Anda di halaman 1dari 109

PRESENTASI KASUS BANGSAL

THERAPEUTIC PLASMA EXCHANGE

PADA KASUS SINDROM GUILLAIN-BARRE

Oleh :
Nysia Priscilla Angga Kusuma

Moderator:
Dr. dr. Retnaningsih, Sp.S(K), KIC

PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG

2022

0
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................... 1
Bab 1 ........................................................................................................ 2
Pendahuluan ............................................................................................. 2
Bab 2 ........................................................................................................ 4
Definisi ..................................................................................................... 4
Epidemiologi …………………………………………………………… 4
Klasifikasi ................................................................................................ 5
Etiologi ..................................................................................................... 7
Patofisiologi ............................................................................................. 9
Gejala Klinis ............................................................................................. 12
Diagnosis .................................................................................................. 16
Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 21
Temuan laboratorium ............................................................................... 19
Diagnosis banding .................................................................................... 25
Terapi ....................................................................................................... 28
Komplikasi ……………………………………………………………… 53
Prognosis .................................................................................................. 54
Bab 3…………………………………………………………………….. 58
Kesimpulan ……………………………………………………………... 58
Daftar Pustaka …………………………………………………………... 60

1
BAB I
PENDAHULUA
N

Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab paling sering dari


paralisis generalisata akut atau subakut. Pada tahun 1859, seorang neurolog
Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini,
sedangkan istilah landry asending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler
menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun
1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas
berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peningkatan
jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbumin. Nama SGB
dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan cairan serebrospinal, juga adanya kelainan pada pemeriksaan
EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan
hantar saraf pada EMG.1,2
SGB mempunyai karakteristik kelemahan anggota gerak simetris,
progresif, asenden, akut/ subakut dengan parestesi distal dan refleks tendo yang
menurun atau menghilang pada pasien yang sebelumnya sehat. Pada pemeriksaan
cairan serebrospinal didapatkan disosiasi sitoalbumin.2 Kelainan ini diawali
dengan kejadian autoimun dan diinisiasi dengan infeksi dalam 2/3 kasus, terutama
infeksi pada saluran respirasi dan gastrointestinal. Mikroorganisme yang paling
sering menyebabkan infeksi adalah Campylobacter jejuni. Sedangkan
mikroorganisme lainnya adalah Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus,
Mycoplasma pneumoniae, dan Haemophilus influenza.1,2

2
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat
menyerang semua umur. Angka kejadian pertahun Sindrom Guillain-Barre di
Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada
laki-laki dan wanita 3:2.3 Sindrom Guillain-Barre termasuk penyakit serius
dengan ancaman kematian sekitar 2-3% akibat gagal pernafasan dan gagal fungsi
jantung sehingga perlu dikelola sedini mungkin.1,2

Pertukaran plasma terapeutik (Therapeutic plasma exchange (TPE)) telah


digunakan sebagai modalitas pengobatan dalam banyak penyakit autoimun,
termasuk penyakit neurologi seperti Sindrom Guilain Barre dan chronic
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (CIDP). The American
Society for Apheresis (ASFA) mempublikasikan panduan tentang penggunaan
terapi apheresis berdasarkan bukti setiap 3 tahun untuk membantu para Dokter.
Panduan ASFA termasuk di dalamnya mengenai penggunaan TPE pada SGB dan
CIDP yang diterima sebagai terapi lini pertama, baik sebagai pengobatan sendiri
atau sebagai kombinasi dengan modalitas terapi lainnya.1,2

Pertukaran plasma terapeutik dan IVIG adalah immunoterapi yang efektif


untuk pasien dewasa dan anak dengan SGB jika diberikan dalam minggu-minggu
awal perjalanan penyakit. Secara garis besar berdasarkan penelitian yang ada,
TPE dan IVIg memiliki efektifitas yang sama sebagai terapi pada SGB berat.
Namun, dalam segi ekonomi, TPE lebih murah dibandingkan dengan pemberian
IVIG.1,2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan polineuropati akut yang
disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB ditandai dengan
gejala dan tanda paralisis lower motor neuron (LMN) akut dengan ciri khas
kelemahan progresif pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, parestesia pada
tubuh dan arefleksia relatif ataupun komplit. Pola yang terjadi biasanya diawali
dengan paralisis flaksid tipe asending yang dapat bertambah parah dalam
beberapa hari bahkan beberapa minggu. Disfungsi otonom biasa terjadi dengan
manifestasi kehilangan kontrol vasomotor yang berefek pada tekanan darah,
hipotensi postural dan aritmia kordis. Kegagalan sistem pernapasan dan
kelemahan orofaringeal mungkin membutuhkan ventilator terjadi pada 1/3 pasien
yang dirawat inap membuat SGB menjadi kelainan yang membutuhkan
penanganan awal demi mempertahankan tanda vital.1,3
Parry mengatakan bahwa Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati
yang bersifat asending dan akut yang sering terjadi 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Bosch, Sindrom Guillain-Barre merupakan suatu Sindrom klinis yang
ditandai adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. 1,3

2.2 EPIDEMIOLOGI
Insidens SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. SGB lebih jarang ditemukan pada anak dibandingkan dewasa dan insidens
SGB meningkat seiring bertambahnya usia, proporsi laki-laki lebih besar
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 1,7:1.3

Karakteristik serta variasi klinis SGB beragam di berbagai tempat. Acute

4
inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi di
Amerika Utara, Arab, dan Eropa. Sementara acute motor axonal neuropathy
(AMAN) lebih sering terjadi di wilayah Amerika Tengah, Amerika Selatan,
Bangladesh, Jepang dan Meksiko. Di Indonesia, penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan jumlah kasus baru SGB yang
dirawat di RSCM sekitar 7,6 kasus per tahun. Penderita SGB di RSCM terutama
dewasa muda dengan rerata usia 40 tahun dan rasio laki-laki : perempuan adalah
1,2:1.3

Gambar 1. Epidemiologi Dari Sindrom Guillain Barre 3

2.3 KLASIFIKASI
Sindrom Guillain-Barre terbagi menjadi 3 subtipe utama yaitu: acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), subtipe axonal,
seperti acute motor neuropathy (AMAN) dan acute motor and sensory axonal
neuropathy (AMSAN), dan beberapa varian Sindrom Guillain-Barre.3,4
Sindrom Guillain-Barre adalah kelainan saraf tepi yang sulit dibedakan
dengan beberapa kondisi lainnya. Diagnosanya berdasarkan temuan klinis yang
tipikal/khas, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan pemeriksaan dari cairan
serebrospinal. Semua itu berguna untuk menentukan subtipe dari SGB karena
bentuk axonal seperti AMAN dan AMSAN memiliki prognosis yang lebih
5
buruk.3,4

Tabel.1 Klasifikasi SGB3,4

Sindrom Guillain Barre


Poliradikuloneuropati Demielinisasi Inflamasi Akut
Neuropati Aksonal Motorik-Sensorik Akut (AMSAN)
Neuropati Aksonal Motorik Akut (AMAN)
Varian Sindrom Guillain Barre
Sindroma Miller Fischer
Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff
Varian Faringeal-servikal-brakial
Varian neuropati kranial multiple
Diplegia fasial dengan parestesi
Paraparesis akut
Pandisotonomia akut

6
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)
AIDP merupakan varian yang paling sering dijumpai dalam 85% kasus.
Merupakan jenis SGB yang disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang
membran sel Schwann. AIDP menyebabkan inflamasi pada aksonal perifer. AIDP
klasik terjadi dengan kelemahan yang bersifat progresif cepat dan bilateral
(namun tidak harus selalu simetris). Parestesia dapat ditemukan namun kelemahan
tetap merupakan temuan predominan. Pasien dapat mengeluhkan kesulitan
berjalan atau naik tangga.3,4

2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)


AMAN hanya mempengaruhi motorik dan melibatkan sistem pernafasan.
Sering menimpa anak-anak dan dewasa muda. Pasien datang dengan kelemahan
otot proksimal dan distal, terkadang dengan kelumpuhan otot-otot pernafasan.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti walaupun salah satu teori mengatakan
etiologinya adalah infeksi Campylobacter jejuni. AMAN biasa diawali dengan
nyeri gastrointestinal. Bersama dengan AMSAN, akson merupakan target spesifik
dari serangan autoimun.5,6

3. Acute Motoric and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)


Degenerasi terjadi di aksonal motorik maupun sensorik. Kehilangan sensasi
dan kelemahan ditemukan dan terkadang dengan paralisis sistem pernafasan.
AMSAN tidak dapat dibedakan secara klinis dengan AIDP akut. Kebanyakan
pasien menjadi tetraplegia dan sulit bernafas dalam hitungan hari. Mungkin dapat
juga terjadi perubahan di pembuluh darah maupun nadi.5,6

4. Miller Fisher Syndrome (MFS)


Degenerasi dari aksonal dan demielinisasi terjadi, mirip dengan AIDP.
Merupakan varian SGB yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis
desenden, berlawanan dengan jenis SGB yang sering terjadi. Umumnya mengenai
otot-otot okuler terlebih dahulu dan terdapat trias gejala : oftalmoplegia, ataksia
dan

7
arefleksia. Pasien mengalami keluhan penglihatan ganda, ataksia, dan vertigo.
Dalam beberapa kasus, terdapat kelemahan dari nervus kranial dan ekstremitas.
Gejala berkembang beberapa hari sampai beberapa minggu. Ptosis dan midriasis
dapat terlihat di pemeriksaan.5,6

5. Acute Pandysautonomic Neuropathy


Merupakan varian yang paling jarang, dapat disertai dengan ensefalopati.
Gejalanya dapat terjadi kegagalan sistem simpatis dan parasimpatis.5,6

6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)


Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran,
hiperefleksia atau refleks babinski. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang
otak.5,6

2.4 ETIOLOGI
A. Campylobacter jejuni
Infeksi diketahui sebagai prekursor awal dari Sindrom Guillain Barre.
Campylobacter jejuni merupakan patogen yang sering teridentifikasi.
Campylobacter jejuni adalah bakteri gram negatif. 10 Sekitar 20% pasien diawali
dengan penyakit seperti diare. Studi dari Amerika Serikat dan Eropa telah
menunjukkan bukti serologis atau bukti kultur mengenai infeksi C.jejuni yang
mengawali SGB sekitar 26-36% pasien. SGB yang diawali dengan infeksi C.
jejuni diasosiasikan dengan masa penyembuhan yang lebih lama, sisa kecacatan
yang berat, dan degenerasi aksonal.6,7
Patogenesis dari C. jejuni dapat dijelaskan dengan sistem “molecular
mimicry”. Gangliosida adalah molekul permukaan yang penting pada sistem saraf.
Melalui konsep molecular mimicry ini, antibodi terbentuk melawan epitope yang
mirip dengan gangliosida bereaksi dengan sistem saraf tepi menimbulkan
kerusakan.7

8
B. Cytomegalovirus
Cytomegalovirus merupakan infeksi tersering kedua yang dilaporkan. Bukti
dari infeksi awal Cytomegalovirus terdapat pada 5% pasien dengan SGB dalam
studi Jepang dan 11-13% di studi Eropa. Dalam sebuah studi Belgia, SGB
dilaporkan tinggi sekitar 22%. Ditemukan lebih sering pada wanita dan grup
dewasa muda. Individu yang didahului infeksi Cytomegalovirus cenderung lebih
parah dengan kesulitan bernafas. Bahkan sering berkembang menjadi kelemahan
nervus kranial (biasanya facial palsy bilateral) dan kehilangan sensorik yang
parah.5,6,7

C. Infeksi lainnya.
Epstein Barr virus dan Mycoplasma pneumonia sering ditemukan di SGB.
Bukti serologik dari infeksi Haemophilus influenzae, parainfluenza type 1 virus,
influenza A and B viruses, adenovirus, varicella zoster virus, and parvovirus B 19
jarang terjadi.5,6
Agen infeksius lain yang berhubungan dengan SGB termasuk influenza,
hepatitis A, B, C, dan E, dan juga Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada
infeksi HIV, biasanya AIDP timbul pada waktu serokonversi atau pada awal
perjalanan penyakit.5,6
Vaksinasi terutama pada swine flu, dihubungkan dengan angka kejadian
SGB. Beberapa peningkatan risiko dari SGB berhubungan dengan vaksinasi
influenza musiman. Beberapa studi menunjukkan beberapa peningkatan risiko
dari SGB berhubungan dengan vaksinasi H1N1.6,7
Beberapa kelainan dihubungkan dengan kemungkinan peningkatan risiko
dari SGB termasuk kelainan autoimun, limfoma, dan lainnya. Beberapa agen
imunomodulator seperti tumor necrosis alpha blockers dapat meningkatkan risiko
terjadinya SGB.6,7

2.5 PATOFISIOLOGI

Para ilmuwan mengetahui sampai saat ini adalah bahwa sistem imun

9
menyerang tubuhnya sendiri dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut
sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel imunitas ini menyerang benda asing
dan organisme pengganggu, namun pada SGB, sistem imun mulai
menghancurkan selubung mielin yang mengelilingi aksonal saraf perifer, atau
bahkan aksonal itu sendiri.
Teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
disebutkan bahwa organisme telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun seperti limfosit dan makrofag untuk
menyerang mielin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung mielin dan
menyebabkan destruksi dari mielin. 17

Infeksi sebelumnya dilaporkan pada hingga 70% pasien dengan Sindrom

Guillain-Barre. Oleh karena itu, mimikri molekuler memainkan peran penting

dalam pemahaman kita tentang SGB, khususnya varian aksonal. Lipooligosakarida

dari Campylobacter jejuni mirip dengan gangliosida membran saraf perifer.

Imunisasi pasif kelinci dengan lipooligosakarida seperti gangliosida ini telah

menyebabkan sindrom klinis yang serupa dengan tetraplegia flaksid, mirip dengan

varian neuropati aksonal motorik akut (AMAN) SGB. Antibodi gangliosida telah

terbukti memiliki target saraf perifer yang berbeda. Antibodi anti-GD1a mengikat

mielin paranadol, nodus Ranvier, dan sambungan neuromuskular. Antibodi GM1

dan GQ1B mengikat saraf perifer atau sambungan neuromuskular. Target saraf

perifer yang berbeda inilah yang memainkan peranan dalam heterogenitas

presentasi klinis SGB. Selain itu, kaskade komplemen diaktifkan dan memainkan

peran kunci dalam patogenesis penyakit.

Gangliosida tertentu lebih mungkin dikaitkan dengan presentasi tertentu.

Misalnya, sindrom Miller-Fisher dikaitkan dengan antibodi anti-GQ1B. Bentuk

10
neuropati motorik aksonal mungkin terkait dengan antibodi anti-GM1. Varian

faring-serviks-brakial SGB dapat dikaitkan dengan antibodi anti-GT1A. Namun,

selain hubungan sindrom Miller-Fisher dengan antibodi anti-GQ1B, sensitivitas dan

spesifisitas semua antibodi untuk subtipe spesifik adalah hasil yang rendah hingga

sedang untuk utilitas klinis. Mengingat bahwa tidak semua pasien dites positif

untuk antibodi anti-gangliosida, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk

menjelaskan peran antibodi anti-gangliosida pada SGB, sebagai penyebab atau

epifenomenon.

11
Gambar 2. Patofisiologi Sindrom Guillain-Barre yang dicetuskan
oleh infeksi Campylobacter jejuni 17

Mielin bersifat insulator dan melindungi sel saraf, bekerja meningkatkan


kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Pada SGB, terbentuk
antibodi atau imunoglobulin sebagai reaksi adanya antigen atau partikel asing
dalam tubuh. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai mielin
serta merusaknya dengan bantuan sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
mielin. Akibatnya produksi mielin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, mielin yang telah ada dirusak oleh antibodi tubuh, sehingga jaringan
saraf perifer akan hancur secara bertahap.17

Saraf motorik, sensorik dan otonom akan diserang, transmisi sinyal


melambat, terblok/terganggu sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini
akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas serta sulit melakukan
aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Apabila sistem imun telah kembali
normal, serangan ini akan berhenti dan pasien akan kembali pulih. 17
Pada SGB terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif ataupun paralisis akut. Sehingga SGB disebut

12
sebagai neuropati perifer.
SGB dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi
yaitu :
1. Tipe demielinasi, bila selubung mielin yang menyelubungi aksonal rusak atau
hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau
melambat, sehingga timbul sensasi abnormal atau kelemahan. Prosesnya
disebut sebagai demielinasi primer.
2. Tipe aksonal, bila aksonal saraf akan rusak dalam proses demielinasi
sekunder, yang terjadi pada pasien dengan inflamasi berat. Apabila aksonal
ini putus, sinyal saraf akan diblok dan tidak dapat ditransmisikan lanjut. Tipe
ini sering terjadi setelah gejala diare, serta prognosisnya kurang baik karena
regenerasi aksonal membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung
mielin.
3. Tipe campuran, tipe ini merusak baik aksonal mupun mielin. Paralisis jangka
panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada aksonal
serta selubung saraf.

13
Gambar 3. Patogenesis Sindrom Guillain-Barre7

2.6 GEJALA KLINIS


Pasien dengan SGB umumnya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu kemudian berhenti spontan untuk kemudian
pulih kembali. Gejala-gejala sindrom dapat dibagi menjadi beberapa fase :7
1. Fase prodromal yaitu fase sebelum gejala klinis terjadi.
2. Fase laten yaitu waktu antara timbul infeksi/prodromal yang mendahuluinya
sampai timbulnya gejala klinis. Lama: 1-28 hari, rata-rata 9 hari.
3. Fase progresif yaitu umumnya berlangsung 2-3 minggu sejak timbulnya
14
gejala awal sampai menetap. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik. Fase defisit neurologis (+), beberapa hari
– 4 minggu, jarang > 8 minggu, dimulai dari onset (mulai terjadi
kelumpuhan yang bertambah berat sampai maksimal perburukan > 8
minggu disebut chronic inflammatory demielinating
polyradiculoneurophatty (CIDP)).
4. Fase plateau yaitu kelumpuhan telah maksimal dan menetap dengan fase
pendek: 2 hari, > 3 minggu, jarang > 7 minggu.
5. Fase penyembuhan yaitu fase perbaikan kelumpuhan motorik dalam
beberapa bulan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan mielin, gejala berangsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi.

Gambar 4 :Perjalanan penyakit SGB 4

Gejala yang sering ditemukan pada kasus SGB adalah sebagai berikut :
• Rasa baal di kedua tungkai, lengan dan wajah.
• Hilangnya refleks
• Lemas otot sampai lumpuh pada kedua tungkai dan lengan
• Nyeri pinggang

• Pada kasus yang lebih parah dapat ditemukan gangguan gerak bola mata,
gangguan bicara, gangguan mengunyah dan menelan (disfagia), gangguan
BAB dan BAK, serta gangguan pernafasan.

15
AIDP biasanya diawali dengan mati rasa dan kesemutan di kaki yang secara
progresif asending dari kaki dan kemudian ke lengan. Mati rasa dan paresthesia
juga dapat melibatkan wajah dan tubuh. Sensasi nyeri neuritis yang parah, terasa
seperti tertusuk-tusuk, atau terbakar di punggung dan anggota badan terdapat pada
setidaknya setengah pasien dan mungkin sangat umum pada anak-anak. Sensasi
sentuhan, getaran, dan posisi lebih parah dampaknya daripada rasa sakit dan
persepsi suhu. Meskipun gejala awal biasanya bersifat sensorik, kelemahan otot
progresif dengan cepat menjadi temuan dominan dalam banyak kasus.6

16
Kelemahan progresif biasanya menyertai gangguan sensorik. Tingkat
keparahan dapat berkisar dari kelemahan distal yang ringan hingga quadriplegia
lengkap dan kebutuhan ventilasi mekanis. Kelemahan biasanya pertama kali
dirasakan di kaki dan naik ke lengan, tubuh, kepala, dan leher. Ropper
melaporkan bahwa 56% memiliki onset kelemahan pada tungkai, 12% di lengan,
dan 32% secara bersamaan di lengan dan kaki. Kadangkadang, ada temuan
desending dengan onset di saraf kranial, dengan berikutnya perkembangan ke
lengan dan kaki. Kelemahan wajah ringan juga jelas pada setidaknya setengah
dari pasien selama perjalanan penyakit. Ophthalmoparesis dan ptosis berkembang
pada 5–15% pasien. Usus besar dan kandung kemih biasanya terhindar, meskipun
ini mungkin terlibat dalam keadaan penyakit yang sangat parah. Ketidakstabilan
otonom sering terjadi pada AIDP dengan hipotensi atau hipertensi dan kadang-
kadang aritmia jantung.6
Sekitar 25-30% pasien dengan AIDP mengalami kegagalan ventilasi.
Karena serangan imun dari AIDP memiliki predileksi awal untuk saraf. Karena
alasan ini, penting untuk melihat kekuatan dari fleksor and ekstensor leher serta
abduktor bahu secara seksama. Kelompok otot ini dipersarafi oleh servikal dekat
dengan saraf frenikus (C3C4), dan dengan demikian, berkorelasi baik dengan
kekuatan diafragma dan kegagalan ventilasi yang akan datang.ada fase plateau
beberapa hari hingga minggu diikuti dengan pemulihan bertahap selama beberapa
bulan. Namun 50-85% pasien memiliki derajat gejala sisa 7 tahun setelah onset
penyakit.6
Lebih lanjut, mungkin sebanyak 5-10% pasien yang awalnya membaik akan
mengalami kekambuhan dalam beberapa hari atau hingga 3 minggu setelah
menyelesaikan pengobatan, dan ada beberapa kasus CIDP yang telah dimulai
secara akut. Oleh karena itu kadang-kadang sulit untuk memastikan awalnya jika
pasien akan berperilaku sebagai AIDP atau akan berevolusi menjadi CIDP dan
membutuhkan imunoterapi jangka panjang.6
Diagnosis CIDP akut harus dipertimbangkan ketika pasien SGB memburuk
lagi setelah 8 minggu dari onset atau ketika ada 3 atau lebih kekambuhan.Tingkat
mortalitas di SGB berkisar antara 2-5%, dengan pasien yang meninggal sebagai
akibat dari sindrom gangguan pernapasan, pneumonia aspirasi, emboli paru,
17
aritmia jantung, dan sepsis yang terkait dengan infeksi sekunder. Sebagian besar
pasien meninggal selama periode pemulihan. Faktor risiko untuk prognosis yang
buruk meliputi: usia lebih dari 50-60 tahun, timbulnya kelemahan yang
mendalam, kebutuhan untuk ventilasi mekanis, dan penundaan pengobatan dari
onset kelemahan.6
Disfungsi otonom dapat timbul pada SGB. Manifestasi yang melibatkan
otonom adalah gangguan berkeringat, gangguan irama jantung, dan juga kontrol
tekanan darah.13 Kelemahan progresif cepat adalah temuan klinis inti dari SGB.
Kelemahan maksimal dicapai dalam 4 minggu, tetapi kebanyakan pasien
mencapainya dalam 2 hingga 3 minggu. Setelah itu, pasien memasuki fase dataran
plateau yang berkisar dari hari ke minggu atau bulan (Gbr. 1). Fase ini diikuti oleh
fase pemulihan yang biasanya lebih lambat. Di Eropa, sekitar 1/3 pasien SGB
tetap dapat berjalan, sekitar 25% dari pasien SGB yang tidak dapat berjalan,
membutuhkan ventilasi buatan,terutama karena kelemahan otot-otot pernapasan.
Meskipun pengobatan standar dengan imunoglobulin intravena (IVIG) atau
plasmapheresis (PE), sekitar 20% dari pasien yang terkena dampak parah tetap
tidak dapat berjalan setelah 6 bulan. Selain itu, banyak pasien tetap dinyatakan
cacat. Bahkan 3 hingga 6 tahun setelah onset, SGB memiliki dampak besar pada
kehidupan sosial dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu, SGB tetap merupakan penyakit berat yang memerlukan
perawatan yang lebih baik.6

18
2.7 DIAGNOSIS
Kerusakan mielin pada SGB menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf
perifer yakni motorik, sensorik dan otonom. Manifestasi klinis yang pertama
adalah kelemahan motorik yang bervariasi, mulai dari ataksia sampai paralisis
motorik total yang melibatkan otot pernafasan sehingga menimbulkan kematian.
Keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asenden). Seiring
perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan otot-
otot leher, batang tubuh, interkostal dan saraf kranialis. Kelemahan otot bulbar
menyebabkan disfagia orofaringeal yakni kesulitan menelan dengan disertai
drooling serta kesulitan bernafas. Kelemahan otot wajah juga sering terjadi, baik
unilateral maupun bilateral. Abnormalitas gerak mata jarang, kecuali varian Miller
Fisher. Gejala sensorik seperti hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif
(raba-tekan-getar) lebih berat dari sensibilitas superfisial (raba-nyeri-suhu). Pada
kasus berat terdapat hilangnya fungsi otonom dengan manifestasi fluktuasi
tekanan darah, hipotensi ortostatik dan aritmia jantung.6,7
 Kriteria diagnosa yang umum dipakai untuk mendiagnosa AIDP adalah gejala
dan tanda minimal yang diperlukan:5,6,7
• Terjadinya kelemahan yang progresif pada kedua lengan dan tungkai (dapat
dimulai dari ekstremitas bawah)
• Hiporefleksi atau arefleksia
 Kriteria yang secara kuat mendukung diagnosis: 3,4
• Perburukan gejala yang mencapai titik puncak < 28 hari (4 minggu)
• Pola defisit neurologis yang relatif simetris
• Gejala gangguan sensibilitas ringan
• Gangguan nervus kranialis, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
• Didahului oleh infeksi saluran nafas atas gangguan gastrointestinal

19
• Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor.
• Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
• Disosiasi sitoalbumin pada pemeriksaan cairan serebrospinal, peningkatan
protein tanpa disertai peningkatan jumlah sel (< 10 sel/mm3)

• Gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB

 Kriteria yang merancukan diagnosis AIDP: 3,4


• Disfungsi pernafasan berat yang lebih dominan daripada kelemahan
ekstremitas pada awal onset
• Gangguan sensorik yang lebih dominan dari pada kelemahan ekstremitas
pada awal onset
• Gangguan miksi atau defekasi pada awal onset yang berat dan menetap
• Demam pada awal onset
• Defisit sensorik dengan level segmental yang jelas
• Progresivitas kelemahan berlangsung lambat > 4 minggu dengan gangguan
motorik minimal tanpa keterlibatan sistem pernafasan (lebih sesuai dengan
subakut atau chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP))

• Kelemahan asimetris yang persisten

 Kriteria diagnosa yang menunjang diagnosis AMAN adalah:3,4


• Kelemahan ekstremitas simetrik
• Arefleksia
• Dapat disertai kelemahan otot wajah bilateral, otot orofaringeal dan/ atau
kelemahan otot respirasi
 Gambaran klinis yang meragukan diagnosis:2
• Kelemahan otot ekstra okuler
• Gangguan sensorik berat
 Laboratorium: Antibodi anti Campylobacter jejuni, antibody anti GM1, anti
GD1a

20
 Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria AIDP

 Elektrodiagnostik sesuai dengan kriteria SGB pada pemeriksaan penunjang

 Kriteria diagnosa yang menunjang diagnosis AMSAN adalah:2


• Kelemahan progresif cepat
• Arefleksia
• Hilangnya sensorik distal
 Laboratorium: Antibodi anti GM1, GM1b,GD1a

 Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria AIDP

 Elektrodiagnostik sesuai dengan kriteria SGB pada pemeriksaan penunjang

Varian SGB

Sindroma Miller Fisher

 Gambaran klinis :

• Ataksia akut

• Arefleksia atau hiporefleks

• Oftalmoparesis/oftalmoplegia akut

• Dapat ditemukan varian hanya dengan salah satu gejala di atas

 Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria AIDP

 Elektrodiagnosis : pemeriksaan konduksi saraf dapat normal pada sebagian


pasien dan Sebagian lainnya menunjukan SNAP negative/amplitude menurun
atau adanya gambaran sural sparing. Pemeriksaan elektrodiagnosis memberikan
hasil abnormal pada minggu pertama onset dan penting untuk menentukan jenis
subtype dari SGB

 Laboratorium : antibody AntiGq1b

21
Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff

 Gambaran klinis :

• Penurunan kesadaran

• Ataksia

• Oftalmoparesis/oftalmoplegia

 Laboratorium : antibody AntiGq1b, GT1a

 Elektrodiagnosis : pemeriksaan konduksi saraf dapat normal pada sebagian


pasien dan Sebagian lainnya menunjukan SNAP negatif/amplitudo menurun

 MRI kepala dengan kontras : dapat ditemukan gambaran penyangatan pada area
batang otak

Varian Faringeal-Servikal-Brakial

 Gambaran klinis : Kelemahan pada otot faring, leher atau ekstremitas atas pada
awal onset yang kemudain dapat meluas ke sktremitas bawah. Sering ditemukan
ptosis.

 Analisis cairan serebrospinal : dapat ditemukan disosiasi sitoalbumin

 Elektrodiagnosis : Pemeriksaan konduksi saraf menunjukkan gambaran


demielinisasi dan aksonal pada ekstremitas atas. Blink reflex dapat menunjukkan
gambaran demielinisasi

 Laboratorium : antibody AntiGq1b, GT1a, GD1a

Varian Neuropati Kranial Multipel

 Gambaran klinis : Paresis nervus kranial multiple (nervus IX, X, XI, VII, III, IV,
VI) dapat bilateral atau simetris yang kemudian dapat diikuti dengan gejala
sensorik dan kelemahan motoric. Umumnya disertai areflexia atau hiporeflexia

 Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria di atas

 Elektrodiagnosis : Pemeriksaan konduksi saraf dapat menunjukkan abnormalitas

22
pada SNAP, CMAP, dan gelombang F

Diplegia Fasial Dengan Parestesi

 Gambaran klinis : Paresis nervus VII tipe LMN, hiporefleks/arefleks, tidak


ada keterlibatan nervus kranial lainnya

 Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria di atas

 Elektrodiagnosis : Pemeriksaan konduksi saraf dapat menunjukkan


demielinisasi

Varian Paraparesis akut

 Gambaran klinis : Kelemahan terisolasi pada ekstremitas bawah,


hiporefleks/arefleks

 Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria di atas

 Elektrodiagnosis : Pemeriksaan konduksi saraf dapat menunjukkan


demielinisasi

Pandisotonomia akut

 Gambaran klinis : gangguan otonom dapat berupa nyeri abdomen, muntah,


konstipasi, diare, tanda atau gejala gastroparesis atau ileus, kepala terasa
ringan, hipotensi, hipermotorik, tensi, takikardia, bradikardia, gangguan
miksi, gangguan fungsi ereksi, akrosianosis, gangguan lakrimasi, gangguan
salivasi, gangguan produksi keringat, dapat disertai gangguan sensorik, tapi
biasanya tanpa gangguan motoric. Umumnya disertai hiporefleksia/arefleksia

 Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria di atas

 Elektrodiagnosis : Pemeriksaan konduksi saraf dapat normal atau


menunjukkan abnormalitas pada SNAP

23
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.8.1 UJI ELEKTRODIAGNOSTIK
Kriteria elektrodiagnosis yang digunakan secara luas ialah kriteria dari Ho dkk dan
Hadden dkk. Gambaran disperse temporal lebih ditekankan oleh Ho dkk, sedangkan
konsep blok konduksi dikenalkan kembali oleh Haden dkk sebagai kriteria diagnostik
SGB tipe demielinisasi. Yang dimaksud dispersi temporal disini adalah terdapatnya
pemanjangan durasi compound muscle action potential (CMAP) proksimal lebih dari
30% dibandingkan CMAP distal. Batasan ini dinilai cukup sensitif dan spesifik dalam
membedakan antara disperse temporal akibat demielinisasi dan disperse temporal yang
terjadi secara fisiologis pada stimulasi proksimal.

Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada minggu pertama onset sering menunjukkan
hasil yang normal dan tidak menyingkirkan diagnosis, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan ulangan konduksi saraf pada minggu kedua atau ketiga. Oleh karena itu,
temuan KHS minggu pertama ini tidak dapat dijadikan landasan untuk menunda
pemberian imunoterapi jika sudah terdapat gambaran klinis yang khas SGB.

Pada Sebagian awal perjalanan penyakit SGB tipe AMAN dapat ditemukan
gambaran blok konduksi pada pemeriksaan KHS. Gambaran blok ini akan mengalami
perbaikan atau menghilang dalam hitungan hari disertai peningkatan amplitude CMAP
distal dan pemendekan latensi motor distal Kembali ke nilai normal. Pada kasus ini tidak
lazim ditemukan disperse temporal dan gelombang CMAP polifasik. Fenomena ini
dikenal sebagai AMAN with reversible conduction failure dan sering didiagnosis secara
keliru sebagai AIDP atau AMAN. Untuk mengurangi kesalahan interpretasi dan
klasifikasi tipe SGB, maka pemeriksaan KHS harus dilakuakn secara serial minimal dua
kali pada 3 saraf motorik dan 3 saraf sensorik dalam 4-6 minggu pertama.

24
Tabel 2. Gambaran EMG pada SGB
Subtipe Amplitudo Blok Dispersi Kecepatan Latensi Latensi
SGB CMAP Konduksi temporal konduksi distal gelombang
Distal motor motorik F (ms)
(mV) (m/s)
AIDP Normal Rasio >30% < 70% >130% >120%
atau Proksimal terjadi batas batas atas batas atas
berkurang : Distal peningkatan bawah normal normal
dari dari normal
amplitudo puncak
CMAP
durasi
negatif dari
CMAP
AMSAN Absen atau
berkurang
AMAN Absen atau
berkurang

Gambar 5. Gambaran EMG pada Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy6

25
Gambar 6. Gambaran EMG pada SGB fase akut dan pemulihan6

Pemanjangan latensi gelombang F adalah salah satu fitur diagnosis AIDP,


tidak munculnya gelombang F pada dua saraf dengan amplitudo CMAP distal >
20% batas bawah normal berarti memberikan kesan blok pada bagian proksimal.
Untuk mendiagnosa kemungkinan blok konduksi adalah diperlukan >30%
penurunan pada rasio amplitude CMAP proksimal ke distal. Untuk diagnosis
definitif blok konduksi adalah ketika > 50% penurunan pada rasio amplitudo
CMAP proksimal ke distal. Untuk melihat bentuk AMSAN, tidak ada atau
menurunnya pontensial sensorik. AMAN respon sensorik dalam batas normal.3,4

2.8.2 PUNGSI LUMBAL

Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan pada pasien yang diduga menderita
SGB untuk menyingkirkan diagnosis banding, dan bukan merupakan kriteria
utama penegakan diagnosis SGB. Pada analisis cairan serebrospinal (CSS) dapat
ditemukan disosiasi sitoalbumin, yaitu terdapatnya peningkatan kadar protein
cairan serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin
adalah temuan khas untuk SGB dan dapat ditemukan pada 50% kasus pada
minggu

26
pertama dan meningkat menjadi 75% kasus pada minggu ketiga.5,6

Apabila Analisa CSS normal pada SGB dengan onset kurang dari 2 minggu, maka
hal ini tidak mempengaruhi penegakan diagnosis SGB selama ditemukan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dan tidak perlu dilakukan pungsi lumbal ulangan.
Peningkatan jumlah sel dan protein CSS dapat ditemukan pascaterapi
immunoglobulin intravena dosis tinggi (intravenous immunoglobulin/IVIG) yang
diduga akibat mekanisme transudasi atau meningitis aseptik. Apabila ditemukan
peningkatan jumlah sel CSS pada minggu pertama onset gejala, maka
kemungkinan diagnosis banding lain harus lebih dipertimbangkan seperti infeksi,
neuropati akibat human immunodeficiency virus (HIV), limfoma dan keganasan.6,7

2.8.3 RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika ditemukan tanda dan gejala klinis SGB
yang meragukan. Hal ini untuk menyingkirkan lesi structural sebagai penyebab
defisit neurologis yang ada . Hasil pemeriksaan MRI pada kasus SGB adalah murni
normal baik pada otak dan medulla spinalis, walau dapat dijumpai penyangatan
pada radiks proksimal . pada 11% kasus BBE, dapat ditemukan adanya lesi fokal
pada T2W MRI di mesensefalon, thalamus, serebelum dan batang otak.3,4

2.8.4 ANTIBODI ANTIGANGLIOSIDA


Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan antibodi seperti
yang tercantum pada tabel 3, nilai diagnostiknya belum dapat dipastikan.
Pemeriksaan ini bermanfaat, tetapi hasil negatif tidak menggugurkan diagnosis
SGB dan pemeriksaan ini belum tersedia di sarana pemeriksaan laboratorium
sehari-hari.3,4

27
Tabel 3. Variasi Klinis Sindrom Guillain-Barre dan Antibodi terkait3,4
Subtipe dan varian Antibodi IgG
Acute Inflammatory Demyelinating Belum ditemukan
Polyneuropathy (AIDP)
Varian : Facial diplegia and paresthesia,
bifacial weakness with paresthesia
Acute Motor Axonal Neuropathy GM1, GD1a
(AMAN)
1. Acute motor-sensory axonal GM1, GD1a
neuropathy (AMSAN)
2. Acute motor conduction block GM1, GD1a
neuropathy
3. Pharyngeal-cervical-brachial GT1a>Gq1b>GD1a
weakness
4. Varian lain : SGB hiperrefleks, GM1,GD1a
SGB paraparesis
Sindrom Miller Fisher
1. Acute ophtalmoparesis/ ptosis/ GQ1b, GT1a
mydriasis (without ataxia)
2. Acute ataxic neuropathy GQ1b, GT1a

(without ophtalmoplegia)
3. Bickerstaff”s brain-stem GQ1b, GT1a

encephalitis
4. Acute ataxic hypersomnolence

28
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari SGB antara lain:5,6

Tabel 4. Diagnosis banding SGB5,6

Kondisi Gejala/tanda pembeda Penunjang


Myelitis 1. Gangguan medula spinalis Analisis CSS: pleositosis
transversalis termasuk mielitis transversal dengan jumlah limfosit
dengan motor asimetris atau sedang dan peningkatan
kehilangan sensorik biasanya total protein.
melibatkan ekstremitas
MRI menunjukkan
bawah, disfungsi usus atau
demielinasi fokal dengan
kandung kemih dini
peningkatan pada tingkat
denganinkontinensia
yang sesuai.
persisten, dan nyeri radikuler
segmental
2. Pemeriksaan fisik
menunjukkan tanda-tanda
neuron motorik atas
(Hipereflex, respon Babinski
positif) dan tingkat sensorik.
Myasthenia 1. Keterlibatan awal kelompok Studi elektrofisiologi
gravis otot termasuk ekstraokular, menunjukkan konduksi
levator, rahang, faring, leher, saraf normal dan adanya
dan otot-otot pernapasan. respons penurunan
Terkadang ditemukan tanpa terhadap stimulasi saraf
kelemahan anggota tubuh. berulang.
2. Keletihan yang berlebihan
EMG menunjukkan jitter
dan variasi gejala dan tanda-
dan blocking abnormal.
tanda sepanjang hari adalah
hal biasa. Tes edrophonium biasanya
3. Refleks dipertahankan, dan positif. Namun, banyak
temuan sensorik, pusat
dysautonomia, dan disfungsi tidak secara rutin
kandung kemih tidak ada. melakukan tes ini karena
efek samping yang
potensial

29
Lambert Sulit untuk dibedakan karena Studi elektrofisiologi:
Eaton karakteristik klinis yang serupa. ciri khasnya adalah potensial
Myasthenic Namun, beberapa karakteristik aksi otot senyawa amplitudo
Syndrome lebih khas untuk LEMS. rendah (CMAP) setelah
(LEMS) Ini termasuk perkembangan gejala stimulus saraf
klinis yang lebih lambat, mulut tunggal,peningkatan
kering, kurangnya kehilangan amplitudo CMAP setelah
sensori obyektif, keterlibatan kontraksi volunter, atau
kelompok otot pernapasan yang stimulasi berulang pada
jarang, dan potensi refleks setelah frekuensi tinggi.
latihan atau kontraksi.
Botulisme 1. Riwayat memakan makanan Studi elektrofisiologi:
yang tercemar dengan mengurangi amplitudo
botulinum toxin. potensial otot yang
2. Kelumpuhan menurun dimulai ditimbulkan,peningkatan
di otot bulbar kemudian amplitudo dengan stimulasi
anggota badan, wajah, leher, saraf berulang dan
dan otot pernapasan. peningkatan jumlah unit
3. Otot pernafasan terlibat dengan miopati, yang tidak khas
kelemahan ekstremitas ringan, untuk SGB.
dan refleks biasanya
dipertahankan.
4. Ptosis, dilatasi pupil tidak
reaktif ditemukan. Dilatasi
pupils tidak reaktif tidak umum
di SGB, tetapi lebih umum
pada botulism.
5. Sembelit/konstipasi juga
merupakan ciri khas botulism.
Poliomiositis Ada nyeri otot biasanya di bahu Peningkatan ESR dan CK,
dan lengan atas, keterlibatan otot studi konduksi saraf normal,
leher fleksor tidak proporsional dan perubahan miopati
untuk kelemahan ekstremitas, dengan fibrilasi pada EMG.
tidak adanya gejala sensorik, Biopsi otot menunjukkan
refleks dipertahankan, tidak kerusakan dan regenerasi
adanya dysautonomia, dan adanya serat otot, dan infiltrat
lesi kulit, yang merupakan limfosit
presentasi yang jarang terjadi
untuk SGB.

30
Neuropati Vaskulitis 1. Gambaran umum termasuk Mungkin mengalami
presentasi asimetris yang peningkatan ESR. CSS tidak
terasa sakit dari kelemahan menunjukkan disosiasi
otot, keterlibatan saraf sitoalbumin.
kranial yang tidak biasa, Studi elektrofisiologi
paralisis pernapasan, dan menunjukkan bukti denervasi.
disfungsi sfingter. Biopsi saraf menunjukkan
2. Biasanya pasien mengeluh tanda-tanda peradangan dan
demam, kelelahan, lemas, jaringan parut.
dan arthralgia

Tabel 5. Diagnosis diferensial Sindrom Guillain Barré7


Kelainan batang otak
Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
Locked In Syndrome
Ensefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalis
Mielitis transversal
Mielopati nekrotik
akut
Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum
Mielopati akut lain
Kelainan sel kornu anterior
Poliomielitis
Rabies
Tetanus
Poliradikulopati
Difteri Paralisis
Tick
Neuropati
Buckthorn
Keracunan
Ciguatera
Penyakit Lyme
Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas
Keracunan organofosfat
Heksakarbon (neuropati penghirup lem)
Perhexiline
Obat-obatan : vincristine, disulfiram,
nitrofurantoin Porfiria intermiten akut
Neuropati vaskulitik*
Critical illness polyneuropathy

31
Kelainan transmisi neuromuskuler
Myastenia gravis
Botulismus
Hipermagnesemi
Paralisis yang diinduksi
antibiotika Bisa gigitan ular
Miopati
Polimiositis
Miopati aku lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolik
Hipokalemi
Hipermagnesemia
Hipofosfatemia
Lain-lain
Histeri
Malingering
* : Penyebab tersering dari Sindrom-Sindrom yang mirip dengan SGB pada masing-masing
kategori

2.10 MANAJEMEN TERAPI

2.10.1 KORTIKOSTEROID
Secara mengejutkan, baik steroid oral dan metilprednisolon intravena tidak
bermanfaat untuk penyakit ini. Kombinasi dari IVIg dan metilprednisolon tidak
lebih efektif dibandingkan dengan pemberian IVIg saja, walaupun mungkin
terdapat sedikit efek tambahan jangka pendek setelah koreksi dari faktor
prognostik yang diketahui.8,9

2.10.2 PERTUKARAN PLASMA TERAPEUTIK (THERAPEUTIC PLASMA


EXCHANGE (TPE)

Kata “ apheresis berasal dari Yunani “aphairesis yang berarti ”


memisahkan”, “diambil secara paksa”, atau “menghilangkan”. Istilah ini awalnya
digunakan oleh Abel, Rowntree, dan Turner untuk menggambarkan pertukaran
plasma manual, penghapusan unit whole blood anticoagulated dengan heparin
diikuti dengan sentrifugasi untuk memisahkan darah menjadi elemen seluler dan
plasma. Elemen seluler kemudian dicampur dengan pengganti plasma yang
dibuang dan dimasukkan kembali. Sejak penggunaan awal ini, istilah tersebut
telah digunakan secara lebih luas untuk menggambarkan beberapa prosedur, yang

32
kesemuanya melibatkan pemisahan darah utuh ke dalam komponen-komponennya
dengan menghilangkan atau memodifikasi satu atau lebih komponen ini. 8,9

Tabel 6 mencantumkan prosedur apheresis yang umumnya dilakukan di


Amerika Serikat. Diantara prosedur yang tercantum dalam Tabel 6, pertukaran
plasma terapeutik (TPE) adalah prosedur yang paling sering dilakukan. Seperti
yang didefinisikan pada Tabel 6, TPE adalah prosedur di mana sejumlah besar
plasma dikeluarkan dari pasien. Volume yang dikeluarkan sedemikian rupa
sehingga jika tidak diganti, akan terjadi hipovolemia signifikan yang
mengakibatkan kolaps vasomotor. Akibatnya, plasma yang dikeluarkan harus
diganti dengan beberapa bentuk cairan pengganti. Plasmafaresis menghilangkan
sejumlah kecil plasma, biasanya kurang dari 15% volume darah pasien, dan oleh
karena itu tidak memerlukan penggantian plasma yang dibuang. Prosedur
plasmapheresis yang paling umum dilakukan di Amerika Serikat adalah di mana
plasma dikumpulkan dari donor sehat untuk transfusi atau pembuatan menjadi
produk seperti albumin, IVIG, konsentrat faktor, dan reagen laboratorium. Dalam
penggunaan umum, istilah pertukaran plasma dan plasmafaresis digunakan secara
bergantian, meskipun 2 prosedurnya berbeda. Kurangnya kejelasan dalam
penggunaan 2 istilah ini dapat mengakibatkan masalah saat mencari literatur
medis. Plasmapheresis dan pertukaran plasma adalah dua Medical Subject
Headings (MeSH) yang terpisah di National Library of Medicine. Penggunaan
istilah yang salah telah menyebabkan kategorisasi yang salah, yang berarti bahwa
pencarian literatur harus memasukkan kedua istilah untuk mengidentifikasi semua
literatur yang relevan.9,10

Tabel 6. Definisi Modalitas Afaresis Terapeutik9

33
Sitapheresis adsorptif Prosedur terapeutik di mana darah pasien dilewatkan
melalui perangkat medis, yang berisi kolom atau filter
yang secara selektif menyerap monosit dan granulosit
yang diaktifkan, memungkinkan leukosit yang tersisa
dan komponen darah lainnya dikembalikan ke pasien.

Kolom 2-mikroglobulin Prosedur apheresis terapeutik yang menggunakan kolom


yang mengandung b e a d s s e l u l o s a berpori secara
khusus dirancang untuk mengikat ß2-mikroglobulin saat
darah pasien melewati beads tersebut.
Plasmafaresis Filtrasi Prosedur terapi berbasis filter yang
ganda (DFPP)
menghilangkan zat patogen dari plasma terpisah
berdasarkan ukurannya, yang terutama
ditentukan oleh berat molekul dan konfigurasi
tiga dimensi (misalnya, autoantibodi, kompleks
imun, lipoprotein, dll.), dengan menggunakan
filter plasma dengan pori-pori yang berbeda
ukuran
Eritrositafaresis
Prosedur dimana darah pasien atau donor dilewatkan

melalui perangkat medis yang memisahkan sel darah

merah dari komponen darah lainnya. Sel darah

merah dikeluarkan dan diganti dengan cairan kristaloid

atau koloid, jika diperlukan.

Fotoferesis Prosedur terapeutik di mana buffy coat dipisahkan dari


ekstrakorporeal (ECP) darah pasien, dirawat secara ekstrakorporeal dengan
senyawa fotoaktif (misalnya, psoralen) dan terkena sinar
ultraviolet A kemudian diinfuskan kembali ke pasien
selama prosedur yang sama
Imunoadsorpsi (IA) Prosedur terapeutik di mana plasma pasien, setelah pemisahan
berbasis membran atau sentrifugal dari darah, dilewatkan
melalui perangkat medis (kolom adsorber) yang memiliki
kapasitas untuk menghilangkan immunoglobulin dengan
mengikatnya dengan ligan selektif pada permukaan matriks
34
pendukung (membran atau beads) dari kolom penyerap.

Leukositafaresis Sebuah prosedur dimana darah pasien dilewatkan


melalui perangkat medis yang memisahkan sel darah
Gambar 5. Patogenesis dan target terapeutik pada dua subtipe utama SGB, AIDP dan
AMAN11

Diagnosis dan pengobatan


SGB Periksa regular
(Awalnya setiap 1-3 jam) :
 Respirasi
 Progresi kelemahan
Dirawat di ICU, high care, bangsal neurologi biasa  Kesulitan menelan
(Pertimbangkan dengan menggunakan model  Disfungsi otonom
prognostik EGRIS)  Nyeri

35
Tidak dapat berjalan tanpa bantuan (GBS Komplikasi :
Pertimbangkan Disability Score >/3, khususnya kurang dari 2  Trombosis vena
ulang masuk minggu dari onset kelemahan)  Ulkus dekubitus
ICU - IVIg (0,4 g/kg setiap hari selama 5 hari)  Infeksi paru
atau TPE
Fluktuasi terkait pengobatan atau TPE
Perburukan setelah stabilisasi inisial atau perbaikan :
Pengobatan ulang dengan IVIg (0,4 g/kg setiap hari
selama 5 hari) atau TPE

Onset akut polineuropati demielinasi inflamasi kronik ?


Tiga atau lebih fluktuasi terkait pengobatan atau
perburukan setelah 8 minggu memerlukan pengobatan
ulang dengan IVIg atau dengan steroid (untuk CIDP)

Perbaikan lebih lanjut ?


Pertimbangkan untuk dirawat di bangsal neurologi, pusat
rehabilitasi atau rumah

Gambar 4. Pendekatan Terapi pada Sindrom Guillain Barre 12

2.10.1.1 Definisi Pertukaran Plasma Terapeutik (TPE)

Pertukaran Plasma Terapeutik (TPE) adalah prosedur terapeutik di mana


darah pasien dilewatkan melalui perangkat medis yang memisahkan plasma dari
komponen darah lainnya. Plasma dikeluarkan dan diganti dengan cairan pengganti
seperti larutan koloid (misalnya albumin dan/atau plasma) atau kombinasi larutan
kristaloid/koloid. 10,11

36
2.10.1.2 Mekanisme kerja pertukaran plasma

TPE, melalui penghilangan massal dan penggantian plasma,

menghilangkan zat patologis seperti Antibodi patologis, kompleks imun, dan

sitokin. Telah dianggap bahwa penghapusan zat ini merupakan mekanisme

utama aksi TPE. Bukti tambahan menunjukkan bahwa TPE mungkin memiliki

efek imunomodulator di luar penghapusan Ig. Efek TPE yang dilaporkan pada

fungsi kekebalan termasuk modulai sel-T dengan pergeseran dari keseimbangan

Th1/Th2 dengan pergeseran terhadap supresi Th 2,3, produksi IL-2 dan IFN-,4,5

dan kultur in vitro menunjukkan peningkatan concanavalin A- yang

menginduksi fungsi sel penekan.7,8

2.10.1.3 Mekanisme penghapusan plasma

Perangkat yang digunakan untuk melakukan TPE dapat dibagi menjadi

2 kategori besar, yang memisahkan plasma dari komponen seluler berdasarkan

pada ukuran dan yang memisahkan komponen berdasarkan kepadatan. Perangkat

yang memisahkan berdasarkan ukuran menggunakan filter, sedangkan yang

memisahkan berdasarkan kepadatan menggunakan sentrifugasi. Yang pertama,

seluruh darah mengalir melewati membran yang memisahkan plasma dari elemen

sel, yang kemudian dikembalikan ke pasien. Konfigurasi filter yang berbeda telah

digunakan untuk memisahkan plasma dari elemen seluler dan semua memiliki

kemampuan yang sama. Apheresis berbasis perangkat filtrasi untuk melakukan

filter yang menggunakan TPE tidak banyak digunakan di Amerika Serikat.9,11

Metode utama yang digunakan untuk TPE di Amerika Serikat adalah

sentrifugasi. Dalam perangkat aferesis ini, seluruh darah dipompa ke dalam ruang

pemisah yang berputar cepat. Komponen terpisah menjadi lapisan berdasarkan

37
kepadatannya, dengan elemen yang paling padat, Sel darah merah, bermigrasi

terjauh dari sumbu rotasi dan bagian yang paling tidak padat, yaitu plasma,

merupakan lapisan paling dekat dengan sumbu rotasi. Lapisan antara, bergerak

dari sumbu rotasi ke luar, adalah trombosit, limfosit, dan granulosit. Pada TPE,

plasma dihilangkan dan dibuang dan elemen seluler yang tersisa dicampur dengan

cairan pengganti dan dikembalikan ke pasien. Sangat penting untuk menyadari

bahwa ada beberapa pencampuran yang terjadi diantara lapisan dalam

sentrifugasi. Dampak dari hal ini adalah bahwa beberapa trombosit mungkin ada

di lapisan plasma dan, tergantung pada beberapa faktor, sehingga mungkin

terdapat kehilangan trombosit selama TPE.10,11

Tipe antikoagulan yang digunakan tergantung alat aferesis, yang kebanyakan

menggunakan Citrate. Waktu interval antara prosedur TPE dan jumlah prosedur

umumnya berdasarkan penyakit yang mendasari, waktu yang dibutuhkan oleh

antibodi yang berkepentingan (IgG vs IgM) untuk menyeimbangkan kembali

ruang intravaskular, dan kebutuhan untuk meminimalisasi risiko perdarahan

sebagai akibat adanya deplesi faktor koagulasi (Dengan fibrinogen menjadi faktor

utama yang harus dipertimbangkan karena paling banyak hilang selama proses

TPE). Pada pasien dengan kadar fibrinogen rendah (<100-120 mg/dL),

kriopresipitat dapat diberikan sebelum prosedur, atau plasma dapat dimasukkan

sebagai bagian dari cairan pengganti yang akan diberikan pada akhir prosedur.7,8,9

TPE menggunakan sistem Spectra Optia melibatkan pemisahan plasma dari

hematokrit dengan sentrifugasi, dan mengeluarkan dan mengganti plasma pasien

dengan volume yang sama dari penggantian cairan yang terdiri dari FFP dan

larutan albumin 5% untuk mempertahankan tekanan onkotik yang sesuai,

sementara sel-sel yang tersisa diinfuskan kembali kepada pasien. Pada SGB,

38
prosedur ini mengubah rasio sel T helper 1 (Th1) terhadap Th2, mengubah jumlah

dan aktivasi sel B dan sel T, dan membantu mengurangi konsentrasi komponen

plasma patogen seperti autoantibodi yang bersirkulasi, kompleks imun,

komplemen, sitokin atau zat aktif imunologis lainnya. Sangat penting juga untuk

mengetahui rumus perhitungan dasar apheresis agar dapat melakukan prosedur

TPE dengan sukses dan aman. Terdapat banyak cara untuk memperkirakan

volume total darah (Total blood volume/TBV) dengan metode yang paling umum

digunakan adalah rumus Nadler, dengan perhitungan sebagai berikut : 8

Volume total darah (dalam ml) = 0.006012 x (tinggi dalam inchi)3


14.6 x (berat badan dalam pound)
+ 604 untuk pria

Atau Volume total darah (dalam ml) = 0.005835 x (tinggi dalam inchi)3

15 x (berat badan dalam pound)


+ 183 untuk Wanita

Volume plasma (dalam ml) = Volume total darah x (1-Hematokrit)


Volume sel darah merah (dalam ml) = Volume total darah x Hematokrit

Untuk menjaga agar hemodinamik pasien tetap stabil, sangat penting untuk
memastikan bahwa volume ekstrakorporeal dari alat apheresis dipertahankan tetap
dalam kondisi 10-15 % dari volume total darah pasien. Selanjutnya, untuk
memastikan kapasitas oksigen yang cukup selama prosedur berlangsung, volume
sel darah merah dari alat apheresis dipertahankan tetap dalam kondisi 10-15 %
dari volume total sel darah merah pasien. Sebagai catatan, volume ekstrakorporeal
dan volume sel darah merah ekstrakorporeal adalah spesifik pada alat apharesis dan
informasi tersebut termasuk dalam manual operator. Jika volume ekstrakorporeal
dan volume sel darah merah ekstrakorporeal lebih dari 15%, maka menyiapkan alat
tersebut dengan sel darah merah sangat dianjurkan. Jika hanya volume
ekstrakorporeal yang lebih dari 15% dari total darah pasien, makan menyiapkan
39
alat dengan albumin 5% mungkin cukup untuk menghindar dari paparan terhadap
sel darah merah allogenic, karena dalam kasus ini, volume (bukan kapasitas
penghantar oksigen) yang menjadi masalah.11

Prosedur TPE biasanya menghilangkan 60-70% zat dari kompartemen


intravaskular. Cairan pengganti yang paling umum digunakan untuk TPE adalah albumin
5%. Penggunaan plasma sebagai cairan pengganti biasanya dikhususkan untuk pengobatan
Purpura Trombositopenik Trombotik; namun, kadang-kadang digunakan untuk
pasien dengan koagulopati (seperti pada penyakit hati), perdarahan aktif (seperti
perdarahan alveolar difus), atau dalam 12-24 jam sebelum atau setelah prosedur
invasif.8,10

Fakta bahwa cairan pengganti diperlukan untuk melakukan TPE dan bahwa
cairan pengganti diberikan saat prosedur sedang terjadi memiliki implikasi untuk
penghapusan zat yang beredar dalam plasma. Penghapusan zat dalam plasma dan
terbatas pada ruang intravaskular dapat dijelaskan dengan eksponensial berikut:
persamaan: Y/Y0 = e -x, di mana Y adalah konsentrasi akhir zat, Y0 adalah
konsentrasi awal, dan X adalah berapa kali volume plasma pasien ditukar. Karena
pengenceran plasma dengan cairan pengganti, zat yang seharusnya dihilangkan
tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dari peredaran. Untuk setiap 1-1,5 volume
plasma ditukarkan, sekitar 60% -70% dari zat yang ada dalam plasma pada awal
volume plasma itu akan hilang. Saat volume plasma tambahan ditukarkan, jumlah
absolut yang dihilangkan menjadi lebih rendah, meskipun penghapusan 60%-70%
tetap masih terjadi. Untuk alasan ini, pada praktek rutin hanya menukar hanya 1-
1,5 volume plasma selama TPE. Menukar volume di atas 1,5 volume plasma
menghilangkan jumlah zat patologis yang lebih kecil yang ada di plasma, dan
kurang bermanfaat secara klinis, namun memperpanjang prosedur dan mengekspos
pasien terhadap lebih banyak cairan pengganti dan antikoagulan. Hasilnya adalah
peningkatan risiko komplikasi tanpa meningkatkan manfaat bagi pasien. 13,14

Karena TPE melibatkan pemindahan plasma secara massal, apa pun yang
beredar dalam plasma akan dihilangkan. Prosedurnya adalah nonselektif,
menghilangkan komponen plasma normal dan patologis. Misalnya, selama
pertukaran volume plasma menggunakan albumin sebagai cairan pengganti,
aktivitas faktor koagulasi menurun dan tes koagulasi dapat menjadi abnormal. 13,14

40
Penurunan aktivitas faktor V (FV), FVII, FVIII, FIX, FX, dan VWF
terjadi. Aktivitas FVIII, FIX, dan VWF kembali normal dalam waktu 4 jam setelah
TPE, sedangkan faktor koagulasi yang lain mencapai tingkat aktivitas dalam 24
jam post TPE. Pengecualian untuk ini, adalah fibrinogen, yang mencapai 66% dari
tingkat pra-apheresis dengan 72 jam. Zat tambahan yang dihilangkan termasuk
inhibitor koagulasi seperti antitrombin dan pseudokolinesterase yang diperlukan
untuk metabolisme beberapa obat. Secara teoritis, penghapusan inhibitor koagulasi
dapat mempengaruhi pasien untuk trombosis, tetapi ini belum dibuktikan secara
definitif. Laporan mengenai blokade neuromuskular berkepanjangan karena
penurunan aktivitas pseudokolinesterase telah dilaporkan. Sebagian besar
penghapusan dan penggantian plasma juga memiliki implikasi untuk pengujian
laboratorium. Penghapusan Antibodi dari pasien dapat mengakibatkan tes negatif
palsu untuk penyakit menular, autoantibodi, alloantibodi, dan aktivitas enzim dan
faktor koagulasi. Contoh untuk pengujian tersebut harus dikumpulkan sebelum
inisiasi TPE.15,16,17

Akhirnya, selain penghapusan komponen normal dari plasma, TPE juga


dapat menghilangkan obat. Meskipun efek dari TPE pada sebagian besar obat
tidak diketahui karena
Basiliximab
keterbatasan studi
farmakokinetik, Ceftriaxone beberapa obat
telah dilaporkan Ceftazidime dihapus
secara signifikan. Obat-obatan
Chloramphenicol
yang telah dilaporkan
hilang saat TPE Cisplatin tercantum
dalam Tabel 7.18,19 Diltiazem

IFN-ɑ

IVIG

Palivizumab
Tabel 7. Daftar obat- obatan yang hilang
Propoxyphene
saat prosedur TPE 14,15
Propranolol

Rituximab

Tobramycin 41

Verapamil

Vincristine
Cairan pengganti yang paling umum digunakan adalah human

albumin 4% -5% dalam salin fisiologis. Cairan ini memiliki keuntungan yaitu

menghindarkan dari penularan penyakit dan reaksi transfusi (misalnya, cedera

paru akut terkait transfusi), yang keduanya dapat terjadi jika menggunakan

plasma sebagai cairan pengganti. Kerugian utama albumin adalah biayanya yang

relatif mahal dibanding plasma. 16,17

Cairan pengganti ini sedikit hiperonkotik dibandingkan dengan plasma

dan karena itu dapat memperluas volume intravaskular. Efek ini dapat

bermanfaat dalam menghindari hipovolemia. Karena cairan pengganti albumin

adalah komponen paling mahal dalam prosedur TPE dan penggunaan albumin

100% sebagai pengganti dapat memperluas volume intravaskular, beberapa

praktisi akan menggunakan konsentrasi albumin yang lebih rendah, seperti 70%

albumin dan 30% salin. Ketika ini dilakukan, albumin dan saline bergantian,
42
dengan sebagian besar albumin diberikan pada akhir prosedur untuk

menghindari hipovolemia akibat redistribusi dari kristaloid. Harus dicatat bahwa

penggunaan albumin dan salin telah dikaitkan dengan frekuensi reaksi

hipovolemik yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan albumin saja.

Plasma digunakan sebagai cairan pengganti dalam jumlah terbatas pada

beberapa jenis gangguan, misalnya, untuk menggantikan ADAMTS13 ketika

mengobati trombotik trombositopenik purpura, untuk mengobati defisiensi

faktor koagulasi dan untuk mencegah dilusi koagulopati pada pasien dengan

perdarahan aktif.18,19

Untuk melakukan TPE, perlu untuk mendapatkan akses vaskular.

Sering diasumsikan bahwa akses vena sentral diperlukan dan setiap pasien harus

memiliki jalur vena sentral agar TPE dapat sukses dilakukan. Namun, persepsi

ini tidak didukung oleh literatur yang ada. Kelompok Studi Apheresis Kanada

menemukan bahwa 67% dari 5234 prosedur TPE dapat dilakukan dengan

berhasil melalui akses vena perifer saja. Dalam uji klinis penggunaan TPE untuk

mengobati multiple sclerosis, 96% pasien yang dipertimbangkan untuk TPE

memiliki akses vaskular perifer yang memadai dan dari mereka yang terdaftar,

hanya 4% yang tidak dapat menyelesaikan uji coba karena ketidakmampuan

untuk mendapatkan akses vena perifer. 15,16

Dalam studi lain tentang pasien dengan gangguan neurologis yang

menjalani TPE, 50% dapat menyelesaikan seluruh rangkaian terapi mereka

hanya menggunakan akses vena perifer. Mengapa penting untuk

mempertimbangkan akses vena perifer saat dilakukan TPE, Studi yang

memeriksa tingkat komplikasi prosedur apheresis telah menemukan bahwa

frekuensi komplikasi akibat penggunaan kateter vena sentral melebihi frekuensi

43
komplikasi yang berhubungan langsung dengan prosedur TPE. Pada satu studi

menunjukkan bahwa semua komplikasi serius terkait dengan akses vena sentral,

termasuk kematian karena hemopneumothorax. Akses vena sentral juga telah

diidentifikasi sebagai faktor risiko utama untuk komplikasi TPE dalam

penelitian lain.18,19

2.10.1.4 Komplikasi TPE

Dalam sebuah studi awal di mana komplikasi kateter vena sentral

dianggap terkait dengan prosedur, tingkat komplikasi adalah 17%, dimana

6,14% berat, memerlukan rawat inap atau intervensi yang signifikan. Studi yang

lebih baru telah melihat laju reaksi yang sangat berbeda mulai dari 4,75 %

hingga 36%. Tabel 4 merangkum jenis reaksi yang dilaporkan dan frekuensi

dalam studi ini. Reaksi yang paling umum terlihat adalah parestesia yang

berhubungan dengan hipokalsemia akibat penggunaan sitrat sebagai

antikoagulan untuk mencegah darah menggumpal di alat apheresis. Reaksi yang

dilaporkan, sebagian besar ringan dan mudah diobati. Faktor risiko reaksi

termasuk penggunaan plasma sebagai pengganti cairan, akses vena sentral, dan

adanya penyakit neurologi20,21

Tabel 8. Komplikasi yang terjadi akibat TPE22,23

44
Studi

Reaksi Couriel and Weinstein19 Basic-Jukic Shemin

Jumlah prosedur 381 4857 1727

TPE

Parestesia 5.5% 2.7% 7.3%

Urtikaria 0.26% 1.6% 7.4%

Hipofibrinogenemia 3.67% Tidak dilaporkan Tidak dilaporkan

Hipotensi 2.1% Tidak dilaporkan 5.6%

Reaksi Vasovagal 0.5% Tidak dilaporkan Tidak dilaporkan

Mual 2.9% Tidak dilaporkan 3.2%

Muntah 0.5% Tidak dilaporkan 2.7%

Hemothorax 0.26% Tidak dilaporkan Tidak dilaporkan

Infeksi di kateter vena 0.26% 0.06% Tidak dilaporkan

Perdarahan/hematoma 0.26% 2.46% Tidak dilaporkan

Pneumothorax 0.26% 0.04% Tidak dilaporkan

Lain-lain Tidak dilaporkan Pembekuan, 1.7% Demam, 7.7%

Pruritus,5.8%

Takikardi, 5.6 %

2.10.1.5 Kontraindikasi TPE

Kontraindikasi dari TPE adalah antara lain : 22,23


45
1. Pasien yang tidak dapat dilakukan pemasangan akses vena sentral
2. Pasien dalam kondisi sepsis
3. Pasien yang alergi dengan FFP atau albumin, tergantung pada tipe plasma
exchange
4. Pasien dengan hipokalsemia dengan resiko perburukan apabila
menggunakan sitrat. Sitrat umum digunakan untuk mencegah klot dan
dapat mengakibatkan hipokalsemia

2.10.1.6 Persiapan TPE


Persiapan dari TPE adalah antara lain :24,25
1. Sesuai dengan diagnosis dan indikasi
2. Lakukan pemeriksaan laboratorium sebelum TPE, yaitu :
a. Darah perifer lengkap
b. Koagulasi darah : PT (Prothrombin Time), APTT (Activated Partial
Protrombin Time)
c. Elektrolit : Natrium, kalium, chloride, calcium dan magnesium
d. Kimia darah : ureum, kreatinin
e. Protein : albumin, globulin
3. Pemasangan jalur intravena pada vena sentral
4. Lakukan pemeriksaan calcium dan albumin pada setiap pasca TPE

2.10.1.7 Panduan Klinis The American Society for Apheresis (ASFA) tentang Pertukaran

Plasma Terapeutik (TPE)

ASFA adalah organisasi profesional yang terdiri dari dokter, ilmuwan, dan
profesional kesehatan yang terkait. Didirikan pada tahun 1982 ketika Society of
Hemapheresis Specialists, sebuah organisasi kesehatan, dan American Society for
Apheresis Symposia, sebuah organisasi dokter dan ilmuwan, digabung. Sejak saat itu,
tujuan ASFA adalah untuk memajukan "ilmu kedokteran apheresis.9,15,17

Pada tahun 2010, The American Society for Apheresis (ASFA)


menerbitkan pedoman komprehensif yang diperbarui yaitu “Pedoman
Penggunaan Apheresis Terapeutik dalam Praktik Klinis Berbasis Bukti”, dan

46
membagi rekomendasinya menjadi empat kategori:9,15,17

• Kategori I: “Gangguan dimana apheresis diterima sebagai terapi lini pertama,


baik sebagai pengobatan yang berdiri sendiri atau dalam hubungannya dengan
pengobatan lainnya”.

• Kategori II: “Gangguan dimana apheresis diterima sebagai terapi lini kedua,baik
sebagai pengobatan yang berdiri sendiri atau dalam hubungannya dengan
pengobatan lainnya”.

• Kategori III: “Peran optimal terapi apheresis tidak ditetapkan. Keputusan


pemberiannya harus bersifat individual”.

• Kategori IV: “Gangguan di mana dari berbagai bukti yang dipublikasikan


menunjukkan bahwa apheresis tidak efektif atau berbahaya. Diperlukan
persetujuan Dewan Peninjau Internal jika pengobatan dengan apheresis
dilakukan dalam keadaan ini”.

Penyakit/gangguan yang diobati dengan TPE yang telah dikategorikan oleh

American Society for Apheresis (ASFA) tercantum pada Tabel 6. Daftar ini tidak

mewakili semua penyakit dan gangguan yang telah diterapkan TPE, hanya yang

literaturnya yang diterbitkan cukup tersedia untuk memberikan panduan

untuk penggunaan TPE.

Tabel 9. Penyakit dan gangguan yang dapat diobati dengan pertukaran plasma
terapeutik10,18,19

Penyakit Kategori Derajat


ASFA Rekomendasi
Inkompatibel ABO
transplantasi sel punca
hematopoetik
• Sumsum tulang
II 1B
• Darah perifer
II 2B

Inkompatibel ABO transplantasi


organ
• Ginjal
II 1B
47
• Jantung (usia < 40 bulan) II 1C
• Hati III 2C
Ensefalomielitis akut diseminata II 2C

Poliradikulopati demielinasi I 1A
inflamasi akut (Acute inflammatory
demyelinating
polyradiculopathy/Guillain-Barré
Syndrome)

ANCA- yang berhubungan


dengan glomerulonefritis
progresif cepat/Vaskulitis
(granulomatosis Wegener)
• Tidak tergantung dialisis I 1A

• Perdarahan alveolar I 1C

• Tergantung dialisis III 2C

Penyakit antiglomerular
membran (Sindrom
Goodpasture)
• Tidak tergantung dialisis
I 1A
• Perdarahan alveolar
I 1B
• Tergantung dialisis
IV 1A

Anemia Aplastik III 2C


Anemia autoimun hemolitik
• Warm III 2C
• Cold aglutinin II 2C

Sindrom katastrofik antifosfolipid II 2C


antibodi
Ensefalitis fokal kronik II 2C
(Ensefalitis Rasmussen)
Poliradikulopati demielinisasi I 1B
inflamasi (CIDP)
Krioglobulinemia I IB
48
Glomerulosklerosis segmental I 1C
fokal (Rekuren)
Sindrom Uremik Hemolitik
• Mutasi faktor komplemen II 2C

• Autoantibodi terhadap I 2C
faktor H
• Berhubungan dengan diare IV 1C
Pankreatitis hipertrigliserida III 2C
Hiperviskositas pada gamopati
monoklonal
• Simtomatik
I 1B
• Profilaksis untuk terapi
I 1C
rituximab
Multiple sklerosis
• Demielinasi sistem saraf II 1B
pusat akut yang tidak
berespons terhadap steroid
III 2B
• Kronik progresif

Nefropati myeloma II 2B
Neuromyelitis optika II 1C
Polyneuropati Paraproteinemik
 IgG/IgA I 1B

 IgM I 1C
III 2C
 Multiple myeloma
Gangguan autoimun neuropsikiatrik I 1B
pediatrik yang berhubungan dengan
infeksi streptokokus
Penyakit penyimpanan asam II 2C
Phytanic (Penyakit Refsum )
Purpurea Posttransfusi III 2C
Aloimunisasi sel darah merah II 2C
dalam kehamilan
Penolakan transplantasi ginjal I 1B
terkait antibodi
Desensitisasi transplantasi ginjal II 1B
Skleroderma IV 1A

49
Sepsis dengan kegagalan III 2B
multiorgan
Systemic lupus erythematosus
 Komplikasi berat dari II 2C
vaskulitis
 Nefritis IV 1B
Purpura trombositopenik trombotik I 1A
Krisis tiroid III 2C

2.10.1.8 TPE Pada Sindrom Guillain Barre


Menurut pedoman American Society of Aphaeresis (ASFA) 2019,
penggunaan utama TPE di SGB adalah indikasi kategori I ASFA (tingkat
rekomendasi 1A). Direkomendasikan untuk menukar 1-1,5 volume plasma per
sesi, 5-6 kali selama 10-14 hari. Standar TPE berdasarkan protokol dari North
American Trial dimana jumlah maksimum pertukaran plasma sebanyak lima
kali dari volume plasma (200 sampai 250 mL/kgbb) plasma ditukar selama 10-
14 hari. Seorang pasien 70 kg akan menerima 14.000-17.500 mL (14-17,5 L)
total pertukaran, yang dapat dicapai dengan 4-6 hari bergantian pertukaran 2-4
L masing-masing. 21,22
ASFA memberikan rekomendasi yang kuat (kategori I dan II) untuk TPE
pada pasien sakit kritis dengan berbagai gangguan neurologis primer.
Mekanisme yang terjadi pada gangguan-gangguan neurologi ini, pada dasarnya
terjadi akibat adanya autoantibodi pada plasma pasien dan menyebabkan
cedera pada sistem saraf pusat dan/atau perifer. Pasien sering datang dengan
defisit neurologis fokal dan dapat berkembang menjadi defisit neurologis
generalisata yang berat. Pasien - pasien ini mungkin datang dengan keluhan
kelemahan motorik kasar atau halus yang berkembang menjadi paralisis,
hiporefleksia yang berkembang menjadi arefleksia, parestesia, nyeri, defisit
saraf kranial, kejang, stroke, disfungsi otonom, dan gejala-gejala
neuropsikiatri. TPE sering digunakan oleh dokter ketika percobaan singkat
steroid, agen sitotoksik dan/atau IVIG tidak berhasil dalam menghentikan
perkembangan tanda dan gejala 20,21

50
ASFA memberikan rekomendasi kategori I untuk TPE pada acute
inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP), Chronic Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP), Neuropsikiatri Autoimun
Pediatrik, Gangguan terkait dengan Infeksi Streptococcal dan Sydenham's
Chorea (PANDAS), Multiple Sclerosis, dan Myastenia Gravis. ASFA
memberikan rekomendasi kategori II untuk TPE pada Ensefalomielitis
Diseminasi Akut, Neuromyelitis Optica, Ensefalitis Fokal Kronis (Rasmussen's
Encephalitis), dan sindrom Lambert-Eaton Myasthenic. 20,22
TPE diperkirakan menghilangkan auto-antibodi ke berbagai komponen
sistem neurologis:23,24

 Myelin pada Guillain-Barre, CIDP, Multiple Sclerosis, dan Ensefalomielitis


Akut Disseminata;
 Neuron di ganglia basalis pada PANDAS;
 Reseptor asetilkolin pada permukaan pasca-sinaptik motor end plate di
Myasthenia gravis;
 Aquaporin-4, saluran air pada prosesus kaki astrosit di sawar darah
otak pada Neuromielitis Optika;
 Reseptor glutamat GluR3 pada Rasmussen's Encephalitis;
 Saluran kalsium dengan gerbang tegangan dari neuron pra-sinaptik pada
Lambert-Eaton Sindrom miastenia
Prinsip tatalaksana SGB adalah diagnosis dini dan tatalaksana multidisiplin
yang tepat. Karena pemulihan spontan sangat diantisipasi pada kebanyakan pasien,
pengobatan suportif tetap menjadi terapi utama pada pasien yang dapat berjalan.
Guillain-Barre Syndrome Disability Score atau Hughes Score adalah sistem
penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan derajat keparahan
penyakit (Tabel 9). Pada pasien dengan SGB ringan, diberikan terapi suportif
dengan pemantauan ketat dan persiapan bila pasien secara klinis mengalami
perburukan. 25,26
Pada SGB berat, pasien memiliki skala disabilitas >/ 4. Pasien dengan keluhan
yang berat memerlukan perawatan intensif, ventilasi mekanik, dan bantuan
terhadap kelumpuhannya dan membutuhkan rehabilitasi selama beberapa bulan
hingga satu tahun atau lebih. Resiko untuk kegagalan pernapasan berhubungan
dengan progresi penyakit, keparahan kelemahan kaki, blok konduksi saraf
51
peroneal, dan kapasitas vital yang rendah. Resiko ini dapat diprediksi pada pasien
per individu menggunakan Erasmus GBS Respiratory Insufficiency Score
(EGRIS). EGRIS ini dapat digunakan pada saat masuk di RS, karena skor ini
menentukan kemungkinan pasien akan membutuhkan ventilasi buatan atau tidak,
dimana skor ini berdasarkan keparahan kelemahan (yang diekspresikan sebagai
total skor MRC), onset kelemahan, dan kelumpuhan fasial, kelemahan bulbar, atau
keduanya. Model ini perlu divalidasi untuk penggunaanya pada anak-anak dan
pasien SGB dengan bentuk aksonal. TPE diindikasikan pada kasus yang non
ambulatory, atau yang penyakitnya berlangsung secara agresif.20,21
Tabel 10. Guillain-Barre Syndrome Disability Score atau Hughes Score4, 20,21
Skor Keterangan
0 Sehat
1 Gejala atau tanda neuropati ringan namun dapat melakukan
pekerjaan dengan tangan/masih dapat berlari
2 Mampu berjalan tanpa bantuan alat sejauh 5 m tetapi tidak dapat
melakukan pekerjaan dengan tangan/berlari
3 Mampu berjalan dengan bantuan alat sejauh 5 m
4 Aktivitas terbatas pada tempat tidur atau kursi roda
5 Membutuhkan bantuan ventilator
6 Kematian

Pada percobaan dengan menggunakan TPE dan atau IVIG, pasien AIDP
merepresentasikan mayoritas kasus dibandingkan dengan varian lain. TPE
merupakan modalitas terapeutik pertama yang memiliki dampak yang baik dan
beberapa percobaan kontrol acak telah membuktikan efikasinya.9,10,22

Hasil dari berbagai percobaan kontrol yang membandingkan TPE dengan


perawatan suportif, mengindikasikan bahwa TPE dapat mempercepat pemulihan
motorik, menurunkan waktu menggunakan ventilator, dan menurunkan waktu
untuk mencapai perbaikan klinis lainnya. The Cochrane Neuromuscular Disease
Group review of TPE pada AIDP yang dilakukan pada tahun 2012 dan
diperbaharui pada tahun 2017 menyimpulkan bahwa TPE merupakan terapi yang
efektif untuk SGB dan sebaiknya dimulai lebih awal yaitu dalam 7 hari dari onset
penyakit (Chevret, 2017). 8,9,23

52
Menurut tinjauan Cochrane baru-baru ini, manfaat TPE meningkat jika
pengobatan dimulai lebih awal, tetapi masih memiliki efek menguntungkan dalam
4 minggu pertama dari onset penyakit. Manfaat terbaik muncul pada pemberian
imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset pada pasien dengan GBS Disability
Score >/ 3. Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS
Disability Score </ 3) tetap dapat memberikan manfaat namun perlu
memperhitungkan efisiensi pengobatan8,9,22,23

Dalam kasus sedang, tidak ada perbedaan antara pasien yang menjalani
empat pertukaran volume plasma dan mereka yang menjalani enam pertukaran.
Pada kelompok sedang hingga berat, empat sesi bermanfaat, sedangkan pada
kasus yang berat memerlukan 5-6 kali prosedur TPE.10,11,25

TPE relatif aman dengan sebagian besar reaksi ringan dan relatif mudah
untuk diobati. Efek samping yang paling umum terjadi terkait dengan TPE adalah
reaksi alergi terhadap plasma (menggigil, demam, ruam, gatal-gatal, sesak napas
dan stridor), nyeri dada, pusing, sakit kepala, sakit perut, kecemasan, hipotensi,
mual dan muntah, pneumonia, thrombosis, sepsis dan gangguan hemodinamik;
kejadiannya sekitar 11% dibandingkan dengan mereka yang menerima larutan
albumin 5% sebagai pengganti cairan. Efek samping lainnya adalah gejala
hipokalsemia bila sitrat digunakan sebagai antikoagulan akibat pengikatan ion
kalsium dalam darah. TPE juga dapat menyebabkan perpindahan cairan dan dengan
demikian, dapat menyebabkan hipotensi selama prosedur. Khusus pada pasien dengan
ketidakstabilan otonom, mungkin disarankan untuk menggunakan albumin 5%
sebagai cairan pengganti daripada kombinasi albumin/salin 5% untuk mengurangi
risiko hipotensi intra-prosedural. Selama dilakukan TPE kondisi pasien perlu
dimonitor dengan ketat termasuk pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
untuk meminimalisasi efek samping yang dapat terjadi.13,14,24

Selanjutnya, TPE dapat menghilangkan obat-obatan dan dengan demikian, jika


memungkinkan, dianjurkan untuk memberikan obat-obatan setelah prosedur selesai
dilakukan. Sebagai catatan, pasien yang menggunakan ACE inhibitor mungkin
mengalami kemerahan pada wajah dan/atau hipotensi berat. Oleh karena itu,
penghentian terapi ACE inhibitor 24-48 jam sebelum TPE sangat dianjurkan.8,10,22

Sebuah meta-analisis yang diterbitkan pada tahun 2012 yang melibatkan

53
649 pasien yang terdaftar dalam enam percobaan menunjukkan bahwa TPE
mengurangi kebutuhan akan dukungan ventilasi dibandingkan dengan kontrol
(RR: 0,53) dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kembali
kemampuan berjalan (30 vs 44 hari). Dalam uji coba di Amerika Utara, TPE
mengurangi waktu yang diperlukan untuk meningkatkan satu tingkat klinis, waktu
untuk berjalan tanpa bantuan, waktu pada ventilator, dan persentase pasien yang
mengalami perbaikan setelah 1 dan 6 bulan dibandingkan dengan kelompok
kontrol.8,9,24

Secara garis besar berdasarkan penelitian yang ada, TPE dan IVIg
memiliki efektifitas yang sama sebagai terapi pada SGB berat. Di Kanada, harga
IVIg yang mahal menyebabkan terapi ini menghabiskan biaya yang lebih besar
dibandingkan dengan TPE, sedangkan di Amerika Serikat TPE menghabiskan
biaya yang lebih besar. Di Taiwan, walaupun TPE menghabiskan biaya yang lebih
besar namun prosedur tersebut ditanggung oleh program kesehatan nasional
sedangkan IVIg tidak ditanggung oleh program kesehatan di negara tersebut. Di
India dilaporkan bahwa TPE lebih efektif dari segi biaya dibandingkan IVIG
(Maheshwari, 2018).22

Sebuah uji coba internasional multisenter terkontrol acak dengan lebih dari
383 pasien dewasa dengan AIDP yang berat membandingkan antara pemberian
IVIG, TPE, dan TPE diikuti oleh IVIG, menemukan kesamaan dalam 3 modalitas
terapi ini sehubungan dengan perbaikan kecacatan dalam 4 minggu dan waktu
yang diperlukan untuk dapat berjalan tanpa bantuan (Kelompok TPE 49 hari,
kelompok IVIg 51 hari, dan TPE/IVIG 40 hari). Kombinasi TPE dan IVIG dalam waktu
yang berurutan tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan. Oleh karena itu,
menggunakan kombinasi IVIG dan TPE di saat awal mungkin tidak diperlukan. Namun,
dalam segi ekonomi, TPE lebih murah dibandingkan dengan pemberian IVIG. 9,11,21

Kekambuhan mungkin terjadi pada 5%-10% pasien 2-3 minggu setelah


terapi baik dengan TPE atau IVIG. Ketika kekambuhan terjadi, TPE tambahan
umumnya dapat membantu. 9,11,2

2.10.2 IMUNOGLOBULIN INTRAVENA (IVIG)


TPE dan IVIG telah terbukti efektif pada pengobatan AIDP. TPE bertujuan
untuk menghilangkan zat anti perusak sedangkan IVIG (zat anti intravena)
bertujuan memblok kerja zat anti agar tidak terjadi kerusakan saraf tepi lebih
54
lanjut.22,23
IVIG dapat menjadi alternatif pengobatan non prosedural pada SGB. IVIG telah
menggantikan TPE di sebagian besar pusat kesehatan sebagai pengobatan pilihan
AIDP. IVIG terbukti setidaknya sama efektifnya dengan TPE pada orang dewasa
nonambulatori yang dirawat dalam 2 minggu pertama dalam uji coba prospektif.
Secara signifikan, tidak ada manfaat tambahan IVIG setelah TPE, dan tentu saja
tidak masuk akal untuk memberikan IVIG dan kemudian melakukan TPE.
Demikian pula, pemberian IVIG kedua mungkin tidak membantu, pada pasien yang
gagal pada pemberian IVIG pertama. 22,23
Dosis umum IVIG adalah 0.4 g/kg berat badan yang diinfuskan selama 5
hari berturut-turut. Apakah dosis total IVIG (2 g/kgbb) yang diberikan dalam 2
hari (1g/kgbb per hari) lebih bermanfaat dibandingkan dengan ketika diberikan
dalam 5 hari (0.4g/kgbb per hari) tidak diketahui. Pada beberapa senter, biasanya
diberikan dosis total IVIG dalam 5 hari, karena regimen ini mungkin memicu efek
samping yang lebih sedikit dan karena anaka-anak yang mendapatkan regimen
IVIg yang lebih cepat dilaporkan memngalami fluktuasi terkait pengobatan yang
lebih sering. IVig dapat menghambat pengikatan antibodi gangliosida ke antigen
respektif, sehingga mencegah aktivasi komplemen dan efek patofisiologi
berikutnya. 22,23
Tidak ada bukti bahwa TPE melebihi 250 mL/kg atau IVIG lebih besar dari
2 g/kg memiliki manfaat tambahan pada pasien dengan AIDP, yang memiliki
defisit stabil yang tidak membaik secepat yang diinginkan pasien dan dokter
mereka. Sebanyak 10% pasien yang diobati dengan TPE atau IVIG mengalami
kekambuhan setelah perbaikan awal. Pada pasien yang mengalami relaps seperti
itu, kami memberikan sesi tambahan TPE atau IVIG. Pemberian IVIg dapat
menimbulkan efek samping berupa nyeri kepala, ruam, demam, mialgia dan
peningkatan kadar serum alanine aminotransferase. Syok anafilaktik dapat pula
terjadi sebagai efek samping yang berat dari pemberian IVIg. 22,23
Karena IVIg lebih mudah untuk diberikan, tersedia secara luas, dan
umumnya hanya memiliki efek samping minor, terapi ini telah menggantikan TPE
sebagai terapi pilihan pada beberapa senter. Kekurangan dari IVIg adalah
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, dimana hal ini merupakan alasan utama
mengapa beberapa senter masih menggunakan TPE. Pada negara-negara dengan

55
pendapatan per kapital rendah, baik IVIg maupun TPE masih dianggap terlalu
mahal untuk pasien dalam jumlah besar. Studi baru untuk memperbaiki perjalanan
penyakit dan keluaran dari SGB masih sangat dibutuhkan.22,23
Walaupun IVIg dan TPE terbukti efektif, banyak pasien SGB masih
mengalami kelemahan yang berat dan memiliki perjalanan penyakit yang lama,
serta mengalami perbaikan yang tidak komplit, masih terdapat nyeri dan keluhan
lemas. Oleh karena itu terapi yang lebih baik sangat diperlukan. 22,23

2.10.3 FLUKTUASI TERKAIT PENGOBATAN


Sekitar 10% pasien yang diobati dengan TPE atau IVIg akan mengalami
deteriorasi setelah perbaikan awal atau stabilisasi, yaitu mereka akan mengalami
fluktuasi terkait pengobatan. Fluktuasi terkait pengobatan ini biasanya terjadi
dalam 8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan. Walaupun tidak ada
percobaan control acak yang menunjukkan manfaat daripada pengobatan ulang
ini, sudah menjadi praktek umum untuk melakukan hal ini di beberapa pusat
pengobatan. Pasien SGB dengan fluktuasi terkait pengobatan cenderung
memiliki respons imun yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan saraf
yang berkepanjangan atau blockade fungsional, yang membutuhkan pengobatan
yang lebih lama dibandingkan pengobatan standar.24,25

2.10.4 PROFILAKSIS DEEP VEIN THOMBOSIS (DVT)

Imobilisasi karena SGB merupakan faktor risiko untuk terjadinya DVT.


Waktu untuk berkembang menjadi DVT atau emboli paru bervariasi dari 4 hingga
67 hari setelah onset. Anak-anak memiliki insidensi yang sangat rendah. Terdapat
kekurangan studi klinis yang membahas metode profilaksis terhadap trombosis di
SGB, durasi profilaksis, atau pemantauan pasien berisiko trombosis.24,25

2.10.6 MANAJEMEN MASALAH KANDUNG KEMIH DAN PENCERNAAN

Konstipasi sering terjadi pada pasien dengan tirah baring lama. Sekitar
setengah dari pasien mengalami ileus pada fase akut, sering tetapi tidak selalu
berkaitan dalam hubungannya dengan temuan lain dari dysautonomia. Fungsi

56
kandung kemih jarang dipelajari pada fase akut SGB, sebagian karena
kebanyakan pasien diberi kateterisasi sebagai bagian dari perawatan umum untuk
menjaga kebersihan tubuh dan untuk menghindari distensi kandung kemih. 24,25

2.10.7 REHABILITASI
Meskipun sebagian besar pasien dengan SGB membutuhkan rehabilitasi,
tidak ada studi mengenai hasil rehabilitasi jangka panjang atau perbandingan
metode yang berbeda. Pada penyakit neuromuskular, unit motorik yang terkena
yang terlalu lelah dalam terapi dapat menghambat pemulihan dan menyebabkan
kelemahan paradoks. Perhatian perlu diberikan pada kemungkinan pemendekan
otot dan kontraktur sendi. Imobilisasi yang berkepanjangan menyebabkan
pengurangan volume darah dan peningkatan episode hipotensi postural. Untuk
beberapa pasien yang terimobilisasi dapat membuat pasien rentan terhadap
kompresi saraf perifer dan pengembangan ulkus dekubitus, sehingga
membutuhkan posisi tidur yang tepat dengan dan dijadwalkan untuk perubahan
posisi secara rutin. 24,25

2.11 KOMPLIKASI
Pada kasus yang serius, SGB dapat disertai komplikasi yang
membahayakan, yaitu kegagalan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot
pernafasan; gangguan irama dan kegagalan fungsi jantung; hipotensi sampai
kematian; gangguan hemodinamik; nyeri; gangguan BAK dan BAB; pembekuan
darah serta kekambuhan.24,25

2.12 PROGNOSIS
SGB masih merupakan penyakit yang mengancam nyawa, walaupun dengan
pengobatan terbaik yang telah tersedia. Angka mortalitas di Eropa dan Amerika utara
bervariasi antara 3% dan 7%, dan lebih luas pada negara lain dimana data tersedia.
Pasien dapat meninggal pada tahap progresif akut, biasanya karena insufisiensi ventilasi
atau komplikasi pulmo, atau disfungsi autonom termasuk aritmia. Namun demikian,
kematian dapat terjadi pada tahap akhir ketika pasien dipindahkan dari ruang ICU ke
bangsal neurologi, yang menunjukkan pentingnya monitoring dan perawatan umum
secara akurat. Situasi emergensi dapat terjadi setelah diagnosis yang terlambat,
khususnya pada anak-anak. Pasien yang dapat bertahan hidup dari SGB seringkali
57
memiliki keluhan dan defisit neurologis sisa, yang memiliki efek pada aktivitas sehari-
hari dan kualitas hidup. 7,23,24
Sekitar 20% pasien dengan SGB tidak dapat berjalan tanpa bantuan 6 bulan setelah
onset. Kebanyakan pasien memiliki nyeri dan kelelahan, yang dapat terjadi akibat
kehilangan akson persisten. Banyak pasien yang harus mengganti pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari mereka, bahkan setelah mencapai level fungsional mereka yang sudah baik.
Kebanyakan perbaikan terjadi dalam tahun pertama, tetapi pasien dapat menunjukkan
pemulihan lebih lanjut bahkan setelah 3 tahun atau lebih.23,24
Untuk memperbaiki keluaran dari SGB, pengobatan yang efektif dan pemeriksaan
keluaran yang baik sangat dibutuhkan. Namun demikian, perjalanan klinis dan keluaran
dari penyakit sangat bervariasi dan pengenalan yang dini dari apsien dengan keluaran
yang buruk dibutuhkan untuk memperbaiki terapi. 23,24
Model prognostik dapat membantu untuk mengidentifkasi pasien yang
membutuhkan pengobatan tambahan dan pemantauan. Karakteristik pasien yang
berhubungan dengan prognostik buruk pada pasien SGB adalah sindrom terjadi pada usia
40 tahun atau lebih, riwayat diare sebelumnya (infeksi C.Jejuni dalam 4 minggu
terakhir), disabilitas yang berat pada titik nadir. Erasmus GBS Outcome Score (EGOS)
yang dinilai berdasarkan tiga karakteristik klinis ini, dapat digunakan 2 minggu sejak
masuk RS untuk memprediksi kemampuan pasien dapat berjalan dalam 6 bulan. Semakin
besar nilai EGOS yang didapat, maka semakin kecil kemungkinan pasien SGB dapat
berjalan setelah 6 bulan dari onset. Saat ini EGOS telah dimodifikasi menjadi (Modified
Erasmus GBS Outcome Score). mEGOS membutuhkan Medical Research Council
(MRC) Scale untuk skor kekuatan otot daripada disabilitas dan dapat memprediksi luaran
saat masuk RS dan satu minggu sejak masuk RS, ketika intervensi terapeutik
kemungkinan lebih efektif.23,24
Ketika digunakan saat masuk, skor mEGOS berkisar dari 0 ke 9 dengan 4 kategori
untuk skor MRC, 3 kategori untuk usia, dan 2 kategori untuk diare sebelumnya (Tabel 10
dan gambar 12). Kemampuan prediksi dari model lebih baik bila digunakan pada hari ke
7 dari masuk RS, karena jumlah skor MRC pada titik waktu ini memprediksi hasil
dengan lebih akurat. Oleh karena itu, MRC sumscore diberi bobot lebih kuat di mEGOS
ketika digunakan pada 1 minggu dan skor berkisar dari 0 hingga 12 (tabel 10 dan gambar
12).23,24

Tabel 11. Modified Erasmus GBS Outcome Score (mEGOS)23


58
Faktor Prognostik Kategori Pada Saat Masuk Pada Saat Hari
Rawat Inap ke-7 Rawat Inap
Usia saat onset </ 40 tahun 0 0
40-60 tahun 1 1
>60 tahun 2 2
Diare dalam 4 minggu onset Tidak Ada 0 0
kelemahan
Ada 1 1
Medical Research Council (MRC) 51-60 0 0
Scale 41-50 2 3
31-40 4 6
0-30 6 9
Modified Erasmus GBS Outcome Score (mEGOS) 0-9 0-12

Tabel 12: Medical Research Council (MRC) Scale 23

Total Medical Research Council Score dari 6 kelompok otot yang dinilai bilateral

Abduksi bahu 0-5 0-5


Fleksi siku 0-5 0-5
Ekstensi pergelangan tangan 0-5 0-5

Fleksi panggul 0-5 0-5


Ekstensi lutut 0-5 0-5
Dorsofleksi kaki 0-5 0-5
Total MRC Score 60 (normal) hingga 0 (quadriplegia)

Gambar 4. Fraksi prediksi dari pasien yang tidak dapat berjalan secara mandiri
berdasarkan modified Erasmus GBS Outcome Score (mEGOS)23

59
BAB III
KESIMPULAN

Menurut pedoman American Society of Aphaeresis (ASFA) 2019,


penggunaan utama TPE di SGB adalah indikasi kategori I ASFA (tingkat
rekomendasi 1A).

Hasil dari berbagai percobaan kontrol yang membandingkan TPE dengan


perawatan suportif, mengindikasikan bahwa TPE dapat mempercepat pemulihan
motorik, menurunkan waktu menggunakan ventilator, dan menurunkan waktu
untuk mencapai perbaikan klinis lainnya. The Cochrane Neuromuscular Disease
Group review of TPE pada AIDP yang dilakukan pada tahun 2012 dan
diperbaharui pada tahun 2017 menyimpulkan bahwa TPE merupakan terapi yang
efektif untuk SGB dan sebaiknya dimulai lebih awal yaitu dalam 7 hari dari onset
penyakit.

Berdasarkan penelitian multisenter yang dilakukan pemberian IVIG, TPE,


dan TPE diikuti oleh IVIG, menemukan kesamaan dalam 3 modalitas terapi ini
sehubungan dengan perbaikan kecacatan dalam 4 minggu dan waktu yang
diperlukan untuk dapat berjalan tanpa bantuan.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Hakim, M., dkk. Pedoman Tatalaksana SGB, CIDP, MG, Imunoterapi Edisi I.
Perdossi, 2018.
2. Anindita T, Winnugroho W. 2017. Buku Ajar Neurologi. Tangerang :
Penerbit Kedokteran.
3. Asbury AK, Cornblath D. Assessment of Current Diagnostic Criteria for
Guillain-Barré Syndrome.Ann Neurol. 2014.
4. Hugh J Willison, et al. 2021. Guillain-Barré syndrome. Lancet, 388, 717-727.
5. Seema N, Pahwlal A. Guillain–Barre Syndrome: Demographics, Clinical
Profile & Seasonal Variation in A Tertiary Care Centre of Central India.
Indian J Med Res. 2017 Feb; 145(2): 203–08
6. Rahayu T. Mengenal Guillain-Barre Syndrome. 2015. Available from
http://www.jurnalasia.com/ragam/mengenalguillain-barre-syndrome/
7. Winer JB. Review Article: An Update in Guillain Barre Syndrome. 2014.
8. Panesar K. Guillain Barre Syndrome. J US Pharm. 2014.
9. Justin Kwan and Suur Biliciler. (2021). Guillain-Barre´ Syndrome and Other
Acute Polyneuropathies. Clin Geriatr Med, 37, 313–326.
10. Shreedevi S Bobati and Karkal Ravishankar Naik. (2017). Therapeutic
plasma exchange as a first-choice therapy for axonal Guillain-Barré
syndrome: A case-based review of the literature. Journal of Clinical and
Diagnostic Research, Vol-11(8): EC35-EC37.
11. Sheikh Saiful Islam, et al. (2022). Therapeutic Plasma Exchange in Guillain
Barre Syndrome: An experience of Bangabanhu Sheikh Mujib Medical
University, Bangladesh. European Journal of Medical and Health Sciences, 4
(1), 11-13.
12. Huy P. Pham 1 , Joseph Schwartz. (2019). Therapeutic Plasma Exchange in
GuillainBarre Syndrome and chronic inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. La presse Medicale, 48 (11), 338-346.
13. Pieter A, Kuitwaard K, Walgaard C, Koningsveld R. IVIG Treatment and
Prognosis in Guillain-Barre Syndrome. J Clin Immunol. 2010 (1) : S74-8.
14. Feldman E, Wolfgang G, Zifko U. Atlas of Neuromuscular Disease. Austria :
61
Springer. 2005.
15. Nobuhiro Y. Guillain Barre Syndrome. J N Engl Med 2012; 366:2294-304
16. Murty MK. Treatment Guidelines for Guillain Barre Syndrome. Ann Indian
Acad Neurol. 2011.
17. Wang YZ, Liv H, Shi QG. Action Mechanism of Corticosteroids to Aggravate
Guillain-Barré Syndrome. J Neurol. 2015;5:139-41.
18. Hadden RD, Cornblath DR, Hughes RA, Zielasek J, Hartung HP, Toyka KV.
Electrophysiological Classification of Guillain-Barré Syndrome: Clinical
Associations and Outcome. Plasma Exchange/Sandoglobulin Guillain-Barré
Syndrome Trial Group. Ann Neurol. 2013.
19. Hughes R, Wijdicks E, Benson E, Cornblath D,Hahn A, Meythaler J, et al.
Supportive Care for Patients With Guillain-Barré Syndrome . Arch Neurol.
2015.
20. Amato A, Russell J. Neuromuscular Disorders 2nd Edition. United States of
America: the McGraw-Hill Companies Inc. 2016.
21. Tuck RR, McLeod JG. Autonomic Dysfunction in Guillain Barre Syndrome. J
Neurol. 2014; 44:983-90.
22. Wojciech S, Milosz J, Wegrzyn W, Krolikowski W. Acute Respiratory
Failure in Patients with Guillain‐Barré Syndrome and Myasthenic Crisis
Treated with Plasmapheresis in The Intensive Care Unit. 2013.
23. Van den Berg, B. et al. 2014. Neurol. Guillain–Barré syndrome:
pathogenesis, diagnosis, treatment and prognosis, 10, 469–482.
24. Walgaard C, Lingsma H.F, Ruts L, van Doorn P.A, Steyerberg EW, Jacobs
BC, Early recognition of poor prognosis ini Guillain-Barre syndrome.
Neurology® 2011;76:968–975

62
63
64
65
66
67
68
69
70
PRESENTASI KASUS BANGSAL
SYNDROME GUILLAIN BARRE
Oleh : Nysia Priscilla Angga Kusuma
Moderator : Dr. dr. Retnaningsih, Sp.S(K), KIC

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Masuk RS : 5 Februari 2022
Keluar RS : 17 Februari 2022
No. CM : C912004

II. DAFTAR MASALAH

NO MASALAH AKTIF TANGGAL MASALAH TANGGAL


PASIF
1. Tetraparesis flacid→ 3 5-2-2022

2. Gloves and stocking 5-2-2022


phenomenon → 3
3. Sindrom Guillain Barre 8-2-2022

71
III. SUBYEKTIF
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Kelemahan anggota gerak

Onset : 4 hari SMRS


Lokasi : Keempat anggota gerak
Kualitas : Anggota gerak atas dan bawah hanya mampu bergeser
Kuantitas : ADL seluruhnya dibantu oleh keluarga
Kronologis :

5 hari SMRS pasien mengeluhkan ujung-ujung jari kedua tangan


terasa tebal, kelemahan anggota gerak disangkal, kesemutan disangkal.
Nyeri kepala (-), mual (-), demam (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
4 hari SMRS pasien mengeluhkan kedua lengan dan tungkai
terasa berat saat digerakkan, namun pasien masih dapat beraktivitas,
berjalan dengan merambat. Ujung-ujung jari kedua tangan dan kaki
terasa tebal. Kesemutan (-), sesak (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien kemudian berobat ke RS Roemani, dan di IGD RS Roemani
pasien hanya diinfus, kemudian dianjurkan untuk rawat jalan.
3 hari SMRS pasien mengeluhkan kedua lengan dan tungkai
semakin terasa berat saat digerakkan, pasien juga mengeluhkan
punggungnya terasa lemas dan tidak dapat duduk sendiri. Sensasi tebal
pada kedua tangan hingga pergelangan tangan dan kedua kaki hingga
pergelangan kaki (+). Kesemutan (-), demam (-), sesak (-). BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Pasien kemudian dibawa ke RS Elisabeth,
diberikan obat dan lalu dirujuk ke RSDK untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Saat ini pasien mengeluhkan kelemahan pada keempat anggota
gerak, yang hanya bisa digeser. Pasien hanya dapat berbaring. Sensasi
tebal di kedua tangan dan kaki (+). Kesemutan (-), demam (-), sesak (-).
BAB dan BAK tidak ada keluhan.

72
2. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat demam disangkal
- Riwayat mencret beberapa hari/minggu sebelumnya disangkal
- Riwayat batuk pilek disangkal
- Riwayat keluhan serupa yang muncul sebelumnya disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat keganasan disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit serupa

4. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tidak bekerja. Pasien saat ini tinggal serumah dengan kedua anak

dan keluarganya. Pasien memiliki 2 anak yang sudah mandiri.

Biaya menggunakan BPJS.


Kesan sosial ekonomi : cukup

IV. OBYEKTIF
1. Status Presens
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 84 x/ menit, reguler


Frekuensi napas : 20 x/ menit
Suhu : 36,2 ºC
Saturasi : 99 % room air

Status gizi : TB : 164 cm, BB : 60 Kg, BMI : 21,7 kg/m2 (normoweight)

73
2. Status Internus
Kepala : Simetris, mesocephal, nyeri tekan (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP tak meningkat.

Thorax :
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di SIC IV


Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II murni, bising (-)
Paru :
Inspeksi : simetris statis dinamis

Palpasi : stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor seluruh lapangan paru


Auskultasi : suara dasar vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, hepar dan lien tak teraba, bising usus (+).

Ekstremitas : oedem (-), turgor cukup

3. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4M6V5=15
Kepala : simetris, nyeri tekan daerah kepala (-)
Mata : Pupil bulat isokor, ø 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)

Leher : kaku kuduk (-)


Nn. Craniales : dalam batas normal

Motorik Superior Inferior


- Gerak : turun/ turun turun/turun

- Kekuatan : 122/122 223/223


- Tonus : N/N N/N
- Trofi : E/E E/E
- R. Fisiologis : +/+ +/+

74
- R. Patologis : – /– – /–
- Klonus : – /–

Sensibilitas : gloves and stocking phenomenon

Status Vegetatif : BAK dan BAB dalam batas normal

4. Koordinasi, Gait dan Keseimbangan


Cara berjalan : tidak dapat dinilai
Tes Romberg : tidak dapat dinilai
Disdiadokokinesis : tidak dapat dinilai
Ataksia : tidak dapat dinilai
Rebound phenomen : tidak dapat dinilai
Dismetri : tidak dapat dinila

75
76
5. Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium 5 Februari 2022

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI


NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 16 gr % 13.00 – 16.00
Hematokrit 48,7 % 40.0 – 54.0
Eritrosit 5,48 juta / mmk 4.40 – 5.90
MCH 29,2 Pg 27-32
MCV 89,2 fL 76-96
MCHC 32,7 g/dl 29-36
Leukosit 21,2 / mmk 3.80 – 10.60
Trombosit 345 ribu / mmk 150.00 – 400.00
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 151 mg / dl 80 – 160
Ureum 58 mg / dl 15 – 39
Creatinin 0,9 mg / dl 0.60 – 1.30
Natrium 138 mmol/L 136-145
Kalium 4,6 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 102 mmol/L 98-107
Magnesium 1,1 mmol/L 0,74 – 0,99
Kalsium 2,3 mmol/L 2,12 – 2,52
Osmolaritas 303,25 mOsm
Fluid defisit 1 Liter

EKG 5 Februari 2022

Kesan :
Normo sinus Rhytm, HR : 72x/mnt

Foto Thorax PA 5 Februari 2022


77
KESAN:
- Cor tak membesar
- Pulmo tak tampak infiltrat

V. RESUME
Subyektif :
Seorang perempuan 67 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada keempat
anggota gerak, rasa tebal pada kedua telapak tangan dan kaki seperti menggunakan
sarung tangan dan kaki
Obyektif :
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS: E4M6V5=15
Tanda vital : Tekanan darah : 120/70 mmHg, Nadi : 84 x/ menit,
reguler, Frekuensi napas : 20 x/ menit, Suhu : 36,2ºC
BMI : 21,7 kg/m2 (normoweight)
Nn. Craniales : dalam batas normal

Motorik Superior Inferior

78
- Gerak : turun/ turun turun/turun
- Kekuatan : 122/122 223/223
- Tonus : N/N N/N
- Trofi : E/E E/E
- R. Fisiologis : +/+ +/+
- R. Patologis : – /– – /–
- Klonus : – /–
Sensibilitas : gloves and stocking phenomenon
Status Vegetatif : BAK dan BAB dalam batas normal
Laboratorium : Leukositosis (21.200)
Ro thorak : dalam batas normal

VI. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinik : Tetraparesis flaksid

Gloves and stocking phenomenon

Diagnosis Topis : Myelin sheath


Diagnosis Etiologis: Suspek Sindrom Guillain Barre

2. Leukositosis (21.2) dd infeksi

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

VIII. RENCANA AWAL


1. Suspek Sindrom Guillain Barre
Ip Dx : Lumbal pungsi, EMG KHST keempat ekstremitas + F wave + H
reflex
Ip Tx : IVFD RL 20 tpm
Inj Metilprednisolon 250 mg/ 8 jam iv
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv
Inj Vitamin B12 500 mcg / 12 jam iv
79
Ip Mx : Tanda vital, defisit neurologi
Ip Ex : Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit, rencana
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis, tatalaksana terapi
selanjutnya
2. Leukositosis (21.2) dd infeksi

Ip Dx : Cek urin rutin


Ip Tx :-
Ip Mx : Tanda vital
Ip Ex : Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit, rencana
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis, tatalaksana terapi
selanjutnya

80
IX. CATATAN PERKEMBANGAN

6 Februari 2022 (Hari perawatan ke-1)


S : Kelemahan pada keempat anggota gerak, hanya bisa digeser. Pasien hanya dapat berbaring. Rasa tebal di
kedua tangan dan kaki (+). Kesemutan (-). Nyeri kepala (-), mual (-), demam (-), sesak (-). BAB dan BAK
tidak ada keluhan

O: Mata : Pupil bulat isokor, Motorik Sup Inf


KU : Tampak sakit sedang Ø 3mm/3mm, Refleks Gerak menurun/menurun menurun/menurun
GCS : E4M6V5 cahaya +/+ Kekuatan 122/122 223/223
TD: 130/80mmhg Nn. Craniales : dalam Tonus N/N N/N
N: 80 x/menit batas normal Trofi E/E E/E
RR: 20 x/menit R.F +/+ +/+
T : 36.2ºC R.P -/- -/-
Spo2 : 97% room air Klonus -/-
Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon
Vegetatif : BAK melalui DC dan BAB normal

A:
1. DK :
Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomenon
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom
Guilaiin Barre
2. Bakteriuri
(Bakteri 32.360.8)

P: - EMG KHST keempat


- Observasi Ku, TV, GCS, ekstremitas + F Wave ---
tanda perdarahan post LP Menunggu jadwal
per jam selama 6 jam

- Mobilisasi bertahap setelah - Konsul TS rehabilitasi


8 jam post tindakan medik

I: MX : Ex :
IVFD RL 20 tpm Tanda Vital Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit,
Inj Metilprednisolon 250 Defisit Neurologi rencana pemeriksaan untuk menegakkan
mg/8 jam iv (H-2) diagnosis dan tatalaksana terapi selanjutnya
Inj Omeprazole 40 mg/12
jam iv
Inj Vitamin B12 1amp/ 12
jam iv

81
*Hasil lumbal Pungsi 6/2/2022*
Phisis Warna TIDAK BERWARNA –
Kekeruhan JERNIH –
Protein 80.2 mg/dL 15 - 45 H
Glukose 107 mg/dL 40 - 70
Sel Lekosit PMN 0 /mmk
MN 0 /mmk
Eritrosit 4 /mmk Negatif
Perbandingan Glukosa LCS:Serum lebih dari 50% (107/118 x 100% = 90.6% )
*Kesan: Disosiasi sitoalbuminik = Peningkatan Jumlah
Protein tanpa disertai peningkatan jumlah Sel*

*Hasil Urin Rutin 6/2/2022*


SEKRESI - EKSKRESI
Bakteri 32.360.8
BAKTERI : POSITIF 2

82
7 Februari 2022 (Hari perawatan ke-2)
S : Pasien merasa kekuatan pada kedua lengan lebih membaik dibanding sebelumnya. Pasien hanya dapat
berbaring. Rasa tebal di kedua tangan dan kaki (+). Kesemutan (-), demam (-), sesak (-). BAB kemarin (+)
dan BAK melalui selang kencing

O: Mata : Pupil bulat Motorik Sup Inf


KU : Tampak sakit sedang isokor, Ø 3mm/3mm, Gerak menurun/menurun menurun/menurun
GCS : E4M6V5 Refleks cahaya +/+ Kekuatan 233/233 222/222
TD: 116/84 mmhg, Nn. Craniales : dalam Tonus N/N N/N
N: 63 x/menit, batas normal Trofi E/E E/E
P : 20 x/menit, R.F +/+ +/+
S : 36,5ºC, R.P -/- -/-
SpO2 : 97% room air Klonus -/-
Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon
Vegetatif : BAK melalui DC dan BAB normal

A:
1. DK :
Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomenon
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin
Barre
2. Bakteriuri
(Bakteri 32.360.8)
P: Raber TS Interna Sub
EMG KHST keempat ekstremitas Geriatri :
+ F Wave --- Menunggu jadwal - Usul Pasang kasur
decubitus
Raber TS Rehabilitasi medik :  
FT : Positioning Alih baring/2 Raber TS Interna Sub
jam Hematoonkologi :
Breathing exc PROM AGA-AGB - Cek albumin
bilateral 4x
OT :Latihan motorik halus AGA
bilateral SW : Pemeriksaan sosial
dan wawancara 1x

I: Terapi TS Interna MX :
IVFD RL 20 tpm Sub Geriatri : Tanda Vital
Inj Metilprednisolon 250 mg/8 Urinter 1 tab/12 jam Defisit Neurologi
jam iv (H-3) po (H1)
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Ex :
Inj Vitamin B12 1amp/ 12 jam iv Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit,
rencana pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis dan tatalaksana terapi selanjutnya
83
Hasil pemeriksaan LCS (7/2/2022)
PEWARNAAN BTA
BTA : (-)/NEGATIF
PEWARNAAN GRAM
KUMAN : TIDAK DITEMUKAN KUMAN
PEWARNAAN JAMUR
YEAST CELL : (-)/NEGATIF
TINTA INDIA
Cryptococus Neoroformans : (-)/NEGATIF

8 Februari 2022 (Hari perawatan ke-3)


S : Pasien merasa kekuatan tangan lebih membaik dibanding sebelumnya. Rasa tebal di kedua tangan dan
kaki(+), demam (-), sesak (-). Belum BAB 2 hari dan BAK melalui DC

O: Mata : Pupil bulat isokor, Motorik Sup Inf


KU : Tampak sakit sedang Ø 3mm/3mm, Refleks Gerak menurun/menurun menurun/menurun
GCS : E4M6V5 cahaya +/+ Kekuatan 233/233 222/222
TD: 133/74 mmhg Nn. Craniales : dalam Tonus N/N N/N
N: 80 x/menit batas normal Trofi E/E E/E
P: 20 x/menit R.F +/+ +/+
S : 36,5ºC R.P -/- -/-
SpO2 : 97% room air Klonus -/-
Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon
Vegetatif : BAK melalui DC dan BAB normal

A:
1. DK :
Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomenon
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom
Guilaiin Barre

2. Bakteriuri
(Bakteri 32.360.8)
P: Raber TS Interna Sub
- EMG KHST keempat Geriatri :
ekstremitas + F Wave – - Pasang kasur decubitus
Hari Rabu, 09/2/2022, - Kultur urin
menunggu panggilan - Usul : cek GDS Pagi
- ACC dilakukan TPE karena injeksi
dengan pemasangan DL, kortikosteroid dosis
konsul Bedah vakuler tinggi 4 hari

Raber TS Rehabilitasi Raber TS Interna Sub


medik Hematoonkologi :
FT : Positioning Alih Rencana TPE 4 kali
baring/2 jam
Breathing exc PROM
AGA-AGB bilateral 4x
OT :Latihan motorik halus
AGA bilateral SW :
Pemeriksaan sosial dan
wawancara 1x
84
I: Terapi TS Interna Sub MX :
IVFD RL 20 tpm Geriatri : Tanda Vital
Inj Metilprednisolon 250 Urinter 1 tab/12 jam po Defisit Neurologi
mg/8 jam iv (H-4) (H2)
Inj Omeprazole 40 mg/12 Ex :
jam iv Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit,
Inj Vitamin B12 1amp/ 12 rencana pemeriksaan untuk menegakkan
jam iv diagnosis dan tatalaksana terapi selanjutnya

Hasil Albumin 8/2/2022


Albumin 4.1

85
10 Februari 2022 (Hari perawatan ke-5)
S : Post TPE Pertama
Sebagian tangan dan kaki sudah dapat melawan tahanan ringan. Rasa tebal masih dirasakan di kedua telapak
tangan dan kedua telapak kaki. Pasien sudah bisa BAB 1 kali kemarin, dubur terasa sedikit sakit. BAK via DC.
Makan dan minum baik.

O: Mata : Pupil bulat isokor, Motorik Superior Inferior


KU : Tampak sakit sedang Ø 3mm/3mm, Refleks Gerak Turun/turun Turun/turun
GCS : E4M6V5 cahaya +/+ Kekuatan 244/244 244/224
TD: 108/70 mmhg, Nn. Craniales : dalam Tonus : N /N N/N
N: 90 x/menit batas normal Trofi : E/E E/E
P: 18 x/menit RF : +/+ +/+
S : 36,5ºC RP : -/- -/-
SpO2 : 97% room air Klonus - /-
Sensibilitas : glove stocking phenomenon
Vegetatif : BAB 1 kali kemarin, BAK terpasang
DC, warna orange jernih

A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin
Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360)
3. Hipoalbumin (3.3)

P:
*Raber TS Interna Sub
*Raber TS Rehabilitasi medik* Geriatri*
FT : Positioning Alih baring/2 - Pasang kasur decubitus
jam - Kultur urine
Breathing exc PROM AGA-  
AGB bilateral 4x *Raber TS Interna Sub
OT :Latihan motorik halus Hematoonkologi*
AGA bilateral SW : - Rencana TPE 4 kali (pro
Pemeriksaan sosial dan TPE kedua)
wawancara 1x

I:
- IVFD RL 20 tpm *Terapi TS Interna Sub MX :
- Inj Metilprednisolon 125 Geriatri* Tanda Vital
mg/8 jam iv (H-6, tapp Urinter 1 tab/12 jam po Defisit Neurologi
off H-1) (H4)
- Inj Omeprazole 40 Ex :
mg/12 jam iv Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit,
- Inj Vitamin B12 1 amp/ rencana pemeriksaan untuk menegakkan
12 jam iv diagnosis dan tatalaksana terapi selanjutnya
- Lactulac syrup 15 ml/8
jam po

Hasil GDS pagi (10/2/2022) : 106 mg/dL

86
*Hasil pemeriksaan laboratorium Post TPE pertama (9/2/2022) :
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,9 gr % 13.00 – 16.00
Hematokrit 49,2 % 40.0 – 54.0
Eritrosit 5,43 juta / mmk 4.40 – 5.90
MCH 29,3 Pg 27-32
MCV 90,6 Fl 76-96
MCHC 32,3 g/dl 29-36
Leukosit 27,6 / mmk 3.80 – 10.60
Trombosit 241 ribu / mmk 150.00 – 400.00

KIMIA KLINIK
Albumin 3.3 /Dl 3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.3 mmol/L 2.12 – 2.52

Elektrolit
Natrium 136 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.1 mmol/L 3.5 – 5.0
Chlorida 109 mmol/L 95 – 105

87
88
Hasil EMG tanggal 9/2/2022
Kesan :
Pemeriksaan NCV Ekstremitas superior dan Inferior :
89
- Dapat sesuai gambaran polineuropati N. Medianus sisi kiri, N. Tibialis sisi kanan, N.
Peroneal sisi kanan lesi aksonal; N. Peroneal sisi kiri lesi demyelinisasi aksonal
Pemeriksaan SCV Ekstremitas Superior dan Inferior :
- Dapat sesuai gambaran polineuropati sensorik N. Medianus sisi kanan, N. Ulnaris
sisi kanan lesi aksonal; N. Medianus sisi kiri lesi demyelinisasi aksonal derajat berat
Pada pemeriksaan saraf tepi bagian proksimal :
Dapat sesuai gambaran poliradikulopati C6-C7 dan C8-Th1 sisi kanan; C5-C6 sisi
kiri, C8-Th1 sisi kiri, L4-L5 dan L5-S1 bilateral lesi derajat berat

90
12 Februari 2022 (Hari perawatan ke-7)

S: Post TPE Kedua

Pasien mengatakan kedua tangan dan kedua kaki semakin kuat. Rasa tebal di kedua telapak tangan dan
kaki masih dirasakan. Batuk (+). Makan dan minum baik. Terakhir BAB kemarin. BAK melalui selang
kencing

O: Mata : Pupil bulat isokor, Ø Motorik Superior Inferior


KU : Tampak sakit sedang 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+ Gerak Turun/turun Turun/turun
GCS : E4M6V5 Nn. Craniales : dalam batas Kekuatan : 444/444 345/345
TD: 125/69 mmhg, normal Tonus : N /N N/N
N: 85 x/menit Trofi : E/E E/E
P: 18 x/menit RF : +/+ +/+
S : 36,7ºC RP : -/- -/-
SpO2 : 99% room air Klonus - /-
Sensibilitas : glove stocking phenomenon
Vegetatif : BAB 1 kali kemarin, BAK
terpasang DC, warna orange jernih

A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin
Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9)
4. Hipomagnesemia (0.7-0.7)
5. Hipokalsemia (2.0)

P: Raber TS Interna Sub Geriatri :


Raber TS Rehabilitasi medik : - Pasang kasur dekubitus
FT : Positioning Alih baring/2  
jam Raber TS Interna Sub
Breathing exc PROM AGA-AGB Hematoonkologi :
bilateral 4x - Rencana TPE 4 kali (Pro TPE
OT :Latihan motorik halus AGA ketiga besok)
bilateral SW : Pemeriksaan sosial
dan wawancara 1x

I: Terapi TS Interna Sub Geriatri: MX :


- IVFD RL 20 tpm Urinter 1 tab/12 jam po (H6) Tanda Vital
- Inj Metilprednisolon 125 mg/8 Defisit Neurologi
jam iv (H-8, ap off H3) Terapi TS Interna Sub
- Inj Omeprazole 40 mg/12 jam Hematoonkologi: Ex :
iv - Inj. Ca glukonas 1 ampul/12 Menjelaskan pada pasien mengenai
jam IV penyakit, rencana pemeriksaan untuk
- Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam
- CaCO3 tab 500 mg/8 jam PO menegakkan diagnosis dan tatalaksana
iv
terapi selanjutnya
- N-asetilsistein kaps 200 mg/8
jam PO

*Hasil pemeriksaan laboratorium Post TPE Kedua (11/2/2022) :


HEMATOLOGI PAKET
Hemoglobin 14.4 g/Dl 11.7 – 15.5
Hematokrit 44.1 % 32 – 62 91
Eritrosit 5. 05 10^6/Ul 4.4 – 5.9
MCH 28.5 pg 27 – 32
MCV 87.3 Fl 76 – 96
MCHC 32.7 g/Dl 29 – 36
Leukosit 23.0 10^3/Ul 3.6 – 11 H
Trombosit 198 10^3/Ul 150 – 400

KIMIA KLINIK
Albumin 2.9 3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.0 mmol/L 2.12 – 2.52 L

ELEKTROLIT
Natrium 136 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.3 mmol/L3.5 – 5.0
Chlorida 106 mmol/L95 – 105

92
14 Februari 2022 (Hari perawatan ke-9)

S:Post TPE Ketiga

Kedua tangan dan kaki dirasakan semakin kuat. Rasa tebal di kedua telapak tangan dan telapak kaki
dirasakan berkurang.
O: Mata : Pupil bulat isokor, Motorik Superior Inferior
KU : Tampak sakit sedang Ø 3mm/3mm, Refleks Gerak Turun/turun Turun/turun
GCS : E4M6V5 cahaya +/+ Kekuatan 444/444 345/345
TD: 150/86 mmhg Nn. Craniales : dalam Tonus : N /N N/N
N: 73 x/menit batas normal Trofi : E/E E/E
P: 18 x/menit RF : +/+ +/+
S : 36,7ºC RP : -/- -/-
SpO2 : 99% room air Klonus - /-
Sensibilitas : glove stocking phenomenon
Vegetatif : BAB kemarin, BAK terpasang
DC, warna orange jernih

A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9-3.1)
4. Hipomagnesemia (0.7-0.7-0.7)
5. Hipocalcemia perbaikan (2.0-2.2)

P:  *Raber TS Interna Sub


*Raber TS Rehabilitasi medik* Geriatri:*
FT : Positioning Alih baring/2 jam - Pasang kasur dekubitus
Breathing exc PROM AGA-AGB  
bilateral 4x *Raber TS Interna Sub
OT :Latihan motorik halus AGA Hematoonkologi :*
bilateral SW : Pemeriksaan sosial dan - Rencana TPE 4 kali (Pro
wawancara 1x TPE keempat besok)
- Post TPE cek DR,
albumin, elektrolit lengkap

I: Terapi TS Interna Sub MX :


- IVFD RL 20 tpm Geriatri: Tanda Vital
- Inj Metilprednisolon 62,5 mg/12 Urinter 1 tab/12 jam po Defisit Neurologi
jam iv (H-10, ap off H3) (H6)
- Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Ex :
*Terapi TS Interna Sub Menjelaskan pada pasien mengenai
- Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv
Hematoonkologi: penyakit, rencana pemeriksaan untuk
- N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam - Inj. Ca glukonas 1 menegakkan diagnosis dan tatalaksana
PO ampul/12 jam IV terapi selanjutnya
- CaCO3 tab 500 mg/8 jam
PO

Hasil pemeriksaan laboratorium Post TPE ketiga (13/2/2022) :


HEMATOLOGI PAKET
Hemoglobin 14.2 g/Dl 11.7 – 15.5
Hematokrit 44.3 % 32 – 62
Eritrosit 5. 01 10^6/Ul 4.4 – 5.9
MCH 28.3 pg 27 – 32 93
MCV 88.4 Fl 76 – 96
MCHC 32.1 g/Dl 29 – 36
Leukosit 29.4 10^3/Ul 3.6 – 11 H
Trombosit 191 10^3/Ul 150 – 400

KIMIA KLINIK
Albumin 3.1 /Dl3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.2 mmol/L 2.12 – 2.52
ELEKTROLIT
Natrium 138 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.8 mmol/L3.5 – 5.0
Chlorida 109 mmol/L95 – 105

94
16 Februari 2022 (Hari perawatan ke-11)

S:Post TPE Keempat

Keempat anggota gerak dirasakan lebih kuat, pasien sudah dapat miring kanan kiri, duduk bersandar,
berubah posisi dari tidur ke duduk dengan dibantu. Rasa tebal di kedua tangan dan kaki terkadang masih
dirasakan. BAB (+) tidak keras dan BAK melalui selang kateter
O: Mata : Pupil bulat isokor, Ø Motorik Sup Inf
KU : Tampak sakit sedang 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+ Gerak menurun/menurun
GCS : E4M6V5 Nn. Craniales : dalam batas menurun/menurun
TD: 108/65 mmhg, normal kekuatan 444/444 345/345
N: 61 x/menit, Tonus N/N N/N
P: 18 x/menit, Trofi E/E E/E
S : 36,7ºC R.F +/+ +/+
SpO2 : 99% room air R.P -/- -/-
Klonus -/-
Sensibilitas : Glove and stocking
phenomen perbaikan
Vegetatif :BAB normal, BAK
terpasang DC, warna kuning

A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8-7282.6)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9-3.1-3.0)
4. Hipomagnesemia (0.7-0.7-0.7-0.7)
5. Hipocalcemia perbaikan (2.0-2.2-
2.2)

P:
- Rencana rawat jalan besok Raber TS Interna Sub Geriatri:
- Pasang kasur dekubitus
Raber TS Rehabilitasi medik :  
FT : Positioning Alih baring/2 jam
Breathing exc PROM AGA-AGB
bilateral 4x
OT :Latihan motorik halus AGA
bilateral SW : Pemeriksaan sosial dan
wawancara 1x

I: Terapi TS Interna Sub MX :


- IVFD RL 20 tpm Hematoonkologi: Tanda Vital
- Inj Metilprednisolon 62,5 mg/24 Antasid Syrup 15 ml/8 jam po Defisit Neurologi
jam iv (H-12)
- Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Terapi TS Interna Sub Geriatri : Ex :
Ciprofloxacin Tablet 500 mg/12 Menjelaskan pada pasien mengenai
- Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv
jam PO (H-2) penyakit, rencana pemeriksaan untuk
- N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam menegakkan diagnosis dan
PO tatalaksana terapi selanjutnya

*Hasil pemeriksaan laboratorium post TPE keempat (15/2/2022)*


HEMATOLOGI PAKET
Hemoglobin 14.7 g/Dl 11.7 – 15.5
Hematokrit 45.4 % 32 – 62
Eritrosit 5. 0810^6/Ul 4.4 – 5.9 95
MCH 28.9 pg 27 – 32
MCV 89.4 Fl 76 – 96
MCHC 32.4 g/Dl 29 – 36
Leukosit 32.5 10^3/Ul 3.6 – 11 H
Trombosit 181 10^3/Ul 150 – 400

KIMIA KLINIK
Albumin 3.0 /Dl 3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.2 mmol/L 2.12 – 2.52

ELEKTROLIT
Natrium 137 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.8 mmol/L 3.5 – 5.0
Chlorida 105 mmol/L 95 – 105

Hasil pemeriksaan urin rutin (15/2/2022) :


URINE LENGKAP + ANALYZER
Warna KEKUNINGAN
Kejernihan JERNIH
Berat Jenis 1.010
Ph 7.5
Protein NEGATIF
Reduksi NEGATIF
Urobilinogen NORMAL
Bilirubin NEGATIF
Aseton NEGATIF
Nitrit NEGATIF
LEKOSIT ESTERASE = 75/Ul
BLOOD = 250/Ul S
edimen Epitel 3.5
EPITEL 2-4/LPK
Epitel Tubulus 1.7
Lekosit 348.2 96
LEKOSIT 18-20/LPB
Eritrosit 588.2
ERITROSIT 45-50/LPB
Kristal 0.0
CA OXALAT POSITIF
Silinder Pathologi 0.53
Granula Kasar NEGATIF
Granula Halus NEGATIF
Silinder Hialin 0.13
Silinder Epitel NEGATIF
Silinder Eritrosit NEGATIF
Silinder Lekosit NEGATIF
Mucus 0.00
BENANG MUKUS POSITIF
Yeast Cell 1.7
Bakteri 7282.6
BAKTERI POSITIF 2
Kepekatan 22.4

97
17 Februari 2022 (Hari perawatan ke-12)

S: Rencana AFF DOUBLE LUMEN hari ini. Kedua tangan dan kaki sudah lebih kuat. Rasa tebal
dirasakan minimal. BAB terakhir kemarin, BAK masih via DC

O: Mata : Pupil bulat isokor, Ø 3mm/3mm, Motorik Sup Inf


KU : Tampak sakit sedang Refleks cahaya +/+ Gerak menurun/menurun
GCS : E4M6V5 Nn. Craniales : dalam batas normal menurun/menurun
TD: 102/61mmhg, kekuatan 444/444 345/345
N: 85 x/menit, Tonus N/N N/N
P: 18 x/menit, Trofi E/E E/E
S : 36,7ºC R.F +/+ +/+
SpO2 : 99% room air R.P -/- -/-
Klonus -/-
Sensibilitas : Glove and stocking
phenomen perbaikan
Vegetatif :BAB normal, BAK
terpasang DC, warna kuning

A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom
Guilaiin Barre
2. Bakteriuri (Bakteri
32.360.8-7282.6)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9-3.1-
3.0)
4. Hipomagnesemia (0.7-
0.7-0.7-0.7)
5. Hipokalsemia perbaikan
(2.0-2.2-2.2)

P:  
*Neuro*
- Aff infus
- Bladder training
- Aff DC

I: Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi : MX :


- IVFD RL 20 tpm Antasid Syrup 15 ml/8 jam po Tanda Vital
- Inj Omeprazole 40 Defisit Neurologi
mg/12 jam iv Terapi TS Interna Sub Geriatri
- Inj Vitamin B12 1 amp/ Ciprofloxacin Tablet 500 mg/12 jam PO Ex :
12 jam iv (H-3) Menjelaskan pada pasien mengenai
penyakit, rencana pemeriksaan untuk
- N-asetilsistein kaps 200
menegakkan diagnosis dan
mg/8 jam PO
tatalaksana terapi selanjutnya

98
BAGAN ALUR
10 Februari 2022 (Hari perawatan 5) 12 Februari 2022 (Hari perawatan 7)
6 Februari 2022 (Hari perawatan 1) S : Post TPE Pertama S : Post TPE Kedua
S : Kelemahan pada keempat anggota gerak, Sebagian tangan dan kaki sudah dapat melawan tahanan Pasien mengatakan kedua tangan dan kedua kaki
hanya bisa digeser. Pasien hanya dapat berbaring. ringan. Rasa tebal masih dirasakan di kedua telapak semakin kuat. Rasa tebal di kedua telapak tangan dan
Rasa tebal di kedua tangan dan kaki (+). tangan dan kedua telapak kaki. kaki masih dirasakan. Batuk (+). Makan dan minum
O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik baik. Terakhir BAB kemarin.
Gerak menurun/menurun menurun/menurun Gerak menurun/menurun menurun/menurun O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik
K ekuatan 122/122 223/223 Kekuatan 244/244 244/224 Gerak menurun/menurun menurun/menurun
Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon Kekuatan 444/444 345/345
A A Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon
1. 1. DK : Tetraparese flaksid A
DK : Tetraparese flaksid Glove and stocking phenomen 1.
Glove and stocking phenomen DT : Myelin sheath DK : Tetraparese flaksid
DT : Myelin sheath DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre Glove and stocking phenomen
DE : Suspek Sindrom Guillain Barre 2. Bakteriuri (Bakteri 32.360) DT : Myelin sheath
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8) 3. Hipoalbumin (3.3) DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre
P P 2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8)
- Mobilisasi bertahap setelah 8 jam post Raber TS Rehabilitasi medik : Fisioterapi 3. Hipoalbumin (3.3-2.9)
Tindakan Raber TS Interna Sub Hematoonkologi : 4. Hipomagnesemia (0.7-0.7)
- EMG KHST keempat ekstremitas + F Wave --- - Rencana TPE 4 kali (pro TPE kedua) 5. Hipocalcemia (2.0)
Menunggu jadwal Raber TS Interna Sub Geriatri : P
- Konsul TS rehab medik untuk fisioterapi -Pasang kasur decubitus Raber TS Interna Sub Hematoonkologi
I I - Rencana TPE 4 kali (Pro TPE ketiga besok)
IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm I
Inj Metilprednisolon 250 mg/8 jam iv (H-2) Inj Metilprednisolon 125 mg/8 jam iv (H-6, tap off H-1) IVFD RL 20 tpm
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Metilprednisolon 125 mg/8 jam iv (H-8, tapp off
Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv H3)
Lactulac syrup 15 ml/8 jam po Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv
Terapi TS Interna Sub Geriatri : Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv
Urinter 1 tab/12 jam po (H4) N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO
Terapi TS Interna Sub Geriatri :
Urinter 1 tab/12 jam po (H6)
Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi:
Inj. Ca glukonas 1 ampul/12 jam IV
CaCO3 tab 500 mg/8 jam PO

16 Februari 2022 (Hari perawatan 11) 17 Februari 2022 (Hari perawatan 12)
14 Februari 2022 (Hari perawatan 9) S : Post TPE Keempat S : Rencana AFF DOUBLE LUMEN hari ini. Kedua
S : Post TPE Ketiga Keempat anggota gerak dirasakan lebih kuat, pasien tangan dan kaki sudah lebih kuat. Rasa tebal dirasakan
Kedua tangan dan kaki dirasakan semakin kuat. Rasa tebal sudah dapat miring kanan kiri, duduk bersandar,
di kedua telapak tangan dan telapak kaki dirasakan minimal. BAB terakhir kemarin, BAK masih via DC
berkurang.
berubah posisi dari tidur ke duduk dengan dibantu.
O : O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik Rasa tebal di kedua tangan dan kaki terkadang masih O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik
Gerak menurun/menurun menurun/menurun dirasakan. Gerak menurun/menurun menurun/menurun
Kekuatan 444/444 345/345 O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik Kekuatan 444/444 445/445
Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon Gerak menurun/menurun menurun/menurun Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon
perbaikan Kekuatan 444/444 345/345 perbaikan
P Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon P
Raber TS Interna Sub Hematoonkologi perbaikan - Aff infus
- Rencana TPE 4 kali (Pro TPE keempat besok) P - Bladder training
I Rencana rawat jalan besok - Aff DC
IVFD RL 20 tpm I I
Inj Metilprednisolon 62,5 mg/12 jam iv (H-10, tapp IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm
off H3) Inj Metilprednisolon 62,5 mg/24 jam iv (H-12) Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv
Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO
N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO
Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi :
Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi : Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi : Antasid Syrup 15 ml/8 jam po
Antasid Syrup 15 ml/8 jam po Antasid Syrup 15 ml/8 jam po
Terapi TS Interna Sub Geriatri
Terapi TS Interna Sub Geriatri Ciprofloxacin Tablet 500 mg/12 jam PO (H-3)
Ciprofloxacin Tablet 500 mg/12 jam PO (H-2)

99
DECISION MAKING

10
0
10
1
Pembahasan

Kriteria Diagnostik menurut National Institute of Neurological and

Communicative Disorders and Stroke


Tanda minimum untuk penegakkan diagnosis yang ditemukan pada pasien ini

Kelemahan progresif pada kedua  4 hari SMRS pasien mengeluhkan kedua


lengan dan tungkai lengan dan tungkai terasa berat saat
digerakkan, pasien masih dapat berjalan
dengan rambatan

 3 hari SMRS pasien mengeluhkan kedua


lengan dan tungkai semakin terasa berat
saat digerakkan, pasien juga mengeluhkan
punggungnya terasa lemas dan pasien tidak
dapat duduk sendiri.

 Saat di RS pasien mengeluhkan kelemahan


pada keempat anggota gerak makin
memberat, dimana keempat anggota gerak
hanya bisa digeser

Hiporefleksia atau Arefleksia Pada pemeriksaan refleks fisiologis didapatkan


penurunan refleks
Tanda yang memperkuat diagnosis
Perburukan gejala mencapai titik nadir Onset pada pasien ini kurang lebih 5 hari dan
masih progresif
kurang atau sama dengan 28 hari
Pola distribusi defisit neurologis yang Pada pasien ini didapatkan distribusi defisit
neurologis yang simetris
simetris

10
2
Peningkatan protein pada CSS Pada pasien ini didapatkan disosiasi
sitoalbumin yaitu terdapatnya peningkatan
kadar protein pada cairan serebrospinalis
sebesar 80.2, tanpa disertai peningkatan
jumlah sel (PMN 0 /mmk, MN 3/mmk)
Gambaran elektrodiagnostik Pada pasien ini didapatkan lesi demyelinisasi
khas yang sesuai pada SGB maupun aksonal pada pemeriksaan KHST
superior et inferior

Pada pasien ini pilihan terapi yang diberikan adalah dengan menggunakan TPE sebanyak 4x.
Adapun beberapa indikasi dilakukannya TPE pada pasien ini, yaitu :
1. Sesuai dengan pedoman dari American Society of Aphaeresis (ASFA) 2019, penggunaan
utama TPE di SGB adalah indikasi kategori I ASFA (tingkat rekomendasi 1A).
2. TPE diindikasikan pada kasus yang non ambulatory, atau yang penyakitnya berlangsung
secara agresif (Pada pasien ini didapatkan adanya kelemahan pada keempat anggota gerak
yang menyebabkan pasien tidak dapat berjalan, sehingga hanya berbaring di tempat tidur,
dengan GBS disability score yang berat yaitu 4)

3. Pada kasus ini, IVIg tidak ditanggung oleh program kesehatan nasional, sedangkan prosedur
TPE ditanggung oleh jaminan kesehatan, dengan demikian pada pasien ini diputuskan untuk
dilakukan TPE sebagai terapi SGB.

 Pasien ini mendapat TPE sebanyak 4x, dengan menggunakan cairan pengganti berupa
Plasmanate albumin 5% dan cairan citrate dextrose sebagai antikoagulan. Efek samping berupa
hipokalsemia ringan akibat penggunaan sitrat sebagai antikoagulan dijumpai satu kali
setelah post TPE kedua, namun kemudian membaik setelah diberikan injeksi calcium
glukonas 1 ampul/12 jam dan juga CaCo3 500 mg/8 jam per oral.

 Pada saat dilakukan TPE juga tidak ditemukan efek samping lain seperti reaksi alergi,
nyeri dada, pusing, sakit kepala, sakit perut, kecemasan, hipotensi, mual dan muntah,
pneumonia, thrombosis, sepsis dan gangguan hemodinamik, baik selama dan setelah TPE
berlangsung.

10
3
10
4
Plasmanate Anticoagulan Calcium
(Human Albumin 5%) (Citrate Dextrose) Gluconas

10
5
 Pada pasien ini didapatkan skor mEGOS sebagai berikut :

Faktor Prognostik Kategori Pada Saat Masuk Pada Saat Hari


Rawat Inap ke-7 Rawat Inap
Usia saat onset </ 40 tahun 0 0
40-60 tahun 1 1
> 60 tahun 2 2
Diare dalam 4 minggu sebelum Tidak Ada 0 0
muncul kelemahan
Ada 1 1
Medical Research Council (MRC) 51-60 0 0
Scale 41-50 2 3
31-40 4 6
0-30 6 9
Modified Erasmus GBS Outcome Score (mEGOS) 8 8

 Prediksi kemungkinan pasien tidak dapat berjalan secara mandiri (Pada saat masuk RS)
dalam 4 minggu (garis hitam) 85%, 3 bulan (garis merah) 55%, dan 6 bulan (garis
hijau) 47% pada saat masuk RS.

 Prediksi kemungkinan pasien tidak dapat berjalan secara mandiri pada hari ke-7
perawatan di RS (garis hitam) 80%, 3 bulan (garis merah) 35%, dan 6 bulan (garis
hijau) 18 % pada saat hari ke- 7 rawat inap.

10
6
10
7
10
8

Anda mungkin juga menyukai