Disusun oleh:
Kelompok 4
Nama: Mariah Ulfah
NIM: P3.73.26.2.20.013
1
HALAMAN PENGESAHAN
2
Cerebral Palsy
1.2 Anatomi dan Fisiologi Otak normal dan otak dengan Cerebral Palsy Spastic
Diplegia
3
Gambar 1 Regio-regio utama dari otak
Sumber : Marieb, 1991
4
adalah: lobus frontal, lobus parietal, lobus occipital dan lobus temporal
(Crothers B et all, 2002).
1) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada di paling depan dari
Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat
alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah,
memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku
seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
2) Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
3) Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
4) Lobus Occipital berada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Crothers B
et all, 2002).
Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi
dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan
itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum,
belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri
mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan
kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional
(Crothers B et all, 2002).
5
1.2.1.2 Dienchephalon
6
1.2.1.3 Brain Stem
7
1.2.1.4 Cerebellum
8
Gambar 6 Daerah kerusakan otak pada tipe spastik
Sumber : www.cerebralpalsy.org
Merupakan tipe yang paling banyak terjadi dengan insidensi sebanyak 70-
80% kasus. Ciri khas pada individu dengan CP spastik adalah gerakan yang
kaku dan tersentak-sentak (rigid). Spastisitas timbul sebagai akibat dari
kerusakan bundel neuron di otak dan sumsum tulang belakang yang disebut
saluran kortikospinalis dan saluran kortikobulbar. Hal ini disebabkan karena
bagian otak yang rusak tersebut tidak mampu mengirim pesan secara tepat ke
bagian-bagian otot yang seharusnya aktif (agonis) dan yang seharusnya non-
aktif (antagonis). Sehingga dapat terjadi pengaktifan kedua fungsi otot secara
bersamaan maupun sebaliknya. (www.cerebralpalsy.org)
b. Diskinetik
c. Ataksik
d. Tipe Campuran
10
Gambar 9 Daerah kerusakan otak pada tipe campuran
Sumber : www.cerebralpalsy.org
Tipe ini merupakan gabungan dari tipe spastik, diskinetik dan ataksik.
(www.cerebralpalsy.org)
12
1.2.3 Anatomi Otak pada Cerebral Palsy Spastik Diplegia
Pada kasus ini, anak dengan spastik diplegi, bagian otak yang
mengalami gangguan adalah traktus piramidalis. Traktus
piramidalis merupakan bagian dari upper motor neuron yang penting. Untuk
mencapai otot tubuh, pusat perintah motorik di sistem saraf pusat harus
melewati upper motor neuron dan bersinaps dengan lower motor neuron.Upper
motor neuron (UMN) merupakan rangkaian awal neuron yang belum
meninggalkan sistem saraf pusat, terletak di korteks motorik. Lower motor
neuron (LMN) membawa pesan ke seluruh otot tubuh, terletak di anterior
medula spinalis. Lower motor neuron sendiri terdiri dari saraf-saraf kranial dan
saraf-saraf spinal. Badan sel neuron ini berada di batang otak tapi aksonnya
meninggalkan sistem saraf pusat dan bersinaps dengan otot-otot tubuh. Saraf-
saraf kranial tidak seluruhnya memiliki komponen lower motor neuron; seperti
N I, N II, dan N VIII tidak memiliki komponen motorik. (Roy Nababan, 2013)
Seperti yang digambarkan dalam Gb. 10 dan Gb. 11.
13
Gambar 11 Nerve Pathways
Sumber : William Lippincott, 2010
1) Prenatal
a) Infeksi pada masa kehamilan
Infeksi merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan kelainan
pada janin, misalnya infeksi oleh lues, toksoplasma, rubela dan penyakit
inklusi sitomegalik. Selain infeksi, anoksia dalam kandungan (anemia,
kerusakan pada plasenta), radiasi sinar-X dan keracunan pada masa kehamilan
juga berpotensi menimbulkan CP (Murphy et all, 2005).
b) Faktor Maternal
Onset menstruasi ibu yang tertunda, periode menstruasi yang tidak
teratur atau jarak antar periode menstruasi yang terlalu lama berhubungan
dengan meningkatnya resiko cerebral palsy (Torfs et all, 2002). Jarak antar
kehamilan yang terlalu dekat atau terlalu lama juga berpengaruh terhadap
resiko terjadinya cerebral palsy pada anak (Pinto-Martin et all, 2000, Torfs et
all, 2002).
2 Pre-eclampsia
Pre-eclampsia atau toxemia adalah suatu gangguan yang muncul pada
14
masa kehamilan,umumnya terjadi pada usisa kehamilan di atas 20 minggu.
Gejala-gejala yang umum adalah tingginya tekanan darah, pembengkakan yang
tak kunjung sembuh dan tingginya jumlah protein di urin (Murphy et all,
2005).
Pre-eclampsia berhubungan dengan resiko meningkatnya cerebral palsy pada
anak, namun hubungan ini tidak berlaku pada bayi prematur (Murphy et all,
2005).
3 Trauma Maternal
Trauma yang terjadi selama masa kehamilan menjadi salah satu
penyebab terjadinya cerebral palsy pada anak (Gilles et all, 2006).
4 Intake Hormone
Resiko cerebral palsy meningkat pada anak yang selama masa
kehamilan ibunya menerima intake hormone thyroid atau estrogen (Nelson
dan Ellenberg, 2005).
5 Multiple Pregnancy
Kehamilan anak kembar meningkatkan resiko terjadinya kematian
maupun cerebral palsy. Kehamilan anak kembar berhubungan dengan proses
kelahiran, perkembangan intrauterin yang rendah, birth defectsdan intrapartum
complications (Williams et al 2006).
Pada kasus kehamilan kembar monochronionic, kematian pada salah
satu bayi akan meningkatkan resiko terjadinya cerebral palsy pada bayi yang
lain. Kematian pada salah satu bayi kembar dapat menganggu proses
perkembangan saraf selama masa kehamilan (Pharaoh and Cooke,2005).
15
Anoksia merupakan keadaan saat bayi tidak mendapatkan oksigen, yang dapat
terjadi pada saat kelahiran bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik, partus
lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan instrumen
tertentu dan lahir dengan bedah caesar (Pharaoh and Cooke,2005).
b. Perdarahan otak
Perdarahan dapat terjadi karena trauma pada saat kelahiran misalnya pada
proses kelahiran dengan mengunakan bantuan instrumen tertentu. Perdarahan
dapat terjadi di ruang sub arachnoid. Perdarahan di ruang subdural dapat
menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastic (Pharaoh and
Cooke,2005).
c. Ikterus
Ikterus pada masa neonatal dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang
permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basalis, misalnya pada kelainan
inkompatibilitas golongan darah (Stanley et al 2000).
d. Meningitis purulenta
Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal
(CSS) disertai radang pada piamater dan araknoid, ruang subaraknoid, jaringan
superfisial otak dan medulla spinalis. Meningitis purulenta pada masa bayi bila
terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa
berupa CP (Gilles et all, 2006).
e. Prematuritas
Prematuritas dapat diartikan sebagai kelahiran kurang bulan, lahir dengan berat
badan tidak sesuai dengan usia kelahiran atau terjadi dua hal tesebut. Bayi
kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih
banyak dibandingkan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna (Gilles et all, 2006).
f. Berat Badan Lahir Rendah
Berat badan lahir rendah (BBLR) berarti berat bayi yang baru lahir kurang dari
2500 gram dan hal ini menimbulkan resiko berkembangnya cerebral palsy.
Sekitar 7,6% berat bayi lahir di USA digolongkan sebagai BBLR. Semakin
rendah berat badan lahir bayi, semakin tinggi resikonya menderita cerebral
palsy. BBLR dapat mengindikasikan bahwa proses perkembangan bayi berlum
16
berlangsung sempurna (J.Murphy, 2002). Sebagian besar bayi yang lahir
dengan berat badan rendah juga merupakan bayi yang lahir prematur. Prematur
itu sendiri merupakan salah satu faktor resiko dari cerebral palsy. Resiko
terjadinya cerebral palsy akan makin meningkat pada anak yang lahir prematur
dan juga lahir dengan berat badan yang rendah atau bahkan sangat rendah
(J.Murphy, 2002). Pada cerebral palsy spastik diplegi biasanya terjadi pada
kasus kelahiran prematur, berat badan lahir rendah dan anoksia berat pada saat
kelahiran.
3) Post natal
Pada masa pascanatal bayi beresiko mendapatkan paparan dari luar yang
dapat mempengaruhi perkembangan otak, yang mungkin dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada otak Kerusakan yang terjadi pada jaringan otak setelah
proses kelahiran yang mengganggu perkembangan dapat menyebabkan CP,
misalnya pada trauma kapitis, meningitis, ensepalitis dan luka parut pada otak
pasca bedah dan bayi dengan berat badan lahir rendah (J.Murphy, 2002).
5.1 Patofosiologi Cerebral Palsy Spastic Diplegia
Cerebral palsy didefinisikan sebagai suatu kelainan pada gerakan dan postur
yang bersifat menetap, disebabkan oleh kecacatan nonprogresif atau lesi yang terjadi
pada otak yang belum matur. Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh
abnormalitas struktural yang mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal
awal, perinatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–
risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Perdarahan subepydenmal terjadi pada
infant yang berusia kurang dari 28 minggu dan mereka yang mempunyai berat badan
bayi saat lahir rendah. Perdarahan intraventricular, terjadi sampai 46% pada infant
yang mempunyai berat badan bayi lahir kurang dari 1500g. Pada kebanyakan kasus,
blood ruptures yang mengalir ke ventrikel lateral dan menyebabkan jaringan ikat
menghalangi aliran cairan serebrospinal, sehingga menyebabkan hidrosepalus. Anoxic
atau hipoxic ensephalopaty disebabkan oleh lesi pada gray matter dan white matter.
Lesi pada gray matter adalah difusi dari korteks, basal ganglia, thalamus, brainstem,
dan medulla spinalis, dimana lesi pada white matter biasanya terjadi pada daerah
periventriculer. Malformasi pada sistem saraf pusat dapat disebabkan oleh perdarahan
dan lesi anoxic. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi malformasi sistem saraf
17
pusat tersebut termasuk mengonsumsi obat-obatan, radiasi, dan infeksi oleh virus
seperti herpes simplex dan rubella. Pada spastik diplegia terjadi atrofi periventrikular
lesi bilateral (Sandra J. Onlney, 2010).
5.2 Manifestasi Klinik Cerebral Palsy Spastic Diplegia
Cerebral Palsy merupakan suatu syndrome yang ditandai dengan abnormalitas
pada aktivitas motorik dan postur. Pada pasien dengan cerebral palsy, sebuah gerakan
yang disadari (voluntary movement) yang seharusnya bersifat kompleks, terkoordinasi,
dan bervariasi justru mengalami kesulitan. Sebuah gerakan sederhana yang mampu
dilakukan oleh anak normal dengan mudah, harus dilakukan dengan usaha yang besar
dan konsentrasi yang kuat dan bahkan sering mengalami kegagalan pada pasien CP.
Pada seseorang yang menderita cerebral palsy yang berat, sebuah gerakan yang
disadari dapat membangkitkan refleks primitif, co-contraction pada otot agonis dan
antagonis, dan gerakan massa (mass movement) (Crothers B, Paine S, 2002).
Menurut David scrutton, 2004, ciri fisik yang sering ditemui adalah sebagai berikut:
1. Tonus postural abnormal
Permasalahan umum yang timbul pada kondisi Cerebral Palsy spastik
diplegi adalah peningkatan tonus otot-otot postur karena adanya spastisitas
pada anggota gerak atas dan anggota gerak bawah yang mengakibat timbulnya
scissor postur yang tampak saat anak berdiri yang akan berpengaruh pada
kontrol gerak serta postur scissor dan jinjit saat anak berjalan. Abnormalitas
tonus postural akan mengakibatkan gangguan postur tubuh, kontrol gerak,
keseimbangan dan koordinasi gerak yang akan berpotensi terganggunya
aktifitas fungsional sehari-hari. Apabila kondisi tersebut tidak mendapatkan
intervensí yang sesuai akan berpotensi timbulnya deformitas berupa kontraktur
otot dan kekakuan sendi, yang akan semakin memperburuk postur tubuh dan
pola jalan.
2. Reaksi asosiasi
Merupakan aktivitas reflek tonus yang mudah dilihat pada anak dengan
cerebral palsy spastis.
3. Masalah keseimbangan, terjadi karena adanya kerusakan pada cerebellum
18
antara lain:
1) Berat ringannya kerusakan yang dialami pasien.
Menurut tingkatannya cerebral palsy spastik diplegi secara umum
diklasifikasikan dalam tiga tingkat yaitu mild, moderate dan severe.
a) Pasien dengan mild diplegia dapat berjalan tanpa menggunakan alat
bantu seperti kruk atau walker, dan dapat bersosialisasi dengan baik
dengan anak-anak normal seusianya pasien.
b) Pada moderate diplegi pasien mampu untuk berjalan saat
melakukan aktifitas sehari-hari tetapi terkadang masih
membutuhkan alat bantu seperti kruk ataupun walker. Namun
demikian untuk perjalanan jauh atau ektifitas berjalan dalam waktu
yang relatif lama dan jarak tempuh yang relatif jauh, pasien masih
memerkulan bantuan kursi roda, seperti pada saat berjalan-jalan ke
pusat belanja, taman hiburan atau kebun binatang.
c) Pada severe diplegi pasien sangat tergantung pada alat bantu untuk
berjalan meskipun anya untuk mencapai jarak yang dekat, misalnya
untuk berpindah dari satu ruangan ke ruangan yang lain dalam satu
rumah. Pasien sangat tergantung pada kursi roda untuk melakukan
aktifitas di tempat umum, meskipun demikian pada umumnya
pasien dengan severe diplegi dapat mengendarai kursi roda secara
mandiri (Sala et all, 2005).
2) Intervensi Dini
Pemberian terapi sejak dini dengan dosis yang tepat dan adekuat juga
berpengaruh terhadapa prognosis pasien. Semakin tepat dan adekuat terapi
yang diberikan semakin baik prognosisnya. (Sala et all,2005)
3) Pemberian terapi pada pasien cerebral palsy spastik diplegi.
4) Tingkat spastisitas
5) Kognisi
6) Lingkungan tempat pasien tinggal dan bersosialisasi.
Peran lingkungan terutama keluarga sangat mempengaruhi perkembangan
pasien, dukungan mental yang diberikan keluarga kepada pasien sangat
dibutuhkan pasien tidak hanya pada saat menjalani terapi sehingga pasien
bersemangat setiap kali menjalani sesi latihan tetapi juga untuk menumbuhkan
19
rasa percaya diri pasien untuk bersosialisasi dengan dunia luar (Sala et
all,2005)
7) Pemeriksaan 7 Refleks
Prognosis pada penderita CP berumur 1 tahun yang belum bisa berjalan, dapat
dilakukan dengan skor berikut (Sala et all, 2005) :
1) Asymetric tonic neck reflex
2) Symetric tonic neck reflex
3) Moro reflex
4) Neck Righting Reflex
5) Ekstensor Thrust
6) Foot placement reaction
7) Parachutte reaction
Prognosis ditentukan apabila :
- Nomor 1-5 ditemukan diberi nilai : 1
- Nomor 6-7 tidak ditemukan diberi nilai : 1
- Nilai total : 0 = prognosis baik
1= kemungkinan bisa jalan
2=prognosis jelek
5.4.1 Anamnesis
Anamnesis merupakan cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara
terapis dengan sumber data. Dilihat dari segi pelaksanaannya anamnesis dibedakan
20
atas dua yaitu:
Autoanamnesis, merupakan anamnesis yang langsung ditujukan kepada pasien yang
bersangkutan
Alloanamnesis, merupakan anamnesis yang dilakukan terhadap orang lain yaitu
keluarga, teman, ataupun orang terdekat dengan pasien yang mengetahui keadaan
pasien tersebut.
Anamnesis yang akan dilakukan berupa
6 Anamnesis Umum
Anamnesis ini berisi tentang : nama, tempat tanggal lahir(umur), alamat, hobi dan
diagnosis medik. Identitas pasien harus diisi selengkap mungkin bertujuan untuk
menghindari kesalahan dalam pemberian tindakan.
Anamnesis Khusus
Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan alasan pasien datang ke fisioterapi. Keluhan utama
pasien dijadikan sebagai acuan dalam menggali informasi lebih dalam, melakukan
pemeriksaan, dan pemberian tindakan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keluhan utama yaitu
perjalanan penyakit sejak timbul keluhan samapai dilakukan intervensi fisioterapi
sekarang. Riwayat penyakit sekarang merupakan rincian dari keluhan utama, yang
berisi riwayat perjalanan penyakit secara kronologis dengan jelas dan lengkap serta
keterangan tentang riwayat pengobatan yang pernah dilakukan sebelumnya dan hasil
yang diperoleh.
Hal ini bertujuan sebagai acuan dalam melakukan pemeriksaan serta pemberian
tindakan.
Riwayat Prenatal
Mencakup usia ibu saat hamil, kehamilan direncanakan atau tidak, rutin kontrol
ke dokter atau bidan dengan intensitas . selama berapa sering, hamil ibu pernah
mengalami trauma, perdarahan, dan menderita penyakit lainnya sampai dirawat atau
tidak, mengkonsumsi obat-obatan atau jamu-jamuan tidak.
Riwayat Natal
Mencakup usia kehamilan, lahir normal atau caesar, ditolong oleh siapa,
dimana, langsung menangis atau tidak, berat badan lahir, panjang badan lahir, saat
21
lahir apakah anak berwana biru atau kuning tidak.
Riwayat Post Natal
Mencakup penah kejang atau tidak, anak biru atau kuning tidak.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan tidak langsung ataupun tidak berhubungan
sama sekali dengan keluhan utama. Meliputi penyakit diare, gangguan jantung atau
penyakit lainnya, pernah dirawat di rumah sakit atau tidak, dimana, kapan atau saat
usia berapa tahun, dan berapa lama. Hal ini perlu diketahui karena ada beberapa
penyakit yang sekarang dialami ada hubungannya dengan penyakit yang pernah
dialami sebelumnya serta sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan cara dan
toleransi latihan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama seperti pasien yang diderita oleh anggota keluarga
lain.
Riwayat Psikososial
Riwayat psikososial pada kasus anak berisikan informasi anak ke berapa dari
berapa bersaudara, usia, pendidikan, dan pekerjaan orang tua, sehari-hari anak diasuh
oleh siapa.
Riwayat Imunisasi
Berisikan keterangan lengkap atau tidaknya imunisasi yang pernah diberikan
kepada anak tersebut.
Riwayat Tumbuh Kembang
Riwayat tumbuh kembang normal anak meliputi: fase-fase perkembangan dan
pertumbuhan anak dapat dilalui pada saat usia anak berapa tahun, senyum pada orang
untuk pertama kali, berbicara pertama kali, riawayat makan dan minum dan, bahasa
yang dapat anak ucapkan, baik sebelum sakit maupun setelah sakit jika ada
perubahan tumbuh kembang. Riwayat tumbuh kembang normal dapat dilihat
berdasarkan grafik Denver II (terlampir).
6.1.1 Pemeriksaan
22
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis atau conscious, yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi berupa orang, tempat, waktu,
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen atau Obtundasi, Letargi, yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang atau mudah dibangunkan tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
5. Stupor atau soporo koma, yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
6. Coma atau comatos, yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun atau tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya.
c. Tensi atau Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan
sistolik adalah tekanan darah pada saat terjadi kontraksi otot jantung. Sedangkan,
tekanan diastolik adalah tekanan darah yang digambarkan pada rentang di antara
grafik denyut jantung. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan
sistolik terhadap tekanan diastolik. Pengukuran tekanan darah pada anak-anak
dilakukan pada kasus-kasus tertentu.
Menurut Pamela (2004), jumlah tekanan darah yang normal berdasarkan usia
seseorang adalah:
23
Usia 8 – 10 tahun 110/60 mmHg
Usia 10 – 12 tahun 115/60 mmHg
Usia 12 – 14 tahun 118/60 mmHg
Table 1 tekanan darah normal (Pamela 2004)
d. Lingkar Kepala
Mengukur lingkar kepala berfungsi untuk mengetahui perkembangan
otaknya. Meskipun ukuran lingkar kepala anak tidak berpengaruh pada
tingkat kecerdasannya, namun ukuran lingkar kepala berkaitan dengan
volume otaknya. Lingkar kepala anak akan bertambah sesuai dengan usia dan
juga dipengaruhi oleh jenis kelamin.
1) Lingkar kepala pada anak laki-laki seperti pada gambar di bawah ini :
2) (berdasarkan Nelhaus G. Pediatr. 41: 106; 1986) dalam Lingkar kepala pada
Arif Mansjoer 2000. anak
perempuan
seperti di
bawah ini :
24
GAMBAR 13 : Grafik lingkaran kepala anak perempuan
(berdasarkan Nelhaus G. Pediatr. 41: 106; 1986) dalam Arif
Mansjoer 2000
e. Nadi
Mengetahui denyut nadi merupakan dasar untuk melakukan latihan
fisik yang benar dan terukur atau mengetahui seberapa keras jantung
bekerja. Pengukuran nadi dilakukan dengan durasi 1 menit.
25
g. Suhu Badan
Pemeriksaan suhu badan bisa menggunakan punggung tangan.
Afebris berarti dalam batas normal, subfebris berarti demam yang
tidak tinggi atau saat dipalpasi terasa hangat, febris berarti demam.
h. Status Gizi
Status gizi anak dapat dilihat dari pemeriksaan turgor kulit; dikatakan
cukup jika elastis dan kembali dengan cepat, konjungtiva mata;
dikatakan cukup bila berwarna tidak pucat, dan proporsi tubuh;
dikatakan cukup bila pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan
usia. Anak umur ≥ 2 tahun ditentukan dengan menggunakan tabel
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).
Status Gizi secara Klinis dan Antropometri (BB/PB atau BB/TB)
berdasarkan WHO Indonesia; (2008) :
26
1.) Gerakannya (aktif, simultan, kecenderungan posisi)
2.) Posisi kepala
3.) Posisi shoulder
4.) Posisi elbow
5.) Posisi wrist
6.) Posisi jari
7.) Posisi hip
8.) Posisi knee
9.) Posisi ankle
b. Berguling, Komponen yang dilihat:
1.) Via (hip atau shoulder)
2.) Rotasi trunk (ada,cukup atau tidak ada)
c. Telungkup, Komponen yang dilihat:
1.) Head lifting
2.) Head control
3.) Forearm support
4.) Hand support
5.) Posisi trunk
6.) Posisi hip
7.) Posisi knee
8.) Posisi ankle
d. Merayap, Komponen yang dilihat:
1.) Head control
2.) Forearm support
3.) Rotasi trunk
4.) Gerakannya simultan
5.) Trnsfer weight bearing
6.) Proses : posisi telungkup forearm support rotasi trunkforearm
support tangan kanan ke depan bersamaan tungkai kiri posisi fleksi ke
depan begitupun pada sisi satunya.
e. Duduk, Komponen yang dilihat:
1.) Head control
2.) Trunk control
27
3.) Hand support
4.) Weight bearing
5.) Sitting balance
6.) Protective reaction
f. Ke duduk, Komponen yang dilihat:
1.) Posisi awal (dari telungkup / terlentang)
2.) Fiksasi gerakan di salah satu Hip
3.) Forearm dan Handsupport ada
4.) Rotasi trunk ada
5.) Transfer weight bearing dari satu tangan ke tangan lain
6.) Proses: posisi awal di mulai dari terlentang/telungkup forearm support
transfer weight bearing pada sisi dengan hand support sisi kontra lateral
hand support sisi ipsilateral transfer weight bearing ke bokong.
g. Merangkak
Komponen yang dilihat:
1.) Head control
2.) Weight bearing : kedua tangan dan kedua Lutut
3.) Rotasi trunk
4.) Transfer wieght bearing
5.) Gerakannya simultan atau tidak
28
11.) Weight bearing di seluruh kaki
12.) Standing balance
i. Ke berdiri
Komponen yang dilihat:
1.) Proses posisi awal Jongkok, duduk di kursi kecil, berlutut, atau duduk
bersila di lantaiTransfer weight bearing dari bokong ke tangan dan lutut lalu
ke kaki dengan (nungging) atau tanpa tangan (jongkok)Pola ke berdiri ke
depan ke atasWeight bearingdi kedua kaki
2.) Head control
3.) Trunk control
2. Spastisitas
Spastisitas merupakan fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Merupakan gambaran lesi pada Upper Motor Neuron. Membentuk ekstrimitas pada posisi
ekstensi. Pengukuran spastisitas dilakukan apabila ada kecurigaan kecenderungan posisi.
Skala pengukuran dapat menggunakan ashworth.
Skala Klinis Spastisitas (ASHWORTH)
0 : Tidak terdapat peningkatan tonus postural.
1 : Sedikit peningkatan tonus, terdapat tahanan minimal di akhir Lingkup Gerak Sendi.
1+ : Sedikit peningkatan tonus, tahanan sedikit kurang dari ½ Lingkup Gerak Sendi.
2 : Peningkatan tonus lebih nyata hampir seluruh Lingkup Gerak Sendi, namun masih
bisa digerakkan
3 : Peningkatan tonus bermakna, sehingga gerakan pasif sulit dilakuakan.
4 : Sendi dalam posisi fleksi atau ekstensi atau dalam satu posisi.
29
3. Ankle Clonus
Jika kaki dibuat dorsi fleksi dengan tiba-tiba, dapat mengakibatkan dua atau tiga kali
gerakan sebelum selesai pada posisi istirahat. Kadang-kadang pada kondisi neurologis,
khususnya terkait dengan lesi upper motor neuron dan disertai dengan spastisitas.
Sehingga aktivitas ini dan kaki tidak mampu istirahat di mana tendon menjadi longgar
tetapi aktivitas menjadi berulang-ulang(www.wikipedia.org).
4. Tightness
a. Pemeriksaan tightness pada m. hamstring
Posisi os : terlentang
Tatalaksana : fleksikan salah satu hip dengan knee ekstensi. Positif jika knee pada
sisi kontralateral fleksi.
b. Pemeriksaan tightness pada m.adductor hip
Posisi os : terlentang
Tatalaksana : gerakan adduksi hip. Positif jika hip pada sisi kontralateral adduksi.
c. Pemeriksaan tightness pada m. illiopsoas
Posisi os : telungkup
Tatalaksana : Rapatkan kedua tungkai pasien lalu fleksikan kedua knee. Positif jika
hip fleksi.
d. Pemeriksaan tightness tendon achilles
Posisi os : terlentang
Tatalaksana : ankle di dorsofleksikan. Positif jika ankle sulit didorso fleksikan.
5. Pemeriksaan 7 Refleks
Merupakan salah satu komponen penentu prognosis berjalan. Pemeriksaan 7 refleks
dilakukan mulai usia 1 tahun hingga usia kurang dari 7 tahun. Pemeriksaan 7 refleks
meliputi (Pamela, 1993):
a. ATNR (Asymetrical Tonic Neck Refleks)
Aplikasi: Posisi pasien terlentang , kepala di midline. Kepala dirotasikan ke salah satu
sisi,positif jika elbow dan knee sisi yang sama flexi dan sisi yang berlawanan shoulder
abduksi dan elbow extensi
b. STNR (Symetrical Tonik Neck Refleks)
Aplikasi: Posisi pasien di pangkuan pemeriksa, kepala anak di flexi kan positif jika kedua
30
lengan flexi dan tungkai ekstensi. Sebaliknya,jika kepala anak di extensi kan positif jika
kedua lengan extensi dan tungkai flexi
c. Neck righting
Aplikasi : posisi pasien terlentang, kepala dirotasikan ke salah satu sisi, positif jika tubuh
berputar mengikuti kepala mulai dari shoulder, trunk, pelvic, hip, knee, ankle.
d. Extensor thrust
Aplikasi : Posisi pasien terlentang, knee dalam posisi flexi lalu sentuh teapak kaki dan
positif jika knee menjadi lurus atau ekstensi.
e. Moro
Aplikasi : Posisi pasien terlentang, kepala dan punggung anak disangga oleh tanga
terapis. Secara tiba-tiba rendahkan pegangan kepala anak tanpa di tekan, positif jika ada
reaksi terkejut dari anak.
f. Parasut
Aplikasi : Posisi pasien seperti posisi akan terjun. Handling terapis di thorakal, posisi
kepala lebih rendah dari kaki. Positif jika kedua lengan lurus, jari-jari di extensikan
seolah hendak mendarat (posisi hand support)
g. Foot placement
Aplikasi : anak diberdirikan dengan handling terapis di bagian aksila anak, lalu punggung
kaki anak digoreskan pada meja, positif jika kaki anak ke atas meja
Penilaian 7 refleks:
ATNR (-) : 0
STNR (-) : 0
Neck righting (-) : 0
Extensor thrust (-) : 0
Moro (-) : 0
Paracute (+) : 0
Foot placement (+) : 0
Keterangan:
Jika skor 0, maka anak bisa berjalan.
Jika skor 1, maka anak bisa berjalan tanpa atau dengan alat bantu.
Jika skor 2 atau lebih dari 2, maka prognosa berjalan jelek.
31
6. Pemeriksaan Fungsi Bermain
Anak kecil mempunyai organ memori yang belum banyak terisi. Melalui bermain anak
akan mengeksplorasi dan memanipulasi benda-benda di sekitarnya. Setelah mengenali
dan mempelajari, selanjutnya anak akan menyimpannya di dalam sel-sel memori atau
otak. Semakin banyak sel memorinya terisi oleh data-data tertentu yang diperolehnya
melalui permainan, maka akan semakin meningkatkan kemampuan kognitifnya. Fungsi
bermain anak berbeda-beda sesuai dengan usianya. Fungsi bermain bertujuan untuk
mengetahui apakah anak bermain sesuai dengan usianya.
Pemeriksaan denver II adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk screening
perkembangan anak dari lahir sampai usia 6 tahun, yang meliputi 4 aspek penilaian yaitu
personal sosial, motorik kasar, bahasa, dan motorik halus. (terlampir)
32
6.1.4 Program Pelaksanaan Fisioterapi
a. Pengumpulan data program Fisioterapi dari dokter Rehabilitasi Medik
Merupakan program yang disusun oleh dokter Rehabilitasi Medik yang
bersangkutan.
b. Tujuan
1. Tujuan Jangka Pendek
Mencapai level mototrik kasar sesuai ketidakmampuan motorik kasar dan
memperbaiki pola gerak sesuai dengan keluhan utama dan diagnosa fisioterapi
2. Tujuan Jangka Panjang
Tergantung pada skor refleks, kognisi atau fungsi bermain, lingkungan,
persepsi, intervensi dini, tingkat dan lokasi spastisitas serta belum mampu
duduk stabil usia dua tahun.
Pada kasus ini, tujuan jangka panjang ditentukan dengan :
1) Intervensi dini
Anak mulai menjalani fisioterapi pada usia 12 tahun. Dengan kata lain, hal ini bernilai
negatif pada prognosis berjalan anak.
2) Distribusi spastisitas
Pasien dalam kasus ini merupakan pasien dengan jenis spastisitas diplegia yaitu
spastisitas pada kedua tungkai lebih berat dibandingkan derajat spastisitas pada kedua
lengan. Hal ini bernilai positif terhadap prognosis berjalan pasien.
3) Tingkat spastisitas
Pasien dalam kasus ini memiliki skala spastisitas 1+ pada lower ekstremitas bilateral dan
skala spastisitas 1 pada upper ekstremitas. Dimana pada skala tersebut pasien masih dapat
melakukan gerakan full LGS sehingga hal ini memberikan nilai positif pada prognosis
berjalan pasien.
4) Lingkungan
Beberapa hal yang menjadi penilaian pada kasus ini adalah; luasnya area tempat tinggal
pasien, dukungan dari keluarga dan kerabat terdekat pasien dalam menjalani program di
rumah. Pada pasien ini, luasnya area tempat tinggal pasien memberikan pengaruh negatif
pada prognosis berjalan pasien. Karena area tempat tinggal yang kurang memadai
membuat pasien tidak dapat melakukan latihan berjalan dengan bantuan walker. Penilaian
yang kedua dilihat dari dukungan yang memadai dari keluarga dan kerabat terdekat
pasien. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi terapi pasien yang teratur.
33
5) Kognisi
Aspek ini dilihat berdasarkan kemampuan pasien dalam bermain dan sejauh mana respon
yang diberikan terhadap stimulasi-stimulasi yang membutuhkan daya pikir otak yang
lebih lanjut, kemudian dibandingkan antara respon yang diberikan pasien dengan respon
umum anak seusia pasien. Fungsi bermain ini berpengaruh terhadap motivasi pasien
dalam bergerak. Dalam kasus ini, pasien hanya dapat memberikan respon sesuai dengan
anak usia 3 tahun, sehingga motivasi pasien untuk bergerakpun kurang. Dapat
disimpulkan bahwa ha ini bernilai negatif terhadap prognosis berjalan pasien.
6) Usia 2 tahun belum dapat duduk stabil maka prognosa jalan buruk
Aspek ini memberikan pengaruh negatif pada prognosis berjalan pasien karena pasien
mampu duduk stabil pada usia 12 tahun.
7) Pemeriksaan 7 Refleks
Pemeriksaan 7 refleks pada pasien ini tidak dapat dilakukan karena pasien sudah berusia
di atas 7 tahun.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan panjang pada kasus pasien ini adalah mampu
berjalan dengan bantuan walker dan maintenance.
34
posisi yang nyaman, berikan fiksasi pada bagian proksimal sendi yang akan digerakan,
bagian yang akan digerakan diberikan support dengan baik, agar pasien merasa nyaman
saat terapi berlangsung. Kemudian gerakan ekstremitas yang akan di stretching secara
perlahan sampai batas sendi, lakukan stretching dimulai dengan kekuatan ringan, sedang
sampai berat. Kemudian turunkan perlahan-lahan tahanan yang diberikan, istirahat dan
ulangi kembali stretching. Setelah dilakukan stretching bila diperlukan berikan terapi
dingin pada jaringan lunak, untuk menghindari nyeri dan microtrauma pasca stretching.
Indikasi di lakukan stretching
1. LGS terbatas akibat kontraktur, perlengketan dan pembentukan jaringan parut, timbulnya
pemendekan otot , jaringan ikat dan kulit
2. LGS terbatas oleh karena deformitas struktur tulang
3. Aktifitas fugsionil yang salah sehingga menyebabkan kontraktur
4. Bila terdapat otot yang lemah sedang otot yang berlawanan tegang, maka otot yang
tegang harus di stretch dahulu sebelum menguatkan otot yang lemah tersebut.
Tujuan dilakukan stretching
1. Menambah LGSdan mobilitas jaringan sekitar sendi senormal mungkin
2. Goal yang spesifik
a. Mencegah kontraktur yang menetap
b. Flexibilitas
c. Mencegah/meminimalkan resiko cidera musculotendinous berkaitan aktifitas fisik yang
spesifik & sport
b. Metode Bobath atau Neuro Development Treatment (NDT)
Metode Neuro Development Treatment (NDT) atau Bobath yaitu suatu teknik yang
dikembangkan oleh Karel dan Bertha Bobath pada tahun 1997. Metode ini khususnya
ditujukan untuk menangani gangguan sistem saraf pusat pada bayi dan anak-anak.
Metode / Pendekatan NDT “Living Concept” :
a. Pendekatan problem-solving termasuk menejemen disfungsi gerrak dan treatmen masing-
masing individu dengan memperhatikan patofisiologi dan Central Nervus System (CNS).
b. Metode Bobath : proses interaktif dari individu yang terlibat, care giver, dan disiplin ilmu
lain sebagai tim.
35
Pengertian bahwa manusia itu dipengaruhi oleh system-sistem yang berbeda (otot, tulang,
paru, jantung, hormone, saraf, dll) yang bekerja dibawah komando otak.
Pentingnya mengerti bagaimana perkembangan anak dan bagaimana anak bergerak,
sehingga terapis dapat membuat rencana treatmen sesuai dengan gangguan geraknya.
Anak Cerebral Palsy mempunyai banyak kesulitan.
Treatmen dimulai dengan asesmen dan treatmen difokuskan pada kemandirian gerak.
Prinsip NDT :
36
movement sequences (balance dan protection reaction) dan develop functional skill
(play,ADL) yang mana sama - sama memoengaruhi TIPs. Key Point of Control (KPoC)
adalah bagian tubuh (biasanya terletak di proksimal) yang digunakan untuk mengurangi
hipertonus dan juga untuk mengadakan fasilitasi reaksi postural dan gerakan kearah
normal. Letak Key Points of Control (KPoC) yang utama adalah kepala, gelang bahu, dan
gelang panggul. Oleh karena itu distribusi kekuatan dan distribusi tonus otot dari anggota
– anggota gerak dapat dikontrol dan dipengaruhi dengan baik, dengan merubah posisi
anak sesuai pada key points. (Florentino; 2002)
Tone Inhibiting Patterns terdiri dari :
a.Inhibisi
Suatu usaha untuk mengurangi aktifitas reflek, reaksi asosiasi, involuntary movement,
dan untuk mengatasi tonus postural abnormal.
b.Stimulasi
Biasanya digunakan pada kasus fleksid, berupa kompresi, tapping, placing, holding.
c. Fasilitasi
Core Stability
Komponen dari posture control ialah core stability. Core stability secara definisi
adalah kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerakan batang badan melalui
panggul dan kaki untuk memungkinkan produksi optimal, transfer dan control
kekuatan dan gerakan ke segmen terminal dalam aktifitas rantai kinetic terintegrasi
(Kibler, 2006).
Yang dimaksud dengan core adalah daerah lumbo-pelvic-hip kompleks. Daerah core
adalah letak atau tempat dari pusat perkenaan gaya gravitasi dan tempat dari awal
semua gerakan. Core stability yang baik berfungsi untuk meningkatkan penampilan
gerak serta untuk mencegah terjadinya cedera, kekuatan daripada otot-otot inti
batang badan berasal dari regio batang badan dan sesungguhnya bertugas untuk
membantu mengontrol kondisi kekuatan, memperhalus gerakan, serta koordinasi
gerak yang efisien dan lebih baik pada anggota gerak. Selebihnya kondisi core
muscle yang baik juga membantu mengurangi resiko terjadinya cedera akibat posisi
postur yang buruk.
Otot utama dari Core Muscle termasuk adalah otot panggul, transversus abdominis,
multifidus, internal dan eksternal obliques, rektus abdominis, sacrospinalis
37
khususnya longissimus thoracis, dan diafragma. Minor core muscle termasuk
latisimus dorsi, gluteus maximus, dan trapezius.
Gambaran postural yang lebih normal untuk bergerak
Membangun reaksi righting dan equilibrium
Membangun pattern gerakan yang fundamental yang lebih kearah Key Point of Control
38
Secara singkat, prinsip metode bobat tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:
KONSEP BOBATH
TIPs
6.1.5 Evaluasi
40
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Michael A. 2010. Pediatric Rehabilitation 4th Edition. New york:Demos Medical
Berker, Nadire. 2005. The Help Guide to Cerebral Palsy. Turkey: Mart Printing
Blair E and Stanley F. 2003. When can cerebral palsy be prevented? The generation of causal
hypotheses by multivariate analysis of a case-control study. Paediatricand Perinatal
Epidemiology
Blair E and Stanley F.2003. Aetiological pathways to spastic cerebral palsy. Paediatric and
PerinatalEpidemiology
Crickmay, Marie C. 2000. Speech Therapy and The Bobath Approach to Cerebral Palsy.
Illinois : Charles C. Thomas Publisher.
CT Lau, TH Lao. 1999. Cerebral palsy and the birth process. HKMJ : Hongkong
Gilles MT, Blair E, Watson L, Badawi N, Alessandri L, Dawes V, Plant A and Stanley F .
2006. Trauma in pregnancy and cerebral palsy: is there a link?
http://cerebralpalsy.org/about-cerebral-palsy/cerebral-palsy-risk-factors/premature-labor-and-
delivery/Diakses pada tanggal 12 Desember pukul 12.00
http://www.brainandspinalcord.org/cerebral-palsy/types/spastic-quadriplegia.html diakses
pada tanggal 12 Desember 2013 Pukul 11.00 WIB
http://www.cerebralpalsysource.com/Treatment_and_Therapy/therapy_cp/index.html diakses
pada tanggal 12 Desember 2013 Pukul 11.00 WIB
41
J.Murphy. 2002. Journal of Neonatal risk factors for cerebral palsy in very preterm babies:
case-control study
Michael J. Vincer. 2002. Increasing Prevalence of Cerebral Palsy Among Very Preterm
Infants: A Population-Based Study
Murphy DJ, Hope PL and Johnson A. 2005. Neonatal risk factors for cerebral palsy in very
preterm babies: casecontrol study.
Murphy DJ, Sellars S, MacKenzie IZ, Yudkin P and Johnson A. 2005. Case-control study of
antenatal and intrapartum risk factors for cerebral palsy in very preterm singleton
babies..
Nababan, Roy. 2013. Traktus Piramidalis. Diakses pada tanggal 13 Desember 2013 pukul
20:06 WIB dari http://tumortulang1.blogspot.com/2013/10/tractus-piramidalis.html
Nelson KB and Ellenberg JH. 2005. Predictors of low and very low birth-weight and the
relation of these to cerebral palsy
Peter L. Rosenbaum L P, Walter D S et al. 2002. Prognosis for Gross Motor Function in
Cerebral Palsy : Creation of Motor Development Curves. JAMA
Pharoah POD and Cooke RWI.2005. A hypothesis for the aetiology of spastic cerebral palsy –
the vanishing twin.Developmental Medicine and Child Neurology
Pinto-Martin JA, Cnaan A and Zhao H. 2000. Short interpregnancy interval and the risk of
disabling cerebral palsy in a low birth weight population. Journal ofPediatrics
42
Powell TG, Pharoah POD, Cooke RWI and Rosenbloom L. 2005. Cerebral palsy in low
birthweight infants. I. Spastic hemiplegia: associations with intrapartum stress.
Developmental Medicine and Child Neurology
Stanley FJ, Blair E and Alberman E. 2000. Cerebral Palsies: Epidemiology and Causal
Pathways. Clinics in Developmental Medicine No 151. London: MacKeith Press
Stewart, K., et. al. 2000. Massage for Children with Cerebral Palsy. Nursing Times
Torfs CP, van den Berg BJ, Oechsil FW and Cummins S .2002.Prenatal and perinatal factors
in the etiology of cerebral palsy. Journal of Pediatrics
43
LAMPIRAN
Bpk Budi - Pengadaan konferensi kasus pada hari ini cukup bagus
FT G - Sebaiknya ada mengenai Fisiologi Exercise yang menjelaskan bagaimana dosis
yang tepat untuk melakukan stimulasi
- Target dekat yang perlu dicapai untuk pendidikan menolong diri sendiri
- Test berdiri harus di alas yang keras
- Dikaji lagi bagaimana intervensi pada CP spastik Diplegia
- Dalam Underlyng di berikan edukasi bentuk buku untuk pasien
Bpk Jamil - Presentasi baik, tampak siap
FT C - Penjelasan oleh penyaji materi lengkap
- Ukuran tulisan yang kurang jelas
- Sumber Gambar ada yang tidak ada
- Tinjauan Pustaka lengkap
- Pemeriksaan masih kurang jelas, cara bicara kurang jelas
- Pada pemeriksaan tightness perlu dilakukan pemeriksaan ROM
- Intervensi untuk fasilitasi keberdiri
- Dalam posisi berdiri, terapi harus menempatkan pasien dalam posisi yang safety
- Posisi yang terbaik untuk latihan mobilisasi dan ambulasi menggunakan parallel
bar dengan jenis latihan four point gait.
Bu Sofia - Apa yang mendasari kalian untuk memilih judul ini sebagai bahan untuk di
FT B presentasikan ?
- Pendekatan apa yang digunakan untuk memilih pasien tersebut??
- Bagaimana toileting dan ADL pasien?
Bu Anisa - Harap di perhatikan selalu pasien safety
FT D - Pada halaman 64 , Maintenance seharusnya terapi latihan dengan metode
standing balance, berdiri dengan walker
- Penggunaan AFO harusnya di awal treatment
Bu Retno - Cukup berkembang namun masih banyak yang harus dibenahi dan persiapan
FT A sudah matang.
- Proses pemeriksaan belum baik, dimana pemeriksaan tightness harus dilakukan
pada semua bagian. Pemeriksaan tightness harus dilakukan pada semua bagian,
dan seharusnya dilakukan selesai pemeriksaan pola gerak setelah didapatkan
kecurigaan.
44
- Posisi terlentang adalah kecenderungan hip eksorotasi. Dimana derajat spastisitas
akan mengalami peningkatan pada saat aktivitas. Apabila skala Asworth tinggi
sudah terlihat dari posisi saat pasien terlentang yaitu posisi hip menggunting.
- Penjabaran mengenai metode bobath harus dirinci, dan memiliki porsi yang
besar.
- Dalam memberikan saran pada ADL pasien, harus ada kerjasama dengan profesi
lain terkait hal ini.
- Pada Riwayat Tumbang tidak hanya gross motor saja, bicara juga termasuk.
- Komunikasi dengan pasien harus dijaga dengan baik.
- Proses pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis sehingga tidak ada yang
terlewat.
- Pemeriksaan Sitting Balance harus dilakukan dengan tepat dan mengutamakan
pasien safety.
- Kejelasan akan rotasi trunk
- Pada pemeriksaan gerak merangkak yang membedakan dengan anak normal
adalah flexi berlebih, maka curiga tightness dan spastisitas.
- Treatment diawali dengan merangkak dimana belum melakukan inhibisi,
sehingga justru mengakibatkan spastisitas meningkat.
- Pemakain AFO juga untuk inhibisi.
- Dalam melakukan Intervensi diberikan latihan yang paling mudah ( metoda
bobath)
- Harus dilakukan fasilitasi keberdiri, karena kesulitannya adalah transfer weight
bearing maka harus dilakukan latihan tersebut.
- Untuk moderator tidak menyebutkan hari ini beserta tanggal, dan santunnya
dalam memperkenalkan anggota kelompok dimulai dari teman-temannya dulu,
lalu moderator.
45