Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

POLI JIWA DAN NARKOBA


RSUD.JEND. AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

SINDROMA EKSTRAPIRAMIDAL

Oleh :

Khairunisa Firdani, S.Ked

21360159

Masa KKM : Maret 2022 – April 2022

Penguji :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN NARKOBA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD. JENDRAL AHMAD YANI METRO
LAMPUNG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

“Sindroma Extrapiramidal”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Februari 2022

Oleh:

Khairunisa Firdani

21360159

Masa KKM : Maret 2022 – April 2022

Pembimbing :

dr. Ni Wayan Dewi Putriny Asih, Sp.KJ

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
2.1 Definisi.........................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi................................................................................................................2
2.3 Etiologi.........................................................................................................................3
2.4 Patofisiologi.................................................................................................................4
2.5 Manifestasi klinis...................................................................................................... 11
2.6 Diagnosis....................................................................................................................11
2.7 Diagnosis banding......................................................................................................12
2.8 Penatalaksanaan.........................................................................................................15
2.9 Komplikasi.................................................................................................................16
2.10 Prognosis...................................................................................................................17
BAB III....................................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari neurotransmiter


dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan gejala psikosis mempunyai mekanisme memblok reseptor dari dopamin,
khususnya reseptor D2 dopamin.

Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat antipsikosis juga


mempunyai efek samping yang berkaitan dengan neurotransmiter dopamin. Efek samping
ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-obat antipsikosis yang sering muncul dan
sangat mengganggu pasien sehingga dapat menurunkan ketaatan pasien untuk teratur
mengkonsumsi obat, yang mana akan menyebabkan sulitnya gejala-gejala psikosis untuk
berkurang atau hilang.

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian
sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal adalah
terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis
yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping
gejala ekstrapiramidal yakni haloperidol, trifluoperazine, pherpenazine, fluphenazine, dan
dapat pula oleh chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet,
spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal
dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan
transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal

2.2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan sindrom
parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. !ebih banyak
diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi.
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda.
Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang, umumnya terjadi
akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang. Sekitar 20-30 pasien telah
menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang menjadi
tardive dyskinesia. Sindrom parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal,
lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki 2:1

2.3. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik dalam jangka
waktu singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi
asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala
ekstrapiramidalnya sebagai berikut :

2
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +

Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:


1. Ketidakseimbangan degeneratif
2. Ketidakseimbangan metabolik
3. Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
4. Inflamasi
5. Racun
6. Tumor atau SOL
7. Anoxia

3
2.4. PATOFISIOLOGI
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik,
nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak, serebelum berikut
dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. Komponen-komponen
tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu.
Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena
korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka
lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama
(principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap
neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus
palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang
tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum / globus plaidus /
thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks
motorik dan korteks motorik tambahan.
Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit
yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut
sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan
stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang
melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit
asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-
striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan gangguan transmisi di
korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin sehingga
menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.
Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin
ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

4
2.5. MANIFESTASI KLINIS
Akibat gangguan sistem ekstrapiramidal pada pergerakan dapat dianggap terdiri dari
defisit fungsional primer (gejala negatif) yang ditimbulkan oleh tidak berfungsinya sistem dan
efek sekunder (gejala positif) yang timbul akibat hilangnya pengaruh sistem itu terhadap
bagian lain. Pada gangguan dalam fungsi traktus ekstrapiramidal gejala positif dan negatif itu
menimbulkan dua jenis sindrom, yaitu :
1. Sindrom hiperkinetik – hipotonik : asetilkolin ↓ , dopamin ↑
 Tonus otot menurun
 Gerak involunter / ireguler
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus

       2.  Sindrom hipokinetik – hipertonik : asetilkolin ↑ , dopamin ↓


 Tonus otot meningkat
 Gerak spontan / asosiatif ↓
 Gerak involunter spontan
          Pada : Parkinson

Gejala negatif
Gejala negatif terjadi akibat kekurangn jumlah dopamin karena produksinya yang
berkurang. Gejala negatif, terdiri dari :

1. Bradikinesia
Gerakan volunter yang bertambah lambat atau menghilang sama sekali. Gejala
ini merupakan gejala utama yang didapatkan pada penyakit parkinson sehingga
menimbulkan berkurangnya ekspresi wajah, berkurangnya kedipan mata dan
mengurangi perubahan postur pada saat duduk.

2. Gangguan postural
Merupakan hilangnya refleks postural normal. Paling sering ditemukan pada
penyakit parkinson. Terjadi fleksi pada tungkai dan badan karena penderita tidak

5
dapat mempertahankan keseimbangan secara cepat. Penderita akan terjatuh bila
berputar dan didorong.

Gejala Positif
Gejala positif timbul oleh karena terjadi perubahan pelepasan ataupun disinhibisi dari
dopamin, tetapi tidak ditemukan kerusakan struktur, yang terdiri dari:

1. Gerakan involunter
 Tremor
 Athetosis
 Chorea
 Distonia
 Hemiballismus

2. Rigiditas
Kekakuan yang dirasakan oleh pemeriksa ketika menggerakkan ekstremitas
secara pasif. Tahanan ini timbul di sepanjang gerakan pasif tersebut, dan mengenai
gerakan fleksi maupun ekstensi sering disebut sebagai plastic atau lead pipe rigidity.
Bila disertai dengan tremor maka disebut dengan tanda Cogwheel.
Pada penyakit  parkinson  terdapat  gejala  positif dan gejala negatif seperti
tremor dan bradikinesia. Sedangkan pada Chorea huntington lebih didominasi oleh
gejala positif, yaitu : Chorea.

Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu :

1. Reaksi distonia akut


2. Tardiv diskinesia
3. Akatisia
4. Parkinsonism (Sindrom Parkinson)

6
1. Reaksi Distonia Akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul
beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur
yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang
(trismus, gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir),
seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik).
Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan disartria, disfagia,
kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia juga dapat terjadi pada otot
diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan
kematian..Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan
dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja.
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan
dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih
lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih
tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine. Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab
utama dari ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi
secara permanent dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV
adalah sebagai berikut:
o Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang
berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi
neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati
gejala ekstrapiramidal).

Kriteria A
Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi
neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya
tortikolis)

7
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,
makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.

Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau
dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang
digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat
antikolinergik).
Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya
gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental dapat berupa berikut :
1. Gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan
pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan
neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau
medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa
berikut :
2. Gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis
fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan
medikasi.

Dystonia
Manifestasinya sebagai postur tubuh yang abnormal untuk waktu yang lama yang
diakibatkan oleh spasme otot – otot besar yang terdapat di badan dan ekstremitas, misalnya :
retraksi pada kepala. Distonia dapat terjadi umum pada dystonia musculorum deformans atau
fokal pada torticolis.

8
Dystonia musculorum deformans
Onset terjadi pada masa anak – anak dan diturunkan secara autosomal resesif. Pada
awalnya terjadi deformitas pada kaki berupa fleksi ketika berjalan. Lalu kelainan ini
bertambah menjadi generalisata dengan postur kepala, badan, dan ekstremitas yang abnormal.
Diagnosis ditegakkan jika pada pasien memiliki riwayat perinatal normal dan tidak terdapat
bukti laboratorium adanya penyakit Wilson. Pengobatan penyakit ini dapat dengan levodopa
atau karbamazepin. Namun, pada beberapa pasien tidak memberikan peningkatan yang berarti
sehingga dapat diganti dengan antikolinergik

2. Tardive Dyskinesia (kronik)


Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter,
menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan
makan pasien dan kadang mengganggu. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul
dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik.
Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang
berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien
memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali,
yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih
berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Diagnosis banding jika
dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham,
diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan
lain-lain.

3. Akatisia

9
Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup
atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa
gatal pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang,
perasaannya menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat
menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang
ekstrim.
Sejauh ini, akatisia merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada
sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi
pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan
untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat
mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala
psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat
ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang
ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia. Akatisia sering timbul
segera setelah memulai medikasi neuroleptikdan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan
perasaan tidak nyaman. Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah
ketidakpatuhan pasien.

4. Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat,
riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri dari akinesia, tremor,
dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat
menimbulkan pengeluaran air liur.
Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status
perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai
aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor
dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan
langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.

10
5. Lain-lain
Berikut merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis
pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun.
Manifestasinya meliputi berikut :

1. Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang
dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia
hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan
spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat
dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia.

2. Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor
dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”.
Keadaan ini dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui
karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan
responya terhadap medikasi antikolinergik.

3. Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak dan
hilangnya ayunan lengan.

4. Kekuan otot : terutama dari tipe cogwheeling. Gangguan gerakan yang kronis
progresif yang ditandai oleh adanya tremor, bradikinesia, rigiditas, dan ketidakstabilan
postural.

5. Chorea Huntington = Chorea Mayor


Merupakan gangguan herediter yang bersifat autosomal dominan, onset pada usia
pertengahan dan berjalan progresif hingga menyebabkan kematian dalam waktu 10 –
12 tahun. Dapat terjadi pada usia muda (tipe juvenile) dimana gejalanya kurang

11
tampak dan didominasi oleh gejala negatif (rigiditas, demensia, perubahan
kepribadian, gangguan afektif, psikosis, hipotonus, reflex primitif)

2.6. DIAGNOSIS

Diagnosa awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda–tanda vital dan kondisi
fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan distonia
simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi adanya antipsikotik
tidak tersedia secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam serum untuk tranquilizer mayor
tidak berkorelasi dengan baik dengan keparahan klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat
pada pengobatan akut.
Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, keratin kinase-MM ,
nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin dan bikarbonat bermanfaat
dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot dan hipoglikemi
sebagai penyebab kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot yang terlihat
dari peningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM. Perusakan otot juga
menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga menyebabkan disfungsi tubulus
ginjal. Dehidrasi memperburuk penyerapan ini. Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna
cokelat gelap.

2.7. DIAGNOSIS BANDING


1. Sindroma putus obat
2. Parkinson Disease
3. Distonia primer
4. Tetanus
5. Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
6. Penyakit Huntington,
7. Chorea Syndenham
8. Anxietas

12
9. Gejala psikotik yang memburuk

2.8 . PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :
Non-farmakologis :
 Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang efektif

Farmakologis
 Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari dengan
total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan, contoh
madopar, sinemet.
 Pada pasien muda diberikan DA (dopamine antagonist)
Pemberian dopamine agonist :
Contoh ergot da:
o Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai total
maksimal 40mg/ hari terbagi dalam 3-5 dosis.
o Pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg /
hari untuk 3x beri
o Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari
o Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari

Contoh Non-ergot da
o Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg /
hari
o Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 3-9 mg/ hari
 Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine
 Pemberian antikolinergik seperti :
o trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis
diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat

13
apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping
sindrom ekstrapiramidal ini.
o n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari 100 mg.
Dosis umumnya 300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis
o Enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO –B contoh
selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor.
o COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) :
 entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg, tolcapone untuk
menurunkan degradasi dopamine otak dan meningkatkan efek L-dopa.
 Pemberian epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan
konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin
berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.
 Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif.
Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat
ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.
 Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan
pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

Pedoman umum :

1. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan


terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS
atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.

2. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan


komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering,
penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadin
dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.

3. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk
menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap
kembalinya gejala.

14
a. Reaksi Distonia Akut (ADR)

Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan


praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit.
Paduan obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali
sehari (BID) sampai tiga kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg
TID. Benztropin mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada
pengobatan ADR dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena
“rasa melayang” yang mereka dapat daripadanya.

Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati
dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat
diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk
memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat
ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi
dalam waktu 5 menit.

b. Akatisia

Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan


banyak eksperimen. Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan
amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir
bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya
klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.

c. Sindrom Parkinson

Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri


atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan . Levodopa yang

15
dipakai pada pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif
akibat efek sampingnya yang berat.

d. Tardive Diskinesia

Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana


merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan
pergerakan involunter dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi
antipsikotik tetapi ini hanya mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya.
Setelah permulaan memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang
atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua tahun.

Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak


pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-aminobutirat-ergik.
Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu pada beberapa kasus.
Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif tetapi depresi dan
hipotensi merupakan efek samping yang umum. Lesitin lemak kaya kolin sangat
bermanfaat menurut beberapa peneliti, tetapi kegunaannya masih diperdebatkan.

Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi


pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan
pengobatan. Penghentian pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi
yang berat, sementara pengobatan pada dosis efektif terendah dapat
mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti
terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.

2.9. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga
menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat
menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat
menyebabkan asfiksia dan kematian.

16
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan
komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan
kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi
gejala psikotik.
2.10. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila
gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan
sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, Pasien dengan tardive distonia hingga
distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena,
kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama
lebih dari 10 tahun.

17
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh
penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur
striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya
gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya
terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive
dyskinesia.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi
profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik,
kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihehyphenidil
(THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan tepat
umumnya diberikan Beztropin setara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia
diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti
klonazepam dan lorazepam. Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik
dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan
komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian. Penggunaan obat-obat
antipsikosis mempunyai efek samping yang bisa mempengaruhi kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat. Hal tersebut dapat menyebabkan penyakit pasien berlangsung kronis dan
terus-menerus relaps. Efek samping ekstrapiramidal memang mengganggu pasien, namun
tanpa obat antipsikosis sulit untuk pasien untuk sembuh dari gejala psikosisnya. Dengan
adanya agen antikolinergik, diharapkan efek samping ekstrapiramidal akibat obat antipsikosis
dapat ditekan dan pasien dapat lebih teratur mengkonsumsi obat antipsikosis dan diharapkan
dapat meningkatkan kesembuhan dari pasien

18
DAFTAR PUSTAKA

Gershanik OS, Gómez Arévalo GJ. Typical and atypical neuroleptics. Handb Clin Neurol.
2011;100:579–99.

Howard P, Twycross R, Shuster J, Mihalyo M, Wilcock A. Antipsychotics. J Pain Symptom


Manage. 2011;41(5):956–65.

Jesić MP, Jesić A, Filipović JB, Zivanović O. Extrapyramidal syndromes caused by


antipsychotics. Med Pregl. 2012;65(11–12):521–6.

Pringsheim T, Gardner D, Addington D, Martino D, Morgante F, Ricciardi L, et al. The


Assessment and Treatment of Antipsychotic-Induced Akathisia. Can J Psychiatry.
2018;63(11):719–29.

Shin HW, Chung SJ. Drug-Induced parkinsonism. J Clin Neurol. 2012;8(1):15–21.

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Synopsis Psikiatri Jilid 1.Bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Sinopsis Psikiatri Jilid 2.Bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997

Maslim. R, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikiatri edisi Ketiga.Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2007

Kaplan M Saddock. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 ed 9. !ippincott Williams & Wilkins 1998

19
Stahl, Stephen M. Essential Psychopharmacology : Neuroscientific Basis and Practical
applications. cambridge university press. 1996

Thanvi B, Treadwell S. Drug induced parkinsonism: A common cause of parkinsonism in


older people. Postgrad Med J. 2009;85(1004):322–6.

20
14

Anda mungkin juga menyukai