Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

PARAPARESE SPASTIK

Disusun oleh:
Andreas Hans
406152067

Pembimbing:
dr. Sunaryo, M. Kes, Sp. S

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD RAA SOEWONDO PATI
PERIODE 30 OKTOBER 2017 – 02 DESEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
REKAM MEDIS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Warti
Tanggal Lahir : 10 – 02 1969
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ronggo 3/1, Jaken, Pati, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMP
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 13 November 2017 (Poli Saraf)

II. ANAMNESIS
Dilakukan pada tanggal 21 November 2017, pukul 15.00 WIB secara
autoanamnesis di rumah pasien.
Keluhan Utama
Kelemahan pada kedua tungkai.

Riwayat Penyakit Sekarang


± 1,5 bulan sebelum pemeriksaan pasien merasa kedua tungkainya pegal-
pegal hingga ± 3 minggu sebelum pemeriksaan pasien mendadak tidak bisa
jalan. Pasien merasa kedua tungkainya lemas, berat, dan tidak dapat
digerakkan, selain itu pasien juga merasa sesak napas dan tidak dapat
merasakan saat ingin berkemih sehingga pasien dibawa keluarganya ke RS
Budi Agung untuk mendapat perawatan. Pasien mendapat perawatan di RS
Budi Agung selama sehari semalam. Menurut rekam medis, pasien menderita
anemia sehingga pasien mendapatkan transfusi darah 2 kantung. Setelah itu
pasien dipulangkan, dengan kondisi kedua tungkai masih tidak bisa digerakkan.
Sehari kemudian pasien kembali merasa sesak napas sehingga dibawa keluarga
ke RSUD RAA Soewondo Pati. Pasien masuk RSUD RAA Soewondo Pati
dengan keluhan kedua tungkai tidak dapat digerakkan, sesak napas, dan tidak

1
terasa saat berkemih. Kemudian pasien dirawat selama 8 hari. 1 minggu setelah
perawatan pasien datang ke Poli Penyakit Saraf RSUD RAA Soewondo Pati
untuk kontrol. Pasien mengeluh kedua tungkainya tidak dapat digerakkan
karena terasa berat dan kaku. Selain itu pasien merasa buang air kecil tidak
lampias. 2 hari setelah kontrol pasien tidak dapat buang air kecil dan perutnya
yang membesar sehingga pasien dibawa ke IGD RSUD RAA Soewondo Pati
oleh keluarganya. Di IGD pasien mendapat tindakan pemasangan selang untuk
berkemih. Tidak lama setelah dipasang selang, kantung urin telah terisi penuh
dan perut pasien kembali ke ukuran normal. Pada saat pemeriksaan pasien
mengeluh kedua tungkainya terasa lemas, berat, dan mati rasa. Selain itu pasien
merasa tubuhnya panas mulai dari perut menjalar sampai ke kaki. Saat itu pada
pasien masih terpasang selang untuk buang air kecil. Pasien juga kesulitan
buang air besar sudah sejak awal perawatan di RSUD RAA Soewondo Pati.
Keluhan lain seperti wajah merot, bicara pelo, kesulitan menelan, kejang,
demam, sesak napas, batuk, nyeri dada, dan nyeri punggung disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa sebelumnya : pasien memiliki keluhan
serupa 20 tahun yang lalu, berupa kelumpuhan tungkai sebelah kanan
setelah terjatuh. Namun kemudian dapat berjalan kembali setelah 3 bulan.
 Riwayat penyakit paru-paru (TB) : disangkal
 Riwayat trauma : pasien pernah terjatuh 20
tahun yang lalu
 Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat keganasan : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat mengalami keluhan yang sama : disangkal
 Riwayat penyakit paru-paru (TB) : disangkal
 Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal

2
 Riwayat keganasan : disangkal

Riwayat Pengobatan
Pasien sudah mendapatkan pengobatan, antara lain: cefoperazon, lapibal, asam
folat, tiamin, cal-95, ketoprofen, dexamethasone, THP, tramadol, gabapentin,
dan mecobalamin.

Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan mengangkat beban berat sebelumnya. Pasien tidak
memiliki kebiasaan konsumsi kopi, rokok, dan alkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal 21 November 2017, pukul 15.30 WIB di rumah pasien.
Pemeriksaan Umum
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6 = 15
 Status Gizi : Cukup
 Tekanan Darah : 100/60 mmHg
 Nadi : 88 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,6 °C

Pemeriksaan Sistem
 Kepala : mesosefal, deformitas (-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), THT dbn
 Leher : trakea ditengah, perbesaran tiroid (-), perbesaran KGB (-)
 Paru : Inspeksi : gerak simetris, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)
 Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di sela iga 5

3
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Inspeksi : bentuk abdomen datar
Auskultasi : bisung usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-)
splenomegali (-)
Perkusi : timpani di ke-4 kuadran abdomen
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik

Pemeriksaan Neurologis
 Fungsi Luhur
o Orientasi : baik
o Gangguan bicara dan bahasa : normal, tidak ditemukan adanya afasia
motorik atau sensorik
o Daya ingat : baik
 Rangsang Meningeal
o Kaku kuduk : (-)
o Brudzinsky I : (-)
o Brudzinsky II : (-)
o Brudzinsky III : (-)
o Brudzinsky IV : (-)
o Kernig : > 135° / > 135°

4
 Saraf Kranialis
PEMERIKSAAN DEXTRA SINISTRA
Nervus Olfactorius (N. I)
Daya penghidu Normosmia Normosmia
Nervus Opticus (N. II)
Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang pandang Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus Occulomotorius (N. III)
Ptosis (-) (-)
Gerak mata ke superior (+) (+)
Gerak mata ke inferior (+) (+)
Gerak mata ke medial (+) (+)
Pupil (bentuk & ukuran) Bulat, Ø 3 mm Bulat, Ø 3 mm
Refleks cahaya langsung (+) (+)
Refleks cahaya tak langsung (+) (+)
Strabismus divergen (-) (-)
Nervus Trochlearis (N. IV)
Gerak mata ke lateroinferior (+) (+)
Strabismus konvergen (-) (-)
Nervus Trigeminus (N. V)
Sensorik (cabang
ophtalmicus, maxillaris, Normal Normal
mandibularis)
Motorik (membuka mulut,
menggerakan rahang, Normal Normal
menggigit)
Nervus Abducens (N. VI)
Gerak mata ke lateral (+) (+)
Strabismus konvergen (-) (-)

5
Nervus Fascialis (N. VII)
Kerutan kulit dahi Normal Normal
Mengangkat alis Normal Normal
Sulcus nasolabialis Normal Normal
Menggembungkan pipi Normal Normal
Menyeringai Normal Normal
Nervus Vestibulo-Cochlearis (N. VIII)
Test pendengaran Dalam batas normal Dalam batas normal
Test penala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Konfrontasi: Nistagmus (-) (-)
Test Romberg Negatif
Nervus Glossopharyngeus (N. IX)
Palatum molle Simetris
Arkus faring Simetris
Uvula Ditengah
Disfagia (-)
Disfonia (-)
Nervus Vagus (N. X)
Arkus faring Simetris
Bersuara (+)
Menelan (+)
Nervus Accesorius (N. XI)
Menoleh kanan-kiri Normal Normal
Mengangkat bahu Normal Normal
Nervus Hipoglossus (N. XII)
Sikap lidah Deviasi (-), fasikulasi (-), tremor (-)
Menjulurkan lidah Deviasi (-)
Disartria (-)

 Pemeriksaan Motorik
o Trofi otot : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi

6
o Tonus otot : Normotonus Normotonus
Hipertonus Hipertonus
o Kekuatan : 5 5
1 1

 Pemeriksaan Sensorik : + +
- -
Pemeriksaan dengan rangsang raba dan nyeri,
tidak terasa mulai dari perut setinggi Th8-Th9
sampai kaki

 Refleks Fisiologis
o Biceps :+/+
o Triceps :+/+
o Patella : ++ / ++
o Achilles : ++ / ++

 Refleks Patologis
o Hoffman-Tromner : - / -
o Babinski :+/+
o Chaddock :+/+
o Oppenheim :+/+
o Gordon :+/+
o Schaefer :+/+
o Bing :+/+
o Rosolimo :+/+
o Mendel-Bechterew : + / +
o Gonda :+/+
o Stransky :+/+
o Klonus paha :-/-
o Klonus kaki :-/-

7
 Pemeriksaan Tambahan
o Tulang belakang : normal
o Laseque : > 70° / > 70°
o Test Patrick :-/-
o Test Kontra-Patrick :-/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Laboratorium
Hematologi Nilai Normal 01/11/2017
Hemoglobin (g/dL) 11,7 - 15,5 9,3 (L)
Hematrokrit (%) 35 - 47 29,3 (L)
Leukosit (ribu/µL) 3,6 - 11,0 10,2
Eritrosit (juta/µL) 4,2 – 5,4 4,64
Trombosit (ribu/µL) 150 - 400 537 (H)
MCV (fl) 80 - 100 63,1 (L)
MCH (pg/ml) 26 - 34 20,0 (L)
MCHC (g/dl) 32 - 36 31,7 (L)
Hitung Jenis Leukosit Nilai Normal
Neutrofil (%) 50,0 - 70,0 62,7
Limfosit (%) 25,0 - 40,0 19,3 (L)
Monosit (%) 2,0 - 8,0 8,5 (H)
Eosinofil (%) 2-4 9,2 (H)
Basofil (%) 0-1 0,3
Kimia Klinik Nilai Normal
GDS (mg/dL) 70 - 160 90
Ureum (mg/dL) 10 - 50 17,8
Kreatinin (mg/dL) 0,6 - 1,2 0,57 (L)
Natrium (mmol/L) 135 - 155 140,5
Kalium (mmol/L) 3,6 - 5,5 4,34
Chlorida (mmol/L) 95 - 108 105,8
SGOT <31 24,2
SGPT <34 13,5
Sero Imunologi Nilai Normal
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif

 X-Foto Lumbosakral AP-Lateral (3-11-2017)


- Struktur tulang baik
- Alignment baik, tak tampak listhesis
- Tak tampak kompresi / diskontinuitas tuklang

8
- Tak tampak osteofit multipel aspek anterior korpus VL
- Diskus dan foramen intervertebralis L5-S1 menyempit
- Pedikel, prosessus spinosus dan prosessus transversus baik
- Sacroiliaca joint kanan kiri baik
Kesan:
Spondilosis lumbalis
Penyempitan diskus dan foramen intervertebralis L4-5 dan L5-S1

V. RESUME
Telah diperiksa seorang perempuan usia 48 tahun datang ke IGD RSUD RAA
Soewondo Pati dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai, gangguan
buang air kecil, dan kesulitan buang air besar. Keluhan dirasakan pasien sejak 3
minggu sebelum pemeriksaan. Sebelumnya pasien hanya merasakan pegal-
pegal pada kedua tungkainya, kemudian mendadak tidak dapat digerakkan.
Pada awal keluhan pasien tidak merasakan saat berkemih, kemudian setelah ± 1
minggu pasien mengalami kesulitan berkemih hingga akhirnya tidak dapat
berkemih sama sekali. Terdapat riwayat trauma yang menyebabkan kelemahan
pada tungkai kanan 20 tahun yang lalu. Riwayat TB paru, keganasan,
hipertensi, diabetes mellitus, dan alergi disangkal.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis dengan GCS 15, status gizi cukup. Tanda-
tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 88x/menit, pernafasan
20 x/menit, suhu 36,6 °C.
Dari pemeriksaan sistem tidak ditemukan adanya kelainan. Dari
pemeriksaan neurologis didapatkan rangsang meningeal (-), nervus kranialis
dalam batas normal, motorik hipertonus pada ekstremitas bawah, eutrofi pada
keempat ekstremitas, sensorik rangsang raba dan nyeri (-) mulai setinggi
dermatom Th8-9, hiperrefleks fisiologis pada ekstremitas bawah, refleks
patologis Babinski, Chaddock, Schaefer, Gordon, Oppenheim, Rosolimo,
Mendel-Bechterew, Bing, Gonda, dan Stransky (+) pada ekstremitas kanan dan
kiri; pemeriksaan tulang belakang, laseque, patrick dan kontrapatrick dalam
batas normal.

9
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan anemia ringan dan
trombositosis. Dari pemeriksaan radiologi x-foto lumbosakral didapatkan
gambaran spondilosis lumbalis dan penyempitan diskus dan foramen
intervertebralis L4-5 dan L5-S1.

VI. DIAGNOSIS
 Diagnosis Klinis : paraparesis spastic dan hipestesia setinggi Th8-9
 Diagnosis Topis : segmen medulla spinalis Th8 – Th9
 Diagnosis Etiologis : suspek fraktur kompresi corpus vertebra
suspek proses degeneratif

VII. TATALAKSANA
 Medikamentosa
- Tramadol 2 x 25 mg
- Gabapentin 2 x 150 mg
- Mecobalamin 1 x 500 mcg
- Asam Folat 1 x 400 mcg
 Non-medikamentosa
- Fisioterapi
- Komunikasi dan informasikan kepada pasien dan keluarga pasien
mengenai penyakit pasien dan penanganannya
- Edukasi kepada keluarga pasien untuk tetap memantau keadaan pasien
- Edukasi pasien untuk teratur meminum obat
- Edukasi tentang pola hidup sehat
- Edukasi pasien dan keluarga untuk membantu mobilisasi pasien
 Saran lanjutan:
- Pemeriksaan lebih lanjut: X-foto thoracal, MRI Spine, sputum BTA

VIII. PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad functionam : dubia ad malam
 Ad sanationam : dubia ad malam

10
TINJAUAN PUSTAKA
PARAPARESE SPASTIK

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI1,2


Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron motorik yang berasal dari korteks
motorik serebri atau batang otak yang seluruhnya ada di dalam sistem saraf pusat.
Lower motor neuron (LMN) adalah neuron motorik yang berasal dari sistem saraf
pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk
sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka. Berkas UMN bagian medial,
dibatang otak akan saling menyilang. Sedangkan UMN bagian Internal tetap
berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di 11edulla spinalis. Di
segmen 11edulla spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas
tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot rangka
akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan
kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan.

Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras
konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis merupakan perpanjangan dari
otak dalam menginervasi bagian bawah dari tubuh, karenanya komposisi medula
spinalis mirip otak yaitu terdiri dari substansia alba (serabut saraf bermielin)
dengan bagian dalam terdiri dari substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin).
Substansia alba berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara
berbagai tingkat medulla spinalis dan otak. Substansia grisea merupakan tempat
integrasi refleks-refleks spinal. Medula spinalis dimulai dari akhir medula
oblongata di foramen magnum di bagian atas dan diteruskan pada bagian
bawahnya sebagai conus medullaris, kira-kira pada level T12-L1. Selanjutnya
diteruskan ke distal sebagai kauda equine (dibokong) yang lebih tahan terhadap
cedera. Pada setiap level akan keluar serabut syaraf yang disebut nerve root.

11
Gambar 1. UMN, LMN, dan Jaras Kortikospinal

12
Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra

Pada penampang melintang, substansia grisea tampak menyerupai huruf H


capital, kedua kaki huruf H yang menjulur ke bagian depan tubuh disebut kornu
anterior atau kornu ventralis, sedangkan kedua kaki belakang dinamakan kornu
posterior atau kornu dorsalis. Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan
dendrit neuron-neuron motorik eferen multipolar dari radiks ventralis dan saraf
spinal. Sel kornu ventralis (lower motor neuron) biasanya dinamakan jaras akhir
bersama karena setiap gerakan (baik yang berasal dari korteks motorik serebral,
ganglia basalis atau yang timbul secara refleks dari reseptor sensorik) harus
diterjemahkan menjadi suatu kegiatan atau tindakan melalui struktur tersebut.
Kornu dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-serabut sensorik
yang akan menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps dengan serabut sensorik

13
dari saraf-saraf sensorik. Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron
internunsial atau neuron asosiasi, serabut eferen sistem saraf otonom, serta akson-
akson yang berasal dari berbagai tingkatan SSP. Neuron internunsial menghantar
impuls dari satu neuron ke neuron lain dalam otak dan medulla spinalis. Dalam
medulla spinalis neuron-neuron internunsial mempunyai banyak hubungan antara
satu dengan yang lain, dan hanya beberapa yang langsung mempersarafi sel kornu
ventralis. Hanya sedikit impuls saraf sensorik yang masuk ke medulla spinalis
atau impuls motorik dari otak yang langsung berakhir pada sel kornu ventralis
(lower motor neuron). Sebaliknya, sebagian besar impuls mula-mula dihantarkan
lewat sel-sel internunsial dan kemudian impuls tersebut mengalami proses yang
sesuai, sebelum merangsang sel kornu anterior. Susunan seperti ini
memungkinkan respons otot yang sangat terorganisasi.

Gambar 3. Medula Spinalis, Neuron Motorik, dan Neuron Sensorik

14
Setiap dermatom berhubungan dengan satu segmen radikuler, yang mana
akan berhubungan lagi dengan satu segmen medula spinalis.

Gambar 4. Dermatom tampak depan dan belakang

Lintasan traktus medulla spinalis terdiri dari traktus ascendens dan traktus
descendens. Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat
berjalan ke bagian-bagian medulla spinalis dan otak. Traktus spinotalamikus
lateralis merupakan suatu traktus ascendens penting, yang membawa serabut-
serabut untuk jaras nyeri dan suhu. Jaras untuk raba halus, propiosepsi sadar, dan
getar mempunyai serabut-serabut yang membentuk kolumna dorsalis substansia
alba medulla spinalis. Impuls dari berbagai bagian otak yang menuju neuron-
neuron motorik batang otak dan medulla spinalis disebut traktus descendens.
Traktus kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan jaras motorik voluntar
dalam medulla spinalis. Traktus asosiatif merupakan traktus ascendens atau
descendens yang pendek; misalnya, traktus ini dapat hanya berjalan antara

15
beberapa segmen medula spinalis, sehingga disebut juga traktus intersegmental.
Tabel 2.1 menyebutkan beberapa traktus ascendens dan descendens yang penting
pada medula spinalis.

16
Tabel 1. Traktus Ascendens dan Descendens pada Medula Spinalis
Traktus Fungsi
ASCENDENS
Kolumna dorsalis (posterior) Kemampuan untuk melokalisasi stimulus dari sentuhan halus, kemampuan untuk membedakan
Fasikulus kuneatus (T6 dan di tekanan dan intensitas (membedakan dua-titik, persepsi berat badan)
atasnya, bagian atas tubuh) Kesadaran propioseptif (merasakan posisi)
Fasikulus grasilis (T7 dan di Vibrasi (sensasi fasik)
bawahnya, bagian bawah tubuh) Hantaran cepat informasi sensorik

Spinotalamikus
Spinotalamikus lateralis Nyeri
Spinotalamikus ventralis Temperatur, termasuk sensasi hangat dan dingin
Kurang dapat melokalisasi stimulus dari sentuhan kasar serta membedakan tekanan dan intensitas
Sensasi gatal dan geli
Hantaran informasi sensorik lebih lambat daripada kolumna dorsalis

Spinoserebelaris
Spinoserebelaris dorsalis Propioseptif yang tidak disadari (sensasi otot)
Spinoserebelaris ventralis Koordinasi postur tubuh dan gerakan ekstremitas
Informasi sensorik yang dihantarkan hampir seluruhnya dari apparatus tendon Golgi dan gelendong
otot
Serabut traktus-besar yang menghantarkan impuls lebih cepat daripada neuron-neuron lain dalam
tubuh
DESCENDENS
Kortikospinalis
Kortikospinalis lateralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot ekstremitas
Kortikospinalis ventralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot tubuh
Rubrospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus integrasi yang tidak disadari dan koordinasi gerakan otot yang

17
disesuaikan dengan masukan propioseptif
Tektospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus gerakan pemindaian dan pergantian refleks pada kepala dan
gerakan refleks pada lengan sebagai respons terhadap sensasi penglihatan, pendengaran, atau kulit
Vestibulospinalis Traktus ekstrapiramidalis terlibat dalam mempertahankan keseimbangan dan koordinasi gerakan
kepala dan mata

18
2. PARESE2,3
2.1. Definisi
Parese adalah kelemahan atau hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang
terkena. Parese disebut juga sebagai paralisis sebagian.

2.2. Klasifikasi
a. Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau satu
ekstremitas bawah.
b. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
c. Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas
dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
d. Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.

3. PARAPARESE2,3
3.1. Definisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi
motorik dan sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sacral medulla spinalis.

3.2. Klasifikasi
a. Paraparese spastik
Paraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron
(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertonus.

b. Paraparese flaksid
Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron
(LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hipotonus.

19
Klasifikasi berdasarkan lesi medulla spinalis2
Tabel 2. ASIA Impairing scale

3.3. Patofisiologi1,2,3
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot
bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis
pada tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada
otot-otot, kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu
otot-otot toraks dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas.
Akibat terputusnya lintasan somatosensoris dan lintasan autonom
neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita
tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan
reaksi neurovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau
tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa
dengan lesi yang terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi
gangguan motorik berupa kelumpuhan LMN pada otot-otot yang merupakan
sebagian kecil dari otot-otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi
tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kurang
menonjol. Hal ini dikarenakan lesi dapat mengenai kornu anterior medula spinalis.

20
Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan
UMN karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus.
Gangguan fungsi sensorik dapat terjadi karena lesi yang mengenai kornu
posterior medula spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas dibawah
lesi. Sehingga penderita berkurang merasakan adanya rangsang taktil, rangsang
nyeri, rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsang lokalis.
Gangguan fungsi autonom dapat terjadi karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus sehingga inkotinensia urin dan inkotinensia alvi.
Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas defisit
sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua
tungkai secara lengkap.
Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari
medula spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi
melalui emboli septic, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis,
atau perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja
digunakan untuk proses peradangan pada medulla spinalis namun juga digunakan
apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses
patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor baik tumor
ekstramedular maupun intramedular serta trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinalis.

4. PARAPARESE SPASTIK2,3
4.1. Definisi
Paraparese spastik adalah kelemahan otot ekstremitas bawah disertai
peningkatan tonus otot akibat lesi pada upper motor neuron yaitu lesi traktus
pyramidal bilateral, batang otak atau parasagital serebral.

4.2. Klasifikasi
Berdasarkan onset perjalanan penyakit paraparese tipe spastik dibagi menjadi
2, yaitu :

21
a. Paraparese tipe spastik yang akut
Paraparese tipe spastik yang akut dapat disebabkan oleh infeksi non
spesifik seperti myelitis transversa, trauma seperti kontusio, whisplash
injury dan tumor ganas atau metastasis.
b. Paraparese tipe spastik yang kronis
Paraparese tipe spastik yang kronis dapat disebabkan oleh infeksi spesifik
seperti tuberculosis, tumor jinak, dan penyakit degeneratif.

Berdasarkan penyebabnya paraparese tipe spastik dibagi menjadi 2, yaitu :


a. Paraparese tipe spastik dengan lesi kortikal
Adanya lesi kortikal dapat disebabkan oleh tumor falx cerebri dan
thrombosis sinus sagital superior.
b. Paraparese tipe spastik dengan lesi medulla spinalis
Paraparese tipe spastik dengan lesi medulla spinalis dapat disebabkan oleh
mielopati kompresif dan mielopati non kompresif.

4.3. Etiologi3
a. Paraparese Kompresi
1 Ekstramedular
a) Intradular seperti meningioma, neurofibroma, arachnoiditis.
b) Extradular seperti potts disease (caries spine)
c) Neoplasma vertebra seperti metastase, miloma
d) Pachymeningitis
e) Prolapsed discusintravertebralis
f) Abses epidural atau perdarahan epidural
g) Fraktur atau dislokasi dari vertebra seperti pagets disease,
osteoporosis.
2 Intramedular
a) Syringiomyelia
b) Haematomyelia
c) Tumor medulla spinalis
d) Ependymoma, glioma

22
3 Inflamasi
a) Mielitis transversa
b) Mielomeningitis
c) Sklerosis multiple
d) Sarcoidosis
4 Vascular
a) Anterior spinal artery occlusion
b. Paraparese Nonkompresi
1. MND – Amyotropic lateral sclerosis
2. Acute Transverse Myelitis
3. Lathyrism
4. Syringomyelia
5. Hereditary Spastic Paraparese
6. Tropical Spastic Paraparese
7. Radiation Mielopathy

4.4. Manifestasi Klinis2,3


Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tanda-tanda khas disfungsi susunan UMN
adalah sebagai berikut :
a. Tonus otot meningkat atau hipertonus
Gejala ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan
terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis. Hipertonus adalah cirri khas bagi
disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonus tidak akan
bangkit bahkan tonus otot menurun, jika lesi paralitik merusak hanya korteks
motorik primer saja. Lesi hipertonus menjadi jelas apabila korteks motorik
tambahan (area 4 dan area 6) ikut terlibat dalam lesi. Lesi paralitik yang
mengganggu pyramidal juga pasti akan mengganggu serabut-serabut
kortikobulbar/spinal dan juga serabut frontopontin, temporo parietopontin berikut
serabut-serabut striatal utama. Hal itu menggambarkan bahwa komponen
pyramidal dan ekstrapiramidal akan mengalami gangguan bersama. Hal ini terjadi
karena lintasan pyramidal dan ekstrapiramidal berada dikawasan yang sama yaitu
pedunkulus serebri, pes pontis, piramis, dan funikulus posterolateralis/
sulkomarginal.

23
Hipertonus yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan semua otot
skeletal, melainkan otot fleksor seluruh lengan serta otot abductor bahu dan pada
tungkai seluruh otot ekstensornya serta otot-otot plantar fleksi kaki.
Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ektrapiramidal dan
pyramidal yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat
memperlihatkan hipertonia dalam posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini terjadi pada
kelumpuhan UMN yang melanda bagian bawah tubuh (paraparese) akibat oleh
karena lesi transversal di medulla spinalis di atas intumesensia lubosakralis.
Apabila paraparese yang disebabkan oleh lesi yang terutama merusak serabut
penghantar impuls pyramidal saja,maka parapleginya menunjukan hipertonus
dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah serabut penghantar impuls ekspiramidal (
terlibat dalam lesi, maka hipertonus dalam posisi fleksi.

b. Hiperrefleksia
Pada kerusakan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa
(normal). Dalam hal ini, gerak otot bangkit secara berlebihan, walapun
rangsangan pada tendon sangat lemah. Hiperrefleksi merupakan keadaan setelah
impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat
disampaikan pada motorneuron. Refleks tendon merupakan refleks spinal yang
bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neuron-neuron
yang berada disatu segmen. Tetapi ada juga gerak otot reflektorik, yang lengkung
refleks segmentalnya berjalan dengan lintasan-lintasan UMN yang ikut mengatur
efektornya. Hal ini dijumpai pada refleks kulit dinding perut. Pada UMN, refleks
tersebut menghilang atau menurun.

c. Klonus
Hiperrefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot
reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih
berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhannya disertai oleh klonus kaki dan klonus
lutut.

d. Refleks patologis
Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi
mekanisme timbulnya refleks patologis ini masih belum jelas.

24
e. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Motorneuron dengan sejumlah serabut-serabut otot yang disarafinya
menyususn satu kesatuan motorik. Kesatuan fisiologi ini mencakup hubungan
timbal-balik antara kehidupan motorneuron dan serabut otot yang disarafinya.
Runtuhnya motorneuron akan disusul dengan kerusakan-kerusakan serabut-
serabut saraf motoriknya. Oleh karena itu, otot yang terkena akan menjadi atrofi.
Dalam hal kerusakan pada UMN, motorneuron tidak dilibatkan. Oleh karena itu,
otot-otot yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atrofi. Namun
demikian, otot yang lumpuh masih dapat mengecil, bukan karena serabut-serabut
yang musnah akan tetapi dikarenakan oleh karena otot tersebut tidak
dipergunakan yang dikenal dengan istilah disuse atrophy.

f. Refleks automatisme spinal


Jika motorneuron tidak mempunyai hubungan dengan korteks motorik primer
dan korteks motorik tambahan bukan berarti tidak berdaya menggerakkan otot.
Otot masih dapat digerakkan oleh rangsang yang datang dari bagian susunan saraf
pusat dibawah tingkat lesi yang dinamakan sebagai gerakan refleks automatisme
spinal. Pada penderita paraparese akibat lesi transversal di medulla spinalis bagian
atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak padahal kedua tungkai lumpuh,
apabila penderita terkejut. Tanda-tanda kelumpuhan UMN tersebut diatas dapat
seluruhnya atau sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa setelah
terjadinya lesi UMN. Pada tahap pertamanya yaitu langsung setelah lesi UMN
terjadi, tanda-tanda kelumpuhan UMN tidak dapat disaksikan. Tahap pertama ini
berlangsung 1 hingga 3 minggu. Jika lesinya terletak dikorteks motorik, kurun
waktu tahap pertama panjang sekali. Sebaliknya, lesi dikapsula interna
mempunyai tahap pertama yang singkat.
Setiap lesi yang secara mekanik menekan medulla spinalis akan
menyebabkan gangguan fungsi yang progresif dan suatu sindrom transeksi
medulla spinalis yang relative lambat. Gejala-gejala gangguan medulla spinalis
yang disebabkan kompresi memiliki karakterisktik sebagai berikut :
a. Terganggunya fungsi motorik
b. Gangguan sensorik kadang-kadang menunjukkan level dari lesi

25
c. Gangguan sensorik distal. Lesi sensorik yang batasnya jelas tidak selalu
ditemukan pada awal lesi
d. Nyeri dapat ditemukan pada anggota badan
e. Hilangnya refleks abdominal superfisial
f. Gangguan urinasi
g. Saraf-saraf cranial tidak terkena pada lesi spinal murni
h. Kolumna vertebralis dapat memperlihatkan adanya deformitas,
pembentukkan gibbus atau nyeri pada perkusi prosesus spinosus tertentu
i. Foto rontgen kolumna vertebralis dapat memperlihatkan destuksi tulang,
pelebaran kanalis spinalis, destruksi pedikel atau prosesus spinosus atau
adanya hemangioma vertebra.
j. Fungsi lumbal dapat memperlihatkan kadar protein yang sangat tinggi dengan
adanya obstruksi total.

4.5. Diagnosis3
a. X-Ray spine
Dilakukan X-Ray spine dengan permintaan lateral dan oblique. Tanda
degenerasi dari spine adalah :
 Reduksi dari ruang intevertebralis
 Penyempitan foramen intevertebralis
 Formasi osteofit
 Pelebaran jarak antar pedunkular ditemukan pada lesi intradural
b. Mielogram
c. CT Scan
d. Analisis CSF
e. Pemeriksaan penunjang lainnya :
 X-Ray Toraks yang akan memperlihatkan suatu keganasan.
 Tes serologi untuk mendeteksi adanya sifilis
 IgA atau IgG albumin untuk mendiagnosa dari skeloris multipel
 Tes darah rutin
 Pemeriksaan urin

26
4.6. Komplikasi2,3
a. Luka dekubitus
b. Kontraktur
c. Infeksi traktus urinarius
d. Emboli paru
e. Deep vein thrombosis
f. Paralisis otot-otot pernapasan

4.7. Penatalaksanaan3
a. Terapi utama didasarkan dan disesuaikan dengan penyakit penyebab
paraparese spastik.
b. Penanganan spastisitas
Fisioterapi terdiri dari:
 Prolonged passive stretching
 Hydrotherapy
 Refl ex inhibiting postures
 Standing and walking
 Ice therapy
Farmakologis:
 Antispasmodik
 Inj intratechal baclofen / morphine
 Blok saraf lokal sementara dgn toksin botulinum pada otot yang spesifik.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Chussid, J. G. (1990). Korelasi Neuroanatomi dan Neurologi Fungsional,


Bagian Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
2. Ropper, A. H., & Brown, R. H. (2005). Adams and Victor Principles of
Neurology, Eight Edition. New York : Mc Graw Hill.
3. Bromley, I. (2006). Tetraplegia and Paraplegia, A Guide for
Physiotherapists. China : Elsevier.

28

Anda mungkin juga menyukai