Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat dan karunia-

NYA refarat ini dapat diselesaikan pada waktunya, sebagai salah satu syarat yang harus

dipenuhi dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Bagian Ilmu

Kedokteran Kulit dan Kelamin di RSUD Dr RM Djoelham Binjai. Disini diuraikan secara

singkat mengenai “Dermatitis Herpetiformis”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing,

yaitu: dr. Hj Hervina. Sp KK

Atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF

Bagian Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin di RSUD Dr RM Djoelham Binjai, dan serta

dalam penyusunan refarat ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini memiliki banyak kekurangan baik dari

penyusunan maupun kelengkapan teori yang disajikan. Oleh sebab itu kami mengharapkan

kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan refarat ini.

Harapan kami semoga refarat ini bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, Mei 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi ………………………………………………………………………...2
2.1 Epidemiologi…………………………………………………………………...2
2.2 Etiologi…………………………………………………………………………3
2.3 Gejala Klinis……………………………………………………………………4
2.4 Patogenesis……………………………………………………………………..6
2.5 Patofisiologi…………………………………………………………………….8
2.6 Faktor Resiko……………………………………………………………………8
2.7 Diagnosis……………………………………………………………………..…8
2.8.1 Anamnesa………………………………………………………………….8
2.8.2 Pemeriksaan Fisik………………………………………………………....9
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………9
2.8 Diagnosis Banding……………………………………………………………...10
2.9 Penatalaksanaan………………………………………………………………..10
2.10.1 Non-Farmakologi……………………………………………………….10
2.10.2 Farmakologi…………………………………………………………….11
2.10.3 Edukasi....................................................................................................12
2.10 Komplikasi.........................................................................................................12
2.11 Prognosis............................................................................................................12

BAB III KESIMPULAN........................................................................................................13


DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dermatitis Herpetiformis......................................................................................5

Gambar 2. Dermatitis Herpetiformis…......................................................................................5

Gambar 3. Dermatitis Herpetiformis…......................................................................................5

Gambar 4. Predileksi…………........................................................................................6

Gambar 15. Histopatologi……........................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis herpetiformis pertama kali ditemukan oleh Louis Adolphus Duhring


pada tahun 1884 di University of Pennyslvania. Pada tahun 1888 Brocq menjelaskan
lesi yang mirip yang di diagnosis dengan “pruritic polymorphic Dermatitis”.
Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit autoimun kronis, yang mengakibatkan
lepuhan pada kulit subepidermal dengan episode berulang.1
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit pada kulit yang disebabkan oleh
sensitivitas terhadap gluten. Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif terhadap gluten
(enteropati sensitif), yang mana dapat dimulai dari limfosit intraepitel jejunum sampai
atrofi total vili usus kecil. Hanya 20% pasien DH yang memiliki gejala intestinal dari
Celiac disease. Penyakit kulit maupun pada intestinal keduanya berespon terhadap
restriksi gluten dan membaik dengan penggantian diet yang mengandung gluten. Ada
hubungan genetik yang kuat, dengan 90% dari Celiac disease dan pasien DH, yaitu
memiliki HLA kelas II genotipe DQ2, terdiri dari alel DQA1*0501 dan DQB1*02,
dibandingkan dengan 20% pasien dengan kontrol normal.2
Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul dengan cepat dapat
menjadi vesikel dengan ukuran 1-10 mm. Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel
atau bulla bila tidak pecah menjadi purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan
simetris, tetapi dapat juga tersebar. Pada stadium lanjut, mungkin hanya ditemukan
krusta pigmentasi, dan skar berkelompok pada tempat predileksi.3
Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong, bahu, dan area sakrum;
banyak juga terkena pada area nuchal posterior. Daerah lain yang sering terkena
adalah wajah dan batas rambut. Lesi pada membran mukosa jarang terjadi, begitu juga
dengan telapak tangan dan kaki.3
Remisi spontan dapat terjadi pada 10% pasien, tetapi kebanyakan remisi yang
terjadi berhubungan dengan pengurangan konsumsi gluten. Pengobatan dengan
sulfone memberi respon cepat pada pasien DH anak dan dewasa.1,3
BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Dermatitis herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit multisistem kronik yang


manifestasi klinis primernya adalah pada kulit, berupa erupsi pruritik luas yang terdiri atas
kombinasi yang bervariasi dari lesi bulosa, eritematosa, vesikular, papulovesikular,
papular, simetris, dan berkelompok, yang kadang sembuh dengan hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi dan dapat pula jaringan parut, dimana gambaran vesikelnya seperti
gambaran herpes simplex, sehingga dinamakan “herpetiformis”.
Dermatitis herpetiformis merupakan manifestasi kulit dari Celiac disease, dan
berhubungan dengan adanya sensitivitas terhadap gluten. Sinonim dermatitis
herpetiformis adalah Duhring’s Disease.4

2.2 EPIDEMIOLOGI

Pada pasien keturunan Eropa Utara paling lazim terjadi DH. Diketahui pria memiliki
prevalensi lebih tinggi untuk terkena DH dibandingkan perempuan. Sejumlah studi
epidemiologi telah dijelaskan insiden dan prevalensi DH. Sebagian besar studi ini
berfokus pada individu Eropa Utara, baik di Eropa dan Amerika Serikat, dimana gangguan
ini adalah paling umum terjadi. Studi pada populasi ini dilakukan pada akhir 1970 ke awal
1980-an melaporkan kisaran prevalensi dari 1,2-39,2 per 100.000 orang dan kejadian
kisaran 0,4-2,6 per 100.000 orang per tahun. Selain itum sebuah studi berbasis populasi
yang dilakukan di Utah pada tahun1992 mendokumentasikan prevalensi 11,2 per 100.000
orang dan kejadian 0,98 oer 100.000 orang per tahun, dan kedua tingkat yang sebanding
dengan penelitian dilakukan dalam Eropa. Karena populasi Utah memiliki proporsi yang
tinggi dari orang-orang dengan keturunan Eropa Utara, konkordansi ini menemukan
dengan penelitian sebelumnya tidak mengherankan. Dari itu dilaporkan kejadian DH
sebanding dengan yang dilaporkan untuk penyakit immunobulous lainnya, seperti
pemfigoid bulosa dan pemfigus vulgaris.2
Beberapa penelitian di populasi Asia telah menunjukkan bahwa DH adalah sangat
langka di antara kelompok ini dan bahkan jarang jika dibandingkan dengan Amerika
Afrika. Bahkan, begitu sedikitnya kasus yang dimiliki telah dijelaskan bahwa tidak ada
yang lebih besar studi berbasis populasi telah dilaporkan dalam grup entis.2

2
Eropa Utara tampaknya memiliki jumlah terbesar kasus secara keseluruhan, tapi DH
dengan onset pada masa kanak-kanak cenderung lebih umum di negara-negara
Mediterania. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan dalam diet gluten atau
kecendrungan genetik dalam populasi ini.2
Laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi dari DH. Bahkan, sebagian besar berbasis
populasi studi sampai saat ini telah ditemukan laki-laki untuk rasio wanita mulai 1,5:1
sampai 2:1. Kebanyakan pasien melaporkan timbulnya gejala selama musim panas
pertahun, setiap saat dari musim semi hingga akhir tahun musim panas. Onset DH adalah
bervariasi, dengan rentang usia yang paling umum pada presentase yang berusia 30
sampai 40 tahun, namun usia saat diagnosis bervariasi dari bayi sampai penduduk usia
lanjut. DH pada anak-anak jarang terjadi, dan selama bertahun-tahun itu dikelompokkan
dengan diagnosis IgA linear bulous dermatosis masa kanak-kanak. Oleh karena itu,
prevalensi sejati masa kanak-kanak DH tidak dapat diketahui pasti.2

2.3 ETIOLOGI

Dari namanya, banyak yang mengira DH disebabkan oleh beberapa bentuk virus
herpes. Hal ini tidak benar, karena DH tidak ada hubungannya dengan herpes. Kelainan
yang utama merupakan adanya vesikel yang berkelompok, sehingga disebut herpetiformis,
yang berarti seperti herpes zoster.3,4
Etiologi DH belum diketahui secara pasti, namun dermatitis herpetiformis terjadi pada
orang dengan Celiac disease. Celiac disease(sinonim : celiac sprue, intoleransi gluten,
atau enteropati glutensensitif) adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan intoleransi
terhadap gluten. Gluten adalah protein yang ditemukan dalam gandum, gandum hitam,
dan barley. Kadang juga ditemukan pada gandum yang telah diolah pada tanaman yang
menangani biji-bijian lainnya.5
Di antara penderita DH, 77%-87% memiliki antigen HLA B8 dan hampir 90%
memiliki antigen HLA DW3.Petanda HLA ini dihubungkan dengan penyakit autoimun
dan merupakan tanda respon imun berlebih terhadap beberapa antigen dan menyebabkan
terjadinya kompleks imun. DH lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki riwayat
keluarga penyakit serupa, sehingga dicurigai terkait secara genetik.2,4

2.4 GEJALA KLINIS

3
Awitan biasanya bertahap selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan,
tetapi kadang-kadang dalam beberapa jam atau hari. Lesi awal berupa papul eritem
atau plakat urtikaria. Papul dengan cepat dapat menjadi vesikel dengan ukuran 1-10
mm. Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel atau bulla bila tidak pecah menjadi
purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan simetris, tetapi dapat juga tersebar.
Pada stadium lanjut, mungkin hanya ditemukan krusta pigmentasi, dan skar
berkelompok pada tempat predileksi.
Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong, bahu, dan area sakrum;
banyak juga terkena pada area nuchal posterior. Daerah lain yang sering terkena
adalah wajah dan batas rambut. Lesi pada membran mukosa jarang terjadi, begitu juga
dengan telapak tangan dan kaki.3,9,10
Gejala bervariasi tergantung intensitas, kebanyakan pasien mengeluhkan gatal
yang hebat dan rasa terbakar. Diagnosis DH dipikirkan jika adanya keluhan dengan
rasa terbakar. Semakin berat pruritus, maka biasanya timbul ekskoriasi. Erupsi
biasanya terjadi dengan dasar eritematous dan dapat berupa papula, papulovesikuler,
vesikobullosa, bulla, atau urtikaria. Adanya bintik pigmentasi pada region lumbosacral
dapat dicurigai sebagai DH.4,8
Gatal dan rasa terbakar biasanya berat, dan kualitas paroksimalnya diprovokasi
oleh garukan pada lokasi yang berdarah. Remisi spontan berlangsung selama
seminggu dan meninggalkan luka baru yang kasar yang merupakan karakteristik
penyakit tersebut.
DH pada anak-anak mirip seperti pada orang dewasa, memiliki gambaran histologi
yang identik dan temuan immunofloresen, dan memiliki insidensi tinggi pada HLA B8
dan DR3 dan biopsy jejunum abnormal. Telapak tangan melepuh dan berwarna
kecoklatan, hemoragik, makula purpura didapatkan lebih sering dibanding orang
dewasa.2,8

4
Gambar 1. a)vesikel. b)vesikulopapul

Gambar 2. a)papulovesikel eritematous dan erosi pada siku. b)vesikel dan papula yang
berkelompok pada lutut disertai krusta hemoragik

Gambar 3. Papulovesikel berkelompok pada leher dan kulit

5
Gambar 4. Distribusi lesi pada dermatitis herpetiformis

2.4 PATOGENESIS

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh pengendapan IgA
dalam papila dermis, yang memicu reaksi imunologi, mengakibatkan datangnya neutrofil
dan aktivasi komplemen. Dermatitis herpetiformis adalah hasil dari respon imun terhadap
rangsangan kronis dari mukosa usus oleh diet gluten. Sebuah kecenderungan genetik yang
mendasari untuk pengembangan dermatitis herpetiformis telah dibuktikan. Herpetiformis
dermatitis dan penyakit celiac (CD) dikaitkan dengan peningkatan ekspresi HLA-A1,
HLA-B8, HLA-DR3, dan HLA-DQ2 haplotype. Faktor lingkungan juga penting, kembar
monozigot mungkin memiliki dermatitis herpetiformis, celiac disease, dan gluten-sensitif
enteropati dengan simtomatologi yang sama. Teori terkemuka untuk dermatitis
herpetiformis adalah bahwa kecenderungan genetik untuk sensitivitas gluten, ditambah
dengan diet tinggi gluten, mengarah pada pembentukan antibodi IgA terhadap gluten-
jaringan transglutaminase (t-TG), yang ditemukan dalam usus. Antibodi bereaksi silang
dengan transglutaminase epidermal (e-TG). ETG sangat homolog dengan TTG. 9,14
Serum dari pasien dengan gluten-sensitif enteropati, dengan atau tanpa penyakit kulit,
mengandung antibodi IgA pada kulit dan usus. Deposisi IgA dan kompleks TG epidermal
dalam papilla dermis menyebabkan lesi dari dermatitis herpetiformis. Pada pasien dengan
gluten-sensitif enteropati, tingkat sirkulasi antibodi terhadap jaringan dan
transglutaminase epidermal telah ditemukan berkorelasi dengan satu sama lain, dan
keduanya tampaknya berkorelasi dengan tingkat enteropati. Deposit IgA pada dermatitis
herpetiformis telah terbukti berfungsi in vitro sebagai ligan untuk migrasi neutrofil.
Meskipun deposisi IgA penting untuk penyakit, namun serum peningkat IgA tidak
diperlukan untuk patogenesis, laporan kasus menggambarkan pasien herpetiformis
dermatitis dengan defisiensi IgA parsial, neutrofil beredar memiliki tingkat yang lebih
tinggi ketika penyakit aktif. CD11b dan kemampuan meningkat untuk mengikat IgA.
Temuan histologis karakteristik dermatitis herpetiformis adalah akumulasi neutrofil di
dermal – epidermal junction, sering lokalisasi ke ujung papiler dari zona membran basal.
Kolagenase dan stromelysin 1 dapat diinduksi dalam keratinosit basal baik oleh sitokin
yang terlepas dari neutrofil atau kontak dengan keratin dari membran matrix basal yang
rusak. Stromelysin 1 dapat berkontribusi untuk pembentukan blister. Satu studi
6
menemukan kadar E-selectin ekspresi mRNA di normal-muncul kulit pasien dengan
dermatitis herpetiformis menjadi 1.271 kali lebih besar. Selain itu, pada studi yang sama
diamati peningkatan larut E-selectin, antibodi IgA transglutaminase antitissue, tumor
necrosis factor-alpha, dan interleukin 8 serum (IL-8) tingkat pada pasien dengan
dermatitis herpetiformis, memberikan bukti lebih lanjut dari aktivasi sel endotel dan
respon inflamasi sistemik sebagai bagian dari mekanisme patogen penyakit. Trauma lokal
ringan juga dapat menyebabkan pelepasan sitokin dan menarik neutrofil sebagian prima
atau diaktifkan, yang konsisten dengan lokasi khas lesi dermatitis herpetiformis pada
daerah yang sering mengalami trauma, seperti lutut dan siku. Simpanan dari C3 mungkin
juga hadir dalam pola yang sama di dermal – epidermal junction. Serangan membran
kompleks, C5-C9, juga telah diidentifikasi di kulit perilesional, meskipun mungkin tidak
aktif dan tidak berkontribusi terhadap lisis sel. Faktor hormonal juga mungkin memainkan
peran dalam patogenesis dermatitis herpetiformis, dan laporan menggambarkan
herpetiformis dermatitis yang disebabkan oleh pengobatan dengan asetat leuprolida,
analog hormon gonadotropin-releasing. Androgen memiliki efek penekanan pada aktivitas
kekebalan tubuh, termasuk autoimunitas menurun, dan menyatakan kekurangan androgen
dapat menjadi pemicu potensial untuk eksaserbasi dermatitis herpetiformis. 9,14
Eksaserbasi dermatitis herpetiformis oleh kontrasepsi oral juga telah dilaporkan.
Apoptosis dapat berkontribusi pada patogenesis dari perubahan epidermal pada dermatitis
herpetiformis, dan penelitian menunjukkan tingkat apoptosis meningkat tajam dalam
kompartemen epidermal pada dermatitis herpetiformis. Kebanyakan pasien dengan
dermatitis herpetiformis memiliki bukti histologis enteropati, bahkan tanpa adanya gejala
dari malabsorpsi. Dalam suatu studi, pasien dermatitis herpetiformis mengalami
peningkatan permeabilitas usus (yang diukur dengan rasio lactulose / manitol) dan up-
peraturan zonulin, regulator dari sambungan ketat, jadi peningkatan ekspresi zonulin
mungkin terlibat dalam patogenesis dari enteropati pada pasien dengan dermatitis
herpetiformis.9,14

2.5 PATOFISIOLOGI

Pada DH tidak ditemukan antibody IgA terhadap papilla dermis yang bersirkulasi
dalam serum. Komplemen diaktifkan melalui jalur alternative. Fraksi aktif C5a bersifat
sangat kemotaktik terhadap neutrofil.
Sebagai antigen mungkin ialah gluten, dan masuknya ntigen mungkin di usus halus,
sel efektornya ialah neutrofil. Selain gluten juga yodium dapat mempengaruhi timbulnya
7
remisi dan eksaserbasi. Tentang hubungan kelainan di usus halus dan kelainan kulit
belum jelas diketahui.
2.6 FAKTOR RESIKO

Paparan panas dan kelembaban meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan


penyakit tersebut.
 Anggota keluarga menderita penyakit celiac atau dermatitis herpes.
 Diabetes tipe 1
 Sindrom down atau sindrom turner
 Penyakit kelenjar tiroid
 Sindrom sjogren
 Kolitis

2.7 DIAGNOSIS

2.7.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan biasanya pasien dengan gejala klinik gatal dan
ditemukan lesi (pleomorfik dan papula eritematous yang gatal, urtikaria, dan
vesikobulla, yang terletak pada permukaan ekstensor, bokong, dan punggung).

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit
terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit yang
tampak normal atau yang eritematosa dan generalisata. Tanda Nikolskiy positif
disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama
dengan menekan dan menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan
terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan
yang didalamnya mengalami tekanan.

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

1. HISTOPATOLOGI

Gambaran histopatologi DH yang khas paling baik terlihat pada daeah eritem
disekitar vesikel yang baru muncul. Pada daerah ini terdapat akumulasi netrofil dan
beberapa eosinofil pada ujung papila dermis yang semakin lama semakin bertambah
8
besar membentuk mikroabses. Pembentukan mikroabses mengakibatkan pemisahan
antara ujung papila dermis dan epidermis sehingga terbentuk vesikel.3,4
Pada awalnya interpapilary ridges epidermis tetap melekat pada dermis sehingga
vesikel yang terbentuk adalah multilokular dan masih terlalu kecil untuk dilihat secara
klinis. Dalam 1-2 hari rete ridges ini akan terlepas dari dermis dan terbentuk vesikel
unilokular yang akan tampak secara klinis. Pada saat ini mungkin masih terlihat
mikroabses pada tepi vesikel .karena itu biopsi pada tepi vesikel sangat berguna. 3,4
Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat bula subepidermal di
bawah lamina basalis. Pada daerah lesi, lamina basalis rusak atau hilang dan pada kulit
di dekat lesi, lamina basalis menjadi tipis. 3,4

Gambar 5. Biopsi pada lesi awal DH menunjukkan kumpulan eosinofil dan netrofil
pada papilla dermis dan vesikulasi pada subepidermal 6
2. SEROLOGIS

Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan serologis pada penderita DH. Sebuah
panel tes serologis digunakan untuk mendeteksi gluten-sensitif enteropathy(GSE).
Tiga antibodi ditujukan ke jaringan ikat atau komponen permukaan fibrin otot polos:

1. A-EmA  Antiendomysial antibody (IgA)


2. AGAAntigliadin antibody (IgG ataupooled Ig)
3. R1-ARAAntireticulin antibody (IgA)

A-EmA memiliki spesifisitas sampai 100% untuk celiacdisease, dengan


sensitifitas sebesar 85% untuk orang dewasa yang tidak diobati dan 90% pada
childhood celiac disease. Hal ini dapat menetap dalam titer rendah pada 10-25%
pasien dengan diet bebas gluten, meskipun histologinya normal. Tes AGA memiliki

9
sensitivitas yang baik(68-76%), tetapi juga dapat ditemukan pada10-20% pasien
dengan penyakit lain pada mukosa usus kecil. Tes AGA sangat membantu dalam
pemantauan GSE. R1-ARA memiliki spesifitas yang lebih tinggi dibanding AGA pada
pasien anak, tetapi sensitivitasnya relatif rendah (<40-50%).3,13,14

2.8 DIAGNOSIS BANDING

- Pemfigoid Bulosa
- Pemfigus Vulgaris

2.9 PENATALAKSANAAN

2.9.1 Non-Farmakologi

Diet bebas gluten adalah komitmen seumur hidup, dan kepatuhan untuk menjalankan
diet sulit untuk dicapai. Perbaikan dari penyakit kulit dengan diet bebas gluten memakan
waktu sampai beberapa bulan. Gluten terdapat dalam berbagai macam makanan yang
dikonsumsi setiap hari sebagai makanan pokok, terutama gandum, barley dan gandum
hitam. Suplemen nutrisi dengan multivitamin dan zat besi dapat diberikan pada pasien
dengan diet bebas gluten. Dengan diet ini penggunaan obat dapat ditiadakan atau dosisnya
dapat dikurangi. Kelainan intestinal juga dapat mengalami perbaikan dengan diet ini.
Contoh makanan bebas gluten ialah sayur-sayuran seperti wortel, brokoli, bayam,
kangkung, dandelion, dan kubis, buah-buahan seperti apel, kiwi, ceri, jambu, pisang,
blueberry, blackberry, delima, jeruk, dan mangga, berbagai produk susu yakni keju,
mentega, susu, dan yoghurt, serta tepung bebas gluten yaitu tepung amaranth , tepung
garut, tepung beras merah, tepung soba, tepung kacang ayam, tepung jagung, tepung
jagung, tepung millet, tepung kentang, tepung quinoa, tepung sorgum , tepung kedelai,
tepung tapioka, tepung teff, tepung beras putih.8,9

2.9.2 Farmakologi

Obat pilihan untuk DH ialah preparat sulfon, yakni DDS (diaminodifenilsulfon).


Pilihan kedua yakni sulfapiridin.4
 Dapsone
Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari. Jika ada perbaikan akan
tampak dalam 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Efek
sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan methemoglobinemia.
Kecuali itu juga neuritis perifer dan bersifat hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg
10
sehari umumnya tidak ada efek samping. Yang harus diperiksa adalah kadar Hb,
jumlah leukosit, dan hitung jenis, sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika
klinis menunjukkan tanda-tanda anemia atau sianosis segera dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Jika terdapat defisiensi G6PD, maka merupakan kontraindikasi karena
dapat terjadi anemia hemolitik. Bila telah sembuh dosis diturunkan perlahan-lahan
setiap minggu hingga 50 mg sehari, kemudian 2 hari sekali, lalu menjadi seminggu
1x.4,17
 Sulfapiridin
Sulfapiridin sukar didapat karena jarang diproduksi sebab efek toksiknya lebih
banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat tersebut kemungkinan
akan menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena sukar larut dalam air. Efek samping
hematologic seperti pada dapson, hanya lebih ringan. Khasiatnya kurang dibandingkan
dapson. Dosisnya antara 1-4 gram sehari.4

2.9.3 Edukasi

 Diet bebas gluten.

 Makan yang sehat dan bergizi.

 Istirahat yang cukup.

2.10 KOMPLIKASI

Komplikasi terkait dengan enteropati yang sensitif terhadap gluten, risiko


berkembangnya limfoma, dan efek samping obat yang potensial, terutama dapson.

2.11 PROGNOSIS

Sebagian besar penderita akan mengalami DH yang kronis dan residif, dan sekitar
10% dari penderita akan mengalami remisi.10,11

11
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis herpetiformis (DH) adalah manifestasi pada kulit yang disebabkan oleh
sensitivitas terhadap gluten. Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif terhadap gluten, yang
mana dapat dimulai dari limfosit intraepitel jejunum sampai atrofi total vili usus
kecil.Dermatitis herpetiformis terjadi pada orang dengan Celiac disease. Celiac disease
adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan intoleransi terhadap gluten. Gluten adalah
protein yang ditemukan dalam gandum, gandum hitam, dan barley. Hanya 20% pasien DH
yang memiliki gejala intestinal dari Celiac disease. Penyakit kulit maupun pada intestinal
keduanya berespon terhadap restriksi gluten dan membaik dengan penggantian diet yang
mengandung gluten. Ada hubungan genetik yang kuat, dengan 90% dari Celiac disease dan
pasien DH, yaitu memiliki HLA kelas II genotipe DQ2, terdiri dari alel DQA1*0501 dan
DQB1*02, dibandingkan dengan 20% pasien dengan kontrol normal.
Lesi awal berupa papul eritem atau plakat urtikaria. Papul dengan cepat dapat menjadi
vesikel dengan ukuran 1-10 mm. Jarang terdapat bulla yang besar. Vesikel atau bulla bila
tidak pecah menjadi purulen. Biasanya lesi berbentuk herpetiformis dan simetris, tetapi dapat
juga tersebar. Pada stadium lanjut, mungkin hanya ditemukan krusta pigmentasi, dan skar
berkelompok pada tempat predileksi.Kebanyakan distribusi lesi DH pada siku, lutut, bokong,
bahu, dan area sakrum; banyak juga terkena pada area nuchal posterior. Daerah lain yang
sering terkena adalah wajah dan batas rambut. Lesi pada membran mukosa jarang terjadi,
begitu juga dengan telapak tangan dan kaki.

12
Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten.Diet ini
melibatkanpenghapusangandum danmakananyang terbuatdaribiji-bijiandari diet pasien DH.
Untuk terapi farmakologis dapat diberikan Dapsone (DDS) 200-300 mg/hari. Efek
sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan methemoglobinemia. Yang harus
diperiksa adalah kadar Hb, jumlah leukosit, dan hitung jenis, sebelum pengobatan dan 2
minggu sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-tanda anemia atau sianosis segera dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Jika terdapat defisiensi G6PD, maka merupakan kontraindikasi
karena dapat terjadi anemia hemolitik.

DAFTAR PUSTAKA

1. herpetiformis: Celiac disease of the skin. report of two cases. Our Dermatology
Online, 9(1), 44-47.
2. Martino, B. D., Macchi, H., Celeste, V. R., María Lorena, R. D., & Barboza, G.
(2018). Dermatitis herpetiformis: from the genetics to the development of skin
lessions
3. Lowell A, Katz Z, Glichrest B. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine 8 th.
2015. Mc Grawhill
4. Linuwih S, Bramono K. buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ketujuh.
2016. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor:
Elston DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
6. Jakes, A. D., Bradley, S., & Donlevy, L. (2014). Dermatitis herpetiformis. BMJ :
British Medical Journal (Online), 348
7. Bonciani D, Verdelli A, Bonciolini V, D´Errico A, Antiga E, Fabbri P, et al. Dermatitis
herpetiformis: from the genetics to the development of skin lesions. Clin Develop
Immunol. 2012:1-5
8. Nakajima, K. (2012). Recent advances in dermatitis herpetiformis. Clinical &
Developmental Immunology, 914162.
9. Da Silva Kotze L. Dermatitis herpetiformis, the celiac disease of the skin. Arq
Gastroenterol. 2013;50:231

13
10. CaproniM,AntigaE,MelaniL,FabbriP.Guidelinesforthediagnosisandtreatmentof
dermatitisherpetiformis.JEurAcadDermatolVenereol2009;23:633-8.
11. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor:
Elston DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
12. Caproni M, Antiga E, Melani L, Fabbri P. Guidelines for the diagnosis and treatment
of dermatitis herpetiformis. JEADV. 2009;23:633-8.
13. D. Bolotin and V. Petronic-Rosic, “Dermatitis herpetiformis: part I. Epidemiology,
pathogenesis, and clinical presentation,” Journal of the American Academy of
Dermatology, vol. 64, no. 6, pp. 1017–1024, 2011.
14. Alonso L, Gibson LE, Rogers RS. Clinical, pathological and immunopathologic
features of dermatitis herpetiformis: review of the Mayo Clinic Experience. Int J
Dermatol. 2007;46:910-19
15. Plotnikova N, Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Skin Therapy Lett. 2013;18:1-3.
16. Antiga E, Caproni M. The diagnosis and treatment of dermatitis herpetiformis. Clin
Cosmet Investig Dermatol. 2015;8:257–65
17. Alessio A, Catassic C. Cureent approaches to diagnosis and treatment of celiac
disease: an evolving spectrum. Gastroenterology. 2011;120:636-51

14

Anda mungkin juga menyukai