Anda di halaman 1dari 25

MINI CEX

EPISTAKSIS

Disusun oleh:
Umbu Muri Maramba Djawa
42210525

Dosen Pembimbing Klinik:


dr. Arin Dwi Iswarini, Sp. THT-KL., M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN PERIODE


31 JANUARI 2022 – 26 FEBRUARI 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
RUMAH SAKIT BETHESDA
YOGYAKARTA
2022
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. RFR
Tanggal lahir : 17/02/2012
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ngawi. Jawa Timur
Pekerjaan : Pelajar
No RM : 0209XXXX
Tanggal Pemeriksaan : 5 Februari 2022

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Darah keluar dari hidung

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dikonsultasikan ke spesialis THT-KL dengan kondisi pasien me
ngalami perdarahan berupa keluar darah dari hidung sebelah kanan dan kiri, se
rta pasien disarankan untuk melakukan pemasangan tampon padat.
Anamnesis dilakukan dengan pasien dan dilanjutkan dengan alloanamn
esis dengan keluarga pasien, ayah kandung pasien. Pasien diterima di IGD den
gan keluhan demam selama 6 hari, demam naik turun. Pasien merasakan mual
setelah makan dan tidak punya selera makan. Pasien mengeluhkan batuk pilek
sejak 1 minggu yang lalu, batuk dan pilek disertai dahak. Karena tidak menunj
ukkan perbaikan, pasien dirujuk ke rumah sakit lain untuk mendapat pertolong
an.
Setelah dirujuk, pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga haru
s dirawat di PICU. Setelah pasien dirawat selama 2 hari di rumah sakit, pasien
mulai mengalami perdarahan berupa keluar darah dari hidung sebelah kanan d
an kiri, disertai nyeri ketika pasien mengusap hidung dan gusi berdarah.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Keluhan Serupa : (-)
 Maag : (-)
 Jantung : (-)
 Diabetes Mellitus : (-)
 Hipertensi : (-)
 Trauma : (-)
 Lainnya : (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluhan Serupa : (-)
 Maag : (-)
 Jantung : (-)
 Diabetes Mellitus : (-)
 Hipertensi : (-)
 Lainnya : (-)

E. Lifestyle

Pasien merupakan seorang pelajar di salah satu sekolah di Kabupaten


Ngawi, kegiatan sehari-hari pasien setiap harinya mengikuti kelas daring dan b
ermain game. Pasien mempunyai pekarangan rumah berupa kolam ikan yang j
arang dibersihkan. Pasien setiap hari mengonsumsi makanan berupa mie insta
n dan jarang mengonsumsi sayur-sayuran. Pasien mempunyai kebiasaan meng
usap dan mengorek hidung

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 V5 M6
Status Gizi : Obesitas
BB : 53 kg
TB : 135 cm
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : 38 OC
VAS :8

STATUS GENERALIS
A. Kepala
Ukuran kepala : normochepali
Wajah : kesan simetris, tidak ada deformitas, tidak ada luka dan jejas
Mata : konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-/-), pupil tampa
k isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya (+/+), gerakan bola mata baik
Telinga : (sesuai status lokalis)
Hidung : (sesuai status lokalis)
Mulut : (sesuai status lokalis)

B. Leher
 Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening
 Tidak ada pembesaran tiroid
 Tidak ada nyeri tekan pada tiroid
 Tidak didapatkan kepitasi
 Auskultasi: stridor (-)

C. Thorax
1. Paru-paru
 Inspeksi : kesan simetris, gerakan dada simetris, jejas (-), retraksi
(-), benjolan (-)
 Palpasi : pengembangan paru simetris
 Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru kiri dan kanan
 Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

2. Jantung
 Inspeksi : iktus cordis tidak tampak, tanda inflamasi (-), jejas (-)
 Palpasi : iktus cordis teraba di SIC 5 linea axillaris anterior siini
stra
 Perkusi : batas jantung dalam natas mormal
 Auskultasi : S1 dan S2 reguler, bising jantung (-), bruit (-)

3. Abdomen
 Inspeksi : kesan simetris, distensi abdomen (-), tanda inflamasi
(-), jejas (-)
 Auskultasi : bising usus normal
 Perkusi : timpani seluruh regio abdomen, nyeri ketok ginjal (-),
batas hepar noemal
 Palpasi : perbesaran orga intraabdomen (-), nyeri tekan (-), nasa
(-), turgor kulit (-)
4. Ekstremitas
 Atas : akral hangat, kuat angkat nadi cukup dan reguler, capilary refi
ll time < 2 detik, gerakan aktif, edema (-), sianosis (-), jejas (-), deform
itas (-).
 Bawah : akral hangat, kuat angkat nadi cukup dan reguler, capilary refi
ll time < 2 detik, gerakan aktif, edema (-), sianosis (-), jejas (-), deform
itas (-)

STATUS LOKALIS

A. Pemeriksaan Telinga

Pemeriksaan Telinga Kanan Telinga Kiri


Auricula Dalam batas normal, masa (-), Dalam batas normal, masa (-),
deformitas (-), nyeri (-) deformitas (-), nyeri (-)
Kelianan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Planum Mastoidium Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)
Glandula Limfatik Pembesaran (-), nyeri (-) Pembesaran (-), nyeri (-)
Canalis Auditori Externa Serumen (-), discharge (-), Serumen (-), discharge (-)
edema (-), hiperemis (-), edema (-), hiperemis (-)
furunkel (-) Furunkel (-)
Membran Timpani Intak, reflek cahaya (+), retraksi Intak, reflek cahaya (+), retraksi
(-), hiperemis (-), cone of light (-), hiperemis (-), cone of light
arah jam 5 arah jam 7
Kesan telinga kanan dan kiri dalam keadaan normal

Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri


Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Scwabach Normal, sama dengan pemeriks Normal, sama dengan pemeriks
a (tidak memanjang atau memen a (tidak memanjang atau memen
dek) dek)
Kesan Tidak ada gangguan pendengaran pada AD dan AS
Status lokalis telinga pasien

Status lokalis membran timpani pasien

B. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Dextra Sinistra


HIDUNG
Dorsum Nasi Tanda inflamasi (-), deformitas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (+)
Alae Nasi Tanda inflamasi (-), hiperemis (-), deformitas (-), edema (-)
Cavum Nasi Menyempit (-) Menyempit (-)
Rhinoskopi Anterior:
Vestibulum Nasi Mukosa hiperemis (+), edema (-), krusta (-), darah (+)
Septum Nasi Deviasi (-)
Meatus Nasi Inferior Hiperemis (-), Masa (-), S Hiperemis (-), Masa (-), Sek
ekret (+) minimal ret (+) minimal
Konka Inferior Hiperemis (+), edema (+) Hiperemis (+), edema (+)
Meatus Nasi Media Hiperemis (-), sekret (-) Hiperemis (-), sekret (-)
Konka Media Hiperemis (+), edema (+) Hiperemis (+), edema (+)

Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan


Fossa Rossenmuller Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Torus Tubarius Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Muara Tuba Eustachi
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
us
Adenoid Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Konka Superior Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Choana Tidak dilakukan Tidak dilakukan
SINUS PARANASAL
Inspeksi Eritem (-), edema (-) Eritem (-), edema (-)
Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)
Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Transluminasi Tidak dilakukan
Nyeri tekan pada bagian dorsum nasi, mukosa hiperemis pada vest
ibulum nasi dan sekret minimal pada meatus nasi inferior, konka i
Kesan
ndferior dan media mukosa hiperemis dan edema.
Kesan: peradangan dan pendarahan pada hidung

Status lokalis hidung pasien

C. Pemeriksaan Orofaring

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Ulserasi (-), bibir kering (-)
Mukosa Oral Stomatitis (-), ulserasi (-), hiperemis (-)
Gusi dan Gigi Hiperemis (+), edem (+), darah (+), ulkus (-), karies dentis (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), warna putih pekat (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Hiperemis (+), deviasi (-)
Tonsila Palatina Kiri Kanan
Tonsil T1/T1, hiperemis (-), Tonsil T1/T1, hiperemis
detritus (-), granulae (-), (-), detritus (-), granulae
kripte melebar (-) (-), kripta melebar (-),
ulkus (-)
Peritonsil Abses (-), edema (-) Abses (-), edema (-)
Faring Hiperemis (+), discharge (-), granular (-), massa (-), darah (+)
Kesan Hiperemis (+), edem (+), darah (+) pada gusi, hiperemis (+) pada uv
ula dan faring terdapat darah.
Kesan: peradangan dan pendarahan pada bagian mulut

Status lokalis mulut pasien

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan Darah Lengkap


Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 12,7 11,5-15,5 g/dL
Hematokrit 37,7 30-40 %
Eosinofil 4,27 0-6 %
Basofil 0,5 0,5-1 %
Neutrofil Segmen 36,5 L 50-70 %
Limfosit 51,8 H 20-40 %
Monosit 11,0 H 2-8 %
Jumlah Eritrosit 5,11 4,5-5,5 juta/µL
MCV 73,8 80-96 fl
MCH 27 27-31 pg
MCHC 33,7 32-36 g/dL
Trombosit 25.000 150.000-450.000
Pemeriksaan Pembekuan Darah
Pemeriksaan Hasil Rujukan
PT 10,8 10-13 detik
APTT 47,7 25-35 detik
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Fibrinogen 100 200-400 mg/dL
Ddimer 0,8 0,0-0,4 µg/mL

V. DIAGNOSIS BANDING
- Epistaksis Anterior ec ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas)
- Epistaksis Anterior ec ITP (Idiopatik Thrombocytopenic Purpura)

VI. DIAGNOSIS KERJA


Epistaksis Anterior ec DHF dan trombositopenia

VII. PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi
- Menghentikan perdarahan
Kauterisasi
Perdarahan dapat ditangani dengan kauter menggunakan epinephrin, albothyl,
dan oksimetasolin. Dapat dievaluasi setiap 2-3 menit. Kauterisasi tidak dilakukan pad
a kedua septum karena dapat menimbulkan perforasi. Prosedur elektrokauterisasi juga
dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdarahan yang lebih masif yang kemun
gkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang memerlukan anestesi lokal.
Pemasangan tampon
Jika masih pendarahan, penggunaan tampon padat menggunakan kapas panjan
g yang mengandung epinefrin 0,5 % 1:10.000, lidokain 2 %, dan vaselin putih
(petrolatum). Pasang dengan menggunakan spekulum hidung dan pinset bayon
et. Tampon boleh dilepas
- Rawat Inap

Farmakologi

- R/ Ringer Laktat IV 500mg Lag 1


S. inj intravena
- R/Inj Ceftriaxone 100 mg/kg BB vial 1
S. inj intravena
- R/Tab. Paracetamol 750 mg No XV
S. 3.d.d Tab 1. p. r. n
- R/ Naso Spray Pseudoefedrin
- R/ Epinephrin 0,5 % 1:10.000
- R/ Lidokain 2 %
- R/ Albothyl
- R/ Oksimetasolin 0,1 %
- R/ Vaselin
- R/Tab Omeperazole 20 mg No V
S. 1.d.d Tab 1 (15-30 menit sebelum makan)
- R/ Trombocyte Concentrate IV 50 ml Lag. VIII
S. Inj Intravena
- R/ Fresh Frozen Plasma 400 mg Lag I
S. Injeksi IV
- R/Tab Asam Tramexanat 500 mg no XV
S. 3.d.d Tab 1. p.c

VIII. EDUKASI
- Edukasi keluarga penyebab penyakit dan pengawasan yang ketat pada pasien
- Edukasi keluarga tentang pentingnya 3M Plus, menguras, menutup, dan mema
nfaatkan, plus (mencegah perkembiakan nyamuk).
- Edukasi keluarga untuk memasang kelambu ketika tidur untuk mencegah terja
di kontak langsung dengan nyamuk
- Tidak mengusap dan mengorek hidung dengan menggunakan tangan
- Menggunting kuku secara rutin
- Tidak membuang ingus terlalu keras

IX. PLANNING
- Evaluasi terapi non farmakologi berupa pencegahan perdarahan
- Evaluasi terapi farmakologi yang akan diberikan sampai kadar trombosit >150.
000 mg/dL dan meminimalkan pendarahan
- Rutin kontrol ke poli anak dan THT-KL untuk pengobatan lebih lanjut.

X. PROGNOSIS
Ad Vitam : bonam
Ad Fungsionam : bonam
Ad Sanationam : bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

EPISTAKSIS
A. DEFINISI
Epistaksis berasal dari istilah yunani epistazein yang berarti perdarahan dari hi
dung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi, kavum nas
i atau nasofaring.
B. ANATOMI

Hidung

Gambar 1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

1. Pangkal hidung (bridge)


2. Batang hidung (dorsumnasi)
3. Puncak hidung (hip)
4. Ala nasi
5. Hidung luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh ku
lit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menye
mpitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri tulang hidung (os nasal), prosesus fro
ntalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan te
rdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu s
epasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dip
isahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pin
tu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang bela
kang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofa
ring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang na
res anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai b
anyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. D
inding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawa
n. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os ma
ksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lam
ina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling baw
ah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema
ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pa
da os maksila dan 4 labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema m
erupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada tiga meatus yaitu meatus inferior, m
edius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidu
ng dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) d
uktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding later
al rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka su
perior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila da
n os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lami
na kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina krib
riformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-luban
g (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Vaskularisasi hidung

Gambar 2 Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan poste
rior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah ro
ngga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya iala
h ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior ko
nka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus kiess
elbach (little‟s area). Pleksus kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera ole
h trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pa
da anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan d
enga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katu
p, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi samp
ai ke intrakranial.

C. ETIOLOGI
1. LOKAL
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya bersin, mengorek hidung, tr
auma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Iritasi gas yang merangsang dan trauma pa
da saat pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. Epistaksis juga sering terjadi k
arena adanya deviasi septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat deviasi itu
sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan.
b. Infeksi
Infeksi hidung seperti rinosinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis da
n lepra dapat menyebabkan epistaksis.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermitten, k
adang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah. Neoplasma yang dapat men
yebabkan epistaksis masif seperti hemangioma, karsinoma, serta angiofibroma nasofari
ng.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah perdarahan tela
ngiektasisherediter (hereditary hemorrhagic telangiectasis / Osler’s disease). Penyakit i
ni merupakan kelainan pembuluh darah dimana terjadi kerapuhan kapiler sehingga me
mudahkan terjadinya perdarahan.

e. Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis s
ering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin.
f. Operasi
Perdarahan post operatif setelah bedah endoskopik memerlukan perhatian khusu
s.

2. SISTEMIK
Kelainan darah
i. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/µl. T
rombositopenia akan memperpanjang waktu koagulasi dan memperbesar resiko terja
dinya perdarahan dalam pembuluh darah yang lebih kecil di seluruh tubuh
ii. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X- 
Linked resesif, yang mana gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme herediter,
yaitu adanya defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku secara normal, h
al ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
iii. Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang dipr
oduksi oleh sumsum tulang. Sumsum tulang dalam tubuh manusia memproduksi 3 tip
e sel darah diantaranya lekosit, eritrosit dan trombosit. Pada leukemia terjadi peningk
atan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan pembentukan sel-s
el darah lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi trombositopenia
yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
iv. Obat-obatan seperti: Menyebabkan trombositopeni: Obat kemoterapi, quinidine, golo
ngan sulfa, H2 blockers, obat-obat diabetes oral, alkohol. Mempengaruhi proses koag
ulasi darah: Warfarin, Heparin. Mempengaruhi fungsi platelet: Aspirin, clopidogrel,
OAINS. Obat-obatan herbal: Dong quai, Danshen, Feverfew, bawang, jahe, Gingko,
Ginseng. 

a) Penyakit kardiovaskuler.
i. Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanand
iastolik lebih dari 90 mmHg. Perdarahan yang terjadi akibat kerapuhan pembuluh
darah dan kontraksi pembuluh darah terus menerus sehingga pembuluh darah yan
g rapuh mudah pecah.

ii. Arteriosklerosis adalah terjadinya kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah yang tidak elastis akan mengalami rupt
ur.

D. KLASIFIKASI DAN PATOFISIOLOGI


Menurut klasifikasinya epistaksis dibagi menjadi dua bagian yaitu Epistaksis a
nterior paling sering terjadi daerah septum anterior bagian kartilagenus, pada bagian i
ni terdapat anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, etmoidalis anterior,
dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau
Little’s area. Pembuluh darah dari septum dan lateral hidung. Bagian posterior dindin
g lateral hidung dikenal sebagai Plexus woodruf yang terletak dibagian posterior konk
a inferior dimana arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan arteri faringeal posterior b
erada, epistaksis posterior terjadi bila daerah ini mengalami perdarahan.
Pada pemeriksaan arteri kecil dan sedang pasien berusia menengah dan lanjut t
erlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan k
olagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstisial sampai perubahan yang
komplek menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontra
ksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perd
arahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi per
darahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kele
mahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu: epis
taksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior merupakan jenis epistaksis
yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sen
diri. Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid poste
rior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemu
kan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardi
ovaskuler.

E. DIAGNOSIS
 Anamnesis
Pada anamnesis yaitu awal terjadi perdarahan, perdarahan pada satu sisi atau k
edua sisi hidung, riwayat perdarahan sebelumnya, durasi dan jumlah perdaraha
n, penyakit penyerta seperti hipertensi, leukemia, hemofilia, purpura, gagal jan
tung, pemakaian obat-obatan seperti Aspirin atau Warfarin, NSAID (Ibuprofe
n), Vitamin E dosis tinggi serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam ke
luarga. Kebanyakan perdarahan dari hidung disebabkan oleh trauma ringan pa
da septum nasi anterior. Riwayat perdarahan hidung yang sering berulang dise
rtai bagian tubuh lain yang mudah memar atau perdarahan lainnya memberika
n kecurigaan terhadap penyebab sistemik dan dianjurkan pemeriksaan hematol
ogis.
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan memast
ikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Pada pemeriksaan stat
us lokalis pada hidung ditemukan tampak hiperemis pada konka inferior dan
media dextra. Pada mulut dan orofaring ditemukan darah pada faring
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah

F. PENATALAKSANAAN

Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdaraha


n, mencegah komplikasi, dan mencegah berulangnya epistaksis. Menghentikan perdarahan dapat
dilakukan dengan: penekanan langsung pada ala nasi, kauterisasi, pemasangan tampon hidung (an
terior dan posterior), ligasi arteri dan embolisasi. Pencegahan terhadap terjadinya komplikasi dapa
t dilakukan dengan: mengatasi dampak perdarahan yang banyak. Salah satu yang dilakukan adala
h; pemberian infus atau transfusi darah.

Menghentikan Perdarahan

1. Penekanan Langsung Pada Ala Nasi

Penanganan pertama dimulai dengan penekanan langsung ala nasi kiri dan kanan bersamaan sela
ma 5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau bel
um. Penderita sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk menghindari darah mengalir
ke faring yang dapat mengakibatkan aspirasi.

2. Kauterisasi

Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan kauteriasi kimia Perak N
itrat 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen pada pembuluh darah yang mengalami perd
arahan selama 2 – 3 detik. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua septum karena dapat menimbul
kan perforasi. Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdar
ahan yang lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang memerlukan a
nestesi lokal.

3. Tampon Hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk menangani epistaksis yang tidak responsif terhadap kauter
isasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon anterior dan tampon posterior. Pada keduanya, dibutuhka
n anestesi dan vasokonstriksi yang adekuat.

Tampon Anterior

Untuk tampon anterior dapat digunakan tampon Boorzalf atau tampon sinonasal atau tampon pita
(ukuran 1,2 cm x 180 cm), yaitu tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberikan vaselin put
ih (petrolatum) dan menggunakan salep antibiotik, misalnya Oksitetrasiklin 1%, tampon ini dapat
dipakai untuk membantu menghentikan epistaksis. Pasang dengan menggunakan spekulum hidun
g dan pinset bayonet, yang diatur secara bersusun dari inferior ke superior untuk memberikan teka
nan yang adekuat. Apabila tampon menggunakan boorzalf atau salep antibiotik harus dilepas dala
m 2 hari.

Tampon posterior.

Epistaksis yang tidak terkontrol menggunakan tampon rongga hidung anterior dapat ditambahkan
tampon posterior. Menggunakan tampon yang digulung, dikenal sebagai tampon Bellocq. Apabila
melakukan pemasangan tampon posterior, maka tampon anterior seyogyanya tetap dipasang. Anti
biotik intravena tetap diberikan untuk mencegah rinosinusitis dan syok septik.

4. Ligasi Arteri

Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi epistaksis. Secara umum, se
makin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol perdarahan semakin efektif. Pembuluh dara
h yang dipilih antara lain: arteri karotis eksterna, arteri maksila interna atau arteri etmoidalis.

5. Embolisasi

Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat diembolisasi. Dilakukan angiogr
afi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Emb
olisasi dilakukan pada arteri maxilaris interna dan externa. Angiografi postembolisasi dapat digun
akan untuk menilai tingkat oklusi.

G. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi asp
irasi darah ke dalam saluran napas bawah, syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya t
ekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia sereb
ri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan segera.

Beberapa komplikasi yangt pemasangan tampon adalah: rhinosinusitis, hinosin


usitis, Otitis Media, Hemotimpanum, Septikemia/toxic shock syndrome, Sinekia, perf
orasi septum nasi, Bloody tears. Khusus pemeasangan tampon posterior (belloq) akan
menimbulkan dampak seperti: laserasi palatum mole atau sudut bibir bila benang yan
g keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada bibir dan pipi. Dampak lainnya adala
h nekrosis mukosa hidung atau septum bila balon dipompa terlalu keras.

DAFTAR PUSTAKA
1) Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal. [pengar. buku] Ba
llenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakarta:
Bina Rupa, 1994, Vol. 1, hal. 1-44, 551-52.
2) Herkner H, Laggner AN, Muller M, FormanekM, Hypertension in Patients Presenting
With mji Epistaxis. Annals of Emergency Medicine. 2002; 35(2): 126-30.
3) Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR. 2009. Association between Epistaxis and
Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal Bleeding in Hy
pertension Patients. International Journal of Cardiology. 2009; 134: 107-9.
4) Punagi AQ. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini. Makassar: Digi Pustak
a, 2017.
5) Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar IlmuKe
sehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I (ed) Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2012. p.96-100.
6) Panduan Praktis Klinis Tindakan (PPKT) I, PP PERHATI-KL. 2015 Hal 28
DEMAM BERDARAH DENGUE

A. Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang dengan gejala de
mam, nyeri otot dan/atau sendi disertai ruam.

B. Etiologi
Virus dengue adalah salah satu penyebab demam berdarah dengue (DBD). Mempuny
ai empat serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
C. Penularan
Vektor Dengue
Nyamuk Aedes aegipty betina/ penghisap darah siang hari merupakan vektor t
erjadinya demam berdarah dengue (DBD). Biasanya berkembangbiak dan menyimpan
telur-telurnya dipenampungan air bersih atau genangan air hujan.
Penularan dengue
Penularan virus dengue melalui siklus Kera-Aedes-Kera. Virus tidak patogen
pada kera, dan viremia hanya berlangsung dalam waktu < 3 hari. Siklus melalui nyam
uk vektor. Siklus epidemik, terjadi dalam bentuk Aedes Aegypti-Manusia.
D. Faktor risiko

Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit demam berdarah deng
ue yaitu pertama, ras dimana demam berdarah dengue (DBD) dapat menyerang semua
ras. Khususnya seseorang yang berasal dari ras Kaukasia.
Kedua, umur dimana demam berdarah dengue (DBD) menginfeksi semua kelomp
ok umur. Anak-anak yang berumur dibawah 15 tahun umumnya lebih rentan terkena d
emam berdarah dengue (DBD) dapat dilihat dari kebiasaan bahwa anak-anak melakuk
an banyak aktivitas di luar rumah sehingga lebih besar kemungkinan berkontak langsu
ng dengan nyamuk.
Ketiga, jenis kelamin dimana demam berdarah dengue (DBD) menginfeksi laki-la
ki dan perempuan. Beberapa laporan mengatakan bahwa laki-laki lebih banyak menga
lami demam berdarah dengue (DBD) dan dengue shock syndrome (DSS) dari pada per
empuan.
Keempat, kemiskinan atau keadaan sosial ekonomi yang rendah seperti tempat tin
ggal yang padat penduduk menjadi salah satu faktor terkena gigitan nyamuk Aedes ae
gipty.
Kelima, penampungan air, tanaman hias, kebersihan halaman dimana tempat perk
embangbiakan utama nyamuk Aedes aegipty yang tidak dikuras, dirawat, maupun dibe
rsihkan maka dapat meningkatkan kejadian demam berdarah.
E. Manifestasi klinis
Sebagian besar infeksi awal virus dengue tidak menunjukkan gejala/asimptomatik
atau menimbulkan demam yang tidak khas. Gejala demam antara lain berupa demam
tinggi yang terjadi mendadak, sakit kepala, nyeri di belakang bola mata (retro-orbital),
nyeri otot dan sendi, lemah badan, muntah, sakit tenggorokan, ruam kulit makulopap
uler. Jika penderita sebelumnya pernah terinfeksi salah satu serotipe dan mengalami i
nfeksi kedua oleh serotipe lainnya dapat menyebabkan perdarahan dan vaskulopati, he
mokonsentrasi dan efusi cairan yang disebabkan oleh perembesan vaskuler menimbul
kan penyepitan sirkulasi pembuluh darah (kolaps).
F. Patogenesis
Ketika virus dengue masuk di dalam tubuh, virus dengue ini akan bereplikasi deng
an cara menyintesis protein-protein dan menghisap energi-energi sel pejamu yang dik
endalikan oleh asam nukleat (DNA/RNA) virus. Aktivitas virus dengue ini mempenga
ruhi pembentukan imun.
Reaksi antigen-antobodi yang terjadi setelah invasi virus menimbulkan pelepasan
histamin memicu peningkatan permeabilitas kapiler dengan memperbesar pori kapiler
sehingga plasma dapat keluar. Plasma yang keluar ke dalam ruang interstisial seperti
pada selaput pleura dan perineum. Pada sistem koagulasi, tiga unsur yang berperan un
tuk mempertahankan homeostasis adalah sel endotel, protein koagulasi, dan trombosit.

Gangguan koagulasi yaitu disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat me


nyebabkan kematian. Gangguan menyebabkan penumpukan fibrin yang mengeras pad
a pembuluh darah.
Kejadian trombositopenia disebabkan karena penumpukan trombosit (agregasi). Si
stem retikuloendotelial (SRE) adalah jaringan ikat yang tersebar luas di dalam tubuh y
ang mempunyai tujuan untuk memfagosit benda-benda asing seperti sel-sel yang suda
h tua, cacat dan asing (kanker). Penumpukan trombosit yang sudah lama termasuk ben
da-benda asing sehingga dihancurkan oleh SRE. Penghancuran sel-sel ini mengakibat
kan penurunan jumlah trombosit semakin sedikit didalam pembuluh darah sehingga d
apat terjadi trombositopenia.
Plasma yang berkurang dalam pembuluh darah (hemokonsentrasi) menyebabkan d
arah menjadi kental sehingga aliran darah akan semakin lambat. Hal menyebabkan as
upan O2 dan nutrisi yang dibawah oleh darah dan diperlukan tubuh semakin berkurang
menyebabkan syok.
G. Diagnosis
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosis demam berdarah dengue (D
BD) adalah pertama demam antara 2-7 hari, kedua terdapat minimal satu dari manifest
asi perdarahan berikut seperti uji bendung positif dan petekie, ketiga trombositopenia
(penurunan jumlah trombosit <100.000 sel/mm3), keempat terdapat minimal satu tand
a-tanda kebocoran plasma yaitu hematokrit meningkat (>20 %) atau hematokrit menur
un (>20 %) sesudah pemberian cairan yang adekuat. Peningkatan nilai hematokrit nor
mal 35-43 %, tanda perbesaran plasma seperti efusi pleura kanan, asites, dan hipoprot
einemi.
H. Terapi
Terapi yang dapat digunakan untuk mengembalikan sel-sel tubuh adalah pengawa
san intensif atas tanda vital dilakukan antara hari ke- 2 sampai hari ke- 7 dari demam.
Jika rehidrasi, penderita harus mendapatkan banyak cairan intravenous dan elektrolit.
Transfusi darah atau trombosit diberikan jika angka trombosit kurang dari <50.000 sel
/mm3 atau jika terjadi perdarahan berat seperti pada perdarahan gastrointertinal. Aspiri
n atau obat antiradang non-steroid dapat diganti parasetamol atau asetaminofen karena
tidak boleh diberikan karena aspirin merupakan obat pengencer darah yang dapat men
imbulkan perdarahan.
I. Pencegahan
Untuk mencegah dan mengurangi penularan virus dengue tindakan yang sangat p
enting adalah melakukan pemberantasan nyamuk Aedes aegypti untuk menghambat te
rjadinya kontak antara nyamuk dewasa dan manusia. Salah satu caranya adalah denga
n menggunakan PSN 3M Plus, yaitu menguras tempat yang sering menjadi perkemba
ngbiakan nyamuk, menutup penampungan air khususnya pada musim hujan, daur ulan
g barang bekas yang berpotensi tempat perkembangbiakan nyamuk. Plus-nya adalah
memeliharan hewan atau tumbuhan pemakan dan pengusir nyamuk, rajin membersihk
an lingkungan. Selain itu, menggunakan nyamuk modifikasi yaitu nyamuk “demam b
erdarah” yang diinjeksi bakteri wolbachia yang bertujuan untuk mengubah perilaku n
yamuk tersebut dimana tidak bisa menyebarkan virus “demam berdarah” dengan efisi
en ke manusia.
J. Prognosis
Prognosis demam berdarah dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antib
odi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. (Halstead, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
1) Farah, T., Trisnawati, Y., & Lubis, M. (2011). Departemen Ilmu Ksehatan Anak FK
USU: Gangguan Koagulasi pada Sepsis. Sari Pediatri Vol 13 No 6: hlm 226-32.
2) Halstead, S. B. (2007) Nelson Textbook of Pediatrics: Dengue Fever and Dengue He
morrhagic Fever. Philadelphia: Saunders Elsevier, Vol 18:pp. 1412- 1414.
3) Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2013). Ilmu Dasar Patofisiologi Robbins. Els
evier Vol 9 No: p. 75-100.
4) Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Sagung Seto
5) Suhendro, Nainggolah, L., Chen, K., & Pohan, H. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit D
alam: Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Interna Publishing.
6) Vorvick, L. (2010). Dengue Hemorrhagic Fever. Yogyakarta: MediaPlus.
7) Yuniar, R. W. (2020). Demam berdarah: Nyamuk ‘modifikasi’terbukti kurangi kasus
demam berdarah dengan ‘signifikan’ di Yogyakarta [Internet] 29 Agustus 2020. Terse
dia dari: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53942857 [Diakses 10 Februari 202
2]
8) Kementerian Kesehatan RI. (2017). INFODATIN (Pusat Data dan Informasi Kemeter
ian Kesehatan RI). Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia. Vol:pp. 45

Anda mungkin juga menyukai