Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit,
melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Hampir 60% orang didunia sudah pernah mengalami
epistaksis seumur hidupnya. Epistaksis sebagian besarnya dapat berhenti sendiri.1

Di Amerika serikat epistaksis menyumbangkan kasus emergensi kedua terbanyak pada


otolaryngology setelah sakit tenggorok, dan menyumbangkan 0,5% dari semua kasus emergensi.
Angka kejadian tersering pada anak anak usia kurang dari 10 tahun, dan orang tua usia lebih dari
50 tahun. Pada anak-anak kejadian tersering disebabkan oleh trauma dan kebiasaan mengorek
hidung, sedangkan pada orang tua sering disebabkan oleh penyakit sistemik seperti hipertensi
atau adanya neoplasma. 1

Berat dan ringannya epistaksis dihubungankan dengan lokasi anatomi dari tejadinya
ruptur pembuluh darah. Pada sebgaian besar kasus epistaksis anterior sering dengan gejala ringan
dan hampir semuanya dapat berhenti sendiri. Sedangkan jika robeknya pada pembuluh darah
posterior hidung biasanya gejala lebih berat dan membutuhkan pertolongan lebih lanjut oleh
tenaga medis2.

Prinsip penatalaksaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, cari sumber


perdarahan, hentikan perdahan. Kemudian perlu dicari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya epistaksis.

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi

klinis, diagnosis, penatalaksanaa, komplikasi, Laporan kasus dan diskusi tentang

epistaksis
1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis

khususnya mengenai epistaksis.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk

kepada beberapa literature serta menampilkan laporan kasus pasien epistaksis.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vaskuler Hidung

Daerah septum hidung ini berisi serangkaian anastomosis antara cabang arteri karotis
internal (AKI) dan eksternal (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI,
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar
disbanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk
mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi
arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung
melalui arteri labialis superior.1
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina,
arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung
pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral
hidung.1
Pada bagian anterior dari cavum nasi, pembuluh-pembuluh ini membentuk daerah aliran
sungai arteri yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach. yang terdiri dari a. spenopalatina, a.
palatina mayor, a. labialis superior dan a. etmoidalis anterior. Pada daerah posterior terdapat
pleksus woodruff yang dibentuk oleh anastomosis dari a. sphenopalatina, a.nasalis posterior, dan
a. faringeal ascenden 3
Gambar 1. Vaskularisasi hidung3

2.2 Definisi dan Klasifikasi Epistaksis

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit,
melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan hampir
90% epistaksis dapat berhenti sendiri atau dengan tindakan sederhana yang dlakukan oleh pasien
sendiri dengan jalan menekan hidungnya1. Secara anatomi epistaksis biasanya dibagi atas
pendarahan anterior atau posterior.2

1. Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri etmoid anterior.
Pleksus Kiesselbach menjadi sumber perdarahan yang paling sering pada epistaksis, terutama
pada anak-anak, biasanya ringan dan dapat berhenti sendiri (secara spontan) dan mudah
diatasi.2
2. Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada
pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya arteri sfenopalatina.2
Epistaksis anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga lebih mudah diatasi
dibandingkan epsitaksis posterior. Batas yang membagi epistaksis posterior dan anterior adalah
ostium sinus maksilaris.4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Epistaksis

Epistaksis terjadi akibat robeknya pembuluh darah pada cavum nasi yang seringkali
timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Faktor
faktor yang dapat menyebabkan epistaksis1,2;

1. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, seperti mengorek hidung, benturan ringan,
bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau karena trauma langsung ke area hidung.
Selain itu epistaksis bisa terjadi karena adanya benda asing tajam, spina septum, trauma pada
saat pembedahan dan tindakan.
2. Infeksi
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinosinusitis. Pada
infeksi sitemik yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah atau DBD,
demam tifoid.
3. Tumor
Epistaksis tersering pada angiofibroma, dapat juga timbul pada hemangioma dan karsinoma.
Pada epistaksis akibat adanya tumor biasanya bersifat berat dan sulit di atasi
4. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi merupakan penyumbang terbanyak kejadian epistaksis akibat penyakit
kardiovaskular. Penyebab lain bisa seperti pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis
hepatis atau diabetes melitus.
5. Kelainan pembuluh darah lokal
6. Kelainan darah seperti leukemia, trombositopenia, anemia dan hemophilia.
7. Kelainan kongenal
Kelainan congenital yang sering menyebabkan epsitaksis ialah telengiektasis hemoragik
herediter. Epistaksis juga sering terjadi pada orang dengan kelainan faktor von willenbrand
8. Perubahan udara atau tekanan
Daftar pustaka

1. Foshee J, lloreta AM, Nyquist GG, Rosen MR. 2016. Epistaxis. In Rhinology hand
book.New York. p109-123
2. Mangunkusumo E dan Wardani RS. 2012. Epistaksis, dalam Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi ketujuh. Jakarta. P131-135
3. Sobotta. 2013. Sobbota atlas anatomi manusia. Edisi 22. EEG penerbit buku kedokteran.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai