Disusun Oleh :
Arrinalhaq Andre Sondakh, S.Ked
G1A218053
Universitas Jambi
Pembimbing
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Clinical Science
Session (CSS) yang berjudul “Nerve Conduction Studies and EMG in Carpal
Tunnel Syndrome: Do they add value?” sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Neurologi di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Nidia Suriani, Sp.S., M.
Biomed yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk
membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Neurologi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah Clinical
Science Session (CSS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca.
Abstrak
Pendahuluan
Dalam Pendapat di bawah ini, kami berpendapat bahwa ada tiga alasan utama
untuk melakukan NCS pada CTS: (i) untuk membuat diagnosis neuropati
medianus pada pergelangan tangan (MNW), sehingga mendukung diagnosis klinis
CTS, (ii) untuk menilai derajat keparahan MNW karena dapat membantu dalam
memberi keputusan terapi, dan (iii) untuk mendeteksi abnormalitas yang
menyatakan adanya kondisi lain, jika relevan.
Masahiro Sonoo: Tinjauan pedoman yang ada dan kriteria diagnostik, dan
peran strudy konduksi saraf dalam evaluasi CTS
Hanya ada sedikit kriteria diagnostik yang dipublikasikan untuk CTS. Guideline
AAN ( Anon, 1993a ) memberikan '' kriteria diagnostik”, meskipun hanya
berupada daftar gejala dan tanda-tanda, dan mereka hanya mengatakan bahwa
''kecenderungan CTS meningkat dengan semakin banyak jumlah standar gejala
dan faktor provokatif yang tercantum di bawah” . Rempel et al. mengajukan
kriteria klasifikasi CTS untuk digunakan dalam studi epidemiologi ( Rempel et
al., 1998 ). Kriteria tersebut adalah kriteria konsensus yang dikembangkan melalui
diskusi oleh 12 pakar, sehingga keriteria tersebut adalah pendapat pakar. Namun,
kriteria tersebut adalah satu-satunya kriteria yang mempertimbangkan gejala /
tanda klinis dan tes EDX. Witt et al. juga mengusulkan kriteria yang hanya
berdasarkan gejala dan tanda klinis, juga merupakan pendapat ahli ( Witt et al.,
2004 ).
Mengenai gejala dan tanda klinis, CTS adalah sindrom klinis dan apabila subjek
tanpa gejala, nyeri, parestesia atau berkurangnya keterampilan tangan, maka tidak
dapat disebut CTS. Dalam pengertian ini , sensitivitas pada “keberadaan gejala-
gejala di atas” harus 100%, dengan spesifisitas sangat rendah. Sensitivitas dan
spesifisitas pada gejala serta tanda individual telah diselidiki menggunakan tes
EDX sebagai standar rujukan, memberikan berbagai hasil dan umumnya hanya
kekuatan diagnostik menengah untuk setiap kriteria ( de Krom et al., 1990, Katz et
al., 1990, Kuhlman dan Hennessey, 1997, Bland, 2000b, D'Arcy dan McGee,
2000, Hansen et al., 2004 ).
Hasil positif palsu pada Tes EDX pasti dapat terjadi. Nilai spesifisitas yang
disajikan dalam parameter praktik AAEM, 97% hingga 99% ( Jablecki et al., 2002
), tampaknya berlebihan. Hingga 20% positif palsu di antara populasi umum atau
pekerja tangan telah dilaporkan ( Nathan et al., 1994, Atroshi et al., 1999 ).
Sebagian besar 'positif palsu' ini dianggap memiliki neuropati medianus
asimptomatik pada pergelangan tangan (MNW). Mengenai negatif palsu tes EDX,
saya setuju dengan pendapat bahwa tingkat negatif palsu harus cukup rendah,
meskipun tidak nol, jika seseorang menggunakan metode perbandingan yang
sensitif ( Dawson et al., 1999).
Guideline AAOS yang direvisi (AAOS, 2016) telah ada, dimana awalnya terkesan
hanya mengandalkan NCS dan mengabaikan sebagian besar pemeriksaan lain.
Namun, setelah dicermati terungkap bahwa studi EDX dinilai sebagai bukti
moderat, bersamaan dengan kuesioner diagnostik seperti CTS-6, di bawah judul
"skala diagnostik". Selain itu, saya sepenuhnya setuju dengan kesimpulan mereka,
yang disajikan di bawah judul Future Research, bahwa '' Menetapkan konsensus
mengenai standar referensi untuk diagnosis CTS adalah tujuan penelitian
terpenting dalam bidang ini ”(p. 188 dari AAOS, 2016 ).
Kurangnya gold standard mengartikan bahwa tidak ada yang bisa mengatakan
bahwa pasien memiliki CTS atau tidak dengan akurasi 100%. Dalam situasi ini,
mempertimbangkan sebanyak mungkin parameter tidak sempurna yang dapat
berkontribusi pada diagnosis adalah cara yang masuk akal dan ilmiah. Dalam
situasi ini, “kriteria diagnostik' 'tidak boleh lebih dari opini ahli, secara inheren.
Namun, harus ada dua poin penting yang harus dipatuhi ketika membuat kriteria
diagnostik sebagai pendapat ahli. Pertama, kita harus mencari standar referensi
terbaik yang mungkin, seperti yang diperdebatkan dalam guideline AAOS yang
direvisi ( AAOS, 2016 ). Kedua, kita harus tidak boleh bias ketika memilih
kandidat tindakan diagnostik. NCS, yang dikatakan dalam studi sebelumnya
memiliki sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi, secara alami harus dianggap
sebagai kandidat yang baik untuk tujuan ini.
Kebanyakan pakar akan setuju bahwa pasien CTS tipikal hanya dapat didiagnosis
dari gejala dan tanda klinis dengan kepastian yang tinggi. Bahkan dalam kasus
seperti itu, untuk mengkonfirmasi diagnosis secara objektif dengan NCS pasti
bermanfaat. Jarang jika pasien yang saya diagnosa dengan CTS secara klinis
secara tak terduga menunjukkan hasil NCS yang normal. Hal ini jarang,
bertentangan dengan saran mengenai tes EDX , mungkin karena saya secara rutin
menggunakan tes pembanding sensitif seperti metode ring-finger. Dalam kasus
yang jarang tersebut, saya mempertimbangkan kembali diagnosis. Pasien mungkin
terbukti hanya memiliki gangguan konversi, mudah dipengaruhi oleh sugesti
selama pengambilan anamnesis awal dan pemeriksaan neurologis. Sangat jarang,
saya sampai pada kesimpulan bahwa pasien memiliki CTS negatif-EDX yang
sebenarnya. Bahkan dalam kasus seperti itu, tes NCS yang sensitif sering
menunjukkan perbedaan kanan-kiri dalam kisaran normal sesuai dengan dominasi
gejala.
Masuk akal jika versi pertama dari pedoman AAOS sangat merekomendasikan
EDX ketika penatalaksanaan bedah dipertimbangkan ( Keith et al., 2009 ).
Dawson et al. juga merekomendasikan bahwa tes EDX harus dilakukan sebelum
pembedahan, untuk mengkonfirmasi diagnosis sehingga mencegah tindakan
pembedahan yang tidak diperlukan, dan berfungsi sebagai nilai baseline dalam
menentukan kondisi saraf pasca pembedahan, jika pembedahan gagal dalam
meredakan gejala ( Dawson et al. , 1999 ). Johnson membandingkan pembedahan
pada CTS tanpa tes EDX dengan terapi pneumonia tanpa rontgen dada dan kultur
sputum ( Johnson, 1993 ). Kita harus menggunakan secara bebas dua pemeriksaan
diagnostik yang kuat, gejala / tanda klinis dan tes EDX, untuk mengkonfirmasi
diagnosis terutama sebelum intervensi invasif dilakukan.
Apakah NCS menyakitkan? Needle EMG memang menyakitkan dan kita harus
menghindari ini jika memungkinkan: Saya hampir tidak pernah melakukan
Needle EMG dari otot abductor pollicis brevis untuk evaluasi CTS. Saya
melakukan Needle EMG hanya ketika diagnosis tidak pasti dan adanya
kecurigaan gangguan lain, biasanya jika radikulopati servikal masih kuat . Dalam
kasus yang sangat berat dengan potensi aksi otot tidak ada (CMAP), Needle EMG
dari otot medianus proksimal mungkin diperlukan untuk melokalisasi lesi.
Namun, ini sangat jarang jika rekaman dari otot lumbrikal kedua dilakukan (
Boonyapisit et al., 2001 ). NCS kurang nyaman dibandingkan pengambilan
sampel darah pada kebanyakan orang ( Alshaikh et al., 2016 ). Tidak ada yang
akan mencoba mendiagnosis diabetes tanpa mengetahui kadar gula darah hanya
karena pengambilan sampel darah itu menyakitkan.
Banyak literatur tidak membedakan antara CTS dan MNW tetapi ini adalah
perbedaan yang penting. MNW mengacu pada disfungsi saraf medianus pada
ligamentum karpal transversal sedangkan CTS mengacu pada kumpulan gejala
dan tanda-tanda yang dapat terjadi secara independen terlepas dari MNW. Dengan
demikian, mungkin untuk mengalami MNW asimptomatik di mana terdapat
disfungsi saraf median yang signifikan sebagaimana dideteksi oleh EDX. Hal ini
biasanya terjadi dalam keadaan polineuropati yang mendasarinya karena “saraf
yang sakit lebih rentan terhadap kompresi” ( Fowler dan Scadding, 2013 ).
Dengan demikian, pasien tanpa gejala dapat memiliki bukti klinis dan
elektrodiagnostik dari disfungsi saraf medianus yang dihasilkan dari kompresi
pada ligamentum karpal transversal. Kegagalan untuk mengatasi kelainan ini
dapat menyebabkan hilangnya akson yang tidak dapat dipulihkan. Tepatnya,
adalah hal yang mungkin untuk mengalami semua gejala CTS dengan bukti
elektrofisiologis minimal atau bahkan negatif dari MNW. Penting untuk
mendefinisikan penyakit sehingga perbandingan modalitas terapi dapat dilakukan.
The pedoman AAOS memanfaatkan EDX sebagai gold standard untuk
mnegakkan diagnosis MNW. Tidak jelas bagaimana Dr. Fowler mendefinisikan
kasus MNW. Fowler ingat bahwa Hakim Mahkamah Agung AS Potter Stewart
ketika ia menyebutkan bahwa ia tidak dapat mendefinisikan CTS tetapi ia
mengetahuinya ketika ia melihatnya. Ilmu kedokteran membutuhkan objektivitas
untuk membedakan mereka yang mengalami penyakit dan yang tidak. AAOS
menyetujui bahwa diagnosis MNW ditetapkan melalui penggunaan pemeriksaan
EDX yang tepat. Fowler tidak mengusulkan cara alternatif untuk menilai MNW
apalagi mengutip literatur berbasis bukti untuk mendukung posisinya. Dia perlu
mengusulkan definisi CTS yang dapat direproduksi dalam praktik klinis standar .
Keberatan kedua adalah bahwa pasien dengan CTS akan membaik bahkan tanpa
adanya kelainan EDX. Dia mengutip penelitian oleh Glowacki et al. sebagai bukti
tanpa penggunaan EDX dalam CTS ( Glowacki et al., 1996 ). Namun, penelitian
ini memiliki sejumlah kelemahan signifikan. Pertama, masalah mendefinisikan
CTS versus MNW juga menjadi masalah dalam naskah ini. Kedua, statistik hanya
dapat dilakukan ketika semua pengukuran independen. Tidak tepat untuk
menggunakan kedua tangan pada pasien yang sama dan secara otomatis
mengasumsikan bahwa ini adalah pengukuran yang benar-benar independen (
Sainani, 2010 ). Akhirnya, orang harus mempertanyakan apakah resolusi gejala
mencerminkan efek fisiologis atau plasebo. Pembedahan artroskopi untuk
osteoartritis lutut pernah dianggap sebagai standar penatalaksanaan karena banyak
pasien melaporkan perbaikan terhadap nyeri. Namun, Moseley et al. menetapkan
bahwa outcome hilangnya nyeri setelah lavage artroskopi atau debridemen
artroskopi tidak lebih baik daripada prosedur plasebo ( Moseley et al., 2002 ).
Dengan tidak adanya percobaan terkontrol serupa untuk CTS dengan pemeriksaan
EDX non-diagnostik, efek plasebo dari pembedahan tidak dapat dieksklusikan.
Dapat dibayangkan bahwa operasi sham mungkin memiliki tingkat keberhasilan
yang serupa secara statistik pada pasien dengan CTS dan EDX non-diagnostik.
Jika efek plasebo ini terbukti, maka pembedahan harus disediakan untuk pasien
dengan MNW, seperti yang didefinisikan oleh EDX, dimana EDX memiliki
abnormalitas yang signifikan atau yang menunjukkan perburukan pada EDX
kedua meskipun telah mendapat terapi konservatif . Memang, pedoman AAOS
merekomendasikan pendekatan spektrum luas untuk penatalaksanaan MNW dari
non-medis (imobilisasi) hingga farmakologis (oral, phonopheresis, dan injeksi)
atau bahkan pembedahan. Dengan tidak adanya data dari uji operasi sham yang
disarankan untuk CTS tanpa MNW, konsep respon proporsional akan menentukan
bahwa kasus CTS tanpa bukti EDX definitif dari MNW harus mendapat terapi
yang tidak agresif sedangkan pembedahan harus dilakukan untuk pasien yang
memiliki Bukti EDX tegas untuk MNW.
Fowler juga menyatakan bahwa EDX menyakitkan dan tidak perlu. EDX
umumnya ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar individu, terutama
pemeriksaan konduksi saraf, yang non-invasif. Elektromiografi kurang invasif
dibanding proses pengambilan darah ( Alshaikh et al., 2016 ), karena
menggunakan jarum yang lebih kecil. Needle EMG juga merupakan satu-satunya
cara dimana pengurangan akson motorik dapat ditetapkan secara definitif.
Sementara ini belum ada kesepakatan universal mengenai kapan needle
elektromiografi harus dilakukan ( Werner dan Andary, 2011 ), namun
pemeriksaan ini memungkinkan untuk penilaian diagnosis alternatif lain seperti
lesi saraf medianus proksimal atau radikulopati servikal. Penulis melakukan
pemeriksaan ini setiap kali dokter yang merujuk meminta untuk mengeksklusikan
diagnosis banding atau ketika kelainan studi konduksi motorik median
teridentifikasi. Hal ini menjadi dasar usulan untuk klasifikasi MNW seperti yang
digambarkan dalam Tabel 1 .
Sebagai kesimpulan, AAOS sependapat dengan AANEM dan dokter
neurofisiologi klinis lainnya bahwa EDX berperan penting dalam evaluasi MNW.
Saya berpendapat bahwa EDX jauh lebih sensitif dan spesifik dibanding metode
klinis lainnya untuk menentukan keberadaan MNW. Dengan ketiadaan studi
definitif yang menunjukkan efikasi pembedahan pada pasien dengan CTS dengan
hasil pemeriksaan EDX normal atau abnormal minimal, tatalaksana konservatif
harus selalu mendahului intervensi bedah. Namun, intervensi bedah harus
dipertimbangkan ketika ada bukti EDX terhadap perkembangan interval MNW
meskipun telah mendapat tatatalaksana konservatif. Kasus MNW tahap lanjut
harus dipertimbangkan untuk bedah dekompresif dalam upaya untuk mengurangi
pengurangan akson. Untuk pasien tanpa gejala dengan EDX MNW, rekan bedah
kami harus mempertimbangkan median nerve release ketika ada bukti
pengurangan akson yang signifikan seperti yang didefinisikan oleh pemeriksaan
EDX.
Jeremy Bland: Apa tujuan dari pemeriksaan konduksi saraf pada CTS?
Bukan hanya Guideline AAOS terbaru pada CTS ( AAOS, 2016 ) dan
editorialisasi ahli bedah individual ( Fowler, 2017 ) yang ditangani oleh Dr.
Menkes yang mempertanyakan peran NCS dalam penatalaksanaan CTS, begitu
pula banyak kontroversi di USA seperti yang dikatakan oleh Dr. Sonoo. Draf
guideline terbaru dari British Orthopedic Association juga menyarankan bahwa
tidak perlu konfirmasi laboratorium untuk mendiagnosis pre-operatif, dan banyak
karya tulis yang menyatakan bahwa pembedahan carpal tunnel tanpa didahulu
pemeriksaan tetap efektif ( Zyluk dan Szlosser, 2013 ) dan hasil NCS tidak
memiliki nilai prediksi untuk outcome pembedahan ( Concannon et al., 1997 ).
Banyak dokter bedah tangan frustasi jika diberitahu oleh dokter saraf atau pihak
asuransi bahwa mereka harus melakukan NCS pada pasien CTS. Mereka tahu dari
pengalaman pribadi bahwa ketika mereka telah yakin mendiagnosis CTS,
sebagian besar pasien senang dengan outcome pe,nedajam. Pengalaman pribadi
ini merupakan refleksi akurat dari hasil pembedahan biasa dan survei terbaru
menunjukkan bahwa banyak dokter bedah mengoperasi tanpa menentukan NCS (
Lane et al., 2014, Sears et al., 2017 ). Oleh karena itu terdapat konflik pendapat
antara dokter bedah yang tidak melihat nilai dalam NCS sebagai bagian dari
penatalaksanaan rutin pasien CTS dengan dokter saraf yang percaya bahwa
pemeriksaan NCS menambah nilai klinis dan harus dilakukan pada setiap pasien
dengan dugaan CTS sebelum pembedahan.
Pertama, NCS dapat mendeteksi patologi lainnya. Fowler bertanya berapa angka
“number needed to treat” (NNT) dari pemeriksaan NCS pada pasien dengan CTS
klasik untuk mengungkapkan diagnosis yang tidak terduga yang memengaruhi
penatalaksanaan pasien ( Bland and Fowler, 2017 ). Saya tahu tidak ada studi
terpublikasi yang secara memadai menjawab pertanyaan ini, sebagian karena
kesulitan dalam mendefinisikan “CTS klasik”. Namun pada 21,000 rujukan ke
klinik saya untuk dugaan CTS, 7% pasien dengan tes normal untuk CTS memiliki
bukti neurofisiologis adanya masalah neurologis lain yang dapat menjelaskan
gejala dan 5% pasien dengan bukti CTS juga memiliki bukti adanya gangguan
neurologis lain yang akan mempengaruhi outcome terapi CTS atau memerlukan
terapi lain, sehingga menunjukkan skor NNT sekitar 8.
Kedua, NCS bisa menjadi alat ukur kuantitatif dari fungsi fisiologis saraf
medianus yang dapat digunakan dalam memandu tatalaksana dan prognostik. Ini
merupakan rentang berkelanjutan dari konduksi murni saraf normal pada pasien
berusia 15 tahun hingga pasien dengan ketiadaan fungsi terukur. Tidak ada tingkat
batasan fungsi sebenarnya dimana pasien harus dianggap “abnormal” dan batas
normal hanyalah konstruksi statistik berdasarkan rentang fungsi yang diukur
dalam populasi sehat asimtomatik. Beberapa orang yang berada di luar rentang
“normal”
akan memiliki kelainan saraf medianus asimtomatik (MNW), yang lain hanya
akan mewakili satu ekstrim dari kisaran normalitas. Meskipun kurangnya
pemisahan yang jelas antara subyek normal dan abnormal, ada hubungan yang
kuat antara fungsi saraf medianus yang diukur dengan NCS dan probabilitas
bahwa individu akan datang dengan sindrom klinis CTS ( Gambar 2 ).
Sumber kebingungan lain adalah keberadaan pasien dengan gejala CTS berat
subyektif dengan sedikit atau tidak ada kelainan NCS, atau situasi terbaik dimana
fungsi saraf yang sangat buruk tetapi memiliki sedikit gejala, hal tersebut
berkontribusi pada pemikiran dokter bedah bahwa tes tidak memiliki hubungan
dengan kenyataan. Burke telah menjelaskan alasan korelasi terbatas antara
keparahan gejala dan NCS walaupun masih menyatakan hal sebaliknya ( Mondelli
et al., 2000 ), terdapat korelasi yang sangat signifikan, meskipun lemah, antara
derajat neurofisiologis dan subjektif ( Gambar 3). ).
Gambar 4. Hubungan antara derajat neurofisiologis pra-pembedahan, dinilai
seperti pada Bland (2000a) , dan outcome pembedahan. Opini subyektif
keseluruhan dari efek pada gejala dari tindakan pembedahan untuk 7,410
dekompresi carpal tunnel NHS rutin. Pendapat pasien dikumpulkan 3 bulan
sampai 2 tahun setelah operasi. Jumlah kasus pada masing-masing kelompok
ditunjukkan dalam diagram batang.
Jika setiap pasien dengan CTS klinis yang pada akhirnya membutuhkan tindakan
pembedahan, seperti yang diyakini oleh beberapa dokter bedah, maka pendekatan
yang paling efektif adalah dengan segera melakukan pembedahan. Namun
pembedahan tidak bisa dihindari. Sejarah alami CTS yang tidak ditatalaksana
telah diteliti secara tidak memadai tetapi terdapat bukti bahwa beberapa pasien
dapat membaik tanpa intervensi khusus ( Padua et al., 2001 ), dan beberapa
membaik dengan bidai saja (Gerritsen et al., 2002 ). Suntikan kortikosteroid lokal
tidak diragukan lagi keefektifannya dalam jangka pendek hingga menengah
(Marshall et al., 2007 ) tetapi review ini sudah ketinggalan zaman dan beberapa
penelitian jangka panjang sekarang menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
yang ditatalaksana tanpa pembedahan tetap baik selama 5-8 tahun ( Jenkins et al.,
2012, Evers et al., 2017, Hameso dan Bland, 2017 ). Pembedahan juga memiliki
morbiditas jangka panjang yang signifikan ( Bland, 2007 ), beberapa komplikasi
lebih besar dibandingkan tingkat komplikasi untuk injeksi kortikosteroid yang
memiliki tingkat komplikasi serius <0,1% ( Kaile dan Bland, 2018 ). Dengan
demikian ada beberapa pilihan tindakan non-bedah dan banyak pasien lebih
memilih untuk menghindari pembedahan.
Diskusi tentang peran NCS dalam memilih terapi tidak dapat dipisahkan dari
pertimbangan prognosis. NCS bermanfaat karena membantu kita untuk
memprediksi apa yang akan terjadi setelah intervensi. Literatur tentang topik ini
sangat luas dengan beberapa laporan yang menunjukkan bahwa perubahan NCS
yang lebih berat dikaitkan dengan outcome yang lebih buruk ( Iida et al., 2008,
Ezquerra-Hernando et al., 2014 ), beberapa perubahan NCS yang lebih berat
dikaitkan dengan outcome yang lebih baik ( Atroshi et al., 1998, Straub, 1999 ),
dan beberapa menemukan tidak ada hubungan sama sekali ( Concannon et al.,
1997, Watchmaker and Watchmaker, 2017 ). Hasil yang bertentangan dijelaskan
oleh hubungan non-linear antara beratnya NCS dan outcome bedah ( Gambar 4 )
dan oleh banyak penelitian yang lemah. Sebuah penelitian terhadap pasien yang
lebih ringan menemukan bahwa hasil NCS yang lebih berat berkorelasi dengan
prognosis yang lebih baik, sementara satu dari pasien yang lebih berat mengalami
hal sebaliknya. Meruntuhkan kategori derajat NCS yang lebih rendah bisa saja
memiliki prognosis yang baik ataupun buruk, sehingga hasil rata - rata adalah
sama pada tiap kelompok.
Skala keparahan fisiologis untuk CTS harus memungkinkan gradasi yang baik.
Ringan /sedang/berat tidaklah menjelaskan ketajaman pengukuran NCS dan tidak
ada kesepakatan mengenai apa arti istilah-istilah ini ketika mereka digunakan
dalam pelaporan kesimpulan. Pengukuran neurofisiologis individu kurang cocok
untuk pemeriksaan ini. Potensi aksi saraf sensorik menjadi tidak dapat direkam
saat CTS menjadi lebih berat sementara latensi motorik distal tidak sensitif pada
CTS tahap awal dan juga menjadi tidak dapat direkam pada tahap berat ekstrim.
Neurofisiologis akan cukup sulit bagi dokter bedah yang tidak akrab dengan data
elektrofisiologis. Oleh karena itu diperlukan skema penilaian yang sederhana
namun formal. Tiga skema populer dan hubungan satu sama lain ditunjukkan pada
Gambar. 5 .
Dua pendekatan “one size fits-all” untuk tatalaksana telah diajukan; Tatalaksana
setiap orang secara konservatif (bidai dan / atau steroid), lalu pembedahan pada
mereka yang tidak merespon, atau pembedahan pada semua orang. Yang pertama,
meskipun menarik dan banyak digunakan di Inggris, pendekatan ini menghadapi
risiko bagi pasien grade 4-5 (saat pertama berobat) dimana dapat mengalami
perburukan menjadi kelompok dengan prognosis yang lebih buruk selama siklus
pengobatan konservatif. Poin kedua pasien tidak membutuhkan operasi dapat
menjalani pembedahan. Saya menyarankan strategi ketiga berdasarkan
pengukuran derajat CTS, dinilai seperti pada Gambar. 5 . Pasien grade 1 dan 2
ditatalaksana dengan splint dan injeksi kortikosteroid lokal saat awal. Jika mereka
gagal merespons atau relaps dan menjadi grade 3, peluang mereka untuk
mendapatkan outcome yang baik dari pembedahan akan lebih baik dibandingkan
jika mereka langsung dilakukan pembedahan. Pasien grade 4-6 harus langsung
dilakukan pembedahan, meskipun pasien grade 6 harus diingatkan bahwa prospek
pemulihan secara penuh (seperti semula) kurang baik. Pasien grade 3 dapat
ditawari pilihan tatalaksana medis ataupun pembedahan.
Gambar 5. Skema derajat yang populer untuk CTS. Untuk detail kriteria penilaian
berdasarkan NCS, lihat ( Padua et al., 1997, Stevens, 1997, Bland, 2000a ).
Guideline AAOS didasarkan pada analisis kekuatan bukti dalam literatur, dan ini
penting dalam memandu praktik berbasis bukti. Namun tidak mudah untuk
menerbitkan karya tulis tentang kondisi umum seperti ini kecuali seseorang dapat
menemukan sesuatu yang benar-benar baru dalam laporannya. Perlu diingat
bahwa hal ini dapat menyebabkan artikel terpublikasi menjadi bias dikarenakan
kasus-kasus yang tidak biasa dan studi etiologi, seperti literatur tentang cedera di
tempat kerja, yang dirancang untuk mendukung tenaga kerja manual dan
pergerakan pergelangan tangan berulang.
Guideline menunjukkan bahwa ada bukti kuat pada hubungan antara tenar wasting
dan carpal tunnel syndrome, dan ini tidaklah mengejutkan dalam konteks pasien
yang mengalami gejala sugestif dari carpal tunnel syndrome. Namun ahli saraf
harus khawatir jika kemudian hari terdapat wasting thenar tanpa disertai gejala
tersebut. Pada kasus dimana diagnosis carpal tunnel syndrome sudah ditegakkan
sebelumnya dan wasting thenar baru muncul (atau kehilangan fungsi sensoris
menetap ) hal ini menunjukkan kompresi neuropati yang berat, dan hasil
dekompresi cenderung tidak seperti semula. Dalam guideline, rekomendasi
mengenai demografi, gejala, tanda-tanda fisik , dan manuver provokatif
didasarkan pada setiap gejala yang dipertimbangkan secara terpisah. Namun
dokter tidak bergantung pada tanda dan gejala yang terisolasi tetapi pada
keseluruhan gambaran, dan kurangnya bukti kuat untuk gejala atau tanda saja
tidaklah meniadakan keberadaan gejala tersebut.
Distribusi gejala
Hampir semua dokter akan setuju bahwa seorang wanita muda terbangun di
malam hari akibat kebas diarea distribusi saraf medianus, dysaesthesiae dan / atau
nyeri pada lengan atas, hilang dengan mengibaskan pergelangan tangan
kemungkinan mengalami carpal tunnel syndrome. Tidak jarang saya menemukan
dokter yang mengharapkan gejala 'positif' carpal tunnel syndrome sesuai dengan
distribusi saraf medianus. Namun area nyeri yang dialami bersifat gejala lokal
(berbeda dengan nyeri tekan atau gejala “negatif”), dan telah lama diakui bahwa
ketidaknyamanan proksimal terjadi pada CTS. Ada banyak referensi yang
mengkonfirmasi penyebaran gejala, termasuk nyeri pada bahu dan lengan atas (
Loong, 1977, Torebjörk et al., 1984, Jackson dan Clifford, 1989, Stevens et al.,
1999, Nora et al., 2004, Seror, 2005, Zanette et al., 2007 ). Ada laporan pasien
yang berhasil ditatalaksana dengan dekompresi carpal tunnel, yang melaporkan
nyeri menjalar dari leher ke tangan ( Crymble, 1968 ) dan disertai nyeri bahu (
Kummell dan Zazanis, 1973 ). Seringkali pasien mengatakan bahwa masalah
mereka melibatkan seluruh aspek telapak tangan dan jari, bahkan mati rasa.
Gangguan sensorik melibatkan digiti V pada 39% pasien dengan CTS dan nyeri
dirasakan pada digit V pada 11% ( Clark et al., 2011 ), mengarahkan penulis
untuk menyimpulkan bahwa ''Distribusi gejala atipikal adalah kejadian umum dan
tidak boleh mencegah diagnosis CTS”. Demikian pula Zanette et al. melaporkan
bahwa pola ekstra-medianus dan nyeri proksimal ditemukan pada 33,3% dan
37,5% pasien ( Zanette et al., 2010 ). Sementara pasien dengan gejala terbatas
pada distribusi median dan mereka dengan distribusi ekstramedian dapat
merespon sama baiknya dengan pembedahan ( Claes et al., 2014 ), ada bukti
bahwa pasien dengan paraestesia hanya pada distribusi saraf medianus memiliki
defisit lebih berat dibandingkan pasien yang melaporkan paraesthesiae dalam
distribusi hand glove (Caliandro et al., 2006). Sehubungan dengan mekanisme dan
tatalaksana, Zanette et al. menemukan bukti yang konsisten mengenai “sensitisasi
sentral” , dan menyimpulkan bahwa temuan mereka dapat menjelaskan
“bertahannya gejala sensorik setelah pembedahan dekompresi saraf medianus dan
adanya pola sensorik non-anatomis dalam nyeri neuropatik” ( Zanette et al., 2010
). Kemungkinan “sensitisasi sentral” pada CTS belum terbukti, tetapi
menimbulkan pertanyaan apakah ketiadaan respons memuaskan terhadap
dekompresi diartikan bahwa diagnosis hanya sebatas “suspect” dan pembedahan
tidak diperlukan (yaitu, respons positif terhadap dekompresi mungkin tidak
memenuhi persyaratan Dr. Sonoo untuk “gold standard”).
Mengingat hal ini, dokter harus melakukan pemeriksaan konduksi saraf dengan
tepat. Pertama, pemeriksaan konduksi saraf tidak dapat menegakkan “carpal
tunnel syndrome”, seperti yang ditunjukkan oleh Dr. Menkes, dan saya enggan
menerapkan istilah-istilah seperti “false positive” dan “false negative” untuk NCS
pada CTS. Para penulis setuju bahwa NCS dirancang untuk menunjukkan MNW
bukan CTS, yaitu untuk menunjukkan lesi yang mendasari yang bertanggung
jawab atas gejala dan tanda-tanda CTS. Mereka mendukung diagnosis CTS, tetapi
bukan menegakkan diagnosisnya. Kedua, kelainan konduksi saraf tidak selalu
simtomatik, seperti halnya bukti radiologis spondylosis servikal tidak berarti
bahwa gejala disebabkan oleh kelainan itu. Dalam hal ini, banyak pasien memiliki
kelainan konduksi saraf yang serupa (meskipun umumnya tidak berat) di sisi lain
mereka, asimtomatik. Sementara kelainan konduksi saraf umumnya membaik
setelah pembedahan dekompresi yang berhasil, namun kondisinya tidak kembali
seperti normal, seperti yang disebutkan oleh Dr. Menkes. Oleh karena itu bisa
sulit untuk menghubungkan kelainan konduksi saraf dengan kekambuhan
kompresi saraf pada pasien yang sebelumnya telah menjalani pembedahan
dekompresi, terutama jika pemeriksaan pra pembedahan tidak dilakukan. Ini
adalah salah satu dari sejumlah alasan mengapa NCS harus dilakukan pada semua
pasien dengan dugaan sindrom carpal tunnel sebelum pembedahan. Sebelum
mereka menjalani pembedahan, sebagian besar pasien ingin tahu bahwa dokter
bedah memang pembedahan berdasarkan bukti adanya abnormalitas dibandingkan
hanya sekedar diagnosis klinis tanpa bukti. Tidak melakukan pemeriksaan
konduksi saraf sebelum pembedahan mengarah pada arogansi klinis; semua
dokter akan melihat pasien yang menjalani dekompresi untuk carpal tunnel
syndrome tetapi mungkin tidak pernah mengalami kondisi tersebut.
Ada beberapa pasien yang saya pikir diagnosisnya mungkin adalah carpal tunnel
syndrome tetapi pada pasien pasien ini pemeriksaan konduksi saraf tidak bersifat
diagnostik sesuai dengan kriteria yang saya gunakan. Dalam pandangan saya ini
bukanlah CTS tanpa MNW: tapi adalah CTS dengan MNW yang belum
ditentukan. Meskipun demikian, pemeriksaan yang masih sesuai: umumnya ada
perbedaan sehingga belum mencapai tingkat yang diperlukan untuk diagnosis, dan
saya meminta untuk menemui pasien lagi untuk pemeriksaan ulang dalam 6-12
bulan, kecuali jika masalahnya selesai.
Dalam CTS, NCS menunjukkan kelainan fokus pada akson bermyelinat besar dari
saraf medianus. Pada saat diperiksa, pasien biasanya asimtomatik, mati rasa dan
dysaesthesia mereda tak lama setelah bangun tidur. Hasil NCS pada pasien ini
sangat tinggi, dan hasilnya tidak mengalami peningkatan setelah pasien diperiksa
kembali saat mereka sedang mengalami gejala yang mengganggu. Pembaca harus
mengingat dua masalah. Pertama, kami tidak memeriksa akson kaliber kecil yang
bertanggung jawab atas nyeri, mungkin ini gejala yang paling mengganggu .
Kedua, pada serat yang dapat diperiksa, akson bermyelin, kami melihat konduksi
melambat di terowongan karpal (dengan atau tanpa kelemahan potensial aksi).
Kami menyinkronkan semua akson secara buatan untuk dilepaskan secara
bersamaan dan jika konduksi melambat 0.5-1.0 ms di seluruh carpal tunnel
mungkin bersifat “diagnostik”. Namun, dalam hal fungsi, perlambatan konduksi
pada derajat ini tidak penting asalkan jumlah akson cukup untuk dapat melakukan
konduksi. Dengan Akson sensoris bermyelin besar pada kulit, perlambatan tidak
akan berpengaruh pada persepsi sentuhan yang membutuhkan penjumlahan
temporal dan spasial dari aktivitas pelepasan akson yang tidak sinkron. Demikian
pula produksi gaya tidak dipengaruhi oleh penundaan konduksi motorik selama
beberapa milidetik, mengingat ketidaksinkronan pelepasan akson motorik dan
bahwa gaya kedutan unit motorik individu tertinggal sekitar 100 ms setelah EMG.
Untuk fungsi normal, masalah penting adalah jumlah akson penghantar, tetapi di
sini kita perlu mempertimbangkan bahwa kehilangan amplitudo / area lecutan
impuls saraf simultan (nerve volley) yang ditimbulkan bisa disebabkan oleh
pembatalan fase pada volley yang terdispersi lebih dari biasanya, dan ini terutama
untuk potensi sensorik. Dengan demikian terdapat korelasi yang signifikan antara
kelainan konduksi dan simptomatologi ( Gbr. 3 ) memberi nilai untuk NCS.
Ketika mati rasa terus terjadi di siang hari, potensi sensorik selalu kecil, dan saya
lebih cenderung akan merekomendasikan penatalaksanaan invasif.
Carpal tunnel syndrome [CTS] adalah sindrom yang sering tetapi tidak
selalu disebabkan oleh neuropati medianus pergelangan tangan (MNW).
Dengan demikian, ada pasien CTS dengan EDX normal dan pasien
asimtomatik dengan MNW yang terdeteksi oleh EDX.
NCS menjadi pemeriksaan yang reliabel untuk mendokumentasikan MNW
dan oleh karena itu berkontribusi pada diagnosis CTS.
Pasien dengan CTS sering melaporkan gejala di luar wilayah saraf
medianus, sedangkan MNW akan menimbuilkan kelainan EDX terbatas
pada saraf median.
Pemeriksaan konduksi saraf bisa negatif atau menunjukkan kelainan
minimal. Follow-up pemeriksaan pada interval yang sesuai disarankan
pada pasien dengan temuan ringan atau samar-samar. Pasien seperti itu
harus ditatalaksana secara konservatif. Namun, pasien - pasien ini harus
diperiksa jika relaps untuk memastikan bahwa progresi tidak terjadi.
Setiap pasien dengan dugaan CTS harus menjalani NCS sebelum
penatalaksanaan invasif (misalnya, injeksi kortikosteroid atau
pembedahan). Injeksi kortikosteroid lokal bisa sama efektifnya dengan
dekompresi dalam meringankan gejala, dan ada bukti bahwa EDX dan
kelainan USG berkurang dalam 12 bulan setelah injeksi. Apakah mereka
seefektif dekompresi bedah dalam jangka panjang (> 12 bulan) masih
belum diketahui.
Derajat NCS dapat digunakan untuk membantu pilihan penatalaksanaan
awal, tetapi sebaiknya tidak meyatakan keabsolutannya. Faktor pasien
seperti tingkat ketidaknyamanan dan faktor-faktor sosial seperti pekerjaan
menjadi pertimbangan penting.
Needle EMG tidak wajib pada kasus CTS tetapi dapat dilakukan ketika
secara klinis diindikasikan untuk diagnosis banding atau lokalisasi lesi.
Indikasi untuk needle EMG juga meliputi penetapan seberapa akut dan
berat kelainan tersebut, atau bahwa kelainan itu memang ada di carpal
tunnel. Tahap lanjut mungkin membutuhkan EMG pada otot di luar
eminensia tenar tergantung pada diagnosis banding.
Pasien dengan outcome bedah yang tidak memuaskan pada 6 minggu
hingga 3 bulan harus menjalani pemeriksaan ulang dan hasilnya
dibandingkan dengan pemeriksaan pra-pembedahan.
Karena tidak memiliki gold standard untuk diagnosis, dokter harus
menggunakan semua pemeriksaan diagnostik yang sesuai meliputi gejala /
tanda dan NCS untuk meningkatkan akurasi diagnostik. Klaim bahwa
NCS tidak diperlukan untuk diagnosis atau tatalaksana CTS adalah hal
yang tidak berdasar. NCS juga dapat mendokumentasikan keadaan fungsi
saraf sebelum prosedur invasif yang memungkinkan untuk perbandingan
pasca-intervensi bila diperlukan.