Anda di halaman 1dari 276

BANU 2018

Bali Neurology Update

Tropical Disease and Neuropediatric Cases :


Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities

Editor:
dr. I A Sri Indrayani, Sp.S
dr. Putu Gede Sudira, Sp.S
Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)
Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)
dr. Ni Putu Witari, Sp.S
dr. Ketut Widyastuti, Sp.S

UDAYANA UNIVERSITY PRESS


Bali Neurology Update 2018
Tropical Disease and Neuropediatric Cases :
Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities

Editor:
dr. I A Sri Indrayani, Sp.S
dr. Putu Gede Sudira, Sp.S
Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)
Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)
dr. Ni Putu Witari, Sp.S
dr. Ketut Widyastuti, Sp.S

Penerbit:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar
Email: unudpress@gmail.com
Website: http://penerbit.unud.ac.id
2018, x + 261 pages, 14.8 x 21 cm

ISBN 978-602-294-297-9

ii | B A N U 6
SAMBUTAN KETUA UMUM PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF
INDONESIA (PP PERDOSSI)

Om Swastiastu.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Om Namo Budhaya.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya kita bersama-sama dapat segera mengikuti acara
The 6th Bali Neurology Update (BANU 6th). Acara ini merupakan agenda ilmiah resmi
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), yang rutin dilaksanakan di
regional kawasan Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat, hingga Nusa Tenggara Timur.
Acara ilmiah ini merupakan sarana penunjang pengembangan ilmu
pengetahuan kedokteran umumnya dan Neurologi khususnya, yang dapat dimanfaatkan
oleh mahasiswa kedokteran, dokter umum, dokter residen, dan dokter spesialis neurologi
guna tetap update terhadap perkembangan ilmiah terbaru. Hal ini berguna untuk menjaga
wawasan ilmiah sekaligus meningkat kompetensi yang dimiliki selama ini. Semua itu demi
peningkatkan pelayanan kita kepada masyarakat.
The Bali Neurology Update (BANU) selalu menyajikan wawasan ilmiah baru, baik
dalam konsep epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, terapi, dan prevensi berbagai penyakit
neurologis. Pemilihan judul serta penyajian materi mempertimbangkan aspek yang sedang
ramai dibicarakan dan dialami oleh klinisi di tanah air, serta selalu berorientasi pada bukti
ilmiah terkini (Evidence-based medicine/ EBM). Kali ini BANU menyajikan tema besar
Neuroinfeksi dan Neuropediatri. Kedua topik ini memiliki angka kejadian serta jumlah
populasi berisiko yang cukup tinggi di Indonesia. Kasus yang muncul dan merebak dapat
berupa kasus yang baru pertama kali terjadi maupun kasus yang sebelumnya sudah pernah
muncul dan tertangani dengan baik. Hal ini membuatnya menjadi isu nasional yang strategis
dalam bidang kesehatan. Peran tenaga medis baik dokter spesialis, dokter umum,
mahasiswa kedokteran, ataupun paramedis pada fase kegawatdaruratan maupun restorasi
dapat meningkatkan angka harapan hidup dan/ atau kualitas hidup pasien.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia menyambut hangat dan
menyampaikan selamat atas penyelenggaraan BANU 6 th ini. Semoga BANU 6th ini berjalan
sukses sebagaimana BANU sebelumnya, sekaligus dapat terus berjalan berkesinambungan.
Terima kasih dan ucapan selamat saya sampaikan kepada panitia BANU 6th atas kerja keras
serta kerjasamanya yang baik dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Akhir kata, selamat
mengikuti rangkaian acara symposium dan workshop BANU-6, semoga acara ini bermanfaat
untuk kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Om Santi Santi Santi Om


Wassalamualaikum Wr. Wb.

Prof. Dr. dr. Moh. Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S.


Ketua Umum PP PERDOSSI

iii | B A N U 6
SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR

Om Swastyastu,
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat-Nya sejawat semua dapat mengikuti acara ilmiah tahunan Bali
Neurology Update (BANU) yang keenam. Acara ini adalah acara rutin tahunan yang
terselenggara atas kerjasma PERDOSSI cabang Denpasar dengan Program Pendidikan
Dokter Spesialis-I (PPDS-I) Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Acara ilmiah ini menjadi sangat penting mengingat perkembangan ilmu
kedokteran, khususnya dibidang Neurologi, sehingga diperlukan Pendidikan kedokteran
berkelanjutan sebagai usaha untuk meningkatkan keilmuan guna penatalaksanaan pasien
yang lebih baik.
Seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk di Indonesia dimana
diikuti dengan perubahan gaya hidup penduduknya sehingga terjadi lonjakan angka kasus
infeksi yang khusunya berhubungan dengan bidang Neurologi yang terjadi pada usia
dewasa maupun pada anak. Sehingga diperlukan pengetahuan yang lebih baik di bidang ini.
Oleh karena itu, topik yang diangkat dalam acara ilmiah kali ini adalah “Tropical Disease and
NEuropediatri cases : Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities”
Besar Harapan BANU keenam yang kami selenggarakan akan dapat
memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan kepada sejawat sekalian. Atas nama
PERDOSSI cabang Denpasar, kami mengucapkan selamat mengikuti acara ini dan juga
terima kasih kepada seluruh panitia yang telah mempersiapkan acara ini sehingga dapat
berlangsung dengan baik.

Om, Santi, Santi, Santi, Om.

Hormat kami ,

Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S(K)


Ketua PERDOSSI cabang Denpasar

iv | B A N U 6
SAMBUTAN KETUA PANITIA
BALI NEUROLOGY UPDATE 2018

Om Swastiastu.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Om Namo Budhaya.

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha


Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, bimbingan, petunjuk dan kekuatan-Nya
kepada kita, acara “The 6th Bali Neurology Update (BANU 6th)” akan segera
diselenggarakan. Tema besar yang diambil oleh BANU 6th adalah “Tropical
Disease and Neuropediatric cases: Revisiting (RE)- Emerging Issues with National
Priorities”.
Prioritas masalah kesehatan menjadi tantangan nasional yang harus
ditangani lebih lanjut oleh semua pihak. Indonesia sebagai negara
megadiversitas beriklim tropis memiliki kekayaan hayati dan non hayati
melimpah yang berpotensi memberikan keuntungan dan kerugian. Relevansi di
ranah neurologi klinis terkait penyakit dan/ atau kondisi tropis berupa
merebaknya kembali beberapa kasus sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) menjadi
salah satu contoh nyata. Kasus rabies, neurosistiserkosis, meningitis
streptococcus suis, difteri, dan program imuniasasi anak untuk japanese
enchephalitis (JE) menjadi tantangan bagi klinisi tanah air. Begitu pula dengan
kasus endemis dan/ atau sporadik seperti meningitis, ensefalitis, malaria serebral,
tetanus, poliomielitis, dsb. Selain itu, sebagai sebuah negara berkembang
dengan kurva pertumbuhan penduduk berbentuk piramida, jumlah penduduk
kelompok usia anak dan remaja adalah sepertiga jumlah total penduduknya.
Penanganan kasus penyakit neurologis yang menyerang kelompok usia ini
memerlukan penanganan yang sinergis dan terpadu oleh dokter spesialis
neurologi, dokter spesialis anak, maupun dokter umum. Semua kasus di atas,
mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 memiliki skala
kompetensi 3A/B dan 4, yang artinya seorang dokter umum diwajibkan mampu
menangani tuntas, atau minimal mampu melaksanakan penanganan pertama
manajemen terpadu pasien dengan diagnosis tersebut. Pada ranah dokter
spesialis, kasus-kasus di atas menjadi kompetensi wajib yang harus ditangani
secara terpadu. Realitanya, sering kali kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri dan
membutuhkan kerja sama terpadu dengan pihak lain (spesialiasi dan profesi
lain).

v|B A N U 6
Adapun benang merah antara tema neurologi terkait penyakit tropis
dan neuropediatri adalah kedua topik ini sama-sama memiliki angka kejadian
serta jumlah populasi berisiko yang cukup tinggi di Indonesia. Kasus yang
muncul dan merebak dapat berupa kasus yang baru pertama kali terjadi
maupun kasus yang sebelumnya sudah pernah muncul dan tertangani dengan
baik. Peran tenaga medis baik dokter spesialis, dokter umum, mahasiswa
kedokteran, ataupun paramedis pada fase kegawatdaruratan maupun restorasi
dapat meningkatkan angka harapan hidup dan/ atau kualitas hidup pasien.
Akhir kata semoga acara ini dapat berlangsung dengan baik. Tahap
persiapan hingga pelaksanaan nanti kami susun dengan sebaik-baiknya. Kami
tunggu kehadirannya di BANU 6th.

Om Santi Santi Santi Om


Wassalamualaikum Wr. Wb.

dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S


Ketua Panitia The 6th Bali Neurology Update

vi | B A N U 6
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................................... i
SAMBUTAN KETUA UMUM PP PERDOSSI ....................................................................... iii
SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR ................................................... iv
SAMBUTAN KETUA PANITIA 5TH BANU 2017 ................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... vii

SIMPOSIUM I
Diagnosis and critical management of cerebral malaria ............................................. 1
dr. I.B. Indrajaya, Sp.S
Emerging Infectious Disease: Meningitis S.suis ............................................................ 15
dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S(K)
Rabies : Update in prevention strategy .......................................................................... 21
dr. Candida Isabel Lopes, Sp.S
SIMPOSIUM II
Intepretation of clinical and lumbar puncture results in CNS infection ................ 33
dr. A.A. Ayu Suryapraba, Sp.S
Neurological manifestation in Dengue .......................................................................... 40
dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K)
Neurocognition aspect of HIV .......................................................................................... 41
Dr. dr. A. A.A. Putri Laksimdewi, Sp.S(K)
SIMPOSIUM III
Challenge in diagnosis and treatment of Neurocysticercosis ................................. 56
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
Prevention of Neurotropical infection in specific endemic area in Indonesia :
focus on malaria cerebral, JEE and M.Suis ..................................................................... 61
dr. Aditarini, Sp.MK
Special consideration of AED therapy in CNS Infection ............................................ 66
Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)
SIMPOSIUM IV
Methanol and mushroom intoxication .......................................................................... 84
Prof. Dr. dr. Sri Sutarni, Sp.S(K)
Neurological manifestation in near drowning .............................................................. 91
Dr. Wayan Widyantara, Sp.S
SIMPOSIUM V
Encephalopathy or encephalitis? ...................................................................................... 99
dr. Ni Putu Witari, Sp.S
Diagnosis & Management of JE encephalitis endemic area ................................... 105
Dr. dr. I.G.N. Putu Suwarba, Sp.A(K)
Neurophysiological study finding in leprosy patients .............................................. 114
dr. Komang Arimbawa, Sp.S

vii | B A N U 6
SIMPOSIUM VI
Migraine : different management in children and adult .......................................... 122
Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
Assesment and Management of Pain in children ...................................................... 136
Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K)
Snoring in children : impact, cause and treatment ................................................... 137
dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S
Attention Deficit Hyperactivity Disorder........................................................................ 151
dr. Sri Yenni T, M. Biomed, Sp.S
SIMPOSIUM VII
Cerebral Vein Sinus Thrombosis .................................................................................... 164
dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S
Secondary prevention in stroke with AF ...................................................................... 172
dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S
SIMPOSIUM VIII
AED consideration in children with epilepsy ............................................................... 178
dr. Siti Aminah, Sp.S(K)
How to differentiate seizure or movement disorder in children? .......................... 186
Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp.S(K)
Common and specific EEG finding in children epilepsy .......................................... 195
dr. A.A. A. Meidiary, Sp.S
Ketogenic Diet in Children with Epilepsy .................................................................... 202
dr. I.G.A.M. Riantarini, Sp.S

ABSTRAK POSTER
1. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in
Children : Evidence Based Case Report ..................................................... 204
A.A. Yuniari, A.F. Priarti, A.A. Mahardika
2. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in
Children : Evidence Based Case Report ..................................................... 205
A.A. Yuniari, A.A. Mahardika, R.A. Soebardi
3. Case Report : Refractory Status Epilepticus in Child with
Meningoencephalitis .................................................................................. 206
Fabian J.Junaidi, Saphira Evani
4. Hubungan Kadar Gula Darah Puasa saat Terjadinya Stroke dengan NIH
Stroke Scale pada Pasien Stroke Iskemik Akut di RSUP Dr. Sardjito,
Yogyakarta................................................................................................... 207
Hermawan Hanjaya, Paryono, Ismail Setyopranoto
5. Retinopati sebagai Penanda Prognostik Gangguan Neurologis pada
Penderita Malaria Serebral yang Bertahan Hidup : Sebuah Tinjauan
Sistematik Mini ............................................................................................ 208
IF Gosal, A. Prabata
6. Infeksi Streptococcus suis pada Manusia dengan Presentasi Klinis
Meningitis Bakteri dan Atritis ...................................................................... 209

viii | B A N U 6
IGM Ardika Aryasa, Ni Made Susilawathi, Anak Agung Ayu Suryapraba
Indradewi Karang
7. Karakteristik Klinik dan Lokasi Tumor Otak di RS Siti Khadijah Sepanjang-
Sidoarjo tahun 2015-2017 ............................................................................ 210
Lathifatul Fikriyah, Muhammad Hamdan
8. Fahr’s Disease : A Case Series ..................................................................... 211
Margaret, Jennifer Simca, Retno Jayantri Ketaren, Evlyne Erlyana
Suryawijaya
9. Case Report : Anti-NMDA Receptor Encephalitis in a Young Woman..... 212
M.A. Limawan, P. Susanto, D. Imran
10. Angka Kejadian Kasus Vertigo Vestibular di Rumah Sakit Umum Daerah
Padangan Bojonegoro, Jawa Timur Periode Januari 2018-Juli 2018 ......... 213
Sheila Widyariskya Firdausy
11. Gambaran Profil Lipid, Leukosit, Hematokrit, Gula Darah Acak pada Pasien
Stroke Non-Hemoragik Rumah Sakit Santa Elisabeth –
Lubuk Baja, Batam ....................................................................................... 214
Tommy Sarongku
12. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lokasi Nyeri Muskuloskeletal pada
Pasien Obesitas di Puskesmas Denpasar Selatan II ........................................ 215
Luh Nyoman Ari Trisnasanti, IA Sri Wijayanti, Putu Eka Widyadharma,
Thomas Eko Purwata
13. Penyebab Dizziness pada Pasien Usia Lanjut Berdasarkan Pendekatan
Secara Neuroanatomi di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar Periode
April 2018- Juli 2018 ................................................................................................. 216
I.A. Sri Indrayani, Ni Putu Witari, Ketut Widyastuti, I Putu Sudira, I.B. Putu
Putrawan
14. Perbedaan Latensi Gelombang Brainstem Auditory Evoked Potential pada
penderita Diabetes Melitus yang datang ke Poliklinik Saraf dan Poliklinik
Diabetes RSUP Sanglah Denpasar Periode April sampai Juli 2016
berdasarkan durasi menderita DM ............................................................. 217
Gunawan SE, Arimbawa IK, Putra IGN
15. HIV-Associated Neurocognitive Disorder (HAND) pada Pasien dengan HIV
tanpa Infeksi Oportunistik ........................................................................... 218
Dhyatmika GP, Widyastuti K, Laksmidewi AAAP
16. Disseminated Neurocysticercosis and Muscular Cysticercosis : A Rare
Finding Case Report .................................................................................... 219
Hesti Hepataningrum, Ni Made Susilawathi
17. Laporan Kasus Prognosis Penderita Malaria Berat dengan Klinis Malaria
Serebral........................................................................................................ 220
Putra IBD, Susilawathi NM
18. Gambaran Multidimensi dari Manajemen Epilepsi Paska Stroke; Laporan
Serial Kasus ................................................................................................... 222
Naryana KAS, Gelgel AM
19. Abscess-like Glioma pada Massa di Mesensefalon .................................. 223
Putri Eka Pradnyaning, IA Sri Indrayani, DPG Purwa Samatra

ix | B A N U 6
20. Laporan Kasus : High Grade Glioma pada anak ....................................... 224
Sihanto R.D., Thomas Eko Purwata
21. Laporan Kasus : Perdarahan Subaraknoid dan Kehamilan....................... 225
I.G.A. Aria Tristayanthi, I.B. Kusuma Putra
22. Laporan Kasus : Neurosistiserkosis mimicking Tumor Serebri ................. 226
Winda Arista Haeriyoko, Ni Made Susilawathi, A.A. Raka Sudewi, IGN
Purna Putra
23. Afasia Selektif pada Pasien Multilingual sebagai Gejala Transient Ischemic
Attack ........................................................................................................... 227
Pristanova Larasanti, A.A.A Putri Laksmidewi
24. Profil Penderita Miastenia Gravis di Poli Saraf RSUP Sanglah Tahun 2016-
2017 .............................................................................................................. 228
Kelvin Yuwanda, Komang Arimbawa, IGN Purna Putra

WORKSHOP DRY NEEDLING


Sindrom Nyeri Miofasial.................................................................................................... 229
Jimmy Barus, Octavianus Darmawan
Prinsip Dasar Dry Needling dalam Manajemen Sindrom Nyeri Myofasial ......... 240
I Putu Eka Widyadharma

WORKSHOP BOTULINUM TOXIN INJECTION


Overview Botulinum Toksin (BOTOX) ........................................................................... 230
D.P.G. Purwa Samatra

WORKSHOP PAIN INTERVENTION : USG GUIDING


Peran Ultrasound dalam Diagnosa dan Tatalaksana Sistem Muskuloskeletal ... 240
Yusak MT Siahaan
Ultrasonografi pada Lutut ............................................................................................... 249
Yusak MT Siahaan

WORKSHOP PAIN EDUCATION


Pain pathway and mechanism ........................................................................................ 253
Thomas Eko Purwata
Penilaian Nyeri..................................................................................................................... 254
Ida Ayu Sri Wijayanti
Prinsip Penatalaksanaan Nyeri Akut .............................................................................. 259
Ida Ayu Sri Wijayanti

x|B A N U 6
DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN KRITIS MALARIA SEREBRAL
Indrajaya Manuaba
RSUD Wamena, Papua

Pendahuluan
Malaria tidak diragukan lagi merupakan penyakit parasite paling
penting yang menjangkiti manusia. Diseluruh dunia hampir 3 milyar orang
berisiko terkena infeksi malaria. Setiap tahun terdapat 219 juta kasus dan hampir
1 juta kematian. Terminologi “complicated malaria” meliputi sejumlah sindroma
klinis sebagai berikut :cerebral malaria, severe anemia, respiratory
distress/acidosis, dan multiorgan system failure. Penderita dengan complicated
malaria berisiko mengalami kematian akibat dari penyakitnya, sedangkan
penderita dengan uncomplicated malaria umumnya dapat pulih sempurna.
Sindroma klinis “cerebral malaria” didefinisikan sebagai keadaan koma yang
tidak dapat dijelaskan pada penderita yang mengalami malaria parasitemia, yang
menjadi penyebab kematian pada sebahagian besar penderita. Usia anak di
Afrika dan usia dewasa di Asia merupakan kelompok demografik yang paling
sering mengalami malaria serebral, meskipun 80% kasus malaria serebral dan
90% kasus kematian berasal dari sub-sahara Afrika. Malaria serebral umumnya
berakibat fatal apabila tidak diatasi, di mana dengan melalui perawatan optimal,
angka kematian mencapai 15% sampai 25%. Laporan klinis, penduduk Afrika usia
anak dengan complicated malaria sebagian besar mengalami gangguan
serebral, disertai perjalanan onset koma dan kejang yang berlangsung cepat. Di
samping tanda-tanda disfungsi SSP, penderita usia dewasa dengan malaria
komplikata seringkali mengalami kegagalan fungsi renal, hepatik, dan
respiratorik. Dalam definisi, penderita dewasa harus menunjukkan tanda
disfungsi SSP untuk dapat didiagnosis sebagai Malaria Serebral. Di lain pihak,
terkadang penderita anak manifestasinya dibarengi dengan non-central nervous
system organ dysfunction. Pada kedua kelompok usia, multiorgan system
involvement mengindikasikan prognosis buruk.
Angka kematian pada penderita anak dan dewasa dengan malaria
serebral adalah tinggi, meskipun pada penderita dewasa penyebab langsung
dari kematian lebih diakibatkan oleh penyebab non-SSP dibandingkan penderita
anak. Sepertiga dari kasus malaria serebral pada anak yang dapat bertahan
memperlihatkan neurologic sequelae. Epilepsi, gangguan kognitif, kelainan
perilaku, serta defisit neurologis yang meliputi motorik, sensorik dan gangguan
berbicara merupakan sekuelae yang sering dijumpai pada anak, dan lebih jarang
dijumpai pada kasus malaria serebral dewasa yang dapat bertahan.

1|B A N U 6
Oleh dampak buruk yang ditimbulkan, upaya untuk menurunkan
kasus malaria terus dilakukan. Pencegahan infeksi dengan penggunaan
insecticide-impregnated bed nets dan mosquito control dewasa ini telah
didukung oleh pemerintah dan NGO. Meskipun insiden dan prevalensi malaria
telah menurun pada beberapa belahan dunia, namun pemberantasan malaria di
seluruh dunia masih menjadi tujuan masadepan. Riset terhadap vaksin malaria
sedang berlangsung, dan penelitian untuk menemukan effective adjunctive
therapy strategies terhadap penderita dengan malaria serebral masih terus
dilakukan. Menurunkan angka kematian dan disabilitas neurologis yang
diakibatkan oleh malaria serebral hanya akan berhasil apabila insiden dari infeksi
malaria mengalami penurunan secara drastis dan strategi terapi yang lebih
efektif telah didapatkan.
Patogenesis
Meskipun kondisi klinis diberikan nama malaria “serebral”, parasitnya
sendiri tidak memasuki parenkim otak, melainkan sejumlah proses patofisiologis
berinteraksi di dalam vaskulatur serebral atau sistemik yang pada akhirnya
menginduksi koma dan mengakibatkan seringnya outcome kematian dan
disabilitas neurologis.
Walaupun telah dilakukan riset secara intens, namun pathogenesis
dari malaria serebral masih belum lengkap diketahui. Sebahagian besar hipotesis
mendasarkan kepada tissue samples yang didapatkan melalui otopsi. Namun
perlu diketahui bahwa mekanisme yang menimbulkan kondisi koma adalah
berbeda dengan mekanisme yang mengakibatkan kematian. Hal yang paling
penting terletak pada elemen dari siklus hidup parasit yang membedakan
Plasmodium falciparum (dan belakangan, Plasmodium knowlesi) dari tiga spesies
lainnya yang menginfeksi manusia, yaitu: adanya sekuestrasi dari eritrosit yang
terinfeksi parasit didalam mikrovaskulatur dari tubuh, termasuk pada jaringan
otak. Akan tetapi, meskipun proses sekuestrasi adalah penting, namun kondisi
tersebut saja tidak cukup untuk menimbulkan koma. Proses patofisiologis lainnya
tidak diragukan lagi berinteraksi secara lokal untuk menimbulkan koma dan dan
tanda gangguan neurologis lainnya. Hal yang terpenting dari mekanisme lokal
ini adalah: abnormalitas sitokin di dalam darah dan abnormalitas dari sawar
darah otak.
Pada kasus fatal malaria serebral, jaringan otak tampak membengkak
dan pucat. Histologic hallmark adalah berupa gambaran pembuluh darah
serebral yang dipenuhi oleh eritrosit yang terinfeksi parasit (parasitized
erythrocytes). Gambaran fluorescein angiograms pada pembuluh darah retina
memperlihatkan pembuluh darah yang dipenuhi oleh eritrosit yang terinfeksi
parasit menunjukkan adanya gangguan perfusi. Kondisi yang sama tampaknya

2|B A N U 6
terjadi pada jaringan otak yang mengalami dampak berupa hipoksia,
hipoglikemia, dan inflamasi.

Siklus Hidup
Proses sekuestrasi akan menghentikan eritrosit yang terinfeksi parasit
mengitari sirkulasi darah melalui mekanisme erythrocyte-endothelial interaction
dan adhesion. Mekanisme ini terjadi berkat adanya parasite-encoded proteins
yang diekspresikan di permukaan eritrosit yang memiliki afinitas berikatan
dengan sel endothel.
Dua belas sampai lima belas jam setelah invasi parasit kedalam
eritrosit, membran sel eritrosit memperlihatkan knoblike projection dalam jumlah
banyak yang berisikan parasite-encoded proteins, yaitu: PfEMP1 (Plasmodium
falciparum erythrocyte membrane protein 1). Protein PfEMP1 dimunculkan
(encoded) oleh var genes. Terdapat sekurangnya 60 var genes per parasite
genome, dan ekspresinya dikendalikan secara epigenetik. Hanya satu varian var
yang akan diekspresikan dalam sekali waktu.
Host endothelial cell receptors bagi PfEMP1 meliputi: CD36, ICAM-1,
VAR2CSA (di dalam plasenta), dan EPCR (endothelial cell protein C receptor).
Interaksi sel eritrosit yang terinfeksi dengan sel endothel pada pembuluh darah
kapiler dan postcapillary venules akan mengakibatkan obstruksi mikrovaskular
dan aktivasi sel endothelial. Pada saat sequestered erythrocyte schizont
mengalami ruptur, maka di wilayah lokal akan terjadi pelepasan heme dan
hemoglobin yang pada gilirannya akan menimbulkan penurunan kadar nitric
oxide, di mana pada akhirnya mengakibatkan semakin memburuknya disfungsi
endothel. Proses sekuestrasi terjadi di seluruh bagian tubuh, di mana yang paling
berat terjadi pada organ: usus, otak, jantung, paru, dan jaringan lemak subkutan.
Sekuestrasi merupakan gambaran khas dari infeksi oleh P. falciparum. Infeksi
oleh P. knowlesi juga dapat mengakibatkan erythrocyte sequestration, namun
infeksi oleh P. vivax, P. ovale, dan P. malariae tidak menimbulkan sekuestrasi dari
eritrosit.
Meskipun atraktif dipakai untuk menjelaskan kondisi koma pada
penderita dengan malaria serebral, namun sekuestrasi saja tidak memadai untuk
mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran. Keseluruhan dampak dari
parasitemia terhadap tubuh merupakan penentu utama dari penyakit. Histidine-
rich protein 2 (HRP-2) merupakan protein parasit yang sangat banyak dilepaskan
pada saat schizont mengalami ruptur; pemantauan kualitatif dari protein ini
merupakan dasar yang digunakan pada uji diagnostik cepat malaria (malaria
rapid diagnostic test) yang tersedia secara luas dewasa ini. Pemeriksaan protein
ini dapat pula diukur secara kuantitatif dan dapat memberikan petunjuk jumlah

3|B A N U 6
total dari parasit yang menginfeksi tubuh. Pengukuran kuantitatif dari HRP-2
memberikan petunjuk tingkat keparahan penyakit yang lebih tinggi pada
penderita dengan kadar serum HRP-2 yang lebih tinggi.
Sekuestrasi terlihat pada gambaran histologis dari eritrosit yang
terinfeksi. Pada eritrosit yang terinfeksi, sel eritrosit tampak kehilangan
penampakan bikonkavitas nya, menjadi tampak bulat (spherical), dan menjadi
kurang memiliki sifat lentur (less deformable) dibandingkan dengan eritrosit
yang tidak terinfeksi. Eritrosit yang mengalami sekuestrasi tampak menempel
pada endothelium vaskular sampai pada akhirnya mengalami ruptur dan
mengganggu aliran darah laminar. Eritrosit yang tidak terinfeksi harus melewati
ruang vaskular yang sempit sehingga mengakibatkan terjadinya formasi “ clumps
of infected and uninfected erythrocytes”, yang disebut formasi “rosettes”.
Dengan akibat menurunkan kecepatan aliran darah pada vaskulatur serebral,
maka keberadaan formasi “rosettes” akan memperburuk kondisi sekuestrasi.
Aliran darah laminar juga diperburuk oleh adanya infected erythrocyte-platelet
interactions, yang disebut “platelet-mediated clumping”.
Inflamasi
Kadar sitokin, mediator inflamasi yang terlarut, mengalami
peningkatan pada darah penderita malaria berat baik dewasa maupun anak.
Namun demikian, penelitian menggunakan metode assay terhadap kadar serum
dari sitokin spesifik memperlihatkan hasil beragam. Kadar dari baik
proinflammatory cytokines (seperti, interleukin 6) dan anti-inflammatory
mediators (interleukin 10) dapat meningkat. Sedangkan, peningkatan kadar dari
proinflammatory mediators lainnya, seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan
interleukins 1, 8, dan 12 tidaklah dijumpai konsisten pada serum penderita
dengan malaria serebral. Di dalam parenkim otak sendiri, kenyataannya dapat
jauh berbeda. Proinflammatory cytokines ditemukan dalam kadar lebih tinggi
pada jaringan otak penderita anak yang meninggal oleh malaria serebral
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Produksi lokal dari TNF-α telah
dibuktikan sebagai central mediator dari timbulnya kondisi koma pada malaria
serebral, yang berasal dari makrofag (kemunculannya respon eritrosit yang
mengalami sekuestrasi atau ruptur yang menempel pada endothelium vaskular)
dan dari mikroglia di dalam paremkim otak. Circulating TNF-α tampaknya tidak
unik bertanggungjawab dalam terjadinya koma pada malaria serebral. Studi
dengan memberikan adjunctive anti-TNF-α antibody pada penderita anak
dengan malaria serebral menunjukkan adanya penurunan kadar sirkulasi dari
sitokin, namun tidak menunjukkan adanya penurunan dari lamanya koma
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan terapi standar
antimalarial.

4|B A N U 6
Gambar 1. Siklus hidup malaria.1
Peningkatan Tik
Di Afrika, pada kasus anak dengan malaria serebral, edema serebral
dan meningkatnya tekanan intrakranial umum terjadi. Kondisi ini dapat
ditunjukkan melalui pemeriksaan radiografis maupun melalui pemeriksaan klinis
dengan ditemukannya tanda edema papil dan sindroma herniasi sentral atau
uncal. Anak dengan malaria serebral yang memperlihatkan edema papil memiliki
risiko relatif kematian 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan penderita anak yang
tidak menunjukkan edema papil. Sedangkan di Asia, di mana malaria serebral
lebih umum dijumpai pada penderita dewasa, peningkatan tekanan intrakranial
jarang dijumpai baik secara radiografis maupun klinis.
Patofisiologi yang melatarbelakangi peningkatan TIK belumlah jelas.
Penelitian neuropatologis menunjukkan bukti adanya endothelial cell activation
dan kerusakan BBB. Pada kasus fatal, umum dijumpai adanya peningkatan
volume jaringan otak, dan terjadinya edema vasogenik sebagai akibat dari
kerusakan BBB kemungkinan menjadi penyebabnya. Dijumpai adanya
perivascular ring hemorrhages, terutama pada substansia alba dari serebrum
dan substansia alba serta substansia gresia dari serebellum. Dengan berjalannya
waktu, fokus perdarahan tersebut akan diserap dan digantikan dengan Durck
granuloma berupa area sentral yang terdiri dari neuronal necrosis yang
dikelilingi oleh reactive gliosis. Adanya sequestered erythrocyte mass sendiri
akan menimbulkan peningkatan volume otak. Apabila drainase vena terhalang
oleh sekuestrasi parasit pada kapiler dan poskapiler venulae, maka akan terjadi
kongesti vaskular, yang semakin memperburuk proses patofisiologis lain yang
melatarbelakangi koma dan kematian.

5|B A N U 6
Penyumbang potensial lainnya dari peningkatan TIK meliputi:
cytotoxic edema, vascular congestion, dan hiperemia yang ditimbulkan oleh
meningkatnya brain metabolic demands akibat dari demam, anemia, kejang, dan
hipoglikemia.

Gambar 2. Gambaran T1-weightened MRI, tampak adanya peningkatan derajat


berat dari volume jaringan otak pada penderita dengan retinopathy-positive
cerebral malaria. A: pada pandangan sagital tampak adanya cerebellar tonsilar
herniation (lingkaran), penyempitan (effacement) dari prepontine cistern (panah),
dan kompresi dari ventrikel ke-empat (kepala panah). Pada penampang aksial B:
tampak penyempitan ventrikel lateralis. C: tampak penyempitan dari sulcal
marking (kepala panah putih) dan penyempitan dari ambient cisterns (kepala
panah hitam), penebalan area kortikal, dan peningkatan signal secara difus pada
area kortikal.1
Diagnosis
Meskipun definisi klinis dari malaria serebral memiliki sensitivitas yang
tinggi, namun spesifisitasnya rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya high
community rates dari asymptomatic parasitemia, terutama pada wilayah
geografis dengan high transmission intensity di mana malaria serebral umum
dijumpai. Asymptomatic carriage dari malaria dapat dijumpai separuh dari
populasi. Sehingga, penderita koma akibat dari latarbelakang etiologi non-
malaria (mis., viral encephalitis, kondisi postinfectious, atau intoksikasi) namun
secara insidental menunjukkan parasitemia akan dapat terdiagnosis mengalami
infeksi. Sebagai penyebab terjadinya kondisi akut yang disertai koma. Angka
false-positive seperti ini tampaknya cukup tinggi. Pada sebuah seri kasus,
sebanyak 23% penderita yang memenuhi kriteria diagnosis klinis malaria
serebral, dimana kemudian meninggal dan menjalani otopsi tidak dijumpai
adanya sequestered parasitized erythrocyte didalam vaskulatur serebral nya.
Beruntungnya, penderita anak yang mengalami parasitemia disertai koma oleh
malaria dibandingkan dengan nonmalarial coma etiology dapat dibedakan
melalui ada tidaknya gambaran malarial retinopathy.

6|B A N U 6
Gambar 3. Temuan postmortem penderita dengan malaria serebral. A: potongan
koronal segar penderita yang meninggal dengan retinopathy-positive cerebral
malaria. Tampak girus mendatar, dan sulkus menyempit disertai bintik
perdarahan yang luas mengenai substansia alba. B: penampakan dekat dari
perdarahan substansia alba. C: penampakan dekat dari perdarahan substansia
alba (pengecatan: hematoxylin and eosin). D: penampakan sangat dekat dari
perdarahan substansia alba. Tampak fibrin clot dan sequestered parasite di
dalam pembuluh darah sentral (panah). Terlihat extravasated red blood cells
yang tidak terinfeksi oleh parasit malaria.1
Malarial Retinopathy
Retinopati malaria pertama kali dipublikasikan pada tahun 1993, dan
beberapa tahun kemudian gambaran patologis ini telah diidentifikasi dengan
baik. Retina memperlihatkan tiga gambaran abnormal yang utama: tampak
keputihan, perubahan warna pembuluh darah, dan perdarahan. Dua
abnormalitas yang pertama adalah karakteristik untuk malaria. paling jelas
tampak pada wilayah sekitar macula, atau di perifer, yang menandai area
dengan gangguan perfusi. Segmen pembuluh darah dengan warna oranye atau
keputihan (predominan venulae) menandai area intravascular
dengan
sequestration. Intraerythrocytic parasites memakan host cell hemoglobin
menimbulkan penampakan bercak fokal berupa pale erythrocyte, sehingga
menghasilkan gambaran segmen pembuluh darah yang tampak oranye atau
keputihan melalui pemeriksaan oftalmoskop. Perdarahan retina seringkali
memperlihatkan keputihan pada bagian tengahnya, dan tampak menyerupai
kondisi klinis lainnya (mis., hipertensi, anoksia, HIV). Namun, pada comatose
parasitemic patient, gambaran tersebut merupakan bukti adanya malarial
retinopathy. Perdarahan umumnya dijumpai diantara retinal layer, namun dapat
juga meluas sampai preretinal space. Dapat juga dijumpai edema papil. Edema

7|B A N U 6
papil tersendiri saja tidak dapat menjadi bukti adanya malarial retinopathy,
namun apabila temuan tersebut bersamaan dengan satu atau lebih temuan
kelainan retina lainnya maka keseluruhan temuan tersebut akan memperburuk
prognosis. Penderita dengan malarial retinopathy berat memiliki risiko kematian
lebih tinggi. Yang menarik, kadar plasma dari HRP-2 (putative marker dari
tingkat keparahan infeksi parasit tubuh) dapat membedakan penderita anak
yang positif mengalami retinopati malaria dengan yang tidak.
Pemeriksaan retinal angiography pada penderita anak dengan
retinopati malaria memperlihatkan adanya area dengan central dan peripheral
nonperfusion. Pada penderita yang mengalami kepulihan, evaluasi ulangan
melalui angiografi retina memperlihatkan adanya reperfusi pada area yang
semula tanpa aliran darah. Jarang dijumpai gangguan penglihatan pada
penderita yang pulih dari retinopathy-positive cerebral malaria.
Abnormalitas retina dapat dideteksi melalui pemeriksaan baik indirect
maupun direct ophthalmoscopy. Temuan abnormalitas retina 95% sensitif dan
90% spesifik dalam mengidentifikasi penderita anak yang memperlihatkan bukti
histologis adanya sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi didalam pembuluh darah
pada otopsi, dan sesuai dengan kriteria diagnosis klinis dari malaria serebral.
Penderita dengan malaria serebral klinis yang tidak menunjukkan adanya
malarial retinopathy kemungkinan memiliki latarbelakang nonmalarial sebagai
penyebab koma yang dialaminya. Penting bagi penderita dengan retinopathy-
negative untuk ditelusuri etiologi nonmalarial dari koma yang dialami.
Malarial retinopathy belum teridentifikasi dengan baik pada penderita
dewasa. Perdarahan retina dijumpai sebanyak 15% dari kasus dewasa, dan
temuan ini meningkatkan risiko kematian. Perubahan warna pembuluh darah
retina jarang ditemukan dibandingkan kasus anak. Studi klinis-patologis masih
terbatas.

Gambar 4. Malarial retinopathy. Foto fundus dari penderita anak dengan


retinopathy-positive cerebral malaria. A: macular whitening (panah hitam). B:
retinal whitening yang berada ekstramakular (panah hitam). C: tampak sebaran
white-centered hemorrhage dan perimacular whitening (panah hitam).
Perubahan warna di perifer (panah putih) adalah artifak. D: perluasan vessel
whitening.1

8|B A N U 6
SKALA KOMA UNTUK ANAK DAN DEWASA

Blantyre Coma Scale Glasgow Coma Scale

Motor Localizes pain 2 Obeys commands 6


response to
1 Localizes pain 5
painful
stimulus Generalized 0 Flexion/withdrawal 4
withdrawal
Decorticate posturing 3
No response
Decerebrate posturing 2

No response 1

Verbal Appropriate speech or 2 Oriented and converses 5


response to normal cry normally
1 4
speech or
Abnormal cry Awake but disoriented
painful 0 3
stimulus No cry or sounds Utters inappropriate
2
words
1
Incomprehensible
sounds

No sounds

Eye Visually follows 1 Opens eyes 4


movements moving object or face spontaneously
0 3
Does not visually Opens eyes in response
2
follows moving object to voice
or face 1
Opens eyes in response
to pain

No eye opening

9|B A N U 6
Malaria berat umumnya menunjukkan manifestasi berupa satu atau lebih
keadaan klinis berikut:
- koma (malaria serebral),
- asidosis metabolik,
- anemia berat,
- hipoglikemia,
- gagal ginjal akut, atau
- edema paru akut.
Apabila penderita tidak mendapatkan penanganan medis, malaria berat
umumnya berakibat fatal.
Malaria falciparum berat (severe falciparum malaria) didefinisikan sebagai satu
atau lebih kondisi klinis berikut ini, yang berlangsung dengan tanpa
ditemukannya penyebab alternatif lain, pada keadaan ditemukannya
Plasmodium falciparum asexual parasitaemia :
- Penurunan kesadaran: GCS ˂ 11 pada dewasa, atau BCS ˂ 3 pada
anak.
- Prostration: kelemahan umum sampai mengakibatkan penderita tidak
mampu duduk, berdiri, atau berjalan dengan tanpa bantuan.
- Kejang berulang (multiple convulsions): lebih dari dua episode dalam
kurun 24 jam.
- Asidosis: dijumpai base deficit ˃ 8 mEq/L, atau kadar bikarbonat
plasma ˂ 15 mmol/L, atau kadar laktat plasma vena ( venous plasma
lactate) ≥ 5mmol/L. Asidosis berat memperlihatkan manifestasi klinis
sebagai kegagalan pernafasan (nafas cepat dan dalam).
- Hipoglikemia: kadar glukosa darah atau plasma ˂ 2,2 mmol/L (˂ 40
mg/dL).
- Anemia malaria berat (severe malarial anemia): kadar Hb ≤ 5 g/dL,
atau nilai hematokrit ≤ 15% pada anak usia ˂ 12 tahun; dan ≤ 7 g/dL,
atau ≤ 20% pada dewasa; dengan hasil hitung parasit ˃ 10.000/µL.
- Gangguan fungsi ginjal: plasma atau serum creatinine ˃ 265 µmol/L (3
mg/dL), atau urea darah ˃ 20 mmol/L.
- Jaundice: plasma atau serum bilirubin ˃ 50 µmol/L (3 mg/dL) dengan
hitung parasit ˃ 100.000/µL.
- Edema paru: terbukti melalui pemeriksaan radiologis, atau saturasi
oksigen ˂ 92% pada udara ruangan dengan laju respirasi ˃ 30/menit,
seringkali disertai dengan chest indrawing dan krepitasi pada
auskultasi.

10 | B A N U 6
- Tanda perdarahan yang nyata: meliputi perdarahan hidung berulang
atau berlangsung lama, perdarahan pada gusi ataupun pada tempat
pungsi vena, hematemesis atau melena.
- Tanda syok: Compensated shock didefinisikan sebagai capillary refill ≥
3 detik, atau adanya temperature gradient pada tungkai (mid to
proximal limb), namun dengan tanpa adanya hipotensi.
Decompensated shock didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
˂70 mmHg pada anak, atau ˂ 80 mmHg pada dewasa, disertai
dengan tanda gangguan perfusi (akral dingin atau prolonged capillary
refill).
- Hiperparasitemia: P. falciparum parasitemia ˃ 1%.
Mortalitas malaria berat yang tidak mendapatkan penanganan
(terutama malaria serebral) mendekati 100%. Dengan pemberian terapi
antimalarial yang efektif dengan segera dan perawatan suportif maka mortalitas
menurun menjadi 10 – 20%.
Tujuan utama terapi malaria berat adalah mencegah kematian. Tujuan
berikutnya adalah pencegahan disabilitas dan mencegah recrudescent infection.
Kematian pada malaria berat seringkali terjadi dalam beberapa jam pertama
setelah masuk rumah sakit, sehingga sangat penting highly effective antimalarial
drug diberikan sesegera mungkin. Manajemen malaria berat dalam garis
besarnya terdiri dari:
- penilaian klinis penderita,
- terapi antimalarial spesifik, dan
- terapi tambahan serta penanganan suportif.
Penilaian Klinis
Malaria merupakan kegawat-daruratan medis. Kelapangan jalan nafas
harus dipertahankan pada penderita tidak sadar, dan pernafasan serta sirkulasi
mendapatkan pemantauan. Pasang kanula intravena, dan kadar gula darah,
hematokrit atau hemoglobin, parasitemia, dan pada dewasa fungsi ginjal harus
segera diperiksa. Pemeriksaan klinis seksama perlu dikerjakan, termasuk menilai
kesadaran menggunakan coma score. Penderita dengan kesadaran menurun
perlu menjalani pungsi lumbar untuk pemeriksaan analisis CSF, untuk
menyingkirkan meningitis bakterial.
Tingkat asidosis merupakan penentu penting dari outcome; bila
memungkinkan perlu dilakukan pemeriksaan kadar plasma bikarbonat atau
kadar laktat dari vena. Bila fasilitas memungkinkan, pada penderita tidak sadar,
kondisi hiperventilasi atau syok, perlu dilakukan pemeriksaan pH dan gas darah
kapiler atau arterial. Pemeriksaan darah juga harus meliputi: cross-matching,
hitung darah lengkap, hitung platelet, pembekuan, kultur, dan biokimia lengkap.

11 | B A N U 6
Keseimbangan cairan dari penderita juga perlu diperhatikan dengan seksama
pada malaria berat untuk menghindari over atau under-hydration.
Diagnosis banding dari demam pada penderita kritis sangat beragam.
Koma disertai demam dapat disebabkan oleh meningoensefalitas atau malaria.
Malaria serebral tidak disertai oleh tanda iritasi meningen (kaku kuduk, fotofobia,
atau Kernig’s sign), namun dapat dijumpai keadaan opisthotonic. Oleh karena
meningitis bakterial yang tidak memperoleh penanganan akan bersifat fatal,
maka pengerjaan diagnostic lumbar puncture diperlukan untuk menyingkirkan
kondisi ini. Juga terdapat situasi clinical overlap antara septikemia, pneumonia,
dengan malaria berat, dan kondisi ini dapat berlangsung bersamaan. Bila
memungkinkan, sampel darah perlu selalu diambil pada saat kedatangan
penderita untuk pemeriksaan kultur bakterial. Pada wilayah endemik malaria,
terutama bila parasitemia banyak dijumpai pada kelompok usia muda, adalah
sulit untuk menyingkirkan septikemia dengan segera pada anak dengan
kesadaran menurun. Menghadapi kasus tersebut, maka empirical parenteral
broad-spectrum antibiotic harus diberikan sesegera mungkin bersamaan dengan
terapi antimalarial.
Terapi
Terapi penderita malaria berat dewasa dan anak (termasuk bayi,
perempuan hamil pada semua trimester dan ibu menyusui) dengan memberikan
artesunate intravena atau intramuskular sekurangnya selama kurun 24 jam atau
sampai penderita mentoleransi medikasi oral. Setelah itu, tuntaskan terapi
dengan pemberian ACT (artemisin-based combination therapy), dan berikan
primaquine dosis tunggal.
Anak dengan BB ˂ 20 kg harus mendapatkan dosis artesunate yang
lebih tinggi (3 mg/kg BB per dosis) dibandingkan dengan anak dengan berat
badan yang lebih besar dan dewasa (2,4 mg/kg BB per dosis).
Perawatan Suportif
Penderita dengan malaria berat membutuhkan perawatan ICU. Observasi klinis
diperlukan dengan memantau: tanda vital, coma score, dan urine output. Kadar
glukosa darah perlu dipantau setiap 4 jam, terutama pada penderita dengan
penurunan kesadaran.
Manajemen klinis menghadapi manifestasi dan komplikasi berat dari malaria oleh
P. falciparum

Manifestasi atau komplikasi Manajemen segera

Koma (malaria serebral) Pertahankan jalan nafas, posisi miring,


singkirkan penyebab lain yang dapat
diatasi (treatable cause) dari koma

12 | B A N U 6
(meliputi: hipoglikemia, meningitis
bakterial); bila diperlukan lakukan
intubasi.

Hiperpireksia Berikan kompres dingin dan antipiretik.

Kejang Pertahankan jalan nafas; atasi segera


dengan pemberian diazepam
intravena atau rektal, lorazepam,
midazolam atau paraldehida
intramuskular. Periksa kadar gula
darah.

Hipoglikemia Koreksi hipoglikemia, dan pertahankan


dengan pemberian infus mengandung
glukosa. Meskipun hipoglikemia
didefinisikan sebagai glukosa ˂ 2,2
mmol/L, namun ambang intervensi
dilakukan pada ˂ 3 mmol/L untuk anak
˂ 5 tahun, dan ˂ 2,2 mmol/L untuk
anak lebih tua dan dewasa.

Anemia berat Transfusi menggunakan fresh whole


blood.

Acute pulmonary edema Posisikan penderita 45 , berikan


oksigen, berikan diuretik, hentikan
cairan intravena, lakukan intubasi dan
berikan PEP atau CPAP pada kondisi
life-threatening hypoxemia.

Acute kidney injury Singkirkan penyebab pre-renal, periksa


keseimbangan cairan dan kadar
natrium urin; pada keadaan yang
menunjukkan gagal ginjal, lakukan
hemodialysis, atau peritoneal dialysis.

Perdarahan spontan dan koagulopati Berikan transfusi menggunakan fresh


whole blood; berikan injeksi vitamin K.

Daftar Pustaka

13 | B A N U 6
1. Douglas G. Postels, Terrie E. Taylor. Cerebral Malaria. In: Michael
Scheld, Richard J. Whitely, Christina M. Marra, editors. Infections of
The Central Nervous System. 4th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer;
2014.
2. World Health Organization. Guidelines for The Treatment of Malaria.
3rd Ed. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data; 2015.
3. World Health Organization. World Malaria Report 2012. Geneva:
World Health Organization; 2012.
4. Leech JH, Barnwell JW, Miller LH, et al. Identification of A Starin-
specific Malarial Antigen Exposed On The Surface of Plasmodium
falciparum-infected Erythrocytes. J Exp Med. 1984.
5. Buhari M. Morphological Changes in Malaria. African J Clin Exper
Microbiol. 2005.
6. Lewallen S, Taylor TE, Molyneux ME, et al. Ocular Fundus Finding in
Malawian Children with Cerebral Malaria. Opthalmology. 1993.

14 | B A N U 6
MENINGITIS STREPTOCOCCUS SUIS SEBAGAI PENYAKIT INFEKSI EMERGING
Ni Made Susilawathi
Departemen Neurologi FK UNUD/RS UNUD-BALI

Abstrak
Meningitis Streptococcus suis (S. suis) terjadi akibat paparan terhadap
babi dan produk babi yang terinfeksi. Kasus infeksi S. suis mengalami
peningkatan secara signifikan beberapa tahun terakhir, sebagian besar kasus
terjadi di Asia Tenggara bahkan pernah dilaporkan kejadian wabah di Cina.
Kasus pertama infeksi S. suis di Bali terjadi pada tahun 2014 pada pasien dengan
meningitis dan sepsis, selanjutnya kejadian meningitis S. suis di Bali mengalami
peningkatan dan dilaporkan terjadi dibeberapa kabupaten di Bali. S. suis
menyebabkan infeksi sistemik dengan meningitis sebagai manifestasi klinis yang
paling sering terjadi. Manifestasi lain yang ditemukan seperti sepsis, endokarditis,
artritis, endopthalimitis, uveitis, spondylodisitis, opthalmoplegia dan abses
epidural. Tuli sensorineural merupakan komplikasi yang sering pada meningitis
S. suis.
Pendahuluan
Streptococcus suis (S. suis) adalah patogen babi yang dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada manusia.1,2 Infeksi S. suis pada babi pertama
kali dilaporkan oleh seorang dokter hewan pada tahun 1954 setelah kejadian
wabah meningitis, septikemia dan artritis purulenta pada anak babi. 1 Kasus
meningitis S. suis pada manusia dilaporkan terjadi di Denmark pada tahun 1968. 3
Kejadian infeksi S. suis mengalami peningkatan bebarapa tahun terakhir di
kawasan Asia Tenggara, bahkan pernah dilaporkan adanya wabah infeksi S. suis
yang terjadi di Cina pada tahun 1998 dan 2005.4 Bakteri S. suis dilaporkan
sebagai penyebab tersering meningitis dewasa di Vietnam, penyebab kedua di
Thailand dan penyebab ketiga di Hongkong.5 Kasus pertama meningitis S. suis di
Bali dilaporkan terjadi pada tahun 2014 dan setelah itu kejadiannya cenderung
mengalami peningkatan, infeksi S. suis merupakan penyakit infeksi emerging
yang perlu diwaspadai.6
S.suis merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus, bersifat fakultatif
anaerob dan secara serologis memiliki 35 serotipe dan serotipe 2 dikenal
sebagai serotipe yang paling virulen dan sebagai penyebab utama penyakit
pada babi dan manusia.7,8
Penyakit Infeksi Emerging
Penyakit infeksi emerging (PIE) adalah suatu penyakit menular yang
baru diketahui keberadaanya dengan angka kejadian yang meningkat tajam. PIE
sebagian besar bersifat zoonosis yang penularannya dari hewan ke manusia.

15 | B A N U 6
Perubahan lingkungan, demografi manusia dan hewan, praktek pertanian, faktor
budaya dan sosial seperti kebiasaan makanan berperanan dalam munculnya
penyakit zoonosis menjadi PIE.9
Meningitis S. suis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
bakteri S. suis yang memiliki reservoir alamiah pada babi dan ditularkan melalui
kontak langsung dengan babi terinfeksi dan mengkonsumsi produk babi yang
terkontaminasi S. suis.8
Infeksi S. suis merupakan PIE yang kejadiannya dilaporkan meningkat
dan menimbulkan problem kesehatan masyarakat.9 Kejadian wabah infeksi S.
suis di Cina yang menginfeksi lebih dari 200 orang dengan angka kematian
sekitar 20 % menunjukkan ancaman patogen ini terhadap kesehatan manusia. 10,11
Laporan kejadian infeksi S. suis sebagian besar berasal dari Asia. Hal
ini dimungkinkan karena kontak manusia dengan babi sangat dekat akibat dari
kebiasaan masyarakat memelihara babi di belakang rumah, pemotongan babi
sering dilakukan di rumah atau tempat terbuka tanpa pengawasan petugas dan
dijual di pasar tradisional, kebiasaan mengkonsumsi olahan babi yang
segar/mentah sangat popular di beberapa negara di Asia serta kebiasaan
mengolah dan mengkonsumsi daging babi sakit yang dapat meningkatkan risiko
penularan S. suis ke manusia.1,10,11
Manifestasi Klinis Infeksi S. Suis
S. suis menyebabkan infeksi sistemik yang melibatkan berbagai organ
dengan manifestasi klinis bervariasi.1,2 Meningitis merupakan manifestasi yang
paling sering ditemukan (68 %) diikuti oleh sepsis (25 %), artritis septik (12,9 %),
sindrom syok toksik (25,7 %), endokarditis (12,4 %) dan endopthalmitis (4,6 %). 7
Keluhan di kulit berupa purpura, ekomosis, bula hemorgik dan purpura fulminan
dapat ditemukan pada pasien dengan infeksi S.suis.1
Masa inkubasi infeksi S. suis bervariasi yang berhubungan dengan
mekanisme penularannya. Masa inkubasi lebih singkat apabila terinfeksi melalui
luka di kulit dan menyebar cepat secara hematogen sedangkan masa inkubasi
lebih panjang apabila terinfeksi melalui konsumsi oral. Kejadian wabah di Cina
7,11
dilaporkan masa inkubasi berkisar 3 jam sampai 14 hari dengan rerata 2.2 hari.
Meningitis S. suis umumnya terjadi pada usia dewasa dengan rerata
usia 51 tahun, dominan laki-laki dan sangat jarang terjadi pada anak-anak.
Faktor predisposisi utama adalah riwayat kontak dengan babi/ daging babi (61
%) dan riwayat pasien memiliki luka di kulit saat kontak dengan babi (20%).
Faktor yang lain adalah alkoholism (19 %), diabetes (5 %), splenektomi (1 %), dan
penggunaan obat imunosupresan (0,3 %).7
Manifestasi klinis meningitis S. suis secara umum sama dengan
meningitis bakteri akibat penyebab lain1 dengan gejala yang paling sering adalah

16 | B A N U 6
febris (97 %), nyeri kepala (95 %), kaku kuduk (93 %), dan perubahan kesadaran
(31 %). Trias klasik meningitis yang terdiri dari febris, kaku kuduk dan perubahan
kesadaran hanya dijumpai pada 9 % kasus.8 Meningitis S. suis sering disertai
dengan bakteremia yang mirip dengan meningitis S. pneumoniae dan N.
meningitidis. Komplikasi infeksi S. suis dapat menimbulkan gagal ginjal akut,
sindrom distress pernafasan akut, Disseminated intravascular coagulation (DIC)
dan sindrom syok toksik yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi.1
Tuli sensorineural merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai
sekitar 53 % pasien, yang terjadi pada nada tinggi. Derajat ketulian dapat sangat
berat dan permanen, namun pada beberapa kasus dilaporkan mengalami
perbaikan seiring dengan waktu. Keluhan disfungsi vestibular seperti ataksia
dapat terjadi berhubungan dengan ketulian.1,7
Tingkat mortalitas infeksi S. suis bervariasi, kurang dari 3% (di negara
maju) sampai lebih dari 26% (di Asia). 7,8,10 Syok septik dan peningkatan kadar
alanine transaminase meningkatkan risiko kematian.7
Penegakan Diagnosis Meningitis S. Suis
Standar baku untuk mendiagnosis meningitis adalah pemeriksaan
cairan serebrospinalis (CSS).12 Pemeriksaan CSS sangat penting dalam
penegakan diagnosis meningitis bakteri, identifikasi patogen penyebab dan
menguji sensitifitas antibiotika secara in vitro. Gambaran CSS pada meningitis
bakteri adalah pleositosis dominan neurotrofil, peningkatan kadar protein (> 50
mg/dl ) dan kadar glukosa rendah/ hipoglikoria (< 45 mg/dl).13
Diagnosis definitif untuk meningitis bakteri adalah pemeriksaan kultur
CSS. S. suis pada kultur CSS memberikan gambaran koloni bakteri α hemolitik
berantai. Koloni ini kemudian diperiksa lebih lanjut dengan uji biokimia secara
konvensional atau dengan sistem semiotomatis seperti VITEX-2 Compact
(Biomerieux) untuk mengidentifikasi spesies S. suis. Hasil kultur sering negatif
apabila pemeriksaan CSS tertunda dan dikerjakan setelah pemberian antibiotika.
S.suis sering didiagnosis keliru sebagai S. viridans atau S. pneumoniae terutama
spesimen dari CSS. Pemeriksaan CSS dengan teknik PCR dapat meningkatkan
kemampuan identifikasi S. suis secara spesifik dan juga dapat mendeteksi gene
yang berperanan dalam faktor virulensi S.suis. 1,7
Penanganan Meningitis S. Suis
Penatalaksanaan meningitis S.suis sama dengan meningitis bakteri
akibat bakteri patogen lainnya seperti S. pneumoniae & N. meningitides. Terapi
antibiotika harus diberikan segera, tanpa ada penundaan saat diagnosis
meningitis ditegakkan. S. suis secara umum masih sensitif dengan antibiotika
golongan penisilin dan sefalosporin. Terapi antibiotika empiris dengan
menggunakan seftriakson 2 gram setiap 12 jam selama 14 hari atau penisilin G

17 | B A N U 6
24 juta IU setiap 24 jam selama minimal 10 hari secara intravena dapat
1,7,8
digunakan pada penanganan meningitis S.suis Beberapa pasien meningitis
S.suis dilaporkan mengalami kekambuhan setelah pengobatan antibiotika
selama 2 minggu dengan ceftriakson atau penisilin, dan memberikan respon
yang baik setelah pemberian antibiotika diperpanjang sampai 4-6 minggu.1,8
Pemberian deksametason (0,4 mg/kgBB selama 4 hari) sebagai terapi
adjuvan meningitis bakteri dapat menurunkan mortalitas dan mengurangi
komplikasi neurologis termasuk gangguan pendengaran.1,8
Pencegahan Infeksi S. Suis
Infeksi S. suis merupakan penyakit zoonosis yang dapat dicegah
penularannya. Babi sakit merupakan sumber infeksi utama pada S. suis sehingga
pengawasan terhadap babi sakit merupakan kunci pencegahan penularan pada
manusia. Wabah infeksi S. suis sering terjadi di negara berpenghasilan rendah
dengan peternakan babi yang intensif dimana pengawasan terhadap infeksi
pada peternakan babi sangat kurang akibat kondisi kandang yang kotor, lembab
dan berventilasi buruk dengan makanan yang terkontaminasi. Peningkatan
kualitas kondisi penangkaran babi dan vaksinasi babi merupakan metode efekif
untuk mengurangi wabah infeksi S.suis pada babi sehingga mengurangi risiko
penularan pada manusia.2, 14
Vaksinasi S. suis untuk manusia belum ditemukan sehingga
pengawasan yang ketat pada perdagangan dan pemotongan daging babi
merupakan langkah penting dalam pengedalian penyebaran infeksi dari babi ke
manusia. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini pada populasi
yang berisiko tinggi disertai dengan pengetahuan mempersiapkan dan
mengolah produk babi yang aman dapat membantu mengurangi infeksi ada
manusia. Pengetahuan yang penting perlu diketahui antara lain: pemakaian
sarung tangan saat mengolah produk babi apabila terdapat luka terbuka,
mencuci tangan dan membersihkan peralatan secara menyeluruh setelah kontak
dengan produk babi dan memasak produk babi dengan matang. WHO
merekomendasikan untuk memasak daging babi hingga mencapai suhu internal
70OC atau kaldunya menjadi jernih (bukan berwarna merah muda).2,14
Kesimpulan
Meningitis S. suis sering tidak terdiagnosis sehingga diperlukan
peningkatan kesadaran tentang patogen ini dikalangan dokter klinisi dan
mikrobiologi. Tindakan pencegahan yang sederhana seperti memakai sarung
tangan saat memproses daging babi, selalu mencuci tangan setelah mengolah
daging babi dan memasak produk babi dengan baik sangat efektif menghindari
infeksi S. suis. Para wisatawan harus menyadari kebiasaan makan produk babi

18 | B A N U 6
mentah atau setangah matang dibeberapa daerah dapat meningkatkan risiko
penularan infeksi S. suis.

Daftar Pustaka
1. Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C. Streptococcus suis: an
emerging human pathogen. Clin Infect Dis. 2009; 48:617-625.
2. Lun ZR, Wang QP, Chen XG, Li AX, Zhu XQ. Streptococcusi suis: an
emerging zoonotic pathogen. Lancet Infect Dis. 2007.; 7: 201-09.
3. Perch B., Kristjansen P., Skadhuge Kn. Grup R Streptococci Pathogenic
For Man. Acta path. Microbiol. Scandinav. 1968, 74; 69-76.
4. Feng Y, Zhang H, Wu Z, Wang S, Cao M, Hu D, et al. Streptococcus
suis infection An emerging/reemerging challenge of bacterial
infectious diseases?. Virulence. 2014, 5(4): 477-497
5. Goyette-Desjardins G, Auger JP, Xu J, Segura M, Gottschalk M.
Streptococcus susi, an important pig pathogen and emerging
zoonotic agent-un update on the worldwide distribution based on
serotyping and sequence typing. Emerging Microbe and
Infections,2014; 3,e45;doi:10.1038/emi.
6. Susilawathi NM, Tarini NMA, Sudewi AAR. Meningitis Bakterial
Streptococcus suis dengan Tuli Sensorineural Bilateral. Neurona. 2016,
34(1):55- 59.
7. Fong IW. Zoonotic Streptococci: A Focus on Streptococcus suis. In
Fong IW, editor. Emerging Zoonoses, Emerging Infectious Diseases of
the 21st Century, Springer International Publishing AG. 2017, p.189-
210
8. van Samkar A, Brouwer MC, Schultsz C, van der Ende A, van de Beek.
Streptococcus suis Meningitis: A Systematic Review and Meta-analysis.
PLOS Negl Trop Dis 2015, 9(10):1-10
9. Jafry KT, Ali S, Rasool A, Raza A, Gill Z. Zoonoses. Int. J.Agric. Biol.
2009,11:217-220
10. Gottschalk M, Fittipaldi N, Segura M. Streptococcus suis Meningitis. In
Christodoulides M, editor. Meningitis: Cellular and Molecular Basis.
C.A.B. International 2013; p.184-198
11. Yu H, Jing H, Chen Z, Zheng H, Zhu X, Wang, et al. Human
Streptococcus suis outbreak, Sichuan, China. Emerg Infect Dis 2006
,12:914-920
12. van de Beek D, Brouwer M, Hasbun R, Koedel U, Whitney C, Wijdicks
E. Community-acquired bacterial meningitis. Nature Review. Disease
Primers. 2016, 2; 1-20

19 | B A N U 6
13. Tan YC, Gill AK, Kim KS. Treatment Strategies for central nervous
system infections: an update. Expert Opin. Pharmacother. 2014, 16(1);1-
17
14. Papatsiros VG, Vourvidis D, Tzitzis AA, Meichannetsidis PS, Stougiou
D, Mintza D, et al. Streptococcus suis: an important zoonotic
pathogen for human- prevention aspects.Veterinary World. 2011, 4(5):
216-221

20 | B A N U 6
RABIES: UPDATE IN PREVENTION STRATEGY
Candida Isabel Lopes Sam
Neurology Department, Tjark Corneille Hillers Hospital-Maumere
School of Medicine, Nusa Cendana University -Kupang

Abstract
Rabies is a vaccine-preventable viral zoonotic disease which occurs in
more than 150 countries and territories. Dogs are the main source of human
rabies deaths, contributing up to 99% of all rabies transmissions to humans.
Infection causes ten thousands deaths every year, largely in Asia and Africa. Forty
percent of people bitten by suspect rabid animals are children under 15 years of
age. Rabies prevention involves two main, non-exclusive strategies: (i) dog
vaccination to interrupt virus transmission to humans; and (ii) human vaccination
i.e. post-exposure prophylaxis (PEP) and pre-exposure prophylaxis (PrEP).
PEP is administered promptly following exposure to rabies, and
consists of timely, rigorous wound care, administration of rabies immunoglobulin
(RIG) in severe exposures, and a series of intradermal (ID) or intramuscular (IM)
rabies vaccines. Long, complicated PEP regimens and the high cost, low
availability, uncertain quality and short shelf life of RIG are barriers to PEP
implementation. PrEP is indicated for individuals who face occupational and/or
travel-related exposure to rabies virus in specific settings or over an extended
period. PrEP consists of a series of rabies vaccines, followed by booster
vaccination in case of exposure.
The new WHO recommendations for rabies immunization was
announced on the early 2018. These updated recommendations are based on
new evidence and directed by public health needs that are cost-, dose- and
time-sparing, while assuring safety and clinical effectiveness. In addition, new
guidance on prudent use of rabies immunoglobulin (RIG) is provided. The
following review article summarized the main point of the updated WHO
position on rabies prevention as endorsed by the Strategic Advisory Group of
Experts on immunization (SAGE) at its meeting in October 2017.
Keywords: Rabies, Prevention, Prophylaxis, Vaccine, WHO

1. Pendahuluan
Rabies disebut juga penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus dan termasuk dalam
family Rhabdoviridae; merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat,
yang hampir selalu berakibat fatal setelah timbulnya gejala klinis.1,2 Penyebaran
virus rabies pada manusia dapat terjadi melalui goresan atau gigitan hewan

21 | B A N U 6
penular rabies (HPR) yang merusak kulit, atau melalui kontak langsung dengan
permukaan mukosa seseorang, seperti hidung, mata atau mulut. Pernah
dilaporkan adanya transmisi virus rabies setelah transplantasi jaringan atau
organ dari donor yang meninggal dengan rabies yang tidak terdiagnosis. 2,3
Rabies terdapat pada semua benua kecuali Antartika, dan lebih dari
95% kematian manusia akibat rabies terjadi di Asia dan Afrika. Meskipun Vaksin
Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (Rabies Imunoglobulin) yang efektif
tersedia di berbagai negara tetapi sering kali tidak dapat diakses oleh mereka
yang membutuhkan karena pada umumnya rabies menginfeksi masyarakat
dengan sosial ekonomi rendah yang tinggal di daerah terpencil.2,4
World Health Organization (WHO) melaporkan rata-rata biaya VAR
untuk Post Exposure Prophylaksis (PEP) sebesar 40 US$ di Afrika dan 49 US$ di
Asia. Keadaan ini jelas akan menjadi beban keuangan pada keluarga miskin yang
terkena dampak dengan pendapatan harian rata-rata hanya 1-2 US$ per orang.
Setiap tahun, lebih dari 15 juta orang diseluruh dunia mendapatkan VAR untuk
mencegah ratusan ribu kematian akibat rabies.4
2. Epidemiologi
Lebih dari 150 negara di dunia telah terjangkit rabies. Australia,
Selandia Baru, Jepang, Papua Nugini dan Negara Kepulauan Pasifik saat ini
bebas rabies. Namun status bebas rabies pada suatu negara atau daerah dapat
berubah kapan saja. Misalnya, pada tahun 2008 di Propinsi Bali, dilaporkan
adanya kasus rabies pada binatang kemudian menyebar ke manusia.
Sebelumnya Bali bebas rabies, meskipun di daerah lain di Indonesia masih
terdapat kasus rabies.3 Selama periode 2012-2016 dilaporkan kasus gigitan HPR
di Indonesia sebanyak 373.000 kejadian dan sebanyak 288.417 (77,3%)
mendapatkan PEP dengan suntikan VAR. Sebanyak 555 kasus dilaporkan
meninggal dengan gejala-gejala rabies atau 112 kematian pertahun.5
Setiap tahun lebih dari 59.000 orang meninggal akibat rabies dan
lebih dari 15 juta orang di seluruh dunia mendapatkan suntikan VAR untuk
mencegah tertular penyakit ini. Sembilan puluh sembilan persen transmisi rabies
ke manusia melalui gigitan anjing rabies dan sekitar 30 - 60% dari korban adalah
anak-anak di bawah usia 15 tahun. Dengan demikian salah satu cara untuk
eliminasi rabies dilakukan melalui vaksinasi anjing dan mencegah gigitan anjing
atau HPR lainnya.2,6
3. Manifestasi Klinis
Rabies hampir selalu berakibat fatal. Masa inkubasi rabies sekitar 3 - 8
minggu, tetapi dapat juga berkisar 1 minggu sampai beberapa tahun. Perbedaan
masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis atau strain virus
rabies, jumlah virus yang masuk, kedalaman luka gigitan, banyaknya persarafan

22 | B A N U 6
di sekitar luka, imunitas penderita dan lokasi luka gigitan; semakin dekat luka
gigitan ke sistem saraf pusat, maka gejala klinis akan lebih cepat muncul. Oleh
karena itu luka gigitan di atas daerah bahu (leher, muka dan kepala), pada jari
tangan atau jari kaki, area genitalia dan luka yang lebar, dalam atau multiple
merupakan luka dengan risiko tinggi. Luka risiko rendah adalah jika terjadi
jilatan pada luka terbuka atau gigitan yang menimbulkan luka lecet di area
badan, tangan dan kaki.2-4
Manifestasi klinis penyakit rabies terdiri dari beberapa fase yaitu fase prodromal,
sensoris, eksitasi dan paralisis. 2,7,8
Fase prodromal: pada fase ini muncul gejala berupa demam, malaise, mual, nafsu
makan menurun, sakit kepala dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa
hari.
Fase sensoris: penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada bekas
luka, kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan
terhadap rangsang sensorik
Fase eksitasi: peningkatan tonus otot dan peningkatan aktivitas simpatis berupa
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan
fase eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium
ini adalah munculnya berbagai fobia seperti hidrofobia, fotofobia dan aerofobia.
Hidrofobia merupakan gejala khas penyakit rabies karena tidak ditemukan pada
penyakit encephalitis lainnya. Pada fase ini dapat terjadi apnoe, sianosis, kejang
dan takikardi. Gejala eksitasi tetap berlangsung sampai penderita meninggal.
Fase paralitik: disebut sebagai rabies paralitik, bentuk ini ditandai dengan
paralisis otot. Terjadi secara bertahap dimulai dari bagian bekas luka gigitan atau
cakaran. Penurunan kesadaran terjadi secara perlahan dan akhirnya mati karena
paralitik otot pernapasan dan jantung.
4. Pencegahan
Rabies adalah penyakit yang mematikan, tetapi bisa dicegah. WHO
terus mempromosikan pencegahan rabies pada manusia melalui upaya eliminasi
rabies pada anjing dan pencegahan gigitan anjing. Untuk itu diperlukan strategi
pendekatan One Health, yaitu kerja sama lintas sektor khususnya antara
kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan.9,10
Aliansi Global telah sepakat untuk mengupayakan agar tidak terjadi
kematian pada manusia akibat rabies di tahun 2030, berfokus pada peningkatan
akses PEP bagi korban gigitan, memberikan edukasi tentang pencegahan gigitan
HPR, dan memperluas cakupan vaksinasi anjing untuk mengurangi risiko
paparan pada manusia.2
4.1. Eliminasi rabies pada anjing

23 | B A N U 6
Rabies merupakan penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi.
Vaksinasi anjing adalah strategi yang sangat cost-effective mencegah penularan
rabies pada manusia. Vaksinasi anjing akan menurunkan angka kematian akibat
rabies dan mengurangi kebutuhan vaksinasi paska paparan.2,11
4.2. Edukasi dan Upaya Pencegahan Gigitan HPR
Edukasi tentang perilaku anjing dan upaya pencegahan gigitan anjing
pada manusia terutama anak-anak harus diintegrasikan dalam program vaksinasi
rabies, karena bisa menurunkan kejadian rabies pada manusia serta mengurangi
beban biaya penanganan akibat gigitan anjing.2,11
Peningkatan kesadaran akan pencegahan dan pengendalian rabies di
masyarakat termasuk pendidikan dan informasi tentang bagaimana menjadi
pemilik anjing yang bertanggung jawab, bagaimana mencegah gigitan anjing,
dan upaya yang harus dilakukan setelah digigit.
Pendidikan tentang penularan rabies diberikan kepada masyarakat
yang akan berkunjung ke daerah endemis rabies agar menghindari kontak
dengan HPR setempat. Jangan membiarkan anak-anak memberi makan,
menepuk atau bermain dengan HPR. Anjing mampu meloncat dan menggigit di
daerah wajah dan kepala anak-anak, yang merupakan gigitan risiko tinggi. Tetap
waspada saat berjalan, berlari ataupun bersepeda. 2,3,11
Sebelum melakukan perjalanan, para wisatawan atau masyarakat
diberi informasi tentang vaksinasi rabies, vaksinasi pra-paparan ataupun
vaksinasi booster, dan apa yang harus dilakukan jika mereka digigit oleh HPR
walaupun sudah mendapat vaksinasi sebelumnya.2,3
4.3. Pre Exposure Prophylaxis (PrEP)
VAR efektif dan aman digunakan untuk pencegahan pra-paparan atau
Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP). PrEP direkomedasikan untuk mereka yang
berisiko tinggi terpapar rabies karena pekerjaan, perjalanan atau tinggal di
daerah endemis rabies dimana sulit untuk mendapatkan pencegahan paska
paparan (Post Exposure Prophylaxis) yang adekuat dan cepat. Korban gigitan
HPR yang sudah mendapatkan PrEP, tidak perlu diberikan Rabies
Immunoglobulin (RIG) atau Serum Anti Rabies (SAR).2,12
PrEP tidak direkomendasikan untuk diberikan secara massal ke seluruh
populasi karena tidak cost-effective. PrEP perlu dipertimbangkan untuk diberikan
secara luas kepada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil yang sulit
mendapatkan akses PEP dengan kejadian gigitan anjing per tahun sebesar >5%
atau terdapat kasus rabies pada kelelawar. 2,12 VAR bisa diberikan secara
intramuscular (IM) dan intradermal (ID) dengan jadwal pemberian seperti pada
tabel 1.

24 | B A N U 6
Pemberian secara Intramuskuler (IM)
Dosis VAR pada pemberian secara IM sama untuk bayi, anak-anak dan
dewasa, yaitu sebesar 0,5 mL atau 1,0 mL tergantung tipe vaksinnya, disuntikkan
pada hari ke 0 dan hari ke 7.2
Lokasi pemberian di otot deltoid untuk orang dewasa dan anak-anak
berusia 2 tahun keatas, sedangkan untuk anak-anak di bawah 2 tahun lokasi
penyuntikan di daerah paha anterolateral. Jangan menyuntikkan VAR di region
gluteus karena kegagalan PEP telah dilaporkan ketika diberikan melalui rute ini.
Kemungkinan lemak subkutan yang tebal di regio gluteus mempengaruhi
imunogenitas VAR.2,13
Pemberian secara Intradermal (ID)
Pemberian secara ID untuk PreEP direkomendasikan karena selain
aman dan efektif, dosis vaksin dapat dikurangi sehingga dapat menekan biaya
vaksinasi. Hal ini sangat membantu pengendalian rabies di negara sedang
berkembang yang kesulitan dalam hal pembiayaan.2,14
Dosis VAR pada pemberian secara ID sama untuk bayi, anak-anak dan
dewasa, yaitu sebesar 2 x 0,1 mL; disuntikkan pada hari ke 0 dan hari ke 7. Lokasi
suntikan di regio deltoid, di paha anterolateral dan daerah supraskapula.2,15-17
Pemberian intradermal menggunakan syringe 1,0 mL dengan jarum pendek dan
dilakukan oleh tenaga terlatih.2
PrEP bagi orang dengan imunitas menurun (immunocompromised)
diberikan seperti pada orang sehat (immunocompetent) plus suntikan VAR
ketiga pada hari ke 21-28 seperti tampak pada table 1.2
Tabel 1. Panduan Pencegahan Pra Paparan menurut WHO2
Rute Lama Jumlah Suntikan saat Kunjungan
Pemberian Pemberian (hari ke 0, 3, 7, 14, 21-28)
Immunocompetent Immunocompromised
Intradermal 7 hari 2–0–2–0–0 2–0–2–0–2
(ID)
Intramuskuler 7 hari 1–0–1–0–0 1–0–1–0–1
(IM)

Dua jenis VAR yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Indonesia yaitu jenis Purified Vero cell rabies vaccine (PVRV, Verorab®)
dan Purified chick embryo cell vaccine (PCECV, Rabipur®) bisa diberikan secara
IM maupun ID.7

25 | B A N U 6
Vaksinasi Booster
Pemberian VAR sebagai booster secara periodik tidak diperlukan
kecuali mereka yang karena pekerjaannya kemungkinan terpapar dengan virus
rabies secara berkesinambungan, misalnya seorang pekerja laboratorium yang
kontak dengan virus rabies hidup konsentrasi tinggi. Bagi pekerja dengan jenis
pekerjaan diatas harus dilakukan pemeriksaan serologi setiap 1-2 tahun untuk
memonitor apakah kadar neutralizing antibody yang ada akan mampu
melindungi dari penularan virus rabies sewaktu-waktu akibat paparan yang tidak
disadari ataupun paparan akibat kecelakaan kerja. 2
Profesional yang tidak berisiko sering terpapar secara
berkesinambungan, misalnya seorang dokter hewan atau petugas kesehatan
hewan lainnya, sebaiknya melakukan pemeriksaan serologi setiap 2 tahun.
Karena imunitas yang diinduksi VAR bisa bertahan puluhan tahun, vaksinasi
booster direkomendasikan hanya jika titer neutralizing antibody< 0,5 IU/mL.2
Jika pemeriksaan serologi tidak memungkinkan, perlu tetap
dipertimbangkan pemberian booster sebelum mulai melakukan pekerjaan
berisiko tinggi terpapar virus rabies. Namun demikian booster sebisa mungkin
diberikan mengacu pada titer neutralizing antibody dan pada mereka yang
berisiko tinggi terpapar virus rabies secara berkesinambungan. 2
Mereka yang tinggal atau yang berencana melakukan perjalanan ke
daerah endemis rabies dan sudah pernah mendapatkan vaksinasi lengkap (PrEP
maupun PEP), pemberian booster tidak diperlukan lagi.2
5. Tata Laksana Gigitan Hpr
5.1. Manajemen Luka
Salah satu langkah terpenting setelah terpapar virus rabies adalah
manajemen luka. Pencucian luka dengan menggunakan sabun merupakan hal
yang sangat penting dan harus segera dilakukan jika terjadi paparan (jilatan,
cakaran atau gigitan) dengan HPR. Virus rabies dapat diinaktivasi dengan sabun
karena selubung luar virus yang terdiri dari lipid akan larut oleh sabun.2,7
Pencucian luka dilakukan sesegera mungkin dengan sabun di bawah
air mengalir selama kurang lebih 15 menit. Pencucian luka tidak menggunakan
peralatan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan luka baru dimana virus akan
semakin masuk ke dalam.2,3,7
Setelah dilakukan pencucian luka sebaiknya diberikan antiseptik
seperti povidon iodine, alkohol 70% dan antiseptik lainnya untuk membunuh
virus rabies yang masih tersisa di sekitar luka gigitan.2,3

26 | B A N U 6
Luka gigitan sebaiknya tidak boleh dijahit. Pada luka gigitan kategori
III yang sangat memerlukan jahitan, bisa dilakukan jahitan situasi setelah
pemberian SAR secara infiltrasi di sekitar luka.2,3,7
5.2. Vaksinasi
Setelah pencucian luka, selanjutnya dilakukan pemberian VAR disertai
atau tanpa SAR berdasarkan kategori paparan dan jenis kontak dengan HPR
(Tabel 2). Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah (i) apakah korban
yang terpapar sudah divaksin sebelumnya dan (ii) bagaimana imunitas
tubuhnya.2
Tabel 2. Kategori Paparan dan Rekomendasi Tata Laksana menurut WHO2
Kategori Paparan Rekomendasi Tata Laksana
Jenis Kontak dengan HPRa
Kategori I
Menyentuh atau memberi makan hewan Lakukan pencucian luka
Jilatan pada kulit utuh Tidak diberikan VARb atau SARc
Kategori II
Menggigit kulit terbuka Lakukan pencucian dan perawatan luka
Luka goresan kecil atau lecet tanpa Segera berikan VAR
perdarahan Hentikan pemberian VAR bila HPR tetap
sehat setelah diobservasi selama 10 hari
atau jika hasil pemeriksaan laboratorium
tidak terbukti rabies dengan teknik
pemeriksaan yang memadai
Kategori III
Gigitan atau cakaran yang menimbulkan Lakulan pencucian dan perawatan luka
luka transdermal tunggal atau multiple Segera berikan VAR dan SAR
Jilatan pada kulit yang tidak utuh Hentikan pemberian VAR bila HPR tetap
Kontaminasi selaput lendir dengan air liur sehat setelah diobservasi selama 10 hari
Kontak langsung dengan kelelawar atau jika hasil pemeriksaan laboratorium
tidak terbukti rabies dengan teknik
pemeriksaan yang memadai
a
HPR Hewan Penular Rabies; bVAR Vaksin Anti Rabies; cSAR Serum Anti Rabies
5.2.1. PEP pada Orang yang Belum Divaksin Sebelumnya
Vaksin Anti Rabies (VAR)
Pemberian VAR pada PEP merupakan upaya aktif untuk merangsang
tubuh memproduksi neutralizing antibody. Suntikan VAR bisa dilakukan secara
IM dan ID. Pemberian VAR secara ID selain efektif, juga lebih hemat jika
diimplementasikan di daerah dengan kasus gigitan HPR tinggi. Dosis dan lokasi

27 | B A N U 6
pemberian VAR pada PEP sama dengan pada PreEP, sedangkan waktu
pemberiannya bisa dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Panduan Pencegahan Paska Paparan menurut WHO2


Lama Jumlah Suntikan saat Kunjungan
Pemberian (hari ke 0, 3, 7, 14, 21-28)
Intradermal 7 hari 2–2–2–0–0
(ID)
Intramuskuler (IM) 14-28 hari 1–1–1–1-0

Intramuskuler (IM) 21 hari 2–0–1–0–1

Pada korban gigitan HPR dengan imunitas yang menurun


(immunocompromised) atau sedang mengkonsumsi obat imunosupresan,
sebaiknya mendapatkan pilihan PEP terbaik termasuk pemberian SAR pada
paparan kategori II dan III. Jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan
kadarneutralizing antibody, 2-4 minggu setelah pemberian VAR untuk bisa
memutuskan apakah perlu diberikan VAR tambahan atau tidak.2
Dalam keadaan terpaksa, diperkenankan memberikan VAR dengan
jenis dan rute yang berbeda dengan yang sudah diberikan sebelumnya.18
Serum Anti Rabies (SAR)
Peran Serum Anti Rabies (SAR) atau Rabies Immunoglobulin (RIG)
adalah melakukan neutralizing virus rabies (imunisasi pasif) di sekitar luka gigitan
HPR sebelum sistim imun korban memproduksi neutralizing antibody secara
aktif setelah pemberian VAR.2
SAR harus diberikan kepada semua korban gigitan kategori III (Tabel
2), kecuali jika korban sudah mendapatkan PreEP sebelumnya. SAR diberikan
dosis tunggal, sebaiknya diberikan secepatnya bersamaandengan mulainya
pemberian VAR (hari 0) dalam rangka PEP. Tidak direkomendasikan pemberian
SAR, 7 hari setelah pemberian VAR dosis pertama, sebab respon antibodi secara
aktif terhadap pemberian VAR sudah mulai sehingga pemberian SAR akan
mubazir bahkan penggunaannya dapat menekan tingkat respon amnestic dan
neutralizing antibody yang beredar.2
Dosis maksimum human RIG adalah 20 IU/kilogram berat badan,
sedangkan dosis equine RIG sebesar 40 IU/kilogram berat badan; dosis sama
untuk bayi, anak-anak dan orang dewasa. RIG harus diinfiltrasi sebanyak
mungkin di dalam dan sekitar luka, jika masih ada sisa volume RIG bisa
disuntikan IM di lokasi terdekat dengan lokasi luka. Beberapa penelitian

28 | B A N U 6
menunjukkan bahwa suntikan sisa RIG secara IM tidak memberikan tambahan
perlindungan terhadap rabies dibandingkan dengan pemberian infiltrasi saja.
Sebaliknya, jika luka parah dan volume RIG tidak cukup untuk infiltrasi pada
semua luka yang ada -misalnya gigitan anjingmultiple dan luas pada anak kecil-,
RIG bisa diencerkan dengan normal salin sehingga mendapatkan jumlah yang
cukup untuk infiltrasi semua luka secara hati-hati.19,20
Skin testing sebelum pemberian equine RIG tidak perlu dilakukan lagi
karena tidak mampu memprediksi kemungkinan terjadinya efek merugikan
paska vaksinasi.2
5.2.2 PEP pada Orang yang Sudah Divaksin Sebelumnya
Manajemen luka harus tetap dilakukan tanpa menghiraukan vaksinasi
rabies sebelumnya. Orang yang terbukti telah mendapatkan PrEP atau PEP
lengkap; atau PEP terputus setelah mendapatkan paling sedikit 2 dosis VAR
(setara PrEP), akan diberikan 2 dosis VAR pada hari ke 0 dan ke 3 secara IM
maupun ID.2
Pemberian 2 dosis VAR ini juga diberlakukan bagi mereka yang
immunocompromised, namun harus dilakukan pemeriksaan titer neutralizing
antibody setelah dosis ke 2 untuk memastikan bahwa titer neutralizing antibody
sudah memadai yaitudiatas 0.5 IU/mL.2
SAR tidak diperlukan dan tidak boleh diberikan, karena
penggunaannya dapat menekan tingkat respon amnestic dan neutralizing
antibody yang beredar.2 Pemberian VAR dengan atau tanpa SAR, tidak
diperlukan jika paparan terjadi < 3 bulan paska PEP lengkap.21
Kontraindikasi
Rabies merupakan penyakit dengan case fatality rate mendekati 100%.
Oleh karena itu tidak ada kontraindikasi absolute untuk menggunakan VAR atau
SAR sebagai PEP pada orang dengan risiko terpapar virus rabies atau lyssavirus
lainnya.2
PEP bisa diberikan dengan aman kepada bayi, ibu hamil, ibu menyusui
dan orang dengan penurunan imunitas ( immunocompromised), termasuk anak-
anak yang terinfeksi HIV. Pemberiannya dilakukan oleh petugas kesehatan yang
sudah terlatih akan indikasi, cara pemberian dan tata laksana jika terjadi kejadian
ikutan.2,3,7
Seperti halnya vaksinasi pada umumnya, penerima vaksin tetap
diobservasi 15-20 menit setelah vaksinasi. Jika pernah mengalami reaksi berat
terhadap salah satu komponen vaksin, sebaiknya menggunakan vaksin jenis
lainnya. Korban gigitan HPR yang alergi terhadap telur atau protein telur,
seharusnya tidak menggunakan VAR jenis Purified chick embryo cell vaccine
(Rabipur®) melainkan jenis Purified Vero cell rabies vaccine (Verorab®).3

29 | B A N U 6
Gambar 1. Tata Laksana Paparan Hewan Penular Rabies1

6. Kesimpulan
Lebih dari 150 negara di dunia telah terjangkit rabies dan setiap tahun
lebih dari 55.000 orang meninggal karena rabies. Rabies memang penyakit yang
mematikan, tetapi terbukti bisa dicegah dengan tata laksana yang cepat dan
tepat.
Meskipun VAR dan SAR yang efektif tersedia di berbagai negara tetapi
sering kali tidak dapat diakses oleh mereka yang membutuhkan karena pada
umumnya rabies menginfeksi masyarakat dengan sosial ekonomi rendah yang
tinggal di daerah terpencil.
Beberapa bukti dari berbagai penelitian terbaru khususnya terkait
pemberian VAR dan SAR yang efektif, aman, lebih praktis (waktu pemberian
lebih singkat) dan lebih ekonomis (dosis pemberian lebih kecil dan harga lebih
murah); diharapkan akan meningkatkan akses masyarakat yang memerlukan
upaya pencegahan rabies sehingga tidak akan terjadi lagi kematian sia-sia pada
manusia akibat rabies di tahun 2030.

30 | B A N U 6
Daftar Pustaka
1. Tarantola A. Four Thousand Years of Concepts Relating to Rabies in Animal
and Humans, Its Prevention and Its Cure. Trop Med Infect Dis.2017;2,5.
2. WHO Expert Consultation on Rabies: Third Report. Geneva: World Health
Organization; 2018 (WHO Technical Report Series No. 1012).
3. The AustralianImmunisationHandbook.10thed.2017.Available at:http://www.
Immunise.health.gov.au/internet/immunise/publishing.nsf/Content/84C9EC
562B14AA1CCA257D4D00238E25/$File/4-16_Rabies.pdf (accessed June
2018)
4. WHO fact sheet on rabies. Available at http://www.who.int/ mediacentre/
factsheets/ fs099/en, accessed May 2018
5. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Rabies
pada Manusia di Indonesia. 2017
6. Hampson K, Coudeville L, Lembo T et al. Estimating the Global Burden of
Endemic Canine Rabies. PLoS Negl Trop
Dis.2015.DOI:10.1371/journal.pntd.0003709
7. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Buku Saku Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus
Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. 2016
8. Sudewi AAR. Rabies. In: Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K, editors. Infeksi
pada Sistem saraf. Surabaya: AUP;2011.p.55-61
9. Garg S, Basu S, Dahiya N. A review of current strategy for rabies prevention
and control in the developing world. Indian J Comm Health 2017; 29 (1): 10-
6.
10. Lavan RP, King AIM, Sutton DJ, Tunceli K. Rationale and support for a One
Health program for canine vaccinationas the most cost-effective means of
controlling zoonotic rabies inendemic settings. Vaccine 2017;35:1668-74
11. Department of Health, Philippines. National Rabies Prevention and Control
Program. Manual of Operations.2012
12. Kessels JA, Recuenco S, Navarro-Vela AM et al. Pre-exposure rabies
prophylaxis: a systemic review. Bull World Health Organ 2017;95:210-9
13. Wieten RW, Leenstra T, van Thiel PP, van Vugt M, Stijnis C, Goorhuis A et al.
Rabies vaccinations: are abbreviated intradermal schedules the future?. Clin
Infect Dis.2012;56(3):414-9
14. Buchy P, Preiss S, Singh V, Mukherjee P. Heterogeneity of Rabies
Vaccination Recommendations across Asia. Trop Med Infect Dis
2017;2,23;doi:10.3390/tropicalmed2030023

31 | B A N U 6
15. Melerczyk C, Vakil HB, Bender W. Rabies pre-exposure vaccination of
children with purified chick embryo cell vaccine (PCECV). Hum Vaccine &
Immunother 2013;9 (7):1454-9
16. Lau CL, Hohl N. Immunogenicity of a modified intradermal pre-exposure
rabies vaccination schedule using a purified chick embryo cell vaccine: an
observational study. Travel Med Infect Dis. 2013;11(6):427-30
17. Mills DJ, Lau CL, Fearnley EJ, Weinstein P. The immunogenicity of a
modified intradermal pre-exposure rabies vaccination schedule- a case
series of 420 travelers. J Travel Med. 2011;18(5):327-32
18. Ravish HS, Sudarshan MK, Madhusudana SN, Annadani RR, Narayana DH,
Belludi AY et al. Assessing safety and immunogenity of post-exposure
prophylaxis following interchangeability of rabies vaccines in humans. Hum
Vaccin Immunother. 2014;10(5):1354-8
19. Bharti OK, Madhusudana SN, Wilde H. Injecting rabies immunoglobulin
(RIG) into wounds only:a significant saving of lives and costly RIG.Hum
Vaccine Immunother.2017;13(4):762-5
20. Bharti OK, Madhusudana SN, Gaunta PL, Belludi AY. Local infiltration of
rabies immune-globulins without systemic intramuscular administration: an
alternative cost effective approach for passive immunization againt rabies.
Hum Vaccine Immunother. 2016;12(3):837-42
21. Sudarshan MK, Ravish HS, Narayana DHA. Time interval for booster
vaccination following re-exposure to rabies in previously vaccinated
subjects. Asian Biomed 2011;5(5):589-93

32 | B A N U 6
ANALISA LCS PADA KASUS NEUROINFEKSI:
FOKUS PADA MENINGITIS BAKTERIAL
A.A.Ayu Suryapraba Indradewi K.
Departemen Neurologi RSUP Sanglah
Denpasar/FK Universitas Udayana

Pendahuluan
Analisa likuor cerebrospinal (LCS) merupakan salah satu metode
pemeriksaan yang memungkinkan klinisi untuk mengetahui kondisi di dalam
sistem saraf pusat meliputi otak, medulla spinalis dan meninges, sehingga dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis berbagai penyakit susunan saraf pusat
(SSP). Analisa LCS yang dilakukan dengan tepat juga membantu membedakan
kasus infeksi dengan non infeksi.1
Meningitis bakterial akut adalah salah satu infeksi SSP dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh dunia. Angka kejadian
meningitis bakterial akut tertinggi di negara berkembang di beberapa area yang
spesifik. Membedakan meningitis bakterial dan non bakterial merupakan hal
yang penting untuk menentukan terapi. Penundaan pemberian terapi pada
meningitis bakterial akut akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Gejala
klinis yang bervariasi pada meningitis bakterial dipengaruhi berbagai variable
seperti usia, durasi penyakit, adanya penyakit penyerta dan mikroorganisme
yang terlibat. Gejala klasik meningitis yaitu trias demam, kaku kuduk dan
perubahan status mental dijumpai penuh atau sebagian pada 50-95% kasus dan
hanya memiliki 40-50% sensitivitas dalam mendiagnosis meningitis bakterial
sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
dengan.2,3
Perubahan parameter laboratorium dapat serupa pada kasus-kasus
yang berbeda sehingga seringkali menimbulkan kesulitan interpretasi. Kombinasi
dari berbagai parameter rutin seperti protein, albumin, immunoglobulin, glukosa
dan perubahan seluler ditunjang dengan pemeriksaan beberapa antigen dan
antibodi spesifik untuk agen infeksi tertentu dapat meningkatkan sensitivitas
maupun spesifisitas analisa LCS sebagai alat diagnostik.3,4
Tinjauan Pustaka
Likuor cerebrospinalis (LCS) merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang
disekresikan oleh pleksus khoroideus ke dalam ventrikel otak. LCS merupakan
jendela bagi klinisi untuk mengetahui kondisi di sistem saraf pusat, termasuk di
dalamnya otak, medulla spinalis dan meninges. Dengan analisis yang tepat dari
komponen LCS dapat diketahui berbagai penyakit SSP seperti meningitis,
penyakit demyelinisasi, keganasan dan perdarahan subaraknoid.1

33 | B A N U 6
Tahap pertama dari analisis LCS adalah pemeriksaan opening pressure
yang diikuti pemeriksaan makroskopis. Pada tahap ini dinilai warna, kekeruhan
dan adanya bekuan. Selanjutnya dinilai parameter rutin seperti kadar protein,
glukosa, jumlah sel dan hitung jenisnya, pemeriksaan mikroskopik dan kultur.
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan antara lain aglutinasi latex dan
polymerase chain reaction (PCR).3,5,6
Opening pressure
Secara fisiologis, LCS merupakan air dan SSP 80% terdiri dari air.
Seperti cairan pada umumnya, SSP dan LCS pada ruang kraniovertebral bersifat
mudah mengalami penekanan. Menurut hukum Pascal, tekanan yang diberikan
pada cairan dalam ruang tertutup akan diteruskan sama besar ke segala arah.
Penyebaran tekanan bergantung pada bentuk dan ukuran dari ruang yang
tempat cairan berada. Maka, tekanan pada LCS di bagian lumbal akan
menggambarkan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan intracranial akan
mendesak LCS dan cairan intravascular. Jika kompensasi ini gagal, peningkatan
tekanan lebih lanjut akan menyebabkan parenkim otak mengalami herniasi ke
bawah melalui foramen magnum.7
Tekanan pembukaan atau opening pressure pasien diperiksa dalam
posisi lateral decubitus dengan kepala dan tungkai dalam posisi netral sejajar
tempat tidur. Meniscus LCS akan berfluktuasi pada antara 4 dan 10 mm dengan
respirasi. Pasien diminta tidak mengejan dan bernapas seperti biasa. Opening
pressure normal berkisar antara 10-100 mmH2O pada anak-anak, 60-200 mmH2O
pada usia >8 tahun, dan hingga 250 mmH2O pada obesitas. Normalnya opening
pressure pada posisi lateral decubitus adalah di bawah 180 mmH2O. Hipotensi
intrakranial adalah kondisi dimana opening pressure kurang dari 60 mmH 2O; hal
ini jarang dijumpai kecuali bila terjadi kebocoran LCS riwayat lumbal pungsi
sebelumnya atau dehidrasi berat. Opening pressure di atas 25 mmH2O
menunjukkan adanya hipertensi intrakranial. Pada meningitis umumnya opening
pressure meningkat antara 200-500 mmH2O.5,6
Makroskopis
Warna normal LCS adalah jernih. Adanya leukosit hingga 200 sel/mm 3
atau eritrosit hingga 400 sel/mm3 akan menyebabkan kekeruhan pada LCS.
Xanthochromia adalah perubahan warna menjadi kuning, jingga atau merah
muda pada LCS yang disebabkan oleh lisisnya eritrosit yang menyebabkan
pemecahan hemoglobin menjadi oksihemoglobin, methemoglobin dan bilirubin.
Perubahan ini terjadi bila eritrosit telah berada pada cairan spinal selama 2 jam
dan menetap selama 2-4 minggu. Xanthochromia dijumpai pada lebih dari 90%
dengan perdarahan subaraknoid dalam 12 jam onset dan pada pasien dengan
kadar bilirubin serum 10-15 mg/dL. Kadar protein LCS >150 mg/dL seperti pada

34 | B A N U 6
kondisi infeksi atau inflamasi, maupun akibat lumbal pungsi yang traumatik
dengan eritrosit >100.000/mm3 juga dapat memberikan gambaran
5
xanthochromia. Sampel LCS yang didiamkan semalaman pada lemari pendingin
dapat mengalami pembentukan pellicle, yaitu bekuan halus yang terdiri dari
fibrinogen dan leukosit, khas pada meningitis tuberkulosa berbentuk seperti
sarang laba-laba.8 Warna cairan yang purulen atau kuning kehijauan merupakan
indikator yang cukup mendasar untuk pemberian terapi antibiotika empirik bagi
meningitis bakteri bahkan sebelum hasil analisa LCS didapatkan.3
Jumlah sel & hitung jenis sel
Pada dewasa, jumlah sel pada LCS normalnya hingga 5 sel
leukosit/mm3.5 Sebanyak 87 % pasien dengan meningitis bakterial memiliki
leukosit LCS lebih dari 1000 sel/mm3 dan 99% memiliki sel lebih dari 100 per
mm3. Sel yang kurang dari 100 per mm3 lebih umum dijumpai pada meningitis
viral.3,5,9 Peningkatan jumlah sel leukosit LCS juga dapat terjadi setelah kejang,
perdarahan intraserebral, keganasan dan beberapa kondisi inflamasi lainnya.
Normalnya LCS tidak mengandung eritrosit. Adanya eritrosit pada LCS
dapat disebabkan oleh pungsi lumbal yang traumatik atau perdarahan
subaraknoid. Pungsi lumbal yang traumatik terjadi pada sekitar 20% dari seluruh
tindakan pungsi lumbal dan akan menyebabkan peningkatan leukosit dengan
koreksi 1 leukosit untuk setiap 500-1000 eritrosit pada LCS. Cara lain yang dapat
dilakukan adalah melakukan tes 3 tabung yaitu menampung LCS berturut-turut
pada 3 tabung, apabila jumlah eritrosit relatif konstan maka penyebabnya adalah
perdarahan subaraknoid.5 Menurut Roos et al6, koreksi dapat dilakukan dengan
rumus berikut:

Leukosit LCS sebenarnya = Leukosit LCS-Leukosit Darah x Eritrosit LCS


Eritrosit darah

Leukosit LCS pada dewasa normalnya terdiri dari 70% limfosit dan
30% monosit. Kadang eosinofil atau sel polimorfonuklear (PMN) dijumpai pada
LCS normal. Predominansi neutrofil >80% merupakan petunjuk untuk meningitis
bakterial. Namun ini dapat menyesatkan karena pada 10-32% meningitis
bakterial dapat dijumpai predominansi limfosit pada awal infeksi terutama jika
jumlah leukosit kurang dari 1000 sel/mm3.6 Di lain pihak, sekitar 20-75% pasien
dengan meningitis viral dapat menunjukkan predominansi PMN pada awal
infeksi yang pada akhirnya akan berubah menjadi predominansi monosit dalam
hitungan beberapa jam.6,10

35 | B A N U 6
Kadar protein LCS
Konsentrasi protein LCS adalah salah satu parameter yang paling
sensitif untuk indikator proses patologis pada SSP. Protein LCS pada bayi baru
lahir mencapai 150 mg/dL. Rentang nilai normal pada dewasa antara 18-58
mg/dL.5
Pada meningitis bakterial bakteri memasuki sawar mukosa dengan
cara menembus atau melalui celah antar sel epitel. Kapsul bakteri merupakan
faktor pertahanan utamanya dalam aliran darah terutama terhadap antibodi
yang bersirkulasi, komplemen pembunuh yang dimediasi sel dan fagositosis
neutrofil. Patogen harus melewati blood brain barrier (BBB) untuk menyebabkan
meningitis. Sekali perlekatan bakteri pada endotel serebrovaskulaer terjadi,
beberapa strategi dapat dilakukan oleh pathogen untuk bermigrasi melintasi
BBB untuk memperoleh akses menuju LCS, dapat berupa (a) perlintasan
paraseluler dengan merusak hubungan endotel interselular, (b) transport
transelular dengan trancytositosis aktif maupun pasif dan (c) invasi ke dalam
leukosit selama diapedesis. Masuknya neutrofil ke dalam LCS membutuhkan
proses perlekatan dan bergulingnya leukosit pada permukaan endothelium yang
diikuti adhesi pada endothel dan selanjutnya emigrasi menembus dinding
pembuluh darah.6
Suatu proses yang merusak BBB menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein LCS. Kadar protein di atas 50 mg/dL pada LCS yang
didapatkan dari lumbal pungsi ruang subaraknoid atau konsentrasi protein LCS
yang diambil dari ventrikel lebih dari 15 mg/dL dianggap abnormal. Bila lumbal
pungsi traumatik dan terdapat darah pada LCS, konsentrasi protein dikoreksi
dengan membagi 1 mg protein per dL untuk 1000 eritrosit pada LCS.6
Selain pada infeksi, peningkatan konsentrasi protein LCS juga
ditemukan pada perdarahan intrakranial, multiple sclerosis, Guillain Barre
syndrome, keganasan, kelainan endokrin, penggunaan obat-obatan tertentu
atau kondisi inflamasi lainnya. Pada meningitis bakterial kada protein LCS
meningkat dengan rerata anatara 1 g/L hingga 5 g/L. Pada beberapa variasi
kasus kadar protein dapat normal, ditemukan pada 1-10% kasus meningitis
bakterial.3,5
Meningkatnya kadar protein LCS dapat dijelaskan melalui 3 proses
patologis:
- meningkatnya jumlah protein plasma yang masuk akibat peningkatan
permeabilitas BBB. Kadar protein LCS dalam kasus ini
menggambarkan jumlah keseluruhan protein plasma, baik normal
maupun abnormal
- sintesis lokal protein dalam SSP, dalam hal ini IgG

36 | B A N U 6
- terganggunya resorpsi protein LCS oleh villi araknoidales
Peningkatan kadar protein LCS merupakan indikator penting
terjadinya peningkatan permeabilitas endotel akibat berbagai penyakit
neurologis.11
Kadar Glukosa LCS
Kadar glukosa LCS normal adalah dua per tiga dari kadar glukosa
serum pada pengambilan sampel dalam 2 sampai 4 jam. Rasio ini akan menurun
dengan meningkatnya kadar serum glukosa. Kadar glukosa LCS tidak akan
melebihi 300 mg/dL tanpa mempertimbangkan kadar glukosa serum. 5,9
Infeksi SSP dapat menyebabkan turunnya kadar glukosa, namun
biasanya pada infeksi virus kadar glukosa LCS adalah normal. 5,12 Kadar glukosa
LCS tidak menyingkirkan infeksi karena hingga 50% pasien dengan meningitis
bakterial dapat memiliki kadar glukosa LCS yang normal. Kondisi inflamatorik
lain dan perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan hypoglychorracia
(rendahnya kadar glukosa pada LCS). Peningkatan kadar glukosa LCS hanya
disebabkan oleh peningkatan kadar glukosa serum dan tidak ada kondisi
pathogen yang menyebakan hal tersebut.5,13
Patofisiologi hypoglichorracia belum sepenuhnya dimengerti tetapi
kemungkinan besar multifaktorial. Kemungkinan penyebab di antaranya meliputi
turunnya penghantaran glukosa pada plexus choroideus akibat turunnya aliran
darah, menurunnya transport glukosa melewati BBB, meningkatnya metabolisme
di otak dan meningkatnya transport glukosa dari LCS menuju sistem vena.
Sebelumnya diperkirakan hypoglichorracia pada meningitis bakterial disebabkan
oleh peningkatan laju glikolisis oleh bakteri atau sel imun, namun pemahaman
ini tidak lagi dianut secara umum.14,15
Kadar Laktat LCS
Kadar laktat pada serum maupun LCS adalah 2 mmol/L dan
konsentrasi laktat LCS tidak dipengaruhi oleh kadar laktat serum. Pemeriksaan ini
hanya memakan waktu beberapa menit dan tidak terlalu mahal. 3
Bila konsentrasi laktat tinggi, meningitis bakterial dapat dicurigai. Hal
ini disebabkan oleh metabolisme anaerobik lokal sebagai akibat dari klirens
bakteri oleh neutrofil. Konsentrasi laktat penting untuk diperhatikan (mengingat
kadarnya yang tidak dipengaruhi kadar laktat serum dan hanya menggambarkan
metabolisme pada LCS) secara parallel dengan kadar glukosa (yang secara
kontinyu dipengaruhi konsentrasi glukosa serum). Maka, konsentrasi glukosa LCS
yang rendah ketika konsentrasi laktat normal berarti tidak terjadi konsumsi
glukosa pada LCS dan penyebabnya adalah hipoglikemia.16
Pengecatan Gram

37 | B A N U 6
Pengecatan Gram positif pada 60-80% kasus meningitis bakterial yang
belum diobati dan 40-60% kasus partially treated. Sensitivitasnya berdasarkan
agen penyebab berkisar dari 90% pada meningitis pneumococcal atau
staphylococcal hingga kurang dari 50% pada meningitis akibat Listeria. Pada
kasus meningitis akibat Candida atau fungi lainnya dapat ditemukan hifa.
Sensitivitas pengecatan Gram dipengaruhi berbagai faktor seperti teknik
laboratorium, kualitas cat yang digunakan, jumlah kuman, dan pengalaman
personil laboratorium.
Beberapa teknik pengecatan lain perlu dilakukan tergantung
kecurigaan penyebab meningitis. Pengecatan bakteri tahan asam (BTA) harus
dilakukan apabila dicurigai tuberculosis sebagai penyebab. Pengecatan India ink
dapat mendeteksi Cryptococcus sampai dengan 50% kasus. Toxoplasmosis
dapat dideteksi dengan pengecatan Wright atau Giemsa.5
Kultur
Kultur LCS masih menjadi baku emas untuk penegakan diagnosis
meningitis bakterial. Pemeriksaan ini dilakukan pada agar darah 5% dan agar
coklat yang diperkaya. Pemberian antibiotik sebelum pemeriksaan lumbal pungsi
dapat menurunkan sensitivitas kultur, terutama bila dilakukan secara
intramuskuler atau intravena.5,17,18
Kultur bakteri M. tuberculosis membutuhkan sampel yang cukup
besar, 15-40 ml dan memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh yaitu hingga 6
minggu. HAsilnya dapat positif pada 56% pada pemeriksaan pertama kali dan
sensitivitasnya meningkat menjadi 83% bila dilakukan pada 4 pemeriksaan yang
berbeda.5
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan kemajuan besar dalam
diagnosis meningitis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi untuk berbagai infeksi SSP, memerlukan waktu yang relatif singkat dan
sampel LCS yang sedikit.5,19

Daftar Pustaka
1. Shenoy A. Desai H. Mandvekar A. 2017. Cerebrospinal fluid- A
clinicopathological Analysis. Journal of The Association of Physicians
of India. Vol 65
2. Fouad R. Khairy M. Fathalah W. Gad T. El-Kholy B. Yosry A. 2014. Role
of Clinical Presentation and Routine CSF Analysis in the Rapid
Diagnosis of Acute Bacterial Meningitis in Cases of Negative Gram
Stained Smears. Hindawi Publishing Corporation Journal of Tropical
Medicine

38 | B A N U 6
3. Viallon A. Bothelo-Nevers E. Zeni F. 2016. Clinical Decision rules for
acute bacterial meningitis: current insights. Open Access Emergency
Medicine :8 7–16
4. Deisenhammer F. Bartos A. Egg R. Gilhus N.E. Giovannoni G. Rauer S.
Selebjerg F. 2006. Guidelines on routine cerebrospinal fluid analysis.
Report from an EFNS task force. European Journal of Neurology. 13:
913–922
5. Seehusen D.A. Reeves M.M. Fomin D.A. 2003. Cerebrospinal Fluid
Analysis. Am Fam Phsycian; 68: 1103-8
6. Roos K.L., Tunkel A.R., Van de Beek D., Scheld W.M., Whitley R.J.,
Marra C.M. 2014. Infections of the central nervous system. Wolters
Kluwer Health
7. Biller J. Gruener G. Brazis P. 2011. De Myer’s The Neurologic
Examination: A Programmed text. McGrawHill. Pp539-545
8. Nagda K.K., 1981. Procoagulant activity of cerebrospinal fluid in health
and disease. Indian J Med Res 74:107–110
9. Fishman R.A. 1992. Cerebrospinal fluid in diseases of the nervous
system. 2d ed. Philadelphia: Saunders,
10. Powers W.J. 1985. Cerebrospinal fl uid lymphocytosis in acute bacterial
meningitis. Am J Med.;79:216–220.
11. Jurado R., Walker H.K. 1990. Cerebrospinal Fluid in: Clinical Methods:
The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition.
Boston: Butterworth
12. Niu M.T., Duma R.J., 1990Meningitis due to protozoa and helminths.
Infect Dis Clin North Am;4:809-41.
13. Dougherty J.M., Roth R.M. 1986. Cerebral spinal fluid. Emerg Med Clin
North Am;4:281-97.
14. Chow e., Troy S.B., 2014. The Differential Diagnosis of
Hypoglycorrhachia in Adult Patients. Am J Med Sci; 348(3): 186–190
15. Viola G.M. 2010. Extreme hypoglycorrhachia: not always bacterial
meningitis. Nat Rev Neurol.;6(11):637–641
16. Machado L.D.R., Livramneto J.A., Vianna L.S. 2013. Cerebrospinal fluid
analysis in infectious diseases of the nervous system: when to ask,
what to ask, what to expect. Arq Neuropsiquiatr;71(9-B):693-698■
17. Wubbel L. McCracken GH Jr .1998.. Management of bacterial
meningitis. Pediatr Rev 1998;19(3):78-84.
18. Kaplan S.L. 1999. Clinical presentations, diagnosis, and prognostic
factors of bacterial meningitis. Infect Dis Clin North Am ;13:579-94.

39 | B A N U 6
19. Cinque P, Scarpellini P, Vago L, Linde A, Lazzarin A. 1997. Diagnosis of
central nervous system complications in HIV-infected patients:
cerebrospinal fluid analysis by the polymerase chain reaction.
AIDS;11:1-17

40 | B A N U 6
NEUROLOGICAL MANIFESTATIONS OF DENGUE INFECTION
A.A. Bgs. Ngr. Nuartha
Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Manifestasi neurologi pada pasien dengan infeksi virus dengue adalah
manifestasi yang tidak lazim dan jarang. Manifestasi neurologi akan
memperburuk gambaran klinis seperti misalnya ensefalopati (yang lebih sering),
dan yang lebih jarang – sangat jarang: ensefalitis, meningitis, mielitis, neuritis,
auto-imun/immune mediated neurological syndrome (ensefalomielitis
diseminata akuta, mielitis transversa, neuromielitis optika, neuritis optika, neuritis
kranialis dan neuritis lain, sindrom Guillain- barre), gangguan serebro vaskular
(stroke), gangguan neuromuskular (mialgia, miositis, rabdomiolisis, paralisis
hipokalemik). Diagnosis dini dan penanganan yang tepat mungkin akan
memberi hasil yang lebih baik, dan yang tidak meninggal tanpa atau dengan
gejala sisa.

41 | B A N U 6
NEUROCOGNITIVE ASPECT OF HIV
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S (K)
Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sudah menjadi epidemi
di seluruh dunia termasuk Indonesia. Komplikasi neurologis primer mencakup
demensia, ensefalopati, mielopati, polineuropati perifer distal sedangkan
kelainan sekunder adalah akibat dari infeksi oportunistik karena imunosupresi
oleh virus HIV. HIV-Associated Neurocognitive Disorders (HAND) atau dulu lebih
dikenal sebagai AIDS dementia complex (ADC) merupakan komplikasi pada SSP
dibedakan menjadi kelainan primer dan sekunder dengan gejala khas yang
ditemukan berupa kelainan neurokognitif dan kelainan motorik.
Modalitas kognitif terdiri dari beberapa domain yaitu memori, bahasa,
praksis, visuospasial, atensi konsentrasi, kalkulasi, mengambil keputusan, berpikir
nalar dan berpikir abstrak. Infeksi HIV mempengaruhi otak terutama daerah
neokorteks bagian frontal dan basal ganglia. Terjadi gangguan pada fronto-
striato-thalamo-cortical loop, yang pada fase awal mempengaruhi basal ganglia
dan kemudian pada fase lanjut mempengaruhi neokorteks dan hipokampus.
Pada daerah subkortikal, nukleus kaudatus dan putamen dijumpai viral load
yang lebih tinggi dibandingkan daerah kortikal, gambaran khas yang ditemukan
berupa gangguan kognitif subkortikal terutama adanya gangguan keterampilan
motorik, kecepatan memproses informasi dan gangguan fungsi eksekutif.
Pemakaian ARV dilaporkan mampu meningkatkan CD4+ dan
menurunkan viral load, selanjutnya dapat meningkatkan kualitas hidup dan
memperbaiki fungsi kognitif, namun sejak ditemukan regimen HAART,
manifestasi klinik HAND makin tidak dapat diprediksi, sangat berfluktuatif
sepanjang waktu perjalanan infeksi HIV. Penggunaan terapi kombinasi
antiretroviral disebutkan dapat meningkatkan umur harapan hidup dan terdapat
perbaikan signifikan dari gejala dan progresifitasnya.
Keynote: Human Immunodeficiensy Virus (HIV), Gangguan Neurokognitif, HAND
The 6 th Bali Neurology Update 2018. Tropical Disease and Neuropediatric
Cases: Revisiting (Re)-Emerging Issues with National Priorities, Prime Hotel Bali,
September 6th – 9th 2018.
Divisi Neurobehavior, Departemen / KSM Neurologi FK-UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar

42 | B A N U 6
Pendahuluan
Pada Infeksi Human Immunodeficiensy Virus (HIV) terjadi gangguan
pada fronto-striato-thalamo-cortical loop, yang mempengaruhi basal ganglia
pada fase awal dan neokorteks hipokampus pada fase lanjut. HIV-Associated
Neurocognitive Disorders (HAND) juga disebut sebagai AIDS dementia complex
(ADC) atau HIV encephalitis memiliki gejala khas berupa kelainan neurokognitif
dan kelainan motorik.
Domain kognitif meliputi atensi konsentrasi, memori, bahasa, praksis,
visuospasial, kalkulasi, mengambil keputusan, reasoning dan berpikir abstrak.
Kelainan kognitif yang khas pada kasus terinfeksi HIV adalah gangguan kognitif
subkortikal berupa gangguan keterampilan motorik, kecepatan memproses
informasi dan gangguan fungsi eksekutif.1 Disebutkan HAND bisa ditangani dan
bahkan bisa dicegah dengan pemberian terapi antiretroviral. Studi
memperlihatkan pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART)
memperbaiki performa neuropsikologikal pada pasien dengan HAD (HIV-
Associated Dementia).
Epidemiologi Hiv
Angka kumulatif kejadian HIV pada Maret 2017 sejumlah 242.699
meningkat dibandingkan Akhir Desember 2016 yaitu 232.323 kasus, tertinggi di
DKI Jakarta (46.758), Jawa Timur (33.043), Papua (25.586), Jawa Barat (24.650)
dan Jawa Tengah (18.038).2
Pada Juni 2017 dilaporkan angka kejadian HIV di DKI Jakarta (48.502),
Jawa Timur (35.168), Papua (27.052), Jawa Barat (26.066) dan Jawa Tengah
(19.272) meningkat antara 1.500- 2.000 kasus pada masing masing propinsi
tersebut dalam waktu 3 bulan.
Propinsi Bali sebelumnya pernah menempati urutan kedua setelah
Papua. Angka laporan HIV Juni 2017 terdapat 15.873, meningkat dibanding
Maret 2017 sejumlah 15.237 kasus, semuanya menuntut perhatian para klinisi dan
semua pihak. Jumlah kasus HIV/AIDS di Bali dilaporkan mengalami peningkatan
setiap tahunnya, kasus terbanyak dilaporkan pada kelompok usia produktif 25-
39 tahun, dengan penyebaran terbanyak melalui hubungan seksual.2
Penelitian Widyastuti 2010 di RSUP Sanglah Denpasar, tentang
hubungan gangguan kognitif dengan jumlah limfosit T CD4+ pada penderita HIV
dengan ARV. Didapatkan hasil bahwa angka CD4+ nadir rendah ditemukan pada
penderita HIV yang mengalami gangguan kognitif.3 Penelitian sebelumnya di
RSUP dr Sardjito Yogyakarta, Widyadharma dkk 2008 melaporkan bahwa
terdapat proporsi gangguan kognitif pada penderita HIV sebesar 33,3% dan
terdapat perbedaan nilai CD4+ pada penderita HIV dengan dan tanpa gangguan

43 | B A N U 6
kognitif.4 Penelitian lain di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016, Sukarini dkk
melaporkan bahwa faktor risiko independen kejadian gangguan fungsi kognitif
pada penderita HIV pra ARV dengan limfosit T CD4 + ≤200 sel/µl adalah sebesar
9,06 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita HIV dengan limfosit T CD4+
˃ 200 sel/µl. Demikian pula pada penelitian lain yang dilakukan oleh Surya
Antara dkk 2018 di RSUP Sanglah Denpasar, melaporkan bahwa pada penderita
HIV dengan HAART yang memiliki kadar malondialdehide serum tinggi secara
signifikan meningkatkan faktor risiko gangguan kognitif sebanyak 19,1 kali
dibandingkan penderita HIV dengan HAART yang memiliki kadar
malondialdehide serum rendah. Penelitian ini membuktikan hubungan marker
stress oksidatif terhadap kejadian gangguan kognitif.5,6
Klasifikasi Gangguan Neurokognitif Pada Hiv
HIV-Associated Neurocognitive Disorders (HAND) juga disebut
sebagai AIDS dementia complex (ADC) atau HIV encephalitis memiliki gejala
khas berupa kelainan neurokognitif dan kelainan motorik. Pada awalnya
American Academy of Neurology (AAN), tahun 1991 mempublikasikan kriteria
diagnosis gangguan kognitif pada penderita HIV ( HIV associated neurocognitive
disorder/ HAND) yaitu HIV-associated dementia (HAD) dan minor cognitive
motor disorder (MCMD), selanjutnya kriteria HAND direvisi sehubungan ada
perubahan epidemiologi dan penggunaan ARV secara luas di dunia termasuk
negara berkembang. HAND mempunyai 3 kriteria diagnosis yaitu: Asymptomatic
Neurocognitive Impairment (ANI), HIV- associated Mild Neurocognitive Disorder
(MND), HIV- associated dementia (HAD).7,8
Berdasarkan evaluasi neuropsikologis yang melibatkan domain
kognitif yang multiple meliputi kemampuan motorik sederhana, kemampuan
persepsi sensoris, kemampuan persepsi motorik kompleks, memori kerja dan
atensi, memori recall dan belajar, kemampuan bahasa dan fungsi ekskutif serta
abstraksi juga sering ditemukan gangguan emosi dan perilaku seperti cemas,
(9)
depresi, selanjutnya terdapat evaluasi penamaan :
HIV Associated Neurocognitive Disorder (HAND)
1. Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI)
2. Minor Neurocognitive Disorder (MND)
3. HIV-Associated Dementia (HAD)
Pathogenesis Gangguan Neurokognitif Pada Hiv
HIV adalah anggota genus Lentivirus, keluarga Retrovirus yang
ditandai oleh suatu periode laten yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel
induk yang mengelilingi sebuah pusat protein RNA, yang mereplikasi dengan
menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia.
Target utama infeksi HIV pada SSP adalah monosit, makrofag, mikroglia dan

44 | B A N U 6
astrosit. Virus HIV menginfiltrasi SSP dengan melewati BBB bersama monosit
melalui mekanisme “Trojan Horse”. Monosit yang terinfeksi berdiferensiasi
didalam SSP mengaktifkan mikroglia (perivascular microglia) dan makrofag serta
bertindak sebagai antigen presenting cell bagi limfosit T sehingga limfosit T
dapat mengenal dan mengekspresikan reseptor CD4+ pada permukaannya. Nilai
CD4+ rendah memberi indikasi berkurangnya sel-sel darah putih yang berperan
dalam sistem pertahanan tubuh manusia yang meningkatkan kemungkinan
seseorang mendapat infeksi opportunistik.9,10,11,12
Permukaan kapsul virus memiliki dua glikoprotein yaitu gp41
(glikoprotein transmembran) juga gp120 (glikoprotein permukaan), diantara
nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Infeksi HIV dimulai
dengan pengikatan gp120 pada selubung HIV dengan reseptor CD4+ pada
permukaan sel limfosit yang diperkuat oleh koreseptor kemokin CCR5/CXCR4.
Siklus reproduksi diawali dengan transkripsi virus RNA oleh enzim reverse
transcriptase menjadi double-stranded DNA (dsDNA) sebagai provirus. Provirus
memasuki nukleus dan berintegrasi dengan mediator enzim integrase. Provirus
tidak aktif dalam beberapa bulan/tahun, dan tidak memproduksi virion, kondisi
ini disebut sebagai fase laten. Provirus teraktivasi oleh antigen, sitokin atau faktor
lain yang memicu nuclear factor kB (NF-kB) aktif yang berikatan dengan 5’Long
Terminal Repeats (LTR). Transkripsi DNA menjadi RNA dan polipeptida yang
dipecah oleh enzim protease membentuk virus baru yang siap menginfeksi sel
target berikutnya.13 Virus HIV bersifat highly neurotrophic sehingga pada tahap
awal sudah menyerang susunan saraf tepi dan susunan saraf pusat. 13 HIV dapat
melewati Blood Brain Barrier secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi
makrofag dan mikroglia melepaskan protein virus HIV berupa gp120, Tat
(transactivator protein), Vpr (virus protein r) dan mediator kimia yang bersifat
neurotoksik antara lain quinolinic acid dan excitotoxic amino acid (EAAs) seperti
glutamat dan L-sistein, asam arakhidonat, platelet activating factor (PAF), nitric
oxide (NO) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Mediator kimia tersebut
menimbulkan gangguan BBB yang memudahkan masuknya virus HIV ke SSP.
Stimulasi reseptor N-methyl-D aspartate (NMDA) menyebabkan meningkatnya
pelepasan Ca2+ intraseluler dan glutamat. Konsentrasi glutamat otak dan
neurotoksin lainnya meningkat dan menyebabkan kematian
neuron/apoptosis.9,10,14 Secara langsung dengan merusak dendrit juga sinaps dan
selanjutnya melalui mekanisme tidak langsung berupa proses inflamasi neuron
(neuroinflamasi) yang mengakibatkan berbagai kerusakan sistem saraf, proses
inflamasi lokal dan diffus substansia alba juga kelainan mikrovaskuler. Seperti
diketahui, asam amino dan glutamat secara normal dikeluarkan ke celah sinap
dan dibersihkan kembali oleh astrosit. Molekul ini mengaktifkan reseptor NMDA

45 | B A N U 6
di neuron dan menyebabkan ion Ca2+ akan masuk kedalam sel. Namun kadar
glutamat ekstrasel yang tinggi hasil dari stimulasi neuron yang berlebihan
gangguan penyerapan kembali oleh astrosit menyebabkan terjadi hiperaktivasi
dari NMDA channel sehingga kadar Ca2+ di dalam sitoplasma neuronal
meningkat dan menyebabkan kematian neuronal eksitotoksik.15
Kerusakan neuron yang terjadi akibat mekanisme langsung melalui
interaksi protein virus seperti gp120, Tat dan Vpr yang dihasilkan oleh sel-sel
terinfeksi dan mekanisme tidak langsung akibat proses inflamasi dari aktivasi
monosit, makrofag dan astrosit yang selanjutnya menginduksi neuronal injury
dan apoptosis sehingga menyebabkan terjadinya demensia.14
Stress oksidatif juga berperan dalam terjadinya HAND. Terbukti pada
analisa jaringan otak terdapat peningkatan produk peroksidasi lipid, pada
stadium lanjut didapatkan oksidasi intraseluler diffuse dalam bentuk penurunan
kadar antioksidan enzimatik GSH dan peningkatan kadar produksi peroksidasi
lipid yang menyebabkan kaskade apoptosis. Pada kasus terinfeksi HIV-1 juga
ditemukan gp 120 dan protein Tat memiliki sifat stress oksidatif. Protein gp 120
dan Tat merangsang produksi ceramide melalui aktivitas sphingomyelinase yang
berlebihan melalui induksi aktivasi koreseptor CXCR4 selanjutnya terjadi proses
neurotoksik.9
5. GANGGUAN NEUROKOGNITIF PADA HIV
Gangguan saraf yang terjadi pada kasus HIV, fase awal maupun lanjut
dapat berupa kerusakan susunan saraf pusat (SSP) dan perifer. Kelainan
neurologis infeksi HIV dibedakan menjadi kelainan primer dan sekunder.
Komplikasi pada SSP berupa gangguan fungsi kognitif sering terjadi. HIV-
associated neurocognitive disorder (HAND) yang paling berat adalah HIV-
associated dementia (HAD), yang ringan berupa Mild Neurocognitive Disorder
(MND 51,5%).16,17 Berdasarkan derajat kelainan pada infeksi HIV, 30-60% kasus
terinfeksi dilaporkan mengalami gangguan neurokognitif.
Modalitas kognitif terdiri dari beberapa domain yaitu memori, bahasa,
praksis, visuospasial, atensi konsentrasi, kalkulasi, mengambil keputusan,
reasoning dan berpikir abstrak.16 Gambaran khas kelainan kognitif pada kasus
terinfeksi HIV berupa gangguan kognitif subkortikal terutama adanya gangguan
keterampilan motorik, kecepatan memproses informasi dan gangguan fungsi
eksekutif.19 Pada daerah subkortikal, nukleus kaudatus dan putamen dijumpai
viral load yang lebih tinggi dibandingkan daerah kortikal. HIV cenderung
menyerang neuron neuron pada daerah subkortikal terutama basal ganglia
dapat dilihat pada pemeriksaan neuro-imaging. Pada stadium lanjut ditemukan
penurunan volume basal ganglia, pemeriksaan PET Scan dilaporkan ada
penurunan transporter dopamin. Disfungsi frontal pada stadium lanjut

46 | B A N U 6
memperlihatkan kerusakan basal ganglia dan berkurangnya volume nukleus
kaudatus, secara klinis ditemukan gangguan atensi, gangguan keterampilan
motorik, kecepatan mem proses informasi yang masuk dan kemampuan
berbahasa verbal.20
Gejala Klinis Hiv-Associated Neurocognitive Disorders (Hand)
Asymtomatic Neurocognitive Impairment (ANI)
Asymtomatic Neurocognitive Impairment (ANI) adalah manifestasi
HAND yang paling ringan, bahkan pasien biasanya tidak merasakan adanya
gejala sama sekali. Penderita ANI biasanya terdiagnosa pada 1/3 pasien dengan
21
HIV. Memiliki gejala penurunan kognitif yang subklinis disertai dengan
menurunnya peforma pada pemeriksaan neuropsikologi pada 2 domain kognitif
atau lebih.22 Walaupun biasanya pada pemeriksaan awal bisa didapatkan
pemeriksaan status mental formal menunjukkan hasil yang normal. Tetapi ketika
penyakit tersebut mengalami progresifitas, pasien mulai mengalami kesulitan
dalam mengerjakan tugas yang membutuhkan konsentrasi dan atensi. Ketika
penyakit sudah semakin berat, pemeriksaan status behavior memperlihatkan
hasil semakin buruk dan bisa mengenai beberapa domain. Disisi lain pasien juga
terlihat apatis dan terkadang bersifat tidak acuh dengan penyakitnya. Sejalan
dengan penurunan kognitif biasanya pasien pada awalnya juga mengalami
ataxia.9
Mild Neurocognitive Disorder (MND)
MND memiliki gejala yang serupa dengan ANI tetapi pada MND
disertai dengan gejala yang simptomatik yang terdiagnosa pada 20% pasien HIV
dan meningkat pada pasien yang diterapi dengan kombinasi antiretroviral
(cART).9,22 Pasien dengan MND biasanya merupakan pasien dengan status imun
yang sudah mulai membaik yang terbukti dengan kadar CD4+ yang tinggi.
Gangguan neurokognitif yang ditemukan ringan sampai sedang dan disertai
gangguan pada aktivitas hariannya. Gejala awal yang sering dikeluhkan berupa
kesulitan untuk konsentrasi dan atensi. Terkadang juga pasien merasa menjadi
lambat dalam berpikir atau juga sering lupa dengan janji sehingga
membutuhkan catatan bila membuat perjanjian. Saat mengerjakan tugas, tugas
menjadi terkesan sulit dan perlu waktu untuk menyelesaikan tugas. Penderita
MND biasanya menyadari kelainan kognitifnya dan lebih sulit dalam
mengerjakan tugas sehari hari. MND juga memiliki efek pada sistem piramidal
dan ekstrapiramidal sehingga menyebabkan gejala berupa ataksia, tremor,
inkoordinasi.9, 14
HIV-associated dementia (HAD)
HIV-associated dementia (HAD) pertama kali diperkenalkan sekitar 25
tahun yang lalu sebagai AIDS-dementia complex diagnosa HAD sampai saat ini

47 | B A N U 6
masih menjadi tantangan untuk para klinis karena sampai saat ini tidak ada studi
diagnostik atau pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk HAD.20
Didapatkan gangguan neurokognitif derajat sedang sampai berat dan sangat
jelas memperlihatkan gangguan dalam melakukan aktivitas harian. HAD
merupakan manifestasi serius dari infeksi HIV sistem saraf pusat dan mencakup
spektrum yang luas meliputi defisit motorik, perilaku dan kognitif .23
Gejala-gejala yang sering ditemukan memperlihatkan kerusakan pada
substansia alba dan substansia grisea subkortikal terutama daerah basal ganglia,
thalamus dan batang otak. HIV-Dementia menunjukkan dementia subkortikal
yang khas terutama karena didapatkan gangguan memori, gangguan
pengulangan selektif, gangguan pada memori yang baru, perubahan pada
kepribadian yang khas berupa apathy-inertia, irritability dan perlambatan umum
dalam proses berpikir. Temasuk didalamnya gangguan atensi, konsentrasi,
gangguan kecepatan mengolah informasi-respon terhadap waktu, memori,
kelancaran berbicara, pengertian abstrak, kapasitas visuospasial dan
visuokonstruksi.
Proses penyimpanan memori terjadi di seluruh bagian otak. Korteks
serebri berfungsi sebagai pusat persepsi primer. Kemudian dikirim melalui serat-
serat assosiasi ke bagian otak yang lain. Sehingga impuls mempunyai arti, data
diolah dan disimpan yang akan dimunculkan lagi apabila diperlukan. Dua pusat
memori yaitu memori verbal di lobus temporalis kiri dan memori visual di lobus
temporalis kanan. Jenis memori ada 2, berdasarkan penggunaan memori sehari-
hari terdapat memori semantik (memori kata-kata/bahasa), memori faktual
(berhubungan dengan fakta dan penjelasan), memori episodik (memori sesaat
sesuai situasi), memori sensorik (berdasarkan impuls yang diterima panca indra)
dan memori insting (berdasarkan insting) dan berdasarkan lamanya memori
tersimpan diketahui ada memori segera (recent memory) berupa kemampuan
untuk menyimpan informasi yang sangat singkat (beberapa detik / menit) ,
memori jangka pendek yaitu kemampuan menyimpan memori beberapa menit
sampai hari dan memori jangka panjang yaitu kemampuan untuk menyimpan
memori sampai bertahun-tahun.
Komponen mayor pada HAD adalah disfungsi psikomotor.
Pemeriksaan untuk melihat psikomotor dapat dilakukan dengan trail making,
pegboard dan tes symbol-digit.24 Gangguan kognitif biasanya muncul paling
awal diikuti gejala motorik yang pada awalnya berupa gangguan keseimbangan
dan gangguan koordinasi. Gangguan keterampilan motorik pada tangan
tampak pada awal penyakit, mengakibatkan tulisan jadi jelek. Gangguan
koordinasi langkah biasanya akan menyebabkan pasien sering tersandung dan
terjatuh ketika berjalan, pada akhirnya akan menyebabkan langkah nampak

48 | B A N U 6
lambat dan kaku. Terkadang gejala motorik bersifat asimptomatik tetapi pada
pemeriksaan fisik kita dapatkan hiperefleks dan refleks patologis yang positif. 9
Pemakaian ARV mampu meningkatkan CD4 dan menurunkan viral
load, selanjutnya bahkan cenderung meningkatkan kwalitas hidup dan
memperbaiki fungsi kognitif. Namun prevalensi kelainan neurocognitif masih
berkitar 51,5%.16,17,18 Sejak ditemukan regimen HAART, manifestasi klinik HAND
makin tidak dapat diprediksi, sangat berfluktuatif sepanjang waktu perjalanan
infeksi HIV.
Penilaian Gangguan Neurokognitif Pada Hiv
Penilaian neurokognitif fokus pada kemampuan kecepatan motorik
(chiefly motor speed), konsentrasi dan motorik disertai manipulasi. Penilaian
fungsi kognitif secara kuantitatif pada gangguan kognitif seperti MMSE, MoCa-
INA, CERAD, HDS/ IHDS disertai pemeriksaan lainnya misalnya pemeriksaan
Digit Span dan Trail Making Test (TMT-A dan TMT-B).
Pemeriksaan fungsi kognitif ini perlu waktu yang cukup lama
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan bahasa.
Pemeriksaan neuropsikologi untuk mengetahui penurunan fungsi
kognitif secara sederhana adalah Mini Mental State Examination (MMSE), namun
MMSE ini dirancang untuk skrining demensia kortikal sehingga kurang sensitif
untuk jenis subkortikal seperti gangguan kognitif pada HIV.25
HIV dementia scale (HDS) merupakan pemeriksaan singkat namun
sensitif untuk menentukan penderita HIV yang beresiko mengalami demensia.
HIV dementia scale (HDS) mencakup :
- Sub test penilaian kecepatan motorik (menulis abjad) memori (menyebut 4
kata dalam 5 menit), kemampuan konstruksional (menggambar kubus) dan
fungsi eksekutif.
- Sub test gerakan mata antisakadik.
Selanjutnya dikembangkan penapisan yang lebih praktis yaitu IHDS
(International HIV-Dementia Scale) yang menilai demensia pada HIV terdiri dari 3
subtest yaitu kecepatan motorik, psikomotorik dan registrasi recall memori. Studi
di USA menyatakan IHDS memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 55% dengan
(24,26)
cut off ≤ 10. International HIV Dementia Scale (IHDS) yang fokus pada
pemeriksaan kecepatan motorik dan psikomotorik sehingga mudah digunakan
pada budaya yang berbeda. IHDS tidak memerlukan kemampuan berbahasa
yang lancar, mudah dikerjakan hanya memerlukan waktu 2-3 menit dan tidak
mebutuhkan instrumen khusus lainnya.25,27
IHDS terdiri dari 3 kelompok subtest yaitu :
1. Timed Finger Tapping Test untuk menilai kecepatan motorik.

49 | B A N U 6
2. Timed Alternating Hand Sequence Test untuk menilai kecepatan
psikomotorik
3. Memory recall Test yang dinilai secara ber urutan.
Timed Fingertapping Test adaptasi dari Unified Parkinson's Disease Rating Scale
(UPDRS). Jumlah ketukan dua jari pertama pada tangan non dominan diukur
dengan menyuruh penderita membuka dan menutup jari-jarinya selebar dan
secepat mungkin dalam waktu 5 detik dengan nilai normal ≥ 15 ketukan/5 detik.
Test Timed Alternating Hand Sequence, adaptasi dari Test Motorik
Luria dengan melakukan gerakan tangan non dominan secepat mungkin dalam
waktu 10 detik dengan urutan gerakan yaitu: kepalkan tangan di atas permukaan
yang datar, letakkan tangan dengan posisi datar di atas suatu permukaan dan
letakkan tangan tegak lurus diatas permukaan datar pada sisi jari ke lima. Tiga
posisi tangan tersebut dicontohkan oleh pemeriksa kemudian perintahkan
penderita melakukan gerakan tersebut sebanyak 2 kali secara benar sebelum
test dimulai. Nilai maksimal 4, bila pasien dapat melakukan 4 gerakan tersebut
dalam waktu 10 detik secara benar.
Memory recall test pada IHDS sama dengan HDS yaitu menyebutkan 4 kata
untuk diingat (anjing, topi, buncis, merah) kurang lebih 1 detik setiap kata. Kata-
kata tersebut diulang oleh pemeriksa sampai penderita mampu mengingat
semua kata tersebut dengan benar. Beritahu penderita bahwa kata kata tersebut
harus diingat kemudian nanti akan ditanya lagi. Penderita akan disuruh
mengulang kata kata tersebut setelah timed finger tapping Test dan alternating
hand sequence. Kata kata yang tidak dapat diingat di beri pancingan dengan
semantic seperti: binatang (untuk anjing), sejenis pakaian (untuk topi), sayur
(untuk buncis) dan warna (merah). Nilai 1 untuk masing-masing kata yang dapat
diingat secara spontan dan nilai 0,5 untuk masing-masing jawaban yang benar
setelah dipancing. Nilai IHDS total diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai
subtest (nilai maksimal 12). IHDS memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 55%
dengan cut off ≤10.26 Keterbatasan IHDS yaitu tidak dapat mendeteksi gangguan
kognitif ringan pada penderita HIV sehingga IHDS hanya berguna untuk skrining
dan tidak digunakan sebagai pengganti seluruh test neuropsikologi saat
mendiagnosis HAD.
Test Neuropsikologi standar antara lain adalah: digit span, grooved
pegboard dan trail making test (TMT-A dan TMT-B). Pemeriksaan neuropsikologi
lengkap dapat diganti dengan skrining neuropsikologi singkat dengan cara
menambahkan test neuropsikologi terhadap domain yang paling dipengaruhi
oleh infeksi HIV tersebut. Terdapat dua test neuropsikologi yang dapat dilakukan
bersamaan dengan IHDS untuk menilai gangguan neurokognitif yaitu Trail
Making Test (TMT) dan Digit Span Test. Tanpa alat bantu khusus dan waktu yang

50 | B A N U 6
diperlukan kurang dari 20 menit, hanya diperlukan beberapa pelatihan. Digit
Span Test, menilai atensi, konsentrasi dan memori kerja. Fungsi eksekutif dan
fungsi psikomotor dapat dinilai dengan Trail Making Test.
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap (karena anemia dilaporkan sebagai faktor prediktor
yang berhubungan dengan gangguan kognitif), CD4, Viral load.
Analisa Likuor Serebrospinal (LCS)
LCS rutin tidak spesifik namun pemeriksaan viral load pada LCS dan
limfosit T sitotoksik LCS dilaporkan berkorelasi dengan gangguan kognitif).28
Pada pemeriksaan rutin tidak ada perbedaan spesifik dengan infeksi otak
lainnya. Pada kasus HAD penemuan LCS nonspesifik berupa pleositosis ringan
dan peningkatan ringan protein sekitar 60%. Tetapi dapat ditemukan kelainan
pada Immunoglobulin (Ig) G dan ada oligoclonal bands namun ini pun juga bisa
ditemukan pada pasien tanpa HAD sehingga seringkali pemeriksaan ini tidak
dikerjakan. HIV dapat diisolasi langsung atau HIV DNA dari LCS dengan
polymerase chain reaction dan antigen HIV dapat dideteksi pada penderita
tanpa gejala neurologis.9
Neuroimaging
Penilaian ini sangat diperlukan, pada awalnya untuk membedakan
dengan kelainan lain seperti primary CNS Lymphoma. Selanjutnya membedakan
kelainan yang khas tetapi tidak selalu hanya pada HAD yaitu diffuse cerebral
atrophy yang umumnya lebih banyak di daerah subkortikal dibandingkan daerah
kortikal baik penemuan CT sken maupun MRI.9
CT Sken dan MRI dilakukan untuk mengidentifikasi abnormalitas otak
penderita HIV yang mengalami gangguan kognitif. Pada pemeriksaan CT-Sken
dan MRI menunjukkan peningkatan ruang sulkus dan ventrikel, berkurangnya
substansia alba dan substansia grisea, tampak abnormalitas pada area
subkortikal dan kortikal pada kelainan yang lanjut. Kejadian infeksi HIV
menyebabkan menyusutnya jumlah neuron dan demielinisasi hipokampus, basal
ganglia dan nukleus kaudatus yang mengakibatkan atropi otak secara progresif
dengan gejala gangguan motorik dan kognitif.29
Walaupun tidak khas untuk HAD, tetapi biasanya ditemukan atrofi
serebral yang difus, disertai perubahan white matter subkortikal atau
periventricular.9,22 (gambar 1).

51 | B A N U 6
Gambar 1 A. gambar MRI T1, tampak jelas gambaran serebral dan kortikal atrofi.
Gambar 1B gambar MRI T2, hiperintense pada area periventrikel yang
menggambarkan abrnomalitas white matter22
Diagnosis
Sampai saat ini untuk melakukan diagnosis HAND masih menjadi
tantangan, karena belum ada marker diagnosis yang spesific. Diperlukan untuk
mengeklusi dari infeksi oppotunistik pada sistem saraf pusat, delirium, gangguan
psikiatri, kondisi toksik dan gangguan metabolik serta penyakit neurodegeneratif
lainnya sebelum melakukan diagnosis.22
Tes Neurokognitif
Tes neurokognitif formal yang umum dilakukan dapat membantu
dalam menegakan diagnosis dan juga bisa membantu dalam memonitor
perkembangan pada pasien. Pemeriksaan neuropsikologi fokus pada kecepatan
motorik, konsentrasi dan manipulasi motorik. Pemeriksa harus waspada karena
pada beberapa pasien MND memiliki hasil yang cukup normal bila dibandingkan
dengan populasi sedangkan pada orang normal justru bisa didapatkan hasil
yang kurang memuaskan yang bisa disebabkan oleh banyak faktor.
Tatalaksana
Berbagai penelitian sudah menyatakan bahwa HAD bisa ditangani dan
bisa dicegah dengan pemberian terapi antiretroviral. Pemberian highly active
antiretroviral therapy (HAART) dapat memperbaiki performa
neuropsikologikal/neurokognitif penderita HAD.9,30,31 Terdapat penurunan angka
kejadian HAD sekitar 75% di negara berkembang setelah pemberian HAART.

52 | B A N U 6
Untuk mendapatkan tatalaksana yang optimal pada pasien dengan
HAD, pemberian HAART harus memperhatikan kepatuhan pasien terhadap
terapi. Pemberian regimen yang tidak rumit dan sedikit efek samping. Contoh
yang paling sering dipakai adalah pemberian dosis tunggal Efavirenz, formulasi
kombinasi (Combivir [lamivudine + zidovudine], Kaletra [lopinavir + ritonavir]
Atripla [efavirenz + tenofovir+ emtricitabine], Complera [rilpivirine + tenofovir +
emtricitabine] atau Stribild [elvitegravir + cobicistat + tenofovir+ emtricitabine).9
Kepatuhan juga bisa ditingkatkan dengan penggunan timer, kotak pil dan
pemantauan makan obat dari keluarga sekitar cukup membantu kepatuhan
dalam meminum obat.
Pemilihan HAART ini masih cukup kontroversial, memilih obat
antiretroviral yang baik dalam penetrasi otak atau memilih yang cepat
mengurangi duplikasi HIV RNA. Antiretroviral dengan indeks CNS penetration-
effectiveness (CPE) yang tinggi berarti agen antiretroviral tersebut dapat
penetrasi ke sistem saraf pusat dan mengganggu replikasi HIV pada cairan
serebrospinal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antiretroviral dengan
CPE tinggi biasanya berhasil menekan duplikasi HIV RNA pada sistem saraf
pusat. Supresi HIV RNA diharapkan dapat mengarah pada perbaikan
neurokognitif. Tetapi pada beberapa penelitian lain juga menyajikan data pada
pasien yang mendapatkan HAART dengan indeks CPE yang tinggi justru
mengarah pada perburukan performa dari neurokognitif. Hal ini diduga karena
kegagalan antiretroviral terapi dalam mengontrol reservoir HIV yang terdapat
pada monosit. Sebagai alternatif skor monocyste efficacy (ME) bisa
dipergunakan untuk mengevaluasi kemampuan antiretroviral pada sistim
saraf.9,22 Penelitian pendahuluan memberikan gambaran bahwa skor ME
berkorelasi dengan performa neurokognitif bahkan ketika indeks CPE rendah.32
Kesimpulan
Demensia adalah suatu sindrom penurunan fungsi intelektual
dibanding sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial
dan profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya
ditemukan juga perubahan perilaku yang tidak disebabkan oleh delirium
maupun gangguan psikiatri mayor. Pada penderita HIV, kerusakan neuron yang
terjadi berupa mekanisme langsung melalui interaksi protein virus seperti gp120,
Tat dan Vpr yang dihasilkan oleh sel-sel terinfeksi dan mekanisme tidak langsung
akibat proses inflamasi dari aktivasi monosit, makrofag dan astrosit yang
selanjutnya menginduksi neuronal injury dan apoptosis sehingga menyebabkan
terjadinya demensia. Demensia pada HIV umumnya disebut HIV associated
neurocognitive disorder (HAND), yang memiliki karakteristik disfungsi dari
kognitif, behaviour dan motorik yang biasanya terjadi pada fase lanjut dari

53 | B A N U 6
infeksi. Gejala dari HAND sendiri sangat bervariasi dari yang secara klinis tidak
bermanifestasi sampai dementia berat. Secara umum HAND dibagi menjadi HIV
associated dementia (HAD), gejala yang lebih ringan disebut minor
neurocognitive disorder (MND), dan pada kasus asimptomatik disebut dengan
asymptomatic neurocognitive impairement (ANI).
Sampai saat ini untuk melakukan diagnosis HAND masih menjadi
tantangan, karena belum ada marker diagnosis yang spesifik. Penelitian
memperlihatkan pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART)
memperbaikan performa neuropsikologis pasien dengan HAD. Penurunan angka
kejadian HAD sekitar 75% pada negara berkembang setelah pemberian HAART
harus memperhatikan kepatuhan pasien terhadap terapi. Penggunaan terapi
kombinasi antiretroviral disebutkan dapat meningkatkan umur harapan hidup
dan terdapat perbaikan signifikan dari gejala dan progresifitasnya.

Daftar Pustaka
1. Ong, P.A., Laksmidewi, A.A.A.P., Rambe, A., Widjojo, F.S. Panduan Nasional
Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2015
2. Departemen Kesehatan RI. Laporan Triwulaan 1 2017 situasi
perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. 2017
3. Widyastuti, K. Angka CD4+ Nadir sebagai Faktor Risiko Gangguan Kognitif
pada penderita HIV di RSUP Sanglah Denpasar. Tesis 2011.
4. Widyadharma, E., Saiti, S., Nuradyo, D. Perbedaan Angka CD4+ penderita
HIV dengan gangguan Kognitif dan Tanpa Gangguan Kognitif, Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 2008.
5. Sukarini, N.P., Raka Sudewi, A.A., Laksmidewi, A.A.A.P. Tesis. Limfosit T
CD4+ ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko Gangguan kognitif pada penderita
HIV di RSUP Sanglah Denpasar. Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf
Universitas Udayana, 2016
6. Surya Antara, I.N.B., Raka Sudewi, A.A., Laksmidewi, A.A.A.P. Tesis. Kadar
Malondialdehid Serum Tinggi meningkatkan factor risiko Gangguan
Kognitif pada penderita HIV dengan HAART. Program Pendidikan Dokter
Spesialis Saraf Universitas Udayana 2018
7. Antinori, A., Arendt, G., Becker, J., Brew, B., Byrd, D., Cherner, M., Clifford,
D., Cinque, P., Sacktor, N., Valcour, V., Wojna, V. Updated research
nosology for HIV-associated neurocognitive disorders. Neurology; 69;
2007 p 1789-1799 .

54 | B A N U 6
8. Grant, I. Neurocognitive disturbance in HIV. Int Rev of Psychiatry;
20(1):2008 p.33-47.
9. Verma Ashok., Berger, Joseph R. Neurological Manifestations of Human
Immuno deficiency Virus Infection in Adults. In Bradley’s Neurology in
Clinical Practice. Daroff, R.B., Jancovic, J., Mazziotta, J.C., Pomeroy, S.L. 7 th
edition. Elsevier London Philadelphia. 2016, p 1102- 1120
10. Ghafouri, M., Amini, S., Khalili, K., Sawaya, B. HIV-1 associated dementia:
symptoms and causes.Retrovirology; 2006, 3: 28
11. Levinson, P., Choi, R.Y., Cole, A.L., Hirbod, T., Rhedin, S., Payne, B., Guthrie,
B.L., Bosire, R., Cole, A.M., Farquhar, C., Broliden, K.. HIV-Neutralizing
Activity of Cationic Polypeptides in Cervicovaginal Secretion of Woman in
HIV Serodiscordant Relationship. Plos One, 2012
12. Jay, C.A., Ho, E.L., Halperin, J. Infectious causes of dementia. In Non-
Alzheimer’s and Atypical Dementia. Ed Geschwind, M.D and Belkoura.C.R.
John Wiley &Sons, Ltd. 2016
13. Valcour, VG., Shiramizu, BT., Shikuma, CM. HIV DNA in circulating
monocytes as a mechanism to dementia and other HIV complications. J
Leukoc Biol 87, 2010, p 621-626.
14. Kaul, M., Lipton, S.A.. Mechanism of Neuronal Injury and Death In HIV-1
Associated Dementia. Current HIV Research; 4: 2006, p 307-318
15. Szydlowska, K., Tymianski, M. Calcium, Ischemia and exitotoxicity. Cell
Calcium.; 47 (2): 2010, p. 122-9
16. Robertson, K., Liner, J., Heaton, R. Neuropsychological Assessment of HIV-
Infected Populations in International Settings. Neuropsychol Rev; 19: 2009,
p 232-249
17. Ciccarelli, N., Fabbiani, M., Giambenedetto, D., Fanti, I., Colafigli, M.,
Bracciale, I., Tamburrini, E., Cauda, R., DeLuca,A., Silveri, M.C., 2010.
Persistence and Progression of HIV-associated Neurocognitive Disorder.
Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections. San Francisco.
18. Hodges, J.R., Kipps, C.M. Cognitive Assessement for Clinicians. J. Neurol
Neurosurg Psych; 76: 2009, p 22-30
19. Woods, S.P., Moore, D.J., Weber, E., Grant, I. Cognitive Neropsychology of
HIV-Associated Neurocognitive Disorders. Neuropsychol Rev; 19: 2009, p
152-168
20. Wang, G., Chang, J., Volkow, N., Telang, F., Logan, J., Ernst, T., Fowler, J.
Decreasing Brain Dopaminergic Transporters in HIV- associated dementia
patient. Brain ; 127: 2004, p 2452-2458
21. Saylor, D., Dickens, A.M., Sacktor, N., Haughey, N., Slusher, B., Pletnikov,
M., Mankowski, JL., Brown, A., Volsky, D.J., Mc Arthur, J.C. HIV-associated

55 | B A N U 6
neurocognitive disorder- pathogenesis and prospects for treatment. Nat
Rev Neurol, 12 , 2016. p 309.
22. Aminoff, M.J., Josephson, S.A. Aminoff Neurology and General Mediine.
Fifth edition. ed. Amsterdam Academic Press. 2014
23. Lindl, K.A., Marks, D.R., Kolson, D.L., Jordan-Sciutto, K.L. HIV-associated
neurocognitive disorder: pathogenesis and therapeutic opportunities. J
Neuroimmune Pahrmaco, 5, 2010, p 294-309
24. Ropper, A.H., Samuels, M.A., Klein, J. Adams and Victor’s Principles of
Neurology, New York, McGraw-Hill Education Medical, 2014
25. Singh.D., Sunpath, H., John, S., Eastham, L., Gouden, R. 2008. The Utility of
a Rapid Screening Tool for Depression and HIV Dementia amongst
Patients with Low CD4 counts- a preliminary report. African Journal of
Psychiatry; 11: 2008, p 282-286
26. Sacktor, N.C., Wong, M., Nakasujja, N., Skolasky, R.L., Selnes, O.A., Musisi,
S., Robertson, K., McArthur, J.C., Ronald, A., Katabira, E. The International
HIV Dementia Scale: a new rapid screening test for HIV dementia. AIDS,
19:2005, p 1367-1374.
27. Satriawan, D.N., Widyadharma, E., Adnyana, M.O. Tesis. Uji Reliabilitas
Skala Demensia HIV International pada penderita HIV di RSUP Sanglah.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf Universitas Udayana, 2010
28. Ellis, R. 2010. HIV and antiretroviral Therapy: impact on central nervous
system. Prog Neurobiol. 2010. P. 185-187
29. Ances, B., Roc, A., Wang, J., Korczykowski, M., Okawa, J., Stern, J., Kim, J.,
Wolf, R., Lawler, K., Kolson, D., Detre, J. Caudate blood flow and volume
are reduced in HIV= neurocognitively impaired patients. Neurology; 66;
2006, p 862-866
30. Clifford, D.B., Ances, B. M. HIV-associated neurocognitive disorder. Lancet
Infect Dis, 13. 2013, p 976-86.
31. Mc.Arthur, J.C., Steiner, J., Sacktor, N., Nath, A. Human Immunodeficiency
virus-associated neurocognitive disorders: Mind the gap. Ann Neurolo,
67,2010.p 699-714.
32. Shikuma, C.M., Nakamoto, B., Shiramizu, B., Liang, C.Y., Degruttola, V.,
Bennett, K., Paul, R., Kallianpur, K., Chow, D., Gavegnano, C., Hurwitz, S. J.,
Schinazi, R. F., Valcour, V.G. Antiretroviral mpnocyte efficacy score linked
to cognitive impairment in HIV. Antivir Ther, 17, 2012 p. 1233-42

56 | B A N U 6
CHALLENGE IN DIAGNOSIS AND MANAGEMENT
NEUROCYSTICERCOSIS
A.A. Raka Sudewi
Neurology Department, Faculty of Medicine
Udayana University/Sanglah Hospital
Denpasar, Bali

Abstract
Neuroysticercosis (NCC) is a zoonotic disease caused by the form of T.
solium parasite larvae. NCC is a major cause of seizures / epilepsy and is a health
problem that results in morbidity and mortality, especially in endemic areas. This
disease is endemic in several countries such as India, China and Indonesia. In
Indonesia endemic in North Sumatra, Bali, Irian Jaya, Timor, Flores, North
Sulawesi and West Kalimantan. However, this disease can also be found in some
developed countries which are cases of imports from immigrants or those who
accidentally eat, contaminated food in the form of eggs from the parasite while
traveling in endemic areas. The cause of this disease has been known with
certainty, but the diagnosis and treatment of this case is still a challenge that
requires further research. This is because the life cycle of the parasite, through
various stages / changes ranging from the form of the larvae, bubble worms to
calcification, affects different treatments according to the stage. In addition, the
location of cysts in the brain also requires a special approach that is different, for
example, for cysts located in the ventricles, the treatment is different from that of
cysts in the brain parenchyma.

Abstrak
Neurosistiserkosis (NCC) merupakan penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh bentuk larva parasit T. solium. NCC sebagai penyebab utama
terjadinya kejang/epilepsy dan merupakan masalah kesehatan yang
mengakibatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas terutama di daerah
endemis. Penyakit ini bersifat endemis pada beberapa Negara seperti India,
China dan Indonesia. Di Indonesia endemis di Sumatera Utara, Bali, Irian Jaya,
Timor, Flores, Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat. Meskipun demikian penyakit
ini juga dapat ditemukan di beberapa negara maju yang merupakan kasus
import dari para imigran atau mereka yang secara kebetulan memakan,
makanan yang terkontaminasi dalam bentuk telur dari parasit tersebut saat
melakukan bepergian di daerah endemic.
Penyebab penyakit ini telah diketahui secara pasti, namun diagnosis
dan penanganan kasus ini masih merupakan tantangan yang memerlukan

57 | B A N U 6
penelitian lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena siklus hidup parasit tersebut,
melalui berbagai stadium/ perubahan mulai dari bentuk larva, cacing gelembung
sampai terjadinya kalsifikasi, berdampak pada penanganan yang berbeda sesuai
stadiumnya. Selain itu lokasi kista di otak juga memerlukan pendekatan khusus
yang berbeda, misalnya untuk kista yg berlokasi di ventrikel penanganannya
berbeda dengan kista yang berada di parenkim otak.
Pendahuluan
NCC merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bentuk
larva parasit T. solium. NCC sebagai penyebab utama terjadinya kejang/epilepsi
dan merupakan masalah kesehatan yang mengakibatkan terjadinya morbiditas
dan mortalitas terutama di daerah endemis. NCC merupakan penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh bentuk larva parasit T. solium. NCC sebagai penyebab
utama terjadinya kejang/epilepsi dan merupakan masalah kesehatan yang
mengakibatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas terutama di daerah
endemis.
Epidemiologi
Kejadian NCC tidak bisa dipisahkan dari adanya kasus infeksi cacing
pita dewasa T. solium yang dikenal sebagai taeniasis dan juga kejadian
sistiserkosis pada babi sebagai sumber penularannya.
NCC bersifat endemis pada beberapa negara seperti Afrika, Eropa
Timur, Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan. T. solium juga dilaporkan di Asia
terutama di Cina dan Indonesia, di Indonesia endemis di Sumatera Utara, Bali,
Irian Jaya dan beberapa daerah lainnya Timor, Flores, Sulawesi Utara dan
Kalimantan Barat.1 Kasus NCC pertama kali dilaporkan di Bali oleh Ngoerah
(1975). Setelah diadakannya CT scan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar pada tahun 1991 maka semakin banyak kasus NCC yang dapat
dideteksi. Rakas S (1998) melaporkan 25 kasus yang terdiri dari: 15 laki, 10
perempuan dengan rentang umur 23-65 tahun. Dari 25 kasus 68% dengan
serangan epilepsy, 24% dengan sefalgia, 8% dengan penurunan kesadaran,
disorientasi dan penurunan fungsi memori yang progresif.2 Meskipun demikian
penyakit ini juga dapat ditemukan di beberapa negara maju yang merupakan
kasus import dari para imigran atau secara kebetulan memakan, makanan yang
terkontaminasi dalam bentuk telur dari parasit tersebut saat melakukan
bepergian di daerah endemis. Seperti yang dilaporkan pada seorang Mongolia,
mengalami serangan kejang epilepsi setelah bepergian ke India dan China. Hasil
penelusuran pemeriksaan biomolekuler ditemukan Coxl dengan haplotype
ABO66489 sesuai dengan parasit dari India.3
Siklus Hidup dan Penularannya

58 | B A N U 6
T. solium adalah cacing pita yang hidup sebagai parasit, termasuk
kelas Cestoda, phylum Plathyhelmintes. Cacing ini hidup pada saluran
pencernaan dan tersebar luas di seluruh dunia. Cacing ini mempunyai jangka
waktu hidup yang lama sampai duapuluh lima tahun. Manusia adalah hospes
definitive tunggal karena merupakan tempat hidup cacing dewasa dan juga
merupakan hospes perantara untuk kistanya. Cacing dewasa ukurannya 4-8
meter, dengan jumlah proglotid 800-1000 segmen dan proglotid terminal adalah
proglotid gravid dengan kandungan telur sekitar 30.000 yang sering dijumpai
pada kandungan feses penderita. Jika telur tertelan oleh babi atau hospes
perantara yang sesuai, dalam usus telur tersebut akan pecah dan onkosfer akan
terlepas, dengan bantuan kait onkosfer akan menembus dinding usus lalu masuk
ke dalam pembuluh darah portal atau saluran limfe di daerah usus, Akhirnya
mencapai sirkulasi sistemik dan dengan menggunakan kait yang dimiliki akan
sampai berada pada beberapa organ otak, jantung, mata, hati, paru, dan otot.
Pada jaringan larva akan berkembang menjadi sistiserkus yang stabil dalam
waktu 4-8 minggu. Siklus hidup akan menjadi komplit apabila manusia makan
daging babi yang kurang masak yang mengandung larva sistiserkus yang masih
aktif/hidup. Skoleks dengan kait yang dimiliki akan dipakai untuk melekatkan diri
pada mukosa jejenum dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa.4
Tantangan Diagnosis dan Penanganannya
Diagnosis pasti NCC ditegakkan atas dasar temuan adanya skoleks
pada dinding kista dari pemeriksaan neuroimaging MRI/CT scan atau dari hasil
pemeriksaan histologis. Studi tentang NCC terus dikembangkan dalam upaya
untuk meningkatkan akurasi diagnosis dan penannganan NCC. Hal ini dilakukan
mengingat stadium larva yang ada di otak terus mengalami perubahan selama
berada di dalam kista yang dicerminkan dengan perubahan gambaran
neuroimaging dari kista tersebut. Penemuan adanya parasit/skoleks pada hasil
pemeriksaan patologi anatomi atau pada CT scan/MRI sangat penting dalam
mendiagnosis NCC. Gambaran CT scan pada parenkim otak dapat berupa 1).
Nodul soliter/multiple atau lesi densitas rendah tanpa enhancement yang
menunjukkan sistiserkus yang masih aktif/hidup, 2). Lesi hipodens/isodens
dengan ring enhancement mencerminkan kista yang degenerasi/ tidak aktif, 3).
Kalsifikasi yang menunjukkan parasit yang sudah tidak aktif, 4). edema otak difus,
ventrikel kecil dengan nodul multipel yang enhancement pada pemberian
kontras dihubungkan dengan sindrom ensefalitis.5 MRI lebih sensitif untuk
mendeteksi kista intraventrikular atau di subarahnoid. empat stadium perubahan
pada kista. Masing masing fase perubahan kehidupan parasit tersebut di dalam
kista akan tercermin pada gambaran neuroimaging.6 Perubahan stadium
kehidupan parasit di dalam sistem saraf akan mempengaruhi perubahan

59 | B A N U 6
penatalaksanaan NCC. Penatalaksanaan sangat tergantung dari viabilitas parasit,
jumlah dan lokasi kista. Kista dengan paradsit yang masih hidup/aktif dapat
diberikan albendazol atau prazikuantel, sedangkan pada parasit yang tidak
aktif/mati penanganannya bersifat simtomatis. Pada kasus kasus tertentu dengan
kista yang besar dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. Dengan
perkembangan teknologi neuroimaging dan peningkatan akurasi test imunologi
maka kemampuan untuk diagnosis dan penatalaksanaan NCC diharapkan
menjadi semakin baik.7
Pendukung diagnosis seperti eosinofilia, serologis dengan
ELISA/imunoblot akurasinya masih belum dapat dihandalkan. Data yang tersedia
tentang validitas diagnostic untuk kriteria NCC ventrikuler masih sangat rendah.8
Demikian juga dengan beberapa kriteria diagnosis yang dibuat oleh Del Brutto
dan Carpio masih dalam proses penelitian dan penyempurnaan lebih lanjut.
Kesimpulan
NCC sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di bidang
neurology, sebagai penyebab utama terjadinya epilepsi terutama di daerah
endemis seperti di Indonesia. Meskipun parasite sebagai penyebab penyakit ini
sudah diketahui secara pasti namun penegakan diagnosis masih merupakan
tantangan dan penelitian lebih lanjut mengingat viabilitas parasit yang berada di
dalam kista mengalami beberapa stadium perubahan dan berpengaruh
terhadap penatalaksanaanya.

Daftar Pustaka
1. Simanjuntak GM, Sri M, Hargono C, Rasidi R, Sutopo B. An
investigation of taeniasis and cysticercosis in Bali Southeast Asean
J.Trop. Med. Public Health.1977:8:494-497.
2. Raka Sudewi AA, Nuartha AABN. Neurosistiserkosis di Rumah Sakit
Umum Pusat Denpasar. Musyawarah Kerja dan Pertemuan Ilmiah
Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Malang,
Indonesia. 1998.
3. Davaasuren A, Davaajav A, Ukhnaa B, Purvee A, Unurkhaan S, Luvsan
A, Logan JE, Ito A. Neurocysticercosis: A case study of Mongolia
traveler who visited China and India with an updated review in Asia,
Travel Medicine and Infectious Disease. 2018, doi: 10.1016
4. Cameron M.L., Durack DT. Helminthic Infection of The Central
Nervous System. In; Scheld W.M., Whitly R.J, Durack D.T., editors.
Infection of The Central Nervous System. New York: Raven Press; 1991;
825-857.

60 | B A N U 6
5. Carpio A, Ugalde J. Neuroimaging in neurocysticercosis. eMedicine
Journal. 2002; 3 (2):1-19
6. Carpio A, Romo M.L. Imaging and epidemiology. Asian Pacific Journal
of tropical medicine. 2017:821-822.
7. Del Brutto OH, Nash TE, White Jr AC, Rajshekar PP, Wilkins G, Singh,
CM Vasquez, Salgado P, Gilman RH, Garcia HH. Revised diagnostic
criteria for neurocysticercosis. Journal of the Neurological
Sciences:372(2017)202-210.
8. Bustos JA, Garcia HH, Del Brutto OH. Reliability of diagnostic criteria
for neurocysticercosis for patients with ventricular cystic lesions or
granulomas: A systematic review. Am J Trop. 2017

61 | B A N U 6
PREVENTION OF NEUROTROPICAL INFECTION IN SPECIFIC ENDEMIC AREA IN
INDONESIA
Ni Made Adi Tarini
Departemen/ KSM Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RSUP Sanglah

Abstrak
Infeksi neurotropik masih merupakan infeksi yang mengancam jiwa
dengan tingkat kematian dan kecacatan yang tinggi terutama dinegara
berkembang. Etiologi infeksi pada susunan saraf pusat dan otak beragam yaitu
bakteri, virus, jamur dan parasit. Malaria dan Japanese Encephalitis (JE)
merupakan dua penyakit yang menjadi fokus bagi pemegang otoritas kesehatan
di dunia seperti WHO maupun dalam negeri yaitu Kementrian kesehatan karena
jumlah insiden yang masih tinggi dan komplikasi kerusakan organ otak yang
menetap. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus suis juga
meningkat dalam beberapa tahun terakhir khususnya di Negara Asia. Hal ini
diperlukan suatu tindakan pencegahan untuk menurunkan rantai penularan
sehingga berdampak pada penurunan insiden penyakit dan dapat mencegah
komplikasi. Tindakan pencegahan yang dilakukan tergantung dari agen
penyebab penyakit dan metode transmisi dari masing-masing penyakit.
Kata kunci : Infeksi neurotropik, pencegahan, Malaria, Japanese Encephalitis,
Meningitis Streptococcus suis
Latar Belakang
Infeksi pada susunan saraf pusat (SSP) seperti meningitis dan
meningoensefalitis masih banyak ditemukan. Meningitis merupakan infeksi pada
membran atau selaput yang mengelilingi otak yang mempunyai tingkat
kematian dan kecacatan yang tinggi terutama di negara berkembang. Meningitis
bakterialis mengancam kehidupan dan harus dapat dibedakan dengan
meningitis aseptik yang disebabkan oleh virus. Estimasi insiden meningitis adalah
2.6 – 6 kasus per 100,000 individu per tahun, sedangkan di United States 1.5
kasus per 100.000 individu dengan angka kematian 15.6%.1 Meningitis dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan jamur. Peningkatan kasus meningitis
bakteri ditemukan meningkat dari studi sebelumnya khususnya yang disebabkan
2
oleh Streptococcus suis. Streptococcus suis merupakan oportunistik patogen
pada hewan babi dan merupakan agen zoonotik. Selain etiologi meningitis juga

62 | B A N U 6
dapat menyebabkan endocarditis, arthritis, pneumonia, and septikemia. 3 Pada
manusia S. suis dapat menyebabkan meningitis berat sampai septik syok dan
mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Salah satu gejala klinis meningitis S.
suis dan merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kasus ini adalah
hilangnya pendengaran permanen (tuli) atau disfungsi vestibular, sekitar 50 –
65% di negara Eropa dan Asia. 4,5
Selain meningitis bakterialis, infeksi pada SSP dapat disebabkan oleh
virus maupun parasit yang diperantarai oleh vektor seperti Japanese Encephalitis
dan Malaria. Japanese encephalitis (JE) disebabkan oleh Japanese encephalitis
virus (JEV) yang merupakan kelompok virus flaviviridae. Virus ini ditransmisikan
oleh nyamuk culex ke hewan seperti babi, burung air maupun ke manusia. 6,7
Daerah endemis JE adalah Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur dan Pasifik.
diperkirakan tiga milyar penduduk hidup di daerah endemis JE ini dan
insidennya 30.000-50.000 kasus per tahun. Komplikasi JE dapat menyebabkan
kerusakan neurologik yang menetap.6 Perkembangan penyakit lain yang
menyebabkan kerusakan otak adalah malaria jika tidak diterapi dengan baik.
Malaria merupakan penyakit yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh
parasit plasmodium dan penyebaran penyakit malaria ini melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina.8 Pada tahun 2016 diperkirakan 216 juta kasus malaria pada 91
negara dimana hal ini meningkat 5 juta kasus dari tahun 2015, dengan angka
kematian 445.000.9 Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan baik di
dunia maupun Indonesia terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak
balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan
dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyakit ini juga masih endemis di
sebagian besar wilayah Indonesia. Program eliminasi malaria di Indonesia
tertuang dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/IV/2009,
dimana pengendalian ini dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
beberapa pulau sampai seluruh pulau terbebas dari penularan malaria sampai
tahun 2030.10
Peningkatan kasus infeksi pada susunan saraf pusat yang disebabkan
beberapa bakteri, virus maupun parasit ini harus disertai dengan peningkatan
metode metode pencegahan untuk menurunkan insidennya mengingat
komplikasi yang dihadapi menyebabkan beberapa kerusakan organ yang
menetap terutama otak. Adapun beberapa pencegahan yang dapat dilakukan
tergantung dari cara transmisi dari penyakit itu sendiri, apakah melalui perantara
vektor, kontak langsung atau melalui makanan dan minuman. 11
PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit yang ditransmisikan
melalui vektor dapat dilakukan beberapa langkah seperti kontrol vektor,

63 | B A N U 6
mencegah gigitan nyamuk maupun profilaksis dengan menggunakan obat
maupun vaksinasi.9,12 Beberapa upaya pengendalian vektor lainnya yang dapat
dilakukan adalah tindakan pengendalian larva Anopheles sp (jentik) secara
kimiawi, menggunakan insektisida, biological control ( menggunakan ikan
pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain.10 World Health
Organization (WHO) merekomendasikan untuk kontrol vektor dewasa dapat
dilakukan dengan dua langkah yaitu menggunakan kelambu yang mengandung
insektisida dan metode penyemprotan dinding dalam rumah dengan insektisida
yang dikenal dengan indoor residual spraying (IRS).9 Menghindari gigitan
nyamuk merupakan salah satu pencegahan tertular penyakit malaria maupun JE,
dengan menggunakan lotion anti nyamuk, memakai pakaian yang tertutup dan
menghindari paparan nyamuk saat jam puncak gigitan. 9,12 Profilaksis yang
dianjurkan untuk JE adalah vaksinasi. Terdapat 2 vaksin yang diijinkan oleh FDA
yaitu Inactivated mouse brain - derived vaccine (JE-VAX(JE-MB)) dapat diberikan
pada anak berumur ≥ 1 tahun dan Inactivated Vero Cell Culture-derived Vaccine
(IXIARO (JE-CV)) dapat diberikan pada usia ≥ 17 tahun. Vaksin JE diberikan pada
individu yang berada pada daerah endemis, petugas laboratorium dan individu
yang akan berkunjung lama ke daerah endemis JE.13 Profilaksis untuk malaria
dapat menggunakan obat antimalaria bagi para traveler yang akan berkunjung
ke daerah endemis malaria. Untuk ibu hamil yang tinggal di daerah transmisi
sedang hingga tinggi, WHO merekomendasikan pengobatan pencegahan
intermiten dengan sulfadoksin-pirimetamin, pada setiap kunjungan antenatal
yang dijadwalkan setelah trimester pertama. Demikian pula, untuk bayi yang
tinggal di daerah penularan tinggi Afrika, 3 dosis pengobatan pencegahan
intermiten dengan sulfadoksin-pirimetamin direkomendasikan, diberikan
bersamaan dengan vaksinasi rutin. sedangkan vaksin untuk malaria. 9,14 Saat ini
telah dikembangkan vaksin untuk malaria yaitu RTS,S/AS01 (Mosquirix). Vaksin ini
memberikan perlindungan parsial terhadap malaria pada kelompok anak-anak.
Vaksin ini sedang dievaluasi di sub-Sahara Afrika sebagai alat pengendalian
malaria komplementer yang berpotensi sebagai tambahan pada tindakan
pencegahan yang direkomendasikan WHO. vaksin ini masih sedang uji coba dan
masih dalam pengawasan. Pada bulan November 2016, WHO mengumumkan
bahwa vaksin RTS, S akan diluncurkan dalam proyek-proyek percontohan di
beberapa daerah terpilih di 3 negara di sub-Sahara Afrika: Ghana, Kenya dan
Malawi. Vaksinasi ini akan dimulai pada tahun 2018 dan akan diperluas jika
keamanan dan efektivitas dianggap dapat diterima.9
Berbeda dengan Malaria dan JE, pencegahan Meningitis
Streptococcus suis berfokus pada pencegahan kontak dengan vektor dalam
kasus ini adalah babi, pengawasan lingkungan dan produk makanan dari babi.

64 | B A N U 6
Faktor risiko utama untuk infeksi S. suis dalam wabah adalah keterlibatan atau
kontak langsung dalam penyembelihan babi dan babi yang sakit atau kontak
langsung dengan bangkai babi yang mati karena penyebab yang tidak
diketahui.15 Selain faktor risiko diatas, konsumsi produk darah dan daging babi
mentah pada beberapa daerah di Asia juga merupakan jalur transmisi dari MSS. 16
Sehingga pendekatan pencegahannya ada dua yaitu
1. Pencegahan pada manusia adalah pengawasan pada peternakan babi,
Rumah potong hewan serta pengawasan terhadap daging mentah dan
produk makanan.
2. Pencegahan pada hewan Babi adalah pemisahan babi berdasarkan umur,
isolasi babi yang sakit dan vaksinasi. Streptococcus suis dapat dibunuh
melalui memasak dengan baik dan matang.
Amatilah kebersihan pribadi dan lingkungan yang baik setiap saat,
hindari kontak dengan babi yang sakit atau mati dan feses mereka, cuci tangan
secara menyeluruh setelah kontak dengan babi dapat mengurangi risiko infeksi
Streptococcus suis.17

Daftar Pustaka
1. Bamberger DM. Diagnosis, initial management, and prevention of
meningitis. Am Fam Physician. 2010 Dec 15;82(12):1491-8.
2. Van Samkar A, Brouwer MC, Schultsz C, van der Ende A, van de Beek D.
Streptococcus suis meningitis: a systematic review and meta-analysis. PLoS
neglected tropical diseases. 2015 Oct 27;9(10):e0004191.
3. Nutravong T, Angkititrakul S, Panomai N, Jiwakanon N, Wongchanthong W,
Dejsirilert S, Nawa Y. Identification of major Streptococcus suis serotypes 2,
7, 8 and 9 isolated from pigs and humans in upper northeastern Thailand.
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health. 2014 Sep
1;45(5):1173.
4. Hughes JM, Wilson ME, Wertheim HF, Nghia HD, Taylor W, Schultsz C.
Streptococcus suis: an emerging human pathogen. Clinical Infectious
Diseases. 2009 Mar 1;48(5):617-25.
5. Suankratay C, Intalapaporn P, Nunthapisud P, Arunyingmongkol K, Wilde
H. Streptococcus suis meningitis in Thailand. Southeast Asian Journal of
Tropical Medicine & Public Health. 2004 Dec;35(4):868.Suankratay et al,
2004
6. Erlanger TE, Weiss S, Keiser J, Utzinger J, Wiedenmayer K. Past, present, and
future of Japanese encephalitis. Emerging infectious diseases. 2009
Jan;15(1):1.

65 | B A N U 6
7. Misra UK, Kalita J. Overview: japanese encephalitis. Progress in
neurobiology. 2010 Jun 1;91(2):108-20.
8. Guerin PJ, Olliaro P, Nosten F, Druilhe P, Laxminarayan R, Binka F, Kilama
WL, Ford N, White NJ. Malaria: current status of control, diagnosis,
treatment, and a proposed agenda for research and development. The
Lancet infectious diseases. 2002 Sep 1;2(9):564-73.
9. WHO. Malaria. 2018
10. Kementerian Kesehatan RI. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan. 2011
11. Ross S, Furrows S. RAPID Infection Control Nursing. Wiley Blackwell. 2014;
p. 121.
12. CDC. Prevention Japanese Encephalitis. 2015.
https://www.cdc.gov/japaneseencephalitis/prevention/index.html
13. MMWR. Japanese Encephalitis Vaccines. 2010;59(RR-1)
14. WHO. World Malaria Report. 2017
15. Yu H, Jing H, Chen Z, Zheng H, Zhu X, Wang H, Wang S, Liu L, Zu R, Luo L,
Xiang N. Human streptococcus suis outbreak, Sichuan, China. Emerging
infectious diseases. 2006 Jun;12(6):914.
16. Huong VT, Hoa NT, Horby P, Bryant JE, Van Kinh N, Toan TK, Wertheim HF.
Raw pig blood consumption and potential risk for Streptococcus suis
infection, Vietnam. Emerging infectious diseases. 2014 Nov;20(11):1895.
17. White M. Pig Health – Streptococcal Meningitis. NADIS. Animal Health
Skills. 2018

66 | B A N U 6
SPECIAL CONSIDERATION OF AED THERAPY IN CNS INFECTION
Dr. dr. DPG Purwa Samatra, Sp.S (K)
Departemen Neurologi RSUP Sanglah Denpasar/FK Universitas Udayana

Pendahuluan
Suatu bangkitan epileptik didefinisikan oleh International League
against Epilepsy (ILAE) sebagai “kejadian transien dari tanda dan atau gejala
dikarenakan oleh aktivitas neuronal atau inkonisasi yang berlebihan di otak”. 1
Epilepsi secara konsep dikarakteristikkan sebagai kecenderungan dari otak untuk
menghasilkan kejang epileptik, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis dan sosial.1 Dikarenakan defenisi konseptual ini sulit diaplikasikan
secara klinis, maka dibentuklah definisi secara operasional yaitu epilepsi dapat
dipertimbangkan apabila dijumpai dua kejadian kejang yang tidak diprovokasi
yang terjadi dengan waktu lebih dari 24 jam diantara kejang dan satu kejang
yang tidak diprovokasi serta memiliki kemungkinan kejang berikutnya sebesar
minimal 60% pada 10 tahun berikutnya, serta suatu sindrom epilepsi.2
Epidemiologi
Prevalensi dari epilepsi adalah 5-8 per 1000 populasi pada negara
berkembang dan 10 per 1000 populasi pada negara sedang berkembang. 4
Perbedaan demografis ini mungkin disebabkan perbadaan pada faktor resiko
epilepsi seperti infeksi dan ketidakmampuan dalam perawatan antenatal dan
perinatal.5 Perbedaan yang serupa juga dijumpai pada insidens dari epilepsi
dimana meta analisis pada tahun 2011 menunjukkan bahwa insidens pertahun
adalah 45 per 100,000 populasi pada negara berkembang dan 82 per 100,000
populasi pada negara sedang berkembang.6
Patofisiologi
Suatu kejang epileptik diakibatkan oleh sinkronisasi transien dari
neuron di otak yang abnormal dimana mengganggu pola normal dari
komunikasi neuronal dan mengakibatkan cetusan listrik pada
elektroensefalografi (EEG). Kelainan ini menyebabkan gejala dan tanda yang
beragam

67 | B A N U 6
Gambar 1. Klasifikasi Tipe Kejang menurut ILAE 2017
DIAGNOSIS
Diagnosis dari suatu kejang dapat didasarkan pada deskripsi
sistematik dari kejadian kejang pasien yang disaksikan oleh saksi mata, dan
mungkin tidak memerlukan pemeriksaan spesifik. Perekaman ketika onset
terjadinya kejang dengan kamera telepon selular dapat membantu. Namun
sayangnya, banyak yang masih kesulitan memahami semiologi yang berguna
untuk membedakan kejang epileptik dan kelainan lainnya seperti sinkop dan
serangan psikogenik non epileptik yang menyebabkan misdiagnosis.7
Diagnosis yang tepat dari suatu sindrom epileptik dapat sulit,
dikarenakan memerlukan kriteria yang kompleks dan berbagai investigasi
bergantung pada kelainan yang dicurigai. Riwayat keluarga, riwayat penyakit,
usia onset, jenis kejang, status neurologis dan kognitif, dan EEG interiktal wajib
dilaksanakan. MRI kepala biasanya diperlukan, kecuali pada pasien dengan
epilepsi juvenil atau anak-anak absan, epilepsi juvenil miokolonik, atau epilepsi
anak-anak dengan paku sentrotemporal. Pemeriksaan darah, punksi lumbal dan
pemeriksaan lain dapat membantu ketika dicurigai etiologi tertentu.7
TERAPI
Sekitar 70% dari pasien bebas kejang dengan terapi medikamentosa
yang adekuat, dengan angka respons bervariasi bergantung pada sindrom
epilepsi, penyebab utama, dan faktor lainnya.10 Tidak ada satupun obat
antiepilepsi yang ideal sebagai pengobatan lini pertama pada semua pasien.
Seperti yang direkomendasikan oleh National Institute for Health and Care
Excellence, pilihan terapi harus mempertimbangkan tipe kejang, sindrom kejang
dan karakteristik lainnya seperti usia, jenis kelamin dan komorbid. 11 Walaupun
obat antiepilepsi klasik seperti karbamazepin dan asam valproat banyak
digunakan sebagai terapi lini pertama, beberapa obat generasi yang lebih baru

68 | B A N U 6
makin banyak digunakan sebagai terapi inisial, kebanyakan dikarenakan
tolerabilitas yang lebih baik dan interaksi obat yang lebih sedikit.7
Berdasarkan laporan dari Glauser dkk, pasien dewasa dengan kejang
fokal yang baru direkomendasikan pemberian karbamazepin (CBZ),
levetirasetam (LEV), fenitoin (PHT), dan zonisamid (ZNS). CBZ, LEV, PHT, dan ZNS
merupakan level A, asam valproat (VPA) merupakan level B, Gabapentin (GBP),
Lamotrigin (LTG), Oxarcbazepine (OXZ), phenobarbital (PB), topiramat (TPM) dan
vigabatrin (VGB) merupakan level C. sedangkan clonazepam (CZP) dan
primidone (PRM) merupakan level D. Sedangkan dewasa dengan kejang general
tonik klonik direkomendasikan CBZ, LTG, OXC, PB, PHT, TPM, dan VPA sebagai
level C dan GBP, LEV, VGB sebagai level D pada monoterapi awal pada dewasa
dengan kejang general tonik klonik.12
Jenis Kejang Studi Studi Studi Level bukti efikasi dan
Kelas I Kelas II Kelas III efektif
Kejang parsial 4 1 34 Level A : CBZ, PHT, LEV,
ZNS
Level B : VPA
Level C : GBP, LTG,
OXC, PB, TPM, VGB
Level D : CZP, PRM
Kejang tonik 0 0 27 Level A : -
klonik Level B : -
Level C : CBZ, LTG,
OXC, PB, PHT, TPM,
VPA
Level D : GBP, LEV, VGB
Tabel 1. Studi dan bukti dari terapi jenis kejang12
Infeksi Intra Kranial / Meningitis Bakterial
Meningitis bakterialis akut adalah keadaan kedaruratan neurologi.
Penanganan yang segera dan komprehensif dapat menyelamatkan nyawa
pasien. Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri
kepala dan fotofobia. Pada keadaan lebih lanjut dapat dijumpai penurunan
kesadaran, kejang hemiparesis dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang
khas untuk meningitis adalah didapatkannya kaku kuduk. Kaku kuduk pada
meningitis bakterialis akut sangat nyata, sedangkan pada meningitis
subakut/kronis lebih ringan. Pada stadium lebih lanjut, dapat dijumpai
gejala/tanda hidrosefalus seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah,
kejang, papiledema.

69 | B A N U 6
Definisi Dan Etiologi
Meningitis bakterialis akut adalah infeksi meningitis yang terjadi dalam
waktu kurang dari 3 hari dan umumnya disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini
sering juga disebut sebagai meningitis bakterialis atau meningitis purulenta.
Penyebab paling sering adalah 3 jenis bakteri yaitu Neisseria meningitidis
(meningokokus), Streptococcus pneumonia (pneumokokus), dan Hemophylus
influenza. Meningitis bakterialis pada neonatus dan usia tua dapat disebabkan
oleh beberapa jenis bakteri lain.
Patogenesis Dan Patofisiologi
Otak dan medulla spinalis dilindungi secara anatomis oleh 3 selaput
otak (meningen, terdiri dari duramater, arakhnoid dan piamater) dan secara
kimiawi oleh sawar darah otak. Secara umum, istilah meningitis menunjuk ke
infeksi yang menyerang meningen ini. Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini
meradang dan membengkak, dan proses inflamasi yang ada merangsang
reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput itu sehingga menimbulkan gejala
nyeri dan kaku kuduk.
Bakteri dapat mencapai struktur intrakranial melalui beberapa cara.
Secara alami bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen dan infeksi di
nasofaring atau perluasan infeksi dari struktur intrakranial misalnya sinusitis atau
infeksi telinga tengah. Infeksi bakterial pada SSP juga dapat terjadi karena
trauma kepala yang merobek duramater, atau akibat tindakan bedah saraf.
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring.
Bakteri menghasilkan immune globulin A protease yang bisa merusak barrier
mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring.
Setelah berhasil menempel pada sel epitel, bakteri akan menyelinap melalui
celah antar sel dan masuk ke aliran darah.
Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis bakterialis akut
mempunyai kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik dan anti komplemen,
sehingga bisa lepas dari mekanisme pertahanan seluler yang umumnya
menghadang struktur asing yang masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian
akan mencapai kapiler susunan saraf pusat lalu masuk ke ruang subarakhnoid.
Kurangnya pertahanan seluler di dalam ruang subarachnoid membuat bakteri
yang ada akan mudah bermultiplikasi.
Gejala Klinik
Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri
kepala dan fotofobia. Pada keadaan lebih lanjut dapat dijumpai keluhan
penurunan kesadaran, kejang, hemiparesis dan lam lain. Pada pemeriksaan fisik,
tanda yang khas untuk meningitis adalah didapatkannya kaku kuduk. Kaku
kuduk pada meningitis bakterialis akut sangat nyata, sehingga dapat dengan

70 | B A N U 6
mudah ditemukan. Pada stadium lebih lanjut, dapat dijumpai tanda hidrosefalus
seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah, kejang, papiledema.
Perjalanan klinis meningitis bakterialis pada orang dewasa biasanya
diawali dengan infeksi saluran nafas atas yang ditandai dengan panas badan dan
keluhan-keluhan pernapasan diikuti dengan munculnya gejala-gejala SSP seperti
nyeri kepala dan kaku kuduk yang nyata. Gejala lain yang mungkin ada adalah
muntah-muntah, penurunan kesadaran (drowsy, bingung), kejang dan fotofobia.
Meningitis meningokokus seringkali diawali dengan gejala dan tanda
septikemia dan syok septik. Keluhan yang biasa dirasakan pasien adalah panas
badan disertai nyeri pada lengan dan/atau tungkai, atau didapatkan tanda-tanda
septikemia seperti kulit yang teraba dingin atau kebiruan pada bibir. Adanya rash
(papula sampai ekimosis) pada ekstremitas dapat menjadi petunjuk infeksi
meningokokus. Meningitis meningokokus seringkali menyebabkan epidemi
meningitis, sehingga jika didapatkan gejala di atas pada sekelompok orang
(misalnya siswa satu sekolah, jamaah haji satu kloter), penyakit ini harus dicurigai
dan diambil langkah pencegahan jangka panjang (melaporkan ke Dims
Kesehatan setempat, meliburkan sekolah, memberi kemoprofilaksis untuk orang-
orang yang kontak dengan pasien) selain mengobati pasien.
Pemeriksaan Penunjang
Pungsi lumbal (lumbar puncture/LP) merupakan tindakan medis yang
paling sering dikerjakan untuk menegakkan diagnosis infeksi SSP, khususnya
meningitis dan ensefalitis. Pada prinsipnya LP harus dikerjakan pada setiap
kecurigaan meningitis dan/atau ensefalitis. Adanya demam, nyeri kepala dan
penurunan kesadaran merupakan indikasi untuk melakukan LP.
Pada umumnya tindakan LP aman untuk dilakukan. Risiko kematian
akibat herniasi orak setelah tindakan LP dapat diminimalisir dengan melakukan
pemeriksaan CT-Scan terlebih dahulu pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Papiledema yang nyata
2. Penurunan kesadaran yang dalam atau yang memburuk dengan cepat
3. Didapatkannya defisiti neurologi fokal, termasuk adanya kejang parsial
4. Kecurigaan lesi desak ruang intracranial
Hal-hal lain yang menjadi kontraindikasi tindakan LP adalah sebagai berikut:
1. Infeksi lokal di punggung bawah tempat akan dilakukan LP
2. Syok akibat berbagai sebab
3. Koagulopati: riwayat penggunaan antikoagulan atau adanya tanda DIC
4. Jumlah trombosit < 50.000 pada pemeriksaan darah tepi
Diagnosis, Kriteria Diagnosis Dan Diagnosis Diferensial
Kecurigaan meningitis bakterialis akut biasanya ditegakkan pada
penderita yang datang dengan gejala dan tanda klinis: demam, kaku kuduk,

71 | B A N U 6
penurunan kesadaran. Perlu diingat bahwa pada pasien neonatus atau yang
sudah sangat tua dan pasien imunokompromi mungkin gejala dan tandanya
tidak nyata.
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) dapat dilihat pada Tabel 1, dan
temuan yang khas adalah sebagai berikut:
1. Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluhan ribu
2. Pada hitung jenis biasanya didapatkan predominansi neutrophil, sebagai
tanda infeksi akut. Pada meningitis bakterialis yang sempat diobati namun
tidak sempurna (partially treated) dapat dijumpai predominansi monosit
3. Kadar glukosa CSS rendah, umumnya kurang dan 30% dari kadar gula
darah sewaktu lumbal pungsi dikerjakan
4. Pewarnaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan kuman
penyebab (80% pewarnaan gram mendapatkan kuman penyebab,
keberhasilan kultur tergantung cara transportasi CSS setelah diambil dan
keterampilan laboratorium mikrobiologi untuk menanam bakteri).
Pemeriksaan tambahan lain yang bisa dikerjakan, jika tersedia adalah
pemeriksaan tes aglutinasi latex terhadap 3 kuman penyebab yang sering, atau
dilakukan PCR. Kultur darah positif pada 30-80% kasus.
Pendekatan Diagnostik Meningitis Bakterialis
1. Segera lakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologi pada kecurigaan
meningitis bakterialis untuk menemukan sumber infeksi, penyakit yang
mendasari dan kontraindikasi tindakan LP
2. Segera ambil darah untuk pemeriksaan rutin dan kultur bakteri
3. Lakukan pemeriksaan CT-Scan/ MRI jika ada indikasi. Jika diputuskan akan
dilakukan CT-Scan/MRI, berikan dahulu antibiotika empirik (sesuai umur
dan kecurigaan bakteri penyebab)
4. Berikan deksametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian dosis
pertama antibiotika
5. Jika LP tertunda, sedapat mungkin LP dilakukan dalam 2-3 jam setelah
pemberian antibiotik agar masih dapat menjumpai bakteri atau gambaran
CSS yang khas
Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan meningitis bakterialis dapat mengikuti
diagram berikut:
1. Rejimen terapi empirik sesuai dengan usia, kondisi klinis dan pola resistensi
antibiotika setempat (jika data tersedia). Jika tidak ada data lokal yang
tersedia, dapat diikuti rekomendasi umum sebagai mana dapat dilihat pada
Tabel 2
2. Sesuaikan antibiotika segera setelah hasil kultur didapatkan

72 | B A N U 6
3. Deksametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotika. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kgBB (1U mg per
pemberian pada orang dewasa) setiap 6 jam selama 2-4 hari.
4. Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan
penyebabnya adalah H. influenzae atau N. meningitidis
5. Pada kecurigaan infeksi N. meningitidis berikan kemoprofilaksis kepada
(lihat Tabel 3):
a. Orang yang tinggal serumah
b. Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan
pasien
c. Orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan
pasien dalam 7 hari terakhir
d. Murid sekolah yang sekelas dengan pasien
e. Petugas kesehatan yang ada kontak langsung dengan sekret
mulut dan hidung pasien dalam 7 hari terakhir
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi:
1. Komplikasi segera: edema otak, hidrosefalus, vaskulitis, trombosis sinus
otak, abses/efusi subdural, gangguan pendengaran
2. Komplikasi jangka panjang: gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada pasien anak, epilepsi
Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis termasuk salah satu tuberkulosis
ekstrapulmoner dan merupakan penyakit infeksi susunan saraf pusat (SSP)
subakut dan fokus primer paru. Menurut WHO, (2003) diperkirakan 8 juta orang
terjangkit TBC setiap tahun dan 2 juta meninggal. Pada tahun 1997 diperkirakan
TBC menyebabkan kematian lebih dan 1 juta penduduk di negara-negara Asia.
Riggs (1956) menyatakan bahwa antara 5-10% penderita TBC akan meninggal,
dan 25% akan berlanjut menjadi infeksi. Meningitis TBC lebih sering pada anak
terutama anak usia 0-4 tahun di daerah dengan prevalensi TBC tinggi.
Sebaliknya di daerah dengan prevalensi TBC rendah, meningitis TBC lebih sering
dijumpai pada orang dewasa.
Di Amerika Serikat meningitis TBC ditemukan pada 32% kasus
meningitis dan menurun drastis kurang dari 8% dalam 25 tahun kemudian,
sedangkan di India pada tahun yang sama 60% kasus terjadi pada anak usia 9
bulan - 5 tahun. Berdasarkan data di Departemen Neurologi RS Cipto
Mangunkusumo, pasien yang dirawat di IRNA B, tahun 1996 terdapat 15
penderita dengan kasus meningitis dengan kematian 40%, tahun 1997, 13 kasus
dengan kematian 50,85% dan tahun 1998 dengan kematian 46,15% dan 13

73 | B A N U 6
penderita. Di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit DR. M. Djamil Padang,
selama tahun 2007 didapatkan kasus meningitis TBC sebanyak 9 penderita dan
tahun 2008 dengan 7 orang penderita.
Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak
menyebabkan kematian dan kecacatan. Dibandingkan dengan meningitis
bakterialis akut, perjalanan penyakit meningitis TBC lebih lama dan perubahan
atau kelainan dalam cairan serebro spinalis (CSS) tidak begitu hebat. Dewasa ini
terutama di negara-negara maju, penderita meningitis TBC merupakan
komplikasi HIV dengan gejala yang lebih kompleks, seperti infiltrat pulmoner
difus dengan limfadenopati torakal.
Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Secara histologis meningitis tuberkulosis merupakan
meningoensefalitis (tuberkulosis) dengan invasi ke selaput dan jaringan susunan
saraf pusat.
Penyebab
Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobactenum tuberculosis
jenis Hominis, jarang oleh jenis Bovinum atau Aves.
Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis selalu terjadi sekunder dari proses
tuberkulosis, fokus primernya berada di luar otak. Fokus primer biasanya di paru-
paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus nasalis, traktus
gastrointestinal, ginjal, dan sebagainya.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada
selaput otak secara hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel
kecil (beberapa milimeter sampai 1 sentimeter) berwarna putih, terdapat pada
permukaan otak, sumsum tulang belakang. Tuberkel tersebut selanjutnya
melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang subaraknoid dan ventrikel sehingga
terjadi peradangan difus.
Penyebaran dapat pula terjadi secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan di daerah selaput otak seperti proses di
nasofaring, pneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus
kovernosus, atau spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada piameter dan araknoid, CSS, ruang
subaraknoid dan ventrikel.
Akibat reaksi radang ini maka akan terbentuk eksudat kental,
serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman serta toksin yang mengandung
sel-sel mononuklear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblas.
Eksudat mi tidak terbatas di dalam ruang subarahnoid saja tetapi terutama

74 | B A N U 6
berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-
pembuluh darah piameter dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga
proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat
akuaduktus, fisura Sylvii, foramen Magendi, foramen Luschka dengan akibatnya
adalah terjadinya hidrosefalus, edema papil akibat terjadinya peningkatan
tekanan intrakramal. Kelainan ini juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah
yang berjalan di dalam ruang subaraknoid berupa kongesti, peradangan dan
penyumbatan sehingga selam arteritis dan flebitis juga mengakibatkan infark
otak terutama pada bagian korteks, medulla oblongata dan ganglia basalis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis meningitis
tuberkulosis memperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-
8 minggu dapat ditemukan malaise anoreksia, demam, nyeri kepala yang
semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran, kejang,
kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VI, VII, VIII), hemiparese. Pemeriksaan
funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan edema
papil menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial.
Perjalanan penyakit Meningitis tuberkulosis memperlihatkan 3 stadium:
 Stadium I (Stadium awal)
Gejala prodromal non spesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala
ringan, malaise, demam. anoreksia, muntah, nyeri abdomen.
 Stadium II (Intermediate)
Gejala menjadi jelas ditemukan "drowsy" perubahan mental, tanda
iritasi meningen, kelumpuhan saraf III, IV, VI.
 Stadium III (Stadium lanjut)
Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau
koma, kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium rutin pada meningitis tuberkulosis jarang yang khas,
bisa ditemui leukosit meningkat, normal atau rendah dan diff. count
bergeser ke kin kadang-kadang ditemukan hiponatremia akibat
SIADH.
2. Pemeriksaan CSS
3. Terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi 40-75% pada anak
dan 50% pada dewasa. Warna jernih atau xantokhrom terdapat
peningkatan protein dan 150-200 mg/dl dan penurunan glukosa pada
cairan serebrosprnal. Terdapat penurunan klonda, ditemukan

75 | B A N U 6
pleiositosis, jumlah sel meningkat biasanya tidak melebihi 300
sel/mm3. Differential count PMN predominan dan limpositik.
4. Mikrobiologi
5. Ditemukan Mycobacterium tuberculosis pada kultur cairan
serebrospmal merupakan baku emas tetapi sangat sulit, lebih dan
90% hasilnya negatif.
6. Polymerase chain reaction (PCR) spesifitas tinggi tetapi sensitivitas
moderat.
7. Pada pemeriksaan foto rontgen toraks ditemukan tuberkulosis aktif
pada paru dan dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90%
pada anak-anak.
8. Hasil tes PPD ruberkulin negatif pada 10-15% anak-anak dan 50%
pada dewasa.
9. CT Scan dan MRI
10. Pemeriksaan CT scan dengan kontras ditemukan penebalan meningen
di daerah basal, infark, hidrosefalus, lesi granulomatosa. Pemeriksaan
MRI lebih sensitif dari CT Scan, tetapi spesifitas juga masih terbatas.
Penatalaksanaan
Penderita meningitis tuberkulosis harus dirawat di rumah sakit, di
bagian perawatan intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan secepat
mungkin pengobatan segera dapat dimulai.
Perawatan Umum
Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan
dengan sungguh-sungguh, antara lam: kebutuhan cairan dan elektrolit,
kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi.
Kebutuhan cairan, elektrolit serta gizi dapat diberikan melalui infus
maupun saluran pipa hidung. Di samping itu, pengobatan untuk hiperpireksia,
gelisah atau kejang juga diberikan.
Pengobatan
Saat ini telah tersedia berbagai macam Tuberkulostatika, pada
umumnya Tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal sebagai
triple drugs, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis Tuberkulostatika
lainnya. Kita harus kritis untuk menilai efektivitas masing-masing obat terutama
dalam hal timbulnya resistensi.
Berikut ini adalah beberapa contoh Tubekulostatika yang dapat diperoleh di
Indonesia:
1. Isoniazid (INH), diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada
anak) dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari. Efek samping
berupa neuropati, gejala-gejala psikis.

76 | B A N U 6
2. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, pada orang
dewasa dapat diberikan dengan dosis 600 mg/hari dengan dosis
tunggal. Efek samping sering ditemukan pada anak di bawah 5 tahun
dapat menyebabkan neuritis optika, muntah, kelainan darah perifer,
gangguan hepar dan flu-like-symptom.
3. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kg/BB/hari -150 mg/hari
Efek samping dapat menimbulkan neuritis optika.
4. PAS atau Para-Amino-Salicilyc-Acid diberikan dengan dosis 200
mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12 g/hari.
Efek samping dapat menyebabkan gangguan nafsu makan.
5. Streptomisin, diberikan intramuskuler selama lebih kurang 3 bulan.
Dosisnya adalah 30-50 mg/kgBB/hari. Oleh karena bersifat ototoksik
maka harus diberikan dengan hati-hati. Bila perlu pemberian
Streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan
sampai CSS menjadi normal.
6. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3
mg/ kgBB/hari (dosis normal) 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama
2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari
selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah lebih
kurang 3 bulan, apabila diberi deksametason maka obat mi diberikan
secara intravena dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam. Pemberian
deksametason ini terutama bila ada edema otak. Apabila keadaan
membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap sampai 4 mg
setiap 6 jam secara intravena. Pemberian kortikosteroid parenteral
ditujukan untuk mengurangi eksudat di bagian basal mencegah
terjadinya nekrosis, perlengketan dan menghalangi blok spinal.
Pemberian kortikosteroid dapat membahayakan penderita karena
munculnya super infeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking
effect).
Abses Serebri
Hingga akhir abad ke 19 abses serebri masih merupakan penyakit
yang serius dan fatal. Terapi yang sukses pertama kali dilaporkan oleh Dr JF
Weeds pada tahun 1868 dengan melakukan drainase abses serebri di lobus
frontal dari seorang letnan kAvaleri yang tertembak pada bagian kepalanya.
Selanjutnya Sir William Macewen menjadi pionir operasi abses serebri setelah
pada tahun 1893 telah mempublikasikan monograf berjudul: "Pyogenic infective
disease of the brain and spinal cord".1
Banyak perubahan dalam penatalaksanaan abses serebri.
Perkembangan pesat terjadi setelah ditemukan CT scan tahun 1970 sebagai

77 | B A N U 6
diagnostik baku, rejimen obat antibiotik, serta kemajuan dalam teknik bedah
saraf yang dilakukan lebih awal telah berdampak pada perbaikan prognosis
penyakit.2'3

Definisi
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai
sebagai serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus
yang dikelilingi oleh kapsul.4-7
Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data pasti, namun di Amerika Serikat
dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus abses serebri per tahun.8 Prevalensi
diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak
dan pada wanita, yaitu dengan perbandingan 2-3:1.1,9
Dengan perkembangan pelayanan vaksinasi, pengobatan pada infeksi
pediatri, serta pandemi AIDS, terjadi pergeseran prevalensi ke usia dekade 3-5
kehidupan.3,10,11
Patogenesis
Mekanisme kuman masuk ke otak melalui beberapa cara;3,8,12,13,14,15
1. Perluasan langsung dan kontak fokus infeksi (25-50%); berasal dan sinus,
gigi, telinga tengah, atau mastoid. Akses menuju vena drainase otak melalui
vena emissari berkatup yang menjadi drain regio ini.
2. Hematogen (30%); berasal dan fokus infeksi jauh seperti endokarditis
bakterial, infeksi primer paru dan pleura. Sering menghasilkan muhipel
abses serebri.
3. Setelah trauma kepala maupun tindakan bedah sarat yang mengenai dura
dan leptomening
4. Kriptogenik (hingga 30%); tidak ditemukan jelas sumber infeksinya.
Etiologi
Banyak organisme dapat menjadi penyebab abses serebri, tergantung pada
lokasi masuknya infeksi.
 Infeksi oportunistik meningkatkan penyebab abses serebri pada
pasien dengan transplantasi organ, HIY imunodefisiensi. Organisme
tersebut: Toxoplosma gondii dan Nocardia, Aspergillus, serta
Candida.12,13,17
 Faktor risiko predisposisi lain, seperti: penggunaan jalur intravena,
kelainan jantung, diabetes, steroid kronis, alkoholik dan neoplasma.
3,8,10

78 | B A N U 6
 Bila sumber infeksi tidak jelas, maka dapat diisolasi flora dan kuman
anaerob saluran napas atas.
Gejala Klinis
Manifestasi klinis abses serebri bervariasi tergantung pada tingkat
penyakit, virulensi penyebab infeksi, status imun pasien, lokasi abses, jumlah lesi,
18,19
dan ada tidaknya meningitis atau ventikulitis. Manifestasi klinis abses serebri
3,10,13,20
dapat terbagi dalam 3 kelompok.
1. Sistemik: demam subfebril, kurang dari 50% kasus.
2. Serebral umum: sering dikaitkan dengan peningkatan TIK, yaitu:
a. Nyeri kepala kronis progresif (> 50%)
b. Mual, muntah
c. Penurunan kesadaran
d. Papil edema
3. Serebral fokal:
a. Kejang, sering general (40%)
b. Perubahan status mental (50%)
c. Defisit neurologi fokal motorik, sensorik, dan nervus kranial
(50%)
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium 1,3,21,38,
 Leukositis PMN, peningkatan LED
 Kultur darah positif hanya pada 30% kasus, kultur dari jaringan lain
yang diduga sebagai fokus.
 Kultur terhadap hasil operasi abses menunjukkan 40% negatif,
mungkin disebabkan pemberian antibiotika sebelumnya. 22
 Pungsi lumbal tidak dianjurkan, hasil kurang spesifik, bahaya herniasi
2. Imajing
 CT scan (tanpa dan dengan kontras): pada fase serebritis dijumpai lesi
densitas rendah batas iregular, setelah terbentuk kapsul tebal akan
didapati "ring enhancement".
 MRI lebih sensitif, terutama pada fase awal infeksi dan lesi di daerah
fosa posterior.
3. Penunjang lain:
 EEG: abnormalitas EEC di lokasi lesi berupa gelombang lambat
kontinu
Diagnosis
Diagnosis abses serebri ditegakkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang. Pencitraan otak merupakan gold standard
diagnosis.

79 | B A N U 6
Penatalaksanaan
Penanganan abses serebri harus dilakukan segera, meliputi
penggunaan antibiotika yang sesuai, tindakan bedah (drainase atau eksisi), atasi
edema serebri dan pengobatan infeksi primer lokal. Secara umum pemilihan
rejimen antibiotika empirik sebagai pengobatan first line abses serebri
didasarkan atas sumber infeksi: 24
 Perluasan langsung dari sinus, gigi, telinga tengah: Penicillin G +
Metronidazole + sefalospurin gen III ^ Penyebaran via hematogen
atau trauma penetrasi kepala: Nafcillin + metromdazole +
sefalospurin gen III
 Pos operasi: Vancomisin (untuk MRSA) + seftasidim atau sefepim
(Pseudmnonas)
 Tidak dijumpai faktor predisposisi: Metronidazol + vancomisin +
sefalosporin gen III
Tindakan bedah drainase atau eksisi pada abses serebri diindikasikan untu: 26
 Lesi dengan diameter > 2,5 cm
 Terdapat efek massa yang signifikan ^ Lesi dekat dengan ventrikel
 Kondisi neurologi memburuk
 Setelah terapi 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran
abses tak mengecil.
Terapi medikamentosa saja tanpa tindakan operatif dipertimbangkan pada
kondisi seperti:3,24,27
 Abses tunggal, ukuran kurang dari 2 cm
 Abses multipel atau yang lokasinya sulit dijangkau
 Keadaan kritis, pada stadium akhir
Pengobatan abses serebri biasanya merupakan kombinasi antara
pembedahan dan medikamentosa untuk eradikasi organisme invasif.22 Lama
pengobatan antibiotika tergantung pada kondisi klinis pasien, namun biasanya
diberikan intravena selama 6-8 minggu dilanjutkan dengan per oral 4—8
minggu untuk cegah relap.3,8,17,28 CT scan kepala ulang dilakukan untuk melihat
respon terapi.
Kortikosteroid penggunaannya masih kontrovesial. Efek anti-inflamasi
steroid dapat menurunkan edema serebi dan TIK namun steroid juga
menyebabkan penurunan penetrasi antibiotika dan memperlambat
pembentukan kapsul. Mereka yang menggunakan steroid terutama untuk
indikasi edema serebri masif vane mengancam terjadinya herniasi.10,24
Laporan studi dengan jumlah kasus kecil menunjukkan bahwa terapi
oksigen hiperbarik pada awal pengobatan abses serebri akan memperpendek
lama waktu pemberian antibiotika.29,30

80 | B A N U 6
Di bawah ini akan disajikan beberapa tabel mengenai penyebab status
epileptikus pada infeksi sistem saraf pusat dan interaksi obat anti epilepsi
dengan antibiotik.

Tabel 2. Penyebab Status Epileptikus pada Infeksi Sistem Saraf Pusat

Tabel 3. Interaksi antara obat anti epilepsi dengan antibiotik


Kelas Obat Interaksi Komentar
Antibiotik
Makrolid, Carbamazepin Meningkatkan konsentrasi plasma
seperti Carbamazepin pada pemberian
Eritromisin, Claritromisin dan eritromisin
claritomisin, Phenytoin Meningkatkan konsentrasi plasma
telitromisin Phenytoin pada pemberian Claritromisin

81 | B A N U 6
dan eritromisin
Quinolon, OAE Dapat menurunkan ambang kejang
seperti
Ciprofloxacin,
Levofloxacin,
Moxifloxacin
Umumnya obat anti epilepsi yang enzyme inducer seperti pada OAE
generasi 1, sehingga harus berhati-hati pada pemakaian antibiotik yang bersifat
enzyme inducer.
Kesimpulan
Tidak tertutup kemungkinan banyak pasien dengan infeksi intrakranial
akan mengalami kejang sehingga pemilihan obat anti kejang pada pasien harus
cermat dengan memperhatikan:
1. Sebaiknya diindetifikasi interaksi antara obat anti epilepsi itu sendiri
2. Perlu diperhatikan interaksi antara obat anti epilepsi yang diberikan
dengan obat antibiotik yang diberikan pada pasien.
3. Edukasi pasien mengenai efek samping obat anti kejang
4. Pada pasien dengan kerusakan multi organ handaknya diperhatikan
mengenai metabolisme dan eksresi dari obat anti kejang dan perlu
penyesuaian dengan farmakokinetik dengan obat antibiotik.

Daftar Pustaka
1. Durand ML, Calderwood SB, Weber DJ, Miller SI, Southwick FS, Caviness VS,
Jr. et al. Acute bacterial meningitis in adults. A review of 493 episodes.
N.Engl.J.Med. 1993; 328(1): 21-8.
2. Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery, 5th Ed. Thieme, New York, 2001.
P. 211-6.
3. GilroyJ. Infectious Disease. In: Basic Neurology, 3rd Ed. McGraw-Hill, New
York, 1991, p. 432-9.
4. Kaplan SL, Smith EO. Wills C. Feigin RD. Association between preadmission
oral antibiotic therapy and cerebrospinal fluid findings and sequelae caused
by Haemophilias influenzae type b meningitis. Pediatr.Infect.Dis. 1986; 5(6):
626-32.
5. Kashyap RS, Kainthlal RR Satputel RM, Agarwall NP, Chandakl NH, Purohit HJ
et al. Differential diagnosis of tuberculous meningitis from partially-treated
pyogenic meningitis by cell ELISA. BMC Ncurol. 2006.
6. Roos KL, Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial Meningitis. In: Scheld WM.
Whitley RJ. Marra CM. editors. Infections of the Central Nervous System. 3
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 2004. p. 347-422.

82 | B A N U 6
7. Ross KL. 100 maxim's in neurology: meningitis. Arnold-Hodder Headline
Group. London. 1996. p: 6-34.
8. Samuels MA. Manual of Neurologic Therapeutic, 7th Ed. Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia.
9. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, Kaufman BA, Roos KL, Scheld WM,
Whitley RJ. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis.
Clinical Infectious Diseases 2004; 39: 1267-84.
10. Roper AH dan Samuels MA. Infections of the Nervous Sistem (Bacterial,
Fungal, Spirochetal, Parasite) and Sarcoidosis. In: Principles of Neurology1.
Adam and Victor's. 9L1 Ed. New York - Toronto. McGraw Hill Medical 2009:
667-707.
11. Zugcr A. Tuberculosis. In: Scheld WM, Whitley Rj, Marra CM (eds). Infection
of the central nervous sistem, third ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2004 p. 441-157.
12. Koshy AA dan Jay CA. infections of the nervous sistem. In: Bloom JC and
David RB (eds). Clinical Adult Neurology, third ed. New York. Demos
Medical: 341-343.
13. Rom WN. Tuberculosis, second ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2004 p. 445-458.
14. Krieger S. Neurologic infections. In: Frontera JA (ed). Decision making in
Neurocritical Care. New York: Thieme Medical Publishers. Inc. 2009. p. 134-
148.
15. Jannis J. Tata laksana dan Diagnosis Meningitis tuberkulosis. Dalam:
Pertemuan Regional Jakarta - Bandung- Palembang 24-25 Oktober 1998.
16. KNI PERDOSSI. Standar Kompetensi Spesialis Saraf. Jakarta. , 2008
17. Fisher RS, van Emde Boas W, Blume W, et al. Epileptic seizures and epilepsy:
definitions proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and
the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia 2005; 46: 470–72.
18. Fisher R, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. A practical clinical defi nition of
epilepsy. Epilepsia 2014; 55: 475–82.
19. Fischer RS et al. Revised Classification of seizures. 2017 Accessed at :
https://www.epilepsy.com/article/2016/12/2017-revised-classification-seizures
20. Thurman DJ, Beghi E, Begley CE, et al, and the ILAE Commission on
Epidemiology. Standards for epidemiologic studies and surveillance of
epilepsy. Epilepsia 2011; 52 (suppl 7): 2–26
21. Newton CR, Garcia HH. Epilepsy in poor regions of the world. Lancet 2012;
380: 1193–201

83 | B A N U 6
22. Ngugi AK, Kariuki SM, Bottomley C, Kleinschmidt I, Sander JW, Newton CR.
Incidence of epilepsy: a systematic review and meta-analysis. Neurology
2011; 77: 1005–12.
23. Moshe SL et al. Epilepsy : New Advances. Lancet 2014; 1-15
24. Galanopoulou AS, Moshe SL. Neuronal network mechanisms—sex and
development. In: Faingold C, Blumenthal H, eds. 2013. Neuronal Networks in
Brain Function, CNS Disorders, and Therapeutics. Amsterdam: Elsevier
25. Ono T, Galanopoulou AS. Epilepsy and epileptic syndrome. Adv Exp Med
Biol 2012; 724: 99–113.
26. Kaur H et al. Antiepileptic drugs in development pipeline : a recent update.
eNeurologicalSci. Elsevier 2015;43-46
27. Nice Guideline 137. The epilepsies: The diagnosis and management of the
epilepsies in adults and children in primary and secondary care. National
Institute of Clinical Excellence, London, January 2012 (revised December
2013). http://www.nice.org.uk/nicemedia/live/13635/57779/57779.pdf
28. Glauser T et al. Updated ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy
and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and
syndromes. Epilepsia 2013;1-13
29. de Tisi J, Bell GS, Peacock JL, et al. The long-term outcome of adult epilepsy
surgery, patterns of seizure remission, and relapse: a cohort study. Lancet
2011;378: 1388–95.

84 | B A N U 6
METHANOL AND MUSHROOM INTOXICATION
Sri Sutarni
Departemen Neurologi, Subdivisi Neurotoksikologi
FKKMK/ RSU Sardjito-Yogyakrta

Abstract
Background: Intoxication of methanol and mushroom increase time by time.
Methanol intoxication usually cause by mixture with other solvent, mushroom
intoxication by eating and indigestion.
Aim: give an information how did the toxicity happened, etiology,
pathophysiology, clinical manifestation and management for these intoxication
Results: Methanol has low relative toxicity, except mix with another solvent.
Quickly absorb in gastrointestinal tract then metabolized in the liver. Slow
metabolism makes the accumulation in the body with the outcome is metabolic
acidosis. The early clinical manifestation are CNS depression, eye damage, and
the late period may be coma, seizures, parkinson like syndrome, putamen
necrosis and hemorrhage. Mushroom intoxication cause by irritan of
gastrointestinal with nausea, vomiting, abdomen cramps and diare. Morphology
of mushroom are very important to know before cooking. Clinical manifestation
effect also to kidney, liver, clotting of the blood, electrolyte disturbance etc.
Conclusion: prevent from toxicity is very important, clinical manifestation and
management for these condition need to minimalize the sequele effect.
Keywords: methanol, mushroom, intoxication, clinical manifestation,
management

Abstrak
Latar belakang: keracunan methanol dan mushroom meningkat dari waktu ke
waktu. keracunan methanol biasanya karena campuran dengan pelarut lain,
sedangkan keracunan mushroom terjadi saat dimakan atau masuk saluran cerna
Tujuan: memberikan informasi bagaimana mekanisme terjadinya keracunan,
penyebab, patofisilogi dan penanganannya
Hasil: Sebenarnya methanol mempunyai toksisitas derajat rendah kecuali bila
dicampur dengan pelarut lain. Penyerapan cepat dalam saluran pencernaan,
untuk kemudian dimetaboliser di hepar. Metabolisme yang lambat akan
membuat methanol terakumulasi dalam tubuh dengan akibat asidosis metabolik.
Fase awal berakibat depresi sistema saraf pusat, kerusakan mata, dan pada fase
lanjut berakibat koma, kejang, gejala mirip parkinson, kematian jaringan dan
perdarahan putamen. Keracunan mushroom disebabkan oleh rangsangan
kesistema pencernaan dengan manifestasi mual, muntah, kramp perut dan diare.

85 | B A N U 6
Sangat penting mengetahui morfologi jamur yang sehat sebelum dimasak.
Manifestasi klinis yang dijumpai juga berimbas pada ginjal, hati, waktu
penjendalan darah, gangguan elektrolit, dll.
Kesimpulan: pencegahan terhadap keracunan akibat methanol dan mushroom
sangat penting, manifestasi klinis dan managemen pada kondisi keracunan,
meminimaliser gejala sisa yang mungkin terjadi.
Kata kunci: methanol, mushroom, keracunan, manifestasi klinis, tatalaksana
Latar Belakang
Keracunan methanol dan mushroom meningkat dari waktu ke waktu.
Keracunan methanol biasanya akibat oplosan atau dicampur denga pelarut lain
yang membuat makin meningkatkan tingkat keracunannya 1, sedangkan
keracunan Mushroom atau jamur terjadi setelah dimakan dan berefek pada
pencernaan.2
Keracunan Methanol
Methanol juga diketahui sebagai Wood Alkohol, biasa digunakan
sebagai pelarut organik yang dapat berakibat keracunan. Methanol sering
digunakan sebagai pelarut dalam industri komersial. Masalah yang timbul dari
negara berkembang muncul pada sosioekonomi rendah.
Etiologi dan patofisiologi keracunan Methanol
Methanol sesungguhnya mempunyai tingkat toksisitas yang relative
rendah. Efek samping yang muncul adalah akibat tertimbunnya asam formiat
sebagai hasil metabolisme methanol. Masalah muncul setelah methanol tertelan,
dengan cepat diserap oleh sistema pencernaan, untuk kemudian dimetabolisme
di hati dan dipecah, seperti gambar berikut: 3,4
Metabolisme Methanol dalam tubuh:

Gambar 1. Metabolisme Methanol dalam tubuh


Langkah pertama1 :

86 | B A N U 6
Methanol akan dipecah menjadi formaldehid oleh enzim alkohol
dehidrogenase, dengan waktu paruh antara 1-2 menit, kemudian metabolisme
akan melambat.
Langkah kedua:
Formaldehid dipecah menjadi asam formiat oleh enzim aldehide
dehidrogenase, selanjutnya mengikat oksigen menjadi CO2 + H2O dengan
tetrahidrofolate.
Langkah ketiga:
Melambatnya metabolisme asam formiat berimbas pada akumulasi
dalam tubuh sehingga terjadi asidosis metabolik.
1.3 Manifestasi klinis keracunan methanol 1,4
Pada stadium awal keracunan Methanol, akan menekan sistem saraf
pusat derajat ringan akibat beda osmolalitas yang timbul sehingga terjadi
asidosis metabolik karena terpecahnya asam formiat dan laktat serta kadar
methanol yang cukup tinggi. Periode laten ini mencapai 12 – 24 jam seperti pada
gambar 2.
Periode berikutnya adalah periode lanjut yang berefek pada timbulnya
vertigo, lethargi, koma, kejang, gejala mirip parkinson, kematian jaringan dan
perdarahan putamen.
Efek pecandu alkohol bisa mengenai otak, serta semua target organ
misalnya : paru, hepar, ginjal, pankreas, kelenjar keringat, organ seksual laki2
dan wanita, mulut, esophagus, otot, jantung, perut besar, usus, jari tangan dan
kaki, sistem saraf serta tulang (gambar 2 berikut).

87 | B A N U 6
Gambar 2. Efek pecandu Alkohol

1.4. Kerusakan pada mata: 1


Terjadi akibat terputusnya fungsi mitokondria saraf mata sehingga
menjadi hiperemia, edema dan atrofi nervus optikus. Asam formiat merusak
mielin saraf mata serta demielinisasi nervus optikus. Kerusakan terbesar terjadi
pada retrolaminar saraf mata, pembengkakan didalam akson dan kerusakan
organela. Retina dapat mengecil atau tidak ada perubahan. Penurunan medan
penglihatan, fotofobia, defek pupil, hiperaemia diskus optikus, edema retina,
skotoma sentral dan buta.
1.5 Saluran pencernaan: Nyeri perut, pankreatitis dan transaminitis
1.6 Ginjal: kerusakan ginjal mendadak dan mioglobulinuria walaupun
jarang
Diagnosis
Penggunaan teknik imaging guna mengetahui kaitan manifestasi klinis
yang dijumpai yang berhubungan dengan topik komplikasi neurologi biasanya
sering terjadi pada kasus dengan asidosis berat, terjadi perubahan EKG, sinus
takikardi, perubahan gelombang T yang tidak spesifik.
Funduskopi: beberapa jam setelah menelan methanol terjadi edema retina di
regio perimakula. Perlu observasi terhadap terjadinya edema optik dan
hiperemia dalam 48 jam.
Gangguan gerak: muncul beberapa minggu setelah terpajan, tremor, coghweel
rigidity, stoop posture, shuffling gait dan hipokinesia.
Terapi1,4
Simptomatis, tergantung manifestasi klinis yang dihadapi. Pemberian
fomepizole atau ethanol lewat enzim alkohol dehidrogenase (AD) sebagai
methanol kompetitor. Inhibisi lebih efektif dalam mengikat serta saturasi enzim
AD dalam hepar dapat memblokir ikatan methanol untuk kemudian diekskresi
ginjal yang kurang toksik dibanding formaldehyd dan asam formiat. Enzim AD
juga merubah ethanol menjadi asetaldehide + natrium bikarbonat yang kurang
toksik dari molekul organiknya, sehingga tidak terjadi asidosis metabolik. Bila
kadar S-Formiat mencapai ≥ 3,7 mmol/liter sudah meracuni mata dan indikasi
untuk hemodialisis /hemofiltrasi untuk menarik methanol dan formiat dari darah,
juga sebagai pencegahan kerusakan mata yang berfungsi antidotum sistemik.
Asam folat dapat mengikat formiat. Obat-obatan simptomatis diberikan bila
muncul gangguan gerak, dapat diberikan obat-obat anti parkinson misalnya
levodopa, amantadine, bromocryptine, dll

88 | B A N U 6
Komplikasi1
Gangguan Visus
Mekanisme toksisitas methanol terhadap mata belum diketahui secara
jelas. Kemungkinan metabolit toksik asam Formiat meracuni saraf mata pada
binatang percobaan dan penelitian pada manusia. Kadar methanol lebih dari 20
mg/ dl mengakibatkan kerusakan mata.
Gangguan Gerak
Gejala seperti Parkinson biasanya muncul setelah keracunan methanol
pada fase lanjut. Asam formiat mempunyai predileksi akumulasi pada
konsentrasi yang tinggi di putamen. Fenomena ini juga belum jelas
patofisiologinya. Asam formiat mungkin mengalami kegagalan dalam jalur
dopaminergik serta meningkatnya aktivitas enzim dopa b hidroksilase. Kekakuan
otot mempunyai respon minim dengan obat-obat tradisional
Prognosis
Kadar asam formiat ≥ 11 – 12 mmol/L berakibat gejala sisa pada sistem
saraf pusat serta mata dengan angka kematian cukup tinggi khususnya bila ≥
17,5 mmol/L. Kadar laktat lebih atau sama dengan 7,0 mmol/L atau pH 6,87
mempunyai prognosis jelek mencapai 90% kematian, dan bila bertahan hidup
dengan gejala sisa yang cukup berat. Managemen gangguan asam basa
tergantung jumlah methanol yang masuk kedalam tubuh. Hal ini akan berimbas
pada berat ringannya metabolik asidosis dan makin berat gangguan asam basa
akan makin jelek prognosisnya. Jumlah akumulasi asam formiat dalam darah
mempunyai hubungan langsung dengan morbiditas dan mortalitas pasien.
Keracunan Mushroom / Jamur5,6
Keracunan Mushroom akan merangsang sistem pencernaan 20 menit
sampai 4 jam setelah makan. Manifestasi klinis yang muncul berupa: mual,
muntah, perut kram serta diare.
Penting mengetahui morfologi jamurnya terlebih dahulu. Pada kondisi
normal jamur segar atau setelah dimasak selama 7 – 10 hari, dilihat warna serta
baunya, mengandung vitamin D, mineral serta protein. Kondisi aman untuk
dimakan, kebersihan, mencegah penyebaran racun lewat lalat atau binatang
pengerat dapat mencegah penyebaran lewat Food borne illness. Dalam kondisi
potongan bertahan selama 5 – 7 hari, dan beku dapat bertahan 6 – 8 bulan.

89 | B A N U 6
Gambar 3. Kondisi mushroom normal
Kondisi Abnormal
Kondisi mushroom beracun berbeda dengan mushroom yang fresh
dan segar. Permukaan biasanya lebih tipis, warna lebih gelap, mudah rusak.
Terjadi perubahan warna saat dipotong. Tudung jamur berwarna kecoklatan.
Ukuran, ketebalan dan baunya berbeda dibanding dengan mushroom normal.

Gambar 4. Kondisi mushroom abnormal

Manifestasi Klinis Intoksikasi Mushroom5


Gejala saluran pencernaan berupa: berak darah, rasa di perut tidak
nyaman, perut kram. Kegagalan fungsi ginjal dan hepar, serta gangguan
penngentalan darah dan efek halusinogen.
Terjadinya rhabdomiolisis akan mengganggu pernafasan, inflamasi di
sel otot jantung menyebabkan miokarditis yang berakhir dengan kematian.
Satu minggu setelah makan jamur munculah asam acronylic sebagai
neurotransmitter glutamat. Kemudian terjadi gangguan elektrolit yang dapat
dilihat dari gambar dibawah ini:

90 | B A N U 6
Gambar 5. Gangguan Elektrolit
Managemen Keracunan Mushroom6:
Hentikan konsumsi mushroom penyebab keracunan makanan serta
segera koreksi elektrolit. Setelah 6 – 24 jam mushroom tertelan, fungsi ginjal dan
hepar masih baik, tetapi setelah 24 jam diperlukan obat anti muntah atau
memuntahkannya bila memungkinkan, hentikan diare dengan memberikan
relaksan otot, atau obat anti diare, serta vitamin K. Bila terjadi kerusakan di ginjal
dan hati, maka akan terjadi perdarahan akibat gangguan faktor pengentalan
darah. Haloperidol diberikan bila terjadi halusinasi serta anti oksidan guna
mencegah efek karsinogen.
Kesimpulan
Prevalensi keracunan methanol serta mushroom meningkat dari waktu
ke waktu. Edukasi pada pasien khususnya untuk generasi muda tentang bahaya
racun methanol. Bagaimana cara mencegah keracunan methanol, efek samping
yang bersifat ireversibel khususnya terhadap mata, kognitif, gangguan fungsi
hepar dan ginjal perlu dicermati. Managemen keracunan methanol dengan
pemberian ethanol, fomepizole, dan hemodialisis.
Untuk racun mushroom dilihat terlebih dahulu warna, kesegaran,
warna dan texturenya. Observasi bila ada efek halusinogenik, kardiogenik, dan
karsinogenik. Jauhkan mushroom dari penderita, awasi gejala pencernaan, ginjal,
hepar, serta waktu pengentalan darah harus diperiksa.
Koreksi Elektrolit dan pengobatan simptomatis perlu dilakukan untuk
keracunan mushroom.

Daftar Pustaka
1. Sutarni S, Gofir A, Malueka RG. Sari Neurotoksikologi cet 1. Pustaka
Cendekia, Yogyakarta. 2007

91 | B A N U 6
2. Koppe LC. Clinical symptomatology and managemen of Mushroom
intoxication poisoning. 1993. http://www.ncbi.nlm.noh.gov .pubmed
3. Korabitha K. Methanol toxicity: background, etiology and
pathophysiology. 2017. http://emedicine medscape.com
4. Kraut JA approved to the treatment of Methanol intoxication
Am.J.Kidney dis 68(1):161-7, 2016
5. Erguven M. Mushroom posoning. Indian J. Pediatr. 2007
http://www.ncbi.nln
6. Horowitz BZ. Mushroom toxicity treatment and management
approach. 2015. http://emedicine medscape.com

92 | B A N U 6
NEUROLOGICAL ASPECT OF DROWNING
I Wayan Widyantara
Neurology Department, Faculty of Medicine
Udayana University/Sanglah Hospital
Denpasar, Bali

1. PENDAHULUAN.
Tenggelam adalah peristiwa perendaman atau perendaman dalam
cairan yang menyebabkan gangguan pernafasan. Definisi ini dibuat pada tahun
2002 oleh The Brain Resuscitation Task Force yang bertemu selama World
Congress on Drowning, karena berbagai definisi tenggelam (Suominen dan
Vahatalo, 2012). Tenggelam, meskipun definisi yang relatif sederhana, ternyata
menjadi penyebab utama ketiga kematian karena kecelakaan di seluruh dunia
dengan 7% dari semua kematian yang terkait dengan cedera, sementara muncul
di urutan kedua di bawah masalah yang sama di antara anak-anak berusia 1
hingga 14 tahun di AS.1
2. EPIDEMIOLOGI.
Pada tahun 1970, tenggelam adalah penyebab kematian ketiga di AS,
yang mengakibatkan 7.860 kematian di AS saja dan sekitar 15.000 kematian di
seluruh dunia.2 Dalam perspektif yang lebih luas, ada 80.000 orang korban
tenggelam dapat bertahan hidup setiap tahun, dengan 6.000 orang meninggal
karenanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sekitar 1 dari 13 orang
meninggal karena tenggelam. Di antara mereka, hampir setengah dari usia
muda (yaitu kurang dari 20 tahun). Bahkan, data epidemiologi yang lebih baru
menunjukkan bahwa tenggelam menjadi penyebab utama kematian pada
kelompok usia 5 hingga 14 tahun.3 Sebuah studi epidemiologi yang melihat ke
dalam profil pasien yang tenggelam di Turki telah menunjukkan bahwa usia rata-
rata anak-anak tenggelam adalah 4,2 tahun dengan balita (0-4 tahun) menjadi
kelompok usia yang paling sering oleh hampir 70%.4 Mungkin insiden tenggelam
yang lebih representatif dapat diperoleh dengan data dari Thailand yang
menunjukkan 107 per 100.000 anak-anak berusia 2 tahun.5 Ada beberapa faktor
risiko independen untuk tenggelam dan ini termasuk usia kurang dari 14 tahun,
jenis kelamin laki-laki, penggunaan alkohol, berada di negara berpenghasilan
rendah, berada di daerah pedesaan, pendidikan rendah, paparan air, perilaku
berisiko, dan kurangnya pengawasan.
3. DEFINISI.
Pada tahun 2002, The Brain Resuscitation Task Force yang bertemu di
World Congress on Drowning telah membentuk consensus ahli mengenai
definisi tenggelam. Dinyatakan bahwa "tenggelam adalah proses mengalami
gangguan pernafasan dari perendaman / pencelupan dalam cairan". 6 Oleh

93 | B A N U 6
karena itu, definisi menunjukkan suatu proses daripada definisi "staccato". Ini
berimplikasi pada definisi berikutnya, yaitu jika korban dapat diselamatkan, itu
didefinisikan sebagai tenggelam tidak fatal. Namun, jika korban meninggal
setiap saat sebagai akibat dari tenggelam, maka itu disebut sebagai tenggelam
fatal. Lebih jauh lagi, ahli konsensus juga menghapuskan istilah-istilah yang tidak
spesifik seperti “hampir tenggelam, kering/basah tenggelam, tenggelam
sekunder, atau tenggelam aktif/ pasif”.
4. PATOFISIOLOGI.
Ketika seseorang dalam proses tenggelam, ada batas di mana dia
tidak bisa lagi menahan saluran udara mereka dan akhirnya air akan mengalir ke
mulut, yang akan meludah atau tertelan. Korban kemudian akan mencoba yang
terbaik untuk menahan nafas mereka. Tetapi pada akhirnya, mereka tidak akan
lagi mampu menahan dorongan pernapasan mereka. Ketika mereka akhirnya
mencoba untuk menghirup, sebagian air akan tumpah ke saluran pernapasan
dan memicu batuk. Selama proses ini, kadang-kadang air yang disedot juga
memicu laringospasme, meskipun sebentar, karena mekanisme pelepasan
sebagai konsekuensi dari hipoksia otak. Ketika proses tenggelam terus
berlangsung (atau orang tersebut tidak diselamatkan), air akan terus mengalir
masuk dan hipoksia menyebabkan hilangnya kesadaran, apnea, dan henti
jantung.7 Dinyatakan bahwa proses tenggelam terjadi secara singkat,
berlangsung dari detik ke menit. Hasil akhir dari air yang disedot ke paru-paru
bisa berakibat fatal. Akibatnya menyebabkan disfungsi alveoli yang diinduksi air
(edema paru), kehilangan surfaktan, dan peningkatan permeabilitas membran
alveolar-kapiler, yang semuanya mengakibatkan penurunan komplians paru,
peningkatan area dengan ventilasi yang sangat rendah atau nol hingga perfusi
paru-paru, atelektasis, serta bronkospasme.8
Tenggelam juga memiliki efek mendalam pada otak korban. Hipoksia
akibatnya menyebabkan cedera otak hipoksia atau anoxic dan iskemik (yang
disebut cedera hipoksik/anoksik/HAI). Diketahui bahwa sel-sel otak hanya dapat
bertahan sekitar 4 menit dalam ketiadaan atau berkurangnya suplai oksigen (mis.
anoksia dan hipoksia serebri). Selanjutnya, hipoksia berarti suplai oksigen
berkurang meskipun perfusi darah yang cukup ke organ. Ketika HAI terjadi, ia
bertanggung jawab atas hilangnya kesadaran selama tenggelam dan sekuele
neurologi pada penderita tenggelam yang selamat.
5. DIAGNOSIS.
Dampak neurologis dari tenggelam jelas dapat dikonfirmasi oleh
riwayat tenggelam (yaitu perendaman atau perendaman ke dalam air) dan
manifestasi neurologis berikutnya yang mengikuti. Dilaporkan bahwa korban
yang tenggelam dapat menderita ataksia, disartria, dan tetraplegia, serta

94 | B A N U 6
gangguan memori, dan defisit visuospasial.9 Bahkan, temuan yang paling umum
pada kasus berat HAI yang diinduksi tenggelam terdiri dari kombinasi memori
dan defisit motorik dengan gangguan fungsi eksekutif,10 dan defisit lain yang
kurang umum termasuk kelancaran semantic verbal panjang dan pendek, serta
pembelajaran verbal bila dibandingkan dengan kasus-kasus HAI akibat gagal
napas.11 Pada korban tenggelam anak, gangguan neurologis yang dilaporkan
berupa defisit motorik seperti gangguan keterampilan motorik halus serta
memori dan defisit eksekutif, meskipun jarang.12,13
Studi terbaru juga menggabungkan beberapa modalitas pencitraan
untuk konfirmasi prognostik. Selanjutnya, seperti yang dinyatakan sebelumnya,
bagian otak yang sering cedera akibat tenggelam adalah ganglia basalis, 14
hipokampus,15 dan korteks serebri oksipital dan parietal. Sebagai contoh, MRI
dapat menunjukkan pola karakteristik hiperintensitas sinyal, bergantung pada
area yang terpengaruh (misalnya ganglia basalis, hipokampus, oksipital, atau
korteks parietal).16,17 Selain itu, kepala MRI atau CT scan juga mampu
menunjukkan edema otak (meskipun dalam kasus ini, MRI lebih andal, karena itu
lebih umum digunakan).17
Sebuah penelitian membandingkan hasil MRI struktural dan
fungsional dan pemeriksaan neuropsikologi dari orang yang selamat kronis
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Studi ini tidak menemukan perbedaan
antara kelompok yang selamat dan kelompok kontrol dalam hal penilaian
neuropsikologis, dan MRI struktural. Namun, fMRI menunjukkan peningkatan
respon otak di area motorik (putamen kiri dan insula), dan fungsi memori
(kuneus kiri dan girus lingualis) di antara yang selamat. Para peneliti
menyimpulkan bahwa perubahan otak fungsional di area motorik dan visual
dapat menandakan kapasitas otak berkurang tanpa adanya perubahan struktural
dan neurobehavioral. Selanjutnya, ketika korban tenggelam diberikan tugas
motorik, putamen kiri lebih jelas mengalami aktivasi jika dibandingkan dengan
kontrol, menunjukkan bahwa area ini mungkin bertanggung jawab untuk
adaptasi di area klasik perekrutan dari jaringan area motor. Bahkan, putamen
lebih aktif menjalankan fungsi motorik pada populasi lansia, sejalan dengan
penurunan kinerja yang diamati terlihat di antara korban yang tenggelam. 18
Sementara itu, pemeriksaan pendukung yang relatif sederhana seperti
EEG, terutama secara berkelanjutan sangat bermanfaat dalam memprediksi hasil
klinis korban yang tenggelam.13 Misalnya, tanggapan terhadap rangsangan
pendengaran dan nyeri merupakan petunjuk prognostik yang penting daripada
EEG dominan tunggal.19 Selain itu, burst atau generalized suppression, status
epileptikus, atau non-reaktif. Selain itu, somatosensory evoked potential juga
dapat digunakan dalam prognostikasi karena tidak dipengaruhi sedasi dan

95 | B A N U 6
gangguan metabolik bila dibandingkan dengan EEG, meskipun dengan tingkat
akurasi yang lebih rendah.
Dalam hal evaluasi laboratorium, beberapa penanda dapat berguna
dalam membantu diagnosis dan masalah prognosis. Misalnya, asidosis laktat
berat dan hiperglikemia yang sering ditemukan pada korban dengan waktu
perendaman dan resusitasi yang lama, maka dapat digunakan sebagai pertanda
untuk prognosis yang buruk, kecuali bila ditemukan pada anak-anak hipotermik
yang tenggelam dalam air dingin.20
6. TATALAKSANA.
Resusitasi awal melibatkan menempatkan korban dalam posisi
terlentang dengan kepala dan tubuh pada tingkat yang sama. Jika korban masih
aktif bernapas dalam kondisi tidak sadar, maka korban harus ditempatkan dalam
posisi dekubitus lateral. Resusitasi jantung-paru (RJP) harus dimulai segera.
Diketahui bahwa tenggelam dapat menyebabkan pola napas gasping atau
apnea ketika jantung masih berdetak. Dalam hal ini, ventilasi tanpa kompresi
dada cukup untuk resusitasi. Selain itu, henti jantung ketika terjadi pada korban
tenggelam, cenderung karena kurangnya suplai oksigen. Oleh karena itu, RJP
dengan ABC relatif terhadap urutan CAB dianjurkan. European Resusciation
Council merekomendasikan lima langkah resusitasi pernapasan, bukan dua
karena ventilasi awal lebih sulit dicapai karena air yang terperangkap di dalam
alveoli menghambat difusi gas. Secara epidemiologis, tingkat keberhasilan RJP
pada korban tenggelam relatif lebih tinggi dibandingkan henti jantung-
pernapasan akibat kausa lain (misal: serangan jantung), dikarenakan usia mereka
yang biasanya lebih muda.

96 | B A N U 6
Gambar 1. Skenario resusitasi pada penderita tenggelam.21

Selanjutnya, korban harus ditangani dengan tepat oleh tim Advanced


Life Support. Spzilman dkk21 merekomendasikan penggolongan korban ke dalam
6 jenis triase yang berbeda, di mana setiap skenario akan diperlakukan berbeda,
disesuaikan dengan kebutuhan dan prediksi kelangsungan hidup mereka
(gambar 1).
Pemberian oksigen aliran tinggi (hingga 15 liter per menit) dapat
dibenarnkan dalam kondisi akut. Kapanpun korban menunjukkan tanda
kelelahan pernafasan atau eksaserbasi, pasien dapat diintubasi dan dibantu

97 | B A N U 6
ventilasi mekanik. Saturasi oksigen ditargetkan antara 92% dan 96%.
Hemodinamik harus distabilkan dengan infus kristaloid intravena setiap kali
korban menunjukkan gangguan hemodinamik, terlepas dari jenis tenggelam (air
tawar atau air asin). Perawatan lanjutan biasanya dilakukan di ruang perawatan
intensif dimana korban akan dirawat sesuai dengan protokol ARDS. Diketahui
bahwa korban tenggelam pulih lebih cepat dan lebih baik daripada pasien
dengan ARDS karena penyebab lain. Penyapihan ventilasi mekanik dapat dimulai
setelah 24 jam. Salah satu komplikasi paru yang penting untuk ditangani adalah
pneumonia, meskipun hanya 12% pasien korban tenggelam yang pada akhirnya
akan membutuhkan terapi antibiotik untuk pneumonia.22
Dari perspektif neurologis, ketika RJP dilakukan, terdapat risiko
kerusakan neurologis yang serupa. Dalam hal ini, hipotermia terapeutik dapat
memberikan efek protektif. Hipotermia mengurangi konsumsi oksigen otak,
menunda anoksia seluler, dan penurunan ATP yang dependen terhadap susu
tubuh. Diketahui bahwa tingkat konsumsi oksigen otak berkurang sekitar 5%
dengan setiap 1 ℃ penurunan suhu dalam kisaran 37 ℃ hingga 20 ℃.23 Bahkan,
European Resuscitation Council merekomendasikan hipotermia yang diinduksi
selama 12-24 jam untuk anak-anak yang tetap koma setelah resusitasi, meskipun
kurangnya bukti.24 Rekomendasi serupa juga telah diadvokasi untuk korban
dewasa.21
7. PROGNOSIS.
Prognosis setelah tenggelam bervariasi tergantung pada berbagai
faktor. Di antara kelompok pediatrik, 52 dari 54 korban yang tenggelam di air
tawar dengan rata-rata waktu di dalam air sekitar 3,7 menit tidak mengalami
defisit neurologis permanen. Dilaporkan bahwa korban selamat yang memiliki
prognosis baik adalah mereka yang memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi
daripada populasi umum dan ini mungkin terkait dengan aspek visuomotor yang
lebih superior, sehingga memiliki kesintasan yang lebih baik pula. Namun,
kerusakan otak permanen dapat lebih umum daripada yang diharapkan karena
sekitar 10% dari korban menderita komplikasi neurologis yang berat. 25 Rupanya,
hasil klinis bergantung pada resusitasi sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasrullah M, Muazzam S: Drowning Mortality in the United States, 1999–
2006. J Community Health 2011, 36:69–75.
2. Layon JA, Modell JH. Drowning: update 2009. Anesthesiology 2009; 110-
1390-401.
3. WHO. Injuries and violence prevention: noncommunicable  diseases  and 
mental  health: fact sheet on drowning. Geneva:  World

98 | B A N U 6
Health Organization. 2003.http://www.who.int/violence_injury_prevention/ ot
her_injury/drowning/en/index.html [diakses: 1 Agustus 2018].
4. Taskesen M, Pirinccioglu AG, Yaramis A. Drowning and Near-Drowning in
Children in the Southeast of Turkey. JAEM 2015; 14: 16-8.
5. Linnan  M, Anh  LV, Cuong PV, dkk.  Special series on child injury: child
mortality  and  injury  in  Asia:  survey  results  and  evidence.  Florence,  Italy: 
UNICEF  Innocenti Research Center, 2007.
6. Van Beeck EF, Branche CM, Szpilman  D, Modell  JH,  Bierens  JJLM. A new
definition of  drowning:  towards  documentation  and  prevention  of  a 
global  public  health problem. Bull World Health Organ  2005; 83: 853-6.
7. Grmec  S,  Strnad  M,  Podgorsek  D.  Comparison  of  the  characteristics  and 
outcome among patients suffering from  out-of-hospital primary cardiac
arrest and  drowning victims in cardiac arrest. Int  J  Emerg Med 2009; 2: 7-12.
8. Orlowski JP,  Abulleil MM, Phillips JM. The hemodynamic and cardiovascular
effects of near drowning in hypotonic, isotonic, or hypertonic solutions. Ann
Emerg  Med 1989; 18: 1044-9.
9. Nucci MP, Lukasova K, Sato JR, Jr AE. Brain injury after moderate drowning:
subtle alterations detected by functional magnetic resonance imaging.
Brain Imaging and Behavior 2016: 1-11.
10. Lim C, Alexander MP, LaFleche G, Schnyer DM, Verfaellie M. The
neurological and cognitive sequelae of cardiac arrest. Neurology 2004;
63(10): 1774–8.
11. Garcia-Molina A, Roig-Rovira T, Enseñat-Cantallops A, dkk.
Neuropsychological profile of persons with anoxic brain injury: differences
regarding physiopathological mechanism. Brain Injury 2006; 20(11): 1139–45.
12. Hughes SK, Nilsson DE, Boyer RS, dkk. Neurodevelopmental outcome for
extended cold water drowning: a longitudinal case study. Journal of the
International Neuropsychological Society 2002; 8(4): 588–95.
13. Suominen PK, Sutinen N, Valle S, Olkkola, KT, Lönnqvist T. Neurocognitive
long term follow-up study on drowned chil dren. Resuscitation 2014; 85(8),
1059–64.
14. Nucci-da-Silva MP, Amaro Jr E. A systematic review of magnetic resonance
imaging and spectroscopy in brain injury after drowning. Brain Injury 2009;
23(9): 707–14.
15. Samuelson H, Nekludov M, Levander M. Neuropsychological outcome
following near-drowning in ice water: two adult case studies. Journal of the
International Neuropsychological Society 2008; 14(4): 660–6.
16. Howard RS, Holmes PA, Koutroumanidis MA. Hypoxic-ischaemic brain
injury. Pract Neurol 2011, 11:4–18.

99 | B A N U 6
17. Haque IU, Udassi JP, Zaritsky AL. Outcome following cardiapulmonary
arrest. Pediatr Clin North Am. 2008 55: 969–87.
18. Mathys C, Hoffstaedter F, Caspers J, dkk. An age-related shift of resting-
state functional connectivity of the subthalamic nucleus: a potential
mechanism for compensating motor performance decline in older adults.
Frontiers in Aging Neuroscience 2014; 23(6): 178.
19. Cheliout-Heraut F, Sale-Franque F, Hubert P, Bataille J. Cerebral anoxia in
near-drowning of children. The prognostic value of EEG. Neurophysiol Clin
1991, 21:121–132.
20. Kemp AM, Sibert JR. Outcome in children who nearly drown: a British Isles
study. BMJ 1991, 302: 931–33.
21. Spilzman D, Bierens J JLM, Handley AJ, Orlowski JP. Drowning. N Engl J
Med 2012; 366: 2102-10.
22. Van Berkel M, Bierens JJ, Lie RL, dkk.  Pulmonary oedema, pneumonia and
mortality in submersions victims: a retrospective study in 125 patients.
Intensive Care  Med 1996; 22: 101-7.
23. Polderman KH. Application of therapeutic hypothermia in the ICU:
opportunities  and  pitfalls  of  a  promising  treatment  modality.  Part  1: 
indications  and  evidence. Intensive Care  Med 2004; 30: 556- 75.
24. Biarent D, Bingham R, Eich C, dkk. European resuscitation council guidelines
for resuscitation 2010. Section 6.Paediatric life support. Resuscitation 2010,
8:1364–88.
25. Quan L. Near-drowning. Pediatr Rev 1999; 20: 255-60.

100 | B A N U 6
ENCEPHALOPATHY OR ENCEPHALITIS?
Ni Putu Witari
Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah
Hospital
Denpasar, Bali

Penurunan kesadaran merupakan kedaruratan medis sering


dikonsulkan ke bagian neurologi baik di UGD maupun di ruang perawatan.
Sangat penting untuk mengetahui penyebab penurunan kesadaran karena
beberapa kondisi dapat reversibel sempurna atau fatal bergantung pada cepat
dan tepatnya penganan. Hal ini memerlukan anamnesis, pemeriksaan klinis
neurologis dan penunjang yang tepat (laboratorium, lumbal punksi, imejing, EEG
maupun evoked potential.1,2
Penyebab penurunan kesadaran secara umum terbagi atas dua
kelompok besar yaitu kelainan struktural otak dan penyakit yang mengakibatkan
kelainan otak multifokal, diffus, dan ensefalopati metabolik. Contoh kelainan
struktural otak adalah massa intraserebral supratentorial maupun infra tentorial;
massa epidural, dural, subdural; perdarahan epidural, subdural maupun
intraserebral, stroke, kontusio serebri, dan cedera kepala traumatik lainnya;
penyakit infeksi dan inflamasi yang menimbulkan lesi destruktif seperti ensefalitis
dan ensefalomielitis akut diseminata (acute disseminated
encephalomyelitis/ADEM)1,2
Pada evaluasi awal sangat penting membedakan kedua kelompok ini
dengan cepat melalui anamnesa yang cermat (awitan, keluhan sebelum
penurunan kesadaran, riwayat trauma, riwayat penyakit dan pengobatan
sebelumnya, riwayat pemakaian zat, riwayat bepergian, riwayat kontak dengan
hewan atau pekerjaan tertentu) dan pemeriksaan klinis neurologis yang teliti.
Secara umum pada kelainan struktural, dalam pemeriksaan klinis neurologis akan
ditemukan tanda-tanda kerusakan fokal spesifik melalui evaluasi pola nafas,
evaluasi motorik, respon okulomotorik, respon pupil, dan pemeriksaan
penunjang.1,2
Penyebab disfungsi otak yang difus bisa diakibatkan oleh proses
inflamasi dan non inflamasi jaringan otak. Proses inflamasi jaringan otak ada
yang disebabkan oleh infeksi langsung terhadap jaringan otak (ensefalitis) dan
oleh proses non infeksi seperti ADEM, AHLE yang terjadi karena reaksi imun
setelah suatu infeksi maupun setelah vaksinasi ataupun ensefalitis imun pada
sindroma paraneoplastic neurologik. Proses non inflamasi yang menyebabkan
disfungsi otak difus (ensefalopati) ada akibat infeksi sistemik (tifoid ensefalopati,

101 | B A N U 6
malaria serebral), ada terkait sepsis, ada terkait kelainan metabolik dan
elektrolit.2-4
1. Ensefalitis
Ensefalitis adalah adanya proses peradangan parenkim otak dengan
bukti klinis disfungsi otak. Ini bisa disebabkan oleh infeksi difus (biasanya oleh
virus) dan kondisi non-infektif seperti ADEM, AHLE, NMDA reseptor ensefalitis,
VGKC reseptor ensefalitis, limbik enseflalitis yang kemungkinan merupakan
paraneoplastik syndrome terkait proses imun.2,5
1.1. Ensefalitis
Virus herpes simpleks tipe 1, VZV, EBV, gondok, campak dan
enterovirus bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus ensefalitis virus pada
individu imunokompeten.2 Virus menghancurkan jaringan dengan invasi
langsung dan sebagai akibat dari respon imun terhadapnya. Mereka lebih lanjut
dapat merusak fungsi neurologis akibat racun yang dihasilkan serta akibat sitokin
dan prostaglandin yang hadir karena menanggapi adanya infeksi yang
mengganggu fungsi neuron.1
Meskipun bakteri, jamur, dan parasit dapat menyerang otak
(encephalitis) dengan atau tanpa keterlibatan meninges (meningoencephalitis),
mereka cenderung membentuk infeksi lokal. Meskipun banyak virus dapat
menyebabkan ensefalitis, termasuk sejumlah virus nyamuk dengan variasi
regional dalam prevalensi, sejauh ini penyebab paling umum dan serius dari
sporadis ensefalitis adalah tipe herpes simpleks I, selain HSV dan enterovirus.1,2
Pemeriksaan rutin LCS tidak terlalu membantu. Biasanya ada
pleocytosis dengan jumlah sebanyak 100 sel dan konsentrasi protein rata-rata
100 mg / dL. Eritrosit mungkin atau mungkin tidak ada. Sebanyak 10% pasien
mungkin memiliki pemeriksaan LCS normal ketika awal masuk. Namun, deteksi
PCR virus herpes simplex di LCS sangat membantu diagnostik. EEG dapat
membantu jika menunjukkan perlambatan atau aktivitas epileptiform yang
timbul dari lobus temporal. CT dan MRI sangat membantu, menunjukkan edema
dan kemudian destruksi terutama di lobus temporal dan frontal, dan sering di
korteks insular. Kerusakan awalnya bisa unilateral tetapi biasanya dengan cepat
menjadi bilateral. Diagnosis banding mencakup bentuk-bentuk lain dari
ensefalitis termasuk bakteri dan virus, dan bahkan astrocytomas di lobus
temporal medial, yang mungkin muncul dengan kejang dan lesi densitas rendah
yang halus.1,2,6
Tanda-tanda tambahan mungkin termasuk gangguan otonom dan
hipotalamus, diabetes insipidus dan SIADH. Gejala dan manifestasi klinis bukan
merupakan petunjuk diagnostik yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi
penyebab. Demikian juga, perjalanan penyakit dan keparahannya tergantung

102 | B A N U 6
pada host dan faktor-faktor lain seperti kekebalan dan usia. Secara umum,
pasien sangat muda dan sangat tua menunjukkan mnaifestasi klinis lebih berat.2,6
Pencitraan, punksi lumbal dan pemeriksaan LCS rutin serta EEG akan membantu
penegakan diagnosis sementara pemeriksaan spesifik terhadap kemungkinan
patogen penyebab (PCR, antibodi spesifik, kultur, pengecatan) akan sangat
membantu menegakkan kuman penyebab.1,6
1.2. Ensefalitis akibat Respon Imum
ADEM adalah kelainan demielinasi inflamasi sistem saraf pusat,
sebagian besar monophasic, terjadi terutama pada anak-anak dan infant.
Umumnya terjadi paska infeksi (terutama virus) dan vaksinasi. Paska infeksi virus
yg dihubungkan dengan ADEM antara lain Measles, Mumps, Rubella, Varicella,
Influenza A or B, Rocky Mountain spotted fever, HIV, HTLV-1, Hepatitis A or B,
Herpes simplex, Human herpes virus 6, Epstein-Barr, Cytomegalovirus, Vaccinia
dan Coxsackie. Sedangkan paska infeksi bakteri yang dihubungkan dengan
ADEM antara lain paska infeksi Mycoplasma, Leptospira, Chlamydia, Legionella,
Borrelia, Campylobacter dan Streptococcus. Vaksinasi yang dilaporkan
berhubungan dengan ADEM adalah Rabies, Diphtheria–tetanus–polio, Smallpox,
Measles, Japanese B encephalitis dan Hog.3,5,7
Klinis neurologis ADEM bervariasi, terdapat manifestasi fokal dan
global, onset cepat, perkembangan dalam jam dan mencapai puncak dalam
beberapa hari. Dapat dijumpai meningismus, sakit kepala, dan demam. Kejang
lebih sering pada ADEM pascainfeksi daripada setelah vaksin. Kesadaran dapat
menurun hingga koma. Gejala psikosis dapat terjadi. Gejala fokal sangat
heterogen dan tergantung lokasi dan derajat inflammatory–demyelinating
process pada CNS. Defisit multifokal merupakan kombinasi lesi pyramidal dan
serebelum. Sistem saraf perifer dapat juga terlibat terutama pada ADEM paska
vaksinasi Rabies.3,5,7
Leucoencephalomyelitis haemorrhagic akut (AHLE) sangat jarang,
lebih berat (sering fatal) dari ADEM yang mungkin mewakili gradien keparahan
penyakit yang sama. Analisis cairan serebrospinal (CSF) didapatkan tekanan
intrakranial meningkat dan reaksi seluler pleomorfik dengan limfosit, neutrofil,
dan sejumlah besar eritrosit, yang mencerminkan proses mikro-haemorrhagik.3,5,7
Ensefalitis yang terkait paraneoplastik neurologi sindroma (PNS)
sangat jarang. Di ataranya adalah ensefalitis anti NMDA reseptor dan voltage
gate kalium channel encephalitis yang menyebabkan ensefalitis limbik, maupun
PNS ensefalomyelitis. Patogenesis belum seluruhnya diketahui, namun diyakini
sebagai gangguan akibat immune-mediated. Bukti yang mendukung hal ini
adalah adanya antibodi terhadap antigen kanker sekaligus terhadap sel saraf
normal. Tumor secara ektopik mengekspresikan antigen yang biasanya secara

103 | B A N U 6
eksklusif diekspresi hanya pada sistem saraf. Struktur antigen dalam tumor
identik dengan struktur antigen saraf normal yang oleh sistem kekebalan tubuh
dianggap sebagai benda asing, yang menyebabkan terbentuknya antibodi
paraneoplastik.8,9
Kecurigaan yang menunjuk ke arah PNS, disamping adanya 'sindrom
klasik' seperti ensefalitis limbik yang sering disertai gejala psikiatrik, kejang dan
gerak involunter, adalah perjalanan klinis subakut dan progresif, mengenai
berbagai area SSP dan atau perifer dan adanya faktor risiko tumor yang tinggi
pada individu (misalnya merokok, penurunan berat badan, dll.). Langkah
diagnosis pada dugaan PNS adalah membuktikan bahwa sindroma tersebut
imune mediated dan menyingkirkan diagnosis deferensial yang mungkin
mendasari (8,9).
2. Ensefalopati
Ensefalopati menurut Collins Dictionary of Medicine didefinisikan
sebagai setiap gangguan degeneratif atau non-inflamasi lainnya yang
mempengaruhi otak secara luas. Menurut Chaudhuri, Ensefalopati adalah
disfungsi otak non inflammatory yang difus. Penyebab ensefalopati sangat luas
dan beragam meliputi masalah metabolik, toksik bahan eksogen maupun
endogen, juga gangguan elektrolit. Ensefalopati dapat tampil dalam berbagai
spektrum klinis dari ringan sampai berat dengan ancaman nyawa; dapat berupa
gangguan atensi, memori, perubahan personalitas hingga stupor atau koma.
Terminologi ensefalopati sering didahului berbagai istilah yang merujuk pada
kondisi spesifik yang menjadi penyebabnya. Berikut berbagai penyebab
penurunan kesadaran yang bersifat multifokal, difus dan penyakit metabolik
yang menyebabkan stupor dan koma.1,4
2.1. Ensefalopati terkait infeksi sistemik
Pada malaria serebral, ensefalopati terjadi akibat sekuestrasi eritrosit
yang terinfeksi parasit, mempersempit lumen vaskular dan mempengaruhi
mikrosirkulasi organ vital termasuk otak, suplay nutrisi ke otak berkurang.
Penyumbatan microvessel ini juga merusak BBB akibat hipertensi lokal yang
merusak tight junction. Selain itu deformabilitas eritrosit yang terinfeksi parasit
maupun yang tidak terinfeksi sangat berkurang, eritrosit menjadi kaku terutama
saat melewati mikrovaskular. Kesemuanya bersinergi menyebabkan hipoksia
dengan asidosis laktik, disfungsi organ dan kematian. Faktor lainnya juga
berperan seperti adanya kejang, asidosis atau hipoglikemia.10,11
Pada demam Typhoid, dehidrasi berat terkait penurunan asupan oral
dan meningkatnya insensibible water loss menyebabkan gangguan perfusi
jaringan termasuk otak, bertanggung jawab pada terjadinya ensefalopati tifoid.

104 | B A N U 6
Selain ensefalopati, tifoid juga dilaporkan menyebabkan inflamasi non infeksi
pada jaringan otak akibat proses imun berupa ADEM.12
2.2. Ensefalopati Metabolik
Setiap pasien dengan koma metabolik memiliki gambaran klinis
berbeda, tergantung penyakit kausatifnya, kedalaman koma, dan komplikasi
yang diberikan oleh penyakit komorbid atau pengobatan mereka. Diagnosis
ditegakkan dengan mengeksklusi kemungkinan kelainan struktural dan juga
etiologi lainnya (gangguan elektrolit, endokrin ataupun intoksikasi). Karenanya
pasien yang dicurigai mengalami ensefalopati metabolik menjalani serangkaian
pemeriksaan klinis, anamnesa cermat, pemeriksaan imaging (CT atau MRI)
maupun EEG. Pasien dengan ensefalopati metabolik tidak memperlihatkan
kelainan spesifik pada pencitraan.1,13
Pasien ensefalopati metabolik memiliki tanda-tanda motorik abnormal
bilateral seperti tremor, mioklonus, dan, terutama, asteriks. Rekaman EEG terjadi
perlambatan difus, tidak ada kelainan fokal. Pasien dengan penyakit struktural,
memperlihatkan tanda-tanda motorik fokal abnormal atau unilateral. EEG
mungkin lambat, tetapi sebagai tambahan pada lesi supratental, ditemukan
tanda proses fokal. Akhirnya, ensefalopati metabolik berbeda lesi struktural
dalam hal kombinasi gejala dan evolusi gejala. Penyakit metabolik membebani
berbagai level neuraxis secara simultan. Perburukan klinis menurut pola
rostrocaudal tidak terjadi seperti yang dapat kita lihat pada penurunan
kesadaran akibat lesi struktural supratentorial.1,13
2.3. Septik Ensefalopati
Septik ensefalopati merupakan sindroma multifaktorial, akibat
disfungsi serebral difus yang diinduksi respon sistemik terhadap infeksi, tidak ada
bukti klinis dan laboratorium adanya infeksi langsung pada otak dan juga tidak
disebabkan tipe ensefalopati lainnya seperti ensefalopati hepatik maupun
uremik. Spektrum klinis dapat hanya berupa gangguan atensi, disorientasi,
agitasi, hingga koma. Meskipun tidak ada invasi ataupun infeksi langsung pada
CNS, paca septik ensefalopati dapat dijumpai abnormalitas EEG, SSEP,
peningkatan biomarker seperti neuron- specific enolase, S-100 𝛽 protein. Tak
ada laboratorium maupun imaging spesifik untuk septik ensefalopati dan
diagnosis septik ensefalopati merupakan diagnosis eksklusi yang hanya dapat
ditegakkan setelah menyingkirkan infeksi, metabolik dan toksis melalui
investigasi dengan penunjang yang tepat. Ensefalopati septik disebabkan
kerusakan langsung pada otak melalui kerusakan mitokondrial, disfungsi
endotel, gangguan neurotransmisi dan gangguan homeostasis calsium pada
jaringan otak.1,4
Ringkasan

105 | B A N U 6
Ensefalitis harus dibedakan dari ensefalopati yang merupakan
gangguan fungsi otak yang bukan karena proses struktural atau peradangan
langsung. Ini dimediasi melalui proses metabolisme dan dapat disebabkan oleh
intoksikasi, obat-obatan, disfungsi organ sistemik (misalnya hati, pankreas) atau
infeksi sistemik.

Daftar Pustaka
1. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Plum and Posner’s Diagnosis
of Stupor and Coma. 4th Edition. Oxford University Press 2007; 103-
107; 171-173: 194-200.
2. Venkatesan A dan Geocadin RG. Diagnosis and management of acute
encephalitis. A practical approach. Neurology: Clinical Practice 2014;
206-212.
3. Bennetto, Scolding N. Inflamatory/Post Infectious Encephalomyelitis. J
Neurol Neurosurg Psychiatry 2004;75(Suppl I): i22–i28.
4. Chaudhry N dan Duggal AK. Review Article Sepsis Associated
Encephalopathy) Advances in Medicine. 2014. Article ID 762320.
5. Dutra LA dkk. Autoimmune encephalitis: A Review of Diagnosis and
Treatment. Arq Neuropsiquiatr 2018;76(1):41-49.
6. Steinera dkk. Viral encephalitis: a review of diagnostic methods and
guidelines for management. EFNS European Journal of Neurology
2005; 12: 331–48.
7. Adhikari R, Tayal A, Chhetri PK, Pokhrel B. Acute Disseminated
Encephalomyelitis Following Typhoid Fever: A Case Report. Journal of
College of Medical Sciences-Nepal 2013; 9(4): 54-58.
8. Leypoldt F dan Wandinger P. Paraneoplastic neurological syndromes.
British Society for Immunology, Clinical and Experimental Immunology
2013; 175: 336–348.
9. Posner JB. Paraneoplastic Syndromes Involving the Nervous System.
Aminoff’s Neurology and General Medicine, Fifth Edition. 2014.
Elsevier Inc. 563-583.
10. Dondorp AM. Pathophysiology, clinical presentation and treatment of
cerebral malaria. Neurology Asia 2005; 10: 67 – 77
11. Idro R, Jenkins NE, Newton C. Pathogenesis, clinical features, and
neurological outcome of cerebral malaria Review. 2005 4(12):827-40.
12. Daniel T, Leung dkk. Encephalopathy in Patients with Salmonella
enterica Serotype Typhi Bacteremia Presenting to a Diarrheal Hospital
in Dhaka, Bangladesh. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2012; 86(4): 698-702.

106 | B A N U 6
13. Sasap MN, Worthley LIG. Neurologic Complications of Critical Illness:
Part I. Altered States of Consciousness and Metabolic
Encephalopathies. Critical Care and Resuscitation 2002; 4: 119-132.

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


JAPANESE ENCEPHALITIS
I Gusti Ngurah Made Suwarba
Departemen Pediatri Divisi Neuropediatri RSUP Sanglah
Denpasar/FK Universitas Udayana

Japanese ensefalitis (JE) merupakan infeksi pada susunan saraf pusat


yang disebabkan oleh virus Japanese Ensefalitis dan ditularkan oleh nyamuk.
Siklus hidup JEV melibatkan babi sebagai reservoir/amplifying host, unggas air
(water bird) sebagai karier dan spesies nyamuk Culex sebagai vektor. Binatang
lain juga disebut bisa menjadi resorvoir JEV seperti sapi,kuda, kambing, kucing,
tikus, ayam dan kelelawar. Manusia terinfeksi JEV secara kebetulan dan manusia
merupakan dead end host karena titer virus tidak dapat dipertahankan tetap
tinggi pada host manusia.1,2 Japanese ensefalitis merupakan penyebab utama
gangguan neurologi pada anak-anak di negara Asia terutama Asia Timur dan
Asia tenggara teramsuk Indonesia. Angka kematian JE cukup tinggi sekitar 10-
30% dan 30-50% dari yang bertahan hidup mengalami gejala sisa neurologis
dan/atau psikiatri sedang sampai berat dalam jangka panjang.3
Etiologi
Virus JE termasuk Arbovirus grup B, famili Flaviviridae dan genus
Flavivirus. Virus ini berbentuk sferis, diameter 40-60 nm, inti virion terdiri dari
asam ribonukleat (RNA). Virus JE berkembang-biak dalam sel hidup yaitu di
dalam nukleus dan sitoplasma.1 Siklus kehidupan virus JE dapat berlangsung
terus seperti skema pada Gambar 1.10
Sejarah
Virus Japanese Encephalitis pertama kali dikenal pada kuda dan
manusia pada tahun 1871. Epidemi yang berat terjadi di Jepang pada tahun
1924. Pertama kali diisolasi dari jaringan otak manusia dari kasus JE yang
meninggal di Jepang pada tahun 1935. Kemudian pada tahun 1938 virus JE
dapat diisolasi dari nyamuk Culex tritaeniorhyncus yang bertindak sebagai vektor
utama dalam penularan JE. Selanjutnya terjadi penyebaran dan peningkatan

107 | B A N U 6
kasus di India, Nepal, Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan
Australia.4,5
Di Indonesia virus JE dapat diisolasi dari nyamuk Culex pada tahun
1971 dan kemudian dari nyamuk Anopheles. Diagnosis JE pada manusia dapat
ditegakkan tahun 1981 berdasarkan kriteria WHO dan pemeriksaan IAHA
(immune adherence hemaglutination) di Jakarta. Di Bali kasus JE banyak
dilaporkan oleh karena populasi babi sebagai reservoir utama banyak di Bali. 6
Epidemiologi
Secara epidemiologi di negara negara Asia Timur infeksi virus JE
terjadi secara epidemi pada musim panas sedangkan di negara negara Asia
Selatan dan Asia tenggara, insiden tertinggi terjadi pada musim hujan. Telah
dilaporkan sebanyak 68.000 kasus JE terjadi setiap tahun yang terutama
menyerang anak di bawah usia 15 tahun terutama di Asia.6,7.
Sebagian besar infeksi virus JE asimptomatik dan hanya 1%
berkembang menjadi penyakit (Unni dkk., 2011).Penelitian surveilen JE pada anak
dibawah 12 tahun telah dilakukan di seluruh rumah sakit di Bali dari Juli 2001
sampai Desember 2003. Angka insiden JE di Bali 8,2 per 100.000 anak per
tahun.3.9
Berdasarkan data Subdit zoonosis Ditjen PPM-PL, DepKes RI dalam
kurun waktu tahun 1993-2016, terlihat bahwa spesimen positif JE pada manusia
ditemukan di 14 propinsi yang tersebar di seluruh Indonesia yaitu Bali, Riau, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Kalimantan
Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Papua.6
Epidemiologi kasus JE dapat dilihat pada Gambar 2.10

Gambar 1. Siklus hidup virus Japanese ensefalitis.10

108 | B A N U 6
Gambar 2. Epidemiologi Japanese Ensefalitis.10

Patogenesis
Patogenesis infeksi virus JE dimulai dari transmisi JEV saat manusia
tergigit nyamuk yang terinfeksi virus JE. Segera setelah Culex yang infektif
menggigit manusia yang rentan, virus JE menuju sistem getah bening sekitar
tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang-biak, kemudian
masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Viremia ini
sangat ringan dan berlangsung singkat. Melalui aliran darah virus menyebar ke
organ tubuh seperti susunan saraf pusat dan organ ekstraneural. Virus
dilepaskan dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia kedua
yang bersamaan dengan penyebaran infeksi di jaringan dan menimbulkan gejala
penyakit sistemik.2
Pada jaringan otak, virus berkembang-biak di dalam sel dengan cepat
pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu
menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitis sel neuron,
glia dan endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah masuk ke
dalam sel dan menimbulkan edema sitotoksik. Area otak yang terkena dapat
pada thalamus, ganglia basal, batang otak, serebelum, hipokampus dan korteks
serebral.1,5
Di sisi lain virus JE sebagai virus yang tergolong neurotropik mungkin
dapat menimbulkan kerusakan jaringan saraf dengan jalan seperti apa yang
terjadi pada virus neurotropik lainnya, yaitu setelah masuknya virus ke tubuh
manusia terutama setelah viremia yang kedua, tubuh manusia membentuk
antibodi antivirus. Antibodi ini bereaksi dengan antigen membentuk kompleks
antigen antibodi yang beredar dalam darah dan masuk ke susunan saraf pusat.
Di dalam susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat
timbulnya edema dan selanjutnya terjadi anoksia, yang pada akhirnya terjadi
kematian sel susunan saraf pusat yang luas.3.5

109 | B A N U 6
Manifestasi Klinis
Gejala klinis JE tidak berbeda secara klinis dengan ensefalitis yang
disebabkan oleh virus lain. Namun bervariasi tergantung dari berat ringannya
kelainan susunan saraf pusat, umur dan lain-lain. Spektrum penyakit dapat
berupa hanya demam disertai nyeri kepala, meningitis aseptik, dan
meningoensefalitis. Masa inkubasi 5-15 hari, setelah itu perjalanan penyakit akan
melalui 4 stadium klinis yaitu:3,5,7
1. Stadium prodromal: berlangsung 2-3 hari dimulai dari keluhan sampai
timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang
sangat dominan adalah demam, nyeri kepala. Demam selalu ada dan
tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik. Nyeri kepala
biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian
analgetik. Gejala lain berupa malaise, anoreksia, keluhan dari traktus
respiratorius seperti batuk, pilek dan keluhan traktus gastrointestinal
seperti mual, muntah dan nyeri di daerah epigastrium. Namun
mungkin saja seorang pasien JE hanya mengalami demam ringan atau
gangguan pernafasan ringan.
2. Stadium akut: dapat berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam
tinggi yang tidak turun dengan pemberian antipiretik. Demam tetap
tinggi, kontinyu dan lamanya demam berlangsung 7-8 hari sejak
terinfeksi. Timbul gejala tekanan intrakranial meningkat berupa nyeri
kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran dari apatis
hingga koma. Dapat disertai gangguan keseimbangan dan koordinasi,
kelemahan otot-otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah seperti
topeng). Apabila meningen telah terinfeksi dan membengkak maka
pasien akan merasakan nyeri dan kekakuan pada leher. Tanda iritasi
meningen berupa kuku kuduk biasanya timbul 1-3 hari setelah sakit.
Terdapat juga kekakuan otot otot atau kelemahan otot. Kelemahan
otot yang menyeluruh timbul pada minggu ke-2 atau ke-3. Wajah
seperti topeng, tanpa ekspresi, ataksia, tremor kasar, gerakan-gerakan
involunter, kelainan saraf kranial, paresis, refleks tendon dalam
meningkat atau menurun dan refleks patologis babinsky positif. Pada
kasus ringan mulai penyakitnya perlahan-lahan, demam tidak tinggi,
nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 atau ke-
7 dan kelainan neurologi menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah
mulainya penyakit. Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut,
hiperpireksia, kejang serial sampai status epileptikus, disertai kelainan
neurologik yang progresif. Dapat disertai penyulit kardio-respirasi,
koma dan diakhiri dengan kematian pada hari ke-7 dan ke-10. Pasien

110 | B A N U 6
dapat bertahan hidup dan mengalami perbaikan dalam jangka waktu
yang lama. Kadang-kadang dapat disertai penyulit berupa infeksi
bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen. Tanda yang agak
khas pada JE adalah terjadinya perabahan gejala susunan saraf pusat
yang cepat, misalnya penderita hiperefleksi diikuti dengan hiporefleksi.
Status kesadaran pasien dapat bervariasi dari disorientasi, delirium,
somnolen sampai koma. Dapat disertai oligouria, diare dan bradikardi
relatif. Pada stadium ini pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan leukositosis yang pada awalnya didominasi sel PMN
tetapi setelah beberapa hari menjadi limfositosis. Albuminuria sering
ditemukan. Apabila penderita dapat melalui stadium ini, maka demam
akan turun pada hari sakit ke-7 dan gejala akan menghilang pada hari
ke-14. Apabila penderita tidak bisa melalui stadium akut ini, demam
akan tetap tinggi dan gejala memburuk. Pada kasus yang fatal,
perjalanan penyakit berlangsung cepat, penderita mengalami koma
dan meninggal dalam 10 hari.
3. Stadium sub-akut: gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang
namun seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia ortostatik,
infeksi saluran kemih dan dekubitus sebagai akibat perawatan lama.
Gangguan fungsi saraf dapat menetap, seperti paralisis spastik,
hipotrofi otot, fasikulasi, gangguan saraf kranial dan gangguan
ekstrapiramidal. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat
pemasangan kateter urin.
4. Stadium konvalesens: berlangsung lama dan ditandai dengan
kelemahan, letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis. Berat
badan dapat sangat menurun. Stadium ini dimulai saat
menghilangnya inflamasi yaitu pada saat suhu kembali normal. Gejala
neurologik bisa menetap dan cenderung membaik. Bila penyakit JE
berat dan berlangsung lama maka penyembuhan lebih lambat, tidak
jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama. Pasien menjadi
kurus dan kurang gizi. Gejala sisa yang sering dijumpai ialah
gangguan mental berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau lower
motor neuron. Afasia dan psikosis organik jarang dijumpai.
Diagnosis Japanese Ensefalitis
Diagnosis JE ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,
dan hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan
adanya infeksi oleh virus JEV misalnya: anak tinggal di daerah endemis JE atau
anak tinggal di tempat yang memungkinkan siklus virus JE berlangsung dengan
baik seperti kepadatan Culex yang tinggi, adanya hewan piaraan/ peternakan

111 | B A N U 6
babi, daerah persawahan, atau memasuki musim penghujan. Berikut ini adalah
definisi kasus JE Masa inkubasi infeksi JEV sekitar 5 sampai 14 hari, sebelum
muncul manifestasi klinis. Secara klinis, JE tidak dapat dibedakan dengan
ensefalitis yang disebabkan virus lain.11,12
Pemeriksaan laboratorium
Sampel yang dapat digunakan adalah darah, cairan serebrospinal,
hasil otopsi otak dan vektor.12,13
a. Pemeriksaan darah/serum
Pada pemeriksaan darah akan ditemukan anemia dan leukositosis
ringan, trombositopenia ringan dan peningkatan laju endap darah. Natrium
serum dapat menurun karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak
adekuat.
Sampel serum JE harus diambil dalam 4 hari setelah onset penyakit
jika digunakan untuk isolasi virus dan minimal 5 hari setelah onset jika
untuk pemeriksaan antibodi IgM. Sampel kedua (serum konvalesen) harus
diambil minimal 10-14 hari setelah sampel I untuk pemeriksaan serologi.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pada analisis cairan serebrospinal, tampak jernih sampai opalesens,
tergantung dari jumlah leukosit, pleositosis bervariasi antara 20-5.000/mL.
Pada beberapa hari pertama tampak neutrofil dan limfosit, tetapi setelah itu
tampak limfosit dominan, kadar glukosa normal atau sedikit menurun,
sedangkan kadar protein meningkat 50-100 mg/dL. Cairan serebrospinal
jarang mengandung virus, kecuali pada kasus-kasus berat dan fatal.
c. Uji serologi
Diagnosis baku untuk JE adalah pemeriksaan IgM dan IgG Capture
ELISA (Enzyme Linked Imunno-sorbent Assay) dari serum atau cairan
serebrospinal. Sensitivitasnya mendekati 100%, bila kedua spesimen
tersebut diperiksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul dari flavivirus lain
misalnya virus dengue, virus West Nile dan pasca vaksinasi JE dan Yellow
fever. Untuk kepentingan pemeriksaan serologis, serum harus diambil
minimal 5 hari dari onset penyakit, sedangkan cairan serebrospinal diambil
minimal 4 hari setelah onset penyakit.12,13
Uji serologi Immune Adherence Hemaglutination (IAHA),
menggunakan spesimen serum akut dan konvalesen. Uji IAHA dikatakan
positif bila terdapat peningkatan titer antibodi sebesar 4 kali atau lebih. 12
Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI), juga menggunakan spesimen serum
akut dan konvalesens. Uji HI dikatakan positif bila titer antibodi serum akut
1/20 atau lebih sedangkan pada spesimen konvalesen meningkat 4 kali atau
lebih. Keunggulan cara ini adalah dapat dilakukan dengan peralatan

112 | B A N U 6
laboratorium sederhana, reagennya mudah didapat, serta biayanya relatif
murah. Kelemahannya adalah tidak dapat membedakan JE dari flavivirus
yang lain seperti virus dengue dan virus West Nile.13
d. Pemeriksaan Pencitraan
Pencitraan susunan saraf pusat dapat mendukung diagnosis.
Pemeriksaan MRI dan CT Scan sering memperlihatkan adanya lesi bilateral
pada thalamus yang disertai perdarahan. Ganglia basalis, putamen, pons,
medula spinalis dan serebelum juga terlihat abnormal.1,5,14
Pengobatan
Sampai sekarang belum ada pengobatan definitif untuk Japanase
ensefalitis. Pengobatan bersifat simtomatis dan suportif, sehingga pencegahan
menjadi sangat penting. Beberapa terapi simtomatik yang lazim dikerjakan
antara lain:2,5,7

a. Menghentikan kejang
Pada saat terjadi kejang harus secepatnya diatasi dengan pemberian
obat anti kejang sesuai dengan tatalaksana kejang akut dan status epileptikus.
Diazepam, Phenobarbital dan Phenytoin dapat digunakan untuk mengatasi
kejang.
b. Menurunkan demam
Di samping menghentikan kejang, demam harus segera diturunkan
oleh karena dapat menyulitkan pengobatan kejang. Untuk menurunkan demam
dapat dilakukan dengan pemberian obat antipiretik seperti parasetamol dan
terapi suportif.
c. Mengurangi edema otak
Manitol hipertonik 20% dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g/kgBB
secara infus intravena dalam 30 menit, dan dapat diulangi tiap 4-6 jam. Manitol
dapat menarik cairan ektravaskular ke dalam pembuluh darah otak. Untuk
meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah balik, anak ditidurkan dalam
posisi netral dengan kepala lebih tinggi 20-30° sehingga dapat membantu
mengurangi tekanan intrakranial.1
Pencegahan dan Pemberantasan
Pencegahan dan pemberantasan JE ditujukan pada manusia, vektor
nyamuk Culex beserta larvanya dan reservoir babi.14,15
Untuk menghindari gigitan nyamuk Culex, perlu tidur memakai kelambu
atau mempergunakan repelen anti nyamuk atau memakai obat pembasmi
nyamuk.11

113 | B A N U 6
Membasmi nyamuk dengan cara konvesinonal, yaitu melakukan
penyemprotan dengan insektisida yang mempunyai efek residu seperti DDT,
malation dan fenitrotion perlu dipertimbangkan.
Memberantas larva nyamuk dengan penggunaan larvasida seperti
fenitrotion dan fention masih sangat efektif membunuh larva.13
Untuk memutuskan mata rantai siklus hidup JEV maka peternakan
babi secara besar-besaran supaya dibangun jauh di luar perumahan penduduk.
Kandang babi dibuat bersih dan bebas nyamuk. Di beberapa negara seperti
Jepang dan Cina babi muda divaksinasi dengan hasil yang sangat memuaskan
dalam menekan kasus JE.11.15
Vaksin JE sebaiknya diberikan kepada setiap orang yang tinggal di
daerah endemis, petugas laboratorium yang terpapar virus JE dan wisatawan
yang berkunjung ke daerah endemis.14 Introduksi vaksin JE di Indonesia dimulai
di Bali pada tahun 2018 dengan sasaran rutin anak umur 9 bulan -15 tahun.13,15

Prognosis
Prognosis JE tergantung dari beberapa faktor diantaranya usia dan
gejala klinis. Jika mendapat penanganan intensif angka mortalitas sebesar 5-10%,
bahkan di negara berkembang angka mortalitas mencapai 35% (Campbell GL,
dkk, 2012). Gejala sisa sedang dan berat ditemukan pada 30 -70% kasus,
umumnya pada anak usia dibawah 10 tahun dan pada bayi akan lebih berat.
Gejala sisa dapat berupa gangguan pada: sistem motorik halus (72%),
kelumpuhan (44%), gerakan abnormal (8%), perilaku agresif (72%), emosi tak
terkontrol (72%), gangguan perhatian (55%), depresi (38%), intelektual abnormal
(72%), retardasi (22%), gangguan fungsi neurologi lain berupa: gangguan
ingatan (46%), afasia (36%), epilepsi (20%), paralisis saraf kranial (16%) dan
kebutaan (2%).7,9

Daftar Pustaka:
1. Bale, JF.Viral infection of the nervous system. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Pediatric neurology:
Principles and practice. Edisi ke-5. China: Elsevier Saunders; 2012.
h.1263-90.
2. Unni SK, Ruzek D, Chhatbar C, Mishra R, Johri MK, Singh SK.
Japanese encephalitis virus: from genome to infectome.
Microbes and Infection, 2011, 13: 312-21. Available from:
www.elsevier.com/locate/micinf.

114 | B A N U 6
3. Kari K, Liu W, Gautama K, Mammen MP, Clemens JD, Nisalak A, dkk. A
hospital-based surveillance for Japanese encephalitis in Bali,
Indonesia. BMC medicine; 2006, 4:8. diunduh dari:
http://www.biomedcentral.com/1741-7015/4/8.
4. Erlanger T E, Weiss S, Keiser J, Utzinger J., Wiedenmaye K. Past,
present, and future of Japanese Encephalitis. Emerging Infectious
Disease, 2009, 15:1. Diunduh dari: www.cdc.gov/eid.
5. Saxena SK, Tiwari S, Saxena R, Mathur A, Nair MPN. Japanese
Encephalitis: an emerging and spreading Arbovirosis. 2012. Available
from www.interchopen.com.
6. Kemenkes RI. Japanese Encephalitis Berkolerasi dengan Banyaknya
Area Persawahan Peternakan Babi dan Burung Rawa. 2017. Available
at : http://www.depkes.go.id/article/view/17040400003/japanese-
encephalitis-disease-correlates-with-numbers-of-rice-field-area-pig-
farms-and-wading-birds.html 8 April 2018.
7. Campbell GL, Hills SL, Fischer M, Jacobson JA, Hoke CH, Hombach JM,
dkk. Estimated global incidence of Japanese encephalitis: a systematic
review. Bulletin WHO, 2012. 89:10.
8. Appaiahgari MB, Vrati S. Clinical development of IMOJEV®-a
recombinant Japanese encephalitis chimeric vaccine (JE-CV). Expert
Opin.Biol.Ther, 2012; 12 (9).
9. Suwarba IGN, Andayani AR, Sukrata IW, Sunetra W. Japanese
Encephalitis incidence and its association with the length of stay and
long-term outcome in 2015, Bali-Indonesia.available from:
balimedicaljournal.org.
10. Tiwari S.2012.Japanese Enchepalitis : A Review Of The Indian
Perspective. Department of Microbiology Sanjay Gandhi Post
Graduate Institute of Medical Sciences Uttar Pradesh India.The
Brazilian journal of Infectious Disease;16(6):564-573.
11. WHO. Guideline for prevention and control of Japanese Encephalitis.
2006.
12. Wang H, Liang G.2015. Epidemiology Of Japanese Encephalitis:
Past, Present, and Future prospects. Department of viral
encephalitis, institute for viral Disease Control and Prevention,
Chinese Center for Disease Control and Prevention, Beijing
People’s Republic of China. Therapeutics and Clinical Risk
Management;11:435–448.
13. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Indroduksi Vaksin Japanese
Ensefalitis di Indonesia. 2017.

115 | B A N U 6
14. Daly J, Solomon T. The Immunological basis for immunization series:
modul; 13: Japanese Encephalitis virus. WHO, 2010.
15. WHO.Information Sheet Observed Rate Of Vaccine Reaction
Japanese Enchepalitis Vaccine. 2014. Global Vaccine Safety
Essential Medicines & Health Products 20 Avenue Appia, CH-1211
Geneva 27 Switzerland:1-5.

PEMERIKSAAN NEOROFISIOLOGI PADA PASIEN MORBUS HANSEN


Komang Arimbawa
Departemen Neurologi RSUP Sanglah Denpasar/FK Universitas Udayana

PENDAHULUAN
Morbus Hansen merupakan salah satu penyebab utama neuropati
nontraumatik yang bermanifestasi secara klinis sebagai lesi pada kulit dan saraf
perifer. Gangguan fungsi saraf dapat dilihat dari pemeriksaan konduksi saraf
sebelum munculnya gambaran klinis pada pasien dan adanya gejala-gejala
penyakit. Kerusakan saraf pada lepra bervariasi mulai dari keterlibatan saraf
intradermal pada kulit hingga lesi utama pada saraf perifer ataupun batang saraf
otak. Keterlibatan saraf dapat kita lihat manifestasinya sebagai pembesaran
saraf-saraf superfisial seperti pada aurikular, ulna, median, radialis kutaneus,
peroneus superfisialis, sural, dan tibia posterior yang secara klinis akan terpalpasi
apabila terdapat penebalan. Terkadang keluhan nyeri tekan sering didapatkan
apabila secara bersamaan terdapat neuritis.1 Gangguan saraf sensoris pada lesi
kulit lepra dapat diketahui dari hilangnya sensasi terhadap suhu, perabaan, atau
nyeri. Sebanyak tiga puluh persen serabut saraf sensoris dirusak oleh bakteri
bacillus lepra sebelum menimbulkan gangguan saraf sensoris yang
bermanifestasi secara klinis. Kerusakan saraf pada lepra dapat muncul berupa

116 | B A N U 6
“Silent Neuropathy” tanpa tanda-tanda dan gejala yang jelas ataupun sebagai
penyakit yang bermanifestasi secara klinis seperti kelemahan, atrofi atau
kontraktur. Fenomena sarung tangan dan kaus kaki ( glove and stocking pattern)
pada gangguan saraf sensoris terjadi karena kerusakan serabut saraf tipe C yang
memberikan sensasi panas dan dingin, dimana sensasi ini yang paling awal akan
menghilang selama perjalanan penyakit. Setelahnya sensasi raba/sentuhan akan
hilang diikuti dengan hilangnya sensasi nyeri.1,2
TINJAUAN PUSTAKA
Kelainan fungsional pada kecepatan konduksi saraf selalu mendahului
munculnya manisfestasi klinis kerusakan saraf. Penurunan signifikan pada
kecepatan konduksi saraf motorik dapat didapatkan pada saraf normal pasien
lepra. Manfaat dilakukannya evaluasi elektrofisiologi fungsi saraf pada diagnosis
dan penilaian berbagai neuropati sudah dipelajari. Saraf sensoris merupakan
saraf pertama yang akan terlihat mengalami gangguan pada pasien lepra. Oleh
karena itu, untuk mendeteksi lepra secara dini, konduksi saraf sensoris tersebut
perlu dinilai. Neuropati merupakan salah satu komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien lepra yang bermanifestasi pada gangguan sensorik, motorik
ataupun autonom.3 Kemampuan merusak dari inflamasi granulomatosa pada
lepra tuberkuloid sudah banyak diketahui dan menjadi penjelasan dasar
mengenai terjadinya kerusakan saraf pada pasien TT dan BT. Selain itu,
ketidakteraturan dan tingginya infiltrasi kutaneus bakteri pada penyakit lepra
bereplikasi pada saraf pasien-pasien tersebut.4 Mekanisme cedera pada saraf
orang-orang dengan lepra sulit untuk dijelaskan karena pada dasarnya saraf
memiliki kemampuan mempertahankan integritas dasarnya untuk beberapa
waktu dan mampu menjaga fungsinya bahkan ketika dalam kondisi terinfeksi
berat. Evaluasi pemeriksaan elektrofisiologi pada konduksi saraf dinilai dari 3
kriteria seperti kecepatan, amplitudo, dan latensi dari respon yang ditimbulkan.3,4
Epidemiologi
Lepra masih menjadi salah satu neuropati perifer yang paling sering
dapat dicegah dan diterapi. Patomekanisme yang terjadi di dalamnya melibatkan
respon imun granulomatosa kronik yang menginfeksi kulit dan saraf akibat
Mycobacterium leprae yang berada di makrofag dan sel Schwann. Bakteri
tersebut merupakan satu-satunya yang mengganggu proses mielinisasi dan
menyebabkan neuropati perifer. Prevalensi lepra secara global pada akhir kuartal
pertama dari 2015 sebesar 0.31 per 10.000 populasi dengan total kasus baru
sebesar 213.899 yang dilaporkan dari 121 negara. Wilayah Asia Tenggara ( South
East Asian Region/SEAR) merupakan penyumbang kasus lepra terbanyak sebesar
72% dari kasus baru global yang sudah dihimpun. Nepal merupakan salah satu

117 | B A N U 6
dari 13 negara endemik lepra terbesar di dunia, dimana ditemukan 3.046 kasus
baru pada tahun 2014.5
Deformitas dan kecacatan merupakan luaran terburuk dari neuropati
perifer pada penyakit lepra dan tujuan yang paling penting dalam
penatalaksanaan lepra adalah mencegah disabilitas yang mungkin terjadi melalui
deteksi awal gangguan saraf. Ketika neuropati perifer pada pasien lepra dideteksi
dan ditatalaksana sejak awal, gangguan primer yang sudah terjadi dapat kembali
menjadi normal. Oleh karena itu, deteksi awal dan tatalaksana yang tepat pada
gangguan fungsi saraf (nerve function impairment/NFI) merupakan parameter
penting pada penyakit lepra.6 Kecacatan Grade 2 baru merupakan sebuah
indikator dalam mendeteksi kasus-kasus lepra yang terlambat. Selain itu, strategi
lepra secara global mentargetkan penurunan dari kecacatan Grade 2 baru
sebesar 35% (2011-2015). Kecacatan Grade 2 secara global sebesar 1.25/1.000.000
populasi dan di SEAR sebesar 0.45/100.000 populasi pada tahun 2014. Di Nepal,
kecacatan Grade 2 terlihat pada 4% kasus baru lepra pada tahun 2014.
Perubahan patologi yang terlihat pada saraf selalu didahului dengan
tahap blokade fungsional dari konduksi impuls saraf. Kegunaan dari pemeriksaan
elektrofisiologi dari fungsi saraf adalah untuk mendiagnosis dan menilai
terjadinya neuropati yang berbeda. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Brakel dkk, menyatakan bahwa abnormalitas sensorik ulna terdeteksi-
monofilamen didahului oleh konduksi saraf sensorik yang abnormal pada 100%
kasus.7
Pemeriksaan Konduksi Saraf Motorik
Latensi merupakan waktu antara stimulus dan respon yang terjadi.
Pada pemeriksaan saraf motorik, latensi ini termasuk didalamnya adalah waktu
konduksi saraf dan waktu transmisi neuromuskular. Latensi distal diukur dari titik
rangsangan distal hingga ke defleksi pertama dari dasar. Amplitudo dari respon
motorik yang ditimbulkan membawa informasi yang penting. Hal tersebut
tergantung dari jumlah akson yang mengkonduksi impuls dari titik rangsangan
ke otot, jumlah kompleks terminal cabang saraf yang berfungsi dan volume otot.
Latensi proksimal dimulai dari titik rangsangan proksimal dan berakhir pada
defleksi pertama dari dasar. Amplitudo diukur dari dasar hingga ke puncak
negatif. Kecepatan konduksi (conduction velocity/CV) dihitung dengan membagi
panjang segmen saraf antara dua titik rangsangan dengan perbedaan antara
latensi proksimal dan distal. Melalui cara ini, konduksi distal yang lambat dan
setiap perlambatan pada transmisi neuromuskular dapat dieliminasi. Kecepatan
konduksi motorik yang dihitung melalui cara ini dapat mencerminkan konduksi
akson motorik tercepat.8
Pemeriksaan Konduksi Saraf Sensorik

118 | B A N U 6
Pemeriksaan konduksi saraf sensorik didapat dari rangsangan pada
saraf-saraf jari untuk menilai potensial sensorik ortodromik pada daerah yang
lebih proksimal atau rangsangan pada batang saraf untuk menilai potensial
antidromik jari-jari. Latensi merupakan waktu dari rangsangan diberikan hingga
puncak positif pertama dari potensial aksi saraf sensorik ( sensory nerve action
potential/SNAP). Waktu terjadinya latensi sesuai dengan diameter serabut
sensorik yang luas dan mampu mengkonduksikan lebih cepat dibandingkan
dengan serabut motorik sebesar 5-10%. Amplitudo SNAP harus diukur dari
puncak positif pertama hingga puncak negatif tertinggi. SNAP tersebut kecil dan
pemerataan sinyal biasanya dibutuhkan. Konduksi saraf sensorik pada saraf
perifer tidak melibatkan transmisi sinaptik, sehingga stimulasi saraf pada satu
tempat sudah cukup untuk menghitung CV. CV sendiri dapat diketahui dengan
membagi panjang segmen saraf dari titik rangsangan hingga ke titik perekaman
dengan latensi puncak positif.8
Peran Pemeriksaan ENMG Pada Morbus Hansen
Lepra adalah salah satu penyebab neuropati yang berat pada negara-
negara berkembang. Diagnosis dari penyakit lepra cukup menantang terutama
untuk lepra neuritis. Pemeriksaan konduksi saraf merupakan modalitas non-
invasif untuk menilai keterlibatan saraf perifer pada penyakit lepra. Pemeriksaan
konduksi memiliki kelebihan yaitu merupakan proses observasi kuantitatif yang
tidak bergantung pada kerja sama pasien atau kesan subyektif dari pengamat. 9
Pemeriksaan ini membantu mengevaluasi neuropati perifer untuk menilai
progresivitas penyakit dan memonitor intervensi pengobatan yang telah
diberikan. Kerugian yang ada pada pemeriksaan ini adalah faktor biaya dan
diperlukannya orang yang ahli dalam melakukan pemeriksaan tersebut.
Apabila memungkinkan, pemeriksaan konduksi saraf dasar harus
dilakukan. NCS harus diulang setiap tahunnya pada pasien yang menggunakan
thalidomide jangka panjang, ketika terdapat gejala baru dari neuritis, atau
temuan gangguan fungsi saraf setelah MDT selesai. Selain itu, kami
menyarankan juga untuk mengkombinasikan modalitas ini dengan modalitas
non-invasif lainnya seperti USG saraf yang dapat membantu menegakkan
diagnosis pada kasus-kasus yang meragunkan, jauh lebih dini. Pemeriksaan ini
mampu memberikan informasi mengenai perubahan morfologi saraf, tekstur
echo dan lokasi pembesaran saraf, keterbatasannya adalah pada ketersediaan
mesin ultrasound dengan resolusi tinggi, ahli teknis dan biaya. 10 Dapat
disimpulkan bahwa pemeriksaan konduksi saraf dapat membantu lepra tipe
tuberkuloid fase awal karena memungkinkan ketersediaan metode non-invasif
untuk menilai tingkat disfungsi saraf dan tipe serabut saraf yang terlibat (motorik
ataupun sensorik).

119 | B A N U 6
Pada kasus-kasus fase awal dimana kerusakan yang terjadi lebih
kepada perlambatan dari konduksi serabut saraf (kecepatan serabut saraf rata-
rata), perubahan pada kecepatan konduksi bisa saja tidak terlalu bermakna.
Kondisi ini membuat klinisi membutuhkan pemeriksaan serabut-serabut saraf
yang cepat secara terpisah karena potensial yang direkam adalah dari serabut-
serabut bermyelin. Modalitas ini cukup sensitif dan perubahan subklinik dapat
diketahui sejak awal walaupun pada saraf yang secara klinis tidak terlibat. Lebih
jauh, parameter sensorik merupakan parameter saraf yang biasanya terkena
pada fase awal perjalanan penyakit lepra.8,10
Hasil Pemeriksaan ENMG Pada Morbus Hansen
Pada saraf perifer (baik sensorik dan motorik), kerusakan mungkin
akan terjadi pada periode praklinis dan dapat berubah menjadi kelemahan
anggota tubuh yang nyata (pada saraf sensorik dan motorik) pada kondisi
penyakit fase akhir. NCS dapat menjadi modalitas penting dalam mendeteksi
awal neuropati perifer pada penyakit lepra. Pada penelitian ini, dari 74 subyek
yang dimasukkan ke dalam penelitian, 78% mengalami lepra tipe multibasiler
dan 22% sisanya terkena lepra tipe pausibasiler. Kurang dari separuh total pasien
(43%) mengalami gangguan konduksi saraf pada saat penegakan diagnosis, dan
neuropati sensorik lebih sering terjadi daripada neuropati motorik. Konduksi
saraf lebih banyak terganggu pada pasien dengan status BI yang positif. Tipe
aksonal sensorik-motorik merupakan pola neuropati perifer tersering pada
pasien dalam penelitian kami, diikuti oleh tipe aksonal sensorik-motorik dan
demielinasi (misal tipe neuropati campuran). Saraf sural dan ulna merupakan
saraf sensorik dan motorik yang paling sering tampak mengalami gangguan
pada pemeriksaan konduksi saraf. Amplitudo merupakan parameter yang paling
sering terpengaruhi batik untuk SNAP dan CMAP, dan terganggu pada seluruh
saraf yang mengalami gangguan dari NC. Durasi merupakan parameter NCS
yang paling sedikit terpengaruh (utamanya pada SNAP).
Pada penelitian cohort INFIR, 38% pasien mengalami kerusakan saraf
yang didiagnosis melalui pemeriksaan konduksi saraf pada saat diagnosis lepra
ditegakkan, yang mana hasil ini sangat serupa dengan hasil pada penelitian kami
(43%)10. Angka tertinggi dari gangguan fungsi saraf secara klinis dilaporkan dari
Etiopia (55%), sedangkan penelitian di Thailand dan Bangladesh melaporkan
angka kelainan fungsi saraf masing-masing sebesar 18% dan 12%. Sebuah
penelitian dari Nepal Barat menunjukkan bahwa saraf sensorik lebih sering
mengalami gangguan (12%) dibandingkan dengan saraf motorik (7%) seperti
pada hasil penelitian yang telah kami lakukan. Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ramadan dkk yang menyatakan bahwa konduksi saraf motorik
lebih banyak mengalami gangguan dibandingkan dengan saraf sensorik. Lebih

120 | B A N U 6
dari separuh pasien MB yaitu 32/58 (55%), tetapi tidak pada pasien PB, yang
memiliki NCS abnormal. Namun, pada penelitian sebelumnya, 92% pasien MB
memiliki NCS abnormal. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Chaurasia dkk
juga menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian kami, dimana pasien
pausibasiler mengalami keterlibatan neurologi yang luas.9,10
Tipe aksonal sensorik-motorik merupakan pola neuropati perifer
tersering (37,5%) pada pasien kami, yang selanjutnya diikuti oleh tipe aksonal
sensorik-motorik dan demielinasi (22%). Namun, pola neuropati perifer tipe
aksonal campuran dan demielinasi merupakan tipe yang paling sering
ditemukan pada penelitian sebelumnya. Saraf sural merupakan saraf yang paling
sering mengalami kelainan (22%) diantara saraf sensorik, yang selanjutnya diikuti
oleh saraf ulna (18%). Serupa dengan penelitian kami, banyak penelitian
sebelumnya mendapatkan bahwa saraf sural merupakan saraf sensorik yang
paling sering terkena pada penyakit lepra. Fungsi elektrofisiologi dari sistem
saraf dievaluasi melalui amplitudo dasar, kecepatan konduksi, latensi dan durasi.
Amplitudo merupakan penjumlahan dari aktivitas aksonal di batang
otak. Amplitudopotensial aksi saraf sensorik (Sensory nerve action
potential/SNAP) merupakan parameter yang paling sering terkena dan
mengalami kelainan di semua saraf sensorik (100%) seperti pada penelitian yang
kami lakukan juga menunjukkan adanya kelainan konduksi saraf. Durasi, latensi,
dan kecepatan konduksi dari SNAP saraf sural juga mengalami kelainan di 82%
pasien dengan kelainan konduksi saraf sural. Namun kondisi tersebut tidak
mengalami gangguan secara signifikan di saraf lainnya. Tidak seperti penelitian
yang telah kami lakukan, beberapa penelitian mengenai elektrofisiologi telah
mengobservasi bahwa pada proporsi kasus yang signifikan, didapatkan bahwa
kecepatan sensorik berada pada batas bawah dari batas normal atau mengalami
sedikit perlambatan ketika amplitudo dan durasi dari potensial aksi dalam jarak
yang normal. Pada penelitian terdahulu, NC sensorik dari saraf ulna
menunjukkan penurunan yang signifikan dari segi kecepatan konduksi,
perpanjangan latensi distal, penurunan amplitudo pada 77,5% pasien. Tetapi,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Van Brakel dkk, menunjukkan bahwa latensi
sensorik dan amplitude ulna menunjukkan hasil abnormal pada sangat sedikit
pasien (13% dan 31%).11
Diantara saraf motorik, saraf ulna nampaknya menjadi saraf yang
paling sering mengalami kelainan (24%), dan selanjutnya diikuti dengan saraf
peroneus komunis (16%).12 Penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk,
menyebutkan bahwa paralisis lebih sering terjadi pada distribusi saraf ulna
dibandingkan dengan saraf lainnya pada pasien dengan lepra. Kondisi ini
menunjukkan bahwa saraf ulna merupakan saraf motorik yang paling sering

121 | B A N U 6
terkena pengaruh dari penyakit lepra. Suhu yang lebih dingin mendukung
peningkatan jumlah bakteri, trauma berulang dan patah tulang dapat
berimplikasi sebagai penyebab dasarnya. Hal tersebut juga serupa ditemukan
pada penelitian yang dilakukan oleh Husein dkk. Pada pemeriksaan konduksi
saraf sensorik, amplitudo dari potensial aksi motorik (CMAP) juga terkena
dampaknya pada semua saraf (100%) dengan hasil tidak normal pada konduksi
saraf motoriknya. Parameter lain dari CMAP seperti durasi, latensi, kecepatan
konduksi, dan latensi gelombang F juga mengalami gangguan pada beberapa
pasien saja. Namun, pada beberapa penelitian sebelumnya, latensi motorik ulna,
kecepatan konduksi dan amplitudo menunjukkan hasil abnormal pada 35%,
38%, dan 31% masing-masing.
Latensi sensorik dan amplitudo ulna juga menunjukkan hasil abnormal
sebesar 13% dan 31% dari semua subyek yang telah diteliti13. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Ramadan dkk, penurunan signifikan pada kecepatan
konduksi saraf motorik, pemanjangan latensi distal dan penurunan amplitudo
pada saraf median, ulna, dan peroneus komunis didapatkan masing-masing
sebesar 72%, 70%, dan 80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sudah banyak
penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemeriksaan
elektrofisiologi dapat mendeteksi neuropati lepra pada fase awal dibandingkan
dengan modalitas pemeriksaan klinis lainnya.11,12 Oleh karena itu, pemeriksaan
elektrofisiologi dapat digunakan untuk mendeteksi neuropati lepra subklinis
yang dapat membantu mencegah neuropati klinis. Hingga saat ini belum ada
bukti yang dapat menunjukkan bahwa perkembangan neuropati klinis bisa
dicegah pada individu-individu dengan neuropati lepra subklinis. Namun,
penelitian multisenter internasional randomisasi terkontrol (TENLEP) pada 6
pusat di Asia, termasuk Nepal, melakukan penelitian mengenai efikasi terapi
prednisolone untuk mencegah progresivitas dari kelainan-kelainan yang terjadi
sebelum berlanjut pada tahap gangguan klinis.14

DAFTAR PUSTAKA
1. Ooi WW, Srinivasan J. Leprosy and the peripheral nervous system:
Basic and clinical aspects. Muscle Nerve. 2004;30:393–409 Viallon A.
Bothelo-Nevers E. Zeni F. 2016. Clinical Decision rules for acute
bacterial meningitis: current insights. Open Access Emergency
Medicine :8 7–16
2. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, editors. 7th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008

122 | B A N U 6
3. Kar S, Krishnan A, Singh N, Singh R, Pawar S. Nerve damage in
leprosy: An electrophysiological evaluation of ulnar and median
nerves in patients with clinical neural deficits: A pilot study. Indian
Dermatol Online J. 2013;4:97–101
4. Scollard DM. The biology of nerve injury in leprosy. Lepr
Rev. 2008;79:242–253
5. World Health Organization . Weekly epidemiological record. World
Health Organization. Geneva: World Health Organization; 2010. pp.
35:337–35:348
6. Chaurasia RN, Garg RK, Singh MK, Verma R, Shukla R. Nerve
conduction studies in paucibacillary and multibacillary leprosy: a
comparative evaluation. Indian J Lepr. 2011;83:15–22
7. Lockwood DN, Saunderson PR. Nerve damage in leprosy: a continuing
challenge to scientists, clinicians and service providers. Int
Health. 2012;4:77–85
8. Vashisht D, Das AL, Vaishampayan SS, Vashisht S, Joshi R. Nerve
conduction studies in tuberculoid leprosy. Indian Dermatol Online J.
2014;5(Suppl 2):S71–5
9. Sasaki S, Takeshita F, Okuda K, Ishii N. Mycobacterium leprae and
leprosy: A compendium. Microbiol Immunol. 2001;45:729–36
10. Kimura J. Principles and practice. 3rd ed. New York: Oxford University
Press; 2001. Electrodiagnosis in disease of nerve and muscle
11. Kar S, Krishnan A, Singh N, Singh R, Pawar S. Nerve damage in
leprosy: An electrophysiological evaluation of ulnar and median
nerves in patients with clinical neural deficits: A pilot study. Indian
Dermatol Online J. 2013;4(2):97–101
12. McKnight J, Nicholls PG, Loretta D, Desiken KV, Lockwood DN, Wilder-
Smith EP, et al. Reference values for nerve function assessment among
a study population in northern India: Sensory and motor nerve
conduction. Neurol Asia. 2010;15(1):39–54
13. Mora-Brambila AB, Trujillo-Hernández B, Coll-Cardenas R, Huerta M,
Trujillo X, Vásquez C, et al. Blink reflex, H-reflex and nerve conduction
alterations in leprosy patients. Lepr Rev. 2006;77:114–20
14. Van Brakel WH, Nicholls PG, Das L, Barkataki P, Maddali P, Lockwood
DN, et al. The INFIR Cohort Study: assessment of sensory and motor
neuropathy in leprosy at baseline. Lepr Rev. 2005;76(4):277–295

123 | B A N U 6
Migraine: different management in children and adult
I Made Oka Adnyana
Departemen Neurologi RSUP Sanglah
Denpasar/FK Universitas Udayana

Pendahuluan
Nyeri kepala migren sering tidak tediagnosis dengan baik, sehingga
terapinya juga kurang memuaskan, dan akan mengganggu kualitas hidup karena
terjadi penuruan produktifitas dan sering tidak hadir di tempat kerja/sekolah.
Migren diderita lebih banyak pada wanita (18%) dibandingkan laki-laki (6%).
Prevalensi migren pada anak dan pubertas cenderung meningkat dari
prasekolah (3%) dan umur sekolah (4-11%), pada anak-anak tidak ada perbedaan
jenis kelamin sedangkan pada pubertas terdapat predileksi jenis kelamin yaitu
prevalensi lebih tinggi pada wanita.1
Migren adalah kompleks neurovaskuler, dan kelainan transmisi
genetik yang ditandai dengan hipereksitabiltas neuron sensorik otak. Stimuli
pada sistem trigeminovaskuler yang melayani pembuluh darah besar intrakranial
dan koneksinya dengan neuron diyakini sebagai awal terjadinya kaskade nyeri
kepala migren. Sekresi neurotransmitter seperti substansi P dan calcitonin gene-
related peptide (CGRP) yang mengakibatkan inflamasi dan dilatasi pebuluh drah
otak, mengakibatkan timbulnya nyeri kepala migren dan gejala yang
menyertainya.2
Kriteria diagnostic migren anak3:
A. Migren tanpa aura.
1. Sekurang-kurangnya 5 serangan yng menggambarkan gejala 2-4
dibawah ini.
2. Nyeri kepala berlangsung antara 1 dan 48 jam.
3. Paling tidak 2 gejala dibawah ini
*. Lokasi bilateral/unilateral.
*. Berdenyut.
*. Nyeri sedang sampai berat.
*. Diperberat oleh aktifitas fisik.
4. Paling tidak satu gejala penyerta.
` *. Mual/muntah.
*.Foto/fonofobia.
B. Migren dengan aura.
1. Sekurang-kurangnya 2 serangan yang menggambarkan keadaan
dibawah ini.
2. Paling tidak 3 gejala berikut.

124 | B A N U 6
` *. Aura anatomi yang berlangsung secara gradual.
*. Aura bersifat reversible.
*. Aura berlangsung kurang dari 1 jam.
*. Nyeri kepala timbul dalam 1 jam setelah aura.
4. Migren tanpa aura (dewasa)4:
A. Sekurang-kurangnya nyeri kepala berlangsung selama 4-72
jam (belum diobati atau sudah diobati akan tetapi belum
berhasil).
B. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara
karakteristik berikut:
1. Lokasi unilateral.
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat.
4. Keadaan diperberat oleh aktifitas fisik atau
diluar kebiasaan aktivitas fisik rutin (seperti
berjalan atau naik tangga).
C. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
1. Nausea dan/atau muntah.
2. Fotofobia dan fonofobia
D. Tidak berkaitan dengan penyakit lain.
5. Migren dengan aura (aura tipikal).
A. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi
kriteria B.
B. Adanya aura yang terdiri atas paling sedikit satu dari di
bawah ini akan tetapi tidak dijumpai kelemahan motorik.
1. Gangguan visual yang reversible dengan gejala positif
(cahaya yang berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-
garis) dan /atau gejala negatif (hilangnya
penglihatan).
2. Gangguan sensoris yang reversible dengan gejala
posotif (seperti tertusuk jarum, (pins and needles)
dan/atau gejala negatif (rasa kebas).
3. Gangguan berbicara disfasia yang reversible.
C. Paling sedikit dua dari dibawah ini.
1. Gejala visual homonim dan/atau gejala
sensoris unilateral.
2. Paling tidak timbul satu macam aura secara
gradual ≥ 5 menit.

125 | B A N U 6
3. Setiap gejala berlangsung ≥ 5 menit dan ≤
60 menit.
D. Nyeri kepala memenuhi kriteria B-D dari migren tanpa
aura dimulai bersamaan dengan aura atau sesudah aura
selama 60 menit.
E. Tidak berkaitan dengan penyakit lain.
Patofisologi migren
Patofisiologi migren sampai saat ini terus dikembangkan, tetapi
patofosiologi pada anak dan dewasa adalah mirip. Patofisiologi migren
sangat kompleks dan tidak hanya fenomena neurovaskuler saja. Nyeri
pada migren pertama diantarkan oleh jalur trigeminovaskuler. Sistem
sensorik aferen trigeminovaskuler mempersarafi meningen dan pembuluh
darah besar akan menjadi aktif kemudain mengalami sensitisasi yang
kemudian akan mengaktifkan neuron lainnya. Keadaan ini dihubungkan
dengan inflamasi meningen dan terjadinya nyeri. Disfungsi pertama terjadi
di batang otak yang mengatur tonus pembuluh darah dan sensasi nyeri.
Neuropeptida vasokatif seperti serotonin dan calcitonin gene-related
peptide (CGRP) bertanggungjawab terhadap terjadinya fenomena vaskuler
pada migren. Serotonin mempunyai efek inhibisi desenden sehingga di
susunan saraf pusat sehingga menghambat terjadinya migren, sedangkan
CGRP merupakan vasodilator yang poten sehingga menjadi pemicu
serangan migren. Patofisiologi migren juga nampaknya melibatkan peran
genetik. Keadaan ini didukung oleh model binatang dengan familial
hemiplegic migraine yang memperlihatkan peningkatan neurotransmisi
glutamat yang mengaktifkan neuron nosiseptik yang dengan gejala khas
yaitu aura sebelum migren.2
Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan migren adalah multifaktorial, dan yang terpenting
adalah hubungan antara pasien dengan pemberi jasa kesehatan (dokter).
Penatalaksanaan meliputi mengetahui faktor pencetus, gejala sebelum
timbulnya serangan migren, penggunaan obat bebas (tanpoa resep) dan
beberapa modalitas terapi yang bisa digunakan sendiri oleh pasien. Terapi
abortif digunakan untuk menghilang nyeri kepalanya dan terapi preventif
digunakan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan nyeri kepala. 2
Tujuan utama terapi migren adalah mengilangkan nyeri kepala dan
gejala yang menyertai, mengembalikan penderita ke aktifitas yang normal,
memperbaiki penatalaksanaan nyeri kepala, efek samping minimal,
memperbaiki kualitas hidup dan mencegah terjadinya medical overuse
headache (MOH). Pemilihan obat harus memperhatikan farmakokinetik

126 | B A N U 6
dan farmakodinamik, terutama pada anak-anak, disamping efek
sampingnya. Monoterapi lebih dipilih dan dosis disesuaikan dengan berat
badan. Terapi simtomatik diberikan terutama yang sangat jarang (≤ 4
kali/bulan), kontra indikasi terapi abortif dan hasil yang kurang baik
dengan terapi preventif.5
Efektifitas dan keamanan terapi migren pada anak masih sangat
terbatas, efek rata2 plasebo pada anak lebih besar diandingkan dengan
dewasa (20-66%; 6-44%). Obat yang digunakan pada serangan migren
akut pada anak adalah asetaminopen, NSAIDs, antiemetik dan triptan. 3
Asetaminofen dan NSAIDs.
Obat ini banyak diteliti untuk terapi migren akut pada anak dan
pubertas. Dari studi kepustakaan tidak ada keraguan penggunaan
asetaminofen dan NSAIDs untuk terapi migren akut mulai dari umur
sangat dini dengan dosis asetaminofen (15 mg/kgBB) dan ibuprofen (7,5-
10 mg/kgBB).3
Penelitian oleh Lewis et al.6, meneliti pada anak unur 6-12 tahun
dengan metode double-blind, placebo-control study membandingkan
ibuprofen dengan dosis 7,5 mg/kgBB dengan plasebo mendapatkan hasil
ibuprofen lebih efektif secara bermakna menurunkan beratnya nyeri
kepala dalam 2 jam (76:53%, p=0,006). Peneelitian oleh Hamalainen et al. 7,
yang meneliti efek asetaminofen dan ibuprofen pada 88 anak dengan
metode double-blind cross over study mendapatkan hasil ibuprofen dan
acetaminofen keduanya efektif secara bermakna menurunkan nyeri kepala
dalam 1 dan 2 jam.
Asetaminofen dan ibuprofen dalam studi lain juga memperlihatkan
lebih efektif secara bermakna dibandingkan dengan plasebo dalam jam
pertama terapi dalm menurunkan intensitas nyeri dan kekambuhan nyeri
kepala. Efek samping dari asetaminofen yaitu, rash, eritema pansitopenia
dan ibuprofen adalah nyeri lambung, mual dan muntah. Kedua obat bisa
memicu rekasi hipersensitif, gagal hati dan anemia hemolitik.8
NSAIDs lain yang bisa digunakan adalah nimesulid. Studi open label
membandinkan nimesulid 2,5 mg/kgBB dan asetaminophen 15 mg/kgBB
memperlihatkan efektifitas yang sama (Soriani et al., 2001). Indometasin
dengan dosis 25 mg/kgBB yang dikombinasikan dengan proklorperazin
dan kafein yang bisa digunakan pada orang dewasa bisa digunakan pada
anak dengan nyeri kepala primer bila terdapat kontra indikasi dengan
NSADIS lan dan triptan.9
Derivat ergot

127 | B A N U 6
Preparat ini jarang digunakan pada anak, karena efek emetik dan
vasokonstriksi karena berikatan dengan beberapa reseptor. 3

Antiemetik
Antiemetik atau agonist dopamin seperti domperidon,
metoklorperamid, prometasin, prokorpreazin digunakan terutama pada
migren dengan muntah yang hebat. Di ruang gawat darurat anak Kanada
obat yang digunakan adalah metoklorperamid dan prokloperazin, tetapi
domperidon lebih sering dipakai karena karena toleransinya lebih baik.10
Triptans
Triptan adalah obat standard untuk migren pada orang dewasa.
Triptan yang pertama dikenal adalah sumatriptan. Triptan merupakan
agonis reseptor serotonin (5HT-1B/1D) dan menpunyai dua efek yaitu
sebagai neurotropik dengan cara menghambat depolarisasi serat sensorik
trigeminal dan pelepasan neuropeptoda vasoaktif sepert CGRP dan efek
vasoaktif yaitu vasokontriksi pembuluh darah serebral yang selektif.
Generasi triptan yang lebih baru bisa melewati sawar darah otak sehingga
bisa menghambat nukelues trigemin kaudalis yang berperan dalam
memperoses nyeri.5,11
Triptan biasanya digunakan pada umur diatas 18 tahun, kecuali
sumtriptan nasal spray 10 mg bisa digunakan pada umur 12-17 tahun di
beberapa negara Eropa. Bentuk almotriptan oral sudah disetujui olahe
FDA untuk serangan migren umur 12-17 tahun.6 Penelitian randomizied,
placebo-control oleh Hamalaine et al12 pada 23 anak (8-16 tahun) dengan
migren diterapi dengan sumatriptan (50-100 mg) tidak memberikan hasil
yang berbeda dengan kontrol, tetapi peneltian multicenter placebo-
control oleh Derosier et al.,13 terapi dengan sumtriptan oral (85 mg)
digabung dengan sodium naproksen (500 mg) pada anak umur 12-17
tahun memperlihatkan efektifitas yang bermakna dibandingkan plasebo
dalam perbaikan nyeri dalam 2 jam (24: 10 %, p=0,003) dan juga
dtoleransi dengan baik. Sumtriptan subkutan diteliti pada dua studi open
label. Studi pertama dikerjakan pada 17 anak berumur 6-16 tahun dengan
dosis 6 mg untuk anak dengan berat badan > 30 kg dan 3 mg untuk anak
dengan berat badan < 30 kg) memberikan hasil positif sebanyak 60%,
tetapi efek samping terjadi pada 15 dari 17 pasien seperti terasa tertekan di
dada dan leher atau kesemutan (tingling).14 Studi kedua yaitu pada 50
pasien dengan umur 6-18 tahun dengan dosis sumtriptan 0,06mg/kgbb
memeprlihatkan efektifitas sebanyak 78%, sebanyak 26% dalam waktu 30

128 | B A N U 6
menit, 46% dalam waktu 60 menit dan 6% antara 1-2 jam. Efek samping
yang terjadi yaitu sebanyak 80% seperti tidak nyaman di kepala, leher dan
dada.15 Sumatriptan nasal spray (5, 10, dan 20 mg) memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan plasebo pada anak berumur 6-17 tahun.
Penelitian open label sumtriptan nasal spray pada anak-anak di Italia
memperlihatkan efikasi dan tolerabilitas yang baik.16
Jenis triptan yang lain digunakan adalah:
Zolmitriptan oral dengan dosis 2,5-5 mg yang dikerjakan dengan metode
open label pada anak berumur 12-17 tahun memperlihatkan hasil yang
lebih menguntungkan, meskipun belum dikonfirmasi dengan cohort-
control trial.17 Zolmitriptan nasal spray dengan dosis 5 mg yang diberikan
pada anak berumur 12-17 tahun, mendapatkan hasil terjadi pengurangan
nyeri kepala dalam 15 menit, dan dalam 1 jam memberi respon yang lebih
baik dibandingkan dengan plasebo (58.1: 43.3%). Juga lebih baik dalam
mengurangi intensitas nyeri kepala, dan gejala migren lainnya. 7
Rizatriptan: Efektifitas rizatriptan oral 5 mg tidak lebih baik dibandingkan
dengan plasebo, tetapi peneltian belakangan dengan metode open label
study dosis 5-10 mg, pada anak 12-17 tahun efektifitasnya sebanyak 77%
dan ditoleransi dengan baik.18,19
Eletriptan (40 mg) dan almotriptan (12,5 mg) juga diteliti pada anak 12-17
tahun, tetapi hasilnya tidak lebih baik dibandingkan plasebo 21,22 tetapi
suatu peneltian control trial almotriptan dengan dosis 6.25, 12,5 dan 25
mg oleh Linders et al22 mendapatkan hasil lebih dibandingkan dengan
plasebo dan juga mengurangi gejala penyerta migren seperti
foto/fonofobia dan juga ditoleransi dengan baik.
Triptan adalah obat yang ditoleransi dengan baik pada anak-anak,
tetepai efektifitas kurang dibandingkan dengan dewasa, kecuali beberapa
bentuk oral seperti rizatriptan dan almotriptan dan bentuk nasal spray
seperti sumatriptan dan zolmitriptan. Rendahnya efektifitas pemberian per
oral disebabkan karena pendeknya durasi kerja dan efek stasis gaster pada
migren anak. Diantara sediaan yang memberi respon dan ditoleransi
dengan baik pada anak diatas umur 12 tahun adalah sumtriptan nasal
spray.23
Terapi pencegahan
Tujuan terapi preventif adalah mengurangi frekuensi dan intensitas
nyeri kepala, penggunaan terapi simtomatik, disabilitas dan memperbaiki
kualitas hidup. Terapi preventif diberikan selama 2-3 bulan dan dilakukan
monitor nyeri kepala kepala dengan buku harian untk melihat pola nyeri

129 | B A N U 6
kepalanya, karena migren pada anak-anak mengalami remisi spontan
sebanayak 25,7-28,1%.24
Terapi pencegahan diberikan pada anak dengan kriteria sebagai berikut: 24
1. Paling tidak 4 kali serangan dalam 1 bulan, terutama bila nyeri
kepala sedang/berat.
2. Nyeri kepala berlangsung lebih dar 4 jam.
3. Nyeri kepala tidak berespon dengan obat abortif/respon terhadap
obat abortif jelek.
4. Toleransi jelek terhadap terapi abortif.
Obat yang digunakan untuk terapi preventif adalah:
1. Calcium-channel blocker
Flunarizin adalah obat pilihan untuk prevensi migren pada anak-
anak dan pubertas. Suatu control, crossover, doublel-blind study pada
63 subyek berumur 5-11 tahun dengan dosis 5 mg per hari
memperlihatkan terjadi penuruanan prekuensi dan durasi serangan.
Efek samping yang terjadi adalah peningkatan nafsu makan dan berat
badan, sedasi yang sedang dan gejala ekstra piramidal meskipun
sangat jarang dan gejala efek samping akan hilang bila obat
dihentikan. Dosis yang direkomendasikan adalah 3-5mg dosis tunggal
pada malam hari.25
2. Antihipertensi
β-blocker sering digunakan untuk pencegahan migren
meskipun mekanisme belum begitu jelas. Penelitian di Scandinavia
dengan dosis 60-120 mg/hari (1-3 mg kgBB/hari) meperlihatkan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan
metoprolol pada berbagai jenis kepala primer tidak lebih baik
dibandingkan dengan terapi nonfarmakologi ( biofeedback dan
relaksasi).26
3. Serotonin modulator
a. Pizotifen
Pizotipen diteliti pada anak umur 6-15 tahun pada 37 subyek
dengan dosis 1,5 mg/hari selama 3 bulan. Hasilnya adalah pizotipen
bisa menurunkan frekuensi nyeri kepala tetapi terjadi efek samping
yang moderat seperti sedasi, peningkatan nafsu makan. Hasil berbeda
didapat pada studi kontrol berikutnya yaitu pemberian pizotipen pada
anak umur 7-14 tahun dengan jumlah subyek sebanyak 47 anak
dengan dosis 1-1,5 mg/hari selama 6 bulan mendapatkan hasil tidak
berbeda dengan placebo dalam menurunkan jumlah dan durasi

130 | B A N U 6
serangan nyeri kepala. Dosis yang dianjurkan adalah 1-1,5 mg/hari
(0,04 mg/kgbb/hari).27
b. Cyproheptadine.
Penelitian open label dengan dosis 0,2-0,4 mg/kgBB/hari
selama 3-6 bulan, memperlihatkan perbaikan sebanyak 68% kasus
dan sembuh total sebanyak 21%. Efek samping yang terjadi yaitu
kelelahan, penambahan berat badan, dizziness. Indikasi kontra adalah
asma, glaukoma, dan ulkus peptikum. Dosis yang direkomendasikan
adalah 0,2-0,4 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal.28
4. Antidepresan
a. Amitriptilin
Penelitian amitriptilin telah dikerjakan pada beberapa open label
trials. Studi pertama pada 24 subyek dengan umur 6-12 tahun yang
diberikan amitriptilin 1,5 mg/kg/hari selama 2 bulan memperlihatkan
penurunan frekuensi serangan sebanyak 75% kasus, tetapi yang
mengalami dropout sebanyak 20% karena efek sampingnya seperti
peningkatan berat badan.29 Penelitian lainnya oleh Hershey et al.30,
pada 192 subyek berumur 9-15 tahun dengan dosis 0,25-1
mg/kgbb/hari memperlihatkan efektifitas untuk perbaikan frekuensi
dan penurunan rata nyeri kepala sebanyak 84,2% kasus dengan
toleransi yang baik dan memberikan perbaikan untuk jangka panjang.
Studi ini kemudian dikonformasi oleh Lewsi et al6 yang mendapatkan
efektifitas sebanayk 80% pada 73 subyek berumur 3-12 tahun dengan
dosis 10 mg/hari. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,25-1
mg/kgbb/hari. Efek samping yang timbul adalah mulut kering,
mengantuk, peningkatn berat badan, hipotensi ortostatik. Indikasi
kontra adalah penyakit jantung, glaucoma dan gagal ginjal dan liver.
Karena efek sampingnya oleh para ahli pemakaian amitriptilin sangat
dibatasi.5
b. Trazodone
Suatu studi placebo-controlled crossover pada 40 pasien
migren anak dengan umur 7-18 tahun dengan dosis 1 mg/kg/hari
dengan dosis terbagi 3 kali memberikan perbaikan dalam fekuensi
dan durasi nyeri kepala.16
5.Antiepilepsi
a. Divalproate
Studi pertama divalproate adalah open-label study pada 42
subyek berumur 7-16 tahun dosis 15-45 mg/kg/hari selama 6 bulan.
Hasilnya terdapat perbaikan pola nyeri kepala setelah 4 bulan yaitu

131 | B A N U 6
terjadi penurunan 50% nyeri kepala pada 78,5% pasien dan 75% pada
14,2% dan 9,5% bebas nyeri kepala tetapi terjadi efek samping pada
29 dari 42 pasien.31 Hasil ini kemudian dikonfirmasi oleh Serdaroglu et
al.,32 yang meneliti efek divalproate pada anak berumur 9-17 tahun
dengan dosis 500-1000 mg/hari yang juga memberikan perbaikan
pola nyeri kepala pada anak dengan migren. Penelitian multi senter
besar divalproate extended release dengan dosis 250, 500 dan 1000
mg tidak memberikan hasil yang bemakna dalam efikasi penurunan
nyeri dalam 4 minggu terapi, dan juga tidak lebih baik dalam kualitas
hidup pasien yang dinilai dengan pediaricMidas (PedMIDAS), tetapi
efek samping yang terjadi juga tidak berbeda bermakna antara terapi
dan plasebo.33 Penelitian yang dilakukan oleh Unalp et al.,34 yang
mebandingkan efektifitas divalprote (n=20 orang) dengan topiramate
(n=28 orang) mendapatkan kedua obat berhasil menurunkan
frekuensi, beratnya, durasi dan PedMIDAS. Dosis yang
direkomendasikan adalah 15-30 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 2-3
kali. Efek samping adalah penambahan berat badan, rash kulit dan
alopesia. Indikasi kontra penyakit liver.5
b.Topiramate
Studi open label pertama menggunakan topiramate dikerjakan
pada tahun 2000 pada 75 subyek berumur 8-15 tahun dengan dosis
1,4±0,7 mg/kg/hari selama 3-11 bulan, memebrikan hasil yang baik
dalam menurunkan frekuensi, durasi dan intensitas nyeri kepala dan
PedMIDAS. Efek sampingnya adalah gangguan kognitif (12%)
penurunan berat badan (6%) dan gangguan sensorik (3%).35 Stusi
open-label 3 tahun kemudian pada 24 subyek yang tidak memberi
respon dengan terapi propilaksis lainnya diberikan topiramate
dengan dosis 3,5±1,7 mg/kg/hari mendapatkan hasil terjadi
perbaikan durasi nyeri kepala sebanyak 87,5% dan intensitas nyeri
kepala (58,3%), dengan efek samping yang ringan (33%).36
Peneltian oleh Winner al.20 pada 162 subyek dengan umur 6-15
tahun dengan dosis 2-3 mg/kg memperlihatkan penurunanan yang
sangat banyak dalam frekuensi nyeri kepala, tetapi secara statistik
penurunannya adalah borderline (p=0,06) tetapi ditoleransi dengan
baik. Penelitian lain yaitu oleh Lakshmi et al., 37 dengan
menggunakan topiramate 100 mg 2 kali sehari memperlihatkan
terjadi penurunanan secara bermakna jumlah nyeri kepala,
disabilitas dan absen di sekolah dalam sebulan. Peneltian oleh Lewis
et al.,6 pada penderita migren berumur 12-17 tahun dengan dosis 50

132 | B A N U 6
atau 100 mg/hari selama 16 minggu memperlihatkan efikasi yang
bermakna dalam menurunkan frekuensi nyeri kepala dalam sebulan
dibandingkan dengan plasebo (72,2: 44,4%), tetapi hanya dengan
dosis 100 mg.
c. Levitiracetam
Studi open-label pada 19 pasien berumur 3-17 tahun dengan
dosis levetiracetam 250-500 mg mengurangi remisi sebanyak 53%,
perbaikan 37% tidak efektif 10% dan efek samping 16%. 38 Penelitian
Palkanis e al.,39 pada 20 orang migren berumur rata2 10,6 tahun
dengan dosis 20-40 mg/kg/hari selama 2-3 bulan memperlihatkan
terjadi penurunan bermakna dalam frekuensi dan disabilitas, dan
hanya 3 orang yang mengalami efek samping (iritabel dan agresif).
d. Gabapentin
Suatu studi open-label pada 18 pasien berumur 6-17 tahun
dengan dosis 15-30 mg/kg/hari memeprlihatkan efikasi sebesar
80%. Efek samping yang terjadi adalah mengantuk, penambahan
berat badan, rash pada kulit dan alopesia. 4o

Pendapat para ahli dari studi meta-analisis disebutkan terapi preventif


migren pda anak-anak dan pubertas kurang memberikan efek dibandingkan
dengan terapi simptomatik. Hanya flunarizine mempunyai cukup bukti pada
anak-anak. Flunarizin telah diakui di Eropa tetap tidak di Amerika Serikat.
Cyproheptadin, amitriptilin, divalproex dan lvetiracetan belum cukup bukti
sebagai prevensi pada anak-anak. Efektifitas propranolol masih kontradiktif.
Pizotifen, nimodipine dan klonidin tidak efeltif, tetapi topiramate cukup
menjanjikan sebagai prevensi pada migren anak.6
Untuk kepentingan praktek klinik dengan mempertimbangkan rasio
efikasi dan toleransinya sebagai prevensi migren pada anak-anak obat yang
digunakan adalah: flunarizine, serotonin antagonis (pizotipen, cyproheptadine
dan neuromodulator (topiramate).5
Pendapat para ahli terhadap terapi migren pada anak yaitu dengan
menggunakan obat over-the counter medication (OTC) seperti ibuprofen dan
asetaminofen untuk nyeri ringan, sedang dan berat. Pemakaian obat ini tidak
boleh lebih dari 2-3 kali/minggu. Pada nyeri kepala yang sedang dan berat yang
tidak berespon dengan OTC, terapi yang direkomendasikan adalah triptan atau
kombinasi NSAID/triptan. Jenis triptan yang direkomendasikan oleh FDA adalah
almotriptan, tetapi cuma tersedia dalam bentuk tablet sehingga kurang baik
penyerapannya pada penderita dengan mual dan muntah. Pada penderita
dengan mual dan mntah yang lebih baik adalah pemberian triptan nasal spray,

133 | B A N U 6
karena telah cukup bukti efektifitasnya. Pemberian edukasi pada pasien dan
keluarga adalah sangat penting.41
Terapi migren pada orang dewasa adalah terdiri menghindari faktor
pencetus, terapi abortif dan profilaksis. Terapi abortif terdiri dari yang spesifik
yaitu ergotamine dan golongan triptan, dan terapi abortif non spesifik yaitu:
analgetik sederhana, NSAIDs dan antiemetik. Terapi profilaksis yaitu obat
golongan beta bloker, antidepresan trisiklik, dan obat anti epileptik. 4

Kesimpulan
Patofosiologi migren pada anak tidak jauh berbeda dengan orang
dewasa, demikian juga penatalaksanaannya. Obat yang digunakan saat serangan
akut adalah analgetik sederhana, NSAIDs dan triptan ( nasal spary). Preparat
ergotamine jarang digunakan. Untuk terapi pencegahan obat yang
direkomendasikan adalah flunarizine, serotonin antagonis dan topiramate.
Kepustakaan
1. Lewis DW., Aswal S., dahl g. 2002. Quality standards Subcommitee of
the America Academy neurology; Practice Committee of the Child
Neurology Society. Practice parameter: Evaluation of children and
adolescent with recurrent headaches: report of the quLITY Standard
Subcommitee of The American Academy of neurology and the
Practice committee of child Neurology Society. Neurology; 59(4) 490-
498.
2. Molony MF., Johson CJ. 2011. Migraine headache: Diagnosis and
management. Journal of Midwifery & Women Helath; 56: 282-292.
3. O'Brien HL., Kabbouche MA., Hershey AD. 2010. Treatmrnt acute
migriane in pediatric population. Curr. Treat.Options Neurol; m12 (3):
178-185.
4. Perdossi. 20018. Konsensus Nasional V Kelompok studi Nyeri Kepala
Perdossi.
5. Toldo I, De carlo, D., Bolzonela B., Sartori S., Battistella PA. 2012. The
pharmacological treatment of migraine in children and adolescent: an
overview. Expert Rev.Neurother; 12(9): 1133-1142.
6. Lewis DW., Winner P., Hershey AD., Wasiewski WW. 2007. Adolescent
Migraine Steering Commitee. Efficacy of zolmitriptan nasal spray in
adolescent migraine. Pediatric; 120(2): 390-396.
7. Halmalainen ML., Hoppu K., Santavauri P. 1997. Sumtriptan for
migraine attack in children: a randomized placebo-controlled study.
Neurology; 48: 1100-1103.

134 | B A N U 6
8. Hamalainen ML. Migraine in children and adolescent: a guide to drug
treatment. CNS drug; 20(10): 813-821.
9. Moorjani BI., Rothner AD. 2001. Indometahcine responsive headache
in children ans adolescent. Semin. Pediatr. Neurol; 8 (1): 40-45.
10. Richer LP., Laycock K., Miler K. 2010. Treatment of children with
migraine in emergency departemen: national practice variation study.
Pediatric. 126: e150-e155.
11. Vollono C., Vigevano F., Tarantino S., Valeriani M., Triptan other han
sumtriptan in child and adolencent migraine: literature review. Expert
Rev.Neurother; 11(3): 395-401.
12. Hamalainen ML., Hoppu K., Santovuori P. 1997. Sumatriptan for
migraine attack in children; a randomized placebo-controlled sutdy.
Neurology; 48: 1100-1103,
13. Derosier FJ., lewis D., hershey AD., 2012. Randomized trila of
sumatriptan and naproxen sodium combination in adolescent
migraine. pediatric; 129 (6): e1411-e1420.
14. McDonald JT., 1994. Treatment of juvenile migraine with subcutaneus
sumatriptan. Headache; 34(10): 581-582.
15. Linders SL. 1996. Subcutaneus sumtriptan in the clinical setting: the fist
50 concecutivie patiemts with acute migraine in pediatric neurology
office pracitce. Hedache; 36(7): 419-422.
16. Batistella PA., 2007. Synptomatic treatment of pediatric migraine: an
open-label study with sumtripatan nasal spray. J. Headche Pain
8(suppl.): S22.
17. Rothner AD., Wasieski W., Winter P. Lewis D., Stankowski J. 2006.
Zolmitriptan oral tablet in migraine treatmnent: high placebo respons
in adolescent. Headache; 46(1): 101-109.
18. Visser WH., Winner P., Strohmaier K. 2004. Rizatriptan protocol 059
and 061 Study group. Rizatriptan 5 mg for the acute migraine in
adolescent: a randomized, doubel blind, placebo-control study.
Headache; 44(9): 891-899.
19. Ahonen K., Hamalainen ML., Eerola M., Hoppu K., 2006. A
randomized trial of rizatriptan in migraine attack in children.
Neurology 76(7): 1135-1140.
20. Winner P., Pearlman EM., Linders SL. 2005. Topiramate pediatric
Migraine Study Investigators. Topiramate for mograine prevention in
children: a randomized, double-blind, controlled trial. Hedache; 45:
1304-1312.

135 | B A N U 6
21. Badwin JR, Fleishaker JC, Azie nE, Carel BJ. 2004. A Comparasion of
the pgarmacokinetics and tolerability of the anti-migraine compound
almotriptaninhelathy adolescent adults. Cephalagia; 24(4): 288-292.
22. Linders SL., Mathew NT., Cady RK., Finlayson G., Iskhanian G., Lewis
DW. 2008. Efficacy and tolerability of almotriptan in adolescent: a
randomized, double-blind placebo-control trial. Headache 48 (9):
1326-1336.
23. Callenbach PM., Pels LP., Mulder PG. 2007. SUM30042 Trial Group.
Sumtriptan nasal spray in the acute treatment of migraine in
adolsecent and children. Eur. J. Pediatr. Neurol; 11(6): 325-330.
24. Kienbacher C., Wober C., Zesch HE. 2007. Clinical features,
classification and migraine and tension-type headache in children and
adolescent: a long- term follow-up study. Cephalagia; 26(7): 820-830.
25. Sorge F., De Simone R., Marano E., Nolano M., Orefice G., Carrieri P.
1996. Flunarizine in prophylaxis of children migraine: A double blind,
placebo-control, crossover study. Cephalagia; 8(1): 1-6.
26. Ludvigsson J. 1974. Propranolol used in prophylaxis of migraine in
children. Acta Neurol Scand; 50(1): 109-115.
27. Giliies D., Sills M., Forsythe I. 1986. Pizotifen (Sanomigran) in childhood
migraine. A double blind trial. Eur. Neurol; 25(1): 32-35.
28. Bille B., Ludvigsson J., Sanner G. 1997. Prophylaxis of migraine in
children. Headache; 17(2): 61-63.
29. Sorge F., Barone P., Steardo L., Romano MR. 1982. Amitriptylin as
prophylaxis for migraine in children. Acta Neurol. (Napoli). 4(5): 362-
367.
30. Heshey AD, Powers SW, Bewntti AL, Degrauw TJ. 2000. Effectiveness
of amitryptiline in the prophylactic management of childhood
headches. Headache 40(7): 539549.
31. Caruso JM., Brown WD., Exil G., Cascon GG. 2000. The efficacy of
divalproaex sodium in the prophylactic treatment of children with
migraine. Headache; 40(8): 672-676.
32. Serdaroglu G, Erhan E, Tekgul H. 2002. Sodium valproate prophylaxis
in childhoold migraine. Headache; 42(8): 819-822.
33. Apostol G., Cady RK., Laforet GA. 2008. Divalproaex extended release
in adolescent migraine prophylaxis: results of a randomized, double-
blind, placebo-controlled study. Headache; 48(7): 1012-1025.
34. Unalp A., Uran N., Ozturk A. 2008. Comparison of the effectiveness of
topitamate and sodium valproate in pediatric migraine. J. Child
Neurol; 23(12): 1377-1381.

136 | B A N U 6
35. Hershey AD., Poers SW., Vockell AL, LeCates S., Kabbouche M. 2002.
Effectivenes of topiramate in the prevention of childhood headache.
Headache; 42(8): 810-818.
36. Campistol J., Campos J., Cass C., Herranz JL. 2005. Topiramate in the
prophylactic treatment of migraine in children. J. Child Neurol; 2005:
20(3): 251-253.
37. Lakshmi CV., Singhi P., Malhi P., Ray M. 2007. Topiramate in the
prophylaxis of pediatric migraine: a double-blind placebo-controlled
trial. J. Child. Neurol; 22 (7): 829-835.
38. Miller GS., Efficacy and safety of levetiracetam prophylaxis in pediatric
migraine. Hedache; 44(3): 238-243.
39. Palkanis A., Kring D., Meier L., Levetiracetam prophylaxis in pediatric
migraine-an open label study. Hedache; 4793): 427-430.
40. Belman AL, Milazo M, Savatic M. 2001. Gabapentin for migraine
prophylaxis in children. Ann neurol. 50 (suppl 1): 109-
41. O'Brien HL., Kabbouche MA., Hershey AD. 2012. Treating pediatric
migraine: an expert opinion. Expert Opinion.Pharmacother (early
online): 959-966.

137 | B A N U 6
ASSESSMENT AND MANAGEMENT OF PAIN IN CHILDREN
Thomas Eko P
Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah
Hospital
Denpasar, Bali

Abstrak
Asesmen dan managemen nyeri pada anak relatif lebih ribet dan sulit
dibandingkan orang dewasa. Asesmen nyeri merupakan kunci utama untuk
managemen nyeri yang efektif. Tanpa asesmen nyeri kita tidak dapat
mengevaluasi efektivitas dari tindakan yang kita lakukan. Sayangnya sampai saat
ini pasien anak yang menderita masih under-assessment dan under-treated
sehingga mengakibatkan kualitas hidup pasien anak menurun.
Terdapat bermacam-macam cara untuk mengases nyeri pada anak
tetapi belum ada alat asesmen yang bersifat universal dan tervalidasi. Asesmen
nyeri pada anak tergantung pada umur. Pendekatan asesmen nyeri didasarlan
pada 3 hal yaitu: skala nyeri subyektif (tergantung apa yang dikatakan oleh
pasien anak), behavior dan indikator fisiologi. Alat asesmen yang banyak dipakai
antara lain: CRIES scale untuk neonatus, FLACC untuk infant, Wong Baker dan
Numeric Rating Scale untuk anak yang lebih besar.
Managemen nyeri pada anak pada prinsipnya dibagi menjadi non
farmakologik dan farmakologik. Pendekatan non farmakologis merupakan lini
pertama untuk managemen nyeri pada anak meliputi pemberian sukrose,
masase, kompres panas/dingin, distraksi dan pemberian Air Susu Ibu ( breast
feeding), sedangkan terapi farmakologik sesuai dengan steppladder WHO
dengan analgesik non opioid, analgesik adjuvan dan opioid.

138 | B A N U 6
SNORING IN CHILDREN: CAUSE, IMPACT, AND TREATMENT
Desak Ketut Indrasari Utami
Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah
Hospital
Denpasar, Bali

Abstract
Snoring is a phenomenon that is often encountered in everyday life
both in adults and children. Snoring divided into rare (occasional snoring) and
daily (habitual snoring). Occurrence rate of occasional snoring is about 26% -
30%, while habitual snoring about 5% -7%. The most common cause of snoring
in children aged 3-6 years due to differences in growth rates of tonsils and
adenoid faster than jaw growth. Other causes are obesity and craniofacial
anomalies. Habitual snoring in children should be cautioned as part of cardinal
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) symptoms. The OSAS can have an
impact on daytime performance, cardiovascular disease, neurobehavior
disturbance, insulin resistance, type 2 diabetes mellitus, metabolic syndrome,
somatic growth disorders, decreased quality of life, and depression. Diagnosis of
OSAS can be established based on complaints, physical examination, diagnostic
investigation with Polysomnography (PSG) as the gold standard. Management of
snoring by OSAS may include pharmacological therapy (decongestant drugs,
intra nasal corticosteroids, mometasone furoate), surgical treatment
(tonsiloadenoidectomy, reconstruction of craniofacial anomalies), Possitive
Airway Pressure (PAP) therapy, weight loss, diet and exercise, and comorbid
disease management.
Keywords: snoring, child, cause, impact, management

Abstrak
Tidur mendengkur (snoring) merupakan fenomena yang sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada dewasa maupun anak-anak.
Mendengkur ada yang jarang timbul (occasional snoring) dan ada yang timbul
hampir setiap hari (habitual snoring). Angka kejadian occasional snoring lebih
tinggi yaitu sekitar 26%-30%, sedangkan habitual snoring sekitar 5%-7%.
Penyebab snoring tersering pada anak usia 3-6 tahun karena adanya perbedaan
kecepatan pertumbuhan tonsil dan adenoid yang lebih cepat dibandingkan
pertumbuhan rahang. Penyebab lainnya adalah obesitas dan anomali
kraniofasal. Habitual snoring pada anak patut diwaspadai sebagai bagian dari
gejala kardinal Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Bahaya OSAS dapat
berdampak pada performa di siang hari, munculnya penyakit kardiovaskuler,

139 | B A N U 6
dampak neurobehaviour, resistensi insulin, Diabetes Melitus tipe 2, sindroma
metabolik, gangguan pertumbuhan somatik, menurunnya kualitas hidup, serta
depresi. Diagnosis OSAS dapat ditegakkan berdasarkan keluhan, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang maupun dengan alat Polysomnography (PSG)
sebagai standar emasnya. Penatalaksanaan snoring akibat OSAS dapat berupa
terapi farmakologi (obat-obat dekongestan, kortikosteroid intra nasal,
mometasone furoate), terapi pembedahan (tonsiloadenoidektomi, rekonstruksi
anomali kraniofasial), terapi Possitive Airway Pressure (PAP), penurunan berat
badan, diet dan olah raga, serta penanganan penyakit komorbid.
Kata kunci: mendengkur, anak, penyebab, dampak, penatalaksanaan
1. Pendahuluan
Mendengkur atau mengorok merupakan hasil dari getaran atap lunak
rongga mulut (palatum molle) dan uvula yang meimbulkan suara nyaring yang
keluar dari saluran respiratori.1 Tidur mendengkur merupakan penomena yang
sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Tidur mendengkur dapat terjadi
pada laki-laki, perempuan, juga pada orang tua maupun anak-anak. Suara
dengkuran seringkali mengganggu orang di sekitarnya. Penyebab tidur
mendengkur pada dewasa dan anak-anak adalah berbeda, dan memerlukan
pendekatan yang berbeda pula. Seringkali mendengkur atau mengorok pada
anak dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa ditemui dan dianggap sesuatu hal
yang menurun dari orangtuanya. Mendengkur dapat menjadi salah satu gejala
yang diyakini dapat menimbulkan masalah pernapasan di kemudian hari
sehingga perlu diwaspadai. Kewaspadaan terhadap gejala mendengkur pada
anak di beberapa negara maju cukup tinggi, tetapi di Indonesia masih kurang
diperhatikan.1,2 Mendengkur ada yang jarang timbul (occasional snoring) dan
ada yang timbul hampir setiap hari (habitual snoring). Angka kejadian occasional
snoring lebih tinggi yaitu sekitar 26%-30%, sedangkan habitual snoring sekitar
5%-7%.2,3 Bila terdapat habitual snoring pada anak, maka perlu ditindaklanjuti
karena hal tersebut dapat merupakan gejala atau dapat berkembang menjadi
OSAS (Obstructive Sleep Apnea Syndrome), yang kelak dapat menyebabkan
masalah serius pada anak.1 Spektrum mendengkur pada anak mulai ringan
sampai berat adalah primary snoring (PS), upper airway resistance syndrome
(UARS), obstructive hypoventilation (OH), dan OSAS. Perbedaan spektrum
tersebut didasarkan pada patofisiologi dan gejala yang terjadi akibat
mendengkur.2 Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk
menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan
dengan apnea obstruktif, hipoksia atau hipoventilasi.4,5
2 Penyebab Snoring Pada Anak

140 | B A N U 6
Lebih cepatnya perkembangan tonsil dan adenoid dibandingkan
dengan perkembangan rongga mulut pada anak usia 3-6 tahun menyebabkan
kejadian mendengkur adalah tertinggi di usia tersebut. Perbedaan percepatan
pertumbuhan tersebut mengakibatkan adanya sumbatan atau penyempitan
jalan napas.3,6 Ukuran adenoid dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat
ringannya OSAS. Hipertrofi adenoid dan tonsil dapat juga menyebabkan penyulit
pada anak dengan kelainan dasar tulang. Walaupun pada sebagian besar anak
OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, namun sebagian kecil akan
menetap setelah dioperasi. Pada suatu penelitian sebagian kecil anak dengan
OSAS yang telah berhasil diatasi dengan operasi adenotonsilektomi kemudian
mengalami rekurensi gejalanya selama masa remaja. 7 Pembesaran jaringan
limfadenoid ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti paparan
iritan lingkungan, seperti asap rokok, infeksi, rinitis alergi, dan asma. 8 Faktor
genetik juga kemungkinan berpengaruh pada pusat ventilasi, anatomi, atau
keduanya, berdasarkan hasil studi kohort.8,9
Penyebab lain snoring adalah anak dengan anomali kraniofasial yang
mengalami penyempitan struktur saluran nafas yang nyata (mikrognasi dan
midface hipoplasia) akan mengalami OSAS. Pada anak dengan disproporsi
kraniofasial dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas meskipun tanpa
disertai hipertrofi adenoid.10
Obesitas merupakan penyebab OSAS yang lain. Pada dewasa,
obesitas merupakan penyebab utama OSAS sedangkan pada anak tidak
demikian. Terjadinya OSAS pada obesitas karena adanya penyempitan saluran
nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan
lunak di sekitar saluran nafas, maupun kompresi eksternal leher dan rahang. 10,11
Penentuan obesitas dapat dilakukan dengan cara menghitung body mass index
(BMI) dan pengukuran lingkar leher. Untuk penentuan OSAS, yang lebih
berperan adalah lingkar leher dibandingkan dengan BMI. Telah diketahui bahwa
lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan
peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan
dengan mendengkur dan OSAS. Diduga bahwa penumpukan lemak pada
daerah leher dapat membuat saluran nafas atas menjadi lebih sempit.
Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar
mempunyai velofarings yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga dapat
mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada waktu tidur. 10
Gambar 1. Turbulensi aliran udara yang disebabkan oleh hipertropi tonsilar dan
jaringan adenoid.11
3. Dampak Snoring Akibat Osa Pada Anak
3.1 Dampak Neurobehavior

141 | B A N U 6
Salah satu dampak OSA pada anak adalah gangguan perilaku dan
neurokognitif. Selain itu, juga dapat menyebabkan hiperaktivitas, gangguan
perhatian, dan defisit kognitif. Mekanisme pasti hal ini belum dibuktikan. Namun,
kemungkinan besar disebabkan karena fragmentasi tidur dan hipoksia episodik
selama tidur menyebabkan perubahan substrat neurokimiawi korteks prefrontal
yang berujung pada disfungsi dan hilangnya sel neuron.8,12
3.2 Mengantuk Berlebih pada Siang Hari
Pada 13-20% anak dengan OSA didapatkan mengantuk berlebih pada
siang hari atau excessive daytime sleepiness (EDS). Hal ini sangat mengganggu
kegiatan tumbuh kembang anak saat siang hari. Mengantuk berlebih pada siang
hari mengganggu aktivitas belajar dan bermain di sekolah. 8,13
3.3 Kualitas Hidup dan Depresi
Obstruktive Sleep Apnea yang dibarengi dengan obesitas dapat
menurunkan kualitas hidup anak. Terganggunya tidur akan meningkatkan
kelelahan yang menyebabkan iritabilitas, gangguan konsentrasi, mood depresif,
dan penurunan minat pada aktivitas harian. Penurunan kualitas hidup harian
berpengaruh pada hubungan anak dengan keluarga, sekolah, dan teman
sebaya. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara OSA dengan
kualitas hidup harian pasien.8,14
3.4 Dampak Kardiovaskuler
OSA pada anak dapat menyebabkan kelainan kardiovaskuler seperti
yang terjadi pula pada dewasa. Pada anak dengan OSA ditemukan perubahan
pengaturan tekanan darah, hipertensi sistemik, dan perubahan ukuran ventrikel
kiri. Perubahan ini akibat peningkatan aktivitas dan reaktivitas simpatis yang
terus berkembang seiring OSA.8,15
Pada OSA, terjadi respons inflamasi yang ditandai peningkatan nilai C
Reactive Protein (CRP). Respons inflamasi pada pembuluh darah kecil pasien
menyebabkan disfungsi endotel yang memperburuk kualitas kardiovaskuler
pasien. Hipoksia yang terjadi saat anak tidur juga meningkatkan tekanan arteri
pulmonal yang menyebabkan disfungsi ventrikel kanan.8,15
3.5 Resistensi Insulin, Diabetes Tipe 2, dan Sindrom Metabolik
OSA dikenal sebagai salah satu faktor risiko sindrom metabolik pada
dewasa. Pada anak, resistensi insulin dan perubahan profil lipid terutama
dipengaruhi oleh obesitas. Bila pasien obesitas juga menderita OSA, risiko
menderita sindrom metabolik meningkat enam kali lipat dibandingkan pasien
obesitas tanpa OSA.8,16
3.6 Gangguan Pertumbuhan Somatik
Gangguan pertumbuhan pada anak dengan OSA terjadi pada 5%
pasien, didasari oleh penurunan kadar insulin-like growth factor I dan hormon

142 | B A N U 6
pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan kebanyakan akan menghilang setelah
terapi.8,16
4. Diagnosis, Penatalaksanaan Dan Prognosis
4.1 Diagnosis
4.1.1 Anamnesis
Pada anak berusia di bawah lima tahun, mendengkur merupakan
keluhan yang paling sering terkait tidur. Anak mengalami occasional snoring bila
episode mendengkur terjadi <3 kali per minggu dan habitual snoring bila
mendengkur ≥3 kali per minggu.9 Tidak seluruh anak yang mengalami habitual
snoring diklasifikasikan OSA. Pada habitual snoring tidak didapatkan apnea
obstruktif, hipopnea, episode terbangun untuk bernapas ataupun pertukaran gas
abnormal seperti pada OSA.17
Seringkali yang dilaporkan adalah keluhan lain seperti bernapas
melalui mulut, diaforesis, gerakan dada paradoksikal, sering terbangun, dan
episode apnea. Sedangkan anak berusia lima tahun atau lebih seringkali
menunjukkan enuresis, masalah perilaku, gangguan perhatian, dan gagal
tumbuh.9,18 Tiga tanda kardinal OSA membedakannya dengan keluhan
mendengkur biasa adalah adanya habitual snoring (≥3 malam/ minggu),
peningkatan usaha bernapas, dan terganggunya tidur.17
Skrining riwayat tidur anak secara rinci sebaiknya menjadi bagian dari
pemeriksaan rutin kesehatan anak. Anamnesis saja sulit membedakan dengkuran
primer dengan OSA pada anak.16,19 Informasi subyektif pasien dan guru di
sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan survei Obstructive Sleep
Disorders-6 (OSD-6) yang telah divalidasi untuk menilai keparahan, gangguan
tidur, stres emosional, dan keterbatasan aktivitas pada pasien dengan gangguan
tidur obstruktif.16,17
4.1.2 Pemeriksaan Fisik
Anak dengan OSA harus dinilai berat badan dan tinggi badan karena
anak dengan OSA empat atau lima kali lebih sering memiliki berat badan
berlebih dibandingkan anak tanpa OSA. Penilaian fisik kepala dan leher menilai
ada tidaknya stigmata-stigmata kelainan genetik. Selanjutnya menilai rongga
hidung dan mulut; dilihat adanya makroglosia, pembesaran tonsil, dan kelainan
lain.16 Kombinasi pemeriksaan meliputi penentuan klasifikasi Mallampati,
abnormalitas faring, dan indeks massa tubuh (IMT), dapat memperkirakan ada
tidaknya dan derajat beratnya OSA. Pemeriksaan fisik anak dengan OSA
terutama untuk menilai keadaan anatomis yang menyebabkan penyempitan
jalan napas atas, walaupun bukan menjadi baku emas penegakan diagnosis
OSA.8,9
4.1.3 Pemeriksaan Penunjang

143 | B A N U 6
Pemeriksaan penunjang seperti polisomnografi diperlukan untuk
membantu menegakkan diagnosis OSA. Beberapa pemeriksaan diagnostik lain
untuk OSA adalah oksimetri nokturnal, perekaman video, dan pemeriksaan tidur,
namun tidak dapat menilai periode tidur REM yang saat kejadian OSA justru
sering terjadi.9,16
4.1.3.1 Polisomnografi
Pemeriksaan pada saat tidur menggunakan polisomnografi (PSG)
merupakan baku emas untuk menegakkan diagnosis OSAS, walaupun
penggunaannya secara rutin tidak dilakukan.3,16 Pada anak, tanda dan gejala
obstructive sleep apnea lebih ringan dari pada orang dewasa; karena itu
diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi.
Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan
pernafasan selama tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif
mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengevaluasi keadaannya setelah operasi.10
Indikasi polisomnografi pada anak:16
• Membedakan dengkuran primer dengan dengkuran terkait OSA
• Menilai mengantuk berlebihan pada siang hari ( excessive daytime
sleepiness)
• Ketidakpastian apakah hasil pemeriksaan cukup mengacu pada
kebutuhan operasi
• Anak dengan laringomalasia dengan gejala yang memberat
selama tidur
• Obesitas anak yang berhubungan dengan hiperkapnia,
mendengkur, dan gangguan tidur yang belum bisa dijelaskan
sebabnya
• Anak dengan anemia sel sabit dengan gejala OSA atau krisis
vasooklusif terkait tidur
• Jika penurunan berat badan atau CPAP dipilih sebagai terapi
utama

Kriteria diagnostik OSA pada anak berbeda dari kriteria untuk OSA
pada dewasa. Indeks Apnea-Hipopnea (Apnoea-Hypopnea Index/AHI) adalah
indeks keparahan apnea saat tidur yang menggabungkan apnea dan hipopnea.
AHI adalah jumlah apnea dan hipopnea. Pada orang dewasa, nilai AHI
dikategorikan menjadi 5-15/jam sebagai ringan, 15-30/jam sebagai sedang, dan
>30/jam sebagai berat. Pada anak-anak, AHI >1 dan desaturasi oksigen ≥4%
merupakan indikator adanya OSA ringan, nilai AHI 5-10 mengindikasikan OSA
ringan sampai dengan sedang, dan nilai AHI >10 pada anak usia 12 tahun atau

144 | B A N U 6
kurang menandakan OSA sedang sampai dengan berat. Nilai AHI lebih dari 5
pada anak mengindikasikan dimulainya terapi.20,21
Walaupun polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk
diagnosis OSA, pemeriksaan tersebut termasuk mahal, menghabiskan waktu,
dan tidak secara umum tersedia di seluruh pusat kesehatan. Kombinasi observasi
orang tua, temuan klinis, dan pemeriksaan radiologis adanya penyempitan
saluran napas atas dapat berguna sebagai skrining awal sebelum pasien dirujuk
untuk menjalani polisomnografi.16
a. Uji tapis:
Pemeriksaan dengan polisomnografi memerlukan waktu,
biaya yang mahal, dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan,
maka diperlukan uji tapis untuk membantu menegakkan diagnosis.
Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa penelitian tidur yang
abnormal dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang
disebut skor OSAS. Dengan menggunakan skor tersebut, dapat
diprediksi kemungkinan OSA. Beberapa peneliti dapat menerima
penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73%
dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.10
Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83
Keterangan:
D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali sekali ; 2: sering, 3:
selalu)
A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
S: snoring /mendengkur (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering,
3: selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan
nilai:
• Skor < -1 : bukan OSAS
• Skor -1 sampai 3,5 : mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 : sangat mungkin OSAS
b. Observasi selama tidur
Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi
langsung, anak di suruh tidur di tempat praktek dokter demikian
pula OSAS dapat didiagnosis dengan melakukan review
audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah. Beberapa
variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi,
pergerakan selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea,

145 | B A N U 6
retraksi, dan nafas dengan mulut. Cara tersebut mempunyai nilai
sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai prediksi positif 83%, dan
nilai prediksi negatif 88%.7
Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan
menggunakan pulse oximetry. Pada saat tidur anak dipantau
penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri.
Pencatatan pulse oximetry secara kontinyu selama tidur
dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat memperlihatkan
desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS,
tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan
dengan hipoksia. Dengan menggunakan metode di atas nilai
prediksi positif sebesar 97% dan nilai prediksi negatif 53%. Hal ini
berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi selama tidur
maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila
tidak terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di
perlukan pemeriksaan polisomnografi.22
c. Pemeriksaan laboratorium
Beberapa penanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau
peningkatan ekskresi metabolit ATP dapat sebagai indikator non
spesifik OSAS. Pasien dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat
mengalami peningkatan bikarbonat serum yang persisten akibat
kompensasi alkalosis metabolik. Beberapa jenis sitokin diketahui
mempunyai efek somnogenik dan berperan penting dalam proses
tidur. Interleukin-1 dan TNF-α dapat meningkatkan slow wave sleep
dan pemberian anti TNF-α antibodi dapat menghambat fase
NREM. Irama sirkadian dari pelepasan TNF-α mengalami gangguan
pada pasien OSAS, kadar puncak fisiologis pada malam harinya
menghilang sedangkan pada siang hari kadar puncaknya
meningkat.23
4.2 Penatalaksanaan Snoring akibat OSA pada Anak
Penanganan OSA pada anak ditujukan terutama pada kondisi terkait
yang mendasari terjadinya OSA. Rekomendasi American Academy of Pediatrics,
langkah penting pertama adalah skrining. Saat kunjungan rutin kesehatan,
dokter harus menanyakan apakah anaknya mengorok. Bila ya, harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan lebih lanjut.9,16
4.2.1 Tindakan Bedah
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial. 10
Adenotonsilektomi merupakan standar terapi utama OSA pada anak dengan

146 | B A N U 6
gambaran kraniofasial normal. Keberhasilan adenotonsilektomi mencapai 85%;
lebih rendah jika dikaitkan dengan adanya gangguan stuktur wajah seperti
retrognatia dan deviasi septum. Jika anak memiliki OSA dan hipertrofi
adenotonsiler, adenotonsilektomi dianjurkan sebagai lini pertama terapi. Namun,
jika anak OSA tanpa hipertrofi adenotonsiler, terapi lain harus dipertimbangkan
terlebih dahulu.3,16 Adapun kontra indikasi dan risiko komplikasi pembedahan
dijabarkan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Kontraindikasi adenotonsilektomi pada anak3
Kontraindikasi Absolut
Kontraindikasi Absolut Tidak adanya jaringan adenotonsiler
(jaringan telah diangkat)
Kontraindikasi Relatif Tonsil/adenoid yang sangat kecil
Obesitas derajat berat dan
tonsil/adenoid yang kecil
Kelainan perdarahan yang tidak dapat
diatasi
Palatoskizis submukosa
Kondisi medis lain yang membuat
pasien tidak stabil saat operasi
Kebanyakan pasien OSA dapat menjalani terapi operatif secara rawat
jalan atau pelayanan satu hari. Pasien berisiko tinggi seperti OSA derajat berat
pada polisomnografi, usia ≤3 tahun, dan anak dengan kondisi medis terkait yang
menyulitkan harus menjalani rawat inap setelah operasi.17
Tabel 2. Faktor risiko komplikasi pernapasan post-operatif pada anak dengan
OSA17
• Usia lebih muda dari 3 tahun
• OSA derajat berat pada polisomnografi
• Komplikasi jantung akibat OSA
• Gagal tumbuh
• Obesitas
• Anomali kraniofasial
• Kelainan neuromuscular
• Infeksi pernapasan yang sedang diderita
Setelah adenotonsilektomi, dilakukan evaluasi ulang untuk
menentukan terapi lanjutan yang diperlukan. Komplikasi adenotonsilektomi pada
pasien OSA termasuk dehidrasi, perdarahan, dan insufisiensi velofaringeal.3,16
Tindakan operatif bermanfaat mengurangi gejala dan memperbaiki
perilaku, kualitas hidup, dan temuan polisomnografi, sehingga lebih baik
dilakukan lebih dini pada anak usia sekolah.24 Adenotonsilektomi memberikan

147 | B A N U 6
hasil yang memuaskan pada kebanyakan kasus anak dengan OSA. Anak dengan
usia lebih besar, obesitas, OSA derajat berat atau dengan penyakit asma
memiliki risiko lebih besar mengalami gejala sisa OSA.25
Paska tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan
dengan polisomnografi sebagai tindak lanjut. Terkadang gejala masih ada dan
dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya
seperti penanganan obesitas tetap dilakukan meskipun telah dilakukan
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.26
4.2.2 Continuous positive airway pressure (CPAP)
Nasal continuous positive airway pressure (CPAP) telah digunakan
dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi, anak obesitas, sindrom Down,
akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. Penggunaan CPAP
direkomendasikan pada yang tidak dapat menjalani adenotonsilektomi atau
pada pasien yang memiliki gejala sisa OSA setelah operasi. Sebenarnya indikasi
pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala OSAS atau sambil menunggu
tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP
adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang
baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.7,27
CPAP menggunakan peralatan elektronik yang mengalirkan tekanan
udara konstan melalui sungkup nasal. Aliran tekanan udara ini bertujuan untuk
penyesuaian mekanis saluran napas atas dan memperbaiki kapasitas residual
fungsional paru. Tekanan untuk tiap anak berbeda, sehingga CPAP harus diatur
dan dicoba terlebih dahulu di laboraturium pemeriksaan tidur sebelum
penggunaan rutin.3,28
CPAP efektif menghilangkan OSA pada 85% anak dan memperbaiki
saturasi oksigen nadir dan fase REM tidur. Anak berusia lebih dari dua tahun
sering tidak nyaman menggunakan CPAP seperti yang dialami orang dewasa. 16
Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara
di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering,
konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl
fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan menggunakan humidifer dapat
mengurangi efek samping.27
4.2.3 Penurunan berat badan
Penurunan berat badan mutlak dilakukan pada pasien obesitas.
Penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata dan
merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak dengan predisposisi
obesitas. Namun, menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan dari
pada dewasa. Pendekatan yang dilakukan harus bertahap karena menurunkan

148 | B A N U 6
berat badan secara drastis tidak dianjurkan pada anak. Perlu kesabaran dan
perhatian tenaga kesehatan lebih banyak dalam yang menangani pasien dengan
obesitas. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara perlahan dan
konsisten, hal ini memerlukan waktu lama. Selain memperbaiki diet pada
obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin
menyertainya seperti diabetes melitus atau hipertensi. Oleh karena itu sambil
menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus
digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang cukup. Peningkatan
berat badan akan memperburuk OSAS dan penurunan berat badan dapat
menurunkan gejala OSAS. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di
dalamnya adalah modfikasi perilaku, terapi diet, olah raga (exercise), dan obat-
obatan. Pada pasien OSAS yang berat dan memberi komplikasi yang potensial
mengancam hidup memerlukan perawatan di rumah sakit.7,29
4.2.3 Obat-obatan
Faktor yang umumnya dapat mempermudah terjadinya OSAS pada
anak adalah obstruksi hidung. Obstruksi hidung dapat diobati dengan
dekongestan nasal atau kortikosteroid inhaler. Penggunaan kortikosteroid
intranasal ditujukan untuk menangani pembesaran adenotonsilar pada anak.
Preparat kortikosteroid sistemik dengan efek antiinflamasi dan efek limfolitik
mampu mengecilkan ukuran jaringan limfoid.3 Kortikosteroid intranasal menjadi
pilihan untuk anak dengan OSA ringan dengan kontraindikasi adenotonsilektomi
atau OSA ringan yang masih bergejala setelah operasi. Kortikosteroid intranasal
juga direkomendasikan pada OSA anak dengan rinitis dan obstruksi saluran
napas atas akibat hipertrofi adenotonsilar. Preparat yang telah diteliti
penggunaannya untuk OSA pada anak adalah steroid nasal topikal dan inhibitor
anti-leukotrin seperti Montelukast. Suatu penelitian menemukan manfaat
penggunaan mometasone furoate selama empat minggu untuk pasien anak
dengan gangguan tidur yang disertai hipertrofi adenoid.28
Progesteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada
pasien anak dengan Obesity Hipoventilation Syndrom. Keberhasilan pemberian
obat-obat tersebut kurang bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat
penenang dan obat yang mengandung alkohol harus dihindarkan karena dapat
memperberat OSAS.26
5. Prognosis
Prognosis OSA pada anak seringkali lebih baik dibandingkan OSA
dewasa. Sebanyak 87,7% anak mengalami perbaikan bermakna kualitas hidup
jangka pendek dan 74,5% mengalami perbaikan besar kualitas hidup setelah
ditangani terutama adenotonsilektomi. Selain peningkatan kualitas hidup
kebanyakan anak juga mengalami peningkatan tinggi dan berat badan serta

149 | B A N U 6
perbaikan performa di sekolah. Hanya 5,1% anak menyatakan penurunan kualitas
hidup setelah operasi.19
Prognosis OSA yang tidak diterapi pada anak dapat berat akibat
dampak jangka panjang seperti hipertensi, iskemia miokard, gagal jantung
kongestif, dan stroke. Selain itu, OSA yang dibiarkan tidak diterapi juga dapat
menyebabkan gagal tumbuh dan gangguan belajar pada anak.16
6. PENUTUP
Snoring atau mendengkur dapat terjadi pada anak-anak dan dapat
berupa occasional maupun habitual snoring. Bila anak mengalami habitual
snoring maka perlu diwaspadai karena dapat merupakan bagian dari tiga tanda
kardinal OSA yang berbeda dengan keluhan mendengkur biasa yaitu adanya
habitual snoring (≥3 malam/ minggu), peningkatan usaha bernapas, dan
terganggunya tidur. Penegakan diagnosis snoring oleh karena OSA dapat
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang sampai baku emas
berupa polisomnografi (PSG). Dampak OSA pada anak telah diketahui secara
luas yaitu risiko terjadinya penyakit-penyakit kardiovaskuler, gangguan
neurobehavior, resistensi insulin, Diabetes Melitus tipe 2, sindroma metabolik,
gangguan pertumbuhan somatik, mengantuk berlebihan di siang hari,
penurunan kualitas hidup dan depresi. Penatalaksanaan snoring oleh karena
OSA pada anak dapat berupa terapi farmakologi, terapi non farmakologi
(pembedahan, CPAP), maupun gaya hidup (penurunan berat badan, olah raga,
diet), serta penanganan penyakit-penyakit komorbid.

Daftar Pustaka
1. Anuntaseree W, Kuasirikul S, Suntornlohanakul S. 2005. Natural history
of snoring and obstructive sleep apnea in Thai school-age children.
Pediatr Pulmonol. 39:415-20.
2. Marcus CL, Brooks LJ, Draper KA, Gozal D, Halbower AC, Jones J, dkk.
2012. Diagnosis and management of childhood obstructive sleep
apnea syndrome. Pediatrics. 130:576-84.
3. Lumeng JC, Chervin RD. 2008. Epidemiology of pediatric obstructive
sleep apnea. Proceedings of the American Thoracic Society. 5(2): 242-
52.
4. Marcus CL, Carroll JL. 1994. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam:
Loughlin GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children;
diagnosis and management. Baltimore. William & Wilkins. 475-91.
5. Carroll JL, Loughlei GM. 1992. Diagnostic criteria for obstructive sleep
apnea syndrome in children. Pediatr Pulmonol. 14:71-4.

150 | B A N U 6
6. Chang SJ, Chae KY. 2010. Obstructive sleep apnea syndrome in
children: Epidemiology, pathophysiology, diagnosis and sequelae.
Korean J Pediatr. 53:863-71.
7. Schechter MS. 2002. Technical report: Diagnosis and management of
childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 109:1-20.
8. Dayyat E, Kheirandish-Gozal L, Gozal D. 2007. Childhood obstructive
sleep apnea: One or two distinct entities? Sleep Med Clin. 2(3): 433-
44.
9. Kaswandani N. 2010. Obstructive sleep apnea syndrome pada anak.
Maj Kedokt Indon. 60(7): 295-6.
10. Supriyatno B, Deviani R. 2005. Obstructive sleep apnea syndrome
pada anak. Sari Pediatri. Vol. 7:2. 77 – 84.
11. Gursanscky J, Boston M, Kamani T. 2017. A Snoring Children. BMJ; 357:
j2124.
12. Beebe D. 2006. Neurobehavioral morbidity associated with disordered
breathing during sleep in children: A comprehensive review. SLEEP.
29(9): 1115-34.
13. Capdevila OS, Kheirandish-Gozal L, Dayyat E, Gozal D. 2008. Pediatric
obstructive sleep apnea. Proceedings of the American Thoracic
Society. 5(2): 274-82.
14. Jackman AR, Biggs SN, Walter LM, Embuldeniya US, Davey MJ, Nixon
GM, et al. 2013. Sleep disordered breathing in early childhood: Quality
of life for children and families. Sleep. 36(11): 1639-46.
15. Ng DK, Chan CH. 2009. Childhood obstructive sleep apnea contributes
to a leading health Burden. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine. 2009; 179(9): 853.
16. Welch KC, Goldberg AN. 2012. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor.
Current diagnosis and treatment otolaryngology head and neck
surgery. USA: Mc Graw Hill. p.567-9.
17. American Academy of Pediatrics. 2012. Diagnosis and management of
childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 130(3): 576-
84.
18. Izu SC, Itamoto CH, Pradella-Hallinan M, Pizarro GU, Tufi k S, Pignatari
S, et al. 2010. Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) in mouth
breathing children. Braz j otorhinolaryngol (impr). 76(5).
19. Li AM, So HK, Au CT, Ho C, Lau J, Ng SK, et al. 2010. Epidemiology of
obstructive sleep apnoea syndrome in Chinese children: A two-phase
community study. Thorax. 2010; 65: 991-7.

151 | B A N U 6
20. Beck SE, Marcus CL. 2009. Pediatric polysomnography. Sleep Med
Clin. 4(3): 393-406.
21. Surya PB, Randeep G, Sushil KK. 2014. Obstructive sleep apnea
syndrome in children. Int J Med Med Sci. 1(2): 14-20.
22. Annelies VE, Stijn LV. 2018. Improving the diagnosis of obstructive
sleep apnea in children with nocturnal oximetry-based evaluations,
Expert Review of Respiratory Medicine, 12:3, 165-167.
23. Entzian P, Linnemann K. Schlaak M. 1996. Obtructive sleep apnea
syndrome and circadian rhytms of hormones an cytokines. Am J
Respir Crit Care Med. 153:1080-6.
24. Marcus CL, Moore RH, Rosen CL, Giordani B, Garetz SL, HG Taylor, et
al. 2013. A randomized trial of adenotonsillectomy for childhood sleep
apnea. N Engl J Med. 368(25): 2366-76.
25. Urquhart DS. 2013. Investigation and management of childhood sleep
apnoea. Hippokratia. 17(3): 196-202.
26. Supriyatno B, Deviani R, Tumbelaka A, Kariani EBK, Rahajoe NN. 2005.
Characteristics and risk factors of snoring and the prevalence of
suspected obstructive sleep apnea in children. Pediatr Indones. 45:40-
5.
27. Teschler H, Jones MB, Thomson AB, dkk. 1996. Automated continuo
positive airway pressure titration for obstructive sleep apnea
syndrome. Am J Respir Crit Care Med. 154:734-40.
28. Bhattacharjee R, Kheirandish-Gozal L, Spruyt K, Mitchell RB,
Promchiarak J, SImakajornboon N, et al. 2010. Adenotonsillectomy
outcomes in treatment of obstructive sleep apnea in children. Am J
Respir Cirt Care Med. 182: 676-83.
29. Smith RS, Ronald J, Delaive K, Walld R, Manfreda J, Kryger MH. 2002.
What are obstructive sleep apnea patients being treated for prior to
this diagnosis?. Chest. 121:164-72.
30. Wojciech Kukwa, Christian Guilleminault, Magdalena Tomaszewska,
Andrzej Kukwa, Antoni Krzeski, Ewa Migacz. 2018. Prevalence of upper
respiratory tract infection in habitually snoring and mouth breathing
children. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 107
(2018) 37-41.

152 | B A N U 6
ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)
Sri Yenni Trisnawati
Neurology Department, Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah
Hospital
Denpasar, Bali

1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)


Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu kondisi
perkembangan dengan inatensi atau gangguan perhatian dan kekacauan atau
distractibility dengan atau tanpa disertai hiperaktif. Berdasarkan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition (DSM-IV) mendifinisikan
ADHD sebagai suatu gangguan neurobehaviour yang menetap dan disertai
gejala berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan
impulsivitas yang tidak sesuai dengan usia perkembangan.
2. Epidemiologi
Angka prevalensi ADHD bervariasi, disebabkan perubahan kriteria
diagnostik yang terus direvisi dan juga perbedaan lokasi geografis serta estimasi
sampel yang dipakai.2 Berdasarkan revisi terakhir didapatkan angka prevalensi
ADHD sebesar 4%-12% (dengan estimasi 8%-10%) dan terdiri dari 9,2% (5,8%-
13,6%) laki-laki dan 2,9% (1,9%-4,5%) perempuan.2 Menurut klasifikasi Diagnosis
and statistical manual of mental disorders (DSM) IV anak perempuan lebih
banyak termasuk dalam tipe gangguan perhatian.1,3
Prevalensi ADHD di dunia diperkirakan berkisar 2-9,5% pada anak usia
sekolah. Dikutip dari laporan penelitian Graetz dkk mengenai prevalensi ADHD
di Australia didapatkan angka sebesar 7,5% pada usia 6-17 tahun. Dikuyip dari
laporan pertemuan WHO regional Timur Tengah, bahwa menurut Walker (2007)
pada Negara berkembangdiestimasikan prevalensi sebesar 3-11% dan cenderung
menurun pada usia remaja hingga dewasa. Wihartono dkk (2007) dalam
penelitiannya pada tujuh sekolah dasar di kabupaten Bantul Yogyakarta
didapatkan angka 5,37% dengan rasio laki-laki banding perempuan 10:1.
3. Etiologi
Etiologi ADHD menurut teori yang ada saat ini meliputi factor genetic,
structural fungsional otak, dan disregulasi neurotransmitter serta aspek interaksi
lintasan dan tahapan perkembangan otak dengan pajanan lingkungan.
3.1. Faktor Genetik
Penelitian riwayat keluarga dan saudara kembar menunjukkan
keterlibatan factor genetic didalam ADHD, dimana peranannya sebesar 30-35%.
Anak yang dalam keluarganya ada yang menyandang ADHD akan memiliki
kemungkinan ADHD sekitar 6-8 kali lebih tinggi disbanding pada populasi

153 | B A N U 6
umum. Castellanos dan Tannock (2002) mengidentifikasi variasi gen spesifik
dalam ADHD dengan dua gen terkuat adalah alel dopamine transporter 1 (DAT
1) 10R yang berhubungan dengan peningkatan aktifitas reuptake dopamine dan
alel dopamine receptor D4 (DRD4) 7R yang mengubah transmisi dopamine
dalam jaringan neural dan membuat reseptor postsinaptik menjadi kurang
sensitive terhadap dopamine sehingga terjadi penurunan aktivitas jalur
dopaminergik dalam lintasan mesokortikolimbik dan lintasan nigrostriatal.
3.2. Faktor struktural dan fungsional otak
Bukti fungsional dan struktural ADHD menunjukkan adanya disfungsi
otak yaitu prefrontal, nukleus kaudatus dan globus palidus. Kelainan disregulasi
neurotransmitter ADHD disebabkan karena ketidakseimbangan norepinefrin (NE)
dan dopamin (DA), lebih tepatnya terjadi kelebihan NE dalam lokus seruleus dan
terjadi deficit DA dalam sistem mesolimbik frontal.
3.3. Faktor disregulasi neurotransmitter
Studi neurofarmakologi menunjukkan bahwa disregulasi sistem
noradrenalin menyebabkan gangguan fungsi atensi kortikal posterior, serta
gangguan disregulasi dopamine yang menyebabkan gangguan fungsi eksekutif.
Serotonin berperan dalam diferensiasi neuronal, perkembangan dendrite,
sinaptogenesis dan mielinisasi akson, mengatur pembelahan sel serta regulasi
factor neurotropik saat perkembangan.
3.4. Faktor lintasan atau tahapan perkembangan otak
Kasus ADHD tertentu karena tidak diterimanya suatu “budaya” pada
usia tertentu sehingga gejala ADHD diharapkan membaik jika kondisi lingkungan
mendukung atau sebaliknya, gejala tersebut akan menetap jika stressor
psikososial dialami berkepanjangan.
4. Patofisiologi
Dasar neurobiologist ADHD masih belum diketahui dengan jelas,
tetapi saat ini terdapat 2 hipotesis, yaitu: 1) hipotesis frontostriatal yang
mempostulasikan adanya disfungsi sirkuit frontostriatal, didasarkan pada
sejumlah temuan penelitian anatomis dan fungsional serta dari temuan
penelitian neuroimaging. 2) Hipotesis kortikal posterior menunjukkan adanya
perubahan pada kortek posterior lainnya, pada tingkat anatomis dan fungsional.
Disfungsi korteks prefrontalis (prefrontal cortex, PFC) adalah
komponen fundamental dalam ADHD. PFC menggunakan working memory
untuk memandu prilaku, menghambat impuls yang tidak sesuai dan
memungkinkan perencanaan dan penyusunan secara efektif. Individu dengan
ADHD menunjukkan gangguan pada tes fungsi lobus frontalis. Secara spesifik,
PFC kanan diketahui secara konsisten lebih kecil pada subjek ADHD

154 | B A N U 6
Menurut perkembangan dinamis ADHD, perubahan fungsi
dopaminergik memainkan peranan penting melalui kegagalan dalam mengatur
transmisi sinyal nondopaminergik (terutama glutamate dan GABA).
5. Evaluasi ADHD pada anak
Diagnosis ADHD tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi
sepihak dari orang tuanya, setidaknya terdapat pula informasi dari sekolah. Pada
penderita harus dilakukan pemeriksaan yang mempertimbangkan situasi dan
kondisi saat pemeriksaan, dan kemungkinan hal yang lain yang mungkin menjadi
pemicu ADHD.

5.1. Kriteria Diagnosis dan Manifestasi Klinis


Adapun kriteria untuk menentukan ADHD mengacu pada DSM-IV
tahun 2005 sebagai berikut:
1.1 Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu kondisi
perkembangan dengan inatensi atau gangguan perhatian dan kekacauan atau
distractibility dengan atau tanpa disertai hiperaktif. Berdasarkan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition (DSM-IV) mendifinisikan
ADHD sebagai suatu gangguan neurobehaviour yang menetap dan disertai

155 | B A N U 6
gejala berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan
impulsivitas yang tidak sesuai dengan usia perkembangan.
2.2 Epidemiologi
Angka prevalensi ADHD bervariasi, disebabkan perubahan kriteria
diagnostik yang terus direvisi dan juga perbedaan lokasi geografis serta estimasi
sampel yang dipakai.2 Berdasarkan revisi terakhir didapatkan angka prevalensi
ADHD sebesar 4%-12% (dengan estimasi 8%-10%) dan terdiri dari 9,2% (5,8%-
13,6%) laki-laki dan 2,9% (1,9%-4,5%) perempuan.2 Menurut klasifikasi Diagnosis
and statistical manual of mental disorders (DSM) IV anak perempuan lebih
banyak termasuk dalam tipe gangguan perhatian.1,3
Prevalensi ADHD di dunia diperkirakan berkisar 2-9,5% pada anak usia
sekolah. Dikutip dari laporan penelitian Graetz dkk mengenai prevalensi ADHD
di Australia didapatkan angka sebesar 7,5% pada usia 6-17 tahun. Dikuyip dari
laporan pertemuan WHO regional Timur Tengah, bahwa menurut Walker (2007)
pada Negara berkembangdiestimasikan prevalensi sebesar 3-11% dan cenderung
menurun pada usia remaja hingga dewasa. Wihartono dkk (2007) dalam
penelitiannya pada tujuh sekolah dasar di kabupaten Bantul Yogyakarta
didapatkan angka 5,37% dengan rasio laki-laki banding perempuan 10:1.
2.3 Etiologi
Etiologi ADHD menurut teori yang ada saat ini meliputi factor genetik,
struktural fungsional otak, dan disregulasi neurotransmitter serta aspek interaksi
lintasan dan tahapan perkembangan otak dengan pajanan lingkungan.
a. Faktor Genetik
Penelitian riwayat keluarga dan saudara kembar
menunjukkan keterlibatan factor genetic didalam ADHD, dimana
peranannya sebesar 30-35%. Anak yang dalam keluarganya ada yang
menyandang ADHD akan memiliki kemungkinan ADHD sekitar 6-8
kali lebih tinggi disbanding pada populasi umum. Castellanos dan
Tannock (2002) mengidentifikasi variasi gen spesifik dalam ADHD
dengan dua gen terkuat adalah alel dopamine transporter 1 (DAT 1)
10R yang berhubungan dengan peningkatan aktifitas reuptake
dopamine dan alel dopamine receptor D4 (DRD4) 7R yang mengubah
transmisi dopamine dalam jaringan neural dan membuat reseptor
postsinaptik menjadi kurang sensitive terhadap dopamine sehingga
terjadi penurunan aktivitas jalur dopaminergik dalam lintasan
mesokortikolimbik dan lintasan nigrostriatal.
b. Faktor struktural dan fungsional otak
Bukti fungsional dan structural ADHD menunjukkan adanya
disfungsi otak yaitu prefrontal, nucleus kaudatus dan globus palidus.

156 | B A N U 6
Kelainan disregulasi neurotransmitter ADHD disebabkan karena
ketidakseimbangan norepinefrin (NE) dan dopamin (DA), lebih
tepatnya terjadi kelebihan NE dalam lokus seruleus dan terjadi deficit
DA dalam sistem mesolimbik frontal.
c. Faktor disregulasi neurotransmitter
Studi neurofarmakologi menunjukkan bahwa disregulasi
sistem noradrenalin menyebabkan gangguan fungsi atensi kortikal
posterior, serta gangguan disregulasi dopamine yang menyebabkan
gangguan fungsi eksekutif. Serotonin berperan dalam diferensiasi
neuronal, perkembangan dendrite, sinaptogenesis dan mielinisasi
akson, mengatur pembelahan sel serta regulasi factor neurotropik saat
perkembangan.
d. Faktor lintasan atau tahapan perkembangan otak
Kasus ADHD tertentu karena tidak diterimanya suatu
“budaya” pada usia tertentu sehingga gejala ADHD diharapkan
membaik jika kondisi lingkungan mendukung atau sebaliknya, gejala
tersebut akan menetap jika stressor psikososial dialami
berkepanjangan.
2.4 Patofisiologi
Dasar neurobiologist ADHD masih belum diketahui dengan jelas, tetapi
saat ini terdapat 2 hipotesis, yaitu: 1) hipotesis frontostriatal yang
mempostulasikan adanya disfungsi sirkuit frontostriatal, didasarkan pada
sejumlah temuan penelitian anatomis dan fungsional serta dari temuan
penelitian neuroimaging. 2) Hipotesis kortikal posterior menunjukkan adanya
perubahan pada kortek posterior lainnya, pada tingkat anatomis dan fungsional.
Disfungsi korteks prefrontalis (prefrontal cortex, PFC) adalah komponen
fundamental dalam ADHD. PFC menggunakan working memory untuk
memandu prilaku, menghambat impuls yang tidak sesuai dan memungkinkan
perencanaan dan penyusunan secara efektif. Individu dengan ADHD
menunjukkan gangguan pada tes fungsi lobus frontalis. Secara spesifik, PFC
kanan diketahui secara konsisten lebih kecil pada subjek ADHD
Menurut perkembangan dinamis ADHD, perubahan fungsi dopaminergik
memainkan peranan penting melalui kegagalan dalam mengatur transmisi sinyal
nondopaminergik (terutama glutamate dan GABA).
2.5 Evaluasi ADHD pada anak
Diagnosis ADHD tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi
sepihak dari orang tuanya, setidaknya terdapat pula informasi dari sekolah. Pada
penderita harus dilakukan pemeriksaan yang mempertimbangkan situasi dan

157 | B A N U 6
kondisi saat pemeriksaan, dan kemungkinan hal yang lain yang mungkin menjadi
pemicu ADHD.

2.6. Kriteria Diagnosis dan Manifestasi Klinis


Adapun kriteria untuk menentukan ADHD mengacu pada DSM-IV
tahun 2005 sebagai berikut:
Diagnosis harus meliputi dapat tidaknya memusatkan perhatian atau
hiperaktivitas atau impulsivitas
2.6.1. Tidak dapat memusatkan perhatian (A1)
Enam atau lebih dari gejala tidak dapat memusatkan perhatian yang
menetap paling sedikit 6 bulan sampai pada derajat terjadinya
maladaptive dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan:
• Sering gagal dalam memusatkan perhatian pada hal–hal kecil atau
membuat kesalahan/ kecerobohan pada pekerjaan sekolah atau
aktivitas lain.
• Sukar mempertahankan perhatian pada tugas atau aktivitas.
• Tidak mendengarkan bila diajak berbicara langsung.
• Tidak mengikuti petunjuk dan gagal menyelesaikan pekerjaan
sekolah, tugas atau kewajiban.
158 | B A N U 6
• Kesukaran dalam mengatur tugas dan aktivitas.
• Sering menghindari atau enggan terikat pada tugas yang
membutuhkan dukungan mental yang terus menerus (pekerjaan
sekolah atau pekerjaan rumah).
• Sering menghilangkan benda-benda yang dibutuhkan dalam
tugas dan aktivitas.
• Mudah terganggu oleh rangsang luar.
• Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
2.6.2. Hiperaktivitas dan impulsivitas (A2)
Enam atau lebih gejala hiperaktivitas–impulsivitas yang menetap selama 6
bulan sampai pada derajat terjadinya maladaptive dan tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan.
• Tampak gelisah dengan tangan atau kaki yang menggeliat-geliat
di tempat duduk.
• Sering meninggalkan tempat duduk dimana situasinya diharapkan
untuk duduk tenang.
• Sering berlari atau memanjat berlebihan dalam situasi dimana hal
itu tidak sesuai.
• Sering mengalami kesulitan bila bermain atau bersenang–senang
diwaktu senggang dengan kondisi tenang/ diam.
• Selalu bergerak terus atau berlaku bagaikan didorong oleh mesin.
• Sering bicara berlebihan.
• Sering menjawab dahulu sebelum pertanyaan selesai diajukan,
• Sering sulit menunggu giliran.
• Sering menyela dan memaksakan kehendak pada orang lain
(memotong pembicaraan atau permainan).
Semua gangguan tersebut
• Muncul sebelum usia 7 tahun.
• Muncul dalam dua atau lebih keadaan (misal di rumah, sekolah
atau tempat kerja)
• Gejala ini tidak terjadi semata - mata dalam perjalanan gangguan
perkembangan pervasif, skizofrenia atau gangguan psikotik
lainnya.
• Tidak lebih baik bila bersama sama dengan gangguan mental
lainnya (misal gangguan mood atau gangguan cemas).
Adapun kriteria diagnosis ADHD menurut DSM V adalah sebagi berikut:

159 | B A N U 6
160 | B A N U 6
Terdapat beberapa kondisi yang menyerupai gejala ADHD atau terdapat
bersamaan dengan ADHD, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.

3. Terapi
Penatalaksanaan anak usia prasekolah (4-5 tahun), harus diberikan
terapi tingkah laku sebagai pengobatan lini pertama dan dapat diresepkan
methylphenidate dengan dosis 5 mg/kgBB. Pada anak usia sekolah (6-11 tahun)
diberikan terapi ADHD sesuai rekomendasi dengan methylphenidate (dosis
5mg/kgBB) dan atau terapi behavior. Sedangkan untuk usia dewasa (12-18
tahun) diberikan terapi ADHD sesuai rekomendasi FDA dengan pemberian
metylphenidate (dosis 5 mg/kgBB) dan terapi tingkah laku.

161 | B A N U 6
162 | B A N U 6
Berikut beberapa obat-obatan yang digunakan dalam penatakasanaan ADHD

163 | B A N U 6
DAFTAR PUSTAKA
1. Barkley R. Attention-deficit hyperactivity disorder: A handbook for
diagnosis and treatment (2nd ed.). 1993. New York: Guilford Press.
2. Boanaschewski T, Becker K., Scherag S, Franke B, Coghill D. Molecular
genetics of attention-deficit/hyperactivity disorder. Eur Child Adolesc
Psychiatry 2010; 19:237-257.
3. Chang FM, Kidd JR, Livak KJ, Pakstis AJ, Kidd KK. The word-wide
distribution of allele frequencies at the human dopamine D4 receptor
locus. Hum Genet. 1996; 98(1):91-101
4. American Psychiatric association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders, 4th ed, 2005. Washington DC.
5. Weiss M, & Murray C. Assessment and management of attention-
deficit hyperactivity disorder in adults. Journal of the Canadian
Medical Association 2003; 168: 715-731.
6. Barkley RA. Driving impairments in teens and adults wit attention-
deficit/hyperactivity disorder. In T.J. Spencer (Ed), Adult attention-
deficit/ hyperactivity disorder. Psychiatric Clinics of North America,
June 2004, 27(2). New York: Elsevier.

164 | B A N U 6
7. Polanzyk GV, Rohde LA, de Lima MA, et al. The worldwide ADHD
prevalence: a systematic review and meta-regression analysis.
Scientific Proceedings of the Joint Annual Meeting of the American
Academy of Child & Adolescent Psychiatry and the Canadian
Academy of Child & Adolescent Psychiatry (Toronto, 2005. Oct 18-23).
8. Thursina C, Wibowo S, Sadewa AH, Sutarni S. Hubungan Dopamine
Transporter (DAT1) dengan Gambaran Neurologis dan Neuropsikologi
pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Universitas Gadjah Mada. Disertasi 2015.
9. Saputro D, Muchlas M. Gangguan Hiperkinetik pada anak di DKI
Jakarta, Penyusunan instrument diagnosis baru, penentuan prevalensi,
penelitian patofisiologi dan upaya terapi. Disertasi 2004. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada
10. Wihartono W, Sutarni S, Setyaningsih I. Faktor Risiko Attention
Deficit/Hyperactivity Disorder pada murid sekolah dasar di Kecamatan
Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada. Tesis 2007.
11. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition
tahun 2005.
12. Chugani DC, Muzik O, Behen M, Rothermel R, Janisse JJ, Lee J,
Chugani HT. Developmental changes in brain serotonin synthesis
capacity in autistic and nonautistic children. Ann Neurol 1999, 45:287-
295
13. Karminester DD. Attention deficit hyperactivity disorder and
methylphenidate: when society misunderstands medicine, McGill
Journal of Medicine 1997; 3, 105-114
14. Juneja M, Jain R, Singh V, Mallika V. Iron deficiency in Indian children
with attention deficit hyperactivity disorder. Indian Pediatri 2010;
47(11):955-958.
15. Barbara T, Felt MD, Biermann B. Diagnosis and Management of ADHD
in Children. American Academy of Family Physicians.2014; 90(7):456-
464.

165 | B A N U 6
CVST: COMMON BUT UNDERDIAGNOSED DISEASE
I.G.N Budiarsa
Neurology Department, Faculty of Medicine
Udayana University/Sanglah Hospital
Denpasar, Bali

1. PENDAHULUAN
Trombosis sinus vena serebral (CVST) adalah kondisi langka yang
ditandai dengan trombosis sinus dural dan / atau vena serebral. CSVT
menyumbang sekitar 0,5-3% dari semua jenis stroke, dengan perkiraan kejadian
untuk orang dewasa 3-4 per juta.2 Pada era pra-antibiotik, sebagian besar kasus
CVST disebabkan oleh infeksi. Namun, saat ini CVST lebih mungkin dihasilkan
dari koagulopati. Beberapa faktor dapat bertanggung jawab untuk CVST, seperti
trombofilia, kolitis, kehamilan, dehidrasi, infeksi, medikamentosa tertentu
(misalnya kontrasepsi oral, NAPZA), atau trauma kepala.
CVST merupakan penyakit yang unik karena kesulitan dalam diagnosis
dan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Karena manifestasi klinisnya yang
luas dan beragam, CVST harus dipertimbangkan dengan indeks kecurigaan yang
tinggi setiap kali manifestasi klinis menyerupai penyakit tersebut. Kesulitan dalam
menegakkan diagnosis akibatnya menghasilkan data epidemiologi yang
bervariasi. Kejadian yang akurat dari CVST belum ditetapkan dengan beberapa
pendaftar stroke termasuk CVST. Namun, sebuah studi patologis menemukan
prevalensi CVST menjadi setinggi 9,3% di antara subyek yang diotopsi.
Perbedaan data ini mencerminkan bahwa CVST mungkin kurang terdiagnosis.
Dengan demikian, pemahaman profesional perawatan kesehatan mengenai
penyakit ini harus ditingkatkan dengan lebih tepat.
Dalam ulasan singkat ini, kita akan membahas tentang patogenesis,
fitur klinis, konfirmasi diagnosis, dan perkembangan saat ini dalam pengelolaan
kasus CVST.
2. PATOGENESIS.
CVST terjadi karena oklusi baik di vena serebral atau sinus vena. Oklusi
vena menyebabkan obstruksi aliran keluar dan kongesti vena, sehingga
meningkatkan tekanan hidrostatik dan edema berikutnya. Ketika diperiksa secara
mikroskopis, vena menjadi melebar dan edema, disertai dengan perdarahan
petekial yang dapat bergabung menjadi hematoma. Di sisi lain, oklusi sinus vena
serebral dapat menyebabkan hipertensi intrakranial. Tekanan intrakranial
meningkat sebagai akibat dari penyerapan LCS yang lambat karena gangguan

166 | B A N U 6
pengaliran vena setelah trombosis sinus vena. Dalam kondisi terakhir, CVST
menjadi simptomatik ketika suplai darah kolateral tidak adekuat, menyebabkan
iskemia otak dan infark.6 CVST dapat dikelompokkan berdasarkan sinus vena
yang terkena sebagai berikut: 86% pada sinus transversal, 62% pada sinus sagital
superior, 18% pada sinus lurus, 17% pada vena kortikal, 12% pada vena jugularis,
11% di vena Galen dan vena otak internal.7

Gambar 1. Anatomi Vena Serebral pada Manusia


3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO.
Penyebab predisposisi CVT adalah multipel. Konsep umum yang
berkaitan dengan faktor risiko CVST dapat disesuaikan dengan triad Virchow
yang terdiri dari stasis darah, perubahan dinding pembuluh darah dan komposisi
darah. Faktor risiko biasanya dibagi menjadi risiko yang didapat (misalnya,
operasi, trauma, kehamilan, puerperium, sindrom antifosfolipid, kanker, hormon
eksogen) dan risiko genetik (trombofilia yang diturunkan).
4. MANIFESTASI KLINIS.
CSVT dapat menghasilkan manifestasi klinis yang bervariasi, dan
variabilitas tersebut bergantung pada beberapa aspek, seperti lokasi dan
perluasan trombosis, tingkat oklusi vena, usia pasien, dan sifat penyakit yang
mendasari atau faktor predisposisi. 30% CVST muncul sebagai kejadian akut,
terlihat dalam 48 jam hingga 30 hari. Di sisi lain, kasus CVST kronis berhubungan
dengan 20% kasus yang berkembang selama 1 hingga 6 bulan. Temuan klinis
pada CSVT biasanya disebabkan oleh gangguan drainase vena, ICH, cedera otak
fokal dari iskemia vena / infark atau hemoragik, atau campuran dari keduanya.
Nyeri kepala adalah gejala yang paling umum di CSVT yang muncul pada
hampir 90% kasus. Nyeri kepala CVST muncul sebagai akibat dari distensi

167 | B A N U 6
dinding vena atau karena peradangan lokal atau kebocoran darah di atas
permukaan otak yang mengiritasi serabut saraf peka nyeri di duramater. Nyeri
yang ditimbulkan bersifat difus dan progresif yang dapat berlangsung selama
beberapa hari hingga minggu,1 tetapi, pada sebagian kecil pasien dapat muncul
sebagai nyeri kepala hebat (thunderclap headache), menunjukkan suatu proses
hemoragik (perdarahan subaraknoid), atau sebagai nyeri kepala migren,
sehingga menyulitkan diagnosis karena manifestasi klinis yang unilateral dan
intermiten. Manifestasi klinis lengkap CVST dapat dilihat pada tabel 1.
Hampir 12-31,9% pasien mengalami kejang sebagai manifetasi klinis
CSVT, tetapi 44,3% pasien mungkin mengalami kejang pada tahap awal
penyakit.8 Proporsi serupa telah ditemukan pada penelitian lain. 9,10 defisit fokal
sensorik dan motorik sangat umum dan kadang-kadang menunjukkan lokasi
vena yang mengalami oklusi, terutama ketika terjadi paresis nervus kranialis
seperti pada paralisis N.IV.6 Kejang fokal atau umum sering terjadi, terjadi pada
hampir 40% pasien.1 Pada pasien dengan kejang, kelumpuhan Todd dapat
disajikan di hampir 54% kasus.9
Perjalanan manifestasi klinis dapat diringkas sebagai berikut: nyeri
kepala intensif dan progresif, gejala utama; kejang (39,3%); paresis (37,2%);
papilledema (28,3%); perubahan kondisi mental (22%), afasia (19,1%), pingsan
atau koma (13,9%), diplopia (13,5%), dan defisit visual (13,2%).
Ada juga faktor risiko penting untuk CVST, termasuk puerperium,
menggunakan kontrasepsi oral, telah menjalani operasi besar dalam 15 hari
terakhir, kehamilan, perokok aktif, anemia berat, dan migren.
Tabel 1. Manifestasi klinis CVST
Tipe Karakteristik
Sindrom fokal Adanya defisit fokal yang berkaitan
dengan nyeri kepala, kejang, atau
perubahan status mental
Perdarahan intraserebral Nyeri kepala, mual, muntah, edema
papil
Ensefalopati subakut difus Perubahan status mental
Sindroma sinus kavernosus Oftalmoplegia disertai nyeri, kemosis,
dan proptosis
DIAGNOSIS
CVST harus dipertimbangkan pada semua wanita muda yang
menderita nyeri kepala yang tidak biasa yang dapat menjadi progresif dengan
defisit neurologis fokal dan tanpa faktor risiko vaskular. Karena manifetasi klinis
yang bervariasi, studi neuroimaging perlu dikerjakan apabila terdapat kecurigaan

168 | B A N U 6
klinis. Karena MRV CTV yang semakin mudah diakses, prosedur invasif seperti
angiografi serebral dan venografi serebral lebih jarang diperlukan.
Pedoman klinis Eropa terbaru dari CVST merekomendasikan MRV
sebagai alternatif untuk DSA untuk konfirmasi diagnostik CVST, meskipun
kekuatan dan kualitas studi yang lemah dan rendah dari masing-masing bukti
tersebut.11 Selain itu, CTV juga direkomendasikan sebagai alternatif untuk DSA di
membangun diagnosis CVST. Sekali lagi, ini didasarkan pada kualitas bukti yang
rendah, maka rekomendasi yang lemah. Selain itu, perbandingan langsung
antara MRV dan CTV menunjukkan akurasi diagnostik yang sama. Ada 3
penelitian penting yang termasuk 85 pasien dengan kecurigaan CVST. Diagnosis
dikonfirmasi pada 45 pasien dengan CT venografi dan 43 pasien dengan MRV.
CT venografi lebih mudah dan lebih sering menunjukkan sinus atau vena
serebral kecil dengan aliran rendah daripada MRV. 11 Ketika MRV digunakan
sebagai baku emas, CT venografi ditemukan memiliki sensitivitas dan spesifisitas
75-100% tergantung pada sinus atau vena yang terlibat.12 Dari dua penelitian
13,14
tambahan mengenai MDCTA dalam diagnosis CVT, satu membandingkan
MDTCA dengan MRV dan MRI pada 19 pasien yang dicurigai CVT, diagnosis
dikonfirmasi pada 10. Dalam studi kedua, MDCTA, MRV dan MRI dilakukan di 33
pasien. Diagnosis CVT dibuat pada 20 pasien, pembacaan konsensus dianggap
sebagai baku emas.
Terdapat beberapa keuntungan dari CT venografi dibandingkan
dengan teknik pencitraan MR, seperti akuisisi gambar yang cepat dan tidak ada
kontraindikasi untuk alat pacu jantung dan feromagnetik. Kerugian dari CT
venografi adalah paparan yang signifikan terhadap radiasi pengion dan
kebutuhan bahan kontras IV. CT venografi memiliki akurasi diagnostik yang
setara dengan MRV dalam mendiagnosis CVST. Sedangkan beberapa kerugian
dari CTV konvensional adalah pengeditan yang memakan waktu dan bergantung
pada operator yang diperlukan untuk menghilangkan lebih dari
memproyeksikan tulang untuk tampilan angiografi pembuluh intrakranial,
paparan radiasi, dan masalah yang terkait dengan penggunaan kontras dalam
pengaturan fungsi ginjal yang buruk, atau pada pasien dengan alergi materi
kontras. MRV lebih disukai daripada CTV karena kelemahan ini. Kesimpulannya,
bagaimanapun, CTV dapat diandalkan seperti MRV dalam mengkonfirmasikan
diagnosis CVST.
5. TATALAKSANA.
Strategi pengobatan ditujukan untuk mengontrol atau mengobati
patologi yang mendasari, mengendalikan ICH dan pengobatan kejang atau
defisit fokal yang disebabkan oleh edema serebral atau infark. Antikoagulan
digunakan hampir secara universal dan pada kasus tertentu, teknik endovaskular

169 | B A N U 6
dan bedah telah digunakan untuk menghilangkan bekuan darah. Teknik bedah
lebih lanjut digunakan untuk mengobati gejala sisa CSVT seperti hidrosefalus,
stroke hemoragik.
Antikoagulan telah digunakan sebagai pengobatan utama. Alasannya
adalah mencegah trombosis dan mencegah komplikasi. Meskipun
penggunaannya luas, terapi antikoagulan di CVST tetap kontroversial karena
berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan. Sebuah meta-analisis yang
melibatkan dua percobaan acak menunjukkan bahwa antikoagulasi dengan
heparin (unfractionated [UFH] atau low-molecular weight heparin [LMWH])
dikaitkan dengan penurunan hasil yang buruk yang tidak mencapai signifikansi
statistik (RR untuk kematian atau ketergantungan 0,46, 95% CI 0,16-1,31; RR
untuk kematian 0,33, 95% CI 0,08-1,21).15,16 Tiga puluh empat dari 79 pasien
(43%) memiliki perdarahan intraserebral pada awal (sebelum pengacakan). Jika
perdarahan intraserebral dianggap bergejala, RR untuk komplikasi perdarahan
besar heparin dibandingkan plasebo adalah 0,33 (95% CI 0,035-2,99).
Baik LMWHs maupun UFH digunakan untuk pengobatan CVT. 17 UFH
biasanya umumnya diberikan secara intravena dan membutuhkan penyesuaian
dosis berdasarkan nilai APTT. UFH memiliki waktu paruh yang singkat dan efek
antikoagulannya dapat dibalik dengan protamine sulfat. Efek antikoagulan dari
UFH, bagaimanapun, tidak dapat diprediksi, dan pasien sering overdosis. 18,19
LMWH diberikan sebagai suntikan subkutan berdasarkan berat badan dan
memiliki farmakokinetik yang lebih mudah diprediksi, tetapi efeknya hanya dapat
sebagian dibalik dengan protamine sulfat. Pada kelompok pasien tertentu,
seperti mereka dengan insufisiensi ginjal berat, LMWH merupakan
kontraindikasi. UFH diberikan secara intravena pada dosis awal 5000 IU, dan
kemudian infus dipertahankan pada 1000 UI/jam atau dosis respon untuk
mencapai waktu APTT 60-80 detik.
Satu percobaan acak langsung membandingkan LMWH dengan UFH
pada pasien dewasa dengan CVST.20 Secara total, 66 pasien dilibatkan. Enam
dari 32 pasien (19%) dialokasikan untuk UFH meninggal selama masuk rumah
sakit, dibandingkan dengan 0 dari 34 (0%) dialokasikan untuk LMWH (RR LMWH
vs UFH 0,073, 95% CI 0,0043-1,24). Pasien yang diobati dengan LMWH telah
lebih sering pulih sepenuhnya setelah tiga bulan (RR 1,37, 95% CI 1,02-1,83).
Sebuah komplikasi hemoragik besar terjadi pada tiga pasien yang diobati
dengan UFH (semua ekstrakranial), dibandingkan dengan 0 pasien di lengan
LMWH (RR 0,13, 95% CI 0,0072-2,51).
Hasil dari penelitian non-acak juga menunjukkan bahwa LMWH
dikaitkan dengan hasil yang lebih baik daripada UFH (OR yang disesuaikan untuk
kematian atau ketergantungan 0,42, 95% CI 0,18-1,0) dan kurang ICH baru

170 | B A N U 6
(disesuaikan atau 0,29, 95% CI 0,07-1,3). Sebuah meta analisis Cochrane dari
penelitian acak pada pasien dengan trombosis leg-vena dan emboli paru
menunjukkan bahwa LMWH memiliki risiko kematian yang secara signifikan lebih
rendah (OR 0,62, 95% CI 0,46-0,84) dan komplikasi hemoragik berat (OR 0,50,
95). % CI 0,29-0,85) dibandingkan dengan UFH dalam kondisi ini. 21 Mengingat
bukti saat ini, itu adalah bijaksana untuk mengelola LMWH atas UFH karena
kemanjuran non-inferior dengan efek samping yang lebih sedikit.
Trombolisis endovaskular umumnya disediakan untuk kasus berat,
tetapi tidak ada uji acak yang dilakukan. 17 Tampaknya kedua trombolisis
endovaskular dan kraniektomi dekompresi semakin banyak digunakan. Dalam
studi ISCVT, 2% pasien menerima trombolisis dan 1% pasien menerima
kraniektomi dekompresi, 7 dalam survei internasional yang disebutkan di atas,
43% dokter telah menggunakan terapi baik selama 5 tahun terakhir. 17 Dalam dua
seri terbesar di mana obat fibrinolitik digunakan, terjadi reperfusi di sebagian
besar kasus (71,4%). 22,23
Herniasi yang disebabkan oleh efek massa unilateral adalah penyebab
utama kematian pada CVST. Pada pasien CVST dengan lesi parenkim besar yang
menyebabkan herniasi, pembedahan dekompresif telah menyelamatkan nyawa
dan sering menghasilkan hasil fungsional yang baik, bahkan pada pasien dengan
kondisi klinis yang berat.
Kejang harus diobati dengan antikonvulsan yang tepat. Fenitoin
direkomendasikan untuk pengobatan kejang pada pasien yang memerlukan
formulasi parenteral. Atau, injeksi fenobarbital atau natrium valproat dapat
digunakan jika pasien alergi terhadap fenitoin. Diazepam atau lorazepam dapat
digunakan untuk mengobati status epileptikus, tetapi pasien juga harus
diberikan antikonvulsan dengan durasi yang lebih lama untuk mencegah kejang
berulang.
6. KESIMPULAN.
CVST adalah penyakit trombotik vaskular dengan patogenesis dan
presentasi klinis yang unik. Kadang-kadang bisa menjadi tantangan diagnostik.
Umumnya, pencitraan dengan menggunakan CTV atau MRV cukup dan sangat
akurat dalam mengkonfirmasikan diagnosis CVST. Perawatan melibatkan
antikoagulasi, trombolisis, thrombectomy mekanik, dan tindakan umum dan
suportif lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Saposnik G, Barinagerrementeria F, Brown RD, et al. Diagnosis and
Management of Cerebral Venous Thrombosis: A Statement for Healthcare

171 | B A N U 6
Professionals From the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke 2011; 42: 1158-92.
2. Stam J. Thrombosis of the cerebral veins and sinuses. N Engl J Med
2005;352:1791-8.
3. Ruiz-Sandoval JL, Chiquete E, Bañuelos-Becerra LJ, Torres-Anguiano C,
González-Padilla C, Arauz A, et al. Cerebral venous thrombosis in a Mexican
multicenter registry of acute cerebrovascular disease: The RENAMEVASC
study. J Stroke Cerebrovasc Dis 2012;21:395-400.
4. Towbin A. The syndrome of latent cerebral venous thrombosis: its
frequency and relation to age and congestive heart failure. Stroke.
1973;4:419–30.
5. Sanz Gallego I, Fuentes B, Martínez-Sánchez P, Díez Tejedor E. Do cerebral
venous thrombosis risk factors influence the development of an associated
venous infarction? Neurologia 2011;26:13-9.
6. Guenther G, Arauz A. Cerebral venous thrombosis: A diagnostic and
treatment update. Neurologia 2011;26:488-98.
7. Ferro JM, Canhão P, Stam J, Bousser MG, Barinagarrementeria F. Prognosis
of cerebral vein and dural sinus thrombosis: Results of the International
Study on Cerebral Vein and Dural Sinus Thrombosis (ISCVT). Stroke
2004;35:664-70.
8. Kalita J, Chandra S, Misra UK. Signifcance of seizure in cerebral venous sinu
thrombosis. Seizure 2012;21:639-42.
9. Masuhr F, Busch M, Amberger N, et al. Risk and predictors of early epileptic
seizures in acute cerebral venous and sinus thrombosis. Eur J Neurol
2006;13:852-6.
10. Gosk-Bierska I, Wysokinski W, Brown RD, et al. Cerebral venous sinus
thrombosis: Incidence of venous thrombosis recurrence and survival.
Neurology 2006;67:814-9.
11. Ferro JM, Bousser M-G, Canhao P, et al. European Stroke Organisation
guideline for the diagnosis and treatment of cerebral venous thrombosis –
Endorsed by the European Academy of Neurology. European Stroke
Journal 2017; 2(3): 195-221.
12. Khandelwal N, Agarwal A, Kochhar R, et al. Comparison of CT venography
with MR venography in cerebral sinovenous thrombosis. Am J Roentgenol
2006; 187: 1637–43.
13. Linn J, Ertl-Wagner B, Seelos KC, et al. Diagnostic value of multidetector-
row CT angiography in the evaluation of thrombosis of the cerebral venous
sinuses. Am J Neuroradiol 2007; 28: 946–52.

172 | B A N U 6
14. Gaikwad AB, Mudalgi BA, Patankar KB, et al. Diagnostic role of 64-slice
multidetector row CT scan and CT venogram in cases of cerebral venous
thrombosis. Emerg Radiol 2008; 15: 325–33.
15. De Bruijn SFTM and Stam J for the Cerebral Venous Sinus Thrombosis
Study Group. Randomized, placebocontrolled trial of anticoagulant
treatment with lowmolecular-weight heparin for cerebral sinus thrombosis.
Stroke 1999; 30: 484–8.
16. Einhaupl KM, Villringer A, Meister W, et al. Heparin treatment in sinus
venous thrombosis. Lancet 1991; 338: 597–600.
17. Coutinho JM, Seelig R, Bousser MG, et al. Treatment variations in cerebral
venous thrombosis: an international survey. Cerebrovasc Dis 2011; 32: 298–
300.
18. Fennerty AG, Thomas P, Backhouse G, et al. Audit of control of heparin
treatment. BMJ 1985; 290: 27–28.
19. Aarab R, van Es J, de Pont AC, et al. Monitoring of unfractionated heparin in
critically ill patients. Neth J Med 2013; 71: 466–71.
20. Misra UK, Kalita J, Chandra S, et al. Low molecular weight heparin versus
unfractionated heparin in cerebral venous sinus thrombosis: a randomized
controlled trial. Eur J Neurol 2012; 19: 1030–6.
21. Erkens PM and Prins MH. Fixed dose subcutaneous low molecular weight
heparins versus adjusted dose unfractionated heparin for venous
thromboembolism. Cochrane Database Syst Rev 2010; (9): CD001100.
22. Kim SY, Suh JH. Direct endovascular thrombolytic therapy for dural sinus
thrombosis: Infusion of alteplase. AJNR Am J Neuroradiol 1997;18:639-45.
23. Horowitz M, Purdy P, Unwin H, Carstens G, Greenlee R, Hise J, et al.
Treatment of dural sinus thrombosis using selective catheterization and
urokinase. Ann Neurol 1995;38:58-67.

173 | B A N U 6
Prevensi Sekunder Stroke Pada Pasien Atrial Fibrilasi
dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S
Bagian/SMF Neurologi
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Fibrilasi atrial (AF) berhubungan dengan peningkatan risiko stroke
iskemik sebanyak 3-5 kali. AF seringkali terjadi bersamaan dengan masalah
jantung lainnya, seperti gagal jantung kronis, dimana hampir 50 persen
menderita AF, dan sindrom koroner akut, dimana hampir 25 persen menderita
AF. Tromboprofilaksis yang adekuat penting untuk mencegah kejadian stroke,
namun selain itu dapat juga menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan yaitu
perdarahan.
Stroke iskemik yang berhubungan dengan AF seringkali berasal dari
kardioemboli dan oleh karena itu menimbulkan mortalitas dan morbiditas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penyebab lainnya. Stroke iskemik yang
berhubungan dengan AF dapat dicegah dikarenakan keefektifitas dari
antikoagulan oral (OAC) yang cukup baik. Pada meta analisis, antagonis vitamin
K (VKA) misalnya warfarin mengurangi stroke atau tromboemboli sistemik
sebesar 64% dan mortalitas sebesar 26% dibandingkan plasebo. Akhir-akhir ini
antikoagulan oral kerja langsung (DOAC) seperti apixaban, dabigatran,
edoxaban, dan rivaroxaban membantu pada kelemahan pada VKA termasuk
peningkatan perdarahan intrakranial dan perlunya monitoring yang ketat. 1
Faktor risiko pada stroke dengan AF
Patofisiologi emboli pada AF mempunyai beberapa faktor. Penurunan
sistole atrial pada AF menyebabkan stasis darah pada atrium kiri. Selain itu, pada
AF juga sering dijumpai pembesaran atrium kiri dan left atrial appendage serta
inflamasi pada jaringan atrial. Pada pasien AF juga dijumpai abnormalitas dari
jalur koagulasi dan fibrinolisis yang menyebabkan kondisi hiperkoagubilitas
kronis.2
Analisis sistematik dari AF Working Group menyimpulkan faktor risiko
yang paling sering berhubungan dengan stroke adalah usia, riwayat stroke/TIA
sebelumnya, hipertensi, dan diabetes melitus. Usia merupakan faktor
independen dari stroke dengan peningkatan resiko 1,5 kali per dekade.
Peningkatan stroke sebesar 2,5 kali ditemukan pada pasien dengan stroke
sebelumnya/TIA. Hipertensi meningkatkan risiko sebesar 2 kali dan diabetes
melitus meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali dan merupakan faktor risiko
independen pada stroke.3

174 | B A N U 6
Data lain menunjukkan bahwa gagal jantung dekompensasi
meningkatkan risiko stroke pada AF, baik dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri masih
baik atau menurun. Jenis kelamin wanita juga berhubungan dengan peningkatan
risiko dari stroke, terutama wanita usia >65 tahun. Suatu meta-analisis
menyimpulkan peningkatan sebesar 1,31 kali dari risiko stroke pada wanita
dengan AF, terutama dengan usia  75 tahun.4
Penyakit sistemik lain seperti riwayat infark miokardial dan penyakit
arteri perifer meningkatkan risiko stroke pada AF. Gagal ginjal, terutama
penurunan laju filtrasi glomerular dengan proteinuria, meningkatkan risiko
stroke. Biomarker darah lainnya juga berhubungan dengan peningkatan stroke
seperti peningkatan kadar fibrin, D-dimer dan faktor von willebrand.

Gambar 1. Mekanisme Penyebab AF4


Manajemen prevensi sekunder pada pasien dengan AF
Terapi antikoagulan dapat mencegah mayoritas stroke iskemik pada
pasien dengan AF dan memperpanjang angka harapan hidup. Terapi ini lebih
superior dibandingkan tidak diterapi atau aspirin dengan pasien dengan AF,
kecuali pada pasien dengan risiko stroke yang sangat rendah, dan oleh karena
itu antikoagulan diberikan pada kebanyakan pasien dengan AF. Walaupun
demikian, masih banyak dijumpai pemakaian yang kurang adekuat atau
penghentian yang awal dari terapi antikoagulan.5
Kejadian yang tidak diinginkan seperti perdarahan baik yang masif
maupun minor serta perlunya untuk memonitor dengan ketas mengenai terapi
VKA merupakan alasan utama dari menunda atau menghentikan pemberian
antikoagulan. Namun demikian, risiko stroke tanpa antikoagulan melebihi risiko

175 | B A N U 6
perdarahan walaupun pada lansia, pasien dengan gangguan kognitif atau pasien
dengan angka kejadian jatuh yang tinggi. Risiko perdarahan pada aspirin tidak
jauh berbeda dibandingkan risiko perdarahan pada terapi VKA atau NOAC,
sementara VKA dan NOAC secara efektif mencegah stroke pada pasien dengan
AF.6,7
Prediksi risiko stroke dan perdarahan
Suatu algoritme CHA2-DS2-VASc yang simple, mudah diaplikasikan
secara klinis mengenai stratifikasi risiko stroke pada pasien dengan AF
ditemukan pada tahun 1990an dan telah divalidasi pada berbagai populasi
digunakan sebagai pedoman terapi pasien AF. Penggunaan skor ini
mempermudah terhadap pengambilan keputusan terapi OAC pada pasien
dengan AF. Pada skor ini, pasien tanpa faktor risiko stroke tidak memerlukan
terapi antitrombotik, namun pasien dengan faktor risiko stroke (skor 1 atau lebih
pada pria, dan 2 atau lebih pada wanita) memerlukan terapi OAC. 6

Gambar 2. Prevensi stroke dengan AF6


Beberapa skor mengenai risiko perdarahan telah diciptakan,
kebanyakan pada pasien dengan VKA. Skor ini termasuk HAS-BLED (hipertensi,
fungsi hati dan ginjal yang abnormal, stroke, riwayat perdarahan, INR yang labil,
usia lansia, obat-obatan), ORBIT (Outomes Registry for Better Informed
Treatment of Atrial Fibrillation) dan ABC (age, biomarkers, clinical history).
Beberapa variabel stroke bertumpang tindih antara risiko stroke dan perdarahan,
seperti usia tua. Usia tua merupakan salah satu prediktor penting bagi stroke

176 | B A N U 6
iskemik dan kecenderungan berdarah pada pasien AF. Skor risiko perdarahan
yang tinggi bukan merupakan alasan menunda pemberian OAC.10

Gambar 3. Skor HAS-BLED6


Terapi Pencegahan Stroke Sekunder
Antagonis Vitamin K
Warfarin dan VKA lainnya merupakan antikoagulan pertama yang
digunakan pada pasien AF. VKA telah digunakan sebagai agen antikoagulan oral
satu-satunya selama lebih dari 60 tahun. VKA telah mengurangi risiko stroke
sebanyak dua pertiga dan mortalitas dibandingkan kontrol. Namun, VKA
memiliki kelemahan yaitu onset kerja yang lambat, kebutuhan dosis yang
beragam yang bergantung pada asupan makanan yang mengandung vitamin K
serta polimorfisme gen serta interaksi obat yang cukup banyak. Penggunaan
VKA ketika diberikan pada waktu yang adekuat pada dosis yang sesuai (TTR)
efektif sebagai prevensi stroke pada pasien AF. Terdapat skor SAM E-TT2R2 untuk
mengidentifikasi pasien yang mencapai TTR yang baik pada terapi VKA. VKA
merupakan terapi satu-satunya pada pasien AF dengan penyakit jantung valvular
dan katup jantung prostesis.6,9
Antikoagulan oral antagonis non vitamin K
Saat ini, NOAC dikategorikan menjadi 2 kelas, yaitu inhibitor trombin
langsung oral (dabigatran) dan inhibitor faktor Xa oral (rivaroxaban, apixaban,
edoxaban). Pemeriksaan rutin pada NOAC tidak diperlukan dikarenakan
karakteristik farmakodinamik dan farmakokinetik cukup dapat diprediksi dan
jendela terapi cukup lebar. Oleh karena itu, penggunaan dalam NOAC dalam
klinis semakin meningkat.
Pada percobaan ARISTOTLE (Apixaban for Reduction in Stroke and
Other Thrombo-embolic Events in Atrial Fibrillation), apixaban 5 mg dua kali
sehari mengurangi stroke atau emboli sistemik sebesar 21% dibandingkan

177 | B A N U 6
warfarin, dengan pengurangan sebesar 31% pada perdarahan mayor dan 11%
pada mortalitas. Angka kejadian stroke hemoragik lebih rendah pada apixaban
dan perdarahan gastrointestinal sama pada kedua jenis terapi. Apixaban
merupakan NOAC yang pernah dibandingkan dengan aspirin pada pasien AF
dengan hasil apixaban mengurangi stroke dan emboli sistemik sebesar 55%
dibandingkan aspirin, dengan hanya sedikit perbedaan pada angka kejadian
perdarahan gastrointestinal dan intrakranial.11
Studi RE-LY (Randomized Evalutation of Long-Term Anticoagulation
Therapy), dabigatran 150 mg dua kali sehari mengurangi stroke dan emboli
sistemik sebanyak 35% dibandingkan warfarin dengan tanpa perbedaan yang
signifikan pada kejadian perdarahan. Dabigatran 110 mg dua kali sehari tidak
inferior dibandingkan warfarin pada prevensi stroke dan emboli sistemik, dengan
kejadian perdarahan 20 persen lebih kecil. Dabigatran 150 mg dua kali sehari
secara signifikan mengurangi stroke iskemik sebesar 24% dan mortalitas vaskular
sebesar 12%, sementara perdarahan gastrointestinal meningkat sebesar 50%.12
Pada studi ENGAGE AF-TIMI 48 (Effective Anticoagulation with Factor
Xa Next Generation in Atrial Fibrillation – Thrombolysis in Myocardial Infarction
48), edoxaban 60 mg sehari sekali dan edoxaban 30 mg sekali sehari
dibandingkan dengan warfarin. Edoxaban 60 mg sehari sekali tidak lebih inferior
dibandingkan warfarin. Edoxaban 60 mg sekali sehari mengurangi kejadian
stroke dan emboli sistemik sebesar 21% dibandingkan warfarin, sementara
edoxaban 30 mg sekali sehari tidak lebih inferior dibandingkan warfarin dalam
mengurangi stroke dan emboli sistemik namun menurunkan angka kejadian
perdarahan mayor sebesar 54%. Hanya dosis edoxaban 60 mg yang dianjurkan
dalam prevensi stroke pada AF.13
Studi ROCKET-AF (Rivaroxaban Once Daily Oral Direct Factor Xa
Inhibition Compared with Vitamin K Antagonism for Prevention of Stroke and
Embolism Trial in Atrial Fibrillation), pasien dirandomisasi pada rivaroxaban 20
mg sekali sehari atau VKA, dengan dosis yang disesuaikan pada gangguan
fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus 30-49 ml/menit. Rivaroxaban tidak
lebih inferior dibandingkan warfarin sebagai prevensi stroke dan emboli sistemik.
Rivaroxaban tidak mengurangi angka mortalitas, stroke iskemik atau perdarahan
mayor dibandingkan VKA. Terjadi peningkatan kejadian perdarahan
gastrointestinal, namun penurunan signifikan pada perdarahan intrakranial
dibandingkan warfarin.14

Daftar Pustaka

178 | B A N U 6
1. Hart R.G. dkk. 2007. Meta-analysis: antithrombotic therapy to prevent
stroke in patients who have nonvalvular atrial fibrillation. Ann Intern
Med. 146(12):857-867
2. Lip G.Y.H., Lane D.A. 2015. Stroke prevention in atrial fibrillation : A
systematic review. JAMA. 313(19):1960-1962
3. Stroke Risk in Atrial Fibrillation Working Group. 2007. Independent
predictors of stroke in patients with atrial fibrillation: a systematic
review. Neurology. 69(6):546-554
4. Wagstaff A.J. dkk. 2014. Is female sex a risk factor for stroke and
thromboembolism in patients with atrial fibrillation? a systematic
review and meta-analysis. QJM.
5. Kamel H. dkk. 2016. Atrial Fibrillation and Mechanism of Stroke time
for new model. Stroke. 47(3):895-900
6. January C.T., dkk. 2014. AHA/ACC/HRS guideline for the management
of patients with atrial fibrillation: a report of the American College of
Cardiology/American HeartAssociation Task Force on Practice
Guidelines and the Heart Rhythm Society. J AmColl Cardiol. 2014;
64(21):e1-e76
7. Foody J.M. 2017. Reducing the risk of stroke in elderly patients with
non-valvular atrial fibrillation: a practical guide for clinicians. Clin Interv
Aging. 12:175-187
8. European Society of Cardiology. 2016. 2016 ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation developed in collaboration with
EACTS. European Heart Journal. 37: 2893-2962
9. Ball J. 2017. Which anticoagulant for stroke prevention in atrial
fibrillation? The BMJ. 359:J5399
10. Senoo K. dkk. 2016. Evaluation of the HAS-BLED, ATRIA, and ORBIT
Bleeding Risk Scores in Patients with Atrial Fibrillation Taking Warfarin.
The American Journal of Medicine. 129:600-607
11. Granger C.B. dkk. 2011. Apixaban versus Warfarin in Patients with Atrial
Fibrillation. NEJM. 365(11):981-992
12. Connolly S.J. 2009. Dabigatran versus Warfarin in Patients with Atrial
Fibrillation. NEJM. 361(12): 1139-1142
13. Giugliano R.P. dkk. 2013. Edoxaban versus Warfarin in Patients with
Atrial Fibrillation. NEJM. 369:22
14. Patel M.R. dkk. 2011. Rivaroxaban versus Warfarin in Nonvalvular Atrial
Fibrillation. 365(11): 883-891

179 | B A N U 6
HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN PADA PEMBERIAN ANTIEPILEPSI PADA ANAK
dr. Siti Aminah SpS(K), M.Si Med
KSM/ Departemen Neurologi RSHS/ FK Unpad Bandung

1. Pendahuluan
Epilepsi merupakan kelainan neurologis yang paling sering dan serius
pada anak. Di Amerika prevalensi epilepsi pada anak kurang dari 16 tahun adalah
4,9% per 1000 populasi.1, 2 Terdapat sekitar 68 juta penderita epilepsi diseluruh
dunia.3 Prevalensi penderita epilepsi di UK (Inggris) menunjukan hampir 25%
merupakan anak dibawah usia 15 tahun.4
Berdasarkan biaya perawatan untuk kasus di bidang neurologi,
Epilepsi ini menduduki ranking ke 9 dari 53 kasus neurologi.5 Pengobatan yang
efektif dan penatalaksanaan bangkitan epilepsi, terutama pada anak sangat
penting dan berpengaruh langsung terhadap kualitas hidup. Saat ini guidelines
untuk epilepsi pada anak yang dikeluarkan oleh NICE (British National Institute
for health care Excellence) melihat bukti perbedaan efektifitas dan keselamatan
masing2 obat anti epilepsi yang digunakan pada berbagai tipe epilepsi.
Tujuan pengobatan adalah untuk memastikan adanya keseimbangan
positif antara keuntungan yang diharapkan dengan resiko pengobatan dengan
memperhitungkan biaya serta efek yang diharapkan dan yang tidak
diharapkan.6,7
Penetapan keseimbangan antara keuntungan dan resiko (Benefit risk
balance) ditentukan oleh hubungan antara dosis, pemaparan, efek yang tidak
diharapkan dan yang diharapkan terhadap sign dan symptom penyakit.6, 7 Saat
ini terdapat berbagai jenis obat antiepilepsi mulai dari OAE lama (konvensional),
generasi ke dua dan generasi ke tiga.
Pada 2 dekade terahir beberapa obat antiepilepsi baru telah disetujui
untuk digunakan, walau demikian obat lama masih digunakan karena
ketersediaan dan biaya.8 Obat antiepilepsi baru ini digunakan sebagai tambahan
pemakain obat epilepsi lini pertama pada anak dengan epilepsi intraktabel.9
Obat baru ini lebih efektif dan lebih aman digunakan dibanding obat lini
pertama (OAE konvensional).
Untuk itu perlu memahami bagaimana menentukan OAE yang akan dipakai
pada anak dengan epilepsi.
2. Prinsip Dasar
Begitu diagnosa epilepsi atau sindroma epilepsi ditegakan, ada
beberapa keputusan yang harus diambil untuk penggunaan OAE.10 Keputusan
pemberian OAE tergantung dari individu (frekuensi bangkitan, sindroma epilepsi
dan temuan pada pemeriksaan neurologis, juga harapan orang tua . Berbagai

180 | B A N U 6
usaha dilakukan untuk mengetahui secara pasti resiko berkembangnya epilepsi
(bangkitan berulang, bangkitan spontan) sesudah terjadinya bangkitan pertama
yang tidak diprovokasi.10
Keputusan untuk memberi obat antiepilepsi, kapan pemberiannya
masih tergantung individual. Kebanyakan tenaga medis akan memberikan OAE
setelah bangkitan beberapa kali (cluster), atau setelah terjadi status epilepticus
yang tidak diprovokasi.10
Identifikasi sindrom atau bentuk bangkitan akan memberi informasi
tentang prognosa epilepsi dan pemilihan obatnya. Penggunaan pada bayi dan
anak harus memperhitungkan profil keamanan dan ketersediaan obat10, karena
masih banyak yang tidak diketahui tentang pengaruh efek samping obat jangka
panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dan juga efek jangka
pendek terhadap perilaku, fungsi kecerdasan dan pola tidur.
Setelah dipilih obat yang paling sesuai, maka pemberian harus
monoterapi dengan dosis terendah yang dapat mengontrol bangkitan tanpa
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Hal ini dapat terjadi pada 70%
anak. Pada anak usia dibawah 12 tahun, dosis harus berdasarkan mg/kgbb.
Bila kontrol bangkitan masih suboptimal atau terdapat hubungan
dosis dengan respons, dosis dapat dinaikan sampai bangkitan terkontrol atau
muncul efek samping yang tidak diinginkan. Bila efek samping muncul sebelum
bangkitan terkontrol maka obat diganti atau ditambahkan dengan OAE lain
(politerapi). Pemilihan obat kedua, sama dengan pada pemilihan obat pertama
tapi ditambah dengan kemungkinan potensi interaksi antara kedua obat.
Bila dengan OAE pertama kejang berkurang tapi belum hilang, maka
tambahkan obat ke 2 yang sesuai. Setelah didapatkan dosis obat sehingga
bangkitan terkontrol sempurna (bebas kejang), maka setelah 2-3 bulan bebas
bangkitan, obat pertama diturunkan bertahap sampai dihentikan, sehingga
pengobatan tetap dengan monoterapi.
Politerapi dengan 2 OAE akan menambahkan keberhasilan dalam
mengontrol bebas bangkitan sebanyak 10%. Politerapi ini akan menimbulkan
masalah dalam interaksi pharmakodinamik yang akan menurunkan efektifitas
masing2 obat, kesulitan menginterpretasikan efek dari masing2 obat, toksisitas
bertambah, meningkatkan interaksi idiosinkrasi toksis.
Pemilihan obat yang akan ditambahkan, tergantung bentuk
bangkitan/ sindrom epilepsi dan profil keamanan obat. Harus diketahui cara
kerja masing2 obat, apakah ke duanya bersifat sinergi atau antagonis.
Kombinasi dengan 3 obat OAE tidak akan berefek dalam
meningkatkan/menambah kontrol bangkitan, hanya akan menambah resiko dan
frekuensi efek samping obat. 3 OAE hanya dibolehkan pada saat substitusi

181 | B A N U 6
dimana 1 obat direncanakan ditambahkan dan akan menghentikan 1 macam
obat yang lain. Tapi kenyataannya memulai pemberian dengan politerapi lebih
mudah dibanding menghentikanmya.10
3. Klasifikasi OAE
Berdasarkan anjuran NICE technology appraisal 79, OAE
diklasifikasikan atas OAE yang sudah tersedia sebelum 1989, yaity
phenobarbitone, phenitoin, carbamazepin, sodium valproate, bensidiazepin
(clobazam, clonazepam) dimasukan dalam kelompok OAE lama. OAE baru yaitu
generasi ke 2, sebanyak 14 molekul ditemukan sepanjang 1989-2009, yaitu
felbamate, vigabatrin, lamotrigine, gabapentin, topiramate, tiagabine,
levetiracetam, oxcarbazepine, pregabalin, rufinamid, stirpentol, dan zinosamid.
Generasi ke 3 yaitu eslicarbazepin asetat dan lacosamide.11
Setiap obat antiepilepsi mempunyai potensi efek samping, maka
diperkenalkan molekul yang baru yang bertujuan memperbaiki kontrol
bangkitan tanpa memproduksi efek yang tidak diharapkan.11 Penanganan
epilepsi pada anak dengan obat lama yang dipilih dengan tepat , dapat
membebaskan kejang pada 80% populasi.12, tapi OAE lama mempunyai efek
samping yang bersifat akut dan subakut.
OAE baru diduga efektifitasnya lebih besar dan toksisitasnya lebih
rendah. Politerapi berhubungan dengan meningkatnya efek samping karena
interaksi pharmacodinamik
4. Obat Yang Tersedia
OAE generasi lama yang paling banyak digunakan adalah sodium
valproate dan carbamazepine.10
Phenitoin dan Phenobarbiton digunakan hanya bila obat yang lain
gagal mengontrol bangkitan. Phenitoin dan phenobarbitone digunakan sebagai
obat pilihan pertama pada tatalaksana akut bangkitan neonatal.
Bensodiazepin efektif digunakan untuk bangkitan umum, fokal dan
beberapa sindroma epilepsi. Penggunaannya terbatas karena adanya toksisitas
akut dan dapat terjadi toleransi.Penggunaan sebagai inisial terapi di berika pada
bayi dan anak yang bangkitannya hanya myoklonik yang dapat diobati dengan
clonazepam atau clobazam dosis rendah sebagai monoterapi.
Clobazam sering kali efektif digunakan sebagai add on terapi pada
bangkitan parsial (dengan atau tanpa umum sekunder), absans atipikal, electrical
status epilepticus of slow wave sleep (ESESS) dan katamenial epilepsi. Lamotrigin
dapat digunakan sebagai monoterapi pada anak usia lebih dari 12 tahun, tapi
sebagai adjunctive terapi sejak usia 2 tahun. Vigabatrin dapat sebagai
monoterapi pada anak dengan infantile spasm (pilihan obat pertama), terutama
bila dasarnya adalah tuberosklerosis.

182 | B A N U 6
Dapat pula digunakan pada bangkitan fokal dengan/tanpa umum
sekunder, bangkitan yang didasari kelainan structural (fokal cortical dysplasia,
tumor derajat rendah). Dapat meningkatkan bangkitan myoklonik dan absence
tipikal. Didapatkan efek samping berupa konstriksi lapang pandang perifer pada
40% dewasa dan 20-25% anak yang lebih besar yang mendapatkan vigabatrin,
sehingga tidak boleh digunakan pada dewasa dan anak yang lebih besar.
Penggunaannya harus sangat mempertimbangkan rasio keuntungan dan
kerugian.
Topiramat sebagai monoterapi pada anak usia diatas 6 tahun. Efektif
digunakan untuk bangkitan onset fokal dan sindrom Lennox Gastaut. Baik untuk
bangkitan tonik dan atonik. Digunakan sebagai monoterapi pada bangkitn fokal
dan bangkitan tonik klonik umum primer.
Levetiracetam sebagai monoterapi pada usia diatas 4 tahun. Sebagai
adjunctive terapi pada bangkitan fokal mulai usia 1 bulan, bangkitan myoklonik
pada remaja diatas 12 tahun dan dewasa dengan juvenile myoklonik epilepsi.
Lamotrigin, topiramate dan levetiracetam mempunya spektrum kerja
yang luas, efektif untuk berbagai tipe bangkitan umum dan fokal, relative aman
dari efek samping yang serius, Lamotrigin dapat dipakai untuk bangkitan
absence typical, tapi tidak efektif untuk bangkitan myoklonik.
Oxcarbazepin mempunyai struktur yang sama dengan
carbamazepine, cara kerja sama dengan carbamazepine, tapi tidak melewati
metabolisme 11 epoxyde metabolit, maka efek sampingnya lebih kecil dibanding
carbamazepine. Dapat memperburuk keadaan bangkitan absanse dan myoklonik
yang terjadi pada epilepsi umum.10
5. Cara Pemilihan Obat
Epilepsi dan sindroma epilepsi pada anak kebanyakan berhubungan
dengan bangkitan umum, sehingga pilihan obatnya sodium valproate. Sodium
valproate lebih superior dalam menangani bangkitan umum dibanding
topiramate dan lamotrigine.10
Diduga sodium valproate meningkatkan resiko terjadinya efek pada
janin dari ibu yang mengkonsumsi sodium valproate, maka tidak boleh
diberikan pada perempuan usia subur.10 Epilepsi yang berhubungan dengan
bangkitan fokal jarang terjadi pada anak. Terapi pilihan adalah Carbamazepin.
Bisa juga dengan Lamotrigin dan Oxcarbazepin.
West sindrom yang ditandai dengan spasme infantile dan
hypsarithmia pada EEG, dianjurkan memakai ACTH atau prednisolone. Dapat
pula digunakan Vigabatrin. Dravet sindrom atau severe myoklonik epilepsi of
infancy, pilihan obatnya sodium valproate, clobazam dan topiramate. Hindari

183 | B A N U 6
obat yang bekerja di sodium channel (lamotrigine, phenytoin) karena akan
meningkatkan bangkitan.
Penelitian pada Lennox Gestaut sindrom, menunjukan tidak ada obat
yang lebih efektif dibanding yang lainnya. Tapi lamotrigine, clobazam,
topiramate dapat digunakan sebagai add on terapi.
Penting untuk penggunaan OAE lama/ konvensional sebagai terapi
awal dengan benar.10
Dosis Maintenance OAE Pada Anak10
OBAT TOTAL HARIAN mg/kgBB/hari PEMBERIAN
PERHARI
Carbamazepin 10-20 2/3
Clobazam 0,5-1,5 2
Clonazepam 0,1-0,3 2/3
Lamotrigin 2-5 (bila diberi bersama valproate)
4-10 (bila monoterapi atau bersama obat
bukan valproate)
Levetiracetam 30-50 2
Oxcarbazepine 20-30 2
Phenobarbitone 4-8 2
Phenytoin 4-8 2
Sodium valproate 20-40 2
Topiramate 4-8 (dosis awal 0,5 mg/kgbb/hari) 2
Vigabatrin 50-100 2
Zonisamide 4-5 2

a. Pemakaian Obat Generasi Pertama


Penanganan epilepsi masih berdasarkan kriteria gejala (symptom)
yang merupakan dasar diagnose dan pemilihan obat.7 Guerini menyatakan
tujuan pengobatan epilepsi adalah mengontrol, setidaknya mengurangi
bangkiatan tanpa menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan yang
merusak kualitas hidup.11
Sodium valproate paling sering digunakan pada epilepsi anak , karena
bekerjanya pada spektrum yang luas (broad spektrum).8 Guideline
merekomendasikan Asam valproate dan carbamazepine sebagai antiepilepsi lini
pertama. Ditemukan bahwa penggunaan Lamotrigin, oxcarbazepine dan
levetiracetam meningkat.8
b. Pemakaian OAE Jenis Baru
NICE merekomendasikan bahwa OAE baru dapat digunakan bila
bangkitan tidak dapat ditangani dengan OAE lama, atau pada hal-hal tertentu

184 | B A N U 6
misalnya terdapat kontraindiksi terhadap OAE lama, dapat berinteraksi dengan
obat yang rutin dimakan anak, ditolerasi buruk oleh anak, anak memasuki masa
yang potensial untuk kehamilan.
Anak bila memungkinkan, harus diobati dengan OAE monoterapi. Bila
tidak berhasil dengan OAE pertama, dapat dicoba dengan OAE yang lain.
Kombinasi terapi (adjunctive atau add on) bila dengan monoterapi tidak berhasil
membebaskan dari kejang.
Semua anak yang mengalami kejang tanpa panas pertama harus
sesegera mungkin diperiksa oleh spesialis untuk tata laksana epilepsi agar
diagnose pasti dapat ditegakan dan dimulai terapi yang dibutuhkan. Terapi
harus direview berkala agar anak tidak dibiarkan lama dalam keadaan tidak
efektif atau toleransi buruk dengan obat yang diberikan.
Guideline di India merekomendasikan pemakaian obat antiepilepsi
baru pada kasus epilepsi refrakter sebagai add on terapi yang gagal dengan
terapi lini pertama. Obat baru ini boleh digunakan oleh orang yang mengenal
pharmakokinetik obat, indikasi, dosis, efek samping dan kemungkinan adanya
interaksi obat.9
OAE baru ini ternyata efeknya tidak lebih superior dibanding obat lini
pertama, tapi tolerabilitasnya lebih baik dan profil farmakokinetiknya lebih baik.9
Obat yang dapat digunakan sebagai monoterapi :
 Oxcarbazepine pada bangkitan dengan onset parsial
 Lamotrigine pada remaja perempuan dengan epilepsi umum
idiopatik.
 Levetiracetam pada perempuan dengan epilepsi myoklonik juvenile.
Pada epilepsi dengan onset baru, OAT baru boleh digunakan sebagai
monoterapi pada :
 Lamotrigin pada bangkitan parsial dan umum
 Oxcarbazepin pada bangkitan parsial.
 Catatan : lamotrigine dan Vigabatrin akan memperburuk bangkitan
myoklonik.
Penggunaan sebagai add on terapi :
 Topiramate dan zonisamid pada infantile spasme yang gagal dengan
terapi hormonal dan Vigabatrin
 Topiramat untuk add on terapi pada epileptic encephalopathy (Lenox
gastaut sindrom dan epilepsi astatik myokloni).
 Lamotrigine, levetiracetam untuk epilepsi parsial refrakter
 Lamotrigine pada bangkitan tonik (seperti pada Lennox Gestaut
syndrome)
6. Efek Samping Obat

185 | B A N U 6
Penelitian Anderson M pada penderita epilepsi usia < 18 tahun
menemukan 1/3 anak mengalami efek samping obat selama terapi. 13 Obat yang
paling banyak digunakan adalah carbamazepine, asam valproate dan Lamotrigin.
1 dari 10 anak dihentikan karena rash yang disebabkan carbamazepine dan
lamotrigine. Penelitian lain menunjukan penghentian obat dengan jumlah yang
sama pada pemakaian carbamazepine dan asam valproate, dan ada juga yang
menemukan pada carbamazepine dan phenobarbital. Hampir semua obat
antiepilepsi mempunyai efektifitas yang sama dalam mengontrol bangkitan, tapi
berbeda dalam hal keamanannya.
Sejak tahun 1970, monoterapi menjadi penatalaksanaan yang standar
untuk menangani epilepsi , karena politerapi akan meningkatkan toksisitas,
resiko efek samping dan interaksi obat terutama pada anak.12, 13 OAE sebagai
monoterapi efektif pada 60-70% kasus.13. Monoterapi dengan OAE lama dapat
membebaskan kejang pada 80% kasus.
Beberapa OAE mempunyai jalur pharmakokinetik yang sama, misalnya
induksi dan inhibisi enzim menyebabkan masalah pada saat dikombinasikan.
Misalnya kombinasi asam valproate dan lamotrigine. Asam valproat akan
menginhibisi lamotrigine glucuronidasi, sehingga meningkatkan konsentrasi
dalam plasma dan toksisitas. OAE juga ada yang mempunyai mekanisme
pharmakodinamik yang sama, sehingga akan menambah efek dan
meningkatkan efek samping obat. Disarankan kombinasi obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda.14
Politerapi akan meningkatkan kemungkinan efek samping obat pada
anak. Pemberian politerapi hanya bila dosis terapeutik maksimal dari monoterapi
tidak efektif. Pada pemberian OAE, tenaga medis dan orang tua harus
memonitor adanya efek samping obat , terutama masalah perilaku dan
somnolen.13
7. Kesimpulan
Penanganan epilepsi pada anak memerlukan perhatian khusus karena
anak sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Terdapat beragam
obat yang tersedia mulai dari OAE lama, generasi ke 2 dan generasi ke 3, tetapi
pengobatan harus dimulai dengan OAE konvensional (lama).
Pemberian obat diusahakan monoterapi untuk menghindari interaksi
antar obat yang akan meningkatkan efek samping obat dan toksisitas. OAE
generasi baru, bisa diberikan dalam bentuk add on atau adjunctive pada kasus
epilepsi refrakter.

Kepustakaan

186 | B A N U 6
1. Nice Technology Appraisal. The clinical effectiveness and cost effectiveness of
newer drugs for epilepsi in children. Nice Technology Appraisal,. 2004;79.
2. Lyons B. Use of newer antiepileptic drugs in children : How NICE are we ?
www.progressnp.com.
3. Ngugi A. Estimation of the burden of active and life time epilepsi: a meta
analytic approach. Epilepsia. 2010;51:883-90.
4. Cardarelli W. The burden of epilepsi to patient and payers. Am J Manag Care.
2010;16:331-6.
5. Olesen J. The economic cost of brain disorder in Europe. Eur J Neurol.
2012;19:155-62.
6. Bellanti F. Integration of PKPD Relationship Into Benefit Risk Analysis. Br J Clin
Pharmacol. 2015;80:979-91.
7. Dijkman S. Review Pharmacotherapy in pediatrc epilepsi : from trial and error
to rational drug and dose selection- along way to go. Expert opinion on drug
metabolism toxicology. 2016;12(10):1143-56.
8. Egunsola O. Anti epileptic drug utilisation in paediatrics : a systematic review.
BMJ Paediatrics open 2017. 2017;1.
9. Aneja S. Newer Anti epileptic drug. Review article. Indian Pediatrics.
2013;50(15):1033-40.
10.Appleton R. Drug treatment in Paediatric epilepsi.
11. Guerrini R. Safety and Tolerability of Antiepileptic Drug Treatment in Children
with Epilepsi. Drug Saf. 2012;35(7):519-33.
12.Patsalos P. New antiepileptic drugs. AnnClin Biochem. 1999;36:10-9.
13.Anderson M. A prospective study of adverse drug reactions to antiepileptic
drugs in children. BMJ Open. 2015;5.
14. St Louis E. Truly rational polytherapy : maximizing efficacy and minimizing
drug interaction, drug load and adverse effect. Curr Neuropharmacol.
2009;7:96-105.

187 | B A N U 6
HOW TO DIFFERENTIATE A SEIZURE OR A MOVEMENT DISORDER IN CHILDREN
Anna Marita Gelgel
Neurology Department, Medical Faculty Udayana University/Sanglah Hospital
Denpasar, Bali
Neuropediatry and Epilepsy Study groups of Perdossi Denpasar

Abstract
A seizure is an abnormal synchronous burst of neuronal activity, with
epilepsy defined as a propensity to having seizures. Epilepsy is differentiated
from movement disorders by the presence of characteristic ictal and interictal
discharges on electroencephalography (EEG) and events may evolve into or
associated with generalized tonic-clonic or other seizures.
Cortical involvement is a key factor in epileptic seizures, with the
disruption between cortical and subcortical pathways influencing the semiology
of the events. Altered functioning of subcortical structures is primarily implicated
in generating paroxysmal movement disorders, although hypersynchronous
discharges have not been disproved as the basis for PMD.1
A movement disorder is a group of conditions characterized by
alteration in normal motility, posture or tone, alone or in combination. Usually
associated with abnormalities of the basal ganglia and their connections and
occur in several different neurological disorders. Abnormal movements can be
the main or initial features of disease or they can occur as a late manifestation. 2
Sometimes it is difficult to differentiate other paroxysmal events such
as epilepsy from a movement disorder. Brief paroxysmal stereotyped events are
the cardinal feature in both epilepsy and paroxysmal movement disorders.3
References
1. Peeraully T., Kaji R., Tan EK. 2014. The borderland between epilepsy
and movement disorders. In: Jankovic J., Poewe W. eds. Movement
disorders in neurologic and systemic disease. Cambridge UnivPress.
333-47
2. Mauricio R. Delgado MR., Albright AL. 2003. Movement Disorders in
Children: Definitions, Classifications, and Grading Systems. J Child
Neurol. 18: S1–S8

188 | B A N U 6
3. Fenichel GM. 2009. Movement disorders. In: Clinical Pediatric
Neurology. A sign and symptoms approach. 6th ed. Saunders Elsevier,
Philadelphia. 293-311

BAGAIMANA MEMBEDAKAN KEJANG DENGAN


GANGGUAN GERAK PADA ANAK
Anna Marita Gelgel
Pokdi Saraf Anak dan Epilepsi, Perdossi Denpasar
Departemen/KSM Neurologi FK. UNUD/RSUP. Sanglah Denpasar, Bali

Pendahuluan
Suatu bangkitan merupakan suatu letupan (burst) aktivitas neuronal
sinkron yang abnormal, bila berulang, maka akan disebut sebagai bangkitan
epileptik.
Epilepsi dibedakan dari gangguan gerak karena adanya lepas muatan
listrik iktal dan interiktal khas pada elektroensefalografi (EEG) dan kejadian
tersebut dapat menyertai bangkitan umum tonik klonik atau bangkitan yang lain.
Keterlibatan korteks merupakan faktor kunci dari bangkitan epileptik,
dengan adanya disrupsi diantara jaras korteks dan subkorteks yang
mempengaruhi semiologi bangkitan. Perubahan fungsi struktur subkorteks
secara primer berimplikasi terhadap generator gangguan gerak paroksismal,
meski lepas muatan hipersinkron tidak dapat dipungkiri sebagai dasar terjadinya
gangguan gerak paroksismal (paroxysmal movement disorder /PMD).1
Sementara itu, gangguan gerak merupakan suatu kelompok keadaan
yang ditandai oleh perubahan dalam motilitas, postur, baik secara sendirian atau
dalam bentuk kombinasi keduanya. Biasanya disebabkan oleh abnormalitas
ganglia basalis dan koneksinya yang timbul dalam beberapa gangguan
neurologi yang berbeda. Gerakan abnormal dapat menjadi gambaran utama,
gambaran awal dari sebuah penyakit atau dapat juga menjadi manifestasi akhir
dari penyakit itu sendiri.2
Kadang-kadang sulit membedakan kejadian paroksismal lainnya
seperti epilepsi dengan gangguan gerak karena kejadian stereotipik paroksismal
singkat merupakan gambaran kardinal pada kedua gangguan baik epilepsi
maupun gangguan gerak.3
Angka kejadian
Epilepsi didapatkan sekitar 0,5%-1% dalam populasi anak dan
merupakan suatu keadaan neurologis kronik paling sering. Namun data untuk

189 | B A N U 6
seberapa banyak kasus salah diagnosis antara epilepsi dianggap sebagai
gangguan gerak atau sebaliknya pada anak tidaklah diketahui secara pasti
namun dari hasil penelitian di Inggris pada kasus dewasa, dikatakan bahwa
kesalahan tersebut berkisar antara 20-30%. Kasus yang sama pada anak
mengacu pada data dewasa tersebut dengan perkiraan lebih buruk lagi
mengingat banyak kasus gangguan gerak pada anak disalah diagnosiskan
sebagai epilepsi, begitu juga sebaliknya.4,5
Etiologi
Bangkitan epileptik dan gangguan gerak sering dikatakan memiliki
penyebab yang berbeda, namun ada tumpang tindih dimana dari sudut
semiologi saja pun tidak cukup untuk membedakan keduanya yang dapat
bermanifestasi dalam beberapa kelainan tertentu, khususnya dalam
channelopathies. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam beberapa kasus ada
mekanisme genetik yang sama sebagai dasar kelainan.
Mekanisme kejadian
Berbagai mekanisme penyebab timbulnya epilepsi telah disampaikan
oleh para ahli seperti adanya defek gen pada kasus mutasi kanal ion, perubahan
fungsi sinaptik dan bagian intrinsik neuronal, mekanisme neurokimia yang
menyebabkan terjadinya peningkatan eksitabilitas serta sinkronisasi sel neuron
serta ketidakseimbangan antara system neurotransmitter glutamate dan
gamma-aminobutyric acid memegang peranan penting dalam epileptogenesis.6
Jaras dopaminergic dalam otak, termasuk mesokortikolimbik dan jaras
nigrostriatal, mempengaruhi regio kortikal yang terlibat dalam epilepsi baik
secara langsung ataupun tidak langsung melalui proyeksi talamokortikal.
Observasi pada bangkitan fokal dengan versi kepala (head version) atau distonia
iktal jarang menjadi umum, sebagai bukti tambahan dari sejumlah pemeriksaan
molekular, imajing, studi neuromodulatorik menyatakan bahwa ganglia basalis
berpengaruh dalam efek inhibitorik pada propagasi bangkitan. Terdapat bukti
bahwa agonis dopamin menurunkan bangkitan, sementara neuroleptik
meningkatkan, menurunkan aktivitas substansia nigra pars reticula, menekan
bangkitan umum.
Gangguan metabolism atau transport monoamine neurotransmitters
atau pterins (co-enzymes dalam jaras sintesis dopamin ditandai oleh epilepsi,
dimana gambaran ekstrapiramidalis adalah tremor, distonia dan koreoatetosis.
Semua bukti ini menunjukkan peran sistem dopaminergik dalam
interupsi propagasi bangkitan dengan peran ganglia basalis sebagai struktur
gerbang (gating).7
Gambaran Klinik dan penanganan.

190 | B A N U 6
Batas antara kejang dengan gangguan gerak pada anak sudah
menjadi persoalan pelik sejak lama. William Richard Gowers pada tahun 1907
sudah membahas tentang hal ini yang dia sebut sebagai “borderland of
epilepsy” yakni sebuah gangguan seperti epilepsy tapi bukan epilepsi. 3 Tidak
seperti bangkitan parsial kompleks atau general, gangguan gerak secara umum
tidak mengganggu kesadaran. Walau bagaimanapun, beberapa jenis bangkitan
dapat menimbulkan sedikit perubahan kesadaran, namun dalam sejumlah kasus
gangguan gerak terkait tidur (sleep-related movement disorders), pasien juga
tak dapat mengingat kejadian yang dialami. Pada anak dengan keterlambatan
tumbuh kembang, gangguan kognitif atau perubahan status mental, akan
3,7,8,9,10
semakin sulit membedakan suatu bangkitan dengan gangguan gerak.

I.Epilepsi
1.Mioklonus versus epilepsi mioklonik
Mioklonus merupakan gerakan involunter yang singkat, tiba-tiba
disebabkan oleh kontraksi otot (mioklonus positif) atau inhibisi (mioklonus
negatif). Dapat berasal dari berbagai lokasi sepanjang neuraksis; korteks,
korteks-subkorteks, subkorteks-suprasegmental, segmental dan perifer. Kedua
jenis mioklonus dan bangkitan dapat muncul setelah diffuse cortical hypoxic
injuries, neurodegenerative syndromes, ensefalitis dan toxic-metabolic disorders.
Mioklonus dapat dipresipitasi oleh sejumlah obat-obatan.
EMG penting untuk evaluasi mioklonus kortikal. Pada mioklonus
esensial, EMG burst adalah 100 millisecond range dengan asynchronous firing
diantara otot agonist dan antagonist, dan hasil EEG tak berhubungan. Namun,
pada post-hypoxic myoclonus, EMG burst adalah singkat, berakhir dalam 10-20
milidetik, khas dengan synchronous agonist dan antagonist muscle firing.
Epilepsi mioklonus bisa merupakan manifestasi sendirian atau satu dari sejumlah
tipe bangkitan dalam setting chronic seizure disorder dengan hasil EEG yang
berhubungan.
Reflex myoclonus adalah satu bentuk mioklonus kortikal, dicetuskan
oleh sentuhan atau regangan otot. Khas pada pemeriksaan neurofisiologi
dengan peningkatan somatosensory evoked potential (SEP) kortikal gelombang
parietal dan memperpanjang reflex latensi EMG ke stimulasi saraf.
Reflex myoclonic epilepsy merupakan age-dependent, idiopatik,
generalized epileptic syndrome yang tampak pada usia 2 tahun pertama
kehidupan, dengan serangan terjadi secara eksklusif setelah stimulus taktil dan
auditorik. EEG iktal menunjukkan generalized spike and wave atau polyspike and
wave discharges dengan normal interictal tracing.

191 | B A N U 6
Asam valproat, levetiracetam and klonazepam merupakan obat yang
meningkatkan transmisi GABAergic dan efektif untuk menangani gangguan
gerak mioklonik. Beberapa obat anti epileptik dapat mencetuskan mioklonus;
gabapentin, pregabalin, lamotrigine namun tidak diketahui bagaimana cara
kerjanya karena obat ini juga modulasi transmisi GABAergik. Ada spekulasi
bahwa AED yang menurunkan mioklonus mungkin tidak beraksi melalui
mekanisme GABAergik yang sama sebagaimana mereka menurunkan bangkitan.

2.Infantile spasms
Merupakan kejadian epileptik age-dependent, biasanya muncul
sebelum usia setahun ditandai khas oleh kontraksi simetris bilateral, singkat tiba-
tiba dari muskulatur aksial. EEG interiktal menunjukkan hipsaritmia, chaotic,
irregular, high voltage slow spike and wave discharges. Berbagai mutasi gen
yang melayani berbagai fungsi molekular berbeda dalam pathogenesis IS. Gen
ini menyandi faktor transkripsi terlibat dalam perkembangan ventral forebrain
dan proliferasi dan migrasi interneuron GABAergik menunjukkan fenotipe yang
termasuk gangguan gerak dan gangguan kognitif berat sebagai tambahan
dalam IS.
II.Channelopathies
Merupakan sekelompok gangguan disebabkan oleh mutasi kanal ion
yang diturunkan. Menunjukkan gejala pada kedua keadaan heterogenisitas
fenotipe dan genotype, sehingga mutasi dalam gen berbeda bisa menyebabkan
penyakit yang sama dan mutasi berbeda dalam gen sama bisa memiliki
manifestasi berbeda. Channelopathies telah menjadi center stage mentautkan
patofisiologi molekular mendasari epilepsi dan PMD ( paroxysmal movement
disorders).
Obat anti epilepstik (OAE) yang bekerja pada kanal ion dapat dipakai
untuk mengobati epilepsy dan sejumlah gangguan gerak.
1.Channelopathy epilepsies
Banyak gen kunci teridentifikasi dalam kasus idiopathic generalized
epilepsy syndrome yang menyandi (encode) kanal ion. Disfungsi kanal ion telah
dibuktikan berperan dalam kejadian epilepsi parsial. Perubahan molecular yang
terjadi, membuktikan bahwa ada perubahan dalam ekspresi kanal ion yang
berperan dalam epileptogenesis.
2.Autosomal dominant nocturnal frontal lobe epilepsy (ADNFLE)
Gangguan ini termasuk dalam kategori nocturnal paroxysmal events
yang terdiri dari epilepsy, gangguan gerak, dan gangguan tidur yang sering
tampil menjadi tantangan diagnostic. Orang dengan NFLE dan beberapa TLE

192 | B A N U 6
memiliki gejala prominent nocturnal seizures, yang dalam semiology mirip
dengan berbagai gangguan gerak termasuk periodic leg movements of sleep,
sleep bruxisms, nocturnal leg cramps dan rhythmic movement disorders, REM
behavior disorders, confusional arrousals, sleep terrors dan sleep walking. Dapat
diterapi dengan karbamazepin dan oxkarbazepin untuk focal onset seizures.
3.Benign familial epilepsy in neonates and infants (BFNC)
Merupakan autosomal dominant epilepsy syndrome ditandai oleh
afebrile seizures dengan awitan minggu pertama dalam kehidupan (first week of
life). Disebabkan oleh mutasi dalam dua gen KCNQ2 pada kromosom 20 atau
KNCQ3 dalam kromosom 8 yang menyandi voltage-dependent potassium
channel. Terganggunya potassium-dependent repolarization sehingga
menyebabkan hipereksitabilitas neuron. Epilepsi ini terjadi pada bayi dengan
tumbuh kembang normal dan hilang spontan pada usia 16 bulan.
Generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+) terjadi setelah
usia 6 tahun atau biasanya disertai afebrile generalized tonic-clonic seizures.
Dapat juga menunjukkan jenis bangkitan lain seperti, lena, miklonik, atonik dan
bangkitan parsial. Ditemukan mutase yang diturunkan secara autosomal
dominan dalam 3 gen kanal dan satu reseptor GABA, SCN1B ( chromosome 19),
SCN1A (chromosome 2), SCN2A dan GABAa (chromosome 5). Hipereksitabilitas
neuronal diakibatkan meningkatnya konduksi sodium yang masuk atau
menurunnya aksi inhibisi GABAergik.
III. Channelopathy PMDs.
1.Hyperekplexia.
Gangguan ini ditandai oleh respon startle berlebihan terhadap stimuli
auditorik, visual atau taktil. Hyperekplexia bisa mirip startle epilepsy. Bila tampak
dalam periode neonatus, bayi bisa menunjukkan hipotoni umum yang membaik
selama tidur. Symmetrical jerking keempat ekstremitas tanpa habituasi dapat
dibangkitkan dengan sentuhan pada ujung hidung dan bayi bisa mengalami
serangan tonik dengan apnea. Bentuk minor ditandai oleh respon startle tanpa
hipertonia atau mioklonus nocturnal. Mutasi gen GLRA1 penyandi alpha 1
subunit dari reseptor glycine bisa diturunkan dalam model autosomal dominant
atau recessive yang paling sering ditemukan.
2.Paraneoplastic and autoimmune conditions
Walaupun belum jelas bagaimana kompleks imun diangkut melewati
sawar darah otak, gangguan susunan saraf pusat dapat disertai dengan antibodi
terhadap kanal ion, reseptor, protein sinaptik dan target lainnya. Beberapa
gangguan paraneoplastic tidak disertai tumor.
Sejumlah gangguan paraneoplastik dan penyakit otoimun
memberikan gejala gangguan gerak dan bangkitan. Paraneoplastic

193 | B A N U 6
encephalomyelitis memberikan gejala sindrom susunan saraf pusat seperti;
ensefalitis limbik, ensefalitis batang otak, opsoclonus myoclonus dan stiff person
syndrome. Gambaran ensefalitis limbik adalah amnesia, gejala psikiatrik,
bangkitan lobus temporal.
IV. Non-channelopathy PMD
1.Paroxysmal kinesigenic dyskinesia.
Merupakan gangguan autosomal dominant dengan awitan kanak-
kanak, ditandai oleh serangan yang sering berlangsung singkat seperti chorea,
distonia, atetosis dan balismus yang diinduksi oleh gerakan atau antisipasi
gerakan. Kesadaran tidak terganggu selama episode berlangsung dan berespon
baik terhadap OAE seperti fenitoin dan karbamazepin.
2.Epilepsy dan movement disorders in sleep.
Beberapa kasus parasomnia dan jenis bangkitan berbagi semiology
klinik yang sama. Berbeda dengan beberapa sindrom epilepsi, secara umum,
bangkitan tidak terjadi secara eksklusif pada malam hari. Pada nocturnal frontal
epilepsy syndrome (NFLE), serangan sering timbul selama 30 menit pertama
waktu tidur, awitan pada tidur stadium 2. EEG iktal dan interiktal sering normal,
membuat bingung untuk gambaran kliniknya. Parasomnia tidur Non rapid eye
movement (NREM), biasanya terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja
termasuk juga, confusional arrousals, sleep terrors dan somnabulisme. Terjadi
pada slow-wave sleep selama sepertiga pertama tidur malam.
Periodic limb movement of sleep (PLMS) adalah gerakan ekstremitas
stereotipik, repetitive selama tidur NREM. Biasanya banyak terjadi pada orangtua
dan kebanyakan asimptomatik. Bisa juga tampak pada restless leg syndrome,
REM sleep behavior disorder (RBD) dan narcolepsy.
Benign sleep myoclonus of infancy (BSMI) dulu dikenal sebagai benign
neonatal sleep myoclonus, adalah fenomena non epileptic yang terjadi pada usia
1 bulan, dan menghilang pada usia 6 sampai 12 bulan. Ditandai khas dengan
repetitive myoclonic jerks dari badan dan ekstremitas yang dapat dipresipitasi
oleh goyangan and berhenti waktu bangun tidur. Anak yang terkena
perkembangannya normal dengan EEG tidak menunjukkan aktivitas epileptiform.
Sejumlah gangguan epileptik bisa mirip semiologi BSMI.
Diagnosis
Setelah melakukan observasi dan anamnesis terstruktur maka
dilakukan pemeriksaan EEG, video-EEG monitoring, EMG, polysomnography,
laboratorium metabolic, imajing, pemeriksaan DNA.
Penanganan
Dapat diberikan terapi sesuai gejala klinis dan penyakit yang
mendasari pilihan yang ada;

194 | B A N U 6
-Obat anti epilepsi
-Obat agonis dopamin
-Obat antagonis dopamin
-Deep brain stimulation
-Terapi gen
Kesimpulan
Epilepsi dan PMD merupakan gangguan dimana keduanya bersifat
paroksismal dalam asal muasal penyakitnya, sering dengan semiologi yang sama
dan berbagi jaras molekular umum yang sama juga. Walaupun diperkirakan
mempunyai kelompok yang berbeda namun gangguan ini dapat mewakili satu
keterkaitan. Menguasai pengetahuan proses molekular yang mendasari dengan
baik maka akan membentuk strategi pengobatan dengan target lebih baik,
termasuk pemakaian DBS untuk berbagai sindrom epilepsi dan manipulasi
agonis D2 serta antagonis D1.
Prominence channelopathies memberikan kesempatan terapi yang
nyata. Perkembangan ion channel activators atau facilitators akan memampukan
penguatan arus atau mengizinkan modifikasi channel gating yang menyebabkan
aktivasi lebih cepat, deaktifvasi lebih lambat atau mengubah voltage
dependence. Tidak seperti terapi agonis dan antagonis, terapi dengan target
tersebut tidak akan menyebabkan perubahan dalam kinetik memberikan respons
yang lebih baik dengan efek samping yang lebih sedikit.

Daftar Pustaka
1 Peeraully T., Kaji R., Tan EK. 2014. The borderland between epilepsy
and movement disorders. In: Jankovic J., Poewe W. eds. Movement
disorders in neurologic and systemic disease. Cambridge UnivPress.
333-47
2 Mauricio R. Delgado MR., Albright AL. 2003. Movement Disorders in
Children: Definitions, Classifications, and Grading Systems. J Child
Neurol. 18: S1–S8
3 Fenichel GM. 2009. Movement disorders. In: Clinical Pediatric
Neurology. A sign and symptoms approach. 6th ed. Saunders Elsevier,
Philadelphia. 293-311
4 Aaberg KM., Gunnes N., Bakken IJ., Soraas CL., Berntsen A., Magnus P.,
Lossius MI., Stoltenberg C., Chin R., Suren P. 2017. Incidence and
prevalence of childhood epilepsy: A Nationwide Cohort Study.
Pediatrics.139(5):1-9
5 Nice. 2002. Costs of epilepsy misdiagnosis. Avail. from;
https://www.nice.org.uk

195 | B A N U 6
6 Engelborghs S., D’Hooge R., Deyn PP De. 2000. Pathophysiology of
epilepsy. Acta Neurol. Belg. 100:201-13
7 Singer HS DL., Mink JW., Gilbert DL., Jankovic J. 2016. PMD.
In:Movement disorders in childhood. 2nd ed. Elsevier. 82-98
8 Henry TR. 2012. Seizures and epilepsy: Pathophysiology and Principles
of Diagnosis. Hospital Physician Board Review Manual. Epilepsy vol 1
9 Singer HS DL., Mink JW., Gilbert DL., Jankovic J. 2016. Developmental
movement disorders. In:Movement disorders in childhood. 2nd ed.
Elsevier. 7-76
10 Singer HS DL., Mink JW., Gilbert DL., Jankovic J. 2016. Movement
disorders in autoimmune diseases. In:Movement disorders in
childhood. 2nd ed. Elsevier. 410-21

196 | B A N U 6
Common and specific EEG Finding in specific epileptic syndromes especially in
children epilepsy
AAA Meidiary
Bagian/SMF Neurologi
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Abstract
Electroencephalography (EEG) is the electrical study of brain
activity. EEG used on humans to examine electrical activity within the brain’s
cortical grey matter1 and it was later discovered that aberrant cortical activity
is seen in many neuro-pathologies. It is especially relevant in seizure
disorders, in particular epilepsy. Normal EEG does not exclude the diagnosis
of epilepsy and an abnormal EEG does not, in itself, establish a diagnosis of
epilepsy. With a definite diagnosis of epilepsy, EEG helps to classify seizure
type or the associated epileptic syndrome. Specific EEG finding in specific
syndrome epilepsy help us to diagnose and manage epilepsy.
Key word: EEG, epilepsy syndrome

I. Pendahuluan
Electroencephalography (EEG) merupakan alat untuk merekam
aktivitas listrik otak. Alat ini pertama digunakan pada manusia oleh psikiater
Jerman Hans Berger tahun 1929 untuk memeriksa aktivitas litrik otak.
Sebelum ditemukan CT scan dan MRI, EEG digunakan untuk banyak kasus
seperti epilepsi, tumor intra kranial, stroke, trauma serebri, ensefalitis dan
kasus-kasus penurunan kesadaran serta untuk menentukan mati otak.
Dengan ditemukannya alat imaging yang lain, penggunaan EEG terutama
pada kasus epilepsi.1
II. Neurofisiologi EEG
Untuk mencatat aktivitas listrik otak tidak perlu membuka kepala untuk
memasang sensor tetapi dengan meletakkan sensor yang disebut elektroda

197 | B A N U 6
pada permukaan kulit kepala. Gelombang EEG berasal dari sumasi potensial
post sinaptik sel pramid lapisan dalam korteks. Otak mengandung sekitar
100 miliar neuron yang saling berhubungan. Neuron mengandung badan sel
dan satu atau lebih dendrit yang berakhir pada sinaps. Pada sinaps terjadi
aktivitas inhibisi dan eksitasi impuls antara dua neuron. Transmisi sinaps
dicetuskan dengan pelepasan neurotransmitter yang menimbulkan
perubahan voltase membran sel. Aktivitas sinaps membuat lapangan elektrik
yang disebut postsynaptic potential. Post synaptic potential dari satu neuron
terlalu kecil, karena itu untuk dapat dikenali lapangan elektrik yang
terbentuk merupakan gabungan potensial post sinaps 1000 atau lebih grup
neuron.3 Pada kenyataannya tidak semua lapangan elektrik yang dibentuk
otak cukup kuat untuk melewati jaringan, tulang dan permukaan kulit.
Penelitian menyebut aktivitas listrik terutama yang berasal dari neuron
piramidal dapat tercatat di permukaan kulit.2 Sel neuron pyramidal
ditemukan pada semua lobus otak (paretal, temporal, oksipital dan frontal)
dan sumasi post sinaps sel tersebut menimbulkan gelombang EEG yang
tercatat pada permukaan kulit kepala.2

Gelombang EEG yang dijumpai dapat berupa:3

III. Indikasi EEG


Elektroensefalografi (EEG) merupakan alat penunjang diagnosis
yang penting di bidang neurologi khususnya neurologi anak. Abnormalitas
EEG ini dijumpai pada semua penyakit neurologi yang melibatkan korteks.
EEG ini berguna untuk menentukan lokasi kelainan tetapi tidak spesifik dan
(1)
tidak dapat membuat diagnosis pasti Gambaran abnormal EEG berupa
spike atau sharp wave pada penderita epilepsy juga bisa dijumpai pada

198 | B A N U 6
kondisi selain epilepsy. Karena itu adanya gambaran epileptiform discharges
tidak secara absolut mendiagnosis suatu epilepsy. Gambaran EEG normal di
sisi lain tidak menghilangkan kemungkinan menderita epilepsy. EEG dapat
menegakkan diagnosis suatu bangkitan hanya bila manifestasi klinis terjadi
bersamaan dengan electrographic discharges .1
Elektroensefalografi merupakan komponen utama untuk
mengevaluasi epilepsi. EEG memberikan informasi penting tentang irama
latar belakang, gelombang epileptiform dan diperlukan untuk diagnosis
sindrome epilepsi yang spesifik. Diagnosis seperti ini memberi informasi
penting tentang prognosis, pemilihan obat anti epilepsy dan kapan waktu
yang tepat untuk menghentikan obat anti epilepsy. EEG merupakan salah
satu komponen yang diperlukan untuk klasifikasi syndrome epilepsy seperti
diperlihatkan pada tabel 1.
Tabel 1. Features Used to Classify Epileptic Syndromes (1)
Seizure Type(s)
Partial onset
Simple, complex, secondarily generalized
Generalized onset
Absence, tonic, tonic-clonic, atonic, myoclonic
Specific
Spasms, gelastic, others
Cluster of Signs and Symptoms Customarily Occurring Together
Age of onset
Etiology
Anatomy
Precipitating factors
Severity: prognosis, benign or malignant
EEG, both ictal and interictal
Duration of epilepsy
Associated clinical features
Chronicity
Diurnal and circadian cycling
----------------------------------------------------------------------------------
IV. Gambaran EEG pada sindrom epilepsi spesifik
Sindrom epilepsi yang spesifik sering dimulai pada onset anak-
anak dan berlangsung sampai dewasa. Pembicaraan akan dimulai dari
sindrom epilepsi general dan dilanjutkan sindrom epilepsi fokal.
A. Generalized epilepsy syndrome
1. Absence epilepsy

199 | B A N U 6
Bangkitan utama berupa dialeptic seizure yaitu bangkitan non
motorik, bisa berupa bengong yang berlangsung beberapa detik namun
sering. Bangkitan mulai umur 6 – 7 tahun dan puncak pada 10 dan 12 tahun.
Bisa mengalami remisi secara spontan. Dan bila berlanjut sampai dewasa,
dapat menjadi bangkitan tonik klonik. Predisposisi herediter. Pemeriksaan
klinis neurologi dan neeuromaging normal. Gambaran EEG berupa
Generalized spike wave complex.4

Gambar A.1. 3 Hz spike wave complex generalized

2. Juvenile Myoclonic Epilepsy


Bangkitan utama berupa generalized myoclonic seizure pada
kedua bahu. Terutama pada pagi hari dan bertambah dengan sleep
deprivation. Gambaran EEG berupa generalized polyspike dan generalized
spike and wave complex.
Gambar A. 2. Polyspike generalized

200 | B A N U 6
3. Lennox Gastaut syndrome
Lennox Gastaut syndrome (LGS) adalah penyakit yang berat,
dengan bangkitan campuran, tonik, atonik dan mioklonik dan dijumpai
adanya retardasi mental. Onset mulai umur 1 sampai 8 tahun. Dijumpai
defisit neurologis dan abnormalitas neuroradiologi. Pada EEG dijumpai slow
spike wave complex (SSWC) dimana frekuensi spike 1,5 – 2,5 HZ dengan
slow back ground (Gambar A. 3).1
4. Grandmal epilepsy
Grandmal epilepsy mulai pada dekade kedua kehidupan.
Bangkitan berupa generalized tonic clonic seizure yang sering muncul pada
jam pertama bangun tidur. Dapat dicetuskan dengan sleep deprivation.
Pemeriksaan neurologis dan imaging normal. Gambaran EEG interictal
berupa generalized spike and wave complex (Gambar A.4)
Gambar A. 3. Slow spike wave complex

201 | B A N U 6
Gambar A. 4. Spike wave generalized

5. West’s syndrome /Infantle Spasme (IS)


Merupakan suatu sindrom epilepsi yang ditandai dengan
bangkitan myoclonic atau tonic, gambaran EEG hypsarrhytmia dan retardasi
mental. Dijumpai pada tahun pertama kehidupan, onset umur 3 bulan. IS
dibedakan menjadi idiopatik, simptomatik dan kriptogenik. EEG interiktal
menunjukkan gambaran hypsarrhytmia yatu perlambatan voltage tinggi,
tidak ritmik (irregular/background disorganized), dengan spike/sharp wave
multiregional. EEG interictal menunjukkan electrodecremental dimana
hypsarrhytmia diikuti flattening (Gambar A.5).1
Gambar A.5: Hypsarrhytmia generalized. EEG Seizure generalized. Epileptic
spasme.

B. Focal epilepsy syndrome

202 | B A N U 6
1. Benign epileptiform discharges of childhood (BEDC)
Merupakan epilepsi pada anak yang paling sering dan prognosis
baik. Onset umur 1 – 14 tahun. Gambaran klinis Unilateral facial sensory
motor symptom, oropharyngeal manifestation, speech arrest,
hypersalivation. Bila ada tonic clonic seizure disebut rolandic epilepsy.
Gambaran EEG berupa sharp and slow wave complex pada daerah C3 – C4.

Gambar B.1. BEDC temporocentral kiri


2. Temporal lobe epilepsy
Manifestasi klinis berupa bangkitan fokal complex yaitu motor
arrest, automatism, amnesia, post ictal confusion durasi 1 menit. Bisa
berlanjut menjadi secondary GTCS. Gambaran EEG pada lateral temporal
lobe epilepsy (LTLE) yaitu spike/sharp wave pada middle dan posterior
temporal (T3 – T5 dan T4 dan T6). Pada Mesial Temporal Lobe epilepsy
(MTLE) gambaran EEG berupa spike dan sharp wave pada temporal anterior
(F7-F8 atau T1-T2).
3. Frontal lobe epilepsy
Gambaran EEG pada frontal lobe epilepsy bisa berupa spike/
sharp wave di frontal. Pada mesial frontal lobe epilepsy gambaran spike
wave dijumpai pada Cz, C3, C4.
V. Ringkasan
EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk
menegakkan diagnosis sindrom epilepsi karena dapat menunjukkan
gambaran yang spesifik pada sindrom epilepsi yang juga spesifik.

Daftar Pustaka
1. Riviello JJ. Pediatric EEG Abnormalities In The Clinical Neurophysiology
Primer. Edited by A.S .Blum and S.B Rutkove. Humania Press
Inc,Totowa,NJ

203 | B A N U 6
2. Erik K, Lauren C: Electroencephalography (EEG): An Introductory Text
and Atlas of Normal and Abnormal Findings in Adults, Children, and
Infants.
3. EEG Pocket guide © 2016, iMotions.

204 | B A N U 6
Diet Ketogenik pada Epilepsi Pediatri
dr. I.G.A.M. Riantarini, Sp.S
Siloam Hospital, Bali

Abstrak
Angka insiden epilepsi tertinggi pada tahun pertama kehidupan,
disaat pertumbuhan maksimal dari otak. Pada sepertiga kasus epilepsi menjadi
bagian dari ensefalopati dimana aktivitas epileptik itu sendiri akan mengganggu
fungsi kognitif dan tingkah laku penderita serta sulit dikontrol dengan
farmakoterapi. Strategi berikutnya dari penanganan epilepsi intraktabel adalah
terapi diet sebelum pembedahan. Terapi diet yang dikenal sejak lampau untuk
penderita epilepsi adalah diet ketogenik (DK).
Diet ketogenik adalah diet yang mengutamakan asupan lemak yang
tinggi dengan protein secukupnya dan karbohidrat seminimal mungkin. Hasil
dari DK yaitu badan keton (asam asetoasetat, beta hidroksi-butirat dan aseton)
merupakan sumber energi pengganti glukosa bagi otak yang poten
meningkatkan ambang kejang selain efek neuroprotektor. Diet ketogenik dapat
diberikan di seluruh belahan dunia, pada semua kelompok usia, tanpa
memandang jenis epilepsi/sindrom epilepsi sesuai dengan indikasi dan
kontraindikasinya. Beberapa jenis epilepsi pada pasien pediatrik yang termasuk
dalam ensefalopati epileptik dan kemungkinan menjadi intraktabel terhadap
farmakoterapi adalah sindrom Ohtahara, spasme infantile, sindrom West,
sindrom Lennox-Gastaut, tuberosklerosis kompleks, bahkan dengan kelainan
metabolik seperti glucose transporter-1 deficiency, pyruvate dehydrogenase
complex (PDHC) deficiency, dan mitochondrial respiratory chain complex
deficiency. Pada kondisi tersebut penting untuk lebih agresif dalam
penanganannya untuk mengontrol kejang dan mengoptimalkan perkembangan
kognisi secara bersamaan. Telah banyak studi membuktikan efikasi dan
tolerabilitas dari DK yang cukup baik. Hampir 15% dari pasien yang
mendapatkan DK menjadi bebas kejang dan lebih dari 50% pasien mengalami
pengurangan frekuensi kejang >50%, sehingga dapat mengurangi penggunaan
OAE. Efek samping yang terjadi dalam jangka pendek (keluhan gastrointestinal
seperti mual, konstipati) sebagian besar dapat ditolerir/tidak berarti dan efek
jangka panjang dapat dicegah dengan pemberian suplemen sejak memulai DK.
Di negara Indonesia, penggunaan DK masih sangat kurang karena
klinisi masih banyak yang belum menyadari manfaat, tehnik atau cara
mengerjakannya. Dengan berpikir positif akan manfaat DK pada pasien epilepsi
dan mulai mengerjakannya pada usia pasien sedini mungkin akan membantu
menyelamatkan sumber daya manusia bangsa kita.

205 | B A N U 6
Daftar Pustaka
1. Berg AT, Berkovic SF, Brodie, MJ, et al. Revised terminology and concepts
for organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE commission
on classification and terminology, 2005-2009. Epilepsia 2010;51(4): 676-685.
2. Nordli DR, Kuroda MM, Carr.oll J, et al. Experience with the ketogenic diet
in infants. Pediatrics Vol.108 no1. July 2001
3. Dressler A, Trimmel-Scwahofer P, Reithofer E, et al. The ketogenic diet in
infants-advantages of early use. Epilepsy Research 2015;16: 53-58.
4. van der Louw E, van der Hurk D, Neal E, et al. Ketogenic diet guidelines for
infants with refractory epilepsy. European Journal of Paediatric Neurology
2016;20:798-809.
5. Kang HC, Chung DE, Kim DW, et al. Early- and late-onset complications of
the ketogenic diet for intractable epilepsy. Epilepsia 2004;45:1116-1123.
6. Eun SH, Kang HC, Kim DW, Kim HD, Ketogenic diet for the treatment of
infantile spasm. Brain Dev. 2006;28:566-571.
7. Payne ET, Zhao XY, Frndova H, et al, Seizure burden is independently
associated with short term outcome in critically ill children. Brain
2014;137:1429-1438.
8. Vehmeijer FOL, van der Louw E, Arts WFM et al, Can we predict efficacy of
the ketogenic diet in children with refractory epilepsy?. European Journal
of Paediatric Neurology 2015; 19:701-705.
9. Paleologou E, Ismayilova N, Kinali M, Use of the ketogenic diet to treat
intractable epilepsy in mitochondrial disorder. Journal of Clinical Medicine
2017; 6,56 :doi:10.3390/jcm6060056
10. Felton EA, Cervenka MC. Dietary therapy is the best option for refractory
nonsurgical epilepsy. Epilepsia 2015; 56(9): 1325-1329.
11. Kang HC, Lee YM, Kim HD, Lee JS, and Slama A, Safe and effective use of
the ketogenic diet in children with epilepsy and mitochondrial respiratory
chain complex defects. Epilepsia 2007; 48 (1): 82-88.
12. Thammongkol S, Vears DF, Bicknell-Royle J, et al, Efficacy of the ketogenic
diet: which epilepsies respond?. Epilepsia 2012; 53 (3): e55-e59.
13. Caraballo R, Noli D, Cachia P, Epilepsy of infancy with migrating focal
seizures: three patients treated with the ketogenic diet. Epileptic Disorder
2015; 17(2):194-7.
14. Nelson GR, Management of infantile spasms. Transl Pediatr 2015; 4(4): 260-
270.

206 | B A N U 6
15. Hong AM, Turner Z, Hamdy RF, Kossoff EH, Infantile spasms treated with
the ketogenic diet: Prospective single-center experience in 104 consecutive
infants. Epilepsia 2010;51(8) : 1403-1407.

1. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in Children:


Evidence Based Case Report

A.A. Yuniari1, A.F. Priarti1, A.A. Mahardika2


1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Introduction: Febrile seizure happened mostly in children aged 6 months to 5


years. Some cases of febrile seizure have develop to epilepsy in the future and
concern has been raised whether getting febrile seizure is a greater risk to
develop an epilepsy. This evidence based report aims to evaluate the risk in
patients who had febrile seizure to develop to epilepsy in the future.
Methods: The search was conducted on PubMed®, EBSCO®, and Cochrane®
using the search tools containing keywords risk, develop, epilepsy, febrile seizure
with synonyms and related terms.
Results: Four studies are included after meeting eligible criteria for this report.
Study Cansu A, et al. suggested that simple febrile seizure (OR 4.04; 95% CI:
2.22-7.46) and complex febrile seizure (OR 21.97; 95% CI: 9.24-55.80) can
increase the risk of getting epilepsy. Two Studies by Daoud AS, et al. and Tripathi
M, et al. also has shown the increase of risk in getting epilepsy for patients who
suffered febrile seizure. One cohort study by Vastergaard M, et al. (OR 5.43; 95%
CI: (5.19- 5.69) also indicates the elevation of the risk in epilepsy.
Discussion: Study by Cansu A, et al. show the bigger risk in patient who got
complex febrile seizure to develop epilepsy. Study by Daoud AS, et al. and
Tripathi M, et al. suggested the increased risk on developing epilepsy but both
studies did not classify the febrile seizure. The study by Vestergaard M, et al.
suggested that febrile seizure may increase risk of epilepsy in the future with
4.31% of patient who had febrile seizure develop an epilepsy case.
Conclusion: Episode of febrile seizure in children can increase the risk of epilepsy,
the risk may be bigger in children who had complex febrile seizure compared to
simple febrile seizure.

Keywords: risk, develop, epilepsy, febrile seizure

207 | B A N U 6
2. Risk on Developing Epilepsy After Having Episode of Febrile Seizure in Children:
Evidence Based Case Report
A.A. Yuniari1, A.A. Mahardika2, R.A. Soebardi3
1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta
3
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, RSCM, Jakarta

Latar belakang: Cerebral Palsy (CP) merupakan disabilitas kronik motorik yang
paling sering dijumpai pada anak. Menurut data dari Centers for Disease Control
and Prevention (CDC), prevalensi CP mencapai 1,5 sampai 4 per 1000 kelahiran
hidup. Nyeri dan spasme yang dirasakan pasien CP membuat keterbatasan
dalam bergerak. Oleh sebab itu, pasien CP dapat mengalami kontraktur karena
adanya pembatasan gerak spontan. Mengurangi spastisitas otot dapat
mencegah adanya kontraktur. Obat golongan benzodiazepine dapat digunakan
karena murah, efektif, dan dapat ditoleransi dengan baik sebagai obat pelemas
otot.
Metode: Penelusuran literatur dilakukan pada tiga database yaitu Pubmed,
Cochrane, dan EBSCO menggunakan kata kunci cerebral palsy, diazepam,
clonazepam, benzodiazepine, dan spasticity.
Hasil: Pada akhir penelusuran literatur didapatkan dua artikel randomized control
trial (RCT) yang dianggap cukup sesuai untuk ditelaah lebih lanjut. Studi Dahlin,
et al. validitasnya dinilai tidak cukup baik. Nilai kepentingan dari kedua artikel
tidak dapat dinilai karena tidak mempresentasikan hasilnya dengan jelas. Pada
studi pertama diperoleh berkurangnya tahanan spastik pada semua kecepatan di
kelompok yang diberi clonazepam. Studi Mathew, et al. mendapatkan adanya
penurunan signifikan pada spastisitas.
Diskusi: Berdasarkan data yang tersedia disimpulkan bahwa validitas artikel
pertama tidak dapat dinilai karena tidak menampilkan data demografik. Selain
itu, artikel tersebut tidak menyebutkan mengenai metode intention to treat.
Pada artikel kedua metode intention to treat tidak disebutkan secara langsung,
namun pada hasil melibatkan semua sampel. Berdasarkan nilai kepentingan,
kedua artikel tidak menyajikan hasil secara jelas. Artikel pertama menunjukan
nilai mean reduction setelah injeksi sebesar 69% (p<0.001) bermakna secara
statistik namun tidak diketahui bermakna secara klinis. Sedangkan artikel kedua
menyajikan hasil menggunakan grafik dengan indikator Ashworth scale.
Berdasarkan aplikabilitas, artikel pertama memiliki kondisi yang berbeda dengan
pasien dalam kasus, sedangkan artikel kedua sesuai dengan PICO.
Kesimpulan: Belum terdapat bukti yang cukup untuk menentukan efektivitas obat
golongan benzodiazepin untuk mengurangi spastisitas pasien cerebral palsy.

208 | B A N U 6
Kata Kunci: Cerebral palsy, benzodiazepine, spastisitas
3.Case Report: Refractory Status Epilepticus
in Child with Meningoencephalitis
Fabian J. Junaidi, Saphira Evani
Karitas Hospita-Southwest Sumba, East Nusa Tenggara

Meningoencephalitis is the infection of the central nervous system by virus,


bacteria, tuberculosis, or fungus. This disease can affect everyone, especially they
who have lack of immune system like children, malnourished patients, eldery
people, and people with diseases that reduce the body's immune system
(immunocompromised). The symptoms of meningoencephalitis which often
occur are loss of consciousness, fever, headache, seizure, and behavioral
changes, with or without focal neurological deficits. Seizure that occurs in some
cases is difficult to be overcome so that it can become status epilepticus. Status
epilepticus is a neuropediatric emergency. Status epilepticus is characterized by
seizures for more than 30 minutes or repeated seizures without recovery of
consciousness between the seizures. We present a case of 1-year-old boy with
meningoencephalitis accompanied by refractory status epilepticus that was not
successfully treated with the first and second line seizure therapies. The seizure
experienced by the patient was finally stopped after given Midazolam which is
one of the third line seizure therapies. This patient was treated at Karitas
Hospital, Southwest Sumba, with all its limitations. The patient was discharged
from the hospital with improved condition without any maintenance seizure
medication.

Keywords: Status epilepticus, Meningoencephalitis, Neuropediatric

209 | B A N U 6
4.Hubungan Kadar Gula Darah Puasa saat Terjadinya Stroke
dengan NIH Stroke Scale pada Pasien Stroke Iskemik Akut
di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Hermawan Hanjaya1, Paryono2, Ismail Setyopranoto2
1
Asisten Departemen Neurologi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dan Dokter
Internsip di RS POLRI Bhayangkara Yogyakarta
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan
Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gajah Mada / RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta

Latar belakang: Hiperglikemia merupakan kejadian yang sering terjadi pada


pasien stroke iskemik, Hiperglikemia bisa terjadi pada 20-50% pasien stroke
iskemik akut. Hiperglikemia merupakan suatu hal yang berdampak buruk
terhadap luaran klinis pasien stroke iskemik, dan juga dapat memperburuk
angka kematian pasien stoke. Kadar gula darah puasa (GDP) merupakan salah
satu indikator yang praktis dilakukan di praktek klinis untuk menilai kondisi
hiperglikemia.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara kadar GDP dengan nilai NIH Sroke
Scale (NIHSS) pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di RSUP dr Sardjito
yogyakarta.
Metode: Terdapat 50 pasien stroke iskemik pada bulan Januari-Mei 2018 pada
stroke registry yang akan diteliti. Penelitian merupakan penelitian kohort
retrospektif. Kadar GDP pasien diambil saat pertama admisi di rumah sakit, dan
skor NIHSS akan dihitung saat awal dan akhir saat pasien keluar dari rumah sakit.
Hasil: Pada uji pearson ditemukan adanya hubungan lemah (r=0.1), dengan hasil
analisis yang tidak bermakna (p=0.344). Sedangkan, chi-square menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna (p=0.03), disertai dengan hubungan klinis
yang bermakna, dengan perbedaan proporsi >30%. Uji t-test pada hasil delta
NIHSS awal dan akhir tidak menunjukkan adanya hasil yang signifikan (p=0.68).
Hasil uji multivariat akan dilakukan untuk mengevaluasi faktor penganggu.
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang signifikasn baik secara statistik dan klinis
pada GDP saat serangan stroke dengan skor NIHSS yang tinggi pada pasien
iskemik akut. Namun, uji analisis yang lain tidak menunjukkan hasil yang
bermakna.

Kata Kunci: GDP, NIHSS, Stroke Iskemik Akut, Gula darah puasa

210 | B A N U 6
5.Retinopati sebagai Penanda Prognostik Gangguan Neurologis pada
Penderita Malaria Serebral yang Bertahan Hidup: Sebuah Tinjauan Sistematik
Mini
IF Gosal, A. Prabata
Rumah Sakit Permata Depok, Jawa Barat, Indonesia

Latar Belakang: Di Indonesia, setiap tahunnya telah dilaporkan adanya beberapa


juta kasus dari Malaria, dan sekitar 68% kasus, disebabkan oleh Plasmodium
falciparum. Malaria serebral merupakan komplikasi mematikan dari infeksi
Plasmodium falciparum yang dapat menyebabkan gangguan neurologis bagi
penderitanya yang bertahan hidup. Studi terbaru menunjukkan bahwa penderita
malaria serebral dengan retinopati yang bertahan hidup, lebih mungkin untuk
menderita gangguan neurologis. Kami bertujuan untuk menentukan apakah
retinopati dapat menjadi penanda prognostik gangguan neurologis pada
penderita malaria serebral yang bertahan hidup.
Metode: Kami melakukan pencarian terstruktur di beberapa sumber data,
termasuk Pubmed, Ebscohost, Ovid, dan Proquest untuk studi kohort tentang
topik ini. Kemudian, studi prognosis yang dipilih telah melalui penilaian kritis
berdasarkan penilaian kritis studi prognosis Oxford CEEBM.
Hasil: Tiga penelitian kohort prospektif yang terdiri dari 458 subjek yang
memenuhi semua kriteria inklusi, dinilai secara kritis. Gangguan neurologis yang
mungkin muncul adalah epilepsi (9-10%), neurodisabilitas baru atau pemeriksaan
neurologis abnormal (7,2-23,1%), dan gangguan perilaku yang mengganggu
(10,6%). Rasio Odds berkisar dari 31,8-37,2.
Diskusi: Satu penelitian menunjukkan hasil signifikan yang menunjukkan
hubungan retinopati dan gangguan neurologis, tetapi tidak pada dua lainnya.
Perbedaan antara hasil tersebut mungkin dihasilkan dari perbedaan lokasi,
subjek total, dan metode untuk menilai gangguan neurologis.
Kesimpulan: Temuan yang tidak konsisten dalam penelitian yang dipilih
membuat retinopati masih dapat dipertanyakan sebagai penanda prognostik
dari gangguan neurologis pada malaria serebral. Namun, hal tersebut masih bisa
menjadi penanda penting di masa depan dengan penelitian yang luas dan lebih
baik di masa depan.

Kata kunci: Retinopati, Malaria Serebral, Gangguan Neurologis

211 | B A N U 6
6.Infeksi Streptococcus suis pada Manusia dengan
Presentasi Klinis Meningitis Bakteri dan Artritis
IGM Ardika Aryasa1, Ni Made Susilawathi2, Anak Agung Ayu Suryapraba
Indradewi Karang2
1
RSU Puri Raharja Denpasar
2
SMF Neurologi, Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar

Infeksi Streptoccocus suis (S.suis) telah dikenal sebagai infeksi


zoonosis yang berkembang pada manusia dan terdistribusi secara global
terutama di Asia. Infeksi yang berhubungan dengan babi ini merupakan
penyebab utama meningitis khususnya pada mereka yang memiliki riwayat
kontak dengan babi yang terinfeksi dan olahan daging babi yang
terkontaminasi. Infeksi ini juga dapat menunjukkan presentasi klinis sebagai
sepsis, artritis septik, endokarditis dan endoptalmitis.
Kami melaporkan dua kasus infeksi S.suis dengan manifestasi
meningitis bakteri dan artritis. Kedua kasus datang ke rumah sakit dengan
keluhan demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Diagosis meningitis telah
ditegakkan dan bakteri S.suis ditemukan pada cairan serebrospinal. Keluhan
nyeri sendi dirasakan kedua pasien saat hari pertama perawatan di rumah sakit
namun bengkak pada kedua sendi dilaporkan beberapa hari setelah perawatan.
Kedua pasien diterapi dengan ceftriaxone dengang terapi adjunctive
dexametason. Pasien dipulangkan tanpa disabilitas. Dalam laporan ini kami
mengilustrasikan faktor risiko, presentasi klinis dan mekanisme infeksi S.suis pada
manusia.
Meskipun patogenesis yang spesifik dari infeksi S.suis belum diketahui
secara pasti, penting untuk memahami bahwa infeksi S.suis merupakan infeksi
hematogen sistemik yang dapat menunjukkan beberapa presentasi klinis.

Kata kunci: Infeksi S.suis,meningitis bakteri, artritis septik

212 | B A N U 6
7.Karakteristik Klinik dan Lokasi Tumor otak di RS Siti Khadijah Sepanjang –
Sidoarjo tahun 2015-2017
Lathifatul Fikriyah1, Muhammad Hamdan2

Latar Belakang: Tumor otak merupakan suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak
ataupun ganas, membentuk massa dalam ruang intra cranial atau di medulla
spinalis. Tumor otak merupakan penyebab kematian yang kedua dari semua
kasus kanker yang terjadi pada pria berusia 20-39 tahun. Namun di Indonesia
masih minim data mengenai tumor otak terutama di Sidoarjo.
Tujuan: untuk mengetahui karakteristik klinik dan lokasi tumor otak.
Metode dan Sampel: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan
pendekatan cross sectional. Sampel merupakan data seluruh pasien tumor otak
yang terdiagnosis secara CT Scan Kepala dengan Kontras.
Hasil Penelitian dan kesimpulan: Selama periode 2015-2017 terdapat 34 kasus.
Dari 34 kasus secara keseluruhan diketahui bahwa wanita lebih banyak terkena
tumor otak dibanding pria dengan perbandingan 1,3:1. lokasi tumor terbanyak
pada daerah frontal dengan 52,9% kasus. Gejala yang paling banyak dikeluhkan
adalah sakit kepala (82.3 %) dari 34 kasus. Ditemukan kasus tumor otak
terbanyak pada rentang usia 41-50 tahun (43 %), kemudian pada rentang usia
51-60 tahun (32%), pada rentang usia 31-40 tahun (14%) dan pada rentang usia
0-20 tahun (11%). Dapat dikatakan bahwa dari hasil penelitian, puncak kasus
tumor otak berada pada decade lima kehidupan.

Kata kunci: Karakteristik histopatologi, karakteristik klinik tumor otak.

213 | B A N U 6
8.Fahr’s Disease: A Case Series
Margaret1, Jennifer Simca1, Retno Jayantri Ketaren2, Evlyne Erlyana Suryawijaya2
1
Siloam General Teaching Hospital, Tangerang, Indonesia
2
Department of Neurology Siloam Hospitals Lippo Village, Tangerang, Indonesia

Introduction: Fahr’s Disease (FD) is a rare neurological disorder characterized by


abnormal calcified deposits in basal ganglia and cerebral cortex. The most
frequently affected area is basal ganglia, thalamus, hippocampus, cerebral
cortex, and cerebellum. The prevalence of FD is still unknown, with a higher
incidence among males and typically affects individuals in the fourth and sixth
decades of their lives. The disease can manifest as movement disorders,
cerebellar dysfunction along with psychiatric changes and cognitive impairment.
There are very limited reports on FD in Indonesia, so which lead us to the
making of this case report to improve our awareness and knowledge of FD.
Findings: We hereby report two cases from our hospital of a 87 year-old female
and 54 year-old male patient. The first patient presented with a history of
sudden stabbing headache since 2 days before admission. Neurologic
examination and cognitive assessment was normal. Brain CT Scan revealed
prominent calcifications in the basal ganglia, corona radiate and cerebellum
bilaterally. The second patient presented with a history of sudden weakness of
the left extremities and difficulty talking since the day before admission. Physical
examination showed left-sided weakness and central paralysis of the VIIth
andXIIth cranial nerve. Brain CT Scan showed diffuse calcifications in the basal
ganglia, hemisphere cerebellum bilateral, and periventricular white matter with
acute infarct on the right pons. Both patients have no history of previous
diseases and known family history of FD. Patients were treated according to their
symptoms.
Conclusion: Physicians should be aware of FD in patients with basal ganglia
calcifications, absence of metabolic cause, an infection or traumatic cause. There
are currently no specific treatments for FD but management and treatment
objective mainly focus on symptomatic relief of the patient.

Keywords: Fahr’s Disease, calcification, headache, acute stroke

214 | B A N U 6
9.Case Report: Anti-NMDA Receptor Encephalitis in A Young Woman
M.A. Limawan1, P. Susanto1, D. Imran2
1
Department of Neurology, Saint Carolus Hospital, Jakarta, Indonesia
2
Department of Neurology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Cipto
Mangunkusumo

A young woman, 17 years old, was admitted to Emergency Department with


agitation, paranoia, psychosis, and violent behaviors for about a month.
Laboratory and radiology examination (head CT-scan with contrast and head
MRI) was revealed normal. Liquor cerebrospinal examination was revealed an
increase of protein and decrease sodium cloride. Glasgow Coma Scale was 8
(E2M4V2). On hospital day 12, anti-NMDA (N-methyl D-aspartate) receptor was
positive. A highly dose of methylprednisolone is given for 5 days. An
immunotherapy with Rituximab is done two times with an interval of 1 week.
Cognitive improvement, behavior, and level of conciousness emerged with
Rituximab. The patient recovered and discharged on hospital day 24. Anti-
NMDA receptor encephalitis is not uncommon. However, clinicians should
consider anti-NMDA encephalitis in young woman with uncertain etiology,
prominent psychiatric symptoms, seizures, and/or movement disorders. Anti-
NMDA receptor encephalitis is mainly identified in young females with ovarian
tumour, malignancies, or teratoma. In this case, the patient suffered from anti-
NMDA receptor encephalitis with normal result of abdominal ultrasound and
thorax radiology.

215 | B A N U 6
10.Angka Kejadian Kasus Vertigo Vestibular di Rumah Sakit Umum Daerah
Padangan Bojonegoro, Jawa Timur Periode Januari 2018-Juli 2018
Sheila Widyariskya Firdausy
Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah Padangan Bojonegoro

Latar Belakang: Insiden vertigo di Indonesia pada tahun 2017 sangat tinggi yaitu
sekitar 50% dan vertigo vestibular merupakan keluhan ketiga yang sering
dikeluhkan penderita di praktek umum. Keluhan utama dan gejala klinis pasien
vertigo yang datang ke RSUD Padangan, Bojonegoro sangat bervariasi. Belum
ada penelitian yang membahas angka kejadian pasien vertigo vestibular di RSUD
Padangan, baik dari segi epidemiologi maupun gejala klinis.
Tujuan: Mengetahui angka kejadian pasien vertigo vestibular berdasarkan
demografi, klinis, dan etiologi di RSUD Padangan, Bojonegoro periode Januari
2018-Juli 2018.
Metode: Penelitian deskriptif retrospektif melalui telaah rekam medik pasien
neurologi di poliklinik saraf dan rawat inap di RSUD Padangan, Bojonegoro
dengan diagnosis vertigo vestibular.
Hasil: Didapatkan 30 pasien vertigo vestibular dengan rerata usia 54 tahun (SB ±
15,29), jenis kelamin laki-laki 18 pasien (60%) petani 10 pasien (33%), dan
didapatkan terbanyak 23 pasien (77%) dengan status menikah dan pendidikan
SD 10 pasien (33%).Gejala klinis pasien vertigo vestibular paling banyak dengan
keluhan utama pusing berputar 57%, keluhan otonom mual dan muntah 30%,
dan tidak ada keluhan penyerta 23%, Diagnosis klinis terbanyak pasien vertigo
vestibular adalah BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo) 53%.
Kesimpulan: Pasien vertigo vestibular dengan rerata usia 54 tahun, jenis kelamin
laki-laki, tingkat pendidikan SD, petani, dan menikah. Klinis pasien vertigo
vestibular didapatkan keluhan utama pusing berputar, keluhan otonom mual
dan muntah, dan tidak ada keluhan penyerta, dan etiologi terbanyak pasien
vertigo vestibular adalah BPPV.

Kata Kunci: Vertigo Vestibular, Gejala Klinis, Benign Paroxysmal Positional Vertigo

216 | B A N U 6
11.Gambaran Profil Lipid, Leukosit, Hematokrit, Gula Darah Acak Pada Pasien
Stroke Non-Hemoragik Rumah Sakit Santa Elisabeth - Lubuk Baja, Batam
Tommy Sarongku

Latar Belakang: Stroke merupakan salah satu dari tiga penyakit paling mematikan
di Indonesia. Dislipidemia, diabetes mellitus dan banyak faktor lainnya
berpengaruh terhadap kejadian stroke non-hemoragik.
Tujuan: Untuk menganalisis abnormalitas profil lipid, leukosit, hematokrit dan
gula darah acak pasien stroke non-hemoragik.
Metode: Kami mengumpulkan data secara retrospektif 41 pasien yang dirawat
inap di RS Elisabeth dengan stroke non hemorrhagic antara Januari-Juni 2018
yang terdiri dari 20 pasien laki-laki dan 21 perempuan. Kriteria inklusi adalah
pasien dengan stroke non-hemoragik tanpa penyakit penyerta pada paru dan
jantung yang dibuktikan gambaran elektrokardiogram normal serta rontgen
dada.
Hasil: Pemeriksaan laboratorium dengan pengambilan darah vena segera
dilakukan pada 41 pasien dengan analisa profil kolesterol total (TC), 25 dari 41
pasien > 200mg/dl (60,97%), trigliserida 35 dari 41 pasien, <200 gr/dl (85,3%),
high density lipoprotein (HDL) 25 dari 41 pasien, 35-60mg/dl (60,9%), low
density lipoprotein (LDL) 15 dari 41 pasien, 160-200mg/dl (43,9%), kadar
hematokrit 27 dari 41 pasien, 36-46% (65,8%), leukosit perifer 37 dari 41 pasien,
4-11 u/uL(90,2%), gula darah dari 24 dari 41 pasien, 140-180 mg/dl (58,5%).
Kesimpulan: Kami menyimpulkan bahwa stroke non-hemoragik berhubungan
dengan peningkatan total kolesterol, LDL, dan gula darah serum acak.

Kata kunci: Stroke non hemorrhagic, profil lipid, leukosit, gula darah

217 | B A N U 6
12.Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lokasi Nyeri Muskuloskeletal pada
Pasien Obesitas di Puskesmas Denpasar Selatan II
Luh Nyoman Ari Trisnasanti, IA Sri Wijayanti, Putu Eka Widyadharma,
Thomas Eko Purwata
Departemen/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP
Sanglah, Denpasar, Bali

Latar Belakang: Obesitas dan nyeri menjadi masalah sosial kesehatan yang cukup
penting. Lebih dari 1,9 milyar orang dewasa usia diatas 18 tahun termasuk
overweight, dimana lebih dari 650 juta diantaranya obesitas. Penderita obesitas
memiliki risiko lebih besar untuk menderita nyeri. Lokasi nyeri muskuloskletal
pada obesitas paling sering adalah di punggung bawah dan ekstremitas bawah.
Penelitian ini berbasis komunitas karena penelitian mengenai hubungan Indeks
Massa Tubuh (IMT) dengan lokasi nyeri muskuloskletal pada pasien obesitas
yang berbasis komunitas masih jarang dilakukan.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan IMT dengan lokasi nyeri muskuloskletal
pada pasien obesitas di Puskesmas Denpasar Selatan II.
Metode: Jenis penelitian yang digunakan yaitu observasional analitik dengan
metode potong lintang. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 58 sampel
yang didapat dengan teknik consecutive sampling. Data diperoleh dengan
melakukan wawancara terstruktur berdasarkan pertanyaan pada kuisioner
Hasil: Sampel didapatkan selama periode bulan Juni-Juli 2018. Kemungkinan
subyek dengan IMT kategori obesitas kelas II menjadi faktor risiko nyeri
muskuloskletal pada ekstremitas bawah 0,524 kali lebih besar dibanding obesitas
kelas I. Hasil analisis menunjukkan hasil tersebut signifikan secara statistik (OR =
0.524, 95% CI: 0.37-0.735).
Simpulan: Korelasi antara obesitas dengan lokasi nyeri muskuloskletal pada
ekstremitas bawah bermakna secara statistik.

Kata Kunci: Obesitas, nyeri muskuloskletal, ekstremitas bawah

218 | B A N U 6
13.Penyebab Dizziness pada Pasien Usia Lanjut Berdasarkan Pendekatan Secara
Neuroanatomi di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar Periode April 2018-Juli
2018
I. A. Sri Indrayani, Ni Putu Witari, Ketut Widyastuti, I Putu Sudira, I. B. Putu
Putrawan Departemen/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali

Latar Belakang: Dizziness merupakan suatu kumpulan gejala gangguan


keseimbangan yaitu sensasi dan persepsi hubungan tubuh dengan ruang yang
mempunyai gejala seperti pusing berputar (Vertigo), perasaan ringan seolah
akan pingsan (Presyncope), perasaan goyang dan tidak seimbang ketika berdiri
atau berjalan (Disequilibrium), dan rasa melayang atau mengambang (Light
headedness) yang sering menyulitkan kita dalam menentukan faktor penyebab
dan pemeriksaan lanjutan untuk megurangi resiko jatuh pada usia lanjut.
Tujuan: Untuk mengidentifikasi faktor penyebab dizziness berdasarkan
pendekatan neuroanatomi pada usia lanjut guna menentukan rencana
pemeriksaan lanjutan dan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya.
Metode: Penelitian diskriptif dengan rancang bangun potong lintang. Pasien di
poliklinik geriatri yang mempunyai keluhan dizziness dicari faktor penyebabnya
melalui catatan medis pasien untuk mengidentifikasi faktor penyebab dizziness
berdasarkan pendekatan neuroanatomi.
Hasil: Didapatkan 112 subyek terdiri dari 50 pria (44.64%) dan 62 wanita (55.35%),
jenis dizziness vertigo 32 (28.57%), presyncope 52 (46.42%), disequilibrium 19
(16.96%), Light headedness 9 (8.03%), faktor resiko kardiovaskular 51 (48.1%),
BPPV 33 (29.46%), CKD 9 (8.03%), DM 6 (5.35%) gangguan penglihatan 5
(4.46%), faktor resiko lain seperti neuropati, stress, otitis media, tumor
serebelum, dehidrasi sekitar 1.78%, gangguan reseptor berdasarkan pendekatan
neuroanatomi gangguan visual 5 (4.46%), gangguan vestibular 35 (32.40%),
gangguan proprioseptik 17 (15.18%), gangguan pada batang otak 52 (46.42%),
gangguan pada lobus temporalis 0%.
Kesimpulan: Jenis dizziness terbanyak pada usia lanjut adalah tipe presyncope
dengan penyakit dasar kardiovaskular dan gangguan reseptor terbanyak
berdasarkan pendekatan neuroanatomi terjadi pada batang otak.

Kata Kunci: Faktor penyebab dizziness, usia lanjut, neuroanatomi

219 | B A N U 6
14.Perbedaan Latensi Glombang Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP) pada
penderita Diabetes Melitus (DM) yang datang ke Poliklinik Saraf dan Poliklinik
Diabetes RSUP Sanglah Denpasar Periode April sampai Juli 2016 berdasarkan
durasi menderita DM
Gunawan SE, Arimbawa IK, Putra IGN
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah,
Denpasar, Bali

Latar Belakang: Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik komplek


yang dapat menimbulkan gangguan pada berbagai sistem organ yang
dipengaruhi juga oleh durasi penyakit. Neuropati diabetik bahkan juga
melibatkan susunan saraf pusat. Gangguan pendengaran pada jalur auditori baik
ditingkat nervus akustik dan di jalur susunan saraf pusat dapat dideteksi dengan
metode sederhana dan non invasif, yaitu Brainstem Auditory Evoked Potentials
(BAEP).
Tujuan: Mengetahui perbedaan latensi BAEP pada penderita DM berdasarkan
durasi menderita DM
Metode Penelitian: Penelitian dengan metode potong lintang terhadap 30
penderita DM rawat jalan di Poliklinik Saraf dan Poliklinik Diabetes RSUP Sanglah
periode April hingga Juli 2016. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu dengan
durasi diabetes militus 1 sampai 5 tahun dan 5 sampai 10 tahun. Dilakukan
pengukuran latensi BAEP (latensi III, V, IPL I-III, III-V, dan I-V) di kedua telinga
pada masing-masing subyek. Hasil pengukuran dianalisa dengan menggunakan
uji t tidak berpasangan.
Hasil Penelitian: Didapatkan rerata latensi BAEP gelombang V dan IPL III-V
,konsisten lebih panjang pada penderita DM dengan durasi 5-10 tahun secara
statistic signifikan (p<0,05).
Simpulan: Terdapat perbedaan latensi BAEP pada penderita DM dengan
perbedaan durasi penyakit 5 tahun dan lebih dari 5 tahun. Studi ini
menggambarkan peranan durasi penyakit terhadap gangguan pendengaran
terkait DM yang akan muncul cepat atau lambat. Metode BAEP dapat digunakan
sebagai skrining awal terhadap pasien DM untuk prognosa penyakit yang lebih
baik.

Kata kunci: brainstem auditory evoked potential, diabetes melitus, latensi


gelombang, gangguan pendengaran

220 | B A N U 6
15.HIV-Associated Neurocognitive Disorder (HAND) pada Pasien dengan HIV
tanpa Infeksi Oportunistik
Dhyatmika GP1, Widyastuti K2, Laksmidewi AAAP2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar dan Konsultan Divisi Neurobehavior Departemen Neurologi FK
UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi


epidemi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Salah satu komplikasi infeksi HIV
pada sistem saraf pusat (SSP) berupa gangguan fungsi kognitif yang disebut
HIV-associated neurocognitive disorder (HAND). Replikasi HIV dalam jangka
waktu panjang terjadi pada astrosit dan mikroglia, yang dapat menurunkan
fungsi neuronal. HAND terkait dengan aktivitas virus dan mediator inflamasi sel
imun pada SSP sehingga menyebabkan kerusakan neuron otak.
Kasus: Pasien perempuan, 28 tahun, suku Bali, mengeluh mudah lupa yang
dialami sejak 2 tahun lalu. Pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri walaupun keluhan lupa terkadang dirasakan mengganggu. Pasien
memiliki riwayat infeksi HIV sejak bulan September 2015 dengan CD4 16 sel/µl
dan mendapat terapi ARV fixed-dose combination dengan regimen tenofovir,
lamivudine, dan efavirenz. Pemeriksaan neurobehavior dijumpai atensi baik,
gangguan memori terutama new learning ability, memori tunda, asosiasi
berpasangan, gangguan visuospasial dan eksekutif, ADL dan IADL mandiri,
MMSE: 24, MoCA Ina: 14, Clock Drawing Test: 3, Trial making test A baik, Trial
making test B terganggu, International HIV Dementia Scale (IHDS): 10.5, Skala
penilaian depresi Hamilton: 15. Hasil CT Scan kepala dalam batas normal.
Diskusi: Dari hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan dalam HAND tipe
Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI). Kadar CD4 diketahui
berhubungan dengan derajat kerusakan neuron otak dan kadar CD4 nadir
rendah (≤ 200 sel/µl) merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pada
pasien dengan HIV. Pemberian terapi kombinasi ARV dapat menunjukkan
peningkatkan performa fungsi kognitif dan fungsional.
Simpulan: Infeksi HIV secara langsung pada SSP dapat menyebabkan gangguan
neurokognitif dan inisiasi pemberian terapi ARV dini merupakan usaha
pencegahan terjadinya perburukan lebih lanjut.

Kata kunci: HIV, gangguan kognitif, HAND, CD4, ARV

221 | B A N U 6
16.Disseminated Neurosysticercosis and Muscular Cysticercosis: A Rare Finding
Case Report
Hesti Heptaningrum1, Ni Made Susilawathi2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Disseminated cysticercosis is a larvae of Taenia solium found in multiple parts of


the body such as the brain, spine, eyes, muscle tissue, skin, lungs and liver.
Neurocysticercosis (NCC) is parasitic infection of the Central Nervous System
(CNS) caused by T. solium larvae. We reported a case of a disseminated
cysticercosis involving CNS and muscle tissue in a 26-year-old Timorese woman,
with chronic progressive vascular headache. Neuroimaging of the head shows
cystic lessions with intraparenchimal eccentric scolex appearance and
extracranial cystisercosis. The ELISA-based NCC serology test showed positive
results. Based on Del Brutto’s criteria, this case was a definite NCC. Patient was
treated with Albendazole 400 mg twice daily for 1 month and Dexamethasone
0.5 mg as adjuvant therapy, in which the headache improved after 2 weeks of
treatment. This case is interesting to report because it is rarely found in other
areas and is mostly found endemically in Eastern Indonesia.

Keywords: disseminated cysticercosis, neurocysticercosis, muscular cysticercosis,


rare finding, case report

222 | B A N U 6
17.Laporan Kasus Prognosis Penderita Malaria Berat dengan Klinis Malaria Serebral
Putra IBD1, Susilawathi NM2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Pendahuluan. Malaria serebral adalah suatu gejala neurologis yang berat dan
fatal dari malaria berat disebabkan infeksi parasit berbentuk sporozoa dari genus
Plasmodium yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopeles betina. Prevalensi
Malaria tahun 2013 di Indonesia adalah 6%. Malaria berat terjadi pada 5-10% dari
seluruh kasus malaria. Malaria serebral terjadi pada 11,4% dari kasus malaria
berat. Nusa Tenggara Timur memiliki insiden 6,8% dan prevalensi 23,3% pada
kasus malaria. Prognosis dari malaria dapat ditentukan menggunakan Malaria
Score for Adult (MSA).

Kasus. Perempuan, 27 tahun, suku Timor dengan ke IRD dengan keluhan tidak
sadar memberat sejak 4 hari SMRS disertai dengan demam, nyeri kepala sejak 5
hari SMRS. Kedua mata dan seluruh tubuh pasien dikatakan kuning dan muntah
sejak 5 hari SMRS. Pasien dirawat bersama interna dengan Malaria billiosa,
hipoglikemia, Acute Kidney Injury stadium III dengan asidosis metabolik, anemia
ringan, trombositopenia. Pasien dikatakan pernah menderita malaria saat masih
SD dikatakan sembuh. Pasien berasal dari Togo Manu, Sumba Barat, Nusa
Tenggara Timur. Pemeriksaan umum pada pasien didapatkan tensi 100/60
mmHg, frekuensi napas 34 per menit, denyut nadi 108 per menit, suhu 39O,
ikterus konjungtiva dan mukosa kulit. Pemeriksaan neurologis didapatkan
Glasgow Coma Scale E3V4M5 (somnolen), tidak ditemukan kaku kuduk, tanda
Kernig, Brudzinski dan defisit neurologis fokal. Malaria rapid tes positif. Hapusan
darah tepi didapatkan ring form dan gametosit Plasmodium Falsiparum +1. CT-
Scan kepala menunjukkan edema serebri. Skoring MSA didapatkan yaitu tidak
anemia berat skor 0, terdapat Acute Kidney Injury skor 2, distres napas skor 3,
malaria serebral skor 4 dengan total skor 9. Mortalitas sebesar 2% untuk skor
MSA 0 – 2, 10% untuk MSA 3–4, 40% untuk MSA 5–6 dan 90% untuk MSA 7 – 10.
Pasien mendapatkan terapi artesunat, inj 2.4 mg/kgBB pada jam ke 0 - 12 - 24 -
48 - 72 sampai 7 hari intravena, setelah perawatan selama 2 hari pasien
kemudian meninggal dengan penyebab kegagalan multi organ.

Kesimpulan. Malaria serebral merupakan kasus yang jarang ada di Bali. Skoring
dapat membantu untuk menentukan mortalitas pada suatu kasus malaria.
Skoring MSA merupakan salah satu skoring dengan tingkat sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi dan mudah digunakan karena berdasarkan gejala klinis dan

223 | B A N U 6
pemeriksaan laboratorium. Prognosis buruk pada skor MSA 7-10 dengan tingkat
mortalitas sebesar 90%.

Kata Kunci: Malaria Serebral, infeksi parasit, prognosis, MSA, mortalitas

224 | B A N U 6
18.Multidimensi dari Manajemen Epilepsi Pasca Stroke; Laporan Serial Kasus
Naryana KAS1, Gelgel AM2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Divisi Epilepsi Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Pendahuluan. Epilepsi pasca stroke (EPS) adalah kasus yang cukup sering
diterima di rumah sakit dengan prevalensi 12,4%. Tatalaksana EPS membutuhkan
perawatan jangka panjang dan biaya yang tinggi.
Kasus 1: Seorang pria 69 tahun, dengan keluhan kehilangan kesadaran setelah
mengalami bangkitan umum tonik klonik. Pasien didiagnosis status epileptikus
dengan penyebab EPS. Riwayat OAE dikonsumsi secara teratur. Pasien
mengalami stroke berulang karena hipertensi tidak terkontrol sehingga memicu
terjadinya bangkitan.
Kasus 2: Seorang pria 85 tahun, dengan keluhan bangkitan dua kali sebulan.
Pasien terdiagnosis EPS dengan terapi OAE secara teratur. Riwayat hipertensi
dan aritmia terkontrol. Pasien mengalami malnutrisi dan infeksi paru terkait
perawatan di rumah yang buruk oleh keluarga berpendidikan rendah. Akses
nutrisi melalui pipa nasogastrik. Kondisi sistemik ini kemudian memicu
bangkitan.
Kasus 3: Seorang wanita 80 tahun terdiagnosis EPS dengan bangkitan parsial.
Terapi OAE dengan carbamazepine dihentikan karena alergi. Pilihan OAE
berikutnya fenitoin, dihentikan juga karena pasien mengalami aritmia. pasien
diberikan clonazepam dan kejang terkontrol.
Diskusi. Tiga kasus EPS dengan pola bangkitan yang variatif dan bermacam
penyakit yang mendasari. Faktor risiko stroke yang tidak terkontrol
menyebabkan stroke baru yang dapat memicu bangkitan meskipun OAE telah
diberikan dengan dosis tepat. Manajemen yang tidak tepat dan ketidaktahuan
pengasuh di rumah dapat menimbulkan kekurangan gizi, infeksi paru yang
timbul karena berbaring di tempat tidur, sehingga memicu bangkitan. Kasus
terakhir menggambarkan pilihan OAE harus mempertimbangkan aspek masing
masing pasien seperti usia dan efek samping obat.
Kesimpulan. Penanganan EPS membutuhkan pendekatan komprehensif. Penyakit
dasar, aspek individu setiap pasien, dan pengetahuan pengasuh merupakan
komponen penting untuk diperhatikan.

Kata Kunci: Epilepsi Pasca Stroke, Obat Anti Epilepsi, Faktor Resiko, Penjaga
Pasien

225 | B A N U 6
19.Abscess-like Glioma pada Massa di Mesensefalon
Putri Eka Pradnyaning1, IA Sri Indrayani2, DPG Purwa Samatra2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Batang otak merupakan lokasi yang jarang untuk kemunculan
suatu massa, walaupun berbagai peyebab telah diidentifikasi dapat
menyebabkan massa di batang otak. Pada kasus-kasus tumor dan infeksi hanya
1-2% yang bermanifestasi di batang otak, dengan gejala-gejala sesuai dengan
letak lesi dan inti-inti nervus kranialis yang terkena. Pencarian etiologi untuk
menegakkan diagnosis pasti melalui biopsi terhambat oleh letak massa di
batang otak sehingga diagnosis banding masih berdasarkan modalitas
pencitraan dan laboratorium yang tersedia.
Kasus: Pasien perempuan, usia 34 tahun, mengeluh nyeri kepala sejak 7 bulan,
makin lama makin berat. Pasien juga mengeluh pandangan kabur yang makin
lama makin berat hingga hanya dapat melihat cahaya, rasa tebal pada wajah
sebelah kiri sejak 2 bulan terakhir, dan penurunan berat badan sejak 2 bulan.
Pemeriksaan neurologi didapatkan penurunan visus kedua mata, papil atrofi
sekunder kedua mata, oftalmoparesis mata kiri, dan hipestesi area nervus V2 dan
V3 kiri. MRI kepala menunjukkan adanya massa dengan ring-enhancement di
mesensefalon kiri dan hidrosefalus non komunikans akibat obstruksi massa di
ventrikel IV.
Kesimpulan: Diagnosis Dorsal Midbrain Glioma (DMG) pada pasien ditunjang
oleh klinis yang relatif stabil dalam jangka waktu relatif lama serta tidak
tampaknya tanda-tanda inflamasi baik dari pencitraan MRI kepala dan
laboratorium. Pasien perlu monitoring klinis dan kondisi massa melalui
pencitraan MRI kepala berkala. Terapi pembedahan hanya dipertimbangkan
pada kondisi perburukan secara cepat.

Kata kunci: Dorsal Midbrain Glioma, mesensefalon, abses mesensefalon

226 | B A N U 6
20.Laporan Kasus: High Grade Glioma pada Anak
Sihanto R.D.1, Thomas Eko Purwata2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Glioma merupakan tumor otak yang tumbuh dari sel-sel glial
yang paling banyak dijumpai, sekitar 50% dari tumor otak primer dibanding
tumor otak primer lainnya. Pada anak-anak 70% terletak pada infratentorial yang
berasal dari serebelum, batang otak dan mesensefalon. Insiden pada pria lebih
banyak dibanding dengan wanita dengan perbandingan 55:45. Penderita glioma
mempunyai angka harapan hidup yang rendah karena sering mengalami
resistensi terapi. Harapan hidup pada tahun ke-2 penderita high grade glioma
kurang dari 20% meskipun terapi berhasil, sering menimbulkan sekuel
neurodefisit yang signifikan.
Laporan Kasus: Pasien perempuan 15 tahun mengeluhkan nyeri kepala kronis
progresif, paresis nervus okulomotorius, troklearis dan abdusen sinestra, paresis
parsial nervus abdusen dekstra, paresis nervus fasialis dekstra supra nuklear,
ptosis sinestra, hemiparesis spastik sisi kanan, dengan diagnosis tumor serebri
primer pada daerah subkorteks lobus temporal sisi kiri berdasarkan hasil MRI
dan setelah dilakukan reseksi tumor dengan kraniektomi didapatkan hasil high
grade glioma sehingga pasien dilakukan kemoterapi dan radioterapi.
Diskusi: Tatalaksana pasien dengan high grade glioma adalah kombinasi dari
reseksi tumor, radioterapi dan kemoterapi. Terapi bedah bukan merupakan
tindakan kuratif melainkan bertujuan untuk meningkatkan harapan hidup yang
lebih lama dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Peran radioterapi untuk
memperpanjang durasi untuk hidup serta kemoterapi secara khusus fokus pada
agen kloroetil seperti carmustine (BCNU) atau lomustine (CCNU). Hasil terbaik
jika radioterapi dilakukan setelah tindakan bedah dilakukan.
Kesimpulan: Harapan hidup high grade glioma meningkat bila dilakukan terapi
bedah, kemoterapi dan radioterapi meskipun menimbulkan sekuel.

Kata Kunci: high grade glioma,harapan hidup, neurodefisit

227 | B A N U 6
21.Laporan Kasus: Perdarahan Subaraknoid dan kehamilan
I.G.A. Aria Tristayanthi1, I.B. Kusuma Putra2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Latar Belakang: Perdarahan subaraknoid pada kehamilan jarang terjadi,


dilaporkan terjadi pada 1 per 10.000 kehamilan. Diperlukan penegakkan diagnosa
yang baik untuk pemilihan terapi tepat untuk menurunkan angka kematian pada
ibu dan janin.
Laporan Kasus: Perempuan,33 tahun, mengeluhkan nyeri kepala hebat diseluruh
kepala yang mendadak, pasien sedang hamil 25 minggu. Pemeriksaan
ditemukan kaku kuduk. Tidak ditemukan kelainan neurologi fokal. Hasil CT scan
normal. Tes tiga tabung cairan serebrospinal darah. Pada CT Angiografi
ditemukan aneurisma pada arteri cerebri anterior kanan dan arteri superior
carotid sifon. Pengobatan dilakukan secara konservatif hingga janin cukup bulan.
Diskusi: Penegakkan diagnosis dengan CT Angiografi lebih dipilih pada pasien
dengan kehamilan. Terapi secara konservatif hingga bayi cukup bulan. Apabila
diperlukan operasi Caesar dapat dilakukan. Diagnosa dan terapi yang baik akan
menurunkan angka kematian pada bayi dan janin.
Kesimpulan: Angka kematian pada ibu dan janin dengan perdarahan
subaraknoid menurun bila dilakukan terapi yang cepat.

Kata Kunci: perdarahan subaraknoid, kehamilan, nyeri kepala

228 | B A N U 6
22.Laporan Kasus: Neurosistiserkosis mimicking Tumor Serebri
Winda Arista Haeriyoko1, Ni Made Susilawathi2, A.A. Raka Sudewi2, IGN Purna
Putra2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Pendahuluan. Neurocysticercosis (NCC) adalah infeksi parasit pada otak yang


disebabkan oleh larva dari Taenia sollium dalam bentuk kista. Manifestasi klinis
NCC bervariasi dari infeksi asimtomatik hingga kondisi berat ang mengancam
nyawa. Gejala klinis yang utama adalah seizure epilepsi (66-90%), sakit kepala,
gejala saraf, gangguan penglihatan, hydrocephalus, meningitis kronis, dan
encephalitis serta nodul pada otot. Epilepsi akan muncul apabila sistiserkus
terdapat dalam jumlah yang cukup banyak dapat mencapai sistem saraf pusat
dan setelah mengalami pengapuran, sehingga kadang-kadang gejala baru
muncul 20 tahun setelah infeksi.
Laporan Kasus. Pasien pria berusia 61 tahun dengan keluhan nyeri kepala berat
disertai dengan mual dan muntah. Pasien juga mengalami kejang degan tipe
bangkitan umum tonik klonik, penurunan berat badan dengan nyeri dan nodul
kehitaman pada kulit. Saat awal datang, pasien sempat didiagnosa dengan
kecurigaan tumor serebri. Pasien melakukan pemeriksaan CT Scan kepala dan
MRI kepala dengan kontras tampak adanya gambaran massa pada lobus
frontalis kiri dan intraventrikel lateralis kanan. Pasien dilakukan pemeriksaan USG
abdomen atas bawah dan bone survey untuk menyingkirkan kemungkinan
metastase. Pada pemeriksaan bone survey ditemukan larva sistiserkosis multipel
di soft tissue. Setelah dilakukan pemeriksaan diagnostik, pasien mendapat terapi
albendazol selama 1 bulan dan levetiracetam hingga saat ini. Pasien akan
melakukan MRI kepala ulang untuk evaluasi terapi.
Kesimpulan. Diagnosis sistiserokis perlu dipertimbangkan pada kasus kejang
dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan nodul pada kulit terutama
bagi pasien yang berasal dari daerah endemis atau pernah bepergian ke daerah
endemis. MRI kepala lebih sensitif dibandingkan CT kepala dalam mendeteksi
sistiserkosis intraparenkimal. Penanganan sistiserkosis intraparenkimal dan
ekstraparenkimal cukup dengan medikamentosa tanpa terapi pembedahan.

Kata kunci: sistiserkosis, intraprenkimal, ekstraparenkimal

229 | B A N U 6
23.Afasia Selektif pada Pasien Multilingual sebagai Gejala Transient Ischemic
Attack
Pristanova Larasanti1, AAA Putri Laksmidewi2
1
PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
2
Staf Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
Pendahuluan: afasia selektif adalah gangguan pada satu atau lebih bahasa pada
individu yang bilingual atau multilingual. Gangguan bisa melibatkan semua
bahasa yang dikuasai atau hanya satu/beberapa bahasa saja, biasanya dengan
derajat yang berbeda. Bahasa ibu tidak selalu intak dalam kasus afasia selektif.
Gejala klinis yang tidak khas juga sering dirancukan dengan histeria.
Kasus: wanita, suku Bali, 53 tahun, datang dengan keluhan gangguan berbicara
mendadak dimana pasien hanya bisa berbahasa Inggris, dan tidak bisa berbicara
dalam bahasa ibunya (bahasa Indonesia dan bahasa Bali). Ditemukan non-
fluensi, anomia, gangguan repetisi, gangguan membaca dan menulis pada
bahasa ibu, dengan pemahaman yang intak, sementara fungsi bahasa Inggris
tidak terganggu. Skala depresi Hamilton normal. Hasil CT-scan kepala dalam jam
pertama setelah awitan adalah normal. Ibu kandung pasien memiliki riwayat
yang sama saat menderita serangan stroke. Gejala pasien membaik dalam 12
jam, dan pasien didiagnosis dengan Transient Ischemic Attack dengan afasia
selektif.
Diskusi: Gejala ini sesuai dengan laporan kasus oleh Silverberg dan Gordon
dimana pada pasien dengan infark akut regio temporal kiri ditemukan bahasa
ibu mengalami gangguan lebih berat. Hal ini mungkin dijelaskan oleh teori yang
menyebutkan satu area semantik yang sama bertanggungjawab untuk
memberikan konsep yang sama mengenai kata-kata dalam berbagai bahasa
yang memiliki arti yang sama, meskipun area yang bertanggungjawab untuk
menyimpan kata-kata ini berbeda. Meskipun pada kasus ini pencitraan belum
bisa membantu menegakkan etiologi, namun awitan akut dan faktor resiko
vaskuler berupa umur dan merokok, dan adanya riwayat keluarga, menaikkan
TIA sebagai diagnosis kerja.
Kesimpulan: Mekanisme bahasa bilingual atau multilingual masih belum jelas
sehingga gambaran klinis afasia selektif adalah beragam dan sering dikelirukan
sebagai histeria. Bahasa ibu tidak selalu intak. Diagnosis bisa ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik dan tes fungsi berbahasa yang lengkap serta bukti
adanya suatu lesi korteks pada otak dan menyingkirkan faktor psikis atau histeria
sebagai penyebabnya.

Kata kunci: afasia selektif, multilingual, transient ischemic attack

230 | B A N U 6
24.Profil Penderita Miastenia Gravis di Poli Saraf RSUP Sanglah tahun 2016-2017
Kelvin Yuwanda*, Komang Arimbawa**, IGN Purna Putra**
*PPDS Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
**Staff Pengajar Departemen Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar

Latar Belakang : Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun dimana


antibodi berikatan dengan reseptor asetilkolin atau molekul yang berperan
fungsional pada membran post sinaps di taut saraf otot. Angka insidens tahunan
miastenia gravis berkisar 8-10 kasus per 1 juta orang. Belum ada penelitian yang
membahas karakteristik penderita MG di Bali pada umumnya dan RS Sanglah
pada khususnya, baik dari segi epidemiologi, gejala klinis maupun dari hasil
pemeriksaan penunjang khususnya repetitive nerve stimulation (RNS).
Metode : Studi deskriptif potong lintang pada subyek dengan miastenia gravis di
poli saraf RSUP Sanglah pada periode Januari 2016-Desember 2017.
Pengambilan sampel penelitian menggunakan non-randomized sampling jenis
konsekutif. Subjek dikatakan mengalami miastenia gravis berdasarkan klinis.
Hasil Penelitian : Berdasarkan 24 subjek dengan miastenia gravis yang datang ke
poli saraf RSUP Sanglah periode januari 2016-Desember 2017 terdapat 6 subjek
laki-laki dan 18 subjek perempuan dengan rerata usia 37 tahun dengan keluhan
okular sebanyak 70,8% dan 29,2 % dengan keluhan ekstraokular. Dari 24 subjek
dengan keluhan okular, dijumpai 10 subjek dengan unilateral ptosis, 4 subjek
dengan bilateral ptosis dan 3 pasien dengan ptosis dan kelemahan motorik. Dari
hasil RNS disimpulkan 16 (66,6%) subjek dengan dekremen positif dan 8 (33,3%)
subjek dengan dekremen negatif.
Kesimpulan : Subjek MG di poli saraf RSUP Sanglah Denpasar lebih sering
dijumpai pada perempuan dengan rerata usia <50 tahun. Gejala keluhan okular
mayoritas dikeluhkan oleh subjek dengan hasil RNS dekremen positif ditemukan
sebanyak >50% dari subjek.
Kata kunci : Miastenia gravis, profil, repetitive nerve stimulation

231 | B A N U 6
PRINSIP DASAR DRY NEEDLING DALAM MANAJEMEN SINDROM NYERI
MIOFASIAL
I Putu Eka Widyadharma
Divisi Nyeri dan Nyeri Kepala Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar

Abstrak
Nyeri miofasial semakin banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari.
Penyakit ini dapat menyerang seluruh otot tubuh yang ditandai dengan keluhan
utama berupa nyeri yang bisa disertai dengan keluhan gangguan gerakan.
Keluhan ini utamanya disebabkan adanya miofasial trigger point akibat adanya
taut band pada otot. Sindrom ini bisa menyerang semua kelompok umur, terjadi
secara akut dan bisa pula menjadi kronis apabila tidak ditangani dengan baik.
Manajemen pada sindrom ini dapat berupa terapi medikamentosa maupun non
medikamentosa. Manajemen medikamentosa berupa obat-obat golongan
NSAID, COX-2 inhibitor, sampai opioid. Manajemen non medikamentosa berupa
fisioterapi, yoga dan massage. Terapi intervensi juga sering dilakukan meliputi
tindakan trigger poini injection menggunakan anestesi lokal dan steroid.
Tindakan intervensi lain yang dikembangkan saat ini adalah Dry needling (DN).
DN berupa tindakan injeksi menggunakan jarum filliform tanpa memasukkan zat
ke dalam tubuh. Tindakan DN ini bisa dilakukan pada sebagian besar otot tubuh
dengan efektivitas yang baik dan efek samping yang minimal. Diperlukan
pemahaman anatomi otot dan prinsip dasar DN dan latihan untuk melakukan
tindakan needling secara tepat dan benar.

Kata Kunci: Sindrom Nyeri Miofasial, myofascial trigger point, taut band, dry
needling, terapi

232 | B A N U 6
OVERVIEW BOTULINUM TOKSIN (BOTOX)
D.P.G. Purwa Samatra
Bagian/SMF Neurologi
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Toksin botulinum (BOTOX/BTX/BoNT) adalah bahan yang telah


dikenal selama lebih dari satu abad dan digunakan untuk tujuan medis selama
lebih dari 50 tahun. BOTOX dapat digunakan sebagai pengobatan dalam banyak
bidang medis, baik bidang neurologi maupun non neurologi. Dalam bidang
neurologi, BOTOX paling sering digunakan pada kasus-kasus movement
disorder, seperti distonia, spasme hemifasial, dan blefarospasme.1 Namun
beberapa penelitian terbaru melaporkan BOTOX dapat digunakan sebagai terapi
pada nyeri neuropatik.2,3,4
Toksin botulinum adalah protein dan neurotoksin yang dihasilkan oleh
bakteri Clostridium botulinum. Toksin botulinum, juga disebut "miracle poison"
adalah salah satu racun yang paling mematikan yang dikenal, dengan perkiraan
pada manusia dosis mematikan (LD-50) dari 1,3-2,1 ng/kg intravena atau
intramuskuler dan 10-13 ng/kg ketika dihirup. Bakteri Clostridium botulinum ini
merupakan gram positif, bersifat anaerob, membentuk spora batang yang biasa
ditemukan pada tanaman, tanah, air dan saluran usus hewan. Toksin Botulinum
(BOTOX) dapat menyebabkan botulisme, yaitu suatu penyakit serius dan
mengancam jiwa pada manusia dan hewan.5
Toksin botulinum ini dibagi menjadi 7 neurotoksin (tipe A, B, C (C1, C2)
D, E, F, dan G), yang mempunyai antigen dan serologis berbeda tetapi secara
struktural mempunyai persamaan. Botulisme manusia disebabkan terutama oleh
jenis A, B, E, dan F (namun sangat jarang). Jenis C dan D menyebabkan toksisitas
hanya pada hewan.6
Mekanisme Kerja
Toksin botulinum bekerja dengan pengikatan presinaptik pada terminal
saraf kolinergik menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin dan
menyebabkan efek blok neuromuskular. Mekanisme ini merupakan dasar bagi
perkembangan toksin sebagai alat terapi. Pemulihan terjadi melalui sprouting
aksonal proksimal dan persarafan otot kembali dengan pembentukan taut saraf
otot yang baru. De Paiva dan rekan menunjukkan bahwa terjadi regenerasi dari
taut saraf otot yang asli. Mekanisme kerja toksin botulinum dibagai menjadi 2
tahap, yaitu: 7
Tahap I. Blok komunikasi otot-saraf
Botox memblok transmisi impuls saraf yang terlalu aktif ke otot yang
ditargetkan secara selektif mencegah pelepasan neurotransmitter asetilkolin

233 | B A N U 6
(Ach) pada taut saraf otot, mencegah kontraksi otot sementara. Efek yang terjadi
hanya bersifat lokal. Pada distonia servikal, Botox juga dapat mencegah
pelepasan neuropeptida karena stimulasi nyeri dalam saraf perifer.
A. Pengikatan (Binding)
Neurotoksin bagian heavy chain (H) dalam bahan aktif yang
terkandung dalam Botox berikatan ke membran sel saraf motorik
melalui molekul "akseptor" afinitas tinggi yang tak dikenal. Tindakan
pengikatan afinitas tinggi ini memungkinkan untuk pengambilan yang
efisien dari BOTOX oleh saraf motorik dan secara selektif memfasilitasi
target pengobatan pada tempat suntikan.

Gambar 1. Proses Pengikatan6

B. Internalisasi (Internalizing)
Setelah terjadi pengikatan, molekul protein BOTOX
melewati membran sel saraf motorik dan masuk ke dalam sitoplasma
melalui proses yang disebut endositosis. Di sinilah komponen
enzimatik (light chain) dari molekul protein BOTOX diaktifkan.

Gambar 2. Proses Internalisasi6

234 | B A N U 6
C. Pemblokiran (Blocking)
Di dalam saraf motorik, light chain (L) dari molekul
protein BOTOX memecah protein (disebut SNAP25) menyebabkan
vesikel yang menyimpan neurotransmitter asetilkolin tidak dapat
melekat dengan membran sel. Pembelahan protein SNAP25
mencegah vesikel bersatu dengan membran dan mencegah
pelepasan asetilkolin ke neuromuscular junction (ruang antara saraf
motorik dan otot). Dengan demikian, impuls saraf yang mengontrol
kontraksi otot diblokir sehingga aktivitas otot menurun. Pembelahan
protein SNAP25 juga memblok pelepasan neuropeptida yang terlibat
dalam transmisi sensasi nyeri (termasuk substansi P, glutamat, CGRP),
Secara teori dapat mengurangi sensitisasi nyeri pada saraf perifer. Ini
mungkin cara BOTOX dalam mengurangi nyeri leher yang
berhubungan dengan distonia servikal, meskipun mekanisme yang
pasti belum diketahui.6

Gambar 3 Proses Pemblokiran6


Tahap II Pengembalian Komunikasi Otot-Saraf
Efek dari BOTOX secara umum hanya sementara. Aktivitas impuls saraf
sebelumnya dan kontraksi otot yang terkait dimulai kembali setelah beberapa
bulan, tergantung pada masing-masing individu dan indikasi pemberian
pengobatan.6
A. Pertumbuhan Saraf (nerve sprouting)
Ujung-ujung saraf baru tumbuh dan terhubung ke otot setelah
ujung-ujung saraf asli diblok, memperbaharui kemampuan saraf yang
menimbulkan kontraksi otot.

235 | B A N U 6
Gambar 4. Pertumbuhan Saraf6
B. Pembentukan Kembali Hubungan Saraf Utama
Pada tahap ini terjadi pertumbuhan kembali saraf baru dan ujung-
ujung saraf asli mendapatkan kembali fungsinya, menunjukkan bahwa
pengobatan dengan neurotoxin BOTOX tidak mengubah neuromuscular
junction secara permanen.

Gambar 5. Pembentukan kembali Saraf Utama6


Indikasi
BOTOX mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam
pengobatan berbagai kondisi medis, terutama strabismus dan distonia fokal,
spasme hemifasial, Tics, tremor dan berbagai kelainan akibat spastisitas. BOTOX
ini dapat digunakan sebagai alternatif terhadap tindakan pembedahan.1,2,3

236 | B A N U 6
Tabel 1. Rekomendasi toksin botulinum dalam penanganan pada spasme
hemifasial2

Tabel 2. Rekomendasi toksin botulinum dalam penanganan pada


gangguan gerak 12

BOTOX digunakan untuk meredakan gejala blefarospasme, dan


distonia servikal idiopatik (tortikolis spasmodik), pengelolaan hiperhidrosis aksila
yang berat, dimana tidak merespon terhadap pengobatan topikal dengan

237 | B A N U 6
antiperspiran atau antihidrotik, sebagai profilaksis sakit kepala pada orang
dewasa dengan migrain kronis (sakit kepala pada setidaknya 15 hari per bulan
minimal 8 hari).
Tabel 3. Rekomendasi neurotoksin botulinum pada kelainan autonom dan nyeri
(Simpson&Gracies, 2008)

Pemberian BOTOX dalam pengelolaan disfungsi kandung kemih pada


pasien dewasa yang tidak adekuat dengan pemberian antikolinergik, seperti
kandung kemih yang terlalu aktif dengan gejala inkontinensia urin, urgensi dan
frekuensi dan overaktivitas detrusor neurogenik dengan inkontinensia urin
karena cedera tulang belakang (traumatik atau non-traumatik).9,10 Pemberian
100-200 U toksin botulinum A dapat digunakan untuk mengatasi neurogenic
destrussor overactivity dan overactive bladder.12
BOTOX juga diindikasikan untuk spastisitas fokal, termasuk
pengobatan pada kelainan bentuk kaki equinus dinamis akibat spastisitas pada
anak penyandang pasien cerebral palsy, cacat pergelangan tangan dan
spastisitas ekstremitas atas berhubungan dengan stroke pada orang dewasa.
Cacat pada pergelangan kaki akibat spastisitas ekstremitas bawah berhubungan
dengan stroke pada orang dewasa.1,3,4 Pada kasus spastisitas pasca stroke, toksin
botulinum A dengan dosis 90-350MU dan 360 -1500 MU yang disuntikan secara
intramuskular dilaporkan dapat mengurangi spastisitas pada ekstremitas atas,

238 | B A N U 6
sedangkan dosis 100-400MU dan 400-1500 MU dapat digunakan untuk
mengurangi spastisitas pada ekstremitas bawah.3
BOTOX dapat digunakan sebagai terapi pada nyeri neuropatik seperti
trigeminal neuralgia, neuralgia post herpetika, neuralgia pasca trauma dan
sindrome terowongan carpal.1,5 Pemberian 100 U toksin botulinum A secara
subkutan dapat mengurangi neuralgia post herpetika. Pemberian 100 U toksin
botulinum A intradermal dapat mengurangi neuralgia pasca trauma (p<0,001).
Sedangkan untuk trigeminal neuralgia dapat digunakan dosis toksin botulinum A
sebesar 40-60 U secara subkutan (p=0,0001).5
Kontraindikasi
Penggunaan toksin botulinum tipe A (BOTOX) harus dihindari pada
pasien dengan hipersensitifitas terhadap produk toksin botulinum atau terhadap
semua komponen yang ada dalam formulasi, adanya infeksi pada lokasi injeksi.
pada injeksi intradetrusor perlu diperhatikan jika ada infeksi saluran kencing atau
retensi urine akut.7
Toksin botulinum merupakan kontraindikasi pada pasien yang
menderita penyakit motor neuron yang sudah ada sebelumnya misalnya
miastenia gravis, sindrom Eaton-Lambert, ketidakstabilan psikologis, perempuan
yang sedang hamil dan menyusui. Pemantauan hati-hati harus dilakukan pada
anak-anak karena akan mengubah fungsi sel seperti pertumbuhan akson. 7
Beberapa obat mengurangi transmisi neuromuskuler dan umumnya
harus dihindari pada pasien yang diobati dengan toksin botulinum. Ini termasuk
aminoglikosida (dapat meningkatkan efek toksin botulinum), penisilamin, kina,
klorokuin dan hydroxychloroquine (dapat mengurangi efek), calcium channel
blockers, dan warfarin atau aspirin (dapat mengakibatkan memar). 7,11
Efek Samping
Suntikan dengan toksin botulinum umumnya ditoleransi dengan baik
dan mempunyai efek samping yang sedikit. Reaksi idiosinkrasi jarang terjadi, jika
terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Sakit ringan dapat terjadi akibat
injeksi, edema lokal, eritema, mati rasa sementara, sakit kepala, malaise atau
mual ringan. Efeknya berkurang dengan meningkatnya jarak dari tempat
suntikan, tapi mungkin terjadi penyebaran ke otot-otot dan jaringan lain di
dekatnya. Efek samping sementara yang paling ditakuti yaitu kelemahan atau
kelumpuhan otot di dekatnya yang disebabkan oleh aksi toksin. Ini biasanya
sembuh dalam beberapa bulan dan pada beberapa pasien dalam beberapa
minggu, tergantung pada lokasi, kekuatan suntikan, dan otot-otot yang dibuat
berlebihan lemah. 7
Sekitar 1-3% dari pasien mungkin mengalami ptosis sementara. Hal ini
terjadi karena migrasi toksin botulinum pada otot levator palpebra superior.

239 | B A N U 6
Pasien sering diperintahkan untuk tetap dalam posisi tegak selama tiga sampai
empat jam setelah penyuntikan dan menghindari manipulasi daerah tersebut.
Kontraksi aktif otot-otot di bawah pengobatan dapat meningkatkan penyerapan
racun dan mengurangi difusi. Ptosis biasanya berlangsung 2-6 minggu. Hal ini
dapat diobati dengan obat tetes mata apraclonidine 0,5% yang merupakan agen
alfa-adrenergik yang merangsang otot Müller dan segera mengangkat kelopak
mata atas. Perawatan ini biasanya dapat meningkatkan kelopak mata 1-3 mm.
Pengobatan yaitu dengan pemberian 1 sampai 2 tetes tiga kali per hari terus
menerus sampai ptosis hilang. Untuk menghindari ptosis, sebaiknya tempat
suntikan berjarak 1 cm di atas alis dan tidak melewati garis midpupil.
Apraclonidine merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas
terhadap zat tersebut. Fenilefrin 2,5% dapat digunakan sebagai alternatif. Neo-
Synephrine merupakan kontraindikasi pada pasien dengan glaukoma sudut
sempit dan pada pasien dengan aneurisma. 7
Pasien yang menerima suntikan dalam pada otot leher untuk tortikolis
dapat terjadi disfagia karena difusi toksin ke dalam orofaring. Hal ini biasanya
hanya berlangsung beberapa hari atau minggu. Beberapa pasien mungkin
memerlukan makanan lunak. Meskipun kelemahan menelan tidak pemberikan
toksisitas sistemik, jika sangat parah kemungkinan terjadi resiko aspirasi.
Beberapa pasien mengalami kelemahan leher, yang terutama terlihat ketika
mencoba untuk mengangkat kepala dari posisi terlentang. Hal ini terjadi karena
kelemahan otot sternokleidomastoid, akibat injeksi langsung atau difusi. Ini lebih
sering terjadi pada wanita dengan leher panjang dan tipis. Hindari efek samping
dengan menggunakan dosis terendah yang efektif dan tepat menempatkan
toksin ke platysma tersebut. Efek jauh ditunjukkan oleh tes elektromiografi
khusus juga dapat terjadi, tetapi kelemahan otot yang jauh atau kelemahan
umum, mungkin karena toksin menyebar dalam darah, tetapi sangat jarang
terjadi. Namun, hindari injeksi intravaskular karena penyebaran dalam jumlah
besar toksin dapat meniru gejala botulisme.12
Memar dapat terjadi terutama jika vena kecil terkoyak atau pasien
memakai aspirin, vitamin E, atau NSAID. Idealnya, pasien harus berhenti minum
produk ini dua minggu sebelum prosedur. Sakit kepala dapat terjadi setelah
suntikan BOTOX. Namun, dalam sebuah studi oleh Carruthers et al, kejadian ini
tidak melebihi kelompok plasebo. Hal ini diduga disebabkan oleh trauma injeksi,
bukan sesuatu yang melekat dalam toksin. Bahkan, suntikan toksin botulinum
sangat aman. Sampai saat ini, tidak ada bahaya jangka panjang yang signifikan
dari suntikan toksin botulinum telah diidentifikasi lebih dari kelompok plasebo.
Ringkasan

240 | B A N U 6
Toksin botulinum adalah protein dan neurotoksin yang dihasilkan oleh
bakteri Clostridium botulinum. Toksin botulinum ini dibagi menjadi 7
neurotoksin ( tipe A, B, C [C1, C2], D, E, F, dan G), yang mempunyai antigen dan
serologis berbeda tetapi secara struktural mempunyai persamaan. Toksin
botulinum bekerja dengan pengikatan presinaptik pada terminal saraf kolinergik
menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin dan menyebabkan efek blok
neuromuskular.
Toksin botulinum tipe A (BOTOX) mempunyai peranan yang sangat
signifikan dalam pengobatan berbagai kondisi medis, terutama strabismus dan
distonia fokal, spasme hemifasial, dan berbagai kelainan akibat spastisitas, nyeri
kepala, hiperhidrosis, disfungsi kandung kemih, overaktivitas detrusor
neurogenik dan nyeri neuropatik. Efek samping dari injeksi BOTOX yang terjadi
biasanya ringan dan bersifat sementara.

Daftar Pustaka
1. Brown, Alexandra., Schutz, Sonja., Simpson, David. Botulinum toxin for
neuropathic pain and spasticity: an overview. Pain Manage:2014;4(2;
129–151
2. Hallet,Mark., Albanese, Alberto., Dressler, Dirk., Segal, Karen R.,
Simpson, David., Truong, Daniel., Jankovic, Joseph. Evidence-based
review and assessment of botulinum. Toxicon 67 (2013) 94–114
3. Intioso, Domenico. Therapeutic Use of Batulinum Toxin in
Neurorehabilitation. Journal of Toxicology: Vol 2012:802893
4. Kedlaya, Divakara; Lorenzo, Consuelo. Botulinum Toxin Overview.
Medscape. 2014.Availableat
:http://emedicine.medscape.com/article/325451-overview#aw2aab6b3
5. Mittal, Shivam.,Safarpour, Delaram., Jabbari, Rahman. Botulinum Toxin
Treatment of Neuropathic Pain. Semin Neurol:2016;36:73–83.
6. Mullenberg, Crystal; Van Hove, Caroline and Lao, Kellie. 2010. History
and Development Botox. Irvine : Allergan Inc
7. Nigam, P.K; Nigam, A.Botulinum toxin. Indial J Dermatol: 2010:55 (1):
8-14. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2856357/
8. Oh, Hyun-Mi.,Chung, Myung Eun. Botulinum Toxin for Neuropathic
Pain: A Review of the Literature.Toxins:2015;7;3127-3154
9. Orasanu, Bogdan., Mahajan, Sangeeta T. 2013. The use of Botulinum
toxin for the treatment of overactive bladder syndrome. Indian Journal
of Urology; 29(1):2-11

241 | B A N U 6
10. Santos-Silva, Andre., da Silva, Carlos Martins, Cruz, Fransisco. 2013.
Botulinum Toxin treatment for bladder dysfunction. International
Journal of Urology: 10:956-962
11. Schmitz, Gery; Lepper, Hans; et all. 2009. Farmakologi dan Toksikologi.
Ed. 3. EGC. Jakarta: Hal 42-43.
12. Simpson, D.M; Gracies, J.M. 2008. Assessment : Botulinum neurotoxin
for the treatment of spasticity (an evidence-based review. AAN :
Neurology ; 70 : 1691-169

242 | B A N U 6
243 | B A N U 6
PERAN ULTRASOUND DALAM
DIAGNOSA DAN TATALAKSANA SISTEM MUSKULOSKELETAL
Yusak MT Siahaan
Departemen Neurologi
Universitas Pelita Harapan / Siloam Hospital Lippo Village

Abstrak
Ultrasound (US) telah digunakan sebagai pilihan pertama dalam
investigasi evaluasi penyakit muskuloskeletal. Penggunaan Ultrasound dalam
mendiagnosa kasus muskuloskeletal meningkatkan dan membantu secara
signifikan temuan klinis. Demikian juga penggunaan ultrasound sebagai alat
panduan injeksi telah meningkatkan ketepatan suntikan.

Pendahuluan
Ultrasound pada awalnya merupakan alat yang didominasi oleh ahli
radiologi, tetapi saat ini penggunaan alat tersebut telah digunakan secara luas
pada multi-spesialis sebagai alat penunjang yang rutin digunakan untuk menilai
asesmen klinis.
Penggunaan ultrasound merupakan metode yang sangat praktis dan
cepat terutama dalam sistem muskuloskeletal. Ultrasound dapat disiapkan
dengan cepat dalam praktek klinis untuk menilai bermacam sendi pada satu kali
pertemuan dan dapat menjawab keluhan dalam banyak permasalahan
musculoskeletal dengan cepat. Selain secara relatif lebih murah dengan
keuntungan pemeriksaan yang “real time” ultrasound dapat digunanakan
sebagai pelayanan diagnostik pada komunitas yang lebih luas atau bahkan pada
area/lapangan olahraga
Ultrasound muskuloskeletal memerlukan pengunaan gelombang
frekuensi yang tinggi (3-17 MHz) untuk dapat mencapai gambaran jaringan
lunak atau struktur tulang pada tubuh untuk mendiagnosa gambaran patologik
atau sebagai alat panduan “realtime” prosedur intervensional.

Kelebihan dan Kelemahan Ultrasound


- Kelebihan
Ultrasound mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya :
 Bersifat noninvasif
 Dapat melakukan “scanning“ struktur anatomi dengan cepat
 Tidak ada radiasi
 Dapat memvisualisasikan jarum dan struktur yang menjadi target “ real
time”
244 | B A N U 6
 Aplikasi
 Pemeriksaan “real time” dinamik ultrasound dapat menunjukan
instabilitas tendon seperti misalnya pada dislokasi anterior extensor
carpi ulnaris (ECU).1
 Diagnosa “impingement of the shoulder” dengan menunjukan
gambaran struktur yang tertekan dan penyebab instrinsik maupun
ekstrinsik. Resolusi tinggi dapat menghasilkan gambaran anatomi
dari tendon, saraf, ligamen, kapsul sendi, otot maupun struktur yang
berkaitan lainnya.2

Gambar 1. Struktur N Medianus


- Kelemahan
Berikut adalah kelemahan dan keterbatasan ultrasound dalam menilai
struktur anatomi sistem muskuloskeletal
o Sangat tergantung pada kemampuan operator
o Sulit menilai struktur yang lebih dalam walau dengan tehologi yang
lebih maju
Aplikasi Ultrasound pada Sistem Muskuloskeletal
1. Diagnostik
Ultrasound telah digunakan secara luas dalam mendiagnosa kelainan pada
sistem Muskuloskeletal :3
 Tendon (tendinopathy, tears)
 Otot (strains)
 Saraf (Sindroma Jepitan Saraf)
 Ligamen (sprains)
 Sendi (efusi)

245 | B A N U 6
Gambar 2. Sistematika anatomi sistem musculoskeletal pada ultrasound
 Kartilage
Pada sistem muskuloskeletal kartilago umumnya dibedakan antara
fibrocartilage dan cartilage
Sebagai contoh fibrocartilage adalah Triangular Fibrocartilage
Complex (TFCC) pergelangan tangan, meniskus lutut, labrum dari
sendi pangkal paha dan sendi glenohumeral.

Gambar 3. Triangular fibrocartilage complex pergelangan tangan


 Tulang
Salah satu kelemahan ultrasound pada sistem muskuloskeletal
adalah menilai struktur tulang Jendela akustik yang terbatas akan
menyebabkan terbatasnya “acoustic view”. Gambaran kortek yang
terang merefleksikan gelombang ultrasound dan akan tampak
dalam bentuk struktur yang hiperekoik.

246 | B A N U 6
Gambar 4. Gambaran hiperekoik sendi pangkal paha
 Sendi
Gambaran “seagull” merupakan gambaran yang sering ditemukan
pada sendi

Gambar 5. Gambaran “seagull”

 Tendon
Pada ultrasound tendon dan ligament akan tampak dalam struktur
liner yang hiperekoik dengan fibril yang ekogenik. Tergantung
pada sudut insonasinya gambaran ekogen tendon dan ligamen
akan berubah dari hiperekoik menjadi hipoekoik Gambaran
anisotropi seringkali digunakan dalam menbedakan area anatomi
yang sulit seperti misalnya pada area pergelangan tangan dimana
seringkali sulit membedakan angtra saraf medianus dan tendon
tendon fleksor

247 | B A N U 6
Gambar 6. Gambaran hiperekoik struktur tendon

- Ligamen
Gambaran ligamen pada ultrasound akan nampak dalam bentuk linear
hiperekoik, yang akan semakin jelas saat ligament tersebut diregangkan

Gambar 7. Gambaran ultrasound “longitudinal view” struktur ligamen

- Otot
Gambaran ultrasound otot umumnya hipoekoik disertai fibrillar linier yang
hiperekoik dalam otot tersebut dan gambaran jaringan konektif yang hiperekoik
disekitarnya

248 | B A N U 6
Gambar 8. Gambaran hipoekoik otot disertai hiperekoik pada “longitudinal view”

Gambar 9. Gambaran otot pada “transverse view”

- Fasia
Gambaran ultrasound longitudinal dari otot paha bagian proksimal menunjukan
gambaran fasia superfisial yang terdiri dari jaringan lemak yang dipisahkan oleh
suatu “hyperechoic linear bands” yang tipis.
Fasia yang lebih dalam akan tampak tipis dan hiperekoik yang menutupi
gambaran otot yang hipoekoik

249 | B A N U 6
Gambar 10. Gambaran struktur fasia pada ultrasound

- Bursa
Umumnya garis synovial dari sendi, bursa atau tendon dapat dilihat sebagai
garis iso atau hiperekoik dengan disertai cairan sinovial hipoekoik didalamnya.
Cairan tersebut bersifat “compressible dan displaceable”

Gambar 11. Gambaran bursa pada area tendon achiles


- Saraf
Dengan menggunakan probe dengan frekuensi tinggi, kita akan dapat melihat
gambaran saraf tepi yang umumnya berupa faskel linear hiperekoik yang
dikelilingi oleh endoneurium dan perineurium yang hiperekoik.4

250 | B A N U 6
Gambar 12. Gambaran N Medianus pada “transverse dan longitudinal view”

2. Aplikasi Terapi
Penggunaan ultrasound lainnya yang telah dipakai secara luas adalah sebagai
alat panduan dalam penyuntikan Berikut adalah contoh penggunaan Ultrasound
yang umum digunakan dalam praktek pelayanan kesehatan sehari hari : 5
 Sendi bahu: injeksi pada bursa subacromial/ deltoid, sendi acromioclavicular,
tendon biceps
 Sendi pangkal paha , bursa greater trochanteric, bursa Iliopsoas dan ischial
tuberosity
 Sendi lutut, bursa pre-patellar, kista meniscus , kista Baker
 Sendi CMC dan STT
 Lateral/Medial Epicondilitis
 Saraf Lateral Femoral Cutaneous
 Tenotomy
 PRP

DAFTAR PUSTAKA
1. Bianchi S., Martinoli C., Sureda D., Rizzatto G. 2001. Ultrasound of the
hand. Eur J Ultrasound 14: 29–34
251 | B A N U 6
2. Bureau N.J., Beauchamp M., Cardinal E., Brassard P. 2006. Dynamic
sonography evaluation of shoulder impingement syndrome. Am J
Roentgenol 187: 216–220
3. Grassi W., Filippucci E., Farina A., Cervini C. 2000. Current comment
sonographic imaging of tendons. Arthritis Rheum 43: 969–976
4. Duncan I., Sullivan P., Lomas F. 1999. Sonography in the diagnosis of
carpal tunnel syndrome. AJR Am J Roentgenol 173: 681–684
5. Curatolo M., Eichenberger U. 2008. Ultrasound in interventional pain
management. Eur J Pain Suppl 2: 78–8
6. Del Cura J.L. 2008. Ultrasound-guided therapeutic procedures in the
musculoskeletal system. Curr Probl Diagn Radiol 37: 203–218
7. Backhaus M., Ohrndorf S., Kellner H., Strunk J., Backhaus T.M., Hartung
W., et al. 2009. Evaluation of a novel 7-joint ultrasound score in daily
rheumatologic practice: a pilot project. Arthritis Rheum 61: 1194–1201
8. Hmamouchi I., Bahiri R., Srifi N., Aktaou S., Abouqal R., Hajjaj-Hassouni
N. 2011. A comparison of ultrasound and clinical examination in the
detection of flexor tenosynovitis in early arthritis. BMC Musculoskelet
Disord 12: 91

252 | B A N U 6
ULTRASONOGRAFI PADA LUTUT
Yusak MT Siahaan
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran UPH / Siloam Hospitals Lippo Village

Pendahuluan
Pemeriksaan baku emas untuk pencitraan lutut dan pergelangan kaki
adalah menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Meskipun demikian,
ultrasonografi (USG) memiliki beberapa kelebihan yang signifikan selain biayanya
yang ekonomis, yaitu :
1. Memberi gambaran akurat terutama pada jaringan lunak, seperti
bursitis, tendinosis, jepitan saraf
2. Melakukan pemeriksaan dinamis dan kompresi, seperti tendon
snapping dan efusi
3. Mendeteksi sendi dalam pembebanan
4. Membantu akurasi palpasi pada pemeriksaan fisik
5. Melakukan pemeriksaan multiplanar
Selain itu, peran lain yang tidak kalah pentingnya adalah dalam
bidang terapeutik, yakni untuk memandu tindakan injeksi dengan presisi tinggi
sehingga meningkatkan keakuratan dan menurunkan dosis obat yang diberikan.
Pemeriksaan diagnostik dengan USG untuk lutut terutama ditujukan
untuk jaringan lunak ekstensor dan fleksor, ligamentum kolateral, penilaian
kartilago femur, osteofit, bursa periartikular, efusi, dan hipertrofi sinovial
sedangkan penggunaan USG dalam praktek sehari-hari juga relevan dengan
tindakan manajemen nyeri lutut seperti blok genikular lutut dan hidrodiseksi
nervus perifer.

253 | B A N U 6
PEMERIKSAAN RUTIN ULTRASONOGRAFI PADA LUTUT

Anterior
- Transverse Scan Patela

- Longitudinal Suprapatela

- Patela Ligament

254 | B A N U 6
Medial
- Pes Anserine

- Medial Colateral Ligament

Lateral
- Lateral Colateral Ligament

255 | B A N U 6
Posterior

- Fossa Poplitea

Daftar Pustaka
1. Borg F., Agrawal S., Dasgupta B. 2008. The use of musculoskeletal
ultrasound in patient education. Ann Rheum Dis 67: 419
2. Curatolo M., Eichenberger U. 2008. Ultrasound in interventional pain
management. Eur J Pain Suppl 2: 78–83
3. Del Cura J.L. 2008. Ultrasound-guided therapeutic procedures in the
musculoskeletal system. Curr Probl Diagn Radiol 37: 203–
218 [PubMed]
4. Grassi W. 2003. Clinical evaluation versus ultrasonography: who is the
winner? J Rheumatol 30: 908–909 [PubMed]
5. Kane D., Balint P.V., Sturrock R.D. 2003 Ultrasonography is superior to
clinical examination in the detection and localization of knee joint
effusion in rheumatoid arthritis. J Rheumatol 30: 966–971 [PubMed]
6. Draghi F, Danesino GM, Coscia D, Precerutti M, Pagani C. Overload
syndromes of the knee in adolescents: Sonographic findings. J
Ultrasound [Internet]. 2008 Dec [cited 2018 Mar 5];11(4):151–7.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23396316

256 | B A N U 6
Pain pathways and mechanism
Thomas Eko P
Dep/KSM Neurologi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak
Akhir-akhir ini masalah nyeri menarik perhatian dunia. WHO
merekomendasikan nyeri sebagai tanda vital kelima, sedangkan deklarasi
Montreal menyatakan bahwa bebas nyeri adalah hak asasi manusia.
Asesmen dan penatalaksanaan nyeri di seluruh dunia masih dibawah
standar. Perlu edukasi nyeri yang lebih luas dan mendalam pada seluruh tenaga
kesehatan sehingga diharapkan mereka dapat memahami nyeri dengan lebih
baik dan benar. Diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang pain
pathway dan mekanisme nyeri. Penatalaksanaan nyeri yg rasional adalah
didasarkan pada mekanisnenya.
Terdapat perbedaan yang mendasar pain pathway dan mekanisme
dari nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik sehingga penatalaksanaannya pun juga
berbeda. Pada nyeri neuropatik tidak melalui proses transduksi tetapi langsung
mengaktivasi nosiseptor melalui proses yang lebih kompleks. Terapi untuk nyeri
nosiseptif adalah obat-obatan golongan analgesik dan anti inflamasi non steroid
sedangkan untuk nyeri neuropatik obat-obatan tersebut kurang responsif, untuk
nyeri neuropatik yg mempan adalah golongan analgesik adjuvan antara lain anti
konvulsan dan anti depresan.
Kata kunci : pain pathway, mekanisme, nyeri neuropatik, nyeri nosiseptik

257 | B A N U 6
PENILAIAN NYERI
Ida Ayu Sri Wijayanti
Bagian/SMF Neurologi
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang
menunjukkan kerusakan jaringan. Penting kiranya mengetahui skala nyeri khusus
bagi para praktisi kesehatan untuk menilai tingkat rasa nyeri yang dialami pasien.
Skala nyeri ini akan membantu kita dalam membedakan tingkat beratnya suatu
penyakit sehingga dapat membantu menegakkan diagnosis yang akurat,
membantu merencanakan pengobatan yang tepat, dan mengevaluasi efektivitas
pengobatan yang telah diberikan.
Penilaian nyeri sangat penting dan menantang untuk dilakukan. Nyeri
bersifat sangat subyektif dan sampai saat ini belum ada penilaian nyeri secara
obyektif yang cukup memuaskan. Nyeri juga bersifat multidimensi, sehingga
perlu dinilai dengan melihat seluruh aspek (sensorik, afektif dan kognitif)
berdasarkan pengalaman nyeri yang sudah dialami pasien sebelumnya.
Sehingga penatalaksanaan antara satu pasien dengan pasien lainnya pun akan
berbeda-beda.
Underassessment terhadap nyeri menjadi penyebab utama
ketidakberhasilan penatalaksanaan nyeri. Penelitian di Amerika Serikat
mendapatkan bahwa penatalaksanaan nyeri yang tidak optimal disebabkan oleh
ketidakmampuan klinisi untuk melakukan penilaian nyeri dengan baik. APS telah
memasukan nyeri sebagai tanda vital ke 5. Hal ini menekankan bahwa penilaian
nyeri sama pentingnya dengan penilaian standar empat tanda-tanda vital dan
bahwa para klinisi perlu mengambil tindakan segera bila pasien menyampaikan
adanya nyeri.
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan para klinisi, pasien
maupun sistem pelayanan kesehatan merupakan salah satu penghambat dalam
penatalaksanaan nyeri yang tepat. Teknik penilaian nyeri oleh para professional
kesehatan dan keengganan pasien untuk melaporkan nyeri merupakan dua
masalah utama. Prinsip penanganan nyeri yang efektif tergantung pada
pemeriksaan dan penilaian nyeri yang seksama baik berdasarkan infromasi
subyektif maupun obyektif, komitmen para klinisi untuk mematuhi standar dan
pedoman prinsip-prinsip utama dalam penilaian dan penatalaksanaan nyeri.
258 | B A N U 6
Beberapa prinsip utama dalam penilaian dan penatalaksanaan nyeri adalah
sebagai berikut:
- Semua pasien berhak untuk mendapatkan penilaian dan
penatalaksanaan nyeri yang tepat.
- Nyeri selalu bersifat subjektif, sehingga keluhan langsung dari
pasien menjadi indikator utama terjadinya nyeri. Para klinisi
diharapkan menerima dan berempati terhadap keluhan pasien
dan tidak ada alasan untuk tidak mempercayai apa yang
disampaikan kepadanya.
- Kondisi fisiologis dan perilaku yang digunakan sebagai salah satu
penilaian nyeri secara objektif, bersifat tidak sensitif dan tidak
spesifik. Observasi secara objektif hendaknya tidak
menggantikan penilaian terhadap keluhan pasien kecuali jika
pasien tidak mampu untuk berkomunikasi.
- Pendekatan yang digunakan dalam penilaian nyeri hendaknya
disesuaikan dengan kondisi populasi pasien. Pertimbangan
khusus diperlukan terutama pada pasien dengan kesulitan
berkomunikasi, sehingga anggota keluarga harus dilibatkan
dalam proses penilaian ini.
- Nyeri dapat terjadi meskipun tidak didapatkan keluhan fisik,
walaupun demikian kondisi ini sebaiknya tidak langsung
dikaitkan dengan adanya gangguan psikologis.
- Setiap pasien memiliki tingkat nyeri yang berbeda-beda ketika
mendapatkan stimulus nyeri, sehingga tidak ada ambang batas
nyeri yang seragam
- Toleransi terhadap nyeri berbeda-beda pada masing-masing
individu, bergantung pada herediter, energy level, coping skills,
dan pengalaman nyeri.

Hal penting dalam penilaian awal nyeri termasuk bagaimana


membuat suatu hubungan yang baik dengan pasien, memberikan gambaran
proses penilaian nyeri yang dilakukan. Kondisi ini akan sangat membantu dalam
melibatkan pasien untuk menegakan diagnosis, berkolaborasi untuk memilih
pengobatan yang sesuai dengan harapan pasien. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka diperlukan riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan pemilihan alat
diagnostik yang tepat.
Riwayat Pasien
Riwayat pasien meliputi riwayat medis pasien, obat, kebiasaan
(misalnya merokok, konsumsi alkohol), riwayat keluarga, dan psikososial. Riwayat

259 | B A N U 6
kondisi pasien yang lengkap dapat memberikan banyak manfaat, termasuk
perbaikan penatalaksanaan, mengurangi efek samping pengobatan,
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup, dan pemanfaatan lebih baik sarana
kesehatan.
Informasi subyektif
Informasi yang subyektif, spesifik oleh pasien (atau informasi yang
dilaporkan sendiri) merupakan cara utama pada evaluasi nyeri. Namun, informasi
laporan-sendiri (self-reported) ini dipengaruhi oleh usia, status kognitif,
disabilitas fisik, penggunaan obat pasien dan harapan pasien dan profesional
kesehatan terhadap terapi. Informasi laporan-sendiri dapat diperoleh melalui
wawancara mendetil dan/atau menggunakan cara-cara pemeriksaan dimensi
tunggal atau multidimensi.
Wawancara untuk nyeri sebaiknya menggunakan kombinasi
pertanyaan terbuka dan tertutup untuk memperoleh informasi yang diperlukan
untuk mengetahui masalah pasien. Selain itu, perhatikan juga faktor-faktor
seperti menetukan lokasi yang lebih privasi ketika melakukan wawancara,
menunjukkan sikap yang suportif dan tidak menghakimi, memperhatikan tanda-
tanda verbal dan nonverbal, dan meluangkan waktu yang cukup untuk
melakukan wawancara.
Penggunaan mnemonik PQRST juga akan membantu klinisi mengumpulkan
informasi vital yang berkaitan dengan penilaian Nyeri.
Mnemonik PQRST untuk Evaluasi Nyeri Nyeri
 P Penyebab nyeri
 Q Quality/kualitas nyeri
 R Regio (lokasi) atau penyebaran nyeri
 S Subyektif deskripsi oleh pasien mengenai tingkat nyerinya
 T Temporal atau periode/waktu yang berkaitan dengan nyeri
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik termasuk dalam penilaian awal nyeri. Klinisi
menggunakan pemeriksaan ini untuk membantu mengidentifikasi penyebab
yang mendasari nyeri dan meyakinkan pasien bahwa keluhan nyeri yang
dirasakan, ditangani dengan serius. Selama pemeriksaan ini, klinisi menilai
kondisi fisik umum pasien, dengan memberikan perhatian khusus pada sistem
muskuloskeletal dan sistem saraf serta lokasi nyeri. Dokter juga dapat
mengevaluasi tanda-tanda khusus seperti gerakan, respon terhadap rangsangan
panas atau dingin, cara bernafas ataupun perubahan posisi.
Alat Diagnostik
Pemilihan alat diagnostik ditentukan oleh karakteristik nyeri dan
penyebab yang mendasarinya. Pemilihan alat diagnostik yang tepat, akan

260 | B A N U 6
memberikan diagnosis yang lebih akurat dan akan memberikan kondisi luaran
pasien yang baik (mengurangi nyeri dan efek samping dari terapi, meningkatkan
fungsi dan kualitas hidup). Namun, alat diagnostik dimaksudkan untuk
melengkapi, bukan menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien.
Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri
menggunakan skala assessment nyeri unidimensional (tunggal) atau
multidimensi. Rating scale digunakan untuk menilai nyeri yang bersifat tunggal,
pasien sendiri yang melaporkan intensitas nyeri yang dirasakannya. Meskipun
sangat bermanfaat dalam menilai nyeri akut dengan etiologi yang jelas (misalnya
nyeri paska operasi), tetapi terlalu sederhana untuk menilai modalitas tipe nyeri
lainnya. Sehingga para ahli menyarankan menggunakan penilaian
multidimensional pada nyeri yang kompleks dan persisten.
1. Unidimensional:
a. Visual Analog Scale (VAS)

b. Numeric Rating Scale (NRS)

c. Categorical scales
Penilaian nyeri yang mudah dilakukan kepada pasien dengan deskripsi
intensitas nyeri menggunakan verbal atau visual.
Verbal Rating Scale (VRS)

Wong Baker Pain Rating Scale


Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.

261 | B A N U 6
2. Multidimensional
Menilai dengan lebih detail mengenai karakteristik nyeri dan dan
dampak klinisnya pada kehidupan sehari-hari pasien.
The Brief Pain Inventory (BPI)
Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri, mudah
dan cepat untuk digunakan dalam menilai intensitas nyeri dan disabilitas pasien.
Terdiri dari beberapa pertanyaan mengenai pengalaman nyeri selama 24 jam.
Awalnya digunakan untuk menilai nyeri kanker, namun sudah divalidasi juga
untuk menilai nyeri kronik.
McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Terdiri dari empat bagian: (1) gambar nyeri, (2) indeks nyeri (PRI), (3)
pertanyaan-pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya; dan (4) indeks
intensitas nyeri yang dialami saat ini. Terdiri dari 78 kata sifat, yang dibagi ke
dalam 20 kelompok. Setiap set mengandung sekitar 6 kata yang
menggambarkan kualitas nyeri yang makin meningkat.
Memorial Pain Assessment Card
Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas dan
pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri atas 4 komponen penilaian
tentang nyeri meliputi intensitas nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan
mood.

Daftar Pustaka
1. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of
Assessment, Management, and Treatments. 2001.
2. Kelompok Studi Nyeri. Konsensus Nasional 1 : Penatalaksanaaan nyeri
neuropatik. Perdossi: 2011.
3. Raylene MR. 2008; terj. D. Lyrawati, 2009. Penilaian Nyeri. Cited. AHRQ
Publication No. 02-E032. Rockville: Agency for Healthcare Research and
Quality, July 2002
4. Narayan MC. Culture's Effects on Pain Assessment and Management. The
American journal of nursing 2010; 110(4):38-47; quiz 48-9.

262 | B A N U 6
5. Sollami A, Marino L, Fontechiari S, Fornari M, Tirelli P, Zenunaj E. Strategies
for Pain Management: A Review. Acta Biomed for Health Professions 2015;
Vol. 86, S. 2: 150-157

PRINSIP PENATALAKSANAAN NYERI AKUT


Ida Ayu Sri Wijayanti
Bagian/SMF Neurologi
FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Nyeri adalah bentuk peringatan terhadap tubuh akan adanya kerusakan jaringan.
Nyeri akan membantu setiap individu untuk tetap hidup dan tetap beraktivitas
secara fungsional. Namun, Nyeri selalu menjadi permasalahan kesehatan yang
sangat kompleks, dan menjadi salah satu alasan utama seseorang untuk
mendatangi tenaga medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, semua usia,
jenis kelamin, suku dan status sosial. Penatalaksanaan nyeri yang tidak adekuat
memiliki konsekuensi yang merugikan dan dampak buruknya berimplikasi cukup
besar pada seluruh aspek kehidupan penderitanya. Nyeri akut yang tidak
terkendali dapat menyebabkan komplikasi medis yang serius (seperti
pneumonia, trombosis vena dalam), gangguan pemulihan dari cedera, dan /
atau berkembang menjadi nyeri kronis. Penatalaksanaan nyeri kronis yang tidak
adekuat dapat mengganggu kemampuan individu untuk melakukan aktivitas
sehari-hari dan mengurangi kualitas hidup. Selain disabilitas, nyeri yang tidak
ditangani dengan optimal dapat menimbulkan penderitaan yang signifikan,
individu dengan nyeri tidak terkontrol dapat mengalami kecemasan, ketakutan,
kemarahan hingga depresi.
Sebelumnya, nyeri akut didefinisikan hanya terkait dalam hal durasi.
Namun saat ini dipandang sebagai suatu pengalaman sensorik, emosional dan
kognitif yang kompleks dan tidak menyenangkan yang terjadi sebagai respons
terhadap kerusakan jaringan. Berbeda dengan nyeri kronis, nyeri akut akan
menghilang dengan penyembuhan kerusakan jaringan yang mendasarinya.
Nyeri akut biasanya merupakan nyeri nosiseptif. Sumber umum nyeri akut
termasuk trauma, pembedahan, persalinan, prosedur medis, dan keadaan
penyakit akut. Nyeri akut berfungsi sebagai fungsi biologis penting, karena
mampu memperingatkan potensi atau tingkat cedera. Sejumlah refleks protektif

263 | B A N U 6
(misalnya mekanisme withdrawal, spasme otot, respons otonom) sering
menyertainya. Namun, "stress hormone response" yang diakibatkan oleh cedera
akut juga dapat menimbulkan efek fisiologis dan emosional yang merugikan.
Bahkan stimulasi nyeri dalam durasi waktu yang singkat dapat menyebabkan
nyeri hebat, remodeling neuronal, dan nyeri kronis. Sehingga sangat penting
memberikan fokus perhatian pada pencegahan agresivitas nyeri dan
pengobatan nyeri akut untuk mengurangi komplikasi, salah satunya
perkembangan ke keadaan nyeri kronis.
Penilaian klinis secara terfokus, dapat membantu menentukan
penyebab nyeri dan selama penilaian untuk kondisi yang mendasari, nyeri akut
dapat dikendalikan dengan menggunakan pengobatan farmakologis jangka
pendek (dengan atau tanpa perawatan nonfarmakologi). Evaluasi rutin terhadap
penatalaksanaan nyeri yang telah diberikan menggunakan modalita skala nyeri
memungkinkan klinisi untuk memantau efektivitas pengobatan dan untuk
menentukan perubahan-perubahan yang diperlukan.
Pain relief ladder dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan
langkah-langkah pendekatan penatalaksanaan nyeri kanker dan juga dapat
digunakan untuk pasien dengan nyeri non-maligna akut dan nyeri kronis.
Pemberian terapi adjuvan dapat dimulai sesuai kebutuhan pada setiap langkah.
Terapi yang dimaksudkan antara lain antidepresan (misalnya, trisiklik untuk nyeri
neuropatik akut), antikonvulsan (misalnya, gabapentin, dan glukokortikoid
(misalnya, deksametason untuk mengurangi nyeri pasca operasi, mual, dan
muntah). Efektivitas analgesik meningkat dengan setiap langkah tingkatan,
seperti halnya potensi penyalahgunaan obat atau kecanduan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pilihan
farmakoterapi awal nyeri adalah menggunakan terapi non-opioid seperti
acetaminophen atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Karakteristik nyeri
akut dan faktor risiko pasien harus dipertimbangkan ketika memilih antara
golongan acetaminophen dan NSAID (misalnya aspirin, OAINS non selektif
lainnya, cyclooxygenase-2 [COX-2] NSAID selektif). Pada penderita nyeri akut,
diperlukan penatalaksanaan dengan tujuan menghilangkan nyeri dengan cepat.
Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat, yaitu dengan memberikan obat
dengan efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis yang optimal. Pemilihan
dosis optimal obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien sendiri dan
tingkat keparahan nyeri.
Inflamasi akut akan menimbulkan pengeluaran berbagai mediator
inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, leukotrin, dan sitokin inflamasi,
sehingga mengaktivasi nosiseptor secara langsung dan tidak langsung. Sebagian
dari mediator-mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi

264 | B A N U 6
nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang
menyebabkan hiperalgesia. Mekanisme nyeri akut diawali oleh proses transduksi
yang mengubah sinyal-sinyal noksius kimiawi menjadi potensial aksi. Potensial
aksi terjadi karena adanya depolarisasi membran sebagai akibat pembukaan
saluran natrium. Obat-obat yang dapat menstabilkan membran (misalnya
anestesi lokal) dapat menghambat pembentukan potensial aksi dari nosiseptor.
Obat-obat NSAID dapat mencegah transduksi dengan menghambat berbagai
mediator inflamasi.
Apabila terapi dengan golongan non-opioid seperti acetaminophen
atau NSAID tidak cukup mengontrol nyeri, langkah berikutnya adalah
mempertimbangkan pemberian golongan opioid, dengan atau tanpa terapi
non-opioid. Golongan opioid seperti hidrokodon dan oksikodon biasanya
dikombinasikan dengan acetaminophen atau NSAID. Kombinasi opioid ini lebih
efektif untuk penatalaksanaan nyeri postoperatif. Dalam meta-analisis dari uji
coba terkontrol acak double-blind, pasien yang menerima opioid, seperti morfin,
dikombinasikan dengan NSAID, secara signifikan memiliki skor nyeri yang lebih
rendah dan memerlukan lebih sedikit opioid untuk mengontrol nyeri.
Golongan opioid agonis, seperti morfin, merupakan analgetik kuat
yang dapat digunakan apabila kombinasi golongan opioid dengan
acetaminophen atau NSAID tidak cukup mampu untuk mengontrol nyeri dengan
intensitas sedang sampai berat.Sampai saat ini masih belum ada bukti untuk
menyarankan opioid jenis tertentu lebih efektif ataupun lebih buruk daripada
morfin. Namun, terdapat bukti yang menyatakan bahwa kodein kurang efektif
daripada morfin maupun opioid agonis lainnya karena afinitasnya yang rendah
terhadap reseptor opioid. Pedoman klinis terbaru merekomendasikan bahwa
durasi terapi opioid agonis dibatasi jika digunakan untuk meredakan nyeri
pinggang. Penilaian ulang terhadap kondisi pasien, pilihan pengobatan lain, atau
rujukan spesialis harus dipertimbangkan jika nyeri pasien tidak membaik.

Daftar Pustaka
1. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of
Assessment, Management, and Treatments. 2001.
2. Kelompok Studi Nyeri. Konsensus Nasional 1 : Penatalaksanaaan
nyeri neuropatik. Perdossi: 2011.
3. Blondell R, Azadfard M, Wisniewski A. Pharmacologic Therapy for
Acute Pain. Am Fam Physician. 2013;87(11):766-772.
4. Lucas Meliala, Rizaldi P. Breakthrough in Management Acute Pain.
Dexa Media. 2007;4(20):151-161.

265 | B A N U 6
5. Schug S, Palmer G, Scott D, Halliwell R, Trinca J. Acute Pain
Management: Scientific Evidence,fourth edition, 2015. MJA.
2016;204(8):315-317.
6. Wardhan R, Chelly J.Recent advances in acute pain management:
understanding the mechanisms of acute pain, the prescription of
opioids, and the role of multimodal pain therapy. F1000Research
2017, 6(F1000 Faculty Rev):2065.

266 | B A N U 6

Anda mungkin juga menyukai