PARAPARESE SPASTIK
Disusun oleh:
Andreas Hans
406152067
Pembimbing:
dr. Sunaryo, M. Kes, Sp. S
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Warti
Tanggal Lahir : 10 – 02 1969
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ronggo 3/1, Jaken, Pati, Jawa Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMP
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 13 November 2017 (Poli Saraf)
II. ANAMNESIS
Dilakukan pada tanggal 21 November 2017, pukul 15.00 WIB secara
autoanamnesis di rumah pasien.
Keluhan Utama
Kelemahan pada kedua tungkai.
1
terasa saat berkemih. Kemudian pasien dirawat selama 8 hari. 1 minggu setelah
perawatan pasien datang ke Poli Penyakit Saraf RSUD RAA Soewondo Pati
untuk kontrol. Pasien mengeluh kedua tungkainya tidak dapat digerakkan
karena terasa berat dan kaku. Selain itu pasien merasa buang air kecil tidak
lampias. 2 hari setelah kontrol pasien tidak dapat buang air kecil dan perutnya
yang membesar sehingga pasien dibawa ke IGD RSUD RAA Soewondo Pati
oleh keluarganya. Di IGD pasien mendapat tindakan pemasangan selang untuk
berkemih. Tidak lama setelah dipasang selang, kantung urin telah terisi penuh
dan perut pasien kembali ke ukuran normal. Pada saat pemeriksaan pasien
mengeluh kedua tungkainya terasa lemas, berat, dan mati rasa. Selain itu pasien
merasa tubuhnya panas mulai dari perut menjalar sampai ke kaki. Saat itu pada
pasien masih terpasang selang untuk buang air kecil. Pasien juga kesulitan
buang air besar sudah sejak awal perawatan di RSUD RAA Soewondo Pati.
Keluhan lain seperti wajah merot, bicara pelo, kesulitan menelan, kejang,
demam, sesak napas, batuk, nyeri dada, dan nyeri punggung disangkal.
2
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah mendapatkan pengobatan, antara lain: cefoperazon, lapibal, asam
folat, tiamin, cal-95, ketoprofen, dexamethasone, THP, tramadol, gabapentin,
dan mecobalamin.
Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan mengangkat beban berat sebelumnya. Pasien tidak
memiliki kebiasaan konsumsi kopi, rokok, dan alkohol.
Pemeriksaan Sistem
Kepala : mesosefal, deformitas (-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), THT dbn
Leher : trakea ditengah, perbesaran tiroid (-), perbesaran KGB (-)
Paru : Inspeksi : gerak simetris, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di sela iga 5
3
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : bentuk abdomen datar
Auskultasi : bisung usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-)
splenomegali (-)
Perkusi : timpani di ke-4 kuadran abdomen
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi Luhur
o Orientasi : baik
o Gangguan bicara dan bahasa : normal, tidak ditemukan adanya afasia
motorik atau sensorik
o Daya ingat : baik
Rangsang Meningeal
o Kaku kuduk : (-)
o Brudzinsky I : (-)
o Brudzinsky II : (-)
o Brudzinsky III : (-)
o Brudzinsky IV : (-)
o Kernig : > 135° / > 135°
4
Saraf Kranialis
PEMERIKSAAN DEXTRA SINISTRA
Nervus Olfactorius (N. I)
Daya penghidu Normosmia Normosmia
Nervus Opticus (N. II)
Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang pandang Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus Occulomotorius (N. III)
Ptosis (-) (-)
Gerak mata ke superior (+) (+)
Gerak mata ke inferior (+) (+)
Gerak mata ke medial (+) (+)
Pupil (bentuk & ukuran) Bulat, Ø 3 mm Bulat, Ø 3 mm
Refleks cahaya langsung (+) (+)
Refleks cahaya tak langsung (+) (+)
Strabismus divergen (-) (-)
Nervus Trochlearis (N. IV)
Gerak mata ke lateroinferior (+) (+)
Strabismus konvergen (-) (-)
Nervus Trigeminus (N. V)
Sensorik (cabang
ophtalmicus, maxillaris, Normal Normal
mandibularis)
Motorik (membuka mulut,
menggerakan rahang, Normal Normal
menggigit)
Nervus Abducens (N. VI)
Gerak mata ke lateral (+) (+)
Strabismus konvergen (-) (-)
5
Nervus Fascialis (N. VII)
Kerutan kulit dahi Normal Normal
Mengangkat alis Normal Normal
Sulcus nasolabialis Normal Normal
Menggembungkan pipi Normal Normal
Menyeringai Normal Normal
Nervus Vestibulo-Cochlearis (N. VIII)
Test pendengaran Dalam batas normal Dalam batas normal
Test penala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Konfrontasi: Nistagmus (-) (-)
Test Romberg Negatif
Nervus Glossopharyngeus (N. IX)
Palatum molle Simetris
Arkus faring Simetris
Uvula Ditengah
Disfagia (-)
Disfonia (-)
Nervus Vagus (N. X)
Arkus faring Simetris
Bersuara (+)
Menelan (+)
Nervus Accesorius (N. XI)
Menoleh kanan-kiri Normal Normal
Mengangkat bahu Normal Normal
Nervus Hipoglossus (N. XII)
Sikap lidah Deviasi (-), fasikulasi (-), tremor (-)
Menjulurkan lidah Deviasi (-)
Disartria (-)
Pemeriksaan Motorik
o Trofi otot : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
6
o Tonus otot : Normotonus Normotonus
Hipertonus Hipertonus
o Kekuatan : 5 5
1 1
Pemeriksaan Sensorik : + +
- -
Pemeriksaan dengan rangsang raba dan nyeri,
tidak terasa mulai dari perut setinggi Th8-Th9
sampai kaki
Refleks Fisiologis
o Biceps :+/+
o Triceps :+/+
o Patella : ++ / ++
o Achilles : ++ / ++
Refleks Patologis
o Hoffman-Tromner : - / -
o Babinski :+/+
o Chaddock :+/+
o Oppenheim :+/+
o Gordon :+/+
o Schaefer :+/+
o Bing :+/+
o Rosolimo :+/+
o Mendel-Bechterew : + / +
o Gonda :+/+
o Stransky :+/+
o Klonus paha :-/-
o Klonus kaki :-/-
7
Pemeriksaan Tambahan
o Tulang belakang : normal
o Laseque : > 70° / > 70°
o Test Patrick :-/-
o Test Kontra-Patrick :-/-
8
- Tak tampak osteofit multipel aspek anterior korpus VL
- Diskus dan foramen intervertebralis L5-S1 menyempit
- Pedikel, prosessus spinosus dan prosessus transversus baik
- Sacroiliaca joint kanan kiri baik
Kesan:
Spondilosis lumbalis
Penyempitan diskus dan foramen intervertebralis L4-5 dan L5-S1
V. RESUME
Telah diperiksa seorang perempuan usia 48 tahun datang ke IGD RSUD RAA
Soewondo Pati dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai, gangguan
buang air kecil, dan kesulitan buang air besar. Keluhan dirasakan pasien sejak 3
minggu sebelum pemeriksaan. Sebelumnya pasien hanya merasakan pegal-
pegal pada kedua tungkainya, kemudian mendadak tidak dapat digerakkan.
Pada awal keluhan pasien tidak merasakan saat berkemih, kemudian setelah ± 1
minggu pasien mengalami kesulitan berkemih hingga akhirnya tidak dapat
berkemih sama sekali. Terdapat riwayat trauma yang menyebabkan kelemahan
pada tungkai kanan 20 tahun yang lalu. Riwayat TB paru, keganasan,
hipertensi, diabetes mellitus, dan alergi disangkal.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis dengan GCS 15, status gizi cukup. Tanda-
tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 88x/menit, pernafasan
20 x/menit, suhu 36,6 °C.
Dari pemeriksaan sistem tidak ditemukan adanya kelainan. Dari
pemeriksaan neurologis didapatkan rangsang meningeal (-), nervus kranialis
dalam batas normal, motorik hipertonus pada ekstremitas bawah, eutrofi pada
keempat ekstremitas, sensorik rangsang raba dan nyeri (-) mulai setinggi
dermatom Th8-9, hiperrefleks fisiologis pada ekstremitas bawah, refleks
patologis Babinski, Chaddock, Schaefer, Gordon, Oppenheim, Rosolimo,
Mendel-Bechterew, Bing, Gonda, dan Stransky (+) pada ekstremitas kanan dan
kiri; pemeriksaan tulang belakang, laseque, patrick dan kontrapatrick dalam
batas normal.
9
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan anemia ringan dan
trombositosis. Dari pemeriksaan radiologi x-foto lumbosakral didapatkan
gambaran spondilosis lumbalis dan penyempitan diskus dan foramen
intervertebralis L4-5 dan L5-S1.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : paraparesis spastic dan hipestesia setinggi Th8-9
Diagnosis Topis : segmen medulla spinalis Th8 – Th9
Diagnosis Etiologis : suspek fraktur kompresi corpus vertebra
suspek proses degeneratif
VII. TATALAKSANA
Medikamentosa
- Tramadol 2 x 25 mg
- Gabapentin 2 x 150 mg
- Mecobalamin 1 x 500 mcg
- Asam Folat 1 x 400 mcg
Non-medikamentosa
- Fisioterapi
- Komunikasi dan informasikan kepada pasien dan keluarga pasien
mengenai penyakit pasien dan penanganannya
- Edukasi kepada keluarga pasien untuk tetap memantau keadaan pasien
- Edukasi pasien untuk teratur meminum obat
- Edukasi tentang pola hidup sehat
- Edukasi pasien dan keluarga untuk membantu mobilisasi pasien
Saran lanjutan:
- Pemeriksaan lebih lanjut: X-foto thoracal, MRI Spine, sputum BTA
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
10
TINJAUAN PUSTAKA
PARAPARESE SPASTIK
Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras
konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis merupakan perpanjangan dari
otak dalam menginervasi bagian bawah dari tubuh, karenanya komposisi medula
spinalis mirip otak yaitu terdiri dari substansia alba (serabut saraf bermielin)
dengan bagian dalam terdiri dari substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin).
Substansia alba berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara
berbagai tingkat medulla spinalis dan otak. Substansia grisea merupakan tempat
integrasi refleks-refleks spinal. Medula spinalis dimulai dari akhir medula
oblongata di foramen magnum di bagian atas dan diteruskan pada bagian
bawahnya sebagai conus medullaris, kira-kira pada level T12-L1. Selanjutnya
diteruskan ke distal sebagai kauda equine (dibokong) yang lebih tahan terhadap
cedera. Pada setiap level akan keluar serabut syaraf yang disebut nerve root.
11
Gambar 1. UMN, LMN, dan Jaras Kortikospinal
12
Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra
13
dari saraf-saraf sensorik. Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron
internunsial atau neuron asosiasi, serabut eferen sistem saraf otonom, serta akson-
akson yang berasal dari berbagai tingkatan SSP. Neuron internunsial menghantar
impuls dari satu neuron ke neuron lain dalam otak dan medulla spinalis. Dalam
medulla spinalis neuron-neuron internunsial mempunyai banyak hubungan antara
satu dengan yang lain, dan hanya beberapa yang langsung mempersarafi sel kornu
ventralis. Hanya sedikit impuls saraf sensorik yang masuk ke medulla spinalis
atau impuls motorik dari otak yang langsung berakhir pada sel kornu ventralis
(lower motor neuron). Sebaliknya, sebagian besar impuls mula-mula dihantarkan
lewat sel-sel internunsial dan kemudian impuls tersebut mengalami proses yang
sesuai, sebelum merangsang sel kornu anterior. Susunan seperti ini
memungkinkan respons otot yang sangat terorganisasi.
14
Setiap dermatom berhubungan dengan satu segmen radikuler, yang mana
akan berhubungan lagi dengan satu segmen medula spinalis.
Lintasan traktus medulla spinalis terdiri dari traktus ascendens dan traktus
descendens. Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat
berjalan ke bagian-bagian medulla spinalis dan otak. Traktus spinotalamikus
lateralis merupakan suatu traktus ascendens penting, yang membawa serabut-
serabut untuk jaras nyeri dan suhu. Jaras untuk raba halus, propiosepsi sadar, dan
getar mempunyai serabut-serabut yang membentuk kolumna dorsalis substansia
alba medulla spinalis. Impuls dari berbagai bagian otak yang menuju neuron-
neuron motorik batang otak dan medulla spinalis disebut traktus descendens.
Traktus kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan jaras motorik voluntar
dalam medulla spinalis. Traktus asosiatif merupakan traktus ascendens atau
descendens yang pendek; misalnya, traktus ini dapat hanya berjalan antara
15
beberapa segmen medula spinalis, sehingga disebut juga traktus intersegmental.
Tabel 2.1 menyebutkan beberapa traktus ascendens dan descendens yang penting
pada medula spinalis.
16
Tabel 1. Traktus Ascendens dan Descendens pada Medula Spinalis
Traktus Fungsi
ASCENDENS
Kolumna dorsalis (posterior) Kemampuan untuk melokalisasi stimulus dari sentuhan halus, kemampuan untuk membedakan
Fasikulus kuneatus (T6 dan di tekanan dan intensitas (membedakan dua-titik, persepsi berat badan)
atasnya, bagian atas tubuh) Kesadaran propioseptif (merasakan posisi)
Fasikulus grasilis (T7 dan di Vibrasi (sensasi fasik)
bawahnya, bagian bawah tubuh) Hantaran cepat informasi sensorik
Spinotalamikus
Spinotalamikus lateralis Nyeri
Spinotalamikus ventralis Temperatur, termasuk sensasi hangat dan dingin
Kurang dapat melokalisasi stimulus dari sentuhan kasar serta membedakan tekanan dan intensitas
Sensasi gatal dan geli
Hantaran informasi sensorik lebih lambat daripada kolumna dorsalis
Spinoserebelaris
Spinoserebelaris dorsalis Propioseptif yang tidak disadari (sensasi otot)
Spinoserebelaris ventralis Koordinasi postur tubuh dan gerakan ekstremitas
Informasi sensorik yang dihantarkan hampir seluruhnya dari apparatus tendon Golgi dan gelendong
otot
Serabut traktus-besar yang menghantarkan impuls lebih cepat daripada neuron-neuron lain dalam
tubuh
DESCENDENS
Kortikospinalis
Kortikospinalis lateralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot ekstremitas
Kortikospinalis ventralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot tubuh
Rubrospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus integrasi yang tidak disadari dan koordinasi gerakan otot yang
17
disesuaikan dengan masukan propioseptif
Tektospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus gerakan pemindaian dan pergantian refleks pada kepala dan
gerakan refleks pada lengan sebagai respons terhadap sensasi penglihatan, pendengaran, atau kulit
Vestibulospinalis Traktus ekstrapiramidalis terlibat dalam mempertahankan keseimbangan dan koordinasi gerakan
kepala dan mata
18
2. PARESE2,3
2.1. Definisi
Parese adalah kelemahan atau hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang
terkena. Parese disebut juga sebagai paralisis sebagian.
2.2. Klasifikasi
a. Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau satu
ekstremitas bawah.
b. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
c. Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas
dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
d. Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.
3. PARAPARESE2,3
3.1. Definisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi
motorik dan sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sacral medulla spinalis.
3.2. Klasifikasi
a. Paraparese spastik
Paraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron
(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertonus.
b. Paraparese flaksid
Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron
(LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hipotonus.
19
Klasifikasi berdasarkan lesi medulla spinalis2
Tabel 2. ASIA Impairing scale
3.3. Patofisiologi1,2,3
Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot
bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis
pada tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada
otot-otot, kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu
otot-otot toraks dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas.
Akibat terputusnya lintasan somatosensoris dan lintasan autonom
neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita
tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan
reaksi neurovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau
tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa
dengan lesi yang terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi
gangguan motorik berupa kelumpuhan LMN pada otot-otot yang merupakan
sebagian kecil dari otot-otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi
tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kurang
menonjol. Hal ini dikarenakan lesi dapat mengenai kornu anterior medula spinalis.
20
Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan
UMN karena jaras kortikospinal lateral segmen thorakal terputus.
Gangguan fungsi sensorik dapat terjadi karena lesi yang mengenai kornu
posterior medula spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas dibawah
lesi. Sehingga penderita berkurang merasakan adanya rangsang taktil, rangsang
nyeri, rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsang lokalis.
Gangguan fungsi autonom dapat terjadi karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus sehingga inkotinensia urin dan inkotinensia alvi.
Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas defisit
sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua
tungkai secara lengkap.
Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari
medula spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi
melalui emboli septic, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis,
atau perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja
digunakan untuk proses peradangan pada medulla spinalis namun juga digunakan
apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses
patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor baik tumor
ekstramedular maupun intramedular serta trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinalis.
4. PARAPARESE SPASTIK2,3
4.1. Definisi
Paraparese spastik adalah kelemahan otot ekstremitas bawah disertai
peningkatan tonus otot akibat lesi pada upper motor neuron yaitu lesi traktus
pyramidal bilateral, batang otak atau parasagital serebral.
4.2. Klasifikasi
Berdasarkan onset perjalanan penyakit paraparese tipe spastik dibagi menjadi
2, yaitu :
21
a. Paraparese tipe spastik yang akut
Paraparese tipe spastik yang akut dapat disebabkan oleh infeksi non
spesifik seperti myelitis transversa, trauma seperti kontusio, whisplash
injury dan tumor ganas atau metastasis.
b. Paraparese tipe spastik yang kronis
Paraparese tipe spastik yang kronis dapat disebabkan oleh infeksi spesifik
seperti tuberculosis, tumor jinak, dan penyakit degeneratif.
4.3. Etiologi3
a. Paraparese Kompresi
1 Ekstramedular
a) Intradular seperti meningioma, neurofibroma, arachnoiditis.
b) Extradular seperti potts disease (caries spine)
c) Neoplasma vertebra seperti metastase, miloma
d) Pachymeningitis
e) Prolapsed discusintravertebralis
f) Abses epidural atau perdarahan epidural
g) Fraktur atau dislokasi dari vertebra seperti pagets disease,
osteoporosis.
2 Intramedular
a) Syringiomyelia
b) Haematomyelia
c) Tumor medulla spinalis
d) Ependymoma, glioma
22
3 Inflamasi
a) Mielitis transversa
b) Mielomeningitis
c) Sklerosis multiple
d) Sarcoidosis
4 Vascular
a) Anterior spinal artery occlusion
b. Paraparese Nonkompresi
1. MND – Amyotropic lateral sclerosis
2. Acute Transverse Myelitis
3. Lathyrism
4. Syringomyelia
5. Hereditary Spastic Paraparese
6. Tropical Spastic Paraparese
7. Radiation Mielopathy
23
Hipertonus yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan semua otot
skeletal, melainkan otot fleksor seluruh lengan serta otot abductor bahu dan pada
tungkai seluruh otot ekstensornya serta otot-otot plantar fleksi kaki.
Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ektrapiramidal dan
pyramidal yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat
memperlihatkan hipertonia dalam posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini terjadi pada
kelumpuhan UMN yang melanda bagian bawah tubuh (paraparese) akibat oleh
karena lesi transversal di medulla spinalis di atas intumesensia lubosakralis.
Apabila paraparese yang disebabkan oleh lesi yang terutama merusak serabut
penghantar impuls pyramidal saja,maka parapleginya menunjukan hipertonus
dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah serabut penghantar impuls ekspiramidal (
terlibat dalam lesi, maka hipertonus dalam posisi fleksi.
b. Hiperrefleksia
Pada kerusakan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa
(normal). Dalam hal ini, gerak otot bangkit secara berlebihan, walapun
rangsangan pada tendon sangat lemah. Hiperrefleksi merupakan keadaan setelah
impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat
disampaikan pada motorneuron. Refleks tendon merupakan refleks spinal yang
bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neuron-neuron
yang berada disatu segmen. Tetapi ada juga gerak otot reflektorik, yang lengkung
refleks segmentalnya berjalan dengan lintasan-lintasan UMN yang ikut mengatur
efektornya. Hal ini dijumpai pada refleks kulit dinding perut. Pada UMN, refleks
tersebut menghilang atau menurun.
c. Klonus
Hiperrefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot
reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih
berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhannya disertai oleh klonus kaki dan klonus
lutut.
d. Refleks patologis
Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi
mekanisme timbulnya refleks patologis ini masih belum jelas.
24
e. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Motorneuron dengan sejumlah serabut-serabut otot yang disarafinya
menyususn satu kesatuan motorik. Kesatuan fisiologi ini mencakup hubungan
timbal-balik antara kehidupan motorneuron dan serabut otot yang disarafinya.
Runtuhnya motorneuron akan disusul dengan kerusakan-kerusakan serabut-
serabut saraf motoriknya. Oleh karena itu, otot yang terkena akan menjadi atrofi.
Dalam hal kerusakan pada UMN, motorneuron tidak dilibatkan. Oleh karena itu,
otot-otot yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atrofi. Namun
demikian, otot yang lumpuh masih dapat mengecil, bukan karena serabut-serabut
yang musnah akan tetapi dikarenakan oleh karena otot tersebut tidak
dipergunakan yang dikenal dengan istilah disuse atrophy.
25
c. Gangguan sensorik distal. Lesi sensorik yang batasnya jelas tidak selalu
ditemukan pada awal lesi
d. Nyeri dapat ditemukan pada anggota badan
e. Hilangnya refleks abdominal superfisial
f. Gangguan urinasi
g. Saraf-saraf cranial tidak terkena pada lesi spinal murni
h. Kolumna vertebralis dapat memperlihatkan adanya deformitas,
pembentukkan gibbus atau nyeri pada perkusi prosesus spinosus tertentu
i. Foto rontgen kolumna vertebralis dapat memperlihatkan destuksi tulang,
pelebaran kanalis spinalis, destruksi pedikel atau prosesus spinosus atau
adanya hemangioma vertebra.
j. Fungsi lumbal dapat memperlihatkan kadar protein yang sangat tinggi dengan
adanya obstruksi total.
4.5. Diagnosis3
a. X-Ray spine
Dilakukan X-Ray spine dengan permintaan lateral dan oblique. Tanda
degenerasi dari spine adalah :
Reduksi dari ruang intevertebralis
Penyempitan foramen intevertebralis
Formasi osteofit
Pelebaran jarak antar pedunkular ditemukan pada lesi intradural
b. Mielogram
c. CT Scan
d. Analisis CSF
e. Pemeriksaan penunjang lainnya :
X-Ray Toraks yang akan memperlihatkan suatu keganasan.
Tes serologi untuk mendeteksi adanya sifilis
IgA atau IgG albumin untuk mendiagnosa dari skeloris multipel
Tes darah rutin
Pemeriksaan urin
26
4.6. Komplikasi2,3
a. Luka dekubitus
b. Kontraktur
c. Infeksi traktus urinarius
d. Emboli paru
e. Deep vein thrombosis
f. Paralisis otot-otot pernapasan
4.7. Penatalaksanaan3
a. Terapi utama didasarkan dan disesuaikan dengan penyakit penyebab
paraparese spastik.
b. Penanganan spastisitas
Fisioterapi terdiri dari:
Prolonged passive stretching
Hydrotherapy
Refl ex inhibiting postures
Standing and walking
Ice therapy
Farmakologis:
Antispasmodik
Inj intratechal baclofen / morphine
Blok saraf lokal sementara dgn toksin botulinum pada otot yang spesifik.
27
DAFTAR PUSTAKA
28