Oleh :
Nysia Priscilla Angga Kusuma
Moderator:
Dr. dr. Retnaningsih, Sp.S(K), KIC
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
0
DAFTAR ISI
Daftar Isi ................................................................................................... 1
Bab 1 ........................................................................................................ 2
Pendahuluan ............................................................................................. 2
Bab 2 ........................................................................................................ 4
Definisi ..................................................................................................... 4
Epidemiologi …………………………………………………………… 4
Klasifikasi ................................................................................................ 5
Etiologi ..................................................................................................... 7
Patofisiologi ............................................................................................. 9
Gejala Klinis ............................................................................................. 12
Diagnosis .................................................................................................. 16
Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 21
Temuan laboratorium ............................................................................... 19
Diagnosis banding .................................................................................... 25
Terapi ....................................................................................................... 28
Komplikasi ……………………………………………………………… 53
Prognosis .................................................................................................. 54
Bab 3…………………………………………………………………….. 58
Kesimpulan ……………………………………………………………... 58
Daftar Pustaka …………………………………………………………... 60
1
BAB I
PENDAHULUA
N
2
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat
menyerang semua umur. Angka kejadian pertahun Sindrom Guillain-Barre di
Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada
laki-laki dan wanita 3:2.3 Sindrom Guillain-Barre termasuk penyakit serius
dengan ancaman kematian sekitar 2-3% akibat gagal pernafasan dan gagal fungsi
jantung sehingga perlu dikelola sedini mungkin.1,2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan polineuropati akut yang
disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB ditandai dengan
gejala dan tanda paralisis lower motor neuron (LMN) akut dengan ciri khas
kelemahan progresif pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, parestesia pada
tubuh dan arefleksia relatif ataupun komplit. Pola yang terjadi biasanya diawali
dengan paralisis flaksid tipe asending yang dapat bertambah parah dalam
beberapa hari bahkan beberapa minggu. Disfungsi otonom biasa terjadi dengan
manifestasi kehilangan kontrol vasomotor yang berefek pada tekanan darah,
hipotensi postural dan aritmia kordis. Kegagalan sistem pernapasan dan
kelemahan orofaringeal mungkin membutuhkan ventilator terjadi pada 1/3 pasien
yang dirawat inap membuat SGB menjadi kelainan yang membutuhkan
penanganan awal demi mempertahankan tanda vital.1,3
Parry mengatakan bahwa Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati
yang bersifat asending dan akut yang sering terjadi 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Bosch, Sindrom Guillain-Barre merupakan suatu Sindrom klinis yang
ditandai adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. 1,3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insidens SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. SGB lebih jarang ditemukan pada anak dibandingkan dewasa dan insidens
SGB meningkat seiring bertambahnya usia, proporsi laki-laki lebih besar
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 1,7:1.3
4
inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi di
Amerika Utara, Arab, dan Eropa. Sementara acute motor axonal neuropathy
(AMAN) lebih sering terjadi di wilayah Amerika Tengah, Amerika Selatan,
Bangladesh, Jepang dan Meksiko. Di Indonesia, penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan jumlah kasus baru SGB yang
dirawat di RSCM sekitar 7,6 kasus per tahun. Penderita SGB di RSCM terutama
dewasa muda dengan rerata usia 40 tahun dan rasio laki-laki : perempuan adalah
1,2:1.3
2.3 KLASIFIKASI
Sindrom Guillain-Barre terbagi menjadi 3 subtipe utama yaitu: acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), subtipe axonal,
seperti acute motor neuropathy (AMAN) dan acute motor and sensory axonal
neuropathy (AMSAN), dan beberapa varian Sindrom Guillain-Barre.3,4
Sindrom Guillain-Barre adalah kelainan saraf tepi yang sulit dibedakan
dengan beberapa kondisi lainnya. Diagnosanya berdasarkan temuan klinis yang
tipikal/khas, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan pemeriksaan dari cairan
serebrospinal. Semua itu berguna untuk menentukan subtipe dari SGB karena
bentuk axonal seperti AMAN dan AMSAN memiliki prognosis yang lebih
5
buruk.3,4
6
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)
AIDP merupakan varian yang paling sering dijumpai dalam 85% kasus.
Merupakan jenis SGB yang disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang
membran sel Schwann. AIDP menyebabkan inflamasi pada aksonal perifer. AIDP
klasik terjadi dengan kelemahan yang bersifat progresif cepat dan bilateral
(namun tidak harus selalu simetris). Parestesia dapat ditemukan namun kelemahan
tetap merupakan temuan predominan. Pasien dapat mengeluhkan kesulitan
berjalan atau naik tangga.3,4
7
arefleksia. Pasien mengalami keluhan penglihatan ganda, ataksia, dan vertigo.
Dalam beberapa kasus, terdapat kelemahan dari nervus kranial dan ekstremitas.
Gejala berkembang beberapa hari sampai beberapa minggu. Ptosis dan midriasis
dapat terlihat di pemeriksaan.5,6
2.4 ETIOLOGI
A. Campylobacter jejuni
Infeksi diketahui sebagai prekursor awal dari Sindrom Guillain Barre.
Campylobacter jejuni merupakan patogen yang sering teridentifikasi.
Campylobacter jejuni adalah bakteri gram negatif. 10 Sekitar 20% pasien diawali
dengan penyakit seperti diare. Studi dari Amerika Serikat dan Eropa telah
menunjukkan bukti serologis atau bukti kultur mengenai infeksi C.jejuni yang
mengawali SGB sekitar 26-36% pasien. SGB yang diawali dengan infeksi C.
jejuni diasosiasikan dengan masa penyembuhan yang lebih lama, sisa kecacatan
yang berat, dan degenerasi aksonal.6,7
Patogenesis dari C. jejuni dapat dijelaskan dengan sistem “molecular
mimicry”. Gangliosida adalah molekul permukaan yang penting pada sistem saraf.
Melalui konsep molecular mimicry ini, antibodi terbentuk melawan epitope yang
mirip dengan gangliosida bereaksi dengan sistem saraf tepi menimbulkan
kerusakan.7
8
B. Cytomegalovirus
Cytomegalovirus merupakan infeksi tersering kedua yang dilaporkan. Bukti
dari infeksi awal Cytomegalovirus terdapat pada 5% pasien dengan SGB dalam
studi Jepang dan 11-13% di studi Eropa. Dalam sebuah studi Belgia, SGB
dilaporkan tinggi sekitar 22%. Ditemukan lebih sering pada wanita dan grup
dewasa muda. Individu yang didahului infeksi Cytomegalovirus cenderung lebih
parah dengan kesulitan bernafas. Bahkan sering berkembang menjadi kelemahan
nervus kranial (biasanya facial palsy bilateral) dan kehilangan sensorik yang
parah.5,6,7
C. Infeksi lainnya.
Epstein Barr virus dan Mycoplasma pneumonia sering ditemukan di SGB.
Bukti serologik dari infeksi Haemophilus influenzae, parainfluenza type 1 virus,
influenza A and B viruses, adenovirus, varicella zoster virus, and parvovirus B 19
jarang terjadi.5,6
Agen infeksius lain yang berhubungan dengan SGB termasuk influenza,
hepatitis A, B, C, dan E, dan juga Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada
infeksi HIV, biasanya AIDP timbul pada waktu serokonversi atau pada awal
perjalanan penyakit.5,6
Vaksinasi terutama pada swine flu, dihubungkan dengan angka kejadian
SGB. Beberapa peningkatan risiko dari SGB berhubungan dengan vaksinasi
influenza musiman. Beberapa studi menunjukkan beberapa peningkatan risiko
dari SGB berhubungan dengan vaksinasi H1N1.6,7
Beberapa kelainan dihubungkan dengan kemungkinan peningkatan risiko
dari SGB termasuk kelainan autoimun, limfoma, dan lainnya. Beberapa agen
imunomodulator seperti tumor necrosis alpha blockers dapat meningkatkan risiko
terjadinya SGB.6,7
2.5 PATOFISIOLOGI
Para ilmuwan mengetahui sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
9
menyerang tubuhnya sendiri dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut
sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel imunitas ini menyerang benda asing
dan organisme pengganggu, namun pada SGB, sistem imun mulai
menghancurkan selubung mielin yang mengelilingi aksonal saraf perifer, atau
bahkan aksonal itu sendiri.
Teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
disebutkan bahwa organisme telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun seperti limfosit dan makrofag untuk
menyerang mielin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung mielin dan
menyebabkan destruksi dari mielin. 17
menyebabkan sindrom klinis yang serupa dengan tetraplegia flaksid, mirip dengan
varian neuropati aksonal motorik akut (AMAN) SGB. Antibodi gangliosida telah
terbukti memiliki target saraf perifer yang berbeda. Antibodi anti-GD1a mengikat
dan GQ1B mengikat saraf perifer atau sambungan neuromuskular. Target saraf
presentasi klinis SGB. Selain itu, kaskade komplemen diaktifkan dan memainkan
10
neuropati motorik aksonal mungkin terkait dengan antibodi anti-GM1. Varian
spesifisitas semua antibodi untuk subtipe spesifik adalah hasil yang rendah hingga
sedang untuk utilitas klinis. Mengingat bahwa tidak semua pasien dites positif
epifenomenon.
11
Gambar 2. Patofisiologi Sindrom Guillain-Barre yang dicetuskan
oleh infeksi Campylobacter jejuni 17
12
sebagai neuropati perifer.
SGB dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi
yaitu :
1. Tipe demielinasi, bila selubung mielin yang menyelubungi aksonal rusak atau
hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau
melambat, sehingga timbul sensasi abnormal atau kelemahan. Prosesnya
disebut sebagai demielinasi primer.
2. Tipe aksonal, bila aksonal saraf akan rusak dalam proses demielinasi
sekunder, yang terjadi pada pasien dengan inflamasi berat. Apabila aksonal
ini putus, sinyal saraf akan diblok dan tidak dapat ditransmisikan lanjut. Tipe
ini sering terjadi setelah gejala diare, serta prognosisnya kurang baik karena
regenerasi aksonal membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung
mielin.
3. Tipe campuran, tipe ini merusak baik aksonal mupun mielin. Paralisis jangka
panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada aksonal
serta selubung saraf.
13
Gambar 3. Patogenesis Sindrom Guillain-Barre7
Gejala yang sering ditemukan pada kasus SGB adalah sebagai berikut :
• Rasa baal di kedua tungkai, lengan dan wajah.
• Hilangnya refleks
• Lemas otot sampai lumpuh pada kedua tungkai dan lengan
• Nyeri pinggang
• Pada kasus yang lebih parah dapat ditemukan gangguan gerak bola mata,
gangguan bicara, gangguan mengunyah dan menelan (disfagia), gangguan
BAB dan BAK, serta gangguan pernafasan.
15
AIDP biasanya diawali dengan mati rasa dan kesemutan di kaki yang secara
progresif asending dari kaki dan kemudian ke lengan. Mati rasa dan paresthesia
juga dapat melibatkan wajah dan tubuh. Sensasi nyeri neuritis yang parah, terasa
seperti tertusuk-tusuk, atau terbakar di punggung dan anggota badan terdapat pada
setidaknya setengah pasien dan mungkin sangat umum pada anak-anak. Sensasi
sentuhan, getaran, dan posisi lebih parah dampaknya daripada rasa sakit dan
persepsi suhu. Meskipun gejala awal biasanya bersifat sensorik, kelemahan otot
progresif dengan cepat menjadi temuan dominan dalam banyak kasus.6
16
Kelemahan progresif biasanya menyertai gangguan sensorik. Tingkat
keparahan dapat berkisar dari kelemahan distal yang ringan hingga quadriplegia
lengkap dan kebutuhan ventilasi mekanis. Kelemahan biasanya pertama kali
dirasakan di kaki dan naik ke lengan, tubuh, kepala, dan leher. Ropper
melaporkan bahwa 56% memiliki onset kelemahan pada tungkai, 12% di lengan,
dan 32% secara bersamaan di lengan dan kaki. Kadangkadang, ada temuan
desending dengan onset di saraf kranial, dengan berikutnya perkembangan ke
lengan dan kaki. Kelemahan wajah ringan juga jelas pada setidaknya setengah
dari pasien selama perjalanan penyakit. Ophthalmoparesis dan ptosis berkembang
pada 5–15% pasien. Usus besar dan kandung kemih biasanya terhindar, meskipun
ini mungkin terlibat dalam keadaan penyakit yang sangat parah. Ketidakstabilan
otonom sering terjadi pada AIDP dengan hipotensi atau hipertensi dan kadang-
kadang aritmia jantung.6
Sekitar 25-30% pasien dengan AIDP mengalami kegagalan ventilasi.
Karena serangan imun dari AIDP memiliki predileksi awal untuk saraf. Karena
alasan ini, penting untuk melihat kekuatan dari fleksor and ekstensor leher serta
abduktor bahu secara seksama. Kelompok otot ini dipersarafi oleh servikal dekat
dengan saraf frenikus (C3C4), dan dengan demikian, berkorelasi baik dengan
kekuatan diafragma dan kegagalan ventilasi yang akan datang.ada fase plateau
beberapa hari hingga minggu diikuti dengan pemulihan bertahap selama beberapa
bulan. Namun 50-85% pasien memiliki derajat gejala sisa 7 tahun setelah onset
penyakit.6
Lebih lanjut, mungkin sebanyak 5-10% pasien yang awalnya membaik akan
mengalami kekambuhan dalam beberapa hari atau hingga 3 minggu setelah
menyelesaikan pengobatan, dan ada beberapa kasus CIDP yang telah dimulai
secara akut. Oleh karena itu kadang-kadang sulit untuk memastikan awalnya jika
pasien akan berperilaku sebagai AIDP atau akan berevolusi menjadi CIDP dan
membutuhkan imunoterapi jangka panjang.6
Diagnosis CIDP akut harus dipertimbangkan ketika pasien SGB memburuk
lagi setelah 8 minggu dari onset atau ketika ada 3 atau lebih kekambuhan.Tingkat
mortalitas di SGB berkisar antara 2-5%, dengan pasien yang meninggal sebagai
akibat dari sindrom gangguan pernapasan, pneumonia aspirasi, emboli paru,
17
aritmia jantung, dan sepsis yang terkait dengan infeksi sekunder. Sebagian besar
pasien meninggal selama periode pemulihan. Faktor risiko untuk prognosis yang
buruk meliputi: usia lebih dari 50-60 tahun, timbulnya kelemahan yang
mendalam, kebutuhan untuk ventilasi mekanis, dan penundaan pengobatan dari
onset kelemahan.6
Disfungsi otonom dapat timbul pada SGB. Manifestasi yang melibatkan
otonom adalah gangguan berkeringat, gangguan irama jantung, dan juga kontrol
tekanan darah.13 Kelemahan progresif cepat adalah temuan klinis inti dari SGB.
Kelemahan maksimal dicapai dalam 4 minggu, tetapi kebanyakan pasien
mencapainya dalam 2 hingga 3 minggu. Setelah itu, pasien memasuki fase dataran
plateau yang berkisar dari hari ke minggu atau bulan (Gbr. 1). Fase ini diikuti oleh
fase pemulihan yang biasanya lebih lambat. Di Eropa, sekitar 1/3 pasien SGB
tetap dapat berjalan, sekitar 25% dari pasien SGB yang tidak dapat berjalan,
membutuhkan ventilasi buatan,terutama karena kelemahan otot-otot pernapasan.
Meskipun pengobatan standar dengan imunoglobulin intravena (IVIG) atau
plasmapheresis (PE), sekitar 20% dari pasien yang terkena dampak parah tetap
tidak dapat berjalan setelah 6 bulan. Selain itu, banyak pasien tetap dinyatakan
cacat. Bahkan 3 hingga 6 tahun setelah onset, SGB memiliki dampak besar pada
kehidupan sosial dan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu, SGB tetap merupakan penyakit berat yang memerlukan
perawatan yang lebih baik.6
18
2.7 DIAGNOSIS
Kerusakan mielin pada SGB menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf
perifer yakni motorik, sensorik dan otonom. Manifestasi klinis yang pertama
adalah kelemahan motorik yang bervariasi, mulai dari ataksia sampai paralisis
motorik total yang melibatkan otot pernafasan sehingga menimbulkan kematian.
Keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asenden). Seiring
perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan otot-
otot leher, batang tubuh, interkostal dan saraf kranialis. Kelemahan otot bulbar
menyebabkan disfagia orofaringeal yakni kesulitan menelan dengan disertai
drooling serta kesulitan bernafas. Kelemahan otot wajah juga sering terjadi, baik
unilateral maupun bilateral. Abnormalitas gerak mata jarang, kecuali varian Miller
Fisher. Gejala sensorik seperti hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif
(raba-tekan-getar) lebih berat dari sensibilitas superfisial (raba-nyeri-suhu). Pada
kasus berat terdapat hilangnya fungsi otonom dengan manifestasi fluktuasi
tekanan darah, hipotensi ortostatik dan aritmia jantung.6,7
Kriteria diagnosa yang umum dipakai untuk mendiagnosa AIDP adalah gejala
dan tanda minimal yang diperlukan:5,6,7
• Terjadinya kelemahan yang progresif pada kedua lengan dan tungkai (dapat
dimulai dari ekstremitas bawah)
• Hiporefleksi atau arefleksia
Kriteria yang secara kuat mendukung diagnosis: 3,4
• Perburukan gejala yang mencapai titik puncak < 28 hari (4 minggu)
• Pola defisit neurologis yang relatif simetris
• Gejala gangguan sensibilitas ringan
• Gangguan nervus kranialis, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
• Didahului oleh infeksi saluran nafas atas gangguan gastrointestinal
19
• Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor.
• Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
• Disosiasi sitoalbumin pada pemeriksaan cairan serebrospinal, peningkatan
protein tanpa disertai peningkatan jumlah sel (< 10 sel/mm3)
20
Analisis cairan serebrospinal : sesuai dengan kriteria AIDP
Varian SGB
Gambaran klinis :
• Ataksia akut
• Oftalmoparesis/oftalmoplegia akut
21
Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff
Gambaran klinis :
• Penurunan kesadaran
• Ataksia
• Oftalmoparesis/oftalmoplegia
MRI kepala dengan kontras : dapat ditemukan gambaran penyangatan pada area
batang otak
Varian Faringeal-Servikal-Brakial
Gambaran klinis : Kelemahan pada otot faring, leher atau ekstremitas atas pada
awal onset yang kemudain dapat meluas ke sktremitas bawah. Sering ditemukan
ptosis.
Gambaran klinis : Paresis nervus kranial multiple (nervus IX, X, XI, VII, III, IV,
VI) dapat bilateral atau simetris yang kemudian dapat diikuti dengan gejala
sensorik dan kelemahan motoric. Umumnya disertai areflexia atau hiporeflexia
22
pada SNAP, CMAP, dan gelombang F
Pandisotonomia akut
23
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.8.1 UJI ELEKTRODIAGNOSTIK
Kriteria elektrodiagnosis yang digunakan secara luas ialah kriteria dari Ho dkk dan
Hadden dkk. Gambaran disperse temporal lebih ditekankan oleh Ho dkk, sedangkan
konsep blok konduksi dikenalkan kembali oleh Haden dkk sebagai kriteria diagnostik
SGB tipe demielinisasi. Yang dimaksud dispersi temporal disini adalah terdapatnya
pemanjangan durasi compound muscle action potential (CMAP) proksimal lebih dari
30% dibandingkan CMAP distal. Batasan ini dinilai cukup sensitif dan spesifik dalam
membedakan antara disperse temporal akibat demielinisasi dan disperse temporal yang
terjadi secara fisiologis pada stimulasi proksimal.
Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada minggu pertama onset sering menunjukkan
hasil yang normal dan tidak menyingkirkan diagnosis, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan ulangan konduksi saraf pada minggu kedua atau ketiga. Oleh karena itu,
temuan KHS minggu pertama ini tidak dapat dijadikan landasan untuk menunda
pemberian imunoterapi jika sudah terdapat gambaran klinis yang khas SGB.
Pada Sebagian awal perjalanan penyakit SGB tipe AMAN dapat ditemukan
gambaran blok konduksi pada pemeriksaan KHS. Gambaran blok ini akan mengalami
perbaikan atau menghilang dalam hitungan hari disertai peningkatan amplitude CMAP
distal dan pemendekan latensi motor distal Kembali ke nilai normal. Pada kasus ini tidak
lazim ditemukan disperse temporal dan gelombang CMAP polifasik. Fenomena ini
dikenal sebagai AMAN with reversible conduction failure dan sering didiagnosis secara
keliru sebagai AIDP atau AMAN. Untuk mengurangi kesalahan interpretasi dan
klasifikasi tipe SGB, maka pemeriksaan KHS harus dilakuakn secara serial minimal dua
kali pada 3 saraf motorik dan 3 saraf sensorik dalam 4-6 minggu pertama.
24
Tabel 2. Gambaran EMG pada SGB
Subtipe Amplitudo Blok Dispersi Kecepatan Latensi Latensi
SGB CMAP Konduksi temporal konduksi distal gelombang
Distal motor motorik F (ms)
(mV) (m/s)
AIDP Normal Rasio >30% < 70% >130% >120%
atau Proksimal terjadi batas batas atas batas atas
berkurang : Distal peningkatan bawah normal normal
dari dari normal
amplitudo puncak
CMAP
durasi
negatif dari
CMAP
AMSAN Absen atau
berkurang
AMAN Absen atau
berkurang
25
Gambar 6. Gambaran EMG pada SGB fase akut dan pemulihan6
Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan pada pasien yang diduga menderita
SGB untuk menyingkirkan diagnosis banding, dan bukan merupakan kriteria
utama penegakan diagnosis SGB. Pada analisis cairan serebrospinal (CSS) dapat
ditemukan disosiasi sitoalbumin, yaitu terdapatnya peningkatan kadar protein
cairan serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin
adalah temuan khas untuk SGB dan dapat ditemukan pada 50% kasus pada
minggu
26
pertama dan meningkat menjadi 75% kasus pada minggu ketiga.5,6
Apabila Analisa CSS normal pada SGB dengan onset kurang dari 2 minggu, maka
hal ini tidak mempengaruhi penegakan diagnosis SGB selama ditemukan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dan tidak perlu dilakukan pungsi lumbal ulangan.
Peningkatan jumlah sel dan protein CSS dapat ditemukan pascaterapi
immunoglobulin intravena dosis tinggi (intravenous immunoglobulin/IVIG) yang
diduga akibat mekanisme transudasi atau meningitis aseptik. Apabila ditemukan
peningkatan jumlah sel CSS pada minggu pertama onset gejala, maka
kemungkinan diagnosis banding lain harus lebih dipertimbangkan seperti infeksi,
neuropati akibat human immunodeficiency virus (HIV), limfoma dan keganasan.6,7
2.8.3 RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika ditemukan tanda dan gejala klinis SGB
yang meragukan. Hal ini untuk menyingkirkan lesi structural sebagai penyebab
defisit neurologis yang ada . Hasil pemeriksaan MRI pada kasus SGB adalah murni
normal baik pada otak dan medulla spinalis, walau dapat dijumpai penyangatan
pada radiks proksimal . pada 11% kasus BBE, dapat ditemukan adanya lesi fokal
pada T2W MRI di mesensefalon, thalamus, serebelum dan batang otak.3,4
27
Tabel 3. Variasi Klinis Sindrom Guillain-Barre dan Antibodi terkait3,4
Subtipe dan varian Antibodi IgG
Acute Inflammatory Demyelinating Belum ditemukan
Polyneuropathy (AIDP)
Varian : Facial diplegia and paresthesia,
bifacial weakness with paresthesia
Acute Motor Axonal Neuropathy GM1, GD1a
(AMAN)
1. Acute motor-sensory axonal GM1, GD1a
neuropathy (AMSAN)
2. Acute motor conduction block GM1, GD1a
neuropathy
3. Pharyngeal-cervical-brachial GT1a>Gq1b>GD1a
weakness
4. Varian lain : SGB hiperrefleks, GM1,GD1a
SGB paraparesis
Sindrom Miller Fisher
1. Acute ophtalmoparesis/ ptosis/ GQ1b, GT1a
mydriasis (without ataxia)
2. Acute ataxic neuropathy GQ1b, GT1a
(without ophtalmoplegia)
3. Bickerstaff”s brain-stem GQ1b, GT1a
encephalitis
4. Acute ataxic hypersomnolence
28
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari SGB antara lain:5,6
29
Lambert Sulit untuk dibedakan karena Studi elektrofisiologi:
Eaton karakteristik klinis yang serupa. ciri khasnya adalah potensial
Myasthenic Namun, beberapa karakteristik aksi otot senyawa amplitudo
Syndrome lebih khas untuk LEMS. rendah (CMAP) setelah
(LEMS) Ini termasuk perkembangan gejala stimulus saraf
klinis yang lebih lambat, mulut tunggal,peningkatan
kering, kurangnya kehilangan amplitudo CMAP setelah
sensori obyektif, keterlibatan kontraksi volunter, atau
kelompok otot pernapasan yang stimulasi berulang pada
jarang, dan potensi refleks setelah frekuensi tinggi.
latihan atau kontraksi.
Botulisme 1. Riwayat memakan makanan Studi elektrofisiologi:
yang tercemar dengan mengurangi amplitudo
botulinum toxin. potensial otot yang
2. Kelumpuhan menurun dimulai ditimbulkan,peningkatan
di otot bulbar kemudian amplitudo dengan stimulasi
anggota badan, wajah, leher, saraf berulang dan
dan otot pernapasan. peningkatan jumlah unit
3. Otot pernafasan terlibat dengan miopati, yang tidak khas
kelemahan ekstremitas ringan, untuk SGB.
dan refleks biasanya
dipertahankan.
4. Ptosis, dilatasi pupil tidak
reaktif ditemukan. Dilatasi
pupils tidak reaktif tidak umum
di SGB, tetapi lebih umum
pada botulism.
5. Sembelit/konstipasi juga
merupakan ciri khas botulism.
Poliomiositis Ada nyeri otot biasanya di bahu Peningkatan ESR dan CK,
dan lengan atas, keterlibatan otot studi konduksi saraf normal,
leher fleksor tidak proporsional dan perubahan miopati
untuk kelemahan ekstremitas, dengan fibrilasi pada EMG.
tidak adanya gejala sensorik, Biopsi otot menunjukkan
refleks dipertahankan, tidak kerusakan dan regenerasi
adanya dysautonomia, dan adanya serat otot, dan infiltrat
lesi kulit, yang merupakan limfosit
presentasi yang jarang terjadi
untuk SGB.
30
Neuropati Vaskulitis 1. Gambaran umum termasuk Mungkin mengalami
presentasi asimetris yang peningkatan ESR. CSS tidak
terasa sakit dari kelemahan menunjukkan disosiasi
otot, keterlibatan saraf sitoalbumin.
kranial yang tidak biasa, Studi elektrofisiologi
paralisis pernapasan, dan menunjukkan bukti denervasi.
disfungsi sfingter. Biopsi saraf menunjukkan
2. Biasanya pasien mengeluh tanda-tanda peradangan dan
demam, kelelahan, lemas, jaringan parut.
dan arthralgia
31
Kelainan transmisi neuromuskuler
Myastenia gravis
Botulismus
Hipermagnesemi
Paralisis yang diinduksi
antibiotika Bisa gigitan ular
Miopati
Polimiositis
Miopati aku lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolik
Hipokalemi
Hipermagnesemia
Hipofosfatemia
Lain-lain
Histeri
Malingering
* : Penyebab tersering dari Sindrom-Sindrom yang mirip dengan SGB pada masing-masing
kategori
2.10.1 KORTIKOSTEROID
Secara mengejutkan, baik steroid oral dan metilprednisolon intravena tidak
bermanfaat untuk penyakit ini. Kombinasi dari IVIg dan metilprednisolon tidak
lebih efektif dibandingkan dengan pemberian IVIg saja, walaupun mungkin
terdapat sedikit efek tambahan jangka pendek setelah koreksi dari faktor
prognostik yang diketahui.8,9
32
kesemuanya melibatkan pemisahan darah utuh ke dalam komponen-komponennya
dengan menghilangkan atau memodifikasi satu atau lebih komponen ini. 8,9
33
Sitapheresis adsorptif Prosedur terapeutik di mana darah pasien dilewatkan
melalui perangkat medis, yang berisi kolom atau filter
yang secara selektif menyerap monosit dan granulosit
yang diaktifkan, memungkinkan leukosit yang tersisa
dan komponen darah lainnya dikembalikan ke pasien.
35
Tidak dapat berjalan tanpa bantuan (GBS Komplikasi :
Pertimbangkan Disability Score >/3, khususnya kurang dari 2 Trombosis vena
ulang masuk minggu dari onset kelemahan) Ulkus dekubitus
ICU - IVIg (0,4 g/kg setiap hari selama 5 hari) Infeksi paru
atau TPE
Fluktuasi terkait pengobatan atau TPE
Perburukan setelah stabilisasi inisial atau perbaikan :
Pengobatan ulang dengan IVIg (0,4 g/kg setiap hari
selama 5 hari) atau TPE
36
2.10.1.2 Mekanisme kerja pertukaran plasma
utama aksi TPE. Bukti tambahan menunjukkan bahwa TPE mungkin memiliki
efek imunomodulator di luar penghapusan Ig. Efek TPE yang dilaporkan pada
Th1/Th2 dengan pergeseran terhadap supresi Th 2,3, produksi IL-2 dan IFN-,4,5
seluruh darah mengalir melewati membran yang memisahkan plasma dari elemen
sel, yang kemudian dikembalikan ke pasien. Konfigurasi filter yang berbeda telah
digunakan untuk memisahkan plasma dari elemen seluler dan semua memiliki
sentrifugasi. Dalam perangkat aferesis ini, seluruh darah dipompa ke dalam ruang
37
kepadatannya, dengan elemen yang paling padat, Sel darah merah, bermigrasi
terjauh dari sumbu rotasi dan bagian yang paling tidak padat, yaitu plasma,
merupakan lapisan paling dekat dengan sumbu rotasi. Lapisan antara, bergerak
dari sumbu rotasi ke luar, adalah trombosit, limfosit, dan granulosit. Pada TPE,
plasma dihilangkan dan dibuang dan elemen seluler yang tersisa dicampur dengan
sentrifugasi. Dampak dari hal ini adalah bahwa beberapa trombosit mungkin ada
menggunakan Citrate. Waktu interval antara prosedur TPE dan jumlah prosedur
sebagai akibat adanya deplesi faktor koagulasi (Dengan fibrinogen menjadi faktor
utama yang harus dipertimbangkan karena paling banyak hilang selama proses
sebagai bagian dari cairan pengganti yang akan diberikan pada akhir prosedur.7,8,9
dengan volume yang sama dari penggantian cairan yang terdiri dari FFP dan
sementara sel-sel yang tersisa diinfuskan kembali kepada pasien. Pada SGB,
38
prosedur ini mengubah rasio sel T helper 1 (Th1) terhadap Th2, mengubah jumlah
dan aktivasi sel B dan sel T, dan membantu mengurangi konsentrasi komponen
komplemen, sitokin atau zat aktif imunologis lainnya. Sangat penting juga untuk
TPE dengan sukses dan aman. Terdapat banyak cara untuk memperkirakan
volume total darah (Total blood volume/TBV) dengan metode yang paling umum
Atau Volume total darah (dalam ml) = 0.005835 x (tinggi dalam inchi)3
Untuk menjaga agar hemodinamik pasien tetap stabil, sangat penting untuk
memastikan bahwa volume ekstrakorporeal dari alat apheresis dipertahankan tetap
dalam kondisi 10-15 % dari volume total darah pasien. Selanjutnya, untuk
memastikan kapasitas oksigen yang cukup selama prosedur berlangsung, volume
sel darah merah dari alat apheresis dipertahankan tetap dalam kondisi 10-15 %
dari volume total sel darah merah pasien. Sebagai catatan, volume ekstrakorporeal
dan volume sel darah merah ekstrakorporeal adalah spesifik pada alat apharesis dan
informasi tersebut termasuk dalam manual operator. Jika volume ekstrakorporeal
dan volume sel darah merah ekstrakorporeal lebih dari 15%, maka menyiapkan alat
tersebut dengan sel darah merah sangat dianjurkan. Jika hanya volume
ekstrakorporeal yang lebih dari 15% dari total darah pasien, makan menyiapkan
39
alat dengan albumin 5% mungkin cukup untuk menghindar dari paparan terhadap
sel darah merah allogenic, karena dalam kasus ini, volume (bukan kapasitas
penghantar oksigen) yang menjadi masalah.11
Fakta bahwa cairan pengganti diperlukan untuk melakukan TPE dan bahwa
cairan pengganti diberikan saat prosedur sedang terjadi memiliki implikasi untuk
penghapusan zat yang beredar dalam plasma. Penghapusan zat dalam plasma dan
terbatas pada ruang intravaskular dapat dijelaskan dengan eksponensial berikut:
persamaan: Y/Y0 = e -x, di mana Y adalah konsentrasi akhir zat, Y0 adalah
konsentrasi awal, dan X adalah berapa kali volume plasma pasien ditukar. Karena
pengenceran plasma dengan cairan pengganti, zat yang seharusnya dihilangkan
tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dari peredaran. Untuk setiap 1-1,5 volume
plasma ditukarkan, sekitar 60% -70% dari zat yang ada dalam plasma pada awal
volume plasma itu akan hilang. Saat volume plasma tambahan ditukarkan, jumlah
absolut yang dihilangkan menjadi lebih rendah, meskipun penghapusan 60%-70%
tetap masih terjadi. Untuk alasan ini, pada praktek rutin hanya menukar hanya 1-
1,5 volume plasma selama TPE. Menukar volume di atas 1,5 volume plasma
menghilangkan jumlah zat patologis yang lebih kecil yang ada di plasma, dan
kurang bermanfaat secara klinis, namun memperpanjang prosedur dan mengekspos
pasien terhadap lebih banyak cairan pengganti dan antikoagulan. Hasilnya adalah
peningkatan risiko komplikasi tanpa meningkatkan manfaat bagi pasien. 13,14
Karena TPE melibatkan pemindahan plasma secara massal, apa pun yang
beredar dalam plasma akan dihilangkan. Prosedurnya adalah nonselektif,
menghilangkan komponen plasma normal dan patologis. Misalnya, selama
pertukaran volume plasma menggunakan albumin sebagai cairan pengganti,
aktivitas faktor koagulasi menurun dan tes koagulasi dapat menjadi abnormal. 13,14
40
Penurunan aktivitas faktor V (FV), FVII, FVIII, FIX, FX, dan VWF
terjadi. Aktivitas FVIII, FIX, dan VWF kembali normal dalam waktu 4 jam setelah
TPE, sedangkan faktor koagulasi yang lain mencapai tingkat aktivitas dalam 24
jam post TPE. Pengecualian untuk ini, adalah fibrinogen, yang mencapai 66% dari
tingkat pra-apheresis dengan 72 jam. Zat tambahan yang dihilangkan termasuk
inhibitor koagulasi seperti antitrombin dan pseudokolinesterase yang diperlukan
untuk metabolisme beberapa obat. Secara teoritis, penghapusan inhibitor koagulasi
dapat mempengaruhi pasien untuk trombosis, tetapi ini belum dibuktikan secara
definitif. Laporan mengenai blokade neuromuskular berkepanjangan karena
penurunan aktivitas pseudokolinesterase telah dilaporkan. Sebagian besar
penghapusan dan penggantian plasma juga memiliki implikasi untuk pengujian
laboratorium. Penghapusan Antibodi dari pasien dapat mengakibatkan tes negatif
palsu untuk penyakit menular, autoantibodi, alloantibodi, dan aktivitas enzim dan
faktor koagulasi. Contoh untuk pengujian tersebut harus dikumpulkan sebelum
inisiasi TPE.15,16,17
IFN-ɑ
IVIG
Palivizumab
Tabel 7. Daftar obat- obatan yang hilang
Propoxyphene
saat prosedur TPE 14,15
Propranolol
Rituximab
Tobramycin 41
Verapamil
Vincristine
Cairan pengganti yang paling umum digunakan adalah human
albumin 4% -5% dalam salin fisiologis. Cairan ini memiliki keuntungan yaitu
paru akut terkait transfusi), yang keduanya dapat terjadi jika menggunakan
plasma sebagai cairan pengganti. Kerugian utama albumin adalah biayanya yang
dan karena itu dapat memperluas volume intravaskular. Efek ini dapat
adalah komponen paling mahal dalam prosedur TPE dan penggunaan albumin
praktisi akan menggunakan konsentrasi albumin yang lebih rendah, seperti 70%
albumin dan 30% salin. Ketika ini dilakukan, albumin dan saline bergantian,
42
dengan sebagian besar albumin diberikan pada akhir prosedur untuk
faktor koagulasi dan untuk mencegah dilusi koagulopati pada pasien dengan
perdarahan aktif.18,19
Sering diasumsikan bahwa akses vena sentral diperlukan dan setiap pasien harus
memiliki jalur vena sentral agar TPE dapat sukses dilakukan. Namun, persepsi
ini tidak didukung oleh literatur yang ada. Kelompok Studi Apheresis Kanada
menemukan bahwa 67% dari 5234 prosedur TPE dapat dilakukan dengan
berhasil melalui akses vena perifer saja. Dalam uji klinis penggunaan TPE untuk
memiliki akses vaskular perifer yang memadai dan dari mereka yang terdaftar,
43
komplikasi yang berhubungan langsung dengan prosedur TPE. Pada satu studi
menunjukkan bahwa semua komplikasi serius terkait dengan akses vena sentral,
penelitian lain.18,19
6,14% berat, memerlukan rawat inap atau intervensi yang signifikan. Studi yang
lebih baru telah melihat laju reaksi yang sangat berbeda mulai dari 4,75 %
hingga 36%. Tabel 4 merangkum jenis reaksi yang dilaporkan dan frekuensi
dalam studi ini. Reaksi yang paling umum terlihat adalah parestesia yang
dilaporkan, sebagian besar ringan dan mudah diobati. Faktor risiko reaksi
termasuk penggunaan plasma sebagai pengganti cairan, akses vena sentral, dan
44
Studi
TPE
Pruritus,5.8%
Takikardi, 5.6 %
2.10.1.7 Panduan Klinis The American Society for Apheresis (ASFA) tentang Pertukaran
ASFA adalah organisasi profesional yang terdiri dari dokter, ilmuwan, dan
profesional kesehatan yang terkait. Didirikan pada tahun 1982 ketika Society of
Hemapheresis Specialists, sebuah organisasi kesehatan, dan American Society for
Apheresis Symposia, sebuah organisasi dokter dan ilmuwan, digabung. Sejak saat itu,
tujuan ASFA adalah untuk memajukan "ilmu kedokteran apheresis.9,15,17
46
membagi rekomendasinya menjadi empat kategori:9,15,17
• Kategori II: “Gangguan dimana apheresis diterima sebagai terapi lini kedua,baik
sebagai pengobatan yang berdiri sendiri atau dalam hubungannya dengan
pengobatan lainnya”.
American Society for Apheresis (ASFA) tercantum pada Tabel 6. Daftar ini tidak
mewakili semua penyakit dan gangguan yang telah diterapkan TPE, hanya yang
Tabel 9. Penyakit dan gangguan yang dapat diobati dengan pertukaran plasma
terapeutik10,18,19
Poliradikulopati demielinasi I 1A
inflamasi akut (Acute inflammatory
demyelinating
polyradiculopathy/Guillain-Barré
Syndrome)
• Perdarahan alveolar I 1C
Penyakit antiglomerular
membran (Sindrom
Goodpasture)
• Tidak tergantung dialisis
I 1A
• Perdarahan alveolar
I 1B
• Tergantung dialisis
IV 1A
• Autoantibodi terhadap I 2C
faktor H
• Berhubungan dengan diare IV 1C
Pankreatitis hipertrigliserida III 2C
Hiperviskositas pada gamopati
monoklonal
• Simtomatik
I 1B
• Profilaksis untuk terapi
I 1C
rituximab
Multiple sklerosis
• Demielinasi sistem saraf II 1B
pusat akut yang tidak
berespons terhadap steroid
III 2B
• Kronik progresif
Nefropati myeloma II 2B
Neuromyelitis optika II 1C
Polyneuropati Paraproteinemik
IgG/IgA I 1B
IgM I 1C
III 2C
Multiple myeloma
Gangguan autoimun neuropsikiatrik I 1B
pediatrik yang berhubungan dengan
infeksi streptokokus
Penyakit penyimpanan asam II 2C
Phytanic (Penyakit Refsum )
Purpurea Posttransfusi III 2C
Aloimunisasi sel darah merah II 2C
dalam kehamilan
Penolakan transplantasi ginjal I 1B
terkait antibodi
Desensitisasi transplantasi ginjal II 1B
Skleroderma IV 1A
49
Sepsis dengan kegagalan III 2B
multiorgan
Systemic lupus erythematosus
Komplikasi berat dari II 2C
vaskulitis
Nefritis IV 1B
Purpura trombositopenik trombotik I 1A
Krisis tiroid III 2C
50
ASFA memberikan rekomendasi kategori I untuk TPE pada acute
inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP), Chronic Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP), Neuropsikiatri Autoimun
Pediatrik, Gangguan terkait dengan Infeksi Streptococcal dan Sydenham's
Chorea (PANDAS), Multiple Sclerosis, dan Myastenia Gravis. ASFA
memberikan rekomendasi kategori II untuk TPE pada Ensefalomielitis
Diseminasi Akut, Neuromyelitis Optica, Ensefalitis Fokal Kronis (Rasmussen's
Encephalitis), dan sindrom Lambert-Eaton Myasthenic. 20,22
TPE diperkirakan menghilangkan auto-antibodi ke berbagai komponen
sistem neurologis:23,24
Pada percobaan dengan menggunakan TPE dan atau IVIG, pasien AIDP
merepresentasikan mayoritas kasus dibandingkan dengan varian lain. TPE
merupakan modalitas terapeutik pertama yang memiliki dampak yang baik dan
beberapa percobaan kontrol acak telah membuktikan efikasinya.9,10,22
52
Menurut tinjauan Cochrane baru-baru ini, manfaat TPE meningkat jika
pengobatan dimulai lebih awal, tetapi masih memiliki efek menguntungkan dalam
4 minggu pertama dari onset penyakit. Manfaat terbaik muncul pada pemberian
imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset pada pasien dengan GBS Disability
Score >/ 3. Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS
Disability Score </ 3) tetap dapat memberikan manfaat namun perlu
memperhitungkan efisiensi pengobatan8,9,22,23
Dalam kasus sedang, tidak ada perbedaan antara pasien yang menjalani
empat pertukaran volume plasma dan mereka yang menjalani enam pertukaran.
Pada kelompok sedang hingga berat, empat sesi bermanfaat, sedangkan pada
kasus yang berat memerlukan 5-6 kali prosedur TPE.10,11,25
TPE relatif aman dengan sebagian besar reaksi ringan dan relatif mudah
untuk diobati. Efek samping yang paling umum terjadi terkait dengan TPE adalah
reaksi alergi terhadap plasma (menggigil, demam, ruam, gatal-gatal, sesak napas
dan stridor), nyeri dada, pusing, sakit kepala, sakit perut, kecemasan, hipotensi,
mual dan muntah, pneumonia, thrombosis, sepsis dan gangguan hemodinamik;
kejadiannya sekitar 11% dibandingkan dengan mereka yang menerima larutan
albumin 5% sebagai pengganti cairan. Efek samping lainnya adalah gejala
hipokalsemia bila sitrat digunakan sebagai antikoagulan akibat pengikatan ion
kalsium dalam darah. TPE juga dapat menyebabkan perpindahan cairan dan dengan
demikian, dapat menyebabkan hipotensi selama prosedur. Khusus pada pasien dengan
ketidakstabilan otonom, mungkin disarankan untuk menggunakan albumin 5%
sebagai cairan pengganti daripada kombinasi albumin/salin 5% untuk mengurangi
risiko hipotensi intra-prosedural. Selama dilakukan TPE kondisi pasien perlu
dimonitor dengan ketat termasuk pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
untuk meminimalisasi efek samping yang dapat terjadi.13,14,24
53
649 pasien yang terdaftar dalam enam percobaan menunjukkan bahwa TPE
mengurangi kebutuhan akan dukungan ventilasi dibandingkan dengan kontrol
(RR: 0,53) dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan kembali
kemampuan berjalan (30 vs 44 hari). Dalam uji coba di Amerika Utara, TPE
mengurangi waktu yang diperlukan untuk meningkatkan satu tingkat klinis, waktu
untuk berjalan tanpa bantuan, waktu pada ventilator, dan persentase pasien yang
mengalami perbaikan setelah 1 dan 6 bulan dibandingkan dengan kelompok
kontrol.8,9,24
Secara garis besar berdasarkan penelitian yang ada, TPE dan IVIg
memiliki efektifitas yang sama sebagai terapi pada SGB berat. Di Kanada, harga
IVIg yang mahal menyebabkan terapi ini menghabiskan biaya yang lebih besar
dibandingkan dengan TPE, sedangkan di Amerika Serikat TPE menghabiskan
biaya yang lebih besar. Di Taiwan, walaupun TPE menghabiskan biaya yang lebih
besar namun prosedur tersebut ditanggung oleh program kesehatan nasional
sedangkan IVIg tidak ditanggung oleh program kesehatan di negara tersebut. Di
India dilaporkan bahwa TPE lebih efektif dari segi biaya dibandingkan IVIG
(Maheshwari, 2018).22
Sebuah uji coba internasional multisenter terkontrol acak dengan lebih dari
383 pasien dewasa dengan AIDP yang berat membandingkan antara pemberian
IVIG, TPE, dan TPE diikuti oleh IVIG, menemukan kesamaan dalam 3 modalitas
terapi ini sehubungan dengan perbaikan kecacatan dalam 4 minggu dan waktu
yang diperlukan untuk dapat berjalan tanpa bantuan (Kelompok TPE 49 hari,
kelompok IVIg 51 hari, dan TPE/IVIG 40 hari). Kombinasi TPE dan IVIG dalam waktu
yang berurutan tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan. Oleh karena itu,
menggunakan kombinasi IVIG dan TPE di saat awal mungkin tidak diperlukan. Namun,
dalam segi ekonomi, TPE lebih murah dibandingkan dengan pemberian IVIG. 9,11,21
55
pendapatan per kapital rendah, baik IVIg maupun TPE masih dianggap terlalu
mahal untuk pasien dalam jumlah besar. Studi baru untuk memperbaiki perjalanan
penyakit dan keluaran dari SGB masih sangat dibutuhkan.22,23
Walaupun IVIg dan TPE terbukti efektif, banyak pasien SGB masih
mengalami kelemahan yang berat dan memiliki perjalanan penyakit yang lama,
serta mengalami perbaikan yang tidak komplit, masih terdapat nyeri dan keluhan
lemas. Oleh karena itu terapi yang lebih baik sangat diperlukan. 22,23
Konstipasi sering terjadi pada pasien dengan tirah baring lama. Sekitar
setengah dari pasien mengalami ileus pada fase akut, sering tetapi tidak selalu
berkaitan dalam hubungannya dengan temuan lain dari dysautonomia. Fungsi
56
kandung kemih jarang dipelajari pada fase akut SGB, sebagian karena
kebanyakan pasien diberi kateterisasi sebagai bagian dari perawatan umum untuk
menjaga kebersihan tubuh dan untuk menghindari distensi kandung kemih. 24,25
2.10.7 REHABILITASI
Meskipun sebagian besar pasien dengan SGB membutuhkan rehabilitasi,
tidak ada studi mengenai hasil rehabilitasi jangka panjang atau perbandingan
metode yang berbeda. Pada penyakit neuromuskular, unit motorik yang terkena
yang terlalu lelah dalam terapi dapat menghambat pemulihan dan menyebabkan
kelemahan paradoks. Perhatian perlu diberikan pada kemungkinan pemendekan
otot dan kontraktur sendi. Imobilisasi yang berkepanjangan menyebabkan
pengurangan volume darah dan peningkatan episode hipotensi postural. Untuk
beberapa pasien yang terimobilisasi dapat membuat pasien rentan terhadap
kompresi saraf perifer dan pengembangan ulkus dekubitus, sehingga
membutuhkan posisi tidur yang tepat dengan dan dijadwalkan untuk perubahan
posisi secara rutin. 24,25
2.11 KOMPLIKASI
Pada kasus yang serius, SGB dapat disertai komplikasi yang
membahayakan, yaitu kegagalan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot
pernafasan; gangguan irama dan kegagalan fungsi jantung; hipotensi sampai
kematian; gangguan hemodinamik; nyeri; gangguan BAK dan BAB; pembekuan
darah serta kekambuhan.24,25
2.12 PROGNOSIS
SGB masih merupakan penyakit yang mengancam nyawa, walaupun dengan
pengobatan terbaik yang telah tersedia. Angka mortalitas di Eropa dan Amerika utara
bervariasi antara 3% dan 7%, dan lebih luas pada negara lain dimana data tersedia.
Pasien dapat meninggal pada tahap progresif akut, biasanya karena insufisiensi ventilasi
atau komplikasi pulmo, atau disfungsi autonom termasuk aritmia. Namun demikian,
kematian dapat terjadi pada tahap akhir ketika pasien dipindahkan dari ruang ICU ke
bangsal neurologi, yang menunjukkan pentingnya monitoring dan perawatan umum
secara akurat. Situasi emergensi dapat terjadi setelah diagnosis yang terlambat,
khususnya pada anak-anak. Pasien yang dapat bertahan hidup dari SGB seringkali
57
memiliki keluhan dan defisit neurologis sisa, yang memiliki efek pada aktivitas sehari-
hari dan kualitas hidup. 7,23,24
Sekitar 20% pasien dengan SGB tidak dapat berjalan tanpa bantuan 6 bulan setelah
onset. Kebanyakan pasien memiliki nyeri dan kelelahan, yang dapat terjadi akibat
kehilangan akson persisten. Banyak pasien yang harus mengganti pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari mereka, bahkan setelah mencapai level fungsional mereka yang sudah baik.
Kebanyakan perbaikan terjadi dalam tahun pertama, tetapi pasien dapat menunjukkan
pemulihan lebih lanjut bahkan setelah 3 tahun atau lebih.23,24
Untuk memperbaiki keluaran dari SGB, pengobatan yang efektif dan pemeriksaan
keluaran yang baik sangat dibutuhkan. Namun demikian, perjalanan klinis dan keluaran
dari penyakit sangat bervariasi dan pengenalan yang dini dari apsien dengan keluaran
yang buruk dibutuhkan untuk memperbaiki terapi. 23,24
Model prognostik dapat membantu untuk mengidentifkasi pasien yang
membutuhkan pengobatan tambahan dan pemantauan. Karakteristik pasien yang
berhubungan dengan prognostik buruk pada pasien SGB adalah sindrom terjadi pada usia
40 tahun atau lebih, riwayat diare sebelumnya (infeksi C.Jejuni dalam 4 minggu
terakhir), disabilitas yang berat pada titik nadir. Erasmus GBS Outcome Score (EGOS)
yang dinilai berdasarkan tiga karakteristik klinis ini, dapat digunakan 2 minggu sejak
masuk RS untuk memprediksi kemampuan pasien dapat berjalan dalam 6 bulan. Semakin
besar nilai EGOS yang didapat, maka semakin kecil kemungkinan pasien SGB dapat
berjalan setelah 6 bulan dari onset. Saat ini EGOS telah dimodifikasi menjadi (Modified
Erasmus GBS Outcome Score). mEGOS membutuhkan Medical Research Council
(MRC) Scale untuk skor kekuatan otot daripada disabilitas dan dapat memprediksi luaran
saat masuk RS dan satu minggu sejak masuk RS, ketika intervensi terapeutik
kemungkinan lebih efektif.23,24
Ketika digunakan saat masuk, skor mEGOS berkisar dari 0 ke 9 dengan 4 kategori
untuk skor MRC, 3 kategori untuk usia, dan 2 kategori untuk diare sebelumnya (Tabel 10
dan gambar 12). Kemampuan prediksi dari model lebih baik bila digunakan pada hari ke
7 dari masuk RS, karena jumlah skor MRC pada titik waktu ini memprediksi hasil
dengan lebih akurat. Oleh karena itu, MRC sumscore diberi bobot lebih kuat di mEGOS
ketika digunakan pada 1 minggu dan skor berkisar dari 0 hingga 12 (tabel 10 dan gambar
12).23,24
Total Medical Research Council Score dari 6 kelompok otot yang dinilai bilateral
Gambar 4. Fraksi prediksi dari pasien yang tidak dapat berjalan secara mandiri
berdasarkan modified Erasmus GBS Outcome Score (mEGOS)23
59
BAB III
KESIMPULAN
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Hakim, M., dkk. Pedoman Tatalaksana SGB, CIDP, MG, Imunoterapi Edisi I.
Perdossi, 2018.
2. Anindita T, Winnugroho W. 2017. Buku Ajar Neurologi. Tangerang :
Penerbit Kedokteran.
3. Asbury AK, Cornblath D. Assessment of Current Diagnostic Criteria for
Guillain-Barré Syndrome.Ann Neurol. 2014.
4. Hugh J Willison, et al. 2021. Guillain-Barré syndrome. Lancet, 388, 717-727.
5. Seema N, Pahwlal A. Guillain–Barre Syndrome: Demographics, Clinical
Profile & Seasonal Variation in A Tertiary Care Centre of Central India.
Indian J Med Res. 2017 Feb; 145(2): 203–08
6. Rahayu T. Mengenal Guillain-Barre Syndrome. 2015. Available from
http://www.jurnalasia.com/ragam/mengenalguillain-barre-syndrome/
7. Winer JB. Review Article: An Update in Guillain Barre Syndrome. 2014.
8. Panesar K. Guillain Barre Syndrome. J US Pharm. 2014.
9. Justin Kwan and Suur Biliciler. (2021). Guillain-Barre´ Syndrome and Other
Acute Polyneuropathies. Clin Geriatr Med, 37, 313–326.
10. Shreedevi S Bobati and Karkal Ravishankar Naik. (2017). Therapeutic
plasma exchange as a first-choice therapy for axonal Guillain-Barré
syndrome: A case-based review of the literature. Journal of Clinical and
Diagnostic Research, Vol-11(8): EC35-EC37.
11. Sheikh Saiful Islam, et al. (2022). Therapeutic Plasma Exchange in Guillain
Barre Syndrome: An experience of Bangabanhu Sheikh Mujib Medical
University, Bangladesh. European Journal of Medical and Health Sciences, 4
(1), 11-13.
12. Huy P. Pham 1 , Joseph Schwartz. (2019). Therapeutic Plasma Exchange in
GuillainBarre Syndrome and chronic inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. La presse Medicale, 48 (11), 338-346.
13. Pieter A, Kuitwaard K, Walgaard C, Koningsveld R. IVIG Treatment and
Prognosis in Guillain-Barre Syndrome. J Clin Immunol. 2010 (1) : S74-8.
14. Feldman E, Wolfgang G, Zifko U. Atlas of Neuromuscular Disease. Austria :
61
Springer. 2005.
15. Nobuhiro Y. Guillain Barre Syndrome. J N Engl Med 2012; 366:2294-304
16. Murty MK. Treatment Guidelines for Guillain Barre Syndrome. Ann Indian
Acad Neurol. 2011.
17. Wang YZ, Liv H, Shi QG. Action Mechanism of Corticosteroids to Aggravate
Guillain-Barré Syndrome. J Neurol. 2015;5:139-41.
18. Hadden RD, Cornblath DR, Hughes RA, Zielasek J, Hartung HP, Toyka KV.
Electrophysiological Classification of Guillain-Barré Syndrome: Clinical
Associations and Outcome. Plasma Exchange/Sandoglobulin Guillain-Barré
Syndrome Trial Group. Ann Neurol. 2013.
19. Hughes R, Wijdicks E, Benson E, Cornblath D,Hahn A, Meythaler J, et al.
Supportive Care for Patients With Guillain-Barré Syndrome . Arch Neurol.
2015.
20. Amato A, Russell J. Neuromuscular Disorders 2nd Edition. United States of
America: the McGraw-Hill Companies Inc. 2016.
21. Tuck RR, McLeod JG. Autonomic Dysfunction in Guillain Barre Syndrome. J
Neurol. 2014; 44:983-90.
22. Wojciech S, Milosz J, Wegrzyn W, Krolikowski W. Acute Respiratory
Failure in Patients with Guillain‐Barré Syndrome and Myasthenic Crisis
Treated with Plasmapheresis in The Intensive Care Unit. 2013.
23. Van den Berg, B. et al. 2014. Neurol. Guillain–Barré syndrome:
pathogenesis, diagnosis, treatment and prognosis, 10, 469–482.
24. Walgaard C, Lingsma H.F, Ruts L, van Doorn P.A, Steyerberg EW, Jacobs
BC, Early recognition of poor prognosis ini Guillain-Barre syndrome.
Neurology® 2011;76:968–975
62
63
64
65
66
67
68
69
70
PRESENTASI KASUS BANGSAL
SYNDROME GUILLAIN BARRE
Oleh : Nysia Priscilla Angga Kusuma
Moderator : Dr. dr. Retnaningsih, Sp.S(K), KIC
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Masuk RS : 5 Februari 2022
Keluar RS : 17 Februari 2022
No. CM : C912004
71
III. SUBYEKTIF
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Kelemahan anggota gerak
72
2. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat demam disangkal
- Riwayat mencret beberapa hari/minggu sebelumnya disangkal
- Riwayat batuk pilek disangkal
- Riwayat keluhan serupa yang muncul sebelumnya disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat keganasan disangkal
IV. OBYEKTIF
1. Status Presens
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
73
2. Status Internus
Kepala : Simetris, mesocephal, nyeri tekan (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax :
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
3. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4M6V5=15
Kepala : simetris, nyeri tekan daerah kepala (-)
Mata : Pupil bulat isokor, ø 3 mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
74
- R. Patologis : – /– – /–
- Klonus : – /–
75
76
5. Pemeriksaan Penunjang
Kesan :
Normo sinus Rhytm, HR : 72x/mnt
V. RESUME
Subyektif :
Seorang perempuan 67 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada keempat
anggota gerak, rasa tebal pada kedua telapak tangan dan kaki seperti menggunakan
sarung tangan dan kaki
Obyektif :
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS: E4M6V5=15
Tanda vital : Tekanan darah : 120/70 mmHg, Nadi : 84 x/ menit,
reguler, Frekuensi napas : 20 x/ menit, Suhu : 36,2ºC
BMI : 21,7 kg/m2 (normoweight)
Nn. Craniales : dalam batas normal
78
- Gerak : turun/ turun turun/turun
- Kekuatan : 122/122 223/223
- Tonus : N/N N/N
- Trofi : E/E E/E
- R. Fisiologis : +/+ +/+
- R. Patologis : – /– – /–
- Klonus : – /–
Sensibilitas : gloves and stocking phenomenon
Status Vegetatif : BAK dan BAB dalam batas normal
Laboratorium : Leukositosis (21.200)
Ro thorak : dalam batas normal
VI. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinik : Tetraparesis flaksid
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
80
IX. CATATAN PERKEMBANGAN
A:
1. DK :
Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomenon
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom
Guilaiin Barre
2. Bakteriuri
(Bakteri 32.360.8)
I: MX : Ex :
IVFD RL 20 tpm Tanda Vital Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit,
Inj Metilprednisolon 250 Defisit Neurologi rencana pemeriksaan untuk menegakkan
mg/8 jam iv (H-2) diagnosis dan tatalaksana terapi selanjutnya
Inj Omeprazole 40 mg/12
jam iv
Inj Vitamin B12 1amp/ 12
jam iv
81
*Hasil lumbal Pungsi 6/2/2022*
Phisis Warna TIDAK BERWARNA –
Kekeruhan JERNIH –
Protein 80.2 mg/dL 15 - 45 H
Glukose 107 mg/dL 40 - 70
Sel Lekosit PMN 0 /mmk
MN 0 /mmk
Eritrosit 4 /mmk Negatif
Perbandingan Glukosa LCS:Serum lebih dari 50% (107/118 x 100% = 90.6% )
*Kesan: Disosiasi sitoalbuminik = Peningkatan Jumlah
Protein tanpa disertai peningkatan jumlah Sel*
82
7 Februari 2022 (Hari perawatan ke-2)
S : Pasien merasa kekuatan pada kedua lengan lebih membaik dibanding sebelumnya. Pasien hanya dapat
berbaring. Rasa tebal di kedua tangan dan kaki (+). Kesemutan (-), demam (-), sesak (-). BAB kemarin (+)
dan BAK melalui selang kencing
A:
1. DK :
Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomenon
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin
Barre
2. Bakteriuri
(Bakteri 32.360.8)
P: Raber TS Interna Sub
EMG KHST keempat ekstremitas Geriatri :
+ F Wave --- Menunggu jadwal - Usul Pasang kasur
decubitus
Raber TS Rehabilitasi medik :
FT : Positioning Alih baring/2 Raber TS Interna Sub
jam Hematoonkologi :
Breathing exc PROM AGA-AGB - Cek albumin
bilateral 4x
OT :Latihan motorik halus AGA
bilateral SW : Pemeriksaan sosial
dan wawancara 1x
I: Terapi TS Interna MX :
IVFD RL 20 tpm Sub Geriatri : Tanda Vital
Inj Metilprednisolon 250 mg/8 Urinter 1 tab/12 jam Defisit Neurologi
jam iv (H-3) po (H1)
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Ex :
Inj Vitamin B12 1amp/ 12 jam iv Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit,
rencana pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis dan tatalaksana terapi selanjutnya
83
Hasil pemeriksaan LCS (7/2/2022)
PEWARNAAN BTA
BTA : (-)/NEGATIF
PEWARNAAN GRAM
KUMAN : TIDAK DITEMUKAN KUMAN
PEWARNAAN JAMUR
YEAST CELL : (-)/NEGATIF
TINTA INDIA
Cryptococus Neoroformans : (-)/NEGATIF
A:
1. DK :
Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomenon
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom
Guilaiin Barre
2. Bakteriuri
(Bakteri 32.360.8)
P: Raber TS Interna Sub
- EMG KHST keempat Geriatri :
ekstremitas + F Wave – - Pasang kasur decubitus
Hari Rabu, 09/2/2022, - Kultur urin
menunggu panggilan - Usul : cek GDS Pagi
- ACC dilakukan TPE karena injeksi
dengan pemasangan DL, kortikosteroid dosis
konsul Bedah vakuler tinggi 4 hari
85
10 Februari 2022 (Hari perawatan ke-5)
S : Post TPE Pertama
Sebagian tangan dan kaki sudah dapat melawan tahanan ringan. Rasa tebal masih dirasakan di kedua telapak
tangan dan kedua telapak kaki. Pasien sudah bisa BAB 1 kali kemarin, dubur terasa sedikit sakit. BAK via DC.
Makan dan minum baik.
A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin
Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360)
3. Hipoalbumin (3.3)
P:
*Raber TS Interna Sub
*Raber TS Rehabilitasi medik* Geriatri*
FT : Positioning Alih baring/2 - Pasang kasur decubitus
jam - Kultur urine
Breathing exc PROM AGA-
AGB bilateral 4x *Raber TS Interna Sub
OT :Latihan motorik halus Hematoonkologi*
AGA bilateral SW : - Rencana TPE 4 kali (pro
Pemeriksaan sosial dan TPE kedua)
wawancara 1x
I:
- IVFD RL 20 tpm *Terapi TS Interna Sub MX :
- Inj Metilprednisolon 125 Geriatri* Tanda Vital
mg/8 jam iv (H-6, tapp Urinter 1 tab/12 jam po Defisit Neurologi
off H-1) (H4)
- Inj Omeprazole 40 Ex :
mg/12 jam iv Menjelaskan pada pasien mengenai penyakit,
- Inj Vitamin B12 1 amp/ rencana pemeriksaan untuk menegakkan
12 jam iv diagnosis dan tatalaksana terapi selanjutnya
- Lactulac syrup 15 ml/8
jam po
86
*Hasil pemeriksaan laboratorium Post TPE pertama (9/2/2022) :
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,9 gr % 13.00 – 16.00
Hematokrit 49,2 % 40.0 – 54.0
Eritrosit 5,43 juta / mmk 4.40 – 5.90
MCH 29,3 Pg 27-32
MCV 90,6 Fl 76-96
MCHC 32,3 g/dl 29-36
Leukosit 27,6 / mmk 3.80 – 10.60
Trombosit 241 ribu / mmk 150.00 – 400.00
KIMIA KLINIK
Albumin 3.3 /Dl 3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.3 mmol/L 2.12 – 2.52
Elektrolit
Natrium 136 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.1 mmol/L 3.5 – 5.0
Chlorida 109 mmol/L 95 – 105
87
88
Hasil EMG tanggal 9/2/2022
Kesan :
Pemeriksaan NCV Ekstremitas superior dan Inferior :
89
- Dapat sesuai gambaran polineuropati N. Medianus sisi kiri, N. Tibialis sisi kanan, N.
Peroneal sisi kanan lesi aksonal; N. Peroneal sisi kiri lesi demyelinisasi aksonal
Pemeriksaan SCV Ekstremitas Superior dan Inferior :
- Dapat sesuai gambaran polineuropati sensorik N. Medianus sisi kanan, N. Ulnaris
sisi kanan lesi aksonal; N. Medianus sisi kiri lesi demyelinisasi aksonal derajat berat
Pada pemeriksaan saraf tepi bagian proksimal :
Dapat sesuai gambaran poliradikulopati C6-C7 dan C8-Th1 sisi kanan; C5-C6 sisi
kiri, C8-Th1 sisi kiri, L4-L5 dan L5-S1 bilateral lesi derajat berat
90
12 Februari 2022 (Hari perawatan ke-7)
Pasien mengatakan kedua tangan dan kedua kaki semakin kuat. Rasa tebal di kedua telapak tangan dan
kaki masih dirasakan. Batuk (+). Makan dan minum baik. Terakhir BAB kemarin. BAK melalui selang
kencing
A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin
Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9)
4. Hipomagnesemia (0.7-0.7)
5. Hipokalsemia (2.0)
KIMIA KLINIK
Albumin 2.9 3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.0 mmol/L 2.12 – 2.52 L
ELEKTROLIT
Natrium 136 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.3 mmol/L3.5 – 5.0
Chlorida 106 mmol/L95 – 105
92
14 Februari 2022 (Hari perawatan ke-9)
Kedua tangan dan kaki dirasakan semakin kuat. Rasa tebal di kedua telapak tangan dan telapak kaki
dirasakan berkurang.
O: Mata : Pupil bulat isokor, Motorik Superior Inferior
KU : Tampak sakit sedang Ø 3mm/3mm, Refleks Gerak Turun/turun Turun/turun
GCS : E4M6V5 cahaya +/+ Kekuatan 444/444 345/345
TD: 150/86 mmhg Nn. Craniales : dalam Tonus : N /N N/N
N: 73 x/menit batas normal Trofi : E/E E/E
P: 18 x/menit RF : +/+ +/+
S : 36,7ºC RP : -/- -/-
SpO2 : 99% room air Klonus - /-
Sensibilitas : glove stocking phenomenon
Vegetatif : BAB kemarin, BAK terpasang
DC, warna orange jernih
A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9-3.1)
4. Hipomagnesemia (0.7-0.7-0.7)
5. Hipocalcemia perbaikan (2.0-2.2)
KIMIA KLINIK
Albumin 3.1 /Dl3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.2 mmol/L 2.12 – 2.52
ELEKTROLIT
Natrium 138 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.8 mmol/L3.5 – 5.0
Chlorida 109 mmol/L95 – 105
94
16 Februari 2022 (Hari perawatan ke-11)
Keempat anggota gerak dirasakan lebih kuat, pasien sudah dapat miring kanan kiri, duduk bersandar,
berubah posisi dari tidur ke duduk dengan dibantu. Rasa tebal di kedua tangan dan kaki terkadang masih
dirasakan. BAB (+) tidak keras dan BAK melalui selang kateter
O: Mata : Pupil bulat isokor, Ø Motorik Sup Inf
KU : Tampak sakit sedang 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+ Gerak menurun/menurun
GCS : E4M6V5 Nn. Craniales : dalam batas menurun/menurun
TD: 108/65 mmhg, normal kekuatan 444/444 345/345
N: 61 x/menit, Tonus N/N N/N
P: 18 x/menit, Trofi E/E E/E
S : 36,7ºC R.F +/+ +/+
SpO2 : 99% room air R.P -/- -/-
Klonus -/-
Sensibilitas : Glove and stocking
phenomen perbaikan
Vegetatif :BAB normal, BAK
terpasang DC, warna kuning
A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8-7282.6)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9-3.1-3.0)
4. Hipomagnesemia (0.7-0.7-0.7-0.7)
5. Hipocalcemia perbaikan (2.0-2.2-
2.2)
P:
- Rencana rawat jalan besok Raber TS Interna Sub Geriatri:
- Pasang kasur dekubitus
Raber TS Rehabilitasi medik :
FT : Positioning Alih baring/2 jam
Breathing exc PROM AGA-AGB
bilateral 4x
OT :Latihan motorik halus AGA
bilateral SW : Pemeriksaan sosial dan
wawancara 1x
KIMIA KLINIK
Albumin 3.0 /Dl 3.4 – 5.0 L
Magnesium 0.7 mmol/L 0.74 – 0.99 L
Calcium 2.2 mmol/L 2.12 – 2.52
ELEKTROLIT
Natrium 137 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.8 mmol/L 3.5 – 5.0
Chlorida 105 mmol/L 95 – 105
97
17 Februari 2022 (Hari perawatan ke-12)
S: Rencana AFF DOUBLE LUMEN hari ini. Kedua tangan dan kaki sudah lebih kuat. Rasa tebal
dirasakan minimal. BAB terakhir kemarin, BAK masih via DC
A:
1. DK : Tetraparese flaksid
Glove and stocking
phenomen
DT : Myelin sheath
DE : Suspek Sindrom
Guilaiin Barre
2. Bakteriuri (Bakteri
32.360.8-7282.6)
3. Hipoalbumin (3.3-2.9-3.1-
3.0)
4. Hipomagnesemia (0.7-
0.7-0.7-0.7)
5. Hipokalsemia perbaikan
(2.0-2.2-2.2)
P:
*Neuro*
- Aff infus
- Bladder training
- Aff DC
98
BAGAN ALUR
10 Februari 2022 (Hari perawatan 5) 12 Februari 2022 (Hari perawatan 7)
6 Februari 2022 (Hari perawatan 1) S : Post TPE Pertama S : Post TPE Kedua
S : Kelemahan pada keempat anggota gerak, Sebagian tangan dan kaki sudah dapat melawan tahanan Pasien mengatakan kedua tangan dan kedua kaki
hanya bisa digeser. Pasien hanya dapat berbaring. ringan. Rasa tebal masih dirasakan di kedua telapak semakin kuat. Rasa tebal di kedua telapak tangan dan
Rasa tebal di kedua tangan dan kaki (+). tangan dan kedua telapak kaki. kaki masih dirasakan. Batuk (+). Makan dan minum
O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik baik. Terakhir BAB kemarin.
Gerak menurun/menurun menurun/menurun Gerak menurun/menurun menurun/menurun O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik
K ekuatan 122/122 223/223 Kekuatan 244/244 244/224 Gerak menurun/menurun menurun/menurun
Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon Kekuatan 444/444 345/345
A A Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon
1. 1. DK : Tetraparese flaksid A
DK : Tetraparese flaksid Glove and stocking phenomen 1.
Glove and stocking phenomen DT : Myelin sheath DK : Tetraparese flaksid
DT : Myelin sheath DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre Glove and stocking phenomen
DE : Suspek Sindrom Guillain Barre 2. Bakteriuri (Bakteri 32.360) DT : Myelin sheath
2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8) 3. Hipoalbumin (3.3) DE : Suspek Sindrom Guilaiin Barre
P P 2. Bakteriuri (Bakteri 32.360.8)
- Mobilisasi bertahap setelah 8 jam post Raber TS Rehabilitasi medik : Fisioterapi 3. Hipoalbumin (3.3-2.9)
Tindakan Raber TS Interna Sub Hematoonkologi : 4. Hipomagnesemia (0.7-0.7)
- EMG KHST keempat ekstremitas + F Wave --- - Rencana TPE 4 kali (pro TPE kedua) 5. Hipocalcemia (2.0)
Menunggu jadwal Raber TS Interna Sub Geriatri : P
- Konsul TS rehab medik untuk fisioterapi -Pasang kasur decubitus Raber TS Interna Sub Hematoonkologi
I I - Rencana TPE 4 kali (Pro TPE ketiga besok)
IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm I
Inj Metilprednisolon 250 mg/8 jam iv (H-2) Inj Metilprednisolon 125 mg/8 jam iv (H-6, tap off H-1) IVFD RL 20 tpm
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Metilprednisolon 125 mg/8 jam iv (H-8, tapp off
Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv H3)
Lactulac syrup 15 ml/8 jam po Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv
Terapi TS Interna Sub Geriatri : Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv
Urinter 1 tab/12 jam po (H4) N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO
Terapi TS Interna Sub Geriatri :
Urinter 1 tab/12 jam po (H6)
Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi:
Inj. Ca glukonas 1 ampul/12 jam IV
CaCO3 tab 500 mg/8 jam PO
16 Februari 2022 (Hari perawatan 11) 17 Februari 2022 (Hari perawatan 12)
14 Februari 2022 (Hari perawatan 9) S : Post TPE Keempat S : Rencana AFF DOUBLE LUMEN hari ini. Kedua
S : Post TPE Ketiga Keempat anggota gerak dirasakan lebih kuat, pasien tangan dan kaki sudah lebih kuat. Rasa tebal dirasakan
Kedua tangan dan kaki dirasakan semakin kuat. Rasa tebal sudah dapat miring kanan kiri, duduk bersandar,
di kedua telapak tangan dan telapak kaki dirasakan minimal. BAB terakhir kemarin, BAK masih via DC
berkurang.
berubah posisi dari tidur ke duduk dengan dibantu.
O : O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik Rasa tebal di kedua tangan dan kaki terkadang masih O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik
Gerak menurun/menurun menurun/menurun dirasakan. Gerak menurun/menurun menurun/menurun
Kekuatan 444/444 345/345 O : KU : Tampak sakit sedang, Motorik Kekuatan 444/444 445/445
Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon Gerak menurun/menurun menurun/menurun Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon
perbaikan Kekuatan 444/444 345/345 perbaikan
P Sensibilitas : Glove and stocking phenomenon P
Raber TS Interna Sub Hematoonkologi perbaikan - Aff infus
- Rencana TPE 4 kali (Pro TPE keempat besok) P - Bladder training
I Rencana rawat jalan besok - Aff DC
IVFD RL 20 tpm I I
Inj Metilprednisolon 62,5 mg/12 jam iv (H-10, tapp IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm
off H3) Inj Metilprednisolon 62,5 mg/24 jam iv (H-12) Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv
Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Omeprazole 40 mg/12 jam iv Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv
Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv Inj Vitamin B12 1 amp/ 12 jam iv N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO
N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO N-asetilsistein kaps 200 mg/8 jam PO
Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi :
Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi : Terapi TS Interna Sub Hematoonkologi : Antasid Syrup 15 ml/8 jam po
Antasid Syrup 15 ml/8 jam po Antasid Syrup 15 ml/8 jam po
Terapi TS Interna Sub Geriatri
Terapi TS Interna Sub Geriatri Ciprofloxacin Tablet 500 mg/12 jam PO (H-3)
Ciprofloxacin Tablet 500 mg/12 jam PO (H-2)
99
DECISION MAKING
10
0
10
1
Pembahasan
10
2
Peningkatan protein pada CSS Pada pasien ini didapatkan disosiasi
sitoalbumin yaitu terdapatnya peningkatan
kadar protein pada cairan serebrospinalis
sebesar 80.2, tanpa disertai peningkatan
jumlah sel (PMN 0 /mmk, MN 3/mmk)
Gambaran elektrodiagnostik Pada pasien ini didapatkan lesi demyelinisasi
khas yang sesuai pada SGB maupun aksonal pada pemeriksaan KHST
superior et inferior
Pada pasien ini pilihan terapi yang diberikan adalah dengan menggunakan TPE sebanyak 4x.
Adapun beberapa indikasi dilakukannya TPE pada pasien ini, yaitu :
1. Sesuai dengan pedoman dari American Society of Aphaeresis (ASFA) 2019, penggunaan
utama TPE di SGB adalah indikasi kategori I ASFA (tingkat rekomendasi 1A).
2. TPE diindikasikan pada kasus yang non ambulatory, atau yang penyakitnya berlangsung
secara agresif (Pada pasien ini didapatkan adanya kelemahan pada keempat anggota gerak
yang menyebabkan pasien tidak dapat berjalan, sehingga hanya berbaring di tempat tidur,
dengan GBS disability score yang berat yaitu 4)
3. Pada kasus ini, IVIg tidak ditanggung oleh program kesehatan nasional, sedangkan prosedur
TPE ditanggung oleh jaminan kesehatan, dengan demikian pada pasien ini diputuskan untuk
dilakukan TPE sebagai terapi SGB.
Pasien ini mendapat TPE sebanyak 4x, dengan menggunakan cairan pengganti berupa
Plasmanate albumin 5% dan cairan citrate dextrose sebagai antikoagulan. Efek samping berupa
hipokalsemia ringan akibat penggunaan sitrat sebagai antikoagulan dijumpai satu kali
setelah post TPE kedua, namun kemudian membaik setelah diberikan injeksi calcium
glukonas 1 ampul/12 jam dan juga CaCo3 500 mg/8 jam per oral.
Pada saat dilakukan TPE juga tidak ditemukan efek samping lain seperti reaksi alergi,
nyeri dada, pusing, sakit kepala, sakit perut, kecemasan, hipotensi, mual dan muntah,
pneumonia, thrombosis, sepsis dan gangguan hemodinamik, baik selama dan setelah TPE
berlangsung.
10
3
10
4
Plasmanate Anticoagulan Calcium
(Human Albumin 5%) (Citrate Dextrose) Gluconas
10
5
Pada pasien ini didapatkan skor mEGOS sebagai berikut :
Prediksi kemungkinan pasien tidak dapat berjalan secara mandiri (Pada saat masuk RS)
dalam 4 minggu (garis hitam) 85%, 3 bulan (garis merah) 55%, dan 6 bulan (garis
hijau) 47% pada saat masuk RS.
Prediksi kemungkinan pasien tidak dapat berjalan secara mandiri pada hari ke-7
perawatan di RS (garis hitam) 80%, 3 bulan (garis merah) 35%, dan 6 bulan (garis
hijau) 18 % pada saat hari ke- 7 rawat inap.
10
6
10
7
10
8