Pembimbing :
Diajukan Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
CASE REPORT
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal, 1 Februari 2017
Pembimbing I
KRH. DR. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA.,
MARS., M.Si, Audiologist
(.............................................)
Pembimbing II
Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT KL
(.............................................)
Pembimbing III
dr. Dimas Adi Nugroho, Sp.THT-KL
(.............................................)
I. Identitas
1. Pasien
a. Nama : Ny. E
b. Umur : 57 Tahun
c. Alamat : Karanganyar
d. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
e. Status Perkawinan : Menikah
f. Tgl masuk : Senin, 9 Januari 2017
g. No RM : 3777XXX
III.Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
1. Keadaan umun : Cukup
2. Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
3. Tekanan darah : 130/80 mmHg
4. Nadi : 72x/ menit
5. Respirasi : 18x/ menit
6. Suhu badan : 36,5 oC
B. Kondisi Medik
1. Kepala : Normocephal, Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), Pupil isokhor (3mm/3mm), Sianosis (-)
2. Leher : Leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea
(-), massa (-), JVP (-), Pembesaran Kelenjar Limfe (-)
3. Thorax :
Paru-paru
Inspeksi : Kelainan bentuk dada (-), gerak dada kanan dan kiri
simetris, pelebaran vena superficial (-), benjolan/massa (-), sikatriks (-).
Palpasi : Tidak terdapat ketinggalan gerak antara pulmo dekstra dan
sinistra.
Perkusi : Suara paru sonor/sonor, paru dalam batas normal
Auskultasi : Suara dasar vesicular (+), tidak ada suara tambahan.
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Suara jantung redup, batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : Bunyi jantung 1, 2 murni regular terdengar pada SIC 1
dan 2 linea parasternal sinistra et dekstra.
Abdomen
Inspeksi : Perut buncit (-), Ascites (-), Distended (-), sikatriks (-)
Auskultasi : Suara peristaltik (normal), suara tambahan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak
teraba, defans muskular (-)
Perkusi : Suara timpani (+)
4. Extremitas : clubbing finger (-), deformitas (-), edema ekstremitas (-)
C. Status Lokalis
1. Hidung
a.Pemeriksaan
Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung
Hidung luar Bentuk normal, hiperemis Bentuk normal, hiperemis
(-), deformitas (-), nyeri (-), deformitas (-), nyeri
tekan (-), krepitasi (-) tekan (-), krepitasi (-)
b. Rinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), Bentuk (normal),
hiperemia (-) hiperemia (-)
Meatus nasi Mukosa hiperemis (-), Mukosa hiperemis (+),
media sekret (-), massa berwarna sekret (-), massa berwarna
putih mengkilat (-). putih mengkilat (-).
Konka nasi Edema (-), mukosa Edema (+), mukosa
inferior hiperemi (-) hiperemi (+)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-) ulkus (-)
c. Rinoskopi posterior
1) Tidak tampak pembesaran kelenjar adenoid
2) Concha superior dalam batas normal
3) Muara tuba eustachii nampak tidak ada oklusi
MT intak MT intak
Cone of light Cone of
(+) light (+)
HB 13,7 12-16
CT 04.30 2-8
BT 01.30 1-3
SGOT 23 0-46
SGPT 23 0-42
B. Foto CT-SCAN
V. Diagnosis
Rinosinusitis Kronik Sinistra
VIII. Edukasi
Meninum obat secara teratur
Memeriksakan gigi ke dokter gigi
Aktivitas fisik teratur
Meningkatkan asupan buah dan sayur
Jika timbul gejala segera beristirahat, jangan beraktivitas terlalu berat
Motivasi operasi agar pasien mempersiapkan diri karena akan segera dioperasi
IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung
luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah (Moore,
2013).
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
(Moore, 2013).
1. Tulang hidung (os nasalis)
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis
Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu (Moore, 2013).
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)
3. Kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Sinus paranasal memiliki bentuk yang bervariasi antar individu
sehingga sulit dideskripsikan. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Rongga
sinus terebut berisi udara yang berlapis mukosa dan memiliki muara (ostium)
masing - masing ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal terdiri dari 4
pasang yaitu sinus maksilaris, sinus etmoid, sinus frontalis, dan sinus sfenoid
(Snell, 2011).
Pembentukan sinus-sinus paranasal dimulai sejak dalam
kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu
sinus maksila dan etmoid.5 Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid
anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang
usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Pada sekitar 20%
populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter, dan tidak memiliki
makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8
hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua
puluhan (Snell, 2011).
Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh
tulang-tulang nasal, frontal, etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk
oleh maksila dan prosesus palatina, palatina dan prosesus horizontal. Gambar
1 menunjukkan anatomi tulang-tulang pembentuk dinding nasal bagian
lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari tulang etmoid, konka
supreme, superior, dan media. Konka inferior dipertimbangkan sebagai
struktur independen. Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di
baliknya di bagian lateral yang disebut meatus, seperti terlihat pada gambar 2
(Ballenger, 2008).
Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi
muara sinus maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di
belakang konka media. Bagian tulang kecil ini dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Jika konka media diangkat, maka akan tampak hiatus semilunaris
dan bulla etmoid seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian
superior terdiri dari sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan
dengan epitel olfaktori dan lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari
sel-sel etmoid terdapat sinus frontal. Aspek postero-superior dari dinding
lateral nasal merupakan dinding anterior dari sinus sfenoid yang terletak di
bawah sela tursika dan sinus kavernosa (Ballenger, 2008).
Gambar 3. Struktur di balik konka(Ballenger, 2008)
Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa
ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4.
Aliran sekresi sinus sfenoid menuju resesus sfenoetmoid, sinus frontal
menuju infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior \menuju meatus
media, sinus etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju
meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah
duktus nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior (Ballenger,
2008)
KOM adalah celah pada dinding lateral hidung dibatasi oleh konka
media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang menyusun KOM adalah
proseus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi dan resesus frontal (Gaillard , 2010)
KOM merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus sinus
yang terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal.
Ostium terletak pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus
media (Gaillard , 2010)
3. Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya
akut dengan batas sampai 8 minggu dan kronik lebih dari 8 minggu.
Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai
4 minngu, sub akut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih
dari 3 bulan (Buku Ajar THT FK UI, 2014).
4. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal
(KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan (Kern and Liddy, 2015)
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berderkatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan ( Buku Ajar THT FK UI, 2014).
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial
dan memerlukan terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil ( misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi ( Buku Ajar THT FK UI, 2014).
D. Sinusitis Dentogen
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus. Sehingga, disebut
sinusitis dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting
sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar
gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang
tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi
gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui
pembuluh darah dan limfe. Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada
sinusitis maksilaris kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan
napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus
dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Soepardi et al,
2012)
a. Perjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi
dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih
sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus
oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi
mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal.
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan
terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran
infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa
sinus
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris
dan sinus maksila
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler
(Soepardi et al, 2012)
A. PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini telah dilaporkan seorang perempuan usia 57
tahun dengan keluhan nyeri kepala, hidung tersumbat sebelah kiri, keluar
ingus dibelakang hidung, hidung berbau. Untuk menegakkan diagnosis
sinusitis dapat dipakai suatu kriteria dari American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) berdasarkan gejala
dan tanda sinonasal yang dibagi menjadi kriteria mayor dan minor.
Mayor Minor
Sekret anterior nasal purulen Sakit kepala
Sekret posterior nasal purulen Batuk
Demam (akut) Rasa lelah
Kongesti dan Obstruksi nasal Halitosis
Kongesti wajah Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan pada telinga
Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria
mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7
hari.
B. KESIMPULAN
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah
rinosinusitis.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger JJ. Aplikasi klinis anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal
dalam penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 26.
Jakarta: Binarupa Aksara, 2008
Guyton, A.C., John, E.H., 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC
Kern R.C, Liddy W., 2015. Patogenesis of Chronic Rhinosinusitis :Cumming
Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 16 edition. 2015. Mosby.
Chapter : 45. Page : 714-723
Lal Devyani and Stankiewicz J.A, 2015. Primary Sinus Surgery : :Cumming
Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 16 edition. 2015. Mosby.
Chapter : 45. Page : 752-763
Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2012. Hal 118-9;
155-9.
Snell, S.R. 2011., Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th Ed. Jakarta :
EGC
Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2nd Ed. Jakarta: EGC