PENDAHULUAN
Penyakit Alzheimer adalah kondisi kelainan yang ditandai dengan penurunan daya ingat,
penurunan kemampuan berpikir dan berbicara, serta perubahan perilaku pada penderita
akibat gangguan di dalam otak yang sifatnya progresif atau perlahan-lahan.
Pada fase awal, seseorang yang terkena penyakit Alzheimer biasanya akan terlihat mudah
lupa, seperti lupa nama benda atau tempat, lupa tentang kejadian-kejadian yang belum lama
dilalui, dan lupa mengenai isi percakapan yang belum lama dibicarakan bersama orang lain.
Berdasarkan data, ada sekitar 46 juta jiwa yang menderita penyakit Alzheimer di dunia, dan
22 juta jiwa di antaranya berada di Asia. Jumlah penderita penyakit Alzheimer di Indonesia
pada tahun 2013 mencapai satu juta orang. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat drastis
menjadi dua kali lipat pada tahun 2030, dan menjadi empat juta orang pada tahun 2050.
Meningkatnya penderita penyakit Alzheimer ini seiring dengan meningkatnya jumlah lanjut
usia (lansia). Usia harapan hidup di Indonesia meningkat dari 68,6 tahun pada 2004 menjadi
72 tahun pada 2015. Usia harapan hidup penduduk Indonesia diproyeksikan akan terus
meningkat, sehingga persentase penduduk lansia terhadap total penduduk diproyeksikan terus
meningkat.
1
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2014, jumlah lansia di Indonesia
mencapai 20,24 juta orang atau sekitar 8,03 persen dari semua penduduk. Data tersebut
menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2010,
yaitu 18,1 juta orang atau 7,6 persen dari total jumlah penduduk.Penyakit Alzheimer paling
sering ditemukan pada orang tua berusia lebih dari 65 tahun, tapi dapat juga menyerang
orang yang berusia sekitar 40 tahun. Berikut adalah peningkatan persentase Penyakit
Alzheimer seiring dengan pertambahan usia: 0,5 persen per tahun pada usia 69 tahun, 1
persen per tahun pada usia 70-74 tahun, 2 persen per tahun pada usia 75-79 tahun, 3 persen
per tahun pada usia 80-84 tahun, dan 8 persen per tahun pada usia lebih dari 85 tahun
1.3 Tujuan
1. Memahami definisi dari Alzheimer
2. Memahami etiologi dari Alzheimer
3. Memahami patofisiologi dari Alzheimer
4. Memahami pathway dari Alzheimer
5. Memahami Manifestasi klinis dari Alzheimer
6. Memahami pemeriksaan diagnostic dari Alzheimer
7. Memahami kriterita diagnostic dari Alzheimer
8. Memahami penatalaksanaan dari Alzheimer
9. Memahami komplikasi dari Alzheimer
10. Memahami terapi diit dari Alzheimer
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
3
Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif otak
dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri.
(Suddart, & Brunner, 2014).
Alzheimer merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat,
intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, pengobatan ditujukan untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan meningkatkan kemandirian penderita. (Dr. Sofi
Kumala Dewi, dkk, 2015)
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang
terutama menyerang orang berusia 65 tahun.
Alzheimer merupakan penyakit dengan gangguan degeneratif yang mengenai sel-sel otak
dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita.
Terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun.
Penyakit Alzheimer adalah suatu penyakit degeneratif otak yang progresif, dimana sel-sel
otak rusak dan mati sehingga mengakibatkan gangguan mental berupa kepikunan
(demensia) yaitu terganggunya fungsi-fungsi memori (daya ingat), berbahasa, berpikir dan
berperilaku.
2.2 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa
adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer.
Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan
penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam
amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut
mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler,
kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein
abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa
4
penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut
terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa
adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri,
trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament presdiposisi heriditer. Dasar
kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dar degenerasi neuronal, kematian daerah
spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya
ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian
selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi
radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit
alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus factor genetika.
Patogenesa
1. Faktor genetik
5
terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah
dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki
alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa ditemukan kelainan lokus
kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan
menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer
yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemuka adanya antibodi reaktif.
Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat
lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease
dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai
beberapa persamaan antara lain:
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar lain, aluminium, silicon,
mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat
yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal
tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah
penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada
penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen,
fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino
glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga
6
kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan
metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderitaalzheimer didapatkan
kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti
trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat
hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid.
Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkanpada
wanita muda karena peranan faktor immunitas
5. Faktor trauma
6. Faktor neurotransmitter
a) Asetikolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmitter dengan cara biopsy sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada
penderita Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase,
asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya
deficit presinaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporalis
superior, nucleus basalis, hipokampus. Kelainan neurotransmitter asetilkolin
merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurotransmitter lainnya
pada penyakit Alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsy selalu didapatkan
kehilangan cholinergic marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamine
pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini
sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.
7
b) Noradrenalin
Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan
otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang
merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi
dengan deficit kortikal noradrenergik.
Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita
Alzheimer menunjukan adanya defesit noradrenalin pada presinaptik neokorteks.
Palmer et al (1987),Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin
menurun baik pada post dan ante-mortem penderita Alzheimer.
c) Dopamine
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter
region hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas dopamine
pada penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan disebabkan
karena histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-beda.
d) Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil
acil pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapat pada
subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior
hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang
sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan dengan hilangnya
neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe dorsalis
2.3 Patofisiologi
8
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit
Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi)
dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar,
protein prukesor amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada
korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron
korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial.
Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia pada neuron –
neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang
menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah
kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian
besar terdiri dari protein “tau”. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat
pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen
penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein
tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada
mikrotubulus secara bersama – sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks
ganda yang sekelilingnya masing – masing terluka. Dengan kolapsnya system transport
internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti
kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak
menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk
dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen
protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane
neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi
fragmen – fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang
menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel
glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat
larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta
menghasilkan radikal bebas sehingga menggagu hubungan intraseluler dan menurunkan
respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor.
9
2.4 Pathway Kelainan
Faktor genetik Infeksi virus Lingkungan Imunologis neurotransmiter
Trauma
Kelainan neurotransmiter
Asetilkolin menurun
Penurunan daya ingat, gangguan intelektual, memori, fungsi bahasa, kognitif, perilaku
Alzheimer
10
sudah dikenalnya. Pasien juga sering mengulang-ulang cerita yang sama karena lupa telah
menceritakannya. Kemampuan berbicara memburuk sampai pembentukan suku kata yang
tidak masuk akal, agitasi, dan peningkatan aktivitas fisik. Nafsu makan pun bertambah secara
berlebihan. Terjadi pula disfagia dan inkontinensia. Pasien dapat menjadi depresif, curiga,
paranoid, dan kasar(perubahan kepribadian).
1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.
Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya
berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih
11
menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,
korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins, 1937). Kelainan-
kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan
pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada
hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe
nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada
nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus
serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
12
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan
dalam pengobatan penyakit alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser
nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT
dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdale,
dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital,
hipokampus, serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal,
gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks
frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan
immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran
histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan
variant dari penyakit alzheimer.
2. Pemeriksaan Neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi
kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis
ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak
yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi,
perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik
mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena:
13
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri.
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab. The Consortium to establish a Registry for
Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian
neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi
gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
Verbal fluency animal category
Modified boston naming test
Mini mental state
Word list memory
Constructional praxis
Word list recall
Word list recognition
Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control.
14
dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini
merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal,
gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi
hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii. Seab et
al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit
alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik.
7. Laboratorium Darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi
renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan
secara selektif.
15
2.7 Kriteria Diagnostik
16
Awitan mendadak
Diketemukan gejala neurologik fokal seperti hemiparese, hipestesia, defisit
lapang pandang dan gangguan koordinasi
Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya
memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C,
dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
A. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan
kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori
danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-
obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal
dan penderita alzheimer.
17
2. Thiamin
3. Nootropik
4. Klonidin
5. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan
tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan
memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya
diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari).
18
dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat
memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
B. Penatalaksanaan Non-Farmakologis
1. Mendukung Fungsi Kognitif.
Karena kemampuan kognitif menurun, maka perawat harus memberikan lingkungan
yang mudah dikenali yang dapat membantu pasien mengintegrasikan lingkungan
sekitar dan aktifitasnya.
4. Meningkatkan Komunikasinya
Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk menyampaikan pesan karena
arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan mengorganisai dan
menyampaikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan sederhana dipakai untuk
mengingatkan pasien dan sangat membantu pasien.
19
sebaiknya singkat dan tidak menimbulkan stress. Sebaiknya hanya menungunjungi
satu sampai dua orang saja dalam sekali kunjungan.
2.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul pada penderita penyakit Alzheimer/ pikun adalah:
Depresi
Sulit berkomunikasi
20
Diet, umumnya mengacu pada pengaturan pola makan guna menurunkan berat badan atau
menyehatkan tubuh. Namun diet terbaru yang digagas Rush University Medical Center
ditujukan khusus guna menyehatkan pikiran. Diet bernama MIND itu dianggap bisa
menurunkan risiko demensia dan alzheimer. Jenis diet tersebut dikembangkan oleh ahli
epidemiologi nutrisi Martha Clare Morris, dari Rush University Medical Center.
Diet Mediterrania fokus pada konsumsi makanan alami, dan membatasi asupan daging
merah serta makanan berlemak lain. Sementara DASH atau Dietary Approaches to Stop
Hypertension, bertujuan menurunkan risiko tekanan darah tinggi, lewat makanan rendah
sodium.
Terdapat 10 jenis makanan yang jadi asupan utama dalam diet ini, diantaranya sayuran
hijau, buah beri, kacang-kacangan, anggur, gandum utuh, ikan, ayam, minyak zaitun,
minyak ikan.
Sementara beberapa makanan yang jadi pantangan adalah daging merah, keju, mentega dan
margarin, kue dan pastri.
BAB III
21
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ALZHEIMER
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, status perkawinan,
golongan darah, dan hubungan pasien dengan penanggung jawab.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien dan keluarga untuk meminta bantuan
kesehatan adalah penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan kelumpuhan
gerak ekstermitas
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis kelien mengeluhkan sering lupa dan hilang ingatan yang
baru. Pada beberapa kasus, keluarga klien sering mengeluhkan bahwa klien
sering mengalami tingkah aneh dan kacau serta sering keluar rumah sendiri
tampa mengatakan pada anggota keluarga yang lain sehingga sangat merasakan
anak-anak menjadi klien.
Pada tahap lanjut dari penyakit, keluarga sering mengeluhkan bahwa
klien menjadi tidak dapat mengatur buang air, tidak dapat menggurus keperluan
dasar sehari-hari atau mengendalui anggota keluarga.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi.
Diabetes melitus, penyakit jantung, penggunaan obat-obatan anti-ansietas
(benzodiazepin), penggunaan obat-obat antikolinergik dalam jangka waktu yang
lama, dan riwayat sindrom Down yang pada suatu saat kemudian menderita
penyakit alzheimer pada usia empat puluhan.
22
Penyebab penyakit alzheimer ditemukan memilki hubungan genetik yang
jelas. Diperkirakan 10-30% klien alzheimer familiar (FAD). Pengkajian adanya
anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus
diperlukan untuk melihat adanya komplikasi penyakit lain yang dapat
mempercepatt progresifnya penyakit.
3.1.3 Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola
persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, dan tidak kooperatif. Perubahan yang terpenting pada klien dengan
penyakit alzheimer adalah penurunan kognitif dan penurunan memori (ingatan
Aktifitas istirahat
Sirkulasi
Integritas ego
23
Gejala : Curiga atau takut terhadap situasi/orang khayalan, kesalahan persepsi terhadap
lingkungan, kesalahan identifikasi terhadap objek dan orang, penimbunan objek :
meyakini bahwa objek yang salah penempatannya telah dicuri. kehilangan multiple,
perubahan citra tubuh dan harga diri yang dirasakan.
Eliminasi
Makanan/cairan
Hiegene
Neurosensori
24
Gejala : Pengingkaran terhadap gejala yang ada terutama perubahan kognitif,
dan atau gambaran yang kabur, keluhan hipokondria tentang kelelahan, diarea,
pusing atau kadang-kadang sakit kepala. adanya keluhan dalam kemampuan
kognitif, mengambil keputusan, mengingat yang berlalu, penurunan tingkah laku
( diobservasi oleh orang terdekat). Kehilangan sensasi propriosepsi ( posisi tubuh
atau bagian tubuh dalam ruang tertentu ). dan adanya riwayat penyakit serebral
vaskuler/sistemik, emboli atau hipoksia yang berlangsung secara periodic ( sebagai
factor predisposisi ) serta aktifitas kejang ( merupakan akibat sekunder pada
kerusakan otak ).
Kenyamanan
Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius ( mungkin menjadi factor
predisposisi atau factor akselerasinya), trauma kecelakaan ( jatuh, luka bakar dan
sebagainya).
Interaksi social
25
Keadaan Umum
B1 (breathing)
Inspeksi : didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif,
peningkatan produksi sputum, sesak napas, dan penggunaan otot bantu napas.
B2 (blood)
Auskultasi : Hipotensi postural berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan
juga gangguan pada pengatruan tekanan darah oleh system saraf otonom.
B3 (brain)
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan juga bergantung pada perubahan status
kognitif klien.
Nervus I : biasanya pada klien dengan penyakit Alzheimer tidak ada kelainan dari
fungsi penciuman.
Nervus II : hasil tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan sesuai tingkat
usia. Klien dengan penyakit alzheirmer mengalami penurunan ketajaman
penglihatan.
Nervus III,IV,VI : Pada beberapa kasus penyakit Alzheimer biasanya tidak
ditemukan adanya kelainan pada nervus ini
Nervus V : Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada nervus ini.
Nervus VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal
Nervus VIII : Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan dengan proses
senilis dan penurunan aliran darah regional
Nervus IX dan X : Didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang
berhubungan dengan perubahan status kognitif
Nervus XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapesius
Nervus XII: Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
faskulasi. Indra pengecapan normal.
Sistem motorik
Inspeksi umum pada tahap lanjut klien akan mengalami perubahan pada fungsi
motorik secara umum.
Pemeriksaan Refleks
27
Pada tahap lanjut penyakit Alzheimer, sering didapatkan bahwa klien kehilangan
refleks postural, apabila klien mencoba untuk berdiri klien akan berdiri dengan kepala
cenderung ke depan dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong. Kesulitan
dalam berputar dan hilangnya keseimbangan (salah satunya ke depan atau ke
belakang) dapat menimbulkan sering jatuh.
Sistem Sensorik
B4 (Bladder)
Inspeksi : Pada tahap lanjut, beberapa klien sering berkemih tidak pada tempatnya ,
biasanya yang berhubungan dengan penurunan status kognitif pada klien Alzheimer.
Penurunan refleks kandung kemih yang bersifat progresif dan klien mungkin
mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
B5 (Bowel)
Inspeksi :Pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif. Karena
penurunan aktivitas umum, klien sering mengalami konstipasi.
B6(Bone)
Inspeksi : Pada tahap lanjut biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk beraktivitas
karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif menyebabkan masalah pada
pola aktivitas dan pemenuhan aktivitas sehari-hari. Adanya gangguan keseimbangan
dan koordinasi dalam melakukan pergerakan disebabkan karena perubahan pada gaya
berjalan dan kaku pada seluruh gerakan akan memberikan risiko pada trauma fisik bila
melakukan aktivitas.
28
3.2 Diagnosa Keperawatan
29
mencegah injury tidur yang nyaman dan
3. Klien mampu bersih
5. Berikan penjelasan pada
menjelaskan factor
pasien dan keluarganya
risiko dari lingkungan/
tentang adanya
perilaku personal
perubahan status
kesehatan dan penyebab
penyakit
2. Hambatan komunikasi Setelah diberikan asuhan Communication
verbal b/d iskemia lobus keperawatan selama ....x 24 Enhancement: Speech eficit
temporal dan frontal jam, diharapkan hambatan 1. Gunakan penerjemah,
sekunder komunikasi verbal menurun. jika di perlukan
Dengan out came : 2. Beri satu kalimat simple
1. Anxiety self control
setiap bertemu, jika di
2. Coping
3. Sensory function: perlukan
Hearing & vision 3. Konsultasikan dengan
4. Fear self control
dokter kebutuhan terapi
Dengan kriterial hasi : wicara
4. Dorong pasien untuk
1. Komunikasi:
berkomunikais seara
penerimaan, interpretasi
perlahan dan unutk
dan ekspresi pesean
mengulangi permintaan
lisan, tulisan, dan non
5. Dengarkan dengan penuh
verbal meningkat
2. Komunikasi ekspresif perhatian
(kesulitan bicara) : 6. Gunakan kartu baca,
Ekspresi pesan verbal kertas, pensil, bahaa
dan atau nonn verbal tubuh, gambar, daftar
yang bermakna kosakata bahasa
3. Komunikasi reseptif 7. Berikan pujian positive,
( kesulitan mendengar ) : jika di perlukan
penerimaan komunikasi
dan interpretasi pesan
30
verbal atau non verbal
4. Gerakan terkoordinasi :
mampu mengkoordinasi
gerakan dalam
menggunakan isyarat
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
31
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan
yang terutama menyerang orang yang berusia diatas 65 tahun tapi tidak menutup
hipokarpus dan korteks tanpa disertai kehilangan parenkim otak, juga terdapat kekusutan
neuro fibrilar. Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti.
4.2 Saran
minimnya sumber mengenai jumlah pasti masyarakat indonesia yang menderita penyakit
Alzheimer. Saran yang ingin penulis sampaikan yaitu mengajak semua pihak yang
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
32
Carpenito, L.J. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Muttaqin, Arif. 2018. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
33