Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SINDROMA EKSTRAPIRAMIDAL

NAMA PEMBIMBING :
dr. Fitta Deskawaty, Sp. KJ

DISUSUN OLEH
Akbar Hanaefi
Nadia Afkar
Lira Asa Zulpri
Devid Munada Chairi
Danty Evely Clarissa
Whynda Amalia Putri Tarigan
Indah Karunia

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RS. Hj. BUNDA HALIMAH
PERIODE 17 OKTOBER – 19 NOVEMBER 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri
dari serabut yang  berasal dari korteks motorik pada otak yang
kemudian disalurkan ke batang otak dan turun ke spinal cord.

Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks


motorik, impuls gerakan yang diinginkan di teruskan menuju
bagian posterior kapsula interna, kapsula interna meneruskan
impuls kepada medula oblongata, setelah mencapai medulla
oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis substansi
kelabu, yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon
kembali diteruskan menuju ujung-ujung akson yaitu efektor
hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang sadar. Traktus
piramidal dibagi menjadi dua yaitu traktus pyramidal
(kortikospinal) lateral dan traktus pyramidal (kortikospinal)
ventral/anterior. Fungsi sistem piramidal adalah memulai
timbulnya suatu gerakan volunteer atau suatu gerak sadar yang
bersifat halus dan juga berfungsi untuk kontraksi otot distal,
khususnya pada tangan dan jari.
Sedangkan sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan
syaraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang
mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Sistem
ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal
ganglia, batang otak, spinal cord yang keluar dari traktus
piramidal. Letak dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio
retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla
spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang
kompleks, dan kontrol postur tubuh. Traktus ekstrapirimidal
dibagi menjadi traktus retikulospinal, traktus vestibulospinal
lateral, traktus vestibulospinal medial, traktus rubrospinal.
Fungsi sistem ekstrapiramidal antara lain adalah
mempertahankan tonus otot, gerakan kasar dan perencanaan
suatu gerakan.
Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu
gerakan sadar yang harus dilakukan, sedangkan sistem
ekstrapiramidal menentukan landasan untuk dapat
terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir.
Kerjasama yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem
ekstrapiramidal diperlukan dalam fungsi motorik yang
sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil
besardalam gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun
demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam
menghasilkan gerakan.
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala
atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek
atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat
antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek
samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,
Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula
oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai
gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala
tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping
pengobatan, utamanya penggunaan dalam jangka waktu yang
panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang memiliki
potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling
sering memberikan efek samping yang biasa disebut dengan
sindrom ekstrapiramidal  pada pasien karena memiliki
afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.

Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini


terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-
neuron terhadap rangsangan.

1.2. Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti


program studi kepaniteraan kedokteran jiwa di Rumah Sakit
Umum Daerah Subang.
1.2.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam


mengenai gangguan sindrom ekstrapiramidal.
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal adalah gejala atau reaksi yang
disebabkan oleh penggunaan obat antipsikotik tipikal jangka pendek
atau jangka panjang karena penghambatan transmisi dopaminergik
di ganglia basal. Transmisi yang rusak di striatum, yang mengandung
banyak reseptor dopamin D1 dan D2, menyebabkan depresi pada
fungsi motorik, yang bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal. Gejala dapat muncul sebagai gerakan otot rangka,
kejang atau iritabilitas, tetapi berada di luar kendali saluran
kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal seringkali dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu distonia reaktif, diskinesia tardif, akatisia, dan
sindrom parkinsonian. Namun ada beberapa sumber mengatakan
bahwa sindrom maligna neuroleptik juga termasuk dalam penyakit
ekstrapiramidal.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonik akut,
akahatasia, dan sindrom parkinsonian biasanya disebabkan oleh
penggunaan obat antipsikotik. Sebagian besar disebabkan oleh obat
antipsikotik tipikal, terutama yang berefek kuat. Reaksi distonik akut
terjadi pada sekitar 10% pasien, biasanya pria muda, terutama pada
mereka yang diobati dengan obat antipsikotik haloperidol dan
flufenaricin. Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20 hingga 30%
pasien yang telah menggunakan obat antipsikotik tipikal selama
minimal 6 bulan. Tetapi kebanyakan kasus sangat ringan. Hanya 5%
pasien yang memiliki gejala yang sebenarnya. Akatisia adalah gejala
EPS yang paling umum. Hal ini kemungkinan besar terjadi pada
pasien yang memakai neuroleptik. Kebanyakan pada pasien muda.
Penyakit Parkinson lebih sering terjadi pada orang dewasa muda
perbandingan pada wanita:pria = 2:1. Sindrom ganas neuroleptik
sangat jarang terjadi.
2.3 ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat
antipsikotik baik dalam jangka waktu singkat atau lama yang
menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi
asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek
samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala
Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +

Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:


a. Ketidakseimbangan degeneratif
b. Ketidakseimbangan metabolik
c. Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
d. Inflamasi
e. Racun
f. Tumor atau SOL
g. Anoxia

2.4. PATOFISIOLOGI

Struktur ekstrapiramidal terdiri dari corpus striatum, globus pallidus,


nukleus thalamic, nukleus subthalamic, substantia nigra, formasi retikuler
batang otak, serebelum, dan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6,
dan area 8. Komponen-komponen ini terhubung satu sama lain. . lain oleh
akson dari masing-masing komponen. Jadi ada orbit melingkar yang dikenal
sebagai lingkaran. Karena striatum adalah satu-satunya penerima serat dari
seluruh neokorteks, sirkuit ini disebut sirkuit striatal, yang terdiri dari sirkuit
striatal utama (mayor) dan 3 sirkuit striatal pendukung (aksesori).
Gambar 1. Jaras Aferen dan Eferen

Sirkuit utama striatum terdiri dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan
antara seluruh neokorteks dan striatum dan globus pallidus, (b) hubungan
antara striatum/pallidus dan talamus, dan (c) talamus dan daerah korteks 4 dan
6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus
striatum / globus plaidus / thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu
merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik
tambahan.

Karena komponen lain dari sistem ekstrapiramidal membentuk sirkuit


yang pada dasarnya memberi makan ke sirkuit utama striatum, mereka disebut
sebagai sirkuit tambahan striatal. Sirkuit striatal asesorik ke-1 adalah sirkuit
yang menghubungkan stratum-globus pallidus-thalamus-striatum. Sirkuit
aksesori striatal kedua adalah jalur yang mengelilingi globus pallidus-
subthalamic body-globus pallidus. Dan akhirnya sirkuit aksesori ketiga
dibentuk oleh koneksi yang mengelilingi striatum-substantia nigra-striatum.

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi


ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di
ganglia basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan
gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1
dan D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang
bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal
(seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia
basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek samping
gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Efek gangguan dari sistem ekstrapiramidal dapat dipandang sebagai


defisit fungsional primer (gejala negatif) akibat disfungsi sistem dan efek
sekunder (gejala positif) akibat hilangnya pengaruh sistem pada bagian lain.
Dengan gangguan saluran ekstrapiramidal, gejala positif dan negatif
menyebabkan dua jenis sindrom, yaitu:
- Sindrom hiperkinetik hipotonik : asetilkolin ↓ ,
dopamin ↑ 
• Tonus otot menurun
• Gerak involunter / ireguler
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus

- Sindrom hipokinetik hipertonik : asetilkolin ↑ ,


dopamin ↓
• Tonus otot meningkat
• Gerak spontan / asosiatif ↓ 
• Gerak involunter
Spontan Pada : Parkinson

2.5.1. Gejala negatif


Gejala negatif terjadi akibat kekurangn jumlah
dopamin karena
 produksinya yang berkurang. Gejala negatif, terdiri dari :
2.5.1.1. Bradikinesia
Gerakan volunter yang bertambah lambat atau
menghilang sama sekali. Gejala ini merupakan gejala
utama yang didapatkan pada penyakit  parkinson
sehingga menimbulkan berkurangnya ekspresi
wajah, berkurangnya kedipan mata dan mengurangi
perubahan postur pada saat duduk.
2.5.1.2. Gangguan postural
Merupakan hilangnya refleks postural normal.
Paling sering ditemukan pada penyakit parkinson. Terjadi
fleksi pada tungkai dan badan karena penderita tidak
dapat mempertahankan keseimbangan secara cepat.
Penderita akan terjatuh bila berputar dan didorong.

2.5.2. Gejala Positif

Gejala positif timbul oleh karena terjadi perubahan


pelepasan ataupun disinhibisi dari dopamin, tetapi tidak
ditemukan kerusakan struktur, yang terdiri dari:

- Gerakan involunter
  Tremor
• Athetosis
  Chorea
• Distonia
  Hemiballismus

-  Rigiditas
Kekakuan yang dirasakan oleh pemeriksa ketika
menggerakkan ekstremitas secara pasif. Tahanan ini
timbul di sepanjang gerakan pasif tersebut, dan
mengenai gerakan fleksi maupun ekstensi sering
disebut sebagai plastic atau lead pipe rigidity. Bila
disertai dengan tremor maka disebut dengan tanda
Cogwheel.

Pada penyakit parkinson terdapat gejala positif


dan gejala negatif seperti tremor dan bradikinesia.
Sedangkan pada Chorea huntington lebih didominasi
oleh gejala positif, yaitu : Chorea. 
2.5.3. Gejala ekstrapiramidal
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi ke dalam beberapa
kategori yaitu :

2.5.3.1. Reaksi Distonia Akut


Kejang atau kontraksi yang tidak disengaja dari satu atau
lebih otot rangka yang berlangsung beberapa menit dan dapat
berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur
tubuh yang tidak normal. Kelompok otot yang paling sering
terkena adalah otot wajah, otot rahang (trismus, menganga,
meringis), leher (torticollis dan retroneck), lidah (bengkak,
memutar), otot seluruh tubuh (opisthotonus), atau otot
ekstraokular (krisis okular).
Distonia juga dapat terjadi di daerah glosofaringeal,
menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernapas, sianosis,
bahkan kematian. Distonia juga dapat terjadi pada otot
diafragma yang menopang pernapasan, membuat sulit bernapas
hingga sianosis bahkan kematian.Reaksi distonia akut sering
terjadi dalam satu atau dua hari setelah dimulainya pengobatan,
tetapi dapat terjadi kapan saja.
Reaksi distonik akut sering terjadi dalam satu atau dua hari
setelah memulai terapi, tetapi dapat terjadi kapan saja. Ini terjadi
pada sekitar 10% pasien, lebih sering pada pria muda, dan lebih
sering dengan neuroleptik poten dosis tinggi seperti haloperidol
dan fluphenazine. Reaksi distonik akut dapat menjadi alasan
penting untuk ketidakpatuhan terhadap neuroleptik, karena
reaksi distonik yang memalukan dapat mengaburkan pandangan
pasien terhadap pengobatan secara permanen.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat
neuroleptik menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota
gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari
setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik
(atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk
mengobati gejala ekstrapiramidal).
2.5.3.2. Tardive Dyskinesia (kronik)
Karena defisiensi kolinergik relatif akibat hipersensitivitas
reseptor dopamin kaudat. Bermanifestasi sebagai gerakan otot
yang abnormal, tidak disengaja, mengayuh, balistik, atau seperti
tic yang memengaruhi dan terkadang mengganggu berjalan,
berbicara, bernapas, dan makan pasien. Gejala hilang dengan
tidur, mungkin intermiten dari waktu ke waktu, dan biasanya
memburuk setelah neuroleptik dihentikan.
Insidennya bervariasi, tetapi tardive dyskinesia diperkirakan
terjadi pada 20- 0 pasien dengan pengobatan jangka panjang.
Namun, beberapa kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5%
pasien yang menunjukkan gerakan berat yang sebenarnya.
Tetapi kasus yang parah sangat melemahkan dan memengaruhi
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan.
Faktor predisposisi dapat berupa usia tua, jenis kelamin
perempuan, dan obat-obatan dengan dosis tinggi atau
pengobatan jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif
atau organik juga lebih mungkin mengalami tardive dyskinesia.
Diagnosis banding tardive dyskinesia meliputi penyakit
Hutington, korea Sindenham, diskinesia spontan, tics, dan
diskinesia yang diinduksi obat seperti Levodova, stimulan, dan
lain-lain.

2.5.3.3. Akatisia 
Bermanifestasi sebagai kegelisahan subyektif yang
berkepanjangan, kegugupan atau gerakan, biasanya kaki yang
tidak bisa ditenangkan, atau otot gatal. Pasien dengan akathisia
parah tidak dapat duduk diam, indra mereka menjadi gelisah
atau mudah tersinggung, mereka gelisah dan langkah mereka
kuat. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik,
diperburuk oleh ketidaknyamanan yang ekstrim.
Tentu yang paling umum adalah akathisia. Ini mungkin terjadi
pada sebagian besar pasien yang diobati dengan neuroleptik,
terutama pasien yang lebih muda. Terdiri dari perasaan gelisah,
gugup, atau keinginan untuk bergerak. Gatal otot juga telah
dilaporkan. Pasien mungkin mengeluh kecemasan atau
gangguan tidur, yang dapat disalahartikan sebagai
memburuknya gejala psikotik.
Di sisi lain, akathisia dapat memperburuk gejala psikotik
karena ketidaknyamanan yang ekstrem. Kegelisahan, antusiasme
yang nyata, atau manifestasi fisik akatisia lainnya hanya dapat
diamati pada kasus yang parah. Juga, akinesia yang terlihat pada
parkinsonisme yang diinduksi neuroleptik dapat menutupi gejala
objektif akatisia. Akatisia sering terjadi segera setelah inisiasi
terapi neuroleptik, dan pasien merasa tidak nyaman. Hal ini
dirasakan dalam konteks pengobatan, yang menimbulkan
masalah dengan kepatuhan pasien.

2.5.3.4. Sindrom Parkinson

Faktor risiko antipsikotik untuk parkinsonisme termasuk


bertambahnya usia, dosis obat, riwayat parkinsonisme sebelumnya,
dan ganglia basal. Terdiri dari akinesia, tremor dan bradikinesia.
Akinesia meliputi ekspresi wajah bertopeng, jeda dalam gerakan
spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan,
dan penurunan mengunyah, yang dapat menyebabkan air liur.
Dalam bentuknya yang lebih ringan, akinesia memanifestasikan
dirinya hanya sebagai perilaku yang disertai dengan jeda dalam
ucapan, berkurangnya spontanitas, apatis, dan kesulitan untuk kembali
ke aktivitas normal, yang semuanya dapat dikacaukan dengan gejala
negatif skizofrenia.
Tremor dapat terjadi saat istirahat dan juga dapat mempengaruhi
rahang. Mengambil langkah kecil dan menyeret kaki Anda
menyebabkan kekakuan otot. Lainnya Ini adalah EPS lain yang cukup
umum yang dapat dimulai beberapa jam setelah dosis pertama
neuroleptik atau mulai secara bertahap setelah bertahun-tahun
pengobatan. Manifestasi yang jelas meliputi: Akinesia: yang meliputi
wajah bertopeng, jeda dalam gerakan spontan, berkurangnya ayunan
lengan saat berjalan, berkurangnya berkedip dan berkurangnya
mengunyah, yang dapat mengakibatkan jam air liur.
Dalam bentuknya yang lebih ringan, akinesia memanifestasikan
dirinya hanya sebagai perilaku yang disertai dengan jeda dalam
ucapan, berkurangnya spontanitas, apatis, dan kesulitan memulai
aktivitas normal yang semuanya dapat dikacaukan dengan gejala
negatif skizofrenia.
2.5.3.5. Lain-lain
Berikut merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai
berjam-jam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara
berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun. Manifestasinya
meliputi berikut :
2.5.3.5.1. Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari
gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan,
penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang dapat
menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih
ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku
dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran
untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan
dengan gejala negative skizofrenia.
2.5.3.5.2.Tremor : terutama saat istirahat, pil jenis rolling klasik .
Tremor dapat memengaruhi rahang, terkadang disebut "sindrom
kelinci". Ini dapat dikacaukan dengan tardive dyskinesia, tetapi dapat
dibedakan dengan sifatnya yang lebih ritmis, kecenderungan untuk
menyerang rahang daripada lidah, dan respons terhadap obat
antikolinergik.

2.5.3.5.3.Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dengan belokan


dan menekan serta kehilangan lengan ayun.
2.5.3.5.4.Kekuatan otot: Terutama tipe roda gigi. Gangguan gerakan
kronis dan progresif yang ditandai dengan tremor, bradikinesia,
kekakuan, dan ketidakstabilan postural.
2.5.3.5.5.Chorea Huntington = Chorea Major
Ini adalah penyakit herediter dominan autosomal yang dimulai pada
usia paruh baya dan berkembang secara bertahap menyebabkan
kematian dalam 10-12 tahun. Ini dapat muncul pada usia muda (tipe
remaja), ketika gejalanya kurang jelas dan gejala negatif mendominasi
(kekakuan, demensia, perubahan kepribadian, gangguan mood,
psikosis, hipotonia, refleks primitif).

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosa awal dilakukan dengan anamnesa pasien.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah
pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda – tanda vital
dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan
neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan
klinis. Pasien dengan distonia simplek tidak membutuhkan
tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi adanya
antipsikotik tidak tersedia secara luas. Selain itu, kandungan
obat dalam serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi
dengan baik dengan keparahan klinis dari overdosis dan
tidak bermanfaat pada pengobatan akut.Pemeriksaan rutin
elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, keratin kinase-
MM , nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa
darah, mioglobin dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai
status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot
dan hipoglikemi sebagai penyebab kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan
perusakan otot yang terlihat dari peningkatan potassium,
asam urat, dan keratin kinase-MM. Perusakan otot juga
menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga
menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi
memperburuk penyerapan ini. Pada myoglobinuria, urin
menjadi berwarna cokelat gelap.

2.7 DIAGNOSIS BANDING

2.7.1   Sindroma putus obat


2.7.2 Parkinson Disease
2.7.3 Distonia primer
2.7.4 Tetanus
2.7.5 Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
2.7.6   Penyakit Huntington,
2.7.7 Chorea Syndenham
2.7.8   Anxietas
2.7.9 Gejala psikotik yang memburuk

Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula


didiagnosis banding dengan penyakit Hutington dan Khorea
Sindenham.
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni
:
  2 . 8 . 1  Non-farmakologis :
Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis
minimal yang efektif
  2 . 8 . 2 Farmakologis

2.8.1.1 Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x
1 hari dengan total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30
menit sebelum makan, contoh madopar, sinemet.
2.8.1.2 Pada pasien muda diberikan DA (dopamine antagonist)
2.8.1.2.1. Pemberian dopamine
agonist : Contoh ergot da:
2.8.1.2.1.1. Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg
ditingkatkan sampai total maksimal 40mg/ hari
terbagi dalam 3-5 dosis.
2.8.1.2.1.2. Pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05
mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari untuk 3x
beri

2.8.1.2.1.3.  Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari


2.8.1.2.1.4.  Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari

2.8.1.2.2. Contoh Non-ergot da


2.8.1.2.2.1.  Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125
mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
2.8.1.2.2.2.  Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25
mg. Dosis umumnya 3-9 mg/ hari
2.8.1.3 Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine
2.8.1.4  Pemberian antikolinergik seperti :
2.8.2.4.1 trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6
minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-
lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah
pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap
efek samping sindrom ekstrapiramidal ini.

2.8.1.5 n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai


dari 100 mg. Dosis umumnya 300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4
dosis

2.8.1.6  Enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO  – B


contoh
selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai
neuroprotektor.
2.8.1.7  COMT I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) :
2.8.2.7.1 entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg,
tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak
dan meningkatkan efek L-dopa.

2.8.3 Pedoman umum :

2.8.3.1 Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan


sehingga banyak ahli menganjurkan terapi profilaktik.
Gejala ini penting terutama  pada pasien dengan riwayat
EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten
dosis tinggi.

2.8.3.2 Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya


sendiri yang dapat menyebabkan komplians yang buruk.
Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering,
penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi
urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.

2.8.3.3 Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan


setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-EPS pasien
dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.
2.8.3.4 Reaksi Distonia Akut (ADR)

Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk


primer dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini
biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat yang
umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali
sehari (BID) sampai tiga kali sehari (TID) atau
triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin mungkin
lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan

ADR dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil


karena“rasa melayang” yang mereka dapat daripadanya.
Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat,
akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila
dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1
mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk
memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg
intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia
gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis
terjadi dalam waktu 5 menit.

2.8.3.5 Akatisia

Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering


kali memerlukan banyak eksperimen. Agen yang paling
umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin
(Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama.
Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat
efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam
(klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat
membantu.
2.8.3.6 Sindrom Parkinson

Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi


neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga
sering digunakan . Levodopa yang dipakai pada pengobatan
penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat
efek sampingnya yang berat.

2.8.3.7 Tardive Diskinesia

Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik


yang bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang
lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter
dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi
antipsikotik tetapi in hanya mengeksaserbasi masalah
yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk,
pergerakan paling involunter akan menghilang atau
sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu
sampai dua tahun.
Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter
pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam
gamma- aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan
propanolol dapat juga membantu pada beberapa kasus.
Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif
tetapi depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang
umum. Lesitin lemak kaya kolin sangatbermanfaat
menurut beberapa peneliti, tetapi kegunaannya masih
diperdebatkan.
Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja
terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia
tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian
pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi yang
berat, sementara pengobatan pada dosis efektif terendah
dapat mempertahankan pasien sementara meminimumkan
risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen yang
diperlukan untuk penghentian pengobatan.

2.9 KOMPLIKASI

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat


mengganggu sehingga menurunkan kualitas penderita
dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat
menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur.
Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan
kematian.

Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri


yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti
kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering,
penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi
urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.

2.10 PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang


akut akan lebih baik bila gejala langsung dikenali dan
ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan
sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, Pasien
dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat
menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat.
Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien
yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari
10 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Synopsis


Psikiatri Jilid 1. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti. 1997

Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Sinopsis


Psikiatri Jilid 2. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti. 1997

Maslim. R, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat


Psikiatri edisi Ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atmajaya. 2007

Anda mungkin juga menyukai