Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

SEORANG PEREMPUAN USIA 22 TAHUN DENGAN TONSILITIS


KRONIS DAN HIPERTROFI ADENOID

Disusun oleh:
Amelia Anita Sari G992208005

Pembimbing:
dr. Aziza Viquisa Berliana Putri, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN PRESENTASI KASUS

Presentasi kasus yang berjudul:

SEORANG PEREMPUAN USIA 22 TAHUN DENGAN TONSILITIS


KRONIS DAN HIPERTROFI ADENOID

Disusun oleh:

Amelia Anita Sari G992208005

Periode: 6 Februari - 5 Maret 2023

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret - RS Dr. Moewardi

Surakarta, 22 Februari 2023

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Staff Pembimbing

dr. Aziza Viquisa Berliana Putri, Sp.THT-KL


BAB I
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
1. Identitas
Nama : Nn. FDP
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Teras, Boyolali
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Suku/ras : Jawa
No. RM : 0160xxxx

2. Keluhan Utama
Tenggorokan terasa mengganjal

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta
pada tanggal 13 Februari 2023 dengan keluhan tenggorokan terasa
mengganjal sejak 1 tahun sebelum periksa dan semakin memberat sejak 3
bulan terakhir. Keluhan pasien juga sering disertai demam, pilek, dan batuk
berdahak yang dirasakan 2 kali dalam sebulan. Keluhan dirasa semakin
memberat apabila mengkonsumsi makanan yang berminyak dan minuman
dingin. Keluhan berkurang saat minum obat dari dokter umum namun
keluhan dirasa masih timbul. Pasien juga mengeluhkan setiap tidur
mengorok dan terkadang ada bau mulut tidak sedap.
Keluhan telinga berdenging, terasa penuh, ataupun keluar cairan dari
telinga disangkal. Keluhan hidung tersumbat dan mimisan disangkal.
Keluhan suara serak, sensasi cairan mengalir di tenggorokan, dan sesak
napas disangkal oleh pasien.

1
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma : diakui, sejak 2019 dan masih dalam
masa pengobatan dengan symbicort
Riwayat COVID-19 : diakui, 1 kali pada 2021
Riwayat keluar cairan dari telinga : disangkal
Riwayat sakit gigi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat penyakit lain : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hidung tersumbat : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat COVID-19 : disangkal
Riwayat keluar cairan dari telinga : disangkal
Riwayat sakit gigi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat hipertensi : diakui, ibu pasien
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat penyakit lain : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
Pasien makan teratur 2-3 kali sehari dengan menu bervariasi, nasi, lauk
pauk, dan sayuran. Pasien mengatakan tidak rutin minum air putih, sekitar
kurang dari 2 liter sehari. Pasien tidak merokok, jarang terpapar asap rokok,
dan tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien mengatakan jarang berolahraga,

2
sekitar 2 bulan sekali.

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Aktivitas sehari-hari pasien saat ini berkuliah. Pasien tinggal serumah
bersama kedua orang tua dan adik pasien.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
b. Keadaan umum : Baik, tampak sakit ringan
c. Tanda vital
Tekanan darah : 122/84 mmHg
Frekuensi nadi : 109 kali/menit
Frekuensi nafas : 22 kali/menit
Suhu : 36,3oC
SpO2 : 99%
d. Berat badan : 77 kg
Tinggi badan : 149 cm
IMT : 34,7 kg/m2 (obesitas derajat II)
e. Thoraks : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan = kiri, retraksi intercostal (-)
f. Jantung
1) Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus kordis teraba dan kuat angkat
3) Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), bising (-)
g. Paru-paru
1) Inspeksi
a) Statis: Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak
mendatar
b) Dinamis: Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)

3
2) Palpasi
a) Statis: Nyeri tekan (-), benjolan (-)
b) Dinamis: Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri
3) Perkusi
a) Kanan / kiri: Sonor / sonor
4) Auskultasi
a) Kanan / kiri: Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah kasar
(-/-), ronki basah halus (-/-), wheezing (-/-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding thoraks
2) Auskultasi : Bising usus (+) 8 kali/menit, bruit hepar (-)
3) Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
4) Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

2. Status THT-KL
a. Telinga
Subjek Dextra Sinistra
Normotia, edema (-), Normotia, edema (-),
hiperemis (-), nyeri hiperemis (-), nyeri
Daun Telinga
tekan (-), nyeri tarik (-), tekan (-), nyeri tarik (-),
luka (-) luka (-)
Lapang (+), hiperemis Lapang (+), hiperemis
Canalis Akustikus
(-), massa (-), serumen (-), massa (-), serumen
Eksterna
(-) (-)
Intak, refleks cahaya (+) Intak, refleks cahaya
Membran Timpani pada jam 5, discharge (+) pada jam 7,
(-) discharge (-)
Tragus Pain (-) (-)

Hearing Loss (-) (-)

Discharge (-) (-)

Tes Rinne Positif Positif

Tes Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi

Tes Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

4
b. Hidung
Subjek Dextra Sinistra

Hidung bagian luar Inspeksi


dan os nasal Deformitas (-), depresi tulang hidung (-), inflamasi
(-), edema (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), krepitasi (-)

Nares anterior Luka (-) Luka (-)

Vestibulum nasi Furunkel (-) Furunkel (-)

Cavum nasi Lapang, benda asing (-) Lapang, benda asing (-)

Konka nasalis Eutrofi, edema (-), Eutrofi, edema (-),


inferior hiperemis (-), livid (-) hiperemis (-), livid (-)

Meatus nasi Discharge (-), massa Discharge (-), massa (-)


medius (-)
Meatus nasi Discharge (-), massa Discharge (-), massa (-)
inferior (-)
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Nyeri tekan sinus
➢ Sinus frontalis (-) (-)
➢ Sinus (-) (-)
maksilaris
➢ Sinus (-) (-)
sphenoidalis (-) (-)
➢ Sinus
ethmoidalis

c. Mulut
Subjek Hasil

Bibir Mukosa bibir lembab, sianosis (-), ulkus (-), trismus


(-), drooling (-), anemis (-)
Ginggiva Mukosa kemerahan, licin, berdarah (-), edema (-),
hiperemis (-)
Gigi Renggang, tidak ada yang tanggal, berdarah (-)

5
Lidah Kotor (-), oral thrush (-), papil atrofi (-), massa (-),
parese (-), deviasi (-)
Kelenjar getah Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)
bening

d. Tenggorokan
Subjek Dextra Sinistra
Tonsil T2, hiperemis (-), detritus (-), T2, hiperemis (-), detritus
kripte melebar (+) (-), kripte melebar (+)
Faring Hiperemis (-), granulasi (-). post nasal drip (-)
Adenoid Fenomena palatum molle (-)
Lain – lain Uvula di tengah

C. Resume
Seorang perempuan usia 22 tahun datang ke Poliklinik THT RSUD
dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan tenggorokan terasa mengganjal
sejak 1 tahun sebelum periksa dan semakin memberat sejak 3 bulan terakhir.
Keluhan tersebut sering disertai demam, pilek, dan batuk berdahak. Keluhan
memberat saat pasien mengkonsumsi makanan berminyak dan minuman
dingin, dan berkurang saat minum obat dari dokter umum namun masih
timbul. Pasien juga mengeluhkan setiap tidur mengorok dan terkadang ada
bau mulut tidak sedap.
Pasien memiliki riwayat penyakit asma sejak 2019 dan sedang dalam
masa pengobatan, namun keluhan sesak napas diakui jarang muncul.
Riwayat alergi, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes melitus disangkal.
Pasien mengatakan keluhan bersin-bersin saat pagi atau malam hari
disangkal. Keluhan telinga berdenging, terasa penuh, ataupun keluar cairan
dari telinga disangkal. Keluhan hidung tersumbat dan mimisan disangkal.
Keluhan suara serak, sensasi cairan mengalir di tenggorokan, dan sesak
napas disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik,
pasien sadar penuh, dan tampak sakit ringan. Pada pemeriksaan orofaring
didapatkan uvula tampak di tengah, tonsil T2-T2, tidak tampak hiperemis,
tidak ditemukan detritus, dan tampak kripte melebar. Faring tidak tampak
hiperemis, tidak ditemukan jaringan granulasi dan post nasal drip. Tidak

6
ditemukan fenomena palatum molle. Pada pemeriksaan telinga, kedua liang
telinga tampak lapang, tidak ada serumen, dan membran timpani intak
dengan reflek cahaya positif. Pada pemeriksaan hidung bagian luar, tidak
ada deformitas, krepitasi, maupun nyeri tekan. Pada hidung bagian dalam,
tidak ada furunkel, kedua cavum nasi lapang, kedua konka nasalis inferior
eutrofi dan tidak ada hiperemis. Tidak ditemukan nyeri tekan sinus
paranasales. Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan nyeri tekan di
area leher.

D. Diagnosis Banding
1. Abses peritonsiler
2. Faringitis kronis

E. Diagnosis
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi adenoid

F. Terapi
1. Medikamentosa
a. Parasetamol tablet 500 mg 3 kali sehari bila nyeri/diperlukan
b. Vitamin C 50 mg 1 kali sehari
2. Non-Medikamentosa
a. Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut.
b. Edukasi pasien untuk menghindari makanan yang dapat mengiritasi
seperti makanan yang berminyak, pedas, panas, dan air dingin.
c. Edukasi pasien agar mendapat hidrasi yang cukup dengan banyak
minum air putih.
d. Edukasi pasien untuk dirujuk ke dokter spesialis THT agar dilakukan
tatalaksana lebih lanjut → pemeriksaan nasoendoskopi, radiografi foto
polos kepala proyeksi true lateral (fokus adenoid di nasofaring), dan
pro adenotonsilektomi.

7
G. Planning
a. Rujuk ke dokter spesialis THT-KL.
b. Edukasi mengenai adenotonsilektomi.

H. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

I. Foto Orofaring

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TONSILITIS
1. DEFINISI
Tonsil merupakan organ limfatik yang terdiri atas tonsil palatina, tonsil
faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba Eustachius (Gerlach’s tonsil) dan
membentuk suatu lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina
berjumlah sepasang, terletak pada dinding lateral orofaring dan menempel pada
fossa tonsilaris, di antara plika palatoglossus dan plika palatofaringeus. Adenoid
terletak di belakang rongga hidung (Rusmarjono & Soepardi, 2020).
Tonsil berfungsi sebagai unit pertahanan tubuh yang membentuk respons
imun terhadap patogen yang masuk. Epitelium pada tonsil berbentuk kripta dengan
kanal khusus yang mengandung sel “M”. Sel ini yang akan mengambil antigen,
membentuk vesikel, dan membawa antigen ke dalam folikel limfoid sehingga bisa
mengaktifkan limfokin dan immunoglobin. Karena hal ini, tonsil memiliki peranan
yang besar pada anak usia dini, yakni 3–10 tahun (Rusmarjono & Soepardi, 2020).

Gambar 1. Cincin Waldeyer (Rusmarjono & Soepardi, 2020)

Tonsilitis merupakan kondisi peradangan pada tonsil, biasanya pada tonsil


palatina. Selain menyebabkan inflamasi pada tonsil palatina, tonsil faringeal
(adenoid) dan tonsil lingual juga dapat mengalami inflamasi pada kondisi ini
(Anderson & Paterek, 2022).
Tonsilitis akut yaitu infeksi akut pada tonsil yang bisa disebabkan bakteri
maupun virus, dapat menyebabkan abses peritonsiler. Tonsilitis kronik adalah

9
infeksi tonsil yang menetap (kronis) pada tonsil dan dapat memicu timbulnya batu
tonsil. Tonsilitis rekuren terjadi pada individu dengan serangan peradangan tonsil
yang berulang beberapa kali dalam setahun. Baik tonsilitis kronis maupun rekuren
melibatkan insidensi berulang dari tonsil yang mengalami inflamasi, sehingga dapat
berdampak pada kualitas hidup pasien tersebut (Alasmari et al., 2017; Abu Bakar et
al., 2022).

2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, sekitar 2% pasien rawat jalan di klinik atau rumah sakit
datang dengan keluhan sakit tenggorokan (Anderson & Paterek, 2022). Di negara
Mali, tonsilitis menyumbang 1,8% dari penyakit yang dapat ditemui di bagian THT.
Sekitar 9 juta kasus baru tonsilitis didiagnosis di Prancis setiap tahunnya. Selain itu,
jumlah tonsilitis diperkirakan 40 juta per tahun di Amerika Serikat, 4 juta di
Spanyol, atau lebih dari 5% konsultasi medis di Amerika Serikat dan 15% di
Spanyol (Haidara et al., 2019).
Tonsilitis paling sering menyerang kelompok anak-anak. Kelompok usia 5-
15 tahun umumnya menderita tonsilitis yang disebabkan bakteri Streptococcus,
sedangkan tonsillitis viral biasanya lebih sering menyerang kelompok anak yang
lebih muda (Alasmari et al., 2017).

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Tonsilitis dapat disebabkan infeksi bakteri maupun virus. Anak-anak,
individu dengan gangguan imunitas, dan lansia lebih berisiko terserang tonsilitis.
Di negara empat musim, tonsillitis banyak dijumpai pada musim dingin dan awal
musim semi. Namun, penyakit ini sebenarnya dapat menyerang siapa saja dan kapan
saja. Etiologi viral lebih mudah dijumpai pada balita. Penyebab tonsilitis viral yang
paling umum, yaitu: rhinovirus, respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, dan
coronavirus. Virus-virus tersebut memiliki virulensi yang rendah serta jarang
menyebabkan komplikasi. Penyebab lainnya adalah virus Epstein-Barr (penyebab
mononukleosis), cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV juga dapat
mengakibatkan tonsilitis (Anderson & Paterek, 2022).

10
Bakteri yang umumnya menyebabkan tonsilitis akut adalah bakteri
Streptococcus beta-hemolitikus Grup A. Pada tonsilitis rekuren, bakteri yang sering
menyerang adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae (Alasmari et al., 2017). Tonsilitis bakterial dapat
disebabkan oleh patogen aerobik dan anaerobik. Pada pasien yang belum
mendapatkan vaksinasi difteri, Corynebacterium diphteriae juga dapat menjadi
etiologi. Selain itu, tuberkulosis juga telah diimplikasikan pada tonsillitis berulang
dan klinisi harus menilai resiko pada pasien (Anderson & Paterek, 2022).

4. KLASIFIKASI
Tonsilitis dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:
a. Tonsilitis akut merupakan peradangan dalam waktu kurang dari 3 minggu,
bisa karena virus atau bakteri. Gejala yang timbul berupa demam dengan
suhu tubuh tinggi yang disertai nyeri tenggorok, bau mulut, nyeri saat
menelan, disfagia, limfadenopati, eritema tonsil dan eksudat.
b. Tonsilitis membranosa merupakan salah satu jenis radang amandel akut
disertai pembentukan membran/ selaput pada permukaan tonsil dan dapat
meluas. Menurut jenisnya, dibagi menjadi:
1) Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Gejala
umumnya berupa demam, seperti gejala infeksi lainnya. Gejala yang
tampak pada tonsil berupa pembengkakan tonsil yang tertutup
bercak putih kotor yang makin meluas hingga membentuk membran
semu. Bercak dapat menyebar ke palatum molle, uvula, nasofaring,
laring, trakea dan bronkus (bisa menyumbat saluran napas). Mukosa
sangat rentan dan mudah berdarah. Bila terus berlanjut, kelenjar
limfa leher akan membengkak yang terlihat menyerupai leher sapi
(bull neck) atau Burgemeester.

11
Gambar 2. Pseudomembran
2) Tonsilitis Septik
Penyakit ini disebabkan karena bakteri Streptococcus
hemolyticus pada susu sapi. Hanya saja, di Indonesia kasus seperti
ini jarang terjadi.
c. Tonsilitis kronis atau menahun merupakan pembesaran tonsil dalam
jangka waktu lama (berlangsung sampai bulan atau tahun). Penderita juga
memiliki riwayat sakit tenggorokan dengan gejala bau mulut dan nyeri saat
menelan, mengorok, batuk, atau demam. Pada pemeriksaan, tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata dan kriptus melebar dengan
detritus (Vintilescu et al., 2020).

5. DIAGNOSIS
Diagnosis tonsilitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, temuan
pemeriksaan klinis, atau pemeriksaan penunjang (laboratorium atau tes lainnya).
a. Anamnesis
Anamnesis yang mendalam penting dilakukan untuk mengetahui
penyebab keluhan dasar dan menentukan apakah tonsilitis bersifat akut,
berulang, atau kronik. Umumnya, pasien datang dengan keluhan atipikal
seperti nyeri tenggorokan, disfagia, odinofagia, demam, hilang nafsu makan,
limfadenopati servikal, suara serak, dan bau mulut. Tonsilitis akut memiliki
gejala tipikal dan dapat disertai obstruksi jalan nafas seperti mendengkur,
gangguan tidur dan obstructive sleep apnea (OSA). Pada tonsilitis berulang,
memiliki gejala tipikal dan ditegakkan dengan kriteria Paradise. Sedangkan,

12
gejala pada tonsilitis kronik seperti nyeri tenggorokan kronik, halitosis, dan
limfadenopati servikal persisten.
b. Pemeriksaan Fisik
Penilaian tanda vital dan tanda dehidrasi perlu terutama pada anak-
anak. Untuk mengetahui kelainan pada tonsil, maka dilakukan pemeriksaan
rongga mulut dan tenggorok. Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan
bantuan spatula lidah. Pasien diminta membuka mulut, lalu pemeriksa
menilai karakteristik tonsil. Karakteristik yang paling mudah dilihat adalah
perubahan warna (kemerahan) pada tonsil, permukaan tidak rata, dan
pembengkakan. Selain itu, dinilai pelebaran muara kripta, ada tidaknya
detritus, nyeri tekan, dan hiperemis pada arkus anterior. Bisa juga
ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan di tonsil sehingga
menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri menelan, demam tinggi,
bau mulut serta otalgia (Anderson & Paterek, 2022).

Gambar 3. Grading tonsil dengan skala Brodsky (Lu, Zhang, & Xiao, 2018)
Klasifikasi grading didasarkan atas rasio tonsil terhadap orofaring
dari medial ke lateral (diukur antara pilar anterior) (Lu, Zhang, & Xiao,
2018).
0 = tonsil di fossa.
+1 = < 25% tonsil terhadap orofaring.
+2 = > 25% dan < 50%

13
+3 = > 50% dan < 75%
+4 = > 75%
Ukuran Tonsil berhubungan dengan penyempitan laterolateral pada
orofaring.
T0: Tonsil telah dilakukan tonsilektomi
T1: Tonsil tidak melebihi arkus palatofaringeus
T2: Tonsil melebihi arkus palatofaringeus, tetapi tidak melebihi garis
tengah antara arkus palatofaringeus dan uvula.
T3: Tonsil melebihi garis tengah antara arkus palatofaringeus dan uvula.
T4: Tonsil kanan dan kiri bersentuhan (kissing tonsil).
c. Pemeriksaan Penunjang
IDSA (Infectious Disease Society of America) dan AHA (American
Heart Association) merekomendasikan untuk mengidentifikasi status
bakteriologik dalam menegakkan diagnosis tonsilitis. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan dalam menilai etiologi bakteri ialah kultur swab
tenggorok dan rapid antigen detection test (RAT). Menurut CDC
(Centers for Disease Control and Prevention) dan ACP (American
College of Physicians), kultur swab tenggorok atau RAT pada dewasa
dilakukan apabila gejala mengarah pada infeksi streptokokus, seperti
demam persisten, keringat malam, limfadenopati servikal anterior yang
nyeri, nyeri wajah, petekie palatum dan discharge nasal yang purulen.
1) Kultur Swab Tenggorok
Kultur swab tenggorok dilakukan dengan swab tunggal pada
bagian tonsil dan faring posterior, dengan menghindari mukosa
bukal dan lidah. Hasil swab kemudian dimasukkan ke dalam
media transport dan dioleskan pada agar darah. Pertumbuhan
kultur berlangsung selama 18- 48 jam. Pemeriksaan swab
tenggorok harus dilakukan sebelum antibiotik mulai diberikan
agar tidak terdapat false result. Hasil kultur positif swab
tenggorok untuk GHBS menunjukkan bahwa nyeri tenggorok
yang terjadi diakibatkan oleh bakteri streptokokkus.

14
2) Rapid Antigen Test (RAT)
RAT dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi
GABHS. RAT diambil dari swab tenggorok pada dinding faring
posterior dan kedua tonsil. Hasil didapatkan dalam 10 menit.
Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang tinggi dan sensitivitas
yang mencapai 59-95% sehingga apabila diperoleh hasil yang
positif, maka kultur swab tidak perlu dilakukan lagi. Namun
apabila hasil RAT menunjukkan hasil yang negatif, kultur swab
tenggorok diperlukan.
3) Pemeriksaan Titer Antibodi
Pemeriksaan titer antibodi anti streptokokus untuk diagnosis
rutin tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan hasil yang diperoleh
dapat menunjukkan infeksi yang telah lampau, bukan infeksi
sekarang. Titer anti-streptolisin O (ASO) digunakan untuk
mengidentifikasikan infeksi streptokokus grup A pada pasien
yang dicurigai memiliki demam reumatik atau komplikasi non-
supuratif lainnya. Titer ASO mendeteksi antibodi terhadap
streptolisin O pada darah. Streptolisin O merupakan substansi
yang diproduksi oleh GABHS. Hasil titer ASO >200 IU atau
lebih dari 166 Todd unit dinyatakan positif.
4) Pemeriksaan penunjang lain, seperti nasofaringo laringoskopi
(RFL), foto polos nasofaring lateral dan kepala AP/Lateral, CT Scan
kepala leher (Stelter, 2014).

6. DIAGNOSIS BANDING
a. Abses Peritonsiler
Abses peritonsiler atau quinsy merupakan kondisi dimana terjadi
penumpukan pus di ruang peritonsil dan biasanya bersifat unilateral.
Kondisi ini dapat terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, dengan
kuman penyebab biasanya sama dengan penyebab tonsilitis, bisa
bakteri aerob maupun anaerob. Gejala klinisnya sama dengan
tonsilitis, namun dapat disertai odinofagia yang hebat, otalgia di sisi

15
yang sakit, mulut berbau, muntah, hot potato voice, kadang juga
disertai trismus dan pembengkakan kelenjar submandibular dan nyeri
tekan. Terapi pada fase infiltrasi dengan pemberian antibiotik
golongan penisilin atau klindamisin dan obat simptomatik. Pasien
dianjurkan berkumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher. Bila sudah terbentuk abses, maka perlu dilakukan pungsi di
daerah abses dan insisi untuk mengeluarkan pus. Saat infeksi sudah
terkendali (sekitar 2-3 minggu), perlu dilakukan tonsilektomi
(Rusmarjono & Soepardi, 2020).
b. Faringitis Kronis
Faringitis kronis adalah peradangan kronis pada mukosa,
submukosa, dan jaringan limfoid faring dengan onset lebih dari 3
bulan yang sulit disembuhkan. Etiologi faringitis kronis paling sering
disebabkan oleh infeksi bakteri Streptokokus β-hemolitik Grup A,
diikuti oleh faktor noninfeksi berupa alergi. Diperkirakan 1 – 2 %
faringitis akut berkembang menjadi kronis. Gejala yang biasa
dikeluhkan pasien adalah ketidaknyamanan seperti tenggorokan
kering, sensasi benda asing, sensasi terbakar, dan gangguan berbicara.
Pada pemeriksaan fisik, akan tampak faring yang hiperemis dan edema
yang dapat disertai dengan mukosa dinding posterior yang tidak rata
serta bergranular (Li, Huang and Hu, 2019).

7. TATALAKSANA
Untuk sebagian besar pasien, tonsilitis merupakan penyakit yang
dapat sembuh sendiri. Tatalaksana dapat berupa tindakan konservatif (non
medikamentosa dan medikamentosa) dan operatif (tonsilektomi dan atau
adenoidektomi).
a. Tindakan Konservatif
1) Non medikamentosa: dengan meningkatkan status gizi dan
menjaga oral hygiene.
2) Medikamentosa: dilakukan dengan pemberian obat-obatan
untuk meredakan keluhan.

16
3) Analgesik dan antipiretik: Pada kasus tonsilitis yang
disebabkan oleh virus, umumnya penderita akan merasa
demam sehingga perlu dilakukan tirah baring, pemberian
cairan adekuat, diet ringan, atau pemberian antivirus dan
analgesik (paracetamol atau ibuprofen) apabila keluhan
memberat.
4) Antibiotika: Tonsilitis yang dikarenakan bakteri, maka
penting diberikan antibiotik broad spectrum selama 10 hari
(seperti penisilin atau eritromisin) (Rusmarjono &
Soepardi, 2020).
5) ADS: anti serum difteri dapat diberikan jika ada kecurigaan
penderita mengalami tonsilitis difteri.
b. Tindakan Operatif
Pengobatan pasti tonsilitis kronis adalah dengan
pembedahan. Tindakan ini dilakukan apabila penatalaksanaan
medis atau tindakan konservatif gagal dalam meringankan gejala.
1) Tonsilektomi
Pada prosedur tindakan operasi, pengangkatan
tonsila palatina dapat dilakukan sebagian saja (tonsilotomi)
atau mengambil tonsil secara keseluruhan termasuk
kapsulnya (tonsilektomi). Tonsilektomi, dapat dilakukan
apabila ada indikasi yang terjadi pada pasien. Tiga indikasi
utama dilakukan tonsilektomi, yaitu:
a) Infeksi Tenggorokan Rekuren
Berdasarkan kriteria Paradise (American
Academy of Otolaryngology–Head and Neck
Surgery/AAO-HNS), tonsilektomi dilakukan bila
terjadi minimal frekuensi berikut:
● ≥7 episode tonsilitis dalam 1 tahun
● ≥5 episode per tahun selama 2 tahun terakhir
● ≥ 3 episode per tahun selama 3 tahun terakhir

17
Minimal frekuensi harus disertai dengan
presentasi klinis nyeri tenggorokan dengan 1 atau
lebih manifestasi berupa suhu >38,3°C,
limfadenopati servikal (pembesaran nodus limfa >2
cm), eksudat tonsilar, kultur positif dari
Streptococcus β hemoliticus group A (SBHGA).
b) Obstructive Sleep Disordered Breathing (OSDB)
atau Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Gangguan pernapasan obstruktif saat tidur
dan gangguan tidur menyebabkan gangguan
oksigenasi/ventilasi dan pola tidur pada anak.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, rekaman suara/video, dan saturasi
oksigen. Hipertrofi tonsil dan adenoid dengan ukuran
3+ dan 4+ merupakan penyebab tersering OSDB dan
OSA pada anak.
c) Neoplasma

Selain itu, AAO-HNS menyatakan indikasi lain tonsilektomi bila:

• Indikasi absolut
➢ Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
➢ Rhinitis & Sinusitis kronis, peritonsilitis, Abses peritonsiler yang tidak
membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
➢ Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
➢ Tonsilitis curiga ganas yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi.
• Indikasi relatif
➢ Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
➢ Halithosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan terapi medis.
➢ Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B-hemolitikus

18
yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik B-laktamase resisten.
Kontraindikasi tonsilektomi antara lain: riwayat gangguan perdarahan,
risiko efek samping anestesi, kelainan anatomi seperti submucosal cleft palate,
kelainan maxilofacial dan dentofacial, penyakit jantung yang didapat, multipel
alergi, penyakit lain dan penyulit metabolik lain, down syndrome, infeksi saluran
pernafasan akut.
2) Adenotonsilektomi
Adenoidektomi merupakan tindakan pengangkatan
adenoid. Pada kasus tonsiloadenoiditis, maka perlu
dilakukan tindakan pembedahan berupa adenoidektomi
(dengan cara kuretase memakai adenotom) dan tonsilektomi
(Rusmarjono & Soepardi, 2020).

8. PROGNOSIS
Prognosis tonsilitis akut tanpa disertai komplikasi sangat baik. Pada
kebanyakan pasien dengan imunitas yang cukup, penyakit ini akan sembuh sendiri.
Untuk pasien-pasien dengan tonsilitis yang sering kambuh, mungkin memerlukan
tindakan pembedahan (tonsilektomi), namun prognosis untuk jangka panjangnya
juga bagus. Saat ini, pasien dengan komplikasi seperti abses peritonsiler, juga
memiliki prognosis jangka panjang sangat baik, berkat adanya antibiotik. Sementara
untuk kasus komplikasi SBHGA, seperti demam rematik dan glomerulonefritis,
pasien dapat menderita sekuele jangka panjang seperti penyakit jantung dan
menurunnya fungsi ginjal. Namun, kasus seperti ini jarang ditemui di negara maju
dan insidensinya menurun karena terapi penisilin. Bila gejala tidak kunjung
membaik, maka diagnosis penyakit lain perlu dipertimbangkan (Anderson &
Paterek, 2022).

9. KOMPLIKASI
Komplikasi tonsilitis dapat dibagi menjadi komplikasi supuratif dan non-
supuratif. Komplikasi supuratif terdiri dari abses peritonsilar, abses retrofaringeal,
dan abses parafaringeal. Komplikasi nonsupuratif terdiri dari demam reumatik akut,
glomerulonefritis akut, dan Lemierre’s syndrome (Mustafa & Ghaffari, 2020).

19
B. HIPERTROFI ADENOID
1. DEFINISI
Adenoid atau tonsila faringeal merupakan sebuah massa yang memiliki
dasar yang terletak di dinding posterior nasofaring dan apeks yang menusuk ke arah
septum nasi (Rusmarjono & Soepardi, 2020). Permukaan adenoid berlapis-lapis
dalam serangkaian lipatan dengan beberapa kripta namun tidak disertai kompleks
kripta seperti yang terdapat pada tonsil palatina. Secara histologis, epitel yang
menyusunnya merupakan epitel pseudostratified bersilia dan diinfiltrasi oleh folikel
limfoid (Viswanatha, 2016).

Hipertrofi adenoid adalah pembesaran jaringan adenoid (Rusmarjono &


Soepardi, 2020). Hal ini sering terjadi akibat infeksi saluran nafas bagian atas
berulang. Hipertrofi dan infeksi dapat terjadi secara terpisah tetapi sering terjadi
bersama. Struktur adenoid yang lunak dan normalnya tersebar dalam nasofaring,
terutama pada dinding posterior dan atapnya, mengalami hipertrofi dan terbentuk
massa dengan berbagai ukuran. Massa ini dapat hampir mengisi ruang nasofaring,
mengganggu saluran udara yang melalui hidung, mengobstruksi tuba eustachii, dan
memblokade pembersihan mukosa hidung (Snow Jr. & Wackym, 2018).

2. ETIOLOGI
Etiologi hipertrofi adenoid dapat diringkas menjadi dua yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi
pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama
sekali pada usia 14 tahun (Rusmarjono & Soepardi, 2020). Hipertrofi adenoid
biasanya asimptomatik, namun jika cukup besar akan menyebabkan gejala.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau
rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA. Etiologi pembesaran adenoid
sebagian besar disebabkan oleh infeksi yang berulang pada saluran nafas bagian
atas. Selain itu episode alergi juga dapat menyebabkan pembesaran adenoid.

3. PATOGENESIS
Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh. Adenoid merupakan
jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid

20
memproduksi IgA sebagai bagian penting dalam sistem pertahanan tubuh lini
terdepan dalam proteksi tubuh dari mikroorganisme dan molekul asing. Pada anak-
anak pembesaran adenoid terjadi karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid
(tonsil faringeal) merupakan organ limfoid pertama dalam tubuh yang memfagosit
kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting
sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti
pada epitel kripta, folikel limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu,
hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu
sendiri dan mikroorganisme patogen. Adenoid dapat membesar yang
mengakibatkan tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan
usaha yang keras untuk bernafas. Akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang
terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi di saluran udara pada nasal
sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid juga menyebabkan obstruksi
pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan
dalam telinga tengah akibat gangguan fungsi tuba eustachius yang tidak bekerja
efisien karena adanya sumbatan.

4. DIAGNOSIS
a) Anamnesis
Keluhan utama pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya adalah
rhinore, kualitas suara berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa
pernapasan lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing),
mendengkur, gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif
(merupakan penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga
tengah yang persisten) dan facies adenoid (Snow Jr. & Wackym, 2018).
Secara umum anak-anak dengan pembesaran adenoid memiliki
karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal dan
pertumbuhan maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini
terdiri dari postur bibir yang terbuka atas yang lebih pendek; hidung yang
kurus, maksilla yang sempit dan hipoplastik, dan high-arched palate
(Snow Jr. & Wackym, 2018).

21
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terbagi dua yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung yaitu:
• Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring
setelah palatum molle di retraksi,
• Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum
molle waktu mengucapkan "i" yang terhambat oleh
pembesaran adenoid, hal ini disebut fenomena palatum molle
yang negatif.
Sedangan secara tidak langsung yaitu:

● Dengan pemeriksaan rhinoskopi posterior, menggunakan


cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah
orofaring,
● Dengan nasofaringoskop, suatu alat yang mempunyai sistem
lensa dan lampu diujungnya, dimasukkan melalui cavum
nasi, sehingga nasofaring dapat terlihat.

Pemeriksaan klinis yang dilakukan pada anak dengan obstruksi nasal


kebanyakan sulit dipercaya. Pemeriksaan cavum nasi yang dilakukan
dengan rinoskopi anterior dapat terlihat normal atau dapat menunjukkan
peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun kongesti (hiperemis atau kebiruan)
di konka. Pada beberapa anak, pemeriksaan nasofaring dengan kaca laring
dapat mengidentifikasi adenoid yang besar. Akan tetapi, pada beberapa anak
pemeriksaan dengan kaca laring ini tidak mungkin dilakukan. Cara yang
paling mungkin untuk mengidentifikasi ukuran adenoid ini adalah dengan
menggunakan foto lateral. Foto radiologi ini akan memberikan pengukuran
absolut dari adenoid dan juga dapat memberikan taksiran hubungannya
dengan ukuran jalan napas. Hal ini adalah metode terbaik untuk menentukan
apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi nasal.

22
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos
Menurut Snow Jr. & Wackym (2018), gold standard untuk
menilai pembesaran adenoid adalah pemeriksaan radiografi foto polos
kepala proyeksi true lateral (fokus adenoid di nasofaring) dan laring
faring lateral soft tissue. Alasan menggunakan pemeriksaan tersebut
karena letak adenoid yang berada di dinding posterior nasofaring akan
terlihat lebih jelas dari posisi lateral. Pasien diminta untuk ekstensi
supaya sphenobasio occipital dengan palatum dalam posisi sebidang dan
keadaan buka mulut supaya nasofaring terlihat lurus sehingga tidak ada
superposisi antara jaringan adenoid dengan condyle mandibula.
Terdapat beberapa metode untuk mengukur hipertrofi adenoid,
seperti metode Fujioka, metode Kurien, metode Cohen-Konak, dan lain-
lain. Metode yang paling sering digunakan adalah metode Fujioka.
Metode ini dilakukan dengan menilai Rasio Adenoid Nasofaring (RAN)
dari besarnya adenoid dan nasofaring (Vallur, 2019).
Foto polos nasofaring lateral view menunjukkan rasio adenoid-nasofaring.
- BB: Garis ditarik sepanjang bagian lurus tepi anterior basis occipital.
- AD: Kedalaman adenoid (garis tegak lurus dari BB ke bagian paling cembung
bantalan adenoid).
- ND: Kedalaman nasofaring (garis antara sinkondrosis sphenobasi occiput ke tepi
posterior langit-langit keras/palatum durum) (Moideen et al, 2019).
Pembesaran adenoid dihitung dengan membagi AD dengan ND, atau disebut rasio
AN=A/N. Interpretasi hasil pengukuran RAN sebagai berikut:
a) Ratio adenoid/ nasofaring 0-0,52: tidak ada pembesaran.
b) Rasio adenoid/nasofaring 0,52-0,72: pembesaran sedang non obstruksi
c) Rasio adenoid/nasofaring >0,72: terdapat pembesaran dengan obstruksi
(Somayaji et al, 2012).
b. CT Scan dan MRI
CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
dari hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor. Gambaran hipertrofi

23
adenoid yang terdapat pada CT scan dan MRI adalah gambaran
densitas/intensitas rendah tanpa adanya central midline cyst.
c. Endoskopi
Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid,
infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta untuk
menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal. Adapun ukuran adenoid
diklasifikasikan menurut klasifikasi Clemens et al, yang mana adenoid grade
I adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal
posterior bagian vertikal (choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga
dua per tiga dari koana, grade III ketika mengisi dua per tiga 16 hingga
obstruksi koana yang hampir lengkap dan grade IV adalah obstruksi koana
sempurna.

6. PENATALAKSANAAN
Terapi pada hipertrofi adenoid adalah dengan terapi bedah
adenoidektomi menggunakan adenotom. Beberapa penelitian menerangkan
manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid.
Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat
mengecilkan adenoid (sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu
dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga
tengah yang persisten atau otitis media yang rekuren, adeinoidektomi
meminimalkan terjadinya rekurensi.

7. KOMPLIKASI
Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila
pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan
terjadinya kerusakan dinding posterior faring. Bila kuretase terlalu ke lateral
maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba
eustachius dan timbul tuli konduktif. Hipertrofi adenoid merupakan salah
satu penyebab tersering dari obstruksi nasal dan dengkuran, dan merupakan
salah satu penyebab terpenting dari obstructive sleep apnea syndrome atau
OSAS, khususnya ketika terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi

24
jalan napas bagian atas, antara lain seperti anomali kraniofasial, maupun
micrognathia akibat sindrom Treacher Collins.

8. PROGNOSIS
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada
kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat
sembuh sempurna, sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat teratasi.
Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala obstruksi
nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan sendirinya.

25
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, M., McKimm, J., Haque, S.Z., Majumder, M.A.A. and Haque, M.,
2018. Chronic tonsillitis and biofilms: a brief overview of treatment
modalities. Journal of inflammation research, pp.329-337.

Alasmari, N.S.H., Bamashmous, R.O.M., Alshuwaykan, R.M.A., Alahmari,


M.A.M., Alshahrani, A.A.M., Alqarni, S.A., Alhadlag, A.S., Alotaibi, F.A.A.,
Alassiri, A.S.A., Alnaji, A.A.H. and Alamri, S.O.R., 2017. Causes and
treatment of tonsillitis. The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 69(8),
pp.2975-2980.

Anderson, J. and Paterek, E., 2022. Tonsillitis. StatPearls. Available at:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544342/ (Accessed: 19 Februari
2023).

Gottlieb, M., Long, B. and Koyfman, A., 2018. Clinical Mimics: An Emergency
Medicine-Focused Review of Streptococcal Pharyngitis Mimics. The Journal
of emergency medicine, 54(5), pp. 619–629. doi:
10.1016/J.JEMERMED.2018.01.031.

Haidara, A.W., Sidibé, Y., Samaké, D., Coulibaly, A., Touré, M.K., Coulibaly,
B.B., Soumaoro, S., Guindo, B., Diarra, K., Coulibaly, K. and Sanogo, B.,
2019. Tonsillitis and their complications: Epidemiological, clinical and
therapeutic profiles. International Journal of Otolaryngology and Head &
Neck Surgery, 8(3), pp.98-105.

Li, Z., Huang, J. and Hu, Z. (2019) ‘Screening and diagnosis of chronic pharyngitis
based on deep learning’, International Journal of Environmental Research
and Public Health, 16(10). doi: 10.3390/ijerph16101688.

Liu, H., Feng, X., Sun, Y. et al. Modified adenoid grading system for evaluating
adenoid size in children: a prospective validation study. Eur Arch
Otorhinolaryngol 278, 2147–2153 (2021). https://doi.org/10.1007/s00405-
021-06768-8.

Lu, X., Zhang, J. and Xiao, S., 2018. Correlation between Brodsky tonsil scale and
tonsil volume in adult patients. BioMed research international, 2018.

Moideen, SP. Mytheenkunju, R. Nair, AG. Mogarnad, M. Afroze, MKH. 2019 Role
of Adenoid-Nasopharyngeal Ratio in Assessing Adenoid Hypertrophy. Indian
J Otolaryngol Head Neck Surg, 71(Suppl 1): 469–473. doi: 10.1007/s12070-
018-1359-7.

Mustafa, Z. and Ghaffari, M., 2020. Diagnostic methods, clinical guidelines, and
antibiotic treatment for group A streptococcal pharyngitis: a narrative review.
Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 10, p.563627.

26
Rusmarjono dan Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD editors. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi 7 Cetakan ke 7.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2020: 217-25.

Snow Jr., J.B. and Wackym, P.A., 2018. Ballenger's Otorhinolaryngology 18th
edition Head and Neck Surgery. Vol. 1: Otology and Neurotology. Ed.
Shelton, Connecticut, USA: People's Medical Publishing House.

Somayaji, Gangadhara K. S, Rajeshwari A, Mahaveera Jain, 2012. Research in


Otolayngology: Significance of Adenoid Nasopharyngeal Ratio in the
Assessment of Adenoid Hypertrophy in Children, India.

Stelter, K. 2014. Tonsillitis and Sore Throat in Children. GMS Current Topics in
Otorhinolaryngology, p. 9.

Vallur, AA. Evaluation of Adenoid Hypertrophy by Lateral Radiograph for


Nasopharynx and by Rigid Nasal Endoscopy: A Prospective Comparative
Study. RFPJENTAlliedSci. 2019; 4(2): 53–56.

Vintilescu, Ş.B., Ioniţă, E., Stepan, A.E., Simionescu, C.E., Matei, M., Stepan,
M.D., Becheanu, C.A. and Niculescu, E.C., 2020. Comparative
clinicopathological aspects of chronic tonsillitis and adenoiditis in children.
Romanian Journal of Morphology and Embryology, 61(3), p.895.

27

Anda mungkin juga menyukai