Anda di halaman 1dari 27

MANAJEMEN FISIOTERAPI

NEUROMUSCULAR-PSIKIATRI
GUILLAIN BARRE SYNDROME

OLEH :

KOMANG DIAN UTAMI CHANDRA DINATA (18031009)


LUH DIAN RAIKA PRAMESTI (18031010)
RYAN RAMADHAN (18031014)

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR

i
2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Definisi Guillain Barre Syndrome.........................................................1
1.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome.........................................................2
1.3 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome..........................................3
1.4 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome..................................................4
BAB II PROSES ASUHAN FISIOTERAPI
2.1 Assesment..............................................................................................7
2.2 Problematika Fisioterapi......................................................................19
2.3 Planning ..............................................................................................19
2.4 Intervensi..............................................................................................19
2.5 Evaluasi................................................................................................21
2.6 Clinical Reasoning...............................................................................24
BAB III HOME PROGRAM
3.1 Home Program.....................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi Guillain Barre Syndrome


Guillain Barre Syndrom adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, Guillain Barre Syndrom merupakan suatu sindroma klinis
yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah penyebab paling umum dari
kelemahan umum akut sekarang karena polio sudah tidak aktif lagi.
GBS adalah sindrome polineuropati demielinisasi akut yang merupakan
suatu kondisi dimana terjadi gangguan pada saraf tepi berupa rusaknya selubung
pembungkus serabut saraf yang disebabkan oleh autoimun, sehingga otot-otot
menjadi lemah bahkan bisa lumpuh dan tak jarang berujung pada kematian.
Karena akar saraf (radiculopathy) dan saraf perifer (polyneuropathy)
terkena, GBS menghasilkan flaccid paralisis. Saraf kranial yang merupakan
bagian dari sistem saraf perifer juga mungkin terlibat. Oleh karena itu, GBS
adalah classic lower motor-neuron disorder.
Kerusakan sistem syaraf ini menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan
rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Kondisi ini dapat dipicu oleh bakteri akut atau infeksi virus.
GBS adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah
infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah
vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya
mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki
biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar,
akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis
GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan
GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel

1
Schwann, terjadi kelemahan progresif, hipofleksi/arefleks, perubahan
sensori ringan (penurunan sesibiltas yang ringan).
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi
dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis
GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali
dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.
Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus. Penderita biasanya
sembuh dalam 1-3 bulan.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina,
menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko.
Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma
saraf  perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung
dengan cepat. Biasanya terjadi pada anak-anak. Disertai dengan
hiperrefleks dan kelemahan progresif yang cepat. Didapati antibodi Anti-
GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN,
juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf
sensorik  dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan
sering tidak sempurna. Biasanya terjadi pada orang dewasa.
Mengakibatkan disfungsi motoric dan sensorik dan juga atrofi otot.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang
terjadi, melibatkan system saraf simpatik dan parasimpatik, dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan
disritmia. Penyembuhan bertahap dan biasanya incomplete.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff‟s (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau reflex
Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982).

1.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome


Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih
belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak
kasus, penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi virus, seperti

2
infeksi saluran pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering sekali
berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini. Kondisi yang khas
adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada ekstremitas yang
pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi virus. Virus yang paling sering
menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan
Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh
Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa
penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun

1.3 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome


Gejala awal demam sub fibril, paraesthesia (glove stocking), nyeri
(pinggang, sendi-sendi, otot), mulai terjadi kelumpuhan.
1. Ganggun Motorik
a. Progresif: 50% pada 2 minggu; 80% 3 minggu; 90% 4 minggu.
b. Simetris, jarang yang asimetris.
c. Ascending progression – most common (distal ke proksimal)
d. Hanya 5 – 10% upper >> lower dan 5-10% proximal >> distal
e. Dapat ringan mengenai kedua tungkai, tapi dapat pula memberat hingga
lumpuh keempat anggota dalam waktu 72 jam, bahkan N. Cranialis ikut
terkena (lesi N VII bilateral 50% kasus, N.IX, N.XII) dan menjadi
berbahaya jika otot-otot pernapasan mengalami paralisis (N. X dan
N.Spinalis segmen cervical atas).
2. Gangguan Sensorik
a. 40% nyeri atau paresthesias.
b. Umumnya ringan dibanding dengan gangguan motorik.
c. Sensasi dalam tidak terpengaruh.
d. Gangguan sensasi pada kedua tangan & kaki (glove stocking)
3. Hipotoni - atonia

3
4. Hiporefleksia - arefleksia
5. Ganggun otonom jarang, tapi bila ada dapat mengancam nyawa, seperti:
takikardi, tekanan darah berfluktuasi, retensi urine.
6. 15-20% progresifitas dapat mengakibatkan kegagalan respirasi
7. Yang membedakan dgn polineuropathi yg lain adalah:
a. Peningkatan protein dalam LCS yang tajam sampai minggu 2 atau 3 bisa
menyebabkan papilloedema (elevated protein – 80-200 mg/dl , after 1
week).
b. Leukosit normal, tp sekitar 20% kasus tjd lekositosis ringan sampai 50
cell/mm3 (normal cell count – up to 10 lymphocytes).
c. LED normal atau dalam batas normal.

1.4 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah
bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu
penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini
tiba-tiba menyerang saraf, karena adanya infeksi virus ataupun bakteri, sehingga

4
sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian
menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan
menyebabkan destruksi dari myelin. Sehingga myelin tidak membungkus akson
secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus
Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi
sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak
terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Pada GBS, terjadi
malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf
perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.

Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:


1. Fase progresif 
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik, derajat keparahan gejala
bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS

5
yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang
lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, serangan telah berhenti,
namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi
ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau
mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan
darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status
generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat
lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada
pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kelemahan otot dan sendi, namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan, beberapa
pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara
pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan 
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang,
penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada
terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang
berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan
dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-
6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

6
BAB II
PROSES ASUHAN FISIOTERAPI
2.1 Assessment
A. Anamnesis
Data pasien
a. Nama : Tn. R
b. Umur : 45 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Jln. Cendrawasih, No 100, Bangli
e. Agama : Hindu
f. Pekerjaan : Wirausaha
g. No. RM : 12-0111

B. Riwayat penyakit
a. Keluhan Utama (KU)
Pasien mengeluh kesulitan saat bergerak pada kaki dan tangannya,
dan adanya rasa kebas, dan kesemutan pada tangan dan kakinya,
dan pasien belum bisa untuk duduk secara mandiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pada tanggal 30 November 2020 pasien mengalami herpes
simplex. Setelah 1 bulan sembuh dari herpes, tepat pada 1 Januari
2021 pasien mengalami demam dan pasien mulai merasakan nyeri
pada kaki dan pasien juga mulai merasakan kesakitan pada seluruh
tubuhnya. Lalu pasien dilarikan ke UGD Rumah Sakit B, pasien
dapat penanganan oleh dokter dan pasien diharuskan untuk dirawat
inap. Dua hari kemudian pasien mulai merasakan kelemahan pada
kedua kaki dan tangannya, pasien tidak dapat merasakan
sensibilitas pada kedua tangan dan kakinya. Pasien di diagnosis
oleh dokter mengalami Guillain Barre Syndrome. Pasien dirawat
inap selama 4 minggu dan dapat penanganan dari doker dan
fisioterapi. Pasien lalu dipulangkan dari rumah sakit karena kondisi
pasien sudah membaik. Saat ini pada tanggal 05 Februari 2021

7
pasien datang ke fisioterapis. Kondisi pasien saat itu, kesulitan saat
bergerak pada kaki dan tangannya, dan adanya rasa kebas,
kesemutan pada kedua tangan dan kakinya dan pasien belum bisa
untuk duduk secara mandiri
c. Riwayat penyakit dahulu (RPD)
RPD : Pasien mengalami herpes simplex.
RPP : Tidak ada
d. Riwayat penyakit keluarga (RPK)
Tidak ada.
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien memiliki usaha toko sembako

C. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
A. Tekanan darah : 120/80 mmHg
B. Denyut nadi : 85 kali permenit
C. Respirasi : 18 kali permenit
D. Temperatur : 370C
E. Tinggi badan : 165 cm
F. Berat badan : 60 kg
G. Kesadaran : Composmentis
H. Saturasi Oksigen : 98%

b. Pemeriksaan Khusus
a. Inspeksi
1) Inspeksi stasis
- Pasien datang dengan menggunakan kursi roda.
- Ekspresi wajah pasien tampak sedikit pucat dan
lemas.
- Terdapat bekas herpes pada wajah, tangan, dan
lehernya.
2) Inspeksi dinamis

8
- Pasien terlihat kesulitan dalam menggerakan tangan
dan kakinya.
b. Palpasi
- Suhu tubuh normal.
- Terasa nyeri saat ditekan pada ekstremitas atas dan
bawah
c. Perkusi
- Tidak dilakukan
d. Auskultasi
- Suara nafas vesikuler

c. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


Regio Gerakan Aktif Pasif Isometrik
Shoulder Fleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Ekstensi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Adduksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Abduksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Endorotasi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Eksorotasi Tidak Full ROM Tidak

9
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Elbow Fleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Ekstensi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Supinasi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Pronasi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Wrist Palmarfleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Dorsofleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan

Radial Tidak Full ROM Tidak


deviasi mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Ulnar Tidak Full ROM Tidak
deviasi mampu mampu
full ROM melawan

10
tahanan
Hip Fleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Ekstensi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Adduksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Abduksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Endorotasi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Eksorotasi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Knee Fleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Ekstensi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Ankle Plantarfleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu

11
full ROM melawan
tahanan
Dorsofleksi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Eversi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan
Inversi Tidak Full ROM Tidak
mampu mampu
full ROM melawan
tahanan

a) Aktif
Gerak aktif dilakukan dengan kesimpulan pada ekstremitas atas
dan ekstremitas bawah tidak bisa melakukan gerakan full ROM
karena terdapat nyeri dan kelemahan otot
b) Pasif
Gerakan pasif dilakukan dengan kesimpulan pada ekstremitas
atas dan ektremitas bawah bisa melakukan gerakan full ROM
c) Isometrik
Gerak isometric dilakukan dengan kesimpulan pada ekstremitas
atas dan bawah pasien tidak mampu melawan tahanan yang
diberikan oleh terapis.

d. Pemeriksaan Spesifik
a) Pemeriksaan Sensasi
Pasien tidak bisa merasakan perbedaan saat diberikan tes tajam
tumpul dan tidak mampu merasakan sentuhan ringan dengan
menebak jari keberapa yang disentuh karena terdapat gangguan
sensasi sensorik.

12
b) Pemeriksaan Nyeri dengan VAS
Pemeriksaan nyeri dengan VAS dilakukan pada ekstremitas
atas dan bawah.
a) Nyeri diam : 0
b) Nyeri tekan : 2
c) Nyeri gerak : 3
Skala nyeri Interpretasi
0 Tidak Nyeri
1-3 Nyeri Ringan
4-7 Nyeri Sedang
8-10 Nyeri Berat
Dari hasil pengukuran didapatkan nyeri diam 0/10 yang berarti
tidak terdapat nyeri, nyeri tekan 2/10 yang berarti nyeri ringan
dan nyeri gerak 3/10 yang berarti nyeri ringan

c) Pemeriksaan Keseimbangan Duduk

Pasien tidak dapat menjaga keseimbangan saat duduk dengan


skor yang didapat yaitu 2. Hal ini menunjukan bahwa pasien
saat duduk masih membutuhkan bantuan.

d) Tes Kemampuan Fungsional


Untuk mengetahui seberapa gangguan aktifitas fisik pada
pasien maka terdapat pemeriksaan kemampuan fungsional

13
yaitu Indeks Barthel. Berdasarkan hasil pemeriksaan
didapatkan hasil:
Hasil pemeriksaan aktifitas fungsional menggunakan Indeks
Barthel adalah dengan rincian indeks sebagai berikut:
Indeks Barthel
No Item Yang Skor Hasil
Dinilai
0 = Tidak Mampu
1 = Butuh bantuan memotong,
1 Makan mengoles mentega dan 1
lain-lain
2 = Mandiri
0 = Tergantung orang lain
2 Mandi 0
1 = Mandiri
0 = membutuhkan bantuan
orang lain
3 Perawatan Diri 1 = mandiri dalam perawatan 0
muka, rambut, gigi dan
bercukur
0 = tergantung orang lain
4 Berpakaian 1 = Sebagian dibantu 1
2 = mandiri
0 = incontinencia/pakai kateter
dan tidak terkontrol
5 Buang air kecil 2
1 = kadang intontinensia
2 = kontinentia
0 = Inkontinensia (tidak
teratur)
6 Buang air besar 2
1 = kadang inkontinensia
2 = kontinensia (teratur)
7 Toilet 0 = membutuhkan bantuan 0
orang lain
1 = membutuhkan bantuan,
tapi dapat melakukan
beberapa hal sendiri

14
2 = Mandiri
0 = Tidak Mampu
1 = butuh bantuan untuk bisa
8 Transfer duduk (2 orang) 1
2 = bantuan kecil (1 orang)
3 = mandiri
0 = imobile
1 = menggunakan kursi roda
9 Mobilitas 2 = berjalan dengan bantuan 1 1
orang
3 = mandiri
0 = tidak mampu
Naik turun 0
10 1 = membutuhkan bantuan
tangga
2 = mandiri
Total Skor 8

Hasil dari pemeriksaan Indeks Bartel di kategorikan menjadi 5


kategori dengan rentang nilai berikut ini :
Skor 20 : Mandiri
Skor 12-19 : Ketergantungan Ringan
Skor 9-11 : Ketergantungan Sedang
Skor 5-8 : Ketergantungan Berat
Skor 0-4 : Ketergantungan Total
Pasien tersebut memiliki hasil pemeriksaan yaitu
ketergantungan berat.

e) Pemeriksaan MMT
Regio Gerakan Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 2 2
Ekstensi 2 2
Abduksi 2 2
Adduksi 2 2
Endorotasi 2 2
Eksorotasi 2 2
Elbow Fleksi 2 2
Ekstensi 2 2

15
Supinasi 2 2
Pronasi 2 2
Wrist Dorsofleksi 2 2
Palmarfleksi 2 2
Ulnar 2 2
deviasi
Radial 2 2
deviasi
Hip Fleksi 1 1
Ekstensi 1 1
Abduksi 2 2
Adduksi 2 2
Endorotasi 2 2
Eksorotasi 2 2
Knee Fleksi 1 1
Ekstensi 1 1
Ankle Dorsofleksi 2 2
Plantarfleksi 2 2
Inversi 2 2
Eversi 2 2

f) Pemeriksaan ROM dengan Menggunakan Goniometer


AGA dan AGB ROM AKTIF
BIDANG REGIO DEKTRA SINISTRA
Shoulder S =20 0-00-800 S = 200-00-800
Elbow S = 00-00-900 S = 00-00-900
Wrist S = 300-00-400 S = 300-00-400
Hip S = 50-00-100 S = 50-00-100
Sagital Knee S = 00-00-700 S = 00-00-700
Ankle S = 250-00-100 S = 250-00-100
Shoulder F = 900-00-00 F = 900-00-00
Wrist F = 50-00-100 F = 50-00-100
Frontal Hip F = 200-00-100 F = 200-00-100
Ankle F = 100-00-200 F = 100-00-200
Shoulder R = 500-00-450 R = 500-00-450
Rotasi Hip R = 150-00-150 R = 150-00-150

AGA dan AGB ROM PASIF


BIDANG REGIO DEKTRA SINISTRA
Shoulder S = 600-00-1800 S = 600-00-1800
Elbow S = 00-00-1500 S = 00-00-1500
Wrist S = 700-00-800 S = 700-00-800
Hip S = 300-00-1200 S = 300-00-1200

16
Sagital Knee S = 100-00-1350 S = 100-00-1350
Ankle S = 500-00-200 S = 500-00-200
Shoulder F = 1800-00-00 F = 1800-00-00
Wrist F = 200-00-300 F = 200-00-300
Frontal Hip F = 450-00-300 F = 450-00-300
Ankle F = 150-00-350 F = 150-00-350
Shoulder R = 900-00-700 R = 900-00-700
Rotasi Hip R = 450-00-450 R = 450-00-450

g) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis
yaitu:
a. Pemeriksaan Darah
Pada darah, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit
cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit.
Laju endap darah dapat meningkat adanya respon
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi
saraf pada kultur jaringan.
b. Elektromyogram (EMG)
EMG berfungsi untuk memeriksa fungsi kerja otot.
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi
akibat demyelinasi saraf yaiut, prolongasi masa laten
motorik distal (menandai blok  konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS dari 60%. EMG
menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit dan
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4
minggu, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang
dari normal.
c. Lumbal puncti, berfungsi untuk mengambil cairan otak.
d. Pemeriksaan kecepatan hantar syaraf.

17
2.2 Problematika Fisioterapi
a. Adanya nyeri (tekan dan gerak) dan parathesia
b. Kelemahan otot ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
c. Keterbatasan ROM karena kelemahan otot
d. Gangguan keseimbangan saat duduk
e. Gangguan sensibilitas
f. Gangguan pada ADL

2.3 Planning
1) Jangka pendek:
a) Menurunkan nyeri
b) Menurunkan parasthesia
c) Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi
d) Meningkatkan kekuatan otot.
e) Meningkatkan sensibilitas
f) Meningkatkan keseimbangan pasien saat duduk
2) Jangka panjang:
a) Pasien dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan mandiri
b) Mencegah komplikasi lebih lanjut

2.4 Intervensi
Catatan sebelum memberikan latihan, setiap sebelum dan setelah
memberikan latihan pada pasien GBS wajib untuk dicek saturasi oksigennya. Hal
ini penting, karena jika pasien mengalami kelelahan dapat kambuh dan bisa jadi
down.
a. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)
Pemberian TENS bertujuan untuk merangsang system saraf melalui
permukaan kulit selain itu sesuai degan teori endorphin. TENS akan
menyebabkan stimulasi dan peningkatan sirkulasi endorphin untuk
mengurangi nyeri yang dirasakan. TENS dapat diberikan selama 10-15 menit.
b. Massage

18
Pemberian massage kepada pasien GBS bertujuan untuk membantu sirkulasi
mempertahankan mobilitas (LGS) mengurangi rasa nyeri dan kecemasan dan
kemudian membantu memperkuat otot-otot atrofi apabila terjadi atrofi otot.
Teknik yang digunakan disesuaikan dengan bagian yang akan diberikan
massage. Massage diberikan selama 6-8 menit.
c. ROM Exercise
ROM Exercise bertujuan untuk meningkatkan kembali lingkup gerak sendi
pasien. Latihan ini adalah latihan untuk meningkatkan gerak sendi pasien baik
anggota gerak atas dan anggota gerak bawah agar kembali normal. Dilakukan
dengan cara pasif dimana gerakan dibantuk oleh terapis, aktif yang artinya
pasien menggerakan secara mandiri dan aktif-asissted, yang artinya
pergerakan sendi dibantu oleh terapis dan pergerakan aktif dilakukan oleh
pasien. Latihan ini dilakukan 2-3 set dengan 8-10 repetisi.
d. Strengthening Exercise
Strengthening Exercise bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot-otot yang
mengalami kelemahan. Latihan yang diberikan dengan prinsip latihan bersifat
isometric dan progresive resistance. Latihan ini dilakukan dengan 2-3 set,
dalam 8-10 repetisi.
e. Proprioceptive Training
Proprioceptive Training bertujuan untuk meningkatkan kemampuan untuk
menilai dimana masing-masing posisi ekstremitas berada tanpa bantuan indera
penglihatan dan juga mampu untuk meningkatkan keseimbangan pasien.
Propioseptif diatur oleh mekanisme saraf pusat dan saraf tepi yang datang
terutama dari reseptor otot, tendon, ligamen, persendian dan fascia. Latihan ini
dilakukan dengan posisi duduk di tepi bed, tangan pasien berada di samping
sisi tubuh tidak bertumpu, mata pasien ditutup atau merem, lalu terapis
memberikan dorongan ke segala arah.

2.5 Evaluasi
Untuk evaluasi ini dilakukan setelah dilakukan latihan pada hari ke-7.
a) Pemeriksaan nyeri dengan VAS.
1. Nyeri diam : 0

19
2. Nyeri tekan : 1
3. Nyeri gerak : 2

b) Pemeriksaan ROM Dengan Menggunakan Goniometer


AGA dan AGB ROM AKTIF
BIDANG REGIO DEKTRA SINISTRA
Shoulder S = 500-00-1200 S = 500-00-1200
Elbow S = 00-00-1000 S = 00-00-1100
Wrist S = 400-00-500 S = 400-00-500
Hip S = 150-00-400 S = 150-00-350
Sagital Knee S = 00-00-800 S = 00-00-800
Ankle S = 300-00-150 S = 300-00-150
Shoulder F = 1000-00-00 F = 1000-00-00
Wrist F = 100-00-200 F = 100-00-200
Frontal Hip F = 300-00-200 F = 300-00-200
Ankle F = 150-00-300 F = 150-00-300
Shoulder R = 600-00-500 R = 600-00-500
Rotasi Hip R = 200-00-200 R = 200-00-200

c) Pemeriksaan MMT
Regio Gerakan Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 3 3
Ekstensi 3 3
Abduksi 3 3
Adduksi 3 3
Endorotasi 3 3
Eksorotasi 3 3
Elbow Fleksi 3 3
Ekstensi 3 3
Supinasi 3 3
Pronasi 3 3
Wrist Dorsofleksi 3 3
Palmarfleksi 3 3
Ulnar 3 3
deviasi
Radial 3 3
deviasi
Hip Fleksi 2 2
Ekstensi 2 2
Abduksi 3 3
Adduksi 3 3
Endorotasi 3 3

20
Eksorotasi 3 3
Knee Fleksi 2 2
Ekstensi 2 2
Ankle Dorsofleksi 3 3
Plantarfleksi 3 3
Inversi 3 3
Eversi 3 3

d) Pemeriksaan Keseimbangan Duduk


Pasien sudah dapat menjaga keseimbangan saat duduk dengan skor yang
didapat yaitu 3. Hal ini menunjukan bahwa pasien ada peningkatan saat
duduk tidak membutuhkan bantuan.

e) Pemeriksaan Aktifitas Fungsional


Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan hasil :
Hasil pemeriksaan aktifitas fungsional menggunakan Indeks Barthel
adalah 15 (ketergantungan ringan) dengan rincian indeks sebagai berikut:
Indeks Barthel
No Item Yang Skor Hasil
Dinilai
0 = Tidak Mampu
1 = Butuh bantuan memotong,
1 Makan 2
mengoles mentega dan lain-lain
2 = Mandiri
0 = Tergantung orang lain
2 Mandi 1
1 = Mandiri
0 = membutuhkan bantuan orang lain
3 Perawatan Diri 1 = mandiri dalam perawatan muka, 1
rambut, gigi dan bercukur
0 = tergantung orang lain
4 Berpakaian 1 = Sebagian dibantu 1
2 = mandiri
0 = incontinencia/pakai kateter dan
tidak terkontrol
5 Buang air kecil 2
1 = kadang intontinensia
2 = kontinentia
6 Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur) 2

21
1 = kadang inkontinensia
2 = kontinensia (teratur)
0 = membutuhkan bantuan orang lain
1 = membutuhkan bantuan, tapi dapat
7 Toilet 1
melakukan beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
0 = Tidak Mampu
1 = butuh bantuan untuk bisa duduk
8 Transfer (2 orang) 2
2 = bantuan kecil (1 orang)
3 = mandiri
0 = imobile
1 = menggunakan kursi roda
9 Mobilitas 2
2 = berjalan dengan bantuan 1 orang
3 = mandiri
0 = tidak mampu
Naik turun 1
10 1 = membutuhkan bantuan
tangga
2 = mandiri
Total Skor 15

2.6 Clinical Reasoning

Infeksi Herpes
Simplex

Destruksi Myelin

Rusaknya saraf perifer Gangguan sensorik, motorik, otonom Transmisi sinyal

Kelemahan otot Parasthesia Gg keseimbangan Nyeri ROM

Strengthening
Exercice
22
Propioseptive dan - TENS ROM
Balance - Massage Exercise

BAB III
HOME PROGRAM

3.1 Home Program

Home program Dosis dan prosedur Rasional


Walking Pasien dianjurkan untuk tetap - Untuk
melakukan olahraga ringan dirumah meningkatkan
Dosis: respirasi.
F: 5 kali dalam seminggu - Untuk
I: Ringan-Sedang meningkatkan pola
T: 30 menit per hari jalan.
T: Aerobic

Bersepeda stasioner Latihan ini berfungsi untuk - Untuk


meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan
latihan aerobic. kekuatan otot-otot
F: 2-3 kali seminggu
I: Ringan-Sedang
T: 10-15 menit
T: Aerobic

23
Latihan ini berfungsi untuk - Untuk
meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan
merileksasikan otot. kekuatan otot-otot
Dosis ektremitas bawah
F: 4-5 kali dalam seminggu
I: Ringan-Sedang
T: 8-10 repitisi, 2-3 set
T: Terapi Latihan

Latihan ini berfungsi untuk - Untuk


meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan
merileksasikan otot. kekuatan otot-otot.
Dosis
F: 4-5 kali dalam seminggu
I: Ringan-Sedang
T: 8-10 repitisi, 2-3 set
T: Terapi Latihan

Latihan ini berfungsi untuk - Untuk


meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan
merileksasikan otot. kekuatan otot-otot.
Dosis
F: 4-5 kali dalam seminggu
I: Ringan-Sedang
T: 8-10 repitisi, 2-3 set
T: Terapi Latihan

24
DAFTAR PUSTAKA

Hapsari, Rina. 2018. Aplikasi Electrical Stimulation dan Terapi Latihan pada
KOndisi Guillain Barre Syndrome”.
https://id.scribd.com/document/385102331/Ft-Pada-Guillain-Barre-
Syndrome. Diakses 17 April 2021

Leohard SE, Mandarakas MR, Gondim FAA, dkk. 2019. Diagnosis and
Management of Guillain-Barré syndrome in ten steps. Nat Rev Neurol.

Nehal Shah dan Manisha Shrivastava, 2015, Role of Physiotherapy in Guillain


Barre Syndrome: A Narrative Review, International Journal of Health
Sciences and Research.

Osini Marco dan dkk, 2010, Guideline for Neuromuscular Rehabilitation in


Guillain-Barré Syndrome.

Putri, Anti. 2014. “Manajemen Fisioterapi Guillain-Barre Syndrome”.


https://id.scribd.com/presentation/239297151/Anamnesis-CHARTS-pada-
kasus-GBS. Diakses 17 April 2021

Kou S, 2014, Physical  Therapy   Management  of  a  Pa5ent  with  Guillain


Barre  Syndrome  during  and  a>er  Pregnancy:  A  Case   Report,
University  of  New  England

Anda mungkin juga menyukai