Anda di halaman 1dari 252

Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 1


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP BOOKS
CARDIOVASCULAR

Editor :
MEP ISMKI WILAYAH 2

Institusi kedokteran yang berkontribusi :


Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta

Universitas Katholik Atmajaya

Universitas Tarumanegara

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Universitas Yarsi

Universitas Tanjung Pura

MEP Books Cardiovascular page 2


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, wr wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan MEP Books 2016 dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada institusi kedokteran yang turut
serta berkontribusi dalam penyusunan.
Untuk masa kepengurusan ini, kami memilih untuk menyusun MEP Books
yang bertemakan Cardiovascular dan Tropical Infection. Penyusunan MEP Books
yang dirancang dan disusun oleh Medical Education and Profession (MEP) ISMKI
wilayah 2 dengan kontribusi institusi kedokteran di wilayah 2 ini dalam pembuatan
materi.
Kami sangat berharap MEP Books ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai penyakit. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam MEP Books ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan MEP Books yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Ciputat, 10 Oktober 2016

MEDICAL EDUCATION AND PROFESSION

MEP Books Cardiovascular page 3


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

CONTENTS
ANATOMI SISTEM KARDIOVASKULER ..................................................................... 5
HISTOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................ 10
FISIOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER .................................................................. 17
BIOKIMIA SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................... 26
MIKROBIOLOGI PADA SISTEM KARDIOVASKULER ............................................ 37
PATOLOGI KLINIK SISTEM KARDIOVASKULER ................................................... 40
PATOLOGI ANATOMI KARDIOVASKULAR............................................................. 48
DEEP VEIN THROMBOSIS ........................................................................................... 54
TROMBOEMBOLI VENA .............................................................................................. 57
THROMBOANGITIS OBLITERANS ............................................................................. 61
VARICOSE VEINS (VARISES)...................................................................................... 66
AORTIC DISSECTION ................................................................................................... 71
AORTIC DISSECTION ................................................................................................... 79
TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR .......................................................................... 87
ATRIAL FIBRILASI ........................................................................................................ 95
FLUTTER ATRIUM ...................................................................................................... 104
SUPRA VENTRICULAR EXTRA SYSTOLE .............................................................. 106
EKSTRASISTOL VENTRIKEL .................................................................................... 108
FIBRILASI VENTRIKEL .............................................................................................. 110
HENTI JANTUNG ( CARDIACT ARREST ) ............................................................... 112
GAGAL JANTUNG ....................................................................................................... 116
ANGINA PECTORIS ..................................................................................................... 123
HIPERTENSI.................................................................................................................. 129
COR PULMONALE ....................................................................................................... 134
DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK ................................. 137
ENDOKARDITIS, MIOKARDITIS, DAN PERIKARDITIS ........................................ 168
KELAINAN JANTUNG KONGENITAL ...................................................................... 179
PENYAKIT KATUP JANTUNG ................................................................................... 189
INSUFISIENSI VENA ................................................................................................... 211
RADIOLOGI .................................................................................................................. 238
REHABILITASI KARDIOVASKULAR DI INDONESIA ........................................... 246

MEP Books Cardiovascular page 4


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ANATOMI SISTEM KARDIOVASKULER

MEP Books Cardiovascular page 5


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 6


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 7


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 8


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 9


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

HISTOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER

sistem kardiovaskular membawa darah dari jaringan ke jantung maupun me


mbawa darah dari jantung ke jaringan
sistem kardiovaskular
System vascular darah terdiri atas struktur berikut ini:
i. Jantung, yakni suaatu organ yang berfungsi untuk memompa darah
ii. Arteri, serangkaian pembuluh eferen yang makin mengecil sewaktu
bercabang, dan berfungsi untuk mengangkut darah dengan nutrient dan
oksigen ke jaringan
iii. Kapiler, yaitu pembuluh darah terkecil, berupa jalinan saluran halus dan
rumit yang saling beranastomosis dan dindingnya merupakan tempat
berlangsungnya pertukaran zat antara darah dan jaringan
iv. Vena, yang terbentuk dari penggabungan kapiler menjadi system saluran.

JANTUNG
Jantung adalah organ berotot yang berkontraksi secara ritmis, memompa darah
melalui system sirkulasi
Ventrikel kanan dan kiri memompa darah masing masing ke paru paru, atrium
kanan dan kiri menerima darah dari tubuh dan vena pulmonalis. Dinding keempat
bilik jantung terdiri atas 3 lapisan utama yaitu:

MEP Books Cardiovascular page 10


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

-endokardium ; terdiri atas selapis sel endotel gepeng yang berada di atas selapis
tipis subendotel jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin dan kolagen
selain sel otot polos
- miokardium adalah tunika yang paling tebal di jantung dan terdiri atas sel sel otot
jantung yang tersususn berlapis lapis yang mengelilingi bilik-bilik jantung dalam
bentuk pilinan yang rumit. Miokardium jauh lebih tebal di ventrikel ketimbang di
atrium.
- epikardium adalah bagian luar jantung yang dilapisi oleh epitel selapis gepeng
yang ditopang oleh selapis tipis jaringan ikat. Epikardium dapat disetarakan dengan
lapisan visceral pericardium, yaitu membrane serosa tempat jantung berada

Pembuluh darah

pembuluh darah terbagi menjadi tiga bagian yaitu :


1. pembuluh darah arteri: pembuluh arteri membawa darah dari jantung
2. pembuluh darah vena dan : pembuluh darah vena membawa darah k
embali ke jantung
3. kapiler: kapiler merupakan tempat terjadinya pertukaran zat antara da
rah dan jaringan
- struktur pembuluh darah
MEP Books Cardiovascular page 11
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

arteri memiliki dinding pembuluh darah yang tebal , cenderung bulat ataupu
n lonjong, apabila di percabangkan maka pembuluh arteri akan semakin me
ngecil
pembuluh vena memiliki dinding yang tipis , dan cenderung koleps. percaba
ngan vena semakin mendekati jantung maka pembuluh vena tersebut akan
membesar
- dinding pembuluh darah ada tiga macam yaitu
 tunika intima : tunika intima merupakan lapisan paling dalam, mempunyai
epitel selapis gepeng atau di sebut juga sel endotel (epitel selapis gepeng
yang membungkus pembuluh darah), dan mempunyai jaringan ikat.
 tunika media: merupakan lapisan paling tebal,berisi otot polos, lapisan
paling tebal
 tunika adventisia: terdiri atas serat kolagen tipe I dan serat elastin.
pada pembuluh besar biasanya terdapat vasa vasorum(pembuluh dari pe
mbuluh),yang berupa arteriol, venula, dan tunica media dibagian luar.
Pembuluh darah besar disuplai oleh jejaring serabut saraf simpatis tak b
ermielin dengan neurotransmitter berupa norepinefrin.

ARTERI
arteri diklasifikasi menjadi tiga,yaitu:
 arteri elastik :
-mencakup aorta beserta cabang-cabang besarnya.
-bila dipotong dalam keadaan segar maka tampak berwarna kekuningan
karena banyak serat elastin didalamnya.
-tunika media terdiri atas serat2 elastin dan sederetan lamina elastica yang
berlubang-lubang dan tersusun konsentris.
 arteri muskular :
-dapat mengendalikan banyaknya darah yang menuju organ dengan m
engontraksikan sel-sel otot polos.
-tunika intima memiliki lapisan subendotel yang sangat tipis
-tunika media dapat memiliki hingga 40 lapisan sel otot polos yang
lebih mencolok.

MEP Books Cardiovascular page 12


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

-tunika adventitia terdiri dari jaringan ikat.

 arteriol:
-bediameter < 0,5 mm
-lapisan subendotel sangat tipis, tidak ada lamina elastica interna
-pada arteriol besar masih terdapat lamina elastica eksterna
-metarteriol:otot polos tidak lengkap

Gambar : dinding arteri

Struktur sensoris arteri ada tiga yaitu:


 sinus karotid:
-baroreseptor: mengetahui perubahan tekanan darah
-didaeraharteri karotis interna dibagian distal percabangan arteri karotis
komunis
-tunika adventitia rlatif tebal dan ujung saraf sensoris dari saraf
glosofaringeal
 badan karotid:
-percabangan arteri carotis comunis
-mengandung kemoreseptor yang sensitif terhadap CO2 dan O2 dalam
drah
-saraf sensorik diaktifkan oleh pelepasan nerotransmitter dari sel glomus

MEP Books Cardiovascular page 13


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

sebagai
respon terhadap perubahan didaerah sinusoid.
 badan aortik:
-pada arcus aorta antara arteri subklavia kanan&arteri karotis komunis
kanan dan antara arteri karotis komunis kiri&arteri subklavia kiri

KAPILER
Kapiler memungkinkan berbagai tingkat pertukaran metabolic antara dara
h dan jaringan sekitar. Kapiler terdiri atas selapis sel endotel yang tergulun
g membentuk suatu saluran.diameter rerata kapiler bervariasi dari 5 hingga
10 mikrometer dan panjang umumnya tidak melebihi 50 mikrometer.
Klasifikasi Kapiler :
 kapiler kontinu(somatik):
-dapat ditemukan pada jar.otot, jar.ikat, kel.eksokrin, jar.saraf.
-taut endotel :fascia okludentes(mencegah transport molekul)
 kapiler berfenestrata:
-mempunyai pori yang tertutup diafragma, kecuali pada glomerulus
-dijumpai dijaringan tempat berlangsungnya pertukaran zat secara cepat
antara jaringan dan darah, seperti :ginjal, usus, kelenjar endokrin.
 kelenjar sinusoid:
- memiliki fenestra besar tanpa diafragma
-lamina basal juga bersifat diskontinu
-berdiameter 30-40 mikrometer
-ditemukan dihati, limpa, organ endokrin dan sumsum tulang.

MEP Books Cardiovascular page 14


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

VENA:

Gambar: dinding vena


 mengembalikan darah ke jantung
 tunika intima memiliki subendotel tipis
 tunika media terdiri atas berkas-berkas kecil sel otot polos.
 tuika adventitia dengan kolagennya berkembang dengan baik
 sebagian besar vena memiliki katup. katup tersebut kaya akan serat elastin
dan dilapisi dikedua sisi oleh sunendotel.
 klasifikasi vena :
-venula dan vena kecil : bediameter >1mm, perisit berganti otot polos
-vena sedang : diameter < 1cm , tidak ada lapisan elastika interna
-vena besar: umumnya berisi jaringan ikat.

MEP Books Cardiovascular page 15


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Gambar: perbedaan arteri dan vena

MEP Books Cardiovascular page 16


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

FISIOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER

a. Siklus Jantung
Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi)
dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami
siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi
ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung.
Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan
diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam
atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik
tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup AV terbuka, dan darah
mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel.
Akhirnya, volume ventrikel perlahan – lahan meningkat bahkan sebelum atrium
berkontraksi.
Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan
membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium dan menimbulkan
kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan
sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel
dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan
yang terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup.
Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah
menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat (Sherwood, 2001) sampai
tekanan tersebut cukup untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal)
(Guyton, 2006). Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara
penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta. Karena semua katup tertutup,
tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel selama waktu ini. Interval
ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik (Sherwood, 2001). Pada
saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan
melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera
terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi
relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat.
Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke

MEP Books Cardiovascular page 17


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar (Guyton, 2006). Tidak ada
lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum
terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan
demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal
sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik.

b. Curah Jantung dan Kontrolnya


Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa oleh
tiap – tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh
jantung). Selama satu periode waktu tertentu, volume darah yang mengalir

MEP Books Cardiovascular page 18


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

melalui sirkulasi paru ekivalen dengan volume darah yang mengalir melalui
sirkulasi sistemik. Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam
keadaan normal identik, walaupun apabila diperbandingkan denyut demi denyut,
dapat
terjadi variasi minor. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan
denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang
dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata – rata adalah 70 kali per
menit, yang ditentukam oleh irama sinus SA, sedangkan volume sekuncup rata –
rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata – rata adalah 4.900
ml/menit atau mendekati 5 liter/menit.
Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada
nodus SA. Nodus SA dalam keadaan normal adalah pemacu jantung karena
memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai
ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan
menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali per menit,
sehingga kecepatan denyut rata – rata adalah 70 kali per menit. Jantung dipersarafi
oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta
kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung yaitu saraf vagus mempersarafi
atrium, terutama nodus SA dan nodus atrioventrikel (AV). Pengaruh sistem saraf
parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung,
sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus
tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di
bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara
kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah.
Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yamg mengontrol kerja jantung pada
situasi – situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung
melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus
SA adalah meningkatkan keceptan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat
dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV
dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis
mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus.

MEP Books Cardiovascular page 19


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Komponen lain yang menentukan curah jantung adalah volume sekuncup.


Terdapat dua jenis kontrol yang mempengaruhi volume sekuncup, yaitu kontrol
intrinsik yang berkaitan dengan seberapa banyak aliran balik vena dan kontrol
ekstrinsik yang berkaitan dengan tingkat stimulasi simpatis pada jantung. Kedua
faktor ini meningkatkan volume sekuncup dengan meningkatkan kontraksi
otot jantung. Hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume
sekuncup membentuk kontrol intrinsik atas volume sekuncup, yang mengacu pada
kemampuan inheren jantung untuk mengubah volume sekuncup. Semakin besar
pengisian saat diastol, semakin besar volume diastolik akhir dan jantung semakin
teregang. Semakin teregang jantung, semakin meningkat panjang serat otot awal
sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan gaya yang lebih kuat,
sehingga volume sekuncup menjadi lebih besar. Hubungan antara volume
diastolik akhir dan volume sekuncup ini dikenal sebagai hukum Frank-Starling
pada jantung.
Secara sederhana, hukum Frank-Starling menyatakan bahwa jantung dalam
keadaan normal memompa semua darah yang dikembalikan kepadanya,
peningkatan aliran balik vena menyebabkan peningkatan volume sekuncup.
Tingkat pengisian diastolik disebut sebagai preload, karena merupakan beban
kerja yang diberikan ke jantung sebelum kontraksi mulai. Sedangkan tekanan
darah di arteri yang harus diatasi ventrikel saat berkontraksi disebut sebagai
afterload karena merupakan beban kerja yang ditimpakan ke jantung setelah
kontraksi di mulai. Selain kontrol intrinsik, volume sekuncup juga menjadi subjek
bagi kontrol ekstrinsik oleh faktor – faktor yang berasal dari luar jantung,
diantaranya adalah efek saraf simpatis jantung dan epinefrin (Sherwood,
2001).

MEP Books Cardiovascular page 20


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 21


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

c. Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan hidrostatik yang diakibatkan karena
penekanan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah sistolik adalah
tekanan darah tertinggi yang dicapai arteri selama sistol, sedangkan tekanan darah
diastolik adalah tekanan darah terendah yang dicapai arteri selama diastol
(Tortora, 2012). Tekanan arteri rata – rata (mean arterial pressure) adalah tekanan
rata – rata yang bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama
seluruh siklus jantung. Perkiraan tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
Tekanan arteri rata – rata = tekanan darah diastolik + 1/3 (tekanan darah
sistolik – tekanan darah diastolik)
Pengaturan tekanan arteri rata – rata bergantung pada dua kontrol
utamanya, yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Kontrol curah jantung
bergantung pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup,
sementara resistensi perifer total terutama ditentukan oleh derajat vasokonstriksi
arteriol.
Pengaturan jangka pendek tekanan darah terutama dilakukan oleh reflex
baroreseptor. Baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta secara terus –
menerus memantau tekanan arteri rata – rata. Kontrol jangka panjang tekanan
darah melibatkan pemeliharaan volume plasma yang sesuai melalui kontrol
keseimbangan garam dan air oleh ginjal ( Sherwood, 2001).
Pusat pengawasan dan pengaturan perubahan tekanan darah yaitu:
1. Sistem saraf
a. Presoreseptor dan kemoreseptor: serabut saraf aferen yang menuju pusat
vasomotor berasal dari baroreseptor arteri dan kemoreseptor aortadan karotis dari
korteks serebri.
b. Hipotalamus: Berperan dalam mengatur emosi dan tingkah laku yang
berhubungan dengan pengaturan kardiovaskuler
c. Serebrum: Mempengaruhi tekanan dari karena penurunan respons
tekanan, vasodilatasi, dan respons depressor meningkat.

MEP Books Cardiovascular page 22


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

d. Reseptor nyeri: bergantung pada intensitas dan lokasi stimulus


e. Reflex pulmonal: inflasi paru menimbulkan vasodilatasi sistemik dan
penurunan tekanan darah arteri dan sebaliknya kolaps paru menimbulkan
vasokonstriksi sistemik
2. Sistem humoral atau kimia: berlangsung local atau sistemik, misalnya
rennin-angiotensin, vasopressin, epineprin, asetikolin, serotonin, adenosine,
kalsium, magnesium, hydrogen dan kalium.
3. Sistem hemodinamik: lebih banyak dipengaruhi oleh volume darah,
susunan kapiler, perubahan tekanan osmotic, dan hidrostatik bagian luar, dan
dalam sistem vaskuler.
4. Sistem limfatik: komposisi sistem limfatik hampir sama dengan
komposisi kimia plasma darah dan mengandung sejumlah besar limfosit yang
mengalir sepanjang pembuluh limfe untuk masuk ke dalam aliran darah.

Fisiologi Vaskuler
Sistem vaskuler memiliki peranan penting pada fisiologi kardiovaskuler karena
berhubungan dengan mekanisme pemeliharaan lingkungan internal.
Bagian- bagian yang berperan dalam sirkulasi:
1. Arteri mentranspor darah di bawah tekanan tinggi ke jaringan.
2. Arteriola, cabang kecil dari sistem arteri yang berfungsi sebagai kendali ketika
darah yang dikeluarkan ke dalam kapiler.
3. Kapiler , tempat pertukaran cairan, zat makanan dan elektrolit, hormone dan
bahan lainnya antara darah dan cairan interstitial.
4. Venula yaitu mengumpulkan darah dari kapiler secara bertahap
5. Vena yaitu saluran penampung pengangkut darah dari jaringan kembali ke
jantung.
Aliran Darah
Kecepatan aliran darah ditentukan oleh perbedaan tekanan antara kedua ujung
pembuluh darah. Pembuluh darah dan aliran arteri adalah:
1. Aliran darah dalam pembuluh darah
2. Tekanan darah arteri : Sistolik, diastolic, nadi, dan darah rata-rata.
3. Gelombang nadi.

MEP Books Cardiovascular page 23


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

4. Analisis gelombang nadi: dapat di nilai dari: frekuensi gelombang nadi, irama
denyut nadi, amplitude dan ketajaman gelombang.
5. Factor yang mempengaruhi tekanan darah arteri.
Sedangkan Pembuluh dan Aliran Vena Yaitu:
1. Tekanan Vena: biasanya sangat rendah
2. Gelombang denyut vena: perubahan tekanan dan volume
3. Kurva denyut nadi: vena jugularis eksterna dengan cara non invasive
4. Kecepatan aliran darah vena
5. Factor yang mempengaruhi kecepatan aliran darah vena
6. Pengaruh gravitasi pada tekanan darah vena

MEP Books Cardiovascular page 24


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 25


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

BIOKIMIA SISTEM KARDIOVASKULER

1. METABOLISME NORMAL OTOT JANTUNG


Kita mulai aja ya guys, ini aku buat dengan sepenuh hati, mudah2an kalian bisa
cepet ngerti.

OTOT JANTUNG
Jadi otot jantung itu dia rakus, sifat-sifat yang ada di otot2 lain diembat tuh sama
dia
1. Sifat luriknya mirip otot skelet
2. Sifat involunternya mirip otot polos.
Desain otot jantung mendukung sifatnya yang konsisten dan memiliki daya
tahan yang tinggi.

METABOLISME OTOT CARDIAC HAMPIR SAMA DENGAN OTOT


SKELET

Bedanya? Perbedaan paling mendasar : Otot jantung itu sangat bergantung dengan
kadar Ca di luar sel (ekstraseluler). Kenapa otot jatung butuh banget Ca terutama
Ca yang ekstrasel sedangkan otot skelet ga?Mau tahu jawabannya? Baca dulu nih
yang satu ini...

Kalau otot skelet, terbukanya kanal dhp (dihidro phiridine) yang ada di tubulus T
disebabkan adanya potensial aksi yang menelusuri tubulus T, menyebabkan kanal
ryanodhine yang ada di reticulum sarkoplasma kebuka, sehingga kalsiumnya
keluar dan terjadilah kontraksi.

Tapi kalo otot cardiac itu terbukanya gara-gara adanya Ca alias kalsium yang
berasal dari ekstraseluler (di luar sel otot jantung), *kita singkat aje ye jadi Ca
CES*

MEP Books Cardiovascular page 26


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

So, Potensial aksi jantung itu ngebuat Ca CES ini berdifusi ato menembus
membran tubulus T, langsung deh, dengan masuknya Ca CES ke tubulus T, si
sarkoplasma langsung kebuka mengeluarkan kalsiumnya, trus kontraksi deh.

Nah, uda tahu belom jawabannya? So, jawabannya, tanpa Ca CES, lo kaga
bakalan bisa buat jantung lo berkontraksi, karena Ca CES itu yg memicu jantung
lo kontraksi... kalo ntu jantung kaga kontraksi?*jawab ndiri dah*
Kalo otot skelet maah, tetep bisa kontraksi walaupun kaga ade Ca CES, karena
kontraksinya ntu dipicu ame potensial aksinya..
 METABOLISME AEROB
Jantung itu dikasi energi sama Allah melalui adanya metabolisme aerobic
alias metabolisme yang butuh oksigen, diolah di mitokondria
 BANYAK MITOKONDRIA
Karena beliau itu perlu banget metabolisme aerobic sedangkan cadangan
glukosa alias si glikogennya sangat sedikit padahal regulasinya kan harus
berjalan dengan cepat (kalo ga cepat bisa-bisa mati kita), so beliau harus
punya mitokondria yang super buanyak, untuk manfaatin glukosa yang datang
dengan baik dan benar.
 SUMBER ENERGI : ASAM LEMAK (60-80%), ASAM LAKTAT DAN
GLUKOSA (20-40%)
 MONOCARBOXYLATE DI MEMBRAN SEL, KENDARAAN BUAT
ASAM LAKTAT
Laktat di jantung  CO2 dan H20
 TRANSPORTER GLUKOSA MENGGUNAKAN GLUT 1 (10%) DAN
GLUT 4 (90%)
 OKSIDASI ASAM LEMAK MELIBATKAN AKTIVITAS ACC-2 DAN
MALONIL COA DEKARBOKSILASE

Sebenarnya kaya begini nih bentuk metabolisme aerobic yang ada di jantung,
yang menghasilkan ATP dan digunakan buat energi kontraksinya si otot
cardiac (kotak ungu)

MEP Books Cardiovascular page 27


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Bayangkan ATP itu seperti besin pada kendaraan lo, sedangkan kalsium itu
anggap aja kaya kunci mobil yang lo pegang.Tanpa keduanya, mobil lo kaga
ada gunanya.

Untuk mendukung lajunya metabolisme jantung maka diperlukan bahan-bahan ini


:
# rantai transport elektron,
#ATP sintetase
#ATP-ADP translokasi
#enzim-enzim TCA
#komponen metabolisme energi

2. METABOLISME JATUNG ISKEMI


Iskemi itu penyumbatan darah manteman..
Ketika jantung mengalami iskemi terjadilah:

MEP Books Cardiovascular page 28


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1. Metabolisme ANAEROB
2. Bahan bakarnya terutama dari glikogen,
3. Disaat yang kaya gini, asam lemak tu dibutuhkan (tapi kalo oksigennya
uda terpenuhi lagi, kehadiran asam lemak bakalan merugikan karena
bakalan menghambat penyembuhan sel otot jantung yang rusak)
4. Asam laktat meningkat  pH jaringan menurun
5. Keadaan ini banyak menguras ATP yang ada, padahal dalam keadaan
iskemi produksi ATP semakin sedikit.

3. PERAN CAMP
Sebelumnya, uda pada tau gak apa kepanjangan dari cAMP, yaitu cyclic
Adenosin Monofosfat, biasanya dia berhubungan dengan yang namanya
transport membran atau juga bisa dengan berhubungan dengan second
messanger. Nah, fungsi dari sic AMP ini sendiri dalam otot terutamanya otot
jantung adalah :
Pengatur troponin dan tropomiosin
Mengatur kadar Ca2+ intrasel

Terus gimana dong mekanisme cAMP untuk menjalankan fungsinya


tersebut :
1. Diawali dengan suatu hormon atau zat tertentu yang klop dengan
reseptor di membrane sel
2. Diikuti dengan pengaktifan G protein yang menyebabkan dilepaskannya
GDP dan produksi GTP
3. GDP yang berikatan dengan GTP menghasilkan produk Adenilat Siklase
4. Adenilat Siklase berubah menjadi cAMP dan mengaktifkan protein
kinase A
5. Pengaktifan protein kinase A menghasilkan respon tertentun pada sel
*Mungkin kalian pada ga ngerti nih, benda2 apa sih yang tak sebutin
barusan di atas dan apa sih fungsinya? Sebenarnya intinya ini adalah
mekanisme bagaimana pengendalian sel sehingga menimbulkan respon

MEP Books Cardiovascular page 29


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

tertentu yang bervariasi.Biasanya zat yang mempengaruhinya itu seperti


hormone atau obat tertentu.
(GAMBAR cAMP second messanger)

4. PROTEIN TRANSMEMBRAN
Fungsi adanya protein membrane ini adalah sebagai sawar atau kaya
satpamnya sebuah sel gitu, dia menyeleksi benda-benda yang akan masuk
ke dalam rumah (intrasel).
Mengandung bahan hidrofobik

Diantara bentuk protein transmembran yang berhubungan dengan topic


kita kali ini adalah kanal saluran Ca2+. Protein transmembran juga
memfasilitasi pertukaran Ca Na yang berperan saat jantung berkontraksi.

5. KANAL SALURAN CA
Kanal ini sangat penting terutama kalau disangkut pautkan dengan jantung.
Sebagaimana yang uda tak jelaskan di sub bab sebelumnya, bahwa regulasi
Ca itu menentukan kontraksi jantung.

KANAL SALURAN CA
Pada jantung, kanal Ca terletak pada tubulus T, Ca ekstrasel masuk ke
tubulus T melalui saluran Ca tipe L (pintu lambat)
Dengan menurunnya potensial aksi jantung, maka kadar Ca yang masuk ke
intrasel juga mengalami penurunan, sehingga kontraksi relax
Yang menjadi pemicu cepatnya pemasukan Ca ke intrasel adalah adanya
protein kinase cAMP, sedangkan Verapamil dan protein kinase cGMP
adalah inhibitor saluran Ca

PERTUKARAN Ca Na
Pertukaran antara ion Ca Na yang terjadi di serabut saraf jantung berfungsi
sebagai pengendalian impuls sehingga terjadi kontrkasi jantung yang ritmik.
Dengan pengaktifan kanal Na  maka Na cepat masuk ke dalam sel

MEP Books Cardiovascular page 30


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

(menambah kepositifan intrasel)hiperpolarisasi menyebabkan


1. Saluran Ca tipe L terbuka  Ca masuk dengan lambat
2. K keluar pelan-pelan sehingga terbentuklah grafik sebagai berikut
(Gambar Grafik Potensial Aksi Jantung Sherwood)
#Keluarnya K adalah kejadian yang lebih dominan dari masuknya Ca ke
intrasel
#Ketika 1 ion Ca masuk ke dalam sel maka ada 3 ion Na yang keluar dari
sel kedua hal inilah yang menyebabkan penurunan secara lambat potensial
aksi.

6. GUDANG ENERGI FOSFAT


Yang termasuk dalam gudang energi fosfat adalah KREATIN FOSFAT yang
merupakan tempat menyimpan cadangan energi bagi otot dan otak.
Dengan bantuan KREATIN FOSFOKINASE Fosfokreatin dapat diuraikan
menjadi kreatin dan ATP (hal ini terjadi ketika otot membutuhkan dengan
segera ATP)
Dengan bantuan KREATIN KINASE Kreatin (yang dibentuk di hati)
ditambah dengan ATP disimpan dalam bentuk kreatin fosfat.

Dalam keadaan olahraga : Terjadi penurunan ATP dan kreatin fosfat tubuh,
peningkatan pada ADP, AMP dan Fosfat dan semakin meningkatkan
konsumsi glikogen.
Keadaan sebelum olahraga, kandungan kreatin fosfat tubuh tinggi.

7. KOLESTROL
Biasanya kalo dengar tentang kolestrol..kite pade mesti suudzon ame die.
Sebenarnya kolestrol ntu kaga sepenuhnya jahat lhoo. Kolestrol ntu
berfungsi sebagai : Stabilizer bagi membran sel, precursor garam empedu
(apa tuh garam empedu? Sabar guys, ntar kita singgung ttg itu), dan
precursor steroid.

MEP Books Cardiovascular page 31


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

#Tapi kalau kite pade overdosis kolestro, bisa terjadi yang namanya
atherosclerosis (apa lagi tuh? Sabar dulu nape)
#Kolestrol banyak terkandung di kuning telur, daging merah dan hati.
#Tubuh kita bisa membuat kolestrol lhoo. Sintesis kolestrol biasanya terjadi
di usus halus dan hati
#Asetil KoA yang (dibentuk dari Asam amino atau bisa juga glukosa bisa
juga dibentuk dari asam lemak) merupakan precursor pembentukan
kolestrol
#Pengen tau gimana caranya kolestrol dibentuk tubuh? Gini nih caranya
(Gambar Pembentukan Kolestrol)
#Kolestrol sendiri merupakan komponen dari lipoprotein
#HDL biasa dikatakan sebagai kolestrol baik, karena ia yang bertugas
membawa para lemak nakal yang beredar di darah dan mengembalikannya
kembali ke kandang (hati)
#Kolestrol jahat biasa diperankan oleh LDL, ini nih yang biasa ditemukan
ketika seseorang mengalami atherosclerosis.
#Kolestrol yang tersisa dirombak kembali di dalam hati untuk dikemas
kembali ke dalam VLDL

8. GARAM EMPEDU
Masi inget gak dulu, pelajaran SMA ttg pencernaan,di bab itu ada
disebutkan materi kita kali ini. Inget gak fungsinya? Yaudah, daripada
penasaran gak jelas, mending langsung aja yak,,, jadi fungsi dari garam
empedu adalah SEBAGAI “DETERGEN” LEMAK, yang membantu
mencerna lemak
Garam empedu primer, dibentuk oleh asam kolat dan asam
kenokolat.Sedangkan garam empedu sekunder dibentuk oleh asam deoksilat
dan asam litokolat.
Garam empedu dihasilkan di hati dengan bahan utama adalah kolestrol
Garam empedu dari hati di bawa ke empedu dan disimpan atau di
sekresikan ke usus
95% dari garam empedu diserap ileum dan dibawa kembali ke hati (siklus

MEP Books Cardiovascular page 32


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

enterohepatik)
5% melewati usus dan keluar bersama feses

9. ATHEROSKLEROSIS (PEMBENTUKAN, PENYEBAB)


Atherosklerosis adalah penurunan elastisitas dan penyempitan lumen pembuluh
darah akibat adanya penumpukan lemak dalam pembuluh darah.
1. Diawali dengan cederanya pembuluh darah akibat mekanis atau sitotoksik
(termasuk LDL yang teroksidasi).
2. Daerah yang cedera membuat monosti yang nantinya berubah menjadi
makrofag terpanggil
3. Sel lemak termakan oleh makrofag, membuat makrofag menjadi sel busa
4. #Sel endotel yang tidak menghasilkan prostaglandin, membuat agregat
trombosit semakin banyak
#Makrofag juga menghasilkan faktor pertumbuhan, yang membuat sel otot
polos bermigrasi ke dalam lapisan intima arteri
#Sel lapisan intima juga melepaskan lemak yang kemudian menumpuk ke
dalam plak yang sedang tumbuh
#LDL terus masuk ke dalam lesi sehingga semakin memperparah penimbunan
lemak di dalamnya.
5. Sel pada lesi tersebut menghasilkan kolagen, elastin, dan
glikosaminoglikan sehingga terbentuk tudung fibrosa dan mucullah Kristal
kolestrol di tengah plak yang menyebabkan sel terperangkap di dalam plak
dan mati di dalamnya.
Ruptur dan pendarahan plak di pembuluh koroner menyebabkan pembekuan
akut di pembuluh darah yang akan semakin menyumbat pembuluh darah dan
terbentuklah infark miokardium.
#Oksidasi LDL yang dapat menyebabkan terlukanya pembuluh darah dan
merubah makrofag menjadi sel busa dapat dicegah dengan memperbanyak
konsumsi antioksidan.

10. INFARK MIOKARDIUM

MEP Books Cardiovascular page 33


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Serangan jantung (Infark Miokardium) itu biasanya gara ada sumbatan pada
arteri koronaria jantung, nah kalo udah begitu terjadi deh siklus ini
Arteri koronaria tersumbat  suplai O2 jaringan berkurang  metabolisme
tidak berjalan  Efek yang ditimbulkan :
1. Ca tidak terpakai  penumpukan Ca
2. Pembengkakan dan kerusakan mitokondria
3. Tingginya kadar enzim kreatin kinase

11. DISFUNGSI MITOKONDRIA


Disebabkan oleh :
a. Defisiensi genetik
b. Gangguan metabolisme oksidatif yang merusak mitokondria (contohnya :
iskemia jantung)
Efek yang ditimbulkan adalah penimbunan asam laktat dan penggabungan
asam lemak menjadi trigliserida (sehingga semakin sedikit lemak yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh, karena trigliserida masih berbentuk
makromolekul)

Efek paling besar akibat kejadian ini dirasakan oleh organ yang banyak
mengandung mitokondria (jaringan saraf, jantung, otot rangka dan ginjal)
Inilah diantara penyebab dan efek yang ditimbulkan akibat penurunan
fungsi mitokondria (na’udzubillahi min dzaalik)

MEP Books Cardiovascular page 34


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

12. KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK


Kardiomiopati terbagi menjadi 3 jenis : (a) Kardiomiopati Hipertrofik (b)
Kardiomiopati Dilatasi (c) Arrhythmogenic Kardiomiopati Ventrikel Kanan
Kardiomiopati Hipertrofik :
1. Kelainan herediter atau mutasi gen pada protein kontraktil (troponin,
tropomiosin) sehingga mempengaruhi fungsi MIOKARDIUM,
2. Miokardium yang terganggu menyebabkan jantung kehilangan
kemampuan kontraksinya
Sebagai upaya perlawanan jantung dalam kondisi darurat seperti ini, jantung
berbuat sesuatu agar dengan kontraksi yang kecil, darah dapat mengalir ke
seluruh tubuh yaitu dengan PEMBESARAN OTOT KEDUA VENTRIKEL
yang menyebabkan HIPERTROFI jantung.

PENYEBAB KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK ini adalah


MEP Books Cardiovascular page 35
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1. Kecacatan pada oksidasi asam lemak


2. Kelainan fosforilasi oksidatif mitokondria
3. Kelainan kontraktil miokardial dan protein struktural

13. MUTASI GEN PADA KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK


Otot jantung terbentuk atas rantai berat α dan β
 Rantai β adalah pembentuk utama ventrikel jantung

PROSES TERJADINYA KARDIOMIOPATI


Terjadi missense mutation pada rantai β rod head region mutan poison
plypeptide

MEP Books Cardiovascular page 36


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MIKROBIOLOGI PADA SISTEM KARDIOVASKULER

Endocarditis pada katup jantung

KEY POINTS
 2 penyakit kardiovaskuler yang paling sering terjadi akibat infeksi
mikroorganisme adalah endokarditis dan miokarditis
 Endokarditis adalah inflamasi jaringan bagian dalam jantung seperti katup
jantung yang disebabkan oleh agen infeksius
 Miokarditis adalah inflamasi otot jantung dan paling sering diakibatkan oleh
infeksi virus
 Bakteremia adalah keadaan di mana terdapat bakteri dalam aliran darah
 Vaskulitis adalah inflamasi dinding pembuluh darah yang diakibatkan oleh
infeksi atau penyakit autoimun
 Limfadenopati adalah penyakit yang mengakibatkan pembesaran nodus limfe
yang disebabkan oleh infeksi, penyakit autoimun, atau keganasan

MEP Books Cardiovascular page 37


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Sistem kardiovaskuler dan sistem limfatik rentan terhadap penyakit yang


disebabkan oleh mikroorganisme. Pada sistem kardiovaskuler, jantung, pembuluh
darah, dan darah sendiri adalah target dari patogen. 2 penyakit kardiovaskuler yang
paling umum disebabkan oleh infeksi mikroorganisme adalah endokarditis dan
miokarditis.
Endokarditis adalah inflamasi jaringan bagian dalam jantung seperti katup jantung
yang disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri. Karena katup jantung tidak
mendapatkan aliran darah secara langsung, mekanisme pertahanan imun seperti sel
darah putih tidak dapat langsung mencapai katup lewat aliran darah. Sedikitnya
aliran darah ke katup jantung juga mempengaruhi tata laksana karena obat-obatan
juga menjadi sulit mencapai katup yang terinfeksi.
Miokarditis atau kardiomiopati inflamasi adalah inflamasi dari otot jantung yang
paling sering disebabkan oleh infeksi virus parvovirus. Selain infeksi, miokarditis
juga bisa disebabkan oleh penyakit autoimun. Protein dari streptokokus M dan
coxsackievirus B memiliki daerah (epitop) yang mirip dengan miosin jantung. Saat
dan setelah infeksi, sistem imun bisa saja akan menyerang miosin jantung. Karena
diagnosis definitif dari miokarditis adalah biopsi jantung dan sangat invasif
sehingga jarang dilakukan, kejadian miokarditis sangat luas dan beragam.
Miokarditis dapat muncul sebagai penyakit ringan tanpa gejala yang dapat sembuh
sendiri, tapi bisa juga menyebabkan nyeri dada, gagal jantung, atau kematian
tiba-tiba. Karena infeksi virus sulit ditata laksana dengan obat maka pengobatan
untuk miokarditis kebanyakan dilakukan dengan pengobatan simtomatik dan terapi
suportif.

Bakteremia adalah keadaan di mana terdapat bakteri dalam darah. Bakteri dapat
memasuki aliran darah sebagai komplikasi yang parah dari suatu infeksi seperti
pneumonia atau meningitis, komplikasi pascaoperasi, penggunaan kateter atau hal
lain yang memasukkan benda asing ke aluran darah seperti suntik IV. Bakteremia
memiliki konsekuensi yang berat. Sistem imun berespons terhadap bakteremia
dapat mengakibatkan sepsis dan syok septik yang memiliki angka mortalitas tinggi.
Bakteri juga dapat menggunakan darah untuk menyebar ke bagian lain dari tubuh
yang disebut penyebaran hematogen dan dapat mengakibatkan infeksi pada organ

MEP Books Cardiovascular page 38


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

yang jauh dari tempat awal terjadinya infeksi seperti endokarditis atau
osteomielitis. Pengobatan secara umum dilakukan dengan menggunakan antibiotik.
Oleh karena itu penggunakan antibiotik sebagai profilaksis dapat digunakan di saat
di mana dapat diduga akan terjadi risiko bakteremia.

Vaskulitis adalah inflamasi dinding pembuluh darah yang diakibatkan oleh infeksi
atau penyakit autoimun. Permeabilitias dinding pembuluh darah akan meningkat
saat terjadi inflamasi yang dapat mengakibatkan perdarahan.

Penyakit limfatik adalah penyakit yang secara langsung menyerang komponen


sistem limfatik. Limfadenopati adalah istilah di mana nodus limfe mengalami
pembesaran yang disebabkan oleh infeksi, penyakit autoimun, atau keganasan.
Limfadenopati adalah gejala yang umum pada beberapa penyakit infeksi seperti:
1. Infeksi akut (bakteri atau virus) atau infeksi kronik (TB, dll)
2. Bubonic plague, pembengkakan satu atau lebih nodus limfe yang parah hingga
dapat mengakibatkan ruptur nodus limfe
3. Infeksi mononukleosis adalah infeksi virus akut yang sering muncul dengan
pembesaran nodus limfe pada leher
4. Cutaneous anthrax, measles, dan trypanosomiasis juga dapat menyebabkan
limfadenopati pada leher
5. Toxoplasmosis, infeksi parasit, menyebabkan limfadenopati di seluruh tubuh

MEP Books Cardiovascular page 39


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

PATOLOGI KLINIK SISTEM KARDIOVASKULER

• Petanda tidak spesifik:


 Aspartat transaminase (AST),
 Lactat Dehidrogenase (LDH),
 Hydroxybutyrate Dehydrogenase (HBDH)
• Kecepatan pelepasan tergantung:
- ukuran molekul
- lokasi (intraseluler, protein struktural)
 Petanda awal (mioglobin, Heart-Fatty acid Binding Protein)
 Petanda yang menetap lebih lama (CK-MB, Troponin)

Mekanisme pelepasan dini penanda biokimia jantung pasca IMA

MEP Books Cardiovascular page 40


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Kinetika marker jantung

MEP Books Cardiovascular page 41


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

CK dan CKMB

• Enzim dimerik (82 kDa)yang mengkatalisis


CK fosforilasi reversibel creatine oleh ATP
• Terdapat 3 isoenzim: MM, MB, dan BB

• Meningkat jika sel otot atau saraf


CK mengalami kerusakan

• CK-MM: otot skelet


Isoenzim • CK-BB: otak, lambung, usus, kandung
kemih, paru
CK • CK-MB: jaringan miokard

CK dibuat pada otot lurik, nilai normalnya bervariasi tergantung massa otot

MEP Books Cardiovascular page 42


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

seseorang. Pada orang dengan massa otot banyak, normal CK meningkat.


Pada orang dengan massa otot kurang, normal CK menurun.

Faktor yang mempengaruhi nilai CK :


 Injeksi intramuskular: meningkatkan CK
 Latihan berat: meningkatkan CK
 Pembedahan baru: meningkatkan CK
 Massa otot
 Obat: amphotericin B, ampicillin, anestetik, antikoagulan, aspirin,
clofibrate, dexamethason, furosemide (lasix), captoril, colchisine,
alkohol, lovastatin, lithium, lidokain, propranolol, suksinilkolin, dan
morfin

• AMI
• Penyakit CNS (brain • Cardiac anuerysm • Rhabdomyolisis
injury, brain cancer, surgery • Distrofi muscular
stroke, SAH, seizures, • Cardiac defibrillation • Miositis
shock, reye syndrome) • Pembedahan baru
• Myocarditis
• Terapi • Elektromiografi
elektrokonvulsif • Arhytmia ventricular
• Cardiac ischemic • Injeksi IM
• Adenokarsinoma
(khusus payudara dan • Trauma
paru) • Delirium
• Infark pulmo • Hipertermi maligna
• Kejang
• Elektrokonvulsif
• Syok
• Hipokalemia
• Hipotiroidism

CK-MB
CK-BB
CK-MM

Perbedaan CK-BB, CK-MB, dan CK-MM :

RASIO CK-MB: CK > 6%

MEP Books Cardiovascular page 43


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Troponin

MEP Books Cardiovascular page 44


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

94-97% troponin terikat pada miofibril, 3% cTnI dan 6% cTnT di sitoplasma

Bila terjadi cedera miokard, troponin di sitoplasma dengan cepat keluar dalam
darah (puncak yang cepat dalam beberapa jam), dilanjutkan release troponin
yang terikat (puncak kedua, bertahan beberapa hari).

Pada pasien IMA non reperfusi, hanya tampak satu puncak yang kontinu

Peningkatan Troponin terjadi jika Myocardial injury dan Myocardial Infark.

MEP Books Cardiovascular page 45


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Troponin T VS Troponin I

 Keduanya marker yang baik, masing2 memiliki nilai positif dan


negatif
 Secara umum (berdasar spesifisitas diagnostik dan efisiensi) cTnI
lebih baik dibanding cTnT
 Pemeriksaan cTnT generasi ke-3 tidak terpengaruh oleh troponin
otot skelet.

sama diperiksa dgn reagen dari pabrik yang berbeda menunjukkan
hasil yang sangat berbeda
 cTnT hanya diproduksi oleh satu pabrik
 Waktu paruh cTnT 5-14 hari, cTnI 4-10 hari

MEP Books Cardiovascular page 46


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Perbandingan HFABP dan Troponin T

MEP Books Cardiovascular page 47


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

PATOLOGI ANATOMI KARDIOVASKULAR


1. Hipertrofi jantung (1)(2)
1.1.Definisi
Suatu perubahan reversibel terhadap massa otot namun tidak terhadap
jumlah otot.
1.2.Proses
1.2.1. ↑ besar serat otot jantung
1.2.2. ↑ jumlah myofibril
1.2.3. Pembesaran mitokondria, namun jumlahya tidak bertambah.
1.2.4. ↑ jumlah ribosom
1.2.5. Sintesa protein yang abnormal
1.2.6. ↑ jumlah kolagen
1.2.7. ↑ volume sel, jika dibandingkan dengan suppy dari vascular
1.2.8. ↑ kebutuhan metabolisme dan penggunaan oksigen
1.3.Syarat untuk terjadinya hipertrofi jantung
1.3.1. Waktu
1.3.2. Nutrisi yang adekuat
1.3.3. Myocard yang sehat
1.3.4. Jika poin 1-3 tidak terpenuhi, maka yang terjadi adalah dilatasi

MEP Books Cardiovascular page 48


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

otot jantung, bukan hipertrofi.

Perhatikan perbedaan besar serabut otot jantung

2. Infectious Endocarditis(3)(4)
2.1.Definisi
Penyakit infeksius yang menyerang kebanyakan pada katup jantung,
seringnya oleh bakteria (Staphylococcus aureus, MRSA)
2.2.Gambaran

Gambaran infeksi endocarditis pada katup, panah menunjukan daerah inflamasi


dan destruksi katup.

MEP Books Cardiovascular page 49


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Gambaran deposit fibrin dan macrofag pada permukaan katup jantung.

3. AMI (Acute Myocardial Infark) (5)

Tahapan
pertama pada
Myocardial
Necrosis
Infark (MI),
terjadi proses
hipereosinofilia
pada otot
jantung yang
terjadi
necrosis(atas),
bdgkan dengan
otot jantung
sehat (bawah)

MEP Books Cardiovascular page 50


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Terjadi infiltrasi
neutrofil pada

Necrosis daerah otot


jantung yang
Neutrofil
mengalam
infark, proses
ini terjadi
setelah 24 jam

(lingkaran
adalah gambaran infiltrasi neutrofil)

Fibrosis

Gambaran sel myocard yang telah mengalami proses penyembuhan dan menjadi
jaringan fibrosis

MEP Books Cardiovascular page 51


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

4. Atherosclerosis(6)

MEP Books Cardiovascular page 52


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Gradman AH, Alfayoumi F. From left ventricular hypertrophy to congestive


heart failure: management of hypertensive heart disease. Prog Cardiovasc Dis.
2006 Apr;48(5):326–41.

2. Lorell BH, Carabello BA. Left ventricular hypertrophy: pathogenesis,


detection, and prognosis. Circulation. 2000 Jul 25;102(4):470–9.

3. Infective endocarditis: diagnosis, antimicrobial therapy, and management of


complications: a statement for healthcare professionals from the Commit... -
PubMed - NCBI [Internet]. [cited 2016 Jun 29]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15956145

4. Infective Endocarditis: Practice Essentials, Background, Pathophysiology.


2016 Jun 1 [cited 2016 Jun 29]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/216650-overview

5. Burke AP, Virmani R. Pathophysiology of acute myocardial infarction. Med


Clin North Am. 2007 Jul;91(4):553–72; ix.

6. Atherosclerosis. - PubMed - NCBI [Internet]. [cited 2016 Jun 29]. Available


from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11001066

MEP Books Cardiovascular page 53


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

DEEP VEIN THROMBOSIS

A. Definisi dan Epidemiologi


Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah.
Trombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung atau
mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli.
Angka kejadian trombosis vena dalam / DVT berkisar 50 per 100.000
penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per
100.000 penduduk. Pada pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT
berkisar 30% di Eropa dan 16% di Amerika. Pada pasien yang menjalani
operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar 45-70%.1

B. Patogenesis
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan
cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi attau terpapar dengan
suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar
terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri
dari: 1) gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis, 2) gangguan
pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan dan 3) gangguan
pada dinding pembuluh darah (endotel).1

C. Klasifikasi
1. DVT ekstremitas bawah, biasanya dimulai dari betis dan menyebar ke
vena poplitea, vena femoralis dan vena iliaca. DVT kaki 10 kali lebih
sering dibandingkan DVT ekstremitas atas
2. DVT ekstremitas atas, biasanya ditimbulkan oleh pemasangan
pacemaker, defibrilator jantung internal atau kateter vena sentral.
3. Trombosis vena superfisial biasanya menimbulkan eritema.2

D. Manifestasi Klinis
Gejala utama pada DVT adalah kram pada betis yang bertahan hingga
beberapa hari. Pasien juga mengeluhkan kaki yang bengkak dan nyeri.2
MEP Books Cardiovascular page 54
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

E. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama pada pasien adalah kaki yang bengkak dan nyeri.
Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena
dapatdiketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya
riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal yang penting.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak
selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai
unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah
superfisial dan tanda Homan positif.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan
peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dimer
merupakan indikator trombosis yang aktif. Pemeriksaan radiologis
merupakan pemeriksaan penting utnuk mendiagnosis trombosis. Pada
DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi/flebografi,
USG doppler, USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography
(IPG) dan MRI.1

F. Diagnosis Banding
1. Ruptur kista Baker
2. Selulitis
3. Insufisiensi vena2

G. Tatalaksana
Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang
digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Sebelum memulai
terapi heparin, APTT, masa protrombin dan jumlah trombosit harus diperiksa,
terutama pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi atau gangguan hati dan

MEP Books Cardiovascular page 55


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ginjal.Heparin berat molekul rendah / LMWH dapat diberikan satu atau dua
kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. Keuntungan
LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang kecil dan tidak memerlukan
pemantauan laboratorium. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena
sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang
kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun.1

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014.
2. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition.
New York: McGraw Hill Education; 2015.

MEP Books Cardiovascular page 56


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

TROMBOEMBOLI VENA

A. Definisi dan Epidemiologi


Tromboemboli veina / venous thromboembolism (VTE) merupakan
suatu kondisi dimana terjadi pembekuan darah (trombus) di vena. Bila bekuan
terbentuk di vena dalam, disebut trombosis vena dalam / deep vein thrombosis
(DVT), dan bila bekuan pecah dan sampai ke paru-paru, disebut emboli paru /
pulmonary embolism (PE). VTE yang meliputi DVT dan PE menyebabkan
kematian dan disabilitas kardiovaskular. Di Amerika Serikat, diperkirakan
bahwa terdapat 100.000 hingga 180.000 kematian pertahun akibat PE.1

B. Faktor Resiko
Pada tahun 1856, Virchow mengajukan beberapa faktor yang dapat
menyebbkan koagulasi intravaskular, yaitu stasis, kerusakan dinding
pembuluh darah, dan hiperkoagulabilitas. Faktor-faktor resiko VTE terdiri dari
faktor resiko didapat dan faktor resiko yang diturunkan (tabel 1).2

Tabel 1. Faktor Resiko Venous Thromboembolism (VTE)


Faktor resiko didapat
Pernah menjalani operasi
Umur lebih dari 40 tahun Riwayat VTE sebelumnya
mayor sebelumnya
Trauma Fraktur pelvis Imobilisasi atau paralisis
Stasis vena Vena varicose Gagal jantung kongestif
Infark Miokard Obesitas Hamil atau masa postpartum
Terapi kontrasepsi oral Keganasan Trombositemia berat
Paroxysmal nocturnl Antiphospolipid antibody
hemoglobinuria syndrome
Faktor resiko diturunkan
Defek gen protrombin
Defisiensi antitrombin III Factor V Leiden
(G20210A)
Defisiensi protein C Defisiensi protein S Dysfibrinogenemia
Kelainan plasminogen Hyperhomocysteinemia

MEP Books Cardiovascular page 57


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

C. Patofisiologi
Inflamasi, hiperkoagulabilitas dan kerusakan endotel mengaktifkan
proses patofisiologi yang menyebabkan VTE. Trombus vena mengandung
fibrin, sel darah merah, platelet dan neutrofil. Trombus ini terbentuk pada
lingkungan yang stasis, tekanan oksigen rendah, stres oksidatif, peningkatan
ekspresi produk gen proinflamasi, dan kemampuan regulasi sel endotel yang
terganggu. Inflamasi yang disebabkan oleh infeksi, transfusi atau faktor yang
menstimulasi eritropoiesis mengaktifkan reaksi biokimia pada endotel vena
yang menstimulasi trombosis.3

D. Klasifikasi
Emboli paru dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Massive PE
Massive PE terjadi pada 5-10% kasus, dan memiliki ciri-ciri
berupa trombosis luas paling sedikit setengah dari pembuluh darah paru.
Massive PE memiliki gejala berupa dispneu, hipotensi, dan sianosis.
Pasien dengan massive PE dapat mengalami syok kardiogenik dan
meninggal akibat kegagalan multi organ.
2. Submassive PE
Submassive PE terjadi pada 20-25% kasus, memiliki karakteristik
berupa disfungsi ventrikel kanan dengan tekanan arterial sistemik yang
normal. Kombinasi gagal jantung kanan dan pelepasan biomarker jantung
menunjukkan kemungkinan perburukan kondisi klinis.
3. Low-risk PE
Low-risk PE terjadi pada 70-75% kasus. Pasien dengan low-risk PE
memiliki tekanan arterial sistemik yang normal, tidak terjadi pelepasan
biomarker jantung, fungsi ventrikel kanan normal.1,3

E. Manifestasi Klinis
Pasien dengan PE memiliki gejala utama berupa sesak. Nyeri dada,
batuk dan hemoptisis mengindikasikan pulmonary infarction dengan iritasi
pleura. Syncope dapat terjadi pada massive PE.1

MEP Books Cardiovascular page 58


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

F. Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Takipneu dan takikardi terjadi pada pasien dengan PE. Demam
ringan, distensi vena leher dan bunyi P2 yang keras pada pemeriksaan
jantung dapat terlihat. Hipotensi dan sianosis menunjukkan massive PE.1
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada PE, pemeriksaan foto dada tidak spesifik tetapi dapat
membantu diagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran
normal hingga 40% kasus. EKG dapat menunjukkan gambaran normal
atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperti gelombang S1-T3,
gelombang Tyang terbalik di sadapan prekordial kanan, deviasi aksis ke
kanan dan RBBB lengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tetapi tidak
memastikan diagnosis.
Pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung Scanning
merupakan prosedur baku untuk men diagnosis emboli paru. Interpretasi
hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah V/Q yang “mismatch”, yaitu
tidak terdapatnya gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi
tampak ormal atau tersebar merata.4

G. Differential Diagnosis
Emboli paru
1. Pneumonia, asma, PPOK
2. Gagal jantung kongestif
3. Perikarditis
4. Pneumotoraks
5. Sindrom koroner akut1

H. Tatalaksana
Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi harus hati-hati
jika akan membberikan opiat pada pasien yang hipotensi. UFH merupakan
terapi standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Selain UFH,
LMWH dapat diberikan dengan efkasi yang sama, meskipun masih belum

MEP Books Cardiovascular page 59


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

direkomendasikan pada emboli paru masif. Penghambat langsung trombin


seperti hirudin dan lepirudin dapat diberikan pada pasien dengan HIT
(Heparin-induced Thrombocytopenia).4

Daftar Pustaka
1. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition.
New York: McGraw Hill Education; 2015.
2. Hurst JW, Fuster V, Walsh RA, Harrington RA, editors. Hurst’s the heart. 13th
ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2011.
3. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E, editors. Braunwald’s
heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. Tenth edition.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2015.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014.

MEP Books Cardiovascular page 60


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

THROMBOANGITIS OBLITERANS

Definisi
Penyakit Buerger merupakan penyakit pembuluh darah nonaterosklerotik
yang ditandai oleh fenomena oklusi pembuluh darah, infl amasi segmental
pembuluh darah arteri dan vena berukuran kecil dan sedang yang dapat melibatkan
ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah.1,2,3
Diagnosis
a. Kriteria Shionoya
Yang termasuk kriteria ini yaitu riwayat merokok, usia belum 50 tahun,
memiliki penyakit oklusi arteri infrapopliteal, fl ebitis migrans pada salah satu
ekstremitas atas dan tidak ada faktor risiko aterosklerosis selain merokok. Seluruh
kriteria ini harus terpenuhi untuk menegakkan diagnosis.3,4,5,6
b. Kriteria Ollin
Yang termasuk kriteria ini sebagai berikut:1
1. Berumur antara 20-40 tahun
2. Merokok atau memiliki riwayat merokok
3. Ditemukan iskemi ekstremitas distal yang ditandai oleh klaudikasio, nyeri
saat istirahat, ulkus iskemik atau gangren dan didokumentasikan oleh tes
pembuluh darah non-invasif
4. Telah menyingkirkan penyakit autoimun lain, kondisi hiperkoagulasi, dan
diabetes mellitus dengan pemeriksaan laboratorium
5. Telah menyingkirkan emboli berasal dari bagian proksimal yang diketahui
dari echokardiografi atau arteriografi
6. Penemuan arteriografi yang konsisten dengan kondisi klinik pada
ekstremitas yang terlibat dan yang tidak terlibat
c. Kriteria Mills dan Poter5
Kriteria eksklusi:
1. Sumber emboli proksimal
2. Trauma dan lesi lokal
3. Penyakit autoimun
4. Keadaan hiperkoagubilitas

MEP Books Cardiovascular page 61


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

5. Aterosklerosis: Diabetes, Hiperlipidemia, Hipertensi, Gagal Ginjal.


Kriteria mayor:
a. Onset gejala iskemi ekstremitas distal sebelum usia 45 tahun
b. Pecandu rokok
c. Tidak ada penyakit arteri proksimal pada poplitea atau tingkat distal
brakial
d. Dokumentasi objektif penyakit oklusi distal seperti: Doppler arteri
segmental dan pletismografi 4 tungkai, arteriografi , histopatologi.
2. Kriteria minor:
a. Phlebitis superfi sial migrant Episode berulang trombosis lokal vena
superfi sial pada ekstremitas dan badan
b. Sindrom Raynaud atau Fenomena Raynaud Sindrom Raynaud
adalah penurunan aliran darah sebagai akibat spasme arteriola
perifer sebagai respons terhadap kondisi stres atau dingin. Sindrom
ini paling sering dilihat di tangan atau juga dapat di hidung, telinga
dan lidah dalam bentuk respons trifasik yaitu:
1. Pucat karena vasokonstriksi arteriol prekapiler
2. Sianosis karena vena terisi penuh oleh darah yang
terdeoksigenasi
3. Eritema karena reaksi hiperemi
i. Melibatkan ekstremitas atas
ii. Klaudikasio saat berjalan
d. Kriteria scoring Papa dkk.4,5
Papa dkk. mengembangkan sistem scoring untuk memudahkan diagnosis
(tabel 1).

MEP Books Cardiovascular page 62


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Tatalaksana
Tujuan utama penanganan adalah memperbaiki kualitas hidup. Cara yang
dapat dilakukan adalah menghindari dan menghentikan faktor yang memperburuk
penyakit, memperbaiki aliran darah menuju tungkai atau ekstremitas, mengurangi
rasa sakit akibat iskemi, mengobati trombofl ebitis, memperbaiki penyembuhan
luka atau ulkus.
a. Terapi non bedah
1. Berhenti merokok merupakan salah satu cara mengatasi
progresivitas penyakit.
2. Analog prostasiklin seperti iloprost; merupakan vasodilator dan
mampu menghambat agregasi platelet.
3. Calcium channel blocker untuk mengurangi efek vasokonstriksi
penyakit ini.
4. Bosentan. Obat ini merupakan antagonis kompetitif dari endotelin-1
sehingga memiliki kemampuan vasodilatasi. Pada peneltian de Haro
dkk. (2012) menghasilkan perbaikan kondisi klinis penyembuhan
ulkus dan gambaran angiografi Bosentan selama 28 hari lebih
efektif dibandingkan aspirin untuk mengatasi nyeri saat istirahat dan
penyembuhan ulkus.
5. Siklofosfamid dilaporkan bermanfaat pada beberapa pasien
berdasarkan etiopatologi penyakit ini yang dipengaruhi oleh faktor
autoimun. Saha dkk. (2001) menunju kan bahwa obat ini dapat

MEP Books Cardiovascular page 63


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

meningkatkan 20 kali lipat jarak klaudikasio dan menghilangkan


nyeri pada saat istirahat.
6. Obat analgesik seperti analgetik narkotik atau obat anti infl amasi
non steroid mungkin membantu mengatasi nyeri pada beberapa
pasien.
7. Terapi gen dengan vascular endothelial growth factor ( VEGF).
Isner dkk. (1998) menyuntikkan total 4000 µg VEGF plasmid
DNA dengan dua kali penyuntikan intramuscular (2000 µg VEGF
plasmid DNA pada awal dan 2000 µg VEGF plasmid DNA pada
akhir minggu keempat) memberikan hasil menjanjikan dalam
penyembuhan ulkus akibat iskemi dan menghilangkan nyeri saat
istirahat.
8. Terapi stem cell yaitu terapi autolog whole bone marrow stem cell (
WBMSC) menunjukkan perbaikan seperti penyembuhan ulkus,
menghilangkan nyeri iskemik, rekanalisasi arteri dan menurunkan
risiko amputasi tungkai.
9. Spinal Cord Stimulation hasilnya baik untuk menghilangkan nyeri
dan penyembuhan ulkus. Stimulasi ini dapat menghambat transmisi
sinyal penghantar nyeri pada serabut saraf simpatis. Selain itu juga
pada saat bersamaan terjadi peningkatan perfusi mikrosirkulasi
akibat inhibisi serabut saraf simpatis.
b. Terapi Bedah
1. Simpatektomi; bertujuan untuk mengurangi efek vasokonstriksi
akibat saraf simpatis.
2. Penyisipan kawat Kirschner intramedulla. Pada beberapa pasien,
dapat merangsang angiogenesis, penyembuhan ulkus tungkai dan
meredakan nyeri saat istirahat.
3. Operasi bypass arteri menunjukkan hasil baik

MEP Books Cardiovascular page 64


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

DAFTAR PUSTAKA
1. Olin JW. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). N Engl J Med
2000;343(12):864-9.
2. De Haro J, Acin F, Bleda S, Varela C, Esparza L.Treatment of
thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease) with bosentan. BMC
Cardiovasc Disord 2012;14(12):1-7.
3. Vijayakumar A, Tiwari R, Prabhuswamy VK. Thromboangiitis obliterans
(Buerger’s disease)-current practices. Int J Infl am 2013;2013:1-9.
4. Lazarides MK, Georgiadis GS, Papas TT, Nikolopoulos ES. Diagnostic
Criteria and Treatment of Buerger’s Disease: A Review. Int J Low Extrem
Wounds 2006;5(2):89-95.
5. Mills JL Sr.Buerger’s Disease in the 21st Century: Diagnosis, Clinical
Features, and Therapy. Semin Vasc Surg 2003;16(3):179-89.
6. Arkkila PET. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). Orphanet J
Rare Dis 2006;14:1-5

MEP Books Cardiovascular page 65


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

VARICOSE VEINS (VARISES)

Varises pada umumnya berkembang pada ekstremitas bagian bawah.


Kecenderungan tingginya tekanan vena berkaitan pada lamanya berdiri atau
mengangkat sesuatu yang berat juga merupakan faktor yang berkontribusi, tetapi
insiden tertinggi terjadi muncul pada wanita setelah hamil. Varikositis berkembang
pada 15% orang dewasa.

Vena superfisial adalah vena yang sering terlibat, secara khas vena
saphenous yang besar dan percabangannya, tetapi vena saphenous yang pendek
juga bisa terkena (bagian bawah belakang kaki). Distensi dari vena mencegah katup
peredaran balik dan menyebabkan inkompetensi. Selanjutnya terjadi dilatasi pada
beberapa titik di sepanjang vena yang mengakibatkan peningkatan tekanan dan
distensi dari bagian vena yang berada di bawah katup, yang kemudian pada
gilirannya akan menyebabkan kegagalan progresif dari katup bagian bawah lainnya
dan menimbulkan progresif refluks vena. Perforasi vena berhubungan dengan
sistem vena dalam dan superfisial yang juga akan menjadi inkompeten, sehingga
darah akan refluks menuju vena superfisial dari sistem vena dalam melalui vena
inkompeten yang perforasi tadi dan meningkatkan tekanan vena dan distensi.

Varikositis sekunder dapat berkembang sebagai hasil dari terjadinya


perubahan obstruktif dan kerusakan sistem katup bagian dalam yang diikuti dengan
tromboplebitis, atau dapat juga terjadi oklusi vena proksimal yang berkaitan
dengan neoplasma atau fibrosis namun jarang. Fistul arterivenosus kongenital atau
yang didapat atau malformasi vena juga dapat berkaitan dengan varikositis dan
menjadi pertimbangan bagi pasien muda dengan varikositis.

Manifestasi klinis

Gejala yang berat tidak berhubungan dengan jumlah dan ukuran dari
varikositis; varises yang luas juga mungkin tidak menimbulkan gejala, sedangkan
varises yang sedikit mungkin dapat menimbulkan beberapa gejala. Beratnya

MEP Books Cardiovascular page 66


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

penyakit atau perasaan lelah pada kaki pada saat berdiri merupakan keluhan yang
paling banyak.

Dokter harus teliti dalam mengidentifikasi tanda dan gejala dari oklusi
PAD, seperti claudication yang intermiten atau pengurangan denyut kaki, sejak
terjadinya insufisiensi arteri; hal ini kontraindikasi untuk dilakukannya tatalaksana
pada varikositis distal sampai lutut. Rasa gatal dari vena eksema yang statis dapat
terjadi pada salah satu pergelangan kaki atau langsung dapat ditemukan pada
varikositis yang luas.

Ketika pasien berdiri, dapat terlihat dan teraba vena yang melengkung pada
betis paha yang berdilatasi. Berdiri yang lama pada pasien varises dapat
menyebabkan perjalanan penyakit ke arah insufisiensi vena kronik yang berkaitan
dengan edema pada pergelangan kakki, hiperpigmentasi pada kulit (berwarna
kecoklatan), dan indurasi yang kronik pada kulit atau fibrosis. Bunyi bruit tidak
pernah ditemukan pada varises primer. Tetapi jika ditemukan, ini merupakan tanda
bagi dokter akan adanya fistula arterivenosus atau malformasi.

Pencitraan

Identifikasi sumber vena yang refluks pada vena yang simptomatik


diperlukan untuk tatalaksana pembedahan yang efektif. Ultrasonografi duplex yang
dilakukan oleh teknisi yang berpengalaman dalam mendiagnosis dan menentukan
letak vena yang refluks adalah pilihan yang dapat dilakukan untuk perencanaan
awal terapi. Pada banyak kasus, refluks akan terjadi pada vena saphenous yang
besar.

Diagnosis Banding

Varises primer yang berkaitan dengan refluks harus dibedakan dengan


penyebab sekunder yaitu insufisiensi vena kronik atau obstruksi vena dalam yang
disertai dengan pembengkakan yang luas, fibrosis dan pigmentasi dari bagian

MEP Books Cardiovascular page 67


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

bawah distal kaki (post trhombotic syndrome). Rasa sakit atau tidak nyaman
sekunder berkaitan dengan neuropati atau insufisiensi arteri harus dibedakan dari
gejala yang timbul pada varises. Pada pasien remaja yang menderita varises wajib
dieksklusikan jika gambaran sistem vena dalamnya mengalami atresia atau
mengalami kongenital malformasi. Hal ini disebabkan tatalaksana pembedahan
pada pasien varises dikontraindikasikan pada pasien ini karena varikositis mungkin
berperan dalam drainase vena yang signifikan pada tungkai.

Komplikasi

Tromboplebitis superfisial akibat varises jarang terjadi. Gejala khasnya


adalah nyeri akut terlokalisasi. Biasanya dapat sembuh sendiri, pulih dalam waktu
beberapa minggu. Resiko terjadinya trombosis vena dalam (DVT) atau embolisasi
sangat rendah kecuali terdapat tromboplebitis pada vena saphenous besar pada
bagian medial atas paha. Kondisi yang menjadi predisposisi adalah hamil, trauma
lokal, atau lamanya duduk.

Pada pasien tua, varikositis superfisial mungkin dapat berdarah jika ada
trauma kecil. Banyaknya darah dapat menjadi tanda tingginya tekanan pada
varikositas.

Tatalaksana

1. Terapi nonbedah
Terapi nonbedah merupakan terapi yang efektif. Kompresi dari
penggunaan stocking yang elastic (20-30 mmHg) dapat mengurangi
tekanan vena pada kaki dan mencegah progresifitas dari penyakit. Kontrol
yang baik pada gejala dapat dicapai ketika stocking digunakan setiap hari
selama berjalan berjam-jam dan pengangkatan kaki dilakukan terutama di
malam hari. Kompresi dari stocking cocok untuk pasien yang tua atau
pasien yang tidak ingin melakukan pembedahan.
2. Skleroterapi
MEP Books Cardiovascular page 68
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Injeksi agen sclerosing secara langsung menyebabkan fibrosis


permanen dan obliterasi dari vena target. Bahan kimia iritan (contohnya,
gliserin) atau saline yang hipertonik sering digunakan untuk pengecilan, < 4
mm vena reticular atau telangiektasis. Foam sclerotherapy digunakan untuk
mengobati vena saphenous besar, varises yang lebih dari 4 mm, dan vena
yang sering perforasi tanpa anestasi lokal. Foam sclerotherapy mempunyai
hasil yang hampir sama dengan vena saphenous yang diberikan ablasi
thermal atau stripping. Komplikasi seperti phlebitis, nekrosis jaringan, atau
infeksi mungkin terjadi pada penggunaan beberapa agen sclerosing.
3. Pembedahan
Tatalaksana dengan thermal endovenous (dengan radiofrekuensi
atau laser) atau, dengan yang lebih jarang, stripping vena saphenous besar
efektif untuk menangani refluks yang terjadi pada vena saphenous besar.
Koreksi pada refluks dilakukan pada saat yang sama dengan dilakukannya
eksisi pada varises yang bergejala. Plebektomi tanpa koreksi pada refluks
menghasilkan rata-rata kekambuhan varikositis yang tinggi, sebagaimana
refluks yang tidak dikoreksi akan menyebabkan progresivitas dilatasi dari
vena sekitar. Deteksi refluks vena yang terjadi bersamaan dapat dilakukan
dengan ultrasonografi pada sistem vena dalam dan bukan merupakan
kontraindikasi untuk tatalaksana vena superfisial yang refluks karena
kebanyakan dialatasi vena dalam menyebabkan kelebihan volume sekunder
pada letaknya, yang akan terselesaikan dengan koreksi pada refluks vena
superfisial.

Prognosis

Hasil yang memuaskan diperoleh pada tatalaksana pembedahan dan eksisi


pada varises yang venanya mengalami insufisiensi (refluks). Rata-rata keberhasilan
5 tahun (didefiniskan berupa berkurangnya nyeri dan kambuhnya varikositis)
adalah 85-90%. Eksisi sederhana (plebektomi) atau injeksi skleroterapi tanpa
koreksi pada refluks berkaitan dengan tingginya rata-rata kekambuhan. Meskipun

MEP Books Cardiovascular page 69


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

diberikan terapi yang adekuat, perubahan jaringan sekunder, seperti


lipodermosklerosis, dapat muncul.

Daftar Pustaka
1. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current Medical Diagnosis &
Treatment. 55th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.

MEP Books Cardiovascular page 70


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

AORTIC DISSECTION

1. Definisi 1
Diseksi aorta adalah hal yang jarang namun memilki potensi yang
sangat fatal, yaitu mengakibatkan pemisahan lapisan tunika media dengan
masuknya darah, menghasilkan lumen palsu dengan variabel proksimal dan
distal perpanjangan. Diseksi aorta ascendens merupakan yang paling umum
terjadi , yaitu 2-3 kali daripada pecahnya aorta perut. Mortalitas dari
diseksi akut yang tidak diobati melibatkan aorta ascending adalah sekitar
1-2% per jam selama 48 jam pertama. Kasus terkenal pertama kali
didokumentasikan adalah Raja George II.1
2. Patofisiologi 1
Diseksi aorta lebih sering terjadi pada laki-laki dengan insiden
puncak pada usia 50-70 tahun. Diseksi aorta berasal dari robekan dalam
intima dan propagasi dari darah ke dalam lapisan media atau dari
perdarahan intramural dan pembentukan hematoma dilap[isan media
diikuti oleh perforasi intima; pembentuk lebih umum. Karakteristik gambar
aorta diseksi adalah adanya flap intima di aorta. Ini biasanya didahului oleh
degenerasi dinding medial atau nekrosis kistik medial. Darah dapat
kembali memasuki lumen berlaku disetiap titik, sehingga membuatnya
berhubungan disuatu dissection. Robekan intima dapat terjadi di daerah
aorta yang mengalami stres terbesar dan fluktuasi tekanan, karena mekanik
stres pada dinding aorta sebanding dengan intramuraltekanan dan diameter
pembuluh, hipertensidan dilatasi aorta yang diketahui sebagai faktor
risiko untuk dissection.
Kelainan dinding Integral seperti sindrom Marfan juga mungkin
menjadi predisposisi dissection. Meskipun tidak ada gangguan tunggal yang
bertanggung jawab, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi yang dapat
merusak dinding aorta dan menyebabkan diseksi.

MEP Books Cardiovascular page 71


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

3. Manifestasi Klinik1
Secara klinis, diseksi aorta muncul akibat dua proses. Pertama
adalah gangguan intima yang berhubungan dengan sakit parah dan
hilangnya volume nadi. Kedua ketika tekanan melebihi batas kritis dan
akhirnya pecah. Intensitas tinggi nyeri dada yang tajam mendadak di awal
adalah yang paling spesifik. Ini digambarkan sebagai stabbing, tearing, or
ripping in nature. Analysis of the International Registry of Acute Dissection
(Irad), mencatat bahwa nyeri dada yang parah lebih umum dengan tipe A
diseksi, sedangkan nyeri punggung dan nyeri perut lebih sering terjadi pada
tipe B diseksi. Rasa sakit bermigrasi dan mengikuti jalan propagasi dari
diseksi.

MEP Books Cardiovascular page 72


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pemeriksaan fisik mendapatkan takikardia, biasanya disertai dengan


hipertensi pada pengaturan utama dasar hipertensi dan peningkatan kadar
katekolamin dari kecemasan dan rasa sakit. Takikardia dan hipotensi
merupakan hasil dari pecahnya aorta, perikardial tamponade, akut katup
regurgitasi aorta, atau bahkan akut
iskemia miokard dengan keterlibatan ostia koroner. Diferensial atau absent
pulse di ekstremitas dan diastolik murmur dari regurgitasi aorta juga
ditemuka. Sinkop,
stroke, dan manifestasi skunder neurologis lainnya untuk malperfusion
sindrom dapat berkembang.

4. Diagnosis1
Diseksi aorta memiliki berbagai presentasi klinis. Indeks tertinggi
kecurigaan yang penting pada pasien dengan risiko predisposisi faktor,
misalnya hipertensi, penyakit aneurisma aorta, atau familial gangguan
jaringan ikat. Biasanya pasien adalah laki-laki hipertensi di usia 60-an,
dengan riwayat onset mendadak sakit dada.
Pada semua pasien, EKG segera harus dilakukan untuk
menyingkirkan infark miokard akut yang pengobatannya sangat berbedadan
mungkin melibatkan trombolisis. Sekitar 20% dari pasien dengan tipe A
diseksi memiliki perubahan iskemik pada EKG karena perluasan diseksi
menjadi ostium koroner. Pada pasien tersebut, pencitraan lebih lanjut harus
dilakukan sebelum trombolisis atau revaskularisasi prosedur dicoba.
Penanda biokimia dari kerusakan miokar dapat membantu dalam
diagnosis.2 Waktu yang paling menjanjikan pada penanda biokimia
untuk mendiagnosis diseksi aorta akut adalah elevated circulating smooth
muscle myosin heavy chain ; ini dilepaskan dari kerusakan aortic medial
smooth muscle.3
Pencitraan
Beberapa modalitas (CT, MRI scanning, dan ekokardiografi) dapat
digunakan untuk melengkapi satu sama lain untuk memfasilitasi diagnosis

MEP Books Cardiovascular page 73


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

tergantung pada ketersediaan. Keseluruhan akurasi diagnostik modalitas


yang berbeda adalah mirip.4

Tabel 3 menguraikan tujuan diagnostik.

5. Tatalaksana 1
a. Initial management

Pasien harus dirawat dalam lingkungan perawatan kritis dan keterlibatan bedah
awaladalah penting. Tergantung pada urgensi, berdampingan dengan medis
kondisi harus diselidiki dan diobati. Nyeri harus diobati dengan analgesik yang
memadai. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kekuatan kontraksi
ventrikel kiri tanpa mengorbankan perfusi, sehingga mengurangi pergeseran dan

MEP Books Cardiovascular page 74


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

mencegah perluasan lebih lanjut dari diseksi atau mungkin pecah.


Beta-blocker (misalnya esmolol, metoprolol) dan labetalol
(Beta dan alpha-blocker) dapat digunakan. Jika pengurangan lebih lanjut di blood
pressure diperlukan, natrium nitroprusside, gliseril trinitrat, atau hydralazine
sesuai. Beta-blocker harus diberikan terlebih dahulu sebelum vasodilator, sebagai
pelepasan katekolamin refleks karena vasodilatasi dapat meningkatkan kontraksi
ventrikel kiri. Jika pasien memiliki Glasgow koma skala rendah (GCS, 8) atau
hemodinamik yang ketidakstabilan mendalam, intubasi dan ventilasi diindikasikan.

Surgical management
Akut aorta dissection type A harus dioperasi pada tanpa penundaan, karena
ruptur mungkin akan terjadi. Kemungkinan kontraindikasi termasuk paraplegia dan
komorbiditas parah dapat disembuhkan . Keterlibatan neurologis, asidosis
metabolik, dan gangguan ginjal akut dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Beberapa pendekatan bedah dijelaskan. Tujuan dari bedah yaitu terapi yang
mencegah ekstensi, pemotongan intima yang robek , dan menggantikan segmen
aorta rentan yang untuk pecah dengan interposisi
cangkok sintetik (elephant trunk technique). Kombinasi katup aorta
dan pergantian aorta ascendens dengan re-implantasi arteri koroner menggunakan
graft komposit dilakukan jika aorta yang katup tidak diselamatkan.
Pada tipe B pembedahan aorta akut, intervensi bedah hanya diindikasikan jika
ada persisten atau berulang nyeri keras, aneurisma ekspansi, komplikasi iskemik
perifer, dan pecah. Hal ini karena perbaikan bedah tidak memiliki keunggulan yang
terbukti daripad a nonsurgical pengobatan pada pasien B diseksi tipe stabil.

Anaesthetic considerations
Anaesthetists terlibat dalam resusitasi dan stabilisasi, nyeri lega, sedasi untuk
TOE, transfer, anestesi, dan perawatan perioperatif pasien diseksi aorta. Peran
dokter anestesi juga dapat mencakup diagnostik TOE perioperatif untuk membantu
pengambilan keputusan bedah.

B. Interventional management

MEP Books Cardiovascular page 75


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Intervensi endovascular seringa pada tipe B aorta pembedahan, terutama pada


pasien berisiko tinggi untuk torakotomi karena kelainan hidup bersama
cardiopulmonary parah atau masalah medis lainnya. Munculnya stenting perkutan
dan / atau teknologi fenestration memberikan alternatif untuk membuka operasi
untuk pasien tertentu. Tujuan pengobatan meliputi rekonstruksi dari segmen aorta
toraks yang merobek, induksi trombosis dari lumen palsu, dan pembentukan
kembali
lumen aliran cabang samping. 3

C. Medical management
Manajemen medis lebih dianjurkan karena tidak meyembabkan komplikasi
diseksi aort. Adequate pain relief diperlukan. Fokus utama dari manajemen medis
adalah untuk mengurangi darah tekanan dan karenanya mencegah perluasan
diseksi.

6. Klasifikasi1
Beberapa klasifikasi yang berbeda telah menggambarkan diseksi aorta.
sistem klasifikasi umum digunakan adalah baik berdasarkan durasi timbulnya
gejala
sebelum presentasi atau anatomi diseksi. Diseksi aorta akut jika diagnosis
dibuat dalam waktu 2 minggu setelah onset awal gejala, dan kronis jika ada lebih
dari 2 minggu. Baru-baru ini the European Society of Cardiology Task Force on
Aortic Dissection telah datang dengan klasifikasi etiologi yang lebih komprehensif.

MEP Books Cardiovascular page 76


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Kemajuan teknologi pencitraan telah menunjukkan intramural perdarahan,


intramural hematoma, dan ulkus aorta mungkin tanda-tanda berkembang
pembedahan
atau subtipe diseksi. Semua ini dikelompokkan dalam sindrom aorta akut. Klasik
diseksi aorta anatomi adalah diklasifikasikan menurut DeBakey atau Stanford.
Yang paling umum digunakan adalah Stanford klasifikasi, yang didasarkan pada
keterlibatan aorta menaik.

A. Stanford classification
Tipe A melibatkan aorta menaik tapi mungkin meluas ke lengkungan dan turun
aorta (Tipe I DeBakey dan II). Tipe B melibatkan aorta menurun hanya (DeBakey
tipe III). Dalam Stanford tipe A, yang selalu terlibat adalah ascendensd aorta. Di
Stanford tipe B, diseksi adalah distal asal subklavia kiri pembuluh darah. Sistem
Stanford juga membantu untuk menggambarkan dua kelompok resiko yang nyata
bagi manajemen. Biasanya, tipe A pembedahan memerlukan operasi, sementara
pembedahan tipe B sebaiknya dikelola secara konservatif dengan pengobatan
medis di bawah yang paling
kondisi.

MEP Books Cardiovascular page 77


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

B. DeBakey classification
1. Tipe I melibatkan ascending aorta, arkus aorta, dan turun aorta.
2. Tipe II terbatas pada ascending aorta saja.
3. Tipe III terbatas pada aorta menurun distal arteri subklavia kiri saja; IIIa meluas
hingga diafragma, IIIb melampaui diafragma.

Daftar Pustaka
1. Hebballi R, Swanevelder J. Diagnosis and management of aortic dissection.
Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009 Feb;9(1):14–8.
2. Khan IA, Nair CK. Clinical, diagnostic, and management perspectives of aortic
dissection. Chest 2002; 122: 311–28
3. Tsai TT, Nienaber CA, Eagle KA. Acute aortic syndromes. Circulation 2005;
112: 3802–13
4. Erbel R, Alfonso F, Boileau C et al. Task Force on Aortic Dissection Diagnosis
and Management of aortic dissection. Eur Heart J 2001; 22: 1642–81

MEP Books Cardiovascular page 78


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

AORTIC DISSECTION

Definisi 1
Diseksi aorta adalah hal yang jarang namun memilki potensi yang
sangat fatal, yaitu mengakibatkan pemisahan lapisan tunika media dengan
masuknya darah, menghasilkan lumen palsu dengan variabel proksimal dan
distal perpanjangan. Diseksi aorta ascendens merupakan yang paling umum
terjadi , yaitu 2-3 kali daripada pecahnya aorta perut. Mortalitas dari
diseksi akut yang tidak diobati melibatkan aorta ascending adalah sekitar
1-2% per jam selama 48 jam pertama. Kasus terkenal pertama kali
didokumentasikan adalah Raja George II.1

Patofisiologi 1
Diseksi aorta lebih sering terjadi pada laki-laki dengan insiden
puncak pada usia 50-70 tahun. Diseksi aorta berasal dari robekan dalam
intima dan propagasi dari darah ke dalam lapisan media atau dari
perdarahan intramural dan pembentukan hematoma dilap[isan media
diikuti oleh perforasi intima; pembentuk lebih umum. Karakteristik gambar
aorta diseksi adalah adanya flap intima di aorta. Ini biasanya didahului oleh
degenerasi dinding medial atau nekrosis kistik medial. Darah dapat
kembali memasuki lumen berlaku disetiap titik, sehingga membuatnya
berhubungan disuatu dissection. Robekan intima dapat terjadi di daerah
aorta yang mengalami stres terbesar dan fluktuasi tekanan, karena mekanik
stres pada dinding aorta sebanding dengan intramuraltekanan dan diameter
pembuluh, hipertensidan dilatasi aorta yang diketahui sebagai faktor
risiko untuk dissection.
Kelainan dinding Integral seperti sindrom Marfan juga mungkin
menjadi predisposisi dissection. Meskipun tidak ada gangguan tunggal yang
bertanggung jawab, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi yang dapat
merusak dinding aorta dan menyebabkan diseksi.

MEP Books Cardiovascular page 79


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Manifestasi Klinik1
Secara klinis, diseksi aorta muncul akibat dua proses. Pertama
adalah gangguan intima yang berhubungan dengan sakit parah dan
hilangnya volume nadi. Kedua ketika tekanan melebihi batas kritis dan
akhirnya pecah. Intensitas tinggi nyeri dada yang tajam mendadak di awal
adalah yang paling spesifik. Ini digambarkan sebagai stabbing, tearing, or
ripping in nature. Analysis of the International Registry of Acute Dissection
(Irad), mencatat bahwa nyeri dada yang parah lebih umum dengan tipe A
diseksi, sedangkan nyeri punggung dan nyeri perut lebih sering terjadi pada
tipe B diseksi. Rasa sakit bermigrasi dan mengikuti jalan propagasi dari
diseksi.
MEP Books Cardiovascular page 80
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pemeriksaan fisik mendapatkan takikardia, biasanya disertai dengan


hipertensi pada pengaturan utama dasar hipertensi dan peningkatan kadar
katekolamin dari kecemasan dan rasa sakit. Takikardia dan hipotensi
merupakan hasil dari pecahnya aorta, perikardial tamponade, akut katup
regurgitasi aorta, atau bahkan akut
iskemia miokard dengan keterlibatan ostia koroner. Diferensial atau absent
pulse di ekstremitas dan diastolik murmur dari regurgitasi aorta juga
ditemuka. Sinkop,
stroke, dan manifestasi skunder neurologis lainnya untuk malperfusion
sindrom dapat berkembang.

Diagnosis1
Diseksi aorta memiliki berbagai presentasi klinis. Indeks tertinggi
kecurigaan yang penting pada pasien dengan risiko predisposisi faktor,
misalnya hipertensi, penyakit aneurisma aorta, atau familial gangguan
jaringan ikat. Biasanya pasien adalah laki-laki hipertensi di usia 60-an,
dengan riwayat onset mendadak sakit dada.
Pada semua pasien, EKG segera harus dilakukan untuk
menyingkirkan infark miokard akut yang pengobatannya sangat berbedadan
mungkin melibatkan trombolisis. Sekitar 20% dari pasien dengan tipe A
diseksi memiliki perubahan iskemik pada EKG karena perluasan diseksi
menjadi ostium koroner. Pada pasien tersebut, pencitraan lebih lanjut harus
dilakukan sebelum trombolisis atau revaskularisasi prosedur dicoba.
Penanda biokimia dari kerusakan miokar dapat membantu dalam
diagnosis.2 Waktu yang paling menjanjikan pada penanda biokimia
untuk mendiagnosis diseksi aorta akut adalah elevated circulating smooth
muscle myosin heavy chain ; ini dilepaskan dari kerusakan aortic medial
smooth muscle.3

Pencitraan
Beberapa modalitas (CT, MRI scanning, dan ekokardiografi) dapat
digunakan untuk melengkapi satu sama lain untuk memfasilitasi diagnosis

MEP Books Cardiovascular page 81


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

tergantung pada ketersediaan. Keseluruhan akurasi diagnostik modalitas


yang berbeda adalah mirip.4

Tabel 3 menguraikan tujuan diagnostik.

Tatalaksana 1
b. Initial management

Pasien harus dirawat dalam lingkungan perawatan kritis dan


keterlibatan bedah awaladalah penting. Tergantung pada urgensi,
berdampingan dengan medis kondisi harus diselidiki dan diobati.
Nyeri harus diobati dengan analgesik yang memadai. Tujuan
utamanya adalah untuk mengurangi kekuatan kontraksi ventrikel

MEP Books Cardiovascular page 82


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

kiri tanpa mengorbankan perfusi, sehingga mengurangi pergeseran


dan mencegah perluasan lebih lanjut dari diseksi atau mungkin
pecah. Beta-blocker (misalnya
esmolol, metoprolol) dan labetalol (Beta dan alpha-blocker) dapat
digunakan. Jika pengurangan lebih lanjut di blood pressure
diperlukan, natrium nitroprusside, gliseril trinitrat, atau hydralazine
sesuai. Beta-blocker harus diberikan terlebih dahulu sebelum
vasodilator, sebagai pelepasan katekolamin refleks karena
vasodilatasi dapat meningkatkan kontraksi ventrikel kiri. Jika pasien
memiliki Glasgow koma skala rendah (GCS, 8) atau hemodinamik
yang ketidakstabilan mendalam, intubasi dan ventilasi
diindikasikan.

Surgical management
Akut aorta dissection type A harus dioperasi pada tanpa
penundaan, karena ruptur mungkin akan terjadi. Kemungkinan
kontraindikasi termasuk paraplegia dan komorbiditas parah dapat
disembuhkan . Keterlibatan neurologis, asidosis metabolik, dan
gangguan ginjal akut dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Beberapa pendekatan bedah dijelaskan. Tujuan dari bedah yaitu
terapi yang mencegah ekstensi, pemotongan intima yang robek ,
dan menggantikan segmen aorta rentan yang untuk pecah dengan
interposisi
cangkok sintetik (elephant trunk technique). Kombinasi katup
aorta
dan pergantian aorta ascendens dengan re-implantasi arteri
koroner menggunakan graft komposit dilakukan jika aorta yang
katup tidak diselamatkan.
Pada tipe B pembedahan aorta akut, intervensi bedah hanya
diindikasikan jika ada persisten atau berulang nyeri keras,
aneurisma ekspansi, komplikasi iskemik perifer, dan pecah. Hal ini

MEP Books Cardiovascular page 83


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

karena perbaikan bedah tidak memiliki keunggulan yang terbukti


daripad a nonsurgical pengobatan pada pasien B diseksi tipe stabil.
Anaesthetic considerations
Anaesthetists terlibat dalam resusitasi dan stabilisasi, nyeri
lega, sedasi untuk TOE, transfer, anestesi, dan perawatan
perioperatif pasien diseksi aorta. Peran dokter anestesi juga dapat
mencakup diagnostik TOE perioperatif untuk membantu
pengambilan keputusan bedah.

c. Interventional management
Intervensi endovascular seringa pada tipe B aorta
pembedahan, terutama pada pasien berisiko tinggi untuk torakotomi
karena kelainan hidup bersama cardiopulmonary parah atau masalah
medis lainnya. Munculnya stenting perkutan dan / atau teknologi
fenestration memberikan alternatif untuk membuka operasi untuk
pasien tertentu. Tujuan pengobatan meliputi rekonstruksi dari
segmen aorta toraks yang merobek, induksi trombosis dari lumen
palsu, dan pembentukan kembali
lumen aliran cabang samping. 3

d. Medical management
Manajemen medis lebih dianjurkan karena tidak
meyembabkan komplikasi diseksi aort. Adequate pain relief
diperlukan. Fokus utama dari manajemen medis adalah untuk
mengurangi darah tekanan dan karenanya mencegah perluasan
diseksi.

Klasifikasi1
Beberapa klasifikasi yang berbeda telah menggambarkan diseksi
aorta.

MEP Books Cardiovascular page 84


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

sistem klasifikasi umum digunakan adalah baik berdasarkan durasi


timbulnya gejala
sebelum presentasi atau anatomi diseksi. Diseksi aorta akut jika diagnosis
dibuat dalam waktu 2 minggu setelah onset awal gejala, dan kronis jika ada
lebih
dari 2 minggu. Baru-baru ini the European Society of Cardiology Task
Force on Aortic Dissection telah datang dengan klasifikasi etiologi yang
lebih komprehensif.

Kemajuan teknologi pencitraan telah menunjukkan intramural


perdarahan, intramural hematoma, dan ulkus aorta mungkin tanda-tanda
berkembang pembedahan

MEP Books Cardiovascular page 85


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

atau subtipe diseksi. Semua ini dikelompokkan dalam sindrom aorta akut.
Klasik diseksi aorta anatomi adalah diklasifikasikan menurut DeBakey atau
Stanford.
Yang paling umum digunakan adalah Stanford klasifikasi, yang didasarkan
pada keterlibatan aorta menaik.
e. Stanford classification
Tipe A melibatkan aorta menaik tapi mungkin meluas ke
lengkungan dan turun aorta (Tipe I DeBakey dan II). Tipe B
melibatkan aorta menurun hanya (DeBakey tipe III). Dalam
Stanford tipe A, yang selalu terlibat adalah ascendensd aorta. Di
Stanford tipe B, diseksi adalah distal asal subklavia kiri pembuluh
darah. Sistem Stanford juga membantu untuk menggambarkan dua
kelompok resiko yang nyata bagi manajemen. Biasanya, tipe A
pembedahan memerlukan operasi, sementara pembedahan tipe B
sebaiknya dikelola secara konservatif dengan pengobatan medis di
bawah yang paling
kondisi.
f. DeBakey classification
1. Tipe I melibatkan ascending aorta, arkus aorta, dan turun aorta.
2. Tipe II terbatas pada ascending aorta saja.
3. Tipe III terbatas pada aorta menurun distal arteri subklavia kiri
saja; IIIa meluas hingga diafragma, IIIb melampaui diafragma.

Daftar Pustaka
Hebballi R, Swanevelder J. Diagnosis and management of aortic dissection. Contin
Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009 Feb;9(1):14–8.
Khan IA, Nair CK. Clinical, diagnostic, and management perspectives of aortic
dissection. Chest 2002; 122: 311–28
Tsai TT, Nienaber CA, Eagle KA. Acute aortic syndromes. Circulation 2005; 112:
3802–13
Erbel R, Alfonso F, Boileau C et al. Task Force on Aortic Dissection Diagnosis and
Management of aortic dissection. Eur Heart J 2001; 22: 1642–81

MEP Books Cardiovascular page 86


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR

A. Definisi takikardi supraventrikular


Takikardi adalah kelainan pada asal, waktu, atau urutan depolarisasi jantung
yang menyebabkan laju denyut jantung >100x per menit. Takikardi mungkin
berasal dar supraventrikular yang jauh lebih umum terjadi, yang pada kasus
tersebut, takikardi muncul dari atrium atau nodus AV. TSV sering juga disebut
Paroxysmal Supraventrikular Takikardi (PSVT). Paroksismal disini artinya
adalah gangguan tiba-tiba dari denyut jantung yang menjadi cepat. Sebagian
besar takikardi supraventrikular (TSV) menyulitkan namun tidak mengancam
jiwa, meskipun kematian mendadak dapat terjadi namun jaranag. Gejala yang
umum terjadi adalah rasa pusing, palpitas dan napas pendek. Kelainan pada TSV
mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS.
Pada kebanyakan TSV mempunyai kompleks QRS normal.

Bila kita perhatikan SVT dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Denyut jantung yang cepat, disebut takikardi yang artinya denyut jantung
melebihi > 100 denyut per menit. Pada SVT denyut jantung ini berkisar
antara 150-250 denyut per menit.
2. Denyut jantung yang reguler (dapat dilihat dari kompleks QRS yang teratur)
dengan gelombang P yang superimposed dengan komplek QRS (tidak
terlihat gelombang P).
3. Komplek QRS sempit (QRS < 0,12 detik atau 3 kotak kecil)

MEP Books Cardiovascular page 87


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

B. Elektrofisiologi takikardi supraventrikular


1. Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang
terbentuk secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal, seringkali
menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif
sering menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
a. Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara
aktif dan fenomena reentry
b. Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak
atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga
bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja
secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik yang memacu
jantung berkontraksi.
c. Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan
kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung
yang melebihi keadaan normal.
d. Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade
unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana
rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian
yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya dilampaui.
Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry
terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada
beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik
atau fibrilasi tuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm (irama
pengganti).

2. Gangguan konduksi rangsang


Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran
(konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut
mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian

MEP Books Cardiovascular page 88


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi.


Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai
dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras
kanan kiri sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.

3. Gangguan pembentukan serta penghantaran rangsang


Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan
pembentukan rangsang bersama gangguan hantaran rangsang

C. Klasifikasi takikardi supraventrikular


1. Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar diobati.
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama.
Pada takikardi atrium primer, tampak adanya gelombang “p” yang agak
berbeda dengan gelombang p pada waktu irama sinus, tanpa disertai
pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak
tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan).

2. Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)


Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis orthodromic,
konduksi antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction)
sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction).
Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS
yang sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS
dan terbalik. Pada jenis yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras
tambahan sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras his-purkinye.
Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS
yang lebar dengan gelombang p yang terbalik dan timbul pada jarak yang
jauh setelah kompleks QRS.

3. Atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT)

MEP Books Cardiovascular page 89


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan
anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi
retrograd terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical
(slow-fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak adalah
takikardi dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang timbul
segera setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak
tampak karena gelombang p tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada
sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau antidromic.
Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS
sempit dan gelombang p terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh
setelah komplek QRS.

D. Penyebab takikardi supraventrikular


1. Idiopatik
Ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik ini biasanya
terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.

2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW)


Terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi hanya setelah konversi menjadi
sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan interval PR yang
pendek dan interval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan
langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.

3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle,


L-TGA).

E. Tanda dan gejala takikardi supraventrikular

MEP Books Cardiovascular page 90


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1. Perubahan TD (hipertensi/hipotensi), nadi mungkin tidak teratur, defisit


nadi, bunyi irama jantung tidak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun, kulit
pucat, sianosis, berkeringat, edema, keluaran urin menurun bila curan
jantung menurun.
2. Sinkop, pusing, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan
pupil.
3. Nyeri dada ringan sampai berat.
4. Nafas pendek serta perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan.
5. Demam, kemerahan pada kulit (eritema) & kehilangan tonus otot
(kekuatan otot).

F. Tatalaksana takikardi supraventrikular


1. Penatalaksanaan segera
a) Adenosin
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi
TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV. Adenosin
diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai
dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit
(maksimal 250 µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150
µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah
takikardi berulang.
b) Prokainamid
Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada
konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV.
c) Digoksin
Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh
inotropiknya maupun melalui blokade nodus AV yang ditengahi vagus.
d) Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung
kongestif atau kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia,
dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion
dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya
cukup efektif.

MEP Books Cardiovascular page 91


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

e) Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat
digitalis secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian
pertama adalah sebesar ½ dari dosis digitalisasi (loading dose)
dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut berselang 8
jam.
f) Beta-blocker
Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam
memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik.
g) Flecainide dan Sotalol
Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol
TSV yang refrakter. Untuk TSV yang refrakter pada anak yang berusia
kurang dari 1 tahun

2. Penanganan jangka panjang


Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka
panjang TSV. Di antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala
TSV, kurang lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak
setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan
mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan
kekerapan serangan merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena
umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala
klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan
preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan simptomatik akan
membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron,
terutama untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi
propanolol jangka panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi
resisten digunakan procainamid, quinidin, flecainide, propafenone, sotalol
dan amiodarone.
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun,
radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang

MEP Books Cardiovascular page 92


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya


tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau
kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi
dilakukan pada usia 2 sampai 5 tahun bila TSV refrakter terhadap obat anti
aritmia atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka
panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan
aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti
takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.

G. Pemeriksaan penunjang takikardi supraventrikular


1. EKG
Menunjukkan pola cedera iskemik & gangguan konduksi. Menyatakan
tipe/sumber disritmia & efek ketidakseimbangan elektrolit % obat jantung.
2. Monitor Holter
Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan dimana
disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif. Juga dapat
digunakan untuk evaluasi fungsi pacu jantung/efek obat disritmik.
3. Foto dada
Menunjukkan pembesaran bayangan jantunsehubungan dengan disfungsi
ventrikel atau katup.
4. Scan pencitraan miokardia
Menunjukkan area iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi
konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding & kemampuan pompa.
5. Tes stress latihan
Untuk mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan aritmia.
6. Elektrolit
Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium & magnesium yang dpaat
menyebabkan aritmia.
7. Pemeriksaan obat
Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau dugaan
interaksi obat. Contoh : digitalis, quinidin.
8. Pemeriksaan tiroid

MEP Books Cardiovascular page 93


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Peningkatan atau penurunan kadar tiroid serum dapat menyebabkan,


meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi
Peninggian dapat menunujukkan proses inflamasi akut. Contoh:
Endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri
Hipokalemia dapat menyebabkan /mengeksaserbasi disritmia.

MEP Books Cardiovascular page 94


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ATRIAL FIBRILASI

Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi)
yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang
normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan
seringkali cepat.
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada
beberapa sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.

Etiologi
Sebagian besar fibrilasi atrial (atrial fibrillation/AF) tidak diketahui
penyebabnya.penyebabnya yang telah terbukti adalah usia, hipertensi, gagal
jantung simptomatik, stenosis atau isufiensi katup mitral, atrial septal defect
(ASD), infark Miokard, obesitas, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), diabetes
mellitus, gagal ginjal kronik, hipertiroidisme, intoksikasi alcohol atau pasca operasi
mayor seperti operasi abdomen, toraks atau vascular.

Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi
dan durasinya, yaitu:

MEP Books Cardiovascular page 95


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien


yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang
durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama(long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga ≥1
tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh
dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan
lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke
kategori FA persisten lama.

Epidemiologi
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering
ditemui dalam praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan
akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang. data dari studi
observasional (MONICAmultinational MONItoring of trend and
determinant in CArdiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2 Selain itu,karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi
usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi
28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050),maka angka kejadian FA juga akan
meningkat secara signifikan.
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien
dengan FA memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3
kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa FA.Stroke merupakan salah satu
komplikasi FA yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA
mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Fibrilasi atrium juga
berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal

MEP Books Cardiovascular page 96


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas,


penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati,
penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal
jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA)
II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA dapat terjadi
pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal
jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan gagal jantung
melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume
jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi
pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien
penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek
septal atrium.

Penegakan diagnosis
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal
yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada
panduan ini, rekomendasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan
tingkat kelengkapan pusat kesehatan terkait.

MEP Books Cardiovascular page 97


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 98


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Tatalaksana
 Terapi antitrombotik pada FA

MEP Books Cardiovascular page 99


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Tata Laksana pada Fase Akut


 Kendali laju fase ak

Tata laksana jangka panjang


 Kendali laju jangka panjang

MEP Books Cardiovascular page 100


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

 Kendali irama jangka panjang

MEP Books Cardiovascular page 101


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

 Kardioversi elektrik (direct current cardioversion)

 Ablasi atrium kiri

MEP Books Cardiovascular page 102


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

DAFTAR PUSTAKA
 Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium,Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2014.
 Kapita Selekta Kedokteran.Edisi Ke-4,2014,Jakarta: Media Aesculapius

MEP Books Cardiovascular page 103


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

FLUTTER ATRIUM

Gambar 1. Flutter atrium


Flutter atrium merupakan salah satu bentuk dari Supraventricular Takikardi
yang diakibatkan makro reentrant sirkuit yang aling sering terjadi ada atrium kanan
(di sekeliling cincin katup trikuspid) (Gambar 1). Ciri dari flutter atrium adalah

 Teratur, gambaran gigi gergaji (Gambar 2), blokade 2:1, 3:1, 4:1
dan seterusnya

Gambar 2. Flutter atrium, tampak gigi gregaji


 Frekuensi atrium: 250-350 denyut per menit
 Frekuensi ventrikel : setengah, sepertiga, seperempat frekuensi
atrium, dan seterusnya.
 Pemijatan karotis: meningkatan blokade (Gambar 3)

MEP Books Cardiovascular page 104

Gambar 3. Flutter atrium. Pemijatan karotis memperparah blokade dari 3:1 menjadi 5:1
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Sekitar 200.000 kasus flutter atrium didiagnosis setiap tahun di Amerika


Serikat. Flutter atrium biasanya menyertai berbagai keadaan berikut:

 Hipertensi
 Obesitas
 Diabetes Melitus
 Gangguan Keseimbangan Elektrolit
 Intoksifikasi alkohol
 Penyalahgunaan obat, khususnya kokain dan amfetamin
 Penyakit Paru (PPOK dan emboli paru)
 Tiroktosikosis
 Berbagai kelainan jantung, kongenital (defek septum atrium) mauun
didapat (penyakit katup rrematik, penyakit arteri koroner dan gagal jantung
kongestif)

DAFTAR PUSTAKA

Thaler, Malcolm S. 2012. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan. Ed. 7.
Jakarta: EGC

MEP Books Cardiovascular page 105


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

SUPRA VENTRICULAR EXTRA SYSTOLE

Definisi
Suatu jenis aritmia jantung dengan kontraksi atrium prematur atau ketukan
yang disebabkan oleh sinyal yang berasal dari bagian ektopik atrium. Sinyal
ektopik ini mungkin atau mungkin juga tidak mengonduksi ventrikel jantung.
Kompleks atrium prematur ditandai dengan gelombang P dini pada EKG yang
berbeda dalam konfigurasi dari gelombang P yang dihasilkan oleh kompleks
pacemaker jantung normal pada nodus sinoatrial.
Sinonim
Supraventricular extrasystoles, premature atrial contraction, atrial ectopic
beats, premature atrial contractions, supraventricular extrasystole, Extrasystoles
Atrial, extrasystoles supraventricular, atrial extrasystoles

Gambaran EKG

Sebuah extrasystole supraventricular tunggal (warna biru pada gambar di


atas) adalah aritmia yang sangat umum dan biasanya tidak berbahaya. Ekstrasistol
supraventricular muncul pada orang sehat dan tidak dianggap sebagai temuan
abnormal. ekstrasistol supraventricular tidak selalu menyebabkan sensasi apapun,
tetapi mereka mungkin merasa seperti "berdebar" di dada anda. ekstrasistol

MEP Books Cardiovascular page 106


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

supraventricular paling sering tidak memerlukan obat, tapi obat-obatan seperti beta
blockers dapat menurunkan terjadinya gejala SVES.

MEP Books Cardiovascular page 107


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

EKSTRASISTOL VENTRIKEL

Definisi
Gangguan irama di mana timbul denyut jantung prematur yang berasal dari
focus yang terletak di ventrikel,dapat berasal dari satu focus atau lebih (multifokal).
Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung yang paling sering
ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal.

Faktor Risiko
 Pertambahan usia
 Banyak minum kopi
 Merokok
 Emosi

Etiologi
 Iskemia miokard
 Infark miokard akut
 Gagal jantung
 Sindrom QT yang memanjang
 Prolaps katup mitral
 Cerebrovascular accident
 Keracunan digitalis
 Hipokalemia
 Miokarditis
 Kardiomiopati

Komplikasi
 Takikardia ventrikel
 Fibrilasi ventrikel
Ekstrasistol Maligna (Ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia
ventrikel yang berbahaya seperti takikardia atau fibrilasi ventrikel) :
 Ekstrasistol yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit
MEP Books Cardiovascular page 108
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

 Ekstrasistol ventrikel yang timbul secara berturut-turut (consecutive)


 Ekstrasistol ventrikel yang multifokal
 Ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T)

Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
 Xilocain intravena dengan dosis bolus 1-2 mg per kg BB dilanjutkan
dengan infus 1-2 mg per menit dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg
per menit
 Amiodaron,meksiletin,dilantin.

2. Non-Farmakoterapi
 Menghentikan kebiasaan minum kopi
 Menghentikan kebiasaan merokok
 Menghindari obat-obatan simpatomimetik seperti
adrenalin,efedrin,dll.
Pemberian tranquilizer pada pasien yang banyak ketegangan

MEP Books Cardiovascular page 109


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

FIBRILASI VENTRIKEL

Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dan sama sekali tidak
teratur. Hal ini menyebabkan ventrikel tidak dapat berkontraksi dengan cukup
sehingga curah jantung menurun, bahkan sama sekali tidak ada, sehingga tekanan
darah dan nadi tidak bisa diukur, pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong
akan menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering karena penyakit
jantung koroner, terutama infark miokard akut, penyebab lain intoksikasi digitalis,
sindrom QT yang memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan
resusitasi jantung paru, yaitu pernapasan buatan dan pijat jantung dan secepatnya
dilakukan direct current countershock dengan dosis 400 joules. Pasien juga
diberikan xilocain atau amiodaron secara intravena. Pertolongan harus diberikan
dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat prognosis cukup baik. Bila sudah lebih
dari5menit dapat terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung kembali
normal, mungkin kesadaran pasien tidak dapat kembali. Fibrilasi ventikel (VF)
merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang ditandai oleh kompleks
QRS, gelombang P dan segmen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali
(disorganized). VF merupakan penyebab utama kematian mendadak.
Penyebab utama VF adalah infark miokard akut, blok AV total
denganrespon ventrikel sangat lambat, gangguan elektrolit (hipokalemia dan
hiperkalemia), asidosis berat dan hipoksia. Salah satu penyebab VF primer yang
sering pada orang dengan denyut jantung normal adalah sindrom Brugada. Pada
kelainan ini terjadi kelainan genetik pada gen yang mengatur kanal natrium
sehingga tercetus VF primer. Angka kejadiannya tinggi pada populasi asia dan
kelompok laki-laki usia muda.
Pada EKG permulaan saat irama sinus ditemukan adanya gambaran RBBB
inkomplit dengan elevasi segmen ST di sadapan VI-V3. VF akan menyebabkan
tidak adanya curah jantung sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti
napas dalam hitungan detik. VF kasar (coarse VF) menunjukkan aritmia ini baru
terjadi dan lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi. Sedangkan
VF halus (fine VF) sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit diterminasi.
Penanganan VF harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku

MEP Books Cardiovascular page 110


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

meliputi pemberian unsynchronized DC shock mulai 200 J sampai 360 J dan


obat-obatan seperti adrenalin, amiodaron, dan magnesium sulfat.

Gambaran vibrilasi ventrikel

MEP Books Cardiovascular page 111


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

HENTI JANTUNG ( CARDIACT ARREST )

Etiologi/Patofisiologi
 Adalah berhentinya sirkulasi yang disebabkan oleh fungsi jantung yang
tidak efektif (asistol, fibrilasi ventrikular, takikardi ventrikular tanpa teraba
denyut nadi, atau aktivitas elektrik taraba tanpa denyut nadi).
 Keadaan ini mengakibatkan tidak terabanya denyut nadi, tekanan darah
tidak terukur, serta berhentinyya fungsi respirasi, dan serebral
 Pemulihan yang cepat aktivitas jantung dan perfusi perifer yang terorganisir
memegang peranan penting.
 Aritmia ventrikular merupakan penyebab henti jantung yang paling sering
pada pasien dengan kelainan jantung- defibrilasi yang dini merupakan
kunci untuk memperthanakan kehidupan pasien.
 Penatalaksanaan henti jantung yang direkomendasikan dimuat dalam
protokol Advnced Cardiac Life Support (ACLS) – suatu pendekatan
skematik yang disajikan dengan algoritme yang didasarkan pada
manifestasi klinis.

Manifestasi/Tanda & Gejala Klinis


 Pasien kemungkinan tidak berespons (atau memberikan respons yang
minimal jika henti jantung mengancam).
 Dinilai patensi jalan napas dan kemampuan pasien melindungi jalan napas.
 Pernapasan dinilai (napas spontan, respirasi agonal, takipnea, pernapasan
memadai atau dangkal, oksigenasi, suara napas).
 Sirkulasi dinilai terhadap denyut nadi, tekanan darah, serta tanda klinis
perfusi perifer dan oksigenasi yang buruk (misalnya pucat, anggota gerak
yang dingin).

Diagnosis Banding
 Infark miokardium
 Kelainan struktural jantung
 Hipoksia
MEP Books Cardiovascular page 112
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

 Asidosis
 Metabolik (misalnya hiperkalemia).
 Hipovolemia/perdarahan
 Obat-obatan (misalnya anti-aritmia, antagonis kalsium/beta blocker, TCA)
 Tamponade jantung
 Pneumothoraks ventile (tension)
 Embolisme pulmonal
 Stroke/perdarahan serebral
 Hipotermia
 Trauma
 Tersengat aliran listrik

Pemeriksaan Diagnostik
 Jika denyut nadi dan respirasi tidak ada, dilakukan tunjangan hidup dasar
(komprsi dada dan pernapasan) dengan segera.
 Monitor jantuung
 Dilakukan penilaian denyut nadi dan irama jantung pertama kali dilakukan
defibrilasi dengan segera bila ditemukan Ventrikel fibrilasi atau Ventrikel
takikardia tanpa denyut nadi
 Dilakukan survei primer dan sekunder
 Jalan napas/pernapadan : lacak adanya obstruksi, alat bantu jalan napas
mulai diberikan (misalnya jalan napas oral, bag-valve mask), dan dilakukan
intubasi secara dini bila diperlukan (berdasarkan pada manifestasi klinis
dan setiap dekompensasi lebih lanjut yang diharapkan).
 Sirkulasi: dilakukan pijat dada jika denyut nadi tidak teraba dan jalur IV
dipasang.
 Diberikan obat-obatan kardiovaskular (dengan IV atau pipa endotrakea)
sesuai dengan algoritme ACLS.
 Keadaan yang kemungkinan reversibel (misalnya hiperkalemia,
hipokalsemia) hatus diperhatikan timbangkan dan diterapi.

MEP Books Cardiovascular page 113


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Terapi/ Penatalaksanaan
 Penyabab yang potensial diterapi (misalnya hiperkalemia perlu
mendapatkan kalsium IV),
 V fib/ V tach tanpa teraba denyut nadi
o Diberikan defibrilasi x 3 (renjatan dengan 200 J, 300 J, selanjutnya
360 J)
o Dilakukan pemeriksaan irama jantung dan denyut nadi setelah
setiap kali defibrilasi dilakukan.
o Pasien degan aritmia yang menetap perlu mendapatkan terapi obat
yang diselingi dengan kejutan (shocks) (epinefrin setiap 3-5 menit,
bolus vasopresin, amiodaron, lidokain, dan/ atau prokainamide;
bikarbonat perlu dipertimbangkan pada resusitasi yang
memanjang).
 V tach yang stabil (takikardia kompleks-luas); diberikan amiodaron atau
lidokain jika monomorfik ; diberikan magnesium jika terdapat torsades de
pointes.
 Aktivitas elektrik tanpa teraba denyut nadi; diberikan epinefrin setiap 3-5
menit yang diselingi dengan atropin; penyebab yang potensial perlu
diindentifikasi dan diterapi secara agresif.
 Asistol: pacu transkutaneus (terutama selama beberapa menit pertama) dan
epinefrin dan diselingi atropin.
 Bradikardia simptomatik: atropin, dopamin, epinefrin, pacu transkutan,
dengan atau tanpa pacu transvenosa.
 Takikardia kompleks-sempit : dilakukan kardioversi untuk gejala klinis
yang berat; jikalau tidak diberikan terap medikamentosa berdasarkan pada
irama dan komorbiditas.

Prognosis / komplikasi
 Takikardi kompleks- luas sebaiknya dipertimbangkan sebagai V tach
hingga terbukti tidak

MEP Books Cardiovascular page 114


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

 Defibrilasi yang dini untuk Vfib dan Vtach tanpa teraba denyut nadi
merupakan intervensi yang paling efektf.
 Dilanjutkan secepat mungkin degan perawatan definitif (misalnya PTCA
untuk MI, koreksi elektrolit).
 Pronosis umumnya buruk
o Henti jantung tanpa saksi mata dan CPR segera oleh saksi mata
sedikit memperbaiki hasil.
o Penyebab yang reversibel mempunyai hasil yang lebih baik
o Banyak pasien yang hidup mengalami gejala sisa neurologik yang
menetap
 Komplikasi mencakup kematian (pada sebagian besar pasien), trauma otak,
hipoksi, shock liver, MI, dan gagal ginjal akut.

DAFTAR PUSTAKA
M.Caterino Jeffrey. Kahan Scott. 2013. Master Plan Kedaruratan Medik: disertai
contoh klinik. Jakarta : Binarupa Aksara.

MEP Books Cardiovascular page 115


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

GAGAL JANTUNG

A. Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang timbul disebabkan
kelainan
sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau
didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan
darah (Braunwald, 2007).
Adanya gejala gagal jantung yang reversibel dengan terapi, dan bukti objektif
adanya disfungsi jantung (European society of cardiology)

B. Klasifikasi

MEP Books Cardiovascular page 116


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

C. Etiologi

Disritmia
Etiologi Malfungsi katup
Gagal Abnormalitas otot jantung

jantung Ruptur miokard


Hipertensi sistemik
Obat-obatan

D. Patofisiologi

MEP Books Cardiovascular page 117


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

GAGAL Penurunan Peningkatan


EDP ventrikel Jantung
JANTUN curah kiri &tekanan berdilatasi
G KIRI jantung vena pulmonalis

Akumulasi Peningkatan
Edema cairan pada
pulmonal Dispnea jaringan kapiler
interstisial paru pulmonal

Gagal
Hipoksemia jantung
kanan

E. Manifestasi klinis
• Diaphoresis
• Sesak nafas
• Mudah lelah
• Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
• Nyeri dada
• Bengkak pada kaki
• Rasa tidak nyaman pada perut bagian atas kanan
• Dyspnea
• Orthopnea
• Nocturia
• Batuk
• Gallop
• Distensi

F. Diagnosis
Diagnosis Gagal Jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor atau 2 kirteria mayor.

MEP Books Cardiovascular page 118


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

G. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan khusus yang dapat menegakkan diagnosis gagal
jantung ( T.Santoso, Gagal Jantung 1989 ).Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan
untuk mengetahui sejauh mana gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi
organ lain seperti : hati,ginjal dan lain-lain.Pemeriksaan hitung darah dapat
menunjukan anemia , karena anemia ini merupakan suatu penyebab gagal jantung
output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk disfungsi jantung
lainnya.
Pemeriksaan enzim jantung NT- proBNP (N.Terminal protein BNP)
< 50 pg/mL : Gagal jantung (-)
> 100 pg/mL : Prediksi gagal jantung

NT-proBNP adalah bagian dari BNP (Brain Natriuretic Peptide),dimana NT-


proBNP (N.Terminal protein BNP) lebih sensitif daripada BNP. BNP termasuk
golongan Natriuretik peptide bersamaan dengan ANP (Atriale Natriuretic Peptide)
dan CNP (C-type Natriuretic Peptide), BNP akan diproduksi bila terjadi regangan
pada ventrikel kiri sehingga pada pasien gagal jantung kadar BNP dan NT-proBNP
akan meningkat. Pada saat terjadi peregangan otot jantung, proBNP akan
dipecah menjadi 2 bagian yaitu bagian yang aktif (BNP) dan bagian yang lebih
stabil yaitu NT-ProBNP, dan keduanya akan dibebaskan masuk ke dalam aliran
darah/sirkulasi.

MEP Books Cardiovascular page 119


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Ureum Darah
Peningkatan ureum dapat terjadi karena shok, penurunan volume darah ke ginjal,
perdarahan, dehidrasi dan lain-lain.
SGOT (Serum glutamic oxaloacetic transaminase)
Serum transaminase oksaloasetat glutamat, enzim yang biasanya terdapat dalam
hati dan jantung sel. Pelepasan enzim SGOT yang tinggi dalam serum
menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan jantung dan hati (misalnya, dari
serangan jantung).
Dari studi klinik terdahulu diketahui bahwa pemakaian BNP untuk diagnostik di
UGD pada pasien yang dicurigai gagal jantung dapat memperpendek masa rawat
inap, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih kecil.
Sebagai hormon endokrin jantung, kadar BNP dipengaruhi oleh mekanisme umpan
balik dari organ target, dan keberhasilan mengurangi beban volume dan rangsangan
simpatis. NT-proBNP yang merupakan hormon inaktif, kadarnya relatif stabil
karena tidak banyak dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik
seperti BNP.

MEP Books Cardiovascular page 120


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pemeriksaan ECG menunjukkan LVH (Left Ventricular Hypertrophy: hipertropi


ventrikel kiri). Pola khas adalah LVH plus ST depresi. Dapat juga terjadi gambaran
aritmia.

H. Tatalaksana

1. Mengurangi beban jantung: Obat2 vasodilator  mengurangi


impedans/tahanan yang harus diatasi pompa jantung. Contoh obat:
Penghambat ACE, nitrat long acting, prazosin dan hidrolazin
2. Mengatasi kelebihan cairan: Diuretika, yg sering digunakan gol tiazid dan
loop diuretik
3. Memperkuat kontraktilitas miokard: Obat2 inotropik contoh: Preparat
digitalis, dopamin, dobutamin, amrinon.
4. Tindakan khusus, terutama ditujukan pada kelainan yang mendasari. Mis:
Akibat stenosis lakukan katup valvuloplasti atau pembedahan. Akibat PJK
lakukan angiografi koroner

MEP Books Cardiovascular page 121


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 122


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ANGINA PECTORIS

A. Infark Miokard
• Definisi :
– area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemi lokal, paling
sering karena trombus / embolus (Dorland 2002).
– Perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung disebabkan o/
ketidakseimbangan antar suplai dan kebutuhan O2 (Fenton2009).
• Tipe berdasar etiologi penyebab:
– Tipe 1 : spontan, ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis.
Disebabkan krn > keperluan O2 akibat dari anemia, aritmia,
hiper/hipo-tensi.
– Tipe 2 : krn vasokonstriksi & spasme arteri.
– Tipe 3 : ditemukan adanya petanda biokim.
– Tipe 4 :
A. Petanda biokim meningkat 3x lipat dari normal krn
pemasangan PCI.
B. Akibat pemasangan sten trombosis.
– Tipe 5 : troponin meningkat 5x lipat dari normal & berhub dg
operasi bypass.
• Klasifikasi
– IMA subendokardial
– IMA transmural
• Patogenesis
Aterosklerosis  nekrosis miokard akut
• Tanda dan gejala
– Nyeri yg sangat dan mendadak, diikuti rasa berkeringat; pusing;
mual; muntah
– Pada infark miokard besar bisa terjadi dyspnea & sianosis akibat
dari payah jantung
• Pemeriksaan penunjang

MEP Books Cardiovascular page 123


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

– Lab : troponin, CK-MB, mioglobin, CRP, ESR,


LDH (↑).
– Imaging : X-ray dada, echocardiography,
Thalium scanning
– EKG
• Tatalaksana
– supply O2, aspirin, NTG SL / spray
– Morfin, beta-blocker, CCB, ACEI
– Fibrinolisis
• Prognosis : Tergantung besar infark, umur, & cadangan tenaga
miokardium.
• Komplikasi
– Gagal jantung
– Stroke
– Ruptur jantung  mati mendadak
– Emboli perife

Angina Pectoris

MEP Books Cardiovascular page 124


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Klasifikasi
A. Stable/tipical Angina Pectoris
-Nyeri tumpul seperti tertindih/berat di dada, rasa desakan yg kuat dr dalam/bawah
diafragma.
-Nyeri berhub dgn aktivitas, hilang saat istirahat krn terjadi pemulihan suplai O2
-Nyeri jg dpt dipresipitasi oleh stress fisik ataupun emosional
APS: sindrom klinik yang ditandai rasa tidak nyaman pada dada/substernal agak
dikiri, menjalar leher  rahang  bahu/punggung kiri  lengan kiri dan jari-jari
bag. Ulna.
B. Unstable/cressendo/prainfark Angina Pectoris
-pasien dgn angina yg semkn ber(+) berat, sblmnya angina stabil, lalu seragangan
angina timbul lbh sering & lbh berat skt dadanya, sdgkn faktor presipitasinya makin
ringan.
-serangan jg terjd pd saat istirahat, apalg saat aktivitas.
C. Angina Varian
-Vasospasme = spasme PD yg menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan PD)

MEP Books Cardiovascular page 125


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Patofisiologi

Diagnosis

Patofisiologi

Diagnosis

MEP Books Cardiovascular page 126


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 127


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 128


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

HIPERTENSI

A. Defisnisi
Hipertensi: Peningkatan Tekanan Darah diatas normal, Tekanan yang lebih
tinggi dari 140 / 90 mmHg ( JNC on Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure ( JIVC ) ).
• Berdasarkan etiologi:
1.Hipertensi primer/esensial: Tidak diketahui penyebabnya (insidens
80-95%)
2. Hipertensi sekunder: Akibat suatu penyakit atau kelainan
mendasari, mis: stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,dsb.
• Faktor Resiko:
• Faktor genetik ( Tidak dapat diubah ) : Usia, Etnis, Keturunan
• Faktor lingkungan ( Dapat diubah ) : Diet, Obesitas/kegemukan,
merokok, kondisi penyakit lain
Klasifikasi Menurun JNC 7

MEP Books Cardiovascular page 129


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 130


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Algoritme Tatalaksana menurut JNC 8

MEP Books Cardiovascular page 131


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 132


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 133


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

COR PULMONALE

1.1 DEFINISI

Cor Pulmonale adalah keadaan patologis dengan ditemukannya


hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan kelainan fungsional dan
struktur paru. Cor pulmonale tidak termasuk kelainan karena penyakit
jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital
(WHO).

Menurut Braunwahl (1980), cor pulmonale adalah keadaan patologis


akibat hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh
hipertensi pulmonal

1.2 ETIOLOGI
 Kelainan vaskular paru
 Kelainan parenkim paru

1.3 PATOFISIOLOGI
Mekanisme Akibat Sindrom
PENYAKIT SISTEM VASKULAR PARU
Emboli besar atau Hipertensi pulmonal KP akut
multipel akibat obstruksi akut
Emboli kecil, vaskulitis, Hipertensi pulmonal KP
ARDS akibat hipoksia luas subakut
dan obstruksi
mikrovaskular
Emboli sedang dan Hipertensi pulmonal KP kronik
berulang, hipertensi akibat obstruksi
pulmonal primer; diet vaskular
dan obat vasopathy
PENYAKIT SISTEM RESPIRASI
Obstruksi KP kronik
Bronkitis kronik dan Hipertensi pulmonal
emfisema; asma akibat hipoksia,
kronik peregangan vaskular,
dan berkurangnya
pembuluh darah
Restriksi KP kronik
1. Intrinsik: fibrosis Hipertensi pulmonal
interstisial, reseksi akibat hipoksia,
MEP distorsi
Books Cardiovascular page 134
paru dan berkurangnya
vaskular
2. Ekstrinsik: obesitas, Hipertensi pulmonal
miks-edema, akibat hipoksia alveolar
kelemahan otot,
kifoskoliosis,
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1.4 MANIFESTASI KLINIS


 Gejala :
o Sesak nafas, dapat disertai mengi
o Batuk-batuk produktif, nyeri dada, mudah lelah
 Tanda :
o Takipnea, rapid pulse of small amplitude
o JVP meningkat
o Murmur sistolik dan heaving di trikuspid (LSS)
o Efusi pleura, asites, hepatomegali
o Edema di kaki
 Lab :
o Polisitemia (peningkatan Hb)
o Keseimbangan V/P terganggu  pO2 
o Hiperventilasi  pCO2 
o Tapi lama-lama bisa terjadi hiperkapnia  gagal nafas

1.5 PEMERIKSAAN
 Foto toraks:
o Pulmonal prominen  dilatasi arteri pulmonal
o Enlargement of RV  loss of retrosternal air space
 EKG:
o P pulmonal
o RAD (Right Axis Deviasi
o RVH (Right Ventricel Hypertrophy)
 Ekokardiografi:
o RVH (Right Ventricel Hypertrophy)
o Tricuspid Regurgitation
o Pulmonary Hypertension

1.6 TATALAKSANA
 Atasi penyebabnya:
o COPD: steroid, kontrol infeksi, teofllin
MEP Books Cardiovascular page 135
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

 Continuous O2 : < 2-3L/min


o Memperbaiki vasokontriksi → ↓ tekanan arteri pulmonal →
↓ resistensi vaskular sistemik → ↓ polisitemia.
 Restriksi cairan dan garam
 Inotropik
o Meningkatkan kontraktilitas RV
o Vasodilatasi arteri pulmonal → ↓ afterload RV
 Diuretik, harus hati-hati karena dapat:
o Menurunkan stroke volume
o Hipokalemia → aritmia dan asidosis metabolic

 Flebotomi

 Digoksin:

o Hanya diberikan bila disertai gagal jantung kiri

 Vasodilator

 Bila tidak membantu, atau terdapat impending gagal nafas segera


lakukan pemasangan ventilator mekanik

MEP Books Cardiovascular page 136


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG


REMATIK

1.7 DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Penyakit jantung reumatik (PJR) atau dalam reumatik heart disease


(RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup
jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama pada
katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa
dari demam rematik (DR). Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah
hasil dari DR , yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3
minggu setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
saluran nafas bagian atas.

Klasifikasi PJR memiliki 4 (empat) bagian,di antaranya insufisiensi


mitral,stenosis mitral, insufisiensi aorta, dan stenosis aorta.

a. Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral)

Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan


pada masa anak-anak dan remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan
ini bisa juga terjadi pemendekan katup, sehingga daun katup tidak
dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak
sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel
kiri ke atrium kiri selama fase sistol.

Pada kelainan ringan tidak terdapat kardiomegali, karena beban


volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna.
Insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan,karena tidak
terdapat kardiomegali yang merupakan salah satu gejala gagal
jantung.

MEP Books Cardiovascular page 137


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada


keparahannya. Pada penyakit ringan,tanda-tanda gagal jantung tidak
akan ada. Pada insufisiensi berat, terdapat tanda-tanda gagal jantung
kongestif kronis, meliputi kelelahan, lemah, berat badan turun,
pucat.

b. Stenosis Mitral

Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering


diakibatkan oleh PJR. Perlekatan antar daun-daun katup, selain
dapat menimbulkan insufisiensi mitral(tidak dapat menutup
sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat
membuka sempurna).

Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan


bertambah,sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat
menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan terjadinya gagal jantung
kanan, stenosis mitra ltermasuk ke dalam kondisi yang berat

c. Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta)

PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada


sebagian besar kasus ini terdapat penyakit katup mitralis serta
stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi
aorta,yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak
awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi
setelah proses radang rematik pada katup aorta.

Insufisiensi aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh karena itu,


insufisiensi aorta juga bisa dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang
ringan.

Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan


insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai

MEP Books Cardiovascular page 138


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa


insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk
menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung.

d. Stenosis aorta

Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke


aorta dimana lokasi obstruksi dapa tterjadi di valvuler,
supravalvuler, dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis aorta akan
dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis
aorta yang berat didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan
denyut arteri melambat.

1.8 EPIDEMIOLOGI

Penelitian retrospektif mengungkapkan negara-negara berkembang


memiliki angka tertinggi untuk terkena penyakit jantung rematik dan
tingkat kekambuhan demam rematik yang tinggi. Di seluruh dunia, ada
lebih dari 15 juta kasus penyakit jantung rematik, dengan 282.000
kasus baru dan 233.000 kematian akibat penyakit ini setiap tahun.

Penyakit jantung rematik merupakan penyebab utama morbiditas dari


demam rematik dan penyebab utama insufisiensi mitral dan stenosis di
Amerika Serikat dan dunia. Hal-hal yang berkaitan dengan keparahan
penyakit katup meliputi jumlah serangan sebelumnya demam rematik,
lamanya waktu antara timbulnya penyakit dan memulai terapi, dan
jenis kelamin. (Penyakit ini lebih parah pada wanita dibandingkan pada
pria). Insufisiensi katup karena penyakit jantung rematik akut sembuh
dalam 60-80 % dari pasien yang mematuhi penggunaan profilaksis
antibiotik.

MEP Books Cardiovascular page 139


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pada penelitian di bawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropa dan
Amerika menurun, sedangkan di Negara tropis dan sub tropis masih
terjadi peningkatan seperti karditis dan payah jantung yang meningkat.
Majeed 1992 melapoorkan insiden DR di beberapa Negara tercantum
pada table berikut :

Tabel 2. Insiden DR di beberapa negara

Negara Tahun Kel. Umur Insiden / 100.000


( th ) populasi
Inggris & wales 1963 1-14 4,7
Kuwait 1984-1988 5-14 29
Saudi arabia 1980-1984 5-14 22
Swedia 1971-1980 0-15 0,2
USA 1978 0-14 9
Iran 1975 Semua umur 59-100
Cekoslowakia 1972 1-15 8,5
Hongkong 1972 Semua umur 23
Indonesia ( belum ada laporan )

a. Ras
Penduduk Hawaii dan Maori (keduanya keturunan
Polinesia) memiliki insiden yang lebih tinggi terkena demam
rematik (13,4 per 100.000 anak per tahun dirawat di rumah
sakit), bahkan dengan profilaksis antibiotik faringitis
streptokokus.
b. Seks
Demam rematik terjadi dalam jumlah yang sama pada pria
dan wanita, tetapi prognosis lebih buruk untuk perempuan
daripada laki-laki.
c. Usia

MEP Books Cardiovascular page 140


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Demam rematik adalah penyakit pada kanak-kanak, dengan


rata-rata berusia 10 tahun, meskipun juga dapat terjadi pada
orang dewasa (20 % kasus).

1.9 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Kuman Streptokokus grup A merupakan kuman yang terbanyak


menimbulkan tonsilofaringitis, di mana juga menyebabkan demam
reumatik. Hampir semua Streptokokus grup A adalah beta hemolitik.

Infeksi terjadi apabila organisme melekat pada permukaan


endokardium selama episode bakteremia. Pada beberapa kasus,
penyebab infeksi hematogen jelas, seperti pada kasus pemakai obat
terlarang intravena yang menyuntikkan bahan tercemar secara
langsung ke dalam aliran darah; infeksi di tempat lain atau riwayat
tindakan gigi, bedah, atau intervensi lainnya (misal: kateterisasi urin)
juga dapat menyebabkan penyebaran kuman ke aliran darah.

Namun, pada kasus lain, sumber bacteremia tidak jelas dan mungkin
berkaitan dengan cedera ringan di kulit atau mukosa, seperti yang
mungkin ditemukan selama menggosok gigi. Demam reumatik dapat
menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan tentang
penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme
terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui.

Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam remautik


termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20
produk ekstrasel yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O,
streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase,
dioksiribonuklease serta streptococcal erytrogenic toxin.
Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
MEP Books Cardiovascular page 141
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat


kira-kira 20 sistem antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap
lebih lama daripada yang lain.

Anti DNAase misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna


untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea
sebagai manifestasi tunggal demam reumatik, saat kadar antibodi
lainnya sudah normal kembali.

ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal


dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi
streptococcus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik
/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikkan titer ASTO
ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap streptococcus,
maka pada 95 % kasus demam reumatik /penyakit jantung reumatik
didapatkan peninggianatau lebih antibodi terhadap streptococcus.

FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor pada individu :


1. Faktor genetic
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA
terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen
sel B spesifik dikenal dengan antibody monoklonal dengan status
reumatikus.

2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita
dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar
menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun
manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu
jenis kelamin.
MEP Books Cardiovascular page 142
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

3. Golongan etnik dan ras


Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama
maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang
kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini
harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan
yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau
bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.

4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada
timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit
ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan
puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak
antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3
tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai
dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah.
Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi
streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.

5. Keadaan gizi dan lain-lain


Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat
ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya
demam reumatik.

Faktor-faktor lingkungan :

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk


Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam
reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun
sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi

MEP Books Cardiovascular page 143


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan


penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk
segera mengobati anak yang menderita sakit sangatkurang;
pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan
kurang dan lain-lain. Semua hal inimerupakan faktor-faktor yang
memudahkan timbulnya demam reumatik.

2. Iklim dan geografi


Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit
terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai
insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula.
Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam
reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.

3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens
infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens
demam reumatik juga meningkat.

1.10 patofisiologi dan pathogenesis dan morfologi patologi anatomi

Demam reumatik yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitasi dari


antigen SGA setelah 1-4 minggu infeksi Streptococcus Grup A beta
hemolitikus di faring. Terdapat dua mekanisme yang diajukan sebagai
pathogenesis dari demam reumatik :

1. Respons hiperimun yang bersifat autoimun maupun alergi,

2. Efek langsung organisme streptococcus atau toksinnya.

Yang paling dapat diterima adalah mekanisme pertama yaitu dari sudut
imunologi, dimana reaksi autoimun terhadap infeksi streptococcus

MEP Books Cardiovascular page 144


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam


reumatik, dengan cara :

1. Streptococcus grup A akan menyebabkan infeksi faring,

2. Antigen Streptococcus akan menyebabkan pembentukan


antibody pada pejamu yang hiperimun,

3. Antibodi akan bereaksi dengan antigen streptococcus, dan


dengan jaringan pejamu yang secara antigenic sama seperti
streptococcus,

4. Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan pejamu


sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

Patofisiologi

Demam reumatik dapat menyebabkan katup jantung menjadi fibrosis


sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit
jantung yang kronik dan berat.

Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang


menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali
terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan
penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurang terarah
menyebabkan racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi
darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya
daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau
menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi
dan terjadi kebocoran.

PJR akibat DR terjadi karena sensitasi dari antigen Streptococus setelah


1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih dari 95% pasien
menunjukkan peninggian titer antistreptoksin O (ASTO),
antideoksiribonukleat B (anti DNA ase B).

MEP Books Cardiovascular page 145


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Terjadi mekanisme autoimunitas karena didapatkan rekasi


antigen-antibodi terhadap antigen streptokokus (Protein M
streptokokus ) yang ditemukan pada serum pasien DR. Rekasi ini
terjadi di miokard, otot skelet dan sel otot polos.

Pada lesi DR terdapat Abdan aschoff sebagai diagnostik


histopatologik. Umumnya terdapat pada septum fibrosa intervaskularm
di jaringan ikat perivaskular dan 50% mengenai katup mitral.

Mekanisme Imunitas Terhadap Infeksi Streptokokus

Infeksi streptokokkus akan mengaktifkan proses imun 


streptokokkus (protein M dan N asetil glukosamin) + makrofag 
dipresentasikan pada T CD4+ naif  Th1 dan Th2

Reaksi imun yang terjadi akan menyebabkan kerusakan pada sel 


pajanan yang terus menerus menyebabkan makrofag akan
meningkatkan sitoplasma dan organellanya sehingga mirip seperti sel
epitel  sel epiteloid  bergabung menjadi granuloma aschoff body
sel yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrosa  scar

Morfologi penyakit jantung rematik

 Makroskopik
Stenosis pada katup mitral. Berdasarkan penelitian yang ada
bahwa sekitar 60% dengan riwayat Demam Rematik dijumpai
stenosis pada katup mitral. Seseorang dengan stenosis katup mitral
bisa saja tidak bergejala,namun gejala umum yang sering adalah
sesak nafas saat beraktifitas,fatigue dan bedebar-debar. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan low-pitched mid-diastolic “rumble”
pada apeks ventrikel kiri.

Perikarditis adalah komplikasi yang serius dari Demam Rematik


dan prevalensinya mencapai 50% dari kasus yang ada. Dalam kasus
yang lebih lanjut mungkin pasien mengeluhkan dispnea ringan

MEP Books Cardiovascular page 146


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

sampai sedang, nyeri dada, edema, batuk ataupun ortopnea. Pada


pemeriksaan fisik suara jantung menjauh menandakan adanya efusi
perikardium.

Stenosis dan Insufisiensi Aorta Penyakit Jantung Rematik jarang


menyebabkan stenosis pada aorta, dan lebih jarang terjadi
di negara-negara maju bila dibandingkan dengan penyakit
degeneratif katup aorta danpenyakit degeneratif katup bikuspidalis.

Gambar 03. Stenosis pada katup aorta ditandai adanya nodul kalsifikasi
fokal

 Mikroskopik
Pada pemeriksaan histologi, neovaskularisasi katup jantung sering
ditemukan paska demam rematik.Aschoff bodies adalah gambaran
spesifik untuk karditis paska demam rematik, sedangkan sel
Anitschkow dapat ditemukan pada berbagai kondisi.
Bahkan Aschoff bodies dianggap patognomonik untuk Penyakit
Jantung Rematik. Aschoff bodies adalah suatu lesi fibroinflamasi
intersisial dengan makrofag dan nekrosis jaringan kolagen. Sel
Anitschkow biasanya memiliki inti yang bergelombang, disebut juga
sel ulat dan biasanya hadir bersama dengan Aschoff bodies, tetapi bisa
MEP Books Cardiovascular page 147
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

juga diihat dalam kondisi lain yang tidak berkaitan dengan Aschoff
bodies.

Gambar 04.Sel Anitschkowyang berada di sentralAschoff bodies.


Sel-sel ini tidak spesifik untuk demam rematik tetapi dapat terlihat
dalam kondisi lain. Sel Anitschkow adalah makrofag.

1.11 manifestasi klinis


Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis demam rematik
Kriteria mayor Kriteria minor
Karditis, Pankarditis Klinis : Demam, atralgia, pernah
Poliatritis menderita demam rematik
Korea Laboratorium :
Eritema marginatum -reaksi fase akut : laju endapdarah
tinggi, C-reactive protein positif
Nodul subkutan
-Interval P-R memanjang

Kriteria mayor
1. Karditis, Pankarditis

Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat


karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan
kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup

MEP Books Cardiovascular page 148


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat


ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut:
- Bising baru atau perubahan sifat bising organik
- Kardiomegali
- Perikarditis
- Gagal jantung kongesti

Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali


muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal
jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat.
Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks
(regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta),
dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul
akibat adanya dilatasi ventrikel kiri.

Pankarditis (radang pada seluruh jantung) adalah komplikasi paling


serius dan kedua paling umum dari demam reumatik (sekitar 50 %). Pada
kasus-kasus yang lebih lanjut, pasien dapat mengeluh sesak nafas, dada
terasa tidak nyaman, nyeri dada, edema (bengkak), batuk.

2. Poliartritis

Poliartritis (radang sendi dibeberapa bagian tubuh) adalah gejala


umum dan merupakan manifestasi awal dari demam reumatik (70 – 75 %).
Umumnya artritis dimulai pada sendi-sendi besar di ekstremitas bawah
(lutut dan engkel) lalu bermigrasi ke sendi-sendi besar lain di ekstremitas
atas atau bawah (siku dan pergelangan tangan). Sendi yang terkena akan
terasa sakit, bengkak, terasa hangat, kemerahan dan gerakan
terbatas.Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu
pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis
yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama.

MEP Books Cardiovascular page 149


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Gejala artritis mencapai puncaknya pada waktu 12 – 24 jam dan bertahan


dalam waktu 2 – 6 hari (jarang terjadi lebih dari 3 minggu) dan berespon
sangat baik dengan pemberian aspirin. Poliartritis lebih umum dijumpai
pada remaja dan orang dewasa muda dibandingkan pada anak-anak.

Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis)
tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar dapat
digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai
sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju
endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi
antistreptokokus lainnya yang tinggi.

3. Khorea Sydenham, khorea minor atau St. Vance, dance mengenai


hampir 15% penderita demam reumatik. Korea Sydenham ditandai oleh
adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat
dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu
sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai ke- lemahan otot
dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah
usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan.

Korea Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian


penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik
meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain.Periode laten antara mulainya
infeksi streptokokus dan mulainya gejala-gejala khorea lebih lama daripada
periode laten yang diperlukan untuk arthritis maupun karditis. Periode laten
khorea ini sekitar 3 bulan atau lebih, sedangkan periode laten untuk arthritis
dan karditis hanya 3 minggu.

Penderita dengan khorea ini datang dengan gerakan-gerakan yang tidak


terkoordinasi dan tidak bertujuan dan emosi labil. Manifestasi ini lebih
nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan stres. Penderita tampak
selalu gugup dan seringkali menyeringai. Bicaranya tertahantahan dan

MEP Books Cardiovascular page 150


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

meledak-ledak. Koordinasi otot-otot halus sukar. Tulisan tangannya jelek


dan ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap dengan garis yang
raguragu. Pada saat puncak gejalanya tulisannya tidak dapat dibaca sama
sekali.

4. Eritema Marginatum

Merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan
tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak
terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan
meluas secara sentrifugal.

Keadaan ini paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai yang
jauh dari badan, tidak melibatkan muka. Ruam makin tampak jelas bila
ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat, sementara pada
penderita berkulit hitam sukar ditemukan.

Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari


satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh
pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik
ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.

5. Nodulus subkutan

Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di
daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis.
Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan
dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai
sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak
terdapat karditis.

Kriteria Minor

MEP Books Cardiovascular page 151


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1.Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah


satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis
yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat
demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap
seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit
dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.

2.Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai
peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan
dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri
sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak
dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai
sebagai kriteria mayor.

3. Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya


mencapai 39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim
berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu.
Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat
dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak me-
miliki arti diagnosis banding yang bermakna.

4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap


darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator
nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini
hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea
merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat
bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal
jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia,
akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap
darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus

Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat

MEP Books Cardiovascular page 152


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

dibagi dalam 4 stadium :

1. Stadium I: Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A. Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan,
Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.

2. Stadium II: Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi
streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik : biasanya periode ini
berlangsung 1 – 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan
berbulan-bulan kemudian.

3. Stadium III: Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam
reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit
jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala
peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung
reumatik. Gejala peradangan umum : Demam yang tinggi, lesu, Anoreksia, Lekas
tersinggung, Berat badan menurun, Kelihatan pucat, Epistaksis, Athralgia, Rasa
sakit disekitar sendi, Sakit perut.

4. Stadium IV: Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam
reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala
sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung
reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai
dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik
maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi
penyakitnya.

1.12 diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosis kemungkinan besar demam reumatik memakai kriteria Jones


sebagai pedoman, yaitu :
 2 manifestasi mayor, atau
 1 manifestasi mayor + 2 manifestasi minor, ditambah adanya gejala infeksi
streptokokus beta hemolitikus golongan A sebelumnya.

MEP Books Cardiovascular page 153


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Kriteria ada atau tidaknya Streptococcus β hemolitic grup A harus


terpenuhi salah satu dari hal berikut:
a. Kultur tenggorokan atau hasil rapid test streptococcus antigen positif
b. Tinggi atau meningkat titer antibodi streptokokus
c. Riwayat demam rematik sebelumnya atau penyakit jantung rematik

Kriteria ini tidak mutlak, diagnosis demam rematik dapat dibuat pada pasien
dengan chorea saja jika pasien telah terpapar Streptococcus β hemolitic grup
A.Setelah diagnosis demam rematik dibuat, gejala yang konsisten dengan
gagal jantung seperti kesulitan bernapas, intoleransi dalam melakukan
kegiatan, dan detak jantung yang cepat tidak sesuai dengan demam,
mungkin indikasi karditis dan penyakit jantung rematik.

 Pemeriksaan fisik

 Murmur
Murmur demam rematik akut biasanya disebabkan oleh insufisiensi katup.
Murmur berikut yang paling sering diamati selama fase akut:
 Apikal murmur pansistolik
Adalah murmur bernada tinggi, tiupan dari murmur yang terjadi karena
regurgitasi mitral ini dapat menjalar sampai ke ketiak kiri. Murmur jenis ini
tidak terpengaruh oleh respirasi atau posisi. Insufisiensi mitral berhubungan
dengan disfungsi katup, chorda tendineae, dan muskulus papilaris.

 Murmur diastolik apikal (juga dikenal sebagai murmur Carey-Coombs)


Terdengar dengan karditis aktif dan menyertai insufisiensi mitral parah.
Mekanisme untuk murmur ini adalah stenosis mitral relatif, bergantung
pada besar volume aliran regurgitasi yang melintasi katup mitral selama
pengisian ventrikel. Murmur jenis ini terdengar jelas dengan bel stetoskop
pada pasien dengan posisi lateral kiri dan nafas saat ekspirasi.

 Basal murmur diastolik

MEP Books Cardiovascular page 154


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Adalah murmur diastolik awal regurgitasi aorta dan bernada tinggi, dapat
terdengar jelas sepanjang perbatasan sternum kanan atas dan midsternalis
kiri setelah ekspirasi yang dalam dengan posisi pasien condong ke depan.

 Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan laboratorium

 Kultur tenggorokan
Temuan kultur tenggorokan untuk Streptococcus β hemolitic grup A
biasanya negatif dengan gejala saat demam rematik atau penyakit jantung
rematik muncul. Upaya harus dilakukan untuk mengisolasi organisme
sebelum memulai terapi antibiotik untuk membantu mengkonfirmasi
diagnosis dari faringitis streptokokus.

 Rapid antigen detection test


Tes ini memungkinkan deteksi cepat antigen Streptococcus β hemolitic
grup A dan memungkinkan diagnosis faringitis streptokokus dan inisiasi
terapi antibiotik. Karena tes deteksi antigen cepat memiliki spesifisitas lebih
dari 95 % tetapi sensitivitas hanya 60-90 %, kultur tenggorokan harus
diperoleh dalam hubungannya dengan tes ini.

 Antibodi Antistreptococcal
Gambaran klinis demam rematik dimulai pada saat kadar antibodi
antistreptococcal berada di puncak demam. Dengan demikian, tes antibodi
antistreptococcal berguna untuk mengkonfirmasikan Streptococcus β
hemolitic grup A. Tingkat tinggi dari antibodi antistreptococcal berguna,
terutama pada pasien yang hadir dengan chorea sebagai satu-satunya
kriteria diagnostik. Sensitivitas untuk infeksi baru-baru ini dapat
ditingkatkan dengan menguji beberapa antibodi. Titer antibodi harus
diperiksa pada interval 2 minggu untuk mendeteksi titer meningkat.

MEP Books Cardiovascular page 155


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Antibodi antistreptococcal ekstraseluler yang paling umum diuji meliputi


antistreptolysin O (ASO), antideoxyribonuclease (DNAse) B,
antihyaluronidase, antistreptokinase, esterase antistreptococcal, dan
anti-DNA. Tes antibodi untuk komponen seluler Streptococcus β hemolitic
grup A termasuk polisakarida antistreptococcal, antibodi asam antiteichoic,
dan protein antibodi anti-M.
Ketika puncak titer ASO (2-3 minggu setelah timbulnya demam rematik),
sensitivitas tes ini adalah 80-85 %. Anti-DNAse B memiliki sensitivitas
yang sedikit lebih tinggi (90 %) untuk mendeteksi demam rematik atau
glomerulonefritis akut. Hasil Antihyaluronidase sering abnormal pada
pasien demam rematik dengan tingkat titer ASO normal dan akan naik lebih
awal dan bertahan lebih lama dari peningkatan titer ASO selama demam
rematik.

 Fase akut reaktan


Protein dan laju endap C-reaktif meningkat pada demam rematik karena
sifat inflamasi dari penyakit. Kedua tes memiliki sensitivitas yang tinggi
tetapi spesifisitas rendah untuk demam rematik. Mereka dapat digunakan
untuk memantau resolusi peradangan, mendeteksi kekambuhan saat
mengonsumsi aspirin, atau mengidentifikasi kekambuhan penyakit.

 Antibodi reaktif jantung


Tropomyosin meningkat pada demam rematik akut.

 Uji deteksi cepat untuk D8/17


Teknik immunofluorescence ini untuk mengidentifikasi penanda sel B
D8/17 positif pada 90% pasien dengan demam rematik. Ini mungkin
berguna untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk terkena demam
rematik.

 Pemeriksaan radiologi

MEP Books Cardiovascular page 156


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

 Roentgenografi dada

Kardiomegali, kongesti paru, dan temuan lain yang sesuai dengan gagal
jantung dapat terlihat pada radiografi dada. Bila pasien mengalami demam
dan gangguan pernapasan, radiografi dada membantu membedakan gagal
jantung akibat pneumonia rematik.

Gambar 2. Kardiomegali

 Doppler–echocardiogram
Dalam penyakit jantung rematik akut, Doppler-echokardiografi
mengidentifikasi dan menghitung insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel.
Dengan karditis ringan, regurgitasi mitral dapat hadir selama penyakit fase
akut tetapi sembuh dalam beberapa minggu atau bulan. Sebaliknya, pasien
dengan karditis sedang hingga parah memiliki mitral persisten dan/atau
regurgitasi aorta.
Fitur echocardiographic yang paling penting dari regurgitasi mitral dari
valvulitis rematik akut adalah dilatasi annulus, pemanjangan korda ke
anterior leaflet, dan regurgitasi mitral mengarah ke posterolateral.
Selama demam rematik akut, ventrikel kiri sering melebar. Dengan
demikian, beberapa ahli jantung percaya bahwa insufisiensi katup (dari
endokarditis), disfungsi miokard (dari miokarditis), adalah penyebab
dominan gagal jantung pada demam rematik akut.
Pada penyakit jantung rematik kronis, echocardiography dapat digunakan
untuk melacak perkembangan stenosis katup dan dapat membantu
menentukan waktu untuk intervensi bedah. Cuspis dari katup yang terkena

MEP Books Cardiovascular page 157


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

menjadi difus menebal, dengan fusi komisura dan korda tendinea.


Peningkatan echodensity katup mitral dapat menandakan kalsifikasi.

Gambar 3. Sistolik Insufisiensi Mitral

Tampilan parasternal long-axis menunjukkan insufisiensi sistolik mitral


dengan pancaran khas dengan penyakit jantung rematik (pancaran biru
membentang dari ventrikel kiri ke atrium kiri). Pancaran ini biasanya
diarahkan ke dinding lateral dan posterior. (LV : ventrikel kiri, LA : atrium
kiri, Ao : aorta, RV : ventrikel kanan).

Gambar 4. Diastolik Insufisiensi Aorta

Tampilan parasternal long-axis menunjukkan diastolik insufisiensi aorta


memiliki pancaran khas diamati dengan penyakit jantung rematik (pancaran
merah membentang dari aorta ke ventrikel kiri). (LV : ventrikel kiri, LA :
atrium kiri, Ao : aorta, RV : ventrikel kanan).
The World Heart Federation telah menerbitkan pedoman untuk
mengidentifikasi individu dengan penyakit rematik tanpa riwayat yang jelas
dari demam rematik akut. Berdasarkan gambaran 2 dimensi (2D) dan
pulsasi dan warna Doppler, pasien dibagi menjadi 3 kategori : penyakit

MEP Books Cardiovascular page 158


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

jantung rematik yang pasti, penyakit jantung rematik, dan normal. Untuk
pasien anak-anak (didefinisikan pada usia<20 tahun).

 Jantung kateterisasi
Pada penyakit jantung rematik akut, prosedur ini tidak diindikasikan. Pada
penyakit kronis, kateterisasi jantung telah dilakukan untuk mengevaluasi
penyakit katup mitral dan aorta.
Gejala postkaterisasi termasuk perdarahan, nyeri, mual dan muntah, dan
obstruksi arteri atau vena dari trombosis atau spasme. Komplikasi mungkin
termasuk insufisiensi mitral setelah dilatasi balon katup mitral, takiaritmia,
bradiaritmia, dan oklusi pembuluh darah.

 EKG
Pada EKG, takikardia sinus paling sering menyertai penyakit
jantung rematik akut. Tidak ada korelasi antara bradikardi dan tingkat
keparahan karditis.
Tingkat pertama atrioventrikular (AV) block (perpanjangan interval
PR) diamati pada beberapa pasien dengan penyakit jantung rematik.
Kelainan ini mungkin terkait dengan peradangan miokard lokal yang
melibatkan AV node atau vaskulitis yang melibatkan arteri nodal AV. Blok
AV tingkat pertama adalah penemuan yang spesifik dan tidak boleh
digunakan sebagai kriteria untuk diagnosis penyakit jantung rematik.
Keberadaannya tidak berkorelasi dengan perkembangan penyakit jantung
rematik kronis.
Tingkat dua (intermittent) dan tingkat tiga (lengkap) AV blok
dengan perkembangan ventrikel berhenti telah dijelaskan. Blok jantung
dalam pengaturan demam rematik, bagaimanapun, biasanya sembuh
dengan sisa proses penyakit.
Ketika demam rematik akut dikaitkan dengan perikarditis, elevasi
segmen ST dapat hadir dan kebanyakan pada lead II, III, aVF, dan V4-V6.

Diagnosis Banding
MEP Books Cardiovascular page 159
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1. Appendicitis
Usus buntu adalah akhir dari struktur tubular dari sekum. Apendisitis
merupakan hasil dari peradangan akut usus buntu dengan gejala sakit perut
yang hebat seperti yang dialami pada penyakit jantung koroner. Pada
penyakit jantung rematik terjadi peradangan mikrovaskuler mesenterika
akut sedangkan pada appendicitis peradangan pada appendix.

2. Dilatasi kardiomiopati
penyakit progresif otot jantung yang ditandai dengan pembesaran ruang
ventrikel dan disfungsi kontraktil dengan penebalan dinding ventrikel kiri
(LV). Ventrikel kanan juga dapat melebar dan disfungsional. Dilatasi
Cardiomyopathy adalah penyebab paling umum ketiga gagal jantung dan
alasan yang paling sering untuk transplantasi jantung. Gejala yang sering
timbul yaitu kelelahan, Dyspnea saat aktivitas, sesak napas, Ortopnea
hampir sama dengan penyakit jantung rematik.

3. Coccidioidomycosis
Disebabkan oleh Coccidioides immitis, jamur asli tanah di San Joaquin
Valley of California, dan dengan C.posadasii. Gejala yang timbul seperti
demam, batuk, nyeri dada, sesak napas, eritema.

4. Kawasaki disease
Penyakit Kawasaki (KD) adalah sindrom vaskulitis demam akut anak usia
dini, meskipun memiliki prognosis yang baik dengan pengobatan, dapat
menyebabkan kematian karena adanya aneurisma arteri koroner (CAA)
dalam persentase pasien yang sangat kecil. Gejalanya berupa miokarditis
dan perikarditis, sama dengan penyakit jantung rematik. Namun penyakit
jantung rematik tidak diderita anak usia dini seperti kawasaki disease.

1.13 Penatalaksanaan
1. Tirah baring

MEP Books Cardiovascular page 160


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Semua penderita demam rematik harus tinggal di rumah sakit. Penderita


dengan artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak
perlu menjalani tirah baring secara ketat. Akan tetapi, apabila terdapat
karditis yang berat (dengan gagal jantung kongestif), penderita harus tirah
baring total paling tidak selama pengobatan kortikosteroid. Lama tirah
baring yang diperlukan sekitar 6-8 minggu, yang paling menentukan
lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah
penilaian klinik dokter yang merawat. Sebagai pedoman, tirah baring
sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda demam rematik akut
telah mereda, suhu kembali normal dalam keadaan istirahat, dan pulihnya
fungsi jantung secara optimal.

2. Eradikasi Kuman Streptokokus


Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam
rematik dapat ditegakkan, obat pilihan pertama (drug of choice) adalan
penisilin G benzatin karena dapat diberikan dalam dosis tunggal, sebesar
600.000 unit untuk anak dibawah 30 kg dan 1,2 juta unit untuk penderita
diatas 30 kg. Pilihan berikutnya adalah penisilin oral 250 mg 4 kali sehari
diberikan selama 10 hari. Bagi yang alergi terhadap penisilin, eritromisin 50
mg/kg/hari dalam 4 dosis terbagi selama 10 hari dapat digunakan sebagai
obat eradikasi pengganti.
Obat alternatif untuk terapi demam rematik adalah Amoxicillin. Dosis
dewasa 500 mg PO setiap 6 jam selama 10 hari, dosis anak <12 tahun 25-50
mg/kg/hari PO dibagi 3 ata 4 kali per hari, tidak melebihi 3 g/hari, dan dosis
anak >12 tahun sama seperti orang dewasa.

 Obat anti radang


Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam.
Obat ini digunakanuntuk memperkuat diagnosis karena artritis demam
rematik memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisilat.

MEP Books Cardiovascular page 161


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

a. Natrium Salisilat diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari


dalam 4-6 dosis terbagi dalam 2-4 minggu kemudian diturunkan
menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu.

b. Aspirin dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis pada


anak-anak sebesar 15-25 mg/kg/hari dalam 4-6 minggu terbagi
dalam seminggu yang kemudian diturunkan menjadi separuhnya.
Dosis untunorang dewasa dapat mencapai 0.6-0.9 g setiap 4 jam.

c. Kortikosteroid dianjurkan pada demam rematik dengan gagl


jantung. Obat ini meredakan proses peradangan akut, meskipun
tidak mempengaruhi insiden dan berat ringannya kerusakan pada
jantung akibat demam rematik.

d. Prednison diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis


selama 2 minggu. Kemudian diturunkan menjadi 1 mg/kg/hari
selama minggu ke-3 dan selanjutnya dikurangi lagi sampai habis
se;ama i-2 minggu berikutnya. Untuk menurunkan resiko terjadinya
rebound phenomenon, pada awal minggu ke3 ditambahkan aspirin
50-75 mg/kg/hari selama 6 minggu berikutnya.

e. Neuroleptic agents (Haloperidol)


Neuroleptic agents diberikan untuk mengatasi korea yang terjadi.
Haloperidol merupakan dopamine receptor blocker yang dapat
digunakan untuk mengatasi gerakan spasmodik iregular dari otot
wajah. Pemberian obat ini tidak selalu harus diberikan karena korea
dapat sembuh dengan istirahat dan tidur tanpa pengobatan. Dosis
pemberian haloperidol:

1. Dewasa: 0.5-2 mg PO 2 atau 3 kali per hari


2. Anak-anak: <3 tahun: tidak diberikan
3. 3-12 tahun: 0.25-0.5 mg/hari 2 atau 3 kali per hari.

MEP Books Cardiovascular page 162


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

4. >12 tahun: sama seperti dosis dewasa (Parillo, 2010; Meador


2009).

f. Inotropic agents (Digoxin)


Digoxin dapat diberikan untuk mengatasi kelemahan jantung yang
terjadi tetapi efek terapetiknya masih rendah untuk penyakit jantung
rematik. Kelemahan jantung yang terjadi umumnya dapat diatasi
dengan istirahat ataupun pemberian diuretik dan vasodilator (D.
Manurung, 1998; Meador, 2009). Dosis pemberian digoxin:
1. Dewasa: 0.125-0.375 mg PO 4 kali pemberian
2. Anak-anak<2 tahun: tidak
3. 2-5 tahun: 30-40 mcg/kg PO
4. 5-10 tahun: 20-35 mcg/kg PO
5. >10 tahun: 10-15 mcg/kg PO (Parillo, 2010; Meador 2009).

Antibiotik

a. Penicillin G benzathine
1. Merupakan drug of choice untuk demam rematik.
2. Dosis dewasa: 2.4 juta U IM satu kali pemberian
3. Anak-anak: Bayi dan anak dengan berat badan kurang dari 27 kg:
600,000 U IM satu kali
pemberian. Anak dengan berat badan lebih dari 27 kg: 1.2 juta U IM satu
kali pemberian.
Kombinasi 900,000 U benzathine penicillin dan 300,000 U procaine
penicillin dapat digunakan pada anak yang lebih kecil (Parillo, 2010;
Meador 2009).

b. Penicillin G procaine

1. Dosis dewasa 2.4 juta U IM satu kali pemberian


2. Bayi dan anak dengan berat badan <27 kg: 600.000 U IM - 1,2 juta Unit IM
(Parillo, 2010; Meador 2009).

MEP Books Cardiovascular page 163


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

c. Amoxicillin
1. Amoxicillin merupakan obat alternatif untuk terapi demam rematik.
2. Dosis dewasa: 500 mg PO setiap 6 jam selama 10 hari
3. Anak <12 tahun: 25-50 mg/kg/hari PO dibagi 3 ata 4 kali per hari, tidak
melebihi 3 g/hari. Anak >12 tahun: sama seperti orang dewasa (Parillo, 2010;
Meador 2009).

d. Erythromycin
1. Merupakan DOC untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
2. Dosis dewasa: 1 g/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari
3. Anak-anak: 30-50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari (Parillo, 2010;
Meador 2009).

e. Azithromycin
Azithromycin dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin.
Dosis azithromycin:
1. Dewasa: 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg/hari untuk 4 hari berikutnya.
2. Anak-anak:10 mg/kg pada hari pertama diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4 hari
berikutnya (Parillo, 2010; Meador 2009).

Pencegahan

1. Pencegahan Primer

MEP Books Cardiovascular page 164


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Upaya pencegahan infeksi Streptococus beta hemolitikus Grup A


sehinga tercegah dari dsemam rematik
Pencegahan primer DR dapat diatasi dengan antibiotika Penisilin V atau
Benzatin penisilin parenteral yang adekuat terhadap kuman SGA.

2. Pencegahan Sekunder
Upaya mencegah mentapnya infeksi Streptococus beta hemolitikus
Grup A pada bekas pasien Demam Rematik.
- DR dengan karditis dan atau PJR (kelainan katup) dilakukan
pencegahan sekunder selama 10 tahun sesudah serangan akut
sampai umur 40 tahun dan kadang kadang memerlukan waktu
seumur hidup.
- DR dengan karditis tanpa PJR dilakukan pengobatan sekunder
selama 10 tahun.
- DR saja tanpa karditis dilakukan pengobatan pencegahan sekunder
selama 5 tahun sampai umur 21 tahun.

American Heart Association (AHA) 1988 merekomendasikan perlunya


tindakan pencegahan sekunder yang berkelanjutan dengan protokol seperti
yang dianjurkan oleh Irvington House Group . Namun hal ini dipersulit
dengan penentuan jangka waktu pemberian pencegahan sekunder tersebut.
Pencegahan sekunder ini akan efektif apabila dilakukan secara teratur
dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, pencegahan primer
membutuhkan kelanjutan dari pencegahan sekunder dengan Benzatin
Penisilin G yang long acting (diperlukan untuk mencegah kelainan
hemodinamik pada sirkulasi darah jantung).

Protokol tetap yang dilaksanakan sebagai pencegahan sekunder adalah :

- Umur pasien <20 tahun mendapat suntikan Benzatin Penisilin G tiap


1.2 juta unit tiap 4 minggu sampai umur 25 tahun.
- Umur pasien >20 tahun mendapatkan suntikan Benzatin Penisilin
selama 5 tahun

MEP Books Cardiovascular page 165


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Setelah mencapai protokol 1 dan 2 namun asih terjadi kekambuhan


maka kembali diberikan suntikan Benzatin Penisilin G dengan dosis
1.2 juta unit tiap 4 minggu selama 5 tahun berikutnya (tiap 3 minggu
bila ksusnya berat).

1.14 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR)
diantaranya adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan
di seluruh bagian jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli
atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian
sel jantung).

1.15 Prognosis

Demam reumatik tidak akan kambuh bila infeksi Streptokokus diatasi.


Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan
serangan akut demam reumatik. Selama 5 tahun pertama perjalanan
penyakit demam reumatik dan penyakit jantung reumatik tidak
membaik bila bising organik katup tidak menghilang, (Feinstein AR
dkk, 1964).

Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat dan ternyata


demam reumatik akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5
tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun.

Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan


pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Ada penelitian
melaporkan bahwa stenosis mitralis sangat tergantung pada beratnya
karditis, sehingga kerusakkan katup mitral selama 5 tahun pertama
sangat mempengaruhi angka kematian demam reumatik ini. (Irvington
House Group & U.K and U.S 1965). Penelitian selama 10 tahun yang
mereka lakukan menemukan adanya kelompok lain terutama kelompok
perempuan dengan kelainan mitral ringan yang menimbulkan payah

MEP Books Cardiovascular page 166


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

jantung yang berat tanpa diketahui adanya kekambuhan demam


reumatik atau infeksi streptokokus. (Stresser, 1978).

Adanya atau tidak adanya kerusakan jantung permanen menentukan


prognosis jantung reumatik. Perkembangan dari penyakit jantung
residual dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :

1. Keadaan jantung pada awal terapi. Semakin berat keterlibatan


jantung pada saat pertama kali pasien diperiksa, semakin besar
resiko timbulnya kelainan jantung residual.

2. Kekambuhan demam reumatik. Semakin berat keterlibatan katup,


maka angka kekambuhannya semakin tinggi.

3. Regresi dari gangguan jantung. Bukti adanya keterlibatan jantung


pada serangan awal mungkin tidak terlihat pada 10 – 25 % pasien,
dan baru nampak kurang lebih 10 tahun setelah serangan awal.

MEP Books Cardiovascular page 167


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ENDOKARDITIS, MIOKARDITIS, DAN


PERIKARDITIS

ENDOKARDITIS

A.Definisi

Endokarditis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh


mikroorganisme pada endokardium atau katup jantung. Infeksi
endokarditidis biasanya terjadi pada jantung yang telah mengalami
kerusakan.

Dahulu Infeksi pada endokard banyak disebabkan oleh bakteri sehingga


disebut endokariditis bakterial. Sekarang infeksi bukan disebabkan oleh
bakteri saja, tetapi bisa disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti jamur,
virus, dan lain-lain.

Perjalanan penyakit ini bisa; akut, sub akut, dan kronik, tergantung pada
virulensi mikroorganisme dan daya tahan penderita. Infeksi subakut hampir
selalu berakibat fatal, sedangkan hiperakut/akut secara klinis tidak pernah
ada, karena penderita meninggal terlebih dahulu yang disebabkan karena
sepsis. Endokarditis kronik hampir tidak dapat dibuat diagnosanya, karena
gejalanya tidak khas.

B.Penyebab

Endokarditis paling banyak disebabkan oleh streptokokus


viridans yaitu mikroorganisme yang hidup dalam saluran napas bagian
atas. Sebelum ditemuklan antibiotik, maka 90 - 95 % endokarditis infeksi
disebabkan oleh streptokokus viridans, tetapi sejak adanya antibiotik

MEP Books Cardiovascular page 168


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

streptokokus viridans 50 % penyebab infeksi endokarditis yang merupakan


1/3 dari sumber infeksi.

Penyebab lain dari infeksi endokarditis yang lebih patogen yaitu


stapilokokus aureus yang menyebabkan infeksi endokarditis subakut.
Penyebab lainnya adalah stertokokus fekalis, stapilokokus, bakteri gram
negatif aerob/anaerob, jamur, virus, ragi, dan kandida.

C. Patofisiologi

Kuman paling sering masuk melalui saluran napas bagian atas selain itu
juga melalui alat genital dan saluran pencernaan, serta pembuluh darah
dan kulit. Endokard yang rusak dengan permukaannya tidak rata
mudah sekali terinfeksi dan menimbulakan vegetasi yang terdiri atas
trombosis dan fibrin.

Vaskularisasi jaringan tersebut biasanya tidak baik, sehingga memudahkan


mikroorganisme berkembang biak dan akibatnya akan menambah
kerusakan katup dan endokardium, kuman yang sangat patogen dapat
menyebabkan robeknya katup hingga terjadi kebocoran. Infeksi dengan
mudah meluas ke jaringan sekitarnya, menimbulkan abses miokard atau
aneurisme nekrotik.

Bila infeksi mengenai korda tendinae maka dapat terjadi ruptur yang
mengakibatkan terjadinya kebocoran katub.
Pembentukan trombus yang mengandung kuman dan kemudian lepas dari
endokard merupakan gambaran yang khas pada endokarditis infeksi.
Besarnya emboli bermacam-macam. Emboli yang disebabkan jamur
biasanya lebih besar, umumnya menyumbat pembuluh darah yang besar
pula. Tromboemboli yang terinfeksi dapat terangkut sampai di otak, limpa,
ginjal, saluran cerna, jantung, anggota gerak, kulit, dan paru.

MEP Books Cardiovascular page 169


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Bila emboli menyangkut di ginjal, akan meyebabkan infark ginjal,


glomerulonepritis. Bila emboli pada kulit akan menimbulkan rasa sakit dan
nyeri tekan.

D. Gejala dan Diagnosa

Sering penderita tidak mengetahui dengan jelas gejalanya. Sejak kapan


penyakitnya mulai timbul , misalnya sesudah cabut gigi, mulai kapan
demam, letih-lesu, keringat malam banyak, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun, sakit sendi, sakit dada, sakit perut, hematuria, buta
mendadak, sakit pada ekstremitas (jari tangan dan kaki), dan sakit pada
kulit.

a. Gejala umum

Demam dapat berlangsung terus-menerus retermiten / intermiten atau tidak


teratur sama sekali. Suhu 38 – 40o C terjadi pada sore dan malam hari, kadang
disertai menggigil dan keringat banyak. Anemia ditemukan bila infeksi telah
berlangsung lama. pada sebagian penderita ditemukan pembesaran hati dan
limpha.

b. Gejala Emboli dan Vaskuler Ptekia

Timbul pada mukosa tenggorok, muka dan kulit (bagian dada). umumya
sukar dibedakan dengan angioma. Ptekia di kulit akan berubah menjadi
kecoklatan dan kemudian hilang, ada juga yang berlanjut sampai pada masa
penyembuhan. Emboli yang timbul di bawah kuku jari tangan (splinter
hemorrhagic).

c. Gejala Jantung

MEP Books Cardiovascular page 170


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Tanda-tanda kelainan jantung penting sekali untuk menentukan adanya


kelainan katub atau kelainan bawaan seperti stenosis mitral, insufficiency
aorta, patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VCD),
sub-aortic stenosis, prolap katub mitral. Sebagian besar endocarditis
didahului oleh penyakit jantung, tanda-tanda yang ditemukan ialah sesak
napas, takikardi, palpasi, sianosis, atau jari tabuh (clubbing of the
finger). Perubahan murmur menolong sekali untuk menegakkan diagnosis,
penyakit yang sudah berjalan menahun, perubahan murmur dapat
disebabkan karena anemia . Gagal jantung terjadi pada stadium akhir
endokarditis infeksi, dan lebih sering terjadi pada insufisiensi aorta dan
insufisiensi mitral, jarang pada kelainan katub pulmonal dan trikuspid serta
penyakit jantung bawaan non valvular

E.Diagnosa

Diagnosis endokarditis infeksi dapat ditegakkan dengan sempurna bila


ditemukan kelainan katup, kelainan jantung bawaan, dengan murmur ,
fenomena emboli, demam dan pembiakan darah yang positif. Endokarditis
paska bedah dapat diduga bilamana terjadi panas, leukositosis dan anemia
sesudah operasi kardiovaskuler atau operasi pemasangan katub jantung
prostetik.

F.Penatalaksanaan selama kehamilan

Endokarditis bisa didapati wanita semasa kehamilan tanpa diketahui adanya


kelainan jantung, dan kelainan struktur jantung merupakan resiko yang terbesar
untuk mengalami infektif endokarditis.

Penampilan klinis infektif endokarditis semasa kehamilan sama dengan


kasus infektif endokarditis lainnya. Streptokokus merupakan penyebab
tersering. Stafilokokus sering didapati pada pemakai salah guna obat

MEP Books Cardiovascular page 171


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

intravena dan infeksi gram negatif -terutama Escheria coli- sering didapati
sebagai penyebab pada wanita dengan infeksi traktus urogenital.

Pencegahan untuk terjadinya infektif endokarditis diperlukan dalam


penatalaksanaan infektis endokarditis. Dianjurkan pemberian antibiotika
profilaksis pada saat akan dilakukan pencabutan gigi, tindakan pembedahan
atau saat melahirkan.

Jika endokarditis telah terjadi diperlukan terapi medik yang agresif dan
optimal dan tindakan pembedahan dapat dilakukan semasa kehamilan. Jika
tindakan bedah jantung terbuka diperlukan pacta kehamilan lanjut, tindakan
seksio sesaria yang bersamaan dapat dipertimbangkan.

MIOKARDITIS

A. Definisi

Miokarditis adalah radang otot jantung atau miokard. Peradangan ini dapat
disebabkan oleh penyakit reumatik akut dan infeksi virus seperti cocksakie
virus, difteri , campak, influenza , poliomielitis, dan berbagai macam
bakteri, rikettsia, jamur, dan parasit.

Miokarditis menyerang semua umur . Sebagian besar dapat sembuh


spontan. Miokarditis post mortem karena peradangan fokal atau difus.
Miokarditis sering disertai radang perikard atau mioperikarditis.

B. Penyebab

Miokarditis disebabkan oleh penyakit reumatik akut dan infeksi virus


seperti cocksakie virus, difteri , campak, influenza , poliomielitis, dan
berbagai macam bakteri, rikettsia, jamur, dan parasit.

MEP Books Cardiovascular page 172


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

C.Patofisiologi
Kerusakan miokardium oleh kuman-kuman infeksius ini dapat melalui tiga
mekanisme dasar sebagai berikut.
a. Invasi langsung ke miokardium
b. Proses imunologis terhadap miokardium
c. Mengeluarkan toksin yang merusak miokardium

Proses miokarditis viral ada dua tahap, fase pertama (akut) berlangsung
kira-kira 1 minggu dimana terjadi invasi virus ke miokardium, replikasi
virus dan lisis sel. Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus
akan dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan makrofag
dan neutral killer cell (sel NK).

Fase kedua miokardium akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan sistem
imun akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibodi terhadap
miokardium, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus.
Fase ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti
kerusakan miokardium dan yang minimal sampai yang berat.

Enterovirus sebagai penyebab miokarditis viral juga merusakkan sel-sel


endotel dan terbentuknya antibodi endotel, diduga sebagai penyebab
spasme mikrovaskular. Walaupun etiologi kelainan mikrovaskular belum
pasti, tetapi sangat mungkin berasal dari respon imun atau kerusakan
endotel akibat infeksi virus.
Jadi pada dasarnya terjadi spasme sirkulasi mikro yang menyebabkan
proses berulang antara obstruksi dan reperfusi yang mengakibatkan
larutnya matriks miokardium dan habisnya otot jantung secara fokal
menyebabkan rontokya serabut otot, dilatasi jantung dan hipertrofi miosit
yang tersisa. Akhirnya proses ini mengakibatkan habisnya kompensasi
mekanis dan biokimiawi yang berakhir dengan payah jantung.

D. Gejala dan diagnose

MEP Books Cardiovascular page 173


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Gejala klinis dari miokarditis tidak khas, kelainan ECG sepintas, jarang
menyebabkan pembesaran jantung, irama gallop dan dekompensasi
jantung. Miokarditis oleh reuma akut disertai gejala berat .

Gejala yang sering ditemukan:

a. Takikardia.
Peningkatan suhu akibat infeksi menyebabkan frekuensi denyut nadi
akan meningkat lebih tinggi .

b. Bunyi jantung melemah, disebabkan penurunan kontraksi otot


jantung. Katub-katub mitral dan trikuspid tidak dapat ditutup dengan
keras

c. Auskultasi: gallop, gangguan irama supraventrikular dan


ventrikular.

d. Gagal jantung.

e. Dekompensasi jantung terutama mengenai jantung sebelah


kanan.

E.Diagnosis

Bila tanda infeksi penyakit lain tidak ditemukan (decomp kanan,


penyakit jantung bawaan, penyakit katub jantung , penyakit jantung
koroner dan lain-lain) maka perlu dipikirkan ke miokarditis. Sukar
dibedakan kardiomiopati kongestif, tetapi dengan pemeriksaan
echografi dapat membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan EKG,
histologik dan mikroskopik elektron dan pemeriksaaan
immunofluoresensi juga membantu.

MEP Books Cardiovascular page 174


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

F. Penatalaksanaan
- Tirah baring sampai keadaan membaik
· Analgetik dapat diberikan untuk mengurangi nyeri
· Kortikosteroid untuk mengontrol gejala dan mencegah efusi perikard
· Perikarditis akibat tuberculosis di obati dengan,isomiasid,etambutol
hidroklorid, rifampin, dan streptomisin,
· Bila kondisi pasien sudah membaik aktivitas harus ditingkatkan
secara bertahap. Tetapi bila nyeri ,demam atau friction rub kembali muncul,
pasien harus segera tirah baring.

PERIKARDITIS

A.Definisi

Perikarditis adalah peradangan perikard parietal, viseral atau keduanya.


Perikarditis dibagi atas perikarditis akut, sub akut dan kronis. Yang sub akut
dan kronis mempunyai etiologi dan pengobatan yang sama.
Perikarditis akut disertai dengan nyeri dada dan abnormalitas EKG, serta
ditemukan perikardial friction rub (trias klasik).

B. Penyebab
Penyakit idiopatik (beningna), infeksi non spesifik (virus, bakteri, jamur ,
TBC, penyakit kolagen, artritis reumatoid, sistemic lupus eritromatosus,
neoplasma seperti mesotelioma, tumor metastasis, trauma, radiasi, uremia,
infark miokard akut, dressler sindrom, sindrom paska perikardiotomi , dan
diseksi aorta).

Walaupun banyak penyebab perikarditis akut, penyebab paling sering


dengan urutan adalah : infeksi virus, infeksi bakteri, uremia, trauma,
sindrom paska infark, sindrom paska perikardiotomi, neoplasma dan
idiopatik.

MEP Books Cardiovascular page 175


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

C. Patofisiologi

Proses inflamasi dan akibat sekunder dari fenomena infeksi pada perikaditis
akan memberikan respon sebagai berikut :

a. Terjadinya vasodilatassi dengan peningkatan akumulasi cairan ke


kantong perikardium.

b. Peningkatan permeabilitas vaskular sehingga kandungan protein,


termasuk fibrinogen atau fibrin di dalam cairan akan meningkat,

c. Peningkatan perpindahan leukosit terutama pada perikarditis


purulenta
d, Perdarahan akibat trauma tembus juga merupakan penyebab
yang mungkin.

Perubahan patologis selanjutnya yang terjadi berupa terbentuknya


jaringan parut dan perlengketan disertai klasifikasi lapisan
perikardium viseral maupun parietal yang menimbulkan suatu
perikaditis konstriktif yang apabila cukup berantakan menghambat
pengembangan volume jantung pada fase diastolik.

Pada kondisi lain terakumulasinya cairan pada perikardium yang


sekresinya melebihi absorpsi menyebabkan suatu efusi perikardium.
Pengumpulan cairan intraperikardium dalam jumlah yang cukup
untuk menyebabkan obstruksi serius terhadap masuknya darah ke
kedua bilik jantung bisa menimbulkan tamponade jantung.

Salah satu komplikasi perikarditis paling fatal dan memerlukan


tindakan darurat adalah tamponade. Tamponade jantung merupakan

MEP Books Cardiovascular page 176


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

akibat peninggian tekanan intraperikardium dan restriksi progresif


pengisian ventrikel.

D. Gejala dan Diagnosa

Gejala
Sakit dada sub sternal/para sternal , kadang menjalar ke bahu, lebih
ringan bila duduk. Pemeriksaan klinik ditemukan perikardial
friction rub dan pembesaran jantung. Tanda-tanda penyumbatan
ditemukan lewat tekanan vena meningkat, hematomegali dan edema
kaki, bunyi jantung lemah, tetapi dapat normal bila efusi perikard
berada dibelakang.

Foto rontgen tampak normal bila efusi perikar sedikit. Tampak


bayangan jantung membesar bila efusi perikard banyak. EKG
memperlihatkan segmen ST tanpa perubahan resiprokal, voltase
QRS rendah.

Pemeriksaan Echo: M-mode dua dimensi sangat baik untuk


memastikan adanya efusi dan banyaknya cairan .

Diagnosa
a. Keluhan pokok :
1) Demam
2) Nyeri dada mirip angina pectoris dan perikarditis
3) Palpitasi
4) Sesak napas

b. Tanda pokok :
1) Takikardi
2) Kardomegali (cepat terjadi)
3) Bunyi jantung melemah

MEP Books Cardiovascular page 177


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

4) Irama gallop; Tanda-tanda gagal jantung, terutama gagal


jantung kanan.

c. Pemeriksaan laboratorium :
1) Pemeriksaan EKG
2) Foto Thorax

E. Penatalaksanaan
a. Terapi Umum
1. Istirahat : istirahat selama 2-3 minggu
2. Diet
3. Medikamentosa
• Analgetik
• Prednison 3-4 x 10 mg/hari.

b. Terapi Komplikasi
• Perikardiosentesis

MEP Books Cardiovascular page 178


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

KELAINAN JANTUNG KONGENITAL

4.1 DEFINISI
Kelainan kongenital merupakan wujud semasa atau sebelum kelahiran
atau semasa dalam kandungan dan termasuk di dalamnya ialah kelainan
jantung. Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital
merupakan abnormalitas dari struktur dan fungsi sirkulasi jantung pada
semasa kelahiran.

Malformasi kardiovaskuler kongenital tersebut berasal dari kegagalan


perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Penyakit
jantung kongenital di Indonesia ikut bertanggung jawab terhadap besarnya
mortalitas dan morbiditas pada anak khususnya balita, di samping penyakit
lain, misalnya penyakit infeksi.

Penyakit jantung bawaan sekitar 1% dari keseluruhan bayi lahir hidup dan
merupakan penyebab utama akibat kecacatan sewaktu kelahiran. Sebagian
besar pengidap PJB tersebut meninggal dunia ketika masih bayi kecuali
masalah ini dapat dideteksi lebih awal sehingga penanganan baik terhadap
penyakit utama maupun penyakit penyerta dapat lebih optimal.

4.2 EPIDEMIOLOGI
Telah disebutkan bahwa penyakit jantung bawaan terjadi sekitar 1% dari
keseluruhan bayi lahir hidup atau sekitar 6-8 per 1000 kelahiran. Pada negara
Amerika Serikat setiap tahun terdapat 25.000-35000 bayi lahir dengan PJB.
Terdapat hal menarik dari PJB yakni insidens penyakit jantung bawaan di
seluruh dunia adalah kira-kira sama serta menetap dari waktu-waktu. Meski
demikian pada negara sedang berkembang yang fasilitas kemampuan untuk
menetapkan diagnosis spesifiknya masih kurang mengakibatkan banyak
neonatus dan bayi muda dengan PJB berat telah meninggal sebelum diperiksa
ke dokter.

MEP Books Cardiovascular page 179


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pada negara maju sekitar 40-50% penderita PJB terdiagnosis pada umur 1
minggu dan 50-60% pada usia 1 bulan. Sejak pembedahan paliatif atau
korektif sekarang tersedia untuk lebih 90% anak PJB, jumlah anak yang
hidup dengan PJB bertambah secara dramatis, namun keberhasilan intervensi
ini tergantung dari diagnosis yang dini dan akurat.Oleh sebab itu insidens
penyakit jantung bawaan sebaiknya dapat terus diturunkan dengan
mengutamakan peningkatan penanganan dini pada penyakit jantung bawaan
tetapi juga tidak mengesampingkan penyakit penyerta yang mungkin
diderita. Hal ini ditujukan untuk mengurangi angka mortalitas dan morbisitas
pada anak dengan PJB.

4.3 KLASIFIKASI
Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok
besar berdasarkan pada ada atau tidak adanya sianosis, yang dapat ditentukan
melalui pemeriksaan fisik. Klasifikasi penyakit jantung bawaan menjadi PJB
sianotik dan PJB asianotik tersebut sering dikenal dengan klasifikasi klinis.
Tapi bagi kelainan jantung kongenital yang lebih komplek bentuknya,
klasifikasi segmental mungkin lebih tepat –suatu pendekatan diagnosis
berdasarkan anatomi dan morfologi bagian-bagian jantung secara rinci dan
runut.

Penyakit jantung bawaan asianotik atau non sianotik umumnya memiliki


kelainan yang lebih sederhana dan tunggal sedangkan tipe sianotik biasanya
memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan bervariasi. Baik
keduanya hampir 90% memerlukan intervensi bedah jantung terbuka untuk
pengobatannya. Sepuluh persen lainnya adalah kelainan seperti kebocoran
sekat bilik jantung yang masih mungkin untuk menutup sendiri seiring
dengan pertambahan usia anak.

4.3.1 Penyakit Jantung Bawaan Asianotik


Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi

MEP Books Cardiovascular page 180


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

jantung yang dibawa sejak lahir dan sesuai dengan namanya, pasian ini tidak
ditandai dengan sianosis. Penyakit jantung bawaan ini merupakan bagian
terbesar dari seluruh penyakit jantung bawaan. Bergantung pada ada tidaknya
pirau (kelainan berupa lubang pada sekat pembatas antar jantung), kelompok
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1) PJB asianotik dengan pirau

Adanya celah pada septum mengakibatkan terjadinya aliran pirau (shunt)


dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan darah di
ruang jantung sisi kiri lebih tinggi disbanding sisi kanan, maka aliran pirau
yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran darah paru
berlebihan. Aliran pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang
menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka.

Karena darah yang mengalir dari sirkulasi darah yang kaya oksigen ke
sirkulasi darah yang miskin oksigen, maka penampilan pasien tidak biru
(asianotik). Namun, beban yang berlebihan pada jantung dapat menyebabkan
gagal jantung kiri maupun kanan. Yang termasuk PJB asianotik dengan aliran
pirau dari kiri kanan ialah :

a) Atrial Septal Defect (ASD)


Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah kelainan akibat
adanya lubang pada septum intersisial yang memisahkan antrium kiri dan
kanan. Defek ini meliputi 7-10% dari seluruh insiden penyakit jantung
bawaan dengan rasio perbandingan penderita perempuan dan laki-laki 2:1.

Berdasarkan letak lubang defek ini dibagi menjadi defek septum atrium
primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, defek septum atrium
sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis dan defek sinus
venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus, serta defek sinus
koronarius.

MEP Books Cardiovascular page 181


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Sebagian besar penderita defek atrium sekundum tidak memberikan gejala


(asimptomatis) terutama pada bayi dan anak kecil, kecuali anak sering batuk
pilek sejak kecil karena mudah terkena infeksi paru. Bila pirau cukup besar
maka pasien dapat mengalami sesak napas.

Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik yakni dengan askultasi


ditemukan murmur ejeksi sistolik di daerah katup pulmonal di sela iga 2-3
kiri parasternal. Selain itu terdapat juga pemeriksaan penunjuang seperti
elektrokardiografi (EKG) atau alat rekam jantung, foto rontgen jantung,
MRI, kateterisasi jantung, angiografi koroner, serta ekokardiografi.
Pembedahan dianjurkan untuk semua penderita yang bergejala dan juga yang
tidak bergejala dan penutupan defek tersebut dilakukan pada pembedahan
jantung terbuka dengan angka mortalitas kurang dari 1%.

b) Ventricular Septal Defect (VSD)


Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan
berupa lubang atau celah pada septum di antara rongga ventrikal akibat
kegagalan fusi atau penyambungan sekat interventrikel. Defek ini merupakan
defek yang paling sering dijumpai, meliputi 20-30% pada penyakit jantung
bawaan. Berdasarkan letak defek, VSD dibagi menjadi 3 bagian, yaitu defek
septum ventrikel perimembran, defek septum ventrikel muskuler, defek
subarterial.

Prognosis kelainan ini memang sangat ditentukan oleh besar kecilnya defek. Pada
defek yang kecil seringkali asimptomatis dan anak masih dapat tumbuh
kembang secara normal. Sedangkan pada defek baik sedang maupun besar
pasien dapat mengalami gejala sesak napas pada waktu minum, memerlukan
waktu lama untuk menghabiskan makanannya, seringkali menderita infeksi
paru dan bahkan dapat terjadi gagal jantung.

Pada pemeriksaan fisik, terdengar intensitas bunyi jantung ke-2 yang menigkat,

MEP Books Cardiovascular page 182


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri sternum dan murmur ejeksi sistolik
pada daerah katup pulmonal. Terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala
gagal jantung serta memelihara tumbuh kembang yang normal. Jika terapi
awal berhasil, maka pirau akan menutup selama tahun pertama kehidupan.
Operasi dengan metode transkateter dapat dilakukan pada anak dengan risiko
rendah (low risk) setelah berusia 15 tahun.

c) Patent Ductus Arteriousus (PDA)


Patent Ductus Arteriousus (PDA) atau duktus arteriosus persisten adalah duktus
arteriosus yang tetap membuka setelah bayi lahir. Kelainan ini banyak terjadi
pada bayi-bayi yang lahir prematur. Insiden duktus arteriosus persisten
sekitar 10-15% dari seluruh penyakit jantung bawaan dengan penderita
perempuan melebihi laki-laki yakni 2:1.

Penderita PDA yang memiliki defek kecil dapat hidup normal dengan tidak atau
sedikitnya gejala, namun defek yang besar dapat menimbulkan gagal jantung
kongestif yang serupa dengan gagal jantung pada VSD. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya murmur sinambung (continous murmur) di sela iga
2-3 kiri sternum menjalar ke infraklavikuler.

Pengetahuan tentang kapan tepatnya penutupan duktus terjadi penting dalam


tatalaksana penanganan PDA, karena pada kasus tertentu seperti pasien PDA
yang diikuti dengan atresia katup pulmonal, duktus arteriosus justru
dipertahankan untuk tetap terbuka. Pada kasus PDA pada umumnya
penderita memerlukan penutupan duktus dengan pembedahan.

2) PJB asianotik tanpa pirau

Penyakit jantung bawaan jenis ini tidak ditemukan adanya defek yang
menimbulkan hubungan abnormal antara ruang jantung. Kelainan dapat
berupa penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan pada bagian tertentu
jantung, yakni katup atau salah satu bagian pembuluh darah diluar jantung

MEP Books Cardiovascular page 183


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

yang dapat menimbulkan gangguan aliran darah dan membebani otot


jantung. Jenis PJB tanpa pirau antara lain :

a) Stenosis pulmonal
Istilah stenosis pulmonal digunakan secara umum untuk
menunjukkan adanya obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan
atau a. pulmonalis dan cabang-cabangnya. Kelainan ini dibagi
menjadi 3 tipe yaitu valvar, subvalvar, dan supravalvar. Stenosis pulmonal
80% merupakan tipe valvuler dan ditemukan sebagai kelainan yang berdiri
sendiri. Insiden stenosis pulmonal meliputi 10% dari keseluruhan penyakit
jantung bawaan.

Sebagian besar stenosis pulmonal bersifat ringan dengan prognosis baik


sepanjang hidup pasien. Pada stenosis yang berat akan terjadi limitasi
curah jantung sehingga menyebabkan sesak napas, disritmia hingga gagal
jantung.

Pada stenosis pulmonal ringan sampai sedang terdengar bunyi jantung


ke-2 yang melemah dan terdapat klik ejeksi sistolik. Klik diikuti dengan
murmur ejeksi sistolik derajat I-III pada tepi kiri atas sternum yang
menjalar ke punggung.

Terapi yang dianjurkan pada kasus sedang hingga berat ialah valvuloplasti
balon transkateter. Prosedur ini sekarang dilakukan oleh bayi kecil,
sehingga dapat menghindari pembedahan neonates yang berisiko tinggi.

b) Stenosis aorta
Pada kelainan ini dapat ditemui katup aorta hanya memilki dua daun yang
seharusnya tiga, atau memiliki bentuk abnormal seperti corong. Dalam
jangka waktu tertentu lubang atau pembukaan katup tersebut sering

MEP Books Cardiovascular page 184


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

menjadi kaku dan menyempit karena terkumpulnya endapan kalsium.


Stenosis pulmonal mencakup 5% dari total keseluruhan penyakit jantung
bawaan dengan predominasi laki-laki 2:1.

Pada pasien stenosis aorta yang ringan atau pun moderat sering tidak
memberikan keluhan, tapi stenosis akan makin nyata karena proses
fibrosis dan kalsifikasi pada waktu menjelang kian dewasa. Klik ejeksi
sistolik akan terdengar keras dan jelas di sela iga 2-3 pada tepi kanan atas
sternum. Stenosis aorta yang ringan dan asimptomatik biasanya tidak
diperlukan tindakan apapun kecuali profilaksis antibiotik untuk mencegah
endokarditis. Pada stenosis aorta yang cukup berat perlu dilakukan
tindakan secepatnya dengan valvuloplasti balon atau pembedahan.

c) Koarktasio aorta
Koarktasio aorta meupakan kelainan jantung non sianotik yang paling
banyak menyebabkan gagal jantung pada bayi-bayi di minggu pertama
setelah kelahirannya. Insidens koarktasio aorta kurang lebih sebesar 8-15%
dari seluruh kelainan penyakit jantung bawaan serta ditemukan lebih banyak
pada laki-laki daripada perempuan (2:1).

Diagnosis dapat dengan menemukan adanya perbedaan yang besar antara


tekanan darah pada extremitas atas dengan extremitas bawah. Foto rontgen
dada memperlihatkan kardiomegali dengan kongesti vena pulmonalis,
pemeriksaan Doppler pada aorta akan memperlihatkan aliran arteri yang
terganggu.

Pada neonates pemberian prostalglandin (PGE1) untuk membuka kembali


duktus arteriosus akan memperbaiki perfusi sistemik dan mengkoreksi
asidosis.Tindakan pelebaran koarktasio dengan kateter balon bila dikerjakan
dengan baik dapat memberikan hasil yang memuaskan.

MEP Books Cardiovascular page 185


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

4.3.2 Penyakit Jantung Bawaan Sianotik


Penyakit jantung bawaan sianotik merupakan kelainan struktur dan fungsi
jantung sehingga mengakibatkan seluruh darah balik vena sistemik yang
mengandung darah rendah oksigen kembali eredar ke sirkulasi sistemik dan
menimbulkan gejala sianosis. Sianosis yang dimaksud yakni sianosis sentral
yang merupakan warna kebiruan pada mukosa akibat konsentrasi
hemoglobin tereduksi >5g/dl dalam sirkulasi. Berdasarkan dari gambaran
foto dada PJB sianotik dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

1) Penyakit jantung bawaan sianotik dengan vaskularisasi paru berkurang

a) Tetralogi Fallot (TF)


Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang banyak
ditemukan yakni berkisar 7-10% dari seluruh penyakit jantung bawaan.
Tetralogi Fallot merupakan kelainan yang terdiri dari kombinasi 4 komponen
yakni defek septum ventrikel, over-riding aorta, stenosis pulmonal, serta
hipertensi ventrikel kanan.

Pada Tetralogi Fallot yang ringan pada waktu istirahat maupun melakukan
aktivitas fisik tidak tampak adanya sianosis. Pada TF yang moderat hingga
berat sianosis akan tampak bahkan pada saat anak istirahat. Seorang anak
yang mengidap TF akan mudah merasa lelah, sesak dan hiperpnu karena
hipoksia.

Pada pemeriksaan fisik, ujung-ujung jari tampak membentol dan berwarna


biru (finger clubbing) dan pada auskultasi terdengar bunyi jantung ke-1
normal sedangkan bunyi jantung ke-2 tunggal disertai murmur ejeksi sitolik
di bagian parasternal sela iga 2-3 kiri.

Bayi-bayi dengan tetralogi berat memerlukan pengobatan medik dan

MEP Books Cardiovascular page 186


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

intervensi bedah pada masa neonatus. Terapi ditujukan segera pada


pemberian segera penambahan aliran darah pulmonal untuk mencegah
sekuele hipoksia berat. Pemberian PGE1 dapat menyebabkan dilatasi duktus
arteriousus dan memberi aliran darah pulmonal yang cukup sampai prosedur
bedah dapat dilakukan.

b) Atresia Pulmonal
Atresia pulmonal merupakan kelainan jantung kongenital sianostik yang
sangat jarang ditemukan. Atresia pulmonal disebabkan oleh gagalnya proses
pertumbuhan katup pulmonal, sehingga tidak terdapat hubungan antara
ventrikel kanan dengan arteri pulmonal. Kelainan ini dapat terjadi dengan
septum ventrikel yang masih intak atau disertai dengan defek pada septum
ventrikel. Insiden atresia pulmonal dengan septum yang masih intak atau
utuh sekitar 0,7-3,1% dari keseluruhan kasus PJB.

Gejala dan tanda sianotik tampak pada hari-hari pertama kehidupan. Bunyi
jantung ke-2 terdengar tunggal, dan tidak terdengar adanya murmur pada sela
iga 2-3 parasternal kiri karena arteri pulmonal atretik. Pada foto rontgen
ditemukan pembesaran jantung dengan vaskularisasi paru yang berkurang.

Prostalglandin digunakan untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap


membuka sambil menunggu intervensi lebih lanjut. Septostomi atrial dengan
balon harus dilakukan secepatnya apabila pirau antarinteratrial agak retriktif.
Koreksi total yakni membuat ligasi koleteral baru dilakukan bila anak sudah
berusia di atas 1 tahun.

2) Penyakit jantung bawaan sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah

a) Transposisi Arteri Besar


Transposisi arteri besar merupakan kelainan jantung yang paling banyak
pada neonatus. Insiden kelainan ini sekitar 25% dari seluruh kelainan jantung
bawaan sianotik atau 5-10% dari kselutuhan penyakit jantung bawaan dan

MEP Books Cardiovascular page 187


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

kelainan ini ditemukan lebih banyak paada laki-laki dibandingkan dengan


perempuan.

Pada kelainan ini terjadi perubahan posisi aorta dan a. pulmonalis, yakni
aorta keluar dari ventrikel kanan, sedangkan a. pulmonalis keluar dari
ventrikel kiri. Dengan demikian maka kedua sirkulasi sistemik dan paru
tersebut terpisah, dan kehidupan hanya dapat berlangsung apabila ada
komunikasi antara dua sirkulasi ini.

Manifestasi klinis bergantung pada adanya percampuran yang adekuat antara


sirkulasi sistemik dan paru dan adanya stenosis pulmonal. Stenosis pulmonal
terdapat pada 10% kasus. Pengobatan dilakukan untuk mempertahankan
duktus arteriosus agar darah dapat tercampur sampai tindakan bedah
dilakukan. Operasi paling baik dilakukan pada saat anak berusia
1-2 tahun dengan prosedur Mustard.

MEP Books Cardiovascular page 188


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

PENYAKIT KATUP JANTUNG

Penyakit katup jantung dahulu di anggap penyakit yang selalu di sebabkan oleh
rematik. Demam rematik akut merupakan sekuele faringitis akibat streptokokus
B-hemolitikus grup A. demam rematik hanya timbul jika terjadi respons
antibody atau imunologis yang bermakna terhadap infeksi streptokokus
sebelumnya. Infeksi streptokokus berkaitan dengan faktor perkembangan dan
penularan infeksi serta faktor sosial.

Terserangnya jantung merupakan keadaan yang sangat penting karena


kematian kematian pada fase akut yang di sebabkan oleh penyakit ini. Demam
rematik akut dapat mengakibatkan peradangan pada semua lapisan jantung
yang di sebut pankarditis. Demam rematik disebabkan oleh infeksi bakteri
yang tidak diobati (biasanya radang tenggorokan). Untungnya, pengenalan
antibiotik untuk mengobati infeksi ini telah secara dramatis mengurangi jumlah
infeksi ini. Infeksi awal biasanya terjadi pada anak-anak, tapi masalah jantung
yang terkait dengan infeksi mungkin tidak terlihat sampai 20-40 tahun
kemudian. Pada saat itu, katup jantung menjadi meradang, selebaran tetap
bersatu dan menjadi bekas luka, kaku, menebal, dan diperpendek.

Selain penyakit rematik, ada beberapa penyebab lain yang dapat menimbulkan
perubahan fungsi pada katub yaitu:

1. Dekstruksi katup oleh endokarditis bakterialis

2. Defek jaringan penyambung sejak lahir

3. Disfungsi dan ruptura otot papiralis Karena aterosklerosis koroner

4. Malformasi congenital

Patofisiologi

a) Stenosis Katup Mitral (Mitral Stenosis)

MEP Books Cardiovascular page 189


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Stenosis Katup Mitral (Mitral Stenosis) merupakan penyempitan pada


lubang katup mitral yang akan menyebabkan meningkatnya tahanan aliran
darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri.

Penyebab:

1. Stenosis katup mitral hampir selalu disebabkan oleh demam rematik.

2. Stenosis katup mitral juga bisa merupakan suatu kelainan bawaan.

3.Miksoma (tumor jinak di atrium kiri) atau bekuan darah dapat menyumbat
aliran darah ketika melewati katup mitral dan menyebabkan efek yang sama
seperti stenosis katup mitral.

Patofisiologi dan perjalanan penyakit

Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup.
Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi,
fusi komisura, fusi serta pemendekan korda pada katup mitral pada fase
penyembuhan demam reumatik. Terbentuk sekat jaringan ikat yang
mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastol lebih kecil dari normal.
Area katup mitral ,akan mengecil seperti bentuk mulut ikan( fish mouth) atau
lubang kancing (buttonhole). Pada orang dewasa normal areaorifisium katup
mitral antara 4 sampai 6 cm2.

Berkurangnya luas efektif lubang mitral menyebabkan berkurangnya daya alir


katup mitral. Hal ini akan meningkatkan tekanan di ruang atrium kiri, sehingga
timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri waktu diastol.
Perbedaan tekanan ini secara klinis tidak begitu berpengaruh jika penyempitan
yang terjadi masih diatas 2 cm2.

Gejala :

MEP Books Cardiovascular page 190


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

1.Jika stenosisnya berat, tekanan darah di dalam atrium kiri dan tekanan darah
di dalam vena paru-paru meningkat, sehingga terjadi gagal jantung, dimana
cairan tertimbun di dalam paru-paru (edema pulmoner).

2.Penderita yang mengalami gagal jantung akan mudah merasakan lelah dan
sesak nafas. Pada awalnya, sesak nafas terjadi hanya sewaktu melakukan
aktivitas, tetapi lama-lama sesak juga akan timbul dalam keadaan istirahat.

3.Warna semu kemerahan di pipi menunjukkan bahwa seseorang menderita


stenosis katup mitral.

4.Tekanan tinggi pada vena paru-paru dapat menyebabkan vena atau kapiler
pecah dan terjadi perdarahan ringan atau berat ke dalam paru-paru.

5.Pembesaran atrium kiri bisa mengakibatkan fibrilasi atrium, dimana denyut


jantung menjadi cepat dan tidak teratur.

Diagnosa :

Dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar murmur jantung yang khas


ketika darah mengalir atau menyembur melalui katup yang menyempit dari
atrium kiri. Tidak seperti katup normal yang membuka tanpa suara, pada
kelainan ini katup sering menimbulkan bunyi gemertak ketika membuka untuk
mengalirkan darah ke dalam ventrikel kiri.

Diagnosis biasanya diperkuat dengan pemeriksaan:

- elektrokardiografi

- rontgen dada (menunjukkan pembesaran atrium)

- ekokardiografi (teknik penggambaran jantung dengan menggunakan


gelombang ultrasonik).

Kadang perlu dilakukan kateterisasi jantung untuk menentukan luas dan jenis
penyumbatannya.

MEP Books Cardiovascular page 191


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pengobatan :

Obat-obat seperti beta-blocker, digoxin dan verapamil dapat memperlambat


denyut jantung dan membantu mengendalikan fibrilasi atrium. Jika terjadi
gagal jantung, digoxin juga akan memperkuat denyut jantung. Diuretik dapat
mengurangi tekanan darah dalam paru-paru dengan cara mengurangi volume
sirkulasi darah. Jika terapi obat tidak dapat mengurangi gejala secara
memuaskan, mungkin perlu dilakukan perbaikan atau penggantian katup.

Pada prosedur valvuloplasti balon, lubang katup diregangkan. Kateter yang


pada ujungnya terpasang balon, dimasukkan melalui vena menuju ke jantung.
Ketika berada di dalam katup, balon digelembungkan dan akan memisahkan
daun katup yang menyatu. Pemisahan daun katup yang menyatu juga bisa
dilakukan melalui pembedahan. Jika kerusakan katupnya terlalu parah, bisa
diganti dengan katup mekanik atau katup yang sebagian dibuat dari katup babi.

Sebelum menjalani berbagai tindakan gigi atau pembedahan, kepada penderita


diberikan antibiotik pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi
katup jantung.

Penegahan :

Stenosis katup mitral dapat dicegah hanya dengan mencegah terjadinya demam
rematik, yaitu penyakit pada masa kanak-kanak yang kadang terjadi
setelah strep throat (infeksi tenggorokan oleh streptokokus) yang tidak diobati

b) Regurgitasi Katup Mitral

Regurgitasi Katup Mitral (Inkompetensia Mitral, Insufisiensi Mitral), (Mitral


Regurgitation) adalah kebocoran aliran balik melalui katup mitralsetiap
kali ventrikel kiri berkontraksi. Pada saat ventrikel kiri memompa darah dari

MEP Books Cardiovascular page 192


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

jantung menuju ke aorta, sebagian darah mengalir kembali ke dalamatrium kiri


dan menyebabkan meningkatnya volume dan tekanan di atrium kiri.
Terjadi peningkatan tekanan darah di dalam pembuluh yang berasal dari
paru-paru, yang mengakibatkan penimbunan cairan (kongesti di dalam
paru-paru.

Penyebab :

Dulu demam rematik menjadi penyebab utama dari regurgitasi katup mitral.
Tetapi saat ini, di negara-negara yang memiliki obat-obat pencegahan yang
baik, demam rematik jarang terjadi. Misalnya di Amerika Utara dan Eropa
Barat, penggunaan antibiotik untuk strep throat (infeksi tenggorokan karena
streptokokus), bisa mencegah timbulnya demam rematik. Di wilayah tersebut,
demam rematik merupakan penyebab umum dari regurgitasi katup mitral, yang
terjadi hanya pada usia lanjut, yang pada masa mudanya tidak memperoleh
antibiotik.

Di negara-negara yang memiliki kedokteran pencegahan yang jelek, demam


rematik masih sering terjadi dan merupakan penyebab umum dari regurgitasi
katup mitral.

Di Amerika Utara dan Eropa Barat, penyebab yang lebih sering adalah serangan
jantung, yang dapat merusak struktur penyangga dari katup mitral. Penyebab
umum lainnya adalah degenerasi miksomatous (suatu keadaan dimana katup
secara bertahap menjadi terkulai/terkelepai).

Gejala:

Regurgitasi katup mitral yang ringan bisa tidak menunjukkan gejala.


Kelainannya bisa dikenali hanya jika dokter melakukan pemeriksaan
denganstetoskop, dimana terdengar murmur yang khas, yang disebabkan
pengaliran kembali darah ke dalam atrium kiri ketika ventrikel kanan
berkontraksi.

MEP Books Cardiovascular page 193


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Secara bertahap, ventrikel kiri akan membesar untuk meningkatkan kekuatan


denyut jantung, karena ventrikel kiri harus memompa darah lebih banyak untuk
mengimbangi kebocoran balik ke atrium kiri. Ventrikel yang membesar dapat
menyebabkan palpitasi ( jantung berdebar keras), terutama jika penderita
berbaring miring ke kiri. Atrium kiri juga cenderung membesar untuk
menampung darah tambahan yang mengalir kembali dari ventrikel kiri.
Atrium yang sangat membesar sering berdenyut sangat cepat dalam pola yang
kacau dan tidak teratur (fibrilasi atrium), yang menyebabkan berkurangnya
efisiensi pemompaan jantung.

Pada keadaan ini atrium betul-betul hanya bergetar dan tidak memompa;
berkurangnya aliran darah yang melalui atrium, memungkinkan terbentuknya
bekuan darah.

Jika suatu bekuan darah terlepas, ia akan terpompa keluar dari jantung dan
dapat menyumbat arteri yang lebih kecil sehingga terjadi stroke atau kerusakan
lainnya. Regurgitasi yang berat akan menyebabkan berkurangnya aliran darah
sehingga terjadi gagal jantung, yang akan menyebabkan batuk, sesak nafas
pada saat melakukan aktivitas dan pembengkakan tungkai.

Diagnosa:

Regurgitasi katup mitral biasanya diketahui melalui murmur yang khas, yang
bisa terdengar pada pemeriksaan dengan stetoskop ketika ventrikel kiri
berkontraksi.

Elektrokardiogram (EKG) dan rontgen dada bisa menunjukkan adanya


pembesaran ventrikel kiri.

Pemeriksaan yang paling informatif adalah ekokardiografi, yaitu suatu tehnik


penggambaran yang menggunakan gelombang ultrasonik.
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan katup yang rusak dan menentukan
beratnya penyakit.

MEP Books Cardiovascular page 194


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Pengobatan :

Jika penyakitnya berat, katup perlu diperbaiki atau diganti sebelum ventrikel
kiri menjadi sangat tidak normal sehingga kelainannya tidak dapat diatasi.
Mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki katup
(valvuloplasti) atau menggantinya dengan katup mekanik maupun katup yang
sebagian dibuat dari katup babi. Memperbaiki katup bisa menghilangkan
regurgitasi atau menguranginya sehingga gejala dapat ditolerir dan kerusakan
jantung dapat dicegah.

Setiap jenis penggantian katup memiliki keuntungan dan kerugian. Katup


mekanik biasanya efektif, tetapi menyebabkan meningkatnya resiko
pembentukan bekuan darah, sehingga biasanya untuk mengurangi resiko
tersebut diberikan antikoagulan. Katup babi bekerja dengan baik dan tidak
memiliki resiko terbentuknya bekuan darah, tetapi tidak mampu bertahan
selama katup mekanik. Jika katup pengganti gagal, harus segera diganti.

Fibrilasi atrium juga membutuhkan terapi. Obat-obatan seperti beta-blocker,


digoxin dan verapamil dapat memperlambat denyut jantung dan membantu
mengendalikan fibrilasi. Permukaan katup jantung yang rusak mudah terkena
infeksi serius (endokarditis infeksius). Karena itu untuk mencegah terjadinya
infeksi, seseorang dengan katup yang rusak atau katup buatan harus
mengkonsumsi antibiotik sebelum menjalani tindakan pencabutan gigi atau
pembedahan. Menyebabkan Jantung rematik penyakit pada otopsi dengan
temuan karakteristik (katup mitral menebal, menebal korda tendinea, hipertrofi
miokardium ventrikel kiri).

Hampir semua kasus stenosis mitral akibat penyakit di jantung sekunder untuk
demam rematik dan penyakit jantung rematik konsekuen.Penyebab Jarang
stenosis mitral kalsifikasi dari katup mitral leaflet, dan sebagai bentuk jantung
bawaan penyakit. Namun, ada penyebab utama dari mitral stenosis yang
berasal dari katup mitral sumbing. Penyebab lainnya termasuk endokarditis

MEP Books Cardiovascular page 195


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

bakteri dimana vegetasi dapat mendukung meningkatkan risiko stenosis. Ini


adalah penyakit jantung katup yang paling umum pada kehamilan.

Patofisiologi

Intrakardiak pengukuran tekanan pada individu dengan stenosis mitral yang


berat. Tekanan penelusuran di atrium kiri (LA) dan ventrikel kiri (LV) pada
individu dengan stenosis mitral yang berat. Daerah biru mewakili gradien
tekanan diastolik karena katup pulmonalis.

Luas normal orifisium katup mitral adalah sekitar 4 sampai 6 cm2. Dalam
fisiologi jantung yang normal, katup mitral terbuka selama diastol ventrikel
kiri, untuk memungkinkan darah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri.
Sebuah katup mitral normal tidak akan menghambat aliran darah dari atrium
kiri ke ventrikel kiri selama (ventrikel) diastol, dan tekanan dalam atrium kiri
dan ventrikel kiri selama diastol ventrikel akan sama. Hasilnya adalah bahwa
ventrikel kiri akan diisi dengan darah selama diastol ventrikel awal, dengan
hanya sebagian kecil dari darah ekstra disumbangkan oleh kontraksi atrium kiri
("tendangan atrium") selama diastol ventrikel terlambat.

Ketika area katup mitral pergi di bawah 2 cm2, katup menyebabkan hambatan
pada aliran darah ke dalam ventrikel kiri, menciptakan gradien tekanan di katup
mitral. Gradien ini dapat ditingkatkan dengan peningkatan denyut jantung atau
cardiac output. Sebagai gradien melintasi katup mitral meningkat, jumlah
waktu yang diperlukan untuk mengisi ventrikel kiri dengan darah
meningkat. Akhirnya, ventrikel kiri membutuhkan tendangan atrium untuk
mengisi dengan darah. Dengan meningkatnya denyut jantung, jumlah waktu
yang ventrikel dalam diastol dan dapat mengisi dengan darah (yang disebut
periode pengisian diastolik) menurun. Ketika denyut jantung berjalan di atas
titik tertentu, periode pengisian diastolik tidak cukup untuk mengisi ventrikel
dengan darah dan tekanan menumpuk di atrium kiri, menyebabkan kongesti
paru.

MEP Books Cardiovascular page 196


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Ketika area katup mitral berjalan kurang dari 1 cm2, akan ada peningkatan
tekanan atrium kiri (diperlukan untuk mendorong darah melalui katup
pulmonalis). Karena tekanan diastolik ventrikel kiri yang normal adalah sekitar
5 mmHg, suatu gradien tekanan di katup mitral dari 20 mmHg karena stenosis
mitral yang berat akan menyebabkan tekanan atrium kiri sekitar 25 mmHg. Ini
tekanan atrium kiri ditransmisikan ke pembuluh darah paru dan menyebabkan
hipertensi pulmonal. Tekanan kapiler paru pada tingkat ini menyebabkan
ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik,
menyebabkan ekstravasasi cairan dari pohon vaskular dan penyatuan cairan di
paru-paru (gagal jantung kongestif menyebabkan edema paru).

Overload tekanan konstan dari atrium kiri akan menyebabkan atrium kiri
meningkat dalam ukuran. Sebagai atrium kiri meningkat dalam ukuran,
menjadi lebih rentan untuk mengembangkan atrial fibrilasi. Ketika fibrilasi
atrium berkembang, tendangan atrium hilang (karena itu adalah karena
kontraksi atrium normal).

Pada individu dengan stenosis mitral yang berat, pengisian ventrikel kiri
tergantung pada tendangan atrium. Hilangnya tendangan atrium karena fibrilasi
atrium dapat menyebabkan penurunan tajam dalam output jantung dan gagal
jantung kongestif mendadak.

Pasien dengan stenosis mitral meminta serangkaian perubahan hemodinamik


yang sering menyebabkan kerusakan status klinis pasien. Penurunan curah
jantung, terkait dengan percepatan denyut jantung dan pemendekan waktu
diastolik, sering menyebabkan gagal jantung kongestif. Selain itu, ketika di set
AF, embolisasi sistemik menjadi bahaya nyata.

Stenosis mitral biasanya berlangsung perlahan-lahan (selama beberapa dekade)


dari tanda-tanda awal dari stenosis mitral untuk kelas NYHA fungsional gejala
II untuk pengembangan fibrilasi atrium untuk pengembangan fungsional
NYHA kelas III atau gejala IV. Setelah seorang individu mengembangkan
kelas NYHA III atau IV gejala, perkembangan penyakit mempercepat dan
kondisi pasien memburuk.

MEP Books Cardiovascular page 197


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Diagnosis:
Pemeriksaan Fisik Phonocardiograms dari bunyi jantung normal dan
abnormal. Setelah auskultasi dari individu dengan stenosis mitral, bunyi
jantung pertama adalah luar biasa keras dan dapat teraba (menekan detak apeks)
karena kekuatan meningkat dalam menutup katup mitral. Suara jantung
pertama dibuat oleh penutupan katup jantung mitral dan trikuspid. Ini biasanya
sinkron, dan suara yang disebut M1 dan T1 masing-masing. M1 menjadi keras
pada stenosis mitral. Ini mungkin tanda yang paling menonjol.Jika hipertensi
paru sekunder untuk stenosis mitral yang berat, P2 (pulmonal) komponen bunyi
jantung kedua (S2) akan menjadi keras.

Suatu opening snap yang merupakan suara tambahan bernada tinggi dapat
mendengar setelah komponen (aorta) A2 bunyi jantung kedua (S2), yang
berkorelasi dengan pembukaan kuat dari katup mitral. Katup mitral terbuka bila
tekanan dalam atrium kiri lebih besar daripada tekanan dalam ventrikel kiri. Hal
ini terjadi di diastol ventrikel (setelah penutupan katup aorta), ketika tekanan
dalam ventrikel drastis turun. Pada individu dengan stenosis mitral, tekanan
dalam atrium kiri berkorelasi dengan keparahan dari stenosis mitral. Sebagai
keparahan dari stenosis mitral meningkat, tekanan dalam atrium kiri meningkat,
dan katup mitral terbuka diastol ventrikel awal.

Murmur diastolik pertengahan gemuruh dengan aksentuasi presystolic akan


terdengar setelah opening snap. Murmur yang terbaik terdengar di daerah
apikal dan tidak terpancar. Karena bernada rendah itu terdengar terbaik dengan
bel stetoskop. Durasi Its meningkat dengan memburuknya penyakit Rolling
pasien ke arah kiri, serta latihan isometrik akan menonjolkan gumaman. Sebuah
getaran mungkin hadir saat palpasi pada daerah apikal prekordium tersebut.

Penyakit lanjut dapat hadir dengan tanda-tanda sisi kanan gagal jantung seperti
heave parasternal, distensi vena jugularis, hepatomegali, asites dan / atau
hipertensi paru, yang terakhir sering menyajikan dengan P2 keras.

MEP Books Cardiovascular page 198


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Hampir semua tanda-tanda meningkat dengan olahraga dan


kehamilan.Tanda-tanda perifer lainnya termasuk:

· Malar siram - hipertensi pulmonal menonjol pada pasien dengan stenosis


mitral

· Atrial fibrilasi - pulsa tidak teratur dan hilangnya 'a' gelombang tekanan
vena jugularis

· Kiri menghela parasternal - adanya hipertrofi ventrikel kanan akibat


hipertensi pulmonal

· Tapping detak apeks yang tidak mengungsi

Tanda-tanda kedokteran fibrilasi atrium meliputi:

denyut jantung adalah tentang 100-150/min. tidak teratur tidak teratur pulsa
dengan defisit pulsa> 10. berbagai intensitas jantung suara pertama. opening
snap tidak terdengar kadang-kadang. absen gelombang di pembuluh darah
leher. aksentuasi presystolic dari murmur diastolik menghilang. manifestasi
emboli mungkin muncul.
[Sunting] Ekokardiografi

Keparahan Gelar stenosis mitral stenosis mitral Berarti daerah gradien katup
mitral

Ø Stenosis mitral ringan <5 mmHg> 1,5 cm2

Ø Sedang mitral stenosis 5 - 10 mmHg 1,0-1,5 cm2

Ø Stenosis mitral berat> 10 mmHg <1,0 cm2

Dalam kebanyakan kasus, diagnosis stenosis mitral yang paling mudah dibuat
oleh echocardiography, yang menunjukkan pembesaran atrium kiri, katup
mitral tebal dan kaku dengan sempit dan "ikan-mulut" berbentuk mulut dan
tanda-tanda kegagalan ventrikel kanan pada penyakit lanjut. [2 ] Hal ini juga
dapat menunjukkan penurunan pembukaan katup mitral leaflet, dan
peningkatan kecepatan aliran darah selama diastol. Gradien trans-mitral yang

MEP Books Cardiovascular page 199


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

diukur dengan Doppler echocardiography adalah standar emas dalam evaluasi


tingkat keparahan stenosis mitral. [Sunting] kateterisasi jantung ruang

Metode lain untuk mengukur keparahan dari stenosis mitral adalah kiri dan
kanan jantung kateterisasi simultan kamar. Kateterisasi jantung kanan
(umumnya dikenal sebagai Swan-Ganz kateterisasi) memberikan dokter
tekanan baji kapiler paru berarti, yang merupakan refleksi dari tekanan atrium
kiri. Kateterisasi jantung kiri, di sisi lain, memberikan tekanan dalam ventrikel
kiri. Dengan secara bersamaan mengambil tekanan ini, adalah mungkin untuk
menentukan gradien antara atrium kiri dan ventrikel kiri selama diastol
ventrikel, yang merupakan penanda untuk tingkat keparahan stenosis mitral.
Metode mengevaluasi mitral stenosis cenderung melebih-lebihkan derajat
stenosis mitral, namun, karena lag waktu dalam penelusuran tekanan dilihat
pada kateterisasi jantung kanan dan keturunan Y lambat terlihat pada
penelusuran baji. Jika tusukan trans-septum dibuat selama kateterisasi jantung
kanan, bagaimanapun, gradien tekanan secara akurat dapat mengukur
keparahan dari stenosis mitral.

Pengertian regurgitasi mitral adalah kelainan katup mitral yang ditandai


dengan aliran balik sebagian aliran darah dari ventrikel kiri kembali menuju
atrium kiri.

Penyebab kronis regurgitasi mitral adalah

1. Kelainan kongenital, yaitu celah atau fenetra katup mitral.

2. Abnormalitas katup mitral parasit dalam hubungannya dengan defek


bantalan.

3. Endokardium,fibroelastosis endokardium,dan anomali keluarnya arteri


koronaria

c) Regurgitasi Mitral Akut

MEP Books Cardiovascular page 200


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Regurgitasi Mitral Akut adalah suatu kelainan di mana katup mitral jantung
tiba-tiba tidak menutup dengan benar. Hal ini menyebabkan darah mengalir ke
belakang (bocor) ke bagian atas ruang hati (atrium) sebelah kiri.Ketika katup
mitral tidak menutup dengan sempurna, darah mengalir kembali ke atas kiri
ruang jantung (atrium). Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah ke seluruh
tubuh. Akibatnya, jantung memompa lebih keras.Regurgitasi mitral akut
dapat disebabkan oleh disfungsi atau cedera pada katup berikut serangan
jantung atau infeksi katup jantung (endokarditis infektif).

Regurgitation (kebocoran dari katup yang tidak sempurna menutup) disebabkan


oleh penyakit yang melemahkan atau merusak katup atau struktur
pendukungnya. Memadai penutupan katup mitral menyebabkan darah mengalir
kembali ke atrium kiri. Aliran darah ke seluruh tubuh menurun sebagai akibat
jantung yang memompa lebih keras untuk mencoba untuk mengimbanginya.

Gejala
*Rapid bernapas

* Sesak napas yang meningkat ketika berbaring telentang (orthopnea)

* Merasakan sensasi jantung berdetak (palpitasi)

* Nyeri dada - berhubungan dengan penyakit arteri koroner atau serangan


jantung

* Batuk

Perawatan

Rawat inap mungkin diperlukan untuk diagnosis dan pengobatan gejala


parah. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala. Pembedahan
darurat mungkin diperlukan jika regurgitasi sangat parah.Antibiotik mungkin
diresepkan jika ada infeksi bakteri. Anti-arrhythmics (obat yang mengatur
irama jantung) diperlukan untuk mengendalikan irama yang jantung yang tidak
teratur. Vasodilators (obat yang melebarkan pembuluh darah) digunakan untuk
mengurangi beban kerja jantung.

MEP Books Cardiovascular page 201


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Dalam keadaan darurat bila tekanan darah tidak dapat dipertahankan, perangkat
seperti balon intra-aorta pompa (IABP) mengurangi arus balik maju dengan
meningkatkan aliran darah ke aorta.

INSUFISIENSI MITRAL

Definisi:

Insufisiensi mitralis merupakan keadaan dimana terdapat refluks darah dari


ventrikel kiri ke atrium kiri pada saat sistolik, akibat katup mitral tidak menutup
secara sempurna. kelainan katup mitralis yang disebabkan karena tidak dapat
menutupnya katup dengan sempurna pada saat systole.

Etiologi

Berdasarkan etiologinya insufisiensi atau regurgitasi mitral dapat dibagi atas


reumatik dan non reumatik(degenaratif, endokarditis, penyakit jantung koroner,
penyakit jantung bawaan, trauma dan sebagainya). Di negara berkembang
seperti Indonesia, penyebab terbanyak insufisiensi mitral adalah demam
reumatik.

Patofisiologi

Stenosis mitral diawali dengan demam reumatik. Adapun demam reumatik


merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan streptokok beta
hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi streptokok secara hipotetif
akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik,
sebagai berikut:

(1) Streptokok grup A akan menyebabkan infeksi faring

(2) Antigen streptokok akan menyebabkan pembentukan antibody pada hospes


yang hiperimun

MEP Books Cardiovascular page 202


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

(3) antibody akan bereaksi dengan antigen streptokok, dan dengan jaringan
hospes yang secara antigenic sama seperti streptokok ( dengan kata lain
antibody tidak dapat membedakan antara antigen streptokok dengan antigen
jaringan jantung

(4) autoantibody tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga


mengakibatkan kerusakan jaringan.

Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada lapisan


jantung khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan
pembengkakan daun katup danj erosi pinggir daun katup. Hal ini
mengakibatkan tidak sempurnanya daun katup mitral menutup pada saat systole
sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan aliran darah balik
dari ventrikel kiri ke atrium kiri,hal ini mengakibatkan penurunan curah
sekuncup ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi ventrikel
kiri, peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan
dinding atrium sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk
memompa darah hal ini mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah
kembali ke paru-paru mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi
arteri pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan
gagal jantung kanan.

Pemeriksaan
Anamnesis

Pemeriksaan fisis:

Inspeksi : bentuk tubuh, pola pernapasan, emosi/perasaan

Palpasi : suhu dan kelembaban kulit, edema, denyut dan tekanan arteri

Perkusi : batas-batas organ jantung dengan sekitarnya.

Auskultasi :

MEP Books Cardiovascular page 203


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

· Bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila


dan mengeras pada ekspirasi
· Bunyi jantung I lemah karena katuo tidak menutup sempurna
· Bunyi jantung III yang jelas karena pengisian yang cepat dari atrium ke
ventrikel pada saat distol.

Pemeriksaan penunjang :

Elektrokardiogram :

1. Menilai derajat insufisiensi, lamanya, ada/tidaknya penyakit penyerta


2. Gambaran P mitral dengan aksis dan kompleks QRS yang normal
3. Aksis yang bergeser ke kiri dan adanya hipertrofi ventrikel kiri
4. Ekstra sistol atrium

Foto Toraks :

· Ukuran jantung biasanya normal

· Pada kasus yang berat dapat terlihat pembesaran jantung

· Bendungan paru

· Perkapuran pada anulus mitral

Fonokardiogram : menilai gerakan katup, ketebalan dan perkapuran serta


menilai derajat regurgitasi insufisiensi mitral

Laboratorium : mengetahui ada/tidaknya reuma aktif/reaktivasi.

Terapi medikamentosa

1. Digoxin
Digoxin amat berguna terhadap penanganan fibrilasi atrium. Ia adalah
kelompok obat digitalis yang bersifat inotropik positif. Ia meningkatkan
kekuatan denyut jantung dan menjadikan denytan jantung kuat dan sekata.

MEP Books Cardiovascular page 204


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

2. Antikoagulan oral
Antikoagulan di berikan kepada pasien untuk mengelakkan terjadinya
pembekuan darah yang bisa menyebabkan emboli sistemik. Emboli bisa
terjadi akibat regurgitasi dan turbulensi aliran darah.

3. Antibiotik profilaksis
Administrasi antibiotic dilakukan untuk mengelakkan infeksi bacteria yang
bisa menyebabkan endokarditis.

Terapi surgikal
Dalam kasus insufisiensi mitralis kronik, terapi surgical adalah penting
untuk memastikan survival pasien. Untuk itu katu prostetik digunakan
untuk menggantikan katup yang rosak.

Prognosis
Prognosis untuk penderita insufisiensi mitral adalah tergantung pada
pnyebab berlakunya masalah ini. Dalam kasus yang disebabkan oleh
panyakit arteri koronari, prognosisnya agak jelek jika dibanding dengan
yang disebabkan oleh perubahan myxomatous. Manakala yang disebabkan
oleh demam reumatik prognosisnya sederhana lantaran kebanyakan dari
kasus ini akan berulang.

MEP Books Cardiovascular page 205


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

STENOSIS AORTA

Stenosis aorta menyumbat aliran darah dari ventrikel kiri ke dalam aorta
selam sistol ventrikel. Hipertrofi ventrikel kiri menimbulkan tekanan yang lebih
besar dan mempertahankan perfusi perifer untuk mengompensasi restriksi yang
disebabkan oleh katup aorta stenotik. Stenosis aorta berhubungan dengan
penyempitan lumen katup dari ukuran normal 3 sampai 4 cm2 menjadikurang
dari 0,8 cm2

3 gejala khas yang berhubungan dengan stenosis aorta: angina, sinkop,dan


kegagalann ventrikel kiri

Ø angina: indikasi ketidakseimbagan antara penyediaan dan kebutuhan


oksigen miokarbium.

Ø Sinkop:terjadi terutama saat beraktivitas akibat aritmia kegagalan untuk


meningkatkan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi
otak

Ø Kegagalan ventrikel kiri: indikasi dekomposisi jantung

Tanda-tanda yang menonjol pada stenosis aorta berat :

1. Auskultasi:pemisahan bunyi jantung kedua yang paradoksal


2. Ekokardiografi:alat pilihan untuk menilai ketebalan katup, klasifikasi
pada katup, penyatuan sub valvular
3. Elektrokardiogram:hipertrofi ventrikel kiri, cacat hantaran
4. Radiografi dada:pascastenosis pada aorta
5. Temuan hemodinamik:perbedaan tekanan aorta yang bermakna (50-100
mmHg), tekanan diastolik akhir ventrikel kiri

REGURGITASI AORTA

Regurgitasi Aorta adalah Penyakit yang memberi beban volume cukup berat
pada ventrikel kiri dan atrium kiri. Akibatnya pada setiap kontraksi, vertikel

MEP Books Cardiovascular page 206


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

harus mampu mengeluarkan sejumlah darah yang sama dengan volume


sekuncup normal di tambah volume regurgitasi. Ventrikel kiri mengalami
dilatasi berat dan akhirnya menjadi hipertrofi, sehingga bentuknya menjadi
seperti bola.

Ø Tanda-tanda Regurgitasi Aorta Kronis :

1. Auskultasi : bising diastolik; bising Austin Flint yang khas atau bising
diastolic yang kasar; systolic ejection click disebabkan oleh
peningkatan volume ejeksi
2. Elektrokardiogram : hipertrofi ventrikel kiri
3. Radiografi dada : pembesaran ventrikel kiri; dilatasi aorta proksimal
4. Temuan Hemodinamik : pengisian dan pengosongan denyut arteri yang
cepat; tekanan nadi melebar disertai peningkatan tekanan sistemik dan
penurunan tekanan diastolic
5. Kateterisasi jantung : ventrikel kiri tampak opak selama penyuntikan
bahan kontras ke dalam pangkal aorta.

Penyakit Katup Trikuspidalis : Penyakit yang akan menghambat aliran


darah dari atrium kanan ke ventrikel kanan selama diastolik.

Stenosis Katup Trikuspidalis meningkatkan beban kerja atrium kanan,


memaksa pembentukan tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan aliran
melalui katup yang tersumbat. Hal ini mengakibatkan penimbunan darah pada
vena sistemik dan peningkatan tekanan darah.

Tanda-tanda Stenosis Trikuspidalis :

1. Auskultasi : bising diastolik

2. Elektrokardiogram : pembesaran atrium kanan (Gelombang P yang


runcing dan tinggi, dikenal sebagai P pulmonal)

3. Radiografi Dada : pembesaran atrium kanan

MEP Books Cardiovascular page 207


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

4. Temuan hemodinamik : perbedaan tekanan pada kedua sisi katup


trikuspidalis dan peningkatan tekanan atrium kanan dan tekanan vena sentralis
dengan gelombang a yang benar

PENYAKIT KATUP PULMONALIS.

Ø Stenosis pulmonalis biasanya merupakan kelainan kongenintal dan bukan


akibat penyakit rematik jantung.

Ø Insidensi penyaklit katup pulmonalis sangat rendah.

Ø Lesi adalah insufisieni pulmonali fungsional dapat terjadi sebagai sekuele


disfungsi katup sebelah kiri dngn hipertensi pulmonalis kranis.

PENYAKIT KATUP CAMPURAN.

Ø Lesi campuran yaitu, terdiri atas stenoses dan insufisiensi pada katup yang
sama.

Ø Lesi gabungan yaitu, terjadi akibat penyakit jantung brematik yang biasanya
mengenai banyak katup.

Dan lesi gabungan ini dapat memperbesar atau bahkan dapat menjadi
penetralisir akibat fisiologi lesi murni.

TINDAKAN PENGOBATAN.

Ø Demam rematik dan endokarditis baktrealis subkakut,mrupakan pnyakit


yang dapat dicegah sehingga dapan menurunkan insiden keparahan lesi katup.

Ø Demam rematik dpat dilakukan penceagahan :

ü Antibiotic,sperti pinisilin atau eritromosin untuk membasmi oganisme


streptokokus.

MEP Books Cardiovascular page 208


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ü Antiradang seperti salisilat atau kortikoteroid.

ü Dan pembatasan akytifitas fisik.

Ø Gagal jantung mungkin memerlukan penbatasan garam ,dan sebaiknya


diberikan digoksin dan diuretic.

Ø Pencegahan harus diutamakan pada infeksi streptokokus, karena biasanya


didahului oleh infeksi streptokokus yang tidak menimbulkan gejala.

Terapi medis (katup matrealis)

Ø Penyakit katup matrealis memiliki perjalanan klinis yangt bertahap dan


berlangsung lama.

Ø Jika terlalu parah, pada pasien tersebut akn di lakukan tindakan pembedahan
untuk mengatasi gejala yang semakin progresif.

Ø Bahkan pembedahan akan dipercepat,apabila terjadi kejadian mendadak


seperti.: aritmia,embolisasi,atau infeksi paru-paru.

MEP Books Cardiovascular page 209


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

MEP Books Cardiovascular page 210


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

INSUFISIENSI VENA

Background

In venous insufficiency states, venous blood escapes from its normal antegrade
path of flow and refluxes backward down the veins into an already congested leg.
Venous insufficiency syndromes are most commonly caused by valvular
incompetence in the low-pressure superficial venous system (see the image
below) but may also be caused by valvular incompetence in the high-pressure
deep venous system (or, rarely, both). In addition, they may result from the
congenital absence of venous valves.

Superficial venous insufficiency with skin changes

See Superficial Venous Insufficiency: Varicose Veins and Venous Ulcers, a


Critical Images slideshow, to help identify the common risk factors and features
of this condition and its management options.

Untreated venous insufficiency in the deep or superficial system causes a


progressive syndrome (chronic venous insufficiency [CVI]). Historically, CVI
was known as postphlebitic syndrome and postthrombotic syndrome, terms
referring to the conditions that cause most cases. However, these terms have been
largely abandoned because they do not include another common cause of the
disease, the congenital absence of venous valves.

In addition to poor cosmesis, CVI can lead to chronic life-threatening infections


of the lower extremities. Pain, especially after ambulation, is a hallmark of the
MEP Books Cardiovascular page 211
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

disease. CVI causes characteristic changes, called lipodermatosclerosis, to the


skin of the lower extremities, which lead to eventual skin ulceration.[1]

Venous insufficiency is neither uncommon nor benign. Treatment is aimed at


ameliorating the symptoms and, whenever possible, at correcting the underlying
abnormality. Graduated compression is the cornerstone of modern therapy. Deep
system disease is often refractory to treatment, but superficial system disease can
usually be treated by ablating the refluxing vessels. Refluxing superficial vessels
can safely be removed or ablated without sequelae.

Anatomy

The venous network in the lower extremities commonly affected by CVI is


divided into the following three systems (see the images below):

Superficial veins (including the great saphenous vein [GSV], the small saphenous
vein [SSV], and their tributaries)

Deep veins (including the anterior tibial, posterior tibial, peroneal, popliteal, deep
femoral, superficial femoral, and iliac veins)

Perforating or communicating veins

When the venous network is functioning correctly, every movement of the leg
causes blood to be pumped inward and upward past a series of valves (see the
image below). During ambulation, the normal pressure in the venous system of
the lower leg is nearly zero. Immediately after ambulation, the early standing

MEP Books Cardiovascular page 212


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

pressure in the normal leg


remains low. Arterial
inflow fills the leg veins
slowly, and the only source
of venous pressure is the
hydrostatic pressure of a
column of blood as high as
the nearest competent
valve. Venous valve.
Thrombosis can begin as
blood flow becomes
turbulent, permitting
platelets to remain in valve
sinus. This forms nidus of
thrombus.

In venous insufficiency,
after prolonged standing,
the veins are completely
filled, and all the venous
valves float open. At this
time, high hydrostatic
venous pressure results from the unbroken column of fluid that extends from the
head to the foot. Failed valves cause the column of standing blood in the vein to
remain high even during ambulation. The hydrostatic pressure increases during
and immediately after ambulation, which cause venous congestion.

Pathophysiology

Various mechanisms are associated with failure of superficial venous valves.


Most commonly, congenitally weak vein walls dilate under normal pressures to
cause secondary valve failure. Direct injury or superficial phlebitis may cause
primary valve failure. Congenitally abnormal valves can also be incompetent at
normal superficial venous pressures. Normal veins and normal valves may
become excessively distensible under the influence of hormones (as in
pregnancy).

High venous pressure is directly responsible for many aspects of venous


insufficiency syndrome. Under normal conditions, two major mechanisms in the
body operate to prevent venous hypertension. First, bicuspid valves in the veins
prevent backflow and venous pooling. Deep venous thrombosis (DVT) commonly
occurs at these valves, causing irreversible damage to the valve.
MEP Books Cardiovascular page 213
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Second, during normal ambulation, calf muscles decrease venous pressures by


approximately 70% in the lower extremities (see the image below). With rest,
pressures return to normal in approximately 30 seconds. In diseased veins,
ambulation decreases venous pressures by only 20%. When ambulation is
stopped, pressure in the vein lumen increases slowly, returning to normal over a
period of minutes.

Hemodynamic charting of (a) healthy patients, (b) patients with only varicose
veins, (c) patients with incompetent perforator veins, and (d) patients with deep
and perforator incompetence.

Venous hypertension in diseased veins is thought to cause CVI through the


following sequence of events[2] :

Increased venous pressure transcends the venules to the capillaries, impeding flow

Low-flow states within the capillaries cause leukocyte trapping

Trapped leukocytes release proteolytic enzymes and oxygen free radicals, which
damage capillary basement membranes

Plasma proteins (eg, fibrinogen) leak into the surrounding tissues, forming a fibrin
cuff

MEP Books Cardiovascular page 214


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Interstitial fibrin and resultant edema decrease oxygen delivery to the tissues,
resulting in local hypoxia

Inflammation and tissue loss result

Most cases of superficial vein valve failure occur after primary points of
high-pressure leakage develop between the deep system and the superficial
system. High pressure leads to secondary valve failure when otherwise normal
superficial veins become so widely dilated that the thin flaps of the venous valves
can no longer make contact in the lumen of the vessel. Over time, these
incompetent superficial veins become visibly dilated and tortuous, at which point
they are recognized as varicose veins.

High pressure can enter the superficial veins as a result of the failure of key valves
at any point of communication between the deep system and the superficial
system. High-pressure leakage from the deep veins to the superficial system has 2
major sources, as follows:

Junctional valve failure

Perforator valve failure

Junctional high-pressure disease most often results from failure of the primary
valve at the junction between the GSV and the common femoral vein at the groin
(saphenofemoral junction). Vein incompetence then proceeds distally from the
groin, and patients perceive that a large vein is growing down their leg. A less
common form of junctional reflux results from failure of the primary valve at the
junction between the SSV and the popliteal vein at the knee (saphenopopliteal
junction).

Perforator high-pressure disease results from failure of the valves of any


perforating vein. The most common sites of primary perforator valve failure are in
the midproximal thigh (Hunterian perforator) and in the proximal calf (Boyd
perforators). When the primary high-pressure entry point is distal, large clusters of
veins are first noticed in the lower leg, with large veins eventually growing up the
leg toward the groin.

Not all of the sequelae of venous insufficiency are related to venous hypertension,
and not all patients with venous hypertension develop ulceration. Some patients
with venous ulceration do not have marked venous hypertension.

Poor clearance of lactate, carbon dioxide, and other products of cellular


respiration also contributes to the development of the syndrome. A defect in the
clearance of extraneous substances can be quantified: If albumin labeled with a
MEP Books Cardiovascular page 215
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

radioactive tracer is injected into the foot tissues, the clearance rate is markedly
slowed by deep venous obstruction or by deep or superficial venous
incompetence.

Although this effect is referred to as venous stasis, the reduced clearance of


cellular metabolites is not always due to true venous stasis. In many cases, the
venous blood is moving at a normal speed, but a local recirculation of this venous
blood upward through normal veins and downward through varicosities prolongs
the average time required for the blood to pass from the heart and lungs through
the legs and back to the central circulation.

The time required for an aliquot of radiolabeled blood to pass from the femoral
artery through the leg and back to the central circulation is highly correlated with
the development of leg ulcers. The aliquot transit time and the clearance time for
an extremity are closely related to the volume of retrograde flow through
refluxing veins. Superficial varicosities always produce venous recirculation and
can result in prolonged clearance that may be localized or affect the whole leg.

Experimental evidence shows that if the peak retrograde flows in the GSV, SSV,
and popliteal vein add up to less than 10 mL/s, progressive visible stasis
dermatitis and ulceration do not occur. If they add up to more than 15 mL/s, the
incidence of ulceration is high. In some cases, purely superficial local reflux with
a pressure of more than 7 mL/s can cause local ulceration.

In the San Diego Population Study, levels of circulating P-selectin were found to
be correlated with the severity of CVI, though not with the incidence of CVI in
general.[3] The study findings suggest that the pathogenesis of CVI may include
activation of platelets and endothelial cells.

Etiology

CVI can be caused by congenital absence of or damage to venous valves in the


superficial and communicating systems. It can also be caused by venous
incompetence due to thrombus formation as favored by the Virchow triad (venous
stasis, hypercoagulability, and endothelial trauma[4] ). Varicose veins rarely are
associated with the development of CVI. Most cases of venous insufficiency are
related to reflux through the superficial veins.

Chronic nonhealing wounds of the lower extremity have many different potential
causes, but most chronic lower-extremity ulcers are of venous etiology. The
majority of venous ulcers are caused by venous reflux that is purely or largely
confined to the superficial venous system; only a minority are caused by chronic
DVT or by valvular insufficiency in the deep veins.
MEP Books Cardiovascular page 216
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Superficial venous insufficiency

In superficial venous insufficiency, the deep veins are normal, but venous blood
escapes from a normal deep system and flows backwards through dilated
superficial veins in which the valves have failed. More than 80% of varicose veins
seen on the leg are caused by venous insufficiency or a leaky valve in the GSV,
which terminates near the inguinal ligament as it joins the common femoral vein.

The initial valve failure may occur at any level between the groin and the ankle,
but the saphenofemoral junction is the high point of reflux in most patients with
severe superficial venous insufficiency. Valve failure can be spontaneous in
patients with congenitally weak valves. Congenitally normal valves can fail as a
consequence of direct trauma, thrombosis, hormonal changes, or chronic
environmental insult (eg, prolonged standing).

Deep venous insufficiency

Deep venous insufficiency can be due to congenital valve or vessel abnormalities,


but it most commonly occurs when the valves of the deep veins are damaged as a
result of DVT. With no valves to prevent deep system reflux, the hydrostatic
venous pressure in the lower extremity increases dramatically.

Klippel-Trénaunay-Weber syndrome

A less common cause of venous insufficiency is Klippel-Trénaunay-Weber


(KTW) syndrome, which involves port-wine stains, varicose veins, and bony or
soft-tissue hypertrophy. Patients with pure Klippel-Trénaunay syndrome have
only venous involvement, whereas those with the Parkes Weber variant also have
arteriovenous malformations.

The capillary hemangiomas (port-wine stains) of KTW syndrome, like those of


other forms of venous insufficiency, can lead to local skin breakdown and
ulceration, bleeding, and secondary infection. This can occur in any organ system
of the body.

The sciatic vein is a large superficial vessel that is present during fetal
development but usually does not persist. In patients with KTW syndrome, this
vein may be noticed at birth, or it may become apparent later in life. The vein
extends along the posterolateral aspect of the leg from the foot to the gluteal
region. When present, it is invariably a reflux pathway rather than a pathway for
antegrade flow.

Patients with KTW syndrome may have atresia of the deep veins, as well as many
abnormal venous pathways involving the deep and superficial venous systems.
MEP Books Cardiovascular page 217
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

KTW syndrome can produce such severe venous insufficiency that the otherwise
normal lymphatic system becomes overwhelmed by the amount of lymph
production, which leads to secondary lymphedema.

Surgical attempts to treat the abnormal refluxing veins in KTW syndrome are
fraught with peril because postoperative worsening of venous abnormalities is
common.

Risk factors

The incidence of CVI rises substantially with age. A history of DVT, which
renders venous valves incompetent and thereby causes backflow and increased
venous pressure, is a risk factor.

A sedentary lifestyle minimizes the pump action of calf muscles on venous return,
causing higher venous pressure. CVI occurs more frequently in women who are
obese. Vocations that involve standing for long periods predispose individuals to
increased venous pressure in dependent lower extremities. A higher incidence of
CVI is observed in men who smoke. Pregnancy is an important causative factor in
the development of peripheral venous insufficiency. Contraceptive medication
use, hypertension, previous leg injuries, and low intake of cellulose fibbers have
also been considered.[5]

Epidemiology

United States statistics

CVI is a significant public health problem in the United States. It has been
estimated that 2-5% of all Americans have some changes associated with CVI.
Published estimates of the prevalence of varicosities range from 7% to 60% in the
adult population, with most studies demonstrating clinical varicose reflux in about
40% of the population.[6] Venous stasis ulcers affect approximately 500,000
people. The mean incidence of hospital admission for CVI is 92 per 100,000
admissions.

International statistics

The frequency of venous insufficiency is believed to be higher in Westernized and


industrialized nations than in developing nations, most likely because of
differences in lifestyle and activity.

MEP Books Cardiovascular page 218


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

It has been estimated that approximately 1-2% of the adult population presents
with lower-limb ulceration, from which 70-90% of these ulcers are attributed to
CVI.[5]

Age-related demographics

The prevalence of venous insufficiency increases with age. Peak incidence occurs
in women aged 40-49 years and in men aged 70-79 years.

Reticular veins usually appear or are first noticed in adolescence and young
adulthood, with only a small number of new cases developing after the
childbearing years. Truncal varicosities and telangiectatic webs, on the other hand,
are relatively less common in youth and can appear throughout life.

The Bochum study, which assessed a large number of children aged 10-12 years
at one point (Bochum I) and again 4 years later (Bochum II), revealed that
symptoms and abnormal venous test results occur before any abnormal veins are
visible at the surface. Abnormal reticular veins appear first and are followed by
incompetent perforatoring veins and truncal varicosities, which appear several
years later.[7]

Although active venous ulceration affects less than 1% of the population, its
prevalence slightly increases to 3% in individuals older than 65 years.[8]

Sex-related demographics

The incidence and prevalence of deep and superficial venous disease depend on
the age and sex of the population, but at any age, such disease is more common in
women than in men. In younger men, the incidence is lower than 10%, compared
with 30% in similarly aged women. In men older than 50 years, the incidence is
20%, compared with 50% in similarly aged women.[9]

Physical Examination

The most common physical signs of venous insufficiency are those attributed to
the progressive syndromes of chronic venous stasis and chronic venous
hypertension. These signs include the following:

Edema

Hyperpigmentation

Venous dermatitis

MEP Books Cardiovascular page 219


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Chronic cellulitis

Cutaneous infarction (atrophie blanche)

Ulceration

Swelling may result from acute venous obstruction (as in deep venous thrombosis
[DVT]) or deep or superficial venous reflux. Alternatively, swelling may be
completely unrelated to the venous system. Lower-extremity pitting edema is
common in patients with venous insufficiency. Hepatic insufficiency, renal
failure, cardiac decompensation, infection, trauma, and environmental effects can
also cause lower-extremity pitting edema that may be indistinguishable from
edema due to venous obstruction or venous insufficiency.

Lymphatic edema may be a sign of primary lymphatic outflow obstruction, or it


may be secondary to the overproduction of lymph as a result of severe venous
hypertension (a so-called venolymphatic syndrome).

Darkened, discolored, and stained skin may be a sign of venous stasis, arterial
insufficiency, chronic infection, prior injury, or various other conditions (see the
image below). Such discoloration is particularly likely to be a sign of chronic
venous stasis if it is localized along the medial part of the ankle or the medial
aspect of the lower leg; these areas are especially prone to venous hypertension
because their drainage largely depends on the competence and patency of the
entire great saphenous vein (GSV) and all the attached perforating veins.

Superficial venous insufficiency with skin changes.

MEP Books Cardiovascular page 220


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Normal veins are visibly distended at the foot and ankle and, occasionally, in the
popliteal fossa; they usually are not visibly distended in the rest of the leg.
Translucent skin may cause the normal veins to become visible in a bluish
subdermal reticular pattern. A dilated vein above the ankle is usually evidence of
venous pathology (see the image below).

Perforator vein bulging into subcutaneous tissue.

Nonhealing ulcerations may be due to deep or superficial venous insufficiency


(see the images below); other causes include arterial insufficiency, rheumatologic
disorders, local trophic effects, unrecognized cancer, and various more exotic
conditions. Nonhealing ulcers on the medial part of the ankle are most likely due
to underlying venous stasis. Skin changes or ulcerations that are localized to the
lateral aspect of the ankle are more likely to be related to prior trauma or arterial
insufficiency than to pure venous insufficiency.

Ulcer due to venous insufficiency.

MEP Books Cardiovascular page 221


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Chronic venous stasis ulcer.

Venous stasis ulcer and surrounding dystrophic tissue.

A long-standing venous ulcer rarely converts to a basal cell carcinoma or


squamous cell carcinoma. The venous ulcer may develop collision lesions (eg,
basal cell carcinoma and stasis ulceration) at the same site.

The visual appearance of the lower extremities is a useful but not always reliable
guide to the peripheral venous condition.[16] Clinical findings in venous disease
are also common to many other entities that affect the lower extremities.[17]
Physical examination alone is not a reliable means of assessing the venous
system. Diagnostic testing nearly always is necessary to rule out deep venous
obstruction, to assess the paths of reflux, and to guide treatment planning.

Trendelenburg test

The Trendelenburg test is a traditional part of the physical examination that may
help in distinguishing distal venous congestion caused by superficial venous
reflux from that caused by incompetence of the valves in the deep venous system.

To perform this test, elevate the patient’s leg until all of the congested superficial
veins collapse. Apply direct pressure to occlude the superficial veins below the
point of suspected reflux from the deep system into the superficial varicosity.
MEP Books Cardiovascular page 222
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Most often, the GSV is manually occluded just below the saphenofemoral
junction at the groin.

With the occlusion still in place, have the patient stand. If the distal varicosity
remains empty or fills slowly, quickly remove the occluding hand or tourniquet. If
the slow filling observed with occlusion is followed by rapid filling after the
occlusion is removed, the principal high-pressure entry point into the superficial
system is correctly identified.

Immediate refilling of the varicosity despite manual occlusion indicates that the
principal entry point has not yet been identified or that more than 1 reflux
pathway is involved. Extremely rapid refilling despite occlusion of the superficial
reflux pathways suggests that the valves in the deep veins may be incompetent
between the groin and the level at which the reflux escapes the deep system. The
result is rapid filling of the superficial system.

If deep venous insufficiency is confirmed with results from further evaluations,


the treatment options for the patient may be severely limited.

Laboratory Studies

Many patients with venous insufficiency have clinically unrecognized chronic


recurrent varicose thrombosis due to stasis in areas with abnormal veins. Such
patients may have elevated levels of D-dimer. This finding reduces the usefulness
of that test for the evaluation of patients with suspected acute venous
thromboembolic disease.

Laboratory tests may be helpful in patients with venous insufficiency due to


Klippel-Trénaunay-Weber (KTW) syndrome because such patients can develop
consumptive thrombocytopenia.

Ultrasonography

Duplex ultrasonography is the study of choice for the evaluation of venous


insufficiency syndromes. Color-flow duplex imaging uses the Doppler
information to color code the 2-dimensional sonogram. On the image, red
indicates flow in one direction (relative to the transducer), and blue indicates flow
in the other direction.[18] On newer machines, the shade of the color may reflect
the flow velocity (in the Doppler mode) or the flow volume (in the power Doppler
mode).

MEP Books Cardiovascular page 223


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

When used to evaluate patterns of venous reflux, ultrasonography is both sensitive


and specific. Ultrasonographic reflux mapping is essential for the evaluation of
peripheral venous insufficiency syndromes.

A study from the United Kingdom compared 27 consecutive patients seen at a


varicose vein clinic with 23 normal ambulatory volunteers and found evidence to
suggest that the presence of pulsatile flow in the GSV might be a marker of severe
chronic insufficiency of the superficial veins.[19]

In the diagnosis of deep venous thrombosis (DVT), ultrasonography has been


shown to be superior to contrast venography, and it has now replaced venography
in this setting. Duplex ultrasonography is the initial diagnostic imaging modality
of choice in patients with suspected DVT.

Intravascular ultrasonography has been gaining acceptance in the management of


venous disease. This test uses a catheter-based ultrasound probe to visualize
periluminal vascular anatomy in order to assess for obstructive or stenotic disease
of the venous system.[20]

Venography

Magnetic resonance venography (MRV) is the most sensitive and specific test for
the assessment of deep and superficial venous disease in the lower legs and pelvis,
areas not accessible by means of other modalities. MRV is particularly useful
because it can help detect previously unsuspected nonvascular causes of leg pain
and edema when the clinical presentation erroneously suggests venous
insufficiency or venous obstruction.

Current advances in technology have allowed the inclusion of computed


tomography and/or MRV in the evaluation of venous disease; however, their use
requires intravenous contrast material and appropriate timing in order to obtain a
venogram. In other words, a proper technique that would allow the proper
visualization to assess for obstructive disease, varicose veins, perforating veins,
and other venous abnormalities is required.[20]

Direct contrast venography (see the image below) is a labor-intensive and


invasive imaging technique. In most centers, it has been replaced by duplex
sonography for the routine evaluation of venous disease. However, the technique
remains useful in difficult or confusing cases.

MEP Books Cardiovascular page 224


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Venogram demonstrating incompetent perforating veins.

An intravenous (IV) catheter is placed in a dorsal vein of the foot, and


radiographic contrast material is infused into the vein. A superficial tourniquet is
placed around the leg to occlude the superficial veins and force the contrast
material into the deep veins.

The assessment of reflux by means of direct contrast venography requires the


passage of a catheter from the ankle to the groin with the selective introduction of
contrast material into each segment of the vein.

In nearly 15% of patients undergoing venography for detection of DVT, a new


thrombosis is detected shortly after a contrast venogram shows negative results.
The incidence of contrast-induced DVT in patients who undergo venography for
the assessment of venous insufficiency is not known.

Venous Plethysmography

Air plethysmography (APG) is a noninvasive test that has the ability to measure
some pathophysiologic mechanisms of CVI, which includes reflux, obstruction,
and muscle pump dysfunction. This test facilitates evaluation of venous filling
through the venous filling index. It may be useful when venous duplex ultrasound
does not provide conclusive information.[20]

Photoplethysmography uses infrared light to assess capillary filling during


exercise. Increased capillary filling is indicative of venous reflux and,
consequently, of incompetent veins.

MEP Books Cardiovascular page 225


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Outflow plethysmography involves placing and subsequently releasing a


tourniquet on the lower extremity; the veins should quickly return to baseline
pressures. Failure to do so indicates reflux.

Physiologic Venous Function Tests

Physiologic tests of venous function are important in assessing the cause and
severity of venous insufficiency. The physiologic parameters most often measured
are the venous refilling time (VRT), the maximum venous outflow (MVO), and
the calf muscle pump ejection fraction (MPEF).

Venous refilling time

The VRT is the time necessary for the lower leg to become suffused with blood
after the calf muscle pump has emptied the lower leg as thoroughly as possible.
When patients with healthy veins are in a sitting position, venous refilling of the
lower leg occurs only by means of arterial inflow and requires at least 2 minutes.

In patients with mild and asymptomatic venous insufficiency, some venous


refilling occurs by means of reflux across leaky valves. These asymptomatic
patients have a VRT of 40-120 seconds.

In patients with significant venous insufficiency, venous refilling occurs through


high-volume reflux and is fairly rapid. An abnormally fast VRT of 20-40 seconds
is recorded, reflecting retrograde venous flow through failed valves in superficial
or perforating veins. This degree of reflux may be associated with the typical
symptoms of venous insufficiency. Patients often complain of nocturnal leg
cramps, restless legs, leg soreness, burning leg pain, and premature leg fatigue.

A VRT shorter than 20 seconds is markedly abnormal and is attributable to high


volumes of retrograde venous flow. High-volume reflux may occur via the
superficial veins, the large perforators, or the deep veins. Patients with this degree
of reflux are nearly always symptomatic. When the VRT is shorter than 10
seconds, venous ulcerations are so common as to be considered virtually
inevitable.

Maximum venous outflow

MVO testing is performed to detect an obstruction to venous outflow from the


lower leg, no matter what the cause. Its results are a measure of the speed with
which blood can flow out of a maximally congested lower leg when an occluding
thigh tourniquet is suddenly removed.
MEP Books Cardiovascular page 226
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

A major advantage of MVO testing is that as a functional rather than anatomic


test, it is sensitive to significant intrinsic or extrinsic venous obstruction due to
any cause at almost any level. It can be used to detect obstructing thrombus in the
calf veins, the iliac veins, and the vena cava, areas where ultrasonography and
venography are insensitive. It can also be used to detect venous obstruction due to
extravascular hematomas, tumors, and other extrinsic disease processes.

The main disadvantage of MVO testing is that it is sensitive only for significant
venous obstruction and not for partial obstruction. It is not useful for the detection
of reflux-induced venous insufficiency. A normal MVO result does not absolutely
rule out DVT.

Muscle pump ejection fraction

The MPEF test is used to detect failure of the calf muscle pump to expel blood
from the lower leg. Its results are highly repeatable, but a skilled operator is
required to obtain clean, meaningful tracings.

The patient is asked to stand on his or her tiptoes 10-20 times or to dorsiflex his or
her ankle. The change in a physical parameter that reflects the blood volume in the
calf is recorded as the calf muscle is pumped.

In patients with normal veins and a normal calf muscle pump, 10-20 tiptoe
motions or ankle dorsiflexions empties the venous capacitance circuit of the calf.
In patients with muscle pump failure, severe proximal obstruction, or severe deep
venous insufficiency, tiptoe motions or ankle dorsiflexions have little or no effect
on the amount of blood remaining in the calf. Venous insufficiency due to this
cause is difficult to treat

Ambulatory Venous Pressure Monitoring

Ambulatory venous pressure (AVP) monitoring is the criterion standard in


assessing the hemodynamics of CVI. This test involves the insertion of a needle
connected to a pressure transducer into the dorsal foot vein. It has been shown to
be valuable in assessing the severity and clinical outcomes of CVI. Its use is
limited given its invasive nature, possible limitations, and potential alternate
diagnostic modalities.

MEP Books Cardiovascular page 227


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Approach Considerations

Venous insufficiency is neither uncommon nor benign. Treatment is aimed at


ameliorating the symptoms and, whenever possible, at correcting the underlying
abnormality.

No oral medication has yet been proven useful for the treatment of venous
disease. Graduated compression is the cornerstone of the modern treatment of
venous insufficiency. Surgical or endovenous therapy is commonly reserved for
those with discomfort or ulcers refractory to medical management. The primary
goal of such therapy is to improve the venous circulation by correcting venous
insufficiency by removing the major reflux pathways.

As yet, no treatment for deep venous insufficiency has been proved to be both
safe and effective. Valvuloplasty is occasionally successful, but the incidence of
postoperative deep venous thrombosis (DVT) is high. Venous bypass is successful
in select patients. External vein valve banding devices and thermally induced
collagen shrinkage procedures are being investigated in clinical trials. Restoration
of valvular function to incompetent deep veins remains an important focus of
research for vascular physicians.

Although deep system disease is often refractory to treatment, superficial system


disease can usually be treated by ablating the refluxing vessels. Refluxing
superficial vessels can safely be removed or ablated without sequelae; an
incompetent vessel has already proved itself unnecessary because it is carrying
venous blood in a retrograde direction. Antibiotics rarely are useful in patients
with venous ulcerations.

Consultation with a phlebologist (a physician or vascular surgeon specializing in


venous diseases) often yields new options for patients with chronic and seemingly
refractory disease. Venous insufficiency syndromes can be diagnosed and treated
by means of a variety of specialized techniques with which a generalist may not
be familiar. Guidelines have been established by the American Venous Forum and
Society for Vascular Surgery,[21] and these guidelines are discussed in a recent
review of modern management of venous insufficiency and varicose veins.

Sclerosing Agents

Class Summary

Sclerosing agents are used for the primary sclerosis of reflux pathways and for the
ablation of friable thin-walled veins judged to be at high risk for rupture and
hemorrhage.

MEP Books Cardiovascular page 228


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Sodium tetradecyl sulfate (Sotradecol)

Primary sclerotherapy is the treatment of choice for ablation of refluxing superficial


venous circuits in the absence of saphenofemoral junctional reflux. It is also the
treatment of choice for ablation of venous bleeding sites and friable thin-walled
varices. In general, a 1% concentration is most useful; in larger varicosities, a 3%
concentration may be used as a liquid. Foam may be made by agitating a 1:4
mixture of solution and air. When a foamed solution is used, a concentration of
0.25-0.5% is sufficient.

Venoablation

Venoablation is reserved for those with discomfort or ulcers refractory to medical


management. The primary goal of surgical and endovenous approaches is to correct
venous insufficiency by removing the major reflux pathways. Techniques for
venoablation include the following:

Ligation with stripping

Simple ligation and division

Sclerotherapy (with or without ligation)

Stab evulsion (with or without ligation)

Radiofrequency ablation (RFA) [26]

Endovenous laser therapy (EVLT) [26]

All methods of venoablation are effective (although there is some disagreement


between the medical and the surgical literature as to the prevalence and timing of
varicose recurrences). Once the overall volume of venous reflux is reduced below a
critical threshold by any mechanism, venous ulcerations heal, and patient
symptoms are resolved.[27, 28]

In general, vein ligation is reserved for cases of chronic venous insufficiency (CVI)
involving reflux in the saphenous system that causes severe symptoms.[29] Thus, a
diagnosis of reflux must be established preoperatively, usually with
photoplethysmography or duplex imaging. [#Contraindications]In patients with
symptomatic varicosities of the great saphenous vein (GSV), deep occlusion must
be ruled out; it is an absolute contraindication to vein ligation. Venography of the
deep venous system before superficial vein ligation is imperative.

Sclerotherapy is performed by injecting or infusing a sclerosing substance into the


refluxing vessel to produce endothelial destruction and fibrosis of the treated
MEP Books Cardiovascular page 229
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

vessel. Injection of a sclerosing agent directly into veins usually is reserved for
telangiectatic lesions rather than CVI. Phlebotonics have not been proven to be
beneficial for CVI.[30]

EVLT is performed by passing a laser fiber from the knee to the groin and then
delivering laser energy along the entire course of the vein. Destruction of the
vascular wall is followed by fibrosis of the treated vessel. It has been shown to yield
excellent long-term (>5 years) results and a low rate of complications, which vary
with the laser wavelength used.

RFA is performed by passing a special radiofrequency (RF) catheter from the knee
to the groin and then carrying out controlled and preset heating of the targeted
vessel until thermal injury causes shrinkage. The process is repeated every 7 cm
along the course of the vein. Initial thermal injury is followed by fibrosis of the
treated vessel. RFA has been shown to be effective, with a low rate of
complications. It has produced excellent results that have been confirmed with up
to 10 years of follow-up.

Subfascial endoscopic perforator surgery (SEPS) has also been employed to treat
CVI. Endoscopic techniques are used to find and ligate perforating veins.
Preliminary reports showed that after SEPS, the average healing time for ulcers was
42 days, with a recurrence rate of 3%, and that ulcers treated with SEPS healed 4
times faster than ulcers treated conventionally. In addition, the morbidity of SEPS
was significantly lower than that of traditional operations.

Overall, approximately 8% of patients require surgical intervention for CVI.


Different options are suitable for different conditions (see below). Careful
monitoring of a patient’s cardiac status and vital signs is extremely important. In
addition, periodic monitoring of hemoglobin and hematocrit levels yields essential
intraoperative data.

Varicose bleeding

Patients with varicose bleeding usually present to an emergency department (ED),


where the traditional management is to oversew the involved vessel. Patients who
have had significant blood loss may be admitted to the hospital, particularly if the
bleeding varicosity is large and if the overlying tissue is friable. Oversewing a
vessel almost always results in short-term control, but it can also cause short-term
recurrence of hemorrhage because the procedure does nothing to ablate the dilated,
superficial, thin-walled vessel that has ruptured.

MEP Books Cardiovascular page 230


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Variceal hemorrhage is best managed by means of primary sclerotherapy with


sodium tetradecyl sulfate. Tretbar reported a series of cases that were successfully
treated by means of primary compression sclerotherapy over a 3-year period.[31]

Superficial venous insufficiency

For superficial vein treatment, primary surgery offers a lower rate of early
recurrence, whereas sclerotherapy produces fewer complications and offers higher
rates of patient satisfaction both early and at follow-up. The lower likelihood of
early recurrence after surgical treatment offsets the greater risk of complications.[32,
33]

Vein stripping with ligation of the saphenofemoral junction has long been the most
commonly adopted surgical approach in cases of superficial venous insufficiency.
At present, it is increasingly being replaced by endovenous ablation techniques
such as RFA and EVLT.

The original approach to vein ligation for superficial vein disorders involved
removal of the entire GSV system; this approach has largely been supplanted by the
stab evulsion technique. In stab evulsion, several 2- to 3-mm incisions are made
overlying the GSV at various levels. The vein is dissected from the underlying
tissues, and any perforators are ligated. A small hook or blunt needle is used to
extract as much of the vein as possible.

Typically, stab evulsion is limited to areas above the knee in the GSV system to
avoid damage to the saphenous nerve or sural nerve. This technique is reserved for
CVI in which reflux in the saphenous system occurs and causes severe symptoms.
For this reason, it is mandatory to establish a diagnosis of reflux preoperatively.

Simple ligation and division of the incompetent vessels is not an effective way of
treating failed perforating vessels, because this procedure is associated with a high
incidence of early recurrence of reflux when it is applied to the GSV.

Skin grafts do not survive for very long unless the venous insufficiency has been
treated, and after the venous insufficiency is ablated, the ulcer usually heals
quickly, even without grafting.

Deep venous insufficiency

The decision to operate on a patient with venous obstruction in the deep veins
should be made only after a careful assessment of symptom severity and direct
measurement of both arm and foot venous pressures. Venography alone is not
sufficient, because many patients with occlusive disease have extensive collateral
circulation, which renders them less symptomatic. Clot lysis (eg, with tissue
MEP Books Cardiovascular page 231
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

plasminogen activator [TPA] or urokinase) and thrombectomy have been tried but
have largely been abandoned because of extremely high recurrence rates.

For iliofemoral disease, the operation of choice is a saphenous vein crossover graft.
In this procedure, the contralateral saphenous vein is mobilized and divided at its
distal end, then tunneled suprapubically and anastomosed to the femoral vein on the
diseased side (see the image below). The result is diversion of venous blood
through the graft and into the intact contralateral venous system. Because of a
relatively high failure rate (20%), ringed polytetrafluoroethylene (PTFE) grafts are
used. Long-term patency has not been determined.

Venous insufficiency iliofemoral obstruction (Palma operation).

Saphenous vein from contralateral leg tunneled subcutaneously to femoral vein of


affected limb; cumulative patency of 75% at 5 years. Procedure relieves venous
claudication but may not heal ulcers or relieve swelling.

For occlusion of the superficial femoral vein, the Husni bypass, described by
Warren in 1954 and Husni in 1983,[34] may be considered. In this procedure, the
ipsilateral GSV is harvested and used as an in-situ popliteal-femoral vein bypass.
Because of its high failure rate (approximately 40%), the Husni bypass is
performed infrequently. A minimally invasive technique using stents has been
described.[35]

Valvuloplasty is reserved for patients with a congenital absence of functional


valves. A phlebotomy is performed, and the valve cusps are plicated. To ensure an
adequate result, plicating 20-25% of each cusp is recommended. Addition of a
PTFE sleeve around the operating site to maintain valve integrity is routine. When
MEP Books Cardiovascular page 232
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

combined with ligation of perforating veins, valvuloplasty yields a superior


outcome in 80% of cases after 5 years.

With vein segment transposition, a normally functioning vein that is in close


proximity to the diseased vessel is identified. The incompetent vein is then
dissected, mobilized, and transposed onto the normal vein distal to a functional
valve.

With vein valve transplantation, a valve-containing segment of a competent


axillary or brachial vein is mobilized and inserted into either the popliteal or the
femoral system. The incompetent segment of the leg vein is excised and replaced
with the transplant segment. Allograft or cadaveric vein transplants are being
evaluated, with long-term results pending.

Complications

Potential complications of surgical ablation of refluxing veins include the


following:

Infection

Nerve injury (eg, to sural or saphenous nerves)

Arterial injury

Undesirable cosmetic outcomes

Potential complications of sclerotherapy include the following:

Allergic reactions to sclerosants

Cutaneous necrosis due to extravasation

Inadvertent arterial injection (may cause loss of a limb)

Potential complications of RFA and EVLT include the following:

Skin burns

Thermal injury to adjacent tissues

Inadvertent injury to deep veins

Postprocedural care

MEP Books Cardiovascular page 233


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Anticoagulation with heparin (or low-molecular-weight heparin) in the immediate


postoperative period and long-term prophylaxis with warfarin are recommended.

Observe patients frequently for wound infection after discharge, beginning 1 week
postoperatively. Sutures or staples typically stay in 2-4 weeks, depending on the
health of the skin at the operative site.

Increased pain or swelling is an indication for repeat duplex ultrasonography to rule


out DVT.

Activity

Regular activity is an important ameliorating factor in patients with early or mild


venous insufficiency syndrome. Prolonged standing or sitting can aggravate the
symptoms of venous insufficiency. Patients with advanced disease do not tolerate
activity well.

Walking or running, bicycling, and swimming are excellent activities for patients
with an intact and functioning calf muscle pump. Patients with obstructed venous
outflow usually experience increased pain and swelling with activity. Patients with
muscle pump failure usually have a markedly reduced exercise tolerance because of
early leg fatigue.

Prevention

In general, patients with venous insufficiency should avoid prolonged standing or


sitting. Correction of the underlying problem prevents progression of the disease.

In patients with early venous insufficiency, progression to overt signs of disease


(eg, stasis dermatitis, skin breakdown, and ulceration) can virtually always be
prevented with the use of compression hose that provide a pressure gradient of
30-40 mm Hg between foot and knee.

Implications

The importance of addressing CVI resides in the fact that over 2.5 million
individuals have this disorder, from which around 20% percent present with venous
ulcers as a complication.[20] Therefore, a reduction in the quality of life, exposure to
financial constraints, and disability are frequently seen in this type of patient. The
estimated annual expenditures dedicated to the management of venous ulcer
disease exceeds $1 billion; hence, it is important to reduce the risk factors and
MEP Books Cardiovascular page 234
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

increase the therapeutic options that could prevent disease and disability from
complications of CVI.

Prognosis

The syndromes of venous hypertension and reduced venous clearance are


important causes of morbidity and disability in patients with varicose venous
disease (see also Complications).

Without correction of the underlying cause, venous insufficiency is inexorably


progressive. Subjective symptoms usually worsen over time.

In many patients, the skin eventually breaks down and nonhealing ulcers develop.
A study by Abbade et al determined that longstanding and large ulcers and
recurrences are the primary complications encountered by patients who have

venous ulcers.[10] Risk factors for these complications include severe


lipodermatosclerosis, a previous history of ulcers, and time since first ulcer
episode of 2 years or longer.

Chronic nonhealing leg ulceration can be debilitating. Approximately 1 million


Americans have an ulceration due to superficial venous disease, and
approximately 100,000 are disabled because of their condition. Reflux need not be
entirely eliminated for the ulceration to resolve. Ulcers will heal if the net volume
and pressure of reflux are reduced below a threshold level. Tissue atrophy and
staining are usually not reversible.

Patients have an increased lifetime risk of DVT and pulmonary embolism. Tsai et
al, examining the National Inpatient Sample from 1988-2000, found that DVT
affected 1.3% of patients and that amputation was necessary in 1.2%, with an
overall mortality of 1.6%.[11]

As many as 50% of patients with untreated varicose veins develop superficial


thrombophlebitis at some time. This is of grave concern, because unrecognized
DVT is present in as many as 45% of patients with what appears to be purely
superficial phlebitis. The risk of DVT is 3 times higher in patients with superficial
varicosities than in the general population.

Bed rest and intercurrent illness place patients with venous insufficiency at higher
risk for DVT. Phlebitis develops in 60% of hospitalized patients with clinically

MEP Books Cardiovascular page 235


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

evident superficial venous insufficiency, and in nearly one half of cases, the
condition progresses to DVT. Approximately one half of patients with DVT have
detectable pulmonary embolism, and the death rate in this group exceeds 1 in 3.

Venous insufficiency syndromes can also lead to death from hemorrhage.


Bleeding from lower-extremity varicosities can be fatal[12] ; 23 such fatalities
were reported in England and Wales in 1973,[13] and, although there is no central
registry to tabulate the frequency with which it occurs, such cases are not unusual
in the United States. Bleeding is not a rare problem, but it is often managed
incorrectly.

Outcomes for different therapies have varied. Clot lysis (eg, with tissue
plasminogen activator or urokinase) and thrombectomy have been tried but have
largely been abandoned because of the extremely high recurrence rates.

Saphenous vein crossover grafting for iliofemoral disease has a relatively high
failure rate (20%), and thus, ringed polytetrafluoroethylene (PTFE) grafts are now
being used. Long-term patency rates have not been determined. The Husni bypass
for superficial femoral vein occlusion has an even higher failure rate
(approximately 40%) and thus is now performed infrequently.

Surgery for CVI resulting from deep vein incompetence includes valvuloplasty
and allograft or cadaveric vein transplant. Valvuloplasty for patients with
congenital absence of functional valves, when combined with ligation of
perforating veins, yields a superior outcome in 80% of cases after 5 years.
Allograft or cadaveric vein transplants are undergoing further evaluation, with
long-term results pending.

Guidelines Summary

The Clinical, Etiology, Anatomic, Pathophysiology (CEAP) classification was


developed by an international consensus conference to provide uniformity in the
reporting, diagnosing, and treating CVI.[20]

Clinical classification is as follows:

C0 - No visible signs of venous disease

C1 - Telangiectases or reticular veins

C2 - Varicose veins

C3 - Edema without skin changes

MEP Books Cardiovascular page 236


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

C4 - Changes in skin and subcutaneous tissue: A = Pigmentation or eczema; B =


Lipodermatosclerosis or atrophie blanche

C5 - Healed ulcer

C6 - Active ulcer

Etiologic classification is as follows:

Congenital (ie, Klippel-Trenaunay syndrome)

Primary

Secondary (ie, postthrombotic syndrome, trauma)

No venous cause identified

Anatomic classification is as follows:

Superficial

Deep

Perforator

No venous location identified

Pathophysiologic classification is as follows:

Reflux

Obstruction, thrombosis

Reflux and obstruction

No venous pathophysiology identified in advanced stages

MEP Books Cardiovascular page 237


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

RADIOLOGI

Beberapa teknik pencitraan jantung mencakup :

1. Angiografi/DSA
2. Cardiac Computed Tomography
3. Cardica Magnetic Resonance
4. Echocardiography

1. Angiografi/DigitalSubstractionAngiography (DSA)
Prosedur tersebut melibatkan kontras yang diinjeksikan ke dalam
vaskuler tubuh yang akan diperiksa melalui kateter kemudian gambar
diambil menggunakan sinar X-ray.DSA meliputi teknik pengambilan yang
sama, namun gambar yang didapatkan nantinya akan diproses secara digital
untuk menghilangkan bagian-bagian yang dapat menganggu gambar
vaskuler (tulang atau jaringan lunak). Angiografi dapat digunakan untuk
memeriksan pasien yang mengalami angina, stenosis aorta, gagal jantung,

atau atypical chest pain.

2. CardiacComputedTomography
CT mengambil gambar menggunakan sinar-X yang ditembakkan
melewati tubuh dari berbagai sudut sehingga menghasilkan gambar-gambar

MEP Books Cardiovascular page 238


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

dengan potongan cross-sectional. Sinar-X akan melewati bagian tubuh


dengan densitas yang berbeda-beda dimana semakin tinggi densitasnya
akan menghasilkan gambaran yang semakin putih dan semakin rendah
densitasnya akan menghasilkan gambaran yang semakin hitam. CT jantung
nantinya akan memberikan gambaran tomografi jantung dan struktur
sekitarnya. CT juga dapat digunakan untuk memeriksa skor kalsium,
koroner jantung maupun vaskuler perifer (CT Angiography).
Pengambilan gambar arteri koroner menggunakan CT merupakan
sebuah tantangan akibat ukuran lumen yang kecil serta adanya gerakan
jantung dan pernapasan. Gerak pernapasan dapat dikurangi dengan
menahan napas ketika pengambilan gambar dan gerakan jantung dapat
dikurangi dengan obat beta bloker ataupun obat lain yang dapat
menurunkan denyut jantung. CT arteri koroner diindikasikan bagi pasien
dengan atypical chest pain, risk assessment pada penderita asimptomatik
seperti perokok berat, penderita DM, hiperkolesterol, hipertensi, riwayat

keluarga sakit jantung, assesmentpostby-passgraft, dan anomali vaskular.

Pengambilan gambar arteri koroner di sesuaikan dengan siklus


kardiak yang dapat dilihat menggunakan electrocardiogram (ECG). Sinar
x-ray hanya ditembakkan pada saat tertentu saja dalam siklus kardiak (akhir
MEP Books Cardiovascular page 239
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

sistolik, kombinasi akhir sistolik dan akhir diastolik, atau pertengahan


diastolik) untuk menimilisasi eksposur sinar radiasi. Di antara fase sistolik
dan diastolik, jantung akan terlihat lebih lebih stabil untuk diambil
gambarannya oleh karena itu, ketenangan pasien sangat penting dalam
cardiac imaging karena detak jantung yang tinggi dapat mempersulit
pengambilan gambar.

Sebelum cardiac imaging, pasien diistirahatkan terlebih dahulu


untuk diukur nadi dan tekanan darahnya. Bila denyut nadi berada diatas 60
bpm maka pasien diberi beta blocker tablet, kemudian tunggu kira-kira satu
jam kemudian (pemberian diulang/ditambahkan bila nadi masih diatas 60
bpm). Nadi rutin di pantau setiap 15 menit, bila nadi tidak teratur pemberian
obat tenang dapat membantu.Pasien sedikitnya puasa 6 jam dan
menghindari minum kopi 12 jam sebelum pemeriksaan. Sebelum
diinjeksikan kontras, pasien dapat diberikan nitrogliserin sublingual untuk
melebarkan lumen arteri koroner sehingga gambar yang didapatkan akan
lebih baik.

Kalsifikasi arteri merupakan salah satu faktor risiko atherosclerosis


yang dapat menyebabkan kelainan kardiovaskuler. Skor kalsium dapat
dikategorikan (berdasarkan Agatston score) menjadi minimal (0-10),
MEP Books Cardiovascular page 240
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

ringan (10-100), sedang (100-400), atau tinggi (>400). Skor kalsium arteri
koroner (CAC) nantinya akan disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin
dan dipresentasikan dalam bentuk skor persentil.

Acute Coronary Snydrome

ECG + ECG – ECG –


Enzyme + Enzyme + Enzyme-

Unstable angina
STEMI NSTEMI

CTA + CTA -

(No indication to CTA)


Coronary angiography
discharged

3. CardiacMagneticResonance(CMR)
CMR merupakan teknik pencitraan yang menggunakan proton pada
hidrogen sebagai dasar pengambilan gambar. Hidrogen terdapat banyak di
dalam tubuh dan ketika tubuh kita masuk ke dalam mesin MRI maka proton
dalam hidrogen akan berputar disekitar sumbunya dengan frekuensi yang
spesifik. Perputaran pada air akan berbeda frekuensinya dengan
perputaran pada markomolekul yang lebih kompleks seperti protein dan
lemak. Mesin MRI memancarkan energi radiofrekuensi yang menyebabkan
perputaran tersebut dan setelah radiofrekuensi dihentikan, energi yang yang
diabsorbsi oleh tubuh akan segera dilepaskan kembali. Energi yang
dilepaskan kembali ini dapat ditangkap dengan permukaan kumparan

MEP Books Cardiovascular page 241


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

khusus sehingga dapat dibaca dan nantinya direkonstruksi menjadi gambar

MRI.

CMR bersifat noninvasif dan mempunyai resolusi yang tinggi


namun memerlukan waktu pengambilan yang lebih lama dibandingkan
pencitraan menggunakan CT maupun X-ray biasa. Untuk mengecek
keadaan vaskuler (MagneticResonanceAngiography) biasanya kontras
gadolinium diinjeksikan agar dapat terlihat lebih jelas. CMR diindikasikan
bagi pasien dengan penyakit jantung koroner, gagal jantung, gangguan
katup jantung, penyakit jantung kongenital, dan tumor pada jantung.

4. Echocardiography

Echocardiography menggunakan gelombang suara berfrekuensi


tinggi (ultrasound) yang ditembakkan melewati tubuh dan dipantulkan
kembali oleh struktur dalam tubuh sehingga dapat membentuk gambar.
Struktur pada tubuh yang memiliki densitas tinggi akan memberikan warna

MEP Books Cardiovascular page 242


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

putih pada gambar dan warna hitam pada densitas yang rendah. Gambar
yang dihasilkan nantinya dapat berbentuk 2 atau 3 dimensi. Resolusi dari
echocardiography tergantung dari panjang gelombang yang digunakan.
Semakin pendek panjang gelombang dan semakin tinggi frekuensinya maka
gambar yang dihasilkan akan semakin detail tapi kemampuan penetrasinya
akan semakin rendah.

Echocardiography juga dapat digunakan untuk memeriksa aliran


darah dalam jantung maupun pembuluh darah menggunakan prinsip
Doppler. Ketika aliran darah bergerak menuju transduser maka ultrasound
yang dipantulkan kembali akan memiliki frekuensi yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan yang pertama kali ditembakkan. Begitu juga sebaliknya,
aliran darah yang bergerak menjauhi transduser akan memantulkan
frekuensi yang lebih rendah. Perbedaan frekuensi ini dinamakan Doppler
shift. Doppler shift berkaitan erat dengan kecepatan sel darah merah dalam
pembuluh darah. Kecepatan aliran darah di antara dua ruang yang berbeda
akan mempengaruhi gradien tekanannya di antaranya. Perbedaan gradien
tekanan inilah yang dapat dijadikan prinsip memeriksa kelainan katup pada
jantung.

Terdapat tiga tipe ultrasound Doppler yang biasanya digunakan :


spectralDoppler yang terdiri dari pulsedwaveDoppler dan
continouswaveDoppler serta colorflowDoppler. PulsedwaveDoppler
digunakan untuk memeriksa aliran darah yang lambat dan untuk memeriksa
aliran darah pada daerah tertentu pada jantung. ContinuouswaveDoppler
digunakan untuk memeriksa aliran darah yang cepat namun tidak dapat
memeriksa aliran darah pada daerah tertentu. ColorflowDoppler merupakan
pulsedwaveDoppler yang dimana kecepatan darahnya diberi warna pada
layar berdasarkan suatu skala sehingga dapat memberikan gambaran
‘real-time’ jantung.

MEP Books Cardiovascular page 243


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Transesophagealechocardiography adalah salah satu teknik


echocardiography dimana transduser akan diletakkan di ujung endoskop
dan dimasukkan kedalam esofagus. Teknik ini dapat memberikan gambaran
jantung yang lebih jelas dan karena penetrasi lebih tidak diperlukan, maka
resolusi dan detail gambar yang didapatkan juga akan lebih baik. Teknik ini
merupakan indikasi utama bagi pasien dengan lesi kecil pada jantungnya
seperti vegetasi katup. Pasien yang akan menjalani pemeriksaan ini
diberikan anestesia lokal dan sistemik.

MEP Books Cardiovascular page 244


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition /


editors, Dennis L. Kasper, MD, William Ellery Channing, Professor of
Medicine, Professor of Microbiology, Department of Microbiology and
Immunobiology, Harvard Medical School, Division of Infectious Diseases,
Brigham and Women’s Hospital, Boston, Massachusetts [and five others]. New
York: McGraw Hill Education; 2015. 1 p.

2. Cardiac Tumor Imaging: Overview, Radiography, Computed Tomography.


2016 Jun 1 [cited 2016 Jun 29]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/347878-overview

3. Radiology Articles (presentation, history, clinical details, interpretation,


imaging, findings, techniques, accuracy, diagnosis, intervention) - Medscape
Reference [Internet]. [cited 2016 Jun 29]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/radiology

MEP Books Cardiovascular page 245


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

REHABILITASI KARDIOVASKULAR DI INDONESIA

“A process by which a person is restored to an optimal physical, medical,


psychological, social, emotional, sexual, vocational and economic status.” Itulah

definisi Cardiac Rehabilitation dari WHO tahun 19691 , yang kemudian


‘disempurnakan’ pada saat ini dengan memperhatikan dasar penyakit, proses dan
kondisi pasca sakit . Definisi tersebut dijabarkan dalam definisi terkini yaitu:

“The rehabilitation of cardiac patients is the sum of activities required to influence


favourably the underlying cause of the disease, as well as the best possible
physical, mental and social conditions, so that they may by their own efforts,

preserve or resume when lost, asnormal a place as possible in the society”.2

Secara ringkas, program rehabilitasi jantung yang komprehensif harus


mencakup beberapa komponen berikut:

(1) pengkajian kondisi dan riwayat medis pasien,

(2) edukasi dan konseling dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan


kesadaran pasien agar dengan upaya sendiri mampu menghindari faktor
risiko, mampu mengatasi faktor risiko agar proses penyakit atau proses
atherosklerosis dapat dihentikan atau dihambat, demikian pula kecemasan,

(3) upaya pengontrolan faktor risiko; menyangkut edukasi, modifikasi gaya


hidup kearah hidup sehat dan pengobatan yang diperlukan,

(4) program latihan fisik dan konseling aktifitas fisik, terutama dalam upaya
meningkatkan pola hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas hidup dan

pengendalian faktor risiko.3

Rujukan untuk program rehabilitasi jantung diindikasikan kelas I pada


sebagian besar pedoman tatalaksana klinis penyakit jantung seperti pada pasien
pasca sindroma koroner akut, angina pectoris kronis stabil, pasca operasi bedah
pintas koroner (CABG), pasca intervensi koroner perkutan (PCI), gagal jantung,

penyakit jantung katup, penyakit arteri perifer, dan prevensi pada wanita. 4

MEP Books Cardiovascular page 246


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Dalam pelaksanaannya program rehabilitasi jantung dikelompokan


kedalam beberapa fase:

Fase I adalah upaya yang segera dilakukan disaat pasien masih dalam masa
perawatan, tujuan utama fase ini adalah mengurangi atau menghilangkan
efek buruk dari ‘dekondisi’ akibat tirah baring lama, melakukan edukasi
dini dan agar pasien mampu melakukan aktifitas hariannya secara mandiri
dan aman.

Fase II, yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari RS, merupakan
program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal
mungkin, segera mengontrol faktor risiko, edukasi dan konseling tambahan
mengenai gaya hidup sehat.

Fase III dan IV merupakan fase pemeliharaan, dimana diharapkan pasien


tersebut telah mampu melakukan program rehabilitasi secara mandiri,
aman, dan mempertahankan pola hidup sehat untuk selamanya, dibantu atau
bersama-sama keluarga dan masyarakat sekitarnya. Sejak 1994, American
Heart Association (AHA) mendeklarasikan bahwa rehabilitasi jantung tidak
terbatas hanya pada program latihan fisik saja, tetapi harus mencakup
upaya-upaya multidisiplin yang bertujuan untuk mengurangi atau

mengontrol faktor risiko yang dapat dimodifikasi. 5, 6

Di Indonesia upaya rehabilitasi kardiovaskular dimulai sekitar tahun 1978


di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) diinisiasi oleh dr. Dede Kusmana
dan dr. Lutfi Usman (alm) yang merupakan staf-staf Bagian Kardiologi
FKUI-RSCM pada saat itu. Kegiatan yang dilakukan pada masa-masa awal lebih
terfokus pada upaya program bagaimana mengurangi akibat dekondisi karena tirah
baring dengan menyegerakan aktifitas fisik dan dengan program latihan fisik
setelahnya, karena pada masa itu penderita infark miokard harus menjalani tirah
baring yang lama. Setelah terlihat hasil yang memuaskan, maka dilakukan upaya
yang serupa pada pasien-pasien yang lain. Konsep rehabilitasi dini secara nasional
dipopulerkan dalam Kongres Rehabilitasi Nasional Pertama pada tahun 1980 dan

yang kedua pada tahun 1987. 7

MEP Books Cardiovascular page 247


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Saat ini upaya rehabilitasi jantung dilaksanakan baik di luar rumah sakit
maupun di dalam rumah sakit. Program rehabilitasi jantung yang dilaksanakan di
rumah sakit telah dilaksanakan di beberapa kota seperti Jakarta, diantaranya RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSCM, RS Fatmawati. Di Bandung:
dilaksanakan di RSHS, di Jogja: di RS Dr. Sardjito, dan juga di Padang.

Seperti halnya di negara-negara lain, pelaksanaan program rehabilitasi


kardiovaskular tersupervisi di RS pada umumnya masih dianggap underutilized.
Beberapa kondisi dianggap sebagai penyebabnya, antara lain banyaknya ko-morbid
pada pasien, status sosio-ekonomi, jarak yang jauh dari fasilitas rehabilitasi
jantung, rujukan dari dokter yang merawat pasien masih sedikit, rendahnya

motivasi pasien serta cakupan asuransi atau cara pembayaran. 4 Selain itu ditambah
masalah lain seperti ketersediaan sarana rehabilitasi jantung yang tersupervisi,
masalah transportasi untuk menjangkau saran dan masalah pekerjaan yang tidak
dapat ditinggalkan.

Hal lain yang bisa menyebabkan rendahnya rujukan adalah pesatnya


perkembangan ilmu kardiologi yang menyebabkan semakin canggih dan agresifnya
tatalak- sana penyakit kardiovaskular seperti infark miokard akut karena
berkembangnya intervensi non-bedah yang menyebabkan memendeknya masa
perawatan penyakit jantung. Upaya rehabilitasi kardiovaskular sebagai upaya
mengurangi efek dekondisi untuk hal tersebut menjadi kurang relevan lagi.

Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita misalnya, dimana


komponen-komponen rehabilitasi jantung telah relatif lebih lengkap, data pada
tahun 2008, dengan jumlah kunjungan pasien rehabilitasi jantung sebanyak 20.200
dan dengan jumlah pasien baru fase II sebanyak 583 orang menunjukan bahwa
mayoritas pasien yang baru mengikuti program rehabilitasi fase II didominasi oleh
penderita pasca tindakan operasi dengan distribusi berikut: penderita pasca CABG
(66%), pasca tindakan operasi katup jantung (15%), operasi koreksi kelainan
congenital (3%). Sedangkan penderita pasca angioplasti koroner 6%, PJK tanpa
tindakan 3% dan CHF 2,9% saja. Peserta pada umumnya laki-laki (81%) dengan
usia rata-rata 54,9 tahun. Program rehabilitasi fase II pasca tindakan operasi dan
untuk beberapa diagnosis dan tindakan seperti PTCA dimasukan ke dalam clinical
MEP Books Cardiovascular page 248
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

pathway rumah sakit untuk program rehabilitasi selama perawatan. Asuransi


Kesehatan (ASKES) menjamin pembayaran program rehabilitasi fase II untuk
pasien pasca operasi saja, hal inilah salah satu kemungkinan penyebab dominasi
peserta pasca tindakan operasi jantung.

Berdasarkan pengelompokan cara pembayaran, sebanyak 53% peserta


program fase II dibayar oleh ASKES, sedangkan sisanya membayar sendiri atau
dibayar oleh perusahaan. Bila dibandingkan dengan jumlah pasien yang “eligible”
untuk program rehabilitasi, sebenarnya peserta program rehabilitasi fase II ini
masih sangat kecil persentasenya, misalnya pasien pasca PTCA hanya 2% saja
yang mengikuti program rehabilitasi, apalagi pasien pasca MCI dan pasien gagal
jantung. Pasien pasca operasi CABG yang persentasenya mendominasi peserta
baru program rehabilitasi jantung sebenarnya hanya 58% saja dari mereka yang
menjalani operasi CABG. Sisanya tidak secara formal menjalani program
rehabilitasi fase II di rumah sakit karena harus kembali ke daerah asalnya atau
jangkauan ke RS yang jauh.

Program rehabilitasi fase II biasanya dijadwalkan selama 1-2 bulan, dengan


12 sampai 24 kali kunjung- an. Pasen datang ke sarana rehabilitasi kardiovaskular 3
kali seminggu, tapi mereka yang berasal dari luar kota Jakarta biasanya akan
dijadwalkan kunjungan tiap hari kerja dan setelah menjalani 12 kali kunjungan
akan segera dilakukan evaluasi untuk rencana program lanjutan saat pasien tersebut
kembali ke kota asal.

Di RS Dr. Sardjito, Jogjakarta, pelayanan rehabilitasi jantung dikolaborasikan


Bagian Kardiologi dengan Ba- gian Rehabilitasi Medik. Pada tahun 2008, mereka
sudah mulai melayani 29 pasien baru di fase II untuk menjalani program latihan
fisik tersupervisi di rumah sakit dengan total kunjungan keseluruhan 307
kunjungan.

Di RS Hasan Sadikin, Bandung, pelayanan latihan fisik tersupervisi di


rumah sakit juga telah dimulai, dan pada tahun 2008 telah melayani 23 pasien baru
fase II dan 4 pasien masuk ke fase III, dengan jumlah total 283 kunjungan, Aktifitas
pelayanan di klinik Kardiologi dikolaborasikan bersama dokter spesialis

MEP Books Cardiovascular page 249


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

rehabilitasi medik di RS tersebut.
Demikian juga halnya di RSCM dan di RS


Fatmawati Jakarta, program latihan fisik sebagai bagian dari rehabilitasi jantung
sudah mulai dalam waktu yang lama, dan pada fasilitas ini pada umumnya adalah
program rehabilitasi pada fase III. Saat ini beberapa pusat pelayanan atau
pendidikan sedang mempersiap- kan fasilitas dan program untuk rehabilitasi
jantung.

Hal-hal yang tersebut diatas belum mencakup upaya rehabilitasi jantung


yang dilakukan di luar rumah sakit oleh berbagai organisasi, lembaga swadaya
masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu di lingkungan
masing-masing. Misalnya klub jantung sehat Yayasan Jantung Indonesia yang bisa
dijumpai di seluruh provinsi, dengan lebih dari 3600 klub yang terdaftar, dan
sekitar 3000 pelatih yang terlatih, juga telah mempunyai kelompok-kelompok
khusus yang bisa diikuti oleh penderita penyakit jantung.

Mengingat kesulitan-kesulitan dalam hal transportasi, ketersediaan fasilitas


rehabilitasi di RS dan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan maka perlu
dipertimbangkan program rehabilitasi jantung dikembangkan ke arah
“group-base”, “home-base”, atau “community-base” rehabilitation terutama untuk
mereka yang termasuk dalam stratifikasi risiko rendah atau mereka yang
melanjutkan program. Pemantauan dapat dilakukan dengan teknologi
trans-telefonik atau telekardiologi, kunjungan supervisi oleh perawat atau dokter.
Sementara itu program pengkajian pasien, stratifikasi risiko, edukasi dan konseling,
serta evaluasi program dapat tetap dilakukan di rumah sakit atau dengan bantuan
media elektronik seperti internet.

Gagal jantung yang merupakan akhir atau akibat dari penyakit jantung yang
lainnya menunjukan insidensi dan prevalensi yang tinggi, maka program
rehabilitasi jantung di RS seyogyanya lebih mem- fokuskan pada kasus gagal
jantung dan usia lanjut. Rehabilitasi jantung yang mencakup latihan fisik pada
penderita gagal jantung saat ini telah diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam tatalaksana gagal jantung yang kronis serta telah direkomendasikan oleh

berbagai perhimpunan, misalnya AHA.8 Program latihan fisik pada penderita gagal
jantung juga telah terbukti keamanan dan manfaatnya pada penelitian besar seperti
MEP Books Cardiovascular page 250
Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

HF-ACTION Trial. 9

Sebagai kesimpulan, rehabilitasi kardiovaskular komprehensif tidak hanya


mencakup program latihan fisik, tetapi harus mencakup pengkajian pasien,
stratifikasi risiko, edukasi dan konseling dan program pengontrolan faktor risiko.
Walaupun manfaat

program ini sudah ditunjukan berbagai laporan dan direkomendasikan berbagai


perhimpunan ahli kardiovaskular, aplikasi program ini bagi penderita penyakit
kardiovaskular masih dianggap rendah, demikian juga yang terjadi di Indonesia dan
negara- negara lainnya. Beberapa pusat pelayanan atau RS di Indonesia selain RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita telah memulai menjalankan program
rehabilitasi kardiovaskular ini walaupun jumlah penderita yang dilayani masih
terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Rehabilitation of patients with cardiovascular disease. Report of


WHO Expert Committee. Geneva: WHO; 1964. Report No.: 270.

2. WHO. Rehabilitation after cardiovascular disease with special emphasis
on developing countries. Geneva: WHO; 1993. Report No.: 831.
3. Balady GJ, Williams MA, Ades PA, Bittner V, Comoss P, Foody JM, et
al. AHA/AACVPR Scientific Statement: Core Components of Cardiac
Rehabilitation/ Secondary Prevention Programs: 2007 Update.
Circulation 2007;115:2675-82.
4. Wenger NK. Current Status of Cardiac Rehabilitation. J Am Coll
Cardiol 2008 2008;51:1619-31.
5. Mathes P. From Exercise Training to Comprehensive Cardiac
Rehabilitation. In: Perk J, Mathes P, Gohlke H, Monpère C, Hellemans
I, McGee H, et al., editors. Cardiovascular Prevention and

MEP Books Cardiovascular page 251


Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2

Rehabilitation. London: Springer-Verlag; 2007. p. 3-8.


6. Leon AS, Franklin BA, Costa F, Balady GJ, Berra KA, Stewart KJ, et al.
AHA Scientific Statement: Cardiac Rehabilitation and Secondary
Prevention of Coronary Heart Disease. Circulation 2005;111:369-76.
7. Kusmana D. Rehabilitasi Jantung Komprehensif, Pengalaman
Pengelolaan Selama 31 Tahun. In: Minicourse on Cardiac Prevention
and Rehabilitation; 21st Weekend Course on Cardiology; 2009; Jakarta;
2009.
8. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, Francis GS, Ganiats
TG, et al. ACC/AHA 2005 Guideline Update for the Diagnosis and
Management of Chronic Heart Failure in the Adult. A Report of the
American College of Cardiology/ American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Update the 2001
Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure).
Circulation 2005;112:e154-e235.
9. O’Connor CM, Whellan DJ, Lee KL, Keteyian SJ, Cooper LS, Ellis SJ,
et al. Efficacy and safety of exercise training in patients with chronic
heart failure: HF-ACTION randomized controlled trial. Jama
2009;301(14):1439-50.

MEP Books Cardiovascular page 252

Anda mungkin juga menyukai