Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ATRESIA PYLORI

Disusun Oleh :
Jundi Abyan/201810401011139
Alifah Hasna/201810401011151

PEMBIMBING :
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp B, FINACS, K Trauma

SMF BEDAH
RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

PERITONITIS

Referat yang berjudul “Atresia Pylori” telah di periksa dan disetujui

sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan

Dokter Muda di bagian Ilmu Bedah

Surabaya, Maret 2019


Pembimbing

Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp B,


FINACS, K Trauma

1
KATA PENGANTAR

Assalmu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha

Kuasa, atas rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat (Atresia

Pylori). Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp B, FINACS, K Trauma selaku

pembimbing dalam penyusunan referat ini.

Tujuan dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi

penulis dan pembacanya, juga ditujukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan

klinik llmu Bedah

Penyusun menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran selalu kami harapkan. Semoga referat ini

dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta penyusun pada khususnya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Surabaya, Maret 2019

Penulis,

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB 1 ..................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
BAB 2 ..................................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
2.1 Anatomi Abdomen ........................................................................................ 5
2.2 Peritoneum................................................................................................ 7
2.3 Peritonitis................................................................................................ 11
2.3.1 Definisi ............................................................................................ 11
2.3.2 Etiologi ............................................................................................ 12
2.3.3 Patofisiologi .................................................................................... 13
2.3.4 Jenis Peritonitis ............................................................................... 16
2.3.5 Diagnosis ......................................................................................... 18
2.3.6 Tatalaksana...................................................................................... 21
2.3.7 Komplikasi ....................................... Error! Bookmark not defined.
2.3.8 Prognosis .......................................... Error! Bookmark not defined.
BAB 3 ................................................................................................................... 25
KESIMPULAN ..................................................................................................... 25

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di

rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan

utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa

tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi,

obstruksi dan strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang

mengakibatkan infeksi rongga abdomen atau peritonitis. Peritonitis merupakan

komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-

organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal),

ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka

tembus abdomen.

Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada

penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti

mendapatkan angka ini mencapai 60% bahkan lebih dari 60%. Keputusan untuk

melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan

menimbulkan komplikasi yang berakibat meningkatkannya morbiditas dan

mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari

kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian peritonitis

di sebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia,

jumlah pasien yang menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari

jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang (Depkes, RI 2008)

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Abdomen

Dinding abdomen mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang

kompleks. Abdomen di bagi menjadi Sembilan regio yang dibentuk oleh 2 garis

vertikal linea midclavicula dextra et sinistra dan 2 garis horizontal linea

transpylorica dan linea transtubercularis. Sembilan regio tersebut adalah

Hipokondrium dekstra dan sinistra, Epigastrium, lumbar dekstra dan sinistra,

umbilical, inguinal dekstra dan sinistra serta hipogastrium.

Dinding abdomen terdiri dari beberapa lapisan sebagai berikut :

1) Kutis

2) Subkutis

3) Fascia superfisial (fascia camper)

5
4) Fascia profunda (fascia scarpa)

5) Musculus

a. Kelompok ventrolateral : Musculus obliquus abdominis eksternus

, Musculus obliquus abdominis internus, Musculus transversus

abdominis dan musculus rectus abdominis

b. Kelompok posterior : musculus psoas major, musculus psoas

minor, musculus iliacus, musculus quadratus lumborum

6) Fascia tranversalis

7) Peritonium

Sedangkan batas cavum abdomen adalah sebagai berikut

 Cranial : Diafragma

 Caudal : Diafragma

 Anterior : m. rectus anatomi, m. pyramidalis, bagian anterior dr

aponeurosis m. Obliqus abdominis eksternus, m. obliquus abdominis

internus, dan m. transverses abdominis.

6
 Posterior : corpus dan discus intervertebralis Vertebrae Lumbal I-V,

crus diaphragm, m. psoas major, m. psoas minor, m. iliacus, m.

quadratus lumborum, ala ossis ilii.

 Lateral : m. obliquus abdominis eksternus, m. obliquus abdominis

internus, m. transverses abdominis, m. iliacus, os. coxae

2.2 Peritoneum
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.

Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi

dinding rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan

peritoneum visceral, yang menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga

itu. Peritoneum parietale mempunyai komponen somatic dan visceral yang

memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan

nyeri lepas. Ruang yang bisa terdapat di antara dua lapis ini disebut ruang

peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang di luarnya disebut Spatium

Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum yang

berfungsi sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan

gesekan yang berarti. Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan pada

kelainan tertentu disebut sebagai asites (hydroperitoneum).

Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter2, sama dengan luas permukaan kulit

orang dewasa. Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran

basal semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum

mikro sel. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan

sebagai media cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada

operasi ventrikulo peritoneal shunting dalam kasus hidrochepalus

7
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika

serosa).

b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.

c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

8
Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen

melalui suatu duplikatur yang disebut mesenterium. Cavitas peritonealis pada

laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada perempuan mempunyai hubungan dengan

dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan vagina. Spatium Extraperitoneale dapat

dibedakan menurut letaknya , di depan (spatium praepitoneale), di belakang

(spatium retroperitoneale) dan dibawah (spatium subperitoneale). Alat yang

terletak di dalam cavitas peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada

lambung, jejunum, ileum, dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang

peritoneum disebut retroperitoneale seperti pada ginjal dan pancreas. Omentum

adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat viscera

lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum

(omentum majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum

dari usus kecil disebut mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari

colon trnsversum dan sigmoideum disebut mesocolon transversum dan

sigmoideum. Mesenterium dan omentum berisi pembuluh darah dan limfe serta

saraf untuk alat viscera yang bersangkutan.

Gambar 2.2 Struktur peritoneum

9
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan

tekanan dan mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga

mempersarafi kulit dan otot yang ada si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum

parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun insicipada peritoneum viscerale

tidak memberikan rasa nyeri.1,2 Peritoneum viscerale sensitif terhadap regangan

dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun temperature.

Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh

perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari

kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a.

epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut

horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan

dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n.

lumbalis I.

Sangat penting untuk memahami posisi dari alat-alat viscera abdomen agar

dapat segera mengetahui atau memperkirakan alat apa yang terkena tusukan pada

perut:

 Hepar merupakan suatu organ yang besar yang mengisi bagian atas rongga

abdomen.

 Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah per melekat

pada permukaan visceral lobus kanan hepar. Ujung buntunya (fundus)

menonjol di bawah pinggir bawah hepar.

 Esophagus di daerah abdomen pendek, 1,25 cm terletak di belakang lobus kiri

hepar.

10
 Gaster (ventriculus) terletak pada regio hypochondriaca kiri, epigastrica dan

umbilicalis

 Duodenum terletak di regio epigastrica dan umbilicalis

 Pancreas terbentang dari regio umbilicalis sampai ke regio hypochondriaca

kiri pada lien.

 Lien terletak pada bagian atas kiri dari rongga abdomen antara lambung dan

diaphragma di regio sepanjang sumbu iga x kiri.

 Ren terletak pada dinding belakang abdomen posterior dari peritoneum

parietale di sisi kanan dan kiri columna transversalis.

 Glandula suprarenalis terletak pada dinding belakang abdomen di sisi kana

dan kiri columna vertebralis.

 Jejunum mengisi bagian atas kiri rongga abdomen dan ileum mengisi bagian

kanan bawah rongga abdomen dan rongga pelvis. Colon terbentang

mengelilingi jejunum dan ileum, terbagi atas caecum, colon ascendens, colon

tranversum, colom desendens dan colon sigmoid.

2.3 Peritonitis

2.3.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi

rongga abdomen dan menutupi visera abdomen). Keadaan ini biasanya terjadi

akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari

luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme

yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup

Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering

kali masuk dari luar.

11
2.3.2 Etiologi

Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder

a) Peritonitis primer

Disebabkan oleh invasi hematogen dari orga n peritoneal

yang langsung dari rongga peritoneum. Banyak terjadi pada

penderita :

- sirosis hepatis dengan asites

- nefrosis

- SLE

- bronkopnemonia dan TBC paru

- pyelonephritis

b) Peritonitis sekunder

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi

gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme

tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari

multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii

anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh

bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.

Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:

 Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung

empedu, hepar, lien, kehamilan extra tuba yang pecah

 Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii

pecah, ruptur buli dan ginjal.

12
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke

dalam cavum peritoneal.

c) Peritonitis tersier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat,

superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya.

2.3.3 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan

fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga

membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,

tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan

obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,

maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti

misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga

membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena

tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit

oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya

meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hypovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler

organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum

dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem

13
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.

Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,

serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih

lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi

tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul

peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik

berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan

dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara

lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya

pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan

ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan

peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa

ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh

darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai

terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan

nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran

bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. Tifus abdominalis

adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang

masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan

mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami

14
hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat

terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam

selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang

disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang

merosot karena toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan

peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat

peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan

menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak

kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama

dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam

lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut

menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,

kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan

rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini

akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis

bakteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena

fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi

mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena

sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark

dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks

15
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik

lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan

trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis

bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang

timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang

bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya

paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya

didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan

akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,

mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk

berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena

perangsangan peritonium.

2.3.4 Jenis Peritonitis

 Peritonitis Aseptik.

Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris, dan

biasanya sekunder dari perforasi ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis

steril dapat berkembang menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa jam

mengikuti transmigrasi dari mikroorganisme (contohnya dari usus)

 Peritonitis bilier

Relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat disebabkan dari :

a) iatrogenic (ligasi duktus sistikus saat cholesistektomi)

b) kolesistitis akut

c) trauma

d) idiopatik

16
 peritonitis steril

Ada 4 penyebab :

a) Cairan pankreas

Misalnya dari pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis bisa disebabkan karen

proses diagnostik laparotomi pada pasien yang tidak mengalami

peningkatan serum amilase.

b) Darah.

Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta yang pecah.

c) Urine

Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.

d) Meconium

Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin, garam,, lemak, dan bilier

dimana dibentuk saat fetus mulai menelan cairan amnion. Peritonitis

mekonium berkembang lambat di kehidupan intra uteri atau di periode

perinatal saat mekonium memasuki rongga peritoneum melalui perforasi

inestinal.

 Peritonitis TB

Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan

imunokompromise. Menyebar ke peritoneum melalui:

a) secara langsung melalui limfatik nodul, regio ileocaecal atau

pyosalping TB.

b) Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru.

Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis pada umumnya), dan

kronik (onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam, penurunan

17
berat badan, keringat malam, massa abdomen). Makroskopik, ada 4 bentuk

dari penyakit ini : ascitic, encysted, plastic, atau purulent. Terapinya

berdasarkan terapi anti-TB, digabungkan dengan laparotomi (apabila di

indikasikan) untuk komplikasi intra-abdominal.

 Peritonitis Klamidia

Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan

digambarkan oleh nyeri hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.

 Obat-obatan dan benda asing.

Pada pemakaian isoniazid, practolol, dan kemoterapi intraperitoneal

dapat menyebabkan peritonitis akut. Bedak dan starch dapat menstimulus

perkembangan benda asing granulomata apabila benda-benda itu bertemu

pada rongga peritoneum (contohnya sarung tangan bedah).

2.3.5 Diagnosis

A. Gambaran Klinis

Diagnosis atresia pylori merupakan kelainan kongenital yang sangat langka

dengan angka insidensi kurang dari 1 % terhadap seluruh kasus atresia traktus

gastrointestinal atas. Atresia pylori dapat terjadi murni ataupun bersamaan dengan

atresia traktus lainnya. Bayi dengan atresia pylori biasanya didapatkan adanya

muntah non-bilier sesaat setelah lahir, kesulitan menyusui dan dapat disertai

dengan distensi abdomen bagian atas. Sebagian besar kasus atresia pylori juga

didapatkan adanya riwayat polihidramnion pada masa kehamilan.

18
Gambar …. Distensi abdomen bagian atas

Pada beberapa kasus atresia pylori juga didapatkan penyakit penyerta seperti

epidermiolisis bullosa dan asplasia kutis kongenital.

Gambar …atresia pylori dengan epidermiolisis bulosa dan aplasia kutis

kongenital

19
Keterlambatan diagnosis pada atresia pylori dapat mengakibatkan aspirasi

paru, gangguan metabolik, dan perforasi lambung sehingga perlu perhatian khusus

apabila didapatkan bayi dengan kecenderungan menderita atresia pylori.

B. Diagnosis

Diagnosis atresia pylori dapat dideteksi sejak fase antenatal trimester ke 2


dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada pemeriksaan tersebut didapatkan
polihidramnion disertai dengan gambaran dilatasi lambung (single-air bubble)

Gambar … (single-air bubble pada pemeriksaan ultrasonografi)

Diagnosis Atresia Pylori juga dapat ditegakkan hanya dengan hasil


pemeriksaan radiologi abdomen ( Babygram ) dengan gambaran single air-
bubble yang besar pada gaster, dan gambaran non distended gasless pada
abdomen distal

20
(gambar …single air bubble pada gaster, disertai gambaran non
distended abdomen distal

Tatalaksana

Pada pre-operasi dilakukan persiapan berupa koreksi elektrolit dan cairan. Hal
ini diperlukan karena fungsi digestif pada bayi dengan atresia pylori tidak
berjalan. Setelah cairan dan elektrolit dikoreksi dilanjutkan dengan tindakan
operatif untuk mengembalikan fungsi digestif pasien.
Penanganan utama atresia pylori adalah hanya dengan tindakan operatif.
Teknik operasi yang dilakukan tergantung pada tipe atresia pylori. Untuk atresia
pylori tipe 1 dan 2 merupakan atresia pylori dengan pyloric diafragma dan tanpa
gap, teknik operasi yang dilakukan adalah eksisi membran dan pyloroplasty.
Sedangkan untuk atresia pylori tipe 3 / dengan gap, tindakan operatif yang
dilakukan adalah pyloroduodenoplasty

Pyloroplasty yang disarankan untuk atresia pylori tipe 1 dan 2 adalah teknik
Heineke-Mikulicz atau Finney.

- Heineke-Mikulicz
Teknik ini dilakukan dengan insisi longitudinal pada daerah pylori,
kemudian dilakukan hecting secara transversal dengan tujuan agar
memperlebar lumen. Pada tipe atresia pylori tipe 1 dan 2 terdapat membran
yang menutup lumen dari pylori ke duodenum sehingga sebelum hecting
transversal dilakukan insisi pada membran tersebut agar lumen terhubung.

21
Gambar … Heineke-mikulicz pyloroplasty

-Finney pyloroplasty
Teknik ini dilakukan dengan Inverted incision sepanjang pylori hingga
duodenum kemudian posterior throught & throught suture pada insisi bagian
dalam, kemudian Connel throught & throught suture pada insisi luar. Pada
prosedur selanjutnya dilakukan Cushing seromuscular suture .

22
- gastroduodenostomy
Tindakan ini dilakukan pada atresia Pylori tipe 3 dengan gap, yaitu dengan
reseksi distal gaster kemudian di sambung dengan duodenum (billroth I)

23
24
BAB 3

KESIMPULAN

Atresia Pylori merupakan penyakit kongenital yang sangat langka dengan

insidensi hanya 1% dari seluruh kasus kongenital atresia. Deteksi dini diagnosis

sangat penting karena dapat mempengaruhi prognosis pasien. Tipe Atresia pylori

dibagi menjadi 3 berdasarkan adanya membran/web dan juga gap antara pylori

dengan duodenum proksimal. Penanganan yang dilakukan meliputi insisi

membran dan pelebaran lumen pada atresia pylori tipe 1 dan 2 serta dilakukan

penyambungan pylori dengan duodenum pada atresia pylori dengan gap.

Komplikasi yang dapat terjadi pada Atresia pylori adalah aspirasi paru,

perforasi gaster, dan gangguan berat metabolik akibat imbalans cairan dan

elektrolit. Deteksi dini diagnosis melalui USG saat kehamilan trimester 2 dan

penanganan segera setelah lahir dapat meningkatkan prognosis.

25
DAFTAR PUSTAKA
Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita

Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI,

Jakarta.

Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of

Medicine,third edition,1997, Toronto.

Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.

Jakarta : EGC.

Putz R & Pabst R. 2007. Atlas Anatomi Manusia:Sobotta, jilid.2.Jakarta :EGC

Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi

Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.

Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen

dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja

Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta

Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,

http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css

Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam

Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 –

493

Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7,

alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.

Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2017 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :

EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai