DERMATITIS HERPETIFORMIS
Disusun oleh:
Herlina
030.14.086
Pembimbing:
“DERMATITIS HERPETIFORMIS”
Disusun oleh:
Herlina
030.14.086
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah ini.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Penyakit Kulit dan Kelamin Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di RSUD
Kardinah Tegal.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, terutama:
1. dr. Nadiah Soleman Sp.KK, M.kes selaku pembimbing dalam penyusunan makalah ini.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Saya
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bertujuan untuk ikut
memperbaiki makalah ini agar dapat bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat luas.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) adalah suatu penyakit multisistem kronik yang
manifestasi klinis primernya adalah pada kulit, berupa erupsi pruritik luas yang terdiri atas
kombinasi yang bervariasi dari lesi bulosa, eritematosa, vesikular, papulovesikular,
papular, simetris, dan berkelompok, yang kadang sembuh dengan hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi dan dapat pula jaringan parut, dimana gambaran vesikelnya seperti
gambaran herpes simplex, sehingga dinamakan “herpetiformis”.
Dermatitis herpetiformis merupakan manifestasi kulit dari Celiac disease, dan
berhubungan dengan adanya sensitivitas terhadap gluten. Sinonim dermatitis herpetiformis
adalah Duhring’s Disease.4
2.2. Etiologi
Dari namanya, banyak yang mengira DH disebabkan oleh beberapa bentuk virus
herpes. Hal ini tidak benar, karena DH tidak ada hubungannya dengan herpes. Kelainan
yang utama merupakan adanya vesikel yang berkelompok, sehingga disebut herpetiformis,
yang berarti seperti herpes zoster.3,4
Etiologi DH belum diketahui secara pasti, namun dermatitis herpetiformis terjadi
pada orang dengan Celiac disease. Celiac disease (sinonim : celiac sprue, intoleransi
gluten, atau enteropati gluten sensitif) adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan
intoleransi terhadap gluten. Gluten adalah protein yang ditemukan dalam gandum, gandum
hitam, dan barley. Kadang juga ditemukan pada gandum yang telah diolah pada tanaman
yang menangani biji-bijian lainnya.5
Di antara penderita DH, 77%-87% memiliki antigen HLA B8 dan hampir 90%
memiliki antigen HLA DW3. Petanda HLA ini dihubungkan dengan penyakit autoimun
dan merupakan tanda respon imun berlebih terhadap beberapa antigen dan menyebabkan
terjadinya kompleks imun. DH lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki riwayat
keluarga penyakit serupa, sehingga dicurigai terkait secara genetik.2,4
5
2.3. Epidemiologi
Dermatitis herpetiformis relatif jarang terjadi, dengan kejadian di Eropa utara
berkisar 11,5 dan 75,0 per 100.000 populasi. Celiac disease lebih sering terjadi, dengan
angka kejadian di Eropa sekitar 1%. Selain itu, celiac disease sering tidak bergejala,
dengan rasio gejala terhadap penyakit asimtomatik pada 1: 5. Umumnya, dermatitis
herpetiformis sering salah di diagnosis oleh non-dermatologis. National Institutes of
Health memperkirakan bahwa lebih dari 95 persen kasus salah didiagnosis. Akan tetapi,
terdapat keterbatasan data yang akurat untuk mengukur tingkat misdiagnosisis pada
penelitian ini. Celiac disease, di sisi lain, karena presentasi non-spesifiknya sering kali
terlewatkan diagnosisnya pada perawatan primer.6
National Institutes of Health (NIH) menyatakan 15 sampai 25 persen orang dengan
Celiac disease memiliki DH. Selain gejala pada kulit, Celiac disease juga bisa
menyebabkan rasa sakit perut yang intens, konstipasi, mual, dan muntah. Orang dengan
DH biasanya tidak memiliki gejala usus. Namun, bahkan jika mereka tidak mengalami
gejala usus, 80 persen atau lebih orang dengan DH masih memiliki kerusakan usus,
terutama jika mereka makan makanan yang tinggi gluten, menurut National Foundation
for Celiac Awareness (NFCA).6
2.4. Patogenesis
Pengetahuan yang ada saat ini tentang patogenesis DH didasarkan pada sejumlah
observasi klinis dan laboratorium. Sampai saat ini, sebuah model binatang dari gangguan
ini belum dikembangkan. Beberapa hal yang berkaitan dengan patogenesis DH adalah :
Hubungan genetik yang sangat kuat dengan HLA DQ * genotipe, 0501 A1 B1 * 02 (yang
mengkode heterodimers HLA-DQ2) dan juga gen non-HLA yang tidak teridentifikasi.
Beberapa derajat gluten-sensitive enteropathy pada biopsi usus kecil di hampir semua
pasien, disertai dengan stimulasi sistem imun mukosa usus.
Deposit butiran IgA di dermis pars papilare kulit (ini sangat penting untuk diagnosis dan
terjadi pada tempat peradangan akhirnya).
Infiltrasi neutrofil di papilla dermis.
Perbaikan gejala yang sangat baik dengan terapi dapson.2,3
6
Predisposisi Genetik
Gen spesifik HLA yang mengkode molekul yang berinteraksi dengan reseptor sel T,
yang dipercaya berhubungan dengan gliadin. Gliadin adalah fraksi alkohol yang larut
dalam gluten dan diyakini sebagai komponen antigenik. Asosiasi gen HLA ini sama untuk
pasien dengan Celiac Disease (CD) dan bermanifestasi di kulit sebagai DH. Gen yang
mengkode DQ2 (A1 * 0501, B1 * 02) heterodimer dimiliki oleh 90% dari pasien CD dan
DH. Gen yang mengkode DQ8 (A1 * 03, B1 * 03) heterodimer dimiliki oleh 10% pasien
DH. Telah ditetapkan bahwa kurang dari 50% dari predisposisi genetik pada CD dan DH
adalah karena gen HLA tertentu.2,3,7
7
Gandum diproses oleh enzim pencernaan menjadi peptide gliadin, yang kemudian
diangkut secara utuh melintasi epitel mukosa. Dalam lamina propria, jaringan
transglutaminase (TG2) melakukan deamidasi residu glutamin dalam peptida gliadin dan
menjadi kovalen cross-linked untuk peptida gliadin melalui obligasi isopeptidyl (terbentuk
antara glutamin-gliadin dan residu lisin TG2). Sel T helper (CD4+) dalam lamina propria
mengenali peptida gliadin deamidasi dibawa oleh molekul HLA-DQ2 atau -DQ8 pada
antigen-presenting sel, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin Th1 dan matrix
metaloproteinase yang menyebabkan kerusakan sel epitel mukosa dan remodeling
jaringan. Selain itu, sel B TG2-spesifik mengambil kompleks TG2-gliadin dan
mempresentasikan pada sel T helper gliadin-spesifik, yang merangsang sel B untuk
memproduksi IgA anti-TG2. IgA anti-TG2 yang melintas dalam sirkulasi bereaksi dengan
transglutaminase epidermis (TG3) dan membentuk kompleks imun. Deposisi kompleks
imun IgA-TG3 di papila dermis kulit menyebabkan kemotaksis neutrofil, pembelahan
proteolitik dari lamina lucida, dan timbulnya lesi subepidermal.3,7
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memiliki peran penting dalam perkembangan celiac disease,
termasuk efek perlindungan dari menyusui dan pengenalan pada gluten dalam proses
pemberian makan. Pengenalan awal gluten sebelum umur 4 bulan dikaitkan dengan
peningkatan risiko perkembangan penyakit dan pengenalan gluten setelah umur 7 bulan
memiliki resiko yang sangat kecil. Pengenalan gluten selama proses menyusui dapat
menjadi faktor pelindung yang penting dalam meminimalkan risiko celiac disease.
Terjadinya infeksi pencernaan tertentu pada bayi, seperti infeksi rotavirus, juga
meningkatkan risiko celiac disease.8
9
Gambar 3. a) papulovesikel eritematous dan erosi pada siku. b) vesikel dan papula yang
berkelompok pada lutut disertai krusta hemoragik
Celiac disease dengan atrofi vili dan intoleransi gluten dapat terjadi bersamaan
dengan dermatitis herpetiformis. 70-100% pasien dengan DH memiliki kelainan pada
mukosa jejunum, tetapi kebanyakan bersifat asimtomatis. Jika diberikan diet tinggi gluten,
sebenarnya semua pasien DH akan memberikan gejala yang tidak dapat dibedakan dengan
celiac disease, dan DH terjadi pada 25% pasien dengan celiac disease.3,11
11
Gambar 7. Biopsi pada lesi awal DH menunjukkan kumpulan eosinofil dan netrofil pada
papilla dermis dan vesikulasi pada subepidermal
12
A-EmA memiliki spesifisitas sampai 100% untuk celiac disease, dengan sensitifitas
sebesar 85% untuk orang dewasa yang tidak diobati dan 90% pada childhood celiac
disease. Hal ini dapat menetap dalam titer rendah pada 10-25% pasien dengan diet bebas
gluten, meskipun histologinya normal. Tes AGA memiliki sensitivitas yang baik (68-
76%), tetapi juga dapat ditemukan pada 10-20% pasien dengan penyakit lain pada mukosa
usus kecil. Tes AGA sangat membantu dalam pemantauan GSE. R1-ARA memiliki
spesifitas yang lebih tinggi disbanding AGA pada pasien anak, tetapi sensitivitasnya relatif
rendah (<40-50%).3,13,14
2.7 Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris Pemfigoid bulosa Dermatitis
herpetiformis
Etiologi Autoimun Diduga autoimun Belum jelas
Enteropati - - +
Peka gluten - - +
HLA - - B8, DQw2
Terapi Kortikosteroid Kortikosteroid(prednison) DDS(diaminodifenil
(prednison 60-150 40-60mg sehari sulfon) 200-300mg
mg sehari) sehari
13
Gambar Pemfigus vulgaris dan pemfigoid bulosa
Pada Pemfigus vulgaris, keadaan umum buruk, tidak gatal, keluhan utama ialah
bula yang berdinding kendur, generalisata dan bisa didapatkan eritema, pada gambaran
istopatologi terdapat akantolisis, letak vesikel intraepidermal, terdapat IgG di stratum
spinosum.
Pemfigoid bulosa berbeda dengan DH karena ruam yang utama ialah bula, tidak
begitu gatal, dan pada pemeriksaan imunofloresensi terdapat IgG tersusun seperti pita di
subepidermal.
2.8. Tatalaksana
Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten. Ini melibatkan
penghapusan gandum dan makanan yang terbuat dari biji-bijian dari diet pasien DH.
Mungkin diperlukan dua atau lebih tahun untuk deposit IgA bawah kulit untuk benar-
benar jelas.4,15
Diet gluten-free (GF) adalah komitmen seumur hidup dan tidak boleh dimulai
sebelum ada diagnosis pasti DH. Memulai diet tanpa pemeriksaan lengkap tidak
disarankan dan kemudian membuat diagnosis sulit. Tes untuk mengkonfirmasi DH dapat
menunjukkan hasil negatif jika seseorang berada di diet GF untuk jangka waktu tertentu.
Untuk diagnosis yang valid, gluten perlu dikonsumsi kembali oleh pasien selama beberapa
minggu sebelum pemeriksaan lengkap. DH adalah suatu penyakit keturunan autoimun
sehingga konfirmasi DH akan membantu generasi mendatang sadar akan risiko dalam
keluarga.16
Obat pilihan untuk DH ialah preparat sulfon, yakni DDS (diaminodifenilsulfon).
Pilihan kedua yakni sulfapiridin.4
14
Dapsone
Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari. Jika ada perbaikan akan
tampak dalam 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Efek sampingnya
ialah agranulositosis, anemia hemolitik, dan methemoglobinemia. Kecuali itu juga neuritis
perifer dan bersifat hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg sehari umumnya tidak ada efek
samping. Yang harus diperiksa adalah kadar Hb, jumlah leukosit, dan hitung jenis,
sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika klinis menunjukkan tanda-tanda anemia
atau sianosis segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Jika terdapat defisiensi G6PD,
maka merupakan kontraindikasi karena dapat terjadi anemia hemolitik. Bila telah sembuh
dosis diturunkan perlahan-lahan setiap minggu hingga 50 mg sehari, kemudian 2 hari
sekali, lalu menjadi seminggu 1x.4,17
Sulfapiridin
Sulfapiridin sukar didapat karena jarang diproduksi sebab efek toksiknya lebih
banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat tersebut kemungkinan akan
menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena sukar larut dalam air. Efek samping
hematologic seperti pada dapson, hanya lebih ringan. Khasiatnya kurang dibandingkan
dapson. Dosisnya antara 1-4 gram sehari.4
2.9 Prognosis
Sebagian besar penderita akan mengalami DH yang kronis dan residif, dan sekitar
10% dari penderita akan mengalami remisi.10,11
15
DAFTAR PUSTAKA
1. herpetiformis: Celiac disease of the skin. report of two cases. Our Dermatology Online,
9(1), 44-47.
2. Martino, B. D., Macchi, H., Celeste, V. R., María Lorena, R. D., & Barboza, G. (2018).
Dermatitis herpetiformis: from the genetics to the development of skin lessions
3. Lowell A, Katz Z, Glichrest B. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine 8 th. 2015.
Mc Grawhill
4. Linuwih S, Bramono K. buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ketujuh. 2016.
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor: Elston
DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
6. Jakes, A. D., Bradley, S., & Donlevy, L. (2014). Dermatitis herpetiformis. BMJ : British
Medical Journal (Online), 348
7. Bonciani D, Verdelli A, Bonciolini V, D´Errico A, Antiga E, Fabbri P, et al. Dermatitis
herpetiformis: from the genetics to the development of skin lesions. Clin Develop
Immunol. 2012:1-5
8. Nakajima, K. (2012). Recent advances in dermatitis herpetiformis. Clinical &
Developmental Immunology, 914162.
9. Da Silva Kotze L. Dermatitis herpetiformis, the celiac disease of the skin. Arq
Gastroenterol. 2013;50:231
10. CaproniM,AntigaE,MelaniL,FabbriP.Guidelinesforthediagnosisandtreatmentof
dermatitisherpetiformis.JEurAcadDermatolVenereol2009;23:633-8.
11. Miller JL, Zaman SA, Hall R. Editor board: Wells MJ, Nunley JR. Chief Editor: Elston
DM. Dermatitis herpetiformis. Updated: Mar 31, 2016. Disponible en:
http://emedicine.medscape.com/ article/1062640.
12. Caproni M, Antiga E, Melani L, Fabbri P. Guidelines for the diagnosis and treatment of
dermatitis herpetiformis. JEADV. 2009;23:633-8.
13. D. Bolotin and V. Petronic-Rosic, “Dermatitis herpetiformis: part I. Epidemiology,
pathogenesis, and clinical presentation,” Journal of the American Academy of
Dermatology, vol. 64, no. 6, pp. 1017–1024, 2011.
16
14. Alonso L, Gibson LE, Rogers RS. Clinical, pathological and immunopathologic features
of dermatitis herpetiformis: review of the Mayo Clinic Experience. Int J Dermatol.
2007;46:910-19
15. Plotnikova N, Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Skin Therapy Lett. 2013;18:1-3.
16. Antiga E, Caproni M. The diagnosis and treatment of dermatitis herpetiformis. Clin
Cosmet Investig Dermatol. 2015;8:257–65
17. Alessio A, Catassic C. Cureent approaches to diagnosis and treatment of celiac disease: an
evolving spectrum. Gastroenterology. 2011;120:636-51
17