Anda di halaman 1dari 20

REFARAT

DERMATITIS SEBOROIK

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan


mengikuti kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian
ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM.
Djoelham Binjai

Disusun oleh :
William Bordus Dickison Victor Prayogi
102119005

Pembimbing :
dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Dermatitis Seboroik” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini
merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Batam.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu
dari awal hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu
pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj.
Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM berupa bimbingan yang sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan referat.

Saya menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran
dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan demi perbaikan
tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga referat ini juga dapat
memberi manfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Binjai, Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ................................................................................................... 2

2.2 Etiologi .................................................................................................... 2

2.3 Epidemiologi ........................................................................................... 5

2.4 Faktor resiko ........................................................................................... 6

2.5.Diagnosa.................................................................................................. 6

2.6 Patogenesis .............................................................................................. 9

2.7 Patofisiologi .......................................................................................... 10

2.8 Diagnosa Banding ................................................................................12

2.9 Penatalaksanaan ..................................................................................... 12

2.10. Komplikasi ...................................................................................... 14

2.11 Prognosis ............................................................................................ 15

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan............................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang

didasari oleh bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Dermatitis seboroik

adalah penyakit kulit kronis, dan sering kambuh. Dermatitis seboroik termasuk

dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa dimana merupakan penyakit kulit

yang terutama ditandai dengan adanya eritema dan skuama. Dermatitis seboroik

sering dikacaukan dengan psoriasis yang juga termasuk dalam kelompok

dermatosis eritroskuamosa. Penyebabnya belum diketahui pasti, beberapa teori

menerangkan tentang etiopatogenesis.1

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan

kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Faktor predisposisinya ialah kelainan

konstitusi berupa status seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya diturunkan,

bagaimana caranya belum dipastikan. Prevalensi dermatitis seboroik lebih tinggi

pada Odha, gangguan neurologis dan penyakit kronis lainnya juga terkait dengan

timbulnya dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik disebut juga eczema

flannellaire, hal ini berasal dari ide bahwa terdapat retensi pada permukaan kulit

oleh sumbatan dengan katun (flanel), wol, atau pakaian dalam sintetik.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1
I. DEFINISI

Dermatitis seboroik merupakan suatu kelainan kulit papuloskuamosa

kronik yang sering ditemukan. Biasanya terjadi di daerah yang banyak

mengandung kelenjar sebasea yaitu kulit kepala, wajah dan badan. Penyebaran

lesi dermatitis seboroik dimulai dari derajat ringan, misalnya ketombe sampai

dengan bentuk yang berat yaitu eritroderma.

II. ETIOLOGI

Etiologi dari penyakit ini belum terpecahkan. Ini merupakan dermatitis

yang menyerang daerah-daerah yang mengandung banyak glandula sebasea,

bagaimanapun bukti terbaru menyebutkan bahwa hipersekresi dari sebum tidak

nampak pada pasien yang terkena dermatitis seboroik apabila dibandingkan

dengan kelompok sehat. Pengaruh hormonal seharusnya dipertimbangkan

mengingat penyakit ini jarang terlihat sebelum puberitas. Ada bukti yang

menyebutkan bahwa terjadi status hiperproliferasi, tetapi penyebabnya belum

diketahui. Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktivan glandula

sebasea. Glandula tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi

tidak aktif selama 8-12 tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti.

Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian

jarang pada usia sebelum akil balik dan insidennya mencapai puncaknya pada

umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua. Dermatitis seboroik lebih

sering terjadi pada pria daripada wanita. Meskipun kematangan kelenjar sebasea

2
rupanya merupakan faktor timbulnya dermatitis seboroik, tetapi tidak ada

hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan kelenjar tersebut dengan

suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik dapat

diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis.

Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis

seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stres emosional, infeksi, atau

defisiensi imun.

Penelitian-penelitian melaporkan adanya suatu jamur lipofilik, pleomorfik,

Malasssezia ovalis (Pityrosporum ovale), pada beberapa pasien dengan lesi pada

kulit kepala. P. ovale dapat didapatkan pada kulit kepala yang normal. Ragi dari

genus ini menonjol dan dapat ditemukan pada daerah seboroik pada tubuh yang

kaya akan lipid sebasea, misalnya kepala dan punggung. Pertumbuhan P. ovale

yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk

metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena sel jamur itu sendiri

melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Hubungan yang erat terlihat

karena kemampuan untuk mengisolasi Malassezia pada pasien dengan DS dan

terapinya yang berefek bagus dengan pemberian anti jamur. Bagaimanapun,

beberapa faktor (misalnya tingkat hormon, infeksi jamur, defisit nutrisi, dan faktor

neurogenik) berhubungan dengan keadaan ini. Adanya masalah hormonal

mungkin dapat menjelaskan mengapa keadaan ini muncul pada bayi, hilang secara

spontan, dan muncul kembali setelah puberitas. Pada bayi dijumpai hormon

transplasenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan

membaik bila kadar hormon ini menurun. Juga didapati bahwa perbandingan

3
komposisi lipid di kulit berubah. Jumlah kolesterol, trigliserida, parafin meningkat

dan kadar sequelen, asam lemak bebas dan wax ester menurun. Keadaan ini

diperparah dengan peningkatan keringat. Stres emosional memberikan pengaruh

yang jelek pada masa pengobatan. Obat–obat neuroleptik seperti haloperidol dapat

mencetuskan dermatitis seboroik serta faktor iklim. Lesi seperti DS dapat nampak

pada pasien defesiensi nutrisi, contohnya defesiensi besi, defesiensi niasin, dan

pada penyakit Parkinson. DS juga terjadi pada defesiensi pyridoxine.3

Berikut ini beberapa hal yang berpotensial menyebabkan dermatitis seboroik

yaitu:

1. Aktivitas kelenjar sebum yang berlebihan

2. Infeksi Pityrosporum ovale

3. Infeksi oleh Candida atau Staphylococcus

4. Hipersensitif terhadap bakeri ataupun antigen epidermal

5. Kelainan neurotransmiter (pada penyakit parkinson)

6. Respon emosional terhadap stres atau kelelahan

7. Proliferasi epidermal yang menyimpang

8. Diet yang abnormal

9. Obat-obatan (arsen, emas, metildopa, simetidin, dan neuroleptik)

10. Faktor lingkungan (temperatur dan kelembaban)

11. Imunodefisiensi4

III. EPIDEMIOLOGI

4
Dermatitis seboroik bisa ditemukan pada seluruh ras, dan lebih banyak

terjadi pada pria dibandingkan wanita. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya

aktifitas kelenjar sebasea yang diatur oleh hormon androgen. Dermatitis seboroik

menyerang 2% -5% populasi. Dermatitis seboroik dapat menyerang bayi pada tiga

bulan pertama kehidupan dan pada dewasa pada umur 30 hingga 60 tahun. Insiden

memuncak pada umur 18-40 tahun. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada

pria daripada wanita. Berdasarkan pada survey pada 1.116 anak-anak, dari

perbandingan usia dan jenis kelamin, didapatkan prevalensi dermatitis seboroik

menyerang 10% anak laki-laki dan 9,5% pada anak perempuan. Prevalensi

semakin berkurang pada setahun berikutnya dan sedikit menurun apabila umur

lebih dari 4 tahun. Kebanyakan pasien (72%) terserang minimal atau dermatitis

seboroik ringan.3

Pada penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), dapat

terlihat pada hampir 35% pasien Terdapat peningkatan insiden pada penyakit

Parkinson, paralisis fasial, pityriasis versicolor, cedera spinal, depresi dan yang

menerima terapi psoralen ditambah ultraviolet A (PUVA). Juga beberapa obat-

obatan neuroleptik mungkin merupakan faktor, kejadian ini sering terjadi tetapi

masih belum dibuktikan. Kondisi kronik lebih sering terjadi dan sering lebih parah

pada musim dingin yang lembab dibandingkan pada musim panas.3

IV. FAKTOR RESIKO

5
A. Lipid dan hormon

Penyebaran lesi pada tubuh berhubungan dengan penyebaran kelenjar

sebaseus, dengan sebum yang berlebihan dijumpai pada skalp, lipatan

nasolabial, dada, alis mata dan telinga. Sering dijumpai pada remaja dan

dewasa muda (ketika kelenjar sebaseus lebih aktif).

B. Penyakit penyerta seperti: Penyakit Parkinson, kelumpuhan saraf kranial,

paralisis batang tubuh, gangguan emosional, HIV/AIDS, kanker, pankreatitis

alkoholik, down syndrome.

C. Faktor imunologi diantaranya penurunan sel T helper, penurunan phytohem

agglutinin stimulasi concanavalin A, penurunan titer antibodi.

D. Gaya hidup berupa nutrisi yang buruk dan higiene yang buruk.4

V. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Keluhan yang dikatakan pasien biasanya berupa rasa gatal yang hebat.

Perlu ditanyakan riwayat penyakit pasien serta bagaimana status gizi/kebiasaan

pasien.5

2. Pemeriksaan Dermatologi

Kulit kepala di daerah frontal dan parietal akan ditutupi dengan krusta

yang berminyak, tebal dan sering dengan fissura (crusta lactea/milk crust, cradle

cap). Rambut tidak rontok dan peradangan jarang. Dalam perjalanannya,

kemerahan semakin meningkat dan daerah dengan skuama akan membentuk

6
bercak eritem yang jelas dan diatasnya dilapisi skuama berminyak. Dapat terjadi

perluasan hingga ke frontal melampaui daerah yang berambut.5

Gambar 2.1 Perluasan Lesi Dermatitis Seboroik

Lipatan retroaurikular daun telinga dan leher juga sangat mungkin terkena.

Otitis eksterna, dermatitis intertriginosa maupun infeksi-infeksi oportunistik dari

C. albicans, S. aureus, dan bakteri-bakteri lainnya, sering muncul bersama-sama

dengan dermatitis seboroik.5

Gambar 2.2 Lesi Dermatitis Seboroik

Pada berbagai gejala dari gambaran klinis yang ditemukan pada dermatitis

seboroik juga dapat dijumpai pada dermatitis atopik atau psoriasis, sehingga

7
diagnosis sangat sulit untuk ditegakkan oleh karena baik gambaran klinis maupun

gambaran histologi dapat serupa. Oleh sebab itu, perlu ketelitian untuk

membedakan DS dengan penyakit lain sebagai diferensial diagnosis. Psoriasis

misalnya yang juga dapat ditemukan pada kulit kepala, kadang disamakan dengan

DS, yang membedakan ialah adanya plak yang mengalami penebalan pada liken

simpleks.5

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan histopatologi: Menunjukan dermatitis seboroik tidak spesifik

berupa hiperkeratosis, akantosis, fokal spongiosis dan parakeratosis.

Gambar 2.3 Gambaran Histopatologi Dermatitis Seboroik

a. Pemeriksaan KOH 10-20 %: menujukan hasil negatif, tidak ada hifa atau

blastokonidia.

b. Pemeriksaan lampu Wood: tampak fluoresen negatif (warna violet).6

4. Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain:

8
a. Kultur jamur dan kerokan kulit amat bermanfaat untuk menyingkirkan

tinea kapitis maupun infeksi yang disebabkan kuman lainnya.

b. Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan dermatitis atopik.

c. Pemeriksaan komposisi lemak pada permukaan kulit dimana memiliki

karakteristik yang khas yakni menigkatnya kadar kolesterol, trigliserida dan

parafin disertai penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan wax ester.7

VI. PATOGENESIS

Walaupun banyak teori yang disebutkan, tetapi penyebab pasti dari

dermatitis seboroik belum diketahui secara pasti. Dermatitis seboroik

dihubungkan dengan adanya kulit yang tampak berminyak (seboroik oleosa),

walaupun peningkatan produksi sebum tidak selalu didapatkan pada beberapa

pasien. Pada anak-anak, produksi sebum dan dermatitis seboroik saling

berhubungan. Pada pemeriksaan histologik, kelenjar sebasea berukuran besar.

Selain itu didapatkan juga perubahan komposisi lipid pada permukaan kulit yang

menunjukkan adanya peninggian kadar kolesterol, trigliserida dan parafin, yang

disertai penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan wax ester.7

Dermatitis seboroik yang disebabkan oleh Pityrosporum ovale berkaitan

dengan reaksi imun tubuh terhadap sel jamur di permukaan kulit maupun produk-

produk metabolitnya di dalam epidermis. Reaksi peradangan yang timbul melalui

perantaraan sel langerhans dan aktivasi limfosit T. Bila Pityrosporum ovale telah

berkontak dengan serum, maka akan dapat mengaktifkan sistem komplemen

melalui jalur aktivasi langsung maupun alternatif. Pada anak, selain Pityrosporum

9
ovale, sering pula ditemukan Candida albicans pada lesi-lesi kulit. Peningkatan

proliferasi epidermal pada dermatitis seboroik, menjelaskan mengapa penyakit ini

cukup responsif pada terapi dengan sitostatik. Selain itu, dermatitis seboroik

sering berkaitan dengan kelainan-kelainan neurologik seperti penyakit parkinson

pasca ensefalitis, epilepsi, trauma supraorbital, paralisis nervus fasialis,

polimielits, siringomielia, dan kuadriplegia. Kelainan pada sistem neurologik

menyebabkan abnormalitas pada neurotransmitter dan bermanifestasi sebagai

gangguan fungsi kelenjar sebum. Hal ini berdasarkan fakta, bahwa beberapa obat

yang dapat menginduksi parkinson ternyata juga dapat menginduksi dermatitis

seboroik, sementara pemberian L-dopa selain memperbaiki kondisi parkinson,

juga lesi kulit dengan dermatitis seboroik.8

VII.PATOFISISOLOGI

Patofisiologi dari dermatitis seboroik masih belum diketahui secara pasti,

namun keberadaan ragi Malessezia, abnormalitas imun, aktivitas sebasea dan

kerentanan individu dapat dikaitkan sebagai penyebab dermatosis tersebut. Jumlah

produksi sebum tidak menjadi faktor patogenesis utama, hal ini dikaitkan dengan

tidak semua penderita dermatitis seboroik memiliki level produksi sebum yang

meningkat dan begitu juga sebaliknya, beberapa individu dengan level produksi

sebum yang meningkat tidak selalu memiliki dermatitis seboroik.9

10
Gambar 2.4 Peran Jamur Malassezia pada Dermatitis Seboroik di Kulit Kepala.

Malassezia merupakan komponen normal dari flora kulit, namun pada

dermatitis seboroik, organisme ini menyerang stratum korneum dan melepaskan

lipase yang menyebabkan transformasi trigliserid menjadi asam lemak bebas.

Asam lemak bebas inilah yang akan memicu terjadinya proses inflamasi yang

akan menyebabkan hiperproliferasi stratum korneum (sisik) dan diferensiasi

korneosit yang tidak lengkap sehingga meningkatkan akses untuk Malassezia dan

memudahkan air untuk meninggalkan sel. Malassezia tumbuh dengan baik pada

lingkungan yang kaya akan lipid sehingga keberadaan asam lemak bebas memicu

pertumbuhan organisme tersebut. Tidak didapatkan korelasi antara jumlah dari

organisme fungal dengan beratnya penyakit, tapi fakta bahwa timbulnya

dermatosis dominan pada area yang kaya akan sebum menyebabkan pemikiran

11
bahwa metabolit fungal bereaksi dengan trigliserida yang dihasilkan oleh kelenjar

sebaseus, yang nantinya akan merangsang produksi mediator inflamasi.

Teori lain menunjukkan bahwa lapisan lipid pada fungus akan mengarah

pada produksi keratinosit dari sitokin proinflamasi, yang menyebabkan inflamasi

dan erupsi kulit. Predisposisi genetik tidak ditemukan mempunyai keterkaitan

terhadap timbulnya dermatitis seboroik.10

VIII. DIAGNOSA BANDING

a. Tinea kapitis

b. Psoriasis sclap

IX. PENATALAKSANAAN

1. Farmakologi

A. Sistemik

1. Antihistamin H1 sebagai penenang dan anti gatal.

2. Vitamin B kompleks.

3. Kortikosteroid oral dapat menurunkan insiden dermatitis seboroik.

Misalnya Prednison 20-30 mg sehari untuk bentuk berat. Jika telah ada

perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan.

4. Antibiotik seperti penisilin, eritromisin pada infeksi sekunder (dermatitis

seboroik).

5. Preparat azol akhir-akhir ini sangat berpengaruh terhadap P. Ovale, juga

dapat memengaruhi berat ringannya dermatitis seboroik. Misalnya

Ketokonazol 200 mg per hari.

12
6. Isotretinoin dapat digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya

mengurangi aktivitas kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat

dikurangi sampai 90%, akibatnya terjadi pengurangan produksi sebum.

Dosisnya 0,1-0,3 mg per kg berat badan per hari, perbaikan tampak setelah

4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg per hari

selama beberapa tahun yang ternyata efektif untuk mengontrol

penyakitnya.11

B. Topikal

Pengobatan topikal dapat mengontrol dermatitis seboroik dan dandruff

kronik pada stadium awal. Terapi yang dapat digunakan, contohnya

fluocinolone, topikal steroid solution. Pada orang dewasa dengan DS dalam

keadaan tertentu menggunakan steroid topikal satu atau dua kali seminggu, di

samping penggunaan sampo yang mengandung sulfur atau asam salisil dan

selenium sulfide 2%, 2-3 kali seminggu selama 5-10 menit. Atau dapat

diberikan sampo yang mengandung sulfur, asam salisil, zing pirition 1-2 %.

Steroid topikal potensi rendah dapat efektif mengobati DS pada bayi dan

dewasa pada daerah fleksura maupun DS recalcitrant persistent pada dewasa.

Topikal golongan azol dapat dikombinasikan dengan regimen desonide (satu

dosis per hari selama dua minggu) untuk terapi pada wajah. Dapat juga

diberikan salap yang mengandung asam salisil 2%, sulfur 4% dan ter 2%.

Pada bayi dapat diberikan asam salisil 3% - 5% dalam minyak mineral.11

2. Non Farmakologi

13
A. Narrow band UVB (TL-01) yang cukup aman dan efektif. Setelah pemberian

terapi 3 x seminggu selama 8 minggu, sebagian besar penderita mengalami

perbaikan.

B. Terapi alami saat ini menjadi semakin populer. Tea tree oil (Melaleuca oil)

adalah minyak esensial yang berasal dari Australia. Terapi ini dapat efektif

bila digunakan setip hari dalam bentuk sampo 5%.12

3. Edukasi

Untuk menghilangkan sisik dengan keratolitik dan sampo, menghambat

pertumbuhan jamur dengan pengobatan anti jamur, mengendalikan infeksi

sekunder dan mengurangi eritema dan gatal dengan steroid topikal. Pasien harus

diberitahu bahwa penyakit ini berlangsung kronik dan sering kambuh. Harus

dihindari faktor pencetus, seperti stres emosional, makanan berlemak, dan

sebagainya. Perawatan rambut, dicuci dan dibersihkan dengan shampo.13

X. KOMPLIKASI

1. Infeksi bakteri sekunder

2. DS berat atau eritroderma seboroik generalisata, jarang terjadi, dapat terjadi

pada imunosupresan pasien (HIV) atau gagal jantung13

XI. PROGNOSIS

14
Dermatitis seboroik pada anak memiliki prognosis yang baik. Dapat

sembuh sendiri secara spontan dalam 6 hingga 12 bulan dan mungkin dapat

timbul kembali saat memasuki usia pubertas. Meskipun demikian, bila terkena

dermatitis seboroik pada saat kanak-kanak, bukan berarti memiliki indikasi akan

terkena dermatitis seboroik tipe dewasa suatu saat nanti.14

15
BAB III

KESIMPULAN

Istilah dermatitis seboroik dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang

didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik.

Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit kronis, dan sering kambuh. Dermatitis

seboroik termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa dimana

merupakan penyakit kulit yang terutama ditandai dengan adanya eritema dan

skuama. Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan dan

agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Faktor predisposisinya ialah

kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya

diturunkan, bagaimana caranya belum dipastikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, dkk. 2 011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.
2. American Academy of Dermatology. 1998. Dermatology (Cancer Prevention);
UVA/UVB Daily Protection Essentialfor Preventing Sun Damage. Atlanta:
NewsRx
3. Angel, E. 2008. When The Patient Asks. Journal of The American Academy
of Physician Assistants, 21(7): 59
4. Atep Adya Barata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Edisi 2. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo
5. Banks, B.A., Silverman, R.A., Schwartz, R.H., Tunnessen W.W.Jr. 1992.
Attitudes of Teenagers Toward Sun Exposure and Sunscreen Use. Pediatrics,
89(1): 40-2
6. Lim, H.W. 2008. Chapter 223. Photoprotection & Sun Protective Agents. In :
Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.,Paller, A.S., Leffel, D.J.
(Eds.) : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7 edition. New York:
McGrawHill. p. 2137-42
7. Susanto Buditjahjono. 2000. Tumor - tumor Kulit. Dalam : Harahap, M: Ilmu
Penyakit Kulit. Jakarta:Hipokrates
8. Young, A.R., Walker, S.L. 2008. Chapter 89. Acute and Chronic Effects of
Ultraviolet Radiation on The Skin.In:Wolff, K.,Goldsmith, L.A., Katz,
S.I.,Gilchrest, B.,Paller, A.S., Leffel, D.J. (Eds.) : Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 7 edition.NewYork:McGrawHill. p. 809-15
9. Kaimal, S., Abraham, A. 2011. Sunscreens. Indian Journal of Dermatology,
Venereology and Leprology, 77(2): 238-43
10. Collins, C. D., & Hivnor, C. (2011). Seborrheic Dermatitis. In L. A.
Goldsmith, S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, D. J. Leffel, & K. Wolff,
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 8th Ed, 2V (Vol. 1, pp. 259-
266). New York: McGraw-Hill
11. Clark, G. W., & et al. (2015). Diagnosis and Treatment of Seborrheic
Dermatitis. Am Fam Physician , 91 (3), 185-190. Retrieved 03 19, 2017, from
American Family Physician:
http://www.aafp.org/afp/2015/0201/p185.html#afp20150201p185-b1
12. Oakley, A. (2014, 07). Seborrheic Dermatitis. Retrieved 03 19, 2017, from
DermNet New Zealand: http://www.dermnetnz.org/topics/seborrhoeic-
dermatitis/
13. Harding, M., & Hartree, N. (2016, 08 31). Seborrheic Dermatitis. Retrieved 03
23, 2017, from Patient: https://patient.info/doctor/seborrhoeic-dermatitis-pro
14. Kurniati., Rosita, C.,2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya ;
Fakultas Kedokteran UNAIR

Anda mungkin juga menyukai