Anda di halaman 1dari 291

PENYAKIT

JANTUNG KORONER

OLEH :
ROCHMAD ROMDONI
SURABAYA
2018
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ....................................


DAFTAR ISI ....................................................

BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Epidemiologi ...........................................
1.2.PJK........................................................... 1
1.3. Anatomi Jantung Koroner ..................... 2

BAB II. PENYAKIT JANTUNG KORONER


2.1. Mengenal Penyakit Jantung Koroner ........
2.2. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner ... 9
BAB III. ANGINA PEKTORIS STABIL
3.1. Angina Pektoris Stabil .............................. 18
3.2.
BAB IV. SINDROM KORONER AKUT
Sindrom Koroner Akut ...................................... 24
Patofisiologi………………………………… .. 25
Diagnosa............................................................ 26
Pemeriksaan Fisik ............................................. 28
Elektrokardiogram…………………………..... 29
Pemeriksaan Laboratorium ............................... 31
Tatalaksana........................................................ 32
BAB V. REHABILITASI DAN PENCEGAHAN
SEKUNDER PADA PANYAKIT JANTUNG
KORONER
Pendahuluan ......................................................
Rehabilitasi Pencegahan Pjk
Konsep Rehabilitasi Penyakit Jantung .............. 38
Sasaran Program Rehabilitasi Jantung
Program Latihan Aras Rendah ......................... 40
Komponen Utama Rehabilitasi Dan Pencegahan
Hal Yang Diperlukan Untul Pencapaian Program
Rehabilitasi........................................................ 40
Program Berbasis Rumah Dan Komunitas…

BAB VI. PENCEGAHAN PRIMER PENYAKIT


KARDIOVASKULAR ATEROSKLEROSIS
Pencegahan Primer Penyakit Kardiovaskular
Aterosklerosis .................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ...................................... 48


PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha


Kuasa, atas rahmat-Nya sehingga buku
“Penyakit Jantung Koroner” ini dapat
terselesaikan.Buku ini ditulis dalam
rangka meningkatkan mutu Pendidikan
Mahasiswa Fakultas
Kedokteran,diharapkan bermanfaat bagi
Dokter yang sedang melanjutkan
Pendidikan di Bidang Penyakit
Klinik,khususnya Kardiologi, dan
Bidang Kesehatan Umumnya , yang
memerlukan kan kelengkapan informasi,
baik kuantitatif maupun kualitatif
sebagai bahan referensi dan pedoman
dalam melaksanakan pendidikan
Kedokteran. Buku Penyakit Jantung
Koroner “”, ditulis sebagai pedoman
mahasiswa Kedokteran dalam
mempelajari mengenai definisi,
klasifikasi klinis, patologi, patobiologi,
genetika, epidemiologi, faktor risiko
dislipidemia, serta keadaan – keadaan
khusus yang berhubungan dengan
dislipidemia.Tentunya dalam
penyusunan buku ini masih sangat
banyak kekurangan, sangat diharapkan
masukannya guna penyempurnaan
terbitan yang akan datang sehingga
manfaatnya semakin besar bagi banyak
kalangan yang membutuhkan. Semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dalam rangka penyelenggaraan
dan peningkatan mutu pendidikan
Kedokteran di Indonesia, dan Bidang
Kesehatan Umumnya. Buku ini menjadi
bagian dari amal sholeh Penulis dalam
wujud Ilmu Yang Bermanfaat dan
diterima Allah sebagai bagian dari
ibadah Penulis kepadaNya.

Malang, April,2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
KARDIOLOGI

Dokter adalah suatu profesi yang dikenal


mempunyai moralitas tinggi.Seorang
dokter harus siap setiap saat untuk
memberi pertolongan kepada siapa saja,
kapan saja, dimana saja, dengan sebaik-
baiknya dansejujur- jujurnya.Pertolongan
dokter didasari perikemanusiaan,
diberikan tanpa memperhitungkan
terlebih dahulu untung-
ruginya.Profesional kedokteran
mempunyai etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan
berperilaku. Nilai-nilai dalam etika
profesi tercermin di dalam sumpah
dokter dan kode etik kedokteran.
Sumpah dokter berisikan suatu “kontrak
moral” antara dokter dengan Tuhan sang
penciptanya, sedangkan kode etik
kedokteran berisikan “kontrak kewajiban
moral” antara dokter dengan kelompok
profesinya. Keluhuran dan kemuliaan
sifat dokter tercermin dalam 6 sifat dasar
dokter, yaitu: 1)berketuhanan, 2)
kemurnian niat, 3) keluhuran budi, 4)
kerendahan hati, 5) kesungguhan
bekerja, dan 6) integritas ilmiah dan
sosial.Pelayanan kedokteran di bidang
kardiologi merupakan salah satu
pelayanan kedok- teran yang paling
banyak dibutuhkan di Indonesia,
terutama di rumah sakit dengan
pelayanan subspesialistik. Hingga tahun
2013, kurang lebih 244.775.797
penduduk Indonesia dilayani oleh 550
dokter spesialis dan spesialis konsultan
jantung dan pembuluh darah, serta 350
dokter peserta Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) yang tersebar
di 12 pusat pendidikan diseluruh
Indonesia.Penyakit jantung dan
pembuluh darah merupakan salah satu
penyakit yang paling banyak diderita
oleh populasi di Indonesia. Sejak tahun
2007, Standar Pelayanan Minimal
Upaya Pengendalian Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah telah disusun oleh
Sub-Direktorat Pengendalian Jantung
dan Pembuluh Darah, Direktorat
Pengen- dalian Penyakit Tidak Menular,
Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Lingkungan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia bekerjasama dengan
Pusat Manajemen Kesehatan FKUGM
karena disadari pen- tingnya penanganan
penyakit jantung dan pembuluh
darah.Pelayanan penanganan
penyakit jantung dan pembuluh
darah di Indonesia saat ini diwajibkan
untuk disediakan oleh setiap pemerintah
daerah, dengan indikator angka kematian
akibat penyakit jantung oleh setiap
pemerintah daerah, dengan indikator
angka kematian akibat penyakit jantung
koroner kurang dari 100 per 100.000
penduduk dan angka kematian akibat
stroke kurang dari 60 per 100.000
penduduk. Kewajiban penanganan
penyakit jantung dan pembuluh darah ini
menciptakan kebutuhan tenaga dokter
spesialis dan spesialis konsultan dengan
bidang kompen- tensi terkait menjadi
besar. Berdampingan dengan bidang
spesialisasi lain yang terkait penanganan
penyakit jantung dan pembuluh darah,
maka terbuka lapangan pengabdian bagi
dokter spesialis jantung dan pembuluh
darah di setiap provinsi di Indonesia.
Peningkatan luasnya lapangan tugas dan
pengabdian ini, tentu saja beriringan
dengan peningkatan risiko terjadinya
problem medikolegal dalam praktik.
Laporan dugaan kelalaian medik yang
ditujukan pada dokter spesialis jantung
dan pembuluh darah pada rentang 1997
hingga 2004 ialah 3,03% dari total kasus
laporan dugaan kelalaian medik yang
dilaporkan ke tingkat nasional.
Mengingat peluang terjadinya risiko
medikolegal baik pada dokter maupun
pasien akibat suatu tindakan medik
maka komunikasi antara pasien dan
dokter harus selalu diutamakan dan
dipelihara agar tidak terjadi baik
kesalah- pahaman maupun sengketa
medik antara dokter dan pasien
maupunkeluarganya. dan keluarganya
yang harus diberikan oleh tenaga
kesehatan. Dokter harus meng- hindari
anggapan bahwa pasien dan keluarganya
sudah tahu tentang kondisi
kesehatannya, walau pasien tersebut
merupakan sejawat atau tenaga
kesehatan, atau pernah berobat ke
pemberi pelayanan kesehatan lain.
Pasien juga harus diberi kesempatan
yang cukup untuk memberi respons
terhadap penyampaian informasi
tersebut (prinsip autonomy).
Penahanan atau disembunyikannya
sebagian informasi dengan sengaja
melalui berbagai dalih dapat
menyebabkan pasien dan keluarganya
merasa dibohongi atau ditipu. Dokter
harus mengingat bahwa perubahan
paradigma hubungan dokter pasien saat
ini, menuntut dokter untuk dapat lebih
jujur dan menghargai pasien dalam
menerima informasi mengenai kondisi
kesehatannya. Berdasar informasi
tersebut maka pasien dan keluarganya
dapat menentukan pilihan yang tepat apa
yang akan dihadapinya (patient
preferences and patient values). Harus
diingat bahwa pemberian informasi yang
tidak lengkap pada pasien baik disengaja
maupun tidak disengaja cenderung
menjadi awal dari sebuah
sengketamedik.
This article shows the extent of
needs in health services especially
cardiology clinics in Indonesia, medico-
legal risks that may come up, dan
principled steps to decrease the risks.
The evolving changes in health
regulation have also been discussed,
along with cases that occured in
Indonesia. Lack or withholding
information, failure in diagnosis and
therapy, and lack of caution were
problems that must be addressed
properly. Recommendations that come
with this article are expected to benefit
the cardiologists in health service with
lower risks of legal sue.

1.1.ProblematikaMedikolegal

1.1.1. Penyampaian informasi

Sebagian kasus sengketa medik


dimulai dengan tidak efektifnya jalinan
komunikasi antara tenaga kesehatan dan
pasien atau keluarganya. Seorang pasien
berharap saat dokter memberikan
informasi kepadanya, ia akan mengetahui
diagnosis dan kondisi kesehatannya saat
ini, apa yang akan dilakukan padanya
saat ini, apa yang dapat pasien harapkan
dari pemeriksaan dan terapi yang akan
direncanakan dokter, kelebihan dan
kekurangan modalitas yang akan
digunakan dokter, serta alternatif yang
dimilikinya.

1.1.2. Penyampaian informasi yang


adekuat dan dapat dipahami
merupakan hak pasien
Kegagalan diagnosis dan terapi

Kegagalan diagnosis yang sering


terjadi dan menyebabkan laporan
kelalaian medik baik kepada pihak
profesi maupun kepolisian di bidang
kardiovaskular hingga saat ini ialah
kegagalan diagnosis infark miokard.
Walaupun penyebab kematian pasien
pada kegagalan diagnosis infark miokard
diakibatkan oleh penyakitnya sendiri,
namun kegagalan seorang dokter untuk
mendiagnosis akan menyebabkan
hilangnya kesempatan bagi pasien untuk
memperoleh pengobatan yang mungkin
dapat merubah hasil akhir dari perjalanan
penyakit saat itu. Contoh gugatan dugaan
kelalaian medik pada kegagalan
diagnosis pasien dengan infark miokard
dapat dilihat pada kasus yang
dipulangkan dari rawat inap di rumah
sakit, yang kemudian meninggal sehari
atau beberapa hari setelah
dipulangkan.Kegagalan diagnosis infark
miokard tidak selalu terjadi akibat suatu
kelalaian medik. Tingkat kesulitan
diagnosis infark miokard amat bervariasi.
Pasien tidak selalu mengalami gejala
klasik. Beberapa penyakit juga dapat
memberikan gejala yang mirip dengan
infark miokard. Pasien yang tidak
memiliki faktor predisposisi sekalipun
tidak artinya terlepas dari kemungkinan
mengalami infark miokard. Pemeriksaan
EKG dan enzim jantung juga dapat
menunjukkan parameter negatif pada
jam-jam awal terjadinya serangan.
Seorang dokter spesialis atau spesialis
konsultan jantung dan pembuluh darah
tidak dengan mudah dapat diputuskan
telah melakukan kelalaian medik ketika
gagal mendiagnosis, terutama pada kasus
dengan gejala tidak khas. Kegagalan
diagnosis dan terapi penyakit lain di
bidang jantung dan pembuluh darah lain
juga menganut prinsip yang sama dengan
paparan mengenai kasus infark miokard
di atas. Penggunaan Tissue Plasminogen
Activator (tPA) pada kasus bencana
vaskular yang tidak memberi hasil sesuai
harapan atau prosedur CABG dan PCI
yang menimbulkan komplikasi berat
merupakan ranah-ranah dimana pasien
kemungkinan besar bersengketa dengan
dokternya. Tindakan yang mengikuti
standar profesi, bidang kompetensi, dan
standar prosedur operasi, akan membantu
dokter dalam meletakkan posisinya
dengan tepat pada suatu kasus sengketa
medik.

1.2.Prinsip Untuk Mengurangi


ResikoHukum
1.2.1. Rekam medik

Pencatatan yang teliti untuk setiap data


yang diperoleh dari pemeriksaan dan
tindakan kedokteran di rekam medik
merupakan benteng utama untuk mem-
buktikan bahwa pelayanan kesehatan
yang dilakukan telah memenuhi standar
yang ditetapkan. Melaksanakan
pengelolaan rekam medik yang baik
akan dengan efektif menyediakan alat
bantu untuk pembuktian bagi penyedia
layanan kesehatan. Walau terkesan
sederhana, namun problem pencatatan
rekam medik merupakan problem yang
ditemui di hampir setiap pusat layanan
kesehatan di Indonesia, baik milik
pemerintah maupun swasta.
Rekam medik yang baik akan
menggambarkan dengan jelas perjalanan
penyakit, pemeriksaan yang telah
dilaku- kan, dan tata laksana yang
dipilih serta direncanakan. Rekam medis
dapat ber- fungsi sebagai alat bukti
dalam suatu masalah hukum, dan dapat
dibuka dalam bentuk visum et repertum,
keterangan ahli, keterangan saksi, atau
ringkasan medik. Pembukaan rekam
medik dalam bentuk tertulis hanya
dilakukan bila ada per- mintaan tertulis
dari pasien atau dari pihak yang
berwenang. Harus diingat, dalam
pengelolaan rekam medik, berkas rekam
medik tidak dapat diserahkan kepada
pihak di luar penyelenggara pelayanan
kesehatan, kecuali atas dasar perintah
pengadilan atau dalam sidang
pengadilan.
Merubah atau merevisi data medik
pasien yang tersimpan dalam rekam
medik, harus melalui tata aturan yang
tepat. Bagian rekam medik yang direvisi
tidak boleh dihilangkan, namun
sebaliknya harus tetap terbaca, walau
diberi tanda bahwa bagian tersebut
mengalami koreksi. Menghilang- kan
bagian yang direvisi cenderung
menimbulkan pendapat bahwa ada
sesuatu yang salah terjadi saat
pelaksanaan pela- yanan kesehatan, dan
justru dapat memicu timbulnya dugaan
kelalaian medis.
Pemusnahan rekam medik harus
mengacu pada peraturan menteri
kesehatan nomor
269/MENKES/PER/III/2008, yaitu 5
tahun sejak pasien berkunjung terakhir
ke rumah sakit, dengan menyimpan
ringkasan rekam medik dan
persetujuan/penolakan tindakan medik
selama 10 tahun. Pada fasilitas
kesehatan bukan rumah sakit, rekam
medik harus disimpan selama 2 tahun
sebelumdimusnahkan.

1.2.2. Persetujuan dan penolakan


tindakan medik (Informed
consent)

Pada banyak tindakan medik di bidang


jantung dan pembuluh darah, pilihan tata
laksana penyakit untuk pasien akan
berdampak amat besar pada kualitas
hidup pasien. Pasien dan keluarganya
harus dikondisikan agar dapat
memberikan informed consent atau
menolak tindakan medis setelah
memahami fakta medis yang relevan,
implikasinya dan dampak pilihannya ke
depan. Informed consent ini merupakan
upaya untuk memberikan hak pasien dan
keluarga dalam menentukan hidupnya
atau keluarga dekatnya. Pemberian
kesempatan menentukan ini menjadi
tanggung jawab moral dan hukum
penyedia layanan kesehatan.
Persetujuan tindakan medik oleh
pasien dapat disampaikan secara tersirat
(implied), maupun diekspresikan secara
lisan atau tertulis. Tidak semua tindakan
kedokteran memerlukan persetujuan tin-
dakan medik yang tertulis. Konsil
Kedokteran Indonesia mengatur bahwa
persetujuan tindakan medik tertulis
diperlukanbila:

- Tindakan terapeutik bersifat


kompleks atau menyangkut risiko
atau efek samping yangbermakna.
- Tindakan kedokteran tersebut bukan
dalam rangkaterapi.
- Tindakan kedokteran tersebut
memiliki dampak yang bermakna
bagi kedudukan kepegawaian atau
kehidupan pribadi dan sosialpasien.
- Tindakan yang dilakukan
merupakan bagian dari
suatupenelitian.Pada pemberian
persetujuan atau penolakan tindakan
medik secara tertulis, pasien diminta
menandatangani 2 formulir, yaitu
formulir dokumentasi pemberian
informasi dan formulir persetujuan/
penolakan tindakan kedokteran.
Informed consent yang telah ditanda
tangani tidak berarti memberi
imunitas bagi dokter terhadap
laporan ketidakpuasan, kelalaian
medis, maupun problem
medikolegal yang lain. Namun
dengan dilaksanakannya proses
informed consent yang baik,
terbentuk suatu keseimbangan beban
tanggung jawab antara pasien dan
dokter. Bila dokter telah melakukan
tindakan sesuai kewenangan klinis,
dan standar prosedur yang ada,
maka dokter tidak dapat dituntut
atau digugat untuk suatu kejadian
tidak diinginkan yang tidak diduga
atau tidakterhindarkan.Kehati-
hatiandalam mendiagnosis dan
menentukan tata laksana harus
selalu ada di benak dokter dalam
menangani setiap kasus di bidang
jantung dan pembuluh darah.
Pelaksanaan Jaminan Sosial
Nasional Bidang Kesehatan yang
tidak dibarengi dengan pelaksanaan
sistem rujukan yang baik
menyebabkan menumpuknya pasien
di institusi pelayanan kesehatan
sekunder dan tersier. Jumlah pasien
yang besar, jam pelayanan yang
panjang, dan adanya permasalahan
lain dapat menurunkan kewaspadaan
dan kehati-hatian dokter.
Rumah sakit yang menjadi wahana
program pendidikan dokter spesialis-1
memiliki masalah khas dengan hadirnya
dokter PPDS. Pengawasan yang
menurun terhadap peserta didik dapat
mengakibat- kan kejadian medik yang
tidak diinginkan, yang dapat berujung
pada masalah etik, disiplin, dan hukum.
Rumah sakit juga perlu melaksanakan
proses kredensial dengan baik dan
objektif agar masyarakat memperoleh
dokter-dokter ahli yang benar- benar
mampu dalam pelayanan di bidang
jantung dan pembuluhdarah.Setiap
dokter diharapkan menyikapi dengan
serius persyaratan kualifikasi personal
dalam kriteria pemberian kewenangan
klinis yang ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan RI. Organisasi profesi atau
pihak penyelenggara layanan kesehatan
diharapkan mampu membantu dokter
memenuhi kualifikasi ini agar dalam
memberi layanan dokter dapat
terlindungi dan keselamatan pasien
dapat terjaga.Pelayanan di bidang
Kardiologi di Indonesia merupakan
pelayanan kesehatan yang amat
dibutuhkan, dan hingga saat ini
perbandingan dokter ahli dengan jumlah
penduduk Indonesia masih amat
timpang. Pengembangan ilmu, pusat
pendidikan, dan dukungan pemerintah
baik pusat maupun daerah dalam
pendanaan peserta didik di bidang
terkait harus menjadi prioritas kedepan.
Pelayanan kesehatan di bidang
Kardiologi merupakan pelayanan
kesehatan yang berisiko, namun
memiliki angka laporan ketidakpuasan
layanan yang rendah di masyarakat.
Selain komponen pelayanan medik yang
baik, seorang dokter ahli diharapkan
mampu membina komunikasi dokter-
pasien secara efektif, melaksanakan
pedoman praktik kedokteran yang baik,
termasuk di dalamnya melaksanakan
pengelolaan rekam medik dan informed
consent dengan tepat. Kehati-hatian
harus selalu ada dalam setiap
pengelolaan kasus, namun harus dijaga
agar tidak berevolusi menjadi “defensive
medicine” yang merugikan pasien.

Daftar Pustaka

1. Romdoni R. Pidato
Sambutan Ketua PP PERKI
pada Pembukaan The 22nd
ASMIHA. 22nd Annual
Scientific Meeting of
Indonesian Heart Association
(ASMIHA). Jakarta: Hotel
Ritz Carlton; 5-7 April2013.

2. WHO. Library Cataloguing-


Publication Data. Heart:
Technical Pacakege For
Cardiovaskuler Disease
Management In Primary
Health Care Switzerland:
WHO Press; 2016.
3. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Riset
Kesehatan Dasar Jakarta:
Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2013.
4. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Riset Kesehatan Dasar
Sumatera Barat 2013.
Jakarta: Balitbangkes Depkes
RI; 2013
5. World Health Organization.
Deaths from coronary heart
disease 2006; Available from
;www.who.int/cardiovascular
_diseases/cvd_14_deathHD.p
df; diakses tanggal 25 juli
2017.

00O00

BAB II
MENGENAL
PJK
2.1. PJK
Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang
juga sering disebut penyakit jantung
iskemik paling sering disebabkan karena
sumbatan plak ateroma pada arteri
koroner. Arteri koroner adalah arteri yang
memasok nutrisi dan oksigen ke otot
jantung (miokard). Penampilan klinis PJK
sangat bervariasi. Nyeri dada biasanya
merupakan gejala yang paling menonjol
pada angina pektoris stabil, angina tidak
stabil, angina Prinzmetal. angina
mikrovaskular dan infark miokard akut.
Sungguhpun demikian tampilan klinis
PJK dapat terjadi tanpa nyeri dada atau
dengan nyeri dada yang tidak menonjol,
misalnya iskemia miokard tersamar, gagal
jantung. aritmia, dan mati mendadak.
Pada PJK akibat aterosklerosis, terdapat
penimbunan lemak dan zat lain yang
membentuk plak pada dinding arteri. Plak
aterosklerosis ini menyebabkan
penyempitan lumen arteri koroner,
sehingga aliran darah ke miokard
terganggu dan menimbulkan iskemia
miokard. Bila plak rupture, maka
terjadilah proses trombosis, yaitu
pembentukan trombus yang dapat
mengakibatkan oklusi total arteri koroner
dan nekrosis sel miokard. Rentetan
kejadian ini memberikan manifestasi
klinis mulai angina pektoris stabil dan
sindrom koroner akut (SKA) yaitu angina
pektoris tidak stabil, infark miokard akut
(IMA) tanpa elevasi ST, lMA dengan
elevasi ST, hingga kematian mendadak.
Penyakit jantung koroner kini menjadi
penyebab utama kematian di dunia. baik
pada laki-laki maupun perempuan.
Berbagai faktor risiko ditenggarai
mendorong terjadinya PJK, sebagian
dapat dimodifikasi letapi sebagian lagi
tidak. Penting bagi dokter-dokter yang
bekerja di pelayanan kesehatan primer
untuk memahami faktor-faktor risiko ini.
agar dapat melakukan upaya pencegahan
primer bagi masyarakat wilayah kerjanya.
Dengan mengenali faktor risiko dan
tanda-tanda klian PIK. para dokter juga
dapat melakukan skrining dan deteksi dini
ini. Elektrukardiogram sebagai modalitas
diagnosis PIK yang paling udahan.
seyogyanya dikuasai oleh para dokter dan
tersedia di semua pelayanan kesehatan
primer.
Konsep revaskularisasi dalam
penanganan pasien IMA dengan elevasi
ST penting untuk dipahami, disamping
konsep penurunan kebutuhan oksigen
miokard; dengan demikian akan banyak
sel- sel miokard yang terselamatkan.
Terapi fibrinolitik merupakan salah satu
upaya yang dapat didelegasikan kepada
para dokter di garda pelayanan kesehatan
terdepan, merekalah yang sebenarnya
paling berperan dalam menyelamatkan
miokard. “Time is muscle”, semakin
cepat revaskularisasi dilakukan, semakin
banyak miokard yang terselamatkan, dan
semakin baik prognosis pasien IMA.
Terapi fibrinolitik tentu mempunyai
risiko, kemungkinan perdarahan perlu
diantisipasi dan disikapi. Keberhasilan
revaskularisasi juga bisa disertai dengan
terjadinya arimia, yang bila tidak diatasi
dengan baik dapat menimbulkan masalah
besar. Metode revaskularisasi yang lain
adalah dengan intervensi non bedah dan
bedah. Pencegahan sekunder dan
rehabilitasi jantung adalah konsep
penanganan jangka panjang yang
seyogyanya dilakukan di pelayanan
kesehatan primer. Apabila hal ini dapat
dilaksanakan dengan baik, niscaya
sebagian besar pasien PJK akan dapat
hidup dengan kondisi seperti sedia kala,
bahkan mungkin lebih baik lagi karena
kebugarannya terjaga melalui Pola Hidup
Sehat. Topik-topik yang dipaparkan
berikut ini, akan memberi bekal bagi para
dokter di pelayanan kesehatan primer
untuk mengatasi berbagai permasalahan
yang harus dihadapi ketika menangani
pasien dengan penyakit jantung koroner.

2.2. Anatomi Koroner


Jantung tidak pernah berhenti berdenyut
sepanjang hayat dikandung badan. Setiap
kali berkontraksi, sebanyak 70 ml darah
dipompa ke aorta. Bila frekuensi denyut
jantung berkisar 80 kali permenit, berarti
dalam satu menit sebanyak 5 -6 liter
darah dipompakan. Dalam sehari
semalam saja, jantung manusia memompa
sekitar 7000 -8000 liter darah (identik
dengan satu mobil tangki pengangkut
minyak). Berbeda dengan otot-otot lain
dalam tubuh yang lebih banyak
beristirahat, otot jantung tidak pernah
berhenti berdenyut. Arteri koroner
mendistribusikan darah untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dan nutrisi otot
jantung. Oleh karenanya, arteri koroner
sangat vital untuk menjaga agar jantung
dapat terus bekerja normal. Ada 2 arteri
koroner utama yang keluar dari aorta,
yaitu arteri koroner kiri dan arteri koroner
kanan.
Gambar 2.1. Anatomi a.koroner

Gambar 2.2. Anatomi a.coroner


2.2.1. Arteri koroner Kiri Utama/Left
Main (LM)
Arteri koroner kiri utama yang lebih
popular dengan sebutan Left Main (LM),
keluar dari sinus alrta kiri; kemudian
segera bercabang dua menjadi arteri Left
Anterior Descending (LAD) dan Left
Circumflex ( LCX).
Arteri LM berjalan diantara alur keluar
ventrikel kanan (right ventricle outflow
tract) yang terletak didepannya, dan
atrium kiri dibelakang” baru kemudian
bercabang menjadi arteri LAD dan arteri
LCX.

2.2.2. Arteri Left Anterior Descending


(LAD)
Arteri LAD berjalan di parit
interventrikular depan sampai ke apeks
jantung. mensuplai: bagian depan septum
melalui cabang-cabang septal dan bagian
depan ventrikuler kiri melalui cabang-
cabang diagonal, sebagian besar ventrikel
kiri dan juga berkas Atrio-Ventrikular.
Cabang- cabang diagonal keluar dari
arteri LAD dan berjalan menyamping
mensuplai dinding antero lateral ventrikel
kiri; cabang diagonal bisa lebih dari satu.

2.2.3. Arteri Left Circumflex (LCX)


Arteri LCX berjalan di dalam parit
atrioventrikular kiri diantara atrium kiri
dan ventrikel kiri dan memperdarahi
dinding samping ventrikel kiri melalui
cabang- cabang obtuse marginal yang
bisa lebih dari satu (M,. Mr dst). Pada
umumnya arteri LCX berakhir sebagai
cabang obtuse marginal, namun pada 10
% kasus yang mempunyai sirkulasi
dominan kiri maka arteri LCX juga
mensuplai cabang “posterior
descendingartery” (PDA)

2.2.4. Arteri Koroner Kanan/Right


Coronary Artery (RCA)
Arteri koroner kanan keluar dari sinus
aorta kanan dan berjalan didalam parit
atrioventrikular kanan diantara atrium
kanan dan ventrikei kanan menuju ke
bagian bawah dari septum. Pada 50-60 %
kasus. cabang pertama dari RCA adalah
cabang conus yang kecil yang mensuplai
alur keluar ventrikel kanan. Pada 2080 %
kasus, cabang conus muncul langsung
dari aorta. Cabang sinus node pada 60 %
kasus keluar sebagai cabang kedua dari
RCA dan berjalan ke belakang mensuplai
SA-node. (Pada 40 % kasus cabang ini
keluar dari arteri bCX). Cabang-cabang
berikutnya adalah cabang-cabang yang
berjalan diagonal dan mengarah ke depan
dan mensuplai dinding depan ventrikel
kanan. Selanjutnya adalah cabang acute
marginal (AM) dan berjalan ditepi
ventrikel kanan diatas diafragma. RCA
berlanjut kebelakang berjalan didalam
parit atrioventrikular dan bercabang arteri
AV node. Pada 65 % kasus, cabang
Posterior Descending Artery (PDA)
keluar dari RCA (sirkulasi dominan
kanan). Cabang PDA men-suplai dinding
bawah ventrikuler kiri dan bagian bawah
septum.

2.2.5. Vena Koroner


Sebagian besar darah vena disalurkan
melalui pembuluh vena yang berjalan
berdampingan dengan arteri koroner.
Vena kardiak bermuara di sinus
koronarius yaitu suatu vena besar yang
berakhir di atrium kanan. Sebagian kecil
darah dari sirkulasi koroner datang
langsung dari otot jantung melalui vena-
vena kecil dan disalurkan langsung ke
dalam ke empat ruang jantung.

2.2.6. Vena Kardiak Besar (Great


Cardiac Vein/Vena Cordis Magna)
Bermula di apeks jantung dan naik
sepanjang parit interventrikular depan,
berdampingan dengan ateri LAD,
kemudian belok ke kiri ke dalam parit
atrioventrikular, berjalan disamping arteri
MIX. Great Cardiac Vein juga
menampung darah dari atrium kiri.
2.2.7. Sinus Koronarius
Berjalan ke kanan di dalam parit
atrioventrikular. Berakhir di dinding
belakang atrium kanan, diantara pangkal
vena cava inferior dan celah
atrioventrikular dan menerima darah dari
vena kardiak sedang dan kecil.

2.2.8. Vena Kardiak Sedang dan Kecil


(Middle Cardiac Vein dan Small
Cardiac Vein/Vane Cordis Parva).
Vena kardiak sedang begalan didalam
parit interventrikular belakang dan vena
kardiak kecil berjalan di parit
atriovenm'kuler berdampingan dengan
RCA.

2.2.9. Vena posterior ventrikel kiri


Vena ini berakhir disisi samping ventrikrl
kiri dan masuk ke kedalam dan masuk
kedalam sinis koronarius.
Daftar Pustaka
1. Gray, H.H., Dawkins, K.D.,
Morgan, J.M., dan Simpson, I.A.
Kardiologi : Lecture Notes edisi 4.
Jakarta : Penerbit Erlangga ;2005
2. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia.
Pedoman Tatalaksana Dislipidemia.
Jakarta: Centra Communications;
2013.
3. Maulana, M. Penyakit Jantung :
Pengertian, Penanganan ,dan
Pengobatan. Yogyakarta : Penerbit
KataHati ;2008.
4. Sitorus, R.H. Jenis Penyakit
Pembunuh Utama Manusia.
Bandung : Penerbit Yrama Widya
;2008.

5. Nazar AD, Novelasari. Prevalensi


Sindrom Metabolik Sebagai
Faktor Risiko Penyakit
Degeneratif dan Faktor-faktor
Risiko yang Mempengaruhinya
pada Guru SMA Negeri 2 Padang:
Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan Padang; 2013.

00o00
BAB III
EFFEK PJK

3.1. Efek Epidemiologi


Penyakit jantung koroner merupakan
pembunuh nomor satu di negara-negara
maju dan dapat juga terjadi di negara-
negara berkembang. Organisasi kesehatan
duina (WHO) telah mengemukakan fakta
bahwa penyakit jantung koroner (PJK)
merupakan epidemi modern dan tidak
dapat dihindari oleh faktor penuaan.
Diperkirakan bahwa jika insiden PJK
mencapai nol maka dapat meningkatkan
harapan hidup 3 sampai 9%
(Shivaramakrishna. 2010). Penyakit
Jantung Koroner pada mulanya
disebabkan oleh penumpukan lemak pada
dinding dalam pembuluh darah jantung
(pembuluh koroner), dan hal ini lama
kelamaan diikuti oleh berbagai proses
seperti penimbunan jarinrangan ikat,
perkapuran, pembekuan darah, dll.,yang
kesemuanya akan mempersempit atau
menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal
ini akan mengakibatkan otot jantung di
daerah tersebut mengalami kekurangan
aliran darah dan dapat menimbulkan
berbagai akibat yang cukup serius, dari
Angina Pectoris (nyeri dada) sampai
Infark Jantung, yang dalam masyarakat
di kenal dengan serangan jantung yang
dapat menyebabkan kematian
mendadak.Suatu penyakit jantung yang
disebabkan karena kelainan pembuluh
darah koroner. Salah satu penyebab
utamanya adalah aterosklerosis koroner
yaitu proses penimbunan lemak dan
jaringan fibrin, gangguan fungsi dan
struktur pembuluh darah yang
mengakibatkan berkurangnya aliran darah
ke miokard. Faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya aterosklerosis
adalah kolesterol darah yang
meninggi,diet, hipertensi, merokok,
diabetes melitus, obesitas, jeniskelamin,
umur, kurang latihan dan keturunan.1. Di
seluruh dunia, jumlah penderita penyakit
ini terus bertambah. Ketiga kategori
penyakit ini tidak lepas dari gaya hidup
yang kurang sehat, yang banyak
dilakukan seiring dengan berubahnya
pola hidup. Organisasi Kesehatan Sedunia
(WHO) dan Organisasi Federasi Jantung
Sedunia (World Heart Federation)
memprediksi penyakit jantung akan
menjadi penyebab utama kematian di
negara-negara Asia pada tahun 2010. Saat
ini, sedikitnya 78% kematian global
akibat penyakit jantung terjadi pada
kalangan masyarakat miskin dan
menengah. Berdasarkan kondisi itu,
dalam keadaan ekonomi terpuruk maka
upaya pencegahan merupakan hal
terpenting untuk menurunkan penyakit
kardiovaskuler pada 2010. Di negara
berkembang dari tahun 1990 sampai
2020, angka kematian akibat penyakit
jantung koroner akan meningkat 137 %
pada laki-laki dan 120% pada wanita,
sedangkan di negara maju
peningkatannya lebih rendah yaitu 48%
pada laki-laki dan 29% pada wanita. Di
tahun 2020 diperkirakan penyakit
kardiovaskuler menjadi penyebab
kematian 25 orang setiap tahunnya. Oleh
karena itu, penyakit jantung koroner
menjadi penyebab kematian dan
kecacatan nomer satu di dunia. Indonesia
saat ini menghadapi masalah kesehatan
yang kompleks dan beragam. Tentu saja
mulai dari infeksi klasik dan modern,
penyakit degeneratif serta penyakit
psikososial yang menjadikan Indonesia
saat ini yang menghadapi “ threeple
burden diseases”. Namun tetap saja
penyebab angka kematian terbesar adalah
akibat penyakit jantung koroner – “the
silence killer”. Tingginya angka kematian
di Indonesia akibat penyakit jantung
koroner (PJK) mencapai 26%.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Nasional (SKRTN),
dalam 10 tahun terakhir angka tersebut
cenderung mengalami peningkatan. Pada
tahun 1991, angka kematian akibat PJK
adalah 16 %. Kemudian di tahun 2001
angka tersebut melonjak menjadi 26,4 %.
Angka kematian akibat PJK diperkirakan
mencapai 53,5 per 100.000 penduduk
Indonesia.Penyakit Jantung Koroner
(PJK) merupakan kelainan pada satu atau
lebih pembuluh arah arteri koroner
dimana terdapat penebalan dalam dinding
pembuluh darah disertai adanya plak yang
mengganggu aliran darah ke otot jantung.
Plak ini mengakibatkan timbulnya
trombosis dan dapat menyebabkan
obstruksi parsial bahkan total. Hal inilah
yang akan mengganggu fungsi jantung,
karena berkurangnya suplai oksigen
untuk otot jantung: Penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab
kematian dan kecacatan utama di banyak
negara industri dan meningkat dalam
perkembangan dunia. Menurut World
Health Organization (WHO),
diperkirakan 17,5 juta orang meninggal
akibat penyakit kardiovaskular dan 7,4
juta diantaranya diperkirakan karena PJK
dan 6,7 juta adalah karena
stroke.(2)Berdasarkan data insidensi
AHA (American Heart Association)pada
tahun 2013,menyatakan bahwa lebih dari
2.200 warga Amerika meninggal karena
PJK setiap harinya dari rata-rata 1 orang
setiap 40 detik.Dan sekitar 155.000 orang
warga Amerika yang meninggal karena
PJK berusia kurang dari 65
tahun.Perkiraan angka insidensi pertahun
berupa terjadinya kasus baruinfark
miokard adalah 525.000 dan serangan
berulangnya adalah 190.000.(3-5) .Di
Indonesia, prevalensi penyakit jantung ini
juga harus tetap diperhatikan karena
menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, penyebab
kematian tertinggi di Indonesia berubah
dari penyakit menular menjadi penyakit
tidak menular. Berdasarkan data dari
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) sebanyak
12,9% dari 41.590 kematian di Indonesia
selama tahun 2014 Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah menempati urutan kedua
setelah stroke. Sedangkan data dari
pembiayaan Jaminan Kesehatan 2(JKN)
tahun 2015 sebanyak 1,3 juta orang
peserta JKN mendapat pelayanan untuk
penyakit Katastropik. Sebanyak 13,6
triliun rupiah atau 23,9% biaya pelayanan
kesehatan tahun 2015 dihabiskan untuk
penyakit katastropik yang terdiri dari
Penyakit Jantung (11,59%), Gagal Ginjal
Kronik (4,71%), Kanker (4,03%), Stroke
(1,59%) dan Thalasemia (0,73%).(6),
Menurut International Labour
Organization(ILO) tahun 2014 sekitar 2,3
juta orang di seluruh dunia meninggal
setiap tahun akibat kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja dan sekitar 160 juta
pekerja menjadi sakit akibat bahaya di
tempat kerja. Selanjutnya, data dari
National Center for Health Statistics,
Centers for Disease Control and
Prevention, U.S. Department of Health
and Human Services tahun 2000 dalam
National Alliance for Nutrition and
Activity (NANA) (2003) menunjukkan
jumlah kematian tertinggi berdasarkan
penyebab pada pekerja adalah penyakit
jantung sebanyak 710.760 kasus, disusul
kanker 553.091 kasus dan stroke 167.661
kasus. Penelitian Lieber (2008)
menemukan bahwa pekerja berisiko
tinggi menderita PJK, dan PJK juga
menjadi penyebab utama kematian
pekerja.(7)Menurut penelitian
Kurniawidjaja, pada beberapa perusahaan
didapatkan tiga masalah gangguan
kesehatan yang utama pada pekerja
adalah penyakit jantung dan pembuluh
darah (termasuk PJK, hipertensi dan
stroke), gangguan otot rangka dan
stress.(8)Masalah ini antara lain
ditunjukkan dengan penyebab kematian
utama pekerja adalah penyakit
kardiovaskular (40%-58,3%); salah satu
pabrik otomotif diidentifikasi 23%
pekerja yang berisiko tinggi dan 50%
berisiko sedang terserang penyakit
kardiovaskular. Di semua perusahaan
yang diteliti, didapatkan faktor risiko
dominan adalah faktor yang dapat
diintervensi dengan perilaku hidup
sehat.(9)Sedangkan Virkkunen dalam
Shift work, occupational noise and
physical workload withensuing
development of blood pressure and their
joint effecton the risk of coronary heart
disease mengatakan bahwa pekerja shift
memiliki risiko relatif 1,71 [95%
confidence 3interval(95% CI) 1,01-
2,87]setelah di Follow Up naik ke 4,62
(95% CI 2,31-9,24) dibandingkan dengan
pekerja harianPenyebab PJK
multifaktorial, biasa disebut faktor risiko.

3.2. Efek Faktor risiko PJK dibagi


menjadi dua yaitu,
a. faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin
dan genetik.
b. Sedangkan faktor risiko yang
dapat dimodifikasi berupa disiplidemia,
hipertensi, merokok, diabetes mellitus,
obesitas dan gaya hidup/kebiasaan yang
tidak sesuai dengan syarat kesehatan yang
baik. Menurut data dari Framingham
Heart Study, laki-laki dengan tekanan
darah >140/90mmHg , kolesterol
>200mg/dL, HDL < 45 mg/dL, memiliki
diabetes, dan merokok memiliki faktor
risiko yang tinggi mengalami PJK dalam
10 tahun sebesar 37% dan perempuan
yaitu 27%. Penjaringan faktor risiko pada
usia lebih dari 30 tahun agar dapat segera
dilakukan pencegahan primer, salah
satunya dengan menggunakan
Framingham Risk Score yang hasilnya
adalah memperkirakan risiko mengalami
PJK dalam kurun waktu 10 tahun.
a. Faktor Risiko Metabolik
(Diabetes Mellitus, Toleransi Glukosa
Terganggu) ‘
Studi epidemiologis telah menunjukkan
bahwa pasien dengan diabetes melitus
dan intoleransi glukosa berisiko tinggi
terhadap penyakit jantung koroner (PJK).
Dalam 20 tahun pertama Framingham
Heart Study, kejadian penyakit
kardiovaskular pada pria dengan diabetes
dua kali lipat di antara pria tanpa
diabetes. Di antara wanita dengan
diabetes, kejadian penyakit
kardiovaskular adalah 3 kali di antara
wanita tanpa diabetes.Data dari
Framingham mengkonfirmasi bahwa
hiperglikemia jangka panjang
meningkatkan risiko mikro albuminuria.
Perkembangan simultan
mikroalbuminuria, diabetes tipe 2, dan
aterosklerosis koroner dalam perjalanan
tindak lanjut konsisten dengan hipotesis
bahwa fenomena ini memiliki jalur
patofisiologis yang sama. Secara khusus,
mikroa lbuminuria dan iskemia miokard
diam pada awal memiliki nilai prediksi
yang jelas untuk pasien PJK di masa
depan (asimtomatik) dengan diabetes tipe
2. Studi Framingham Offspring telah
mengevaluasi dampak toleransi glukosa
terganggu (IGT), glukosa puasa (IFG),
dan diabetes melitus tipe 2 versus
toleransi glukosa normal (NGT) pada
proses aterosklerosis. Dari 325 subjek
berusia 31 sampai 73 tahun (satu setengah
di antaranya adalah laki-laki), 11,2%
memiliki IFG / IGT, 9,9% menderita
diabetes (2,8% dengan diabetes yang
didiagnosis sebelumnya), dan 14,5%
memiliki resistensi insulin. Dibandingkan
dengan NGT, subjek dengan IFG / IGT
lebih mungkin terjadi - dan mereka yang
memiliki diabetes secara signifikan lebih
mungkin-memiliki aterosklerosis koroner
subklinis, seperti yang didefinisikan oleh
nilai kalsium arteri koroner yang
diperoleh dengan tomografi computed
beam elektron. Subjek dengan diabetes
yang didiagnosis sebelumnya memiliki
risiko 3 kali lebih besar daripada subyek
yang baru didiagnosis berdasarkan
toleransi glukosa oral yang terganggu
(rasio odds [OR]: 6.0 versus 2.1). Subjek
dengan resistensi insulin dua kali lebih
mungkin memiliki aterosklerosis koroner
subklinis karena mereka yang tidak
memiliki resistensi insulin. Namun,
asosiasi ini melemah setelah disesuaikan
dengan faktor risiko lainnya (merokok,
rasio kolesterol total / HDL, dan tekanan
darah sistolik). Studi ini menegaskan
kembali bahwa penderita diabetes
memiliki beban aterosklerosis koroner
subklinis yang tinggi.NCEP menganggap
diabetes sebagai risiko PJK setara - yaitu
diabetes memberikan risiko CHD 10
tahun sama dengan orang dengan PJK
yang ada atau> 20% - dan
merekomendasikan untuk mengobati
pasien diabetes tipe 2 sama seperti pasien
dengan PJK yang telah mapan. 1
Demikian pula, panduan yang diterbitkan
baru-baru ini dari Gugus Tugas Gabungan
Ketiga Eropa dan Perhimpunan Lainnya6
merekomendasikan tujuan kolesterol dan
kolesterol LDL yang sama pada pasien
diabetes seperti pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular yang telah
mapan. Namun, sebagai pengakuan atas
fakta bahwa risiko absolut PJK pada
pasien diabetes tampaknya bervariasi
pada populasi yang berbeda, tabel
penilaian risiko PROCAM menghitung
diabetes sebagai salah satu dari beberapa
faktor risiko yang dimasukkan ke dalam
penilaian risiko absolut.

b. Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik mencakup berbagai
faktor risiko kardiovaskular. Definisi
sindrom metabolik yang sedikit berbeda
telah diusulkan oleh sejumlah organisasi,
termasuk NCEP dan Organisasi
Kesehatan Dunia. Menurut kriteria
NCEP, 1 diagnosis memerlukan
kehadiran 3 atau lebih dari kelainan
biologis dan fisiologis berikut ini:
Peningkatan Trigliserid (>150 mg/dl)
Kolestrol HDL yang rendah
Gangguan glukosa puasa (≥110 mg/dl)
Tekanan Darah yang tinggi (≥130/80)
lingkar pinggang ≥102 cm (laki-laki),
≥88cm (perempuan)
Terlepas dari definisi mana yang
digunakan, kehadiran sindrom metabolik
diyakini dapat meningkatkan risiko PJK
pada tingkat kolesterol LDL
manapun.Analisis dari Framingham Heart
Study menunjukkan bahwa pria dan
wanita yang memiliki kadar trigliserida
tinggi (> 150 mg / dL [> 1,7 mmol / L])
dan kadar kolesterol HDL rendah (<40
mg / dL [<1,03 mmol / L ]) ditandai
dengan peningkatan risiko kardiovaskular
yang meningkat.7 Fenotipe kolesterol
tinggi trigliserida / rendah merupakan ciri
khas sindrom metabolik. Sindrom
metabolik berhubungan erat dengan
resistensi insulin dan sangat terkait
dengan risiko PJK. Ini memiliki dampak
yang lebih besar pada kejadian PJK pada
wanita daripada pada pria. Leptin adalah
protein yang berperan dalam metabolisme
lemak dan berkorelasi erat dengan
resistensi insulin dan penanda lain dari
sindrom metabolik, terlepas dari
adipositas total. Tingkat leptin yang
meningkat telah diusulkan sebagai faktor
risiko independen untuk PJK dalam
sebuah studi prospektif yang besar (Studi
West of Scotland Coronary Prevention)
[WOSCOPS]).

 Faktor Risiko Lipid


Trigliserida
Meskipun dampak hipertrigliseridemia
pada risiko PJK telah lama menjadi
perdebatan sengit, banyak bukti yang
mendukung nilai prognostik fraksi lipid
ini telah diperoleh selama dekade
terakhir. Sebuah meta-analisis dari 17 uji
coba prospektif menemukan
hipertrigliseridemia menjadi faktor risiko
independen untuk penyakit
kardiovaskular.10 Data dari studi
PROCAM menunjukkan hubungan yang
signifikan antara hipertrigliseridemia dan
risiko PJK, yang bebas dari kadar
kolesterol LDL dan / atau kadar
kolesterol HDL.11 Trigliserida juga
dikaitkan dengan risiko PJK dalam Studi
Penyakit Jantung Caerphilly (CHDS),
yang lagi-lagi terlepas dari kadar
kolesterol total dan kadar kolesterol
HDL.12 Pada saat yang sama, tidak ada
percobaan terkontrol prospektif yang
menunjukkan manfaat penurunan
trigliserida sendiri pada penyakit klinis
atau Hasil kardiovaskular, mungkin
karena agen penurun trigliserida yang
tersedia juga mempengaruhi konsentrasi
lipid dan lipoprotein lainnya. Meskipun
skema penilaian PROCAM mencakup
trigliserida sebagai faktor risiko
independen utama, pedoman NCEP ATP
III tidak. Namun, ATP III memberikan
penekanan yang meningkat terhadap
peningkatan trigliserida dibandingkan
dengan ATP II, dengan trigliserida
dianggap sebagai penanda peningkatan
lipoprotein sisa kaya trigliserida dan
faktor risiko lipid dan nonlipid lainnya
dalam sindrom metabolik. Selain itu,
pedoman ATP III telah menurunkan titik
potong untuk klasifikasi kadar
trigliserida, dengan trigliserida normal
sekarang didefinisikan sebagai <150 mg /
dL (<1,7 mmol / L).

Trigliserida Kaya Lipoprotein


Remnant
Lipoprotein kaya trigliserida terdiri dari
berbagai macam partikel lipoprotein yang
baru lahir dan dimodifikasi secara
metabolik. Kapasitas untuk memasuki
daerah subintimal pembuluh darah
berbanding terbalik dengan ukuran
partikel lipid. Sedangkan chylomicrons
dan partikel lipoprotein low-density
(VLDL) sangat besar tidak dapat melewati
lapisan endotel, VLDL lebih kecil,
lipoprotein intermediate-density (IDL),
dan partikel LDL dapat memasuki ruang
subintimal. Data menunjukkan hubungan
langsung antara (kecil) VLDL / IDL dan
aterogenesis. Lipoprotein yang tersisa
berasal dari chylomicrons dan / atau
VLDL (misalnya, subclass lipoprotein LP-
B: C, LP-B: C: E, dan LP-A-II: B: C: D:
E) juga telah ditunjukkan untuk
dipromosikan. atherogenesis Menariknya,
dalam Studi Regresi Atherosclerosis
Monitor (MARS), lipoprotein kaya
trigliserida secara khusus berkorelasi
dengan laju perkembangan stenosis
ringan / sedang (<50% stenosis), dan
bukan pada lesi koroner parah (≥50%
stenosis). Studi kasus kontrol prospektif
(Etude Cas Temoins sur Infarctus du
Myocarde [ECTIM]), partikel yang
mengandung apolipoprotein (apo) C-III
meningkat pada orang yang selamat dari
MI dibandingkan dengan kontrol.14
VLDL-cholesterol, VLDL-trigliserida,
VLDL-apo B, apo C-III, apo E di VLDL
+ LDL, dan apo E di HDL semua
memprediksi kejadian koroner berikutnya
dalam percobaan Kolesterol dan Peristiwa
Kambuh (CARE ).15 Partikel VLDL dan
apo C-III di VLDL dan LDL lebih dapat
diprediksi dengan pasti. Risiko PJK
dibandingkan dengan trigliserida
plasma.15 Sisa-sisa partikel (RLPs) dapat
diisolasi dari plasma dengan uji berbasis
antibodi. Dalam Framingham Offspring
Study, baik RLP-cholesterol dan RLP-
trigliserida meningkat secara signifikan
pada wanita dengan diabetes (P <0,0001)
dan laki-laki (P <0,001) dibandingkan
dengan kontrol tanpa diabetes.

Lipoprotein (a)
Lipoprotein (a) [Lp (a)] dibentuk dengan
menggabungkan lipoprotein yang secara
struktural mirip dengan LDL dalam
komposisi protein dan lipid dengan
protein hidrofilik kaya karbohidrat yang
disebut apo (a). Lp (a) partikel
mengandung apo (a) dan apo B dalam
rasio molar 1: 1. Apo (a) mengandung
domain kringle dan domain terminal
karboksil dengan identitas asam amino
85% dengan domain protease
plasminogen. Massa molekul apo (a)
protein bervariasi dari 187 kDa untuk apo
(a) yang mengandung 12 kringle 4
domain, menjadi 662 kDa untuk apo (a)
yang mengandung 50 kringle 4 domain.
Sampai saat ini, tidak ada uji klinis yang
menunjukkan bahwa menurunkan tingkat
Lp (a) menurunkan risiko PJK. Namun,
hampir semua studi kasus kontrol
retrospektif telah menemukan hubungan
yang kuat antara peningkatan kadar Lp
(a) dan PJK. Di sisi lain, hasil penelitian
prospektif telah dicampur, dengan 9 studi
prospektif melaporkan bahwa Lp (a)
adalah faktor risiko independen untuk
PJK dan 4 penelitian lainnya mencapai
kesimpulan yang berlawanan.
Ketidakkonsistenan ini (sebagian) terkait
dengan kurangnya standarisasi dan
kegagalan beberapa immunoassay untuk
mengukur semua apolipoprotein (a)
isoforms. Sebuah analisis meta-analisis
prospektif baru-baru ini menunjukkan
bahwa konsentrasi plasma Lp (a) memang
merupakan faktor risiko independen
untuk PJK pada pria dan wanita.17
Kesimpulan ini dikonfirmasi oleh Studi
Epidemiologi Prospektif Infark Miokard
(PRIME), 18 yang termasuk 9133 pria
Prancis dan Irlandia Utara, berusia 50
sampai 59 tahun saat masuk, tanpa
penyakit kardiovaskular yang nyata.
Dalam subjek ini, Lp (a) secara signifikan
terkait dengan pengembangan PJK dan
tampaknya merupakan faktor risiko yang
signifikan (P <0,0006) dalam kelompok
secara keseluruhan (walaupun hubungan
tersebut tidak signifikan secara statistik
pada sampel Belfast). Lebih khusus lagi,
penelitian ini menemukan bahwa subjek
dengan kadar Lp (a) pada kuartil tertinggi
memiliki lebih dari 1,5 kali risiko
dibandingkan subyek pada kuartil
terendah. Selain itu, kadar Lp (a) di atas
33 mg / dL dan kolesterol LDL tinggi (>
163 mg / dL [> 4,22 mmol / L]) dikaitkan
dengan peningkatan risiko kardiovaskular
dibandingkan dengan Lp (a) tingkat di
bawah 33 mg / dL dan kolesterol LDL
rendah (<121 mg / dL [<3,13 mmol / L];
risiko relatif: 1,58 dan 0,82). Penelitian
ini juga menunjukkan bahwa peningkatan
Lp (a) meningkatkan risiko MI dan
angina pectoris, terutama pada pria
dengan kadar kolesterol LDL tinggi.

e. Homocysteine
Homocysteine terbentuk selama
demethylation of methionine, sedangkan
degradasinya terjadi melalui remetilasi
dan / atau transsulfuration. Gangguan
metabolisme homocysteine telah
dikaitkan sebagai faktor aterosklerosis,
penyakit serebrovaskular, dan penyakit
vaskular perifer. Penyebab
hyperhomocysteinemia meliputi
penyebab genetik (yaitu redoksase
metilenetetrahidrofolat termolaben,
sistationin sintase heterozigot),
kekurangan vitamin (asam folat, B12,
B6), penggunaan obat tertentu, dan fungsi
ginjal yang terganggu. Selain itu,
hubungan langsung antara homosistein
dan merokok, diabetes, obesitas, dan
hipertensi telah disarankan. Mekanisme
yang tepat dimana tingkat homosistein
yang lebih tinggi dapat berubah menjadi
peningkatan risiko PJK dan / atau
trombotik tetap spekulatif. Kedua efek
toksik langsung pada sel endotel,
sebagian karena stres oksidatif, serta
mekanisme yang lebih tidak langsung
telah dipostulasikan.Sampai saat ini, lebih
dari 80 penelitian cross-sectional, case-
control, dan kohort telah menghubungkan
hiperhomosisteinemia dengan risiko PJK.
Sebagai contoh, dalam Framingham Heart
Study, 19 studi kasus-kontrol bersarang di
21 826 subjek di Tromso, Norway, 20 dan
pada wanita tetapi tidak laki-laki yang
terdaftar dalam penelitian Atherosclerosis
Risk in Communities (ARIC), 21 tingkat
homosistein lebih tinggi pada orang
dewasa dengan PJK Dalam British Heart
Heart Study, 22 tingkat homosistein
secara signifikan (P = 0,004) lebih tinggi
pada penderita stroke. Baru-baru ini, data
dari penelitian kohort prospektif pada 17
361 orang menguatkan temuan
peningkatan kadar homosistein pada
subjek dengan penyakit kardiovaskular
yang sudah ada sebelumnya.23 Lebih
lanjut, frekuensi rawat inap untuk
penyakit kardiovaskular berkorelasi
dengan tingkat homosistein awal,
terutama pada kelompok usia tertua (rasio
rawat inap per 5 μmol / L pada
homosistein: 1,29 banding 1,10; nilai
probabilitas untuk interaksi, 0,02) .23
Homocysteine diukur pada peserta
Prancis yang sehat dalam Suplementasi
dengan Vitamin Antioksidan dan Mineral
Antioksidan, yang menyelidiki efek dari
Suplemen antioksidan pada penyakit
kronis. Penelitian ini menyarankan bahwa
untuk mengendalikan homosistein,
penurunan konsumsi kopi dan alkohol
mungkin penting pada wanita, sedangkan
peningkatan aktivitas fisik, serat
makanan, dan asupan folat mungkin
penting pada pria.Saat ini, dampak
pengobatan hiperhomosisteinemia pada
subyek dengan peningkatan risiko
kardiovaskular sedang dievaluasi dalam
beberapa penelitian prospektif, data dari
data akan tersedia selama 2 sampai 4
tahun ke depan. Menunggu hasil ini,
analisis terbaru telah menekankan
dampak potensial dari "pengenceran
regresi" pada hasil potensial. Ini mengacu
pada variabilitas orang dalam pengukuran
homosistein plasma, yang mencairkan
asosiasi homosistein dengan risiko PJK.
Rasio pengenceran regresi (RDR) untuk
homocysteine dihitung dengan
menggunakan pengukuran homocysteine
tiruan yang diperoleh setelah 3, 6, dan 8
tahun dari penelitian Rotterdam,
Hordaland, dan Framingham, masing-
masing, dan setelah 3, 6, 9, dan 12 tahun
dari Inggris Studi Diabetes prospektif
(UKPDS). Dengan menggunakan analisis
regresi linier untuk studi berbasis
populasi, hasil ini menunjukkan RDR
0,83 pada 2 tahun, 0,71 pada 6 tahun, dan
0,53 pada 12 tahun. Ekstrapolasi temuan
ini ke penelitian prospektif yang sedang
berlangsung menunjukkan bahwa
penelitian ini dapat meremehkan risiko
relatif untuk PJK yang terkait dengan
homosistein sebesar 20% setelah 2 tahun
dan 50% setelah 10 tahun.

f. Faktor Thrombogenic / Hemostatic


Kejadian PJK lebih tinggi di Irlandia
Utara daripada di Prancis, karena alasan
yang belum dijelaskan secara memadai.
Asosiasi konsentrasi fibrinogen plasma
dan aktivitas faktor VII dengan kejadian
PJK dievaluasi dalam studi PRIME.26
Tingkat rata-rata kadar fibrinogen secara
signifikan lebih tinggi di Belfast daripada
di Prancis, dan mereka lebih tinggi di
kedua negara pada peserta yang
mengalami kejadian koroner.
dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Risiko relatif terkait CHD yang dikaitkan
dengan peningkatan satu standar deviasi
pada tingkat fibrinogen adalah 1,56 pada
keseluruhan kelompok dan tetap
signifikan (P <0,0001) setelah
disesuaikan dengan faktor risiko
kardiovaskular lainnya. Tidak ada variasi
geografis yang jelas pada faktor VII, dan
tidak ada hubungan yang signifikan yang
diamati antara tingkat faktor VII dan
risiko kejadian koroner. Faktor risiko
klasik menjelaskan 25% kelebihan risiko
PJK di Belfast dibandingkan dengan
Prancis, sedangkan fibrinogen saja
menyumbang 30%. Temuan ini
menambah bukti epidemiologis bahwa
peningkatan fibrinogen plasma
merupakan faktor risiko potensial untuk
PJK.26 Faktor trombogenik / hemostatik
lainnya yang telah diteliti untuk peran
potensial mereka dalam aterogenesis dan /
atau trombosis meliputi faktor von
Willebrand dan inhibitor aktivator
plasminogen-1.
3.3. High Sensitivity C-Reactive Protein
dan Marker Inflamasi Lainnya
Atherosclerosis mewakili keadaan
inflamasi kronis, dan parameter inflamasi
(misalnya, interleukin-6, tumor necrosis
factor-α) memiliki nilai prediktif untuk
penyakit kardiovaskular di masa depan.
Data telah terakumulasi untuk
menunjukkan bahwa protein C-reaktif
memiliki nilai aditif untuk memprediksi
risiko PJK berdasarkan faktor risiko
tradisional.27 Dalam penelitian
prospektif, pria dan wanita sehat dengan
tingkat awal protein sensitivitas C-reaktif
tinggi (hs-CRP) berisiko tinggi untuk PJK
di masa depan.28 Hs-CRP dikaitkan
dengan kalsifikasi koroner epikardial
subklinis pada pria dan wanita29 dan
secara signifikan (P≤0.005) meningkat
pada pasien yang meninggal tiba-tiba
dengan penyakit arteri koroner berat, baik
dengan dan tanpa trombosis koroner akut;
Ini juga berkorelasi dengan intensitas
pewarnaan imunohistokimia dan jumlah
atheroma cap tipis.Lebih jauh lagi, satu
penelitian melaporkan bahwa hs-CRP
adalah faktor risiko yang terlepas dari
faktor risiko tradisional seperti kolesterol
total, kolesterol HDL, usia, merokok,
indeks massa tubuh, dan tekanan darah.31
Tingkat hs-CRP plasma yang tinggi dapat
dikaitkan dengan insiden efek samping
akhir yang lebih tinggi setelah stenting
koroner yang berhasil.Tingginya hs-CRP
merupakan prediktor independen terhadap
plak karotid lanjut pada subjek
dislipidemia dan early-onset carotid
aterosklerosis dikaitkan dengan
peningkatan ketebalan media intima dan
peningkatan kadar serum marker
inflamasi.Hubungan bergradasi antara hs-
CRP dan aterosklerosis karotid telah
ditunjukkan pada wanita namun tidak
pada pria.Baru-baru ini, American Heart
Association telah menyetujui penggunaan
opsional dari hs-CRP untuk memandu
dokter dalam mengidentifikasi pasien
tanpa mengetahui penyakit
kardiovaskular yang berisiko lebih tinggi
dari yang diperkirakan oleh mayor faktor
risiko saja. Informasi tambahan ini, pada
gilirannya, dapat membimbing klinisi
dalam mempertimbangkan evaluasi lebih
lanjut (misalnya, pencitraan, tes latihan)
atau terapi (misalnya obat penurun lipid,
antiplatelet, atau kardioprotektif)
.Konsentrasi matrik metaloproteinase 9
telah diidentifikasi sebagai prediktor baru
kematian kardiovaskular pada pasien
dengan penyakit arteri koroner. Apakah
itu menyediakan informasi prognostik
independen dibandingkan dengan marker
inflamasi lainnya memerlukan penilaian
tambahan.Peningkatan kadar interleukin-
10 serum dikaitkan dengan prognosis
yang lebih menguntungkan pada pasien
dengan sindrom koroner akut dan tingkat
CRP yang meningkat. Data ini
menunjukkan pentingnya keseimbangan
antara penanda proinflamasi dan
antiinflamasi sebagai penentu utama hasil
pasien dalam sindrom koroner akut.
Daftar Pustaka

1. Maulana, M. Penyakit Jantung :


Pengertian, Penanganan ,dan
Pengobatan. Yogyakarta : Penerbit
KataHati ;2008.
2. Russel DM. Bebas dari Penyakit
Paling Mematikan. Yogyakarta:
MedPress (Anggota IKAPI); 2011.
3. Helty. Hubungan Kebiasaan
Merokok dan Kadar Kolesterol
dengan Kejadian Penyakit Jantung
Koroner di Poli Jantung RSU
Bahteramas Kendari: Stikes
Mandala Waluya; 2013.
.

00o00
BAB IV
ANGINA
PEKTORIS

4.1. Pengertian Angina pektoris (AP)


adalah nyeri dada yang timbul karena
iskemia miokard, terjadi bila suplai
oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan
miokard. Meskipun penyebab paling
sering iskemia miokard adalah
aterosklerosis, sumbatan pada arteri
koroner dapat pula disebabkan oleh faktor
lain yang bukan aterosklerosis, misalnya
kelainan bawaan pada pembuluh koroner,
jembatan miokard (myocardial bridging),
arteritis koroner yang terkait vaskulitis
sistemik, dan penyakit koroner akibat
radiasi. lskemia miokard dan angina
pektoris dapat pula terjadi tanpa adanya
sumbatan koroner seperti pada stenosis
katup aorta, kardiomiopati hipertrofik dan
kardiomiopati dilatasi idiopatik.
Angina pektoris stabil (APS) merupakan
sindrom klinik yang ditandai dengan rasa
tak nyaman di dada atau substemal agak
di kiri, yang menjalar ke leher, rahang,
bahu/ punggung kiri sampai dengan
lengan kiri dan jari-jari bagian ulnar.
Keluhan ini dipresipitasi oleh stress fisik
ataupun emosional atau udara dingin;
hilang dengan istirahat atau pemberian
nitrogliserin.

4.2. Diagnosis angina pektoris stabil


a. Keluhan
Kualitas nyeri pada APS
biasanya tumpul seperti rasa tertindih/
berat di dada, rasa desakan yang kuat dari
dalam atau dari bawah diafragma
diremas-remas atau seperti dada mau
pecah. Nyeri tidak berhubungan dengan
gerakan pernapasan atau gerakan dada ke
kiri dan ke kanan. Pada APS keluhan
khas nyeri dada berlangsung kurang dari
20 menit. Biasanya ditemukan sumbatan
kronis plak ateroma pada sekurang-
kurangnya satu pembuluh koroner
epikardial. Angina sebagai tampilan klinis
paling awal dapat ditemukan pada sekitar
50% penderita APS. Namun demikian,
tidak semua angina khas sesuai gambaran
tersebut diatas, sehingga disebut angina
atipikal. Tampilan lain bisa juga timbul
keluhan tidak nyaman di epigastrium,
rasa lelah, atau seperti mau pingsan,
terjadi terutama pada kelompok lanjut
usia; gejala seperti ini disebut angina
equivalent.

4.3. Diagnosis banding :


1. Kardiovaskular: angina pektoris
(aterosklerosis, spasme, stenosis katup
aorta, kardiomiopati hipertrotik atau
dilatasi), infark miokard, perikarditis
akut, diseksi aorta, emboli paru,
hipertensi pulmonal.
2. Gastrointestinal: gangguan
esofagus (esofagitis, spasme, hiatus
hernia), ulkus peptikum, gastritis,
kolesistitis.
3. Neuromuskuloskleletal:
kostokondritis (sindrom Tietze), sakit
dinding dada, gangguan radix servikal
atau torakal, artropati bahu.
4. Torakal: pneumotorak,
mediastinitis, pleuritis, keganasan intra
torakal.
5. Psikologis atau fungsional

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik
penderita APS, seringkali tidak
ditemukan kelainan berarti. Namun
demikian pencarian adanya penyakit-
penyakit seperti hipertensi, penyakit paru
kronis (akibat rokok), xanthelasma
(dislipidemia), dan bukti adanya penyakit
aterosklerosis bukan koroner (pulsasi nadi
lemah, bruit carotis atau renal, aneurisma
aorta abdominalis) penting sekali. Adanya
temuan penyakit-penyakit tersebut
berguna dalam penentuan risiko dan
manfaat suatu strategi pengobatan dan
kebutuhan akan pemeriksaan tambahan
lainnya.
Pada auskultasi jantung, khususnya
sewaktu sakit dada berlangsung, bisa
terdengar suara jantung tiga (S3) atau
empat (S4) karena adanya disfungsi
sementara ventrikel kiri. Bisa juga
terdengar murmur regurgitasi mitral
akibat disfungsi otot papillaris sewaktu
iskemia miokard terjadi. Adanya ronki
basah dibasal kedua paru mungkin saja
mengindikasikan adanya gagal jantung
kongestif. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG dilakukan pada semua
pasien dengan kecurigaan angina
pektoris. Perubahan EKG yang paling
sering ditemukan adalah: depresi segmen
ST, kadang-kadang dijumpai elevasi atau
normalisasi Segmen ST/ gelombang T.
Adanya perubahan segmen ST-T atau
hipertrofi Ventrikel kiri (walaupun tidak
spesifik), menyokong diagnosis angina.
Tanda infark sebelumnya seperti
gelombang Q juga sangat menunjang
adanya PJK. Berbagai gangguan konduksi
dapat terjadi, paling sering left bundle
branch block (LBBB) dan left anterior
fascicular block. Gangguan konduksi
sering kali berhubungan dengan fungsi
ventrikel kiri yang terganggu dan
menggambarkan penyakit “multivessel”
atau adanya kerusakan miokard yang
terjadi sebelumnya. Pada waktu angina
berlangsung, 50% pasien APS
memperlihatkan EKG istirahat normal.
Elektrokardiografi latihan atau
treadmill adalah penunjang diagnostik
yang penting, terutama pada pasien
dengan EKG istirahat yang normal dan
pasien mampu melakukan uji latih
jantung. Bagi pasien yang tidak bisa
melakukan uji latih jantung seperti pada
kelompok lanjut usia, penyakit arteri
perifer, penyakit paru, artritis, halangan
ortopedik, obesitas, dan pasca stroke, ada
pilihan pencitraan farmakologis seperti
ekokardiograii stress (dobutamin stress
ekokardiografi) dan nuklir stress
(menggunakan adenosin atau
dipiridamol). Pemeriksaan ini juga
dianjurkan bila EKG tidak normal, seperti
LBBB, sindrom Wolff-Parkinson-White
(WPW), irama pacu jantung, depresi
segmen ST ≥ 1 mm tetapi hasil treadmill
sulit dinilai. Ada pula alat atau modalitas
pencitraan stress yang lebih baru, yaitu
magnetic resonance imaging (MRI).

4.2. Tata laksana


Tata laksana APS dapat dilakukan
secara medikamentosa dan tindakan
revaskularisasi baik non-bedah
(angioplasti) atau dengan bedah pintas
koroner.

4.2.1. Tata Laksana Medika


mentosa
Nyeri dada dan iskemia pada APS
terjadi karena adanya ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
akibat sumbatan kronis plak ateroma
(aterosklerosis) pada arteri koroner.
Karena itu, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah mengenali dan
mengobati setiap Penyakit jantung yang
dapat mencetuskan angina. Misalnya
takikardi atau hipertensi yang akan
meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard, atau gagal jantung, penyakit
paru, anemia yang membuat suplai
oksigen ke miokard berkurang.
Selanjutnya adalah penanganan faktor-
faktor resiko PJK dengan perbaikan pola
hidup serta pengobatan farmakologis.
- Aktilitas fisik: lakukan 30-45
menit/hari, 7 hari/minggu (minimal 5
hari/minggu). Rehabilitasi pasien berisiko
(pasien dengan infark miokard atau gagal
jantung sebelumnya).
- Sesuaikan berat badan: usahakan
mencapai indeks massa tubuh (body mass
index, BMI) 18.5-24.9 kg/m1 dan ukuran
lingkaf pinggang < 80 cm untuk wanita
dan < 90 cm untuk pria.
- Berhenti merokok dan hindari paparan
asap rokok.
- Kendalikan tekanan darah (TD):
upayakan modifikasi pola hidup
(kendalikan berat badan, aktifitas fisik,
konsumsi alkohol seperlunya, batasi
asupan garam tidak melebihi satu sendok
teh perhari, konsumsi buah-buahan segar
dan sayuran 5 porsi perhari, dan produk
susu rendah lemak). Kendalikan TD
sesuai panduan Joint National Conference
(JNC) VII (TD < 140/90 mmHg atau <
130/80 mmHg untuk penderita diabetes
atau penyakit ginjal kronis). Awali
pengobatan dengan penyekat beta
dan/atau penghambat ACE, dengan
menambahkan obat-obat lain sesuai
kebutuhan pencapaian target TD.
- Manajemen lipid: diet rendah lemak
jenuh (< 7 % dari kalori total), asam
lemak trans, dan kolesterol (< 200
mg/hari). Aktifitas fisik harian dan
pengaturan berat badan. Konsumsi plant
etanol/sterol (2 g/hari) serta viscous (> 10
g/hari), untuk menurunkan kadar
kolesterol LDL; serta konsumsi asam
lemak Omega-3 (l g/hari) untuk
menurunkan risiko. Terapi dengan obat
penurun lipid (pilihan pertama : statin)
harus diberikan bila kadar kolesterol LDL
antara 70-100 mg/dl dengan tujuan
penurunan 30-40% sampai target < 70
mg/dl. Bila kadar awal kolesterol LDL
antara 70-100 mg/dl, maka cukup
beralasan untuk mengobati sampai
tercapai kadar kolesterol LDL <70. Bila
kadar trigliserida >200 mg/dl, maka kadar
kolesterol non HDL harus < l30 mg/dl
(dan penurunan lebih lanjut sampai < 100
mg/dl cukup beralasan) dengan obat
niacin atau fibrate
- Manajemen diabetes: ditujukan pada
target HBAlc < 7 % dengan bola hidup
dan terapi obat.
- Obat antiplatelet: mulai dengan
aspirin (75-162 mg/hari) seumur hidup
kecuali ada kontraindikasi. Clopidogrel
(75 mg/hari) sebagai pengganti aspirin
bila ada kontraindikasi mutlak pada
aspirin. Pasca Non-ST Elevasi Miokard
lnfark (NSTEMI) akut, clopidogrel 75
mg/ hari harus diberikan selama 1 tahun.
Pasca CABG, aspirin (162-323 mg’hari)
harus diberikan selama 1 tahun, dan
selanjutnya aspirin (75-l62 mg/hari)
diteruskan untuk selamanya. Bagi
pasien yang dilakukan PCI dan
mendapat Drug Eluting Stent (DES),
clopidogrel (75 mg/hari) harus diberikan
untuk sekurang-kurangnya 12 bulan,
kecuali bila pasien berisiko tinggi
mengalami perdarahan. Untuk pasien
yang mendapat Bare Metal Stem
(BMS), clopidogrel harus diberikan
minimal 1 bulan dan idealnya sampai 12
bulan.
- Penyekat beta dimulai dan dilanjutkan
untuk selamanya pada penderita pasca
infark miokard, sindroma koroner akut,
atau penderita dengan disfungsi ventrikel
kiri, kecuali ada kontraindikasi. Berikan
penyekat beta pada pasien angina,
hipertensi dan gangguan irama.
Kontraindikasi pada: bradikardia berat,
blok-AV derajat dua atau derajat tinggi,
sindrom sick sinus dan asma berat.
- Inhibitor ACE dan Angiotensin-
receptor blocker (ARB): mulai dengan
inhibitor-ACE dan teruskan selamanya
pada semua pasien dengan fraksi ejeksi
(ejection faction, EF) ventrikel kiri ≤ 40
%, pasien dengan hipertensi, diabetes,
atau penyakit ginjal kronis, atau pada
pasien yang berisiko tinggi, kecuali ada
kontraindikasi. Pertimbangkan inhibitor-
ACE pada semua pasien PJK kecuali ada
kontraindikasi. ARB dapat dipakai pada
pasien yang tidak cocok inhibitor-ACE.
Antagonis aldosteron direkomendasikan
pada pasien pasca infark miokard tanpa
disfungsi ginjal berat atau hiperkalemia,
dan telah mendapat dosis terapi inhibitor-
ACE, penyekat beta, EF ventrikel kiri ≤
40% dan dengan diabetes atau gagal
jantung.

- Nitrat: nitroglycerine sublingual atau


spray dipakai untuk mengatasi angina
dengan cepat, dapat diberikan sebelum
latihan fisik untuk mencegah angina.
Nitrat khasiat jangka panjang diberikan
bila pengobatan dengan penyekat beta
saja tidak dapat mengatasi angina atau
menjadi kontraindikasi
- Antagonis-calcium: diberikan bila
pengobatan dengan penyekat beta saja
tidak dapat mengatasi angina atau
menjadi kontraindikasi; sebagai obat
pilihan pada kasus spasme coroner.

4.2.1. Revaskularisasi coroner


Manfaat revaskularisasi coroner dalam
menurunkan kejadian serangan jantung
dan kematian telah diterima secara luas.
Khususnya untuk mencegah sindrom
coroner akut. Namun manfaat
revaskularisasi coroner ada pada angina
pectoris stabil, khusunya terkait kematian
dan infark masih menjadi kontroversi.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization.


Deaths from coronary heart disease
2006; Available from
;www.who.int/cardiovascular_diseases/cv
d_14_deathHD.pdf; diakses tanggal 25
juli 2017.
2. Bouillon, Kim. Decline in
low-density lipoprotein cholesterol
concentration: lipid-lowering drugs, diet
or phyicaactivity?: Evidence form the
Whitehall II Study heart; 2011

3. Dodiet A.S. Epidemiologi


penyakit tidak menular dan faktor risiko
2008 ; Available from
;http://www.scribd.com/doc/59283707/Pr
evalensi-PJK ; Diakses tanggal 25juli2017
4. Tanuwidjojo, S., dan S.
Rifky. Atherosklerosis From Theory to
Clinical Practice : Naskah Lengkap
Cardiology. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro ;2003.

5. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Profil Kesehatan
Jawa Tengah 2006. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia ;2009.

00O00

BAB V
SINDROM
KORONER AKUT
5.1. Pengertian Sindroma Koroner
Akut (SKA)

SKA merupakan suatu kegawatan


kardiovaskular yang memiliki potensi
komplikasi yang dapat berakibat fatal.
Sindroma Koroner Akut, terutama infark
miokard, merupakan penyebab utama
kejadian henti jantung mendadak yang
disebabkan aritmia maligna yang terjadi
saat serangan. Pengertian SKA merujuk
pada sekumpulan keluhan dan tanda
klinis yang sesuai dengan iskemia
miokard akut. Sindroma koroner akut
merupakan suatu spektrum dalam
perjalanan penderita penyakit jantung
koroner (aterosklerosis koroner). Sindrom
Koroner Akut dapat berupa angina
pektoris tidak stabil (APTS), infark
miokard akut non elevasi segmen ST
(IMA NEST/NSTEMl) dan infark
miokard akut dengan elevasi segmen ST
(IMA EST/STEMI) dan atau kematian
jantung mendadak. Berdasarkan data
Jakarta Acura Coronary Synm'ome
Registry yang dilakukan di Jakarta antara
tahun 2008-2009. didapatkan sebanyak
2013 kasus SKA di provinsi Jakarta,
dengan persentase terbesar adalah lMA
EST yaitu 31.1%. Kematian terbanyak
terjadi di luar rumah sakit dan yang
disebabkan paling banyak oleh adanya
aritmia maligna (VT NF). Kematian
berhubungan dengan luasnya miokard
yang terkena. Pada registri tersebut juga
didapatkan data mortalitas IMA EST
Iebih tinggi pada pasien yang tidak
dilakukan reperfusi (13,3%)
dibandingkan dengan yang tidak
dilakukan reperfusi baik fibrinoIiSIs
(6,2%) maupun intervensi koroner
perkutan (IKP) primer (5,2%). Oleh
karena itu. repedusi sebagai upava
membatasi Iuas infark harus diusahakan
pada pasien infark untuk menurunkan
mortalitas. Tujuan terapi SKA adalah
mengurangi daerah miokard yang
mengalami infark sehingga fungsi
ventrikel kiri dapak dipertahankan.
mencegah komplikasi kardiak fatal dan
menangani kompfikasi SKA. Diagnosis
dan terapi yang cepat akan
menyelamalkan miokard pada jam-jam
awal infark. Pembaruan pedoman 2015
dalam penanganan sindroma koroner akut
(SKA) ditandai dengan perubahan daiam
lingkup pedoman American Heart
Association (AHA) utuk evaluasi dan
manajemen SKA. Sejak pembaruan ini
rekomendasi akan terbalas pada fase
perawatan pra-rumah sakit dan unit gawat
darurat. Sedangkan perawatan di rumah
sakit diatur berdasarkan pedoman untuk
manajemen infark miokard yang
dipublikasi secara bersarna oleh AHA dan
American College of Cardiology
Foundation (ACCF). namun sebagian
besar pedoman 2010 tetap masih dipakai
dan tidak berubah.
5.2. Rekomendasi Pembaruan
Pedoman 2015 untuk SKA :
1. Pemeriksaan dan interpretasi EKG
pra rumah sakit
2. Pemilihan strategi reperusi pada saat
fibrinolisis pra rumah sakit tersedia
3. Pemilihan strategi reperfusi di rumah
sakit yang tidak mendukung IKP (
lntervensx
4. Pemerikisaan enzim jantung Troponin
untuk mengidentifikasi pasien yang
dapat dipindahkan dengan aman dari
unit gawat darurat yang mungkin
atau mungkin tidak bermanfaat jika
diberikan sebelum tiba di rumah
sakit.

5.3. Patofisiologi SKA


SKA secara teoritis adalah akibat
trombosis koroner dan robekan plak
angiografi dan studi post moterm yang
dilakukan pada timbulnya keluhan
tampak bahwa pada lebih den 85% kasus
Terdapat oklusi thrombus pada arteri
penyebab (culprit artery) Trombus yang
terbentuk putih (white thrombus) dan
trombus merah (red thrombus).
Trombosis koroner yang terjadi umumnya
dIhubungkan dengan robekan plak.
Perubahan yang tiba tiba dari angina
stabil atau infark miokard umumnya
dihubungkan dengan robekan plak pada
titik yang Iokasi shear stressnya tinggi
dan dapat terjadi pada plak aterosklerosis
yang besar maupun kecil (minor). Plak
yang mengalami robekan kemudian
merangsang agregasI trombosit yang
selanjutnya akan membentuk thrombus.
Spasme arteri coroner juga berperan
penting dalam patofisiologl SKA
Perubahan tonus pembuluh darah koroner
melalui Nitric Oxide (NO) endogen dapat
membuat variasi ambang rangsang angina
antara satu pasien dengan yang lain dan
antara satu waktu dengan waktu yang
lain. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi (tonus arteri yaitu
hipoksia. Katekolamin endogen dan zat
vasoaktif (serotonin, adenosine
diphospat). Pasien dengan aterosklerosis
koroner bisa mengalami gejala klinis
yang bervariasi tergantung dari tingkat
sumbatan arteri coroner. Gejala-gejala
klinis ini meliputi angina tidak stabil
infark miokard tanpa ST elevasi (IMA
NEST), dan infark miokard dengan ST
elevasi (IMA EST atau STEMI) .

Beberapa hal yang mendasari


Patofisiologi SKA adalan sebagai berikut
1. Plak tidak stabil
Penyebab utama terjadinya SKA
adalah rupturnya plak yang kaya lipid
dengan cangkang yang tipis. Umumnya
plak yang mengaiami ruptur secara
hemodinamik iidak signifikan besar
Iesinya. Adanya komponen sel inflamasn
yang berada di bawah subendotel
merupakan titik lemah dan merupakan
predisposisi terjadinya ruptur plak.
Kecepatan aliran darah. turbulensi. dan
anatomi pembuluh darah juga
memberikan kontribusi terhadap hal
tersebut.

2. Ruptur plak
Setelah plak rupture sel-sel
trombosit akan menutupi atau menempel
pada plak yang ruptur. Ruptur akan
merangsang dan mengaktifkan agregasi
platelet. Fibrinogen menyelimuti platelet
yang kemudian akan merangsang
pembentukan trombin.

3. Angina tidak stabil


Sumbatan trombus yang parsial
akan menimbuikan gejala iskemia yang
progresif (lebih lama atau pada aktivitas
yang lebih ringan dari biasanya). gejala
iskemia yang baru pertama terjadi, atau
terjadi saat istirahai. Pada fase ini
trombus kaya akan platelet/trombosit
sehingga terapi aspirin, antagonis reseptor
ADP. dan GPIIb/IIa inhibitor paling
efekiif, Pemberian fibrinolisis pada fase
ini tidak efektif dan malah sebaliknya
dapat mengakselerasi oklusi dengan
melepaskan bekuan yang berkaitan
dengan thrombin yang dapat memicu
terjadinya koagulasi. Okulusi thrombus
yang bersifat intermiten dapat
menyebabkan nekrosis miokard sehingga
menimbulkan IMA NEST (NSTEMI).

4. Mikroemboli
Mikroemboli dapat berasal dari
thrombus yang terlepas ke distal
pembuluh darah coroner dan bersarang
didalam mikrovaskular coroner yang
menyebabkan troponin jantung meningkat
(penanda adanya nekrosis di jantung).
Kondisi ini merupakan risiko tinggi
terjadinya infark miokard yang lebih luas.

5. Trombus oklusif
Jika thrombus menyumbat total
pembuluh daah coroner epicardial dalam
jangka waktu yang lama, amka akan
menyebabkan IMA EST (STEMI).
Bekuan ini kaya akan fibrin. Olehkarena
itu pemberian fibrinolysis yang cepat dan
tepat atau langsung dilakukan IKP Primer
dapat membatasi perluasan infark
miokard.

a. Diagnosis SKA

Diagnosis SKA berdasarkan


keluhan khas angina. Terkadang pasien
tidak ada keluhan angina namun sesak
napas atau keluhan Iain yang tidak khas
seperti nyeri epigastrik atau sinkope yang
disebut angina equivalent Hal ini diikuti
perubahan elektrokardiogram (EKG) dan
atau perubahan enzim jantung. Pada
beberapa kasus, keluhan pasien,
gambaran awal EKG dan pemeriksaan
laboratorium enzim jantung awal tidak
bisa menyingkirkan adanya SKA, oleh
karena perubahan EKG bersifat dinamis
dan peningkatan enzim baru
terjadi beberapa jam kemudian. Pada
kondisi ini diperlukan pengamatan secara
serial sebelum menyingkirkan diagnosis
SKA.

b. Gejala SKA.

Gejala - gejala umum iskemia dan


infark miokard adalah nyeri dada
retrosternal. Yang perlu diperhatikan
dalam evaluasi keluhan nyeri dada
iskemik SKA adalah:
1. Lokasi nyeri : di daerah retrosternal
dan pasien sulit melokalisasi rasa
nyeri
2. Deskripsi nyeri : pasien mengeluh
rasa berat seperti dihimpit, ditekan,
diremas, panas atau dada terasa
penuh. Keluhan tersebut lebih
dominan dibandingkan rasa nyeri
yang sifatnya tajam. Perlu
diwaspadai juga bila pasien
mengeluh nyeri epigastrik, sinkope
atau sesak napas (angina
equivalent).
3. Penjalaran nyeri; penjalaran ke
lengan kiri, bahu, punggung,
epigastrium, leher rasa tercekik atau
rahang bawah (rasa ngilu) kadang
penjalaran kelengan kanan
atau kedua lengan
4. Lama nyeri; nyeri pada SKA dapat
berlangsung lama, lebih dari 20
menit. Pada STEMI, nyeri lebih
dari 20 menit dan tidak hilang
dengan istirahat atau
nitrat sublingual.
5. Gejala sistemik; disertai keluhan
seperti mual,muntah atau keringat
dingin
Hal-hal dapat menyerupai nyeri dada
iskemia:
1. Diseksi aorta
2. Emboli paru akut
3. Tamponade jantung
4. Tension pneumothorax
5. Pericarditis
6. Gastro Esophageal Reflux
Disease(GERD)
c. Pemeriksaan Fisik

Perneriksaan fisik dilakukan untuk


enegakkan diagnosis, menyingkirkan
kemungkinan penyebab) nyeri dada
'ainnya dan mengevaluasi adanya
komplikasi SKA. Pemeriksaan fisik pada
SKA umumnya normal. Terkadang pasien
terlihat cernas, keringat dingin atau
didapat tanda komplikasi berupa takipnea,
takikardia — bradikardia, adanya galop S3,
ronki basah halus di paru, atau Bila tidak ada
komplikasi hampir tidak ditemukan kelainan
yang berarti.

d. Elektrokardiogram

Pada pedoman 2015 ini pemeriksaan


EKG pra rumah sakit (prehospital) menjadi
perhatian utama, untuk mengidentifikasi lebih
awal adanya SKA, sehingga dapat
mendeteksi lebih awal adanya SKA dengan
Elevasi ST (SKA STE) sebelum sampai ke
RS.
Dengan mengetahui lebih awal,
diharapkan Rumah Sakit yang dituju dapat
mempersiapkan tindakan
reperfusi (fibrinolisis atau PCI Primer )
sehingga dapat mempersingkat waktu dari
onset hingga reperfusi pada SKA STE atau
IMA EST (STEMI) (First Medical Contact-
to-Ballon time, First medical contact-to-
needle time, door-to-balloon time, door-to-
needle time). Pengurangan waktu reperfusi di
Rumah Sakit, transportasi segera dan
pengobatan segera harus terjadi bersamaan
dengan persiapan Rumah Sakit saat
menerima pasien di emergensi.
Perneriksaan EKG pra rumah sakit
dan kesiapan laboratorium kateterisasi
akan mempercepat dilakukannya reperfusi
IKP primer (primary PC') sehingga akan
menurunkan angka kematian. Dengan adanya
EKG pra rumah sakit dan pemberitahuan ke
rumah sakit rujukan akan menurunkan angka
kematian sebesar 32% bila bila dilakukan
IKP primer dan 24% bila dilakukan terapi
fibrinolisis. Rekomendasi Pedoman 2015 :
EKG 12 sadapan pra rumah sakit harus
dilakukan segera pada pasien dengan dugaan
SKA. Pemberitahuan ke Rumah Sakit rujukan
untuk tindakan reperfusi baik fibrinolisis
maupun IKP Primer harus dilakukan bila
didapat gambaran ST elevasi pada
EKG. Pemeriksaan EKG merupakan
perneriksaan penunjang yang penting pada
diagnosis SKA untuk menentukan tata
Iaksana selanjutnya. Berdasarkan gambaran
EKG, pasien SKA dapat diklasifikasikan
dalam 3 kelompok:
1. Elevasi segmen ST atau Left
Bundle Branch Block (LBBB)
baru/dianggap baru (New or
presumably new LBBB).
Didapatkan elevasi segmen ST
minimal di dua sandapan yang
berhubungan.
2. Deprei segmen ST atau inversi
gelombang T yang dinamis pada
saat pasien mengeluh nyeri dada.
3. EKG non diagnostik baik normal
ataupun hanya ada perubahan
minimal.

e. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk


menilai adanya tanda nekrosis miokard
sepem CK-MB~Troponin T dan I, serta
Mioglobin dipakai untuk menegakkan
diaghosis SKA. Troponi lebih dipilih
karena Iebih sensitif daripada CKMB.
Troponin berguna untuk diagnosis.
stratifikasi risiko, dan menentukan
prognosis. Troponin yang meningkat akan
meningkatkan risiko kematian. Pada
pasien SKA dengan ST elevasi reperfusi
tidak boleh ditunda hanya untuk
menunggu enzim jantung.

 Mioglobin
Mioglobin merupakan suatu protein
yang dilepaskan dari sel miokard
yang mangalami kerusakan, dapat
maningkat setelah jam-jam awai
terjadinya infark dan mencapai
puncak pada jam 1 s/d 4 dan tetap
tingggi sampai 24 Jam.
 CKMB
CKMB merupakan isoenzim dari
creatinin kinase. dengan konsentrasi
terbesar terdapat pada miokardium.
Dalam jumlah kecil CKMB dapat
dijumpai di otot rangka, usus kecil,
atau diaphragma. Mulai meningkat 3
jam setelah infark dan mencapai
puncak 12-14 jam.CKMB akan mulai
menghilang dalam darah 48-72 jam
seteIah infark.

f. Tatalaksana
Secara umum tatalaksana SKA
dengan ST Elevasi (IMA EST) dan SKA
tanpa ST Elevasi sama, baik pra rumah
sakit maupun gaat di rurnah sakit.
Perbedaan terdapat pada strategi terapi
reperfusi. di mana IMA EST lebih
ditekankan untuk segera
melakukan reperfusi. balk dengan
medikamentosa (fibrinolisis) atau
intervensi (intervensi koroner perkutan -
IKP). Berdasarkan International
Consensus on Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care Science With
Treatment Recommendation
(AHA/ACC) tahun 2010 yang
diperbaharui oleh Pedoman 2015, sangat
ditekankan waktu efektif reperfusi terapi.
Pra rumah sakit
Tindakan-tindakan pra rumah
sakit dilakukan oleh Emergency Medical
Service (Layanan Gawat Darurat)
sebelum pasien tiba dirumah sakit,
biasanya dilakukan di dalam
ambulans. Bila dicurigai SKA, segera
lakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan
dan berikan pemberitahuan ke RS bila
ada rencana untuk dilakukan tindakan
fibrinolisis atau IKP primer (primaty PC
l). Pemeriksaan EKG dengan pembacaan
oleh mesin komputer tanpa konfirmasi
dengan dokter atau petugas medis terlatih
tidak dianjurkan mengingat tingginya
hasil pembacaan positif palsu.

5.10. Tindakan yang dilakukan pada


layanan gawat darurat adalah:
o Monitoring, dan amankan ABC.
Persiapkan diri untuk melakukan
RJP dan defibrilasi
o Berikan aspirin, dan pertimbangkan
oksigen, nitrogliserin,dan morfin
jika diperlukan.
o Pemeriksaan EKG 12-sadapan dan
nterpretasi. Jika ada ST elevasi,
informasikan rumah sakit, catat
waktu onset dan kontak pertama
denga ntim medis.
o Lakukan pemberitahuan ke RS
untuk melakukan persiapan
penerimaan pasien dengan SKA
o Bila akan diberikan fibrinolitik pra
rumah sakit, lakukan check list
terapi fibrinolitik.
5.11. Tatalaksana awal di Rumah
Sakit
Secara keseluruhan berdasarkan
pedornan 2015 penanganan pasien SKA
di Rumah Sakit tidak banyak berubah_ Di
ruang gawat darurat dilakukan dua
kelompok tindakan secara simultan. yaitu
penllaian awal dan tatalaksana umum
awal.
Penilaisan awai di IGD (<10 menit)
 Cek tanda vital, evaluasi saturasi
Oksigen
 Pasang akses intravena
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang singkat dan terarah
 Lengkapi checklist fibrinolitik.cek
kontraindikasi
 Lakukan pemeriksaan enzim jantung.
elektrolit, dan pembekuandarah
 Pemeriksan foto toraks portabel
(<30menit setelah pasien sampai di
IGD)

5.12. Tatalaksana awal di IGD


 Segera berikan Oksigen 4L/menit
dengan kanul nasal bila
didapatkan dispnea. hipoksemia dan
tanda gagal jantung atau saturasi 02
<90%.
 Berikan Aspirin (non enteric coated)
160-325 mg dikunyah (bila pra
rumah sakit belum diberikan).
 Nitrogliserin/nitrat sublingual atau
spray atau intravena.
 Morfin IV jika nyeri dada tidak
berkurang dengan nitrogliserin/nitrat.

Modalitas Terapi Pada SKA


 Oksigen
Pada consensus ACLS 2010
oksigen diberikan pada semua pasien
dengan sesak napas,tanda gagal
jantung,saat saturasi oksigen <94%
Monitoring SpO2 akan sangat
bermanfaat untuk mengetahui perlu
tidaknya diberikan sigen pada pasien.
Konsensus 2015 memuat beberapa
pendapat yang mempersoalkan tentang
perlu tidaknya terapi oksigen pada
pasien SKA dengan SpO2 yang normal.
AVOID Study menyatakan terapi oksigen
malah meningkatkan risik Injuri miokard
dan luasnya infark setelah 6 bulan. dan
risiko reinfark. Akan tetapi penelitian lain
menyebutkan bahwa pemberian oksigen
tidak mempengaruhi angka kematian,
hilangnya nyeri dada dan berkurangnya
luas infark. Namun demikan, terapi
oksigen pada normoksia tidak
mempengaruhi angka kematian.Pedoman
2015 merekomendasikan untuk
mempertimbangkan penundaan terapi
okslgen normal. Dan indikasi pada pasien
dengan kecurigaan atau terbukti SKA dengan
SpO2 yang normal. Dan indikasi terapi
oksigen adalah pada kondisi:
 Pasien dengan nyeri dada menetap
atau berulang atau hemodinamik tidal
stabil.
 Pasien dengan tanda bendungan gagal
jantung akut
 Pasien dengan saturasi oksigen <90 %
 Aspirin Dan NSAID
Aspirin dapat menurunkan reoklusi
kroner Dan berulangnya kejadian iskemik
setelah terapi fibrinolitik. Penggunaan
aspirin supositoria dapat dilakukan papa
pasien dengan mual, muntah atau ulkus
peptic, atau gangguan pada saluran
pencernaan atas. Dosis pemeliharaan 75-
100 mg/hari. Obat NSAID baik yang
selektif maupun nonselektif tidak boleh
diberikan pada SKA selama di RS karena
dapat meningkatkan risiko kematian,
reinfark, gagal jantung, hipertensi,dan
rupture miokard.
 Nitrogliserin
Tablet nitrogliserin sublingual dap
at diberikan sampan 3 Kali dengan
interval 3-5 merit jika tidak terdapat
kontraindikasi. Obit ini tidal boleh
diberikan papa pasien dengan
hemodinamik tidak stabil yaitu tekanan
darah sistolik <90 mmHg atau >30
mmHg lebih rendah Dari pemeriksaan
tekanan darah away (jika dilakukan),
bradikardia <50 x/menit atau takikardia
>100x/menit tanpa adanya gagal jantung,
Dan adanya inf ark ventrikel kanan.
Nitrogliserin adalah venodilator dan
penggunaannya harus berhati-hati pada
keadaan pasien yang menggunakan obat
penghambat fosfodiesterase
(contoh:Viagra) dalam waktu< 24jam (48
jam pada tadalafil).
 Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien SKA
adalah morfin. Pemberian morfin
dilakukan jika pemberian nitrogliserin
sublingual atau semprot tidal respon.
Morfin merupakan pengobatan yang
cukup panting pada SKA oleh karena:
Menimbulkan efek analgesic pada SSP
yang dapat mengurangi aktivasi
neurohormonal dan menyebabkan
pelepasan katekolamin.Menyebabkan
venodilatasi yang akan mengurangi beban
ventrikel kiri dan mengurangi kebutuhan
oksigen. Menurunkan tahanan vascular
sistemik, sehingga mengurangi afterload
ventrikel Kiri. Membantu redistribusi
volume darah pada edema paru akut
ADP/P2Y12 Inhibitor den antiplatelet
lain.
 Pemberian ADP Inhibitor yang
dikombinasikan dengan aspirin
(DAPT, Dual Anti Platelet).
 Direkomendasikan papa pasien SKA..
Beberapa jenis ADP inhibitor yang
sebaiknya digunakan Pada pasien SKA
antara Iain :
a. Ticagrelor
Ticagrelor (180 mg loading dose
per oral, 90 mg duo Kali shari)
diberikan pada semua pasien SKA
jika tidkl terdapat kontraindikasi
b. Prasugrel
Prasugrel ( 60 mg loading dose
secara oral, 10 mg sati Kali per
hart) dapat menggantikan
klopidogrel sesaat setelah
angiografi pada pasien SKA yang
dilakukan PCI
c. Klopidogrel
Klopidogrel (300 .-.. 600 mg
loading dose per oral, 75 mg sati
Kali per hart) diberikan pada pasien
yang tidak dapat menerima
ticagrelor tau prasugrel

 Kaji EKG 12 sandapan


EKG 12 sandapan harus sudah
diperoleh hasilnya Dan diinterpretasikan
dalam 10 menit pertama pasien datang di
ruang gawat darurat. Berdasarkan hasil
EKG, SKA dibagi menjadiSKA dengan
STelevasi/ IMA EST (STEMI) bila
terdapat gambian ST elevasi atauLBBB
baru. Angina Pektoris Tidak Stabil
(APTS) risiko tinggi atau IMA NEST
(bila papa EKGditemukan STdepresi tau
inverse gelombang T). Angina Pektoris
Tidak Stabil risiko rendah/intermediate,
bila EKG normal atau perubahan
STsegmen/ gelombang T tidak diagnostic.
Infark Miokard Akut dengan Elevasi
Segment ST (IMA EST~ STEMI). Pasien
dengari IMA EST biasanya terjadi
penyumbatan total (complete) pada
arterykoroner epikardial. Pengobatan
utama pada IMA EST adalah terapi
reperfusi segera yangdapat dilakukan
dengan fibrinolitik atau IKP (PCI) primer.
Reperfusi terapi papa IMA EST
merupakan perkembangan yang sadat
panting dalamPengobatan penyakit
kardiovaskular seat ini.Terapi fibrinoiitik
segeratau IMP primer sudahmerupakan
stander pengobatan pasien IMA EST
yang onset serangan mash dalam 12
jamDan tidak terdapat kontraindikasi.
Terapi reperfusi dapat menyelamatkan
fungi miokarddan mengurangi mortality.
Makin pendek waktu reperfusi
manfaatnya making besar.

 Terapi Reperfusi pada IMA EST


Reperfusi papa pasien MA EST
akan mengembalikan aliran korormer
pada arteri yangberhubungan dengan area
infark, mencegah perluasan infark, dan
menurunkan mortalityjangka panjang.
Fibrinolisis berhasil mengembaiikan
aliran normal coroner pada 50-60%kasus.
Sedangkan IMP (PCI) primer dapat
mengembalikan aliran normal sampan
90%kasus, Dan manfaat ini lebih besar
didapatkan pada pasien dengan shook
kardiogenik. PCIjuga memiiiki risiko
perdarahan intracranial den stroke yang
lebih rendah. Pada SKA denganelevasi
segmen ST dan LBBB baru atau dugaan
baru, sebelum melakukan terapi
reperfusiharus dilakukan evaluasi sebagai
berikut:
Langkah I
 Nilai waktu onset serangan
 Risiko MA EST (STEMI)
 Risiko fibrinolisis
 Waktu yang diperiukan Dari
transportasi kepada ali intervene
(kateterisasi/IKP) yangTersedia.
Langkah II
Pemilihan strategy terapi
reperfusi (fibrinolisis tau
invasif)

Tabel 5.1 Perbandingan terapi


fibrinolisis dan PCI pada pasien
dengan SKA
Terapi Fibrinolisis Terapi invasive (PCI)
Onset < 3 jam Onset <12 jam
Terapi Invasif bukan pilihan (tidak Tersedia ahli PCI
ada akses ke fasilitas PCI atau Kontak medik-ballon
akses vaskuler sulit) atau akan atau door to ballon
menimbulkan penundaan : time < 90 menit
Kontak medik-balon tau door to (Door to ballon time)
ballon time>90 menit . minus (door to needle
Door-to-ballon time dikurangi time < 1 jam
(door-to-
needle time) < 1 jam
Tidak terdapat kontraindikasi Kontra indikasi
fibrinolisis fibrinolysis termasuk
risiko perdarahan dan
perdarahan intra
serebral
STEMI risiko tinggi
CHF (Killip >3)
Diagnosis STEMI
diragukan

 Terapi Fibrinolisis

Sebelum dilakukan tindakan


fibrinolysis , pasien harus dilakukan
pemeriksaan ada atautidaknya
kontraindikasi fibrinolysis. Kontra
indikasi fibrinolysis adalah sebagai

Kontra Indikasi Absolit Kontra indikasi relatif


Perdarahan intra kranial kapanpun Tekanan darah yang
tidak terkontrol
Stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan Tekanan darah
lebih dari 3 minggu sistolik >180 dan
diastolic > 110mmhg
Tumor intra kranial Riwayat stroke
iskemik > 3 bulan
Adanya kelaianan struktur serebral Trauma atau RJP
lama > 10 menit atau
operasi besar < 3
bulan
Kecurigaan diseksi aorta Perdarahan internal
dalan 2-4 minggu
Perdarahan internal aktif atau gangguan Penusukan pembuluh
system pembekuan darah darah yang sulit
dilakukan penekanan
Cedera kepala tertutup atau cedera wajah Hamil
dalam 3 bulan terakhir Ulkus Peptikum
Sedang menggunakan
antikoagulan dengan
INR tinggi
berikut :

(Sumber: Yatim, F.,2005)


Pengobatan fibrinolisis lebih awal
(door~drug <30 menit) dapat membatasi
luasnya infark. memperbaiki fungsi
ventrikel, Dan mengurangi angka
kematian. Jenis obat fibrinolisis dibagi
menjadi spesifik (Alteplase, Retepiase,
Tenecteptase) Dan fibrin non-flbrin
spesifik (streptokinase). Di Indonesia
umumnya yang tersedia adalah
Streptokinase, dengan doses pemberian
sebesar 1,5 jura unit, dilarutkan dalam
100cc NaCl 0,9% atau Dextrose 5%,
diberrkan secara infos seiama 30
60menit.Fibrinolisis bermanfaat untuk
diberikan papa (1) ST Elevasi tau
perkiraan LBBB baru. (2)infark miokard
yang leas, (3) Pads Asia mud dengan
risiko perdarahan intraserebfal yang lebih
rendah. Sedangkan pada STEMI dengan
onset serangan antara 12~24 jam tau
infark kecil, atau usia >75 tahun, strategy
ii dianggap kurang bermanfaat.
Fibrinolisis mungkin berbahaya jika
diberikan papa (1) Depresi seamen ST,
(2) Onset > 24 jam (3) Tekanan
darahyang tinggi (Tekanan Sarah sistolik
>175 mmHg). Selama diiakukan
fibrinolisis, penderita harms dimonitor
secara ketat (bedside). Tanda vital Dan
EKG dl evaluasi setiap 5-10 merit untuk
mendeteksi risiko fibrinolisis yaitu:
(1)Perdarahan, (2) Alergi, (3) Hipotensi
(4) Aritmia reperfusi, aritmia reperfusi
sebenamya adalah salah satu tanda
keberhasilan fibrinolisis namun apabila
aritmia reperfusi yang terjadi adalah
aritmia maligna sebagai contoh
ventricular takikardia maka perlu
diiakukan penanganan segera. Penilain
keberhasilan fibrinolisis dilakukan 60-90
merit dimulai Dari saat obat
fibrinolisisdimasukkan. Tanda
keberhasilan fibrinolisis adalah (1)
resolusi komplit Dari nyeri dado (2)
STelevasi menurun > 50% (dilihat
terutama papa sampan dengan ST elevasi
tertinggi) (3).Adanya aritmia reperfusi.
Bila fibrinolisis tidak berhasil maka
penderita secepatnya harus dilakukan
rescue PC/, Pada pedoman AHA 2015,
setiap pasien yang Selah dilakukan
fibrinolisis dianjurkan untuk dilakukan
angiografi dim dalam 3-6 jam pertama
hingga 24 jam paska fibrinolisis.
Tindakan Intervensi Koroner Perkutan
{IKP/PCl) Primer Angioplasty kroner
dengan atau tanpa pemasangan stent
adalah terapi pilihan pada TataIaksana
STEMI bila dapat dilakukan kontak door-
to-ballon < 90 merit pada pusat kesehatan
yang mempunyai fasilitas IKP
terlatih.Pedoman 2015
merekomendasikan bahwa IMP primer
(PPCI) dap at dilakukan biia waktu Dari
onset keluhan kurang Dari 12 jam Dan
waktu PPCI Dari kontak pertama dengan
tenaga kesehatan kurang dart 120 merit.

Rekomendasi pedoman 2015 yang


berhubungan dengan tindakan PPCI:
Bilamana terapi fibrinolisis pra
rumah sakit memungkinkan untuk
dilakukan selama transfer menuju RS
dengan fasilitas PPCI, maka lebih
diutamakan untuk mengirim ke RS untuk
dilakukan PPCI daripada fibrinolisis, oleh
karena risiko perdarahan lebih kecil jika
dilakukan PPCI, namun tidak terdapat
perbedaan mortality antara kedua strategy
tersebut. Pada pasien dewasa yang
mengalami IMA EST di unit gawat
darurat RS tanpa fasilitas PCI, disarankan
agar pasien tersebut segera dipindahkan
tanpa fibrinolisis ke rumah sakit dengan
fasilitas PCI, bukann diberikan
fibrinolisis dl RS awal dan bukan baru
dilakukan pemindahan untuk dilakukan
PCI oleh Karena adanya iskemik residual.
1. Kombinasi tindakan fibrinolisis
dahulu kemudian diikuti dengan
dengan PPCI tidak dianjurkan.
2. Jika Selah dilakukan terapi
fibrinolisis, perlu dipertimbangkan
untuk mengirim pasien keRS
dengan fasilitas PCI untuk
dilakukan angiografi kroner dalam
3-24 jam.
3. Jika waktu onset gejala yang timbuI
diketahui, interval antara kontak
pertama dengan petugas media (first
medical contact) Dan reperfusi
harus tidal lebih dari 120 merit.

4. Pada IMA EST dengan onset 2 jam,


fibrinolisis segera leif
direkomendasikan disbanding PPCI
bila diperkirakan keterlambatan
untuk IKP Primer lebih dari 60
merit.
5. Bila pasien IMA EST tidak dapat
dirujuk ke RS yang memiliki
fasilitas PCI tepat waktu, maka
sebagai altematif terapi fibrinolitik
diberikan kemudian pasien dirujuk
ke fasiiitasPCI untuk angiografi
coroner rutin.
6. Tindakan invasion segera dilakukan
pads pasien SKA tanpa elevasi
segmen ST dengan risiko tinggi dan
sangat tinggi.
7. Angiografi koroner emergensi
segera dapat dilakukan pada pasien
dengan OHCA (Outof Hospital
Cardiac Arrest) dengan kecurigaan
penyebab dari jantung atau elevasi
segmen ST pads EKG.
8. Angiografi koroner emergensi juga
dilakukan pada pasien koma setelah
OHCA yang dicurigai penyebabnya
dari jantung tanpa walau tanpa
didapatkan elevasi segment ST.
9. Angiografi kroner dianjurkan pada
pasien pasca henti jantung baik
koma maupun sadar.

Daftar Pustaka
1. Sugondo, S. Obesitas. In: Sudoyo,
A. W., B. Setiyohadi, I. Alwi, M.
Simadibrata. K., dan S. Setiati,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta : FKUI ;2007.
2. Yatim, F.Waspadai Jantung
Koroner, Stroke, Meninggal Mendadak :
Atasi Pola Hidup Sehat. Jakarta :
Pustaka Populer Obor ;2005
3. Waspadji S, Suyono S, Sukarji K
dan Kresmawan T. Obesitas
Berdasarkan Tebal Lemak Bawah Kulit
(TLBK) pada Penderita Hiperlipidemia.
Pengkajian Status Gizi Studi
Epidemiologi, FKUI, Jakarta; , 2010.

00O00

BAB VI
REHABILITASI
DAN
PENCEGAHAN
SEKUNDER
PADA PENYAKIT
JANTUNG
KORONER

6.1. Pendahuluan Cara Rehabilitasi

Penanganan penyakit jantung


koroner (PJK) berkembang pesat,
meliputi terapi farmakologik, diagnostik
non invasif dan invasif. intervensi non
bedah dan bedah, serta pencegahan
sekunder. Upaya pencegahan sekunder ini
meliputi berbagai aktivitas atau upaya
yang dilakukan oleh penderita PJK guna
mencegah perburukan kondisi jantungnya
atau mencegah terjadinya serangan
ulangan. Rehabilitasi jantung (RJ) bukan
saja menjadi bagian integral dalam
pengelolaan plain PJK, tetapi juga
merupakan aktivitas penting dalam
melaksanakan pencegahan
sekunder.Upaya ini penting bagi
penderita PJK dengan status: pasca
serangan jantung (infark miokard), pasca
bedah pintas koroner, pasca angioplasti
koroner, PJK menahun, gagal jantung
kongestif dan sebagainya. Definisi RJ
menurut British Association for
cardiovascular preventin and
rehabilitation 2012 adalah: serangkaian
kegiatan terkoordinasi yang ditujukan
bagi penderita penyakit kardiovaskular,
agar mereka memahami dan menghindari
faktor risiko penyakitnya, serta
mendorong dan mendukung mereka
untuk mencapai dan mempertahankan
kondisi kesehatan fisik, mental, sosial
yang optimal. Dengan demikian mereka
mampu hidup mandiri di masyarakat
lingkungannya, serta mampu
memperbaiki pola hidupnya sehingga
dapat menghambat progresilitas
penyakitnya, memperbaiki kondisi
jantungnya dan mencegah terjadinya
serangan ulangan. Guna mencapai tujuan
tersebut diatas, maka program RJ
hendaknya merupakan pelayanan yang
diberikan dengan pendekatan
biopsikososial Multidisiplin, sehingga
pendenta sadar untuk merubah pola
hidupnya dengan mengadopsi pola hidup
sehat secara terus menerus. Bagi
penderita, dukungan pasangan hidup,
keluarga, petugas kesehatan, orang yang
merawat dirinya dan teman-teman di
lingkungannya sangat dibutuhkan.

6.2. Konsep Rehabilitasi Jantung


Secara umum konsep RJ
merupakan rangkaian kegiatan term
berjangka panjang. Kegiatan ini
mencakup: evaluasi medik, penyusun,
program latihan, modifikasi faktor risiko,
edukasi dan konseling, dim intervensi
terhadap pola hidup tidak sehat yang
dijalaninya selama ini antara lain
kebiasaan merokok, pola makan tidak
sehat, jarang berolah raga. Di negara-
negara maju, keluarga selalu
diikutsertakan pada hampir Setiap
tahapan pelaksanaan RJ. Program ini
dicapai melalui intervensi dan promosi
kesehatan jantung pada lingkungan yang
lebih luasdi masyarakat serta lingkungan
tempat tinggal (community and home
bore cardiac rehabilitation), melalui
program yang dikenal sebagai “Pain and
Family Education”. Nannet K Wenger
dan Halllerstein (1999), pakar rehabilitasi
terkemuka di Amerika Serikat
menyatakan bahwa: “Cardin
Rehabilitation begin with complete
diagnosis, continuing with Exercise
Program, but Patient and Family
Education became a key factor”. Oleh
karena itu, konsep RJ lebih ditonjolkan
sebagai upaya pencegahan sekunder
melalui edukasi terhadap pasien
disamping meningkatkan kapasitas
fungsionalnya, dan sekaligus merupakan
upas? pencegahan primer bagi keluarga
yang belum terkena penyakit jantung
Sebenarnya program RJ sudah dimulai
sejak penderita mav] dalam perawatan
intensif di rumah sakit, dilanjutkan secara
benahi sepakat penderita sudah menjalani
perawatan biasa di rumah akil kemudian
setelah pasien keluar dari rumah sakit.

6.3. Sasaran Program Rehabilitasi


Jantung
Sasaran program RJ adalah
membatasi gangguan psikologi dan
fisiologis pada penderita PJK, sehingga
kematian mendadak atau serangan
jantung berulang dapat dicegah. Upaya
ini dicapai melalui stabilisasi,
pengontrolan gejala, serta upaya
pengendalian terhadap progresivitas
proses aterosklerosis.
Guna mencapai sasaran tersebut diatas,
American Heart Association dan
American Association of Cardiovascular
and Pulmonary Rehabilitation mendorong
pelaksanaan RJ yang disupervisi secara
medik, aman, sesuai dengan pedoman dan
petunjuk pelaksanaan protokol yang baku.
Dengan demikian diharapkan terjadi
peningkatan puncak ambilan oksigen,
perbaikan kondisi otot jantung (iskemia)
dan sekaligus memperbaiki kekuatan otot,
sehingga akhirnya penderita mampu
melaksanakan latihan fisik seperti
sediakala.

6.4. Program Latihan Aras Rendah


Konsep ini dikembangkan di
Australia sejak tahun 1970. Sasaran
latihan adalah kenaikan nadi cukup 20
denyut di atas denyut istirahat. ternyata
program latihan ini memberikan hasil
yang sama baiknya dengan program RJ
aras tinggi (high level exercise program).
Keunggulannya: tidak diperlukan
monitoring yang ketat terhadap peserta,
dan aman bagi peserta dengan risiko
tinggi seperti pasien gagal jantung
kongestif, kardiomiopati dengan fungsi
ventrikel yang buruk dan pasien berisiko
lainnya. Karena murah dan efektif, WHO
menganjurkan penerapan program ini
dalam “Community Based Cardiac
Rehabilitation terutama di negara-negara
berkembang. Rehabilitasi jantung
berbasis komunitas ini dapat dilaksanakan
di HIlgkungan Puskesmas, oleh petugas
setempat. Sudah tentu diperlukan
Pelatihan khusus sebelumnya,
menyangkut konsep RJ, pelaksanaan
“penyusunan program RJ dan sebagainya.

6.5. Komponen Utama Rehabilitasi


Dan Pencegahan
 Untuk mencapai sasaran perlu
disusun target,antara lain :
 Pencapaian target pengontrolan
faktor risiko
 Pengembangan pola hidup sehat serta
penanganan keluhan-keluhan yang
muncul
 Pengurangan kecacatan/kerusakan
organ (perluasan infark, dan
sebagainya)
 Menanamkan sikap hidup sehat dan
kebiasaan berolahraga
 Program khusus pengendalian
emosi/sikap hidup sehat dari
ketergantungan secara fungsional,
terutama bagi lansia.Hal-hal tersebut
di atas perlu dikembangkan dan
dijalani seem: teng menerus,
sehingga benar-benar menjadi sikap
“hidup baru” bag setiap penderita.

6.6. Hal Yang Diperlukan Untuk


Pencapaian Program Rehabilitasi
Jantung
 Tentukan kondisi peserta program
 Penting sebagai data awal bagi
peserta, antara lain:
 Diagnosis terakhir/terkini termasuk
laporan medik serta Program latihan
yang pernah dijalani Adanya
penyakit penyerta/komorbiditas
 Profil faktor risiko
 Data-data pemeriksaan fisik dan
EKG
 Tingkat kualitas hidup secara umum
 Konseling status gizi peserta \
 Indeks kalori harian daftar diet
sehari-hari kebiasaan diet yang ingin
dicapai Modifikasi pola makan sehari-
hari , data di atas penting, karena nantinya
akan merupakan bagin program
RJ/pencegahan sekunder. Dalam
pelaksanaan latihan petit ditekankan
keikutsertaan masyarakat, karena
kenyataannya hann sedikit sekali
penderita yang dapat meneruskan
program di mual sakit karena
keterbatasan biaya, waktu, transportasi,
tidak adanya pendamping, dan tidak
adanya pembiayaan khusus dari pihak
asuransi. Di Amerika Serikat yang sudah
demikian maju, hanya 10-20% sajadtl
penderita yang dapat ikut dalam program
rehabilitasi lanjut di rumup sakit karena
keterbatasan-keterbatasan tersebut diatas.
Oleh karenanya konsep RJ berbasis
komunitas dan berbasis lingkungan
rumah (Home based and Community
based Cardiac Rehabiilitasion Program)
di dikembangkan Program semacam ini
akan selalu berkoordinasi den! Puskesmas
dan dokter keluarga di lingkungan
domisili penilai, maupun rumah sakit
tempat penderita pernah menjalani
program RJ sebelumnya.

6.7. Program Berbasis


Rumah/Komunltas
Program ini merupakan lanjutan
program RJ yang sebelumnya di Rumah
sakit. Pelaksanaannya sedapat mungkin
mengikuti pedoman yang sudah baku,
termasuk pemantauan denyut nadi latihan,
gun darah sebelum dan sesudah latihan
(menggunakan tensimeter digital). Di
negara maju, evaluasi EKG juga bisa
dilaksanakan melalui fasilitas
“Transtelephonic ECG”, bekerja sama
dengan rumah sakit/ fasilitas kesehatan
terdekat yang mempunyai fasilitas
tersebut. Pelaporan/pencatatan latihan
meliputi: nadi, tekanan darah serta
keluhan keluhan yang muncul sebelum
dan sesudah latihan. Untuk keperluan
tersebut digunakan buku khusus untuk
latihan di rumah yang memang tersedia di
instalasi RJ dan akan dilaporkan pada saat
peserta program berkonsultasi dengan tim
RJ atau saat berkonsultasi kedokter
keluarga. Laporan ini sangat berguna
dalam mengevaluasi kemajuan program
latihan penderita. Keberadaan Klub
Jantung Sehat (KJS) di berbagai wilayah
kecamatan atau di kelurahan tentunya
akan sangat menguntungkan. Umumnya
klub-klub ini telah mandiri dan
mempunyai pelatih yang udah pernah
mendapat pelatihan tentang prinsip-
prinsip dasar latihan. Pemantauan denyut
nadi dan tekanan darah, serta keluhan-
keluhan yang berhubungan dengan
gangguan jantung. Para dokter yang
berpraktek tinggal di wilayah latihan KJS
diharapkan bisa ikut berpartisiasi. Mereka
diajarkan konsep “Home based dan
community based Cardiac rehabilitation
program ”. Latihan umumnya
dilaksanakan disekitar rumah penderita,
dan biasanya dilakukan pagi hari sebelum
berangkat kerja. Penderita diminta
mengisi buku pelaksanaan latihan untuk
dilaporkan ke dokter di instalasi RJ
rumah sakit ataupun dokter keluarga;
disertai dengan Transtelephonic ECG
kalau ada.
Pada saat saat "tertentu latihan
dapat dipantau oleh tim dari RJ rumah
sakit melalui program kunjungan ke
rumah atau lokasi latihan. Tim ini bersifat
multidisiplin, terdiri atas: terapis fisik
(physical therapist), terapis vokasional
(vocasional therapist), pekerja sosial
(social worker) dan tenaga bantuan rumah
(home aid) yang terlatih.Evaluasi
dilaksanakan dengan memantau langsung
pelaksanaan kita tertusuk cara memantau
nadi. tekanan darah, EKG (bila ada)
keluhan-keluhan selama latihan, dan
evaluasi terhadap latihan ya sudah
dilaksanakan. Dari hasil laporan, dapat
disusun target dan rekomendasi latihan
selanjutnya. Selain itu, pemantauan
kunjungan ini dimanfaatkan untuk
memberi edukasi dan konseling sebagai
upaya pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya perburukan kondisi penderita
atau serangan jantung berulang
(pencegahan sekunder).

6.8. Kesimpulan
Rehabilitasi jantung (RJ) bagi
penderita penyakit jantung khususnya
penyakit jantung koroner merupakan
rangkaian program yang meliputi:
a. latihan fisik terstruktur,
b. edukasi, dan konseling,
c. pengendalian berbagai faktor risiko
serta
d. dorongan untuk berperilaku hidup
sehat. Rehabilitasi jantung berbasis
lingkungan rumah dan lingkungan
masyarakat (homebased and
communioa-based) merupakan
pilihan yang tepat, guna menjamin
kesinambungan program RJ bagi
setiap penderita penyakit jantung
koroner, agar mereka mampu hidup
mandiri di lingkungannya.

Daftar Pustaka

1. Saptawati, L.Bersahabat
dengan Penyakit Jantung.
Yogyakarta : Penerbit
Kanisius ; 2009.
2. Damayanti Y. Hubungan
Asupan Lemak Dan Serat
Dengan Kejadian
Hiperkolesterolemia Pada
Guru SD Negeri Di
Kecamatan Nanggalo Kota
Padang Tahun 2015:
Poltekkes Kemenkes Padang;
2015.
3. Liu, J., C. Sempos, and R.P.
Donahue. 2005. Joint
distribution of non-HDL and
LDL cholesterol and coronary
heart disease risk prediction
among individuals with and
without diabetes, Diabetes
Care, Vol. 28, USA, August 8,
28: 1916-1921.

4. Sugondo, S. Obesitas. In:


Sudoyo, A. W., B.
Setiyohadi, I. Alwi, M.
Simadibrata. K., dan S.
Setiati, editors. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta : FKUI
;2007.

00O00

BAB VII
PENCEGAHAN
PRIMER
PENYAKIT
ATERIOSKLERO
SIS

Sejak tahun 1900 diketahui bahwa


penyakit kardiovaskular (PKV)
aterosklerosis, diantaranya penyakit
jantung koroner (PJK) dan stroke
merupakan penyebab kematian tertinggi
di negara industri. Sejak 1981 sampai
2004, di Amerika Serikat dan kebanyakan
negara maju angka kematian PKV telah
menurun secara nyata, dan diperkirakan >
50% nya akibat dari usaha pencegahan
dalam mengontrol faktor risiko. Penyakit
kardiovaskular aterosklerosis sebenarnya
merupakan penyakit yang ideal untuk
dilakukan usaha pencegahan.
7.1.Faktor-faktor yang menyebabkan
Aterosklerosis merupakan penyakit
yang ideal untuk dilakukan tindakan
pencegahan:
1. Insiden yang tinggi
2. Dapat dimodifikasi dengan gaya
hidup
3. Penyakit dengan periode laten yang
panjang
4. Waktu yang singkat antara timbulnya
gejala dan disabilitas
5. Kematian mendadak: manifestasi
yang sering terjadi
6. Tatalaksana yang ada saat ini tidak
bisa mengobati penyakit yang
mendasarinya
7. Tatalaksana penyakit akut berkaitan
dengan biaya dan beban masyarakat
yang besar

The Framingham Heart Study


Mengidentifikasi bahwa merokok,
tekanan darah tinggi, dan kadar kolesterol
tinggi merupakan faktor risiko yang
utama. Selain itu, penelitian
INTERHEART mengidentifikasi 9 faktor
risiko yaitu, dislipidemia, merokok,
diabetes, hipertensi, obesitas sentral,
stress psikososial, diet yang buruk,
inaktifitas fisik dan konsumsi alkohol,
merupakan 90% risiko untuk terjadinya
infark miokard yang pertama. World
Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa 80% Penyakit
Jantung Koroner yang prematur
sebenarnya dapat dicegah dengan
melalukan penilaian yang menyeluruh
dan pengelolaan dari faktor-faktor risiko
tersebut. Kelompok dengan faktor risiko
rendah biasany memiliki gaya hidup yang
sehat. Data dari nurse Health Study,
menyarankan perempuan untuk menjaga
berat badan ideal, diet makanan sehat,
exercise yang teratut, tidak merokok
karena dapat menurunkan risiko sebesar
84%, namun hanya 3 % perempuan dalam
studi ini yang termasuk dalam kategori
tersebut. Sebenernya sudah lama terbukti
bahwa sebagian besar penyebab PKV
sudah diketahui dan dapat dimodifikasi.
Keberhasilan kardiologi preventu
diartikan sebagai terdapatnha penurunan
dari angka kemauan karena penyakit
kardiovaskular, dan pencegahan dari
kejadian penyakit kardiovaskular yang
tidak fatal. Sebagian besar dan perbaikan
angka kematian penyakit kardiovaskular
sejak 1960 adalah sebagai hasil dan usaha
pencegahan bukan karena hasil
pengobatan atau Intervensi fase akut
akibat penyakit kardiovaskular.

7.2. Tingkatan Usaha Pencegahan


Usaha pencegahan dibagi menjadi 3
tingkatan, yaitu, pencegah: primordial.
pencegahan primer. dan pencegahan
sekunder. Masing-masing mempunyai
populasi target yang berbeda.

a) Pencegahan Primordial
Pada tahun l978. Strasser pertama
kali memperkenalkan istilah Pencegahan
primordial, yang menggambarkan segala
upaya untuk mencegah faktor risiko PKV
di masyarakat, Pencegahan primordial
memerlukan kebijakan yang
mempengaruhi pola makanan, tujuan
pendidika, dan lingkungan. Contohnya
adalah dengan mengurangi makanan yang
mengandung lemak trans dan lemak jenuh
untuk mengurangi kadar kolesterol total,
tersedianya tempat berolahraga yang
mudah di akses masyarakat, membatasi
tempat merokok, dll Keuntungan
pencegahan primordial dibandingkan
dengan yang lain adalah intervensi
dilakukan sebelum terjadinya faktor
risiko. Pencegahan primordial dapat
langsung diterapkan pada populasi
masyarakat tanpa perlu melakukan seleksi
meng identifikasi orang yang akan
mengalami peningkatan risiko.
Pencegahan primordial memberikan
kemungkinan penurunan angka kemanan
yang lebih besar yang bisa dicapai
dibandingkan dengan pencegahan primer
dan pencegahan sekunder. Oleh karena
itu, upaya pencegahan primordial
tampaknya akan menghasilkan
keuntungan jangka panjang yang jauh
lebih besar.

b) Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan
segala upaya yang dilakukan guna
mencegah kejadian yang tidak
menguntungkan pada individu atau
sejumlah orang yang sudah mempunyai
faktor risiko PKV, seperti kejadian infark
miokard dan stroke. Seringkali pada
orang-orang tersebut diperlukan
intervensi gaya / pola hidup, termasuk
diet dan exercise, dan pemberian obat
yang bertujuan memperbaiki atau
mengontrol faktor risiko yang ada
(hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes).
Hal utama yang menguntungkan
pada pencegahan primer adalah
kemampuan untuk memberi pengobatan
pada individu dengan risiko tinggi
sebelum timbulnya PKV secara klinik
sesuai individu tersebut. Tidaklah
mengherankan bila individu yang
memperoleh pencegahan primer lebih
dapat menerima terhadap modifikasi
faktor risiko. Disamping itu, ada hal yang
kurang menguntungkan bila difokuskan
hanya pada pecegahan primer karena
pencegahan primer memerlukan skrining
populasi dalam jumlah yang besar untuk
mengidentifikasi individu dengan risiko
yang cukup untuk tuntutan pemberian
Pengobatan. Hal ini tentu akan
memerlukan biaya yang besar. Hal lain
yang kurang menguntungkan adalah
strategi pencegahan primer mungkin
hanya memperlambat atau menghambat
timbulnya penyakit.

Upaya pencegahan Primer


diantaranya:
 Lakukan penilaian faktor risiko
kardiovaskular mulai usia 20
tahun, diulang setiap 5 tahun.
 Lakukan penghitungan skor risiko
kardiovaskular sejak usia 45 tahun
pada perempuan dan usia 35 tahun
pada laki-laki, diulang 5 tahun
sekali.

c) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder terdiri dari
upaya untuk mencegah kejadian dan
kematian PKV pada pasien yang sudah
terbukti menderita PKV aterosklerotik.
Segala upaya tersebut terutama
melibatkan pola hidup individu, obat
untuk mengurangi risiko, dan rehabilitasi
kardiovaskular Salah satu contoh
pencegahan sekunder seperti penggunaan
aspirin; dikatakan dapat mengurangi
kejadian trombotik pada pasien PKV,
SKRINING SKOR RISIKO
KARDIOVASKULAR (KV) Dari
panduan American Heart Association
(AHA) / American College of Cardiology
(ACC) skrining dianjurkan pada usia 45
tahun pada perempuan, dan 35 tahun pada
laki-laki dengan mempergunakan
Framingham Risk Score (lampiran). Pada
chart untuk menghitung Skor risiko
diperlukan data usia, jenis kelamin,
tekanan darah sistolik, status merokok,
kadar kolesterol total/LDL dan HDL
kolesterol. Setelah dihitung dan dijumlah
dengan mempergunakan tabel
Framingham Risk Score, maka akan
diperoleh angka persentase. Bila angka
20% termasuk risiko tinggi untuk
kejadian penyakit jantung koroner (PJK)
dalam 10 tahun mendatang. Selain
Framingham Score, ada pula Euro Score,
atau Jakarta Kardiovascular Score
(Jakvas). Perbedaannya adalah pada Euro
Score end point nya adalah perkiraan
kematian 10 tahun mendatang, sedangkan
Jakvas tidak memasukkan unsur lipid,
tapi diganti dengan aktifitas fisik dan
diabetes melitus (DM) dari pemeriksaan
urine atau riwayat menggunakan obat DM
dan endpoint nya sama dengan
Framingham. Disarankan untuk dilakukan
aplikasi pemakaian Jakvas pada populasi
yang lebih luas. Tabell menggambarkan
panduan untuk mengidentifikasi dan
menilai faktor risiko yang dapat
dimodilikasi. Data dasar dari studi
Framingham telah dipergunakan secara
luas, walau mungkin akan terdapat sedikit
perbedaan tergantung dari suku dan
kelompok etnik.

Daftar Pustaka
1. Tanuwidjojo, S., dan S.
Rifky. Atherosklerosis From
Theory to Clinical Practice :
Naskah Lengkap Cardiology.
Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
;2003.

2. Adib, M.Cara Mudah


Memahami dan Menghindari
Hipertensi Jantung dan
Stroke.Yogyakarta :
Dianloka Pustaka Populer
;2009.

3. Sitorus, R.H. Jenis Penyakit


Pembunuh Utama Manusia.
Bandung : Penerbit Yrama
Widya ;2008.

4. Saptawati, L.Bersahabat
dengan Penyakit Jantung.
Yogyakarta : Penerbit
Kanisius ; 2009.

5. Maulana, M. Penyakit
Jantung : Pengertian,
Penanganan ,dan
Pengobatan. Yogyakarta :
Penerbit KataHati ;2008.

00O00
BAB
VIII
GAYA HIDUP

2.1. Gaya Hidup (Life Style)

Gaya hidup adalah pola hidup


seseorang di dunia yang diekspresikan
dalam aktivitas, minat, dan opininya
Sedangkan menurut Assael (1984), gaya
hidup menggambarkan “keseluruhan diri
seseorang” dalam berinteraksi dengan
lingkungannya (Kotler, 2002). Sedangkan
menurut Assael (1984), gaya hidup
adalah “A mode of living that is identified
by how people spend their time
(activities), what they consider important
in their environment (interest), and what
they think of themselves and the world
around them (opinions)”. Menurut Minor
dan Mowen (2002), gaya hidup adalah
menunjukkan bagaimana orang hidup,
bagaimana membelanjakan uangnya, dan
bagaimana mengalokasikan waktu. Selain
itu, gaya hidup menurut Suratno dan
Rismiati (2001) adalah pola hidup
seseorang dalam dunia kehidupan sehari-
hari yang dinyatakan dalam kegiatan,
minat dan pendapat yang bersangkutan.
Gaya hidup mencerminkan keseluruhan
pribadi yang berinteraksi dengan
lingkungan. Maka dari itu dapat
disimpulkan bahwa gaya hidup adalah
pola hidup seseorang yang dinyatakan
dalam kegiatan, minat dan pendapatnya
dalam membelanjakan uangnya dan
bagaimana mengalokasikan waktu.
Gaya hidup diartikan dalam WHO
1998 yaitu life style is a way of living
based on identifiable patterns of
behaviour which are determined by the
interplay between an individual’s
personal characteristics, social
interactions, and socioeconomicand
environmental living condition.
Pola pola perilaku (behavioral
patterns) akan selalu berbeda dalam
situasi atau lingkungan sosial yang
berbeda, dan senantiasa berubah, tidak
ada yang menetap (fixed). Gaya hidup
individu, yang dicirikan dengan pola
perilaku individu, akan memberi
dampak pada kesehatan individu dan
selanjutnya pada kesehatan orang lain.
Dalam “kesehatan” gaya hidup
seseorang dapat diubah dengan cara
memberdayakan individu agar merubah
gaya hidupnya, tetapi merubahnya
bukan pada si individu saja, tetapi juga
merubah lingkungan sosial dan kondisi
kehidupan yang mempengaruhi pola
perilakunya. Harus disadari bahwa tidak
ada aturan ketentuan baku tentang gaya
hidup yang “sama dan cocok” yang
berlaku untuk semua orang. Budaya,
pendapatan, struktur keluarga, umur,
kemampuan fisik, lingkungan rumah dan
lingkungan tempat kerja, menciptakan
berbagai “gaya” dan kondisi kehidupan
lebih menarik, dapat diterapkan dan
diterima (Ari, 2010).
Gaya hidup merupakan gambaran
bagi setiap orang yang mengenakannya
dan menggambarkan seberapa besar
nilai moral orang tersebut dalam
masyarakat disekitarnya. Atau juga,
gaya hidup adalah suatu seni yang
dibudayakan oleh setiap orang. Gaya
hidup juga sangat berkaitan erat dengan
perkembangan zaman dan teknologi.
Semakin bertambahnya zaman dan
semakin canggihnya teknologi, maka
semakin berkembang luas pula
penerapan gaya hidup oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti
lain, gaya hidup dapat memberikan
pengaruh positif atau negatif bagi yang
menjalankannya, tergantung pada
bagaimana orang tersebut menjalaninya.
Dewasa ini, gaya hidup sering
disalahgunakan oleh sebagian besar
remaja. Apalagi para remaja yang
berada dalam kota Metropolitan. Mereka
cenderung bergaya hidup dengan
mengikuti mode masa kini. Tentu saja,
mode yang mereka tiru adalah mode
dari orang barat. Jika mereka dapat
memfilter dengan baik dan tepat, maka
pengaruhnya juga akan positif. Namun
sebaliknya, jika tidak pintar dalam
memfilter mode dari orang barat
tersebut, maka akan berpengaruh negatif
bagi mereka sendiri (Siti Nurhasanah,
2009).
Gaya hidup homoseksual adalah pola
hidup seorang homoseksual yang
memiliki orientasi seksual menyimpang
yaitu saling berinteraksi seksual antar
sesama jenis, bahkan sampai melakukan
hubungan seksual, seperti kaum
homoseksual biasanya memiliki
perkumpulan di tempat-tempat tertentu
yang sudah disepakati mereka,
perkumpulan ini biasa disebut arisan
kaum homoseksual, sedangkan kegiatan
lain yang dilakukan kaum homoseksual
adalah pergi ketempat olah raga untuk
membentuk tubuh, karena homoseksual
ini sangat peduli dengan penampilan.
Kaum homoseksual ini juga sangat dekat
dengan kegiatan hura-hura dimana
mereka berpesta dengan sesama kaum
homoseks, hura-hura ini juga disertai
dengan minuman keras sehingga hal ini
akhirnya membawa mereka melakukan
hubungan seksual melalui anus, dan hal
ini sering mereka lakukan dengan
memakai alat pelumas untuk
menghindari perlukaan didaerah anus.
Selain alat pelumas kaum homoseksual
juga selalu memakai kondom untuk
menghindari Penyakit Menular Seksual
(PMS) diataranya HIV, AIDS, Hepatitis,
Sifilis, Gonorheae, Herpes dan masih
banyak lagi jenis penyakit menular
lainnya

8.1. Definisi Gaya Hidup


Gaya hidup secara luas didefinisikan
sebagai cara hidup yang
diidentifikasikan oleh bagaimana
seseorang menghabiskan waktu mereka
(aktivitas), apa yang mereka anggap
penting dalam lingkungannya
(ketertarikan), dan apa yang mereka
pikirkan tentang diri mereka sendiri dan
juga dunia disekitarnya (pendapat).
Gaya hidup suatu masyarakat akan
berbeda dengan masyarakat yang
lainnya. Bahkan dari masa ke masa gaya
hidup suatu individu dan kelompok
masyarakat tertentu akan bergerak
dinamis. Gaya hidup pada dasarnya
merupakan suatu perilaku yang
mencerminkan masalah apa yang
sebenarnya ada di dalam alam pikir
pelanggan yang cenderung berbaur
dengan berbagai hal yang terkait dengan
masalah emosi dan psikologis
konsumen.

1. Gaya hidup adalah konsep yang lebih


kontemporer, lebih komprehensif, dan
lebih berguna daripada kepribadian.
Karena alasan ini, perhatian yang besar
harus dicurahkan pada upaya memahami
konsepsi atau kata yang disebut Gaya
hidup, bagaimana gaya hidup diukur, dan
bagaimana gaya hidup digunakan. Gaya
hidup didefinisikan sebagai pola di mana
orang hidup dan menghabiskan waktu
serta uang. Gaya hidup adalah fungsi
motivasi konsumen dan pembelajaran
sebelumnya, kelas sosial, demografi, dan
variabel lain. Gaya hidup adalah konsepsi
ringkasan yang mencerminkan nilai
konsumen.

2 . Gaya hidup hanyalah salah satu cara


untuk mengelompokkan konsumen secara
psikografis. Gaya hidup (Life style) pada
prinsipnya adalah bagaimana seseorang
menghabiskan waktu dan uangnya. Ada
orang yang senang mencari hiburan
bersama kawan-kawannya, ada yang
senang menyendiri, ada yang bepergian
bersama keluarga, berbelanja, melakukan
aktivitas yang dinamis, dan ada pula yang
memiliki dan waktu luang dan uang
berlebih untuk kegiatan sosial-
keagamaan. Gaya hidup dapat
mempengaruhi perilaku seseorang dan
akhirnya menentukan pilihan-pilihan
konsumsi seseorang. Memahami
kepribadian tidaklah lengkap jika tidak
memahami konsep gaya hidup. Gaya
hidup adalah konsep yang lebih baru dan
lebih mudah terukur dibandingkan
kepribadian. Gaya hidup didefinisikan
sebagai pola di mana orang hidup dan
menggunakan uang dan waktunya.

8.2. Pengertian Gaya hidup sehat


8.2.1. Gaya hidup sehat
Gaya hidup sehat adalah suatu
pilihan sederhana yang sangat tepat untuk
dijalankan. Hidup dengan pola makan,
pikiran, kebiasaan dan lingkungan yang
sehat. Sehat dalam arti kata mendasar
adalah segala hal yang kita kerjakan
memberikan hasil yang baik bagi tubuh.
8.2.2. Pengertian Pola Hidup Sehat

Menurut Ahli: Menurut Kotler, pola


hidup sehat yaitu gambaran dari aktivitas
/ kegiatan yang di dukung oleh minat,
keinginan dan bagaimana pikiran
menjalaninya dalam berinteraksi dengan
linkungan. Tentunya terhadap hal-hal
baik. Dari pengertian di atas dapat
diartikan bahwa gaya hidup sehat
adalah adalah suatu pilihan yang sangat
tepat untuk kelangsungan hidup kita,
sedangkan pola hidup sehat adalah jalan
yang harus ditempuh untuk memperoleh
fisik yang sehat secara jasmani maupun
rohani. Jadi gayahidup sehat adalah
proses untuk mencapai pola hidup sehat.

8.3. Keuntungan Bergaya Hidup Sehat

Merasa tenteram, aman dan nyaman


Memiliki rasa percaya diri, hidup
seimbang, tidur nyenyak Berpenampilan
lebih sehat dan ceria Sukses dalam
pekerjaan
Menikmati kehidupan sosial dilingkungan
keluarga, handai taulan dan tetangga.

8.4. Pola Hidup Sehat


Ada beberapa langkah yang harus
diperhatikan dan dijalani untuk mencapai
pola hidup sehat, diantaranya adalah
konsumsi makanan, olah raga, istirahat,
kualitas udara, dan pribadi yang kuat.
1. Konsumsi Makanan
Konsumsi makanan yang memenuhi
standar kesehatan yaitu makanan yang
harus bisa memenuhi kebutuhan tubuh.
Namun belu banyak yang memerhatikan
tentang makanan, bahkan banyak
makanan yang berbahaya bagi kesehatan
sangat diminati, seperti makanan yang
mengandung pengawet, makanan cepat
saji/makanan instan. Orang-orang zaman
dahulu cenderung lebih panjang umurnya
daripada di zaman sekarang, hal ini
disebabkan karena mereka mengkonsumsi
makanan-makanan segar, dan tanpa bahan
kimia. Ini merupakan contoh penting
betapa bahan kimia sangat merusak
kesehatan kita.
2.Olahraga
Olahraga adalah kegiatan yang mudah
dilakukan tetapi banyak yang
mengabaikannya, padahal olahraga
merupakan sumber kesehatan bagi
seluruh tubuh. Olahraga yang teratur
memberikan banyak manfaat bagi
kesehatan tubuh, seperti akan lebih giat,
menurunkan tekanan dara tinggi,
menguatkan tulang-tulang, meningkatkan
HDL(kolesterol yang baik), mencegah
kencing manis, menurunkan resiko
kanker, mengurangi stress dan depresi,
dan juga akan memberikan kebugaran.
3. Istirahat Yang Cukup
Istirahat yang cukup diperlukan untuk
memulihkan diri dari kelelahan dan
memberikan cukup waktu bagi tubuh
untuk mengembalikan tenaga yang telah
dipakai. Di sini jelas terdapat perbedaan
yang sangat menonjol, kita di masa kini
lebih sering bekerja hingga lupa waktu
untuk istirahat atau bahkan sampai
minum minuman penambah energi
(suplemen).
4. Menciptakan Udara Yang Bersih
Bagi yang tinggal di daerah pedesaan
tentunya udara yang bersih bukan
merupakan hal yang sulit, namun bagi
yang tinggal di daerah perkotaan perlu
melakukan pengndalian terhadap
kebersihan udara, paling tidak menanam
pohon di sekitar rumah.
5. Pribadi Yang Kuat
Pribadi yang kuat juga sangat erat
kaitannya dengan kesehatan secara
menyeluruh. Pribadi yang kuat berarti
mampu mengendalikan keseluruhan
aktifitas hidupnya. Diantaranya
kepribadian untuk pantang
mengkonsumsi apapun yang bersifat
merusak, seperti tembakau, alkohol,
narkoba, makanan yang mengandung
pengawet dll.
A. DEFINITIONS

A healthy lifestyle is a very


appropriate choice for a simple run.
Living with diet, thoughts, habits and
healthy environment. Healthy in a
fundamental sense of the word are all
things that we do provide good results for
the body. According to Definition
Healthy Lifestyle Expert: According to
Kotler, a healthy lifestyle is an overview
of the activity / activities supported by the
interest, desire and how to live in the
mind interacts with the surroundings.
Surely the good things. From the
definition above can be interpreted that a
healthy lifestyle is is a very appropriate
choice for our survival, whereas a healthy
lifestyle is the way to go to get physically
healthy physically and spiritually. So a
healthy lifestyle is a process to achieve a
healthy lifestyle.
B. Gain Healthy Life Style
Feel peaceful, safe and convenient
Having self-confidence, life balance,
sleep soundly Able healthier and cheerful
Success in work environment Enjoy
social life family, and neighbors
companion taulan

C. Healthy Living Patterns


There are several steps that must be
undertaken to achieve a healthy lifestyle,
including the consumption of food,
exercise, rest, air quality, and a strong
personal.
1. Consumption of Food
Consumption of foods that meet the
health standards which are foods that
should be able to meet the body’s needs.
However speckle much attention on food,
even foods that are harmful to health is in
high demand, such as foods that contain
preservatives, fast food / instant food.
People of old age tend to be longer than
in the present age, this is because they
consume fresh foods, and without
chemicals. This is an important example
of how chemicals are very damaging to
our health.
2. Sport
Sport is an activity that is easy to do but
many ignore it, but the sport is a source of
health for the entire body. Regular
exercise provides many benefits for
health, as will be more active, virgin high
pressure, strengthen bones, increase HDL
(good cholesterol), prevents diabetes,
lowers the risk of cancer, reduce stress
and depression, and also will provide
fitness.
3. Enough Rest
Adequate rest is needed to recover from
fatigue and provide enough time for the
body to restore energy that has been used.
It is clear there is very prominent, we are
at present more often worked up to forget
the time to rest or even to drink energy
drinks (supplement).
4. Creating the Clean Air
For those who live in rural areas of clean
air certainly is not a difficult thing, but for
those who live in urban areas need to
pengndalian the cleanliness of the air, at
least not to plant trees around the house.

5. Personal Strong
Strong personal also is closely associated
with overall health. Strong personal
means being able to control the overall
activities of his life. Among personality
for abstinence consume anything that is
destructive, such as tobacco, alcohol,
drugs, foods containing preservatives etc..

8.2. Modifikasi Gaya Hidup Untuk


Mencegah dan Menangani
Hipertensi

Anjuran terapi tekanan darah


tinggi adalah modifikasi gaya hidup
selain terapi dengan obat. Termasuk
dalam modifikasi gaya hidup dalam
penurunan berat badan, penerapan diet
kombinasi, reduksi asupan garam,
aktivitas fisik yang teratur, dan
pembatasan asupan alkohol. Selain itu
berhenti merokok juga dianjurkan untuk
mengurangi resiko kardiovaskular secara
keseluruhan. Masing-masing mempunyai
efek penurunan tekanan darah yang
berperan pada pencegahan komplikasi
hipertensi dan bila dijalankan secara
bersamaan akan mempunyai efek
penurunan tekanan darah yang lebih
nyata.

8.2.1. Harapan Sehat


Tekanan darah yang diharapkan
tercapai adalah <140/90 mmHg. Pada
pasien dengan tekanan darah tinggi,
diabetes, atau penyakit ginjal, target
terapi adalah tekanan darah <130/80
mmHg. Perhatian utama ditujukan
terhadap tekanan darah sistolik, karena
kebanyakan penderita dengan tekanan
darah tinggi terutama mereka yang
berumur lebih dari 50 tahun, akan
mencapai tekanan darah dialostik yang
diinginkan apabila tekanan darah sistolik
tercapai.
8.2.2. Penurunan Berat Badan
Kelebihan berat badan
didefinisikan oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1998
dengan menggunakan indeks massa
tubuh. Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat
dihitung dengan menggunakan rumus
berat badan dalam kilogram dibagi
kuadrat tinggi badan dalam meter.
Menurut WHO, IMT yang ideal berada
diantara 18,5 dan 25 kg/m2. IMT>25
kg/m2 didefinisikan sebagai kelebihan
berat badan, dari >30 kg/m2 disebut
sebagai penderita obesitas. Ukuran
lingkar perut/pinggang juga memegang
peranan penting, dari >88cm pada wanita
dan >102 pada pria berkaitan dengan
resiko terkena penyakit metabolik dan
jantung> Resiko relative terhadap faktor
resiko yang berhubungan dengan obesitas
akan meningkat dengan nilai yang
melebihi luas lingkar yang disebut di atas.
WHO melalui International Association
for the Study of Obesity untuk kawasan
Pasifik Barat mengajukan proposal
klasifikasi berat badan dengan
menggunakan IMT orang Asia.
Penurunan berat badan sebanyak 5-10%
dari berat badan awal berkaitan dengan
reduksi tekanan darah, kadar lemak dan
mortalitas. Penurunan berat badan
sebanyak 5,1 kg menurunkan tekanan
darah sistolik sebanyak 4,44 mmHg
dengan tekanan darah diastolik sebanyak
3,57 mmHg. Setiap kilogram penurunan
berat badan menurunkan tekanan darah
sistolik sebanyak 1,05 mmHg dan
diastolik 0,92 mmHg. Pada perempuan
dengan penyakit yang berhubungan
dengan berat badan, penurunan berat
badan berkaitan dengan penurunan
mortalitas sebanyak 20% akibat semua
sebab dan 30-40% akibat penyakit yang
berhubungan dengan diabetes.
8.2.3. Anjuran Strategi Penurunan
Berat Badan

Faktor yang berperan penting


dalam menurunkan berat badan adalah
motivasi dan perilaku. Penurunan berat
badan yang dianjurkan untuk tahap awal
adalah 10% dari berat badan awal. Jangka
waktu untuk melakukan hal tersebut
adalah 6 bulan. Setelah 6 bulan, biasanya
penurunan berat badan menurun dan berat
badan akan tetap berada pada garis datar
karena rendahnya atau berkurangnya
penggunaan energy tubuh pada berat
badan yang lebih rendah. Tahap
selanjutnya adalah menjaga kestabilan
penurunan berat badan yang sudah
dicapai sehingga tidak terjadi kenaikan
berat badan kembali.

8.2.4. Diet Kombinasi, Reduksi Asupan


Garam dan Tekanan Darah

Diet kombinasi adalah diet yang


kaya akan buah, sayuran dan produk-
produk rendah lemak serta mempunyai
jumlah lemak tersaturisasi, lemak total,
dan kolesterol yang lebih rendah. Diet ini
menyediakan kalium, magnesium dan
kalsium seiring dengan jumlah serat dan
protein yang tinggi. Pole diet tesebut
menurut hasil studi menunjukkan
penurunan tekanan darah secara
signifikan. Pengurangan asupan garam
menurunkan tekanan darah sistolik pada
kohort tanpa hipertensi dan kohort dengan
hipertensi.

8.2.5. Aktivitas Fisik dan Tekanan


Darah

Peranan mekanisme kerja otot pada saat


melakukan aktivitas fisik sangatlah
penting. Besarnya penurunan resistensi
tergantung pada beban atau aktivitas yang
dilakukan. Semakin besar beban yang
dilakukan, semakin besar pula ketegangan
otot dan tekanan darah pada pembuluh
darah intramuskular. Penderita tekanan
darah tinggi dianjurkan untuk melakukan
aktivitas yang mementingkan dinamisme
dan daya tahan tubuh seperti lari, renang,
dan bersepeda. Aktivitas aerobik
berhubungan dengan penurunan tekanan
darah rata-rata yang signifikan.

8.2.6. Pembatasan Konsumsi Alkohol


dan Berhenti Merokok

Terdapat hubungan yang kuat antara


merokok dan resiko terkena infark
jantung. Setiap peningkatan jumlah rokok
yang dihisap meningkatkan resiko infark
jantung. Berhenti merokok menurunkan
resiko mortalitas akibat semua sebab pada
penderita dengan penyakit jantung
koroner.

Daftar Pustaka

1. Sitorus, R.H.3 Jenis Penyakit


Pembunuh Utama Manusia.
Bandung : Penerbit Yrama Widya
;2008.
2. Saptawati, L.Bersahabat dengan
Penyakit Jantung. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius ; 2009.

3. Davey, P. At a Glance Medicine.


Jakarta : Penerbit Erlangga;2005.

4. Bauters, C., N. Lamblin, E.P.M.


Fadden, E.V. Belle, A. Millare
and P.D Groote. 2003. Influence
of diabetes mellitus on heart
failure risk and outcome,
Cardiovascular Diabetology,
Centre Hospitalier Universitaire de
Little, January 8,1-16.

5. Liu, J., C. Sempos, and R.P.


Donahue. 2005. Joint distribution
of non-HDL and LDL cholesterol
and coronary heart disease risk
prediction among individuals with
and without diabetes, Diabetes
Care, Vol. 28, USA, August 8, 28:
1916-1921.
6. Sugondo, S. Obesitas. In:
Sudoyo, A. W., B. Setiyohadi, I.
Alwi, M. Simadibrata. K., dan S.
Setiati, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta : FKUI ;2007.

7. Yatim, F.Waspadai Jantung


Koroner, Stroke, Meninggal
Mendadak : Atasi Pola Hidup
Sehat. Jakarta : Pustaka Populer
Obor ;2005.

8. https://www.yhschurch.com/gaya-
hidup-sehat-dan-pola-hidup-sehat/

00O00
BAB IX
TERAPI
OKSIGEN

9. 1. Terapi Oksigen

Oksigen pertama kali ditemukan


oleh Yoseph Prietsley di Bristol Inggris
tahun 1775 dan dipakai dalam bidang
kedokteran oleh Thomas Beddoes sejak
awal tahun 1800. Tujuan terapi oksigen
adalah untuk memperbaiki dan mencegah
keadaan hipoksemia, sehingga hipoksia
jaringan dapat dicegah dan dihindari.
Hipoksemia dapat diatasi dengan
meningkatkan fraksi oksigen inspiras.
Beberapa kondisi harus dipenuhi sebelum
melakukan terapi oksigen yaitu diagnosis
yang tepat, pengobatan optimal dan
indikasi, sehingga terapi oksigen akan
dapat memperbaiki keadaan hipoksemia
dan perbaikan klinik. Kriteria pemberian
terapi oksigen dapat dilakukan sebagai
berikut.

1. Pemberian terus
menerus, dilakukan apabila hasil
analisis gas darah saat istirahat
didapatkan nilai:
PaO2 < 55 mmHg atau saturasi <
88%
PaO2 antara 56-59 mmHg atau
saturasi 89% disertai kor pulmonale
atau polisitemia (Ht > 56%).
2. Pemberian berselang, dilakukan
apabila hasil analisis gas darah
didapatkan nilai:
Saat latihan PaO2 < 55 mmHg atau
saturasi < 88%
Saat tidur PaO2 < 55 mmHg atau
saturasi < 88% disertai komplikasi
seperti hipertensi pulmoner,
somnolen dan aritmia.
Pasien dengan keadaan klinik tidak
stabil yang mendapatkan terapi
oksigen perlu dievaluasi analisis gas
darah setelah terapi untuk
menentukan perlu tidaknya terapi
oksigen jangka panjang.

9.2. Definisi Terapi oksigen

Adalah suatu tindakan untuk


meningkatkan tekanan parsial oksigen
pada inspirasi, yang dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan kadar oksigen
inspirasi / FiO2 (Orthobarik ), dan
meningkatkan tekanan oksigen
(Hiperbarik), tujuan dari terapi oksigen
ini adalah untuk meningkatkan
konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga
masuk ke jaringan untuk memfasilitasi
metabolisme aerob, dan mempertahankan
PaO2 > 60 mmHg atau SaO 2 > 90 %.

Indikasi pemberian terapi oksigen


ini adalah pasien hipoksia, oksigenasi
kurang sedangkan paru normal,
oksigenasi cukup sedangkan paru tidak
normal, oksigenasi cukup, paru normal,
sedangkan sirkulasi tidak normal, pasien
yang membutuhkan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi, dan pada pasien
dengan tekanan partial karbondioksida (
PaCO2 ) rendah

Tekhnik pemberian terapi oksigen


ini bisa dengan sistem aliran rendah
seperti, kateter nasal, kanul nasal / kanul
binasal / nasal prong, sungkup muka
sederhana, sungkup muka dengan
kantong rebreathing, dan sungkup muka
dengan kantong non rebreathing. Bisa
juga dengan tekhnik aliran tinggi seperti,
sungkup muka dengan venturi / Masker
Venturi (High flow low concentration),
Bag and Mask / resuscitator manual, dan
Collar trakeostomi. Pemberian terapi
oksigen dapat mengakibatkan kebakaran,
iritasi saluran penapasan, keracunan
oksigen, kejang bahkan sampai koma.
9.3. Pengertian Terapi Oksigen
9.3.1. Definisi Terapi oksigen
adalah memasukkan oksigen
tambahan dari luar ke paru melalui
saluran pernafasan dengan menggunakan
alat sesuai kebutuhan. (Standar Pelayanan
Keperawatan di ICU, Dep.Kes. RI, 2005)
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari
yang ditemukan dalam atmosfir
lingkungan. Pada ketinggian air laut
konsentrasi oksigen dalam ruangan
adalah 21 %, (Brunner & Suddarth,2001)
Sejalan dengan hal tersebut diatas
menurut Titin, 2007, Terapi oksigen
adalah suatu tindakan untuk
meningkatkan tekanan parsial oksigen
pada inspirasi, yang dapat dilakukan
dengan cara: a. Meningkatkan kadar
oksigen inspirasi / FiO2 (Orthobarik ) b.
Meningkatkan tekanan oksigen
(Hiperbarik)
9.3.2. Tujuan Terapi oksigen
a.Meningkatkan konsentrasi O2 pada
darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob
b.Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg
atau SaO2 > 90 % untuk :
Mencegah dan mengatasi hipoksemia
hipoksia serta mmempertahankan
oksigenasi jaringan yang adekuat
Menurunkan kerja nafas dan miokard.
Menilai fungsi pertukaran gas Fi O2
(fraksiat Aliran (L/menit)
9.3.3. Indikasi Terapi oksigen
a. Pasien hipoksia
Hipoksia hipoksik merupakan
masalah pada individu normal pada
daerah ketinggian serta merupakan
penyulit pada pneumonia dan berbagai
penyakit sistim pernafasan lainnya.

b. Gejala dan tanda hipoksia hipoksik:


1. Pengaruh penurunan tekanan barometer
Penurunan PCO2 darah arteri yang terjadi
akan menimbulkan alkalosis respiratorik.
2. Gejala hipoksia saat bernafas oksigen
Di ketinggian 19.200 m, tekanan
barometer adalah 47 mmHg, dan pada
atau lebih rendah dari tekanan ini cairan
tubuh akan mendidih pada suhu tubuh.
Setiap orang yang terpajan pada tekanan
yang rendah akan lebih dahulu meninggal
saat hipoksia, sebelum gelembung uap air
panas dari dalam tubuh menimbulkan
kematian
3. Gejala hipoksia saat bernafas udara
biasa Gejala mental seperti irritabilitas,
muncul pada ketinggian sekitar 3700 m.
Pada ketinggian 5500 m, gejala hipoksia
berat, dan diatas 6100 m, umumnya
seseorang hilang kesadaran.
4. Efek lambat akibat ketinggian Keadaan
ini ditandai dengan sakit kepala,
iritabilias, insomnia, sesak nafas, serta
mual dan muntah.
5. Aklimatisasi Respon awal pernafasan
terhadap ketinggian relatif ringan, karena
alkalosis cenderung melawanefek
perangsangan oleh hipoksia. Timbulnya
asidosis laktat dalam otak akan
menyebabkan penurunan pH LCSdan
meningkatkan respon terhadap hipoksia.
Penyakit yang menyebabkan
Hipoksia Hipoksik Penyakit
penyebabnya secara kasar dibagi atas
penyakit dengan kegagalan organ
pertukaran gas, penyakit seperti kelainan
jantung kongenital dengan sebagian
besar darah dipindah dari sirkulasi vena
kesisi arterial, serta penyakit dengan
kegagalan pompa pernafasan. Kegagalan
paru terjadi bilakeadan seperti fibrosis
pulmonal menyebabkan blok alveoli –
kapiler atau terjadi ketidak seimbangan
ventilasi – perfusi. Kegagalan pompa
dapat disebabkan oleh kelelahan otot-otot
pernafasan pada keadaan dengan
peningkatan beban kerja pernafasan atau
oleh berbagai gangguan mekanik seperti
pneumothoraks atau obstruksi
bronkhialyang membatasi ventilasi.
Kegagalan dapat pula disebabkan oleh
abnormalitas pada mekanisme persarafan
yang mengendalikan ventilasi, seperti
depresi neuron respirasi di medula
oblongata oleh morfin dan obat-obat lain.
Hipoksia Anemik Sewaktu
istirahat,hipoksia akibat anemia tidaklah
berat, karena terdapat peningkatan kadar
2,3-DPG di dalam sel darah merah,
kecuali apabila defisiensi hemoglobin
sangat besar. Meskipun demikian,
penderita anemia mungkin mengalami
kesulitan cukup besar sewaktu
melakukan latihan fisik karena adanya
keterbatasan kemampuan meningkatkan
pengangkutan O2 kejaringan aktif.

Hipoksia Stagnan
Hipoksia akibat sirkulasi lambat
merupakan masalah bagi organ seperti
ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hati
dan mungkin jaringan otak mengalami
kerusakan akibat hipoksia stagnan pada
gagal jantung kongestif. Pada keadaan
normal, aliran darah ke paru-paru sangat
besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka
waktu lama untuk menimbulkan
kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi
erkepanjangan,terutama didaerah paru
yang letaknya lebih tinggi dari jantung

Hipoksia Histotoksik
Hipoksia yang disebabkan oleh
hambatan proses oksidasi jaringan paling
sering diakibatkan oleh keracunan
sianida. Sianida menghambat sitokrom
oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya. Biru metilen atau nitrit
digunakan untuk mengobati keracunan
sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan
sianida, menghasilkan sianmethemog
lobin, suatu senyawa non toksik.
Kemampuan pengobatan menggunakan
senyawa ini tentu saja terbatas pada
jumlah methemoglobin yang dapat
dibentuk dengan aman. Pemberian terapi
oksigen hiperbarik mungkin juga
bermanfaat. b. Oksigenasi kurang
sedangkan paru normal c. Oksigenasi
cukup sedangkan paru tidak normal d.
Oksigenasi cukup, paru normal,
sedangkan sirkulasi tidak normal. e.
Pasien yang membutuhkan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi. f. Pasien
dengan tekanan partial karbondioksida (
PaCO2 ) rendah. Contoh : -Pasien dengan
kadar O2 arteri rendah dari hasil AGD
Pasien dengan peningkatan kerja napas
dimana tubuh terjadi hipoksemia
ditandai dengan PaO2 dan SpO2
menurun. Pasien yang teridentifikasi
hipoksemia contohnya syok dan
keracunan CO. -Pasien dengan
peningkatan kerja miokard, dimana
jantung berusaha untuk mengatasi
gangguan O2 melalui peningkatan laju
pompa jantung yang adekuat.

Beberapa trauma
Terapi ini diberikan dengan orang
yang mempunyai gejala : - Sianosis
Keracunan Hipovolemi
- Asidosis
- Perdarahan
- Selama dan sesudah pembedahan
- Anemia berat
- Klien dengan keadaan tidak sadar

9.4. Kontra Indikasi Tidak ada kontra


indikasi absolut :
a. Kanul nasal / Kateter binasal / nasal
prong : jika ada obstruksi nasal.
b. Kateter nasofaringeal / kateter nasal :
jika ada fraktur dasar tengkorak kepala,
trauma maksilofasial, dan obstruksi nasal.
c. Sungkup muka dengan kantong
rebreathing : pada pasien dengan PaCO2
tinggi, akan lebih meningkatkan kadar
PaCO2 nya lagi.

9.5. Alat – Alat yang diperlukan


a. Kateter nasal.
b. Kanul nasal/binasal/nasal prong
c. Sungkup muka sederhana.
d. Sungkup muka rebreathing dengan
kantong oksigen.
e. Sungkup muka non rebreathing dengan
kantong oksigen.
f. Sungkup muka Venturi
g. Jelly.
h. Plester.
i. Gunting.
j. Sumber oksigen.
k. Humidifier.
l. Flow meter.
m. Aqua steril.
n. Selang oksigen.
o. Tanda dilarang merokok

9.6. Syarat-Syarat Pemberian Oksigen


Meliputi :
1. Dapat mengontrol konsentrasi oksigen
udara inspirasi,
2. Tahanan jalan nafas yang rendah,
3. Tidak terjadi penumpukan CO2,
4. Efisien,
5. Nyaman untuk pasien.
9.7. Pengertian Oksigenisasi
Oksigen merupakan salah satu
kebutuhan yang diperlukan dalam proses
kehidupan karena oksigen sangat
berperan dalam proses metabolisme
tubuh. Kebutuhan oksigen didalam tubuh
harus terpenuhi karena apabila berkurang
maka akan terjadi kerusakan pada
jaringan otak dan apabila berlangsung
lama akan menyebabkan kematian Proses
pemenuhan kebutuhan oksigen pada
manusia dapat dilakukan dengan cara
pemberian oksigen melalui saluran
pernafasan, pembebasan jalan nafas dari
sumbatan yang menghalangi masuknya
oksigen, memulihkan dan memperbaiki
organ pernafasan agar berfungsi secara
normal (Taqwaningtyas, Ficka (2013)
dalam Hidayat dan Uliyah,2005).
Pemberian oksigen berupa pemberian
oksigen ke dalam paru-paru melalui
saluran pernapasan menggunakan alat
bantu oksigen. Pemberian oksigen kepada
klien dapat melalui tiga cara, yaitu
melalui kateter nasal, kanula nasal, dan
masker oksigen . Oksigenasi adalah
memberikan aliran gas oksigen (O2) lebih
dari 21% pada tekanan 1 atmosfer
sehingga konsentrasi oksigen meningkat
dalam tubuh. (Kristina (2013) dalam
Saryono dan Widianti, 2010). Oksigenasi
adalah proses penambahan oksigen
kedalam system kimia dan fisika.
Oksigen (O2) merupakan gas tidak
berwarna dan tidak berbau yang sangat
dibutuhkan dalam proses metabolisme
sel, sebagai hasilnya terbentuklah
karbondioksida ,energy dan air.
Penambahan karbondioksida yang
melebihi batas normal pada tubuh akan
memberikan dampak yang cukup
bermakna terhadap aktivitas sel
(Adityana, Rosi (2012) dalam Mubarak
dan Chayatin, 2007). Sistem pernapasan
berperan penting untuk mengatur
pertukaran oksigen dan karbondioksida
antara udara dan darah. Oksigen
diperlukan oleh semua sel untuk
menghasilkan sumber energy, adenosine
triposfat (ATP), karbondioksida
dihasilkan oleh sel-sel yang secara
metabolisme aktif dan membentuk asam,
yang harus dibuang dari tubuh. Untuk
melakukan pertukaran gas, system
kardiovaskuler dan system respirasi harus
bekerjasama. Sistem kardiovaskuler
bertanggungjawab untuk perfusi darah
melalui paru. Sedangkan system
pernapasan melakukan dua fungsi
terpisah ventilasi dan rspirasi
(Maryudianto, Wahyu (2012) dalam
Elisabeth J. Corwin, 2009).
9.8. Sistem Pemberian Oksigen
Sistem pemberian oksigen yang
dipakai untuk aliran terus menerus ada 3
macam yaitu oksigen dimampatkan
bertekanan tinggi, oksigen cair dan
oksigen konsentrat.
9.8.1. Oksigen dimampatkan
bertekanan tinggi.
Oksigen disimpan dalam tabung
metal bertekanan tinggi, aliran oksigen
diatur dengan regulator. Macam-macam
tabungnya adalah tabung H (244 cuft),
tabung E (22 cuft) dan tabung D (13 cuft).
Keuntungannya adalah murah, tersedia
cukup banyak dan dapat disimpan lama.
Kerugiannya adalah berat, kurang praktis
dalam pengisian dan mudah meledak.
Oksigen cair.
Oksigen cair tidak bertekanan tinggi
dan dapat disimpan dalam tempat tertentu
dilengkapi dengan alat HCFA untuk
mengubah oksigen cair menjadi gas
sehingga dapat dihirup. Tempat
penyimpanan, disebut dewar, dapat
menyimpan oksigen cair sampai suhu –
273 oF. Umumnya dewar berisi 100
pound oksigen yang habis dalam
seminggu bila dipakai terus menerus
dengan aliran 2 l/mnt. Oksigen cair lebih
disukai daripada oksigen bertekanan
tinggi karena tempat penyimpanannya
lebih kecil, ringan dan mudah dibawa
pergi. Kerugiannya lebih mahal dan
pengisian kembali di pabrik yang sama.

Oksigen konsentrat.
Sistem oksigen konsentrat didapat
dengan mengekstraksiikan udara luar
menggunakan metode molekuler sieve,
oksigen diekstraksi sehingga dapat
diberikan kepada pasien dan nitrogen
dibuang kembali ke udara luar. Alat ini
dioperasikan secara elektrik.
Keuntungannya cukup murah, tidak perlu
penyimpanan khusus, sedang kerugiannya
kurang Portabel, Bersuara Dan Perlu
Perawatan Yang Teratur.

9.10. Risiko Terapi Oksigen


Salah satu risiko terapi oksigen
adalah keracunan oksigen. Hal ini dapat
terjadi bila oksigen diberikan dengan
fraksi lebih dari 50% terus menerus
selama 1-2 hari. Kerusakan jaringan paru
terjadi akibat terbentuknya metabolik
oksigen yang merangsang sel PMN
melepaskan enzim proteolitik dan enzim
lisosom yang dapat merusak alveoli,
risiko lainnya adalah retensi gas CO2 dan
atelectasis.

9.11. Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan
terjadinya penurunan konsentrasi oksigen
dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi
oksigen dalam arteri (SaO2). Nilai normal
PaO2 85 – 100 mmHg dan SaO2 > 95%.
Hipoksia adalah penurunan sejumlah
oksigen yang terdapat dalam jaringan
tanpa memperhatikan penyebab dan
lokasi. Berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2,
hipoksemia dibedakan menjadi ringan
(PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%),
sedang (PaO2 40-60 mmHg dan SaO2
75-89%) dan berat (PaO2 < 40 mmHg
dan SaO2 <75%). Hipoksemia dapat
disebabkan oleh gangguan ventilasi-
perfusi, hipoventilasi, pirau, gangguan
difusi dan berada di tempat yang tinggi.

9.12. Patofisiologi hipoksemia


Hipoksemia menyebabkan beberapa
perubahan fisiologi yang bertujuan untuk
mempertahankan agar oksigenasi ke
jaringan memadai. Bila tekanan oksigen
arterial (PaO2) di bawah 55 mmHg,
kendali napas akan meningkat sehingga
tekanan oksigen arterial juga meningkat
dan sebaliknya tekanan karbondioksida
arteri menurun. Pembuluh darah yang
mensuplai darah di jaringan hipoksia
mengalami vasodilatasi, selain itu juga
terjadi takikardi yang akan meningkatkan
volume sekuncup jantung sehingga
oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.
Hipoksia alveoler menyebabkan kontraksi
pembuluh darah pulmoner sebagai
respons untuk memperbaiki rasio
ventilasi perfusi di area paru yang
terganggu, kemudian akan terjadi
peningkatan sekresi eritropoetin ginjal
sehingga mengakibatkan eritrositosis
dan terjadi peningkatan kapasitas transfer
oksigen. Kontraksi pembuluh darah
pulmoner, eritrositosis dan peningkatan
volume sekuncup jantung akan
menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal
jantung kanan bahkan dapat
menyebabkan kematian.

9.13. Tujuan terapi oksigen


Tujuan umum terapi oksigen adalah
untuk mencegah dan memperbaiki
hipoksia jaringan, sedangkan tujuan
khususnya adalah untuk mendapatkan
PaO2 lebih dari 90 mmHg atau SaO2
lebih dari 90%.Besarnya fraksi oksigen
inspirasi (FiO2) yang didapatkan paru
sesuai dengan volume oksigen yang
diberikan pada pasien dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel.9.1. Besarnya fraksi oksigen
inspirasi (FiO2)
FiO2
Alat Aliran
(%)
(l/mnt)

Kanula
1 0,24
nasal

2 0,28

3 0,32

4 0,36

5 0,40

6 0,44
Masker 5- 6 0,40
oksigen

6-7 0,50

7-8
Masker
6 0,60
dengan
kantong 7 0,60

udara

8 0,70

9 0,80

10 > 0,80

9.14. Metode Pemberian Oksigen


Oksigen diberikan dengan kanula
nasal 2 l/mnt dapat meningkatkan
fraksi oksigen inspirasi (FiO2) dari
21 menjadi 27%. Metode ini kurang
efisien karena hanya oksigen yang
mengalir pada awal inspirasi saja
yang sampai di alveoli dan ikut
proses pertukaran gas. Penggunaan
kateter transtrakeal merupakan
salah satu cara untuk mengurangi
volume ruang rugi anatomik,
sehingga oksigen yang diberikan
bisa dosis kecil. Karena langsung
melalui trakea maka akan
mengurangi iritasi nasal, telinga dan
fasial serta mencegah bergesernya
alat tersebut saat tidur. Namun
demikian perlu dipertimbangkan
komplikasi yang mungkin terjadi
yaitu emfisema subkutis,
bronkospasme, batuk paroksismal,
dislokasi kateter, infeksi di lubang
Trakea Dan Mucous Ball Yang Bisa
Mengakibatkan Keadaan Menjadi
Fatal.

9.15. Sistem Pemberian Oksigen

Sistem pemberian oksigen yang


dipakai untuk aliran terus menerus
ada 3 macam yaitu oksigen
dimampatkan bertekanan tinggi,
oksigen cair dan oksigen
konsentrat.

a. Oksigen dimampatkan
bertekanan tinggi. Oksigen
disimpan dalam tabung metal
bertekanan tinggi, aliran oksigen
diatur dengan regulator. Macam-
macam tabungnya adalah tabung H
(244 cuft), tabung E (22 cuft) dan
tabung D (13 cuft). Keuntungannya
adalah murah, tersedia cukup
banyak dan dapat disimpan lama.
Kerugiannya adalah berat, kurang
praktis dalam pengisian dan mudah
meledak.
b. Oksigen cair. Oksigen cair tidak
bertekanan tinggi dan dapat
disimpan dalam tempat tertentu
dilengkapi dengan alat HCFA untuk
mengubah oksigen cair menjadi gas
sehingga dapat dihirup. Tempat
penyimpanan, disebut dewar, dapat
menyimpan oksigen cair sampai
suhu – 273 oF. Umumnya dewar
berisi 100 pound oksigen yang
habis dalam seminggu bila dipakai
terus menerus dengan aliran 2
l/mnt. Oksigen cair lebih disukai
daripada oksigen bertekanan tinggi
karena tempat penyimpanannya
lebih kecil, ringan dan mudah
dibawa pergi. Kerugiannya lebih
mahal dan pengisian kembali di
pabrik yang sama.

c. Oksigen konsentrat.

Sistem oksigen konsentrat didapat


dengan mengekstraksiikan udara
luar menggunakan
metode molekuler sieve, oksigen
diekstraksi sehingga dapat
diberikan kepada pasien dan
nitrogen dibuang kembali ke udara
luar. Alat ini dioperasikan secara
elektrik. Keuntungannya cukup
murah, tidak perlu penyimpanan
khusus, sedang kerugiannya kurang
portabel, bersuara dan perlu
perawatan yang teratur

Daftar Pustaka

1. Adib, M.Cara Mudah


Memahami dan Menghindari
Hipertensi Jantung dan
Stroke.Yogyakarta : Dianloka
Pustaka Populer ;2009.

2. Anwar, T.B. Faktor risiko


penyakit jantung koroner
2004 ; Available
from:http://repository.usu.ac.i
d/bitstream/123456789/3472/
1/gizi-bahri4.pdf; diakses
tanggal 29 Juli2011.

3. Maulana, M. Penyakit
Jantung : Pengertian,
Penanganan ,dan
Pengobatan. Yogyakarta :
Penerbit KataHati ;2008.

4. Soeharto, I.Kolesterol dan


Lemak Jahat Kolesterol,
Lemak baik dan Proses
Terjadinya Serangan Jantung
dan Stroke Cetakan kedua.
Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama ;2002.

5. Astowo. Pudjo. 2005. Terapi


oksigen: Ilmu Penyakit Paru.
Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi. FKUI.
Jakarta.

6. Ikawati, Z. 2009. Anatomi


Dan Fisiologi Sistem
Pernapasan. PDF.
Rohsiswatmo, R. 2010.
Terapi Oksigen Pada
Neonatus. Divisi Perinatologi
Ilmu Kesehatan Anak FKUI -
RSCMk FKUI – RSCM.
Jakarta.

7. Rogayah, R. 2009. The


Principle Of Oxigen Therapy.
Departemen Pulmonologi
Dan Respiratori FK UI.
Jakarta. 4. Brunner &
Suddarth. 2001. Buku Ajar
Medikal Bedah. Edisi bahasa
Indonesia, vol. 8. EGC.
Jakarta.

00O00
BAB X

PENYAKIT
SISTEM
KARDIOVASKUL
ER
Kardiovaskuler terdiri dari 2 kata yaitu
kardio (jantung) dan vaskuler (pembuluh
darah). Jadi penyakit kardiovaskuler
adalah adalah penyakit yang mengganggu
sistem pembuluh darah, dalam hal ini
adalah jantung dan urat-urat darah. Jenis-
jenis penyakit jantung itu sendiri
bervariasi, seperti : jantung koroner,
tekanan darah tinggi, serangan jantung,
stroke, sakit di dada (anginan) dan
penyakit jantung rematik.Penyakit
kardiovaskuler sendiri biasanya terjadi
akibat gaya hidup, pola makan, dan
aktivitas sehari-hari yang dijalani si
pelaku yang tidak memperhatikan
kesehatan.
10.1. Sistem Kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler merupakan salah


satu sistem utama yang ada pada
organisme. Sistem kardiovaskuler
berfungsi untuk mempertahankan kualitas
dan kuantitas cairan yang ada di dalam
tubuh agar tetap homeostatis.Organ-organ
penyusun sistem kardiovaskuler terdiri
atas jantung sebagai alat pompa utama,
pembuluh darah, serta darah. Sistem
kardiovaskuler yang sehat ditandai
dengan proses sirkulasi yang normal,
apabila sirkulasi terhambat akibat
keabnormalan dari organ-organ penyusun
sistem kardiovaskuler ini maka akan
dapat menimbulkan berbagai penyakit
bahkan bisa mematikan.
10.2. Organ Utama Penyusun Sistem
Kardiovaskuler

Organ-Organ Penyusun Kardiovaskuler


antara lain :

1. Cor

2. Pembuluh darah, yang mencakup aorta


beserta cabang-cabangnya, arteri
pulmonalis dari truncus pulmonalis
beserta cabang-cabangnya, vena cava
superior dan inferior

3. Darah.
A. Mekanisme Sistole dan Diastole

Sistole terjadi saat ventrikel berkontraksi


sedangkan atrium relaksasi, sehingga
tekanan interventrikularis meninggi. Hal
ini menyebabkan valvula atrioventriculare
menutup, di samping itu darah akan
terpompa menuju aorta dan arteri
pulmonalis, karena valvula semilunaris
aorta dan valvula semilunaris pulmonalis
terbuka.

Diastole terjadi saat ventrikel berelaksasi


sedangkan atrium kontraksi, sehingga
tekanan intraatrial meninggi. Hal ini
menyebabkan valvula atrioventricularis
terbuka dan darah dari atrium masuk ke
ventrikel, sedangkan valvula semilunaris
aorta dan pulmonalis tertutup.

B. Daya Pompa Jantung

Daya pompa jantung pada orang yang


sedang istirahat jantungnya berdebar
sekitar 70 kali semenit dan memompa 70
ml setiap denyut ( volume denyutan
adalah 70 ml ). Jumlah darah yang setiap
menit di pompa dengan demikian adalah
70 x 70 ml atau sekitar 5 liter.Sewaktu
banyak bergerak kecepatan jantung dapat
menjadi 150 setiap menit dan volume
denyut lebih dari 150 ml, yang membuat
daya pompa jantung 20 sampai 25 liter
setiap menit. ( Pearce, 2004 ).

C. Tekanan Darah

Tekanan darah ialah daya dorong ke


semua arah pada seluruh permukaan
yang tertutup pada dinding bagian dalam
jantung dan pembuluh darah. Cara
mengukur tekanan darah adalah dengan
menggunakan alat yang disebut
spygmomanometer.

10.3. Mekanisme Peredaran Darah


Manusia

Mekanisme sistem peredaran darah


dimulai saat darah yang kehabisan
oksigen dan mengandung banyak karbon
dioksida dari seluruh tubuh mengalir
melalui dua vena besar ( vena cava )
menuju ke dalam atrium dexter. Setelah
atrium dexter terisi darah, dia akan
mendorong darah ke dalam ventrikel
dexter melalui valvula tricuspidalis.Darah
dari ventrikel dexter akan di pompa
melalui katub semilunaris pulmonalis ke
dalam arteri pulmonalis menuju ke paru-
paru. Darah akan mengalir melalui
pembuluh yang sangat kecil ( kapiler )
yang mengelilingi kantong udara di paru-
paru, menyerap oksigen dan melepaskan
karbondioksida yang selanjutnya di
hembuskan.Selanjutnya, darah yang kaya
akan oksigen yang berasal dari pulmo,
mengalir di dalam vena pulmonalis
menuju ke atrium sinister. Peredaran
darah di antara bagian kanan jantung,
paru- paru dan atrium sinister disebut
sirkulasi pulmoner.Darah dalam atrium
sinister akan di dorong ke dalam ventrikel
sinister melalui valvula bicuspidalis.
Selanjutnya ventrikel sinister akan
memompa darah yang kaya akan oksigen
ini melewati katup aorta masuk ke dalam
aorta (arteri terbesar dalam tubuh) menuju
ke suluruh bagian tubuh. Darah kaya
oksigen ini di sediakan untuk seluruh
tubuh, kecuali paru- paru. ( Sherwood,
2001 )

10.3.2 Hubungan Sistem Sirkulasi


dengan Homeostasis.

Sistem sirkulasi berperan dalam


homeostasis dengan mengangkut O2,
CO2, zat sisa elektrolit, dan hormon dari
satu bagian tubuh ke bagian lain.
Homeostasis penting bagi kelangsungan
hidup sel- sel. Sel- sel akan membentuk
sistem tubuh. ( Sherwood, 2001 )

10.4. Penyakit Jantung Koroner

Adalah penyakit yang menyerang


pembuluh darah dan bisa menyebabkan
serangan jantung. Hal ini diakibatkan
oleh pembuluh arteri yang tersumbat
sehingga menghambat penyaluran
oksigen dan nutrisi ke jantung.
a. Definisi

Penyakit Arteri Koroner / penyakit


jantung koroner (Coronary Artery
Disease) ditandai dengan adanya endapan
lemak yang berkumpul di dalam sel yang
melapisi dinding suatu arteri koroner dan
menyumbat aliran darah. Endapan lemak
(ateroma atau plak) terbentuk secara
bertahap dan tersebar di percabangan
besar dari kedua arteri koroner utama,
yang mengelilingi jantung dan
menyediakan darah bagi jantung.Proses
pembentukan ateroma ini disebut
aterosklerosis.

b. Penyebab

Penyakit arteri koroner bisa menyerang


semua ras, tetapi angka kejadian paling
tinggi ditemukan pada orang kulit putih.
Tetapi ras sendiri tampaknya bukan
merupakan faktor penting dalam gaya
hidup seseorang.Secara spesifik, faktor-
faktor yang meningkatkan resiko
terjadinya penyakit arteri koroner adalah:

a. Diet kaya lemak

b. Merokok

c. Malas berolah raga.

c. Pencegahan

Resiko terjadinya penyakit arteri koroner


bisa dikurangi dengan melakukan
beberapa tindakan berikut:
1. Berhenti merokok

2. Menurunkan tekanan darah

3. Mengurangi berat badan

4. Melakukan olah raga.

10.5, Stroke

Stroke terjadi akibat kurangnya aliran


darah yang mengalir ke otak.
Kemungkinan karena terjadi pendarahan
diotak.

Stroke termasuk penyakit


serebrovaskuler (pembuluh darah otak)
yang ditandai dengan kematian jaringan
otak (infark serebral) yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dan oksigen ke
otak. Berkurangnya aliran darah dan
oksigen ini bisa dikarenakan adanya
sumbatan, penyempitan atau pecahnya
pembuluh darah. Apabila oksigen sudah
tidak bisa mensuplai jaringan otak maka
ini akan berakibat pada kematian. WHO
mendefinisikan bahwa stroke adalah
gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf
yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh
darah otak dan bukan oleh yang lain dari
itu.

10.5.1 Stroke dibagi menjadi dua jenis


yaitu:

a. Stroke iskemik dan stroke


hemorragik.

Stroke iskemik yaitu tersumbatnya


pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau
keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah
stroke Iskemik. Stroke iskemik ini dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Stroke Trombotik: proses


terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan.

2. Stroke Embolik: Tertutupnya


pembuluh arteri oleh bekuan darah.

3. Hipoperfusion Sistemik:
Berkurangnya aliran darah ke seluruh
bagian tubuh karena adanya gangguan
denyut jantung.

b. Stroke hemoragik adalah stroke yang


disebabkan oleh pecahnya pembuluh
darah otak. Hampir 70% kasus stroke
hemoragik terjadi pada penderita
hipertensi.

Stroke hemoragik ada 2 jenis, yaitu:

1. Hemoragik Intraserebral:
pendarahan yang terjadi didalam
jaringan otak.
2. Hemoragik Subaraknoid:
pendarahan yang terjadi pada
ruang subaraknoid (ruang sempit
antara permukaan otak dan lapisan
jaringan yang menutupi otak).

c. Faktor Penyebab Stroke

Faktor resiko medis, antara lain


Hipertensi (penyakit tekanan darah
tinggi), Kolesterol, Aterosklerosis
(pengerasan pembuluh darah), Gangguan
jantung, diabetes, Riwayat stroke dalam
keluarga, Migrain.Faktor resiko perilaku,
antara lain Merokok (aktif & pasif),
Makanan tidak sehat (junk food, fast
food), Alkohol, Kurang olahraga,
Mendengkur, Kontrasepsi oral, Narkoba,
Obesitas.
d. Derita Pasca Stroke

Sudah Jatuh tertimpa Tangga Pula,


peribahasa itulah yang tepat bagi
penderita Stroke.

Setelah stroke, sel otak mati dan hematom


yg terbentuk akan diserap kembali secara
bertahap. Proses alami ini selesai dlm
waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang
yang selamat menjadi tergantung dan
mungkin mengalami komplikasi yang
dapat menyebabkan kematian atau cacat.
Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang
terkena stroke. Dari jumlah tersebut:

 1/3 –> bisa pulih kembali,


 1/3 –> mengalami gangguan
fungsional ringan sampai sedang,
 1/3 sisanya –> mengalami
gangguan fungsional berat yang
mengharuskan penderita terus
menerus di kasur.

Hanya 10-15 % penderita stroke bisa


kembali hidup normal seperti sedia kala,
sisanya mengalami cacat, sehingga
banyak penderita Stroke menderita stress
akibat kecacatan yang ditimbulkan
setelah diserang stroke.

e. Akibat Stroke lainnya:

 80% penurunan parsial/ total


gerakan lengan dan tungkai.
 80-90% bermasalah dalam
berpikir dan mengingat.
 70% menderita depresi.
 30 % mengalami kesulitan bicara,
menelan, membedakan kanan dan
kiri.

Stroke tak lagi hanya menyerang


kelompok lansia, namum kini cenderung
menyerang generasi muda yang masih
produktif. Stroke juga tak lagi menjadi
milik warga kota yang berkecukupan ,
namun juga dialami oleh warga pedesaan
yang hidup dengan serba keterbatasan.
10.6. Tekanan Darah Tinggi (Irama
Jantung Abnormal)

Definisi
Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah
suatu peningkatan tekanan darah di dalam
arteri.

Secara umum, hipertensi merupakan


suatu keadaan tanpa gejala, dimana
tekanan yang abnormal tinggi di dalam
arteri menyebabkan meningkatnya resiko
terhadap stroke, aneurisma, gagal
jantung, serangan jantung dan kerusakan
ginjal.Pada pemeriksaan tekanan darah
akan didapat dua angka. Angka yang
lebih tinggi diperoleh pada saat jantung
berkontraksi (sistolik), angka yang lebih
rendah diperoleh pada saat jantung
berelaksasi (diastolik).Tekanan darah
ditulis sebagai tekanan sistolik garis
miring tekanan diastolik, misalnya 120/80
mmHg, dibaca seratus dua puluh per
delapan puluh.Dikatakan tekanan darah
tinggi jika pada saat duduk tekanan
sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih,
atau tekanan diastolik mencapai 90
mmHg atau lebih, atau keduanyaPada
tekanan darah tinggi, biasanya terjadi
kenaikan tekanan sistolik dan diastolik.

a. Hipertensi sistolik terisolasi, tekanan


sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih,
tetapi tekanan diastolik kurang dari 90
mmHg dan tekanan diastolik masih dalam
kisaran normal. Hipertensi ini sering
ditemukan pada usia lanjut.
b. Hipertensi maligna adalah hipertensi
yang sangat parah, yang bila tidak
diobati, akan menimbulkan kematian
dalam waktu 3-6 bulan.Hipertensi ini
jarang terjadi, hanya 1 dari setiap 200
penderita hipertensi.

Penyebab
Pada sekitar 90% penderita hipertensi,
penyebabnya tidak diketahui dan keadaan
ini dikenal sebagai hipertensi esensial
atau hipertensi primer.

Jika penyebabnya diketahui, maka disebut


hipertensi sekunder.

Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi,


penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada
sekitar 1-2%, penyebabnya adalah
kelainan hormonal atau pemakaian obat
tertentu (misalnya pil KB).Jantung
normalnya berdetak 60 – 100 kali per
menit. (sekitar 100 ribu / hari). Jantung
yang berdetak tidak normal disebut
arryhytmia atau dysrhythmia. Jantung
yang berdetak lambat (di bawah 60 kali/
menit) disebut bradyarrhythmias sedang
yang cepat (berdetak diatas 100 kali/
menit) disebut tachyarrhytmias.

10.7. Serangan Jantung

a.Definisi
Serangan Jantung (infark miokardial),
(myocard infarct),(miokard infark) adalah
suatu keadaan dimana secara tiba-tiba
terjadi pembatasan atau pemutusan aliran
darah ke jantung, yang menyebabkan otot
jantung (miokardium) mati karena
kekurangan oksigen.
b.Penyebab
Serangan jantung biasanya terjadi jika
suatu sumbatan pada arteri koroner
menyebabkan terbatasnya atau
terputusnya aliran darah ke suatu bagian
dari jantung. Jika terputusnya atau
berkurangnya aliran darah ini
berlangsung lebih dari beberapa menit,
maka jaringan jantung akan
mati.Kemampuan memompa jantung
setelah suatu serangan jantung secara
langsung berhubungan dengan luas dan
lokasi kerusakan jaringan (infark).Jika
lebih dari separuh jaringan jantung
mengalami kerusakan, biasanya jantung
tidak dapat berfungsi dan kemungkinan
terjadi kematian. Bahkan walaupun
kerusakannya tidak luas, jantung tidak
mampu memompa dengan baik, sehingga
terjadi gagal jantung atau syok.

c.Penyebab lain dari serangan jantung


adalah:

a. Suatu bekuan dari bagian jantungnya


sendiri. Kadang suatu bekuan (embolus)
terbentuk di dalam jantung, lalu pecah
dan tersangkut di arteri koroner.

b. Kejang pada arteri koroner yang


menyebabkan terhentinya aliran darah.
Kejang ini bisa disebabkan oleh obat
(seperti kokain) atau karena merokok,
tetapi kadang penyebabnya tidak
diketahui.

10.8. Gagal Jantung (Heart Valve


Disease)
Gagal jantung atau Heart Failure
merupakan penyakit jantung yang paling
menakutkan, yaitu jantung penderita
berdetak tidak normal atau tidak berdetak
sebagaimana mestinya. Penyakit ini
diakibatkan rusaknya katup jantung.
Katup jantung ini berfungsi sebagai
pengatur aliran darah yang masuk searah
menuju jantung, biasanya terjadi setelah
adanya serangan jantung.

10.9. Nyeri Jantung (Angina)

a.Definisi
Angina (angina pektoris) merupakan
nyeri dada sementara atau suatu perasaan
tertekan, yang terjadi jika otot jantung
mengalami kekurangan oksigen.
Kebutuhan jantung akan oksigen
ditentukan oleh beratnya kerja jantung
(kecepatan dan kekuatan denyut
jantung).Aktivitas fisik dan emosi
menyebabkan jantung bekerja lebih berat
dan karena itu menyebabkan
meningkatnya kebutuhan jantung akan
oksigen.Jika arteri menyempit atau
tersumbat sehingga aliran darah ke otot
tidak dapat memenuhi kebutuhan jantung
akan oksigen, maka bisa terjadi iskemia
dan menyebabkan nyeri.

b.Penyebab
Biasanya angina merupakan akibat dari
penyakit arteri koroner.
Penyebab lainnya adalah: Stenosis katup
aorta (penyempitan katup
aorta), Regurgitasi katup aorta
(kebocoran katup aorta), Stenosis
subaortik hipertrofik, Spasme arterial
(kontraksi sementara pada arteri yang
terjadi secara tiba-tiba), Anemia yang
berat.

c.Gejala
Tidak semua penderita iskemia
mengalami angina. Iskemia yang tidak
disertai dengan angina disebut silent
ischemia. Masih belum dimengerti
mengapa iskemia kadang tidak
menyebabkan angina. Biasanya penderita
merasakan angina sebagai rasa tertekan
atau rasa sakit di bawah tulang dada
(sternum).Nyeri juga bisa dirasakan di:–
bahu kiri atau di lengan kiri sebelah
dalam– punggung– tenggorokan, rahang
atau gigi.– lengan kanan (kadang-
kadang).Banyak penderita yang
menggambarkan perasaan ini sebagai rasa
tidak nyaman dan bukan nyeri.Yang khas
adalah bahwa angina:
– dipicu oleh aktivitas fisik

– berlangsung tidak lebih dari beberapa


menit

– akan menghilang jika penderita


beristirahat.

Kadang penderita bisa meramalkan akan


terjadinya angina setelah melakukan
egiatan tertentu.Angina seringkali
memburuk jika:– aktivitas fisik dilakukan
telah makan

– cuaca dingin– stres emosional.

d.Unstable Angina

Merupakan angina yang pola gejalanya


mengalami perubahan.Ciri angina pada
seorang penderita biasanya tetap, oleh
karena itu setiap perubahan merupakan
masalah yang serius (msialnya nyeri
menjadi lebih hebat, serangan menjadi
lebih sering terjadi atau nyeri timbul
ketika sedang beristirahat).

10.12. Penyakit Jantung Rematik.

Penyakit jantung rematik adalah


kerusakan pada katup jantung karena
demam rematik, yang disebabkan oleh
bakteri streptokokus.Adapun yang
dimaksud Demam Rematik adalah suatu
peradangan pada persendian (artritis) dan
jantung (karditis).

a.Penyebab
Demam rematik biasanya terjadi akibat
infeksi streptokokus pada tenggorokan.
Demam rematik bukan merupakan suatu
infeksi, tetapi merupakan suatu reaksi
peradangan terhadap infeksi, yang
menyerang berbagai bagian tubuh
(misalnya persendian, jantung, kulit).

b.Gejala
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada
bagian tubuh yang meradang.
Biasanya gejala timbul beberapa minggu
setelah nyeri tenggorokan akibat
streptokokus menghilang.

c.Gejala utamanya adalah:

– nyeri persendian (artritis)

– nyeri dada atau palpitasi (jantung


berdebar) karena karditis

– renjatan/kedutan diluar kesadaran


(corea Sydenham)

– ruam kulit (eritema marginatum)

– benjolan kecil dibawah kulit (nodul).

10.13. Berbagai Istilah Gangguan


Jantung

Penyakit jantung banyak sekali


macamnya. Para penderitanya juga
seringkali terkena lebih dari satu
gangguan (komplikasi). Berikut adalah
beberapa jenis penyakit jantung yang
perlu diketahui :

10.13.1. Aterosklerosis.

Aterosklerosis adalah penebalan dinding


arteri sebelah dalam karena endapan plak
ateromatus (lemak, kolesterol dan
buangan sel lainnya) sehingga
menghambat dan menyumbat pasokan
darah ke sel-sel otot. Aterosklerosis dapat
terjadi di seluruh bagian tubuh. Bila
terjadi pada dinding arteri jantung, maka
disebut penyakit jantung koroner
(coronary artery disease) atau penyakit
jantung iskemik.Atherosclerosis
mengacu pada istilah proses pembentukan
zat lemak, kolesterol, produk buangan
seluler, kalsium, dan fibrin (zat
penggumpal di dalam darah) pada dinding
dalam pembuluh darah arteri. Zat-zat
yang terbentuk tersebut dinamakan
plaque.

10.13. 2. Infark Miokard Akut


Infark miokard adalah kematian otot
jantung karena penyumbatan pada arteri
koroner. Otot-otot jantung yang tidak
tersuplai darah akan mengalami
kerusakan atau kematian mendadak.

10.13.3.

Kardiomiopati adalah
kerusakan/gangguan otot jantung
sehingga menyebabkan dinding-dinding
jantung tidak bergerak sempurna dalam
menyedot dan memompa darah.

10.13.4. Arritmia

Arritmia berarti irama jantung tidak


normal, yang bisa disebabkan oleh
gangguan rangsang dan penghantaran
rangsang jantung ringan maupun berat.

10.14. Gagal Jantung Kongestif.

Gagal jantung adalah ketidakmampuan


jantung untuk memompa darah secara
efektif ke seluruh tubuh. Jantung
dikatakan gagal bukan karena berhenti
bekerja, namun karena tidak memompa
sekuat yang seharusnya. Sebagai
dampaknya, darah bisa berbalik ke paru-
paru dan bagian tubuh lainnya.

10.14.1. Fibrilasi Atrial.

Fibrilasi atrial adalah gangguan ritme


listik jantung yang mengganggu atrial.
Gangguan impuls listrik ini menyebabkan
kontraksi otot jantung tidak beraturan dan
memompa darah secara tidak efisien.
Akibatnya, atrium jantung tidak
sepenuhnya mengosongkan darah menuju
ke serambi (ventrikel).

10.14.2. Inflamasi Jantung.

Inflamasi jantung dapat terjadi pada


dinding jantung (miokarditis), selaput
yang menyelimuti jantung (perikarditis),
atau bagian dalam (endokarditis).
Inflamasi jantung dapat disebabkan oleh
racun maupun infeksi. Pericarditis Adalah
penyakit radang yang mengitari lapisan
jantung yang umumnya diakibatkan
infeksi. Namun gangguan ini jarang
terjadi.

10.14.3. Congenitas Heart Disease.

Biasanya gangguan ini terjadi pada anak


kecil dan disebut juga kelainan pada
jantung.Menurut penelitian, 8 – 10 anak
dari 1.000 kelahiran bisa terserang
gangguan ini. Gejala awal biasanya
terdeteksi saat kelahiran atau pada masa
kanak-kanak.

10.15. Kelainan Katup Jantung.

Katup jantung berfungsi mengendalikan


arah aliran darah dalam jantung. Kelainan
katup jantung yang dapat mengganggu
aliran tersebut, antara lain karena
pengecilan (stenosis), kebocoran
(regurgiasi), atau tidak menutup
sempurna (prolapsis). Kelainan katup
dapat terjadi sebagai bawaan lahir
maupun karena infeksi dan efek samping
pengobatan.
10.16. Kolesterol

Kolesterol adalah senyawa yang berisi


lemak di dalam darah, beredar dalam
keadaan terikat dengan protein. Maka
kolesterol ini bisa disebut juga
lipoprotein. Lipoprotein dikelompokan
dalam tiga: densitas (kepadatan) tinggi,
densitas rendah, atau densitas sangat
rendah, bergantung pada perbandingan
jumlah protein dibandingkan dengan
lemak.

10.16. 1. LDL (Low density lipoprotein)


cholesterol

LDL juga dinamakan kolesterol “buruk”


merupakan sumber utama pembentukan
dan penyumbatan arteri. Makin banyak
LDL dalam darah, makin besar risiko
penyakit jantung.
10.16.2. VLDL (Triglycerides/very low
density lipoprotein) cholesterol

Trigliserida merupakan jenis lemak lain


dalam darah yang terbawa oleh
lipoprotein dengan densitas sangat
rendah. VLDL sama dengan kolesterol
LDL yang kebanyakan mengandung
lemak tapi tidak banyak protein. Kadar
trigliserida yang tinggi, bersamaan
dengan kolesterol LDL yang tinggidapat
meningkatkan risiko serangan jantung.

10.16.3. DL (High density lipoproteins)


cholesterol

HDL juga disebut kolesterol baik,


membantu tubuh mengeluarkan kolesterol
buruk dalam darah. Semakin tinggi kadar
kolesterol HDL, semakin baik.

Daftar Pustaka

1. Anwar, T.B. Faktor risiko


penyakit jantung koroner
2004 ; Available
from:http://repository.usu.ac.
id/bitstream/123456789/3472
/1/gizi-bahri4.pdf; diakses
tanggal 29 Juli2011.
2. Sari DM, Azrimaidaliza,
Purnakarya I. Faktor Resiko
Kolesterol Total Pasien
Penyakit Jantung Koroner
Dirumah Sakit Achmad
Mochtar Bukittinggi: FKM
Unand Kesehatan; 2010

3. Mamat. Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kadar
Kolesterol HDL Di Indonesia
(Analisis Data Sekunder
IFLS 2007/2008): Jurnal
Universitas Indonesia; 2010.

4. Kusumasari P. Hubungan
Antara Merokok Dengan
Kadar Kolesterol Total Pada
Pegawai Pabrik Gula
Tasikmadu Karanganyar:
Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2015.
5. Sari SK. Hubungan Tingkat
Stress dengan Kadar
Koesterol pada Polisi Lalu
Lintas, Penjaga Pintu Rek
Kereta Api dan Petugas
Perpustakaan di Stikes dan
SMA Purnama di Kecamatan
Gombong: Stikes Gombong;
2010.

00O00
BABXI
KENALI
JANTUNG
CORONER

Jantung koroner adalah penyakit jantung


yang disebabkan oleh penumpukan
kolesterol, lemak, atau zat lainnya pada
dinding pembuluh darah. Jantung
merupakan organ vital pusat aliran darah
pada tubuh. Seiring bertambahnya usia,
keelastisan pembuluh darah semakin
menurun, diiringi dengan radikal bebas dan
plak lemak yang hinggap di dinding
pembuluh darah. Penyakit jantung koroner
secara medis disebut juga penyakit jantung
iskemik. Penyakit ini termasuk salah satu
penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Sekitar 35 persen kematian penduduk
Indonesia disebabkan oleh penyakit
jantung. Menurut Federasi Jantung Dunia,
angka kematian akibat penyakit jantung
koroner di Asia Tenggara mencapai 1,8
juta kasus pada 2014.

11.1. Penyebab Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner terjadi ketika


arteri koronaria (arteri yang memasok
darah ke otot jantung) menjadi mengeras
dan menyempit. Hal ini disebabkan
penumpukan kolesterol dan bahan
lainnya, yang disebut plak, pada dinding
pembuluh darah. Penumpukan ini disebut
aterosklerosis. Plak akan semakin besar
sehingga aliran darah ke otot jantung
semakin sedikit dan semakin sulit.
Akibatnya, otot jantung tidak bisa
mendapatkan darah atau oksigen yang
dibutuhkan. Ketika jaringan kurang
asupan, maka hal itu akan direspons sel
sebagai apa yang kita kenal dengan “nyeri
dada khas” yang disebut dengan
“angina”, atau jika arteri koronaria
tersumbat total, maka pasien dapat jatuh
ke dalam kondisi “serangan
jantung”. Serangan jantung inilah yang
merupakan kegawatan medis karena
menyebabkan kerusakan jantung
permanen atau bahkan kematian.

11.2 Gejala Jantung Koroner

Jika plak belum mengganggu aliran


darah, atau belum ada robekan plak, maka
belum tentu ada gejala yang
ditimbulkan. Namun, jika plak sudah
cukup besar, maka gejala yang
ditimbulkan adalah sebagai berikut:

 Nyeri dada atau


ketidaknyamanan pada dada,
nyeri ini bisa menjalar ke
leher, rahang, bahu, dan tangan
sisi kiri, punggung, perut sisi
kiri (sering dianggap maag).
Nyeri ini ringan sampai
dengan berat. Nyeri dada ini
disebut dengan “angina” yang
dapat bertahan selama
beberapa menit. Jika plak
belum menyumbat arteri
koronaria secara total, maka
angina akan mereda dengan
sendirinya. Jika angina
bertahan terus-menerus, maka
segera bawa diri Anda ke
dokter.
 Keringat dingin, mual,
muntah, atau mudah lelah.

 Irama denyut jantung yang


tidak stabil (aritmia) bahkan
bisa menyebabkan henti
jantung (sudden cardiac
arrest) yang bila tidak
ditangani dengan cepat dapat
menyebabkan kematian.

 11.3 Diagnosa Jantung


Koroner

Pemeriksaan fisik, riwayat


medis dan sejumlah tes dapat
membantu mendiagnosis
jantung koroner, termasuk:

a. Elektrokardiogram (ECG
): Ini merekam aktivitas
listrik dan irama jantung.
b. Holter monitor: Ini adalah
alat portabel yang dipakai
pasien di bawah pakaian
mereka selama 2 hari atau
lebih. Ini mencatat semua
aktivitas listrik jantung,
termasuk detak jantung.
c. Echocardiogram: Ini
adalah scan ultrasound
yang memeriksa jantung
yang memompa. Ini
menggunakan gelombang
suara untuk memberikan
gambar video.
d. Tes stres: Ini mungkin
melibatkan
penggunaan treadmill atau
obat yang menekankan
hati.
e. Kateterisasi koroner:
Pewarna disuntikkan ke
arteri jantung melalui
kateter yang berulir
melalui arteri, sering di
kaki atau lengan, ke arteri
di jantung. X-ray
kemudian mendeteksi
titik-titik sempit atau
penyumbatan yang
diungkapkan oleh
pewarna.
f. CT scan: Ini membantu
dokter untuk
memvisualisasikan arteri,
mendeteksi kalsium apa
pun di dalam endapan
lemak yang menyempit
arteri koroner, dan untuk
mengkarakterisasi kelainan
jantung lainnya.
g. Ventrikulografi Nuklir:
Ini menggunakan pelacak,
atau bahan radioaktif,
untuk menunjukkan ruang
jantung. Materi
disuntikkan ke pembuluh
darah. Itu menempel pada
sel darah merah dan
melewati jantung. Kamera
atau pemindai khusus
melacak pergerakan
material.
h. Tes darah: Tes ini dapat
mengukur kadar kolesterol
darah, terutama pada orang
yang berusia di atas 40
tahun, memiliki riwayat
keluarga dengan jantung
atau kondisi terkait
kolesterol, kelebihan berat
badan, dan memiliki
tekanan darah tinggi atau
kondisi lain, seperti
kelenjar tiroid yang kurang
aktif atau kondisi apa pun
yang dapat meningkatkan
kadar kolesterol dalam
darah.

11.4. Mengobati Jantung


Koroner

Aritmia maupun serangan


jantung adalah karena
kegawatan, maka kasus ini
ditangani di unit gawat
darurat
(UGD). Sebagai perawatan
awal, pasien akan
diberikan oksigen, aspilet
sebagai pengencer darah,
morfin sebagai antinyeri,
karena sumbatan yang
menyebabkan angina itu
sangat nyeri), nitrogliserin
sublingual diletakkan di
bawah lidah untuk
meredakan gejala. Terapi
definitif yang langsung
menuju akar masalah, bisa
dengan 2 cara: operatif
dengan cara memasang
ring, atau dengan obat r-
TPA (Tissue plasminogen
activator), yaitu suatu
protein untuk
menghancurkan bekuan
darah yang menempel
pada dinding pembuluh
darah dan hanya diberikan
sekali seumur hidup.
Pada pasien yang
mengalami penyakit
jantung koroner, setelah
penanganan di UGD telah
memberikan kestabilan
pada pasien, obat yang
wajib dikonsumsi sebagai
obat rawat jalan adalah
obat nitrogliserin
sublingual dan obat
aspilet.

11.5.
Pencegahan Jantung
Koroner
Ada banyak hal yang dapat
Anda lakukan untuk
mengurangi kemungkinan
Anda mendapatkan
penyakit jantung. Anda
harus melakukan beberapa
hal berikut:
Mengetahui tekanan darah
secara rutin dan jaga agar
tekanan darah dalam angka
yang normal (<130/90
mmHg)
Olahraga teratur
Jangan merokok
Kontrol kadar gula darah
Kontrol kadar kolestrol
dan trigliserid
Mengonsumsi banyak
buah dan sayuran
Menjaga berat badan yang
sehat
Hindari stres berlebih

11.6. Makanan sehat


untuk jantung

Dokter mungkin
merekomendasikan makan
sehat untuk jantung, yang
harus mencakup:
Minum produk susu bebas
lemak atau rendah lemak
Makan ikan tinggi asam
lemak omega-3, seperti
salmon atau tuna, sekitar
dua kali seminggu
Buah-buahan, seperti apel,
pisang, jeruk, pir, dan
plum
Kacang-kacangan, seperti
kacang merah, lentil,
buncis, kacang polong, dan
kacang lima
Sayuran, seperti brokoli,
kubis, dan wortel
Biji-bijian, seperti
oatmeal, beras merah, dan
jagung tortilla

11.7. Makanan yang


wajib dihindari:
Daging merah
Makanan yang digoreng
baik minyak nabati
maupun hewani
Makanan dan minuman
bergula

Daftar Pustaka

1. Waluyo T, Rimbawan,
Andarwulan N. Hubungan
Antara Konsumsi Pangan Dan
Aktivitas Fisik Dengan Kadar
Kolesterol Darah Pria Dan
Wanita Dewasa Di Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat,
Departemen Ilmu Dan
Teknologi Pangan, Institut
Pertanian Bogor; 2013.
2. Ruslianti. Kolesterol Tinggi
Bukan Untuk Ditakuti.
Jakarta: Fmedia( Imprint
Agromedia Pustaka); 2014.

5. Mulyanti D. Panjang Umur


Dengan Kontrol Kolesterol
dan Asam Urat. Yogyakarta:
Penerbit Cahaya Atma
Pustaka; 2011
6. Badriyah Lu. Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan
Kadar Kolesterol Total Pada
Anggota Klub Senam Jantung
Sehat UIN Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah; 2013.
7. Russel DM. Bebas dari
Penyakit Paling Mematikan.
Yogyakarta: MedPress (Anggota
IKAPI); 2011.

00o00
BABXII

TEKNOLOGI
BARU
PENGOBATAN
PENYAKIT
JANTUNG
KORONER,
RENDAH
RADIASI
PENYAKIT jantung dan pembuluh
darah merupakan dua penyakit yang
mejadi masalah utama pada negara
berkembang dan maju. Akan tetapi, kedua
penyakit ini kerap kali dianggap sepele
oleh sebagian besar masyarakatnya.

Padahal, menurut hasil studi dunia angka


kematian akibat dari penyakit jantung dan
pembuluh darah, atau penyakit
kardiovaskular telah mengalami
peningkatan. Menurut data World Health
Organization (WHO), pada 2012 dari
56,5 juta kematian di seluruh dunia
diperkirakan sebanyak 31% disebabkan
oleh penyakit jantung dan pembuluh
darah, atau lebih sederhananya sebanyak
17,5 juta orang meninggal karena
keduanya. Sementara itu, hasil Riskedas
2007 menunjukkan, pravalensi penyakit
jantung adalah 7,2% atau sebanyak 7 dari
100 orang telah menderita penyakit
jantung. Begitu seriusnya permasalahan
jantung, sebaiknya masyarakat bisa lebih
menaruh perhatian dan menjaga terhadap
salah satu organ vital ini. Salah satunya
faktor risiko yang dapat menyebabkan
seseorang terkena penyakit jantung.
Penyakit jantung memiliki sejumlah
faktor risiko. Artinya, penyakit jantung
tidak serta merta timbul dalam waktu
yang dekat, tapi timbul karena gaya hidup
yang telah dijalani bertahun-tahun.

“Ada empat faktor utama penyebab dari


penyakit jantung,

1. Pola makan tidak sehat,

2. Kurang bergerak atau olahraga,

3. Kebiasaan merokok dan menghirup


asap rokok,

4. Minum alkohol,” ucap Dr. Zamhir


Setiawan, Kasubdit Direktorat Penyakit
Jantung, Kementerian Kesehatan di
Jakarta, Kamis (28/9/2017). Namun,
apabila telah terlanjur memiliki penyakit
jantung, kini masyarakat Indonesia tidak
perlu khawatir lagi. Sebab, masyarakat
tidak perlu lagi mempermasalahkan
keuangan, karena sudah ditanggung
BPJS, dan dalam hal alat atau teknologi
yang menunjang pengobatan serta
tindakan pun sudah tersedia. Salah satu
alat yang berguna untuk mempermudah
dokter atau tenaga medis dalam
mendiagnosa dan menangani pasien dan
klinik spesialis, yaitu platform Philips
Azurion. Alat ini dapat digunakan untuk
melakukan berbagai prosedur dalam
berbagai area terapi, termasuk kardiologi,
onkologi, dan vascular. “Kasus Penyakit
Jantung Koroner (PJK) banyak terjadi di
Indonesia dan menyerap sejumlah besar
sumber daya medis yang ketersediannya
terbatas di rumah sakit. Padahal,
teknologi pencitraan (imaging) sangat
penting untuk membantu kami melakukan
berbagai jenis prosedur yang dibutuhkan
oleh pasien dan lainnya secara efektif
serta efisien, terutama bila platform
tersebut memiliki radiasi rendah,”
Namun, pengaruh polusi dan radikal
bebas serta gaya hidup yang tidak sehat
mau tak mau membuat manusia, terutama
bagi mereka yang tinggal di perkotaan
mudah terpapar penyakit. Data terbaru,
ternyata sekitar 70 hingga 80 persen
penyebab kematian di Indonesia berasal
dari penyakit yang tidak menular. Jenis
makanan yang tidak sehat, alkohol dan
rokok disebut-sebut menjadi pemicu
terbesar mengapa penyakit jantung dan
stroke menyerang manusia, bahkan tanpa
mengenal usia.Mirisnya lagi, Penyakit
Jantung Koroner (PJK) merupakan salah
satu penyumbang kematian terbesar
dalam kategori penyakit tidak menular
dibandingkan dengan penyakit tidak
menular lainnya seperti diabetes, kanker
atau penyakit penerapan kronis.Paham
akan masalah tersebut, Royal Philips
(NYSE: PHG, AEX: PHIA) menciptakan
alat Philips Azurion platform image-
guided therapy (IGT) generasi terbaru
untuk mendiagnosis dan menangani
pasien di rumah sakit dan klinik spesialis
untuk melakukan berbagai prosedur
dalam berbagai area terapi termasuk
kardiologi, onkologi dan vaskular. "Kasus
PJK banyak terjadi di Indonesia, dan
menyerap sejumlah besar sumber daya
medis yang ketersediannya masih terbatas
di rumah sakit. Teknologi pencitraan
(imaging) sangat penting untuk
membantu kami melakukan berbagai
jenis prosedur yang dibutuhkan oleh
pasien PJK dan lainnya secara efektif dan
efisien, terutama bila platform tersebut
memiliki radiasi rendah. Dengan
ketersediaan platform seperti ini, kami
dapat memberikan pelayanan yang lebih
baik kepada lebih banyak pasien. Yang
terpenting adalah meningkatkan
keamanan prosedur bagi pasien,” kata Dr.
dr. Antonia Anna Lukito, SpJP(K), FIHA
FSCAI, FAPSIC, Kepala Departemen
Kardiovaskuler FK UPH dan Staf Heart
Center Siloam Lippo Village saat ditemui
di Jakarta, Kamis (28/9/2017).Melalui
Azurion ini, diharapkan dapat membantu
menyelamatkan lebih banyak nyawa,
sekaligus mengurangi total biaya
operasional layanan kesehatan dengan
membuat terapi menjadi lebih efisien,
lebih efektif, dan lebih personal.
Pendekatan alur kerja bari platform
Azurion dirancang untuk mendukung tim
intervensi dalam melaksanakan banyak
prosedur, dan membantu meningkatkan
konsistensi dan efisiensi prosedur,
sekaligus mengurangi komplikasi dengan
paparan radiasi yang rendah.

Daftar Pustaka
https://lifestyle.okezone.com/read/2017/0
9/28/481/1785100

00o00

BABXIII
CATHLAB &
ANGIOGRAFI
KORONER
(KATETERISASI
JANTUNG)

Adalah suatu tindakan


pemeriksaan (test) yang paling akurat
(gold standard) untuk mendiagnosa
penyakit jantung koroner. Pemeriksaan
ini menggunakan sinar X dan zat kontras
ynag diinjeksikan ke dalam pembuluh
darah arteri koronaria untuk melihat ada
tidaknya penyempitan /sumbatan.
Penyakit Jantung Koroner (PJK)
merupakan permasalahan kesehatan yang
dihadapi di berbagai negara di dunia.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi,
menyebabkan diagnosis dan terapi
penyakit tersebut terus berkembang. Di
Indonesia kemajuan perekonomian
menjadi salah satu faktor dalam
meningkatnya prevalensi penyakit
jantung koroner. Kemajuan
perekonomian yang terus berkembang
maka pola hidup masyarakatpun berubah
dan menyebabkan perubahan pola
kesehatan masyarakat (Ramandika,
2012). Penyakit jantung koroner masih
menduduki peringkat teratas sebagai
pembunuh nomor satu di dunia.
Berdasarkan laporan World Health
Statistic 2010, tercatat 17,1 juta orang
meninggal di dunia akibat penyakit
jantung koroner dan diperkirakan angka
ini akan meningkat terus hingga 2030
menjadi 23,4 juta kematian di dunia
(Ridwan, 2011). Penyakit Jantung
Koroner dapat dideteksi dengan
pemeriksaan diagnostik non-invasif
ataupun pemeriksaan invasif.
Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan
berbagai alat. Mulai dengan alat
sederhana seperti EKG dan treadmill
sampai alat yang canggih yaitu MS-CT.
Pemeriksaan secara invasif yang
dilakukan adalah kateterisasi jantung.
Kateterisasi jantung adalah suatu
pemeriksaan penunjang dengan
memasukkan kateter ke dalam sistem
kardiovaskular untuk memeriksa keadaan
anatomi dan fungsi jantung. Prosedur
kateterisasi jantung yang bertujuan untuk
mengevaluasi anatomi pembuluh darah
koroner disebut tindakan angiografi
koroner. Kateterisasi jantung merupakan
teknik yang diakui dunia internasional
sebagai teknik terbaik dan terakurat untuk
mendeteksi adanya sumbatan di
pembuluh darah koroner (Ramandika,
2012). Pada tahun 2010 jumlahnya
meningkat hingga 3 juta prosedur
kateterisasi jantung dilakukan setiap
tahunnya. Di Indonesia, khususnya di
Rumah sakit cipto Mangunkusumo
Jakarta, telah melakukan tindakan
kateterisasi jantung 650 tindakan pada
tahun 2006 dan 1125 tindakan pada tahun
2007. Data dari Rumah Sakit Pusat
Jantung dan Pembuluh Darah Nasional
Harapan Kita, rata-rata hampir sekitar 15-
20 pasien dirawat tiap harinya dan sekitar
350-400 yang berobat ke poliklinik.
Pasien yang dilakukan pemeriksaan
kateterisasi sekitar 25-30 pasien perhari
(Willian, 2011). Sayangnya belum
banyak rumah sakit yang memiliki
fasilitas ruang kateterisasi, sekitar 90%
lebih berada di pulau Jawa. Salah satu
rumah sakit yang memiliki fasilitas ruang
kateterisasi jantung di Sumatera Utara
adalah RSUP Haji Adam Malik Medan.
Data yang diperoleh peneliti pada tahun
2013 dari Medical Record RSUP Haji
Adam Malik Medan di dapatkan bahwa
jumlah pasien jantung koroner yang
menjalani tindakan kateterisasi jantung
tahun 2012 dan Januari-April 2013
sebanyak 378 pasien. Dalam
kateterisasi jantung atau angiografi
koroner banyak pasien yang tidak mau
melakukannya karena takut rasa sakit
yang ditimbulkan. Perasaan takut ini
menjadi bentuk kecemasan yang tidak
teratasi oleh pasien penyakit jantung,
sehingga menahan rasa sakit lebih baik
dari pada harus memeriksanya (Dakota,
2010). untuk mengevaluasi anatomi
pembuluh darah koroner disebut tindakan
angiografi koroner. Kateterisasi jantung
merupakan teknik yang diakui dunia
internasional sebagai teknik terbaik dan
terakurat untuk mendeteksi adanya
sumbatan di pembuluh darah koroner
(Ramandika, 2012). Pada tahun 2010
jumlahnya meningkat hingga 3 juta
prosedur kateterisasi jantung dilakukan
setiap tahunnya. Di Indonesia, khususnya
di Rumah sakit cipto Mangunkusumo
Jakarta, telah melakukan tindakan
kateterisasi jantung 650 tindakan pada
tahun 2006 dan 1125 tindakan pada tahun
2007. Data dari Rumah Sakit Pusat
Jantung dan Pembuluh Darah Nasional
Harapan Kita, rata-rata hampir sekitar 15-
20 pasien dirawat tiap harinya dan sekitar
350-400 yang berobat ke poliklinik.
Pasien yang dilakukan pemeriksaan
kateterisasi sekitar 25-30 pasien perhari
(Willian, 2011). Dari hasil penelitian
Shidqy yang dilakukan pada tahun 2009,
62% dari 8 pasien laki-laki penyakit
jantung koroner adalah memiliki
kecemasan. 40% dari mereka memiliki
kecemasan ringan, 40% dari mereka
memiliki kecemasan sedang, dan 20%
memiliki kecemasan yang parah. Dari
pasien kecemasan, ada 80% dari mereka
yang merasa bahwa kondisi kesehatan
mereka semakin memburuk. Sebaliknya,
pasien yang tidak cemas, 67% dari
mereka merasa kondisi kesehatan mereka
mengalami kemajuan, dan 33% dari
mereka merasa lebih buruk. Hasil dari
penelitian ini adalah ada hubungan yang
signifikan antara kecemasan dan
munculnya kondisi yang lebih buruk dari
penderita penyakit jantung koroner
(Shidqy, 2009).
13.1. Definisi Kateterisasi Jantung
Kateterisasi jantung atau disebut juga
angiogram koroner. Kateterisasi jantung
adalah tindakan pemeriksaan invasif
yang melibatkan pemasukan kateter,
sebuah tabung tipis berongga, ke jantung
untuk menilai kondisi nyata dari organ
tersebut. Jantung memainkan peranan
penting dalam keberlangsungan hidup.
Jantung membantu mendistribusikan
darah ke bagian yang berbeda pada
tubuh dan memungkinkan sel untuk
memperoleh nutrisi yang dibawa oleh
darah. Organ jantung yang menjadi
bagian dari sistem sirkulasi ini juga
memiliki mekanismenya sendiri dalam
bekerja. Selain memompa darah, jantung
juga menggunakan sinyal elektrik untuk
memungkinkan darah mengalir melalui
rongga-rongga yang berbeda.
Bagaimana pun juga, sebagaimana organ
lainnya, jantung juga dapat mengalami
permasalahan. Sebagai contoh,
kolesterol jahat yang tinggi dan
trigliserida dapat membangun plak pada
dinding arteri dan katup jantung. Ketika
mereka menyempit, jantung dipaksa
untuk bekerja lebih keras yang berarti
menaruh tekanan yang besar pada salah
satu otot terbesar dan terpenting tubuh.
Kondisi ini disebut penyempitan.
Selama kondisi tersebut berlangsung,
seseorang dapat mengalami kesulitan
bernafas. Kondisi ini juga dapat memicu
gagal jantung, hipertensi, atau stroke.
Kesalahan sistem di jantung juga dapat
mengakibatkan berbagai permasalahan.
Sebagai contoh, aritmia yaitu keganjilan
atau ketidak beresan pada detak jantung
yang biasanya disebabkan oleh masalah
pada aktifitas elektrik pada jantung.
Sebagai tindakan pencegahan atau
rencana pengendalian, dokter termasuk
kardiolog, yaitu ahli segala keluhan
jantung, akan menyarankan pengujian
seperti kateterisasi jantung. Bersamaan
dengan itu, intervensi koroner perkutan
seperti angioplasty dengan pemasangan
ring atau angiografi koroner juga dapat
dilakukan.

13.2. Katerisasi jantung dilakukan


ketika:

 Pencitraan biasa dan pengujian


standar tidak memberikan hasil
yang memuaskan atau
kekurangan data

- Dokter merekomendasikan ini


tindakan jika mereka
membutuhkan informasi lebih
untuk menilai kondisi jantung
dengan akurat yang tidak
dimungkinkan hanya melalui
pengujian fisik atau penyinaran X.

 Pasien telah melakukan IKP

- IKP (intervensi koroner


perkutan) adalah jenis tindakan
yang dilakukan untuk mencegah
penyempitan, atau penghalangan
arteri, katup, dan pembuluh vena.
Biasanya kateter dimasukkan
terlebih dahulu sebelum ujung
balon dikirimkan menuju jantung.
Setelah alat tersebut berada pada
posisinya, balon akan
mengembang dan mengempis
beberapa kali, mendorong
endapan plak ke dinding dan
memperlebar jalan darah. Untuk
meyakinkan bahwa jalan tersebut
tetap terbuka, selongsog juga
ditanam di sana .

 Pasien harus melakukan


angiografi koroner

- Dalam angiografi koroner,


pewarna kontras dihantarkan
melalui kateter yang telah
terpasang. Ketika pasien
melakukan pemindaian, pewarna
tersebut membuat isi dari
pembuluh arteri lebih terlihat.
 Seseorang dengan sejarah gagal
jantung

- Tindakan ini membantu dokter


untuk memantau tekanan dan
aktivitas elektrik dari rongga
jantung dan jumlah oksigen yang
terdapat di dalamnya.Kateterisasi
jantung juga diperlukan untuk
menguji apakah rencana tindakan,
pencegahan, atau pengendalian
yang dilakukan telah bekerja
dengan baik. Tindakan tersebut,
meskipun invasif, jarang
mengalami komplikasi atau risiko
yang serius. Namun tergantung
pada dimana kateter ditempatkan,
pasien dapat lebih sering merasa
ingin membuang air kecil setelah
tindakan dilakukan. Pasien pun
dapat menginap di rumah sakit
atau diantar pulang setelah
tindakan dilakukan sesuai saran
dokter.
13.3. Cara Kerja Kateterisasi Jantung

Sebelum tindakan dilakukan,


dokter akan mencatat obat-obatan,
hasil dari pengujian sebelumnya,
serta kesehatan pasien secara
menyeluruh. Tindakan kemudian
dilakukan di rumah sakit dengan
pembiusan lokal; kondisi ini
berarti pasien tetap bangun namun
tidak akan mengingat sebagian
besar tindakan. Kateter dapat
dipasang pada pembuluh darah
besar mana saja yang biasa
ditemukan di leher, pangkal paha,
atau pergelangan tangan. Lokasi
yang terpilih kemudian dikebalkan
dengan obat bius untuk
mengurangi rasa sakit. Penorehan
yang sangat kecil kemudian
dilakukan pada lokasi tersebut,
setelah selongsong dipasang
sebelum kawat halus panjang
dimasukkan. Kawat ini akan
menuju jantung, berperan sebagai
pemandu bagi kateter. Sistem
pencitraan atau sonde tipis yang
lentur juga dapat dimasukkan
untuk memungkinkan dokter
melihat penempatan yang tepat
bagi selongsong dan kawat
pemandu. Jika keduanya telah
berada di lokasi yang tepat, dokter
kemudian memasukkan kateter ke
dalam torehan kecil tersebut.
Kateter akan masuk ke dalam
selongsong mengikuti jalan dari
kawat penuntun, tetapi tetap
berada di atas kawat. Dokter akan
membimbing kateter hingga
mencapai jantung dengan hati-
hati. Dokter kemudian dapat
melakukan tindakan lain yang
dibutuhkan, seperti angioplasty,
pemasangan ring, pengumpulan
contoh oksigen, atau angiografi
koroner. Setelah semua tindakan
yang dibutuhkan selesai, kateter,
kawat pemandu, dan selongsong
dilepaskan. Luka yang terjadi
kemudian ditutup dan dibebat.
Sedikit tekanan mungkin harus
dilakukan untuk mengurangi
kemungkinan pendarahan. Butuh
waktu setidaknya 30 menit untuk
menyelesaikan seluruh tindakan.
Kemungkinan Komplikasi dan
Risiko Kateterisasi Jantung. Pada
umumnya, kateterisasi jantung
jarang mengalami komplikasi atau
risiko serius. Setelah tindakan
dilakukan, sangatlah wajar jika
terlihat memar atau pendarahan
kecil. Lokasi penorehan
merupakan luka yang berarti dapat
menjadi jalan terbuka bagi bakteri
dan virus. Oleh karena itu, penting
bagi pasien untuk mengikuti saran
dari dokter untuk membersihkan
dan membalut lokasi luka
tersebut. Dengan cara itu, risiko
infeksi dapat dikurangi secara
signifikan. Lokasi tersebut juga
dapat terasa nyeri (atau bengkak),
merah, dan perih selama beberapa
hari pertama setelah tindakan
dilakukan. Jika kondisi tersebut
memburuk atau tidak berkurang,
pasien harus segera menghubungi
dokter. Dalam Beberapa kasus,
pembuluh darah, termasuk yang
sehat, dapat rusak. Hal ini dapat
terjadi jika kateter tanpa sengaja
menggores pembuluh sensitif
yang melalui jantung. Bagi
mereka yang melakukan
angiografi, mereka harus memiliki
ginjal yang berfungsi baik karena
mereka harus membuang pewarna
kontras. Penggumpalan darah dan
reaksi alergi juga merupakan
komplikasi yang memungkinkan
dalam tindakan ini.

13.3.1. Persiapan

Sebelum prosedur dilakukan,


pasien harus mendiskusikan
riwayat kesehatan dan rencana
pengobatan yang sedang dan akan
dijalani dengan dokter spesialis
jantung intervensi.

13.3.2. Prosedur

 Tindakakan Angiografi dan


Angioplasti dilakukan di ruang
kuhsus yaitu Cath Lab
 Sebelum tindakan, dokter akan
melakukan pembiusan lokal di
lipatan paha atau pergelangan
tangan. sehingga saat tindakan,
pasien tetap sadar dan dapat
berkomunikasi dengan dokter
yang melakukan tindakan
 Prosedur ini menggunakan
Catheter (selang halus) yang
dimasukan melalui pembuluh
darah areteri hingga mencapai
pembuluh darah aorta dan
ditempatkan pada posisi muara
arteri koroner.
 Cairan tertentu (zat kontras) akan
diinjeksikan melalui catheter
sehingga pembuluh darah koroner
terlihat oleh sinar X dan dapat
diketahui secara tepat letak, luas,
serta beratnya penyempitan
pembuluh darah koroner.
 Sebagai tambahan pemeriksaan ini
juga menilai kemampuan
berkontraksi atau memompa dari
jantung.
13.3. Hal yang mungkin dirasakan

 Tekanan ringan pada saat keteter


dimasukan
 Hangat, perasaan kesemuitan
ketika zat kontras dimasukan
 perasaan ingin buang air kecil.
Jika Angiografi Koroner telah
dilaksanakan, dokter akan
merekomendasikan tindak lanjut
pengobatan yang paling tepat
tergantung dari hasilnya. Apakah
cukup dengan Pengobatan ,
Angioplasti Koroner/ Stenting
(PTCA/PCI), atau harus dilakukan
Beah Jantung (Bypass/CABG)

13.4. Angioplasti Koroner

13.4.1. Percutaneous Coronary


Intervention (PCI)

Adalah tindakan pelebaran pembuluh


darah koroner yang mengalami
penyempitan dengan balon (tanpa
operasi).Prosedur hampir sama dengan
angiografi koroner tetapi ada tambahan
dengan menggunakan kateter khusus.
Balon yang dimasukan dan
dikembangkan tepat di lokasi
penyempitan agar pembuluh darah yang
menyempit kembali terbuka.Untuk
mencehag terjadinjya penyempitan
kembali (re-stenosis), dilakukan tindakan
pemasangan atau cincin penyanggah
(stent).

13.4.2. Risiko
Dengan semakin cenggihnya peralatan
angiografi dan berkembangnya teknik-
teknik baru pada tindakan Catheterisasi
maka tindakan ini memiliki resiko sangat
minimal dengan masa rawat yang singkat.

Daftar Pustaka

1. Davidson CJ, Bonow RO.


Cardiac catheterization. In:
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP,
Libby P, eds. Braunwald's Heart
Disease: A Textbook of
Cardiovascular Medicine. 9th ed.
Philadelphia, PA: Saunders
Elsevier; 2011:chap 20.
2. Kern M. Catheterization and
angiography. In: Goldman L,
Schafer AI, eds. Goldman's Cecil
Medicine. 24th ed. Philadelphia,
PA: Saunders Elsevier; 2011:chap
57.

3. Sirajuddin. Survei Konsumsi


Pangan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2014.

4. Ruslianti. Kolesterol Tinggi


Bukan Untuk Ditakuti. Jakarta:
Fmedia( Imprint Agromedia
Pustaka); 2014.

00o00
DAFT
AR
PUSTA
KA

Anies. Kolesterol & Penyakit


Jantung Koroner. Jogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA; 2015.
Romdoni R. Pidato Sambutan
Ketua PP PERKI pada
Pembukaan The 22nd ASMIHA.
22nd Annual Scientific Meeting
of Indonesian Heart Association
(ASMIHA). Jakarta: Hotel Ritz
Carlton; 5-7 April2013.
WHO. Library Cataloguing-
Publication Data. Heart:
Technical Pacakege For
Cardiovaskuler Disease
Management In Primary Health
Care Switzerland: WHO Press;
2016.
Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Riset
Kesehatan Dasar Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia;
2013.
Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Riset Kesehatan Dasar
Sumatera Barat 2013. Jakarta:
Balitbangkes Depkes RI; 2013.
Nuraini AT. Hubungan Asupan
Serat dan Vitamin E Dengan
Kadar Kolesterol Total Pada
Penderita Penyakit Jantung
Koroner Rawat Jalan Di RSUD
Dr. Moewardi: Jurnal Kesehatan
Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2016.
World Health Statistics
Reports [Internet]. 2013 [cited
1 November 2016 jam20.00
WIB]. Available from:
http://www.who.int/gho/en.
Aurora RG. Peran Konseling
Berkelanjutan pada Penganganan
Pasien Hiperkolesterolemia:
Falkultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012.
Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler Indonesia.
Pedoman Tatalaksana
Dislipidemia. Jakarta: Centra
Communications; 2013.
Andira AA. Hubungan Pola
Konsumsi Makan, Status Gizi,
Stres kerja dan Faktor Lain
Dengan Hiperkolesterolemia
Pada Karyawan PT. Semen
Padang: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas
Indonesia; 2012.
Kasron. Kelainan dan Penyakit
Jantung. Yogyakarta: Nuha
Medika; 2012.
Yani M. Mengendalikan Kadar
Kolesterol Pada
Hiperkolesterolemia: Universitas
Negeri Yogyakarta; 2015.

Soleha M. Kadar Kolesterol Dan


Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Kadar Kolesterol
Darah: Pusat Biomed Dan
Teknologi Dasar Kesehatan,
Badan Litbangkes Kemenkes RI;
2012.
Adib, M.Cara Mudah
Memahami dan Menghindari
Hipertensi Jantung dan
Stroke.Yogyakarta : Dianloka
Pustaka Populer ;2009.
Maulana, M. Penyakit Jantung :
Pengertian, Penanganan ,dan
Pengobatan. Yogyakarta :
Penerbit KataHati ;2008.
Nadesul, H. Resep Mudah Tetap
Sehat : Cerdas Menaklukkan
Semua Penyakit Orang
Sekarang. Jakarta : PT Kompas
Media Nusantara ;2009.
Sitorus, R.H.3 Jenis Penyakit
Pembunuh Utama Manusia.
Bandung : Penerbit Yrama
Widya ;2008.
Saptawati, L.Bersahabat dengan
Penyakit Jantung. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius ; 2009.
Sari DM, Azrimaidaliza,
Purnakarya I. Faktor Resiko
Kolesterol Total Pasien Penyakit
Jantung Koroner Dirumah Sakit
Achmad Mochtar Bukittinggi:
FKM Unand Kesehatan; 2010.
Nazar AD, Novelasari.
Prevalensi Sindrom Metabolik
Sebagai Faktor Risiko Penyakit
Degeneratif dan Faktor-faktor
Risiko yang Mempengaruhinya
pada Guru SMA Negeri 2
Padang: Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan Padang;
2013.
Zahroh L, Bertalina. Asupan
Energi, Asam Lemak Tak Jenuh
Ganda, Kolesterol Dan IMT
Dengan Kadar Kolesterol Darah
Pada Pasien Jantung Koroner
Rawat Jalan: Jurnal Kesehatan;
2014.
Sobari RN. Hubungan Asupan
Asam Lemak Jenuh Dan Tak
Jenuh Dengan Kadar Kolesterol
HDL Pada Pasien Penyakit
Jantung Koroner Di RSUD Dr.
Moewardi. Surakarta: Ilmu
Kesehatan Universitas
Muhammadiyah; 2014.
Sari DY. Asupan Serat Makanan
Dan Kadar Kolesterol-LDL
Penduduk Berusia 25-65 Tahun
Di Kelurahan Kebon Kalapa.
Bogor: Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan Dan Epidemiologi
Klinik; 2014
Mamat. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kadar
Kolesterol HDL Di Indonesia
(Analisis Data Sekunder IFLS
2007/2008): Jurnal Universitas
Indonesia; 2010.
Kusumasari P. Hubungan
Antara Merokok Dengan Kadar
Kolesterol Total Pada Pegawai
Pabrik Gula Tasikmadu
Karanganyar: Universitas
Muhammadiyah Surakarta; 2015.
Sari SK. Hubungan Tingkat
Stress dengan Kadar Koesterol
pada Polisi Lalu Lintas, Penjaga
Pintu Rek Kereta Api dan
Petugas Perpustakaan di Stikes
dan SMA Purnama di Kecamatan
Gombong: Stikes Gombong;
2010.

Waluyo T, Rimbawan,
Andarwulan N. Hubungan
Antara Konsumsi Pangan Dan
Aktivitas Fisik Dengan Kadar
Kolesterol Darah Pria Dan
Wanita Dewasa Di Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat,
Departemen Ilmu Dan Teknologi
Pangan, Institut Pertanian Bogor;
2013.
Ruslianti. Kolesterol Tinggi
Bukan Untuk Ditakuti. Jakarta:
Fmedia( Imprint Agromedia
Pustaka); 2014.
Mulyanti D. Panjang Umur
Dengan Kontrol Kolesterol dan
Asam Urat. Yogyakarta: Penerbit
Cahaya Atma Pustaka; 2011
Russel DM. Bebas dari 6
Penyakit Paling Mematikan.
Yogyakarta: MedPress (Anggota
IKAPI); 2011.
Helty. Hubungan Kebiasaan
Merokok dan Kadar Kolesterol
dengan Kejadian Penyakit
Jantung Koroner di Poli Jantung
RSU Bahteramas Kendari: Stikes
Mandala Waluya; 2013.
Bouillon, Kim. Decline in low-
density lipoprotein cholesterol
concentration: lipid-lowering
drugs, diet or phyicaactivity?:
Evidence form the Whitehall II
Study heart; 2011.
Sirajuddin. Survei Konsumsi
Pangan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2014.
Damayanti Y. Hubungan
Asupan Lemak Dan Serat
Dengan Kejadian
Hiperkolesterolemia Pada Guru
SD Negeri Di Kecamatan
Nanggalo Kota Padang Tahun
2015: Poltekkes Kemenkes
Padang; 2015.
Soetardjo S. Gizi Usia Dewasa
in: Gizi Seimbbang Dalam Daur
Kehidupan. Almasier et al (ED).
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama; 2011. Kehidupan.
Almasier et al (ED). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama; 2011.
Curriculum Vitae
Prof. Dr. dr. Rochmad
Romdoni, Sp.PD, Sp.JP (K)

Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni,


Sp.PD, Sp.JP (K),dilahirkan di
Surabaya, tanggal 12 Juli Tahun
1949. Jabatan Direktur Rumah Sakit
Islam di Surabaya. Pendidikan yang
telah ditempuh S1 Pendidikan Dokter
– di Universitas Airlangga,pada Tahun
1975, melanjutkan Graduate Degree
(S2,Lulus Tahun 1987, mengambil
Program Spesialis Ilmu Penyakit
Dalam – Universitas Airlangga,Lulus
Tahun 1981, Program Spesilais Ilmu
Penyakit Jantung & Pembuluh Darah –
Universitas Airlangga,Lulus Tahun
1987, Pendidikan Kardiologi di
Belanda,Lulus Tahun 1986,
Pendidikan Kardiologi di Jepang,Lulus
Tahun 1984,Melanjutkan
S3.Kedokteran Uniersitas Airlangga
,Lulus Tahun 2001.Riwayat Pekerjaan
, Dosen FK Unair,pada Tahun 1976-
Sekarang,di Surabaya. Staf Medik
Dept/SMF Kardiologi & Kedokteran
Vaskuler FK Unair,RS.Dr.Soetomo
1976-Sekarang,di Surabaya , Kepala
Bidang Pelayanan Medik (2001-
2002),di Surabaya, Wadir Bidang
Pendidikan & Pelatihan,(2002-2003),
Direktur RS Haji Surabaya (Oktober
2003-2009),di Surabaya, Sekretaris
BPF FK Unair di FK Unair, (2009-
2013), Anggota SAU Unair, (2009-
2014), Ketua Divisi Echokardiografi
RSUD dr. Soetomo - FK Unair (2009-
sekarang), Rektor Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya, (2013-
2015), Direktur RS Islam Jemursari,
665(2013- sekarang),di Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai