-Year Outcomes of Transcatheter or Surgical Aortic-Valve
Replacement. N Engl J Med 2020;382(9):799- 809. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1910555
151. Mack MJ, Leon MB, Thourani VH, Makkar R, Kodali SK, Russo M, Kapadia SR, Malaisrie SC, Cohen DJ, Pibarot P, Leipsic
J, Hahn RT, Blanke P, Williams MR, McCabe JM, Brown DL, Babaliaros V, Goldman S, Szeto WY, Genereux P, Pershad
A, Pocock SJ, Alu MC, Webb JG, Smith CR, Investigators P. Transcatheter Aortic-Valve Replacement with a
Balloon-Expandable Valve in Low-Risk Patients. N Engl J Med 2019;380(18):1695- 1705.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa1814052
152. Popma JJ, Deeb GM, Yakubov SJ, Mumtaz M, Gada H, O'Hair D, Bajwa T, Heiser JC, Merhi W, Kleiman NS, Askew J,
Sorajja P, Rovin J, Chetcuti SJ, Adams DH, Teirstein PS, Zorn GL, 3rd, Forrest JK, Tchetche D, Resar J, Walton A, Piazza
N, Ramlawi B, Robinson N, Petrossian G, Gleason TG, Oh JK, Boulware MJ, Qiao H, Mugglin AS, Reardon MJ, Evolut
Low Risk Trial I. Transcatheter Aortic-Valve Replacement with a Self-Expanding Valve in Low-Risk Patients. N Engl J
Med 2019;380(18):1706-1715. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1816885
153. Arora S, Strassle PD, Kolte D, Ramm CJ, Falk K, Jack G, Caranasos TG, Cavender MA, Rossi JS, Vavalle JP. Length of Stay
and Discharge Disposition After Transcatheter Versus Surgical Aortic Valve Replacement in the United States. Circ
Cardiovasc Interv 2018;11(9):e006929. https://doi.org/10.1161/CIRCINTERVENTIONS.118.006929
154. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, Falk V, Gonzalez- Juanatey JR, Harjola VP,
Jankowska EA, Jessup M, Linde C, Nihoyannopoulos P, Parissis JT, Pieske B, Riley JP, Rosano GMC, Ruilope LM,
Ruschitzka F, Rutten FH, van der Meer P, Group ESCSD. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure: The Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the
European Society of Cardiology (ESC)Developed with the special contribution of the Heart Failure Association (HFA) of
the ESC. Eur Heart J 2016;37(27):2129-2200. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehw128
155. Asgar AW, Mack MJ, Stone GW. Secondary mitral regurgitation in heart failure: pathophysiology, prognosis, and
therapeutic considerations. J Am Coll Cardiol 2015;65(12):1231-1248. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2015.02.009
156. Kang DH, Park SJ, Shin SH, Hong GR, Lee S, Kim MS, Yun SC, Song JM, Park SW, Kim JJ. Angiotensin Receptor Neprilysin
Inhibitor for Functional Mitral Regurgitation. Circulation 2019;139(11):1354-1365.
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.118.037077
157. Zilberszac R, Heinze G, Binder T, Laufer G, Gabriel H, Rosenhek R. Long-Term Outcome of Active Surveillance in
Severe But Asymptomatic Primary Mitral Regurgitation. JACC Cardiovasc Imaging 2018;11(9):1213-1221.
https://doi.org/10.1016/j.jcmg.2018.05.014
158. Sorajja P, Vemulapalli S, Feldman T, Mack M, Holmes DR, Jr., Stebbins A, Kar S, Thourani V, Ailawadi G. Outcomes
With Transcatheter Mitral Valve Repair in the United States: An STS/ACC TVT Registry Report. J Am Coll Cardiol
2017;70(19):2315-2327. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2017.09.015
159. Zhang JJ, Dong X, Cao YY, Yuan YD, Yang YB, Yan YQ, Akdis CA, Gao YD. Clinical characteristics of 140 patients infected
with SARS-CoV-2 in Wuhan, China. Allergy 2020. https://doi.org/10.1111/all.14238
104
160. Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti Rosei E, Azizi M, Burnier M, Clement DL, Coca A, de Simone G, Dominiczak
A, Kahan T, Mahfoud F, Redon J, Ruilope L, Zanchetti A, Kerins M, Kjeldsen SE, Kreutz R, Laurent S, Lip GYH, McManus
R, Narkiewicz K, Ruschitzka F, Schmieder RE, Shlyakhto E, Tsioufis C, Aboyans V, Desormais I, Group ESCSD. 2018
ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. Eur Heart J 2018;39(33):3021-3104.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy339
161. Sommerstein R, Grani C. Rapid Response: Re: Preventing a covid-19 pandemic: ACE inhibitors as a potential risk factor
for fatal Covid-19. BMJ 2020;368:m810. https://doi.org/10.1136/bmj.m810
162. Chen Y, Guo Y, Pan Y, Zhao ZJ. Structure analysis of the receptor binding of 2019- nCoV. Biochem Biophys Res
Commun 2020. https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2020.02.071
163. Burrell LM, Risvanis J, Kubota E, Dean RG, MacDonald PS, Lu S, Tikellis C, Grant SL, Lew RA, Smith AI, Cooper ME,
Johnston CI. Myocardial infarction increases ACE-2 expression in rat and humans. Eur Heart J 2005;26(4):369-75;
discussion 322- 4. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehi114
164. Ishiyama Y, Gallagher PE, Averill DB, Tallant EA, Brosnihan KB, Ferrario CM. Upregulation of angiotensin-converting
enzyme 2 after myocardial infarction by blockade of angiotensin II receptors. Hypertension 2004;43(5):970-6.
https://doi.org/10.1161/01.HYP.0000124667.34652.1a
165. Imai Y, Kuba K, Rao S, Huan Y, Guo F, Guan B, Yang P, Sarao R, Wada T, Leong-Poi H, Crackower MA, Fukamizu A, Hui
CC, Hein L, Uhlig S, Slutsky AS, Jiang C, Penninger JM. Angiotensin-converting enzyme 2 protects from severe acute
lung failure. Nature 2005;436(7047):112-6. https://doi.org/10.1038/nature03712
166. Kuba K, Imai Y, Rao S, Gao H, Guo F, Guan B, Huan Y, Yang P, Zhang Y, Deng W, Bao L, Zhang B, Liu G, Wang Z,
Chappell M, Liu Y, Zheng D, Leibbrandt A, Wada T, Slutsky AS, Liu D, Qin C, Jiang C, Penninger JM. A crucial role of
angiotensin converting enzyme 2 (ACE-2) in SARS coronavirus-induced lung injury. Nat Med 2005;11(8):875- 9.
https://doi.org/10.1038/nm126
167. Rodrigues Prestes TR, Rocha NP, Miranda AS, Teixeira AL, Simoes ESAC. The Anti- Inflammatory Potential of
ACE-2/Angiotensin-(1-7)/Mas Receptor Axis: Evidence from Basic and Clinical Research. Curr Drug Targets
2017;18(11):1301-1313. https://doi.org/10.2174/1389450117666160727142401
168. ClinicalTrials.gov [Internet]. Bethesda (MD): National Library of Medicine (US). Identifier NCT04287686, Recombinant
Human Angiotensin-converting Enzyme 2 (rhACE-2) as a Treatment for Patients With COVID-19. (March 17, 2020;
date last accessed). https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04287686
169. Gurwitz D. Angiotensin receptor blockers as tentative SARS-CoV-2 therapeutics. Drug Dev Res 2020.
https://doi.org/10.1002/ddr.21656
170. de Simone G, ESC Council on Hypertension, On behalf of the Nucleus Members. Position Statement of the ESC Council
on Hypertension on ACE-Inhibitors and Angiotensin Receptor Blockers. (March 13, 2020; date last accessed).
https://www.escardio.org/Councils/Council-on-Hypertension-(CHT)/News/position-
statement-of-the-esc-council-on-hypertension-on-ace-inhibitors-and-ang
171. Lip GYH, Coca A, Kahan T, Boriani G, Manolis AS, Olsen MH, Oto A, Potpara TS, Steffel J, Marin F, de Oliveira
Figueiredo MJ, de Simone G, Tzou WS, Chiang CE, Williams B, Reviewers, Dan GA, Gorenek B, Fauchier L, Savelieva I,
Hatala R, van Gelder I, Brguljan- Hitij J, Erdine S, Lovic D, Kim YH, Salinas-Arce J, Field M. Hypertension and cardiac
arrhythmias: a consensus document from the European Heart Rhythm Association (EHRA) and ESC Council on
Hypertension, endorsed by the Heart Rhythm Society (HRS), Asia-Pacific Heart Rhythm Society (APHRS) and Sociedad
Latinoamericana de Estimulacion Cardiaca y Electrofisiologia (SOLEACE). Europace 2017;19(6):891- 911.
https://doi.org/10.1093/europace/eux091
172. Tsang OT, Chau TN, Choi KW, Tso EY, Lim W, Chiu MC, Tong WL, Lee PO, Lam BH, Ng TK, Lai JY, Yu WC, Lai ST.
Coronavirus-positive nasopharyngeal aspirate as predictor for severe acute respiratory syndrome mortality. Emerg
Infect Dis 2003;9(11):1381- 7. https://doi.org/10.3201/eid0911.030400
173. Chen D, Li X, Song Q, Hu C, Su F, Dai J. Hypokalemia and Clinical Implications in Patients with Coronavirus Disease
2019 (COVID-19). medRxiv 2020:2020.02.27.20028530. https://doi.org/10.1101/2020.02.27.20028530
174. Danzi GB, Loffi M, Galeazzi G, Gherbesi E. Acute pulmonary embolism and COVID-19 pneumonia: a random
association? Eur Heart J 2020. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehaa254
175. Xie Y, Wang X, Yang P, Zhang S. COVID-19 Complicated by Acute Pulmonary Embolism. Radiology: Cardiothoracic
Imaging 2020;2(2):e200067. https://doi.org/10.1148/ryct.2020200067
176. Chen J, Wang X, Zhang S, Liu B, Wu X, Wang Y, Wang X, Yang M, Sung J, Xie Y. Findings of Acute Pulmonary Embolism
in COVID-19 Patients. The Lancet 2020;Preprints. https://doi.org/%20http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3548771
177. Huisman MV, Barco S, Cannegieter SC, Le Gal G, Konstantinides SV, Reitsma PH, Rodger M, Vonk Noordegraaf A, Klok
FA. Pulmonary embolism. Nat Rev Dis Primers 2018;4:18028. https://doi.org/10.1038/nrdp.2018.28
178. Cardiac Society of Australia and New Zealand. COVID-19 resources. (April 1, 2020; date last accessed).
https://www.csanz.edu.au/resources/
179. Hearth Rythm Society. HRS COVID-19 Task Force Message. (March 20, 2020; date last accessed).
https://www.hrsonline.org/COVID19-Challenges-Solutions/Message
180. National Health Society. NHS Clinical guide for the management of cardiology patients during the coronavirus
pandemic. (April 1, 2020; date last accessed). https://www.england.nhs.uk/coronavirus/publication/specialty-guides/
181. Kirchhof P, Benussi S, Kotecha D, Ahlsson A, Atar D, Casadei B, Castella M, Diener HC, Heidbuchel H, Hendriks J,
Hindricks G, Manolis AS, Oldgren J, Popescu BA, Schotten U, Van Putte B, Vardas P, Agewall S, Camm J, Baron
Esquivias G, Budts W, Carerj S, Casselman F, Coca A, De Caterina R, Deftereos S, Dobrev D, Ferro JM, Filippatos G,
105
Fitzsimons D, Gorenek B, Guenoun M, Hohnloser SH, Kolh P, Lip GY, Manolis A, McMurray J, Ponikowski P, Rosenhek
R, Ruschitzka F, Savelieva I, Sharma S, Suwalski P, Tamargo JL, Taylor CJ, Van Gelder IC, Voors AA, Windecker S,
Zamorano JL, Zeppenfeld K. 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation developed in collaboration
with EACTS. Europace 2016;18(11):1609- 1678. ​https://doi.org/10.1093/europace/euw295
182. Brugada J, Katritsis DG, Arbelo E, Arribas F, Bax JJ, Blomstrom-Lundqvist C, Calkins H, Corrado D, Deftereos SG, Diller
GP, Gomez-Doblas JJ, Gorenek B, Grace A, Ho SY, Kaski JC, Kuck KH, Lambiase PD, Sacher F, Sarquella-Brugada G,
Suwalski P, Zaza A, Group ESCSD. 2019 ESC Guidelines for the management of patients with supraventricular
tachycardiaThe Task Force for the management of patients with supraventricular tachycardia of the European Society
of Cardiology (ESC). Eur Heart J 2020;41(5):655- 720. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehz467
183. Priori SG, Blomstrom-Lundqvist C, Mazzanti A, Blom N, Borggrefe M, Camm J, Elliott PM, Fitzsimons D, Hatala R,
Hindricks G, Kirchhof P, Kjeldsen K, Kuck KH, Hernandez- Madrid A, Nikolaou N, Norekval TM, Spaulding C, Van
Veldhuisen DJ, Group ESCSD. 2015 ESC Guidelines for the management of patients with ventricular arrhythmias and
the prevention of sudden cardiac death: The Task Force for the Management of Patients with Ventricular
Arrhythmias and the Prevention of Sudden Cardiac Death of the European Society of Cardiology (ESC). Endorsed by:
Association for European Paediatric and Congenital Cardiology (AEPC). Eur Heart J 2015;36(41):2793-2867.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehv316
184. Monsieurs KG, Nolan JP, Bossaert LL, Greif R, Maconochie IK, Nikolaou NI, Perkins GD, Soar J, Truhlar A, Wyllie J,
Zideman DA, Group ERCGW. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015: Section 1. Executive
summary. Resuscitation 2015;95:1-80. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2015.07.038
185. Priori SG, Wilde AA, Horie M, Cho Y, Behr ER, Berul C, Blom N, Brugada J, Chiang CE, Huikuri H, Kannankeril P, Krahn
A, Leenhardt A, Moss A, Schwartz PJ, Shimizu W, Tomaselli G, Tracy C, Document R, Ackerman M, Belhassen B, Estes
NA, 3rd, Fatkin D, Kalman J, Kaufman E, Kirchhof P, Schulze-Bahr E, Wolpert C, Vohra J, Refaat M, Etheridge SP,
Campbell RM, Martin ET, Quek SC, Heart Rhythm S, European Heart Rhythm A, Asia Pacific Heart Rhythm S. Executive
summary: HRS/EHRA/APHRS expert consensus statement on the diagnosis and management of patients with
inherited primary arrhythmia syndromes. Europace 2013;15(10):1389- 406.
https://doi.org/10.1093/europace/eut272
186. European Society of Cardiology, European Heart Rhythm A, Brignole M, Auricchio A, Baron-Esquivias G, Bordachar P,
Boriani G, Breithardt OA, Cleland J, Deharo JC, Delgado V, Elliott PM, Gorenek B, Israel CW, Leclercq C, Linde C, Mont
L, Padeletti L, Sutton R, Vardas PE. 2013 ESC guidelines on cardiac pacing and cardiac resynchronization therapy: the
task force on cardiac pacing and resynchronization therapy of the European Society of Cardiology (ESC). Developed in
collaboration with the European Heart Rhythm Association (EHRA). Europace 2013;15(8):1070- 118.
https://doi.org/10.1093/europace/eut206
187. Boriani G, Fauchier L, Aguinaga L, Beattie JM, Blomstrom Lundqvist C, Cohen A, Dan GA, Genovesi S, Israel C, Joung B,
Kalarus Z, Lampert R, Malavasi VL, Mansourati J, Mont L, Potpara T, Thornton A, Lip GYH, Group ESCSD. European
Heart Rhythm Association (EHRA) consensus document on management of arrhythmias and cardiac electronic
devices in the critically ill and post-surgery patient, endorsed by Heart Rhythm Society (HRS), Asia Pacific Heart
Rhythm Society (APHRS), Cardiac Arrhythmia Society of Southern Africa (CASSA), and Latin American Heart Rhythm
Society (LAHRS). Europace 2019;21(1):7-8. https://doi.org/10.1093/europace/euy110
188. Ambrus DB, Benjamin EJ, Bajwa EK, Hibbert KA, Walkey AJ. Risk factors and outcomes associated with new-onset
atrial fibrillation during acute respiratory distress syndrome. J Crit Care 2015;30(5):994-7.
https://doi.org/10.1016/j.jcrc.2015.06.003
189. Klein Klouwenberg PM, Frencken JF, Kuipers S, Ong DS, Peelen LM, van Vught LA, Schultz MJ, van der Poll T, Bonten
MJ, Cremer OL, * MC. Incidence, Predictors, and Outcomes of New-Onset Atrial Fibrillation in Critically Ill Patients
with Sepsis. A Cohort Study. Am J Respir Crit Care Med 2017;195(2):205- 211.
https://doi.org/10.1164/rccm.201603-0618OC
190. Walkey AJ, Hammill BG, Curtis LH, Benjamin EJ. Long-term outcomes following development of new-onset atrial
fibrillation during sepsis. Chest 2014;146(5):1187- 1195. https://doi.org/10.1378/chest.14-0003
191. Madjid M, Connolly AT, Nabutovsky Y, Safavi-Naeini P, Razavi M, Miller CC. Effect of High Influenza Activity on Risk of
Ventricular Arrhythmias Requiring Therapy in Patients With Implantable Cardiac Defibrillators and Cardiac
Resynchronization Therapy Defibrillators. Am J Cardiol 2019;124(1):44-50.
https://doi.org/10.1016/j.amjcard.2019.04.011
192. Wu C-I, Postema PG, Arbelo E, Behr ER, Bezzina CR, Napolitano C, Robyns T, Probst V, Schulze-Bahr E, Remme CA,
Wilde AAM. SARS-CoV-2, COVID-19 and inherited arrhythmia syndromes. Heart Rhythm.
https://doi.org/10.1016/j.hrthm.2020.03.024
193. Chang D, Saleh M, Garcia-Bengo Y, Choi E, Epstein L, Willner J. COVID-19 Infection Unmasking Brugada Syndrome.
HeartRhythm Case Reports. https://doi.org/10.1016/j.hrcr.2020.03.012
194. Alexander LK, Keene BW, Yount BL, Geratz JD, Small JD, Baric RS. ECG changes after rabbit coronavirus infection. J
Electrocardiol 1999;32(1):21- 32. https://doi.org/10.1016/s0022-0736(99)90018-3
195. Wang M, Cao R, Zhang L, Yang X, Liu J, Xu M, Shi Z, Hu Z, Zhong W, Xiao G. Remdesivir and chloroquine effectively
inhibit the recently emerged novel coronavirus (2019- nCoV) in vitro. Cell Research 2020;30(3):269-271.
https://doi.org/10.1038/s41422- 020-0282-0
196. Yao X, Ye F, Zhang M, Cui C, Huang B, Niu P, Liu X, Zhao L, Dong E, Song C, Zhan S, Lu R, Li H, Tan W, Liu D. In Vitro
Antiviral Activity and Projection of Optimized Dosing Design of Hydroxychloroquine for the Treatment of Severe
106
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Clinical Infectious Diseases 2020.
https://doi.org/10.1093/cid/ciaa237
197. Gautret P, Lagier J-C, Parola P, Hoang VT, Meddeb L, Mailhe M, Doudier B, Courjon J, Giordanengo V, Vieira VE,
Dupont HT, Honoré S, Colson P, Chabrière E, La Scola B, Rolain J-M, Brouqui P, Raoult D. Hydroxychloroquine and
azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open-label non-randomized clinical trial. International Journal
of Antimicrobial Agents
2020:105949. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105949
198. Colson P, Rolain J-M, Lagier J-C, Brouqui P, Raoult D. Chloroquine and hydroxychloroquine as available weapons to
fight COVID-19. International Journal of Antimicrobial Agents 2020:105932.
https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105932
199. Smith T, Bushek J, Prosser T. COVID-19 Drug Therapy – Potential Options. (March 26, 2020; date last accessed).
https://www.elsevier.com/connect/coronavirus- information-center
200. Gautret P, Lagier JC, Parola P, Hoang VT, Meddeb L, Mailhe M, Doudier B, Courjon J, Giordanengo V, Vieira VE,
Dupont HT, Honore S, Colson P, Chabriere E, La Scola B, Rolain JM, Brouqui P, Raoult D. Hydroxychloroquine and
azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open-label non-randomized clinical trial. Int J Antimicrob
Agents 2020:105949. https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105949
201. Haeusler IL, Chan XHS, Guérin PJ, White NJ. The arrhythmogenic cardiotoxicity of the quinoline and structurally
related antimalarial drugs: a systematic review. BMC Medicine 2018;16(1):200.
https://doi.org/10.1186/s12916-018-1188-2
202. de Wilde AH, Jochmans D, Posthuma CC, Zevenhoven-Dobbe JC, van Nieuwkoop S, Bestebroer TM, van den Hoogen
BG, Neyts J, Snijder EJ. Screening of an FDA-Approved Compound Library Identifies Four Small-Molecule Inhibitors of
Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus Replication in Cell Culture. Antimicrobial Agents and Chemotherapy
2014;58(8):4875-4884. https://doi.org/10.1128/aac.03011-14
203. Chan JF-W, Yao Y, Yeung M-L, Deng W, Bao L, Jia L, Li F, Xiao C, Gao H, Yu P, Cai J-P, Chu H, Zhou J, Chen H, Qin C,
Yuen K-Y. Treatment With Lopinavir/Ritonavir or Interferon-β1b Improves Outcome of MERS-CoV Infection in a
Nonhuman Primate Model of Common Marmoset. The Journal of Infectious Diseases 2015;212(12):1904- 1913.
https://doi.org/10.1093/infdis/jiv392
204. Arabi YM, Alothman A, Balkhy HH, Al-Dawood A, AlJohani S, Al Harbi S, Kojan S, Al Jeraisy M, Deeb AM, Assiri AM,
Al-Hameed F, AlSaedi A, Mandourah Y, Almekhlafi GA, Sherbeeni NM, Elzein FE, Memon J, Taha Y, Almotairi A,
Maghrabi KA, Qushmaq I, Al Bshabshe A, Kharaba A, Shalhoub S, Jose J, Fowler RA, Hayden FG, Hussein MA, Arabi
YM, Alothman A, Balkhy HH, Al-Dawood A, AlJohani S, Al Harbi S, Kojan S, Al Jeraisy M, Deeb AM, Jose J, Hussein MA,
Al Muhaidib M, Sadat M, Al Anizi H, Dael R, Assiri AM, AlMazroa M, Asiri A, Memish ZA, Ghazal SS, Alfaraj SH,
Bafaqeeh F, Al Harthy A, Al Sulaiman M, Mady A, Mandourah Y, AlMekhlafi GA, Sherbeeni NM, Elzein FE, Muhammed
R, Al Samirrai S, Awad S, Cabal RC, Malibary AA, Al Onazi B, Aljuhani M, Vince M, Almotairi A, Al Enani M, Alqurashi A,
Alenezi F, Alkhani N, Maghrabi KA, Al- Hameed F, AlSaedi A, Thaqafi A, Al Oraabi O, Rifai J, Elsamadisi P, Hendy MS,
Basher SA, Abduldhaher M, Bajhamoum W, Qushmaq I, Shalhoub S, Taha Y, Memon J, Bashir S, Al- Dossary I, Al
Mekhloof S, Al-Muhainy B, Suliman S, Alshahrani MS, Al Bshabshe A, Kharaba A, Al Jabri A, Farid M, Alaidarous A,
Alseraihi W, Shahada H, Shimi J, Riaz S, Alharthi B, Yasin O, Khathlan M, Fowler RA, Hayden FG, And the Mtg.
Treatment of Middle East Respiratory Syndrome with a combination of lopinavir-ritonavir and interferon-β1b
(MIRACLE trial): study protocol for a randomized controlled trial. Trials 2018;19(1):81.
https://doi.org/10.1186/s13063-017-2427-0
205. Park SY, Lee JS, Son JS, Ko JH, Peck KR, Jung Y, Woo HJ, Joo YS, Eom JS, Shi H. Post- exposure prophylaxis for Middle
East respiratory syndrome in healthcare workers. Journal of Hospital Infection 2019;101(1):42- 46.
https://doi.org/10.1016/j.jhin.2018.09.005
206. Cao B, Wang Y, Wen D, Liu W, Wang J, Fan G, Ruan L, Song B, Cai Y, Wei M, Li X, Xia J, Chen N, Xiang J, Yu T, Bai T, Xie
X, Zhang L, Li C, Yuan Y, Chen H, Li H, Huang H, Tu S, Gong F, Liu Y, Wei Y, Dong C, Zhou F, Gu X, Xu J, Liu Z, Zhang Y, Li
H, Shang L, Wang K, Li K, Zhou X, Dong X, Qu Z, Lu S, Hu X, Ruan S, Luo S, Wu J, Peng L, Cheng F, Pan L, Zou J, Jia C,
Wang J, Liu X, Wang S, Wu X, Ge Q, He J, Zhan H, Qiu F, Guo L, Huang C, Jaki T, Hayden FG, Horby PW, Zhang D, Wang
C. A Trial of Lopinavir–Ritonavir in Adults Hospitalized with Severe Covid-19. New England Journal of Medicine 2020.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001282
207. Sheahan TP, Sims AC, Graham RL, Menachery VD, Gralinski LE, Case JB, Leist SR, Pyrc K, Feng JY, Trantcheva I,
Bannister R, Park Y, Babusis D, Clarke MO, Mackman RL, Spahn JE, Palmiotti CA, Siegel D, Ray AS, Cihlar T, Jordan R,
Denison MR, Baric RS. Broad- spectrum antiviral GS-5734 inhibits both epidemic and zoonotic coronaviruses. Science
Translational Medicine
2017;9(396):eaal3653. https://doi.org/10.1126/scitranslmed.aal3653
208. de Wit E, Feldmann F, Cronin J, Jordan R, Okumura A, Thomas T, Scott D, Cihlar T, Feldmann H. Prophylactic and
therapeutic remdesivir (GS-5734) treatment in the rhesus macaque model of MERS-CoV infection. Proceedings of the
National Academy of Sciences 2020;117(12):6771-6776. https://doi.org/10.1073/pnas.1922083117
209. Sheahan TP, Sims AC, Leist SR, Schäfer A, Won J, Brown AJ, Montgomery SA, Hogg A, Babusis D, Clarke MO, Spahn JE,
Bauer L, Sellers S, Porter D, Feng JY, Cihlar T, Jordan R, Denison MR, Baric RS. Comparative therapeutic efficacy of
remdesivir and combination lopinavir, ritonavir, and interferon beta against MERS-CoV. Nature Communications
2020;11(1):222. https://doi.org/10.1038/s41467-019-13940-6
107
210. Howard PA. Azithromycin-Induced Proarrhythmia and Cardiovascular Death. Annals of Pharmacotherapy
2013;47(11):1547-1551. https://doi.org/10.1177/1060028013504905
211. Poluzzi E, Raschi E, Motola D, Moretti U, De Ponti F. Antimicrobials and the Risk of Torsades de Pointes. Drug Safety
2010;33(4):303- 314. https://doi.org/10.2165/11531850-000000000-00000
212. Sagara I, Oduro AR, Mulenga M, Dieng Y, Ogutu B, Tiono AB, Mugyenyi P, Sie A, Wasunna M, Kain KC, Djimdé AA,
Sarkar S, Chandra R, Robbins J, Dunne MW. Efficacy and safety of a combination of azithromycin and chloroquine for
the treatment of uncomplicated Plasmodium falciparum malaria in two multi-country randomised clinical trials in
African adults. Malaria Journal 2014;13(1):458. https://doi.org/10.1186/1475-2875-13-458
213. Kimani J, Phiri K, Kamiza S, Duparc S, Ayoub A, Rojo R, Robbins J, Orrico R, Vandenbroucke P. Efficacy and Safety of
Azithromycin-Chloroquine versus Sulfadoxine- Pyrimethamine for Intermittent Preventive Treatment of Plasmodium
falciparum Malaria Infection in Pregnant Women in Africa: An Open-Label, Randomized Trial. PLOS ONE
2016;11(6):e0157045. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0157045
214. Vicente J, Zusterzeel R, Johannesen L, Ochoa-Jimenez R, Mason JW, Sanabria C, Kemp S, Sager PT, Patel V, Matta MK,
Liu J, Florian J, Garnett C, Stockbridge N, Strauss DG. Assessment of Multi-Ion Channel Block in a Phase I Randomized
Study Design: Results of the CiPA Phase I ECG Biomarker Validation Study. Clin Pharmacol Ther 2019;105(4):943-953.
https://doi.org/10.1002/cpt.1303
215. Mzayek F, Deng H, Mather FJ, Wasilevich EC, Liu H, Hadi CM, Chansolme DH, Murphy HA, Melek BH, Tenaglia AN,
Mushatt DM, Dreisbach AW, Lertora JJ, Krogstad DJ. Randomized dose-ranging controlled trial of AQ-13, a candidate
antimalarial, and chloroquine in healthy volunteers. PLoS Clin Trials 2007;2(1):e6.
https://doi.org/10.1371/journal.pctr.0020006
216. Wozniacka A, Cygankiewicz I, Chudzik M, Sysa-Jedrzejowska A, Wranicz JK. The cardiac safety of chloroquine
phosphate treatment in patients with systemic lupus erythematosus: the influence on arrhythmia, heart rate
variability and repolarization parameters. Lupus 2006;15(8):521-5. https://doi.org/10.1191/0961203306lu2345oa
217. Teixeira RA, Martinelli Filho M, Benvenuti LA, Costa R, Pedrosa AA, Nishioka SA. Cardiac damage from chronic use of
chloroquine: a case report and review of the literature. Arq Bras Cardiol 2002;79(1):85-8.
https://doi.org/10.1590/s0066- 782x2002001000009
218. Lee JH, Chung WB, Kang JH, Kim HW, Kim JJ, Kim JH, Hwang HJ, Lee JB, Chung JW, Kim HL, Choi YS, Park CS, Youn HJ,
Lee MY. A case of chloroquine-induced cardiomyopathy that presented as sick sinus syndrome. Korean Circ J
2010;40(11):604-8. https://doi.org/10.4070/kcj.2010.40.11.604
219. McGhie TK, Harvey P, Su J, Anderson N, Tomlinson G, Touma Z. Electrocardiogram abnormalities related to
anti-malarials in systemic lupus erythematosus. Clin Exp Rheumatol 2018;36(4):545-551.
220. Teixeira RA, Borba EF, Pedrosa A, Nishioka S, Viana VS, Ramires JA, Kalil-Filho R, Bonfa E, Martinelli Filho M. Evidence
for cardiac safety and antiarrhythmic potential of chloroquine in systemic lupus erythematosus. Europace
2014;16(6):887- 92. https://doi.org/10.1093/europace/eut290
221. Yogasundaram H, Putko BN, Tien J, Paterson DI, Cujec B, Ringrose J, Oudit GY. Hydroxychloroquine-induced
cardiomyopathy: case report, pathophysiology, diagnosis, and treatment. Can J Cardiol 2014;30(12):1706-15.
https://doi.org/10.1016/j.cjca.2014.08.016
222. Capel RA, Herring N, Kalla M, Yavari A, Mirams GR, Douglas G, Bub G, Channon K, Paterson DJ, Terrar DA, Burton RA.
Hydroxychloroquine reduces heart rate by modulating the hyperpolarization-activated current If: Novel
electrophysiological insights and therapeutic potential. Heart Rhythm 2015;12(10):2186- 94.
https://doi.org/10.1016/j.hrthm.2015.05.027
223. Mollerach FB, Scolnik M, Catoggio LJ, Rosa J, Soriano ER. Causes of fetal third-degree atrioventricular block and use
of hydroxychloroquine in pregnant women with Ro/La antibodies. Clin Rheumatol 2019;38(8):2211-2217.
https://doi.org/10.1007/s10067- 019-04556-8
224. Zhang M, Xie M, Li S, Gao Y, Xue S, Huang H, Chen K, Liu F, Chen L. Electrophysiologic Studies on the Risks and
Potential Mechanism Underlying the Proarrhythmic Nature of Azithromycin. Cardiovasc Toxicol 2017;17(4):434- 440.
https://doi.org/10.1007/s12012-017-9401-7
225. Choi Y, Lim HS, Chung D, Choi JG, Yoon D. Risk Evaluation of Azithromycin-Induced QT Prolongation in Real-World
Practice. Biomed Res Int 2018;2018:1574806. https://doi.org/10.1155/2018/1574806
226. U.S. Food and Drug Administration. ZITHROMAX (azithromycin) for IV infusion only. Highlights of prescribing
information. Reference ID: 4051690 https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2017/050693s27-
050730s35lbl.pdf
227. Ray WA, Murray KT, Hall K, Arbogast PG, Stein CM. Azithromycin and the risk of cardiovascular death. N Engl J Med
2012;366(20):1881- 90. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1003833
228. Poluzzi E, Raschi E, Motola D, Moretti U, De Ponti F. Antimicrobials and the risk of torsades de pointes: the
contribution from data mining of the US FDA Adverse Event Reporting System. Drug Saf 2010;33(4):303-14.
https://doi.org/10.2165/11531850- 000000000-00000
229. Cheng YJ, Nie XY, Chen XM, Lin XX, Tang K, Zeng WT, Mei WY, Liu LJ, Long M, Yao FJ, Liu J, Liao XX, Du ZM, Dong YG,
Ma H, Xiao HP, Wu SH. The Role of Macrolide Antibiotics in Increasing Cardiovascular Risk. J Am Coll Cardiol
2015;66(20):2173- 2184. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2015.09.029
230. Maisch NM, Kochupurackal JG, Sin J. Azithromycin and the risk of cardiovascular complications. J Pharm Pract
2014;27(5):496-500. https://doi.org/10.1177/0897190013516503
108
231. Lu ZK, Yuan J, Li M, Sutton SS, Rao GA, Jacob S, Bennett CL. Cardiac risks associated with antibiotics: azithromycin and
levofloxacin. Expert Opin Drug Saf 2015;14(2):295- 303. https://doi.org/10.1517/14740338.2015.989210
232. Rao GA, Mann JR, Shoaibi A, Bennett CL, Nahhas G, Sutton SS, Jacob S, Strayer SM. Azithromycin and levofloxacin use
and increased risk of cardiac arrhythmia and death. Ann Fam Med 2014;12(2):121-7.
https://doi.org/10.1370/afm.1601
233. Rathbun CR, Liedtke MD, Blevins SM, Harrison D, Lockhart SM, Salvaggio M, Acosta EP. Electrocardiogram
abnormalities with atazanavir and lopinavir/ritonavir. HIV Clin Trials 2009;10(5):328-36.
https://doi.org/10.1310/hct1005-328
234. Grange S, Schmitt C, Banken L, Kuhn B, Zhang X. Thorough QT/QTc study of tocilizumab after single-dose
administration at therapeutic and supratherapeutic doses in healthy subjects. Int J Clin Pharmacol Ther
2011;49(11):648-55. https://doi.org/10.5414/cp201549
235. Akbulak RO, Rosenkranz SC, Schaeffer BN, Pinnschmidt HO, Willems S, Heesen C, Hoffmann BA. Acute and long-term
effects of fingolimod on heart rhythm and heart rate variability in patients with multiple sclerosis. Mult Scler Relat
Disord 2018;19:44-49. https://doi.org/10.1016/j.msard.2017.10.020
236. Gold R, Comi G, Palace J, Siever A, Gottschalk R, Bijarnia M, von Rosenstiel P, Tomic D, Kappos L, Investigators FS.
Assessment of cardiac safety during fingolimod treatment initiation in a real-world relapsing multiple sclerosis
population: a phase 3b, open-label study. J Neurol 2014;261(2):267-76. https://doi.org/10.1007/s00415-013-7115-8
237. Limmroth V, Ziemssen T, Lang M, Richter S, Wagner B, Haas J, Schmidt S, Gerbershagen K, Lassek C, Klotz L, Hoffmann
O, Albert C, Schuh K, Baier-Ebert M, Wendt G, Schieb H, Hoyer S, Dechend R, Haverkamp W. Electrocardiographic
assessments and cardiac events after fingolimod first dose - a comprehensive monitoring study. BMC Neurol
2017;17(1):11. https://doi.org/10.1186/s12883-016-0789-7
238. Brown B, Weiss JL, Kolodny S, Meng X, Williams IM, Osborne JA. Analysis of cardiac monitoring and safety data in
patients initiating fingolimod treatment in the home or in clinic. BMC Neurol 2019;19(1):287.
https://doi.org/10.1186/s12883-019-1506-0
239. Jacobs M, Rodger A, Bell DJ, Bhagani S, Cropley I, Filipe A, Gifford RJ, Hopkins S, Hughes J, Jabeen F, Johannessen I,
Karageorgopoulos D, Lackenby A, Lester R, Liu RS, MacConnachie A, Mahungu T, Martin D, Marshall N, Mepham S,
Orton R, Palmarini M, Patel M, Perry C, Peters SE, Porter D, Ritchie D, Ritchie ND, Seaton RA, Sreenu VB, Templeton K,
Warren S, Wilkie GS, Zambon M, Gopal R, Thomson EC. Late Ebola virus relapse causing meningoencephalitis: a case
report. Lancet 2016;388(10043):498-503. ​https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)30386-5
240. Sodero A, Squitieri M, Mazzeo S, Pasca M, Mata S, Pieri F, Bessi V, Sorbi S. Acute Symptomatic Sinus Bradycardia in
High-Dose Methylprednisolone Therapy in a Woman With Inflammatory Myelitis: A Case Report and Review of the
Literature. Clin Med Insights Case Rep
2019;12:1179547619831026. https://doi.org/10.1177/1179547619831026
241. Vasheghani-Farahani A, Sahraian MA, Darabi L, Aghsaie A, Minagar A. Incidence of various cardiac arrhythmias and
conduction disturbances due to high dose intravenous methylprednisolone in patients with multiple sclerosis. J
Neurol Sci 2011;309(1-2):75- 8. https://doi.org/10.1016/j.jns.2011.07.018
242. Giudicessin JR, Noseworthy PA, Friedman PA, Ackerman MJ. Urgent guidance for navigating and circumventing the
QTc prolonging and torsadogenic potential of possible pharmacotherapies for COVID-19. Mayo Clin Proc
2020;[published online ahead of print March 25, 2020]. https://doi.org/10.1016/j.mayocp.2020.03.024.
243. Yang T, Roden DM. Extracellular potassium modulation of drug block of IKr. Implications for torsade de pointes and
reverse use-dependence. Circulation 1996;93(3):407-11. https://doi.org/10.1161/01.cir.93.3.407
244. Garabelli P, Stavrakis S, Albert M, Koomson E, Parwani P, Chohan J, Smith L, Albert D, Xie R, Xie Q, Reynolds D, Po S.
Comparison of QT Interval Readings in Normal Sinus Rhythm Between a Smartphone Heart Monitor and a 12-Lead
ECG for Healthy Volunteers and Inpatients Receiving Sotalol or Dofetilide. J Cardiovasc Electrophysiol
2016;27(7):827-32. https://doi.org/10.1111/jce.12976
245. Steffel J, Verhamme P, Potpara TS, Albaladejo P, Antz M, Desteghe L, Haeusler KG, Oldgren J, Reinecke H,
Roldan-Schilling V, Rowell N, Sinnaeve P, Collins R, Camm AJ, Heidbuchel H, Group ESCSD. The 2018 European Heart
Rhythm Association Practical Guide on the use of non-vitamin K antagonist oral anticoagulants in patients with atrial
fibrillation. Eur Heart J 2018;39(16):1330-
246. 1393. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy136
Duchin K, Duggal A, Atiee GJ, Kidokoro M, Takatani T, Shipitofsky NL, He L, Zhang G,
247. Kakkar T. An Open-Label Crossover Study of the Pharmacokinetics of the 60-mg Edoxaban Tablet Crushed and
Administered Either by a Nasogastric Tube or in Apple Puree in Healthy Adults. Clin Pharmacokinet
2018;57(2):221-228. https://doi.org/10.1007/s40262-017-0554-0
248. Moore KT, Krook MA, Vaidyanathan S, Sarich TC, Damaraju CV, Fields LE. Rivaroxaban crushed tablet suspension
characteristics and relative bioavailability in healthy adults when administered orally or via nasogastric tube. Clin
Pharmacol Drug Dev 2014;3(4):321-7. https://doi.org/10.1002/cpdd.123
249. Song Y, Chang M, Suzuki A, Frost RJ, Kelly A, LaCreta F, Frost C. Evaluation of Crushed Tablet for Oral Administration
and the Effect of Food on Apixaban Pharmacokinetics in Healthy Adults. Clin Ther 2016;38(7):1674-1685e1.
https://doi.org/10.1016/j.clinthera.2016.05.004
250. Song Y, Wang X, Perlstein I, Wang J, Badawy S, Frost C, LaCreta F. Relative Bioavailability of Apixaban Solution or
Crushed Tablet Formulations Administered by Mouth or Nasogastric Tube in Healthy Subjects. Clin Ther
2015;37(8):1703-12. https://doi.org/10.1016/j.clinthera.2015.05.497
109
251. Medscape. Drug interaction checker. https://reference.medscape.com/drug- interactionchecker University of
Liverpool. COVID-19 Drug Interactions - Prescribing resources. (March 20, 2020; date last accessed).
https://www.covid19-druginteractions.org/
252. Faragon JJ, Budak JZ. National HIV curriculum. Section 3. Antiretroviral therapy/Topic 3. Drug Interactions with
Antiretroviral Medications. (February 7, 2020; date last accessed).
https://www.hiv.uw.edu/go/antiretroviral-therapy/drug-drug- interactions/core-concept/all
253. Lipsitch M, Swerdlow DL, Finelli L. Defining the Epidemiology of Covid-19 - Studies Needed. N Engl J Med
2020;382(13):1194- 1196. https://doi.org/10.1056/NEJMp2002125
254. Emanuel EJ, Persad G, Upshur R, Thome B, Parker M, Glickman A, Zhang C, Boyle C, Smith M, Phillips JP. Fair
Allocation of Scarce Medical Resources in the Time of Covid- 19. N Engl J Med 2020.
https://doi.org/10.1056/NEJMsb2005114
255. Piepoli MF, Hoes AW, Agewall S, Albus C, Brotons C, Catapano AL, Cooney MT, Corra U, Cosyns B, Deaton C, Graham I,
Hall MS, Hobbs FDR, Lochen ML, Lollgen H, Marques- Vidal P, Perk J, Prescott E, Redon J, Richter DJ, Sattar N,
Smulders Y, Tiberi M, van der Worp HB, van Dis I, Verschuren WMM, Binno S, Group ESCSD. 2016 European
Guidelines on cardiovascular disease prevention in clinical practice: The Sixth Joint Task Force of the European
Society of Cardiology and Other Societies on Cardiovascular Disease Prevention in Clinical Practice (constituted by
representatives of 10 societies and by invited experts)Developed with the special contribution of the European
Association for Cardiovascular Prevention & Rehabilitation (EACPR). Eur Heart J 2016;37(29):2315-2381.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehw106
110

Anda mungkin juga menyukai