Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPIDEMIOLOGI

Dermatitis seboroik merupakan salah satu penyakit kulit yang sering ditemui.

Pada bayi daerah yang biasa terkena adalah kulit kepala, wajah dan daerah popok.

Dermatitis seboroik pada bayi, 70% terjadi pada 3 bulan pertama kemudian

menghilang pada umur 1 tahun dan insidensnya mencapai puncak pada umur 18-40

tahun. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Prevalensi

pada pasien AIDS lebih tinggi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 dibawah 400

sel/mm3 dan dapat turun dengan terapi antiretroviral yang adekwat. Dermaitis seboroik

dilaporkan berkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat seperti parkinson, familial

amyloidosis dengan polineuropati dan trisomi 21 namun data tersebut masih diragukan.
1,4

2.2 ETIOPATOGENESIS

Penyebabnya belum diketahui pasti. Faktor presdiposisinya ialah kelainan

konstitusi berupa status seboroik (seborrhoic state) yang rupanya diturunkan,

bagaimana caranya belum dipastikan. Penderita pada hakekatnya mempunyai kulit

yang berminyak (seborrhoea), tetapi mengenai hubungan antara kelenjar minyak dan

penyakit ini belum jelas sama sekali. Ada yang mengatakan kambuhnya penyakit ini

(yang sering menjadi chronis-recidivans) disebabkan oleh makanan yang berlemak,

tinggi kalori, akibat minum alkohol dan gangguan emosi.1,3

Dermatitis seboroik dikaitkan dengan nilai normal Malassezia furfur namun

respon imun abnormal. Ditemukan adanya penurunan sel T helper, phytohemagglutinin

dan stimulasi concanavalin, dan titer antibodi dibandingkan dengan subyek kontrol.

Kontribusi spesies Malassezia dapat berasal dari aktivitas lipase yang melepaskan
inflamasi bebas asam dan dari kemampuannya untuk mengaktifkan jalur komplemen

alternatif.5

Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan

infeksi oleh bakteri atau Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit

manusia. Pertumbuhan P.ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi,

baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena sel

jamur itu sendiri, melalui aktivasi sel limfosit T dan sel Langerhans. Status seboroik

sering berasosiasi dengan meningginya sukseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi

tidak terbukti bahwa mikroorganisme inilah yang menyebabkan dermatitis seboroik.

Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat

seperti psoariasis. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat

memperbaikinya.1

Penyakit ini berhubungan dengan kulit berminyak (seborrhea) meskipun

peningkatan produksi sebum tidak selalu terdeteksi pada pasien. Seborrhea merupakan

faktor predisposisi pada dermatitis seboroik namun dermatitis seboroik bukan sebuah

penyakit kelenjar sebasea. Insidensi tinggi dermatitis seboroik pada bayi berbanding

lurus dengan ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada umur ini. Pada bayi didapatkan

kelenjar sebasea yang besar dengan rasio sekresi sebum yang tinggi. Namun pada

orang dewasa ini tidak terjadi karena aktivitas kelenjar sebasea mencapai puncak awal

pubertas dan dermatitis seboroik dapat terjadi bertahun-tahun kemudian.3

Tempat terjadinya dermatitis seboroik memiliki kecenderungan pada daerah

wajah, telinga, kulit kepala dan batang tubuh bagian atas yang sangat kaya akan

kelenjar sebasea. Tempat predileksi ini memberi petunjuk tentang dugaan bahwa

pengaruh androgenik penting dan aktivitas kelenjar sebasea mungkin merupakan faktor

penyebab. Tetapi seborrhea berat kadang tidak disertai dermatitis seboroik, sebaliknya
dermatitis seboroik berat kadang tidak disertai aktivitas sebasea berlebihan. Sebuah

penelitian menunjukkan bahwa pada dermatitis seboroik lemak permukaan kulit tidak

meningkat, tetapi terdapat peningkatan proporsi kolesterol, trigliserida dan parafin

disertai penurunan skualen, asam lemak bebas, dan ester lilin yang terkandung dalam

permukaan kulit tersebut.6

Faktor resiko terjadinya dermatitis seboroik adalah stress, kelelahan, makanan

berminyak, alkohol, cuaca yang terlalu ekstrem, jarang mencuci rambut atau mandi,

pemakaian lotion yang mengandung alkohol, penyakit kulit (misalnya jerawat) dan

obesitas.7,12 Pasien dengan gangguan saraf pusat (Parkinson’s disease, cranial nerve

palsies, major truncal paralyses) mempunyai resiko tinggi terkena dermatitis seboroik.

Seboroik dermatitis pada pasien tersebut merupakan hasil dari peningkatan

pengumpulan sebum akibat dari imobilitas. Pengumpulan sebum ini merupakan media

untuk pertumbuhan P. Ovale sehingga menyebabkan terjadinya dermatitis seboroik.8

Dermatitis seboroik pada penderita AIDS mencapai 85%. Tempat predileksi

lebih luas meliputi wajah, aksila, dada, paha dan genitalia. Gejala yang muncul akan

lebih berat daripada dermatitis seboroik klasik dengan penatalaksanaan yang lebih

sulit. 9,14

2.3 GEJALA KLINIS

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak

kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Dermatitis seboroik yang ringan hanya

mengenai kulit kepala berupa skuama- skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil

yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan

kasar. Kelaianan tersebut pitiriasis sika (ketombe, dandruff). Bentuk yang berminyak

disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta yang tebal.

Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan rontok, mulai di bagian


vertex dan frontal.(1)

Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan

berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, glabela, telinga

postaurikular dan leher. Pada daerah dahi tersebut, batasnya sering cembung.(1)

Pada bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang

kotor, dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama- skuama yang kekuningan dan

kumpulan debris-debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap.(1)

2.3.1 Dermatitis Seboroik Infantil

Umumnya DSI timbul untuk pertama kalinya antara usia 2 dan 6 minggu, dan

tidak gatal. Dimulai pada skalp yang disebut sebagai cradle cap berupa skuama tebal,

berminyak kekuningan yang berkonfluens terutama di daerah verteks dan frontal.

Skuama dapat juga berbentuk lebar, kering, asbestos, psoriaformis atau bentuk halus

berwarna putih yang tersebar difus. Proses ini dapat meluas ke retroaurikular. Pada saat

timbul lesi di skalp secara bersamaan dapat juga timbul lesi di daerah dahi, alis, dan

lipatan nasolabial.10

Pada daerah dengan pakaian tertutup dapat menambah kelembaban sehingga

timbul lesi berbetuk dermatitis, khusunya pada lipatan leher, ketiak, area anogenital

dan lipat paha. Dapat disertai infeksi oportunistik seperti C. Albicans, S. Aureus dan

bakteri lain. Kriteria diagnostik klinis untuk DSI menurut Beare dan Rook adalah onset

dini berupa lesi eritroskuamosa yang mengenai skalp dan daerah fleksural, serta tidak

disertai pruritus.10
Gambar 1. Dermatitis Seboroik Infantil

2.1.1 Penyakit Leiner

Pertama kali dilaporkan oleh Leiner pada tahun 1908 yang merupakan bentuk

komplikasi dermatitis seboroik pada masa bayi (dermatitis seborrhoides infantum).

Lesi biasanya timbul mendadak, berupa eritema berskuama di seluruh tubuh (universal)

yang disebut eritroderma deskuamativum. Penyakit ini menunjukkan keadaan umum

yang tampak sakit berat disertai anemia, diare dan muntah. Sering diikuti dengan

infeksi bakteri. Penyakit Leiner dapat diturunkan jika terdapat defisiensi C5.10,13

2.1.2 Dermatitis Seboroik Dewasa

2.1.2.1 Kulit Kepala

Ketombe atau ptiriasis sika merupakan bentuk awal DS. Pada fase lanjut, lesi

berbentuk ertroskuamosa di peri folikuler lalu meluas mengenai sebagian besar kulit

kepala. Dapat sampai batas depan rambut yang disebut corona seborrheca atau ke

belakang meluas ke daun telinga, leher, dan periaurikular. Kadang-kadang dapat

disertai otitis eksterna. Jika kronis mengakibatkan rambut rontok dan alopesia.
Gambar 2(a) DS pada margin kulit kepala Gambar 2(b) DS di kepala

2.1.2.2 Wajah

Dermatitis seboroik di wajah biasanya mengenai bagian tengah alis, glabela dan

lipatan nasolabial berupa eritroskuamosa. Sering disertai blefaritis, jika mengenai

kelopak mata. Lesi dapat berupa krusta kekuningan yang jika diangkat menjadi ulkus

dangkal. Pada laki- laki sering mengenai daerah janggut, sedangkan pada wanita sering

mengenai paranasal berupa lesi eritematosa yang mudah menjadi flushing.

Gambar 3. Dermatitis seboroik pada alis dan kepala

2.3.1.1 Badan

Pada badan DS dapat bermanisfestasi dalam berbagai bentuk. Bentuk tersering

adalah petaloid, biasanya mengenai dada dan interskapula dan lebih banyak

ditenukanpada laki-laki. Awalnya lesi berupa papul folikular berwarna merah


kecoklatan yang berskuama berkonfluens tersusun sirsinar dengan skuama halus di

bagian tengah, dan skuama kasar berminyak di bagian tepi.

Bentuk DS yang jarang ditemukan adalah bentuk pitiriasiformis. Mengenai badan

dan ekstremitas. Dapat meluas di leher sampai batas rambut. Tidak gatal dan biasanya

sembuh spontan. Pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi bentuk

pitiriasiformis. Pada bentuk fleksural lesi biasanya mengenai aksila, lipat paha,

anogenital, lipat payudara dan umbilikus berupa eritroskuamosa sampai dengan skuama

berminyak yang disebut pityriasis steatoides. Pada genitalia biasanya lesi berupa

eritema ringan dengan skuama halus sampai bentuk dermatitis yang berat dan keadaan

ini dapat berkembang menjadi bentuk psoriasiformis.

Gambar 4. Dermatitis seboroik di dada

2.3.1.2 Generalisata

DS dapat meluas tersebar generalisata. Bentuk ini dapat disertai dengan

adenopati, sehingga merupai mikosis fungoides, leukemia kutis atau eritroderma

psoriatika.
Gambar 5. Dermatitis Seboroik Generalisata pada pasien AIDS

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk dermatitis seboroik adalah

pemeriksaan histopatologi. Gambaran histopatologi akan bervariasi sesuai dengan

tahap penyakit. Pada dermatitis seboroik akut dan subakut terdapat infiltrat ringan

perivaskular superfisial, terdiri dari sel limfohistiosit kadang-kadang disertai neutrofil,

edema ringan pada papila dermis, adanya fokus spongiosis pada infundibulum dan

epidermis, serta mound parakeratosis dengan globus kecil plasma pada bibir muara dan

diantara muara infundibulum. Pada lesi kronis didapatkan pula pelebaran pembuluh

darah pada dermis bagian atas. 3


Gambaran histopatologis dermatitis seboroik pada

AIDS berbeda, terdapat keratinosit yang rusak, kerusakan setempat dari

dermoepidermal oleh kelompok sel limfoid dan jarang ditemukan spongiosis. Pada

dermis tampak banyak pembuluh darah dengan dinding yang menebal, banyak

ditemukan sel plasma.15

2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis dermatitis seboroik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis

yang teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan kelainan kulit yang terdiri dari eritema dan skuama yang berminyak dan
agak kekuningan dengan batas agak kurang tegas. Kelainan kulit ditemukan pada

tempat predileksi yaitu pada bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar sebasea,

daerah kepala, wajah dan badan bagian atas. Diagnosis dermatitis seboroik dengan

manifestasi klinis yang klasik mudah ditegakkan namun pada beberapa kasus sulit

karena tidak adanya kriteria diagnostik pasti. Gambaran histopatologi dermatitis

tampak non spesifik tetapi biopsi kulit tetap reliabel untuk membedakan dermatitis

seboroik dengan diagnosis banding lainnya.1,5,10

2.6 DIAGNOSIS BANDING

2.6.1 Psoriasis

Kelainan kulit berupa eritema sirkumskrip dan merata dengan skuama yang

berlapis-lapis disertai tanda tetesan lilin dan Auspitz. Skuama pada psoriasis akan

berdarah jika dikelupas sedangkan pada dermatitis seboroik skuama sangat mudah

dilepas. Tempat predileksi psoriasis terdapat pada skalp, perbatasan daerah tersebut

dengan muka, ektremitas bagian ekstensor terutama siku dan lutut dan daerah

lumnosakral. Psoriasis biasanya melibatkan kuku ataupun sendi meskipun jarang

terjadi. Pada dermatitis seboroik rasa gatal muncul jika sudah berat psedangkan pada

psoriasis gatal sudah dirasakan dari awal penyakit.1,11

Gambar 6. Scalp Psoriasis


2.6.2 Dermatitis Atopik

Selama masa bayi, dermatitis atopik dan dermatitis seboroik mempunyai

distribusi yang sama sehingga menimbulkan kesulitan untuk membedakan keduanya.

Namun demikian Yates dkk (1983) menemukan bahwa keterlibatan daerah aksila lebih

mengarah ke diagnosis dermatitis seboroik sedangkan radio-allergosorbent test (RAST)

yang positif mengarah ke diagnosis dermatitis atopik. Hal yang paling membantu

adalah respon pasien terhadap pengobatan, dermatitis seboroik biasanya memberikan

respon pada pengobatan yang digunakan.6

Gambar 7. Dermatitis Atopik

2.6.3 Kandidosis kutis

Kandidosis kutis pada lipat paha, lipat payudara dan umbilikus dapat menyerupai

dermatitis seboroik. Pada kandidosis kutis ditemukan gambaran bercak merah yang

berbatas tegas, bersisik dan basah. Sedangkan pada dermatitis seboroik terdapat

skuama berminyak dan kekuningan dengan batas yang agak kurang tegas. Keluhan

gatal pada kandidosis lebih menonjol daripada dermatitis seboroik.1,5

Gambar 8. Kandidosis
2.7 PENATALAKSANAAN

Kasus-kasus yang telah mempunyai faktor konstitusi agak sukar disembuhkan,

meskipun penyakitnya dapat terkontrol. Faktor predisposisi hendaknya diperhatikan,

misalnya stres emosional dan kurang tidur. Mengenai diet, dianjurkan miskin lemak.1

Pengobatan dermatitis seboroik biasanya ditujukan untuk:6

a. Melepaskan dan menghilangkan skuama

b. Menghambat kolonisasi ragi

c. Mengontrol infeksi sekunder

d. Mengurangi eritema dan gatal

Pengobatan sistemik

Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis prednisone 20-30 mg

sehari. Jika telah ada perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Kalau disertai infeksi

sekunder diberi antibiotic.12

Isotretinoin dapat digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya mengurangi

aktivitas kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi sampai 90%,

akibatnya terjadi pengurangan produksi sebum. Dosinya 0,1-0,3 mg per kg berat badan

per hari, perbaikan tapmak setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan

5-10 mg per hari selama beberapa tahun yang ternayta efektif untuk mengontrol

penyakitnya.

Pada D.S. yang parah juga dapat diobati dengan narrow band UVB (TL-01) yang

cukup aman dan efektif. Setelah pemberian terapi 3 x seminggu selama 8 minggu,

sebagian besar penderita mengalami perbaikan.

Bila pada sediaan langsung terdapat P. ovale yang banyak dapat diberikan

ketokonazol, dosisnya 200 mg per hari.


Pengobatan topikal

Pada pitiriasis sika dan oleosa, seminggu 2 – 3 kali skalp dikeramasi selama 5 –

15 menit, misalnya dengan selenium sufida (selsun). Jika terdapat skuama dan krusta

diberi emolien, misalnya krim urea 10%. Obat lain yang dapat dipakai untuk D.S.

ialah:1

a. ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar. Pada kasus-

kasus refrakter dapat diberikan preparat ter yang dioleskan pada malam hari misalnya

likuor karbonas detergen 5,10, atau 20% dan ditutup dengan stockinette. Namun obat

ini buka merupakan pilihan terbaik karena berpotensi karsiogenik serta menimbulkan

fotosensitivitas. Bila pengobatan ini diberikan dianjurkan untuk menghindari sinar

matahari selama 24 jam setelah pemakaian obat. 1,6

b. resorsin 1-3%, dapat menghambat proliferasi epidermis dan infiltrasi dermal,

selain mempunyai anti pruritus dan anti bakteri.6

c. sulfur praesipitatum 4 – 20%, dapat digabung dengan asam salisilat 3 - 6%

d. Kortikostreroid, misalnya krim hidrokortison 2½ %. Pada kasus dengan inflamasi

yang berat dapat dipakai kostikosteroid yang lebih kuat, misalnya betametason valerat,

asalkan jangan dipakai terlalu lama karena efek sampingnya.1

e. Krim ketokonazole 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung terdapat

banyak P. ovale. Ketokonazole bekerja dengan cara menghambat biosintesis ergosterol,

sterol utama yang berfungsi mempertahankan membrane sterol jamur, dengan

menghambat enzim sitokrom P450 14--demetilasi lanosterol, enzim esensial dalam

sintesis ergosterol jamur. 1,6

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pengobatan ialah letak lesi serta

usia penderita. Pada bayi, lesi di daerah skalp dapat diberikan asam salisilat 3-5%

dalam minyak zaitun ddengan bahan dasar yang larut air atau dikompres dengan
minyak zaitun hangat. Dapat juga digunakan krim hidrokortison 1% dan untuk

perawatannya digunakan shampoo bayi. Untuk daerah intertriginosa, selain obat-obat

antiseboroik, dapat diberikan kliokuinol 0,2-0,5% dalam losio zincii, sedangkan lesi

yang basah dapat dikompres dengan gentian violet 0,1-0,2%.

Pada orang dewasa muda, untuk lesi di daerah scalp dapat diberiksan shampoo

yang mengandung selenium sulfide, seng pirition dan ketoconazole seminggu 2 kali.

Untuk kasus yang berat dapat dipakai sulfur 7,5%, asam salisilat 1%, minyak kastor

10% dan minyak zaitun 100%, bila perlu ditambah hidrokortison 1%. Campuran ini

diberikan waktu malam dan pagi harinya dicuci dengan shampoo yang ringan. 6

Blefaritis dapat diatasi dengan kompres air hangat, pembersihan lembut dengan

larutan non iritan atau shampoo bayi, melepaskan skuama secara mekanis bila

diperlukan dan pengolesan salep sulfasetamid atau salap kombinasi sulfasetamid

dengan prednisolone 0,5%. Penggunaan kortikosteroid pada kelopak mata atau garis

tepi kelopak mata harus hati-hati. Untuk daerah alis, muka dan kelopak mata dapat

digunakan krim hidrokortison 1%, sulfur 1-3% atau asam salisilat 1-3%.

Untuk daerah telinga dan liang telinga dapat digunakan larutan atau krim

kombinasi yang mengandung triamsinolon 0,025%, neomisin atau garamisin, bila perlu

polimiksin B untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa.

2.8 PROGNOSIS

Pada umumnya prognosis dermatitis seboroik baik tetapi pada sebagian kasus

yang mempunyai faktor konstitusi penyakit ini sukar disembuhkan. Jika berulang maka

kemungkinan varian dari dermatitis atopic dapat dipertimbangkan. Pasien dengan

dermatitis seboroik dewasa yang berat dapat persisten. Prognosis lebih baik apabila

faktor pencetus dapat dihilangkan.1,6


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M. Dermatitis Seboroik. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. 5th ed. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jakarta; 2010.200-202

2. Gibson EL, Perry HO. Eczematous Rashes. In: Dermatology. Moschella SL, Hurley

HJ, Eds, 3rd ed. Harcourt Brace Jocanovich, Inc, New York. p:214

3. Plewig G. Seborrheic Dermatitis. In: Dermatology in General Medicine. Fitzpatrick

TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF, Eds. 4 th ed. McGraw Hill, Inc, New

York. p:1596-73

4. Naldi L, Rebora A. Seborrheic Dermatitis. N Engl J Med 2009;360;387- 96

5. Selden T. Seborrheic Dermatitis. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1108312-overview#aw2aab6b2b3aa. Accesed on

July 16 2013

6. Jazid I. Patogenesis dan Penatalaksanaan Dermatitis Seboroik. In: Dermatitis pada

Bayi dan Anak. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jakarta;2003.1-15

7. Berman K. Seborrheic Dermatitis. Available at :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001959. Accesed on July 16 2013

8. Johnson B. Treatment of Seborrheic Dermatitis. Available at :

http://www.aafp.org/afp/2000/0501/p2703.html. Accesed on July 16 2013

9. Gupta AK, Nicol KA. Seborrheic Dermatitis of the scalp : Etiology and Treatment.

Journal of Drugs in Dermatology.2004

10. T

jarta A. Dermatitis Seboroik. In: Tjarta A, Sularsito SA, Kurniati DD, Rithatmaja R.

Eds. Metode Diagnostik dan Penatalaksanaan Psoriasis dan Dermatitis Seboroik. Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta;2003.53-80


11. M

ayo Foundation for Medical Education and Research. Update: July 13 2013. Mayo

Clinic. Accesed by 16 July 2013. Available :

http://www.mayoclinic.com/health/seborrheic-dermatitis/DS00984

12. S

iregar, RS. Dermatitis Seboroika. In: Saripati Penyakit Kulit. 2nd Ed.

ECG.Indonesia,2004.104-106

13. N

gan V. Leiner’s Disease. Update: June 29 2011. Available :

http://www.dermnetnz.org/dermatitis/leiner.html. Accesed on July 16 2013.

14. C

hatzikokkinou P. Seborrheic Dermatitis : An Early and Common Skin Manifestation in

HIV Patients. Acta Dermatovenerol Croat. 2008 Oct 21;16 (4):226-230

15. S

chwartz RA, Janusz CA, Jannige CK. Seborrheic Dermatitis: An Overview. Am Fam

Physician 2006;74:125-30.

Anda mungkin juga menyukai