EPISTAKSIS
Disusun oleh:
Umbu Muri Maramba Djawa
42210525
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. RFR
Tanggal lahir : 17/02/2012
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ngawi. Jawa Timur
Pekerjaan : Pelajar
No RM : 0209XXXX
Tanggal Pemeriksaan : 5 Februari 2022
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Darah keluar dari hidung
E. Lifestyle
STATUS GENERALIS
A. Kepala
Ukuran kepala : normochepali
Wajah : kesan simetris, tidak ada deformitas, tidak ada luka dan jejas
Mata : konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-/-), pupil tampa
k isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya (+/+), gerakan bola mata baik
Telinga : (sesuai status lokalis)
Hidung : (sesuai status lokalis)
Mulut : (sesuai status lokalis)
B. Leher
Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening
Tidak ada pembesaran tiroid
Tidak ada nyeri tekan pada tiroid
Tidak didapatkan kepitasi
Auskultasi: stridor (-)
C. Thorax
1. Paru-paru
Inspeksi : kesan simetris, gerakan dada simetris, jejas (-), retraksi
(-), benjolan (-)
Palpasi : pengembangan paru simetris
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru kiri dan kanan
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
2. Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak, tanda inflamasi (-), jejas (-)
Palpasi : iktus cordis teraba di SIC 5 linea axillaris anterior siini
stra
Perkusi : batas jantung dalam natas mormal
Auskultasi : S1 dan S2 reguler, bising jantung (-), bruit (-)
3. Abdomen
Inspeksi : kesan simetris, distensi abdomen (-), tanda inflamasi
(-), jejas (-)
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen, nyeri ketok ginjal (-),
batas hepar noemal
Palpasi : perbesaran orga intraabdomen (-), nyeri tekan (-), nasa
(-), turgor kulit (-)
4. Ekstremitas
Atas : akral hangat, kuat angkat nadi cukup dan reguler, capilary refi
ll time < 2 detik, gerakan aktif, edema (-), sianosis (-), jejas (-), deform
itas (-).
Bawah : akral hangat, kuat angkat nadi cukup dan reguler, capilary refi
ll time < 2 detik, gerakan aktif, edema (-), sianosis (-), jejas (-), deform
itas (-)
STATUS LOKALIS
A. Pemeriksaan Telinga
C. Pemeriksaan Orofaring
CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Ulserasi (-), bibir kering (-)
Mukosa Oral Stomatitis (-), ulserasi (-), hiperemis (-)
Gusi dan Gigi Hiperemis (+), edem (+), darah (+), ulkus (-), karies dentis (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), warna putih pekat (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Hiperemis (+), deviasi (-)
Tonsila Palatina Kiri Kanan
Tonsil T1/T1, hiperemis (-), Tonsil T1/T1, hiperemis
detritus (-), granulae (-), (-), detritus (-), granulae
kripte melebar (-) (-), kripta melebar (-),
ulkus (-)
Peritonsil Abses (-), edema (-) Abses (-), edema (-)
Faring Hiperemis (+), discharge (-), granular (-), massa (-), darah (+)
Kesan Hiperemis (+), edem (+), darah (+) pada gusi, hiperemis (+) pada uv
ula dan faring terdapat darah.
Kesan: peradangan dan pendarahan pada bagian mulut
V. DIAGNOSIS BANDING
- Epistaksis Anterior ec ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas)
- Epistaksis Anterior ec ITP (Idiopatik Thrombocytopenic Purpura)
VII. PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi
- Menghentikan perdarahan
Kauterisasi
Perdarahan dapat ditangani dengan kauter menggunakan epinephrin, albothyl,
dan oksimetasolin. Dapat dievaluasi setiap 2-3 menit. Kauterisasi tidak dilakukan pad
a kedua septum karena dapat menimbulkan perforasi. Prosedur elektrokauterisasi juga
dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdarahan yang lebih masif yang kemun
gkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang memerlukan anestesi lokal.
Pemasangan tampon
Jika masih pendarahan, penggunaan tampon padat menggunakan kapas panjan
g yang mengandung epinefrin 0,5 % 1:10.000, lidokain 2 %, dan vaselin putih
(petrolatum). Pasang dengan menggunakan spekulum hidung dan pinset bayon
et. Tampon boleh dilepas
- Rawat Inap
Farmakologi
VIII. EDUKASI
- Edukasi keluarga penyebab penyakit dan pengawasan yang ketat pada pasien
- Edukasi keluarga tentang pentingnya 3M Plus, menguras, menutup, dan mema
nfaatkan, plus (mencegah perkembiakan nyamuk).
- Edukasi keluarga untuk memasang kelambu ketika tidur untuk mencegah terja
di kontak langsung dengan nyamuk
- Tidak mengusap dan mengorek hidung dengan menggunakan tangan
- Menggunting kuku secara rutin
- Tidak membuang ingus terlalu keras
IX. PLANNING
- Evaluasi terapi non farmakologi berupa pencegahan perdarahan
- Evaluasi terapi farmakologi yang akan diberikan sampai kadar trombosit >150.
000 mg/dL dan meminimalkan pendarahan
- Rutin kontrol ke poli anak dan THT-KL untuk pengobatan lebih lanjut.
X. PROGNOSIS
Ad Vitam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
Ad Sanationam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EPISTAKSIS
A. DEFINISI
Epistaksis berasal dari istilah yunani epistazein yang berarti perdarahan dari hi
dung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi, kavum nas
i atau nasofaring.
B. ANATOMI
Hidung
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh ku
lit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menye
mpitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri tulang hidung (os nasal), prosesus fro
ntalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan te
rdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu s
epasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dip
isahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pin
tu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang bela
kang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofa
ring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang na
res anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai b
anyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. D
inding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawa
n. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os ma
ksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lam
ina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling baw
ah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema
ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pa
da os maksila dan 4 labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema m
erupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada tiga meatus yaitu meatus inferior, m
edius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidu
ng dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) d
uktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding later
al rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka su
perior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila da
n os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lami
na kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina krib
riformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-luban
g (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan poste
rior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah ro
ngga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya iala
h ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior ko
nka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus kiess
elbach (little‟s area). Pleksus kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera ole
h trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pa
da anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan d
enga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katu
p, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi samp
ai ke intrakranial.
C. ETIOLOGI
1. LOKAL
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya bersin, mengorek hidung, tr
auma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Iritasi gas yang merangsang dan trauma pa
da saat pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. Epistaksis juga sering terjadi k
arena adanya deviasi septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat deviasi itu
sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan.
b. Infeksi
Infeksi hidung seperti rinosinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis da
n lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermitten, k
adang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah. Neoplasma yang dapat men
yebabkan epistaksis masif seperti hemangioma, karsinoma, serta angiofibroma nasofari
ng.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah perdarahan tela
ngiektasisherediter (hereditary hemorrhagic telangiectasis / Osler’s disease). Penyakit i
ni merupakan kelainan pembuluh darah dimana terjadi kerapuhan kapiler sehingga me
mudahkan terjadinya perdarahan.
e. Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis s
ering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin.
f. Operasi
Perdarahan post operatif setelah bedah endoskopik memerlukan perhatian khusu
s.
2. SISTEMIK
Kelainan darah
i. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/µl. T
rombositopenia akan memperpanjang waktu koagulasi dan memperbesar resiko terja
dinya perdarahan dalam pembuluh darah yang lebih kecil di seluruh tubuh
ii. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-
Linked resesif, yang mana gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme herediter,
yaitu adanya defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku secara normal, h
al ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
iii. Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang dipr
oduksi oleh sumsum tulang. Sumsum tulang dalam tubuh manusia memproduksi 3 tip
e sel darah diantaranya lekosit, eritrosit dan trombosit. Pada leukemia terjadi peningk
atan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan pembentukan sel-s
el darah lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi trombositopenia
yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
iv. Obat-obatan seperti: Menyebabkan trombositopeni: Obat kemoterapi, quinidine, golo
ngan sulfa, H2 blockers, obat-obat diabetes oral, alkohol. Mempengaruhi proses koag
ulasi darah: Warfarin, Heparin. Mempengaruhi fungsi platelet: Aspirin, clopidogrel,
OAINS. Obat-obatan herbal: Dong quai, Danshen, Feverfew, bawang, jahe, Gingko,
Ginseng.
a) Penyakit kardiovaskuler.
i. Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanand
iastolik lebih dari 90 mmHg. Perdarahan yang terjadi akibat kerapuhan pembuluh
darah dan kontraksi pembuluh darah terus menerus sehingga pembuluh darah yan
g rapuh mudah pecah.
ii. Arteriosklerosis adalah terjadinya kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah yang tidak elastis akan mengalami rupt
ur.
E. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis yaitu awal terjadi perdarahan, perdarahan pada satu sisi atau k
edua sisi hidung, riwayat perdarahan sebelumnya, durasi dan jumlah perdaraha
n, penyakit penyerta seperti hipertensi, leukemia, hemofilia, purpura, gagal jan
tung, pemakaian obat-obatan seperti Aspirin atau Warfarin, NSAID (Ibuprofe
n), Vitamin E dosis tinggi serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam ke
luarga. Kebanyakan perdarahan dari hidung disebabkan oleh trauma ringan pa
da septum nasi anterior. Riwayat perdarahan hidung yang sering berulang dise
rtai bagian tubuh lain yang mudah memar atau perdarahan lainnya memberika
n kecurigaan terhadap penyebab sistemik dan dianjurkan pemeriksaan hematol
ogis.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan memast
ikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Pada pemeriksaan stat
us lokalis pada hidung ditemukan tampak hiperemis pada konka inferior dan
media dextra. Pada mulut dan orofaring ditemukan darah pada faring
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah
F. PENATALAKSANAAN
Menghentikan Perdarahan
Penanganan pertama dimulai dengan penekanan langsung ala nasi kiri dan kanan bersamaan sela
ma 5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau bel
um. Penderita sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk menghindari darah mengalir
ke faring yang dapat mengakibatkan aspirasi.
2. Kauterisasi
Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan kauteriasi kimia Perak N
itrat 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami perd
arahan selama 2 – 3 detik. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua septum karena dapat menimbul
kan perforasi. Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdar
ahan yang lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang memerlukan a
nestesi lokal.
3. Tampon Hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk menangani epistaksis yang tidak responsif terhadap kauter
isasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon anterior dan tampon posterior. Pada keduanya, dibutuhka
n anestesi dan vasokonstriksi yang adekuat.
Tampon Anterior
Untuk tampon anterior dapat digunakan tampon Boorzalf atau tampon sinonasal atau tampon pita
(ukuran 1,2 cm x 180 cm), yaitu tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberikan vaselin put
ih (petrolatum) dan menggunakan salep antibiotik, misalnya Oksitetrasiklin 1%, tampon ini dapat
dipakai untuk membantu menghentikan epistaksis. Pasang dengan menggunakan spekulum hidun
g dan pinset bayonet, yang diatur secara bersusun dari inferior ke superior untuk memberikan teka
nan yang adekuat. Apabila tampon menggunakan boorzalf atau salep antibiotik harus dilepas dala
m 2 hari.
Tampon posterior.
Epistaksis yang tidak terkontrol menggunakan tampon rongga hidung anterior dapat ditambahkan
tampon posterior. Menggunakan tampon yang digulung, dikenal sebagai tampon Bellocq. Apabila
melakukan pemasangan tampon posterior, maka tampon anterior seyogyanya tetap dipasang. Anti
biotik intravena tetap diberikan untuk mencegah rinosinusitis dan syok septik.
4. Ligasi Arteri
Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi epistaksis. Secara umum, se
makin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol perdarahan semakin efektif. Pembuluh dara
h yang dipilih antara lain: arteri karotis eksterna, arteri maksila interna atau arteri etmoidalis.
5. Embolisasi
Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat diembolisasi. Dilakukan angiogr
afi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Emb
olisasi dilakukan pada arteri maxilaris interna dan externa. Angiografi postembolisasi dapat digun
akan untuk menilai tingkat oklusi.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi asp
irasi darah ke dalam saluran napas bawah, syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya t
ekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia sereb
ri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan segera.
DAFTAR PUSTAKA
1) Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal. [pengar. buku] Ba
llenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakarta:
Bina Rupa, 1994, Vol. 1, hal. 1-44, 551-52.
2) Herkner H, Laggner AN, Muller M, FormanekM, Hypertension in Patients Presenting
With mji Epistaxis. Annals of Emergency Medicine. 2002; 35(2): 126-30.
3) Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR. 2009. Association between Epistaxis and
Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal Bleeding in Hy
pertension Patients. International Journal of Cardiology. 2009; 134: 107-9.
4) Punagi AQ. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini. Makassar: Digi Pustak
a, 2017.
5) Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar IlmuKe
sehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I (ed) Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2012. p.96-100.
6) Panduan Praktis Klinis Tindakan (PPKT) I, PP PERHATI-KL. 2015 Hal 28
DEMAM BERDARAH DENGUE
A. Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang dengan gejala de
mam, nyeri otot dan/atau sendi disertai ruam.
B. Etiologi
Virus dengue adalah salah satu penyebab demam berdarah dengue (DBD). Mempuny
ai empat serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
C. Penularan
Vektor Dengue
Nyamuk Aedes aegipty betina/ penghisap darah siang hari merupakan vektor t
erjadinya demam berdarah dengue (DBD). Biasanya berkembangbiak dan menyimpan
telur-telurnya dipenampungan air bersih atau genangan air hujan.
Penularan dengue
Penularan virus dengue melalui siklus Kera-Aedes-Kera. Virus tidak patogen
pada kera, dan viremia hanya berlangsung dalam waktu < 3 hari. Siklus melalui nyam
uk vektor. Siklus epidemik, terjadi dalam bentuk Aedes Aegypti-Manusia.
D. Faktor risiko
Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit demam berdarah deng
ue yaitu pertama, ras dimana demam berdarah dengue (DBD) dapat menyerang semua
ras. Khususnya seseorang yang berasal dari ras Kaukasia.
Kedua, umur dimana demam berdarah dengue (DBD) menginfeksi semua kelomp
ok umur. Anak-anak yang berumur dibawah 15 tahun umumnya lebih rentan terkena d
emam berdarah dengue (DBD) dapat dilihat dari kebiasaan bahwa anak-anak melakuk
an banyak aktivitas di luar rumah sehingga lebih besar kemungkinan berkontak langsu
ng dengan nyamuk.
Ketiga, jenis kelamin dimana demam berdarah dengue (DBD) menginfeksi laki-la
ki dan perempuan. Beberapa laporan mengatakan bahwa laki-laki lebih banyak menga
lami demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock syndrome (DSS) dari pada per
empuan.
Keempat, kemiskinan atau keadaan sosial ekonomi yang rendah seperti tempat tin
ggal yang padat penduduk menjadi salah satu faktor terkena gigitan nyamuk Aedes ae
gipty.
Kelima, penampungan air, tanaman hias, kebersihan halaman dimana tempat perk
embangbiakan utama nyamuk Aedes aegipty yang tidak dikuras, dirawat, maupun dibe
rsihkan maka dapat meningkatkan kejadian demam berdarah.
E. Manifestasi klinis
Sebagian besar infeksi awal virus dengue tidak menunjukkan gejala/asimptomatik
atau menimbulkan demam yang tidak khas. Gejala demam antara lain berupa demam
tinggi yang terjadi mendadak, sakit kepala, nyeri di belakang bola mata (retro-orbital),
nyeri otot dan sendi, lemah badan, muntah, sakit tenggorokan, ruam kulit makulopap
uler. Jika penderita sebelumnya pernah terinfeksi salah satu serotipe dan mengalami i
nfeksi kedua oleh serotipe lainnya dapat menyebabkan perdarahan dan vaskulopati, he
mokonsentrasi dan efusi cairan yang disebabkan oleh perembesan vaskuler menimbul
kan penyepitan sirkulasi pembuluh darah (kolaps).
F. Patogenesis
Ketika virus dengue masuk di dalam tubuh, virus dengue ini akan bereplikasi deng
an cara menyintesis protein-protein dan menghisap energi-energi sel pejamu yang dik
endalikan oleh asam nukleat (DNA/RNA) virus. Aktivitas virus dengue ini mempenga
ruhi pembentukan imun.
Reaksi antigen-antobodi yang terjadi setelah invasi virus menimbulkan pelepasan
histamin memicu peningkatan permeabilitas kapiler dengan memperbesar pori kapiler
sehingga plasma dapat keluar. Plasma yang keluar ke dalam ruang interstisial seperti
pada selaput pleura dan perineum. Pada sistem koagulasi, tiga unsur yang berperan un
tuk mempertahankan homeostasis adalah sel endotel, protein koagulasi, dan trombosit.
DAFTAR PUSTAKA
1) Farah, T., Trisnawati, Y., & Lubis, M. (2011). Departemen Ilmu Ksehatan Anak FK
USU: Gangguan Koagulasi pada Sepsis. Sari Pediatri Vol 13 No 6: hlm 226-32.
2) Halstead, S. B. (2007) Nelson Textbook of Pediatrics: Dengue Fever and Dengue He
morrhagic Fever. Philadelphia: Saunders Elsevier, Vol 18:pp. 1412- 1414.
3) Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2013). Ilmu Dasar Patofisiologi Robbins. Els
evier Vol 9 No: p. 75-100.
4) Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Sagung Seto
5) Suhendro, Nainggolah, L., Chen, K., & Pohan, H. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit D
alam: Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Interna Publishing.
6) Vorvick, L. (2010). Dengue Hemorrhagic Fever. Yogyakarta: MediaPlus.
7) Yuniar, R. W. (2020). Demam berdarah: Nyamuk ‘modifikasi’terbukti kurangi kasus
demam berdarah dengan ‘signifikan’ di Yogyakarta [Internet] 29 Agustus 2020. Terse
dia dari: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53942857 [Diakses 10 Februari 202
2]
8) Kementerian Kesehatan RI. (2017). INFODATIN (Pusat Data dan Informasi Kemeter
ian Kesehatan RI). Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia. Vol:pp. 45