MEP BOOKS
CARDIOVASCULAR
Editor :
MEP ISMKI WILAYAH 2
Universitas Tarumanegara
Universitas Yarsi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, wr wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan MEP Books 2016 dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada institusi kedokteran yang turut
serta berkontribusi dalam penyusunan.
Untuk masa kepengurusan ini, kami memilih untuk menyusun MEP Books
yang bertemakan Cardiovascular dan Tropical Infection. Penyusunan MEP Books
yang dirancang dan disusun oleh Medical Education and Profession (MEP) ISMKI
wilayah 2 dengan kontribusi institusi kedokteran di wilayah 2 ini dalam pembuatan
materi.
Kami sangat berharap MEP Books ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai penyakit. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam MEP Books ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan MEP Books yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
CONTENTS
ANATOMI SISTEM KARDIOVASKULER ..................................................................... 5
HISTOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................ 10
FISIOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER .................................................................. 17
BIOKIMIA SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................... 26
MIKROBIOLOGI PADA SISTEM KARDIOVASKULER ............................................ 37
PATOLOGI KLINIK SISTEM KARDIOVASKULER ................................................... 40
PATOLOGI ANATOMI KARDIOVASKULAR............................................................. 48
DEEP VEIN THROMBOSIS ........................................................................................... 54
TROMBOEMBOLI VENA .............................................................................................. 57
THROMBOANGITIS OBLITERANS ............................................................................. 61
VARICOSE VEINS (VARISES)...................................................................................... 66
AORTIC DISSECTION ................................................................................................... 71
AORTIC DISSECTION ................................................................................................... 79
TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR .......................................................................... 87
ATRIAL FIBRILASI ........................................................................................................ 95
FLUTTER ATRIUM ...................................................................................................... 104
SUPRA VENTRICULAR EXTRA SYSTOLE .............................................................. 106
EKSTRASISTOL VENTRIKEL .................................................................................... 108
FIBRILASI VENTRIKEL .............................................................................................. 110
HENTI JANTUNG ( CARDIACT ARREST ) ............................................................... 112
GAGAL JANTUNG ....................................................................................................... 116
ANGINA PECTORIS ..................................................................................................... 123
HIPERTENSI.................................................................................................................. 129
COR PULMONALE ....................................................................................................... 134
DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK ................................. 137
ENDOKARDITIS, MIOKARDITIS, DAN PERIKARDITIS ........................................ 168
KELAINAN JANTUNG KONGENITAL ...................................................................... 179
PENYAKIT KATUP JANTUNG ................................................................................... 189
INSUFISIENSI VENA ................................................................................................... 211
RADIOLOGI .................................................................................................................. 238
REHABILITASI KARDIOVASKULAR DI INDONESIA ........................................... 246
JANTUNG
Jantung adalah organ berotot yang berkontraksi secara ritmis, memompa darah
melalui system sirkulasi
Ventrikel kanan dan kiri memompa darah masing masing ke paru paru, atrium
kanan dan kiri menerima darah dari tubuh dan vena pulmonalis. Dinding keempat
bilik jantung terdiri atas 3 lapisan utama yaitu:
-endokardium ; terdiri atas selapis sel endotel gepeng yang berada di atas selapis
tipis subendotel jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin dan kolagen
selain sel otot polos
- miokardium adalah tunika yang paling tebal di jantung dan terdiri atas sel sel otot
jantung yang tersususn berlapis lapis yang mengelilingi bilik-bilik jantung dalam
bentuk pilinan yang rumit. Miokardium jauh lebih tebal di ventrikel ketimbang di
atrium.
- epikardium adalah bagian luar jantung yang dilapisi oleh epitel selapis gepeng
yang ditopang oleh selapis tipis jaringan ikat. Epikardium dapat disetarakan dengan
lapisan visceral pericardium, yaitu membrane serosa tempat jantung berada
Pembuluh darah
arteri memiliki dinding pembuluh darah yang tebal , cenderung bulat ataupu
n lonjong, apabila di percabangkan maka pembuluh arteri akan semakin me
ngecil
pembuluh vena memiliki dinding yang tipis , dan cenderung koleps. percaba
ngan vena semakin mendekati jantung maka pembuluh vena tersebut akan
membesar
- dinding pembuluh darah ada tiga macam yaitu
tunika intima : tunika intima merupakan lapisan paling dalam, mempunyai
epitel selapis gepeng atau di sebut juga sel endotel (epitel selapis gepeng
yang membungkus pembuluh darah), dan mempunyai jaringan ikat.
tunika media: merupakan lapisan paling tebal,berisi otot polos, lapisan
paling tebal
tunika adventisia: terdiri atas serat kolagen tipe I dan serat elastin.
pada pembuluh besar biasanya terdapat vasa vasorum(pembuluh dari pe
mbuluh),yang berupa arteriol, venula, dan tunica media dibagian luar.
Pembuluh darah besar disuplai oleh jejaring serabut saraf simpatis tak b
ermielin dengan neurotransmitter berupa norepinefrin.
ARTERI
arteri diklasifikasi menjadi tiga,yaitu:
arteri elastik :
-mencakup aorta beserta cabang-cabang besarnya.
-bila dipotong dalam keadaan segar maka tampak berwarna kekuningan
karena banyak serat elastin didalamnya.
-tunika media terdiri atas serat2 elastin dan sederetan lamina elastica yang
berlubang-lubang dan tersusun konsentris.
arteri muskular :
-dapat mengendalikan banyaknya darah yang menuju organ dengan m
engontraksikan sel-sel otot polos.
-tunika intima memiliki lapisan subendotel yang sangat tipis
-tunika media dapat memiliki hingga 40 lapisan sel otot polos yang
lebih mencolok.
arteriol:
-bediameter < 0,5 mm
-lapisan subendotel sangat tipis, tidak ada lamina elastica interna
-pada arteriol besar masih terdapat lamina elastica eksterna
-metarteriol:otot polos tidak lengkap
sebagai
respon terhadap perubahan didaerah sinusoid.
badan aortik:
-pada arcus aorta antara arteri subklavia kanan&arteri karotis komunis
kanan dan antara arteri karotis komunis kiri&arteri subklavia kiri
KAPILER
Kapiler memungkinkan berbagai tingkat pertukaran metabolic antara dara
h dan jaringan sekitar. Kapiler terdiri atas selapis sel endotel yang tergulun
g membentuk suatu saluran.diameter rerata kapiler bervariasi dari 5 hingga
10 mikrometer dan panjang umumnya tidak melebihi 50 mikrometer.
Klasifikasi Kapiler :
kapiler kontinu(somatik):
-dapat ditemukan pada jar.otot, jar.ikat, kel.eksokrin, jar.saraf.
-taut endotel :fascia okludentes(mencegah transport molekul)
kapiler berfenestrata:
-mempunyai pori yang tertutup diafragma, kecuali pada glomerulus
-dijumpai dijaringan tempat berlangsungnya pertukaran zat secara cepat
antara jaringan dan darah, seperti :ginjal, usus, kelenjar endokrin.
kelenjar sinusoid:
- memiliki fenestra besar tanpa diafragma
-lamina basal juga bersifat diskontinu
-berdiameter 30-40 mikrometer
-ditemukan dihati, limpa, organ endokrin dan sumsum tulang.
VENA:
a. Siklus Jantung
Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi)
dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami
siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi
ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung.
Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan
diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam
atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik
tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup AV terbuka, dan darah
mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel.
Akhirnya, volume ventrikel perlahan – lahan meningkat bahkan sebelum atrium
berkontraksi.
Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan
membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium dan menimbulkan
kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan
sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel
dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan
yang terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup.
Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah
menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat (Sherwood, 2001) sampai
tekanan tersebut cukup untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal)
(Guyton, 2006). Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara
penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta. Karena semua katup tertutup,
tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel selama waktu ini. Interval
ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik (Sherwood, 2001). Pada
saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan
melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera
terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi
relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat.
Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke
ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar (Guyton, 2006). Tidak ada
lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum
terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan
demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal
sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik.
melalui sirkulasi paru ekivalen dengan volume darah yang mengalir melalui
sirkulasi sistemik. Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam
keadaan normal identik, walaupun apabila diperbandingkan denyut demi denyut,
dapat
terjadi variasi minor. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan
denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang
dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata – rata adalah 70 kali per
menit, yang ditentukam oleh irama sinus SA, sedangkan volume sekuncup rata –
rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata – rata adalah 4.900
ml/menit atau mendekati 5 liter/menit.
Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada
nodus SA. Nodus SA dalam keadaan normal adalah pemacu jantung karena
memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai
ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan
menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali per menit,
sehingga kecepatan denyut rata – rata adalah 70 kali per menit. Jantung dipersarafi
oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta
kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung yaitu saraf vagus mempersarafi
atrium, terutama nodus SA dan nodus atrioventrikel (AV). Pengaruh sistem saraf
parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung,
sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus
tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di
bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara
kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah.
Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yamg mengontrol kerja jantung pada
situasi – situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung
melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus
SA adalah meningkatkan keceptan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat
dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV
dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis
mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus.
c. Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan hidrostatik yang diakibatkan karena
penekanan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah sistolik adalah
tekanan darah tertinggi yang dicapai arteri selama sistol, sedangkan tekanan darah
diastolik adalah tekanan darah terendah yang dicapai arteri selama diastol
(Tortora, 2012). Tekanan arteri rata – rata (mean arterial pressure) adalah tekanan
rata – rata yang bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama
seluruh siklus jantung. Perkiraan tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
Tekanan arteri rata – rata = tekanan darah diastolik + 1/3 (tekanan darah
sistolik – tekanan darah diastolik)
Pengaturan tekanan arteri rata – rata bergantung pada dua kontrol
utamanya, yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Kontrol curah jantung
bergantung pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup,
sementara resistensi perifer total terutama ditentukan oleh derajat vasokonstriksi
arteriol.
Pengaturan jangka pendek tekanan darah terutama dilakukan oleh reflex
baroreseptor. Baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta secara terus –
menerus memantau tekanan arteri rata – rata. Kontrol jangka panjang tekanan
darah melibatkan pemeliharaan volume plasma yang sesuai melalui kontrol
keseimbangan garam dan air oleh ginjal ( Sherwood, 2001).
Pusat pengawasan dan pengaturan perubahan tekanan darah yaitu:
1. Sistem saraf
a. Presoreseptor dan kemoreseptor: serabut saraf aferen yang menuju pusat
vasomotor berasal dari baroreseptor arteri dan kemoreseptor aortadan karotis dari
korteks serebri.
b. Hipotalamus: Berperan dalam mengatur emosi dan tingkah laku yang
berhubungan dengan pengaturan kardiovaskuler
c. Serebrum: Mempengaruhi tekanan dari karena penurunan respons
tekanan, vasodilatasi, dan respons depressor meningkat.
Fisiologi Vaskuler
Sistem vaskuler memiliki peranan penting pada fisiologi kardiovaskuler karena
berhubungan dengan mekanisme pemeliharaan lingkungan internal.
Bagian- bagian yang berperan dalam sirkulasi:
1. Arteri mentranspor darah di bawah tekanan tinggi ke jaringan.
2. Arteriola, cabang kecil dari sistem arteri yang berfungsi sebagai kendali ketika
darah yang dikeluarkan ke dalam kapiler.
3. Kapiler , tempat pertukaran cairan, zat makanan dan elektrolit, hormone dan
bahan lainnya antara darah dan cairan interstitial.
4. Venula yaitu mengumpulkan darah dari kapiler secara bertahap
5. Vena yaitu saluran penampung pengangkut darah dari jaringan kembali ke
jantung.
Aliran Darah
Kecepatan aliran darah ditentukan oleh perbedaan tekanan antara kedua ujung
pembuluh darah. Pembuluh darah dan aliran arteri adalah:
1. Aliran darah dalam pembuluh darah
2. Tekanan darah arteri : Sistolik, diastolic, nadi, dan darah rata-rata.
3. Gelombang nadi.
4. Analisis gelombang nadi: dapat di nilai dari: frekuensi gelombang nadi, irama
denyut nadi, amplitude dan ketajaman gelombang.
5. Factor yang mempengaruhi tekanan darah arteri.
Sedangkan Pembuluh dan Aliran Vena Yaitu:
1. Tekanan Vena: biasanya sangat rendah
2. Gelombang denyut vena: perubahan tekanan dan volume
3. Kurva denyut nadi: vena jugularis eksterna dengan cara non invasive
4. Kecepatan aliran darah vena
5. Factor yang mempengaruhi kecepatan aliran darah vena
6. Pengaruh gravitasi pada tekanan darah vena
OTOT JANTUNG
Jadi otot jantung itu dia rakus, sifat-sifat yang ada di otot2 lain diembat tuh sama
dia
1. Sifat luriknya mirip otot skelet
2. Sifat involunternya mirip otot polos.
Desain otot jantung mendukung sifatnya yang konsisten dan memiliki daya
tahan yang tinggi.
Bedanya? Perbedaan paling mendasar : Otot jantung itu sangat bergantung dengan
kadar Ca di luar sel (ekstraseluler). Kenapa otot jatung butuh banget Ca terutama
Ca yang ekstrasel sedangkan otot skelet ga?Mau tahu jawabannya? Baca dulu nih
yang satu ini...
Kalau otot skelet, terbukanya kanal dhp (dihidro phiridine) yang ada di tubulus T
disebabkan adanya potensial aksi yang menelusuri tubulus T, menyebabkan kanal
ryanodhine yang ada di reticulum sarkoplasma kebuka, sehingga kalsiumnya
keluar dan terjadilah kontraksi.
Tapi kalo otot cardiac itu terbukanya gara-gara adanya Ca alias kalsium yang
berasal dari ekstraseluler (di luar sel otot jantung), *kita singkat aje ye jadi Ca
CES*
So, Potensial aksi jantung itu ngebuat Ca CES ini berdifusi ato menembus
membran tubulus T, langsung deh, dengan masuknya Ca CES ke tubulus T, si
sarkoplasma langsung kebuka mengeluarkan kalsiumnya, trus kontraksi deh.
Nah, uda tahu belom jawabannya? So, jawabannya, tanpa Ca CES, lo kaga
bakalan bisa buat jantung lo berkontraksi, karena Ca CES itu yg memicu jantung
lo kontraksi... kalo ntu jantung kaga kontraksi?*jawab ndiri dah*
Kalo otot skelet maah, tetep bisa kontraksi walaupun kaga ade Ca CES, karena
kontraksinya ntu dipicu ame potensial aksinya..
METABOLISME AEROB
Jantung itu dikasi energi sama Allah melalui adanya metabolisme aerobic
alias metabolisme yang butuh oksigen, diolah di mitokondria
BANYAK MITOKONDRIA
Karena beliau itu perlu banget metabolisme aerobic sedangkan cadangan
glukosa alias si glikogennya sangat sedikit padahal regulasinya kan harus
berjalan dengan cepat (kalo ga cepat bisa-bisa mati kita), so beliau harus
punya mitokondria yang super buanyak, untuk manfaatin glukosa yang datang
dengan baik dan benar.
SUMBER ENERGI : ASAM LEMAK (60-80%), ASAM LAKTAT DAN
GLUKOSA (20-40%)
MONOCARBOXYLATE DI MEMBRAN SEL, KENDARAAN BUAT
ASAM LAKTAT
Laktat di jantung CO2 dan H20
TRANSPORTER GLUKOSA MENGGUNAKAN GLUT 1 (10%) DAN
GLUT 4 (90%)
OKSIDASI ASAM LEMAK MELIBATKAN AKTIVITAS ACC-2 DAN
MALONIL COA DEKARBOKSILASE
Sebenarnya kaya begini nih bentuk metabolisme aerobic yang ada di jantung,
yang menghasilkan ATP dan digunakan buat energi kontraksinya si otot
cardiac (kotak ungu)
Bayangkan ATP itu seperti besin pada kendaraan lo, sedangkan kalsium itu
anggap aja kaya kunci mobil yang lo pegang.Tanpa keduanya, mobil lo kaga
ada gunanya.
1. Metabolisme ANAEROB
2. Bahan bakarnya terutama dari glikogen,
3. Disaat yang kaya gini, asam lemak tu dibutuhkan (tapi kalo oksigennya
uda terpenuhi lagi, kehadiran asam lemak bakalan merugikan karena
bakalan menghambat penyembuhan sel otot jantung yang rusak)
4. Asam laktat meningkat pH jaringan menurun
5. Keadaan ini banyak menguras ATP yang ada, padahal dalam keadaan
iskemi produksi ATP semakin sedikit.
3. PERAN CAMP
Sebelumnya, uda pada tau gak apa kepanjangan dari cAMP, yaitu cyclic
Adenosin Monofosfat, biasanya dia berhubungan dengan yang namanya
transport membran atau juga bisa dengan berhubungan dengan second
messanger. Nah, fungsi dari sic AMP ini sendiri dalam otot terutamanya otot
jantung adalah :
Pengatur troponin dan tropomiosin
Mengatur kadar Ca2+ intrasel
4. PROTEIN TRANSMEMBRAN
Fungsi adanya protein membrane ini adalah sebagai sawar atau kaya
satpamnya sebuah sel gitu, dia menyeleksi benda-benda yang akan masuk
ke dalam rumah (intrasel).
Mengandung bahan hidrofobik
5. KANAL SALURAN CA
Kanal ini sangat penting terutama kalau disangkut pautkan dengan jantung.
Sebagaimana yang uda tak jelaskan di sub bab sebelumnya, bahwa regulasi
Ca itu menentukan kontraksi jantung.
KANAL SALURAN CA
Pada jantung, kanal Ca terletak pada tubulus T, Ca ekstrasel masuk ke
tubulus T melalui saluran Ca tipe L (pintu lambat)
Dengan menurunnya potensial aksi jantung, maka kadar Ca yang masuk ke
intrasel juga mengalami penurunan, sehingga kontraksi relax
Yang menjadi pemicu cepatnya pemasukan Ca ke intrasel adalah adanya
protein kinase cAMP, sedangkan Verapamil dan protein kinase cGMP
adalah inhibitor saluran Ca
PERTUKARAN Ca Na
Pertukaran antara ion Ca Na yang terjadi di serabut saraf jantung berfungsi
sebagai pengendalian impuls sehingga terjadi kontrkasi jantung yang ritmik.
Dengan pengaktifan kanal Na maka Na cepat masuk ke dalam sel
Dalam keadaan olahraga : Terjadi penurunan ATP dan kreatin fosfat tubuh,
peningkatan pada ADP, AMP dan Fosfat dan semakin meningkatkan
konsumsi glikogen.
Keadaan sebelum olahraga, kandungan kreatin fosfat tubuh tinggi.
7. KOLESTROL
Biasanya kalo dengar tentang kolestrol..kite pade mesti suudzon ame die.
Sebenarnya kolestrol ntu kaga sepenuhnya jahat lhoo. Kolestrol ntu
berfungsi sebagai : Stabilizer bagi membran sel, precursor garam empedu
(apa tuh garam empedu? Sabar guys, ntar kita singgung ttg itu), dan
precursor steroid.
#Tapi kalau kite pade overdosis kolestro, bisa terjadi yang namanya
atherosclerosis (apa lagi tuh? Sabar dulu nape)
#Kolestrol banyak terkandung di kuning telur, daging merah dan hati.
#Tubuh kita bisa membuat kolestrol lhoo. Sintesis kolestrol biasanya terjadi
di usus halus dan hati
#Asetil KoA yang (dibentuk dari Asam amino atau bisa juga glukosa bisa
juga dibentuk dari asam lemak) merupakan precursor pembentukan
kolestrol
#Pengen tau gimana caranya kolestrol dibentuk tubuh? Gini nih caranya
(Gambar Pembentukan Kolestrol)
#Kolestrol sendiri merupakan komponen dari lipoprotein
#HDL biasa dikatakan sebagai kolestrol baik, karena ia yang bertugas
membawa para lemak nakal yang beredar di darah dan mengembalikannya
kembali ke kandang (hati)
#Kolestrol jahat biasa diperankan oleh LDL, ini nih yang biasa ditemukan
ketika seseorang mengalami atherosclerosis.
#Kolestrol yang tersisa dirombak kembali di dalam hati untuk dikemas
kembali ke dalam VLDL
8. GARAM EMPEDU
Masi inget gak dulu, pelajaran SMA ttg pencernaan,di bab itu ada
disebutkan materi kita kali ini. Inget gak fungsinya? Yaudah, daripada
penasaran gak jelas, mending langsung aja yak,,, jadi fungsi dari garam
empedu adalah SEBAGAI “DETERGEN” LEMAK, yang membantu
mencerna lemak
Garam empedu primer, dibentuk oleh asam kolat dan asam
kenokolat.Sedangkan garam empedu sekunder dibentuk oleh asam deoksilat
dan asam litokolat.
Garam empedu dihasilkan di hati dengan bahan utama adalah kolestrol
Garam empedu dari hati di bawa ke empedu dan disimpan atau di
sekresikan ke usus
95% dari garam empedu diserap ileum dan dibawa kembali ke hati (siklus
enterohepatik)
5% melewati usus dan keluar bersama feses
Serangan jantung (Infark Miokardium) itu biasanya gara ada sumbatan pada
arteri koronaria jantung, nah kalo udah begitu terjadi deh siklus ini
Arteri koronaria tersumbat suplai O2 jaringan berkurang metabolisme
tidak berjalan Efek yang ditimbulkan :
1. Ca tidak terpakai penumpukan Ca
2. Pembengkakan dan kerusakan mitokondria
3. Tingginya kadar enzim kreatin kinase
Efek paling besar akibat kejadian ini dirasakan oleh organ yang banyak
mengandung mitokondria (jaringan saraf, jantung, otot rangka dan ginjal)
Inilah diantara penyebab dan efek yang ditimbulkan akibat penurunan
fungsi mitokondria (na’udzubillahi min dzaalik)
KEY POINTS
2 penyakit kardiovaskuler yang paling sering terjadi akibat infeksi
mikroorganisme adalah endokarditis dan miokarditis
Endokarditis adalah inflamasi jaringan bagian dalam jantung seperti katup
jantung yang disebabkan oleh agen infeksius
Miokarditis adalah inflamasi otot jantung dan paling sering diakibatkan oleh
infeksi virus
Bakteremia adalah keadaan di mana terdapat bakteri dalam aliran darah
Vaskulitis adalah inflamasi dinding pembuluh darah yang diakibatkan oleh
infeksi atau penyakit autoimun
Limfadenopati adalah penyakit yang mengakibatkan pembesaran nodus limfe
yang disebabkan oleh infeksi, penyakit autoimun, atau keganasan
Bakteremia adalah keadaan di mana terdapat bakteri dalam darah. Bakteri dapat
memasuki aliran darah sebagai komplikasi yang parah dari suatu infeksi seperti
pneumonia atau meningitis, komplikasi pascaoperasi, penggunaan kateter atau hal
lain yang memasukkan benda asing ke aluran darah seperti suntik IV. Bakteremia
memiliki konsekuensi yang berat. Sistem imun berespons terhadap bakteremia
dapat mengakibatkan sepsis dan syok septik yang memiliki angka mortalitas tinggi.
Bakteri juga dapat menggunakan darah untuk menyebar ke bagian lain dari tubuh
yang disebut penyebaran hematogen dan dapat mengakibatkan infeksi pada organ
yang jauh dari tempat awal terjadinya infeksi seperti endokarditis atau
osteomielitis. Pengobatan secara umum dilakukan dengan menggunakan antibiotik.
Oleh karena itu penggunakan antibiotik sebagai profilaksis dapat digunakan di saat
di mana dapat diduga akan terjadi risiko bakteremia.
Vaskulitis adalah inflamasi dinding pembuluh darah yang diakibatkan oleh infeksi
atau penyakit autoimun. Permeabilitias dinding pembuluh darah akan meningkat
saat terjadi inflamasi yang dapat mengakibatkan perdarahan.
CK dan CKMB
CK dibuat pada otot lurik, nilai normalnya bervariasi tergantung massa otot
• AMI
• Penyakit CNS (brain • Cardiac anuerysm • Rhabdomyolisis
injury, brain cancer, surgery • Distrofi muscular
stroke, SAH, seizures, • Cardiac defibrillation • Miositis
shock, reye syndrome) • Pembedahan baru
• Myocarditis
• Terapi • Elektromiografi
elektrokonvulsif • Arhytmia ventricular
• Cardiac ischemic • Injeksi IM
• Adenokarsinoma
(khusus payudara dan • Trauma
paru) • Delirium
• Infark pulmo • Hipertermi maligna
• Kejang
• Elektrokonvulsif
• Syok
• Hipokalemia
• Hipotiroidism
CK-MB
CK-BB
CK-MM
Troponin
Bila terjadi cedera miokard, troponin di sitoplasma dengan cepat keluar dalam
darah (puncak yang cepat dalam beberapa jam), dilanjutkan release troponin
yang terikat (puncak kedua, bertahan beberapa hari).
Pada pasien IMA non reperfusi, hanya tampak satu puncak yang kontinu
Troponin T VS Troponin I
2. Infectious Endocarditis(3)(4)
2.1.Definisi
Penyakit infeksius yang menyerang kebanyakan pada katup jantung,
seringnya oleh bakteria (Staphylococcus aureus, MRSA)
2.2.Gambaran
Tahapan
pertama pada
Myocardial
Necrosis
Infark (MI),
terjadi proses
hipereosinofilia
pada otot
jantung yang
terjadi
necrosis(atas),
bdgkan dengan
otot jantung
sehat (bawah)
Terjadi infiltrasi
neutrofil pada
(lingkaran
adalah gambaran infiltrasi neutrofil)
Fibrosis
Gambaran sel myocard yang telah mengalami proses penyembuhan dan menjadi
jaringan fibrosis
4. Atherosclerosis(6)
DAFTAR PUSTAKA
B. Patogenesis
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan
cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi attau terpapar dengan
suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar
terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri
dari: 1) gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis, 2) gangguan
pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan dan 3) gangguan
pada dinding pembuluh darah (endotel).1
C. Klasifikasi
1. DVT ekstremitas bawah, biasanya dimulai dari betis dan menyebar ke
vena poplitea, vena femoralis dan vena iliaca. DVT kaki 10 kali lebih
sering dibandingkan DVT ekstremitas atas
2. DVT ekstremitas atas, biasanya ditimbulkan oleh pemasangan
pacemaker, defibrilator jantung internal atau kateter vena sentral.
3. Trombosis vena superfisial biasanya menimbulkan eritema.2
D. Manifestasi Klinis
Gejala utama pada DVT adalah kram pada betis yang bertahan hingga
beberapa hari. Pasien juga mengeluhkan kaki yang bengkak dan nyeri.2
MEP Books Cardiovascular page 54
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama pada pasien adalah kaki yang bengkak dan nyeri.
Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena
dapatdiketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya
riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal yang penting.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak
selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai
unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah
superfisial dan tanda Homan positif.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan
peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dimer
merupakan indikator trombosis yang aktif. Pemeriksaan radiologis
merupakan pemeriksaan penting utnuk mendiagnosis trombosis. Pada
DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi/flebografi,
USG doppler, USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography
(IPG) dan MRI.1
F. Diagnosis Banding
1. Ruptur kista Baker
2. Selulitis
3. Insufisiensi vena2
G. Tatalaksana
Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang
digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Sebelum memulai
terapi heparin, APTT, masa protrombin dan jumlah trombosit harus diperiksa,
terutama pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi atau gangguan hati dan
ginjal.Heparin berat molekul rendah / LMWH dapat diberikan satu atau dua
kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. Keuntungan
LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang kecil dan tidak memerlukan
pemantauan laboratorium. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena
sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang
kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun.1
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014.
2. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition.
New York: McGraw Hill Education; 2015.
TROMBOEMBOLI VENA
B. Faktor Resiko
Pada tahun 1856, Virchow mengajukan beberapa faktor yang dapat
menyebbkan koagulasi intravaskular, yaitu stasis, kerusakan dinding
pembuluh darah, dan hiperkoagulabilitas. Faktor-faktor resiko VTE terdiri dari
faktor resiko didapat dan faktor resiko yang diturunkan (tabel 1).2
C. Patofisiologi
Inflamasi, hiperkoagulabilitas dan kerusakan endotel mengaktifkan
proses patofisiologi yang menyebabkan VTE. Trombus vena mengandung
fibrin, sel darah merah, platelet dan neutrofil. Trombus ini terbentuk pada
lingkungan yang stasis, tekanan oksigen rendah, stres oksidatif, peningkatan
ekspresi produk gen proinflamasi, dan kemampuan regulasi sel endotel yang
terganggu. Inflamasi yang disebabkan oleh infeksi, transfusi atau faktor yang
menstimulasi eritropoiesis mengaktifkan reaksi biokimia pada endotel vena
yang menstimulasi trombosis.3
D. Klasifikasi
Emboli paru dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Massive PE
Massive PE terjadi pada 5-10% kasus, dan memiliki ciri-ciri
berupa trombosis luas paling sedikit setengah dari pembuluh darah paru.
Massive PE memiliki gejala berupa dispneu, hipotensi, dan sianosis.
Pasien dengan massive PE dapat mengalami syok kardiogenik dan
meninggal akibat kegagalan multi organ.
2. Submassive PE
Submassive PE terjadi pada 20-25% kasus, memiliki karakteristik
berupa disfungsi ventrikel kanan dengan tekanan arterial sistemik yang
normal. Kombinasi gagal jantung kanan dan pelepasan biomarker jantung
menunjukkan kemungkinan perburukan kondisi klinis.
3. Low-risk PE
Low-risk PE terjadi pada 70-75% kasus. Pasien dengan low-risk PE
memiliki tekanan arterial sistemik yang normal, tidak terjadi pelepasan
biomarker jantung, fungsi ventrikel kanan normal.1,3
E. Manifestasi Klinis
Pasien dengan PE memiliki gejala utama berupa sesak. Nyeri dada,
batuk dan hemoptisis mengindikasikan pulmonary infarction dengan iritasi
pleura. Syncope dapat terjadi pada massive PE.1
F. Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Takipneu dan takikardi terjadi pada pasien dengan PE. Demam
ringan, distensi vena leher dan bunyi P2 yang keras pada pemeriksaan
jantung dapat terlihat. Hipotensi dan sianosis menunjukkan massive PE.1
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada PE, pemeriksaan foto dada tidak spesifik tetapi dapat
membantu diagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran
normal hingga 40% kasus. EKG dapat menunjukkan gambaran normal
atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperti gelombang S1-T3,
gelombang Tyang terbalik di sadapan prekordial kanan, deviasi aksis ke
kanan dan RBBB lengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tetapi tidak
memastikan diagnosis.
Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung Scanning
merupakan prosedur baku untuk men diagnosis emboli paru. Interpretasi
hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah V/Q yang “mismatch”, yaitu
tidak terdapatnya gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi
tampak ormal atau tersebar merata.4
G. Differential Diagnosis
Emboli paru
1. Pneumonia, asma, PPOK
2. Gagal jantung kongestif
3. Perikarditis
4. Pneumotoraks
5. Sindrom koroner akut1
H. Tatalaksana
Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi harus hati-hati
jika akan membberikan opiat pada pasien yang hipotensi. UFH merupakan
terapi standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Selain UFH,
LMWH dapat diberikan dengan efkasi yang sama, meskipun masih belum
Daftar Pustaka
1. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition.
New York: McGraw Hill Education; 2015.
2. Hurst JW, Fuster V, Walsh RA, Harrington RA, editors. Hurst’s the heart. 13th
ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2011.
3. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E, editors. Braunwald’s
heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. Tenth edition.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2015.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014.
THROMBOANGITIS OBLITERANS
Definisi
Penyakit Buerger merupakan penyakit pembuluh darah nonaterosklerotik
yang ditandai oleh fenomena oklusi pembuluh darah, infl amasi segmental
pembuluh darah arteri dan vena berukuran kecil dan sedang yang dapat melibatkan
ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah.1,2,3
Diagnosis
a. Kriteria Shionoya
Yang termasuk kriteria ini yaitu riwayat merokok, usia belum 50 tahun,
memiliki penyakit oklusi arteri infrapopliteal, fl ebitis migrans pada salah satu
ekstremitas atas dan tidak ada faktor risiko aterosklerosis selain merokok. Seluruh
kriteria ini harus terpenuhi untuk menegakkan diagnosis.3,4,5,6
b. Kriteria Ollin
Yang termasuk kriteria ini sebagai berikut:1
1. Berumur antara 20-40 tahun
2. Merokok atau memiliki riwayat merokok
3. Ditemukan iskemi ekstremitas distal yang ditandai oleh klaudikasio, nyeri
saat istirahat, ulkus iskemik atau gangren dan didokumentasikan oleh tes
pembuluh darah non-invasif
4. Telah menyingkirkan penyakit autoimun lain, kondisi hiperkoagulasi, dan
diabetes mellitus dengan pemeriksaan laboratorium
5. Telah menyingkirkan emboli berasal dari bagian proksimal yang diketahui
dari echokardiografi atau arteriografi
6. Penemuan arteriografi yang konsisten dengan kondisi klinik pada
ekstremitas yang terlibat dan yang tidak terlibat
c. Kriteria Mills dan Poter5
Kriteria eksklusi:
1. Sumber emboli proksimal
2. Trauma dan lesi lokal
3. Penyakit autoimun
4. Keadaan hiperkoagubilitas
Tatalaksana
Tujuan utama penanganan adalah memperbaiki kualitas hidup. Cara yang
dapat dilakukan adalah menghindari dan menghentikan faktor yang memperburuk
penyakit, memperbaiki aliran darah menuju tungkai atau ekstremitas, mengurangi
rasa sakit akibat iskemi, mengobati trombofl ebitis, memperbaiki penyembuhan
luka atau ulkus.
a. Terapi non bedah
1. Berhenti merokok merupakan salah satu cara mengatasi
progresivitas penyakit.
2. Analog prostasiklin seperti iloprost; merupakan vasodilator dan
mampu menghambat agregasi platelet.
3. Calcium channel blocker untuk mengurangi efek vasokonstriksi
penyakit ini.
4. Bosentan. Obat ini merupakan antagonis kompetitif dari endotelin-1
sehingga memiliki kemampuan vasodilatasi. Pada peneltian de Haro
dkk. (2012) menghasilkan perbaikan kondisi klinis penyembuhan
ulkus dan gambaran angiografi Bosentan selama 28 hari lebih
efektif dibandingkan aspirin untuk mengatasi nyeri saat istirahat dan
penyembuhan ulkus.
5. Siklofosfamid dilaporkan bermanfaat pada beberapa pasien
berdasarkan etiopatologi penyakit ini yang dipengaruhi oleh faktor
autoimun. Saha dkk. (2001) menunju kan bahwa obat ini dapat
DAFTAR PUSTAKA
1. Olin JW. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). N Engl J Med
2000;343(12):864-9.
2. De Haro J, Acin F, Bleda S, Varela C, Esparza L.Treatment of
thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease) with bosentan. BMC
Cardiovasc Disord 2012;14(12):1-7.
3. Vijayakumar A, Tiwari R, Prabhuswamy VK. Thromboangiitis obliterans
(Buerger’s disease)-current practices. Int J Infl am 2013;2013:1-9.
4. Lazarides MK, Georgiadis GS, Papas TT, Nikolopoulos ES. Diagnostic
Criteria and Treatment of Buerger’s Disease: A Review. Int J Low Extrem
Wounds 2006;5(2):89-95.
5. Mills JL Sr.Buerger’s Disease in the 21st Century: Diagnosis, Clinical
Features, and Therapy. Semin Vasc Surg 2003;16(3):179-89.
6. Arkkila PET. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). Orphanet J
Rare Dis 2006;14:1-5
Vena superfisial adalah vena yang sering terlibat, secara khas vena
saphenous yang besar dan percabangannya, tetapi vena saphenous yang pendek
juga bisa terkena (bagian bawah belakang kaki). Distensi dari vena mencegah katup
peredaran balik dan menyebabkan inkompetensi. Selanjutnya terjadi dilatasi pada
beberapa titik di sepanjang vena yang mengakibatkan peningkatan tekanan dan
distensi dari bagian vena yang berada di bawah katup, yang kemudian pada
gilirannya akan menyebabkan kegagalan progresif dari katup bagian bawah lainnya
dan menimbulkan progresif refluks vena. Perforasi vena berhubungan dengan
sistem vena dalam dan superfisial yang juga akan menjadi inkompeten, sehingga
darah akan refluks menuju vena superfisial dari sistem vena dalam melalui vena
inkompeten yang perforasi tadi dan meningkatkan tekanan vena dan distensi.
Manifestasi klinis
Gejala yang berat tidak berhubungan dengan jumlah dan ukuran dari
varikositis; varises yang luas juga mungkin tidak menimbulkan gejala, sedangkan
varises yang sedikit mungkin dapat menimbulkan beberapa gejala. Beratnya
penyakit atau perasaan lelah pada kaki pada saat berdiri merupakan keluhan yang
paling banyak.
Dokter harus teliti dalam mengidentifikasi tanda dan gejala dari oklusi
PAD, seperti claudication yang intermiten atau pengurangan denyut kaki, sejak
terjadinya insufisiensi arteri; hal ini kontraindikasi untuk dilakukannya tatalaksana
pada varikositis distal sampai lutut. Rasa gatal dari vena eksema yang statis dapat
terjadi pada salah satu pergelangan kaki atau langsung dapat ditemukan pada
varikositis yang luas.
Ketika pasien berdiri, dapat terlihat dan teraba vena yang melengkung pada
betis paha yang berdilatasi. Berdiri yang lama pada pasien varises dapat
menyebabkan perjalanan penyakit ke arah insufisiensi vena kronik yang berkaitan
dengan edema pada pergelangan kakki, hiperpigmentasi pada kulit (berwarna
kecoklatan), dan indurasi yang kronik pada kulit atau fibrosis. Bunyi bruit tidak
pernah ditemukan pada varises primer. Tetapi jika ditemukan, ini merupakan tanda
bagi dokter akan adanya fistula arterivenosus atau malformasi.
Pencitraan
Diagnosis Banding
bawah distal kaki (post trhombotic syndrome). Rasa sakit atau tidak nyaman
sekunder berkaitan dengan neuropati atau insufisiensi arteri harus dibedakan dari
gejala yang timbul pada varises. Pada pasien remaja yang menderita varises wajib
dieksklusikan jika gambaran sistem vena dalamnya mengalami atresia atau
mengalami kongenital malformasi. Hal ini disebabkan tatalaksana pembedahan
pada pasien varises dikontraindikasikan pada pasien ini karena varikositis mungkin
berperan dalam drainase vena yang signifikan pada tungkai.
Komplikasi
Pada pasien tua, varikositis superfisial mungkin dapat berdarah jika ada
trauma kecil. Banyaknya darah dapat menjadi tanda tingginya tekanan pada
varikositas.
Tatalaksana
1. Terapi nonbedah
Terapi nonbedah merupakan terapi yang efektif. Kompresi dari
penggunaan stocking yang elastic (20-30 mmHg) dapat mengurangi
tekanan vena pada kaki dan mencegah progresifitas dari penyakit. Kontrol
yang baik pada gejala dapat dicapai ketika stocking digunakan setiap hari
selama berjalan berjam-jam dan pengangkatan kaki dilakukan terutama di
malam hari. Kompresi dari stocking cocok untuk pasien yang tua atau
pasien yang tidak ingin melakukan pembedahan.
2. Skleroterapi
MEP Books Cardiovascular page 68
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
Prognosis
Daftar Pustaka
1. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current Medical Diagnosis &
Treatment. 55th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.
AORTIC DISSECTION
1. Definisi 1
Diseksi aorta adalah hal yang jarang namun memilki potensi yang
sangat fatal, yaitu mengakibatkan pemisahan lapisan tunika media dengan
masuknya darah, menghasilkan lumen palsu dengan variabel proksimal dan
distal perpanjangan. Diseksi aorta ascendens merupakan yang paling umum
terjadi , yaitu 2-3 kali daripada pecahnya aorta perut. Mortalitas dari
diseksi akut yang tidak diobati melibatkan aorta ascending adalah sekitar
1-2% per jam selama 48 jam pertama. Kasus terkenal pertama kali
didokumentasikan adalah Raja George II.1
2. Patofisiologi 1
Diseksi aorta lebih sering terjadi pada laki-laki dengan insiden
puncak pada usia 50-70 tahun. Diseksi aorta berasal dari robekan dalam
intima dan propagasi dari darah ke dalam lapisan media atau dari
perdarahan intramural dan pembentukan hematoma dilap[isan media
diikuti oleh perforasi intima; pembentuk lebih umum. Karakteristik gambar
aorta diseksi adalah adanya flap intima di aorta. Ini biasanya didahului oleh
degenerasi dinding medial atau nekrosis kistik medial. Darah dapat
kembali memasuki lumen berlaku disetiap titik, sehingga membuatnya
berhubungan disuatu dissection. Robekan intima dapat terjadi di daerah
aorta yang mengalami stres terbesar dan fluktuasi tekanan, karena mekanik
stres pada dinding aorta sebanding dengan intramuraltekanan dan diameter
pembuluh, hipertensidan dilatasi aorta yang diketahui sebagai faktor
risiko untuk dissection.
Kelainan dinding Integral seperti sindrom Marfan juga mungkin
menjadi predisposisi dissection. Meskipun tidak ada gangguan tunggal yang
bertanggung jawab, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi yang dapat
merusak dinding aorta dan menyebabkan diseksi.
3. Manifestasi Klinik1
Secara klinis, diseksi aorta muncul akibat dua proses. Pertama
adalah gangguan intima yang berhubungan dengan sakit parah dan
hilangnya volume nadi. Kedua ketika tekanan melebihi batas kritis dan
akhirnya pecah. Intensitas tinggi nyeri dada yang tajam mendadak di awal
adalah yang paling spesifik. Ini digambarkan sebagai stabbing, tearing, or
ripping in nature. Analysis of the International Registry of Acute Dissection
(Irad), mencatat bahwa nyeri dada yang parah lebih umum dengan tipe A
diseksi, sedangkan nyeri punggung dan nyeri perut lebih sering terjadi pada
tipe B diseksi. Rasa sakit bermigrasi dan mengikuti jalan propagasi dari
diseksi.
4. Diagnosis1
Diseksi aorta memiliki berbagai presentasi klinis. Indeks tertinggi
kecurigaan yang penting pada pasien dengan risiko predisposisi faktor,
misalnya hipertensi, penyakit aneurisma aorta, atau familial gangguan
jaringan ikat. Biasanya pasien adalah laki-laki hipertensi di usia 60-an,
dengan riwayat onset mendadak sakit dada.
Pada semua pasien, EKG segera harus dilakukan untuk
menyingkirkan infark miokard akut yang pengobatannya sangat berbedadan
mungkin melibatkan trombolisis. Sekitar 20% dari pasien dengan tipe A
diseksi memiliki perubahan iskemik pada EKG karena perluasan diseksi
menjadi ostium koroner. Pada pasien tersebut, pencitraan lebih lanjut harus
dilakukan sebelum trombolisis atau revaskularisasi prosedur dicoba.
Penanda biokimia dari kerusakan miokar dapat membantu dalam
diagnosis.2 Waktu yang paling menjanjikan pada penanda biokimia
untuk mendiagnosis diseksi aorta akut adalah elevated circulating smooth
muscle myosin heavy chain ; ini dilepaskan dari kerusakan aortic medial
smooth muscle.3
Pencitraan
Beberapa modalitas (CT, MRI scanning, dan ekokardiografi) dapat
digunakan untuk melengkapi satu sama lain untuk memfasilitasi diagnosis
5. Tatalaksana 1
a. Initial management
Pasien harus dirawat dalam lingkungan perawatan kritis dan keterlibatan bedah
awaladalah penting. Tergantung pada urgensi, berdampingan dengan medis
kondisi harus diselidiki dan diobati. Nyeri harus diobati dengan analgesik yang
memadai. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kekuatan kontraksi
ventrikel kiri tanpa mengorbankan perfusi, sehingga mengurangi pergeseran dan
Surgical management
Akut aorta dissection type A harus dioperasi pada tanpa penundaan, karena
ruptur mungkin akan terjadi. Kemungkinan kontraindikasi termasuk paraplegia dan
komorbiditas parah dapat disembuhkan . Keterlibatan neurologis, asidosis
metabolik, dan gangguan ginjal akut dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Beberapa pendekatan bedah dijelaskan. Tujuan dari bedah yaitu terapi yang
mencegah ekstensi, pemotongan intima yang robek , dan menggantikan segmen
aorta rentan yang untuk pecah dengan interposisi
cangkok sintetik (elephant trunk technique). Kombinasi katup aorta
dan pergantian aorta ascendens dengan re-implantasi arteri koroner menggunakan
graft komposit dilakukan jika aorta yang katup tidak diselamatkan.
Pada tipe B pembedahan aorta akut, intervensi bedah hanya diindikasikan jika
ada persisten atau berulang nyeri keras, aneurisma ekspansi, komplikasi iskemik
perifer, dan pecah. Hal ini karena perbaikan bedah tidak memiliki keunggulan yang
terbukti daripad a nonsurgical pengobatan pada pasien B diseksi tipe stabil.
Anaesthetic considerations
Anaesthetists terlibat dalam resusitasi dan stabilisasi, nyeri lega, sedasi untuk
TOE, transfer, anestesi, dan perawatan perioperatif pasien diseksi aorta. Peran
dokter anestesi juga dapat mencakup diagnostik TOE perioperatif untuk membantu
pengambilan keputusan bedah.
B. Interventional management
C. Medical management
Manajemen medis lebih dianjurkan karena tidak meyembabkan komplikasi
diseksi aort. Adequate pain relief diperlukan. Fokus utama dari manajemen medis
adalah untuk mengurangi darah tekanan dan karenanya mencegah perluasan
diseksi.
6. Klasifikasi1
Beberapa klasifikasi yang berbeda telah menggambarkan diseksi aorta.
sistem klasifikasi umum digunakan adalah baik berdasarkan durasi timbulnya
gejala
sebelum presentasi atau anatomi diseksi. Diseksi aorta akut jika diagnosis
dibuat dalam waktu 2 minggu setelah onset awal gejala, dan kronis jika ada lebih
dari 2 minggu. Baru-baru ini the European Society of Cardiology Task Force on
Aortic Dissection telah datang dengan klasifikasi etiologi yang lebih komprehensif.
A. Stanford classification
Tipe A melibatkan aorta menaik tapi mungkin meluas ke lengkungan dan turun
aorta (Tipe I DeBakey dan II). Tipe B melibatkan aorta menurun hanya (DeBakey
tipe III). Dalam Stanford tipe A, yang selalu terlibat adalah ascendensd aorta. Di
Stanford tipe B, diseksi adalah distal asal subklavia kiri pembuluh darah. Sistem
Stanford juga membantu untuk menggambarkan dua kelompok resiko yang nyata
bagi manajemen. Biasanya, tipe A pembedahan memerlukan operasi, sementara
pembedahan tipe B sebaiknya dikelola secara konservatif dengan pengobatan
medis di bawah yang paling
kondisi.
B. DeBakey classification
1. Tipe I melibatkan ascending aorta, arkus aorta, dan turun aorta.
2. Tipe II terbatas pada ascending aorta saja.
3. Tipe III terbatas pada aorta menurun distal arteri subklavia kiri saja; IIIa meluas
hingga diafragma, IIIb melampaui diafragma.
Daftar Pustaka
1. Hebballi R, Swanevelder J. Diagnosis and management of aortic dissection.
Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009 Feb;9(1):14–8.
2. Khan IA, Nair CK. Clinical, diagnostic, and management perspectives of aortic
dissection. Chest 2002; 122: 311–28
3. Tsai TT, Nienaber CA, Eagle KA. Acute aortic syndromes. Circulation 2005;
112: 3802–13
4. Erbel R, Alfonso F, Boileau C et al. Task Force on Aortic Dissection Diagnosis
and Management of aortic dissection. Eur Heart J 2001; 22: 1642–81
AORTIC DISSECTION
Definisi 1
Diseksi aorta adalah hal yang jarang namun memilki potensi yang
sangat fatal, yaitu mengakibatkan pemisahan lapisan tunika media dengan
masuknya darah, menghasilkan lumen palsu dengan variabel proksimal dan
distal perpanjangan. Diseksi aorta ascendens merupakan yang paling umum
terjadi , yaitu 2-3 kali daripada pecahnya aorta perut. Mortalitas dari
diseksi akut yang tidak diobati melibatkan aorta ascending adalah sekitar
1-2% per jam selama 48 jam pertama. Kasus terkenal pertama kali
didokumentasikan adalah Raja George II.1
Patofisiologi 1
Diseksi aorta lebih sering terjadi pada laki-laki dengan insiden
puncak pada usia 50-70 tahun. Diseksi aorta berasal dari robekan dalam
intima dan propagasi dari darah ke dalam lapisan media atau dari
perdarahan intramural dan pembentukan hematoma dilap[isan media
diikuti oleh perforasi intima; pembentuk lebih umum. Karakteristik gambar
aorta diseksi adalah adanya flap intima di aorta. Ini biasanya didahului oleh
degenerasi dinding medial atau nekrosis kistik medial. Darah dapat
kembali memasuki lumen berlaku disetiap titik, sehingga membuatnya
berhubungan disuatu dissection. Robekan intima dapat terjadi di daerah
aorta yang mengalami stres terbesar dan fluktuasi tekanan, karena mekanik
stres pada dinding aorta sebanding dengan intramuraltekanan dan diameter
pembuluh, hipertensidan dilatasi aorta yang diketahui sebagai faktor
risiko untuk dissection.
Kelainan dinding Integral seperti sindrom Marfan juga mungkin
menjadi predisposisi dissection. Meskipun tidak ada gangguan tunggal yang
bertanggung jawab, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi yang dapat
merusak dinding aorta dan menyebabkan diseksi.
Manifestasi Klinik1
Secara klinis, diseksi aorta muncul akibat dua proses. Pertama
adalah gangguan intima yang berhubungan dengan sakit parah dan
hilangnya volume nadi. Kedua ketika tekanan melebihi batas kritis dan
akhirnya pecah. Intensitas tinggi nyeri dada yang tajam mendadak di awal
adalah yang paling spesifik. Ini digambarkan sebagai stabbing, tearing, or
ripping in nature. Analysis of the International Registry of Acute Dissection
(Irad), mencatat bahwa nyeri dada yang parah lebih umum dengan tipe A
diseksi, sedangkan nyeri punggung dan nyeri perut lebih sering terjadi pada
tipe B diseksi. Rasa sakit bermigrasi dan mengikuti jalan propagasi dari
diseksi.
MEP Books Cardiovascular page 80
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
Diagnosis1
Diseksi aorta memiliki berbagai presentasi klinis. Indeks tertinggi
kecurigaan yang penting pada pasien dengan risiko predisposisi faktor,
misalnya hipertensi, penyakit aneurisma aorta, atau familial gangguan
jaringan ikat. Biasanya pasien adalah laki-laki hipertensi di usia 60-an,
dengan riwayat onset mendadak sakit dada.
Pada semua pasien, EKG segera harus dilakukan untuk
menyingkirkan infark miokard akut yang pengobatannya sangat berbedadan
mungkin melibatkan trombolisis. Sekitar 20% dari pasien dengan tipe A
diseksi memiliki perubahan iskemik pada EKG karena perluasan diseksi
menjadi ostium koroner. Pada pasien tersebut, pencitraan lebih lanjut harus
dilakukan sebelum trombolisis atau revaskularisasi prosedur dicoba.
Penanda biokimia dari kerusakan miokar dapat membantu dalam
diagnosis.2 Waktu yang paling menjanjikan pada penanda biokimia
untuk mendiagnosis diseksi aorta akut adalah elevated circulating smooth
muscle myosin heavy chain ; ini dilepaskan dari kerusakan aortic medial
smooth muscle.3
Pencitraan
Beberapa modalitas (CT, MRI scanning, dan ekokardiografi) dapat
digunakan untuk melengkapi satu sama lain untuk memfasilitasi diagnosis
Tatalaksana 1
b. Initial management
Surgical management
Akut aorta dissection type A harus dioperasi pada tanpa
penundaan, karena ruptur mungkin akan terjadi. Kemungkinan
kontraindikasi termasuk paraplegia dan komorbiditas parah dapat
disembuhkan . Keterlibatan neurologis, asidosis metabolik, dan
gangguan ginjal akut dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Beberapa pendekatan bedah dijelaskan. Tujuan dari bedah yaitu
terapi yang mencegah ekstensi, pemotongan intima yang robek ,
dan menggantikan segmen aorta rentan yang untuk pecah dengan
interposisi
cangkok sintetik (elephant trunk technique). Kombinasi katup
aorta
dan pergantian aorta ascendens dengan re-implantasi arteri
koroner menggunakan graft komposit dilakukan jika aorta yang
katup tidak diselamatkan.
Pada tipe B pembedahan aorta akut, intervensi bedah hanya
diindikasikan jika ada persisten atau berulang nyeri keras,
aneurisma ekspansi, komplikasi iskemik perifer, dan pecah. Hal ini
c. Interventional management
Intervensi endovascular seringa pada tipe B aorta
pembedahan, terutama pada pasien berisiko tinggi untuk torakotomi
karena kelainan hidup bersama cardiopulmonary parah atau masalah
medis lainnya. Munculnya stenting perkutan dan / atau teknologi
fenestration memberikan alternatif untuk membuka operasi untuk
pasien tertentu. Tujuan pengobatan meliputi rekonstruksi dari
segmen aorta toraks yang merobek, induksi trombosis dari lumen
palsu, dan pembentukan kembali
lumen aliran cabang samping. 3
d. Medical management
Manajemen medis lebih dianjurkan karena tidak
meyembabkan komplikasi diseksi aort. Adequate pain relief
diperlukan. Fokus utama dari manajemen medis adalah untuk
mengurangi darah tekanan dan karenanya mencegah perluasan
diseksi.
Klasifikasi1
Beberapa klasifikasi yang berbeda telah menggambarkan diseksi
aorta.
atau subtipe diseksi. Semua ini dikelompokkan dalam sindrom aorta akut.
Klasik diseksi aorta anatomi adalah diklasifikasikan menurut DeBakey atau
Stanford.
Yang paling umum digunakan adalah Stanford klasifikasi, yang didasarkan
pada keterlibatan aorta menaik.
e. Stanford classification
Tipe A melibatkan aorta menaik tapi mungkin meluas ke
lengkungan dan turun aorta (Tipe I DeBakey dan II). Tipe B
melibatkan aorta menurun hanya (DeBakey tipe III). Dalam
Stanford tipe A, yang selalu terlibat adalah ascendensd aorta. Di
Stanford tipe B, diseksi adalah distal asal subklavia kiri pembuluh
darah. Sistem Stanford juga membantu untuk menggambarkan dua
kelompok resiko yang nyata bagi manajemen. Biasanya, tipe A
pembedahan memerlukan operasi, sementara pembedahan tipe B
sebaiknya dikelola secara konservatif dengan pengobatan medis di
bawah yang paling
kondisi.
f. DeBakey classification
1. Tipe I melibatkan ascending aorta, arkus aorta, dan turun aorta.
2. Tipe II terbatas pada ascending aorta saja.
3. Tipe III terbatas pada aorta menurun distal arteri subklavia kiri
saja; IIIa meluas hingga diafragma, IIIb melampaui diafragma.
Daftar Pustaka
Hebballi R, Swanevelder J. Diagnosis and management of aortic dissection. Contin
Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009 Feb;9(1):14–8.
Khan IA, Nair CK. Clinical, diagnostic, and management perspectives of aortic
dissection. Chest 2002; 122: 311–28
Tsai TT, Nienaber CA, Eagle KA. Acute aortic syndromes. Circulation 2005; 112:
3802–13
Erbel R, Alfonso F, Boileau C et al. Task Force on Aortic Dissection Diagnosis and
Management of aortic dissection. Eur Heart J 2001; 22: 1642–81
TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
1. Denyut jantung yang cepat, disebut takikardi yang artinya denyut jantung
melebihi > 100 denyut per menit. Pada SVT denyut jantung ini berkisar
antara 150-250 denyut per menit.
2. Denyut jantung yang reguler (dapat dilihat dari kompleks QRS yang teratur)
dengan gelombang P yang superimposed dengan komplek QRS (tidak
terlihat gelombang P).
3. Komplek QRS sempit (QRS < 0,12 detik atau 3 kotak kecil)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan
anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi
retrograd terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical
(slow-fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak adalah
takikardi dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang timbul
segera setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak
tampak karena gelombang p tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada
sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau antidromic.
Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS
sempit dan gelombang p terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh
setelah komplek QRS.
e) Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat
digitalis secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian
pertama adalah sebesar ½ dari dosis digitalisasi (loading dose)
dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut berselang 8
jam.
f) Beta-blocker
Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam
memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik.
g) Flecainide dan Sotalol
Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol
TSV yang refrakter. Untuk TSV yang refrakter pada anak yang berusia
kurang dari 1 tahun
ATRIAL FIBRILASI
Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi)
yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang
normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan
seringkali cepat.
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada
beberapa sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.
Etiologi
Sebagian besar fibrilasi atrial (atrial fibrillation/AF) tidak diketahui
penyebabnya.penyebabnya yang telah terbukti adalah usia, hipertensi, gagal
jantung simptomatik, stenosis atau isufiensi katup mitral, atrial septal defect
(ASD), infark Miokard, obesitas, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), diabetes
mellitus, gagal ginjal kronik, hipertiroidisme, intoksikasi alcohol atau pasca operasi
mayor seperti operasi abdomen, toraks atau vascular.
Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi
dan durasinya, yaitu:
Epidemiologi
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering
ditemui dalam praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan
akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang. data dari studi
observasional (MONICAmultinational MONItoring of trend and
determinant in CArdiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2 Selain itu,karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi
usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi
28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050),maka angka kejadian FA juga akan
meningkat secara signifikan.
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien
dengan FA memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3
kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa FA.Stroke merupakan salah satu
komplikasi FA yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA
mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Fibrilasi atrium juga
berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal
Penegakan diagnosis
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal
yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada
panduan ini, rekomendasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan
tingkat kelengkapan pusat kesehatan terkait.
Tatalaksana
Terapi antitrombotik pada FA
DAFTAR PUSTAKA
Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium,Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2014.
Kapita Selekta Kedokteran.Edisi Ke-4,2014,Jakarta: Media Aesculapius
FLUTTER ATRIUM
Teratur, gambaran gigi gergaji (Gambar 2), blokade 2:1, 3:1, 4:1
dan seterusnya
Gambar 3. Flutter atrium. Pemijatan karotis memperparah blokade dari 3:1 menjadi 5:1
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
Hipertensi
Obesitas
Diabetes Melitus
Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Intoksifikasi alkohol
Penyalahgunaan obat, khususnya kokain dan amfetamin
Penyakit Paru (PPOK dan emboli paru)
Tiroktosikosis
Berbagai kelainan jantung, kongenital (defek septum atrium) mauun
didapat (penyakit katup rrematik, penyakit arteri koroner dan gagal jantung
kongestif)
DAFTAR PUSTAKA
Thaler, Malcolm S. 2012. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan. Ed. 7.
Jakarta: EGC
Definisi
Suatu jenis aritmia jantung dengan kontraksi atrium prematur atau ketukan
yang disebabkan oleh sinyal yang berasal dari bagian ektopik atrium. Sinyal
ektopik ini mungkin atau mungkin juga tidak mengonduksi ventrikel jantung.
Kompleks atrium prematur ditandai dengan gelombang P dini pada EKG yang
berbeda dalam konfigurasi dari gelombang P yang dihasilkan oleh kompleks
pacemaker jantung normal pada nodus sinoatrial.
Sinonim
Supraventricular extrasystoles, premature atrial contraction, atrial ectopic
beats, premature atrial contractions, supraventricular extrasystole, Extrasystoles
Atrial, extrasystoles supraventricular, atrial extrasystoles
Gambaran EKG
supraventricular paling sering tidak memerlukan obat, tapi obat-obatan seperti beta
blockers dapat menurunkan terjadinya gejala SVES.
EKSTRASISTOL VENTRIKEL
Definisi
Gangguan irama di mana timbul denyut jantung prematur yang berasal dari
focus yang terletak di ventrikel,dapat berasal dari satu focus atau lebih (multifokal).
Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung yang paling sering
ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal.
Faktor Risiko
Pertambahan usia
Banyak minum kopi
Merokok
Emosi
Etiologi
Iskemia miokard
Infark miokard akut
Gagal jantung
Sindrom QT yang memanjang
Prolaps katup mitral
Cerebrovascular accident
Keracunan digitalis
Hipokalemia
Miokarditis
Kardiomiopati
Komplikasi
Takikardia ventrikel
Fibrilasi ventrikel
Ekstrasistol Maligna (Ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia
ventrikel yang berbahaya seperti takikardia atau fibrilasi ventrikel) :
Ekstrasistol yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit
MEP Books Cardiovascular page 108
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Xilocain intravena dengan dosis bolus 1-2 mg per kg BB dilanjutkan
dengan infus 1-2 mg per menit dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg
per menit
Amiodaron,meksiletin,dilantin.
2. Non-Farmakoterapi
Menghentikan kebiasaan minum kopi
Menghentikan kebiasaan merokok
Menghindari obat-obatan simpatomimetik seperti
adrenalin,efedrin,dll.
Pemberian tranquilizer pada pasien yang banyak ketegangan
FIBRILASI VENTRIKEL
Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dan sama sekali tidak
teratur. Hal ini menyebabkan ventrikel tidak dapat berkontraksi dengan cukup
sehingga curah jantung menurun, bahkan sama sekali tidak ada, sehingga tekanan
darah dan nadi tidak bisa diukur, pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong
akan menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering karena penyakit
jantung koroner, terutama infark miokard akut, penyebab lain intoksikasi digitalis,
sindrom QT yang memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan
resusitasi jantung paru, yaitu pernapasan buatan dan pijat jantung dan secepatnya
dilakukan direct current countershock dengan dosis 400 joules. Pasien juga
diberikan xilocain atau amiodaron secara intravena. Pertolongan harus diberikan
dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat prognosis cukup baik. Bila sudah lebih
dari5menit dapat terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung kembali
normal, mungkin kesadaran pasien tidak dapat kembali. Fibrilasi ventikel (VF)
merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang ditandai oleh kompleks
QRS, gelombang P dan segmen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali
(disorganized). VF merupakan penyebab utama kematian mendadak.
Penyebab utama VF adalah infark miokard akut, blok AV total
denganrespon ventrikel sangat lambat, gangguan elektrolit (hipokalemia dan
hiperkalemia), asidosis berat dan hipoksia. Salah satu penyebab VF primer yang
sering pada orang dengan denyut jantung normal adalah sindrom Brugada. Pada
kelainan ini terjadi kelainan genetik pada gen yang mengatur kanal natrium
sehingga tercetus VF primer. Angka kejadiannya tinggi pada populasi asia dan
kelompok laki-laki usia muda.
Pada EKG permulaan saat irama sinus ditemukan adanya gambaran RBBB
inkomplit dengan elevasi segmen ST di sadapan VI-V3. VF akan menyebabkan
tidak adanya curah jantung sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti
napas dalam hitungan detik. VF kasar (coarse VF) menunjukkan aritmia ini baru
terjadi dan lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi. Sedangkan
VF halus (fine VF) sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit diterminasi.
Penanganan VF harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku
Etiologi/Patofisiologi
Adalah berhentinya sirkulasi yang disebabkan oleh fungsi jantung yang
tidak efektif (asistol, fibrilasi ventrikular, takikardi ventrikular tanpa teraba
denyut nadi, atau aktivitas elektrik taraba tanpa denyut nadi).
Keadaan ini mengakibatkan tidak terabanya denyut nadi, tekanan darah
tidak terukur, serta berhentinyya fungsi respirasi, dan serebral
Pemulihan yang cepat aktivitas jantung dan perfusi perifer yang terorganisir
memegang peranan penting.
Aritmia ventrikular merupakan penyebab henti jantung yang paling sering
pada pasien dengan kelainan jantung- defibrilasi yang dini merupakan
kunci untuk memperthanakan kehidupan pasien.
Penatalaksanaan henti jantung yang direkomendasikan dimuat dalam
protokol Advnced Cardiac Life Support (ACLS) – suatu pendekatan
skematik yang disajikan dengan algoritme yang didasarkan pada
manifestasi klinis.
Diagnosis Banding
Infark miokardium
Kelainan struktural jantung
Hipoksia
MEP Books Cardiovascular page 112
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
Asidosis
Metabolik (misalnya hiperkalemia).
Hipovolemia/perdarahan
Obat-obatan (misalnya anti-aritmia, antagonis kalsium/beta blocker, TCA)
Tamponade jantung
Pneumothoraks ventile (tension)
Embolisme pulmonal
Stroke/perdarahan serebral
Hipotermia
Trauma
Tersengat aliran listrik
Pemeriksaan Diagnostik
Jika denyut nadi dan respirasi tidak ada, dilakukan tunjangan hidup dasar
(komprsi dada dan pernapasan) dengan segera.
Monitor jantuung
Dilakukan penilaian denyut nadi dan irama jantung pertama kali dilakukan
defibrilasi dengan segera bila ditemukan Ventrikel fibrilasi atau Ventrikel
takikardia tanpa denyut nadi
Dilakukan survei primer dan sekunder
Jalan napas/pernapadan : lacak adanya obstruksi, alat bantu jalan napas
mulai diberikan (misalnya jalan napas oral, bag-valve mask), dan dilakukan
intubasi secara dini bila diperlukan (berdasarkan pada manifestasi klinis
dan setiap dekompensasi lebih lanjut yang diharapkan).
Sirkulasi: dilakukan pijat dada jika denyut nadi tidak teraba dan jalur IV
dipasang.
Diberikan obat-obatan kardiovaskular (dengan IV atau pipa endotrakea)
sesuai dengan algoritme ACLS.
Keadaan yang kemungkinan reversibel (misalnya hiperkalemia,
hipokalsemia) hatus diperhatikan timbangkan dan diterapi.
Terapi/ Penatalaksanaan
Penyabab yang potensial diterapi (misalnya hiperkalemia perlu
mendapatkan kalsium IV),
V fib/ V tach tanpa teraba denyut nadi
o Diberikan defibrilasi x 3 (renjatan dengan 200 J, 300 J, selanjutnya
360 J)
o Dilakukan pemeriksaan irama jantung dan denyut nadi setelah
setiap kali defibrilasi dilakukan.
o Pasien degan aritmia yang menetap perlu mendapatkan terapi obat
yang diselingi dengan kejutan (shocks) (epinefrin setiap 3-5 menit,
bolus vasopresin, amiodaron, lidokain, dan/ atau prokainamide;
bikarbonat perlu dipertimbangkan pada resusitasi yang
memanjang).
V tach yang stabil (takikardia kompleks-luas); diberikan amiodaron atau
lidokain jika monomorfik ; diberikan magnesium jika terdapat torsades de
pointes.
Aktivitas elektrik tanpa teraba denyut nadi; diberikan epinefrin setiap 3-5
menit yang diselingi dengan atropin; penyebab yang potensial perlu
diindentifikasi dan diterapi secara agresif.
Asistol: pacu transkutaneus (terutama selama beberapa menit pertama) dan
epinefrin dan diselingi atropin.
Bradikardia simptomatik: atropin, dopamin, epinefrin, pacu transkutan,
dengan atau tanpa pacu transvenosa.
Takikardia kompleks-sempit : dilakukan kardioversi untuk gejala klinis
yang berat; jikalau tidak diberikan terap medikamentosa berdasarkan pada
irama dan komorbiditas.
Prognosis / komplikasi
Takikardi kompleks- luas sebaiknya dipertimbangkan sebagai V tach
hingga terbukti tidak
Defibrilasi yang dini untuk Vfib dan Vtach tanpa teraba denyut nadi
merupakan intervensi yang paling efektf.
Dilanjutkan secepat mungkin degan perawatan definitif (misalnya PTCA
untuk MI, koreksi elektrolit).
Pronosis umumnya buruk
o Henti jantung tanpa saksi mata dan CPR segera oleh saksi mata
sedikit memperbaiki hasil.
o Penyebab yang reversibel mempunyai hasil yang lebih baik
o Banyak pasien yang hidup mengalami gejala sisa neurologik yang
menetap
Komplikasi mencakup kematian (pada sebagian besar pasien), trauma otak,
hipoksi, shock liver, MI, dan gagal ginjal akut.
DAFTAR PUSTAKA
M.Caterino Jeffrey. Kahan Scott. 2013. Master Plan Kedaruratan Medik: disertai
contoh klinik. Jakarta : Binarupa Aksara.
GAGAL JANTUNG
A. Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang timbul disebabkan
kelainan
sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau
didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan
darah (Braunwald, 2007).
Adanya gejala gagal jantung yang reversibel dengan terapi, dan bukti objektif
adanya disfungsi jantung (European society of cardiology)
B. Klasifikasi
C. Etiologi
Disritmia
Etiologi Malfungsi katup
Gagal Abnormalitas otot jantung
D. Patofisiologi
Akumulasi Peningkatan
Edema cairan pada
pulmonal Dispnea jaringan kapiler
interstisial paru pulmonal
Gagal
Hipoksemia jantung
kanan
E. Manifestasi klinis
• Diaphoresis
• Sesak nafas
• Mudah lelah
• Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
• Nyeri dada
• Bengkak pada kaki
• Rasa tidak nyaman pada perut bagian atas kanan
• Dyspnea
• Orthopnea
• Nocturia
• Batuk
• Gallop
• Distensi
F. Diagnosis
Diagnosis Gagal Jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor atau 2 kirteria mayor.
G. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan khusus yang dapat menegakkan diagnosis gagal
jantung ( T.Santoso, Gagal Jantung 1989 ).Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan
untuk mengetahui sejauh mana gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi
organ lain seperti : hati,ginjal dan lain-lain.Pemeriksaan hitung darah dapat
menunjukan anemia , karena anemia ini merupakan suatu penyebab gagal jantung
output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk disfungsi jantung
lainnya.
Pemeriksaan enzim jantung NT- proBNP (N.Terminal protein BNP)
< 50 pg/mL : Gagal jantung (-)
> 100 pg/mL : Prediksi gagal jantung
Ureum Darah
Peningkatan ureum dapat terjadi karena shok, penurunan volume darah ke ginjal,
perdarahan, dehidrasi dan lain-lain.
SGOT (Serum glutamic oxaloacetic transaminase)
Serum transaminase oksaloasetat glutamat, enzim yang biasanya terdapat dalam
hati dan jantung sel. Pelepasan enzim SGOT yang tinggi dalam serum
menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan jantung dan hati (misalnya, dari
serangan jantung).
Dari studi klinik terdahulu diketahui bahwa pemakaian BNP untuk diagnostik di
UGD pada pasien yang dicurigai gagal jantung dapat memperpendek masa rawat
inap, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih kecil.
Sebagai hormon endokrin jantung, kadar BNP dipengaruhi oleh mekanisme umpan
balik dari organ target, dan keberhasilan mengurangi beban volume dan rangsangan
simpatis. NT-proBNP yang merupakan hormon inaktif, kadarnya relatif stabil
karena tidak banyak dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik
seperti BNP.
H. Tatalaksana
ANGINA PECTORIS
A. Infark Miokard
• Definisi :
– area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemi lokal, paling
sering karena trombus / embolus (Dorland 2002).
– Perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung disebabkan o/
ketidakseimbangan antar suplai dan kebutuhan O2 (Fenton2009).
• Tipe berdasar etiologi penyebab:
– Tipe 1 : spontan, ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis.
Disebabkan krn > keperluan O2 akibat dari anemia, aritmia,
hiper/hipo-tensi.
– Tipe 2 : krn vasokonstriksi & spasme arteri.
– Tipe 3 : ditemukan adanya petanda biokim.
– Tipe 4 :
A. Petanda biokim meningkat 3x lipat dari normal krn
pemasangan PCI.
B. Akibat pemasangan sten trombosis.
– Tipe 5 : troponin meningkat 5x lipat dari normal & berhub dg
operasi bypass.
• Klasifikasi
– IMA subendokardial
– IMA transmural
• Patogenesis
Aterosklerosis nekrosis miokard akut
• Tanda dan gejala
– Nyeri yg sangat dan mendadak, diikuti rasa berkeringat; pusing;
mual; muntah
– Pada infark miokard besar bisa terjadi dyspnea & sianosis akibat
dari payah jantung
• Pemeriksaan penunjang
Angina Pectoris
Klasifikasi
A. Stable/tipical Angina Pectoris
-Nyeri tumpul seperti tertindih/berat di dada, rasa desakan yg kuat dr dalam/bawah
diafragma.
-Nyeri berhub dgn aktivitas, hilang saat istirahat krn terjadi pemulihan suplai O2
-Nyeri jg dpt dipresipitasi oleh stress fisik ataupun emosional
APS: sindrom klinik yang ditandai rasa tidak nyaman pada dada/substernal agak
dikiri, menjalar leher rahang bahu/punggung kiri lengan kiri dan jari-jari
bag. Ulna.
B. Unstable/cressendo/prainfark Angina Pectoris
-pasien dgn angina yg semkn ber(+) berat, sblmnya angina stabil, lalu seragangan
angina timbul lbh sering & lbh berat skt dadanya, sdgkn faktor presipitasinya makin
ringan.
-serangan jg terjd pd saat istirahat, apalg saat aktivitas.
C. Angina Varian
-Vasospasme = spasme PD yg menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan PD)
Patofisiologi
Diagnosis
Patofisiologi
Diagnosis
HIPERTENSI
A. Defisnisi
Hipertensi: Peningkatan Tekanan Darah diatas normal, Tekanan yang lebih
tinggi dari 140 / 90 mmHg ( JNC on Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure ( JIVC ) ).
• Berdasarkan etiologi:
1.Hipertensi primer/esensial: Tidak diketahui penyebabnya (insidens
80-95%)
2. Hipertensi sekunder: Akibat suatu penyakit atau kelainan
mendasari, mis: stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,dsb.
• Faktor Resiko:
• Faktor genetik ( Tidak dapat diubah ) : Usia, Etnis, Keturunan
• Faktor lingkungan ( Dapat diubah ) : Diet, Obesitas/kegemukan,
merokok, kondisi penyakit lain
Klasifikasi Menurun JNC 7
COR PULMONALE
1.1 DEFINISI
1.2 ETIOLOGI
Kelainan vaskular paru
Kelainan parenkim paru
1.3 PATOFISIOLOGI
Mekanisme Akibat Sindrom
PENYAKIT SISTEM VASKULAR PARU
Emboli besar atau Hipertensi pulmonal KP akut
multipel akibat obstruksi akut
Emboli kecil, vaskulitis, Hipertensi pulmonal KP
ARDS akibat hipoksia luas subakut
dan obstruksi
mikrovaskular
Emboli sedang dan Hipertensi pulmonal KP kronik
berulang, hipertensi akibat obstruksi
pulmonal primer; diet vaskular
dan obat vasopathy
PENYAKIT SISTEM RESPIRASI
Obstruksi KP kronik
Bronkitis kronik dan Hipertensi pulmonal
emfisema; asma akibat hipoksia,
kronik peregangan vaskular,
dan berkurangnya
pembuluh darah
Restriksi KP kronik
1. Intrinsik: fibrosis Hipertensi pulmonal
interstisial, reseksi akibat hipoksia,
MEP distorsi
Books Cardiovascular page 134
paru dan berkurangnya
vaskular
2. Ekstrinsik: obesitas, Hipertensi pulmonal
miks-edema, akibat hipoksia alveolar
kelemahan otot,
kifoskoliosis,
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
1.5 PEMERIKSAAN
Foto toraks:
o Pulmonal prominen dilatasi arteri pulmonal
o Enlargement of RV loss of retrosternal air space
EKG:
o P pulmonal
o RAD (Right Axis Deviasi
o RVH (Right Ventricel Hypertrophy)
Ekokardiografi:
o RVH (Right Ventricel Hypertrophy)
o Tricuspid Regurgitation
o Pulmonary Hypertension
1.6 TATALAKSANA
Atasi penyebabnya:
o COPD: steroid, kontrol infeksi, teofllin
MEP Books Cardiovascular page 135
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
Flebotomi
Digoksin:
Vasodilator
b. Stenosis Mitral
d. Stenosis aorta
1.8 EPIDEMIOLOGI
Pada penelitian di bawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropa dan
Amerika menurun, sedangkan di Negara tropis dan sub tropis masih
terjadi peningkatan seperti karditis dan payah jantung yang meningkat.
Majeed 1992 melapoorkan insiden DR di beberapa Negara tercantum
pada table berikut :
a. Ras
Penduduk Hawaii dan Maori (keduanya keturunan
Polinesia) memiliki insiden yang lebih tinggi terkena demam
rematik (13,4 per 100.000 anak per tahun dirawat di rumah
sakit), bahkan dengan profilaksis antibiotik faringitis
streptokokus.
b. Seks
Demam rematik terjadi dalam jumlah yang sama pada pria
dan wanita, tetapi prognosis lebih buruk untuk perempuan
daripada laki-laki.
c. Usia
Namun, pada kasus lain, sumber bacteremia tidak jelas dan mungkin
berkaitan dengan cedera ringan di kulit atau mukosa, seperti yang
mungkin ditemukan selama menggosok gigi. Demam reumatik dapat
menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan tentang
penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme
terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui.
FAKTOR RESIKO
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita
dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar
menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun
manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu
jenis kelamin.
MEP Books Cardiovascular page 142
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada
timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit
ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan
puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak
antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3
tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai
dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah.
Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi
streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
Faktor-faktor lingkungan :
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens
infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens
demam reumatik juga meningkat.
Yang paling dapat diterima adalah mekanisme pertama yaitu dari sudut
imunologi, dimana reaksi autoimun terhadap infeksi streptococcus
Patofisiologi
Makroskopik
Stenosis pada katup mitral. Berdasarkan penelitian yang ada
bahwa sekitar 60% dengan riwayat Demam Rematik dijumpai
stenosis pada katup mitral. Seseorang dengan stenosis katup mitral
bisa saja tidak bergejala,namun gejala umum yang sering adalah
sesak nafas saat beraktifitas,fatigue dan bedebar-debar. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan low-pitched mid-diastolic “rumble”
pada apeks ventrikel kiri.
Gambar 03. Stenosis pada katup aorta ditandai adanya nodul kalsifikasi
fokal
Mikroskopik
Pada pemeriksaan histologi, neovaskularisasi katup jantung sering
ditemukan paska demam rematik.Aschoff bodies adalah gambaran
spesifik untuk karditis paska demam rematik, sedangkan sel
Anitschkow dapat ditemukan pada berbagai kondisi.
Bahkan Aschoff bodies dianggap patognomonik untuk Penyakit
Jantung Rematik. Aschoff bodies adalah suatu lesi fibroinflamasi
intersisial dengan makrofag dan nekrosis jaringan kolagen. Sel
Anitschkow biasanya memiliki inti yang bergelombang, disebut juga
sel ulat dan biasanya hadir bersama dengan Aschoff bodies, tetapi bisa
MEP Books Cardiovascular page 147
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
juga diihat dalam kondisi lain yang tidak berkaitan dengan Aschoff
bodies.
Kriteria mayor
1. Karditis, Pankarditis
2. Poliartritis
Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis)
tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar dapat
digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai
sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju
endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi
antistreptokokus lainnya yang tinggi.
4. Eritema Marginatum
Merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan
tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak
terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan
meluas secara sentrifugal.
Keadaan ini paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai yang
jauh dari badan, tidak melibatkan muka. Ruam makin tampak jelas bila
ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat, sementara pada
penderita berkulit hitam sukar ditemukan.
5. Nodulus subkutan
Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di
daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis.
Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan
dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai
sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak
terdapat karditis.
Kriteria Minor
2.Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai
peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan
dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri
sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak
dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai
sebagai kriteria mayor.
1. Stadium I: Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A. Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan,
Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
2. Stadium II: Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi
streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik : biasanya periode ini
berlangsung 1 – 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan
berbulan-bulan kemudian.
3. Stadium III: Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam
reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit
jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala
peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung
reumatik. Gejala peradangan umum : Demam yang tinggi, lesu, Anoreksia, Lekas
tersinggung, Berat badan menurun, Kelihatan pucat, Epistaksis, Athralgia, Rasa
sakit disekitar sendi, Sakit perut.
4. Stadium IV: Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam
reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala
sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung
reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai
dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik
maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi
penyakitnya.
Kriteria ini tidak mutlak, diagnosis demam rematik dapat dibuat pada pasien
dengan chorea saja jika pasien telah terpapar Streptococcus β hemolitic grup
A.Setelah diagnosis demam rematik dibuat, gejala yang konsisten dengan
gagal jantung seperti kesulitan bernapas, intoleransi dalam melakukan
kegiatan, dan detak jantung yang cepat tidak sesuai dengan demam,
mungkin indikasi karditis dan penyakit jantung rematik.
Pemeriksaan fisik
Murmur
Murmur demam rematik akut biasanya disebabkan oleh insufisiensi katup.
Murmur berikut yang paling sering diamati selama fase akut:
Apikal murmur pansistolik
Adalah murmur bernada tinggi, tiupan dari murmur yang terjadi karena
regurgitasi mitral ini dapat menjalar sampai ke ketiak kiri. Murmur jenis ini
tidak terpengaruh oleh respirasi atau posisi. Insufisiensi mitral berhubungan
dengan disfungsi katup, chorda tendineae, dan muskulus papilaris.
Adalah murmur diastolik awal regurgitasi aorta dan bernada tinggi, dapat
terdengar jelas sepanjang perbatasan sternum kanan atas dan midsternalis
kiri setelah ekspirasi yang dalam dengan posisi pasien condong ke depan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Kultur tenggorokan
Temuan kultur tenggorokan untuk Streptococcus β hemolitic grup A
biasanya negatif dengan gejala saat demam rematik atau penyakit jantung
rematik muncul. Upaya harus dilakukan untuk mengisolasi organisme
sebelum memulai terapi antibiotik untuk membantu mengkonfirmasi
diagnosis dari faringitis streptokokus.
Antibodi Antistreptococcal
Gambaran klinis demam rematik dimulai pada saat kadar antibodi
antistreptococcal berada di puncak demam. Dengan demikian, tes antibodi
antistreptococcal berguna untuk mengkonfirmasikan Streptococcus β
hemolitic grup A. Tingkat tinggi dari antibodi antistreptococcal berguna,
terutama pada pasien yang hadir dengan chorea sebagai satu-satunya
kriteria diagnostik. Sensitivitas untuk infeksi baru-baru ini dapat
ditingkatkan dengan menguji beberapa antibodi. Titer antibodi harus
diperiksa pada interval 2 minggu untuk mendeteksi titer meningkat.
Pemeriksaan radiologi
Roentgenografi dada
Kardiomegali, kongesti paru, dan temuan lain yang sesuai dengan gagal
jantung dapat terlihat pada radiografi dada. Bila pasien mengalami demam
dan gangguan pernapasan, radiografi dada membantu membedakan gagal
jantung akibat pneumonia rematik.
Gambar 2. Kardiomegali
Doppler–echocardiogram
Dalam penyakit jantung rematik akut, Doppler-echokardiografi
mengidentifikasi dan menghitung insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel.
Dengan karditis ringan, regurgitasi mitral dapat hadir selama penyakit fase
akut tetapi sembuh dalam beberapa minggu atau bulan. Sebaliknya, pasien
dengan karditis sedang hingga parah memiliki mitral persisten dan/atau
regurgitasi aorta.
Fitur echocardiographic yang paling penting dari regurgitasi mitral dari
valvulitis rematik akut adalah dilatasi annulus, pemanjangan korda ke
anterior leaflet, dan regurgitasi mitral mengarah ke posterolateral.
Selama demam rematik akut, ventrikel kiri sering melebar. Dengan
demikian, beberapa ahli jantung percaya bahwa insufisiensi katup (dari
endokarditis), disfungsi miokard (dari miokarditis), adalah penyebab
dominan gagal jantung pada demam rematik akut.
Pada penyakit jantung rematik kronis, echocardiography dapat digunakan
untuk melacak perkembangan stenosis katup dan dapat membantu
menentukan waktu untuk intervensi bedah. Cuspis dari katup yang terkena
jantung rematik yang pasti, penyakit jantung rematik, dan normal. Untuk
pasien anak-anak (didefinisikan pada usia<20 tahun).
Jantung kateterisasi
Pada penyakit jantung rematik akut, prosedur ini tidak diindikasikan. Pada
penyakit kronis, kateterisasi jantung telah dilakukan untuk mengevaluasi
penyakit katup mitral dan aorta.
Gejala postkaterisasi termasuk perdarahan, nyeri, mual dan muntah, dan
obstruksi arteri atau vena dari trombosis atau spasme. Komplikasi mungkin
termasuk insufisiensi mitral setelah dilatasi balon katup mitral, takiaritmia,
bradiaritmia, dan oklusi pembuluh darah.
EKG
Pada EKG, takikardia sinus paling sering menyertai penyakit
jantung rematik akut. Tidak ada korelasi antara bradikardi dan tingkat
keparahan karditis.
Tingkat pertama atrioventrikular (AV) block (perpanjangan interval
PR) diamati pada beberapa pasien dengan penyakit jantung rematik.
Kelainan ini mungkin terkait dengan peradangan miokard lokal yang
melibatkan AV node atau vaskulitis yang melibatkan arteri nodal AV. Blok
AV tingkat pertama adalah penemuan yang spesifik dan tidak boleh
digunakan sebagai kriteria untuk diagnosis penyakit jantung rematik.
Keberadaannya tidak berkorelasi dengan perkembangan penyakit jantung
rematik kronis.
Tingkat dua (intermittent) dan tingkat tiga (lengkap) AV blok
dengan perkembangan ventrikel berhenti telah dijelaskan. Blok jantung
dalam pengaturan demam rematik, bagaimanapun, biasanya sembuh
dengan sisa proses penyakit.
Ketika demam rematik akut dikaitkan dengan perikarditis, elevasi
segmen ST dapat hadir dan kebanyakan pada lead II, III, aVF, dan V4-V6.
Diagnosis Banding
MEP Books Cardiovascular page 159
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
1. Appendicitis
Usus buntu adalah akhir dari struktur tubular dari sekum. Apendisitis
merupakan hasil dari peradangan akut usus buntu dengan gejala sakit perut
yang hebat seperti yang dialami pada penyakit jantung koroner. Pada
penyakit jantung rematik terjadi peradangan mikrovaskuler mesenterika
akut sedangkan pada appendicitis peradangan pada appendix.
2. Dilatasi kardiomiopati
penyakit progresif otot jantung yang ditandai dengan pembesaran ruang
ventrikel dan disfungsi kontraktil dengan penebalan dinding ventrikel kiri
(LV). Ventrikel kanan juga dapat melebar dan disfungsional. Dilatasi
Cardiomyopathy adalah penyebab paling umum ketiga gagal jantung dan
alasan yang paling sering untuk transplantasi jantung. Gejala yang sering
timbul yaitu kelelahan, Dyspnea saat aktivitas, sesak napas, Ortopnea
hampir sama dengan penyakit jantung rematik.
3. Coccidioidomycosis
Disebabkan oleh Coccidioides immitis, jamur asli tanah di San Joaquin
Valley of California, dan dengan C.posadasii. Gejala yang timbul seperti
demam, batuk, nyeri dada, sesak napas, eritema.
4. Kawasaki disease
Penyakit Kawasaki (KD) adalah sindrom vaskulitis demam akut anak usia
dini, meskipun memiliki prognosis yang baik dengan pengobatan, dapat
menyebabkan kematian karena adanya aneurisma arteri koroner (CAA)
dalam persentase pasien yang sangat kecil. Gejalanya berupa miokarditis
dan perikarditis, sama dengan penyakit jantung rematik. Namun penyakit
jantung rematik tidak diderita anak usia dini seperti kawasaki disease.
1.13 Penatalaksanaan
1. Tirah baring
Antibiotik
a. Penicillin G benzathine
1. Merupakan drug of choice untuk demam rematik.
2. Dosis dewasa: 2.4 juta U IM satu kali pemberian
3. Anak-anak: Bayi dan anak dengan berat badan kurang dari 27 kg:
600,000 U IM satu kali
pemberian. Anak dengan berat badan lebih dari 27 kg: 1.2 juta U IM satu
kali pemberian.
Kombinasi 900,000 U benzathine penicillin dan 300,000 U procaine
penicillin dapat digunakan pada anak yang lebih kecil (Parillo, 2010;
Meador 2009).
b. Penicillin G procaine
c. Amoxicillin
1. Amoxicillin merupakan obat alternatif untuk terapi demam rematik.
2. Dosis dewasa: 500 mg PO setiap 6 jam selama 10 hari
3. Anak <12 tahun: 25-50 mg/kg/hari PO dibagi 3 ata 4 kali per hari, tidak
melebihi 3 g/hari. Anak >12 tahun: sama seperti orang dewasa (Parillo, 2010;
Meador 2009).
d. Erythromycin
1. Merupakan DOC untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
2. Dosis dewasa: 1 g/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari
3. Anak-anak: 30-50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari (Parillo, 2010;
Meador 2009).
e. Azithromycin
Azithromycin dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin.
Dosis azithromycin:
1. Dewasa: 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg/hari untuk 4 hari berikutnya.
2. Anak-anak:10 mg/kg pada hari pertama diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4 hari
berikutnya (Parillo, 2010; Meador 2009).
Pencegahan
1. Pencegahan Primer
2. Pencegahan Sekunder
Upaya mencegah mentapnya infeksi Streptococus beta hemolitikus
Grup A pada bekas pasien Demam Rematik.
- DR dengan karditis dan atau PJR (kelainan katup) dilakukan
pencegahan sekunder selama 10 tahun sesudah serangan akut
sampai umur 40 tahun dan kadang kadang memerlukan waktu
seumur hidup.
- DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan sekunder
selama 10 tahun.
- DR saja tanpa karditis dilakukan pengobatan pencegahan sekunder
selama 5 tahun sampai umur 21 tahun.
1.14 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR)
diantaranya adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan
di seluruh bagian jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli
atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian
sel jantung).
1.15 Prognosis
ENDOKARDITIS
A.Definisi
Perjalanan penyakit ini bisa; akut, sub akut, dan kronik, tergantung pada
virulensi mikroorganisme dan daya tahan penderita. Infeksi subakut hampir
selalu berakibat fatal, sedangkan hiperakut/akut secara klinis tidak pernah
ada, karena penderita meninggal terlebih dahulu yang disebabkan karena
sepsis. Endokarditis kronik hampir tidak dapat dibuat diagnosanya, karena
gejalanya tidak khas.
B.Penyebab
C. Patofisiologi
Kuman paling sering masuk melalui saluran napas bagian atas selain itu
juga melalui alat genital dan saluran pencernaan, serta pembuluh darah
dan kulit. Endokard yang rusak dengan permukaannya tidak rata
mudah sekali terinfeksi dan menimbulakan vegetasi yang terdiri atas
trombosis dan fibrin.
Bila infeksi mengenai korda tendinae maka dapat terjadi ruptur yang
mengakibatkan terjadinya kebocoran katub.
Pembentukan trombus yang mengandung kuman dan kemudian lepas dari
endokard merupakan gambaran yang khas pada endokarditis infeksi.
Besarnya emboli bermacam-macam. Emboli yang disebabkan jamur
biasanya lebih besar, umumnya menyumbat pembuluh darah yang besar
pula. Tromboemboli yang terinfeksi dapat terangkut sampai di otak, limpa,
ginjal, saluran cerna, jantung, anggota gerak, kulit, dan paru.
a. Gejala umum
Timbul pada mukosa tenggorok, muka dan kulit (bagian dada). umumya
sukar dibedakan dengan angioma. Ptekia di kulit akan berubah menjadi
kecoklatan dan kemudian hilang, ada juga yang berlanjut sampai pada masa
penyembuhan. Emboli yang timbul di bawah kuku jari tangan (splinter
hemorrhagic).
c. Gejala Jantung
E.Diagnosa
intravena dan infeksi gram negatif -terutama Escheria coli- sering didapati
sebagai penyebab pada wanita dengan infeksi traktus urogenital.
Jika endokarditis telah terjadi diperlukan terapi medik yang agresif dan
optimal dan tindakan pembedahan dapat dilakukan semasa kehamilan. Jika
tindakan bedah jantung terbuka diperlukan pacta kehamilan lanjut, tindakan
seksio sesaria yang bersamaan dapat dipertimbangkan.
MIOKARDITIS
A. Definisi
Miokarditis adalah radang otot jantung atau miokard. Peradangan ini dapat
disebabkan oleh penyakit reumatik akut dan infeksi virus seperti cocksakie
virus, difteri , campak, influenza , poliomielitis, dan berbagai macam
bakteri, rikettsia, jamur, dan parasit.
B. Penyebab
C.Patofisiologi
Kerusakan miokardium oleh kuman-kuman infeksius ini dapat melalui tiga
mekanisme dasar sebagai berikut.
a. Invasi langsung ke miokardium
b. Proses imunologis terhadap miokardium
c. Mengeluarkan toksin yang merusak miokardium
Proses miokarditis viral ada dua tahap, fase pertama (akut) berlangsung
kira-kira 1 minggu dimana terjadi invasi virus ke miokardium, replikasi
virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus
akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan makrofag
dan neutral killer cell (sel NK).
Fase kedua miokardium akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan sistem
imun akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibodi terhadap
miokardium, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus.
Fase ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti
kerusakan miokardium dan yang minimal sampai yang berat.
Gejala klinis dari miokarditis tidak khas, kelainan ECG sepintas, jarang
menyebabkan pembesaran jantung, irama gallop dan dekompensasi
jantung. Miokarditis oleh reuma akut disertai gejala berat .
a. Takikardia.
Peningkatan suhu akibat infeksi menyebabkan frekuensi denyut nadi
akan meningkat lebih tinggi .
d. Gagal jantung.
E.Diagnosis
F. Penatalaksanaan
- Tirah baring sampai keadaan membaik
· Analgetik dapat diberikan untuk mengurangi nyeri
· Kortikosteroid untuk mengontrol gejala dan mencegah efusi perikard
· Perikarditis akibat tuberculosis di obati dengan,isomiasid,etambutol
hidroklorid, rifampin, dan streptomisin,
· Bila kondisi pasien sudah membaik aktivitas harus ditingkatkan
secara bertahap. Tetapi bila nyeri ,demam atau friction rub kembali muncul,
pasien harus segera tirah baring.
PERIKARDITIS
A.Definisi
B. Penyebab
Penyakit idiopatik (beningna), infeksi non spesifik (virus, bakteri, jamur ,
TBC, penyakit kolagen, artritis reumatoid, sistemic lupus eritromatosus,
neoplasma seperti mesotelioma, tumor metastasis, trauma, radiasi, uremia,
infark miokard akut, dressler sindrom, sindrom paska perikardiotomi , dan
diseksi aorta).
C. Patofisiologi
Proses inflamasi dan akibat sekunder dari fenomena infeksi pada perikaditis
akan memberikan respon sebagai berikut :
Gejala
Sakit dada sub sternal/para sternal , kadang menjalar ke bahu, lebih
ringan bila duduk. Pemeriksaan klinik ditemukan perikardial
friction rub dan pembesaran jantung. Tanda-tanda penyumbatan
ditemukan lewat tekanan vena meningkat, hematomegali dan edema
kaki, bunyi jantung lemah, tetapi dapat normal bila efusi perikard
berada dibelakang.
Diagnosa
a. Keluhan pokok :
1) Demam
2) Nyeri dada mirip angina pectoris dan perikarditis
3) Palpitasi
4) Sesak napas
b. Tanda pokok :
1) Takikardi
2) Kardomegali (cepat terjadi)
3) Bunyi jantung melemah
c. Pemeriksaan laboratorium :
1) Pemeriksaan EKG
2) Foto Thorax
E. Penatalaksanaan
a. Terapi Umum
1. Istirahat : istirahat selama 2-3 minggu
2. Diet
3. Medikamentosa
• Analgetik
• Prednison 3-4 x 10 mg/hari.
b. Terapi Komplikasi
• Perikardiosentesis
4.1 DEFINISI
Kelainan kongenital merupakan wujud semasa atau sebelum kelahiran
atau semasa dalam kandungan dan termasuk di dalamnya ialah kelainan
jantung. Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital
merupakan abnormalitas dari struktur dan fungsi sirkulasi jantung pada
semasa kelahiran.
Penyakit jantung bawaan sekitar 1% dari keseluruhan bayi lahir hidup dan
merupakan penyebab utama akibat kecacatan sewaktu kelahiran. Sebagian
besar pengidap PJB tersebut meninggal dunia ketika masih bayi kecuali
masalah ini dapat dideteksi lebih awal sehingga penanganan baik terhadap
penyakit utama maupun penyakit penyerta dapat lebih optimal.
4.2 EPIDEMIOLOGI
Telah disebutkan bahwa penyakit jantung bawaan terjadi sekitar 1% dari
keseluruhan bayi lahir hidup atau sekitar 6-8 per 1000 kelahiran. Pada negara
Amerika Serikat setiap tahun terdapat 25.000-35000 bayi lahir dengan PJB.
Terdapat hal menarik dari PJB yakni insidens penyakit jantung bawaan di
seluruh dunia adalah kira-kira sama serta menetap dari waktu-waktu. Meski
demikian pada negara sedang berkembang yang fasilitas kemampuan untuk
menetapkan diagnosis spesifiknya masih kurang mengakibatkan banyak
neonatus dan bayi muda dengan PJB berat telah meninggal sebelum diperiksa
ke dokter.
Pada negara maju sekitar 40-50% penderita PJB terdiagnosis pada umur 1
minggu dan 50-60% pada usia 1 bulan. Sejak pembedahan paliatif atau
korektif sekarang tersedia untuk lebih 90% anak PJB, jumlah anak yang
hidup dengan PJB bertambah secara dramatis, namun keberhasilan intervensi
ini tergantung dari diagnosis yang dini dan akurat.Oleh sebab itu insidens
penyakit jantung bawaan sebaiknya dapat terus diturunkan dengan
mengutamakan peningkatan penanganan dini pada penyakit jantung bawaan
tetapi juga tidak mengesampingkan penyakit penyerta yang mungkin
diderita. Hal ini ditujukan untuk mengurangi angka mortalitas dan morbisitas
pada anak dengan PJB.
4.3 KLASIFIKASI
Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok
besar berdasarkan pada ada atau tidak adanya sianosis, yang dapat ditentukan
melalui pemeriksaan fisik. Klasifikasi penyakit jantung bawaan menjadi PJB
sianotik dan PJB asianotik tersebut sering dikenal dengan klasifikasi klinis.
Tapi bagi kelainan jantung kongenital yang lebih komplek bentuknya,
klasifikasi segmental mungkin lebih tepat –suatu pendekatan diagnosis
berdasarkan anatomi dan morfologi bagian-bagian jantung secara rinci dan
runut.
jantung yang dibawa sejak lahir dan sesuai dengan namanya, pasian ini tidak
ditandai dengan sianosis. Penyakit jantung bawaan ini merupakan bagian
terbesar dari seluruh penyakit jantung bawaan. Bergantung pada ada tidaknya
pirau (kelainan berupa lubang pada sekat pembatas antar jantung), kelompok
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
Karena darah yang mengalir dari sirkulasi darah yang kaya oksigen ke
sirkulasi darah yang miskin oksigen, maka penampilan pasien tidak biru
(asianotik). Namun, beban yang berlebihan pada jantung dapat menyebabkan
gagal jantung kiri maupun kanan. Yang termasuk PJB asianotik dengan aliran
pirau dari kiri kanan ialah :
Berdasarkan letak lubang defek ini dibagi menjadi defek septum atrium
primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, defek septum atrium
sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis dan defek sinus
venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus, serta defek sinus
koronarius.
Prognosis kelainan ini memang sangat ditentukan oleh besar kecilnya defek. Pada
defek yang kecil seringkali asimptomatis dan anak masih dapat tumbuh
kembang secara normal. Sedangkan pada defek baik sedang maupun besar
pasien dapat mengalami gejala sesak napas pada waktu minum, memerlukan
waktu lama untuk menghabiskan makanannya, seringkali menderita infeksi
paru dan bahkan dapat terjadi gagal jantung.
Pada pemeriksaan fisik, terdengar intensitas bunyi jantung ke-2 yang menigkat,
murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri sternum dan murmur ejeksi sistolik
pada daerah katup pulmonal. Terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala
gagal jantung serta memelihara tumbuh kembang yang normal. Jika terapi
awal berhasil, maka pirau akan menutup selama tahun pertama kehidupan.
Operasi dengan metode transkateter dapat dilakukan pada anak dengan risiko
rendah (low risk) setelah berusia 15 tahun.
Penderita PDA yang memiliki defek kecil dapat hidup normal dengan tidak atau
sedikitnya gejala, namun defek yang besar dapat menimbulkan gagal jantung
kongestif yang serupa dengan gagal jantung pada VSD. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya murmur sinambung (continous murmur) di sela iga
2-3 kiri sternum menjalar ke infraklavikuler.
Penyakit jantung bawaan jenis ini tidak ditemukan adanya defek yang
menimbulkan hubungan abnormal antara ruang jantung. Kelainan dapat
berupa penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan pada bagian tertentu
jantung, yakni katup atau salah satu bagian pembuluh darah diluar jantung
a) Stenosis pulmonal
Istilah stenosis pulmonal digunakan secara umum untuk
menunjukkan adanya obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan
atau a. pulmonalis dan cabang-cabangnya. Kelainan ini dibagi
menjadi 3 tipe yaitu valvar, subvalvar, dan supravalvar. Stenosis pulmonal
80% merupakan tipe valvuler dan ditemukan sebagai kelainan yang berdiri
sendiri. Insiden stenosis pulmonal meliputi 10% dari keseluruhan penyakit
jantung bawaan.
Terapi yang dianjurkan pada kasus sedang hingga berat ialah valvuloplasti
balon transkateter. Prosedur ini sekarang dilakukan oleh bayi kecil,
sehingga dapat menghindari pembedahan neonates yang berisiko tinggi.
b) Stenosis aorta
Pada kelainan ini dapat ditemui katup aorta hanya memilki dua daun yang
seharusnya tiga, atau memiliki bentuk abnormal seperti corong. Dalam
jangka waktu tertentu lubang atau pembukaan katup tersebut sering
Pada pasien stenosis aorta yang ringan atau pun moderat sering tidak
memberikan keluhan, tapi stenosis akan makin nyata karena proses
fibrosis dan kalsifikasi pada waktu menjelang kian dewasa. Klik ejeksi
sistolik akan terdengar keras dan jelas di sela iga 2-3 pada tepi kanan atas
sternum. Stenosis aorta yang ringan dan asimptomatik biasanya tidak
diperlukan tindakan apapun kecuali profilaksis antibiotik untuk mencegah
endokarditis. Pada stenosis aorta yang cukup berat perlu dilakukan
tindakan secepatnya dengan valvuloplasti balon atau pembedahan.
c) Koarktasio aorta
Koarktasio aorta meupakan kelainan jantung non sianotik yang paling
banyak menyebabkan gagal jantung pada bayi-bayi di minggu pertama
setelah kelahirannya. Insidens koarktasio aorta kurang lebih sebesar 8-15%
dari seluruh kelainan penyakit jantung bawaan serta ditemukan lebih banyak
pada laki-laki daripada perempuan (2:1).
Pada Tetralogi Fallot yang ringan pada waktu istirahat maupun melakukan
aktivitas fisik tidak tampak adanya sianosis. Pada TF yang moderat hingga
berat sianosis akan tampak bahkan pada saat anak istirahat. Seorang anak
yang mengidap TF akan mudah merasa lelah, sesak dan hiperpnu karena
hipoksia.
b) Atresia Pulmonal
Atresia pulmonal merupakan kelainan jantung kongenital sianostik yang
sangat jarang ditemukan. Atresia pulmonal disebabkan oleh gagalnya proses
pertumbuhan katup pulmonal, sehingga tidak terdapat hubungan antara
ventrikel kanan dengan arteri pulmonal. Kelainan ini dapat terjadi dengan
septum ventrikel yang masih intak atau disertai dengan defek pada septum
ventrikel. Insiden atresia pulmonal dengan septum yang masih intak atau
utuh sekitar 0,7-3,1% dari keseluruhan kasus PJB.
Gejala dan tanda sianotik tampak pada hari-hari pertama kehidupan. Bunyi
jantung ke-2 terdengar tunggal, dan tidak terdengar adanya murmur pada sela
iga 2-3 parasternal kiri karena arteri pulmonal atretik. Pada foto rontgen
ditemukan pembesaran jantung dengan vaskularisasi paru yang berkurang.
Pada kelainan ini terjadi perubahan posisi aorta dan a. pulmonalis, yakni
aorta keluar dari ventrikel kanan, sedangkan a. pulmonalis keluar dari
ventrikel kiri. Dengan demikian maka kedua sirkulasi sistemik dan paru
tersebut terpisah, dan kehidupan hanya dapat berlangsung apabila ada
komunikasi antara dua sirkulasi ini.
Penyakit katup jantung dahulu di anggap penyakit yang selalu di sebabkan oleh
rematik. Demam rematik akut merupakan sekuele faringitis akibat streptokokus
B-hemolitikus grup A. demam rematik hanya timbul jika terjadi respons
antibody atau imunologis yang bermakna terhadap infeksi streptokokus
sebelumnya. Infeksi streptokokus berkaitan dengan faktor perkembangan dan
penularan infeksi serta faktor sosial.
Selain penyakit rematik, ada beberapa penyebab lain yang dapat menimbulkan
perubahan fungsi pada katub yaitu:
4. Malformasi congenital
Patofisiologi
Penyebab:
3.Miksoma (tumor jinak di atrium kiri) atau bekuan darah dapat menyumbat
aliran darah ketika melewati katup mitral dan menyebabkan efek yang sama
seperti stenosis katup mitral.
Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup.
Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi,
fusi komisura, fusi serta pemendekan korda pada katup mitral pada fase
penyembuhan demam reumatik. Terbentuk sekat jaringan ikat yang
mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastol lebih kecil dari normal.
Area katup mitral ,akan mengecil seperti bentuk mulut ikan( fish mouth) atau
lubang kancing (buttonhole). Pada orang dewasa normal areaorifisium katup
mitral antara 4 sampai 6 cm2.
Gejala :
1.Jika stenosisnya berat, tekanan darah di dalam atrium kiri dan tekanan darah
di dalam vena paru-paru meningkat, sehingga terjadi gagal jantung, dimana
cairan tertimbun di dalam paru-paru (edema pulmoner).
2.Penderita yang mengalami gagal jantung akan mudah merasakan lelah dan
sesak nafas. Pada awalnya, sesak nafas terjadi hanya sewaktu melakukan
aktivitas, tetapi lama-lama sesak juga akan timbul dalam keadaan istirahat.
4.Tekanan tinggi pada vena paru-paru dapat menyebabkan vena atau kapiler
pecah dan terjadi perdarahan ringan atau berat ke dalam paru-paru.
Diagnosa :
- elektrokardiografi
Kadang perlu dilakukan kateterisasi jantung untuk menentukan luas dan jenis
penyumbatannya.
Pengobatan :
Penegahan :
Stenosis katup mitral dapat dicegah hanya dengan mencegah terjadinya demam
rematik, yaitu penyakit pada masa kanak-kanak yang kadang terjadi
setelah strep throat (infeksi tenggorokan oleh streptokokus) yang tidak diobati
Penyebab :
Dulu demam rematik menjadi penyebab utama dari regurgitasi katup mitral.
Tetapi saat ini, di negara-negara yang memiliki obat-obat pencegahan yang
baik, demam rematik jarang terjadi. Misalnya di Amerika Utara dan Eropa
Barat, penggunaan antibiotik untuk strep throat (infeksi tenggorokan karena
streptokokus), bisa mencegah timbulnya demam rematik. Di wilayah tersebut,
demam rematik merupakan penyebab umum dari regurgitasi katup mitral, yang
terjadi hanya pada usia lanjut, yang pada masa mudanya tidak memperoleh
antibiotik.
Di Amerika Utara dan Eropa Barat, penyebab yang lebih sering adalah serangan
jantung, yang dapat merusak struktur penyangga dari katup mitral. Penyebab
umum lainnya adalah degenerasi miksomatous (suatu keadaan dimana katup
secara bertahap menjadi terkulai/terkelepai).
Gejala:
Pada keadaan ini atrium betul-betul hanya bergetar dan tidak memompa;
berkurangnya aliran darah yang melalui atrium, memungkinkan terbentuknya
bekuan darah.
Jika suatu bekuan darah terlepas, ia akan terpompa keluar dari jantung dan
dapat menyumbat arteri yang lebih kecil sehingga terjadi stroke atau kerusakan
lainnya. Regurgitasi yang berat akan menyebabkan berkurangnya aliran darah
sehingga terjadi gagal jantung, yang akan menyebabkan batuk, sesak nafas
pada saat melakukan aktivitas dan pembengkakan tungkai.
Diagnosa:
Regurgitasi katup mitral biasanya diketahui melalui murmur yang khas, yang
bisa terdengar pada pemeriksaan dengan stetoskop ketika ventrikel kiri
berkontraksi.
Pengobatan :
Jika penyakitnya berat, katup perlu diperbaiki atau diganti sebelum ventrikel
kiri menjadi sangat tidak normal sehingga kelainannya tidak dapat diatasi.
Mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki katup
(valvuloplasti) atau menggantinya dengan katup mekanik maupun katup yang
sebagian dibuat dari katup babi. Memperbaiki katup bisa menghilangkan
regurgitasi atau menguranginya sehingga gejala dapat ditolerir dan kerusakan
jantung dapat dicegah.
Hampir semua kasus stenosis mitral akibat penyakit di jantung sekunder untuk
demam rematik dan penyakit jantung rematik konsekuen.Penyebab Jarang
stenosis mitral kalsifikasi dari katup mitral leaflet, dan sebagai bentuk jantung
bawaan penyakit. Namun, ada penyebab utama dari mitral stenosis yang
berasal dari katup mitral sumbing. Penyebab lainnya termasuk endokarditis
Patofisiologi
Luas normal orifisium katup mitral adalah sekitar 4 sampai 6 cm2. Dalam
fisiologi jantung yang normal, katup mitral terbuka selama diastol ventrikel
kiri, untuk memungkinkan darah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri.
Sebuah katup mitral normal tidak akan menghambat aliran darah dari atrium
kiri ke ventrikel kiri selama (ventrikel) diastol, dan tekanan dalam atrium kiri
dan ventrikel kiri selama diastol ventrikel akan sama. Hasilnya adalah bahwa
ventrikel kiri akan diisi dengan darah selama diastol ventrikel awal, dengan
hanya sebagian kecil dari darah ekstra disumbangkan oleh kontraksi atrium kiri
("tendangan atrium") selama diastol ventrikel terlambat.
Ketika area katup mitral pergi di bawah 2 cm2, katup menyebabkan hambatan
pada aliran darah ke dalam ventrikel kiri, menciptakan gradien tekanan di katup
mitral. Gradien ini dapat ditingkatkan dengan peningkatan denyut jantung atau
cardiac output. Sebagai gradien melintasi katup mitral meningkat, jumlah
waktu yang diperlukan untuk mengisi ventrikel kiri dengan darah
meningkat. Akhirnya, ventrikel kiri membutuhkan tendangan atrium untuk
mengisi dengan darah. Dengan meningkatnya denyut jantung, jumlah waktu
yang ventrikel dalam diastol dan dapat mengisi dengan darah (yang disebut
periode pengisian diastolik) menurun. Ketika denyut jantung berjalan di atas
titik tertentu, periode pengisian diastolik tidak cukup untuk mengisi ventrikel
dengan darah dan tekanan menumpuk di atrium kiri, menyebabkan kongesti
paru.
Ketika area katup mitral berjalan kurang dari 1 cm2, akan ada peningkatan
tekanan atrium kiri (diperlukan untuk mendorong darah melalui katup
pulmonalis). Karena tekanan diastolik ventrikel kiri yang normal adalah sekitar
5 mmHg, suatu gradien tekanan di katup mitral dari 20 mmHg karena stenosis
mitral yang berat akan menyebabkan tekanan atrium kiri sekitar 25 mmHg. Ini
tekanan atrium kiri ditransmisikan ke pembuluh darah paru dan menyebabkan
hipertensi pulmonal. Tekanan kapiler paru pada tingkat ini menyebabkan
ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik,
menyebabkan ekstravasasi cairan dari pohon vaskular dan penyatuan cairan di
paru-paru (gagal jantung kongestif menyebabkan edema paru).
Overload tekanan konstan dari atrium kiri akan menyebabkan atrium kiri
meningkat dalam ukuran. Sebagai atrium kiri meningkat dalam ukuran,
menjadi lebih rentan untuk mengembangkan atrial fibrilasi. Ketika fibrilasi
atrium berkembang, tendangan atrium hilang (karena itu adalah karena
kontraksi atrium normal).
Pada individu dengan stenosis mitral yang berat, pengisian ventrikel kiri
tergantung pada tendangan atrium. Hilangnya tendangan atrium karena fibrilasi
atrium dapat menyebabkan penurunan tajam dalam output jantung dan gagal
jantung kongestif mendadak.
Diagnosis:
Pemeriksaan Fisik Phonocardiograms dari bunyi jantung normal dan
abnormal. Setelah auskultasi dari individu dengan stenosis mitral, bunyi
jantung pertama adalah luar biasa keras dan dapat teraba (menekan detak apeks)
karena kekuatan meningkat dalam menutup katup mitral. Suara jantung
pertama dibuat oleh penutupan katup jantung mitral dan trikuspid. Ini biasanya
sinkron, dan suara yang disebut M1 dan T1 masing-masing. M1 menjadi keras
pada stenosis mitral. Ini mungkin tanda yang paling menonjol.Jika hipertensi
paru sekunder untuk stenosis mitral yang berat, P2 (pulmonal) komponen bunyi
jantung kedua (S2) akan menjadi keras.
Suatu opening snap yang merupakan suara tambahan bernada tinggi dapat
mendengar setelah komponen (aorta) A2 bunyi jantung kedua (S2), yang
berkorelasi dengan pembukaan kuat dari katup mitral. Katup mitral terbuka bila
tekanan dalam atrium kiri lebih besar daripada tekanan dalam ventrikel kiri. Hal
ini terjadi di diastol ventrikel (setelah penutupan katup aorta), ketika tekanan
dalam ventrikel drastis turun. Pada individu dengan stenosis mitral, tekanan
dalam atrium kiri berkorelasi dengan keparahan dari stenosis mitral. Sebagai
keparahan dari stenosis mitral meningkat, tekanan dalam atrium kiri meningkat,
dan katup mitral terbuka diastol ventrikel awal.
Penyakit lanjut dapat hadir dengan tanda-tanda sisi kanan gagal jantung seperti
heave parasternal, distensi vena jugularis, hepatomegali, asites dan / atau
hipertensi paru, yang terakhir sering menyajikan dengan P2 keras.
· Atrial fibrilasi - pulsa tidak teratur dan hilangnya 'a' gelombang tekanan
vena jugularis
denyut jantung adalah tentang 100-150/min. tidak teratur tidak teratur pulsa
dengan defisit pulsa> 10. berbagai intensitas jantung suara pertama. opening
snap tidak terdengar kadang-kadang. absen gelombang di pembuluh darah
leher. aksentuasi presystolic dari murmur diastolik menghilang. manifestasi
emboli mungkin muncul.
[Sunting] Ekokardiografi
Keparahan Gelar stenosis mitral stenosis mitral Berarti daerah gradien katup
mitral
Dalam kebanyakan kasus, diagnosis stenosis mitral yang paling mudah dibuat
oleh echocardiography, yang menunjukkan pembesaran atrium kiri, katup
mitral tebal dan kaku dengan sempit dan "ikan-mulut" berbentuk mulut dan
tanda-tanda kegagalan ventrikel kanan pada penyakit lanjut. [2 ] Hal ini juga
dapat menunjukkan penurunan pembukaan katup mitral leaflet, dan
peningkatan kecepatan aliran darah selama diastol. Gradien trans-mitral yang
Metode lain untuk mengukur keparahan dari stenosis mitral adalah kiri dan
kanan jantung kateterisasi simultan kamar. Kateterisasi jantung kanan
(umumnya dikenal sebagai Swan-Ganz kateterisasi) memberikan dokter
tekanan baji kapiler paru berarti, yang merupakan refleksi dari tekanan atrium
kiri. Kateterisasi jantung kiri, di sisi lain, memberikan tekanan dalam ventrikel
kiri. Dengan secara bersamaan mengambil tekanan ini, adalah mungkin untuk
menentukan gradien antara atrium kiri dan ventrikel kiri selama diastol
ventrikel, yang merupakan penanda untuk tingkat keparahan stenosis mitral.
Metode mengevaluasi mitral stenosis cenderung melebih-lebihkan derajat
stenosis mitral, namun, karena lag waktu dalam penelusuran tekanan dilihat
pada kateterisasi jantung kanan dan keturunan Y lambat terlihat pada
penelusuran baji. Jika tusukan trans-septum dibuat selama kateterisasi jantung
kanan, bagaimanapun, gradien tekanan secara akurat dapat mengukur
keparahan dari stenosis mitral.
Regurgitasi Mitral Akut adalah suatu kelainan di mana katup mitral jantung
tiba-tiba tidak menutup dengan benar. Hal ini menyebabkan darah mengalir ke
belakang (bocor) ke bagian atas ruang hati (atrium) sebelah kiri.Ketika katup
mitral tidak menutup dengan sempurna, darah mengalir kembali ke atas kiri
ruang jantung (atrium). Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah ke seluruh
tubuh. Akibatnya, jantung memompa lebih keras.Regurgitasi mitral akut
dapat disebabkan oleh disfungsi atau cedera pada katup berikut serangan
jantung atau infeksi katup jantung (endokarditis infektif).
Gejala
*Rapid bernapas
* Batuk
Perawatan
Dalam keadaan darurat bila tekanan darah tidak dapat dipertahankan, perangkat
seperti balon intra-aorta pompa (IABP) mengurangi arus balik maju dengan
meningkatkan aliran darah ke aorta.
INSUFISIENSI MITRAL
Definisi:
Etiologi
Patofisiologi
(3) antibody akan bereaksi dengan antigen streptokok, dan dengan jaringan
hospes yang secara antigenic sama seperti streptokok ( dengan kata lain
antibody tidak dapat membedakan antara antigen streptokok dengan antigen
jaringan jantung
Pemeriksaan
Anamnesis
Pemeriksaan fisis:
Palpasi : suhu dan kelembaban kulit, edema, denyut dan tekanan arteri
Auskultasi :
Pemeriksaan penunjang :
Elektrokardiogram :
Foto Toraks :
· Bendungan paru
Terapi medikamentosa
1. Digoxin
Digoxin amat berguna terhadap penanganan fibrilasi atrium. Ia adalah
kelompok obat digitalis yang bersifat inotropik positif. Ia meningkatkan
kekuatan denyut jantung dan menjadikan denytan jantung kuat dan sekata.
2. Antikoagulan oral
Antikoagulan di berikan kepada pasien untuk mengelakkan terjadinya
pembekuan darah yang bisa menyebabkan emboli sistemik. Emboli bisa
terjadi akibat regurgitasi dan turbulensi aliran darah.
3. Antibiotik profilaksis
Administrasi antibiotic dilakukan untuk mengelakkan infeksi bacteria yang
bisa menyebabkan endokarditis.
Terapi surgikal
Dalam kasus insufisiensi mitralis kronik, terapi surgical adalah penting
untuk memastikan survival pasien. Untuk itu katu prostetik digunakan
untuk menggantikan katup yang rosak.
Prognosis
Prognosis untuk penderita insufisiensi mitral adalah tergantung pada
pnyebab berlakunya masalah ini. Dalam kasus yang disebabkan oleh
panyakit arteri koronari, prognosisnya agak jelek jika dibanding dengan
yang disebabkan oleh perubahan myxomatous. Manakala yang disebabkan
oleh demam reumatik prognosisnya sederhana lantaran kebanyakan dari
kasus ini akan berulang.
STENOSIS AORTA
Stenosis aorta menyumbat aliran darah dari ventrikel kiri ke dalam aorta
selam sistol ventrikel. Hipertrofi ventrikel kiri menimbulkan tekanan yang lebih
besar dan mempertahankan perfusi perifer untuk mengompensasi restriksi yang
disebabkan oleh katup aorta stenotik. Stenosis aorta berhubungan dengan
penyempitan lumen katup dari ukuran normal 3 sampai 4 cm2 menjadikurang
dari 0,8 cm2
REGURGITASI AORTA
Regurgitasi Aorta adalah Penyakit yang memberi beban volume cukup berat
pada ventrikel kiri dan atrium kiri. Akibatnya pada setiap kontraksi, vertikel
1. Auskultasi : bising diastolik; bising Austin Flint yang khas atau bising
diastolic yang kasar; systolic ejection click disebabkan oleh
peningkatan volume ejeksi
2. Elektrokardiogram : hipertrofi ventrikel kiri
3. Radiografi dada : pembesaran ventrikel kiri; dilatasi aorta proksimal
4. Temuan Hemodinamik : pengisian dan pengosongan denyut arteri yang
cepat; tekanan nadi melebar disertai peningkatan tekanan sistemik dan
penurunan tekanan diastolic
5. Kateterisasi jantung : ventrikel kiri tampak opak selama penyuntikan
bahan kontras ke dalam pangkal aorta.
Ø Lesi campuran yaitu, terdiri atas stenoses dan insufisiensi pada katup yang
sama.
Ø Lesi gabungan yaitu, terjadi akibat penyakit jantung brematik yang biasanya
mengenai banyak katup.
Dan lesi gabungan ini dapat memperbesar atau bahkan dapat menjadi
penetralisir akibat fisiologi lesi murni.
TINDAKAN PENGOBATAN.
Ø Jika terlalu parah, pada pasien tersebut akn di lakukan tindakan pembedahan
untuk mengatasi gejala yang semakin progresif.
INSUFISIENSI VENA
Background
In venous insufficiency states, venous blood escapes from its normal antegrade
path of flow and refluxes backward down the veins into an already congested leg.
Venous insufficiency syndromes are most commonly caused by valvular
incompetence in the low-pressure superficial venous system (see the image
below) but may also be caused by valvular incompetence in the high-pressure
deep venous system (or, rarely, both). In addition, they may result from the
congenital absence of venous valves.
Anatomy
Superficial veins (including the great saphenous vein [GSV], the small saphenous
vein [SSV], and their tributaries)
Deep veins (including the anterior tibial, posterior tibial, peroneal, popliteal, deep
femoral, superficial femoral, and iliac veins)
When the venous network is functioning correctly, every movement of the leg
causes blood to be pumped inward and upward past a series of valves (see the
image below). During ambulation, the normal pressure in the venous system of
the lower leg is nearly zero. Immediately after ambulation, the early standing
In venous insufficiency,
after prolonged standing,
the veins are completely
filled, and all the venous
valves float open. At this
time, high hydrostatic
venous pressure results from the unbroken column of fluid that extends from the
head to the foot. Failed valves cause the column of standing blood in the vein to
remain high even during ambulation. The hydrostatic pressure increases during
and immediately after ambulation, which cause venous congestion.
Pathophysiology
Hemodynamic charting of (a) healthy patients, (b) patients with only varicose
veins, (c) patients with incompetent perforator veins, and (d) patients with deep
and perforator incompetence.
Increased venous pressure transcends the venules to the capillaries, impeding flow
Trapped leukocytes release proteolytic enzymes and oxygen free radicals, which
damage capillary basement membranes
Plasma proteins (eg, fibrinogen) leak into the surrounding tissues, forming a fibrin
cuff
Interstitial fibrin and resultant edema decrease oxygen delivery to the tissues,
resulting in local hypoxia
Most cases of superficial vein valve failure occur after primary points of
high-pressure leakage develop between the deep system and the superficial
system. High pressure leads to secondary valve failure when otherwise normal
superficial veins become so widely dilated that the thin flaps of the venous valves
can no longer make contact in the lumen of the vessel. Over time, these
incompetent superficial veins become visibly dilated and tortuous, at which point
they are recognized as varicose veins.
High pressure can enter the superficial veins as a result of the failure of key valves
at any point of communication between the deep system and the superficial
system. High-pressure leakage from the deep veins to the superficial system has 2
major sources, as follows:
Junctional high-pressure disease most often results from failure of the primary
valve at the junction between the GSV and the common femoral vein at the groin
(saphenofemoral junction). Vein incompetence then proceeds distally from the
groin, and patients perceive that a large vein is growing down their leg. A less
common form of junctional reflux results from failure of the primary valve at the
junction between the SSV and the popliteal vein at the knee (saphenopopliteal
junction).
Not all of the sequelae of venous insufficiency are related to venous hypertension,
and not all patients with venous hypertension develop ulceration. Some patients
with venous ulceration do not have marked venous hypertension.
radioactive tracer is injected into the foot tissues, the clearance rate is markedly
slowed by deep venous obstruction or by deep or superficial venous
incompetence.
The time required for an aliquot of radiolabeled blood to pass from the femoral
artery through the leg and back to the central circulation is highly correlated with
the development of leg ulcers. The aliquot transit time and the clearance time for
an extremity are closely related to the volume of retrograde flow through
refluxing veins. Superficial varicosities always produce venous recirculation and
can result in prolonged clearance that may be localized or affect the whole leg.
Experimental evidence shows that if the peak retrograde flows in the GSV, SSV,
and popliteal vein add up to less than 10 mL/s, progressive visible stasis
dermatitis and ulceration do not occur. If they add up to more than 15 mL/s, the
incidence of ulceration is high. In some cases, purely superficial local reflux with
a pressure of more than 7 mL/s can cause local ulceration.
In the San Diego Population Study, levels of circulating P-selectin were found to
be correlated with the severity of CVI, though not with the incidence of CVI in
general.[3] The study findings suggest that the pathogenesis of CVI may include
activation of platelets and endothelial cells.
Etiology
Chronic nonhealing wounds of the lower extremity have many different potential
causes, but most chronic lower-extremity ulcers are of venous etiology. The
majority of venous ulcers are caused by venous reflux that is purely or largely
confined to the superficial venous system; only a minority are caused by chronic
DVT or by valvular insufficiency in the deep veins.
MEP Books Cardiovascular page 216
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
In superficial venous insufficiency, the deep veins are normal, but venous blood
escapes from a normal deep system and flows backwards through dilated
superficial veins in which the valves have failed. More than 80% of varicose veins
seen on the leg are caused by venous insufficiency or a leaky valve in the GSV,
which terminates near the inguinal ligament as it joins the common femoral vein.
The initial valve failure may occur at any level between the groin and the ankle,
but the saphenofemoral junction is the high point of reflux in most patients with
severe superficial venous insufficiency. Valve failure can be spontaneous in
patients with congenitally weak valves. Congenitally normal valves can fail as a
consequence of direct trauma, thrombosis, hormonal changes, or chronic
environmental insult (eg, prolonged standing).
Klippel-Trénaunay-Weber syndrome
The sciatic vein is a large superficial vessel that is present during fetal
development but usually does not persist. In patients with KTW syndrome, this
vein may be noticed at birth, or it may become apparent later in life. The vein
extends along the posterolateral aspect of the leg from the foot to the gluteal
region. When present, it is invariably a reflux pathway rather than a pathway for
antegrade flow.
Patients with KTW syndrome may have atresia of the deep veins, as well as many
abnormal venous pathways involving the deep and superficial venous systems.
MEP Books Cardiovascular page 217
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
KTW syndrome can produce such severe venous insufficiency that the otherwise
normal lymphatic system becomes overwhelmed by the amount of lymph
production, which leads to secondary lymphedema.
Surgical attempts to treat the abnormal refluxing veins in KTW syndrome are
fraught with peril because postoperative worsening of venous abnormalities is
common.
Risk factors
The incidence of CVI rises substantially with age. A history of DVT, which
renders venous valves incompetent and thereby causes backflow and increased
venous pressure, is a risk factor.
A sedentary lifestyle minimizes the pump action of calf muscles on venous return,
causing higher venous pressure. CVI occurs more frequently in women who are
obese. Vocations that involve standing for long periods predispose individuals to
increased venous pressure in dependent lower extremities. A higher incidence of
CVI is observed in men who smoke. Pregnancy is an important causative factor in
the development of peripheral venous insufficiency. Contraceptive medication
use, hypertension, previous leg injuries, and low intake of cellulose fibbers have
also been considered.[5]
Epidemiology
CVI is a significant public health problem in the United States. It has been
estimated that 2-5% of all Americans have some changes associated with CVI.
Published estimates of the prevalence of varicosities range from 7% to 60% in the
adult population, with most studies demonstrating clinical varicose reflux in about
40% of the population.[6] Venous stasis ulcers affect approximately 500,000
people. The mean incidence of hospital admission for CVI is 92 per 100,000
admissions.
International statistics
It has been estimated that approximately 1-2% of the adult population presents
with lower-limb ulceration, from which 70-90% of these ulcers are attributed to
CVI.[5]
Age-related demographics
The prevalence of venous insufficiency increases with age. Peak incidence occurs
in women aged 40-49 years and in men aged 70-79 years.
Reticular veins usually appear or are first noticed in adolescence and young
adulthood, with only a small number of new cases developing after the
childbearing years. Truncal varicosities and telangiectatic webs, on the other hand,
are relatively less common in youth and can appear throughout life.
The Bochum study, which assessed a large number of children aged 10-12 years
at one point (Bochum I) and again 4 years later (Bochum II), revealed that
symptoms and abnormal venous test results occur before any abnormal veins are
visible at the surface. Abnormal reticular veins appear first and are followed by
incompetent perforatoring veins and truncal varicosities, which appear several
years later.[7]
Although active venous ulceration affects less than 1% of the population, its
prevalence slightly increases to 3% in individuals older than 65 years.[8]
Sex-related demographics
The incidence and prevalence of deep and superficial venous disease depend on
the age and sex of the population, but at any age, such disease is more common in
women than in men. In younger men, the incidence is lower than 10%, compared
with 30% in similarly aged women. In men older than 50 years, the incidence is
20%, compared with 50% in similarly aged women.[9]
Physical Examination
The most common physical signs of venous insufficiency are those attributed to
the progressive syndromes of chronic venous stasis and chronic venous
hypertension. These signs include the following:
Edema
Hyperpigmentation
Venous dermatitis
Chronic cellulitis
Ulceration
Swelling may result from acute venous obstruction (as in deep venous thrombosis
[DVT]) or deep or superficial venous reflux. Alternatively, swelling may be
completely unrelated to the venous system. Lower-extremity pitting edema is
common in patients with venous insufficiency. Hepatic insufficiency, renal
failure, cardiac decompensation, infection, trauma, and environmental effects can
also cause lower-extremity pitting edema that may be indistinguishable from
edema due to venous obstruction or venous insufficiency.
Darkened, discolored, and stained skin may be a sign of venous stasis, arterial
insufficiency, chronic infection, prior injury, or various other conditions (see the
image below). Such discoloration is particularly likely to be a sign of chronic
venous stasis if it is localized along the medial part of the ankle or the medial
aspect of the lower leg; these areas are especially prone to venous hypertension
because their drainage largely depends on the competence and patency of the
entire great saphenous vein (GSV) and all the attached perforating veins.
Normal veins are visibly distended at the foot and ankle and, occasionally, in the
popliteal fossa; they usually are not visibly distended in the rest of the leg.
Translucent skin may cause the normal veins to become visible in a bluish
subdermal reticular pattern. A dilated vein above the ankle is usually evidence of
venous pathology (see the image below).
The visual appearance of the lower extremities is a useful but not always reliable
guide to the peripheral venous condition.[16] Clinical findings in venous disease
are also common to many other entities that affect the lower extremities.[17]
Physical examination alone is not a reliable means of assessing the venous
system. Diagnostic testing nearly always is necessary to rule out deep venous
obstruction, to assess the paths of reflux, and to guide treatment planning.
Trendelenburg test
The Trendelenburg test is a traditional part of the physical examination that may
help in distinguishing distal venous congestion caused by superficial venous
reflux from that caused by incompetence of the valves in the deep venous system.
To perform this test, elevate the patient’s leg until all of the congested superficial
veins collapse. Apply direct pressure to occlude the superficial veins below the
point of suspected reflux from the deep system into the superficial varicosity.
MEP Books Cardiovascular page 222
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
Most often, the GSV is manually occluded just below the saphenofemoral
junction at the groin.
With the occlusion still in place, have the patient stand. If the distal varicosity
remains empty or fills slowly, quickly remove the occluding hand or tourniquet. If
the slow filling observed with occlusion is followed by rapid filling after the
occlusion is removed, the principal high-pressure entry point into the superficial
system is correctly identified.
Immediate refilling of the varicosity despite manual occlusion indicates that the
principal entry point has not yet been identified or that more than 1 reflux
pathway is involved. Extremely rapid refilling despite occlusion of the superficial
reflux pathways suggests that the valves in the deep veins may be incompetent
between the groin and the level at which the reflux escapes the deep system. The
result is rapid filling of the superficial system.
Laboratory Studies
Ultrasonography
Venography
Magnetic resonance venography (MRV) is the most sensitive and specific test for
the assessment of deep and superficial venous disease in the lower legs and pelvis,
areas not accessible by means of other modalities. MRV is particularly useful
because it can help detect previously unsuspected nonvascular causes of leg pain
and edema when the clinical presentation erroneously suggests venous
insufficiency or venous obstruction.
Venous Plethysmography
Air plethysmography (APG) is a noninvasive test that has the ability to measure
some pathophysiologic mechanisms of CVI, which includes reflux, obstruction,
and muscle pump dysfunction. This test facilitates evaluation of venous filling
through the venous filling index. It may be useful when venous duplex ultrasound
does not provide conclusive information.[20]
Physiologic tests of venous function are important in assessing the cause and
severity of venous insufficiency. The physiologic parameters most often measured
are the venous refilling time (VRT), the maximum venous outflow (MVO), and
the calf muscle pump ejection fraction (MPEF).
The VRT is the time necessary for the lower leg to become suffused with blood
after the calf muscle pump has emptied the lower leg as thoroughly as possible.
When patients with healthy veins are in a sitting position, venous refilling of the
lower leg occurs only by means of arterial inflow and requires at least 2 minutes.
The main disadvantage of MVO testing is that it is sensitive only for significant
venous obstruction and not for partial obstruction. It is not useful for the detection
of reflux-induced venous insufficiency. A normal MVO result does not absolutely
rule out DVT.
The MPEF test is used to detect failure of the calf muscle pump to expel blood
from the lower leg. Its results are highly repeatable, but a skilled operator is
required to obtain clean, meaningful tracings.
The patient is asked to stand on his or her tiptoes 10-20 times or to dorsiflex his or
her ankle. The change in a physical parameter that reflects the blood volume in the
calf is recorded as the calf muscle is pumped.
In patients with normal veins and a normal calf muscle pump, 10-20 tiptoe
motions or ankle dorsiflexions empties the venous capacitance circuit of the calf.
In patients with muscle pump failure, severe proximal obstruction, or severe deep
venous insufficiency, tiptoe motions or ankle dorsiflexions have little or no effect
on the amount of blood remaining in the calf. Venous insufficiency due to this
cause is difficult to treat
Approach Considerations
No oral medication has yet been proven useful for the treatment of venous
disease. Graduated compression is the cornerstone of the modern treatment of
venous insufficiency. Surgical or endovenous therapy is commonly reserved for
those with discomfort or ulcers refractory to medical management. The primary
goal of such therapy is to improve the venous circulation by correcting venous
insufficiency by removing the major reflux pathways.
As yet, no treatment for deep venous insufficiency has been proved to be both
safe and effective. Valvuloplasty is occasionally successful, but the incidence of
postoperative deep venous thrombosis (DVT) is high. Venous bypass is successful
in select patients. External vein valve banding devices and thermally induced
collagen shrinkage procedures are being investigated in clinical trials. Restoration
of valvular function to incompetent deep veins remains an important focus of
research for vascular physicians.
Sclerosing Agents
Class Summary
Sclerosing agents are used for the primary sclerosis of reflux pathways and for the
ablation of friable thin-walled veins judged to be at high risk for rupture and
hemorrhage.
Venoablation
In general, vein ligation is reserved for cases of chronic venous insufficiency (CVI)
involving reflux in the saphenous system that causes severe symptoms.[29] Thus, a
diagnosis of reflux must be established preoperatively, usually with
photoplethysmography or duplex imaging. [#Contraindications]In patients with
symptomatic varicosities of the great saphenous vein (GSV), deep occlusion must
be ruled out; it is an absolute contraindication to vein ligation. Venography of the
deep venous system before superficial vein ligation is imperative.
vessel. Injection of a sclerosing agent directly into veins usually is reserved for
telangiectatic lesions rather than CVI. Phlebotonics have not been proven to be
beneficial for CVI.[30]
EVLT is performed by passing a laser fiber from the knee to the groin and then
delivering laser energy along the entire course of the vein. Destruction of the
vascular wall is followed by fibrosis of the treated vessel. It has been shown to yield
excellent long-term (>5 years) results and a low rate of complications, which vary
with the laser wavelength used.
RFA is performed by passing a special radiofrequency (RF) catheter from the knee
to the groin and then carrying out controlled and preset heating of the targeted
vessel until thermal injury causes shrinkage. The process is repeated every 7 cm
along the course of the vein. Initial thermal injury is followed by fibrosis of the
treated vessel. RFA has been shown to be effective, with a low rate of
complications. It has produced excellent results that have been confirmed with up
to 10 years of follow-up.
Subfascial endoscopic perforator surgery (SEPS) has also been employed to treat
CVI. Endoscopic techniques are used to find and ligate perforating veins.
Preliminary reports showed that after SEPS, the average healing time for ulcers was
42 days, with a recurrence rate of 3%, and that ulcers treated with SEPS healed 4
times faster than ulcers treated conventionally. In addition, the morbidity of SEPS
was significantly lower than that of traditional operations.
Varicose bleeding
For superficial vein treatment, primary surgery offers a lower rate of early
recurrence, whereas sclerotherapy produces fewer complications and offers higher
rates of patient satisfaction both early and at follow-up. The lower likelihood of
early recurrence after surgical treatment offsets the greater risk of complications.[32,
33]
Vein stripping with ligation of the saphenofemoral junction has long been the most
commonly adopted surgical approach in cases of superficial venous insufficiency.
At present, it is increasingly being replaced by endovenous ablation techniques
such as RFA and EVLT.
The original approach to vein ligation for superficial vein disorders involved
removal of the entire GSV system; this approach has largely been supplanted by the
stab evulsion technique. In stab evulsion, several 2- to 3-mm incisions are made
overlying the GSV at various levels. The vein is dissected from the underlying
tissues, and any perforators are ligated. A small hook or blunt needle is used to
extract as much of the vein as possible.
Typically, stab evulsion is limited to areas above the knee in the GSV system to
avoid damage to the saphenous nerve or sural nerve. This technique is reserved for
CVI in which reflux in the saphenous system occurs and causes severe symptoms.
For this reason, it is mandatory to establish a diagnosis of reflux preoperatively.
Simple ligation and division of the incompetent vessels is not an effective way of
treating failed perforating vessels, because this procedure is associated with a high
incidence of early recurrence of reflux when it is applied to the GSV.
Skin grafts do not survive for very long unless the venous insufficiency has been
treated, and after the venous insufficiency is ablated, the ulcer usually heals
quickly, even without grafting.
The decision to operate on a patient with venous obstruction in the deep veins
should be made only after a careful assessment of symptom severity and direct
measurement of both arm and foot venous pressures. Venography alone is not
sufficient, because many patients with occlusive disease have extensive collateral
circulation, which renders them less symptomatic. Clot lysis (eg, with tissue
MEP Books Cardiovascular page 231
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
plasminogen activator [TPA] or urokinase) and thrombectomy have been tried but
have largely been abandoned because of extremely high recurrence rates.
For iliofemoral disease, the operation of choice is a saphenous vein crossover graft.
In this procedure, the contralateral saphenous vein is mobilized and divided at its
distal end, then tunneled suprapubically and anastomosed to the femoral vein on the
diseased side (see the image below). The result is diversion of venous blood
through the graft and into the intact contralateral venous system. Because of a
relatively high failure rate (20%), ringed polytetrafluoroethylene (PTFE) grafts are
used. Long-term patency has not been determined.
For occlusion of the superficial femoral vein, the Husni bypass, described by
Warren in 1954 and Husni in 1983,[34] may be considered. In this procedure, the
ipsilateral GSV is harvested and used as an in-situ popliteal-femoral vein bypass.
Because of its high failure rate (approximately 40%), the Husni bypass is
performed infrequently. A minimally invasive technique using stents has been
described.[35]
Complications
Infection
Arterial injury
Skin burns
Postprocedural care
Observe patients frequently for wound infection after discharge, beginning 1 week
postoperatively. Sutures or staples typically stay in 2-4 weeks, depending on the
health of the skin at the operative site.
Activity
Walking or running, bicycling, and swimming are excellent activities for patients
with an intact and functioning calf muscle pump. Patients with obstructed venous
outflow usually experience increased pain and swelling with activity. Patients with
muscle pump failure usually have a markedly reduced exercise tolerance because of
early leg fatigue.
Prevention
Implications
The importance of addressing CVI resides in the fact that over 2.5 million
individuals have this disorder, from which around 20% percent present with venous
ulcers as a complication.[20] Therefore, a reduction in the quality of life, exposure to
financial constraints, and disability are frequently seen in this type of patient. The
estimated annual expenditures dedicated to the management of venous ulcer
disease exceeds $1 billion; hence, it is important to reduce the risk factors and
MEP Books Cardiovascular page 234
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
increase the therapeutic options that could prevent disease and disability from
complications of CVI.
Prognosis
In many patients, the skin eventually breaks down and nonhealing ulcers develop.
A study by Abbade et al determined that longstanding and large ulcers and
recurrences are the primary complications encountered by patients who have
Patients have an increased lifetime risk of DVT and pulmonary embolism. Tsai et
al, examining the National Inpatient Sample from 1988-2000, found that DVT
affected 1.3% of patients and that amputation was necessary in 1.2%, with an
overall mortality of 1.6%.[11]
Bed rest and intercurrent illness place patients with venous insufficiency at higher
risk for DVT. Phlebitis develops in 60% of hospitalized patients with clinically
evident superficial venous insufficiency, and in nearly one half of cases, the
condition progresses to DVT. Approximately one half of patients with DVT have
detectable pulmonary embolism, and the death rate in this group exceeds 1 in 3.
Outcomes for different therapies have varied. Clot lysis (eg, with tissue
plasminogen activator or urokinase) and thrombectomy have been tried but have
largely been abandoned because of the extremely high recurrence rates.
Saphenous vein crossover grafting for iliofemoral disease has a relatively high
failure rate (20%), and thus, ringed polytetrafluoroethylene (PTFE) grafts are now
being used. Long-term patency rates have not been determined. The Husni bypass
for superficial femoral vein occlusion has an even higher failure rate
(approximately 40%) and thus is now performed infrequently.
Surgery for CVI resulting from deep vein incompetence includes valvuloplasty
and allograft or cadaveric vein transplant. Valvuloplasty for patients with
congenital absence of functional valves, when combined with ligation of
perforating veins, yields a superior outcome in 80% of cases after 5 years.
Allograft or cadaveric vein transplants are undergoing further evaluation, with
long-term results pending.
Guidelines Summary
C2 - Varicose veins
C5 - Healed ulcer
C6 - Active ulcer
Primary
Superficial
Deep
Perforator
Reflux
Obstruction, thrombosis
RADIOLOGI
1. Angiografi/DSA
2. Cardiac Computed Tomography
3. Cardica Magnetic Resonance
4. Echocardiography
1. Angiografi/DigitalSubstractionAngiography (DSA)
Prosedur tersebut melibatkan kontras yang diinjeksikan ke dalam
vaskuler tubuh yang akan diperiksa melalui kateter kemudian gambar
diambil menggunakan sinar X-ray.DSA meliputi teknik pengambilan yang
sama, namun gambar yang didapatkan nantinya akan diproses secara digital
untuk menghilangkan bagian-bagian yang dapat menganggu gambar
vaskuler (tulang atau jaringan lunak). Angiografi dapat digunakan untuk
memeriksan pasien yang mengalami angina, stenosis aorta, gagal jantung,
2. CardiacComputedTomography
CT mengambil gambar menggunakan sinar-X yang ditembakkan
melewati tubuh dari berbagai sudut sehingga menghasilkan gambar-gambar
ringan (10-100), sedang (100-400), atau tinggi (>400). Skor kalsium arteri
koroner (CAC) nantinya akan disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin
dan dipresentasikan dalam bentuk skor persentil.
Unstable angina
STEMI NSTEMI
CTA + CTA -
3. CardiacMagneticResonance(CMR)
CMR merupakan teknik pencitraan yang menggunakan proton pada
hidrogen sebagai dasar pengambilan gambar. Hidrogen terdapat banyak di
dalam tubuh dan ketika tubuh kita masuk ke dalam mesin MRI maka proton
dalam hidrogen akan berputar disekitar sumbunya dengan frekuensi yang
spesifik. Perputaran pada air akan berbeda frekuensinya dengan
perputaran pada markomolekul yang lebih kompleks seperti protein dan
lemak. Mesin MRI memancarkan energi radiofrekuensi yang menyebabkan
perputaran tersebut dan setelah radiofrekuensi dihentikan, energi yang yang
diabsorbsi oleh tubuh akan segera dilepaskan kembali. Energi yang
dilepaskan kembali ini dapat ditangkap dengan permukaan kumparan
MRI.
4. Echocardiography
putih pada gambar dan warna hitam pada densitas yang rendah. Gambar
yang dihasilkan nantinya dapat berbentuk 2 atau 3 dimensi. Resolusi dari
echocardiography tergantung dari panjang gelombang yang digunakan.
Semakin pendek panjang gelombang dan semakin tinggi frekuensinya maka
gambar yang dihasilkan akan semakin detail tapi kemampuan penetrasinya
akan semakin rendah.
DAFTAR PUSTAKA
(4) program latihan fisik dan konseling aktifitas fisik, terutama dalam upaya
meningkatkan pola hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas hidup dan
penyakit jantung katup, penyakit arteri perifer, dan prevensi pada wanita. 4
Fase I adalah upaya yang segera dilakukan disaat pasien masih dalam masa
perawatan, tujuan utama fase ini adalah mengurangi atau menghilangkan
efek buruk dari ‘dekondisi’ akibat tirah baring lama, melakukan edukasi
dini dan agar pasien mampu melakukan aktifitas hariannya secara mandiri
dan aman.
Fase II, yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari RS, merupakan
program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal
mungkin, segera mengontrol faktor risiko, edukasi dan konseling tambahan
mengenai gaya hidup sehat.
Saat ini upaya rehabilitasi jantung dilaksanakan baik di luar rumah sakit
maupun di dalam rumah sakit. Program rehabilitasi jantung yang dilaksanakan di
rumah sakit telah dilaksanakan di beberapa kota seperti Jakarta, diantaranya RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSCM, RS Fatmawati. Di Bandung:
dilaksanakan di RSHS, di Jogja: di RS Dr. Sardjito, dan juga di Padang.
motivasi pasien serta cakupan asuransi atau cara pembayaran. 4 Selain itu ditambah
masalah lain seperti ketersediaan sarana rehabilitasi jantung yang tersupervisi,
masalah transportasi untuk menjangkau saran dan masalah pekerjaan yang tidak
dapat ditinggalkan.
Gagal jantung yang merupakan akhir atau akibat dari penyakit jantung yang
lainnya menunjukan insidensi dan prevalensi yang tinggi, maka program
rehabilitasi jantung di RS seyogyanya lebih mem- fokuskan pada kasus gagal
jantung dan usia lanjut. Rehabilitasi jantung yang mencakup latihan fisik pada
penderita gagal jantung saat ini telah diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam tatalaksana gagal jantung yang kronis serta telah direkomendasikan oleh
berbagai perhimpunan, misalnya AHA.8 Program latihan fisik pada penderita gagal
jantung juga telah terbukti keamanan dan manfaatnya pada penelitian besar seperti
MEP Books Cardiovascular page 250
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2
HF-ACTION Trial. 9
DAFTAR PUSTAKA