Anda di halaman 1dari 404

BUKU AJAR

GASTROENTEROLOGI-
HEPATOLOGI

JILID 1




UKK- GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI IDAI
2009

Sambutan ketua UKK-Gastroenterologi-Hepatologi IDAI

Teman sejawat yang terhormat,
Setelah menunggu sekian lama maka akhirnya terbitlah buku ajar gastroenterologi-hepatologi
yang kita tunggu tunggu. Mari kita bersama mengucapkan syukur kepada yang maha kuasa, atas berkah
dan rahmatnya sehingga kerja para kontributor dan editor menjadi lancar dan sukses.
Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak yang nantinya
akan dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia serta tentunya
semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun sesuai kesepakatan bersama
masyarakat gastroenterologi dan hepatologi anak Indonesia yang terangkum dalam bermacam judul dan
berasal dari bermacam macam referensi terbaru baik dari jurnal maupun text book, sehingga
keberadaannya merupakan representasi ilmu ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak masa kini.
Saya sebagai ketua UKK GH 2008-2011 memberikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi
tingginya kepada para kontributor dan editor dengan diterbitkannya buku ajar ini, semoga buku ini bisa
dimanfaatkan sebesar besarnya oleh para pengguna.
Buku ini tentunya masih jauh dari sempurna, ibarat peribahasa tiada gading yang tak retak, tapi saya
mengajak kepada teman sejawat sekalian untuk ikut serta memberi saran agar buku ini lebih baik di
masa yang akan datang
Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buju ajar ini dan selamat mempergunakan buku ajar ini
kepada masyarakat gastroenterologi-hepatologi dan kepada semua dokter anak di Indonesia

Salam,
Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D
Ketua UKK-GH IDAI (2008-2011)






Pengantar

Setelah menunggu sekian lama, hampir 6 tahun akhirnya terkumpul 21 naskah topik buku ajar
gastroenterologi-hepatologi IDAI. Editor telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun,
menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada akhir tahun 2009 ini bisa diselesaikan buku ajar
gastroenterologi-hepatologi jilid pertama. Pada awalnya direncanakan 26 topik, tetapi sampai saat saat
terakhir yang mengumpulkan naskah jumlahnya 21. Kekurangan 5 naskah akan diterbitkan dalam buku
ajar gastroenterologi-hepatologi jilid 2. Dalam proses penyuntingan terdapat banyak kendala karena
beberapa penulis tidak merujuk ke Term Of Reference sehingga formatnya harus disamakan, demikian
juga narasi yang harus disesuaikan dengan bahasa Indonesia yang benar. Gambar gambar banyak yang
masih dalam bahasa aslinya sehingga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena
pengumpulan dan penyuntingan ini berjalan cukup lama maka ada sebagian topic yang sudah harus
diubah disesuaikan dengan ilmu2 dan penanganan kasus yang terbaru.
Pada kesempatan ini editor ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada para
kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun naskah dan
partisipasinya mengirimkan naskahnya ke editor. Selanjutnya editor mohon maaf jika yang tertulis di
buku ajar tidak sesuai dengan aslinya dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format
dari penerbit dan suntingan bahasa.
Editor ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr Hardiono Pusponegoro, SpAK ( ketua PP IDAI
2002-2005), Dr Sukman Tulus Putra SpAK, FACC, FESC ( ketua PP IDAI 2005-2008) Dr Badriul Hegar, SpAK
(ketua PP IDAI 2008-2011), Prof Dr Yati Soenarto, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi
2002-2005), Prof DR Dr Subijanto MS, SpAK (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi 2005-2008), Dr
Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastro-Hepatologi 2008-2011) atas ide dan saran sarannya
sehingga tercetak buku ajar ini.
Editor juga mengucapkan terima kasih kepada tim dr Budi Hartomo dkk yang telah membantu
menyempurnakan suntingan bahasa dan format sesuai permintaan penerbit.
Editor menyadari bahwa buku ajar ini jauh dari sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah
berusaha keras untuk membuat sesuai kebutuhan para peserta PPDS maupun teman sejawat dokter
spesialis anak. Oleh karena itu editor membuka pintu selebar lebarnya untuk kritik dan saran agar buku
ini akan jauh lebih sempurna pada edisi berikutnya.
Akhirnya editor mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengurus UKK GH 2008-2011 yang
telah mendorong editor untuk bekerja lebih giat sehingga buku ajar jilid 1 ini bisa terbit.

Editor,
Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D
Daftar isi
Bab Judul halaman
1. Keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Kegawatdaruratan gastrointestinal
3. Disfagia
4. Anoreksia pada anak
5. Gagal tumbuh pada penyakit gastrointestinal
6. Diare akut
7. Diare kronis dan diare persisten
8. Muntah
9. Sakit perut pada anak
10. Kembung
11. Allergi makanan
12. Konstipasi
13. Inflamatory Bowel Diseases
14. Pankreatitis pada anak
15. Ikterus
16. Hepatitis virus
17. Drug induce hepatitis
18. Penyakit sistemis yang berpengaruh pada hati
19. Hepatitis kronis pada anak
20. Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak
21. Hipertensi porta











Kontributor
1. Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D
2. Prof DR dr. Pitono Soeparto
3. DR Dr. Reza Ranuh SpAK
4. Dr. Yorva Sayoeti, SpAK
5. Prof DR Dr. I Sudigbia, SpAK
6. Prof Dr. Rusdi Ismail, SpAK
7. Prof DR Dr. Bambang Subagyo, SpAK
8. Dr. Nurtjahjo Budi Santoso, SpAK
9. Prof Dr. Sri Supar Yati Soenarto, SpAK, Ph.D
10. Dr. Badriul Hegar, SpAK
11. Dr. Aswitha Boediarso, SpAK
12. DR Dr.Pramita G. Dwipoerwantoro, SpAK
13. Dr. Liek Djuprie, SpAK
14. Prof DR Dr. Agus Firmansyah, SpAK
15. Dr. Dwi Prasetyo, SpAK
16. Dr. Budi Santosa, SpAK
17. Dr. Iesje Martiza, SpAK
18. Dr. Sjamsul Arief, SpAK,MARS
19. Dr. Ina Rosalina, SpAK, MKes, MHKes
20. Prof Dr. Atan Baas Sinuhaji, SpAK
21. Dr. Nenny Sri Mulyani, SpAK
22. Dr. Julfina Bisanto, SpAK
23. DR Dr. Hanifah Oswari, SpAK









BAB I
KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Mohammad Juffrie
Ilustrasi Kasus
Seorang anak laki laki berumur 3 tahun masuk di unit gawat darurat dengan keluhan diare
cair akut, muntah-muntah, dan panas. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit anak tersebut
mengalami kejang-kejang selama 5 menit. Kesadaran agak menurun. Dari riwayat yang
diceritakan oleh neneknya yang mengantar anak tersebut ditemukan bahwa di rumah anak
tersebut sudah menderita diare selama 3 hari, cair, warna kuning, tidak berdarah dan
berlendir. Anak tersebut di rumah telah diberi larutan oralit selama diare. Neneknya
mencampur 1 bungkus oralit dengan setengah gelas kecil untuk mempermudah memasukkan
oralitnya.

Larutan Tubuh
Larutan tubuh terbagi menjadi larutan intraselular (CIS) dan larutan ekstraselular
(CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat diukur dengan
mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari
berat badan. CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari berbagai macam sel di
seluruh tubuh, yang tersebar dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai
komposisi yang berbeda. Larutan ekstraselluler. Volume larutan ekstraselluler lebih besar
dibanding volume larutan intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES dan CIS ini akan berubah
setelah umur 9 bulan. CES berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan sel
jaringan lebih cepat dibanding pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah
itu jumlah CES akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya berat badan. Pada
keadaan hidrasi normal jumlah CES pada anak adalah 20%-25% berat badan yang terbagi
dalam larutan plasma 5% berat badan, larutan interstisiel 15% berat badan dan larutan
transelluler 1%-3% berat badan. Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran
gastrointestinal dan larutan serebrospinal, intraokular, pleural, peritoneal dan larutan
sinovial.
1,2,3

Komposisi Larutan Tubuh
CIS terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah dengan K
+
, PO4
--
, Na
+
, Mg
++
,
HCO3
-
, dan HHCO3. Elektrolit yang terbanyak adalah K
+
. Plasma darah terdiri dari protein,
Na
+
, Cl
-
, HCO3
-
, K
+
, Ca
++
, Mg
++
, SO4
--
, HPO4
--
, HHCO3 dan non-elektrolit.
Larutan interstisial terdiri dari Na
+
, Cl
-
, HCO3
-
, K
+
, Mg
++
, Ca
++
, SO4
--
, HPO4
--
, HHCO3 dan non-
elektrolit. Elektrolit yang terbanyak adalah Na
+
.
Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat antara CES dan CIS.
Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen dan karbon dioksida) bisa langsung
memintas membran. Ion-ion seperti Na
+
dan K
+
berpindah melalui mekanisme transport
seperti pompa Na
+
/K
+
yang berlokasi di membran sel. Elektrolit dalam larutan tubuh adalah
substansi yang terurai dalam bentuk partikel atau ion misalnya NaCl akan terurai menjadi ion
positif Na
+
, atau ion negatif yaitu Cl
-
. Karena kekuatan berikatan, keduanya selalu akan bersatu.
Distribusi elektrolit di antara kompartemen tubuh dipengaruhi oleh potential listriknya.
Walaupun begitu satu kation dapat diganti dengan yang lain, misalnya H
+
diganti dengan K
+

dan ikatannya HCO3
-
diganti dengan Cl
-
.
1,2,3,4


Difusi dan Osmosis
Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak bermuatan di sepanjang gradien
konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk air dan larutannya dalam keadaan konstan.
Pergerakan partikel ini dipengaruhi oleh energi masing masing yang diperoleh dari
konsentrasinya, sehingga akan terjadi gerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.
Osmosis adalah gerakan air melewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari
tempat yang sedikit mengandung partikel ke tempat yang banyak partikelnya. Perpindahan air
ini membutuhkan tekanan yang disebut tekanan osmotik. Aktifitas osmotik ini diukur dengan
ukuran yang disebut osmol.
Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas dan osmolalitas.
Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter larutan (mOsm/L), sedangkan osmolalitas
adalah konsentrasi osmolar dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk larutan yang berada
di luar tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di dalam tubuh. Osmolalitas
serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang mengikatnya (klorida dan bikarbonat)
mempunyai angka berkisar antara 275 dan 295 mOsm/kg.
Tonisitas. Perubahan kandungan air menyebabkan sel menjadi membengkak atau
mengkerut. Pengertian tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari
larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena perpindahan air
melalui membran sel. Jadi tonisitas diukur dengan zat terlarut yang tidak bisa melalui
membran sel misalnya glukosa menyebabkan kekuatan osmotik yang menekan air masuk atau
keluar dari sel dan menyebabkan perubahan ukuran sel.
Larutan dimana sel-sel tubuh berada didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam jenis
osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia menyebabkan
sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis apabila larutan itu
mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak atau
mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada dalam
larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari CIS, sel akan
membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan hipertonis dimana
osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena air keluar dari sel.
1,2,3,4,5


1. Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial.
Pertukaran larutan dari vaskular ke interstisial terjadi di semua tingkatan kapiler. Ada 4
kekuatan yang mengatur pertukaran ini yaitu 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong
air keluar dari kapiler menuju jaringan interstisial; 2) tekanan osmotik koloid kapiler, yang
mendorong air kembali ke dalam kapiler; 3) tekanan hidrostatik interstisial sebagai
kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan 4) tekanan osmotik koloid jaringan yang
mendorong menarik air keluar dari kapiler ke jaringan interstisiel. Pada keadaan normal
semua air akan bergerak oleh 4 kekuatan tersebut, hanya dalam jumlah sedikit yang tersisa
di jaringan interstisial dan akan masuk ke sistem limfatik yang nantinya masuk ke siskulasi
darah.
Filtrasi kapiler dimaksudkan gerakan air melalui pori-pori kapiler karena faktor mekanis,
bukan karena tenaga osmotik. Tekanan filtrasi kapiler kadang disebut juga tekanan
hidrostatik kapiler yaitu tekanan yang mendorong air keluar dari kapiler ke dalam jaringan
interstisial. Hal tersebut menggambarkan tekanan arteri atau vena, yaitu tahanan
prekapiler (arteriol) dan post kapiler (venula). Kenaikan tekanan arteri atau vena
menaikkan tekanan kapiler. Penurunan tahanan arteri atau kenaikan tahanan vena akan
menaikkan tekanan kapiler dan suatu kenaikan tahanan arteri atau penurunan tahanan
vena akan menurunkan tekanan kapiler. Gaya gravitasi meningkatkan tekanan kapiler
pada posisi tertentu. Pada orang yang berdiri tegak maka berat darah di sepanjang
pembuluh darah menyebabkan kenaikan 1 mmHg untuk setiap 13,6 mm jaraknya dari
jantung. Tekanan ini hasil dari berat air oleh karenanya disebut tekanan hidrostatik. Pada
orang dewasa yang berdiri tegak, tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg. Tekanan
ini kemudian dialihkan ke kapiler.
Tekanan osmotik koloid kapiler adalah tekanan osmotik yang berasal dari protein plasma
yang terlalu besar melewati pori-pori dinding kapiler. Tekanan osmotik ini berbeda
pengertiannya dari tekanan osmotik di membran sel karena elektrolit dan non-elektrolit.
Karena protein plasma normal tidak bisa melalui pori-pori kapiler dan konsentrasinya lebih
besar di plasma daripada di jaringan interstisial maka inilah yang menarik air kembali ke
kapiler. Tekanan larutan interstisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan mempengaruhi
gerakan air dari dan ke jaringan interstisial.
1,2,3,6


2. Edema
Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak
akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1)
kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan
permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.
1,2

Kenaikan tekanan filtrasi kapiler
Jika tekanan filtrasi kapiler naik maka perpindahan larutan vaskular ke dalam jaringan
interstisial naik. Faktor-faktor yang menaikkan tekanan kapiler adalah: 1) penurunan
tahanan aliran melalui sfingter prekapiler; 2) kenaikan tekanan vena atau tahanan aliran
keluar pada sfingter postkapiler, dan distensi kapiler karena meningkatnya volume
vaskular.
1,2

Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler
Protein plasma mengeluarkan kekuatan osmotik yang dibutuhkan untuk menarik kembali
cairan ke dalam kapiler dari jaringan interstisial. Protein plasma terdiri dari albumin,
globulin dan fibrinogen. Karena bobot molekul albumin paling rendah maka konsentrasi
albumin paling tinggi.
Edema disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid kapiler sebagai akibat produksi
yang tidak adekuat atau kehilangan tidak normal protein plasma terutama albumin. Protein
plasma disintesis di hati. Pada penderita penyakit hati yang berat kegagalan sintesis
albumin menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid. Pada kelaparan dan malnutrisi
edema terjadi karena ada kebocoran kebutuhan asam amino dalam sintesis protein plasma.
Kebocoran protein plasma yang paling sering melalui ginjal seperti pada sindroma nefrotik,
kapiler glomerular menjadi permeabel terhadap protein plasma terutama albumin.
Kebocoran lain terjadi jika ada kerusakan kulit, sehingga edema terjadi pada fase awal luka
bakar akibat cedera kapiler dan kehilangan protein plasma. Karena protein plasma terdapat
di seluruh tubuh dan tidak tergantung oleh gravitasi maka edema bisa terjadi dimana-
mana.
1,2


Kenaikan permeabilitas kapiler
Jika pori-pori kapiler melebar atau integritas dinding kapiler rusak maka permeabilitas
kapiler akan naik. Apabila ini terjadi protein plasma dan partikel aktif osmotik bocor ke
dalam jaringan interstisial meningkatkan tekanan osmotik koloid jaringan dan
menyebabkan akumulasi larutan interstisiel. Keadaan ini disebabkan oleh luka bakar,
bendungan kapiler, radang dan respon immun.
1,2

Sumbatan aliran limfe
Protein plasma aktif osmotik dan partikel lain yang berat molekulnya besar yang tidak bisa
melalui pori-pori membran kapiler maka akan diresorpsi lewat saluran limfe dan masuk ke
sirkulasi. Edema yang disebabkan oleh kegagalan aliran limfe disebut limfedema.
1,2


3. Akumulasi di tempat ketiga
Yang dimaksud dengan hal ini adalah hilangnya atau terjebaknya CES di ruang transelular.
Ruang-ruang serous adalah ruang traseluler yang terletak di tempat strategis dimana ada
gerakan-gerakan kontinu dari bentuk tubuh, seperti saccum perikardial, cavum peritoneal,
dan pleura. Perubahan CES antarkapiler, ruang interstisial dan transelular melalui cara
sama di manapun di seluruh tubuh. Cavum serosa sangat dekat dengan sistem drainase
limfe.
1,2

Kesimbangan Air dan Natrium
Perpindahan larutan tubuh antara CES dan CIS terjadi pada membran sel dan
tergantung pada pengaturan air dan natrium. Air merupakan 90% sampai 93% dari pelarut
CES. Dalam keadaan normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan
volume serta osmolalitasnya dipertahankan normal. Konsentrasi Na
+
yang mengatur
osmolalitas CES, perubahan Na
+
biasanya diikuti oleh perubahan secara proporsional volume
air.
Gangguan keseimbangan Na
+
dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1) kontraksi isotonis
atau ekspansi volume CES dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis
(hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES. Kelainan isotonis biasanya
dimaksudkan kontraksi produksi kompartemen CES ( defisit volume larutan) atau ekspansi
(kelebihan volume larutan) dari larutan vaskular dan interstisial. Kelainan konsentrasi natrium
menyebabkan perubahan osmolalitas CES dengan gerakan air dari kompartemen CES ke dalam
kompartemen CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS ke dalam kompartemen CES
(hipernatremia).
2,7,8,9

Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan
1. Pengaturan keseimbangan Na
+

Na
+
adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, rata-rata kurang lebih 60 meq/kgBB.
Kebanyakan dari Na
+
tubuh ada dalam CES (135-145 mEq/l) dan hanya sedikit dalam CES
(10-14 mEq/l).
Fungsi Na
+
terutama mengatur volume CES termasuk kompartemen vaskular. Sebagai
kation yang paling banyak dalam CES Na
+
dan anion pasangannya (Cl
-
dan HCO3
-
)
mengatur sebagian besar aktifitas osmotik dalam CES. Karena Na
+
adalah bagian dari
molekul NaHCO3 maka penting dalam pengaturan keseimbangan asam basa.
1,2,9

2. Masuk dan hilangnya Na
+

Na
+
secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Pemasukan Na
+

didapat dari makanan, atau infus natrium atau infus yang lain. Na
+
keluar dari tubuh
melalui ginjal, saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na
+
keluar lewat ginjal. Dengan
fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na
+
maka kadar Na
+
dalam tubuh dipertahankan. Hanya
10% Na
+
keluar lewat saluran pencernaan dan kulit.
1,2,9

3. Mekanisme regulasi Na
+

Ginjal adalah regulator utama Na
+
. Ginjal akan menyesuaikan terhadap tekanan arteri; jika
tekanan arteri turun maka Na
+
akan ditingkatkan, jika tekanan arteri naik maka Na
+
akan
dibuang. Pengaturannya dibawah kendali saraf simpatis dan sistem renin-angitensin-
aldosteron. Saraf simpatis bertanggung jawab terhadap tekanan arteri dan volume darah
dengan cara mengatur filtrasi glomerulus dan Na
+
. Saraf simpatis juga mengatur reabsorpsi
tubular dari Na
+
dan pelepasan renin. Sedangkan sistem renin-angitensin-aldosteron
beraksi melalui angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan meningkatnya
reabsorpsi Na
+
dan pembuangan K
+.1,2,9


4. Pengaturan larutan
Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat
badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda
jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada
orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan.
Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi.
Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh
larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang
lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur.
Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding
dewasa.
1,2,4


5. Masuk dan hilangnya larutan
Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan 100 cc air setiap 100 kalori untuk
proses metabolisme dan membuang sisa-sisa metabolisme. Dengan kata lain jika seseorang
mengeluarkan kalori 1800 maka dibutuhkan 1800 cc air untuk keperluan metabolisme.
Laju metabolisme (metabolic rate) akan meningkat jika terjadi peningkatan suhu. Setiap
kenaikan suhu sebesar 1
0
C, laju metabolisme akan meningkat sebesar 12%.
Sumber air tubuh yang utama adalah dari pemasukan lewat oral dan metabolisme nutrien.
Air (termasuk dari larutan dan makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses
metabolisme juga menghasilkan air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara 150 cc -
300 cc.
Pada umumnya kehilangan larutan yang paling banyak adalah lewat ginjal, kemudian lewat
kulit, lewat paru-paru, dan saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau parenteral
sedikit ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme tubuh. Urin yang
bertujuan membuang sisa metabolisme ini disebut output urin obligatori. Kehilangan
larutan lewat urin obligatori ini sekitar 300-500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat kulit
dan paru-paru disebut kehilangan larutan insensibel.
1,2,4


6. Mekanisme pengaturan
Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon
antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH
mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan
osmolalitas ekstraselular dan volume.
1,2,4

Rasa haus

Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa
haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh
kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak
ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut
osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon
terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus.
Rasa haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas
serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan
volume darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting
ketiga untuk rasa haus adalah angitensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap
volume aliran darah dan tekanan aliran darah.
Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada orang-
orang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit
saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi.
Hipodipsia. Hipodipsia menggambarkan penurunan kemampuan rasa haus. Terdapat bukti
bahwa haus adalah penurunan pemasukan air, selain kadar osmolalitas dan Na
+
yang
tinggi. Ketidakmampuan menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada
pasien stroke atau gangguan sensorik.
Polidipsia. Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa
haus yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah larutan tubuh
dan osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif.
Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan tubuh. Diantara penyebab rasa haus
yang paling banyak adalah kehilangan larutan akibat diare, muntah, diabetes melitus, dan
diabetes insipidus. Haus yang tidak tepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan gagal jantung
kongestif. Walaupun penyebab rasa haus pada kelompok ini tak jelas tetapi mungkin
karena peningkatan kadar angiotensin. Haus dirasakan juga pada orang yang mengalami
penurunan aktivitas kelenjar air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya
antikolinergik (termasuk atropin).
Polidipsi psikogenik. Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan jiwa.
Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan
kadar ADH.
1,2,4


Hormon antidiuretik (ADH)
Reabsorpsi air oleh ginjal diatur oleh ADH yang juga dikenal dengan vasopressin. ADH
disintesis oleh sel di nukleus supraoptikus dan nukleus paraventrikularis hipotalamus.
ADH diangkut di sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudian dilepas ke sirkulasi.
Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular.
Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas ekstraselular dan
merangsang produksi serta melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum (1%) sudah
cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan
volume darah sentral untuk membantu pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume
darah 5%-10% akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti mekanisme homeostatis
lainnya keadaan akut menyebabkan perubahan yang besar terhadap kadar ADH dibanding
keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang lama tidak akan mempengaruhi kadar
ADH.
Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti pada nyeri
yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin dan
meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga
menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH
sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu
diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat. Diabetes insipidus adalah keadaan
dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH.
Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat
kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan
ADH.
1,2,4,10


7. Gangguan volume larutan isotonik
Gangguan volume larutan isotonik adalah penambahan atau kehilangan CES dengan
perubahan perbandingan air dan Na
+
yang proporsional.
11

Defisit volume larutan isotonik
Defisit volume larutan isotonik ditandai dengan penurunan CES, termasuk volume darah
sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk membedakan defisit larutan dengan perubahan
perbandingan air dan Na
+
yang tidak proporsional. Keadaan dimana terjadi penurunan
volume darah sirkulasi maka disebut hipovolemia.
Penyebab: Defisit volume larutan isotonik apabila air dan elektrolit hilang dengan proporsi
isotonik. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada keadaan kehilangan larutan tubuh yang
disertai penurunan pemasukan larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lewat saluran
cerna, poliuria, berkeringat karena panas dan aktifitas fisik.
Setiap hari 8-10 liter CES dikeluarkan ke saluran cerna. Sebagian besar diserap kembali di
ileum dan kolon proksimal, hanya 150-200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses.
Muntah dan diare mengganggu proses reabsorpsi dan pada beberapa keadaan
menyebabkan kenaikan sekresi larutan ke dalam saluran cerna.
Kehilangan air dan Na
+
dapat juga terjadi lewat ginjal. Beberapa penyakit ginjal ditandai
dengan pembuangan Na
+
karena kegagalan reabsorpsi Na
+
. Defisit volume larutan juga
disebabkan sebagai hasil dari diuresis osmotik atau pemakaian obat-obat diuretik. Glukosa
dalam urin mencegah reabsorpsi air di tubulus ginjal menyebabkan hilangnya Na
+
dan air.
Pada penyakit Addison terjadi kehilangan Na
+
dalam urin yang tidak teratur yang
menyebabkan kehilangan CES.
Kulit sebagai permukaan tempat perubahan panas dan barrier evaporasi mencegah air
hilang dari tubuh. Kehilangan air dan Na
+
dari permukaan tubuh meningkat pada saat
keringat berlebihan atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan
panas meningkatkan pengeluaran keringat. Frekuensi pernafasan dan keringat biasanya
meningkat jika suhu tubuh meningkat. Kebakaran juga menyebabkan kehilangan larutan.
Defisit volume larutan berdampak pada penurunan volume CES.
Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut. Kehilangan berat badan (% berat
badan); defisit volume larutan ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit
volume larutan berat (>8%). Tanda tanda mekanisme kompensasinya adalah:
meningkatnya rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin.
Volume larutan interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa
kering, mata cekung dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun:
Hipotensi postural, nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok.
Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan elektrolit
isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik
menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara
cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama.
1,2,4,11


Kelebihan volume larutan isotonik
Kelebihan volume larutan adalah perluasan CES isotonik dengan meningkatnya volume
vaskular dan interstisial. Walaupun peningkatan volume larutan biasanya hasil dari kondisi
penyakit, sebenarnya tidak seluruhnya benar. Misalnya kompensasi cuaca yang panas akan
terjadi peningkatan volume CES sebagai mekanisme pengeluaran panas tubuh.
Penyebab kelebihan volume larutan isotonik hampir selalu akibat dari meningkatnya kadar
Na
+
tubuh total yang diikuti oleh peningkatan larutan tubuh secara proporsional. Hal ini
bisa terjadi karena pemasukan Na
+
yang berlebihan atau pengeluaran Na
+
dan air lewat
ginjal yang berkurang, misalnya pada penyakit ginjal, gagal jantung, gagal hati, dan
kelebihan kortikosteroid.
Gagal jantung akan menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga dikompensasi
dengan peningkatan retensi air dan Na
+
. Pada gagal hati terjadi gangguan metabolisme
aldosteron, gangguan perfusi ginjal, menyebabkan meningkatnya retensi air dan Na
+
.
Kortikosteroid meningkatkan reabsorpsi Na
+
oleh ginjal.
Manifestasi kelebihan volume larutan isotonik ditandai oleh meningkatnya larutan vaskular
dan interstisial. Berat badan akan naik dalam periode waktu yang pendek. Kelebihan
volume larutan ringan menyebabkan kenaikan berat badan 2%. Kelebihan volume larutan
sedang menyebabkan kenaikan berat badan 5%. Sedangkan kelebihan volume larutan berat
menyebabkan kenaikan berat badan >8%. Edema akan terjadi di seluruh tubuh. Nadi akan
penuh, vena distensi, dan edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk. Penanganan
kelebihan larutan biasanya dengan membatasi Na
+
, dan jika perlu diberikan diuretika.
1,2,4,11


8. Gangguan keseimbangan konsentrasi Na
+

Dalam keadaan normal konsentrasi Na
+
berkisar antara 135 sampai 145 mEq/l (135 sampai
145 mmol/l). Nilai Na
+
serum ditentukan dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi
dari Na
+
dalam air. Karena Na
+
adalah anion CES (90%-95%) maka perubahan konsentrasi
Na
+
serum umumnya diikuti oleh perubahan osmolalitas serum.
7,8

Hiponatremia
Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na
+
kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel
aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan
dengan tinggi rendahnya tonisitas.
Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah keadaan sebagai akibat suatu peralihan
osmotik air dari CIS ke CES seperti yang terjadi pada hiperglikemia. Pada keadaan ini Na
+

di CES menjadi lebih encer karena air pindah keluar dari sel sebagai respon terhadap
tekanan osmotik karena hiperglikemia.
Hipotonik sejauh ini merupakan keadaan yang sering pada hiponatremia. Ini terjadi karena
retensi air dan ditandai dengan penurunan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi bisa
terjadi pada keadaan hipervolemik, euvolemik atau hipovolemik.
Hiponatremia hipervolemik terjadi jika CES meningkat dan ini terjadi jika diikuti dengan
edema seperti pada gagal jantung , sirosis, dan penyakit ginjal berat.
Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air sehingga konsentrasi Na
+
turun
tetapi tidak disertai peningkatan volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus yang tak
tepat (SIADH).
Hiponatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na tetapi jumlah Na
+
lebih banyak
yang hilang, ini terjadi pada keadaan banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah dan
diare.
Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena obat-obatan (diuretika, sehingga
kadar ADH naik), penggantian larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca panas,
SIADH, polidipsi pada pasien skizofrenia.
Diantara penyebab hiponatremia hipovolemia adalah banyak berkeringat pada cuaca panas,
setelah latihan, hiponatremia karena minum lebih banyak air yang tidak mengandung
cukup elektrolit. Lavemen juga menyebabkan keadaan di atas.
Manifestasi dari hiponatremia hipotonik yaitu: Hasil laboratorium: Na
+
serum <135 mEq/l,
osmolalitas serum turun, hematokrit turun, nitrogen urea juga turun. Larutan intraselular
meningkat; edema pada ujung jari. Hipoosmolalitas dan perpindahan air ke otot, saraf, dan
jaringan saluran pencernaan; otot kejang dan lemah, sakit kepala, penurunan perhatian,
perubahan sikap, letargi, stupor sampai koma, saluran cerna terganggu, nafsu makan turun,
mual, muntah, sakit perut, diare. Penanganan hiponatremia adalah mengatasi masalah
dasarnya. Pemberian Na
+
lewat oral atau intravena diberikan jika diperlukan.
7,8,9

Hipernatremia
Suatu keadaan dimana kadar Na
+
serum >145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295
mOsm/kg. Karena Na
+
ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan dalam
tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan
hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular.
Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na
+
tubuh. Hal ini
disebabkan oleh jumlah bersih Na
+
atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na
+

secara cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia.
Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding
jumlah kehilanagn Na
+
. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat
respirasi pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian
makanan lewat pipa lambung dengan sedikit air.
Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehinga meningkatkan
pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang
peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah
kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus.
Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi selular.
Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na
+
serum yang tinggi dan
terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang
hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN,
akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul,
terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas
meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit
menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan
lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum
dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering,
saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal
dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf
maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi
pada hipernatremia yang berat.
Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada penyebabnya, yaitu penggantian
kehilangan larutan (dehidrasi). Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau dua-
duanya. Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat. Pada dehidrasi berat
penggantian larutan diberikan sesuai dengan protokol WHO.
7,8,9

Keseimbangan Kalium
Kalium adalah kation yang terbanyak kedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di
dalam CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi
didalam intraseluler 140 sampai 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai 5.0
mEq/l) sangat rendah. Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah penyimpanan
kalium berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65% sampai 70% dari
kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun bersamaan dengan
perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot.
Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh. Kalium
berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis sel,
keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium diperlukan
untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat menjadi energi,
glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein.
Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk
merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput
potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial,
dan (3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya penting
untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan ketidakharmonisan
yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium serum juga mempengaruhi
otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran pencernaan.
Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap
ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial tersebut
menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai ambang kejutan.
Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai ambang dan
membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial. Kenaikan
konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan selaput potensial
yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak mendekati nilai
ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan. Aktifitas pembukaan
saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif juga dipengaruhi oleh
kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada hiperkalemia yang berat,
saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan rangsangan. Tingkatan
repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum. Tingkatan repolarisasi lebih cepat
pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut
secara klinis sangat penting karena merupakan predisposisi untuk terjadinya defek konduksi
dan disritmia jantung.
1,2,12,13,14


1. Pengaturan keseimbangan kalium
Pemasukan kalium berasal dari makanan. Pada orang yang sehat, keseimbangan kalium
biasanya terpenuhi dari makanan kira-kira 50 sampai 100 mEq setiap hari. Kalium
tambahan juga dibutuhkan pada keadaan trauma dan stress. Kehilangan kalium yang
paling banyak adalah melalui ginjal. Sekitar 80% sampai 90% dari kalium yang hilang
adalah melalui urine, sedangkan yang lainnya hilang melalui feses dan keringat.
2,12

2. Mekanisme pengaturan
Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2 mEq/ml. Dibutuhkan
pengaturan yang tepat karena banyak fungsi sel sensitif terhadap perubahan yang sangat
kecil dari kadar kalium CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l
saja bisa menyebabkan disritmia jantung dan kematian.
Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua mekanisme: 1) mekanisme ginjal
yang mengabsorpsi dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium antara
kompartemen CIS dan CES. Umumnya hal ini berlangsung 6 sampai 8 jam untuk
membuang 50% pemasukan kalium. Untuk menghindari kenaikan kadar kalium
ekstraselular selama berlangsungnya hal tersebut, kelebihan kalium sementara dipindah ke
eritrosit dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.
12,13,14


Pengaturan di ginjal
Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi
di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan
natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian
dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut
berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES.
Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal. Dengan
adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan tubulus untuk
dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam tubulus
kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin dan
hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan pH
dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap
kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.
1,2,12,13,14


Pergeseran ekstraselular-intraselular
Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke sel
tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam serum
rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS adalah:
insulin, stimulus -adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa. Kedua
faktor insulin dan -adrenergik katekholamin (misalnya adrenalin) meningkatkan
masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan.
Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah
peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin,
terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres
fisik.
Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan dari kalium antara CIS
dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan kalium bergerak
keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat adanya larutan impermeabel
seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. Hilangnya air dalam sel menyebabkan
kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan kalium intraselular keluar dari
sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium
serum. Hidrogen dan kalium bermuatan positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara
bebas diantara CIS dan CES. Pada asidosis metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel
tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak
ke dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan.
Olahraga juga dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang
melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan
latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang
berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel
dan meningkatkan kadar kalium serum.
1,2,12,13,14


3. Hipokalemia
Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari
pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K
+
serum kemungkinan
terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.
15,16

Penyebab
Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan
kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali
antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab
hipokalemia. Pemasukan 10 sampai 30 mEq/hari diperlukan untuk mengkompensasi
pengeluaran lewat ginjal. Seseorang yang sedang diet kalium akan kehilangan sekitar 5
sampai 15 mEq setiap harinya. Kegagalan pemasukan kalium disebabkan karena kesulitan
makan, karena diet, atau makanan yang sedikit mengandung kalium. Kehilangan kalium
yang berlebihan dari ginjal terjadi karena diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar
magnesium , trauma atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi diuretika,
kecuali diuretika dengan kalium adalah penyebab utama hipokalemia. Derajat
hipokalemia berhubungan secara langsung dengan dosis diuretika dan lebih tinggi saat
banyak mengkonsumsi natrium. Penekanan magnesium menyebabkan pengeluaran kalium
melalui ginjal. Defisiensi magnesium sering muncul bersamaan dengan penekanan kalium
misalnya pada penyakit diare. Perlu diperhatikan bahwa mengoreksi kekurangan kalium
akan gagal pada saat terjadi defisiensi magnesium.
Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang diperlukan untuk mempertahankan
kalium pada saat stress atau konsumsi yang tidak mencukupi. Setelah situasi trauma dan
stres, kehilangan kalium dalam urin meningkat, terkadang mendekati kadar 150 sampai
200 mEq/l. Ginjal kehilangan kalium dipengaruhi oleh aldosteron dan kortisol. Trauma
dan operasi menyebabkan hormon-hormon tersebut meningkat. Aldosteronisme primer,
yang disebabkan oleh tumor yang memacu aldosteron pada korteks adrenal, dapat
menghasilkan kehilangan banyak kalium dalam urin. Kortisol mengikat reseptor aldosteron
dan berefek menyerupai aldosteron untuk mengeluarkan kalium.
Meskipun kehilangan kalium dari saluran cerna dan kulit biasanya sedikit, kehilangan ini
bisa meningkat saat kondisi tertentu. Saluran cerna merupakan salah satu tempat yang
sering menjadi tempat kehilangan kalium akut. Muntah-muntah dan aspirasi saluran cerna
memacu terjadinya hipokalemia, sebagian disebabkan oleh kehilangan kalium dan juga
karena kehilangan di ginjal yang berhubungan dengan alkalosis metabolik. Diare dan
aspirasi gastrointestinal juga menyebabkan kehilangan kalium yang banyak. Evaporasi
lewat kulit dan keringat yang banyak akan menyebabkan kehilangan kalium yang banyak
juga. Luka bakar dan jenis luka kulit lain meningkatkan hilangnya kalium. Kehilangan yang
disebabkan oleh keringat pada seseorang yang sensitif cuaca panas, sebagian dikarenakan
oleh pengeluaraan aldosteron yang meningkat saat meningkatnya panas meningkatkan
hilangnya kalium lewat urin dan keringat.
Karena rasio kalium CIS dan CES tinggi maka aliran kalium dari CES ke CIS
mengakibatkan turunnya konsentrasi di serum. Salah satu penyebabnya adalah insulin.
Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa dan kalium ke dalam sel, pengurangan
kalium sering terjadi saat pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor -
adrenergik, seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap
distribusi kalium.
12,13,15,16


Manifestasi
Manifestasi hipokalemia adalah efek gangguan potensial membran pada sistem
kardiovaskular, neuro-muskular dan gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan
kalium jarang terjadi jika kadar serum kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Biasanya gejala
datang pelan-pelan sehingga sulit terdeteksi.
Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular.
Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang
dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk
hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen ST,
gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan EKG
ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia ektopik
ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai obat ini dan
akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan dasar penyakit
jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na
+
/K
+
ATPase.
Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot, khususnya
saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0 sampai 2.5
mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia berat
(konsentrasi kalium serum <2.5 mEq/l). Otot kaki, khususnya otot kuadriseps, paling
sering terkena. Pada defisiensi kalium kronis bisa terjadi atrofi otot yang menyebabkan
kelemahan.
Terdapat banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi
gastrointestinal, termasuk anoreksia, nausea, dan muntah-muntah. Atonia otot polos
sistem gastrointestinal dapat menyebabkan sembelit, kembung karena hipokalemia yang
disebut ileus paralitik. Saat ada gangguan gastrointestinal maka secara perlahan akan
mengganggu pemasukan kalium.
Ginjal mempertahankan kadar kalium saat hipokalemia mengganggu kerja ginjal untuk
menyaring urin. Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran urin dan osmolalitas
serum, berat jenis urin turun dan terjadi poliuria, nokturia dan rasa haus. Alkalosis
metabolik dan pembuangan klorida dari ginjal adalah gejala dari hipokalemia yang
berat.
11,15,16

Penanganan
Jika memungkinkan, hipokalemia yang disebabkan oleh kekurangan kalium ditangani
dengan cara meningkatkan konsumsi makanan dengan kalium yang tinggi. Suplemen
kalium secara oral harus diberikan pada anak yang pemasukan kaliumnya tidak mencukupi
sehubungan dengan kehilangan kalium, terutama pada anak yang dalam terapi diuretika
dan mereka yang mendapatkan digitalis.
Kalium dapat diberikan secara intravena apabila pemberian secara oral tidak
memungkinkan. Kekurangan magnesium dapat mengganggu pemasukan kalium; sehingga
perlu pemberian magnesium. Pemberian kalium dengan infus cepat dapat menyebabkan
kematian karena gangguan jantung. Oleh karena itu pemberian intravena harus dalam
pengawasan ketat dari dokter.
11,15,16

4. Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi apabila kadar kalium serum diatas 5.0 mEq/l (5.0 mmol/l).
Hiperkalemia jarang terjadi pada orang yang sehat karena badan orang sehat sangat efektif
untuk mencegah akumulasi kelebihan kalium di dalam CES.
15,16

Akibat
Terdapat tiga penyebab utama kelebihan kalium, yaitu: (1) penurunan pengeluaran dari
ginjal, (2) pemberian kalium yang cepat, dan (3) pergeseran kalium dari CIS ke CES.
Penyebab hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya fungsi ginjal. Hiperkalemia
kronis selalu berhubungan dengan gagal ginjal. Biasanya glomerular filtration rate (GFR)
turun secara sampai kurang dari 10 ml/menit sebelum terjadi hiperkalemia. Beberapa
kelainan ginjal, seperti sickle cell nephropathy, nefropati karena logam, nefritis lupus
sistemis dapat merusak sekresi kalium di tubulus tanpa menyebabkan gagal ginjal. Asidosis
juga menyebabkan berkurangnya pengeluaran kalium oleh ginjal, sehingga gagal ginjal akut
yang disertai dengan asidosis laktat atau ketoasidosis akan meningkatkan risiko
hiperkalemia. Koreksi asidosis biasanya akan memperbaiki hiperkalemia.
Aldosteron bekerja pada keadaan dimana kadar kalium dan natrium tubulus distal dalam
kadar pertukaran sehingga kalium ditingkatkan ekresinya sedangkan natrium direabsorpsi.
Sehingga keadaan yang menurunkan aldosteron akan menurunkan ekskresi kalium melalui
ginjal seperti pada penyakit Addisson.
Kelebihan kalium dapat diakibatkan oleh kelebihan pemasukan kalium secara oral dan
intravena. Jika fungsi ginjal dan sistem aldosteron baik maka biasanya pemasukan oral
masih bisa di tolerir untuk tidak menyebabkan hiperkalemia. Lain halnya jika pemberian
secara intravena, terutama jika pemberian terlalu cepat maka biasanya menyebabkan
hiperkalemia yang fatal. Jadi pemberian kalium intravena seharusnya mempertimbangkan
fungsi ginjal.
Pergeseran kalium dari dalam sel ke CES juga dapat menyebabkan peningkatan kadar
kalium serum misalnya pada keadaan luka bakar dan luka parah. Keadaan ini juga akan
mengurangi fungsi ginjal sehingga bisa berkembang menjadi hiperkalemia. Hiperkalemia
transien dapat disebabkan saat melakukan olahraga yang berat atau kejang, saat sel otot
permeabel terhadap kalium.
11,15,16


Manifestasi
Tanda-tanda dan gejala kelebihan kalium sangat berhubungan dengan gangguan pada
eksitabilitas neuromuskular. Manifestasi neuromuskular dari kelebihan kalium biasanya
tidak tampak, sampai kadar kalium serum melebihi 6 mEq/l. Gejala pertama yang
berhubungan dengan hiperkalemia biasa adalah parestesia. Kemungkinan besar nantinya
akan ada keluhan kelemahan otot secara menyeluruh atau dispnea sekunder karena
kelemahan otot pernafasan.
Akibat yang paling serius dari hiperkalemia ada pada jantung. Saat kadar kalium
meningkat, maka gangguan pada konduksi jantung akan terjadi. Perubahan yang cepat
mungkin terjadi pada gelombang T yang menyempit, dan pelebaran kompleks QRS. Jika
kadar kalium serum terus naik, interval PR menjadi memanjang dan diikuti oleh hilangnya
gelombang P. Detak jantung kemungkinan turun. Fibrilasi ventrikular dan cardiac arrest
akan terjadi.
11,15,16


Penanganan
Penanganan kelebihan kalium bervariasi tergantung beratnya gangguan dan biasanya
ditujukan pada penurunan pemasukan atau penyerapan, peningkatan pengeluaran lewat
ginjal, dan peningkatan pemasukan ke intraseluler. Penurunan pemasukan bisa dicapai
dengan cara mengurangi makanan yang mengandung kalium. Peningkatan pengeluaran
kalium sering kali lebih sulit. Pasien dengan gagal ginjal membutuhkan hemodialisis atau
dialisis peritoneal untuk mengurangi kadar kalium serum. Sebagian besar cara penanganan
ditujukan pada bagaimana memindahkan kalium ke intraselular, misalnya pemberian infus
insulin dan glukosa.
11,15,16


Keseimbangan Kalsium dan Magnesium
Kalsium adalah salah satu kation divalen yang utama dalam tubuh. Sekitar 99% dari
kalsium tubuh terdapat pada tulang, dimana hal ini memberikan kekuatan dan stabilitas untuk
sistem kerangka dan sebagai sumber untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler.
Sebagian besar dari kalsium lainnya (sekitar 1%) terdapat dalam sel dan hanya 0.1%-0.2%
terdapat di CES.
Kalsium serum terdapat dalam tiga bentuk: (1) ikatan protein, (2) kompleks dan (3)
terionisasi. Sekitar 40% kalsium serum terikat pada protein plasma (sebagian besar albumin)
dan tidak dapat melewati dinding kapiler untuk keluar dari vaskular. Sepuluh (10) % lainnya
dalam bentuk kompleks seperti sitrat, fosfat dan sulfat. Bentuk ini tidak terionisasi. Sisanya,
50% dari kalsium serum terdapat dalam bentuk terionisasi. Kalsium yang berbentuk ion-lah
yang dapat keluar dari vaskular dan mengambil bagian dalam fungsi selular. Total kadar
kalsium serum berfluktuasi tergantung perubahan albumin serum dan pH.
Kalsium terionisasi mempunyai beberapa fungsi. Kalsium yang terionisasi tersebut
terlibat dalam beberapa reaksi enzimatik; memberi pengaruh pada membran potensial dan
rangsangan neuronal; diperlukan untuk kontraksi otot rangka, otot jantung, dan otot polos; ikut
pada pelepasan hormon, transmisi saraf dan pembawa pesan kimia lainnya; mempengaruhi
kontraksi jantung dan otomatis lewat kanal lambat kalsium; dan penting untuk penggumpalan
darah. Penggunaan obat antagonis Ca
++
pada kelainan sirkulasi menunjukkan betapa
pentingnya ion kalsium dalam fungsi normal jantung dan pembuluh darah. Kalsium dibutuhkan
untuk semua langkah koagulasi darah tapi yang terpenting pada dua pertama jalur intrinsik.
Karena kemampuannya untuk mengikat kalsium, sitrat sering digunakan untuk mencegah
penggumpalan darah yang dipakai untuk transfusi darah.
1,2,17,18


1. Pengaturan kalsium serum
Kalsium masuk ke dalam tubuh melalui saluran gastrointestinal, diserap dari usus dibawah
pengaruh vitamin D, disimpan di dalam tulang, dan dikeluarkan oleh ginjal. Sumber utama
dari kalsium adalah susu dan produk dari susu. Hanya 30% sampai 50% dari kalsium
makanan diserap dari duodenum dan jejunum atas; sisanya dikeluarkan melalui feses.
Kalsium disaring dalam glomerulus ginjal kemudian secara selektif diserap kembali ke
dalam darah. Sekitar 60%-65% kalsium yang tersaring secara pasif diserap kembali di
dalam tubulus proksimal didorong oleh penyerapan natrium klorida; 15% sampai 20%
diserap kembali di dalam ansa Henle yang tebal, didorong oleh Na
+
/K
+
/2Cl
-
transport; dan
5% sampai 10% diserap kembali di dalam tubulus distal. Tubulus distal adalah tempat
pengatur yang penting untuk mengendalikan jumlah kalsium yang dikeluarkan bersama
urin. PTH dan mungkin juga vitamin D yang memacu penyerapan kembali kalsium di
dalam bagian nefron. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penyerapan kembali
kalsium di dalam tubulus distal adalah kadar fosfat dan glukosa serta kadar insulin.
Diuretika tiazid, yang berefek di dalam tubulus distal, meningkatkan penyerapan kembali
kalsium.
Kalsium serum, yang bertanggung jawab terhadap fungsi fisiologis kalsium, langsung
ataupun tidak langsung diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D. Kalsitonin,
hormon yang diproduksi oleh sel C di dalam kelenjar tiroid, diperkirakan bekerja di ginjal
dan tulang untuk memindahkan kalsium dari sirkulasi. Pengaturan kalsium serum juga
sangat dipengaruhi oleh kadar fosfat dalam serum.
Hormon paratiroid, pengatur utama kalsium dan fosfat serum, hormon ini dikeluarkan oleh
kelenjar paratiroid. Respon terhadap penurunan kalsium serum terjadi secara cepat, terjadi
dalam hitungan detik. Fungsi utama PTH adalah menjaga kosentrat kalsium dari ECF.
PTH melakukan fungsi tersebut dengan cara memacu pelepasan kalsium dari tulang,
peningkatan aktivasi vitamin D yang merangsang kenaikan penyerapan kalsium di dalam
intestinal dan merangsang penyerapan oleh ginjal sejalan meningkatnya pengeluaran
fosfat.
Walaupun vitamin D adalah suatu vitamin, tetapi berfungsi sebagai hormon. Vitamin D3
(bagian aktif dari vitamin D) disintesis di dalam kulit atau diperoleh dari makanan yang
kaya dengan vitamin D. Vitamin D3 dihidrosilasi didalam hati dan diubah ke dalam bentuk
aktif di dalam ginjal. Peran utama bentuk aktif vitamin D ini untuk meningkatkan
penyerapan kalsium dari intestinal.
Konsentrasi kalsium dan fosfat di CES diatur sedemikian rupa sehingga kadar kalsium
akan turun ketika kadar fosfat tinggi dan sebaliknya. Kadar kalsium serum normal adalah
8,5 sampai 10,5 mg/dl pada orang dewasa, dan kadar fosfat serum adalah 2,5 sampai 4,5
mg/dl pada orang dewasa. Ini diatur sedemikian sehingga produksi kedua konsentrasi
tersebut ([Ca
2+
] x [PO4
2-
]) biasanya dijaga kurang dari 70. Rumatan produksi kalsium-fosfat
dalam rentang ini sangat penting untuk mencegah deposisi garam Calsium Fosfat di dalam
jaringan lunak, merusak ginjal, pembuluh darah, dan paru-paru.
1,2,17,18,19


2. Hipokalsemia
Hipokalsemia terjadi bila kadar kalsium serum dibawah 8,5 mg/dl. Hypokalsemia terjadi
dalam berbagai bentuk penyakit kritis dan mempengaruhi sebanyak 70% sampai 90%
pasien yang berada didalam unit gawat darurat (ICU).
11,20

Penyebab
Penyebab hipokalsemia bisa dibagi dalam 3 ketegori: (1) ketidakmampuan mobilisasi
kalsium yang disimpan dalam tulang, (2) kehilangan luar biasa kalsium dari ginjal, dan (3)
kenaikan ikatan protein atau pengkhelatan (chelation) sedemikian sehingga proporsi yang
lebih besar dari kalsium adalah dalam bentuk non-ionisasi. Hipokalsemia maya (pseudo)
yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia ini mengakibatkan penurunan pada ikatan
protein-kalsium (bukan kalsium terionisasi) dan biasanya terjadi secara asimtomatik.
Kekurangan kalsium karena kekurangan makanan berefek pada kemampuan penyimpanan
tulang, bukan pada tingkat kalsium ekstraselular.
Kalsium serum ada dalam bentuk keseimbangan dinamik dengan kalsium dalam tulang.
Kemampuan untuk memobilisasi kalsium dari tulang tergantung pada tingkat kecukupan
PTH. Penurunan kadar PTH kemungkinan diakibatkan dari jenis pertama atau kedua dari
hipoparatiroidisme. Pengurangan pengeluaran PTH bisa juga terjadi ketika kadar vitamin
D meningkat. Kekurangan magnesium mencegah pengeluaran PTH dan merusak
kemampuan PTH pada penyerapan tulang. Hipokalsemia bentuk ini sangat sukar untuk
diobati dengan penambahan kalsium saja dan membutuhkan koreksi dari kekurangan
magnesium.
Pengurangan fosfat dapat mengurangi kegagalan kelenjar jaringan. Karena hubungan balik
antara kalsium dan fosfat, kadar kalsium serum jatuh saat kadar fosfat pada kegagalan
kelenjar jaringan naik. Hipokalemia dan hiperfosfatemia terjadi saat laju filtrasi glomerular
turun kurang dari 25 sampai 30 ml/menit (100 sampai 120 ml/menit adalah normal).
Hanya kalsium dalam bentuk terionisasi yang dapat meninggalkan kapiler dan ikut serta
dalam berbagai fungsi tubuh. Perubahan pH mengubah sebagian dari kalsium yang ada
hanya dalam bentuk ionisasi. pH asam menurunkan ikatan (afinitas) protein terhadap
kalsium menyebabkan peningkatan kadar kalsium yang terionisasi sedangkan kadar
kalsium serum total tidak berubah. pH alkalis berefek sebaliknya. Sebagai contoh,
hiperventilasi cukup untuk menyebabkan alkalosis respiratorik sehingga dapat
menyebabkan tetani, karena alkalosis menyebabkan kenaikan ikatan (afinitas) protein
terhadap kalsium, sehingga kadar kalsium yang terionisasi berkurang. Asam lemak bebas
meningkatkan ikatan (afinitas) albumin terhadap kalsium, sehingga mengakibatkan
turunnya kadar kalsium yang terionisasi. Peningkatan kadar asam lemak bebas cukup
untuk mengubah ikatan kalsium. Hal ini dapat terjadi pada saat situasi stress yang
mengakibatkan peningkatan kadar adrenalin, glukagon, hormon pertumbuhan dan
adrenokortikotropin.
Hipokalsemia banyak dijumpai pada pasien dengan pankreatitis akut. Radang pada
pankreas menyebabkan pelepasan enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lipolitik.
Diperkirakan bahwa ion kalsium bergabung dengan asam lemak bebas yang dikeluarkan
oleh liposisis dalam pankreas, membentuk sabun dan menghilangkan kalsium dari
peredaran.
1,2,11,20

Manifestasi
Hipokalsemia dapat dijumpai sebagai kondisi akut atau kronis. Hipokalsemia akut
direfleksikan oleh peningkatan ketegangan otot saraf dan kardiovaskular yang
menyebabkan penurunan kadar kalsium yang terionisasi. Kalsium yang terionisasi
menstabilkan ketegangan saraf otot, membuat sel saraf menjadi tidak sensitif terhadap
rangsangan. Rendahnya kadar kalsium yang terionisasi menyebabkan penurunan nilai
ambang eksitasi saraf, respon berulang terhadap rangsangan tunggal pada saraf, dan pada
kasus ekstrim terjadi aktifitas yang terus menerus. Keparahan manifestasi bergantung pada
penyebabnya, kecepatan serangan, yang menyertai gangguan elektrolit, dan pH
ekstraselular. Kenaikan ketegangan bisa berwujud sebagai parestesi (kesemutan) di sekitar
mulut, tangan dan kaki, dan tetani (kejang; Jawa: keduten) otot muka, tangan dan kaki.
Hipokalsemia parah bisa menyebabkan kejang laring, kejang-kejang, dan bahkan kematian.
Pengaruh hipokalsemia parah terhadap sistem kardiovaskular meliputi hipotensi,
menurunnya isi sekuncup, aritmia kordis (terutama blok kardiak dan fibrilasi jantung), dan
kegagalan merespon obat antara lain digitalis, noradrenalin, dan dopamin yang bekerja
lewat mekanisme yang diperantarai kalsium.
Hipokalsemia kronis sering diikuti dengan manisfestasi skeletal dan perubahan pada kulit.
Timbul rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur. Kulit menjadi kering dan
bersisik, kuku menjadi pecah, dan rambut menjadi kering. Keadaan ini sering disertai
timbulnya katarak. Seseorang dengan hipokalsemia kronis dapat menderita gangguan otak
ringan menyerupai depresi, demensia atau psikosis.
1,2,11,20


Diagnosis dan perawatan
Uji Chvostek dan Trousseau sangat berguna untuk mengevaluasi peningkatan ketegangan
saraf otot dan tetani. Tanda Chvostek dimunculkan dengan cara mengetuk muka tepat di
bawah pelipis pada titik dimana saraf wajah muncul. Dengan mengetuk muka pada saraf
wajah mengakibatkan kejutan kecil pada bibir, hidung atau wajah apabila hasil tes positif.
Sabuk pengukur tekanan darah yang digembungkan digunakan untuk mengetes tanda
Troussean. Sabuk pengukur tekanan darah tersebut digembungkan di atas tekanan darah
sistolik selama 3 menit. Kontraksi jari-jari dan tangan (spasmus karpopedal) menandakan
adanya tetani.
Hipokalsemia akut merupakan situasi darurat, sehingga memerlukan penanganan yang
cepat. Infus yang berisi kalsium diberikan saat tetani atau gejala akut terjadi atau bila ada
kemungkinan terjadi tetani karena penurunan kadar kalsium serum.
Hipokalsemia kronis diterapi dengan minum kalsium. Satu gelas susu berisi sekitar 300 mg
kalsium. Suplemen dengan minum kalsium bisa dilakukan. Pada beberapa kasus
pengobatan yang lama mungkin memerlukan penggunaan preparat vitamin D. Bentuk aktif
vitamin D mungkin perlu diberikan jika mekanisme dalam hati atau ginjal yang diperlukan
untuk aktivasi hormon tidak berjalan.
1,2,11,20


3. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia merepresentasikan konsentrasi total kalsium serum lebih dari 10.5 mg/dl.
Kenaikan palsu kadar kalsium bisa berasal dari pengambilan darah yang terlalu lama akibat
pembebatan yang terlalu kencang. Kenaikan kadar protein plasma (hiperalbuminemia,
hiperglobulinemia) bisa menaikan kadar kalsium serum total.
11,20

Penyebab
Kelebihan kalsium serum (yaitu hiperkalsemia) terjadi jika pergerakan kalsium menuju
sirkulasi mendominasi pengaturan hormonal kalsium dan kemampuan ginjal untuk
mengambil kelebihan ion kalsium. Penyebab hiperkalsemia yang umum dan utama adalah
peningkatan resorpsi (penyerapan) tulang yang disebabkan oleh neoplasma atau
hiperparatiroidisme. Hiperkalsemia merupakan komplikasi umum dari kanker dan terjadi
sekitar 10% dari 20% orang yang terkena penyakit pada stadium lanjut. Beberapa tumor
ganas termasuk karsinoma paru-paru, telah dihubungkan dengan hiperkalsemia. Beberapa
tumor merusak tulang, tetapi beberapa yang lain memproduksi agen humoral yang
menstimulasi aktifitas osteoklastik, menaikkan resorpsi tulang, atau menghambat
pembentukan tulang.
Penyebab yang jarang dari hiperkalsemia adalah imobilisasi yang terlalu lama, kenaikan
absorpsi (penyerapan) kalsium dalam intestinum, dan penggunaan vitamin D dosis tinggi.
Imobilisasi yang terlalu lama menyebabkan pengurangan mineral pada tulang dan
pelepasan kalsium ke pembuluh darah. Absorpsi kalsium dalam intestinum bisa dinaikkan
dengan vitamin D dosis berlebih atau sebagai akibat kondisi yang dinamakan sindrom
alkali susu. Sindrom alkali susu disebabkan karena konsumsi berlebih kalsium (umumnya
dalam bentuk susu) dan antasida yang mudah diserap.
Beberapa macam obat bisa menaikkan kadar kalsium. Penggunaan litium untuk mengobati
kelainan bipolar menyebabkan hiperkalsemia dan hiperparatiroidisme. Diuretika tiazid
menaikkan penyerapan kalsium pada tubulus distalis ginjal. Meskipun diuretika tiazid
jarang menyebabkan hiperkalsemia, tetapi bisa membuka peluang hiperkalsemia yang
timbul dari penyebab lain seperti penyebab kelainan tulang dan kondisi yang menaikan
resorpsi tulang.
1,2,11,20


Manifestasi
Tanda dan gejala kelebihan kalsium berasal dari 3 sumber: (1) perubahan pada eksitabilitas
neural, (2) perubahan pada fungsi otot jantung dan otot polos, dan (3) ginjal terbuka
terhadap kalsium dalam kadar tinggi.
Eksitabilitas neural turun pada pasien dengan hiperkalsemia. Kemungkinan akan terjadi
penurunan kesadaran, stupor, lemah, dan kekakuan otot. Perubahan tingkah laku mulai
dari perubahan kecil pada kepribadian sampai psikosis akut.
Jantung merespon kenaikan kadar kalsium dengan meningkatkan kontraktilitas dan
disritmia ventrikular. Digitalis menanggapi respon ini. Gejala gastointestinal
mencerminkan penurunan aktivitas otot polos, termasuk sembelit, anorexia, mual dan
muntah. Komplikasi hiperkalsemia yang lain adalah pankreatitis, yang kejadiannya
mungkin berhubungan dengan batu dalam saluran pankreas. Kadar kalsium yang tinggi
dalam urin merusak kemampuan ginjal untuk memekatkan urin dengan cara
mengintervensi aksi ADH. Ini menyebabkan diuresis garam dan air dan rasa haus
meningkat. Hiperkalsiuria juga menjadi pemicu awal pertumbuhan batu ginjal.
Hiperkalsemia krisis menggambarkan kenaikan akut kadar kalsium serum. Penyakit
maligna dan hiperparatiroidisme adalah penyebab utama hiperkalsemia krisis. Pada
hiperkalsemia krisis, poliuria, kehausan yang sangat, deplesi volume, demam, perubahan
tingkat kesadaran, azotemia (yaitu sampah nitrogen dalam darah), dan kondisi mental yang
terganggu menyertai gejala lain dari kelebihan kalsium. Hiperkalsemia simtomatik
berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, yang sering disebabkan oleh kegagalan
jantung.
Pengobatan kelebihan kalsium biasanya ditujukan ke arah rehidrasi dan usaha untuk
menaikan pengeluaran kalsium lewat urin dan mencegah pengeluaran kalsium dan
pelepasan kalsium dari tulang. Penggantian cairan diperlukan pada keadaan deplesi
volume. Ekskresi natrium disertai dengan ekskresi kalsium. Asam pada diuresis dan
natrium klorida bisa digunakan untuk menaikkan eliminasi kalsium lewat urin setelah
volume CES dipulihkan. Loop diuretic lebih umum digunakan daripada tiazid yang
menaikan reabsorpsi kalsium.
Penurunan awal kadar kalsium diikuti oleh tindakan untuk mencegah resorpsi tulang. Obat
yang biasanya digunakan untuk mencegah mobilisasi kalsium termasuk bisfosfonat,
kalsitonin, dan glukokortikoid . Bisfosfonat merupakan golongan obat baru yang bekerja
terutama dengan cara mencegah aktivitas osteoklastik. Kalsitonin mencegah aktivitas
osteoklastik, sehingga mengurangi resorpsi. Glukokortikoid mencegah resorpsi tulang dan
digunakan untuk mengobati hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker.
1,2,11,20


4. Keseimbangan magnesium
Magnesium merupakan kation intraselular terbanyak kedua. Rata-rata tubuh orang dewasa
mengandung sekitar 24 gram magnesium yang terdistribusi di seluruh tubuh. Dari seluruh
magnesium sekitar 50%-60% disimpan dalam tulang, 39%-49% berada dalam sel tubuh
dan sisa 1% tersebar didalam CES. Sekitar 20%-30% magnesium ekstraselular terikat pada
protein, dan hanya sebagian kecil magnesium intraselular (15%-30%) dapat bertukar
dengan CES. Kadar normal magnesium dalam serum adalah 1,8-2,7 mg/dl.
Fungsi penting magnesium terhadap fungsi keseluruhan tubuh telah diketahui. Magnesium
bertindak sebagai kofaktor dalam banyak reaksi enzimatik intraselular, termasuk reaksi
transfer gugus fosfat dari ATP (penggunaan ATP). Hal ini disebabkan karena ATP hanya
dapat digunakan tubuh bila ATP membentuk senyawa kompleks dengan magnesium
menjadi Mg-ATP. Sehingga semua reaksi yang membutuhkan ATP, misalnya replikasi dan
transkripsi DNA serta translasi mRNA, tentu memerlukan magnesium. ATP merupakan
sumber tenaga metabolisme selular, yang antara lain digunakan untuk menjalankan pompa
natrium-kalium (Na
+
/K
+
-ATPase). Bekerjanya pompa natrium-kalium menyebabkan
kestabilan membran sel terjaga, konduksi saraf dapat berjalan lancar, transport ion dan zat-
zat lain ke dalam dan ke luar sel dapat berlangsung, dan proses metabolisme dapat berjalan
dengan baik.
Magnesium dapat berikatan dengan reseptor kalsium. Diperkirakan bahwa perubahan
kadar magnesium akan berpengaruh melalui mekanisme yang diperantarai kalsium.
Magnesium mungkin terikat secara kompetitif ke tempat dimana kalsium dapat berikatan,
menghasilkan respon yang tepat, dan ini mungkin tidak menimbulkan efek; atau mungkin
mengubah distribusi kalsium dengan cara mempengaruhi pergerakannya memintas
membran sel.
1,2,17,18,19

5. Pengaturan magnesium
Magnesium dikonsumsi melalui makanan, diabsorpsi di usus, dan diekskresi oleh ginjal.
Absorpsi di usus tidak diatur dengan ketat, dan sekitar 25%-65% magnesium yang
dikonsumsi diabsorpsi. Magnesium terkandung dalam semua sayuran hijau, gandum,
kacang, daging dan hasil laut. Magnesium juga terkandung dalam air tanah di Amerika
Utara.
Ginjal merupakan organ utama pengaturan kadar magnesium. Magnesium merupakan
elektrolit unik dimana hanya sekitar 30%-40% dari jumlah yang tersaring direabsorpsi
dalam tubulus proksimalis. Jumlah paling banyak, sekitar 50%-70% direabsorpsi di ansa
Henle yang tebal. Tubulus distalis mereabsorpsi magnesium dalam jumlah yang sedikit dan
merupakan tempat utama pengaturan kadar magnesium. Reabsorpsi magnesium turun jika
terjadi peningkatan kadar magnesium dalam serum atau jika distimulasi oleh PTH.
Sedangkan hambatan reabsorpsinya dipacu oleh kadar kalsium yang meningkat.
Perangsang utama reabsorpsi magnesium dalam ansa Henle yang tebal adalah sistem
kotransportasi Na
+
/K
+
/2Cl
-
. Hambatan sistem kotransportasi oleh diuretika menurunkan
reabsorpsi magnesium.
1,2,17,18,19


6. Hipomagnesemia
Hipomagnesemia adalah kadar magnesium serum yang kurang dari 1,8 mg/dl. Hal ini
terjadi pada kondisi dimana konsumsinya terbatas atau peningkatan ekskresi lewat usus
dan ginjal. Hipomagnesemia biasanya ditemukan pada keadaan gawat darurat dan pada
pasien dengan perawatan kritis.
11,17


Penyebab
Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh konsumsi yang kurang mencukupi,
kehilangan yang terlalu banyak, atau pergerakan antara ruangan CES dan CIS. Dapat juga
disebabkan oleh keadaan dimana ada keterbatasan pemasukan, seperti kekurangan gizi,
kelaparan, atau perawatan yang lama dengan nutrisi parenteral yang tidak mengandung
magnesium. Kondisi lain, seperti diare, malabsorbsi, pemasangan nasogastric tube yang
lama, atau pemakaian laksansia, dapat menurunkan penyerapan usus. Kelebihan konsumsi
kalsium mengganggu absorpsi magnesium di usus karena adanya kompetisi kedua ion ini
pada protein transport yang sama. Penyebab umum kekurangan magnesium yang lain
adalah alkoholisme kronis. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hipomagnesemia
pada alkoholisme, yaitu pemasukan yang rendah dan kehilangan dari saluran cerna oleh
karena diare.
Walaupun ginjal mampu bertahan terhadap hipermagnesemia, namun ginjal kurang
mampu menyimpan magnesium dan mencegah hipomagnesemia. Kehilangan melalui urin
meningkat pada ketoasidosis diabetikum, hiperparatiroidisme, dan hiperaldosteronisme.
Beberapa obat-obatan meningkatkan ekskresi magnesium lewat ginjal, termasuk diuretika
dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin,
sisplatin dan amfoterisin B.
Hipomagnesemia relatif juga dapat berkembang dalam kondisi dimana terjadi
meningkatnya pergerakan magnesium diantara CES dan CIS, termasuk pemberian glukosa
secara cepat, larutan parenteral yang mengandung insulin, dan alkalosis. Walaupun bersifat
sementara, kondisi ini dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh yang serius.
11,17,18,19


Manifestasi
Gejala kekurangan magnesium biasanya tidak tampak sampai kadar magnesium serum
kurang dari 1 mEq/dl. Hipomagnesemia ditandai dengan peningkatan eksitabilitas saraf
otot seperti adanya kelemahan otot dan gemetar. Manifestasi lain yang mungkin terjadi
adalah peningkatan refleks tendon, parestesia (kehilangan rasa, rasa kesemutan dan
pricking), fasikulasi otot, dan kontraksi tetanik otot. Tanda Chvostek atau Trousseau dapat
juga muncul terutama pada keadaan hipokalemia. Karena penurunan kadar magnesium
serum akan menaikkan iritasi jaringan saraf maka bisa terjadi kejang. Manifestasi lain yang
bisa timbul meliputi ataksia, vertigo disorientasi, depresi dan gejala psikotik.
Manfestasi kardiovaskular meliputi takikardia, hipertensi, dan disritmia ventrikular.
Kemungkinan terdapat perubahan pada EKG misalnya pelebaran kompleks QRS terlihat
pada puncak gelombang T, pemanjangan interval PR, inversi gelombang T dan
penampakan gelombang U. Disritmia ventrikular terutama pada penggunaan digitalis, sulit
ditangani kecuali bila kadar magnesium dinormalkan.
11,17,18,19


Pengobatan
Pengobatan hipomagnesemia adalah dengan pemberian magnesium. Cara pemberian
tergantung berat ringannya. Hipomagnesemia simtomatik, sedang dan berat diterapi
dengan pemberian magnesium secara parenteral. Pemberian magnesium diberikan sampai
beberapa hari untuk mengganti kekurangan kadarnya dalam darah. Pada keadaan
kehilangan magnesium kronis melalui saluran pencernaan dan ginjal, pemberian
magnesium rumatan sangat diperlukan. Pemberian magnesium pada penderita gagal ginjal
harus hati-hati dan perlu dimonitor agar tidak terjadi kelebihan magnesium.
11,17,18,19


7. Hipermagnesemia
Hipermagnesemia adalah keadaan dimana kadar magnesium dalam serum lebih dari 2.7
mg/dl. Karena adanya kemampuan ginjal mengekskresi magnesium cukup baik maka
sangat jarang terjadi hipermagnesemia.
Terjadinya hipermagnesemia biasanya berhubungan dengan insufisiensi ginjal dan
pemakaian magnesium yang berlebihan seperti pemakaian obat-obatan antasida, suplemen
mineral, atau laksatif. Pada bayi lebih mudah terjadi karena fungsi ginjal relatif belum
sempurna.
Hipermagnesemia berefek terhadap fungsi saraf dan jantung, yaitu letargi, hiporefleksia,
bingung sampai koma, hipotensi, disritmia, dan cardiac arrest. Tanda dan gejala terjadi
hanya jika kadar magnesium lebih dari 4.9 mg/dl. Hipermagnesemia berdampak
mengurangi transmisi neuromuskular, menyebabkan hiporefleksia, kelemahan otot, dan
bingung. Hipermagnesemia menurunkan pelepasan asetilkolin pada ujung mioneural dan
dapat menyebabkan blokade neuromuskular dan paralisis respirasi. Efek kardiovaskular
berhubungan dengan efek penghambatan (blocker) kanal kalsium oleh magnesium.
Penghambatan kanal kalsium menyebabkan penurunan tekanan darah dan pada gambaran
EKG tampak peningkatan interval PR, pemendekan interval QT, gelombang T tidak normal
dan pemanjangan QRS dan PR. Hipotensi disebabkan vasodilatasi; vasodilatasi timbul
karena penghambatan kanal kalsium tersebut. Disritmia kardiak bisa terjadi pada
hipermagnesemia sedang (>5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada
hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15
mg/dL) bisa menyebabkan cardiac arrest.
Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan mengurangi pemasukan magnesium.
Pemberian kalsium intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna untuk
menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa dilakukan jika
perlu.
11,17,18,19



Daftar Pustaka
1. Berne R.M., Levy M. Principles of physiology: 2000 (3
rd
ed., p. 438). St. Louis: Mosby.
2. Cogan M.G. Fluid and Electrolyte: 1991 (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245) Norwalk,
CT:Appleton & Lange.
3. Guyton A., Hall J.E. Textbook of medical physiology. 2000 (10
th
ed., pp. 157-171, 264-278, 322-345, 346-363,
820-826). Philadelphia: W.B.Saunders.
4. Krieger J.N, Sherrad D.J. Practical fluid and electrolytes :1991. (pp. 104-105). Norwalk, CT: Appleton & lange.
5. Stearns R.H., Spital A., Clark E.C. Disorders of water balance. In Kokkp J., Tannen R.L., (Eds). Fluid and
Electrolytes: 1996 (3
rd
ed., pp. 65, 69, 95) Philadelphia: W.B. Saunders.
6. Rose B.D., Post T.W. Clinical physiology of acid-base and electrolyte disorders: 2001 (5
th
ed., pp. 168-178, 822,
835, 858, 909). New York: McGraw-Hill.
7. Fried L.F., Palevsky P.M. Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North America: 1997,81, 585-
606.
8. Kugler J.P., Hustead T. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family Physician: 2000.61,
3623-3630
9. Oh M.S., Carroll H.J. Disorders of sodium metabolism: Hypernatremia and hyponatremia. Critical Care
Medicine :1992,20, 94-103.
10. Batchell J. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of North America: 1994,69,
687-691.
11. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (). Nelson textbook of pediatrics: 2000, (16th ed., pp. 215-218).
Philadelphia: W.B. Saunders.
12. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. The pathophysiology of potassium balance. Critical Care Nurse :1996,16 (5), 59-71.
13. Tannen R.L. Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes: 1996, (3
rd
ed., pp.
116-118). Philadelphia: W.B. Saunders.
14. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. Refractory potassium repletion: A consequence of magnesium deficiency.
Archives of Internal Medicine :1992,152 (1), 40-45.
15. Gennari F.J. Hypokalemia. New England Journal of Medicine: 1998,339, 451-458
16. Zaloga G.F. Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine:1992,20: 251-261.
17. Swain R., Kaplan-Machlis B. Magnesium for the next millennium. Southern Medical Journal: 1999, 92, 1040-
1046.
18. Toto K., Yucha C.B. Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical Care Nursing Clinicw
of North America :1994, 6, 767-778.
19. Workman L. Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical Issues :1992, 3, 655-663.
20. Yucha C.B., Toto K.H. Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of North America: 1994,6,
747-765.
BAB II
KEGAWATDARURATAN GASTROINTESTINAL
Pitono Soeparto & Reza Ranuh
Ilustrasi Kasus
Seorang anak perempuan umur 7 tahun dibawa ke UGD karena mengeluh sakit perut yang
amat sangat, dan anak tidak bisa berhenti menangis karena sakitnya. Sakit dirasakan
pertama kali 1 jam yang lalu dan belum mereda. Saat sakit di rumah sempat BAB 1x, nyeri
dan keluar sedikit kotoran campur darah. Dari pemeriksaan fisik anak tampak kesakitan,
dinding perut tidak kaku, dan disebelah kiri atas umbilicus dapat diraba massa yang panjang
seperti pisang.

Pendahuluan
Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat
dibagi dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.
1
1. Kelompok non bedah
a. Dehidrasi
b. Perdarahan saluran gastrointestinal
- Penyakit peptik
- Demam berdarah
- Demam tifoid
- Hipertensi portal
- Polip
c. Muntah akut
d. Nyeri abdominal akut
e. Distensi abdomen akut
f. Disfagia akut
2. Kelompok bedah
a. Obstruksi intestinal
- Atresia duodenal
- Malrotasi dan volvulus
- Anus imperforata
- Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula
b. Defek dinding abdominal
- Eksomfalus
- Gastroskisis
c. Abdomen akut
- Apendisitis akut
- Adenitis mesenterik


Dehidrasi
Tabel 2.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan
% Kehilangan berat badan
Bayi Anak besar
Dehidrasi ringan
Dehidrasi sedang
Dehidrasi berat
5 % ( 50 ml/kg )
5 10 % ( 50 100 ml/kg )
10 15 % ( 100 150 ml/kg )
3 % ( 30 ml/kg )
6 % ( 60 ml/kg )
9 % ( 90 ml/kg )
Sumber: Huang
2

Tabel 2.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa
pH PCO2 Bikarbonat
Gangguan Tunggal
- Asidosis metabolik + + +
- Alkalosis metabolik | | |
- Asidosis respiratorik + | |
- Alkalosis respiratorik | + +
Gangguan Campuran
- Asidosis metabolik +
asidosis respiratorik
++ |, N, + |, N, +
- Alkalosis metabolik +
asidosis respiratorik
|, N, + | |
- Asidosis metabolik +
alkalosis respiratorik
|, N, + + +
- Alkalosis metabolik +
alkalosis respiratorik
|| |, N, + |, N, +
Sumber: Quak
1

Prinsip Terapi Cairan
Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk
memberikan pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan
elektrolit, (2) mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi kehilangan abnomal dari
cairan yang sedang berlangsung (on going abnormal losses).
Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga tidak
ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi menjadi
beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2) memperbaiki defisit
cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan (3) mencukupi kebutuhan
nutrisi.
Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok
merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila
pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil.
Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah
defisit Na
+
dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya
elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.
1,2,3

Pemberian Terapi Cairan
1,2,3
Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang ditujukan untuk:
1. Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok).
2. Mengganti defisit yang terjadi.
3. Rumatan (maintenance)/ untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang
berlangsung (on going losses).
Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parenteral.

Dehidrasi berat
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan lebih dari
9% untuk anak besar serta menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen-koma,
pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan pemberian cairan dan
elektrolit secara parenteral.
1,2,3
Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap:
a. Terapi awal (initial therapy) yang bertujuan untuk memperbaiki dinamika sirkulasi dan
fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraselular.
b. Terapi lanjutan yang ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada kecepatan
yang lebih rendah dengan mengganti Na
+
mendahului K
+
.
c. Terapi akhir yang ditujukan untuk menjaga/memulihkan status gizi penderita.

Terapi awal
Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara
cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah
bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular.
1,2,3

Terapi lanjutan
Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk
mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na
+
dan mengganti kehilangan
abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan
obligatorik. Walaupun pemberian K
+
sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial,
dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila
didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata.
Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga
terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na
+
yang ada (isonatremia,
hiponatremia, hipernatremia).
1,2,3

Terapi akhir (koreksi dari defisiensi nutrisi)
Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan kalori
penderita, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut
waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberi diet sebagaimana biasanya,
segala kekurangan tubuh akan lemak dan protein dapat segera terpenuhi. Itulah
mengapa pada pemberian terapi cairan, bila memungkinkan diusahakan agar penderita
cepat mendapatkan makanan/ minuman sebagaimana biasanya. Bahkan pada dehidrasi
ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral, makan dan minum tetap
dapat dilanjutkan (continued feeding).
1,2,3

Tabel 2.3. Terapi cairan standar (Iso-hiponatremia)
Derajat
Dehidrasi
Kebutuhan Cairan Jenis Cairan Cara/Lama Pemberian
Berat 10 %
Gagal sirkulasi
(Plan C)
30 ml/kg/1 jam
(10 tt/kg/menit)
Na Cl 0.9%
Ringer laktat
Asering
IV / 1 jam
Sedang 6-9 % 70 ml/kg/ 3 jam
(5 tt/kg/menit )
Na Cl 0.9%
Ringer laktat
1/2 darrow
KAEN 3 B (>3bln)
KAEN 4 B (<3bln)
I.V. / 3 jam atau
I.G. / 3 jam atau
Oral 3 jam
Ringan 5 %
(Plan B)
50 ml/kg/ 3 jam
(3-4
tt/kg/menit)
1/2 darrow
atau oralit
I.V. / 3 jam bila
oral tidak mungkin
atau I.G. / oral
Tanpa dehidrasi
(Plan A)
10-20 ml/kg
setiap kali diare
Oralit atau cairan rumah
tangga
Oral sampai diare
berhenti
Sumber: Lozner
2

Untuk neonatus ( <3 bulan )
Plan C: 30 ml/kg/2 jam, KAEN 4 B
Plan B: 70 ml/kg/6 jam, KAEN 4 B

Untuk diare dengan penyakit penyerta
Plan C: 30 ml/kg/2 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) dan KAEN 4 B (usia
<3bl).
Plan B: 70 ml/kg/6 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) dan KAEN 4 B (usia
<3bl).

Untuk dehidrasi hipernatremia
Defisit (70 ml) + rumatan (100 ml) + "on going losses" (25 ml) x 2 (hari) = 400 ml/kg,
diberikan dalam waktu 48 jam.
Jenis cairan darrow, (KA-EN 3B,).
KA-EN 1B: sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui. Pada
prematur atau bayi baru lahir sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml.
KA-EN 3A, KA-EN 3B: sebagai larutan rumatan untuk memenuhi kebutuhan harian air dan
elektrolit dengan kandungan cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan
oral terbatas.
KA-EN 4A: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak tanpa mengandung kalium,
sehingga dapat diberikan pada pasien dengan kadar kalium serum normal
KA-EN 4B: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia <3 tahun.


Perdarahan Saluran Gastrointestinal
Tabel 2.4. Etiologi Perdarahan
GIT Atas
Periode Neonatal Bayi Pra sekolah Usia sekolah
Tertelan darah ibu
Tukak stres
Gastritis hemoragis
Diatesis perdarahan
Benda asing
Malformasi
vaskular
Gastritis
Esofagitis
Tukak stres
Sind. Mallory Weiss
Stenosis pilorik
Malformasi
vaskular
Tukak stres
Gastritis
Esofagitis
Sind. Mallory Weiss
Varises esofagus
Benda asing
Malformasi vaskular
Tukak stres
Gastritis
Esofagitis
Tukak peptik
Sind. Mallory
Weiss
Varises esofagus
GIT Bawah
Anak sehat
Tertelan darah ibu
Kolitis infeksi
Peny. hemoragis
Divertikulum
Meckeli
Alergi susu
Duplikasi usus

Fisura ani
Kolitis infeksi
Kolitis nonspesifik
Intususepsi
Polip juvenil
Divertikulum
Meckeli
Alergi susu

Kolitis infeksi
Fisura ani
Polip juvenile
Intususepsi
Divertikulum Meckeli
Angiodisplasia
Purpura Henoch
Schnlein

Kolitis infeksi
Polip
Hemoroid
Peny.usus
beradang
Anak sakit
NEC
DIC
Intususepsi
Volvulus usus
tengah (midgut)
Kolitis infeksi

Duplikasi usus
Sindrom hemolitik
uremik
Enterokolitis
pseudo
membranosa

Sindrom hemolitik
uremik
Enterokolitis pseudo
membranosa


Sumber: Quak
1

Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu dimasukkan
pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila
perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:
1. Menentukan tempat perdarahan.
2. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.

Perlu diingat bahwa tidak adanya darah dari lambung tidak selalu menyingkirkan
perdarahan GIT, karena perdarahan mungkin telah berhenti atau sumber perdarahan mungkin
di bagian distal pilorus yang kompeten.
4,5













Gambar 2.1. Penentuan letak perdarahan (Sumber: Quak
1
).






Penampilan Klinis
Melena
Hematemesis
Hematoskesia
Bilas nasogastrik
Darah positif Darah negatif
Perdarahan GIT Atas
Perdarahan GIT Bawah
























Gambar 2.2. Pendekatan Klinis Perdarahan GIT Bawah (Sumber: Quak
1
)

Penampilan Klinis
Bilas nasogastrik
Darah positif Darah negatif
Perdarahan GIT Atas Perdarahan GIT Bawah
Foto abdominal / USG
(tegak dan terlentang)
Obstruksi
Non Obstruksi
Enema Ba
Evaluasi laboratorium
- Pembiakan tinja
- Sken (Scan) Meckel
- Enema Ba kontras
udara
- Kolonoskopi
Bedah
Tabel 2.5. Diagnosis diferensial
Hematemesis dan Melena Hematoskesia
Neonatus
Tertelan darah ibu
Tukak stres
Duplikasi gastritis
Malformasi vaskuler
Difisiensi vitamin K
Hemofilia
Purpura trombositopenik
idiopatik
Maternal
Penggunaan NSAIDS oleh ibu

Tertelan darah ibu
Intoleransi protein
Kolitis infeksiosa
Enterokolitis nekrotikans
Hirschsprung dengan enterokolitis
Duplikasi
Malformasi vaskular
Defisiensi vitamin K
Hemofilia
Purpura trombositopenik idiopatik
maternal
Penggunaan NSAIDS oleh ibu
Bayi
Esofagitis
Gastritis

Fisura ani
Intususepsi
Kolitis infeksius
Intoleransi protein susu
Divertikulum Meckel
Duplikasi
Malformasi vascular
Anak
Esofagitis
Gastritis
Tukak peptik
Robekan Mallory Weiss
Varises esofagus

Fisura ani
Kolitis infeksius
Polip
Hiperplasia noduler limfoid
Penyakit usus beradang
Purpura Henoch Schnlein
Intususepsi
Divertikulum Meckel
Sindrom hemolitik uremik
Remaja
Esofagitis
Gastritis
Tukak peptik
Robekan Mallory Weiss
Varises esofagus

Kolitis infeksiosa
Penyakit usus beradang
Fisura ani
Polip
Sumber: Chin
6

Laboratorium
4,5

1. Darah lengkap :
Perdarahan yang baru terjadi mungkin tidak mengubah hemoglobin atau hematokrit tetapi
MCV bisa rendah pada perdarahan kronis berderajat ringan. Peningkatan eosinofil dapat
menunjukkan kolitis alergi.
2. Laju endap darah :
Peningkatan KED dapat menandai penyakit usus beradang.
3. Koagulasi :
Profil koagulasi untuk menyingkirkan kelainan perdarahan.
4. Uji fungsi hepar :
Apabila ada tanda hipertensi portal atau penyakit hati kronis.
5. Tinja encer :
Pembiakan tinja dan toksin C. difficile
6. Uji fungsi renal:
Nilai urea yang tinggi merupakan kunci untuk mendiagnosis sindrom uremik hemolitik
atau dapat menandakan adanya dehidrasi.

Pencitraan
4,7,8
1. Perdarahan GIT atas:
Studi kontras hendaknya jangan dijadikan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan
esofagitis, gastritis atau tukak peptikum karena kurang sensitif. Endoskopi jauh lebih
sensitif. Studi kontras dapat merupakan indikasi pada pasien dengan disfagia atau
odinofagia. USG perlu dilakukan apabila ada penyakit hati.
2. Hematoskesia:
Studi kontras hendaknya jangan merupakan awal evaluasi. Endoskopi lentur lebih baik.
Yang menjadi perkecualian adalah adanya kecurigaan intususepsi, dan USG perlu
dilakukan (dan apabila sudah pasti, enema barium dilakukan untuk reduksi).
3. Perdarahan masif tanpa sakit:
Meckel scan merupakan prosedur terpilih. Negatif semu dapat disebabkan karena tidak
cukup terdapat jaringan lambung, down stream washout dari isotop, gangguan pasokan
darah atau teknik yang suboptimal. Ulangan scan Meckel dengan demikian diperlukan
untuk mengetahui jenis jaringan lambung.
4. Perdarahan yang tidak tampak pada saluran GI bawah. Scan sel darah merah yang diberi
label teknetium dapat membantu menetapkan lokasi, tetapi memerlukan perdarahan aktif
>0.5 ml/menit.

Endoskopi saluran gastrointestinal bagian bawah
Indikasi untuk endoskopi saluran gastrointestinal bawah meliputi hematoskesia atau
melena sesudah menyingkirkan kemungkinan sumber GIT atas.
7

Penanganan
1. Penanganan umum
Penilaian awal pada setiap anak dengan perdarahan GIT perlu dipertajam serta dipercepat.
Dua persoalan yang perlu segera diperhatikan adalah: status volume darah pasien dan
kecenderungan perdarahan yang akan terus berlangsung. Penampilan anak, status mental,
tekanan darah, detak jantung merupakan cermin dari status anak, sedangkan potensi
terjadinya perdarahan yang terus berlangsung akan terlihat atau dapat diperkirakan dari
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.
Stabilisasi awal ditujukan untuk mencegah atau mengatasi hipovolemia dan anemia yang
berat. Tujuan pemberian cairan bolus awal adalah untuk perfusi jaringan. Setelah
pemberian bolus cairan awal sebanyak 10-20 ml/kg selama 10 menit, lanjutkan bolus
secara pelan (titrasi) untuk menjaga tekanan darah dan perfusi jaringan. Pilihan cairan
paling baik dapat dilihat berdasarkan kemudahan dan tersedianya cairan. Apabila lebih dari
50-70 ml/kg yang diperlukan dalam waktu 4-6 jam, perlu dipertimbangkan pemantauan
invasif untuk memudahkan penanganan cairan. Cairan dan/atau koloid yang sesuai
kemudian dapat mulai diberikan. Prosedur diagnostik lanjut, hendaknya dilakukan bila
resusitasi yang sesuai sudah tercapai.
8,9,10

Tindakan
- Letakkan pasien dalam posisi terlentang dengan tungkai dinaikkan. Pada perdarahan
yang masif, pasien perlu diletakkan dalam posisi tengkurap untuk mencegah aspirasi.
- Selanjutnya masukkan kanula intravena ukuran besar. Apabila isian vena (venous
filling) buruk, dapat dilakukan venaseksi atau tusuk subklavia segera.
- Upayakan flow chart yang baik untuk pemasukan dan pengeluaran.
- Lakukan uji laboratoris yang meliputi: golongan darah dan cross match, pemeriksaan
darah lengkap, hematokrit, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, BUN,
elektrolit, dan analisis gas darah arterial.
- Perbaiki volume intravena dengan larutan kristaloid (garam fisiologis, Ringer laktat)
atau plasma 20 ml/kgBB/jam sampai tekanan darah membaik, ditandai dengan
hilangnya vasokonstriksi perifer.
Larutan koloid seperti albumin atau plasma digunakan apabila terjadi kehilangan darah
masif dan berlangsung terus-menerus yang dapat menyebabkan berkurangnya tekanan
onkotik plasma sehingga menimbulkan sindrom paru renjatan (shock lung syndrome).
Hindarkan ekspansi volume intravaskular yang berlebihan. Sesudah pengembalian
volume intravaskular tercapai (yang ditunjukkan oleh tekanan darah, denyut nadi dan
aliran urin), penggantian (replacement) selanjutnya perlu dititrasi sesuai dengan
kehilangan darah yang berlanjut (continuing blood loss).
- Vitamin K 5 10 mg diberikan untuk setiap pasien dengan masa protrombin yang
berkepanjangan, tanpa membedakan pasien penderita penyakit hati ataupun bukan.
- Keputusan pemberian transfusi darah tergantung dari nilai hematokrit sesudah
pengembalian volume darah dan ada tidaknya perdarahan yang berlanjut. Transfusi
darah dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan yang sudah berhenti untuk
berjaga-jaga apabila terjadi perdarahan kembali. Pada keadaan ini, transfusi pelan
dengan packed cells (10 ml/kgBB) lebih dianjurkan sebagai langkah awal.
Pada pasien dengan perdarahan yang berlanjut, transfusi yang terus-menerus
merupakan satu-satunya cara untuk merumat kapasitas pengangkut O2 darah hingga
mencukupi kebutuhan tubuh. Kecepatan transfusi tergantung dari cepatnya perdarahan.
- Komplikasi dari transfusi masif meliputi: hipersitratemia, hipokalsemia, berkurangnya
kadar faktor pembekuan, dan trombositemia. Untuk meminimalkan permasalahan ini,
pasien perlu diberikan kalsium intravena 0.5 ml/kgBB (10% kalsium glukonat) dan
plasma fresh frozen (10 ml/kgBB) sesudah pemberian setiap transfusi 50 ml packed cells
apabila diperlukan.

Penanganan Perdarahan GIT atas
- Bilas nasogastrik dengan garam fisiologis dingin. Pembilasan perlu dilanjutkan sampai
kembalinya warna merah muda atau jernih. Pipa perlu tetap terpasang untuk keperluan
drainase pasif sesuai gravitasi dan juga untuk menilai ada tidaknya perdarahan dengan
cara melakukan isapan dan irigasi pelan setiap 15 menit.
Apabila isi lambung jernih setelah dibilas, dan tidak ada perencanaan endoskopi segera,
irigasi lambung dilakukan setiap 15 menit selama satu jam dan selanjutnya setiap tiga
jam selama 12-24 jam. Apabila kondisi pasien stabil dan cairan lambung kembali jernih,
pipa nasogastrik dapat diangkat. Mual dan muntah yang persisten atau adanya ileus
merupakan tanda bahwa drainase perlu dilanjutkan.
11,12

- Sebagian besar perdarahan varises akan berhenti secara spontan.
Vasopresin dahulu dikatakan efektif dalam menurunkan aliran darah dan tekanan
melalui sirkulasi portal. Dimulai dengan 0.1 unit/menit dan dinaikkan menjadi 0.05
unit/menit setiap jam sampai mencapai 0.2 unit/menit pada anak yang berusia kurang
dari 5 tahun. Dosis awal vasopresin pada anak kurang dari 12 tahun dan pada remaja
berturut-turut adalah 0.3 unit/menit dan 0.4 unit/menit. Vasopresin hendaknya
diberikan dalam cairan dekstrosa 5%.
5,6,13
Tamponade balon (Sengstaken-Blakemore) dipertimbangkan pada varises lambung atau
esofagus yang diagnosisnya ditegakkan melalui endoskopi. Prosedur ini berisiko tinggi.
Indikasi untuk tampon balon adalah:
1. Perdarahan masif yang mengancam jiwa
2. Perdarahan yang berkelanjutan walaupun diberikan vasopresin intravena 4-6 jam.
































Gambar 2.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan varises usofagus (Sumber:McDiarmid
15
).

2. Penanganan Spesifik
Penyebab perdarahan gastrointestinal bagian atas dari segi penanganan dapat dibagi
menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Betabloker non selektif dianjurkan untuk
Kanula IV ukuran besar
Perdarahan Gastrointestinal Bagian Atas Pada Anak dengan Kecurigaan
Varises
Darah, plasma, beku segar, trombosit, bilas lambung
Perdarahan berhenti
Hct stabil
Amati Hct serial
Endoskopi atas dalam 24 jam
Skleroterapi/ligasi pitas atas
indikasi
Rencanakan untuk
Tx Hepar atas
indikasi
Pertimbangan shunt apabila
obstruksi v porta ekstra
hepatik
Konsolidasi
skleroterapi sembari
menunggu
Perdarahan tetap
Hct turun
Teruskan resisutisasi
Mulai tetes octeotride
Pindah ke ICU
Perdarahan berhenti
Endoskopi kedaruratan
skleroterapi bila mungkin
Perdarahan hebat
tetap
Tamporade balon
Tamporade balon
gagal
Transplantasi, shunt darurat bila
tidak ada donor
mencegah perdarahan varises. Obat vasoaktif, seperti somatostatin, oktreotida dan
glupresin dapat digunakan dengan baik pada perdarahan varises maupun nonvarises.
Skleroterapi dan ligasi varises dapat digunakan pada anak untuk menghilangkan varises.
Cyanoacrylate efektif dan menunjukkan komplikasi terendah yang berhubungan dengan
varises lambung. Terdapatnya stigmata perdarahan, seperti perdarahan aktif dan pembuluh
darah yang tampak pada tukak merupakan indikasi adanya risiko tinggi dari perdarahan
berulang, yang memerlukan hemostasis endoskopik. Inhibitor pompa proton lebih efektif
daripada antagonis reseptor H2 dalam menunjang kesembuhan tukak peptikum.
4,5,6,15

Penanganan Hipertensi portal
- Oktreotida (Octreotide) :
Oktreotida adalah suatu analog somatostatin yang aman tanpa efek samping berat.
Mekanisme aksinya adalah mengurangi spastik kolateral dan aliran darah hepatik.
Begitu dicurigai adanya perdarahan varises, infus oktreotida perlu segera dimulai, dan
pada umumnya diberikan terus selama 5 hari. Infus dimulai dengan dosis 1 g/kgBB iv
bolus dilanjutkan dengan infus kontinu dari 1 g/kgBB/jam, dinaikkan setiap jam
apabila perdarahan tidak berkurang sampai 4-5 g/kgBB/jam dalam infus yang kontinu.
Apabila tidak ada perdarahan aktif sesudah 24 jam, dapat diberikan setengah dosis
semula setiap 12 jam.
16
- Dalam suatu penelitian telah ditunjukkan bahwa skleroterapi berhasil
menutup varises esofagus sesudah diberikan secara multipel pada 92 pasien anak .
Terapi kombinasi propranolol + skleroterapi ternyata lebih menjanjikan dalam
pencegahan perdarahan hipertensif portal.
15
- Ligasi varises endoskopik (EVL)
EVL lebih efektif daripada skleroterapi dalam menghilangkan varises dan mencegah
perdarahan berulang.

Portosystemic shunt melalui pembedahan dan akhir2 ini juga nonoperatif
transjugular intrahepatic portosystemic shunt, dan transplantasi hepar.
17
- Pembedahan
Koreksi radikal dari hipertensi portal ekstrahepatik dengan hasil baik dilakukan pada
38,5% pasien.
9

Penanganan perdarahan GIT bawah
Penanganan definitif dari perdarahan GIT bawah tergantung dari penyebabnya.
Pembedahan ditujukan pada perdarahan divertikulum Meckel. Suatu polip berdarah dapat
dihilangkan dengan polipektomi secara endoskopik. Malformasi vaskular pada GIT bawah
jarang ditemukan dan penanganan bedah dilakukan apabila malformasi ini diketahui
sebagai penyebab perdarahan.
Ligasi varises endoskopik dinyatakan aman dan merupakan prosedur yang sangat efektif
pada anak dengan hipertensi portal, tanpa memandang etiologi.
4,8


Penanganan Penyakit Peptikum
Terapi utama untuk penyakit tukak adalah supresi produksi asam atau penetralan asam
lambung. Menjaga pH lambung diatas 4.0 akan mengaktivasi pepsin dan menunjang
penyembuhan. Apabila diagnosis gastritis H. pylori, pengobatan yang diberikan meliputi
terapi tripel dengan klaritromisin, inhibitor pompa proton dan metromidazol atau dengan
amoksisilin, suatu antagonis reseptor histamin-2 (H-2) dan bismut subsalisilat efektif pada
70%-79 % dari pasien yang diterapi. Kekambuhan terjadi dalam rentang 10%-20 %.
11,12
- Antagonis reseptor H-2: simetidin (20-40 mg/hari) dan ranitidin (2-4
mg/kgBB/kali, maksimum 150 mg/kali, 2x sehari) merupakan inhibitor sekresi asam
yang kuat. Inhibitor pompa proton seperti omeprazol (0.7-1.4 mg/kgBB/kali, maksimum
40 mg/kali, 1x sehari) dan lansoprazol (0.3-1.5 mg/kgBB/hari) merupakan penghambat
sekresi asam lambung yang lebih kuat.
- Sukralfat: merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa tersulfasi (sulfated
sucrose), yang tidak diabsorsi dalam jumlah banyak. Dosisnya 250 mg q.i.d untuk bayi
dan 0,5-1 gram q.i.d untuk anak besar, sebagai bahan barier pada tukak peptikum.
- Antasida: aluminium hidroksida bersifat konstipan, sedangkan magnesium hidroksida
adalah katartik. Dosisnya 0,5 ml/kgBB/kali, maksimum 20 ml perkali setiap 4 jam.


Demam Berdarah
Penanganan
D5 Ringer Laktat atau D5 Ringer Asetat
10 20 ml/kgBB/jam (pada derajat IV bolus 30 menit)











Baik
(PCV +, nadi stabil produksi urin |)
Tidak baik
(PCV | , nadi cepat lemah, tekanan
nadi < 20 mmHg, produksi urin +)
7 ml/kg/1jam
5 ml/kg/1 jam
3 ml/kg/1 jam
24 48 jam
diharapkan sembuh
PCV +, Hb + PCV tetap tinggi
Darah (10 ml/kg/jam
dapat diulang sesuai
kebutuhan)
Plasma (10 ml/kg/jam,
dapat diulang 3x dlm 24 jam
Asidosis diperbaiki)




Gambar 2.4. Aluran tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD derajat III dan IV (Sumber: Soegijanto
18
;
Modifikasi Monograf, WHO
19
).
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan gastrointestinal seperti hematemesis
dan melena diindikasikan pemberian transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk
menganti volume massa eritrosit agar menjadi normal.
20,21


Demam Tifoid
Penanganan
Terapi antimikrobia esensial dalam terapi demam tifoid. Sebagian besar regimen
antibiotik mempunyai risiko kekambuhan 5% 20 %. Kloramfenikol (50 mg/kgBB/hari q.i.d
per os atau 75 mg/kgBB/hari terbagi dalam 6 jam i.v), ampisilin (200 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 6 kali perhari), amoksilin (100 mg/kgBB/hari dibagi 3x perhari p.o) dan trimetoprim-
sulfametoksazol (10 mg TMP dan 50 mg SMZ /kgBB/hari, 2x sehari p.o) memberikan hasil
klinis yang baik. Apabila perdarahan intestinal hebat, diperlukan transfusi darah. Intervensi
bedah dan antibiotik spektrum luas dianjurkan bila terjadi perforasi. Transfusi trombosit
dikemukakan untuk pengobatan trombositopenia yang cukup berat untuk menyebabkan
perdarahan intestinal pada pasien yang memerlukan pembedahan.
22,23,24


Muntah Akut
Penanganan muntah
Penanganan penderita dengan muntah ditujukan untuk mengatasi akibat muntah
(robekan lokal, gangguan metabolik, gangguan nutrisi, aspirasi), simtomatik untuk
mengurangi/menghilangkan gejala muntah dan secara spesifik menghilangkan penyakit
penyebab yang mendasarinya.
25,26,27

Tabel 2.5. Penanganan farmakologis
Kategori fisiologis Obat Dosis ( oral ) Efek samping
Baik Baik
Antagonis kolinergik
Antagonis reseptor 5-
hidroksitriptamin
Betanekol
Cisaprid
0.1-0.2 mg/kgBB/dosis TID
0.1-0.3 mg/kg BB/dosis TID
- Eksaserbasi spasme
- Aritmia jantung,
diare
Antagonis reseptor
dopamin D
2

Metoklopramid
(vometrol)

Domperidon
0.1-0.2 mg/kBBg/dosis
TID/QID

0.3 mg/kgBB/dosis TID/QID
Mengantuk, gelisah,
reaksi distonik, gejala
ekstrapiramidal
Kejang perut ringan
Agonis motilin Eritromisin 3-6 mg/kgBB/dosis TID Rasa tak enak perut
Reaksi alergi ringan
Disfungsi hepar
Antagonis reseptor
serotonin (5-HT)
Ondansetron
untuk kemoterapi
& radio terapi.
Sumatriptan,
amitriptilin untuk
muntah siklis
4 mg oral /8 jam selama 5 hari
5 mg /m
2
1.V.-15 menit

0.1-1,2 mg/kgBB/24 jam oral
dinaikkan sampai 1,5
mg/kgBB/24 jam
Konstipasi, sakit kepala,
rasa panas di muka dan
epigatrium
Kelemahan, kemerahan
muka
Antagonis reseptor H2 Simetidin
Ranitidin
Famotidin
5-10 mg/kgBB/dosis TID/QID
1-2 mg/kgBB/dosis BID/TID
1-3 mg/kgBB/dosis BID/TID
Sakit kepala, diare
Sakit kepala, malaise
Inhibitor pompa
proton
Omeprazol
Lansoprazol
0.7-3.0 mg/kgBB/dosis
BID/QID
Sakit kepala, ruam,
diare, hipergastrinemia
Sumber: Milla
27



Distensi Abdominal Akut
Obstruksi Intestinal
Tabel 2.6. Klasifikasi etiologis obstruksi intestinal
Obstruksi Sederhana
(Mekanis)
Obstruksi Fungsional
(Pseudo-obstruksi, Ileus)
Intraluminal Ekstraluminal Akut Kronis
- Benda asing
- Bezoar
- Fekalit
- Batu empedu
- Hernia
- Intususepsi
- Volvulus
- Duplikasi
- Pasca bedah
- Toksisitas obat
- Gangguan keseimbangan
elektrolit
Gangguan pada
pleksus
mienterikus:
- Parasit
- Ileus
mekonium
- Tumor
- Polip
- Stenosis
- Adhesi
- Kista
mesenterium
- Sindrom arteria
mesenterium
superior

- Pasca trauma
- Keradangan
intraabdominal
- Keradangan
ekstraabdominal (sepsis)
- Imaturitas saraf
(prematur)
- Aganglionosis
(Hirschsprung)
- Neuropati
- Konstipasi kronik
- Infeksi
- Endokrin
(diabetes)

Gangguan pada otot
polos
- Miopati
- Distrofi otot
- Infiltratif
- Endokrin
- Divertikulum
Sumber: Scott
28
; Wesson29; Yasbeck
30


Penanganan
Penanganan obstruksi intestinal meliputi 2 tahap terpisah yaitu resusitasi dan
pengobatan definitif yang tahapannya selalu berurutan.
Tabel 2.7. Gambaran esensial dari resusitasi
- Hentikan semua masukan oral
- Dekompresi lambung dengan tabung nasogastrik
- Pasang slang intravena, perbaiki defisit cairan dan elektrolit serta kehilangan yang
sedang berjalan
- Pastikan pengeluaran urin yang cukup
- Tentukan golongan darah dan uji silang apabila terdapat kemungkinan untuk operasi.
Sumber: Wesson
29


Keputusan untuk melakukan pembedahan didasarkan atas pertimbangan klinis dan
tidak dapat hanya berdasarkan hasil radiografi atau uji darah semata. Konsekuensi dari
penundaan meliputi nekrosis dan perforasi serta reseksi usus dan terjadinya sepsis sistemik.
Pembedahan perlu segera dilakukan apabila dicurigai terjadinya strangulasi dengan adanya
panas, takikardia, dan peritonitis. Indikasi adanya strangulasi adalah rasa nyeri hebat, tidak
menghilang dan menetap, walaupun dilakukan dekompresi.
Terapi konservatif atau tanpa pembedahan dapat dicoba untuk 6-12 jam pada obstruksi
mekanis sederhana, terutama obstruksi pasca operasi awal atau yang parsial (dalam waktu 3
minggu dari laparatomi sebelumnya) dan pada anak dengan obstruksi usus kecil yang berulang.
Operasi dapat ditunda pada obstruksi pilorus atau duodenum asalkan malrotasi dan volvulus
dapat disingkirkan. Operasi dapat dihindari seluruhnya pada sebagian besar bayi dengan
intususepsi ileokolik asalkan dapat direduksi secara sempurna oleh tekanan udara atau tekanan
hidrostatik.
31,32,33



Nyeri Abdomen Akut
Tabel 2.8. Etiologi nyeri abdomen akut berdasarkan simptom
1. Neonatus :
- NEC
- Perforasi lambung spontan
- Penyakit Hirschsprung
- Ileus mekonium
- Atresia atau stenosis intestinal
- Perforasi traumatik (kesulitan kelahiran)
2. Bayi (<2 tahun)
- Kolik (<3 bulan)
- Gastroenteritis akut/ sindrom viral
- Intususepsi
- Hernia inkarserata
- Volvulus (malrotasi)
- Sindrom sickling
- Intoleransi susu sapi
- Divertikulum Meckel
3. Usia sekolah (2 13 tahun)
- Gastroenteritis akut/ sindrom viral
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis
- Trauma
- Konstipasi
- Pneumonia
- Sindrom sickling (vaso-occlusive crysis pada
penyakit sickle cell)
- Pankreatitis
- Torsio ovari
- Batu empedu
- Kolesistitis
- Purpura Henoch-Schnlein
4. Remaja
- Gastroenteritis akut/ sindrom viral
- Infeksi saluran kemih
- Apendisitis
- Trauma
- Konstipasi
- Penyakit keradangan pelvis (pelvic
inflammatory disease)
- Pneumonia
- Mittelschmerz
- Pankreatitis
- Kolesistitis
- Purpura Henoch-Schnlein

Sumber: Boyle
34
; Ross
35


Gastritis dan Tukak Peptikum
Pengobatan primer gastritis dan tukak peptikum sampai saat ini ditujukan kepada
supresi asam lambung.

Tabel 2.9. Penanganan penyakit peptik pada anak
Obat Dosis
Antagonis reseptor
H2
Simetidin

Ranitidin

Nizatidin

Famotidin




20-40 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 6 jam
4-8 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 8-12 jam
4-8 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 12 jam
1-2 mg/kgBB/hari
sekali atau dua kali sehari, maksimum 40 mg
sehari
Inhibitor pompa
proton
Omeprazol


Lansoprazol


0,5-3 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 12 jam

0,3-1,5 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 12 jam
Sumber: Lake
36

Pankreatitis
Strategi dalam penanganan pankreatitis akut dilakukan secara spesifik maupun
nonspesifik sebagai berikut:
1. Menghilangkan proses yang mengawali terjadinya pankreatitis
2. Menghentikan berlanjutnya proses autodigesti dalam pankreas
3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim-enzim digestif dan substansi lain yang
beracun di dalam rongga peritoneal dan/atau sirkulasi.
4. Pembedahan
5. Mengobati komplikasi lokal maupun sistemik

Penanganan yang pada saat ini dapat dilakukan adalah mengistirahatkan pankreas yang
secara teoritis dapat mencegah atau mengurangi intensitas peradangan, mengurangi gejala dan
mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Penderita dipuasakan dan sekresi lambung
dikeluarkan melalui isapan nasogastik. Dengan demikian hal ini akan mencegah asam dan
nutrien mencapai duodenum yang secara teoritis akan mengurangi stimulasi hormonal bagi
sekresi pankreas. Berbagai pendekatan farmakologis dilakukan untuk mengurangi sekresi
pankreas namun hasilnya masih banyak dipertanyakan (antasida, antikolinergik, glukagon,
vasopresin). Demikian juga halnya obat untuk menstabilkan membran sel (prostaglandin) dan
obat seperti somatostatin dan analognya.
37,38,39

Torsio testis
Penanganan yang optimal adalah eksplorasi bedah. Apabila dilakukan dalam waktu 6
jam setelah torsi, testis yang dapat terselamatkan dapat mencapai 90%. Apabila melebihi 6 jam
diperlukan orkidektomi.
40

Apendisitis akut
Begitu diagnosis apendisitis ditegakkan penanganannya adalah pembedahan
(apendektomi). Anak dengan apendisitis tanpa perforasi membutuhkan persiapan prabedah
yang minimal dengan cairan intravena dan antibiotik. Walaupun penggunaan antibiotik pada
apendisitis tanpa komplikasi masih dipertentangkan, namun antibiotik telah menurunkan
kejadian infeksi luka pasca bedah. Apendektomi harus dilakukan dalam waktu beberapa jam
setelah diagnosis.
34,35

Intususepsi
Apabila diagnosis intususepsi telah diperkirakan, langkah pertama adalah resusitasi
pasien dengan cairan intravena dan pengosongan lambung dengan pipa nasogastrik. Pilihan
penanganan pasien anak dengan intususepsi cukup sederhana; reduksi radiologis (hidrostatik =
cairan, pneumatik = udara ) atau laparotomi dengan reduksi operatif atau reseksi. Suatu enema
kontras (udara atau radioopak) dibawah panduan fluoroskopi selain sebagai uji diagnostik
dapat juga dipakai untuk mereduksi intususepsi.
34,36

Peritonitis
Antibiotika parenteral seperti sefotaksim dari aminoglikosida (untuk Streptococcus dan
Pneumococcus pada peritonitis primer) ataupun ampisilin, dan klindamisin yang dapat
mencakup organisme yang mendominasi sumber infeksi (pada peritonitis sekunder seperti E.
coli, Klebsiella, dan Bacteriodes) perlu segera diberikan. Pengecatan gram dan pembiakan
cairan asites atau cairan peritoneal dapat memberikan indikasi pergantian antibiotika awal yang
diberikan. Pembedahan perlu dilakukan untuk memperbaiki perforasi sesudah pasien
distabilisasi (resusitasi cairan dan fungsi kardiovaskular) dan diberikan antibiotik.
31


Disfagia
Rencana terapi perlu dikembangkan berdasarkan konteks kelompok multidisiplin. Pada
umumnya rekomendasi terapeutik adalah berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan
dengan aman (kemampuan dari pasien untuk mentransfer makanan dari rongga mulut ke
dalam usofagus tanpa keliru masuk kedalam larings dan trakea), status nutrisi pasien, adanya
refluks gastro-esofageal, dan kenikmatan akan makanan bagi pasien dan orang tuanya. Terapi
disfagia biasanya ditujukan pada penyebabnya disertai perawatan suportif.
41,42,43,44
1. Obati penyakit primer bila mungkin
a. Kelainan struktur esofageal: dilatasi atau bedah.
b. Gangguan neuromuskular sistemik :
- Bedah saraf (tumor otak, malformasi Arnold-Chiari)
- Pengobatan farmakologis (tetanus, dan sebagainya)
c. Dismotilitas esofageal
- Dilatasi atau miotomi (untuk sfingter hipertensif atau nonrelaksasi)
- Terapi farmakologis: calcium channel blocker, nitrat, antikolinergik, antagonis
adrenoseptor, medikasi psikotropik.

2. Jaminan nutrisi dan proteksi jalan nafas
- Makanan oral: pelan, berhati, lebih mudah dengan cairan semi padat dan kental
- Posisi kepala: fleksi leher untuk melindungi jalan nafas, ekstensi leher mempercepat
transit makanan, rotasi kepala.
- Nutrisi non-oral: nasogastrik (awas refluks), nasoduodenal, gastrostomi (awas refluks),
jejunostomi, nutrisi parenteral.
- Sten laringeal (laryngeal stens): untuk pasien yang tidak dapat menangani sekresinya.


Daftar Pustaka
1. Quak SM. Gastrointestinal Emergency. In : W Yip Chin Ling, J Tay Sin Hock eds. A Practical manual on Acute Paediatrics.
Singapore. 1989: 221 242.
2. Huang, Lennox H. Dehydration. eMedicine. Jul 21, 2008.
3. Lozner, Alison Wiley. Pediatrics, Dehydration. eMedicine. Feb 5, 2009.
4. Carvalho ED, Nita MH, et al. Gastro intestinal Bleeding. J Pediatric (Rio J). 2000; (Suppl 1) : S 135-146.
5. Faubian WA, Perrault J. Gastrointestinal Bleeding. In: W Alllan Walker, Pr Durie, Hamilton JR, JA Walker Smith, JB
Watkins, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management., 3
rd
ed, Ontario. 2000: 164 178.
6. Chin S. Gastrointestinal Bleeding in Children an Adolescens, Pediatric Clinical Guidelines. Starship Childrens Hospital. 1-
5.
7. Celinsko Cedro DM. Teisseyre DM et al. Endoskopic Ligation of Esopagheal Varices for Prophylaxis of First Bleeding in
Children an Abdolescent with Portal Hypertension: Peliminary Result of Prospective Study. J Pediatric Surgeon. 2003; 35:
1008 1011.
8. Levy J. Gastrointestinal Bleeding. A Guide to Childrens Digestive an Nutritional Health. 2001; 1-8.
9. Erkan T, Cullu F et al. Management of Portal Hipertension in Children: Arestropective Study with Long term Follw up. Acta
Gastrointestinal Belg. 2003; 66 : 213-217.
10. Razumouskii A. Danzhinov BP et al. Radical treatment of Extrahepatic Portal Hypertension in Children Khirurgiia (Mosk).
2003; 7: 17-21.
11. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer: effects of hemorrhagic shock on energy metabolism in the mukosa of the
antrum, corpus and fundus of the rabbit stomach. Gastroenterology. 1974; 66: 1168.
12. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer: Influence of sodium taurocholate on gastric mucosal energy metabolism
during hemorrhagic shock and on mitochondrial respiration and ATPase in gastric mukosa. Dig Dis. 1976; 21: 1001.
13. Rogers EL, Perman JA. Gastrointestinal and Hepatic Failure. In: MC Rogers ed. Textbook of Pediatric Intensive Care, vol 2.
Baltimore. 1987: 979-998.
14. Choo KE. Usefulness of the Widal Test in Childhood Typhoid Fever. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid
Fever Strategies for the 90s. Singapore. 1992: 200.
15. Sokucu S, Suoghu OD et al. Long term Outcome After Sclerotherapy with or without a beta blocker for Variccal Bleding in
Childreen. Pediatric int. 2003; 45: 388-394.
16. Eroglu Y, Emerick KM, et al. Octreotide Therapy for Control of Acute Gastrointestinal Bleeding in Children. J Pediatric
Gastroenteroal nutr. 2004; 38: 41-47.
17. Woeff M, Hirner A. Current State of Portosystemic Skunt Surgery. Langenbecks Arch Sung 2003; 388: 141-149.
18. Soegijanto S. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak. In: Soegijanto ed. Demam Berdarah Dengue. Tinjauan
dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya. 2004: 41-65.
19. WHO. Dengue Hemorraghic Fever: Diagnosis. Treatment and Control. Genewa. 1986; 7-15.
20. Soegijanto S. Manifestasi Klinik Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya. 2004: 27- 32.
21. Syahrurahman A. Beberapa lahan Penelitian Untuk Penanggulangan Demam Berdarah Dengue. Mikrobiologi Klinik
Indonesia 1988; 3: 87-89.
22. Elsevier 2004. Infectious Diseases 2. www-idreference.com.
23. Hoe LY. Epidemiology Clinical Features and Treatment of Typhoid Fever in Malaysia. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary.
Eds Typhoid Fever Strategies for the 90s. Singapore. 1992: 84-93.
24. Sarasombath S. Immune Responses in Typhoid Fever. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for
the 90s. Singapore. 1992: 168-175.
25. Dodge JA, Vomiting and Regurgitation. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds.
Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, vol I. Philadelphia. 1991: 32-41.
26. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting. In: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology,
Diagnosis, Management, Philadelphia. 1993: 135-150.
27. Milla PJ. Vomiting: gastroenterologic evaluation. International seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition.
Ontario. 1994; 3: 1-15.
28. Scott RB. Motility Disorders. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins. Pediatric
Gastrointestinal Disease, Pathophysiology, Diagnosis, Management, 2
nd
ed, Vol I St Louis. 1996: 936-954.
29. Wesson DE, Hadock G. Acute Intestinal Obstruction. In. W. Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB
Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis Management, Vol I. 2
nd
ed, St Louis. 1996: 565
574; 555 565.
30. Yazbeck S b. Intestinal obstruction in infancy and childhood. In: CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric Clinical
Gastroenterology, 4
th
ed. St Louis. 1995: 104-129.
31. Langer JC. Peritonitis. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins eds Pediatric
Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. 3
rd
ed, Ontario. 2000: 450-455.
32. Walker Smith J, Murch S. Surgically correctable lesions of the small intestine. In: J. Walker-Smith, S.Murch eds. Disease of
the Small Intestine in Childhood. Oxford. 1999: 329-341.
33. Wyllie R. Intestinal atresia, stenosis and malrotation. In: Behrman RE. Kliegman RM, Jenson HB. eds. Nelson Textbook of
Pediatrics, 16 th ed. Philadephia. 2000: 1132-1136.
34. Boyle JT. Abdominal Pain. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins eds. Pediatric
Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. 3
rd
ed. Ontario. 2000: 129-149.
35. Ross AJ. Acute Abdominal Pain. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds.
Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. Vol. I 2
nd
ed. St. Louis. 1996: 42-44.
36. Lake AM. Chronic Abdominal Pain in Childhood: Diagnosis and Management. American Academy of Family Physician .
1999.
37. Jordan S. Ament M. Pancreatitis in Children and Adults. J. Pediatr. 1977; 91: 211.
38. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins
eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. Vol. II 2
nd
ed. St. Louis. 1996: 1437-1465.
39. Weizmann Z, Durie PR. Acute Pancreatitis in Childhood. J. Pediatr. 1988; 113: 24-29.
40. Knight PJ, Vassy LE. Diagnosis and Treatment of the Acute Scrotum in Children and Adolescent. Ann Surg. 1984; 200: 664.
41. Ergun GA. Evaluation of the patient with dysphagia Current Practice of Medicine. 1999; 2: 2293-2306.
42. Illingworth RS. Sucking and swallowing difficulties in infancy; diagnostic problem of dysphagia. Arch Dis Child. 1969; 44:
655-665.
43. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting In: R Wyllie, JS Hyams. eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology,
Diagnosis, Management. Philadelphia. 1993: 135-150.
44. Stendal C. Swallowing disorders. Practical Guide to Gastrointestinal Function testing. Oxford. 1997: 27-45.















BAB III
DISFAGIA
Yorva Sayoeti
Ilustrasi Kasus
Astrid, anak perempuan, berumur 8 tahun dikirim ke Feeding Clinic untuk evaluasi makan
dan minum. Dia mengalami trauma kepala pada umur 3 tahun dengan komplikasi
kuadriplegia. Disamping itu dia juga menderita skoliosis berat yang memerlukan operasi.
Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan videofluoroskopi menggunakan barium yang
dimodifikasi (modified barium swallow) guna mengevaluasi fase-fase menelannya. Dari
aloanamnesis, ibunya mengatakan Astrid membutuhkan waktu lama bila makan, disertai
batuk, terdengar suara degukan yang cukup jelas dan menolak makan dengan mengatakan
tidak mau makan sambil menggelengkan kepalanya. Pemeriksaan dengan mengamati
makan, tampak perlambatan fase oral. Dia perlu beberapa kali menelan untuk mendorong
habis semua bolus makanan, sehingga waktu yang diperlukan tiap suapan makan hampir 1
menit. Dia juga menolak makan setelah diberikan beberapa suap. Hasil pemeriksaan
videofluoroskopi tampak sejumlah sisa makanan tertahan di dalam faring dan berkurangnya
gerakan peristaltik untuk semua jenis tekstur makanan yang diberikan. Tampak sedikit
aspirasi (silent trace aspiration). Keadaan ini tidak membaik walaupun telah dilakukan
perubahan posisi waktu makan. Dengan demikian disimpulkan Astrid berisiko tinggi terjadi
aspirasi bila makan peroral tetap diteruskan. Dua hari kemudian dilakukan operasi. Evaluasi
paska operasi menunjukkan proses menelan fase oral maupun fase faringeal masih lambat
disertai bunyi degukan, dan masih menolak makan. Bahkan hasrat makannya semakin turun
dibandingkan sebelum operasi. Pernafasannya tampak ada hambatan sehingga dilakukan
fisioterapi. Tiga hari kemudian Astrid masih menolak makan. Pemantauan selanjutnya berat
badan Astrid turun sampai 6 ons. Atas anjuran spesialis gizi ditambahkan Policore ke dalam
dietnya untuk meningkatkan kebutuhan kalorinya serta makanan kecil (snack). Kemudian
Astrid dipulangkan dan dijadwalkan 2 minggu lagi dievaluasi kembali oleh tim
interdisipliner di Feeding Clinic. Dua minggu kemudian tim interdisipliner memutuskan
bahwa Astrid harus menjalani gastrostomy (GT) guna menjamin kebutuhan nutrisinya dan
mencegah risiko aspirasi. Beberapa minggu setelah dilakukan GT, Astrid dipulangkan dan
pada orang tuanya diberikan pedoman agar tetap melakukan stimulasi makan peroral (oral
motor stimulation). Dianjurkan memberikan makanan dalam berbagai rasa dan tekstur
sedikit demi sedikit guna mengurangi terjadinya aspirasi. Ternyata dengan stimulasi oral ini
lama kelamaan dapat disenangi Astrid. Akhirnya kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi melalui
makan minum peroral tanpa komplikasi aspirasi dan kesehatannya makin lama makin
membaik.

Pendahuluan
Kemajuan teknologi kedokteran lebih dari tiga dekade ini memungkinkan banyaknya
bayi yang lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) bahkan berat badan lahir sangat
rendah (BBLSR) atau dengan sakit gawat, dapat dipertahankan hidupnya. Namun sebagian
besar bayi dan anak ini akan menghadapi pula masalah-masalah medis yang cukup bermakna
dalam perkembangan selanjutnya. Beberapa diantara bayi ini akan mengalami komplikasi atau
cacat di kemudian hari antara lain menderita retardasi mental, serebral palsi, masalah penyakit
paru kronis atau gangguan neurologis. Akibat hal tersebut perlu strategi baru untuk mengatasi
masalah-masalah ini yang sebelumnya jarang ditemui. Beberapa dari masalah yang paling
menonjol adalah yang berhubungan dengan gangguan fungsi gerakan motorik mulut (oral-
motor function), gangguan menelan, makan dan atau berkomunikasi. Dengan demikian
kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran dalam usaha mempertahankan kehidupan
telah menyebabkan pula munculnya masalah baru yang memerlukan pencarian solusinya.
Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak dengan gangguan menelan menjadi
masalah yang unik bagi para klinisi. Aspek penatalaksanaan disfagia pada orang dewasa tidak
dapat diaplikasikan pada bayi dan anak karena perbedaan struktur anatomi dan maturasi
neurologis yang belum sempurna. Bayi dan anak yang menderita gangguan menelan serta
gangguan makan minum peroral memerlukan tatalaksana dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembang anak, yaitu aspek yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan organ menelan, perkembangan refleks-refleks motorik mulut,
serta maturasi perkembangan perilaku makan yang berhubungan erat dengan hubungan orang
tua dan anak. Perolehan nutrisi yang adekuat untuk menjamin pertumbuhan somatik dan
pengaruh-pengaruh isapan bayi bersifat nonnutritive harus dipertimbangkan dalam usaha
pendekatan diagnosis dan terapi penderita dengan gangguan menelan. Selain itu kebanyakan
penderita anak dengan gangguan menelan mempunyai kemampuan kognitif yang kurang dan
memerlukan terapi oleh beberapa spesialis (interdisciplinary team), terutama anak dengan
penyakit sistem saraf pusat yang tatalaksananya sangat rumit.
1,2

Definisi
Disfagia secara alami didefinisikan berdasarkan sifatnya yaitu kesulitan sewaktu
menelan. Sedangkan odinofagia adalah rasa nyeri yang dirasakan sewaktu menelan. Fungsi
gerakan motorik mulut (motor-oral function) ialah semua aspek yang mencakup fungsi
motorik dan sensorik dari struktur rongga mulut dan faring yang berhubungan dengan proses
menelan sampai makanan masuk ke dalam esofagus.
Deglutisi (deglutition) adalah kegiatan menelan dan merupakan salah satu proses
dalam arti konteks yang luas dari makan. Namun deglutition dalam literatur lebih banyak
disebut dengan proses menelan (swallowing) yang didefinisikan sebagai aksi semiotomatik
gerakan otot-otot saluran pernafasan dan saluran pencernaan mendorong makanan dari rongga
mulut ke dalam lambung.
6,10

Kejadian
Data epidemiologis mengenai berapa kejadian disfagia yang akurat pada bayi dan anak
belum ada, karena disfagia bukan masalah yang berdiri sendiri, namun merupakan keluhan
dari berbagai keadaan. Keadaan ini lebih sering terjadi pada bayi-bayi dan anak dengan
gangguan yang multikompleks. Faktor predisposisi terjadinya disfagia adalah gangguan sistem
saraf pusat atau perifer, penyakit otot, kelainan struktur rongga mulut dan faring.
Kelompok lain yang berisiko terjadinya disfagia adalah kelompok yang mengalami
disfungsi perkembangan menelan termasuk komplikasinya yaitu bayi prematur yang koordinasi
pernafasan dan menelannya belum baik, bayi-bayi yang mengalami kehilangan kemampuan
makan peroral yang telah berlangsung lama, serta bayi-bayi dengan penyakit paru kronis.
3,5

Etiologi
Oleh karena disfagia merupakan keluhan (symptom) maka etiologinya dibagi
berdasarkan gangguan-gangguan yang mendasari terjadinya disfagia pada bayi dan anak seperti
terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan anak
I. Prematuritas
II. Anomali jalan udara dan jalan makanan atas
A. Hidung dan nasofaring
1. Atresia dan stenosis koana
2. Infeksi hidung dan sinus
3. Deviasi septum
4. Tumor
B. Rongga mulut dan orofaring
1. Defek lidah dan prosesus alveolaris
2. Bibir terbelah dan palatum terbelah
3. Stenosis dan selaput pada hipofaring
4. Sindrom kraniofasial (spt: Pierre-Robin, Crouzon, Trecher-Collins,
Goldenhar)
5. Sindrom Down
6. Sindrom Backwich
7. Ankilo glossi
C. Laring
1. Stenosis dan selaput pada laring
2. Laring terbelah
3. Paralisis
4. Laringomalasia
III. Defek kongenital laring, trakea dan esofagus
A. Celah laringo-trakeo-esofagus
B. Fistel trakeo-esofagus, atresia esofagus
C. Striktur dan selaput pada esofagus
D. Anomali vaskuler
1. Arteri subklavia kanan yang menyimpang
2. Arkus aorta yang kembar
3. Arkus aorta kanan dengan ligamentum kiri
IV. Defek anatomi yang didapat
A. Trauma
1. Trauma luar seperti bahan kimia (caustic agent)
2. Trauma karena endoskopi dan intubasi
V. Defek neurologis
A. Penyakit-penyakit susunan saraf pusat
1. Trauma kepala
2. Kerusakan otak oleh karena hipoksia
3. Atrofi korteks, mikrosefali, anensefali
4. Infeksi: meningitis, abses otak
5. Mielomeningokel
6. Palsi serebral
7. Botulisme
8. Infeksi
9. Rabies
B. Penyakit sistem saraf perifer
1. Trauma
2. Kongenital
C. Penyakit neuromuskular
1. Distrofi muskular miotonik
2. Miestania gravis
3. Sindrom Guillain-Barre
4. Poliomielitis (paralysis bulbaris)
5. Hipotiroid
6. Sindrom floppy infant
D. Lain-lain
1. Akalasia
2. Akalasia krikofaringeal
3. Spasme esofageal
4. Esofagitis
5. Disautonomia
6. Paralisis esofagus (atoni)
7. Fistel trakeo-esofagus / atresia esofagus
8. Timus servikal yang menyimpang
9. Disfagia konversi
10. Stenosis pilorus hipertrofi
11. Kelainan jantung bawaan
Sumber :Orenstein
3

Patogenesis
Untuk dapat menjelaskan patogenesis disfagia perlu pemahaman anatomi dan fisiologi
menelan secara normal. Proses menelan selain berperan sebagai transport makanan juga
berperan memindahkan sekret-sekret dan partikel-partikel dari saluran napas atas mencegah
masuknya bahan-bahan asing tersebut ke dalam saluran napas bawah. Proses menelan
melibatkan banyak struktur yang fungsinya saling berinteraksi melalui jalan yang sangat rumit.
Saluran aerodigestif atas (upper aerodigestive tract) terdiri dari rongga mulut, faring, laring,
trakea dan esofagus (Gambar 1a dan 1b). Saluran aerodigestif bawah (lower aerodigestive tract)
terdiri dari paru-paru dan saluran pencernaan bagian bawah (the lower digestive tract) yang
dibentuk oleh lambung, usus kecil dan usus besar. Terdapat perbedaan yang bermakna antara
anatomi saluran aerodigestif bayi dan dewasa. Rongga mulut bayi waktu istirahat menempatkan
lidah lebih kedepan dibanding dewasa. Berbeda dari dewasa, bayi mempunyai bantalan
pengisap yang terdiri dari jaringan lemak yang padat, rapi dalam muskulus maseter. Bantalan
ini berperan menstabilkan pipi dan akan menghilang saat berumur 4-6 bulan. Selanjutnya besar
rongga mulut bayi berkurang karena mandibula relatif lebih kecil dan menyebabkan lidah
kelihatan lebih besar dalam rongga mulut. Dekatnya hubungan lidah, palatum mole dan faring
dengan laring menyebabkan leher bayi lebih tinggi daripada dewasa yang memudahkan bayi
bernafas melalui hidung. Hal ini berkaitan dengan masa umur 3-4 bulan pertama kehidupan
bayi, yaitu ketika bayi masih lebih banyak bernafas melalui mulut maupun hidung. Di dalam
rongga mulut terdapat sulkus lateral, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau
maksila dengan pipi; dan sulkus anterior, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau
maksila dengan otot-otot bibir. Ruang-ruang ini penting artinya pada penderita dengan
masalah motorik mulut dengan terbentuknya kantong-kantong yang berisi makanan atau
cairan akibat menyangkutnya makanan atau cairan di dalam ruang tersebut.
Pada bayi baru lahir faring membentuk suatu lengkungan yang mulus dari nasofaring
menurun ke hipofaring. Dalam perkembangan selanjutnya sampai dewasa, lengkung ini
berubah membentuk sudut diantara nasofaring dengan orofaring mendekati 90
o
. Beberapa
struktur yang terdapat di dalam rongga mulut, faring, nasofaring, orofaring, hipofaring
berperan penting dalam proses kegiatan makan minum. Laring yang terdiri dari struktur yang
kompleks mempunyai tiga fungsi utama selain berperan melindungi jalan nafas waktu kegiatan
makan minum, juga berperan untuk pernafasan dan pembentukan suara (phonatory).
6,7



1. Frekuensi menelan.
Perkiraan frekuensi proses menelan pada anak berkisar 600-1000 kali/hari, pada orang
dewasa dapat mencapai sampai 2400 kali/hari. Frekuensi tertingi terjadi sewaktu kegiatan
makan dan frekuensi paling kecil adalah selama tidur. Disamping untuk makan, tujuan
menelan juga untuk memindahkan air liur dan sekret-sekret mukosa dari rongga mulut,
hidung, dan faring. Menurunnya frekuensi menelan, mengakibatkan air liur menetes ke
dagu (drooling).

2. Fisiologi menelan
Fisiologi proses menelan dibagi dalam 4 fase yaitu :
a. Fase persiapan oral
b. Fase oral
c. Fase faringeal
d. Fase esofageal

Gambar 1a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif atas struktur rongga mulut dan faring dapat dlihat
begitu juga pintu masuk laring, trakea dan esofagus
Gambar 1b. Dari gambaran samping saluran aerodigestif atas menunjukan batas anatomi nasofaring,orofaring
dan hipofaring
Dua fase pertama seluruhnya disadari. Fase faringeal disadari dan tidak disadari. Sedangkan
fase esofageal seluruhnya tidak disadari. Urutan-urutan gerakan-gerakan menelan dapat dilihat
pada gambar 2.

Fase persiapan oral
Fase ini terjadi disadari, lamanya bervariasi tergantung dari tekstur makanan. Pada fase ini
terjadi manipulasi makanan di dalam mulut membentuk bolus agar dapat dengan mudah
ditelan dengan aman. Pada bayi yang masih mengisap cairan, fase ini diselesaikan dalam
waktu yang singkat. Pada anak, makanan telah mulai diberikan dengan pengentalan atau
tekstur makanan yang digumpalkan sehingga fase persiapan ini diselesaikan selama
beberapa detik, karena lebih banyak waktu yang digunakan untuk mengunyah. Biasanya
cairan berada di dalam rongga mulut tidak lebih dari 2-3 detik. Bibir harus segera ditutup
setelah bahan makanan dan minuman dimasukkan ke dalam mulut agar tidak menetes ke
dagu. Beberapa anak mungkin memindah-mindahkan makanan di sekitar mulutnya terlebih
dulu sebelum mereka membentuk bolus yang sudah bersatu padu. Kemudian bolus ini
dipertahankan di antara lidah dan palatum durum sebelum mulai menelan. Selama fase ini,
palatum mole dalam posisi merendah guna membantu mencegah bolus atau cairan masuk
ke dalam faring sebelum fase menelan dimulai. Merendahnya palatum mole ini terjadi
secara aktif oleh kontraksi otot palatoglosus. Laring dan faring pada fase ini dalam keadaan
istirahat, jalan udara tetap terbuka dan pernafasan hidung terus berlangsung sampai
menelan dimulai.

Fase oral
Fase oral terjadi disadari dengan mulainya mendorong bolus makanan ke posterior dengan
lidah dan berakhir dengan terjadinya penelanan. Pada fase ini bagian-bagian fisik bolus
diubah oleh aktivitas di dalam rongga mulut termasuk besar, bentuk, volume, pH,
temperatur dan konsistensi. Pada awal proses menelan bolus terjadi dengan kontrol
kesadaran dan pada akhir proses menelan terjadi secara tidak disadari. Makanan/ cairan
minuman yang berada di dalam rongga mulut secara disadari menunjukkan adanya
perintah untuk mulainya menelan. Berbeda dengan menelan air liur, proses terjadi secara
otomatis pada awal menelan. Aksi memanipulasi bolus atau cairan makanan yang terjadi
secara disadari, termasuk meningginya lidah diikuti oleh gerakan langsung ke posterior
adalah akibat dari gerakan peristaltik. Hal ini menyebabkan terjadi kontak bolus secara
berurutan mulai dari palatum durum, palatum mole yang mendorong bolus masuk ke dalam
faring. Peninggian palatum mole yang berhadapan dengan dinding posterior faring
menyebabkan bolus masuk ke dalam faring. Bersamaan dengan waktu bolus meninggalkan
mulut, nasofaring dalam keadaan tertutup guna mencegah refluks nasofaringeal. Waktu
normal yang diperlukan menelan fase oral ini berlangsung kurang dari 1 detik.

Fase faringeal
Fase faringeal dimulai dengan terbentuknya keadaan menelan, dengan meningginya
palatum mole untuk menutup nasofaring. Fase faringeal terdiri dari kontraksi peristaltik
otot konstriktor faringeal guna mendorong bolus melalui faring yang terjadi secara refleks
melibatkan gerakan-gerakan unik yang merupakan suatu urutan proses yang terkoordinasi.
Umumnya fase faringeal berlangsung selama hampir 1 detik. Selama menelan, epiglotis
berpindah ke bawah, akibat kontraksi sfingter otot intrinsik laring termasuk aritenoid dan
epiglotis sehingga menutup selaput suara. Bersamaan dengan itu laring meninggi dan
tertarik ke depan menjauh dari jalannya bolus. Tujuan menelan pada fase faringeal adalah
untuk transport bolus secara sempurna melalui faring, krikofaring dan sfingter esofagus
atas.

Fase esofageal
Fase esofageal terdiri dari gelombang peristaltik yang otomatis membawa bolus ke dalam
lambung dan mencegah terjadinya risiko refluks esofageal, yaitu masuknya kembali bahan
makanan/minuman dari esofagus kembali ke dalam faring. Refluks gastroesofageal juga
dicegah oleh kontraksi tonik dari muskulus krikofaringeus. Kadang-kadang masih terjadi
refluks dalam jumlah kecil, namun dipandang normal pada bayi-bayi. Gelombang-
gelombang peristaltik berperan mendorong bolus melalui esofagus dan gastroesophageal
junction.
Keempat fase menelan ini berlangsung secara terkoordinasi dan berurutan satu sama lain
sehingga proses menelan berlangsung efektif dan aman tanpa terjadi komplikasi aspirasi.
Persarafan yang terlibat dalam koordinasi proses menelan ini dapat dilihat pada gambar 3.




Gambar 2. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan yang
normal.A. Fase oral.B. Fase awal faringeal.C. Bolus bergerak melewati faring. D.Bolus
memasuki esofagus E. Bolus didalamesofagus.
Jalur desending supranuklear
Kortikal dan subkortikal
Fasikulus solitarius
Traktus nukleus soliterius
Dan ventral medial
Formasi retikuler
Pola sentral generator
Nukleus motor
Saraf kranial
V,VII,IX,X,XII
Afferen primer
Saraf kranial
V,VII,IX,X,XII
Pons dan
medulla
Medulla
Efferen primer
Saraf kranial
V,VII,IX,X,XII



Setiap gangguan yang menyebabkan tidak terkoordinasinya fase-fase menelan ini dengan
baik akan menyebabkan gangguan proses menelan atau disfagia.
6,7
Patogenesis dan
patomekanisme gangguan itu dapat disebabkan oleh:
1. Kelainan anatomi saluran pencernaan dan saluran pernafasan atas (upper
aerodigestive) yang berhubungan dengan proses menelan baik yang dibawa sejak lahir
maupun yang didapat seperti agenesis, stenosis, defek anatomis, tekanan mekanik oleh
masa tumor, striktur karena trauma fisik maupun bahan kimia.
2. Gangguan neuromuskular baik sentral maupun perifer dari saluran pencernaan dan
saluran pernafasan atas yang berhubungan dengan proses menelan baik yang bawaan
maupun didapat seperti kelemahan otot-otot rongga mulut dan lidah (oral-motor
function) yang mencakup bibir, pipi, lidah, palatum, faring dan laring, esofagus, dan
gangguan motilitas esofagus, lambung dan duodenum (kelemahan kontraksi
peristaltik).
3. Faktor psikologis misalnya hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis.

Gejala Klinis
Gejala klinis disfagia dapat dilihat dengan melakukan pengamatan langsung pada bayi
dan anak yang sedang makan minum. Gejala klinis sangat bervariasi tergantung dari etiologi
yang mendasari timbulnya gejala disfagia. Selain gejala disfagia secara klinis, gejala penyakit
dasarnya dapat ditemukan. Pada pengamatan langsung bayi dan anak waktu makan dapat
dilihat gejala kesulitan menelan, disertai gejala lain seperti kesulitan makan, kesukaran
mengunyah, kesukaran mengisap, kesulitan menyusu, serta menolak makan dan minum.
Mungkin disertai liur yang menetes secara berlebihan atau makanan yang tumpah dari mulut,
adanya hambatan/sumbatan, batuk disertai tercekik, tedengar suara degukan, muntah sewaktu
makan atau disertai rewel setiap makan. Kadang-kadang mungkin ditemukan gejala-gejala
perilaku yang tidak normal waktu makan misalnya dengan mendorong lidah atau rahang,
makan hanya mau terhadap makanan tertentu saja, diikuti gejala komplikasi seperti berat
badan tidak bertambah sesuai umur (malnutrisisi ringan sampai berat) dan gejala infeksi
saluran pernafasan yang berulang atau kronis karena aspirasi. Dengan mengamati gejala klinis
yang ada dapat pula diperkirakan lokasi terjadinya gangguan misalnya menelan fase oral atau
fase faringeal. Bila penyakit dasarnya karena refluks gastroesofagus tampak bayi muntah tiap
habis minum, sedangkan pada anak mungkin memerlukan posisi tertentu waktu makan atau
menunjukkan gejala kegelisahan waktu makan.
3,4,7

Diagnosis
Gambar 3.Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan sinyal afferen
antara lain saraf kranial,kortikal dan jalur subkortikal menuju Nukleus Traktus
Solitarius(NTS) dan Ventral Medial Retikular Formation(VMRF)(sist. generator
sentral). Sinap saraf efferen dengan Inti motor primer saraf pusat V,VII,IX,X dan XII.
1. Aloanamnesis
Pendekatan diagnosis anak dengan disfagia harus dimulai dengan menanyakan riwayat
makannya. Namun untuk mendapatkan riwayat makan yang akurat mungkin mendapat
kesulitan karena berbagai alasan. Pertama anak dengan gangguan menelan yang berat
sering disertai keterbatasan kemampuan kognitif, yang menyebabkan komunikasi langsung
dengan penderita tidak memungkinkan. Karena itu riwayat makan harus didapat langsung
dari orang yang terlibat dalam pengasuhan anak seperti orang tua atau pengasuh. Kedua,
berdasarkan pengalaman, anak dengan gangguan menelan sering menderita aspirasi tanpa
menimbulkan batuk, suatu fenomena yang dikenal dengan silent aspiration.
Konsekuensinya sukar memprediksi dengan akurat apakah bahan makanan ditelan
semuanya tanpa adanya aspirasi, semata-mata hanya berdasarkan riwayat makannya atau
dengan pemeriksaan klinis saja.
Riwayat makan anak harus mencakup secara keseluruhan termasuk metode makan yaitu
makan menggunakan alat-alat tertentu, bagaimana posisi kepala, leher dan badan selama
makan, volume dari makanan yang ditawarkan, volume dari makanan yang ditolerir/yang
ditelan, serta konsistensi dari makanan yang ditawarkan dan yang ditolerir. Perlu digali ada
tidaknya proses mengunyah, waktu yang digunakan untuk makan, ada tidaknya riwayat
selain disfagia disertai odinofagia, ada tidaknya air liur menetes secara berlebihan (yang
diduga adanya gangguan menelan fase oral), riwayat adanya hambatan/sumbatan, tercekik
dan ada tidaknya suara degukan atau batuk yang berhubungan dengan makan. Apakah
keluhan-keluhan ini terjadi sebelum, selama atau setelah menelan, dapat membantu
menentukan fase dan lokasi yang dikenai. Keluhan-keluhan yang terjadi sebelum menelan
diduga kelainan kontrol oral, namun bila terjadi selama/sewaktu menelan menunjukkan
disfungsi fase faringeal. Tersumbat/terhambat dan tercekik setelah menelan dengan lengkap
mungkin terdapat gangguan pembersihan faring akibat kelemahan otot-otot menelan
dan/atau tidak adanya koordinasi otot-otot atau gangguan dari sfingter esofagus atas.
Makan yang berlangsung lebih dari 30 menit harus disadari oleh para klinisi kemungkinan
adanya disfagia. Adanya kelemahan mengisap, hilangnya kemampuan makan peroral,
kurangnya mengunyah atau makanan disimpan di pipi (pocketing food) mungkin terdapat
kelainan pada tingkat oral. Kelainan pada fase faringeal sering menimbulkan gejala
hambatan (gagging), batuk, tercekik dan distres pernafasan sewaktu makan. Makan disertai
muntah atau dengan melengkungkan badan, tercekik dan lekas marah (irritable) sering
terjadi karena kelainan fase esofageal seperti refluks esofagus. Di samping riwayat makan
minum, perlu ditanyakan pula penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya
trauma kepala, kelainan bawaan yang telah dikoreksi dengan operasi dan lain sebagainya.
Selain riwayat makan, yang sangat perlu ditanyakan adalah evaluasi nutrisinya secara
menyeluruh dari anak yang menderita gangguan menelan, karena tujuan akhir secara klinis
selain menegakkan diagnosis juga menentukan status nutrisi penderita sekarang. Tentukan
kalori dan protein yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal, dan perencanaan mendapatkan rute atau cara pemberian makan sementara.
Konsultasi dengan dokter ahli gizi anak akan membantu perencanaan program nutrisinya
secara konperehensif.
3,4
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak dengan disfagia harus mencakup secara keseluruhan
sebagaimana pemeriksaan yang dilakukan secara rutin pada setiap bayi dan anak sakit.
Selain itu pemeriksaan harus mencakup struktur-struktur rongga mulut dan faring. Bila
didapat struktur yang abnormal dan/atau diduga ada kelainan di dalam faring, maka perlu
dilakukan konsultasi ke spesialis THT. Perlu dicatat ada tidaknya refleks
sumbatan/hambatan. Perlu diperhatikan apakah ada kelainan anatomi atau kelainan
struktur rongga mulut, misalnya akibat tekanan mekanik oleh tumor, serta adanya kelainan
struktur organ-organ yang mempengaruhi proses menelan. Perlu diperiksa adanya kelainan
karena trauma fisik maupun trauma bahan kimia (caustic agent) atau tanda-tanda infeksi
yang menyebabkan gangguan menelan. Lakukan pemeriksaan status gizi, dan perhatikan
ada tidaknya komplikasi seperti malnutrisi atau gejala penyakit paru kronis.
3,4

3. Pemeriksaan percobaan makan
Hasil diagnostik uji coba makan sangat besar artinya dalam menilai gangguan yang terjadi
dan untuk perencanaan tatalaksana selanjutnya. Pengamatan uji coba makan harus bekerja
sama dengan spesialis terapi makan, spesialis terapi bicara dan berbahasa (speech-language
pathologist) atau dengan occupational therapist. Melalui pengamatan selama uji coba
makan dapat diketahui ada tidaknya kemampuan fungsi motor-oral yang sesuai dengan
umur. Kemampuan makan/minum peroral ini harus ditinjau secara rinci oleh masing-
masing spesialis dari tim pelaksana terapi. Selama uji coba makan/minum peroral perlu
dipantau dan dicatat kemungkinan adanya gerakan-gerakan abnormal, seperti memasukkan
atau mendorong rahang, mendorong lidah, ada tidaknya refleks tonik menggigit atau refleks
cengkeraman rahang. Adanya refleks yang seharusnya sudah menghilang sesuai umur,
seperti phasic bite reflex dan suckle feeding reflex yang merupakan refleks primitif, dapat
membantu perkiraan kelainan yang mendasarinya. Dengan memperhatikan gerakan-
gerakan rahang, gerakan mengunyah dan kemampuan gerakan-gerakan lidah, dapat dinilai
derajat berat ringannya gangguan dan perkiraan komplikasi yang mungkin terjadi akibat
disfagia.
Pada bayi, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama adanya keluhan disfagia waktu mengisap
puting susu ibu/dot susu botol. Tampak bayi menyusu tidak tahan lama, dan puting sangat
mudah dipindah-pindah atau dikeluarkan dari mulutnya. Sedikitnya jumlah gelembung
udara yang timbul di dalam botol susu selama minum susu botol atau bertambahnya
kehilangan cairan disekitar dot dan mulut, menggambarkan kelemahan mengisap.
Peningkatan jumlah menelan bolus pada berbagai macam tekstur makanan disertai suara
degukan setelah menelan menunjukkan adanya dugaan gangguan motilitas faring. Batuk
yang berlebihan selama minum, tercekik, nafas yang cepat, atau adanya hambatan mungkin
disebabkan disfagia daerah orofaring. Posisi kepala, leher dan badan selama makan/minum
peroral harus dicatat.
3,4

4. Pemeriksaan videofluoroskopi
Pemeriksaan videofluoroskopi merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengevaluasi bayi
dan anak dengan gangguan menelan. Pemeriksaan ini memberikan arti yang terbaik dalam
menentukan anatomi mulut, faring dan esofagus serta dapat memberikan bukti yang sangat
objektif ada tidaknya koordinasi yang baik dari fase-fase menelan oral, faringeal, maupun
esofageal. Melalui pemeriksaan ini dapat dideteksi episode-episode terjadinya aspirasi serta
membantu identifikasi ada tidaknya kontraindikasi pemberian makan/minum peroral.
Pemeriksaan videofluoroskopi selain bernilai untuk diagnostik juga berperan dalam
merekomendasikan terapi karena dapat menentukan karakteristik bolus makanan yang
aman untuk ditelan (besar bolus dan konsistensinya). Selain itu melalui pemeriksaan
videofluoroskopi dapat diputuskan perlu tidaknya tindakan medis maupun tindakan bedah
dalam tatalaksana penderita.
Pemeriksaan videofluoroskopi harus dikerjakan bersama-sama oleh tim, terutama terdiri
dari spesialis radiologi, spesialis teknologi radiologi dan spesialis terapi bicara dan
berbahasa (speech-language pathologist). Kesimpulan hasil pemeriksaan videofluoroskopi
secara rinci biasanya dilaporkan kepada seluruh tim terapi. Sayangnya pemeriksaan ini
melibatkan ekspansi radiasi yang sangat banyak. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang
memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi menelan dapat dilihat pada Tabel 3.2.
3,4

5. Pemeriksaan diagnostik tambahan
Beberapa pemeriksaan menggunakan alat canggih lainnya mungkin diperlukan sebagai
tambahan, namun lebih banyak diindikasikan untuk diagnosis dan mengevaluasi penyakit
primernya, misalnya pemeriksaan CT scan bila dicurigai adanya tumor, pemeriksaan MRI
untuk melihat massa lunak, dan pemeriksaan USG untuk melihat penyempitan lumen.
Begitu juga dengan pemeriksaan endoskopi maupun pemeriksaan radiologi yang dilakukan
atas indikasi yang jelas.
3,4

Tabel 3.2. Keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan
videofluoroskopi menelan

Kategori Keluhan-keluhan/gejala
Sewaktu makan Batuk, sumbatan, air ludah menetes berlebihan, hambatan yang
berlebihan, suara degukan yang keras, iritabel.
Menolak makan, kesadaran menurun, makan terlalu lama lebih dari 30
menit.
Keadaan paru Sering atau menderita pnemoni berulang, infeksi saluran pernafasan atas
berulang, penyakit paru kronis, infiltrat pada pemeriksaan foto toraks.
Kesehatan
umum dan
saluran cerna
Sering atau panas yang subfebril berulang, berat badan yang tidak naik.
Berat badan yang semakin turun, sering mual, refluks.
Neurologis Gerakan mulut ang tidak terkoordinasi atau kelemahan, berkurang
sensasi mulut.
Struktur Dugaan adanya fistel trakeoesofagus, paralisis/ paresis selaput suara.
Sumber: Orenstein
3


Terapi
Terapi gangguan menelan pada bayi dan anak memerlukan perencanaan yang tersendiri,
melihat kasus perkasus, karena dasar kelainan yang menyebabkan disfagia pada anak berbeda-
beda. Perencanaan terapi tergantung dari kelainan yang mendasari timbulnya disfagia, apakah
karena kelainan anatomis, perkembangan fungsi motorik dan koordinasi fase-fase menelan
yang belum baik, atau gangguan fungsi neuromuskular, dan harus jelas pula jenis defisit
neurologis yang terjadi. Sebelum merencanakan terapi harus dilakukan terlebih dulu evaluasi
secara menyeluruh penyakit yang mendasari timbulnya disfagia termasuk kronologi
perkembangan mental, status fisiologis, status psikologis dan perilaku anak. Kesemuanya itu
akan mempengaruhi program terapi, yang selanjutnya akan mempengaruhi pula tumbuh
kembang fisik maupun mental anak di kemudian hari. Karena itu, dalam perencanaan terapi
pada bayi dan anak dengan disfagia, perlu melibatkan berbagai spesialis ilmu secara tim
(interdisciplinary team), karena tujuan terapi bukan hanya terfokus untuk program tercapainya
makan/minum yang aman secara oral saja, namun juga mencakup kemampuan berbicara dan
berkomunikasi.
Harus diingat bahwa anak yang menderita disfagia sering disertai gangguan kognitif
(gangguan kemampuan berbicara, berkomunikasi dan gangguan perkembangan emosional)
yang memerlukan penatalaksanaan secara adekuat. Berbeda dengan terapi makan/minum,
tujuan utama terapi gangguan kognitif adalah melatih fungsi motorik mulut (oral motor
treatment) untuk mengembangkan koordinasi gerakan-gerakan mulut, sistem pernafasan dan
fonetik agar dapat berkomunikasi dan mendukung berkembangnya emosional anak dan
sekaligus tercapainya kemampuan makan peroral. Keberhasilan terapi sangat tergantung dari
pengalaman masing-masing para spesialis, karena itu untuk memaksimalkan keberhasilan,
pencapaian terapi perlu melibatkan berbagai spesialis dalam satu tim yang biasanya terdiri dari
spesialis perkembangan anak atau spesialis neurologi anak, spesialis gizi anak, occupational
therapist, dan spesialis untuk perkembangan motorik dan sensorik mulut seperti spesialis
patologi berbicara dan berbahasa. Konsultan untuk masalah yang khusus termasuk ahli
gastroenterologi, ahli pulmonologi, ahli THT, ahli radiologi, dan psikolog juga diperlukan
dalam tim.
Prinsip utama terapi bayi dan anak yang menderita disfagia adalah melakukan
pelatihan-pelatihan terhadap fungsi sensorik dan motorik mulut sehingga tercapai kemampuan
makan peroral yang aman tanpa terjadi komplikasi, sekaligus melatih kemampuan kognitif
sehingga tercapai perkembangan komunikasi dan emosional yang normal. Biasanya terapi yang
dianjurkan adalah terapi yang berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan dengan aman
(yaitu transfer makanan dari rongga mulut masuk ke dalam esofagus tanpa masuk ke dalam
laring atau ke dalam trakea). Banyak teknik dilakukan untuk pelatihan makan peroral atau
stimulasi oral terutama untuk mengurangi rasa hipersensitivitas, stabilitas posisi tubuh dan
mengoptimalkan respon motorik dari mekanisme menelan peroral. Beberapa pilihan cara terapi
yang digunakan untuk anak dengan gangguan menelan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
3,8
Tabel 3.3. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan fungsi menelan
Sumber: Arvedson
1

1. Pember
ian makan
melalui pipa
(feeding tube)
Untuk
tercapainya
kemampuan
minum peroral
yang efektif dan
aman pada bayi
dan anak
disfagia
diperlukan pelatihan-pelatihan khusus yang mencakup kemampuan fungsi sensorik dan
motorik mulut. Apabila kemampuan memperoleh kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi melalui
pelatihan minum/makan peroral, maka pemenuhan kebutuhan nutrisi sementara perlu
diberikan melalui jalur lain menggunakan pipa, baik pipa orogastrik (OG), nasogastrik
(NG), nasoduodenal (ND), nasojejunal (NJ) dan pipa gastrostomy (GT). Pilihan pemberian
makan melalui GT jarang dilakukan kecuali bila pemberian makan melalui OG dan NG
memerlukan waktu lama (beberapa minggu).
Pipa OG, adalah pipa yang dipasang melalui rongga mulut, faring, esofagus terus ke dalam
lambung. Biasanya pemberian minum melalui pipa ini dilakukan pada bayi prematur,
dengan keuntungan tidak menghalangi jalan nafas melalui hidung. Pipa harus diganti secara
teratur setiap 3-4 hari. Kerugian cara ini menyebabkan palatum mole tidak dapat menutup
secara aktif, mengakibatkan tidak cukupnya terbentuk tekanan di dalam rongga mulut yang
diperlukan untuk mengisap dan menelan dengan efisien. Komplikasi yang sering ditemukan
adalah muntah, refluks esofagus dan waktu pengosongan lambung yang lambat. Pemberian
minum melalui OG dan NG pada bayi selain mengganggu aktivitas mengisap dan menelan,
dapat menimbulkan iritasi yang tidak menyenangkan. Pemberian minum/makan melalui
ND, dilakukan dengan memasang pipa melalui hidung, faring, esofagus, lambung dan
duodenum atau terus melalui jejunum (NJ). Cara ini dilakukan bila terjadi refluks esofagus.
Pemasangan pipa ND dan NJ dilakukan dengan bantuan fluoroskopi.
Keuntungan pemberian makan minum melalui pipa OG, NG, ND atau NJ hanya bersifat
sementara dan pemasangannya tidak memerlukan tindakan bedah maupun anastesi.
Kerugian utama cara ini menyebabkan tidak adanya efek stimulasi sensorik maupun
1. Modifikasi bolus, modifikasi volume, modifikasi bagian-bagian bolus (misalnya
konsistensi bolus)
2. Pengaturan posisi kepala, leher, badan selama kegiatan makan minum
3. Penempatan bolus yang sesuai di dalam rongga mulut
4. Mengontrol stabilisasi rahang.
5. Memodifikasi sensitivitas mulut
6. Meniadakan kebiasaan-kebiasan perilaku makan yang abnormal
7. Sensitisasi/ stimulasi panas
8. Latihan-latihan menelan
- Resistensi lidah / gerakan-gerakan lidah
- Adduksi laring
9. Mengadakan gerakan-gerakan protektif seperti prosedur menelan supraglotik
(supraglottic swallow procedure)
10. Miotomi krikofaringeal
11. Mengisap makanan menggunakan valved feeding bottle
12. Mengusahakan makan pengganti secara oral dengan cara enteral
- Sonde lambung (nasogastric feeding)
- Tabung gastrostomi (tube gastrostomy / surgical or endoscopic
motorik terhadap rongga mulut dan menyebabkan iritasi mukosa hidung dan faring bila
digunakan dalam jangka lama. Bayi juga akan merasakan gangguan yang tidak
mengenakkan karena insersi pipa pada kulit muka maupun disekitar mulutnya. Pemberian
makan minum melalui GT hanya dilakukan sebagai pengganti, bila pemberian makan
minum melalui OG, NG, ND maupun NJ memerlukan waktu lama lebih dari 3-6 bulan.
Keuntungan pemberian minum makan melalui GT adalah daerah yang mengalami
perlakuan terpisah jauh dari mulut sehingga bayi masih dapat berlatih menggunakan
sensasi dan motorik mulutnya secara menyenangkan.
3,8,9

2. Terapi terhadap fungsi struktur anatomi.
Beberapa terapi yang ditujukan terhadap perbaikan fungsi rahang, bibir, pipi, lidah dan
palatum dapat dilihat dari tabel 3.4.

Tabel 3.4. Terapi motorik mulut dengan masalah struktur otomatis
Struktur Struktur Terapi
Rahang Daya dorong

Mencengkeram

Tarikan ke
dalam
Tidak stabil
Refleks
menggigit yang
kaku
Merangsang mulut dengan jari atau dengan mainan,
penyikatan gigi, meletakkan objek yang lembut diantara gigi.
Merangsang mulut dengan mainan agar membuka secara
berangsur-angsur, stimulasi yang menyenangkan pada muka.
Tidurkan dengan posisi telungkup, melakukan tarikan di
bawah rahang ke arah depan.
Latihan menutup rahang.
Berikan tekanan pada sendi temporomandibular, stimulasi
sensoris, menaruh sendok yang dibalut kasa di antara gigi.
Bibir Tarikan ke
dalam
Gerakan bibir
atas yang
terbatas
Memberikan getaran dengan ketokan jari pada pipi dan lidah,
latihan mengontrol rahang.
Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan temperatur,
melakukan tepukan dan ketokan jari, berikan minuman pakai
sedotan.
Pipi Tonus dan
sensoris yang
kurang
Ketokan dan tepukan pada sendi temporomandibular, berikan
makanan dalam berbagai tekstur dan temperatur.
Lidah Daya dorong

Kontrol rahang, latihan membersihkan cairan yang
dikentalkan pada bibir, menempatkan makanan disamping
gusi, latihan-latihan gerakan lidah ke lateral.
Menaruh sendok di tengah-tengah lidah dan menekannya ke

Tarikan ke
dalam


Hipotoni


Penyimpangan

Gerakan terbatas
bawah.
Tidurkan dengan posisi telungkup, mengetok lidah dari
belakang ke arah depan, mendorong dagu ke posisinya waktu
berdiri tegak, tepukan di bawah dagu arah ke atas.
Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan rasa untuk
meningkatkan input sensoris.
Berikan makanan yang jumlahnya dinaikkan sedikit demi
sedikit.
Mempertahankan posisi kepala tetap di garis tengah, stimulasi
bagian lidah yang kurang aktif dengan jari, atau dengan
mainan, sikat gigi.
Berikan makanan dalam berbagai tekstur, temperatur dan
rasa, memberikan getaran pada lidah.
Palatum Refluks
nasofaring
Lakukan posisi tegak atau posisi telungkup, mengaktifkan
fungsi pipi dan lidah, berikan cairan yang dikentalkan (jika
menelannya normal).
Sumber: Arvedson
1


3. Stimulasi mengisap dengan menggunakan bahan nonnutritive
Istilah nonnutritive sucking adalah semua yang mencakup pengisapan atau mengisap
berbagai obyek seperti dot, jari atau mainan. Hal ini berbeda dengan nutritive sucking yaitu
mengisap puting yang mengandung cairan (liquid), baik puting susu ibu maupun bentuk
puting yang lain. Gerakan-gerakan ritmik yang terjadi pada mulut bayi saat melakukan
nonnutritive sucking menunjukkan adanya kemampuan (skill) kesiapan minum peroral.
Kemampuan nonnutritive sucking ini dapat digunakan sebagai salah satu cara stimulasi
untuk melatih fungsi sensorik dan motorik mulut yang dapat dilakukan dalam berbagai cara
sesuai dengan jenis gangguan yang terjadi (Tabel 3.5). Para orang tua maupun pengasuh
dapat melaksanakan kegiatan stimulasi ini melalui pelatihan-pelatihan yang telah diberikan
oleh para spesialis.
3,8

Tabel 3.5. Beberapa cara stimulasi nonnutritive
Teknik Kapan dilakukan Bagaimana melakukannya
Usapan pada muka Hipersensitif mulut Menggunakan telapak tangan
atau jari ritmik dari pinggir ke
arah mulut dengan kuat tetapi
lemah lembut.
Mengusap lidah Bayi irama mengisapnya Meletakkan ujung jari di tengah
lidah dan usapkan ke depan
kurang dengan tekanan 4-6 kali tiap 1-2
usapan per detik.
Dot atau jari Bayi daya isap lemah, tidak
ada koordinasi, tidak ada
keinginan mengisap,
kurangnya tonus pipi.
Dot atau jari ditempatkan dalam
mulut dan pengasuh harus
mempertahankannya bila bayi
mendorongnya keluar.
Cotton swab dicelupkan
ke dalam air, susu
formula atau air susu
ibu
Bayi koordinasi mengisap
dan menelannya kurang,
sekuensial pernafasannya
tidak aman waktu minum.
Swab ditempatkan di tengah
lidah dengan tekanan ke bawah
sampai mengeluarkan sedikit
cairan dan diusapkan. Diulangi
sampai ditolerir dengan baik dan
menyenangkan.
Mengurangi stimulasi
sensoris
Kurangnya kemampuan
integrasi sensasi-sensasi
Mengurangi suara-suara gaduh,
derajat cahaya, bergoyang sambil
berjalan dengan irama tepukan,
mengikuti irama musik.
Sumber: Arvedson
1



4. Terapi disfagia dengan tindakan bedah
Bila memungkinkan terapi ditujukan kepada penyakit primer yang mendasari timbulnya
disfagia, misalnya kelainan struktur esofagus dapat dilakukan tindakan dilatasi atau operasi,
gangguan neuromuskular karena tumor otak dilakukan operasi tumornya, dan gangguan
motilitas esofagus dapat dilakukan tindakan miotomi. Adakalanya tindakan bedah dapat
juga dilakukan pada gangguan menelan fase esofageal akibat refluks gastroesofageal berat
yang tidak bisa dikontrol dengan terapi konservatif.
3

5. Terapi farmakologis
Beberapa kelainan yang menyebabkan disfagia dapat diterapi dengan menggunakan obat-
obatan (Pharmacologic treatment), misalnya disfagia yang disebabkan oleh penyakit
tetanus, polimiositis, hipertiroid, miastenia gravis dan lain-lain. Disfagia oleh karena
gangguan motilitas esofagus atau refluks esofagus dapat diberi obat-obat prokinetik seperti
motilin, cisapride, bethanecol, dan methoclopramide. Bila penyakit primernya infeksi maka
diberikan antibiotika yang sesuai.
11,12

Prognosis
Prognosis tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya disfagia. Berat
ringannya penyakit serta kemampuan serta pengalaman tim pelaksana terapi sangat
menentukan keberhasilan terapi.

Pecegahan
Belum ditemukan cara untuk mencegah terjadinya keluhan disfagia. Usaha pencegahan
ditujukan terhadap penyakit primernya yang menyebabkan gangguan neurologis yang
selanjutnya menyebabkan pula gangguan fungsi makan dan minum.


Daftar Pustaka
1. Brodsky L, Arvedson J. Introduction: Rationale for Interdisiplinary Care. Dalam Arvedson and Brodsky,
penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whurr
Publishers. 1993: 1-4.
2. Rogers B, Campbell J. Pediatric and Neurodevelopmental Evaluation. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting.
Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher.
1993: 53-91.
3. Orenstein SR. Dysphagia and Vomiting. Dalam Wyllie R, Hyams JS. penyunting, Pediatric Gastrointestinal
Disiase. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 135-150.
4. Tuchman DN. Disorders of Deglutition. Dalam Walker WA, Durie DR, Hamilton JR,Walker Smith JA. Watkins
WA, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Patho Physiology-Diagnosis-Management, Toronto, BC
Decker Inc. 1991: 359-366.
5. Rossi T. Pediatric Gastroenterology. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and
Feeding, Assesment and Management, SanDiego, California, Whur Publisher. 1993: 123-156.
6. Arvedson J, Rogers B, Brodsky L. Anatomy, Embryology and Physiology. Dalam: Arvedson and Brodsky,
penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding Assesment and Management, San Diego, California, Whurr
Publisher. 1993: 5-51.
7. Brodsky L, Volk M. The Airway and Swallowing. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and
Swallowing and Feeding. Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 93-122.
8. Arvedson J. Management of Swallowing Problem. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and
Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 327-387.
9. Young C. Nutrition. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding,
Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 157-208.
10. Dorsey III JT. Prokinetic Agents. Dalam Van Ness MM, Gurney MS, Jones DM, penyunting. Handbook of
Gastrointestinal Drug Therapy, 2
nd
Edit, London, Little Brown and Company. 1995: 319-327.
11. Patel AR, Snape WJ. Prokinetic Agents and Antiemetics. Dalam Wolfe MM, penyunting. Gastrointestinal
Pharmacotherapy, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 1-24.







BAB IV
ANOREKSIA PADA ANAK
I. Sudigbia
Ilustrasi Kasus
Anak laki-laki berusia 2 tahun dibawa neneknya ke poliklinik karena tidak mau makan,
lemah, kurus dan tidak bergairah. Neneknya mengatakan bahwa ibunya bekerja terus
seharian dan sering memarahi anak. Ayah si anak merupakan direktur perusahaan yang
jarang ketemu dengan anak. Ayah dan ibu anak ini sering bertengkar.

Pendahuluan
Masalah kesehatan anak di negara berkembang termasuk Indonesia diantaranya terjadi
karena interaksi antara infeksi, diare dan gizi. Pada umumnya penyakit infeksi dan diare
merupakan penyakit anak yang selalu diikuti gangguan pertumbuhan, sehingga keduanya selalu
membuka peluang timbulnya malnutrisi. Penyakit infeksi pada umumnya menyebabkan
berkurangnya masukan nutrien baik karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan
(anoreksia), sedangkan keluaran bertambah karena timbulnya demam dan atau pemakaian
tenaga karena batuk dan atau/sesak nafas yang menyebabkan meningkatnya katabolisme,
sehingga menyebabkan penurunan berat badan. Sedangkan pada diare masukan berkurang
karena: (1) turunnya nafsu makan yang disebabkan oleh karena turunnya sekresi asam
lambung, (2) mual karena peristaltik usus yang berlebihan, dan (3) berkurangnya asupan
makanan karena turunnya jumlah air susu ibu serta persepsi ibu yang ketakutan untuk
memberikan makanan kepada anaknya yang masih dalam keadaan diare. Disamping itu jumlah
keluaran pada penyakit diare masih meningkat dengan timbulnya penghamburan gizi karena
gangguan digesti dan absorbsi.
Melihat tinjauan diatas, hal tersebut merupakan kejadian yang dilematis karena kedua
penyakit tersebut berdampak pada peningkatan katabolisme, tetapi masukan makanan malah
turun karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan. Turunnya nafsu makan pada kejadian
di atas merupakan masalah yang sangat kompleks karena sangat dipengaruhi oleh interaksi
antara kondisi penderita, makanan dan pengasuh yang memberikan makanan, lebih-lebih pada
bayi dan balita.
1,2,3


Definisi
Untuk menegakkan definisi anoreksia pada dasarnya adalah sulit. Umumnya
anoreksia diartikan sebagai turunnya atau hilangnya nafsu makan serta tidak tertarik akan
makanan untuk menyantapnya. Istilah pseudoanoreksia sering dipergunakan pada manusia
atau binatang sebagai kesulitan makan karena tidak mampu untuk mengunyah dan/atau
menelan daripada tidak tertarik untuk menyantapnya. Sementara para ahli berpendapat
bahwa anoreksia pada bayi adalah hilangnya kemauan untuk makan, jumlah masukan makanan
menjadi sangat kurang dan berada di bawah kecukupan gizi, sehingga disertai dengan
penurunan berat badan yang bermakna setidaknya-setidaknya dalam waktu satu bulan.
Sedangkan menurut Alice Lawrence (2003) gangguan makan pada bayi dan anak sering diikuti
gagal tumbuh sehingga anoreksia infantil merupakan gangguan berisiko tinggi. Batasan
anoreksia infantil yang diajukannya adalah:
1. Penurunan berat badan yang nyata setidaknya dalam waktu satu bulan
2. Tidak disebabkan gangguan gastrointestinal, obat ataupun kekurangan makanan
3. Timbulnya sebelum umur 6 tahun
Apatis atau nafsu makan merupakan komponen sentral dalam kebijakan tentang jumlah
dan waktu pemberian makanan bayi. Apatis adalah perasaan sedikit lapar (mild hunger) dalam
memilih macam makanan. Lapar sering dihubungkan dengan konsep fisiologis, apatis
dihubungkan dengan kultur, sedangkan anoreksia diartikan dengan kehilangan apatis.
Manusia merupakan makhluk biopsikososiokultural spiritual, sehingga latar belakang
anoreksia pada manusia sangat kompleks baik secara fisik sebagai penyakit infeksi dan
noninfeksi serta aspek psikoemosional dan sosiobudaya sebagai hasil interaksi dengan
lingkungan. Pada anak dewasa timbulnya perasaan obsesif untuk menjadi kurus dan kebiasaan
membatasi jumlah makan untuk menurunkan berat badan menambah komplisitas timbulnya
anoreksia kronika serta anoreksia nervosa dan jenis-jenis lain kesulitan makan pada
anak.
1,2,4

Patomekanisme
Makanan mencerminkan interaksi biologis dan budaya yang berpengaruh positif pada
angka kesakitan dan kematian anak. Perubahan makanan cair ke makanan padat pada bayi
merupakan fase perkembangan bayi dalam perubahan kematangan sosial dan kultural, bayi
harus belajar mengunyah, menelan, dan mencerna berbagai makanan berdasar kultur
daerahnya. Sehingga gangguan pertumbuhan dan kekacauan kebiasaan makan sering
memberikan dampak yang serius. Lapar dalah rasa keinginan (intrinsic desire) untuk makan,
apatis dalah keinginan untuk makan sesuatu macam makanan tertentu, sedangkan kepuasan
(satiety) atau kenyang dalah rasa penuh atau terpenuhinya keinginan makan. Apabila
beberapa jam tidak makan, lambung yang sedang dalam kondisi kosong akan mengalami
kontraksi ritmik dan keras yang terasa kencang serta sakit perut, disebut suara lapar atau
kerongcongan atau hunger pangs.
3,4
Apatis sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran, anak akan mau
menerima makanan yang biasa diberikan kepadanya, tetapi kadang-kadang akan menolak bila
makanan yang diberikan tidak seperti biasanya, karena terjadi penggantian macam, bentuk,
tekstur atau cita rasa makanan secara mendadak. Kondisi perut yang penuh, misalnya dalam 12
jam terakhir berkali-kali makan akan menurunkan apatis. Kadar gula dan asam amino darah
serta suhu badan akan berpengaruh pada perasaan lapar, kepuasan dan apatis. Sedangkan
perasaan lapar yang berkepanjangan akan menimbulkan kondisi apatis terhadap apatis.
1,2,4
Timbulnya anoreksia pada umumnya sangat berhubungan dengan faktor-faktor
biopsikososiokultural spiritual. Faktor penyakit sistemik biologis baik sebagai infeksi,
noninfeksi dan penyakit keganasan sebagai faktor yang sering melandasi timbulnya anoreksia.
Tetapi faktor psikoemosional dan budaya yang berinteraksi dengan lingkungan sangatlah
berpengaruh pula.
Nafsu makan pada umumnya dikontrol oleh pusat kepuasan yang terletak di
hipotalamus medius dan pusat lapar di hipotalamus laterales. Hipotalamus juga mengontrol
pusat di bawahnya, terletak di batang otak yang bertanggung jawab untuk salivasi, pengunyahan
dan penelanan. Sedangkan pusat di atas hipotalamus bertanggung jawab terhadap apatis.
Mekanisme untuk menentukan macam makanan dituntun oleh memori, penglihatan,
penciuman, pengecapan dan perabaan. Sementara itu para ahli juga berpendapat bahwa pusat
nafsu makan juga dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, humoral,
baik dalam jaringan otak maupun jaringan lainnya. Faktor neurologis nafsu makan dan
perasaan lapar juga timbul karena pengaruh faktor gaster, distensi usus, hormon enterik
(insulin dan kolesistokinin), metabolit di hepar (sisa oksidasi energi dari sejumlah jaringan
adiposa), pengalaman citarasa dan tekstur makanan.
2,4,5
Nakai (1999) mengutarakan bahwa anoreksia dengan penurunan berat badan yang
sering menyertai kejadian infeksi mempunyai mekanisme yang belum jelas. Beberapa sitokin
termasuk TNF, IL-1, IL-6, IL-8 dan IFN- telah terbukti mempengaruhi timbulnya anoreksia
dan kakeksia. Sitokin yang dilepaskan sebagai rekasi terhadap kejadian infeksi/ inflamasi akan
berpengaruh secara langsung pada otak sehingga menimbulkan anoreksia. Beberapa hormon
mempengaruhi pengaturan nafsu makan, diantaranya adalah corticotropin releasing hormone,
kolesistokinin, prostaglandin, glukagon, insulin dan kortikosteroid. Leptin (produk gen) yang
terjadi pada proses penumpukan lemak pada jaringan akan memberikan sinyal pada otak
melalui neurotransmiter pada hipotalamus akan terjadinya kecukupan masukan kalori sebagai
rasa kepuasan.
5

Diagnosis Diferensial
Karena luasnya keterkaitan kejadian anoreksia, maka banyak ahli membahas bukan
anoreksia saja tetapi melalui pendekatan gangguan makan pada anak. Di Amerika Serikat,
sebelum diterbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders 4th edit. (DSM IV)
American Psychiatric Association (1994), diagnosis gangguan makan pada anak belum pasti
dan banyak penulis menyebutkan berbagai macam diagnosis, diantaranya: food refusal, food
aversion, food phobia dan problem eaters dan lain-lain. Bagaimanapun juga istilah
tersebut tidak mampu untuk membedakan bermacam kelainan gangguan makan pada anak.
Kelainan makan pada anak makin bertambah berat dengan timbulnya istilah gagal tumbuh
(failure to thrive = FTT) pada anak berumur di bawah 3 tahun yang mengalami kenaikan berat
badan tidak adekuat. Gagal tumbuh dan gangguan makan pada anak sering dianggap sinonim
dan tidak selamanya kelainan makan pada anak menyebabkan FTT atau sebaliknya FTT karena
kelainan makan. FTT hanya merupakan diagnosis morfologis dan tidak mendeskripsikan
tentang proses terjadinya. Diagnosis gangguan makan pada anak menurut proses kejadiannya:
(1) organic FTT (FTT) dan (2) nonorganic FTT (NOFTT), dimana NOFTT adalah gagal tumbuh
tanpa etiologi medik dan diperkirakan bahwa NOFTT tersebut disebabkan oleh maternal
deprivation (kehilangan perhatian ibu).
4,7
Blackman (1993) mengetengahkan mekanisme timbulnya gangguan makan pada bayi
dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor: (1) ketakutan, (2) anoreksia, (3) perkembangan,
(4) obstruksi, dan (5) kesakitan.
4
Alice Lawrence (2003) membagi mekanisme gangguan makan berdasarkan penemuan
Chatoor (1984) sebagai gangguan makan pada bayi dan anak (toodler) yang mengalami
kenaikan berat badan tidak adekuat selama satu bulan serta bukan disebabkan kelainan organik
dan timbul sebelum umur 6 tahun. Pembagian tersebut adalah: (1) gangguan makan
homeostasis (feeding disoder of homeostasis), (2) gangguan makan karena kasih sayang
(feeding disorder of attachment) dan (3) gangguan makan karena perpisahan (feeding
disorder of separation) atau anoreksia infantil (infantil anorexia). Ketiga macam
gangguan makan tersebut dipilah dengan pendekatan tinjauan terhadap interaksi anak dan
ibu.
2,7

1. Gangguan makan homeostasis:
a. Timbulnya pada waktu lahir sampai berumur 3 bulan
b. Masukan sedikit dan pola makan tidak teratur
c. Waktu makan bayi rewel, mudah capai dan mengantuk
d. Gagal tumbuh
e. Orang tua ketakutan, depresif serta kurang peka terhadap isyarat bayi

2. Gangguan makan karena kasih sayang:
a. Timbulnya antara umur 2 8 bulan
b. Respons bayi terlambat, kontak mata, senyum, dan lambat mengoceh
c. Perkembangan motorik dan kognitif terlambat
d. Gagal tumbuh
e. Orang tua biasanya menderita depresi, gangguan kepribadian dan psikososial stres
sehingga dalam perawatan makan anak terganggu dan tampak kurang kasih sayang.

3. Anoreksia infantil
Anoreksia infantil sebagai gangguan makan karena pemisahan atau separasi yang ditandai
dengan penolakan makan oleh bayi karena konflik berat antara hubungan ibu dengan anak
tentang otonomi, ketergantungan dan pengawasan. Keadaan tersebut muncul setelah anak
mampu mengatur dirinya dan membentuk ikatan dengan pengasuh utamanya.
a. Timbulnya pada umur 6 bulan 3 tahun, pada periode perubahan ke tahap
kemampuan untuk makan sendiri.
b. Penolakan makan oleh bayi, baik karena pergantian macam makanan atau pergantian
pengasuh.
c. Gagal tumbuh.
d. Perkembangan pada umumnya normal, kecuali pada kasus malnutrisi berat terjadi
keterlambatan motorik dan bicara.
e. Ibu merasa bahwa nafsu makan (apatis) anaknya rendah, rewel dan selalu minta
perhatian serta selalu menolak keinginan ibu. Sedangkan ibu selalu memaksa anaknya
untuk makan walaupun dengan disertai memberikan mainan. Penolakan makan tadi
tidak disebabkan oleh traumatik fisik ataupun kelainan organik, tetapi hubungan ibu
dan anak cenderung kurang lentur karena ibu selalu memaksakan kehendaknya yang
disertai marah dan kurang mengikuti keinginan anak. Nampaknya anak dengan
anoreksia infantil mengalami kesulitan dalam perkembangan pada tahap periode
perpisahan dan otonomi sehingga kemudian akan tumbuh dengan temperamen yang
mungkin menyulitkan.

4. Anoreksia nervosa
8,9

Anoreksia nervosa adalah kelainan makan yang ditandai dengan keinginan obsesif untuk
tetap kurus, sama sekali tidak menghiraukan kebiasaan makan dan penurunan berat badan
dan mempunyai dampak yang kuat terhadap perubahan psikologis dan fisiologis. Anoreksia
nervosa adalah penyakit yang akan mempengaruhi seluruh sistem organ, terutama
kardiovaskular dan sistem endokrin. Anoreksia nervosa sering diikuti oleh komplikasi organ
diantaranya adalah pencernaan, ginjal, reproduksi, neurologis, orofasial. Pada umumnya
banyak diderita oleh gadis, sex ratio laki-laki : perempuan adalah 1:10, umur tidak terbatas
yang dimulai sejak dewasa (adolescent). Riwayat penyakit sangatlah penting untuk
keberhasilan rencana pengobatan dan bukan untuk menelaah kelainan makan saja. Aspek-
aspek penting adalah assesemen medik, yang berfokus pada komplikasi kekurangan nutrisi
dan detail mengenai penurunan berat badan.

Gejala klinis :
a. Gejala vital: hipotensi, bradikardi, hipotermia
b. Kulit kering, hiperkarotin, lanugo, akrosianosis
c. Buah dada menyusut
d. Kelenjar paratiroid dan kelenjar submandibular membengkak
e. Keluaran kardiak (komplek QT) memanjang, masa ventrikular berkurang, katup mitral
kolaps (Echo)
f. Gejala dilatasi usus sebagai kostipasi dan berkurangnya motilitas usus

Gejala kesehatan mental: Inti dalam penyusunan diagnosis kesehatan mental adalah
mencari adanya kelainan emosional dan sikap, penilaian resiko terjadinya bunuh diri, serta
menggali konteks psikososial dari gejala-gejala.
Penyebab anoreksia nervosa adalah kompleks, meliputi isu biologis, psikologis dan sosial
dan lebih ke arah kelainan mental daripada kelainan perkembangan. Sehingga dalam
menelaah penyebabnya dapat dikelompokan dalam faktor-faktor predisposing,
precipitating dan perpetuating.
a. Predisposing factor (faktor yang memudahkan timbulnya): gadis, risalah dari keluarga
dengan personalitas perspektif, gangguan komunikasi dengan emosi negatif, kesulitan
memecahkan masalah dan empati yang rendah.
b. Precipitating factor (faktor yang sering berhubungan): gadis berumur 10 18 tahun
dengan gangguan seksualitas, konflik identitas, masalah otonomi kebebasan dan
masalah perjodohan dan perkawinan..
c. Perpetuating factor (faktor rumatan): isu emosio-biologis pada fase pemberian
makanan pada keadaan malnutrisi atau isu psikologis pendekatan sistem dalam
keluarga.

Maka secara singkat, diagnosis diferensial anoreksia sebaiknya melalui pendekatan
gangguan makan pada anak atau turunnya apatis, sebagai berikut:
1. Kelainan organik
a. Penyakit infeksi:
i. Sistemik: tifus, proses spesifik
ii. Organik: hepatitis, enteritis, tukak lambung
b. Non-infeksi : karies, aphtoe, lingua geographica, vertigo
2. Kelainan metabolik: bilirubinemia, uremia, anemia dan rendahnya kadar besi serum
3. Keganasan: lokal maupun sistemik
4. Hubungan anak-ibu (maternal deprivasion)
a. Anoreksia homeostasis
b. Anoreksia karena kurangnya kasih saying (attachment)
c. Anoreksia infantil (infantile anoreksia)
5. Anoreksia nervosa

Penatalaksanaan Anoreksia Anak

Penatalaksanaan anoreksia anak lebih mementingkan keberhasilan dalam meningkatkan
nafsu makan anak daripada secara teliti mencari penyebabnya.
10
Pemeriksaan, baik secara klinis
maupun psikologis, selain menentukan penyebab yang multi kompleks juga memeriksa akibat
dari anoreksia yang telah berlanjut itu.
11, 12
Tahapan penatalaksanaan adalah:
1. Umur (bayi, toodler, anak sekolah, dewasa muda atau dewasa)
2. Hubungan antara anak, orang tua atau pengasuh, dan makanan.
3. Pada anoreksia anak, sangat mutlak untuk melihat hubungan anak dan makanan, baik fisik
makanan sebagai macam, citarasa, bentuk dan rupa, juga waktu dan cara penyajian
sangatlah penting. Dari pemeriksaan secara klinis dan laboratoris serta penunjang dapat
ditelusuri faktor penyebab anoreksia yang kompleks tersebut serta komplikasinya.
Pemeriksaan psikologis, psikiatris serta pendekatan sistemik (systemic approach) ibu,
bapak, pengasuh dan lingkungan keluarga mutlak dilakukan.
4. Pemeriksaan fisik, laboratoris dan penunjang diperlukan untuk menentukan faktor
penyebab, akibat ataupun komplikasi yang terjadi.

Ringkasan
Anoreksia pada umumnya diartikan sebagai berkurangnya nafsu makan (apatis), dan
nafsu makan tersebut sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran yang
dikontrol oleh pusat lapar di hipotalamus lateralis dan pusat kepuasan di hipotalamus medialis.
Pusat di hipotalamus tadi mengontrol pusat di atasnya yang bertanggung jawab terhadap pusat
salivasi, pengunyahan dan penelanan. Disamping itu nafsu makan juga dipengaruhi oleh
gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, dan hormonal, diantaranya adalah sitokin,
termasuk THF, IL-1, IL-6, IL-8 dan INF-. Nafsu makan yang berkurang atau anoreksia sangat
dipengaruhi oleh sifat manusia sebagai mahkluk biopsikososiokultural spiritual, sehingga untuk
menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya selayaknya melalui pendekatan tersebut.
Secara praktis telaah anoreksia dilakukan melalui pendekatan gangguan makan sebagai:
1. Kelainan organik: penyakit infeksi dan non infeksi.
2. Kelainan nonorganik sebagai metabolik, keganasan, dan gangguan psikoemosional sebagai
hasil interaksi antara anak dengan orang tua atau pengasuh. Faktor tersebut akan
berpengaruh pada perkembangan anak, baik pada periode penyapihan maupun remaja.
Penatalaksanaan anoreksia secara umum harus sangat terkait dengan analisis faktor tersebut
diatas, diperdalam dengan pemeriksaan yang detil sehingga dapat memberikan tindakan yang
menyeluruh.
4,6,11



Daftar Pustaka
1. Abraham S, Jones D. Eating Disorders, The Facts. Oxford University Press. 1992: 47-57.
2. Blackman. Children Who Refuse Food. Comtamporary Pediatric Archive. October. 1993.
3. Chatoor I. Non-organic failure to thrive: A developmental Perspective Pediatric Annals. 1984: 13: 829-834.
4. Harrington DP. Anorexia. http://www.vetmedcenter.com. 2000.
5. Kerwin MLE. Empirically Supported Treatment in Pediatric Psychology. Journal of Pediatric Psychology. 1999;
24(3): 193-214.
6. Kleinman RE. Pediatric Nutrition Handbook. Amer Acad of Ped. 1998: 328329.
7. Lawrence A. Feeding Disorders of Infant and Toodlers in The Child Advocate. Penn State College of Medicine.
2004.
8. Limburt JDA. Eating Disorders: Anorexia. http://www.eMedicine-Eating Disorders.com. 2003.
9. Maloney MJ. Treament Sequence for Severe Weight loss in anorexia nervosa. Int Journal of Eating Disorders.
1983; 2(2): 53-58.
10. Nakai Y. Plasma Concentrations of Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-alpha) and Soluble TNF Receptors in
Patients with Anorexia Nervosa. J Clin Endocrinol Meta. 1999; 84(4): 1226-1228.
11. Robin AL. Treatment of Eating Disorders in Children and Adolescents. Clinical Psychology Review. 1998; 18(4):
421-446.
12. Stoppler, Melissa Conrad. Anorexia Nervosa. www.Medicinenet.com. August 2, 2009.




BAB V
GAGAL TUMBUH PADA PENYAKIT GASTROINTESTINAL
Rusdi Ismail
Ilustrasi kasus
Seorang anak perempuan berkonsultasi pertama kali pada usia 6 bulan. Sejak bayi menderita
batuk hilang timbul 2-3 kali sebulan, kadang-kadang nafas berbunyi, terutama di malam
hari. Berat badan lahir 3300 g (>persentil 50 standar NCHS), panjang badan 51 cm
(>persentil 50). Berat badan sulit sekali naiknya. Saat pemeriksaan awal berat badan hanya
4100 g (< persentil 3), panjang badan 66 cm (pada persentil 25), lingkar kepala 43 cm
(>persentil 25). Anak belum bisa tengkurap. Dari lahir diberi ASI, tetapi karena berat badan
tidak naik, dibantu susu botol sejak usia 3 bulan. Kadang-kadang anak mengalami gumo.
Tidak ada manifestasi atopik lain pada anak. Riwayat reaksi atopik pada ibu dan ayah juga
negatif. Berdasarkan observasi refluks sehabis minum, ditegakkan diagnosa klinis: anak
menderita batuk berulang yang dipresipitasi refluks gastro-esofageal. Dengan terapi obat
prokinetik, pengaturan posisi dan nasihat makanan, pada usia 12 bulan berat badan naik
menjadi 8900 g (>persentil 10), panjang badan 74 cm (>persentil 25), lingkar kepala 46 cm
(pada persentil 25), dengan berat badan untuk tinggi > persentil 25) dan anak telah kuat
merangkak.

Pendahuluan
Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan
(dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor penentu
keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku dan bahan
bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan pemacu spektrum
dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat mengganggu dan merusak struktur dan
fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada kedua faktor penentu pertama
dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat atau menghambat proses
tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria tertentu, dinamakan anak
menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini lazimnya saling terkait. Misalnya
kecukupan gizi mempengaruhi prevalensi penyakit; tingkat rasa aman dan stabilitas emosi
mempengaruhi nafsu dan kapasitas makan; dan penyakit tertentu dapat mengubah pola
perilaku anak.
Dapat dimengerti bahwa penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan GT. Di lain pihak
setiap GT, apapun penyebabnya, dapat menimbulkan kelainan struktur dan fungsi saluran
pencernaan. Lebih dari itu rehabilitasi gizi lazimnya merupakan pintu masuk dalam
menanggulangi GT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh GT memiliki dimensi
gastroenterologi.
1,2,3

Definisi
GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara
signifikan. Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait
dengan GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi "kerempeng") mengacu pada
keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi "kerdil") mengacu pada hasil akhir, (3)
catching up (diterjemahkan menjadi "kejar tumbuh") mengacu pada pencapaian upaya
rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi anak
dapat terlihat "kerempeng". Meski kecepatan tumbuh kembang dapat dipacu kembali menjadi
normal, jika "kejar tumbuh" tidak terjadi, anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang
potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya dan dalam keadaan ekstrim dapat
dikelompokkan sebagai "kerdil".
Batasan operasional GT adalah nilai indikator tumbuh kembang yang dipakai berada
dalam persentil ketiga atau menurun lebih dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan
pada anak usia kurang dari 6 bulan dan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas.
1,2,3

Kejadian
Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang
dilakukan tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3
tahun dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (tabel 10.1).


Tabel 5.1. Prevalensi stunting pada usia 3 tahun
Negara Tahun Persentase
Etiopia 1982 42
Zambia 1972 44
Nigeria 1980 28
Bolivia 1981 60
Peru 1985 52
Jamaika 1970 9
Bangladesh 1983 79
Indonesia 1977 79
Mesir 1978 37
Pakistan 1984 14
Palestina 1984 17
Filipina 1982 43
Papua New
Guinea
1970 57
Sumber: WHO
4

Sebagian besar anak yang kerdil ini nantinya setelah dewasa tidak kelihatan sakit. Ada
yang memakai istilah small but healthy. Beberapa studi memperlihatkan disamping lebih
pendek, anak yang kerdil kemampuan fisiknya lebih rendah, IQ rata-ratanya lebih rendah, serta
kemampuan imunitasnya terbatas. Kinerja mereka juga lebih rendah. Angka kematian mereka
jauh lebih tinggi. Jelas bahwa pencapaian potensi dewasa mereka tidak sesuai dengan potensi
genetiknya. Satyanarayana dari India menyimpulkan telah terjadi suatu adaptasi biologis
sehingga mereka tetap kelihatan sehat tetapi semuanya bergerak dalam skala yang lebih
rendah.
4,5
Data pada tabel 10.1 menunjukkan 79% anak Indonesia pada usia 3 tahun pada tahun
1977 dikategorikan kerdil. Prosentase ini mungkin terlalu tinggi, antara lain karena standar
yang dipakai berdasar data NCHS, yang mungkin terlalu tinggi untuk anak Indonesia.
Bagaimanapun kita yakin permasalahan yang dihadapi dunia berkembang sebagaimana
diuraikan di atas kita temukan pula di Indonesia. Data dari beberapa negara (gambar 5-1)
menunjukkan terdapatnya perbedaan tinggi sekitar 10 cm pada anak usia 7 tahun antara anak
dari keluarga mampu dan keluarga miskin. Pada awal milenium ketiga ini sekitar 20%
penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
5

Gambar 5.1. Tinggi rata-rata anak usia 7 tahun golongan sosial ekonomi tinggi() dan rendah()
Brazil Kostarika Guatemala Haiti Jamaika Nigeria India Hongkong
cm 123
50 - persentil
122

119
25
117

115
10
113
5
111

109

Etiologi
GT hanyalah kumpulan gejala. Spektrum penyebabnya sangat luas dan saling
berinteraksi. Lazimnya dikelompokkan menjadi dua, kelompok non-organik dan kelompok
organik.
Kelompok non-organik umumnya muncul berupa penyimpangan pola asuh dan/atau
interaksi ibu dan anak yang bermuara pada kurangnya pasokan gizi dan penyimpangan
stimulasi fisik dan psikososial.
Berbagai kelainan pada semua organ dan sistem dapat menimbulkan GT (kelompok
penyebab organik), termasuk kelainan gastrointestinal. Untuk membantu sistematika
pendekatan diagnostik, kelainan gastrointestinal dapat dipilah mejadi:
1. Kelainan organik atau fungsional yang mengganggu fungsi motorik saluran pencernaan,
yang mengakibatkan gangguan pasase makanan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua
tingkatan saluran pencernaan, mulai dari palato-gnato skhisis, striktura esofagus,
khalasia/akhalasia, refluks, pseudoobstruksi, penyakit Hirsprung, termasuk sindroma usus
iritabel dan lain sebagainya.
2. Kelainan organik/fungsional yang menimbulkan gangguan fungsi sekresi dan digesti.
Lazimnya berupa kelainan kongenital atau berupa gangguan metabolisme bawaan lahir.
Misalnya akhlorhidria, gangguan glikosilasi kongenital, hipobetalipoproteinemia kongenital,
dan lain sebagainya.
3. Inflamasi non-infektif dan infeksi spesifik saluran pencernaan. Termasuk penyakit Crohn,
penyakit inflamasi kolon, serta infeksi Helicobacter pylori.
4. Lingkaran setan kompleks diare-MEP (malnutrisi energi protein)-infeksi.

Di negara maju sebagian besar GT disebabkan kelainan non-organik. Di negara berkembang
sebagian besar GT disebabkan oleh kompleks diare-MEP-infeksi. Jauh lebih tingginya kejadian
GT/kerdil di negara berkembang, disamping disebabkan besarnya peranan kompleks diare-
MEP-infeksi, juga disebabkan terlambat dan kurang adekuatnya penanggulangan penyakit
organik, misalnya terlambatnya tindakan koreksi pada kelainan jantung bawaan.
1,3,6

Patogenesis
Baik pada kelainan non-organik maupun pada kelainan organik, kurangnya pasokan gizi
dibandingkan dengan kebutuhan merupakan mekanisme utama munculnya GT.
Terdapat interaksi timbal balik antara hubungan ibu dan anak. Ibu harus reseptif dan
responsif terhadap berbagai bentuk komunikasi anak (tawa, tangis, mimik, celotehan, dsb),
termasuk ungkapan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anak yang mencakup kebutuhan
akan makanan, tidur, lingkungan yang higienis dan hangat, proteksi terhadap rasa sakit, trauma
dan penyakit. Ibu juga harus reseptif dan responsif dalam berinteraksi secara psikis dan
emosional dengan anak agar anak senang dan puas. Kegagalan interaksi ini dapat dalam bentuk
kuantitas, sehingga kebutuhan fisiologis dan atau psikologis anak tidak terpenuhi. Dalam
kondisi yang ekstrim dinamakan terjadi deprivasi pada anak. Tetapi kegagalan juga dapat
terjadi pada ketidakserasian pola kepribadian/perilaku anak dengan perilaku/ekspektasi ibu.
Kegagalan interaksi ini dapat menimbulkan anoreksia, rasa tidak aman, ansietas, depresi,
menarik diri dan lain sebagainya pada anak. Gangguan proses interaksi dan pola asuh ini dapat
menimbulkan berkurangnya pasokan nutrien serta gangguan pola stimulasi yang dapat
bermuara pada GT.
Kelainan atau penyakit dapat menimbulkan kurangnya makanan yang disediakan,
anoreksia, gangguan digesti dan absorpsi, kehilangan nutrien serta meningkatnya kebutuhan.
Lebih dari itu defisit dan gangguan stimulasi, baik fisik maupun psikososial tidak hanya
berpengaruh pada pola perkembangan fungsi tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan fisik.
Pada kelainan organik tertentu, meskipun pasokan gizi dan stimulasi cukup, GT dapat
muncul. Misalnya akibat defisiensi enzim atau kelainan hormonal. Kelainan enzim atau hormon
ini tetap mempunyai dimensi gizi, karena patogenesisnya mencakup gangguan pendayagunaan
nutrien tertentu.
2,3,7
Penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan: (1) gangguan fungsi motorik, baik berupa
obstruksi, gangguan propulsi, maupun menurunnya kapasitas tampung, dan (2) gangguan
digesti dan absorpsi; yang akhirnya bermuara pada berkurangnya absorpsi nutrien.
Patogenesis kompleks diare-MEP-infeksi tercermin dalam konsep yang dikembangkan
kelompok kerja Lebenthal (gambar 10.2), dimana kerusakan/atrofi mukosa usus dianggap
merupakan titik sentral dari lingkaran setan keadaan patologis yang ditimbulkan diare yang
mencakup malabsorpsi, gangguan hormonal, infeksi berulang, tumbuh ganda, absorpsi protein
asing yang menimbulkan reaksi alergi, dan gangguan regenerasi vili. Semuanya dapat bermuara
pada semakin beratnya MEP. Jika berlanjut dapat berakhir dalam bentuk GT.

Gambar 5-2. Lingkaran setan kompleks diareMEPinfeksi.


Malabsorpsi
nutrien










Lazimnya munculnya kompleks diare-MEP-infeksi dipicu oleh munculnya diare atau
infeksi tertentu, misalnya morbili. Sebagian besar GT menimbulkan kurang gizi, sehingga
apapun etiologinya, khususnya di negara berkembang, GT yang disebabkan kelainan organik
atau non-organik dapat diperberat oleh kompleks diare-MEP-infeksi.
2,3,7


Manifestasi Klinis
Anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Melalui pengukuran antropometrik dan
diplot pada grafik tumbuh kembang yang sesuai, anak yang kelihatan kecil ini dapat dipilah
menjadi MEP, pendek atau dismorfi. Temuan MEP mungkin disertai gejala terkait, misalnya:
edema, rambut jarang mudah dicabut, lemak subkutan menipis, distrofi otot, dan lain
sebagainya. MEP tentu dapat disertai dengan gejala spesifik defisiensi mikronutien, misalnya
gejala avitaminosis. Lebih lanjut manifestasi MEP dapat disertai dengan gejala yang terkait
dengan kompleks diare-MEP-infeksi.
Pendek atau dismorfi dapat ditemukan pada kelainan metabolik/neuroendokrin. Tentu
dapat pula ditemukan kelainan lain sesuai faktor penyebab.
Anak dapat kelihatan gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan
diam. Temuan ini lazimnya berkaitan dengan latar belakang psikososial ibu yang tercermin
dalam pola asuh serta pola interaksi ibu dan anak.
Gejala penyebab organik bervariasi sesuai jenisnya. Gejala yang terkait kelainan
gastrointestinal dapat didentifikasi secara sistematis melalui penelusuran gejala terkait yaitu
makan/menelan, defekasi, muntah, diare, sakit perut dan lain sebagainya.
1,7

Diagnosis
Kerusakan mukosa
usus berlanjut
Absorpsi protein
asing
Malnutrisi
energi protein
Insufisiensi
hormon enterik
Infeksi dan
tumbuh ganda
Gangguan
regenerasi vili
Petunjuk atau kecurigaan klinis bahwa kita mungkin berhadapan dengan GT adalah
anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Sebagai tindak lanjut ada tiga aspek diagnostik
yang harus ditegakkan. Pertama, menetapkan apakah telah terjadi GT, untuk memacu kita
melakukan langkah penanggulangan dan pencegahan agar "kejar tumbuh" dapat menjadi
maksimal dan risiko terjadinya "kerdil" menjadi minimal. Kedua, mengelaborasi permasalahan
klinis yang dihadapi anak sehingga langkah pemulihan dan rehabilitasi dapat direncanakan.
Ketiga, menetapkan faktor penyebab sehingga disamping terapi kausal, langkah pencegahan
dan promotif dapat direncanakan.
8
Diagnosis GT ditegakkan berdasarkan pengukuran antropometrik. Indikator utama yang
dipakai adalah umur, berat dan panjang/tinggi. Dengan membandingkannya dengan nilai
standar (lazim dipakai data NCHS) diterjemahkan menjadi tiga indikator: berat untuk umur,
tinggi untuk umur dan berat untuk tinggi. Indikator berat untuk tinggi lebih mencerminkan
keadaan patologis sewaktu, sehingga lebih lazim dipakai sebagai dasar diagnosis GT.
Nilai yang didapat diplot dalam grafik pertumbuhan. Ada dua cara membuat acuan
kurva baku pertumbuhan: (1) berdasarkan simpangan dari mean, kurva baku atas = mean +
2SD, diikuti mean + 1SD, mean, mean - 1SD dan kurva paling bawah mean - 2SD, (2)
berdasarkan persentil dimana kurve paling atas = sentil 97, diikuti sentil 75, sentil 50, sentil 25
dan sentil 3. Anak dengan kurva pertumbuhan berdasarkan berat untuk tinggi, berada di bawah
sentil 3 atau mean - 2SD, atau kurva pertumbuhannya turun melewati dua garis baku kurva
pertumbuhan berturut-turut selama dua bulan pada anak berusia kurang dari 6 bulan, atau
berturut-turut 3 bulan pada anak usia 6 bulan atau lebih dianggap telah menderita GT.
Berdasarkan kriteria di atas diagnosis GT membutuhkan pengamatan longitudinal.
Tetapi secara klinis kita dapat menegakkan diagnosis GT berdasarkan riwayat sehingga
berdasarkan pengamatan retrospektif dapat diperkirakan telah terjadi hambatan pertumbuhan
yang telah berlangsung lama, sehingga dapat diperkirakan telah memenuhi kriteria diagnostik
di atas.
Indikator tinggi untuk umur dan berat untuk umur tetap bermanfaat untuk dianalisis
untuk lebih memahami proses gangguan pertumbuhan yang terjadi serta faktor penyebabnya.
Pemahaman akan lebih rinci jika dibantu dengan pengukuran lingkar kepala, tebal lemak
subkutan, serta proporsi bagian tubuh.
Indikator perkembangan fungsi, meskipun tidak dipakai untuk menegakkan diagnosis
GT karena lebih bersifat kualitatif tetap harus dinilai, misalnya dengan memakai standar DDST.
Keberhasilan penanggulangan dinilai tidak hanya melalui perbaikan indikator antropometrik,
tetapi juga melalui indikator fungsi.
6,8
Kondisi klinis anak sangat tergantung pada faktor penyebab dan penyakit penyerta yang
harus dielaborasi gejalanya dan ditegakkan permasalahan yang ditimbulkannya. Kita harus
mengelaborasi sampai di mana telah terjadi gangguan fungsi vital serta muncul keadaan yang
membahayakan kehidupan seperti hipoglikema atau hipotermia sehingga langkah resusitasi dan
stabilisasi dapat segera dilakukan. Nafsu makan, kemampuan makan dan kemampuan
pencernaan anak harus dinilai sehingga langkah rehabilitasi gizi dapat dimulai. Kedaruratan
serta gangguan makan ini umumnya terkait dengan kompleks diare-MEP-infeksi. Bagi kita di
negara berkembang penting untuk mengelaborasi sampai di mana kompleks diare-MEP-infeksi
telah berkembang, termasuk sampai di mana manifestasi defisiensi mikronutrien menjadi
masalah. Lebih lanjut perlu ditelusuri penyakit penyerta yang masih aktif serta permasalahan
klinis yang ditimbulkannya.
Kemungkinan gangguan pola asuh dan interaksi ibu dan anak sebagai penyebab GT
dapat diduga melalui perilaku anak; kita dapat berhadapan dengan anak yang gelisah, iritabel
dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Berdasarkan pengalaman di negara
maju, deskripsi dan kepastian terjadinya deprivasi, pengacuhan dan penyimpangan pola asuh
anak, sulit untuk dielaborasi dan ditegakkan diagnosisnya melalui wawancara/pengamatan di
tempat praktik dokter anak. Peranan faktor ini dapat dibuktikan secara eks-juvantifus dengan
merawat anak di rumah sakit, dalam arti kata mengalihkan pengasuhan anak dari ibu ke
petugas kesehatan. Melalui langkah rehabilitasi gizi intensif disertai dengan asuhan yang atentif
dan hangat, biasanya pemulihan dengan cepat terjadi. Diagnosis penyimpangan perilaku ibu
lazimnya membutuhkan penilaian psikologis oleh ahlinya.
8,9
Faktor penyebab organik non-gastrointestinal ada yang dengan mudah diidentifikasi
misalnya kelainan jantung bawaan, tetapi ada juga yang membutuhkan kejelian karena jarang
ditemukan serta membutuhkan pemeriksaan yang lebih rumit misalnya kelainan endokrin atau
penyakit metabolik.
Diagnosis kelainan organik gastrointestinal dapat dikenal melalui penelusuran gejala
utama kelainan gastrointestinal seperti gangguan menelan, muntah, nyeri abdomen, diare serta
konstipasi. Temuan gejala menjuruskan kita untuk memikirkan sampai di mana terjadi kelainan
fungsi motorik, fungsi digesti dan/atau fungsi absorpsi. Kepastian diagnosis fungsional, serta
kelainan struktur yang mendasarinya tentu harus didukung dengan pemeriksaan penunjang
yang sesuai. Lebih lanjut ditelusuri diagnosis kausal kelainan yang ditemukan. Referensi
pelaksanaan rangkaian proses ini tentu harus mengacu pada keseluruhan isi buku ajar ini.
6,8

Terapi
Spektrum terapi GT sangat bervariasi sesuai perbedaan penyebab, keberadaan penyakit
penyerta, spektrum keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung, derajat
MEP, serta gangguan pola asuh dan interaksi ibu-anak. Tetapi secara umum rehabilitasi gizi
merupakan langkah awal terapi yang dapat dijadikan pintu masuk untuk melaksanakan
penanggulangan secara menyeluruh.
10
Pola penanggulangan MEP yang telah dikembangkan dapat dijadikan sebagai acuan
perencanaan rehabilitasi gizi, melalui pendekatan 4 tahap: fase penyelamatan, fase
penyesuaian, fase pemulihan dan fase pembinaan.
Pada fase penyelamatan dilaksanakan resusitasi dan stabilisasi gangguan fungsi vital
misalnya mengatasi syok/dehidrasi berat serta menanggulangi komplikasi misalnya hipotermia
atau hipoglikemia.
Pada fase penyesuaian, melalui pemberian makanan bertahap jumlah dan komposisinya,
kita membiasakan kembali anak untuk makan dalam jumlah dan volume yang besar serta
memilih makanan secara selektif sesuai dengan kapasitas pencernaan anak. Pada fase
penyesuaian kita juga harus memulai penanganan terfokus terhadap defisiensi mikronutrien
serta mengobati penyakit penyerta. Terapi kausal juga dapat dimulai atau dapat menunggu
sampai keadaan umum anak lebih baik yaitu pada fase berikutnya. Penyakit penyerta dan
penyakit yang mendasari GT tentu harus ditanggulangi sesuai dengan standar yang berlaku.
Pada fase pemulihan kita memberikan makanan berimbang dengan prosentase kalori
120% - 200% dari perhitungan kebutuhan berdasarkan berat badan. Sasaran kita adalah
mengupayakan kejar tumbuh maksimal. Langkah penyelamatan dan penyesuaian lazimnya
dilakukan di rumah sakit. Fase pemulihan dan pembinaan dilakukan melalui rawat jalan. Kita
harus memberikan nasihat gizi yang operasional, yang secara wajar diperkirakan dapat
dilaksanakan ibu di rumah. Misalnya bagi keluarga mampu kita dapat menganjurkan
pemakaian formula nutrisi lengkap dengan kalori 1 kkal/ml. Sebagai alternatif bagi yang kurang
mampu kita dapat menerapkan konsep "multi-mixed" dari Cameron, di mana berdasarkan
ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan lokal, ibu diajarkan untuk menyusun menu
berdasarkan kombinasi bahan yang ada, berdasarkan pengayaan bahan pokok (beras) dengan
pilihan cerdik sumber protein lokal disertai pemanfaatan minyak untuk meningkatkan kalori.
Pada fase pembinaan dilaksanaan langkah promotif dan preventif agar GT tidak muncul
kembali. Telah dibuktikan, peningkatan stimulasi fisik dan psiko sosial akan meningkatkan
keberhasilan upaya promotif secara keseluruhan.
7,8,10
Keberhasilan rehabilitasi gizi membuka peluang bagi penyaji untuk memberikan
konseling pada ibu. Jika dilaksanakan secara bijak tanpa sikap menuding dan menggurui,
lazimnya dapat memperbaiki pola asuh anak serta peningkatan interaksi ibu dan anak.

Prognosis
Perkembangan longitudinal indikator antropometrik seorang anak dinyatakan dalam
persentil terhadap nilai standar, lazimnya berada pada track tertentu. Anak yang menderita GT
track pertumbuhannya akan menurun. Meskipun GT berhasil ditanggulangi, jika GT
berlangsung lama atau berat, track pertumbuhan anak dapat menetap pada jalur yang lebih
rendah. Penurunan permanen track ini hanya terjadi pada GT usia muda, di bawah usia 5
tahun. Untuk itu kita harus memberikan perhatian khusus agar GT pada usia muda ini dapat
dicegah atau ditanggulangi sedini dan seadekuat mungkin. Jika track menetap pada jalur di
bawah 3 persentil (mean-2SD) anak akan menjadi dewasa sebagai orang kerdil. Secara umum
dapat dikatakan, jika terjadi penurunan track pertumbuhan secara permanen, berarti proses
penumbuh-kembangan potensi genetik menjadi potensi dewasa kurang berhasil.
11
Sepenuhnya disadari, penurunan track pertumbuhan, akan disertai penurunan optimasi
perkembangan, baik fisiologis maupun psikososial. Penurunan kedua dimensi tumbuh kembang
ini akan menurunkan pula kesempatan anak nantinya untuk hidup secara produktif dan
kompetitif setelah dewasa.
Telah diketahui pertumbuhan dan perkembangan normal suatu organ dan sistemnya
yang terkait tidak berlangsung secara linier. Terdapat waktu puncak (sesuai umur anak) tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda untuk berbagai organ dan sistem organ. GT
yang terjadi pada saat suatu organ atau sistem organ sedang berada pada puncak pertumbuhan
dan perkembangan akan menimbulkan gangguan dan defisit yang lebih menonjol pada organ
atau sistem organ tersebut. Sehingga sesuai dengan waktu puncak tumbuh kembang otak, GT
yang lazimnya muncul pada usia bayi akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang otak
serta potensi intelektual anak nantinya setelah dewasa.
2,10,11
Keberhasilan kejar tumbuh disamping ditentukan oleh kedinian dan intensitas
penanggulangan GT, tentu juga ditentukan sampai di mana faktor penyebab dapat di
sembuhkan.
GT yang datang dengan kelainan fungsi vital apalagi kalau disertai gangguan pencernaan
yang berat dengan angka kematian kasus yang cukup tinggi, pada masa dahulu dapat mencapai
30% - 50%. Tetapi dengan acuan penanganan MEP berat yang dikembangkan WHO yang juga
telah diadopsi di Indonesia, dimana melalui pemahaman tentang gangguan keseimbangan
elektrolit, gangguan sistem kardivaskuler, serta berbagai dimensi defisiensi nutrien, telah
disusun langkah stabilisasi dan pemulihan yang sesuai sehingga angka kematian kasus dapat
ditekan mendekati 10%. GT yang telah mencapai fase pemulihan lazimnya angka kematian
kasusnya sangat rendah.
2,3

Pencegahan
Untuk kita di negara berkembang, dimana sebagian besar GT muncul dalam bentuk
kompleks diare-MEP-infeksi, langkah pencegahannya sejalan dengan upaya pencegahan diare.
Di samping menekan kejadian diare, kita harus melaksanakan penanggulangan tepat guna agar
diare tidak berlanjut dan dampak gizinya dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.
Identifikasi faktor risiko dan gejala dini deprivasi, pengacuhan anak dan penyimpangan
interaksi ibu dan anak dilanjutkan dengan pembinaan yang tepat dapat menekan kejadian GT
non-organik. Meskipun penanggulangannya secara tuntas membutuhkan disiplin lain,
permasalahan harus diidentifikasi oleh dokter anak.
Langkah lain yang layak untuk dilaksanakan adalah mengidentifikasi penyakit organik
termasuk kelainan gastrointestinal sedini mungkin, melakukan langkah korektif dan
penanggulangan lainnya seadekuat mungkin, disertai dengan bimbingan gizi dan pola asuh
yang baik agar kemungkinan munculnya GT dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.
3,11


Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Failure to thrive (pediatric undernutrition). In: Kleinman RE, ed. Pediatric
Nutrition Handbook. 5th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics. 2003: 443-457.
2. Frank DA, Zeisel SH. Failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Dec 1988; 35(6): 1187-206.
3. Zenel JA Jr. Failure to thrive: a general pediatrician's perspective. Pediatr Rev. 1997; 18: 371-378.
4. Sherry B. Epidemiology of inadequate growth. In: Kessler DB, Dawson P, eds. Failure to thrive and pediatric
undernutrition: a transdisciplinary approach. Baltimore: Brookes. 1999: 19-36.
5. WHO. Failure To Thrive : a manual for physicians and other senior health workers Child Health / WHO. CDR 95
(2005).
6. Levy Y, Levy A, Zangen T, et al. Diagnostic clues for identification of nonorganic vs organic causes of food refusal
and poor feeding. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Mar 2009; 48(3): 355-62.
7. Wright CM. Identification and management of failure to thrive: a community perspective. Arch Dis Child. 2000;
82: 5-9.
8. Hay WW. Current pediatric diagnosis and treatment. 15th ed. Norwalk, Conn.: Appleton & Lange. 2001: 250.
9. Sills RH. Failure to thrive. The role of clinical and laboratory evaluation. Am J Dis Child. Oct 1978; 132(10): 967-
9.
10. Maggioni A, Lifshitz F. Nutritional management of failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Aug 1995; 42(4):
791-810.
11. Reif S, Beler B, Villa Y. Long-term follow-up and outcome of infants with non-organic failure to thrive. Isr J Med
Sci. Aug 1995; 31(8): 483-9.



















BAB VI
DIARE AKUT
Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso
Ilustrasi Kasus
Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang
lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan
pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung,
turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat.

Pendahuluan
Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus
penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit,
akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma
malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang
harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama
kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare.
Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan sering disertai dengan
asidosis metabolik karena kehilangan basa.
1,2,3
Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh
karena rata rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh
bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih
menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.
4
Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat
menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan
menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap
pertumbuhan dan kesehatan anak.
5



Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung
kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih
dari 3 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau
normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi
merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran
cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya
abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang kadang pada seorang anak buang air besar
kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.
6,7,8


Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di
Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak,
terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya
karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai
gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil
Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang
terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian
karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%.
2,5,9

Cara Penularan dan Faktor Risiko
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal oral yaitu melalui makanan
atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan
penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui
lalat. ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).
10,11,12
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya
penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK),
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang
tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor
pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi
buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,
menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.
8,11,13

1. Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI.
Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya
kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan
kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.
Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi
atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit
pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.
1,4,14

2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat
setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik
yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus,
bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan
penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari
adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain.
7,14,15

3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik,
diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus
terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk
Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan
peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung
meningkat pada musim hujan.
3,14,16


4. Epidemi dan pandemi
Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemi dan pandemi
yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia.
Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh V. Cholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar
ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah di
Amerika Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1
menjadi penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah dan
Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang
menyebabkan epidemi di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.
2,14,17



Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen
telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80 % pada kasus yang datang disarana
kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi
tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.
Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan
inflammatory.
1,2,8
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh
bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau
translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang
menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.
3,4,18
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah
sebagai berikut :


Golongan Bakteri :
1. Aeromonas 8. Salmonella
2. Bacillus cereus 9. Shigella
3. Campylobacter jejuni 10. Staphylococcus aureus
4. Clostridium perfringens 11. Vibrio cholera
5. Clostridium defficile 12. Vibrio parahaemolyticus
6. Escherichia coli 13. Yersinia enterocolitica
7. Plesiomonas shigeloides
Golongan Virus :
1. Astrovirus 5. Rotavirus
2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) 6. Norwalk virus
3. Enteric adenovirus 7. Herpes simplex virus *
4. Coronavirus 8. Cytomegalovirus *
Golongan Parasit :
1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia
2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli
3. Cryptosporidium parvum 7. Strongyloides stercoralis
4. Entamoeba histolytica 8. Trichuris trichiura
Sumber = Nelson Textbook of Pediatric
3

* umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita imunocompromised

Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak yaitu:
Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan
Cryptosporidium.
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare
pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada
usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel
bundar pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi
dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare.
Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah gastroenteritis,
walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk.
Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus
halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang
rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga
fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan
makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan
meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan
beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare
osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang
mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti
transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam
amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim
hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian
infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio
penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama
laktosa.
Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita terganggu
imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. Kenaikan kerentanan bayi (dibanding
dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan mortalitas
gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi
cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes
nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar
permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko
alergi makanan.
6,8,10,13

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan
pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis
terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh
virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa
usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke
dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat
menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.
7, 10, 12

Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak antara lain :
Kesulitan makan
Defek Anatomis
- Malrotasi
- Penyakit Hirchsprung
- Short Bowel Syndrome
- Atrofi mikrovilli
- Stricture
Malabsorpsi
- Defisiensi disakaridase
- Malabsorpsi glukosa galaktosa
- Cystic fibrosis
- Cholestosis
- Penyakit Celiac
Endokrinopati
- Thyrotoksikosis
- Penyakit Addison
- Sindroma Adrenogenital
Keracunan makanan
- Logam Berat
- Mushrooms
Neoplasma
- Neuroblastoma
- Phaeochromocytoma
- Sindroma Zollinger Ellison
Lain -lain :
- Infeksi non gastrointestinal
- Alergi susu sapi
- Penyakit Crohn
- Defisiensi imun
- Colitis ulserosa
- Gangguan motilitas usus
- Pellagra
Sumber : Nelson Textbook of Pediatric
3




Anatomi dan Patofisiologi Diare
19,20,21,22,23,24,25
Anatomi
a. Gaster
Sel-sel epitel di gaster adalah merupakan kelenjar gaster. Terdapat 3 tipe kelenjar yaitu :
cardiac, oxyntic dan pyloric. Cardiac merupakan penghasil mukus yang terletak pada
perbatasan cincin gaster sampai oesophagus. Oxyntic merupakan yang paling banyak dan
didapatkan pada fundus. Tipe ketiga yaitu piloric merupakan 10% permukaan mukosa
gaster, ditandai adanya pits yang dalam. Dua tipe sel yang utama adalah sel penghasil
mukus dan sel penghasil gastrin.
Fungsi neuromuskuler gaster meliputi penyimpanan, mencampur, menggilas dan
melakukan kontrol terhadap pengeluaran makanan ke dalam duodenum. Sekresi gaster
terdiri dari asam hidroklorid (HCl), gastrin, pepsinogen, faktor intrinsik, lipase dan mukus.

Asam hidroklorid (HCl)
Merupakan produksi sel tunggal dari berbagai spesies. HCl ini diproduksi oleh sel parietal.
Pada bayi baru lahir, HCl diproduksi dengan cara mengubah-ubah bahan alkaline amnion
yang ditelan hingga dapat mencapai pH lambung kurang dari 4. Konsentrasi HCl tertinggi
terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10 setelah lahir dan akan terus meningkat sampai
mencapai kadar dewasa pada usia 60 sampai 90 hari. Pada bayi aterm 2 hari pertama
setelah lahir, stimulasi sekresi tidak dapat meningkat dengan stimulasi pentagastrin, dan
reaksi terhadap bahan-bahan histamin seperti betazole hidrochloride (histalog) tidak
timbul sampai usia 1 bulan.
Pentagastrin akan meningkatkan sekresi HCl mulai usia 1 minggu dan lebih besar pada
bayi-bayi aterm daripada yang preterm. Respon stimuli makanan pada bayi aterm oleh HCl
lambung terjadi setelah 2 jam. Sekresi asam lambung dikendalikan oleh sistem sekresi dan
inhibisi. Sistem persarafan gaster ada dua yaitu pleksus myenteric dan pleksus mukosal.
Pleksus myenteric menginervasi lapisan otot dan melakukan regulasi fungsi motorik. Saraf-
saraf ini terdiri atas 80 sampai 90 % saraf afferen dan 10 sampai 20% saraf efferen. Pleksus
mukosal terdiri dari neuropeptide transmiter seperti acetylcholin, serotonin, dan GABA
dan transmiter peptide seperti bombesin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan substansi
kalium.

Gastrin
Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi sel
G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang
letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana
G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang.
Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP yang akan
menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan
prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal
lambung akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam
lambung dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang
pelepasan gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga
oleh sekretin, neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE.
Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon endokrin
seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan
perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan
perlambatan pengosongan lambung.
Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman
intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak usus, menurunkan
keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam
oleh sel parietal.

Pepsinogen
Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus
gaster memproduksi 4 proteinase acidic yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau C,
captensin D dan captensin A. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan beta
adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat dengan
propanolol, tidak oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh atropin
dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung oleh
histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan Ca
intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE
menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP.

Faktor intrinsik
Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan
fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan
11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh
transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi
sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai
30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis.
Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi atau
kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara baik
terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa pada
usia 3 bulan.



Lipase gaster
Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski
pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan
lipolytic intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang
menyebabkan absorbsi lemak langsung segera di gaster.
4


Mukus gaster
Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk
lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus
meningkat dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai
barier difusi terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan
difusi kembali asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk
mempertahankan integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.

b. Usus halus
Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan
tumbuh mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan
tunggal sel kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali lebih
luas dengan adanya vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas pada
masing-masing regio usus halus. Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan
lebih sedikit; menyerupai bentuk jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi lebih
kecil dan lebih meruncing di ileum. Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara
vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn) yang merupakan tempat proliferasi enterosit
dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan tight junction antara jejunum dan ileum,
tight junction ini berperan penting dalam regulasi permeabilitas epitel dengan melakukan
kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler.

Sel goblet
Merupakan sel penghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet
menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier
fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak
didapatkan pada gaster dan duodenum.

Sel kripta
Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di
kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel
enteroendokrine, sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi
ini mensintesis dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral,
dimana molekul ini bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel
plasma.

Sel Paneth
Terdapat di basis kripte. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula
lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel panet
belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan
imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus.

Sel enteroendokrin
Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa
saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin
mensekresi neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon,
enteroglukagon, VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin.

Sel M
Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.
4,25

c. Usus besar
Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah
dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak
terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel
kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina
propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus.
Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi,
sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada
usus halus.
Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian bawah kripta yang
berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya akan dilepaskan dari
permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklus pembaharuan sel ini berlangsung 3
sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh sarung fibroblas dalam lamina propria,
mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron dengan migrasi sel epitel. Jumlah total
sel terbanyak pada kripta kolon desenden, menurun secara progresif di sepanjang kolon
transversum dan kolon desenden dan meningkat lagi pada sekum.

Mekanisme Diare
1,4,6,7,10,11,12,13,15,18,26,27
Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi.
Terdapat beberapa pembagian diare:
1. Pembagian diare menurut etiologi
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan
a. Absorbsi
b. Gangguan sekresi.
3. Pembagian diare menurut lamanya diare
a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi.
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi.
Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling
tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal:
Diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada
kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan
absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat
terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga
dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan imunologi.

1. Gangguan absorpsi atau diare osmotik.
Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue,
atau karena:
a. mengkonsumsi magnesium hidroksida
b. defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar
c. adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus
bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas.
Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen
usus jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum,
sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk
ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar
dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan
tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat
diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi
kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat
dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan
memberikan dampak yang sama.

2. Malabsoprsi umum.
Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan
monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel
(yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman,
seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena
inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran
karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih
lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E.
coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush border tanpa
merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap, karbohidrat, dan trigliserid
diakibatkan insuficiensi eksokrin pankreas menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan
mengakibatkan diare osmotik.
Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks
protein, karbohidrat, trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi dan
akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein dan
karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan
diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl
-
sehingga diare tersebut dapat
disebabkan malabsorpsi karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi
sukrosa, isomaltosa dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose,
pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan
pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar
dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH,
setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang
menyebabkan kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase,
menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi laktose.

3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik
Hiperplasia kripta.
Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi
intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi vili.

Luminal secretagogues
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan
kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta
asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel
cAMP, cGMP atau Ca
++
yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan
protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan
perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl
-
di kripta keluar. Di sisi lain terjadi
peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl
-
.
Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa
diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan permeabilitas
intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan
sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat
menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam
empedu, lemak.

Blood-Borne Secretagogues.
Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan
enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda dengan negara berkembang, di negara maju,
diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor
seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada
orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang
menghasilkan VIP, Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma watery
diarrhe hypokalemia achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk
jarang.
5
Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada
vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus dalam
keadaan normal.

4. Diare akibat gangguan peristaltik
Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan
motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan
motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan
bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau
nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan
stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare
akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena
hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin
merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai
penyakit lain.

5. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.
Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali
sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat
inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.
Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction,
menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek
infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi
absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk.
2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada
perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada
cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen
tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi chlorida
yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan
cytoskeleton maupun protein,Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik
protein tight junction, V cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction,
sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.

6. Diare terkait imunologi
Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan IV.
Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi
tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada
Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh
menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan
berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti
histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi
komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang mengaktifkan
komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic
Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi
tipe IV terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar
dipresentasikan sel APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen.
Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN- oleh Th1. Sitokin tersebut
akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat
kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.

Manifestasi Klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila
terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal
bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi
tergantung pada penyebabnya.
1,6,9
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium,
klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan
kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat
menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.
Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi
hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa
dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat.
4,8,11
Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain :
vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia,
hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa
paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot
(C. botulinum).
3,4,12

Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh,
contoh:

Tabel 6.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen terkait
Manifestasi Enteropatogen terkait
Reactive arthritis Salmonella, Shigella, Yersinia, Camphylobacter, Clostridium
difficile
Guillain Barre Syndrome Camphylobacter
Glomerulonephritis Shigella, Camphylobacter, Salmonella
IgA nephropathy Camphylobacter
Erythema nodusum Yersinia, Camphylobacter, Salmonella
Hemolytic anemia

Camphylobacter, Yersinia
Hemolytic Uremic
Syndrome
S. dysentrie, E. coli
Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics
3

Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas
badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.. Nyeri perut yang lebih hebat
dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan terkenanya
usus besar.
14, 15, 17
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin
disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik
virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium.

Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas
atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa
saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan
perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat
penting.
11, 16, 18

Tabel 16.2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab
Gejala
klinik
Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera
Masa tunas
Panas
Mual
muntah
Nyeri perut

17-72 jam
+
Sering

Tenesmus
24-48
jam
++
Jarang
Tenesmus
kramp
6-72 jam
++
Sering

Tenesmus
kolik
6-72 jam
-
+
-

6-72 jam
++
-
Tenesmus
kramp
-
48-72 jam
-
Sering
Kramp

Nyeri
kepala
Lamanya
sakit
Sifat tinja
Volume
Frekuensi
Konsistensi
Darah
Bau
Warna

Leukosit
Lain-lain

-

5-7 hari


Sedang
5-10x/hr
Cair
-
Langu
Kuning
hijau
-
Anorexia
+

> 7 hari


Sedikit
>10x/hr
Lembek
Sering

Merah-
hijau
+
Kejang
+

3-7 hari


Sedikit
Sering
Lembek
Kadang
Busuk
Kehijauan

+
Sepsis
-
-

2-3 hari


Banyak
Sering
Cair
-
+
Tak
berwarna
-
Meteorismus
-

Variasi


Sedikit
Sering
Lembek
+
Tidak
Merah-
hijau
-
Infeksi
sistemik
-
-

3 hari


Banyak
Terusmenerus
Cair
-
Amis khas
Seperti air
cucian beras
-


Sumber : Sunoto 1991
17


Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume,
konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume
dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 8 jam
terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit
lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak.
Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat
ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat
imunisasinya.
3, 10, 12


2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung
dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi:
kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-
ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata,
bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang
lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
1, 3, 10

Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu
dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan
menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat
dilihat pada tabel berikut.


Tabel 16.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003
Simptom Minimal atau tanpa
dehidrasi kehilangan
BB < 3%
Dehidrasi Ringan -
Sedang, Kehilangan
BB 3 % - 9 %
Dehidrasi Berat
Kehilangan BB > 9%
Kesadaran Baik Normal, lelah,
gelisah, irritable
Apathis, letargi, tidak
sadar
Denyut
jantung
Normal Normal - meningkat Takikardi, bradikardia
pada kasus berat
Kualitas nadi Normal Normal melemah Lemah, kecil, tidak
teraba
Pernapasan Normal Normal cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cowong Sangat cowong
Air mata Ada Berkurang Tidak ada
Mulut dan
lidah
Basah Kering Sangat kering
Cubitan kulit Segera kembali Kembali < 2 detik Kembali > 2 detik
Capillary refill Normal Memanjang Memanjang, minimal
Extremitas Hangat Dingin Dingin, mottled, sianotik
Kencing Normal Berkurang Minimal
Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
Penilaian A B C
1. Lihat :
keadaan umum
mata
air mata
mulut dan lidah
rasa haus

Baik, sadar

Normal
Ada
Basah
Minum biasa tidak
haus

* Gelisah, rewel

Cekung
Tidak ada
Kering
* Haus, ingin
minum banyak

* Lesu, lunglai atau
tidak sadar
Sangat cekung
dan
kering
Sangat kering
* Malas minum
atau
tidak bisa minum
2. Periksa : turgor kulit Kembali cepat * Kembali lambat * Kembali sangat
lambat
3. Hasil pemeriksaan : Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan /
sedang
Bila ada 1 tanda *
ditambah 1 atau lebih
tanda lain
Dehidrasi berat

Bila ada 1 tanda *
ditambah 1 atau
lebih tanda lain
4. Terapi : Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C
Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan Maurice King (1974)
Bagian tubuh
yang diperiksa
Nilai untuk gejala yang ditemukan
0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, apatis,
ngantuk
Mengigau, koma atau
syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun
besar
Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering & sianosis
Denyut nadi/
mnt
Kuat < 120 Sedang (120-140) Lemah > 140
Sumber : Sunoto 1991
17

Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian
dijumlahkan.
Nilai: 0 2 = Ringan 3 6 = Sedang 7 12 = Berat

3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya
pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui
atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat.
Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran
kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut :
Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika.
Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.
Tinja :
Pemeriksaan makroskopik:
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare
meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus
atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh
infeksi diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang
menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau
parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya
bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat
pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja
yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium
dan Strongyloides.
2,7,17


Tabel 16.6. Test laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi enteropatogen
Test Laboratorium Organisme diduga / identifikasi
Mikroskopik : Lekosit pada tinja Invasive atau bakteri yang memproduksi sitotoksin
Trophozoit, kista, oocysts, spora G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium, I. belli,
Cyclospora
Rhabditiform lava Stongyloides
Spiral atau basil gram (-) berbentuk
S
Camphylobacter jejuni
Kultur tinja: Standard
Spesial

E. coli, Shigella, Salmonella, Camphylobacter jejuni
Y. enterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C.
difficile, E. coli, O 157 : H 7
Enzym imunoassay atau latex
aglutinasi
Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile
Serotyping E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC
Latex aglutinasi setelah broth
enrichment
Salmonella, Shigella
Test yang dilakukan di laboratorium
riset
Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR
untuk genus yang virulen
Sumber: Suparto
10

Pemeriksaan mikroskopik:
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi
tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit
dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon.
Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau
kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C.
difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P.
shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S.
typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya,
pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal.
Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah
banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali
terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk
enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien
yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis
dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau
yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna
bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi
duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,
strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja
cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat
membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh
karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk
mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir
selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome,
diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita
immunocompromised.
Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus,
Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur
laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada
salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat
berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu
dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab
inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium
pendahuluan.
9, 10, 18


Terapi
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan
Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada
panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi
bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.
28,29,30
Memperbaiki kondisi usus dan
menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen
Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua

Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah.
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit formula
lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang terutama
disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit
tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan
tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih
baik adalah disebabkan oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan
kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan
formula baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru
lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya
hipernatremia.
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama
dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit
formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan
suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta
mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah
direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.
31, 32, 33



Tabel 16.7. Komposisi Oralit Baru

Oralit Baru Osmolaritas Rendah Mmol/liter

Natrium 75

Klorida 65

Glucose, anhydrous 75

Kalium 20

Sitrat 10

Total Osmolaritas 245
Sumber: WHO 2006
33

Ketentuan pemberian oralit formula baru:
a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24
jam.
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai
berikut:
Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB
Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan
harus dibuang.

Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut.
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan
anak.
Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence
based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang
dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada
pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang
dikeluarkan.
Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang
optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk
pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler,
adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan
tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya
terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses
perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat
meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan
regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan
respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc
cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak
masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang
rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan
frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya
dehidrasi pada anak.
Dosis zinc untuk anak-anak:
Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (
1
/2 tablet) per hari
Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare.
Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak
yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.
34, 35, 36


ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada
waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang
hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan
menandakan fase kesembuhan.
37

Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera.
Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena
akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh
dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak
rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya
pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi
peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin,
kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap
antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik
oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan
permeabilitas membrane terhadap antibiotik.
38


Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang,
makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3
hari.
28, 29


Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu
penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit
dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan
dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi :
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba

Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam
keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih
berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan
dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam
keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai
komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara
sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan pemberian
makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan terapi
antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral
hanya untuk kasus dehidrasi berat.
28, 29, 30

1. Pengobatan diare tanpa dehidrasi
TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah
dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya.
Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 100 ml, 1 5
tahun adalah 100 200 ml, 5 12 tahun adalah 200 300 ml dan dewasa adalah 300 400
ml setiap BAB.
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1
sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang
lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila
terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan
misalnya 1 sendok setiap 2 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare
berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus
diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali sehari) serta
rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang merangsang (pedas,
asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare
bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau bertambah
hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan-
sedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan sedang.
28, 29, 30


2. Pengobatan diare dehidrasi ringan sedang :
TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare dengan dehidrasi ringansedang harus dirawat di sarana kesehatan dan
segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam
pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat,
perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu
: untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200
ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume
yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan
memantau tanda-tanda dehidrasi.
Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan
volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan
sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah
hilang dapat diberikan lagi.
Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral,
oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20
ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau
memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat
dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada
pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan
dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik
adalah pemberian cairan parenteral.
28, 29, 30


3. Pengobatan diare dehidrasi berat
TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral)
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan
yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral.
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan
infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan
intravena ( 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3 4 jam
(untuk bayi) atau 1 2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan
untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan
cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan
Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam
pertama 30 cc/kgBB, diLanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun jam
pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 jam berikutnya 70 cc/kgBB.
Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat.
Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih
pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi ringan
sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi.
28, 29, 30


4. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)
Pada tahun 1975 WHO dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan CRO tunggal yang
mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20, Chlorida 80, Basa 30 dan Glukosa
111 (2%).
Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan pada
pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai
dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan
dengan kehilangan natrium bersama tinja 30 40 mEq/L, ETEC 50 60 mEq/L dan V.
cholera > 90 120 mEq/L. CRO WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun
efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare
infeksi.
Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa mendukung
penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya yang lebih
rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit,
berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan
anak non kolera.
Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas
rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian hiponatremi.
Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan
CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002
WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan
75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glucosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula
baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera,
meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan
indikasinya.
31, 32, 39


5. CRO baru
Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport
natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan glutamin) atau substitusi glukosa
dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak
menunjukkan lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat
direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan
mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera.
Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang dan
secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan
pilihan utama dari sebagian besar klinisi.
Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan SCFA (amylase resistent starch
derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar gum. Mekanisme kerja yang diharapkan
adalah meningkatkan uptake natrium oleh kolon terikat pada transport SCFA.
Kemungkinan lain dari perbaikan komposisi CRO masa depan adalah penambahan
probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer.
3, 32, 34,


6. Seng (Zinc)
Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan
dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius.
Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting
antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya
dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng
dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat
menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih
sama dengan hasil yang dicapai upaya preventive yang lain seperti perbaikan higiene
sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan
penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 14 hari,
dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 14 hari.
40, 41, 42


7. Pemberian makanan selama diare
Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh.
Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima.
Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi
teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang
normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga
memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya,
pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi
lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada
anak diare tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit
serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan
yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering
mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa
diminum paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau
bebas laktosa secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas
laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare
timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan
dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi
dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari
kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap
selama 2 3 hari.
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat,
makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari makanan
dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk
makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti serealia pada
umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang
lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat,
misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan
energinya dapat ditambahkan 5 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan.
Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur makanan pokok
tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe,
daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang
berlemak atau makanan yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang
diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari.
43, 44, 45


8. Pemberian makanan setelah diare
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan
pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu
perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh
untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan
yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam
ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.
4, 43


9. Terapi medikamentosa
29, 30, 38

Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika,
antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa
obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek
toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2
3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk
pengobatan diare akut.

Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian
besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh
dengan antibiotika.
Hanya sebagian kecil (10 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera,
Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
Tabel 16.8. Antibiotik pada diare
Penyebab Antibiotik Pilihan
Alternatif
Kolera Tetracycline
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari
Erythromycin
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari
Shigella
dysentery
Ciprofloxacin
15 mg/kgBB
2x sehari selama 3 hari

Pivmecillinam
20 mg/kgBB
4x sehari selama 5 hari
Ceftriaxone
50-100 mg/kgBB
1x sehari IM selama 2-5
hari
Amoebiasis

Metronidazole
10 mg/kgBB
3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus
berat)

Giardiasis

Metronidazole
5 mg/kg
3x sehari selama 5 hari

Sumber : WHO 2006
33

Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak
diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini
berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :
Adsorben
(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-obat ini
dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk mengikat dan
menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan
mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti
keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada
anak.

Antimotilitas
(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii,
paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa
akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan
ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan
memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis
normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan
diare.

Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan
diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.

Kombinasi obat
Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen
obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam diare.
Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada
bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk
menggunakan obat ini pada anak dengan diare.

Obat-obat lain :
Anti muntah.
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh
karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena
biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.
Cardiac stimulan
Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan
yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang.
Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak
pernah diindikasikan.

Darah atau plasma
Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi
oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan
elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk
penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.

Steroid
Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.

Komplikasi
1,3,12,46
Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya
membutuhkan pengobatan khusus.
Gangguan Elektrolit
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala
yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan.
Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat
menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara
terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline
5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa
koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan
rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8
jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam.
Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing.
Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10
ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.

Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung
sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada
anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan
efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil,
koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer
Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 kadar Na serum yang
diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya
diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.


Hiperkalemia

Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium
glukonas 10% 0,5 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 10 menit dengan monitor detak
jantung.


Hipokalemia

Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika
kalium 2,5 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5
mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam.
Dosisnya: (3,5 kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam,
kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan
aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan
menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah
diare berhenti.




Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral
Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran
tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat minum,
kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut
mungkin penderita harus diberikan cairan intravena.
25, 30
Kejang
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum
atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena :
hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia,
kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 40
0
C, hipernatremi atau hiponatremi.

Pencegahan
Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:
1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.
Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal - oral.
Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini.
Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:
a. Pemberian ASI yang benar.
b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
c. Penggunaan air bersih yang cukup.
d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan
sebelum makan.
e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.
f. Membuang tinja bayi yang benar.

2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu ( host ).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat
mengurangi resiko diare antara lain:
a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th.
b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan dalam jumlah
yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak.
c. Imunisasi campak.

Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang peranan probiotik, prebiotik dan seng dalam
pencegahan diare.
47



Probiotik
Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi
yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang lebih
baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu yang
panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang dilakukan
Komisi Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology and Nutrition)
pada tahun 2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan peran probiotik untuk
pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada penelitiannya bahwa susu
formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan Streptococcus thermophilus
bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan yang dirawat di Rumah Sakit dapat
menurunkan angka kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi rotavirus juga berkurang dari
39% pada kelompok placebo menjadi 10 % pada kelompok probiotik. Penelitian Phuapradit P.
dkk di Thailand pada tahun 1999 menunjukan bahwa bayi yang minum susu formula yang
mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan Streptococcus thermophylus lebih jarang
menderita diare oleh karena infeksi rotavirus.
Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di Peru pada
komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare terutama pada anak-
anak usia 18 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v 5,9 episod/anak/thn dengan p =
0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di Finlandia tahun 2001 tidak menemukan adanya
efek proteksi pada konsumsi jangka lama susu formula yang disuplementasi dengan probiotik.
DSouza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-sama
dengan antibiotika mengurangi resikoAntibiotic Associated Diaorrhea.
Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan
lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa
patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit, modifikasi
toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan
imunomodulasi.
Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap
diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan
keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan
aman.
Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi pada
kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.
48, 49




Prebiotik
Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya
kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinal
yang menguntungkan kesehatan.
Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena
dapat merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi yang
minum ASI. Data menunjukan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum
ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal
yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukan penurunan angka
kejadian diare. Penemuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian
RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat penyebabnya menunjukkan
adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat FOS lebih
pendek masa diarenya dibanding placebo
48
.
Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu
menunggu penelitian-penelitian selanjutnya.
49,50



Daftar Pustaka
1. Dit. Jen PPM, PLP Dep. Kes. RI. PMPD. Buku Ajar Diare. 1996.
2. Parashar UD, Hummelman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and death caused by rotavirus
disease in children. Emerging Infection Disease. 2006; 9:565-572.
3. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17
ed. Saunders. 2004 :1272-6.
4. Widayana IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas diare di era otonomi
dan krisis. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 45-54.
5. Firmansyah A. Pengaruh malnutrisi terhadap saluran cerna tikus putih: penelitian khusus pada perkembangan
morfologid, biokimiawi, dan fisiologis terutama kolon. Disertasi. 1992;13-20.
6. Rhoads JM, Powell DW. Diarrhea. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric
gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 65-73.
7. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG. Diare. Dalam: Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh
IRG eds. Gangguan absorbsi-sekresi sindroma diare. Graha masyarakat ilmiah kedokteran FK Unair. 1999:1-36.
8. Sunoto, Sutoto, Soeparto P, Soenarto Y, Ismail R. Pedoman Proses Belajar Mengajar Diare, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular. 1990.
9. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in industriliazed countries : compliance with guidelines for treatment. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33:531-5.
10. Suparto P. Sumbangan dan peran kaum profesional dalam mendukung program penyakit saluran cerna di era
otonomi.Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 17-27.
11. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in infections diseases. 2002; 4:183-94.
12. Vanderhoof JA. Diarrhe. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology,
diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993:187-95.
13. Pickering LK, Cleary TG. Approach to patients with gastrointestinal tract infection and food poisoning in Feigin
RD. Cherry JC eds. Textbook of Pediatric infectious diseases 4 Ed WB Saunders Co. 1998; 1:567-94.
14. Breese J, Fang, Wang BLE, Soenarto Y, Nelson EA, Tam J, Wilopo SA, Kilgore P. First report from the asian
rotavirus survaillance network. Emerg Infect Dis. 2004; 10(6): 988-955.
15. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. Didapat dari: http://www.jci.orig.
16. Soenarto, Y. Rotavirus Disease Burden in Indonesia. Grand Round: Melbourne. 2007.
17. Sunoto. Penyakit radang usus: infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. 1991;
I:448-66.
18. Rahmat H. Kebijakan Nasional pemberantasan penyakit menular langsung dan oralit formula baru. Kumpulan
makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 91-7.
19. Antonsun DL. Anatomy and physiology of the small and large intestine. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds.
Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 479-91.
20. Berkes J, Viswanathan VK, Savkovic SD, Hecht G. Intestinal ephitel to enteric pathogens: effects on tight
junction barrier, ion transport, and inflammation. Didapat dari: http://gut.bmjjournals.com/
21. Burke V. Mechanisms of intestinal digestion and absorption. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology
and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993:150-6.
22. Desjeux JF. Transport water and ions. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric
gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 312-18.
23. Guyton AC, Hall JE. Transport ion dan molekul melalui sel. Dalam: Guyton AC, Hall JE eds. Buku ajar fisiologi
kedokteran. EGC. 1997: 55-69.
24. Lake AM. Anatomy and physiology of stomatch. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal
disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 405-11.
25. Weaver LT. Anatomy and embryology. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric
gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 405-11.
26. Brueton MJ. Immunology of the gastrointestinal tract. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and
hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993: 224-32.
27. Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Baratawidjaya KG ed. Imunologi Dasar. BPFKUI, 2002;135-49.
28. American academy of pediatric. The management of acute gastroenteritis in young children. Pediatrics. 1996;
97: 1-20.
29. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in children : oral rehydration,
maintenance and nutritional therapy. MMWR. 1992; 41 (RR-16) : 1-20.
30. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis among child ; oral rehydration,
maintenance and nutritional therapy. MMWR. 2003; 52 (RR16): 1-16.
31. Guarino A et al. Oral rehydration toward a real solution. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 2 12.
32. Hans S et al. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due to diarrhea in children :
systematic review. BMJ. 2001; 325: 81-5.
33. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006.
34. Altaf Waseef MD. Zinc Supplementaion in Oral Rehydration Solution : Experimental Assesment and
Mechanisms of Action. Journal of the American College of Nutrition. Orlando. 2001.
35. Baqui AH et al. Effect of zinc supplementation started during diarrhea on morbidity and mortality in
Bangladeshi children : Community randomized trial. BMJ. 2002; 325:1-7.
36. Lukacik M., Ronald L. Thomas., Jacob V. Aranda. A Meta-Analysis of the effect of Oral Zinc in the Treatment of
Acute and Persistent Diarrhea. 2007.
37. Sandhu BK. Practical guidelines for the management of gastroenteritis in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2001; 33: 36-9.
38. Dwiprahasto, I. Penggunaan Antidiare ditinjau dari Aspek Terapi Rasional. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan. 2003; 9(2): 94-101.
39. Duggan C et al. Oral rehydration solution for acute diarrhea prevents subsequent unscheduled follow up visits.
Pediatrics. 1999; 104 (3): 29-33.
40. Bao Bin. Zinc Modulates mRNA levels of cytokines. Am J Physiol Endocrinol Metab. Michigan. 2003.
41. Sazawal S et al. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India. N Engl J Med. 1995; 333:
839-44.
42. Yamey G. Zinc supplementation prevents diarrhea and pneumonia. BMJ 1999 : 1521 3.
43. Brown KH and Mac Lean W.C. Nutritional management of acute diarrhea : an appraisal of the alternatives.
Pediatrics. 1984; 73: 2: 119-125.
44. Sandhu BK. Rationale for early feeding in childhood gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 13-
6.
45. WHO. The treatment of diarrhea : a manual for physicians and other senior health workers Child Health /
WHO. CDR 95 (1995).
46. WHO. Hospital Care for Children. Geneva. 2005.
47. Kandun IN. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat.
48. Juffrie M, et al. The effect of fructooligosaccharide (FOS) in children with diarrhea. J of the Medical
Sciences.2007;39:47-53.
49. Agostoni C et al. Medical position paper. Probiotic bacteria in dietetic product for infants : A commentary by
ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenerol Nutr 2004 : 38 : 365 74.
50. Szajewska H and Mrukowics JZ. Probiotic in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants
and children : A systematic review of published randomized, double blind, placebo controlled trials. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 17 25.









BAB VII
DIARE KRONIS DAN DIARE PERSISTEN
Yati Soenarto
Ilustrasi Kasus
Anak perempuan usia 23 bulan dengan keluhan BAB cair kurang lebih 5 kali sehari dan sudah
berlangsung selama 15 hari. Diare dimulai dengan tinja cair tanpa darah/lendir, demam,
muntah 2-3X/hari, oralit yang diberikan selalu dimuntahkan, sehingga dirawat oleh karena
dehidrasi berat. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 37,8C, status gizi baik, anak
didiagnosis diare cair akut dengan dehidrasi berat. Anak diperbolehkan pulang setelah
dirawat 2 hari, dikarenakan sudah tidak dehidrasi, tidak muntah, tidak demam, walaupun
BAB masih 3-4 kali, lembek. Ibu juga sudah dapat melakukan semua penanganan yang akan
dilakukan di rumah, apabila diare belum sembuh. Ibu juga sudah diberi penjelasan tentang
penyakitnya dan memahaminya. Sepuluh hari kemudian, Ibu datang kembali dengan keluhan
diare belum sembuh, berak lebih sering, cair, berbau asam, berbuih, sampai berengan kulit
sekitar anus berwarna merah. Selama 10 hari di rumah setelah kunjungan pertama, setiap
kali diberi minum susu, anak diare, kembung, kadang-kadang muntah. Apabila susu
dihentikan, gejala-gejala membaik, oleh karena itu ibu menghentikan susu dan mengurangi
makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan anak tidak demam, tidak ada tanda-tanda dehidrasi,
tetapi mata kelihatan lebih cowong. Berat badan berada di persentil 3 kurva BB//TB, padahal
sebelum kena serangan diare, berat badan & tinggi badan anak normal.

Pertanyaan
1. Diagnosis apa yang paling mungkin pada anak ini?
2. Bagaimana anda mengkonfirmasi diagnosis tersebut?
3. Bagaimana tatalaksana pasien ini?

Pendahuluan
Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia
yang menyebabkan 1,6-2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5 dari
seluruh penyebab kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia menunjukkan
penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995).
Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan
survei serupa, yaitu 40% (1972), menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001).
1,2
Penurunan mortalitas ini merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral
Rehydration Salt) untuk manajemen diare. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas akibat
diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Studi meta-analisis yang
dilakukan oleh Kosek et al. menunjukkan bahwa angka kejadian diare akut cenderung tetap dari
tahun ke tahun. Di negara berkembang setiap anak mengalami rata-rata tiga episode diare akut
tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sebesar 1,3 kali per tahun.

Berdasarkan Survei Kesehatan
Nasional yang dilakukan tahun 2003-2004 dilaporkan prevalensi diare pada anak sebesar
11%.
2,3
Di Indonesia penurunan angka mortalitas yang signifikan terjadi sejak tahun 1970-an
saat ORS mulai dimasyarakatkan. Akan tetapi, manfaat manajemen ORS ini kurang terlihat
pada diare persisten sehingga angka kematian akibat diare ini cenderung tetap.
2, 4

Definisi
Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau
lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.

Dalam referensi lain
disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10
g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24
jam.

Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis
dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang
sama.
5,6
Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu,
sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh Walker-
Smith et al. didefinisikan sebagai diare persisten.
5,6
Di lain pihak, dasar etiologi diare
kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological
Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu,
sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi
menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung
lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
5,6

Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan
persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar belakang
tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di
negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun pembahasan lebih
didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare
bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.
5
Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat
dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan
masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare
yang berlangsung 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta
diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut
yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini.
4,7

Kejadian
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita.
Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun
dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini
menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang
mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai
diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa
secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna
dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%,
dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.
2,9,10,11

Grafik 7.1. Insidensi Diare di Beberapa Negara Berkembang
hari hari hari hari


Sumber: Bhutta
7


Etiologi
Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara
diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam
kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi
intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai dengan
darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perhatian
global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi
saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Tabel 7.1
menunjukkan enteropatogen penyebab diare di Surabaya dari tahun 1984 hingga 1993,
berdasarkan durasi diare. Sayangnya publikasi lain dari studi semacam ini di Indonesia tidak
dapat diperoleh.
4,12,13

Tabel 7.1. Enteropatogen penyebab diare di Surabaya (1984-1993)
Etiologi Diare Akut (<7
hari)
Diare
berkepanjangan
7-15 hari
Diare Kronis
>15 hari
Rotavirus 116 n.d n.d.
V.cholera 78 2 -
Salmonella sp. 86 81 21(11.9%)
E.coli 102 14 16 (9%)
Campylobacter j. 16 2 -
Entamoeba histolytica - 16 12 (6.8%)
Staphylococcus aureus - 11 7 (4%)
Shigella 7 1 -
Pseudomonas - 1 -
Salmonella typhi - 1 3 (1.7%)
Morganella morgagni - - 3 (1.7%)
Klebsiella - - 1 (0.5%)
Enterobacter - - 1 (0.5%)
Aeromonas 4 n.d n.d
Klebsiella oxytocia 5 - -
Infeksi campuran 54 13 12 (6.8%)
76 (100%)
Sumber : Soeparto
4

Patogenesis
Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Pertemuan
Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN)
menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan berbagai
faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang
pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali
diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya
menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun
sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut
lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi.
14,15,16

Gambar 7.1. Konsep Patogenesis Diare Persisten dan Kronis


Sumber: Sullivan
14


Gambar 7.2. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten

Interkuren infeksi
Faktor predisposisi utama
Kemiskinan
Penyapihan dini
Terapi puasa
Organisme patogen
malnutrisi
Insufisiensi
pankreas
Diare kronis
Kolonisasi kuman
Di usus halus
Malabsorbsi
asam empedu
Kerusakan mukosa
Alergi makanan
Penurunan
status imun


Sumber: Bhutta
7

Gambar 7.2. menunjukkan perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan
bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan
terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada
akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki konsekuensi
enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.
7
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2) faktor
mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk
gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang
mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi
transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh proses
akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan
fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan
Klorida-Bikarbonat.
14,17
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh Ghishan,
dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein
transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5) perubahan
motilitas usus.
5

Diare infeksius
Pengobatan diare
Yang tidak optimal dan
terlambat
Infeksi dan diare yang
berulang
Diare berkepanjangan
Diare persisten dan enteropati
Malnutrisi
sejak awal
Difisiensi imun
Malnutrisi mikronutrien
mis. Zinc dan vit A
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl
-
secara aktif dari sel kripta akibat
mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca
2+
. Mediator tersebut juga mencegah
terjadinya perangkaian antara Na
+
dan Cl
-
pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak
dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan
mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam),
konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na
+
dan Cl
-
>70mEq, dan tidak berespon
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di
mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah
disebutkan sebelumnya.
5

2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses
pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan
langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen
usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung
pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam
proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila
disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan
gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi
laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi,
yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus
besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan
difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini
menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi
reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.
5


3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion Cl
-
/HCO3
-
pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan absorpsi
Cl
-
dan menyebabkan HCO3
-
tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis
metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na
+
. Kadar
Cl
-
dan Na
+
yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik.
Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi
polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum
rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai
daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur
Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl
-
/HCO3
-
, didapat juga mutasi
pada penukar Na
+
/H
+
dan Na
+
protein pengangkut asam empedu.
5,18

4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing
enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain, diperlukan
pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short bowel
syndrome.

Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit
yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.
5,15

5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus
dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak
meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik.
Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom,
misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori
dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.
5


Manifestasi Klinis (Komplikasi)
Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak
menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform.

Selain itu, malnutrisi
merupakan gambaran umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika
menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam
tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare
akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya.
10,,16

Diagnosis
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara lain berapa
lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat pemberian
makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat dan
adanya penyakit sistemik.
15,19

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada
penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.
4

3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit,
ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju enap darah, dan
protein C-reaktif.


b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal
elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas.

pH tinja <5 atau
adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan
kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti
giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten.
4,19

Terapi
Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan meliputi:

1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare
persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit,
khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas
harus dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan
atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
20

2. Pemberian nutrisi
a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis
Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar 100
kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1
kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi: diet elemental, diet berbahan dasar susu,
dan diet berbahan dasar ayam.
i. Diet elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam
amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi
trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah
harganya mahal. Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima
oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk
mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya
digunakan di negara maju.
21

ii. Diet berbahan dasar susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam
mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam
jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI,
pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap
oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah
infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan
susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan
demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga
membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung
epidermial growth factors.
22
iii. Diet berbahan dasar daging ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa, hipoosmolar,
dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa pemberian diet
berbahan dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil perbaikan yang
signifikan.

Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK UGM
dengan single blind, randomized-controlled trial menunjukkan durasi diare yang
lebih pendek secara bermakna pada anak dengan diare yang mendapat bubur ayam
dibandingkan yang mendapat bubur tempe (1,920,66 vs 2,640,89, p 0,034).
Namun demikian, mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi
daripada bubur refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat menjadi pilihan
tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.
21,23

b. Pemberian mikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi.
Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA
(Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1
tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi
10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan
suplementasi zinc untuk anak berusia 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk
anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.
22

Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan
bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24%
dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.
24,25

c. Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung
Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada
penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan
durasi muntah yang menyertai.

Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006)
menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-
associated diarrhea.
26,27

d. Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah
2,39 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat
bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 0,33 hari). Sebuah studi uji klinis
randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997)
menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi
diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode
diare akut.
15

3. Terapi Farmakologis
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik
diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstra-
intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk
shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi
adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia lamblia
pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua antibotik
berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi
lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.
20,28,29

4. Follow up
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau
perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi
diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan
intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung 2 minggu dimana 50% kebutuhan
cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara
maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai
dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-tanda dehidrasi,
atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari. Gambar 7.3 menjelaskan alur
tata laksana diare persisten/kronis.
7,21




















Gambar 7.3. Diagram Manajemen Diare Persisten


Diare persisten
{diare 14 hari disertai malnutrisi}
Diagnosis, resusitasi dan stabilisasi awal
Intravena atau rehidrasi oral {cairan rehidrasi oral}
Atasi gangguan elektrolit
Pelacakan dan pengobatan infeksi sistemik
ASI diteruskan
Mengurangi asupan laktosa dengan:
Diet susu sereal (umumnya berbahan dasar beras)
Atau mengganti susu dengan yogurt
Suplemen mikronutrien (zink, vit A, folat)
sembuh
Pemantauan
pertumbuhan
Diare berlanjut atau berulang
Berat badan tidak naik
Pelacakan ulang untuk penyebab infeksi
Terapi diet sekunder
Ayam dan diet elemental
Diarre berlanjut dan dehidrasi
Pelacakan ualng untuk menyingkirkan
Diare intraktable pada bayi
Hiperalimentasi intravena


Sumber: Bhutta
7
Faktor Risiko dan Pencegahan
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma
menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama
terjadinya diare persisten.
16

Tabel 7.2. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten
Faktor bayi - Bayi berusia <12 bulan
- Berat badan lahir rendah (<2500 gram)
- Bayi atau anak dengan malnutrisi
- Anak-anak dengan gangguan imunitas
- Riwayat infeksi saluran nafas
Faktor
maternal
- Ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat
bayi
- Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis,
kesehatan dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun bayi.
- Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta
makanan pendamping ASI.
Pemberian
susu pada bayi
- Pengenalan susu non-ASI
- Penggunaan botol susu
Riwayat infeksi
sebelumnya
- Riwayat diare akut dalam waktu dekat (khususnya pada bayi <12
bulan)
- Riwayat diare persisten sebelumnya.
Penggunaan
obat
sebelumnya

- Obat antidiare, karena berhubungan dengan menurunnya motilitas
gastrointestinal.
- Antimikroba, termasuk antibiotik dan anti-parasit.
Sumber: WHO
11

Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan. Hal ini
didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare persisten
paling banyak pada anak usia 3 bulan.

Studi yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan
bahwa rata-rata usia anak penderita diare persisten adalah 10,7 bulan. Baqui et al (1993)
menyatakan bahwa kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah usia kurang dari 1
tahun.
30,31
Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita
diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat dibandingkan
kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran juga merupakan
salah satu faktor risiko diare peristen. Pemberian makanan pendamping terlalu dini
meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare persisten semakin tinggi.

Oleh
karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan manajemen yang tepat pada
diare akut sehingga kejadian diare tidak berkepanjangan. Manajemen diare akut yang tepat
meliputi pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.
29,32


Diare Persisten pada Kondisi Khusus
1. Diare persisten pada Infeksi HIV
Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada
penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih
tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan
kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode
diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5
kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining
yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV
seropositif.
9,33,34
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum
diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan
perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik
dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan
bakteri.
35,36
Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare
persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai
pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi
infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997)
mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten
pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi
usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare
persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi
microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus,
Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.
13,35,36

2. Diare persisten pada keganasan
Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi
usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada
absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma
sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu
terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid
yang mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya
menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin
yang menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut
mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi
asam lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim
pencernaan dan menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan
malabsorpsi zat nutrien. Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.
36,38
Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi
menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-
agen kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan.
5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi,
sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.
39

Diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat
kematian anak di Indonesia dan dunia. Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai
faktor yang sangat kompleks. Hubungan antara diare persisten dengan malnutrisi
bagaikan lingkaran setan yang memerlukan penanganan yang integratif dan bertahap
sehingga terapi yang dibutuhkan tidak hanya terapi medikamentosa akan tetapi
dibutuhkan pula terapi nutrisi yang optimal.


Daftar Pustaka
1. Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children dying every year? Lancet. 2003; 361: 2236-
2234.
2. MoH I. Indonesia: demographic and health survey. Jakarta: Government of Indonesia. 2003.
3. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrhoeal disease, as estimated from studies published
between 1992 and 2000. Bulletin of the World Health Organization. 2003; 81(3).
4. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG. Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma Diare. Seri Gramik:
Gastroenterologi Anak Edisi 2. 1999.
5. Ghishan RE. Chronic Diarrhea. In Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. WB Saunders, Philadelphia. 2007.
6. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z et al. Chronic diarrhea and malabsorption (including short gut syndrome):
Working Group Report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 33 (supplement).
7. Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle. 2006; 64: 39-47.
8. Kandun, IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia Tahun 2008.
Makalah dipresentasikan dalam Annual Scientific Meeting Dies Natalis FK UGM ke-62 dan HUT RSUP Dr.
Sardjito ke-26, Simposium Diare Rotavirus di Indonesia: Tantangan dan Harapan. 6 Maret 2008.
9. Parthasarathy P, Mittal SK, Sharma VK. Prevalence of Pediatric HIV in New Delhi. [Indian J Pediatr. 2006;
73(3): 205-7.
10. Roy RR, Roy E, Sultana S, Kawser CA. Epidemiology and Clinical Characteristics of Children with Persistent
Diarrhea. Journal of Bangladesh College Physicians and Surgeons. 2006; 24: 3: 105-9.
11. WHO. Persistent diarrhoea in children in developing countries: memorandum from a WHO meeting. Bull World
Health Organ. 1988; 66: 709-17.
12. Thomas ED, Fortes A, Green C, Howdel P, Long R, Playford R, Sherriden M, Stevens R, Vallorie R, Walter J,
Eddison GM, Heal P, Brighden D. Guidelines For The Investigation Of Chronic Diarrhoea 2
nd
Ed. GAD. 2003; 52:
V1-V15.
13. Grohmann GS, Roger GW, Perreira HG, Monroe SS, Hightower AW, Weber R, Brian RT. Enteric Viruses And
Diarrhoea In HIV Infected Patient. 1993; 329: 14-20.
14. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J Clin Invest. 2003; 111(7): 931-943.
15. Soenarto, SY. Diarrhea Case Management: Using Research Findings Directly For Case Management And
Teaching In A Teaching Hospital In Yogyakakarta, Indonesia. Amsterdam. 1997.
16. Sullivan PB. Studies of the Small Intestine in Persistent Diarrhea and Malnutrition: The Gambian Experience,
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 34: S11-S13.
17. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children: Part II. Clinical Approach and Management. Saudi J Gastroenterol.
1995; 1: 81-6.
18. Kere J, Lohi H, Hoglund P. Genetic disorder of membrane transport: III. Congenital Chloride Diarrhea. Am J
Physiol (Gastrointest Liver Physiol.39). 1999; 276: 7-13.
19. Kandun IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia. Dalam
Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Departemen
Kesehatan RI. 2003.
20. Patwari AK, Anand VK, Aneja S, Sharma D. Persistent Diarrhea: Management in a Diarrhea Treatment Unit,
Indian Pediatric Journal. 1995; 32: 277-84.
21. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of Persistent Diarrhea in Childhood: A Perspective from the
Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology & Nutrition, [Review]. 1996; 22: 17-37.
22. WHO. Persistent Diarrhea and Breastfeeding. WHO. Geneva. 1997.
23. Budiwiarti, YE. Pengaruh Pemberian Bubur Refeeding Tempe Terhadap Diare pada Anak Diare Akut Usia 6-24
Bulan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, FK UGM. 2005.
24. Bhutta ZA, Bird M, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A, Khatun F, Martorell R, Ninh NX, Penny ME,
Rosado JL, Roy SK, Ruel M, Sazawal S, Shankar A (The Zinc Investigator Collaborative Group). Therapeutic
effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in children in developing countries: pooled analysis of
randomized controlled trials. Am J Clin Nutr. 2000; 72: 1516-22.
25. WHO. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines for the Management of Common Illnesses with
Limited Resources. WHO Press, Switzerland. 2006.
26. Gaon D, Garcia H, Winter L, Rodriguez N, Quintas R, Gonzales SN, Oliver G. Effect of Lactobacilles Strain And
Saccharomices Boulardie On Persistent Diarrhoea In Children. MEDICINA. 2003; 63: 293-298.
27. Johnston DC, Supina AL, Ospina M, Vohla S. Probiotic For The Prevention Of Pediatric Antibiotic Associated
Diarrhoea. [Review Online]: Cochrain Database Of Systematic Review. 2008, Issue 1.
28. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronis. Dalam Sudigbia I, Harijono R, dan Sumantri A: Naskah
Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987.
29. The Treatment of Diarrhoea: A Manual for Physicians and Other Senior Health Workers. WHO. 2005.
30. Baqui AH, Sack RB, Black RE, Chowdhury HR, Yunus M, Siddique AK. Cell-Mediated Immune deficiency and
Malnutrition are Independent Risk Factors for Persistent Diarrhea in Bangladesh Children. Am J Clin Nutr.
1993; 58: 543-548.
31. Fraser D, Dagan R, Porat N, El-On J, Alkrinawi S, Deckelbaum RJ, Abraham D, Naggan L. Persistent Diarrhea in
a Cohort of Israeli Bedouin Infants: Role of Enteric Pathogens and Family and Environmental Factors. JID. 1998;
178: 1081-8.
32. Badruddin SH, Islam A, Hendricks KM, Bhutta ZA, Shaikh S, Snyder JD, Molla AM. Dietary risk factors
associated with acute and persistent diarrhea in children in Karachi, Pakistan. Am J Clin Nutr. 1991; 54: 745-9.
33. Thea DM, St.Louis ME, Atido U, Kanjinga K, Kembo B, Matondo M, Tshiamala T, Kamenga C, Davachi F, Brown
C, Rand WM, Keusch GT. A Prospective Study of Diarrhea and HIV-1 Infection among 429 Zairian Infants. N
Engl J Med., 1993; 329: 1696-1702.
34. Winter H. Gastrointestinal Tract Function and Malnutrition In HIV Infected Children. J. Nutr. 1996; 126: 2620s-
2622s.
35. Attili SVS, Gulati AK, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4 counts and enteric infections in a hospital-
based cohort of HIV-infected patients around Varanasi, India. BMC Infectious Diseases. 2006: 6: 39.
36. Galal OM. Persistent diarrhea as an emerging child health problem. Saudi J Gastroenterol. 1997; 3: 34-40.
37. Schmidt W, Schneider T, Heize W, Schultz D, Weinke T, Ignatius R, Owen EY, Zeitz, Reichen T, Ulrich R.
Mucosal Absorbtion In Microsporidiasis. AIDS. 1997; 11: 1589-1594.
38. Vernacchio L, Zina RM, Mitchell AA, Lesko SM, Laut AG, Achesson DWK. Characteristic Of Persistent Diarrhoea
In A Community Based Cohort, Community Of Young US Children. Journal Of Pediatric Gastroenterology And
Nutrition. 2006; 43: 52-58.
39. Wisinski K, Benson III A. Chemoterapy-Induced Mucositis: Focusing on Diarrhea. J Support Oncol. 2007; 5:
270-271.

BAB VIII
MUNTAH
Badriul Hegar
Ilustrasi kasus
Bayi berumur 9 bulan, selalu rewel dan menolak bila diberikan minum/makan sejak berumur
4 bulan. Berbagai jenis susu formula dan makanan padat telah dicoba diberikan kepadanya
tetapi tetap tidak memperlihatkan perubahan. Sejak lahir, bayi sering gumoh dan sejak
umur 4 bulan kenaikan berat badan hanya 100-150 gram perbulan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan bayi sadar, berat badan 6.600 gram, panjang badan 72 cm (BB/TB<70%), dan
tanda vital dalam batas normal. Jantung dan paru tidak ada kelainan, perut lemas, bising
usus normal, dan ekstremitas menunjukkan perfusi perifer baik. Pemeriksaan laboratorium
rutin memperlihatkan gambaran anemia mikrositik hipokromik. Adanya regurgitasi sejak
lahir yang disertai gejala klinis menolak minum/makan, rewel setiap diberi makan, kenaikan
berat badan yang tidak optimal, dan gambaran anemia mikrositik hipokromik perlu
dipikirkan adanya refluks gastroesofagus patologis (gastroesofagitis refluks). Untuk
membuktikan diagnosis tersebut dilakukan pemantauan pH esofagus (pH-metri) dan
endoskopi. Nilai indeks refluks (IR) pH-metri pada pasien ini sebesar 12%. Nilai IR di atas
10% sangat mendukung gejala klinis dan merupakan indikasi kuat untuk dilakukan
endoskopi. Gambaran erosi pada sepertiga distal esofagus (endoskopi) dan esofagitis derajat
2 (histopatologi) pada pasien ini menegakkan diagnosis gastroesofagitis refluks. Pasien
mendapat terapi parental reassurance, thickening milk, posisi supine 45
0
-60
0
, dan obat:
cisaprid 3 x 1,25 mg dan ranitidin 2 x 15 mg yang dievaluasi setiap 1-2 bulan tergantung
perbaikan klinis, gambaran endoskopi dan histopatologi.

Pendahuluan
Saluran pencernaan dapat diibaratkan sebagai sekelompok organ berbentuk corong yang
saling berhubungan dan membentuk satu tabung yang dilapisi oleh otot; mulai dari rongga
mulut sampai ke anus. Berdasarkan perbedaan diameter dan fungsi karakteristik yang
dimilikinya, saluran tersebut dapat dibedakan menjadi esofagus, lambung, usus halus, usus
besar (kolon), rektum, dan anus. Hati dan limpa merupakan organ lain yang ikut berperan
dalam proses pencernaan dengan mensekresi cairannya ke dalam saluran cerna. Salah satu
manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh seorang anak akibat adanya gangguan
pada saluran cerna adalah muntah. Keadaan ini dapat merupakan menifestasi klinis dari satu
keadaan yang tidak berbahaya, tetapi dapat pula sebagai tanda dari suatu penyakit serius.
Muntah bukan merupakan satu penyakit melainkan merupakan salah satu manifestasi klinis
dari suatu penyakit. Oleh karena itu, pendekatan diagnosis dan tata laksana muntah sangat
bervariasi bergantung kepada dugaan penyebabnya.
1,2,3
Dua organ saluran pencernaan yang paling terlibat pada proses muntah adalah esofagus
dan lambung. Oleh karena itu, pemahaman anatomi dan fisiologi kedua organ tersebut sangat
penting.

Fisiologi Menelan
Proses menelan sendiri telah terjadi pada saat janin. Menelan akan menimbulkan suatu
gerakan peristaltik yang dimulai dari farings, selanjutnya melalui otot serat lintang dan otot
polos esofagus dan berakhir pada kardia lambung. Pada awal menelan, sfingter esofagus atas
(SEA) mengalami relaksasi yang menyebabkan makanan/minuman dapat masuk ke dalam
esofagus. Sfingter esofagus atas merupakan bagian penting karena berfungsi mencegah
regurgitasi dari esofagus ke dalam rongga mulut dan larings. Epitel skuamosa yang melapisi
SEA berfungsi sebagai proteksi terhadap bahan makanan kasar. Begitu makanan/minuman
masuk ke dalam esofagus, SEA segera menutup dan terjadi gerakan peristaltik esofagus.
Sfingter esofagus bawah (SEB) juga mengalami relaksasi pada saat proses menelan berlangsung
dan terus terbuka sampai gerakan peristaltik mencapai SEB. Selanjutnya, SEB berkontraksi
kembali sampai mencapai tekanan pada saat istirahat. Gerakan peristaltik tersebut disebut
sebagai peristaltik primer yang akan menurun pada saat tidur. Pada saat menelan terdapat pula
peristaltik sekunder yang bertujuan mendorong bahan refluks kembali ke dalam lambung.
Peristaltik sekunder juga dapat terjadi bila terdapat makanan di dalam esofagus yang tidak
terdorong oleh peristaltik primer ke dalam lambung. Nervus vagus berperan dalam proses
menelan dengan mengatur gerakan otot rongga mulut, farings, serta kontraksi otot serat lintang
dan otot polos. Pada saat menelan, tekanan SEB menurun sehingga mirip dengan tekanan
lambung.
4,5,6
Beberapa keadaan dapat mempengaruhi kompetensi otot SEB, antara lain lengkung
diafragma terutama pada saat tekanan intraabdomal meningkat, faktor hormonal, obat, dan
makanan. Motilin, protein, dan prokinetik meningkatkan tekanan SEB, sedangkan progesteron,
sekretin, kolesistokinin, lemak, alkohol, cokelat, dan berbagai obat (benzodiazepin, teofilin,
atropin) menurunkan tekanan SEB.
7,8,9
Lambung terdiri atas fundus, korpus, antrum, dan pilorus yang mempunyai fungsi
berbeda
1
. Motilitas lambung merupakan aktivitas otot polos yang mendapat persarafan dari
saraf intrinsik (nervus vagus) dan ekstinsik (pleksus mienterikus). Berdasarkan fungsinya
sebagai organ yang berperan dalam motilitas, lambung dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu bagian
proksimal (fundus dan 1/3 proksimal korpus) dan bagian distal (2/3 distal korpus, antrum, dan
pilorus).
10,11,12
Dalam keadaan istirahat terdapat gerakan siklus gastrointestinal yang dikenal dengan
migrating motor complex (MMC). Pada keadaan ini, sebagian otot polos bagian proksimal
lambung dalam keadaan kontraksi sedangkan bagian distal relaksasi. Respons terhadap proses
menelan, bagian proksimal akan mengalami relaksasi sehingga dapat mengakomodasi makanan
yang masuk ke dalam lambung. Pada saat relaksasi terjadi peningkatan tekanan intralumen
fundus yang berperan dalam pengosongan lambung dari bahan makanan yang berbentuk cair,
sedangkan gerakan peristaltik antrum berperan penting dalam pengosongan lambung dari
bahan makanan berbentuk padat. Bagian distal lambung memegang peran penting dalam
mixing dan emptying.
10,11,12
Saluran cerna juga mendapat persarafan intrinsik dari sistem saraf enterik yang terdapat
pada lapisan muskularis (pleksus mienterikus) dan submukosa (pleksus Meissner). Nervus
vagus menggunakan pleksus mienterikus sebagai relay neurons. Dari berbagai neurotransmiter
yang ada, asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting dalam aktivitas motorik saluran
cerna. Aktivitas motorik saluran cerna terutama diatur oleh sistem saraf enterik. Sistem saraf
enterik dapat menerima impuls aferen secara langsung dari saluran cerna dan memberikan
respons langsung tanpa keterlibatan nervus vagus. Oleh karena itu, sistem saraf enterik disebut
sebagai otak kecil saluran cerna.
10,11,12



Definisi
Secara klinis, kadangkala sulit dibedakan antara muntah, refluks gastroesofagus (RGE),
dan regurgitasi. Muntah didefinisikan sebagai dikeluarkannya isi lambung melalui mulut secara
ekspulsif melalui mulut dengan bantuan kontraksi otot-otot perut. Usaha untuk mengeluarkan
isi lambung akan terlihat sebagai kontraksi otot perut. Sedangkan, RGE didefinisikan sebagai
kembalinya isi lambung ke dalam esofagus tanpa terlihat adanya usaha dari anak, dapat
disebabkan oleh hipotoni sfingter esofagus bagian bawah, posisi abnormal sambungan esofagus
dengan kardia, atau pengosongan isi lambung yang padat. Apabila bahan dari lambung tersebut
dikeluarkan melalui mulut, maka keadaan ini disebut sebagai regurgitasi.
6,10
Regurgitasi terjadi
akibat gerakan antiperistaltik esofagus. Sedangkan ruminasi yaitu pengeluaran makanan secara
sadar untuk dikunyah kemudian ditelan kembali.
1,2,7

Patogenesis
Muntah berada di bawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula oblongata,
yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral yang dikenal sebagai pusat muntah. Pusat
muntah di medula diaktifkan oleh impuls yang berasal dari chemoreceptor trigger zone (CTZ)
yang berada di dasar ventrikel IV. Chemoreceptor trigger zone merupakan tempat
berkumpulnya impuls aferen yang berasal dari bahan endogen/eksogen atau impuls dari
saluran cerna atau tempat lainnya yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga
dtemukan berbagai neurotransmiter, reseptor, dan enzim. Reseptor terhadap dopamin
ditemukan pada daerah ini.
1,13

Proses muntah sendiri mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea
merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus baik pada organ visera,
labirin, atau emosi. Fase ini ditandai oleh adanya rasa ingin muntah pada perut atau
kerongkongan dan sering disertai berbagai gejala otonom seperti bertambahnya produksi air
liur, berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Pada saat nausea, gerakan peristaltik aktif
berhenti dan terjadi penurunan kurvatura mayor lambung bagian bawah secara mendadak.
Tekanan pada fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di daerah antrum sampai pars
desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum menjadi distensi sehingga dapat
menyebabkan refluks duodenogaster. Selain itu juga terjadi peristaltik retrograd mulai dari
jejunum sampai ke lambung. Adanya refluks duodenogaster tersebut menerangkan bahwa
muntah yang bercampur empedu tidak selalu disebabkan obstruksi usus. Fase ini tidak selalu
berlanjut ke fase retching dan emesis. Muntah yang disebabkan oleh tekanan intrakranial
meninggi dan obstruksi usus tidak memperlihatkan gejala nausea.
1,13
Pada fase retching terjadi inspirasi dengan gerakan otot napas spasmodik yang diikuti
dengan penutupan glottis. Keadaan ini menyebabkan tekanan intratoraks negatif dan pada saat
yang sama terjadi pula konstraksi otot perut dan diafragma. Fundus mengalami dilatasi,
sedangkan antrum dan pilorus mengalami kontraksi. Sfingter esofagus bagian bawah membuka
tetapi sfingter bagian atas masih menutup. Fase retching-pun dapat terjadi tanpa harus diikuti
oleh fase emesis.
1,13
Fase emesis ditandai dengan adanya isi lambung yang dikeluarkan melalui mulut. Pada
keadaan ini terjadi relaksasi diafragma, perubahan tekanan intratoraks dari negatif menjadi
positif, dan relaksasi sfingter esofagus bagian atas yang mungkin disebabkan oleh peningkatan
tekanan intralumal esofagus.
1,13

Etiologi
Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi dan tergantung dari usia. Beberapa
keadaan dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti gangguan pada lambung atau usus
(infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada telinga bagian dalam (dizziness dan motion
sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat (trauma, infeksi), atau akibat makan yang
berlebihan. Meskipun jarang, obstruksi usus merupakan penyebab muntah pada bayi. Beberapa
penyebab muntah yang sering ditemukan pada anak berdasarkan lokasi kelainan dan usia dapat
dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 8.1. Penyebab muntah pada neonatus
Saluran cerna Luar cerna Non-organik
Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain
Atresia esofagus
Stenosis pilorus
M. Hirschsprung
Gastroenteritis
NEC
Kalasia
TIK meninggi
Meningitis
Efusi subdural
Hidrosefalus
Sepsis
Insuf. ginjal
Inf. saluran kemih
Iritasi C. amnion
Teknik minum
Obat
Malrotasi usus
Hernia hiatus
Ileus mekonium
Laktobezoar
Iritasi as.lambung Hiperplasia
adrenal
Inborn error
metab.
Sumber : Dodge
1

Tabel 8.2. Penyebab muntah pada bayi
Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organik
Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain
Stenosis pilorus
Antral web
Intususepsi
Volvulus

RGE
Intoleransi
laktosa
CMPSE
Gastroenteritis
NEC
Meningitis
Ensefalitis
TIK meninggi
Inf. saluran napas
Inf. saluran kemih
Otitis media
Hepatitis
Insufisiensi adrenal
Gangguan
metabolik
Teknik makan
Erofagi
Motion sicknes
Obat
Sumber : Dodge
1

Tabel 8.3. Penyebab muntah pada anak
Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organik
Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain
Intususepsi
Obstruksi usus
Akalasia
Striktur (ingesti bahan
kaustik)
Gastroenteritis
Apendisitis
Gastritis
Ulkus peptikum
Keracunan
makan
TIK
meninggi
Infeksi SSP
Hidrosefalus
Inf. saluran napas
Inf. saluran kemih
Otitis media
Henoch-Schonlein
Torsio testis
Psikogenik
Menarik
perhatian
Motion sicknes
Obat
Sumber : Dodge
1

Oleh karena begitu besarnya variasi penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan
muntah pada anak, maka pengenalan keluhan dan gejala klinis yang spesifik dari masing-
masing penyakit tersebut sangat diperlukan oleh seorang dokter sebagai langkah awal
melakukan pendekatan diagnosis. Langkah awal yang tepat akan memberikan keakuratan
diagnosis yang cepat. Pada BAB ini tidak akan dibahas secara rinci penyebab muntah tersebut,
tetapi akan diuraikan pendekatan diagnosis secara umum.
1,9,14



Manifestasi Klinis
Muntah pada anak biasanya merupakan suatu petanda adanya infeksi. Muntah pada
seorang anak yang mengalami infeksi biasanya disertai oleh gejala lainnya seperti demam,
mual, sakit perut, atau diare. Keadaan ini biasanya akan berhenti dalam waktu 6-48 jam.
Apabila muntah terus berlangsung perlu dipikirkan adanya suatu keadaan yang lebih serius.
Anak mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi dehidrasi, terutama apabila disertai diare.
Infeksi virus merupakan penyebab terbanyak diantara patogen lainnya. Muntah yang disertai
demam lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri dibanding virus atau parasit. Adanya
penyakit peptikum perlu dipikirkan bila muntah terjadi segera setelah makan, sedangkan
muntah yang disebabkan oleh keracunan makanan biasanya terjadi 1-8 jam setelah makan.
Muntah akibat food borne disease seperti Salmonella memerlukan waktu yang lebih lama untuk
menimbulkan gejala klinis karena diperlukan waktu untuk inkubasi. Kandidiasis oral sering
pula sebagai penyebab muntah pada bayi.
1,3,15
Muntah proyektil non-bilious berulang pada bayi dapat merupakan tanda obstruksi
saluran cerna, misalnya stenosis pilorus. Stenosis pilorus sering ditemukan pada minggu kedua
setelah lahir, walaupun sangat jarang dapat pula ditemukan sejak lahir. Muntah persisten pada
neonatus yang terjadi pada malam hari perlu dipikirkan kemungkinan adanya hernia hiatus.
Penyakit pankreatitis jarang ditemukan pada anak. Penyebab tersering kelainan ini adalah
infeksi virus, obat-obatan, dan trauma. Selain muntah, anak memperlihatkan gejala sakit perut
di daerah epigastrium dan perut sebelah kiri atas yang kadang-kadang menyerupai gastritis
tetapi tidak memperlihatkan perbaikan setelah diberi obat antagonis reseptor H2.
1,16,17

Satu hal penting yang juga harus dipahami pada seorang anak yang mengalami muntah
adalah menentukan adanya kelainan yang memerlukan tindakan bedah segera. Kelainan ini
umumnya digolongkan ke dalam kelompok penyakit perut akut. Ada beberapa petunjuk yang
dapat digunakan sebagai petanda kecurigaan terhadap kelainan tersebut, yaitu (1) nyeri perut
yang timbul mendahului muntah dan/atau berlangsung selama lebih dari 3 jam, (2) muntah
bercampur empedu, dan (3) distensi perut. Volvulus pada neonatus memperlihatkan muntah
berwarna hijau yang timbul pada hari-hari pertama kehidupan dan selanjutnya diikuti tanda
obstruksi saluran cerna letak tinggi dan peritonitis. Muntah ditemukan pada 90% anak dengan
volvulus, sedangkan sakit perut pada 80% anak.
1,18
Muntah dapat pula disebabkan oleh kelainan di luar saluran cerna seperti infeksi saluran
napas atau saluran kemih. Beberapa obat dapat pula sebagai pencetus muntah pada anak
seperti histamin, fenitoin, (obat anti epilepsi), kemoterapi, aspirin, dan beberapa antibiotika.
Muntah setelah trauma kepala yang ringan ditemukan pada 15% anak dan sebagian besar
mempunyai riwayat sakit kepala berulang dan motion sickness.
3
Oleh karena itu, muntah pada
trauma kepala ringan lebih dihubungkan dengan adanya faktor intrinsik individual. Muntah
akibat kelainan fungsional biasanya ditemukan pada anak berusia 2-7 tahun dengan disertai
keluhan migrain, motion sickness, dan gangguan saluran cerna fungsional lainnya (sakit perut,
gangguan defekasi). Saat keluhan, adanya gangguan tingkah perilaku seperti anoreksia atau
bulimia nervosa perlu dipikirkan adanya kelainan psikiatri. Secara garis besar pendekatan
diagnosis muntah pada anak dapat dirangkum sebagai berikut:
- tegakkan/singkirkan penyakit infeksi sebagai penyebab muntah (misalnya otitis media,
diare, infeksi intrakranial, infeksi saluran kemih atau napas, sepsis, atau hepatitis)
- tegakkan/singkirkan kelainan organik saluran cerna (misalnya atresia esofagus, RGE,
stenosis pilorus, M. Hirschsprung, penyakit peptikum)
- cari kemungkinan adanya masalah dalam makanan (misalnya intoleransi laktosa, alergi
makanan, kebanyakan makan, teknik pemberian makan/minum yang salah)
-
cari kemungkinan adanya pengaruh obat-obatan, kelainan psikologi, dan kelainan
metabolik.
1,9

Diagnosis
16,19,20,21,22,23
Pendekatan untuk identifikasi masalah sangat penting, yang meliputi:
1. Usia dan jenis kelamin
2. Tentukan terlebih dahulu apa yang dihadapi: muntah/yang lain
3. Bagaimana keadaan gizi anak
4. Adakah faktor predisposisi
5. Apakah ada penyakit yang menyerang anak secara interkuren
6. Bagaimana bentuk (isi) muntahan, apakah seperti susu/makanan asal (tanda isi dari
esofagus), atau telah merupakan susu yang telah menggumpal (isi lambung) atau
mengandung empedu (isi duodenum), atau adakah darah
7. Apakah saat muntah berhubungan dengan saat makan/minum
8. Apakah perubahan posisi tubuh mempengaruhi muntah
9. Informasi diet: kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan (terutama untuk anak kecil)
10. Bagaimana teknik pemberian minum
11. Bagaimana kondisi psikososial di rumah

Pemeriksaan penunjang dilaksanakan untuk membantu pendekatan diagnosis. Jenis
pemeriksaan yang dipilih sesuai dengan dugaan diagnosis berdasarkan anamnesis dan
manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan darah, radiologis dengan
atau tanpa kontras, ultrasonografi, endoskopi, pemantauan pH esofagus (pH-metri), uji
hidrogen napas, biopsi mukosa saluran cerna.
16,19,23
Muntah hijau pada neonatus baik yang disertai atau tidak disertai distensi abdomen
dapat merupakan petanda awal obstruksi saluran cerna. Pipa nasogastrik harus segera dipasang
untuk dekompresi lambung. Pemeriksaan foto polos perut yang memperlihatkan dilatasi usus
dan air-fluid levels menunjukkan adanya obstruksi saluran cerna yang memerlukan tindakan
bedah. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras dapat membedakan adanya atresia
duodeni, malrotasi midgut, volvulus, atresia jejunum, atau ileus yang merupakan penyebab
obstruksi saluran cerna paling sering pada neonatus.
7,16,19
Kecurigaan klinis adanya stenosis pilorus dapat dibuktikan dengan pemeriksaan barium
meal atau ultrasonografi yang memperlihatkan gambaran khas. Adanya refluks gastroesofagus
(RGE) dapat dibuktikan dengan pemantauan pH esofagus selama 24 jam (pH-metri). Indeks
refluks di atas 5% menunjukkan adanya RGE patologis. Esofagitis dan penyakit peptikum (erosi,
ulkus) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi dan biopsi mukosa saluran cerna.
Kecurigaan terhadap intoleransi laktosa dan overgrowth bacteria dibuktikan dengan
pemeriksaan uji hidrogen napas. Peningkatan kadar H2 napas diatas 20 ppm pada menit ke 60-
120 setelah minum larutan laktosa menunjukkan adanya malabsorpsi laktosa, sedangkan
peningkatan pada menit ke-30 menunjukkan overgrowth bacteria. Pemeriksaan darah perifer
dan urin diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi yang mendasari keluhan
tersebut, sedangkan pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit dilakukan bila diduga telah
terjadi komplikasi gangguan metabolik atau sebaliknya adanya kecurigaan gangguan metabolik
yang mendasari keluhan tersebut.
16,19,22

Terapi

Terapi utama muntah ditujukan untuk mencari dan mengatasi penyebabnya, sedangkan
terapi suportif diperlukan untuk mencegah keadaan yang lebih buruk dan mengatasi komplikasi
yang telah terjadi. Beberapa petunjuk di bawah ini dapat dipakai sebagai terapi awal muntah
pada anak, yaitu:
- Apabila tidak ada obstruksi saluran cerna, muntah biasanya akan berhenti dalam waktu
6-48 jam.
- Atasi dan cegah dehidrasi serta gangguan keseimbangan elekrolit.
- Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa lebih enak atau tidak ada
muntah lagi selama 6 jam.
- Hentikan obat-obatan yang diduga dapat mengiritasi lambung dan membuat muntah
bertambah (misalnya aspirin, asetosal, kortikosteroid, antibiotik golongan makrolid).
- Hindarkan makanan padat pada 6 jam pertama dan berikan rasa nyaman pada anak
selama periode ini (misalnya dengan menurunkan suhu tubuh).
- Berikan makanan yang mudah dicerna sehingga membantu proses penyembuhan
saluran cerna yang mengalami gangguan.
- Berikan minuman manis seperti jus buah (kecuali jeruk dan anggur karena terlalu
asam), sirup, atau madu (untuk anak di atas 1 tahun) secara bertahap setiap 15-20 menit
sebanyak 1-2 sendok teh. Cairan lain yang dapat pula diberikan antara lain kaldu ayam,
atau oralit.
- Setelah 1 jam pertama dapat diberikan minuman dengan jumlah yang lebih banyak (2-4
sendok teh setiap 15-20 menit) secara bertahap dan ditingkatkan 2 kali setiap 1 jam.
Apabila terjadi muntah kembali, berikan minuman dalam jumlah lebih sedikit.
Pemberian minum ad libitum pada anak terutama bayi mempunyai risiko terjadi
muntah yang berulang.
- Setelah 3 jam tidak mengalami muntah, dapat diberikan minuman melalui gelas (anak)
atau botol (bayi) dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap pula.
- Setelah 6 jam tidak mengalami muntah, bayi dapat diberikan buah pisang, sereal, dan
jus apel, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat diberikan roti, krakers, madu, sup
ayam, kentang atau nasi. Jenis dan jumlah makanan juga diberikan secara bertahap.
Diet normal biasanya dapat diberikan setelah 24 jam.
- Hindarkan aktivitas setelah makan.
- Obat anti muntah diberikan bila memang benar-benar diperlukan. Pemberian obat-
obatan ini harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Obat diberikan bila
anak menolak minum setelah muntah atau muntah telah berlangsung lebih dari 24 jam.
- Pemantauan lebih teliti perlu diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut: muntah
tetap berlangsung selama 12 jam (untuk bayi) dan 24 jam (untuk anak), muntah disertai
diare, disertai gangguan neurologis, letargi, tanda dehidrasi dan sakit perut, gangguan
pernapasan, atau isi muntah berwarna kehijauan.
19,23,24


Obat anti muntah tidak digunakan secara rutin pada anak, tetapi hanya pada anak yang
menolak minum setelah muntah atau muntah berlangsung lebih dari 24 jam sehingga
dikhawatirkan keadaan tersebut akan menimbulkan komplikasi baik berupa dehidrasi maupun
gangguan keseimbangan elektrolit dan gas darah. Obat anti muntah dapat langsung diberikan
pada kasus yang mendapat kemoterapi atau radioterapi. Hal yang paling penting adalah harus
diyakini bahwa tidak ada obstruksi saluran cerna.
23,25
Berbagai jenis obat dilaporkan sebagai obat anti muntah seperti golongan antagonis
reseptor dopamin, antikolenergik, antihistamin, dan antagonis reseptor serotonin. Pemilihan
golongan obat tersebut bergantung dari patofisiologi muntah yang terjadi. Pada motion sicknes
terjadi gangguan sistem vestibular, maka golongan antikolinergik (misalnya skopolamin)
merupakan obat pilihan. Golongan antihistamin (hyoscine hydrobromide, prometazin) yang
bekerja pada pusat muntah juga dapat digunakan pada keadaan tersebut. Golongan antagonis
reseptor serotonin (ondansetron) yang bekerja pada CTZ sangat efektif pada kasus yang
mendapat kemoterapi dan radioterapi.
25
Gangguan pada saluran cerna seperti yang terjadi pada infeksi, golongan antagonis
reseptor dopamin yang bekerja pada pusat (CTZ) dan perifer (saluran cerna) merupakan obat
pilihan. Dari golongan tersebut, metoklopramid dan domperidon merupakan jenis obat yang
banyak digunakan sebagai antimuntah. Metoklopramid mempunyai efek menghambat reseptor
dopamin di CTZ, sehingga mengurangi nausea dan muntah. Berbagai gejala seperti ansietas,
tremor, distonia dan diskenesis pernah dilaporkan pada pasien yang menggunakan obat ini.
26,27
Domperidon banyak digunakan sebagai obat anti muntah karena efeknya yang positif
dan efek sampingnya kecil (0.5%). Obat ini selain menghambat reseptor dopamin di CTZ, juga
pada reseptor dopamin perifer (saluran cerna). Efek positif yang diperlihatkan setelah
pemberian domperidon, antara lain meningkatkan tekanan SEB, meningkatkan kontraktilitas
lambung, memperbaiki koordinasi antroduodenum, dan mempercepat pengosongan lambung.
Domperidon mempunyai bioavailabilitas yang rendah karena dimetabolisme secara cepat di
dinding usus dan hati. Domperidon dapat ditoleransi lebih baik dan mempunyai efek samping
ekstrapiramidal yang lebih kecil dibanding metoklopramid karena berkemampuan kecil
menembus sawar darah otak. Dosis yang dianjurkan pada anak adalah 0,2 -0,4 mg/kgBB/hari
peroral.
28

Komplikasi
Kehilangan cairan dan elektrolit, aspirasi isi lambung, malnutrisi dan gagal tumbuh,
sindrom Mallory-Weiss (robekan pada epitel gastroesophageal junction akibat muntah yang
berulang), sindrom Boerhave (ruptur esofagus), dan esofagitis peptikum.
1,9

Pencegahan
Pencegahan yang dimaksud di sini adalah pencegahan terjadinya komplikasi akibat
muntah, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (dehidrasi, asidosis/alkalosis
metabolik, hipokalemia, hiponatremia), aspirasi, gangguan nutrisi, esofagitis peptikum, dan
sindrom Mallory-Weiss. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan mengikuti petunjuk tata
laksana muntah pada anak seperti yang diuraikan sebelumnya
17,29

Kesimpulan
Muntah merupakan salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh
seorang anak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan maupun di luar saluran
pencernaan. Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi, oleh karena itu pengenalan
manifestasi klinis spesifik dari masing-masing penyakit yang sering sebagai penyebab muntah
perlu dipahami oleh seorang dokter. Pendekatan diagnosis yang tepat dan cepat akan
menimbulkan penatalaksanaan yang optimal. Penggunaan obat anti muntah bukan merupakan
pilihan utama pada kasus muntah, tetapi pada beberapa keadaan, obat anti muntah yang efektif
dan aman sangat diperlukan.


Daftar pustaka
1. Dodge JA. Vomiting and regurgitation. In: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker Smith JA, Watkins JB,
eds. Pediatric gastrointestinal diseases, 2
nd
ed. Philadelphia: BC Decker. 1991: 32-44.
2. Fennig S. Cyclic vomiting syndrome. Jounal of pediatric gastroenterology and nutrition. 1999.
3. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of gastrointestinal tract. In: Roy CC, Silverman A, Alagille D, eds.
Pediatric clinical gastroenterology, 1
st
ed. St Louis: Mosby. 1998: 20-30.
4. Biancani P, Zabinski M, Kerstein M, Behar J. Lower esophageal sphincter mechanics: Anatomic and physiologic
relationships of the esophagogastric junction of cat. Gastroenterology. 1982; 82: 468-75.
5. Penagini R, Bartesaghi B, Bianchi PA. Effect of cold stress on postprandial lower esophageal sphincter
competence and gastrooesophageal reflux in healthy subjects. Dig Dis Sci. 1992; 37: 1200-5.
6. Pope CE. A dynamic test of sphincter strength: Its application to the lower esophageal sphincter.
Gastroenterology. 1967; 52: 779-86.
7. Hegar B, Vandenplas Y. Gastro-esophageal reflux in infancy. J. Gastroenterol Hepatol. 1999: 14:13-9.
8. Jan Nissl RN. Bloody or yellow or green liquid (bile) in vomit in children. Healthwise. 2007.
9. Tomomasa T, Kuroume T. Developmental physiology. In : Hyman PE, Lorenzo CD eds. Pediatric
gastrointestinal motility disorders, 1
st
ed. New York : Academy Profesional Information Services. 1994: 1-7.
10. Kumar D. Gross morphology of the gastrointestinal tract. In: Kumar D, Gustavsson eds. Gastrointestinal
motility, 1
st
ed. London: John Wiley & Sons. 1988: 3-8.
11. Li Buk. Cyclic vomiting syndrome: A pediatric Rorschach. J pediatr gastroenterol nutr. 1993.
12. Stendal C. Anatomy of the digestive system. In: Stendal C. ed. Practical guide to gastrointestinal function testing.
1st ed. London: Blackwell Science. 1997: 1-14.
13. Weisbrodt NW. Swallowing. In: Johnson LR, ed. Gastrointestinal physiology. Mosby, Missouri. 1985: 23-31.
14. Dignan F, Symon DNK, Abu Arafeh I, Russel G. The prognosis of cyclical vomiting syndrome. Archives of
disease in childhood. 2001.
15. Kimura K, Loening BV. Billious vomiting in the newborn: Rapid diagnosis of intestinal obstruction. Am Fam
Physician. 2008; 61: 2791-8.
16. Dinkevich E, Ozuah PO, Adam HM. Pyloric stenosis. Pediatric in review. 2007; 21: 1-3.
17. Lerner A, BranskiD, Lebenthal E. Pancreatic diseases in children. Pediatr Clin North America. 2006; 43: 125-34.
18. Peitz HG. Volvulus in childhood. Radiology. 1997; 37: 439-45.
19. Davies AEM, Sandhu BK. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal reflux. Arch Dis Child. 2005; 73: 82-6.
20. Forbes D. Differential diagnosis of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol nutr. 1993.
21. Hegar B, Buller HA. Breath hydrogen test in lactose malabsorption. Paediatr Indones. 1995; 35: 161-71.
22. Hegar B, Vandenplas Y. Electrogastrography in delayed gastric emptying. Paediatr Indones. 1998; 38: 181-90.
23. VandenplasY, Hegar B. Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux diseases in infant and children. J
Gastroenterol Hepatol. 2008; 15: 593-603.
24. Fleisher DR. Management of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol nutr. 1993.
25. The Italian group for antiemetic research. Dexamethasone alone or in combination with ondansetron for the
prevention or delayed nausea and vomiting induced by chemotherapy. N Eng J Med. 2007; 342: 1554-9.
26. Batts KF, Munter DW. Metoclopramide toxicity in an infant. Pediatr Emerg care. 1998; 14(1): 39-41.
27. Ganzini L, Casey DE, Hoffman WF, McCall AL. The prevalence of metoclopramide induced tardive dyskinesia
and acute extrapyramidal movement disorders. Arch Intern Med. 2003; 153: 1469-75.
28. Vandenplas Y, Hegar B, Salvatore S, Hauser B. Pharmacotherapy of gastrooesophageal reflux disease in
children: focus in safety. Expert Opin Drug Saf. 2002; I(4): 355-64.
29. Weber AR, Hyman PE, Cuuhiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ, Staiano A. Childhood functional
gastrointestinal disorders. Gut. 1999; 45(suppl II): 60-8.







BAB IX
SAKIT PERUT PADA ANAK
Aswitha Boediarso
Ilustrasi kasus
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun 9 bulan dibawa ke Poliklinik anak dengan
keluhan utama sakit perut berulang sejak 1 tahun yang lalu. Sakit dirasakan hampir setiap
hari di daerah ulu hati yang tidak menjalar. Sakit perut dapat disertai dengan mual atau
muntah.
Pasien dilahirkan cukup bulan, spontan, ditolong dokter dan langsung menangis. Berat
lahir 3.000 gram dan panjang badan saat lahir 49 cm. Riwayat imunisasi dasar lengkap.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan terkesan normal. Riwayat makanan menunjukkan
kualitas dan kuantitasnya terkesan cukup. Pasien merupakan anak pertama dari dua
bersaudara.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan seorang anak lelaki dengan berat badan 19,5 kg dan
tinggi badan 117 cm. Keadaan umum baik, sadar, tidak terlihat pucat maupun sesak nafas.
Laju denyut jantung sama dengan laju denyut nadi 100 x/menit, laju napas 28 x/menit dan
suhu 36.7
o
C. Bunyi jantung I II normal, tidak ada bising maupun irama derap. Gerakan
nafas simetris, suara nafas vesikular, tidak didapatkan adanya ronki maupun mengi. Perut
teraba lemas, turgor cukup dan didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium. Hati dan
limpa tidak teraba, tidak teraba massa, dan bising usus terdengar normal. Alat gerak teraba
hangat dengan perfusi perifer baik. Saat itu ditegakkan diagnosis sakit perut berulang yang
diduga disebabkan oleh gastritis yang dipikirkan akibat infeksi H. pylori.
Pasien kemudian mendapat terapi ranitidin 2 x 50 mg. Hasil pemeriksaan penunjang
darah tepi memperlihatkan kadar hemoglobin 12,8 g/dl, leukosit 6100/l, trombosit
315.000/l, hematokrit 36 vol%, hitung jenis (%): eosinofil 1, batang 0, segmen 53, limfosit 45,
dan monosit 1. Pada pemeriksaan serologi IgG anti H. pylori diperoleh hasil negatif.
Selanjutnya direncanakan pemeriksaan endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi memperlihatkan gambaran hiperemis pada 1/3 distal mukosa
esofagus dan bagian antrum mukosa lambung, sedangkan mukosa duodenum normal. Pada
pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan biopsi didapatkan gambaran gastritis kronis
atrofi aktif dengan H. pylori positif serta tidak ditemukan gambaran keganasan. Pasien
kemudian mendapat terapi omeprazol 2 x 10 mg, amoksisilin 2 x 500 mg dan klaritromisin 2 x
250 mg selama 1 minggu.
Pada saat kontrol di Poliklinik Anak satu minggu kemudian, tidak didapatkan lagi
keluhan sakit perut berulang. Evaluasi hasil eradikasi H. pylori pada satu bulan pasca terapi
dengan melakukan endoskopi ulang memberikan hasil gambaran mukosa esofagus dan
lambung normal, sedangkan hasil patologi anatomi jaringan biopsi memberikan gambaran
gastritis kronik nonaktif dengan atrofi ringan serta H. pylori negatif.

Pendahuluan
1,2,3
Sakit perut pada bayi dan anak merupakan gejala umum dan sering dijumpai dalam
praktik sehari-hari. Tidak semua sakit perut berpangkal dari lesi yang ada dalam abdomen,
tetapi mungkin pula dari daerah di luar abdomen.
Sebagian kasus yang disebabkan oleh gangguan organ datang dalam keadaan akut dan
memerlukan pembedahan. Oleh karena itu tindakan pertama dalam menangani sakit perut
ialah menentukan apakah penyakit tersebut membutuhkan tindakan bedah segera atau tidak.
Disamping sakit perut akut dikenal pula sakit perut berulang.
Adapun yang dimaksud dengan sakit perut berulang pada anak ialah serangan sakit perut
yang berulang sekurang-kurangnya 3 kali dalam jangka waktu 3 bulan dan mengakibatkan
aktivitas sehari-hari terganggu
1
. Sakit perut berulang biasanya terjadi pada anak yang berusia
antara 4 sampai 14 tahun, sedangkan frekuensi terbanyak pada usia 5-10 tahun. Sakit perut
berulang dilaporkan terjadi pada 10-12% anak usia sekolah di negara maju. Studi epidemiologis
di Asia, juga melaporkan prevalensi yg sama. Sebagian besar studi menyebutkan wanita lebih
sering terkena dibandingkan dengan pria.
Sakit perut berulang merupakan gejala yang paling sering dialami oleh anak-anak di
seluruh dunia dan menyebabkan tingginya tingkat absensi anak di sekolah serta penggunaan
sumber daya kesehatan. Kondisi yang tidak kunjung membaik dan mengganggu menimbulkan
ketidakpastian diagnosis, kronisitas dan tingginya kecemasan orangtua. Hal inilah yang
menyebabkan manajemen oleh dokter umum maupun spesialis anak menjadi sangat sulit,
menghabiskan banyak waktu dan mahal.

Patofisiologi
Sakit perut berasal dari 7 sumber:
1. Distensi viseral
2. Iskemia
3. Radang intraabdominal
4. Kelainan pada dinding abdomen
5. Kelainan ekstraabdominal
6. Kelainan metabolik
7. Kelainan pada susunan saraf
Traktus gastrointestinal dan organ di sekitarnya berdasarkan vaskularisasi dan
persarafannya secara embriologi berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Orofaring, esofagus,
gaster, sebagian duodenum, pankreas, hati, kandung empedu dan limpa berasal dari foregut.
Duodenum bagian distal, jejunum, ileum, apendiks, kolon asenden serta sebagian kolon
transversum berasal dari midgut. Kolon transversum bagian distal, kolon desenden, sigmoid
dan rektum berasal dari hindgut. Rangsang sakit dari ketiga segmen tersebut dapat tercermin
dari letak sakit perut di bagian atas, tengah dan bawah.

Peritoneum berasal dari mesoderm. Peritoneum terdiri dari dua lapis, yaitu peritoneum
viseralis dan peritoneum parietalis. Peritoneum viseralis dipersarafi bilateral oleh sistem saraf
otonom (simpatis dan para simpatis), sedangkan peritoneum parietalis oleh saraf somatis dari
medula spinalis. Rasa sakit dari peritoneum viseralis dirasakan di garis tengah perut. Rasa sakit
dari peritoneum parietalis terlokalisasi dengan baik, dirasakan di daerah organ itu berada dan
sakitnya bertambah bila digerakkan (perut ditekan atau penderita disuruh batuk). Sakitnya
dirasakan seperti disayat pisau atau ditusuk-tusuk.
Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin
yang berasal dari sistem saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai serabut
saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih luas dan lebih lama dari rasa sakit yang
dihantarkan oleh serabut saraf A yang terdapat di kulit, otot dan peritoneum parietalis.
Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari
organ di abdomen. Serabut C ini bersama dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan
paravertebra dan memasuki ganglia akar dorsal. Impuls aferen akan melewati medula spinalis
pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri.
Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan hebat
ambang nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal dan berbatas
tidak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas (lambung, duodenum,
pankreas, hati dan sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen thorakalis 6, 7, 8
serta dirasakan di daerah epigastrium.
Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz sampai
fleksura hepatika memasuki segmen th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus. Dari kolon
distalis, ureter, kandung kemih dan traktus genitalis perempuan, impuls nyeri mencapai
segmen th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada daerah suprapubik
dan kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas ke
peritoneum parietalis maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut aferen somatis ke radiks
spinalis segmentalis dan sakit dirasakan di daerah dimana organ itu berada. Penyebab
metabolik seperti pada keracunan timah dan porfirin belum jelas patofisiologi dan
patogenesisnya.
4,5,6

Patofisiologi sakit perut berulang yang fungsional (tidak berhubungan dengan kelainan
organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan ada hubungan antara sakit perut berulang
fungsional dengan penurunan ambang rangsang nyeri. Berbagai faktor psikologis dapat
berperan sebagai mediator atau moderator dari sakit perut berulang fungsional.
Tabel 9.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional

PSIKOLOGIS
FISIOLOGIS
Faktor stres
Intoleransi
Depresi
Ikatan keluarga
Operant conditioning
Somatisasi
laktosa
Dismotilitas usus
Konstipasi
Ketidakstabilan
otonom
Sumber: Barr
7

Juga diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sakit perut berulang fungsional dengan
tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin sempurna. Pada anggota keluarga
lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosimatik seperti migrain dan kolon iritabel.
2,7,8

Patogenesis
9,10,11
Mekanisme timbulnya sakit perut adalah:
1. Gangguan vaskular
Emboli/trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau penekanan. Kejadian ini misalnya terjadi
pada putaran kista ovarium dan jepitan usus pada invaginasi.
2. Peradangan
Peradangan organ dalam rongga peritoneal menimbulkan rasa sakit bila proses peradangan
telah mengenai peritoneum parietalis. Mekanismenya seperti pada peradangan pada
umumnya, yang disalurkan melalui persarafan somatik. Rasa sakit ini dirasakan setempat
atau di seluruh perut tergantung pada peritoneum yang meradang, menetap dan bertambah
bila terdapat gerakan peritoneum yang meradang (batuk, penekanan pada abdomen).
3. Gangguan pasase/obstruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang
terdapat dalam rongga peritoneal ataupun di retroperitoneal
Organ-organ tersebut ialah saluran pencernaan, saluran empedu, saluran pankreas dan
saluran kemih. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu, baik total maupun
parsial, akan timbul rasa sakit akibat tekanan intralumen yang meninggi di bagian
proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus menerus dengan puncak-
puncak nyeri yang hebat (kolik).
4. Penarikan, peregangan dan pembentangan peritoneum viseralis
Misalnya pada pembengkakan hati dan ginjal.

Di dalam praktik, keempat penyebab timbulnya rasa sakit jarang ditemukan sendiri-
sendiri, tetapi umumnya merupakan proses campuran.




Etiologi
10,12,13
Etiologi sakit perut akut biasanya dibagi menurut usia ataupun menurut perlunya
tindakan bedah atau tidak. Pada tabel 2 dan 3 dapat terlihat etiologi sakit perut akut menurut
umur dan perlu tidaknya tindakan bedah. Etiologi sakit perut akut pada neonatus dapat terlihat
pada tabel berikut.


Tabel 9.2. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan tindakan bedah
Bayi/anak di bawah usia 2 tahun
- Abdomen :
- Perforasi tukak lambung
- Obstruksi usus : intususepsi, volvulus dan malrotasi
- Luar abdomen :
- Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi
- Apendisitis dan enterokolitis nekrotikan
Anak di atas usia 2 tahun
Abdomen:
- Obstruksi
- Obstruksi usus akibat perlekatan atau volvulus dan malrotasi
- Perforasi akibat obstruksi usus
- Peradangan
- Apendisitis
- Peritonitis primer
- Peritonitis akibat perforasi divertikulum Meckeli
- Perforasi ulkus duodeni atau perforasi akibat demam tifoid
- Divertikulitis Meckeli
- Kolesistitis dengan/tanpa batu empedu
- Megakolon toksik dengan perforasi
- Trauma
- Ruptura limpa, buli-buli atau organ visera yang lain
- Hematoma subserosa
- Pendarahan
- Pendarahan ke dalam kista ovarium
- Di daerah Tropis
- Perforasi yang berhubungan dengan askariasis, strongiloidiasis, perforasi
abses amuba
Luar abdomen:
- Torsio testis
- Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi
Sumber : Ulshen
17

Tabel 9.3. Penyebab non-bedah sakit perut akut
Bayi/anak di bawah usia 2 tahun
Abdomen: Infeksi intestinal: Salmonella, Shigella, Campylobacter, dll
Luar abdomen: Pneumonia
Infeksi traktus urinarius
Anak di atas usia 2 tahun
Abdomen:
a. Intestinal:
- Infeksi: Salmonella, Shigella, Yersinia enterocolitica
- Keracunan makanan: toksin Staphylococcus, dan lain-lain
- Penyakit Crohn - Obstipasi
- Kolitis ulseratif - Sickle cell
anaemia
- Kolitis amuba - Adenitis mesenterika
- Purpura Henoch-Schonlein - Ileus
mekonium
b. Hati dan percabangan bilier
- Hepatitis A dan B, mononukleosis infeksiosa
- Kolelitiasis
c. Pankreas
Pankreatitis akut: infeksi, trauma, akibat lesi bilier, idiopatik
d. Renal
- Infeksi traktus urinarius
- Batu
- Nefritis
e. Metabolik
- Porfiria
- Hiperlipidemia
- Ketoasidosis diabetik
- Familial mediterranean fever
f. Ginekologis
Salpingitis

Luar abdomen:
- Pneumonia
- Limfadenitis inguinalis
- Osteomielitis (vertebra, pelvis)
- Hematomata otot abdomen
- Herpes Zoster
- Kompresi saraf spinal
Sumber : Ulshen
17

Tabel 9.4. Penyebab sakit perut akut pada neonatus
1. Malrotasi dengan volvulus midgut
Mekonium peritonitis
Perforasi viskus
2. Enterokolitis nekrotikans
Apendisitis
Ileus mekonium
3. Enterokolitis o.k. Hirschsprung
Pielonefritis
Trauma lahir
Torsio ovarium
Intususepsi
Hernia inkarserata
Sumber : Ulshen
17

Manifestasi Klinik
Pada bayi dan anak manifestasi klinik sakit perut tergantung pada umur penderita.
Pegangan yang dipakai untuk mengatakan seorang bayi atau anak sakit perut adalah sebagai
berikut:


0 3 bulan Umumnya digambarkan dengan adanya muntah
3 bulan 2 tahun Muntah, tiba-tiba menjerit, menangis tanpa adanya
trauma yang dapat menerangkannya
2 tahun 5 tahun Dapat mengatakan sakit perut tetapi lokalisasi belum
tepat
> 5 tahun Dapat menerangkan sifat dan lokalisasi sakit perut

Anak dengan sakit perut akut biasanya terlihat sangat sakit, menangis, keringat dingin,
dengan posisi meringkuk atau membungkuk seperti ingin melindungi perutnya dengan
memendekkan otot rektus abdominalis. Disamping sakit perut kadang-kadang ada pula gejala-
gejala lainnya yang menyertai seperti nausea, muntah, anoreksia, diare dan panas.
8,13,14

Pendekatan Diagnosis
4,8,14,15,16
Pemeriksaan yang terbaik ialah pada waktu ada serangan meliputi:
1. Anamnesis
Usia
Pada usia tertentu insiden sakit perut akut yang memerlukan tindakan bedah cukup tinggi.
Misalnya: 6 bulan 3 tahun: Intususepsi
5 tahun 14 tahun: apendisitis
Jenis Kelamin
Rasa sakit
a. Lokalisasi
Sakit yang disebabkan gangguan saluran pencernaan bagian atas biasanya dirasakan
di daerah epigastrium. Gangguan di ileum distal dan appendiks dirasakan di daerah
perut kanan bawah. Rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi usus lokalisasinya sukar
ditentukan. Perubahan lokalisasi sakit perlu ditanyakan pada anak. Bila rasa sakit
mula-mula ada di daerah periumbilikus dan kemudian pindah ke daerah perut kanan
bawah, ini adalah tanda apendisitis,
b. Sifat dan faktor yang menambah/ mengurangi rasa sakit
Sakit yang berasal dari spasme otot polos (usus, traktus urinarius, traktus biliaris)
biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan lokalisasinya dengan tepat dan tidak
dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen. Sakit yang berasal dari
iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat bila
penderita batuk atau ditekan perutnya. Apakah sakit menetap, bertambah hebat atau
berkurang dan adakah faktor-faktor yang dapat menambah atau mempengaruhi rasa
sakit. Adakah penyebaran rasa sakit.
c. Lama sakit dan pernahkah timbul rasa sakit seperti ini sebelumnya. Bila sakit perut
berlangsung lebih dari 24 jam perlu perhatian serius.
d. Gejala yang mengiringi: anoreksia, muntah, diare dan panas. Muntah yang berwarna
kuning atau hijau merupakan tanda adanya obstruksi usus, begitu pula muntah yang
berlangsung 12 24 jam atau lebih memerlukan perhatian serius
Pola defekasi:
- diare, obstipasi
- darah dalam tinja
Pola kencing
Siklus Haid
Gejala/ gangguan traktus respiratorius
Trauma: trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma subserosa

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap dari kepala sampai ujung kaki walaupun titik beratnya
pada abdomen.
Perhatikan keadaan umum anak dan posisi anak waktu berjalan atau waktu tidur di tempat
periksa. Apakah anak masih dapat berlompat-lompat. Jika ia terbaring diam dan kesakitan
bila diubah posisinya maka hal ini mungkin adalah tanda abdomen akut.
Pemeriksaan pada abdomen harus dilakukan pada posisi anak yang santai dan
dicari/dilihat/dilakukan:
- Asimetri perut
- Bentuk perut (buncit, skapoid)
- Gambaran usus
- Nyeri terlokalisasi
- Massa (tumor), cairan ascites
- Ketegangan dinding perut
- Nyeri tekan
- Rebound tenderness
- Bising usus di seluruh perut
- Colok dubur: - darah (?)
- Pemeriksaan ginekologi: atas indikasi

Perlu dicari tanda-tanda kedaruratan perut, yaitu:
- Dinding abdomen yang kaku
- Defens muskular
- Nyeri tekan
- Rebound tenderness
Keempat tanda ini merupakan tanda peritonitis

Pada pemeriksaan di luar abdomen, dicari kemungkinan adanya:
- Hernia inguinalis strangulata atau inkarserata
- Pneumonia
- Ruam di kulit (kaki dan bokong)

Pada neonatus tanda abdomen akut perlu dipikirkan bila ditemukan tanda-tanda seperti
pada Tabel 9.5.

Tabel 9.5. Gejala abdomen akut pada neonatus
Muntah empedu
Distensi abdomen
Nyeri tekan di abdomen
Massa pada abdomen
Obstipasi
Feeding intolerance
Omfalitis
Edema dinding abdomen
Menangis (mengangkat
kaki)
Iritabel
Letargi
Darah dalam tinja
Hernia inguinalis
Panas atau hipotermia
Sumber : Ulshen
17

Tabel 9.6. Gejala klinis beberapa penyakit dengan sakit perut akut pada anak
Penyakit
Perjala
nan
penyak
it
Lokalisasi Penjalaran Kualitas sakit
Gejala yang
mengiringi
Pankreatitis

Akut Epigastrium,
kiri atas
Punggung Stabil tajam Nausea, muntah, nyeri
tekan
Obstruksi
usus
Akut
atau
perlahan
-lahan
Periumbilikus
- perut bawah
Punggung Silih berganti kolik
- tidak sakit
Distensi, obstipasi,
muntah, bising usus,
proksimal obstruksi
Apendisitis Akut Periumbilikus
kanan
bawah
Punggung/
pelvis
(retrosekal)
Tajam, menetap Nausea, muntah, nyeri
tekan lokal, panas
Intususepsi Akut Periumbilikus
perut bawah
--- Kolik (kram)
dengan periode
tidak sakit
Hematochezia
Urolitiasis Akut Punggung
(unilateral)
Lipat paha Tajam, intermiten,
kram (kolik)
Hematuria
Infeksi
traktus
urinarius
Akut Punggung Kandung
kencing
Tumpul tajam Panas, nyeri tekan
kostokondral, disuria,
sering kencing
Sumber : Ulshen
17

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
Harus diingat dalam membuat diagnosis pada anak dengan sakit perut akut, anamnesis dan
pemeriksaan fisik memegang peranan penting, sedangkan pemeriksaan laboratorium dan
penunjang hanya membantu.
Tergantung dari hasil anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik, maka dapat dipilih
pemeriksaan laboratorium dan penunjang di bawah ini yang diperlukan untuk dapat
membuat diagnosis dan kalau perlu dikonsultasikan ke dokter bedah.
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang tersebut adalah:
- Darah perifer lengkap
- Urin
- Test fungsi hati
- Amilase/ lipase darah
- Biakan darah
- Tinja parasit (?), bakteri (?), darah (?)
- Foto toraks
- Foto polos abdomen atau dengan kontras barium
- USG
- CT-scan abdomen

Tata Laksana
Apabila seorang anak menderita sakit perut akut, maka yang penting dilakukan adalah
menentukan apakah penyakitnya memerlukan tindakan bedah atau tidak. Kalau kita sudah
dapat membuat keputusan bahwa anak itu tidak memerlukan tindakan bedah, maka kita harus
mencari penyebab sakit perut dan diberikan pengobatan sesuai etiologinya. Terapi simtomatis
perlu juga diberikan seperti istirahat serta pengawasan cairan dan diet.
12,17

Sakit Perut Berulang
Batasan sakit perut berulang (SPB) menurut Apley adalah serangan sakit perut yang
timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan berturut-turut dan
mengakibatkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Pada beberapa anak, sakit yang timbul bisa
terjadi setiap hari dan pada beberapa anak lainnya timbul secara episodik.
Sakit perut berulang, biasanya terjadi pada anak berusia antara 4 sampai 14 tahun,
sedangkan frekuensi tertinggi pada usia 5 10 tahun dan turun setelah usia itu. Anak
perempuan cenderung lebih sering menderita sakit ini dibandingkan anak laki-laki (perempuan
: laki-laki = 5 : 3).
Kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang terdapat pada 5%-10% kasus
sedangkan 90%-95% kasus disebabkan kelainan fungsional saluran cerna. Dengan bertambah
majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran diagnostik, maka diperkirakan makin
banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Pada anak dibawah usia 4 tahun kelainan
organik saluran pencernaan merupakan penyebab yang terbanyak.
1,5,11,18


Etiologi
Beberapa ahli mencoba mengelompokkan penyebab SPB ke dalam beberapa golongan.
Konsep pertama yaitu konsep klasik membagi sakit perut berulang ke dalam dua golongan,
organik dan psikogenik (fungsional atau psikosomatik). Pada anak di bawah umur 2 tahun,
gejalanya sering dikaitkan dengan penyebab organik; namun pada anak yang lebih besar hanya
10% kasus yang disebabkan oleh penyebab organik. Pendekatan diagnostik yang dilakukan
adalah dengan mencari dulu penyebab organik, apabila tidak ditemukan baru dipikirkan
kemungkinan penyebab psikogenik. Cara pendekatan seperti ini memerlukan waktu dan biaya
yang besar.
Barr mengajukan konsep kedua yang agak berbeda. Sakit perut berulang digolongkan atas
3 kelompok, yaitu: organik, disfungsional dan psikogenik. Nyeri organik disebabkan oleh suatu
penyakit, misalnya infeksi saluran kemih. Nyeri disfungsional disebabkan oleh berbagai variasi
fisiologi normal dan dibagi dalam 2 kategori, yaitu sindrom nyeri spesifik (mekanisme penyebab
nyerinya diketahui, misalnya defisiensi laktase dan kontipasi) dan sindrom nyeri nonspesifik
(mekanisme penyebab nyeri tidak jelas atau tidak diketahui). Nyeri psikogenik disebabkan oleh
tekanan emosional atau psikososial tanpa adanya kelainan organik.
Konsep ketiga diajukan oleh Levine dan Rappaport yang menekankan adanya penyebab
multifaktorial. Sakit perut berulang merupakan resultan dari 4 faktor, yaitu: (1) predisposisi
somatik, disfungsi atau penyakit, (2) kebiasaan dan cara hidup, (3) watak dan pola respons, dan
(4) lingkungan dan peristiwa pencetus. Faktor-faktor tersebut berperan meningkatkan atau
meredakan rasa sakit. Dengan demikian dapat diterangkan mengapa beberapa anak menderita
konstipasi tanpa sakit perut berulang. Demikian pula halnya dengan kondisi psikososial yang
buruk akan menimbulkan sakit perut berulang pada anak tertentu, tetapi tidak pada anak yang
lain (Gambar 9.1.).
5,7,19

KEBIASAAN DAN CARA HIDUP
LINGKUNGAN DAN PERISTIWA PENCETUS
PREDEPOSISI SOMATIK,
DISFUNGSI, PENYAKIT
SAKIT PERUT
TIDAK SAKIT PERUT
WATAK
POLA RESPON
Gambar 9.1.
Konsep yang menggambarkan peran penyebab multifaktorial pada sakit perut berulang


Penyebab sakit perut berulang yang terbanyak adalah faktor psikofisiologi, sedangkan
kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang dahulu hanya dilaporkan pada 5%-10%
kasus, namun sekarang mencapai 30%-40%. Van der Meer dkk (1993) menemukan 42%
kelainan organik pada 106 anak usia diatas 5 tahun yang mengalami keluhan sakit perut
berulang, yaitu malabsorpsi laktosa (15%), duodenitis/gastritis (13%), infeksi H. pylori (7%),
refluks gastroesofageal (4%) dan alergi makanan (3%).
Pada garis besarnya kelainan organik penyebab sakit perut berulang dapat dibagi
intraabdominal dan ekstraabdominal. Penyebab intraabdominal diklasifikasikan menurut
penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal dan lain-lain. Kelainan organik sebagai penyebab
sakit perut dapat dilihat pada Tabel 9.7.
Persepsi tentang sakit perut berulang adalah sumasi dari masukan sensorik, emosi, dan
kognitif. Kornu dorsalis medulla spinalis mengatur konduksi impuls dari reseptor nosiseptif
perifer ke medulla spinalis dan otak, dan perasaan nyeri selanjutnya dipengaruhi oleh pusat
kognitif dan pusat emosi. Nyeri perifer kronis dapat menyebabkan naiknya aktivitas saraf di
pusat-pusat SSS yang lebih tinggi sehingga menyebabkan nyeri terus-menerus. Stres psikososial
dapat mempengaruhi intensitas dan kualitas nyeri melalui mekanisme ini. Perbedaan dalam
sensasi viseral dapat juga menyebabkan perbedaan dalam persepsi nyeri. Respons anak
terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh stres, jenis kepribadian, dan dukungan perilaku sakit
dalam keluarga.
7,10,12,20

Manifestasi Klinis

Keluhan sakit perut berulang sering ditemukan pada usia 4 14 tahun, dengan frekuensi
tertinggi pada usia 5 10 tahun. Pada anak di atas usia 9 tahun keluhan lebih sering ditemukan
pada anak perempuan daripada anak laki-laki (1,5:1). Manifestasi klinis yang diperlihatkan
bervariasi cukup luas, baik dalam hal frekuensi, waktu, intensitas, lokasi maupun gejala yang
mengikuti. Keluhan mual, berkeringat dingin, muntah, pusing, pucat dan palpitasi sering
menyertai sakit perut berulang. Serangan biasanya berlangsung kurang dari 1 jam dan diselingi
periode bebas serangan. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik dapat dilihat pada tabel 8.
Etiologi sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik mempunyai tanda
peringatan (alarm symptoms) seperti yang terlihat pada Tabel 9.9.
5,6,8,21


Tabel 9.7. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang
Intraabdominal
Ekstraabdomi
nal
Lain-lain
Saluran cerna Di luar saluran cerna
Maltorasi
Duplikasi
Gastritis
Hernia inguinalis
Volvulus
Ulkus peptikum
Kolitis ulseratif
Malabsorbsi
laktosa
Refluks
gastroesofagal
Helicobacter pylori
Apendisitis kronis
Divertikulum
Meckeli
Tuberkulosis
abdomen
Peritonitis
Konstipasi kronis
Bezoar
Askariasis
Hati, limpa, pankreas
Pankreatitis kronis
Kolelitiasis
Kolesistitis
Hepatitis
Splenomegali masif

Saluran kemih dan
kandungan
Pielonefritis
Hidronefrosis
Batu ginjal
Infeksi di daerah pelvis
Dismenore
Kista ovarium
Endometriosis
Kehamilan ektopik
Hematologi
Leukemia
Limfoma
Sickle cell
anemia
Talasemia
Purpura
Henoch-
Schnlein
Keracunan timbal
Porfiria
Epilepsi perut
Migrain
Hiperlipidemia
Edema
angioneurotik
Sumber : Ulshen
17

Tabel 9.8. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik

Paroksismal
Daerah perilumbilikus atau suprapubis
Nyeri berlangsung <1 jam
Nyeri tidak menjalar, kram atau tajam, tidak membangunkan anak pada
malam hari
Nyeri tidak berhubungan dengan makanan, aktifitas, dan kebiasaan buang
air besar
Mengganggu aktifvitas
Di antara 2 episode terdapat masa bebas gejala
Pemeriksaan fisik normal, kecuali kadang-kadang sakit perut di bagian kiri
bawah
Nilai hasil pemeriksaan laboratorium normal
Sumber : Ulshen
17

Tabel 9.9. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik
Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
Nyeri timbul tiba-tiba
Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi,
inkontinensia)
Disertai perdarahan saluran cerna
Terdapat disuria
Berhubungan dengan menstruasi
Terdapat gangguan tumbuh kembang
Terdapat gejala sistemik: demam, nafsu makan turun
Terjadi pada usia <4 tahun
Terdapat organomegali
Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada
sendi
Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
Sumber : Ulshen
17

Pendekatan Diagnosis
Untuk membuat diagnosis diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
5,15,21

Usia
Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 4 14 tahun.
Rasa sakit: meliputi lokalisasi, sifat dan faktor yang menambah/mengurangi rasa sakit,
waktu timbulnya, frekuensi dan gejala yang mengiringi.
Pola makan: banyak mengkonsumsi susu atau produk susu
Pola defekasi: obstipasi, diare
Pola kencing
Siklus haid
Akibat sakit perut pada anak
a. Apakah terdapat kemunduran kesehatan pada anak tersebut?
b. Bagaimana nafsu makan anak?
Gejala/gangguan traktus respiratorius
Gangguan muskuloskeletal
Aspek psikososial
Trauma
Penyakit yang pernah diderita dalam keluarga
Adakah diantara keluarga yang menderita cystic fibrosis, pankreatitis, ulkus peptikum,
kolon iritabel? Adakah faktor stres dalam keluarga?

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap. Dari hasil pemeriksaan fisik kita dapat mengetahui
apakah penyebab sakit perut berulang tersebut merupakan kelainan organik atau bukan,
dengan memperhatikan adanya tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel
9.9.
5,6,8,21


3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang
Pemeriksaan ini dibagi atas 3 tahap, yaitu:
Tahap 1. Dilakukan pada seluruh anak dengan sakit perut berulang
Tahap 2. Dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 ditemukan kelainan atau bila
didapatkan beberapa tanda peringatan seperti yang tertera pada tabel 9 atau bila tidak
memenuhi kriteria gejala klinis sakit perut berulang klasik
Tahap 3. Dilakukan bila masih diperlukan (tabel 9.10)

Tabel 9.10. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sakit perut berulang
Tahap 1 Darah tepi lengkap
Laju endap darah
Biokimia darah (ureum, kreatinin, transaminase,
kolesterol, trigliserida, protein total, kalsium dan
fosfor)
Urin
Biakan urin dan tinja (termasuk parasit)
Uji serologis untuk Helicobacter pylori
Foto polos abdomen
USG abdomen
Tahap
2
Uji hidrogen nafas dengan laktosa
Amilase urin dan darah
Test benzidin
Gastroskopi
Tahap
3
Enema barium
Voiding cystourethrogram
EEG
Porifirin dalam darah dan urin
Kolonoskopi
CTscan abdomen, dsb
Sumber : Ulshen
17/*


Pada gambar 9.2 dapat dilihat ringkasan pendekatan diagnosis secara sistemik pada anak dengan sakit perut
berulang.


Sakit perut berulang dengan
gejala klinis klasik
(kemungkinan kelainan
organik tak ada)
Sakit perut berulang
dengan tanda peringatan
kelainan organik
ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK
( Penunjang tahap I )
Normal Abnormal
D / Kelainan
fungsional
Evaluasi
Periodik
Pertimbangkan kelainan
organik bila timbul
tanda peringatan
D / K e l a i n a n o r g a n i k
Tak ditemukan
kelainan organik
Kelainan organik
ditemukan
Pengobatan
medis/bedah
Penunjang
Tahap 2
Penunjang
Tahap 3


Gambar 9.2. Pendekatan diagnosis sakit perut berulang

Terapi
Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit perut berulang fungsional pengobatan
ditujukan kepada penderita dan keluarganya, bukan hanya mengobati gejala. Secara khusus,
mereka membutuhkan ketentraman bahwa tidak ada bukti adanya kelainan dasar yang serius.
Tujuan pengobatan ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan
keluarga sehingga kehidupan keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa sakit
sehingga efeknya terhadap aktivitas sehari-hari dapat menjadi seminimal mungkin (Tabel 9.11).
Kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan/atau psikiater anak.
Pemberian obat seperti antispasmodik, antikolinergik, antikonvulsan dan antidepresan tidak
bermanfaat.
4,7,18,20


Tabel 9.11. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional
- Menyakinkan bahwa penyakitnya ringan
- Menerangkan masalah berdasarkan pada temuan positif maupun negatif
- Menemukan stres dan kecemasan yang mencetuskan rasa sakit
- Mengidentifikasi pengaruh keluarga/sosial yang mencetuskan sakit
- Menghindari gejala sakit yang berkepanjangan dan mengembalikan anak dalam
kehidupan normal
- Tatalaksana penyebab yang didapat: kurangi laktosa, diet tinggi serat, dll
- Follow-up teratur untuk mengetahui perubahan gejala, meningkatkan rasa percaya diri
dan mendorong keluarga serta anak untuk mengatasi masalahnya
- Hasil pengobatan jangan dipakai untuk membuat diagnosis
Sumber : Ulshen
17



Daftar Pustaka
1. Apley J. The child with abdominal pains; 2nd ed. London : Blackwell Scientific Publ. 1975: 3-54.
2. Halimun EM. Sakit perut pada anak. Dalam Kumpulan naskah Kursus Penyegar Ilmu Bedah Anak II. 5-6
September 1980; Batu Malang. 1980: 7-11.
3. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Functional recurrent abdominal pain. Dalam: Pediatric clinical
gastroenterology; 4th ed Toronto ; Mosby. 1995: 522-37.
4. Hyam JS, Hyman PE. Recurrent abdominal pain and the biopsychososial model of medical practice. J Pediatr.
1998; 133: 473-8.
5. Levine MD, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain in school children: The loneliness of the long distance
physician. Pediatr Clin North Am. 1984; 31: 696-8.
6. Mc Collough M, Sharieff GQ. Abdominal Pain in Children. Pediatric Clinics of North America. 2006.
7. Barr RG. Abdominal pain in the female adolescent. Pediatr Rev. 1983; 4: 281-9.
8. Van der Meer SB. Chronic recurrent abdominal pain in school children. Tidjschr Kindergeneeskd. 1993; 61: 69-
75.
9. Buller HA. Recurrent abdominal pain in children. Kuliah tamu Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
2000.
10. Hatch EI, Sawin R. The acute abdomen. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal
Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia: Saunders. 1993: 209-19.
11. Walker Smith JA, Hamilton JR, Walker WA. Acute abdominal pain. Dalam Practical Paediatric
Gastroenterology. London: Butterworths. 1983: 21-9.
12. Mews CF, Sinatra FR. Abdominal Pain. Dalam: Wyllie R, Hyams JS. Penyunting. Pediatric gastrointestinal
disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia : WB Saunders. 1993: 177-86.
13. Thiesen PN. Recurrent abdominal pain. Pediatrics in review. 2002; 23: 39-46.
14. Oberlander TF, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain : Evaluation and Management. Dalam: Recurrent
abdominal pain. International Seminars in Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 1994; 3 Number 2:2-9.
15. Di Lorenzo C, Colleti RB, Lehnman HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams JS, Squires RH Jr, Walker LS, Kanda PT.
Chronic Abdominal Pain In Children: a Technical Report of the American Academy of Pediatrics and the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. 2005.
16. Leung A, Sigalet D. Acute Abdominal pain in children. American Academy of family physician.2003.
17. Ulshen M. Major Symptoms and Signs of Digestive Tract Disorders. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin
AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke lima belas. Philadelphia: Saunders, 1996: 1032-7.
18. Loening-Baucire V, Swidsinski A. Constipation as cause of acute abdominal pain in children. University of Iowa.
2007.
19. Khan, Seema. Functional abdominal pain in children. American college of gastroenterology. 2009.
20. Devarayana NM, Rajindrajith S, De-Silva H. Recurrent Abdominal Pain in children. Dept of physiology, faculty
of medicine, Univ Kelaniya, Srilanka. 2009.
21. Firmansyah A. Aspek diagnostik sakit perut berulang. Maj Kedok Indones 1991; 9:525-8.














BAB X
KEMBUNG
Pramita G. Dwipoerwantoro
Ilustrasi Kasus
Anak lelaki usia 6 tahun, dirujuk oleh poliklinik Bedah Anak dengan keterangan kembung
selama 3 minggu terakhir dan telah dievaluasi tidak ada kelainan bedah yang mendasari.
Awalnya pasien menderita diare akut. Saat ini keluhan BAB seperti bubur, kadang disertai
lendir dan darah, dengan frekuensi 4-6 kali perhari dan kadang disertai demam. Anak
mengeluh kadang sakit perut, nafsu makan yang berkurang, sering bersendawa dan perut
cepat kenyang. Berat badan sebelum sakit 18 kg.Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat
badan 16 kg, tanda vital baik dan tidak ditemukan tanda dehidrasi. Perut tampak kembung,
perkusi timpani, tidak teraba pembesaran organ ataupun massa, bising usus normal. Otot
ekstremitas tampak hipotrofi. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan penunjang di poliklinik Bedah Anak menunjukkan kadar hemoglobin yang
rendah dan leukositosis dengan hitung jenis segmenter. Laju endap darah meningkat. Hasil
barium meal follow-through dalam batas normal.
a. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis banding pada anak ini?
b. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan!
c. Jelaskan tatalaksana kasus ini!

Kasus ini merupakan contoh klasik kasus kembung yang sering dijumpai di klinik rawat
jalan. Diare akut yang melanjut menjadi persisten (lebih dari 14 hari dan kemungkinan
penyebabnya adalah infeksi), pada kasus ini ditandai dengan frekuensi serta konsistensi tinja
yang abnormal disertai lendir dan darah. Keluhan kembung yang dominan pada kasus ini
kemungkinan penyebabnya suatu bakteri tumbuh lampau dan perlu disingkirkan penyebab
yang lain seperti sindrom malabsorpsi (intoleransi laktosa). Tampaknya gangguan gizi juga
telah terjadi pada kasus ini karena masukan energi berkurang akibat anoreksia, sakit perut,
dan malabsorpsi. Anemia yang terjadi pada kasus ini dapat sebagai akibat masukan nutrisi
yang kurang dan kehilangan melalui usus (perdarahan yang menyertai diare).
Pemeriksaan lanjutan yang diperlukan adalah pemeriksaan pH dan reduksi tinja untuk
membuktikan ada tidaknya intoleransi laktosa, pemeriksaan steatokrit untuk membuktikan
derajat malabsorpsi lemak yang terjadi, serta biakan tinja terhadap bakteri aerob dan
anaerob. Uji hidrogen napas (UHN) menggunakan laktosa dapat mendeteksi adanya bakteri
tumbuh lampau ataupun malabsorpsi laktosa. Kolonoskopi dapat melihat lebih jauh
kerusakan mukosa kolon yang terjadi secara makroskopik. Selanjutnya perlu dilakukan
biopsi jaringan untuk melihat kelainan secara mikroskopik.
Tatalaksana untuk kasus ini adalah pemberian metronidazole selama 1 minggu sambil
menunggu hasil biakan tinja dan resistensi. Disamping suplementasi vitamin yang larut
dalam lemak, perlu pemberian nutrisi yang adekuat. Makanan cair dengan bahan dasar yang
mudah dicerna (bebas laktosa, mengandung glukosa polimer dan asam lemak rantai sedang)
dan berkalori tinggi (1 cc = 1 kalori) dapat diberikan pada minggu pertama, sampai keluhan
gastrointestinal berkurang, sebelum akhirnya mengkonsumsi makanan biasa 1500 kalori.

Pendahuluan
Kembung merupakan salah satu kondisi yang sering dikeluhkan oleh orang tua untuk
membawa anaknya berobat. Penyebab terjadinya kembung non-bedah tersering adalah
intoleransi laktosa, bakteri tumbuh lampau dan gangguan fungsional saluran cerna (antara lain
dispepsia, irritable bowel syndrome/IBS). Berikut ini akan diuraikan penyebab kembung akibat
intoleransi laktosa dan bakteri tumbuh lampau. Penyebab kembung yang lain akan diuraikan
terpisah pada bab tersendiri.

Intoleransi Laktosa
Susu merupakan sumber nutrien esensial terutama untuk bayi baru lahir dan anak yang
sedang tumbuh dan berkembang karena mengandung komponen yang diperlukan pada diet
yang sehat, antara lain karbohidrat, lemak, protein dan mineral. Laktosa adalah komponen
karbohidrat dalam susu yang akan dihidrolisis di usus halus (paling banyak di jejunum) oleh
enzim laktase menjadi glukosa dan galaktosa yang mudah diserap.
1,2,3

1. Defisiensi
Intoleransi laktosa merupakan sindrom klinis (sakit perut, diare, flatus dan kembung) yang
terjadi setelah mengkonsumsi 2 gram laktosa per-kg berat badan, maksimum 50 gram,
dalam 20% larutan (dosis uji toleransi standar terhadap laktosa). Jika terjadi peninggian
maksimum kadar glukosa darah tidak lebih dari 20 mg/dl setelah uji toleransi terhadap
laktosa, maka keadaan ini disebut malabsorpsi laktosa.
1,3,4

2. Kejadian
Scrimshaw dan Murray (1988) serta Sahi (1994) melaporkan prevalensi maldigesti laktosa
secara global. Prevalensi lebih dari 50% terdapat di negara-negara Amerika Selatan, Afrika
dan Asia dan mencapai hampir 100% di beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat
prevalensi intoleransi laktosa adalah 15% untuk populasi kulit putih, 53% di antara populasi
Meksiko-Amerika dan 80% pada populasi kulit hitam. Di negara Eropa prevalensinya
bervariasi antara 2% di Skandinavia sampai 70% di Sisilia. Prevalensi di negara Australia
dan Selandia Baru adalah 6% dan 9%.
5,6

3. Etiologi
Intoleransi laktosa dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu primer (genetik),
sekunder, dan bawaan. Disebut primer bila sindrom klinis yang timbul tanpa riwayat atau
penyakit saluran cerna yang mendasari. Jika didapatkan penyakit saluran cerna maka
diklasifikasikan sebagai intoleransi laktosa sekunder. Keduanya paling sering dijumpai di
klinik. Intoleransi laktosa bawaan sangat jarang dijumpai dan biasanya bermanifestasi sejak
lahir. Gambaran histologis mukosa saluran pencernaan biasanya normal akan tetapi
aktivitas enzim laktase di brush-border sangat rendah atau tidak ada sama sekali.
3,7,8

4. Patogenesis
Pada negara dimana populasi hipolaktasia primer cukup tinggi, seperti di negara Indonesia,
maka aktivitas enzim laktase akan berkurang mulai usia 2-3 tahun. Sebaliknya di Finlandia
onset kebanyakan terjadi pada masa dewasa muda.
5,8,9
Mekanisme tinja cair yang terjadi adalah akibat karbohidrat yang tidak diabsorpsi dengan
baik, sehingga terjadi beban osmotik yang meningkat, menyebabkan sekresi cairan dan
elektrolit. Dilatasi usus halus yang terjadi akibat proses osmosis tersebut, akan menginduksi
percepatan waktu singgah di usus halus dan hal ini sesuai dengan derajat maldigesti. Waktu
singgah yang cepat ini akan menyebabkan proses hidrolisis akan berkurang, karena
berkurangnya waktu kontak antara laktosa dan enzim laktase yang tersisa.
6,10,11
Gejala perut kembung (distensi abdomen) dan rasa sakit (cramp) yang terjadi berasal dari
modifikasi keadaan usus halus dan kolon, seperti waktu singgah dan komposisi flora usus
dan hal tersebut mempengaruhi derajat beratnya gejala. Gejala malabsorpsi laktosa
bervariasi di antara individu. Jika laktosa dikonsumsi dalam jumlah sedikit tetapi dalam
jangka waktu yang lama oleh individu yang intoleransi laktosa, maka flora usus akan
beradaptasi terhadap beban laktosa tersebut, sehingga gejala yang timbul akibat gas dan
asam di kolon akan berkurang atau hilang.
12,13

5. Manifestasi Klinis
Aktivitas enzim laktase yang mulai berkurang pada usia 2-3 tahun (pada intoleransi laktosa
primer), biasanya akan memberikan gejala setelah usia lebih dari 6 tahun, dan hal ini
tergantung dari kecepatan penurunan enzim laktase di usus maupun asupan laktosa pada
diet. Gejala klinis intoleransi laktosa dapat berupa kembung, sakit perut dan flatus yang
terjadi sekitar 1 jam setelah mengkonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Tinja cair
disertai flatus yang berlebihan dan rasa mules dapat terjadi beberapa jam kemudian.
1,10,13
Pada pemeriksaan fisik jarang disertai gangguan tumbuh (gagal tumbuh atau malnutrisi).
Sakit perut yang tidak spesifik dan tidak terfokus biasanya tidak memberikan rasa sakit yang
bermakna pada palpasi dan biasanya hanya dijumpai keadaan kembung pada perut.
Peningkatan bising usus (borborygmi) sering terdengar pada saat palpasi ataupun
auskultasi di daerah perut.
3,13,14

6. Diagnosis
Malabsorpsi laktosa dapat didiagnosis berdasarkan kombinasi manifestasi klinis dan uji
diagnostik antara lain uji toleransi laktosa, uji hidrogen napas (breath hydrogen test) dan
pengukuran enzim laktase melalui biopsi usus halus. Cara lain adalah pemeriksaan pH
(asam) dan reduksi tinja (>0,5%). Tetapi cara ini tidak dianjurkan untuk penelitian karena
uji ini dinyatakan valid bila pengukuran dilakukan setelah laktosa dikonsumsi, waktu
singgah usus harus cepat, tinja dalam keadaan segar dan pemeriksaan dilakukan sesegera
mungkin, serta degradasi laktosa dalam kolon oleh bakteri tidak komplit.
15,16
Pengukuran kadar laktase secara langsung dibandingkan dengan sukrase melalui biopsi
jejunum jarang dilakukan karena merupakan pemeriksaan yang invasif. Hal ini sulit
diterapkan terutama untuk pasien klinik.
2,4
Pemeriksaan secara tidak langsung yang sering dilakukan adalah pemeriksaan glukosa
darah serial (setiap 2 jam) setelah mengkonsumsi laktosa secara oral (2 g per-kg berat
badan, maksimum 50 g laktosa). Jika kadar gula darah tidak meningkat lebih dari 20 mg/dl,
maka diagnosis malabsorpsi laktosa dapat ditegakkan.
12,14
Pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif adalah uji hidrogen napas. Dosis laktosa yang
dibutuhkan adalah 2 g laktosa per-kg berat badan dan maksimum 50 g dalam 20% larutan
dalam air. Setelah puasa sejak malam hari (4 jam pada bayi kecil), dilakukan uji hidrogen
napas dengan cara mengukur udara ekshalasi sebelum mengkonsumsi laktosa dan pada
interval 30 menit setelah konsumsi laktosa sampai total 2-3 jam. Produksi hidrogen yang
diekskresikan melalui udara napas merupakan hasil fermentasi laktosa yang tidak dapat
dicerna oleh bakteri dalam kolon. Pada 30 menit pertama bila terjadi peningkatan <10 ppm
dibandingkan nilai basal dianggap normal, sedangkan peningkatan antara 10-20 ppm
dianggap bermakna bila disertai gejala. Nilai peningkatan >20 ppm dianggap malabsorpsi
laktosa. Uji hidrogen napas dapat memberikan hasil yang negatif palsu bila sebelumnya
mendapat antibiotik atau bakteri kolon tidak memproduksi hidrogen (sekitar 1% dari
populasi).
15,16

7. Terapi
Terapi malabsorpsi laktosa tergantung dari usia anak. Pada anak berusia kurang dari 5
tahun, malabsorpsi laktosa yang dibuktikan oleh uji hidrogen napas, menunjukkan
kerusakan usus halus bila terjadi pasca gastroenteritis. Walaupun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari kelompok ini yang memerlukan
susu formula rendah laktosa, karena penggantian epitel yang rusak tersebut sangat cepat
dan tidak semua infeksi usus akan menyebabkan kerusakan mukosa. Selain itu pada bayi
berusia kurang dari 6 bulan sebaiknya diberikan susu formula normal setelah rehidrasi
tercapai. Pada diare persisten sebaiknya upaya pemberian rendah laktosa dengan cara
mencampur susu dengan sereal/susu fermentasi daripada dengan air. Pada anak yang
berusia lebih dari 5 tahun, malabsorpsi laktosa dapat akibat kadar enzim laktase yang
rendah ataupun karena mukosa usus yang rusak pasca gastroenteritis.
17,18
Jika reduksi ataupun restriksi laktosa dibutuhkan maka perlu substitusi alternatif sumber
nutrien untuk menghindarkan berkurangnya asupan energi dan protein (seperti live-culture
yoghurt) serta kebutuhan kalsium perlu diperhitungkan dalam dietnya. Suplementasi
kalsium dapat berupa kalsium glukonat cair (untuk bayi dan anak) atau kalsium karbonat
(untuk anak yang lebih besar). Produk lain yang mengandung kalsium antara lain adalah
ikan, sayuran dan kacang-kacangan.
19,20
Terapi lain adalah substitusi enzim laktase yang berasal dari ragi yang dapat berupa
preparat tetes (dengan cara menambahkan pada produk susu sapi) ataupun tablet kunyah
(yang dikonsumsi sebelum mencerna makanan yang mengandung laktosa).
8

8. Prognosis
Pada umumnya prognosis intoleransi laktosa cukup baik. Karena penyebab kelainan bawaan
sangat jarang terjadi maka diagnosis alergi protein susu sapi pada bayi perlu
dipertimbangkan bila terjadi gejala intoleransi terhadap susu sapi atau produk susu sapi
yang dikonsumsi.
1,3

9. Pencegahan
Untuk mengurangi bertambah buruknya gejala intoleransi laktosa maka perlu dicermati
untuk menghindarkan susu sapi atau produk susu sapi dalam diet. Kegagalan dalam
mengenali intoleransi laktosa yang sementara pada bayi maupun anak dapat
menyebabkan keluhan diare kronik dan kembung, sehingga mengganggu masukan makanan
yang adekuat. Hal ini merupakan pemicu terjadinya gangguan pertumbuhan pada bayi dan
anak.
2,3

Bakteri Tumbuh Lampau
Pada saat lahir usus halus dalam keadaan steril, segera setelah persalinan, organisme
yang tertelan melalui mulut mulai membuat kolonisasi di saluran cerna. Lambung maupun usus
halus tidak mengandung bakteri dalam jumlah yang bermakna seperti halnya usus besar (kolon)
yang normalnya mengandung 10
10
organisme per mililiter (tabel 1). Mikroflora kolon baru akan
berproliferasi di usus halus bila mekanisme klirens di usus halus terganggu, contohnya pada
kondisi stasis.
21,22


Tabel 11.1. Flora normal usus di saluran cerna normal
Usus halus proksimal
< 10
6
organisme per-mililiter
Bakteri aerob, dominasi flora mulut
Streptococcus, Lactobacillus, Neisseria
Usus halus distal
>10
9
organisme per-mililiter
Sejumlah besar bakteri anaerob dan bakteri anaerob
fakultatif
Bacteroides, Escherichia coli, Bifidobacterium
Kolon
< 10
10
organisme per-mililiter
Bakteri anaerob dan anaerob fakultatif
Bacteroides, E. Coli, Bifidobacterium, Clostridium
Sumber: Crabbe
22

1. Definisi
Sindrom klinis yang terjadi mempunyai sebutan bermacam-macam, di antaranya adalah
stagnant loop, blind loop, contaminated small bowel, small bowel stasis dan small bowel
bacterial overgrowth syndrome (sindrom bakteri tumbuh lampau di usus halus). Karakteristik
sindrom ini selain kembung adalah (1) kolonisasi abnormal usus halus oleh organisme yang
biasanya berada di kolon, (2) steatorrhea, dan (3) anemia.
21,23,24

2. Kejadian
Kondisi usus halus yang steril tergantung dari sejumlah faktor yang mengurangi kandungan
jumlah kuman serta mencegah kolonisasi kuman. Faktor antibakteri ini dapat berupa
sistem imun tubuh ataupun non-imun. Yang termasuk faktor non-imun adalah asam
lambung, gerakan peristaltik usus, enzim pencernaan, mukus, katup ileo-sekal dan
kandungan bakteri.
25,26
Faktor imunitas tubuh terhadap bakteri usus sejak awal kehidupan

diperankan oleh
antibodi dengan cara mengendalikan kolonisasi bakteri dan penetrasi mukosa oleh bakteri
ataupun produk bakteri. Kehilangan kemampuan untuk produksi imunoglobulin
(hipogamaglobulinemia) dan defisiensi sIgA sering menyebabkan kolonisasi parasit
tertentu seperti Giardia lamblia. Imunoglobulin G spesifik dan IgA mempercepat eliminasi
parasit usus seperti Giardia dan nematoda. Bakteri tumbuh lampau sering dijumpai pada
pasien dengan anemia pernisiosa dan pasien dengan hipogamaglobulinemia disertai
akhlorhidria.
27,28

3. Etiologi
Beberapa faktor predisposisi terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat
dikategorikan menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelainan anatomis (divertikula, duplikasi,
striktur, stenosis, web, blind loop), (2) gangguan motilitas usus (pseudoobstruction,
hilangnya fungsi migratory motor complexes/MMC menyebabkan stasis akibat
terganggunya fungsi peristaltik, neuropati otonom pada diabetes, penyakit vaskular kolagen
pada skleroderma), (3) adanya lesi yang menyebabkan peningkatan jumlah bakteri usus
halus bagian proksimal (akhlorhidria, fistula, dan hilangnya katup ileosekal), dan (4)
defisiensi imun pejamu (immunodeficiency, malnutrisi, dan prematuritas).
Etiologi faktor risiko terjadinya bakteri tumbuh lampau sering tumpang tindih. Pada negara
yang belum berkembang sangat sulit memisahkan apakah kondisi tersebut akibat buruknya
higiene perorangan atau akibat malnutrisi. Bayi dengan sindrom usus pendek sering disertai
komplikasi bakteri tumbuh lampau, akibat multi faktor.
21,24,29

4. Patofisiologi
Jumlah bakteri intralumen usus yang berlebihan akan menyebabkan perubahan sekresi dan
produksi metabolit, enzim serta toksin intralumen yang akan merusak mukosa dan
selanjutnya akan diabsorpsi. Dampak lanjut terhadap pejamu dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu efek intralumen, efek terhadap mukosa dan efek sistemik (Tabel 11.2).
21,24,25

Tabel 11.2. Bakteri intra-lumen: efek pada pejamu
Efek Intralumen

Efek Terhadap Mukosa Efek Sistemik
Dekonjugasi garam empedu
11-hidroksilase
Deplesi garam empedu
Malabsorpsi lemak
Malabsorpsi vitamin B12
Fermentasi asam lemak
rantai pendek
Pelepasan protease, toksin

Hilangnya disakaridase
Kerusakan enterosit
Inflamasi
Hilang protein
Perdarahan
Absorpsi toksin bakteri,
antigen
Inflamasi hati
Pembentukan kompleks
imun
Vaskulitis kulit
Poliarteritis
Sumber: Lichtman
29

Efek patologis akan maksimal bila bakteri tumbuh lampau menempati usus halus bagian
proksimal. Bakteri anaerob intralumen, terutama yang berasal dari tinja, memiliki enzim
yang akan mendekonjugasi garam empedu dan mengubah asam kolat dan kenodeoksikolat
menjadi asam deoksikolat dan litokolat. Hasil akhirnya adalah menurunkan konsentrasi
garam empedu di duodenum dan jejunum, menyebabkan trigeliserid dan kolesterol tidak
dihidrolisis menjadi misel (campuran asam lemak dan mono serta digliserid) dan garam
empedu, melainkan akan banyak terbentuk emulsi yang berbentuk kristal dan tidak larut
dalam air. Akibat lebih lanjut akan terjadi maldigesti lemak dan malabsorpsi trigliserid serta
vitamin yang larut dalam lemak, dan selanjutnya terjadi malabsorpsi lemak. Bakteri
intralumen terutama Bacteroides dan coliform juga menggunakan B12 sehingga merupakan
kompetitor dan menyebabkan malabsorpsi vitamin B12.
30,31,32
Bakteri yang jumlahnya berlebihan tersebut akan memproduksi enzim dan metabolit yang
dapat merusak mukosa usus.

Sebagai akibatnya aktivitas enzim disakaridase akan berkurang
akibat lesi mukosa setempat (patchy) yang menyebabkan atrofi vili dan respon inflamasi
subepitel. Penelitian pada bayi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
intoleransi karbohidrat dan bakteri tumbuh lampau. Selain hal tersebut akan terjadi hilang
protein (hipo-proteinemia) dan anemia akibat kehilangan darah kronik.
33,34
Produk bakteri dan antigen akan diserap melalui mukosa yang rusak menyebabkan efek
sistemik. Penelitian Riordan dan kawan-kawan menunjukkan bahwa bakteri tumbuh
lampau di usus halus menyebabkan peningkatan permeabilitas usus pada manusia,
sedangkan penelitian lain pada tikus menunjukkan bahwa terjadi peningkatan absorpsi
polimer bakteri (peptidoglikan) pada keadaan bakteri tumbuh lampau di usus halus.
35

5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis (Tabel 11.3) dapat terjadi pada sepertiga pasien, dan variasi gejala dapat ringan
sampai berat bahkan menjadi kronis. Gejala yang berat sesuai dengan letak bakteri tumbuh
lampau pada usus halus proksimal, sedangkan makin ke distal maka manifestasi gejala
makin ringan. Gejala sistemik biasanya terjadi setelah operasi pintas (bypass) usus.
29,36
Selain gejala klinis pada Tabel 11.3, dapat terjadi maldigesti lemak, karbohidrat dan protein,
serta kehilangan protein endogen melalui usus. Sakit perut yang terjadi adalah akibat
intoleransi karbohidrat sekunder. Defisiensi vitamin jarang terdeteksi secara klinis.
Defisiensi vitamin B12 dapat dicegah karena terdapatnya cadangan kobalamin yang adekuat
dalam tubuh. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan besi melalui usus.
Asam folat serum akan meningkat karena bakteri tersebut pun memproduksi vitamin K dan
asam folat. Pneumoperitoneum dan asites dilaporkan dapat terjadi sekunder akibat bakteri
tumbuh lampau.
25,33,37

Tabel 11.3. Manifestasi klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus
Gejala Klasik Gejala Lain
Diare kronis
Steatorea
Anemia
Berat badan menurun
Perawakan pendek
Sakit perut
Enteropati hilang
protein
Hipoalbuminemia
Osteomalasia
Rabun senja
Ataksia
Sistemik
Artritis
Tenosinovitis
Ruam vesikulopustular
Eritema nodosum
Fenomena Raynaud
Nefritis
Hepatitis
Steatosis hati
Sumber: Lichtman
29


6. Diagnosis
Anamnesis yang cermat merupakan hal yang penting untuk menentukan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis keadaan yang mendasari terjadinya bakteri
tumbuh lampau. Riwayat operasi daerah perut sebelumnya perlu ditanyakan karena bakteri
tumbuh lampau di usus halus merupakan komplikasi jangka panjang akibat perubahan
motilitas atau akibat stasis yang terjadi pada perubahan anatomik tersebut. Pemeriksaan
barium meal dengan follow-through dapat mendeteksi adanya striktur usus, divertikel, dan
perlambatan waktu singgah. Walaupun demikian hasil pemeriksaan barium meal yang
normal tidak dapat mengeksklusi adanya bakteri tumbuh lampau di usus halus yang secara
klinis bermakna.
21,24,25
Adanya bakteri anaerob di cairan usus halus bagian proksimal yang bukan merupakan flora
normal mulut, perut maupun usus halus proksimal dan jumlahnya lebih dari 10
6
koloni
merupakan baku emas uji diagnostik pada bakteri tumbuh lampau. Misalnya ditemukan
spesies Bacteroides. Karena sangat sulit melakukan biakan bakteri anaerob, maka
ditemukannya bakteri anaerob fakultatif, seperti strain E. coli, lebih dari 10
6
koloni pada
biakan tersebut dapat merupakan bukti adanya kolonisasi bakteri anaerob.
32,33
Pengukuran H2 napas merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat digunakan pada anak
ataupun bayi. Sel mamalia tidak memproduksi H2, sedangkan mikroflora kolon komensal
pada umumnya memproduksi H2. Hidrogen yang diproduksi tersebut akan diabsorpsi dan
didistribusikan ke seluruh tubuh dan akhirnya dikeluarkan lewat udara napas. Konsumsi
karbohidrat yang tidak diserap, seperti laktulosa, akan menyebabkan peningkatan kadar H2
yang dihasilkan yang berkorelasi dengan adanya bakteri tumbuh lampau.
15,16
Peningkatan bermakna kadar konjugat asam 5-aminosalisilat ursodeoksikolat monofosfat
(5-ASA-UDCA monophosphat) di urin pada bakteri tumbuh lampau di usus halus
merupakan pemeriksaan noninvasif yang menjanjikan dan masih dalam tahap penelitian.
26

Tabel 11.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus
Uji Tapis
Pewarnaan Sudan untuk lemak dalam tinja
Pengukuran lemak dalam tinja tampung 72
jam
Uji Schilling terhadap faktor intrinsik
Barium meal dengan follow-through
Uji Diagnostik
Invasif
Aspirasi duodenum
Biakan
Bakteri aerob
Bakteri anaerob
Eksklusi enteropatogen yg telah
diketahui
Garam empedu dekonjugasi
Asam lemak rantai pendek
Noninvasif
Indikanuria
Asam empedu serum
Uji hidrogen napas
Sumber: Lichtman
29

7. Terapi
Tatalaksana bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dibagi 3 yaitu koreksi penyakit yang
mendasari, pemberian antibiotik dan terapi suportif. Penyebab terjadinya bakteri tumbuh
lampau di usus halus multi faktor dan sebagian besar dapat dikoreksi secara bedah. Oleh
sebab itu evaluasi ke arah penyebab kasus bedah harus dilakukan dengan cermat. Gejala
akut penyakit Crohn, sebagai penyakit yang mendasari, bila diberikan steroid akan
memperbaiki keadaan. Pemberian cisaprid untuk gangguan motilitas pada pseudoobstruksi
usus dilaporkan efektif.
21,24,29
Pemilihan jenis antibiotik berdasarkan efektivitasnya terhadap Bacteroides. Pilihan yang
utama adalah metronidazol dan dapat diberikan selama 2 sampai 4 minggu. Bila terjadi
kekambuhan dapat diberikan antibiotik dengan spektrum luas, seperti trimetoprim-
sulfametoksazol atau gentamisin. Kloramfenikol dan linkomisin sebaiknya digunakan bila
terhadap antibiotik yang lain telah resisten. Penggunaan probiotik merupakan alternatif
terapi yang saat ini dilaporkan cukup efektif untuk terapi bakteri tumbuh lampau.
32,38
Terapi suportif terutama untuk mencegah komplikasi metabolik dan defisit nutrien.
Pemberian nutrisi dengan bahan dasar yang mudah dicerna dan rendah lemak
(mengandung asam lemak rantai sedang), sangat diperlukan untuk menjaga tumbuh
kembang yang normal. Pemberian suplementasi vitamin yang larut dalam lemak perlu
untuk mencegah komplikasi rabun senja, osteomalasia, ataupun kelainan neurologis.
19,20

8. Prognosis
Prognosis tergantung dari penyakit yang mendasari dan respon terhadap terapi.


Daftar Pustaka
1. Bller HA, Grand RJ. Lactose intolerance. Annu Rev Med. 1990; 41: 141-8.
2. Committee on Nutrition of American Academy of Pediatrics. The practical significance of lactose intolerance in
children. Pediatrics. 1978; 62: 240-5.
3. Frye RE. Lactose intolerance. eMedicine [serial online] 2002 December 27 [disitasi 2004 Januari 29]:[9 screens].
Diunduh dari: URL:http://www.emedicine.com/ ped/ topic1270.htm.
4. Rings EHHM, Grand RJ, Bller HA. Lactose intolerance and lactase deficiency in children. Curr Opin Pediatrics.
1994; 6: 562-7.
5. Sahi T, LaunialaK, Laitinen H. Hypolactasia in a fixed cohort of young Finnish adult, a follow up study. Scand J
Gastroenterol. 1983; 18: 865-70.
6. Scrimshaw NS, Murray EB. Prevalence of lactose maldigestion. Am J Clin Nutr. 1988; 48 Suppl: 1086-98.
7. Sahi T. Genetics and epidemiology of adult-type hypolactasia. Scand J Gastroenterol. 1994; 29(Suppl 202): 7-20.
8. Vesa TH, Marteau P, Korpela R. Lactose intolerance. J Am Coll Nutr. 2000; 19Suppl: 165-75.
9. Arola H. Diagnosis of hypolactasia and lactose malabsorption. Scand J Gastroenterol. 1994; 29: 26-35.
10. Burke V, Anderson CM. Sugar intolerance as a cause of protracted diarrhea following surgery of the
gastrointestinal tract in neonates. Austr Pediatr J. 1986; 2: 219-27.
11. Christopher NL, Bayless TM. Role of the small bowel and colon in lactose-induced diarrhea. Gastroenterology.
1971; 60: 845-52.
12. Gracey M, Burke V, Oshin A, Barker J, Glasgow EF. Bacteria, bile salts and intestinal monosaccharide
malabsorption. Gut. 1971; 12: 683-92.
13. Ladas S, Papanikos J, Arapakis G. Lactose malabsorption in Greek adults: correlation of small bowel transit time
with the severity of lactose intolerance. Gut. 1982; 23: 968-73.
14. Launiala K. The effect of unabsorbed sucrose and mannitol on the small intestine flow rate and mean transit
time. Scand J Gastroenterol. 1968; 3: 665-71.
15. Hyams JS, Stafford RJ, Grand RJ, Watkins JB. Correlation of lactose breath hydrogen test, intestinal
morphology, and lactase activity in young children. J Pediatr. 1980; 97: 609-12.
16. Levitt MD, Hirsch P, Fetzer CA, Sheahan M, Levine AS. H2 excretion after ingestion of complex carbohydrate.
Gastroenterology. 1987; 92: 383-9.
17. Chew F, Penna FJ, Peret Filho LA, Quan C, Lopes MC, Mota Jac, et al. Is dilution of cows milk formula necessary
for dietary management of acute diarrhea in infants aged less than 6 months? Lancet. 1993 341: 194-7.
18. Penny ME, Brown KH. Lactose feeding during persistent diarrhea. Acta Paediatr. 1992; 381: 133-8.
19. Gregorio GV, Rogacion JM, Gabriel EP, Santos-Ocampo PD. Nutritional intervention in acute diarrhea: Is lactose
free formula essential? Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1992; 23: 235-45.
20. Lifschitz CH, Schulman RJ. Nutritional therapy for infants with diarrhea. Nutr Rev. 1990; 8: 329-38.
21. Bjorneklett A, Fausa O, Midvedt T. Bacterial overgrowth in jejunal and ileal disease. Scand J Gastroenterol.
1983; 18: 289-98.
22. Crabbe PA, Bazin H, Eyssen H, Heremans JF. The normal microbial flora as a major stimulus for proliferation of
plasma cell synthesizing IgA in the gut. Int Arch Allergy. 1968; 34: 362-75.
23. Hyman PE, Uc A, Hoon A, Dilorenzo C. Antroduodenal motility in children with chronic intestinal pseudo-
obstruction. J Pediatr. 1988; 112: 899-905.
24. Donaldson RM. Small bowel bacterial overgrowth. Adv Intern Med. 1970; 16: 191-212.
25. King CE, Toskes PP. Small intestinal bacterial overgrowth. Gastroenterology. 1979; 76: 1035-55.
26. Konishi T, Takashi M, Ohta S. Basic study on 5-(7-hydroxi-3-O-phosphonocholy) aminosalicylic acid for the
evaluation of microbial overgrowth. Biol Pharm Bull. 1997; 20: 370-5.
27. Dolby JR, et al. Bacterial colonization and nitrite concentration in the achlorhydric stomachs of patients with
primary hypogamaglobulinemia or classical pernicious anemia. Scand J Gastroenterol. 1984; 19: 105-10.
28. Kaplan BS, Uni S, Aikawa M, Mahmud AA. Effector mechanism of host resistance in murine giardiasis: specific
IgG and IgA cell-mediated toxicity. J Immunol. 1985; 134: 1975-81.
29. Lichtman SN. Bacterial overgrowth. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB.
Pediatric Gastrointestinal Disease 3rd ed. Canada: BC Decker. 2000: 569-82.
30. Hill Mj, Drasar BS. Degradation of bile salts by human intestinal bacteria. Gut. 1986; 9: 22-7.
31. Long SS, Swenson RM. Development of anaerobic fecal flora in healthy newborn infants. J Pediatr. 1977; 91: 298-
301.
32. Riepe SP, Goldstein J, Alpers DH. Effect of secreted Bacteroides proteases on human intestinal brush borders
hydrolases. J Clin Invest. 1980; 66: 314-22.
33. Giannella RA, Toskes PP. Gastrointestinal bleeding and iron absorption in the experimental blind loop
syndrome. Am J Clin Nutr. 1976; 29: 754-7.
34. King CE, Toskes PP. Protein-losing enteropathy in the human and experimental rat blind loop syndrome.
Gastroenterology. 1972; 80: 504-9.
35. Riordan Sm, McIver CJ, Thomas DH, Duncombe VM, Bolin JD, Thomas MC. Luminal bacteria and small-
intestinal permeability. Scand J Gastroenterol. 1997; 32: 556-63.
36. Klinkhoff AV, Stein HB, Schlappner OL, Boyko WB. Postgastrectomy blind loop syndrome and the arthritis-
dermatitis syndrome. Arthritis Rheum. 1985; 28: 214-7.
37. Raju GS, Rao SSC, Lu C. Pneumoperitoneum and ascites secondary to bacterial overgrowth. J Clin Gastroenterol.
1997; 25: 688-90.
38. Stotzer P-O, Blomberg L, Conway PL, Henriksson A, Abrahamsson H. Probiotic treatment of small intestinal
bacterial overgrowth by Lactobacillus fermentum KLD. Scand J Infect Dis. 1996; 28: 615-9.















BAB XI
ALERGI MAKANAN
(FOOD ALLERGY)
Liek Djuprie & Pitono Soeparto
Ilustrasi Kasus
Seorang anak berusia 7 bulan dibawa ke poliklinik karena kulit badannya merah dan gatal
sejak 2 hari yang lalu. Di rumah anak juga diare dan muntah. Anak sering mengeluh sakit
perut pada malam hari, sakitnya agak lama, sakit sekali, tetapi hilang timbul. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan lesi kulit urtika di dada, leher, mulut, dan tungkai atas dan
bawah. Anak diare cair tanpa lendir dan darah. Beberapa hari terakhir anak minum susu
formula yang sebelumnya tidak pernah minum. Dari keluarga, diketahui bahwa ibunya
penderita asma dan ayahnya sering gatal-gatal yang tidak jelas sebabnya.

Pendahuluan
Angka kejadian alergi terhadap makanan tampaknya semakin meningkat. Alergi
makanan dapat mengakibatkan terganggunya kualitas hidup dari penderita maupun
keluarganya. Alergi makanan juga sering menyebabkan dokter anak kerepotan dalam
menentukan diagnosis dan memberi penanganan.
Enam hingga delapan persen anak berusia kurang dari 3 tahun pernah mengalami alergi
makanan. Beberapa penelitian di masyarakat menunjukkan bahwa prevalensi alergi susu sapi
terjadi pada 1,9-3,9 % anak kecil, alergi telur terjadi pada 2,6 % hingga anak berusia 2,5 tahun,
kacang-kacangan pada 0,4%-0,6% pada anak usia kurang dari 18 tahun.
1,2

Definisi
Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap protein makanan yang
merugikan, yang disebabkan oleh suatu hipersensitivitas imun, yaitu suatu interaksi antara
sedikitnya satu protein makanan dengan satu atau lebih mekanisme imun, tidak terbatas hanya
pada IgE.
Sebenarnya reaksi merugikan terhadap makanan merupakan suatu istilah umum yang
dipakai untuk menggambarkan suatu respons klinis abnormal sesudah makan makanan atau
bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian reaksi merugikan terhadap makanan dapat
ditimbulkan dari suatu alergi atau idiosinkrasi atau suatu respons metabolik, farmakologis atau
toksik terhadap protein makanan, bahan tambahannya atau kontaminan makanan.
1,3,4
Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat berupa reaksi toksik atau nontoksik.
Reaksi toksik tidak berhubungan dengan sensitivitas individual tetapi dapat terjadi pada semua
orang yang makan dalam jumlah yang cukup makanan yang mengandung pewarna, atau pada
keracunan makanan yang mengandung toksin bakteri. Sebaliknya, kejadian reaksi nontoksik
terhadap makanan tergantung dari kerentanan perorangan dan dapat terjadi dengan
perantaraan imun (yaitu alergi atau hipersensitivitas makanan) atau tanpa perantaraan imun
(yaitu intoleransi makanan). Alergi makanan biasanya diperantarai antibodi IgE yang tertuju
pada protein makanan spesifik, akan tetapi mekanisme imunologis lain terutama pada usus
dapat pula berperan.
5,6

Epidemiologi
Akhir-akhir ini survei epidemiologi menunjukkan kenyataan adanya kenaikan fenomena
alergi yang cepat. Di negara berkembang, fenomena ini merupakan penyakit kronis yang paling
sering dijumpai dan mencapai sekitar 15% dan 30% dari seluruh populasi. Pada bayi dan anak
kecil, prevalensi alergi makanan diperkirakan terjadi sekitar 2%-3%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi prevalensi alergi makanan pada berbagai populasi memberikan perhatian
mengenai dasar genetik dan lingkungan dari kenaikan penyakit atopik pada anak. Di Asia
Tenggara terdapat variasi yang sangat tinggi mengenai budaya, ras dan makanan yang mungkin
dapat berpengaruh terhadap prevalensi alergi makanan. Di Australia, telur (3,2%), susu sapi
(2%) dan kacang tanah (1,9%) merupakan alergen makanan yang paling sering dijumpai pada
anak hingga berusia 2 tahun. Di Asia, prevalensi alergi makanan tidak banyak diketahui.
Terdapat pandangan umum bahwa alergi nasi tidak umum dijumpai, sebaliknya alergi terhadap
kerang-kerangan lebih sering dijumpai di Filipina dan Singapura yang merupakan bagian dari
makanan sejak bayi usia dini. Berbeda dengan insidensi hipersensitivitas terhadap kacang tanah
di Malaysia, Jepang dan Filipina yang rendah, di Indonesia dan Australia insidensi alergi
terhadap bahan makanan tersebut relatif tinggi.. Di Amerika Serikat, hingga sepertiga rumah
tangga menyatakan bahwa salah satu keluarganya pernah mengalami reaksi makanan yang
merugikan, tetapi prevalensinya pada anak-anak hanya 6%-8%.
7,8
Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak telah dikemukakan, termasuk sindrom
alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE), enterokolitis karena protein
makanan, sindroma malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif terhadap protein
susu sapi), gastro-enteropati eosinofilik alergik, kolik, refluks gastroesofageal. Di Skandinavia
dengan kriteria ketat didapatkan prevalensi alergi susu sapi sebesar 1,9 %, sedangkan Hill
(1999) melaporkan adanya insidens alergi susu sapi sebesar 2-7,5 % pada kurun usia bayi
sampai 1 tahun. Di Surabaya kejadian enteropati sensitif protein susu sapi (cows milk protein
sensitive enteropathy=CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare kronik dilaporkan
sebesar 72,9 %. Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk
challenge) dan ditegakkan dengan biopsi usus.
7,9,10


Perjalanan Alami
Perjalanan alami dari alergi makanan pada anak kecil baik yang diperantarai IgE
maupun yang tanpa diperantarai IgE menunjukkan adanya toleransi yang timbul sejalan
dengan perjalanan waktu .
Kebanyakan anak akan terbebas dari alergi terhadap susu, telor, terigu dan kedelai dan
hal ini biasanya berhubungan dengan resolusi atau kemajuan dari penyakitnya. Sekitar 1-3
tahun dengan diet eliminasi yang ketat diperkirakan dapat memperpendek waktu kesembuhan.
Namun, pasien-pasien yang alergi terhadap kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang
memiliki kemungkinan yang lebih banyak untuk tidak dapat terbebas dari reaktivitas klinis dan
sensitivitas hingga usia dewasa.
Peningkatan kadar IgE spesifik makanan dapat merupakan suatu indikasi berkurangnya
kemungkinan terjadi toleransi dalam tahun-tahun berikutnya dari usia anak.
6,11,12

Klinis
Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat merupakan masalah, terutama pada
bayi dan anak, serta dapat memberikan spektrum yang luas dari reaksi-reaksi klinis seperti
gejala pada kulit, gastrointestinal, serta gejala lainnya.
13
Kompleks gejala alergi makanan yang umum dari dermatitis atopik, kolik, refluks
esofageal dengan esofagitis pada bayi dapat disebabkan oleh reaksi terhadap makanan yang
merugikan baik secara langsung atau melalui susu ibu. Adanya hipotesa bahwa terdapat suatu
periode intoleransi protein makanan dimana hal ini merupakan bagian dari perkembangan
anak normal yaitu suatu periode untuk mendapatkan toleransi imunologis terhadap protein
makanan. Selama periode perkiraan intoleransi protein makanan ini, bayi dapat tidak
menunjukkan gejala atau menujukkan gejala sementara yang ringan atau bahkan gejala yang
berat yang memerlukan diagnosis dan penanganan dietetik yang berkepanjangan. Konsep-
konsep ini ditunjang oleh observasi-observasi yang menunjukkan adanya sensitisasi IgE yang
bersifat sementara terhadap makanan pada bayi yang asimptomatik, adanya intoleransi
terhadap protein makanan yang bersifat sementara pada bayi dengan kolik yang seringkali
menghilang dalam 3 bulan usia bayi, adanya kenyataan bahwa alergi terhadap susu sapi pada
umumnya membaik dalam waktu 2 bulan usia bayi, dan adanya fakta bahwa intoleransi pada
beberapa protein makanan membutuhkan dukungan nutrisi yang berkepanjangan.
8,14,15
Pada bayi-bayi muda, kulit dan saluran gastrointestinal merupakan organ target yang
paling umum terkena, sedangkan gejala-gejala respiratorik sangat jarang tampak.
16
Spektrum
hipersensitivitas makanan:
1. Gejala-gejala kulit meliputi:
- Pruritus
- Urtikaria
- Eksema
2. Gejala-gejala gastrointestinal meliputi:
- Sindrom alergi oral
- Anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE)
- Enterokolitis karena protein makanan
- Kolitis karena makanan
- Sindrom malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif protein susu sapi/
cows milk protein sensitive enteropathy).
- Gastroenteropati eosinofilik alergik
- Kolik pada bayi
- Refluks gastroesofageal
3. Gejala-gejala respiratorik
4. Asma
5. Rhinitis alergika

Sicherer (1999) membagi penyakit alergi makanan dalam gangguan yang diperantarai
IgE dan yang tidak diperantarai IgE sebagai berikut (lihat tabel 11.1):

Tabel 11.1. Alergi makanan: Organ target dan gangguannya
Sumber: Sicherer
2
Pembagian sindrom utama alergi susu sapi menurut Hill (1996)
6
antara lain:
1. Penderita-penderita dengan kemungkinan besar menderita alergi susu sapi (cows milk
allergy : CMA).
a. Reaksi tipe anafilaktik
b. Reaksi tipe gastrointestinal akut
2. Penderita-penderita dengan kemungkinan sedang (moderat) menderita CMA:
a. Ekzema kronik pada bayi
b. Kolik infantil
c. Diare kronik (Enteropati sensitif terhadap protein susu sapi = cows milk protein
sensitive enteropathy: CMPSE)
d. Sembab (gastroenteropati eosinofilik: eosinophilic gastroenteropathy)
e. Diare berdarah (kolitis karena makanan=food induced colitis)
3. Penderita-penderita dengan kemungkinan kecil menderita CMA
a. Rinitis kronik
b. Otitis media berulang
c. Batuk berulang termasuk asma

Organ Target
Dengan perantara IgE
Tanpa perantara IgE
Kulit
- Urtikaria dan angioedema
- Dermatitis atopik
- Dermatitis atopik
- Dermatitis herpetiformis
Gastrointestinal
- Sindrom alergi oral
- Anafilaksis gastrointestinal
- Gastroenteritis eosinofilik alergik
- Proktokolitis
- Enterokolitis
- Gastroenteritis eosinofilik
alergik
- Sindrom enteropatia
- Penyakit Celiac
Respiratorik - Asma
- Rinitis alergik
- Sindrom Heiner
Multisistem
- Anafilaksis yang dipicu makanan
- Anafilaksis yang berhubungan
dengan makanan, anafilaksis yang
dipicu exercise

Kompleksnya sistem imun gastrointestinal dan adanya fakta bahwa saluran
gastrointestinal merupakan tempat pertama yang menghadapi sejumlah besar alergen
makanan, sehingga tidaklah mengherankan apabila berbagai ragam gangguan hipersensitivitas
gastrointestinal dapat timbul.
17
Atas dasar ini Workshop on the Classification of Gastrointestinal Disease of Infants and
Children Nopember 1988 membagi hipersensitivitas gastrointestinal menjadi:
a. Eksklusif dengan perantara IgE
b. Sebagian dengan perantara IgE
c. Eksklusif dengan perantara sel

Tanpa memandang mekanisme imunologis yang terkait, gejala hipersensitivitas GI
biasanya mirip sifatnya satu dengan lainnya, akan tetapi berbeda dalam waktu awal penyakit,
berat serta persistensinya.
Gambar 11.1. Gangguan hipersensitivitas GI
IgE Non-IgE
- Hipersensitivitas
GI Seketika
- Sindrom alergi oral
- Esofagitis eosinofilik
- Gastritis eosinofilik alergik
- Gastroenteritis eosinofilik
alergik
- Enterokolitis protein makanan
alergik
- Proktitis protein makanan
- Enteropati protein makanan
Sumber: Sampson
17

1. Dengan perantara IgE
Reaksi tipe anafilaktik
Anafilaksis merujuk pada reaksi multi organ yang dramatik yang berhubungan dengan
hipersensitivitas yang diperantarai IgE. Makanan yang utama penyebab anafilaksis adalah
kacang tanah, kacang pohon (mente) dan kerang-kerangan.
1
Anafilaksis akibat makanan yang dipacu latihan (exercise) timbul dalam dua bentuk: (1)
anafilaksis timbul bila latihan dilakukan menyusul pemberian makanan tertentu yang
sensitivitasnya diketahui diperantarai IgE atau (2) yang lebih jarang adalah yang terjadi
sesudah makan sembarang makanan. Makanan-makanan yang terlibat bersama dengan
latihan atau latihan tanpa makanan makanan tidak menimbulkan gejala.
18
Reaksi timbul cepat dalam hitungan menit namun dapat juga terjadi hingga 1 jam setelah
meminum susu. Gejala syok anafilaktik dapat timbul apabila jumlah susu yang diminum
besar, sedangkan susu dalam jumlah kecil memberikan gejala urtikaria perioral, urtikaria
umum, angioedema, eksem berulang, rinore, nafas bunyi, stridor, batuk dan muntah.
Kebanyakan penderita menunjukkan hasil tes tusuk kulit (skinprick test) yang positif kuat
terhadap ekstrak susu sapi.
13

Sindrom alergi oral (oral allergy syndrome : OAS)
Dalam dekade terakhir prevalensi dari OAS makin meningkat, hal ini mungkin disebabkan
karena bertambahnya kewaspadaan akan adanya penyakit ini. OAS merupakan bentuk
alergi kontak, alergi yang terbatas pada orofarings dan jarang mengenai organ target
lainnya. Aktivasi dari sel mast yang diperantarai IgE lokal memicu permulaan yang cepat
dari pruritus, rasa pedih dan angioedema dari bibir, lidah dan tenggorok, terkadang muncul
rasa gatal ditelinga, tenggorok sehingga seakan tercekik, atau keduanya. Gejala tersebut
biasanya bersifat sementara dan pada umumnya berhubungan dengan memakan berbagai
buah segar dan sayur-sayuran. Pasien alergi terhadap Ragweed (sejenis buah) dapat
mengalami OAS sesudah kontak dengan berbagai jenis semangka segar dan pisang.
14,15

2. Dengan perantara campuran IgE dan non IgE
Yang termsuk dalam kelompok ini adalah:
- Esofagitis eosinofilik
- Gastritis eosinofilik
- Gastroenteritis eosinofilik
Gambaran hipersensitivitas ini ditandai dengan infiltrasi eosinofilik dari dinding esofagus,
lambung, usus dengan eosinofil, hiperplasia zona basal, perpanjangan papiler, tidak adanya
vaskulitis dan eosinofilia perifer pada 50% dari pasien.
Infiltrasi eosinofil dapat mengenai lapisan mukosa, otot dan serosa dari lambung dan usus
kecil. Gejala klinis berkorelasi dengan luasnya infiltrasi dinding usus. Infiltrasi eosinofilik
dari lapisan otot dapat menyebabkan penebalan dan kekakuan dinding usus yang memicu
gejala obstruksi, sedangkan infiltrasi daerah serosa menyebabkan asites yang mengandung
eosinofil. Walaupun demikian imunopatogenesis yang mendasari penyakit ini tetap tidak
diketahui dengan jelas.
19,20


Esofagitis eosinofilik alergik
Esofagitis eosinofilik alergik didapatkan paling sering selama masa bayi hingga masa remaja
dalam bentuk refluks kronik (refluks gastroesofageal), emesis intermiten, penolakan
makanan, nyeri abdomen, disfagia, iritabilitas, gangguan tidur dan tidak responsif terhadap
pengobatan refluks konvensional. Formula susu terutama soya dan juga susu sapi dikatakan
banyak terlibat dalam kejadian refluks gastrointestinal.
Refluks gastroesofageal (gastro esophageal reflux: GER) menggambarkan
keluarnya secara involunter isi gaster diatas sfingter esofagus bawah. Refluks
gastroesofageal merupakan keadaan yang biasa pada usia bayi dan dikatakan patologis
apabila hal tersebut menyebabkan esofagitis, gagal tumbuh atau gejala respiratori
(GERD: gastroesophageal reflux disease). Kebanyakan gejala akan menghilang pada saat
usia bayi 12-18 bulan. Tangisan yang tidak henti-hentinya pada bayi sering terjadi dan
karena banyaknya prevalensi regurgitasi pada bayi-bayi muda, sering dihubungkan
dengan GER dan esofagitis. Namun hal ini kemudian ternyata lebih merupakan asosiasi
dari pada hubungan kausal antara tangisan persisten (distres yang persisten) dan GER.
GER secara tradisional dipandang sebagai gangguan motilitas primer. Namun akhir-
akhir ini, suatu bentuk sekunder karena intoleransi terhadap protein makanan telah
pula dikemukakan kedua bentuk ini seringkali sulit dibedakan pada anak kecil karena
tumpang tindih secara klinis.
Esofagitis secara histologi ditandai oleh hiperplasia basal, perpanjangan dari papila dan
terdapatnya suatu campuran infiltrat keradangan dari neutrofil dan eosinofil. Umumnya
diperkirakan bahwa esofagitis merupakan efek langsung dari jejas peptik karena
paparan asam yang berkepanjangan pada esofagus distal. Eosinofil esofageal telah
digunakan sebagai tanda spesifik dari esofagitis refluks.
12,14,21

Kolik infantil terdiri dari paroksisma tangisan atau kerewelan tanpa sebab yang jelas
yang terjadi pada 15-40% bayi berusia 4 bulan pertama.
Kolik yang berhubungan dengan muntah dikatakan mempunyai kaitan dengan refluks
gastroesofageal (GER). Hal ini diperkirakan primer penyebabnya karena suatu gangguan
motilitas, namun akhir-akhir ini dikemukakan suatu bentuk sekunder yang disebabkan
karena intoleransi protein makanan. Periode dari intoleransi protein makanan
merupakan suatu bagian dari perkembangan normal sistem imun karena pada periode
ini bayi dan anak kecil banyak menghadapi protein makanan yang umum dikonsumsi
bayi dan anak kecil.
Terdapat pendapat bahwa kolik infantil berhubungan baik dengan interaksi (perilaku)
orang tua-anak yang terganggu maupun dengan reaksi hipersensitivitas protein
makanan (alergi) dengan kemungkinan salah satu atau keduanya dapat manifes pada
seseorang anak yang mempunyai predisposisi gangguan motilitas usus. Dikemukakan
hipotesa bahwa pada bayi dengan kolik terdapat intoleransi terhadap protein makanan
yang transien yang mempunyai asosiasi dengan gangguan motilitas usus primer pada
minggu-minggu pertama usia bayi dan hal ini dapat menimbulkan distres yang
kemudian menetap, suatu hasil dari pola perilaku dan gangguan sekunder dalam
interaksi orang tua-bayi.
12,14,21

Gastritis eosinofilik alergik
Gastritis eosinofilik alergik terdapat juga lebih banyak sepanjang masa bayi sampai remaja.
Biasanya menunjukkan gejala-gejala muntah sesudah makan, nyeri abdomen, anoreksia,
perut rasa penuh, hematemesis, gagal tumbuh dan obstruksi jalan keluar lambung (jarang
stenosis pilorik).
4,20,

Gastroenteritis eosinofilik alergik
Gastroenteritis eosinofilik alergik dapat terjadi pada setiap usia dan muncul dengan gejala
sama seperti esofagitis, gastritis atau keduanya. Gejala yang paling mencolok adalah
berkurangnya berat badan dan gagal tumbuh. Hingga 50% dari pasien adalah atopik dan
pada sebagian kecil pasien diperkirakan karena reaksi yang diperantarai IgE yang dipicu
makanan. Yang mencolok pada penyakit ini adalah gejala enteropati dengan kehilangan
protein (protein losing enteropathy) terlihat dengan adanya sembab perifer, asites,
malabsorpsi dan anemia kekurangan besi karena kehilangan darah melalui usus dan
terkadang hanya disertai gejala gastrointestinal lainnya yang minimal (muntah, diare).
Timbulnya penyakit ini biasanya lambat, biasanya terdapat riwayat atopi dalam keluarga
dan tidak responsif terhadap eliminasi diet. Kemungkinan adanya alergen ganda (multiple
allergens) termasuk inhalans berperan dalam gangguan ini.
15,20,22

3. Gangguan hipersensitivitas dengan perantara non-IgE.
Enterokolitis protein makanan
Merupakan gangguan hipersensitivitas yang paling sering terjadi pada bayi usia beberapa
bulan dengan gejala yang berupa iritabilitas, muntah yang masif serta diare yang tak jarang
menyebabkan dehidrasi. Muntah biasanya terjadi 1-3 jam sesudah makan. Pada paparan
yang terus menerus dapat menyebabkan diare berdarah, anemia, distensi abdomen dan
gagal tumbuh.
Rektosigmoidoskopi pada kolitis menunjukkan eritema dan aftae pada mukosa sedang
secara histologis tampak adanya infiltrasi eosinofilik dan ulserasi fokal. Kebanyakan dari
gangguan ini disebabkan karena susu sapi (milk induced colitis), sebagian kecil mungkin
oleh antigen yang terkandung ASI (breast milk induced benign proctitis) ataupun oleh
protein soya. Tinja sering mengandung darah yang samar, neutrofil polimorfonuklear dan
eosinofil serta kristal charcot-Leyden. Uji tusuk kulit (skin prick test) biasanya negatif.
Spesimen biopsi jejunum menunjukkan vili yang datar, sembab dan peningkatan limfosit,
eosinofil dan sel mast. Sel-sel mast yang mengandung IgM dan IgA didapatkan dalam
jumlah yang meningkat. Walaupun mekanisme imunopatogenik masih perlu diteliti, studi
terbaru menunjukkan adanya sekresi dari TNF- dan sel-sel mononuklear lokal yang
berperan dalam diare sekretori dan hipotensi.
3,19

Proktitis protein makanan
Gangguan ini khas terlihat pada beberapa bulan setelah kelahiran berupa tinja dengan
bercak darah pada bayi-bayi yang tampak sehat. Sekitar 60% dari kasus adalah bayi yang
mendapatkan ASI, sedangkan selebihnya adalah bayi yang mendapatkan susu sapi atau
formula soya. Kehilangan darah bersifat sedang akan tetapi kadang dapat menimbulkan
anemi. Hipoalbuminemia dan eosinofilia perifer jarang terjadi.
3,4

Enteropati protein makanan
Gangguan ini sering terlihat pada bayi usia beberapa bulan setelah lahir dengan gejala diare
(tidak jarang steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen
dan malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia.
Enteropati sensitif protein susu sapi merupakan penyebab utama sindroma ini, walaupun
terdapat pula asosiasi dengan soya, telor, gandum, nasi, ayam dan ikan pada anak yang lebih
besar. Pada biopsi usus tampak atrofi vilus yang tidak merata disertai infiltrat seluler yang
khas untuk gangguan ini. Pada enteropati susu sapi, didapatkan IgA dan IgG serum yang
meningkat.
Prototipe dari intoleransi makanan yang bersifat sementara adalah enteropati sensitif
terhadap protein susu sapi (cows milk sensitive enteropathy=CMPSE, cows milk induced
enteropathy) yang biasanya menghilang sesudah anak berusia 2-3 tahun. Reaksi ini
biasanya tidak bersifat seketika. Terdapat pula kasus-kasus alergi susu sapi dengan disertai
malabsorpsi tetapi tanpa adanya enteropati. Hal ini menyebabkan bahwa diagnosa dengan
cara biopsi saja tidaklah cukup. Didapatkannya enteropati yang tidak merata pada biopsi
usus belumlah merupakan tanda patognomonik untuk menjelaskan etiologinya. Peran
gastroenteritis akut sebagai predisposisi terjadinya alergi susu sapi belum jelas. Defisiensi
disakaridase sekunder pada alergi susu sapi dapat disebabkan karena kerusakan vilimikro
pada permukaan enterosit. Enteropati yang terjadi pada alergi susu sapi bersifat transien
dan reversibel sesudah eliminasi susu sapi.
10,23

Tabel 11.2. CMPSE di Surabaya
Usia (bulan) 0-6 7-12 13 Jumlah
CMPSE (-)
CMPSE (+)
5
13
3
13
2
1
10
27
(72,9%)
Sumber: Soeparto
10



Penyakit celiac
Merupakan enteropati protein makanan dengan ciri khas lebih luasnya kerusakan vili
absorptif dan hiperplasia kripta yang menimbulkan malabsorpsi, diare kronik, steatore,
distensi abdomen, flatulens, dan penurunan berat badan atau kegagalan tumbuh. Tidak
jarang dapat juga diketemukan ulserasi oral dan gejala ekstrapiramidal lain sekunder karena
malabsorpsi. Pasien dengan penyakit celiac sensitif terhadap gliadin, suatu bagian yang larut
alkohol dari gluten yang didapatkan a.l pada gandum, oat , rye dan barley. Penyakit
celiac berhubungan dengan HLA-DQ2 (dan DQ8) haplotype dan sekitar 90% dari pasien
yang mengingesti gliadin mempunyai antibodi IgA anti gliadin dan antiendomisium. Pada
biopsi terlihat adanya atrofi vilus total dan infiltrat seluler yang ekstensif. Prevalensi dan
penyakit celiac diperkirakan antara 1:3700 dan 1:300. Di Indonesia kejadian penyakit celiac
belum pernah dilaporkan.
Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa penyakit celiac dapat beragam mulai dari sindroma
malabsorpsi yang berat sampai yang tidak tampak (subklinis). Ingesti biji-bijian yang
mengandung gluten secara terus menerus mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya keganasan, terutama limfoma sel T. Studi histopatologi menunjukkan bahwa
limfositlimfosit, sebagian besar CD8
+
fenotipe sitotoksik/ supresor banyak berada dalam
ruang intra epitelial, dan sel-sel T/ meningkat dalam mukosa jejunum dan darah perifer.
Penemuan terakhir lain mengemukakan bahwa penyakit celiac berhubungan dengan
kenaikan aktivitas mukosal dari transglutaminase jaringan (tTGase) terhadap protein
spesifik yang terikat glutamin.
3,4,7

Konstipasi kronis
Konstipasi kronis terdapat pada 68% dari penderita anak yang mengalami hipersensitivitas
terhadap susu sapi.
Konstipasi kronik merupakan suatu gejala yang diberi batasan dari segi kesulitan selama
defekasi, interval-interval yang panjang antar buang air besar (BAB), penampang dan
kekerasan tinja. Gejala ditandai dengan gerakan BAB yang nyeri atau mengejan saat BAB,
tinja yang keras, frekuensi BAB kurang dari 3x/minggu selama paling kurang 30 hari,
dengan atau tanpa soiling.
Konstipasi adalah salah satu gejala dari intoleransi susu sapi. Uji-uji imunologik
menunjukkan bahwa konstipasi merupakan manifestasi dari alergi susu sapi yang sering
terjadi dengan perantaraan IgE. Selain itu karena tingginya frekuensi fisura berat pada anak
yang timbul kembali setelah pemberian susu sapi dan sebelum permulaan konstipasi, maka
hipotesisnya adalah bahwa nyeri selama BAB dapat menyebabkan retensi, tinja didalam
rektum sehingga memperberat konstipasi.
23




Penyakit usus beradang (Inflammatory bowel disease=IBD)
Peran hipertensitivitas terhadap makanan dalam IBD (penyakit Crohn dan colitis ulserosa)
tetap spekulatif, walaupun diet elemental menunjukkan kemajuan dalam resolusi dari gejala
yang ada.
3

Reaksi tipe gastrointestinal akut
Gejala-gejala meliputi pucat, kolik, nyeri abdomen dan muntah disusul dengan diare serta
terkadang kolaps yang terjadi beberapa jam sesudah minum susu sapi dalam jumlah yang
cukup besar (30-240 ml). Gejala muntah didahului oleh tingkah anak yang rewel dan mudah
terangsang. Gejala timbul dengan lambat, diare berlangsung beberapa jam tanpa muntah.
Pada bayi-bayi muda, muntah tidak selalu terjadi segera, dan pada beberapa bayi
diantaranya, muntah pada awalnya berupa muntah yang intermiten serta disertai gejala
kegagalan pertumbuhan. Pada anak-anak dengan dermatitis atopik dan alergi makanan,
ingesti alergen makanan memicu desensitisasi parsial dari sel-sel mast, menimbulkan reaksi
subklinis. Pada umumnya anak-anak ini pertama kali terlihat mempunyai keluhan anoreksi.
Kenaikan berat badan yang kurang ideal dan nyeri abdomen yang berulang, namun
integritas dinding usus menunjukkan adanya malabsorpsi. Kebanyakan penderita
menunjukkan uji kulit negatif terhadap ekstrak susu dan secara serologis tidak
menunjukkan hipersensitivitas IgE terhadap susu sapi. Penderita-penderita dengan gejala
yang timbul lambat biasanya pada pemberian susu yang berulang-ulang akan menimbulkan
episode-episode gastroenteritis atau intoleransi laktosa yang berulang.
15,23

Diagnosis
Diagnosis alergi makanan berdasarkan:
- Riwayat medis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan laboratories
- Eliminasi diet
- Tantangan makanan oral
- Uji diagnostik lain
Evaluasi awal dimulai dengan anamnesis riwayat medis dan pemeriksaan fisis yang mendalam,
pertimbangan diagnosis banding, termasuk gangguan metabolik, abnormalitas anatomik,
keganasan, insufisiensi pankreatik, reaksi merugikan terhadap makanan yang non-imunologik
dan gangguan-gangguan lainnya yang dapat memberikan gejala yang serupa. Reaksi alergik
terhadap bahan-bahan selain makanan (misal bulu binatang, jamur, debu) harus pula
dipertimbangkan.
24



1. Riwayat medis
Riwayat medis dari alergi makanan kebanyakan adalah bertumpu pada daya ingat pasien
mengenai peristiwa-peristiwa disekitar timbulnya gejala dan pada umumnya sangat
subyektif. Hanya sekitar 40% dari riwayat medis yang didapatkan dari pasien/ orang tua
pasien dapat diklarifikasi. Konsekuensinya adalah bahwa dokter harus membedakan antara
gangguan yang disebabkan hipersensitivitas makanan dengan etiologi lain seperti tertera
pada tabel 11.3.

Tabel 11.3. Bahan-bahan/keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan hipersensitivitas
makanan
1. Gastrointestinal : muntah dan atau diare
- Abnormalitas struktural (missal: Hernia heatal, Stenosis pilorik)
- Defisiensi ensim: primer vs sekunder (misal Laktase, Galaktosemia)
- Keganasan
- Lain-lain (mis. Fibrosis kistik, tukak peptic)
2. Kontaminasi dan bahan tambahan
- Bahan penyedap dan pengawet
- Bahan warna
- Toksin
- Bahan yang berhubungan dengan ikan laut
- Organisme infeksi
- Antigen jamur
- Kontaminan asidental (logam berat , pestisida, antibiotik)
3. Bahan-bahan farmakologik
- Kofein (kopi, soft drink)
- Theobromin (coklat, teh)
- Histamin (ikan)
- Triptamina (format)
- Serotonin (tomat, banana)
- Tiramin (keju)
- Alkaloid glikosidal (kentang)
- Alkohol
4. Reaksi psikologik
Sumber: Sampson
24

Dapat dikatakan bahwa setiap protein makanan mampu menyebabkan suatu reaksi; namun,
hanya sejumlah kecil dari makanan terkait dengan 90% lebih reaksi makanan yang
merugikan,serta sebagian besar pasien sensitif terhadap kurang dari 3 makanan. Pada anak-
anak, makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi adalah telor, susu, kacang tanah,
soya, terigu, kacang-kacangan pohon, ikan dan kerang.
Tanda dan gejala dari reaksi alergik makanan yang berhubungan dengan berbagai organ
target dapat dilihat dalam Tabel 11.4.

Tabel 11.4. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target
Kulit
- Urtikaria/angioedema
- Kemerahan
- Bercak pruritis eritematus
- Dermatitis atopi
Gastrointestinal
- Pruritus dengan/atau pembengkakan bibir, lidah atau mukosa oral
- Mual
- Nyeri abdomen atau kolik
- Muntah atau refluks
- Diare
Respiratorik
- Hidung tersumbat
- Rinore
- Bersin
- Sembab larings, disfonia
- Nafas bunyi/batuk beruntun
Kardiovaskuler
- Hipotensi/renjatan
- Pusing
Lain-lain :
- Nyeri punggung
Sumber: Sampson
24

Hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Saat terjadi reaksi
- Makanan yang dicurigai sebagai penyebab reaksi
- Jenis makanan
- Kurun waktu antara makan-makanan yang dicurigai dan timbulnya gejala
- Apakah makan makanan yang dicurigai memberikan gejala yang sama pada waktu
lain.
- Apakah faktor-faktor lain (latihan, alkohol) diperlukan dalam mencetuskan gejala
- Lama waktu sejak terjadinya reaksi terakhir terhadap makanan
Pada gangguan yang kronik yang dipicu alergi makanan, riwayat medis mempunyai
ketepatan prediksi yang lemah, berbeda dengan gangguan yang bersifat akut.
24

2. Pemeriksaan fisik
Selama pemeriksaan fisik perhatian diarahkan ke sistem kulit, gastrointestinal dan
respiratorik dan ke arah deteksi adanya gambaran atopi yang umum didapatkan pada pasien
yang mengalami reaksi-reaksi yang diperantarai IgE. Status gizi umum dari pasien dan
setiap tanda fisik dari gangguan non alergik yang mendasarinya perlu dicatat.
15,24

3. Pemeriksaan laboratorium
Selama riwayat medis dan pemeriksaan fisik, perlu ditentukan apakah temuan-temuan pada
pasien merupakan implikasi alergi makanan. Apakah mekanisme yang diperantarai IgE
ataukah yang tidak diperantarai IgE yang paling mungkin terlibat. Sejumlah penelitian
laboratorium mungkin berguna dalam menentukan makanan spesifik yang terkait dengan
reaksi yang diperantarai IgE akan tetapi terbatas nilainya dalam reaksi yang tidak
diperantarai IgE.

Uji kulit (skin test)
Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara IgE, maka uji tusuk kulit (prick/puncture
skin test = PST) dan RAST merupakan metode yang berguna untuk menetapkan apakah
pasien mempunyai antibodi IgE terhadap sesuatu makanan yang spesifik. Uji-uji ini dapat
menunjukkan adanya IgE alergen-spesifik, tetapi tidak dapat menetapkan diagnosis dari
alergi makanan klinis.
17,25

Uji serologi
Karena banyaknya mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis alergi, berbagai uji
imunologis yang berbeda sering digunakan dalam mengindentifikasi reaksi alergik
walaupun hanya sebagian kecil saja dari uji ini yang benar-benar dapat dipakai dalam
menunjang diagnosis alergi.
24

Uji RAST
RAST dan esai in vitro yang serupa, termasuk ELISA untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik
makanan dapat dipakai pula untuk menapis (screen) pasien-pasien yang dicurigai menderita
alergi makanan dengan perantara IgE. Uji-uji ini pada umumnya dianggap kurang sensitif
dibandingkan uji klinis, tetapi suatu studi menunjukkan bahwa RAST mempunyai kesamaan
sensitivitas dan spesivisitas dengan uji kulit apabila mencapai skor 3 atau lebih.
Dalam penapisan awal untuk alergi makanan yang diperantarai IgE, sering dilakukan
penapisan (skrining) sensitivitas makanan yang dicurigai dan kemudian diperoleh tingkat
IgE spesifik makanan untuk menentukan kecenderungan reaktivitas kliniknya. Tingginya
antibodi IgE awal dapat dipakai sebagai angka rujukan untuk memonitor sensitivitas
spesifiknya.
17

RIFT (Red Cell Immunosorbent Fluorescent Technique)
Antibodi IgG serum spesifik terhadap suatu antigen makanan yang sering ditemukan lebih
merupakan indikasi dari adanya suatu paparan dibandingkan sensitisasi. Dengan cara
semikuantitatif untuk IgG susu sapi (ELISA atau RIFT dapat dibedakan antara penderita-
penderita dengan CMA dengan yang sehat). Uji ini terutama berguna bagi reaksi alergi
pertengahan (intermediate) dan lambat (late reactors) dan tidak berguna reaksi bagi cepat
(immediate reaction). Pada penderita-penderita ini terdapat kecenderungan untuk
terjadinya reaksi gastrointestinal.
24,26

Pemeriksaan kompleks imun dalam sirkulasi (Circulating immune complex),
pengikatan Clq (Clq binding).
Kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan antibodi yang beredar dalam
serum telah diteliti dalam penggunaannya untuk diagnosis alergi makanan. Walaupun
terdapat berbagai macam cara pemeriksaan (RIA dengan dimodifikasi, Clq binding), namun
hasil yang didapatkan cukup memberi harapan terutama dalam mengidentifikasi
mekanisme hipersensitivitas tipe III. Akan tetapi masih diperlukan data-data dari berbagai
penelitian untuk menetapkan cara pemeriksaan tersebut dalam diagnosis alergi
makanan.
17,24,26

Uji histamin plasma, uji pelepasan histamin basofil
Pemeriksaan histamin plasma dan pemeriksaan histamin sesudah inkubasi leukosit basofil
dengan antigen yang merupakan mediator yang dikeluarkan pada reaksi cepat (immediate
reactors) dipakai pula dalam upaya diagnostik alergi makanan. Teknik yang digunakan
banyak menyita waktu dan biaya. Akhir-akhir ini didapatkan cara/uji degranulasi basofil
yang lebih sederhana, namun masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Uji pelepasan
histamin basofil (basophil histamine release=BHR) dan uji pelepasan histamin sel mast
pada umumnya hanya dilakukan untuk tujuan penelitian.
24,26

Uji inhibisi migrasi leukosit (Leucocyte Migration Inhibition test=LIF test)
Mekanisme imun dengan perantara sel (cell mediated immune mechanism) dengan
pengeluaran limfosit yang tersensitisasi antigen makanan yang spesifik, yaitu faktor inhibisi
migrasi leukosit (leucocyte migration inhibiting factor=LIF) telah dicoba untuk dipakai
sebagai cara diagnostik alergi makanan. Disamping hasil-hasil yang dikatakan
menggembirakan, terdapat banyak pula hasil-hasil yang positif palsu karena masalah-
masalah teknis, selain itu harganyapun mahal.
24

4. Diet eliminasi alergen diagnostik
Begitu sesuatu makanan tertentu dicurigai sebagai penyebab alergi makanan, dimulailah
suatu diet eliminasi dalam upaya mendukung diagnosis. Keberhasilan dengan cara ini
membutuhkan eksklusi dari alergen atau alergen-alergen dalam diet eliminasi, kemampuan
pasien untuk menjaga dietnya bebas dari segala bentuk alergen yang dituju dan tidak
adanya faktor-faktor yang mungkin akan memperberat gejala selama masa penelitian.
Apabila semua faktor pengganggu disingkirkan, tidak adanya suatu respon terhadap diet
eliminasi secara esensial akan mengeksklusi makanan yang dieliminasi sebagai penyebab
dari gangguan alergi. Namun, pada beberapa alergi makanan gastrointestinal (misal
esofagitis eosinofilik alergik dan gastroenteritis) penyebab yang dimungkinkan adalah alergi
makanan multipel sehingga suatu diet elemental mungkin diperlukan dalam menegakkan
diagnosis. Apabila gejala penyakit menghilang dengan diet eliminasi, dalam memastikan
diagnosis perlu dilakukan, uji tantangan makanan (food challenge). Pada alergi makanan
gastrointestinal, diagnosis akan menjadi pasti apabila endoskopi dan biopsi menunjukkan
perbaikan patologis sesudah 6-8 minggu dengan diet eliminasi.
2,27

5. Uji tantangan makanan oral (food challenge)
Uji tantangan makanan oral dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap sesuatu
jenis makanan yang menyebabkan gejala alergi makanan. Uji tantangan juga diperlukan
dalam menilai kesembuhan alergi. Uji tantangan makanan seyogyanya tidak dilakukan
apabila terdapat riwayat reaksi alergi makanan berat yang jelas dalam kaitannya dengan
adanya antibodi terhadap makanan yang dicurigai. Uji tantangan makanan dapat dilakukan
secara terbuka (pasien dan dokter mengetahui isi makanan yang diujikan), secara
pembutaan tunggal (single blind, pasien tidak mengetahui, tetapi dokter mengetahui isi
makanan tantangan). Atau secara pembutaan ganda dengan kontrol plasebo (double-blind
and placebo controlled atau DBPCFC, baik pasien maupun dokter tidak mengetahui isi
makanan tantangan). DBPCFC dianggap sebagai baku emas dalam diagnosis dari alergi
makanan. Sicherer (1999), melakukan dua kali tantangan setiap hari, satu kali berisikan
antigen makanan yang diuji dan yang satu lagi berisikan plasebo. Setiap tantangan
dievaluasi dan diskor dengan menggunakan lembar gejala yang baku. Tantangan yang
negatif selalu perlu dipastikan dengan pemberian secara terbuka makanan yang lebih besar
porsinya. Pasien juga diamati kemungkinan terjadinya reaksi lambat. Apabila dicurigai
hanya beberapa makanan saja, tantangan dengan pembutaan tunggal atau tantangan
terbuka dapat dilakukan untuk menapis (screen) reaktivitasnya.
2,,28
Uji tantangan dilakukan pada bayi dalam keadaan puasa, dimulai dengan dosis yang
sekiranya tidak memicu gejala (25-500 mg dalam makanan yang diliofili = lyophilized food).
Pada reaksi yang dicurigai dengan perantara IgE, dosis pada umumnya dapat digandakan
setiap 15-60 menit. Namun apabila pasien menunjukkan reaksi yang lebih lambat,
diperlukan waktu interval yang lebih lama. Begitu pasien dapat mentoleransi 10 gram
lyophilized food yang dibutakan dalam kapsul atau cairan (ekuivalen dengan putih telor
satu butir telor atau satu gelas susu dari 4-oz), maka reaktivitas klinik pada umumnya dapat
disingkirkan.
2
Pasien dengan tingkat IgE spesifik-alergen makanan dalam serum yang melebihi 95% dari
nilai prediksi dapat dianggap reaktif dan tantangan makanan oral tidak diperlukan. Pasien
dengan tingkat IgE kurang dari 95% nilai prediktif mungkin reaktif tetapi memerlukan
suatu uji tantangan makanan untuk memastikan diagnosis. Terkait dengan hal tersebut,
data-data terakhir menunjukkan bahwa pemantauan nilai IgE spesifik alergen mungkin
berguna dalam prediksi apabila tantangan-tantangan selanjutnya (follow up) cenderung
menjadi negatif (apabila pasien outgrow alergi makanannya). Penapisan awal alergi
makanan dengan perantara IgE seringkali merupakan penapisan bagi sensitivitas makanan
untuk kemudian ditentukan tingkat IgE spesifik makanan untuk menentukan reaktivitas
kliniknya. Tingkat awal antibodi IgE dapat dipakai sebagai titik rujukan dalam memantau
sensitivitas spesifik.
2,20

6. Uji diagnostik lain
Pada gangguan alergi makanan tanpa perantara IgE, walaupun hasil-hasil dari sejumlah uji
laboratori non-spesifik mungkin abnormal ,tidak ada uji laboratorium yang menunjukkan
identitas makanan penyebabnya. Eosinofilia darah perifer dapat ditemukan pada 50% dari
pasien dengan gastroenteritis eosinofilik atau suatu peningkatan dari jumlah neutrofil
dengan left shift sering dijumpai pada pasien enterokolitis yang dipicu makanan yang baru
mengalami reaksi alergik. Eosinofil dapat ditemukan dalam tinja pasien dengan
enterokolitis dan proktokolitis eosinofilik yang dipicu protein makanan. Antibodi IgG
spesifik-antigen makanan pada umumnya meningkat pada pasien dengan alergi makanan
yang mengenai usus, tetapi spesifisitasnya secara khas mencerminkan jenis makanan yang
dimakan tidak indikatif untuk patogenesis yang spesifik dari makanan yang terkait. Untuk
kebanyakan dari alergi gastrointestinal, histologi dari bahan biopsi sering memperkuat
diagnosis tetapi tidak menunjukkan makanan mana yang merupakan penyebab dari
reaksi.
20,27

Tabel 11.5. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai penyebab penyakit
gastrointestinal.
1. Riwayat reaksi alergik atau serupa alergi terhadap makanan
2. Eksklusi dari penyebab-penyebab anatomis, metabolik atau infeksi
3. Penemuan patologik konsisten dengan penyebab alergik (biasanya eosinofilia)
4. Konfirmasi adanya hubungan ingesti dari protein makanan spesifik dan gejala melalui
tantangan-tantangan atau paparan berulang
5. Bukti adanya antibodi spesifik dalam tatanan penyakit-penyakit
6. Kegagalan dalam merespons pengobatan, metabolik atau infeksius
7. Perbaikan dalam gejala-gejala dengan eliminasi diet penyebab gangguan (protein
makanan)
8. Respons klinis terhadap pengobatan dari keradangan inflamasi (kortikosteroid)
9. Kesamaan sindrom klinis baik yang terbukti ataupun diperkirakan karena mekanisme
imunologik
10. Tidak adanya penjelasan untuk reaksi yang menyerupai alergi secara klinis
Sumber: Wesley
28






Gambar 11.2. Skema Umum bagi Evaluasi Peran Alergi Makanan Gastrointestinal





Evaluasi Indikatif (Tabel 11.1, 11.2,)
11.3

Riwayat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium spesifik (Tabel
)11.4)

Kemungkinan
alergi Makanan

Diet eliminasi
(Tabel 11.5)

Perbaikan

Diet rumatan
Pertimbangkan pemberian
kembali makanan spesifik
dan/atau tantangan secara
formal (Tabel 11.6)

Tantangan
positif, gejala
timbul
kembali

Teruskan eksklusi
makanan,
Pertimbangkan re-
evaluasi berkala

Penyebab lain
teridentifikasi, tidak
konsisten dengan alergi
makanan
Tidak ada perbaikan
Makanan dapat
ditoleransi/tantangan
dilewati
Stop, bukan
alergi makanan
Tidak
berhubungan
dengan alergi
makanan

Tambah
makanan pada
diet

Tabel 11.6. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai kausa penyakit
gastrointestinal.
- Usia pasien muda (< 3 th.)
- Riwayat reaksi akut yang diperkirakan karena makanan tertentu
- Penyakit atopik yang menyertai
- Dermatitis atopik (lezema)
- Reaksi alergi makanan akut
- Asma
- Riwayat keluarga dengan penyakit atopic
Sumber: Sampson
15

Tabel 11.7. Jenis diet eliminasi
A. Eliminasi dari salah satu atau beberapa makanan yang berhubungan dengan gejala
- Berguna untuk reaksi akut, makanan positif IgE atau makanan dengan kecurigaan
tinggi
B. Diet oligoantigenik-makanan yang terspesifikasi yang diperkenankan dalam diet yang
diseleksi bagi yang umumnya mengandung risiko rendah
- Berguna bila sejumlah besar makanan ada hubungannya dengan gejala
- Dapat menghasilkan hasil yang negatif semu apabila makanan yang sebenarnya
tidak dieliminasi
C. Diet elemental-formula hipoalergenik (yaitu formula berdasar asam amino) digunakan
sebagai nutrisi total, dapat berisikan beberapa bahan padat yang aman
- Berguna apabila sejumlah besar makanan dicurigai
- Kepatuhan yang rendah dari bayi
Sumber: Wesley
28


Tabel 11. 8. Modalitas untuk tantangan makanan oral
a. Jenis tantangan
- Tantangan terbuka (protein makanan diberikan dalam bentuk sebenarnya) berguna
untuk skrining reaktivitas, mempunyai tingkat tertinggi dari bias (positif semu).
- Pembutaan tunggal (bahan makanan di sembunyikan dalam kapsul atau makanan
lain) berguna untuk skrining reaktivitas, kurang biasnya, lebih memerlukan banyak
tenaga.
- Pembutaan ganda, plasebo terkontrol (DBPCFC) - menghilangkan bias, paling
menyita tenaga, penting bagi penelitian.
b. Pemberian tantangan
- Saat tantangan berdasar perorangan, tergantung dari riwayat (akut/subakut atau
kronik).
- Pembagian dosis - kuantitas secara perorangan berdasar riwayat sebelumnya.
- Pasien positif IgE : 8-10 gram secara bertahap dinaikkan dan dibagi dalam dosis
selama lebih dari 90 menit, disusul dengan porsi yang lebih besar seperti halnya
makan biasa 3 jam kemudian.
c. Pengawasan/Pengobatan
- Memonitor gejala gastrointestinal (juga pernafasan, kulit dalam beberapa kasus).
- Analisis tinja seperti yang diindikasikan.
- Biopsi pada beberapa kasus (enteropati, eosinofilia).
- Pengobatan darurat seperti yang ditentukan (epinefrin, antihistamin, cairan
intravena, kortikosteroid dsb).
- Persediaan khusus dalam hal sindrom enterokolitis.
Sumber: Sicherer
2

Tabel 11.9. Bagaimana hidup dengan allergi makanan
1. Hindari makanan penyebab allergi
2. Pantang/eliminasi 1-2 tahun kadang membaik
3. Eliminasi challenge, hati-hati
4. Beberapa allergi kacang tanah, kacang pohon ( mente, koro ), ikan, kerang-kerangan,
dapat berlangsung lama sekali
5. Penyandang harus sangat berhati-hati dalam memakan makanan yang tidak dikenal (
bahan dan bumbu-bumbunya )
6. Untuk yang bereaksi hebat (anaphylactic shock) perlu dibawa obat-obat untuk
pertolongan keadaan yang mengancam jiwa(epinephire dan carticolesterol). Pemakaian
gelang atau kalung pemberitahuan keadaan dan pertolongan perlu dianjurkan.
7. Tidak ada obat(drug) yang dapat menyembuhkan / mengobati allergi makanan
Sumber: Wesley
28


Pengobatan
1. Eliminasi Protein Makanan
Begitu diagnosis dari hipersensitivitas makanan ditegakkan, terapi yang terbukti paling baik
adalah eliminasi dengan ketat dari alergen yang dicurigai. Dalam memberikan diet eliminasi
terapeutik perlu pertimbangan-pertimbangan yang sama seperti halnya dengan obat,
keduanya dapat menyebabkan efek-efek samping. Diet eliminasi dapat menyebabkan
malnutrisi dan/atau gangguan-gangguan makan, terutama bila menyangkut sejumlah besar
makanan dan/atau digunakan untuk waktu yang lama.
Reaktivitas klinik terhadap alergen makanan pada umumnya adalah sangat spesifik, dan
pasien jarang bereaksi dengan lebih dari 1 family botanis atau spesies binatang. Dengan
demikian, eliminasi diet terapeutik janganlah didasarkan pada eksklusi dari family
makanan (food families) tetapi hendaknya berdasar pada makanan individual yang terbukti
menginduksi gejala alergik. Pada pasien-pasien yang terindentifikasi alergi terhadap
makanan multipel, harus mendapatkan penanganan dari ahli diet yang mengetahui dengan
benar mengenai eksklusi makanan serta harus berpengalaman menangani pasien-pasien
yang alergi terhadap makanan.
Eliminasi protein makanan merupakan pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Pasien dan orang
tua pasien harus menyadari bahwa protein makanan, berbeda dengan gula atau lemak,
merupakan bahan yang dihilangkan. Bahan protein yang tersembunyi dapat pula
menimbulkan masalah.
Anak-anak kecil akan terbebas dari sensitivitasnya terhadap makanan alergenik yang umum
(telor, gandum, soya) dalam b eberapa tahun, terutama dengan menghindari makanan yang
potensial memberikan reaksi alergi makanan.
Tantangan makanan untuk diagnostik secara serial dapat membantu dalam penanganan
anak yang alergi terhadap makanan. Dilain pihak, sensitivitas terhadap beberapa makanan
tertentu seperti kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang-kerangan, jarang yang
menghilang, dan sensitivitasnya dapat bertahan hingga usia dewasa.
2,24,27

2. Imunoterapi
Imunoterapi telah dicoba dalam pengobatan gangguan-gangguan alergi yang dipicu
makanan. Dua pendekatan yang sedang ditelusuri yaitu pendekatan menyangkut mutasi
dari epitope yang mengikat IgE pada protein kacang dan yang melibatkan penggunaan DNA
protein kacang yang dikodekan dalam vektor plasmid. Pendekatan ini diharapkan berhasil
dalam upaya desensitisasi pada pasien dengan alergi makanan.
2,6

3. Humanized anti IgE antibody therapy
Strategi yang lebih global yang mungkin berguna dalam pengobatan alergi makanan yang
diperantarai IgE adalah penggunaan terapi antibodi anti IgE. Bentuk pengobatan ini
mempunyai keuntungan dalam mengobati sensitivitas terhadap protein makanan multipel
tanpa memandang spesifisitas alergennya.
2,6

4. Probiotik
Pada saat ini probiotik, LGG terbukti merupakan organisme yang sangat bermanfaat untuk
alergi makanan maupun pencegahannya. Bakteri probiotik tertentu dapat mengurangi
produksi pro inflamatory cytokines, sehingga probiotik bermanfaat tidak hanya untuk food
(gut) allergy saja, namun berguna juga untuk inflamatory bowel disease, seperti ulceratif
colitis dan crohn disease. Penelitian untuk probiotik jenis lain masih sedang dilakukan.
2,29


Daftar Pustaka
1. Pascual CY, Crespo JF, Perez PG, Esteban MM. Food allergy and intolerance in children and adolescent, an
update. Eur J. Clin Nutr. 2000; 54: SI pp 575-578.
2. Sicherer SH, Sampson HA. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: Pathophysiology, epidemiology,
diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol. 1999; 104: S 114-22.
3. Justinich CJ. Update in gastrointestinal allergic diseases. Curr. Op in Pediatr. 2000; 12: 456-459.
4. Stern M. Gastrointestinal Allergy. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins
eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Philadelphia, BC Decker Inc. 1991; 1: 557-574.
5. Sampson HA, Mendelson LM, Rosen JP. Fatal and near fatal anaphylaxis reactions to food in children and
adolescent. N Engl J Med. 1992; 327: 380-4.
6. Weier DM. Immunology Churchiel Livingstone. 1983.
7. Hill DJ, Hosking CS, Heine RG. Clinical spectrum of food allergy in children in Australia and South Eeast Asia:
Indentification and targets for treatment. Ann Med. 1999; 31: 272-281.
8. Sicherer SH. Manifestations of Food Allergy: Evaluation and Management. American Academy of Family Phys.
1999: pp. 1-12.
9. Bock SA, Atkins FM. Patterns of food hypersensitivity during sixteen years of double-blind, placebo controlled
food challenges. J Pediatr. 1990; 117: 561-567.
10. Soeparto P, Djupri LS, Noerasid H. Cows milk sensitive enteropathy, Kongres Nasional I KOPGI-KOPEGI
Jakarta. 1981.
11. Bock SA. The natural history of food sensitivity. J Allergy Clin Immunol. 1982; 69: 173-7.
12. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F. Gastroesophageal reflux and cows milk allergy in infants: a prospective
study. J Allergy Clin Immunol. 1996; 97: 822-827.
13. Bruijnzeel-Koomen C, Ortolani C, Aas K, Bindslev-Jensen C, Bjorksten B, Moneret D. Adverse reaction to food
allergy. 1995; 50: 623-635.
14. Orenstein SR. Gastroesophageal reflux. Curr probl Pediatr. 1992; 21: 193-241.
15. Sampson HA, Mc Caskill
c
CC. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: evaluation of 113 patients. J Pediatr.
1985; 107: 699-675.
16. Wesley Burks A. The spectrum of food hypersensitivity: Where does it end? Editorials. J Pediatr 1998; 133: 175-
6.
17. Sampson HA, Albergo R. Comparison of result of skin test, RAST and double-blind, placebo controlled food
challenges in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 1989; 74: 26-33.
18. Romano A, Di Fonso M, Ginffreda F, Quaretino D. Diagnositic work-up foor food dependent, exercise induced
anaphylaxis. Allergy. 1995; 50: 817-24.
19. Seidman E. Immune homeostasis and the gut. In: CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric Clinical
Gastroenterology, 4
th
ed. St Louis , Mosby. 1995; 12: 388-416.
20. Winter HS, Madara JL, Stafford RJ, Grand RJ, QuinlanJE, Goldman H. Intraepithelial eosinophils: a new
diagnostik criterion for reflux esophagitis. Gastroenterology 1982; 83: 818-823.
21. Motta MEFA. Intolerance of cows milk and chronic constipation in children. International Pediatrics. 2001; 16:
66-72.
22. Bunser O, Araya M. Damage and repair of small intestinal mucosa in acute and chronic diarrhoea. In: E
Lebenthal ed. Chronic diarrhoea in infancy. New York. 1984: 31-55.
23. Iacono G, Cavataio F, Montalto G. Intolerance of cows milk and chronic constipation in children. N Engl J Med.
1998; 339: 1100-4.
24. Sampson HA. Food allergy part 2: Diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103: 981-989.
25. Bock SA, Lee WY, Remigro L, Holst A, May CD. Appraisal of skin tests with food extracts for diagnosis of food
hypersensitivity. Clin Allergy. 1978; 8: 559-564.
26. Romagnani S. Induction of Th1 dan Th2 response: a key role for the natural immune response? Immunol
Today. 1992; 13: 379-318.
27. Hill D, Hasking CS. Clinical management: Food allergy in Paediatric Clinical Practice. In: KM Hendricks, W
Allan Walker eds. International Seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition. Decker Periodicals Inc.
1992. pp. 2-7.
28. Host A, Koletzko B, Dreborg S, Muraro A, Wahn U et al. Dietary products used in infants for treatment and
prevention of food allergy. Arch Dis Child. 1999; 81: 80-84.
29. Jon A, Vanderhoof, MD & Rosemary J. Young, RN, MS. In The role of probiotic in the management of patients
with food allergy. Ann allergy, asthma, immunology. 2000; 3: 99-103.








BAB XII
KONSTIPASI PADA ANAK
Agus Firmansyah
Ilustrasi kasus
Seorang anak lelaki berusia 6 tahun dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit karena
mengalami sembelit sejak 6 bulan yang lalu. Buang air besarnya jarang, sekali tiap 10 hari.
Tinjanya berbentuk pelet dan keras. Kadang-kadang disertai darah dalam tinjanya. Nafsu
makan turun dan badan bertambah kurus. Tampak anak selalu berusaha menahan buang air
besarnya. Anak tampak ketakutan bila mulai ingin buang air besar. Perut tampak membuncit
dan teraba ada masa tinja yang keras pada perabaan abdomen. Pada pemeriksaan colok
dubur anak merasa kesakitan dan rektum teraba dilatasi dengan banyaknya tinja yang
keras.

Pendahuluan
Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai pertanda anak sehat. Terutama
pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi, orang tua sangat menaruh perhatian pada frekuensi
defekasi dan karakteristik tinjanya. Adanya penyimpangan dari yang dianggap normal pada
anak, merangsang orang tua untuk membawa anaknya ke dokter. Pada umumnya orang tua
khawatir bahwa tinja anaknya terlalu besar, terlalu keras, nyeri waktu berhajat atau defekasinya
terlalu jarang. Kenyataannya, konstipasi memang merupakan masalah yang biasa ditemukan
pada anak.
Pada awalnya penyebab konstipasi mungkin sederhana saja, misalnya kurangnya
konsumsi serat, tetapi karena tidak ditangani secara memadai perjalanan kliniknya menjadi
kronis, yang membuat frustrasi anak, orangtua dan juga dokter yang merawatnya. Di lain pihak,
terdapat kasus-kasus konstipasi akut yang memerlukan diagnosis etiologi segera karena
memerlukan tindakan yang segera pula. Ringkasnya, ada kasus konstipasi ringan tetapi
memerlukan penanganan yang adekuat, ada kasus yang memerlukan diagnosis etiologi dan
tindakan segera dan ada pula kasus konstipasi kronis yang memerlukan kesabaran dan
penanganan yang cermat.
Tulisan ini menjelaskan secara ringkas mengenai pendekatan diagnosis dan tatalaksana
konstipasi pada anak, dengan perhatian khusus pada konstipasi fungsional yang sering
ditemukan pada anak.
Definisi
Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan konstipasi. Rogers
mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya frekuensi
defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak.
1
Lewis dan Muir

menambahkan bahwa
kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak
2
, sedangkan Abel
mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan
dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan
konsistensi tinja lebih keras dari biasanya.
3
Definisi lain adalah frekuensi defekasi kurang dari
tiga kali per minggu. Steffen dan Loening-Baucke mengatakan konstipasi sebagai buang air
besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan
keras.
4
Penulis sendiri berpendapat bahwa konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan
evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi
berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen
teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis (kecepirit).

Epidemiologi
Sekitar 3 persen kunjungan ke dokter anak

dan 10%-15% kasus yang ditangani ahli
gastroenterologi anak merupakan kasus konstipasi kronis. Sebagian besar (90%-95%)
konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5%-10% yang mempunyai
penyebab organik.
3,5

Etiologi dan Patofisiologi
Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali per hari sampai tiga kali per
minggu. Frekuensi defekasi pada anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI pada
awalnya lebih sering berhajat dibandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati usia
4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Pada
umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi dua kali per hari.
6,7,8
Frekuensi
defekasi normal pada anak terlihat pada Tabel 12.1.

Tabel 12.1. Frekuensi normal defekasi pada anak
Umur

Defekasi/minggu

Defekasi/hari

0-3 bulan
ASI
Formula


5-40
5-28


2,9
2,0

6-12 bulan

5-28

1,8

1-3 tahun 4-21 1,4
>3 tahun 3-14 1,0
Sumber: Weaver
7
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut
menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons dengan kontraksi
sfingter anus eksterna. Upaya menahan tinja ini tetap dipertahankan sampai individu mencapai
toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan
relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk
jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengejan, yaitu
meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui
anus. Pada keadaan normal, epitel sensorik di daerah anus-rektum memberitahu individu
mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas, atau kombinasi ketiganya.
9,10
Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari ileum.
Makan atau minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (refleks gastrokolik) yang
diperantarai oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf visera. Kandungan
nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan frekuensi dan konsistensi
tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka tinja (stool bulking), kurang
minum dan meningkatnya kehilangan cairan merupakan faktor penyebab konstipasi. Berat tinja
berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu
singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu
singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan
bertambahnya usia, dan pada dewasa berkisar antara 30 sampai 48 jam. Berkurangnya aktivitas
fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan predisposisi konstipasi, misalnya pada
keadaan sakit, pascabedah, kecelakaan atau gaya hidup bermalas-malasan. Stres dan perubahan
aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah,
masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersediaan toilet dan masalah psikososial, dapat
menyebabkan konstipasi.
10,11,19
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman
nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orangtua sering memberitahu
adanya riwayat darah dalam tinja, popok atau toilet. Pengalaman nyeri berhajat ini dipercaya
menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja
(retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang
menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami
reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan
sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus,
menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus
berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorpsi air-
tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat-dan seterusnya.
13,14
Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan kolon
desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis atau kebocoran (tidak disengaja;
involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan masalah yang mendorong
orangtua membawa anaknya ke dokter. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi tinja
menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang sebetulnya
merupakan panggilan atau rangsangan untuk berhajat. Temuan terbanyak pada pemeriksaan
manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi
rektum. Dengan pengobatan jangka panjang, sensasi rektum dapat menjadi normal kembali.
Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum tetap abnormal dan hal ini
menjelaskan mengapa konstipasi dan enkopresis mudah kambuh.
4,5
Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan
manometri anorektum pada anak dengan konstipasi kronis. Kontraksi puborektalis paradoksal
didefinisikan sebagai kurangnya kontraksi sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis
selama upaya defekasi, bahkan sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan kontraksi abnormal
sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis selama latihan defekasi (toilet training) juga
mengalami kesulitan mengevakuasi balon berisi air (model tinja tiruan) dan lebih sering
mengalami kegagalan terapi.
9
Pada sekitar 5%-10% bayi dan anak, konstipasi dapat disebabkan kelainan anatomis,
neurologis, atau penyebab lain yang akan dibahas dalam paragraf tentang diagnosis banding.
5

Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi Kronis
Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi
menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan indikator terpercaya
untuk konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola defekasi yang jarang terdapat pada awal
proses, yang mungkin terjadi beberapa bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter.
Dengan terjadinya retensi tinja, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti nyeri
dan distensi abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting dicatat adanya riwayat tinja
yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbat saluran toilet. Kecepirit
diantara tinja yang keras sering salah didiagnosis sebagai diare. Seorang anak yang mengalami
konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan
mengalami perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat disalahtafsirkan
sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki,
menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang (seperti berdansa) merupakan
manuver menahan tinja dan kadangkala prilaku tersebut menyerupai kejang.
5,15,16

Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan dengan konstipasi
pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter ditemukan pada anak
dengan konstipasi kronis.
17
Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal,
meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah
dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah
epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting pada
konstipasi.
4,18,19
Pemeriksaan fisik yang penting (selain pemeriksaan rutin) dilakukan pada anak
dengan konstipasi dapat dilihat pada Tabel 12.2 dan temuan pada pemeriksaan fisik yang
membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 12.3.

Tabel 12.2. Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi
Abdomen
- Distensi
- Hati dan limpa
- Massa tinja
Inspeksi anus
- Posisi
- Adanya tinja di sekitar anus atau celana
- Eritema sekitar anus
- Skin tags
- Fisura ani
Colok dubur
- Kedutan anus
- Tonus anus
- Massa tinja
- Adanya tinja
- Konsistensi
- Adakah massa lain
- Tinja menyemprot bila jari dicabut
- Darah dalam tinja
Punggung dan spina
- Lesung
- Berkas rambut
Neurologi
- Tonus
- Kekuatan
- Refleks kremaster
- Refleks tendon
Sumber: Steffen
4

Tabel 12.3. Temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dari fungsional
- Gagal tumbuh
- Distensi abdomen
- Hilangnya lengkung lumbosakral
- Pilonidal dimple covered by a tuft hair
- Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral)
- Agenesis sakrum
- Bokong datar
- Letak anus di depan
- Patulous anus
- Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen
- Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur
- Darah dalam tinja
- Hilangnya kedutan anus
- Hilangnya reflek kremaster
- Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun
- Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas bawah
Sumber: Steffen
4


Diagnosis
Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan
pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya menderita
konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai
konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat
dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat,
wajahnya memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal dan
bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi. Orang tua
merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari.
Oleh karena itu, sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali
mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal
ini.
5,15
Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan apakah
konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung
kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.
4,5
Penyebab konstipasi akut yang paling sering terlihat pada Tabel 12.4, tetapi perlu
dipikirkan kelainan yang mengancam kehidupan, seperi obstruksi usus, dehidrasi dan
botulisme infantil. Penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi virus. Infeksi virus dapat
menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya frekuensi defekasi. Anak juga mengalami
anoreksia serta kehilangan banyak cairan melalui saluran nafas dan demam.
4,20



Tabel 12.4. Penyebab tersering konstipasi pada anak
- Fungsional
- Fisura ani
- Infeksi virus dengan ileus
- Diet
- Obat
Sumber: Steffen
4


Obat juga sering menyebabkan efek samping berupa konstipasi akut, seperti antasida,
antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, diuretika, preparat besi, relaksan otot, narkotika
dan psikotropika. Bila meresepkan obat, dokter harus mengantisipasi konstipasi sebagai efek
samping. Sebagian besar obat yang dapat menyebabkan konstipasi terlihat pada Tabel 12.5.
Daftar yang ringkas ini dapat dipakai sebagai acuan umum. Beberapa sirup antasida dapat
menimbulkan konstipasi. Obat antikolinergik yang digunakan untuk pengobatan inkontinensia
urin akibat neurogenic bladder pada pasien dengan defek medula spinalis seperti
meningomiokel, adalah oksibutinin klorida. Konstipasi mungkin merupakan efek samping yang
bermakna pada anak yang diobati untuk disritmia jantung, depresi, kejang, dan sejumlah
penyakit lain. Pada sebagian kasus, terapi dapat dilajutkan dengan menangani konstipasi yang
terjadi dengan pelunak tinja atau supositoria dan enema. Kecuali pada anak dengan diet
ketogenik untuk kejang intraktabel. Dalam hal ini, konsultasi pada ahli gizi mungkin dapat
membantu.
4,16,19

Tabel 12.5. Obat yang menyebabkan konstipasi
- Anestesi, analgesik narkotik, opiat
- Antikolinergik dan simpatomimetik
- Antikonvulsan dan diet ketogenik
- Antimotilitas
- Antipsikotik, antidepresan
- Barium untuk pemeriksaan radiologis
- Penghambat kanal kalsium (misal verapamil), antidisritmia
- Mineral: aluminium, kalsium, besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth
- Antiinflamasi non-steroid
Sumber: Steffen
4


Bila diet anak berubah mereka juga dapat mengalami episode konstipasi akut. Hal ini
terjadi misalnya pada waktu liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah buah dan
sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini, modifikasi diet
lebih diutamakan daripada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula pada bayi atau dari
formula ke susu penuh (fullcream) pada anak usia 1 tahun dapat menimbulkan konstipasi pada
beberapa bayi/anak.
13,21
Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis
biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschsprung karena
berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.
15,22
Petunjuk penting lain dalam diagnosis banding adalah umur pada saat awitan gejala
timbul. Bila dalam anamnesis didapatkan bahwa gejala timbul sejak lahir, kemungkinan
penyebab anatomis seperti penyakit Hirschsprung harus dipikirkan. Bila awitan gejala timbul
pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya fungsional.
22
Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, pada
beberapa anak etiololginya mungkin multifaktorial. Bila terapi logis tidak efektif atau bila
konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi untuk mencari penyebab lain harus
dilakukan. Meski masa awitan manifestasi berbagai penyebab konstipasi dapat saling tumpang-
tindih, pengelompokan penyebab berdasarkan umur terlihat pada Tabel 12.6.

Tabel 12.6. Penyebab konstipasi berdasarkan umur

Neonatus/Bayi
- Meconium plug
- Penyakit Hirschsprung
- Fibrosis kistik
- Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal band
- Chronic idiopathic intestinal pseudo-obstruction
- Endokrin: hipotiroid
- Alergi susu sapi
- Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis
- Retensi tinja
- Perubahan diet
Toddler dan umur 2-4 tahun
- Fisura ani, retensi tinja
- Toilet refusal
- Alergi susu sapi
- Penyakit Hirschsprung segmen pendek
- Penyakit saraf: sentral atau muskular dengan hipotoni
- Medula spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord
Usia sekolah
- Retensi tinja
- Ketersediaan toilet terbatas
- Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis
- Preokupasi dengan kegiatan lain
- Tethered cord
Adolesen
- Irritabel bowel syndrome
- Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma)
- Diet
- Anoreksia
- Kehamilan
- Laxative abuse
Segala usia
- Efek samping obat, perubahan diet, paska operasi
- Riwayat operasi anal-rektum
- Retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis
- Perubahan aktivitas fisik, dehidrasi
- Hipotiroid
Sumber: Steffen
4


Komplikasi
Nyeri perut atau rektum dan enkoporesis merupakan komplikasi primer konstipasi pada
anak. Komplikasi lain dapat dilihat pada Tabel 12.7.
Tabel 12.7. Komplikasi konstipasi kronis pada anak
- Nyeri: anus atau abdomen
- Fisura ani
- Enkopresis
- Enuresis
- Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter
- Prolaps rektum
- Ulkus soliter
- Sindrom stasis
- Bakteri tumbuh lampau
- Fermentasi karbohidrat, maldigesti
- Dekonjugasi asam empedu
- Steatorea
Sumber: Young
20

Enuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkoporesis. Pada
beberapa kasus, enuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan
kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon distal,
sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan obstruksi ureter
kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan terjadinya
invaginasi, yang dapat bermanifestasi sebagai prolaps rekti setelah defekasi. Prolaps kolon
ringan tetapi berlangsung lama akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada dinding mukosa
rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja berlendir dan berdarah apapun
konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan dapat
menyebabkan protein-losing enteropathy.
Sindrom stasis terutama terlihat pada pseodo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan
dengan sering kentut dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi
anak. Sebagian besar anak dengan enkoporesis kronis akan menyangkal bila ditanya tentang
masalah enkoporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena
kecepirit.
4,5,22,23

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga
mempunyai penyebab organik.
21,25
1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon.
Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila
pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.
2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus Hirschsprung
dan obstruksi usus.
3. Biopsi hisap rektum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada mukosa rektum secara
histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung.
4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon.
5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme,
ultrasonografi abdomen, MRI, dll.

Tatalaksana Konstipasi Fungsional
Tatalaksana meliputi edukasi orangtua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi
prilaku, obat dan konsultasi.


1. Evakuasi tinja (disimpaction)
Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi regio abdomen
bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan
colok dubur atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen.

Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat
dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama
2-5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap/sempurna.
Bila menggunakan obat per oral, dapat digunakan mineral oil (parafin liquid) dengan dosis
15-30 ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan polietilen
glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogastrik
selama 4 jam per hari.
Evakuasi tinja dengan obat per rektum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3
ml/kg 2 kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000 ml) atau
120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan supositoria/enema gliserin 2-5 ml.
26,27

2. Terapi rumatan
Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah
kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian
laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang
sempurna.
Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat. Buah-
buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air
sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terkandung
dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk
meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.
Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan toilet training.
Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar. Tidak perlu
terlalu terburu-buru, yang akan membuat anak makin tertekan, tetapi berilah waktu 10-15
menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan mengembangkan
reflek gastrokolik pada anak. Dianjurkan membuat catatan harian yang mencatat kejadian
defekasi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan bila anak berhasil
melakukan defekasi. Bila dengan cara di atas tidak berhasil, mungkin perlu dikonsulkan ke
ahli psikiatri anak.
Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa (larutan 70%) dapat
diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Sorbitol (larutan 70%)
diberikan 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Mineral oil (parafin liquid) diberikan
1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untuk anak dibawah 1 tahun. Larutan magnesium
hidroksida (400mg/5 ml) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi dan
anak dengan gangguan ginjal. Bila respon terapi belum memadai, mungkin perlu
ditambahkan cisapride dengan dosis 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali perhari selama 4-5
minggu. Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah
normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih
perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang
banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.
26,28,29

3. Evidence-based medicine dan konstipasi
Seiring dengan perhatian yang serius terhadap evidence-based medicine, berikut tertera
beberapa rekomendasi berdasarkan pada bukti-bukti penelitian dan kategori kualitas
buktinya.
4,5,30,31

Rekomendasi umum
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian penting
dari evaluasi komprehensif bayi atau anak dengan konstipasi (III).
- Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat ternyata cukup
untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus (III).
- Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi dan pada
anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau
riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III).
- Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi dengan benar,
dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2).
- Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum merupakan
satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1).
- Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak dapat
menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).


Rekomendasi untuk bayi
- Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan supositoria gliserin. Enema harus
dihindari (II-3).
- Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune, pear dan apel, dapat
mengurangi konstipasi (II-3).
- Barley malt extract, corn syrup, latulosa atau sorbitol (laksatif osmotik) dapat
digunakan sebagai pelunak tinja (III).
- Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan pada bayi (III).

Rekomendasi untuk anak
- Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan pengobatan peroral atau rektal,
termasuk enema (II-3).
- Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains, buah dan sayuran dianjurkan
sebagai bagian pengobatan konstipasi (III).
- Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan modifikasi perilaku dapat mengurangi
waktu remisi pada anak dengan konstipasi fungsional (I).
- Mineral oil (pelicin) dan magnesium hidroksida, laktulosa dan sorbitol (laksatif
osmotik) merupakan obat yang aman dan efektif (I).
- Terapi emergensi dengan pemberian laksatif stimulan dapat dilakukan pada kasus-kasus
tertentu (II-3).
- Senna dan bisakodil (laksatif stimulan) dapat bermanfaat pada kasus tertentu yang sulit
ditangani (II-1).
- Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada beberapa penelitian (walaupun
tidak semua) dan dapat digunakan pada kasus tertentu (I).
- Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis rendah dalam waktu
lama, mungkin merupakan alternatif pengobatan efektif pada konstipasi yang sulit
diatasi (III).

Catatan:
Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut:
I Bukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCT
II-1 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol tanpa randomisasi
II-2 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol, terutama pada lebih
dari 1 senter atau pusat penelitian
II-3 Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel dengan atau tanpa
intervensi
III Pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis, penelitian deskriptif, atau
laporan komite ahli


Kesimpulan
Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian besar
(90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus,
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak
dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa
pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri
dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari
obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu
lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orangtua. Prognosis
umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program terapi dengan baik.


Daftar Pustaka
1. Abel E. Managing constipation in a pediatric patient: It is more than a simple problem. Clin Excell Nurs Pract.
2001; 5: 211-7.
2. Lewis C, Muir J. A collaborative approach in the management of childhood constipation. Health Visitor. 1996;
69: 424-6.
3. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing Standard. 1997; 12: 40-2.
4. Steffen R, Loening-Baucke V. Constipation and encopresis. In: Wylie RW, Hyams JS, editors. Pediatric
gastrointestinal diseases. Pathophysiology, diagnosis, management. Saunders, Philadelphia. 1999: 43-50.
5. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr Rev. 1998; 19: 1-17.
6. Drossman DA, Sandler RS, McKee DC, et al. Bowel patterns among subjects nor seeking health care.
Gastroenterology. 1982; 83: 529-34.
7. Weaver LT, Ewing G, Taylor LC. The bowel habit of young children. Arch Dis Child. 1984; 59: 649-52.
8. Weaver LT, Steiner H. The bowel habit of milk-fed infants. JPGN. 1988; 7: 568-71.
9. Stefen R, Schroeder TK. Paradoxical puborectalis contraction in children. Dis Colon Rectum. 1992; 35: 1193-4.
10. Whitehead WE, Schuster MM. Anorectal physiology and pathophysiology. Am J Gastroenterol. 1987; 82: 487-
97.
11. Burkitt DP, Walker ARP, Painter NS. Effect of dietary fiber on stools and transit-times, and its role in the
causation of disease. Lancet 1972; 2: 1408-12.
12. Muller-Lissner SA. Effect of wheat bran on weight of stool and gastrointestinal transit time: a metaanalysis.
BMJ. 1988; 296: 615-7.
13. Borowitz SM, Cox DJ, Tam A, et al. Precipitants of constipation during early childhood. J Am Board Fam Pract.
2003; 16: 213-8.
14. Preston DM, Lennard-Jones JE. Anismus in chronic constipation. Dig Dis Sci. 1985; 30: 413-8.
15. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Sari Pediatri. 1994; 2: 51-6.
16. Loening-Baucke V. Chronic constipation in children. Gastroenterology. 1993; 105: 1557-64.
17. Loening-Baucke V. Urinary incontinence and urinary tract infection and their resolution with treatment of
chronic constipation of childhood. Pediatrics. 1997; 100: 228-32.
18. Ludwig S. Constipation. In: Fleisher GR, Ludwig S, editors. Textbook of Pediatric Emergency Medicine.
Baltimore: Williams & Wilkins. 1988: 118-22.
19. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ. 2006; 333: 1051-5.
20. Young R. Pediatric constipation. Gastroenterol Nursing. 1996; 19: 88-93.
21. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM. Clinical Practice Guideline. Evaluation and treatment of
constipation in infants and children: Recommendations of the North American Socierty for Pesdiatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2006; 43: e1-e13.
22. Dodge JA. Functional disorders of the gastrointesrtinal tract. In: Gracey M, Burke V, editors. Pediatric
Gastroenterology and Hepatology. Oxford: Blackwell. 1993: p.880-9.
23. Loening-Baucke V. Sensitivity of the sigmoid colon and rectum in children treated for chronic constipation.
JPGN. 1984; 3: 454-9.
24. Meunir P, Marechal JM, De Beaujeu MJ. Rectoanal pressure and rectal sensitivity studies in chronic childhood
constipation. Gastroenterology. 1979; 77: 330-6.
25. Focht III DR, Baker RC, Heubi JE, Moyer MS. Variability in the management of childhood constipation. Clin
Pediat. 2006; 45: 251-6.
26. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, et al. Constipation in infants and children: evaluation and treatment. A medical
position statement of the North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. JPGN. 1999; 29:
615-26.
27. Tobias N, Mason D, Lutkenhoff M, Stoops M, Ferguson D. Management principle of organic causes of childhood
constipation. J Pediat Health Care. 2008; 22: 12-23.
28. Loening-Baucke V. Factors determining outcome in children with chronic constipation and fecal soiling. Gut.
1989; 30: 999-1006.
29. Taitz LS, Water JKH, Urwin OM, et al. Factors associated with outcome in management of defecation disorders.
Arch Dis Chil. 1986; 61: 472-77.
30. DiPalma JA. Current treatment options for chronic constipation. Rev Gastroenterol Dis. 2004; 4: 34-42.
31. Roy CC, Silverman A, Alagile D. Pediatric clinical gastroenterology. Mosby, St Louis. 1994.




















BAB XIII
INFLAMMATORY BOWEL DISEASES
Dwi Prasetyo
Ilustrasi Kasus
Seorang anak berusia 9 tahun dibawa ke poliklinik karena diare yang tidak sembuh-sembuh.
Diare dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Mulanya diarenya cair tanpa lendir, tanpa darah.
Lama kelamaan muncul lendir dan darah. Anak juga sering mengeluh sakit perut, yang juga
dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Sakit perut dirasakan baik saat BAB maupun saat tidak
BAB. Sakit perut ini telah menyebabkan anak berkali-kali tidak masuk sekolah. Badan anak
semakin lama semakin kurus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah dan
kurus, nyeri tekan di perut bagian kanan dan kiri. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan angka leukosit yang meningkat. Pada pemeriksaan tinja didapatkan darah dan
lendir.
Anak tinggal bersama kedua orangtuanya di lingkungan industri. Paman si anak juga sering
sakit perut dan diare yang telah dirasakan bertahun-tahun dan sering menyebabkan sang
paman datang ke dokter.

Pendahuluan
Inflamatory bowel disease (IBD) adalah istilah umum yang digunakan untuk
membedakan dua kelainan yang berhubungan dengan proses inflamasi di saluran pencernaan,
yaitu: Penyakit Crohn (PC) dan Kolitis Ulserativa (KU). Kelainan ini harus dibedakan dengan
penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala klinis dan laboratoris yang hampir sama, seperti
infeksi, alergi dan neoplasma. Oleh karena IBD juga mempunyai manifestasi ekstraintestinal,
maka sebagai klinikus harus mampu mengenal gejala klinis dengan baik, hal ini penting untuk
dapat mengatasi masalah yang bisa ditimbulkan seperti keterlambatan pertumbuhan, artritis,
hepatitis dan anemia.
1

Definisi
Kolitis ulserativa adalah proses peradangan yang mukosanya relatif homogen, dimulai
dari rektum dan meluas sampai kolon proksimal. Abses kripta sering ditemukan. Inflamasi yang
terbatas pada rektum didapatkan pada 10% pasien, dinamakan proktitis ulserativa, 30% kasus
didapatkan pada kolon bagian kiri dan sekitar 40%-50% didapatkan pada seluruh kolon,
dinamakan pankolitis.
2
Penyakit Crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan di
salah satu bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Pada awalnya ulkus
terjadi superfisial termasuk folikel limfoid (aphthous lesion), kemudian inflamasi dapat
menyebar secara bertahap ke dalam lapisan submukosa, muskularis dan serosa. Peradangan
transmural dapat menyebabkan fistula. Granuloma sebagai gejala yang patognomonik untuk
PC, hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien. Proses inflamasi yang ditemukan di ileum
terminalis berkisar 30% kasus, sedangkan yang disertai ileum dan kolon sekitar 60%, dan yang
terbatas pada kolon 10%-20%. Inflamasi gastroduodenal didapatkan 30%-40%.
3


Epidemiologi dan Genetik
IBD didapatkan sama pada laki-laki dan perempuan, umumnya pada orang kulit putih,
di belahan bumi utara lebih banyak daripada selatan, daerah urban lebih sering daripada rural
dan sering ditemukan pada keturunan Yahudi. PC banyak terjadi pada pasien dengan Turner
syndrome, Hermansky-Pudlak syndrome dan Glycogen storage disease type IB. Salah satu
faktor resiko yang berperan penting untuk terjadinya IBD adalah adanya hubungan keluarga
yang menderita pada tingkat pertama. Kemungkinannya mencapai 10%-25%. Diduga tempat
kelainannya adalah pada kromosom 6 dan 16. Faktor lain yang juga berperan adalah reseptor
komplemen, adhesi sel mikrobakterial, fungsi limfosit B, adhesi leukosit dan reseptor
interleukin-4 (IL-4). Perinuclear antineutrophil antibody (pANCA) ditemukan sekitar 70%
pada penderita KU, dan 6% pada penderita PC.
1,4

Patogenesis
Penyebab pasti dari IBD belum diketahui secara pasti, serta mempunyai perjalanan
klinik yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronis. Kemungkinan genetik telah diketahui
sebagai faktor predisposisi IBD, yang dapat terlihat bahwa terjadinya IBD adalah pada etnik
tertentu dan bersifat familial. Kebanyakan peneliti mempertimbangkan kemungkinan akibat
suatu infeksi, tetapi sampai saat ini tidak ada infeksi spesifik yang berhubungan dengan IBD.
Beberapa bakteri, termasuk Salmonella, Shigella, Campylobacter dan Yersinia dapat
menyebabkan inflamasi intestinal akut, tetapi secara histopatologis biasanya dapat dibedakan
dengan IBD kronis. Tidak ada bukti yang menunjang bahwa Mycobacterium paratuberculosis
berperan dalam patogenesis PC. Hal ini berbeda dengan pendapat pada beberapa tahun yang
lalu. Diduga infeksi virus campak dapat menyebabkan vaskulitis granulomatosa yang berperan
penting pada patogenesis PC. IBD jarang terjadi pada anak yang mengalami gangguan koagulasi
bawaan seperti hemofilia dan penyakit Von Willebrand. Patogenesis dan PC dan KU dibahas
lebih rinci dalam bab masing-masing.
5,6

Tabel 13.1. Perbedaan antara KU dan PC
Lokasi penyakit Kolitis Ulserativa Penyakit Crohn
Sal cerna atas
Ileum
Ileum dan kolon
Kolon

Rektum
Perianal
Radiologi



Sigmoidoskopi


Histologi
0%
0%
Backwash ileitis
90% (predominan pada kolon
distal)
+100%
Jarang
Continuous involment,
forehortening, loss of haustra,
irregular mucosal margins, normal
terminal ileum
Hemorrhagic mucosa, diffuse
continuous inflammation,
pseudopolyps
Mucosal and submucosal
inflammation, cryptitis, crypt
abscess, distortion of architecture
20%
19%
52%
9% (predominan pada kolon
proksimal)
50%
25%
Segmental involvement, skip
regions, mural thickening, stenotic
separate loops, abnormal terminal
ileum
Patchy involvement, skip regions,
relative rectal sparing, focal aphtae,
linear ulcers
Transmural inflammation, non-
caseating granulomas, prominent
lymphoid tissue, preserved goblet
cells, fibrosis
Sumber: Jackson & Grand
6


PENYAKIT CROHN
Penyakit ini terutama terjadi pada dewasa muda, ditandai dengan inflamasi subakut
atau kronis. Ulserasi yang terjadi pada mukosa berhubungan dengan adanya disproporsi reaksi
jaringan ikat pada dinding usus, suatu proses yang sering mengakibatkan stenosis usus dan
berhubungan dengan pembentukan fistula yang multipel.
Sejak pertama kali dikenal sebagai ileitis nontuberkulosa pada tahun 1813 dengan
karakteristik yang unik sebagai chronic inflammatory disease, yaitu regional ileitis, oleh Crohn,
Ginzburg dan Oppenheimer pada tahun 1932. PC kemudian menjadi lebih heterogen termasuk
dalam perubahan anatomi dan histologinya. PC dapat mengenai bagian manapun dari saluran
pencernaan, tidak hanya regional dan gambaran histologisnya tidak harus ada gambaran
granulomatosa. Pada anak-anak, PC sama dengan yang terjadi pada dewasa, kecuali dalam hal
pengaruh terhadap pertumbuhan dan pematangan pada anak dan remaja.
Sekarang telah diketahui bahwa PC adalah suatu penyakit kronis, transmural dan proses
inflamasinya dapat mengenai berbagai segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anus,
tetapi tidak secara kontinyu. Usus besar adalah sebagai tempat utama yaitu 90% kasus,
terutama terjadi pada ileum distal (70%) dan biasanya kombinasi dengan kolitis, yaitu
ileokolitis (50%). PC yang mengenai mulut, esofagus dan gaster frekuensinya jarang dan
biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan kelainan pada tempat lain. Secara klinis
sangat sulit untuk diprediksi dengan berbagai variasi respon terhadap terapi dan cenderung
untuk berulang dan berakhir dengan tindakan operasi.
3,5
Epidemiologi
Studi epidemologi penyakit inflamasi saluran cerna pada anak-anak sangat terbatas.
Insidensi PC di Skandinavia adalah 5,3 per 100.000 populasi, dengan insidensi spesifik pada
usia 15-19 tahun, yaitu 16,0 per 100.000 dan untuk umur kurang dari 15 tahun 2,5 per 100.000.
Di Skotlandia, insidensi PC pada anak kurang dari 16 tahun pada tahun 1983 adalah 2,3 per
100.000. Prevalensi PC pada saat itu diperkirakan sekitar 9,5 per 100.000 anak, sedangkan
survei oleh British Pediatric Gastroenterelogy Group, prevalensi PC adalah 11 per 100.000
anak berusia diatas 18 tahun. Walaupun insidensi PC pada kebanyakan populasi di negara barat
meningkat tajam dari tahun 1950 sampai 1980, tetapi pada penelitian terbaru memperlihatkan
adanya penurunan kasus baru. PC lebih banyak terjadi pada orang berkulit putih, mengenai pria
dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasus baru PC terjadi pada usia <20 tahun. Puncak
insidensi PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan, kurang dari 5% kasus anak terjadi pada
usia dibawah 5 tahun.
Suatu penelitian di Stockholm, Swedia pada tahun 1990-2001 didapatkan adanya
peningkatan insidensi PC. Pada tahun 1990-1992 insidensinya 1,7 dan meningkat menjadi 8,4
per 100.000 pada tahun 1999-2001.
PC ini terjadi lebih banyak terjadi pada orang Yahudi dan dari populasi Yahudi ini PC
umumnya mengenai keluarga asli Eropa tengah dari pada asli Polandia dan Rusia. Pada studi
dari Amerika Serikat, PC muncul lebih sering di belahan utara daripada belahan selatan, seperti
perbandingan daerah urban dan rural.
3,7

Etiologi
Walaupun telah dilakukan investigasi yang intensif, etiologi PC (dan juga KU) masih
belum diketahui secara pasti. Diduga ada predisposisi genetik pada IBD, karena penyakit ini
cenderung lebih banyak terjadi pada keluarga tingkat pertama. Hipotesis tambahan menyatakan
bahwa agen infeksius, toksin lingkungan, regulasi imun abnormal, faktor diet, abnormalitas
endokrin dan faktor psikologis mungkin secara bersama menyebabkan IBD.
3,5

Observasi Genetik
Hubungan antara faktor familial dan IBD telah diketahui secara luas. Pada saat
diagnosis ditegakkan, baik pada KU maupun PC ditemukan adanya hubungan famili pada
tingkat pertama sebesar 5%-25%, sedangkan pada anak kembar kasus PC ditemukan 17-35 kali
dibandingkan dengan populasi umum.
Tidak ditemukan adanya marker (penanda) genetik yang spesifik untuk KU maupun PC.
Walaupun demikian diduga bahwa Human Leukocyte Antigen (HLA) B 44 dan CW 5 mungkin
berperan dalam perkembangan PC. Telah diduga bahwa predisposisi IBD adalah diwariskan,
tapi faktor lain (lingkungan, infeksi dan imunologi) juga terlibat dalam patogenesisnya.
1,5

Infeksi
Pada awalnya PC diduga disebabkan oleh infeksi, karena banyaknya kesamaan dengan
tuberkulosis usus. Dugaan ini telah menetapkan infeksi Mycobacterium ke dalam patogenesis
PC. Tetapi pada penelitian akhir-akhir ini secara serologis, maupun kultur dan pemeriksaan
imunologis tidak menyokong peran Mycobacterium pada PC.
Walaupun bermacam-macam jenis bakteri (Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas, Clostridium difficile, Escherichia coli) dapat menyebabkan PC atau KU,
tidak satupun yang dapat diisolasi dari feses atau jaringan dari penderita IBD. L-form bakteri
diduga sebagai penyebab dari PC. Tidak ada bukti kejadian yang telah dilaporkan bahwa virus
atau Chlamydia sebagai faktor etiologi PC dan secara serologis pun tidak menyokong.
1,3

Mekanisme Imunologi
Sistem imun telah lama diperkirakan berperan penting dalam patogenesis IBD. Bukti
yang menyokong berdasarkan pada gambaran histopatologi lesi intestinal, respon dari penyakit
terhadap terapi imunosupresif, komplikasi sistemik yang diduga disebabkan oleh faktor
imunologi dan berbagai pemeriksaan laboratorium.
Dilaporkan bahwa sel T CD 4 dan sistem imun yang kompeten berperan penting dalam
patogenesis PC. Penyembuhan jaringan yang terinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, makrofag
dan sel-sel inflamatorik lain mempengaruhi sistem imun untuk berkembang menjadi inflamasi
saluran pencernaan. Sel limfoid merupakan jumlah sel yang ada dalam saluran pencernaan
dan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) merupakan komponen utama dari sistem imun
tubuh. GALT diorganisasikan oleh beberapa komponen penghubung, termasuk Peyers patch,
sel limfosit lamina propia dan sel lymph intraepitel. Sistem limfoid ini secara tetap distimulasi
oleh makanan dan antigen mikroba. Sel M dalam folikel limfoid Peyers patch, tampak sebagai
bagian utama dari masuknya antigen. Walaupun tidak spesifik untuk PC, lesi aphtous atau
ulserasi epitel dapat merupakan gejala awal PC. Kemungkinan bahwa adanya defek dalam
antigen processing atau imunoregulasi dapat menyebabkan suatu inflamasi yang kronis.
Keadaan ini termasuk stimulasi kronis dan proliferasi limfosit, pelepasan sitokin, pengambilan
neutrofil dan sel efektor lain serta kerusakan jaringan.
Hipotesis lain menyatakan bahwa kerusakan intestinal pada PC dilatarbelakangi oleh
respons autoimun. Hipotesis ini telah disokong dengan ditemukannya antibodi pada sel epitel
intestinal.
1,2,3

Alergi dan Diet
Stimulasi sistem imun saluran pencernaan oleh antigen dietetik merupakan faktor
potensial untuk terjadinya PC. Berdasarkan data yang dilaporkan, reaksi imun yang
diperantarai lg-E mungkin berperan penting. Antibodi serum dari protein susu sapi ditemukan
lebih tinggi pada penderita PC daripada KU maupun kontrol dan diduga terjadi karena
peningkatan ambilan dari antigen dietetik atau peningkatan respon imunologis. Pemberian ASI
dapat menurunkan ambilan makromolekular oleh saluran cerna imatur, telah ditemukan dalam
satu studi efek proteksi terhadap perkembangan PC. Pada penelitian lain yang lebih besar dan
melibatkan hampir 500 anak dengan IBD dari beberapa negara, tidak ditemukan hubungan
antara perkembangan penyakit dan frekuensi pemberian ASI atau faktor diet yang lain.
1,3

Faktor Psikologis
Faktor emosional telah lama dipikirkan menjadi hal penting dalam patogenesis IBD,
tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat yang dapat diperlihatkan dan adanya stres pada
kehidupan yang terjadi sebelum onset penyakit adalah tidak biasa pada IBD daripada kontrol.
Sebagai tambahan, tidak didapatkan kejadian stres atau depresi yang dapat mempresipitasi
eksaserbasi penyakit. Walaupun tidak secara langsung menyebabkan PC, tetapi telah diyakini
bahwa perubahan status emosional dapat mempengaruhi sistem imun dan selanjutnya dapat
mempengaruhi aktifitas penyakit.
1,3

Patologi
1. Gambaran makroskopis
Gambaran makroskopis pada usus ditandai dengan penebalan dinding sebagai hasil edema
transmural dan inflamasi kronis. Penebalan mural sering dihubungkan dengan penyempitan
lumen yang dapat menyebabkan obstruksi. Mesenterium menebal dengan edema, indurasi
lemak berpindah ke permukaan serosa usus, kelenjar limfe mesenterium kadang juga ikut
membesar. Pada mukosa usus dapat terjadi lesi-lesi kecil, yang dapat bergabung menjadi
besar tak beraturan atau ulkus yang dalam. Inflamasi usus dan ulkus dapat konfluens, tetapi
yang lebih karakteristik adalah adanya titik-titik kecil dengan skip areas dan bahkan secara
mikroskopis seperti pada mukosa normal. Gambaran cobblestone pada batas permukaan
dapat terjadi sebagai hasil dari perluasan linier dan ulserasi mukosa yang berhubungan
dengan regenerasi dan hiperplasi. Produksi beberapa sitokin pada jaringan yang inflamasi
dapat berperan sebagai stimulus untuk sintesis kolagen.
Intestinal loop dapat menjadi lebih tebal karena inflamasi pada serosa dan mesenterium.
Fistula-fistula dapat muncul ketika inflamasi pada transmural usus meluas melalui serosa ke
dalam struktur yang lebih luas, seperti dinding abdomen, saluran kemih, vagina atau
perineum. Kadang-kadang saluran fistula dapat berakhir sebagai massa inflamasi (flegmon)
yang meluas ke saluran cerna dan bagian-bagian saluran cerna seperti mesenterium,
kelenjar limfe dan kadang sebagai rongga abses yang bersifat kronis aktif.
3,4,6

2. Gambaran mikroskopis
Temuan dari pemeriksaan histologis PC tergantung pada berapa lama penyakit sudah
berlangsung. Walaupun demikian, gambaran klasik lesi PC adalah enterokolitis transmural.
Pada awal penyakit dapat bermanifestasi sebagai lesi aphthoid superfisial dari mukosa,
biasanya berada di atas folikel limfoid. Granuloma sering terdapat pada stadium awal.
Sesuai dengan perjalanan penyakit, ulkus mukosa dapat menjadi konfluens. Dalam
perkembangannya ulkus pada mukosa dapat meluas menjadi konfluen dan menghasilkan
ulkus yang luas dan dalam. Inflamasi ini secara karakteristik menyebar ke submukosa dan
ditandai dengan edema, dilatasi limfatik, dan deposisi kolagen. Terakhir adalah
kemungkinan adanya obliterasi submukosa, yang mengakibatkan striktur, obstruksi atau
keduanya. Ulserasi fisura yang dalam ke bagian muskularis propria sering terjadi dan
merupakan gambaran yang khas untuk PC, walaupun tidak terdapat granuloma. Abses
kripta dan pengeluaran sel goblet umum terlihat tapi bukan sebagai tanda utama KU.
Metaplasia pilorik dan hiperplasia neuronal sering terdapat pada pemeriksaan histologis,
tetapi tidak spesifik.
Walaupun didapatkan gambaran histologis yang klasik pada PC, granuloma dapat tidak
ditemukan pada 40% kasus bedah yang direseksi dan 60%-80% dari biopsi mukosa.
Granuloma dapat ditemukan pada lapisan manapun dari dinding usus, tetapi kebanyakan
terdapat pada submukosa superfisial. Granuloma tersebut dapat pula tampak pada struktur
ekstraintestinal seperti kelenjar limfe mesenterium dan peritoneum.
3,4,6

3. Distribusi anatomi
Gambaran anatomi gastrointestinal pada anak dan dewasa dengan PC adalah berdasarkan
gambaran radiologis. Sekarang telah diketahui bahwa pemeriksaan endoskopi dan histologi
dapat menemukan suatu inflamasi meskipun secara radiografi saluran cerna masih normal.
Pada pemeriksaan radiografi, daerah yang paling banyak terkena adalah ileum terminalis
(50%-60%) dan berbagai bagian dari kolon, terutama pada kolon asenden. Sekitar 30%-35%
terdapat hanya pada usus kecil, dan 10%-15% penderita terbatas pada usus besar, sedangkan
yang mengenai esofagus, gaster atau duodenum kurang dari 5%.
3,4,6

4. Patofisiologi dari gejala intestinal
Terdapat inflamasi aktif pada usus besar dan usus kecil mengakibatkan sejumlah perubahan
fisiologis yang berakhir dengan diare, perdarahan saluran cerna dan nyeri perut. Perluasan
ke jejunum dan ileum dapat menyebabkan malabsorpsi. Malabsorpsi asam lemak pada
kolon mengganggu absorbsi air dan elektolit. Fungsi abnormal ileum terminalis dapat
menyebabkan hilangnya asam empedu dengan penurunan konsentrasi asam empedu dalam
lumen usus dan menambah berat steatorrhea, sedangkan penurunan garam empedu juga
secara signifikan menurunkan absorpsi elektrolit dalam kolon. Pertumbuhan bakteri
berlebih pada usus kecil berhubungan dengan obstruksi dan stasis atau fistula enteroenterik
yang dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa dan dekonjugasi asam empedu, serta
menyebabkan gejala yang lebih buruk.
Fungsi normal kolon adalah untuk absorbsi sejumlah besar cairan dan elektrolit, dimana
absorbsi cairan dan elektrolit tersebut secara signifikan akan turun pada kolitis. Mediator
inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien, dapat mengubah permeabilitas saluran cerna
dan transport elektrolit. Penyakit pada mukosa yang meluas dapat mengakibatkan eksudasi
protein serum dan perdarahan. Nyeri abdomen diakibatkan oleh distensi usus, biasanya
berhubungan dengan obstruksi, inflamasi atau iritasi dari serosa akibat inflamasi
transmural. Motilitas saluran cerna yang abnormal akibat distensi perut dapat
menyebabkan kram pada perut.
3,4,6

Manifestasi Klinik
Gambaran klinis PC pada anak dan remaja dapat dilihat pada Tabel 13.2. Yang menonjol
adalah gejala nyeri abdomen dan diare.

Tabel 13.2. Gambaran klinis dari 325 anak dengan PC
Gejala %
Nyeri perut
Diare
75
65
Berat badan turun
Retardasi pertumbuhan
Mual/ muntah
Pendarahan rektal
Penyakit perirektal
Manifestasi ektraintestinal
65
25
25
20
15
25
Sumber: Wylie & Hyams
7


Bentuk dari nyeri perut bervariasi tergantung pada daerah usus mana yang terkena.
Ketidaknyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis dan
sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pada daerah umbilikal biasanya karena
kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Nyeri perut terdapat pada 70% anak-anak yang
mempunyai kelainan gastroduodenal. Odinofagia dan disfagia terdapat pada PC yang mengenai
esofagus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan sering membuat anak terbangun
dari tidurnya. Nyeri perut ini biasanya memburuk bila makan dan bila kolon terlibat maka akan
bertambah sakit pada saat defekasi.
Diare terdapat pada dua pertiga anak dan bila anak terbangun pada malam hari karena
diare maka hal ini adalah suatu keadaan yang selalu patologis. Perdarahan biasanya setelah ada
ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar. Demam terdapat pada 50%
pasien, sering disertai mual-muntah, anoreksia dan kehilangan berat badan. Kadang sebelum
diagnosis PC ditegakkan, ditemukan inflamasi perirektal seperti fisura dan fistel yang
memberikan gambaran hemoroid atau kondiloma perianal.
3,7

Manifestasi Ekstraintestinal
Gejala klinis di luar saluran pencernaan sering didapatkan pada PC.
3,8
1. Persendian
Artralgia dan artritis didapatkan sampai 15% pada anak dengan PC dan mungkin dapat
timbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran pencernaan muncul. Pada umumnya
terjadi pada persendian besar di kaki. Artritis umumnya tidak menyebabkan kelainan
bentuk, bersifat sementara dan asimetrik. Ankilosing spondilitis ditemukan sekitar 2%-6%,
biasanya berhubungan dengan HLA-B27.
2. Muskuloskeletal
Mialgia sering dilaporkan, terutama bila mendapat kortikosteroid dosis tinggi. Miositis
granulomatosa, miopati dan dermatomiositis juga pernah dilaporkan.
3. Kulit
Manifestasi pada kulit didapatkan lebih kurang 1%-4%, dapat berupa eritema nodosum,
pioderma gangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan PC metastatik.
4. Mukosa mulut
Sariawan sering ditemukan pada anak dengan PC, meskipun tidak begitu sakit tetapi
membuat keadaan menjadi tidak nyaman.
5. Kelainan mata
Hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata, termasuk iritis, episkleritis, uveitis
dan pseudotumor orbital. Katarak subkapsular posterior didapatkan pada pemakaian
kortikosteroid dalam jangka lama.
6. Vaskular
Manifestasi vascular antara lain trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor
VIII, serta penurunan antithrombin III. Komplikasi vaskular yang lain misalnya trombosis
vena, emboli pulmonal dan penyakit neurovaskular dengan kejang dan ensefalopati. Juga
didapatkan vaskulitis pada aorta dan arteri subklavia.
7. Ginjal
Obstruksi ureteral dan hidronefrosis dapat ditemukan pada kasus inflamasi ileokolon, gejala
lain yang ditemukan adalah fistula enterovesikel, infeksi perivesikal, abses perinefrik dan
nefrolitiasis.


8. Hepatobiliaris
Didapatkan abnormalitas hati dan sistem biliaris termasuk fatty liver, perikolangitis,
skelerosing kolangitis, hepatitis kronis, sirosis, granuloma hepatik, abses hati, kolelitiasis,
kolesistitis granulomatosa dan kolesistitis akalkulosa. Steatosis hepatis sering ditemukan
pada anak dengan malnutrisi dan lebih buruk bila mendapat terapi kortikosteroid

Komplikasi Gastrointestinal
3,7
1. Pendarahan
Perdarahan masif pada saluran pencernaan didapatkan lebih kurang 1%. Perdarahan ini
disebabkan karena ulserasi pembuluh darah besar.
2. Obstruksi
Obstruksi saluran pencernaan terjadi sekunder akibat peradangan dinding usus yang berat
dengan atau tanpa flegmon atau abses. Striktur biasanya berhubungan dengan inflamasi
yang kronis atau akibat operasi sebelumnya. Hal lain yang dapat menyebabkan obstruksi,
tetapi jarang adalah giant pseudopolyposis, gallstone ileus dan karsinoma. Obstruksi letak
rendah yang kronis dapat menyebabkan bakteri tumbuh lampau.
3. Perforasi
Perforasi jarang terjadi pada PC, bila didapatkan biasanya pada daerah ileum, meskipun
demikian dapat juga terjadi di bagian lain dari saluran cerna.
4. Abses
Inflamasi usus transmural yang disertai fistula dan perforasi dapat menyebabkan abses,
dapat berupa abses enteroperitoneal, interloop, intramesenterik, retroperitoneal-ileopsoas,
hepatik, splenik atau subdiafragmatika.
5. Fistula
Fistula sering terjadi pada PC, terutama pada daerah perianal dan perirektal, dapat juga
terjadi pada enteroenterik, enterovesikal, enterovaginal dan enterokutaneus.
6. Megakolon toksik
Frekuensinya pada anak-anak belum diketahui, tetapi sangat rendah, sedangkan pada
dewasa didapatkan 2%-11%.
7. Karsinoma
Kemungkinan karsinoma usus pada penderita PC lebih kurang 20 kali lebih besar dari
populasi normal.
8. Malnutrisi
Penyebab malnutrisi biasanya multifaktorial, termasuk intake diet yang suboptimal,
pengeluaran gastrointestinal yang bertambah, malabsorpsi dan peningkatan kebutuhan
akibat proses inflamasi. Anoreksia adalah tanda penting. Anak-anak tidak makan karena
takut nyeri abdomen atau buang air besar yang bertambah banyak. Inflamasi mukosa
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur sel dan hematochezia, serta dapat terjadi protein-
lossing enteropathy dan anemia defisiensi besi.
Malabsorpsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada PC. Malabsorpsi lemak
bisa terjadi karena:
a. Berkurangnya bile acid pool sekunder akibat malabsorpsi asam empedu dari penyakit
ileum atau akibat reseksi ileum.
b. Meluasnya penyakit pada mukosa usus halus.
c. Pertumbuhan berlebih bakteria pada daerah usus proksimal.
Malabsorbsi laktosa terjadi pada 30% anak dengan PC. Hipoalbuminemia sering ditemukan.
Dapat terjadi pula defisiensi besi, asam folat, vitamin B 12, asam nikotinat, vitamin D,
vitamin K, kalsium, magnesium dan seng.

Increased Need Sub-optimal
Intake

Malabsoption Increased GI Losses

MALNUTRITION


GROWTH FAILURE

Corticosteroids

Gambar 13.1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya malnutrisi dan gagal tumbuh pada anak
dan remaja dengan IBD. (Wylie & Hyams, 1993)
7

9. Gagal Tumbuh
Gangguan pertumbuhan pada anak dengan PC adalah akibat rendahnya nutrisi yang
berlangsung lama. Idealnya dilakukan pengukuran secara serial dengan interval 6-12 bulan
untuk mengukur kecepatan pertumbuhan, kemudian dibuat perbandingan dengan nilai
normal yang diharapkan untuk kecepatan pertumbuhan terhadap umur dan jenis kelamin.
Pada anak dengan PC yang terdapat gangguan pertumbuhan, didapatkan kadar insulin-like
growth factor 1 (IGF 1, disebut juga somatomedine C) yang rendah, sedangkan kadar
growth hormone biasanya normal. Dosis terapi kortikosteroid yang tinggi dan lama secara
signifikan berhubungan dengan gangguan kecepatan pertumbuhan.
3,7



Gangguan Psikologis
Perhatian yang mendalam telah dilakukan terhadap implikasi psikologis pada anak-anak
dan dewasa dengan IBD. Gangguan yang sering ditemukan adalah depresi, yang dapat timbul
pada saat diagnosis atau dalam perjalanan penyakitnya.
7

Diagnosis
Diagnosis PC ditegakkan berdasarkaan kombinasi pemeriksaan klinis dan laboratorium
seperti pemeriksaan radiologi, endoskopi dan histologi. Karena pemeriksaan fisik melibatkan
berbagai sistem di luar saluran pencernaan, diagnosis kadang-kadang menjadi terlambat
beberapa bulan hingga beberapa tahun sebelum diagnosis yang tepat ditegakkan.

1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksan fisik seorang anak tersangka PC sebaiknya dilakukan pemeriksaan
abdomen secara berhati-hati dengan memperhatikan kekenyalan, kepadatan atau massa.
Pemeriksaan yang lembut dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda iritasi peritoneal.
Sebaiknya dilakukan inspeksi yang teliti pada daerah perirektal dan perineum. Adanya
stomatitis, clubbing, artritis, eritema nodosum, atau pioderma gangrenosa mengarah pada
IBD. Tinggi dan berat saat pemeriksaan harus dicatat dan dibandingkan dengan tinggi dan
berat sebelumnya untuk melihat perubahannya.
2,6,7

2. Pemeriksaan laboratorium
Dalam menilai seorang anak atau remaja dengan tersangka PC seringkali perlu dilakukan
beberapa pemeriksaaan hematologi dan biokimia untuk keperluan skrining sebelum
dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih mahal dan invasif. Kelainan yang sering
ditemukan adalah anemia (70%), peningkatan laju sedimentasi eritrosit (80%),
Hipoalbuminemia (60%) dan Guiaiac-positif stool (35%). Meskipun trombositosis sering
terjadi, jumlah leukosit pada umumnya normal. Anemia yang paling sering ditemukan
terjadi sekunder karena defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah dan kadar Fe
serum dan feritin serum yang rendah. Makrositosis mengarah pada defisiensi folat atau
vitamin B12 .
Kadar seng, magnesium, kalsium dan fosfor dalam serum bisa rendah pada pasien dengan
kekurangan nutrisi. Kadar aminotransferase serum abnormal pada kira-kira 10% pasien
ketika didiagnosis. Breath hydrogen test yang digunakan untuk memeriksa malaborpsi
laktosa dapat membantu dalam pengelolaan makanan. Pemeriksaan yang teliti terhadap
spesimen feses yang multipel sebaiknya dilakukan untuk bakteri usus patogen dan parasit.
Alfa-1 antitripsin feses, meskipun tidak biasa dilakukan, abnormal pada hampir 90% kasus.
Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan piuria atau infeksi yang berhubungan
dengan fistula enterovesikal.
2,6,7

3. Pemeriksaan radiologi
Pada seluruh kasus dengan tersangka IBD, pemeriksaan radiologi gastrointestinal dilakukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui penyebaran penyakit, dan membantu
membedakan PC dan KU. Pada penderita dengan suspek kolitis akut yang berat, barium
enema harus ditunda karena mempunyai risiko terjadinya perforasi atau megakolon toksik.
Meskipun barium mempunyai sejarah sebagai pemeriksaan primer untuk memeriksa
penyakit kolon, kedudukannya tergeser oleh pemeriksaan kolonoskopi dimana telah
memberikan andil besar dalam pemeriksaan anak. Bila memungkinkan double contrass
(air-barium) enema lebih baik dibandingkan pemeriksaan single contrass dalam melihat
detail mukosa. Fluoroskopi yang teliti dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
irregularitas, nodularitas (coblestoned), penebalan lengkungan usus seperti area stenosis
(string sign), ulkus yang dalam dan fistula. Nodularitas ileal sering ditemukan pada PC dan
mungkin sulit dibedakan dengan nodular lymphoid hyperplasia (NLH). Meskipun NLH
biasanya mempunyai diameter 3 milimeter atau kurang, inflamasi, edema, fibrosis dan
spasme memberikan gambaran seperti massa dan menyebabkan kesulitan membedakannya
dari limfoma.
Adanya massa yang kenyal di kuadran kanan bawah pasien PC menggambarkan sebuah
flegmon inflamasi atau abses. Pemeriksaan USG memperlihatkan penebalan dinding usus.
CT-scan membantu menggambarkan perluasan ekstramural dari peradangan dengan
fistulasi, abses abdomen dan pelvis. Pemeriksaan radioisotop dengan memberi label pada
leukosit dengan indium-111 (In-111) telah digunakan pada pasien dewasa untuk
mengidentifikasi keterlibatan segmen usus, diantaranya mengidentifikasi abses. Pada anak,
skintigrafi In-111 kurang sensitif dan spesifik dibandingkan kolonoskopi dan biopsi untuk
mendeteksi IBD pada kolon karena indium mempunyai waktu paruh yang panjang (3
hari).
2,6,7

4. Pemeriksaan endoskopi dan histologi
Pemeriksaan endoskopi dan histologi pada saluran pencernaan sangat bernilai untuk
mendiagnosis PC dan membedakannya dari KU. Ditemukannya rektum dan kolon sigmoid
yang normal pada sigmoidoskopi fleksibel dan biopsi pada pasien dengan diare berdarah
persisten dapat menyingkirkan diagnosis KU. Kultur kuman patogen yang negatif
menguatkan dugaan adanya PC. Ditemukannya secara fokal atau segmental gambaran
histologis adanya fisura, sinus, sarcoid-like granuloma atau ulserasi pada ileum terminalis
menunjang diagnosis PC. Kemampuan untuk menampilkan biopsi ileum terminalis selama
kolonoskopi menambah sensitifitas prosedur ini dalam membantu menegakkan diagnosis
PC. Granuloma ditemukan kurang lebih hampir 1 dari 3 kasus dengan biopsi endoskopi
pada kolon dan lebih banyak ditemukan dengan biopsi multipel. Fosfo-soda enema dan
bisakodil supositoria dapat menyebabkan perubahan inflamasi nonspesifik pada mukosa
rektum, sehingga sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien yang akan menjalani
pemeriksaan sigmoidoskopi. Esofagogastroduodenoskopi dan biopsi lebih sensitif daripada
pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi PC pada saluran pencernaan atas.
2,6,7

Diferensial Diagnosis
Berbagai variasi gambaran PC memberikan diagnosis diferensial yang banyak. Nyeri
pada kuadran kanan bawah memberi kesan apendisitis, infeksi (Campylobacter, Yersinia),
neoplasma (khususnya limfoma), penyakit pada ovarium, intususepsi, adenitis mesenterika dan
divertikulum Meckel. Nyeri periumbilikal kronis atau nyeri perut pada epigastrium sering
dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome, konstipasi, intoleransi laktosa, penyakit
lambung atau kelainan saluran kemih. Jika ditemukan diare berdarah maka hal ini lebih
mengarah pada infeksi, hemolytic uremic syndrome, Henoch-Schonlein purpura dan ischemic
bowel. Adanya diare cair yang kronis dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome,
intoleransi laktosa, giardiasis atau pemakaian sorbitol yang berlebihan. Inflamasi perirektal,
fisura atau tags mungkin diduga sebagai infeksi streptokokus pada perianal, hemorrhoid dan
kondiloma. Perawakan pendek dan keterlambatan perkembangan pubertas seringkali diperiksa
untuk menentukan apakah penyakitnya merupakan kelainan endokrin sebelum diputuskan
sebagai PC. Anoreksia dan penurunan berat badan dapat dikacaukan dengan anoreksia nervosa.
Demikian juga gejala persendian yang persisten dan terutama artritis panggul sering diduga
sebagai juvenile rheumatoid arthritis jika tidak terdapat keluhan gastrointestinal. Pada PC
perlu dipertimbangkan hepatitis kronis bila didapatkan gangguan hati.
3,6,7


Terapi
Sampai saat ini belum ada terapi secara kuratif untuk PC, terapi yang ada hanya untuk
menghilangkan gejala dan komplikasinya. Terapi PC dapat dibagi 4 kategori dasar, yaitu
farmakologis, nutrisi, bedah dan psikologis. Masing-masing mempunyai keterbatasan dan
biasanya diberikan secara kombinasi.
Suatu penelitian di Inggris menyatakan bahwa terapi IBD sangat kompleks, sehingga
The British Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
merekomendasikan untuk terapi anak dengan IBD sebaiknya ditangani oleh unit
gastroenterologi anak.
3,6,7,8

1. Farmakologis
Beberapa kombinasi terapi dapat efektif dan menyebabkan remisi dari PC. Setelah tercapai
keadaan remisi maka dosis dapat diturunkan secara bertahap. Jadwal, dosis, dan indikasi
dapat dilihat pada Tabel 13.3.

Kortikosteroid
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kortikosteroid secara signifikan efektif
menyebabkan remisi pada pasien PC, baik pada usus halus maupun usus besar.
Mekanismenya adalah menghambat reaksi imun yang diperantarai netrofil dan monosit
dengan cara menghambat produksi leukotrien dan prostaglandin. Bila remisi telah tercapai,
dosis diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Absorbsi
prednison kurang baik, dan beberapa pasien pada awalnya membutuhkan pemberian secara
parenteral. Walaupun beberapa pasien memerlukan perawatan di rumah sakit dan
mendapat kortikosteroid secara parenteral, tetapi belum ada penelitian yang menyatakan
bahwa pemberian secara parenteral lebih baik daripada pemberian secara oral. Pemberian
kortikosteroid harus berhati-hati pada pasien PC dengan sepsis intraabdominal, karena
dengan dosis yang tinggi dapat menghilangkan gejala infeksi intraabdominal atau bahkan
gejala perforasi (masking effect). Efek samping pemberian yang lama dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, katarak subkapsular posterior dan glaukoma, juga nekrosis aseptik
kaput femoris, kolaps vertebra, hipertensi dan depresi. Dapat juga efek samping kosmetik,
seperti akne, facial puffines, hirsutisme dan striae. Dengan cara pemberian selang sehari
(0,2-0,5mg/kgBB), efek samping dapat dikurangi.

Sulfasalazin
Obat ini hanya efektif untuk PC pada usus halus. Obat terbaru golongan ini (aminosalicylic
acid/ASA) yaitu 5-ASA adalah yang sering digunakan, tetapi belum direkomendasikan
untuk anak-anak. Banyak peneliti menggunakan 5-ASA enema (mesalamin) yang efektif
untuk pengobatan penyakit pada kolon bagian distal. Efek antiinflamasi dari sulfasalazin
adalah menurunkan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat jalur
siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme asam arakhidonat.
Efek samping pada awalnya adalah mual, nyeri perut dan sakit kepala, sedangkan bila telah
berlangsung lama dapat menyebabkan rash hipersensitif, depresi sumsum tulang,
pankreatitis dan infertilitas pada laki-laki yang reversibel.

Antibiotika
Antibiotika spektrum luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal yang
merupakan salah satu manifestasi PC. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan, yaitu
ampisilin, gentamisin dan metronidazol. Pertimbangan menggunakan metronidazol
biasanya pada daerah kolon (perirektal). Mekanismenya masih belum jelas, tapi diduga
karena efeknya terhadap bakteri anaerob. Efek samping yang sering ditemukan pada
penggunaan jangka panjang (4-11 bulan) adalah neuropati perifer, yang bersifat reversibel.

Imunosupresif
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, digunakan pada pasien yang telah mengalami
ketergantungan kortikosteroid dosis tinggi. Dengan obat ini, dapat menghilangkan gejala
dengan prosentase keberhasilan 75%, diikuti dengan penurunan dosis kortikosteroid.
Kebanyakan pasien mengalami perbaikan setelah pengobatan selama 3-4 bulan. Efek
sampingnya berupa pankreatitis, depresi sumsum tulang, reaksi alergi dan drug induced
hepatitis.
6-merkaptopurin juga digunakan pada kasus perirektal yang berat atau adanya fistula
internal, serta sebelum panproktokolektomi dan ileostomi pada pasien dengan gejala yang
intractable atau PC berat.

Tabel 13.3. Terapi Farmakologis PC
Obat Dosis Harian Indikasi Keterangan
Prednison 1-2mg/kgbb
1-2x/hr, maks 40-
60mg
Kelainan pada usus
halus dan usus besar
Remisi tercapai,
turunkan 5 mg per
minggu kemudian
stop.
Sulfasalazin 30-50mg/kgbb
2-3x/hr, maks 3 g
Kelainan pd usus besar Pada pasien alergi atau
intoleran, dianjurkan
menggunakan 5-ASA
Metronidazol 15-20mg/kgbb
2-3x/hr, maks 1,5g
Kelainan perirektal
atau pada kolon
Menggunakan jangka
panjang
6-
Merkaptopurin
atau azatioprin
1-2mg/kg
2x/hr, maks 100mg
Penyakit berat
Toksisitas
kortikosteroid
Efeknya setelah 3-6
bln
Membutuhkan
monitoring ketat
Sumber: Wylie & Hyams
7

2. Nutrisi
Penderita PC terjadi mengalami defisiensi makronutrien maupun mikronutrien, sehingga
peran terapi nutrisi menjadi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan
mengukur berat badan, tinggi badan, growth velocity, data antropometrik dan kadar
protein serum. Defisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium,
magnesium dan seng) diterapi secara spesifik.
6,8
Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu terapi primer, terapi tambahan dan persiapan
preoperatif.
Terapi primer.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa masa remisi pasien PC aktif yang
mendapat terapi diet elemental sama dengan yang mendapat kortikosteroid, tetapi pada
penelitian akhir-akhir ini didapatkan peningkatan dan lebih cepat terjadinya remisi pada
pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dan sulfasalazin dibandingkan dengan yang
hanya mendapatkan nutrisi enteral dengan diet oligopeptida. Pemberian nutrisi parenteral
tidak lebih efektif untuk remisi daripada diet elemental. Telah diketahui bahwa diet
elemental dapat menurunkan inflamasi intestinal dengan menurunkan stimuli antigen ke
saluran pencernaan. Kadang-kadang anak dengan PC yang disertai gangguan pertumbuhan,
tetapi gejala pada saluran cernanya minimal dapat diterapi hanya dengan diet elemental
jangka panjang tanpa disertai obat-obatan.

Terapi tambahan
Dukungan nutrisi yang intensif dapat digunakan sebagai terapi tambahan terhadap terapi
farmakologis dalam beberapa keadaan klinis. Pada pasien dengan PC berat dan disertai
malnutrisi, nutrisi parenteral total berguna untuk meningkatkan simpanan protein tubuh.

Terapi preoperatif
Perbaikan suatu defisiensi nutrisi mutlak dibutuhkan untuk persiapan operasi yang besar
pada pasien PC.

3. Bedah
Lebih kurang 50%-70% anak atau dewasa dengan PC membutuhkan tindakan bedah dalam
10-15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Indikasi untuk tindakan bedah dapat dilihat pada
tabel 4. Paling sering dilakukan tindakan bedah bila gejalanya masih menetap, meskipun
telah mendapat terapi farmakologis. Pasien dengan penyakit pada ileum lebih cenderung
mengalami obstruksi dan membutuhkan tindakan bedah daripada bila terjadi di kolon.
Reseksi bukan merupakan terapi kuratif, sehingga pasien dan keluarganya harus diberi
inform concent yang jelas tentang resiko kemungkinan rekurensi. Lebih kurang 80% anak-
anak dengan reseksi ileum terminalis atau ileosaekal secara klinis membaik 4 tahun setelah
tindakan bedah. Rekurensi setelah panproktokolektomi dan ileostomi tergantung keadaan
saat operasi, bila operasi untuk ileokolitis maka rekurensinya 70% dalam 5-10 tahun,
sedangkan bila hanya kolitis rekurensinya 15%.
6,8

Tabel 13.4. Indikasi Tindakan bedah pada PC
1. Gagal setelah terapi medikamentosa
Gejala klinis menetap
Toksisitas akibat kortikosteroid
Social invalidism
2. Obstruksi akut atau kronis
Gastroduodenal
Usus halus
Usus besar
3. Perdarahan
Lesi usus halus
Lesi usus besar
Kolitis fulminan dengan ataupun tanpa toksik
megakolon
4. Perforasi
Bebas
Tertutup, disertai abses
5. Fistula
Intractable perirectal disease
Enteroenterik
Enterokutaneus
Enterovesikal
Enterovaginal
6. Retardasi pertumbuhan
7. Karsinoma
8. Uropati obstruktif
Sumber: Wylie & Hyams
7

9. Psikiatri
Sangat penting untuk memonitor secara psikologis dan sosial akibat dari IBD. Sering kita
dapatkan keadaan gangguan psikologis, terutama depresi. Oleh karena itu penanganannya
harus secara tim, termasuk anak tersebut dan keluarganya. Anak-anak harus diajak untuk
membicarakan aktifitasnya yang sesuai dengan kemampuannya, karena sering kali pada
saat mencapai masa remaja masih belum dapat mandiri.
6

Prognosis
PC merupakan penyakit kronik dengan periode eksaserbasi dan remisi, hanya 1% pasien
yang mengalami satu kali relaps setelah diagnosis dan terapi awal. Pada umumnya pasien
dengan ileokolitis mempunyai respon yang buruk terhadap terapi medikamentosa dan
memerlukan tindakan bedah bila dibandingkan dengan yang hanya terbatas pada usus halus.
Suatu penelitian melaporkan, lebih dari 40% eksaserbasi pada anak-anak berhubungan dengan
adanya infeksi virus sebelumnya, terutama virus Epstein-Barr atau adenovirus. Infeksi virus
menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh, sehingga memudahkan terjadinya eksaserbasi.
Mortalitas PC berbeda pada beberapa penelitian, bervariasi dari 0 sampai 2 kali lipat
dari populasi normal. Kematian akibat PC pada anak-anak sangat jarang.
1,3



KOLITIS ULSERATIVA
Lebih dari seabad sejak Wilks dan Moxon memperkenalkan KU sebagai IBD idiopatik
yang meliputi mukosa kolon dan rektum. Langkah besar telah dibuat untuk memahami
gambaran patologi klinik, riwayat alamiah dan komplikasi penyakit. KU biasanya terjadi pada
populasi muda, lebih kurang 20% didiagnosis sebelum umur 20 tahun. Peningkatan dalam
akurasi diagnosis seperti juga perbaikan terapi medis dan bedah telah meningkatkan perhatian
pada anak dengan KU.
2

Epidemiologi
Terdapat perbedaan insidensi di tiap negara. KU paling sering terjadi di Amerika Utara,
Skandinavia dan Eropa, dimana terjadi peningkatan frekuensi di daerah selatan Eropa dan
beberapa negara yang sedang berkembang di benua lain. Laporan insidensi bervariasi antara 2
sampai 14 per 100.000 populasi, dengan umur insidensi spesifik pada 10 hingga 19 tahun.
Dibandingkan dengan PC insidensi KU stabil atau menurun di beberapa negara, seperti Inggris,
Denmark, Finlandia dan Swedia.
Prevalensi KU berkisar antara 6 hingga 100 pasien per 100.000 tergantung pada tempat
yang disurvei. Seluruh laporan memperkirakan prevalensi KU di Eropa Utara dan Amerika
menjadi 50 hingga 75 per 100.000, penyakit ini sama terjadi pada laki-laki dan perempuan. KU
jarang terjadi pada anak di bawah 5 tahun, meskipun onset pada bayi pernah dilaporkan.
Onsetnya pada anak-anak dan dewasa muda paling sering muncul antara usia 15 dan 25 tahun,
dan lebih banyak terjadi pada ras kulit putih, khususnya Yahudi.
KU bisa bersifat familial (diwariskan), dan telah diketahui dengan baik, dengan kejadian
berkisar dari 5%-29%. Diturunkan pada tingkat pertama lebih tinggi daripada tingkat dua atau
tiga dengan adanya riwayat KU pada keluarga. Studi pada anak kembar memperlihatkan bahwa
kejadian PC (44%) lebih tinggi daripada KU (6,3%). Beberapa faktor lingkungan seperti
merokok, pil kontrasepsi dan fakror makanan merupakan faktor risiko terjadinya KU.
2,5

Etiologi
Etiologi KU masih belum diketahui dengan pasti, walaupun telah banyak penelitian yang
dilakukan. Beberapa teori telah diajukan seperti faktor genetik, perubahan imunitas, infeksi,
alergi, diet dan faktor psikologis.
1,2,5

1. Pengaruh genetik
Studi epidemiologi yang memperlihatkan peningkatan prevalensi KU dalam keluarga
tingkat pertama mendukung bahwa faktor genetik memberikan kontribusi pada
patogenesisnya. Adanya kaitan dengan sistem major histocompatibility antigen (MHA)
belum dapat dipastikan, karena berbagai studi dari beberapa negara memperlihatkan
clustering haplotipe-haplotipe yang berkaitan dengan etnis dan geografi dari penyakit
secara spesifik. Telah ditemukan adanya kaitan antara KU dengan HLA-B5 dan HLA-DR-2
di Jepang, dengan HLA-A2, BW35, dan BW40 pada Yahudi Ashkenazi di Israel, dan dengan
HLA-A11 di Belanda. Sebaliknya hubungan antara HLA-B27 dengan ankylosing spondylitis
dan kolitis tampak menjadi lebih universal.

2. Imunitas
Antineutrophil cytoplasmic antibodies pada pasien dengan KU telah diidentifikasi dengan
jelas dan terdapat pada mayoritas pasien KU tetapi tidak pada PC. Sebuah penelitian yang
membandingkan spesifisitas antineutrophil cytoplasmic antibodies dari KU dengan
peradangan usus lainnya menunjukkan bahwa antibodi tersebut sensitif dan spesifik
terhadap KU hingga sebesar 60% dan 94%. Antibodi ini juga berhubungan dengan
kolangitis skerosing. Peranan spesifik antineutrophil antibodies dalam patogenesis KU
masih belum jelas.

3. Infeksi
Sampai sekarang tidak terdapat bukti yang kuat yang mendukung bahwa infeksi
bertanggung jawab secara langsung dalam patogenesis KU. Beberapa agen infeksi telah
diselidiki, termasuk beberapa bakteri dan virus.

4. Alergi dan diet
Alergi terhadap antigen dalam diet adalah salah satu diantara teori awal yang menjelaskan
penyebab KU. Alergi protein susu sapi telah secara luas dipelajari dan menyokong teori di
atas, salah satu penelitian memperlihatkan adanya perbaikan gejala ketika penderita diberi
diet bebas susu dan relaps jika diberi lagi.
Masalah pemberian makan dini pada bayi dan penyapihan dini masih menjadi perdebatan,
apakah merupakan presipitasi terjadinya KU. Beberapa studi mengenai hal ini masih
kontroversial.

5. Faktor psikologi
Hubungan antara faktor psikologis dengan KU masih merupakan tanda tanya pada
beberapa dekade, beberapa laporan ada yang menyatakan berhubungan dan sebagian lagi
menyatakan tidak.

Patologi
1. Gambaran makroskopis
Gambaran makroskopis KU bervariasi tergantung pada berat dan lamanya penyakit,
umumnya hanya mengenai kolon dan rektum, dan jarang meluas ke ileum terminalis.
Daerah yang terkena adalah kelanjutan dari rektum proksimal disertai mukosa yang
abnormal.
Pada fase awal kerusakan mukosa terlihat adanya peningkatan aliran darah permukaan yang
memberikan gambaran eritem yang difus. Dengan meningkatnya proses inflamasi,
arsitektur vaskular rusak; menyebabkan edema yang dikenal sebagai granularity. Karena
adanya peningkatan inflamasi dan perluasan abses kripta, batas mukosa menjadi tidak jelas,
sehingga menyebabkan pengelupasan daerah superfisial menjadi ulserasi dan meyebabkan
perdarahan spontan. Pada kerusakan yang progresif, abses kripta ruptur dan bersatu pada
dasar kripta, kemudian membelah daerah superfisial mukosa dan muskularis mukosa,
selanjutnya menjadi besar, datar dan menjadi ulkus mukosa yang dipisahkan oleh daerah
inflamasi nonulserasi yang tampak sebagai nodular, polipoid atau pseudopolip filamentosa.
Mucosal bridge terbentuk dari gabungan satu polip dengan yang lainnya. Karena KU adalah
penyakit yang mengenai mukosa, maka serosa biasanya tampak normal, tetapi dapat
terlihat berbagai tingkatan hiperemia. Inflamasi yang aktif dapat menembus dinding kolon
dan menyebabkan abses perikolik yang kecil. Pada keadaan remisi, vaskular dan ulkus
sembuh tetapi pseudopolip menjadi fibrosis dan terjadi penebalan dinding.
2,5,6

2. Gambaran mikroskopis
Secara histologi KU akut ditandai oleh inflamasi dalam kripta, tidak adanya sel goblet dan
adanya inflamasi kronis pada lamina propria. Gambaran histologis awal adalah adanya
edema pada lamina propria dan kongesti pembuluh darah mukosa, disertai dengan
kumpulan sel polimorfonuklear pada lamina propria dekat dengan dasar kripta. Pada KU
yang akut didapatkan kumpulan dari limfosit, eosinofil dan sel mast pada lamina propria,
sehingga dapat membantu untuk meyingkirkan diagnosis kolitis oleh sebab yang lain.
Infiltrasi neutrofil yang berasal dari penumpukan kecil dalam epitel kripta (Cryptitis)
menginvasi lumen kripta (Crypt abcess). Sejalan dengan perkembangan penyakit, abses
menyebar pada kripta yang lain dan membesar, dan timbul ulserasi mukosa. Epitel kripta
memperlihatkan penurunan jumlah sel penghasil mukosa yang menggambarkan tingkat
inflamasi akut, sedangkan penurunan jumlah sel goblet dalam kripta menggambarkan
tingkat yang lebih lanjut. Lesi pada KU umumnya terbatas pada mukosa meskipun pada
kasus yang berat dapat meluas pada submukosa, bahkan bisa sampai ke seluruh lapisan
termasuk serosa.
Penyembuhan proses inflamasi mempunyai gambaran yang bervariasi. Pada proses
penyembuhan umumnya, mucin pada bagian superfisial kripta meningkat kembali ke
keadaan normal. Regenerasi kripta dapat menyebabkan pemendekan muskularis mukosa,
meskipun pada permukaan tampak relatif normal. KU memperlihatkan distorsi arsitektur
dari mukosa dengan Paneths cell metaplasia, enteroendocrine cell hyperplasia, dan sedikit
infiltrasi limfoid, tetapi tanpa infiltrasi neutrofil, kriptitis, abses kripta atau kerusakan
epitel.
2,5,6

Gambaran kinis
Kebanyakan pasien anak dengan diagnosis KU terjadi pada saat remaja. Gejala yang
terpenting adalah diare. Dari 125 anak yang didiagnosis KU terdapat gejala diare (93%),
perdarahan rektal atau nyeri perut (86%), kelemahan (67%), penurunan berat badan (51%),
mual dan muntah (42%), serta demam (37%). Setengah dari anak dan remaja mempunyai onset
yang insidious disertai demam intermiten yang tidak begitu tinggi disertai diare ringan dan
pendarahan rektal, dan hampir selalu disertai nyeri perut ringan tanpa kehilangan berat badan
atau hipoalbuminemia. Pada kasus yang lebih berat, didapatkan pada 1/3 pasien dengan diare
berdarah, tenesmus, demam ringan, penurunan berat badan dan anemia ringan. Kasus
fulminan terjadi pada 10% anak, dengan tinja berdarah lebih dari 6 kali per hari, demam,
penurunan berat badan dan takikardi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hipoproteinemia, anemia, leukositosis, dan trombositosis. Keadaan yang ekstrim adalah
megakolon toksik yang ditandai dengan distensi abdomen, demam dan takikardi. Tanda lainnya
adalah hipotensi, dehidrasi dan perubahan status mental.
2,7,8

Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
endoskopi, radiografi dengan barium dan histopatologi.
6,7,8

1. Pemeriksaan laboratorium
Penderita KU pada anak 50% memiliki anemia hipokromik, peningkatan laju endap darah
atau trombositosis. Hipoalbuminemia banyak terdapat pada pasien dengan KU berat dan
biasanya berhubungan dengan kerusakan mukosa. Pada pemeriksaan tinja didapatkan
leukosit dan darah. Pemeriksaan mikrobiologi dari feses diperlukan untuk mencari adanya
telur, parasit, bakteri patogen, dan toksin Clostridium difficile.

2. Endoskopi
Walaupun banyak perbedaan pada pemeriksaan klinis dan radiologi yang ditemukan pada
KU, PC dan kolitis yang lain, tetapi kadang-kadang diagnosisnya tidak mudah. Pemeriksaan
endoskopi pada mukosa kolon secara visualisasi langsung dapat membantu menegakkan
diagnosis.
Secara endoskopi, manifestasi dini dari luka di kolon adalah bertambahnya aliran darah
pada mukosa sehingga terjadi eritema difusa. Hilangnya gambaran vaskular normal
menghasilkan gambaran mukosa granular, dimana terjadi pembengkakan mukosa karena
edema. Ulserasi kecil pada permukaan yang disertai kerusakan mukosa menyebabkan
pendarahan spontan. Ulkus kecil bisa menjadi ulserasi yang luas, dan tidak pernah
dikelilingi oleh mukosa normal tetapi selalu dikelilingi dengan peradangan.
Ulkus pada PC, khas didapatkan di submukosa, pada endoskopi tampak berupa ulkus
aphthosa pada area mukosa yang normal. Pengerasan yang disebabkan oleh inflamasi
submukosa adalah patognomonik untuk PC. Pengerasan yang berat dapat dikacaukan
dengan bentuk pseudopolip; pseudopolip umumnya tinggi dan ramping, serta mukosa yang
berdekatan biasanya flat. Walaupun tidak spesifik, secara endoskopi ada gambaran yang
membedakan antara kolitis akibat infeksi dengan IBD, yaitu adanya eksudat kekuningan
yang sebagian menutupi permukaan mukosa, tak ada ulserasi dan mukosa yang hiperemis.
Kolonoskopi atau sigmoidoskopi dipakai untuk membuat diagnosis yang spesifik,
dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi.



3. Radiografi
Gambaran radiologi abdomen pada penyakit ringan-sedang biasanya normal, sedangkan
pada kolitis yang berat terdapat thumbprinting akibat adanya edema mukosa, dilatasi
abnormal dari kolon (lebih 8 cm) atau keduanya.
Barium enema dapat menunjukkan keadaan yang abnormal. Penggunaan double contrass
lebih baik karena lebih sensitif. Pada awalnya ditemukan gambaran granular menyerupai
pasir halus atau kasar, sedangkan pada keadaan lanjut, ulserasi menjadi lebih dalam dan
menembus submukosa sehingga memberi gambaran usus yang iregular. Lesi polipoid bisa
dikenali dan biasanya berbentuk pseudopolip. Bila penyakit menjadi kronis, haustra akan
hilang secara progresif dari kolon kiri ke saekum dan suatu saat kolon menjadi pendek dan
menyerupai stove pipe yang sempit.
Pemeriksaan USG berkorelasi dengan radiografi dan endoskopi tapi tidak menolong dalam
membuat diagnosis diferensial.

Diagnosis Diferensial
Tanda yang predominan dari KU pada anak adalah diare, perdarahan rektal dan nyeri
perut. Sedangkan kolitis infeksiosa disebabkan oleh Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, enterohemorrhagic E. coli, Aeromonas atau Entamoeba dan dapat memberikan gejala
yang sama dengan KU dan dapat dibedakan dengan kultur feses. Diare berdarah dari sindroma
hemolitik uremik dapat menyerupai KU. Kolitis akibat C. difficile mungkin bisa menyerupai KU,
dan identifikasi toksin pada tinja dan adanya pseudomembran pada pemeriksaan endoskopi
menolong dalam penegakkan diagnosis. Bila gejala kolitis menetap atau relaps walaupun terapi
untuk kolitis infeksiosa telah dilakukan, maka diagnosis dari KU harus dipikirkan.
Irritable bowel syndrome dapat disertai diare dan nyeri perut, tapi tanpa pendarahan
rektal. Pada pemeriksaan fisik normal, laboratorium, dan proktosigmoidoskopi dapat
menyingkirkan diagnosis KU. Kolitis alergi umumnya timbul pada bayi, sedangkan pada anak
yang lebih besar kolitis eosinofilik dapat mirip dengan KU.
1,2

Manifestasi Ekstraintestinal
Komplikasi sistemik dari IBD dapat terjadi pada hampir setiap organ tubuh. Manifestasi
ekstraintestinal dapat mendahului, menyertai atau mengikuti. Patogenesis dari gejala-gejala
tersebut masih belum jelas.
1,2,8

1. Muskuloskeletal
Artralgia dan artiritis monoartikular persendian besar adalah gejala terbanyak dari
manifestasi ekstraintestinal KU. Lebih kurang pada 10% anak, artritis bersifat migratorik
dan asimetrik pada sendi besar ekstremitas bawah. Kemerahan umumnya berhubungan
dengan IBD aktif, tetapi deformitas sendi jarang terjadi. Ankilosing spondilitis terjadi pada
6% penderita dan memiliki progresifitas pada penyakit spinal.

2. Dermatologis
Eritema nodosum dengan gambaran kemerahan, menonjol, tegas, nodul kecil dari 1 sampai
beberapa sentimeter, biasanya terdapat pada permukaan ekstensor ekstremitas atas dan
bawah. Frekuensinya lebih banyak (<5%) daripada pioderma gangrenosa (<1%) pada pasien
dengan KU. Pioderma gangrenosa merupakan lesi ulseratif kutan yang klasik pada KU tapi
terdapat juga pada PC. Kebanyakan pasien dengan pioderma gangrenosa mempunyai
pankolitis.

3. Hepatobiliaris
Laporan insidensi masalah hepatobiliaris bervariasi antara 5%-10%, hubungannya masih
belum jelas. Lesi hepatobiliaris yang dilaporkan antara lain adalah perlemakan hati,
perikolangitis, sklerosing kolangitis, sirosis dan hepatitis kronis.
Infiltrasi lemak bersifat makrovesikular, nonspesifik, reversibel dan tidak pernah menjadi
kelainan yang permanen. Perikolangitis sering ditemukan pada spesimen biopsi dari IBD.
Insidensi sirosis pada KU berkisar 1%-5%, sedangkan hepatitis kronis masih belum
diketahui dengan pasti. Sklerosing kolangitis primer adalah suatu sindroma kolestasis
kronik yang ditandai adanya inflamasi fibrotik duktus biliaris, berakibat timbulnya
obliterasi duktus biliaris, sirosis dan gagal hati, yang terjadi pada lebih kurang 4% dari IBD,
terutama KU.

4. Hematologi
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan sebagai akibat
dari kehilangan darah melalui saluran cerna. Pada pasien yang mendapat sulfasalazin dapat
terjadi anemia makrositik. Hal ini berhubungan dengan malabsorbsi folat atau anemia
hemolitik, tetapi jarang terjadi.

5. Vaskular
Tromboemboli yang terjadi pada IBD, lebih kurang 1,3%, terdiri dari trombosis vena yang
dalam, emboli paru, trombosis arteri dan vaskulitis serebral. Penyebab trombosis ini belum
diketahui, meskipun telah ditemukan adanya bekuan yang abnormal.

6. Okular
Uveitis asimtomatik pernah dilaporkan pada anak dengan IBD. Kelainan yang lain
adalah episkleritis, katarak, keratopati, ulserasi kornea marginal dan retinopati. Katarak
subkapsular dapat terjadi akibat pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dan lama.


7. Ginjal
Kalkuli ginjal terjadi lebih kurang 5% pada KU. Faktor litogenik mungkin berperan seperti
dehidrasi yang berlangsung lama, oliguria, menurunnya absorbsi air dan infeksi.

8. Gagal tumbuh
Retardasi pertumbuhan pada KU lebih jarang daripada PC. Gagal tumbuh yang berat pada
anak terjadi pada lebih kurang 2%. Motil dkk, meneliti gagal tumbuh yang terjadi pada KU
19% dan PC 56%.

Komplikasi
1,2,6
1. Perdarahan
Perdarahan rektum merupakan tanda yang sering didapat pada KU. Perdarahan hebat
jarang terjadi, insidensinya lebih kurang 3%. Penderita ini terlihat sakit berat dengan
perdarahan yang tiba-tiba sehingga memerlukan transfusi darah segera. Berbeda dengan
PC, kebanyakan didapat pada satu lokasi perdarahan yang tidak dapat diidentifikasi dan
hanya terlihat pada tempat erosi yang luas. Kebanyakan kasus ini diterapi secara
konservatif.

2. Perforasi
Perforasi bebas pada kolon merupakan komplikasi serius pada KU, karena sering berakibat
peritonitis umum yang fatal pada 75% penderita yang dilaporkan pada tahun 1964. Hal ini
sering terjadi megakolon toksik atau kolitis yang berat, tetapi dapat juga terjadi pada kasus
yang sedang. Kebanyakan perforasi terjadi pada kolon sebelah kiri dan melibatkan berbagai
lokasi.
Gejala perforasi adalah nyeri perut yang menyeluruh, distensi, kaku dan tidak ada bising
usus. Terapi kortikosteroid dosis tinggi dapat menutupi gejala perforasi dan pada penderita
yang mendapat terapi ini harus dilakukan pemeriksaan foto abdomen untuk mendeteksi
adanya udara bebas. Hal ini merupakan indikasi untuk dilakukan kolektomi emergensi.

3. Striktur
Striktur kolon sebagai komplikasi kronis KU dapat terjadi kapan saja. Berdasarkan
pengamatan Edwards dan Truelove, sepertiganya terjadi dalam 5 tahun pertama dari onset
penyakit, kebanyakan pada umur 5-25 tahun. Goulston dan McGovern menemukan striktur
pada 12% kasus operasi yang dipantau dari penderita dengan kondisi berat, kronik dan
penyakit yang berlanjut. Gambaran histologis tidak menunjukkan fibrosis yang berat tetapi
didapatkan hipertrofi dan penebalan lapisan muskularis mukosa. Striktur banyak
ditemukan di rektum dan sigmoid, tetapi dapat juga ditemukan pada seluruh bagian kolon.
Umumnya panjang striktur 2-3 cm, tetapi yang terpanjang adalah 15-30 cm.
Penanganan penderita dengan striktur kolon biasanya dengan tindakan bedah.
Ditemukannya striktur secara otomatis meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma
dan lesi-lesi ini harus diperiksa dengan kolonoskopi dan biopsi untuk menyingkirkan
kemungkinan keganasan. Pemeriksaan ini mungkin tidak dapat membedakan jinak dari
keganasan striktur, terutama pada penderita yang telah mengidap KU selama 7-10 tahun.

4. Megakolon toksik
Megakolon toksik adalah suatu dilatasi kolon akut yang merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, tetapi sangat berbahaya. Insidensinya pada KU sekitar 3%-5%. Megakolon toksik
bukan hanya merupakan komplikasi dari KU, tetapi kondisi ini dapat juga timbul pada PC
atau akibat infeksi. Pada suatu penelitian, dari 615 penderita PC didapatkan toksik
megakolon berkisar 3,7%. Jika kejadian PC dibatasi hanya pada kolon, insidensi megakolon
toksik 11%.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya megakolon toksik adalah lama penyakit tidak
kurang dari 5 tahun, pankolitis, derajat beratnya penyakit, penggunaan opiat atau anti
kolinergik, penggunaan barium enema dan kolonoskopi.
Patofisiologinya belum dimengerti sepenuhnya. Hasil temuan patologinya adalah inflamasi
berat transmural dengan destruksi otot dan inflamasi serosa. Pada lapisan otot terjadi
inflamasi dan infiltrasi sel menembus sampai ke lapisan terdalam dari dinding kolon,
sehingga terjadi gangguan fungsi otot polos, dengan manifestasi tidak adanya peristaltik dan
dilatasi kolon. Fungsi pertahanan kolon rusak, terjadi peritonitis lokal, kebocoran toksin,
pelepasan antigen bakteri dan akhirnya toksemia sistemik.
Kriteria untuk mendiagnosis megakolon toksik ada dua, yaitu: (1) dilatasi kolon harus
terlihat secara klinis (distensi abdomen atau tanda peritoneal) atau secara radiografis
(segmental atau distensi total kolon), dan (2) adanya tanda toksisitas seperti demam,
takikardi, leukositosis, dan anemia. Tanda yang lain adalah dehidrasi, perubahan status
mental, gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia dan hipotensi.
Penanganan megakolon toksik termasuk pengobatan inisial dan mempertimbangkan
kemungkinan tindakan bedah. Megakolon toksik harus diantisipasi pada setiap kasus IBD
khususnya pada penderita dengan pankolitis berat, serangan pertama kolitis atau riwayat
megakolon toksik. Jika kolitis berat tidak berespon dalam 2-3 hari, penderita harus dirawat
di rumah sakit. Penderita harus lebih diperhatikan adanya distensi abdomen, kejadian
toksis, atau adanya sejumlah udara dalam abdomen. Secara radiografis pengembangan
selalu segmental dengan lokasi tersering adalah kolon transversum dan fleksura lienalis.
Gambaran lain adalah hilangnya haustrasi/lekukan. Ulserasi dinding kolon dapat terlihat.
Pada penelitian Fazio rata-rata garis tengah kolon pada dilatasi maksimun adalah 9,2 cm
dengan range 5-16 cm.

5. Karsinoma
Penderita KU mempunyai resiko karsinoma kolon. Pada suatu penelitian jangka panjang
penderita KU, setelah satu dekade mempunyai risiko kanker 0,5%-1%. Resiko terjadinya
karsinoma kolon pada penderita KU sekitar 15% dibandingkan dengan 5% pada populasi
umum. Angka kejadian karsinoma kolon pada penderita di bawah 21 tahun bervariasi 9%-
20% pada rentang 20 tahun. Penderita paling muda dengan karsinoma kolon adalah 16
tahun dan stadium awal karsinoma terjadi 11 tahun setelah diagnosis tegak.
Karsinoma kolorektal yang muncul dengan latar belakang KU adalah adenokarsinoma.
Berbeda dengan adenokarsinoma lain, karsinoma kolorektal lebih infiltratif dan kurang
eksofilik. Tumor ini biasanya datar atau sedikit menonjol dan tidak lebih tinggi dari polip
adenomatosa, tetapi timbul secara langsung dari mukosa yang datar dan kemudian
menyebar melalui kolon.

Terapi
Tujuan terapi KU adalah penyembuhan inflamasi kolon, mencegah terjadinya
eksaserbasi dan komplikasi. Berbagai macam terapi dapat diberikan untuk KU, namun tidak
satupun yang memberikan hasil yang memuaskan.
2,6,7,8

1. Sulfasalazin
Sulfasalazin (SASP) adalah obat yang dikembangkan oleh Svartz lebih dari 4 dekade terakhir
untuk mengobati reumatoid artritis. SASP kurang diabsorbsi di lambung dan usus halus,
setelah pemberian peroral hanya 10% yang berada dalam sirkulasi sistemik. SASP terutama
dimetabolisme di kolon menjadi sulfapiridin (SP) dan 5-aminosalicylic acid (5-ASA) oleh
bakteri anaerob dengan bantuan enzim azo-reduktase. SP dalam jumlah besar diabsorbsi
dan kemudian dimetabolisme di hati melalui proses asetilasi, glukuronidasi dan
hidroksilasi. Proses eliminasi terutama melalui jalur asetilasi. Dibandingkan dengan SP, 5-
ASA tidak sepenuhnya diabsorpsi di kolon, yang dapat dilihat dengan rendahnya kadar 5-
ASA pada serum dan urin.
Mekanisme pasti SP dan metabolitnya masih belum diketahui. SP dan 5-ASA menunjukkan
beberapa mekanisme kerja pada metabolisme eikosanoid dan folat, motilitas leukosit dan
bakteri flora usus. Mekanisme kerja ini menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien,
serta menurunkan aktivitas kemotaktik peptida bakteri, sehingga mencegah pengambilan
limfosit dan netrofil, dan memperkuat respon inflamasi. SP dan 5-ASA tampaknya dapat
menekan platelet activating factor.
Pada penelitian SP terdahulu, dengan dosis 4-6 gram perhari pada KU ringan dan sedang
memberikan hasil yang baik, namun terapi dosis tunggal untuk KU akut berat belum diteliti.
Setelah terjadi remisi, pengobatan diteruskan selama setahun dengan dosis 2 gram perhari
untuk mempertahankan remisi dan mencegah relaps. Dosis tinggi 4 gram perhari,
menurunkan relaps pada orang dewasa, tetapi memberikan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi. Penelitian pada anak tentang efikasi SASP belum ada. Beberapa peneliti
merekomendasikan dosis 40-60 mg/kgBB/hari bersama dengan makanan, dengan dosis
maksimum 2-4 gram/hari. Untuk mengurangi efek samping (seperti yang terlihat pada
Tabel 13.5) pemberian dimulai dengan dosis 25 mg/kgBB/hari selama 7-10 hari. Sekitar
15%-30% penderita yang mendapat SASP timbul satu efek samping.
Tabel 13.5. Efek samping SASP
Hipersensitivitas
Demam
Ruam (rash)
Artritis
Perikarditis
Pleuritis
Pankreatitis
Hepatitis
Anemia autoimun
Diare berdarah
Kolitis akut
Reversibel
Oligospermia
Berkaitan dengan absorbsi folat
Anemia megaloblastik
Berkaitan dengan dosis
Dispepsia
Nyeri kepala
Anoreksia
Mialgia
Atralgia
Sumber: Wylie & Hyams
7

2. Aminosalisilat
Hipotesis tentang toksisitas SASP menyebabkan berkembangnya zat ASA baru untuk
pengobatan KU dan PC. Obat baru ini baik topikal maupun sistemik dapat memperluas
jangkauan terapi IBD.

3. Formula 5-ASA oral
Tiga mekanisme dari 5-ASA: (1) ikatan molekul pembawa dengan 5-ASA, (2) pH dependent,
obat ini merupakan delayed-release acrylic coating, dan (3) time-dependent-slow release.

4. Derivat asam aminosalisilat topikal
Preparat mesalamin topikal telah diteliti untuk terapi kolitis distal dan proktosigmoiditis,
diberikan dalam bentuk enema atau supositoria. Enema mesalamin (4 gram) lebih baik
dibandingkan plasebo atau hidrokortison topikal (100 mg) untuk terapi KU distal aktif, yang
berlangsung selama 2-6 minggu. 5-ASA supositoria (500 mg) juga mempunyai efek yang
lebih baik daripada plesebo untuk terapi proktosigmoiditis aktif.

5. Kortikosteroid
Kortikosteroid sangat berguna untuk terapi IBD, terutama efek antiinflamasinya.
Bioavailabilitas sistemiknya sangat baik, dalam darah berikatan dengan globulin (trascortin)
dan albumin. Peningkatan dosis dan hipoalbuminemia akan menyebabkan ikatannya
berkurang dan akan meningkatkan toksisitas.
Peran kortikosteroid adalah mengontrol sintesis imunomodulasi protein. Pada tingkat
selular, glukokortikoid berikatan dengan reseptor spesifik dalam sitosol dari sel nukleus.
Pada KU, prednisolon menginduksi sintesis inhibitor fospolipase A dan siklooksigenase,
sehingga menghambat produksi eikosanoid pada mukosa kolon.
Obat topikal baru seperti budesonid mempunyai potensi 15 kali predsinolon dan lebih
kurang 100 kali hidrokortison.

6. Imunosupresif
6-Merkaptopurin dan Azatioprin
6-Merkaptopurin (6-MP) adalah analog purin yang berperan mengintervensi sintesis asam
nukleat. Azatioprin bekerja dengan menurunkan inaktivasi 6-MP. Meskipun mekanisme
kerjanya belum diketahui dengan pasti, tetapi telah diketahui bahwa keduanya menurunkan
toksisitas limfosit dan menekan amplifikasi dari cell-mediated immunity.
Siklosporin A
Siklosporin adalah supresor dari cell-mediated immunity. Bekerja menghambat produksi
limfokin dari helper T cells (gamma interferon and IL-2), dengan menghambat T cell-
dependent B cell activation and expantion of helper and cytotoxic T cell subsets and by
promoting antigen-specific suprresors T cells.
Penggunaan siklosporin pada KU masih terbatas. Pada kasus proktokolitis pada orang
dewasa yang mendapat siklosporin 12 mg/kgBB, menunjukkan perbaikan secara klinis dan
histologis setelah terapi selama 6 minggu.
Metotreksat
Metotreksat adalah suatu antagonis asam folat. Suatu penelitian melaporkan efektifitas
penggunaan metotreksat 25 mg perminggu secara intramuskular pada 21 pasien KU atau PC
yang refrakter. Lima dari 7 pasien KU menunjukkan perbaikan klinis. Penggunaan masih
sangat terbatas oleh karena efek samping jangka panjang, seperti pneumonitis dan fibrosis
hepar.
7. Terapi suportif
Nutrisi
Nutrisi parenteral pada pasien KU masih belum dapat diprediksi dan umumnya tidak
terjadi remisi jangka panjang. Werlin dan Grand melaporkan 14 remaja dengan kolitis berat
yang mendapat nutrisi parenteral pada awalnya mengalami perbaikan, tetapi hanya satu
pasien yang dapat mempertahankan remisinya setelah 2 tahun. Nutrisi parenteral tidak
direkomendasikan sebagai terapi primer untuk KU.

8. Antimikrobia
Metronidazol bekerja mempertahankan remisi dari KU tanpa komplikasi. Sedangkan pada
KU yang berat, pemakaian metronidazol secara tunggal maupun kombinasi dengan
kortikosteroid tidak berespon dengan baik.

9. Tindakan bedah
Kebanyakan pasien dengan KU adalah ringan sampai sedang, yang dapat dikelola dengan
hanya terapi medikamentosa. Lebih kurang 5%-10% membutuhkan tindakan bedah segera,
oleh karena tidak berespon dengan terapi medikamentosa atau keadaan yang mengancam
jiwa akibat komplikasi (misalnya: perdarahan, perforasi atau megakolon toksik).
Tabel 6. Indikasi untuk tindakan bedah
Akut
Kegagalan terapi medikamentosa
Perdarahan
Perforasi
Toksik megakolon
Elektif
Penyakit yang kronis
Ketergantungan streroid yang kronis
Keganasan atau displasia tingkat tinggi
Sumber: Wylie & Hyams
7

Prognosis
Kematian akibat KU pada anak sangat jarang. Kebanyakan penyebab kematian tidak
berhubungan atau tidak diketahui dan sebagian kecil akibat komplikasi operatif atau karsinoma
kolon. Lebih kurang 20% KU pada anak mempunyai kualitas hidup yang baik (gangguan
motilitas kurang dari 3 kali, sekolah seperti biasa). Hanya sebagian kecil (6%) yang tidak dapat
mengikuti sekolah regular, nyeri perut, dan diare. Tidak ada perbedaan aktivitas antara yang
dioperasi dan tidak.
Anak dan remaja dengan KU harus diamati secara terus menerus. Harus dikenali
tentang relaps, komplikasi, dan memberi dukungan serta edukasi kepada pasien. Masa transisi
dari remaja ke dewasa muda adalah masa yang kritis dari segi psikologis, pasien harus mengerti
betul tentang penyakitnya dan untuk kontrol selanjutnya dianjurkan ke ahli gastroenterologi
dewasa.
1,2

Daftar Pustaka
1. Hyams JS. Inflammatory Bowel Disease. Pediatr Rev. 2000; 21. No 9.
2. Kirschner BS. Ulcerative Colitis In Children. Pediatr Clin North Am. 1996; 43: 235-254.
3. Kornbluth A, Sachar DB and Solomon P. Crohns Disease. Small and Large Intestine. 1708-1734.
4. Hildebrand H, Finkel Y, Grahnquist L, Lindholm J, Ekbom A, Askling J. Changing pattern of paediatric
inflammatory bowel disease in northern Stockholm 1990-2001. Gut 2003; 52: 1432-1434.
5. Fiocchi C. Inflamatory Bowel Disease. Etiology and Pathogenesis. Gastroenterology, Vol 115, No1. 1998.
6. Jackson WD, Grand RJ. Crohns Disease. In: Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis,
management, Vol 1. Philadelphia: BC Decker Inc. 1991: 592-618.
7. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis, management. Philadelphia:
WB Saunders Co. 1993: 742-787.
8. Sawchenko A, Lynn R and Sandhu BK. Variations in initial assessment and management of inflammatory
disease across Great Britain and Ireland. Arch Dis Child. 2003; 88: 990-994.




















BAB XIV
PANKREATITIS PADA ANAK
Budi Santosa
Ilustrasi Kasus
Anak laki-laki, 5 tahun, 19 kg, 1 hari mendadak perut sakit dan sering muntah, tidak
mau makan karena perutnya bertambah sakit, panas subfebril. Kesan umum sadar, kurang
aktif, sering menangis sambil memegang perutnya, tidak ada ikterus. Jantung dan paru tidak
ada kelainan. Pemeriksaan abdomen datar, terdapat ketegangan dan nyeri tekan di daerah
sekitar umbilicus. Hati dan limpa sukar diperiksa karena anak menangis menahan sakit serta
perut yang tegang. Diagnosis sementara adalah observasi nyeri perut akut dengan
diagnosis banding gastritis akut, apendisitis akut dan pankreatitis akut. Pengobatan
sementara adalah tahan makan dan minum dan diberikan cairan dan elektrolit parenteral
serta diberikan prokinetik agonis reseptor kolinergik (metoclopramide) secara intravena dan
antasid. Pemeriksaan penunjang dan konsultasi darah rutin, hematokrit, trombosit, elektrolit
(K
+
, Na
+
, Ca
2+
), kadar amilase serum meningkat (510 U/l) dan lipase serum meningkat (460
U/l) serta kesan dari bagian bedah anak tidak ada apendisitis, sementara diberikan
pengobatan konservatif. Hasil pemeriksaan USG tampak pankreas hipoekoik, bentuk dan
struktur berubah, duktus pankreatikus sedikit melebar. Hari kedua keadaan umum anak lebih
baik, tidak ada keluhan sakit perut, diperbolehkan minum air putih tanpa gula. Hari ke tiga
amilase serum menurun (120 U/l), lipase serum juga menurun (150 U/l) mulai diberikan
intake peroral dengan makanan lunak rendah serat dengan porsi kecil frekuensi lebih sering.
Anak dapat menerima makanan tersebut tanpa kesakitan. Selanjutnya keadaan bertambah
baik dan dinyatakan sembuh, sehingga anak diperbolehkan pulang.

Pendahuluan
Pankreatitis adalah inflamasi pada pankreas yang ditandai dengan gambaran klinis
berupa nyeri perut di daerah epigastrium yang disertai dengan peningkatan kadar enzim-enzim
pankreas yaitu amilase dan lipase. Pankreas merupakan kelenjar besar di belakang lambung dan
dekat duodenum. Duodenum adalah bagian proksimal dari usus halus. Pankreas mensekresi
enzim pencernaan ke dalam usus halus melalui duktus pankreatikus. Enzim-enzim tersebut
membantu pencernaan lemak, protein dan karbohidrat dari makanan. Pankreas juga
melepaskan hormon insulin dan glukagon. Hormon tersebut membantu tubuh dalam
menggunakan glukosa dari makanan untuk menghasilkan tenaga.
1,2,3
Hati
Saluran
Empedu
Empedu
Saluran
Pankreas
Kandung Empedu
Duodenum
Gambar
14.1. Pankreas dengan duktus pankreatikus dan duktus billiaris

Klasifikasi dan Definisi
Klasifikasi klinis pankreatitis menurut Second International Symposium di
Marseille pada tahun 1984 adalah pankreatitis akut dan kronik. Sebagian klasifikasi
yang digunakan di klinik adalah pankreatitis akut dan kronik. Pankreatitis akut adalah suatu
sindroma klinik yang ditandai nyeri perut akut yang dihubungkan dengan peningkatan enzim
pankreas pada darah atau urin. Secara morfologis lesi dapat dikelompokkan sebagai ringan
dan/atau berat. Pada bentuk yang lebih ringan, nekrosis lemak peripankreatik dan edem
interstitiel. Pada bentuk berat didapatkan nekrosis lemak peripankreatik dan intrapankreatik
atau tanpa nekrosis parenkimal dan ada perdarahan. Proses dapat difus atau terlokalisir dan
kadang-kadang korelasi antara etiologi dan patologi klinik kurang. Klasifikasi lain dari
pankreatitis adalah akut, kronik, nekrotik, hemorhagik dan herediter yang dapat
dibedakan secara klinis, radiologis dan pemeriksaan histologis jaringan pankreas.
2,3


Kejadian dan Epidemiologi
Sulit untuk memperkirakan prevalensi dan kejadian pankreatitis yang sesungguhnya
pada anak-anak karena sebagian besar referensi hanya melaporkan kasus individual ataupun
sekelompok kecil penderita. Pankreatitis lebih jarang dijumpai pada anak-anak bila
dibandingkan dengan orang dewasa, mungkin karena sering tidak terdiagnosis sehingga
memerlukan kecurigaan yang tinggi dari para dokter. Pankreatitis akut merupakan kelainan
pankreas yang paling sering pada anak-anak, sedangkan fibrosis kistik menempati urutan
kedua.
3,4


Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut pada anak jarang menyebabkan nyeri perut sehingga sering
menyulitkan penegakan diagnosis pada kelompok umur tersebut. Perjalanan klinisnya
bervariasi mulai dari serangan ringan, self limited, tidak disertai komplikasi, sampai dengan
serangan berat dengan komplikasi fatal. Kadang-kadang pankreatitis akut terjadi secara tiba-
tiba dan berlangsung cepat dengan ciri khas nyeri perut yang berat yang sering dikelirukan
dengan ileus.

Pankreatitis akut sering memberikan patogenesis yang tersamar sehingga untuk
menegakkan diagnosis diperlukan berbagai prosedur diagnostik. Dengan kemajuan sarana
diagnosis dan kemajuan terapi seperti sekarang morbiditas dan mortalitas berkurang.
2,3,5

1. Patogenesis
Penyebab pankreatitis bervariasi. Perbedaan mekanisme tiap penyebab tidak jelas. Secara
umum dapat diterima bahwa pankreatitis akut disebabkan oleh aktivitas zimogen
pankreas yang tidak wajar terhadap enzim aktif di dalam parenkim pankreas yang
mengakibatkan autodigesti jaringan pankreas
.
.
Patogenesis pankreatitis akut banyak yang belum diketahui. Beberapa mekanisme yang
dapat memicu terjadinya inflamasi pankreas meliputi meningkatnya permeabilitas duktus
pankreatikus, overstimulasi kelenjar, obstruksi pada aliran pankreas dan abnormalitas
metabolik (misalnya hiperkalsemia dan hipertrigliseridemia).

Hipotesis pertama patogenesis pankreatitis diajukan oleh Opie (1901) yang
menekankan pada potensi faktor mekanik. yaitu adanya obstruksi pada atau dekat dengan
ampulla Vateri akan menyebabkan refluks empedu ke dalam duktus pankreatikus yang
mengakibatkan aktivasi zimogen dalam duktus dan sebagai akibatnya terjadi kerusakan
pankreas. Tetapi hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan pada percobaan binatang.

Hipotesis kedua yaitu adanya hipertensi duktus pankreatikus (sebagai akibat obstruksi)
akan meningkatkan permeabilitas duktus yang mendorong terjadinya kebocoran sekresi
pankreas dengan aktivasi enzim digesti usus dan sebagai akibatnya terjadinya kerusakan sel
asinar. Hipotesis yang kedua ini dapat dibuktikan dengan beberapa macam percobaan pada
binatang.

Ada yang mengemukakan bahwa kelenjar eksokrin pankreas mengaktifkan proenzim
pankreas yang disebabkan beberapa faktor induksi seperti trauma, iskemia, toksin,
PANCREATIC
TISSUE
PERIPANCREATIC
TISSUE
PERITONEAL
CAVITY
SYSTEMIC
CIRCULATION
INFLAMATION
EDEMA
HEMORRHAGE
NECROSIS
SPLENIC VEIN THROMBOSIS
SPLENIC INFARCT
RETROPERITONEAL ABSCESS
PERITONITIS
INTESTINAL
NECROSIS
ASCITES FAT
NECROSIS
BLEEDING
SHOCK
CARCIAC FAILURE
RESP DISTRESS
RENAL FAILURE
VASCULAR
DAMAGE
RELEASE OF ACTIVE ENZYMES
ENZYME ACTIVATION
PANCREATIC INJURY
INDUCTION PROCESS
SHOCK
VASCULAR DAMAGE
infeksi, dan lain-lain. Aktivasi zimogen, terutama tripsin, dapat mengaktifkan enzim lain
yang mengakibatkan autodigesti pankreas dan jaringan sekitarnya.
Proses lokal menyebar ke ruang peripankreas dengan pengeluaran substansi di atas yang
bersifat toksik ke rongga peritoneal dan secara sistematis menyebabkan komplikasi dan
kegagalan multiorgan.



Gambar 14.2. Mekanisme Patogenesis Pankreatitis Akut

Fosfolipase A dan elastase yang diaktifkan oleh tripsin bertanggung jawab terjadinya
nekrosis jaringan pada pankreatitis akut. Sel-sel asini pankreas yang rusak akibat aktivasi
zimogen akan menarik sel-sel inflamasi dan mengatifkan trombosit serta sistem komplemen
yang menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin (seperti tumor necrosis factor-alpha,
interleukin-1, nitrat oksida (nitric oxide) dan platelet activating factor). Radikal bebas
oksigen mempunyai peran pada perkembangan inflamasi pada pankreatitis akut, sedangkan
substansi-substansi vasoaktif (histamin, kinin, kalikrein) peran utamanya meningkatkan
permeabilitas kapiler yang mengakibatkan transudasi eksudat. Substansi-substansi tersebut
merusak kelenjar secara langsung, menyebabkan edema, iskemia, nekrosis dan hilangnya
jaringan kelenjar.
Activation Cascade
Trypsinogen
Enterokinase
or
Autoactivation
Inactivation by
pancreatic trypsin
inhibitor
Trypsin
Chymotrypsinogen
Proelastase
Procarboxypeptidase
Procolipase
Prophospholipase
Chymotrypsin
Elastase
Carboxypeptidase
Colipase
Phospholipase
Edema, necrosis and hemorrhage
Vessel wall damage and hemorrhage
Edema and necrosis
Fat necrosis (with lipase and bile acids)
Cell wall damage (with bile acids)
Proenzyme Activated Enzyme
Edema, necrosis and hemorrhage
Local Effects

Gambar 14.3. Aktivasi Enzim-enzim Pankreas

Pada keadaan normal terdapat beberapa mekanisme protektif mencegah pengaruh aktivitas
enzim-enzim pankreas yang prematur. Enzim-enzim proteolitik (tripsin, kimotripsin,
karboksipeptidase dan elastase) disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak aktif. Sintesis dan
penyimpanan zimogen terjadi pada pH 6,2 yang akan meminimalkan autokatalisis tripsin dalam
organela. Adanya granula zimogen, jaringan pankreas, getah pankreas dan serum mempunyai
potensi sebagai inhibitor protease.
2,3,4


Etiologi
Penyebab pankreatitis akut pada kelompok umur anak-anak sangat bervariasi. Tetapi
sebagian besar diantaranya patofisiologinya belum terbukti, sehingga tidak memiliki hubungan
kausatif. Berbeda pada orang dewasa, 80% penyebab pankreatitis akut adalah penyakit saluran
empedu dan alkoholisme. Sedangkan pada anak-anak pada umumnya disebabkan infeksi,
trauma, penggunaan obat, kelainan bawaan (pankreas divisum), penyakit metabolik dan
sistemik dan kondisi herediter dan idiopatik.
1,3,4




Tabel 14.1. Etiologi Pankreatitis Akut pada Anak
OBAT dan TOKSIN
Alkohol
Overdosis parasetamol
Azathioprinase
Simetidin
kortikosteroid
DDC
DDI
Enalapril
Eritromisin
Estrogen
Furosemid
6-Merkaptopurin
Mesalamin
Metildopa
Pentamidine
Sulfonamid
Sulindak
Tetrasiklin
Tiazid
Asam valproat
Bisa (laba-laba, kalajengking)
Vinkristin

PANKREATITIS HERIDITER
Hereditary pancreatitis gene
OBSTRUKSI
Penyakit ampula
Askariasis
Malformasi saluran empedu
Kolelithiasis mikrolithiasis dan
Koledokolithiasis (batu atau
sludge)
Chlonorchis
Duplication cyst
Komplikasi ERCP
Pankreas divisum
Kelainan duktus pankreatikus
Pasca bedah
Disfungsi sfingter Oddi
Tumor

PENYAKIT SISTEMIK
Defisiensi alfa-1-antitripsin
Tumor otak
Penyakit kolagen pembuluh darah
Fibrosis kistik
Diabetes mellitus
Trauma kepala
Hemokromatosis
Sindrom hemolitik uramik
Hiperlipidemia: tipe I, IV, V
Cystic fibrosis gene
SPINK 1 gene

INFEKSI
Askariasis
Coxsackie B virus
Epstein-Barr virus
Hepatitis A, B
Influenza A. B
Leptospirosis
Malaria
Measles
Mumps
Mycoplasma
Rubella
Rubeola
Raye syndrome: varicella, inluenza B
Hiperparatiroidisme
Penyakit Kawasaki
Malnutrisi
Organic acidemia
Periartesis nodosa
Ulkus peptikum
Gagal ginjal
Lupus eritematosus sistemik
Tranplantasi sumsum tulang, jantung, hati,
ginjal, pankreas
Vaskulitis

TRAUMA
Trauma tumpul
Kombusio
Child abuse
Trauma bedah
Total body cast
Sumber: Weizman
3

Manifestasi Klinik
Pankreatitis akut mempunyai spektrum yang luas baik gejala maupun komplikasinya.
Tanda klinis yang utama adalah nyeri perut, yang paling sering terjadi pada daerah
epigastrium, nyeri lain pada kuadran kanan atas atau bawah atau peri umbilikal. Nyeri ini
biasanya timbulnya mendadak dapat bertahap, intensitas mencapai maksimum setelah
beberapa jam, biasanya menusuk, menetap dan memanjang. Nyeri berlangsung secara
bermakna dari beberapa jam sampai 2 minggu, dengan rata-rata lamanya 4 hari. Penjalaran
nyeri jarang tampak pada anak-anak mungkin menyebar ke punggung, perut bagian tengah-
bawah dan atas dan dapat terjadi pada dada bagian bawah depan. Gejala lain yang sering
meliputi anoreksia, nausea, dan muntah yang menetap. Pemberian makan akan
memperberat nyeri dan muntah. Kira-kira 70% kasus terdapat nyeri yang dihubungkan
dengan muntah dan 10% muntah empedu.
Riwayat trauma abdomen paling sering dihubungkan dengan kejadian pankreatitis,
riwayat paparan penyakit infeksi atau intake obat harus dicari. Riwayat pankreatitis pada
keluarga, kelainan-kelainan metabolik dan sistemik. Demam biasanya subfebril.
Pada pemeriksaan fisik pada anak tampak kesakitan, iritabel atau tenang. Pemeriksaan
fisik yang teliti dapat memberikan petunjuk yang lebih banyak untuk membedakan pankreatitis
dengan sebab-sebab nyeri perut akut lainnya yang sering terjadi pada anak-anak.
Yang sering didapatkan pada pemeriksaan fisik adalah ketegangan daerah epigastrium
dan penemuan ini sering tampak dengan bising usus yang lemah atau hilang. Pada sepertiga
kasus terdapat perut yang membesar (distension) yang timbul setelah 2 sampai 3 hari. Secara
sistemik, sering dalam waktu beberapa jam setelah lesi awal, dapat timbul demam subfebril (
biasanya kurang dari 38.5
0
C), hipotensi, takikardi, hipoksia dan sindroma kebocoran kapiler
pada kasus-kasus yang berat.
Pada kasus pankreatitis hemorhagik yang berat, penderita tampak sakit berat, dengan
nausea dan muntah yang berat serta nyeri perut. Diskolorisasi kebiruan tampak di sekitar
umbilikus (Cullens sign) atau di sekitar panggul (Gray-Turners sign). Kedua tanda
tersebut bukan merupakan tanda patognomonis pankreatitis akut karena disebabkan darah yg
merembes sehingga menimbulkan ekimosis. Tanda fisik lain pankreatitis akut adalah
ketidakseringnya dan ketidaktetapan dalam kejadian yang umumnya tidak spesifik yang
meliputi koma, efusi pleura, distress pernafasan, asites, ikterus, adanya massa abdomen,
melena dan hematemesis.
1,2,5
Tabel 14.2. Gambaran klinis Pankreatitis akut
GEJALA
Nyeri perut
Anoreksia
Nausea
Vomitus
Koma (jarang)
Dispneu (jarang)
TANDA
Ketegangan daerah epigastrium (localized epigastric tenderness)
Kekakuan dinding perut (abdominal wall rigidity)
Ketegangan yang kambuh (rebound tenderness)
Distensi perut
Bising usus lemah atau tidak ada
Hipotensi dan syok
Panas subfebril
Efusi pleura
Asites
Oliguria/anuria
Distres pernafasan
Gray-Turners sign
Cullens sign
Sumber: Weizman
3

Diagnosis
Diagnosis sulit ditegakkan kecuali bila indeks kecurigaan pada manifestasi klinis dan
pemeriksaan fisik menetap tidak hilang timbul. Gabungan dari tanda dan gejala klinis dengan
kelainan biokimiawi yang menunjang dan teknik pencitraan (imaging) dapat melengkapi
kepastian diagnosis. Tidak ada tes tunggal diagnostik untuk pankreatitis akut, dan konfirmasi
histologis inflamasi pankreas jarang tersedia. Beberapa tes dapat menyesatkan karena
kurangnya spesifisitas. Kadang-kadang diagnosis hanya dibuat dengan kepastian pada saat
laparatomi atau otopsi.
2,3,4

1. Pemeriksaan laboratorium
Tes laboratorium nonspesifik
Kelainan laboratorium sangat bervariasi pada pankreatitis akut dewasa, tetapi data pada
anak-anak jarang didapatkan. Pemeriksaan darah lengkap dengan peningkatan sel darah
putih sering terjadi pada pankreatitis akut, sering dengan peningkatan bentuk batang dan
laju endap darah sering meningkat ringan. Pada keadaan berat menunjukkan
hemokonsentrasi. Kerusakan pada sel-sel endokrin ditunjukkan dengan hiperglikemia
transien yang dijumpai pada 15-25% dari kasus. Keadaan ini disebabkan oleh kelebihan
glukagon sedangkan insulinnya menurun. Hipokalsemia tejadi pada 15% kasus.
Peningkatan secara transien fosfatase alkali dan aminotranferase serum dengan disertai
hiperbilirubinemia. Peningkatan nilai laktat dehidrogenase serum, azotemia,
hipoalbuminemia dan hipoksemia menunjukkan beratnya penyakit.

Tes laboratorium spesifik
Amilase serum
Amilase serum masih merupakan tes yang paling sering digunakan pada pankreatitis
akut, meskipun memililki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah yaitu 75%-92% dan
20%-60%, karena peningkatan amilase serum dapat terjadi pada penyakit nonpankreas
dan pada pankreatitis akut (Tabel 2) dapat dijumpai kadar amilase serum yang normal.
Peningkatan 3-6 kali diatas nilai normal spesifisitasnya meningkat tetapi sensitivitasnya
menurun. Peningkatan amilase serum terjadi dalam 2-12 jam setelah lesi pankreas dan
memuncak pada 12-72 jam setelah onset dan masih meningkat untuk 2-5 hari. Tidak
ada korelasi antara beratnya pankreatitis dan peningkatan amilase serum.

Tabel 14.3. Diagnosis diferensial hiperamilase

KELAINAN PANKREAS
Pankreatitis akut atau kronik
Komplikasi pankreatitis (pseudokista, asites, abses)
Facititious pancreatitis
KELAINAN KELENJAR LUDAH
Parotitis (mumps, Staphylococus aureus, CMV, HIV, EBV)
Sialadenitis (kalkuli, radiasi)
Gangguan makan (anoreksia nervosa)
Penyakit saluran empedu (anoreksia nervosa, bulimia nervosa)

KELAINAN INTRA ABDOMEN
Perforasi ulkus peptikum
Peritonitis
Obstruksi usus
Apendisitis
PENYAKIT SISTEMIK
Asidosis metabolik (syok )
Insufisiensi ginjal & transplantasi
Kombusio
Kehamilan
Obat (morfin)
Trauma kepala
Cardiopulmonary bypass
Sumber: Werlin
5

Amilase urine
Peningkatan kadar amilase urine dapat berada 24 jam setelah normalisasi serum

Rasio klirens kreatin / amylase urine
Peningkatan rasio terdapat pada pankreatitis. Tetapi tes ini tidak spesifik, tidak
menambah informasi diagnostik.

Isoamilase serum
Pada keadaan normal 60% dari serum amilase adalah saliva dan tersimpan di
pankreas.Walaupun pada pankreatitis akut sebagian besar dari amilase serum berasal
dari pankreas, keadaan abdomen lainnya meningkatkan isoenzim isoamilase. Sekarang
sudah tersedia bermacam-macam teknik untuk mengukur isoform dari amilase yaitu
dengan elektroforesis, ion exchange chromatography dan yang terbaru dengan teknik
radioimmunoassay dengan menggunakan antibodi monoklonal. Isoamilase lebih sensitif
dan spesifik daripada amilase total.

Lipase serum
Nilai lipase serum biasanya meningkat pada pankreatitis akut dan masih meningkat
lebih lama dibanding nilai amilase serum. Kadar lipase serum memiliki sensitivitas
klinis 86%-100% dan spesifisitas klinis 50%-99%. Dengan meningkatkan batas lebih
dari 3 kali dari batas atas normal, sensitivitas dapat ditingkatkan hingga 100% dan
spesifisitas hingga 99%. Walaupun masih ada kontroversi hal tersebut. Kadar lipase
serum mulai meningkat dalam 4-8 jam setelah gejala, memuncak pada 24 jam dan
menurun setelah 8-14 hari. Derajat peningkatan amilase dan lipase serum tidak
mencerminkan keparahan penyakit pankreasnya. Dengan menggabungkan penentuan
kadar amilase serum dan lipase serum secara bersama-sama sensitivitas diagnosis
pankreatitis meningkat hingga 94 %.

Tripsin imunoreaktif serum
Sumber tripsin pada manusia hanya pada pankreas. Tripsin imunoreaktif total pada
serum meningkat lebih awal dibanding amilase serum pada pankreatitis akut.
Sensitivitasnya lebih tinggi dibanding lipase dan isoamilase pankreas dengan spesifisitas
yang sama.

Ribonuklease
Konsentrasi ribonuklease pada serum rendah. Ribonuklease pankreas dapat dibedakan
secara imunologis dari sumber ribonuklease lainnya. Peningkatan ribonuklease
pankreas pada serum dianggap sebagai indikasi adanya nekrosis pankreas.


Elastase-1 pankreas
Diukur dengan radioimmunoassay. Pada pankreatitis akut menunjukkan sensitivitas
lebih tinggi daripada lipase, amilase total maupun tripsin terutama selama stadium
akhir dari panyakit.

Fosfolipase A2
Merupakan enzim prediktif yang lain. Mempunyai peran kunci pada patogenesis awal
dari pankreatitis akut.

Analisis bikarbonat dan enzim yang berasal dari cairan pankreas
Pemeriksaan ini ditetapkan sebagai baku emas untuk mengevaluasi fungsi pankreas
secara langsung. Analisis bikarbonat dan enzim-enzim yang berasal dari cairan pankreas
yang dikeluarkan setelah stimulasi dengan sekretin dan pankreozimin (SPT) secara
intravena. Bila dilakukan secara benar sensitivitas dan spesifisitas berkisar 90%-100%.
Pemeriksaan ini langsung karena mengambil sampel langsung dari duktus pankreatikus
bukan secara tidak langsung (dari serum). Tetapi karena prosedur pemeriksaan ini
sifatnya invasif, kompleks, mahal dan hanya dilakukan di pusat kesehatan tertentu,
sehingga tidak dapat dilakukan secara rutin.




2. Pencitraan
Foto polos abdomen
Menunjukkan adanya ileus dengan dilatasi kolon, sentinel loop (distensi bagian usus halus
dekat dengan pankreas), batas psoas yang kabur atau halo yang radiolusen di sekitar ginjal
kiri. Pemeriksaan radiologis ini nilai diagnostiknya terbatas. Tetapi sebaiknya setiap anak
yang menderita nyeri perut akut harus dilakukan prosedur ini karena dapat menyingkirkan
kegawatan abdomen yang lain seperti perforasi atau appendikolith yang memberikan kesan
sebagai apendisitis.

Foto dada
Dilakukan pada semua kasus yang diperkirakan untuk menentukan terkenanya diafragma
atau komplikasi paru pada pankreatitis akut, seperti infiltrat, edema paru dan efusi pleura.

Seri barium saluran pencernaan atas
Pemeriksaan ini jarang memberikan informasi yang berguna dan sudah ditinggalkan diganti
pencitraan alternatif lain (ultrasonografi) dan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography).



Ultrasonografi
Ultrasonografi abdomen merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada
penderita yang dicurigai menderita pankreatitis akut. Pada pankreatitis akut akan
didapatkan penurunan ekogenitas, peningkatan ukuran pankreas, perubahan ekostruktur &
bentuk serta adanya pelebaran duktus pankreatikus. Terdapat hipoekogenitas pankreas
pada 40 % kasus pankreatitis akut. Laporan dari Swischuk dan Hayden menunjukkan
bahwa pada pankreatitis akut secara sonografi biasanya normal tetapi ruang pararenal-nya
hiperekoik selama inflamasi.

Computerized Tomography (CT) dari Abdomen
Dilakukan bila hasil USG tidak memuaskan atau membutuhkan gambaran anatomi lebih
baik. CT dengan kontras merupakan metode pencitraan pilihan dalam menggambarkan
pankreas (perubahan ukuran, tekstur), evaluasi beratnya dan mendeteksi komplikasi
pankreatitis akut seperti pseudokista, abses, kalsifikasi, pembesaran duktus, edema
peripankreatik, eksudat peritoneal dan distensi usus.


Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Sebagai alternatif CT-scan. Ternyata tidak lebih bermanfaat dibanding CT-scan.

Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Merupakan prosedur invasif. Berguna untuk mengevaluasi komplikasi pasca trauma atau
pasca pankreatitis, deteksi kelainan anatomi yang berhubungan dengan pankreatitis akut
dan penelitian duktus pankreatikus pada pankreatitis relaps kronik atau pankreatitis
herediter. ERCP selain untuk prosedur diagnosis juga dapat digunakan untuk prosedur
pengobatan seperti sfingterotomi, pemasangan stent, pengambilan batu, dilatasi dengan
balon. Kontraindikasi ERCP meliputi pankreatitis akut tidak menyembuh dan pembentukan
abses dan pseudokista sebagai kontraindikasi relatif.

Komplikasi
Komplikasi dapat bersifat lokal maupun sistemik yang dapat terjadi sebagai komplikasi
awal atau lanjut. Selama minggu pertama perawatan komplikasi potensial adalah gagal organ
multi sistem terutama sistem pulmonar, kardiovaskular, dan renal. Pada minggu kedua sakit,
jaringan nekrotik pankreas atau peripankreas terinfeksi dapat diobservasi. Keduanya dapat
dibedakan oleh sonografi atau aspirasi perkutan yang dipandu CT. Komplikasi lanjut terjadi
sesudah minggu kedua sakit dan termasuk timbulnya pseudokista dan abses. Kejadian
pseudokista pankreas sering terjadi, sehingga bila hiperamilase berlanjut sesudah 4 minggu
mungkin diperlukan tindakan pembedahan.
2,4

Tatalaksana
Pengobatan yang utama bersifat suportif yang meliputi menghilangkan rasa nyeri dan
memperbaiki homeostasis metabolik dengan cara hidrasi yang adekuat dengan pemberian
cairan intravena atau koloid untuk menjaga volume intravaskular. Dengan mempertimbangkan
keseimbangan cairan, elektrolit dan mineral untuk perbaikan dan pemeliharan. Kadang-kadang
memerlukan tindakan agresif untuk mencegah syok, kegagalan respirasi dan katabolisme
protein
3
. Pada sebagian besar pankreatitis akut bersifat self limited dalam beberapa hari.
1,3
Menghilangkan nyeri dengan opiat (morfin) akan memperburuk gejala karena
meningkatkan spasme sfingter Oddi. Meperidin sebagai agonis reseptor opiat murni yang
merupakan pilihan analgesik untuk pankreatitis akut karena hanya menyebabkan sedikit
peningkatan tekanan intrabiliaris. Sebagai alternatif penggantinya yaitu pentazosin yang
merupakan campuran analgesik opiat dengan obat yang mempunyai peran antagonis-agonis.
Strategi pengobatan spesifik dan nonspesifik selanjutnya meliputi:
1. Menghilangkan proses yang mengawali (misalnya obat atau toksin)
2. Menghentikan melanjutnya proses autodigesti dalam pankreas
3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim pencernaan dan bahan toksik lain dalam
kavum peritoneal dan atau sirkulasi
4. Mengobati komplikasi lokal dan sistemik
5. Pembedahan

Pemasangan pipa nasogastrik sangat berguna bagi penderita dengan muntah berat atau
ileus. Perlu dipuasakan (tidak diberikan diet peroral) dan pengisapan sekresi lambung dapat
menimalkan sekresi pankreas sehingga membuat pankreas dalam keadaan istirahat. Setelah 3
hari hanya diberikan cairan intravena bila dan belum dapat diberikan nutrisi peroral harus
diberikan nutrisi parenteral untuk mencegah katabolisme protein. Mencegah asam dan nutrisi
mencapai duodenum, secara teori meminimalkan hormon dalam menstimulasi sekresi
pankreas. Setelah pengisapan dapat diberikan simetidin sebagai substitusi akan mengurangi
keasaman duodenum, hal ini penting untuk mencegah stress ulcer, terutama bila terjadi
perdarahan saluran pencernaan. Pemberian obat untuk mengurangi keasaman atau mengurangi
aliran pankreas (mengistirahatkan pankreas) yang meliputi penghambat reseptor H2 (H2
blocker), atropin, kalsitonin, glukagon, somatostatin dan fluorourasil tidak mengubah
perjalanan penyakit.
Pemberian inhibitor enzim seperti aprotinin (trasylol) secara invitro merupakan
inhibitor kuat terhadap tripsin, kimotripsin, kalikrein, plasmin dan trombin. Ternyata pada uji
klinik aprotinin tidak memberikan kegunaan pada terapi pankreatitis akut. Telah dicoba pula
inhibitor enzim lain FOY (gabexate mesilate) dengan hasil tidak berbeda.
Lavage peritoneal selama 7 hari menurunkan mortalitas yang disebabkan oleh
pembentukan abses pankreas tanpa mempengaruhi mortalitas secara keseluruhan. Pemberian
antibiotika untuk penderita yang menunjukkan tanda klinis yang kuat adanya infeksi sekunder
atau untuk mencegah komplikasi sepsis. Pemberian ampisilin tidak dapat mengubah perjalanan
penyakit. Pada penelitian terbaru antibiotika yang digunakan adalah imipenem, ternyata
berhasil mengurangi kejadian sepsis pankreas pada pankreatitis nekrotik.
Dalam praktik klinik anak yang menderita pankreatitis akut dilakukan penghentian
intake oral, pengisapan nasogastrik, resusitasi cairan, monitoring ketat vena sentral, output
urin, gas darah, parameter kalsium serum, glukosa, elektrolit dan lemak. Meperidin: 1-2
mg/kgBB im atau iv. Antibiotik diberikan segera jika diduga atau terbukti ada infeksi.
Nutrisi parenteral total jika dilakukan puasa. Diet oral dimulai dengan diet elemental rendah
lemak jika terjadi perbaikan klinis, sebagai indikatornya kadar amilase serum normal.
3,4
Indikasi tindakan bedah pankreatitis akut ialah:
1. Diagnosis pankreatitis yang tidak pasti (pada anak kebanyakan diagnosis preoperatif adalah
apendisitis akut)
2. Obstruksi yang menyebabkan dekompresi pada duktus pankreatikus utama atau duktus
biliaris komunis (bawaan atau didapat)
3. Koreksi komplikasi abdomen (misalnya kista atau abses)
4. Debridemen jaringan nekrotik

Prognosis
Prognosis bervariasi tergantung keadaan klinis pankreatitis akut pada anak. Pankreatitis
akut pada anak tanpa komplikasi akan membaik dan sembuh setelah 2-5 hari.
Kriteria Ranson meliputi 11 faktor risiko untuk membantu memperkirakan prognosis
beratnya penyakit meliputi lima faktor pertama yang dinilai pada waktu datang (peningkatan
umur, leukositosis, hiperglikemia, kadar laktat dehidrogenase dan aspartat aminotransferase)
dan enam faktor lainnya dievaluasi dalam 48 jam (penurunan hematokrit, azotemia,
hipokalsemia, hipoksemia, asidosis dam kehilangan cairan). Kriteria ini telah dimodifikasi
selama beberapa tahun dan disebut juga sebagai kriteria Glasgow atau Imrie. Akhir-akhir
ini indeks prognostik yang lebih kompleks disebut APACHE II (Acute Physiology and Chronic
Health Evaluation Score). Indeks ini berdasarkan pada 12 variabel fisologis, usia penderita
dan riwayat penyakit organ utama. APACHE II ini lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding
kriteria sebelumnya.
Tap peritoneal tidak mempunyai kelebihan dalam memprediksi beratnya penyakit
sedangkan CT perlu studi lebih lanjut. Masih banyak parameter seperti methemalbumin,
ribonuklease, antiprotease, komplemen, dan C-reactive protein telah digunakan sebagai
prediktor keparahan pankreatitis akut. Masih ada 2 marker yaitu peptid tripsinogen yang
diaktifkan dan elastase granulositik yang dianggap mampu memprediksi parahnya penyakit

.
Data mortalitas pada anak jarang dijumpai dan pernah dilaporkan 13 dari 61 kasus (21%)
pankreatitis akut meninggal.
3,4,5

Pankreatitis Herediter
Pankreatitis herediter didefinisikan sebagai serangan pankreatitis berulang (rekuren)
pada masa anak yang terjadi pada keluarga dua atau tiga generasi atau lebih tanpa
diketahui factor predisposisinya. Keadaan ini diturunkan secara dominan.autosom dengan
penetrasi yang tidak lengkap
l
.
Pada umumnya fungsi dan morfologi pankreas kembali normal diantara serangan
akut. Gejala sering dimulai sejak dekade pertama tetapi serangan pertamanya biasanya ringan.
Meskipun terjadi penyembuhan spontan dalam 4-7 hari setiap serangan, episodenya semakin
progresif. Pankreatitis herediter merupakan salah satu penyebab pankreatitis kronis.
1,2

Pankreatitis Kronis
Penyebabnya pada umumnya pankreatitis herediter atau kelainan bawaan duktus
pankreatikus dan duktus biliaris. Karena pankreatitis rekuren, enzim pencernaan merusak
pankreas dan jaringan sekitarnya sehingga menimbulkan jaringan parut. Perubahan
morfologis inilah yang mengakibatkan terjadinya pankreatitis kronis. Apabila terjadi sumbatan
kalsifikasi protein pada duktus pankreatikus, maka menunjukkan penyakit yang sudah lanjut.
Kemungkinan pada keadaan ini fungsi eksokrin dan endokrin dapat hilang secara irreversibel.

Diagnosis pankreatitis kronik tergantung penilaian fungsi pankreas dan temuan klinis
maupun radiologis. Dengan uji noninvasif yaitu uji-uji pengukuran enzim pankreatik serum
(amilase, lipase dan tripsin imunoreaktif) dan pemeriksaan lemak dan pemeriksaan enzim
pankreatik pada tinja, mempunyai nilai prediktif sangat buruk sehingga tidak dapat
mengeksklusi pankreatitis kronis dengan meyakinkan. Dengan pengukuran enzim pankreatik
elastase I pada tinja versus uji sekretin-pankreozimin mempunyai sensitivitas 100% dan
spesifisitas 96%.
Memang sebagai baku emas untuk menentukan adanya insufisiensi pankreas adalah
dengan memberikan kolesistokinin atau sekretin secara intravena, kemudian mengambil cairan
dari duktus pankreatikus dan diukur output bikarbonat dan ensim pankreatik-nya. Hasil
pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas antara 90%-100% dalam mendiagnosis
pankreatitis kronis. Prosedur pemeriksaan ini bersifat invasif karena membutuhkan intubasi
endoskopik atau oroduodenal, penempatan kateter duodenal yang akurat dan pengambilan
semua sampel sekresi duodenal. Kesulitan pelaksanaan dan intepretasi sehingga hanya dapat
dilakukan di pusat (center) kesehatan yang lengkap.
3,4,5


Daftar Pustaka
1. Pietzak MM, Thomas W. Pancreatitis in childhood. Amarican Academy of Pediatrics. 2000: 2.
2. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In Walker A, Durie PR, Hamilton JR, et al, eds. Pediatric Gastrointestinal
Disease. St Louis, WB Saunders, 2
nd
. 1996: 1436-1465.
3. Weizman Z. Acute Pancreatitis. In Wyllie R and Hyam JS, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease, Philadelphia,
WB Saunders. 1993: 873-879.
4. Lerner A, Branski D, Lebenthal E. Pancreatic Disease In Children. Pediatric Clinics of North America. 1996; 43.1:
125-156.
5. Werlin SL. Exocrine Pancreas. In Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB. Nelson Text Book of Pediatrics,
Philadelphia, WB saunders 17
th
Edit. 2004: 1298-1303.







BAB XV
IKTERUS
Iesje Martiza
Ilustrasi Kasus
N, seorang bayi laki-laki lahir di Rumah Saki dari seorang ibu G1P0A0 yang merasa hamil
cukup bulan, letak kepala, lahir spontan, tak langsung menangis, ditolong dokter. Sejak
kurang lebih 22 jam setelah lahir, penderita tampak kuning/ikterik kramer I, yang semakin
lama semakin bertambah. Selama perawatan, pada akhir hari pertama penderita diberikan
terapi sinar dengan bilirubin total 13,45 mg/dl dan pada hari keempat penderita bertambah
kuning dengan bilirubin total 18,7 mg/dl, dilakukan transfusi ganti dan dilanjutkan terapi
sinar sampai hari kesembilan. Kemudian pada hari kesepuluh penderita pulang dalam
keadaan baik.

Pendahuluan
Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang
sering dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian
sesaat yang dapat hilang spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal
yang serius, bahkan mengancam jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah
sakit dalam minggu pertama kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia.
Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan risiko
terjadinya kernikterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir.
Alpay dan kawan-kawan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
penurunan lama tinggal dan risiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama kembalinya ke
rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia. Terlepas dari
penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik terhadap bayi baru
lahir.
1,2
Bab ini dimulai dengan ulasan tentang metabolisme bilirubin perinatal, berikut
penilaian, penyebab, toksisitas dan terapi kernikterus neonatorum.

Definisi
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin
serum >2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dl.
3

Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak
75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase dan heme
bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Metabolisme
bilirubin terdiri dari tahapan:

1. Transport bilirubin
Bilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan bilirubin
dimulai dengan memutuskan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX) sehingga
terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang pertama kali terlibat dalam
pembentukan bilirubin adalah mikrosomal heme-oksigenase. Telah diketahui ada 2 bentuk
utama heme-oksigenase: yang pertama terdapat di dalam hepar dan lien; yang kedua
terdapat di dalam otak dan testis. Heme-oksigenase menyebabkan reduksi besi porfirin
(Fe
3+
menjadi Fe
2+
) dan hidroksilasi karbon -methine, dimana karbon ini dioksidasi dari
cincin tetrapirol sehingga menghasilkan karbon monoksida. Pemotongan ini membuka
struktur cincin dan berhubungan dengan oksigenasi kedua atom karbon di kedua ujung
rantai. tom karbon yang dipotong, diekskresi sebagai karbon monoksida yang juga
merupakan neurotransmiter. Besi yang dilepas oleh heme-oksigenase dapat digunakan
kembali oleh tubuh. Hasil akhir tetrapirol rantai lurus adalah biliverdin IX.
Stereospesifisitas enzim yang menyebabkan pemutusan hampir pasti terdapat pada -
karbon tetrapirol. Hal ini berbeda dari hasil yang didapatkan pada oksidasi kimiawi in vitro,
di mana pemutusan dapat terjadi di antara keempat atom karbon (, , , ) yang
menghubungkan keempat cincin pirol dan menghasilkan jumlah isomer , , dan yang
sama. In utero, bilirubin IX merupakan pigmen empedu yang pertama kali ditemukan, dan
dapat ditemukan di empedu atau mekonium pada usia kehamilan 15 minggu. Sejumlah kecil
bilirubin IX juga ditemukan pada empedu orang dewasa. Kemudian, atom karbon sentral
pada biliverdin IX direduksi dari methine menjadi kelompok methilene, membentuk
bilirubin IX, yang diselesaikan oleh enzim biliverdin reduktase sitosolik. Kedekatan enzim
ini menyebabkan sangat sedikitnya biliverdin yang dapat ditemukan di sirkulasi.
Pembentukan bilirubin dapat dinilai dengan mengukur produksi karbon monoksida.
Pembentukan ini menunjukkan rata-rata produksi bilirubin pada bayi matur sehat = 6-8
mg/kg BB/hari, dan pada orang dewasa sehat = 3-4 mg/kg BB/hari. Pada mamalia, 80%
bilirubin yang diproduksi setiap hari berasal dari hemoglobin. Pemecahan heme hepatik dan
renal tampaknya berperan pada 20% sisanya, menunjukkan begitu cepat turn over protein
heme. Walaupun tidak diketahui dengan pasti, turn over mioglobin heme sangatlah lambat
sehingga tidak signifikan. Katabolisme hemoglobin terutama berasal dari sekuestrasi
eritrosit pada akhir masa hidupnya (120 hari pada orang dewasa, 90 hari pada bayi, dan 50-
60 hari pada tikus). Sejumlah kecil fraksi hemoglobin yang baru disintesis, didegradasi
dalam sumsum tulang. Proses ini yang disebut sebagai eritropoesis yang tidak efektif,
biasanya terdapat kurang dari 3% dari produksi bilirubin harian, tetapi dapat meningkat
pada orang-orang dengan hemoglobinopati, defisiensi vitamin, dan keracunan logam berat.
Bayi menghasilkan lebih banyak bilirubin perkilogram berat badannya, karena jumlah
eritrosit mereka lebih banyak, dan umur hidup eritrositnya lebih pendek. Walaupun sudah
lama bilirubin dianggap sebagai produk sisa katabolisme heme, ternyata ada data yang
menduga bahwa hiperbilirubinemia ringan mempunyai manfaat yang baik karena bilirubin
mempunyai kapasitas antioksidan dan berperan sebagai pemusnah radikal bebas.
Bilirubin sukar larut dalam air, sehingga memerlukan biotransformasi supaya dapat
diekskresi dari tubuh. Sifat bilirubin yang sukar larut ini berhubungan dengan struktur
bilirubin. Dibandingkan dengan bentuk rantai lurus, bilirubin cenderung terikat dengan
hidrogen. Hal ini terjadi karena atom karbon jenuh yang terletak di tengah memungkinkan
kedua belah molekul bilirubin berputar sedemikian rupa sehingga pirol nitrogen dan laktam
oksigen dari sisi yang satu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok karboksil asam
propionat pada sisi yang lain, sehingga menghalangi sisi asam propionat yang polar dan
membuat bilirubin menjadi lipofilik dan sangat tidak polar. Ikatan rangkap C=C pada posisi
C4-C5 dan C15-C16 dapat membentuk 2 konfigurasi yang berbeda (mirip dengan cis dan
trans) tergantung apakah atom-atom itu terletak pada sisi ikatan rangkap yang sama atau
berseberangan (Z = zusammen = together; E = entgegen = opposito). Bentuk alami bilirubin
(4Z,15Z-bilirubin IX) dapat berupa salah satu dari ketiga struktur yang ada. Pengetahuan
stereokimia ini penting untuk dapat memahami fototerapi. Ikatan hidrogen pada bilirubin
membuatnya menjadi sangat hidrofobik dan tidak larut dalam media air.
Sifat bilirubin yang sukar larut dalam air ini menyebabkan diperlukannya molekul karier
untuk transport bilirubin dari tempatnya diproduksi di dalam sistem retikuloendotelial ke
dalam hati untuk diekskresi. Molekul karier yang dimaksud adalah albumin. Setiap molekul
albumin mampu mengikat 1 molekul bilirubin (Ka = 7.10
7
/M). Artinya, pada kadar bilirubin
serum yang normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan albumin,
dengan sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain. Selain itu, albumin
juga merupakan karier untuk zat lainnya, misalnya xenobiotik dan asam lemak. Perlu
diingat bahwa daya ikat albumin berbeda-beda untuk setiap spesies. Rata-rata konsentrasi
albumin serum pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 3 sampai 3,5 g/dl, albumin dapat
mengikat bilirubin pada konsentrasi maksimum sekitar 450 M/h (25-30 mg/dl). Dikatakan
bahwa albumin pada neonatus mempunyai afinitas yang kurang terhadap bilirubin bila
dibandingkan dengan albumin pada orang dewasa. Bilirubin yang bebas dapat masuk ke
dalam otak dan merusak jaringan saraf.
1,3,4

2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati
Struktur hati sudah disesuaikan sedemikian rupa untuk uptake bilirubin. Aliran darah yang
melalui sinusoid lebih lambat daripada aliran darah yang melewati kapiler, karena aliran
darah ini lebih berasal dari tekanan vena dibandingkan tekanan arterial. Bilirubin yang
terikat albumin dengan mudah mengalir dari plasma ke dalam space of Disse di antara
endotelium dan hepatosit, karena lapisan endotelial sinusoid hati tidak mempunyai lamina
basalis yang terdapat pada sistem kapiler organ lainnya. Celah-celah pada endotelium
memungkinkan kontak langsung dengan membran plasma hepatosit.
Gambar di bawah (gambar 15.1) menunjukkan ilustrasi skematik hepatosit dengan
metabolisme bilirubin. Pertama, bilirubin dipisahkan dari albumin yang mengikatnya dan
memasuki hepatosit melalui membran reseptor karier sehingga lebih mudah memasuki
hepatosit. Telah diketahui media transport yang membawa anion organik memasuki
hepatosit, termasuk bilirubin, bromsulfophthalein (BSP) dan indocyanine green (ICG),
walaupun baru-baru ini telah diketahui bahwa bilirubin juga dapat melewati membran
dengan difusi pasif sederhana. Bukti yang ada menunjukkan bahwa bilirubin, BSP, dan ICG
memakai karier reseptor hepatosit yang sama, karena akan terjadi inhibisi kompetititf jika
diberikan bersamaan. Hal ini tidak dapat dijelaskan oleh metabolisme intrahepatik, karena
anion-anion ini ditangani secara berbeda oleh hepatosit: bilirubin berikatan dengan asam
glukoronat di dalam mikrosomal, BSP berikatan dengan glutation di dalam sitosol, dan ICG
langsung diekskresi tanpa mengalami biotranformasi. Data dari hepatosit tikus
menunjukkan bahwa anion binding receptor carrier merupakan suatu protein dimer
dengan berat molekul 55.000. Penelitian antibodi memperkuat dugaan lokasi di membran
plasma dan menunjukkan penghentian uptake. Untuk mengangkut bilirubin ke dalam
hepatosit diperlukan karier, karena ikatan protein di dalam hepatosit berbeda dari yang di
luar. Di luar hepatosit, bilirubin terikat albumin (dengan afinitas 1.10
8
, konsentrasi 0,6
mM). Di dalam hepatosit, bilirubin terikat glutation S-transferase (GST), yang dikenal
sebagai ligandin atau protein Y (afinitas = 1.10
6
, konsentrasi = 0,04 mM). GST merupakan
kelompok protein yang mempunyai fungsi baik sebagai enzim, maupun sebagai intracellular
binding protein, misalnya untuk bilirubin. Carrier mediated uptake membantu
meningkatkan gradien konsentrasi uptake bilirubin, untuk mengatasi perbedaan afinitas
antara albumin dan GST. GST merupakan cadangan intraselular bilirubin yang penting dan
mengurangi refluks dari hepatosit kembali ke plasma.
1,3,4






























Gambar 15.1 Skema metabolisme Bilirubin pada janin, neonatus dan orang
Dewasa


Keterangan :
R, membran carrier; GST, glutation S-transferase (ligandin); UDPG, uridin diphosphat glukose;
UDPGA, uridin diphosphat glukoronic acid; UDPNAG, uridin diphosphat N-asetyl glukosamin;
P, permease; UGT1A1, bilirubin glukoronosyltransferase; NDPase, nukleoside diphosphatase;
PPi, inorganik pyrophosphat, BDG/BMG, bilirubin di atau monoglukoronidase; cMOAT,
tansporter anion organik kanalikuler multispesifik; BG, bilirubin glukoronidase.

3. Konjugasi
Di dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat. Proses ini terjadi di
dalam retikulum endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam glukoronat adalah uridine
diphosphate glucoronic acid (UDP-GA). Hasil konjugasinya adalah ester dengan atau tanpa
rantai samping asam propionat pada cincin B dan C pirol bilirubin. Enzim yang
bertanggung jawab untuk esterifikasi ini adalah bilirubin uridine diphosphate
glucuronasyltransferase (BUGT). BUGT berbeda dari isoform glucuronosyltransferase
lainnya, yang mengkatalisis konjugasi tiroksin, steroid, asam empedu dan xenobiotik.
PRODUKSI
SISTEM RETIKULOENDOTHELIAL
PRODUKSI HEME
80%HEMOGLOBIN
20%HEMOPROTEIN &
SISA ERITROPOESIS
PENGAMBILAN, KONJUGASI DAN SEKRESI
HEPATOSIT
MEMBRAN
PLASMA
SITOSOL
RETIKULUM
ENDOPLASMA
SITOSOL
MEMBRAN
KANALIKULI
APIKAL
R-B
R
R
UDPG
UDPGA
UDPNAG
GST-B
GST
B
UDPGA
BG
B
UDP
U PPi
NDPase
UGT1A1
P
GST
GST-BG
cMOAT
cMOAT-BG
BILE
BDG BMG
DEKONJUGASI
INTESTINUM J ANIN
& NEONATUS
PRODUKSI UROBILINOID
INTESTINUM DEWASA
-Glucoronidase
Urobilin
+H
+
Urobilinogen B
-H
+ BAKTERI
C. RAMOSUM
E. COLI
EKSKRESI
FESES
PENGAMBILAN MATERNAL
PLASENTA
Albumin
B-Albumin B
KONJUGASI MATERNAL, DLL
EKSKRESI TERAKHIR
Albumin
B-Albumin
REABSORBSI
SIRKULASI
HEME
BILIVERDIN
B
BILIRUBIN
REDUKTASE
HEME
OKSIGENASE
CO
+
Fe
E-Albumin
TRANSPOR
SIRKULASI
BUGT terdapat di bagian lipid membran mikrosomal dan gangguan pada lemak ini, secara
in vitro mempengaruhi pengukuran aktivitas BUGT. Karena BUGT terdapat di bagian
dalam retikulum endoplasma, keberadaan enzim permease diduga untuk mempercepat
transport UDP-GA dari sitosol menyeberangi lapisan lemak retikulum endoplasma. Karena
kadar uridine diphosphate glucose lebih tinggi di dalam sitosol, diduga UDP-GA
merupakan donor konjugasi bilirubin. Uridine diphosphate N-asetil glukosamin dianggap
sebagai regulator alami BUGT karena secara in vitro, ia dapat meningkatkan aktivitas
BUGT 3x dengan mempengaruhi kecepatan transporter UDP-GA permease. Setelah terjadi
konjugasi dengan asam glukoronat, uridin difosfat dapat dikonversi menjadi uridin dan
pirofosfat anorganik oleh nukleosida difosfatase, yang juga terdapat di dalam retikulum
endoplasma dan mencegah terjadinya reaksi simpang. Isoform spesifik yang bertanggung
jawab untuk konjugasi bilirubin adalah UGT1A1 (nama dagang = HUG-Brl, EC.2.4.1.17),
yang merupakan bagian dari enzim uridine diphosphate glycosyltransferase, yang diikuti
kompleks gen UGT pada kromosom 2. Gen UGT, mengkode beberapa isoform, dan
memiliki struktur kompleks yang terdiri dari 4 ekson yang umum dan 13 ekson variabel
yang mengkode isoform yang berbeda-beda. Pada tahun 1997, paling sedikit 30 UGT, alelle
mutan yang berbeda-beda telah dianggap sebagai penyebab Sindroma Gilbert (GS) dan
Sindroma Crigler-Najjar I dan II. UGT1A1 mengkatalisis bilirubin monoglukuronidase dan
bilirubin diglukoronidase (Gb. 15.1). Sejumlah kecil bilirubin (15%) juga diekskresikan
bersamaan dengan sangat sedikit bilirubin tak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi
lainnya (misalnya glukosa, xilosa dan diester). Pada bayi, karena aktivitas UGT1A1 rendah,
empedu mengandung lebih sedikit bilirubin diglukoronida dan lebih banyak bilirubin
monoglukoronida daripada orang dewasa.
1,3,4

4. Sekresi bilirubin terkonjugasi
Setelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi hepatosit
melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Data dari penelitian pada hati tikus
menunjukkan bahwa transport bilirubin diglukoronida melalui membran kanalikuli dengan
menggunakan karier, elektrogenik, dan distimulasi oleh HCO3. Data serupa juga
menunjukkan bahwa bilirubin glukoronida dibawa melewati membran kanalikuli baik oleh
ATP dan membran potensial, sistem tergantung transport. Transporter tergantung ATP
yang bertanggungjawab terhadap pasase bilirubin glukoronida dari hepatosit melalui
membran kanalikuli adalah transporter anion organik kanalikuli multispesifik (CMOAT),
yang merupakan transporter yang terikat ATP dan homolog dengan proterin 2 multidrug
resistance.
Sebelumnya, CMOAT dianggap sebagai transporter anion organik non-asam empedu,
pompa glutathione S-conjugate dan pompa leukotrien. Mutasi genetik yang mengubah ATP
binding cassette transporter ini termasuk penyakit cystic fibrosis, hiperinsulinemia,
adrenoleukodistrofi, multidrug resistance dan Sindroma Dubin-Johnson. Mekanisme ini
dapat dipenuhi dengan meningkatkan jumlah bilirubin dan bilirubin terkonjugasi. Banyak
anion organik lainnya (misalnya: BSP, ICG), juga menggunakan mekanisme ekskresi
membran kanalikuli yang sama. Infus BSP dan ICG secara simultan mengurangi ekskresi
maksimal bilirubin, demikian juga sebaliknya, mekanisme ekskresi kanalikuli untuk
bilirubin dan BSP berbeda dengan yang untuk garam empedu. Ekskresi bilier untuk
bilirubin terkonjugasi dan BSP, berkurang pada pasien-pasien dengan sindroma Dubin-
Johnson walaupun ekskresi garam empedu tidak terpengaruh. Ekskresi garam empedu dan
bilirubin terkonjugasi oleh membran kanalikuli bukannya tidak terpengaruh sama sekali,
karena pemberian garam empedu meningkatkan ekskresi maksimal bilirubin terkonjugasi.
Efek serupa tampak pada pemberian fenobarbital. Sebaliknya, ekskresi maksimal bilirubin
terkonjugasi dapat berkurang pada pemberian zat-zat kolestatik, misalnya estrogen dan
steroid anabolik.
Dalam keadaan normal, ada bukti yang menunjukkan bahwa bilirubin terkonjugasi yang
seimbang menyeberangi membran sinusoid hepatosit, sehingga dalam sirkulasi dapat
ditemukan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi. Jika terjadi gangguan glukuronidase
hepatik bilirubin (misalnya pada neonatus), jumlah bilirubin terkonjugasi di dalam serum
berkurang. Data yang ada menunjukkan bahwa pada neonatus cukup bulan terdapat
peningkatan kadar bilirubin dikonjugat dalam serum (0,55 0,25% pada umur 2-4 hari,
sampai 1,62 0,99% pada umur 9-13 hari), yang konsisten dengan maturasi glukuronidasi
bilirubin. Sebaliknya, pada bayi prematur dengan usia kehamilan kurang dari 33 minggu,
kadar bilirubin diconjugates-nya sangat rendah, yang menunjukkan adanya gangguan
maturasi proses glukoronidasi.
Dalam banyak keadaan patologis, bilirubin mono dan diglukuronida tidak diekskresi cukup
cepat dari hepatosit untuk mencegah refluks ke sirkulasi. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi serum menyebabkan transesterifikasi bilirubin glukuronida dengan kelompok
amino dalam albumin, menghasilkan ikatan kovalen antara albumin dan bilirubin. Produk
ini terbentuk secara spontan, dan dikenal sebagai bilirubin delta, atau bilirubin-albumin.
Reaksi nonenzimatik serupa juga ditemukan antara albumin dan beberapa obat. Bilirubin
delta tidak terbentuk pada hiperbilirubinemia kecuali jika terdapat peningkatan fraksi
bilirubin terkonjugasi. Baik bilirubin delta maupun bilirubin terkonjugasi bereaksi
langsung yang menjelaskan suatu keadaan yang telah lama membingungkan para klinikus.
Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena:
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Defek konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin
5. Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena prosuksi yang berlebihan dan
sekresi yang menurun
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan
konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek. Penurunan ekskresi
bilirubin akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis,
sedangkan bila mekanismenya bersifat campuran, terjadi peningkatan bilirubin direk
maupun indirek.
1,3,4

5. Sirkulasi enterohepatik
Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus (Gb. 15.1), ada beberapa kemungkinan
terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan
menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan urobilinogen
(Gb. 15.4). Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya sejumlah
besar ikatan tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi dan oksidasi
dari ikatan-ikatan ini. Keluarga besar reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini dikenal sebagai
urobilinoid, diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling penting dalam peranannya
memproduksi urobilinoid adalah Clostridium ramosum, yang bekerja sama dengan
Escherichia coli. Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk
menghalangi absorpsi bilirubin di intestinal yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.
Neonatus hanya sedikit memiliki flora intestinal, sehingga lebih banyak mengabsorpsi
bilirubin dari intestinum. Perbedaan antara ekskresi pigmen empedu pada orang dewasa
dan pada neonatus, dibandingkan dalam Gb. 15.2 dan 15.3.
Di dalam intestinum, bilirubin terkonjugasi juga dapat bertindak sebagai substrat, baik
untuk bakterial maupun untuk -glukuronidase jaringan endogen. Enzim ini
menghidrolisis asam glukoronat dari bilirubin glukuronida. Bilirubin tak terkonjugasi yang
diproduksi, diabsorbsi lebih cepat dari intestinum.
Pada fetus, -glukuronidase sudah terdeteksi pada usia kehamilan 12 minggu dan diyakini
mempunyai peranan penting dalam mempercepat absorpsi bilirubin intestinum, yang
memungkinkan bilirubin dikeluarkan melalui plasenta. Setelah lahir, peningkatan kadar -
glukuronidase intestinal dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum.
Kemampuan -glukuronidase jaringan endogen untuk men-dekonjugasi bilirubin
glukuronida telah dibuktikan pada hewan-hewan yang steril. ASI dapat mengandung
banyak -glukuronidase, dan hal ini sudah diduga merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan tingginya kadar jaundice pada bayi-bayi yang mendapat ASI.
1,3,4































Gambar 15.2. Gambaran ekskresi
empedu pada orang dewasa,
dengan menggunakan Larutan
Khromatografi High Performance
Gambar 15.3. Gambaran ekskresi
empedu pada bayi baru lahir,
dengan menggunakan Larutan
Khromatografi High Performance








Gambar 15.4. Reduksi dan oksidasi bilirubin menjadi sebuah kelompok yang mempunyai
kesamaan komposisi yaitu urobilinoid.

P
e
n
y
e
r
a
p
a
n

(
4
3
6

n
m
)

P
e
n
y
e
r
a
p
a
n

(
4
3
6

n
m
)

P
e
n
y
e
r
a
p
a
n

(
4
3
6

n
m
)

Waktu retensi (mnt) Waktu retensi (mnt)


6. Penilaian jaundice
Jaundice dan ikterus, keduanya menunjuk kepada keadaan diskolorasi kuning pada
jaringan (kulit, sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice
berasal dari bahasa Perancis: jaune, yang berarti kuning. Ikterus berasal dari bahasa
Yunani: ikteros. Jaundice merupakan tanda adanya hiperbilirubinemia (misalnya kadar
total bilirubin serum lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan; 1 mg/dl = 17 M). Derajat
kuning berhubungan dengan kadar bilirubin serum dan jumlah deposisi bilirubin dalam
jaringan ekstravaskuler. Hiperkarotenemia dapat menyebabkan kulit berwarna kuning,
tetapi sklera akan tetap berwarna putih. Ada banyak keadaan yang berhubungan dengan
neonatal jaundice. Beberapa dari keadaan ini begitu umumnya sehingga disebut fisiologis.
Sebaliknya jaundice dapat merupakan tanda hemolisis, infeksi, ataupun gagal hati.
Pengukuran kadar total bilirubin serum menunjukkan beratnya jaundice. Pengukuran
semacam ini sangat sering dilakukan pada neonatus, dan ada penelitian yang menunjukkan
bahwa pengukuran ini dilakukan minimal satu kali dari 61% neonatus cukup bulan. Dua
komponen bilirubin total serum dapat diukur secara rutin di laboratorium klinik, yaitu
bilirubin terkonjugasi (disebut juga sebagai bilirubin direk, karena pada test van den
Bergh, pewarnaan dapat langsung terjadi tanpa penambahan metanol), dan bilirubin tak
terkonjugasi (yang disebut juga sebagai bilirubin indirek). Walaupun penggunaan kata
direk dan indirek sama dengan bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, tetapi sekarang
telah diketahui bahwa hal itu tidaklah benar-benar tepat, karena fraksi bilirubin direk
terdiri dari baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin delta. Peningkatan kadar bilirubin
yang manapun dapat menimbulkan jaundice.
Metode laboratoris otomatis yang dulu digunakan untuk mengukur kadar bilirubin serum
telah direvisi dimana-mana. Prosedur Jendrassik-Grof merupakan metode terpilih untuk
mengukur bilirubin total, walaupun prosedur ini juga mempunyai masalah. Jika kadar total
bilirubin serum tinggi, fraksi direk yang sebenarnya tidak meningkat dapat tampak seolah-
olah meningkat.
Tiga metode yang lebih baru yang telah dikembangkan dapat menentukan macam-macam
fraksi bilirubin (tak terkonjugsi, monokonjugasi, dikonjugasi, dan bilirubin yang terikat
albumin atau bilirubin delta) dengan lebih akurat: yaitu dengan high performance liquid
chromatography (HPLC), multilayered slides dan bilirubin oksidase. Analisis HPLC
memang yang terbaik, tetapi terlalu mahal dan memerlukan waktu yang terlalu banyak
untuk laboratorium klinik. Analisis HPLC untuk serum bayi normal pada 4 hari pertama
kehidupan menunjukkan bahwa kadar bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi
meningkat secara paralel dengan fraksi terkonjugasi hanya 1,2-1,6% dari pigmen total (3,6%
pada orang dewasa). Walaupun kadar absolut bilirubin terkonjugasi 2-6 x lebih tinggi pada
neonatus, hanya 20% dari bilirubin terkonjugasi yang merupakan dikonjugasi. Data HPLC
yang sensitif ini konsisten dengan peningkatan produksi bilirubin dan defisiensi relatif
glukuronidasi yang ditemukan pada neonatus. Saat ini sudah tersedia teknik analisis
dengan multilayered slides otomatis yang sudah digunakan di beberapa laboratorium
klinis. Hal ini memungkinkan pengukuran fraksi bilirubin terkonjugasi dan tak
terkonjugasi spesifik tanpa pengaruh bilirubin delta. Pengukuran kadar bilirubin
terkonjugasi merupakan indikator dini kolestasis bilier dibanding bilirubin direk, karena
lamanya waktu paruh bilirubin delta. Analisis terbaru dan perbandingan metode bilirubin
oksidase dengan metode sebelumnya untuk menentukan bilirubin total serum
menyimpulkan bahwa penentuan kadar bilirubin total serum pada neonatus tidak dapat
menggunakan metode ini.
Masih ada perdebatan tentang keakuratan kadar bilirubin serum dari vena dibandingkan
kapiler. Maxele telah membuat literatur tentang kernikterus, fototerapi, dan exchange
transfusion berdasarkan pengukuran kadar bilirubin kapiler.
Metode noninvasif untuk mengukur kadar jaundice sudah diterapkan pada neonatus,
misalnya dengan menggunakan jaundicemeter yang memakai reflectance
spectrophotometry untuk mengukur warna kulit. Jaundicemeter diletakkan di kulit dengan
perlahan-lahan, dan memberikan hasil berupa indeks jaundice. Sejumlah penelitian
sudah menunjukkan korelasi yang tinggi (r>0,9) antara indeks jaundice dan kadar bilirubin
serum. Di pasaran, jaundicemeter sudah dijual dengan beberapa variasi interinstrumen
untuk pengukuran berulang. Lebih jauh lagi, dalam suatu penelitian telah tampak bahwa
baik indeks jaundice pada usia 24 jam, dan ratio peningkatan indeks jaundice selama 24
jam pertama perkilogram berat badan, berguna untuk memperkirakan timbulnya
hiperbilirubinemia. Jaundicemeter telah dianjurkan sebagai sarana skrining yang berguna.
Sebagai tambahan, beberapa orang menyatakan bahwa warna kuning pada kulit merupakan
indikator risiko yang lebih baik untuk menilai kerusakan otak akibat bilirubin dibandingkan
kadar bilirubin serum. Metode yang lebih manual untuk menilai jaundice adalah dengan
menggunakan plexiglas color chart yang ditekan ke hidung bayi, ternyata berguna dan
lebih murah daripada jaundicemeter dalam penilaian jaundice. Saat ini telah
dikembangkan metode noninvasif yang lebih baru, yang dapat membaca bilirubin serum
dalam satuan miligram perdesiliter dan efektif terhadap semua warna kulit dan usia
kehamilan.
1,3,4


Neonatal Jaundice
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan timbul
segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin
dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami peningkatan
kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya kadar bilirubin serum, kulit menjadi
lebih jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak
ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki. Kramer menemukan kadar bilirubin indirek
serum sebagai perkembangan jaundice, kepala dan leher = 4-8 mg/dl, tubuh sebelah atas = 5-12
mg/dl, tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl, lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl,
telapak tangan dan telapak kaki jika >15 mg/dl, walaupun demikian jika kadar bilirubin >15
mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara terbaik untuk melihat jaundice adalah dengan menekan
kulit secara hati-hati dengan jari dibawah penerangan yang cukup. Setidaknya 1/3 bayi akan
tampak jaundice. Kombinasi analisis pada beberapa penelitian besar yang melibatkan ribuan
bayi berusia 1 minggu menunjukan bahwa moderate jaundice (kadar bilirubin <12 mg/dl)
tampak pada sekitar 12% bayi-bayi yang mendapatkan ASI dan 4% bayi yang mendapat PASI,
severe jaundice (kadar bilirubin >15 mg/dl) tampak pada 2% bayi yang mendapatkan ASI dan
0,3% bayi yang mendapat PASI.
Terjadi pergeseran dimana lama rawat ibu setelah melahirkan lebih singkat. Dua dekade
yang lalu, para ibu dan bayi dirawat di rumah sakit lebih dari 1 minggu setelah kelahiran normal
tanpa komplikasi selama perawatan. Selama di rumah sakit, jaundice dinilai setiap hari oleh
para dokter dan perawat sehingga dapat didiagnosis dan diterapi, sesuai dengan kegawatan
tingginya kadar bilirubin baru-baru ini, dengan kenaikan biaya kesehatan yang begitu tinggi dan
adanya organisasi pelayanan kesehatan untuk mengurangi biaya ini, lama perawatan menjadi 2
hari untuk kelahiran spontan dan 4 malam untuk kelahiran secara sectio caesaria. Banyak
orang yakin bahwa dalam dekade berikutnya, lama perawatan akan menjadi 6-12 jam setelah
melahirkan. Pada beberapa penelitian besar ditemukan bahwa bayi-bayi yang terlalu cepat
dibawa pulang (<30 jam) berisiko tinggi untuk dirawat kembali di rumah sakit karena jaundice
yang timbul dalam 1 bulan pertama.
2,5
Bayi yang baru lahir yang segara dibawa pulang, di rumah mengalami
hiperbilirubinemia (30-40 mg/dl) dan menjadi kernikterus. Walaupun ASI hari pertama post
partum memiliki keuntungan-keuntungan, salah satu kerugian adalah risiko yang berhubungan
dengan diagnosis severe hiperbilirubinemia yang terlambat. The American Academy of
Pediatrics telah merekomendasikan bahwa bayi-bayi yang dibawa pulang sebelum berumur 48
jam, perlu difollow up dalam 48 jam setelah pulang. Banyak dokter yang tidak mengikuti
rekomendasi ini walaupun pengaruh serius rawat inap yang singkat berpengaruh pada jaundice
neonatus. Jaundice dapat disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin, penurunan ekskresi
bilirubin, atau kombinasi mekanisme ini. Gb. 15.5 menampilkan satu pendekatan klinik untuk
menilai diagnosis ini. Pendekatan lain pun telah dipublikasikan. Walaupun Newman dan
kawan-kawan menemukan bahwa perolehan pengukuran bilirubin direk jarang menolong
karena spesifisitasnya rendah, lainnya menganjurkannya. Pengukuran kadar bilirubin
terkonjugasi dini sebagai uji skrining populasi yang dapat menegakkan diagnosis dini penyakit
hati pada neonatus. Buyhani dan kawan-kawan menganjurkan pengukuran bilirubin universal
untuk mengidentifikasi bayi-bayi yang berisiko menderita severe hiperbilirubinemia sebagai
dasar untuk pengukuran kadar bilirubin total serum spesifik sebelum bayi dibawa pulang.
Walaupun ada banyak penyebab neonatal jaundice, tetapi masih ada penyebab yang tidak
dapat diidentifikasi pada dari 447 bayi yang dievaluasi selama penelitian ini.
Batasan jaundice fisiologis telah digunakan untuk menerangkan jaundice yang sering
ditemukan pada neonatus yang betul-betul normal. Tetapi jaundice fisiologis merupakan hasil
dari beberapa faktor termasuk peningkatan produksi bilirubin dan penurunan ekskresinya.
Jaundice harus dianggap sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis.
Karakteristik spesifik neonatal jaundice harus dianggap tidak normal sampai terbukti
sebaliknya, termasuk yang timbul sebelum usia 36 jam, persisten selama 10 hari, berhubungan
dengan kadar bilirubin serum >12 mg/dl dalam waktu kapanpun, dan peningkatan fraksi
bilirubin direk (>2mg/dl atau 30% dari bilirubin serum total), dalam waktu kapanpun.
5,6
















Gambar 15.5. Pendekatan klinis ikterus neonatus

IKTERUS NEONATUS DI BAWAH UMBILIKUS

TOTAL BILIRUBIN


IKTERUS PATOLOGIS IKTERUS FISIOLOGIS


BILIRUBIN DIREK






HIPERBILIRUBINEMIA DIREK HIPERBILIRUBINEMIA INDIREK


CARI PENYEBAB DI SKRINING PENYAKIT HEMOLITIK
TEKSBOOK DAN EVALUASI PADA BAYI BARU LAHIR
(COOMBS TEST, GOL DARAH)



COOMBS TES NEGATIF COOMBS TES POSITIF


HEMOGLOBIN ATAU HEMATOKRIT


RENDAH ATAU NORMAL TINGGI
OBSERVASI
PERTIMBANGKAN PERIKSA ULANG
BILIRUBIN TOTAL
DX : ISOIMMUNISASI
- Rh
- ABO
- KELL, dll



ANGKA RETIKULOSIT

DX : POLISITEMIA
- TRANSFUSI MATERNAL-FETAL
- TWIN-TWIN TRANSFUSI
- KETERLAMBATAN KLEM TALI PUSAT
- HIPOKSIA INTRAUTERIN
- TINGGAL DI TEMPAT TINGGI
- PENYAKIT IBU (misal, DM)
- KECIL MASA KEHAMILAN



NORMAL MORFOLOGI SEL DARAH MERAH TINGGI


DX : - PERDARAHAN EKTRAVASKULER
DI JARINGAN TUBUH
- KENAIKKAN SIRKULASI
ENTERO HEPATAL ABNORMAL
- GANGGUAN METABOLIK
- PENGARUH HORMON ATAU
OBAT-OBATAN



TIDAK SPESIFIK DIAGNOSTIK


DX : - ABNORMALITAS ERITROSIT DX : - SFEROSITOSIS
- HEMOGLOBINOPATI - ELLIPTOSITOSIS
- DEFISIENSI ENZIM - STOMATOSITOSIS
- HEMOLISIS - PIKNOSITOSIS
- DIC
Ada sejumlah faktor epidemiologis yang berhubungan dengan neonatal jaundice yang
telah diulas. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin neonatus
adalah jenis kelamin laki-laki, berat lahir rendah, prematuritas, etnis tertentu (Oriental, Indian
Amerika, Yunani), obat-obatan pada ibu (misalnya oksitosin. Prometasin, obat yang
mengandung Hidroklorida, ketuban pecah dini, penurunan berat badan setelah lahir yang
cepat, keterlambatan pasase mekonium, pemberian ASI dan infeksi neonatus. Proses kelahiran
dengan ekstraksi vakum meningkatkan resiko sefalhematom dan neonatal jaundice. Data yang
ada menunjukan bahwa pankuronium berhubungan dengan peningkatan risiko
hiperbilirubinemia. Ada hubungan yang jelas antara kadar bilirubin serum tali pusat dengan
hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin ibu saat melahirkan dan gradien bilirubin transplasenta
juga mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi bilirubin serum neonatus. Faktor lain yang
berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin neonatus, termasuk ibu perokok, ras kulit
hitam dan obat-obat tertentu yang diberikan kepada ibu (termasuk fenobarbital).
2,5,6

1. Peningkatan produksi bilirubin
Penyebab tersering jaundice dini adalah inkompabilitas golongan darah fetus - ibu dengan
akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi
maternal. Eritrosit fetus membawa antigen yang berbeda yang dikenal sebagai benda asing
oleh sistem imun ibu yang membentuk antibodi untuk melawannya (sensitisasi ibu).
Antibodi ini (IgG) melewati barier plasenta ke dalam sirkulasi fetal dan terikat ke eritrosit
fetal. Pada inkompatibilitas Rh, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis
antibodi mengambil tempat dalam sistem retikuloendothelial fetus. Pada inkompabilitas
ABO, hemolisis terjadi intravaskular, complement-mediated dan biasanya tidak seberat
pada Rh disease, (misalnya Kell). Walaupun hemolisis berkaitan dengan peningkatan kadar
bilirubin tak terkonjugasi, fraksi bilirubin terkonjugasi juga dapat meningkat.
Inkompabilitas Rh biasanya baru muncul pada kehamilan kedua. Pemeriksaan golongan
darah sebelum kelahiran dan serial testing ibu-ibu dengan Rh negatif untuk pemeriksaan
antibodi Rh memberikan informasi penting sebagai pedoman penanganan intrauterin. Jika
antibodi Rh ibu timbul selama kehamilan, pengukuran-pengukuran yang dapat membantu
termasuk amniosintesis serial (dengan pengukuran bilirubin), USG fetus, tranfusi
intrauterin dan partus prematurus. Terapi profilaksis anti-D -globulin merupakan yang
paling membantu untuk mencegah sensitisasi Rh. Bayi yang baru lahir dengan
inkompabilitas Rh, tampak pucat, hepatosplenomegali dan cepat menjadi jaundice dalam
umur beberapa jam. Jika masalahnya berat, bayi dapat lahir dengan edema generalisata
(hidrops fetalis). Hasil pemeriksaan laboratoriumnya adalah retikulositosis, anemia,
Coombss test (+) dan peningkatan kadar bilirubin serum yang cepat. Exchange
transfusions merupakan terapi penting untuk bayi-bayi dengan kasus berat.
Inkompabilitas ABO biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic disease
terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan golongan
darah O. ABO hemolytic disease jarang timbul pada ibu dengan golongan darah A atau B.
Jaundice yang timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum >12 mg/dl
pada umur 3 hari adalah tipikal. Abnormalitas laboratorium termasuk retikulositosis
(>10%) dan Coombss test yang (+) lemah, walaupun kadang-kadang (-). Antibodi anti A
dan anti B dapat tampak pada serum sang bayi jika diperiksa pada umur beberapa hari
sebelum antibodi ini menghilang dengan cepat, sferositosis merupakan gambaran tersering
yang ditemukan pada sediaan apus darah tepi dari inkompabilitas ABO.
Darah ekstravaskular di dalam tubuh dapat dimetabolisme dengan cepat menjadi bilirubin
oleh makrofag jaringan. Contoh peningkatan produksi bilirubin termasuk sefal hematom,
ekimosis, petechie dan hemorhagis, walaupun diagnosisnya seringkali dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan fisik. Perdarahan intrakranial, intestinal maupun pulmonal juga dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia. Hal yang serupa juga terjadi jika darah tertelan, yang
akan dikonversi menjadi bilirubin oleh heme-oksigenase epitel intestinum. Tes Apt dapat
digunakan untuk membedakan darah ibu atau darah fetus karena adanya perbedaan
resistensi alkali antara Hb fetus dengan Hb orang dewasa.
Polisitemia dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, karena peningkatan jumlah sel darah
merah absolut menyebabkan peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan eritrosit
dengan kecepatan normal. Beberapa mekanisme dapat menyebabkan polisitemia neonatus
(yang biasanya didefinisikan sebagai PCV >65%), seperti yang diulas oleh Danish. Selama
pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi perdarahan dari sirkulasi maternal
kedalam sirkulasi fetal (maternal-fetal transfusion) atau karena keterlambatan penjepitan
tali pusat. Twin-to-twin transfusion juga dapat menyebabkan polisitemia. Serupa juga
hipoksia intrauterine dan penyakit-penyakit pada ibu seperti diabetes melitus dapat
menyebabkan polisitemia neonatus. Terapi untuk polisitemia simtomatik adalah partial
exchange-tranfusion, sedangkan untuk terapi polisitemia yang asimtomatik masih
kontroversial.
Jumlah abnormalitas spesifik yang berhubungan dengan eritrosit dapat menyebabkan
neonatal jaundice, termasuk hemoglobinopati, defek membrane eritrosit dan enzim.
Sferositosis herediter bukan merupakan masalah neonatal, tetapi krisis hemolitik dapat
timbul dan tampak sebagai peningkatan kadar bilirubin dan penurunan hematokrit.
Adanya riwayat keluarga dengan sferositosis, anemia atau penyakit batu empedu pada usia
<40 tahun, membantu menegakkan diagnosis ini. Karakteristik sferositosis yang tampak
pada apusan darah tepi tidak mungkin dapat dibedakan dari yang terjadi pada hemolitik
ABO. Anemia hemolitik lainnya yang berhubungan dengan neonatal jaundice termasuk
hemolisis akibat obat-obatan, defisiensi enzim-enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase, dll)
dan hemolisis yang diinduksi oleh vitamin A dan bakteri. Talasemia | dapat
mengakibatkan hemolisis berat dan hidrops fetalis letal. Talasemia | juga dapat tampak
sebagai hemolisis dan hiperbilirubin neonatal berat.
Ovalositosis pada orang-orang Asia Tengggara berhubungan dengan hiperbilirubinemia
berat. Obat-obatan atau zat dapat melewati plasenta ke dalam fetus atau melalui ASI.
Induksi partus dengan oksitosin tampak berhubungan dengan neonatal jaundice. Ada
hubungan yang signifikan antara hiponatremia dan jaundice pada bayi atau ibu yang
mendapatkan oksitosin untuk induksi partus. Efek vasopressin like - action dan oksitosin
memacu transport elektrolit dan air seperti pembengkakan eritrosit dan peningkatan
fragilitas osmotik dan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Pemberian steroid pada
permulaan pemberian oksitosin dan 4 jam berikutnya dapat mencegah hiperbilirubinemia
ini.
2,5,6

2. Penurunan ekskresi bilirubin
Peningkatan bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik diyakini merupakan hal yang penting
pada neonatal jaundice. Neonatal berisiko untuk mengabsorpsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga
lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase
dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang
mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora intestinal
untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid dan mekonium, intestinal
mengandung akumulasi selama kehamilan, mengandung bilirubin dalam jumlah yang
signifikan. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (misalnya penyakit
Hirschsprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan
hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium tampak berhubungan dengan kadar bilirubin
serum yang lebih rendah. Hal ini dapat dipicu dengan pengukuran-pengukuran suhu rektal
selama periode neonatal. Sirkulasi enterohepatik bilirubin dapat dihambat dengan
pemberian secara parenteral zat-zat yang mengikat bilirubin seperti agar, charcoal, dan
kolestiramin.
Pemberian ASI telah diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan neonatal
jaundice. Bayi-bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi-bayi yang mendapat susu formula. Pada usia 5 hari hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi ini dapat bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Jaundice selama minggu pertama kehidupan sering dideskripsikan sebagai breast-feeding
jaundice untuk membedakan dari breast-milk jaundice yang berhubungan dengan
kurangnya intake ASI. Mungkin ada overlapping antara keadaan-keadaan ini dan jaundice
fisiologis. Laporan terbaru yang menghubungkan breast-milk-jaundice dan neonatal
jaundice dengan steroid-pregnane 3o,20|-diol dalam sampel susu belum terbukti dari
penelitian terbaru dengan sampel yang lebih besar dan metode yang lebih sensitif. Diduga
sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu dengan glukoronidase atau zat lain di dalam
ASI, yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase
hepatik. Faktor lain yang mungkin berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat
ASI antara lain intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase
mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil tranferase oleh suatu faktor
dalam susu yang tidak dapat diidentifikasi. Lascari menyatakan bahwa bayi sehat yang
mendapat ASI dengan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi, mempunyai kadar Hb,
retikulosit dan apusan darah yang normal, tanpa inkompabilitas golongan darah dan tanpa
kelainan lain pada pemeriksaan fisik, dianggap mengalami early breast-feeding jaundice.
Karena tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa breast-
milk jaundice, maka penting untuk menyingkirkan penyebab-penyebab jaundice yang
dapat diobati sebelum menghubungkan hiperbilirubinemia dengan ASI. Beberapa bayi
dengan breast-milk jaundice menunjukan peningkatan kadar asam empedu, menandakan
adanya disfungsi hati ringan atau kolestasis walaupun pada umumnya ini bukanlah
masalah. Marsele dan Gifford menyarankan untuk menunggu sampai kadar bilirubin serum
mencapai 15 mg/dl sebelum evaluasi pada bayi sehat yang mendapat ASI. Beberapa inborn
error of metabolism dapat tampak sebagai neonatal hiperbilirubina, mungkin yang lebih
impresif adalah sindroma Crigler-Najjar atau jaundice nonhemolitik kongenital, yang
ditandai dengan defisiensi bilirubin glukoronil transferase hepatik herediter. Tanpa
kemampuan mengkonjugasi dan mengikat bilirubin, bayi-bayi ini akan tampak jaundice
dalam usia beberapa hari walaupun tes fungsi hatinya normal, jika tidak diterapi kadar
bilirubin serum dapat mencapai 25-35 mg/dl, dan berisiko untuk menjadi kernikterus. Ada
3 tipe Sindroma Crigler- Najjar. Tipe I dan II dibedakan dengan terapi fenobarbital, tipe I
tidak memberikan respon terhadap terapi ini dan tidak terdapat jumlah bilirubin yang
terkonjugasi yang signifikan di dalam empedu. Pasien-pasien tipe I membutuhkan terapi
seumur hidup dengan fototerapi nokturnal dan pencegahan sirkulasi enterohepatik. Pada
tipe II atau sindrom Arias, fenobarbital menyebabkan ekskresi bilirubin mono dan
diglukoronida. Walaupun hal ini berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum,
jaundice tetap ada secara signifikan ( 15 mg/dl) yang akhir-akhir ini disebut tipe III, tidak
seperti tipe I dalam hal tidak ada ekskresi bilirubin glukoronida, tetapi pasien-pasien tipe II
mengekskresi bilirubin mono dan diglukoronida terkonjugasi. Walaupun tidak separah
Sindroma Crigler-Najjar, GS juga berhubungan dengan meningkatnya neonatal jaundice.
Beberapa hormon dapat menyebabkan timbulnya hiperbilirubinemia neonatal tak
terkonjugasi, pasien-pasien dengan hipotiroidisme kongenital dapat mempunyai kadar
bilirubin serum >12 mg/dl. Prolonged jaundice tampak pada sepertiga bayi dengan
hipotiroidisme kongenital; serupa juga dengan itu, hipopituitarisme dan anensefali
berhubungan dengan jaundice akibat tiroksin yang tidak adekuat, yang diperlukan untuk
klirens bilirubin hepatik.
Obat-obatan tertentu berpengaruh terhadap metabolisme bilirubin dan menyebabkan
hiperbilirubinemia atau pergeseran bilirubin dari albumin. Penempatan ini meningkatkan
risiko kernikterus dan dapat disebabkan oleh sulfonamid, moxalactam, dan seftriakson.
Pankuronium bromida dan kloralhidrat dikatakan merupakan penyebab neonatal
hiperbilirubinemia. Bayi dari ibu diabetes berisiko mempunyai kadar bilirubin yang lebih
tinggi dan mempunyai risiko hiperbilirubinemia yang lebih tinggi dibandingkan neonatus
normal. Pasien-pasien ini menunjukan korelasi yang yang positif antara bilirubin total dan
hematokrit yang menandakan polisitemia. Alasan potensial lain untuk hiperbilirubinemia
termasuk prematuritas, defisiensi glukoronidase (akibat hipoglikemia) dan perfusi hati
yang buruk (baik akibat distress pernafasan, sirkulasi fetal persisten, maupun
kardiomiopati).
Sindroma Lucey-Driscoll ditandai dengan adanya riwayat neonatal hiperbilirubinemia
dalam keluarga, dimana ada hambatan in vitro glukoronil transferase baik oleh serum ibu
maupun bayi. Dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh hormon-hormon kehamilan.
Seringkali prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
masa neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas menurun pada
bayi prematur atau naik sejak usia kehamilan 30 minggu sampai mencapai kadar dewasa
pada 14 minggu setelah lahir. Sebagai tambahan, mungkin ada defisiensi uptake maupun
sekresi. Klirens bilirubin meningkat cepat setelah lahir. Hipoperfusi hati dapat
menyebabkan neonatal jaundice. Perfusi hati yang inadekuat dapat mengganggu uptake
dan metabolisme bilirubin hepatosit. Penyebabnya dapat berupa duktus venosus paten
(misalnya dengan sindroma distres pernafasan), gagal jantung kongestif dan trombosis
vena porta penyakit-penyakit hati spesifik juga dapat menyebabkan neonatal jaundice.
2,5,6

3. Peningkatan produksi dan penurunan sekresi bilirubin
Pada penyakit-penyakit neonatus dengan jaundice akibat peningkatan produksi dan
penurunan ekskresi bilirubin, baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin tak terkonjugasi
dapat meningkat. Sepsis bakterialis meningkatkan produksi bilirubin dengan meyebabkan
hemolisis eritrosit akibat hemolisis yang dihasilkan oleh kuman.
2

4. Toksisitas neonatal jaundice
Kernikterus (kern = nucleus, icterus = kuning) merupakan temuan neuropatologis yang
berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi berat dan dinamakan demikian
karena timbulnya warna kuning pada beberapa tempat di otak, misalnya ganglia basalis,
cerebelum, dan nuclei di dasar ventrikel ke IV. Manifestasi klinis yang berhubungan
dengan kernikterus disebut bilirubin ensefalopati, termasuk gangguan refleks Moro,
opistotonus, hipotonia, vomitus, high-pitch cry, hiperpireksia, kejang, setting sun sign,
krisis okulogirik, dan kematian. Manifestasi jangka panjang berupa spastisitas,
koreoatetosis, dan tuli sensorineural. Bentuk ringan bilirubin ensefalopati termasuk
disfungsi kognitif dan gangguan belajar. Pada anak laki-laki 17 tahun mempunyai risiko
IQ<85 lebih tinggi pada mereka yang sewaktu bayinya adalah bayi cukup bulan yang kadar
bilirubinnya >20 mg/dl. Walaupun periode neonatal merupakan waktu paling sering
timbulnya kerusakan otak akibat bilirubin, efek neurotoksisitas bilirubin juga tampak pada
sindroma Crigler-Najjar tipe I.
Kadar absolut bilirubin serum bukanlah prediktor yang baik untuk menentukan risiko
severe neonatal jaundice. Tetapi sudah lama diketahui bahwa kernikterus berhubungan
dengan keadaan bilirubin >30 mg/dl dan jarang terjadi jika <20 mg/dl. Pada suatu
penelitian, 90% pasien yang mempunyai kadar bilirubin >35 mg/dl akan meninggal,
menjadi cerebral palsy atau retardasi fisik. Sebaliknya tidak ada retardasi perkembangan
yang ditemukan pada 129 orang bayi dengan kadar bilirubin <20 mg/dl. Kadar albumin
merupakan variabel yang penting karena afinitasnya yang tinggi dengan bilirubin. Obat-
obatan dan anion organik juga mengikat albumin dan dapat menggeser bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin bebas yang dapat berdifusi ke dalam sel dan menyebabkan
toksisitas. Contoh yang paling sering dalam hal ini adalah kernikterus yang muncul dengan
kadar bilirubin yang rendah jika pada bayi-bayi prematur diberikan sulfisoksazol. Bilirubin
yang dipicu oleh obat merupakan risiko ensefalopati bilirubin pada bayi cukup bulan
apabila kadar bilirubin meningkat >20 mg/dl, walaupun demikian bilirubin total serum
bukan merupakan faktor terpenting yang berhubungan dengan risiko. Saat ini ada beberapa
pemeriksaan ( saturasi albumin, kapasitas ikat bilirubin atau bilirubin bebas) yang lebih
membantu dalam mengidentifikasi bayi-bayi yang berisiko untuk terkena bilirubin
ensefalopati. Pendekatan lain bertujuan untuk mengukur perubahanperubahan dini pada
SSP yang disebabkan oleh bilirubin bisa dinilai dengan brainstem auditory evoked
potentials (BAEPs). Abnormalitas pada BAEP akan tampak pada bayi dengan jaundice dan
akan membaik setelah exchange transfusion. Data menunjukan bahwa hiperbilirubinemia
derajat sedang (SD = 14,3 2,8 mg/dl) mempengaruhi BAEPs. Tampak gambaran
komponen spesifik Brazelton Neonatal Behavioral Assessment Scale, dan karakteristik
tangisan. Data dari penelitian pada tikus Gunn menunjukkan bahwa perbedaan gelombang
binaural (perbedaan antara 2 monoaural gelombang BAEP dan binaural BAEP) merupakan
metode yang sensitif untuk mendeteksi toksisitas bilirubin. Evoked potential
somatosensoris yang melalui ganglia basalis, suatu tempat yang sering terpengaruh
kernikterus, juga menunjukan abnormalitas pada jaundice dan dianggap sebagai cara lain
untuk mengawasi pengaruh bilirubin pada SSP. Tetapi, saat ini baik BAEP maupun evoked
potential somatosensoris bukan merupakan pengukuran rutin untuk menilai potensi
toksisitas bilirubin.
5. Penanganan jaundice neonatorum
Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah sakit
pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah
menentukan penyebabnya. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan fraksi bilirubin tak
terkonjugasi dalam serum dapat menyebabkan kernikterus seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-langkah penanganan
harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat yang mengikat albumin dan menggeser
bilirubin sehingga menyebabkan kernikterus. Walupun sudah diketahui bahwa sulfonamid
merupakan zat yang paling dapat menggeser bilirubin, obat-obat yang lebih baru misalnya
seftriakson juga kuat menggeser bilirubin, sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin
ensefalopati. Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara
lain fototerapi, exchange tranfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.
Pilihan-pilihan terapi ini masih terus diteliti.
Fototerapi terdiri dari radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang berasal dari
lampu akan merubah struktur molekul bilirubin dengan dua cara sehingga bilirubin
diekskresi ke empedu atau urin tanpa membutuhkan glukuronidase hepatik seperti
biasanya. Perubahan rotasi 18 di sekitar ikatan rangkap antara cincin A-B atau C-D,
merubah konfigurasi Z yang normal menjadi konfigurasi E 4Z,15 E. Bilirubin di-re-
isomerisasi secara spontan menjadi bilirubin alami, lebih penting lagi struktur cincin
ketujuh dapat dibentuk antara cincin A dan B dan menghasilkan hemirubin dan
siklobilirubin. Sekarang terlihat bahwa pembentukan hemirubin terjadi melalui
intermediate isomer 4E,15Z; kedua perubahan mempengaruhi ikatan hidrogen internal
dalam bilirubin alami, dengan menambahkan kelompok asam propionat akan menjadi
isomer E yang lebih polar dan hemirubin dapat langsung diekskresi ke dalam empedu.
Tampaknya, hemirubin merupakan cara utama eliminasi bilirubin dengan fototerapi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus (atau biru super,
tapi bukan biru biasa) tampaknya lebih baik dari sinar putih atau hijau, walaupun warna
putih lebih tidak mengganggu terhadap paramedis. Saat ini sudah tersedia fototerapi baru
menggunakan woven fiberoptic pads, yang efektif (dibandingkan dengan foto
konvensional) dan aman. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah supaya
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Saat ini fototerapi
banyak dilakukan di rumah, suatu praktek yang dianjurkan oleh American Academy of
Pediatrics. Selain komplikasi yang telah diketahui, fototerapi sudah digunakan secara luas
dan secara umum dianggap aman. Walaupun fototerapi memang mempengaruhi cardiac
output dan aliran darah ke organ lain (misalnya, meningkatkan aliran darah ke otak), dan
dapat dihubungkan dengan pembukaan duktus arteriosus, efek ini secara umum bukanlah
masalah pada bayi yang ekstrim prematur (berat badan lahir kurang dari 800 gram).
Prolonged fototherapy dan rendahnya kadar bilirubin serum (9,4 mg/dl) dikatakan
berhubungan dengan kebutaan. Hal ini dapat berkaitan dengan efek langsung sinar pada
mata imatur yang tidak dilindungi atau penurunan proteksi antioksidan akibat rendahnya
kadar biliribin serum. Fototerapi sebaiknya tidak dilakukan tanpa sebelumnya dilakukan
evaluasi diagnostik penyebab jaundice. Walaupun sudah dianjurkan agar posisi bayi diubah
tiap 6 jam selama mendapat fototerapi, tetapi ada data dari suatu penelitian bahwa
perubahan posisi tidak berpengaruh terhadap kadar bilirubin serum. Suatu penelitian yang
melibatkan 164 bayi (beberapa di antaranya dengan jaundice hemolitik) yang mendapat
fototerapi selama 121 jam tidak mengalami rebound hyperbilirubinemia. Hal serupa juga
juga didapatkan pada 163 bayi matur dengan jaundice nonhemolitik yang mendapat
fototerapi selama 54-65 jam. Bayi-bayi sehat cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika
kadar bilirubin serum sudah < 14-15 mg/dL, sehingga bayi dapat dipulangkan tanpa perlu
mengamati rebound.
Exchange tranfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi bilirubin
serum. Indikasi exchange tranfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya
anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum. Pada penyakit hemolitik neonatal,
indikasi tranfusi antara lain adalah anemia (hematokrit <45%), direct Coombss test (+),
dan kadar bilirubin darah umbilikus >4 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1
mg/dl/jam selama lebih dari 6 jam, anemia progresif dan kecepatan peningkatan kadar
bilirubin serum >0,5 mg/dl/jam. Kadang-kadang exchange tranfusion untuk kasus
hemolisis dapat dihindari dengan menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi.
Indikasi exchange tranfusion atas hiperbilirubinemia sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15
mg/dl selama lebih dari 48 jam, (2) indeks saturasi salisilat >8,0 dan HABA binding <50%
pada 2x pengambilan berjarak 4 jam, (3) rasio kadar bilirubin total serum (mg/dl)
dibanding kadar protein total serum (g/dl) >3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum
dibanding kadar protein total serum >0,7. Walaupun banyak risiko exchange tranfusion
yang telah dijabarkan, angka mortalitasnya masih rendah (<0,6%) jika dilakukan dengan
benar.
Ada sejumlah pendekatan farmakologis untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia
neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian parenteral. Zat-zat
yang dapat mengikat bilirubin dalam intestinum dan mencegah resorbsi zat-zat ini antara
lain adalah agar, kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat. Mungkin akan terjadi
peningkatan peristaltik usus sebagai suatu upaya untuk mempersingkat waktu absorbsi
bilirubin. Pemberian makanan yanng sering dan stimulasi rektal berhubungan dengan
penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian bilirubin oksidase parenteral, suatu enzim
yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan produk lainnya, merupakan cara
lain untuk menghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai saat ini masih diuji coba.
Pendekatan eksperimental lain menggunakan bilirubin oksidase intravena.
Karena aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa
induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini pada
neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada ibu
sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram)
memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi. Pada periode pasca
natal, penggunaan fenobarbital pada neonatus juga mempunyai efek penurunan bilirubin
yang sama. Klofibrat sebagai terapi farmakologi yang sederhana dan non toksik. Yang dapat
menginduksi BUGT , di Perancis digunakan untuk mencegah dan mengobati neonatal
jaundice.
Optimisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar bilirubin
meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan interval 2
jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya 8-10x per 24 jam. Ada
hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi
akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi
bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi
pasase mekonium. Kadar bilirubin serum berapa yang memerlukan penghentian ASI masih
kontroversial antara 14-20 mg/dl. Jika pemberian ASI dihentikan, pemberian PASI dapat
dimulai selama 24-48 jam, atau ASI dan PASI diberikan selang seling. Belum ada penelitian
yang menunjukan efektivitas dari segi biaya tentang susu formula dan efeknya untuk
menurunkan jaundice, walaupun dua penelitian yang terpisah menunjukan bahwa bayi-
bayi yang hanya diberi susu formula dengan hidrolisat kasein akan mengalami jaundice
yang lebih ringan dibanding bayi yang mendapat susu formula biasa. Pemberian ASI yang
dipanaskan juga dikatakan dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penurunan kadar
bilirubin serum 2-5 mg/dl sesuai dengan diagnosis breast-milk jaundice. Jadi pemberian
ASI dapat dilanjutkan, karena walaupun kadar bilirubin serum dapat meningkat selama
beberapa hari, tetapi akan turun lagi secara bertahap. Jika pemberian ASI dilanjutkan lagi,
penting untuk memberikan ASI dengan menggunakan pompa payudara. Pada suatu
penelitian, penghentian ASI selama 50 jam (selama pemberian susu formula) tampak
mempunyai efek penurunan bilirubin yang sesuai dengan pemberian fototerapi.
Penghentian ASI selama 24-48 jam berhasil menurunkan kadar bilirubin serum dan
menurunkan kebutuhan fototerapi pada 81-87 bayi jaundice. Pemberian susu formula pada
bayi-bayi Asia menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum yang lebih besar daripada
bayi-bayi yang mendapat ASI. Konseling yang cermat dan pemberian dukungan dapat
mencegah penghentian ASI sementara supaya tidak dihentikan selamanya.
Pendekatan alternatif untuk mengatasi neonatal hiperbilirubinemia adalah dengan
menahan enzim pertama yang bertanggungjawab terhadap produksi bilirubin adalah heme
oksigenase. Sn-protoporfirin telah sukses digunakan pada terapi eksperimental jaundice
pada neonatal jaundice dengan inkompatibilitas ABO. Penanganan neonatal jaundice
dengan penghambatan heme oksigenase saat ini masih dalam tahap eksperimen, walaupun
penelitian klinik tampaknya menjanjikan. Sebagai tambahan, untuk menghambat produksi
bilirubin, metaloporfirin merupakan fotosensitizer yang dapat mempercepat destruksi
bilirubin oleh cahaya, tetapi juga dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan.
Sekarang CO dianggap merupakan neurotransmiter yang signifikan dan penghambatan
aktivitas heme oksigenase pada awal kehidupan bukanlah merupakan proses yang tidak
berbahaya. Pemikiran besar tentang metaloporfirin masih memerlukan penelitian jangka
panjang untuk mengetahui keamanannya.
Tetapi percobaan lain untuk hiperbilirubinemia neonatal adalah hemoperfusion. Penelitian
tentang metode ini telah menjalankan hemoperfusion dengan ion-exchange, bilirubin
oksidase dan sorben. Hemoperfusi sodium bezoat-augmented memberikan hasil yang
memuaskan pada anjing.
2,5,7


Daftar Pustaka
1. Alpay F, Sarici SU, Tosuncuk HD. The value of first day bilirubin measurement in predecling the
development of significant hyperbilirubinemia in healthy term newborn. Pediatrics 2000; 106(2): e16.
2. Gourley GR. Neonatal jaundice and disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Suchi FY, Sokol RJ, Belistreri
WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Lippincott; Williams & Wilkins: 2001: h.275-314.
3. Maisels NY. Gifford K, Antle CE, Leib GR. Jaundice in the healthy newborn infant: A New Approach to an
old problem. Pediatrics 1988; 31: 505-11.
4. Robert EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Disease of the liver and biliary system in
children. Foreword by Sherlock DS. London; Blackwell Science: 1999: h.11-45.
5. Gartner LM. Neonatal jaundice. Pediatrics in Review 1994; 11: 422-32.
6. Maisels NY. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Cure of the high risk
neonate. Edisi ke-5. Philadelphia; WB Saunders: 2001: h.324-61.
7. Schwartz NW. Jaundice. Clinical handbook of pediatrics. Baltimore; William & Wilkins: 1999: h.420-8.


BAB XVI
HEPATITIS VIRUS
Sjamsul Arief
Ilustrasi Kasus
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun, dibawa ke poliklinik karena demam yang sudah
berlangsung selama 3 hari dan badan terasa lemah. Dari pemeriksaan fisik, anak tampak
lemah, perut sakit, demam, dan nyeri kepala. Badan dan sklera tampak kuning. Batas bawah
hepar teraba 5 cm bawah arkus kosta, dan nyeri tekan. Di lingkungan rumahnya pernah ada
tetangganya yang sakit serupa dan sedang dirawat di rumah sakit. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan SGOT, SGPT meningkat dan fosfatase alkali meningkat.

Pendahuluan
Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat
disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun.
Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak
hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi tersebut. Pada
makalah ini hanya diuraikan tentang hepatitis virus. Hepatitis virus masih merupakan masalah
kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara maju.
1,2
Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik dimana hati merupakan organ target
utama dengan kerusakan yang berupa inflamasi dan/atau nekrosis hepatosit serta infiltrasi
panlobular oleh sel mononuklear. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini
identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat sedikitnya 6
jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G.
Semuanya memberi gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik,
sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Kecuali virus hepatitis G yang
memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat
berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis
atau timbulnya karsinoma hepatoselular. Virus hepatitis A, C, D, E, dan G adalah virus RNA
sedang virus hepatitis B adalah virus DNA. Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak
menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B, D, dan C dapat menyebabkan infeksi
kronis.
1,3,4
Diagnosis Banding
Dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati, harus diingat adanya virus
lain yang memberikan gejala hepatitis sebagai salah satu komponen dari gejala sistemik. Virus
herpes simpleks (HSV), virus sitomegalo (CMV), virus Epstein-Barr, varicella, rubella,
adenovirus, enterovirus, arbovirus, dan HIV dapat memberi gejala hepatitis walaupun bukan
merupakan virus hepatotropik. Selain itu usia penderita memegang peranan penting dalam
menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati. Pada usia neonatus, ikterus fisiologis,
neonatal hepatitis, penyakit hemolitik, dan sepsis memberikan gejala menyerupai hepatitis.
Sedangkan kelainan metabolik seperti fruktosemia, tirosinemia, defisiensi alfa-1-antitripsin,
maupun kelainan anatomis seperti atresia biliaris dan kista duktus koledokus, memberikan
gejala klinis hepatitis. Pada bayi dan anak, infeksi malaria, leptospirosis, bruselosis, infeksi
berat pada keganasan, batu empedu, dan sindroma hemolitik-uremik juga memberikan gejala
hepatitis. Sindroma Reye dapat meyerupai gejala gagal hati fulminan. Obat-obatan seperti
asetaminofen, isoniazid, asam valproat, dan halotan juga dapat memberikan gejala hepatitis.
1,3,4


Daftar pustaka
1. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric Gastrointestinal Disease.
B.C. Decker Inc. Philadelphia 1
st
. 1991:857-874.
2. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious
disease. 1999; 180(2): 509-13.
3. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of
Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2
nd
ed. 1999:827-70.
4. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of
pediatrics. Saunders. Philadelphia 17
th
ed. 2004:1324-32.



HEPATITIS A
Pendahuluan
Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup.
Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania, dan
Amerika Selatan dimana anak yang berusia sampai 5 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A
(HAV) dalam bentuk subklinis sehingga lebih dari 75% memiliki anti HAV (+).1,4,7

Pada anak yang terinfeksi HAV, hanya 30% yang menunjukkan gejala klinis (simtomatis),
sedangkan 70% adalah subklinis (asimtomatis). Bentuk klasik yang meliputi 80% penderita
simtomatis biasanya akut dan sembuh dalam waktu 8 minggu, tetapi dapat terjadi bentuk yang
berbeda yakni protracted, relapsing, fulminant, cholestatic, autoimmune trigger, dan
manifestasi ekstrahepatik seperti gagal ginjal akut, hemolisis yang sering terjadi pada penderita
defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), efusi pleural dan perikardial, gangguan
neurologis, vaskulitis, dan artritis. Manifestasi ekstrahepatik timbul karena adanya kompleks
imun yang beredar dalam sirkulasi.
1,2,3,4

Sejarah
- Tahun 1820-1879: lebih dari 50 epidemi hepatitis terutama saat peperangan terjadi di
Eropa, mungkin disebabkan oleh hepatits A.
- Tahun 1912: Cockayne memberi nama hepatitis infeksiosa untuk penyakit kuning yang
menular.
- Tahun 1923: Blummer membuat ringkasan tentang penyakit ini dari evaluasi kasus epidemi
jaundice di Amerika Selatan.
- Tahun 1950-1970: Krugman meneliti pola epidomiologi untuk tujuan pencegahan.
- Tahun 1973: virus hepatitis A terlihat pada mikroskop elektron.

Virologi
HAV adalah virus RNA 27-nm nonenvelop, termasuk genus Hepatovirus, famili
Picornavirus. Genom terdiri atas 5NTR-P1-P2-P3-3NTR. VHA bersifat termostabil, tahan
asam, dan tahan terhadap empedu sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat 4
genotipe tapi hanya 1 serotipe. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena mekanisme
imun yang diperantarai sel-T. Infeksi HAV tidak menyebabkan terjadinya hepatitis kronis atau
persisten. Infeksi HAV menginduksi proteksi jangka panjang terhadap re-infeksi.
Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat
menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi
serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan. Transmisi HAV pada manusia
melalui rute fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui
vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV
matur yg sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama
feses.
5,6,7,8

Epidemiologi
Di negara berkembang dimana HAV masih endemis seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia
Tengah, dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir mencapai 100% pada anak berusia
10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35%-45%
pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5
tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Penelitian seroprevalensi di Yogyakarta
tahun 1997 menunjukkan 30-65% dari umur 4 tahun sampai 37 tahun (juffrie et al). Pada tahun
2008 terjadi outbreak yang terjadi disekitar kampus universitas Gadjah Mada yang menyerang
lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari pedangan kaki lima yang berada sekitar
kampus (harikus ). Di negara maju prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan
usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang.
Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi hepatitis A sehingga
kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih tua, diikuti konsekuensi timbulnya
gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan gejala klinis ringan atau subklinis, sedangkan
infeksi pada dewasa memberi gejala yang lebih berat. Walaupun jumlah infeksi pada dewasa
berkurang tetapi kasus hepatitis A akut yang manifes maupun berat, dan kadang-kadang
fulminan lebih sering dijumpai.
9,10

Patogenesis
HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit, dan
melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses replikasi
ini tidak terjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa HAV diikat oleh
imunoglobulin A (IgA) spesifik pada mukosa saluran pencernaan yang bertindak sebagai
mediator antara HAV dengan hepatosit melalui reseptor asialoglikoprotein pada hepatosit.
Selain IgA, fibronectin dan alfa-2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV. Dari hepar HAV
dieliminasi melalui sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum timbulnya gejala klinis
maupun laboratoris. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum sepenuhnya dapat
dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung menyimpulkan adanya suatu
mekanisme imunopatogenetik. Tubuh mengeliminasi HAV dengan melibatkan proses
netralisasi oleh IgM dan IgG, hambatan replikasi oleh interferon, dan apoptosis oleh sel T
sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/ CTL).
2,11,12,13

Gejala klinis
Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri
perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, dan jarang
terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya
(70%) simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu :
1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28 hari).
2. Masa prodromal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih. Gejalanya adalah
fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah
kanan atas, demam (biasanya < 39
o
C), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda
yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh feses
yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi
kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan, ikterik menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4 minggu
setelah onset.

Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, tetapi
relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya petanda viremia persisten
maupun penyakit kronis.
3,6,11,12,14,15,16

Terdapat 5 macam gejala klinis:
1. Hepatitis A klasik.
Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum
jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simtomatis mengalami jenis klasik ini. IgG anti-
HAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari
kompleks IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah
terjadinya relaps.

2. Hepatitis A relaps.
Terjadi pada 4%-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah sebelumnya
dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis
dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum
timbulnya relaps. Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.
3. Hepatitis A kolestatik.
Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis
dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST,
ALT, dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap
tinggi.
4. Hepatitis A protracted.
Pada bentuk protracted (8.5%), clearance dari virus terjadi perlahan sehingga pulihnya
fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar
ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan
lobular hepatitis.

5. Hepatitis A fulminan.
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian.
Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu protrombin.
Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua
yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya
bentuk fulminan ini.

Diagnosis
Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV. Antibodi ini
ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan
IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai beberapa dekade,
memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam cairan tubuh
dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR) tetapi biayanya mahal dan biasanya
hanya dilakukan untuk penelitian.
Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit maupun
prognosisnya. Pemanjangan waktu (masa) protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas
seperti pada bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis
hepatitis A.
17,18,19,20

Pengobatan
Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengan
pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin.
Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan rawat
inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per oral, kadar
SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.
4,20,21,22,23
Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya
asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka
pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu
protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah: (1)
pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) umur penderita kurang dari 10 tahun
atau lebih dari 40 tahun, dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17 mg/dl atau waktu sejak dari
ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.
19,21,22,23,24,25

Gambar 16.1. Pola respons terhadap infeksi HAV.

Pencegahan
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih
diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang
0 4 8 12 16 20
Fekal HAV
Anti-HAV (IgG)
Anti-HAV (IgM)
Infeksi
Simtomatis
dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati
kronis. Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu : perbaikan higiene makanan-
minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (samapai dengan 2
minggu sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk
imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan imunoglobulin (IG), dan imunisasi aktif dengan
inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan Avaxim).
15,16,22

Imunisasi pasif
Indikasi pemberian imunisasi pasif:
1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita.
2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau
keluarganya menderita hepatitis A.
3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A.
4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara
dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada
usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak
dibawah 2 tahun.

Dosis 0,02 ml/kgBB untuk perlindungan selama 3 bulan, dan 0,06 ml/kg untuk
perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh diberikan dalam
waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella,
varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenisitas vaksin. Imunogenesitas vaksin HAV tidak
terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama.
7,26,27,28


Tabel 16.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah
paparan.

Kejadian Lama perlindungan dalam
bulan
Dosis IG
(ml/kgBB)
Sebelum
paparan
Jangka pendek (1-2) 0.02
Saat paparan Jangka panjang (3-5) 0.06
Sesudah
paparan
- 0.02
Sumber: Snyder
19

Imunisasi aktif
Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix
TM
(Smith Kline Beecham) dan Vaqta
TM

(Merck), Avaxime
TM
(Avantis Pasteur). Semuanya berasal dari inaktivasi dengan formalin dari
sel kultur HAV. Havrix
TM
mengandung preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan Vaqta
TM

tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan
pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini.
7,26,27,28
Tabel 16.2. Dosis Havrix
TM
yang dianjurkan

Umur anak
(Tahun)
Dosis (EL.U) Volume
(mL)
Jumlah
dosis
Waktu dalam
bulan
2-18 720 0.5 2 0.6-12
>18 1440 1.0 2 0.6-12
Sumber: Snyder
19

Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik rata-
rata anti-HAV pada Vaqta
TM
lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/l pada
Havrix
TM
dan 10 mIU/l pada Vaqta
TM
mempunyai nilai protektif. Kadar protektif antibodi
mencapai 88% dan 99% pada Havrix
TM
dan 95% dan 100% pada Vaqta
TM
pada bulan ke-1 dan
ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau
lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi.
Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada
vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma Guillain-
Barre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak
berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi.

Indikasi imunisasi aktif:

1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi.
2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak.
3. Homoseksual.
4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini yang
mengidap hepatitis C kronis.
5. Peneliti HAV.
6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi
hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat.
7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX.

Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita,
maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi
untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status
imunologi dalam masyarakat.
Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi
berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan
tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur
hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV
pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar
antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan
pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.
7,26,27,28


Daftar Pustaka
1. Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou JP, Rizetto M, et al, Eds. Oxford Textbook of Clinical
Hepatology 2
nd
ed. Oxford University Press. 1999: 1-15.
2. Kekez AJ. Treatment of viral hepatitis in children. Acta medica Croatia. 2005.
3. Tong MJ, El-Farra NS, and Grew MI. Clinical manifestation of hepatitis A: recent experience in community
teaching hospital. J Infect Dis. 1995: S15-S18.
4. Vallbracht A, Maier K, Stierhof YD, et al. Liver-derived cytotoxic T cell in hepatitis A virus infection. J Infect Dis.
1989; 160: 209-217. Citation.
5. Inman RD, Hodge M, Johnston ME, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with relapsing hepatitis A
virus infection. Ann. Intern. Med. 1986; 105: 700-703. Citation.
6. Kemmer NM, Mikovsky EP. Infection of the Liver, Hepatitis A. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 1-11.
7. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Hepatitis A virus infection and the interferon system. J Infect Dis. 1985;
152: 211-213. Citation.
8. Weitz M, Siegl G. Structure and molecular virology of hepatitis A. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral
Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993: 21-34.
9. Dentinger CM, Heinrich NL, Bell BP, et al. A prevalence study of hepatitis A virus infection in a migran
community: Is hepatitis A vaccine indicated. J Pediatr. 2001; 138: 705-9.
10. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious
disease. 1999; 180(2): 509-13.
11. Han Y, Hillman M, Oren R, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with persisting cholestatic hepatitis
A virus infection. Am J Gastroenterol. 1990; 85: 585-587. Citation.
12. Koff R. Hepatitis A. Lancet. 2000; 341: 1643-1649.
13. Margolis HS, Nainan OV. Identification of virus components in circulating immune complexes isolated during
hepatitis A virus infection. Hepatology. 1990; 11: 31-37. Citation.
14. Jacobson IM, Nath BJ, and Dienstag JL. Relapsing viral hepatitis type A. J Med Virol. 1985; 16: 163-169.
15. Lemon SM, Binn LN. Serum neutralizing antibody response to hepatitis A virus. J Infect Dis. 1983; 148: 1033-
1039. Citation.
16. Sherlock S. Disease of the liver; 10
nd
ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 1999: 1-15.
17. Feinstone SM, Kapikian AZ, Purcell RH. Hepatitis A: Detection by immune electron microscopy of a virus like
antigen associated with acute illness. Science. 1973; 182: 1026. Citation.
18. Glikson M, Galin E, Oven R. Relapsing hepatitis A. Review of 14 cases and literature survey. Medicine. 1992; 71:
14-23. Abstract.
19. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of
pediatrics, 16
th
ed, W.B. Saunders Co. 2000: 768-75.
20. Sulaiman HA, Junitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan penerbitan IDI. 1995: 1-15.
21. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007;
38(6): 702-10.
22. Keeffe EB. Clinical reviews: Is hepatitis A more severe in patient with chronic hepatitis B and other chronic liver
diseases. Am J Gastro. 1995; 90: 201-05.
23. Sathiyasekara M. Management of viral hepatitis in children. National conference of pediatric infectious disease.
2006.
24. Schneider ZS, Mohan P. Treatment of Viral Hepatitis in Children. Childrens National Medical Center,
Washington, DC, USA. 2009.
25. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Cell-mediated cytotoxicity and hepatitis A virus infection. Hepatology.
1986; 6: 1308-1314. Abstract.
26. Dotzauer A, Gebhardt U, Bieback K, et al. Hepatitis A Virus-Specific Immunoglobulin A Mediates Infection of
Hepatocytes with Hepatitis A Virus via the Asialoglycoprotein Receptor. J Virol. 2000; 74: 10950-10957.
27. Lemon SM. Type A Viral Hepatitis. In: Prieto J, Rodes J, Shafritz DA. Hepato Biliary Diseases. Berlin Springer
Verlag. 1992: 495-510.
28. Stapleton JT, Lange DK, LeDuc JW, et al. The role of secretory immunity in hepatitis A virus infection. J Infect
Dis. 1991; 163: 7-11. Citation.


HEPATITIS B
Pendahuluan
Pada tahun 1965, Blumberg dan rekan-rekannya di Philadelphia menemukan antibodi
pada darah penderita hemofilia yang bereaksi terhadap antigen pada serum dari orang Aborigin
Australia. Antigen ini ditemukan pada penderita hepatitis virus dan dinamai antigen Australia
yang sekarang telah diketahui sebagai HBsAg.


Virologi
Virus hepatitis B (HBV) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1
dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan
pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat
menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus
hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200
nukleotida dengan diameter 42 nm dan dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3
komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan
partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi,
komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan
karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian
dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcAg)
yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein kinase untuk replikasi
virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HBeAg).
Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal,
pankreas, dan terutama hati. HBeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya
infeksi.
1,2,3,4,5,6,7
Telah ditemukan beberapa genotip dan serotip antigen berdasar pada subdeterminan
HBsAg. Grup a paling banyak terdapat pada semua isolat, dan antibodi terhadap determinan
a ini memberi kekebalan terhadap semua serotipe HBV. Subdeterminan yang lain adalah d, y,
w dan r sehingga 4 determinan utama mencakup adw, adr, ayw, dan ayr. Selain 4
subdeterminan tersebut, mutasi jangka lama juga menghasilkan 9 subtipe minor. Terdapat 7
genotipe yaitu A-G. Pembagian genotip dan serotip ini penting karena masing-masing
mempunyai distribusi geografi tertentu; seperti genotip B dan C banyak didapat di Asia, A dan
D di Eropa dan India, E di Afrika, F di Amerika Tengah dan Selatan, serta G di Prancis dan
Amerika Utara. Genotip B dan C banyak terdapat di daerah dengan endemisitas tinggi seperti
Asia, dimana penularan secara vertikal atau perinatal memegang peranan penting. Sebaliknya
genotip A, D, E, F, dan G banyak terdapat di daerah dengan transmisi horisontal.
1,2,3,4,5,6,7

Tabel 16.3. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV.

Genoti
p
Serotip Daerah dominan
A adw2, ayw1 Eropa Utara, Amerika Serikat, Afrika Tengah
B adw2, ayw1 Taiwan, Jepang, Indonesia, Cina, Vietnam
C adw2, adrq
+
, adrq
-
,
ayr
Asia Tengah, Taiwan, Korea, Cina, Jepang, Polinesia,
Vietnam
D ayw2, ayw3 Daerah Mediterania, India
E ayw4 Afrika Barat
F adw4q
-
, adw2, ayw4 Amerika Tengah dan Selatan, Polinesia
G adw2 Prancis, Amerika Serikat
? Ayr Kalimantan
Sumber: Magnius
7

Epidemiologi
WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000.
Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-
0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-HBs 20%-55%), dan
prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%). Di negara maju seperti Inggris,
Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-0,2%
sedangkan di Afrika dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di
Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%. Pada daerah
dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari
ibu ke anak maupun horisontal diantara anak kecil. Sebagai contoh di daerah pedesaan Senegal
(Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur 2 tahun, 50% pada umur 7
tahun, dan 80% pada umur 15 tahun. Sedangkan pada daerah dengan endemisitas sedang-tinggi
antara 8%-20% infeksi terjadi pada umur yang lebih tua, ditularkan secara horisontal pada
masa anak dengan kontak erat seperti penggunaan sikat gigi, pisau cukur atau berciuman, dan
kontak seksual pada dewasa muda. Sebaliknya pada daerah dengan prevalensi rendah
penularan secara horisontal terjadi oleh penyalahgunaan obat, penggunaan instrumen yang
tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun telinga, dan tatu (tatoo). Di Indonesia
pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi
antara 2,5%-36,2%.
8,9,10
Pada ibu yang melahirkan dengan HBeAg positif, bayi memiliki risiko tertular sebesar
90%, sedangkan bila hanya HBsAg yang positif maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan
tindakan imunoprofilaksis. Sembilan puluh persen bayi yang tertular akan berkembang menjadi
infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis. Penularan vertikal dapat
terjadi pada masa intrauterin maupun pada saat kelahiran dan masa perinatal. HBV tidak selalu
didapatkan dalam air susu ibu, namun yang dikawatirkan adalah luka pada puting susu
sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV. Bayi dari ibu pengidap HBV
yang mendapat ASI dan belum menerima imunoprofilaksis mempunyai risiko tertular hampir
sama besar dengan bayi yang minum susu formula (PASI).
8,9,10

Patogenesis
Di Indonesia, jalur penularan infeksi VHB (virus hepatitis B) yang terbanyak adalah
secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak
antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik
bersama). HBV dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan
konsentrasi tertinggi terdapat pada serum. Infeksi terjadi apabila seseorang mendapat paparan
terhadap cairan tubuh orang yang terinfeksi melalui kulit atau mukosa.
Bayi dari ibu dengan HBsAg positif berisiko terinfeksi HBV, akan tetapi infeksi HBV
paling sering terjadi pada bayi dengan ibu HBeAg positif atau menderita hepatitis B akut pada
trimester ketiga kehamilan. Faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan keadaan HBsAg
positif pada bayi, antara lain :
1. Titer HBsAg ibu
2. Status HBeAg ibu (hampir 90% bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif menderita
hepatitis B kronis; sedangkan bayi dari ibu dengan HBeAg negatif karier memiliki risiko
sebesar 20%)
3. DNA HBV positif pada serum ibu
4. HBsAg positif pada darah plasenta
5. Saudara kandung dengan HBsAg positif
98% transmisi terjadi pada saat proses kelahiran, diduga melalui ingesti darah maternal
oleh bayi pada saat proses kelahiran. Meskipun demikian, transmisi virus dapat terjadi in utero
melalui kebocoran transplasenta (2%). HBeAg dapat menembus plasenta dari ibu ke fetus.
Belum ditemukan bukti bahwa menyusui merupakan salah satu rute transmisi HBV.
Bayi yang terinfeksi HBV dari ibu dengan HBsAg positif tidak akan menunjukkan
manifestasi infeksi HBV secara serologis sampai berumur 1-3 bulan. Meskipun infeksi HBV
perinatal memiliki manifestasi klinis yang minimal, akan tetapi 90% bayi dengan HBsAg positif
akan menderita hepatitis kronis atau keadaan karier kronis. Hal ini diduga disebabkan karena
sistem imun bayi yang belum matur. Hepatitis fulminan dapat terjadi pada transmisi perinatal
ini, meskipun jarang terjadi (1-2%). Bayi yang terinfeksi juga memiliki risiko tinggi menderita
hepatitis B kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler.
Risiko terinfeksi HBV tidak hanya pada periode perinatal saja, namun bayi yang rentan
berisiko terinfeksi HBV dari anggota keluarga yang lain. Infeksi posnatal dapat terjadi di
lingkungan dimana banyak dijumpai karier HBsAg dan rendahnya vaksinasi.
Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan
melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons
imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas selular
terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HbeAg, pada permukaan sel yang bergabung
dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T
sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan berasal dari sel
yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar akan dinetralisir oleh
antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga berperan pada
manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HBsAg dapat menimbulkan
poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis, dan sindroma
Guillain-Barre.
11,12,13,14,15,16,17
Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis;
sehingga HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel T sitotoksik
tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak
perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi
kronis. Infeksi HBV dibawah umur 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada
infeksi diatas umur 3 tahun.
11,12,13,14,15,16,17

Gejala Klinis
1. Hepatitis akut
Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari
tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala
hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih
berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia,
mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 6-
8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST
sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus
dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria,
purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai
timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini
jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada
dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi
kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.
1,2,14,15,18

2. Hepatitis kronis
Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau
HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita hepatitis kronis
adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar
aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal)
menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar
aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada
saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM
anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit,
tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada
penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan
bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun,
sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun.
Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati
yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan
timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.
1,14,15,18,19

3. Gagal hati fulminan
Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik.
Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa
minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan,
dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis
jaringan hati yang luas.
3,4,14,15,20


4. Pengidap Sehat
Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum
berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak
terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik
yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1)
membaik (anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur
diatas 30 tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.
3,8,14,15,21


Diagnosis
Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi
HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah
dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis.
Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini
berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan
sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat
kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang
menjadi hepatitis kronis.
3,5,13,16,21,22


Tabel 16.4. Penanda serologis infeksi HBV.
Antigen Interpretasi Bentuk klinis
HBsAg Sedang infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis
HBeAg Proses replikasi dan sangat
menular
Hepatitis akut, hepatitis kronis
Antibodi
Anti-HBs Resolusi infeksi Kekebalan
Anti-HBc total Sedang infeksi atau pernah
infeksi
Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis, kekebalan
IgM anti-HBc Infeksi akut atau infeksi kronis
yang kambuh
Hepatitis akut, hepatitis kronis
Anti-Hbe Penurunan aktivitas replikasi Penanda kronis, kekebalan
Pemeriksaan
Molekular

PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis
Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat
menular
Hepatitis akut, hepatitis kronis
Sumber: Rizetto
21
Gambar
16.2. Pola
respons
terhadap
infeksi akut
HBV.

Pengobata
n
Pada
hepatitis
virus akut,
sebagian
besar kasus
akan
sembuh dan
sebagian
kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien
dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10
kali nilai normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada
neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis
hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis
merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak.
Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga
virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis
didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan
replikasi aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis
dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap
pengobatan.
1,13,18,22,23


1. Interferon alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-o2b) adalah pengobatan standar untuk
penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati,
koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA HBV)
serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon
adalah neutropenia, trombositopenia, ganguan jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan
penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m
2
secara subkutan tiga kali dalam
seminggu, diberikan selama 16 minggu.
18,24

Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,
nerologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot,
nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan
rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-
interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura
Infektif
Simptomatis
HBsAg
Anti-HBc
Anti-HBs
0 8 16 24 32 40 52
H HB Be eA Ag g A An nt ti i- -H HB Be e
Minggu
trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah
putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial
seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek
nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan
disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan
penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel,
depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.
18,24
Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu
selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat
mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus
diturunkan atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati,
depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10%-
40% penderita memerlukan pengurangan dosis, dan 5%-10% pengobatan harus dihentikan.
Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi
kejiwaan berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.
18,24

Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif
rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta
adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan
46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi anti-HBe
dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV
menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita
pada tahun pertama setelah pengobatan.
18,24

2. Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat
replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada
interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi
perbaikan gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan
timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi
HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin
memperbaiki skor Child-Pugh.

Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan
kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon
terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core
HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang
mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila
dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan
adefovir atau gansiklovir.

Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi
respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan
lamivudine tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudine saja.
25,26,27,28

Pencegahan
Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi maka. Semua orang di
Indonesia mempunyai kemungkinan untuk tertular. Saat ini program imunisasi masal HBV
dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi masih
terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981 adalah
derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi, pemurnian,
dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin ini mempunyai
imunogenisitas dan efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV rekombinan pertama
diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989. Saat ini ada 10 produk vaksin
rekombinan.
20,29,30

Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak
erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit
hemodialisis), dan penderita penyakit darah.
20,29,30

Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu
yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada bayinya
diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif
hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi
HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi
imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila
dosis dikurangi maka nilai titer antibodi juga turun. Lebih tua umur, serokonvensi makin
berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas.
Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke
subkutan bukan ke otot.
20,29,30

1. Uji saring sebelum vaksinasi
Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk
pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat
dengan penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0.1%-20% dengan anti-
HBc positif dan 80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini
menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc
positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah (ibu HBsAg negatif saat melahirkan) dan anak-
anak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring, dan imunisasi dapat
diselesaikan dalam waktu 6-18 bulan.
31,32,33,34

2. Pemeriksaan paska vaksinasi
Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi.
Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi
tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu
atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HBsAg positif yang telah
divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12
bulan.
31,32,33,34

3. Penanganan nonresponder
Untuk para nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya
setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak
muncul atau anti-HBs-nya kurang dari 10 mIU/ml, tampaknya tidak akan memberikan
hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa
mendatang, bagi para nonresponder ini dapat dilakukan: (1) pemberian vaksin yang
mengandung pre-S2 HBsAg, (2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell
peptide, (3) pemberian kombinasi HBsAg dengan HBcAg, atau (4) transfer limfosit dari
responder. Untuk penderita dengan dialisis yang respon imunologisnya sangat rendah hal-
hal tersebut diatas kurang bermanfaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberi
vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis.
31,32,33,34



Daftar Pustaka
1. Befeler AS, Di Bisceglie AM. Infections of the liver, hepatitis B. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 617-32.
2. Blumberg BS, Alter HJ, Visnich S. A new antigen in leukemia sera. JAMA. 1965; 191: 541-6. Citation.
3. Dudley FJ, Fox RA, Sherlock S. Celluler immunity and hepatitis associated, Australia antigen liver disease.
Lancet. 1972; 1: 723-26. Citation.
4. Guidotti LG, Chisari FV. Noncytolytic control of viral infection by the innate and addactive immun response.
Annu Rev Immunol. 2001; 19: 65-91. Abstract.
5. Hoofnagle JH, Di Bisceglie AM. The treatment of chronic viral hepatitis. N Engl J Med. 1997; 336: 347-56.
Citation.
6. Liu CJ, Kao JH, Chen PJ, et al. Molecular epidemiology of hepatitis B viral serotypes and genotypes in Taiwan. J
Biomed Sci. 2002; 9: 166-70.
7. Magnius LO, Norder H. Subtypes, genotypes and molecular epidemiology of the hepatitis B virus as reflected by
sequence variability of the S-gen. Intervirology. 1995; 38: 24-34.
8. Gupta S, Shafritz DA. Viral hepatitis B and D in Prieto J, Rodes J, Shafritz DA: Hepatobiliary disease. Springer-
Verlag Berlin 1
st
ed. 1992: 528-71.
9. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious
disease. 1999; 180(2): 509-13.
10. Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, et al. Perinatal hepatitis B virus transmission in the United States. Prevention by
passive-active immunization. JAMA. 1985; 253: 1740-45. Abstract.
11. Jacyna MR, Thomas HC. Pathogenesis and treatment of chronic infection in Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral
Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993: 185-205.
12. Jung MC, Paper GR. Immunology of hepatitis B infection. Lancet Infect Dis. 2002; 2: 43-50.
13. Kao JH, Chen DS. Global control of hepatitis B virus infection. Lancet Inf Dis. 2002; 2: 395-403.
14. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric Gastrointestinal Disease.
B.C. Decker Inc. Philadelphia 1
st
. 1991: 857-874.
15. Koff RS. Vaccines and Hepatitis B. Clin Liver Dis. 1999; 3: 417-28.
16. Lee WM. Medical progress: Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997; 337: 1733-45. Citation.
17. Okamoto H, Tsuda F, Sakugawa H, et al. Typing hepatitis B virus by homology in nucleotide sequence:
comparison of surface antigen subtypes. J Gen Virol. 1988; 69: 2575-83. Abstract.
18. Margolis HS. Hepatitis B virus infection. Bull WHO. 1998; 76: 152-3. Citation.
19. McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, et al. Acute hepatitis B virus infection: Relation of age to the clinical
expression of disease and subsequence development of the carrier state. J Infect Dis. 1985: 151: 599-603.
Abstract.
20. Miller RH. Proteolytic self cleavage of hepatitis B virus core protein may generate serum e antigen. Science.
1987; 236: 722-25. Citation.
21. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of
Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2
nd
ed. 1999: 876-96.
22. Sulaiman A, Julitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta. Cetakan
pertama. 1995: 19-20.
23. Stevens CE, Neurath RA, Beasley RP, et al. HBeAg and anti-HBe detection by radioimmunoassay: correlation
with vertical transmission of hepatitis B virus in Taiwan. J Med Virol. 1979; 3: 237-41. Abstract.
24. Perrillo RP, Schiff ER, Davis GL, et al. A randomized, controlled trial of interferon alfa-2b alone and after
prednisone withdrawal for the treatment of chronic hepatitis B. The Hepatitis Interventional Therapy Group. N
Engl J Med. 1990; 323: 295-301. Citation.
25. Dienstag J, Schiff E, Wright T, et al. Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the United States.
N Engl J Med. 1999; 341: 1256-63.
26. Jonas NM, Kelley DA, Mizerski J, et al. Clinical trial of lamivudine in children with chronic hepatitis B. N Engl J
Med. 2002; 346: 1706-1713.
27. Mutinger D, Naoumov N, Honkoop P, et al. Combination alfa-interferon and lamivudine therapy for alfa-
interferon resistant chronic hepatitis B infection: Results of pilot study. J Hepatol. 1998; 28: 923-29. Abstract.
28. Villeneuve J, Condreay L, Willem B, et al. Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis resulting from
chronic hepatitis B. Hepatology. 2000; 31: 207-10.
29. Fattovich G, Brollo L, Giustina G, et al. Natural history and prognostic factors for chronic hepatitis type B. Gut.
1991; 32: 294-98. Abstract.
30. Zuckerman AJ, Zuckerman JN, Harrison TJ. Prevention and control hepatitis B in Zuckerman AJ, Thomas HC.
Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993: 219-26.
31. Anonymous. General recommendation on immunization. Recombination of the advisory committe on
immunization practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR. 2002; 51: 1-
35.
32. Chisari FV. Cytotoxic T cells and viral hepatitis. J Clin Invest. 1997; 99: 1472-7. Citation.
33. International Task Force on hepatitis B Immunization, Field strategies for the control of hepatitis B in areas of
intermediate and high prevalence. April 1988.
34. Pilot J, Poynard T, Elias A, et al. Weak immunogenecity of the pre-S2 sequence and lack of circumventing effect
on the responsiveness to the hepatitis B virus vaccine. Vaccine. 1995; 13: 289. Citation.


HEPATITIS C
Pendahuluan
Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus
Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian
Hepatitis paska transfusi. Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama
penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi Virus hepatitis C
sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang
minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah, lemah,
mual, nafsu makan turun, dan mialgia.
1,2,3
Pada tahun 1987 Chiron Corperation Emmerville CA, USA bersama dengan Centre for
Desease Control (CDC) berhasil melakukan cloning genom virus hepatitis C. Choo (1987) dan
Quo (1989) berhasil menemukan teknik pemeriksaan antiHCV, yaitu suatu uji yang sensitif
dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB.
4,5
Kemudian secara berturut-turut ditemukan susunan nukleotida yang lengkap dari genom
HCV oleh Choo dkk (1991) dan Han dkk (1991), yaitu isolat HCV dan HCVH di Amerika
Serikat. Kato dkk (1990) menemukan isolat HCVJ, Takamizawa dkk (1991) menemukan isolat
HCVBK, Okamoto dkk (1990) menemukan isolat HCVJ4 dan HCVJ6 dari Jepang, Kremsdorf
dkk (1991) menemukan isolat HCVE1 dari Perancis, Fuch dkk (1991) menemukan isolat HCV
GM 1 dan 2 dari Jerman, sedangkan Chen dkk (1991) menemukan isolat HCVT3 dari Taiwan.
6,7
Sampai saat ini telah ditemukan 6 genotip HCV. Masing-masing genotip mempunyai
beberapa subtipe, dan masing-masing subtipe mempunyai banyak isolat. Aspek medis dari
infeksi HCV terutama adalah resiko terjadinya sirosis hati dan keganasan oleh karena
perjalanan penyakitnya adalah infeksi kronis.
7,8

Virologi
HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan
Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 3060 nm,
dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF)
dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.
1,6,9,10,11

RNA HCV terdiri atas bagian-bagian :
1. 5


noncoding region
2. Gen yang mengkode core protein
3. Gen yang mengkode envelope protein
4. Gen yang mengkode protein nonstruktural (NS1 sampai NS5)
5. 3


noncoding region

Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat banyak.
Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan persentase kesamaan
nukleotida. Dikatakan adanya group atau tipe baru apabila terdapat kesamaan susunan
nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui.

Apabila kesamaan susunan nukleotida terjadi antara 75%86% maka yang ditemukan
adalah subtipe baru. Tetapi apabila persamaan urutan nukleotida lebih dari 88%, maka yang
ditemukan adalah isolat baru.

Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang
merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga
infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat
ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya.
1,2,4,8,12


Akibat dari heterogenitas tersebut adalah :
1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis
menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus.
2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan
beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat.
3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah seperti
pada genotipe 1 dan 4.
4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis.
5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap
tipe.
Terdapat variasi yang signifikan secara regional dari distribusi genotip; Genotip 1, 2, dan 3
tesebar di seluruh dunia, genotipe 4 terutama ditemukan di Mesir dan Zaire, genotipe 5 di
Afrika Selatan dan genotipe 6 banyak ditemukan di Asia. Subtipe HCV1a dan HCV-1b banyak
ditemukan di USA dan Jepang walaupun tipe yang lain juga ada di kedua negara tersebut. Di
Belanda HCV-1b merupakan subtipe yang dominan. Di daratan Eropa pada umumnya yang
dominan adalah subtipe 1a dan 1b.

HCV group 3 dan group 1 banyak dijumpai di Skotlandia.

Di
Surabaya subtipe 1b lebih dominan daripada subtipe yang lain diikuti subtipe 2a. Telah
ditemukan subtipe baru yaitu HCV1d yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Di Jakarta
ditemukan isolat baru yang termasuk dalam subtipe 2e dan 2f serta 10a dan 11a.
2,5,10,13,14


Epidemiologi
1. Prevalensi
Survey epidemiologi memperkirakan terdapatnya 170 juta pengidap HCV kronis di seluruh
dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5%-25%. Di Amerika
Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1,8% dari seluruh populasi. Untuk anak dibawah
usia 12 tahun, seroprevalensinya adalah 0,2%, dan untuk usia 1218 tahun seroprevalensi
sebesar 0,4%. Di Jepang seroprevalensi HCV adalah 1.3% untuk seluruh populasi; sampai
usia 20 tahun jumlah carrier rendah dan meningkat sesuai pertambahan umur. Sebelum
skrining dengan cara pemeriksaan serologis terhadap anti HCV, insidensi hepatitis paska
transfusi adalah 5%-16%; dengan pemeriksaan C100-3 assay, insidensinya turun menjadi
2%-3%.
15,16,17,18
Dengan perbaikan skrining melalui penambahan pemeriksaan anti NS-3, maka 99% darah
donor pengidap HCV dapat diketahui. Di Mesir prevalensi HCV pada seluruh populasi
adalah 14% dan pada donor darah sebesar 14,5%; pada penelitian Abdel Azis dkk di delta
sungai Nil didapat angka 25%. Di Arab Saudi, Bank Darah Ryad mendapat angka seropositif
sebesar 26,2%. Di Perancis jumlah pengidap kronis antara 50.000 sampai 600.000 dari
total 60.000.000 penduduk. Di Italia prevalensi anti HCV dilaporkan sebesar 3,2% untuk
seluruh populasi dari umur 12-65 tahun, tetapi hanya 0,2% pada anak-anak.
15,16,17,18

Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari
pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan
1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 1,3%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar
1,0%, dan Banjarmasin 1,0%.
18
Angka tersebut akan sangat berbeda apabila kelompok yang diteliti merupakan kelompok
yang lebih khusus, misalnya: penderita yang mendapat hemodialisis berulang sebesar
76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4%, dan penderita talasemia pada anak yang
mendapat transfusi berulang sebesar 21,4%. Sedangkan penderita karsinoma hepatoselular
mempunyai prevalensi anti HCV sebesar 64,7%.
15,17,19
Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan pada mereka yang sering
mengalami direct percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan suntikan
dan penderita yang mendapat transfusi berulang (antara 60%90%). Angka yang sedang
didapatkan pada penderita hemodialisis (20%) dan harga yang rendah didapat pada
inapparent parenteral atau paparan terhadap mukosa seperti kelakuan seksual yang
berisiko tinggi, kontak seksual maupun keluarga dari penderita (1%-10%).
15,17,19


2. Penularan
Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah
pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas dari mana sumber infeksinya. Walaupun
dapat mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang
terjadi.
Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan cara
penularannya. Penularan melalui tranfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena,
hemodialisis, tertusuk jarum suntik, tatu, dan hubungan seksual, lebih banyak terjadi pada
orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui kontak keluarga adalah rendah.
Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan yang paling sering dijumpai pada
anak.Dibawah ini diuraikan cara penularan virus hepatitis C.
20,21

Pemaparan terhadap darah dan produk yang berasal dari darah.
Cara penularan paling efisien adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit dengan
darah penderita HCV, misalnya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produk-
produknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV, dan pengguna obat bius
dengan suntikan intravena.
Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian hepatitis C paska transfusi berkisar 5%
sampai 13%. Dari tahun 1986 sampai 1990, dengan adanya larangan bagi golongan berisiko
tinggi untuk menjadi donor dan dilakukannya pemeriksaan LFT pada donor, angka tersebut
turun menjadi 1,5%. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining donor, angka
kejadian hepatitis C paska transfusi menjadi 1,0% pada awalnya dan akhirnya menjadi
<0,1%.
Apabila dengan cara ini masih terjadi infeksi hepatitis C paska transfusi, hal ini mungkin
disebabkan oleh ketidakmampuan pemeriksaan anti HCV generasi kedua untuk mendeteksi
anti HCV pada penderita yang berada dalam masa antara mulai terjadinya infeksi sampai
timbulnya anti HCV (antara 4-6 minggu).
Pada tahun 1994 di Amerika Serikat terjadi outbreak infeksi HCV yang disebabkan oleh
intravenous immunoglobulin. Hal serupa juga terjadi di Eropa. Pada saat ini, semua
produk imunoglobulin dengan standard RNA HCV negatif saja yang boleh beredar di
Amerika Serikat. Cara yang paling aman dalam pencegahan penularan melalui tranfusi
darah adalah memeriksan sampel darah dengan uji anti HCV sebelum diberikan kepada
penderita.
3,22,23


Penularan melalui hubungan seksual
Diantara pasangan seksual pengidap HCV kronis yang tidak mempunyai risiko lain untuk
terjadinya infeksi, rata-rata prevalensi anti HCV adalah 5% (antara 0%-15%). Ada studi
yang mendapatkan hasil bahwa pasangan wanita dari pria pengidap HCV lebih banyak
tertular dibanding apabila yang menderita pengidap kronis adalah wanitanya.Penularan
infeksi HCV juga meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan hubungan seksual dan
tidak digunakannya kondom. Diago melaporkan angka 11,4% penularan dari pasangan
seksual pengidap HCV kronis. Kihara mendapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada
wanita pelacur yaitu 11% dibandingkan masyarakat umum.

Di Indonesia belum diketahui secara jelas cara penyebaran infeksi HCV, apakah kontak erat
dapat merupakan penyebab penularan selain transfusi darah, jarum suntik pada pengguna
obat bius secara intra vena, dan hubungan seksual. Sumarto pada penelitian di daerah rural
Tengger tidak mendapatkan anti HCV positif dari 103 orang yang diteliti.
12,20,21

Penularan vertikal dari ibu ke bayi

Penularan (transmisi) vertikal HCV dari ibu kepada bayinya relatif lebih jarang terjadi
daripada penularan vertikal HBV, karena titer HCV secara umum lebih rendah daripada
HBV. Penularan vertikal HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik pervaginam
maupun operasi. Pecahnya ketuban lebih dari 6 jam merupakan faktor risiko terjadinya
penularan HCV.
24,25
Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV positif, didapatkan angka 5% (antara 3%-
6%). Dengan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi adanya RNA
HCV tidak memberi angka yang lebih tinggi.
Bila Ibu menderita infeksi HIV bersama dengan infeksi HCV, maka kemungkinan tertular
bagi bayi yang lahir akan lebih besar yaitu 14% (antara 5%-36%) daripada Ibu yang hanya
menderita infeksi HCV saja. Dihipotesiskan bahwa Ibu yang mengidap infeksi HIV
mengalami penurunan daya imunitas sehingga mengalami viral load dari HCV yang lebih
tinggi menyebabkan mudahnya penularan secara vertikal.

Tingginya titer RNA HCV mempunyai peranan penting terhadap terjadinya penularan.
Pada Ibu dengan anti HCV positif, tetapi RNA HCV negatif tidak ditemukan viremia pada
bayinya dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan RNA HCV.

Ohto dkk mendapatkan bahwa Ibu dengan titer RNA HCV sebesar 10
6
/ml akan menularkan
infeksi kepada bayinya.

Disamping tingginya titer RNA HCV, genotip juga diduga
mempunyai peranan dalam penularan vertikal dari ibu ke bayi. Zucati dkk mendapatkan
dalam penelitiannya bahwa hanya Ibu yang terinfeksi HCV ber-genotip Ib dan 3a yang
menularkan infeksi HCV terhadap bayinya.

Genotip 3a dan 1b mempunyai virulensi tinggi
dan kurang responsif terhadap pengobatan dengan interferon. Kemungkinan penularan in-
utero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi baru lahir. Tetapi viremia
mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir; dalam hal ini apabila seorang bayi dicurigai
tertular HCV maka sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15 bulan dimana antibodi
ibu sudah sangat turun. Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan fungsi hati juga penting
pada bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir; tetapi bila terjadi peningkatan hasil uji
fungsi hati, yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga kuat bahwa bayi tersebut tertular secara
perinatal.

Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur 3 bulan
sampai 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi penularan
secara perinatal.
24,25,26,27

Penularan infeksi HCV melalui air susu ibu (ASI) belum pernah dilaporkan walaupun anti
HCV dan RNA HCV juga ditemukan pada ASI. Angka penularan HCV dari bayi yang minum
ASI sama dengan bayi yang minum susu botol, sehingga infeksi HCV pada ibu bukan
merupakan kontraindikasi untuk pemberian ASI.

Kemungkinan adanya RNA HCV pada ASI
adalah karena terjadinya lecet puting susu sehingga terjadi occult hemorrhage.
28

Kemungkinan rendahnya penularan infeksi HCV melalui ASI dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Jumlah RNA HCV pada ASI sangat rendah sehingga tidak terjadi infeksi
2. Mungkin jumlah yang kecil tersebut dapat dinetralisir pada saluran cerna
3. Mukosa saluran cerna yang intak mencegah penularan melalui oral

Penularan dalam anggota keluarga
Yang dimaksud di sini adalah adanya anggota keluarga yang menderita infeksi HCV kronis
melalui penularan dengan atau tanpa hubungan seksual. Tanpa adanya faktor risiko yang
lain, nilai yang didapat berkisar antara 0% sampai 11% dengan harga rata-rata 4%.
Penularan dari penderita anak kepada saudaranya adalah rendah. Vignente mendapat
angka tidak adanya penularan pada 56 saudara dari 44 penderita anak. Camarero dkk
hanya mendapat 1 orang tertular dari 80 anggota keluarga 27 anak penderita infeksi kronis
HCV. Rosenthal mendapat 0% dari 103 anggota keluarga 26 penderita talasemia dengan
infeksi HCV. Di Surabaya, Widawati mendapatkan angka penularan 2,06% pada 97 anggota
keluarga dari 34 penderita hepatitis C kronis. Sedangkan Arief mendapatkan angka 0% dari
28 anggota keluarga 6 anak penderita talasemia yang menderita hepatitis C kronis.
29,30

Patogenesis
HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi
non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus
lainnya, eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus
yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi dan
menghambat replikasi intraselular melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari
aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya. Mekanisme ini dapat
menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang penderita
terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi
dari antibodi penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan
cara infeksi langsung pada sel limfoid dan mengganggu produksi interferon. Kerusakan
hepatoselular masih menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan
ditemukannya perubahan degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b
mungkin lebih bersifat sitopatik daripada genotip yang lain. Mekanisme sitotoksisitas yang
diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity) diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati,
yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas I dan
core beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga
dihubungkan dengan gangguan imunologis seperti krioglobulinemia, vaskulitis,
glomerulonefritis, artritis, dan tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus
terhadap sistem imun yang menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan
pembentukan kompleks imun dari IgG dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan
limfoid. Reaksi ini mungkin juga menimbulkan limfoma.
31,32,33


Gambaran Klinis Infeksi HCV
1. Hepatitis C akut.
Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan masa
inkubasi sekitar 7 minggu yakni antara 230 minggu. Anak maupun dewasa yang terkena
infeksi biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada, gejalanya tidak spesifik yaitu
rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada penderita dewasa dengan gejala
klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan LFT, harga ALT dapat
meningkat sampai 10 kali harga normal. Antibodi terhadap HCV (anti HCV) mungkin
belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah terjadinya
infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase akut, dan pada 40%
penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan status virologis.
Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian menggunakan metode
PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun HBV, infeksi HCV jarang
menyebabkan kegagalan hati fulminan.
1,2,4,6,7,11


2. Hepatitis C kronis
Tidak kurang dari 85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme
mengenai mengapa virus masih tetap ada atau persisten setelah infeksi akut belum
diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan
mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala
minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut
kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan
gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan
dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepaik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun,
mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan
kadar ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali harga
normal. Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase
lanjut.
1,2,4,6,7,11


3. Sirosis hati
Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga
dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervarisi antara
20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai
timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya
progresifitas penyakit yaitu:
1. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi
2. Laki-laki
3. Derajat fibrosis pada saat biopsi awal
4. Status imunologi
5. Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV
6. Infeksi genotip 1
7. Adanya quasi-species
8. Overload besi
9. Konsumsi alkohol

Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum adalah baik sampai
terjadinya dekompensasi. Fattovich dkk mendapatkan dari 384 penderita sirosis
kompensasi, survival ratenya mencapai 96%, 91%, dan 79% untuk waktu 3, 5, dan 10
tahun. Niederau dkk melalui studi prospektif terhadap 838 penderita hepatitis C kronis
mendapatkan bahwa apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5-year survival
rate kurang dari 50%. Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati.
Dengan adanya resiko terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala setiap 6
bulan perlu dilakukan USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein.
1,2,4,6,7,11


4. Karsinoma hepatoselular
Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru
setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis. Resiko terjadinya
karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan
sekitar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma
hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. DiBisceglie memperkirakan bahwa antara 1,9%-
6,7% penderita sirosis HCV berkembang menjadi HCC setelah 10 tahun.
2,6,7,34,35




Diagnosis
Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu:
1. Uji saring
Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu
mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita
dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada
penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga pada awal perjalanan
penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi.

2. Uji konfirmasi
Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun
perbaikan pemeriksaan serologis EIA generasi ketiga dapat menyamai atau tidak
memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil
pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah. Uji
konfirmasi ini meliputi :
a. Recombinant immunoblot assay ( RIBA1, RIBA-2, RIBA-3 )
b. Deteksi virologis
c. Biopsi hati

Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obat-
obat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2
golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.
9,36,37,38

Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari
antigen HCV. Juga disebut sebagai diagnosis serologis untuk menemukan adanya IgG anti HCV.
IgM anti HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling populer adalah dengan cara
Enzyme Immuno Assays (EIA). EIA generasi pertama ditujukan untuk menemukan antibodi
terhadap protein nonstruktural (C-100) NS-4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan
kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan protein nonstruktural
dari NS-3 yaitu C-33 c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara mencari antibodi yang
spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada EIA generasi pertama,
dimana generasi kedua ini dapat menemukan 95% penderita infeksi HCV. Disamping itu
generasi kedua dapat menemukan timbulnya serokonversi anti HCV dengan lebih cepat yaitu
antara 46 minggu paska infeksi.

Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV dari daerah core
tidak timbul pada semua penderita hepatitis C akut, tetapi tetap ada pada penderita hepatitis C
kronis. Chey menemukan adanya IgM anti HCV pada 50% penderita infeksi kronis. Sedangkan
titer IgG anti HCV berhubungan erat dengan viremia, sehingga mungkin titer IgG tersebut tidak
terdapat pada penderita dengan viremia yang rendah.

EIA generasi ketiga merupakan peningkatan sensitifitas dari generasi kedua, sebab selain
antibodi terhadap protein yang berasal dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah dengan
protein rekombinan dari daerah NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat menyebabkan
hasil positif palsu.
Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA (recombinat immunoblot
assay) yang melakukan deteksi antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang
diikat lapisan nitroselulosa. Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya
karena menggunakan antigen yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam
pembacaan hasil. RIBA 3 merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil yang
meragukan (Indeterminate).
Chien dkk berusaha meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan anti HCV
dengan menambahkan epitop dari daerah E1E2 dengan cara menggabungkan semua epitop
yang imunodominan dari 7 daerah genom HCV, yang dinamakan single multiple epitope fusion
antigen (MEFA, MEFA-6) yaitu protein dari daerah core, E1-E2, NS-2, NS-3, NS-4, dan NS-5.
Hasilnya adalah sensitivitasnya sesuai dengan EIA generasi ketiga.

Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA dan
menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut, di mana
antibodi terhadap antigen-c belum terbentuk (window period). Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV; sensitivitasnya
mendekati pemeriksaan RNA HCV.
34,35,37,39

Pemeriksaan molekular
Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan juga
dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis
molekular.

Ada 4 cara diagnosis molekuler terhadap HCV :
1. Polymerase chain reaction (PCR)
2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBA
tm
)
3. Ligase chain reaction (LCR)
4. Branched DNA assay (b DNA assay)

PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target
amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification.
Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan
seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya
kontaminasi.
10,33,39

Pengobatan
40,41,42,43,44,45,46,47,48

Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresivitas penyakit
menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular. Saat ini rekomendasi dari FDA adalah
pengobatan dengan kombinasi interferon dan ribafirin.

Tabel 16.5. Indikasi dan Kontraindikasi Pengobatan Hepatitis C Kronis.
Indikasi Kontraindikasi pada
Interferon
Kontraindikasi pada
Ribavirin
Peningkatan AST/LST Depresi berat Anemia (Hgb <11 g/dl)
Ditemukan HCV-RNA Dekompensasi hati Tidak tahan anemia
Fibrosi portal atau
inflamasi pada biopsi hati
Pengguna alkohol Penyakit jantung koroner
Pengguna obat-obatan Kehamilan
Penyakit autoimun Tidak tahan kontrasepsi
Penyakit penyerta berat Penyakit vaskular perifer
Diabetes berat Gagal ginjal
Hipertensi berat Gout
Sumber: Farrel
41

Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan infeksi
HCV akut pada anak. Sedangkan pada infeksi kronis ada beberapa laporan tetapi
tidak berskala besar, bukan penelitian multisenter, dan bukan uji klinis. Dari
laporan-laporan tersebut didapatkan sustained virologic responce berkisar 33%-
45%. Hasil ini ternyata lebih besar daripada respon pada orang dewasa.
Kemungkinan penyebabnya adalah: (1) penyakit masih pada stadium awal, (2)
tidak ada faktor yang memperberat penyakit, dan (3) dosis interferon relatif lebih
tinggi. Atau mungkin karena penelitiannya dalam ruang lingkup yang sempit dan
bukan uji klinis sehingga terjadi artefak statistik.
Dosis interferon adalah 3 MU/m
2
tiga kali dalam seminggu. Dosis ribavirin
adalah 8, 12, atau 15 mg/kg BB per hari.

Pada penderita hepatitis C kronis yang
mengalami ko-infeksi dengan HIV, konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran
histologis cenderung lebih progresif; maka pemberian pegylated interferon
bersama ribavirin diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Tabel 16.6. Evaluasi Pada Pengobatan Hepatitis C kronis.
Pilihan terapi Obat Penjelasan
Interferon tunggal
Interferon alfa-2a Roferon-A Dosis dapat ditingkatkan/
diperpanjang.
Induksi.
Interferon alfa-2b Intron-A
Interferon alfa-n1 Wellferon, lymphoblastoid
IFN

Interferon beta
Interferon alfacon-1 Infergen, Consensus IFN
Ribavirin tunggal Rebetol Respon biologis dan histologis (+),
respon virologis (-)
Kombinasi Interferon
and Ribavirin
Rebetron Sustained response rates sekitar
40%.
Terapi utama.
Pegylated interferon
alfa-2a
Symmetrel Masih diteliti, hasil lebih baik
Amantadin;rimantadin Flumadin Dalam penelitian
Recombinant
interleukins
IL-2, IL-10, IL-12 Dalam penelitian, hasil lebih baik
Ursodeoxycholic acid
(UDCA)
Ursodiol Kurang baik
Phlebotomy Actigall Hasil diperdebatkan
Thymosin alpha-1 (TA1) Kurang memuaskan
Nonsteroidal NSAIDs Kurang baik
Sumber: Farrel
41

Pencegahan
1,2,4,5

Tidak seperti HAV atau HBV, dimana imunglobulin memainkan peranan penting dalam
profilaksis primer, pada HCV belum ditemukan jenis imunoglobulin yang efektif untuk
pencegahan post exposure. Pembuatan vaksin juga terhambat karena tingginya derajat
diversitas genetik.



Sehingga pencegahan dititikberatkan pada :
1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ.
2. Uji saring terhadap individu yang berada pada daerah dengan prevalensi HCV yang tinggi
untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh.
Individu-individu yang seharusnya menjalani tes uji saring HCV adalah :
1. Pengguna obat terlarang dengan suntikan
2. Penerima darah dan produknya
3. Penderita dialisis kronis
4. Individu dengan ALT yang terus menerus meningkat
5. Petugas kesehatan yang pernah kontak dengan darah yang terinfeksi HCV
6. Bayi yang lahir dari ibu penderita HCV


Daftar Pustaka
1. Cheney CP, Chopra S, Graham C. Infection of the Liver. Hepatitis C. Inf Dis Clin N Am. 2000; 14: 633-67.
2. Tapia MS. Viral Hepatitis C in Prieto J, Riodes J, et al: Hepato Biliary Disease. Springer verlag. Berlin, 1
st
Ed.
1992: 573-609.
3. Untario MC. Pengaruh transfusi terhadap kejadian hepatitis C pada penderita anak Thalasemia di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Karya Akhir Spesialisasi Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Surabaya. 1992.
4. Albert A, Bartolotti F, Bircher J, et al. Clin Hepatology, Oxfort Univ Press, 2
nd
ed. 1999: 903-22.
5. Esomi M, Shikata T. Hepatitis virus C and Liver Desease. Patologi International. 1994; 44: 85-95.
6. Houghton M, Han J, Kuo G, et al. Viral hepatitis, scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone
1
st
ed. 1993: 229-40.
7. Okamoto H, Kurai K, Okada SI, et al. Full length sequence at a hepatitis c virus genome having poor honology to
reported isolates comparition study of four distinct genotype. Virology. 1992; 188: 33141.
8. Simmonds P, Holmes EC, Cha TA, et al. Classification of Hepatitis C virus into six major genotype and a series of
subtypes by philogenetic analysisi of the NS-5 region J. Gen. Virol. 1993; 74: 2391-99.
9. Cohen J. The scientific challenge of hepatitis C. Science. 1999; 285: 26-30.
10. Handayani R, Hotta H, Soemarto R, et al. Genotype virus hepatitis C di Surabaya, Surabaya, Simposium
Nasional hepatitis C September. 1994: 51-62.
11. Soetjipto, Handayani R, Lusida MI, et al. Diversity of hepatitis c sequences. simposium liver disease in the
tropical area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995: 13-20.
12. Soemarto R, Handayani R, Soetjipto, et al. Anti HCV pada beberapa kelompok masyarakat. Simposium Liver
Desease in The Tropical Area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995: 37-43.
13. Halsey NA, Abramson JS. Comitte in infections diseases hepatitis c virus infection. Pediatr. 1998; 101: 481-85.
14. Tokita H, Okamato H, Inzuka H, et al. Hepatitis C Virus Variant from Jakarta, Indonesia clasifiable intronovel
genotypes in the second (2e and 2f), teenth (10a) and eleventh (11a) genetic groups. J. Gen virol. 1996; 77: 293-
301.
15. Bortolotti F, Resti M, Giochimo R, et al. Changing epidemiologic patterm of chronic hepatitis C virus infection in
Italian children. J. Pediatr. 1998; 133 :378-81.
16. Deaffic S, Buffort L, Paynand T, et al. Modelling the hepatitis C virus epidemic in France. Hepatology. 1999; 29:
1596-1601.
17. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious
disease. 1999; 180(2): 509-13.
18. Sulaiman HA. Epidemiologi dan tinjauan klinis hepatitis c simposium nasional hepatitis C. Surabaya. 1994: 21-
33.
19. Soetjipto, Handayani R, Lusida MI, et al. Differential prevalence of Hepatitis C virus subtypes in healthy blood
donors, patients on maintenance hemodialysis and patients with hepatocellular carcinoma in Surabaya,
Indonesia. J Clin Microbiology. 1996: 287580.
20. Giacchino R, Tasso L, Timitilli A, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus infection: usefullness of viremia
detection in HIV-sero negative hepatitis C virus-seropositive mothers. J Pediatr. 1998; 132: 167-169.
21. Thaler MM, Kee Pork C, Landess DV, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus. The Lancet. 1991; 338: 17-
18.
22. Aach RD, Yonitovian RA, Hack M. Neonatal and pediatric post transfusion hepatitis C: A look back and a look
forward. Pediatrics. 2000; 105: 836-42.
23. Rosenthal E, Hazari A, Segal D, et al. Lack of transmission of hepatitis C virus is very close family contacts of
patients undergoing multiple transfussion for thalassemia. J Ped Gastroenterol. 1999; 29: 101-3.
24. Pipan C, Amici S, Astomi G, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus in low-risk pregnant women. Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 1996; 15: 11620. Citation.
25. Weystal R, Wideel A, Manson AS, et al. Mother to infant transmission of hepatitis C Virus. Annals of Int. med.
1992; 117: 887-90.
26. Ohto H, Terrazoma S, Sasaki N, et al. Transmisssion of hepatitis C virus from mother to infants. NEJM. 1994;
330: 744-50.
27. Zuccatti GV, Ribero ML, Giovanni M, et al. Effect of hepatitis C genotype on mother to infant transmission virus.
J Pediatr. 1995; 127: 278-280.
28. Hsunglien HS, Hong Kao J, Yuan Hsu H, et al. Absence of infection in brest fed infant born to Hepatitis C virus-
infected mothers. J Pediatr. 1995; 126: 589-91.
29. Arief S. Penularan virus Hepatitis C (HCV) pada anggota keluarga. Bull. Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair. 1998;
2: 18-23.
30. Widawati S, Adi P. Soetjipto, Lusida MI. Penularan HCV pada keluarga. Buletin PGI-PPHI-PEGI. Surabaya.
1994; 1: 35-39.
31. Bortolotti F, Resti M, Giacebrino R, et al. Hepatitis C virus infection and related liver disease in children of
mother with antibodies to the virus. J Pediatr. 1997; 130: 990-93.
32. Nelson DR. The immuno pathogenesis of hepatitis c virus infection. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 931-53.
33. Prince AM, Shata MT. Immuno Prophylaxis of Hepatitis C Virus Infection. Clin In Liver Dis. 2001; 5: 1091-1103.
34. Moyern LA, Mast EE, Alter MJ. Hepatitis C: Routine serologic testing and diagnosis. Am Fam Phys. 1999; 59:
79-88.
35. Roth WK, Zeuzem S. Serological and molecular diagnosis of Hepatitis C Virus infection in Darmadii S. Serologic
marker in the diagnosis of viral hepatitis. Seminar on viral hepatitis up date. TDC. Airlangga Univ. Surabaya.
1998: 31-50.
36. Brown D, Dusheiko G. Diagnosis of HCV in Zuckerman AI, Thomas HC: Viral hepatitis, scientific basic and
clinical management. Churchill livingstone London, 1
st
Ed. 1993: 283-301.
37. Chien DY, Arcangel P, Thelby AM, et al. Use of a polypeptide for diagnosis of HCV infection. J Clin Microbiol.
1999; 37: 1393-97.
38. Morishima C, Greth DR. Clinical use of hepatitis C virus test for diagnosis and monitoring during therapy. Clin
in Liver Dis. 1999; 3: 717-46.
39. Aoyagi K, Ohue C, Ilda K, et al. Development of a simple and highly serotive enzyme immuno assay for hepatitis
C virus core antigen. J Clin Microbiol. 1999; 37: 1802-08.
40. Cotler SJ, Jensen DM. Treatment of hepatitis C virus and HIV Co-infection. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 1045-61.
41. Farrel GC. Management of hepatitis C draft working party reports from asia pasific concensus on prevensen and
management of chronic hepatitis C and B. Black well Pty, Kyoto Japan. 1999: 4i-Viii.
42. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007;
38(6): 702-10.
43. Jonas MM. Challenges in the treatment of hepatitis C in children. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 1063-71.
44. Kekez AJ. Treatment of viral hepatitis in children. Acta medica Croatia. 2005.
45. Marcellin P, Martinat M, Boyer N, et al. Treatment of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 1999; 3: 843-53.
46. Sathiyasekara M. Management of viral hepatitis in children. National conference of pediatric infectious disease.
2006.
47. Schneider ZS, Mohan P. Treatment of Viral Hepatitis in Children. Childrens National Medical Center,
Washington, DC, USA. 2009.
48. Shad JA, Mc Hutchison JG: Current and future therapies of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 335-60.


HEPATITIS D
Pendahuluan
Virus hepatitis delta (HDV) ditemukan pertama kali oleh Rizzetto dkk di Italia pada tahun
1977 dengan menemukan adanya antigen hepatitis delta pada sediaan biopsi hati. Pemeriksaan
serologis untuk mendiagnosis HDV baru dikembangkan pada tahun 1980.

Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus terkecil, tidak dapat menyebabkan infeksi bila
tidak bersamaan dengan infeksi HBV, dan ditemukan pertama kali sebagai inti antigen pada sel
hati dari penderita yang terinfeksi HBV. Dahulu HDV dianggap sebagai bagian dari HBV,
namun ternyata merupakan suatu virus RNA lain yang tidak dapat memproduksi protein
penutup sehingga bagian luar dari virus ini ditutup oleh antigen permukaan dari HBV (HBsAg)
dan selalu dihubungkan dengan gejala klinis yang berat.
1,2,3

Virologi
HDV adalah virus RNA berdiameter 36 mm. Lapisan luarnya adalah HBsAg yang
membungkus genom RNA dan antigen delta. Genom ini terdiri dari 1700 nukleotida rantai
tunggal sirkular dengan kandungan G dan C yang tinggi (60%). HDAg adalah protein yang
dikode oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati penderita dengan massa molekul
27000 kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus oleh HBsAg maka cara masuknya HDV ke
dalam sel hati kemungkinan besar menggunakan reseptor untuk HBV. Apabila sudah berada di
dalam sel hati maka HDV melakukan replikasi tanpa adanya HBV. Replikasi dari HDV terjadi di
dalam inti sel hati dengan cara yang sama seperti virus lain walaupun mekanisme transkripsi
RNA-HDV belum jelas. Cara interaksi antara HDAg dengan HBsAg masih belum jelas.
1,3,4,5

Epidemiologi
Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan
asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia dengan
prevalensi tinggi di Amerika Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania, dan beberapa
pulau di Kepulauan Pasifik. Masa inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu sedangkan
pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi tanpa adanya HBV
sebagai virus pembantu. Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang sama dengan infeksi
HBV (koinfeksi) atau menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah terinfeksi HBV
(superinfeksi). HDV adalah virus blood born sehingga penularan terjadi secara parenteral.
Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada daerah dengan
prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent parenteral.
Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi pada kulit lebih
sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi pada penderita
penyakit darah, dan infeksi nosokomial.
6,7,8


Patogenesis
Oleh karena dibungkus HBsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan
besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik menyebabkan
kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik pada
pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat.
Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas.
Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita dengan
infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi ini beban
replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel hati (sitopatik).
Peran sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel radang kronis pada portal
trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan kortikosteroid tidak
memberikan efek yang menguntungkan. Terdapat beberapa auto-antibodi pada serum
penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya kerusakan sel hati tidak
jelas.
9,10,11
Gambar
16.3.
Perubahan
serologis dan
biokimia
pada
koinfeksi
HDV.
4







Ikterus
Gejala
ALT
Anti-HDV
Anti-HBs
IgM Anti-HDV
HDV-RNA
HBsAg
0 2 1 3 5 6 12 24 4
Gambar
16.4.
Perubahan
serologis
dan
biokimia
pada
superinfeks
i HDV.
4

Gambara
n klinis
Gam
baran
klinis
infeksi
HDV
tergantun
g pada
mekanism
e infeksi.
Pada koinfeksi gejala klinis hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja. Namun
untuk menjadi hepatitis kronis kemungkinannya adalah rendah. Pada superinfeksi jarang
terjadi gejala klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian
superinfeksi risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal
hati fulminan harus dipikirkan kemungkinan infeksi HDV.
11,12
















Koinfeksi Superinfeksi
Fulminan
2%-20%
Sembuh
90%-95%
Kronis
2%-7%
Kronis
70 -90%
Sembuh
5%-10%
Fulminan
10%-20%
Sirosis
70%-80%
Karsinoma
Gejala
ALT
Anti-HDV
IgM Anti-HDV
HDV-RNA
HBsAg
0 2 1 3 5 6 4 1 2 3 4 5 6












Gambar 16.5. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV.

Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan panas
mendadak, hematemesis, dan gejala gagal hati fulminan. Terjadi terutama di daerah lembah
sungai Amazon, Amerika Selatan dan disebut sebagai hepatitis Labrea, black fever atau
hepatitis santa marta.
1

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu
setelah infeksi secara koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi, menggunakan metoda RIA
atau Elisa. HDAg dapat ditemukan pada sel hati menggunakan pengecatan khusus
immunoflourescence. HDAg juga terdapat pada serum penderita menggunakan metode analisis
Western blot. RNA HDV hapatik dan RNA HDV serum dapat ditemukan dengan cara Northren
blot, Hibridisasi Insitu. Metoda PCR juga dapat digunakan untuk mencari HDV RNA.
11,13

Pengobatan
Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan
lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada
penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar
ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons
positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian
interferon diteruskan sampai HBsAg hilang dari serum.
12,14,15

Pencegahan
Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi
tanpa adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi
HDV.
5,10

Daftar pustaka
1. Buitrago B, Popper H, Hadler SC, et al. Specific histological features of Santa Marta hepatitis: a severe form of
hepatitis delta virus in Northern South America. Hepatology. 1986; 6: 1285-91. Citation.
2. Conjeevaram HS, Di Bisceglie AM. Natural history of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ.
3. Monjardino J, Lai MMC. Sructure and molecular virology of hepatitis D virus. In Zuckerman AJ, Thomas HC.
Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993: 329-40.
4. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of
pediatrics. Saunders. Philadelphia 17
th
ed. 2004: 1324-32.
5. Taylor JM, Manson W, Summers J, et al. Replication of human hepatitis delta virus in primary culture and
woodchuck hepatocytes. J Virol. 1988; 62: 2981-85.
6. Di Bisceglie AM. Epidemiology and diagnosis of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral
Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993: 351-61.
7. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious
disease. 1999; 180(2): 509-13.
8. Rizzetto M, Ponzzetto A, Forzani I. Epidemiology of hepatitis delta virus: overview in Gerin JL, Purcell RH,
Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss New York. 1991: 1-20. Citation.
9. Bonino F, Brunetto MR, Negro F. Factors influencing the natural course of HDV hepatitis in: Gerin JL, Purcel
RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss, New York. 1991: 137-46. Citation.
10. Negro F, Rizzetto M. Pathobiology of hepatitis delta virus. In: Hollinger FB, Lemon SN, Margolis HS. Viral
hepatitis and liver disease. Williams and Wilkins, Baltimore. 1991: 477-80.
11. Smedile A. Infection with HBV associated delta antigen in HBsAg carriers. Gastroenterology. 1981; 81: 992-7.
Citation.
12. Rizzetto M, Rosina F. Treatment of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific
basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993: 363-69.
13. Rizzetto M, Canese MJ, Arico S, et al. Immunoflorescence detection of a new antigen-antibody system
(delta/anti-delta) associated to hepatitis B virus in liver and in serum of HBsAg carriers. Gut. 1977; 18: 997-
1003.
14. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007;
38(6): 702-10.
15. Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993:
341-49.





HEPATITIS E
Pendahuluan
Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara
enterik (ET-NANB). Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali di New Delhi, India pada tahun
1955 di mana terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari
perusahaan air minum kota yang tercemar tinja. Pada tahun 1980 ditemukan bahwa jenis
hepatitis ini secara pemeriksaan serologis bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan hepatitis B
(HBV).
1,2,3

Virologi
Virus hepatitis E mempunyai berdiameter 32-34 nm, berbentuk sferis dan merupakan
partikel yang tidak mempunyai penutup. Merupakan virus RNA yang terdiri dari 7500 pasangan
nukleotida rantai tunggal.
1,2

Epidemiologi
Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgiz, Uni Soviet pada tahun 1955-1956
yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai usia pertengahan. Juga terjadi di
Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 20000 dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi di
Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis E di Kalimantan Tengah
pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.
4,5

Patogenesis
HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik.

Gambaran histopatologisnya
menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe
kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis
lain yaitu pembengkaan sel hati, digenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PNM pada daerah
intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan stasis empedu
pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti HEV.
IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens sedangkan IgG anti HEV
dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel hati pada infeksi HEV masih belum
jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic supression
immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh mekanisme
imunologis selular dan humoral.
1,2,3,6


Gambaran klinis
Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus
fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya 2-9 minggu. Bentuk subklinisnya tidak
dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes dengan ikterus
akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan ALT dicapai setelah
3 minggu sejak mulai timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi pada kelompok anak
muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada dewasa muda dan
umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi pada wanita hamil.
Tidak pernah didapatkan bentuk kronis.
1,2,3,6,7


Diagnosis
1,2,3
Diagnosis hepatitis E akut ditentukan dengan cara:
1. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita.
2. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking
assay.
3. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu minggu
timbulnya gejala klinis.
4. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja.

Pencegahan
Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV.
Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah
penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk
mencegah infeksi HEV.
3,8

Daftar pustaka
1. Bradley DW, Krawczynski K, Purdy MA. Hepatitis E virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis
scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1
st
ed. 1993: 373-89.
2. Krawczynski K. Hepatitis E. In: Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of
Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2
nd
ed. 1999: 922-26.
3. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of
pediatrics. Saunders. Philadelphia 17
th
ed. 2004: 1324-32.
4. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious
disease. 1999; 180(2): 509-13.
5. Viswanathan R. Infectious hepatitis in Delhi (1955-56): a critical study; epidemiology. Indian Journal of Medical
Research. 1957; 45: 1-30. Citation.
6. Bradley DW, Andjaparidze A, Cook EH, et al. Aetological agent of enterically transmitted non-A, non-B
hepatitis. J Gen Virol. 1988; 69:731-38. Citation.
7. Khuroo MS. Incidence and severity of viral hepatitis in pregnancy. Am J Med. 1981; 70: 252-55.
8. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007;
38(6): 702-10.


HEPATITIS G
Pendahuluan
Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada
sekelompok penderita hepatitis paska transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum
diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non-A-E. Pada tahun 1996
ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non-A-E yang dinamakan dengan virus hepatitis
G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus hepatitis C tetapi
tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati.
1,2,3

Virologi
Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri
atas 9400 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviridae, ditularkan secara parenteral.
3

Epidemiologi
HGV/ virus GB-C adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada
penderita penyakit darah yang mengalami transfusi berulang. Juga pengguna obat secara
intravena. Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari
ibu ke bayi yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus
plasenta. Prevalensi HGV/ virus GB-C pada donor darah dan populasi umum di negara maju
antara 1-2%. Di negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5%-10%. Tingginya prevalensi
HGV/VGB-C di daerah tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan vektor
lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadar ALT serum
normal.

Patogenesis
Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C mengalami viremia tetapi tidak
didapatkan perubahan gambaran histopatologis yang berarti dan kadar ALT dalam batas
normal. Sampai saat ini tidak didapatkan bukti bahwa infeksi HGV menyebabkan gejala klinis.
Ditemukannya HGV/ virus GB-C pada limfosit dianggap bahwa virus ini mempunyai sifat
biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV.
6,7,8


Gambaran klinis
Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi
dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak ditemukan
kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C.
1,2,8

Diagnosis
Diagnosis HGV/ virus GB-C berdasarkan ditemukanya virus RNA dengan cara RT-PCR.
Cara lain adalah metode branched DNA. Antibodi terhadap protein E2 secara ELISA dapat
ditemukan pada fase kesembuhan atau infeksi lampau.
1,2,8

Pencegahan
Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi HGV/ virus GB-C.


Daftar pustaka
1. Alter HJ, Bradley DW. Non-A, non-B hepatitis unrelated to the hepatitis C virus (non-ABC). Seminar in liver
disease. 1995; 15: 110-20.
2. Alter MJ, Gallager M, Morris TT, et al. Acute non-A-E hepatitis in the United States and the role of hepatitis G
virus infection. Sentinel counties viral hepatitis study team. N Engl J Med. 1997; 336: 741-46.
3. Leary TP. Sequence and genomic organization of GBV-C: a novel member of the flaviviridae associated with
human non-A-E hepatitis. J Med Virol. 1996; 48: 60-7.
4. Hadziyannis S, Hess G. Epidemiology and natural history course of G/GBV-C infection. In Zuckerman A and
Thomas H. Viral Hepatitis. 2
nd
ed. Livingstones, in press. Citation.
5. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious
disease. 1999; 180(2): 509-13.
6. Karayiannis P. Hepatitis G virus infection. Clinical characteristics and response to interferon. J Viral Hepatitis.
1997; 4: 37-44. Citation.
7. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of
pediatrics. Saunders. Philadelphia 17
th
ed. 2004: 1324-32.
8. Deinhardt F, Holmes AW, Capps PB, et al. Studies on the transmission of disease of human viral hepatitis to
marmoset monkeys. Transmission of disease, serial passage and description of liver lesions. J Exper Med. 1967;
125: 673-87.











BAB XVII
DRUG INDUCED HEPATITIS
Ina Rosalina
Ilustrasi Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut,
lemas dan muntah-muntah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan badan kuning, sklera kuning,
anak tampak sakit, lemah, dan kurus. Teraba limfonodi di leher kiri, kecil. Auskultasi paru
terdengar ronkhi. Pemeriksaan jantung dalam batas normal. Anak sedang dalam terapi TB
paru primer dengan INH, rifampin, dan pirazinamida. Sekarang sedang menjalani terapi
bulan ke 3. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan GOT dan GPT meningkat, sedangkan
fosfatase alkali normal.

Pendahuluan
Hati merupakan organ lintas pertama dari obat yang diabsorpsi dari mukosa lambung
dan mukosa usus halus sebelum mencapai bagian tubuh lainnya. Obat akan mengalami
biotransformasi oleh hati. Fungsi tersebut akan mengakibatkan hati mempunyai risiko tinggi
untuk mengalami intoksikasi oleh obat-obatan.
Biotransformasi mempunyai dua tahap, pertama disebut tahap aktivasi dan kedua
disebut tahap detoksifikasi. Obat-obat hepatotoksik pada proses keseimbangan ini sangat kritis
sehingga penggunaannya harus hati-hati.
1,2
Sherlock (1993) melaporkan sekitar 2% dari semua kasus ikterus yang dirawat adalah
disebabkan oleh penggunaan obat. Sekitar seperempat kasus kegagalan hati fulminan di
Amerika Serikat berhubungan dengan pemakaian obat serta 4 dari 23 kasus hepatitis kronis
aktif.

Pasien dengan penyakit hati perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat-obatan sejak tiga
bulan terakhir termasuk dosis, rute pemberian, lama serta kombinasi dari obat tersebut.
Kerusakan hati yang ditimbulkan oleh obat-obat hepatotoksik secara histopatologi beraneka
ragam, namun ada 2 bentuk yang sering yaitu bentuk hepatitik dan bentuk kholestatik. Kedua
bentuk ini dapat terjadi bersamaan pada satu jenis obat pada orang yang sama.
3
Pada tulisan ini akan dibahas metabolisme obat dan mekanisme kerusakan hati oleh
obat hepatotoksik serta obat-obat yang sering digunakan dalam terapi yang dapat menyebabkan
kerusakan hati khususnya bentuk hepatitik, gambaran klinis, pengobatan serta prognosisnya.

Metabolisme Obat di Hati
Metabolisme obat oleh hati atau biotransformasi terjadi dalam mikrosom sel melalui
sistem enzim yang sangat komplek. Perubahan ini terjadi melalui 2 tahap yaitu aktivasi dan
detoksifikasi. Tahap pertama terjadi oksidasi, reduksi dan penambahan gugus hidroksil
sedangkan pada tahap kedua atau tahap konjugasi terjadi metabolisme bahan yang menjadi
lebih polar sehingga mudah lebih larut dalam air yang kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui
traktus urinarius dan sistem bilier.
Dikatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi metabolisme obat di mikrosom hati
antara lain adalah: (1) penurunan aktivitas sesuai dengan pertambahan umur (2) kurang gizi (3)
terjadinya kompetisi dalam metabolisme obat pada penggunaan obat kombinasi, dan (4) pada
penderita penyakit hati.
3,4,5

Gambar 17.1. Metabolisme tahap I dan tahap II
Pada obat
hepatotoksik hal ini perlu berhati-hati karena berada dalam keseimbangan yang kritis.











Gambar 17.2. Metabolisme Obat Di Hati
Tahap II Tahap I
Bahan
Obat
Detoksifikasi
Katalisator:
Kompleks enzim sitokrom P-450
Katalisator:
Sulfotransferase
Glukuroniltrasferase
Glutationtransferase
Asetiltransferase
Epoxidhidrolase
Bentuk
antara

Pada tahap I metabolisme obat hepatotoksik disamping dapat menjadi bahan aktif juga dapat
berubah menjadi bahan kimia lain yang selanjutnya merupakan bahan toksik.

Mekanisme Kerusakan Hati
Mekanisme terjadinya nekrosis sel hati yang disebabkan oleh obat-obatan hepatotoksik
tidak diketahui secara pasti namun ada 7 dasar terjadinya kerusakan hati tersebut:
1. Berhubungan langsung atas proses metabolisme di hati (kholestasis)
2. Kerusakan sel hati oleh efek toksik obat (nekrosis)
3. Kerusakan sel hati akibat reaksi imunologi
4. Karsinogenik/ mutagenik
5. Berhubungan dengan aliran darah ke hati
6. Transmisi oleh infeksi
7. Penyakit hati sebelumnya

Menurut Roberts (1991) setiap obat berbeda mekanismenya sedangkan menurut Colon
(1990) kerusakan hati oleh obat hepatotoksik pada dosis terapi kemungkinan besar disebabkan
faktor kepekaan terhadap obat (idiosinkrasi).
6,7
Mekanisme ini dapat diklasifikasikan atas 2 tipe yaitu: (1) yang dapat diramalkan
(biasanya tergantung dosis), dan (2) yang tidak bisa diramalkan atau idiosinkrasi (biasanya
tidak tergantung dosis), Kelainan idiosinkrasi terjadi akibat reaksi imunologis dengan gejala
dan tanda yang tampak di luar hati seperti ruam, nyeri sendi dan eosinofilia. Pada anak kelainan
yang tidak tergantung dosis ini (idiosinkrasi) jarang ditemui, namun perlu juga diperhatikan
karena timbulnya kelainan ini tidak dapat diduga sebelumnya.
6,7
Aktifasi
metabolit
Metabolik
nontoksik
Obat
Membentuk
makromolekul
Sitotoksik Antigen Mutagen
Nekrosis Karsinogenik Teratogenik Fenomena
imunologis
Secara histopatologis kerusakan yang terjadi pada bentuk hepatitik sulit dibedakan
dengan hepatitis virus. Kerusakan tersebut dapat berupa nekrosis fokal atau masif dari sel hati.
Hal ini tergantung pada patogenesis (toksik/ idiosinkrasi) masing-masing obat.
Pada kasus toksik biasanya kerusakan pada satu wilayah namun pada idiosinkrasi
nekrosis yang terjadi merata di beberapa wilayah (masif). Gambaran nekrosis pada kasus toksik
yang lebih utama adalah neutrofil dan sedikit eosinofil. Pada nekrosis masif yang disebabkan
faktor idiosinkrasi yang terlihat adalah sel mononuklear dan ditandai dengan meningkatnya
eosinofil.
6,8

Gejala yang Timbul
Gejala yang muncul adalah:
- Ikterus
- Lelah
- Nafsu makan turun
- Nausea (mual)
- Vomitus (muntah)
- Abdominal pain (nyeri perut)
- Diare
- Urin seperti air teh
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan peningkatan tes fungsi hati dan hepatomegali.
4,6

Bentuk Kelainan Hati dan Obat-obat yang Menyebabkan Kelainan Hati
Bentuk kelainan hati yang mungkin terjadi karena obat hepatotoksik dapat
dikategorikan seperti terlihat pada tabel 17.1 dibawah ini.

Tabel 17.1. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan
Tipe Kelainan AST/ALT AP Kolesterol Keterangan
I Nekrosis sel hati + 4 + 1 N/- Hepatitis-like
II Steatosis + 2 + 1 N/- Asimtomatik
III
Kolestasis:
- Hepatoselul
ar
- Kanalikuli

+ 1

+ 1

+ 3
+ 1

+ 2
N/+
Obstruksi, tergantung
dosis

IV
Kelainan
vaskular
+ 1 + 1 N/+ Trombotik
V Fibrosis + 1 + 1 N/-
Hipertensi portal dan
sirosis
VI Granulomatosa + 1 + 1 N Asimtomatik
VII Neoplasma Bervariasi Jarang pada anak
Keterangan : (+) meningkat, (-) turun, N= normal
Sumber: Farrel
3

Obat-obat yang tergolong hepatotoksik dapat dilihat dalam tabel 17.2 berikut yang
disusun menurut abjad, namun pada makalah ini yang dibahas secara khusus adalah obat-obat
yang banyak dipakai dan sering menyebabkan kelainan hati pada anak.

Tabel 17.2. Daftar obat hepatotoksik
Nama obat Kelainan Nama obat Kelainan
Asetaminofen
Asetohexamin
Allopurinol
Aminocaprooic acid
Amiodaron
Amithiozine
Ampicilin
Androgen
Amitriptilin
Anabolic steroid
Antimony potasium
Arsenic
Aspirin
I,III
I
I,IV
I
I,V
I,V
I
III
I
III,VII
I
V
I,II
Isoniazid
Ketokonazol
Levodopa
Marijuana
Melarsoprol
Mephenitoin
Meprobamat
Mercatopurin
Methotrexate
Methoxyflurane
Methyldopa
Mithramycin
Nafcilin
I
I
I
I
I
I,III
I,III,V
I
I,VI
I
I
III
I
Azothioprin
BCG
Benoxaprofen
Benzyl alkohol
Carbamazepin
Carbason
Carisoprodol
Cephalothin
Chlorambucil
Chloramphenicol
Chloroform
Chlorothiazid
Chlorpromazin
Chlorpropamide
Chlorthalidone
Cimetidine
Cinchopen
Clidamycin
Clometacin
Coumarin
Cyclopospamide
Cyclopropane
Dantrolene
Dapsone
Demecolcine
Diazepam
Diphenilhidantoin
Disopyramin
Disulfiram
I,IV
I,V
I,III
I,III
I,III,V
I
I
I
I,III,V
I
I
I,III
III
I,III
I,III
III
I
I
I,III
I
I
I
I
I
III
I,III
I
III
I
Nicotinic acid
Nialamide
Nitrofurantoin
Noertiptylin
Oxacyllin
Oxyphenacetin
Papaverine
Paraaminosalicilic-a
Penicillin
Phenacemide
Phenazopyridin
Phenelzin
Phenobarbital
Phenothiazin
Phenilbutazon
Probenezid
Procainamide
Procarbasin
Prochlorperazin
Promethasin
Prophoxypen
Propilthiourasil
Pyrazinamid
Quinacrin
Quinidine
Ranitidin
Rifampicin
Stilbamidin
Streptomycin
III,VI
I
I,III
I
I
I,III
I
I
I
I
I
I,III
I,VI
I
VI
VI
III
III
III
I,III
I
I
I
I
I
I
I
I,III
I,III
Enflurane
Erythomycin
Estrogen
Ecthlorvynol
Ethionamide
Ethotion
Fluroxene
Gold
Griseovulvine
Halotan
Hycantone
Imipramin
Indometasin
Iodine
Iodipamide
Iopanoic acid
Iproniazid
Isocarboxazid

I
I,III
I,II,III
III
I
I
I
I
III
I
I
III
I
I
I
I
I
I

Sulfa
Sulindac
Tapazol
Testosteron
Tetrasiklin
Thiabendazol
Thioguanin
Thioridazin
Ticrinafen
Tolbutamid
Totalparenteral nutrisi
Triaclyoleoandromycin
Trifluoferazin
Trimeprazin
Trimethadion
Trimetoprinsulfameto
Urethan
Valproat
zoxazolamin
I
III
I
III,V
III
III
I,V
I,III
I,III,V
I
I
I
I
III
I,VII
I,II,III
I

Sumber: Farrel
3


Aspirin
Hepatotoksik bergantung dengan dosis dan biasanya terjadi pada pemberian dosis tinggi
pada artritis rematoid juvenil. Roberts (1991) melaporkan 10% kasus anak dengan demam
rematik akut yang mendapat aspirin. Pada anak perempuan lebih sering daripada laki-laki.
Hepatotoksik karena aspirin ditandai oleh kadar aspirin dalam serum yang melebihi 25
mg/dl dan sering meningkatkan kadar enzim transaminase. Kadar aspartat aminotransferase
dan/atau alanin aminotranferase meningkat dan timbul eosinofilia. Adanya bentuk kelainan
seperti hepatitis; anoreksia, mual, muntah dan nyeri perut dan hepatomegali. Pada kasus
overdosis dan progresif terjadi ikterus dan pada biopsi terlihat infiltrasi sel mononuklear dan
sel-sel nekrosis. Dengan mikrosop elektron terlihat mitokondria edem.
3,6
Asetaminofen
Asetaminofen (parasetamol) merupakan derivat para-amino-fenol yang mempunyai efek
antipiretik dan analgetik, sering dipakai untuk anak. Hepatotoksik dapat terjadi dengan
pemberian dosis tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan hati.
Kerusakan hati akibat asetaminofen disebabkan oleh suatu metabolitnya N-acetyl-p-
benzoquinoneimine (NAPQI) yang sangat reaktif. Pada keadaan normal produk reaktif ini
dengan cepat berikatan dengan glutation di hati sehingga menjadi bahan yang tidak toksik.
Akan tetapi pada keadaan kelebihan dosis produksi NAPQI yang bertambah dan tidak
sebanding dengan kadar glutation, NAPQI berikatan membentuk makromolekul dengan sel hati
yang mengakibat nekrosis sel hati.
Dosis toksik terjadi bila pemakaiannya lebih dari 160 mg/kgBB/hari. Namun pada
individu yang sama, dosis toksik dapat terjadi pada pemakaian dalam batas dosis terapi. Hal ini
berhubungan dengan menurunnya kadar glutation pada keadaan kelaparan dan kurang gizi dan
juga dapat terjadi pada penggunaan alkohol. Dikatakan bahwa pada anak berusia di bawah 12
tahun, sifat hepatotoksik dari asetaminofen berkurang jika dibandingkan dengan anak yang
lebih besar. Hal ini disebabkan karena kadar sitokrom P-450 yang rendah sehingga
metabolisme asetaminofen juga berkurang.
6,9

Gambar 17.3. Metabolisme asetaminofen


Asetaminofen Senyawa nontoksik
glukuronidasi
sulfa
si
Bentuk tak stabil
Bentuk toksik (NAPQI)
Senyawa nontoksik
Bentuk makromolekul dengan sel hati
Nekrosis sel hati
katalisator:
kompleks enzim sitokrom
P450
glutation
Isoniazid
Isoniazid menyebabkan kira-kira 7% kelainan hati pada anak. Hal ini jarang terjadi pada
bayi dan insiden akan meningkat dengan bertambahnya usia. Dikatakan bahwa INH dapat
menyebabkan hepatitis pada pemakainan lama. Kira-kira 10%-20% kasus akan mengalami
gangguan fungsi hati pada pemakaian lama dengan dosis 10 mg/kgBB/hari sedangkan dengan
dosis 3-5 mg/kgBB/hari angka ini akan turun hingga 2%. Efek toksik obat ini disebabkan oleh
metabolisme asetilat menjadi asetil isoniazid dan asetil hidralazin.
6,9

Gambar 17.4. Metabolisme isoniazid (INH)


Menurut Sherlock (1993) hal tersebut di atas kemungkinan disebabkan reaksi imunologi
namun tidak dijumpai adanya manifestasi alergi. Kombinasi isoniazid dengan obat seperti
rifampisin, obat anestesi dan alkohol menambah risiko terjadinya toksisitas.
Peningkatan kadar transaminase dalam serum sering didapatkan dalam 8 minggu
pertama pengobatan dengan isoniazid secara terus-menerus. Hal ini biasanya tanpa gejala, oleh
karena itu pemeriksaan transaminase serum sebagai monitor perlu sebelum dimulai dan 4
minggu berikutnya setelah pengobatan dengan isoniazid. Bila didapatkan hasil yang meningkat
maka pemeriksaan ditingkatkan menjadi setiap minggu dan bila cenderung meningkat hingga
akan menimbulkan terjadinya resiko maka pengobatan harus dihentikan.
2,10
Rifampisin
Isoniazid
Asetil-isoniazid
Asetil hidralazin
Acylating agent
Nekrosis sel hati
katalisator:
kompleks enzim sitokrom
P450
Rifampisin dieksresi melalui saluran empedu. Obat ini dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, baik terkonjugasi maupun yang tak terkonjugasi. Rifampisin biasanya
dikombinasikan dengan INH untuk digunakan pada penderita tuberkulosis, dan keduanya
bersifat hepatotoksik. Mekanismenya tidak diketahui, kemungkinan melalui induksi enzim.
2,6

Metotreksat
Efek hepatotoksik dari metotreksat sama seperti pada dewasa dimana pada dosis rendah
dan pemakaian lama biasanya menyebabkan kelainan berupa steatosis dan fibrosis. Tetapi pada
pemakaian dosis tinggi pada pengobatan kanker dapat mengakibatkan hepatitis akut.
Mekanisme hepatotoksik metotreksat tidak diketahui. Sangat berhubungan dengan dosis dan
lama pemakaian.
2,6

Kloramfenikol
Kloramfenikol dalam beberapa kasus dilaporkan dapat menyebabkan ikterus yang
berhubungan dengan nekrosis sel hati. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi dikatakan
kerusakan sel hati bersamaan dengan terjadinya kerusakan sumsum tulang.
2,6

Halotan
Mekanisme kerusakan hati akibat halotan tidak jelas, namun ada yang berpendapat
bahwa hal ini disebabkan oleh faktor alergi. Penggunaan halotan berulang kali dapat
menyebabkan kerusakan hati yang bersifat alergi berupa nekrosis sel hati yang letaknya
sentrolobular. Hal ini sesuai dengan konsep yang mengatakan bahwa mekanisme terjadinya
kerusakan hati tersebut berkaitan dengan hipersensitivitas, hipoksia dan pembentukan hapten.
Hepatitis oleh karena halotan biasanya terjadi setelah 1-2 minggu setelah penggunaan
(post operasi) dan umumnya pada pemakaian yang berulang dalam 3 bulan. Kejadian pada anak
jarang, diperkirakan sekitar 1:82.000 anak yang mendapat anastesi dengan halotan. Menurut
Dukes (1985) ada 2 gambaran kerusakan hati karena halotan; (1) yang sering terjadi yaitu
adanya peningkatan kadar enzim aminotransferase serum yang ringan sampai sedang dengan
gejala hepatitis ringan. Kedua gambaran nekrosis hati meluas sehingga dapat menimbulkan
kematian. Pada keadaan seperti ini dilaporkan angka kematian mencapai 14% bahkan sampai
71%. Insiden tipe berat ini diperkirakan berkisar antara 1:6000 sampai 1:20.000. perbandingan
antara laki dan perempuan 2:1.
2,6,9

Ampisilin
Nekrosis sel hati akibat ampisilin telah dilaporkan pada 1 kasus, terjadi setelah 15 hari
pengobatan dengan ditandai adanya ruam dan eosinofilia dan berakhir fatal.
2


Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis




Pengobatan
Adanya penggunaan
obat-obatan
Anamnesis : Riwayat pemakaian obat-obatan
Riwayat transfusi
Riwayat kontak hepatitis
Pemeriksaan fisik:
ikterus,hepatomegali,asites,spider naevi,
erithema palmar, rash (ruam)
Periksa: total bilirubin, bilirubin
direk
SGOT/SGPT, fosfatase alkali
GGT, albumin, globulin, PTT
Differential count (eosinofil)
Singkirkan: Kelainan ekstra
hepatal sal.empedu (USG)
Singkirkan hepatitis virus,
mononukleosis infesiosa,TORCH
Supected DRUG INDUCED HEPATITIS
Ikterus atau gejala
Kerusakan hati lain
Kolestasis Hepatoselular
Pada drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus. Umumnya sembuh spontan bila
obat dihentikan. Seperti halnya hepatitis virus, pengobatan drug induced hepatitis berupa
simtomatis dan suportif.
Penggunaan kortikosteroid diperlukan pada drug induced hepatitis yang berat yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitif, tetapi masih kontroversial. Pada kasus yang berat perlu
dipertimbangkan transplantasi hati untuk memperpanjang harapan hidup.
3,4

Prognosis
Umumnya prognosisnya baik, tetapi pada nekrosis hati yang masif sering berakibat
kegagalan hati sehingga prognosis menjadi buruk.

Ringkasan
Telah dibahas tentang hepatitis yang disebabkan obat-obatan (drug induce hepatitis).
Hati berfungsi dalam biotransformasi obat dalam mikrosom sel melalui sistem enzim yang
sangat kompleks dan mengubah bentuk antara menjadi bentuk tidak toksik yang mudah larut
dalam air sehingga dapat diekskresi keluar tubuh.
Sehubungan dengan fungsi tersebut, pada obat-obat tertentu (hepatotoksik) hati
berisiko mengalami kerusakan yang tergantung dari jenis obatnya. Mekanisme terjadinya
kerusakan tersebut belum diketahui dengan pasti, namun ada yang berpendapat bahwa secara
garis besar mekanisme tersebut adalah: (1) yang berhubungan langsung dengan obat (dosis dan
lama pemberian) dan (2) reaksi imunologi.
Dalam pengobatan drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus (sama halnya dengan
hepatitis virus), Cukup dengan penghentian penggunaan obat dan terapi suportif dan
simtomatis. Pada kasus yang berat perlu dipertimbangkan transplantasi hati untuk
memperpanjang harapan hidup.
2,3,4

Daftar Pustaka
1. Gryborski J, Waklker WA. Gastrointestinal Problem in the Infant; edisi ke-2 Philadelphia: WB Sounders Co.
1983; 337-43.
2. Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Biliary System; ed.ke-9. London: Blackwell Scientific Publication.
1993; 322-51.
3. Farrel GC. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Bayless TM, eds. Current Therapy in Gastroenterology and Liver
Disease; edisi ke-3. Philadelphia ; BC Decker. 1990; 460-4.
4. Ockner RK. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Zakim D, Boyer TD. Textbook of Liver Disease. Philadelphia;
WB Sounders Company. 1982; 691-5.
5. Stricker BH, Spoelstra P. Drug Induced Hepatic Injury; Vol 1. Amsterdam: Elsevier Science Publishing. 1985.
6. Roberts EA, Spielberg SP. Drug-Induced Hepatotoxic Children. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR,
eds. Pediatric Gastrointestinal Disease; ed.ke-3, Philadelphia: B.C.Decker. 1991; 898-912.
7. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology; Edisi ke-2. Chicago; Year Book Medical Publishers. 1990; 65-77.
8. Zimmerman HJ, Maddre WC. Toxic and drug-Induced hepatitis. dalam: Schiff L, Schiff ER, eds. Diseases of the
liver. Philadelphia: lippincot Company. 1993: 707-83.
9. Poley JR. Effects of Drug on the Liver. Dalam;Gracey M, Burke V,eds. Pediatric Gastroenterology and
Hepatology; edisi ke-3. London Blackwell Scientific Publication. 1993; 726-30.
10. Olson KR. Poisoning & Drug Overdose; edisi ke-2. USA; Appleton & Lange. 1994.



BAB XVIII
PENYAKIT SISTEMIK YANG BERPENGARUH PADA HATI
Atan Baas Sinuhaji
Ilustrasi kasus
Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun dirawat di rumah sakit dengan keluhan
demam yang sudah berlangsung selama 3 minggu, pembengkakan perut (hepatomegali) dan
penurunan berat badan. Kadang-kadang disertai muntah setelah makan dan episode batuk.
Ibu anak mengatakan anaknya sehat sebelum masuk rumah sakit. Lima belas hari
sebelum dirawat, anak demam tinggi disertai batuk kering, muntah setelah batuk, sakit perut
setelah makan, nafsu makan turun dan tinja lembek. Volume urin normal, tetapi ibu mencatat
warna urin lebih gelap dari biasanya. Dalam masa 2 minggu, berat badan anak turun sampai
1 kg.
Sebelas hari sebelum dirawat, anak tersebut berobat ke dokter anak dan didiagnosis
dengan sindroma viral. Karena anak kelihatan sehat, anak berobat jalan dan berobat
sebanyak 2 kali yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum dirawat, dengan keluhan yang sama. Pada
kunjungan terakhir ke dokter tersebut, teraba hati membesar 5 cm di bawah arkus kosta
kanan. Foto toraks menunjukkan infiltrat di kedua paru. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya hiponatremia (127 mEq/l) disertai peningkatan hasil pemeriksaan
biokimia hati (bilirubin total serum = 1.5 mg%; aminotransferase aspartat = 130 U/ml;
aminotransferase alanin = 159 U/ml; fosfatase alkalin = 650 IU/L; kolesterol = 414 mg/dl;
dehidrogenase laktat = 513 U/mL). Bilirubin (+) pada pemeriksaan urin.
Riwayat penyakit serius sebelumnya tidak ada. Juga tidak didapatkan riwayat alergi
sebelumnya. Imunisasi sesuai dengan usia. Lahir spontan, cukup bulan. Tidak ada riwayat
keringat malam, sakit sendi, ruam pada kulit atau penyakit-penyakit kronis lainnya. Tidak
ada riwayat memelihara binatang di rumah, memakan obat-obatan, kontak terhadap bahan
kimia ataupun bepergian sebelum sakit.
Kontak dengan penderita tuberkulosis disangkal, walaupun kakeknya penderita batuk
kronis yang produktif dan perokok berat. Tetangga menderita bronkitis. O.s adalah anak
kedua dari 3 bersaudara. Orang tua dan saudara-saudaranya kelihatan sehat dan berasal
dari keluarga ekonomi menengah.
Pada pemeriksaan anak kelihatan kurus tetapi sehat dan aktif. Tidak ada tanda-tanda
distres pernafasan akut. Ikterus (-). Berat badan =16.1 kg (75
th
percentile) dan tinggi badan =
102 cm (95
th
percentile). Temperatur = 40.5
o
C. Denyut nadi = 132 x/menit, frekuensi
pernafasan 18 x/menit.
Pemeriksaan fisik lain didapatkan normal, kecuali hepar membesar simetris 5 cm di
bawah arkus kosta kanan, permukaan rata dengan tepi yang tajam. Lien dan ginjal tidak
teraba. Tidak ada pembesaran kelenjar limfe. Pemeriksaan funduskopi dan neurologi tidak
ada kelainan.
Hasil laboratorium darah sewaktu masuk rumah sakit menunjukkan: Hb = 10,7 g%;
leukosit 7300/mm3; hitung jenis: E =0/B=0/batang = 12%/ segmen = 53%/ limfosit = 31%/
monosit = 2%/ limfosit atipikal = 2%; laju endap darah = 43 mm/jam; bilirubin total = 1.6
mg%; dehidrogenase laktat = 421 U/l; transpeptidase gamma glutamil = 424 U/l;
aminotransferase aspartat = 99 U/l, aminotransferase alanin =94 U/l, amilase= 35 Somogyi
U/l. Natrium = 125 mEq/l; Kalium = 4 mEq/l: Klorida = 9.6 mEq/l; CO2 = 23 mEq/l). Hasil
urinalisis : trace bilirubin (+).
Pemeriksaan tinja: tidak dijumpai telur cacing, parasit lain atau lekosit. Kultur urin,
darah dan tinja yang dilakukan beberapa kali setelah 2 hari dirawat hasil (-). Hasil
pemeriksaan serologi terhadap sitomegalovirus, virus Hepatitis A dan B juga negatif.
Pemberian 5 TU intradermal purified protein derivative (PPD): tidak ada reaksi (anergi).
Kadar serum imunoglobulin: normal. Hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan noduler
retikular yang difus di kedua paru/miliary pattern tanpa pembesaran kelenjar hilus.
Ultrasonografi abdomen menunjukkan: pembesaran hepar dengan parenkim yang homogen
tanpa lesi fokal. Lien dan pankreas normal. Kandung empedu normal tanpa distensi saluran
biliaris intrahepatik ataupun pembesaran kelenjar retroperitoneal. Kedua ginjal membesar
yang diduga karena penyakit infiltrasi. Kandung kemih normal tanpa ada massa. Hasil
pungsi sumsum tulang menunjukkan gambaran hiperselular yang didominasi sel plasma,
eosinofil dan kompleks hematofagositik. Gambaran ini sekunder oleh infeksi bakteri (tidak
ada tanda - tanda keganasan).
Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan bilasan lambung selama 3 hari berturut
turut. Pada bilasan hari ke-3 dijumpai basil tahan asam. Hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan tandatanda meningitis serosa. Selama perawatan O.s tetap
demam tinggi dan pada minggu pertama perawatan dijumpai distres pernafasan. Dengan
restriksi cairan, hiponatremia membaik. Diduga hiponatremia terjadi oleh karena SIADH
(Syndrome of Inappropriate Secretion of Anti Diuretic Hormone).
Diagnosis klinis ditegakkan dengan tuberkulosis milier disertai komplikasi
hepatitis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis, renal tuberkulosis disertai
SIADH. Pada penderita dengan infeksi susunan saraf pusat dan tuberkulosis paru sering
terjadi SIADH. Penyebab lain SIADH dapat dilihat pada tabel 1.
Hasil ini didukung dengan pemeriksaan biopsi paru dimana dijumpai granuloma pengkejuan
yang multipel dengan basil tahan asam. Empat minggu setelah dirawat hasil kultur cairan
serebrospinal, urin, bilasan lambung dan jaringan paru menunjukkan pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis. Sayangnya pemeriksaan biopsi hepar tidak dilakukan karena
masa tromboplastin parsial yang memanjang.
Kasus ini merupakan rujukan ke Bagian Anak The John Hopkins Hospital, Baltimore
USA dan menjadi bahan konferensi klinik. Anak lakilaki berumur 3 tahun dengan keluhan
demam tanpa diketahui sebabnya, hepatomegali dan penurunan berat badan (BB). Selain
hepatomegali, keluhan lain seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya dan penurunan
berat badan, tidak spesifik untuk kelainan hepar. Setelah dilakukan serangkaian
pemeriksaan, termasuk menyingkirkan penyebab kelainan hepar primer dan drug induced
liver disease, ternyata kelainan hepar ini (hepatomegali disertai kelainan hasil pemeriksaan
laboratorium) sekunder akibat infeksi/kelainan sistemik (tuberkulosis).

Tabel 18.1. Penyebab Utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)
1. Ektopik
- Oat cell lung carcinoma
- Karsinoma pancreas
- Timoma
- Penyakit Hodgkin
- Tumor karsinoid
2. Eutopik
- Pulmoner
a. Pneumonia
b. Tuberkulosis
c. Gagal nafas akut
- Susunan saraf
a. Trauma
b. Meningitis
c. Abses
d. Ensefalitis
e. Vascular accident
3. Iatrogenik
- Drug induced, misalnya:
a. Karbamazepin
b. Klofibrat
c. Inhibitor oksidase monoamin
d. Sulfonilurea (klorpropamid)
Sumber: Schwimmer
1

Pendahuluan
Hepar merupakan organ parenkim terbesar dalam tubuh manusia, yang menerima
hampir dari curah jantung dan memerlukan hampir
1
/5 dari konsumsi oksigen dalam keadaan
istirahat. Di samping itu hepar memegang peranan fungsi metabolik yang esensial (seperti
mempertahankan kadar protein dan glukosa plasma tetap normal, sintesis empedu dan lain-
lain), biotransformasi xenobiotik (obat, food additives, pollutant dan lain-lain) dan respon
imunologis.
Hepar sendiri merupakan organ tubuh selanjutnya yang pertama sekali kontak dengan
nutrien dan xenobiotik (maupun mikroorganisme) yang masuk secara enteral melalui vena
porta; sedangkan bila bahan-bahan tersebut/mikroorganisme masuk melalui rute parenteral
juga akan mencapai hati melalui arteri hepatika. Bahan-bahan tersebut/mikroorganisme yang
masuk melalui vena porta maupun arteri hepatika akan bertemu di sinusoidal. Untuk sampai ke
hepatosit, bahan tersebut/mikroorganisme harus melalui barier yang terdapat di dinding
sinusoid (sel endotel, sel Kupffer dan sel stelat = sel Ito). Sel Kupffer berfungsi sebagai makrofag
sedangkan sel stelate (sel Ito) berfungsi untuk penyimpanan lemak dan vitamin A (lihat gambar
18.1).
2,3















Gambar 18.1. Hubungan antara arteri hepatika, vena porta, sinusoid dan hepatosit
X



Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, (ukuran hepar, fungsi metabolik dan
biotransformasi, posisi sentral dalam sirkulasi/saluran cerna dan respon imunologis), tidak
dapat disangkal lagi bahwa hepar merupakan organ tubuh yang secara insidental sangat rentan
dipengaruhi oleh penyakit/kelainan sistemik. Yang dimaksud dengan hepar di sini adalah hepar
dan saluran empedu (hepatobilier). Karena itu dapat didefinisikan penyakit sistemik yang
berpengaruh pada hati adalah kelainan hepar (baik klinis, laboratorium dan histologi) yang
sekunder terjadi oleh karena penyakit/kelainan sistemik yang primernya di luar hati.
Penyakit/kelainan sistemik adalah penyakit/kelainan yang mempengaruhi tubuh secara
keseluruhan.
1,3,4
Dalam tulisan ini akan diuraikan secara umum mengenai kejadian, etiologi, patogenesis,
manifestasi, diagnosis, terapi, prognosis dan pencegahan kelainan hepar sekunder yang
disebabkan oleh penyakit/kelainan sistemik. Juga akan dipaparkan beberapa penyakit/kelainan
di luar hepar yang menyebabkan kelainan hepar. Penyakit yang diuraikan hanya
menggambarkan hepar sangat mudah terkena oleh berbagai penyakit/kelainan sistemik. Drug
induced liver diseases tidak akan diuraikan dalam tulisan ini.

Kejadian dan Etiologi
Data mengenai penyakit sistemik yang berpengaruh pada hepar, belum jelas
dipublikasikan. Hanya dikatakan, bukan tidak jarang. Pada bayi yang mendapat nutrisi
parenteral total, insidens dilaporkan mencapai 30%. Bayi prematur yang mendapat nutrisi
S I N U S O I D
HEPATOSIT
LINTASAN
PARASELULER


V.centralis
V. porta
Saluran empedu yang lebih
besar
Arteri hepatika
Kanalikuli
V.hepatika

RONGGA
DISSE
Sel endotel, Sel Kupffer,
Sel Ito
LINTASAN
TRANSELULER
X
parenteral total lebih dari 90 hari bahkan mencapai 100%. Insidensi kelainan hepar pada bayi
prematur yang mendapat nutrisi parenteral total dipengaruhi oleh umur bayi, lamanya
mendapat nutrisi parenteral total dan penyakit-penyakit lain yang menyertai.
Penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu
kelompok infeksi dan non-infeksi. Infeksi dapat dibagi atas infeksi akut yang sering
berhubungan dengan sepsis dan infeksi kronis yang menyebabkan hepatitis granulomatosa
(lihat tabel 18.2).
1,5

Tabel 18.2. Penyebab Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati
I. Penyakit infeksi
a. Penyakit infeksi akut/sehubungan dengan sepsis (Streptokokkus, Stapilokokkus,
Gonokokkus, Salmonella, dan lain-lain)
b. Penyakit infeksi kronis/sehubungan dengan hepatitis granulomatosa)
1. Virus
- Sitomegalovirus
- Mononucleosis
2. Bakteri
- Aktinomikosis
- Histoplasmosis
- Bruselosis
- Tularemia
- Listerosis
- Nokardiosis
3. Mycobacterium: M.tuberculosis
4. Parasit
- Askariasis
- Strongiloidiasis
- Toksoplasmosis
5. Fungal
- Aspergillosis
- Kandidiasis
- Kriptokokkosis
6. Lain-lain
- Q fever
- Sifilis

II. Non-infeksi
a. Gagal jantung
b. Gangguan hematologi
- Hemoglobinopati
- Gangguan koagulasi
- Keganasan
- Transplantasi sumsum tulang
c. Penyakit kolagen vaskular
- Eritomatosis lupus sistemik
- Artritis rematoid
- Penyakit Sjogren
- Skleroderma (sklerosis sistemik disseminata)
- Rematoid polimialgia
d. Gangguan endokrin
- Hipertiroidisme
- hipotiroidisme
e. Gangguan susunan saraf
f. Gangguan gizi
- Nutrisi parenteral total
- Jejunoileal bypass
- Obesitas
g. Inflammatory bowel disease
- Kolitis ulseratif
- Penyakit Crohn
h. Disfungsi hepar nefrogenik
- Sindroma Stauffer
i. Lain-lain.
- Sarkoidosis
- Amiloidosis
Sumber : OBrien
6

Patogenesis
Walaupun patogenesis terjadinya kerusakan hepatobiliaris sekunder oleh karena
penyakit/kelainan sistemik belum begitu jelas dalam beberapa hal, namun mekanisme
terjadinya kelainan hepatobiliaris (baik infeksi maupun non-infeksi) dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Invasi langsung parenkim hati oleh mikoorganisme melalui darah/limfe.
2. Kerusakan hepatobiliaris karena produk mikroorganisme dengan bantuan mediator
proinflamasi (seperti tumor necrosis factor, platelet activating factor, dll).
3. Kerusakan hepatosit karena penumpukan bahan-bahan baik hasil metabolisme atau proses
peradangan (amiloidosis hepatik, kelainan hepar pada hemoglobinopati).
4. Kerusakan hepatosit karena anoksia dan penekanan (misal: kelainan hepar karena gagal
jantung).
5. Gangguan nutrisi (baik kekurangan/kelebihan nutrien atau efek pemuasaan), misalnya:
kelainan hati pada nutrisi parenteral total.
6. Kerusakan hepar karena hiperpireksia (misal: kelainan hepar pada infeksi susunan saraf
pusat).

Tidak ditemukannya mikroorganisme pada parenkim hepar, tidak menyingkirkan
kemungkinan kerusakan hepar oleh infeksi. Harus diingat bahwa salah satu fungsi hepar adalah
pertahanan imunologis tubuh. Darah akan dibersihkan dari bahan-bahan patogen dengan
bantuan fagositosis dari sel Kupffer. Kemungkinan mikroorganisme yang dimakan sel Kupffer
menimbulkan cedera hepatobiliaris dan selanjutnya mengalami disolusi. Meskipun pada
beberapa kasus toksin tidak ditemukan dalam sirkulasi, namun produk dari mikroorganisme
tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hepar.
Selain itu harus dipertimbangkan peranan efek nonspesifik seperti malnutrisi, anoksia dan
hiperpireksia pada kerusakan hepatosit oleh karena infeksi.
3,7,8

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis kelainan hepatobiliaris sekunder oleh karena penyakit/kelainan
sistemik merupakan gabungan gejala kelainan hepatobiliaris primer dan gejala penyakit yang
mendasarinya (seperti sesak, gejala bendungan venosa pada gagal jantung). Sering kali
manifestasi kelainan hepatobiliaris lebih menonjol daripada penyakit primer yang
mendasarinya. Manifestasi penyakit ini sering tidak spesifik seperti mudah letih, anoreksia,
penurunan berat badan, demam, dll. Dapat ditemukan gejala klinis seperti hepatomegali,
ikterus, edema, perdarahan, ensefalopatia, dll. Ensefalopati diperberat dengan adanya gangguan
sirkulasi dan hipoglikemia. Demikian juga ikterus diperberat dengan adanya hemolisis. Gejala
ini bisa ringan hingga membahayakan kehidupan. Namun gejala klinis ini tidak ada yang
signifikan untuk kelainan hepatobiliaris sekunder.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium/biokimia hepar berupa peningkatan kadar
aminotransferase serum yang merupakan refleksi dari gangguan integritas hepatosit dan
membran sinusoidal. Peninggian kadar bilirubin, fosfatase alkali dan transpeptidase gamma
glutamil serum, menggambarkan adanya gangguan sekresi empedu. Pemanjangan masa
protrombin (terutama bila tetap memanjang setelah pemberian vitamin K) dan penurunan
kadar albumin serum menunjukkan adanya gangguan kapasitas biosintesis hepar oleh karena
proses akut ataupun kronis. Manifestasi kelainan laboratorium ini juga tidak ada yang spesifik
untuk kelainan hepatobiliaris sekunder. Abnormalitas dari biokimia hati tidak absolut
menggambarkan derajat kerusakan hati.
7,8
Gambaran histologik hepar tidak spesifik. Kadang-kadang dijumpai bercak-bercak
radang di daerah porta, tetapi daerah porta ini juga bisa normal. Dapat dijumpai nekrosis
setempat disertai hiperplasi sel Kupffer ataupun steatosis yang meluas. Gambaran ini disebut
hepatitis reaktif. Tergantung dari lama/beratnya penyakit dan daya tahan tubuh penderita,
nekrosis tersebut bisa meluas sehingga terjadi disfungsi hati yang berat. Daerah nekrosis ini
diganti dengan jaringan ikat dan diikuti pembentukan nodul (sirosis hepatis). Adanya gambaran
granuloma hepar merupakan manifestasi radang kronis akibat penyakit sistemik di luar hepar.
9

Diagnosis
Adanya gejala kelainan hati (baik klinis atau laboratorium) harus dipikirkan apakah
gangguan hati tersebut merupakan kelainan hati primer atau sekunder karena
penyakit/kelainan sistemik ataupun obat-obatan yang digunakan. Baik untuk pengobatan
penyakit hati primer maupun penyakit/kelainan sistemik (drug induced liver disease).
Kecurigaan terhadap penyakit hepar primer dapat dibuat berdasarkan perjalanan/gejala
klinis dan didukung pemeriksaan biokimia hati. Pada keadaan ini penyebab viral, autoimmun
dan gangguan metabolisme harus dipertimbangkan. Pemeriksaan serologi terhadap penyebab
infeksi yang sering (seperti virus Hepatitis A, virus Hepatitis B, virus Hepatitis C,
sitomegalovirus dan virus Epstein-Barr) harus dilakukan. Juga pemeriksaan serologi untuk
hepatitis autoimmun (antinuclear antibody dan smooth muscle antibody). Gangguan metabolik
seperti penyakit Wilson dan defisiensi antitripsin alfa-1 juga harus dipertimbangkan.
Pemeriksaan tambahan seperti ultrasonografi dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kolelitiasis, kolesistitis ataupun massa di hepar (kista, tumor).
3,10
Untuk menyingkirkan kemungkinan drug induced liver disease, diperlukan kecurigaan
yang tinggi terhadap pemakaian obat-obatan, karena tidak ada tes diagnosis dengan gambaran
patologis yang spesifik. Bila diduga dose dependent hepatotoxic drug (seperti aspirin dan
asetaminofen), kadar obat tersebut dalam darah harus diperiksa.
Adanya manifestasi kelainan hati (klinis dan laboratoris) disertai gejala penyakit/
kelainan sistemik, dipertimbangkan sebagai kelainan hepatobiliaris sekunder. Hepatopati
kongestif dicurigai bila ada pembesaran hepar ataupun abnormalitas biokimia hepar disertai
gejala-gejala gagal jantung (sesak, bendungan venosa, dll). Pada amiloidosis hepatik yang
terjadi akibat amiloidosis sistemik, dijumpai penumpukan amiloid di parenkim hati. Walaupun
demikian, biopsi hepar tidak dianjurkan pada amiloidosis sistemik yang diduga menderita
amiloidosis hepatik karena dikhawatirkan terjadinya perdarahan masif dari hepar yang
diinfiltrasi amiloid. Biopsi hati hanya dianjurkan kalau amiloidosis sistemik tidak jelas dengan
catatan masa pembekuan, jumlah trombosit dalam batas normal dan tidak ada riwayat
perdarahan. Biopsi hepar pada hepatopati kongestif juga tidak dianjurkan. Umumnya biopsi
hepar dilakukan kalau ada kelainan hati tetapi gejala/tanda penyakit sistemik tidak jelas.
3,10,11

Pengobatan, Prognosis dan Pencegahan
Tidak ada pengobatan spesifik untuk kelainan hepatobiliaris sekunder karena
penyakit/kelainan sistemik. Pengobatan ditujukan pada penyakit/kelainan sistemik yang
menyebabkannya. Abnormalitas biokimia hepar akan kembali normal setelah penyakit/kelainan
sistemik mengalami penyembuhan.
Bila ada kolestasis, perdarahan ataupun ensefalopati hepatik (gagal hati), maka
pengobatan terhadap gangguan ini sama seperti bila gangguan ini disebabkan kelainan
hepatobilier primer. Misalnya, pemberian vitamin A, D, E, dan K, urseodeoksikolat, dll pada
kolestasis.
8,12
Prognosis sangat tergantung dari penyakit/kelainan sistemik yang menyebabkannya.
Penderita amiloidosis sistemik umumnya memiliki prognosis buruk dengan median survival
kurang dari 2 tahun. Umumnya penderita meninggal karena kelainan jantung atau ginjal, jarang
karena kelainan hepar. Walaupun pada beberapa kasus dilaporkan bahwa pemberian mefalan
dan prednison bermanfaat. Pengobatan sistemik amiloidosis dengan kemoterapi tidak
dianjurkan. Mortalitas penderita hepatitis iskemik (shock liver), (yang merupakan komplikasi
gagal jantung kiri akut), mencapai 40-50% tetapi tidak ada korelasi dengan abnormalitas
biokimia hepar. Adanya sirosis kardiak yang merupakan komplikasi hepatopati kongestif, tidak
mempengaruhi prognosis. Pada penderita yang meninggal karena gagal jantung kongestif/gagal
jantung kanan, sirosis kardiak dijumpai pada 4%-10% kasus.
Bila penyakit berlangsung progresif yang ditandai dengan penurunan kesadaran,
gangguan pembekuan yang tidak bisa dikoreksi dan penurunan kadar aminotransferase alanin
yang disertai peningkatan kadar bilirubin serum, maka merupakan indikator prognosis yang
buruk. Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan transplantasi hepar.
Adanya infeksi sistemik pada penderita penyakit hepar kronis akan mencetuskan
eksaserbasi. Karena itu mencegah penyakit yang menimbulkan gangguan hepar kronis (misal
Hepatitis B) mungkin bermanfaat untuk mengurangi beratnya kelainan hepatobiliaris karena
infeksi. Sama seperti pengobatan, tidak ada pencegahan spesifik penyakit hepatobiliaris karena
penyakit/kelainan sistemik. Mengingat tingginya angka kejadian tuberkulosis di Indonesia,
adanya hepatitis tuberkulosis harus diwaspadai. Imunisasi BCG akan mencegah/mengurangi
hepatitis tuberkulosis yang merupakan komplikasi tuberkulosis primer.
3,12
Pembatasan lamanya pemberian nutrisi parenteral akan mencegah kelainan hepar yang
diakibatkan oleh nutrisi parenteral total. Pemberian makanan secara enteral harus secepat
mungkin dilakukan walaupun dalam jumlah sedikit, untuk merangsang sekresi empedu. Bila
ada gangguan biokimia hepar, nutrisi parenteral total harus dihentikan. Pemberian
kolesistokinin dilaporkan memberikan hasil, karena merangsang aliran empedu dan
menghambat kolestasis.
13

Beberapa Penyakit Sistemik yang Mempengaruhi Hepar
1. Kelainan hepar pada amiloidosis sistemik
Amiloidosis adalah penyakit yang ditandai dengan penumpukan amiloid (serabut protein
amorf dan tidak larut) di berbagai jaringan tubuh (amiloidosis sistemik). Penumpukan ini
bila diwarnai dengan merah Congo menimbulkan gambaran materi eosinofilik yang
homogen. Penumpukan amiloid ini menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi
gangguan fungsi dan pembesaran organ seperti ginjal, jantung, hati dan lien. Terdapat
hampir 20%-100% keterlibatan hepar (amiloidosis hepatik) pada penderita amiloidosis
sistemik.
Dikenal berbagai tipe amiloidosis sistemik: amiloidosis primer, amiloidosis sekunder,
amiloidosis familial, amiloidosis sehubungan dengan penuaan (misalnya penyakit
Alzheimer) dan amiloidosis yang berhubungan dengan dialisis. Namun hampir 90% dari
amiloidosis tersebut adalah amiloidosis primer dan amiloidosis sekunder. Pada penderita
amiloidosis primer dijumpai penumpukan amiloid yang terdiri dari imunoglobulin rantai
pendek, tipe AL (amyloid light chain). Amiloidosis primer ini berhubungan dengan
mieloma multipel, sedangkan amiloidosis sekunder atau amiloidosis reaktif dijumpai pada
penderita Mediteranean familial fever dan penyakit radang kronis (seperti artritis
reumatoid juvenilis, artritis reumatoid, spondilitis ankilosing, inflammatory bowel disease,
dll).
Amiloidosis primer jarang dijumpai pada anak. Yang sering dijumpai adalah amiloidosis
sekunder. Umumnya dijumpai pada usia lebih dari 15 tahun. Protein amiloid A (AA)
merupakan amiloid yang dijumpai pada amiloidosis sekunder. Protein amiloid A ini
merupakan reaktan fase akut sebagai respons terhadap infeksi kronis. Amiloidosis sekunder
dicurigai bila ada penyakit radang kronis yang disertai dengan hepatomegali dan
proteinuria.
1,3,6

2. Kelainan hepar pada gagal jantung
Gagal jantung dapat menyebabkan kelainan hepar karena adanya bendungan venosa
hepatik dan curah jantung yang berkurang. Bendungan venosa hepatik disebabkan oleh
peningkatan tekanan atrium kanan sekunder terhadap gagal jantung kanan, sedangkan
curah jantung yang berkurang disebabkan oleh gagal jantung kiri. Masing-masing gejala
klinis, biokimia dan gambaran histologis hepar akibat kedua hal ini berbeda, tetapi
dipengaruhi oleh keseimbangan antara disfungsi jantung kanan dan jantung kiri.
Berkurangnya curah jantung akut sekunder terhadap gagal jantung kiri akut menyebabkan
hepatitis iskemia (shock liver). Dua pertiga dari aliran darah ke hepar berasal dari vena
porta yang kaya akan nutrien, hormon dan enzim yang berasal dari saluran pencernaan.
Sisanya berasal dari arteri hepatika yang kaya akan oksigen. Karena itu daerah periportal
mendapat darah yang kaya akan nutrien, oksigen, hormon dan enzim untuk pernafasan sel.
Sedangkan daerah perisentral mendapat darah yang miskin akan substrat-substrat tersebut
dan oksigen. Bila ada gangguan sirkulasi akut, maka yang pertama kali menderita adalah
daerah perisentral. Area perisentral akan nekrosis tanpa adanya inflamasi. Karena itu
penamaan hepatitis iskemik tidaklah tepat. Nekrosis hepatik menyebabkan ikterus, asidosis
laktat, peningkatan kadar aminotransferase serum, pemanjangan masa protrombin dan
hipoglikemia. Manifestasi hepatitis iskemik lebih banyak bersifat laboratoris. Peningkatan
kadar aminotransferase serum dan dehidrogenase laktat >25 kali di atas nilai normal dalam
1-3 hari setelah episode hipotensi sistemik akan diikuti nilai normal dalam 7-10 hari bila
gagal jantung sembuh.
Tekanan atrium kanan yang meningkat akibat gagal jantung kanan menyebabkan kongesti
venosa hepatik (hepatopati kongestif). Akibatnya terjadi distensi sinusoidal sentrizonal.
Distensi menyebabkan asites dan gejala hipertensi porta lainnya. Distensi juga akan
mengganggu difusi oksigen ke hepatosit sentrolobuler (hipoksia), sehingga terjadi
perdarahan, atrofi karena tekanan, dan nekrosis hepatosit. Ikterus dan pembesaran yang
disertai nyeri hepar akan dijumpai. Nekrosis hepatoselular tidak absolut berkorelasi dengan
beratnya gagal jantung. Perdarahan menyebabkan area sentrolobular yang berwarna merah
yang kontras dengan area midzonal dan periportal yang berwarna pucat/normal. Pada
irisan hepar, gambaran ini disebut nutmeg appearance. Bila kongestif berat dan
berlangsung lama, anyaman retikulin di sekitar vena sentralis akan kolaps, dan jaringan
ikat dan retikulin yang kolaps akan meluas dari satu vena sentralis ke vena sentralis
lainnya. Jaringan ikat yang menghubungkan vena sentralis yang berdekatan membentuk
reverse lobulation, ini merupakan gambaran yang unik dari sirosis kardiak. Pembentukan
nodul yang lebih luas jarang dijumpai pada sirosis kardiak, karena penderita umumnya
meninggal lebih awal akibat gagal jantung. Sirosis kardiak tidak akan menyebabkan
hipertensi porta yang berat seperti pecahnya varises esophagus. Stigmata penyakit hepar
kronis seperti eritema palmaris, spider angioma dan caput medusae jarang dijumpai.
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat membedakan sirosis kardiak dengan hepatopati
kongestif nonsirosis. Hubungan masing-masing area lobulus hepar dapat dilihat pada
gambar 18.2.
1,3,6












Zone 1 Zone 2 Zone 3
(Periportal) (Midzonal) (Perisentral/Sentrizonal)


Perilobular Sentrolobular





Gambar 18.2. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport (pusat di triade
portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di vena sentralis).

3. Kelainan hati pada sepsis
Sepsis adalah respons inflamasi sistemik yang disebabkan infeksi (bakteremia +
respons inflamasi sistemik). Respons inflamasi sistemik dapat juga disebabkan oleh non-
infeksi (sepsis like illness). Sepsis dapat menyebabkan kelainan hepatobiliaris dan
organisme penyebab yang paling sering adalah Escheria coli, Klebsiella pneumoniae dan
Pseudomonas aeroginosa.
Asinus Hepar (Rappaport)
Portal triad V.sentralis
Lobulus hepar klasik
(Kiernan)
Diduga, endotoksin bakteri merangsang sel retikuloendotelial hepar (sel Kupffer) untuk
melepaskan mediator inflamasi. Agen proinflamatorik seperti sitokin (tumor necrosis
factor, interleukin 1 dan 8) dan leukotrien merangsang kemotaksis, peningkatan
permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos vaskular. Permeabilitas vaskular yang
meninggi menyebabkan ekstravasasi plasma sehingga terjadi edema periduktular yang
mengakibatkan kolestasis. Kontraksi pembuluh darah menyebabkan hipoperfusi sehingga
terjadi iskemia (lihat gambar 18.3). Suatu penelitian eksperimental pada gagal hati
fulminan menunjukkan bahwa pemberian antagonis reseptor leukotrien menyebabkan
berkurangnya kerusakan hepatosit.









Endotoksin sirkulasi

Lepasnya agen proinflamasi
dari Sel Kupffer

Kemotaksis Permeabilitas vaskular meningkat Kontraksi vaskular

Lepasnya oksidan Ekstravasasi plasma Hipoperfusi
protease dari lekosit
Edema periduktular

Kolestasis
Gambar 18.3. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis

Biopsi hepar menunjukkan kolestasis intrahepatik, sedikit/tanpa nekrosis hepatosit,
hiperplasia sel Kupffer, dan inflamasi portal. Gejala klinis bisa ringan dan sukar dibedakan
dari penyebab kolestasis lainnya. Terdapat peningkatan kadar bilirubin (terutama bilirubin
terkonjugasi), fosfatase alkali dan aminotransferase serum. Sepsis juga dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia tanpa kolestasis. Namun yang dominan adalah gejala sepsis.
Abnormalitas biokimia hepar, dijumpai 2-4 hari setelah onset infeksi sistemik dan kembali
normal dengan pengobatan infeksi primer yang sesuai. Abnormalitas biokimia hepar ini
hanya sedikit mempengaruhi prognosis. Prognosis sangat bergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Ultrasonografi dipertimbangkan untuk penyebab lain dari obstruksi saluran
empedu dan kolelitiasis.
1,3,6

4. Kelainan hepar pada nutrisi parenteral total
Kelainan hepar akibat nutrisi parenteral total tergantung pada umur penderita dan lamanya
mendapat nutrisi parenteral total. Pada bayi, kolestasis merupakan gejala dominan
sedangkan pada anak yang lebih tua dan dewasa terjadi steatosis dan steatohepatitis. Kedua
golongan ini menyebabkan timbulnya lumpur empedu dan kolelitiasis, dan juga berakhir
dengan end stage liver disease (sirosis hepatis). Gambaran histologis kelainan hepar
bervariasi dan tidak spesifik. Area porta edematosa dan kolestasis diperberat dengan
terbentuknya jaringan ikat. Bila proses berlanjut, terbentuklah fibrosis yang
menghubungkan satu area porta dengan area porta lainnya disertai proliferasi saluran
empedu. Hampir semua menunjukkan gambaran perikolangitis yang diinfiltrasi granulosit
dan sel mononuklear.
Berdasarkan perjalanan penyakit, manifestasi kelainan hepar karena nutrisi parenteral total
dapat dibagi atas gejala awal dan gejala lambat. Gejala awal yang merupakan manifestasi
kolestasis, umumnya dijumpai 2-3 minggu setelah pemberian nutrisi parenteral total yang
ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi, fosfatase alkali, dan
transpeptidase gamma glutamil dalam serum. Bila pada saat ini nutrisi parenteral total
dihentikan, hasil pemeriksaan biokimia hepar kembali normal dan tidak akan dijumpai
gejala lambat. Berlanjutnya pemberian nutrisi parenteral total akan menyebabkan
terjadinya kerusakan hepar permanen, misalnya fibrosis dan sirosis hepatis.
Patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total, kemungkinan multifaktorial.
Saluran pencernaan sangat erat hubungannya dengan hepar baik secara anatomi maupun
fisiologi. Makanan dalam saluran pencernaan merangsang sekresi hormon pencernaan
seperti kolesistokinin, pankreozimin, sekretin, enteroglukagon, dll. Kolesistokinin dan
pankreozimin merangsang kontraksi kandung empedu, sekretin merangsang sekresi
empedu, sedangkan enteroglukagon mempengaruhi ambilan asam empedu oleh hepatosit.
Tidak adanya makanan dalam saluran pencernaan (starvasi enteral) merupakan faktor
penting dalam patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total. Pada bayi, keadaan
ini diperberat dengan adanya imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu. Pengaturan
aliran empedu tergantung dari ambilan asam empedu oleh hepatosit, proses dalam
hepatosit, dan sekresi kenalikular.
1,3,6
Akibat-akibat imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu dapat dilihat pada tabel
18.3.

Tabel 18.3. Imaturitas Sirkulasi Enterohepatik Asam Empedu
1. Peningkatan kadar asam empedu serum.
2. Penurunan ambilan asam empedu oleh hepatosit.
3. Gangguan pengikatan dan transport asam empedu di
hepatosit.
4. Gangguan jalur metabolik asam empedu (konjugasi dan
sulfasi)
5. Gangguan sintesis asam empedu.
6. Penurunan pool asam empedu.
7. Penurunan aliran empedu.
8. Penurunan kadar asam empedu dalam usus.
9. Penurunan reabsorpsi asam empedu dalam ileum.
Sumber: OBrien
6

Tidak adanya makanan dalam lumen saluran pencernaan (pada bayi diperberat dengan
imaturitas sirkulasi enterohepatik), mengurangi aliran dan pembentukan empedu, karena
tidak ada stimuli sekresi kolesistokinin - pankreozimin, sekretin, dan enteroglukagon. Hal
ini menyebabkan terjadinya kolestasis dengan segala akibatnya. Sedikit atau tidak adanya
asam empedu dalam lumen usus menyebabkan penurunan sirkulasi enterohepatik asam
empedu. Ini mengakibatkan pool asam empedu berkurang (hampir 95% asam empedu yang
terdapat dalam pool asam empedu berasal dari sirkulasi enterohepatik, sedangkan sisanya
berasal dari sintesis dalam hepatosit). Perubahan pool asam empedu ini menyebabkan
lumpur empedu dan batu empedu (kombinasi kolesterol dan bilirubin). Isi kandung
empedu bersifat kental dan kering.
Enteral starvation menyebabkan over growth bakteri terutama bakteri anaerob (misalnya
Bacteroides), mengakibatkan terbentuknya asam litokolat (bersifat toksik bagi hepar).
Asam litokolat dijumpai pada serum bayi yang mengalami kolestasis sehubungan dengan
nutrisi parenteral total. Harus pula dipertimbangkan kemungkinan adanya
ketidakseimbangan nutrien dalam larutan nutrisi parenteral, misalnya defisiensi taurin,
defisiensi karnitin, dan kelebihan asam amino. Taurin dan karnitin bukan merupakan asam
amino esensial tetapi taurin dibutuhkan dalam proses konjugasi asam empedu primer.
Sedangkan karnitin diperlukan untuk oksidasi asam lemak. Penderita yang mendapat
larutan nutrisi parenteral dengan kadar asam amino yang tinggi, memiliki kadar bilirubin
terkonjugasi dalam serum yang lebih tinggi daripada penderita yang mendapat larutan
nutrisi parenteral dengan kadar asam amino yang rendah. Asam amino mungkin
menghambat pembentukan asam empedu. Adanya kontaminasi larutan nutrisi parenteral
juga harus dipikirkan (misalnya natrium bisulfat, produk foto oksidan, aluminium, dll)
sebagai penyebab kolestasis.
1,3,6


Daftar Pustaka
1. Schwimmer J, Balisteri WF. Liver disease associated with systemic disorders. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders. 2004. h.
1333-5.
2. Ganong WF. Review of medical physiology. Edisi ke-21. New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill Medical
Publishing Division. 2003. h. 483-516.
3. Beath SV. The liver disease in systemic illness. Dalam: Kelly DAA, penyunting. Edisi pertama. Oxford: Blackwell
Science ltd. 1999. h. 213-27.
4. Klatskin G. Hepatitis associated with systemic infection. Dalam: Schiff L, penyunting. Disease of the liver.
Philadelphia: J.B.Lippincot Co. h. 395-419.
5. Dickson RC. The liver in systemic disease. Dalam: OGrady JG, Lake JR, Howde PD, penyunting.
Comprehensive clinical hepatology. London: Mosby. 2000. h. 3202-12.
6. OBrien CB. Systemic condition affecting the liver. Dalam: Parker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith
JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, diagnosis, management.
Volume 2. Philadelphia: BC.Decker Inc. 1991. h.1081-86.
7. Markel H. Fever unknown origin, weight loss, and hepatomegaly in a 3-year-old boy. J Pediatr. 1988; 112(2):
308-13.
8. Holdaway IM. Inappropriate secretion of ADH. Pathogenesis work-up and management. Medical Progress.
1988; 15(6).
9. Junqueira LC, Carneiro J, Kelley RO. Basic histology. Edisi ke-8. London: Prentice-Hall International Inc. 1995.
h. 301-24.
10. Cello JP, Grendell JH. The liver systemic condition. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting. Hepatology. A
textbook of liver disease. Volume 2. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co. 1990. h.1411-35.
11. Farel MK, Bucuvalas JC. Systemic disease and the liver. Dalam: Suchy FJ, penyunting. St.Louis: Mosby. 1994. h.
580-97.
12. Grendell JH. The liver in systemic disease. Dalam: Friedman LS, Keeffe EB, Maddrey WC. Handbook of liver
disease. Philadelphia: Churchill-Livingstone. 1998. h. 305-13.
13. Fischer RL. Hepatobiliary abnormalities with total parenteral nutrition. Gastroenterol Clin North Am. 1989;
September: 645-66.











BAB XIX
HEPATITIS KRONIS PADA ANAK
Nenny Sri Mulyani
Ilustrasi Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun dengan ALL dalam terapi. Pada saat
kortikosteroid dihentikan anak tersebut menderita hepatitis fulminan dan meninggal tanpa
transplantasi hati.
Riwayat pada keluarga yang penting: ibu HBsAg positif, adiknya yang berusia 11
tahun terdiagnosis sirosis hepatis karena hepatitis B dan meninggal karena muntah darah
dan syok yang tidak tertangani. Lima orang saudaranya HBsAg positif.

Pendahuluan
Manifestasi klinis hepatitis kronis sangat bervariasi, dari yang tidak bergejala, yang
bergejala nyata dengan tanda klinis penyakit hati yang jelas, hingga yang sudah menunjukkan
komplikasi berupa karsinoma hepatoselular. Contoh jelasnya adalah hepatitis B tanpa gejala,
dimana manifestasi sirosis baru tampak jauh setelah sirosis itu sendiri terjadi. Oleh sebab itu,
banyak penderita datang dalam keadaan fase lanjut. Akan tetapi pada keadaan tertentu,
misalnya penyakit hati metabolik autoimun, sudah dapat diprediksi bahwa perjalanan penyakit
akan menjadi kronis.
1,2

Definisi
Hepatitis kronis didefinisikan sebagai peradangan kronis hati tanpa tanda perbaikan
yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.
3

Angka Kejadian
Prevalensi hepatitis kronis pada anak secara nyata tidak pernah dilaporkan.

Etiologi
Penyebab hepatitis kronis yang penting pada anak adalah sebagai berikut: hepatitis
autoimun, penyakit hati metabolik misalnya defisiensi 1 antitripsin, tirosinemia, galaktosemia,
penyakit Wilson, beberapa tipe glycogen storage disease (terutama tipe IV), hepatitis virus B
dan D, dan sindroma Alagille.
3,4

Patogenesis
Akan dibahas beberapa contoh patogenesis hepatitis kronis dilihat dari beberapa
penyebab penting:
1. Hepatitis autoimun
Penyebab penyakit hati autoimun adalah multifaktorial. Terdapat 2 tipe hepatitis autoimun
berdasarkan antibodi yang terdeteksi saat diagnosis, yaitu: (1) hepatitis autoimun tipe I
yang memiliki anti-smooth muscle antibody (SMA) atau antinuclear antibody (ANA), dan
(2) hepatitis autoimun tipe II yang memiliki anti-liver kidney microsome antibody (LKM1)
atau anti-liver cytosol type 1 antibody (LC1). Faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis
hepatitis autoimun dapat dibagi menjadi empat grup yaitu penyebab genetik, usia dan jenis
kelamin, sistem imun, serta faktor lingkungan.
2,5

Faktor genetik.
Telah dilaporkan adanya kasus hepatitis autoimun yang bersifat familial. Pada sebuah studi
di Eropa prevalensi haplotipe HLA A1-B8-DR3 dan HLA A1-B8-DR3-DR52a secara
signifikan lebih tinggi pada anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 daripada populasi
kontrol. Pada populasi anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 di Amerika Selatan
ditemukan hubungan yang kuat dengan haplotipe HLA DRB1*1301-DQB1*0603;
sedangkan keberadaan alel DRB1*07 meningkat secara signifikan pada hepatitis autoimun
tipe II. Sesuai perannya sebagai molekul yang mempresentasikan antigen, alel-alel HLA,
kemungkinan berperan juga dalam munculnya atau resistennya individu terhadap penyakit
ini.

Faktor umur dan jenis kelamin
Puncak insidensi hepatitis autoimun adalah pada kelompok umur prepubertas, dengan
prevalensi terbanyak pada perempuan. Beberapa bukti secara tidak langsung menunjukkan
bahwa estradiol berperan pada patogenesis penyakit ini. Perempuan prepubertas memiliki
kadar estradiol yang lebih tinggi daripada laki-laki prepubertas. Karena estradiol berefek
pada proliferasi dan fungsi limfosit perifer, perubahan kadar estradiol dapat menimbulkan
ketidakseimbangan antara faktor pemicu dan penghambat imunitas, sehingga memberi
kontribusi terhadap agresivitas penyakit ini pada masa pubertas. Remisi spontan penyakit
ini telah diamati selama paruh kedua masa kehamilan. Pada periode ini faktor
imunosupresif trofoblast menghambat proliferasi sel T dan aktivitas sel NK.


Respons imun
Autoantibodi dapat menyebabkan manifestasi hepatitis autoimun apabila terdapat
autoantigen pada membran hepatosit. Sitokrom P450 2D6 adalah antigen yang dapat
dikenali oleh LKM1, tetapi perannya dalam hepatitis autoimun masih diperdebatkan.

2. Penyakit Wilson
Adanya mutasi gen pada kromosom 13 yang mengkode ATPase tipe P menyebabkan
gangguan ekskresi tembaga di saluran biliaris sehingga terjadi akumulasi progresif tembaga
di hati, dan pada akhirnya berakibat kerusakan hati. Hal ini juga menyebabkan
penumpukan tembaga di organ lain sehingga manifestasi klinisnya bervariasi. Kelainan
pertama yang terjadi adalah penumpukan tembaga di hati yang terjadi pada awal
kehidupan. Umumnya, pada dekade 1 atau 2 kehidupan deposit tembaga di hati sudah
berlebih, sehingga akhirnya tembaga keluar dari hati menuju organ lain melalui sirkulasi
darah. Pada saat tersebut kadar tembaga di hati turun, sebaliknya kadar tembaga di organ
lain seperti otak, ginjal, mata dll meningkat sehingga terjadi gangguan neurologi, gangguan
mata, ginjal, dll.
2,4

3. Defisiensi 1 antitripsin
Ada beberapa teori yang menjelaskan patogenesis kerusakan sel hati pada defisiensi 1
antitripsin. Teori umum yang diterima adalah teori akumulasi. Teori ini menyatakan bahwa
kerusakan hati terjadi akibat akumulasi protein mutan dari 1 antitripsin di sistem
retikuloendotelial sel hati. Akumulasi tersebut menyebabkan pembentukan polimer protein
unik, aktivasi autofagi, kerusakan mitokondria, stres pada retikulum endoplasmikum, serta
aktivasi kaspase yang menyebabkan kerusakan hepatoselular.
6.7

4. Hepatitis B kronis
Perjalanan penyakit hepatitis B tergantung pada replikasi virus pada hepatosit yang
berkelanjutan serta status imunologi penderita. Virus tidak langsung berefek sitopatik dan
progresivitas hepatitis kronik tergantung pada respon imun hospes. Perjalanan infeksi akut
virus hepatitis B yang akhirnya menjadi hepatitis kronis disebabkan oleh respon imun
selular yang buruk dalam mengeliminasi virus hepatitis. Pada respon imun selular yang
adekuat, hepatosit yang terinfeksi akan dilisiskan oleh sel T sitotoksik, namun jika tidak
adekuat maka virus akan berproliferasi dengan fungsi hati yang normal.
Perjalanan penyakit hepatitis B kronis mencerminkan interaksi dinamis antara hospes dan
virus. Interaksi tersebut terkait dengan keadaan imun hospes, yang tergambar dari
manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B yang berbeda pada anak bila dibandingkan
dengan dewasa. Manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B pada anak sangat tergantung
pada umur terjadinya infeksi. Kenyataan bahwa hampir 90% infeksi hepatitis B terjadi pada
saat bayi, dan 40%-70% sebelum umur tiga tahun menunjukkan bahwa belum
sempurnanya sistem imun anak erat kaitannya dengan kejadian infeksi. Pada anak,
perjalanan penyakit hepatitis B dapat disertai gejala maupun tanpa gejala. Ini menyulitkan
dalam penentuan durasi yang diperlukan hepatitis B kronik untuk akhirnya menjadi sirosis
hepatis. Terdapat beberapa kasus sirosis hepatis yang terdiagnosis pada anak usia 3-6
tahun dan bayi.
8,9
Sebagian kecil hepatitis kronis pada anak didahului adanya suatu periode akut infeksi virus
hepatits B. Periode akut ini terjadi karena sistem imun bereaksi dan menimbulkan respon
imun terhadap virus. Sistem imun bereaksi terhadap infeksi virus hepatitis B melalui innate
immunity dan adaptive immunity, yang terdiri dari imunitas seluler maupun imunitas
humoral. Innate immunity bereaksi pertama kali dalam usaha menghadapi infeksi virus
hepatitis B. Mekanisme imun ini dicetuskan sendiri oleh hepatosit yang terinfeksi dengan
mensekresi interferon (IFN) alfa dan beta yang akan menghambat replikasi virus dan
selanjutnya mengaktifkan sel NK (natural killer). Mekanisme respon imun selular
merupakan mekanisme imun spesifik terhadap virus hepatitis B. Respon imun ini juga
banyak terlibat dalam cedera hepatosit melalui cara-cara antara lain sebagai berikut:
a. Ekspresi MHC (HLA) kelas I terhadap HBcAg atau HBeAg pada membran hepatosit
yang terinfeksi oleh virus hepatitis B disertai dengan produksi sitokin berupa interferon-
untuk menghambat sintesis protein virus dan melindungi hepatosit yang lain.
b. Terjadi efek sitopatik langsung akibat ekspresi dari HBcAg pada hepatosit terinfeksi,
melalui ekspresi liver specific antigen pada membran yang antigenik dan menjadi
sasaran dari sel T sitotoksik.
c. Terjadi proses kenaikan kadar HBsAg yang cukup tinggi dan terjadi eradikasi yang tidak
efisien terhadap HBsAg yang beredar.

Kronisitas hepatitis B tergantung dari proses eradikasi virus dari hepatosit melalui
mekanisme imunitas selular dengan perantara sel T sitotoksik. Jika sel T sitotoksik tidak
berhasil menghancurkan semua hepatosit maka proses akan berkepanjangan dan menjadi
kronis. Ini dapat disebabkan kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi.
1,8,9


Gambar 19.1. Mekanisme respon imun selular terhadap infeksi virus hepatits B






Aktivasi,
Diferensiasi
Antibodi
Ekspansi
Klonal




























Virus masuk Lisis
Ekspansi Klonal
(Sel Th1 atau Th2)
Toleran
Fase Imunoaktif
Fase
Inaktif
Sembuh
DNA
ALT

H
e
p
a
t
o
s
i
t
















Hepatitis kronis umumnya berlangsung bertahun-tahun, selama waktu tersebut penderita
melewati beberapa fase dari hepatits kronis, diantaranya sebagai berikut:
1. Fase Imunotoleran
Fase imunotoleran terjadi pada umur muda dan biasanya berlangsung selama 10-30
tahun setelah masa infeksi perinatal dengan status HBeAg positif, dengan kadar HBV
DNA 2 x 10
4
2 x 10
8
IU/ml dan kadar ALT yang persisten normal
2. Fase imunoaktif
Fase imunoaktif ditandai dengan status HBeAg positif atau negatif, status kadar HBV
DNA 2 x 10
3
2 x 10
7
IU/ml, dan level ALT yang meningkat secara persisten, pada fase ini
pasien bisa simtomatik.
3. Fase non-replikatif
Fase non-replikatif terkait dengan karier HBsAG negatif, selama serokonversi karena
proses spontan atau karena pengobatan, terjadi kondisi karier HBsAG negatif dengan
status HBeAg negatif. Fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA <2 x 103 IU/ml (sering
tidak terdeteksi), dengan ALT normal atau sedikit meningkat.
4. Fase residual

5-10 %




30 %



23 % dalam 5 tahun

> 90 % anak-anak
< 5 % dewasa

Kanker Hati

Infeksi Akut

Infeksi
khronik

Sirosis


Transplantasi
Hati

Dekompensasi
Hati

Mati
Virus hepatitis B pada fase ini berintegrasi dan bereplikasi di dalam hepatosit. Proses
berlangsung tanpa onkogenesis langsung dari virus yang bisa berakibat menjadi sirosis
dan karsinoma hepatoselular. Pada fase ini terjadi reaktivasi hepatitis dan kadang-
kadang disertai dengan dekompensasi hati.

Perjalanan Infeksi virus hepatits B menjadi kronik dapat berlangsung lama, kira-kira
selama 30 tahun. Beberapa penderita hepatits B kronis pada akhirnya akan menderita
karsinoma hepatoselular. Kejadian ini terutama terjadi pada laki-laki dengan sirosis yang
terinfeksi virus hepatits B pada masa awal anak-anak. Sekitar 60%-90% pasien karsinoma
hepatoselular memiliki latar belakang sirosis hepatis namun hanya sekitar 5% dari kasus
sirosis hepatis yang berkembang menjadi kasus karsinoma hepatoselular. Hampir sekitar
80% kasus kanker hati di dunia disebabkan oleh virus hepatitis B.
1,8,9

Manifestasi Klinis
Manifestasi hepatitis kronis persisten biasanya tidak jelas atau tanpa gejala. Penderita
mengeluhkan sesuatu yang tidak khas seperti kelelahan, nafsu makan memburuk, intoleransi
lemak serta rasa tak nyaman di daerah hati. Pemeriksaan fisik bisa saja normal atau terdapat
ikterus yang ringan sampai sedang, hati dapat besar (hepatomegali) atau mengecil, bisa
didapatkan nyeri tekan, eritema palmaris, spider vascular dan splenomegali.
Hepatitis kronis karena autoimun menunjukkan gejala dan tanda yang melibatkan organ
lain seperti terdapatnya artritis, vaskulitis, nefritis, tiroiditis, anemia hemolitik dan terdapatnya
ruam.
2,4
Penyakit Wilson sama dengan etiologi yang lain akan menunjukan gejala dan tanda
hepatitis kronis seperti hepatomegali asimtomatik dengan atau tanpa splenomegali, hipertensi
portal, asites, edema, perdarahan varises esofagus, atau efek yang timbul oleh kelainan fungsi
hati seperti pubertas terlambat, amenorea, dan gangguan pembekuan darah. Penderita anak
awalnya lebih menunjukkan penyakit hati kronis, seiring bertambahnya umur manifestasi
ekstrahepatik lebih dominan antara lain tremor, disartria, distonia, deteriorasi di sekolah atau
perubahan perilaku.
3,4
Penderita dengan defisiensi 1 antitripsin manifestasi penyakitnya bervariasi. Kolestasis
dan hepatomegali dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan namun ikterik biasanya
menghilang pada umur 2-4 bulan. Penyakit akan berlanjut menjadi hepatitis kronis dan sirosis.
Anak yang lebih besar akan lebih menunjukkan gejala dan tanda karena sirosis dan
komplikasinya seperti hipertensi portal.
6,7
Hepatitis B kronis dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular
sehingga manifestasi klinisnya sesuai manifestasi klinis sirosis yang terkompensasi ataupun
yang dekompensata, dan karsinoma hepatoselular.
1,8




Diagnosis
Hepatitis kronis diketahui secara kebetulan pada saat pemeriksaan AST, ALT ataupun
apabila ditemukan tanda-tanda stigmata penyakit hati kronis. Diagnosis etiologi ditegakkan
dengan upaya-upaya anamnesis dan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk masing-
masing penyebab. .

1. Hepatitis autoimun
Adanya hepatitis kronis dan manifestasi sistemik lain seperti atralgia, akne, amenorrhea
adalah khas pada hepatitis autoimun. Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda di atas
ditambah ANA positif , SMA positif, dan LKMA positif.
2,4

2. Penyakit Wilson
Diagnosis penyakit Wilson ditegakkan dengan adanya manifestasi klinis dari penyakit
hepar dan manifestasi ekstrahepatik seperti gangguan neurologis serta adanya penurunan
kadar seruloplasmin dalam serum kurang dari 20 mg/dl (nilai normal: 23- 43 mg/dl),
tetapi pada keadaan akut fulminan kadar tembaga sangat meningkat karena nekrosis hati
hepar yang masif yang mengeluarkan banyak tembaga, peningkatan ekskresi tembaga di
urin dalam 24 jam (lebih dari 190 g/d), adanya cincin Kayser-Fleischer di iris, tembaga
pada hepar lebih dari 250 g/g (normalnya < 20 g/g pada jaringan basah). Adanya tanda-
tanda anemia hemolitik, bilirubin yang sangat meningkat dan fosfatase alkali yang rendah
adalah khas untuk penyakit Wilson akut.
3,4

3. Defisiensi 1 antitripsin.
Diagnosis ini ditegakkan dengan adanya kadar 1 antitripsin serum <5080 mg/dl,
ditemukan fenotip spesifik (Pi ZZ, SZ), deteksi deposit dari diastase-resistant glycoprotein
di periporta hepatosit, biopsi hati menunjukkan bukti adanya penyakit hati dan riwayat
keluarga adanya penyakit paru atau hati pada usia muda.
6,7

4. Hepatitis B kronis
Untuk menetapkan diagnosis hepatitis B kronis digunakan kriteria diagnostik yang
mencakup antara lain:
- Status HbsAg positif selama lebih dari enam bulan
- Pada pemeriksaan serologi didapatkan kadar HBV DNA di serum 20,000 IU/ml
(100.000 kopi/ml) atau batas terendah 2.000-20.000 IU/ml (10.000-100.000 kopi/ml)
- Kenaikan kadar AST /ALT di dalam serum yang persisten atau intermiten
- Pada biopsi hati terlihat gambaran hepatitis kronis dengan nekrosis dan inflamasi
sedang sampai berat

Penderita hepatitis B kronis dikatakan sebagai karier HBsAg inaktif jika memenuhi kriteria
berikut: (1) status HBsAg menetap lebih dari enam bulan, (2) HBeAg negatif dengan anti-
HBe positif, (3) kadar HBV DNA dalam serum 2.000 IU/ml, dan (3) kadar ALT/AST dalam
serum dan biopsi hati persisten normal. Seseorang dikatakan sembuh dari hepatitis B jika
adanya riwayat hepatits akut atau kronik, status anti HBc positif dengan atau tanpa anti
HBs, HBsAg negatif, HBV DNA tidak terdeteksi di serum dan kadar AST/ALT serum
normal. Biopsi hati dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan (grade) dan stadium
dari penyakit (stage).
1,8,9

Tabel 19.1. Parameter laboratorium dan penanda imunologi pada hepatitis B.
Petanda imunologi akut Kronik Pernah terinfeksi
HBsAg + + -
HBeAg awal + kemudian - +/- -
anti-HBs - - +
IgM anti-HBc + - -
IgG anti-HBc + + +
anti-HBe awal - kemudian + + +
HBV DNA awal + kemudian - + -
ALT sangat ringan-moderat normal
Sumber: Ganem
8


Penatalaksanaan
Dalam melakukan tatalaksana harus selalu disesuaikan dengan EBM yang selalu dilakukan up
date.

1. Hepatitis autoimun
Tujuan terapi hepatitis autoimun adalah mengurangi dan menghilangkan peradangan hati
dengan efek samping minimal. Golongan kortikosteroid prednison bisa digunakan dengan
dosis awal of 12 mg/kgBB/hari, dan dilanjutkan sampai nilai transaminase kembali
sampai kurang dari 2 kali batas atas normal. Dosis diturunkan sampai 0,20,3
mg/kgBB/hari untuk pemeliharaan. Obat-obatan imunosupresif seperti azatioprin
digunakan jika tidak ada respon terhadap pengobatan steroid.
2,4

2. Penyakit Wilson
Terapi pada penyakit Wilson adalah pemberian copper chelating agents seperti
penisilamin atau trientin dan pemantauan ekskresi tembaga dalam urin. Jika ekskresi
tembaga urin menurun maka bisa diberikan garam seng. Terapi yang adekuat juga
dilakukan untuk mencegah gangguan sistem saraf yang lebih lanjut.
3,4

3. Defisiensi 1 antitripsin
Sampai saat ini belum ada terapi untuk penyakit ini. Penatalaksanaan dilakukan secara
suportif untuk mengurangi derajat kerusakan hati. Tranplantasi hati adalah salah satu
metode kuratif saat ini. Di masa depan mungkin bisa dilakukan terapi gen.
6,7

4. Hepatitis B kronis
Terapi Medikamentosa
Penatalaksanaan hepatitis kronis khususnya hepatitis B kronis bertujuan mengeradikasi
virus dari dalam tubuh atau mengurangi tingkat replikasi virus dan terjadinya
penyembuhan penyakit hati yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg, HBeAg, DNA
polimerase dan HBV DNA dan juga perubahan kadar SGOT dan SGPT dalam batas normal.
Tujuan utama adalah mencegah hepatitis kronis berkembang menjadi sirosis hepatis, gagal
hati dan karsinoma hepatoselular. Tujuan lain hanya untuk memperbaiki derajat penyakit,
dengan menghilangkan gejala klinik, memperbaiki hasil laboratorium seperti SGOT, SGPT
dan fungsi hati.
Secara garis besar terdapat tiga macam obat yang digunakan dalam pengobatan terhadap
hepatitis B kronik. Obat-obatan bekerja dengan cara mencegah proses replikasi virus
hepatitis B. Obat-obat yang digunakan antara lain interferon alfa dan obat-obatan antiviral,
seperti lamivudin dan adefovir.
10,11


- Interferon alfa
Interferon alfa bekerja sebagai antivirus, antiproliferatif dan imunomodulator.
Interferon alfa diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun dengan status
HBeAg positif dan HBV DNA positif serta kadar ALT setidaknya dua kali lipat batas
normal. Pemberian interferon alfa pada anak kurang dari 2 tahun bisa menyebabkan
retardasi pertumbuhan. Beberapa ahli tidak mendapatkan retardasi pertumbuhan yang
signifikan pada anak berusia dibawah 2 tahun yang diterapi dengan interferon alfa.
Dosis yang digunakan adalah 5 MU/m
2
dengan dosis maksimum 10 MU secara
intramuskular atau subkutan 3 kali seminggu selama 4 sampai 6 bulan. Keberhasilan
terapi ditandai dengan kadar HBV DNA yang rendah dalam serum. Sekarang telah
tersedia Pegylated Interferon alfa yang lebih mudah pemberiannya.
10,11
Efek samping interferon alfa antara lain influenza-like illness yang ditandai dengan
demam, menggigil, sakit kepala, badan lemah dan nyeri otot. Efek samping yang lain
adalah lesu, anoreksia, kehilangan berat badan dan kerontokan rambut. Interferon alfa
bisa berefek mielosupresif, tetapi netropenia (1000/mm
3
) dan trombositopenia
(50,000/mm
3
) yang signifikan sangat jarang terjadi.
11,12

- Lamivudin
Obat lain yang digunakan antara lain adalah lamivudin, suatu agen antivirus yang
bekerja pada DNA polimerase virus. Lamivudin diindikasikan pada penderita yang tidak
berespons terhadap interferon atau kontraindikasi untuk terapi interferon. Dosis yang
digunakan adalah 3 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 100 mg/hari selama 1
tahun yang sama efektif dengan terapi satu seri interferon alfa. Pada umumnya
lamivudin bisa ditoleransi dengan baik oleh anak, tetapi beberapa ahli mendapatkan
trombositopenia yang diinduksi oleh lamivudin. Resistensi lamivudin berkaitan dengan
adanya covalently closed circular (ccc) HBV DNA pada sekitar 14%-32% penderita
dengan HBeAg positif setelah terapi lamivudin selama setahun.
13,14

- Adefovir
Obat antiviral lain yang direkomendasikan FDA dan telah digunakan di Amerika dan
Eropa adalah adefovir, suatu analog adenosin monofosfat yang bekerja pada enzim
reverse trancriptase dan DNA polymerase serta menyebabkan terminasi rantai DNA
virus. Penggunaan adefovir telah direkomendasikan untuk penderita hepatitis B kronis
dewasa dengan dosis 10 mg per hari.
10,11

Parameter laboratorium yang digunakan dalam menentukan respon terhadap terapi
medikamentosa antara lain normalisasi kadar ALT di dalam serum, penurunan kadar DNA
HBV, hilangnya HBeAg dengan atau tanpa adanya anti HBe dan terjadi perbaikan pada
gambaran histologis hati.
11,12
Beberapa keadaan perlu dilakukan pemantauan, terutama pada keadaan:
- Hepatitis B kronis dengan HBeAg positif, HBV DNA >100.000 kopi/ml dan ALT normal
dilakukan tes ALT setiap 3-6 bulan, jika ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes
dilakukan setiap 1-3 bulan, jika ALT naik sampai >2 kali batas normal pertimbangkan
untuk dilakukan biopsi hati.
- Hepatitis B kronis dengan status karier HBsAg inaktif dilakukan tes ALT setiap 6-12
bulan, jika kadar ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes HBV DNA dan lakukan
skrining karsinoma hepatoselular pada populasi yang berisiko.

Preventif
Upaya preventif dilakukan dengan imunisasi aktif pada populasi yang berisiko untuk
memotong jalur transmisi. Sasaran utama adalah bayi baru lahir yang divaksinasi segera
setelah lahir dalam waktu 12 jam pertama kehidupan


Daftar Pustaka
1. EASL International Consensus Conference on Hepatitis B. Geneva, Switzerland, Journal of Hepatology volume
38. 2002: page 533540.
2. Lok, Anna S. F. and McMahon, Brian J. Chronic Hepatitis B. Hepatology, Vol. 45, No. 2. 2007.
3. Behrman, Richard E. et al. Nelson Textbook of Pediatrics 17
th
edition. Elsevier, Philadelpia. 2004.
4. Kliegman, Robert M; Marcdante, Karen J.; Jenson Hal B.; Berhman, Richard E. Nelson Essentials of Pediatrics
fifth edition, Elsevier Saunders, Philadelphia. 2006.
5. Suchy, Frederick J, Sokol, Ronald J., Balistreri, William F. (eds.) Liver Disease in Children. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
6. Perlmutter,David H. Alpha-1-antitrypsin deficiency: diagnosis and treatment. Clinical Liver Disease. 2004; (8)
839-859.
7. Teckman, Jeffrey H.; Lindblad,Douglas. Alpha-1-Antitrypsin Deficiency: Diagnosis, Pathophysiology and
Management. Current Gastroenterology Reports. 2006; 8:14-20.
8. Ganem, Don; Prince Alfred M. Hepatitis B Virus Infection, Natural History and Clinical Consequences. New
England Journal of Medicine. 2004; 350: 1118-1129.
9. Hepatitis B. Geneva, World Health Organization, WHO. Available at http://
www.who.int/csr/disease/hepatitis/HepatitisB_whocdscsrlyo2002_2.pdf. 2002.
10. Management of hepatitis B and HIV coinfection, Clinical Protocol for the WHO European region. Geneva, World
Health Organisation, WHO. Available at www.euro.who.int/document/SHA/e90840_chapter_7.pdf. 2005.
11. Liberek, Anna; Luczak Graeyna; Gora-Gebka Magdalena; Landowski Piotr. Management of Chronis Hepatitis B
in Children. Journal of Hepatitis B Annual, volume 3. 2006; page 106-127.
12. Medical Management of Chronis hepatitis B and Chronic Hepatitis C. IDU HIV Prevention CDC. Available at
http://www.cdc.gov/idu. 2002.
13. Jonas, Maureen M et al. Clinical Trial of lamivudine in Children with Chronic Hepatitis B. New England Journal
of Medicine. 2002; 346: 1706-1713.
14. Liberek Anna, arska-Popawska Anna Szafl, Korzon Maria, uczak Grayna, Gra-Gbka Magdalena, o-
Rycharska Ewa, Bako Wanda, Czerwionka-Szafl arska Mieczysawa. Lamivudine therapy for children with
chronic hepatitis B. World Journal of Gastroenterology. 2006; 12(15): 2412-2416.





BAB XX
KOLESTASIS INTRAHEPATIK
PADA BAYI DAN ANAK

Julfina Bisanto
Ilustrasi kasus
K, anak laki-laki berusia 44 hari, kuning pada mata dan sklera sejak berumur 1 bulan.
Panas tidak terlalu tinggi, naik turun sejak berusia 2 minggu. Air seni berwarna seperti teh,
tinja kuning pucat. Berat lahir 3700 gram. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan
5,5 kg (P 75-90 NCHS) lingkar kepala 37 cm (N), tampak ikterik, hati teraba 4 cm di bawah
arkus kosta dan 4 cm di bawah prosesus xipoideus (membesar), tepi tajam, konsistensi kenyal,
permukaan rata. Limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb
10,5 g/dl, leukosit 12.000/ul, bilirubin direk 8,16 mg/dl, bilirubin indirek 4,04 mg/dl, ALT
201U/l (N:10-41U/l), AST 305 U/l (N:11-41U/l), GGT 129 U/l (N= 11-50 U/l), masa protrombin
12 (N), kolesterol 229 mg/dL. Urinalisis: protein (-), bilirubin (+3), leukosit 2-3/lpb. Kultur
urine: Enterobacter aerogenes >10
5
CFU (Colony Forming Unit). USG abdomen 2 fase,
didapatkan hepatomegali yang homogen, kandung empedu yang berkontraksi. Kesimpulan
biopsi hati adalah suatu hepatitis neonatal dengan kemungkinan bersama atau menjadi
atresia biliaris tidak dapat diabaikan karena ditemukan kolestasis intrasel dan intrakanal,
duktulus agak bertambah, portal agak melebar, hematopoesis ekstramedular mencolok.
Diagnosis yang ditegakkan pada anak ini adalah kolestasis intrahepatik akibat infeksi
saluran kemih. Terapi yang diberikan adalah antibiotika yang sensitif, ursodeoksikolat,
vitamin A, D, E, K. Fungsi hati membaik dalam 2 bulan.

Pendahuluan
Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah sindrom klinik
yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada
bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom
hepatitis neonatal. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-
bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke
dalam plasma dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan
empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Penumpukan bahan yang harus
diekskresikan oleh hati tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai tingkat gejala klinik
yang mungkin terjadi serta pengaruhnya terhadap organ sistemik lainnya tergantung dari
lamanya kolestasis berlangsung serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab
kolestasis tersebut.
1,2,3
Secara klinis, kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik,
dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul
berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari
penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.
1,4,5
Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih
besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi, kelainan
genetik, endokrin, metabolik, atau tumor. Penelitian mengenai patofisiologi dan patogenesis
kolestasis ini pada tingkat molekular serta perubahan dalam tes diagnostik masih terus terjadi
secara berkesinambungan.
2,3,6
Selanjutnya akan dibahas berbagai aspek mengenai kolestasis intrahepatik pada bayi
atau sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis intrahepatik pada anak secara umum termasuk
etiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan komplikasinya, diagnosis, tatalaksana serta
prognosisnya dan secara khusus pada beberapa penyakit dengan singkat.
1,4,7


Faktor predisposisi terjadinya kolestasis intrahepatik pada neonatus
Bayi baru lahir mengalami suatu periode kolestasis relatif (disebut juga kolestasis
fisiologis) tanpa menderita sesuatu penyakit. Keadaan ini terjadi antara lain karena pada
periode tersebut ukuran pool asam empedu masih kecil, ambilan serta transportasi asam
empedu belum efisien (tabel 1)

sehingga bayi tersebut lebih rentan untuk menderita kolestasis
akibat berbagai keadaan/penyakit.
5,8,9

Tabel 20.1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis intrahepatik.
Konsentrasi asam empedu serum basal tinggi.
Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum efisien.
Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit.
Adanya asam empedu abnormal (atipik).
Ukuran bile acid pool kecil.
Sekresi asam empedu kurang.
Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah.
Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit.
Sumber: Arce
1



Patogenesis kolestasis intrahepatik
10,11,12
Kolestasis intrahepatik terjadi akibat gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di dalam
hati.

Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi beberapa transporter pada membran
hepatosit dan sel epitel duktus biliaris (kolangiosit) dan pada struktur serta integritas fungsi
aparatus sekresi empedu. Akibatnya, berbagai keadaan/ penyakit yang mempengaruhi fungsi
normal tersebut akan menimbulkan kolestasis. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut
dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Gangguan transporter (Na
+
K
+
ATP-ase dan Na
+
bile acid co-transporting protein- NCTP)
pada membran hepatosit sehingga ambilan asam empedu pada membran tersebut akan
berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penggunaan estrogen atau akibat
endotoksin.
2. Berkurangnya transport intraselular karena perubahan keseimbangan kalsium atau
kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan obat.
3. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu atipik di
kanalikulus biliaris yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati.
Keadaan ini dapat terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen
perikanalikulus atau berkurangnya transporter MDR 3 akibat pemakaian androgen, atau
pengaruh endotoksin.


4. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu
akibat lesi pada tight junction, misalnya pada pemakaian estrogen.
5. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.
4,5,10


Etiologi
Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik, endokrin atau
imunologi dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik seperti tercantum pada tabel 2

untuk bayi
dan tabel 3 untuk anak.

Biasanya dalam klinik, sukar untuk membedakan bermacam-macam
etiologi kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal seperti tercantum di
dalam tabel 2 tersebut, sehingga akhirnya lebih dari setengahnya akan dilabel sebagai
idiopatik. Penderita kolestasis yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini makin berkurang
dengan kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang canggih.
Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius merupakan penyebab yang
paling sering.
13,14
Tabel 20.2. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya diagnostiknya
Penyakit Strategi Diagnostik Utama
1. Infeksi
*Infeksi congenital
- Toksoplasma
- Rubella
- Cytomegalovirus
- Herpes simpleks
- Sifilis
- Human herpesvirus-6, herpes zoster
- Hepatits B
- Hepatitis C
- Human immunodeficiency virus
- Parvovirus B19
- Syncytial giant cell hepatitis
* Infeksi lain
- Tuberkulosis
- Sepsis
- Sepsis virus enterik (echoviruses,
Coxsackie A dan B, adenovirus)


IgM-anti toksoplasma
IgM-anti rubella
Kultur virus urin, IgM-anti CMV
Mikroskop elektron/ kultur virus vesikel
STS, VDRL, FTA-ABS, Ro Tulang panjang
Serologi
HBsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA
HCV-RNA (RT-PCR)
Anti-HIV, immunoglobulin, CD4
IgM antibody
Giant cell hepatitis pada biopsi hati

Mantoux, radiologi toraks
Kultur darah
Serologik, kultur virus cairan likuor
2. Kelainan genetik
- Trisomi 18 (21), cat eye syndrome
- Penyakit Byler

Kariotip
GGT, tes genetik
3. Kelainan endokrin
- Hipopituitarism (displasia septo-optik)
- Hipotiroidism

Kortisol+, TSH , T4
TSH, T4, free T4, T3
4. Paucity duktus biliaris
- Sindrom Alagille

- Paucity duktus non sindromik

Ekokardiogram, embriotokson posterior,
butterfly vertebrae
Paucity pada biopsi
5. Kelainan struktur
- Carolli disease

USG, kolangiografi
6. Kelainan metabolik
- Def. alfa 1 antitripsin
- Fibrosis kistik
- Galaktosemia
- Tirosinemia

- Fruktosemia herediter
- Glycogen storage disease tipe IV
- Niemann-Pick Tipe A
- Niemann-Pick tipe C

- Penyakit Wolman
- Kel.sintesis as.empedu primer
- Sindrom Zellweger

Kadar alfa 1 antitripsin serum, tipe PI
Sweat chloride, immunoreactive trypsin
Galaktose 1-6 phospate uridyltransferase
Tirosin serum, methionin, AFP,
suksinilaseton urin
Biopsi hati: mik.elektron, aktivitas enzim
Biopsi hati
Aspirasi sum sum tulang, spingomielinase
Storage cells pada aspirasi sum-sum
tulang, hati; biopsi rektum
Radiologi kel.adrenal
As.empedu urin
Gambaran very long chain fatty acid
7. Imunologik
- L.E. neonatal
- Hepatitis neonatal dengan AHA

Antibodi anti-Ro (bayi dan ibu)
Coombs test, giant cell hepatitis
8. Toksik
- TPN
- Obat

Riwayat TPN
obat
Sumber: Chang
15

Tabel 20.3. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada anak yang lebih besar.
Infeksi virus akut (terutama HVA)
Kelainan yang diturunkan: penyakit Wilson, fibrosis kistik
Keganasan: leukemia, limfoma, tumor hati
Bahan toksik: obat/ jamur
Infeksi parasit: leptospirosis, skistosomiasis
Idiopatik/ lesi sekunder: hepatitis kronik, kolitis ulserativa, artritis
reumatoid, Obesitas
Sumber: Chang
15

Angka kejadian
Angka kejadian kolestasis pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dapat mencapai 1
dari 2500 kelahiran hidup. MieliVergani dkk,

(dikutip dari Suchy)

melaporkan, kolestasis
intrahepatik pada bayi sebanyak 675 (62%) dari 1086 bayi dengan kolestasis yang dirujuk ke RS
Kings College selama 20 tahun (1970-1990). Hepatitis neonatal idiopatik merupakan penyebab
tersering (49%) dengan perkiraan angka kejadian sebanyak 1 dari 5.000 kelahiran hidup.
Penyebab kedua terbanyak yang dilaporkan oleh penulis yang sama adalah defisiensi o-1-
antitripsin (28%) yang memang banyak dilaporkan pada ras kulit putih, dengan angka kejadian
diperkirakan sebanyak 1 dari 20.000 kelahiran hidup.

Tetapi tidak demikian halnya dengan di
Asia yang dilaporkan oleh Chang, tidak ada satupun defisiensi o-1-antitripsin diantara 300
kolestasis pada bayi.
14,16
Di Subdivisi Hepatologi Anak FKUI/RSCM, dalam kurun waktu 2 tahun (2002-2003)
telah dirawat sebanyak 119 (73,5%) kasus kolestasis intrahepatik dari 162 kasus kolestasis pada
bayi.
17


Manifestasi klinis dan komplikasi
11,17,18,19
Tanpa memandang etiologinya yang sangat beragam, sindrom klinik yang timbul akibat
kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal, maupun kolestasis
intrahepatik pada anak berawal dari gejala ikterus, urin berwarna lebih gelap, dan tinja
mungkin berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai dempul (akholik) tergantung pola
minum/makan, lamanya kolestasis berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah
terjadi. Urin yang lebih gelap ini pada bayi mungkin tidak terlampau nyata karena volume urine
yang relatif banyak. Ikterus pada bayi biasanya merupakan ikterus fisiologis yang melanjut, dan
pada sebagian kecil timbul pada umur 5-8 minggu, bahkan pada beberapa kasus timbul pada
umur bayi yang lebih lanjut. Pada sindrom hepatitis neonatal, penderita mungkin kecil untuk
masa kehamilan terutama pada sindrom Alagille, kelainan metabolik serta infeksi intrauterin,
mungkin mengalami gagal tumbuh dan kesukaran minum. Mungkin pula terlihat rupa
dismorfik pada trisomi 18, 21, sindrom Alagille, sindrom Zellweger (sindrom
serebrohepatorenal) atau infeksi kongenital. Hipoglikemia dapat ditemukan pada penyakit
metabolik, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat. Ascites jarang ditemukan kecuali
pada penyakit metabolik. Bising jantung dan kelainan neurologis dihubungkan dengan sindrom
kongenital yang spesifik. Perdarahan mungkin ditemukan akibat defisiensi vitamin K atau
trombositopenia. Gejala klinik serta manifestasi laboratoris lainnya adalah gejala klinik serta
kelainan laboratoris penyakit yang menjadi penyebab kolestasis tersebut serta tergantung pula
pada lamanya kolestasis berlangsung, dan juga luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada
pemeriksaan fisik biasanya ditemukan hepatomegali dan pada 40%-60% kasus juga ditemukan
splenomegali.

Mekanisme terjadinya gejala klinik serta kelainan pemeriksaan laboratorium pada
kolestasis adalah keadaan sebagai berikut:

1. Berkurangnya garam empedu yang masuk ke usus sehingga mengakibatkan malabsorpsi
lemak dan vitamin yang larut di dalamnya, dan juga diare. Warna tinja menjadi lebih pucat
sampai dempul, dan urobilinogen urin berkurang atau tidak ada. Perubahan warna tinja
serta urobilinogen urin ini, sejalan dengan jenis serta beratnya hambatan empedu tersebut
dan berkorelasi pula dengan lamanya kolestasis yang berlangsung, serta luasnya kerusakan
hati yang sudah terjadi. Pada kolestasis kronis, anak akan menderita malnutrisi dan
retardasi pertumbuhan serta gejala defisiensi vitamin yang larut dalam lemak yaitu
defisiensi vitamin A berupa kulit menebal dan rabun senja. Defisiensi vitamin A ini terjadi
pada 35%-69% kolestasis kronis. Defisiensi vitamin D yang berupa osteopenia ditemukan
pada 66% kolestasis kronis bila tidak mendapat suplementasi vitamin D. Defisiensi vitamin
E yang berupa degenerasi neuromuskular, dan anemia hemolitik ditemukan pada 49%-77%
bila tidak mendapat suplementasi vitamin tersebut. Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada
25% kasus yang tidak mendapat suplementasi dan dapat mengakibatkan
hipoprotrombinemia yang mungkin menunjukkan gejala perdarahan.
2. Penumpukan komponen empedu dalam darah yang mengakibatkan terjadinya ikterus,
pruritus, xantomatosis dan hiperkolesterolemia. Kerusakan sel hati terjadi akibat
penumpukan komponen empedu terutama asam empedu primer dan sekunder, serta
mineral, misalnya cuprum (Cu/ tembaga), yang bersifat hepatotoksik. Pada kolestasis
kronik, kelainan hati menjadi progresif, dan selanjutnya terjadi sirosis biliaris dengan
berbagai komplikasinya.

Beberapa gejala klinik lain yang dapat memberikan petunjuk penyebab kolestasis pada bayi dapat
dilihat pada tabel 20.4.

Tabel 20.4. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi
Penyebab

Gejala klinik

Infeksi CMV
Infeksi
Toksoplasma

Infeksi Rubella
Infeksi Herpes
Infeksi Sifilis
Galaktosemia
Trisomi 21,18,13
Sindrom Alagille

Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf, korioretinitis,
ventrikulomegali
Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis,
retardasi psikomotor
Katarak, petekie, tuli saraf, mikrosefali, kelainan jantung,
korioretinitis
Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis
Rinitis, rash, kelainan tulang
Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak.
Anomali kongenital multipel
Dismorfik, embriotokson, kelainan jantung, vertebra
Sumber: Boyer
1
1

Diagnosis
Diagnosis kolestasis intrahepatik dibuat berdasarkan:
1. Gejala klinik
Dari anamnesis mungkin terdapat riwayat kolestasis pada saudara kandung, bila
penyebabnya kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbiditas
selama kehamilan (infeksi TORCH, hepatitis B serta infeksi lainnya) dan riwayat kelahiran
(adanya infeksi intrapartum, berat lahir), morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi
parenteral, tranfusi serta penggunaan obat hepatotoksik yang mungkin ada bila keadaan
tersebut merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan riwayat
hipoglikemia, mungkin ada bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa atau
tirosinemia.
9,14,20

Keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik pada bayi biasanya tampak sakit berat
terutama akibat infeksi kongenital dan mungkin disertai dengan kelainan non hepatik lain
seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal
lainnya.
21,22


2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus
14,23
- Kadar bilirubin direk darah meningkat >1,5 mg/dl tanpa peningkatan kadar bilirubin
indirek atau peningkatan >15% bilirubin total. Dalam urin ditemukan bilirubin.
- Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4 x nilai normal; bila lebih tinggi
memberi petunjuk adanya proses infeksi. ALT dan AST merupakan tes yang paling
sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini
spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik.
Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati
karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan kadar di hati.
- Fosfatase alkali mungkin normal atau agak meningkat. Bila kadarnya lebih tinggi, lebih
mengarah pada atresia biliaris atau ricketsia. Peningkatan abnormal enzim ini tidak
dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik dengan intrahepatik.
- Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. GGT merupakan enzim
yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat
ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae dan intestinum dengan kadar tertinggi
pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan,
peningkatannya tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit hati. Bila fosfatase
alkali tinggi dan GGT rendah (<100 U/l), mungkin suatu kolestasis familial progresif
Byler atau gangguan sintesis garam empedu.
- Albumin biasanya masih normal pada awal perjalanan penyakit, tetapi akan menjadi
rendah bila kelainan hati sudah berlanjut atau pada penyakit prenatal yang berat.
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di reticulum
endoplasma hepatosit dengan half life dalam serum sekitar 20 hari. Fungsi utamanya
adalah untuk mempertahankan tekanan koloid osmotic intravascular dan sebagai
pembawa (carrier) berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion
inorganic (contohnya kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum
dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar
albumin serum sering digunakan sebagai indicator utama kapasitas sintesis yang masih
tersisa pada penyakit hati. Karena albumin memiliki half life yang panjang, kadar
albumin serum yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati
kronis.
- Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang yang dapat dikoreksi
dengan vitamin K parenteral, kecuali bila telah terjadi gagal hati.
- Kolesterol biasanya masih dalam batas normal pada 4 bulan pertama. Hati merupakan
tempat sintesis dan metabolism utama lipid dan lipoprotein sehingga apabila terdapat
gangguan pada hati akan terjadi abnormalitas kadar lipid dan lipoprotein serum serta
munculnya lipoprotein yang normalnya tidak ada pada individu sehat (contohnya
Lipoprotein X).
- Bila ditemukan hipoglikemia harus dicurigai adanya kelainan metabolik, endokrin atau
kelainan hati lanjut.
- Dengan pemeriksaan khusus yaitu spektrometri terhadap urin penderita, dapat
dideteksi kelainan metabolisme asam empedu seperti defisiensi 3-|-hidroksisteroid
dehidrogenase/ isomerase yang bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat.
- Pemeriksaan khusus serologis untuk mendeteksi infeksi toksoplasma, rubella,
cytomegalovirus dan herpes (TORCH), hepatitis B (pemeriksaan pada bayi dan ibu),
kultur darah dan urin, serta kadar o-1-antitripsin dan fenotipenya sebaiknya dikerjakan.
- Untuk pemeriksaan khusus lainnya seperti hormon tiroid, asam amino dalam serum dan
urin, zat reduktor di urin, galaktose-1 fosfat uridil transferase, uji klorida keringat dan
pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila ada gejala klinik lainnya yang
mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut.
- Kelainan oftalmologis yang berupa korioretinitis mungkin ditemukan pada infeksi
cytomegalovirus, toksoplasmosis dan rubella, embriotokson posterior pada sindrom
Alagille, dan katarak pada galaktosemia atau cherryed spot pada lipid storage disease.
Pencitraan
4,24,25,26
- Ultrasonografi: dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 4 jam dan diulang
kembali setelah bayi minum (sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis,
karena tekniknya sederhana, relatif tidak mahal, noninvasif, serta tanpa sedasi). Pada
kolestasis intrahepatik, kandung empedu terlihat waktu puasa dan mengecil pada
ulangan pemeriksaan sesudah bayi minum.

Akurasi diagnostik pemeriksaan
ultrasonografi ini untuk kasus kolestasis hanya 80%. USG dapat menunjukkan ukuran
dan keadaan hati dan kandung empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada system bilier
oleh batu maupun endapan, ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau
kistik pada system bilier. Pada saat puasa, kandung empedu bayi normal pada umumnya
akan terisi cairan empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah
diberi minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu
akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu dapat tidak terlihat.
Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus hepatikus dan duktus
hepatis komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran empedu
ekstrahepatik. Pada keadaan ini, USG setelah minum tidak diperlukan lagi.
- Skintigrafi pada kolestasis intrahepatik (hepatoselular) menunjukkan ambilan kontras
oleh hati yang terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus.

Dua hal yang harus dicatat
pada pemeriksaan skintigrafi adalah realibilitas yang berkurang bila kadar bilirubin
direk sangat tinggi (>20 mg/dl) dan false positive dan negatifnya sebesar 10%. Karena
pemeriksaan ini memakan waktu yang banyak, maka tidak banyak para ahli yang
menggunakannya pada evaluasi diagnostik kolestasis.

Biopsi hati
Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk membuat diagnosis
bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis mencapai 95%-96,8% bila dibaca oleh ahli
patologi yang berpengalaman.
8,11,18
Pada hasil biopsi yang representatif, paling sedikit harus
dapat diperlihatkan 5 portal tracts. Gambaran histopatologis hepatitis neonatal adalah
perubahan arsitektur lobulus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan
pseudoroset, ada giant cells dengan balloning pada sitoplasma. Disamping itu, pada
kolestasis intrahepatik ini, lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstramoduler, deposit
hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobular dan hiperplasia sel
Kupffer.
7,18,27
Selanjutnya ahli patologi dapat pula menentukan apakah ada penyakit Wilson,
glycogen storage disease, neonatal iron storage diseases, fibrosis hati kongenital maupun
defisiensi o-1-antitripsin.
12
Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan
informasi mengenai dinamika penyakitnya yang dapat menolong memastikan diagnosis.
5,28



Beberapa Etiologi Kolestasis Intrahepatik pada Bayi
1. Infeksi

Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks (TORCH)
15,29
Infeksi kongenital ini memberikan beberapa gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning,
hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie atau purpura dan kecenderungan untuk
prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat.
-
Toksoplasmosis: toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik lainnya
adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus dan tanda tekanan intrakranial yang
meningkat serta kelainan mata berupa korioretinitis. Gambaran biopsi hati
menunjukkan hepatitis nonspesifik atau fibrosis portal dengan proliferasi duktulus
biliaris. Terapi spiramisin dapat mencegah progresivitas kelainan hati dan susunan saraf
pusat. Prognosis tergantung dari luasnya kelainan mata dan neurologis yang terjadi.

-
Rubella: infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada imunisasi untuk
penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia, trombositopenia, kelainan jantung
kongenital (PDA atau stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi mental
dan tuli neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant cells yang
tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi sirosis

-
Sitomegalovirus. Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling
banyak, dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar asimtomatik. Yang
bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas mungkin pula ada asites; tetapi jarang
menimbulkan gagal hati akut. Gejala lainnya adalah gejala susunan saraf sentral berupa
mikrosefali, kalsifikasi intrakranial dan korioretinitis. Tuli neurosensorik yang progresif
serta cerebral palsy mungkin baru terlihat kemudian. Diagnosis pasti memerlukan
pemeriksaan kultur virus dalam 4 minggu pertama. Pemeriksaan serologis dan klinis
dapat menunjang adanya infeksi sitomegalovirus, tetapi tidak dapat membedakan antara
infeksi kongenital dan infeksi postnatal dini. Pada sebagian besar anak yang terinfeksi
sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna tetapi pernah dilaporkan
terjadinya fibrosis, sirosis dan hipertensi portal nonsirotik. Yang menjadi problem
menetap biasanya adalah kelainan perkembangan neurologis yang mungkin atau sudah
terjadi.

- Herpes simpleks. Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama tipe 2)
dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat termasuk gejala ensefalitis,
hepatitis berat atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis
dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel
ditemukan virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi
herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata.

Sifilis
Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang timbul juga mengenai
multisistem termasuk retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya gagal tumbuh,
anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik, periostitis, nasal discharge, rash
pada kulit, limfadenopati difus dan hepatomegali. Kuning mungkin sudah terlihat dalam 24
jam pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak kuning, tetapi ada rash yang
khas pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam dengan hepatomegali yang
menyolok. Gejala susunan saraf pusat terjadi pada sampai 30% kasus. Pemeriksaan
histologis hati memperlihatkan Treponema pada jaringan hati. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan serologis termasuk tes VDRL dan antibodi antitreponema.
Pemeriksaan radiologis tulang panjang mungkin memperlihatkan kelainan radiologis yang
khas dalam 24 jam pertama dan menolong membuat diagnosis secepatnya.
30,31


Varisela
Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam 2 minggu sebelum
melahirkan. Gejalanya cenderung lebih berat pada bayi prematur dan ringan pada bayi
cukup bulan yang berumur lebih dari 10 hari. Manifestasi yang timbul dini serta infeksi
yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala klinisnya berupa kuning,
kelainan kulit yang luas dan keterlibatan multisistem terutama pneumonia dan kelainan
parenkim hati pada kasus yang fatal.
1,15


Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus)
Virus enterik dapat mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus dengan gambaran
klinis yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut. Transmisi vertikal yang
terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian
besar sepsis virus enterik terjadi pada umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning
disertai kadar aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga
disertai meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenoviruse juga dapat
menimbulkan gejala klinik yang serupa, hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong
akibat infeksi virus Coxsackie.
28


Infeksi bakteri di luar hati
Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah mungkin terjadi pula pada
infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi traktus urinarius
15
atau sepsis (streptokokus,
stafilokokus atau kuman Gram negatif).
32


Tuberkulosis
Tuberkulosis kongenital jarang terjadi, tetapi pada beberapa tahun terakhir akibat
meningkatnya prevalensi tuberkulosis pada ibu usia subur, maka tuberkulosis pada bayi
menjadi lebih sering terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi melalui cairan amnion atau
sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir. Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat,
bila ada salah satu gejala berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik
primer atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau genitalia
ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering ditemukan, tetapi kuning jarang
terjadi dan bila ada merupakan tanda beratnya penyakit. Gejala lainnya yang sering adalah
distres pernafasan, kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapai 30%.
26

2. Hepatitis neonatal idiopatik

Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama tidak dapat ditemukan
pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebut hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung
merupakan bayi prematur atau kecil untuk masa kehamilan yang mungkin merefleksikan
kelainan genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam
keluarga menderita penyakit yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell
transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya normal.
7,16,18


3. Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)
2,6,33
Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller, displasia
arteriohepatik) adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi dominan autosom, tetapi
dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi
yang terjadi pada gen Jagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada 70%
kasus dan diturunkan pada 30%-50% kasus. Gambaran klinis utamanya adalah:

- Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna dempul dan disertai
pruritus.
- Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam, hipertelorism ringan, dan dagu
yang lancip. Raut muka ini mungkin belum terlihat pada bulan pertama.
- Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti butterfly akibat kegagalan
fusi bagian anterior vertebra. Mungkin pula terlihat jarak interpedikular pada daerah
lumbal yang berkurang, ada spina bifida okulta, falangs distal melengkung dan ulna yang
pendek.
- Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling sering dan memerlukan
pemeriksaan dengan slit-light adalah embriotokson posterior dan Schwalbes line yang
abnormal.
- Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi Fallot, stenosis katup
pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya kelainan jantung bervariasi.
- Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin.
Malnutrisi berat ditemukan pada 50% penderita yang mungkin merupakan
bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi akibat malabsorpsi atau refluks
gastroesofageal.

Gejala minor lain yang mungkin ada adalah:
- kelainan ginjal, misalnya kelainan struktur dan defek fungsi pemekatan urin
- pubertas yang terlambat atau hipogonadism
- suara atau tangis abnormal
- retardasi mental, kesulitan belajar, dan kelakuan antisosial
- kelainan vaskular termasuk moya-moya disease
- kelainan neurologis misalnya neuropati perifer akibat defisiensi vitamin E karena
kolestasis kronis hebat
- hipotiroidisme dan insufisiensi pankreas
- infeksi paru rekuren akibat refluks gastroesofageal sekunder atau pneumonia aspirasi
- xanthomata akibat hiperkolesterolemia

Diagnosis dibuat berdasarkan hasil biopsi hati yang memperlihatkan paucity duktus biliaris
dengan paling sedikit 3 dari kelainan utama (kelainan raut muka, mata, vertebra, ginjal dan
jantung). Pada biopsi hati terlihat jumlah duktus biliaris berkurang yaitu rasionya terhadap
portal-tract <0,9 (N: 0,9 1,8). Sindrom ini dapat berkembang menjadi sirosis biliaris pada
15% 20% kasus. Prognosis tergantung dari organ yang terlibat. Estimasi mortalitas secara
umum adalah 20% - 25% akibat kelainan jantung, infeksi berulang atau kelainan hati tahap
lanjut.


4. Progressive familial intrahepatic cholestasis
4,34

Penyakit Byler (PFIC-1: progressive familial intrahepatic cholestasis type 1)
Pada penyakit Byler, peningkatan kadar bilirubin direk yang beragam terjadi pada 3-6
bulan pertama disertai hepatomegali, retardasi pertumbuhan, diare persisten, pankreatitis
dan tanda defisiensi berat vitamin yang larut dalam lemak termasuk ricketsia. Pruritus
merupakan salah satu problem yang mencolok dan refrakter terhadap sebagian besar
pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal
tetapi konsentrasi total asam empedu serum meningkat. Biopsi hati memperlihatkan
inflamasi ringan dengan bile plug di kanalikulus biliaris dengan pemeriksaan rutin serta
gambaran granular yang khas dengan mikroskop elektron. Mungkin pula ditemukan small
duct paucity.
11
Pada penyakit Byler ini terdapat mutasi di kromosom 18q21-22.

PFIC- 2
Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q24. Gejalanya sama dengan PFIC-1,
hanya tidak ada diare serta pankreatitis.
PFIC-3

PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning
kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem biliaris dalam batas normal pada
pemeriksaan pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan
pruritus bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna.

5. Injuri (jejas) toksik
Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis pada bayi adalah nutrisi
parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi pada bayi yang mendapat nutrisi
parenteral total timbul terutama pada bayi dalam keadaan kritis dan lebih sering pada bayi
prematur karena mekanisme pembentukan empedunya masih belum berkembang.
Tergantung dari umur kehamilan, profil asam empedu fetal mungkin menetap yaitu lebih
banyaknya asam empedu litokolat yang dibentuk daripada bayi yang lebih besar. Asam
litokolat bersifat toksik. Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi enterohepatik,
mengurangi sekresi hormon-hormon intestinal yang diperlukan untuk fungsi normal
hepatobiliaris, dan mempermudah berkembangnya bakteri tumbuh lampau di usus halus
yang berpotensi membentuk endotoksin atau mengubah asam empedu menjadi lebih
toksik. Mungkin pula terjadi translokasi bakteri. Semua mekanisme ini dipersulit lagi oleh
faktor sistemik seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi lokal atau sistemik dan obat-obat
yang digunakan. Defisiensi nutrisi spesifik mungkin pula berpengaruh, misalnya: tidak
adanya taurin, asam lemak esensial, karnitin dan antioksidan seperti vitamin E, selenium
dan glutation. Kolestasis yang terjadi mungkin sangat hebat sehingga menyerupai obstruksi
traktus biliaris ekstrahepatik dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta
aminotransferase yang meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis
hepatoselular, lipofusin yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi giant cells ringan,
infiltrasi inflamasi daerah portal, beberapa proliferasi duktulus biliaris dengan atau tanpa
fibrosis porta. Dengan mikroskop elektron, dapat diperlihatkan kristal kolesterol dalam sel
hepatosit.
5,27


Tatalaksana
1,21
Tujuan tatalaksana kolestasis intrahepatik adalah:
1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara:
a. Mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis hepatoselular
yang dapat diobati seperti terlihat pada tabel. 5 untuk beberapa kelainan tertentu.
b. Menstimulasi aliran empedu dengan:
- Fenobarbital: bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi kuning.
Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan aliran empedu dengan cara menginduksi
enzim UDP-glukuronil transferase, sitokrom P-450 dan Na
+
K
+
ATP-ase. Tetapi pada
bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu metabolisme beberapa
obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat mengeksaserbasi ricketsia.
Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis.
- Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih
hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer
serta sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam empedu
toksik. Selain itu asam ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk
absorpsi lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena antara lain
dapat menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta sebagai bile flow inducer
karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel
hati.
Dosis: 10-20 mg/kgBB/hari. Efek samping : diare, hepatotoksik.
- Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga juga akan
menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus
sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta
meningkatkan ekskresinya. Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan balik
negative ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang
berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka
panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia.
Dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari. Efek samping: konstipasi, steatorrhea, asidosis
metabolik hiperkloremik.
- Rifampisin: dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta menghambat ambilan
asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya, sehingga dapat
menghilangkan gatal pada 50% kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia
dan hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-10% kasus.
Dosis: 5 -10 mg/kgBB/hari.

Tabel 20.5. Tatalaksana spesifik pada beberapa penyebab sindrom hepatitis neonatal
Penyebab Tatalaksana spesifik
Infeksi
- Toksoplasma
- Sitomegalovirus
- Herpes simpleks
- Sifilis
- Sepsis/infeksi bakteri
lain
- Tuberkulosis

Spiramisin
Gancyclovir, bila berat
Acyclovir
Penicillin
Antibiotik yang sesuai

OAT ( 4 jenis tanpa ethambutol)
Toksik
- Nutrisi parenteral total

Asupan oral, metronidazol,
ursodeoksikolat
Sumber : Suchy
26

2. Nutrisi
32

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (terjadi pada
lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan
ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan
absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori
yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk
menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi digunakan
formula spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan normal serta vitamin,
mineral dan trace element:
a. Formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih larut dalam air sehingga
tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi dan menghindarkan makanan yang
banyak mengandung cuprum (tembaga).
b. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi normal sesuai
dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein :2-3 gr/kgBB/ hari.
c. Vitamin yang larut dalam lemak:
- A : 5000-25000 U/hari
- D3 : Calcitriol: 0,05 0,2 ug/kgBB/hari
- E : 25-50 IU/kgBB/hari
- K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.

3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya hiperlipidema/xantelasma dengan
kolestipol

dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi adalah transplantasi hati.
8

4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk penderita dengan
kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati.
8


Prognosis
Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh pada kasus
sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus yang bersifat familial,
prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik
dengan mortalitas sebesar 13%-25%. Prediktor untuk prognosis yang buruk adalah: kuning
hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit dalam keluarga,
hepatomegali persisten dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsi hati.


Daftar Pustaka
1. Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting.
Hepatology. A Textbook of liver disease; edisi ke-2. Philadelphia: Saunders. 1990: 1355-95.
2. Haber BA, Lake AM. Cholestatic jaundice in the newborn. Clins Perinatology 1990; 17: 483-506.
3. Sellinger M, Boyer JL. Physiology of bile secretion and cholestasis. Dalam: Popper H, Schaffner F, penyunting.
Progress in Liver Disease; Vol IX. New York: Saunders. 1990: 237-59.
4. Mews C, Sinarta FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994; 15: 233-40.
5. Roberts EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary system in
children, edisi ke-1. Oxford: Blackwell Science. 1999: 11-45.
6. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR
et al, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, diagnosis, management; edisi ke-1.
Philadelphia: Decker. 1991: 835-48.
7. Shah HA, Spivak W. Neonatal cholestasis. New approaches to diagnostic evaluation and therapy. Pediatr Clin
North Am. 1994; 41: 943-66.
8. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children. Clinics in Family Practice. 2000; 2: 1-36.
9. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy: intrahepatic disorders. Dalam: Mowat AP, penyunting. Liver
disorders in childhood, edisi ke-3. Oxford: Butterworth-Heinemann. 1994: 43-78.
10. Bolder U, Ton-Nu HT, Schteingart CD, Frick E, Hofmann AF. Hepatocyte transport of bile acids and organic
anions in endotoxemic rats: Impaired uptake and secretion. Gastroenterology. 1997; 112: 214-25.
11. Boyer JL. Bile secretion models, mechanisms, and malfunctions. A perspective on the development of modern
cellular and molecular concepts of bile secretion and cholestasis. J Gastroenterol. 1996; 3: 475-81.
12. Erlinger S. Pathophysiology of cholestasis. Dalam: Lentze M, Reichen J, penyunting. Paediatric cholestasis.
Novel approaches to treatment. Proceeding of the 63th Falk Symposium. October 9-10 1991. London: Kluwer.
1992: 49-54.
13. DAgata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev. 1999; 20: 376- 89.
14. Mieli-Vergani G, Howard ER, Mowat AP. Liver disease in infancy: a 20 year perspective. Gut. 1991; 8(suppl):
123-8.
15. Chang MH. Differential diagnosis of cholestasis in infancy. Dalam: Suharyono, Firmansyah A, Syarif BH,
penyunting. Asian Pan Pacific society for paediatric gastroenterology and nutrition. Coordinating Working Unit
of Gastroenterology Indonesian Society of Paediatricians; December 16-19, 1996; Jakarta: IDAI. 1996: 213-24.
16. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal Hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs. 2006; 20: 103-7.
17. Bisanto J, Jong DM, Oswari H, Purnamawati SP. Gambaran kolestasis pada bayi di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam. 12-14 Juli 2004.
18. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balisteri W, eds. Liver
Disease in Children. 3
rd
ed. New York: Cambridge University Press. 2007.
19. Sherlock S, Dooley J. Cholestasis. Dalam: Sherlock S, Dooley J, penyunting. Disease of the liver and biliary
system; edisi ke-10. London Blackwell Science. 1997: 217-37.
20. Trauner M, Meier PJ, Boyer JL. Molecular pathogenesis of cholestasis. N Eng J Med. 1998; 339: 1217-27.
21. Kennedy MS, Balistreri WF. Pediatric liver disease. Hyperbilirubinemia. Dalam: Friedman LS, Keffe EB,
penyunting. Handbook of liver disease, edisi ke-1. Edinburgh: Churchill Livingstone. 1998: 316-20.
22. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. 2008; 13: 49-56.
23. Bisanto J, Putra IA, Hadinegoro SR. Clinical and laboratory manifestations of cholestasis in infancy. In Press.
24. Sera J, Ikeda S, Akadi M. Ultrasonographic studies for the diagnosis of infantile cholestatic disease. Dalam: Ohi
R, penyunting. Proceeding of the 4th International symposium on biliary atresia. Sendai. 1986: 106-9.
25. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For. 2005; 2: 27-34.
26. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver
disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2001: 187-94.
27. Phillips MJ, Suchy FJ. Mechanism and morphology of cholestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,
penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2001: 23-38.
28. Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J, April 11,2003. Diunduh dari http://www.
emedicine.com/ped/topic 383.htm. Diakses 26 Februari 2004.
29. Zallen, GS, Bliss DW, Curran TJ. Biliary Atresia. Pediatr in Rev. 2006; 27: 243-48.
30. Oswari H, Harijadi, Bisanto J, Purnamawati SP. Kolestasis intrahepatik pada bayi dengan infeksi saluran kemih.
Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam, 12-14 Juli 2004.
31. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996; 43: 1-26.
32. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional Management of cholestasis. Dalam: Suchy
FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: LippincottWilliams &
Wilkins. 200: 195-238.
33. Piccoli DA, Spinner NB. Alagille Syndrome and the Jagged 1 Gene.Semin Liver Dis. 2001; 21: 525-34.
34. Bull LN, Carlton,VE, Stricker NL et al. Genetic and morphological findings in progressive familial intrahepatic
cholestasis (Byler disease PFIC-1 and Byler syndrome) evidence for heterogeneity. Hepatology. 1997; 26: 155-64.





BAB XXI
HIPERTENSI PORTA
Hanifah Oswari
Ilustrasi kasus
Seorang anak lelaki, 4 tahun, dirawat untuk pertama kalinya di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak pada tanggal 18 Agustus 2003 dengan keluhan utama hematemesis dan
melena sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 8 bulan sebelumnya perut terlihat
membesar. Dua bulan sebelumnya pasien juga mengalami hematemesis melena 1 kali.
Keluhan ini hanya berlangsung 1 hari dan menghilang tanpa diobati. Sejak 1 bulan lalu, perut
pasien terlihat makin membesar dan pasien terlihat pucat. Orang tua membawa pasien
berobat ke dokter spesialis anak dan dianjurkan untuk berobat ke RS. Sejak lahir pasien tidak
pernah kuning, tidak ada riwayat infeksi tali pusat ataupun dirawat saat neonatus. Urin
tidak pernah berwarna coklat seperti teh. Pada pemeriksaan fisik anak tampak sakit berat,
kompos mentis, dan pucat, serta sklera tidak ikterik. Laju nadi, laju jantung 124 x/menit, isi
cukup, teratur. Frekuensi nadi basal 90x/menit. Laju napas 24 x/menit, teratur, suhu aksila
37,8
o
C. Jantung dan paru tidak ditemukan kelainan. Perut membuncit, tidak terlihat venektasi.
Perabaan lemas, turgor cukup, tidak terdapat nyeri tekan, hati teraba 2 cm di bawah
procesus xyphoideus, 2 cm di bawah arkus aorta. Limpa teraba 3 cm di bawah arkus kosta
kiri. Tidak ditemukan adanya asites. Palmar eritema juga tidak ditemukan. Pemeriksaan
darah tepi menunjukkan kadar hemoglobin 4,1 g/dl, leukosit 13.300/l, trombosit
315.000/l, hitung jenis (%): basofil 0%, eosinofil 0%, batang 0%, segmen 42%, limfosit 53%
dan monosit 5%. Hitung trombosit 315.000/l. Albumin 3,8 g/dl (3,5-5,5), kolesterol 145 mg%
(140-250), SGOT 20 mU/ml (N:<40), SGPT 41 mU/ml . (N:<40), bilirubin direk 0,24 mg%
(<0,2), bilirubin indirek 0,51 mg% (N <0,6), gula darah sewaktu 81 mg/dl, waktu protrombin
(PT) 13,2 detik (kontrol 13,2 detik), dan aPTT 28,4 detik (kontrol 38,3 detik). Ditegakkan
diagnosis hematemesis melena yang dicurigai akibat pecahnya varises esofagus karena
tersangka hipertensi porta ektrahepatik (non sirosis).

Pendahuluan
Pada hipertensi porta terjadi abnormalitas hemodinamik. Pada orang dewasa, hipertensi
porta umumnya disebabkan oleh sirosis hepatis, sedangkan pada anak lebih banyak disebabkan
oleh kelainan ekstrahepatik dengan fungsi hati yang normal.

Hipertensi porta dan
komplikasinya seperti varises esofagus dan asites sering terjadi pada orang dewasa dengan
penyakit hati kronis. Perdarahan gastrointestinal merupakan manifestasi klinis hipertensi porta
yang paling berat baik pada dewasa maupun anak.

Perdarahan gastrointestinal akibat
hipertensi porta paling sering disebabkan oleh perdarahan varises esofagus dan gaster.
1,2

Definisi
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan tekanan porta di atas nilai normal,
yaitu 1-5 mmHg. Secara klinis hipertensi porta yang signifikan didefinisikan sebagai tekanan
porta di atas 12 mm Hg karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya perdarahan
akibat hipertensi porta. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi porta ini berhubungan
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
3,4

Angka kejadian
Pada penelitan prospektif orang dewasa, lebih dari 90% pasien sirosis akan terbentuk
varises esofagus, dan sekali waktu dalam kehidupannya varises ini akan pecah. Pada penelitian
anak dengan sirosis hepatis, kira-kira dua pertiganya ditemukan varises. Miga dkk meneliti 134
pasien dengan atresia biliaris mendapatkan risiko perdarahan yang meningkat sejalan dengan
pertambahan waktu. Dalam 5 tahun terjadi perdarahan pada 40% anak tersebut. Pada
penelitian lain pada anak remaja dengan obstruksi vena porta ekstrahepatik, kemungkinan
perdarahan pada usia 16 tahun sebesar 49%, dan meningkat menjadi 76% pada usia 24 tahun.
Kemungkinan perdarahan semakin meningkat pada anak yang mengalami perdarahan pertama
sebelum usia 12 tahun.
5,6

Etiologi
Pada dewasa, umumnya hipertensi porta disebabkan oleh sirosis, sedangkan pada anak
kurang lebih setengahnya disebabkan oleh obstruksi vena porta ekstrahepatik.

Tabel 21.1
menunjukkan penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta.
7,8

Tabel 21.1. Penyakit anak berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi berdasar patofisiologi
I. Kelainan prehepatik
a. Peningkatan resistensi
Trombosis vena porta-transformasi kavernosa
Omphalitis, kateterisasi neonatal, trauma, sepsis, peritonitis,
dehidrasi, kelainan pembekuan (defisiensi protein S, C)
Trombosis vena lienalis
Primer, sekunder (pankreatitis)
b. Peningkatan aliran darah
Fistula A-V
Giant hemangiomatosis
Splenomegali masif kronis

II. Kelainan intrahepatik
a. Hepatoselular
Hepatitis kronis (virus)
Hepatitis autoimun
Fibrosis hati kongenital
Penyakit Wilson
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Glycogen storage disease tipe IV
Hepatotoksisitas kronis
Histiositosis
Schistosomiasis
Hepatic storage disease-Gauchers disease
b. Penyakit saluran bilier
Atresia biliaris ekstrahepatik
Penyakit kolestasis intrahepatik (Sindrom Alagille, PFIC)
Cystic fibrosis
Sclerosing cholangitis
Choledochal cyst

III. Kelainan post-hepatik
a. Sindrom Budd-Chiari
Hiperkoagulopati
Neoplasma, penyakit kolagen, penggunaan kontrasepsi oral
b. Trauma, idiopatik
c. Penyakit jantung kongenital
d. Obstruksi vena kava inferior
e. Penyakit veno-oklusif
Hipertensi porta idiopatik
A-V=arteriovena ; PFIC=Progressive familial intrahepatic cholestasis
Sumber: Chen
7

Patogenesis/Patofisiologi
Peningkatan tekanan porta disebabkan oleh peningkatan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah porta. Tempat peningkatan resistensi tergantung pada proses
penyakitnya. Tempat obstruksi dapat terjadi prehepatik (obstruksi vena porta),
intrahepatik (presinusoid: misalnya fibrosis hepatik kongenital; parasinusoidal: sirosis,
terapi obat hepatotoksik, hepatotoksitas vitamin A; postsinusoidal: venocclusive disease)
dan/atau posthepatik (sindrom Budd-Chiari, perikarditis konstriktiva).
Secara praktis yang penting adalah menentukan apakah ada penyakit parenkim
hati atau tidak. Penyakit hati terjadi pada semua kelompok di atas kecuali pada kelainan
prehepatik.
Hipertensi porta terjadi karena: (1) peningkatan resistensi vaskular intrahepatik dan (2)
peningkatan aliran vena porta. Pada sirosis terjadi perubahan struktural berupa peningkatan
tahanan vaskular intrahepatik melalui gangguan langsung pada aliran darah di sinusoid. Selain
itu pada hati yang sirosis terjadi peningkatan tonus vaskular akibat defisiensi relatif vasodilator
lokal intrahepatik, terutama nitrat oksida (nitric oxide).
11
Selain peningkatan resistensi vaskular
intrahepatik, terjadi juga peningkatan aliran darah porta karena vasodilatasi splanknik yang
diperantarai oleh nitrat oksida. Akibatnya terjadi sirkulasi hiperdinamik yang tergantung pada
vasodilatasi perifer dan retensi natrium kompensatorik dengan ekspansi volume plasma karena
pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis
dapat dilihat pada Tabel 21.2. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta dapat dilihat
pada Tabel 21.3.
9,10,11

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis hipertensi porta umumnya mengejutkan. Kira-kira dua pertiga anak
dengan hipertensi porta datang dengan hematemesis-melena, biasanya karena pecahnya varises
esofagus. Perdarahan gastrointestinal juga dapat terjadi karena gastropati hipertensi porta,
gastric antral vascular ectasia (GAVE), atau dari varises gaster, duodenum, periostomal atau
rektum. Perdarahan dapat sangat hebat dan mengancam kehidupan. Hampir seluruh pasien
yang dilaporkan di atas juga dengan splenomegali pada saat datang dengan perdarahan, oleh
sebab itu kombinasi perdarahan gastrointestinal dan splenomegali perlu dipikirkan akibat
hipertensi porta terlebih dahulu sampai terbukti bukan.
12,13

Tabel 21.2. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis
I. Peningkatan resistensi
A. Makroskopis (irreversibel?)
1. Nodul regenerasi
2. Fibrous septa
3. Trombosis vena intrahepatik
4. Ablasi parenkim hati
B. Mikroskopis (reversibel)
1. Pembengkakan sel hepatosit
2. Aktivasi hepatic stellate cell (HSC) perisinusoidal
3. Kolagenosis perisinusoidal
II. Peningkatan aliran darah vena porta
A. Dilatasi vena porta
B. Peningkatan produksi vasodilator
C. Splenomegali
D. Sirkulasi hiperdinamik sistemik
Sumber: de Franchis
12

Tabel 21.3. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta

TAHAP AWAL
Ekspansi volume darah-vasorelaksasi

TAHAP AKHIR
Ekspansi volume darah
Vasodilatasi umum
- Peningkatan vasodilator yang bersirkulasi (nitrat oksida, prostasiklin,
glukagon, dll)
- Penurunan respons vaskular vasokonstriktor yang bersirkulasi
Peningkatan pirau (shunting)
Sumber: de Franchis
12


Selain perdarahan gastrointestinal, manifestasi lain yang sering adalah splenomegali.
Umumnya splenomegali diketahui pada pemeriksaan fisik rutin secara tidak sengaja. Pasien
umumnya telah merasakan perutnya membesar pada sebelah kiri atas selama bertahun-tahun.
Kadang-kadang ditemukan manifestasi hipersplenisme berupa trombositopenia, leukopenia,
petekie, atau ekimosis yang pada pemeriksaan selanjutnya ditemukan adanya hipertensi porta.
Walaupun splenomegali merupakan gejala hipertensi porta, tetapi ukurannya tidak
berhubungan dengan tekanan porta.
14
Gejala vena yang melebar di dinding abdomen juga spesifik untuk hipertensi porta.
Gambaran venektasi ini terjadi akibat pirau portokolateral melalui pembuluh darah subkutan.
Arah aliran pada vena tersebut menunjukkan tempat obstruksi. Jika vena kava inferior yang
tersumbat, arah aliran di atas umbilikus biasanya cephalad (ke arah kepala). Dekompresi vena
porta juga menimbulkan gejala kaput medusa, ini adalah dekompresi pada vena umbilikus yang
berakibat pelebaran kolateral periumbilikalis yang hebat, tetapi kaput medusa jarang ditemukan
pada anak.
9,14
Gejala asites dapat ditemukan dan umumnya berhubungan dengan penyakit hati yang
diderita pasien. Hipertensi pulmonal juga dapat ditemukan pada anak, dan merupakan suatu
keadaan yang mengkhawatirkan bila ditemukan. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
berhubungan dengan hipertensi porta. Komplikasi ini jarang terjadi tetapi dilaporkan terjadi
pada anak.
1,7
Sindrom hepatopulmonal juga merupakan manifestasi klinis yang penting. Pada
keadaan ini terjadi pirau darah dari kanan ke kiri intrapulmonal yang menyebabkan desaturasi
sistemik. Gejalanya berupa sesak nafas, intoleransi terhadap latihan, dan jari gada (clubbing
finger). Pengukuran saturasi oksigen perifer posisi berdiri pada saat diperiksa penting untuk uji
penapisan kelainan ini. Saturasi oksigen dibawah 96% perlu diperiksa lebih lanjut untuk
menyingkirkan sindrom hepatopulmonal.
15

Diagnosis
Hipertensi porta perlu dipikirkan pada anak dengan perdarahan gastrointestinal yang
signifikan atau splenomegali yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan juga diperlukan untuk
menilai adanya gangguan pertumbuhan, lesi kutaneus yang mengarah pada kelainan hati kronis
(misalnya teleangiektasia, eritema palmaris). Kombinasi perdarahan gastrointestinal dan
splenomegali sangat sugestif untuk hipertensi porta. Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk
menilai fungsi hati. Pemeriksaan jumlah leukosit dan trombosit dapat mengarah pada
hipersplenisme.
14,16
Idealnya adanya hipertensi porta ditentukan dengan menentukan tekanan porta secara
langsung. Jika tekanan porta meningkat di atas batas normal maka disebut hipertensi porta,
tetapi pengukuran langsung tekanan porta bersifat invasif dan tidak praktis sehingga dicari
metode lain untuk menentukannya. Metode yang dapat digunakan adalah: (1) pengukuran
gradien tekanan vena porta, (2) USG Doppler abdomen, dan (3) endoskopi.
17

1. Pengukuran gradien vena porta
Penentuan gradien tekanan vena porta (hepatic vein pressure gradient-HVPG) adalah
metode tidak langsung tetapi akurat untuk memperkirakan tekanan porta. Pengukuran
HPVG dilakukan dengan cara melakukan kateterisasi vena hepatika melalui jalan
transfemoral atau transjugular. HVPG dihitung dengan cara mengurangi tekanan vena
porta bebas dari tekanan wedge vena hepatika.
Batas atas normal HVPG adalah 5 mmHg, diatas nilai itu berarti terdapat hipertensi porta.
Pengukuran HVPG bermanfaat untuk menilai risiko terbentuknya varises esofagus dan
risiko perdarahan. Varises tidak terbentuk dan tidak berdarah bila HVPG nilainya kurang
dari 12 mmHg. HVPG juga bemanfaat untuk evaluasi pengobatan dan untuk menilai
prognosis perdarahan varises akut.

Walaupun HVPG aman dan akurat, pemeriksaan ini
tidak praktis karena bersifat invasif dan relatif mahal serta memerlukan ahli yang terlatih.
Walaupun pemeriksaan ini bermanfaat pada orang dewasa, pada anak belum dilaporkan.
18

2. USG Doppler abdomen
Pemeriksaan USG Doppler abdomen mendeteksi secara tidak langsung tanda hipertensi
porta. Pada USG ditentukan apakah terdapat ekogenisitas hati yang abnormal,
splenomegali, asites, dilatasi vena porta, vena porta yang berkelok-kelok, patensi vena
umbilikalis, atau adanya kolateral vena lainnya. Selain itu dapat dihitung kecepatan aliran
vena porta (apakah terdapat perlambatan aliran?), arah aliran porta (hepatopetal atau
reversi/hepatofugal), dan ada tidaknya turbulensi. Pemeriksaan USG termasuk
pemeriksaan yang tidak invasif dan relatif mudah diulang, tetapi pemeriksaan ini sangat
bergantung pada operator dan terdapat variabilitas antar alat yang tinggi dan kesepakatan
hasil antar observer yang rendah (intra-observer variabilitas sampai 30% dan inter-
observer variabilitas sampai dengan 50%),

walaupun variabilitas intra- dan inter-observer
dapat ditingkatkan dengan pelatihan. Walaupun USG Doppler menggambarkan secara
tidak langsung adanya hipertensi porta, tetapi tidak dapat menggantikan HVPG untuk
menilai beratnya hipertensi porta dan kurang baik untuk menilai respons pengobatan
untuk menurunkan tekanan porta pada sirosis hati.
19,20,21

3. Endoskopi
Endoskopi gastrointestinal atas lebih tersedia dibandingkan pengukuran HVPG dan metode
yang lebih disukai untuk menilai hipertensi porta. Dengan endoskopi dapat dinilai ada
tidaknya varises esofagus atau gaster, ukuran varises, gastropati hipertensi porta.
Endoskopi terutama bermanfaat untuk menentukan sumber perdarahan, apakah karena
pecahnya varises atau karena sebab lain seperti gastritis atau ulkus peptikum. Terdapat
kesepakatan inter-observer dalam menilai ukuran varises dan dicapai akurasi yang cukup
memuaskan.
22

Terapi

Terapi hipertensi porta tergantung pada 3 keadaan klinis yaitu: (1) pencegahan
perdarahan varises pertama kali (profilaksis primer), (2) pengobatan perdarahan akut, dan (3)
pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder).
23,24

1. Pencegahan perdarahan varises pertama kali (profilaksis primer)
Pada orang dewasa, pencegahan perdarahan varises pertama kali secara prinsip ditujukan
untuk: (1) mencegah pembentukan varises, (2) mencegah pertumbuhan varises kecil
menjadi besar, dan (3) mencegah pecahnya varises sedang-besar.

2. Pencegahan pembentukan varises (profilaksis pre-primer)
Terdapat dua penelitian pada orang dewasa yang menilai profilaksis primer yang
membandingkan pemberian penghambat reseptor beta-adrenergik (beta blocker) dan
plasebo. Pada penelitian-penelitian tersebut, disimpulkan terapi beta blocker tidak efektif
untuk mencegah terjadinya varises dengan hipertensi porta, walaupun data yang ada
mungkin belum lengkap. Belum ada laporan pada anak mengenai pencegahan
pembentukan varises yang dilaporkan.
12

3. Pencegahan pertumbuhan varises kecil menjadi besar
Terdapat dua penelitian pada orang dewasa mengenai hal ini: penelitian di Perancis dan
Italia. Penelitian di Perancis, mendapatkan bahwa propranolol tidak efektif untuk
mencegah pertumbuhan varises pada pasien dengan varises kecil saat awal penelitian.
Penelitian di Italia, meneliti nadolol dibandingkan dengan plasebo. Pada 3 tahun
pengamatan, nadolol dapat mencegah pertumbuhan varises. Pada kelompok nadolol
jumlah pasien yang mengalami perdarahan secara bermakna lebih rendah dibandingkan
plasebo. Mengingat kedua hasil penelitian ini berlawanan, belum dapat disimpulkan
mengenai efikasi beta blocker untuk mencegah pembesaran varises.
25,26
4. Pencegahan pecahnya varises sedang-besar
Operasi pirau portokaval dan skleroterapi telah ditinggalkan untuk mencegah perdarahan
pertama varises. Operasi pirau portokaval ditinggalkan karena secara bermakna lebih tinggi
kematiannya pada kelompok yang dioperasi dibandingkan kelompok kontrol. Skleroterapi
ditinggalkan karena hasil penelitian satu dan yang lain tidak konsisten. Saat ini pada orang
dewasa umumnya disetujui untuk pasien dengan varises berukuran sedang-besar perlu
diberikan terapi profilaksi. Propranolol merupakan obat yang paling sering digunakan
untuk profilaksi.

Penelitian meta-analisis yang membandingkan beta blocker dan plasebo,
melaporkan hasil bahwa beta blocker menurunkan mean insidens perdarahan dari 25%
menjadi 15%. Bila pasien dapat diturunkan HVPG-nya di bawah 12 mmHg atau diturunkan
20% di bawah HVPG semula, insidens perdarahan bisa kurang dari 10%. Kekurangan beta
blocker ini adalah mengenai efek sampingnya. Isosorbid mononitrat (ISMN) memiliki efek
samping yang lebih rendah daripada nadolol, tetapi ternyata kurang efektif untuk
mencegah perdarahan primer. Kombinasi beta blocker dan ISMN jika dibandingkan
dengan beta blocker tersendiri tidak menunjukkan perbedaan bermakna dalam mencegah
perdarahan pertama. Dalam meta-analisis, ligasi secara bermakna menurunkan insidens
perdarahan pertama dan mortalitas.
27,28,29
Sampai saat ini beta blocker masih merupakan pilihan utama untuk pencegahan
perdarahan pertama kali pada orang dewasa, tetapi ligasi juga dapat digunakan dan
sebaiknya digunakan sebagai pilihan utama pada pasien dengan kontraindikasi atau
menunjukkan intoleransi terhadap beta blocker.
30,31
Pemberian profilaksis untuk perdarahan varises pertama kali pada anak masih
kontroversial. Endoskopi surveilans pada anak dengan penyakit hati dan stigmata
hipertensi porta hanya dibenarkan jika dokter mengantisipasi pemberian profilaksis, baik
beta blocker atau ligasi dengan endoskopi. Terapi beta blocker pada hipertensi porta
memberikan efek primer penghambatan reseptor |2 pada splanchnic bed, yang
menyebabkan tidak dihambatnya stimulasi terhadap reseptor oadrenergik, sehingga
menurunkan perfusi splanknik dan porta. Selain itu beta blocker juga menurunkan
frekuensi denyut jantung karena penghambatan reseptor |1 adrenergik sehingga
menurunkan cardiac output dan perfusi porta. Propranolol juga diketahui menurunkan
sirkulasi kolateral seperti aliran darah di vena azigos. Dosis terapeutik diharapkan dapat
menurunkan frekuensi denyut nadi minimal 25% dari frekuensi basal saat istirahat. Dosis
propranolol 0,6 sampai 8,0 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis perhari diperlukan untuk
mendapatkan efek terapeutik. Efek samping utama penggunaan propranolol adalah blok
jantung dan eksaserbasi asma. Beta blocker juga berpotensi mengganggu respons fisiologis
terhadap hipoglikemia sehingga obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan
diabetes.
32,33



5. Pengobatan perdarahan akut
Penatalaksanaan perdarahan akut terdiri dari penilaian awal pasien, resusitasi efektif,
diagnosis, pengendalian perdarahan dan pencegahan berulang dini, dan pencegahan
komplikasi seperti infeksi, gagal ginjal atau ensefalopati hati.

Penilaian awal pasien
Adanya konsumsi obat-obat NSAID atau aspirin, riwayat perdarahan sebelumnya dan
diagnosis penyakit hati sebelumnya perlu ditanyakan. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan
untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan awal perlu menilai beratnya
perdarahan (takikardi, hipotensi), disfungsi ginjal atau penyakit lain, beratnya penyakit hati
(Child-Pugh score) dan ada tidaknya infeksi (kultur).

Pasien yang sedang menggunakan
beta blocker mungkin tidak ditemukan gejala takikardi walaupun telah terjadi gangguan
hemodinamik sehingga meningkatkan risiko terjadinya gangguan hemodinamik yang lebih
berat karena keadaan yang sebenarnya tidak dikenali.
23,29

Resusitasi
Pasien perlu dihindarkan dari kemungkinan aspirasi, terutama bila pasien tidak sadar.
Jalur intravena perlu dipasang. Pemberian volume cairan untuk menggantikan perdarahan
perlu diperhatikan dengan seksama karena pemberian volume restitusi sepenuhnya justru
akan meningkatkan tekanan vena porta melebihi yang semestinya sehingga berisiko
menimbulkan perdarahan selanjutnya. Saat ini bila akan memberikan transfusi packed red
cells dianjurkan untuk mempertahankan hematokrit antara 25%-30% saja.

Pemasangan nasogastric tube (NGT) aman dilakukan serta perlu untuk menilai perdarahan
yang masih berlangsung dan mengeluarkan darah. Darah merupakan sumber protein yang
dapat mempresipitasi ensefalopati.

Selain itu darah di dalam lambung akan meningkatkan
aliran darah splanknik dan berpotensi memperburuk hipertensi porta dan perdarahan
berikutnya.
Trombosit perlu diberikan bila jumlahnya kurang dari 50.000/l dan koagulopati perlu
dikoreksi dengan vitamin K atau dengan fresh frozen plasma terutama pada pasien dengan
kolestasis. Antibiotik intravena sangat dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan
asites karena risiko terjadinya peritonitis bakterial spontan meningkat pada keadaan
perdarahan varises terutama yang membutuhkan endoskopi emergensi.
23,28

Diagnosis
Secepatnya pasien stabil, endoskopi perlu dilakukan untuk menentukan apakah perdarahan
memang berasal dari pecahnya varises. Tanda perdarahan baru adalah adanya bekuan
darah, adanya varises dengan perdarahan baru di lambung, dan tidak adanya sumber
perdarahan yang lain. Endoskopi merupakan bagian terintegrasi penanganan emergensi
perdarahan gastrointestinal akut pada anak dengan hipertensi porta. Cukup banyak pasien
dengan penyakit hati kronis dan perdarahan gastrointestinal dengan sumber perdarahan
bukan dari varises, misalnya ulkus duodenum atau ulkus gaster, tetapi farmakoterapi untuk
perdarahan akut tidak perlu ditunda sampai endoskopi dilakukan.
34,35

Pengontrolan perdarahan dan pencegahan perdarahan berulang dini
Pengobatan perdarahan varises akut perlu ditujukan untuk mengontrol perdarahan dan
mencegah perdarahan dini. Terapi farmakologis (vasopressin, somatostatin, octreotide) dan
terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) efektif untuk mengontrol perdarahan akut.
Terapi farmakologis adalah menggunakan vasopressin atau somatostatin (atau analognya).
Vasopressin paling lama digunakan, bekerja dengan cara meningkatkan tonus vaskular
splanknik dan akhirnya menurunkan aliran darah porta. Penggunaannya dibatasi oleh efek
samping yang mungkin timbul, seperti gagal ventrikel kiri, iskemia usus, angina, nyeri dada
dan perut. Akibat dari efek samping yang mungkin timbul ini, penelitian-penelitian
dilakukan untuk mendapatkan alternatif terapi. Somatostatin dan homolog sintetis
octreotide juga menunjukkan penurunan aliran darah splanknik. Efek ini dianggap karena
penghambatan sekresi peptida vasoaktif peptida di usus. Efek obat ini untuk perdarahan
akut serupa dengan vasopressin, tetapi dengan efek samping yang lebih rendah. Dosis
octreotide yang dianjurkan untuk anak adalah 1,0-5,0 g/kgBB/jam dengan infus kontinyu,
didahului pemberian bolus 1 kali dosis yang setara pemberian infus 1 jam.
36,37
Terapi kombinasi dengan obat vasoaktif (terlipressin, somatostatin atau analog- octreotide
atau vapreotide) dengan terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) dievaluasi secara luas.
Studi meta-analisis menunjukkan bahwa terapi farmakologis dengan endoskopi lebih
efektif daripada terapi endoskopi tersendiri untuk mengontrol perdarahan dan mencegah
perdarahan berulang dalam 5 hari, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas. Kombinasi terapi
endoskopi dan farmakologis dapat mengontrol perdarahan pada 90% pasien dan mencegah
perdarahan berulang dini sekitar 80%. Algoritme tatalaksana perdarahan yang dicurigai
varises dapat dilihat pada Gambar 21.1.
38

Pencegahan komplikasi
Infeksi bakteri merupakan komplikasi serius pada sirosis lanjut, terutama pada pasien
dengan perdarahan. Pada keadaan ini, infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, asites,
atau infeksi pada berbagai tempat dapat terjadi.

Infeksi umumnya berasal dari flora usus,
dan yang paling sering adalah karena E. coli. Infeksi terjadi pada lebih dari sepertiga pasien
sirosis dengan perdarahan dalam waktu 7 hari perawatan, dan berhubungan dengan
kegagalan pengendalian perdarahan, perdarahan berulang dini, dan kematian dini.
Profilaksi antibiotik sudah merupakan bagian integral penanganan perdarahan pada pasien
sirosis.
39,40,41

Curiga
perdarahan
varises
Resusitasi
Dengan obat vasoaktif
(misalnya octreotide)
Endoskopi
diagnosis
Ligasi atau
Skleroterapi
Perdarahan
terkontrol?
TIPS
Survailans
Endoskopi
+ Obat
Berhasil
Operasi pirau
Tidak tersedia
fasilitas dan
tenaga ahli
Obat vaso aktif-
Transfer ke RS yang
ada fasilitas tsb
YA
Tidak
Tidak
Ya

Gambar 21.1. Algoritme tatalaksana anak dengan kecurigaan perdarahan varises
6. Pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder)
Sekali varises berdarah, rekurensi pada dewasa dapat mencapai 2/3 pasien, biasanya
selama beberapa minggu pertama.

Prinsip pencegahan sekunder adalah dengan obat-
obatan, endoskopi, dan transjugular hepatic portosystemic stent shunt (TIPS), dan operasi
pirau. Pada umumnya pencegahan sekunder dilakukan dengan obat atau dengan
endoskopi.
42,43
Beta blocker terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo untuk mencegah perdarahan
berulang dan kematian. Endoskopi skleroterapi juga lebih efektif daripada terapi
konservatif. Perbandingan antara skleroterapi dan beta blocker menunjukkan sedikit lebih
baik pada skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak ada perbedaan
mortalitas.

Studi meta-analisis menunjukkan bahwa ligasi lebih efektif daripada
skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas.
Ligasi saat ini direkomendasikan sebagai terapi endoskopi untuk mencegah perdarahan
varises berulang.
22
Zargar dkk yang membandingkan skleroterapi dan ligasi untuk pencegahan sekunder pada
penelitian randomized clinical trial, perdarahan berulang pada kelompok skleroterapi
adalah 25%, sedangkan kelompok ligasi 4% dengan nilai p= 0,049. Ligasi mempunyai
keuntungan dengan lebih sedikitnya sesi yang diperlukan (4 vs 6) dan menyebabkan
komplikasi yang lebih rendah (4% vs 25%), tetapi tidak ada perbedaan timbul kembali
varises esofagus maupun terbentuknya varises gaster.
44,45
Kombinasi beta blocker dan ISMN yang dibandingkan dengan skleroterapi menunjukkan
kombinasi terapi obat lebih superior dibandingkan skleroterapi untuk mencegah
perdarahan berulang, tetapi tidak berbeda pada mortalitas.

Studi meta-analisis yang
membandingkan terapi obat kombinasi dan ligasi tidak menunjukkan adanya perbedaan
keduanya dalam mencegah perdarahan berulang.
4
Pada pasien dengan perdarahan varises yang tidak dapat dikontrol dengan endoskopi dan
terapi farmakologis, tersedia dua pilihan, yaitu operasi pirau portosistemik dan TIPS.
Operasi pirau efektif untuk menghentikan perdarahan tetapi berhubungan dengan
tingginya mortalitas bila dilakukan secara emergensi.

Operasi pirau dapat diperberat
dengan trombosis pirau dan ensefalopati. Teknik pirau yang baru untuk pasien dengan
obstruksi vena porta ekstrahepatik dilaporkan oleh de Ville de Goyet, prosedur ini
menggunakan conduit vena mesenterika ke vena porta kiri sehingga sirkulasi antegrad
dipertahankan melalui parenkim hati pada pasien dengan obstruksi vena porta. Pasien
dengan hipertensi porta nonsirosis atau sirosis dengan Child Pugh A dapat diharapkan
mempunyai fungsi hati jangka panjang yang baik dan hidup bebas dari perdarahan setelah
spleno renal shunt.
47,48,49
Pada dua studi meta-analisis yang melaporkan perbandingan TIPS dengan terapi endoskopi
memberikan hasil yang sama yaitu TIPS secara bermakna menurunkan perdarahan
berulang dibandingkan dengan terapi endoskopi (19% vs 47%, p<0,001), tetapi secara
bermakna meningkatkan ensefalopati (34% vs 19%; p<0,001), dan tidak ada perbedaan
angka survival. TIPS pada anak telah dilakukan pada dua seri kasus yang kecil.
50,51


Daftar Pustaka
1. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: report of the Baveno III consensus workshop on
definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J Hepatol. 2000; 33: 846-52.
2. Molleston JP. Variceal bleeding in children. JPGN. 2003; 37: 538-45.
3. Garcia-Tsao G. Portal hypertension. Curr Opin Gastroenterol. 2003; 19: 250-8.
4. Reif S, Blendis L. Portal hypertension and ascites.Dalam: Walker WA,Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA,
Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease, edisi ke-3. Canada: BC Decker. 2000. h. 233-43.
5. Krowka MJ, Cortese DA. Hepatopulmonary syndrome: current concepts in diagnostic and therapeutic
considerations. Chest. 1994; 105: 1528-37.
6. Shneider BL. Portal hypertension. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, editors. Liver disease in children.
Philadelphia:Lippincott WW. 2001, edisi ke-2. h. 129-51.
7. Garcia-Tsao G, Groszmann RJ, Fisher RL, ConnHO, Atterbury CE, Glickman M. Portal pressure, presence of
gastro-esophageal varices and variceal bleeding. Hepatology. 1985; 5: 419-24.
8. Soh H, Hasegawa T, Sasaki T, Azuma T, Okada A, et al. Pulmonary hypertension associated with postoperative
biliary atresia: report of two cases. J Pediatr Surg. 1999; 34: 1779-81.
9. Lange PA, Stoller KJ. The hepatopulmonary syndrome. Ann Intern Med. 1995; 122: 521-9.
10. Sokal EM, VanHoorebeeck N, VanObbergh L. Upper gastrointestinal track bleeding in cirrhotic children
candidates for liver transplantation. Eur J Pediatr. 1992; 151: 326-8.
11. Weist R, Groszmann RJ. Nitric oxide and portal hypertension: Its role in the regulation of intrahepatic and
splanchnic vascular resistance (review). Semin Liver Dis. 1999; 19: 411-26.
12. Lykavieris P, Gauthier F, Hadchouel P, Duche M, Bernard O. Risk of gastrointestinal bleeding during
adolescentce and early adulthood in children with portal vein obstruction. J Pediatr. 2000; 136: 805-8.
13. Westaby S, Wilkinson SP, Warren R, Williams R. Spleen size and portal hypertension in cirrhosis. Digestion.
1978; 17: 63-8.
14. Shah SHA, Hayes PC, Allan PL, Nicholl J, Finlayson ND. Measurement of spleen size and its relationship to
hypersplenism and portal hyperdinamics in portal hypertension due to hepatic cirrhosis. Am J Gastroenterol.
1996; 91: 2580-83.
15. Graham DY, Smith JL. The course of patients after variceal hemorrhage. Gastroenterology. 1981; 80: 800-9.
16. Grace ND. Diagnosis and treatment of gastrointestinal bleeding secondary to portal hypertension. American
College of Gastroenterology Practice Parameters Committee. Am J Gastroenterol. 1997; 92: 1081-91.
17. de Franchis R, DellEra A, Iannuzzi F. Diagnosis and treatment of portal hypertension. Digestive and Liver
Disease. 2004; 36: 787-798.
18. Groszmann RJ, Wongcharatrawee S. The hepatic vein pressure gradient: anything worth doing should be done
right. Hepatology. 2004; 39: 280-2.
19. Conn HO, Lindenmuth WW, May CJ, Ramsby GR. Prophylactic portocaval anastomosis; a tale of two studies.
Medicine. 1972; 51: 27-40.
20. Sabba C, Merkel C, Zoli M, Ferraioli G, Gainani S, Sacerdoti D, et al. Interobserver and interequipment
variability of echo-Doppler examination of the portal vein: effect of a cooperative training program. Hepatology.
1995; 21: 428-33.
21. Sacerdoti D, Gaiani S, Buonamico P, Merkel C, Zoli M, et al. Interobserver and interequipment variability of
hepatic, splenic and renal artery Doppler resistance indices in normal subjects and patients with cirrhosis. J
Hepatol. 1997; 27: 886-92.
22. de Franchis R, Primignani M. Endoscopic treatments for portal hypertension. Semin Liver Dis. 1999; 19:439-55.
23. DAmico G, Pagliaro L, Bosch J. The treatment of portal hypertension: a meta-analytic review. Hepatology. 1995;
22: 332-54.
24. The North Italian Endoscopic Club for the Study ant Treatment of Esophageal Varices. Prediction of the first
variceal hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver and esophageal varices. N Engl J Med. 1988; 319: 983-
9.
25. Cales P, Oberti F, Payen JL, Naveau S, Guyader D, Blanc P, et al. Lack of effect of propranolol in the prevention
of large oesophageal varices inth patients with cirrhosis: a randomized tial. Eur J Gastroenterol Hepatol. 1999;
11: 741-5.
26. Villanueva C, Minana J, Ortiz J, Gallego A, Soriano G, et al. Nadolol plus isosorbid mononitrate compared with
sclerotherapy for prevention of variceal rebleeding. N Engl J Med. 1996; 334: 1624-9.
27. Borroni G, Salerno F, Cazzaniga M, Bissoli F, Lorenzano E, et al. Nadolol is superior to isosorbide mononitrat
for prevention of the first variceal bleeding in cirrhotic patients with ascites. J Hepatol. 2002; 37: 315-21.
28. Ozsoylu S, Kocak N, Yuce A. Propranolol therapy for portal hypertension in children. J Pediatr. 1985; 106: 317-
20.
29. Vivas S, Rodriguez M, Palacio MA, Linares A, Alonso JL, Rodrigo L. Presence of bacterial infection in bleeding
cirrhotic patients is independently associated with early mortality and failure to control bleeding. Dig Dis Sci.
2001; 46: 2752-7.
30. Groszmann R, Garcia-Tsao G, Makuch R, Bosch J, Escorsell A, et al. Multicenter randomized trial of non-
selective beta blocker in the prevention of complications of portal hypertension: final result and identification of
a predictive factor. Hepatology. 2003; 38: 206A.
31. Shashidhar H, Langhans N, Grand RJ. Propranolol in prevention of portal hypertension hemorrhage in
children: a pilot study. J Pediatr Gastroenterol Nur. 1999; 29: 12-7.
32. Chen L, Groszmann RJ. Blood in the gastric lumen increases splanchnic blood flow and portal pressure in portal
hypertension rats. Gastroenterology. 1996; 111: 1103-10.
33. Merkel C, Marin R, Angeli P, Zanella P, Felder M, et al. Beta-blockers in the prevention of the aggravation of
esophageal varices in patients with cirrhosis and small varices:a placebo-controlled clinical trial. Heptology.
2003; 38: 217A.
34. Banares R, Albillos A, Rincon D, Alonso S, Gonzalez M, et al. Endoscopic treatment versus endoscopic plus
pharmacologic treatment for acute variceal bleeding: a meta-analysis. Hepatology. 2002; 35: 609-15.
35. Stringer MD, Howard ER, Mowat AP. Endoscopic sclerotherapy in the management of oesophageal varices in 61
children with biliary atresia. J Pediatr Surg. 1989; 24: 438-42.
36. DAmico G, Paglioro L, Bosch J. Pharmacologic treatment of portal hypertension: an evidence-based approach.
Semin Liver Dis. 1999; 19: 475-505.
37. Kravets D, Bosch J, Teres J, Bruix J, Rimola A, Rodes J. Comparison of intravenous somatostatin and
vasopressin infusions in the treatment of acute variceal hemorrhage. Hepatology. 1984; 4: 442-6.
38. Burroughs AK, McCormic PA, Hughes MD, Sprenger D, DHeygere F, MCIntyre N. Randomized, double-
blinded, placebo-controlled trial of somatostatin for variceal bleeding: Emergency control and prevention of
early variceal rebleeding. Gastroenterology. 1990; 99: 1388-95.
39. Bernard B, Cadranel JF, Valla D, Escolano S, Jarlier V, Opolon P. Prognostic significance of bacterial infection in
bleeding cirrhotic patients. Gastroenterology. 1995; 108: 1828-34.
40. Borzio M, Salerno F, Piantoni L, Cazzaniga M, Angeli P, et al. Bacterial infection in patients with advanced
cirrhosis: a multicenter prospective study. Dig Liv Dis. 2001; 33: 41-8.
41. Rolando N, Gimson A, Philpot-Howard J, et al. Infectious sequelae after endoscopic sclerotherapy of
oesophageal varices:role of antibiotic prophylaxis. J Hepatol. 1993; 18: 290-4.
42. Botha JF, Campos BD, Grant WJ, Horslen SP, Sudan DL, et al. Portosystemic shunts in children: A 15 year
experience. J Am Coll Surg. 2004; 199: 179-85.
43. Luca A, DAmico G, La Galla R, Midiri M, Morabito A, Pagliaro L. TIPS for prevention of recurrent bleeding in
patients with cirrhosis: meta-analysis of randomized clinical trials. Radiology. 1999; 212: 411-21.
44. Imperiale TF, Chalasani N. A meta-analysis of endoscopic variceal ligation for primary prophylaxis of
esophageal variceal bleeding. Hepatology. 2001; 33: 802-7.
45. Zargar SA, Javid G, Khan BA, Yatto GN, Shah AH, et al. Endoscopic ligation compared with sclerotherapy for
bleeding esophageal varices in children with extrahepatic portal venous obstruction. Hepatology. 2002; 36: 666-
72.
46. Feu F, Garcia-Pagan JC, Bosch J, Luca A, Teres J, Escosell A, et al. Relation between portal pressure response
to pharmacotherapy and risk of recurrent variceal haemorrhage in patients with cirrhosis. Lancet. 1995; 346:
1056-9.
47. Heyman MB, LaBerger JM. Role of transjugular intrahepatic portosystemic shunts in the treatment of portal
hypertension in pediatric patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999; 29: 240-9.
48. Merkel C, Bolognesi M, Bellon S, Zuin R, Noventa F, Finucci G, et al. Prognostic usefulness of hepatic vein
catheterization in patients with cirrhosis and esophageal varices. Gastroenterology. 1992; 102: 973-9.
49. McKieman PJ. Treatment of variceal bleeding.Ped Gastroint Endosc. 2001; 11: 789-813.
50. Heyman MB, LaBerge JM, Somberg KA, Rosenthal P, Madge C, et al. Transjugular intrahepatic portosystemic
shunts (TIPS) in children. J Pediat. 1997; 131: 914-9.
51. Papatheodoridis GV, Goulis J, Leandro G, Patch D, Burroughs AK. Transjugular intrahepatic portosystemic
shunt compared with endoscopic treatment for prevention of variceal rebleeding: a meta-analysis. Hepatology.
1999; 30: 612-22.

Anda mungkin juga menyukai