Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Rambut adalah struktur solid yang terdiri atas sel yang mengalami

keratinisasi padat. Berasal dari folikel epidermal yang berbentuk seperti kantong

yang tumbuh ke dalam dermis.1

Kehilangan rambut atau kebotakan disebut alopesia. Menurut mekanisme

terjadinya, alopesia dapat terjadi dengan atau tanpa disertai pembentukan jaringan

parut (sikatrikal dan non sikatrikal). Kelompok alopesia non sikatrikal antara lain

meliputi alopesia adrogenik, alopesia areata, alopesia yang berhubungan dengan

proses sistemik, serta alopesia traumatik. Diantara jenis alopesia tersebut yang

paling sering dijumpai adalah alopesia areata.1,2

Alopesia areata adalah penyebab kebotakan yang terjadi secara tiba-tiba.

Alopesia areata merupakan penyakit auto imun spesifik organ, bersifat kronis,

dimediasi oleh sel T autoreaktif CD8+, yang menyerang folikel rambut dan

kadang-kadang kuku. Alopesia areata diduga sebagai penyakit auto imun yang

disebabkan oleh respon imun yang tidak adekuat pada folikel rambut dan

berhubungan dengan antigen.2

Data mengenai angka kejadian alopesia areata di Indonesia masih sedikit.

Penelitian retrospektif di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan

data bahwa alopesia areata merupakan jenis kebotakan rambut terbanyak pada

pasien poliklinik kulit dan kelamin dari tahun 2009-2011 (39,7%).2

1
Gambaran klinis alopesia areata berupa bercak kebotakan berbentuk bulat,

oval atau ophiasis tanpa disertai gejala, walaupun bisa ditemukan rasa gatal yang

ringan, sensasi terbakar, atau rasa nyeri. Alopesia areata dapat menyerang semua

folikel pada area yang berambut, namun 90% dijumpai pada scalp. Daerah lesi

alopesia areata ditandai dengan adanya rambut “exclamation mark” yang

panjangnya sekitar 2 – 4 mm, bagian ujung lebih melebar dan depigmentasi pada

bagian akar, disebut juga dengan istilah point noir, rambut cadaver, atau black

dots. Hal tersebut terjadi oleh karena rambut patah, sebelum atau segera sesudah

mencapai permukaan kulit.2

Pengobatan alopesia areata dapat diberikan bahan imunomodulasi yang

ditargetkan kepada sel T, sitokin, dan antigen spesifik dianggap mempunyai efek.

Obat siklosporin dan takrolimus mempunyai efek penghambat aktivitas sel T,

tetapi jarang dipakai karena efek sampingnya. bahan imunomodulator yang

dipakai berupa steroid topikal, intralesi, sistemik atau intramuskulus. Contoh

pemakaian steroid topikal adalah krim fusinolon asetonid 0,2%, krim halsinonid

0,1%, krim betametason dipropionat 0,05%, krim steroid ini bekerjad dengan cara

menghambat proses autoimun lokal yang menghalangi pertumbuhan rambut.5

Berikut ini saya laporkan kasus Alopesia Areata pada seorang laki-laki

berusia 40 tahun di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moh. Saleh Kota

Probolinggo.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama Penderita : Tn Rohman Hidayat

No. RM : 230651

Umur : 40 Tahun

Alamat : Jalan S. Parman

Pekerjaan :-

Suku : Jawa

Tanggal : 03 Juli 2018

2.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama

Muncul beberapa kebotakan pada kepala

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan kepala muncul kebotakan dibeberapa

tempat sejak 2 bulan terakhir, tambah lama bertambah banyak dan

semakin lebar. Sebelumnya pasien tidak pernah seperti ini. Kadang-

kadang terasa gatal. Saat muncul kebotakan pasien menggunakan lidah

buaya dan shampo sun untuk keramas namun tidak ada perubahan. Tidak

didapatkan mual, muntah, sakit kepala maupun demam. Tidak didapatkan

bentol-bentol merah pada tangan maupun kaki. Tidak ada kelainan pada

daerah kemaluan.

3
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, riwayat

Diabetes Mellitus dan Hipertensi tidak ada.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada sakit serupa dalam keluarga, diabetes mellitus dan hipertensi

tidak ada.

e. Riwayat Atopi

Rhinitis alergi, asma bronkiale, dermatitis atopik, urtikaria tidak ada.

f. Riwayat Alergi

Riwayat alergi terhadap makanan maupun obat tidak ada.

g. Riwayat Pengobatan

Pasien sebelumnya tidak pernah berobat kemanapun untuk mengatasi

keluhannya.

Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan untuk penyakit tertentu,

pasien tidak minum jamu-jamuan.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Compos mentis

GCS : 4-5-6

Status Dermatologis

L : Regio Scalp

D : Tersebar

4
R : Tampak bercak kebotakan, berbatas tegas tegas, bulat, halus,

ukuran bervariasi terkecil diameter 1cm, terbesar diameter 5cm, area yang

terjadi kebotakan <50% tampak exclamation hair (+).

5
Gambar.1 Foto Klinis Pasien

2.4 Diagnosis Banding

Alopecia Areata

Tinea Kapitis

Sifilis stadium II

Trikotilomania

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Adanya rambut tanda seru (exclamaton hair) pada tepi lesi

Tes Treponema Palladum Haemoglutination Assay (TPHA)

6
2.6 Diagnosis

Alopecia Areata

2.7 Terapi

- Triamcinolone asetonid vial 5ml No.I

s.imm

- Minoxidil 5% No.I

s. Spray Kepala

2.8 Prognosis

Remisi spontan dapat diharapkan dalam sebagian besar kasus di mana rambut

rontok terbatas pada beberapa patch kecil (mungkin, hingga sekitar 80 persen

dalam waktu 1 tahun), meskipun sebagian besar pasien mengalami

kekambuhan pada tahap tertentu.

7
BAB III

PEMBAHASAN

Alopecia areata merupakan kelainan inflamasi kronis yang mengenai

rambut dan kuku, diperkirakan memengaruhi 4,5 juta orang di Amerika Serikat.

Alopesia areata menyerang baik anak-anak, dewasa, dan semua jenis atau warna

rambut. Walaupun kelainan ini jarang pada anak-anak usia kurang dari 3 tahun,

kebanyakan pasien alopesia areata berusia muda. Lebih dari 66% berusia kurang

dari 30 tahun dan hanya 20% berusia lebih dari 40 tahun. Epidemiologi dari

alopecia areata dapat mengenai semua umur, namun 50% kasus sebelum usia 20

tahun. Lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Pada kasus ini

pasien adalah laki-laki yang berusia 40 tahun, mengalami kebotakan sejak 2 bulan

terakhir tambah lama bertambah banyak, dilihat dari epidemiologi alopecia areata

pasien ini termasuk 20% dari pasien yang mengalami alopecia areata.2,5

Patogenesis AA belum diketahui sepenuhnya, berbagai faktor yang diduga

berhubungan dengan AA, antara lain genetik, imunologi, infeksi, stres emosional,

neurologi dan abnormalitas melanosit atau keratinosit.6

Beberapa bukti mendukung bahwa penyakit ini merupakan kelainan

autoimun, peranan kuat fator genetik, lebih lanjut dkatakan bahwa faktor

lingkungan juga berpengaruh. Alopesia areata diduga terjadi sebagai akibat dari

kerusakan pada daya tahan tubuh khusus pada folikel rambut. Antigen yang

berhubungan dengan folikel rambut mengaktifkan respons imun yang tidak

sesuai, proses ini diikuti terbentuknya autoantibodi. Autoantibodi yang terbentuk

ini akan mempengaruhi fase anagen sehingga menjadi memendek folikel rambut

8
akan masuk ke fase katagen yang mengakibatkan kerontokan. Autoantibodi ini

dapat menghambat perkembangan rambut pada fase anagen karena infiltrasi sel-

sel limfosit CD4+ dan CD8+, efeknya akan menurunkan jumlah sel T yang akan

mengakibatkan pemendekan fase anagen. Selain mekanisme autoimun beberapa

studi juga menunjukkan pengaruh beberapa gen yang menginduksi alopecia

areata. Antigen leukosit manusia DQ3 (DQB1*03) ditemukan pada ±80%

penderita. Antigen leukosit lainnya seperti DR4 (DRB1*0401) juga ditemukan

pada penderita alopecia totalis dan alopecia universalis. Gen antagonis reseptor

interleukin-1 juga salah satu gen yang ikut mempengaruhi terjadinya alopecia.

Dari semua gen-gen yang telah disebutkan di atas tidak ada satu gen dominan,

penyakit ini merupakan jenis polygenic yang dipengaruhi oleh banyak gen.

Lingkungan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemunculan

fenotip alopecia areata3,5

Pada pasien ini tidak didapatkan keluarga yang mengalami hal serupa

seperti pasien, namun dari penjelasan pasien temen kerja pasien ada yang

mengalami hal serupa seperti yang pasien alami. Hal ini membuktikan bahwa

kemungkinan besar pasien ini mengalami alopecia areata dikarenakan autoimun

dan kemungkinan dari lingkungan pasien juga bisa menyebabkan alopecia areata

pada pasien.

Lesi yang didapatkan pada pasien ini adalah kebotakan yang multipel

berbentuk bulat berbatas tegas, permukaan kulit tampak licin, tidak didapatkan

jaringan parut dan tanda-tanda inflamasi dan didapatkan exclamation point hair.

Lesi awal yang khas adalah bercak yang terbatas, benar-benar botak, dan halus.

Kulit dalam kebotakan tampak normal atau sedikit memerah. Selama penyakit

9
dalam fase aktif, rambut pendek mudah diekstraksi dengan cepat, yang dikenal

sebagai tanda seru (exclamation mark hair), sering terlihat di sekitar pinggiran

yang botak. Rambut tersebut putus sekitar 4 mm dari kulit kepala, dan menyempit

dan kurang berpigmen proksimal.4

Gambar.2 Exclamation mark hair6

Diagnosis banding dari alopesia areata adalah sebagai berikut:

1. Tinea Kapitis

Infeksi jamur dermatofit (trichophyton dan Micosporum) yang

menyerang kepala, alis, bulu mata.

2. Alopesia Androgenik

Alopesia androgenik merupakan miniaturisasi dari batang rambut.

Pada laki-laki umumnya terpola sehingga disebut Male Pattern

Baldness. Kerontokan rambut kepala tergantung dari reseptor androgen

dan enzim α reduktase. Enzim α reduktase akan mengubah

metabolisme testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT). Kadar

DHT ini meningkat pada kebotakan kepala karena organ target DHT

adalah papila dermal kulit kepala. Rambut pada alopecia

androgenetika akan menipis karena terjadi miniaturisasi pada papil dan

matriks. Timbul pada akhir umur 20 atau awal umur 30an. Rambut

10
rontok secara bertahap dimulai dari bagian vertex dan frontal. Garis

rambut anterior menjadi mundur dan dahi menjadi luas.5

3. Sifilis stadium II

Dapat ditemukan lesi dikepala rambut berupa alopesia areata:

rontoknya sebagian rambut yang menyebabkan kebotakan yang khas

yaitu tepi bergerigi seperti bekas gigitan serangga.10

4. Trikotilomania

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu dilakukan

histopatologi yang dapat ditemukan adanya inflamasi peribulbus pada folikel

anagen. Akar rambut menyempit, keratinisasi korteks tidak sempurna. Pada pasien

tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi dikarenakan fasilatas yang kurang

memadai.5

Gambar. 3 Protokol terapi dari alopecia areata 7

11
Manajemen pasien dengan alopesia areata adalah tugas yang menantang

karena sejumlah faktor risiko telah terlibat dalam etiologinya. Tidak ada obat

definitif yang telah ditetapkan. Pertama, Steroid topikal dan intralesi telah menjadi

andalan terapi, dan telah digunakan sebagai agen lini pertama untuk manajemen

yang sama. Glukokortikoid telah dihargai efek anti-inflamasi menyeluruh mereka

untuk Alopesia Areata.

Untuk alopesia areata kurang dari 50% kulit kepala, kortikosteroid intralesi

adalah pendekatan lini pertama. Triamcinolone acetonide dalam konsentrasi dari

10 mg / ml diberikan menggunakan jarum berukuran 30-inci sepanjang 0,1 mL

suntikan 0,1 mL sekitar 1 cm. Hasil awal dari perawatan intralesi sering terlihat

dalam 1-2 bulan. Perawatan tambahan diulang setiap 4-6 minggu.7

Beberapa bentuk kortikosteroid topikal telah dilaporkan menunjukkan

berbagai tingkat kemanjuran dalam alopesia areata. Beberapa terapi topikal telah

memasukkan krim fluocinolone acetonide, gel kulit kepala fluocinolone, lotion

valasat betamethasone dan salep clobetasol propionate. Mereka tetap merupakan

pilihan yang sangat baik pada anak-anak karena aplikasi tanpa rasa sakit mereka

dan margin keamanan yang luas.7

Kortikosteroid sistemik bukan merupakan pengobatan lini pertama untuk

alopecia areata karena profil efek sampingnya yang luas. Dosis yang diperlukan

untuk mempertahankan pertumbuhan kembali rambut di alopesia areata adalah

antara 30 dan 150 mg setiap hari. Pengobatan dapat berkisar dari 1 sampai 6

bulan, tetapi program jangka panjang harus dihindari karena efek samping dari

obat-obatan ini terutama pada anak-anak Steroid sistemik tidak disukai dalam

pengobatan alopecia areata kecuali untuk beberapa kasus dengan pengobatan yang

12
singkat.. Profil efek samping dalam hubungannya dengan persyaratan pengobatan

jangka panjang dan tingkat kekambuhan tinggi membuat sistemik kortikosteroid

opsi yang lebih terbatas. terapi dengan metilprednisolon (250 mg IV dua kali

sehari selama tiga hari berturut-turut) di patchy alopecia areata juga dilaporkan

berhasil.7

Minoxidil. Pertama kali diperkenalkan sebagai agen antihipertensi, efek

samping hipertrikosis menyebabkan penggunaannya sebagai pengobatan untuk

berbagai bentuk alopesia. Minoxidil secara langsung mempengaruhi folikel

dengan merangsang proliferasi pada dasar kepala dan diferensiasi di atas papilla

dermal, terlepas dari pengaruh vaskularnya.7

Pengobatan lain yang digunakan adalah imunoterapi kontak. 3 bahan kimia

yang digunakan seperti: Dinitron Chlorobenzene (DNCB), Squaric Acid Dibutyl

Ester (SADBE), Diphencyprone (DPCP). Mekanisme pengobatan dengan bahan-

bahan ini diduga karena adanya kompetisi antigen akan menghambat reaksi imun

pada antigen folikel rambut.5 Cara penggunaan DPCP, pertama kali dilakukan

sensitasi dengan cairan DPCP 2% yang diaplikasikan pada kepala. Dua minggu

kemudian pada daerah kepala dioleskan DPCP dengan konsentrasi mulai 0,001%.

Pengulangan aplikasi dilakukan setiap minggu dengan konsentrasi ditingkatkan

sedikit demi sedikit. Sampai terjadi reaksi dermatitis ringan berupa rasa gatal dan

eritema tanpa disertai vesikel. Aplikasi DPCP diteruskan sampai terlihat

pertumbuhan rambut, biasanya dalam waktu 8-12 minggu. Jika respon pengobatan

sudah memuaskan frekuensi pengobatan dapat diturunkan dan terapi dihentikan

bila pertumbuhan rambut sudah maksimal. Aplikasi DPCP selama 6 bulan

memberikan respon terapi memuaskan pada 30 % penderita, dan respon

13
meningkat sampai 78% setelah pemakaian 32 bulan. Pada berbagai penelitian

respon imunoterapi kontak bervariasi antara 9-87% pada 50-60% penderita,

sementara review yang dilakukan Freyschimdt-Paul dkk menemukan respon

terapi yang bermakna bervariasi 29-78%, karena perbedaan berat dan durasi

penyakit serta metode pengobatan. Efek samping yang sering ditemukan pada

imunoterapi kontak adalah reaksi dermatitis berat, namun efek ini dapat dicegah

atau dikurangi dengan menurunkan konsentrasi bahan kontakan. Efek samping

lain adalah relaps selama atau setelah terapi ditemukan, ditemukan 62% penderita

dengan respon terapi memuaskan.8

Pengobatan Psoralen topikal maupun sistemik dikombinasi dengan Sinar

Ultraviolet A (PUVA) sudah dipakai pengobatan alopesia areata. Pengobatan

ditujukan melalui efek foto imunologik, menghambat serangan imunologis lokal

pada folikel rambut. Dipakai solusio 8 metokspsoralen (8MOP) 0,15% pada kulit

kepala 1 jam sebelum disinari PUVA dengan dosis awal 1J/cm2 hingga dinaikan

sampai 7 J/cm2 . Pemakaian PUVA adalah 5 kali seminggu. Setelah 27-32 kali

pengobatan rambut akan tumbuh. Pemberian metoksalen oral diberikan 2 jam

sebelum penyinaran. Dosis 10 mg bila berat badan kuran dari 25 Kg dan 60 mg

bila berat badan 90 kg.5

Pada pasien ini diberikan Minoxidil spray 5% dengan harapan dapat

menumbuhkan kembali rambut-rambut pasien. Mekanisme minoxidil belum

diketahui pasti, efek vasodilator minoxidil akan memicu pertumbuhan rambut

khususnya dibagian frontal. Pada pasien belum dapat dievaluasi lagi hasil dari

pengobatan minoxidil dikarenakan pasien belum melakukan kontrol kembali ke

poli. Bila diberikan methyl prednisolon secara oral diharapkan terjadi

14
pertumbuhan rambut setelah 3-6 minggu, setelah 1 bulan dosis diturunkan

bertahap atau diberikan selang sehari. Disarankan kepada pasien agar

mengkonsumsi methylprednisolon setelah makan, dikarenakan iritasi terhadap

lambung. Pada kasus diatas diberikan methyl prednisolon 8mg 2x sehari dan spray

minoxidil 5%, namun pada protokol terapi alopesia areata digunakan

kortikosteroid intralesi dan minoxidil 5%. Pemilihan terapi-terapi tersebut

didasarkan atas ketersedian obat dan sarana terapi di rumah sakit, sehingga

pengobatan dengan terapi yang lain masih ditunda dan belum dilakukan.

Remisi spontan dapat diharapkan dalam sebagian besar kasus di mana

rambut rontok terbatas pada beberapa patch kecil (mungkin, hingga sekitar 80

persen dalam waktu 1 tahun), meskipun sebagian besar pasien mengalami

kekambuhan pada tahap tertentu. Prognosis dalam alopesia areata yang luas,

terutama alopesia totalis dan universalis, kurang menguntungkan dan kurang dari

10 persen pasien pada dua kelompok yang terakhir sembuh secara spontan. pola

ophiasis alopesia juga cenderung bandel. Hal lain yang menunjukkan prognosis

buruk ialah termasuk onset pada masa kanak-kanak, kehilangan rambut tubuh,

keterlibatan kuku, atopi dan histori keluarga positif alopecia areata.9

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Imam B. 2006. Alopesia Areata. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan


Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam
Malik Medan

2. Eva Hariani, Nelva K. Jusuf. 2017. Pengobatan Alopesia Areata Berbasis


Bukti (Evidence Based Treatment of Alopecia Areata). Departemen/staf
medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan. Vol.29/ No.2
Hal. 126-134

3. IB Aditya N. Sumapta. 2014. Manajemen Alopecia Areata pada Anak.


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Vol.41 No.7 Hal. 514-517

4. S. Mushtaq. Raihan. Azad Lone. 2017. Alopecia Areata – A literature


Review. International Archives of Biomedical and Clinical Research. Vol. 3.
P.7-10

5. Sri Linuwih SW Menaldi. Kusmarinah B. Wresti I. 2016. Alopecia Areata.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi ke-7. Hal.374-377

6. Eshini Perera, Rodney Sinclair. 2014. Alopecia Areata. Research gate. P.1-11

7. Syed Suhail Amin. Sandeep Sachdeva. 2013. Alopecia Areata: A review.


Journal of the Saudi Society of Dermatology & Dermatologic Surgery.
Department of Dermatology, JN Medical College, Aligarh Muslim University
(AMU), Aligarh. India. Vol. 17. P: 37-45

8. Siti Aminah Tri Susila Estri. 2008. Pemilihan terapi pada Alopesia Areata.
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Mutiara Medika. Vol.8 No.2 Hal. 73-82

9. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. Vol 2. New
York: McGraw-Hill; 2008. p.800-802

10. Jusuf Barakbah, Sunarko M, Dwi M. 2015. Sifilis. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bagian/ SMF Penyakit Kulit dan Kelamin. RSU Dokter Soetomo
Surabaya. Edisi III Hal. 141

16

Anda mungkin juga menyukai