Anda di halaman 1dari 160

98 Sensitivitas Gender dalam Partai Politik di Indonesia dan India

Daftar Isi i

Meddy Setiawan

SISTEM ENDOKRIN DAN


DIABETES MELLITUS

Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang


ii SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS


Hak Cipta  Dr. dr. Meddy Setiawan, SpPD., FINASIM, 2021
Hak Terbit pada UMMPress

Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang


Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang 65144
Telepon: 0812 1612 6067, (0341) 464318 Psw. 140
Fax. (0341) 460435
E-mail: ummpress@gmail.com
http://ummpress.umm.ac.id
Anggota APPTI (Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia)
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)

Cetakan Pertama, Juli 2021

ISBN 978-979-796-620-1
e-ISBN 978-979-796-621-8

x; 147 hlm.; 16 x 23 cm

Setting Layout : Septian R.


Design Cover : Andi Firmansah

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak


karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, terma-
suk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Pengutipan harap
menyebutkan sumbernya.
Daftar Isi iii

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
iv SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS
Daftar Isi v

PRAKATA

Assalamualaikum Wr. Wb.

P uji syukur dan Alhamdulilah kehadirat Allah SWT. yang telah


mencurahkan kasih dan sayang kepada hamba-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penulisan buku ‘Sistem Endokrin dan Diabetes
Mellitus’ ini.
Penulisan buku ini dimaksudkan sebagai buku referensi bagi dokter
umum, dokter muda atau mahasiswa keperawatan, kebidanan, farmasi
dan juga mahasiswa fisioterapi untuk mendapatkan gambaran tentang
penyakit-penyakit pada sistem endokrin tersering yang dijumpai
dilapangan.
Banyak sekali pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
penulisan buku ini. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada teman-teman Dekanat FK UMM dan
semua staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
malang
Jika ada kekurangan dalam penulisan buku ini kami mohon
masukan dan saran untuk meningkatkan kualitas penulisan pada edisi
berikutnya. Semoga buku ‘Sistem Endokrin dan Diabetes Mellitus’ ini
bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamualikum Wr. Wb.

Malang, 21 Mei 2021

Penulis

v
vi SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS
Daftar Isi vii

DAFTAR ISI

Prakata - v
Daftar Isi - vii

Bab
1 Prinsip Dasar Mekanisme Pengaturan Endokrin dan
Metabolisme - 1
A. Fungsi Sistem Endokrin - 1
B. Hormon-hormon - 2
C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin - 4
D. Penyakit pada Sistem Endokrin - 8

Bab 2 Pankreas - Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus


- 11
A. Peranan Pankreas dalam Pengaturan Metabolisme Glukosa
- 1
B. Tes Toleransi Karbohidrat - 12
C. Definisi Diabetes Melitus - 13
D. Klasifikasi Diabetes Melitus - 14
E. Patofisiologi Hormone dan Diabetes Mellitus - 15
F. Gambaran Klinis dari Diabetes Melitus - 20
G. Diagnosis Diabetes Melitus - 21
H. Terapi Diabetes Melitus - 23
I. Komplikasi Diabetes Melitus - 64
J. Paramater Kendali Diabetes Melitus - 69

vii
viii SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Bab 3 Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya


- 73
A. Komplikasi Kronis Diabetes Melitus - 73
B. Pengenalan Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus - 77
C. Nefropati Diabetik - 79
D. Retinopati Diabetik - 89
E. Neuropati Diabetik - 102

Bab 4 Hipoglikemi pada Pasien Diabetes Melitus - 111


A. Definisi - 111
B. Patogenesis - 112
C. Gejala Klinis - 113
D. Etiologi Hipoglikemi pada Diabetes Melitus - 116
E. Diagnosis Hipoglikemi - 118
F. Pengobatan Hipoglikemi - 118
G. Prognosis - 120

Bab 5 Ketoasidosis Diabetikum - 121


A. Patofisiologi - 121
B. Gambaran Klinis - 122
C. Diagnosis Ketoasidosis Diabetikum - 122
D. Perubahan Kadar Elektrolit - 123
E. Pengobatan Ketoasidosis Diabetikum - 123
F. Tindakan Umum - 124
G. Faktor Pencetus - 125

Bab 6 Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHONK) - 127


A. Patogenesis - 127
B. Gejala Klinis - 129
C. Gambaran Laboratorium - 130
D. Pengobatan KHONK - 130
E. Prognosis - 131
Daftar Isi ix

Daftar Pustaka - 133


Glosarium - 137
Indeks - 141
Tentang Penulis - 147
x SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)


Prinsip Dasar Mekanisme Pengaturan Endokrin dan Metabolisme 1

1
PRINSIP DASAR MEKANISME PENGATURAN
ENDOKRIN DAN METABOLISME

M ahluk hidup mengembangkan struktur dan fungsi yang sangat


kompleks, integrasi berbagai komponen sangat penting untuk
menjaga kehidupannya. Integrasi ini dikendalikan oleh 2 sistem utama
yaitu Susunan Saraf Pusat dan Sistem Endokrin. Secara embriologis,
anatomis dan fungsional, kedua sistem ini saling berhubungan. Sebagai
contoh, beberapa kelenjar endokrin yang asalnya dari neuroektodermal,
yang merupakan suatu lapisan embrional, yang juga asal dari susunan
saraf pusat. Juga terdapat hubungan anatomis antara susunan saraf
pusat dan sistem endokrin yang telah berkembang terutama melalui
hipotalamus. Kondisi ini menyebabkan stimulus yang mengganggu
susunan saraf pusat sering kali juga akan merubah aktivitas fungsi
sistem endokrin.
Aktivitas yang terintegrasi antara endokrin dan sistem saraf pusat
akan membantu memaksimalkan reaksi terhadap rangsangan pada
organisme.

A. Fungsi Sistem Endokrin


Sistem endokrin berperan dalam mempertahankan dan pengaturan
fungsi-fungsi yang sangat penting misalnya : reaksi terhadap cedera
dan stres, reproduksi, tumbuh dan kembang, homeostatik ionik dan
metabolisme.
Apabila terjadi setres atau gangguan, sitem endokrin terpacu
melalui reaksi yang berantai yang digunakan untuk mempertahankan
hidup. Mekanisme utama yang berperan pada proses ini adalah sumbu
(aksis) hipotalamus - hipofisis - adrenal.
Tanpa sistem endokrin akan terjadi gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, dan proses ini juga melibatkan sistem endokrin
dan susunan saraf pusat yaitu sumbu hipotalamus - hipofisis - gonad.

1
2 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Sistem endokrin berperan penting dalam mempertahankan


hemostasis ionik. Mahluk hidup berada dalam lingkungan eksterna yang
selalu berubah, namun didalam lingkungan interna sel-sel dan jaringan
hidup harus tetap konstan. Sistem endokrin mempunyai peranan dalam
mengatur lingkungan interna melalui keseimbangan kalium, natrium,
air dan asam basa. Hormon aldosteron dan antideuretik bertanggung
jawab atas fungsi ini. Endokrin juga berfungsi mengatur konsentrasi
kalium. Kalsium diperlukan tubuh untuk mengatur beberapa reaksi
biokimia di dalam sel dan untuk mengaktifan saraf dan fungsi sel otot
secara normal. Kelenjar paratiroid mempunyai fungsi untuk mengatur
keseimbangan kalsium.
Pada akhirnya sistem endokrin berperan sebagai regulator dalam
metabolisme energi. Peningkatan basal metabolisme terjadi karena
peran hormon tiroid dan energi tersedia bagi sel-sel melalui kerja
terintegrasi hormon-hormon gastrointestinal dan pankreas

B. Hormon-hormon
Sistem endokrin merupakan suatu sistem yang tersusun atas
beberapa kelenjar yang mensintesa dan mensekresikan suatu substansi
kimia yang disebut dengan hormon. Hormon yang disekresikan ini akan
menyebabkan perubahan biokimia dan fisioliogis yang memerantarai
berbagai macam pengaturan fungsi tubuh. Apabila hormon disekresikan
ke dalam sirkulasi darah, hormon-hormon ditranspor ke jaringan yang
dituju dimana hormon tersebut akan menimbulkan pengaruh pada
metabolisme tubuh.
Efek dari hormon meliputi pengaturan reaksi enzimatik dan
berlangsung terus menerus. Umumnya hormon disekresi dalam kadar
yang sangat kecil (konsentrasi 10-6 sampai 10-12 molar), tetapi komponen
darah lainnya (Natrium) terdapat dalam konsentrasi 10-1 molar.
Walaupun dalam konsentrasi rendah, hormon dapat memunculkan
efek biokimia dan metabolik yang jelas pada jaringan yang dituju.
Secara struktural, hormon merupakan protein atau steroid,
beberapa hormon adalah glikoprotein, suatu kombinasi gula dan
protein. Contoh hormon protein adalah tiroksin, patathormon, hormon
tropik dari kelenjar hipofisis (kecuali thyroid stimulating hormon
[TSH] dan gonadotropin), pitresin, insulin dan glukagon. TSH dan
Prinsip Dasar Mekanisme Pengaturan Endokrin dan Metabolisme 3

gonadotropin adalah contoh hormon glikoprotein. Hormon dari


korteks adrenal dan hormon yang dihasilkan gonad (pria dan wanita)
adalah contoh hormon steroid. Adanya struktur multisiklik dan inti
sikloperhidrofenantren merupakan ciri utama hormon steroid. Secara
biokimia steroid merupakan lipid.
Pada fase awal umumnya hormon disintesis dalam bentuk
praprohormon, prohormon atau prekursor dengan berat molekul yang
lebih besar. Insulin disintesis dalam bentuk proinsulin, yang merupakan
suatu peptida setelah melepaskan sebagian dari molekul peptida C
akan berubah menjadi struktur yang memiliki dua rantai.
Tidak semua hormon yang terdapat dalam darah dihasilkan oleh
kelenjar endokrin spesifik. Terdapat subtansi dengan mekanisme kerja
menyerupai hormon, akan tetapi di hasilkan oleh darah sendiri misalnya
angiotensin II. Angiotensin II merupakan hormon protein yang dapat
menstimuli korteks adrenal untuk mensekresi aldosteron.
Sebagian besar hormon disintesis oleh kelenjar endokrin, namun
ada organ tertentu yang tidak dapat dianggap sebagai kelenjar endokrin
tetapi sel-selnya dapat mensintesis hormon. Sebagian besar sel-sel
tersebut berasal dari krista neuralis yang dapat mengambil prekursor
amin dan kemudian didekarboksilasi dan disintesis menjadi hormon.
Sel-sel tersebut sebagai bagian dari sistem APUD (Amine Precursor
Uptake and Decarboxylation). Tumor yang berasal dari sel ini juga dapat
mensekresi hormon, karena berasal dari sel-sel yang tidak tergolong
dalam kelenjar endokrin yang lazim, maka hormon yang di hasilkan itu
disebut juga sebagai hormon ektopik.
Proses metabolik seluler secara langsung maupun tidak langsung
yang dipengaruhi hormon, pada fase awal berinteraksi dengan reseptor
sel yang spesifik. Ikatan hormon dengan reseptor akan menimbulkan
berbagai perubahan di dalam sel melalui mekanisme second messenger
atau melalui translokasi kompleks hormon-reseptor ke dalam inti untuk
menginduksi sintesis protein baru.
Aktivitas katekolamin dan hormon-hormon polipeptida melalui
mekanisme second messenger. Mekanisme kerja hormon-hormon steroid
dengan menembus membran sel dan sel secara langsung mempengaruhi
inti. Mekanisme kerja hormon-hormon polipeptida melalui interaksi
dengan reseptor membran sel. Interaksi ini akan mengaktifkan enzim
yang terikat pada membran sel yaitu adenilat siklase. Enzim adenilat
4 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

siklase akan teraktivasi sehingga adenosin tripospat (ATP) akan


diubah menjadi adenosin 3’,5’-monofosfat (siklik AMP). Adenosin
3’,5’-monofosfat berinteraksi dengan suatu unit regulator pada protein
kinase yang akan melepaskan suatu subunit katalitik dari enzim ini.
Lebih jauh proses ini akan menginisiasi proses fosforilasi dari enzim
tertentu dan juga aktivasi atau inaktivasi potensi biologik dari enzim-
enzim ini.
Setelah menembus membran sel dan berikatan dengan protein-
protein reseptor sitosol didalam sel, hormon-hormon steroid mulai
bekerja. Kompleks reseptor steroid ditranslokasi kedalam inti sel, dan
berikatan secara spesifik pada lokusnya dalam kromatin. Ikatan ini akan
mengaktivasi polimerase asam ribonukleat (RNA) dan mensintesis satu
atau beberapa messeger RNA yang spesifik. Produk-produk ini keluar
dari inti sel dan menuju ke ribosom, yang selanjutnya menginisiasi
sintesis protein. Dengan mengubah messenger RNA, hormon-hormon
steroid dapat mengubah proses sintesis protein.
Dapat disimpulkan, bahwa aktivitas hormon melibatkan interaksi
dari hormon dengan reseptor spesifik hormon tersebut yang berada
didalam sel target hormon. Spesifisitas dan fisiologi aktivitas hormon
sangat berhubungan erat dengan interaksi hormon dengan reseptor
spesifiknya.

C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin


Hipotalamus menghubungkan hipofisis dengan sistem saraf pusat.
Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat jelas antara sistem
saraf pusat dan sistem endokrin. Kedua sistem ini saling berhubungan
dengan baik melalui sistem saraf maupun vaskular.
Hipofisis terdiri dari lobus anterior, posterior dan intermedius.
Pembuluh darah yang berakhir sebagai kapiler pada kedua ujungnya
menghubungkan hipotalamus dan sel-sel kelenjar hipofisis anterior.
sehingga dikenal sebagai sistem portal. Sistem portal hipotalamus-
hipofisis adalah sistem yang menghubungkan kelenjar hipófisis
dan hipotalamus. Terjadinya pergerakan releasing hormone dari
hipotalamus ke kelenjar hipófisis dimungkinkan bisa terjadi karena
adanya sistema portal ini, sehingga hipotalamus dapat mengatur
fungsi hipofisis.
Prinsip Dasar Mekanisme Pengaturan Endokrin dan Metabolisme 5

Di dalam nuklei hipotalamus, neuron mensintesis dan mensekresi


protein dengan berat molekul rendah akibat aktivasi dan rangsangan
yang berasal dari otak. Neurohormon atau protein ini dikenal sebagai
releasing hormone. Releasing hormone disekresikan kedalam sistem
sirkulasi sistem portal hingga mencapai sel-sel yang ada didalam kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis akan mensekresikan hormon-hormon tropik
hipofisis sebagai respon terhadap releasing hormone. Kelenjar hipofisis
mensekresikan hormon-hormon kedalam sirkulasi dan mengakivasi
kelenjar-kelenjar lainnya sehingga akan melepasankan hormon-hormon
kelenjar sasaran.

Gambar Sistem Portal Hipotalamus-Hipofisis


Salah satu keunikan dari hormon adalah adanya sistem pengaturan
umpan balik. Pengaturan umpan balik berupa hambatan pelepasan
hormon tropik hipofisis yang bersesuaian oleh produk hormonal
dari kelenjar sasaran. Sistem pengaturan sekresi hormon seperti ini
dinamakan dengan pengaturan umpan balik negatif.
Pada sistem hipotalamus-hipofisis-adrenal, ACTH dilepaskan
dari hipofisis karena aktivasi corticotropin releasing hormone (CRH).
Sekresi kortisol dari korteks adrenal dirangsang oleh ACTH. Umpan
balik terhadap aksis hipotalamus-hipofisis diberikan oleh kortisol
6 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

sehingga produksi CRH-ACTH terhambat. Sistem selalu mengalami


perubahan menyesuaikan kebutuhan fisiologis tubuh terhadap
kortisol. Bila sistem banyak menghasilkan ACTH, maka sekresi kortisol
juga akan meningkat, sehingga kortisol akan menghambat produksi
ACTH. Sistem ini sangat sensitif terhadap pengaruh eksogen (misal
pemberian berlebihan kortisol atau glukokortikoid sintetik lain), secara
cepat akan menghambat aksis hipotalamus-hipofisis dan produksi
ACTH dihentikan. Pengaturan umpan balik negatif ini mempunyai
implikasi pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang
kortikosteroid. Pasien yang mendapatkan kortikosteroid jangka panjang,
terjadi hambatan pelepasan ACTH. Sehingga bila steroid dihentikan
mendadak maka pasien akan mengalami insufisiensi adrenal.

Gambar Pengaturan Umpan Balik Fungsi Korteks Adrenal


dan Pelepasan ACTH
Hubungan antara hormon hipofisis dan hormon-hormon kelenjar
sasaran dapat melalui sirkulasi sistemik (lintasan panjang) dan sistem
lintasan pendek. Sistem renin-angiotensin-aldosteron merupakan sistem
pengaturan produksi hormon yang tidak tergantung aksis hipotalamus-
hipofisis. Enzim renin diproduksi oleh sel-sel jukstaglomerular ginjal
Prinsip Dasar Mekanisme Pengaturan Endokrin dan Metabolisme 7

yang terletak pada dinding arteriole aferen glomerulus. Tekanan


perfusi dalam arteriol ginjal mempengaruhi produksi renin. Reseptor
yang berada dekat sel-sel JG menerima perubahan-perubahan tekanan
darah yang mengalir melalui arteriole aferen menuju ke glomerulus.
Perubahan ini mengakibatkan produksi renin berubah yang kemudian
mengaktifkan angiotensin II. Angiotensin II mengaktifkan korteks
adrenal untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron bekerja dengan
meningkatkan reabsorbsi natrium pada tubulus ginjal. Reabsorbsi
natrium menyebabkan peningkatan volume dan peningkatan tekanan
arteriole aferent, sehingga produksi renin terhenti. Perubahan tekanan
dan volume yang terjadi pada sel-sel JG mempengaruhi pelepasan
renin, angiotensin dan aldosteron.

Gambar Sistem Pengaturan Umpan Balik, Hormon Kelenjar Sasaran


Memberikan Umpan Balik ke Hipotalamus dan Diikuti Pelepasan
Hormon Tropik oleh Hipofisis
Contoh pengaturan umpan balik yang lainnya adalah substansi
metabolik yang diatur oleh hormon dan bekerja secara langsung
terhadap pelepasan hormon tersebut (misalnya insulin dan glukosa).
Kadar glukosa dalam darah dirubah oleh respon insulin. Insulin
8 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

disekresi bila terjadi peningkatan kadar glukosa, sebaliknya bila terjadi


penurunan kadar glukosa, maka dihentikan sekresi insulin. Secara
tidak langsung beberapa hormon hipofisis dapat mempengaruhi
pelepasan insulin, namun sampai saat ini belum ada penjelasan yang
bisa menjelaskan bahwa kelenjar hipofisis secara spesifik dan langsung
dapat mengendalikan sekresi insulin.
Kalsium dan PTH juga memiliki sistem pengaturan yang unik.
Sekresi PTH dirangsang oleh penurunan kadar kalsium, sebaliknya
kadar kalsium yang meningkat akan menghambat produksi PTH.
Aksis hipotalamus-hipofisis memiliki gambaran karakteristik
fisiologis yang lain yaitu adanya irama. Irama adalah gambaran secara
umum dari banyak produksi hormon, dimana irama ini berasal dari
struktur di otak. Salah satu contoh yang baik dari irama atau siklus
pelepasan hormon adalah ACTH. Pada pengukuran kadar ACTH dan
kortisol selama 24 jam pada tiap jamnya, tampak peningkatan kadar
dipagi hari, setelah itu menurun dan pada malam hari kadarnya
meningkat lagi untuk mencapai puncaknya pada pagi esoknya. Tipe
irama seperti ini dikenal dengan irama diurnal atau sirkadian.

D. Penyakit pada Sistem Endokrin


Hormon bekerja tidak secara langsung pada sel-sel atau jaringan,
hormon harus berikatan terlebih dahulu dengan reseptor spesifik yang
berada di membran sel atau didalam sitosol sel. Peristiwa metabolik
akan terjadi bila keseluruhan rangkaian reaksi setelah interaksi hormon
dan reseptor berjalan dengan sempurna. Tampak jelas bahwa untuk
mencapai aktivitas seluler yang baik, bukan hanya tergantung pada
konsentrasi hormon saja tetapi juga afinitas reseptor terhadap hormon.
Sehingga ada dua mekanisme utama untuk penyakit pada sistem
endokrin yaitu (1) Gangguan yang menyebabkan perubahan kadar
hormon, dan (2) Gangguan yang terjadi pada reseptor.
Penyakit pada sistem endokrin dapat dijelaskan melalui aktivitas
metabolik dari hormon-hormon yang terlibat. Penyakit sistem endokrin
dapat timbul akibat kekurangan atau kelebihan produksi hormon.
Pengetahuan dan pemahaman dari sekresi hormon yang berlebihan atau
sekresi yang kurang dan akibat yang ditimbulkannya, akan membantu
mengenali gambaran klinis yang terjadi akibat gangguan-gangguan
Prinsip Dasar Mekanisme Pengaturan Endokrin dan Metabolisme 9

tersebut. Sebagai contoh, adanya sekresi hormon tiroid (tiroksin) yang


berlebih akan menyebabkan naiknya metabolisme basal dan produksi
panas pada pasien tersebut. Penderita ini (hipertiroidisme) menunjukkan
basal metabolisme yang tinggi, intoleran terhadap panas dan penurunan
berat badan. Sebaiknya, tiroksin yang rendah akan menimbulkan efek
metabolisme yang berkebalikan (basal metabolisme yang rendah dan
peningkatan kepekaan terhadap suhu dingin). Gangguan utama pada
tingkat reseptor tampak pada pasien-pasien dengan hiperkolesterolemia
homozigos familial. Pada kelainan ini, terdapat kekurangan reseptor
lipoprotein densitas rendah (LDL), sehingga sel-sel di seluruh tubuh
tidak mampu mengambil kolesterol, yaitu suatu lemak yang dalam
keadaan normal bersirkulasi dalam plasma dan berkaitan dengan fraksi
lipoprotein LDL. Kelainan lain pada tingkat reseptor adalah penyakit
Grave, dimana akibat proses autoimun dibentuk antibodi terhadap
reseptor TSH, sehingga terjadi peningkatkan fungsi tiroid. Beberapa
bentuk Diabetes Melitus tipe II juga terjadi akibat dari berkurangnya
kepekaan jaringan perifer terhadap kerja insulin yang disebabkan
karena berkurangnya jumlah atau afinitas reseptor insulin.
10 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)


Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 11

2
PANKREAS-METABOLISME KARBOHIDRAT
DAN DIABETES MELITUS

A. Peran Pankreas dalam Pengaturan Metabolisme Glukosa

M onosakarida (gula sederhana), disakarida dan polisakarida


merupakan bentuk-bentuk dari karbohidrat. Karbohidrat yang
masuk ke pencernaan akan dicernakan menjadi monosakarida dan
mengalami absorpsi terutama di duodenum dan jejunum proksimal.
Kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu setelah
karbohidrat diabsorbsi dan kemudian kembali ke kadar semula
(baseline). Fisiologispengaturan kadar glukosa darah tergantung dari: (a)
Ekstraksi dari glukosa, (b) Sintesa dari glikogen, dan (c) Glikogenolisis
yang terjadi didalam hati. Jaringan otot perifer dan sel lemak (adiposa)
mempergunakan glukosa sebagai sumber energi. Jaringan-jaringan
tersebut ikut berperanan dalam regulasi dan mempertahankan kadar
glukosa darah, walaupun secara kuantitatif tidak seperti hepar.
Keseimbangan fisiologis beberapa hormon mempengaruhi jumlah
glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan
oleh jaringan-jaringan perifer. Hormon-hormon yang berperandalam
proses tersebut dapat diklasifikasikan sebagai (a) Hormon yang dapat
menurunkan kadar glukosa darah, (b) Hormon yang meningkatkan
glukosa darah. Hormon insulin merupakan hormon yang dapat
menurunkan glukosa darah. Insulin dihasilkan dari sel-sel beta
langerhans pankreas. Beberapa hormon tertentu dapat meningkatkan
kadar glukosa darah, yaitu (a) Glukagon yang dihasilkan oleh sel-sel alfa
pulau langerhans, (b) Epinefrin yang dihasilkan oleh medula adrenal
dan jaringan kromafin, (c) Glukokortikoid yang dihasilkan oleh korteks
adrenal, dan (d) Growth hormone yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis
anterior. Epinefrin, glukokortikoid, glukagon dan growth hormone,
membentuk suatu mekanisme counter-regulator yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya hipoglikemia karena penurunan kadar glukosa
darah akibat sekresi insulin.

11
12 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

B. Tes Toleransi Karbohidrat


Pada tehnik autoanalisis, kadar glukosa darah puasa normal
adalah 80 sampai 126 mg/100 ml. Bila kadar glukosa plasma puasa
yang lebih tinggi dari 126 mg/100 ml disebut Hiperglikemia. Disebut
hipoglikemiaapabila kadar gula darahdibawah 80 mg/100 ml. Selama
kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 sampai 180 mg/100
ml, glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya
diabsorpsi oleh tubulus ginjal. Bila kadar glukosa plasma meningkat
melebihi kadar tersebut, maka glukosa akan keluar bersama kemih,
kondisi ini disebut sebagai glukosuria. Tes kadar glukosa plasma
puasa dan tes respons glukosa plasma terhadap pemberian glukosa
diperlukan untuk mengetahui kemampuan seseorang dalam mengatur
kadar glukosa plasma agar tetap dalam batas-batas normal.
Interaksi dan integrasi yang baik antara hati, jaringan perifer dan
hormon-hormon yang dapat menurunkan dan meningkatkan kadar
glukosa plasma diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa
puasa normal, terutama dalam keadaan puasa di mana tidak ada
makanan yang diabsorpsi. Ketidak mampuan untuk mengatur glukosa
plasma secara normal terlihat dari kadar glukosa plasma puasa
yang meningkat atau menurun. Pasien yang menderita tumor yang
menghasilkan insulin akan mengalami hipoglikemia, sebaliknya pasien
dengan defisiensi insulin maka tidak akan dapat mengatur kadar
glukosanya sehingga akan terjadi hiperglikemia. Sehingga pemeriksaan
kadar glukosa plasma puasa dapat membantu mengevaluasi integritas
mekanisme yang mengontrol glukosa plasma. Pasien dengan Diabetes
Melitus (terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif), kadar
glukosa plasma menjadi abnormal pada tahap akhir dari penyakit
ini. Sehinggapemeriksaan ini tidak memberikan informasi mengenai
kelainan dini dalam metabolisme glukosa.
Pemeriksaan kadar glukosa plasma setelah suatu pemberian beban
glukosa merupakan metode yang lebih sensitif untuk dapat mengetahui
adanya kelainan dalam metabolisme glukosa. Individu normal (non-
diabet) yang mengkonsumsi glukosa akan menyerap glukosa tersebut
dan menunjukkan adanya kenaikan kadar glukosa plasma sementara.
Adanya kenaikan glukosa plasma ini maka mekanisme pembuangan
glukosa mulai aktif dan kadar glukosa plasma akan turun kembali ke
nilai yang normal. Mekanisme yang mempengaruhi dan memperantarai
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 13

reaksi tersebut adalah insulin dangula merupakan rangsangan utama


terhadap pelepasan insulin. Pemeriksaan laboratorium yang digunakan
untuk pengukuran yang akurat setelah suatu pembebanan glukosa
adalah: (1) Pemeriksaan glukosa plasma 2 jam postprandial, dan (2)
Pemeriksaan tes toleransi glukosa.
Pemeriksaan penyaring sederhana untuk mengetahui kemampuan
seseorang dalam membuang beban glukosa adalah tes glukosa plasma
2 jam postprandial. Tes ini dilakukan dengan pengukuran kadar
glukosa plasma pasien 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa
secara oral. Dikatakan bahwa kadar glukosa plasma sudah kembali ke
kadar bila glukosa plasma kurang dari 140 mg/100 ml 2 jam sesudah
mengkonsumsi glukosa. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa
orang tersebut mempunyai mekanisme pembuangan glukosa yang
normal. Sebaliknya bila kadar glukosa plasma sesudah 2 jam masih tetap
tinggi, maka disimpulkan individu tersebut mempunyai gangguan
mekanisme pengaturan kadar glukosa.
Apabila dalam pemeriksaan glukosa plasma 2 jam postprandial
abnormal, maka dapat dilakukan tes toleransi glukosa oral (OGTT)
untuk dapat memeberikan informasi lebih lengkap adanya gangguan
metabolisme karbohidrat. Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa,
pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum pemeriksaan, dilakukan
pengukuran kadar glukosa darah sebelum mengkonsumsi larutan
glukosa dan pengukuran kadar glukosa darah setiap interval setengah
jam selama 2 jam setelah mengkonsumsi larutan glukosa 75 gram.
Kadar glukosa plasma normal adalah 80 sampai 126 mg/100 ml. Setelah
pemberian glukosa, terjadi peningkatan kadar glukosa plasma yang
kemudian kembali lagi ke kadar basal dalam waktu 2 jam. Definisi dari
nilai normal OGTT adalah: glukosa plasma kurang dari 200 mg/100
ml pada menit ke-30, 60 dan 90, dan kurang dari 140 mg/100 ml pada
menit ke-120 (National Diabetes Data Group Criteria). Beberapa peneliti
dan organisasi kesehatan juga memberikan kriteria lain yang sedikit
berbeda dari nilai-nilai tersebut.

C. Definisi Diabetes mellitus


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik
dengan kenaikan gula darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan
produksi insulin, aktivitas insulin atau keduanya. Peningkatan kadar
14 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

gula darah yang berlangsung lama pada diabetes berhubungan dengan


komplikasi jangka panjang, gangguan fungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh (mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa diabetes
merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat
dari berbagai faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.

D. Klasifikasi Diabetes Mellitus


1. Diabetes Mellitustipe I
DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM). Diabetes
mellitus ini akibat kerusakan sel-sel beta pankreas yang biasanya
terjadi karena reaksi autoimun, dan menjurus kekurangan insulin
yang absolut. Gejala DM mulai muncul apabila kerusakan sel beta
apabila sudah mencapai 80-90%. Kerusakan sel-sel beta pankreas
terjadi lebih cepat pada anak-anak daripada dewasa. Pasien DM
tipe I mayoritas mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya
proses autoimun dan sebagian kecil tidak menunjukkan terjadinya
proses autoimun.
2. Diabetes Mellitus tipe II
Sebagian besar (90%) kasus diabet adalah DM tipe II yang dulu dikenal
sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Diabetes
Mellitus tipe II ini menunjukkan adanya penurunan kemampuan
insulin untuk bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan
terjadi disfungsi sel beta. Pankreas tidak mampu mensekresi insulin
dalam jumlah yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance.
Sehingga kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
relatif. Kegemukan atau obesitas berhubungan dengan kondisi ini
dan biasanya terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe II ini, kadar
insulin bisa tinggi, rendah atau normal sehingga penderita tidak
tergantung pada pemberian insulin.
Subkelompok Diabetes Mellitus tipe II :
a. Diabetes Mellitus tipe II obese
Penderita Diabetes Mellitusa Tipe II sekitar 85% adalah obese.
Pada penderita ini terjadi ketidakpekaan terhadap insulin
endogen yang berhubungan dengan suatu pola distribusi
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 15

lemak abdominal, dimana rasio lingkar pinggang terhadap


panggul diatas nilai normal.
b. Diabetes Mellitus tipe II non-obese
Sekitar 15% pasien Diabetes Mellitus tipe II berada pada
kelompok ini. Sebagian besar pasien menunjukkan adanya
gangguan kerja insulin pada tingkat post-reseptor serta
hilangnya atau terlambatnya pelepasan insulin pada fase awal
sebagai respon terhadap glukosa. Rangsang insulinogenik
lain seperti infus akut asam amino, tolbutamid intravena atau
glukagon intramuskuler masih efektif untuk merangsang
sekresi akut insulin.
3. DM Gestational
Diabetes Mellitus dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus
- GDM) adalah suatu kehamilan normal yang disertai dengan
peningkatan resistensi terhadap insulin (ibu hamil tidak dapat
mempertahankan kondisi euglikemia). Faktor risiko timbulnya
Gestasional Diabetes Mellitus : adanya riwayat dalam keluarga
menderita DM, obesitas dan glukosuria. Morbiditas neonatus
meningkat pada kasus GDM, misalnya hipoglikemia, makrosomia,
polisitemia dan ikterus. Keadaan ini bisa terjadi karena bayi yang
dilahirkan dari ibu GDM akan mensekresi insulin lebih banyak
sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.Kejadian
GDM kurang lebih 3-5% dan dimasa mendatang ibu tersebut
beresiko untuk menderita Diabetes Mellitus.
4. Diabetes Mellitus tipe yang lain
Hiperglikemia yang terjadi pada individu sub-kelas ini karena
kelainan yang spesifik, misal : kelainan genetik fungsi sel-sel
beta, endokrinopati (Cushing’s disease, akromegali), pemakaian
obat-obatan yang mengganggu fungsi sel beta (misal dilantin),
pemakaian obat yang mengganggu fungsi insulin (misal obat
golongan β-adrenergik)dan infeksi atau sindroma genetik (Down’s
syndrome, Klinefelter’s).

E. Patofisiologi Hormone dan Diabetes Mellitus


Fungsi organ diatur dan dikontrol oleh hormone. Ekskresi
hormone bergantung pada aktivasi (atau inhibisi) melalui faktor-
16 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

faktor yang spesifik. Aktivitas hormon dapat terjadi di dalam sel yang
menghasilkan hormon itu sendiri (autokrin), mempengaruhi aktivitas
sel-sel disekitarnya (parakrin), atau mempengaruhi sel target pada organ
lain melalui sirkulasi darah (endokrin). Pada pemahaman yang lebih
sempit, hormonemencapai efeknya terutama melalui jalur endokrin.
Agar kerja endokrin efektif, hormon tidak boleh dinonaktifkan sebelum
mencapai sel target. Beberapa hormon memerlukan pengaktifan.
Perubahan hormon endokrin menjadi mediator dan transmitter parakrin
merupakan hal yang dapat berubah-ubah.
Hormone berikatan dengan reseptoryang ada di sel target dan
melakukan aktivitas selulernya melalui berbagai macam mekanisme
transduksi sinyal selular. Mekanisme ini bisa melalui penurunan
faktor perangsangan yang menyebabkan berkurangnya pelepasan
hormone tertentu dan terdapat siklus pengaturan umpan-balik
negativ pada mekanisme tersebut. Pada kondisi tertentu, aktivitas
hormone menyebabkan peningkatan aktivitas perangsangan sehingga
meningkatkan pelepasannya, ini dikenal sebagai umpan-balik positif
(pada jangka waktu yang terbatas). Bila pelepasan hormone di pengaruhi
secara bebas dari efek hormonalnya maka digunakan istilah pengontrolan.
Gangguan sintesis dan penyimpanan hormone menyebabkan
berkurangnya pengaruh hormone tersebut. Gangguan transport di
dalam sel yang mensintesis atau gangguan pelepasan, merupakan
faktor lain yang menyebabkan berkurangnya pengaruh hormone. Jika
kelenjar hormone tidak mencukupi bila di rangsang untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, atau jika sel penghasil hormon kurang sensitive dalam
merespon rangsangan, atau bila sel penghasil hormon jumlahnya tidak
mencukupi (hipoplasia, aplasia), maka akan menyebabkan defisiensi
hormone.
Penyebab lain yang sangat mungkin adalah penginaktifan hormone
yang terlalu cepat atau kecepatan pemecahan hormone meningkat.
Hormon-hormon yang berikatan dengan protein plasma, maka lama
aktivitas hormon tersebut tergantung pada jumlah perbandingan
hormon yang terikat. Hormone yang berada dalam bentuk terikat,
maka hormon tersebut tidak dapat menunjukkan efeknya. Hormon
akan mengalami ekskresi melalui ginjal.
Sebagian besar hormone untuk memulai akivitasnya harus diubah
menjadi bentuk efektif di tempat kerjanya, tetapi beberapa keadaan
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 17

menyebabkan hal ini tidak bisa terjadi, misalnya akibat defek enzim,
sehingga hormon tidak akan berpengaruh. Aktivitas hormon juga bisa
tidak terjadi bila organ target tidak berespons (misalnya, kerusakan
pada reseptor hormon atau terjadi kegagalan transmisi intrasel) atau
ketidakmampuan secara fungsional organ target atau sel.
Beberapa kondisi bisa menyebabkan peningkatan pengaruh dan
pelepasan hormone, misalnya : pengaruh rangsangan tunggal yang
berlebihan, peningkatan sensitivitas, jumlah sel penghasil hormon
terlalu banyak, pembentukan hormon pada sel tumor yang tidak
berdiferensiasi di luar kelenjar hormonnya (pembentukan hormon
ektopik). Karsinoma bronkus sel kecil sering kali aktif secara endokrin.
Peningkatan aktivitas hormone juga bisa terjadi bila hormon dipecah
atau diinaktifkan secara lambat, misalnya gangguan inaktivitas pada
organ ginjal atau hati. Pemecahan hormone bisa diperlambat dengan
mengikat hormon ke protein plasma, dimana fraksi yang terikat dengan
protein tidak akan mengeluarkan pengaruh apapun.
Akhirnya, pengaruh hormon dapat ditingkatkan melalui
hipersensitivitas organ target (reseptor hormon terlalu banyak atau
terlalu sensitive), peningkatan transmisi intrasel, atau hiperfungsi
dari sel yang sensitive terhadap hormon. Gambaran klinis merupakan
penjumlahan dari perubahan patofiologis di dalam tubuh, akibat
penurunan atau peningkatan pengaruh hormon yang spesifik.
Hormon merupakan bagian dari suatu sistem sirkuit pengaturan.
Adanya gangguan pada salah satu bagian dari sirkuit tersebut akan
menyababkan timbulnya perubahan sifat pada bagian lainnya. Sekresi
hormon yang aktivitasnya tidak bergantung pada hipofisis biasanya
diatur oleh hormon tertentu. Hormon terakhir yang bekerja pada target
organ akan berfungsi menurunkan rangsangan yang menyebabkan
pelepasan hormon (sirkuit pengaturan dengan umpan-balik negativ).
Sebagai contoh pada pelepasan insulin; peningkatan konsentrasi
glukosa di dalam plasma merangsang pelepasan insulin, pengaruhnya
pada organ targethati akan meningkatkan glikolisis; menghambat
gluconeogenesis dan pembentukan glikogen sehingga menyebabkan
penurunan konsentrasi glukosa di dalam plasma.
Apabila sekresi insulin meningkat tidak sesuai dengan konsentrasi
glukosa di dalam plasma (hiperinsulinisime) maka akan menyebabkan
hipoglikemia. Penyebab lainnya adalah tumor penghasil insulin, sirkuit
18 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

pengaturan yang saling tumpang-tindih, dimana beberapa asam


amino juga merangsang pelepasan insulin dan beberapa pengaruh
insulin dapat menurunkan konsentrasi asam amino di dalam plasma.
Gangguan pada pemecahan asam amino (akibat kelainan enzim) dapat
menimbulkan hipoglikemia, karena peningkatan asam amino di dalam
darah akan merangsangan pelepasan insulin.
Selain itu, jika respons organ target berkurang, pengaruh hormon
akan menurun. Dengan cara ini, gagal hati dapat menyebabkan
hiperglikemia yang selanjutnya akan meningkatkan konsentrasi insulin
di dalam plasma. Namun, gangguan pemecahan asam amino pada gagal
hati dapat menyebabkan hipogli kemia melalui hiperaminosidemia dan
melalui perangsangan pelepasan insulin.
Pelepasan hormone diatur oleh hipotalamus dan hipofisis.
Konsentrasi hormon di dalam plasma yang berada di bawah pengaruh
kelenjar hipotalamus dan hipofosis selalu diatur. Liberin (horman
pelepas), yang dihasilkan di hipotalamus, akan menyebabkan pelepasan
tropin di hipofisis. Hormon ini merangsang pelepasan hormon yang
sesuai di jaringan perifer. Hormon dan pengaruh yang dihasilkan oleh
hormon pada tahapan tertentu akhirnya menghambat pelepasan liberin
di hipotalamus dan tropin di hipofisis. Contoh yang diperlihatkan
menggambarkan pengaturan kortisol dari korteks adrenal.
Penurunan pelepasan hormon perifer dapat disebabkan oleh
hilangnya fungsi di kelenjar hipotalamus, hipofisis, atau hormon perifer.
Penyebab primer peningkatan pelepasan hormon perifer dapat terjadi
karena pelepasan ektopik atau ortotopik liberin, tropin dan hormon
perifer yang tidak cukup tinggi.
Jika terjadi peningkatan pelepasan liberin, konsentrasi liberin,
tropin, dan hormon perifer akan meningkat. Jika terjadi peningkatan
pelepasan perifer primer, pelepasan liberin dan tropin akan ditekan.
Dengan pola yang sama, defisiensi primer liberin akan menyebabkan
defisiensi tropin dan hormon perifer, sedangkan kekurangan primer
tropin akan menurunkan pelepasan hormon perifer dengan peningkatan
pelepasan liberin; defisiensi hormon perifer primer akan meningkatkan
pelepasan liberin dan tropin.
Diabetes melitus disebabkan oleh kekurangan insulin yang bersifat
absolut atau relatif sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 19

plasma. Diabetes Mellitus dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe


berdasarkan penyebab dan perjalanan klinis penyakitnya.
Pada Diabetes Mellitus tipe I (Diabetes Melitus tergantung insulin
[IDDM], atau diabetes juvenilis, pasien membutuhkan suplai insulin
dari luar karena terdapat defisiensi insulin yang absolut. Kondisi ini
disebabkan adanya lesi pada sel beta pankreas karena mekanisme
autoimun, yang pada kondisi tertentu proses ini dipicu oleh infeksi
virus. Pada proses ini sel-sel pulau pankreas diinfiltrasi oleh limfosit T
dan ditemukan adanya autoantibody terhadap jaringan pulau (antibodi
sel pulau [ICA]) dan insulin (autoantibodi insulin [IAA]). Pada beberapa
kasus, ICA dapat terdeteksi selama bertahun-tahun sebelum timbulnya
penyakit. ICA akan menghilang kembali setelah kematian sel beta.
Antibody terhadap glutamate dekarboksilase yang diekspresikan sel
beta terbentuk pada sekitar 80% pasien. Pembawa antigen HLA tertentu
(HLA-DR3 dan HLA-DR4) lebih sering menderita Diabetes Mellitus
tipe I, hal ini menunjukkan adanya disposisi genetic.
Diabetes Mellitus tipe II (Diabetes Mellitus yang tergantung insulin
[NIDDM]) atau diabetes dengan onset dewasa, merupakan diabetes
yang paling sering terjadi. Disposisi genetic juga berperan penting pada
tipe ini tetapi terdapat defisiensi insulin relatif sehingga pasien tidak
bergantung suplai insulin dari luar secara mutlak. Pada diabetes tipe
II ini sekresi insulin bisa normal bahkan meningkat, tetapi target organ
memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap kerja insulin.
Pada umumnya penderita Diabetes Mellitus tipe II memiliki berat
badan diatas batas normal. Selain karena disposisi genetic, obesitas bisa
terjadi karena asupan makanan yang terlalu banyak atau kurangnya
aktivitas fisik. Suplai dan pengeluaran energi yang tidak seimbang
akan meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah, yang
selanjutnya akan menurunkan uptake glukosa di otot dan jaringan
lemak. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya resistansi insulin sehingga
memaksa tubuh untuk meningkatkan sekresi insulin. Jika proses ini
berlanjut akan berakibat menurunnya regulasi pada reseptor, sehingga
resistansi insulin semakin meningkat. Salah satu pemicu terpenting
adalah obesitas, namun obesitas bukan merupakan penyebab tunggal
Diabetes Mellitus tipe II. Adapun penyebab yang lebih penting
adalah adanya disposisi genetic yang dapat menurunkan sensitivitas
dari insulin. Pada umumnya sekresi insulin juga tidak normal. Telah
20 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

diidentifikasi beberapa gen yang meningkatkan terjadinya obesitas dan


Diabetes Mellitus tipe II. Diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda
(Maturity Onset Diabetes of the Young [MODY]). MODY terjadi karena
mutasi genetic pada gen yang mengatur kadar gula. Mutase gen yang
terjadi akan menurunkan fungsi pancreas dalam memproduksi insulin,
namun gangguan tersebut baru akan timbul pada usia remaja.
Metabolisme karbohidrat sangat terpengaruh oleh penurunan
sensitivitas insulin, sedangkan efek pada metabolism lemak dan protein
tetap dipertahankan dengan baik. Sehingga diabetes tipe II cenderung
menyebabkan hiperglikemia yang berat tanpa disertai gangguan pada
metabolism lemak (ketoasidosis).
Adanya autoantibodi terhadap reseptor atau insulin, pada
biosinetesis insulin, reseptor insulin, atau transmisi intrasel akan
menyebabkan defisiensi insulin relatif pada diabetes tipe II.
Diabetes dapat terjadi dalam perjalanan penyakit lain walaupun
tanpa ada disposisi genetic, misalnya pankreatitis dengan kerusakan sel
beta (diabetes karena kerusakan pancreas) atau karena kerusakan toksik
di sel beta. Diabetes Mellitus dapat juga terjadi karena peningkatan
pelepasan hormon antagonis, seperti somatotropin (kasus akromegali),
glukokortikoid (penyakit Cushing atau stress [disebut diabetes steroid]),
epinefrin (pada kondisi stress), progestogen dan koriomamotropin
(pada kehamilan), ACTH, hormon tiroid serta glucagon. Pada kasus
infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormon (yang
telah disebutkan di atas), sehingga meningkatkan manifestasi diabetes
mellitus. Somatostatinoma bisa menyebabkan diabetes karena
somatostatin yang dihasilkan akan menghambat sekresi insulin

F. Gambaran Klinis dari Diabetes Mellitus


Gambaran klinis Diabetes Melitus bervariasi antar individu. Sering
kali pasien datang kedokter karena gejala yang berhubungan dengan
peningkatan kadar gula darah (poliuri, polidipsia, polifagi). Bisa juga
karena komplikasi akut berupa dekompensasi metabolik akut yang
menyebabkan koma diabetik.
1. DM Tipe I
Biasanya onset DM tipe I sebelum usia 40 tahun, di Amerika
Serikat kejadian puncak sekitar usia 14 tahun. Pada kasus yang
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 21

jarang mengalami diabetes tipe 1 pada usia lanjut, dengan kejadian


pertama berupa ketoasidosis. Gejala awal bisa terjadi secara
mendadak berupa haus, sering buang air kecil, peningkatan nafsu
makan dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
2. DM Tipe II
DM tipe II pada umumnya mulai pada usia pertengahan atau lebih,
pasien biasanya overweight atau obes. Gejala klinis yang muncul
lebih bertahap dibandingkan dengan DM tipe I. Pada individu
tanpa gejala, diagnosis sering kali ditemukan sewaktu dilakukan
pemeriksaan laboratorium rutin, dimana ditemukan peningkatan
kadar glukosa darah. Berlawanan dengan penyakit diabetes
tergantung insulin, pada diabetes tipe II ini kadar insulin plasma
bisa normal hingga tinggi. Pasien DM tipe II tidak mengalami
ketoasidosis. Mereka rentan terhadap sindroma koma hiperosmolar
nonketotik pada keadaan dekompensasi. Tidak adanya ketoasidosis
selama stres dapat dijelaskann bahwa hati lebih resisten terhadap
glukagon sehingga kadar malonil-CoA tetap tinggi, keadaan ini
akan menghambat oksidasi asam lemak (jalur ketogenik).

Tabel Ciri-ciri Umum Diabetes Mellitus Tipe I dan II


DM Tipe I DM Tipe II
Lokasi lokus genetik Kromosom 6 Tidak diketahui
Usia awitan < 40 tahun > 40 tahun
Morfologi tubuh Kurus hingga normal Obesitas
Kadar insulin plasma Tidak ada hingga rendah Normal hingga tinggi
Kadar glukagon plasma Tinggi, dapat ditekan Tinggi, resisten
Komplikasi akut Ketoasidosis Koma hiperosmolar
Responsif hingga
Terapi dengan insulin Responsif
resisten
Terapi dengan sulfonilurea Tidak responsif Responsif

G. Diagnosis Diabetes Mellitus


Dasar daiagnosis Dmdalah pemeriksaan kadar glukosa darah
plasma. Penentuan diagnosis Diabetes Mellitus harus memperhatikan
asal pengambilan sampel darah dan cara pemeriksaan yang dipakai.
Untuk kepentingan diagnosis, maka pemeriksaan laboratorium yang
22 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

dianjurkan adalah pemeriksaan kadar glukosa darah plasma dengan


cara enzimatik dengan sampel darah berasal dari plasma vena.
Pada kondisi yang tidak memungkinkandapat juga dipergunakan
bahan darah utuh (whole blood), darah vena atau kapiler dengan
memperhatikan angka-angka untuk kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk keperluan monitoring atau
pemantauan hasil pengobatan dapat dengan pemeriksaan kadar
glukosa darah kapiler.
Terdapat perbedaan antarapemeriksaan penyaring dan uji
diagnostik DM. Pemeriksaan untuk uji diagnostik DM dilakukan
kepada individu yang menunjukkan gejala atau tanda-tanda DM.
Pemeriksaan penyaring ditujukan untuk mengidentifikasi individu-
individu yang tidak bergejala tetap mempunyai resiko untuk Diabetes
Mellitus. Selanjutnya uji diagnostik akan di lakukan kepada mereka
yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan
diagnosis Diabetes Mellitus secara definitif.
Adapun pemeriksaan penyaring yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu (kadar gula darah acak)
atau kadar glukosa darah puasa, selanjutnya dapat diikuti dengan
pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Tabel Kadar Glukosa Darah Puasa dan Sewaktu Sebagai Standart


Penyaring dan Diagnosis Diabetes Mellitus (mg/dl)
Normal Meragukan DM DM
Kadar glukosa darah plasma darah vena < 110 110-199 ≥ 200
sewaktu (mg/dl) darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200
Kadar glukosa darah plasma darah vena < 110 110-125 ≥ 126
Puasa (mg/dl) darah kapiler < 90 90-109 ≥ 110

Klinisi akan memikirkan diagnosis DM apabila ditemukan keluhan


klasik DM berupa poliuri, polifagi, polidipsi dan adanya penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan-
keluhan klinis lain yang dapat dikemukakan pada pasien adalah rasa
lemah, kesemutan, gatal-gatal, penglihatan kabur dan disfungsi ereksi
pada pria serta pruritus vulva pada wanita. Pasien dengan keluhan
yang spesifik dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dl sudah bisa untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 23

Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk dasar
diagnosis Diabetes Mellitus. Hasil pemeriksaan glukosa darah sekali
dan dengan hasil yang abnormal pada pasien tanpa keluhan khas
DM, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut pada hari lain untuk mendapatkan hasil kadar
gula yang abnormal (kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau dari hasil tes toleransi glukosa
oral (TTGO) pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl).

H. Terapi Diabetes Mellitus


Terapi pada penderita Tiabetes Mellitus meliputi terapi secara non
farmakologis dan secara farmalokogis.
1. Non Farmakologis
Pendekatan non farmakologis merupakan langkah pertama dalam
mengelola Diabetes Melitus. Terapi non farmakologis meliputi
perencanaan diet atau terapi nutrisi medik, kegiatan fisik atau
jasmani (olah raga) dan penurunan berat badan apabila penderita
mempunyai berat badan lebih atau obes.
2. Farmakologis
Apabila dengan pendekatan non farmakologis belum tercapai
sasaran pengendalian diabetes, maka dilanjutkan dengan
pendekatan farmakologis berupa penggunaan obat-obat anti diabet,
baik secara oral atau injeksi. Pemilihan intervensi farmakologis
dengan menggunakan obat-obatan, yang harus diperhatikan adalah
titik tangkap kerja obat sesuai dengan berbagai macam penyebab
timbulnya hiperglikemia.

1. Diet (Terapi Nutrisi Medik)


Salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan
bagi penderita diabetes adalah terapi diit. Prinsip dasar terapi diit adalah
pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita
diabet dan melakukan modifikasi variasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.Beberapa manfaat terapi diet adalah : menurunnya berat
badan, perbauikan tekanan darah sistolik dan diatolik, turunnya kadar
glukosa darah, perbaikan profil lipid, peningkatansensitivitas reseptor
insulin dan perbaikansistem koagulasi darah.
24 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Adapun tujuan terapi diet adalah untuk mencapai dan


mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal (glukosa
puasa berkisar 90-130 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan kurang
180 mg/dl dan kadar A1c kurang 7%), mempertahankan tekanan
darah pada kisaran dibawah 130/80 mmHg dan mempertahankan
profil lipid pada kisaran normal (kolesterol LDL dibawah 100 mg/dl,
kolesterol HDL diatas 40 mg/dl dan trigliserida kurang 150 mg/dl) dan
mempertahankan berat badan senormal mungkin.
Sebagian besar orang tidak menyadari efek berat badan terhadap
diabetes. Berat badan yang berlebih sangat beresiko memunculkan
Gestasional Diabetes dibandingkan pada individu dengan berat badan
normal. Demikian juga pada kasus-kasus Diabetes Mellitus tipe II,
hampir 90% dari penderita memiliki kelebihan berat badan. Sehingga
pengendalian berat badan merupakan cara terbaik utuk mencegah
timbulnya Diabetes Mellitus tipe II.
Kurang lebih 40% diantara penderita Diabetes Mellitus tipe II, juga
menderita hipertensi, kondisi ini akan diperburuk dengan kelebihan
berat badan pada penderita. Kelebihan berat badan juga menyebabkan
timbulnya resistensi insulin, dimana tubuh tidak lagi merespon insulin
yang diperlukan untuk menguraikan glukosa sebagai bahan bakar pada
tingkat sel.
Dalam mengkonsumsi makanan, penderita diabetes harus
memperhatikan takaran karbohidrat, karena lebih dari separuh
kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat ini. Karbohidrat dibagi
dalam dua golongan, yaitu karbohidratjenis kompleks dan yang
sederhana. Karbohidrat kompleks mempunyai ikatan kimiawi lebih
dari satu rantai glukosa, sedangkan karbohidrat sederhana hanya
memiliki satu. Karbohidrat kompleks (roti atau nasi), didalam tubuh
harus diurai menjadi rantai tunggal dahulu sebelum diserap ke dalam
sirkulasi darah. Sebaliknya, karbohidrat sederhana (es krim, jeli, selai,
sirup, minuman ringan, dan permen) akan langsung masuk ke dalam
sirkulasi darah sehingga kadar gula darah akan langsung melonjak.
Penderita diabetes tanpa komplikasi dengan penyakit lain, pada
dasarnya bisa mengkonsumsi semua jenis makanan, asalkan jumlah
asupan makanan tersebut atau jumlah total kalori dalam sehari tidak
melebihi jumlah kalori yang telah disyaratkan. Buah, jus, gula atau
makanan penutup/snack masih dapat dikonsumsi tetapi dalam jumlah
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 25

yang terbatas. Makanan dan lemak yang mengandung kolesterol tinggi


harus dihindari. Konsumsi karbohidrat maupun gula proses juga harus
dihindari. Pada penderita diabetes sangat dianjurkan untuk banyak
mengkonsumsi whole food, (whole grain, whole wheat, sorghum, bulgur,
oats, beras merah, beras tumbuk) dan sayur-sayuran segar/organik.
Juga amat sangat disarankan pada penderita diabetes untuk
mengkonsumsi variasi makanan dengan perbandingan antara
karbohidrat dan gula yang terbatas, daging atau protein sangat rendah
lemak/tanpa lemak, dan juga buah-buahan segar. Jenis bahan makanan
yang dianjurkan bagi penderita diabetes :
a. Karbohidrat
Karbohidrat berserat seperti kacang-kacangan, sayuran, buah segar
seperti tomat, salak, semangka, pepaya, kedondong, apel, lebih
dianjurkan untuk dikonsumsi pada penderita diabetes. Adapun
untuk buah-buahan yang terlalu manis sepertirambutan, durian,
nangka, anggur, sawo, jeruk, nanas, tidak dianjurkan.
Rekomendasi untuk pemberian karbohidrat :
1) Total kalori makanan yang mengandung karbohidrat, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis
karbohidrat itu sendiri.
2) Total kebutuhan kalori perhari, sebanyak 60-70% diantaranya
berasal dari sumber karbohidrat.
3) Jumlah karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan kalori
perhari jika ditambah MUFA (mono unsaturated fatty acid)
sebagai sumber energi.
4) Perhari jumlah serat sebanyak 25-50 gram.
5) Jumlah sukrosa tidak perlu dibatasi apabila digunakan sebagai
sumber energi, tapi jangan sampai lebih dari total kalori per hari.
6) Aspartame, acesulfame, sukralosa dan sakarin dapat digunakan
sebagai pemanis non kalori.
7) Maksimal fruktosa 60 gram/hari.
8) Makanan yang mengandung banyak sukrosa tidak perlu dibatasi.
b. Protein
Kebutuhan protein yang dianjurkan sekitar 10-15 % dari total kalori
perhari. Kandungan energi dari protein sebesar 4 kilokalori/gram.
26 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Apabila penderita juga menderita gangguan ginjal, maka konsumsi


sayur-sayuran hijau dan makanan berprotein tinggi juga harus
dibatasi supaya tidak terlalu membebani fungsi kerja ginjal.
Pemberian protein yang direkomendasikan :
1) Protein yang dibutuhkan sekitar 15-20 % dari total kebutuhan
energi per hari.
2) Bila kadar glukosa darah terkontrol, maka asupan protein tidak
akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
3) Apabila kadar glukosa darah tidak terkontrol, maka pemberian
protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg berat badan/hari.
4) Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, maka jumlah
asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg berat badan/
hari dan tidak kurang dari 40 gram.
5) Apabila terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber
protein nabati lebih dianjurkan dari pada protein hewani.
c. Lemak
Kandungan energi lemak sebesar 9 kilokalori per gramnya. Lemak
ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak
(vitamin A, D, E, dan K). Lemak dikelompokkan menjadi lemak
jenuh dan lemak tidak jenuh berdasarkan ikatan rantai karbonnya.
Bagi penderita diabetes sangat disarankan untuk membatasi asupan
lemak jenuh dan kolesterol, karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid yang tidak normal yang sering didapatkan pada
penderita diabetes. Salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki
kadar glukosa darah dan profil lipid adalah asam lemak tidak
jenuh rantai tunggal (MUFA). Kadar trigliserida, kolesterol total,
kolesterol VLDL dapat diturunkan dengan pemberian MUFA pada
diet penderita diabetes. Demikian juga kadar kolesterol HDL dapat
ditingkatkan dengan pemberian MUFA.
Polyunsaturated fatty acid = PUFA (asam lemak tidak jenuh rantai
panjang) mengandung asam lemak omega 3 dapat menurunkan
kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit dan melindungi
jantung. PUFA mampu menurunkan sintesis VLDL didalam hati
dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase sehingga
dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer dan juga kadar
kolesterol LDL.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 27

Rekomendasi pemberian lemak :


1) Membatasi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.
2) Apabila kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, maka konsumsi
asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari total
kalori perhari.
3) Asupan kolesterol maksimal 300 mg/hari, apabila kadar
kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, maka kolesterol maksimal yang
dapat dikonsumsi sebanyak 200 mg per hari.
4) Membatasi konsumsi asam lemak bentuk trans.
5) Mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali guna mencukupi
kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang.
6) Konsumsi lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari
jumlah asupan kalori per hari.
Prof. Dr. dr. H. Askandar Tjokroprawiro (Surabaya), mengelom-
pokkan diet menjadi dua bagian, yaitu diet A dan diet B. Komposisi
Diet B adalah 68% karbohidrat, 20% lemak, dan 12% protein, diet B
ini lebih cocok untuk orang Indonesia bila dibandingkan dengan diet
A yang komposisinya terdiri dari 40-50% karbohidrat, 30-35% lemak
dan 20-25% protein. Pada diet B mengandung lebihbanyak karbohidrat,
kaya serat dan rendah kolesterol. Dari hasil penelitian, pada diet tinggi
karbohidrat kompleks dalam dosis yang terbagi, dapat memperbaiki
kepekaan fungsi sel beta pankreas.
Dalam sayuran jenis A yang tinggi serat (labu siam, wortel, pare,
nangka muda, bayam, buncis, kacang panjang, jagung muda) ditambah
sayuran jenis B (gambas, cabai hijau, labu air, terung, tomat, sawi,
kembang kol, jamur segar, seledri, taoge, ketimun) dapat menekan
kenaikan kadar glukosa dan kolesterol darah. Bawang merah dan
putih (berkhasiat 10 kali bawang merah) serta buncis sangat baikbila
ditambahkan kedalam diet penderita diabetes, karenasecara bersama-
sama dapat menurunkan kadar lemak darah dan glukosa darah.
dr. Andry Hartono D.A. Nutr. (Jogjakarta), menyarankan pola 3J
pada diet penderita diabetes, yaitu jumlah kalori, jadwal makan, dan
jenis makanan. Penderita diabetes yang memiliki berat badan normal
akan lebih mudah untuk menghitung jumlah kalori sehari-hari. Cara
penghitungan jumlah kalori adalah : berat badan dikalikan 30. Sebagai
28 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

contoh, penderita diabetes dengan berat badan 50 kg, maka kebutuhan


kalori dalam sehari adalah 1.500 (50 x 30). Apabila penderita tersebut
menjalankan olahraga, maka kebutuhan kalori pada hari penderita
tersebut berolah raga ditambah sekitar 300-an kalori.
Tabel Kebutuhan Energi Berdasarkan Usia, Aktivitas Fisik
dan Jenis Kelamin
Usia Aktivitas fisik Laki-laki Perempuan
Ringan 2300 kcal 1800 kcal
20-35 tahun
Sedang 2900 kcal 2200 kcal
Ringan 2100 kcal 1700 kcal
35-55 tahun
Sedang 2700 kcal 2100 kcal
Ringan 2000 kcal 1650 kcal
55-75 tahun
Sedang 2500 kcal 2000 kcal
Ringan 1800 kcal 1550 kcal
Diatas 75 tahun
Sedang 2200 kcal 1900 kcal

Berikut adalah contoh menu diet pada penderita diabetes (pagi,


siang dan malam) dengan tetap memperhatikan prinsip 3J (jumlah
kalori, jadwal makan, dan jenis makanan).
Makan pagi (06.30) Makan siang (12.30) Makan malam (18.30)
Nasi 110 gram Nasi 150 gram Nasi 150 gram
Daging 25 gram Daging 40 gram Daging 25 gram
Tempe 25 gram Tempe 25 gram Tempe 25 gram
Sayuran A 100 gram Sayuran A 100 gram Sayuran A 100 gram
Sayuran B 25 gram Sayuran B 50 gram Sayuran B 50 gram
Minyak 5 gram Minyak 10 gram Minyak 10 gram
Selingan (09.30) Selingan (15.30) Selingan (21.30)
Pisang/kentang 200 g Pisang/kentang 200 g
Pisang 200 g Pepaya 100 g Pepaya 100 g

Konsumsi natrium (sodium) harus diperhatikan dan dijaga ketat.


Makanan kaleng atau makanan proses (misal : kornet, mie instant,
ikan asin, daging asap, telor asin, sarden, abon) yang kadar sodiumnya
tinggi (>400 mg) sebisa mungkin dihindari. Pakai kecap dengan kadar
sodium rendah (< 140 mg), atau membuat kecap tanpa sodium/garam,
atau mengencerkan kecap sampai kadar garamnya mencapai jumlah
yang boleh dikonsumsi.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 29

Porsi sedang dan waktu makan yang lebih sering, sangat dianjurkan
pada penderita diabetes. Hal ini dimaksudkan supaya jumlah kalori
merata sepanjang hari sehingga beban kerja tubuh tidak terlampau
berat dan produksi kelenjar ludah perut tidak terlalu mendadak. Selain
jadwal makan utama yang sudah ditetapkan (pagi, siang, dan malam),
disarankan juga tambahan porsi makanan ringan diantara waktu tersebut
(selang waktu tiga jam). Makanan yang perlu dibatasi adalah makanan
yang berkalori tinggi (nasi,jeroan, kuning telur, daging berlemak), dan
juga makanan berlemak tinggi (coklat, dendeng, makanan gorengan,
es krim, ham, sosis, cake). Wortel, buncis, bayam (sayuran berwarna
hijau gelap dan jingga) bisa dikonsumsi dalam jumlah lebih banyak,
demikian juga buah-buahan segar.
Diet penderita diabetes dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Patuhi aturan yang sudah ditetapkan dan disepakati.
b. Porsi kecil dan sering, 5-6 kali makan.
c. Jumlah total kalori per hari disesuaikan untuk menjaga
keseimbangan energi dan berat badan.
d. Makanan bervariasi dari 4 kelompok makanan sehingga bisa
meningkatkan kualitas menu makanan (zat gizi lengkap).
e. Memilih makanan yang mempunyai indeks glikemik rendah.
f. Sehari minimal 5 porsi sayur dan buah.
g. Batasi gula, cukup minum dan hindari alkohol.

2. Olahraga (Kegiatan Jasmani)


Latian fisik (olah raga) harus dilakukan pada penderita diabetes
selain pengaturan diet. Prisip utama olahraga pada penderita diabetes
(penderita baru atau lama) adalah sama, dan tidak berbeda dengan
olah raga pada orangsehat pada umumnya. Tujuan utama latihan fisik
ini adalah untuk membakar kalori dalam tubuh, sehingga glukosa
darah bisa terpakai untuk energi, dengan demikian kadar gula darah
bisa turun.
Latihan memiliki banyak manfaat bagi semua orang, tetapi sangat
penting bagi individu dengan penyakit diabetes. Latihan rutin sangat
amat menguntungkan untuk penderita diabetes, baik tipe I maupun
tipe II. Berikut adalah beberapa keuntungan dari olahraga yang
teratur:
30 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

a. Latihan meningkatkan kebugaran untuk menurunkan risiko


penyakit arteri koroner yang sejauh ini merupakan komplikasi
yang paling umum dari diabetes.
b. Latihan teratur menurunkan LDL kolesterol (kolesterol buruk) dan
meningkatkan HDL kolesterol (kolesterol baik).
c. Latihan dapat meningkatkan kontrol gula darah yang
memungkinkan otot-otot untuk menggunakan lebih banyak
insulin secara efektif, serta meningkatkan otot untuk menggunakan
glukosa. Hal ini dapat menurunkan jumlah insulin atau agen
hipoglikemik oral yang dibutuhkan.
d. Latihan menurunkan tekanan darah dan dapat mengurangi
munculnya komplikasi diabetes.
e. Mencegah obesitas dan menurunkan kadar glukosa darah.
f. Glukosa dan lemak merupakan sumber energi utama saat berolah
raga, pada keadaan istirahat, hanya sedikit glukosa dibutuhkan
sebagai sumber energi untuk metabolism otot. Berolahraga selama
10 menit, di butuhkan glukosa 15 kali lebih banyak dibanding pada
saat istirahat.
g. Membantu mencegah timbulnya komplikasi (atherosclerosis,
peningkatan tekanan darah, hiper koagulasi darah/penggumpalan
darah).
h. Membantu memperlancar sirkulasi darah sehingga retensi insulin
berkurang dan s kepekaan insulin bertambah.
i. Akhirnya, latihan meningkatkan kekuatan, citra diri dan rasa
kesejahteraan pada penderita diabetes.
Jenis latihan fisik yang dapat dilakukan terutama tergantung ada
tidaknya masalah kesehatan lainnya yang menyertai penderita diabetes.
Latihan fisik yang disarankan berupa latihan aerobik, untuk bernapas
lebih dalam dan membuat jantung bekerja lebih optimal. Contoh
latihan aerobik meliputi berjalan, joging, dansa aerobik atau bersepeda.
Apabila penderita memiliki gangguan saraf di kaki atau kaki, dokter
akanmemberikan saran untuk melakukan jenis latihan yang tidak akan
menempatkan terlalu banyak tekanan pada kaki. Olah raga ini meliputi
bersepeda, berenang, dayung atau latihan dengan kursi.
Olah raga yang baik bagi penderita diabetes antara lain berjalan
penuh semangat, hiking, mendaki tangga, skating, ski, tenis, basket,
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 31

voli, berenang, aerobik, menari, bersepeda, atau olahraga lainnya yang


bekerja untuk membesarkan otot, meningkatkan denyut jantung dan
penting bagi kebugaran tubuh penderita diabetes.
Para ahli merekomendasikan intensitas aktivitas fisik sedang
yang dilakukan setidaknya minimal 30 menit, selama 5 hari dalam
satu minggu. Beberapa contoh intensitas sedang yaitu berjalan cepat,
memotong rumput, menari, berenang, atau bersepeda.Latihan harus
mengikuti aturan yang mencakup berapa lama (durasi), seberapa
sering(frekuensi) dan berapa banyak (intensitas) olahraga yang di
lakukan untuk mencapai tujuan spesifik. Masing-masing (durasi,
frekuensi dan intensitas) harus didasarkan pada tingkat aktivitas
sekarang, usia dan tujuan.
Tidak peduli apa pun jenis Latihan fisik yang dilakukan,
sebelumnya harus dilakukan pemanasan dan kemudian pendinginan
setelah selesai. Pemanasan dilakukan selama 5 sampai 10 menit, dengan
melakukan latihan intensitas rendah misalnya berjalan. Kemudian
diikuti peregangan selama 5 sampai 10 menit. Setelah berolah raga
dilakukan langkah-langkah untuk pendinginan.
Latihan sangat penting bagi penderita diabetes untuk tetap sehat,
tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
a. Harus menghindari beberapa jenis aktivitas fisik jika memiliki
komplikasi diabetes tertentu. Latihan yang melibatkan beban berat
mungkin buruk bagi orang dengan tekanan darah, pembuluh
darah, atau masalah mata.
b. Aktifitas fisik dapat menurunkan glukosa darah terlalu banyak,
menyebabkan hipoglikemia, terutama pada orang yang
mengkonsumsi insulin atau obat oral tertentu. Hipoglikemia dapat
terjadi pada saat berolahraga, hanya setelahnya, atau bahkan
sampai kemudian hari. Gejalanya seperti gemetar, lemah, bingung,
mudah tersinggung, cemas, lapar, lelah, atau berkeringat. Dapat
juga terjadi sakit kepala, atau bahkan kehilangan kesadaran.
c. Untuk membantu mencegah hipoglikemia selama aktivitas fisik,
periksa glukosa darah sebelum berolahraga. Jika di bawah 100,
memiliki makanan kecil. Selain itu, bawa makanan atau tablet
glukosa ketika latihan. Tidak baik bagi penderita diabetes jika tidak
makan sama sekali, terutama tidak makan sebelum berolah raga.
Setelah latihan, periksa kadar glukosa darah.
32 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

d. Di sisi lain, tidak perlu latihan ketika glukosa darah sangat tinggi.
Jangan melakukan latihan bila glukosa darah berada di atas 300,
atau gula darah puasa di atas 250 dan keton dalam urin positif.
Ketika berolahraga, memakai kaus kaki katun dan sepatu atletik
yang sesuai dan nyaman. Setelah latihan, periksa kaki apakah ada
luka, lepuh, iritasi, luka, atau cedera lainnya.
e. Minum banyak cairan selama aktivitas fisik, karena glukosa darah
dapat dipengaruhi oleh dehidrasi.

Latihan jasmani atau olahraga yang dilakukan secara rutin penting


untuk kebugaran dan kesehatan tubuh, terutama bagi penderita
diabetes. Prinsip-prinsip olahraga bagi penderita DM (Formula CRIPE):
a. Continue : Olahraga dilakukan secara ajeg atau teratur dan
berkesinambungan.
b. Ritmik : Gerakan yang berirama, otot diusahakan untuk berkontraksi
secara teratur dan beraturan, misalnya berjalan kaki, jogging,
berlari, berenang, naik sepeda, mendayung. Contoh olahraga yang
kurang memenuhi syarat ritmik adalah badminton, tenis, golf.
c. Interval : Melakukan gerakan berselang-seling, gerak cepat diselingi
dengan gerak lambat, misalnya berjalan cepat - jalan lambat - jalan
cepat, jogging - berjalan - jogging.
d. Progresif : Gerakan dilakukan bertahap mulai dari intensitas ringan
menuju sedang, mulai dari beberapa menit - 30 menit - 60 menit
menjadi 3 jam.
e. Endurance : Bertujuan untuk meningkatkan ketahanan jantung dan
paru-paru, dipilih jenis olahraga yang disukai serta bermuatan
rekreasi, misalnya: jalan santai, berenang, bersepeda.

Latihan dengan formula CRIPE dilakukan dalam 3 hari/minggu,


dan 2 hari yang lain digunakan untuk olahraga kesenangan.Olahraga
dapat juga dilakukan dengan prinsip FIDT:
a. Frekuensi : Olah raga dilakukan 3-5 kali dalam seminggu.
b. Intensitas : Intensitas latihan fisik pada kisaran 60-70% denyut nadi
(ringan-sedang). Diukur dari denyut nadi maksimal yaitu 220
dikurangi usia.
c. Durasi/Time : Waktu Latihan fisik antara 30-60 menit.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 33

d. Type : dianjurkan aerobik, joging, senam, berenang, bersepeda,


jalan, yang bertujuan untuk meningkatkan stamina dan ketahanan
jantung serta paru-paru. Hindari jenis olahraga berat misalnya:
latihan beban, tinju, yudo, dan sebagainya.

Olahraga tidak begitu mempengaruhi kadar gula darah pada


penderita Diabetes Melitus tipe I, karena produksi insulin yang
terganggu/tidak ada, tetapi keuntungan olah raga pada penderita ini
adalah mengurangi risiko penyakit jantung dan gangguan pembuluh
darah perifer. Harus selalu diwaspadai untuk penderita yang mengalami
defisiensi insulin yang berat, berolahraga dapat menyebabkan gangguan
metabolik yang lebih berat (terjadi lonjakan gula darah dan keracunan
keton di dalam darah).
Latihan jasmani (olah raga)memiliki peran yang penting dalam
pengaturan glukosa darah pada penderita Diabetes Mellitus tipe II.
Pada penderita diabetes melitus ini, produksi insulin tidak terganggu
tetapi sensitivitas reseptorterhadap insulin sangat berkurang, sehingga
insulin tidak dapt membantu transfer glukosa ke dalam sel. Pada saat
latihan fisik, terjadi peningkatan permeabilitas membrane terhadap
glukosa pada otot yang berkontraksi. Kondisi ini menyebabkan resistensi
insulin berkurang atau terjadi peningkatan sensitivitas insulin, sehingga
menyebabkan kebutuhan insulin berkurang. Respons terhadap efek ini
tidak menetap atau berlangsung lama, tetapi hanya terjadi setiap kali
melakukan olahraga (latihan fisik).
Sebaiknya sebelum latihan fisik dilakukan pemeriksaan kesehatan
(medis) dan faal (kebugaran) terlebih dahulu untuk mengetahui
tingkat kebugarannya dan kondisi metaboliknya. Latihan fisik tidak
begitu saja dilakukan. Ada beberapa prinsip dalam berolahraga antara
lain:
a. Frekuensi olah raga sebaiknya dilakukan secara teratur.
b. Intensitas latihan ringan sampai sedang yaitu 60-70% dariMHR
(Maxmum Heart Rate). Kita menggunakan rumus: 220-umur. Sebagai
contohbila penderita diabetes berusia 50 tahun, makatarget heart
rate (THR)penderita adalah 60% MHR, maka apabila penderita
diabetes melakukan olahraga denyut nadi sebaiknya mencapi
60% x (220-50) = 102 kali/menit.
c. Durasi waktu berolahraga kisaran 30 hingga 60 menit.
34 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

d. Dipilih jenis olahraga yang tidak terlalu berat, seperti jalan,


bersepeda, jogging, berenang.
e. Kegiatan olah raga dilakukan secara berurutan yaitu pemanasan,
latihan inti dan pendinginan.
f. Pemanasan (warm-up) : Pemanasan dilakukan selama 5-10 menit,
aktivitas ini bertujuan untuk menaikkan suhu tubuh, meningkatkan
denyut nadi mendekati intensitas Latihan dan untuk mengurangi
kemungkinan cedera otot.
g. Latihan inti (Conditioning) : Latihan ini dilakukan selama 20 menit,
diupayakan denyut nadi mencapai THR (Target Heart Rate). Apabila
denyut nadi masih dibawah THR maka latihan fisik tersebut tidak
bermanfaat. Harus selalu diingat bahwa latihan fisik yang dilakukan
berlebih dapat akan menimbulkan risiko yang tidak diinginkan.
h. Pendinginan (cooling down) : Pendinginan dialakukan selama 5-10
menit, pendinginan ini bertujuan untuk mencegah penimbunan
asam laktat di otot yang dapat menimbulkan rasa nyeri di otot,
atau pusing karena darah masih banyak yang terkumpul di otot
yang masih aktif. Apabila paenderita diabetes melakukan jogging,
maka pada pendinginan sebaiknya tetap mengayun tanpa beban.
Stretching (peregangan) ditujuankan untuk melemaskan dan
melenturkan otot-otot yang masih teregang, hal ini sangat penting
untuk penderita diabetes usia lanjut.

3. Senam Diabetes
Diabetes Mellitus saat ini bukan hanya penyakit milik kaum
lansia saja, tetapi semua kalangan usia, mulai anak-anak hingga orang
dewasa bisa terjangkitsalah satu jenis sindrom metabolik ini. Tiga hal
pokok dalam pengobatan diabetes ini, menjalani pola hidup sehat,
berolahraga secara rutin, dan minum obat anti diabetes. Namun,
obat bukan pengobatan utama untuk penderita diabetes. Karena itu,
penderita diabetes disarankan untuk melakukan senam diabetes yang
dilakukan secara rutin 3-4 kali dalam satu minggu. Dengan melakukan
senam secara rutin, terbukti dapat mengkontrol kadar glukosa darah
agar tak bertambah tinggi. Senam diabetes dirancang dan diciptakan
oleh tim ahli spesialis rehabilitasi medis, penyakit dalam, olahraga
kesehatan, serta ahli gizi dan sanggar senam. Gerakan-gerakan senam
dibuat energik, tetapi tidak menghentak seperti senam kesegaran
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 35

jasmani (SKJ). Tetapi senam diabetes juga tidak low impact seperti pada
senam lansia. Walaupun gerakan senam diabetes tidak high impact,
tetapi gerakan senam ini dapatmembakar kalori tubuh.
Banyak variasi gerakan dalam senam diabetes ini, gerakan senam
diabetes dapat mengolah semua organ tubuh manusia, mulai otak
hingga ujung kaki, karena dampak penyakit Diabetes Mellitus ini
menyerang seluruh tubuh. Komplikasi paling ringan adalah kesemutan
dikedua kaki, komplikasi yang mungkin parah berupa stroke atau
seranfan jantung dan cuci darah. Gerakan-gerakan senam yang
bervariasi memungkinkan otak bekerja untuk bisa menghafalnya,
membiasakan otak bekerja akan mengingatkan daya ingat dan
memperkuat konsentrasi. Ini merupakan salah satu pengobatan untuk
stroke ringan serta mencegah terjadinya demensia (pikun). Senam
diabetes tidak hanya diperuntukan bagi penderita diabetes saja tetapi
juga bisa dilakukan oleh orang yang belum menjadi penderita diabetes
(kondisi prediabetes), tujuannya untuk mencegah tidak terkena Diabetes
Mellitus.
Gerakan-gerakan senam diabetes :
• Gerakan pemanasan 1 :
Berdiri di tempat dengan mengangkat kedua tangan ke atas selurus
bahu dan kedua tangan saling bertautan. Melakukan berakan
bergantian dengan posisi kedua tangan di depan tubuh.
• Gerakan pemanasan 2 :
Berdiri di tempat dengan mengangkat kedua tangan ke depan
tubuh hingga lurus bahu. Menggerakkan kedua jari tangan seperti
hendak meremas kemudian dibuka lebar. Gerakan ini dilakukan
secara bergantian dengan tangan diangkat ke kanan-kiri tubuh
hingga lurus bahu.
• Gerakan inti 1 :
Posisi berdiri tegap dengan kaki kanan maju selangkah ke depan
dan kaki kiri tetap di tempat. Mengangkat tangan kanan ke kanan
tubuh selurus bahu. Menekuk tangan kiri hingga telapak tangan
mendekati dada. Melakukan gerakan ini secara bergantian.
• Gerakan inti 2 :
Posisi berdiri tegap dengan kaki kanan diangkat hingga paha dan
betis membentuk sudut 90 derajat dan kaki kiri tetap di tempat.
36 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Mengangkat tangan kanan ke kanan tubuh seluruh tubuh selurus


bahu. Menekuk tangan kiri hingga telapak tangan mendekati dada.
Melakukan Gerakan ini secara bergantian.
• Gerakan pendinginan 1 :
Posisi kaki kanan agak menekuk dan kaki kiri lurus serta tangan
kiri lurus ke depan seluruh bahu. Menekuk tangan kanan ke dalam.
Melakukan Gerakan ini secara bergantian.
• Gerakan pendinginan 2 :
Posisi kaki membentuk huruf V terbalik dan kedua tangan
direntangkan ke atas membentuk huruf V.
Olahraga yang dilakukan secara teratur dapat mengendalikan risiko
timbulnya Diabetes Mellitus. Beberapa petunjuk penting berolahraga
bagi penderita diabetes :
Sebelum menjalani program olahraga harus berkonsultasi terlebih
dahulu ke dokter untuk mendapatkan informasi status kesehatan
beserta komplikasinya dan jenis olahraga yang direkomendasikan
sesuai dengan kondisi penderita diabetes. Olah raga akan dilarang oleh
dokter apabila:
a. Gula darah penderita diatas 250 mg/dl.
b. Penderita diabetes memiliki gejala retinopati, neuropati, nefropati
dan gangguan jantung (misalnya penyakit jantung koroner, infark
miokard, arritmia).
Apabila kondisi tubuh dinyatakan baik,olahraga dimulai dari yang
ringan seperti bersepeda, senam aerobik, berenang, berjalan. Olahraga
aerobik berguna untuk memperdalam pernafasan dan meningkatkan
performa jantung. Untuk penderita diabetes yang tidak pernah
berolahraga, aktivitas ini diawali dengan gerakan selama 10-20 menit
setiap kali latihan dan dilakukan beberapa kali seminggu.
a. Sebagian besar penderita diabetes tidak menyadari apabila memiliki
masalah di kaki mereka, sehingga sebelum melakukan olah raga
pastikan terlebih dahulu kenyamanan dan keamanan sepatu yang
dipakai:
1) Kaus kaki yang nyaman harus selalu digunakan.
2) Sebelum mengenakan sepatu periksa dahulu apakah ada krikil
atau benda lain.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 37

b. Lecet atau goresan di kaki harus dihindari.


c. Berenang, senam atau bersepeda yang tidak terlalu memebebani
kaki merupakan olag raga pilihan bagi penderita diabetes yang
memiliki masalah di kaki.
d. Sebaiknya menghindari mengangkat beban yang berat karena
dapat meningkatkan tekanan darah secara mendadak.
e. Untuk mengurangi risiko jantung dan cedera otot, awali dan akhiri
latihan dengan pemanasan dan pendinginan selama 5-10 menit.
f. Setiap kali latihan dinaikan satu faktor saja (misalnya frekuensinya,
lamanya atau intensitas latihannya), jangan menambah porsi latihan
secara drastis.
g. Supaya orang tahu apabila terjadi sesuatu dengan anda, sebaiknya
mengenakan tanda pengenal diabetes. Hipoglikemi merupakan
salah satu kejadian ikutan yang sering terjadi sewaktu berolahraga.
Peningkatan penyerapan glukosa oleh otot dan membaiknya
sensitivitas insulin dapat menurunkan glukosa darah ke tingkat
yang rendah (hipoglikemi). Waspadai bila timbul gejala hipoglikemi,
yaitu badan gemetar, jantung berdebar, rasa lapar, pusing, lesu,
bingung, keringat bertambah dan perubahan mood yang cepat.
h. Apabila mengalami gejala hipoglikemi:
1) Lakukan tes gula darah untuk mengetahui kadar gula darah.
2) Istirahat selama 10-15 menit, kemudian lakukan pengecekan
lagi sebelum melanjutkan latihan, tidak diperkenankan
berolahraga apabila kadar glukosa darah di bawah 100 gr/dl.
3) Selalu waspada munculnya kembali gejala hipoglikemi apabila
melanjutkan olahraga.
4) Konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat kompleks
seperti ubi, roti, dan jagung setelah selesai berolahraga.
i. Setelah latihan fisik yang agak berat lakukan pemeriksaan glukosa
darah 12 jam, untuk mengetahui adanya hipoglikemi yang muncul
setelah latihan (late onset).
j. Untuk meningkatkan dan mempertahankan motivasi anda
berolahraga, bergabunglah dengan klub-klub olahraga diabetes
yang ada di dekat tempat tinggal anda.Berolahragalah dengan
gembira.
38 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Dalam memilih latihan jasmani, penderita Diabetes Mellitus harus


memperhatikan beberapa hal berikut :
a. Metapkan jenis olahraga yang dipilih dan menyesuaikan dengan
tingkat beratnya diabetes serta keberadaan komplikasi.
b. Menghindari berlatih pada temperatur yang terlalu dingin atau
terlalu panas.
c. Menggunakan pakaian pelindung dan sepatu agar terhindar dari
perlukaan. Pilih sepatu yang pas dan tidak terlalu sempit dan tidak
terlalu ketat, periksalah kedua kaki sebelum dan sesudah latihan.
d. Tidak diperkenankan berolahraga pada saat atau setelah
hipoglikemi.
e. Tidak diperbolehkan latihan berat seperti sepakbola atau
badminton, apabila kadar gula darah > 250 mg/dl.
f. Sediakan asupan air dan makanan yang tepat dalam jumlah cukup.
g. Latihan diawali dengan pemanasan (warming up) selama 5-10 menit
kemudian diakhiri dengan pendinginan (cooling down) selama 5-10
menit.
h. Sebaliknya ukur frekuensi nadi sebelum dan sesudah latihan.
i. Apabila menghendaki latihan jasmani dalam waktu lama (>1 jam)
diperlukan asupan karbohidrat dengan 0,5 sendok makan gula
pasir tiap 30 menit.
j. Menghindari timbulnya hipoglikemi pada waktu latihan :
1) Memeriksa kadar gula darah sebelum latihan.
2) Latihan sebaiknya 1-3 jam setalah makan.
3) Apabila penderita diabetes memakai insulin, sebaiknya saat
berlatih dosis insulin dikurangi 25% atau seperempatnya.
4) Asupan makanan diperlukan selama dan setelah latihan yang
lama (lebih dari 1 jam).
k. Melakukan senam kaki diabetes
Untuk memperlancar sirkulasi darah ke kaki dan untuk
menghindari kekakuan otot, diperlukan senam kaki diabetes.
Senam kaki diabetes dapat dilakukan sambil tiduran, duduk atau
berdiri dengan gerakan-gerakan sebagai berikut :
1) Pergelangan kaki diputar ke arah luar dan dalam secara ritmik.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 39

2) Jari-jari kaki secara berirama ditekuk dan diluruskan.


3) Mengangkat kedua tumit bertumpu pada ujung jari depankaki
sambil berjongkokdan berdiri.
Lakukan senam kaki diabetes ini secara teraturdan santai, sambil
menikmati setiap gerakan-gerakan kaki.
4. Bermain dan Berolahraga
Semua aktivitas fisik, baik itu bermain, gerak badan atau berolahraga
selain memberikan banyak manfaat bagi kesehatan juga berguna untuk
perkembangan emosi dan sosial bagi diabetisi anak.
Keuntungan yang diperoleh setelah berolahraga antara lain :
a. Rasa eanak dan percaya diri bertambah.
b. Tubuh menjadi lebih bugar.
c. Kekuatan otot meningkat.
d. Tekanan darah dan denyut nadi menjadi lebih baik.
e. Lemak darah menurun.
f. Kinerja insulin membaik.
g. Resistensi insulin berkurang.
h. Gula darah menurun.
Karena gula darah bisa turun dosis suntikan insulin atau obat
diabetes yang diminum dapat dikurangi. Bagi anak diabetes yang
gemuk, olahraga dapat menurunkan berat badan. Anak tidak harus
mengikuti lomba atau kompetisi tetapi perlu memilih olahraga ringan
dan perlahan misalnya 20 menit dalam sehari, kemudian ditambah 5
menit setiap hari, sampai akhirnya bisa mencapai satu jam dalam satu
hari.
Bila anak anda tidak suka berolahraga dia bisa melakukan gerak
badan dengan bermain, berjalan, bersepeda berkelompok dengan
temen-teman, lompat tali, holahop, menari, atau main kasti.
5. Periksa Gula Darah
Semua aktivitas fisik atau olahraga akan menggerakkan otot. Otot
ini menggunakan banyak kalori atau membakar gula. Semakin kuat dan
semakin lama berolahraga semakin banyak pula gula yang digunakan,
sehingga gula darah bisa turun. Karena olahraga bisa menimbulkan
40 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

hipoglikemi perlu melakukan periksa gula darah sebelum memulai


gerak badan. Upayakan gula darah bertahan pada angka 100-150 mg/dl
selama aktivitas fisik dilakukan. Jika gula darah sebelum berolahraga
di bawah 150mg/dl, sebaiknya diabetisi anak makan snack setelah 30
menit melakukan olahraga. Anak yang lebih besar atau remaja harus
mengkonsumsi makanan karbohidrat15-30 gram setiap berolahraga
30-60 menit, misalnya dua biskuit atau segelas jus buah. Apabila gula
darah sebelum berolahraga 150-250 mg/dl, segeralah berolahraga tanpa
harus makan terlebih dahulu. Apabila glukosa darah terlalu tinggi (di
atas 250 mg/dl), sebaiknya terlebih dahulu melakukan pemeriksaan ada
tidaknya keton dalam urin. Suntikan insulin atau obat diabetes perlu
diberikan agar tidak terjadi hiperglikemia dan ketoasidosis.
6. Jangan Langsung Berolah Raga Bila Gula Darah Terlalu Tinggi
Khusus bagi anak dengan diabetes tipe 1, gula darah di atas 250 mg/
dl berisiko menimbulkan ketoasidosis diabetik (KAD). Oleh sebab itu,
cek dulu apakah urinnya mengandung keton. Jadi jika anda menemukan
keton positif, turunkan gula darah dengan suntikan insulin dan tunda
olahraganya sampai gula darah menjadi 150-250 mg/dl. Terburu-buru
memaksa anak berolahraga justru akan membuat gula darah lebih
tinggi dan memperburuk kesehatannya.
7. Hindari Kemungkinan Gula Darah Drop
Olahraga bisa menghabiskan cadangan gula di otot dan hati
sehingga gula darah bisa turun. Apabila cadangan gula (glikogen) tidak
diganti 30 menit setelah berolahraga, hipoglikemi (gula darah drop)
bisa timbul 1-6 jam bahkan 24 jam setelah selesai olahraga. Keadaan
demikian sering timbul jika anak itu berolahraga pada sore atau malam
hari dan ketika tengah malam bisa berkeringat dingin dan lemas. Jangan
lupa memeriksakan gula darah si anak pada malam hari sebelum tidur,
Pastikan anak itu makan sedikit snack sebelum tidur. Dosis insulin pada
malam hari mungkin perlu dikuragi.
8. Mengurangi Insulin atau Menambah Makan ?
Menghindari gula darah terlalu rendah setelah berolahraga bisa
dilakukan dengan mengurangi suntikan insulin atau dengan menambah
jumlah makanan. Jika olahraganya ringan lebih baik mencegah
kekurangan gula dengan menambah sedikit makanan kecil. Bila anak
itu sudah kegemukan lebih baik mengurangi dosis insulin ketimbang
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 41

menambah makan. Jika glukosa darah turun sampai di bawah 100 mg/
dl, anak itu harus diberi makanan karbohidrat sebanyak 15 gram. Kira-
kira satu kentang, apel atau beberapa biskuit. Dosis insulin biasanya
dikurangi sebanyak 30-50% bila olahraga dilakukan setengah sampai
satu jam lamanya.
9. Harus Banyak Minum
Anak diabetes yang berolahraga harus minum air lebih banyak
terutama jika olahraga dilakukan dengan intensif selama satu sampai
satu setengah jam. Pilihlah air biasa yang dingin (bukan air es). Diminum
sebelum, selama dan sesudah berolahraga. Minuman berenergi (sport
drinks) rasanya enak dan disukai anak. Minuman ini juga mengandung
garam baik untuk orang yang banyak melakukan aktivitas fisik.
Jangan memberikan minuman soda, kopi atau teh, minumn demikian
mengandung kafein, yang bersifat deuretik dan bisa membuat banyak
kencing sehingga mengakibatkan kekurangan cairan. Minuman jus buah
mengandung karbohidrat lebih dari 10%, pengosongannya di dalam
lambung dan usus lebih lama dan sebaiknya diencerkan dulu dengan
air. Minuman yang karbohidratnya berlebihan bisa menyebabkan
kembung, mual , diare, atau karm perut ketika berolahraga karena
bertahan di perut lebih lama. Minuman yang mengandung hanya
6-8% karbohidrat akan diserap sama cepatnya seperti air biasa, dan
karbohidratnya baik untuk energi ekstra selama berolahraga.
10. Anak Diabetisi Bisa Berprestasi
Penyakit diabetes bukan penghalang bagi anak untuk berprestasi
dalam olahraga. Bahkan ada atlit hebat yang ternyata adalah pengidap
diabetes baik yang tipe 1 maupun yang dulunya terkena tipe 2 dan
sekarang gula darahnya terkontrol baik. Di Amerika, ada atlit bisbol,
golf, renang, basket, yang ternyata adalah penderita diabetes yang
terus menggunakan insulin selama hidupnya, mereka menjadi terkenal
berkat prestasinya meraih medali di arena internasional.
11. Ada Berbagai Jenis Olahraga
Semua jenis aktivitas fisik bisa menurunkan kadar gula dalam
darah. Namun jenis olahraga yang berbeda bisa mempengaruhi
seberapa gula darah bisa turun. Apa pun gerak badan yang dilakukan
jangan lupa selalu mewaspadai gula darah sebelum, selama dan sesudah
berolahraga.
42 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Ada beberapa jenis olahraga:


a. Olahraga ketahanan (edurance sports). Misalnya berenang, jogging,
atau berlari. Olahraga ini bisa membakar banyak kalori dan
lemak. Sehingga kebutuhan suntikan insulin harus dikurangi
dan karbohidrat yang dikonsumsi perlu ditambah. Umumnya
dibutuhkan 15-30 gram karbohidrat untuk ativitas 30-60 menit.
b. Olahraga kekuatan (power sports). Contohnya adalah basket,
sepakbola, senam, atau gulat. Olahraga seperti ini lebih keras,
tetapi bagi anak biasanya dilakukan dalam durasi waktu yang
lebih singkat sehingga kebutuhan ekstra makanan tergantung pada
seberapa beratnya kegiatan fisik itu.
c. Olahraga kebugaran (fitness activities). Termasuk kelompok ini
adalah aerobik, sepeda statis atau yoga. Olahraga seperti ini
membuat otot lebih kuat dan tubuh menjadi lebih bugar, kinerja
insulin akan lebih baik sehingga dosis suntikan insulin dapat
dikurangi.
d. Olahraga rekreasi (recretaional sports). Main golf atau tenis
dimasukkan kelompokolahraga jenis ini. Makanan tambahan atau
pengurangan dosis obat diabetes hanya dilakukan bila olahraga ini
dilakukan dengan intensif.
Aerobik merupakan olahraga yang baik untuk mencegah diabetes,
aerobik merupakan olah raga teratur dan berirama. Aerobik berasal dari
kata aerobics (artinya menggunakan oksigen), jadi aerobik merupakan
latihan fisik yang memakai oksigen secara teratur sehingga tidak
membebani jantung dan paru. Aerobik melatih pernafasan dan denyut
jantung, sehingga mampu mengangkut oksigen dari paru ke jantung
terus ke pembuluh darah dan selanjutnya ke otot untuk beraktivitas.
Berbagai macam olahraga aerobik yaitu: senam, renang, jalan, joging,
sepeda, dansa aerobik, tennis atau golf, bila dilakukan dengan cara
aerobik. Olahraga aerobik bukan adu cepat atau adu kuat, tidak perlu
berolahraga sampai bersimbah peluh dan merona melainkan irama
teratur dengan pembakaran energi teratur.
Lakukan olahraga secara optimal, tidak perlu berlama-lama,
cukup 30 menit sehari dan dilakukan selama 5-7 hari dalam seminggu.
Dimulai dengan dengan 10 menit setiap hari, kemudian ditingkatkan
tiap minggu 5 menit sampai akhirnya mencapai 30 menit. Selain olah
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 43

raga aerobic, peregangan (stretching) dan olahraga kekuatan otot


(strengthening) selama beberapa menit harus dilakukan secara rutin.

Gambar Diagram Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Tipe 2


Atur waktu secara tepat untuk berolah raga, jangan sampai anjuran
olahraga akan mengganggu rutinitas pekerjaan. Sebagai contoh, senam
44 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

selama 10 menit setelah satu jam sarapan pagi, kemudian jalan kaki
selama 10 menit setelah satu jam makan siang, kemudian satu jam
setelah makan malam selama 10 menit olahraga naik sepeda statis
sambil menonton televisi.
Jadi untuk mencegah Diabetes Mellitus tidak diperlukan olahraga
prestasi atau olah raga yang berat, juga tidak diperlukan bersepeda
atau berjalan kaki selama berjam-jam sampai bersimbah peluh dan
kecapekan, melainkan hanya dianjurkan untuk berolah raga yang
ringan, kira-kira satu jam setelahmakan utama dengan melakukan
gerakan-gerakan yang ringan selama 10 menit, yang harus dilakukan
setiap hari secara rutin.
12. Terapi Oral Diabetes Mellitus
Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam memilih
obat hipoglikemik oral:
a. Dimulai dengan dosis rendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap.
b. Harus faham dan mengerti cara kerja obat, lama kerja obat dan
efek samping obat-obat tersebut (contoh, klorpropamid tidak boleh
diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerja obat tersebut 24 jam).
c. Pikirkan kemungkinan terjadinya interaksi obat bila obat tersebut
diberikan Bersama dengan obat yang lain.
d. Apabila terjadi kegagalan terhadap obat hipoglikemik oral, gunakan
obat hipoglikenik oral golongan lain, dan bila terjadi kegagalan
baru beralih ke insulin.
e. Usahakanlah harga obat terjangkau oleh penderita.
Hipoglikemik oral hanya dapat digunakan untuk penderita Diabetes
Mellitus yang tidak tergantung insulin awitan dewasa (NIDDM, DM
tipe II awitan dewasa). Obat hipoglikemik oral digunakan apabila terapi
diet gagal mengendalikan gula darah.
Sulfonilurea
Indikasi sulfonilurea pada pasien dengan berat badan yang
mendekati ideal dan gagal dengan pengobatan diet. Sekitar 30%
penderita tidak dapat terkontrol dengan obat ini. Sulfonilurea bekerja
dengan menstimulasi pelepasan insulin dari pulau-pulau pancreas.
Supaya pengobatan ini bermanfaat, pasien harus mempunyai sel β yang
secara parsial masih bisa berfungsi.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 45

Ada 2 generasi sulfonylurea :


• Generasi pertama : tolbutamid, tolazamid, klorpropamid dan
asetoheksimid.
1) Tolbutamid
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dioksidasi
dihati. Relatif pendek efeknya (6-10 jam), sehingga sulfonilurea
yang paling aman apabila digunakan pada penderita diabetes
usia tua. Tolbutamid paling baik diberikan dalam dosis yang
terbagi (misalnya 500 mg sebelum setiap kali makan dan
sewaktu mau tidur), beberapa penderita hanya membutuhkan
satu atau dua tablet per hari. Jarang terjadi reaksi alergi, jarang
timbul kemerahan pada kulit. Beberapa dilaporkan terjadinya
hipoglikemia yang lama. Obat ini jelas berkompetisi dengan
enzim oksidatif di hati yang mengakibatkan kadar tolbutamid
aktif yang tidak dimetabolisasi lebih tinggi didalam sirkulasi.
Onset tolbutamid cepat dengan masa paruh antara 4-7
jam. Didalam sirkulasi, 91-96% tolbutamid terikat pada
protein plasma dan dihepar dimetabolisme menjadi
karboksitolbutamid. Ekskresi tolbutamid melalui ginjal.
2) Klorpropamid
Waktu paruh klorpropamid 32 jam dan secara lambat
dimetabolisme di hati untuk menghasilkan beberapa aktivitas
biologis. Kurang lebih 20-30% diekskresikan diurin dalam
bentuk yang tidak berubah. Klorpropamid dikontraindikasikan
pada penderita insufisiensi ginjal atau hati. Rata-rata dosis
pemeliharaan adalah 250 mg perhari dan diberikan pada pagi
hari dalam bentuk dosis tunggal. Reaksi hipoglikemia pada
pemakaian klorpropamid lebih sering terjadi daripada dengan
tolbutamide terutama pada penderita tua. Resiko terjadinya
icterus meningkat pada dosis lebih dari 500 mg per hari. Efek
antidiuretik klorpropamid tidak bergantung pada bagian struktur
sulfonilureanya, karena tiga sulfonilurea yang (asetoheksamid,
tolazamid, gliburid) mempunyai efek diuretik pada manusia.
3) Tolazamid
Absorbsi tolazamid lebih lambat dari yang lain, beberapa jam
setelah obat diberikan efek terhadap neurunan glukosa darah
46 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

belum tampak nyata. Tolazamid memiliki masa paruh sekitar


7 jam, di hepar dimetabolisme menjadi p-karboksitolazamid,
4-hidroksimetiltolazamid dan senyawa lainnya, diantara
senyawa-senyawa tersebut memilki sifat hipoglikemik yang
cukup kuat.
Tolazamid dimetabolisasi menjadi senyawa-senyawa yang
tetap memiliki efek hipoglikemik. Jika dibutuhkan lebih dari
500 mg/hari, maka harus diberikan dua kali sehari dalam dosis
yang terbagi. Dosis yang lebih besar dari 1000 mg per hari
terbukti kurang memperbaiki tingkat pengendalian gula darah.
4) Asetoheksamid
Asetoheksamid diabsorpsi dengan baik dari gastrointestinal
dan sangat mudah terikat pada protein. Asetoheksamid
dimetabolisasikan oleh hati dengan 50% diubah menjadi suatu
metabolit.Lama kerja asetoheksamid antara 10-16 jam (diantara
tolbutamid dan klorpropamid). Dosis terapi 0,25-1,5 g perhari
terbagi dalam satu atau dua dosis.

• Generasi kedua : gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan


glimepirid.
Generasi kedua dari sulfonilurea mempunyai potensi hipoglikemi
hampir seratus kali lebih besar dari generasi pertama,walaupun
masa paruhnya pendek sekitar 3-5 jam. Efek hipoglikemik
berlangsung 12-24 jam, sehingga cukup diberikan satu kali sehari.
Sampai saat ini belum diketahui alasan mengapa masa-paruh yang
pendek ini memberikan efek hipoglikemik yang panjang.
1) Gliburid (glibenklamid)
Hati memetabolisme gliburid menjadi produk dengan aktivitas
hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal pengobatan 2,5
mg/hari atau kurang, kemudian untuk dosis pemeliharaan
antara 5-10 mg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal pagi
hari. Dosis pemeliharaan dengan dosis yang lebih tinggi dari 20
mg/hari tidak dianjurkan.
Potensi gliburid duaratus kali lebih kuat dari tolbutamide dan
masa paruhnya sekitar 4 jam. Sekitar 25% metabolit gliburid
diekskresi melalui urin dan sisanya melalui empedu, pada
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 47

pemberian dosis tunggal. Efek samping gliburid sangat sedikit


disamping potensinya menyebabkan hipoglikemia. Gliburid
tidak menyebabkan retensi cairan seperti pada klorpropamid.
Kontra indikasi gliburid terutama pada penderita dengan
gangguan hati dan penderita dengan insufisiensi ginjal.
2) Glipizid
Waktu paruh yang paling pendek (2-4 jam) dari obat-obat
golongan ini adalah glipizide. Obat ini harus diberikan 30 menit
sebelum makanuntuk mendapatkan efek yang maksimum
dalam menurunkan hiperglikemia.Absorpsi glipizide yang
cepat akan diperlambat bila obat ini diberikan bersama
makanan. Dosis awal pengobatan adalah 5 mg/hari, dengan
kenaikan sampai dosis 15 mg/hari, yang diberikan dalam bentuk
dosis tunggal.Dalam sirkulasi 98% terikat oleh protein plasma.
Potensi glipizid 100 kali lebih kuat dari tolbutamid tetapi
efek hipoglikemik mirip dengan sulfonylurea Dimetabolisme
di hepar menjadi metabolit yang tidak aktif, dan sekitar 10%
dalam keadaan utuh diekskresi melalui ginjal.
Tabel Golongan Obat Sulfonilurea
48 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

a) Mekanisme Kerja.
Obat-obat golongan sulfonilurea ini sering disebut sebagai
insulin secretagogues, karena mekanisme kerja obat ini
merangsang sekresi insulin dari sel-sel β langerhans
pankreas. Rangsangan ini melalui interaksi dengan
ATP-sensitive K channel pada membrane sel-sel β dan
menimbulkan depolarisasi membrane. Keadaan ini akan
membuka kanal Ca. Terbukanya kanal Ca menyebabkan
ion Ca2+ masuk sel-β, dan kemudian merangsang granula
yang berisi insulin. Rangsangan ini menyebabkan sekresi
insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C.
Selain itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin
di hepar. Pada penggunaan jangka panjang obat-obat
golongan ini atau penggunaan dengan dosis yang besar,
dapat menyebabkan hipoglikemia.
Mekanisme kerja sulfonilurea juga dapat menyebabkan
penurunan konsentrasi glukagon serum. Pemberian
sulfonilurea jangka panjang pada penderita diabetes yang
tidak bergantung pada insulin (tipe II) dapat menurunkan
kadar glukagon serum. Hal ini bisa menerangkan efek
hipoglikemik obat ini.
Sampai saat ini belum jelas mekanisme yang dapat
menerangkan efek penekanan sulfonilurea ini terhadap
kadar glucagon. Mekanisme ini sangat mungkin
melibatkan penghambatan langsung yang disebabkan oleh
peningkatan penglepasan insulin dan somatostatinyang
dapat menghambat sel A.
Sulfonilurea juga bekerja dengan cara memberikan efek
ekstrapankreas untuk memperkuat aktivitas insulin pada
target jaringannya. Pada penderita diabetes tipe II terdapat
bukti bahwa terjadi peningkatan pengikatan insulin
ke jaringan reseptor selama pemberian sulfonilurea.
Peningkatan efek dapat dicapai dengan pemberian agonis
dengan konsentrasi tertentu. Mekanisme kerja sulfonilurea
yang seperti itu akan menambah potensi efek insulin
penderita dalam kadar rendah maupun pada pemberian
insulin eksogen. Namun efek invivo ini tidak terjadi bila
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 49

insulin in vitro ditambahkan pada insulin jaringan target.


Pada penderita Diabetes Mellitus tipe I (yang bergantung
pada insulin tanpa adanya sekresi insulin endogen), maka
terapi sulfonilurea belum terbukti memperbaiki kontrol
glukosa darah, meningkatkan sensitivitas terhadap
pemberian insulin, atau meningkatkan pengikatan insulin
oleh reseptor.
b) Farmakokinetik
Sifat kinetika berbeda-beda untuk berbagaisulfonylurea,
tetapi absorbsi cukup efektif melalui saluran cerna.
Absorbsi berkurang dengan adanya makanan dan keadaan
hiperglikemia. Sulfonilurea dengan masa paruh pendek
lebih efektif apabila dikonsumsi 30 menit sebelum makan,
supaya kadar di plasma optimal. Sekitar 90% - 99%
sulfonilurea terikat protein plasma terutama albumin,
klorpropamid memiliki ikatan paling kecil, sedangkan
gliburid memiliki ikatan paling besar.

c) Efek samping obat


Hipoglikemia merupakan efek samping yang terpenting,
hipoglikemia dapat terjadi secara terselubung dan tanpa
50 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

ada gejala khas, khususnya untuk derivate yang kuat seperti


glibenklamid. Efek samping yang jarang terjadi yaitu
gangguan pada sistem pencernaan (mual, muntah, diare),
rasa tidak enak di mulut, sakit kepala, pusing, gangguan
kulit alergi (exanthema, fotosensitasi). Pada penderita yang
tidak mentaati diet, nafsu makan akan meningkat dan berat
badan cenderung naik.
Dosis yang tidak tepat bisa menyebabkan hipoglikemia,
hipoglikemia juga bisa disebabkan asupan makan yang
kurang atau adanya gangguan fungsi hepar atau ginjal.
Orang tua cenderung mengalami hipoglikemia, hal ini
disebabkan karena mekanisme kompensasi berkurang dan
juga asupan makanan yang cenderung kurang.Efek samping
sama dengan efek samping insulin. Memakai antidiabetik
tanpa memakan makanan yang cukup menyebabkan
reaksi insulin dengan tanda-tanda dan gejala-gejala seperti
kecemasan, tremor, dan kekacauan mental. Reaksi yang
merugikan adalah gangguan hematologi: anemia aplastik,
leukopeni, dan trombositopenia. Sulfonilurea merupakan
dikontraindikasikan pada IDDM (tidak ada sel-sel beta
yang berfungsi), masa kehamilan, menyusui, dan stress
(operasi atau infeksi berat).
Wanita hamil dengan Diabetes Mellitus tipe II atau pada
gestasional diabetes harus mendapatkan insulin untuk
meregulasi gula darahnya karena pemberian sulfonilurea
dapat menembus plasenta dan dapat mengosongkan
insulin dari pankreas janin. Asetoheksamid dan tolazamid
sekarang jarang digunakan. Klorpropamid seharusnya
dihindari pemakaiannya pada orang tua, efek sampingnya
cukup banyak, hipoglikemi, hiponatremia, dan jika
diberikan bersama dengan alkohol menimbulkan reaksi
disulfiram dan hipotensi.
Golongan sulfonylurea memiliki efek yang berbeda pada
pemakaian jangka lama dan jangka pendek. Misalnya
glibenklamid, pada pemakaian akut mempunyai masa
paruh 4 jam, tetapi pada pemakaian jangka lama (lebih
12 minggu) masa paruhnya memanjang sampai 12 jam
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 51

(bisalebih 20 jam pada pemakaian kronik dan dengan dosis


maksimal). Sehingga glibenklamid dianjurkan dipakai
sehari sekali. Efek glibenklamid lebih besar menurunkan
glukosa darah puasa daripada glukosa sesudah makan.
d) Indikasi pemakaian
Harus selalu dipertimbngkan terapi non farmakologis
untuk mengatasi hiperglikemianya dengan terapi diet,
olah raga dan penurunan berat badan menuju berat badan
yang ideal, sebelum memulai terapi dengan sulfonilurea.
Untuk keberhasilan terapi perlu dipilih sulfonilurea yang
tepat. Pertimbangan bukanlah dari umur pasien waktu
dimulainya terapi, tetapi usia pasien waktu penyakit
Diabetes Mellitus mulai timbul. Pada umumnya pasien
diabetes yang mulai timbul pada usia diatas 40 tahun akan
mendapatkan hasil terapi yang baik.
Perubahan farmakokinetik obat, misal penghancuran yang
terlalu cepat dapat menyebabkan kegagalan terapi dengan
salah satu derivate sulfonylurea. Pemeriksaan fisik dan
laboratorium harus tetap dilakukan secara teratur selama
terapi. Pada kondisi-kondisi tertentu yang gawat (stress
fisik, komplikasi, infeksi atau pembedahan) diindikasikan
pemakaian insulin.
Beratnya hiperglikemia menentukan dosis permulaan
sulfonilurea. Apabila kadar glukosa puasa kurang dari
200 mg/dL, maka sebaiknya sulfonylurea dimulai dengan
pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap 1-2
minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130
mg/dL. Apabila glukosa darah puasa diatas 200 mg/dL,
sulfonilurea dapat diberikan dengan dosis awal yang lebih
besar. Sebaiknya obat dikonsumsi setengah jam sebelum
makan karena akan diserap lebih baik. Apabila dosis obat
hanya diberikan sekali sehari, sebaiknya diberikan pada
pagi hari (sarapan pagi) atau pada waktu makan makanan
dengan porsi terbesar.
Meglitinid
Golongan obat meglitinid bekerja dengan mekanisme khusus
dengan mencetuskan pelepasan insulin dari pancreas segera sesudah
52 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

makan, sehingga meglitinida harus diminum tepat sebelum makan.


Resorbsi meglitinid cepat, kadar darah puncak tercapai dalam 1 jam.
Ekskresinya meglitinid cepat sekali, dikeluarkan dari tubuh dalam
waktu satu jam.
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinide
yang mempunyai mekanisme kerja sama dengan sulfonilurea tetapi
memiliki struktur kimianya yang sangat berbeda. Golongan meglitinid
merangsang insulin dengan cara menutup saluran Kalium yang ATP-
independent di sel β pancreas.
1) Repaglinid
Repaglinid adalah golongan meglitinide oral yang bekerja dengan
merangsang sekresi insulin, senyawa ini merupakan derivate
dariasam benzoat dan secara kimiawi strukturnya tidak berkaitan
dengan senyawa sulfonylurea.
Sama seperti sulfonylurea, repaglinida menstimulasi pelepasan
insulin melalui penutupan kanal kalium yang terergantung-
ATP pada sel β pankreas. Absorpsi secara cepat dari sistem
gastrointestinal dan kadar puncak dalam sirkulasi dicapai dalam
waktu satu jam. Repaglinida dimetabolisme di hati, dimana
metabolit obat ini tidak memiliki efek hipoglikemia. Pada pasien
insufisiensi hati, repaglinida harus digunakan secara hati-hati,
karena sekitar 10% (Sebagian kecil) repaglinid dimetabolisme oleh
ginjal. Pada pasien insufisiensi ginjaljuga harus hati-hati dalam
meningkatan dosis obat. Efek utama repaglinide sama dengan
sulfonylurea yaitu hipoglikemia.
2) Nateglinida
Nateglinida juga merangsang sekresi insulin, merupakan derivate
dari D-fenilalanin yang efektif bekerja secara oral. Nateglinida
merangsang sekresi insulin melalui blokade kanal kalium yang
sensitive-ATP pada sel β pankreas. Nateglinida memacu pelepasan
insulin lebih cepat tetapi kurang dalam mempertahankannya bila
dibandingkan dengan senyawa-senyawa antidiabetes oral lainnya.
Mengurangi peningkatan glukosa darah setelah makan pada
pasien Diabetes Mellitus tipe II merupakan efek terapeutik utama
obat ini. Waktu paling efektif mengkonsumsi nateglinida adalah 1
sampai 10 menit sebelum makan, dengan dosis 120 mg. Pemakaian
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 53

nateglinida harus hati-hati pada pasien insufisiensi hati karena obat


ini terutama dimetabolisme di hati, Kurang lebih 16% dari dosis
yang diberikan akan diekskresi oleh ginjal sebagai obat yang tidak
diubah. Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien gagal
ginjal. Nateglinida dapat menurunkan episode hipoglikemia bila
dibandingkan dengan obat-obat perangsang sekresi insulin oral
lainnya.
Biguanid
Tabel Biguanid

Tahun 1957 diperkenalkan metformin dan fenformin


diperkenalkan kemudian pada tahun 1958 bunformin diperkenalkan.
Metformin dan fenformin digunakan secara luas, tetapi buformin
terbatas pemakaiannya. Sekitar tahun 1970an fenformin ditarik
dibeberapa negara karena menyebabkan asidosis laktat. Metformin
jarang menyebabkan komplikasi asidosis laktat dan saat ini banyak
dipergunakan dibeberpa benua.
Metformin merupakan golongan biguanid yang saat ini banyak
dipakai untuk terapi Diabetes Mellitus tipe II. Dalam konsentrasi
yang tinggi metformin berada didalam usus dan hati dan tidak
dimetabolisme, tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Biasanya
metformin diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk
extended release karena cepatnya proses tersebut.
1) Mekanisme Kerja
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin, hal ini berbeda
dengan golongan sulfonylurea, sehingga risiko terjadinya
hipoglikemia lebih kecil dibandingkan dengan obat-obat golongan
54 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

sulfonylurea. Metformin dapat dipergunakan tersendiri atau dalam


kombinasi dengan sulfonylurea. Mekanisme kerja metformin
adalah mengurangi pengeluaran glukosa hati melalui hambatan
glukoneogenesis. Salah satu efek pentingmetformin adalah adalah
kemampuannya untuk mengurangi hiperlipidemia (menurunkan
kadar kolesterol LDL, VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol
HDL).
Karena kemampuan metformin menurunkan glukosa darah dan
tidak menyebabkan hipoglikemia, maka metformin tidak dianggap
sebagai obat hipoglikemik, tetapi sebagai obat antihiperglikemik.
Hipoglikemia yang terjadi pada pemakaian kombinasi dengan
sulfonylurea, akibat pengaruh dari sulfonilureanya.
Efikasi anti hiperglikemik Metformin sama dengan sulfonilurea
pada pasien Diabetes Mellitus tipe II obese dan non ebese.
Metformin tidak meningkatkan berat badan, hal ini berbeda dengan
sulfonilurea dan insulin.
Efikasi terapi diabet akan meningkat dengan penambahan
metformin sehingga bermanfaat pada Diabetes Mellitus tipe II
yang tidak dapat dikontrol dengan sulfonilurea tunggal dan dapat
menurunkan atau meniadakan injeksi insulin setiap hari. Efek
samping obat pada system gastrointestinal yang reversibel dapat
dikurangi dengan mengkonsumsi metformin bersama makanan
atau setelah makan, atau mengkonsumsi dengan dosis rendah
dan ditingkatkan sedikit-sedikit bilamana diperlukan. Asidosis
laktat jarang terjadi dan risiko kejadian dapat dikurangi dengan
pengawasan terhadap akumulasi obat atau laktat didalam tubuh.
Profil lipid plasma dan fibrinolitik yang berkaitan dengan Diabetes
Mellitus tipe II dapat diperbaiki dengan metformin, sehingga
menurunkan resiko terhadap penyakit kardiovaskular. Metformin
adalah obat first line pada terapi pasien Diabetes Mellitus tipe II
yang karena tidak meningkatkan berat badan. Tetapi metformin
juga baik untuk penderita yang non obese.
2) Farmakokinetik
• Biovaibilitas oral 50-60%. Absorpsi selesai di GIT 6 jam.
• Pada dosis tinggi biovaibilitas berkurang (pada dosis 500-1500
mg).
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 55

• Distribusi secara luas dan tidak berikatan dengan protein


plasma.
• Tidak ada metabolit / konjugat.
• Ekresi melalui renal, waktu paruh 4-8,7 jam. Ekskresi memanjang
pada penderita gagal ginjal dan berhubungan dengan klirens
kratinin.
3) Efek Samping
Asidosis laktat merupakan efek samping yang bisa terjadi adalah
asidosis, untuk mencegah terjadinya asidosis lakat, obat ini tidak
boleh diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal
(pada perempuan kreatinin lebih dari 1,3 mg/dL, dan pada laki-laki
kreatinin lebih dari1,5 mg/dL pada laki-laki) juga padapenderita
dengan gangguan fungsi hati dan gagal jantung. Obat ini harus
hati-hati diberikan pada pasien lanjut usia.
Mual, muntah, diare serta kecap logam (metalic taste) terjadi pada
hampir 20% pasien yang mendapatkan metformin. Keluhan-keluan
tersebut segera menghilang dengan menurunkan dosis obat,
Beberapa pasien yang tergantung insulin eksogen, pemakaian
biguanid bisa menimbulkan ketosis yang tidak disertai dengan
peningkatan glukosa darah (starvation ketosis). Kondisi ini harus
dibedakan dengan ketosis oleh karena kekurangan (defisiensi) insulin.
Pemakaian biguanid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal
atau kardiovaskulardapat menimbulkan peningkatan kadar asam
laktat dalam darah, sehingga keseimbangan elektrolit dalam cairan
tubuh bisa terganggu.
Tiazolidinedion
Mekanisme kerja utama golongan tiazolidinedion adalah
meningkatkan sensitivitas jaringan target terhadap insulin.
Tiazolidnedion ini memperkuat kerja insulin dalam pengambilan
glukosa dan oksidasi glukosa pada otot dan jaringan lemak, dan
menghambat keluarnya glukosa hati dan juga menurunkan kemampuan
sintesis lemak dalam sel otot dan sel lemak.
Troglitazon, rosiglitazon, dan pioglitazonmerupakan tiga senyawa
tiazolidinedion yang dipakai dalam praktek klinis. Troglitazon telah
ditarik dari penggunaannya karena menyebabkan toksisitas hati yang
parah.
56 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Glitazone atau golongan tiazolidinedion mempunyai efek


farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin. Pioglitazone dan
rosiglitazone adalah dua golongan tiazolidinedion yang digunakan
untuk terapi Diabetes Mellitus tipe II. Pioglitazone dan rosiglitazone
mampu menurunkan HbA1c sebesar 1,0-1,5% dan mampu
meningkatakan HDL, efek terhadap trigliserida dan LDL bervariasi.
Glitazone digunakan sebagai monoterapi atau tambahan terapi
pada penderita yang tidak respon dengan obat-obat hipoglikemik
lain (sulfonylurea, metformin) atau insulin. Pengobatan ini dialukakn
setelah terapi diet dan latihan fisik tidak dapat menurunkan glukosa
darah.
1) Mekanisme Kerja
Tiazolidinedion merupakan agonis selektif nuclear peroxisome
proliferator-activated receptor gamma, (PPARγ). Tiazolidinedion
berikatan dengan PPARγ, dan merangsang gen responsive-insulin
yang berperan dalam pengaturan metabolisme lipid dan karbohidrat.
Insulin dibutuhkan Tiazolidinedion untuk melakukan aktivitasnya.
Efek utama tiazolidinedion adalah mengurangi resistensi insulin di
jaringan perifer, dan juga menurunkan produksi glukosa oleh hati.
Transport glukosa kedalam otot dan jaringan adipose ditingkatkan
oleh tiazolidinedion dengan cara meningkatkan sintesis dan
translokasi bentuk protein transporter glukosa yang spesifik.
Gen yang mengatur metabolism asam lemak bebas dijaringan
perifer diaktivasi oleh tiazolidinedion. Ekpresi beberapa protein
yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki
peningkatan kadar gula, (seperti GLUT-1, GLUT-4, p85alphaPI-
3K dan uncoupling protein-2 [UCP]) juga diaktivasi oleh glitazon.
Pelepasan mediator resistensi insulin (seperti TNFα, leptin) dan
ekspresi protein juga dipengaruhi glitazon.
Troglitazon juga bekerja sebagai anti hipertensif yang mampu
menurunkan tekanan darah sistolik dan diatolik. Obat ini dianjurkan
sebagai obat tambahan pada pasien Diabetes Mellitus tipe II yang
mendapatkan insulin.
2) Farmakokinetik
Absorbsi glitazone berlangsung dengan cepat dan puncak
konsentrasi tercapai setelah 1-2 jam. Farmakokinetik obat ini tidak
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 57

dipengaruhi oleh makanan. Waktu paruh rosiglitazoneantara


3-4 jam dan pioglitazone 3-7 jam. Metabolism glitazone terjadi
di heparoleh sitokrom P-450. Rosiglitazon dimetabolisme oleh
isozim 2C8, pioglitazone dimetabolisme oleh 2C8 dan 3A4. Tetapi
penggunaan rosiglitazon 4mg 2 kali sehari bersama nifedipin atau
kontrasepsi oral (etinil estradiol dan noretindron) yang juga sama-
sama dimetabolism oleh isozim 3A4 tidak menunjukkan adanya
efek klinik negatif yang bermakna.
Keduanya dapat diberikan pada penderita dengan insufisiensi
renal, ekskresi melalui ginjal. Kontraindikasi pada gangguan hepar
(ALT 2,5 x nilai normal). Pada penelitian population pharmacokinetic
didapatkan bahwa kinetika obat tidak dipengaruhi oleh usia.
3) Efek Samping
Efek samping dari golongan obat ini adalah edema, peningkatan
berat badan, penambahan volume plasma dan perburukan gagal
jantung kongestif. Pada penggunaan bersama dengan insulin
sering menimbulkan edema. Pada penggunaan monoterapi jarang
menimbulkan hipoglikemia.
Penghambat Enzim α-Glikosidase
Pemakaianoral acarbose sebagai obat aktif pada pengobatan
penderita Diabetes Mellitus tipe II dan sebagai tambahan terapi insulin
pada Diabetes Mellitus tipe I. Akarbose bekerja dengan menghambat
glikosidase α usus, dan memperlambat pencernaan sukrosa dan tepung.
Efek utama akarbose menurunkan peningkatan glukosa darah post
prandial. Obat ini sebaiknya dikonsumsi bersamaan sewaktu makan.
Obat ini tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh
terhadap kadar insulin, obat ini bekerja di lumen usus.
Pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya
sangat tinggidapat digunakan akarbose sebagai terapi tunggal. Dalam
praktek sehari-hari, acarbose sering digunakan bersama dengan obat
antidiabetik oral lain, atau digunakan dengan kombinasi insulin.
Hasil maksimal dapat tercapai apabila obat ini diberikan segera pada
saat makan utama. Hal ini diperlukan karena acarbose merupakan
penghambat kompetitif. Acarbose sudah harus ada pada saat kerja
enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus.
Rata-rata glukosa postprandial dapat diturunkan sebesar 40-60
mg/dL, glukosa puasa 10-20 mg/dL dan kadar HbA1c 0,5-1% pada
58 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

monoterapi dengan acarbose. Pada terapi DM dengan kombinasi


sulfonylurea, metformin atau insulin maka penurunan HbA1c lebih
besar lagi, sekitar 0,3-0,5% dan rata-rata glukosa postprandial 20-30 mg/
dL dari keadaan sebelumnya.
1) Mekanisme Kerja
Enzim alpha glukosidase yang terdapat didinding enterosit (terletak
pada bagian proksimal usus halus) secara kuat dihambat oleh
acarbose, sehingga terjadi hambatan pembentukan monosakarida
intraluminal, hambatan dan perpanjangan peningkatan glukosa
darah postprandial dan pengaruh terhadap respon insulin plasma.
Akarbose merupakan oligosakarida. Akarbose berasal dari mikroba
dan miglitolyang merupakan suatu derivate desoksi nojirimisin
yang secara kompetitif juga menghambat glukoamilase dan
sukrase, tetapi efeknya pada α-amylase pankreas lemah. Akarbose
menghambat enzim α-glukosidase pada vili-vili usus (intestinal
brush border) sehingga akan menurunkan absorbs starch dan
disakarida, akibatnya glukosa darah setelah makan meningkat
tidak signifikan.
2) Farmakokinetik
Akarbose bekerja lokal pada saluran pencernaan dan hampir
tidak diabsorbsi. Akarbose mengalami metabolisme didalam
saluran pencernaan. Metabolisme acarbose terutama oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan.
Pada orang sehat waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam.
Sebagian besar acarbose diekskresi melalui feses.
3) Efek Samping
Gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulence dan diare
merupakan efek samping akibat maldigesti karbohidrat, dan
flatulence merupakan efek tersering hamper pada 50% pengguna
obat ini. Biovaibilitas metformin akan terhambat apabila diberikan
Bersama penghambat alpha glucosidase. Efek samping yang terjadi
bersifat dose-dependent (malabsorpsi, flatulen, diare dan abdominal
bloating). Efek samping dapat dikurangi dengan dosis dititrasi. Dosis
dimulai dengan dosis awal 25 mg pada saat mulai makan (selama
4-8 minggu), kemudian secara bertahap ditingkatkan setiap 4-8
minggu, sampai dosis maksimal 75 mg setiap tepat sebelum makan.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 59

Untuk dosis yang lebih kecil dapat diberikan dengan makanan kecil
(snack).
Insulin
Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh pankreas yang
berfungsi untuk mengontrol jumlah glukosadalam sirkulasi darah.
Pada penderita diabetes, pankreas tidak mampu untuk menghasilkan
insulin dalam jumlah yang cukup, atau tidak dapat menggunakan
insulin secara efektif. Sehingga glukosa akan tertimbun didalam
sirkulasi darah, kadar gukosa yang tinggi dan berlangsung lama
ini berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti
kebutaan, penyakit jantung, penyakit ginjal, amputasi pada ekstremitas,
kerusakan syaraf dan disfungsi ereksi.Insulin merupakan terapi utama
pada penderita Diabetes Mellitus tipe I dan beberapa kondisi pada
Diabetes Mellitus tipe II. Insulin dapat diberikan secara intravena atau
intramuscular sesuai indikasi dan kasus penderita.
Insulin disintesis di dalam sel β di pulau-pulau langerhans pankreas,
yang pada awalnya sebagai suatu prekursor rantai tunggal yang disebut
praproinsulin (bobot molekul sebanding 12.000). Manusia mempunyai
satu gen insulin yang berada pada bagian distal lengan pendek kromosom
11. Praproinsulin diubah menjadi proinsulin (polipeptida dengan 86-
asam amino, bobot molekul sebanding 9.000) dengan pemotongan
sebuah rangkaian 24-asam amino. Proinsulin melintasi aparat golgi dan
memasuki granul-granul penyimpanan yang khas; disini terbentuk tiga
ikatan disulfide (antara Cys7 dan Cys72, Cys19 dan Cys85, serta Cys71 dan
Cys76). Sesudah itu proinsulin dipecah dengan pemotongan satu residu
Arg-Arg pada posisi 31 dan 32 dan satu residu Lys-Arg pada 64 dan 65
oleh tripsin dan enzim semacam karboksikinase.
Insulin digunakan dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe I
(awitan anak-anak). Dapat juga digunakan untuk diabetes melitus yang
tidak tergantung insulin awitan dewasa (NIDDM, DM tipe II, awitan
dewasa) bila diet dan atau terapi hipoglikemik oral gagal mengendalikan
gula darah secara bermakna. Pemilihan preparat insulin (aksi-cepat,
aksi-intermediet, aksi-lama) dan sumber (sapi, semisintesis, rekombinan
DNA manusia) tergantung derajat kontrol yang diinginkan, fluktuasi
gula darah sehari-hari dan riwayat reaksi sebelumnya.
Pankreas menghasilkan hormone insulin yang berfungsi untuk
menurunkan glukosa darah. Insulin meningkatkan transport glukosa ke
60 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

dalam sel dan memacu perubahan glukosa menjadi glikogen. Perubahan


asam amino menjadi protein didalam otot, sintesis trigliserida dan
hambatan pelepasan asam lemak bebas, semuanya dibawah pengaruh
aktivitas insulin.
Insulin didapatkan dari pankreas hewansewaktu hewan-hewan ini
disembelih. Insulin manusia (humulin) diperkenalkan pada tahun 1983
dan diproduksi dengan 2 metoda yang terpisah: (1) mengubah asam
amino yang berbeda dari insulin hewan atau (2) memakai tekhnologi
DNA. Insulin sekarang lebih murni daripada insulin dahulu terutama
Humulin yang diproduksikan dengan teknologi DNA memberikan efek
samping yang lebih sedikit. Strain khusus Escherichia coli memproduksi
insulin manusia, dan telah diubah secara genetik mengandung gen
untuk insulin manusia.

Gambar Daerah Disuntikkannya Insulin


Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 61

Kadar glukosa darah, hormone-hormon lain dan mediator


autonomic mengatur sekresi insulin. Pada umumnya sekresi insulin
dipacu oleh ambilan glukosa darah yang tinggi dan fosforilasi didalam
sel-β pankreas. Kadar adenosine trifosfat (ATP) meningkat dan akan
menghambat kanal K+, sehingga menyebabkan membran sel mengalami
depolarisasi dan terjadi influks Ca++, kondisi ini akan menyebabkan
pulsasi eksositosis insulin.
Insulin adalah protein sehingga mengalami degradasi di saluran
cerna apabila insulin tersebut diberikan per oral. Sehingga insulin
diberikan secara suntikan subkutan atau intra vena. Insulin diinaktivasi
dengan jalan mengurangi enzim, insulinase, yang terutama terdapat
dihati dan ginjal.Insulin injeksi dibutuhkan ketika tubuh memproduksi
insulin sedikit atau tidak ada (diabetes tipe 1) tetapi juga diperlukan
untuk beberapa orang dengan diabetes tipe 2 ketika tablet oral anti
diabet bersama-sama dengan makan sehat dan aktivitas fisik secara
teratur, tidak cukup untuk mengendalikan kadar glukosa darah.
Macam-macam insulin dibedakan didasarkan pada lama kerja
(kerja cepat, sedang dan panjang), atau dibedakan didasarkan asal
spesiesnya. Human insulin merupakan hasil teknologi rekombinan
DNA, dalam larutan yang cair lebih larut karena adanya asam amino
treonin (di tempat alanin) dan adanya ekstra gugus hidroksil. Saat ini
preparat insulin sebagian besar berada pada pH netral, sehingga lebih
stabil dan dapat disimpan pada suhu ruangan dalam beberapa hari.Ada
5 jenis insulin yang tersedia :
1) Rapid onset-fast acting insulin
Insulins kerja cepat mulai bekerja 1-20 menit, kadar puncak
tercapai sekitar satu jam kemudian dan bertahan antara 3-5 jam.
Pada penggunaan insulin jenis ini harus segera makan setelah
penyuntikan.
Contoh insulin kerja cepat :
a) Novorapid (insulin aspart)
b) Humalog (insulin lispro)
c) Apidra (insulin glulisine)
2) Short acting insulin
Merupakan insulin kerja pendek. Glukosa darah mulai turun dalam
waktu setengah jam, sehingga injeksi insulin diberikan setengah
62 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

jam sebelum makan. Insulin jenis ini memiliki efek puncak setelah
2-4 jam dan berlangsung selama 6 sampai 8 jam.
Contoh insulin kerja pendek :
a) Actrapid
b) Humulin R
c) Hypurin Neutral (beef)
3) Intermediate acting insulin
Jenis insulins ini mulai bekerja sekitar satu setengah jam setelah
disuntikan, dan memuncak pada 4 sampai 12 jam dan berlangsung
selama 16 hingga 24 jam.
Contoh jenis insulin kerja sedang :
a) Suspensi insulin semilente
Merupakan endapan amorf insulin dengan ion seng dalam
buffer asetat. Jenis insulin ini tidak cocok untuk pemberian
intravena. Onset dan efek puncaknya berlangsung cepat, tetapi
agak lebih lambat dari insulin regular.
b) Suspensi insulin isofane
Sering disebut neutral protamine Hagedorn (HPN)yang merupakan
suatu suspensi insulin seng kristalin yang dikombinasikan
pada pH netral dengan muatan positif polipetida protamin.
Masa kerja insulin jenis ini sedang. Hal ini akibat lambatnya
absorbsi insulin karena adanya konjugasi insulin dengan
protamin untuk membentuk kompleks yang kurang larut.
NPH hanya diberikan secara subkutan (tidak intra vena), dan
diindikasikan untuk pengobatan semua jenis diabetes kecuali
diabetes ketoasidosis atau hiperglikemia darurat.
c) Insulin lente
Merupakan kombinasi campuran 30% insulin semilente (kerja
cepat) dan 70% insulin ultralente (kerja lama). Absorbsi relatif
cepat pada jenis kombinasi ini dan hanya diberikan secara
subkutan.
4) Mixed insulin
Insulins campuran, mengandung kombinasi pra-campuran baik
dengan onset cepat dan bertindak sebagai insulin pendek dan
menengah, sehingga lebih mudah dengan memberikan dua jenis
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 63

insulin dalam satu injeksi. Jika insulin adalah '30/70 'maka bertindak
cepat berisi 30% dan 70% intermediate.
Contoh jenis insulin campuran kerja cepat :
a) Novomix 30 (30% insulin aspart dan 70% protamine crystallised
insulin aspart)
b) Humalog Mix 25 (25% insulin lispro dan 75% insulin lispro
protamine suspension)
Contoh jenis insulin kerja pendek :
a) Mixtard 30/70
b) Mixtard 50/50
c) Humulin 30/70

Gambar Mekanisme Obat Anti Diabetes


5) Long acting insulin
Insulin Glargine (Lantus) adalah insulin kerja panjang yang biasanya
disuntikkan sekali sehari namun dapat dua kali sehari. Glargine
64 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

tidak boleh dicampurkan dengan insulin lain dalam jarum suntik.


Glargine pena tersedia untuk digunakan dengan kartrid insulin
Glargine. Insulin Detemir (Levemir) juga merupakan insulin kerja
panjang yang dapat disuntikkan sekali atau dua kali sehari. Detemir
tersedia dalam pena pakai disebut flexpen serta tabung 3 ml untuk
digunakan dengan perangkat pena tahan lama.
Kedua Glargine dan Detemir bertahan hingga 24 jam. Keduanya
digunakan untuk memberikan latar belakang atau insulin basal dan
keduanya harus dilengkapi dengan suntikan yang cepat atau onset
insulin sangat cepat pada waktu makan.
Komplikasi pemakaian insulin yang paling sering dan serius
adalah hipoglikemia, yang disebabkan karena overdosis insulin
atau asupan kalori yang tidak adekuat (kurang mencukupi). Pada
hipoglikemia yang berat bisa berakibat koma dan kematian sangat
mungkin terjadi apabila pasien tidak diterapi dengan glukosa. Pada
semua sediaan insulin sering terjadi lipohipertrofi, tetapi reaksi
lokal alergi pada tempat suntikkan jarang terjadi.

I. Komplikasi Diabetes Mellitus


Komplikasi pada penderita Diabetes Melitus bisa terjadi akut
maupun kronis. Komplikasi akut dapat terjadi akibat pemakaian obat
hipoglikemik oral atau injeksi atau akibat dari perjalanan penyakit itu
sendiri. Komplikasi akut meliputi : Koma hipoglikemi, Koma Ketoacidosis
Metabolik (KAD), Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHONK).
1. Patofisiologi Komplikasi Akut Diabetes Mellitus
Aktivitas insulin ditujukan untuk menghasilkan cadangan energi
tubuh. Insulin memacu peningkatan ambilan asam amino dan glukosa
terutama di sel-sel otot dan sel lemak. Insulin memacu sintesis protein
dan menghambat pemecahan protein di hati, otot, dan sel lemak. Insulin
meningkatkan sintesis glikogen di hati dan otot tubuh, menghambat
pemecahannya, dan merangsang glikolisis serta menghambat
gluconeogenesis dari asam amino. Pembentukan trigliserida dan
lipoprotein serta pelepasan VLDL dari hati ditingkatkan oleh insulin.
Pada waktu bersamaan, insulin merangsang lipoprotein lipase sehingga
mempercepat pemecahan trigliserida menjadi lipoprotein di dalam
darah (terutama kilomikron). Asam lemak bebas dan gliserol kemudian
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 65

diambil oleh sel lemak dan disimpan kembali sebagai trigliserida.


Insulin merangsang lipogenesis dan menghambat lipolisis di sel
lemak. Terakhir, insulin meningkatkan pertumbuhan sel, absorpsi Na+
di tubulus ginjal dan kontraktilitas jantung. Sebagian kerja insulin
diperantarai oleh pembengkakan sel (terutama antiproteolisis) dan
alkalosis intrasel (perangsangan glikolisis, peningkatan kontraktilitas
jantung). Insulin memperoleh efek ini dengan mengaktifkan penukar
Na+/H+ (pembengkakan sel dan alkalinisasi), kotranspor Na+-K+-
2Cl- (pembengkakan sel), dan Na+-K+-ATPase. Hal ini menyebabkan
pengambilan K+ oleh sel dan terjadi hipokalemia. Karena glukosa
bergabung dengan fosfat di dalam sel, insulin juga mengurangi
konsentrasi fosfat plasma. Selanjutnya, insulin merangsang pengambilan
Mg+2 di dalam sel. Insulin secara parakrin juga menghambat pelepasan
glucagon, dan karena itu mengurangi kerja perangsangannya pada
glikogenolisis, gluconeogenesis, lipolysis, dan ketogenesis.
Pada kondisi defisiensi akut insulin akan terjadi hiperglikemia
karena pengaruh insulin pada metabolism glukosa tidak ada. Timbunan
glukosa di ekstrasel menyebabkan hiperosmolaritas. Transport
glukosa ke ginjal akan meningkat sehingga glukosa di ekskresikan ke
dalam urin. Kondisi ini akan menyebabkan diuresis osmotik disertai
dengan kehilangan air (poliuria), Na+ dan K+ dari ginjal, rasa haus
dan dehidrasi. Walaupun tubuh kehilangan ion kalium (K+) dari ginjal
tetapi tidak terjadi hipokalemia karena sel-sel melepaskan ion kalium
akibat penurunan aktivitas kontranspor Na+-K+-2Cl- dan Na+-K+-
ATPase. Oleh karena itu, konsetrasi K+ ekstrasel cenderung meningkat
sehingga menyamarkan keseimbangan K+ negative. Pemberian insulin
kemudian menyebabkan hipokalemia yang dapat mengancam nyawa.
Hipovolemi terjadi akibat dehidrasi dengan menimbulkan gangguan
sirkulasi, mulai derajat ringan samapi berat. Pelepasan aldosteron
yang terjadi akan menyebabkan meningkatnya kekurangan ion kalium.
Pelepasan epinefrin dan glukokorikoid akan memicu meningkatnya
katabolisme. Aliran darah ginjal yang menurun akibat hipovolemi
akan menyebabkan berkurangnya ekskresi glukosa dari ginjal sehingga
memicu timbulnya hiperglikemia.
Fosfat (Pi) dan magnesium semakin hilang dari sel yang juga
diekskresi oleh ginjal. Apabila terjadi defisiensi insulin, maka protein
akan dipecahkan menjadi asam amino di otot dan jaringan lain.
66 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Pemecahan otot yang terjadi bersamaan dengan gangguan elektrolit


akan menimbulkan kelemahan otot. Akibat lipolysis terjadi pelepasan
asam lemak ke dalam sirkulasi darah (hiperlipidasidemia). Asam
asetoasetat dan asam hidroksibutirat-β dihasilkan di hati dari asam
lemak. Asidosis terjadi karena penumpukan asam-asam tersebut, pasien
berpanas cepat dan dalam (nafas kusmaull). Beberapa asam dipecah
menjadi bend aketon (aseton). Trigliserida juga akan dibentuk di hati
dari asam lemak dan bergabung menjadi VLDL. Sehingga defisiensi
insulin akan memperlambat pemecahan lipoprotein dan hiperlipidemia
menjadi semakin berat. Beberapa trigliserida akan tetap berada didalam
hati dan menyebabkan perlemakan hati.
Penurunan berat badan penderita karena pemecahan protein dan
lemak serta poliuria. Metabolisme yang abnormal, adanya gangguan
elektrolit dan perubahan volume sel karena perubahan osmolaritas
dapat menganggu fungsi neuron dan menyebabkan koma hyperosmolar
atau ketoasidosis.
Akibat utama defisiensi insulin relatif adalah hiperglikemia dan
hiperosmolaritas, sedangkan pada defisiensi insulin absolut, selain
akibat tersebut dapat peningkatan proteolisis dan lipolisis (ketoasidosis).
2. Patofisiologi Komplikasi Kronis Diabetes Mellitus
Defisiensi insulin yang absolut atau relatif dan tidak mendapatkan
terapi yang adekuat dalam waktu yang lama (beberapa tahun atau
dekade), akan menyebabkan perubahanyang luas di tubuh dan bersifat
ireversibel. Dalam kondisi ini hiperglikemia memainkan peranan yang
penting.
Di dalam sel yang mengandung enzim aldosareduktase, glukosa
direduksi menjadi sorbitol. Alkohol heksahidrat ini tidak dapat melewati
membrane sel sehingga konsentrasi didalam sel meningkat dan sel
menjadi bengkak. Penumpkan sorbitol di lensa mata mengakibatkan
terjadinya penarikan air yang kemudian akan merusak kejernihan lensa
(perkabutan lensa) sehingga timbul katarak. Sorbitol yang tertimbun di
sel schwann dan neuron akan menyebabkan pengurangan konduksi
saraf (polineuropati), terutama akan berpengaruh pada sistem saraf
otonom, reflex, dan fungsi sensorik. Sel berkompensasi dengan
melepaskan mioinositol untuk menghindari pembengkakan, yang pada
akhirnya myoinositol tidak tersedia lagi untuk fungsi lainnya.
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 67

Penyusutan sel terjadi ketika sel tidak dapat mengambil glukosa


dalam jumlah yang cukup karena hiperosmolaritas ekstrasel. Penyusutan
ini akan menganggu fungsi-fungsi sel, diantaranya fungsi limfosit
dalam pembentukan superoksida yang penting dalam sistem imun.
Karena itu pasien diabetes sangat rentan terhadap infeksi, misalnya
infeksi kulit (furunkel) dan ginjal (pyelonefritis). Infeksi-infeksi ini
akan meningkatkan kebutuhan insulin sehingga terjadi peningkatan
pelepasan hormon antagonis insulin.
Pembentukan protein plasma yang mengandung gula, seperti fib
rinogen,haptoglobin,macroglobulin-α2 serta faktor pembekuan V-VIII
meningkat karena kadar glukosa darah dalam sirkulasi yang tinggi,
Kondisi ini cenderung meningkatkan pembekuan dan viskositas darah,
sehingga risiko risiko thrombosis meningkat.
Jaringan protein dapat dibentuk melalui pembentukan pentosin.
Di membrane sel AGE berikatan dengan reseptornya masing-masing,
sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane
basalis pembuluh darah. Transforming growth factor β(TGF-β)
merangsang pembentukan jaringan ikat. Serabut kolagen dapat diubah
melalui glikosilasi. Akibat dua perubahan ini menyebabkan penebalan
membrane basalis, penyempitan lumen dan penurunan permeabilitas
(mikroangiopati). Perubahan ini juga terjadi di retinayang pada
akhirnya dapat menyebabkan kebutaan (retinopati). Glomerulosklerosis
(Kimmelstiel-Wilson) juga akan terjadi di ginjal, yang dapat
menyebabkan proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus, hipertensi
dan gagal ginjal. Konsetrasi asam amino yang tinggi di dalam plasma
akan menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi pada sisa glomerulus yang
masih utuh, dan lama kelamaan akan mengalami kerusakan.
Proses terjadinya makroangiopati dipercepat oleh peningkatan
VLDL di dalam darah, peningkatan kecenderungan pembekuan darah
dan hipertensi, kondisi ini akan semakin merusak ginjal, menyebabkan
infark miokard, infark serebri dan penyakit pembuluh darah perifer.
Glukosa dalam sirkulasi dapat berikatan dengan hemoglobin
(HbA) untuk membentuk HbA1c. Peningkatan HbA1c dalam darah
menunjukkan keadaan hiperglikemia yang telah berlangsung lama.
Afinitas oksigen terhadap HbA1c lebih tinggi daripada HbA sehingga
lebih sukar melepaskan oksigen di perifer. Defisiensi insulin yang
menetap akan menyebabkan penurunan konsentrasi 2,3-bisfosfogli serat
68 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

(BPG) di eritrosit, yang sebagai pengatur hemoglobin alosterik akan


menurunkan afinitas oksigen. Kekurangan BPG juga menyebabkan
peningkatan afinitas oksigen HbA.
Secara statistik, ibu yang mengalami diabetes memiliki peluang
yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan berat badan lebih
dari normal. Hal ini terjadi akibat peningkatan konsentrasi asam
amino didalam darah yang akan menyebabkan peningkatan pada
sekresisomatotropin.
Komplikasi jangka panjang yang terjadi pada penderita Diabetes
Mellitus berupa kelainan padapembuluh darah kecil (mikrovaskular)
dan juga pada pembuluh darah besar (makrovaskular), biasanya
komplikasi terjadi setelah lima tahun menderita diabetes. Komplikasi-
komplikasi tersebut adalah :
a. Retinopati diabetik
Merupakan komplikasi mikrovaskular pada mata akibat paparan
glukosa darah yang tinggi pada periode waktu yang lama. Kelainan
ini dibuktikan dengan pemeriksaan segmen posterior mata dengan
funduskopi.
b. Nefropati diabetik
Merupakan kelainan mikrovaskuler pada ginjal yang ditandai
dengan adanya albuminuria yang menetap (>300 mg/24 jam atau
>200 µg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam periode
waktu 3-6 bulan.
c. Neuropati diabetik
Neuropati diabetik adalah gambaran komplikasi menahun DM
yang mengenai sistem syaraf. Paling banyak ditemukan adalah
neuropati perifer, berkisar antara 10% sampai 60% selain itu
didapatkan juga neuropati otonom.
d. Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Penyakit Jantung Koroner adalah penyulit makrovaskular yang
bermanifestasi sebagai aterosklerosis yang disebabkan oleh
komplikasi DM.
e. Stroke
Merupakan komplikasi kronik Diabetes Mellitus yang mengenai
pembuluh darah otak (makrovaskular). Sering kali bermanifestasi
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 69

sebagai stroke iskemik akibat gangguan pembuluh darah otak


karena kondisi hiperglikemia yang lama.
f. Kaki diabetik/gangren
Merupakan komplikasi kronik diabetes akibat gangguan
makrovaskular dan mikrovaskular (neuropati sensorik, motorik
dan autonom) pada ekstremitas bawah.
g. Komplikasi tulang dan sendi
Merupakan kelainan pada persendian atau tulang yang terjadi akibat
hiperglikemi yang berlangsung lama. Kelainan ini dapat berupa
osteoartritis, gout, bursitis, demineralisasi tulang dan kontraktur.

J. Paramater Kendali Diabetes Mellitus


Bagian terpenting pada pengelolaan penderita diabetes adalah
pemantauan status metabolik penderita. Pengendalian metabolisme
yang baiak berarti menjaga supaya kadar glukosa darah dalam
sirkuasi berada dalam kisaran normal (seperti kondisi pasien bukan
Diabetes Mellitus), sehingga terhindar dari keadaan hiperglikemia atau
hipoglikemia. Diharapkan dengan pengendalian diabetes yang baik
pasien dapat terhindar dari komplikasi Diabetes Mellitus yang akut
maupun yang kronik.
Pengendalian kadar gula darah secara ketat (tight diabetes control)harus
dilakukan untuk mencegah progresivitas diabetes beserta komplikasinya.
Pemeriksaan laboratorium HbA1c, glukosa darah, tekanan darah dan
albuminuria dilakukan untuk pemantauan penderita diabetes.
1. Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan hemoglobin yang melalui proses glikosilasi
berikatan dengan glukosa darah.Hemoglobin adalah zat warna dalam sel
darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen dan karbondioksida.
Sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi pada
orang normal. Hal ini berarti bahwa glukosa terikat pada hemoglobin
melalui proses enzimatik dan bersifat reversible. Apabila kadar glukosa
darah tinggi dalam waktuyang lama, maka ikatan ini akan berubah
menjadi irreversible. Pada penderita Diabetes Mellitus glikosilasi
hemoglobin meningkat secara proporsionaldengan peningkatan kadar
rata-rata glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya. Hasil tes HbA1c
70 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

normalbila kadar glukosa darah selama 2-3 bulan terakhir berada dalam
kisaran antara 70-140 mg%. Anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinopati mempengaruhi hasil pemeriksaan HbA1c.
2. Pemeriksaan Gula Darah
Faktor terpenting yang harus dikendalikanadalah kadar gula
darah. Pemeriksaan setidaknya dilakukan sebulan sekali atau bahkan
lebih sering lagi tertgantung indikasinya. Menurut konsensus Perkeni,
kriteria baik bila glukosa darah puasa 80-100 mg/dl, glukosa darah dua
jam setelah makan 80-144 mg/dl.
3. Pemeriksaan Tekanan Darah
Tekanan darah 130/80 mm Hg merupakan target tekanan darah
bagi orang dewasa (lebih dari 18 tahun) menurut konsensus Perkeni.
Target tekanan darah menjadi lebih rendah lagi (120/75 mmHg) apabila
disertai proteinuria lebih dari satu gram per 24 jam.
4. Pemeriksaan Albuminuria
Albuminuria merupakan salah satu pertanda dini terjadinya
gangguan pada sistem kardiovaskular (pembuluh darah jantung) dan
ginjal. Pada ginjal normal protein tidak dikeluarkan lewat air kemih.
Disebut mikroalbuminuria jika kadar protein 30-299 mg/24 jam dan
makroalbuminuria lebih dari 300 mg/24 jam. Mikroalbuminuria
bisa dipulihkan dengan obat-obatan. Sedangkan makroalbuminuria
menunjukkan fungsi ginjal telah terganggu dan tidak bisa pulih.

Kriteria Pengendalian Diabetes Mellitus


Baik Sedang Buruk
Glukosa darah (mg/dL)
- puasa 80-100 100-125 ≥ 126
- 2 jam postpandrial 80-144 145-179 ≥ 180
HbA1c (%) < 6,5 6,5-8 ≥8
Kol. Total (mg/dL) < 200 200-239 ≥ 240
Kol. LDL (mg/dL) < 100 100-129 ≥ 130
Kol. HDL (mg/dL) > 45
Trigliserida (mg/dL) < 150 150-199 ≥ 200
IMT (kg/m )
2
18,5-23 23-25 > 25
Tekanan darah (mmHg) ≤ 130/80 130-140/80-90 > 140/90
Pankreas-Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Melitus 71

Faktor-faktor lain seperti berat badan, tekanan darah, dan


profil lipid merupakan sasaran pengelolaan Diabetes Mellitus,
disampingpengelolaan glukosa darah itu sendiri. Faktot-faktor yang
harus dikelola dan dikendalikan penderita diabetes tampak pada
sasaran pengendalian Diabetes Melitus yang dianjurkan dalam
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe II di Indonesia tahun
2006 (PERKENI), yang ditunjukkan seperti pada tabel di atas.
Pengendalian dan kontrol glukosa darah pada penderita Diabetes
Melitus sangat diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi akut
maupaun kronik. Untuk meningkatkan usia harapan hidup, menunda
dan mencegah timbulnya komplikasi maka diharapkan penderita
diabetes Melitus selalu berada pada kisaran kriteria pengendalian
“Baik”.
Perlu difahami bahwa pengobatan pada penderita Diabetes Melitus
bukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, tetapi lebih diarahkan
untuk mencegah timbulnya komplikasi akut maupun kronik penderita,
sehingga kualitas hidup penderita menjadi semakin baik.
72 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)


Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 73

3
KOMPLIKASI KRONIK DIABETES MELITUS
DAN PENANGANANNYA

P engobatan Diabetes Mellitus (DM) yang baik diperlukan untuk


mencegah atau menunda munculnya komplikasi akut maupun
kronis pada berbagai macam organ (otak, mata, jantung sistem
pencernaan, ginjal, pembuluh darah kaki). Kerjasama yang baik antara
penderita dan petugas kesehatan diperlukan untuk mencegah atau
menghambat perkembangan timbulnya komplikasi Diabetes Mellitus.
Keikutsertaan dan kedisiplinan diri pasien dalam mengelola dirinya
sendiri menjadi hal yang sangat penting.

A. Komplikasi Kronis Diabetes Mellitus


Pergeseran komplikasi akut (koma ketoasidosis dan infeksi) ke arah
komplikasi kronik terjadi seiring dengan ditemukannya insulin oleh
Banting dan Best pada tahun 1921 yang kemudian insulin dikembangkan
dan diterapkannya untuk pengelolaan pasien DM. Risiko terjadinya
Penyakit Jantung Koronerr (PJK) dan penyakit pembuluh darah otak
2 kali lebih besar pada penderita Diabetes Mellitus. Risiko terjadinya
ulkus/gangren sebanyak 50 kali. Risiko timbulnyaGagal Ginjal Terminal
7 kali lebih besar dan 25 kali cenderung mengalami kebutaan karena
kerusakan retina.
Di Indonesia data komplikasi menunjukkan kecenderungan
peningkatan yang sama. Data SKRT menunjukkan adanya peningkatan
prevalensi penyakit jantung dari tahun 1980 ke tahun 1986 (dari 5,2%
menjadi 6,3%). Angka kematian akibat penyakit jantung juga meningkat
dari tahun 1986 ke tahun 1992 (dari 9,7% menjadi 16,5%), termasuk
penderita Diabetes Mellitus yang meninggal karena penyakit jantung.
Komplikasi kronik Diabetes Mellitus dapat terjadi disemua
pembuluh darah di seluruh tubuh (angiopati diabetik). Angiopati
diabetik dibagi menjadi dua yaitu : (1) Makroangiopati (makrovaskuler)

73
74 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

dan (2) Mikroangiopati(mikrovaskuler). Komplikasi bisa terjadi sendiri-


sendiri atau terjadi bersamaan pada satu individu.
Komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler dapat menyerang
semua organ tubuh penderita Diabetes Melitus, diantara organ-organ
tubuh yang tersering terkena adalah ginjal dan mata (mikrovaskuler),
sedangkan komplikasi makrovaskuler lebih banyak mengenai jantung,
otak dan pembuluh darah kaki. Sistem syaraf sensorik, motorik
dan autonom juga sering mengalami komplikasi kronis (neuropati).
Penderita Diabetes Mellitus sangat mudah terkena infeksi dan bisa
berakhir dengan amputasi atau kematian karena sepsis dan syok
septik, mudah timbulnya infeksi ini akibat komplikasi makro dan
mikrovaskuler.
Banyak faktor yang berperan dan berpengaruh terhadap timbulnya
komplikasi DM. Seorang pasien dapat juga baru ditemukan dengan
hiperglikemia ringan disertai komplikasi DM yang lanjut atau sudah
berpuluh tahun diketahui mengidap DM tanpa disertai komplikasi
yang berarti.
Diantara pasien DM terdapat 20-25% yang tidak terkena komplikasi,
walaupun sudah lama menderita DM tetapi tidak didapatkan kelainan
vaskuler yang bermakna, tetapi ada juga penderita yang baru mengidap
Diabetes Melitus tetapi didapatkan kelainan vaskuler yang lanjut.
Beberapa faktor yang berperan dan berpengaruh untuk timbulnya
komplikasi makrovaskuler antara lain : kadar glukosa darah yang
tinggi, kondisi hiperlipidemia, diet makanan tinggi lemak jenuh,
hipertensi, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, hiperinsulinemia, adanya
kelainan mikrovaskuler, kelainan genetik, kelainan pada glikoprotein,
pengobatan yang sudah diberikan, adanya neuropati, adanya efek
metabolik lain akibat defisiensi insulin, tingginya viskositas darah, dan
adanya riwayat perokok.
Adapun faktor yang berpengaruh terhadap komplikasi
mikrovaskuler pada pasien Diabetes Mellitus antara lain : kadar glukosa
darah (tingginya kadar glukosa, lamanya, naik turunnya glukosa/
kelabilannya), tekanan darah penderita, obesitas, jenis kelamin, usia,
kadar insulin dalam serum, kadar lipid serum penderita, genetik,
status gizi/diet, riwayat pengobatan, merokok dan faktot-faktor lain
(permeabilitas dan fragilitas kapiler, koagulabilitas dan viskositas
darah, oksigenisasi, protein serum/glikoprotein).
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 75

Faktor-faktor tersebut sering kait mengait dan sulit untuk


menentukan faktor mana yang paling berperan dalam menimbulkan
komplikasi mikrovaskuler. Bagi para ahli epidemiologi, masalah
komplikasi kronik DM merupakan bagian tugas mereka yang paling
sulit, terutama mengenai epidemiologi komplikasi kaki diabetik.
Karena banyaknya faktor yang harus diperhatikan, sangat sulit untuk
mendapatkan suatu penelitian yang cukup sahih untuk menjelaskan
dan menentukan faktor mana yang lebih penting.
Hipotesis genetik dan hipotesa metabolik merupakan dua hipotesa
terjadinya komplikasi kronik DM yang saat ini mempunyai data
pendukung yang cukup.
1. Hipotesis Genetik
Terjadinya komplikasi vaskuler pada penderita Diabetes Mellitus
idak berhubungan dengan abnormalitas metabolik penderita,
tetapi sudah ditentukan oleh faktor genetik individu mana yang
cenderung timbul komplikasi vaskuler dan individu mana yang
tidak.
Pendapat ini didukung oleh riset dari Siperstein dkk, yang
menunjukkan adanya kelainan pada basal membran otot penderita
Diabetes Mellitus (90% pasien) dan 53% pada individu normal yang
kedua orang tuanya menderita Diabetes Mellitus. Pada individu-
individu dengan Diabetes Mellitus tidak didapatkan perbedaan
kelainan ketebalan daribasal membran pada berbagai subkelompok
yang diteliti (kelompok lama menderita DM, kelompok terapi diet
dan kelompok terapi insulin).
2. Hipotesis Metabolik
Adanya kelainan metabolik pada penderita Diabetes Mellitus
memudahkan terjadinya komplikasi kronik DM. Berdasarkan
pendapat ini, West lebih setuju bila kelainan vaskuler dianggap
sebagai manifestasi patologis daripada sebagai komplikasi DM.
Sedangkan kondisi yang mudahkan timbul infeksi (misal timbulnya
TBC), dipisahkan sebagai komplikasi DM.
Hipotesis ini harus ditunjang dengan bukti bahwa dengan kontrol
glukosa darah yang bagus, komplikasi kronik DM dapat dicegah,
komplikasi yang sudah terjadi bisa dihambat atau komplikasi
yang sudah terjadi bisa diperbaiki. Hipotesa ini didukung oleh
76 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

data-data pasien yang mengalami transplantasi ginjal, ginjal dari


individu normal akan menunjukkan kelainan khas DM setelah
ditransplantasikan pada pasien DM. Begitu juga sebaliknya, ginjal
pasien DM akan menjadi normal setelah ditransplantasikan pada
individu normal. Beberapa riset retrospektif (di Belgia-Pirart) dan
riset prospektif (di Steno,tentang retinopati pada pasien yang diterapi
dengan insulin secara konvensional dibandingkan dengan insulin
yang diberikan secara perinfus) mendukung hipotesis metabolik ini.
Terakhir ini, suatu penelitian yang besar dan luas, jangka panjang,
yang melibatkan 26 sentra di Amerika dan 3 sentra di Kanada pada
pasien DM tergantung Insulin juga mendukung hipotesis ini.
Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa pengobatan secara
intensif dan pengendalian kadar glukosa darah senormal mungkin
sangat besar manfaatnya untuk mencegah atau memperlambat
timbulnya komplikasi. Pada penelitian multisenter jangka panjang
ini (10 tahun) didapatkan bukti bahwa pengobatan intensif dan
teratur dapat menghambat dan mencegah timbulnya maupun
progresi komplikasi kronik DM. Walaupun penelitian tersebut
dilakukan pada pasien DM tergantung insulin dan belum ada
penelitian yang cukup sahih yang dilakukan pada pasien DM Tidak
Tergantung Insulin, agaknya secara umum orang sependapat bahwa
ekstrapolasi hasil penelitian pada pasien DM Tidak Tergantung
Insulin yang merupakan jumlah terbanyak pasien DM tidak akan
merugikan.
Beberapa teori tentang patogenesis terjadinya komplikasi kronik
Diabetes Mellituskarena hiperglikemia :
1. Teori Sorbitol
Kadar gula yang tinggi menyebabkan penumpukan glukosa pada
sel dan jaringan tertentu yang dapat menstransport glukosa tanpa
memerlukan insulin. Secara normal, glukosa darah yang berlebih ini,
semuanya tidak akan termetabolisme melalui proses glikosis, tetapi
dengan enzim aldose reduktase sebagai perantara, akan dirubah
menjadi sorbitol. Akibatnya sel/jaringan terisi tumpukan sorbitol, yang
menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi dari sel.
Kelainan pada berbagai organ terutama lensa mata dan saraf dapat
diterangkan dengan hipotesa ini. Namun hipotesa ini belum dapat
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 77

menerangkan terjadinya perburukan pada retina pada saat kadar


glukosa darah pasien sudah membaik.
2. Teori Glikosilasi
Semua protein mengalami glikosilasi karena paparan glukopsa
darah yang tinggi, terutama protein yang mengandung senyawa
lisin. Komplikasi Diabetes Mellitus baik makrovaskuler maupun
mikrovaskular dapat dijelaskan karena terjadinya proses glikosilasi
pada protein membran basal. Keadaan hyperglicemic memory yang
tidak dapat dijelaskan dengan teori sorbitol juga disebabkan karena
terjadinya proses glikosilasi pada protein membran basal. Saat ini
teori ini banyak dikembangkan. Diharapkan proses komplikasi
kronik Diabetes Mellitus dapat dihindari atau dicegah dengan
ditemukannya suatu senyawa yang dapat menghambat proses
glikosilasi ini. Akhir-akhir ini sedang dikembangkan dan diteliti
senyawa aminoguanidin yang dikatakan dapat menghambat proses
glikosilasi ini. Mudah-mudahan akan segera memberikan hasil
yang bermanfaat.

B. Pengenalan Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus


Timbulnya komplikasi kronis Diabetes Melitus sulit diprediksi
munculnya tetapi bisa diantisipasi dengan kontrol gula darah yang
bagus. Diagnosis dini komplikasi kronik harus segera ditegakkan karena
apabila komplikasi sudah timbul maka akan sulit untuk memperbaikinya
kembali. Sehingga pada semua pasien Diabetes Mellitus harus diperiksa
secara berkala untuk mencari adanya komplikasi kronik pada semua
organ sasaran. Pemeriksaan fisik sangat diperlukan untuk mencari
adanya komplikasi kronik Diabetes Melitus, selain itu juga diperlukan
pemeriksaan penunjang (laboratorium) untuk membantu mencari
komplikasi tersebut.
• Penyakit Jantung Koroner :
- Anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, Tes Pembebanan,
Echocadripografi.
• Penyakit Pembuluh Darah Kaki :
- Anamnesis, Pemeriksaan fisik, peradaban arteri, Doppler.
• Penyakit pembuluh darah otak :
- Anamnesis, pemeriksaan fisik, CT Scan.
78 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

• Mata :
- Pemeriksaan funduskopi berkala , FFA.
• Ginjal :
- Pemeriksaan protein urin, kreatinin, mikroalbuminuria.
Hasil-hasil penelitian telah membuktikan bahwa kendali glukosa
darah yang bagus pada rentang paramater nilai normal akan dapat
mencegah bahkan memperbaiki komplikasi yang sudah terjadi. Untuk
dapat mencapai hasil yang bagus tentu diperlakukan kerja keras dan
koordinasi yang sangat baik antara pasien dan petugas kesehatan.
Usaha menormalkan kadar glukosa darah menjadi pedoman
dasar dalam penatalaksanaan semua komplikasi kronik Diabetes
Mellitus. Pada beberapa komplikasi ditambahkan dengan tindakan
dan penatalaksanaan khusus untuk komplikasi tersebut. Tentu saja
dalam mengelola dan mencegah komplikasi Diabetes Mellitus ini kita
harus memperhatikan pasien secara keseluruhan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya komplikasi kronik Diabetes Mellitus secara
bersamaan harus diidentifikasi, bukan hanya kadar glukosa darahnya
saja.
• Penyakit Jantung Koroner(PJK) :
- Penatalaksanaandecompensatio cordis dan infark.
- Penatalaksanaan penyempitan pembuluh darah koroner.
- Penatalaksanaa secara konservatif dengan medikamentosa.
- Penatalaksanaan ivasif (bedah pintas koroner, angioplasti).
• Gangren :
- Penatalaksanaan secara konservatif dengan medikamentosa,
debridemen (perawatan luka) dan mengatasi infeksi.
• Retina :
- Tindakan fotokoagulasi, vitrektomi, vitrektomi dengan endolaser.
• Gagal ginjal :
- Penatalaksanaan konservatif (diet dan obat).
- Penatalaksanaan dengan tindakan.
- Tindakan hemodialisis.
- Tindakan peritoneal dialisis.
- Tindakan transplantasi ginjal.
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 79

Dengan bekal pengetahuan yang memadai disertai kesadaran akan


perlunya pengabdian yang tinggi dan usaha yang terus menerus serta
tidak mengenal bosan, disamping tentu saja keterlibatan pasien sendiri
diharapkan hasil yang maksimal bagi pasien DM terutama dalam hal
mencegah dan mengelola komplikasi kroniknya.
Komplikasi Diabetes Mellitus bisa bersifat akut maupun kronis.
Komplikasi akut akibat defisiensi insulin menyebabkan glukosa darah
naik ketingkat yang sangat tinggi. Sedangkan komplikasi kronis adalah
karena adanya disfungsi vaskular diberbagai organtubuh. Komplikasi
kronis terdiri dari komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, gejala
terjadi rata-rata 15 sampai 20 tahun setelah terjadi hiperglikemia.

C. Nefropati Diabetik
1. Definisi
Nefropati diabetik merupakan sekumpulan gejala klinis yang
terjadi pada penderita Diabetes Mellitus yang ditandai adanya
albuminuria yang persisten (lebih 300 mg /24 jam atau lebih 200µg/
menit) padapemeriksaan minimal 2 kali dalam rentang waktu 3-6 bulan.

2. Etiologi
Faktor-faktor etiologis yang dapat menyebabkan timbuknya
nefropati diabetik adalah :
a. Kadar glukosa darah yang tak terkendali (glukosa darah puasa
lebih 140-160mg/dl [7,7-8,8 mmol/l]) ; HbA1c>7-8%.
b. Adanya faktor genetis.
c. Adanya kelainan hemodinamik (aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulous, peningkatan tekanan intraglomerulous).
d. Sekresi growth factors.
e. Adanya kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein.
f. Adanya kelainan stuktural (hipertropi glomerulus,ekspansi
mesangium, penebalan membrane basalis glomerulus).
g. Adanya gangguan ion pumps (peningkatan Na+-H+ pump dan
penurunan Ca2+-ATPase pump).
h. Riwayat hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia).
i. Aktivasi dari protein kinase C.
80 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

j. Riwayat hipertensi.
k. Metabolik syndrome (resistensi insulin).
l. Keradangan (inflamasi).
m. Adanya perubahan permeabilitas pada pembuluh darah.
n. Konsumsi protein berlebih.
o. Adanya gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol,
pembentukan advanced glycation end products, peningkatan produksi
sitokin).

3. Faktor Resiko
Hasil studi menunjukkan bahwa tidak semua penderita Diabetes
Mellitus tipe I dan II akan berakhir dengan komplikasi Nefropati
Diabetik, didapatkan adanya beberapa faktor risiko terjadinya Nefropati
Diabetik, yaitu :
a. Adanya hipertensi dan prediposisi genetika dalam keluarga.
b. Adanya kepekaan (susceptibility) tertentu terhadap Nefropati
Diabetik.
1) Antigen HLA (human leukosit antigen) : Ditemukan hubungan
faktorgenetika tipe antigen HLA tertentu dengan kejadian
Nefropati Diabetik, dimnana Nefropati Diabetik lebih sering
ditemukan pada individu dengan Ag tipe HLA-B9.
2) Glukose trasporter (GLUT), penderita Diabetes Mellitus yang
mempunyai GLUT 1-5 berpotensi untuk terkena Nefropati
Diabetik.
c. Kondisi hiperglikemia.
d. Asupan protein hewani.

4. Klasifikasi
Kelainan ginjal dan perjalanan penyakit Diabetes Mellitus lebih
banyak dipelajari pada Diabetes Mellitus tipe I dari pada tipe II.
Mogensen membagi menjadi 5 tahapan :
a. Tahap 1 : Pada saat diagnosis ditegakkan terjadi hipertrofi dan
hiperfiltrasi. Laju ekskresi albumin dan laju filtrasi glomerulus dan
dalam uri meningkat.
b. Tahap 2 : Tampak kelainan klinis yang berarti, laju filtrasi
glomerulus tetap meningkat,eksresi albumin dalam urin dan
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 81

tekanan darah normal. Ada perubahan histologis pada tahap awal


berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik. Terjadi
peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan
matriks mesangium).
c. Tahap 3 : Ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipient.
Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai
derajat normal. Laju ekskresi albumindalam urin adalah 20-200ig/
menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara
histologist didapatkan peningkatan ketebalan membrane basalis
dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
d. Tahap 4 : Adalah tahap lanjut nefropati. Jelas terjadi perubahan
histologis, muncul hipertensi untuk sebagian besar pasien. Pada
tahap ini sering kita temukan Sindroma nefrotik. Terjadi penurunan
laju filtrasi glomerulus, sekitar 10ml/menit/tahun dan progresifitas
penurunan ini berkorelasi dengan tingginya tekanan darah.
e. Tahap 5 : Munculnya gagal ginjal terminal.

Tahapan Nefropati Diabetik oleh Mogensen


Tahap Kondisi Ginjal AER LFG TD Prognosis
Hipertrofi
1 N Meningkat N
Hiperfungsi
Meningkat/ Mungkin
2 Kelainan struktur N Meningkat
N reversibel
Mikroalbuminuria 20- 200 Meningkat/ Mungkin
3 Meningkat
persisten mg/menit N reversibel
Mungkin
Mikroalbuminuria >200 mg/
4 Rendah Hipertensi bisa
Proteinuria menit
stabilisasi
Tinggi/ <10 ml/ Kesintasan 2
5 Uremia Hipertensi
rendah menit tahun + 50%

AER : Albumin Excretion Rate, LFG : Laju Filtrasi Glomerulous (GFR),


N : Normal, TD : Tekanan Darah.

5. Patofisiologi
Sampai saat ini masih belum jelas benar mekanisme terjadinya
peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetic, hal ini
sangat mungkin disebabkan karena dilatasi arteriol aferen oleh efek
yang tergantung glukosa darah, yang diperantarai hormon vasoaktif,
82 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Nitric Oxide, prostaglandin, IGF-1 dan glukagon. Hiperglikemi memiliki


efek langsung berupa rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks
ekstraseluler serta produksi IGF-1 yang diperantarai oleh aktivasi
protein kinase C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase
yang memiliki fungsi pada pembuluh darah seperti kontraktilitas,
proliferasi sel, permeabilitas kapilerdan aliran darah,
Glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan
Browning) disebabkan karena hiperglikemia kronik. Residu amino
secara nonenzimatik diikat oleh glukosa menjadi basa schiff glikasi,
kemudian terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih
stabil tetapi masih reversible. Bentukan ini disebut sebagai produk
amadori. Proses ini akan berlanjut terus dan terbentuk Advanced Glication
End-Products (AGEs) yang irreversibel. Diperkirakan bahwa AGEs
ini menjadi perantara bagi beberapa aktivitas seluler seperti ekspresi
adhesion molecules yang berfungsi untuk menarik sel-sel mononuclear,
juga terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi
sintesis Nitric Oxide.

Proses tersebut terus berlangsung sampai terjadi ekspansi


mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 83

(sesuai tahap-tahap mogensen). Bertambahnya kerusakan ginjal dan


timbulnya sclerosis terjadi bersamaan dengan semakin meningkatnya
tekanan darah pada penderita Nefropati Diabetik.

6. Karakteristik Nefropati Diabetik


Pada ginjal penderita Nefropati diabeticum secara karakterisik
didapatkan gambaran-gambaran :
a. Material matriks messangium yang meningkat.
b. Adanya penebalan pada membrane basalis glomerulus.
c. Terjadinya hialinosis pada arteriol aferen dan eferen.
d. Adanya penebalan pada membrane basalis tubulus.
e. Terjadi atrofi di tubulus.
f. Adanya fibrosis intrsitisial.

7. Diagnosis
Diagnosis komplikasi Nefropati Diabetik padapenderita Diabetes
Mellitus didasarkan pada manifestasi klinis dan hasil laboratorium yang
menunjang penyakit dasarnya dan komplikasi yang ditimbulkannya.
• Manifestasi klinis
Didapatkan gejala uremia : badan lemah,mual, muntah, anoreksia.
Didapatkan juga anemia, overhidrasi, hipertensi, kejang-kejang,
asidosis, sampai koma uremik. Disamping itu didapatkan juga
tanda-tanda neuropati, retinopati dan gangguan serebrovaskular
atau gangguan profil lemak.
• Manifestasi laboratorium.
Peningkatan kadar glukosa darah, proteinuria (mikroalbuminuria
30-300 mg/24 jam atau makroalbiminuria 300 mg/24 jam),
dislipidemia (kolesterol total,LDL,trigliserida meningkat dan HDL
menurun).
• Diagnosis dini
Ditemukan adanya mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria (30-300
mg/24 jam) merupakan penanda paling awal adanya Nefropati
Diabetik, dan juga sebagai penanda terjadinya gangguan membran
basal yang menjadi petunjuk progresivitas penyakit kearah
terjadinya nefropati klinis.
84 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

• Pemeriksaan mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria adalah ekskresi albumin lebih dari 30 mg/hari
dan merupakan prediktor penting timbulnya Nefropati Diabet.
• Pemeriksaan kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin atau ureum serum merupakan bukti
adanya Gagal Ginjal. Gagal Ginjal diitemukan antara 2% sampai
7,1% pada penderita Diabetes Mellitus.

Laju Ekskresi Albumin Urin


Laju ekskresi albumin urin Perbandingan
Kondisi 24 jam Sewaktu (ug/ Albumin urin-
(mg/dl) menit) kreatinin(µg/mg)
Normoalbumin <30 <20 <30
Mikroalbumin 30-300 20-200 30-300
Makroalbumin >300 >200 >300

Sebagai sarana follow up, International Society of Nefrology (ISN)


menyarankan pemakaian perbandingan albumin-kreatinin (albumin-
creatinine ratio-ACR) untuk kuantifikasi proteinuria.
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 85

Disamping Diabetes Mellitus, banyak penyebab terjadinya


miroalbuminuria, penyebab lain yang tersering adalah tekanan darah
tinggi dan umur lanjut. Disamping itu laju ekskresi albumin urin bisa
ditingkatkan juga oleh kehamilan, infeksi sistemik atau saluran kemih,
dekompensasi metabolik akut, asupan protein yang sangat tinggi,
stress, demam, latihan berat dan juga gagal jantung.
Diagnosis ditegakkan jika dua dari tiga pemeriksaan berturut-turut
dalam waktu 3 bulan menunjukkan adanya mikroalbuminuri.
• Screening for diabetic nephropathy and nondiabetic renal disease.
86 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

8. Tatalaksana
• Evaluasi
Kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal pada saatdiagnosa
Diabetes Mellitus ditegakkan, demikian juga saat pasien sudah
menjalani pengobatan rutin. American Diabetes Association (ADA)
merekomendasikan pemantauan yang dialakukan adalah
pemeriksaan adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin
serum dan klirens kreatinin.

• Terapi
Manajemen terapi Nefropati Diabetik tergantung pada tahapanan
nefropatinya, apakah masih normoalbuminuria, mikroalbuminuria
atau sudah terjadi makroalbuminura. Pada prinsipnya tatalaksana
utama pada Nefropati Diabetik adalah sebagai berikut :
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 87

1) Pengendalian glukosa darah (olah raga, pengaturan diet dan


obat anti diabetes)
Langkah terpenting untuk mencegah atau mengurangi semua
komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati adalah
pengendalian glukosa darah penderita.
a) Pengaturan diet : Pengaturan diet harus sesuai petunjuk
yang diberikan team medis, misalnya adanya diet khusus
pada penderita dengan obesitas atau dengan penyakit
penyerta. Diet dengan pembatasan protein hewani, lemak
atau garam bersifat individual tergantung dari penyakit
penyerta, misal adanya hiperkolesterolemia, urolitiasis
(batu kalsium), hiperurikemia dan artritis gout atau
hipertensi esensial.
b) Pengendalian hiperglikemia
- Insulin : Insulin diberikan tergantung indikasi pada
pasien. Insulin tidak selamanya dipakai, ada kalaunya
kemudian insulin distop pemakaiannya dan digantikan
obat anti diabetes oral setelah kondisi penderita
membaik (pada Diabetes Mellitus tipe II).
- Obat antidiabetik oral (OADO) : Untuk penderita
dengan tingkat edukasi rendah sebagai upaya
memeliharakepatuhan (complience), diberikan OADO.
Pemberian dan pemilihan macam OADO harus
perhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik obat
antara lain : bentuk eleminasi dari tubuh dalam bentuk
obat atau metabolitnya, eleminasi obat melalui ginjal
atau hepar, dan perbedaan efek penghambat terhadap
arterial smooth muscle cell (ASMC).
2) Pengendalian takanan darah (pengaturan diet rendah garam,
pemakaian obat antihipertensi).
Dianjurkan dengan diet rendah garam, asupan garam (Na)
yang dianjurkan untuk pasien Nefropati Diabetik antara 1000-
3000 mg Na sehari, kondisi ini juga tergantung pada tekanan
darah, pengeluaran urin sehari dan ada tidaknya edema atau
asites. Penderita Nefropati Diabetik yang menjalani terapi
hemodialisis, maka kebutuhan natrium adalah 1000 mg + 2000
mg apabila urine sehari 1000 ml.
88 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Banyak faktor yang saling berhubungan pada kasus hipertensi


pada penderita Diabetes Mellitus, sehingga pengelolaan
hipertensi sering mengalami kesulitan. Faktor-faktor tersebut
antara lain :
a) Adanya perubahan efikasi obat antihipertensi.
b) Terjadinya kenaikan risiko efek samping.
c) Adanya hiperglikemia yang sulit dikendalikan.
d) Peningkatan lipid serum.
Mengurangi atau mencegah morbiditas dan mortalitas pada
penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah terjadinya
Nefropati Diabetik merupakan sasaran utama pengobatan
hipertensi pada pasien diabetes.
3) Perbaikan fungsi ginjal (pengaturan diet rendah protein,
pemakaian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor [ACE-I]
dan/atau Angiotensin Receptor Bloker [ARB])
Diet rendah protein yang dianjurkan : Satu hal yang sangat
penting pada pasien Nefropati Diabetik adalah pembatasan
protein. Konsumsi protein lebih rendah dari pada diet diabetes
pada umumnya. Dianjurkan protein sesuai dengan tingkatan
penurunan fungsi ginjal. Asupan protein yang dianjurkan saat
ini adalah 0.8gr/kg BB/hari (kurang atau sama dengan 10%
dari total energi). Bila fungsi ginjal sudah sangat menurun
dan buruk, dengan nilai GFR/CCT/TKK 10-15 mL/menit maka
asupan protein dianjurkan lebih rendah lagi, yaitu 0.6 gr/kg
BB. Lima puluh persen (50%) protein harus bernilai biologis
tinggi.
4) Pengendalian fakto-faktor komordibitas lain (pengendalian
kadar lemak darah, mengurangi obesitas). Untuk pengendalian
kadar lemak, anjuran lemak pada penderita Nefropati Diabetik
sebesar 30% dari total kalori. Presentase lemak lebih tinggi
dari diet diabetes pada umumnya. Hal ini dimaksudkan untuk
mencukupi kebutuhan energi tubuh, karena sumber energi dari
protein sudah sangat terbatas. Diutamakan adalah lemak tidak
jenuh ganda maupun tunggal (minyak wijen, minyak jagung).
Lemak jenuh yang dianjurkan kurang dari 10%. Kolesterol yang
dianjurkan kurang dari 300mg/hari.
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 89

5) Penatalaksanaan non farmakologis pada Nefropati Diabetik


adalah : pola hidup yang sehat meliputi aktivitas fisik (olah
raga) rutin, menjaga dan mengatur diet, menghentikan merokok
dan alkohol. Adapun olah raga rutin yang direkomendasikan
oleh ADA yaitu : berjalan kaki 3-4km/hari dengan kecepatan
sekitar 10-12 menit/km, dan dilakukan 4sampai 5 kali dalam
seminggu. Membatasi konsumsi garam 4-5 g/hari (atau 68-85
meq/hari) dankonsumsi protein hingga 0,8 g/kg/berat badan
ideal/hari.

9. Komplikasi
a. Anemia.
b. Chronic kidney failure.
c. Dialysis complications.
d. End-stage kidney disease.
e. Hyperkalemia.
f. Severe hypertension.
g. Hypoglycemia.
h. Infections.
i. Kidney transplant complications.
j. Peritonitis.

D. Retinopati Diabetik
1. Definisi
Retinopati Diabetik (RD) merupakan suatu mikroangiopati yang
terjadi secara progresif, berupa kerusakan dan sumbatan pembuluh
darah retina. Penebalan membran basalis endotel kapiler, disfungsi
sel endotel dan penurunan jumlah perisit merupakan kelainan
patologik yang terjadi secara dini. Banyak faktor yang menjadi resiko
Retinopati Diabetik, diantaranya lama menderita diabetes dan kontrol
glukosa darah. Faktor lain yang berpengaruh adalah hipertensi yang
tidak terkendali, dislipidemia, overload cairan intravaskuler, anemia,
kehamilan, penyakit ginjal, dan operasi intraokuler, semua factor
tersebut dapat meningkatkan resiko dan tingkat keparahan Retinopati
Diabetik.
90 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

b. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab Retinopati
Diabetic, tetapi yang dianggap sebagai faktor resiko utama adalah
kondisi hiperglikemia yang berlangsung cukup lama. Tiga proses
biokimiawi pada keadaan hiperglikemia yang diyakini berhubungan
dengan timbulnya Retinopati Diabetik. Ketiga proses tersebut
adalah jalur poliol, pembentukan protein kinase C dan proses glikasi
nonenzimatik.
a. Jalur poliol
Produksi yang berlebihan serta deposisi dari poliol (senyawagula
dan alkohol)didalam jaringan, termasuk lensa dan saraf optik dapat
terjadi pada keadaan hiperglikemia yang berlangsung cukup lama.
Senyawa poliol tidak dapat menembus membran basalis sehingga
tertimbun dalam jumlah yang banyak didalam sel. Akibatnya terjadi
peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan
morfologi maupun fungsi dari sel. Hasil riset menunjukkan bahwa
inhibitor enzim aldose reduktase (sorbinil) yang berfungsi untuk
menghambat pembentukan sorbitol, dapat memperlambat atau
mengurangi terjadinya Retinopati Diabetik.
b. Glikasi non enzimatik
Aktivitas enzim dan keutuhan DNA terhambat akibat glikasi non
enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA)
yang terjadi selama keadaan hiperglikemia. Akibat proses tersebut
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 91

protein menjadi terglikosilasi dan membentuk radikal bebas


sehingga merubah fungsi sel yang normal. Pada penelitian dengan
menggunakan tikus diabet, pemakaian aminoguanidine (yaitu suatu
bahan yang dapat menghambat pembentukan Advanced Glycation
End Product [AGEs]), dapat mengurangi pengaruhdiabetes terhadap
aliran darah di retina, permeabilitas dan parameter mikrovaskular
yang lain. Dilaporkan juga bahwa produksi senyawa vasoaktif
oksida nitrat dapat dihambat oleh aminoguanidin.
c. Protein kinase C
Permeabilitas vascular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis
dan proliferasi sel vaskuler dipengaruhi oleh protein kinase C
(PCK). Peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol (yaitu suatu
regulator PKC dari glukosa) menyebabkan peningkatan aktivitas
PKC di retina dan sel endotel. Penyebab-penyebab lain yang diduga
ikut berperan dalam timbulnya retinopati diabetik yaitu pengaruh
hiperglikemia melalui berbagai jalur metabolisme, meningkatnya
agregasi trombosit, meningkatnya agregasi eritrosit, hipertensi,
viskositas darah, peningkatan lemak darah dan faktor pertumbuhan.
Uji klinik penggunaan ruboxistaurin, suatu penghambat PKCa-
isoform pada pasien Retinopati Diabetik saat ini sedang dilakukan.

3. Klasifikasi
Klasifikasi Retinopati Diabetik didasarkan pada berat ringannya
perubahan mikrovaskular retina dan ada tidaknya pembentukan
pembuluh darah baru di retina. Early treatment Diabetic Retinopathy Study
Research Group (ETDRS) membagi Retinopati Diabetik menjadi Retinopati
Diabetik non proliferatif dan Retinopati Diabetik proliferative.
Namun pada pertemuan Airlie House membagi retinopati menjadi
3 stadium yaitu stadium nonproliferatif, stadium preproliferatif dan
stadium proliferatif. Diagnosa Retinopati Diabetik nonproliferatif
(RDNP) apabila hanya didapatkan perubahan mikrovaskular didalam
retina. Funduskopi pada penderita RDNP didapatkan mikroaneurisma
atau kelainan intraretina yang disebut intraretinal microvascular
abnormalities (IRMA) yang terjadi akibat peningkatan permeabilitas
kapiler. Perdarahan, kelainan vena dan IRMA dapat terjadi karena
adanya penyumbatan kapiler retina sehingga menimbulkan hambatan
perfusi. Hambatan perfusi akan menyebabkan timbulnya iskemia dan
92 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

akan merangsang proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular). Tanda


khas Retinopati Diabetik Proliferatif (RDP) yaitu adanya neovaskular.

Pembagian Retinopati Diabetik Menurut EDTRS


Retinopati Diabetik nonproliferatif
a. Retinopati nonproliferatif minimal : terdapat lebih atau sama dengan
satu tanda yaitu : mikroaneurisma, dilatasi vena, perdarahan intraretina
yang kecil atau eksudat keras.
b. Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang : lebih atau sama
dengan satu tanda yaitu : perdarahan, dilatasi vena derajat ringan,
eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA.
c. Retinopati nonproliferatif berat : terdapat lebih atau sama dengan satu
tanda yaitu : perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran retina,
dilatasi vena pada 2 kuadran atau IRMA pada 1 kuadran.
d. Retinopati nonproliferatif sangat berat : ditemukan lebih atau sama
dengan dua tanda pada retinopati nonproliferatif berat.
Retinopati Diabetik proliferatif
a. Retinopati proliferative ringan : Ditemukan minimal adanya
neurovaskuler pada diskus (NVD) yang mencakup kurang dari
seperempat dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina
atau vitreus atau neovaskuler dimana saja di retina (NVE) tanpa
disertai perdarahan preretina atau vitreus.
b. Retinopati proliferative resiko tinggi : Ditemukan tiga atau empat faktor
resiko berikut : 1) Adanya pembuluh darah baru dimana saja diretina,
2) Adanya pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, 3)
Adanya pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang
mencakup lebih dari seperempat daerah diskus, 4) Adanya perdarahan
vitreus. Dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati
proliferative dengan resiko tinggi yaitu adanya pembuluh darah baru
yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah
baru yang disertai perdarahan.

ETDRS = Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; IRMA = Intraretinal


Microvascular Abnormalities; NVD = New Vessels on Disc ; NVE = New
Vessels Elsewhere.

4. Patofisiologi
Lima proses dasar yang terlibat pada patofisiologi Retinopati
Diabetik yang terjadi ditingkat kapiler yaitu :
a. Terjadinya bentukan mikroaneurisma.
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 93

b. Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah.


c. Terjadi sumbatan pada pembuluh darah.
d. Timbul proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan jaringan
fibrosa di retina.
e. Timbul kontraksi dari jaringan fibrosiskapiler dan jaringan fibrosa.
Menurut tingkat klasifikasi patofisiologi, retinopati diabetic dibagi
dua yaitu Retinopati Diabetik Non Proliferatif dan Retinopati Diabetik
Proliferatif.
a. Retinopati Diabetik Non Proliferatif
Merupakan gambaran klinis dari hipermeabilitas pembuluh
yang terkena, ini merupakan bentuk yang umum dijumpai.
Penyumbatan dan kebocoran kapiler merupakan penyebab utama.
Mekanisme yang terlibat pada perubahan ini tidak diketahui secara
pasti, tetapi telah diteliti adanya abnormalitas endotel vaaskuler
(penebalan membran baslis dan hilangnya pericyte) dan gangguan
hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet).
Perubahan mikrovaskuler pada retina hanya terbatas pada lapisan
retina (intraretina), terikat ke kutub posterior dan tidak melebihi
membrane internal.
Gambaran khas pada jenis ini adalah ditemukannya mikroaneurisma
multiple yang dibentuk oleh kapiler – kapiler yang membentuk
kantung – kantung kecil menonjol seperti titik-titik, vena retina
berdilatasi dan berkelok-kelok, bercak pendarahan internal.
Dapatterjadi perdarahan pada semua lapisan retina dan berbentuk
seperti nyala api karena lokasinya didalam lapisan saraf yang
berorientasi horizontal. Perdarahan bentuk titik-titik atau bercak
terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson
berorientasi vertikal.
Stadium paling berat dari Retinopati Diabetik Non Proliferatif
adalah Retinopati Diabetik Preproliferatif dan Ederna Makula.
Pada stadium ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan
kebocoran plasma yang berlanjut, disertai iskemik pada dinding
retina (cotton wool spot, infrak pada lapisan serabut saraf ). Keadaan
ini akan menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran
darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Karakteristik
dari stadium ini adalah cotton wool spot, blot haemorrage, Intraretina
94 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Microvaskuler Abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti


manik-manik. Apabila dijumpai satu dari keempat gambaran diatas,
maka ada kecenderungan untuk menjadi progresif (Retinopati
Diabetik Proliferatif). Apabila keempat gambaran diatas dijumpai,
maka sangat beresiko untuk menjadi proliferatif dalam waktu satu
tahun.
Penyebab tersering timbulnya gangguan penglihatan karena
adanya edema macula. Kerusakan sawar retina-darah bagian
dalam pada endotel kepiler retina merupakan penyebab utama
edema, sehingga terjadi kebocoran cairan dan konstituen plasma
ke dalam retina dan sekitarnya. Edema yang terjadi bisa bersifat
fokal dan difus. Edema tampak sebagai retina yang menebal dan
keruh disertai mikroneurisma dan eksudat intraretinal sehingga
berbentuk zona eksudat kuning kaya lemak yangberbentuk bundar
disekitar mikroaneurisma. Edema ini paling sering berpusat
dibagian temporal makula.
Fungsi penglihatan pada Retinopati Diabetik Non Proliferatif dapat
terganggu melalui 2 mekanisme yaitu :
• Terjadinya perubahan yang berlangsung sedikit demi sedikit
pada penutupan kapiler intraretina yang menyebabkan iskemik
makular.
• Terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina
yang menyebabkan edema macular.
b. Retinopati Diabetik Proliferatif
Retinopati Diabetik Proliferatif merupakan komplikasi pada mata
yang paling parah pada Diabetes Mellitus. Terjadi iskemia retina
yang progresif danmerangsang pembentukan vascular-vaskular
halus (neovaskularisasi) yang terletak dipermukaan diskus dan
ditepi posterior zona perifer, selain itu juga terjadi neovaskularisasi
iris atau rebeosis iridis. Vaskular-vaskular baru yang rapuh
akan berproliferasi dan meninggi apabila korpus viterum mulai
berkontraksi menjauhi retina. Akibatnya darah keluar dari
vaskular tersebut dan terjadi pendarahan massif sehingga dapat
menimbulkan penurunan penglihatan secara mendadak.
Jaringan neovaskularisasi ini dapat mengalami fibrosis dan
membentuk pita-pita fibrovascular yang rapat yang dapat menarik
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 95

retina sehingga menimbulkan kontrasi terus-menerus pada korpus


vutreum. Keadaan ini dapat menyebabkan palepasan retina
akibat traksi progresif. Apabila terjadi robekan pada retina akan
terjadi ablasio retina regmatogenosa. Perdarahan korpus vitreum
dapat mendahului atau menutupi pelepasan retina. Bila kontraksi
korpus vitreum telah sempurna dimata tersebut, maka retinopati
proliferative masuk ke stadium involusional atau burnet-out.

5. Diagnosis
Gejala Retinopati Diabetik bisa berupa penglihatan kabur sampai
kebutaan. Pemeriksaan funduskopi dipakai sebagai dasar diagnosis
Retinopati Diabetik. Pemeriksaan dengan Fundal Fluorescein Angiography
(FFA) merupakan metode pemeriksaan untuk diagnosis yang paling
dipercaya. Dalam praktek klinik, untuk skrining dapat dilakukan
dengan pemeriksaanoftalmoskopi.

6. Gejala Klinis
Pada tahap awal, retinopati diabetik umumnya tidak menimbulkan
gejala. Manifestasi Retinopati Diabetik yang timbul, tergantung dari
lokasi kelainan pada retina yang terkena, luas, dan beratnya kelainan,
diantaranya :
• Bintik mengambang (floater) pada lapanagan pandang akibat
kekeruhan pada corpus vitreum.
• Tajam penglihatan dapat berkurang secara perlahan karena
makulopati (adanya perdarahan dan eksudat dalam area macula
dan edema macula). Tajam penglihatan juga dapat berkurang secara
mendadak pada perdarahan vitreous akibat pecahnya pembuluh
darah abnormal (neurovaskularisasi).

7. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan dengan oftalmoskop dan Fundal Fluorescein
Angiography (FFA) merupakan pemeriksaan yang biasa dilakukan
untuk menilai keadaan retina. Metode diagnosis yang paling akurat
adalah pemeriksaan dengan FFA, namun untuk skrining masih dapat
digunakan pemeriksaan dengan oftalmoskopi.
• Fundus Normal
Pada fundus okuli normal dapat ditemukan diskus yang berupa
bentukan bulat, warna sedikit pucat dari sekitarnya. Dari diskus
96 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

keluar pembuluh darah artei dan vena, dimana vena lebih gelap
dan lebih lebih lebar daripada arteri. Sebelah temporal dari diskus
dapat ditemukan macula lutea, berupa daerah yang berwarna lebih
gelap dibanding bagian retina lainnya, dan berbatas tidak tegas.

Gambar Fundus Okulli Normal

• Retinopati Diabetik non Proliferative


Gambaran Retinopati Diabetik non proliferatif adalah adanya
mikroaneurisma, perdarahan intraretinal, eksudat lipit, cotton wool
spots, edema macula, dan IRMA.
1) Mikroneurisma

Gambar Mikroaneurisma

Mikroaneurisma tampak sebagai suatu titik kemerahan,


batas tegas dan berbentuk bulat. Penyebabnya masih belum
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 97

jelas, tetapi terjadinya mikroaneurisma berkaitan dengan


faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, juga karena
kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit,
serta meningkatnya tekanan intraluminal kapiler.
2) Perdarahan intraretina

Lokasi perdarahan biasanya terletak didekat mikroaneurisma,


dapat ditemukan dalam bentuk titik, garis, dan bercak. Luasnya
perdarahan dapat memberikan prognosis penyakit. Penderita
dengan perdarahan yang luas akan memberikan prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan yang kecil.
Gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau pecahnya
kapiler akan menimbulkan perdarahan intraretinal.
3) Eksudat lipid / eksudat keras

Eksudat keras merupakan infiltrasi lipid kedalam retina.


Gambaran dari eksudat keras khusus yaitu eksudat lipid
berwarna kuning dengan batas yang jelas. Pada tahap awal
98 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

berupa eksudat pungtata yang membesar dan bergabung.


Pada Retinopati Diabetik, akibat kebocoran dan deposisi
lipoprotein plasma yang berlangsung lama akan terbentuk
eksudat lipid.
4) Cotton wool spot/eksudat lunak

Gambar Cotton Wool Spot

Pada pemeriksaan oftalmoskopi cotton wool spot berwarna putih


dengan batas jelas. Cotton wool spot berasal dari debris akson
yang terbentuk pada lapisan serabut saraf pada retina akibat
iskemi yang lama.
5) IRMA / Intraretinal Microvascular Abnormalities

IRMA memberikan gambaran datar, terletak intraretina,


dan merupakan pembuluh darah yang abnormal (IRMA
sulit dibedakan dengan neovaskularisasi retina, tetapi
dapat dibedakan menggunakan menggunakan FFA). IRMA
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler.
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 99

6) Edema Makula

Gambar Edema Makula

Edema makulatampak sebagai retina yang menebal, keruh


disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina. Edema
macula bisa bersifat fokal atau difus. Edema makula disebabkan
karena rusaknya sawar pembuluh darah retina sehingga terjadi
kebocoran cairan dan plasma ke dalam retina.
• Retinopati Diabetik Proliferatif


Gambar RD Proliferatif

Neovaskularisasi (pembentukan pembuluh darah baru) merupakan


tanda dari Retinopati Diabetik proliferatif. Tampak sebagai
pembuluh darah yang ireguler dan berkelok-kelok. Terbentuknya
pembuluh darah baru dapat terjadi pada:
100 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

1) New Vessels on Disc (NVD), apabila ditemukan neovaskuler


pada atau dekat diskus.

2) New Vessels Elsewhere (NVE).

Apabila ditemukan neovaskuler dimana saja diretina.


Terjadinya neovaskularisasi akibatproliferasi sel-sel endotel
pembuluh darah retina. Retina yang iskemik melepaskan
faktor vasogenik (misal: VGEF, HGF, bFGF) mengakibatkan
pertumbuhan pembuluh darah baru yang lebih permeable dan
posisinya yang abnormal menjadi predisposisi mudah pecah
dan mudah mengalami perdarahan.

8. Tatalaksana
• Pencegahan
Fakta menunjukkan bahwa kejadian Retinopati Diabetik
tergantung pada kendali glukosa darah dan lamanya menderita
Diabetes Mellitus. Suatu hal yang penting dan sangat sederhana
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 101

yang harus dilakukan penderita Diabetes Mellitus untuk mencegah


terjadinya Retinopati Diabetik adalah mengontrol glukosa darah
dan tekanan darah dalam kisaran nilai normal. Masalah lain seperti
dislipidemia, obesitas, fungsi ginjal dan cardiocerebrovaskular juga
harus dikendalikan dan diperhatikan.
• Terapi
1) Regulasi kadar glukosa darah untuk mencegah progresivitas
RD
Pada pasien Diabetes Mellitus yang belum disertai komplikasi
retinopati dan mendapatkan terapi intensif insulin menunjukkan
penurunan resiko terjadinya retinopati. Hal yang sama pada
kelompok yang sudah menderita retinopati, pemberian insulin
secara intensif dapat mencegah resiko perburukan retinopati.
Dalam praktek klinik, kontrol glukosa darah yang baik dan
ketat dapat melindungi visus dan mengurangi resiko menjalani
terapi fotokoagulasi.
2) Mengontrol tekanan darah.
Terjadi penurunan resiko progresifitas retinopati pada pasien
Diabetes Mellitus dengan kontrol tekanan darah yang ketat.
3) Ablasi kelenjar Hipofisis
Pasca dilakukannya hipofisektomi ternyata Retinopati Diabetik
mengalami perbaikan. Growth hormon memiliki peran terhadap
timbulnya Retinopati Diabetik, hal ini didasarkan fakta bahwa
selama usia pubertas perkembangan Retinopati Diabetik sangat
cepat. Pada fase tersebut kepekaan jaringan terhadap growth
hormon sangat tinggi.
4) Fotokoagulasi dengan sinar laser
Indikasi dilakukannya tindakan fotokoagulasi adalah edema
macula, Retinopati Diabetik Proliferative, dan neovaskularisasi
yang terletak di sudut chamber anterior. Tiga metode
fotokoagulasi yaitu :
a) Fotokoagulasi panretinal.
Diindikasikan untuk kasus dengan kemunduran visus
yang cepat, dan untuk menghilangkan neovaskuler pada
syaraf optikus dan permukaan retina.
102 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

b) Fotokoagulasi fokal
Diindikasikan pada mikroaneurisma di polus posterior
yang mengalami kebocoran supaya edema macula
berkurang atau menghilang.
c) Grid photocoagulation
Merupakan teknik penggunaan sinar laser dimana
pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada
daerah edema.
5) Viterektomi, dengan indikasi :
a) Adanya ablasio retina.
b) Terjadinya perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi.
c) RD proliferative berat.
d) Adanya perdarahan vitreus yang tidak mengalami
perbaikan.
e) Neovaskularisasi ekstensif atau yang mengalami proliferasi
fibrovaskular.
f) Viterektomi dini.
Pada pasien yang mengalami kekeruhan viterus dan
neovaskularisasi aktif perlu dilakukan vitrektomi dini.
Pasca vitrektomi, akan terjadi perbaikan fungsi penglihatan
dan secara bertahap akan terbentuk humor vitreus yang baru.

E. Neuropati Diabetik
1. Definisi
Neuropati Diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukkan
adanya gangguan subklinis maupun klinis pada penderita Diabetes
Mellitus tanpa adanya penyebab gangguan neuropati perifer yang lain.
Gangguan Neuropati Diabetik ini meliputi manifestasi somatik dan
atau otonom dan sistem saraf perifer.
Neuropati Diabetik merupakan kerusakan syaraf sebagai akibat
komplikasi jangka panjang penyakit Diabetes Mellitus. Terjadi pada
kira-kira 50% pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II yang telah
lama menderita diabetes. Manifestasinya dapat berupa polineuropati,
mononeuropati, atau neuropati otonomik.
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 103

2. Faktor Predisposisi
Seperti komplikasi Diabetes Mellitus yang lain berkembangnya
neuropati pada pasien Diabetes Mellitus dihubungkan dengan lamanya
menderita diabetes dan pengendalian gula darah. Karena kadar gula
darah penderita Diabetes Mellitus tinggi, maka keadaan ini akan
merusak saraf penderita. Kondisi hiperglikemi akan merusak serat
syaraf dan lapisan lemak disekitar syaraf. Syaraf yang rusak tidak dapat
menyampaikann sinyal ke otak dan dari otak dengan baik.

3. Klasifikasi
Berbagai macam klasifikasi ditemukan pada kasus Neuropati
Diabetik. Berbagai macam klasifikasi ini muncul karena gangguan
syaraf pada Neuropati Diabetik sangat heterogen. Secara umum dasar
klasifikasi Neuropati Diabetik didasarkan pada 2 hal utama yaitu
lamanya menderita Diabetes Mellitus dan serabut saraf yang terkena
lesi.
Berdasarkan lama perjalanan penyakit,Neuropati Diabetik dibagi
menjadi:
a. Neuropati fungsional/subklinis.
Merupakan gangguan syaraf yang masih reversible, gejala yang
muncul sebagai akibat perubahan biokimiawi dan belum ada
kelainan patologis.
b. Neuropati struktural/klinis.
Pada fase ini masih ada komponen syaraf yang reversible, gejala
klinis yang timbul sebagai akibat kerusakan struktural serabut
syaraf.
c. Kematian neuron/fase lanjut.
Pada tahap ini terjadi penurunan kepadatan serabut saraf karena
kematian neuron. Gangguan syaraf yang terjadi sudah ireversibel.
Pada umumnya kerusakan serabut saraf dimulai dari distal menuju
keproksimal. Proses perbaikan dari proksimal kedistal. Sehingga
lesi didistal paling banyak ditemukan (polineuropati simetris distal).
Berdasarkan jenis serabut saraf yang terkena lesi:
a. Neuropati difus :
1) Polineuropati sensorimotor simetris distal.
104 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

2) Neuropatiotonom: Neuropati otonom kardiovaskuler, neuropati


otonom gastrointestinal, neuropati otonom genitourinaria.
3) Neuropati lower limb motor simetris proksimal (amiotropi).
b. Neuropati fokal :
1) Neuropatikranial.
2) Radikulopati/pleksopati.
3) Entrapmentneuropathy.
Berdasarkan anatomi serabut saraf perifer, secara umum dibagi
atas tiga sistem yaitu sistem motorik, sensorik, dan otonom. Gejala
klinis Neuropati Diabetik yang muncul tergantung dari jenis serabut
syaraf yang mengalami lesi, bisa serabut syaraf kecil atau besar, lokasi
bisadiproksimal atau distal,area yang terkena bisa fokal atau difus,
dan sistem syaraf yang terkena bisa motorik, sensorik atau otonom.
Berdasarkan kondisi tersebut maka manifstasi klinis Neuropati
Diabetik menjadi sangat bervariasi, mulai dari rasa kesemutan, rasa
kebas, mati rasa, rasa terbakar, seperti ditusuk, disobek atau seperti
ditikam.

4. Patogenesis
Seperti komplikasi dibetes militus yang lain, berkembangnya
neuropati dihubungkan dengan durasi atau lamanya menderita
diabetes mellitus dan pengendalian glukosa darah. Komplikasi
Neuropati Diabetik bermula dari tingginya kadar glukosa darah yang
berlangsung lama dan berkepanjangan. Kondisi ini akan memicu
peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesa Advanced Glyocsilation End
Products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase
C (PKC). Teraktivasinya berbagai jalur tersebut berakibat menurunnya
vasodilatasi vaskular sehingga aliran darah kesyaraf menurun. Kondisi
ini diperburuk oleh rendahnya mioinositol dalam sel, sehingga terjadi
Neuropati Diabetik.
Berbagai riset Neuropati Diabetik membuktikan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kejadian neuropati dengan lama
(durasi) dan beratnya Diabetes Mellitus. Penyebab Neuropati Diabetik
berbeda untuk berbagai tipe dari neuropati diabetik. Penelitian
mempelajari efek atau pengaruh glukosa pada saraf untuk mengetahui
secara pasti bagaimana paparan lama glukosa darah yang tinggi
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 105

dapat menyebabkan neuropati. Kerusakan saraf kemungkinan akibat


kombinasi faktor.
• Faktor metabolik :
Terjadinya Neuropati Diabetik diawali dengan hiperglikemia
yang tidak terkontrol dan berkepanjangan.Hiperglikemia yang
menetap dan berlangsung lama menyebabkan peningkatan
aktivitas jalur poliol, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase
yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian enzim
sorbitol dehidrogenase memetabolisme sorbitol menjadi fruktosa.
Kerusakan syaraf terjadi akibat akumulasi sorbitol dan fruktosa
dalam sel syaraf. Mekanime kerusakan syaraf tersebut sampai saat
ini masih belum jelas benar. Salah satu teori yang menjelaskan
kerusakan tersebut adalah keadaan hipertonik intraseluler akibat
akumulasi sorbitol dalam sel syaraf menyebabkan odema syaraf.
Mioinositol terhambat masuk ke dalam sel karena adanya
peningkatan sintesis sorbitol. Penurunan mionositol dan timbunan
sorbitol secara langsung akan menimbulkan stress osmotic yang
akan merusak mitokondria dan akan merangsang protein kinase
C (PKC). Rangsangan PKC ini akan menghambat fungsi Na-K-
ATPase. Akibanya kadar Na intraseluler menjadi berlebihan yang
menyebabkan mioinositol terhambat masuk kedalam sel syaraf,
sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada syaraf.
Cadangan NADPH menurun karena reaksi jalur poliol. NADPH
syaraf merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif.
NADPH merupakan faktor penting untuk metabolisme glutathione
dan Nitric Oxide Synthase (NOS). Pengurangan radikal bebas dan
penurunan produksi Nitric Oxide (NO) terjadi karena penurunan
kemampuan syaraf dan pengurangan kofaktor tersebut.
• Faktor neurovascular :
Hasil studi membuktikan bahwa kondisi hiperglikemia
berhubungan signifikan dengan kerusakan mikrovaskuler.
Hiperglikemia yang menetap dan tidak terkontrol merangsang
produksi oksidatif radikal bebas, yang disebut dengan reactive
oxygen species (ROS). Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan
endotel pembuluh darah dan menetralisasi NO, sehingga
kemampuan vasodilatasi mikrovaskular menurun.
106 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

• Faktor mekanisme imun :


Hasil riset menunjukkan bahwa pada penderita Diabetes Mellitus
tipe I (22% dari 120 penderita) mempunyai complement fixing
antisciatic nerve antibodies dan 25% penderita Diabetes Mellitus tipe
II memperlihatkan hasil yang positif. Diketahui bahwa antibodi
tersebut berperan dalam pathogenesis Neuropati Diabetik. Riset
lain membuktikan adanya antineural antibodies pada serum
sebagian penderita Diabetes Mellitus, hal ini menyokong peran
antibodi dalam mekanisme patogenik Neuropati Diabetik.
Autoantibodi yang beredar disirkulasi secara langsung dapat
merusak struktur syaraf motorik dan sensorik, yang bisa dideteksi
dengan pemeriksaan immunofloresens indirek.
• Peran Nerve Growth Factor (NGF) :
NGF diperlukan Untuk mempercepat dan mempertahankan
pertumbuhan syaraf diperlukan Nerve Growth Factor (NGF).
Derajat neuropati pada penderita diabetes berhubungan dengan
kadar NGF yang cenderung turun. Regulasi gen substance P dan
Calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP) diperankan juga oleh NGF.
Nerve Growth Factor ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi,
motilitas intestinal dan nosiseptif.
• Trauma mekanis pada saraf (misalnya: Carpal Tunnel Syndrome).
• Faktor gaya hidup (rokok, alkohol).
Hiperglikemi yang berkepanjangan dan tidak terkontrol akan
merusak serabut syaraf dan lapisan lemak disekitar syaraf sehingga
syaraf yang rusak tersebut tidak dapat menyampaikan sinyal ke otak
dan dari otak dengan baik.

5. Gejala Klinis
Manifestasi neuropati diabetik bervariasi sekali, dari tanpa
keluhan sama sekali yang hanya bisadideteksi dengan pemeriksaan
elektrofisiologis, sampai dengan keluhan nyeri yang sangat hebat.
Keluhan juga bisa dalam bentuk neuropati sistemik atau lokal dimana
keluhan itu tergantung pada jenis saraf yang terkena dan lokasinya.
Gejala neuropati diabetik tergantung tipe neuropati dan lokasi syaraf
yang terkena. Beberapa orang tidak ada gejala sama sekali. Pada pasien
lain keluhan yang dirasa adalah mati rasa atau rasa nyeri pada kaki atau
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 107

mungkin seseorang dapat merasakan keduanya. Sering kali gejala yang


dirasakan pertama kali sangat ringan dan kerusakan syaraf sebagian besar
sudah terjadi beberapa tahun. Kasus yang ringan sering tidak ketahuan
untuk waktu yang lama. Gejala dapat melibatkan sistem saraf sensorik,
motoric atau otonom. Pada sebagian orang kelainan neuropati bersifat
lokal. Awal timbulnya neuropati dapat tiba-tiba dan parah.
Yang termasuk gejala neuropati perifer adalah mati rasa, nyeri pada
jari kaki, telapak kaki, tungkai bawah, lengan, telapak tangan dan jari
tangan, lemah otot kaki atau tangan, gangguan pernafasan, nausea,
muntah, diare atau konstipasi, masalah berkemih, dizziness, pusing
sampai pingsan akibat postural hipotensi, disfungsi ereksi. Gejala yang
menyertai antara lain depresi dan kehilangan berat badan.

6. Diagnosa Neuropati Diabetik


Jenis kelainan Neuropati Diabetik yang paling sering terjadi adalah
polineuropati sensori-motor simetris atau distal symmetrical sensory
motor polyneuropathy (DPN). Berkurangnya fungsi sensorik secara
progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang terjadi pada bagian
distal yang berkembang kearah proximal merupakan tanda dari DPN.
Dalam praktek sehari-hari diperlukan ketelitian dalam anamnesis
dan pemeriksaan fisik, karena hal ini sangat mempengaruhi diagnosis
neuropati perifer diabetik. Dokter harus tetap memikirkan kemungkinan
diagnosis neuropati meskipun penderita menyangkal keluhan tersebut.
Pada evaluasi tahunan perlu dilakukan evaluasi terhadap :
• Refleks motorik.
• Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit
seperti tes rasa getar dan rasa tekan (estesiometer dengan filament
mono Semmes-Weistein).
• Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu.
• Elektromiografi untuk mengetahui dengan lebih awal adanya
gangguan hantar syaraf.
Gangguan syaraf lain yang sering ditemukan adalah neuropati
otonom (parasimpatis dan simpatis) atau Diabetic Autonomic Neuropathy
(DAN) untuk mendiagnosanya perlu dilakukan :
• Pengujian komponen parasimpatis : (1) Tes respon denyut jantung
terhadap maneuver valsava ; (2) Variasi denyut jantung (Respiratory
108 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Rate interval) selama nafas dalam (denyut jantung maksimum-


minimum).
• Pengujian komponen simpatis : (1) Respon tekanan darah dengan
berdiri (penurunan sistolik); (2) Respon tekanan darah terhadap
genggaman (peningkatan diastolik).

7. Tatalaksana
Pengelolaan pasien Diabetes Mellitus dengan keluhan Neuropati
Diabetik dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Menegakkan diagnosis Neuropati Diabetik seawal mungkin.
b. Mengendalikan glukosa darah dan perawatan kaki yang sempurna.
c. Mengendalian keluhan neuropati atau keluhan nyeri neuropati
diabetik.
Neuropti Diabetik merupakan komplikasi kronis yang melibatkan
berbagai macam faktor resiko yang saling berhubungan, maka dalam
pengelolaan penderita banyak aspek yang harus diperhatikan, seperti
perawatan umum, pengendalian glukosa darah dan parameter
metabolik lain sebagai satu komponen secara komprehensif dan terus
menerus.
Kendali glukosa darah secara ketat dan terus menerus merupakan
prioritas utama dalam upaya pencegahan timbulnya neuropati pada
pasien Diabetes Mellitus.Diperlukan pemeriksaan HbA1c untuk
memantau kendali glukosa darah secara lebih akurat. Pengendalian
faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid juga perlu
dilakukan.
Disamping itu diperlukan juga perawatan kaki untuk memastikan
kondisi kaki tetap aman karena penderita Neuropati Diabetik sering
kali mengalami kelainan atau gangguan pada kaki tanpa disadari
karena berkurangnya sensasi nyeri pada kaki. Perawatan kaki yang bisa
dilakukan diantaranya adalah : (1)Menjaga kebersihan kulit, menghindari
trauma pada kaki (pemakaian sepatuyang sempit), mencegah trauma
pada kaki. (2) Memeriksa kaki setiap hari untuk mengetahui adanya
kulit kering, fisura, kalus, atau infeksi. (3) Menghindari berjalan dengan
kaki telanjang, mengunting kuku dengan benar, dan menghindari kaki
dari benda panas dan bahan kimia seperti hidrogen peroksida, iodine
atau astrigen.
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus dan Penanganannya 109

ADA merekomendasikan para klinisi sebaiknya melakukan


pemeriksaan kaki secara menyeluruh pada semua pasien diabetes;
apakah terdapat kulit pecah, kalus, berkurangya perfusi kapiler,
deformitas tulang, dan hilangnya sensasi protektif. Sensasi protektif
diperiksa dengan 5,07 Semmes-Weinstein (10g) nilon filamen.
Pemeriksaan refleks dan rangsang getar juga dapat dilakukan.
Terapi medikamentosa (obat-obat) yang bisa diberikan pada
penderita Neuropati Diabetik :
a. Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat
penimbunan sorbitol dan fruktosa.
b. Penghambat ACE.
c. Neurotropin : Nerve growth factor, Brain-derived neurotropic factor.
d. Alpha Lipoic Acid, merupakan antioksidan kuat yang mampu
membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan peroksil serta
membentuk kembali glutation.
e. Penghambat protein kinase C.
f. Gangliosides, merupakan komponen utama membrane sel.
g. Gamma linoleic acid (GLA), merupakan suatu prekusor membrane
fosfolipid.
h. Aminoguanidin, yang berfungsi untuk menghambat pembentukan
AGEs.
i. Human intravenous immunoglobulin, berfungsi untuk memperbaiki
gangguan neurologik maupun non neurologik akibat penyakit
autoimun.

Obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi berbagai keluhan


nyeri adalah :
Nyeri yang dirasakan penderita sangat bervariasi, seperti kesemutan,
mati rasa, seperti ditusuk, baal atau rasa terbakar. Beberapa panduan
obat yang dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri itu seperti
antidepresan, karbamazepin, fenitoin, dan capsaicin topical. Golongan
narkotik sebaiknya dihindari karena potensial untuk disalahgunakan.
Antiinflamasi nonsteroid sebaiknya digunakan secara bijak terutama
pada pasien yang mempunyai mikroalbuminuria, karena risiko
toksisitas ginjal.
110 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Tabel Regimen Pengelolaan Nyeri pada Diabetik Neuropati


Golongan NSAID Ibuprofen 600 mg 4x/hari
Sulindac 200 mg 2x/hari
Golongan Antidepresan Amitriptilin 50-150 mg malam hari
Trisiklik Imipramin 100 mg/hari
Nortriptilin 50-150 mg malam hari
Paroxetine 400 mg/hari
Golongan Antikonvulsan Gabapentine 900 mg 3x/hari
Karbamazepine 200 mg 4x/hari
Golongan Antiaritmia Mexilletin 150-450 mg/hari
Topikal Capsaicin 0,075% 4x/hari
Fluphenazine 1 mg 3x/hari
Transcutaneous electrical nerve stimulation

Dalam praktrek sehari-hari kenyatannya dibutuhkan kombinasi


beberapa regimen. Obat tunggal jarang sekali yang mampu mengatasi
nyeri neuropati diabetik. Obat antidepresan atau antikonvulsan sering
kali dipakai untuk memulai terapi nyeri. Kombinasi keduanya cukup
efektif, namun tetap harus diperhatikan interaksi dan efek samping obat.
Dosis obat dapat ditingkatkan secara bertahap hingga dosis maksimum
dengan tetap memperhatikan efek samping atau reaksi alergi terhadap
obat tersebut. Apabila dengan regimen tersebut belum ada perbaikan,
maka dapat ditambahkan obat topikal. Kombinasi dengan regimen lain
dapat dipertimbangkan apabila respon terapi tidak bagus.
Edukasi kepada penderita sangat penting karena keluhan nyeri
sangat subyektif sekali karena banyak sekali factor yang berpengaruh,
salah satunya faktor psikis penderita. Beberapa edukasi yang bisa
diberikan diantaranya memberikan penjelasan tentang bahaya
berkurangnya atau hilangnya sensasi rasa dikaki, perlunya pemeriksaan
kakisetiap kali kunjungankedokter dan juga pentingnya evaluasi secara
teratur terhadap kemungkinan timbulnya Neuropati Diabetik pada
pasien Diabetes Mellitus.
Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus 111

4
HIPOGLIKEMIA PADA PASIEN
DIABETES MELITUS

B ahan energi utama untuk otak adalah glukosa. Gangguan


fungsi otak, kerusakan jaringan atau mungkin kematian sel-sel
otak bisa terjadi bila otak kekurangan glukosa dalam waktu yang
lama. Kekurangan glukosa atau yang disebut sebagi hipoglikemia
merupakan suatu kondisi yang sangat membahayakan bagi otak. Hal
ini didasarkan fakta bahwa sel-sel otak tidak dapat mempergunakan
asam lemak bebas sebagai bahan energi, hal ini berbeda sekali dengan
jaringan tubuh yang lain, dimana mereka dapat memakai asam lemak
bebas sebagai sumber energi. Asam aseto asetat dan asam beta hidroksi
butirat (benda keton) yang merupakan hasil metabolit rantai pendek
asam lemak bebas dapat digunakan oleh otak untuk memperoleh energi,
namun pembentukan benda-benda keton tersebut memerlukan waktu
yang lama, pada manusia memerlukan waktu beberapa jam. Sehingga
ketogenesis bukan mekanisme protektif yang efektif terhadap kejadian
hipoglikemia yang akut.

A. Definisi
Suatu keadaan dimana kadar glukosa darah dibawah 60 mg%.
Kadar glukosa 60 mg% merupakan batas terendah glukosa darah
puasa (true glucose). Sehingga dengan dasar tersebut, setiap penurunan
glukosa darah dibawah 60mg% disebut sebagai hipoglikemia. Gejala-
gejala hipoglikemia pada umumnya baru timbul apabila kadar glukosa
darah dibawah 45 mg%.
Hipoglikemia bisa terjadi pada pasien Diabetes Mellitus (DM),
individu normalatau pasien bukan DM. Hipoglikemia pada pasien
Diabetes Mellitus dapat terjadi pada mereka yang mendapatkan terapi
insulin atau obat anti diabetes oral (golongan sulfonil urea).

111
112 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

B. Patogenesis
Untuk memahami patogenesis hipoglikemia perlu ditinjau kembali
mengenai homeostasis glukosa dan energi tubuh. Saat individu makan
(absorptive) tersedia cukup sumber energi yang diabsorbsi dari usus.
Energi yang berlebih tersebut akan disimpan sebagai makro molekul,
sehingga fase ini disebut sebagai fase anabolik. Pada fase ini hormon
yang berperan adalah insulin. Kurang lebih 60% dari glukosa yang
diabsorbsi usus dengan pengaruh hormon insulin akan disimpan
sebagai glikogen di hati, sedangkan sebagian lagi disimpan di jaringan
lemak dan otot sebagai glikogen juga. Metabolisme anaerob maupun
aerob terjadi untuk sebagian glukosa yang lainguna memperoleh energi
yang akan digunakan seluruh jaringan tubuh terutama otak. Hampir
sebagian besar penggunaan glukosa (70%) berlangsung ke otak. Otak
tidak dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai sumber energi,
hal ini berbeda dengan jaringan tubuh yang lain.
Peningkatan asam amino didalam darah terjadi karena pencernaan
dan penyerapan protein, dengan bantuan insulin akan disimpan di
hati dan otot sebagai protein. Melalui saluran limfe lemak diserap dari
usus dalam bentuk kilomikron yang kemudian akan dihidrolisis oleh
lipoprotein lipase menjadi asam lemak. Asam lemak dengan gliserol
mengalami esterifikasi dan terbentuk triglisrida yang akan disimpan di
jaringan lemak. Proses-proses tersebut terjadi dengan bantuan insulin.
Kadar glukosa darah mulai turun sewaktu sesudah makan (post
absorptive) atau setelah puasa 5-6 jam, hal ini menyebabkan sekresi
insulin juga menurun, tetapi hormon kontra regulator yaitu glukagon,
kortisol, epinefrin dan hormon pertumbuhan akan meningkat. Terjadi
keadaan yang berlawanan (katabolik), yaitu sintesis glikogen, protein
dan trigliserida akan menurun sedangkan pemecahan zat-zat tersebut
akan meningkat. Pada kondisi dimana terjadi penurunan glukosa darah
yang mendadak, maka glukagon dan epinefrin yang berperan penting.
Hormon glukagon dan hormon epinefrin tersebut akan memacu
glikogenolisis, glukoneogenesis dan proteolisis di otot dan lipolisis
di jaringan lemak. Sehingga tersedia bahan untuk glukoneogenesis
yaitu asam amino terutama alanin, piruvat, asam laktat dan gliserol.
Hormonkortisol dan hormon pertumbuhan (hormon kontra regulator)
berkerja secara sinergistik terhadap glukagon dan adrenalin tetapi
perannya lambat. Dalam keadaan puasa (post absorptive) terjadi
Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus 113

penurunan hormon insulin dan kenaikan hormon kontra regulator.


Kondisi tersebut menyebabkan penurunan pemakaian glukosa di
jaringan sensitif insulin, dengan demikian keterbatasan jumlah glukosa
tersebut hanya disediakan untuk jaringan otak.
Hipoglikemia tidak akan terjadi selama homeostasis glukosa
tersebut berjalan. Ketidakmampuan hati memproduksi glukosa yang
menyebabkan terjadinya hipoglikemia, ketidakmampuan hati tersebut
bisa karena penurunan bahan pembentuk glukosa, ketidakseimbangan
hormonal atau penyakit hati. Selama hati masih mampu mengimbangi
dengan menambah produksi glukosa, maka peningkatan penggunaan
glukosa di jaringan perifer tidak akan menimbulkan hipoglikemia.

C. Gejala Klinis
Ada 2 fase gejala-gejala yang timbul akibat hipoglikemia (tabel 1) :
1. Fase I :
Pada fase ini gejala-gejala yang timbul karena pelepasan hormon
epinefrin akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus. Gejala yang
timbul berupa palpitasi, tremor, keluar banyak keringat, rasa lapr,
mual, ketakutan. Gejala klinis ini akan tampak bila kadar glukosa
darah turun sampai 50mg%. Gejala-gejala yang muncul diawal ini
merupakan alarm peringatan, karena pasien masih dalam kondisi
sadar sehingga dapat mengantisipasi supaya tidak jatuh kekondisi
hipoglikemia yang lebih berat. Apabila gejala-gejala pada fase I ini
tidak dikenali dan tidak diantisipasi oleh pasien atau keluarganya
maka dan glukosa darah akan semakin turun dan akan masuk ke
fase II.
2. Fase II :
Pada fase ini timbul gejala neurologi akibat mulai terjadinya
gangguan fungsi otak. Gejala-gejala pada fase II ini yaitu pusing,
pandangan kabur, hilangnya ketrampilan motorik yang halus,
ketajaman mental menurun,penurunan kesadaran, kejang-kejang
dan koma. Gejala-gejala neurologi ini biasanya muncul bila kadar
glukosa darah turun mendekati 20mg%.
Riset pada individu normal yang bukan diabetes memperlihatkan
adanya gangguan fungsi otak lebih awal dari fase I, kondisi ini
114 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

dinamakan sebagai gangguan fungsi otak subliminal. Gangguan fungsi


otak awal ini dapat diketahui dengan pengukuran auditory evoked
potensial yang terjadi pada penurunan kadar glukosa darah ± 75mg%.
Untuk mencegah hipoglikemia pada kadar glukosa darah tersebut
sekresi insulin menurun dan mulai terjadi sekresi glukagon dan
epinefrin. Pada saat ini belum ada gejala-gejala klinik hipoglikemia.

Tabel Fase-fase Penurunan Glukosa Darah dan Gejala-gejala


yang Timbul
Kadar Glukosa Perubahan Gejala-gejala yang
Fase
Darah Hormonal/Otak Timbul
Fase 75mg% - 50mg% Sekresi insulin - Belum ada gejala
subliminal mulai menurun klinis
dan sekresi - Dapat diketahui
glukagon dengan auditory
bertambah evoked potensial
Fase 50mg% - 20mg% - Pusat autonom - Gejala adrenergik:
aktivasi di hipotalamus palpitasi, keringat
teraktivasi berlebihan,
- Sekresi glukagon tremor, ketakutan,
dan epinefrin lapar, mual dan
bertambah banyak sebagainya
Fase < 20mg% - Fungsi otak Pusing, penglihatan
neurologi mulai terganggu kabur, skill
motorik halus
hilang, penurunan
ketajaman mental,
kesadaran menurun,
kejang, koma

Tabel Gejala-gejala yang Tidak Khas pada Hipoglikemia


- Adanya perubahan perilaku (tingkah laku)
- Sinkop yang terjadi secara mendadak
- Pusing dipagi hari dan menghilang dengan makan pagi
- Keringat malam yang berlebihan sewaktu tidur
- Kelaparan tengah malam dan bangun untuk makan
- Hemiplegia atau terjadi afasia sepintas
- Timbul Angina Pektoris tanpa adanya kelainan arteri kononaria
Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus 115

Terkadang hipoglikemia menunjukkan gejala-gejala yang tidak


khas (atypical) disamping gejala peringatan (gejala adrenergik) dan
gejala neurologis. Gejala tidak khas tersebut bisa berupa: perubahan
tingkah laku, syncope yang mendadak, pusing dan vertigo yang membaik
pada pagi hari dengan makan pagi, banyak keringat pada malam hari,
hemiplegia atau afasia transien, angina dan sebagainya (tabel 2).
Ada kalanya gejala peringatan (gejala fase adrenergik) tidak muncul
dan pasien langsung masuk kefase dua, pada fase gangguan fungsi
otak. Hilangnya kewaspadaan terhadap hipoglikemia ini ada dua
macam yaitu terjadi secara akut dan kronik. Yang akut terjadi misalnya
pada pasien DM tipe I yang glukosa darahnya terkontrol sangat ketat
mendekati normal. Pasien yang glukosa darahnya terkontrol ketat nilai
ambang glukosa darah untuk penglepasan epinefrin terjadi pada kadar
glukosa darah yang sangat rendah. Penurunan nilai ambang glukosa
darah ini juga terjadi pada ibu hamil yang menderita DM tipe I. Keadaan
tersebut diatas masih reversibel dan hilang bila kontrol glukosa darah
dikendorkan. Hilangnya kewaspadaan terhadap hipoglikemi yang
kronik terjadi pada pasien yang sudah lama menderita DM, dimana
sudah terjadi neuropati autonom. Pasien sering mengalami serangan
hipoglikemia yang berulang-ulang dan kadang-kadang sampai tidak
sadar karena tidak adanya gejala-gejala peringatan. Kadang-kadang
pasien belum mengalami neuropati autonom tetapi reaksi autonomik
terhadap adanya hipoglikemia berlangsung lambat. Hilangnya
kewaspadaan hipoglikemia yang kronik ini bersifat ireversibel sehingga
keaadaan ini merupakan komplikasi DM yang serius (tabel 3).
Tabel Sebab-sebab Hilangnya Gejala Peringatan Hipoglikemia
(Gejala Adrenergik)
- Pengendalian kadar gula darah yang sangat ketat (mendekati nilai normal)
- Terjadinya neuropati autonom pada pasien yang menderita diabet lama
- Penggunaan obat golongan beta bloker yang non selektif

Gejala peringatan hipoglikemia sering juga dapat tertutup (masking)


karena pemberian obat golongan beta bloker yang non selektif.
Walaupun gejala berkeringat yang berlebihan biasanya tidak berkurang
atau malahan bertambah (cholinergically mediated), tetapi pada pasien
DM yang sudah mengalami neuropati autonom penggunaan obat
tersebut sebaiknya dihindari.
116 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Reaksi tubuh terhadap adanya hipoglikemia adalah dengan


mengeluarkan hormon kontra regulator. Dua hormon kontra regulator
yang penting yaitu glukagon dan adrenalin/epinefrin. Kegagalan
sekresi kedua hormon tersebut dapat menyebabkan terjadinya
hipoglikemia yang berat dan berkepanjangan. Beberapa faktor lain yang
dapat menyebabkan hipoglikemia berat dan berkepanjangan : adanya
antibodi terhadap insulin, beta bloker non selektif dan pemberian obat
sulfonilurea.
Pada pasien DM yang telah mengidap lebih lima tahun, mulai
terjadi penurunan glukagon. Penurunan ini mungkin terjadi karena efek
parakrin lokal karena adanya defisiensi insulin. Defisiensi adrenalin
juga terjadi pada pasien DM yang sudah berlangsung lama tetapi
terjadi lebih akhir daripada defisiensi glukagon dan berkaitan dengan
adanya neuropati autonom. Adanya antibodi insulin yang berdar
dalam darah akan menyebabkan waktu paruh insulin menjadi panjang
dan ini dapat menimbulkan hipoglikemia yang berkepanjangan pada
pasien yang mendapat insulin. Obat beta bloker yang non selektif dapat
menyebabkan hipoglikemia yang berkepanjanan terutama pada pasien
DM yang sudah mengalami defisiensi glukagon. Obat anti diabetes
oral golongan sulfonilurea yang berkhasiat lama (klorpropamid) dapat
menimbulkan hipoglikemia yang berlangsung lama. (tabel 4) keadaan
ini diperberat oleh adanya kerusakan hati dan ginjal atau usia lanjut.
Hipoglikemia akibat sulfonilurea ini perlu pemberian infus dekstrosa
selama beberapa hari.
Tabel Sebab-sebab Hipoglikemia yang Berkepanjangan
- Defisiensi glukagon (pada pasien yang sudah lama menderita DM)
- Defisiensi epinefrin (pada pasien yang sudah lama menderita DM)
- Antibodi terhadap insulin dalam darah
- Penggunaan obat beta bloker yang non selektif
- Penggunaan obat anti diabetes oral yang berkhasiat lama

D. Etiologi Hipoglikemi pada Diabetes Mellitus


Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien DM maupun bukan DM
(tabel 5). Hipoglikemia yang terjadi pada pasien bukan DM bisa karena
hiperinsulinisme alimenter (setelah mengalami gastrektomi), intoleransi
fruktosa herediter, hipopituitarisme, insulinoma, obat-obatan, penyakit
Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus 117

hati, tumor ekstra pankreatik dan sebagainya. Hipoglikemia pada


pasien DM dapat terjadi karena terapi insulin atau sulfonilurea. Kadang-
kadang pada pasien DM stadium dini timbul gejala hipoglikemia
beberapa jam sesudah makan.
Tabel Penyebab Hipoglikemia pada Pasien DM
1. Hipoglikemia pada pasien DM stadium awal
2. Hipoglikemia yang berhubungan dengan pengobatan DM
a. Pemakaian insulin
b. Pemakaian sulfonilurea
c. Bayi dari ibu yang menderita DM
3. Hipoglikemia yang tidak berhubungan dengan DM
a. Hiperinsulinisme alimenter setelah gastrektomi
b. Insulinoma
c. Penyakit hati yang berat
d. Tumor ekstra pankreatik: fibrosarkoma, karsinoma ginjal
e. Hipopituitarisme

Tabel Faktor Predisposisi Terjadinya Hipoglikemia pada Pasien


yang Mendapatkan Terapi Insulin atau Sulfonilurea
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita :
- Asupan makanan yang kurang atau terlambat
- Dosis obat yang tidak tepat
- Olah raga yang berlebihan
- Lokasi tempat penyuntikan berubah
- Kebutuhan insulin yang turun :
• Fase penyembuhan dari penyakit
• Nefropati Diabetik
• Hipotiroidisme
• Penyakit Addison
• Hipopituitarisme
- Persalinan pada hari-hari pertama
- Penyakit hati yang berat
- Gastroparesis diabetikum
2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan dokter
- Kendali glukosa darah yang ketat
- Pemakaian obat-obatan lain yang berefek potensiasi hipoglikemik
- Pergantian insulin (jenis insulin)
118 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Hipoglikemia yang terjadi pada pasien DM yang mendapatkan


terapi insulin atau sulfonilurea sering kali disebabkan karena intake
makanan yang terlambat atau kurang, dosis obat yang tidak tepat, olah
raga yang berlebihan, perpindahan tempat suntikan insulin (dari lengan
ke dinding perut), kebutuhan insulin dan sulfonilurea yang menurun
(neuropati, penyakit hati, persalinan, penyembuhan dari infeksi/stres,
hipotiroidisme), pemberian obat-obatan lain yang berefek hipoglikemia,
gastroparesis diabetik (tabel 6).
Hipoglikemia dapat terjadi pada semua macam sulfonilurea tetapi
yang sering adalah penggunaan sulfonilurea berkhasiat lama seperti
klorpropamid. Walaupun glibenklamid mempunyai waktu paruh yang
tidak panjang tetapi pada individu tertentu obat ini dimetabolisasi
lambat. Pada orang tua penggunaan sulfonilurea sering menimbulkan
hipoglikemia yang terjadinya pelan-pelan dengan gangguan fungsi otak
yang tidak jelas atau timbulnya gejala neurologis fokal yang kadang-
kadang menyerupai serangan stroke. Efek hipoglikemia sulfonilurea ini
diperkuat oleh pemberian aspirin, betabloker dan sulfonamid.

E. Diagnosa Hipoglikemia
Diagnosis hipoglikemia pada pasien DM yang mendapat insulin
atau sulfonilurea ditegakkan bila didapatkan gejala-gejala tersebut
diatas. Untuk konfirmasi diagnosis dilakukan pemeriksaan glukosa
darah. Pada pasien yang semula tidak sadar kemudian menjadi sadar
setelah mendapatkan suntikan dekstrosa, maka dapat dipastikan
diagnosis pasien tersebut adalah koma hipoglikemia. Trias Whipple
dapat digunakan sebagai dasar diagnosis koma hipoglikemia, yaitu: 1)
Hipoglikemia dengan gejala saraf pusat, psikiatrik atau vasomotorik; 2)
Kadar glukosa darah kurang dari 50mg%; 3) Gejala menghilang dengan
pemberian gula.

F. Pengobatan Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan komplikasi DM yang sering terjadi,
karena itu edukasi penderita mengenai gejala-gejala awal hipoglikemia
dan cara mengatasinya perlu diberikan. Pengobatan hipoglikemia harus
dilakukan secepatnya bila pasien masih sadar, tindakan tersebut dapat
dilakukan oleh pasien sendiri yaitu dengan minum larutan gula 10-30
Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus 119

gram. Untuk pasien yang tidak sadar diberiankan suntikan dekstrosa 15-
25 gram intra vena. Apabila suntikan tersebut belum dapat dilakukan,
dapat diberikan madu atau sirup yang dioleskan di mukosa pipi
pasien. Sebelum dekstrosa disuntikkan intra vena, darah harus diambil
dahulu untuk diperiksa kadar glukosa darahnya. Bila dengan suntikan
dekstrosa tersebut pasien menjadi sadar, maka diagnosis pasti adalah
hipoglikemia, tetapi bila pasien tetap tidak sadar makaharus dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah dan pemeriksaan laboratorium
lainnya untuk evaluasi lebih lanjut.
Selain penggunaan desktrosa dapat juga digunakan suntikan
glukagon 1 mg intramuskular apabila hipoglikemia tersebut terjadi
pada pasien yang mendapat terapi insulin. Hal ini lebih memungkinkan
untuk dilakukan terutama bila suntikan desktrosa intravena sulit
dilakukan.
Sebaiknya dilakukan perawatan di rumah sakit bila koma
hipoglikemia yang terjadi karena pemakaian sulfonilurea ataupun
insulin. Pemberian dekstrosa harus diteruskan dengan infus dekstrosa
10% selama ±3 hari meskipun pasien sudah sadar sesudah pemberian
bolus dekstrosa. Pasien mempunyai resiko untuk jatuh lagi ke kondisi
koma hipoglikemia bila tidak dilanjutkan dengan infus dekstrosa.
Diperlukan monitoring glukosa darah setiap 3-6 jam sekali dan kadar
glukosa darah dipertahankan kisaran 90-180mg%. Pemberian suntikan
glukagon tidak efektif pada hipoglikemia karena sulfonilurea, kadang
justru dapat memacu pengeluaran insulin dan sulfonilurea sendiri
menghambat enzim yang berguna untuk glikogenolisis.
Dengan pengobatan tersebut diatas pada sebagian kecil kasus
koma hipoglikemia tidak memberikan berespon yang baik dan pasien
tetap tidak sadar meskipun kadar glukosa darah sudah diatas normal.
Biasanya keadaan ini disebabkan karena adanya edema serebri dan
pasien perlu mendapatkan terapi manitol atau deksametason. Manitol
diberikan dengan dosis 1,5-2 gram/kgBB, yang diberikan setiap 6-8
jam. Disamping itu harus dicari kemungkinan penyebab lain koma
(keracunan obat, pendarahan otak dan sebagainya). Infus dekstrosa 10%
tetap diberikan pada pasien dan kadar glukosa darah dipertahankan
kisaran 180mg%. Fluktuasi kadar glukosa darah yang besar harus
dihindari karena akan memperberat edema serebri. Apabila koma
berlangsung lama, perlu pemberian insulin dosis kecil untuk meregulasi
120 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

glukosa darahnya. Pada beberapa kasus, pasien masih mampu bertahan


dalam keadaan koma yang cukup lama tetapi semakin lama koma maka
makin besar kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan otak.

G. Prognosis
Jarang terjadi kematian akibat hipoglikemia. Penyebab kematian
karena keterlambatan mendapatkanterapi, koma yang terlalu lama
sehingga terjadi kerusakan jaringan otak. Kemungkinan lain bisa terjadi
koma hipoglikemia pada pasien peminum alkohol dan saat terjadi
hipoglikemia dalam keadaan mabuk sehingga sulit untuk mengevaluasi
pengobatan. Selain itu alkohol menekan glukoneogenesis. Hipoglikemia
yang terjadi saat pasien mengemudikan kendaraan dapat menyebabkan
kecelakaan yang berakibat fatal.
Ketoasidosis Diabetikum 121

5
KETOASIDOSIS DIABETIKUM

K etoasidosis diabetik tetap merupakan komplikasi gawat pada


pasien diabetes yang mengancam jiwa bila tidak dikenal dan tidak
mendapat pengobatan cepat. Sekarang makin jelas bahwa ketoasidosis
diabetik pada DM tipe II juga mengandung unsur hiperosmolaritas.
Hal ini tidak ditemukan pada ketoasidosis murni DM tipe I yang
biasanya terjadi tiba-tiba dan disertai hiperglikemia ringan. Sebaliknya
hiperosmolaritas nyata dengan ketoasidosis lebih sering terjadi pada
pasien tua secara perlahan-lahan dan sering disertai koma.

A. Patofisiologi
Tanda dan gejala ketoasidosis dapat dibagi menjadi 2 kelompok
besar, yaitu gejala yang timbul akibat hiperglikemia dan gejala akibat
ketosis. Hiperglikemi terjadi akibat defisiensi insulin yang menyebabkan
jaringan perifer kurang menggunakan glukosa dan meningkatnya
glukoneogenesis di hati. Sebagai akibat defisiensi insulin maka
akan terjadi peningkatan kadar glukagon.Perubahan rasio ini akan
menyebabkan peningkatan lipolisis di jaringan lemak dan ketogenesis
di hati. Defisisensi insulin akan menyebabkan lipolisis dengan memacu
kegiatan lipase di jaringan lemak dan berakibat bertambahnya pasokan
asam lemak bebas ke hati. Enzim karnitil asil transferas I didalam
mitokondria hati akan teraktivasi untuk mengubah asam lemak bebas
menjadi benda keton, atau teroksidasi menjadi CO2 atau menimbunnya
menjadi trigliserida. Serangkaian proses ketosis ini akan menghasilkan
asam betahidroksibutirat dan asam asetoasetat yang menyebabkan
asidosis. Dalam kejadian ini aseton tidak ikut berperan, walaupun aseton
penting untuk diagnosis ketoasidosis. Pada waktu yang bersamaan juga
terjadi penambahan stres hormon yang kerjanya berlawanan dengan
insulin, sehingga defisiensi insulin yang menyebabkan ketoasidosis
bersifat defisiensi insulin yang relatif. Terjadi kenaikan kadar glukagon,

121
122 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

katekolamin, kortisol dan somatotropin yang masing-masing kadarnya


naik menjadi 450%, 760% dan 250% dibanding dengan kadar normal
100%.

B. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita ketoasidosis adalah dehidrasi (turgor
kulit berkurang, lidah dan bibir kering), pernapasan cepat dan dalam
(kussmaul), kadang-kadang disertai tekanan darah rendah sampai
renjatan. Kesadaran dapat turun sampai koma. Demam biasanya jelas
bila ada infeksi. Kadang sering tercium bau aseton dari pernafasan
penderita.

C. Diagnosis Ketoasidosis Diabetikum


Selain gambaran klinis diatas, harus dipastikan adanya
hiperglikemia, keton plasma, glukosuria dan astonuria. Bila
memungkinkan, penetapan pH darah (Astrup) akan sangat membantu
dalam pengobatan.

Gambar Patofisiologi Ketoasidosis


Ketoasidosis Diabetikum 123

D. Perubahan Kadar Elektrolit


Semakin jelas hubungan antara gambaran klinis dan hiperglikemia.
Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dan hiperosmolaritas
ruang ekstrasel. Hiperglikemia juga menyebabkan pindahnya cairan
dalam sel ke uang ekstrasel yang lebih sempit, sehingga kehilangan
cairan intrasel tidak banyak. Pindahnya cairan intrasel ke ruang vaskuler
ekstrasel, dalam batas tertentu dapat mencegah terjadinya hipovolemia.
Bila hiperglikemia berlanjut, glukosuria memperberat diuresis
osmotik dengan kehilangan air dan natrium terus menerus. Akhirnya
dapat terjadi dehidrasi intrasel dan ekstrasel, dengan gambaran koma
dan renjatan. Adanya unsur hiperosmolaritas pada ketoasidosis
berkaitan dengan kadar glukosa, natrium dan mungkin kalium.
Kadar kalium plasma seringkali normal, bahkan naik, walaupun
sebenarnya jumlah kalium tubuh berkurang sekali. Hal ini disebabkan
oleh keluarnya kalium intrasel pada asidosis, setelah ditukar dengan
hidrogen ekstrasel dan pindahnya kalium dari sel ke plasma karena
hiperglikemia.
Pengobatan dengan insulin akan menyebabkan pindahnya kalium
ke dalam sel dan dapat menurunkan kadar kalium plasma. Inilah yang
nanti harus diperhatikan.
Fosfat ternyata jarang diperlukan dan hanya dipertimbangkan jika
kadarnya kurang dari 1 meq/1. Pemberian fosfat mengandung risiko
penurunan kalsium, sehingga kadar kedua elektrolit ini harus dipantau
dengan cermat.
Bila pH kurang dari 7,0 diberikan bikarbonat dan dianggap berguna
untuk mengurangi pernapasan kussmaul. Perlu diingat bahwa 1 ampul
bikarbonat mengandung 4-5meq/1 natrium dan membayakan bila
diberikan kepada pasien dengan hiperosmolaritas.

E. Pengobatan Ketoasidosis Diabetikum


1. Cairan
Pemberian cairan harus segera dilakukan untuk mengganti cairan
yang hilang akibat dehidrasi dan kadang adanya hiperosmolaritas.
Cairan yang dipergunakan biasanya NaCl 0,9% atau NaCl 0,45%
tergantung dari ada tidaknya hipotensi dan tinggi rendahnya kadar
124 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

natrium. Umumnya diperlukan 1-2 liter dalam jam pertama (tahap awal).
Mungkin diperlukan pemasangan CVP. Evaluasi untuk menilai hidrasi
ialah turgor jaringan, produksi urin, tekanan darah dan pemantauan
keseimbangan cairan.
2. Insulin Baru Diberikan pada Jam Kedua
Insulin 10 unit bolus intravena, diikuti dengan infus larutan insulin
regular dengan kecepatan tetesan 2-5 U/jam. Sebaiknya larutan 5 U
insulin dalam 50ml NaCl 0,9% bermuara dalam larutan untuk rehidrasi
dan dapat diatur kecepatan tetesannya. Bila kadar glukosa turun sampai
300mg/dl atau kurang, kecepatan tetesan larutan insulin dikurangi
menjadi 1-2 U/jam dan larutan rehidrasi diganti dengan glukosa 5%.
Bila pasien sudah dapat makan lagi, diberikan sejumlah kalori dalam 4
porsi, sesuai dengan kebutuhannya. Insulin regular diberikan subkutan
4 kali sehari secara bertahap. Sesuai dengan kadar glukosa darah.
3. Kalium
Pengisian kembali jumlah kalium tubuh (lihat perubahan kadar
elektrolit) dan pencegahan hipokalemia harus dilaksanakan. Kalium
diberikan sesuai dengan hasil pemeriksaan kadar plasma sebagai
larutan KCl 13-20 meq/jam:
K plasma 3-4 meq --- KCl 26 meq/jam
kurang dari 3 meq --- 39 meq/jam
5-6 meq --- 10 meq/jam
lebih dari 6 meq --- dihentikan

4. Bikarbonat
Bikarbonat baru diperlukan bila pH kurang dari 7,0. Diberikan
dengan dosis 100 meq bikarbonat +20 meq KCl dalam 20-40 menit.
Bila pH masih kurang dari 7,0 dosis tersebut bisa diulang setelah 60-90
menit.

F. Tindakan Umum
Diperlukan pemasangan NGT tube (nasogastric tube) atau sonde
hidung-lambung diperlukan untuk menghindari aspirasi bila pasien
muntah dan juga untuk memenuhi kenutuhan nutri pasien. Kateter urin
mungkin perlu digunakan, harus diperhatikan dan diperetimbangkan
Ketoasidosis Diabetikum 125

risiko terjadinya infeksi. CVP diperlukan bila ada kecurigaan penyakit


jantung atau pada pasien usia lanjut. Dilakukan perekaman EKG untuk
memantau kadar K plasma. DIC sangat jarang ditemukan pada pasien
ketoasidosis, tetapi perlu diperhatikan.
Antibiotik mulai diberikan sesudah darah, urin, usap tenggorokan
dan bahan lain dikirim untuk pembiakan kuman.

G. Faktor Pencetus
Faktor pencetus ketoasidosis biasanya dicetuskan oleh faktor yang
mempengaruhi fungsi insulin. Mengidentifikasi dan menterapi faktor
pencetus ini penting dalam tatalaksana dan pencegahan ketosidosis
selanjutnya. Faktor pencetus tersebut adalah :
1. Adanya infeksi
Kebutuhan insulin tiba-tiba naik pada infeksi, walaupun infeksi
tersebut ringan seperti infeksi saluran kecing atau bisul di jari
tangan.
2. Pengobatan insulin dihentikan
Hal ini terjadi pada 3,5% dalam kelompok di atas.
3. Adanya stres
Stres psikis maupun stres fisik dapat menyebabkan ketoasidosis,
hal ini sangat mungkin disebabkan karena peningkatan kadar
hormon kortisol dan adrenalin.
4. Kadar kalium yang rendah (hipokalemia)
Hipokalemia meyebabkan sekresi insulin terhambat dan
menurunnya kepekaan insulin. Hal ini sering kali terjadi pada
penggunaan diuretik.
5. Obat-obatan
Beberapa obat mempunyai efek mengurangi sekresi insulin atau
menambah resistensi insulin. Pada penderita diabetes obat-obat
tersebut harus dipertimbangkan perlu tidaknya dipergunakan,
obat tersebut adalah : hidroklorotiasid, penghambat beta,
penghambat kalsium, dilantin, kortisol. Alkohol dapat menghambat
sekresi insulin, dapat menyebabkan pankreastitis sublinis dan
mempengaruhi sel beta.
126 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)


Koma Hiperosmolar Non Ketonik (KHONK) 127

6
KOMA HIPEROSMOLAR NON KETONIK
(KHONK)

D efinisi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketonikadalah


suatu kumpulan gejala yang terdiri dari hiperglikemia yang berat,
osmalaritas plasma yang tinggi, kehilangan cairan (dehidrasi) yang
berat dan penurunan kesadaran. Penyakit ini merupakan salah satu
jenis koma non-ketoasidosis. Donowski dan Nabarro membagi koma
diabetes non ketoasidosis menjadi :
1. Koma oleh sebab penyakit penyerta: stroke, obat-obatan, gagal
ginjal kronik dan koma hepatik.
2. Hipoglikemia.
3. Koma asidosis laktat.
4. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketonik.
5. Kombinasi.
Terdapat dua bentuk komplikasi akut pada Diabetes Mellitus
yaitu hipoglikemia dan hiperglikemia sedangkan hiperglikemia terdiri
dari Ketoacidosis Diabetic (KAD)/Diabetes Keto Asidosis (DKA), Koma
Hiperosmoler Non Ketotic (KHONK)/Non Ketotik Hiperosmoler (NKH) dan
Lactic Acidosis (LA).
Komplikasi akut Diabetes Mellitus yang merupakan keadaan gawat
darurat seperti hipoglikemia, ketosiadosis dan koma hiperosmoler non
ketotik memerlukan perhatian dan penanganan yang serius karena
angka kematiannya yang cukup tinggi. DKA menempati peringkat
pertama angka kematian disusul oleh hipoglikemia.

A. Patogenesis
Patogenesis terjadinya koma hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik (KHONK) dan ketoasidosis diabetik (KAD) hampir sama. Pada
fase awal, beberapa faktor pencetus (stresor) menghambat sel beta

127
128 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

pankreas untuk mensekresi insulin sehingga insulin yang disekresitidak


adekuat. Pada kondisi tersebut terjadi peningkatan sekresi glukagon
dan berakibat terjadinya peningkatan pembentukan glukosa serta
menurunnya pemakaian glukosa opleh jaringan perifer, sehingga kadar
glukosa plasma semakin tinggi.
Diuresis osmotik akan terjadi dengan akibat berkurangnya elektrolit
dan cairan tubuh, perfusi ke ginjal semakin berkurang dan berakibat
semakin meningkatnya sekresi hormon sehingga timbul hiperosmolar
hiperglikemik seperti terlihat pada gambar di bawah.

Gambar Skema patogenesis KHONK


Sampai saat ini para ahli masih belum dapat menetapkan, mengapa
pada pasien hiperosmolar tidak terjadi ketosis atau ketoasidosis.
1. Pada pasien KHONK diduga kadar insulin masih mencukupi untuk
mencegah ketosis tetapi tak dapat mempertahankan homeoistasis
Koma Hiperosmolar Non Ketonik (KHONK) 129

glukosa. Hipotesis ini ternyata tidak diterima, karena diketahui


bahwa kadar insulin pada keadaan hiperosmolar dan ketoasidosis
diabetik sama. William menduga kadar insulin vena porta cukup
banyak atau sel-sel lemak sangat sensitif terhadap insulin.
2. Peran hiperosmolar dan dehidrasi. Pada binatang percobaan
dengan mengurangi cairan, ternyata adanya intoleransi glukosa
akan diikuti pengurangan penglepasan asam lemak bebas sehingga
diduga dehidrasi mempunyai sifat anti ketogenik (mencegah
lipolisis).
3. Peran hormon lipolitik berkurang seperti hormon pertumbuhan,
kortison, glukagon, katekolamin (stress hormon). Kadar hormon
lipolitik yang berkurang ini memang telah dibuktikan pada koma
hiperosmolar, sehingga kadar asam lemak bebas lebih sedikit atau
mempunyai kadar sama dengan pada ketoasidosis diabetik. Shah
mengajukan hipotesis bahwa prostaglandin E2 (PGE2) mempunyai
sifat anti lipolisis yang lebih kuat dibanding insulin sehingga bila
PGE2 meninggi tentu dapat mencegah ketosis, tetapi hal ini belum
terbukti kebenarannya.

B. Gejala Klinis
Secara klinis KHONK dan Ketoasidosis Diabetik sulit dibedakan
bila hasil laboratorium (kadar glukosa darah, keton dan analisa gas
darah) belum ada hasilnya, namun beberpa tanda dan gejala berikut
bisa dipakai sebagai petunjuk, yaitu :
1. KHONK lebih sering terjadi pada usia tua (lebih 60 tahun), semakin
muda usia semakin berkurang dan belum pernah ditemukan pada
anak-anak.
2. Pada umumnya pasien mempunyai penyakit penyerta lain
(penyakit ginjal, kardiovaskuler, akromegali, tirotoksikosis dan
penyakit Cushing).
3. KHONK sering disebabkan karena pemakaian obat-obatan (tiazid,
furosemid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, manitol, digitalis,
reserpin, streroid, simetidin dan haloperidol (neuroleptik).
4. Adanya faktor pencetus untuk timbulnya KHONK (misalnya
infeksi, penyakit kardiovaskuler,gangguan keseimbangan cairan,
pankreatitis, aritmia, pendarahan, koma hepatik dan operasi).
130 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Keluhan utama yang menyebabkan pasien datang ke Rumah Sakit


adalah : sering kencing, sering minum dan terasa haus, kesadaran
turun. Pada pemeriksaan fisik pasien Koma Hiperosmoler Non Ketotik
(KHONK) biasanya ditemukan :
- Penurunan kesadaran (apatis sampai koma).
- Turgor turun, bibir kering, hipotensi postural, kelainan neurologis
(tanda-tanda dehidrasi).
- Bau aseton tidak tercium dari pernapasan.
- Tidak ada nafas Kussmaul.

C. Gambaran Laboratorium
Untuk membedakan dengan Ketoasidosis Diabetik diperlukan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien KHONK didapatkan kadar glukosa
darah > 600mg%, osmolalitas serum > 350mOsm/kg. Pemeriksaan aseton
plasma hasilnya negatif.
Pada pemeriksaan penunjang tambahan didapatkan hasil :
hipernatremia, azotemia, hiperkalemia, kadar Blood Urea Nitrogen
(BUN): kreatinin, rasio 30:1 (normal 10:1), bikarbonat serum > 17,4
mEq/L.
Formula penghitungan osmolalitas serum apabila osmolalitas
serum belum dapat dilakukan :
Serum osmolalitas =
urea ** glukosa mg% *
2 (Natrium + Kalium) + +
6 8
* Glukosa 1 mmol = 18 mg%.
* Urea diperhitungkan bila ada kelainan fungsi ginjal.

D. Pengobatan KHONK
1. Rehidrasi dengan cairan adalah pengobatan utama
1.1 NaCl, bisa digunakan cairan istotonik atau hipotonik ½ nomal,
diguyur 1000 ml/jam sampai volume cairan intravaskuler dan
perfusi jaringan membaik, setelah itu baru diperhitungkan
kekurangan cairan dan diberikan dalam 12-48 jam. Perlu
pertimbangan khusus pada pemberian cairan isotonik pada
Koma Hiperosmolar Non Ketonik (KHONK) 131

pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau


hipernatremia.
1.2 Glukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa sekitar 200-
250 mg%.
2. Insulin
Insulin sensitif pada pasien hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
dan jugapada pasien ketoasidosis diabetik,pengobatan dengan
insulin dosis rendah sangat bermanfaat. Sehingga tatalaksana
pengobatan dapat menggunakan protokol yang mirip protokol
Ketoasidosis Diabetik.
3. Kalium
Kalium darah harus terpantau dengan baik. Bila fungsi ginjal
membaik maka harus segera diberikan koreksi kekurangan kalium.
4. Infeksi sekunder harus dihindari,waspada dan hati-hati dengan
tindakan injeksi, pemasangan kateter, pemasangan NG tube dan
juga pemasangan infus set.

E. Prognosis
Prognosis KHONK buruk, angka kematian berkisar antara 30-50%.
Kematian sering kali disebabkan karena penyakit yang mendasari atau
menyertainya bukan secara langsung karena sindrom hiperosmolarnya.
Angka kematian di negara maju dapat ditekan menjadi sekitar 12%.
132 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)


Daftar Pustaka 133

DAFTAR PUSTAKA

AAFP. 2010. Diabetes and Exercise. (Online: http://familydoctor.org/


online/ famdocen/home/common/diabetes/living/351.html
American Diabetes Association (ADA). 2001. Musculoskeletal Complication
of Diabetes Melitus. (http://clinical.diabetesjournals.org/cgi/content/
full)
Anthony B, Chris C, James B. 2003. Lecture Notes : Oftalmologi, Asri Dwi
Rahmawaty, Penerjemah, Jakarta : Erlangga, Terjemahan dari :
Lecture Notes on Opthalmologi.
Brandt, Kenneth D. 1995. Prinsip-Pinsip Ilmu Penyakit Dalam. Harrison:
Osteoartritis. Jakarta: EGC
CDC. 2008. Exercise. (Online: http://www.cdc.gov/diabetes/faq/exercise.
html)
Canadian Diabetes Association. 2008. Insulin: things you should know
(online: http://www.diabetes.ca/files/insulin-things-you-should-
know.pdf )
Departemen Kesehatan RI. 2005. (http://www.suarakarya-online.com/
news.html)
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman Obat Untuk Perawat. EGC. Jakarta.
Dyck, Peter J. 2002. Diabetic Neuropathies : The Nerve Damage of Diabetes.
USA
http://books google.co.id
http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/neuropathies
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1898/1/rodiah.pdf
http://www.ikcc.or.id/print.php?id
Elia, D. 2009. Diabetik Retinopathy. Penerbit Sringer
Foster, Daniel W. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Harrison:
Diabetes Melitus. Jakarta: EGC

133
134 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Gilman, Alfred. 2007. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Edisi
10. EGC. Jakarta.
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi ke Lima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Gustaviani, Reno. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV:
Diagnosis dan Klasifikasi DM. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hendromartono. 2006. Nefropati Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. pp : 1920-1923.
Iskandarwati, Hani. 2006. Pentingnya Resep Masakan Untuk Penderita
Diabetes. (online: http://wrm-indonesia.org/content/view/693/90/)
Jevuska. 2010. Hubungan Diet dan Diabetes. (online: http://www.jevuska.
com/2010/01/10/hubungan-diet-dan-diabetes)
Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi Keenam.
EGC. Jakarta.
Karyadi, Elvina. 2007. Diet dan Olahraga Bagi Penderita Diabetes. (Online:
http://cuek.wordpress.com/2007/11/19/diet-dan-olahragabagi-
penderita-diabetes/)
Karam, John HF,Peter H. 2000. Hormon Endokrinologi Dasar dan Klinik:
Hormon Pankreas & Diabetes Melitus. Jakarta: EGC
Kee, Joyce L. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. EGC.
Jakarta.
Kistler, Philip J. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Harrison:
Penyakit Cerebrovaskuler. Jakarta. EGC
Kozak GP, Krall LP. Disorders of skin in diabetes. In Joslin's Diabetes
Mellitus. Marble A. Krall LP, Bradley RF,Christileb AR, Soeldner
JS(eds). Lea and Febiger, Philadelphia 1985, 769-83.
Kresnawan, Triyani. 2007. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik.
Indonesia Kidney Care Club.
Kronenberg, Henry M. 2008. Retinopathy, Macular Edema, and Other
Ocular Complication, William Textbook of Endocrinology. pp: 1432-
1433
LAD. 2006. Exercise and Diabetes. (Online: http://www.learningabout
diabetes.org/downloads/LADexerciseBkEN.pdf)
Martha SN, MD, John H. Karam. 2002. Hormon Pankreas dan Obat Anti
Diabetes. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika
Daftar Pustaka 135

Murfida, Lilia. 2001. Terapi Metformin Pada Sindrom Ovarium Polikistik


(Online: http://digilib.unsri.ac.id/download/Terapi%20Metformin
%20pada%20PCOS.pdf).
Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi: Ulasan Bergambar, Edisi ke Dua. Widya
Medika. Jakarta.
Naghmi R. Skin disorders in diabetes mellitus. International Diabetes
Digest 1993; 4 : 75-7
Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis, Edisi Kelima.
Erlangga. Jakarta.
NIDDK. 2007. Eating Diabetes. (online: http://diabetes.niddk.nih.gov/
dm/pubs/eating_ez/Eating_Diabetes.pdf
Pandelaki, Karel. 2006. Retinopati Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. pp : 1911-1915.
Powers, Alvin C. 2005. Diabetes Mellitus. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. USA : Mc Graw-Hill Companies.
Radde, Ingeborg C. 1998. Farmakologi dan Terapi Pediatri. Hipokrates. Jakarta.
Rahardja, Kirana. 2002. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
efek Sampingnya, Edisi Kelima. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Rahmawaty, Rodiah. 2007. Diabetik Retinopati. Departemen Ilmu
Penyakit Mata. FK USU. Medan.
Ramaiah, Savitri. 2006.Diabetes Cara Menegtahui Gejala Diabetes dan
Mendeteksinya Sejak Dini. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
Rully Roesli, Endang Susalit, Jusman Djafar. 2001. Nefropati Diabetik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi 3. Jakarta. BP FKUI.
pp.356-363.
Sacks D.B., Carbohydrates, In Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds
Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company,
USA, 2001:427-461
Sarkar, RN, et all. 2003. Rheumatological Manifestations of Diabetes Melitus.
Kolkata: Calcutta Medical College
Schteingart, David E. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit:
Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. Jakarta: EGC
Shahab, Alwi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV:
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus Penyakit Jantung Koroner.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
136 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Silvia A. Price; Lorraine M. Wilson, Pathophysiology, Clinical concepts


of disease processes, fourth edition, Mosby year book, 2002
Soegondo, Sidartawan. 2000. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
III: Pemantauan Pengendalian DM. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soegondo, Sidartawan. 2002. Kontrol Diabetes dengan ABBA. Jakarta
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/29/iptek/kont10.
htm)
Soegondo, Sidartawan. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi
IV: Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus tipe 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Stefan Silbernagel, Florian Lang, 2007, Teks & Atlas berwarna Patofisiologi,
Jakarta, EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Sukmaniah, Sri. 2010. Diet Untuk Penderita Diabetes Mellitus. (Online:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/28_176Dietuntukpenderita
diabetes.pdf/28_176Dietuntukpenderitadiabetes.pdf )
Subekti, Imam. Neuropati Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. pp : 1924-1962.
Sukandar E. 1997. Tinjauan Umum Nefropati Diabetik in Nefropati Klinik.
Edisi ke-2. Penerbit ITB. Bandung.
Steidil S, Elizabeth M. 2003. Clinical Pathway in Vitroretinal Disease.
Tjokroprawiro, Askandar. 1996. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
UW Health, 2003. Diabetes and Exercise (online: http://www.uhs.wisc.
edu/ docs/uwhealth_diabetes_260.pdf)
Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2000. Oftalmologi Umum. Edisi ke-14.
Jakarta : Widya Medika.
Vander F, James MD. 2003. Colour Atlas and Synopsis of Clinical
Ophtalmology. Willms Eye Hospital, Diabetic Retinopathy.
Waspadji, Sarwono. 2000. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi III.
Jakarta: Balai penerbit FKUI
Waspadji, Sarwono. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes Melitus: Mekanisme
Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Glosarium 137

GLOSARIUM

Autokrin : Adalah hormon yang bekerja di dalam sel yang menghasilkan


hormon itu sendiri.
Diabetes Mellitus : Adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Endokrin : Adalah hormon yang mencapai sel target di organ lain
melalui darah.
Glukagon : Adalah antagonis dari hormone insulin, yang disekresi
pada saat kadar gula darah tubuh rendah, yang berfungsi untuk
meningkatkan kadar gula darah tubuh. Gukagon diproduksi oleh
sel alfa pancreas.
Hormon : Adalah zat kimia yang diproduksi oleh sistem endokrin
dalam tubuh dan berfungsi untuk membantu mengendalikan
hampir semua fungsi tubuh, seperti pertumbuhan, metabolism,
hingga kerja berbagai sistem organ termasuk organ reproduksi.
Insulin : Adalah hormon alami yang diproduksi oleh sel beta pancreas
yang berfungsi untuk merubah glukosa menjadi energi yang
disebarkan keseluruh tubuh.
Irama sirkadian atau diurnal : Adalah irama yang menunjukkan
peningkatan hormon pada pagi hari, kemudian menurun dan
meningkat lagi pada malam hari untuk mencapai puncaknya
pada esok paginya.
Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHONK) : Adalah penurunan
kesadaran atau koma yang terjadi ketika gula darah dalam tubuh
penderita diabetes meningkat terlalu tinggi jauh melebihi batas
normal.
Koma hipoglikemi : Adalah penurunan kesadaran yang terjadi karena
kadar gula darah turun dibawah kadar normal.

137
138 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Koma Ketoasidosis Metabolik (KAD) : Adalah dekompensasi dan


kekacauan metabolik yang terjadi karena defisiensi insulin
absolut atau relatif yang ditandai dengan hiperglikemi, asidosis
dan ketosis.
MODY (Maturity Onset Diabetes of the Young) : Adalah diabetes yang
terjadi pada usia remaja karena mutasi salah satu gen yang
mengatur kadar gula. MODY lebih mirip DM tipe I, mutasi gen
yang terjadi menurunkan fungsi pancreas dalam memproduksi
insulin, namun gangguan tersebut baru muncul pada usia remaja.
Nefropati diabetik : Adalah sindrom klinis pada pasien Diabetes Mellitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau
>200 µg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3-6 bulan.
Neuropati diabetik : Adalah komplikasi kronik Diabetes Mellitus yang
mengenai sistem syaraf, baik syaraf sensoris, motoris maupun
autonom
Parakrin : Adalah hormon yang bekerja dengan mempengaruhi sel-sel
disekitarnya.
Precursor : Adalah senyawa yang berpartisipasi dalam reaksi kimia yang
menghasilkan senyawa lain. Dalam biokimia istilah precursor
merujuk pada senyawa kimia yang mendahului senyawa lain
dalam satu jalur metabolism.
Reseptor : Adalah mokelul protein yang menerima sinyal kimia dari
luar sel. Ketika sinyal kimia berikatan dengan reseptor, mereka
menyebabkan beberapa bentuk respon seluler/jaringan, misalnya
perubahan aktivitas listrik seluler.
Resistensi Insulin : Adalah kondisi ketika sel-sel tubuh tidak dapat
menggunakan gula darah dengan baik karena terganggunya
respon sel tubuh terhadap insulin.
Retinopati diabetik : Adalah komplikasi kronis Diabetes Mellitus pada
mata berupa gangguan penglihatan karena kerusakan retina
mata.
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) : Adalah pemeriksaan yang berfungsi
untuk mengukur kemampuan tubuh dalam menyerap glukosa
setelah pasien mengkonsumsi glukosa pada kadar tertentu.
Glosarium 139

Umpan balik negatif : Adalah pengaturan umpan balik, dimana produk


hormonal dari kelenjar sasaran bekerja menghambat pelepasan
hormon tropik hipofisis yang bersesuaian.
140 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

(Halaman ini sengaja dikosongkan)


Indeks 141

INDEKS

2,3-bisfosfogli serat (BPG): 67. Arteriol Aferen: 81, 83.


Abdominal Bloating: 58. Asam Asetoasetat: 66, 121.
Ablasio Retina: 95, 102. Asam Betahidroksibutirat: 121.
Absorbs Starch: 58. Asam Lemak Bebas: 56, 60, 64,
Absorpsi Na : 65.
+ 111, 112, 121, 129.
ACTH: 5, 6, 8, 20. Asam Lemak Omega 3: 26.
Adhesion Molecules: 82. Asetoheksimid: 45.
Advanced Glication End-Products Asidosis: 53, 54, 55, 66, 83.
(AGEs): 82. ATP-independent sel β pancreas:
Aerobics: 42. 52.
Albumin-Creatinine Ratio (ACR): 84. ATP-sensitive K channel: 48.
Aldosteron: 2, 3, 6, 7, 65. Autoantibodi: 19, 20, 106.
Alkalosis Intrasel: 65. Autokrin: 16.
Alpha Lipoic Acid: 109. Bedah Pintas Koroner: 78.
Aminoguanidin: 77, 91, 109. Biguanid: 53, 55.
Angiopati Diabetik: 73. Brain-Derived Neurotropic Factor:
Angioplasti: 78. 109.
Angiotensin Converting Enzyme Bunformin: 53.
Inhibitor (ACE-I): 88. Capsaicin Topical: 109.
Angiotensin II: 3, 7. Conditioning: 34.
Angiotensin Receptor Blocker (ARB): Continue: 32.
88. Cooling Down: 34, 38.
Antiproteolisis: 65. Cotton Wool Spot: 93, 96, 98.
Apidra: 61. Counter-Regulator: 11.
APUD (Amine Precursor Uptake Defisiensi Insulin Relatif: 14, 19,
and Decarboxylation): 3. 20, 66.

141
142 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Depolarisasi Membrane: 48. Fenitoin: 109.


Detemir (Levemir): 64. Fibrinogen: 67.
Diabetes Juvenilis: 19. Filament Mono Semmes-Weistein:
Diabetes Keto Asidosis (DKA): 127. 107.
Diabetes Melitus (DM): 9, 12, 13, Fitness Activities: 42.
18, 20, 33, 59, 64, 71, 77. Flatulence: 58.
Diabetic Autonomic Neuropathy Flexpen: 64.
(DAN): 107. Floater: 95.
Diet A: 27.
Formula CRIPE: 32.
Diet B: 27.
Fotokoagulasi Fokal: 102.
Disakarida: 11, 58.
Fotokoagulasi Panretinal: 101.
Disfungsi Ereksi: 22, 59, 107.
Fundal Fluorescein Angiography
Distal Symmetrical Sensory Motor (FFA): 95.
Polyneuropathy (DPN): 107.
Fungsi Sensorik: 66, 107.
Diuresis Osmotik: 65, 123, 125, 128.
Furunkel: 67.
Dose-Dependent: 58.
Gamma Linoleic Acid (GLA): 109.
Early Treatment Diabetic
Retinopathy Study Research Gangliosides: 109.
Group (ETDRS): 91. Gastroparesis Diabetikum: 117.
Edema Makula: 99. Gestational Diabetes Mellitus (GDM):
Edurance Sports: 42. 15.
Elektromiografi: 107. Glargine (Lantus): 63, 64.
Endokrin: 1, 2, 3, 4, 8, 16, 17. Gliburid (Glibenklamid): 45, 46,
47, 49.
Endurance: 32.
Gliklazid: 46.
Entrapment Neuropathy: 104.
Enzim Aldosareduktase: 66. Glikogen: 11, 14, 40, 60, 64, 112.

Enzim Renin: 6. Glikolisis: 17, 64, 65.


Epinefrin: 11, 20, 65, 112, 113, 114, Glimepirid: 46.
115, 116. Glipizid: 46, 47.
Escherichia Coli: 60. Gliserol: 64, 112.
Estesiometer: 107. Glomerulosklerosis: 67.
Faktor Pembekuan V-VIII: 67. Glucagon: 20, 48, 65.
Fenformin: 53. Gluconeogenesis: 17, 64, 65.
Indeks 143

Glukagon: 2, 11, 15, 21, 48, 82, 112, Hormon Vasoaktif: 81.
119, 121, 129. Humalog: 61, 63.
Glukokortikoid: 6, 11, 20. Human Intravenous Immunoglobulin:
Glukose Trasporter (GLUT): 80. 109.
Glukosuria: 12, 15, 122, 123. Human Leukosit Antigen: 80.
GLUT-1: 56. Humulin: 60, 62, 63.
GLUT-4: 56. Humulin 30/70: 63.
Glutamate Dekarboksilase: 19. IAA: 19.
Grid Photocoagulation: 102. ICA: 19.
Growth Hormone: 11. IGF-1: 82.
Haptoglobin: 67. Insulin: 2, 3, 7, 8, 12, 13, 15, 18, 20,
26, 30, 34, 40, 48, 52, 61, 74,
Hemostasis Ionik: 2.
79, 87, 91, 112, 117, 121, 125,
Hiperglikemia: 12, 15, 18, 23, 40, 128.
51, 62, 82, 105, 122, 127.
Insulin Dependent Diabetes Melitus
Hiperinsulinisme Alimenter: 116, (IDDM): 14.
117.
Insulin Isofane: 62.
Hiperosmolaritas: 65, 66, 67, 121,
Insulin Lente: 62.
123.
Insulin Resistance: 14.
Hipofisis: 1, 2, 4, 8, 16, 101.
Insulin Semilente: 62.
Hipoglikemia: 11, 12, 15, 17, 31,
45, 52, 64, 111, 127. Insulinoma: 116, 117.
Intermediate Acting Insulin: 62.
Hipokalemia: 65, 124, 125.
Interval: 13, 32, 108.
Hipopituitarisme: 116, 117.
Intraretinal Microvascular: 91, 92, 98.
Hipotalamus - Hipofisis - Gonad:
1. Intraretinal Microvascular Abnormalities
(IRMA): 91, 92, 98.
Hipotiroidisme: 117, 118.
Irama Diurnal: 8.
HLA-DR3: 19.
Isozim 2C8: 57.
HLA-DR4: 19.
Jalur Poliol: 97, 104, 105.
Hormon: 2, 3, 5, 6, 8, 12, 13, 16, 17,
20, 59, 61, 67, 81, 101, 112, Kaki Diabetik/Gangren: 69.
121, 125, 128, 129. Kanal Ca: 48.
Hormon Kontra Regulator: 112, Karbamazepin: 109, 110.
113, 116. Ketoacidosis Diabetic (KAD): 127.
144 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Ketoasidosis: 20, 21, 40, 62, 73, MHR (Maxmum Heart Rate): 33.
121, 125, 130, 131. Miglitol: 58.
Ketogenesis: 65, 111, 121. Mikroaneurisma: 91, 92, 93, 94, 97,
Ketosis: 55, 121, 128. 99, 102.
Kilomikron: 64, 112. Mikroangiopati: 67, 74, 87, 89.
Klorpropamid: 44, 47, 49, 116, 118. Mioinositol: 66, 104, 105.
Koma Hiperosmoler Non Ketotic Mixed Insulin: 62.
(KHONK): 127. Mixtard 30/70: 63.
Koma Hipoglikemi: 64, 118, 120. Mixtard 50/50: 63.
Kussmaul: 122, 123, 130. Mononeuropati: 102.
Lactic Acidosis (LA): 127. Monosakarida: 11, 58.
Lemak Jenuh: 26, 27, 74, 88. Nateglinid: 52, 53.
Lemak Tidak Jenuh: 26, 27, 88. Nefropati Diabetik: 68, 79, 80, 83,
Leptin: 56. 86, 89, 117.

Likogenolisis: 11, 65, 112, 119. Neovaskularisasi: 94, 98, 99, 102.
Nerve Growth Factor (NGF): 106, 109.
Lipogenesis: 65.
Neuropati Diabetik: 68, 102, 104,
Lipohipertrofi: 64.
105, 107, 110.
Lipolisis: 65, 66, 112, 121, 129.
Neuropati Difus: 103.
Lipoprotein: 9, 26, 64, 66, 98, 112.
Neuropati Fokal: 104.
Lipoprotein Lipase: 26, 64, 112.
Neuropati Kranial: 104.
Low Impact: 35.
Neuropati Otonom: 68, 102, 107.
Macroglobulin-α2: 67.
Neuropati Otonomik: 102.
Makroangiopati (Makrovaskuler):
Neuropati Perifer: 68, 102, 107.
73.
Neutral Protamine Hagedorn: 62.
Makrosomia: 15.
New Vessels Elsewhere (NVE): 92,
Malonil-CoA: 21. 100.
Maturity Onset Diabetes of the New Vessels on Disc (NVD): 92, 100.
Young (MODY): 20.
Nitric Oxide: 82, 105,
Meglitinid: 51, 52.
Non Insulin Dependent Diabetes
Messeger RNA: 4. Mellitus (NIDDM): 14.
Metalic Taste: 55. Non Ketotik Hiperosmoler (NKH):
Metformin: 53, 54, 56, 58. 127.
Indeks 145

Novomix: 63. Pulsasi Eksositosis Insulin: 61.


Novorapid: 61. Pyelonefritis: 67.
Nuclear Peroxisome Proliferator- Radikulopati/Pleksopati: 104.
Activated Receptor Gamma Rapid Onset-Fast Acting Insulin: 61.
(PPARγ): 56.
Reactive Oxygen Species (ROS): 105.
Oligosakarida: 58.
Reaksi Enzimatik: 2.
Parakrin: 16, 65, 116.
Rebeosis Iridis: 94.
Penghambat Enzim a-Glikosidase:
Recretaional Sports: 42.
57.
Reflex: 66.
Pentosin: 67.
Releasing Hormone: 4, 5.
Penyakit Addison: 117.
Penyakit Jantung Koroner (PJK): Renin-Angiotensin-Aldosteron: 6.
36, 68, 73, 77, 78. Renjatan: 122, 123.
Pericyte: 93. Repaglinid: 52.
Pioglitazon: 55, 56, 57. Reseptor: 3, 4, 7, 8, 9, 15, 16, 27, 33,
Polineuropati: 66, 102, 103, 107. 48, 67.
Polisakarida: 11. Retinopati: 36, 67, 68, 76, 83, 89,
93, 99, 101.
Poliuria: 65, 66.
Retinopati Diabetik: 68, 89, 90, 92,
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA):
94, 97, 98, 100, 101.
26.
Retinopati Diabetik Non-
Population Pharmacokinetic: 57
Proliferatif (RDNP): 91.
Power Sports: 42.
Ritmik: 32, 38.
Praprohormon, Prohormon atau
Prekursor: 3. Rosiglitazon: 55, 56, 57.
Prinsip FIDT: 32. Saraf Otonom: 66.
Produk Amadori: 82. Second Messenger: 3.
Profil Lipid: 23, 24, 26, 54, 71. Sel Schwann: 66.
Progresif: 32, 81, 89, 94, 101, 107. Sensitivitas Reseptor Insulin: 23.
Prostaglandin: 82, 129. Serine-Threonin Kinase: 82.
Prostaglandin E2 (PGE2): 129. Short Acting Insulin: 61.
Protein Kinase C (PKC): 82, 104, Sirkadian: 8.
105. Sistem Koagulasi Darah: 23.
Pruritus Vulva: 22. Sitokrom P-450: 57.
146 SISTEM ENDOKRIN DAN DIABETES MELLITUS

Somatotropin: 20, 122.


Starvation Ketosis: 55.
Stretching: 34, 43.
Stroke: 35, 68, 69, 118, 127.
Sumbu (Aksis) Hipotalamus -
Hipofisis - Adrenal: 1.
Target Heart Rate (THR): 33, 34.
Teori Glikosilasi: 77.
Teori Sorbitol: 76, 77.
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO):
13, 22, 23.
Thrombosis: 67.
Thyroid Stimulating Hormon [TSH]:
2.
Tiazolidinedion: 55, 56.
TNFα: 56.
Tolazamid: 45, 46, 50.
Tolbutamid: 15, 45, 46, 47.
Transduksi Sinyal Selular: 16.
Trias Whipple: 118.
Trigliserida: 24, 26, 56, 60, 64, 67,
70, 83, 112, 121.
Troglitazon: 55, 56.
Umpan Balik Negatif: 5, 6.
Uncoupling Protein-2 [UCP]: 56.
Warm-up: 34.
Viskositas Darah: 67, 74, 91.
Viterektomi: 102.
VLDL: 26, 54, 64, 66, 67.
Indeks 147

TENTANG PENULIS

Meddy Setiawan, lahir dan dibesarkan dikota


Blitar - Jawa Timur. Pendidikan SD, SMP dan
SMA ditempuh di Blitar. Pada tahun 1986
melanjutkan pendidikan dokter di Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
Setelah mengabdi sebagai Dokter PTT di
Kabupaten Malang, melanjutkan Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit
Dalam di RSSA - FK UB. Ketertarikan didunia
Pendidikan ditunjukkan dengan menjadi
dosen di STIE Malangkucecwara setelah lulus
sebagai dokter umum, sebelum akhirnya bergabung menjadi dosen di
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang (FK UMM)
setelah lulus program spesialisasinya. Pendidikan Doktor jenjang S3
diselesaikan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Saat ini sebagai dosen tetap di Fakultas kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang, dan sejak tahun 2017 mendapat Amanah
menjadi Dekan FK UMM.
Saat ini mengajar, praktek sebagai dokter spesialis di RS UMM,
meneliti dan mengabdi ke masyarakat menjadi rutinitasnya. Ubi jalar
ungu (Ipomoea batata), aterosklerosis, dan disfungsi endotel merupakan
topik penelitian yang banyak dikembangkan.Beberapa penelitian
terpublish di jurnal internasioanal yang terindex scopus dan juga di
jurnal nasional yang terindex sinta. Belajar sepanjang hayat merupakan
moto yang selalu menyemangati Dr. dr. Meddy Setiawan, SpPD.
FINASIM untuk terus mengabdi dan berkarya.

Anda mungkin juga menyukai