Pembimbing :
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA.,
MARS., M.Si, Audiologist
Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT KL
Dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL
Diajukan Oleh :
Wahyu Dwi Tanjung Sari, S. Ked
J510170109
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
1
CASE REPORT
SEORANG PEREMPUAN 37 TAHUN DENGAN ABSES REGIO NASAL
Yang diajukan oleh :
Wahyu Dwi Tanjung Sari, S. Ked
J510170109
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal.
Pembimbing I
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA.,
MARS., M.Si, Audiologist
(.............................................)
Pembimbing II
Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT KL
(.............................................)
Pembimbing III
Dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL
(.............................................)
Ka. Program profesi
Dr. Hj. Flora Ramona S.P., M.Kes, Sp.KK, Dipl.HIV-AIDS
(.............................................)
BAB I
PRESENTASI KASUS
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. SR
2
b. Umur : 37 Tahun
c. Alamat : Titang Karanganyar
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : Swasta
f. Status Perkawinan : Menikah
g. Tgl masuk : Kamis, 10 Agustus 2017
h. No RM : 404957
3
d. Asma : disangkal
e. Alergi : disangkal
f. Penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat Pengobatan
Diakui
III.Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
1. Keadaan umum : Baik, dapat berkomunikasi dengan baik
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
3. Tekanan darah : 120/80 mmHg
4. Nadi : 76x/ menit
5. Respirasi : 20x/ menit
6. Suhu badan : 36,2 oC
B. Kondisi Medik
1. Kepala : Bentuk Normocephal, Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera
Ikterik (-/-), sekret mata(-/-) Pupil isokhor (3mm/3mm), Sianosis (-)
2. Leher : Leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea
(-), massa (-), peningkatan JVP (-), Pembesaran Kelenjar Limfe (-)
3. Thorax :
Paru-paru
Inspeksi : Kelainan bentuk dada (-), gerak dada kanan dan kiri
simetris, pelebaran vena superficial (-), benjolan/massa (-), sikatriks (-).
Palpasi : Tidak terdapat ketinggalan gerak antara pulmo dekstra dan
sinistra.
Perkusi : Suara paru sonor/sonor, paru dalam batas normal
Auskultasi : Suara dasar vesicular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Suara jantung redup, batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : Bunyi jantung 1, 2 murni regular terdengar pada SIC 1
dan 2 linea parasternal sinistra et dekstra.
Abdomen
Inspeksi : Perut buncit (-), Ascites (-), Distended (-), sikatriks (-)
Auskultasi : Suara peristaltik (normal), suara tambahan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak
teraba, defans muskular (-)
Perkusi : Timpani (+)
4. Extremitas : clubbing finger (-), deformitas (-), edema ekstremitas (-)
4
C. Status Lokalis
1. Hidung
a.Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Hidung luar benjolan (+), bengkak (+), Benjolan (-) bengkak (-)
hiperemis (+), deformitas hiperemis (-), deformitas
(-), nyeri tekan (+), (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-) krepitasi (-)
b. Rinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), Bentuk(normal), hiperemis
hiperemis (-), sekret (+) (-), sekret (+)
Meatus nasi Mukosa hiperemis (-), Mukosa hiperemis (-),
media sekret (+), massa sekret (+), massa berwarna
berwarna putih mengkilat putih mengkilat (-).
(-).
c. Rinoskopi posterior
1) Tidak tampak pembesaran kelenjar adenoid
2) Concha superior dalam batas normal
3) Muara tuba eustachii nampak tidak ada oklusi
4) Tidak tampak ada masa
d. Pemeriksaan septum nasi
1) Pemeriksaan spatel (-)
2) Cottle sign (-)
5
mulut berwarna merah muda
Warna mukosa gusi merah muda, hiperemi (-), bengkak (-), gigi
Geligi lepas (+)
Lidah Ulkus (-), pseudomembrane (-), lateralisasi (-)
Uvula Di tengah, hiperemis (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum Ulkus (-), hiperemis (-)
mole
Mukosa Mukosa hiperemis (-)
faring
Tonsila Kanan: T1, Hiperemis (-), detritus (-), kripte melebar (-)
palatina Kiri: T1, Hiperemis (-), detritus (-), kripte melebar (-)
Pemeriksaan laringoskopi indirect
a. Plica vocalis : dbn
b. Gerak plika vokalis : dbn
c. Epiglotis : dbn
d. Subglotis : dbn
e. Aritenoid : dbn
f. Tumor :-
3. Telinga
No. Area Telinga Kanan Telinga Kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Pre dan Fistula (-), hiperemis (-), Fistula (-), hiperemis (-),
Retro udim (-), nyeri tekan (-) udim (-), nyeri tekan (-)
auricula
3. Daun Normotia (+), bekas luka Normotia (+), bekas luka
telinga (-), hematoma (-), udim (-), (-), hematoma (-),udim (-),
hiperemis (-), sekret (-), hiperemis (-), sekret (-),
nyeri tarik aurikula (-) nyeri tarik aurikula (-)
4. Liang Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
telinga furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema (-),
sekret (-) sekret(-)
6
5. Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
timpani hiperemi (-), udim (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), kolesteatom perforasi (-), kolesteatom
(-), cone of light (+) (-), cone of light (+)
MT intak MT intak
Cone of light Cone of
(+) light (+)
7
Limfosit 15,4 25.0-40.0
Monosit 4,4 3.0-9.0
Eosinofil 4,0 0.5-5.0
Basofil 0,7 0.0-1.0
CT 04.30 2-8
BT 02.00 1-3
GDS 112 70-150
V. Diagnosis
Abses Regio Nasal
VI. Terapi
Medikamentosa :
Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
Inj Metronidazole 500 mg/ 8 jam
Inj Metil Prednisolon 125 mg/ 12 jam
VII. Edukasi
Menjaga kebersihan rongga mulut dan memeriksakan gigi secara teratur ke
dokter gigi
Menghindari faktor pencetus
VIII. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
8
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
10-8- Pasien mengeluh KU : cukup, CM Abses Regio Inf. RL 20 tpm
2017 benjolan dihidung TD : 120/80 Nasal Inj. Ceftriaxon 1
sebelah kanan, nyeri N : 76 x/m g/ 12 jam
pada benjolan, pilek RR : 20 x/m Inj.
(+), batuk (+) Suhu : 36,2 Metronidazole
Status lokalis : 500 mg/8 jam
Hidung Luar : Inj. Metil
benjolan (+), Prednisolon 125
bengkak (+), mg/12 jam
nyeri tekan (+)
Hidung dalam :
sekret (+/-),
mukosa
hiperemis (-)
Telinga :
9
Telinga luar :
normotio (+/+),
tragus pain (-/-),
NT mastoid (-/-)
Telinga dalam : MT
intak (+/+),
discharge (-/-)
Tenggorokan :
Uvula di tengah,
tonsil (T1/T1),
uvula ditengah
11-08- Pasien mengeluh KU : baik, CM Abses Regio Inf. RL 20 tpm
2017 benjolan dihidung TD : 120/90 Nasal Inj. Ceftriaxon 1
sebelah kanan, nyeri N : 80 x/m g/ 12 jam
pada benjolan, pilek RR : 20 x/m Inj.
(+), batuk (+) Suhu : 36,2 Metronidazole
Status lokalis : 500 mg/8 jam
Hidung Luar : Inj. Metil
benjolan (+), Prednisolon 125
bengkak (+), mg/12 jam
nyeri tekan (+)
Hidung dalam :
sekret (+/+),
mukosa
hiperemis (-)
Telinga :
Telinga luar :
normotio (+/+),
tragus pain (-/-),
NT mastoid (-/-)
Telinga dalam : MT
10
intak (+/+),
discharge (-/-)
Tenggorokan :
Uvula di tengah,
tonsil (T1/T1),
uvula ditengah
11
tonsil (T1/T1),
uvula ditengah
12
Benjolan di hidung KU : baik, CM Abses Regio Inf. RL 20 tpm
bagian kanan, nyeri TD : 130/80 Nasal Inj. Ceftriaxon 1
tekan pada benjolan (-), N : 76 x/m g/ 12 jam
pilek (+), batuk (+) RR : 20 x/m Inj.
Suhu : 36,2 c Metronidazole
Status lokalis : 500 mg/8 jam
Hidung Luar : Inj. Metil
benjolan (+), Prednisolon 125
bengkak (+), mg/12 jam
nyeri tekan (+)
Hidung dalam :
sekret (+/+),
mukosa
14-08- hiperemis (-)
2017 Telinga :
Telinga luar :
normotio (+/+),
tragus pain (-/-),
NT mastoid (-/-)
Telinga dalam : MT
intak (+/+),
discharge (-/-)
Tenggorokan :
Uvula di tengah,
tonsil (T1/T1),
uvula ditengah
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
14
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak dibagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
3) tepi anterior kartilago septum.
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.
internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.
15
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior
dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.
16
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior
dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
f. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral
terdapat celah yang berbentuk bulan sabityang dikenal sebagai infundibulum.
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh
salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan
kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum.
g. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.
h. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
17
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid
dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
I. Sinus Paranasal
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasalterbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya
menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
18
Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal
4. Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada
anak.Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intracranial
5. Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa
19
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.
6. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal;
2) Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara
difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas;
5) Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan
nafas terhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung, dan pankreas
20
proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran/perluasan infeksi kebagian lain dari tubuh.
Abses adalah kondisi patologis di mana ada perkembangan
rongga di dalam lapisan jaringan di mana nanah berkembang. Hal ini
biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri. Abses dapat terbentuk di
mana saja di dalam tubuh. Bila ada formasi abses di hidung, maka itu
disebut sebagai Nasal Abscess.
2. Etiologi
Abses Nasal dapat terbentuk setelah pukulan langsung atau
trauma pada hidung atau mungkin terjadi karena kondisi medis
tertentu seperti sinusitis. Abses pada ruang ini dapat merupakan
perkembangan sekunder dari sinusitis maksila. Infeksi yang berasal
dari odontogenik lebih sering dikaitkan dengan gigi molar rahang
atass. Abses Nasal dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, walaupun
infeksi virus tertentu, parasit, atau infiltrasi zat asing di dalam rongga
hidung bersamaan dengan trauma langsung atau pukulan ke hidung
bisa menyebabkan Abses Nasal. Setelah cedera akibat infeksi telah
terjadi dan beberapa jenis kerusakan dilakukan pada area hidung,
mekanisme pertahanan tubuh berfungsi dan mengirim sel darah putih
untuk memperbaiki area yang rusak dan melawan infeksi. Hal ini
menyebabkan nanah yang terdiri dari sel darah putih mati, cairan
getah bening, dan jaringan yang hancur dan bakteri mulai menumpuk
sehingga menghasilkan koleksi nanah di daerah yang terkena
sehingga terbentuk nanah di nasal. Banyak agen yang berbeda
menyebabkan abses. Yang paling umum adalah pembentuk nanah
(piogenik) bakteri seperti Staphylococcus aureus, yang merupakan
penyebab umum abses di bawah kulit. Abses di bagian lain dari tubuh
disebabkan oleh organisme yang biasanya menghuni struktur terdekat
atau yang menginfeksi mereka.
21
3. Patofisologi
Patofisiologi Abses
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh
jaringan untuk mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke
bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing membunuh sel-sel
lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin
tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang
menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit)
ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
22
dalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada
lokasi abses.
Infeksi Odontogenik
Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang
paling sering terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal
atau kelanjutan penyakit periodontal, perikoronal, trauma, atau
infeksi pascapembedahan. Infeksi odontogenik juga lebih sering
disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti streptococcus.
Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara cepat ke sisi
wajah lain. Infeksi bisa bersifat akut atau kronis dan bersifat
subyektif. Suatu kondisi akut biasanya disertai dengan
pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan manifestasi
sistemik yaitu malaise dan demam yang berkepanjangan. Bentuk
kronis bisa berkembang dari penyembuhan sebagian keadaan akut,
serangan yang lemah atau pertahanan yang kuat. Infeksi-infeksi
kronis sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai
tingkatan dan rasa sakit, serta reaksi ringan dari jaringan
sekitarnya. Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen.
Pertama barier anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh,
menahan masuknya bakteri ke jaringan di bawahnya. Pembukaan
pada barier anatomi ini dengan cara insisi poket periodontal yang
dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan membuka jalan masuk
bakteri ke jaringan di bawahnya. Gigi-gigi dan mukosa yang sehat
merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi. Adanya karies
dan poket periodontal memberikan jalan masuk untuk invasi
bakteri serta memberikan lingkungan yang mendukung
perkembangbiakan jumlah bakteri. Mekanisme pertahanan lokal
yang kedua adalah populasi bakteri normal di dalam mulut, bakteri
ini biasanya hidup normal di dalam tubuh host dan tidak
menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bateri tersebut berkurang
23
akibat penggunaan antibiotik, organisme lainnya dapat
menggantikannya dan bekerjasama dengan bakteri penyebab
infeksi mengakibatkan infeksi yang lebih berat. Mekanisme
pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh lainnya
dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri.
Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan
limfosit. Sel fagosit yang berperan dalam proses infeksi adalah
leukosit polimorfonuklear. Fase ini diikuti oleh keluarnya monosit
dari aliran darah ke jaringan dan disebut sebagai makrofag.
Makrofag berfungsi sebagai fagositosis, pembunuh dan
menghancurkan bakteri dan siklus hidupnya cukup lama
dibandingkan leukosit polimorfonuklear. Monosit biasanya terlihat
pada infeksi lanjut atau infeksi kronis. Komponen yang kedua dari
pertahanan seluler adalah populasi dari limfosit.
Patogenesis infeksi :
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu
tahap abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium, dan
tahap lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses
akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka
ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang dapat melalui
foramen apikal atau marginal gingival. Penyebaran infeksi melalui
foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian
terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran
periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang
ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal
mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi
penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi
tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau
abses dentoalveolar.
Infeksi orofasial
24
Penyebab utama dari infeksi orofasial adalah gigi non-vital,
perikoronitis (karena semi-impaksi gigi mandibula), pencabutan
gigi, granuloma periapikal yang tidak dapat ditangani, dan kista.
Penyebab yang lebih jarang antara lain: trauma pasca operasi, cacat
karena patah tulang, lesi kelenjar ludah atau getah bening, dan
infeksi sebagai akibat dari anestesi lokal. Infeksi odontogenik
biasanya menyebar pada daerah kepala dan leher setelah
menembus periosteum pada prosesus alveolaris. Infeksi tersebut
dapat menyebar ke spasium-spasium tertentu di sekitar kepala dan
leher yang berkaitan dengannya. Gejala adanya trismus dan
disfagia dapat dikaitkan dengan adanya penyebaran pada ruang-
ruang tersebut.
Pengetahuan anatomis yang berhubungan dengan ruang ini akan
membantu mengidentifikasi daerah-daerah yang potensial menjadi
tempat penyebaran infeksi, membantu menentukan bagian mana
yang akan diinsisi dan didrainase.10 Spasium fasial adalah suatu
area yang tersusun atas lapisan-lapisan fasia di daerah kepala dan
leher berupa jaringan ikat yang membungkus otot-otot dan
berpotensi untuk terserang infeksi serta dapat ditembus oleh
eksudat purulent. Spasium-spasium tersebut dapat dikelompokkan
sebagai spasium fasial primer yang meliputi spasium maksila
primer (spasium kaninus, spasium bukalis, spasium
infratemporalis) dan spasium mandibular primer (spasium
submental, spasium sublingual, spasium submandibular), spasium
fasial sekunder (spasium masseter, spasium pterigomandibular,
spasium temporal), dan spasium fasial servikali (spasium faringeal
lateral, spasium retrofaringeal, spasium prevertebra)
4. Gejala Klinis
25
karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan
maka manifestasi lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda
dan gejala dari proses inflamasi, gejalanya bisa berupa :
1) Nyeri
2) Nyeri tekan
3) Teraba hangat
4) Pembengkakan
5) Kemerahan
6) Demam
7) Hidung tersumbat
5. Diagnosis
Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali,
sedangkan abses dalam seringkali sulit ditemukan. Pada penderita
abses, biasanya pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah
sel darah putih. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dalam,
bisa dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT scan atau MRI.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Sebagian abses nasi biasanya mempunyai riwayat
trauma, kadang-kadang penderita tidak menyadari terjadinya trauma
tersebut. Gejala abses nasi adalah hidung tersumbat yang progresif
disertai rasa nyeri. Perlu ditanyakan riwayat operasi hidung
sebelumnya, gejala peradangan hidung dan sinus paranasal, furunkel
intra nasal, penyakit gigi dan penyakit sistemik. Akibat trauma
hidung, terkadang pada inspeksi masih tampak kelainan berupa
eskoriasi, laserasi kulit, epistaksis, deformitas hidung, edema dan
ekimosis. Pemeriksaan laboratorium darah akan menunjukkan
leukositosis.Pemeriksaan foto rontgen sinus paranasal atau CT scan
harus dilakukan untuk mencari etiologi ataupun komplikasi.
6. Penatalaksanaan
26
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya di
indikasikan apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa
yang keras menjadi tahap pus yang lebih lunak. Apabila
menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis,
tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan
terakhir yang perlu dilakukan. Karena sering kali abses disebabkan
oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik antistafilokokus seperti
flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA)
yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi
tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui
komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa
penanganan hanya dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase
pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif.
Penanganan Abses
Abses fluktuan dengan dinding yang tertutup, baik abses periodontal
maupun periapikal, dirawat secara lokal yaitu insisi dan drainase,
maka anestesi yang dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu sebelum
aspirasi sudah dianggap cukup untuk melanjutkan tindakan ini.
Lokasi standar untuk melakukan insisi abses adalah daerah yang
paling bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase dengan
memanfaatkan pengaruh gravitasi. Seperti pada pembuatan flap,
biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah membuat insisi
yang terlalu kecil. Insisi yang agak lebih besar mempermudah
drainase dan pembukaannya bisa bertahan lebih lama. Drain yang
dipakai adalah suatu selang karet dan di pertahankan pada posisinya
dengan jahitan.
27
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. PEMBAHASAN
Seorang perempuan usia 37 tahun datang dengan keluhan benjolan
dihidung sebelah kanan, dialami sejak lebih dari 1 bulan yang lalu. Pasien
memiliki riwayat sakit gigi kanan atas sejak lebih dari 1 bulan yang lalu serta
pasien mengeluhkan batuk dan pilek.
Kemudian Infeksi pada gigi geraham kanan atas pasien dikonsulkan
pada bagian gigi dimana mendapatkan penanganan odentocmy pada sisa akar
gigi kanan atas.
Pemeriksaan fisik pada hidung menunjukkan benjolan dan
pembengkakan di daerah hidung sebelah kanan pasien. Tanda dan gejala
klinis yang ditunjukkan pasien sesuai dengan tentang abses region nasal.
Tanda-tanda dan gejala infeksi regio nasal adalah nyeri, dan pembengkakan.
Udim yang menimbulkan rasa sakit pada regio nasal, dan nyeri selama
palpasi udim.
B. KESIMPULAN
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan
pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan sel darah putih) proses
ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan infeksi kebagian lain dari tubuh. Dan pada Abses
rongga mulut merupakan infeksi pada mulut, wajah, rahang, tenggorokan
yang berawal dari infeksi gigi atau karies gigi.
28
oleh infeksi bakteri. Abses dapat terbentuk di mana saja di dalam tubuh.
Bila ada formasi abses di hidung, maka itu disebut sebagai Nasal Abscess.
penderita
29
DAFTAR PUSTAKA
30