Anda di halaman 1dari 66

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

1. Cerebral Palsy

Cerebral palsy merupakan kelainan atau kerusakan pada otak yang bersifat

non progresif. Pada umumnya terjadi di bagian cerebellum, ganglia basalis dan

korteks cerebri. Kelainan atau kerusakan otak dapat terjadi pada saat prenatal,

perinatal dan post natal. Cerebral palsy mengakibatkan kelainan fungsi

neuromuskular seperti adanya abnormalitas pada tonus otot, hypotonus atau

hypertonus, gangguan koordinasi gerak, gerakan yang involunter, dan gangguan

keseimbangan. Pada cerebral palsy disertai adanya masalah pada persepsi,

kognisi, komunikasi dan perilaku.(Hariandja, 2015).

Sedangkan menurut Bobath, 1996 Cerebaral palsy adalah kerusakan akibat

dari lesi atau gangguan perkembangan otak bersifat non progresif dan terjadi

akibat bayi lahir terlalu dini (prematur). Defisit motorik dapat ditemukan pada

pola abnormal dari postur dan gerakan.

Cerebral Palsy Diplegi adalah tipe dari cerebaral palsy yang mengenai

tungkai dimana ektremitas atas lebih ringan dari pada ektremitas bawah (Miller

& Bachrach,1998).

Hipotonia merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

penurunan dari tonus otot. Pada keadaan normal, saat otot beristirahat, otot

7 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


tersebut berkontraksi minimal untuk memberikan tahanan saat pergerakan pasif.

Otot yang sehat tidak pernah relaksasi secara penuh (Anonim,2012)

Hipotonia paling sering pada bayi. Pada bayi yang mengalami hipotonia,

kedua tangan dan kaki akan berdiam di sisi tubuh dan sedikit atau tidak memiliki

kontrol untuk pergerakan kepala (kepala jatuh ke depan, belakang, atau

samping). Gejala lain dari hipotonia yaitu gangguan pergerakan, postur tubuh,

kesulitan bernafas dan berbicara, serta refleks yang buruk. Pasien dengan

hipotonia akan mengalami keterlambatan perkembangan motorik (Anonim,2012)

2. Neurodevelopmental Treatment (NDT)

Neurodevelopment Treatment (NDT) adalah suatu konsep terapi latihan yang

dilakukan untuk memberikan efisiensi gerakan dan postur tubuh terhadap gaya

gravitasi serta kontak tubuh dengan permukaan, meningkatkan respon

keseimbangan secara aktif, dan melatih pergerakan tulang belakang atau trunk

(Arndt, Chandler, Sweeney, & Sharkey, 2005).

Konsep Neuro Development Treatment (NDT) menekankan pada hubungan

antara normal postural reflex mechanism (mekanisme refleks postural normal),

yang merupakan suatu mekanisme refleks untuk menjaga postural normal

sebagai dasar untuk melakukan gerak. Mekanisme refleks postural normal

memiliki kemampuan yang terdiri dari: (1) normal postural tone, (2) normal

reciprocal innervations, dan (3) variasi gerakan yang mengarah pada fungsional.

Syarat agar mekanisme refleks postural normal dapat terjadi dengan baik: (1)

righting reaction yang meliputi labyrinthine righting reaction, neck righting

8 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


reaction, body on body righting reaction, body on head righting reaction, dan

optical righting reaction, (2) equilibrium reaction, yang mempersiapkan dan

mempertahankan keseimbangan selama beraktivitas, (3) protective reaction,

yang merupakan gabungan antara righting reaction dengan equilibrium reaction

(Rad Tematski, 2005).

3. Transfer duduk ke berdiri

Transfer duduk ke berdiri yaitu suatu kegiatan yang dilakukan pada pasien

dengan kelemahan kemampuan fungsional untuk berpindah dari posisi duduk ke

berdiri. Dalam melakukan kegiatan transfer tersebut pasien membutuhkan satu

pendamping atau lebih (Suparyanto, 2010). Adapun tujuan transfer duduk ke

berdiri yaitu :

1. Melatih otot skelet untuk mencegah kontraktur.

2. Memberikan implus ke otak untuk mempertahan posisi berdiri

3. Mempertahankan kenyamanan pasien,

4. Mempertahankan kontrol diri pasien,

5. Memudahkan pasien untuk memalukan pemeriksaan(diagnostik, fisik, dll.)

6. Memungkinkan pasien untuk bersosialisasi.

9 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


B. Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi Otak
Sistem saraf pada manusia merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh

miliyaran sel-sel saraf (neuron). Neuron terdiri dari badan sel saraf dan berbagai

bentuk dari badan sel, antara lain dendrit (cabang sel yang menerima rangsang

elektrik), akson (struktur panjang sebagai jalan rangsang) dan terminal sel yang

terspesialisasi untuk menghantarkan rangsang sel-sel saraf lain maupun otot.

Fungsi utama dari sistem saraf adalah sebagai penghantar rangsang sensorik dan

motorik antar organ-organ tubuh (Irfan, 2012).

Otak menjadi inti dari sistem saraf dengan beberapa komponen bagian yaitu,

cerebrum (otak besar), cerebellum (otak kecil) dan brainstem (batang otak).

(Sloane, 2012)

Sumber : Pearson Education


Gambar 1.1 Perkembangan Otak pada Anak

10 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


a. Otak Besar (Cerebrum)

Cerebrum merupakan bagian otak terbesar yang terdiri dari sepasang

hemisper kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Cerebrum terbagi menjadi

beberapa lobus (Gambar 1.2), yaitu :

1) Lobus frontalis

Lobus frontalis merupakan bagian lobus yang ada di depan dari otak besar.

Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak,

kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol

perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan berbahasa.

2) Lobus temporalis

Lobus ini adalah daerah asosiasi untuk informasi auditori dan mencakup daerah

whernik tempat interprestasi bahasa. Lobus ini juga berfungsi dalam penyimpanan

memori.

3) Lobus parietalis

Lobus ini merupakan daerah sensorik primer otak untuk rasa, raba , dan

pendengaran.

4) Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis terletak di bagian belakang dari otak besar. Lobus ini menerima

informasi yang berasal dari retina mata.

11 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : http://www.buzzle.com/articles/cerebrum-function.html
Gambar 1.2 Cerebrum
b. Otak Kecil (Cerebellum)

Cerebellum terletak pada bagian belakang atas dari brainstem dan setelah

lobus oksipital dari kortex serebri. Cerebellum mempunyai tiga bagian fungsi

yang utama, antara lain vestibulocerebellum, spinocerebellum, dan

cerebrocerebellum. Selain itu, cerebellum berperan dalam proses penyimpanan

memori. (Sherwood, 2013)

Vestibulocerebellum berperan pentng dalam menjaga keseimbangan dan

mengatur gerakan mata. (Sherwood, Cerebellum, 2013)

Spinocerebellum untuk mengatur tonus otot, kemampuan koordinasi dan

gerakan volunter. Peran utamanya ialah memastikan ketepatan waktu dari

berberapa pergerakan otot untuk menghasilkan koordinasi gerak yang meliputi

berbagai sendi. Ketika cortical motor area mengirimkan pesan untuk otot

melaksanakan gerakan, maka melalui spinocerebellum akan di beritahukan

perintah untuk bergerak. Pada bagian ini, masukan dari reseptor tepi

memberitahukan tentang pergerakan dan posisi badan yang tepat.

12 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Spinocerebellum pada intinya beraksi sebagai “managemen berukuran sedang”

yang membandingkan antara tujuan dan permintaan pada tingkat tertinggi

dengan pergerakan dari otot tersebut. Serta sebagai pengoreksi dari berbagai

kesalahan atau defiasi gerakan yang akan dilakukan. Spinocerebellum dapat

dikatakan untuk memprediksi posisi dari bagian tubuh pada gerakan kompleks

dan membuat gerakan berdasarkan yang seharusnya. (Sherwood, Cerebellum,

2013)

Sedangkan cerebrocerebellum berperan dalam perencanaan dan inisiasi

pergerakan volunter yang berasal dari cortex motor area. (Sherwood,

Cerebellum, 2013)

Gangguan keseimbangan, pola saat menumpu berat badan maupun berdiri,

tidak stabil saat berjalan, nistagmus, penurunan tonus otot tetapi bukan paralysis,

tidak mampu untuk memulai dan menghentikan dengan cepat gerakan pada otot

skeletal merupakan salah satu tanda adanya kerusakan pada cerebellum.

(Sherwood, 2013)

Sumber : http://brainmadesimple.com/cerebellum.html

Gambar 1.3 Cerebellum

13 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


c. Batang Otak (Brainstem)

Batang otak tersusun dari mensensefalon (otak tengah), pons, medula

oblongata (Gambar 1.4). Badan otak berfungsi untuk mengontrol pernapasan

(Corwin, 2008)

Sumber: http://pelajaribiologi.blogspot.co.id/2012/05/batang-otak.html

Gambar 1.4 Brainstem

2. Fisiologi Otak

a. Traktus piramidalis

Traktus piramidalis disebut juga sebagai traktus kortikospinalis. Proses

perjalanan traktus piramidalis terbentuk mulai dari sel motoris yang terletak

dikorteks motorik lalu berjalan menuju traktus kortikobulberis membentuk

traktus piramidalis. Traktus kortikospinalis (piramidalis) berfungsi untuk

menyalurkan impuls motorik pada sel-sel motorik ke batang otak dan medulla

spinalis. Sedangkan traktus kortikobulbaris berfungsi untuk mempersarafi sel-

sel motorik ke batang otak secara bilateral. (Irfan, 2012).

14 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber: Fundamantals of Neurology Book (2006)

Gambar 1.5 Tractus Piramidalis

b. Traktur Ekstrapiramidalis

Traktus ekstrapiramidalis merupakan suatu mekanisme yang tersusun dari

jalur-jalur kortek motorik menuju anterior horn cell (AHC). Fungsi utama dari

traktus ekstrapiramidalis berhubungan dengan gerakan yang

berkaitan,pengaturan sikap tubuh, dan intergrasi ototnom. Lesi yang terdapat

pada traktus ekstrapiramidalis dapat menimbulkan hilangnya gerakan bawah

sadar dan menggantikannya dengn gerakan di luar sadar (involuntery movement).

Susunan traktus ekstrapiramidalis berfungsi untuk mengontrol gerak otot dasar,

pembagian tonus secara harmonis dan mengendalikan aktivitas piramidal. (Irfan,

2012).

15 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber: Fundamantals of Neurology Book (2006)

Gambar 1.6 Tractus Extra Piramidalis

C. Normal Movement

Fase gerak normal pada anak anak normal serta komponen geraknya

(Masgutova & Akhmatova, 2004):

1. Terlentang

Pada posisi terlentang bayi normal dapat diamati bagaimana geraknya ada

yang aktif, simultan atau bergerak dengan kecenderungan pola tertentu, untuk

telentang dengan baik posisi kepala harus bergerak bebas tidak ada keterbatasan

dalam satu lingkup ruaang gerak, di ikuti posisi elbow, forearm, wrist, trunk, hip,

knee, ankle sesuai posisi anatomis pada supine position.

16 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


2. Telungkup

Pada posisi telungkup dapat diamati elbow support dan posisi head dari sanak,

pada posisi ini anak dapat mengangkat dan mengontrol; kepalanya bila posisi elbow

support ada di depan shoulder, biasanya saat mulai mengangkat kepalanya anak akan

mengangkat juga kakinya.

3. Berguling

Saat berguling dapat diamati mobilitas serta koordinasi dari shoulder dan

pelvis dimana secara bergantian baik pelvis maupun shoulder menjadi mobility atau

stability tergantung cara berguling masing masing anak. serta ada atau tidaknya rotasi

pada trunk si anak. Pada saat berguling anak butuh rotasi dari shoulder, posterior

tilting pelvis dan input visual ke arah bergulingnya sehingga ada rotasi dari head yang

membuat anak dapat berguling.

4. Merayap

Pada posisi merayap dapat diamati ada gerak pada saat posisi merayap ketika

ada input visual dari anak misalnya ketertarikan dengan suatu benda atau mainan

sehingga anak ada motivasi untuk bergerak maju, serta anak butuh menempatkan

posisi forearm support ada di depan shoulder untuk memudahkan proses merayap

dan membantu mengangkat kepala.

5. Merangkak

Pada posisi merangkak komponen penting yang harus di miliki adalah

koordinasi gerak serta hand support dan knee support karena saat bergerak weight

beraring akan menumpu di kedua tangan dan kedia lutut, serta head control yang

17 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


akan membuat begrerak lebih stabil dan terkontrol karena ada input visual dan rotasi

trunk untuk memudahkan pergerakan. Anak juga perlu motivasi agar dapat maju

merangkak. Jika tidak ada motiasi biasannya anak akan cepat berhenti dan gerakan

merangkaknya tidak simultan.

6. Duduk

Pada posisi duduk ada dua komponen yang harus di perhatikan, di mulai dari

posisi tidur ke duduk baik dari posisi supine lying_side lying, elbow/forearm support,

hand support kemudian duduk ataupun dari prone lying, elbow support hand support

dan W sitting. Pada proses tidur ke duduk anak butuh kekuatan dari otot-otot postural

sehingga membantu proses dari tidur ke duduk, dan membutuhkan input baik visual

maupun auditory agar anak termotivasi ke posisi duduk. Sementara saat duduk anak

membutuhkan posisi hand support untuk menstablikan posisinya apa lagi jika tidak

menapak kakinya anak akan cenderung takut dan menangis.jadi perlu di perhatikan

saat duduk adanya head control agar anak punya pandangan ke depan karena jika

anak menunduk dia akan semakin takut dan mengikuti gaya gravitasi dan

memperberat beban duduknya, trunk control pun harus ada untuk menjaga kestabilan

saat posisi duduk, pengertian akan weight bearing pun menjadi komponen penting

karena bila anak hanya condong ke salah satu sisi maka resiko kehilangan

keseimbangan dan jatuh pun akan menigkat, komponen terakhir yang paling penting

adalah protective reaction untuk anak agar dapat menjaga tubuhnya agar tidak jatuh

seperti berpegangan saat mau jatuh, mengkontraksikan core muscle dan mencari

keseimbangan duduknya agar tidak jatuh.

18 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


7. Berlutut

Pada posisi berlutut komponen yang harus di perhatikan adalah balance dari

anak ketika menumpu di kedua lututnya dan trunk control untuk menstabilkan

posisinya ketika berlutut. Serta head control harus baik agar dapat menjaga seluruh

posisi tubuh.

8. Berdiri

Berdiri di bagi menjadi 2 tahap yaitu ke berdiri dan berdiri stabil atau dengan

pegangaan. Ke berdiri pada umumnya di mulai dari jongkok, duduk di kursi kecil,

berlutut atau dari duduk bersila di lantai. Dari transfer weight bearing dimulai dari

menumpu di bokong lalu menumpu di tangan dan lutut lalu ke kaki dengan posisi

menungging atau jongkok terlebih dahulu (tanpa pegangan). Sementara posisi berdiri

stabil dengan atau tanpa pegangan di perlukan head dan trunk control sebagai

komponen penting, serta posisi pelvis dan adanya knee locking sehingga lutut

mengunci ketika posisi berdiri. Dan perhatikan posisi dari ankle adakah posisi

inversi, eversi dan berjinjit, karena posisi posisi yang tidak benar dari ankle tersebut

akan menggangu keseimbangan dan kepercayaan diri anak.

9. Berjalan

Pada posisi berjalan yang komponen tepenting adalah motivasi, balance dan

koordinasi saat transfer weight bearing. Saat transfer weight bearing perhatikan ada

tidak keseimbangan saat menumpu di kaki kiri ataupun kaki kanan dan lihat rotasi

trunk dari anak tersebut, jika semua komponen anggota gerak dan proksimal muscle

baik maka berjalan akan baik.

19 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


D. Normal Development

1. Pertumbuhan dan perkembangan.

a. Pengertian Pertumbuhan

Pertumbuhan (growth) merupakan peningkatan jumlah dan besar sel diseluruh

bagian tubuh selama sel-sel tersebut membelah diri dan menyintesis protein-protein

baru. Menghasilkan penambahan jumlah berat secara keseluruhan atau sebagian

(Campbell, 2007).

Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses

pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat

pada waktu yang normal. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses transmisi

dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah ) yang herediter dalam

bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Jadi, pertumbuhan berkaitan dengan

perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur

biologis(Campbell, 2007).

b. Pengertian Perkembangan

Perkembangan (development), adalah perubahan secara berangsur-angsur dan

bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh, meningkat dan meluasnya kapasitas

seseorang melalui pertumbuhan, kematangan, atau kedewasaan, dan pembelajaran.

(Wong, 2000).

Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh Werner (1957) bahwa

perkembangan berjalan dengan prinsip orthogenetis, perkembangan berlangsung dari

20 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai ke keadaan di mana diferensiasi,

artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Proses diferensiasi diartikan

sebagai prinsip totalitas pada diri anak. Dari penghayatan totalitas itu lamban laun

bagian- bagiannya akan menjadi semakin nyata dan tambah jelas dalam rangka

keseluruhan.

Berikut ini tahapan perkembangan anak normal sesuai dengan per bulan:

1) Perkembangan fisik dari 1 – 2 bulan :

a) Menangis bila merasa lapar dan haus, lalu bayi akan tidur jika merasa

kenyang

b) Belajar mengikuti objek dengan matanya

c) Melihat seseorang dan tersenyum

d) Bereaksi terhadap suara/bunyi

e) Mengenal ibunya dengan penglihatan, penciuman pendengaran dan kontak

f) Mengoceh spontan dan bereaksi dengan mengoceh

g) Bisa mengangkat kepala sendiri (15-45 derajat)

h) Bisa melihat pada jarak dekat (10-20cm) bisa dicek dengan  mengikuti

gerak cahaya

i) Reflex primitif masih ada (moro, sucking dll)

21 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : (Campbell, 2007)
Gambar 1.7 Perkembangan usia 1 – 2 bulan

2) Usia 3 bulan

a) Dapat mendekatkan bibir pada cangkir/tempat minum

b) mengangkat kepala sudah bagus  45 derajat

c) Menghisap jari

d) Moro refleks mulai menurun

e) Mengoceh

22 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : (Campbell, 2007)
Gambar 1.8 Perkembangan usia 3 bulan

3) Usia 4 bulan

a) Lebih kuat mengangkat kepala  tegak

b) Sudah bisa tengkurap sendiri dan kadang-kadang bisa terlentang kembali

c) Bermain dengan mulut

d) Mengoceh

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.9 Perkembangan usia 4 bulan

23 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


4) Usia 5 bulan

a) Dapat tengkurap dan terlentang sendiri

b) Reflex primitif menghilang

c) Tangan bermain / memegang benda atau mainan

d) Refleks primitif diganti dengan refleks fisiologis

e) Mulai mengenal suara orang

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.10 Perkembangan usia 5 bulan

1) Usia 6 bulan

a) Dapat terlentang dan tengkurap dengan bagus

b) Posisi “Airplane”

c) Dapat didudukkan dan menumpu dengan kedua tangannya

d) Bermain dengan tangan bergantian

e) Mengenal orang di sekitarnya

f) Mengoceh

24 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : (Campbell, 2007)
Gambar 1.11 Perkembangan usia 6 bulan

2) Usia 7-8 bulan

a) Dapat merangkak dengan baik

b) Bermain dengan tangan dan kadang melempar mainan

c) Mulai sibuk berexplorasi dengan lingkungan

d) Merangkak, memanjat dan rambatan

e) Duduk sudah stabil, kadang berotasi sendiri dan kadang side sitting

25 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : (Campbell, 2007)
Gambar 1.12 Perkembangan usia 7-8 bulan

3) Usia 9 bulan

a) Fine motor finger lebih aktif daripada gross motor

b) Merangkak adalah lokomosi utama

c) Berdiri dan rambatan lebih sering

d) Jalan masih di support, namun dengan trunk yang lebih stabil

e) Duduk sendiri

f) Belajar berdiri dengan berpegangan meja, kursi, dll

g) Mengatakan ma-ma-da-da

26 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : (Campbell, 2007)
Gambar 1.13 Perkembangan usia 9 bulan

4) Usia 10 bulan

a) Anak lebih aktif berexplorasi dengan lingkungan

b) Konsep persepsi lebih berkembang

c) Duduk lebih variatif dan santai

d) Crawling, climbing dan rambatan lebih sering dan saat jalan hanya dengan

pegangan satu tangan

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.14 Perkembangan usia 10 bulan

27 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


5) Usia 11-12 bulan

a) Ke berdiri dengan pegangan satu tangan dilakukan dengan mudah (half

kneeling)

b) Berdiri dari posisi jongkok kadang bisa sendiri

c) Berdiri kadang lepas tangan dan berlanjut dengan melangkah tapi belum

stabil

d) Masa transisi dari duduk ke merangkak, berlutut, jongkok dan berdiri

e) Berdiri bebas tanpa support dengan wide base

f) Kadang bisa sambil mengangkat satu kaki

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.15 Perkembangan usia 11-12 bulan

28 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


E. Refleks Primitif

Perilaku gerak pada anak sudah muncul saat masih dalam kandungan ibu dan

bulan pertama setelah lahir. Sebagian besar gerak yang dilakukan anak masih bersifat

refleks artinya setiap gerakan dilakukan tidak secara sukarela, namun sebagai respon

terhadap rangsangan tertentu. Contoh, apabila diberikan rangsangan berupa sentuhan

pada telapak tangan bayi, maka telapak tangan tersebut akan menutup. Hal ini akan

terus menerus dilakukan oleh bayi apabila mendapat rangsangan yang sama. Jadi

gerak refleks dilakukan secara tidak sukarela oleh bayi, namun sebagai upaya tidak

sadar yang dilakukan oleh bayi (Gentile, A.M , 2010).

Berikut ini adalah macam macam refleks pada bayi :

a. ATNR

Refleks ini terlihat saat bayi menolehkan kepala ke satu sisi tubuh, gerakan

lengan yang lurus berlawanan arah dengan kepala.

Muncul: usia 2 bulan

Hilang :usia 4 bulan

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.16 Refleks Primitif ATNR

29 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


b. STNR

Refleks ini memungkinkan bayi meluruskan lengan dan menekuk kaki ketika

mendongak, muncul dalam rentang yang singkat dan terkait dengan koordinasi tubuh.

Muncul: usia 6-9 bulan

Hilang :usia 9-11 bulan

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.17 Refleks Primitif STNR

c. Neck Righting

Refleks ini terlihat saat bayi diposisikan tengkurap dan beberapa saat kemudian

bayi akan mengangkat kepalanya untuk membebaskan hidung dan mulutnya agar bisa

bernapas.

Muncul: usia 2 bulan

Hilang :usia 4 bulan

30 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : (Campbell, 2007)
Gambar1.18 Refleks Primitif Neck Righting

d. Ekstensor Thrust

Refleks ini dapat dimunculkan dengan menggores atau menyentuh telapak

kaki bayi pada posisi menekuk, hasilnya adalah kaki akan berespon menjadi lurus

Muncul: saat lahir

Hilang :usia 1-2 bulan

e. Moro Refleks

Refleks moro adalah respon fisiologis tubuh terhadap sumber stress yang

mendadak atau berpotensi mengancam. Menyadari akan adanya bahaya, otak secara

otomatis akan mengkomando respon refleksif yang menyebabkan bayi membuka

tangannya ke arah atas dan belakang tubuh. Gerakan membuka ini memicu regukan

udara seketika sehingga paru-paru dalam kapasitas siaga di saat bayi menangis

meminta perlindungan.

Muncul: usia 9-12 minggu pada masa janin

Hilang :usia 2-4 bulan

31 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : (Campbell, 2007)
Gambar 1.19 Refleks Primitif Moro

f. Parachute atau parasut

Refleks ini terlihat saat bayi diposisikan seperti akan terjun. Dengan pegangan

fisioterapis pada sekitar trunk, lalu posisikan kedua kaki lebih tinggi dari kepala. Jika

kedua lengan pada anak lurus maka hasil positif pada tes tersebut.

Muncul: usia 6-9 bulan

Hilang : sepanjang usia tetap ada

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.20 Refleks Primitif paracute

32 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


g. Foot placement atau penempatan kaki

Anak diposisikan berdiri dengan pegangan fisioterapis pada kedua axilla.

Berikan sentuhan pada kaki area dorsum anak ke tepi meja. Jika terdapat respon pada

anak dengan fleksi hip dan knee serta meletakan kaki di atas meja makan hasil tes

tersebut posistif.

Muncul: saat lahir

Hilang : sepanjang usia tetap ada

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.21 Refleks Primitif Foot Placement

h. Grassping Refleks

Tahapan gerak refleks telapak tangan merupakan salah satu dari seluruh refleks

bayi yang paling dikenal dan merupakan salah satu yang paling awal muncul pada

usia balita. Gerak refleks ini merupakan respons yang ditampilkan terhadap

rangsangan yang halus pada telapak tangannya. Apabila telapak tangan dirangsang

dengan apa saja, maka keempat jari tangan secara spontan akan menutup, meskipun

ibu jari tidak memberikan respons terhadap rangsangan ini. Namun gerak refleks

33 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


tangan ini menjadi ciri khas dari perkembangan motorik yang diperlihatkan anak

balita. Jadi pada tahapan ini anak balita sudah memiliki kemampuan menggunakan

telapak tangannya sebagai alat komunikasi dengan ibunya.

Muncul : usia neonatal

Hilang : usia 4 bulan

Sumber : (Campbell, 2007)


Gambar 1.22 Refleks Primitif Grassping

F. Epidemiologi

Di Indonesia , prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1 – 5 per 1.000

kelahiran hidup. Laki–laki lebih banyak daripada perempuan. Seringkali terdapat

pada anak pertama. Hal ini mungkin dikarenakan kelahiran pertama lebih sering

mengalami kesulitan dalam proses persalinan. Angka kejadiannya lebih tinggi pada

bayi berat badan lahir rendah dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40

tahun, terlebih lagi pada multipara (Mardiani,2006).

Hasil pendataan yang dilakukan di RS Fatmawati bagian fisioterapi pediatri

pada 3 bulan terakhir ini, didapatkan total 511 kunjungan pasien anak. Dengan hasil

persentase 42% anak CP quadriplegia,17% anak CP diplegi spastic, 10% anak CP

34 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


diplegi hipotone, 20% anak Global Delayed Development, 6% anak Down Syndrom,

dan lainnya sebanyak 5%.

Sampai saat ini penyebab pasti CP belum diketahui. Beberapa penelitian

mengemukakan bahwa penyebab CP merupakan multifaktor. Faktor–faktor risiko

kejadian CP juga dipengaruhi oleh keadaan ras / suku bangsa. Seperti yang

disimpulkan dalam suatu penelitian, bahwa terdapat perbedaan CP rate yang jelas

antara orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat, dan antara kulit hitam,

kulit merah dan kulit putih di Afrika Selatan. (Stanley.,et al, 2000)

G. Patofisiologi

Pecahnya selaput ketuban yang terjadi sebelum proses kelahiran dan

penggunaan alat bantu vacuum dapat menyebabkan hipoksia dan iskemia (Constance

2003). Hipoksia dan iskemia merupakan keadaan yang terjadi akibat asfiksia.

Asfiksia adalah suatu stress pada janin atau bayi baru lahir karena kurang tersedianya

oksigen atau aliran darah ke berbagai organ, yaitu otak, jantung, paru-paru, dsb

(Manoe and Amir 2003).

Apabila otak mengalami hipoksia dan iskemia, maka akan menyebabkan suplai

darah yang membawa oksigen ke otak menjadi berkurang. Keadaan ini disebut

dengan ensefalopati hipoksik-iskemik. Kurangnya suplai oksigen ke otak dapat

menyebabkan otak mengalami cidera sehingga mengakibatkan kelainan motorik,

salah satunya ialah cerebral palsy (Manoe and Amir 2003).

35 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Cedera otak yang terjadi pada cerebellum dapat menyebabkan kelainan motorik

berupa menurun atau hilangnya kekuatan otot sehingga sulit atau tidak mampu

melakukan gerakan. Keadaan ini disebut hipotonus (Berker and Yalçin 2010).

H. Etiologi

a. Penyebab

Cerebral Palsy merupakan gangguan tumbuh kembang yang dapat

disebabkan oleh faktor. Cerebral Palsy dapat terjadi setelah lahir (Cerebral Palsy

dapatan) ataupun kongenital . CP dapatan dapat diakibatkan oleh kerusakan otak

yang disebabkan oleh penyakit infeksi, misalnya meningitis dan encephalitis ataupun

trauma kepala, misalnya kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Sedangkan CP kongenital

penyebabnya belum diketahui secara pasti,namun diperkirakan adanya gangguan

pada masa kehamilan ataupun saat melahirkan yang menyebabkan kerusakan pada

pusat motorik otak yang sedang berkembang (Saharso, 2006).

Sekitar 24% kasus CP tidak diketahui penyebabnya secara jelas dan pasti.

Namun, CP umumnya diakibatkan oleh adanya abnormalitas otak saat prenatal.

Kelahiran secara prematur merupakan penyebab yang paling sering terjadi. Faktor

resiko prenatal ataupun perinatal lainnya adalah asfiksia, iskemik, trauma, infeksi,

problem metabolisme seperti hiperbilirubinemia dan hipoglikemia saat perinatal.

Selain itu, infeksi, trauma, dan tumor pada awal kehamilan dapat pula menyebabkan

CP (Muscari, 2005).

36 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Penyebab CP menurut Miller (2007) ialah sebagai berikut :

a. Penyebab kongenital

CP dapat terjadi akibat dari kelainan pertumbuhan dan perkembangan saat

masa kehamilan. Salah satu penyebab CP yang dapat terjadi saat kehamilan ialah :

1) Ensefalokel, yaitu kelainan pada tabung saraf dimana tengkorak bayi tidak

menutup sepenuhnya. Di Asia umumnya terjadi ensefalokel bagian anterior. Pada

penderita ensefalokel terjadi kerusakan motorik, umumnya quadriplegi dengan

hipotonus lebih sering terjadi dari hipertonus.

2) Skizenfalitis, yaitu kerusakan segmental pada otak dimana terdapat adanya celah

pada otak. Kelainan yang muncul akibat skizenfalitis beragam, mulai dari

disabilitas minimal sampai quadriplegi yang parah dan umumnya dengan spastik

dan retardasi mental.

3) Mikroensefalitis atau megaloensefalitis, yaitu kelainanan proliferasi primer pada

otak.

4) Lissensefalitis, yaitu kelainan pada otak dimana tidak/sedikit terdapat gyrus

sehingga otak menjadi licin dan halus. Lissensefalitis dapat menyebabkan

quadriplegi spastik yang parah.

5) Disgenesis kortikal, yaitu kelainan pembentukan korteks otak yang dapat

menyebabkan hipotonus ataupun hipertonus.

6) Down syndrome, Rett syndrome dan fragile X syndrome yang dapat

menyebabkan ataxia, spastisitas idiopatik dan retardasi mental.

b. Penyebab di masa prenatal dan neonatal

37 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Penyebab CP di masa prenatal dan neonatal sebagian besar berhubungan

dengan kelahiran prematur dan masalah saat kelahiran yang dapat meyebabkan

otak menjadi tidak matang (immature) di beberapa bagian.

1) Hemorrhage/ perdarahan dan iskemik pada otak juga dapat menjadi salah satu

penyebab CP. Perdarahan yang terjadi dapat berupa perdarahan pada

intraventikular hemmorage (IVH), periventrikular area/germinal matrix

hemorrhage (GMH) atau kombinasi dari periventrikular-intraventrikular

hemmorage (PIVH). Perdarahan yang terjadi di otak dapat menyebabkan

periventricular leukomalacia (PVL) yang umumnya terjadi pada usia 1-3 minggu

pasca kelahiran. Apabila terjadi kista pada PVL maka disebut cystic

periventricular leukomalacia (PVC). Anak-anak penderita PVC memiliki resiko

tinggi menderita CP dan penderita PVL memiliki resiko rendah menderita CP.

2) Hipoksia atau dapat pula disebut hipoxic-ischemic encephalopathy (HIE), yang

penyebabnya dapat beragam.

3) Stroke neonatal yang umumnya terjadi pada arteri cerebral medial dan dapat

menyebabkan CP hemiplegi.

c. Penyebab di masa postnatal

Penyebab CP di masa ini dapat bersamaan dengan penyebab di masa prenatal

dan neonatal. Diantaranya yaitu :

1) Kekerasan dan trauma kecelakaan dapat menyebabkan cedera otak pada anak-

anak akibat trauma benda tumpul dan fraktur tulang tengkorak atau jatuh

sehingga terjadi shaken baby syndrome. Shaken baby syndrome terjadi

38 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


umumnya pada usia di bawah 1 tahun akibat guncangan-guncangan yang

bertujuan untuk menghentikan tangisan. Guncangan yang hebat dapat

menyebabkan penguluran atau robeknya axon dan pembuluh kapiler korteks otak

sehingga dapat terjadi quadriplegi spastik yang cukup parah dan terkadang

terdapat retardasi mental.

2) Trauma benda tumpul dapat disebabkan oleh kekerasan, jatuh, kecelakaan lalu

lintas dan cedera langsung. Apabila terdapat perdarahan unilateral, yang akan

terjadi ialah CP hemiplegi. Bahkan apabila perdarah terjadi cukup hebat dapat

menyebabkan CP quadriplegi. Sebagian besar anak-anak dengan kelainan

motorik yang disebabkan oleh cedera kepala tertutup mengalami ataxia.

3) Ensefalopati metabolik

Ensefalopati metabolik dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Di antaranya

ialah gangguan metabolisme intermedullar dan gangguan metabolisme lainnya

seperti asidosis

4) Infeksi

Infeksi yang disebabkan oleh virus dapat menjadi salah satu penyebab CP.

Contohnya ialah :

a) Cytomegalovirus (CVM) yang 90% dapat menyebabkan retardasi mental atau

kecacatan pada alat pendengaran dan 50% menyebabkan CP atau kelainan

motorik lainnya.

b) Infeksi rubella juga menjadi salah satu penyebab retardasi mental dan 15%

diantara penderitanya terjadi CP.

39 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


c) Infeksi herpes simplex, walaupun sedikit diantara penderitanya yang menderita

CP.

d) Infeksi herpes varicella zoster, sebagian besar penderitanya mengalami CP.

e) Choriomeningitis limfatik.

f) Parasit toxoplasma gondii, yang umumnya terdapat pada tempat tinggal kucing

dan dapat menyebabkan retardasi mental serta CP.

g) Meningitis, dapat menyebabkan quadriplegi spastik.

h) Keracunan.

i) Tenggelam.

j) Asfiksia.

Sedangkan berikut ini ialah penyebab CP berdasarkan Tecklin (2008) :

1. Tahap antenatal

a. Gangguan vaskularisasi, misalnya infark pada arteri cerebral tengah

b. Infeksi maternal seperti rubella, cytomegalovirus dan toxoplasmosis

c. Gangguan metabolisme

d. Keracunan

e. Kelainan perkembangan

f. Kehamilan ganda

g. Periventricular leukomalacia (PVL) adalah sebuah kondisi dimana white

matter di sekitar otak kurang menglami perkembangan. Hal ini merupakan

penyebab utama dari CP pada bayi prematur.

h. Sindrom genetik yang langka

40 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


2. Tahap perinatal

a. Persalinan yang sulit

b. Perdarahan antepartum yang dapat menyebabkan mikrosepalus ataupun

hidrosepalus

c. Prolaps tali pusat

d. Hipoksik-iskemik ensefalopati

e. Stroke neonatal, umumnya pada arteri cerebral tengah

f. Hipoglikemia

g. Infeksi neonatal

3. Tahap postnatal

a. Gangguan metabolisme intermedulla

b. Hipoksia

c. Hipoglikemia

d. Iskemia serebri

e. Perdarahan serebri

f. Hipotermia

g. Keracunan

h. Infeksi seperti meningitis, perticeia dan malaria

i. Cedera cerebrovaskular

j. Cedera akibat operasi malformasi SSP

k. Tenggelam

l. Trauma

41 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


b. Faktor Resiko

Berikut ini ialah beberapa faktor resiko terjadinya CP (Tecklin, 2008) :

1. Sebelum kehamilan

a. Onset menstruasi yang terlambat

b. Menstruasi yang tidak teratur

c. Interval menstruasi yang terlalu panjang

d. Jarak antarkehamilan yang terlalu dekat atau terlalu jauh

e. Ibu pernah mengalami keguguran sebelumnya

f. Kejang

g. Penyakit tiroid

h. Usia orang tua yang terlalu lanjut

2. Selama kehamilan

a. Kelahiran prematur

b. Komplikasi intrapartum

c. Anggota tubuh tidak sempurna saat lahir

3. Selama persalinan

a. Prolaps tali pusat

b. Pedarahan intrapartum

c. Ukuran bayi terlalu besar

d. Pembukaan kedua kelahiran yang terlalu lama

e. Operasi caesar

f. Posisi janin yang abnormal

42 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


g. Bayi terlilit tali pusat

4. Selama periode awal kelahiran

a. Kejang

b. Sepsis

c. Penyakit pernapasan

d. Hipotensi

e. Pnemothorax

f. Hipoatremia

I. Manifestasi Klinis

Gangguan motorik pada gangguan cerebral palsy sering disertai oleh gangguan

sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan kebiasaan, karena epilepsy dan karena

masalah sekunder dari muskuloskeletal (Novak, et al., 2002).

“The incidence of mental retardation (52%), epilepsy (45%), ophthalmologic

defects (28%), speech and language disorders (38%), and hearing impairment

(12%), are quite significant” (Ashwal, S. et al, 2004).

Manifestasi Klinik yang terdapat pada anak Cerebral Palsy adalah (Novak, et

al., 2002) :

1. Spastisitas

43 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Spastisitas adalah gangguan motorik yang memiliki karakteristik tingginya

tonus refleks yang merupakan komponen dari lesi motorik ekstermitas atas Menurut

Invalis Source Specified, klasifikasi utama untuk anak yang terdiagnosa Cerebral

Palsy berdasarkan pola anatomi yang ada. Pemaparan ini merupakan klasifikasi

utama yang digunakan terapis untuk menerapi masalah pada motorik. Klasifikasinya

terbagi atas:

a. Hemiplegia yaitu kelumpuhan yang terjadi pada separuh dari tubuh.

b. Dipelgia yaitu kelumpuhan yang terjadi lebih utama pada ekstermitas bawah

dengan kelemahan ekstermitas atas lebih ringan.

c. Quadripelgia yaitu kelumpuhan yang terjadi pada ke empat ekstermitas.

2. Deformitas yaitu adanya perubahan bentuk pada anggota tubuh.

3. Epilepsi yaitu gangguan berupa kejang biasanya disertai pemeriksaan

penunjang berupa Elector Encephalography atau EEG.

4. Gangguan bicara dan bahasa yaitu gangguan yang terjadi dengan sendirinya di

bibir dan lidah menyebabkan anak susah mengontrol otot-otot untuk berbicara

sehingga anak sulit membentuk kata-kta dan sering tampak berliur.

5. Gangguan pendengaran yaitu gangguan yang berupa kelainan neurogen

terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata dari sekitarnya.

6. Gangguan penglihatan yaitu hilangnya kemampuan anak untuk melihat yang

disebabkan saat di dalam kandungan, proses melahirkan dan setelah melahirkan.

Biasanya anak terdapat kelemahan untuk mengontrol otot-otot penggerak bola mata

kadang sampai terjadi kebutaan.

44 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


7. Gangguan sensasi yaitu gangguan dimana anak merasakan hipersensibilitas

atau menerima respon yang berlebih terhadap rangsangan dari luar dan

hiposensibilitas atau kurangnya respon jika di beri rangsangan dari luar.

J. Klasifikasi

1. Berdasarkan Derajat Kecacatannya

Berdasarkan derajat kecacatannya, cerebral palsy dapat dikelompokkan ke

dalam tiga kelompok, yaitu ringan, sedang , dan berat. Pengklasifikasian ini dilandasi

atas kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari / activity daily living (contoh

: makan, mandi, berpakaian, mencuci), kemampuan berkomunikasi, keperluan dengan

alat bantu, tingkat kemandirian, dan kemampuan menyesuaikan diri dengan

lingkungan atau masyarakat. Pengklasifikasian berdasarkan derajat kecacatan, akan

mempengaruhi program penanganan yang cocok bagi penyandangnya.

a. Ringan

Seseorang dapat dikatakan menyandang cerebral palsy ringan apabila dalam

kesehariannya dia tidak memerlukan bantuan khusus dari orang lain. Masih bisa

melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri, dapat berbicara dengan jelas, tidak

memerlukan alat bantu khusus, dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat tanpa

hambatan. Pendidikan untuk cerebral palsy kategori ringan ini tidak harus dilakukan

di sekolah khusus, karena tidak begitu memerlukan penanganan khusus. Apalagi bagi

yang memiliki kapasitas inteligensi normal, akan lebih baik kalau di sekolahkan di

sekolah regular.

45 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


b. Sedang

Bagi penyandang yang sewaktu-waktu masih memerlukan bantuan khusus dari

orang lain dalam melakukan aktivitasnya, memakai alat bantu, ada kesulitan dalam

berkomunikasi dan mobilitas sehingga memerlukan latihan khusus untuk

melakukannya, maka penyandang seperti ini dimasukkkan ke dalam kategori cerebral

palsy sedang. Layanan pendidikannya adalah di sekolah khusus, karena memang

kecacatannya dirasakan cukup mengganggu sehingga dia memerlukan latihan khusus.

Kemampuan dalam bersosialisasi akan cukup terganggu juga terkait dengan

kecacatannya.

c. Berat

Penyandang cerebral palsy berat apabila memerlukan bantuan dalam segala

aktivitasnya. Kemampun melakukan aktivitas sehari-hari dan kemampuan mobilitas

tergantung penuh pada orang lain. Selama hidupnya selalu di atas kursi roda atau

tempat tidur dan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi.

Penyandang cerebral palsy seperti ini, membutuhkan perawatan sepanjang hidupnya

dan penanganan terhadap kecacatannya karena kecacatannya bisa semakin parah

sewaktu-waktu.

2. Berdasarkan Topografi

Klasifikasi ini berdasarkan letak dan jumlah kelainan pada anggota

gerak.(Baxter P, 2007) :

46 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


a. Spastik

Ditandai dengan adanya kejang dan atau kaku pada sebagian atau seluruh otot.

Letak kelainan cerebral palsy jenis spastik ini ada di tractus pyramidalis (motor

cortex).Spastik mempunyai karakteristik antara lain hiper reflex, klonus, respon pola

ekstensor dan plantar, serta memiliki reflex primitif. CP spastik merupakan jenis CP

yang sering dijumpai ± 70-80% penderita CP adalah tipe spastik. Cerebral

palsyspastik menurut distribusinya dibedakan atas tiga tipe, yaitu hemiplegia,

diplegia, dan quadriplegia.

1) Hemiplegia

Mengenai satu sisi tubuh pada upper dan lower extremity. Terjadi

gangguan pada visual dan penurunan propioseptif pada sisi tubuh yang

terkena.

2) Diplegia

Mengenai ekstermitas bagian atas dan bawah, tetapi lebih berat terjadi pada

bagian bawah ekstermitas. Biasanya terjadi pada anak yang lahir dengan

usia premature dan jarang terjadi kejang. Sekitar 50% CP spastik adalah

tipe diplegia.

3) Quadriplegia(Total Body Involvement)

Mengenai keempat ekstermitas, serta trunk. Sekitar 30% CP spastik adalah

tipe quadriplegia.

47 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


b. Dyskinesia

Ditandai dengan tidak adanya control dan koordinasi gerak dalam diri

individu cerebral palsy. Terjadi gangguan pada basal ganglia dan ±10% - 15% CP

merupakan tipe dyskenesia.

1) Athetosis

Letak kelainan pada basal ganglion. Cerebral palsy jenis ini tidak terdapat

kekakuan pada tubuhnya, tetapi terdapat gerakan-gerakan yang tidak

terkontrol (involuntary movement) yang terjadi sewaktu-waktu. Gerakan ini

tidak dapat dicegah, sehingga dapat mengganggu aktivitas. Gerakan

otomatis tersebut terjadi pada tangan, kaki, mata, tangan, bibir, dan kepala.

c. Ataxia

Letak kelainannya pada otak kecil (cerebellum). Penderita mengalami

gangguan keseimbangan, koordinasi dan fine motor control. Saat usia <2 tahun

mengalami hipotonus dan selanjutnya dapat berkembang menjadi ataxia pada usia 2 –

3 tahun.

d. Hipotonus

Hipotonus terjadi karena adanya lesi pada otak kecil (cerebellum) (Koziol LF,

2013). Ditandai dengan tidak adanya ketegangan otot (poor muscle tone).Hipotonus

berbeda dengan muscle weakness, karena hipotonus mengalami kesulitan untuk

menggunakan otot yang terkena. (NHS Choices)Penderita hipotonia otot-ototnya

tidak mampu merespon rangsang yang diberikan.

48 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Pada fungsi normal, otot bergerak tergantung dengan sinyal pada motor neuron

Apabila terjadi kerusakan pada level brain dan spinal cord maka disebut dengan

hiptonus sentral tetapi apabila ditemuka kerusakan diantara spinal cord dan otot maka

disebut dengan hipotonus tepi. (NHS Choices)

e. Campuran

Artinya pada anak cerebral palsy menderita dua atau lebih kelainan. Misalnya

spastik dan athetosis, spastik, dan athetosis. Kecacatan tersebut tergantung pada

kerusakan yang terjadi pada otak. Letak kerusakan jenis ini di daerah piramidal dan

extrapiramidal. Apabila kerusakan terjadi pada pyramidal, kelainannya berbentuk

spastik. Apabila terjadi di extrapiramidal kelainannya berbentuk athetosis, rigid, dan

hipotonia. Tipe campuran ini kerusakannya terletak pada daerah piramidal dan

extrapiramidal dan bentuk kelainannya berupa spastik di kaki dan rigid di tangan.

49 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : Buku Fundamantals of Neurology Tahun 2006
Gambar 1.23 Klasifikasi Cerebral Palsy

K. Prognosa

Terapi yang tepat dapat mengembalikan fungsi mendekati normal. Jika sudah

dalam kondisi buruk tidak akan bisa hidup secara mandiri walaupun sudah ada

perbaikan secara signifkan (Norberto Alvarez, MD, 2015) .

Sekitar 75% anak-anak dengan Cerebral Palsy bisa berjalan dengan alat

bantu. Pada usia 2 tahun jika anak sudah dapat duduk mandiri, maka bisa menjadi

kemungkinan anak dapat berjalan, sementara mereka yang sudah berusia 4 tahun

50 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


yang masih belum bisa duduk mandiri, kemungkinan tidak akan bisa berjalan

(Norberto Alvarez, MD, 2015).

Kemungkinan komplikasi medis dari Cerbral Palsy adalah tergantung

keparahan kondisi. Faktor –faktor komplikasi yang dapat memperburuk keadaan

yaitu:

1. Kejang, sepertiga orang dengan Cerebral Palsy mengalaminya.

2. Keterbelakangan mental, terjadi pada sekitar 30% sampai 50% dari orang

dengan Cerebral palsy.

3. Obesitas, biasanya sering ditemukan pada kasus dipelgi dan quadripelgi.

Harapan hidup pada Cerebral Palsy tergantung pada tingkat kondisi

keterlambatan normal development pada anak. Pasien dengan kondisi ringan

memiliki harapan hidup sama dengan populasi umum. Semakin parah keadaan anak

tersebut maka harapan hidup lebih pendek, terutama juka adanya komplikasi. Tapi

dengan kemajuan teknologi pada saat ini angka harapan hidup bisa mengingkat

hingga 50-60 tahun (Norberto Alvarez, MD, 2015).

L. Teknologi Intervensi

1. Metode Neurodevelopmental Treatment (NDT)

Neurodevelopment Treatment (NDT) adalah suatu konsep terapi latihan yang

dilakukan untuk memberikan efisiensi gerakan dan postur tubuh terhadap gaya

gravitasi serta kontak tubuh dengan permukaan, meningkatkan respon keseimbangan

51 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


secara aktif, dan melatih pergerakan tulang belakang atau trunk (Arndt, S W, et. al,

2005).

Konsep Neuro Development Treatment (NDT) menekankan pada hubungan

antara normal postural reflex mechanism (mekanisme refleks postural normal), yang

merupakan suatu mekanisme refleks untuk menjaga postural normal sebagai dasar

untuk melakukan gerak. Mekanisme refleks postural normal memiliki kemampuan

yang terdiri dari: (1)normal postural tone, (2)normal reciprocal innervations, dan

(3)variasi gerakan yang mengarah pada fungsional. Syarat agar mekanisme refleks

postural normal dapat terjadi dengan baik: (1)righting reaction yang meliputi

labyrinthine righting reaction, neck righting reaction, body on body righting

reaction, body on head righting reaction, dan optical righting reaction,

(2)equilibrium reaction, yang mempersiapkan dan mempertahankan keseimbangan

selama beraktivitas, (3)protective reaction, yang merupakan gabungan antara righting

reaction dengan equilibrium reaction(Rad Tematski, 2005).

Prinsip dasar teknik metode Neuro Development Treatment (NDT) meliputi 3 hal

(Rad Tematski, 2005):

a. Patterns of movement

Gerakan yang terjadi pada manusia saat bekerja adalah pada pola tertentu dan

pola tersebut merupakan representasi dari kontrol level kortikal bukan kelompok otot

tertentu. Pada anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pola gerak yang terjadi sangat

terbatas, yang mana dapat berupa dominasi refleks primitif, berkembangnya pola

gerak abnormal karena terbatasnya kemampuan bergerak, dan adanya kompensasi

52 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


atau adaptasi gerak abnormal. Akibat lebih lanjut anak atau penderita akan

menggunakan pola gerak yang abnormal dengan pergerakan yang minim(Rad

Tematski, 2005).

b. Use of handling

Handling bersifat spesifik dan bertujuan untuk normalisasi tonus,

membangkitkan koordinasi gerak dan postur, pengembangan ketrampilan, dan

adaptasi respon. Dengan demikian anak/penderita dibantu dan dituntun untuk

memperbaiki kualitas gerak dan tidak dibiarkan bergerak pada pola abnormal yang

dimilikinya(Rad Tematski, 2005).

c. Prerequisites for movement

Agar gerak yang terjadi lebih efisien, terdapat 3 faktor yang mendasari atau

prerequisites yaitu (1)normal postural tone mutlak diperlukan agar dapat digunakan

untuk melawan gravitasi, (2)normal reciprocal innervations pada kelompok otot

memungkinkan terjadinya aksi kelompok agonis, antagonis, dan sinergis yang

terkoordinir dan seimbang, dan (3)postural fixation mutlak diperlukan sehingga

kelompok otot mampu menstabilkan badan atau anggota gerak saat terjadi

gerakan/aktivitas dinamis dari sisa anggota gerak(Rad Tematski, 2005).

Metode Neuro Development Treatment (NDT) memiliki teknik-teknik khusus

untuk mengatasi pola abnormal aktivitas tonus refleks. Teknik-teknik tersebut

meliputi:

53 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


a. Inhibisi

Inhibisi disini menggunakan Reflex Inhibiting Pattern (RIP) yang bertujuan

untuk menurunkan dan menghambat aktivitas refleks yang abnormal dan reaksi

asosiasi serta timbulnya tonus otot yang abnormal. Sekuensis dalam terapi ini

meliputi bagian tubuh dengan tingkat affected terkecil didahulukan dan handling

dimulai dari proksimal.

b. Fasilitasi

Fasilitasi bertujuan untuk memperbaiki tonus postural, memelihara dan

mengembalikan kualitas tonus normal, serta untuk memudahkan gerakan-gerakan

yang disengaja (aktivitas sehari-hari).

c. Propioceptive Stimulation

Merupakan upaya untuk memperkuat dan meningkatkan tonus otot melalui

propioseptif dan taktil. Berguna untuk meningkatkan reaksi pada anak, memelihara

posisi dan pola gerak yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi secara otomatis.

d. Key Points of Control (KPoC)

Key Points of Control (KPoC) adalah bagian tubuh (biasanya terletak di

proksimal) yang digunakan untuk handling normalisasi tonus maupun menuntun

gerak aktif yang normal. Letak Key Points of Control (KPoC) yang utama adalah

kepala, gelang bahu, dan gelang panggul.

e. Movement Sequences and Functional Skill

54 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Teknik inhibisi dan fasilitasi pada dasarnya digunakan untuk menumbuhkan

kemampuan sekuensis motorik dan keterampilan fungsional anak(Velickovic, T. D.&

Perat , M. V;, 2005).

Teknik ini memberikan pasien pengalaman untuk merasakan rangsangan

sensorik dan motorik yang didapat dari luar tubuh. Berikut ini adalah pelaksanaan

metode Neuro Development Treatment (NDT) pada Cerebral Palsy (Rad Tematski,

2005) :

1. Inhibisi

a. Inhibisi di atas bola

Pada teknik inhibisi ini diperlukan dua orang terapis, tekniknya meliputi: (1)

penderita terlentang di atas physio ball, (2) satu terapis memegang kedua lutut

anak/penderita dalam keadaan abduksi dan eksternal rotasi, (3) terapis lainnya

memegang kedua lengan dan kedua siku anak/penderita dalam keadaan eksternal

rotasi dan fleksi sehingga tubuh menjadi ekstensi, (4) anak/penderita digerakkan ke

depan dan ke belakang hingga kedua kaki penderita menyentuh lantai.

b. Mobilisasi Trunk

Mobilisasi trunk dilakukan dengan cara: (1) posisi anak/pasien long sitting

dan kedua hip full abduksi, (2) terapis berada dibelakangnya dan punggung

anak/pasien disangga oleh badan terapis sehingga trunk lurus, (3) Key Points of

Control (KPoC) pada pelvis (sebagai stabilisasi) dan axilla dengan tangan melingkar

di depan tubuh anak/pasien (sebagai pengarah gerakan), (4) gerakan yang dilakukan

55 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


adalah mengekstensikan, side fleksi, dan rotasi trunk serta pada akhir gerakan

diberikan elongasi.

Sumber : The Clinical Practice Of Pediatric Physical Therapy. 2008


Gambar 1.24 Mobilisasi trunk

2. Fasilitasi Reaksi Sikap dan Gerakan Normal

Setelah teknik inhibisi dilakukan, terapis melanjutkan teknik selanjutnya

untuk mempermudah anak/pasien bergerak dengan pola gerak yang benar

menggunakan teknik fasilitasi. Fasilitasi yang dapat dilakukan antara lain.

a. Fasilitasi duduk dari terlentang

Fasilitasi duduk dari terlentang dapat dilakukan dengan cara double knee to

chest. Cara selanjutnya posisi pasien tengkurap dengan fiksasi di pelvis handling

terapis pada shoulder lalu lakukan rotasi pelvis fasilitasi ke duduk.

56 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : The Clinical Practice Of Pediatric Physical Therapy. 2008
Gambar 1.25 Fasilitasi duduk dari terletang

b. Fasilitasi kepala tegak

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1)anak/pasien duduk dan terapis berada

dibelakangnya, (2)punggung anak/pasien disangga oleh badan terapis, satu tangan

terapis di kepala anak/pasien dan tangan lainnya di bahu anak/pasien, (3)berikan

aproksimasi pada kepala anak/pasien untuk fasilitasi kepala tegak.

c. Fasilitasi badan tegak

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1)anak/pasien duduk dan terapis berada

dibelakangnya, (2)punggung anak/pasien disangga oleh badan terapis, kedua tangan

terapis di bahu anak/pasien, (3)berikan aproksimasi pada kedua bahu anak/pasien

untuk fasilitasi badan tegak.

d. Fasilitasi keseimbangan duduk

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1)anak/pasien duduk diatas guling atau

bola besar dan terapis berada dibelakangnya menjaga stabilitas dan keseimbangan

anak/pasien, (2)Key Points of Control (KPoC) pada pelvis anak/pasien, goyang bola

ke depan dan ke belakang atau goyang kesamping kanan dan kiri, dan(3)latihan ini

dilakukan selama 5 menit

57 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Sumber : The Clinical Practice Of Pediatric Physical Therapy. 2008
Gambar 1.26 Fasilitasi keseimbangan duduk

e. Fasilitasi merangkak dari duduk

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1)anak/pasien duduk dengan satu kaki

lurus ke depan dan terapis duduk dibelakangnya, (2)Key Points of Control (KPoC)

satu tangan terapis pada hip anak/pasien dan tangan lainnya pada dada anak/pasien,

dan(3) gerakannya adalah perlahan-lahan terapis merotasikan trunk anak/pasien

sehingga anak/pasien pada posisi merangkak.

f. Fasilitasi berlutut dari merangkak

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1) anak/pasien posisinya merangkak dan

terapis berada dibelakangnya, (2) Key Points of Control (KPoC) pada pelvis

anak/pasien, dan(3) gerakannya adalah berikan tarikan pada pelvis dan bawa anak ke

arah terapis pada posisi berlutut.

g. Fasilitasi keseimbangan berlutut

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1)anak/pasien posisinya berlutut dan

terapis berlutut dibelakangnya, (2)Key Points of Control (KPoC) pada pelvik

anak/pasien, dan(3)gerakannya adalah terapis menggerakkan anak/pasien ke depan

dan ke belakang secara perlahan, latihan ini dilakukan selama 3 menit.

58 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


h. Fasilitasi berdiri dari berlutut

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1) anak/pasien posisinya berlutut dan

terapis berlutut di belakangnya, (2) Key Points of Control (KPoC) pada pelvis

anak/pasien, dan (3) gerakannya adalah terapis menggerakkan salah satu pelvis

anak/pasien ke bawah sementara pelvis sisi lain digerakkan ke depan sehingga

anak/pasien pada posisi 1/2 berlutut kemudian tarik kedua pelvis ke arah atas

sehingga posisi anak/pasien berdiri, latihan ini dilakukan 1 kali tiap sesi latihan.

Sumber : The Clinical Practice Of Pediatric Physical Therapy. 2008


Gambar 1.27 Fasilitasi berdiri dari berlutut

i. Fasilitasi keseimbangan berdiri

Fasilitasi ini dilakukan dengan cara: (1) anak/pasien di posisikan berdiri dan

terapis dibelakangnya, (2) Key Points of Control (KPoC) pada bahu anak/pasien, dan

(3) gerakannya adalah menggerakkan anak/pasien ke depan, belakang, dan samping

secara perlahan-lahan, latihan ini dilakukan selama 3 menit.

59 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


j. Fasilitasi berjalan

Teknik fasilitasi berjalan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Fasilitasi

yang dilakukan bisa menggunakan Key Points of Control (KPoC) pada kepala, bahu,

pelvis, dan tangan

3. Propioceptive Stimulation

Propioceptive Stimulation dapat menggunakan teknik tapping. Tapping

dilakukan pada grup otot antagonis dari otot yang mengalami spatisitas. Teknik

stimulasi ini dapat dipakai sebagai fasilitasi untuk supporting reaction pada tungkai

bawah dan sesi ini dapat dilakukan pada saat fasilitasi penumpuan berat badan (Rad

Tematski, 2005).

Untuk mencapai semua focus tujuan tersebut makan fisioterapi harus

memberikan penanganan yang tepat dalam menangangi kasus cerebral palsy.

Penanganan tersebut dilakukan dengan mengubah pola yang abnormal menjadi pola

pergerakan yang normal dan menghindari terjadi postur yang abnormal dengan

pemberian stimulasi (Harris, S.R, et.al, 1998).

M. Penatalaksanaan Fisioterapi

Dalam penentuan masalah pada pasien Cerebral Palsy, kita harus melakukan

pemeriksaan yang tercantum pada asuhan pelayanan fisoterapi seperti:

60 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


1. Identitas Pasien

Identitas pasien adalah berisi keterangan tentang pasien yang terdiri dari nama

lengkap pasien, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, tanggal pemeriksaan, diagnose

medis, dan nama fisioterapi yang melakukan intervensi.

2. Medical History atau anamnesis

a. Anamnesis

Anamnesis adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan melalui

percakapan antara fisioterapis dengan pasien secara langsung atau dengan keluarga

pasien yang mengetahui kondisi pasien untuk mengetahui permasalahan medis dan

mendapatkan data pasien.

b. Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan keluhan yang paling mengganggu pada saat itu.

Keluhan pada anak dapat ditanyakan kepada orang tuanya yaitu belum bisa apa dan

sudah bisa apa.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat penyakit sekarang adalah berupa cerita tentang perjalanan penyakit

dari awal kejadian hingga saat ini, termasuk riwayar pengobatan.

d. Riwayat Prenatal

Berupa usia ibu saat hamil, sering kontrol atau tidak, pernah minum obat atau

tidak, riwayat mengalami trauma atau jatuh.

61 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


e. Riwayat Natal

Berupa riwayat saat melahirkan normal atau tidak, tempat melahirkan dimana,

vakum atau tidak, saat melahirkan bayi menangis atau tidak, kondisi bayi apakah biru

atau kuning atau normal.

f. Riwayat Postnatal

Berupa anak pernah mengalami kejang atau tidak, dan diberikan air susu ibu

berapa lama.

3. General Impression atau Kesan Umum

Pemeriksaan dengan cara melihat kondisi anak secara keseluruhan seperti

sosialisasi terhadap lingkungannya, komunikasi bisa dilakukan dengan baik atau

tidak, penglihatan ada tracking atau tidak, pendengaran anak baik atau tidak, mulur

anak terbuka atau tertutup, dan pernafasan cepat atau lambat.

4. Kemampuan dan Ketidakmampuan

Fisioterapis harus mengetahui kemampuan apa yang sudah dimiliki oleh anak

dan ketidakmampuan apa yang tepat pada anak tersebut.

5. Aktivitas Motorik Kasar Spontan

Fisioterapis melihat bagaimana sikap anak. Anak dapat melakukan gerakan

atau terlihat lemas, dan kemampuan anak untuk mempertahankan sikap tubuh dalam

posisi normal.

62 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


6. Postural Pattern atau Pola Postural

Fisioterapis melihat sikap tubuh anak dan aktivitas motorik kasar dan halus

yang terjadi secra spontan saat tubuh dalam posisi terlentang juga dalam posisi

tengkurap.

7. Postural tone atau Tonus Postural

Fisioterapi melakukan pemeriksaan kepada anak untuk menentukan tonus

apakah tinggi atau rendah. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cara

menggerakan secara pasif.

Pada pengukuran tonus postural menggunakan Modified Asworth Scale.

Tabel 1.1Modified Asworth Scale


Sumber (Miller, 2007)
Nilai Keterangan

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

Sedikit ada peningkatan tonus otot, akibat dari

sentuhan dan release atau dari tahanan minimal


1
pada akhir gerakan ketika di gerakan fleksi atau

ekstensi

1+ Sedikit ada peningkatan tonus otot akibat dari

sentuhan, diikuti tahan minimal pada setengah

gerakan ketika di gerakan fleksi atau ekstensi

2 Tahanan muncul saat awal gerakan

63 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Nilai Keterangan

Banyak peningkatan tonus otot saat digerakan,


3
gerakan pasif sulit dilakukan

4 Terjadi rigid saat gerakan fleksi atau ekstensi

8. Refleks Primitif

Merupakan komponen untuk menentukan prognosa pasien anak. Untuk

mengetahui refleks yang masih terdapat pada pasien anak, fisioterapis melakukan

pemeriksaan dengan tes tujuh reflex dasar meliputi:

a. ATNR

Refleks ini terlihat saat bayi menolehkan kepala ke satu sisi tubuh, gerakan

lengan yang lurus berlawanan arah dengan kepala.

Muncul: usia 2 bulan

Hilang :usia 4 bulan

b. STNR

Refleks ini memungkinkan bayi meluruskan lengan dan menekuk kaki ketika

mendongak, muncul dalam rentang yang singkat dan terkait dengan koordinasi

tubuh.

Muncul: usia 6-9 bulan

Hilang :usia 9-11 bulan

64 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


c. Neck Righting

Refleks ini terlihat saat bayi diposisikan tengkurap dan beberapa saat

kemudian bayi akan mengangkat kepalanya untuk membebaskan hidung dan

mulutnya agar bisa bernapas.

Muncul: usia 2 bulan

Hilang :usia 4 bulan

d. Ekstensor Thrust

Refleks ini dapat dimunculkan dengan menggores atau menyentuh telapak

kaki bayi pada posisi menekuk, hasilnya adalah kaki akan berespon menjadi

lurus

Muncul: saat lahir

Hilang:usia 1-2 bulan

e. Moro Refleks

Refleks moro adalah respon fisiologis tubuh terhadap sumber stress yang

mendadak atau berpotensi mengancam. Menyadari akan adanya bahaya, otak

secara otomatis akan mengkomando respon refleksif yang menyebabkan bayi

membuka tangannya ke arah atas dan belakang tubuh. Gerakan membuka ini

memicu regukan udara seketika sehingga paru-paru dalam kapasitas siaga di saat

bayi menangis meminta perlindungan.

Muncul: usia 9-12 minggu pada masa janin

Hilang:usia 2-4 bulan

65 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


f. Parachute atau parasut

Refleks ini terlihat saat bayi diposisikan seperti akan terjun. Dengan pegangan

fisioterapis pada sekitar trunk, lalu posisikan kedua kaki lebih tinggi dari kepala.

Jika kedua lengan pada anak lurus maka hasil positif pada tes tersebut.

Muncul: usia 6-9 bulan

Hilang: sepanjang usia tetap ada

g. Foot placement atau penempatan kaki

Anak diposisikan berdiri dengan pegangan fisioterapis pada kedua axilla.

Berikan sentuhan pada kaki area dorsum anak ke tepi meja. Jika terdapat respon

pada anak dengan fleksi hip dan knee serta meletakan kaki di atas meja makan

hasil tes tersebut posistif.

Muncul: saat lahir

Hilang: sepanjang usia tetap ada

Tabel 1.2
Penilaian 7 Refleks (Development Medicine and Child Neurology, 2008)

Refleks Positif (+) Negatif (-)

ATNR 1 0

STNR 1 0

Neck Righting 1 0

Ekstensor Thurst 1 0

Moro 1 0

66 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Refleks Positif (+) Negatif (-)

Paracute 0 1

Foot Placement 0 1

Keterangan :

Jika skor 0 maka anak bisa berjalan

Jika skor 1 maka anak bisa berjalan dengan tanpa bantua alat bantu

Jika skor 2 atau lebih dari 2 maka prognosa berjalan buruk.

9. Gross Motor Function Cerebral Palsy (GMFCS)

Gross Motor Function Classification System (GMFCS) menggunakan sistem

lima-tingkat yang sesuai dengan level kemampuan dan keterbatasan kemampuan yg

ada. Jumlah yang lebih tinggi menunjukkan derajat keparahan yg lebih tinggi juga.

Setiap tingkat ditentukan oleh rentang usia dan serangkaian kegiatan anak dapat

dilakukannya sendiri (Rosenbaum P, 2008)

GMFCS adalah sistem klasifikasi yang universal berlaku untuk semua bentuk

cerebral palsy. Menggunakan GMFCS membantu menentukan tindakan operasi,

pengobatan, terapi, dan teknologi pendukung yang cenderung menghasilkan hasil

yang terbaik untuk anak. Selain itu, GMFCS adalah sistem yang kuat bagi para

peneliti, dimana dapat meningkatkan pengumpulan dan analisis data, karenanya

menghasilkan pemahaman yang lebih baik untuk penanganan cerebral palsy

(Rosenbaum P, 2008).

67 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


GMFCS lebih menitikberatkan pada penetapan tujuan (goal) yang dianut oleh

organisasi seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pengawasan Cerebral

Palsy di Eropa (SCPE) yang menganjurkan untuk sistem klasifikasiuniversal yang

berfokus pada apa yang dapat anak lakukan, hal ini bertentangan dengan

keterbatasan anak sebagai akibat dari gangguan yg ada (Rosenbaum P, 2008).

Sistem ini berguna untuk orang tua dan pengasuh sebagai pedoman

perkembangan yang mempertimbangkan kerusakan motorik anak. Ini memberikan

tingkat klasifikasi (GMFCS Level 1 - 5). Orang tua tersebut kemudian dapat

memahami kemampuan kerusakan motorik dari waktu ke waktu,

sesuai level perkembangan usia.

Untuk dapat menggunakan GMFCS secara maksimal, sering dikombinasikan

dengan sistem klasifikasi lain yang menentukan sejauh mana, lokasi, dan tingkat

keparahan gangguan. Hal ini juga dianjurkan untuk mendokumentasikan fungsi

ekstremitas atas[anggota gerak atas] dan gangguan wicara.

Alat ukur GMFCS menggunakan kemampuan : control kepala, transisi

gerakan, berjalan, dan kemampuan motorik kasar lain seperti : berlari, melompat, dan

kemampuan mengenali permukaan miring atau tidak rata untuk menentukan tingkat

prestasi anak. Tujuannya adalah untuk menyajikan gambaran bagaimana kemandirian

anak di rumah, di sekolah, dan di tempat-tempat outdoor dan indoor (Rosenbaum P,

2008).

68 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


Jika anak masuk dalam beberapa level klasifikasi, maka pilihlah 2 level lebih

rendah. Sistem klasifikasi GMFCS memungkinkan anak-anak dengan gangguan

perkembangan memiliki factor perkembangan yg sesuai usianya. GMFCS mampu

mengelompokkan anak berdasarkan usia [0-2; 2-4; 4-6; 6-12; and 12-18] , sebuah

garis petunjuk perkembangan anak sesuai level nya. Yang menekankan pada

kemampuan duduk, gerakan transfer (merubah posisi) dan mobilitas (menempuh

jarak tertentu) , tahap kemandirian dan penggunaan teknologi tepat guna.

Berikut ini GMFCS terbagi atas beberapa level, yaitu (Rosenbaum P, 2008) :

a. GMFCS level 1 – tidak ada keterbatasan saat berjalan

b. GMFCS level 2- ada keterbatasan saat berjalan. Keterbatasan dalam hal jarak

tempuh dan daya keseimbangan, namun tidak sebaik Level 1 untuk berlari dan

melompat; pada level 2 ini anak membutuhkan alat untuk mobilisasi pada saat

pertama kali belajar berjalan, biasanya sebelum umur 4 tahun menggunakan

peralatan beroda saat keluar rumah untuk senuah perjalanan jauh.

c. GMFCS Level 3 – berjalan dengan bantuan alat . membutuhkan bantuan alat

pegangan tangan untuk berjalan diruangan, sedangkan untuk kegiatan diluar

menggunakan peralatan beroda, saat bersosialisasi dan kegiatan sekolah, dapat

duduk dengan support terbatas dan mempunyai beberapa kemampuan mandiri

untuk transfers (mengubah posisi badan) dalam posisi berdiri.

d. GMFCS level 4 – dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan alat/

teknologi penggerak. Biasanya harus bersandar / disupport saat duduk;

69 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


kemampuan bergerak tanpa alat terbatas; transportasi dengan kursi roda manual

ataupun bermesin.

e. GMFCS level V – kemampuan mengontrol kepala dan tubuh sangat terbatas.

Sangat membutuhkan bantuan fisik maupun peralatan berteknologi, biasanya

secara pasif di kursi roda manual, kemampuan mobilitas diri dapat dicapai hanya

bila bisa diajarkan menggunakan kursi roda bermesin.

10. Deformitas dan Kontraktur

Fisioterapis melakukan gerakan pasif pada anggota gerak pasien anak

sehingga letak deformitas dan kontraktur dapat diketahui.

11. Sensibilitas

Merupakan tes sensibilitas pada penglihatan, pendengaran, dan indera peraba.

12. Masalah Penyerta

Merupakan masalah yang timbul akibat dari keadaan tubuh si anak, seperti

kesulitan menelan, air liur sering keluar, dan masalah pada kemampuan

mempertahankan stabilitas tubuhnya.

13. Masalah Utama

Masalah utama didapat dari keluhan utama si anak dan dari hasil pemeriksaan

yang telah dilakukan oleh fisioterapis.

70 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


14. Diagnosa Fisioterapi

Diagnosa fisioterapi terdiri dari :

a. Activity Limitation, yaitu keterbatasan dalam menjalankan aktivitas sehari-

hari.

b. Body Function and Structure Impairment, yaitu permasalahan yang

berhubungan dengan fungsi fisiologis dan struktur anatomi dari tubuh.

c. Participation Restriction, yaitu hambatan dalam keikutsertaan di

lingkungan kehidupan.

15. Evaluasi

a. Keperluan anak yang terpenting

b. Diusulkan terapi tambahan

c. Program fisioterapi jangka pendek

d. Program fisioterapi jangka panjang

71 Poltekkes Kemenkes Jakarta III


N. Kerangka Berpikir Kasus

Cerebral Hipotone
Palsy
Diplegia

Body Function and Activity Limitation Participation


Structure Impairment  Kneeling. (d4102) Retriction
 Tactile perceptions  Changing basic body  Informal social
(b1564) positions (d410) relationship (d750)
 Muscle tone (duduk ke berdiri)
functions (b735)  Maintaning a
 Tone of muscle of standing position
lower half of body (d4154)
(b7353)
 Hearing function
(b230)
 Motivations (b1301).

Intervention :
 Stimulasi Taktil dan Propioseptif.
 Stimulasi otot Postural (core stability)
 Fasilitasi Fungsional Lower Extermity.
 Fasilitasi Duduk ke Berdiri.
 Fasilitasi ke Berdiri.

Personal Factor Enviroment Factor


 Obesitas.
Individual attitudes of immediate
 Mudah takut.
family members. (e410)

Barier

Fasilitation
72 Poltekkes Kemenkes Jakarta III

Anda mungkin juga menyukai