JANTUNG KORONER
OLEH :
ROCHMAD ROMDONI
SURABAYA
2018
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Epidemiologi ...........................................
1.2.PJK........................................................... 1
1.3. Anatomi Jantung Koroner ..................... 2
Malang, April,2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
KARDIOLOGI
1.1.ProblematikaMedikolegal
Daftar Pustaka
1. Romdoni R. Pidato
Sambutan Ketua PP PERKI
pada Pembukaan The 22nd
ASMIHA. 22nd Annual
Scientific Meeting of
Indonesian Heart Association
(ASMIHA). Jakarta: Hotel
Ritz Carlton; 5-7 April2013.
00O00
BAB II
MENGENAL
PJK
2.1. PJK
Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang
juga sering disebut penyakit jantung
iskemik paling sering disebabkan karena
sumbatan plak ateroma pada arteri
koroner. Arteri koroner adalah arteri yang
memasok nutrisi dan oksigen ke otot
jantung (miokard). Penampilan klinis PJK
sangat bervariasi. Nyeri dada biasanya
merupakan gejala yang paling menonjol
pada angina pektoris stabil, angina tidak
stabil, angina Prinzmetal. angina
mikrovaskular dan infark miokard akut.
Sungguhpun demikian tampilan klinis
PJK dapat terjadi tanpa nyeri dada atau
dengan nyeri dada yang tidak menonjol,
misalnya iskemia miokard tersamar, gagal
jantung. aritmia, dan mati mendadak.
Pada PJK akibat aterosklerosis, terdapat
penimbunan lemak dan zat lain yang
membentuk plak pada dinding arteri. Plak
aterosklerosis ini menyebabkan
penyempitan lumen arteri koroner,
sehingga aliran darah ke miokard
terganggu dan menimbulkan iskemia
miokard. Bila plak rupture, maka
terjadilah proses trombosis, yaitu
pembentukan trombus yang dapat
mengakibatkan oklusi total arteri koroner
dan nekrosis sel miokard. Rentetan
kejadian ini memberikan manifestasi
klinis mulai angina pektoris stabil dan
sindrom koroner akut (SKA) yaitu angina
pektoris tidak stabil, infark miokard akut
(IMA) tanpa elevasi ST, lMA dengan
elevasi ST, hingga kematian mendadak.
Penyakit jantung koroner kini menjadi
penyebab utama kematian di dunia. baik
pada laki-laki maupun perempuan.
Berbagai faktor risiko ditenggarai
mendorong terjadinya PJK, sebagian
dapat dimodifikasi letapi sebagian lagi
tidak. Penting bagi dokter-dokter yang
bekerja di pelayanan kesehatan primer
untuk memahami faktor-faktor risiko ini.
agar dapat melakukan upaya pencegahan
primer bagi masyarakat wilayah kerjanya.
Dengan mengenali faktor risiko dan
tanda-tanda klian PIK. para dokter juga
dapat melakukan skrining dan deteksi dini
ini. Elektrukardiogram sebagai modalitas
diagnosis PIK yang paling udahan.
seyogyanya dikuasai oleh para dokter dan
tersedia di semua pelayanan kesehatan
primer.
Konsep revaskularisasi dalam
penanganan pasien IMA dengan elevasi
ST penting untuk dipahami, disamping
konsep penurunan kebutuhan oksigen
miokard; dengan demikian akan banyak
sel- sel miokard yang terselamatkan.
Terapi fibrinolitik merupakan salah satu
upaya yang dapat didelegasikan kepada
para dokter di garda pelayanan kesehatan
terdepan, merekalah yang sebenarnya
paling berperan dalam menyelamatkan
miokard. “Time is muscle”, semakin
cepat revaskularisasi dilakukan, semakin
banyak miokard yang terselamatkan, dan
semakin baik prognosis pasien IMA.
Terapi fibrinolitik tentu mempunyai
risiko, kemungkinan perdarahan perlu
diantisipasi dan disikapi. Keberhasilan
revaskularisasi juga bisa disertai dengan
terjadinya arimia, yang bila tidak diatasi
dengan baik dapat menimbulkan masalah
besar. Metode revaskularisasi yang lain
adalah dengan intervensi non bedah dan
bedah. Pencegahan sekunder dan
rehabilitasi jantung adalah konsep
penanganan jangka panjang yang
seyogyanya dilakukan di pelayanan
kesehatan primer. Apabila hal ini dapat
dilaksanakan dengan baik, niscaya
sebagian besar pasien PJK akan dapat
hidup dengan kondisi seperti sedia kala,
bahkan mungkin lebih baik lagi karena
kebugarannya terjaga melalui Pola Hidup
Sehat. Topik-topik yang dipaparkan
berikut ini, akan memberi bekal bagi para
dokter di pelayanan kesehatan primer
untuk mengatasi berbagai permasalahan
yang harus dihadapi ketika menangani
pasien dengan penyakit jantung koroner.
00o00
BAB III
EFFEK PJK
b. Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik mencakup berbagai
faktor risiko kardiovaskular. Definisi
sindrom metabolik yang sedikit berbeda
telah diusulkan oleh sejumlah organisasi,
termasuk NCEP dan Organisasi
Kesehatan Dunia. Menurut kriteria
NCEP, 1 diagnosis memerlukan
kehadiran 3 atau lebih dari kelainan
biologis dan fisiologis berikut ini:
Peningkatan Trigliserid (>150 mg/dl)
Kolestrol HDL yang rendah
Gangguan glukosa puasa (≥110 mg/dl)
Tekanan Darah yang tinggi (≥130/80)
lingkar pinggang ≥102 cm (laki-laki),
≥88cm (perempuan)
Terlepas dari definisi mana yang
digunakan, kehadiran sindrom metabolik
diyakini dapat meningkatkan risiko PJK
pada tingkat kolesterol LDL
manapun.Analisis dari Framingham Heart
Study menunjukkan bahwa pria dan
wanita yang memiliki kadar trigliserida
tinggi (> 150 mg / dL [> 1,7 mmol / L])
dan kadar kolesterol HDL rendah (<40
mg / dL [<1,03 mmol / L ]) ditandai
dengan peningkatan risiko kardiovaskular
yang meningkat.7 Fenotipe kolesterol
tinggi trigliserida / rendah merupakan ciri
khas sindrom metabolik. Sindrom
metabolik berhubungan erat dengan
resistensi insulin dan sangat terkait
dengan risiko PJK. Ini memiliki dampak
yang lebih besar pada kejadian PJK pada
wanita daripada pada pria. Leptin adalah
protein yang berperan dalam metabolisme
lemak dan berkorelasi erat dengan
resistensi insulin dan penanda lain dari
sindrom metabolik, terlepas dari
adipositas total. Tingkat leptin yang
meningkat telah diusulkan sebagai faktor
risiko independen untuk PJK dalam
sebuah studi prospektif yang besar (Studi
West of Scotland Coronary Prevention)
[WOSCOPS]).
Lipoprotein (a)
Lipoprotein (a) [Lp (a)] dibentuk dengan
menggabungkan lipoprotein yang secara
struktural mirip dengan LDL dalam
komposisi protein dan lipid dengan
protein hidrofilik kaya karbohidrat yang
disebut apo (a). Lp (a) partikel
mengandung apo (a) dan apo B dalam
rasio molar 1: 1. Apo (a) mengandung
domain kringle dan domain terminal
karboksil dengan identitas asam amino
85% dengan domain protease
plasminogen. Massa molekul apo (a)
protein bervariasi dari 187 kDa untuk apo
(a) yang mengandung 12 kringle 4
domain, menjadi 662 kDa untuk apo (a)
yang mengandung 50 kringle 4 domain.
Sampai saat ini, tidak ada uji klinis yang
menunjukkan bahwa menurunkan tingkat
Lp (a) menurunkan risiko PJK. Namun,
hampir semua studi kasus kontrol
retrospektif telah menemukan hubungan
yang kuat antara peningkatan kadar Lp
(a) dan PJK. Di sisi lain, hasil penelitian
prospektif telah dicampur, dengan 9 studi
prospektif melaporkan bahwa Lp (a)
adalah faktor risiko independen untuk
PJK dan 4 penelitian lainnya mencapai
kesimpulan yang berlawanan.
Ketidakkonsistenan ini (sebagian) terkait
dengan kurangnya standarisasi dan
kegagalan beberapa immunoassay untuk
mengukur semua apolipoprotein (a)
isoforms. Sebuah analisis meta-analisis
prospektif baru-baru ini menunjukkan
bahwa konsentrasi plasma Lp (a) memang
merupakan faktor risiko independen
untuk PJK pada pria dan wanita.17
Kesimpulan ini dikonfirmasi oleh Studi
Epidemiologi Prospektif Infark Miokard
(PRIME), 18 yang termasuk 9133 pria
Prancis dan Irlandia Utara, berusia 50
sampai 59 tahun saat masuk, tanpa
penyakit kardiovaskular yang nyata.
Dalam subjek ini, Lp (a) secara signifikan
terkait dengan pengembangan PJK dan
tampaknya merupakan faktor risiko yang
signifikan (P <0,0006) dalam kelompok
secara keseluruhan (walaupun hubungan
tersebut tidak signifikan secara statistik
pada sampel Belfast). Lebih khusus lagi,
penelitian ini menemukan bahwa subjek
dengan kadar Lp (a) pada kuartil tertinggi
memiliki lebih dari 1,5 kali risiko
dibandingkan subyek pada kuartil
terendah. Selain itu, kadar Lp (a) di atas
33 mg / dL dan kolesterol LDL tinggi (>
163 mg / dL [> 4,22 mmol / L]) dikaitkan
dengan peningkatan risiko kardiovaskular
dibandingkan dengan Lp (a) tingkat di
bawah 33 mg / dL dan kolesterol LDL
rendah (<121 mg / dL [<3,13 mmol / L];
risiko relatif: 1,58 dan 0,82). Penelitian
ini juga menunjukkan bahwa peningkatan
Lp (a) meningkatkan risiko MI dan
angina pectoris, terutama pada pria
dengan kadar kolesterol LDL tinggi.
e. Homocysteine
Homocysteine terbentuk selama
demethylation of methionine, sedangkan
degradasinya terjadi melalui remetilasi
dan / atau transsulfuration. Gangguan
metabolisme homocysteine telah
dikaitkan sebagai faktor aterosklerosis,
penyakit serebrovaskular, dan penyakit
vaskular perifer. Penyebab
hyperhomocysteinemia meliputi
penyebab genetik (yaitu redoksase
metilenetetrahidrofolat termolaben,
sistationin sintase heterozigot),
kekurangan vitamin (asam folat, B12,
B6), penggunaan obat tertentu, dan fungsi
ginjal yang terganggu. Selain itu,
hubungan langsung antara homosistein
dan merokok, diabetes, obesitas, dan
hipertensi telah disarankan. Mekanisme
yang tepat dimana tingkat homosistein
yang lebih tinggi dapat berubah menjadi
peningkatan risiko PJK dan / atau
trombotik tetap spekulatif. Kedua efek
toksik langsung pada sel endotel,
sebagian karena stres oksidatif, serta
mekanisme yang lebih tidak langsung
telah dipostulasikan.Sampai saat ini, lebih
dari 80 penelitian cross-sectional, case-
control, dan kohort telah menghubungkan
hiperhomosisteinemia dengan risiko PJK.
Sebagai contoh, dalam Framingham Heart
Study, 19 studi kasus-kontrol bersarang di
21 826 subjek di Tromso, Norway, 20 dan
pada wanita tetapi tidak laki-laki yang
terdaftar dalam penelitian Atherosclerosis
Risk in Communities (ARIC), 21 tingkat
homosistein lebih tinggi pada orang
dewasa dengan PJK Dalam British Heart
Heart Study, 22 tingkat homosistein
secara signifikan (P = 0,004) lebih tinggi
pada penderita stroke. Baru-baru ini, data
dari penelitian kohort prospektif pada 17
361 orang menguatkan temuan
peningkatan kadar homosistein pada
subjek dengan penyakit kardiovaskular
yang sudah ada sebelumnya.23 Lebih
lanjut, frekuensi rawat inap untuk
penyakit kardiovaskular berkorelasi
dengan tingkat homosistein awal,
terutama pada kelompok usia tertua (rasio
rawat inap per 5 μmol / L pada
homosistein: 1,29 banding 1,10; nilai
probabilitas untuk interaksi, 0,02) .23
Homocysteine diukur pada peserta
Prancis yang sehat dalam Suplementasi
dengan Vitamin Antioksidan dan Mineral
Antioksidan, yang menyelidiki efek dari
Suplemen antioksidan pada penyakit
kronis. Penelitian ini menyarankan bahwa
untuk mengendalikan homosistein,
penurunan konsumsi kopi dan alkohol
mungkin penting pada wanita, sedangkan
peningkatan aktivitas fisik, serat
makanan, dan asupan folat mungkin
penting pada pria.Saat ini, dampak
pengobatan hiperhomosisteinemia pada
subyek dengan peningkatan risiko
kardiovaskular sedang dievaluasi dalam
beberapa penelitian prospektif, data dari
data akan tersedia selama 2 sampai 4
tahun ke depan. Menunggu hasil ini,
analisis terbaru telah menekankan
dampak potensial dari "pengenceran
regresi" pada hasil potensial. Ini mengacu
pada variabilitas orang dalam pengukuran
homosistein plasma, yang mencairkan
asosiasi homosistein dengan risiko PJK.
Rasio pengenceran regresi (RDR) untuk
homocysteine dihitung dengan
menggunakan pengukuran homocysteine
tiruan yang diperoleh setelah 3, 6, dan 8
tahun dari penelitian Rotterdam,
Hordaland, dan Framingham, masing-
masing, dan setelah 3, 6, 9, dan 12 tahun
dari Inggris Studi Diabetes prospektif
(UKPDS). Dengan menggunakan analisis
regresi linier untuk studi berbasis
populasi, hasil ini menunjukkan RDR
0,83 pada 2 tahun, 0,71 pada 6 tahun, dan
0,53 pada 12 tahun. Ekstrapolasi temuan
ini ke penelitian prospektif yang sedang
berlangsung menunjukkan bahwa
penelitian ini dapat meremehkan risiko
relatif untuk PJK yang terkait dengan
homosistein sebesar 20% setelah 2 tahun
dan 50% setelah 10 tahun.
00o00
BAB IV
ANGINA
PEKTORIS
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik
penderita APS, seringkali tidak
ditemukan kelainan berarti. Namun
demikian pencarian adanya penyakit-
penyakit seperti hipertensi, penyakit paru
kronis (akibat rokok), xanthelasma
(dislipidemia), dan bukti adanya penyakit
aterosklerosis bukan koroner (pulsasi nadi
lemah, bruit carotis atau renal, aneurisma
aorta abdominalis) penting sekali. Adanya
temuan penyakit-penyakit tersebut
berguna dalam penentuan risiko dan
manfaat suatu strategi pengobatan dan
kebutuhan akan pemeriksaan tambahan
lainnya.
Pada auskultasi jantung, khususnya
sewaktu sakit dada berlangsung, bisa
terdengar suara jantung tiga (S3) atau
empat (S4) karena adanya disfungsi
sementara ventrikel kiri. Bisa juga
terdengar murmur regurgitasi mitral
akibat disfungsi otot papillaris sewaktu
iskemia miokard terjadi. Adanya ronki
basah dibasal kedua paru mungkin saja
mengindikasikan adanya gagal jantung
kongestif. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG dilakukan pada semua
pasien dengan kecurigaan angina
pektoris. Perubahan EKG yang paling
sering ditemukan adalah: depresi segmen
ST, kadang-kadang dijumpai elevasi atau
normalisasi Segmen ST/ gelombang T.
Adanya perubahan segmen ST-T atau
hipertrofi Ventrikel kiri (walaupun tidak
spesifik), menyokong diagnosis angina.
Tanda infark sebelumnya seperti
gelombang Q juga sangat menunjang
adanya PJK. Berbagai gangguan konduksi
dapat terjadi, paling sering left bundle
branch block (LBBB) dan left anterior
fascicular block. Gangguan konduksi
sering kali berhubungan dengan fungsi
ventrikel kiri yang terganggu dan
menggambarkan penyakit “multivessel”
atau adanya kerusakan miokard yang
terjadi sebelumnya. Pada waktu angina
berlangsung, 50% pasien APS
memperlihatkan EKG istirahat normal.
Elektrokardiografi latihan atau
treadmill adalah penunjang diagnostik
yang penting, terutama pada pasien
dengan EKG istirahat yang normal dan
pasien mampu melakukan uji latih
jantung. Bagi pasien yang tidak bisa
melakukan uji latih jantung seperti pada
kelompok lanjut usia, penyakit arteri
perifer, penyakit paru, artritis, halangan
ortopedik, obesitas, dan pasca stroke, ada
pilihan pencitraan farmakologis seperti
ekokardiograii stress (dobutamin stress
ekokardiografi) dan nuklir stress
(menggunakan adenosin atau
dipiridamol). Pemeriksaan ini juga
dianjurkan bila EKG tidak normal, seperti
LBBB, sindrom Wolff-Parkinson-White
(WPW), irama pacu jantung, depresi
segmen ST ≥ 1 mm tetapi hasil treadmill
sulit dinilai. Ada pula alat atau modalitas
pencitraan stress yang lebih baru, yaitu
magnetic resonance imaging (MRI).
Daftar Pustaka
5. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Profil Kesehatan
Jawa Tengah 2006. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia ;2009.
00O00
BAB V
SINDROM
KORONER AKUT
5.1. Pengertian Sindroma Koroner
Akut (SKA)
2. Ruptur plak
Setelah plak rupture sel-sel
trombosit akan menutupi atau menempel
pada plak yang ruptur. Ruptur akan
merangsang dan mengaktifkan agregasi
platelet. Fibrinogen menyelimuti platelet
yang kemudian akan merangsang
pembentukan trombin.
4. Mikroemboli
Mikroemboli dapat berasal dari
thrombus yang terlepas ke distal
pembuluh darah coroner dan bersarang
didalam mikrovaskular coroner yang
menyebabkan troponin jantung meningkat
(penanda adanya nekrosis di jantung).
Kondisi ini merupakan risiko tinggi
terjadinya infark miokard yang lebih luas.
5. Trombus oklusif
Jika thrombus menyumbat total
pembuluh daah coroner epicardial dalam
jangka waktu yang lama, amka akan
menyebabkan IMA EST (STEMI).
Bekuan ini kaya akan fibrin. Olehkarena
itu pemberian fibrinolysis yang cepat dan
tepat atau langsung dilakukan IKP Primer
dapat membatasi perluasan infark
miokard.
a. Diagnosis SKA
b. Gejala SKA.
d. Elektrokardiogram
e. Laboratorium
Mioglobin
Mioglobin merupakan suatu protein
yang dilepaskan dari sel miokard
yang mangalami kerusakan, dapat
maningkat setelah jam-jam awai
terjadinya infark dan mencapai
puncak pada jam 1 s/d 4 dan tetap
tingggi sampai 24 Jam.
CKMB
CKMB merupakan isoenzim dari
creatinin kinase. dengan konsentrasi
terbesar terdapat pada miokardium.
Dalam jumlah kecil CKMB dapat
dijumpai di otot rangka, usus kecil,
atau diaphragma. Mulai meningkat 3
jam setelah infark dan mencapai
puncak 12-14 jam.CKMB akan mulai
menghilang dalam darah 48-72 jam
seteIah infark.
f. Tatalaksana
Secara umum tatalaksana SKA
dengan ST Elevasi (IMA EST) dan SKA
tanpa ST Elevasi sama, baik pra rumah
sakit maupun gaat di rurnah sakit.
Perbedaan terdapat pada strategi terapi
reperfusi. di mana IMA EST lebih
ditekankan untuk segera
melakukan reperfusi. balk dengan
medikamentosa (fibrinolisis) atau
intervensi (intervensi koroner perkutan -
IKP). Berdasarkan International
Consensus on Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care Science With
Treatment Recommendation
(AHA/ACC) tahun 2010 yang
diperbaharui oleh Pedoman 2015, sangat
ditekankan waktu efektif reperfusi terapi.
Pra rumah sakit
Tindakan-tindakan pra rumah
sakit dilakukan oleh Emergency Medical
Service (Layanan Gawat Darurat)
sebelum pasien tiba dirumah sakit,
biasanya dilakukan di dalam
ambulans. Bila dicurigai SKA, segera
lakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan
dan berikan pemberitahuan ke RS bila
ada rencana untuk dilakukan tindakan
fibrinolisis atau IKP primer (primaty PC
l). Pemeriksaan EKG dengan pembacaan
oleh mesin komputer tanpa konfirmasi
dengan dokter atau petugas medis terlatih
tidak dianjurkan mengingat tingginya
hasil pembacaan positif palsu.
Terapi Fibrinolisis
Daftar Pustaka
1. Sugondo, S. Obesitas. In: Sudoyo,
A. W., B. Setiyohadi, I. Alwi, M.
Simadibrata. K., dan S. Setiati,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta : FKUI ;2007.
2. Yatim, F.Waspadai Jantung
Koroner, Stroke, Meninggal Mendadak :
Atasi Pola Hidup Sehat. Jakarta :
Pustaka Populer Obor ;2005
3. Waspadji S, Suyono S, Sukarji K
dan Kresmawan T. Obesitas
Berdasarkan Tebal Lemak Bawah Kulit
(TLBK) pada Penderita Hiperlipidemia.
Pengkajian Status Gizi Studi
Epidemiologi, FKUI, Jakarta; , 2010.
00O00
BAB VI
REHABILITASI
DAN
PENCEGAHAN
SEKUNDER
PADA PENYAKIT
JANTUNG
KORONER
6.8. Kesimpulan
Rehabilitasi jantung (RJ) bagi
penderita penyakit jantung khususnya
penyakit jantung koroner merupakan
rangkaian program yang meliputi:
a. latihan fisik terstruktur,
b. edukasi, dan konseling,
c. pengendalian berbagai faktor risiko
serta
d. dorongan untuk berperilaku hidup
sehat. Rehabilitasi jantung berbasis
lingkungan rumah dan lingkungan
masyarakat (homebased and
communioa-based) merupakan
pilihan yang tepat, guna menjamin
kesinambungan program RJ bagi
setiap penderita penyakit jantung
koroner, agar mereka mampu hidup
mandiri di lingkungannya.
Daftar Pustaka
1. Saptawati, L.Bersahabat
dengan Penyakit Jantung.
Yogyakarta : Penerbit
Kanisius ; 2009.
2. Damayanti Y. Hubungan
Asupan Lemak Dan Serat
Dengan Kejadian
Hiperkolesterolemia Pada
Guru SD Negeri Di
Kecamatan Nanggalo Kota
Padang Tahun 2015:
Poltekkes Kemenkes Padang;
2015.
3. Liu, J., C. Sempos, and R.P.
Donahue. 2005. Joint
distribution of non-HDL and
LDL cholesterol and coronary
heart disease risk prediction
among individuals with and
without diabetes, Diabetes
Care, Vol. 28, USA, August 8,
28: 1916-1921.
00O00
BAB VII
PENCEGAHAN
PRIMER
PENYAKIT
ATERIOSKLERO
SIS
a) Pencegahan Primordial
Pada tahun l978. Strasser pertama
kali memperkenalkan istilah Pencegahan
primordial, yang menggambarkan segala
upaya untuk mencegah faktor risiko PKV
di masyarakat, Pencegahan primordial
memerlukan kebijakan yang
mempengaruhi pola makanan, tujuan
pendidika, dan lingkungan. Contohnya
adalah dengan mengurangi makanan yang
mengandung lemak trans dan lemak jenuh
untuk mengurangi kadar kolesterol total,
tersedianya tempat berolahraga yang
mudah di akses masyarakat, membatasi
tempat merokok, dll Keuntungan
pencegahan primordial dibandingkan
dengan yang lain adalah intervensi
dilakukan sebelum terjadinya faktor
risiko. Pencegahan primordial dapat
langsung diterapkan pada populasi
masyarakat tanpa perlu melakukan seleksi
meng identifikasi orang yang akan
mengalami peningkatan risiko.
Pencegahan primordial memberikan
kemungkinan penurunan angka kemanan
yang lebih besar yang bisa dicapai
dibandingkan dengan pencegahan primer
dan pencegahan sekunder. Oleh karena
itu, upaya pencegahan primordial
tampaknya akan menghasilkan
keuntungan jangka panjang yang jauh
lebih besar.
b) Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan
segala upaya yang dilakukan guna
mencegah kejadian yang tidak
menguntungkan pada individu atau
sejumlah orang yang sudah mempunyai
faktor risiko PKV, seperti kejadian infark
miokard dan stroke. Seringkali pada
orang-orang tersebut diperlukan
intervensi gaya / pola hidup, termasuk
diet dan exercise, dan pemberian obat
yang bertujuan memperbaiki atau
mengontrol faktor risiko yang ada
(hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes).
Hal utama yang menguntungkan
pada pencegahan primer adalah
kemampuan untuk memberi pengobatan
pada individu dengan risiko tinggi
sebelum timbulnya PKV secara klinik
sesuai individu tersebut. Tidaklah
mengherankan bila individu yang
memperoleh pencegahan primer lebih
dapat menerima terhadap modifikasi
faktor risiko. Disamping itu, ada hal yang
kurang menguntungkan bila difokuskan
hanya pada pecegahan primer karena
pencegahan primer memerlukan skrining
populasi dalam jumlah yang besar untuk
mengidentifikasi individu dengan risiko
yang cukup untuk tuntutan pemberian
Pengobatan. Hal ini tentu akan
memerlukan biaya yang besar. Hal lain
yang kurang menguntungkan adalah
strategi pencegahan primer mungkin
hanya memperlambat atau menghambat
timbulnya penyakit.
c) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder terdiri dari
upaya untuk mencegah kejadian dan
kematian PKV pada pasien yang sudah
terbukti menderita PKV aterosklerotik.
Segala upaya tersebut terutama
melibatkan pola hidup individu, obat
untuk mengurangi risiko, dan rehabilitasi
kardiovaskular Salah satu contoh
pencegahan sekunder seperti penggunaan
aspirin; dikatakan dapat mengurangi
kejadian trombotik pada pasien PKV,
SKRINING SKOR RISIKO
KARDIOVASKULAR (KV) Dari
panduan American Heart Association
(AHA) / American College of Cardiology
(ACC) skrining dianjurkan pada usia 45
tahun pada perempuan, dan 35 tahun pada
laki-laki dengan mempergunakan
Framingham Risk Score (lampiran). Pada
chart untuk menghitung Skor risiko
diperlukan data usia, jenis kelamin,
tekanan darah sistolik, status merokok,
kadar kolesterol total/LDL dan HDL
kolesterol. Setelah dihitung dan dijumlah
dengan mempergunakan tabel
Framingham Risk Score, maka akan
diperoleh angka persentase. Bila angka
20% termasuk risiko tinggi untuk
kejadian penyakit jantung koroner (PJK)
dalam 10 tahun mendatang. Selain
Framingham Score, ada pula Euro Score,
atau Jakarta Kardiovascular Score
(Jakvas). Perbedaannya adalah pada Euro
Score end point nya adalah perkiraan
kematian 10 tahun mendatang, sedangkan
Jakvas tidak memasukkan unsur lipid,
tapi diganti dengan aktifitas fisik dan
diabetes melitus (DM) dari pemeriksaan
urine atau riwayat menggunakan obat DM
dan endpoint nya sama dengan
Framingham. Disarankan untuk dilakukan
aplikasi pemakaian Jakvas pada populasi
yang lebih luas. Tabell menggambarkan
panduan untuk mengidentifikasi dan
menilai faktor risiko yang dapat
dimodilikasi. Data dasar dari studi
Framingham telah dipergunakan secara
luas, walau mungkin akan terdapat sedikit
perbedaan tergantung dari suku dan
kelompok etnik.
Daftar Pustaka
1. Tanuwidjojo, S., dan S.
Rifky. Atherosklerosis From
Theory to Clinical Practice :
Naskah Lengkap Cardiology.
Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
;2003.
4. Saptawati, L.Bersahabat
dengan Penyakit Jantung.
Yogyakarta : Penerbit
Kanisius ; 2009.
5. Maulana, M. Penyakit
Jantung : Pengertian,
Penanganan ,dan
Pengobatan. Yogyakarta :
Penerbit KataHati ;2008.
00O00
BAB
VIII
GAYA HIDUP
5. Personal Strong
Strong personal also is closely associated
with overall health. Strong personal
means being able to control the overall
activities of his life. Among personality
for abstinence consume anything that is
destructive, such as tobacco, alcohol,
drugs, foods containing preservatives etc..
Daftar Pustaka
8. https://www.yhschurch.com/gaya-
hidup-sehat-dan-pola-hidup-sehat/
00O00
BAB IX
TERAPI
OKSIGEN
9. 1. Terapi Oksigen
1. Pemberian terus
menerus, dilakukan apabila hasil
analisis gas darah saat istirahat
didapatkan nilai:
PaO2 < 55 mmHg atau saturasi <
88%
PaO2 antara 56-59 mmHg atau
saturasi 89% disertai kor pulmonale
atau polisitemia (Ht > 56%).
2. Pemberian berselang, dilakukan
apabila hasil analisis gas darah
didapatkan nilai:
Saat latihan PaO2 < 55 mmHg atau
saturasi < 88%
Saat tidur PaO2 < 55 mmHg atau
saturasi < 88% disertai komplikasi
seperti hipertensi pulmoner,
somnolen dan aritmia.
Pasien dengan keadaan klinik tidak
stabil yang mendapatkan terapi
oksigen perlu dievaluasi analisis gas
darah setelah terapi untuk
menentukan perlu tidaknya terapi
oksigen jangka panjang.
Hipoksia Stagnan
Hipoksia akibat sirkulasi lambat
merupakan masalah bagi organ seperti
ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hati
dan mungkin jaringan otak mengalami
kerusakan akibat hipoksia stagnan pada
gagal jantung kongestif. Pada keadaan
normal, aliran darah ke paru-paru sangat
besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka
waktu lama untuk menimbulkan
kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi
erkepanjangan,terutama didaerah paru
yang letaknya lebih tinggi dari jantung
Hipoksia Histotoksik
Hipoksia yang disebabkan oleh
hambatan proses oksidasi jaringan paling
sering diakibatkan oleh keracunan
sianida. Sianida menghambat sitokrom
oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya. Biru metilen atau nitrit
digunakan untuk mengobati keracunan
sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan
sianida, menghasilkan sianmethemog
lobin, suatu senyawa non toksik.
Kemampuan pengobatan menggunakan
senyawa ini tentu saja terbatas pada
jumlah methemoglobin yang dapat
dibentuk dengan aman. Pemberian terapi
oksigen hiperbarik mungkin juga
bermanfaat. b. Oksigenasi kurang
sedangkan paru normal c. Oksigenasi
cukup sedangkan paru tidak normal d.
Oksigenasi cukup, paru normal,
sedangkan sirkulasi tidak normal. e.
Pasien yang membutuhkan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi. f. Pasien
dengan tekanan partial karbondioksida (
PaCO2 ) rendah. Contoh : -Pasien dengan
kadar O2 arteri rendah dari hasil AGD
Pasien dengan peningkatan kerja napas
dimana tubuh terjadi hipoksemia
ditandai dengan PaO2 dan SpO2
menurun. Pasien yang teridentifikasi
hipoksemia contohnya syok dan
keracunan CO. -Pasien dengan
peningkatan kerja miokard, dimana
jantung berusaha untuk mengatasi
gangguan O2 melalui peningkatan laju
pompa jantung yang adekuat.
Beberapa trauma
Terapi ini diberikan dengan orang
yang mempunyai gejala : - Sianosis
Keracunan Hipovolemi
- Asidosis
- Perdarahan
- Selama dan sesudah pembedahan
- Anemia berat
- Klien dengan keadaan tidak sadar
Oksigen konsentrat.
Sistem oksigen konsentrat didapat
dengan mengekstraksiikan udara luar
menggunakan metode molekuler sieve,
oksigen diekstraksi sehingga dapat
diberikan kepada pasien dan nitrogen
dibuang kembali ke udara luar. Alat ini
dioperasikan secara elektrik.
Keuntungannya cukup murah, tidak perlu
penyimpanan khusus, sedang kerugiannya
kurang Portabel, Bersuara Dan Perlu
Perawatan Yang Teratur.
9.11. Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan
terjadinya penurunan konsentrasi oksigen
dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi
oksigen dalam arteri (SaO2). Nilai normal
PaO2 85 – 100 mmHg dan SaO2 > 95%.
Hipoksia adalah penurunan sejumlah
oksigen yang terdapat dalam jaringan
tanpa memperhatikan penyebab dan
lokasi. Berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2,
hipoksemia dibedakan menjadi ringan
(PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%),
sedang (PaO2 40-60 mmHg dan SaO2
75-89%) dan berat (PaO2 < 40 mmHg
dan SaO2 <75%). Hipoksemia dapat
disebabkan oleh gangguan ventilasi-
perfusi, hipoventilasi, pirau, gangguan
difusi dan berada di tempat yang tinggi.
Kanula
1 0,24
nasal
2 0,28
3 0,32
4 0,36
5 0,40
6 0,44
Masker 5- 6 0,40
oksigen
6-7 0,50
7-8
Masker
6 0,60
dengan
kantong 7 0,60
udara
8 0,70
9 0,80
10 > 0,80
a. Oksigen dimampatkan
bertekanan tinggi. Oksigen
disimpan dalam tabung metal
bertekanan tinggi, aliran oksigen
diatur dengan regulator. Macam-
macam tabungnya adalah tabung H
(244 cuft), tabung E (22 cuft) dan
tabung D (13 cuft). Keuntungannya
adalah murah, tersedia cukup
banyak dan dapat disimpan lama.
Kerugiannya adalah berat, kurang
praktis dalam pengisian dan mudah
meledak.
b. Oksigen cair. Oksigen cair tidak
bertekanan tinggi dan dapat
disimpan dalam tempat tertentu
dilengkapi dengan alat HCFA untuk
mengubah oksigen cair menjadi gas
sehingga dapat dihirup. Tempat
penyimpanan, disebut dewar, dapat
menyimpan oksigen cair sampai
suhu – 273 oF. Umumnya dewar
berisi 100 pound oksigen yang
habis dalam seminggu bila dipakai
terus menerus dengan aliran 2
l/mnt. Oksigen cair lebih disukai
daripada oksigen bertekanan tinggi
karena tempat penyimpanannya
lebih kecil, ringan dan mudah
dibawa pergi. Kerugiannya lebih
mahal dan pengisian kembali di
pabrik yang sama.
c. Oksigen konsentrat.
Daftar Pustaka
3. Maulana, M. Penyakit
Jantung : Pengertian,
Penanganan ,dan
Pengobatan. Yogyakarta :
Penerbit KataHati ;2008.
00O00
BAB X
PENYAKIT
SISTEM
KARDIOVASKUL
ER
Kardiovaskuler terdiri dari 2 kata yaitu
kardio (jantung) dan vaskuler (pembuluh
darah). Jadi penyakit kardiovaskuler
adalah adalah penyakit yang mengganggu
sistem pembuluh darah, dalam hal ini
adalah jantung dan urat-urat darah. Jenis-
jenis penyakit jantung itu sendiri
bervariasi, seperti : jantung koroner,
tekanan darah tinggi, serangan jantung,
stroke, sakit di dada (anginan) dan
penyakit jantung rematik.Penyakit
kardiovaskuler sendiri biasanya terjadi
akibat gaya hidup, pola makan, dan
aktivitas sehari-hari yang dijalani si
pelaku yang tidak memperhatikan
kesehatan.
10.1. Sistem Kardiovaskuler
1. Cor
3. Darah.
A. Mekanisme Sistole dan Diastole
C. Tekanan Darah
b. Penyebab
b. Merokok
c. Pencegahan
10.5, Stroke
3. Hipoperfusion Sistemik:
Berkurangnya aliran darah ke seluruh
bagian tubuh karena adanya gangguan
denyut jantung.
1. Hemoragik Intraserebral:
pendarahan yang terjadi didalam
jaringan otak.
2. Hemoragik Subaraknoid:
pendarahan yang terjadi pada
ruang subaraknoid (ruang sempit
antara permukaan otak dan lapisan
jaringan yang menutupi otak).
Definisi
Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah
suatu peningkatan tekanan darah di dalam
arteri.
Penyebab
Pada sekitar 90% penderita hipertensi,
penyebabnya tidak diketahui dan keadaan
ini dikenal sebagai hipertensi esensial
atau hipertensi primer.
a.Definisi
Serangan Jantung (infark miokardial),
(myocard infarct),(miokard infark) adalah
suatu keadaan dimana secara tiba-tiba
terjadi pembatasan atau pemutusan aliran
darah ke jantung, yang menyebabkan otot
jantung (miokardium) mati karena
kekurangan oksigen.
b.Penyebab
Serangan jantung biasanya terjadi jika
suatu sumbatan pada arteri koroner
menyebabkan terbatasnya atau
terputusnya aliran darah ke suatu bagian
dari jantung. Jika terputusnya atau
berkurangnya aliran darah ini
berlangsung lebih dari beberapa menit,
maka jaringan jantung akan
mati.Kemampuan memompa jantung
setelah suatu serangan jantung secara
langsung berhubungan dengan luas dan
lokasi kerusakan jaringan (infark).Jika
lebih dari separuh jaringan jantung
mengalami kerusakan, biasanya jantung
tidak dapat berfungsi dan kemungkinan
terjadi kematian. Bahkan walaupun
kerusakannya tidak luas, jantung tidak
mampu memompa dengan baik, sehingga
terjadi gagal jantung atau syok.
a.Definisi
Angina (angina pektoris) merupakan
nyeri dada sementara atau suatu perasaan
tertekan, yang terjadi jika otot jantung
mengalami kekurangan oksigen.
Kebutuhan jantung akan oksigen
ditentukan oleh beratnya kerja jantung
(kecepatan dan kekuatan denyut
jantung).Aktivitas fisik dan emosi
menyebabkan jantung bekerja lebih berat
dan karena itu menyebabkan
meningkatnya kebutuhan jantung akan
oksigen.Jika arteri menyempit atau
tersumbat sehingga aliran darah ke otot
tidak dapat memenuhi kebutuhan jantung
akan oksigen, maka bisa terjadi iskemia
dan menyebabkan nyeri.
b.Penyebab
Biasanya angina merupakan akibat dari
penyakit arteri koroner.
Penyebab lainnya adalah: Stenosis katup
aorta (penyempitan katup
aorta), Regurgitasi katup aorta
(kebocoran katup aorta), Stenosis
subaortik hipertrofik, Spasme arterial
(kontraksi sementara pada arteri yang
terjadi secara tiba-tiba), Anemia yang
berat.
c.Gejala
Tidak semua penderita iskemia
mengalami angina. Iskemia yang tidak
disertai dengan angina disebut silent
ischemia. Masih belum dimengerti
mengapa iskemia kadang tidak
menyebabkan angina. Biasanya penderita
merasakan angina sebagai rasa tertekan
atau rasa sakit di bawah tulang dada
(sternum).Nyeri juga bisa dirasakan di:–
bahu kiri atau di lengan kiri sebelah
dalam– punggung– tenggorokan, rahang
atau gigi.– lengan kanan (kadang-
kadang).Banyak penderita yang
menggambarkan perasaan ini sebagai rasa
tidak nyaman dan bukan nyeri.Yang khas
adalah bahwa angina:
– dipicu oleh aktivitas fisik
d.Unstable Angina
a.Penyebab
Demam rematik biasanya terjadi akibat
infeksi streptokokus pada tenggorokan.
Demam rematik bukan merupakan suatu
infeksi, tetapi merupakan suatu reaksi
peradangan terhadap infeksi, yang
menyerang berbagai bagian tubuh
(misalnya persendian, jantung, kulit).
b.Gejala
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada
bagian tubuh yang meradang.
Biasanya gejala timbul beberapa minggu
setelah nyeri tenggorokan akibat
streptokokus menghilang.
10.13.1. Aterosklerosis.
10.13.3.
Kardiomiopati adalah
kerusakan/gangguan otot jantung
sehingga menyebabkan dinding-dinding
jantung tidak bergerak sempurna dalam
menyedot dan memompa darah.
10.13.4. Arritmia
Daftar Pustaka
4. Kusumasari P. Hubungan
Antara Merokok Dengan
Kadar Kolesterol Total Pada
Pegawai Pabrik Gula
Tasikmadu Karanganyar:
Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2015.
5. Sari SK. Hubungan Tingkat
Stress dengan Kadar
Koesterol pada Polisi Lalu
Lintas, Penjaga Pintu Rek
Kereta Api dan Petugas
Perpustakaan di Stikes dan
SMA Purnama di Kecamatan
Gombong: Stikes Gombong;
2010.
00O00
BABXI
KENALI
JANTUNG
CORONER
a. Elektrokardiogram (ECG
): Ini merekam aktivitas
listrik dan irama jantung.
b. Holter monitor: Ini adalah
alat portabel yang dipakai
pasien di bawah pakaian
mereka selama 2 hari atau
lebih. Ini mencatat semua
aktivitas listrik jantung,
termasuk detak jantung.
c. Echocardiogram: Ini
adalah scan ultrasound
yang memeriksa jantung
yang memompa. Ini
menggunakan gelombang
suara untuk memberikan
gambar video.
d. Tes stres: Ini mungkin
melibatkan
penggunaan treadmill atau
obat yang menekankan
hati.
e. Kateterisasi koroner:
Pewarna disuntikkan ke
arteri jantung melalui
kateter yang berulir
melalui arteri, sering di
kaki atau lengan, ke arteri
di jantung. X-ray
kemudian mendeteksi
titik-titik sempit atau
penyumbatan yang
diungkapkan oleh
pewarna.
f. CT scan: Ini membantu
dokter untuk
memvisualisasikan arteri,
mendeteksi kalsium apa
pun di dalam endapan
lemak yang menyempit
arteri koroner, dan untuk
mengkarakterisasi kelainan
jantung lainnya.
g. Ventrikulografi Nuklir:
Ini menggunakan pelacak,
atau bahan radioaktif,
untuk menunjukkan ruang
jantung. Materi
disuntikkan ke pembuluh
darah. Itu menempel pada
sel darah merah dan
melewati jantung. Kamera
atau pemindai khusus
melacak pergerakan
material.
h. Tes darah: Tes ini dapat
mengukur kadar kolesterol
darah, terutama pada orang
yang berusia di atas 40
tahun, memiliki riwayat
keluarga dengan jantung
atau kondisi terkait
kolesterol, kelebihan berat
badan, dan memiliki
tekanan darah tinggi atau
kondisi lain, seperti
kelenjar tiroid yang kurang
aktif atau kondisi apa pun
yang dapat meningkatkan
kadar kolesterol dalam
darah.
11.5.
Pencegahan Jantung
Koroner
Ada banyak hal yang dapat
Anda lakukan untuk
mengurangi kemungkinan
Anda mendapatkan
penyakit jantung. Anda
harus melakukan beberapa
hal berikut:
Mengetahui tekanan darah
secara rutin dan jaga agar
tekanan darah dalam angka
yang normal (<130/90
mmHg)
Olahraga teratur
Jangan merokok
Kontrol kadar gula darah
Kontrol kadar kolestrol
dan trigliserid
Mengonsumsi banyak
buah dan sayuran
Menjaga berat badan yang
sehat
Hindari stres berlebih
Dokter mungkin
merekomendasikan makan
sehat untuk jantung, yang
harus mencakup:
Minum produk susu bebas
lemak atau rendah lemak
Makan ikan tinggi asam
lemak omega-3, seperti
salmon atau tuna, sekitar
dua kali seminggu
Buah-buahan, seperti apel,
pisang, jeruk, pir, dan
plum
Kacang-kacangan, seperti
kacang merah, lentil,
buncis, kacang polong, dan
kacang lima
Sayuran, seperti brokoli,
kubis, dan wortel
Biji-bijian, seperti
oatmeal, beras merah, dan
jagung tortilla
Daftar Pustaka
1. Waluyo T, Rimbawan,
Andarwulan N. Hubungan
Antara Konsumsi Pangan Dan
Aktivitas Fisik Dengan Kadar
Kolesterol Darah Pria Dan
Wanita Dewasa Di Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat,
Departemen Ilmu Dan
Teknologi Pangan, Institut
Pertanian Bogor; 2013.
2. Ruslianti. Kolesterol Tinggi
Bukan Untuk Ditakuti.
Jakarta: Fmedia( Imprint
Agromedia Pustaka); 2014.
00o00
BABXII
TEKNOLOGI
BARU
PENGOBATAN
PENYAKIT
JANTUNG
KORONER,
RENDAH
RADIASI
PENYAKIT jantung dan pembuluh
darah merupakan dua penyakit yang
mejadi masalah utama pada negara
berkembang dan maju. Akan tetapi, kedua
penyakit ini kerap kali dianggap sepele
oleh sebagian besar masyarakatnya.
Daftar Pustaka
https://lifestyle.okezone.com/read/2017/0
9/28/481/1785100
00o00
BABXIII
CATHLAB &
ANGIOGRAFI
KORONER
(KATETERISASI
JANTUNG)
13.3.1. Persiapan
13.3.2. Prosedur
13.4.2. Risiko
Dengan semakin cenggihnya peralatan
angiografi dan berkembangnya teknik-
teknik baru pada tindakan Catheterisasi
maka tindakan ini memiliki resiko sangat
minimal dengan masa rawat yang singkat.
Daftar Pustaka
00o00
DAFT
AR
PUSTA
KA
Waluyo T, Rimbawan,
Andarwulan N. Hubungan
Antara Konsumsi Pangan Dan
Aktivitas Fisik Dengan Kadar
Kolesterol Darah Pria Dan
Wanita Dewasa Di Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat,
Departemen Ilmu Dan Teknologi
Pangan, Institut Pertanian Bogor;
2013.
Ruslianti. Kolesterol Tinggi
Bukan Untuk Ditakuti. Jakarta:
Fmedia( Imprint Agromedia
Pustaka); 2014.
Mulyanti D. Panjang Umur
Dengan Kontrol Kolesterol dan
Asam Urat. Yogyakarta: Penerbit
Cahaya Atma Pustaka; 2011
Russel DM. Bebas dari 6
Penyakit Paling Mematikan.
Yogyakarta: MedPress (Anggota
IKAPI); 2011.
Helty. Hubungan Kebiasaan
Merokok dan Kadar Kolesterol
dengan Kejadian Penyakit
Jantung Koroner di Poli Jantung
RSU Bahteramas Kendari: Stikes
Mandala Waluya; 2013.
Bouillon, Kim. Decline in low-
density lipoprotein cholesterol
concentration: lipid-lowering
drugs, diet or phyicaactivity?:
Evidence form the Whitehall II
Study heart; 2011.
Sirajuddin. Survei Konsumsi
Pangan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2014.
Damayanti Y. Hubungan
Asupan Lemak Dan Serat
Dengan Kejadian
Hiperkolesterolemia Pada Guru
SD Negeri Di Kecamatan
Nanggalo Kota Padang Tahun
2015: Poltekkes Kemenkes
Padang; 2015.
Soetardjo S. Gizi Usia Dewasa
in: Gizi Seimbbang Dalam Daur
Kehidupan. Almasier et al (ED).
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama; 2011. Kehidupan.
Almasier et al (ED). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama; 2011.
Curriculum Vitae
Prof. Dr. dr. Rochmad
Romdoni, Sp.PD, Sp.JP (K)