DISPEPSIA FUNGSIONAL
Oleh :
Preseptor :
dr. Ida Rahmah Burhan, MARS
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan
berjudul “Dispepsia Fungsional.” CRS ini disusun untuk memenuhi salah satu
Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Ida Rahmah Burhan, MARS selaku
pembimbing yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan semua pihak yang
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata,
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1 Pendahuluan 4
BAB 2 Tinjauan Pustaka 6
2.1 Definisi 6
2.2 Klasifikasi 6
2.3 Epidemiologi 6
2.4 Patofisiologi 8
2.5 Diagnosis 18
2.6 Tatalaksana 21
2.7 Prognosis 24
BAB 3 Laporan Kasus 26
3.1 Identitas 26
3.2 Anamnesis 26
3.3 Pemeriksaan Fisik 27
3.4 Diagnosis Kerja 29
3.5 Diagnosis Banding 29
3.6 Penatalaksanaan 29
BAB 4 Diskusi 30
Daftar Pustaka 32
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
1.4 Metode Penulisan
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
Dispepsia dialami oleh sekitar 25% individu dalam suatu populasi setiap
tahunnya. Sekitar 25% pasien dengan dispepsia memiliki penyebab pasti yang
mendasarinya (organik), sedangkan hingga 75% lainnya menderita dispepsia
fungsional. Prevalensi dispepsia fungsional di seluruh dunia berada dalam rentang 5 –
11%.5 Penelitian yang mencatat prevalensi dispepsia yang tidak terinvestigasi
(uninvestigated dyspepsia [UD]) cenderung bervariasi, yakni antara 7 – 34,2%, di mana
prevalensi terendah ditemukan di Singapura (7 – 8%) dan tertinggi di India serta
Selandia Baru (34,2%).6 Insidensi dispepsia setiap tahunnya diperkirakan 9 – 10%, di
mana pada 15% pasien penyakit berlangsung kronik (>3 bulan dalam setahun), sering
(>3 episod per minggu), dan seringkali memiliki tingkat keparahan yang tinggi. Di
dunia barat, prevalensi dispepsia mencapai hingga 20 – 25%. 6 Sedangkan di Indonesia,
diperkirakan ada sekitar 15 – 40% individu dalam suatu populasi yang mengalami
dispepsia.7
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab, dispepsia umumnya terbagi menjadi organik dan
fungsional.
1. Dispepsia fungsional atau non-ulkus
Dispepsia fungsional adalah setiap gejala saluran cerna bagian atas yang tidak
jelas penyebab pastinya. Dispepsia jenis ini mencakup hingga 50 – 60% pasien
dengan dispepsia.8
6
Faktor risiko dispepsia fungsional antara lain yaitu predisposisi genetik, infeksi
bakteri Helicobacter pylori atau organisme lainnya, inflamasi, dan faktor psikososial. 9
Tidak ada kelainan organik yang ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan.10
Berdasarkan kriteria Roma IV tahun 2016, pasien dikatakan menderita dispepsia
fungsional apabila mengalami salah satu atau lebih gejala dari sindrom nyeri
epigastrik (epigastric pain syndrome [EPS]; nyeri atau rasa terbakar yang predominan
pada epigastrik, serta keram perut) dan sindrom kesulitan postprandial (post-prandial
distress syndrome [PDS]; rasa begah, mudah kenyang, mual, dorongan untuk muntah,
muntah, dan penurunan nafsu makan) (Gambar 3.1). Gejala – gejala ini harus cukup
berat hingga dapat mengganggu aktifitas rutin dan terjadi sebanyak minimal 3 hari
dalam seminggu selama 3 bulan terakhir dengan onset minimal 6 bulan sebelumnya.11
2. Dispepsia organik
Mencakup semua gejala saluran cerna bagian atas yang diketahui memiliki
penyebab pasti, termasuk ulkus peptikum, gastritis erosif, esofagitis erosif, gastritis,
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease [GERD]), kanker
gaster atau esofagus, gangguan pancreas atau empedu, intoleransi makanan, dan
penyakit infeksius atau sistemik lainnya. Bukti yang menunjukkan adanya penyakit
organik dapat diketahui dengan melakukan endoskopi pada saluran cerna bagian atas
dan biopsi gaster, atau tes pencitraan dengan barium. Dispepsia organik dicurigai
dengan adanya tanda dan gejala bahaya (seperti penurunan berat badan, perdarahan
atau tes darah samar positif, dan penurunan nafsu makan) atau gejala yang muncul di
malam hari.9,10 Selain organik dan fungsional, dispepsia sendiri juga dapat disebabkan
7
oleh obat – obatan tertentu, seperti OAINS, bisfosfonat (alendronat), steroid, dan
lainnya. Penyakit ekstraintestinal seperti hipotiroid, hiperparatiroid, dan uremia juga
bisa menyebabkan dispepsia.9
2.4. Patofisiologi
a. Dispepsia fungsional
8
1. Terlambatnya pengosongan lambung
3. Hipersensitivitas gaster
Ditunjukkan dengan lebih seringnya perasaan kenyang yang lebih awal, mual,
dan penurunan berat badan.3 Risiko terjadinya dispepsia fungsional meningkat sebanyak
2,5 kali setelah gastroenteritis akut yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, maupun
virus. Pada sebuah studi prospektif infeksi Salmonella enteritis melalui makanan,
ditemukan risiko relatif sebesar 5,2 untuk individu dengan nyeri abdomen dan muntah.
Infeksi Giardia lamblia menyebabkan hipersensitivitas viseral dan terlambatnya
pengosongan lambung.3 Berbagai penelitian menemukan adanya peningkatan CCK di
mukosa duodenum pada pasien yang telah terkena infeksi oleh G. lamblia.17
10
7. Inflamasi dan aktivasi imun
Pada individu dengan dispepsia fungsional post infeksi, lebih sering ditemukan
agregat sel T dan CD8+ dalam duodenum disertai pengosongan lambung yang lebih
terlambat dibandingkan dengan individu tanpa infeksi. Jumlah CD4+ menurun,
sedangkan jumlah makrofag meningkat. Walaupun jumlah sel mast meningkat pada
semua penderita dispepsia fungsional, jumlah sel enterokromafin lebih tinggi secara
signifikan pada dispepsia fungsional post infeksi. Peningkatan ekspresi histamin,
serotonin, dan triptase pada biopsi mukosa lambung juga ditemukan pada dispepsia
fungsional. Aktivasi imun sistemik terbukti melalui peningkatan level sel mononuklear
di darah perifer, tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1β dan -10, dan sel T
usus.3
8. Eosinofilia duodenum
11
Gambar 3.3. Peningkatan eosinofil dalam duodenum pada pasien dengan
dispepsia fungsional (pewarnaan hematoksilin dan eosin, x 40).
9. Faktor psikososial
12
mengenai pencitraan otak menunjukkan adanya bukti bahwa otak mengintegrasikan
sinyal homeostatik dari saluran gastrointestinal dengan emosi dan sirkuit kognisi
(contohnya pada tingkat insula dan korteks cingulata dorsal anterior (dorsal anterior
cingulate cortex [dACC]).18
13
termasuk cytotoxin-associated gene A (CagA) dan vacuolating cytotoxin A (VacA),
hingga menimbulkan kerusakan jaringan host. Selain itu, lapisan epitel gaster (yang
berperan sebagai pembatas antara H. pylori dengan host) mensekresikan kemokin untuk
melangsungkan imunitas bawaan (innate immunity) dan mengaktifasi neutrofil, hingga
kemudian berlanjut pada terbentuknya gastritis dan ulkus yang tampak secara klinis.20
Sehingga, ada empat langkah – langkah penting yang sangat krusial untuk
terjadinya kolonisasi H. pylori dan patogenesis (Gambar 3.4):
1) Bertahan hidup dalam kondisi asam di gaster.
2) Pergerakan menuju sel – sel epitel yang dimediase oleh motilitas flagela.
3) Penempelan pada reseptor host melalui molekul adesin.
14
Adapun proses patologis ini juga diperparah dengan adanya kemampuan H.
pylori untuk menghasilkan enzim urease yang berfungsi mengubah urea menjadi
amonia, sehingga membuat lingkungan di sekitar bakteri tersebut untuk menjadi basa
dan menyebabkan gangguan pada integritas asam lambung. H. pylori juga dapat
mengakibatkan disfungsi sel – sel imun, peningkatan produksi gastrin, serta
menurunkan produksi mukus dan bikarbonat, yang semakin memperparah terjadinya
lesi.19
Pasien dalam kasus ini kemungkinan mengalami dispepsia fungsional dan
organik, yang muncul dalam periode yang berbeda. Dispepsia fungsional (mual dan
batuk) dialami pasien dalam rentang waktu 1 bulan SMRS, sementara dispepsia organik
dipikirkan dengan adanya anemia normositik normokromik serta melena pada pasien
sejak 1 minggu SMRS. Dispepsia organik dalam kasus ini kemungkinan ditimbulkan
oleh gastritis erosif, yang bermula dari infeksi gaster oleh bakteri H. pylori.20
b. Dispepsia organik
Mekanisme yang bermain di dalam dispepsia organik cenderung bergantung
kepada penyebab atau penyakit yang mendasarinya, seperti halnya juga dengan infeksi
H. pylori. Pada gastritis erosif, dapat ditemukan adanya kerusakan pada pertahanan
mukosa gaster yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik endogen maupun
eksogen.21
Faktor – faktor noksius endogen mencakup asam hidroklorat (hydrochloric acid
[HCl]), pepsinogen/pepsin, dan garam empedu.21 Sedangkan faktor – faktor eksogen
dapat berupa bahan kimia tertentu (seperti alkohol, OAINS, dan merokok) maupun
faktor mekanik atau fisika (seperti nasogastric tube [NGT], hemostasis endoskopi,
trauma, dan pembedahan). Selain itu, penyakit refluks asam empedu duodenogastrik,
penyakit Chron, dan infeksi lainnya (seperti sifilis, cytomegalovirus [CMV],
Tuberculosis [TB]), serta keganasan dapat juga merusak sistem pertahanan mukosa
gaster.22
Akibat gastritis erosif, darah dapat keluar ke lumen gaster dan menyebabkan
melena. Lesi juga dapat berpotensi dan terus berprogresi menjadi ulkus gaster, yang
dapat menyebabkan perdarahan yang lebih berat pada saluran cerna bagian atas.3
Ulkus dapat terjadi ketika adanya gangguan yang merusak sistem pertahanan
mukosa gastroduodenal. Sistem pertahanan mukosa dapat dilihat sebagai sawar yang
terdiri dari 3 tingkat, yakni pre-epitelial, epitelial, dan post-epitelial (Gambar 3.5).21
15
Gambar 3.5. Komponen yang terkait dalam pertahanan dan reparasi mukosa
gastroduodenal21
1. Pre-epitelial
Penyedia pertahanan barisan terdepan adalah lapisan yang terdiri atas lapisan
mukus-bikarbonat yang berfungsi sebagai sawar fisika kimiawi terhadap beragam
molekul, seperti ion hidrogen. Mukus disekresi dengan regulasi oleh sel – sel epitel
pada permukaan gaster dan duodenum. Mukus ini utamanya terdiri oleh air (95%) dan
campuran fosfolipid dan glikoprotein (musin). Gel mukus berfungsi sebagai lapisan air
yang kuat dan menghambat difusi ion – ion dan molekul seperti pepsin. Bikarbonat
disekresi secara teregulasi oleh sel – sel epitel permukaan pada mukosa gaster dan
duodenum langsung ke gel mukus, sehingga membentuk gradien pH dalam rentang 1 –
2 pada permukaan lumen gaster dan mencapai 6 – 7 pada sepanjang permukaan sel
epitel.21
16
2. Epitelial
Sel – sel epitel permukaan menjadi penyedia pertahanan pada barisan
selanjutnya melalui beberapa faktor, termasuk produksi mukus, trasporter ion sel epitel
yang mempertahankan pH intrasel dan produksi bikarbonat, serta tight junction
intraselular. Sel – sel epitel permukaan juga membentuk protein – protein heat shock
yang mencegah denaturasi protein dan melindungi sel – sel dari faktor – faktor tertentu
seperti peningkatan suhu, agen sitotoksik, atau stres oksidatif. Sel epitel juga
memproduksi peptida – peptida dan katelisidin yan berperan dalam proteksi dan
regenerasi sel permukaan. Jika sawar pre-epitelial telah berhasil diterobos, sel – sel
epitel gaster yang berada pada perbatasan daerah yang rusak dapat bermigrasi untuk
memulihkan daerah yang rusak (restitusi). Proses ini terjadi tanpa bergantung pada
pembelahan sel dan memerlukan aliran darah yang tidak terganggu, serta suasana
dengan pH yang basa.21
Beberapa faktor pertumbuhan, seperti epidermal growth factor (EGF),
transforming growth factor (TGF)-α, dan basic fibroblast growth factor (FGF)
memodulasi proses restitusi. Kerusakan yang cukup besar tidak dapat direparasi secara
efektif oleh proses restitusi, sehingga akan memerlukan proliferasi sel. Regenerasi sel
epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor – faktor pertumbuhan seperti EGF dan
TGF- α. FGF dan vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan faktor –
faktor penting daam meregulasi angiogenesis pada mukosa gaster. Selain itu, gastrin
juga ditemukan dapat menstimulasi proliferasi dan migrasi sel, invasi dan angiogenesis,
serta meregulasi sel stem gaster.21
3. Post-epitelial
Sistem mikrovaskular yang luas dalam lapisan submukosa gaster adalah
komponen kunci dalam sistem pertahanan dan reparasi post-epitelial, karena
menghasilkan bikarbonat yang berfungsi menetralisir asam yang dihasilkan oleh sel
parietal. Terlebih lagi, lapisan mikrosirkulasi ini menyediakan suplai mikronutrien dan
oksigen yang adekuat serta membuang hasil metabolisme yang bersifat toksik.
Beberapa faktor lokal yang dihasilkan, seperti nitric oxide (NO), hidrogen sulfida, dan
prostasiklin turut berkontribusi dalam jalur protektif vaskular melalui vasodilatasi
mikrosirukulasi.21
2.5. Diagnosis
17
Anamnesis
a. Dispepsia organik
Dispepsia organik memiliki banyak penyebab, namun yang umumnya ditemukan
yaitu ulkus peptikum, GERD, OAINS, dan keganasan gaster.23
1. Ulkus peptikum
Nyeri perut atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas merupakan gejala
yang paling menonjol pada pasien dengan ulkus peptikum. Rasa tidak nyaman
dari ulkus biasanya terpusat pada epigastrik, namun dapat juga dirasakan pada
kuadran atas kanan dan kiri. Gejala klasik ulkus duodenum terjadi ketika asam
disekresi tanpa adanya zat penyangga dari makanan (misalnya 2 – 5 jam setelah
makan atau perut kosong) dan cenderung dialami saat pasien makan, di mana bisa
dirasakan begah setelah makan, rasa penuh pada epigastrik, mudah kenyang,
intoleransi makanan berlemak, mual, dan dapat disertai muntah.23
2. Keganasan gastroesofageal
Penyebab yang jarang dari dispepsia kronik pada daerah Barat, namun lebih
tinggi pada Asia, Hispanik, atau Afro-Caribbean. Insidensi penyakit ini meningkat
seiring bertambahnya umur. Gejala penyakit ini cenderung terlokalisir pada
epigastrik, samar, dan ringan pada tahap awal, namun semakin parah dan konstan
ketika penyakit berprogresi. Selain itu, tanda dan gejala lain biasanya berubah
seiring progresi penyakit (misalnya anemia, kelelahan, dan penurunan berat
badan). Riwayat keganasan saluran cerna pada keluarga juga harus ditanyakan
pada pasien.23
3. Nyeri bilier
Nyeri bilier klasik ditandai dengan nyeri tumpul yang berat dan berulang yang
terlokalisir pada kuadran kanan atas, epigastrik, atau (lebih jarang) pada daerah
substernal yang dapat menjalar hingga ke punggung (terutama pada skapula
kanan). Nyeri biasanya disertai diaforesis, mual, dan muntah. Nyeri juga bersifat
menetap dan tidak melilit, serta tidak diperparah oleh pergerakan dan tidak
membaik dengan menjongkok, buang air, atau flatus. Nyeri biasanya berlangsung
hingga 30 menit dan mencapai tingkat tetap (plateau) dalam 1 jam. Rasa nyeri lalu
mulai menghilang, namun serangan biasanya dapat muncul lagi dalam kurun
waktu kurang dari 6 jam.23
18
4. Dispepsia yang disebabkan obat
OAINS dan inhibitor selektif COX-2 dapat menyebabkan dispepsia tanpa
penyakit ulkus peptikum. Obat – obatan lain yang juga dapat menyebabkan yaitu
calcium channel blocker, metilxantin, alendronat, orlistat, suplemen potasium,
akarbos, dabigatran, dan antibiotik tertentu, diantaranya yaitu eritromisin.23
5. Penyebab lainnya
Celiac disease dan pankreatitis kronik dapat dialami (jarang) dengan dispepsia
sendiri. Penyebab lainnya yang jarang yaitu penyakit – penyakit infiltratif pada
gaster (seperti gastroenteritis eosinofilik, penyakit Chron, sarkoidosis, limfoma,
dan amiloidosis), radikulopati diabetik, gangguan metabolik (misalnya
hiperkalsemia, toksisitas logam berat), hepatoma, steatohepatitis, sindrom
kompresi arteri seliak, sindrom arteri mesenterika superior, nyeri dinding
abdomen, dan angina intestinal. Adanya rasa terbakar di dada atau refluks
menandakan adanya GERD.23
b. Dispepsia fungsional
Diperlukan eksklusi penyebab organik lainnya dari dispepsia. Dispepsia
fungsional ditandai dengan adanya 1 atau lebih gejala berikut: rasa penuh setelah
makan, mudah kenyang, nyeri epigastrik, atau terasa terbakar, dan tidak adanya
bukti penyakit struktural yang dapat menjelaskan gejala pasien.23
Adanya keluhan mudah kenyang dan begah yang berlangsung lama dan
mengganggu keseharian merupakan persyaratan yang cukup untuk mendukung
diagnosis, namun gastroskopi seringkali diperlukan terlebih dahulu. Depresi
harus dieksklusi dengan menanyakan pertanyaan skrining yang sederhana.23
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan dispepsia cenderung normal,
kecuali ditemukan adanya nyeri tekan epigastrik. Namun, nyeri tekan epigastrik
tidak dapat secara tepat membedakan dispepsia organik dari dispepsia fungsional.
Nyeri tekan abdomen harus dievaluasi dengan mengevaluasi tanda Carnett untuk
menentukan apakah nyeri berasal dari dinding abdomen atau akibat inflamasi
pada visera di dalamnya. Adanya nyeri tekan lokal saat otot menegang (tanda
Carnett positif) menandakan adanya nyeri pada dinding abdomen. Namun, jika
nyeri berkurang (tanda Carnett negatif), maka nyeri tidak berasal dari dinding
abdomen, tetapi kemungkinan besar dari organ intraabdominal, karena dinding
abdomen yang menegang melindungi visera.23
19
Temuan lainnya yang signifikan yaitu terabanya massa abdomen (misalnya
hepatoma) atau limfadenopati (misalnya supraklavikular kiri atau periumbilikal pada
keganasan gaster), ikterus (misalnya akibat metastasis ke hepar), atau pucat akibat
anemia. Asites dapat menandakan adanya karsinomatosis peritoneal. Pasien dengan
keganasan dapat ditemukan pengecilan otot, hilangnya lemak subkutan, dan edema
perifer akibat penurunan berat badan.23
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah termasuk tes fungsi hepar, serum lipase,
dan amilase, harus dilakukan untuk dapat mendeteksi gejala bahaya pada pasien
(seperti anemia defisiensi besi) dan penyakit metabolik yang mendasari yang dapat
menyebabkan dispepsia (misalnya diabetes, hiperkalsemia).23
Gastroduodenoskopi
Cut-off untuk evaluasi gastroduodenoskopi pada pasien dispepsia masih
kontroversial. Berbagai pedoman menyatakan bahwa cut-off umur dapat bervariasi
diantara negara, tergantung pada prevalensi keganasan gaster. Pedoman American
Gastroenterological Association menyarankan bahwa umur 60 atau 65 adalah
ambang batas umur di mana endoskopi harus dilakukan pada pasien dengan onset
dispepsia baru dari negara maju, sementara umur 45 atau 50 tahun dapat dijadikan
cut-off untuk berlaku pada pasien etnis Asian, Hispanik, atau Afro-Caribbean atau
dalam populasi dengan insidensi tinggi keganasan gaster pada individu yang muda.23
Endoskopi dilakukan pada pasien berumur 60 tahun keatas untuk mengevaluasi
dispepsia. Biopsi gaster hendaknya dapat sekaligus dilakukan sebagai tindakan
diagnostik untuk mengeksklusi H, pylori. Alasannya, pasien dengan H. pylori harus
diberikan terapi eradikasi sebagai tambahan untuk terapi penyakit yang mendasari
(seperti ulkus peptikum).23
Sebagian besar pasien dengan hasil tes laboratorium dan endoskopi yang normal
cenderung menderita dispepsia fungsional. Namun, evaluasi tambahan dapat
diperlukan berdasarkan gejala (misalnya pencitraan abdomen dengan ultrasonografi
[USG] atau computed tomography [CT] scan pada pasien dengan ikterus berulang
atau nyeri yang kemungkinan mengarah pada kelainan bilier maupun pankreatik).23
20
Pada pasien dibawah umur 60 tahun harus dilakukan tes dan terapi untuk H.
pylori, serta gastroduodenoskopi secara selektif, yakni untuk pasien yang memiliki
salah satu dari kondisi berikut :
1. Penurunan berat badan yang signifikan (>5% dari berat badan awal dalam 6 –
12 bulan)
2. Perdarahan gastrointestinal yang berlebihan.
3. >1 gejala bahaya
4. Gejala bahaya yang memburuk dengan cepat 23
2.6. Tatalaksana
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres
postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan
asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan
prokinetik, seperti metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide
(inhibitor asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3),
tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila lini pertama gagal, PPI
dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe nyeri.
Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada beberapa
21
pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat
digunakan secara berurutan ataupun kombinasi.
Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut, digunakan
antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari,
imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia
fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih efektif dari plasebo. Meskipun masih
kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional
mengingat infeksi tersebut umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis
seperti cemas atau depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten.
Terapi psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada dispepsia
fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk menghindari faktor
pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan, memulai pola makan teratur porsi
lebih sedikit dan menghindari makanan pemicu.
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan
bahwa adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respon plasebo yang
tinggi ( sekitar 45% ) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih
pasti. Penjelasan dan reaasurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan
yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan
evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancamnya. Coba
jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya. Evaluasi
latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari makanan yang dapat
mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik akan berdampak positif
bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi
dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan
prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya
dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia
fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah
satu patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada
penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data
penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia
fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan
perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang
mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin,
22
penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang
lebih baik dibanding placebo.
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral
mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada
pasien dispepsia fungsional. Beberapa pilihan terapi untuk dyspepsia adalah sebagai
berikut :
1. Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita
dispepsia, merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung
dengan menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan
merupakan suatu basa lemah.
4. Sitoproteksi
Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang
memperoleh kemanfaatan yang dapat dinilai.
23
5. Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),
domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride
9 agonis reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan
cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi
nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan mual. Metoklopramid yang
tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi terbatas studinya dan
hambatan efek samping ekstrapiramidalnya. Cisapride tergolong agonist reseptor 5-
HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara metaanalisis memperlihatkan angka
keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Beraksi pada pengosongan
lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya efek
sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa Q-T, sehingga
pemakaiannya berada dalam pengawasan.
7. Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.
2.7. Prognosis
Pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah
dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang
hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh
diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter
terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
24
gangguan psikiatri. Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis
dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.23
25
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. DKS
Usia : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Seberang Padang Selatan
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan : Janda
3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu
26
- Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, asma
dan alergi
- Riwayat pengobatan ke RST dan mengkonsumsi obat ranitidine tablet,
dan lansoprazole sirup. Pasien berhenti minum obat ketika gejala
mereda, tidak terartur minum obat dan tidak kontrol ulang untuk
berobat
Riwayat penyakit keluarga
Suhu : 36,7°c
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 61 kg
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Anemis : konjungtiva tidak anemis
Edema : tidak ditemukan kelainan
27
Telinga
Bentuk : normal
tuli : tidak ada
lubang : lapang
Hidung
bentuk : normal
deviasi septum : tidak ada
nafas cuping : tidak ada
hidung
: tidak ada
perdarahan
: merah muda, secret tidak ada
mukosa hidung
Mulut
Bibir : tidak sianosis
Gigi : dalam batas normal
Tonsil : tidak ada pembesaran
Faring : tidak hiperemis
Lidah : tidak kotor, tidak atrofi papil, tidak hiperemis
Leher : simetris, trakea ditengah, tidak ada pembesaran
KGB, tidak ada pembesaran tiroid, JVP tidak
diperiksa.
Thoraks
Paru :
inspeksi : simetris kiri = kanan (statis dan dinamis)
palpasi : fremitus kiri = kanan
perkusi : sonor di kedua lapangan paru
auskultasi : suara nafas bronkovesikuler, rhonki tidak ada,
wheezing tidak ada
Jantung :
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
batas jantung kanan : RIC 4 Linea Parasternalis
Dekstra
batas jantung atas : RIC 2 linea parasternalis kiri
28
Auskultasi : s1-s2 reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada
Abdomen :
inspeksi : Distensi abdomen tidak ada, venektasi tidak ada,
jaringan parut tidak ada
- Dispepsia Fungsional
3.6. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
- Merubah gaya gidup seperti pola makan porsi sedikit dengan frekuensi
sering sekitar 5 kali sehari. Makan terakhir maksimal 3 jam sebelum
tidur
- Hindari obat Aspirin dan NSAIDs
- Mengelola stress dengan baik
- Hindari makanan pedas, minuman bersoda dan berkafein
Farmakologi
- Ranitidin tablet 150 mg 2x1
- Domperidone tablet 10 mg 2x1
- Vitamin B Kompleks tablet 1x1
29
BAB 4
DISKUSI