GASTROENTEROLOGI
HEPATOLOGI
JILID 1
UKK- GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI
IDAI 2009
Sambutan ketua UKK-Gastroenterologi-Hepatologi IDAI
Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak yang nantinya akan
dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia serta tentunya
semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun sesuai kesepakatan bersama
masyarakat gastroenterologi dan hepatologi anak Indonesia yang terangkum dalam bermacam judul dan
berasal dari bermacam macam referensi terbaru baik dari jurnal maupun text book, sehingga
keberadaannya merupakan representasi ilmu ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak masa kini.
Saya sebagai ketua UKK GH 2008-2011 memberikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi
tingginya kepada para kontributor dan editor dengan diterbitkannya buku ajar ini, semoga buku ini bisa
dimanfaatkan sebesar besarnya oleh para pengguna.
Buku ini tentunya masih jauh dari sempurna, ibarat peribahasa” tiada gading yang tak retak”, tapi saya
mengajak kepada teman sejawat sekalian untuk ikut serta memberi saran agar buku ini lebih baik di
masa yang akan datang
Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buju ajar ini dan selamat mempergunakan buku ajar ini
kepada masyarakat gastroenterologi-hepatologi dan kepada semua dokter anak di Indonesia
Salam,
Setelah menunggu sekian lama, hampir 6 tahun akhirnya terkumpul 21 naskah topik buku ajar
gastroenterologi-hepatologi IDAI. Editor telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun,
menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada akhir tahun 2009 ini bisa diselesaikan buku ajar
gastroenterologi-hepatologi jilid pertama. Pada awalnya direncanakan 26 topik, tetapi sampai saat saat
terakhir yang mengumpulkan naskah jumlahnya 21. Kekurangan 5 naskah akan diterbitkan dalam buku
ajar gastroenterologi-hepatologi jilid 2. Dalam proses penyuntingan terdapat banyak kendala karena
beberapa penulis tidak merujuk ke Term Of Reference sehingga formatnya harus disamakan, demikian
juga narasi yang harus disesuaikan dengan bahasa Indonesia yang benar. Gambar gambar banyak yang
masih dalam bahasa aslinya sehingga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena
pengumpulan dan penyuntingan ini berjalan cukup lama maka ada sebagian topic yang sudah harus
diubah disesuaikan dengan ilmu2 dan penanganan kasus yang terbaru.
Pada kesempatan ini editor ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada para
kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun naskah dan
partisipasinya mengirimkan naskahnya ke editor. Selanjutnya editor mohon maaf jika yang tertulis di
buku ajar tidak sesuai dengan aslinya dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format
dari penerbit dan suntingan bahasa.
Editor ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr Hardiono Pusponegoro, SpAK ( ketua PP IDAI
2002-2005), Dr Sukman Tulus Putra SpAK, FACC, FESC ( ketua PP IDAI 2005-2008) Dr Badriul Hegar, SpAK
(ketua PP IDAI 2008-2011), Prof Dr Yati Soenarto, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi
2002-2005), Prof DR Dr Subijanto MS, SpAK (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi 2005-2008), Dr
Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastro-Hepatologi 2008-2011) atas ide dan saran sarannya
sehingga tercetak buku ajar ini.
Editor juga mengucapkan terima kasih kepada tim dr Budi Hartomo dkk yang telah membantu
menyempurnakan suntingan bahasa dan format sesuai permintaan penerbit.
Editor menyadari bahwa buku ajar ini jauh dari sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah
berusaha keras untuk membuat sesuai kebutuhan para peserta PPDS maupun teman sejawat dokter
spesialis anak. Oleh karena itu editor membuka pintu selebar lebarnya untuk kritik dan saran agar buku
ini akan jauh lebih sempurna pada edisi berikutnya.
Akhirnya editor mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengurus UKK GH 2008-2011 yang
telah mendorong editor untuk bekerja lebih giat sehingga buku ajar jilid 1 ini bisa terbit.
Editor,
Ilustrasi Kasus
Seorang anak laki laki berumur 3 tahun masuk di unit gawat darurat dengan keluhan diare cair akut,
muntah-muntah, dan panas. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit anak tersebut mengalami kejang-kejang
selama 5 menit. Kesadaran agak menurun. Dari riwayat yang diceritakan oleh neneknya yang mengantar
anak tersebut ditemukan bahwa di rumah anak tersebut sudah menderita diare selama 3 hari, cair, warna
kuning, tidak berdarah dan berlendir. Anak tersebut di rumah telah diberi larutan oralit selama diare.
Neneknya mencampur 1 bungkus oralit dengan setengah gelas kecil untuk mempermudah memasukkan
oralitnya.
Larutan Tubuh
Larutan tubuh terbagi menjadi larutan intraselular (CIS) dan larutan ekstraselular
(CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat diukur dengan
mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari
berat badan. CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari berbagai macam sel di
seluruh tubuh, yang tersebar dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai
komposisi yang berbeda. Larutan ekstraselluler. Volume larutan ekstraselluler lebih besar
dibanding volume larutan intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES dan CIS ini akan berubah
setelah umur 9 bulan. CES berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan sel
jaringan lebih cepat dibanding pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah itu
jumlah CES akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya berat badan. Pada keadaan
hidrasi normal jumlah CES pada anak adalah 20%-25% berat badan yang terbagi dalam larutan
plasma 5% berat badan, larutan interstisiel 15% berat badan dan larutan transelluler 1%-3%
berat badan. Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran gastrointestinal dan larutan
serebrospinal, intraokular, pleural, peritoneal dan larutan sinovial. 1,2,3
Komposisi Larutan Tubuh
CIS terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah dengan K +, PO4--, Na+, Mg++,
HCO3 , dan HHCO3. Elektrolit yang terbanyak adalah K+. Plasma darah terdiri dari protein, Na+,
-
Cl-, HCO3-, K+, Ca++, Mg++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan non-elektrolit.
Larutan interstisial terdiri dari Na+, Cl-, HCO3-, K+, Mg++, Ca++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan non
elektrolit. Elektrolit yang terbanyak adalah Na+.
Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat antara CES dan CIS.
Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen dan karbon dioksida) bisa langsung
memintas membran. Ion-ion seperti Na+ dan K+ berpindah melalui mekanisme transport seperti
pompa Na+/K+ yang berlokasi di membran sel. Elektrolit dalam larutan tubuh adalah substansi
yang terurai dalam bentuk partikel atau ion misalnya NaCl akan terurai menjadi ion positif Na +,
atau ion negatif yaitu Cl-. Karena kekuatan berikatan, keduanya selalu akan bersatu. Distribusi
elektrolit di antara kompartemen tubuh dipengaruhi oleh potential listriknya. Walaupun begitu
satu kation dapat diganti dengan yang lain, misalnya H + diganti dengan K+ dan ikatannya HCO3-
diganti dengan Cl-.1,2,3,4
Larutan dimana sel-sel tubuh berada didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam jenis
osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia menyebabkan
sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis apabila larutan itu
mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak atau
mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada dalam
larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari CIS, sel akan
membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan hipertonis dimana
osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena air keluar dari sel. 1,2,3,4,5
1. Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial. Pertukaran larutan dari vaskular ke
interstisial terjadi di semua tingkatan kapiler. Ada 4 kekuatan yang mengatur pertukaran
ini yaitu 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong air keluar dari kapiler menuju jaringan
interstisial; 2) tekanan osmotik koloid kapiler, yang mendorong air kembali ke dalam
kapiler; 3) tekanan hidrostatik interstisial sebagai kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan
4) tekanan osmotik koloid jaringan yang mendorong menarik air keluar dari kapiler ke
jaringan interstisiel. Pada keadaan normal semua air akan bergerak oleh 4 kekuatan
tersebut, hanya dalam jumlah sedikit yang tersisa di jaringan interstisial dan akan masuk ke
sistem limfatik yang nantinya masuk ke siskulasi darah.
Filtrasi kapiler dimaksudkan gerakan air melalui pori-pori kapiler karena faktor mekanis,
bukan karena tenaga osmotik. Tekanan filtrasi kapiler kadang disebut juga tekanan
hidrostatik kapiler yaitu tekanan yang mendorong air keluar dari kapiler ke dalam jaringan
interstisial. Hal tersebut menggambarkan tekanan arteri atau vena, yaitu tahanan
prekapiler (arteriol) dan post kapiler (venula). Kenaikan tekanan arteri atau vena
menaikkan tekanan kapiler. Penurunan tahanan arteri atau kenaikan tahanan vena akan
menaikkan tekanan kapiler dan suatu kenaikan tahanan arteri atau penurunan tahanan
vena akan menurunkan tekanan kapiler. Gaya gravitasi meningkatkan tekanan kapiler pada
posisi tertentu. Pada orang yang berdiri tegak maka berat darah di sepanjang pembuluh
darah menyebabkan kenaikan 1 mmHg untuk setiap 13,6 mm jaraknya dari jantung.
Tekanan ini hasil dari berat air oleh karenanya disebut tekanan hidrostatik. Pada orang
dewasa yang berdiri tegak, tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg. Tekanan ini
kemudian dialihkan ke kapiler.
Tekanan osmotik koloid kapiler adalah tekanan osmotik yang berasal dari protein plasma
yang terlalu besar melewati pori-pori dinding kapiler. Tekanan osmotik ini berbeda
pengertiannya dari tekanan osmotik di membran sel karena elektrolit dan non-elektrolit.
Karena protein plasma normal tidak bisa melalui pori-pori kapiler dan konsentrasinya lebih
besar di plasma daripada di jaringan interstisial maka inilah yang menarik air kembali ke
kapiler. Tekanan larutan interstisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan mempengaruhi
gerakan air dari dan ke jaringan interstisial.1,2,3,6
2. Edema
Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak
akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1)
kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan
permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.1,2
Jika tekanan filtrasi kapiler naik maka perpindahan larutan vaskular ke dalam jaringan
interstisial naik. Faktor-faktor yang menaikkan tekanan kapiler adalah: 1) penurunan
tahanan aliran melalui sfingter prekapiler; 2) kenaikan tekanan vena atau tahanan aliran
keluar pada sfingter postkapiler, dan distensi kapiler karena meningkatnya volume
vaskular.1,2
Edema disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid kapiler sebagai akibat produksi
yang tidak adekuat atau kehilangan tidak normal protein plasma terutama albumin. Protein
plasma disintesis di hati. Pada penderita penyakit hati yang berat kegagalan sintesis
albumin menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid. Pada kelaparan dan malnutrisi
edema terjadi karena ada kebocoran kebutuhan asam amino dalam sintesis protein plasma.
Kebocoran protein plasma yang paling sering melalui ginjal seperti pada sindroma nefrotik,
kapiler glomerular menjadi permeabel terhadap protein plasma terutama albumin.
Kebocoran lain terjadi jika ada kerusakan kulit, sehingga edema terjadi pada fase awal luka
bakar akibat cedera kapiler dan kehilangan protein plasma. Karena protein plasma terdapat
di seluruh tubuh dan tidak tergantung oleh gravitasi maka edema bisa terjadi dimana
mana.1,2
Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1) kontraksi isotonis
atau ekspansi volume CES dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis
(hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES. Kelainan isotonis biasanya
dimaksudkan kontraksi produksi kompartemen CES ( defisit volume larutan) atau ekspansi
(kelebihan volume larutan) dari larutan vaskular dan interstisial. Kelainan konsentrasi natrium
menyebabkan perubahan osmolalitas CES dengan gerakan air dari kompartemen CES ke dalam
kompartemen CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS ke dalam kompartemen CES
(hipernatremia).2,7,8,9
Fungsi Na+ terutama mengatur volume CES termasuk kompartemen vaskular. Sebagai
kation yang paling banyak dalam CES Na + dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3-)
mengatur sebagian besar aktifitas osmotik dalam CES. Karena Na + adalah bagian dari
molekul NaHCO3 maka penting dalam pengaturan keseimbangan asam basa.1,2,9
4. Pengaturan larutan
Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat
badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda
jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada
orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan.
Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi.
Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh
larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang
lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur.
Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding
dewasa.1,2,4
Sumber air tubuh yang utama adalah dari pemasukan lewat oral dan metabolisme nutrien.
Air (termasuk dari larutan dan makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses
metabolisme juga menghasilkan air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara 150 cc - 300
cc.
Pada umumnya kehilangan larutan yang paling banyak adalah lewat ginjal, kemudian lewat
kulit, lewat paru-paru, dan saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau parenteral
sedikit ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme tubuh. Urin yang
bertujuan membuang sisa metabolisme ini disebut output urin obligatori. Kehilangan
larutan lewat urin obligatori ini sekitar 300-500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat kulit dan
paru-paru disebut kehilangan larutan insensibel.1,2,4
6. Mekanisme pengaturan
Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon
antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH
mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan
osmolalitas ekstraselular dan volume.1,2,4
Rasa haus
Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa
haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh
kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak
ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut
osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon
terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus. Rasa
haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas serum.
Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan volume
darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting ketiga
untuk rasa haus adalah angitensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap
volume aliran darah dan tekanan aliran darah.
Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada orang
orang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit
saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi.
Polidipsia. Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa
haus yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah larutan tubuh
dan osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif.
Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan tubuh. Diantara penyebab rasa haus
yang paling banyak adalah kehilangan larutan akibat diare, muntah, diabetes melitus, dan
diabetes insipidus. Haus yang tidak tepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan gagal jantung
kongestif. Walaupun penyebab rasa haus pada kelompok ini tak jelas tetapi mungkin karena
peningkatan kadar angiotensin. Haus dirasakan juga pada orang yang mengalami
penurunan aktivitas kelenjar air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya
antikolinergik (termasuk atropin).
Polidipsi psikogenik. Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan jiwa.
Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan
kadar ADH.1,2,4
Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular.
Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas ekstraselular dan
merangsang produksi serta melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum (1%) sudah
cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan
volume darah sentral untuk membantu pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume
darah 5%-10% akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti mekanisme homeostatis
lainnya keadaan akut menyebabkan perubahan yang besar terhadap kadar ADH dibanding
keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang lama tidak akan mempengaruhi kadar
ADH.
Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti pada nyeri
yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin dan
meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga
menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH
sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu
diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat. Diabetes insipidus adalah keadaan
dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH.
Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat kegagalan
sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan ADH. 1,2,4,10
Defisit volume larutan isotonik ditandai dengan penurunan CES, termasuk volume darah
sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk membedakan defisit larutan dengan perubahan
perbandingan air dan Na+ yang tidak proporsional. Keadaan dimana terjadi penurunan
volume darah sirkulasi maka disebut hipovolemia.
Penyebab: Defisit volume larutan isotonik apabila air dan elektrolit hilang dengan proporsi
isotonik. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada keadaan kehilangan larutan tubuh yang
disertai penurunan pemasukan larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lewat saluran
cerna, poliuria, berkeringat karena panas dan aktifitas fisik.
Setiap hari 8-10 liter CES dikeluarkan ke saluran cerna. Sebagian besar diserap kembali di
ileum dan kolon proksimal, hanya 150-200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses.
Muntah dan diare mengganggu proses reabsorpsi dan pada beberapa keadaan
menyebabkan kenaikan sekresi larutan ke dalam saluran cerna.
Kehilangan air dan Na+ dapat juga terjadi lewat ginjal. Beberapa penyakit ginjal ditandai
dengan pembuangan Na+ karena kegagalan reabsorpsi Na+. Defisit volume larutan juga
disebabkan sebagai hasil dari diuresis osmotik atau pemakaian obat-obat diuretik. Glukosa
dalam urin mencegah reabsorpsi air di tubulus ginjal menyebabkan hilangnya Na + dan air.
Pada penyakit Addison terjadi kehilangan Na + dalam urin yang tidak teratur yang
menyebabkan kehilangan CES.
Kulit sebagai permukaan tempat perubahan panas dan barrier evaporasi mencegah air
hilang dari tubuh. Kehilangan air dan Na+ dari permukaan tubuh meningkat pada saat
keringat berlebihan atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan
panas meningkatkan pengeluaran keringat. Frekuensi pernafasan dan keringat biasanya
meningkat jika suhu tubuh meningkat. Kebakaran juga menyebabkan kehilangan larutan.
Defisit volume larutan berdampak pada penurunan volume CES.
Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut. Kehilangan berat badan (% berat
badan); defisit volume larutan ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit
volume larutan berat (>8%). Tanda tanda mekanisme kompensasinya adalah:
meningkatnya rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin.
Volume larutan interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa
kering, mata cekung dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun:
Hipotensi postural, nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok.
Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan elektrolit
isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik
menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara
cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama. 1,2,4,11
Penyebab kelebihan volume larutan isotonik hampir selalu akibat dari meningkatnya kadar
Na+ tubuh total yang diikuti oleh peningkatan larutan tubuh secara proporsional. Hal ini
bisa terjadi karena pemasukan Na+ yang berlebihan atau pengeluaran Na+ dan air lewat
ginjal yang berkurang, misalnya pada penyakit ginjal, gagal jantung, gagal hati, dan
kelebihan kortikosteroid.
Gagal jantung akan menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga dikompensasi
dengan peningkatan retensi air dan Na+. Pada gagal hati terjadi gangguan metabolisme
aldosteron, gangguan perfusi ginjal, menyebabkan meningkatnya retensi air dan Na +.
Kortikosteroid meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh ginjal.
Manifestasi kelebihan volume larutan isotonik ditandai oleh meningkatnya larutan vaskular
dan interstisial. Berat badan akan naik dalam periode waktu yang pendek. Kelebihan
volume larutan ringan menyebabkan kenaikan berat badan 2%. Kelebihan volume larutan
sedang menyebabkan kenaikan berat badan 5%. Sedangkan kelebihan volume larutan berat
menyebabkan kenaikan berat badan >8%. Edema akan terjadi di seluruh tubuh. Nadi akan
penuh, vena distensi, dan edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk. Penanganan
kelebihan larutan biasanya dengan membatasi Na+, dan jika perlu diberikan diuretika. 1,2,4,11
8. Gangguan keseimbangan konsentrasi Na+
Dalam keadaan normal konsentrasi Na + berkisar antara 135 sampai 145 mEq/l (135 sampai
145 mmol/l). Nilai Na+ serum ditentukan dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi
dari Na+ dalam air. Karena Na+ adalah anion CES (90%-95%) maka perubahan konsentrasi
Na+ serum umumnya diikuti oleh perubahan osmolalitas serum.7,8
Hiponatremia
Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na+ kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel
aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan
dengan tinggi rendahnya tonisitas.
Hipotonik sejauh ini merupakan keadaan yang sering pada hiponatremia. Ini terjadi karena
retensi air dan ditandai dengan penurunan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi bisa
terjadi pada keadaan hipervolemik, euvolemik atau hipovolemik.
Hiponatremia hipervolemik terjadi jika CES meningkat dan ini terjadi jika diikuti dengan
edema seperti pada gagal jantung , sirosis, dan penyakit ginjal berat.
Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air sehingga konsentrasi Na + turun
tetapi tidak disertai peningkatan volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus yang tak
tepat (SIADH).
Hiponatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na tetapi jumlah Na + lebih banyak
yang hilang, ini terjadi pada keadaan banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah dan
diare.
Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena obat-obatan (diuretika, sehingga
kadar ADH naik), penggantian larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca panas,
SIADH, polidipsi pada pasien skizofrenia.
Diantara penyebab hiponatremia hipovolemia adalah banyak berkeringat pada cuaca panas,
setelah latihan, hiponatremia karena minum lebih banyak air yang tidak mengandung
cukup elektrolit. Lavemen juga menyebabkan keadaan di atas.
Manifestasi dari hiponatremia hipotonik yaitu: Hasil laboratorium: Na + serum <135 mEq/l,
osmolalitas serum turun, hematokrit turun, nitrogen urea juga turun. Larutan intraselular
meningkat; edema pada ujung jari. Hipoosmolalitas dan perpindahan air ke otot, saraf, dan
jaringan saluran pencernaan; otot kejang dan lemah, sakit kepala, penurunan perhatian,
perubahan sikap, letargi, stupor sampai koma, saluran cerna terganggu, nafsu makan turun,
mual, muntah, sakit perut, diare. Penanganan hiponatremia adalah mengatasi masalah
dasarnya. Pemberian Na+ lewat oral atau intravena diberikan jika diperlukan. 7,8,9
Hipernatremia
Suatu keadaan dimana kadar Na+ serum >145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295
mOsm/kg. Karena Na+ ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan dalam
tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan
hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular.
Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na + tubuh. Hal ini
disebabkan oleh jumlah bersih Na+ atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na+ secara
cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia.
Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding
jumlah kehilanagn Na+. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat
respirasi pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian
makanan lewat pipa lambung dengan sedikit air.
Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehinga meningkatkan
pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang
peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah
kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus.
Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi selular.
Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na + serum yang tinggi dan
terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang
hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN,
akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul,
terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas
meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit
menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan
lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum
dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering,
saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal
dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf
maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi
pada hipernatremia yang berat.
Keseimbangan Kalium
Kalium adalah kation yang terbanyak kedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di
dalam CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi
didalam intraseluler 140 sampai 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai 5.0
mEq/l) sangat rendah. Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah penyimpanan
kalium berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65% sampai 70% dari
kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun bersamaan dengan
perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot.
Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh. Kalium
berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis sel,
keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium diperlukan
untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat menjadi energi,
glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein.
Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk
merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput
potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial, dan
(3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya penting
untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan ketidakharmonisan
yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium serum juga mempengaruhi
otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran pencernaan.
Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap
ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial tersebut
menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai ambang kejutan.
Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai ambang dan
membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial. Kenaikan
konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan selaput potensial
yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak mendekati nilai
ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan. Aktifitas pembukaan
saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif juga dipengaruhi oleh
kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada hiperkalemia yang berat,
saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan rangsangan. Tingkatan
repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum. Tingkatan repolarisasi lebih cepat
pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut
secara klinis sangat penting karena merupakan predisposisi untuk terjadinya defek konduksi
dan disritmia jantung.1,2,12,13,14
2. Mekanisme pengaturan
Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2 mEq/ml. Dibutuhkan
pengaturan yang tepat karena banyak fungsi sel sensitif terhadap perubahan yang sangat
kecil dari kadar kalium CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l
saja bisa menyebabkan disritmia jantung dan kematian.
Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua mekanisme: 1) mekanisme ginjal
yang mengabsorpsi dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium antara
kompartemen CIS dan CES. Umumnya hal ini berlangsung 6 sampai 8 jam untuk
membuang 50% pemasukan kalium. Untuk menghindari kenaikan kadar kalium
ekstraselular selama berlangsungnya hal tersebut, kelebihan kalium sementara dipindah ke
eritrosit dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.12,13,14
Pengaturan di ginjal
Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi
di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan
natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian
dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut
berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES.
Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal. Dengan
adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan tubulus untuk
dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam tubulus
kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin dan
hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan pH
dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap
kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik. 1,2,12,13,14
Pergeseran ekstraselular-intraselular
Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke sel
tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam serum
rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS adalah:
insulin, stimulus ß-adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa. Kedua
faktor insulin dan ß-adrenergik katekholamin (misalnya adrenalin) meningkatkan
masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan.
Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah
peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin,
terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres
fisik.
Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan dari kalium antara CIS
dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan kalium bergerak
keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat adanya larutan impermeabel
seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. Hilangnya air dalam sel menyebabkan
kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan kalium intraselular keluar dari
sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium
serum. Hidrogen dan kalium bermuatan positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara
bebas diantara CIS dan CES. Pada asidosis metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel
tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak
ke dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan.
Olahraga juga dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang
melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan
latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang
berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel
dan meningkatkan kadar kalium serum. 1,2,12,13,14
3. Hipokalemia
Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari
pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K+ serum kemungkinan
terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.15,16
Penyebab
Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan
kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali
antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab
hipokalemia. Pemasukan 10 sampai 30 mEq/hari diperlukan untuk mengkompensasi
pengeluaran lewat ginjal. Seseorang yang sedang diet kalium akan kehilangan sekitar 5
sampai 15 mEq setiap harinya. Kegagalan pemasukan kalium disebabkan karena kesulitan
makan, karena diet, atau makanan yang sedikit mengandung kalium. Kehilangan kalium
yang berlebihan dari ginjal terjadi karena diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar
magnesium , trauma atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi diuretika,
kecuali diuretika dengan kalium adalah penyebab utama hipokalemia. Derajat hipokalemia
berhubungan secara langsung dengan dosis diuretika dan lebih tinggi saat banyak
mengkonsumsi natrium. Penekanan magnesium menyebabkan pengeluaran kalium melalui
ginjal. Defisiensi magnesium sering muncul bersamaan dengan penekanan kalium misalnya
pada penyakit diare. Perlu diperhatikan bahwa mengoreksi kekurangan kalium akan gagal
pada saat terjadi defisiensi magnesium.
Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang diperlukan untuk mempertahankan
kalium pada saat stress atau konsumsi yang tidak mencukupi. Setelah situasi trauma dan
stres, kehilangan kalium dalam urin meningkat, terkadang mendekati kadar 150 sampai
200 mEq/l. Ginjal kehilangan kalium dipengaruhi oleh aldosteron dan kortisol. Trauma
dan operasi menyebabkan hormon-hormon tersebut meningkat. Aldosteronisme primer,
yang disebabkan oleh tumor yang memacu aldosteron pada korteks adrenal, dapat
menghasilkan kehilangan banyak kalium dalam urin. Kortisol mengikat reseptor aldosteron
dan berefek menyerupai aldosteron untuk mengeluarkan kalium.
Meskipun kehilangan kalium dari saluran cerna dan kulit biasanya sedikit, kehilangan ini
bisa meningkat saat kondisi tertentu. Saluran cerna merupakan salah satu tempat yang
sering menjadi tempat kehilangan kalium akut. Muntah-muntah dan aspirasi saluran cerna
memacu terjadinya hipokalemia, sebagian disebabkan oleh kehilangan kalium dan juga
karena kehilangan di ginjal yang berhubungan dengan alkalosis metabolik. Diare dan
aspirasi gastrointestinal juga menyebabkan kehilangan kalium yang banyak. Evaporasi
lewat kulit dan keringat yang banyak akan menyebabkan kehilangan kalium yang banyak
juga. Luka bakar dan jenis luka kulit lain meningkatkan hilangnya kalium. Kehilangan yang
disebabkan oleh keringat pada seseorang yang sensitif cuaca panas, sebagian dikarenakan
oleh pengeluaraan aldosteron yang meningkat saat meningkatnya panas meningkatkan
hilangnya kalium lewat urin dan keringat.
Karena rasio kalium CIS dan CES tinggi maka aliran kalium dari CES ke CIS
mengakibatkan turunnya konsentrasi di serum. Salah satu penyebabnya adalah insulin.
Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa dan kalium ke dalam sel, pengurangan
kalium sering terjadi saat pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor ß
adrenergik, seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap
distribusi kalium.12,13,15,16
Manifestasi
Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular.
Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang
dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk
hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen ST,
gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan EKG
ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia ektopik
ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai obat ini dan
akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan dasar penyakit
jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na +/K+ ATPase.
Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot, khususnya
saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0 sampai 2.5
mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia berat
(konsentrasi kalium serum <2.5 mEq/l). Otot kaki, khususnya otot kuadriseps, paling sering
terkena. Pada defisiensi kalium kronis bisa terjadi atrofi otot yang menyebabkan
kelemahan.
Terdapat banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi
gastrointestinal, termasuk anoreksia, nausea, dan muntah-muntah. Atonia otot polos
sistem gastrointestinal dapat menyebabkan sembelit, kembung karena hipokalemia yang
disebut ileus paralitik. Saat ada gangguan gastrointestinal maka secara perlahan akan
mengganggu pemasukan kalium.
Ginjal mempertahankan kadar kalium saat hipokalemia mengganggu kerja ginjal untuk
menyaring urin. Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran urin dan osmolalitas
serum, berat jenis urin turun dan terjadi poliuria, nokturia dan rasa haus. Alkalosis
metabolik dan pembuangan klorida dari ginjal adalah gejala dari hipokalemia yang
berat.11,15,16
Penanganan
Jika memungkinkan, hipokalemia yang disebabkan oleh kekurangan kalium ditangani
dengan cara meningkatkan konsumsi makanan dengan kalium yang tinggi. Suplemen
kalium secara oral harus diberikan pada anak yang pemasukan kaliumnya tidak mencukupi
sehubungan dengan kehilangan kalium, terutama pada anak yang dalam terapi diuretika
dan mereka yang mendapatkan digitalis.
Kalium dapat diberikan secara intravena apabila pemberian secara oral tidak
memungkinkan. Kekurangan magnesium dapat mengganggu pemasukan kalium; sehingga
perlu pemberian magnesium. Pemberian kalium dengan infus cepat dapat menyebabkan
kematian karena gangguan jantung. Oleh karena itu pemberian intravena harus dalam
pengawasan ketat dari dokter.11,15,16
4. Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi apabila kadar kalium serum diatas 5.0 mEq/l (5.0 mmol/l).
Hiperkalemia jarang terjadi pada orang yang sehat karena badan orang sehat sangat efektif
untuk mencegah akumulasi kelebihan kalium di dalam CES.15,16
Akibat
Terdapat tiga penyebab utama kelebihan kalium, yaitu: (1) penurunan pengeluaran dari
ginjal, (2) pemberian kalium yang cepat, dan (3) pergeseran kalium dari CIS ke CES.
Penyebab hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya fungsi ginjal. Hiperkalemia
kronis selalu berhubungan dengan gagal ginjal. Biasanya glomerular filtration rate (GFR)
turun secara sampai kurang dari 10 ml/menit sebelum terjadi hiperkalemia. Beberapa
kelainan ginjal, seperti sickle cell nephropathy, nefropati karena logam, nefritis lupus sistemis
dapat merusak sekresi kalium di tubulus tanpa menyebabkan gagal ginjal. Asidosis
juga menyebabkan berkurangnya pengeluaran kalium oleh ginjal, sehingga gagal ginjal akut
yang disertai dengan asidosis laktat atau ketoasidosis akan meningkatkan risiko
hiperkalemia. Koreksi asidosis biasanya akan memperbaiki hiperkalemia. Aldosteron
bekerja pada keadaan dimana kadar kalium dan natrium tubulus distal dalam kadar
pertukaran sehingga kalium ditingkatkan ekresinya sedangkan natrium direabsorpsi.
Sehingga keadaan yang menurunkan aldosteron akan menurunkan ekskresi kalium melalui
ginjal seperti pada penyakit Addisson.
Kelebihan kalium dapat diakibatkan oleh kelebihan pemasukan kalium secara oral dan
intravena. Jika fungsi ginjal dan sistem aldosteron baik maka biasanya pemasukan oral
masih bisa di tolerir untuk tidak menyebabkan hiperkalemia. Lain halnya jika pemberian
secara intravena, terutama jika pemberian terlalu cepat maka biasanya menyebabkan
hiperkalemia yang fatal. Jadi pemberian kalium intravena seharusnya mempertimbangkan
fungsi ginjal.
Pergeseran kalium dari dalam sel ke CES juga dapat menyebabkan peningkatan kadar
kalium serum misalnya pada keadaan luka bakar dan luka parah. Keadaan ini juga akan
mengurangi fungsi ginjal sehingga bisa berkembang menjadi hiperkalemia. Hiperkalemia
transien dapat disebabkan saat melakukan olahraga yang berat atau kejang, saat sel otot
permeabel terhadap kalium.11,15,16
Manifestasi
Tanda-tanda dan gejala kelebihan kalium sangat berhubungan dengan gangguan pada
eksitabilitas neuromuskular. Manifestasi neuromuskular dari kelebihan kalium biasanya
tidak tampak, sampai kadar kalium serum melebihi 6 mEq/l. Gejala pertama yang
berhubungan dengan hiperkalemia biasa adalah parestesia. Kemungkinan besar nantinya
akan ada keluhan kelemahan otot secara menyeluruh atau dispnea sekunder karena
kelemahan otot pernafasan.
Akibat yang paling serius dari hiperkalemia ada pada jantung. Saat kadar kalium
meningkat, maka gangguan pada konduksi jantung akan terjadi. Perubahan yang cepat
mungkin terjadi pada gelombang T yang menyempit, dan pelebaran kompleks QRS. Jika
kadar kalium serum terus naik, interval PR menjadi memanjang dan diikuti oleh hilangnya
gelombang P. Detak jantung kemungkinan turun. Fibrilasi ventrikular dan cardiac arrest
akan terjadi. 11,15,16
Penanganan
Penanganan kelebihan kalium bervariasi tergantung beratnya gangguan dan biasanya
ditujukan pada penurunan pemasukan atau penyerapan, peningkatan pengeluaran lewat
ginjal, dan peningkatan pemasukan ke intraseluler. Penurunan pemasukan bisa dicapai
dengan cara mengurangi makanan yang mengandung kalium. Peningkatan pengeluaran
kalium sering kali lebih sulit. Pasien dengan gagal ginjal membutuhkan hemodialisis atau
dialisis peritoneal untuk mengurangi kadar kalium serum. Sebagian besar cara penanganan
ditujukan pada bagaimana memindahkan kalium ke intraselular, misalnya pemberian infus
insulin dan glukosa. 11,15,16
2. Hipokalsemia
Hipokalsemia terjadi bila kadar kalsium serum dibawah 8,5 mg/dl. Hypokalsemia terjadi
dalam berbagai bentuk penyakit kritis dan mempengaruhi sebanyak 70% sampai 90%
pasien yang berada didalam unit gawat darurat (ICU).11,20
Penyebab
Penyebab hipokalsemia bisa dibagi dalam 3 ketegori: (1) ketidakmampuan mobilisasi
kalsium yang disimpan dalam tulang, (2) kehilangan luar biasa kalsium dari ginjal, dan (3)
kenaikan ikatan protein atau pengkhelatan (chelation) sedemikian sehingga proporsi yang
lebih besar dari kalsium adalah dalam bentuk non-ionisasi. Hipokalsemia maya (pseudo)
yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia ini mengakibatkan penurunan pada ikatan
protein-kalsium (bukan kalsium terionisasi) dan biasanya terjadi secara asimtomatik.
Kekurangan kalsium karena kekurangan makanan berefek pada kemampuan penyimpanan
tulang, bukan pada tingkat kalsium ekstraselular.
Kalsium serum ada dalam bentuk keseimbangan dinamik dengan kalsium dalam tulang.
Kemampuan untuk memobilisasi kalsium dari tulang tergantung pada tingkat kecukupan
PTH. Penurunan kadar PTH kemungkinan diakibatkan dari jenis pertama atau kedua dari
hipoparatiroidisme. Pengurangan pengeluaran PTH bisa juga terjadi ketika kadar vitamin D
meningkat. Kekurangan magnesium mencegah pengeluaran PTH dan merusak kemampuan
PTH pada penyerapan tulang. Hipokalsemia bentuk ini sangat sukar untuk diobati dengan
penambahan kalsium saja dan membutuhkan koreksi dari kekurangan magnesium.
Pengurangan fosfat dapat mengurangi kegagalan kelenjar jaringan. Karena hubungan balik
antara kalsium dan fosfat, kadar kalsium serum jatuh saat kadar fosfat pada kegagalan
kelenjar jaringan naik. Hipokalemia dan hiperfosfatemia terjadi saat laju filtrasi glomerular
turun kurang dari 25 sampai 30 ml/menit (100 sampai 120 ml/menit adalah normal).
Hanya kalsium dalam bentuk terionisasi yang dapat meninggalkan kapiler dan ikut serta
dalam berbagai fungsi tubuh. Perubahan pH mengubah sebagian dari kalsium yang ada
hanya dalam bentuk ionisasi. pH asam menurunkan ikatan (afinitas) protein terhadap
kalsium menyebabkan peningkatan kadar kalsium yang terionisasi sedangkan kadar
kalsium serum total tidak berubah. pH alkalis berefek sebaliknya. Sebagai contoh,
hiperventilasi cukup untuk menyebabkan alkalosis respiratorik sehingga dapat
menyebabkan tetani, karena alkalosis menyebabkan kenaikan ikatan (afinitas) protein
terhadap kalsium, sehingga kadar kalsium yang terionisasi berkurang. Asam lemak bebas
meningkatkan ikatan (afinitas) albumin terhadap kalsium, sehingga mengakibatkan
turunnya kadar kalsium yang terionisasi. Peningkatan kadar asam lemak bebas cukup
untuk mengubah ikatan kalsium. Hal ini dapat terjadi pada saat situasi stress yang
mengakibatkan peningkatan kadar adrenalin, glukagon, hormon pertumbuhan dan
adrenokortikotropin.
Hipokalsemia banyak dijumpai pada pasien dengan pankreatitis akut. Radang pada
pankreas menyebabkan pelepasan enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lipolitik.
Diperkirakan bahwa ion kalsium bergabung dengan asam lemak bebas yang dikeluarkan
oleh liposisis dalam pankreas, membentuk sabun dan menghilangkan kalsium dari
peredaran.1,2,11,20
Manifestasi
Hipokalsemia dapat dijumpai sebagai kondisi akut atau kronis. Hipokalsemia akut
direfleksikan oleh peningkatan ketegangan otot saraf dan kardiovaskular yang
menyebabkan penurunan kadar kalsium yang terionisasi. Kalsium yang terionisasi
menstabilkan ketegangan saraf otot, membuat sel saraf menjadi tidak sensitif terhadap
rangsangan. Rendahnya kadar kalsium yang terionisasi menyebabkan penurunan nilai
ambang eksitasi saraf, respon berulang terhadap rangsangan tunggal pada saraf, dan pada
kasus ekstrim terjadi aktifitas yang terus menerus. Keparahan manifestasi bergantung pada
penyebabnya, kecepatan serangan, yang menyertai gangguan elektrolit, dan pH
ekstraselular. Kenaikan ketegangan bisa berwujud sebagai parestesi (kesemutan) di sekitar
mulut, tangan dan kaki, dan tetani (kejang; Jawa: keduten) otot muka, tangan dan kaki.
Hipokalsemia parah bisa menyebabkan kejang laring, kejang-kejang, dan bahkan kematian.
Pengaruh hipokalsemia parah terhadap sistem kardiovaskular meliputi hipotensi,
menurunnya isi sekuncup, aritmia kordis (terutama blok kardiak dan fibrilasi jantung), dan
kegagalan merespon obat antara lain digitalis, noradrenalin, dan dopamin yang bekerja
lewat mekanisme yang diperantarai kalsium.
Hipokalsemia kronis sering diikuti dengan manisfestasi skeletal dan perubahan pada kulit.
Timbul rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur. Kulit menjadi kering dan
bersisik, kuku menjadi pecah, dan rambut menjadi kering. Keadaan ini sering disertai
timbulnya katarak. Seseorang dengan hipokalsemia kronis dapat menderita gangguan otak
ringan menyerupai depresi, demensia atau psikosis.1,2,11,20
3. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia merepresentasikan konsentrasi total kalsium serum lebih dari 10.5 mg/dl.
Kenaikan palsu kadar kalsium bisa berasal dari pengambilan darah yang terlalu lama akibat
pembebatan yang terlalu kencang. Kenaikan kadar protein plasma (hiperalbuminemia,
hiperglobulinemia) bisa menaikan kadar kalsium serum total. 11,20
Penyebab
Kelebihan kalsium serum (yaitu hiperkalsemia) terjadi jika pergerakan kalsium menuju
sirkulasi mendominasi pengaturan hormonal kalsium dan kemampuan ginjal untuk
mengambil kelebihan ion kalsium. Penyebab hiperkalsemia yang umum dan utama adalah
peningkatan resorpsi (penyerapan) tulang yang disebabkan oleh neoplasma atau
hiperparatiroidisme. Hiperkalsemia merupakan komplikasi umum dari kanker dan terjadi
sekitar 10% dari 20% orang yang terkena penyakit pada stadium lanjut. Beberapa tumor
ganas termasuk karsinoma paru-paru, telah dihubungkan dengan hiperkalsemia. Beberapa
tumor merusak tulang, tetapi beberapa yang lain memproduksi agen humoral yang
menstimulasi aktifitas osteoklastik, menaikkan resorpsi tulang, atau menghambat
pembentukan tulang.
Penyebab yang jarang dari hiperkalsemia adalah imobilisasi yang terlalu lama, kenaikan
absorpsi (penyerapan) kalsium dalam intestinum, dan penggunaan vitamin D dosis tinggi.
Imobilisasi yang terlalu lama menyebabkan pengurangan mineral pada tulang dan
pelepasan kalsium ke pembuluh darah. Absorpsi kalsium dalam intestinum bisa dinaikkan
dengan vitamin D dosis berlebih atau sebagai akibat kondisi yang dinamakan sindrom
alkali susu. Sindrom alkali susu disebabkan karena konsumsi berlebih kalsium (umumnya
dalam bentuk susu) dan antasida yang mudah diserap.
Beberapa macam obat bisa menaikkan kadar kalsium. Penggunaan litium untuk mengobati
kelainan bipolar menyebabkan hiperkalsemia dan hiperparatiroidisme. Diuretika tiazid
menaikkan penyerapan kalsium pada tubulus distalis ginjal. Meskipun diuretika tiazid
jarang menyebabkan hiperkalsemia, tetapi bisa membuka peluang hiperkalsemia yang
timbul dari penyebab lain seperti penyebab kelainan tulang dan kondisi yang menaikan
resorpsi tulang.1,2,11,20
Manifestasi
Tanda dan gejala kelebihan kalsium berasal dari 3 sumber: (1) perubahan pada eksitabilitas
neural, (2) perubahan pada fungsi otot jantung dan otot polos, dan (3) ginjal ”terbuka”
terhadap kalsium dalam kadar tinggi.
Eksitabilitas neural turun pada pasien dengan hiperkalsemia. Kemungkinan akan terjadi
penurunan kesadaran, stupor, lemah, dan kekakuan otot. Perubahan tingkah laku mulai
dari perubahan kecil pada kepribadian sampai psikosis akut.
Jantung merespon kenaikan kadar kalsium dengan meningkatkan kontraktilitas dan
disritmia ventrikular. Digitalis menanggapi respon ini. Gejala gastointestinal
mencerminkan penurunan aktivitas otot polos, termasuk sembelit, anorexia, mual dan
muntah. Komplikasi hiperkalsemia yang lain adalah pankreatitis, yang kejadiannya
mungkin berhubungan dengan batu dalam saluran pankreas. Kadar kalsium yang tinggi
dalam urin merusak kemampuan ginjal untuk memekatkan urin dengan cara
mengintervensi aksi ADH. Ini menyebabkan diuresis garam dan air dan rasa haus
meningkat. Hiperkalsiuria juga menjadi pemicu awal pertumbuhan batu ginjal.
Hiperkalsemia krisis menggambarkan kenaikan akut kadar kalsium serum. Penyakit
maligna dan hiperparatiroidisme adalah penyebab utama hiperkalsemia krisis. Pada
hiperkalsemia krisis, poliuria, kehausan yang sangat, deplesi volume, demam, perubahan
tingkat kesadaran, azotemia (yaitu sampah nitrogen dalam darah), dan kondisi mental yang
terganggu menyertai gejala lain dari kelebihan kalsium. Hiperkalsemia simtomatik
berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, yang sering disebabkan oleh kegagalan
jantung.
Pengobatan kelebihan kalsium biasanya ditujukan ke arah rehidrasi dan usaha untuk
menaikan pengeluaran kalsium lewat urin dan mencegah pengeluaran kalsium dan
pelepasan kalsium dari tulang. Penggantian cairan diperlukan pada keadaan deplesi
volume. Ekskresi natrium disertai dengan ekskresi kalsium. Asam pada diuresis dan
natrium klorida bisa digunakan untuk menaikkan eliminasi kalsium lewat urin setelah
volume CES dipulihkan. Loop diuretic lebih umum digunakan daripada tiazid yang menaikan
reabsorpsi kalsium.
Penurunan awal kadar kalsium diikuti oleh tindakan untuk mencegah resorpsi tulang. Obat
yang biasanya digunakan untuk mencegah mobilisasi kalsium termasuk bisfosfonat,
kalsitonin, dan glukokortikoid . Bisfosfonat merupakan golongan obat baru yang bekerja
terutama dengan cara mencegah aktivitas osteoklastik. Kalsitonin mencegah aktivitas
osteoklastik, sehingga mengurangi resorpsi. Glukokortikoid mencegah resorpsi tulang dan
digunakan untuk mengobati hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker. 1,2,11,20
4. Keseimbangan magnesium
Magnesium merupakan kation intraselular terbanyak kedua. Rata-rata tubuh orang dewasa
mengandung sekitar 24 gram magnesium yang terdistribusi di seluruh tubuh. Dari seluruh
magnesium sekitar 50%-60% disimpan dalam tulang, 39%-49% berada dalam sel tubuh
dan sisa 1% tersebar didalam CES. Sekitar 20%-30% magnesium ekstraselular terikat pada
protein, dan hanya sebagian kecil magnesium intraselular (15%-30%) dapat bertukar
dengan CES. Kadar normal magnesium dalam serum adalah 1,8-2,7 mg/dl.
Fungsi penting magnesium terhadap fungsi keseluruhan tubuh telah diketahui. Magnesium
bertindak sebagai kofaktor dalam banyak reaksi enzimatik intraselular, termasuk reaksi
transfer gugus fosfat dari ATP (penggunaan ATP). Hal ini disebabkan karena ATP hanya
dapat digunakan tubuh bila ATP membentuk senyawa kompleks dengan magnesium
menjadi Mg-ATP. Sehingga semua reaksi yang membutuhkan ATP, misalnya replikasi dan
transkripsi DNA serta translasi mRNA, tentu memerlukan magnesium. ATP merupakan
sumber tenaga metabolisme selular, yang antara lain digunakan untuk menjalankan pompa
natrium-kalium (Na+/K+-ATPase). Bekerjanya pompa natrium-kalium menyebabkan
kestabilan membran sel terjaga, konduksi saraf dapat berjalan lancar, transport ion dan zat
zat lain ke dalam dan ke luar sel dapat berlangsung, dan proses metabolisme dapat berjalan
dengan baik.
Magnesium dapat berikatan dengan reseptor kalsium. Diperkirakan bahwa perubahan
kadar magnesium akan berpengaruh melalui mekanisme yang diperantarai kalsium.
Magnesium mungkin terikat secara kompetitif ke tempat dimana kalsium dapat berikatan,
menghasilkan respon yang tepat, dan ini mungkin tidak menimbulkan efek; atau mungkin
mengubah distribusi kalsium dengan cara mempengaruhi pergerakannya memintas
membran sel.1,2,17,18,19
5. Pengaturan magnesium
Magnesium dikonsumsi melalui makanan, diabsorpsi di usus, dan diekskresi oleh ginjal.
Absorpsi di usus tidak diatur dengan ketat, dan sekitar 25%-65% magnesium yang
dikonsumsi diabsorpsi. Magnesium terkandung dalam semua sayuran hijau, gandum,
kacang, daging dan hasil laut. Magnesium juga terkandung dalam air tanah di Amerika
Utara.
Ginjal merupakan organ utama pengaturan kadar magnesium. Magnesium merupakan
elektrolit unik dimana hanya sekitar 30%-40% dari jumlah yang tersaring direabsorpsi
dalam tubulus proksimalis. Jumlah paling banyak, sekitar 50%-70% direabsorpsi di ansa
Henle yang tebal. Tubulus distalis mereabsorpsi magnesium dalam jumlah yang sedikit dan
merupakan tempat utama pengaturan kadar magnesium. Reabsorpsi magnesium turun jika
terjadi peningkatan kadar magnesium dalam serum atau jika distimulasi oleh PTH.
Sedangkan hambatan reabsorpsinya dipacu oleh kadar kalsium yang meningkat.
Perangsang utama reabsorpsi magnesium dalam ansa Henle yang tebal adalah sistem
kotransportasi Na+/K+/2Cl-. Hambatan sistem kotransportasi oleh diuretika menurunkan
reabsorpsi magnesium. 1,2,17,18,19
6. Hipomagnesemia
Hipomagnesemia adalah kadar magnesium serum yang kurang dari 1,8 mg/dl. Hal ini
terjadi pada kondisi dimana konsumsinya terbatas atau peningkatan ekskresi lewat usus
dan ginjal. Hipomagnesemia biasanya ditemukan pada keadaan gawat darurat dan pada
pasien dengan perawatan kritis.11,17
Penyebab
Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh konsumsi yang kurang mencukupi,
kehilangan yang terlalu banyak, atau pergerakan antara ruangan CES dan CIS. Dapat juga
disebabkan oleh keadaan dimana ada keterbatasan pemasukan, seperti kekurangan gizi,
kelaparan, atau perawatan yang lama dengan nutrisi parenteral yang tidak mengandung
magnesium. Kondisi lain, seperti diare, malabsorbsi, pemasangan nasogastric tube yang
lama, atau pemakaian laksansia, dapat menurunkan penyerapan usus. Kelebihan konsumsi
kalsium mengganggu absorpsi magnesium di usus karena adanya kompetisi kedua ion ini
pada protein transport yang sama. Penyebab umum kekurangan magnesium yang lain
adalah alkoholisme kronis. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hipomagnesemia
pada alkoholisme, yaitu pemasukan yang rendah dan kehilangan dari saluran cerna oleh
karena diare.
Walaupun ginjal mampu bertahan terhadap hipermagnesemia, namun ginjal kurang
mampu menyimpan magnesium dan mencegah hipomagnesemia. Kehilangan melalui urin
meningkat pada ketoasidosis diabetikum, hiperparatiroidisme, dan hiperaldosteronisme.
Beberapa obat-obatan meningkatkan ekskresi magnesium lewat ginjal, termasuk diuretika
dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin,
sisplatin dan amfoterisin B.
Hipomagnesemia relatif juga dapat berkembang dalam kondisi dimana terjadi
meningkatnya pergerakan magnesium diantara CES dan CIS, termasuk pemberian glukosa
secara cepat, larutan parenteral yang mengandung insulin, dan alkalosis. Walaupun bersifat
sementara, kondisi ini dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh yang serius. 11,17,18,19
Manifestasi
Gejala kekurangan magnesium biasanya tidak tampak sampai kadar magnesium serum
kurang dari 1 mEq/dl. Hipomagnesemia ditandai dengan peningkatan eksitabilitas saraf
otot seperti adanya kelemahan otot dan gemetar. Manifestasi lain yang mungkin terjadi
adalah peningkatan refleks tendon, parestesia (kehilangan rasa, rasa kesemutan dan
pricking), fasikulasi otot, dan kontraksi tetanik otot. Tanda Chvostek atau Trousseau dapat
juga muncul terutama pada keadaan hipokalemia. Karena penurunan kadar magnesium
serum akan menaikkan iritasi jaringan saraf maka bisa terjadi kejang. Manifestasi lain yang
bisa timbul meliputi ataksia, vertigo disorientasi, depresi dan gejala psikotik.
Manfestasi kardiovaskular meliputi takikardia, hipertensi, dan disritmia ventrikular.
Kemungkinan terdapat perubahan pada EKG misalnya pelebaran kompleks QRS terlihat
pada puncak gelombang T, pemanjangan interval PR, inversi gelombang T dan
penampakan gelombang U. Disritmia ventrikular terutama pada penggunaan digitalis, sulit
ditangani kecuali bila kadar magnesium dinormalkan. 11,17,18,19
Pengobatan
Pengobatan hipomagnesemia adalah dengan pemberian magnesium. Cara pemberian
tergantung berat ringannya. Hipomagnesemia simtomatik, sedang dan berat diterapi
dengan pemberian magnesium secara parenteral. Pemberian magnesium diberikan sampai
beberapa hari untuk mengganti kekurangan kadarnya dalam darah. Pada keadaan
kehilangan magnesium kronis melalui saluran pencernaan dan ginjal, pemberian
magnesium rumatan sangat diperlukan. Pemberian magnesium pada penderita gagal ginjal
harus hati-hati dan perlu dimonitor agar tidak terjadi kelebihan magnesium. 11,17,18,19
7. Hipermagnesemia
Hipermagnesemia adalah keadaan dimana kadar magnesium dalam serum lebih dari 2.7
mg/dl. Karena adanya kemampuan ginjal mengekskresi magnesium cukup baik maka
sangat jarang terjadi hipermagnesemia.
Terjadinya hipermagnesemia biasanya berhubungan dengan insufisiensi ginjal dan
pemakaian magnesium yang berlebihan seperti pemakaian obat-obatan antasida, suplemen
mineral, atau laksatif. Pada bayi lebih mudah terjadi karena fungsi ginjal relatif belum
sempurna.
Hipermagnesemia berefek terhadap fungsi saraf dan jantung, yaitu letargi, hiporefleksia,
bingung sampai koma, hipotensi, disritmia, dan cardiac arrest. Tanda dan gejala terjadi
hanya jika kadar magnesium lebih dari 4.9 mg/dl. Hipermagnesemia berdampak
mengurangi transmisi neuromuskular, menyebabkan hiporefleksia, kelemahan otot, dan
bingung. Hipermagnesemia menurunkan pelepasan asetilkolin pada ujung mioneural dan
dapat menyebabkan blokade neuromuskular dan paralisis respirasi. Efek kardiovaskular
berhubungan dengan efek penghambatan (blocker) kanal kalsium oleh magnesium.
Penghambatan kanal kalsium menyebabkan penurunan tekanan darah dan pada gambaran
EKG tampak peningkatan interval PR, pemendekan interval QT, gelombang T tidak normal
dan pemanjangan QRS dan PR. Hipotensi disebabkan vasodilatasi; vasodilatasi timbul
karena penghambatan kanal kalsium tersebut. Disritmia kardiak bisa terjadi pada
hipermagnesemia sedang (>5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada
hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15
mg/dL) bisa menyebabkan cardiac arrest.
Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan mengurangi pemasukan magnesium.
Pemberian kalsium intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna untuk
menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa dilakukan jika
perlu. 11,17,18,19
Daftar Pustaka
1. Berne R.M., Levy M. Principles of physiology: 2000 (3 rd ed., p. 438). St. Louis: Mosby. 2. Cogan M.G.
Fluid and Electrolyte: 1991 (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245) Norwalk, CT:Appleton &
Lange.
3. Guyton A., Hall J.E. Textbook of medical physiology. 2000 (10 th ed., pp. 157-171, 264-278, 322-345, 346-363,
820-826). Philadelphia: W.B.Saunders.
4. Krieger J.N, Sherrad D.J. Practical fluid and electrolytes :1991. (pp. 104-105). Norwalk, CT: Appleton & lange. 5.
Stearns R.H., Spital A., Clark E.C. Disorders of water balance. In Kokkp J., Tannen R.L., (Eds). Fluid and
Electrolytes: 1996 (3rd ed., pp. 65, 69, 95) Philadelphia: W.B. Saunders.
6. Rose B.D., Post T.W. Clinical physiology of acid-base and electrolyte disorders: 2001 (5 th ed., pp. 168-178, 822,
835, 858, 909). New York: McGraw-Hill.
7. Fried L.F., Palevsky P.M. Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North America: 1997,81, 585-
606.
8. Kugler J.P., Hustead T. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family Physician: 2000.61,
3623-3630
9. Oh M.S., Carroll H.J. Disorders of sodium metabolism: Hypernatremia and hyponatremia. Critical Care
Medicine :1992,20, 94-103.
10. Batchell J. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of North America: 1994,69,
687-691.
11. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (). Nelson textbook of pediatrics: 2000, (16th ed., pp. 215-218).
Philadelphia: W.B. Saunders.
12. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. The pathophysiology of potassium balance. Critical Care Nurse :1996,16 (5), 59-71.
13. Tannen R.L. Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes: 1996, (3 rd ed., pp.
116-118). Philadelphia: W.B. Saunders.
14. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. Refractory potassium repletion: A consequence of magnesium deficiency.
Archives of Internal Medicine :1992,152 (1), 40-45.
15. Gennari F.J. Hypokalemia. New England Journal of Medicine: 1998,339, 451-458
16. Zaloga G.F. Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine:1992,20: 251-261. 17. Swain R.,
Kaplan-Machlis B. Magnesium for the next millennium. Southern Medical Journal: 1999, 92, 1040- 1046.
18. Toto K., Yucha C.B. Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical Care Nursing Clinicw
of North America :1994, 6, 767-778.
19. Workman L. Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical Issues :1992, 3, 655-663.
20. Yucha C.B., Toto K.H. Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of North America: 1994,6,
747-765.
BAB II
KEGAWATDARURATAN GASTROINTESTINAL
Pitono Soeparto & Reza Ranuh
Ilustrasi Kasus
Seorang anak perempuan umur 7 tahun dibawa ke UGD karena mengeluh sakit perut yang amat sangat, dan
anak tidak bisa berhenti menangis karena sakitnya. Sakit dirasakan pertama kali 1 jam yang lalu dan belum
mereda. Saat sakit di rumah sempat BAB 1x, nyeri dan keluar sedikit kotoran campur darah. Dari
pemeriksaan fisik anak tampak kesakitan, dinding perut tidak kaku, dan disebelah kiri atas umbilicus dapat
diraba massa yang panjang seperti pisang.
Pendahuluan
Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat
dibagi dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.1
1. Kelompok non bedah
a. Dehidrasi
b. Perdarahan saluran gastrointestinal
- Penyakit peptik
- Demam berdarah
- Demam tifoid
- Hipertensi portal
- Polip
c. Muntah akut
d. Nyeri abdominal akut
e. Distensi abdomen akut
f. Disfagia akut
2. Kelompok bedah
a. Obstruksi intestinal
- Atresia duodenal
- Malrotasi dan volvulus
- Anus imperforata
- Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula
b. Defek dinding abdominal
- Eksomfalus
- Gastroskisis
c. Abdomen akut
- Apendisitis akut
- Adenitis mesenterik
Dehidrasi
Tabel 2.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan
% Kehilangan berat badan
Dehidrasi 5 % ( 50 ml/kg ) 3 % ( 30
ringan 5 – 10 % ( 50 – 100 ml/kg ml/kg ) 6 %
Dehidrasi ) 10 – 15 % ( 100 – 150 ( 60 ml/kg )
sedang ml/kg ) 9 % ( 90
Dehidrasi ml/kg )
berat
Sumber: Huang2
Gangguan Tunggal
- Asidosis metabolik ↓ ↓ ↓
- Alkalosis metabolik ↑ ↑ ↑
- Asidosis respiratorik ↓ ↑ ↑
- Alkalosis respiratorik ↑ ↓ ↓
Gangguan Campuran
- Asidosis metabolik + ↓↓ ↑, N, ↓ ↑, N, ↓
asidosis
respiratorik
- Alkalosis metabolik + ↑, N, ↓ ↑ ↑
asidosis respiratorik
- Asidosis metabolik + ↑, N, ↓ ↓ ↓
alkalosis
respiratorik
- Alkalosis metabolik + ↑↑ ↑, N, ↓ ↑, N, ↓
alkalosis
respiratorik
Sumber: Quak1
Prinsip Terapi Cairan
Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk
memberikan pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan
elektrolit, (2) mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi kehilangan abnomal dari
cairan yang sedang berlangsung (on going abnormal losses).
Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga tidak
ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi menjadi
beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2) memperbaiki defisit
cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan (3) mencukupi kebutuhan
nutrisi.
Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok
merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila
pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil.
Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah
defisit Na+ dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya
elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen. 1,2,3
Pemberian Terapi Cairan1,2,3
Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang ditujukan
untuk: 1. Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok).
2. Mengganti defisit yang terjadi.
3. Rumatan (maintenance)/ untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang
berlangsung (on going losses).
Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parenteral.
Dehidrasi berat
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan lebih dari
9% untuk anak besar serta menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen-koma,
pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan pemberian cairan dan
elektrolit secara parenteral.1,2,3
Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap:
a. Terapi awal (initial therapy) yang bertujuan untuk memperbaiki dinamika sirkulasi dan
fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraselular. b. Terapi
lanjutan yang ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada kecepatan yang
lebih rendah dengan mengganti Na+ mendahului K+.
c. Terapi akhir yang ditujukan untuk menjaga/memulihkan status gizi penderita.
Terapi awal
Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara
cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah
bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular. 1,2,3
Terapi lanjutan
Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk
mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na + dan mengganti kehilangan
abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan obligatorik.
Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial, dan
biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila
didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata.
Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga
terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na + yang ada (isonatremia,
hiponatremia, hipernatremia).1,2,3
Sumber: Lozner2
GIT Bawah
Intususepsi Enterokolitis
pseudo
Volvulus usus membranosa
tengah (midgut)
Kolitis infeksi
Sumber: Quak1
Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu dimasukkan
pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila
perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:
Perlu diingat bahwa tidak adanya darah dari lambung tidak selalu menyingkirkan
perdarahan GIT, karena perdarahan mungkin telah berhenti atau sumber perdarahan mungkin
di bagian distal pilorus yang kompeten.4,5
Penampilan Klinis
Melena
Hematemesis
Hematoskesia
Bilas nasogastrik
Obstruksi
Non – Obstruksi
Enema Ba
Evaluasi laboratorium
- Pembiakan tinja
Bedah - Kolonoskopi
- Sken (Scan) Meckel - Enema Ba kontras udara
Divertikulum Meckel
Duplikasi
Malformasi vascular
Gastritis Polip
Divertikulum Meckel
Varises esofagus
Sumber: Chin6
Laboratorium4,5
1. Darah lengkap :
Perdarahan yang baru terjadi mungkin tidak mengubah hemoglobin atau hematokrit tetapi
MCV bisa rendah pada perdarahan kronis berderajat ringan. Peningkatan eosinofil dapat
menunjukkan kolitis alergi.
2. Laju endap darah :
Peningkatan KED dapat menandai penyakit usus beradang.
3. Koagulasi :
Profil koagulasi untuk menyingkirkan kelainan perdarahan.
5. Tinja encer :
Pembiakan tinja dan toksin C. difficile
Pencitraan4,7,8
1. Perdarahan GIT atas:
Studi kontras hendaknya jangan dijadikan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan
esofagitis, gastritis atau tukak peptikum karena kurang sensitif. Endoskopi jauh lebih
sensitif. Studi kontras dapat merupakan indikasi pada pasien dengan disfagia atau
odinofagia. USG perlu dilakukan apabila ada penyakit hati.
2. Hematoskesia:
Studi kontras hendaknya jangan merupakan awal evaluasi. Endoskopi lentur lebih baik.
Yang menjadi perkecualian adalah adanya kecurigaan intususepsi, dan USG perlu
dilakukan (dan apabila sudah pasti, enema barium dilakukan untuk reduksi).
4. Perdarahan yang tidak tampak pada saluran GI bawah. Scan sel darah merah yang diberi label
teknetium dapat membantu menetapkan lokasi, tetapi memerlukan perdarahan aktif >0.5
ml/menit.
Penanganan
1. Penanganan umum
Penilaian awal pada setiap anak dengan perdarahan GIT perlu dipertajam serta dipercepat.
Dua persoalan yang perlu segera diperhatikan adalah: status volume darah pasien dan
kecenderungan perdarahan yang akan terus berlangsung. Penampilan anak, status mental,
tekanan darah, detak jantung merupakan cermin dari status anak, sedangkan potensi
terjadinya perdarahan yang terus berlangsung akan terlihat atau dapat diperkirakan dari
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.
Stabilisasi awal ditujukan untuk mencegah atau mengatasi hipovolemia dan anemia yang
berat. Tujuan pemberian cairan bolus awal adalah untuk perfusi jaringan. Setelah
pemberian bolus cairan awal sebanyak 10-20 ml/kg selama 10 menit, lanjutkan bolus secara
pelan (titrasi) untuk menjaga tekanan darah dan perfusi jaringan. Pilihan cairan paling baik
dapat dilihat berdasarkan kemudahan dan tersedianya cairan. Apabila lebih dari 50-70
ml/kg yang diperlukan dalam waktu 4-6 jam, perlu dipertimbangkan pemantauan invasif
untuk memudahkan penanganan cairan. Cairan dan/atau koloid yang sesuai kemudian
dapat mulai diberikan. Prosedur diagnostik lanjut, hendaknya dilakukan bila resusitasi
yang sesuai sudah tercapai.8,9,10
Tindakan
- Letakkan pasien dalam posisi terlentang dengan tungkai dinaikkan. Pada perdarahan yang
masif, pasien perlu diletakkan dalam posisi tengkurap untuk mencegah aspirasi.
- Selanjutnya masukkan kanula intravena ukuran besar. Apabila isian vena (venous filling)
buruk, dapat dilakukan venaseksi atau tusuk subklavia segera. - Upayakan flow chart yang
baik untuk pemasukan dan pengeluaran. - Lakukan uji laboratoris yang meliputi: golongan
darah dan cross match, pemeriksaan darah lengkap, hematokrit, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, BUN, elektrolit, dan analisis gas darah arterial.
- Perbaiki volume intravena dengan larutan kristaloid (garam fisiologis, Ringer laktat) atau
plasma 20 ml/kgBB/jam sampai tekanan darah membaik, ditandai dengan hilangnya
vasokonstriksi perifer.
Larutan koloid seperti albumin atau plasma digunakan apabila terjadi kehilangan darah
masif dan berlangsung terus-menerus yang dapat menyebabkan berkurangnya tekanan
onkotik plasma sehingga menimbulkan sindrom paru renjatan (shock lung syndrome).
Hindarkan ekspansi volume intravaskular yang berlebihan. Sesudah pengembalian
volume intravaskular tercapai (yang ditunjukkan oleh tekanan darah, denyut nadi dan
aliran urin), penggantian (replacement) selanjutnya perlu dititrasi sesuai dengan
kehilangan darah yang berlanjut (continuing blood loss).
- Vitamin K 5 – 10 mg diberikan untuk setiap pasien dengan masa protrombin yang
berkepanjangan, tanpa membedakan pasien penderita penyakit hati ataupun bukan. -
Keputusan pemberian transfusi darah tergantung dari nilai hematokrit sesudah
pengembalian volume darah dan ada tidaknya perdarahan yang berlanjut. Transfusi darah
dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan yang sudah berhenti untuk berjaga-jaga
apabila terjadi perdarahan kembali. Pada keadaan ini, transfusi pelan dengan packed cells
(10 ml/kgBB) lebih dianjurkan sebagai langkah awal. Pada pasien dengan perdarahan yang
berlanjut, transfusi yang terus-menerus merupakan satu-satunya cara untuk merumat
kapasitas pengangkut O2 darah hingga mencukupi kebutuhan tubuh. Kecepatan transfusi
tergantung dari cepatnya perdarahan. - Komplikasi dari transfusi masif meliputi:
hipersitratemia, hipokalsemia, berkurangnya kadar faktor pembekuan, dan trombositemia.
Untuk meminimalkan permasalahan ini, pasien perlu diberikan kalsium intravena 0.5
ml/kgBB (10% kalsium glukonat) dan plasma fresh frozen (10 ml/kgBB) sesudah pemberian
setiap transfusi 50 ml packed cells apabila diperlukan.
Rencanakan untuk Tx Hepar atas obstruksi v porta ekstra hepatik Tamporade balon
indikasi Endoskopi kedaruratan
skleroterapi bila mungkin Tamporade balon
Konsolidasi gagal
skleroterapi sembari menunggu
Pertimbangan shunt apabila Perdarahan hebat Transplantasi, shunt darurat bila
tetap tidak ada donor
Gambar 2.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan varises usofagus (Sumber:McDiarmid 15).
2. Penanganan Spesifik
Penyebab perdarahan gastrointestinal bagian atas dari segi penanganan dapat dibagi
menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Beta–bloker non selektif dianjurkan untuk
mencegah perdarahan varises. Obat vasoaktif, seperti somatostatin, oktreotida dan
glupresin dapat digunakan dengan baik pada perdarahan varises maupun nonvarises.
Skleroterapi dan ligasi varises dapat digunakan pada anak untuk menghilangkan varises.
Cyanoacrylate efektif dan menunjukkan komplikasi terendah yang berhubungan dengan
varises lambung. Terdapatnya stigmata perdarahan, seperti perdarahan aktif dan pembuluh
darah yang tampak pada tukak merupakan indikasi adanya risiko tinggi dari perdarahan
berulang, yang memerlukan hemostasis endoskopik. Inhibitor pompa proton lebih efektif
daripada antagonis reseptor H2 dalam menunjang kesembuhan tukak peptikum.4,5,6,15
- Dalam suatu penelitian telah ditunjukkan bahwa skleroterapi berhasil menutup varises esofagus
sesudah diberikan secara multipel pada 92 pasien anak . Terapi kombinasi propranolol +
skleroterapi ternyata lebih menjanjikan dalam pencegahan perdarahan hipertensif
portal.15
Portosystemic shunt melalui pembedahan dan akhir2 ini juga nonoperatif transjugular
intrahepatic portosystemic shunt, dan transplantasi hepar.17
- Pembedahan
Koreksi radikal dari hipertensi portal ekstrahepatik dengan hasil baik dilakukan pada
38,5% pasien.9
Demam Berdarah
Penanganan
D5 Ringer Laktat atau D5 Ringer Asetat
10 – 20 ml/kgBB/jam (pada derajat IV bolus 30 menit)
Baik (PCV ↑ , nadi cepat lemah, tekanan nadi < 20 mmHg,
produksi urin ↓)
(PCV ↓, nadi stabil produksi urin ↑) 7 ml/kg/1jam
Gambar 2.4. Aluran tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD derajat III dan IV (Sumber: Soegijanto 18; Modifikasi
Monograf, WHO19).
Demam Tifoid
Penanganan
Terapi antimikrobia esensial dalam terapi demam tifoid. Sebagian besar regimen
antibiotik mempunyai risiko kekambuhan 5% – 20 %. Kloramfenikol (50 mg/kgBB/hari q.i.d
per os atau 75 mg/kgBB/hari terbagi dalam 6 jam i.v), ampisilin (200 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 – 6 kali perhari), amoksilin (100 mg/kgBB/hari dibagi 3x perhari p.o) dan trimetoprim
sulfametoksazol (10 mg TMP dan 50 mg SMZ /kgBB/hari, 2x sehari p.o) memberikan hasil
klinis yang baik. Apabila perdarahan intestinal hebat, diperlukan transfusi darah. Intervensi
bedah dan antibiotik spektrum luas dianjurkan bila terjadi perforasi. Transfusi trombosit
dikemukakan untuk pengobatan trombositopenia yang cukup berat untuk menyebabkan
perdarahan intestinal pada pasien yang memerlukan pembedahan. 22,23,24
Muntah Akut
Penanganan muntah
Penanganan penderita dengan muntah ditujukan untuk mengatasi akibat muntah
(robekan lokal, gangguan metabolik, gangguan nutrisi, aspirasi), simtomatik untuk
mengurangi/menghilangkan gejala muntah dan secara spesifik menghilangkan penyakit
penyebab yang mendasarinya.25,26,27
Agonis motilin Eritromisin 3-6 mg/kgBB/dosis TID Rasa tak enak perut
Disfungsi hepar
1-3 mg/kgBB/dosis
BID/TID
Inhibitor pompa Omeprazol 0.7-3.0 mg/kgBB/dosis Sakit kepala, ruam,
proton BID/QID diare,
Lansoprazol hipergastrinemia
Sumber: Milla27
Gangguan pada
otot polos
- Miopati
- Distrofi otot
- Infiltratif
- Endokrin
- Divertikulum
Penanganan
Penanganan obstruksi intestinal meliputi 2 tahap terpisah yaitu resusitasi dan
pengobatan definitif yang tahapannya selalu berurutan.
Tabel 2.7. Gambaran esensial dari resusitasi
- Hentikan semua masukan oral
- Dekompresi lambung dengan tabung nasogastrik
- Pasang slang intravena, perbaiki defisit cairan dan elektrolit serta kehilangan yang
sedang berjalan
- Pastikan pengeluaran urin yang cukup
- Tentukan golongan darah dan uji silang apabila terdapat kemungkinan untuk operasi.
Sumber: Wesson29
0,3-1,5 mg/kgBB/hari
Lansoprazol dosis terbagi setiap 12 jam
Sumber: Lake36
Pankreatitis
Strategi dalam penanganan pankreatitis akut dilakukan secara spesifik maupun
nonspesifik sebagai berikut:
1. Menghilangkan proses yang mengawali terjadinya pankreatitis
2. Menghentikan berlanjutnya proses autodigesti dalam pankreas
3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim-enzim digestif dan substansi lain yang beracun
di dalam rongga peritoneal dan/atau sirkulasi.
4. Pembedahan
5. Mengobati komplikasi lokal maupun sistemik
Penanganan yang pada saat ini dapat dilakukan adalah mengistirahatkan pankreas yang
secara teoritis dapat mencegah atau mengurangi intensitas peradangan, mengurangi gejala dan
mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Penderita dipuasakan dan sekresi lambung
dikeluarkan melalui isapan nasogastik. Dengan demikian hal ini akan mencegah asam dan
nutrien mencapai duodenum yang secara teoritis akan mengurangi stimulasi hormonal bagi
sekresi pankreas. Berbagai pendekatan farmakologis dilakukan untuk mengurangi sekresi
pankreas namun hasilnya masih banyak dipertanyakan (antasida, antikolinergik, glukagon,
vasopresin). Demikian juga halnya obat untuk menstabilkan membran sel (prostaglandin) dan
obat seperti somatostatin dan analognya.37,38,39
Torsio testis
Penanganan yang optimal adalah eksplorasi bedah. Apabila dilakukan dalam waktu 6
jam setelah torsi, testis yang dapat terselamatkan dapat mencapai 90%. Apabila melebihi 6 jam
diperlukan orkidektomi.40
Apendisitis akut
Begitu diagnosis apendisitis ditegakkan penanganannya adalah pembedahan
(apendektomi). Anak dengan apendisitis tanpa perforasi membutuhkan persiapan prabedah
yang minimal dengan cairan intravena dan antibiotik. Walaupun penggunaan antibiotik pada
apendisitis tanpa komplikasi masih dipertentangkan, namun antibiotik telah menurunkan
kejadian infeksi luka pasca bedah. Apendektomi harus dilakukan dalam waktu beberapa jam
setelah diagnosis.34,35
Intususepsi
Apabila diagnosis intususepsi telah diperkirakan, langkah pertama adalah resusitasi
pasien dengan cairan intravena dan pengosongan lambung dengan pipa nasogastrik. Pilihan
penanganan pasien anak dengan intususepsi cukup sederhana; reduksi radiologis (hidrostatik =
cairan, pneumatik = udara ) atau laparotomi dengan reduksi operatif atau reseksi. Suatu enema
kontras (udara atau radioopak) dibawah panduan fluoroskopi selain sebagai uji diagnostik
dapat juga dipakai untuk mereduksi intususepsi.34,36
Peritonitis
Antibiotika parenteral seperti sefotaksim dari aminoglikosida (untuk Streptococcus dan
Pneumococcus pada peritonitis primer) ataupun ampisilin, dan klindamisin yang dapat
mencakup organisme yang mendominasi sumber infeksi (pada peritonitis sekunder seperti E.
coli, Klebsiella, dan Bacteriodes) perlu segera diberikan. Pengecatan gram dan pembiakan cairan
asites atau cairan peritoneal dapat memberikan indikasi pergantian antibiotika awal yang
diberikan. Pembedahan perlu dilakukan untuk memperbaiki perforasi sesudah pasien
distabilisasi (resusitasi cairan dan fungsi kardiovaskular) dan diberikan antibiotik. 31
Disfagia
Rencana terapi perlu dikembangkan berdasarkan konteks kelompok multidisiplin. Pada
umumnya rekomendasi terapeutik adalah berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan
dengan aman (kemampuan dari pasien untuk mentransfer makanan dari rongga mulut ke
dalam usofagus tanpa keliru masuk kedalam larings dan trakea), status nutrisi pasien, adanya
refluks gastro-esofageal, dan kenikmatan akan makanan bagi pasien dan orang tuanya. Terapi
disfagia biasanya ditujukan pada penyebabnya disertai perawatan suportif. 41,42,43,44
1. Obati penyakit primer bila mungkin
a. Kelainan struktur esofageal: dilatasi atau bedah.
b. Gangguan neuromuskular sistemik :
- Bedah saraf (tumor otak, malformasi Arnold-Chiari)
- Pengobatan farmakologis (tetanus, dan sebagainya)
c. Dismotilitas esofageal
- Dilatasi atau miotomi (untuk sfingter hipertensif atau nonrelaksasi)
- Terapi farmakologis: calcium channel blocker, nitrat, antikolinergik, antagonis
adrenoseptor, medikasi psikotropik.
BAB III
DISFAGIA
Yorva Sayoeti
Ilustrasi Kasus
Astrid, anak perempuan, berumur 8 tahun dikirim ke Feeding Clinic untuk evaluasi makan dan minum. Dia
mengalami trauma kepala pada umur 3 tahun dengan komplikasi kuadriplegia. Disamping itu dia juga
menderita skoliosis berat yang memerlukan operasi. Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan
videofluoroskopi menggunakan barium yang dimodifikasi (modified barium swallow) guna mengevaluasi
fase-fase menelannya. Dari aloanamnesis, ibunya mengatakan Astrid membutuhkan waktu lama bila makan,
disertai batuk, terdengar suara degukan yang cukup jelas dan menolak makan dengan mengatakan tidak
mau makan sambil menggelengkan kepalanya. Pemeriksaan dengan mengamati makan, tampak perlambatan
fase oral. Dia perlu beberapa kali menelan untuk mendorong habis semua bolus makanan, sehingga waktu
yang diperlukan tiap suapan makan hampir 1 menit. Dia juga menolak makan setelah diberikan beberapa
suap. Hasil pemeriksaan videofluoroskopi tampak sejumlah sisa makanan tertahan di dalam faring dan
berkurangnya gerakan peristaltik untuk semua jenis tekstur makanan yang diberikan. Tampak sedikit
aspirasi (silent trace aspiration). Keadaan ini tidak membaik walaupun telah dilakukan perubahan posisi
waktu makan. Dengan demikian disimpulkan Astrid berisiko tinggi terjadi aspirasi bila makan peroral tetap
diteruskan. Dua hari kemudian dilakukan operasi. Evaluasi paska operasi menunjukkan proses menelan fase
oral maupun fase faringeal masih lambat disertai bunyi degukan, dan masih menolak makan. Bahkan hasrat
makannya semakin turun dibandingkan sebelum operasi. Pernafasannya tampak ada hambatan sehingga
dilakukan fisioterapi. Tiga hari kemudian Astrid masih menolak makan. Pemantauan selanjutnya berat
badan Astrid turun sampai 6 ons. Atas anjuran spesialis gizi ditambahkan Policore ke dalam dietnya untuk
meningkatkan kebutuhan kalorinya serta makanan kecil (snack). Kemudian Astrid dipulangkan dan
dijadwalkan 2 minggu lagi dievaluasi kembali oleh tim interdisipliner di Feeding Clinic. Dua minggu kemudian
tim interdisipliner memutuskan bahwa Astrid harus menjalani gastrostomy (GT) guna menjamin kebutuhan
nutrisinya dan mencegah risiko aspirasi. Beberapa minggu setelah dilakukan GT, Astrid dipulangkan dan
pada orang tuanya diberikan pedoman agar tetap melakukan stimulasi makan peroral (oral motor
stimulation). Dianjurkan memberikan makanan dalam berbagai rasa dan tekstur sedikit demi sedikit guna
mengurangi terjadinya aspirasi. Ternyata dengan stimulasi oral ini lama kelamaan dapat disenangi Astrid.
Akhirnya kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi melalui makan minum peroral tanpa komplikasi aspirasi dan
kesehatannya makin lama makin membaik.
Pendahuluan
Kemajuan teknologi kedokteran lebih dari tiga dekade ini memungkinkan banyaknya
bayi yang lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) bahkan berat badan lahir sangat
rendah (BBLSR) atau dengan sakit gawat, dapat dipertahankan hidupnya. Namun sebagian
besar bayi dan anak ini akan menghadapi pula masalah-masalah medis yang cukup bermakna
dalam perkembangan selanjutnya. Beberapa diantara bayi ini akan mengalami komplikasi atau
cacat di kemudian hari antara lain menderita retardasi mental, serebral palsi, masalah penyakit
paru kronis atau gangguan neurologis. Akibat hal tersebut perlu strategi baru untuk mengatasi
masalah-masalah ini yang sebelumnya jarang ditemui. Beberapa dari masalah yang paling
menonjol adalah yang berhubungan dengan gangguan fungsi gerakan motorik mulut (oral motor
function), gangguan menelan, makan dan atau berkomunikasi. Dengan demikian kemajuan di
bidang ilmu dan teknologi kedokteran dalam usaha mempertahankan kehidupan telah
menyebabkan pula munculnya masalah baru yang memerlukan pencarian solusinya.
Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak dengan gangguan menelan menjadi
masalah yang unik bagi para klinisi. Aspek penatalaksanaan disfagia pada orang dewasa tidak
dapat diaplikasikan pada bayi dan anak karena perbedaan struktur anatomi dan maturasi
neurologis yang belum sempurna. Bayi dan anak yang menderita gangguan menelan serta
gangguan makan minum peroral memerlukan tatalaksana dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembang anak, yaitu aspek yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan organ menelan, perkembangan refleks-refleks motorik mulut,
serta maturasi perkembangan perilaku makan yang berhubungan erat dengan hubungan orang
tua dan anak. Perolehan nutrisi yang adekuat untuk menjamin pertumbuhan somatik dan
pengaruh-pengaruh isapan bayi bersifat nonnutritive harus dipertimbangkan dalam usaha
pendekatan diagnosis dan terapi penderita dengan gangguan menelan. Selain itu kebanyakan
penderita anak dengan gangguan menelan mempunyai kemampuan kognitif yang kurang dan
memerlukan terapi oleh beberapa spesialis (interdisciplinary team), terutama anak dengan
penyakit sistem saraf pusat yang tatalaksananya sangat rumit. 1,2
Definisi
Disfagia secara alami didefinisikan berdasarkan sifatnya yaitu kesulitan sewaktu
menelan. Sedangkan odinofagia adalah rasa nyeri yang dirasakan sewaktu menelan. Fungsi
gerakan motorik mulut (motor-oral function) ialah semua aspek yang mencakup fungsi motorik
dan sensorik dari struktur rongga mulut dan faring yang berhubungan dengan proses menelan
sampai makanan masuk ke dalam esofagus.
Deglutisi (deglutition) adalah kegiatan menelan dan merupakan salah satu proses dalam
arti konteks yang luas dari makan. Namun deglutition dalam literatur lebih banyak disebut
dengan proses menelan (swallowing) yang didefinisikan sebagai aksi semiotomatik gerakan otot-
otot saluran pernafasan dan saluran pencernaan mendorong makanan dari rongga mulut ke
dalam lambung.6,10
Kejadian
Data epidemiologis mengenai berapa kejadian disfagia yang akurat pada bayi dan anak
belum ada, karena disfagia bukan masalah yang berdiri sendiri, namun merupakan keluhan dari
berbagai keadaan. Keadaan ini lebih sering terjadi pada bayi-bayi dan anak dengan gangguan
yang multikompleks. Faktor predisposisi terjadinya disfagia adalah gangguan sistem saraf pusat
atau perifer, penyakit otot, kelainan struktur rongga mulut dan faring.
Kelompok lain yang berisiko terjadinya disfagia adalah kelompok yang mengalami
disfungsi perkembangan menelan termasuk komplikasinya yaitu bayi prematur yang koordinasi
pernafasan dan menelannya belum baik, bayi-bayi yang mengalami kehilangan kemampuan
makan peroral yang telah berlangsung lama, serta bayi-bayi dengan penyakit paru kronis. 3,5
Etiologi
Oleh karena disfagia merupakan keluhan (symptom) maka etiologinya dibagi
berdasarkan gangguan-gangguan yang mendasari terjadinya disfagia pada bayi dan anak seperti
terlihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan anak
I. Prematuritas
V. Defek neurologis
A. Penyakit-penyakit susunan saraf pusat
1. Trauma kepala
2. Kerusakan otak oleh karena hipoksia
3. Atrofi korteks, mikrosefali, anensefali
4. Infeksi: meningitis, abses otak
5. Mielomeningokel
6. Palsi serebral
7. Botulisme
8. Infeksi
9. Rabies
B. Penyakit sistem saraf perifer
1. Trauma
2. Kongenital
C. Penyakit neuromuskular
1. Distrofi muskular miotonik
2. Miestania gravis
3. Sindrom Guillain-Barre
4. Poliomielitis (paralysis bulbaris)
5. Hipotiroid
6. Sindrom floppy infant
D. Lain-lain
1. Akalasia
2. Akalasia krikofaringeal
3. Spasme esofageal
4. Esofagitis
5. Disautonomia
6. Paralisis esofagus (atoni)
7. Fistel trakeo-esofagus / atresia esofagus
8. Timus servikal yang menyimpang
9. Disfagia konversi
10. Stenosis pilorus hipertrofi
11. Kelainan jantung bawaan
Sumber :Orenstein3
Patogenesis
Untuk dapat menjelaskan patogenesis disfagia perlu pemahaman anatomi dan fisiologi
menelan secara normal. Proses menelan selain berperan sebagai transport makanan juga
berperan memindahkan sekret-sekret dan partikel-partikel dari saluran napas atas mencegah
masuknya bahan-bahan asing tersebut ke dalam saluran napas bawah. Proses menelan
melibatkan banyak struktur yang fungsinya saling berinteraksi melalui jalan yang sangat rumit.
Saluran aerodigestif atas (upper aerodigestive tract) terdiri dari rongga mulut, faring, laring,
trakea dan esofagus (Gambar 1a dan 1b). Saluran aerodigestif bawah (lower aerodigestive tract)
terdiri dari paru-paru dan saluran pencernaan bagian bawah (the lower digestive tract) yang
dibentuk oleh lambung, usus kecil dan usus besar. Terdapat perbedaan yang bermakna antara
anatomi saluran aerodigestif bayi dan dewasa. Rongga mulut bayi waktu istirahat menempatkan
lidah lebih kedepan dibanding dewasa. Berbeda dari dewasa, bayi mempunyai bantalan
pengisap yang terdiri dari jaringan lemak yang padat, rapi dalam muskulus maseter. Bantalan
ini berperan menstabilkan pipi dan akan menghilang saat berumur 4-6 bulan. Selanjutnya besar
rongga mulut bayi berkurang karena mandibula relatif lebih kecil dan menyebabkan lidah
kelihatan lebih besar dalam rongga mulut. Dekatnya hubungan lidah, palatum mole dan faring
dengan laring menyebabkan leher bayi lebih tinggi daripada dewasa yang memudahkan bayi
bernafas melalui hidung. Hal ini berkaitan dengan masa umur 3-4 bulan pertama kehidupan
bayi, yaitu ketika bayi masih lebih banyak bernafas melalui mulut maupun hidung. Di dalam
rongga mulut terdapat sulkus lateral, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau
maksila dengan pipi; dan sulkus anterior, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau
maksila dengan otot-otot bibir. Ruang-ruang ini penting artinya pada penderita dengan masalah
motorik mulut dengan terbentuknya kantong-kantong yang berisi makanan atau cairan akibat
menyangkutnya makanan atau cairan di dalam ruang tersebut.
Pada bayi baru lahir faring membentuk suatu lengkungan yang mulus dari nasofaring
menurun ke hipofaring. Dalam perkembangan selanjutnya sampai dewasa, lengkung ini
berubah membentuk sudut diantara nasofaring dengan orofaring mendekati 90 o. Beberapa
struktur yang terdapat di dalam rongga mulut, faring, nasofaring, orofaring, hipofaring
berperan penting dalam proses kegiatan makan minum. Laring yang terdiri dari struktur yang
kompleks mempunyai tiga fungsi utama selain berperan melindungi jalan nafas waktu kegiatan
makan minum, juga berperan untuk pernafasan dan pembentukan suara (phonatory).6,7
Gambar 1a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif atas struktur rongga mulut dan faring dapat dlihat
begitu juga pintu masuk laring, trakea dan esofagus
Gambar 1b. Dari gambaran samping saluran aerodigestif atas menunjukan batas anatomi nasofaring,orofaring
dan hipofaring
1. Frekuensi menelan.
Perkiraan frekuensi proses menelan pada anak berkisar 600-1000 kali/hari, pada orang
dewasa dapat mencapai sampai 2400 kali/hari. Frekuensi tertingi terjadi sewaktu kegiatan
makan dan frekuensi paling kecil adalah selama tidur. Disamping untuk makan, tujuan
menelan juga untuk memindahkan air liur dan sekret-sekret mukosa dari rongga mulut,
hidung, dan faring. Menurunnya frekuensi menelan, mengakibatkan air liur menetes ke
dagu (drooling).
2. Fisiologi menelan
Fisiologi proses menelan dibagi dalam 4 fase yaitu :
a. Fase persiapan oral
b. Fase oral
c. Fase faringeal
d. Fase esofageal
Dua fase pertama seluruhnya disadari. Fase faringeal disadari dan tidak disadari. Sedangkan
fase esofageal seluruhnya tidak disadari. Urutan-urutan gerakan-gerakan menelan dapat dilihat
pada gambar 2.
Fase ini terjadi disadari, lamanya bervariasi tergantung dari tekstur makanan. Pada fase ini
terjadi manipulasi makanan di dalam mulut membentuk bolus agar dapat dengan mudah
ditelan dengan aman. Pada bayi yang masih mengisap cairan, fase ini diselesaikan dalam
waktu yang singkat. Pada anak, makanan telah mulai diberikan dengan pengentalan atau
tekstur makanan yang digumpalkan sehingga fase persiapan ini diselesaikan selama
beberapa detik, karena lebih banyak waktu yang digunakan untuk mengunyah. Biasanya
cairan berada di dalam rongga mulut tidak lebih dari 2-3 detik. Bibir harus segera ditutup
setelah bahan makanan dan minuman dimasukkan ke dalam mulut agar tidak menetes ke
dagu. Beberapa anak mungkin memindah-mindahkan makanan di sekitar mulutnya terlebih
dulu sebelum mereka membentuk bolus yang sudah bersatu padu. Kemudian bolus ini
dipertahankan di antara lidah dan palatum durum sebelum mulai menelan. Selama fase ini,
palatum mole dalam posisi merendah guna membantu mencegah bolus atau cairan masuk
ke dalam faring sebelum fase menelan dimulai. Merendahnya palatum mole ini terjadi
secara aktif oleh kontraksi otot palatoglosus. Laring dan faring pada fase ini dalam keadaan
istirahat, jalan udara tetap terbuka dan pernafasan hidung terus berlangsung sampai
menelan dimulai.
Fase oral
Fase oral terjadi disadari dengan mulainya mendorong bolus makanan ke posterior dengan
lidah dan berakhir dengan terjadinya penelanan. Pada fase ini bagian-bagian fisik bolus
diubah oleh aktivitas di dalam rongga mulut termasuk besar, bentuk, volume, pH,
temperatur dan konsistensi. Pada awal proses menelan bolus terjadi dengan kontrol
kesadaran dan pada akhir proses menelan terjadi secara tidak disadari. Makanan/ cairan
minuman yang berada di dalam rongga mulut secara disadari menunjukkan adanya perintah
untuk mulainya menelan. Berbeda dengan menelan air liur, proses terjadi secara otomatis
pada awal menelan. Aksi memanipulasi bolus atau cairan makanan yang terjadi secara
disadari, termasuk meningginya lidah diikuti oleh gerakan langsung ke posterior adalah
akibat dari gerakan peristaltik. Hal ini menyebabkan terjadi kontak bolus secara berurutan
mulai dari palatum durum, palatum mole yang mendorong bolus masuk ke dalam faring.
Peninggian palatum mole yang berhadapan dengan dinding posterior faring menyebabkan
bolus masuk ke dalam faring. Bersamaan dengan waktu bolus meninggalkan mulut,
nasofaring dalam keadaan tertutup guna mencegah refluks nasofaringeal. Waktu normal
yang diperlukan menelan fase oral ini berlangsung kurang dari 1 detik.
Fase faringeal
Fase faringeal dimulai dengan terbentuknya keadaan menelan, dengan meningginya
palatum mole untuk menutup nasofaring. Fase faringeal terdiri dari kontraksi peristaltik
otot konstriktor faringeal guna mendorong bolus melalui faring yang terjadi secara refleks
melibatkan gerakan-gerakan unik yang merupakan suatu urutan proses yang terkoordinasi.
Umumnya fase faringeal berlangsung selama hampir 1 detik. Selama menelan, epiglotis
berpindah ke bawah, akibat kontraksi sfingter otot intrinsik laring termasuk aritenoid dan
epiglotis sehingga menutup selaput suara. Bersamaan dengan itu laring meninggi dan
tertarik ke depan menjauh dari jalannya bolus. Tujuan menelan pada fase faringeal adalah
untuk transport bolus secara sempurna melalui faring, krikofaring dan sfingter esofagus
atas.
Fase esofageal
Fase esofageal terdiri dari gelombang peristaltik yang otomatis membawa bolus ke dalam
lambung dan mencegah terjadinya risiko refluks esofageal, yaitu masuknya kembali bahan
makanan/minuman dari esofagus kembali ke dalam faring. Refluks gastroesofageal juga
dicegah oleh kontraksi tonik dari muskulus krikofaringeus. Kadang-kadang masih terjadi
refluks dalam jumlah kecil, namun dipandang normal pada bayi-bayi. Gelombang
gelombang peristaltik berperan mendorong bolus melalui esofagus dan gastroesophageal
junction.
Keempat fase menelan ini berlangsung secara terkoordinasi dan berurutan satu sama lain
sehingga proses menelan berlangsung efektif dan aman tanpa terjadi komplikasi aspirasi.
Persarafan yang terlibat dalam koordinasi proses menelan ini dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 2. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan yang
normal.A. Fase oral.B. Fase awal faringeal.C. Bolus bergerak melewati faring. D.Bolus
memasuki esofagus E. Bolus didalam esofagus.
Afferen primer
Saraf kranial V,VII,IX,X,XII Efferen primer Saraf kranial V,VII,IX,X,XII Formasi retikuler
Fasikulus solitarius Pola sentral generator
Nukleus motor
Saraf kranial
Traktus nukleus soliterius Dan ventral
V,VII,IX,X,XII
medial
Medulla Pons dan medulla
Gambar 3.Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan sinyal afferen antara
lain saraf kranial,kortikal dan jalur subkortikal menuju Nukleus Traktus Solitarius(NTS) dan
Ventral Medial Retikular Formation(VMRF)(sist. generator sentral). Sinap saraf efferen
dengan Inti motor primer saraf pusat V,VII,IX,X dan XII.
Setiap gangguan yang menyebabkan tidak terkoordinasinya fase-fase menelan ini dengan
baik akan menyebabkan gangguan proses menelan atau disfagia. 6,7 Patogenesis dan
patomekanisme gangguan itu dapat disebabkan oleh:
1. Kelainan anatomi saluran pencernaan dan saluran pernafasan atas (upper aerodigestive)
yang berhubungan dengan proses menelan baik yang dibawa sejak lahir maupun yang
didapat seperti agenesis, stenosis, defek anatomis, tekanan mekanik oleh masa tumor,
striktur karena trauma fisik maupun bahan kimia.
2. Gangguan neuromuskular baik sentral maupun perifer dari saluran pencernaan dan
saluran pernafasan atas yang berhubungan dengan proses menelan baik yang bawaan
maupun didapat seperti kelemahan otot-otot rongga mulut dan lidah (oral-motor function)
yang mencakup bibir, pipi, lidah, palatum, faring dan laring, esofagus, dan gangguan
motilitas esofagus, lambung dan duodenum (kelemahan kontraksi peristaltik).
3. Faktor psikologis misalnya hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis.
Gejala Klinis
Gejala klinis disfagia dapat dilihat dengan melakukan pengamatan langsung pada bayi
dan anak yang sedang makan minum. Gejala klinis sangat bervariasi tergantung dari etiologi
yang mendasari timbulnya gejala disfagia. Selain gejala disfagia secara klinis, gejala penyakit
dasarnya dapat ditemukan. Pada pengamatan langsung bayi dan anak waktu makan dapat
dilihat gejala kesulitan menelan, disertai gejala lain seperti kesulitan makan, kesukaran
mengunyah, kesukaran mengisap, kesulitan menyusu, serta menolak makan dan minum.
Mungkin disertai liur yang menetes secara berlebihan atau makanan yang tumpah dari mulut,
adanya hambatan/sumbatan, batuk disertai tercekik, tedengar suara degukan, muntah sewaktu
makan atau disertai rewel setiap makan. Kadang-kadang mungkin ditemukan gejala-gejala
perilaku yang tidak normal waktu makan misalnya dengan mendorong lidah atau rahang,
makan hanya mau terhadap makanan tertentu saja, diikuti gejala komplikasi seperti berat
badan tidak bertambah sesuai umur (malnutrisisi ringan sampai berat) dan gejala infeksi
saluran pernafasan yang berulang atau kronis karena aspirasi. Dengan mengamati gejala klinis
yang ada dapat pula diperkirakan lokasi terjadinya gangguan misalnya menelan fase oral atau
fase faringeal. Bila penyakit dasarnya karena refluks gastroesofagus tampak bayi muntah tiap
habis minum, sedangkan pada anak mungkin memerlukan posisi tertentu waktu makan atau
menunjukkan gejala kegelisahan waktu makan.3,4,7
Diagnosis
1. Aloanamnesis
Pendekatan diagnosis anak dengan disfagia harus dimulai dengan menanyakan riwayat
makannya. Namun untuk mendapatkan riwayat makan yang akurat mungkin mendapat
kesulitan karena berbagai alasan. Pertama anak dengan gangguan menelan yang berat
sering disertai keterbatasan kemampuan kognitif, yang menyebabkan komunikasi langsung
dengan penderita tidak memungkinkan. Karena itu riwayat makan harus didapat langsung
dari orang yang terlibat dalam pengasuhan anak seperti orang tua atau pengasuh. Kedua,
berdasarkan pengalaman, anak dengan gangguan menelan sering menderita aspirasi tanpa
menimbulkan batuk, suatu fenomena yang dikenal dengan silent aspiration. Konsekuensinya
sukar memprediksi dengan akurat apakah bahan makanan ditelan semuanya tanpa adanya
aspirasi, semata-mata hanya berdasarkan riwayat makannya atau dengan pemeriksaan
klinis saja.
Riwayat makan anak harus mencakup secara keseluruhan termasuk metode makan yaitu
makan menggunakan alat-alat tertentu, bagaimana posisi kepala, leher dan badan selama
makan, volume dari makanan yang ditawarkan, volume dari makanan yang ditolerir/yang
ditelan, serta konsistensi dari makanan yang ditawarkan dan yang ditolerir. Perlu digali ada
tidaknya proses mengunyah, waktu yang digunakan untuk makan, ada tidaknya riwayat
selain disfagia disertai odinofagia, ada tidaknya air liur menetes secara berlebihan (yang
diduga adanya gangguan menelan fase oral), riwayat adanya hambatan/sumbatan, tercekik
dan ada tidaknya suara degukan atau batuk yang berhubungan dengan makan. Apakah
keluhan-keluhan ini terjadi sebelum, selama atau setelah menelan, dapat membantu
menentukan fase dan lokasi yang dikenai. Keluhan-keluhan yang terjadi sebelum menelan
diduga kelainan kontrol oral, namun bila terjadi selama/sewaktu menelan menunjukkan
disfungsi fase faringeal. Tersumbat/terhambat dan tercekik setelah menelan dengan lengkap
mungkin terdapat gangguan pembersihan faring akibat kelemahan otot-otot menelan
dan/atau tidak adanya koordinasi otot-otot atau gangguan dari sfingter esofagus atas. Makan
yang berlangsung lebih dari 30 menit harus disadari oleh para klinisi kemungkinan adanya
disfagia. Adanya kelemahan mengisap, hilangnya kemampuan makan peroral, kurangnya
mengunyah atau makanan disimpan di pipi (pocketing food) mungkin terdapat kelainan pada
tingkat oral. Kelainan pada fase faringeal sering menimbulkan gejala hambatan (gagging),
batuk, tercekik dan distres pernafasan sewaktu makan. Makan disertai muntah atau dengan
melengkungkan badan, tercekik dan lekas marah (irritable) sering terjadi karena kelainan
fase esofageal seperti refluks esofagus. Di samping riwayat makan minum, perlu ditanyakan
pula penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya trauma kepala, kelainan bawaan
yang telah dikoreksi dengan operasi dan lain sebagainya.
Selain riwayat makan, yang sangat perlu ditanyakan adalah evaluasi nutrisinya secara
menyeluruh dari anak yang menderita gangguan menelan, karena tujuan akhir secara klinis
selain menegakkan diagnosis juga menentukan status nutrisi penderita sekarang. Tentukan
kalori dan protein yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal, dan perencanaan mendapatkan rute atau cara pemberian makan sementara.
Konsultasi dengan dokter ahli gizi anak akan membantu perencanaan program nutrisinya
secara konperehensif.3,4
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak dengan disfagia harus mencakup secara keseluruhan
sebagaimana pemeriksaan yang dilakukan secara rutin pada setiap bayi dan anak sakit.
Selain itu pemeriksaan harus mencakup struktur-struktur rongga mulut dan faring. Bila
didapat struktur yang abnormal dan/atau diduga ada kelainan di dalam faring, maka perlu
dilakukan konsultasi ke spesialis THT. Perlu dicatat ada tidaknya refleks
sumbatan/hambatan. Perlu diperhatikan apakah ada kelainan anatomi atau kelainan
struktur rongga mulut, misalnya akibat tekanan mekanik oleh tumor, serta adanya kelainan
struktur organ-organ yang mempengaruhi proses menelan. Perlu diperiksa adanya kelainan
karena trauma fisik maupun trauma bahan kimia (caustic agent) atau tanda-tanda infeksi
yang menyebabkan gangguan menelan. Lakukan pemeriksaan status gizi, dan perhatikan
ada tidaknya komplikasi seperti malnutrisi atau gejala penyakit paru kronis. 3,4
3. Pemeriksaan percobaan makan
Hasil diagnostik uji coba makan sangat besar artinya dalam menilai gangguan yang terjadi
dan untuk perencanaan tatalaksana selanjutnya. Pengamatan uji coba makan harus bekerja
sama dengan spesialis terapi makan, spesialis terapi bicara dan berbahasa (speech-language
pathologist) atau dengan occupational therapist. Melalui pengamatan selama uji coba makan
dapat diketahui ada tidaknya kemampuan fungsi motor-oral yang sesuai dengan umur.
Kemampuan makan/minum peroral ini harus ditinjau secara rinci oleh masing masing
spesialis dari tim pelaksana terapi. Selama uji coba makan/minum peroral perlu dipantau
dan dicatat kemungkinan adanya gerakan-gerakan abnormal, seperti memasukkan atau
mendorong rahang, mendorong lidah, ada tidaknya refleks tonik menggigit atau refleks
cengkeraman rahang. Adanya refleks yang seharusnya sudah menghilang sesuai umur,
seperti phasic bite reflex dan suckle feeding reflex yang merupakan refleks primitif, dapat
membantu perkiraan kelainan yang mendasarinya. Dengan memperhatikan gerakan gerakan
rahang, gerakan mengunyah dan kemampuan gerakan-gerakan lidah, dapat dinilai derajat
berat ringannya gangguan dan perkiraan komplikasi yang mungkin terjadi akibat disfagia.
Pada bayi, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama adanya keluhan disfagia waktu mengisap
puting susu ibu/dot susu botol. Tampak bayi menyusu tidak tahan lama, dan puting sangat
mudah dipindah-pindah atau dikeluarkan dari mulutnya. Sedikitnya jumlah gelembung
udara yang timbul di dalam botol susu selama minum susu botol atau bertambahnya
kehilangan cairan disekitar dot dan mulut, menggambarkan kelemahan mengisap.
Peningkatan jumlah menelan bolus pada berbagai macam tekstur makanan disertai suara
degukan setelah menelan menunjukkan adanya dugaan gangguan motilitas faring. Batuk
yang berlebihan selama minum, tercekik, nafas yang cepat, atau adanya hambatan mungkin
disebabkan disfagia daerah orofaring. Posisi kepala, leher dan badan selama makan/minum
peroral harus dicatat.3,4
4. Pemeriksaan videofluoroskopi
Pemeriksaan videofluoroskopi merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengevaluasi bayi
dan anak dengan gangguan menelan. Pemeriksaan ini memberikan arti yang terbaik dalam
menentukan anatomi mulut, faring dan esofagus serta dapat memberikan bukti yang sangat
objektif ada tidaknya koordinasi yang baik dari fase-fase menelan oral, faringeal, maupun
esofageal. Melalui pemeriksaan ini dapat dideteksi episode-episode terjadinya aspirasi serta
membantu identifikasi ada tidaknya kontraindikasi pemberian makan/minum peroral.
Pemeriksaan videofluoroskopi selain bernilai untuk diagnostik juga berperan dalam
merekomendasikan terapi karena dapat menentukan karakteristik bolus makanan yang
aman untuk ditelan (besar bolus dan konsistensinya). Selain itu melalui pemeriksaan
videofluoroskopi dapat diputuskan perlu tidaknya tindakan medis maupun tindakan bedah
dalam tatalaksana penderita.
videofluoroskopi menelan
Kategori Keluhan-keluhan/gejala
Sewaktu makan Batuk, sumbatan, air ludah menetes berlebihan, hambatan yang
berlebihan, suara degukan yang keras, iritabel.
Keadaan paru Sering atau menderita pnemoni berulang, infeksi saluran pernafasan
atas berulang, penyakit paru kronis, infiltrat pada pemeriksaan foto
toraks.
Kesehatan Sering atau panas yang subfebril berulang, berat badan yang tidak
umum dan
saluran cerna naik. Berat badan yang semakin turun, sering mual, refluks.
Sumber: Orenstein3
Terapi
Terapi gangguan menelan pada bayi dan anak memerlukan perencanaan yang tersendiri,
melihat kasus perkasus, karena dasar kelainan yang menyebabkan disfagia pada anak berbeda
beda. Perencanaan terapi tergantung dari kelainan yang mendasari timbulnya disfagia, apakah
karena kelainan anatomis, perkembangan fungsi motorik dan koordinasi fase-fase menelan
yang belum baik, atau gangguan fungsi neuromuskular, dan harus jelas pula jenis defisit
neurologis yang terjadi. Sebelum merencanakan terapi harus dilakukan terlebih dulu evaluasi
secara menyeluruh penyakit yang mendasari timbulnya disfagia termasuk kronologi
perkembangan mental, status fisiologis, status psikologis dan perilaku anak. Kesemuanya itu
akan mempengaruhi program terapi, yang selanjutnya akan mempengaruhi pula tumbuh
kembang fisik maupun mental anak di kemudian hari. Karena itu, dalam perencanaan terapi
pada bayi dan anak dengan disfagia, perlu melibatkan berbagai spesialis ilmu secara tim
(interdisciplinary team), karena tujuan terapi bukan hanya terfokus untuk program tercapainya
makan/minum yang aman secara oral saja, namun juga mencakup kemampuan berbicara dan
berkomunikasi.
Harus diingat bahwa anak yang menderita disfagia sering disertai gangguan kognitif
(gangguan kemampuan berbicara, berkomunikasi dan gangguan perkembangan emosional)
yang memerlukan penatalaksanaan secara adekuat. Berbeda dengan terapi makan/minum,
tujuan utama terapi gangguan kognitif adalah melatih fungsi motorik mulut (oral motor
treatment) untuk mengembangkan koordinasi gerakan-gerakan mulut, sistem pernafasan dan
fonetik agar dapat berkomunikasi dan mendukung berkembangnya emosional anak dan
sekaligus tercapainya kemampuan makan peroral. Keberhasilan terapi sangat tergantung dari
pengalaman masing-masing para spesialis, karena itu untuk memaksimalkan keberhasilan,
pencapaian terapi perlu melibatkan berbagai spesialis dalam satu tim yang biasanya terdiri dari
spesialis perkembangan anak atau spesialis neurologi anak, spesialis gizi anak, occupational
therapist, dan spesialis untuk perkembangan motorik dan sensorik mulut seperti spesialis
patologi berbicara dan berbahasa. Konsultan untuk masalah yang khusus termasuk ahli
gastroenterologi, ahli pulmonologi, ahli THT, ahli radiologi, dan psikolog juga diperlukan dalam
tim.
Prinsip utama terapi bayi dan anak yang menderita disfagia adalah melakukan
pelatihan-pelatihan terhadap fungsi sensorik dan motorik mulut sehingga tercapai kemampuan
makan peroral yang aman tanpa terjadi komplikasi, sekaligus melatih kemampuan kognitif
sehingga tercapai perkembangan komunikasi dan emosional yang normal. Biasanya terapi yang
dianjurkan adalah terapi yang berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan dengan aman
(yaitu transfer makanan dari rongga mulut masuk ke dalam esofagus tanpa masuk ke dalam
laring atau ke dalam trakea). Banyak teknik dilakukan untuk pelatihan makan peroral atau
stimulasi oral terutama untuk mengurangi rasa hipersensitivitas, stabilitas posisi tubuh dan
mengoptimalkan respon motorik dari mekanisme menelan peroral. Beberapa pilihan cara terapi
yang digunakan untuk anak dengan gangguan menelan dapat dilihat pada Tabel 3.3. 3,8
Tabel 3.3. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan fungsi menelan
12. Mengusahakan makan pengganti secara oral dengan cara enteral
1. Modifikasi bolus, modifikasi volume, modifikasi bagian-bagian- Sonde
bolus (misalnya
lambung (nasogastric feeding)
konsistensi bolus) - Tabung gastrostomi (tube gastrostomy / surgical or endoscopic
2. Pengaturan posisi kepala, leher, badan selama kegiatan makan
minum 3. Penempatan bolus yang sesuai di dalam rongga mulut
4. Mengontrol stabilisasi rahang.
5. Memodifikasi sensitivitas mulut Sumber: Arvedson1
6. Meniadakan kebiasaan-kebiasan perilaku makan yang abnormal
7. Sensitisasi/ stimulasi panas
8. Latihan-latihan menelan
- Resistensi lidah / gerakan-gerakan lidah 1. Pember ian makan melalui pipa (feeding tube)
- Adduksi laring
Untuk
9. Mengadakan gerakan-gerakan protektif seperti prosedur menelan supraglotik
(supraglottic swallow procedure) tercapainya
10. Miotomi krikofaringeal kemampuan minum peroral yang efektif dan
11. Mengisap makanan menggunakan valved feeding bottleaman pada bayi dan anak disfagia
diperlukan pelatihan-pelatihan khusus yang mencakup kemampuan fungsi sensorik dan
motorik mulut. Apabila kemampuan memperoleh kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi melalui
pelatihan minum/makan peroral, maka pemenuhan kebutuhan nutrisi sementara perlu
diberikan melalui jalur lain menggunakan pipa, baik pipa orogastrik (OG), nasogastrik (NG),
nasoduodenal (ND), nasojejunal (NJ) dan pipa gastrostomy (GT). Pilihan pemberian makan
melalui GT jarang dilakukan kecuali bila pemberian makan melalui OG dan NG memerlukan
waktu lama (beberapa minggu).
Pipa OG, adalah pipa yang dipasang melalui rongga mulut, faring, esofagus terus ke dalam
lambung. Biasanya pemberian minum melalui pipa ini dilakukan pada bayi prematur,
dengan keuntungan tidak menghalangi jalan nafas melalui hidung. Pipa harus diganti secara
teratur setiap 3-4 hari. Kerugian cara ini menyebabkan palatum mole tidak dapat menutup
secara aktif, mengakibatkan tidak cukupnya terbentuk tekanan di dalam rongga mulut yang
diperlukan untuk mengisap dan menelan dengan efisien. Komplikasi yang sering ditemukan
adalah muntah, refluks esofagus dan waktu pengosongan lambung yang lambat. Pemberian
minum melalui OG dan NG pada bayi selain mengganggu aktivitas mengisap dan menelan,
dapat menimbulkan iritasi yang tidak menyenangkan. Pemberian minum/makan melalui
ND, dilakukan dengan memasang pipa melalui hidung, faring, esofagus, lambung dan
duodenum atau terus melalui jejunum (NJ). Cara ini dilakukan bila terjadi refluks esofagus.
Pemasangan pipa ND dan NJ dilakukan dengan bantuan fluoroskopi.
Keuntungan pemberian makan minum melalui pipa OG, NG, ND atau NJ hanya bersifat
sementara dan pemasangannya tidak memerlukan tindakan bedah maupun anastesi.
Kerugian utama cara ini menyebabkan tidak adanya efek stimulasi sensorik maupun
motorik terhadap rongga mulut dan menyebabkan iritasi mukosa hidung dan faring bila
digunakan dalam jangka lama. Bayi juga akan merasakan gangguan yang tidak
mengenakkan karena insersi pipa pada kulit muka maupun disekitar mulutnya. Pemberian
makan minum melalui GT hanya dilakukan sebagai pengganti, bila pemberian makan
minum melalui OG, NG, ND maupun NJ memerlukan waktu lama lebih dari 3-6 bulan.
Keuntungan pemberian minum makan melalui GT adalah daerah yang mengalami
perlakuan terpisah jauh dari mulut sehingga bayi masih dapat berlatih menggunakan
sensasi dan motorik mulutnya secara menyenangkan. 3,8,9
Bibir Tarikan ke Memberikan getaran dengan ketokan jari pada pipi dan
dalam lidah, latihan mengontrol rahang.
Tarikan ke bawah.
dalam
Tidurkan dengan posisi telungkup, mengetok lidah dari
belakang ke arah depan, mendorong dagu ke posisinya
waktu berdiri tegak, tepukan di bawah dagu arah ke atas.
Sumber: Arvedson1
3. Stimulasi mengisap dengan menggunakan bahan nonnutritive Istilah nonnutritive sucking adalah semua
yang mencakup pengisapan atau mengisap berbagai obyek seperti dot, jari atau mainan. Hal
ini berbeda dengan nutritive sucking yaitu mengisap puting yang mengandung cairan (liquid),
baik puting susu ibu maupun bentuk puting yang lain. Gerakan-gerakan ritmik yang terjadi
pada mulut bayi saat melakukan nonnutritive sucking menunjukkan adanya kemampuan
(skill) kesiapan minum peroral. Kemampuan nonnutritive sucking ini dapat digunakan sebagai
salah satu cara stimulasi untuk melatih fungsi sensorik dan motorik mulut yang dapat
dilakukan dalam berbagai cara sesuai dengan jenis gangguan yang terjadi (Tabel 3.5). Para
orang tua maupun pengasuh dapat melaksanakan kegiatan stimulasi ini melalui pelatihan-
pelatihan yang telah diberikan oleh para spesialis.3,8
Dot atau jari Bayi daya isap lemah, tidak Dot atau jari ditempatkan
ada koordinasi, tidak ada dalam mulut dan pengasuh
keinginan mengisap, harus mempertahankannya
kurangnya tonus pipi. bila bayi mendorongnya
keluar.
Sumber: Arvedson1
5. Terapi farmakologis
Beberapa kelainan yang menyebabkan disfagia dapat diterapi dengan menggunakan obat
obatan (Pharmacologic treatment), misalnya disfagia yang disebabkan oleh penyakit tetanus,
polimiositis, hipertiroid, miastenia gravis dan lain-lain. Disfagia oleh karena gangguan
motilitas esofagus atau refluks esofagus dapat diberi obat-obat prokinetik seperti motilin,
cisapride, bethanecol, dan methoclopramide. Bila penyakit primernya infeksi maka diberikan
antibiotika yang sesuai.11,12
Prognosis
Prognosis tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya disfagia. Berat
ringannya penyakit serta kemampuan serta pengalaman tim pelaksana terapi sangat
menentukan keberhasilan terapi.
Pecegahan
Belum ditemukan cara untuk mencegah terjadinya keluhan disfagia. Usaha pencegahan
ditujukan terhadap penyakit primernya yang menyebabkan gangguan neurologis yang
selanjutnya menyebabkan pula gangguan fungsi makan dan minum.
Daftar Pustaka
1. Brodsky L, Arvedson J. Introduction: Rationale for Interdisiplinary Care. Dalam Arvedson and Brodsky,
penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whurr
Publishers. 1993: 1-4.
2. Rogers B, Campbell J. Pediatric and Neurodevelopmental Evaluation. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting.
Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher.
1993: 53-91.
3. Orenstein SR. Dysphagia and Vomiting. Dalam Wyllie R, Hyams JS. penyunting, Pediatric Gastrointestinal Disiase.
Pathophysiology, Diagnosis, Management, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 135-150. 4. Tuchman DN. Disorders
of Deglutition. Dalam Walker WA, Durie DR, Hamilton JR,Walker Smith JA. Watkins WA, penyunting. Pediatric
Gastrointestinal Disease. Patho Physiology-Diagnosis-Management, Toronto, BC Decker Inc. 1991: 359-366.
5. Rossi T. Pediatric Gastroenterology. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and
Feeding, Assesment and Management, SanDiego, California, Whur Publisher. 1993: 123-156. 6. Arvedson J, Rogers B,
Brodsky L. Anatomy, Embryology and Physiology. Dalam: Arvedson and Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing
and Feeding Assesment and Management, San Diego, California, Whurr Publisher. 1993: 5-51.
7. Brodsky L, Volk M. The Airway and Swallowing. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and
Swallowing and Feeding. Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 93-122. 8.
Arvedson J. Management of Swallowing Problem. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and
Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 327-387. 9.
Young C. Nutrition. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and
Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 157-208.
10. Dorsey III JT. Prokinetic Agents. Dalam Van Ness MM, Gurney MS, Jones DM, penyunting. Handbook of
Gastrointestinal Drug Therapy, 2nd Edit, London, Little Brown and Company. 1995: 319-327. 11. Patel AR, Snape WJ.
Prokinetic Agents and Antiemetics. Dalam Wolfe MM, penyunting. Gastrointestinal Pharmacotherapy, Tokyo, W.B.
Saunder Company. 1993: 1-24.
BAB IV
ANOREKSIA PADA ANAK
I. Sudigbia
Ilustrasi Kasus
Anak laki-laki berusia 2 tahun dibawa neneknya ke poliklinik karena tidak mau makan, lemah, kurus dan
tidak bergairah. Neneknya mengatakan bahwa ibunya bekerja terus seharian dan sering memarahi anak.
Ayah si anak merupakan direktur perusahaan yang jarang ketemu dengan anak. Ayah dan ibu anak ini sering
bertengkar.
Pendahuluan
Masalah kesehatan anak di negara berkembang termasuk Indonesia diantaranya terjadi
karena interaksi antara infeksi, diare dan gizi. Pada umumnya penyakit infeksi dan diare
merupakan penyakit anak yang selalu diikuti gangguan pertumbuhan, sehingga keduanya selalu
membuka peluang timbulnya malnutrisi. Penyakit infeksi pada umumnya menyebabkan
berkurangnya masukan nutrien baik karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan
(anoreksia), sedangkan keluaran bertambah karena timbulnya demam dan atau pemakaian tenaga
karena batuk dan atau/sesak nafas yang menyebabkan meningkatnya katabolisme, sehingga
menyebabkan penurunan berat badan. Sedangkan pada diare masukan berkurang karena: (1)
turunnya nafsu makan yang disebabkan oleh karena turunnya sekresi asam lambung, (2) mual
karena peristaltik usus yang berlebihan, dan (3) berkurangnya asupan makanan karena
turunnya jumlah air susu ibu serta persepsi ibu yang ketakutan untuk memberikan makanan
kepada anaknya yang masih dalam keadaan diare. Disamping itu jumlah keluaran pada penyakit
diare masih meningkat dengan timbulnya penghamburan gizi karena gangguan digesti dan
absorbsi.
Melihat tinjauan diatas, hal tersebut merupakan kejadian yang dilematis karena kedua
penyakit tersebut berdampak pada peningkatan katabolisme, tetapi masukan makanan malah
turun karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan. Turunnya nafsu makan pada kejadian
di atas merupakan masalah yang sangat kompleks karena sangat dipengaruhi oleh interaksi
antara kondisi penderita, makanan dan pengasuh yang memberikan makanan, lebih-lebih pada
bayi dan balita.1,2,3
Definisi
Untuk menegakkan definisi anoreksia pada dasarnya adalah sulit. Umumnya anoreksia
diartikan sebagai turunnya atau hilangnya nafsu makan serta tidak tertarik akan makanan untuk
menyantapnya. Istilah pseudoanoreksia sering dipergunakan pada manusia atau binatang sebagai
kesulitan makan karena tidak mampu untuk mengunyah dan/atau menelan daripada tidak tertarik untuk
menyantapnya. Sementara para ahli berpendapat bahwa anoreksia pada bayi adalah hilangnya
kemauan untuk makan, jumlah masukan makanan menjadi sangat kurang dan berada di bawah
kecukupan gizi, sehingga disertai dengan penurunan berat badan yang bermakna setidaknya-
setidaknya dalam waktu satu bulan. Sedangkan menurut Alice Lawrence (2003) gangguan
makan pada bayi dan anak sering diikuti gagal tumbuh sehingga anoreksia infantil merupakan
gangguan berisiko tinggi. Batasan anoreksia infantil yang diajukannya adalah:
1. Penurunan berat badan yang nyata setidaknya dalam waktu satu bulan 2. Tidak
disebabkan gangguan gastrointestinal, obat ataupun kekurangan makanan 3.
Timbulnya sebelum umur 6 tahun
Apatis atau nafsu makan merupakan komponen sentral dalam kebijakan tentang jumlah dan
waktu pemberian makanan bayi. Apatis adalah perasaan sedikit lapar (mild hunger) dalam
memilih macam makanan. Lapar sering dihubungkan dengan konsep fisiologis, apatis
dihubungkan dengan kultur, sedangkan anoreksia diartikan dengan kehilangan apatis.
Patomekanisme
Makanan mencerminkan interaksi biologis dan budaya yang berpengaruh positif pada
angka kesakitan dan kematian anak. Perubahan makanan cair ke makanan padat pada bayi
merupakan fase perkembangan bayi dalam perubahan kematangan sosial dan kultural, bayi
harus belajar mengunyah, menelan, dan mencerna berbagai makanan berdasar kultur
daerahnya. Sehingga gangguan pertumbuhan dan kekacauan kebiasaan makan sering
memberikan dampak yang serius. Lapar ádalah rasa keinginan (intrinsic desire) untuk makan,
apatis ádalah keinginan untuk makan sesuatu macam makanan tertentu, sedangkan kepuasan
(satiety) atau kenyang ádalah rasa penuh atau terpenuhinya keinginan makan. Apabila
beberapa jam tidak makan, lambung yang sedang dalam kondisi kosong akan mengalami
kontraksi ritmik dan keras yang terasa kencang serta sakit perut, disebut “suara lapar” atau
“kerongcongan” atau hunger pangs.3,4
Apatis sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran, anak akan mau
menerima makanan yang biasa diberikan kepadanya, tetapi kadang-kadang akan menolak bila
makanan yang diberikan tidak seperti biasanya, karena terjadi penggantian macam, bentuk,
tekstur atau cita rasa makanan secara mendadak. Kondisi perut yang penuh, misalnya dalam 12
jam terakhir berkali-kali makan akan menurunkan apatis. Kadar gula dan asam amino darah
serta suhu badan akan berpengaruh pada perasaan lapar, kepuasan dan apatis. Sedangkan
perasaan lapar yang berkepanjangan akan menimbulkan kondisi apatis terhadap apatis. 1,2,4
Nafsu makan pada umumnya dikontrol oleh pusat kepuasan yang terletak di hipotalamus
medius dan pusat lapar di hipotalamus laterales. Hipotalamus juga mengontrol pusat di
bawahnya, terletak di batang otak yang bertanggung jawab untuk salivasi, pengunyahan dan
penelanan. Sedangkan pusat di atas hipotalamus bertanggung jawab terhadap apatis.
Mekanisme untuk menentukan macam makanan dituntun oleh memori, penglihatan,
penciuman, pengecapan dan perabaan. Sementara itu para ahli juga berpendapat bahwa pusat
nafsu makan juga dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, humoral,
baik dalam jaringan otak maupun jaringan lainnya. Faktor neurologis nafsu makan dan
perasaan lapar juga timbul karena pengaruh faktor gaster, distensi usus, hormon enterik
(insulin dan kolesistokinin), metabolit di hepar (sisa oksidasi energi dari sejumlah jaringan
adiposa), pengalaman citarasa dan tekstur makanan. 2,4,5
Nakai (1999) mengutarakan bahwa anoreksia dengan penurunan berat badan yang
sering menyertai kejadian infeksi mempunyai mekanisme yang belum jelas. Beberapa sitokin
termasuk TNF, IL-1, IL-6, IL-8 dan IFN-∂ telah terbukti mempengaruhi timbulnya anoreksia
dan kakeksia. Sitokin yang dilepaskan sebagai rekasi terhadap kejadian infeksi/ inflamasi akan
berpengaruh secara langsung pada otak sehingga menimbulkan anoreksia. Beberapa hormon
mempengaruhi pengaturan nafsu makan, diantaranya adalah corticotropin releasing hormone,
kolesistokinin, prostaglandin, glukagon, insulin dan kortikosteroid. Leptin (produk gen) yang
terjadi pada proses penumpukan lemak pada jaringan akan memberikan sinyal pada otak
melalui neurotransmiter pada hipotalamus akan terjadinya kecukupan masukan kalori sebagai
rasa kepuasan.5
Diagnosis Diferensial
Karena luasnya keterkaitan kejadian anoreksia, maka banyak ahli membahas bukan
anoreksia saja tetapi melalui pendekatan gangguan makan pada anak. Di Amerika Serikat,
sebelum diterbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders 4th edit. (DSM IV) American
Psychiatric Association (1994), diagnosis gangguan makan pada anak belum pasti dan banyak
penulis menyebutkan berbagai macam diagnosis, diantaranya: food refusal, food aversion, food
phobia dan problem eaters dan lain-lain. Bagaimanapun juga istilah tersebut tidak mampu untuk
membedakan bermacam kelainan gangguan makan pada anak. Kelainan makan pada anak
makin bertambah berat dengan timbulnya istilah gagal tumbuh (failure to thrive = FTT) pada
anak berumur di bawah 3 tahun yang mengalami kenaikan berat
badan tidak adekuat. Gagal tumbuh dan gangguan makan pada anak sering dianggap sinonim
dan tidak selamanya kelainan makan pada anak menyebabkan FTT atau sebaliknya FTT karena
kelainan makan. FTT hanya merupakan diagnosis morfologis dan tidak mendeskripsikan
tentang proses terjadinya. Diagnosis gangguan makan pada anak menurut proses kejadiannya:
(1) organic FTT (FTT) dan (2) nonorganic FTT (NOFTT), dimana NOFTT adalah gagal tumbuh tanpa
etiologi medik dan diperkirakan bahwa NOFTT tersebut disebabkan oleh maternal deprivation
(kehilangan perhatian ibu).4,7
Blackman (1993) mengetengahkan mekanisme timbulnya gangguan makan pada bayi
dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor: (1) ketakutan, (2) anoreksia, (3) perkembangan,
(4) obstruksi, dan (5) kesakitan.4
Alice Lawrence (2003) membagi mekanisme gangguan makan berdasarkan penemuan
Chatoor (1984) sebagai gangguan makan pada bayi dan anak (toodler) yang mengalami
kenaikan berat badan tidak adekuat selama satu bulan serta bukan disebabkan kelainan organik
dan timbul sebelum umur 6 tahun. Pembagian tersebut adalah: (1) gangguan makan
homeostasis (feeding disoder of homeostasis), (2) gangguan makan karena kasih sayang (feeding
disorder of attachment) dan (3) gangguan makan karena perpisahan (feeding disorder of
separation) atau anoreksia infantil (infantil anorexia). Ketiga macam gangguan makan tersebut
dipilah dengan pendekatan tinjauan terhadap interaksi anak dan ibu.2,7
3. Anoreksia infantil
Anoreksia infantil sebagai gangguan makan karena pemisahan atau separasi yang ditandai
dengan penolakan makan oleh bayi karena konflik berat antara hubungan ibu dengan anak
tentang otonomi, ketergantungan dan pengawasan. Keadaan tersebut muncul setelah anak
mampu mengatur dirinya dan membentuk ikatan dengan pengasuh utamanya.
a. Timbulnya pada umur 6 bulan – 3 tahun, pada periode perubahan ke tahap kemampuan
untuk makan sendiri.
b. Penolakan makan oleh bayi, baik karena pergantian macam makanan atau pergantian
pengasuh.
c. Gagal tumbuh.
d. Perkembangan pada umumnya normal, kecuali pada kasus malnutrisi berat terjadi
keterlambatan motorik dan bicara.
e. Ibu merasa bahwa nafsu makan (apatis) anaknya rendah, rewel dan selalu minta
perhatian serta selalu menolak keinginan ibu. Sedangkan ibu selalu memaksa anaknya
untuk makan walaupun dengan disertai memberikan mainan. Penolakan makan tadi
tidak disebabkan oleh traumatik fisik ataupun kelainan organik, tetapi hubungan ibu
dan anak cenderung kurang lentur karena ibu selalu memaksakan kehendaknya yang
disertai marah dan kurang mengikuti keinginan anak. Nampaknya anak dengan
anoreksia infantil mengalami kesulitan dalam perkembangan pada tahap periode
perpisahan dan otonomi sehingga kemudian akan tumbuh dengan temperamen yang
mungkin menyulitkan.
4. Anoreksia nervosa8,9
Anoreksia nervosa adalah kelainan makan yang ditandai dengan keinginan obsesif untuk
tetap kurus, sama sekali tidak menghiraukan kebiasaan makan dan penurunan berat badan
dan mempunyai dampak yang kuat terhadap perubahan psikologis dan fisiologis. Anoreksia
nervosa adalah penyakit yang akan mempengaruhi seluruh sistem organ, terutama
kardiovaskular dan sistem endokrin. Anoreksia nervosa sering diikuti oleh komplikasi organ
diantaranya adalah pencernaan, ginjal, reproduksi, neurologis, orofasial. Pada umumnya
banyak diderita oleh gadis, sex ratio laki-laki : perempuan adalah 1:10, umur tidak terbatas
yang dimulai sejak dewasa (adolescent). Riwayat penyakit sangatlah penting untuk
keberhasilan rencana pengobatan dan bukan untuk menelaah kelainan makan saja. Aspek
aspek penting adalah assesemen medik, yang berfokus pada komplikasi kekurangan nutrisi
dan detail mengenai penurunan berat badan.
Gejala klinis :
Gejala kesehatan mental: Inti dalam penyusunan diagnosis kesehatan mental adalah
mencari adanya kelainan emosional dan sikap, penilaian resiko terjadinya bunuh diri, serta
menggali konteks psikososial dari gejala-gejala.
Penyebab anoreksia nervosa adalah kompleks, meliputi isu biologis, psikologis dan sosial
dan lebih ke arah kelainan mental daripada kelainan perkembangan. Sehingga dalam
menelaah penyebabnya dapat dikelompokan dalam faktor-faktor predisposing, precipitating
dan perpetuating.
a. Predisposing factor (faktor yang memudahkan timbulnya): gadis, risalah dari keluarga
dengan personalitas perspektif, gangguan komunikasi dengan emosi negatif, kesulitan
memecahkan masalah dan empati yang rendah.
b. Precipitating factor (faktor yang sering berhubungan): gadis berumur 10 – 18 tahun dengan
gangguan seksualitas, konflik identitas, masalah otonomi kebebasan dan masalah
perjodohan dan perkawinan..
c. Perpetuating factor (faktor rumatan): isu emosio-biologis pada fase pemberian makanan
pada keadaan malnutrisi atau isu psikologis pendekatan sistem dalam keluarga.
1. Kelainan organik
a. Penyakit infeksi:
i. Sistemik: tifus, proses spesifik
ii. Organik: hepatitis, enteritis, tukak lambung
b. Non-infeksi : karies, aphtoe, lingua geographica, vertigo
2. Kelainan metabolik: bilirubinemia, uremia, anemia dan rendahnya kadar besi serum
3. Keganasan: lokal maupun sistemik
4. Hubungan anak-ibu (maternal deprivasion)
a. Anoreksia homeostasis
b. Anoreksia karena kurangnya kasih saying (attachment)
c. Anoreksia infantil (infantile anoreksia)
5. Anoreksia nervosa
Ringkasan
Anoreksia pada umumnya diartikan sebagai berkurangnya nafsu makan (apatis), dan
nafsu makan tersebut sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran yang
dikontrol oleh pusat lapar di hipotalamus lateralis dan pusat kepuasan di hipotalamus medialis.
Pusat di hipotalamus tadi mengontrol pusat di atasnya yang bertanggung jawab terhadap pusat
salivasi, pengunyahan dan penelanan. Disamping itu nafsu makan juga dipengaruhi oleh
gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, dan hormonal, diantaranya adalah sitokin,
termasuk THF, IL-1, IL-6, IL-8 dan INF-∂. Nafsu makan yang berkurang atau anoreksia sangat
dipengaruhi oleh sifat manusia sebagai mahkluk biopsikososiokultural spiritual, sehingga untuk
menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya selayaknya melalui pendekatan tersebut.
Secara praktis telaah anoreksia dilakukan melalui pendekatan gangguan makan sebagai:
Ilustrasi kasus
Seorang anak perempuan berkonsultasi pertama kali pada usia 6 bulan. Sejak bayi menderita batuk hilang
timbul 2-3 kali sebulan, kadang-kadang nafas berbunyi, terutama di malam hari. Berat badan lahir 3300 g
(>persentil 50 standar NCHS), panjang badan 51 cm (>persentil 50). Berat badan sulit sekali naiknya. Saat
pemeriksaan awal berat badan hanya 4100 g (< persentil 3), panjang badan 66 cm (pada persentil 25),
lingkar kepala 43 cm (>persentil 25). Anak belum bisa tengkurap. Dari lahir diberi ASI, tetapi karena berat
badan tidak naik, dibantu susu botol sejak usia 3 bulan. Kadang-kadang anak mengalami gumo. Tidak ada
manifestasi atopik lain pada anak. Riwayat reaksi atopik pada ibu dan ayah juga negatif. Berdasarkan
observasi refluks sehabis minum, ditegakkan diagnosa klinis: anak menderita batuk berulang yang
dipresipitasi refluks gastro-esofageal. Dengan terapi obat prokinetik, pengaturan posisi dan nasihat
makanan, pada usia 12 bulan berat badan naik menjadi 8900 g (>persentil 10), panjang badan 74 cm
(>persentil 25), lingkar kepala 46 cm (pada persentil 25), dengan berat badan untuk tinggi > persentil 25)
dan anak telah kuat merangkak.
Pendahuluan
Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan
(dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor penentu
keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku dan bahan
bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan pemacu spektrum
dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat mengganggu dan merusak struktur dan
fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada kedua faktor penentu pertama
dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat atau menghambat proses
tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria tertentu, dinamakan anak
menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini lazimnya saling terkait. Misalnya
kecukupan gizi mempengaruhi prevalensi penyakit; tingkat rasa aman dan stabilitas emosi
mempengaruhi nafsu dan kapasitas makan; dan penyakit tertentu dapat mengubah pola
perilaku anak.
Dapat dimengerti bahwa penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan GT. Di lain pihak
setiap GT, apapun penyebabnya, dapat menimbulkan kelainan struktur dan fungsi saluran
pencernaan. Lebih dari itu rehabilitasi gizi lazimnya merupakan pintu masuk dalam
menanggulangi GT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh GT memiliki dimensi
gastroenterologi.1,2,3
Definisi
GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara
signifikan. Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait
dengan GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi "kerempeng") mengacu pada
keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi "kerdil") mengacu pada hasil akhir, (3)
catching up (diterjemahkan menjadi "kejar tumbuh") mengacu pada pencapaian upaya
rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi anak
dapat terlihat "kerempeng". Meski kecepatan tumbuh kembang dapat dipacu kembali menjadi
normal, jika "kejar tumbuh" tidak terjadi, anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang
potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya dan dalam keadaan ekstrim dapat
dikelompokkan sebagai "kerdil".
Batasan operasional GT adalah nilai indikator tumbuh kembang yang dipakai berada
dalam persentil ketiga atau menurun lebih dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan
pada anak usia kurang dari 6 bulan dan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas. 1,2,3
Kejadian
Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang dilakukan
tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3 tahun
dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (tabel 10.1).
Etiopia 1982 42
Zambia 1972 44
Nigeria 1980 28
Bolivia 1981 60
Peru 1985 52
Jamaika 1970 9
Bangladesh 1983 79
Indonesia 1977 79
Mesir 1978 37