Anda di halaman 1dari 33

Clinical Report Session

DISPEPSIA FUNGSIONAL

Oleh :

Alwis Asidiq 2040312152

Preseptor :
dr. Ida Rahmah Burhan, MARS

FAMILY ORIENTED MEDICAL EDUCATION


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PUSKESMAS SEBERANG PADANG
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang

berjudul “Dispepsia Fungsional.” CRS ini disusun untuk memenuhi salah satu

syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian FOME Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Ida Rahmah Burhan, MARS selaku

pembimbing yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan semua pihak yang

telah membantu dalam penulisan CRS ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa CRS ini masih memiliki banyak

kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata,

semoga CRS ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1 Pendahuluan 4
BAB 2 Tinjauan Pustaka 6
2.1 Definisi 6
2.2 Klasifikasi 6
2.3 Epidemiologi 6
2.4 Patofisiologi 8
2.5 Diagnosis 18
2.6 Tatalaksana 21
2.7 Prognosis 24
BAB 3 Laporan Kasus 26
3.1 Identitas 26
3.2 Anamnesis 26
3.3 Pemeriksaan Fisik 27
3.4 Diagnosis Kerja 29
3.5 Diagnosis Banding 29
3.6 Penatalaksanaan 29
BAB 4 Diskusi 30
Daftar Pustaka 32

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dispepsia adalah istilah untuk menggambarkan kesulitan mencerna, yang


ditandai dengan munculnya gejala – gejala yang melibatkan saluran cerna bagian
atas. Dispepsia sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Pada dispepsia fungsional, tidak
ditemukan penyebab gejala yang jelas, sedangkan dispepsia organik dapat
ditemukan penyebab gejala dispepsia.1
Dispepsia sendiri sering dialami oleh populasi masyarakat di Indonesia.
Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2010, ditemukan bahwa dispepsia
menempati peringkat ke 6 dari 10 besar penyakit rawat jalan di rumah sakit tahun
2010, dengan jumlah pasien perempuan (53.618) lebih banyak daripada laki-laki
(34.981).1 Dispepsia banyak dialami oleh populasi masyarakat di Jakarta. Sebuah
penelitian menggunakan metode wawancara dengan Steps WHO version 1.4
instruments pada 2007 terhadap 1645 responden, di mana ditemukan dispepsia
pada 58,1% responden, lebih sering pada wanita, responden dengan konsumsi
buah dan sayuran yang kurang, mengalami kecemasan dan depresi, maupun
mengonsumsi obat anti-inflamasi non-steroid. Penelitian tersebut menemukan
gejala mual sebanyak 30,1%, nyeri epigastrik 28,7%, dan begah 23%.2
Walaupun dispepsia fungsional tidak mengurangi angka harapan hidup,
tetapi dispepsia dapat mempengaruhi kualitas hidup individu secara signifikan. 3
Oleh karena jumlah kasus dispepsia yang banyak terjadi di Indonesia dan adanya
kemungkinan kualitas hidup yang menurun akibat dispepsia, maka dispepsia
diangkat sebagai topik laporan kasus, dengan harapan menjadi pembelajaran dan
pegangan bagi klinisi, khususnya dokter muda.

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dispepsia fungsional.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

dokter muda mengenai dispepsia fungsional.

4
1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

dirujuk dari berbagai literatur.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai


gejala yang melibatkan saluran cerna bagian atas. Berdasarkan pedoman National
Institute for Health and Care Excellence (NICE) tahun 2014, dispepsia adalah setiap
gejala saluran cerna bagian atas yang berlangsung selama 4 minggu atau lebih,
mencakup nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, rasa seperti terbakar di
dada (heartburn), refluks asam, mual, atau muntah.4

2.2. Epidemiologi
Dispepsia dialami oleh sekitar 25% individu dalam suatu populasi setiap
tahunnya. Sekitar 25% pasien dengan dispepsia memiliki penyebab pasti yang
mendasarinya (organik), sedangkan hingga 75% lainnya menderita dispepsia
fungsional. Prevalensi dispepsia fungsional di seluruh dunia berada dalam rentang 5 –
11%.5 Penelitian yang mencatat prevalensi dispepsia yang tidak terinvestigasi
(uninvestigated dyspepsia [UD]) cenderung bervariasi, yakni antara 7 – 34,2%, di mana
prevalensi terendah ditemukan di Singapura (7 – 8%) dan tertinggi di India serta
Selandia Baru (34,2%).6 Insidensi dispepsia setiap tahunnya diperkirakan 9 – 10%, di
mana pada 15% pasien penyakit berlangsung kronik (>3 bulan dalam setahun), sering
(>3 episod per minggu), dan seringkali memiliki tingkat keparahan yang tinggi. Di
dunia barat, prevalensi dispepsia mencapai hingga 20 – 25%. 6 Sedangkan di Indonesia,
diperkirakan ada sekitar 15 – 40% individu dalam suatu populasi yang mengalami
dispepsia.7

2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab, dispepsia umumnya terbagi menjadi organik dan
fungsional.
1. Dispepsia fungsional atau non-ulkus
Dispepsia fungsional adalah setiap gejala saluran cerna bagian atas yang tidak
jelas penyebab pastinya. Dispepsia jenis ini mencakup hingga 50 – 60% pasien
dengan dispepsia.8

6
Faktor risiko dispepsia fungsional antara lain yaitu predisposisi genetik, infeksi
bakteri Helicobacter pylori atau organisme lainnya, inflamasi, dan faktor psikososial. 9
Tidak ada kelainan organik yang ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan.10
Berdasarkan kriteria Roma IV tahun 2016, pasien dikatakan menderita dispepsia
fungsional apabila mengalami salah satu atau lebih gejala dari sindrom nyeri
epigastrik (epigastric pain syndrome [EPS]; nyeri atau rasa terbakar yang predominan
pada epigastrik, serta keram perut) dan sindrom kesulitan postprandial (post-prandial
distress syndrome [PDS]; rasa begah, mudah kenyang, mual, dorongan untuk muntah,
muntah, dan penurunan nafsu makan) (Gambar 3.1). Gejala – gejala ini harus cukup
berat hingga dapat mengganggu aktifitas rutin dan terjadi sebanyak minimal 3 hari
dalam seminggu selama 3 bulan terakhir dengan onset minimal 6 bulan sebelumnya.11

Gambar 3.1. Definisi dyspepsia fungsional menurut kriteria Roma IV11

2. Dispepsia organik
Mencakup semua gejala saluran cerna bagian atas yang diketahui memiliki
penyebab pasti, termasuk ulkus peptikum, gastritis erosif, esofagitis erosif, gastritis,
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease [GERD]), kanker
gaster atau esofagus, gangguan pancreas atau empedu, intoleransi makanan, dan
penyakit infeksius atau sistemik lainnya. Bukti yang menunjukkan adanya penyakit
organik dapat diketahui dengan melakukan endoskopi pada saluran cerna bagian atas
dan biopsi gaster, atau tes pencitraan dengan barium. Dispepsia organik dicurigai
dengan adanya tanda dan gejala bahaya (seperti penurunan berat badan, perdarahan
atau tes darah samar positif, dan penurunan nafsu makan) atau gejala yang muncul di
malam hari.9,10 Selain organik dan fungsional, dispepsia sendiri juga dapat disebabkan

7
oleh obat – obatan tertentu, seperti OAINS, bisfosfonat (alendronat), steroid, dan
lainnya. Penyakit ekstraintestinal seperti hipotiroid, hiperparatiroid, dan uremia juga
bisa menyebabkan dispepsia.9

2.4. Patofisiologi
a. Dispepsia fungsional

Walaupun penyebab pastinya tidak diketahui, dispepsia fungsional dapat terjadi


melalui berbagai mekanisme (Gambar 3.2), yakni lambatnya pengosongan lambung,
kelainan daya akomodasi gaster terhadap makanan, infeksi H. pylori, hipersensitifitas
terhadap distensi gaster, gangguan sensitifitas duodenum terhadap lipid atau asam, dan
disregulasi sistem saraf otonom-sentral.3,11 Sementara itu dispepsia organik memiliki
penyebab yang jelas, namun masing – masing penyebab tersebut memiliki mekanisme
patofisiologi yang berbeda sesuai dengan penyakit yang mendasarinya (seperti ulkus
peptikum, gastritis erosif, dan lainnya).3

Gambar 3.2 Patofisiologi dispepsia fungsional3

Berikut ini adalah mekanisme yang dapat terlibat dalam munculnya


dispepsiafungsional.3

8
1. Terlambatnya pengosongan lambung

Prevalensi terjadinya dispepsia akibat terlambatnya pengosongan lambung


adalah antara 20-50%. Secara keseluruhan, pengosongan lambung untuk zat-zat padat
pada penderita dispepsia fungsional cenderung 1.5 kali lebih lambat daripada individu
normal.3 Terlambatnya pengosongan lambung dapat terjadi akibat adanya gangguan
motorik pada gaster dan duodenum, yakni berkurangnya frekuensi kontraksi antral,
kesalahan koordinasi antroduodenal, dan spasme pilorus (yang biasanya berhubungan
dengan hipomotilitas antral). Kelainan – kelainan ini juga dapat berhubungan dengan
adanya gastroparesis dan gastropati diabetik.12

2. Gangguan akomodasi gaster

Gangguan akomodasi gaster terjadi pada 40% pasien dispepsia fungsional.


Akomodasi gaster sendiri di mediasi oleh refleks vasovagal yang dimulai oleh
penelanan makanan, lalu melalui aktivasi saraf nitrergik yang menyebabkan relaksnya
lambung bagian fundus maupun bagian atas. Refleks antrofundik juga berperan dalam
akomodasi.3 Adanya gangguan akomodasi gaster dapat meningkatkan risiko munculnya
gejala yang dapat berawal dari bagian gaster proksimal yang tidak mengalami
relaksasi.13

3. Hipersensitivitas gaster

Hipersensitivitas terhadap distensi lambung terjadi pada 34% dispepsia


fungsional, dan berhubungan dengan nyeri lambung setelah makan, begah, dan
penurunan berat badan. Hipersensitivitas gaster dibuktikan dengan studi barostat
lambung yang menunjukkan rendahnya ambang batas persepsi maupun rasa nyeri
selama berlangsungnya distensi gaster proksimal pada pasien dispepsia fungsional. 3
Terdapat adanya gangguan pengelolaan sinyal nyeri pada sistem saraf pusat pasien
dengan dispepsia fungsional.
Hipersensitivitas gaster terhadap distensi juga dapat disebabkan oleh beberapa
faktor perifer, seperti gangguan pada pelepasan mediator (seperti serotonin) atau
reseptor (seperti 5 – HT [hidroksitriptamin] atau TRPV1 [transient receptor potential
vanillpod type 1]), inflamasi, atau respons stres.14

4. Hipersensitivitas duodenum terhadap asam

Pasien dengan dispepsia fungsional dapat mengalami gangguan pada respon


motorik duodenal akibat perfusi asam, sehingga menyebabkan menurunnya
9
pembersihan asam eksogen dari duodenum. Mekanisme terjadinya masih kurang jelas,
namun dianggap bahwa paparan asam pada duodenum secara langsung menimbulkan
gejala melalui saraf sensoris atau secara tidak langsung melalui proses umpan balik
pada lambung bagian atas.3
Rangsangan noksius yang ditransmisikan dari mukosa duodenum oleh saraf
aferen menyebabkan dismotilitas dan hipersensitifitas gaster, yang dipercaya
diakibatkan oleh mikroinflamasi dan peningkatan permeabilitas mukosa duodenum.
Mikroinflamasi ini dapat terus terjadi bahkan setelah infeksi gastrointestinal dan
demikian pula dengan stres psikologis, yang meningkatkan permeabilitas mukosa.15

5. Sensitivitas duodenum terhadap lipid

Gejala dispepsia juga sering disebabkan oleh makanan berlemak. Dalam


berbagai penelitian, ditemukan bahwa gejala begah, rasa tidak nyaman, dan mual lebih
sering terjadi pada pasien dispesia yang mengkonsumsi lipid dibandingkan kontrol.
Selain itu, terdapat peran kolekistokinin (cholecystokinin [CCK]) yang ditunjukkan
melalui kemampuan antagonis reseptor CCK, yakni desloksiglumid untuk mencegah
gejala dispepsia akibat lipid dan distensi.16
CCK berperan dalam mengendalikan pemasukan makanan dan persepsi satietas.
CCK juga memodulasi fungsi saluran cerna bagian atas, seperti pengosongan gaster.
Sehingga, terganggunya respons terhadap CCK dapat berujung pada disfungsi motorik
gaster dan gejala dispepsia.16

6. Dispepsia fungsional post infeksi

Ditunjukkan dengan lebih seringnya perasaan kenyang yang lebih awal, mual,
dan penurunan berat badan.3 Risiko terjadinya dispepsia fungsional meningkat sebanyak
2,5 kali setelah gastroenteritis akut yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, maupun
virus. Pada sebuah studi prospektif infeksi Salmonella enteritis melalui makanan,
ditemukan risiko relatif sebesar 5,2 untuk individu dengan nyeri abdomen dan muntah.
Infeksi Giardia lamblia menyebabkan hipersensitivitas viseral dan terlambatnya
pengosongan lambung.3 Berbagai penelitian menemukan adanya peningkatan CCK di
mukosa duodenum pada pasien yang telah terkena infeksi oleh G. lamblia.17

10
7. Inflamasi dan aktivasi imun

Pada individu dengan dispepsia fungsional post infeksi, lebih sering ditemukan
agregat sel T dan CD8+ dalam duodenum disertai pengosongan lambung yang lebih
terlambat dibandingkan dengan individu tanpa infeksi. Jumlah CD4+ menurun,
sedangkan jumlah makrofag meningkat. Walaupun jumlah sel mast meningkat pada
semua penderita dispepsia fungsional, jumlah sel enterokromafin lebih tinggi secara
signifikan pada dispepsia fungsional post infeksi. Peningkatan ekspresi histamin,
serotonin, dan triptase pada biopsi mukosa lambung juga ditemukan pada dispepsia
fungsional. Aktivasi imun sistemik terbukti melalui peningkatan level sel mononuklear
di darah perifer, tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1β dan -10, dan sel T
usus.3

8. Eosinofilia duodenum

Eosinofilia duodenum juga dapat ditemukan pada dispepsia fungsional post


infeksi, di mana terdapat infiltrasi sel mast. Eosinofilia duodenum dapat berhubungan
dengan alergi dan subtipe PDS yang menunjukkan peran hipersensitivitas terhadap isi
lumen.3 Cutoff normal dapat berbeda secara geografis, namun eosinofil lebih dari 22
dalam 5 lapang pandang besar umumnya dianggap tidak normal. Hasil uji histologi
biasanya tampak normal secara sekilas, sehingga untuk mendeteksi eosinofilia harus
dilakukan penghitungan jumlah sel eosinofil (Gambar 3.3). Kelainan pada struktur dan
fungsi neuronal pada submukosa duodenum telah ditemukan berhubungan dengan
eosinofilia duodenum dan infiltrasi sel mast.17

11
Gambar 3.3. Peningkatan eosinofil dalam duodenum pada pasien dengan
dispepsia fungsional (pewarnaan hematoksilin dan eosin, x 40).

9. Faktor psikososial

Kecemasan dan depresi berkontribusi terhadap patogenesis gejala dispepsia


fungsional.3 Pada individu yang sehat, informasi mengenai pencernaan makanan dan
sensorik gastrointestinal serta regulasi otonom sebagian besar tidak dirasakan, kecuali
rasa lapar dan nyeri. Adapun informasi – informasi tersebut dikelola dalam daerah pada
sistem saraf pusat yang juga mengelola regulasi emosional. Persepsi yang tidak tepat
atau terganggu pada sistem modulasi menurun (descending modulatory system; yang
dapat berhubungan dengan kegelisahan) berujung pada dirasakannya stimulus fisiologis
sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman. Pada pasien dengan dispepsia fungsional, aktivasi
somatosensorik sentral (sebagai respons terhadap perubahan tekanan intragastrik) terjadi
dengan ambang batas yang rendah dibandingkan pada individu yang sehat.
Selain itu, juga terdapat kelainan pada aktifasi descending pain modulatory
system yang berhubungan dengan meningkatnya tingkat kegelisahan. Penelitian

12
mengenai pencitraan otak menunjukkan adanya bukti bahwa otak mengintegrasikan
sinyal homeostatik dari saluran gastrointestinal dengan emosi dan sirkuit kognisi
(contohnya pada tingkat insula dan korteks cingulata dorsal anterior (dorsal anterior
cingulate cortex [dACC]).18

10. Infeksi Helicobacter pylori

Inifeksi oleh H. pylori merupakan proses patologis yang dapat menimbulkan


baik dispepsia fungsional maupun dispepsia organik. Gejala dispepsia akibat gastritis
terkait H. pylori timbul melalui gangguan sekresi asam, motilitas, dan proses
pengantaran sinyal neuroendokrin. Infeksi H. pylori meningkatkan ekspresi glucagon-
like-peptide-1 dan meningkatkan peristalsis. Walaupun infeksi H. pylori tidak
mempengaruhi akomodasi lambung, namun dapat menyebabkan gangguan pada respons
viseral, termasuk hipersensitivitas lambung.3
H. pylori adalah bakteri gram negatif yang memiliki bentuk S (S-shaped) dan
cenderung ditularkan secara fekal-oral. H. pylori memiliki kemampuan untuk bertahan
hidup dalam suasana asam lambung dan mempenetrasi serta berkoloni di dalam sel.19
H. pylori merupakan bakteri yang umum dijumpai dan menginfeksi sekitar 50%
dari populasi penduduk dunia. Prevalensi infeksi H. pylori cenderung bervariasi pada
setiap negara; contohnya, prevalensi tinggi didapati pada negara – negara Amerika Latin
(75 – 83%), sebaliknya dengan prevalensi rendah di Jepang (39,6%) dan Amerika
Serikat (17,1%). Beberapa penyakit gastrointestinal, termasuk gastritis, ulkus peptikum,
ulkus duodenum, dan adenokarsinoma gaster telah terbukti berhubungan dengan infeksi
H. pylori.20
Faktor risiko infeksi H. pylori yaitu lingkungan tempat tinggal yang padat
dengan kebersihan yang buruk, status sosial dan ekonomi yang rendah, lahir di negara
berkembang, makanan dan minuman yang tidak bersih, dan paparan terhadap cairan
lambung individu yang terinfeksi.19
Setelah memasuki gaster, H. pylori menggunakan aktifitas enzim ureasenya
untuk menetralisir kondisi asam gaster pada awal mula terjadinya infeksi. Motilitas
bakteri ini dimediasi dengan flagella, yang memfasilitasi H. pylori untuk bergerak
menuju epitel gaster, diikuti dengan interaksi yang spesifik antara molekul adesin
bakteri dengan reseptor sel host, yang kemudian berujung pada kolonisasi dan infeksi
persisten. Akhirnya, H. pylori melepaskan beberapa protein efektor/toksin,

13
termasuk cytotoxin-associated gene A (CagA) dan vacuolating cytotoxin A (VacA),
hingga menimbulkan kerusakan jaringan host. Selain itu, lapisan epitel gaster (yang
berperan sebagai pembatas antara H. pylori dengan host) mensekresikan kemokin untuk
melangsungkan imunitas bawaan (innate immunity) dan mengaktifasi neutrofil, hingga
kemudian berlanjut pada terbentuknya gastritis dan ulkus yang tampak secara klinis.20
Sehingga, ada empat langkah – langkah penting yang sangat krusial untuk
terjadinya kolonisasi H. pylori dan patogenesis (Gambar 3.4):
1) Bertahan hidup dalam kondisi asam di gaster.

2) Pergerakan menuju sel – sel epitel yang dimediase oleh motilitas flagela.
3) Penempelan pada reseptor host melalui molekul adesin.

4) Menimbulkan kerusakan jaringan melalui pelepasan toksin (Gambar 3.4).20

Gambar 3.4. Diagram skematik infeksi bakteri Helicobacter pylori dan


patogenesis.

Aktifitas urease dan motilitas H. pylori yang dimediasi oleh flagela


memfasilitasi mikroorganisme ini untuk dapat bertahan hidup dan melakukan
pergerakan menuju gel mukus diatas epitelium, diikuti dengan beberapa molekul adesin,
termasuk blood antigen binding protein A, sialic acid binding protein, dan protein
membran luar lainnya yang berinteraksi dengan reseptor pada sel epitel host. Setelah
kolonisasi berhasil, toksin (CagA dan VacA) terlibat dalam timbulnya kerusakan
jaringan host dan replikasi intraselular.20

14
Adapun proses patologis ini juga diperparah dengan adanya kemampuan H.
pylori untuk menghasilkan enzim urease yang berfungsi mengubah urea menjadi
amonia, sehingga membuat lingkungan di sekitar bakteri tersebut untuk menjadi basa
dan menyebabkan gangguan pada integritas asam lambung. H. pylori juga dapat
mengakibatkan disfungsi sel – sel imun, peningkatan produksi gastrin, serta
menurunkan produksi mukus dan bikarbonat, yang semakin memperparah terjadinya
lesi.19
Pasien dalam kasus ini kemungkinan mengalami dispepsia fungsional dan
organik, yang muncul dalam periode yang berbeda. Dispepsia fungsional (mual dan
batuk) dialami pasien dalam rentang waktu 1 bulan SMRS, sementara dispepsia organik
dipikirkan dengan adanya anemia normositik normokromik serta melena pada pasien
sejak 1 minggu SMRS. Dispepsia organik dalam kasus ini kemungkinan ditimbulkan
oleh gastritis erosif, yang bermula dari infeksi gaster oleh bakteri H. pylori.20

b. Dispepsia organik
Mekanisme yang bermain di dalam dispepsia organik cenderung bergantung
kepada penyebab atau penyakit yang mendasarinya, seperti halnya juga dengan infeksi
H. pylori. Pada gastritis erosif, dapat ditemukan adanya kerusakan pada pertahanan
mukosa gaster yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik endogen maupun
eksogen.21
Faktor – faktor noksius endogen mencakup asam hidroklorat (hydrochloric acid
[HCl]), pepsinogen/pepsin, dan garam empedu.21 Sedangkan faktor – faktor eksogen
dapat berupa bahan kimia tertentu (seperti alkohol, OAINS, dan merokok) maupun
faktor mekanik atau fisika (seperti nasogastric tube [NGT], hemostasis endoskopi,
trauma, dan pembedahan). Selain itu, penyakit refluks asam empedu duodenogastrik,
penyakit Chron, dan infeksi lainnya (seperti sifilis, cytomegalovirus [CMV],
Tuberculosis [TB]), serta keganasan dapat juga merusak sistem pertahanan mukosa
gaster.22
Akibat gastritis erosif, darah dapat keluar ke lumen gaster dan menyebabkan
melena. Lesi juga dapat berpotensi dan terus berprogresi menjadi ulkus gaster, yang
dapat menyebabkan perdarahan yang lebih berat pada saluran cerna bagian atas.3
Ulkus dapat terjadi ketika adanya gangguan yang merusak sistem pertahanan
mukosa gastroduodenal. Sistem pertahanan mukosa dapat dilihat sebagai sawar yang
terdiri dari 3 tingkat, yakni pre-epitelial, epitelial, dan post-epitelial (Gambar 3.5).21

15
Gambar 3.5. Komponen yang terkait dalam pertahanan dan reparasi mukosa
gastroduodenal21

1. Pre-epitelial
Penyedia pertahanan barisan terdepan adalah lapisan yang terdiri atas lapisan
mukus-bikarbonat yang berfungsi sebagai sawar fisika kimiawi terhadap beragam
molekul, seperti ion hidrogen. Mukus disekresi dengan regulasi oleh sel – sel epitel
pada permukaan gaster dan duodenum. Mukus ini utamanya terdiri oleh air (95%) dan
campuran fosfolipid dan glikoprotein (musin). Gel mukus berfungsi sebagai lapisan air
yang kuat dan menghambat difusi ion – ion dan molekul seperti pepsin. Bikarbonat
disekresi secara teregulasi oleh sel – sel epitel permukaan pada mukosa gaster dan
duodenum langsung ke gel mukus, sehingga membentuk gradien pH dalam rentang 1 –
2 pada permukaan lumen gaster dan mencapai 6 – 7 pada sepanjang permukaan sel
epitel.21

16
2. Epitelial
Sel – sel epitel permukaan menjadi penyedia pertahanan pada barisan
selanjutnya melalui beberapa faktor, termasuk produksi mukus, trasporter ion sel epitel
yang mempertahankan pH intrasel dan produksi bikarbonat, serta tight junction
intraselular. Sel – sel epitel permukaan juga membentuk protein – protein heat shock
yang mencegah denaturasi protein dan melindungi sel – sel dari faktor – faktor tertentu
seperti peningkatan suhu, agen sitotoksik, atau stres oksidatif. Sel epitel juga
memproduksi peptida – peptida dan katelisidin yan berperan dalam proteksi dan
regenerasi sel permukaan. Jika sawar pre-epitelial telah berhasil diterobos, sel – sel
epitel gaster yang berada pada perbatasan daerah yang rusak dapat bermigrasi untuk
memulihkan daerah yang rusak (restitusi). Proses ini terjadi tanpa bergantung pada
pembelahan sel dan memerlukan aliran darah yang tidak terganggu, serta suasana
dengan pH yang basa.21
Beberapa faktor pertumbuhan, seperti epidermal growth factor (EGF),
transforming growth factor (TGF)-α, dan basic fibroblast growth factor (FGF)
memodulasi proses restitusi. Kerusakan yang cukup besar tidak dapat direparasi secara
efektif oleh proses restitusi, sehingga akan memerlukan proliferasi sel. Regenerasi sel
epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor – faktor pertumbuhan seperti EGF dan
TGF- α. FGF dan vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan faktor –
faktor penting daam meregulasi angiogenesis pada mukosa gaster. Selain itu, gastrin
juga ditemukan dapat menstimulasi proliferasi dan migrasi sel, invasi dan angiogenesis,
serta meregulasi sel stem gaster.21

3. Post-epitelial
Sistem mikrovaskular yang luas dalam lapisan submukosa gaster adalah
komponen kunci dalam sistem pertahanan dan reparasi post-epitelial, karena
menghasilkan bikarbonat yang berfungsi menetralisir asam yang dihasilkan oleh sel
parietal. Terlebih lagi, lapisan mikrosirkulasi ini menyediakan suplai mikronutrien dan
oksigen yang adekuat serta membuang hasil metabolisme yang bersifat toksik.
Beberapa faktor lokal yang dihasilkan, seperti nitric oxide (NO), hidrogen sulfida, dan
prostasiklin turut berkontribusi dalam jalur protektif vaskular melalui vasodilatasi
mikrosirukulasi.21

2.5. Diagnosis
17
Anamnesis
a. Dispepsia organik
Dispepsia organik memiliki banyak penyebab, namun yang umumnya ditemukan
yaitu ulkus peptikum, GERD, OAINS, dan keganasan gaster.23
1. Ulkus peptikum
Nyeri perut atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas merupakan gejala
yang paling menonjol pada pasien dengan ulkus peptikum. Rasa tidak nyaman
dari ulkus biasanya terpusat pada epigastrik, namun dapat juga dirasakan pada
kuadran atas kanan dan kiri. Gejala klasik ulkus duodenum terjadi ketika asam
disekresi tanpa adanya zat penyangga dari makanan (misalnya 2 – 5 jam setelah
makan atau perut kosong) dan cenderung dialami saat pasien makan, di mana bisa
dirasakan begah setelah makan, rasa penuh pada epigastrik, mudah kenyang,
intoleransi makanan berlemak, mual, dan dapat disertai muntah.23
2. Keganasan gastroesofageal
Penyebab yang jarang dari dispepsia kronik pada daerah Barat, namun lebih
tinggi pada Asia, Hispanik, atau Afro-Caribbean. Insidensi penyakit ini meningkat
seiring bertambahnya umur. Gejala penyakit ini cenderung terlokalisir pada
epigastrik, samar, dan ringan pada tahap awal, namun semakin parah dan konstan
ketika penyakit berprogresi. Selain itu, tanda dan gejala lain biasanya berubah
seiring progresi penyakit (misalnya anemia, kelelahan, dan penurunan berat
badan). Riwayat keganasan saluran cerna pada keluarga juga harus ditanyakan
pada pasien.23
3. Nyeri bilier
Nyeri bilier klasik ditandai dengan nyeri tumpul yang berat dan berulang yang
terlokalisir pada kuadran kanan atas, epigastrik, atau (lebih jarang) pada daerah
substernal yang dapat menjalar hingga ke punggung (terutama pada skapula
kanan). Nyeri biasanya disertai diaforesis, mual, dan muntah. Nyeri juga bersifat
menetap dan tidak melilit, serta tidak diperparah oleh pergerakan dan tidak
membaik dengan menjongkok, buang air, atau flatus. Nyeri biasanya berlangsung
hingga 30 menit dan mencapai tingkat tetap (plateau) dalam 1 jam. Rasa nyeri lalu
mulai menghilang, namun serangan biasanya dapat muncul lagi dalam kurun
waktu kurang dari 6 jam.23

18
4. Dispepsia yang disebabkan obat
OAINS dan inhibitor selektif COX-2 dapat menyebabkan dispepsia tanpa
penyakit ulkus peptikum. Obat – obatan lain yang juga dapat menyebabkan yaitu
calcium channel blocker, metilxantin, alendronat, orlistat, suplemen potasium,
akarbos, dabigatran, dan antibiotik tertentu, diantaranya yaitu eritromisin.23
5. Penyebab lainnya
Celiac disease dan pankreatitis kronik dapat dialami (jarang) dengan dispepsia
sendiri. Penyebab lainnya yang jarang yaitu penyakit – penyakit infiltratif pada
gaster (seperti gastroenteritis eosinofilik, penyakit Chron, sarkoidosis, limfoma,
dan amiloidosis), radikulopati diabetik, gangguan metabolik (misalnya
hiperkalsemia, toksisitas logam berat), hepatoma, steatohepatitis, sindrom
kompresi arteri seliak, sindrom arteri mesenterika superior, nyeri dinding
abdomen, dan angina intestinal. Adanya rasa terbakar di dada atau refluks
menandakan adanya GERD.23

b. Dispepsia fungsional
Diperlukan eksklusi penyebab organik lainnya dari dispepsia. Dispepsia
fungsional ditandai dengan adanya 1 atau lebih gejala berikut: rasa penuh setelah
makan, mudah kenyang, nyeri epigastrik, atau terasa terbakar, dan tidak adanya
bukti penyakit struktural yang dapat menjelaskan gejala pasien.23
Adanya keluhan mudah kenyang dan begah yang berlangsung lama dan
mengganggu keseharian merupakan persyaratan yang cukup untuk mendukung
diagnosis, namun gastroskopi seringkali diperlukan terlebih dahulu. Depresi
harus dieksklusi dengan menanyakan pertanyaan skrining yang sederhana.23

Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan dispepsia cenderung normal,
kecuali ditemukan adanya nyeri tekan epigastrik. Namun, nyeri tekan epigastrik
tidak dapat secara tepat membedakan dispepsia organik dari dispepsia fungsional.
Nyeri tekan abdomen harus dievaluasi dengan mengevaluasi tanda Carnett untuk
menentukan apakah nyeri berasal dari dinding abdomen atau akibat inflamasi
pada visera di dalamnya. Adanya nyeri tekan lokal saat otot menegang (tanda
Carnett positif) menandakan adanya nyeri pada dinding abdomen. Namun, jika
nyeri berkurang (tanda Carnett negatif), maka nyeri tidak berasal dari dinding
abdomen, tetapi kemungkinan besar dari organ intraabdominal, karena dinding
abdomen yang menegang melindungi visera.23
19
Temuan lainnya yang signifikan yaitu terabanya massa abdomen (misalnya
hepatoma) atau limfadenopati (misalnya supraklavikular kiri atau periumbilikal pada
keganasan gaster), ikterus (misalnya akibat metastasis ke hepar), atau pucat akibat
anemia. Asites dapat menandakan adanya karsinomatosis peritoneal. Pasien dengan
keganasan dapat ditemukan pengecilan otot, hilangnya lemak subkutan, dan edema
perifer akibat penurunan berat badan.23

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah termasuk tes fungsi hepar, serum lipase,
dan amilase, harus dilakukan untuk dapat mendeteksi gejala bahaya pada pasien
(seperti anemia defisiensi besi) dan penyakit metabolik yang mendasari yang dapat
menyebabkan dispepsia (misalnya diabetes, hiperkalsemia).23

Gastroduodenoskopi
Cut-off untuk evaluasi gastroduodenoskopi pada pasien dispepsia masih
kontroversial. Berbagai pedoman menyatakan bahwa cut-off umur dapat bervariasi
diantara negara, tergantung pada prevalensi keganasan gaster. Pedoman American
Gastroenterological Association menyarankan bahwa umur 60 atau 65 adalah
ambang batas umur di mana endoskopi harus dilakukan pada pasien dengan onset
dispepsia baru dari negara maju, sementara umur 45 atau 50 tahun dapat dijadikan
cut-off untuk berlaku pada pasien etnis Asian, Hispanik, atau Afro-Caribbean atau
dalam populasi dengan insidensi tinggi keganasan gaster pada individu yang muda.23
Endoskopi dilakukan pada pasien berumur 60 tahun keatas untuk mengevaluasi
dispepsia. Biopsi gaster hendaknya dapat sekaligus dilakukan sebagai tindakan
diagnostik untuk mengeksklusi H, pylori. Alasannya, pasien dengan H. pylori harus
diberikan terapi eradikasi sebagai tambahan untuk terapi penyakit yang mendasari
(seperti ulkus peptikum).23
Sebagian besar pasien dengan hasil tes laboratorium dan endoskopi yang normal
cenderung menderita dispepsia fungsional. Namun, evaluasi tambahan dapat
diperlukan berdasarkan gejala (misalnya pencitraan abdomen dengan ultrasonografi
[USG] atau computed tomography [CT] scan pada pasien dengan ikterus berulang
atau nyeri yang kemungkinan mengarah pada kelainan bilier maupun pankreatik).23

20
Pada pasien dibawah umur 60 tahun harus dilakukan tes dan terapi untuk H.
pylori, serta gastroduodenoskopi secara selektif, yakni untuk pasien yang memiliki
salah satu dari kondisi berikut :
1. Penurunan berat badan yang signifikan (>5% dari berat badan awal dalam 6 –
12 bulan)
2. Perdarahan gastrointestinal yang berlebihan.
3. >1 gejala bahaya
4. Gejala bahaya yang memburuk dengan cepat 23

Adapun gejala bahaya mencakup :


1. Penurunan berat badan yang tidak disengaja
2. Disfagia progresif
3. Odinofagia
4. Anemia defisiensi besi yang tidak terjelaskan
5. Muntah persisten
6. Teraba massa atau limfadenopati
7. Riwayat keganasan gaster pada keluarga23

Dalam kelompok ini, gastroduodenoskopi harus dilakukan secara dini,


disarankan dalam 2 – 4 minggu saat masuk rumah sakit. 13 Namun, perlu diingat
bahwa penegakkan diagnosis yang tepat tanpa melakukan endoskopi merupakan
tindakan medis yang baik dan dapat bersifat terapeutik, karena dapat mengurangi
stres emosional maupun kegelisahan pasien terhadap penyakitnya.24
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendekatan diagnostik pada pasien
dispepsia didasarkan pada presentasi klinis, umur pasien, dan adanya gejala
bahaya.23

2.6. Tatalaksana
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres
postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan
asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan
prokinetik, seperti metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide
(inhibitor asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3),
tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila lini pertama gagal, PPI
dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe nyeri.
Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada beberapa

21
pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat
digunakan secara berurutan ataupun kombinasi.
Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut, digunakan
antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari,
imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia
fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih efektif dari plasebo. Meskipun masih
kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional
mengingat infeksi tersebut umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis
seperti cemas atau depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten.
Terapi psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada dispepsia
fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk menghindari faktor
pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan, memulai pola makan teratur porsi
lebih sedikit dan menghindari makanan pemicu.
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan
bahwa adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respon plasebo yang
tinggi ( sekitar 45% ) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih
pasti. Penjelasan dan reaasurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan
yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan
evaluasi bahwa tidak ada penyakit serius atau fatal yang mengancamnya. Coba
jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis penyakit yang dideritanya. Evaluasi
latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk menghindari makanan yang dapat
mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik akan berdampak positif
bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi
dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan
prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya
dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia
fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah
satu patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada
penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data
penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia
fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan
perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang
mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin,
22
penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang
lebih baik dibanding placebo.
Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral
mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada
pasien dispepsia fungsional. Beberapa pilihan terapi untuk dyspepsia adalah sebagai
berikut :

1. Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita
dispepsia, merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung
dengan menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan
merupakan suatu basa lemah.

2. Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin – H2


Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar
ganda, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan
manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara
metaanalisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok
adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya
kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya untuk menghilangakn
rasa nyeri ulu hati.

3. Penghambat pompa proton ( PPI )


Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional.
Respons baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan
sekresi asam lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana
asam sehingga harus diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi
bersama H2 – reseptor antagonis dan antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole,
pantoprazole dan rabeprazole.

4. Sitoproteksi
Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang
memperoleh kemanfaatan yang dapat dinilai.

23
5. Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),
domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride
9 agonis reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan
cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi
nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan mual. Metoklopramid yang
tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi terbatas studinya dan
hambatan efek samping ekstrapiramidalnya. Cisapride tergolong agonist reseptor 5-
HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara metaanalisis memperlihatkan angka
keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Beraksi pada pengosongan
lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah diketahuinya efek
sampingnya pada aritmia jantung, terutama perpanjangan masa Q-T, sehingga
pemakaiannya berada dalam pengawasan.

6. Obat lain – lain


Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional,
mebuka peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri.
Dalam beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan
dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam
studi pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada
dispepsia fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat
golongan agonist 5-HT1 (sumatriptan dan busipiron) dapat memperbaiki akomodasi
lambung dan memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah makan.5

7. Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.

2.7. Prognosis
Pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah
dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang
hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh
diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter
terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
24
gangguan psikiatri. Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis
dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.23

25
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. DKS
Usia : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Seberang Padang Selatan
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan : Janda

3.2 Anamnesis

Seorang perempuan usia 46 tahun datang ke Poli Umum Puskesmas


Seberang Padang dengan:

Keluhan utama
Nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang


- Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati semakin meningkat sejak 2 hari yang
lalu, nyeri hilang setelah makan, terdapat nyeri tekan hilang timbul.
Disertai perasaan begah dan merasa cepat kenyang
- Pasien mengeluhkan mual disertai muntah sejak 2 hari yang lalu, muntah
tidak menyemprot dengan frekuensi 3 kali sehari, muntah bercampur
makanan disertai lendir, volumenya kurang lebih satu gelas berukuran
250 ml, tidak disertai darah
- Penurunan nafsu makan, berat badan menurun tidak ada
- Demam , batuk, pilek tidak ada
- BAK dalam batas normal
- BAB dalam batas normal
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat nyeri ulu hati sejak 2 tahun yang lalu, hilang timbul dan
membaik setelah meminum obat warung golongan antasida (Promag)

26
- Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, asma
dan alergi
- Riwayat pengobatan ke RST dan mengkonsumsi obat ranitidine tablet,
dan lansoprazole sirup. Pasien berhenti minum obat ketika gejala
mereda, tidak terartur minum obat dan tidak kontrol ulang untuk
berobat
Riwayat penyakit keluarga

- Riwayat penyakit keluarga disangkal

Riwayat kebiasaan, sosial, ekonomi

- Pasien seorang single parent bekerja sebagai pekerja lepas perabotan


rumah tangga milik sodaranya, tinggal Bersama kedua anaknya dan
bersama orang tua
- Tidak ada riwayat merokok dan alkohol
- Riwayat makan tidak teratur karena sibuk bekerja
3.3 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan umum
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : composmentis cooperative
Tekanan darah : 122/75 mmhg
Nadi : 98x / menit
Nafas : 16x / meni

Suhu : 36,7°c
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 61 kg
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Anemis : konjungtiva tidak anemis
Edema : tidak ditemukan kelainan

Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran kgb


Kepala : normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil isokor, reflex langsung dan tidak langsung
kedua mata (+)/(+)

27
Telinga
Bentuk : normal
tuli : tidak ada
lubang : lapang
Hidung
bentuk : normal
deviasi septum : tidak ada
nafas cuping : tidak ada
hidung
: tidak ada
perdarahan
: merah muda, secret tidak ada
mukosa hidung

Mulut
Bibir : tidak sianosis
Gigi : dalam batas normal
Tonsil : tidak ada pembesaran
Faring : tidak hiperemis
Lidah : tidak kotor, tidak atrofi papil, tidak hiperemis
Leher : simetris, trakea ditengah, tidak ada pembesaran
KGB, tidak ada pembesaran tiroid, JVP tidak
diperiksa.
Thoraks
Paru :
inspeksi : simetris kiri = kanan (statis dan dinamis)
palpasi : fremitus kiri = kanan
perkusi : sonor di kedua lapangan paru
auskultasi : suara nafas bronkovesikuler, rhonki tidak ada,
wheezing tidak ada
Jantung :
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
batas jantung kanan : RIC 4 Linea Parasternalis
Dekstra
batas jantung atas : RIC 2 linea parasternalis kiri

28
Auskultasi : s1-s2 reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada

Abdomen :
inspeksi : Distensi abdomen tidak ada, venektasi tidak ada,
jaringan parut tidak ada

: Nyeri tekan epigastrik, hepar dan lien tidak ditemukan


palpasi
kelainan
: timpani
perkusi
: BU 3-4x normal
auskultasi
Punggung
Inspeksi : simetris
Palpasi : fremitus kiri-kanan
Perkusi : normal, nyeri ketok tidak ada

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

3.4. Diagnosa kerja

- Dispepsia Fungsional

3.5 Diagnosis Banding


- Ulkus Peptikum
- Ulkus Duodenum

3.6. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
- Merubah gaya gidup seperti pola makan porsi sedikit dengan frekuensi
sering sekitar 5 kali sehari. Makan terakhir maksimal 3 jam sebelum
tidur
- Hindari obat Aspirin dan NSAIDs
- Mengelola stress dengan baik
- Hindari makanan pedas, minuman bersoda dan berkafein
Farmakologi
- Ranitidin tablet 150 mg 2x1
- Domperidone tablet 10 mg 2x1
- Vitamin B Kompleks tablet 1x1

29
BAB 4
DISKUSI

Melalui pemeriksaan pada pasien, didapati seorang pasien perempuan


berumur 46 tahun yang mengeluhkan adanya nyeri ulu hati semakin meningkat
sejak 2 hari yang lalu disertai mual dan muntah sejak 2 hari yang lalu hilang
timbul. Mual pasien juga disertai rasa tidak nyaman di ulu hati, begah, dan mudah
merasa kenyang. Dengan adanya kumpulan gejala ini dengan riwayat nyeri ulu
hati sejak 2 tahun yang lalu, pasien dapat dikatakan mengalami dispepsia sesuai
dengan definisi dispepsia menurut NICE 2014 meskipun penyebab pastinya masih
belum jelas. 4
Dengan adanya riwayat nyeri ulu hati sejak 2 tahun yang lalu
disertai tanpa penyebab yang belum jelas, dispepsia pada pasien ini lebih
mengarah kepada dispepsia fungsional.4 Meskipun demikian, dispepsia organik
masih belum sepenuhnya dapat disingkirkan sebelum dilakukan pemeriksaan
lengkap lainnya seperti gastroduodenoskopi.23
Pada anamnesis, dapat dilihat bahwa diagnosis pada pasien ini masih
cenderung berada dalam rentang yang luas, sehingga tidak sedikit diagnosis –
diagnosis banding yang harus dipertimbangkan. Dengan tidak adanya penurunan
nafsu makan, inflamasi sistemik seperti TB, ataupun keganasan menjadi kurang
memungkinkan.
Sejak 2 hari sebelum ke Puskesmas keluhan dispepsia pasien semakin
meningkat, di mana rasa tidak nyaman pada ulu hati berkembang menjadi nyeri
ulu hati yang memberat seiring waktu. Temuan ini juga didukung dengan adanya
nyeri tekan saat dilakukan palpasi ringan pada regio epigastrik pasien. Hal ini
lebih menunjukkan bahwa dispepsia pasien disebabkan oleh progresi kerusakan
mukosa gaster akibat asam lambung ataupun infeksi oleh bakteri H. pylori.21
Sehingga, dispepsia pada pasien ini juga kemungkinan merupakan dispepsia
organik, meskipun memang perlu dilakukan gastroduodenoskopi untuk
mengetahuinya secara definitif.23 Dengan adanya rasa nyeri ulu hati disertai mual
dan muntah, angina akibat penyakit jantung ataupun referred pain dari apendisitis
dapat dipikirkan. Namun, pemeriksaan lebih lanjut, yakni jika hasil EKG yang
normal dengan ritme sinus telah dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit
jantung pada pasien ini. Nyeri pada titik McBurney, pada umbilikus, rebound
tenderness, maupun tanda Rovsing tidak ditemukan pada pasien, dan dengan
demikian apendisitis dapat dieliminasi.25 Trauma dapat diekslusi sebagai penyebab
dispepsia dengan tidak adanya riwayat trauma baru – baru ini. Nyeri abdomen
juga tidak diperparah dengan perubahan posisi (nyeri kolik), sehingga adanya
obstruksi pada organ gastrointestinal ataupun ureter dapat disingkirkan.
Pasien mengalami muntah sejak 2 hari sebelum pergi ke Puskesmas, di mana
pasien dapat muntah hingga 3 kali dalam sehari dengan isi sisa makanan dan
cairan berupa lendir. Muntah pasien selalu diawali rasa mual, dapat keluar hingga
1 gelas berukuran 250 ml, tidak menyembur, dan tidak disertai darah. Muntah
berisi makanan dapat menandakan bahwa distensi, iritasi, ataupun sensitisasi
berlebihan terjadi saat pengosongan lambung sedang berlangsung, yang
kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada mukosa gaster yang
kemudian menstimulasi nervus vagus untuk mengirim sinyal muntah ke medula
oblongata.26 Pasien tidak mengalami peningkatan rasa haus, sehingga dehidrasi
kemungkinan belum terjadi pada pasien ini akibat muntahnya. Pada pasien ini,
dapat dipastikan bahwa penyebab muntah pasien bukanlah disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Selain itu, perdarahan akibat pecah
varises oesofagus (PVO) atau sobekan Mallory-weiss dapat disingkirkan dengan
tidak adanya hematemesis. Tidak adanya PVO juga didukung dengan tidak
ditemukannya riwayat penyakit sirosis hepatis dan ikterus. Selain itu, sklera
ikterik, splenomegali, maupun asites tidak ditemukan pada pemeriksaan fisik,
sehingga sirosis hepatis pun dapat dieliminasi sebagai penyebab gejala dispepsia
pada pasien.27
Dengan informasi diatas, nyeri ulu hati disertai nyeri tekan epigastrium
dengan adanya mual dan muntah pada pasien memang masih belum jelas dasar
penyebabnya, sehingga diagnosisnya mengarah ke dispepsia fungsional.20 Pasien
dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan
dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga
berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Dispepsia
fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi J. Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Kesehatan Indonesia. 2010.


2. Syam, AF. Dyspeptic Syndrome in Urban Population in Jakarta. The Indonesian
Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2010;10:66-70.
3. Koduru P, Irani M, Quigley E. Definition, pathogenesis, and management of that
cursed dyspepsia. 2018;467–479.
4. National Institute for Health and Care Excellence. Dyspepsia and gastro-oesophageal
reflux disease: investigation and management of dyspepsia, symptoms suggestive of
gastro-oesophageal reflux disease, or both. NICE guideline DRAFT. 2014.
5. Longstreth GF, Lacy BE. Functional dyspepsia in adults. Wolters Kluwer. 2017.
6. Kumar A, Patel J, Sawant P. Epidemiology of functional dyspepsia. Assoc of Phys Ind.
2012;60:9-12.
7. Omega A, Muchtaruddin M. Prevalensi dispepsia fungsional pada pasien dewasa di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2010 dan faktor-faktor yang
berhubungan. FK UI. 2013.
8. Bazaldua OV, Schneider FD. Evaluation and management of dyspepsia. Am Fam
Physician. 1999;60(6): 1773-1784.
9. Oustamanolakis P, Tack J. Dyspepsia: organic versus functional. J Clin Gastroenterol.
2012;46(3):175-90.
10. Desai HG. Dyspepsia. Assoc of Phys Ind. 2012;60.
11. Stanghellini V, Chan FK, Hasler WL, et al. Gastroduodenal disorders. Nat Rev
Gastroenterol Hepatol. 2016;150(6):1380-92.
12. Camilleri M, Bharucha AE, Farrugia G. Epidemiology, mechanisms, and management
of diabetic gastroparesis. Clin Gastroenterol Hepatol. 2011;9(1):5–e7.
13. Kindt S, Tack J. Impaired gastric accommodation and its role in dyspepsia. Gut.
2006;55(12):1685–1691. doi:10.1136/gut.2005.085365
14. Rosen JM, Cocjin JT, Schurman JV, Colombo JM, Friesen CA. Visceral
hypersensitivity and electromechanical dysfunction as therapeutic targets in pediatric
functional dyspepsia. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2014;5(3):122–138.
15. Miwa H, Oshima T, Tomita T, Fukui H, Kondo T, Yamasaki T, et al. Recent
understanding of the pathophysiology of functional dyspepsia: role of the duodenum as
the pathogenic center. Journal of Gastroenterology 2019;54:305–11.
16. Lee KJ, Tack J. Duodenal implications in the pathophysiology of functional
dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil. 2010;16(3):251–257.
17. Talley NJ. Functional Dyspepsia: advances in diagnosis and therapy. Gut Liver.
2017;11(3):349–357.
18. Kosma V, Turunen H, Gröhn O, et al. Psychological distress in dyspepsia. Diss in
Heal Scien. 2014. 52 p.
19. Kusters J, Vliet A, Kuipers E, et al. Pathogenesis of Helicobacter pylori infection.
Clin Microbiol Rev. 2006;19(3):449-490.
20. Kao CY, Sheu BS, Wu JJ. Helicobacter pylori infection: an overview of bacterial
virulence factors and pathogenesis. Biomedical Journal 2016;39:14–23.
21. Valle J. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Jameson J, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J. eds. Harrison's Principles of
Internal Medicine, 20e New York, NY:McGraw-
Hill; http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=2129&sectionid=192282176. Accessed September 01, 2022.
22. Fiori W, Lakomek HJ, Buscham K, et al. Krankenhausfinanzierung 2015:
relevantes für die internistische rheumatologie. 2015; 74.
23. Longstreth GF, Lacy BE. Approach to the adult with dyspepsia. Wolters Kluwer.
2017.
24. Yamawaki H, Futagami S, Wakabayashi M, et al. Management of functional
dyspepsia: state of the art and emerging therapies. Ther Adv Chronic Dis.
2018;9(1):23–32.
25. Cox J, Sovak G. Missed appendicitis diagnosis: A case report. J Can Chiropr
Assoc. 2015;59(3):294–299.
26. Singh P, Yoon SS, Kuo B. Nausea: a review of pathophysiology and
therapeutics.
Therap Adv Gastroenterol. 2016;9(1):98–112.
27. Kim YD. Management of acute variceal bleeding. Clin Endosc. 2014;47(4):308–
314. doi:10.5946/ce.2014.47.4.308

Anda mungkin juga menyukai