Anda di halaman 1dari 22

UJIAN KASUS

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : Dr. Prasetyadi Mawardi, dr., SpKK


Nama Mahasiswa : Reza Satria Halim
NIM : G99161080

LIKEN SIMPLEK KRONIS

DEFINISI
Liken simplek kronis (LSK) atau juga dikenal dengan neurodermatitis
sirkumskripta adalah penyakit peradangan kronis pada kulit, gatal, sirkumskripta,
dan khas ditandai dengan likenifikasi. Likenifikasi timbul sebagai respon dari
kulit akibat gosokan dan garukan yang berulang-ulang dalam waktu yang cukup
lama, sehingga garis kulit tampak lebih menonjol menyerupai kulit batang kayu
(Wasitaatmadja SM, 2005).
Menurut definisi lain, yaitu liken simplek kronis (LSK) adalah penebalan
pada kulit dengan skala variabel, sebagai manifestasi sekunder akibat goresan atau
gosokan yang berulang pada kulit (Schoenfiled, 2017). Liken simplek kronis
bukanlah manifestasi primer, tapi sebagai wujud sekunder dari seseorang yang
merasakan gatal di area kulit tertentu (dengan atau tanpa patologi yang
mendasarinya) dan menyebabkan trauma mekanis sampai memunculkan
penebalan (likenifikasi). Salah satu varian yang telah diusulkan oleh beberapa ahli
dari liken simplek kronis adalah liken amiloidosis. Liken amiloidosis
digambarkan sebagai liken simplek kronis yang memiliki gambaran histologis
berupa keratinosit yang mengalami nekrosis dan membentuk keratinocytic-
derived amyloid (keratin yang merupakan derivate dari amiloid) pada dermis.
Keluhan awalnya adalah pruritus kemudian membentuk formasi amiloid, bukan
sebaliknya (Weyer W and Weyers I, 1997; Weyers W, 1995).

ETIOLOGI
Liken simplek kronis (LSK) merupakan penyakit pada kulit dengan
berbagai macam penyebab (multietiologi). Dermatitis atopik diduga kuat sering
2

menjadi penyebab dalam berkembangnya liken simplek kronis (Schoenfiled J,


2017).
Penyebab lain yang dapat menjadi faktor utama, diantaranya gigitan
serangga, skar (akibat trauma atau skar pasca herpes simpleks/zoster), acne
keloidalis nuchae, serosis, insufisiensi vena, dan eksim asteototik (Gerritsen MJ,
1998; Burkhart CG, 1998).
Neurodermatitis telah menjadi istilah yang secara bergantian sering
digunakan dengan liken simplek kronis mengingat bahwa faktor psikologis tidak
bisa dilepaskan dari terjadinya penyakit ini. Faktor psikologis merupakan faktor
utama yang menyebabkan penyakit kulit ini menjadi kronis atau suatu waktu bisa
eksaserbasi akut (Woodruff PW and Higgins EM, 1997). Sebuah studi pada tahun
2014 telah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi LSK pada pasien
dengan kecemasan dan gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan dengan kontrol
dengan usia dan jenis kelamin yang sama (Liao YH and Lin CC, 2014).
Sedangkan sebuah penelitian pada tahun 2015 menunjukkan bahwa pasien yang
terdiagnosis liken simplek kronis memiliki peningkatan pada kadar depresi klinis
dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki LSK (Juan CK and Chen HJ,
2015).
Selain itu, lithium telah dikaitkan dengan kejadian LSK dalam suatu
laporan kasus. Terjadinya LSK bergantung pada seberapa besar dosis lithium
(sebagai antimanik) yang diberikan pada pasien yang dibuktikan dengan
menurunnya gejala LSK pada pasien jika obat tersebut dihentikan, kemudian
kambuh saat diberikan ulang (Shukla S and Mukherjee S, 1984).

EPIDEMIOLOGI
Insidensi yang pasti pada populisi umum belum diketahui. Salah sebuah
penelitian menemukan bahwa sekitar 12% pasien tua dengan keluhan gatal pada
kulit memiliki liken simplek kronis. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang
dilaporkan terjadi terkait insidensi antara ras, walaupun peneliti sebelumnya
mengklaim bahwa liken simplek kronis lebih sering terjadi pada orang Asia dan
Afrika-Amerika. Munculnya lesi pada kulit yang lebih gelap terkadang ditemukan
beberapa folikel. Perubahan pigmen sekunder juga lebih parah pada individu
dengan kulit lebih gelap. Liiken simplek kronis diamati lebih sering terjadi pada
3

wanita daripada pada pria. Liken nuchae adalah salah satu bentuk dari liken
simplek yang biasanya muncul pada leher bagian belakang, yang diamati hampir
secara eksklusif terjadi pada wanita. Liken simplek kronis terjadi sebagian besar
pada usia dewasa pertengahan sampai akhir, dengan prevalensi tertinggi pada
orang berusia 30-50 tahun (Schoenfield J, 2017).

HISTOPATOLOGI
Pemeriksaan histologis pada pasien LSK menunjukkan hiperkeratosis,
akantosis, spongiosis, dan bercak (patch) parakeratosis di epidermis. Terdapat
penebalan epidermis dari semua lapisan, dengan pemanjangan rete ridges dan
hiperplasia pseudoepitheliomatous. Karakteristik lain yang khas adalah
yerlihatnya fibrosis dermal papiler dengan goresan vertikal yang terdiri dari
kumpulan kolagen. Temuan karakteristik liken simplek kronis yang terlihat
dengan bantuan mikroskop elektron adalah serabut kolagen yang sering melekat
tepat di atas lamina basalis (Schoenfield J, 2017).

PATOGENESIS
Seperti diuraikan dalam bagian sebelumnya bahwa LSK merupakan
penyakit kulit yang erat kaitannya dengan masalah psikologis. Selain itu, beberapa
hipotesis telah dinyatakan terkait proses munculnya liken simplek kronis,
diantaranya yang akan dibahas dalam bagian ini.
Hipotesis mengenai pruritus dapat disebabkan karena adanya penyakit
yang mendasari seperti, gagal ginjal kronis, obstruksi saluran empedu, limfoma
Hodgkin, hipertiroid, dermatitis atopik, gigitan serangga dan aspek psikologik
dengan tekanan emosi (Hasan, 2006).
Penelitian lain mengatakan bahwa adanya sejumlah saraf yang
mengandung immunoreaktif, yaitu Calsitonin Gene-Related Peptida (CGRP) dan
Substance Peptida (SP) yang meningkat pada lapisan dermis, menimbulkan
pemikiran bahwa proliferasi nervus akibat dari trauma mekanik, seperti garukan
dan goresan. Substance Peptida dan CGRP melepaskan histamin dari sel mast,
sehingga akan menambah rasa gatal (Grant-Kels et al., 2008).
Sumber lain menyatakan bahwa LSK sering ditemukan pada regio yang
terjangkau (mudah dijangkau) untuk digaruk, namun patofisiologi yang mendasari
masih belum diketahui secara pasti. Beberapa tempat pada tubuh memiliki kulit
4

yang lebih mudah untuk terjadi penebalan (likenifikasi). Seperti beberapa tempat
yang cenderung lebih mudah munculnya eksim. Diduga ada sebuah keterkaitan
antara jaringan saraf pusat dan perifer dan hadirnya produk sel inflamasi dalam
persepsi gatal dan perubahan yang terjadi pada liken simplek kronis. Gangguan
emosional, seperti pada pasien dengan kecemasan, depresi, atau gangguan
obsesif-kompulsif, bisa jadi memainkan peran kunci dalam mendorong sensasi
pruritus, sehingga menimbulkan garukan berulang. Terdapat kemungkinan
interaksi antara lesi primer, faktor psikis, dan intensitas pruritus secara penuh
mempengaruhi tingkat keparahan LSK (Lotti T and Buggaini G, 2008; Tsintsadze
N and Beridze L, 2015; Liao YH and Lin CC, 2014; Juan CK and Chen HJ,
2016).
Sebuah studi kecil yang meneliti liken simplek kronis dan penggunaan P-
phenylenediamine (PPD) (dalam pewarna rambut) mengandung perbaikan klinis
yang relevan pada gejala setelah penghentian paparan PPD. Hal ini memberikan
pemikiran bahwa adanya peran sensitisasi dan dermatitis kontak dalam etiologi
Lichen simplex chronicus.
Namun dari beberapa hipotesis dari proses perjalanan penyakit yang telah
ada, patogenesis yang sederhana adalah bermula dari stres, depresi, gangguan
obsesif-kompulsif, atau gangguan psikologis lainnya, kemudian muncul gatal
akibat terganggu-nya proses fisiologis sistem saraf dan hormonal. Namun,
gangguan psikologis yang mengakibatkan munculnya gatal, lalu memprovokasi
terjadinya garukan belum diketahui secara pasti patofisiologi yang mendasarinya.
Selanjutnya, pasien menjadi tidak sadar telah menggaruk-garuk bagian tubuh yang
terjangkau untuk digaruk (predileksi tempat munculnya LSK, yaitu pada tengkuk,
kaki, serta kulit kepala), menimbulkan luka kecil dan goresan halus pada daerah
garukan (Lotti T, and Buggaini G, 2008). Pada stadium awal kelainan kulit yang
terjadi dapat berupa eritema dan edema dan timbul sekelompok papul, selanjutnya
karena garukan berulang, bagian tengah lesi akan menebal, kering, berskuama,
ekskoriasi dan hiperpigmentasi (Guliz, 2004).
5

Gambar 1. Biopsi HE pada LSK yang diambil dari kulit lengan bawah, terlihat pada perbesaran
40x. Perhatikan karakteristik hiperkeratosis, hipergranulosis, hiperplasia
pseudoepitheliomatous, dan fibrosis papiler dermal.
6

Gambar 2. Biopsi HE pada LSK yang diambil dari kulit lengan bawah, terlihat pada perbesaran
100x. Perhatikan karakteristik hiperkeratosis, hipergranulosis, hiperplasia
pseudoepitheliomatous, dan fibrosis papiler dermal.

GAMBARAN KLINIS
Liken simplek kronis memiliki gambaran klinis berupa eritematosa ringan,
bersisik, mengkilap, berbatas tegas kasar dan juga tercatat memiliki garis kulit
yang berlebihan. Setiap plakat yang memiliki seukuran telapak tangan terbagi
dalam 3 zona/bagian. Zona perifer, yaitu zona yang memiliki lebar 2-3 cm, dan
terkadang didapatkan pustule disekitarnya. Zona tengah, memiliki papula prurigo
hemisferik dan lenticular, yang mungkin sudah muncul eksoriasi, dan zona
terakhir yaitu zona tengah yang memiliki penebalan dan perubahan pigmen paling
besar. Perubahan pigmen, terutama hiperpigmentasi dapat bervariasi seperti
penyakit dermatitis lainnya (Schoenfiled J, 2017).
Liken simplek kronis adalah salah suatu proses hiperkeratotik yang dapat
menumbuhkan jaringan tanduk pada kulit (Khaitan BK and Sood A, 1999).
Beberapa pasien mungkin mulai menggaruk saat mendiskusikan tentang gatal atau
ketika sedang menyinggung soal lesi (Schoenfiled J, 2017).

Gambar 3. LSK yang terjadi pada punggung dan pergelangan tangan yang menggambarkan
peningkatan ketabalan dan aksentuasi pada kulit.
7

Gambar 4. Plak dari LSK ditemukan pada kaki dengan tanda dan eksoriasi yang menonjol pada
kulit

Gambar 5. Plak dari LSK pada telapak tangan


8

Gambar 6. Plak LSK yang menunjukkan tanda-tanda kulit yang menonjol

Gambar 7. Area LSK pada awalnya diyakini sebagai akibat dari dermatitis kontak kronis
9

Pasien dengan LSK biasanya ditemukan UKK berupa plak pruritus yang
stabil pada satu atau lebih area. Namun, penebalan kulit hanya terjadi pada lokasi
yang dapat mudah dijangkau pasien (mudah digaruk), termasuk yang berikut ini:
a. Kulit kepala
b. Tengkuk leher
c. Lengan atas bagian belakang dan siku
d. Vulva dan skrotum
e. Paha atas bagian dalam, lutut, kaki bagian bawah, dan pergelangan kaki
Eritema merupakan gambaran yang paling banyak ditemukan pada lesi
awal. Rasa gatal biasanya berselang/intermiten. Garukan yang dilakukan
memberikan batuan rasa nyaman sementara (Schoenfield J, 2017).

DIAGNOSIS BANDING
LSK merupakan diagnosis klinis yang penting dan mudah diketahui.
Diagnosis banding dari LSK diantaranya lichen plaque, psoriasis, dan tinea.
Biopsi kulit sangat penting dilakukan untuk dapat menyingkirkan diagnosis
banding dari LSK (Sagar VV and Chaitanya B, 2017). Penyakit-penyakit yang
perlu diperhatikan sebagai diagnosis banding dari liken simplek kronis adalah
penyakit lain yang memiliki gejala pruritus seperti dermatitis kontak iritan,
dermatitis kontak alergi, dermatitis atopi, liken planus, lichen amiloidosis, dan
psoriasis (Wasitaatmadja, 2005).
a. Dermatitis kontak atopik/kontak iritan
b. Liken planus
c. Psoriasis

DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis liken simplek kronis dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
histopatologi dapat membantu menentukan penyakit yang mendasarinya.
Diagnosis yang akurat dari penyakit ini merupakan suatu proses yang sistematis di
mana dibutuhkan pengamatan yang seksama, evaluasi serta pengetahuan tentang
terminologi dermatologi, morfologi serta diagnosa banding (Djuanda, 2005).
Dari anamnesis, umumnya gatal merupakan keluhan utama pada pasien
LSK. Selain itu, terdapat riwayat kebiasaan menggaruk pada pasien. Adanya
siklus gatal-garuk berulang juga menguntungkan seorang klinisi dalam
mendiagnosis LSK (Burgin S, 2008). Dari anamnesis juga dapat diketahui adanya
10

kebiasaan cemas, sering stress, dan riwayat gangguan psikis lainya. Selain itu,
pasien mungkin memiliki riwayat kesehatan masa lalu, seperti kelainan kulit
kronis atau trauma akut. Pasien dengan dermatitis atopik mungkin memiliki LSK
di daerah bekas munculnya atopik. Keluhan dermatitis kontak iritan atau alergi,
gigitan serangga, atau trauma kulit ringan lainnya kadang-kadang menunjukkan
pruritus dan, kemudian membentuk liken simplek kronis (Schoenfield, 2017).
Selanjutnya dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan plak kasar
hiperpigmentasi, dengan likenifikasi. Pada kasus yang kronis dapat disertai erosi
dan krusta hiperpigmentasi diatasnya. Tempat predileksi juga dapat menjadi
penunjang diagnosis LSK.
Dari pemeriksaan laboratorium tidak dapat membantu banyak pada
penegakkan diagnosis LSK. Namun beberapa kasus terjadi peningkatan serum
immunoglobulin E yang mendukung diatesis atopik yang mendasarinya.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan
kalium hidroksida (KOH) dan kultur jamur untuk menyingkirkan tinea kruris atau
kandidiasis pada pasien dengan liken simplek kronis (Schoenfield, 2017).
Tes tempel membantu menyingkirkan dermatitis kontak alergi sebagai
dermatosis primer yang mendasarinya (misalnya dermatitis kontak alergi terhadap
nikel dengan liken simpek kronis) atau sebagai faktor kronis (misalnya dermatitis
kontak alergi akibat kortikosteroid topikal yang digunakan untuk mengobati liken
simplek kronis) (Schoenfield J, 2017)

TATALAKSANA
Liken simpleks kronis merupakan kalainan kulit yang bersifat kronis-
residif dan merupakan kondisi yang susah diobati karena tingginya resistensi
terhadap terapi. Selain itu, ada juga siklus gatal-garuk yang sangat sulit untuk
dihentikan sehingga strategi terapi selain farmakologik sangat penting.
Pemahaman akan peran-peran faktor risiko dalam penatalaksanaan liken simpleks
kronikus sangat dibutuhkan agar dapat dilaksanakan tatalaksana yang
komprehensif dengan menghindari faktor-faktor risiko selain juga menggunakan
terapi farmakologi sebagai terapi (Lotti, et al., 2008).
Salah satu studi mengatakan bahwa tujuan terapi dari LSK adalah
menghentikan siklus gatal-garuk-gatal dan memberikan kesempatan kulit untuk
11

beregenerasi. Hubungan antara LSK dengan kecemasan telah terkonfirmasi hanya


dari pemeriksaan fisik (Sagar VV and Chaitanya B, 2017).
Oleh karena itu, pengelolaan cemas dan pengontrolan kondisi psikis
lainnya perlu dilakukan dalam rangka mengurangi munculnya siklus gatal-garuk
berulang.
A. Farmakoterapi
Tujuan dari terapi farmakologi adalah untuk mengurangi kesakitan dan
mencegah munculnya komplikasi.
1. Kortikosteroid.
Lini pertama dari farmakoterapi pada LSK adalah pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid memiliki sifat anti-inflamasi dan memiliki efek
yang bervariasi pada metabolisme. Kortikosteroid yang dipilih merupakan jenis
yang memiliki potensi kuat sampai sangat kuat (potent to superpotent).
a. Clobetasol (temovate)
Clobetasol adalah steroid topikal kelas sangat kuat (superpotent
class). Clobetasol bekerja dengan cara menekan mitosis dan meningkatkan
sintesis protein yang berperan dalam mengurangi peradangan dan
menyebabkan vasokonstriksi.
b. Krim Bethametasone dipropionate 0,05% (Diprolene, betratex)
Krim Betametason dipropionat krim 0,05% digunakan untuk
inflamasi pada kulit yang responsif terhadap steroid. Krim ini bertujuan
untuk mengurangi peradangan dengan menekan migrasi leukosit
polimorfonuklear dan mengembalikan permeabilitas kapiler. Obat ini
mempengaruhi produksi limfokin dan memiliki efek penghambat pada sel-
sel Langerhans.
c. Krim Fluocinolone 0,01% atau 0,025% (Synalar, Synalar HP, Fluonid)
Fluocinolone adalah kortikosteroid topikal kelas potensi sedang yang
bekerj dengan menghambat proliferasi sel, bersifat imunosupresif,
antiproliferatif, dan antiinflamasi.
Terdapat preparat flurandrenolide (4 mcg/cm2; Cordran tape) yang
merupakan gabungan steroid topikal dengan keuntungan oklusi dan
diklasifikasikan sebagai preparat grup I.
d. Triamcinolone topikal (Perrigo)
Triamcinolone topikal digunakan untuk inflamasi pada kulit yang
responsif terhadap steroid. Triamcinolone dapat mengurangi peradangan
12

dengan menekan migrasi leukosit polimorfonuklear dan membalikkan


permeabilitas kapiler.
e. Hidrokortison valerat krim 0,2% (Westcort)
Krim hidrokortison valerat merupakan turunan dari
adrenokortikosteroid yang cocok untuk diaplikasikan pada kulit atau selaput
lendir luar. Memiliki efek mineralokortikoid dan glukokortikoid, yang
mengakibatkan aktivitas anti-inflamasi.
f. Fluocinonide
Fluocinonide adalah kortikosteroid topikal potensi tinggi yang
menghambat proliferasi sel. Memiliki sifat imunosupresif dan anti-inflamasi.
2. Agen antipruritus (anti gatal)
Agen oral dapat mengendalikan gatal dengan cara memblokir efek
histamin yang dikeluarkan secara endogen. Anti gatal bekerja dengan cara
mengurangi rasa gatal, memilii efek sedatif dan membuat pasien menjadi
tenang, serta menginduksi untuk tidur. Agen topikal dapat menstabilkan
membran neuron dan mencegah inisiasi dan transmisi impuls saraf, sehingga
menghasilkan efek anestesi lokal.
a. Diphenhydramine (Benadryl, Benylin, Diphen, AllerMax)
Diphenhydramine adalah untuk menghilangkan gejala pruritus akibat
pelepasan histamin.
b. Chlorpheniramine (Klor-Trimeton)
Chlorpheniramine berkompetisi dengan reseptor histamin atau H1
pada sel efektor di pembuluh darah dan saluran pernafasan.
c. Hydroxyzine (Atarax, Vistaril)
Hydroxyzine merupakan antagonis reseptor H1 di perifer.
Hydroxyzine dapat menekan aktivitas histamin di daerah subkortikal SSP.
d. Clonazepam (Klonopin)
Clonazepam digunakan untuk pruritus yang dihubungkan dengan
kecemasan. Bekerja dengan cara mengikat reseptor di beberapa tempat di
dalam SSP, termasuk sistem limbik dan formasi retikuler. Efeknya bisa
dimediasi melalui sistem reseptor GABA.
3. Agen immunosupresif
Mekanisme salep Tacrolimus pada LSK belum diketahui. Diduga
mengurangi gatal dan pembengkakan dengan menekan pelepasan sitokin dari
sel T. Tuacrlimus juga menghambat transkripsi gen yang menyandikan IL-3,
IL-4, IL-5, GM-CSF, dan TNF-alpha, yang kesemuanya terlibat dalam tahap
13

awal aktivasi sel T. Selain itu, Tacrolimus dapat menghambat pelepasan


mediator dari sel mast dan basofil di kulit, serta menurunkan ekspresi FCeRI
pada sel Langerhans. Dapat digunakan pada pasien anak dengan minimal usia 2
tahun. Obat kelas ini lebih mahal daripada kortikosteroid topikal. Tersedia
sebagai salep dalam konsentrasi 0,03 dan 0,1%. Obat ini diberikan hanya jika
pilihan pengobatan lain gagal.
4. Immune modulator
Pimecrolimus merupakan derivate dari ascomycin, zat alami yang
dihasilkan oleh jamur Streptomyces hygroscopicus var ascomyceticus. Secara
selektif menghambat produksi dan pelepasan sitokin inflamasi dari sel T yang
teraktivasi dengan mengikat reseptor imunofilin sitosolik makrofilin-12.
Kompleks yang dihasilkan dapat menghambat fosfatase kalsineurin, sehingga
menghalangi aktivasi sel T dan pelepasan sitokin. Atrofi kutaneous yang tidak
ditemukan dalam uji klinis, merupakan keuntungan potensial dibandingkan
dengan kortikosteroid topikal. Obat ini diberikan hanya setelah pilihan
pengobatan lain gagal.
B. Non-Farmakoterapi
1. Bimbing pasien agar berhenti menggaruk. LSK dapat memburuk atau
membaik tergantung kemampuan pasien dalam menghentikan kebiasaan
menggaruk.
2. Membahas dengan pasien secara pibadi untuk dapat mengubah kebiasaan
menggaruk.
3. Hindari suhu dan kelembapan yang terlalu ekstrim, tekanan psikis, dan
paparan pada daerah yang sebelumnya mempunyai keluhan atau pada daerah
yang mudah terkana dampak iritasi kulit atau alergen yang dapat memicu
untuk kambuh.

PROGNOSIS
Lesi dapat sembuh dengan sempurna. Pruritus bisa sembuh, tapi beberapa
perubahan seperti jaringan parut dan perubahan pigmen ringan tetap ada setelah
pengobatan berhasil kekambuhan lebih mungkin terjadi pada periode stres psikis
atau jika kulit yang terkena dampak sebelumnya terpapar oleh suhu dan
kelembapan ekstrim atau oleh iritasi kulit atau alergen. Pada pasien yang tidak
14

mematuhi rejimen pengobatan dan penghentian goresan, lesi tidak akan membaik.
Belum ditemukan kasus kematian akibat liken simplek kronis. Lesi menyebabkan
sedikit morbiditas. Terkadang pasien melaporkan penurunan kualitas dan
gangguan tidur, yang mempengaruhi fungsi motorik dan mental. Pada LSK dapat
terjadi infeksi sekunder setelah munculnya eksoriasi. (Schoenfield J, 2017)

DAFTAR PUSTAKA

Burkhart CG, Burkhart CN. Acne keloidalis is lichen simplex chronicus with
fibrotic keloidal scarring. J Am Acad Dermatol. 1998 Oct. 39(4 Pt 1):661.

Djuanda A. 2005. Dermatosis eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,


edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp.189-
90,197-00.

Gerritsen MJ, Gruintjes FW, Andreissen MA, van der Valk PG, van de Kerkhof
PC. Lichen simplex chronicus as a complication of herpes zoster. Br J
Dermatol. 1998 May. 138 (5): 921-2

Guliz K, Grant B, Ida O. 2004. Exfoliative dermatitis. An evidence-based update


meeting. BJD. pp. 59: 112

Hasan T, Jansen CT. 2006. Neurodermatitis circumscribed: a follow-up of fifty


cases. N Engl J Med. pp.8:83640.
15

Juan CK, Chen HJ, Shen JL, Kao CH. Lichen Simplex Chronicus Associated With
Erectile Dysfunction: A Population-Based Retrospective Cohort Study.
PLoS One. 2015. 10 (6):e0128869

Khaitan BK, Sood A, Singh MK. Lichen simplex chronicus with a cutaneous
horn. Acta Derm Venereol. 1999 May. 79(3):243

Lotti T, Buggiani G, Prignano F. Prurigo nodularis and lichen simplex chronicus.


Dermatol Ther. 2008 Jan-Feb. 21 (1): 42-6.

Liao YH, Lin CC, Tsai PP, Shen WC, Sung FC, Kao CH. Increased risk of lichen
simplex chronicus in people with anxiety disorder: a nationwide
population-based retrospective cohort study. Br J Dermatol. 2014 Apr. 170
(4): 890-4.
Sagar VV, Chaitanya B, Surakasula A (2017). Lichen simplex chronicus.
International Journal of Research in Medical Sciences; 5 (07): pp. 3261-
2363
Schoelfield J, Helms TN, Vinson RP, James WD, Hogan DJ, Nordlund JJ, Mason
SH, Hruby SM (2017). Lichen simplex chronicus. Medscape E-Medicine;
[http://emedicine.medscape.com/article/1123423 - diakses Agustus 2017]

Shukla S, Mukherjee S. Lichen simplex chronicus during lithium treatment. Am J


Psychiatry. 1984 Jul. 141 (7): 909-10.

Tsintsadze N, Beridze L, Tsintsadze N, Krichun Y, Tsivadze N, Tsintsadze M.


PSYCHOSOMATIC ASPECTS IN PATIENTS WITH DERMATOLOGIC
DISEASES. Georgian Med News. 2015 Jun. 70-5

Wasitaatmadja SM. 2005. Anatomi kulit. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi
ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp. 84-7.

Weyers W, Weyers I, Bonczkowitz M, Diaz-Cascajo C, Schill WB (1997). Lichen


amyloidosus: a consequence of scratching. J Am Acad Dermatol; 37 (6):
923-8.

Woodruff PW, Higgins EM, du Vivier AW, Wessely S. Psychiatric illness in


patients referred to a dermatology-psychiatry clinic. Gen Hosp Psychiatry.
1997 Jan. 19(1):29-35.
16

STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. M
Tanggal lahir : 15 September 1954
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Mendungsari RT/RW. 01/03, Bulurejo, Gendangrejo,
Karanganyar, Jawa Tengah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Sering ke sawah untuk
memanen kacang hijau)
Status : Sudah menikah
Tanggal Periksa : 22 Agustus 2017
No. RM : 009741xx
17

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Gatal di daerah paha kiri

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien berkunjung sendirian ke poli Kulit & Kelamin pada tanggal
22 Agustus 2017. Pasien merupakan konsulan dari TS Penyakit Dalam
yang dirawat dan didiagnosa dengan Osteoarthritis.
Pasien mengeluhkan gatal di sekitar paha kiri menjalar ke bagian
tengah. Keluhan dirasakan sejak kurang lebih dua tahun yang lalu.
Gatalnya semakin menjadi ketika pasien mulai menggaruknya, bahkan
lukanya sering pasien kerik dengan pisau dan sikat kamar mandi. Pasien
sudah berobat ke berbagai klinik kesehatan, mulai dari yang berbasis
tradisional dan herbal sampai ke dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.
Setelah berobat ke berbagai tempat tersebut, keluhan mereda dan bahkan
pernah hilang, namun kembali muncul setelah obat yang diberikan habis
atau kambuh ketika pasien sedang banyak pikiran (stres). Terakhir pasien
menggunakan obat semprot yang dibelikan oleh anak pasien dari klinik
tradisional. Setelah menggunakan obat semprot tersebut, keluhan pasien
dirasa berkurang.
Selain gatal, pasien juga mengeluhkan nyeri dan panas. Nyeri dan
panas dirasakan di sekitar luka, terutama setelah pasien menggaruk-garuk
lukanya. Dari anamnesis juga diketahui pasien memiliki riwayat alergi
pada udara dingin. Ketika tepapar udara dingin, pasien langsung
mengeluhkan gatal dan bentol pada seluruh tubuh. Gatal juga dirasakan
semakin menjadi pada daerah luka. Selain alergi pada udara dingin, pasien
juga alergi makanan udang, yang juga muncul keluhan serupa setelah
mengkonsumsi makanan tersebut.
Pasien memiliki riwayat Herpes pada punggung bawah yang
terdiagnosa satu tahun yang lalu. Herpes telah menjalani pengobatan di
RSUD Dr. Moewardi dan telah dinyatakan sembuh.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit serupa sebelumnya : (+)
Riwayat alergi obat : (-)
18

Riwayat alergi makanan : (+) Pasien mengatakan alergi pada


udang. Jika mengkonsumsi jenis ikan tersebut, kulit pasien menjadi
gatal-gatal dan bentol.
Riwayat atopi : (+) Ketika tepapar udara dingin,
pasien langsung mengeluhkan gatal dan bentol pada seluruh tubuh.
Riwayat DM : (-)
Riwayat Hipertensi : (+)
Riwayat Kolesterol : (+)
Riwayat Asam Urat : (+)

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan lingkungan


Riwayat sakit serupa pada anggota keluarga : (+) Pasien mengatakan
bahwa ayah pasien waktu itu juga mengeluhkan gatal pada tengkuk
leher, paha dan sering menggaruknya hingga muncul lesi seperti lesi
yang didapat pasien.
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Riwayat urtikaria : (-)
Riwayat atopi : (-)
Riwayat DM : (-)

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien datang berkunjung ke RSUD Dr. Moewardi dengan
menggunakan fasilitas BPJS. Diketahui bahwa pasien tidak teratur
berolahraga. Pasien tinggal di rumah bersama suami dan anak pasien yang
paling kecil.

F. Riwayat Gizi dan Kebiasaan


Pasien makan tiga kali sehari secara teratur, dengan nasi dan lauk-
pauk bervariasi, seperti tempe, tahu, dan selalu ditambah dengan sayur.
Nafsu makan pasien baik
.
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan umum: tampak sehat, compos mentis GCS E4V5M6, gizi
kesan cukup
b. Vital Sign: TD : 120/70 mmhg
Frekuensi nadi : 84 x/menit
Frekuensi napas : 18 x/menit
Suhu : 36,7 oC
c. Antropometri: Berat badan : 45 kg
19

Tinggi badan : 150 cm


IMT: BB/(TB)2 : 20 (BB cukup, Ideal)
d. Kepala : normocephal
Wajah : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas Atas : dalam batas normal
Ekstremitas Bawah : lihat status dermatologis
2. Status Dermatologis
Regio femoralis sinistra anterior tampak plak hiperpigmentasi, dengan
likenifikasi.

Gambar 8. Regio femoralis sinistra amterior tampak plak hiperpigmentasi, dengan likenifikasia
20

Gambar 9. Status dermatologis regio femoralis sinistra anterior.

Gambar 10. Status dermatologis regio femoralis sinistra anterior


21

3. DIAGNOSIS BANDING
a. Liken simplek kronis
b. Dermatitis kontak iritan
c. Liken planus
d. Psoriasis

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan KOH pada paha: negatif

Gambar 11. Pemeriksaan KOH pada paha dengan perbesaran 40x

I. DIAGNOSIS
Liken simplek kronis

J. TERAPI
1. Non Medikamentosa
Edukasi pasien untuk:
22

1) Larang pasien untuk menggaruk luka. Karena prognosis mengarah


pada perbaikan atau perburukan dari liken simplek kronis tergantung
dari kemampuan pasien unuk berhenti menggaruknya
2) Diskusikan dengan pasien secara pribadi untuk dapat mengubah
kebiasaan menggaruk.
2. Medikamentosa
Clobetasol propionate 0.05% oles dua kali sehari pada luka, pagi dan
sore setelah mandi

K. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikum : dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai