Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan yang lebih di


perguruan tinggi. Mahasiswa diartikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat
perguruan tinggi, baik mereka yang belajar diperguruan tinggi negeri maupun swasta atau
lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi (Depdiknas, 2008). Menurut Al-
Adawiyah & Syamsudin (2008) mahasiswa adalah orang yang mempunyai kedudukan yang
istimewa dalam masyarakat terutama perannya sebagai agent of change (agen perubahan).
Mahasiswa identik dengan kekritisan dalam berpikir dan setiap melakukan suatu tindakan.
Bukan hanya sekedar akademik yang diunggulkan oleh seorang mahasiswa, akan tetapi soft
skill termasuk dalam hal bersosialisasi dan berkomunikasi serta kontribusi nyata harus ada
dalam diri mahasiswa. Maka dalam peranannya, mahasiswa dihadapkan pada dua peran, yang
pertama mahasiswa bertanggungjawab sebagai pelajar yang sedang belajar dibangku
perkuliahan sedangkan disisi lain juga mahasiswa yang mempunyai minat dan bakat mereka
melalui berbagai aktivitas diluar perkuliahan.

Aktivitas mahasiswa yang sering begadang sampai larut malam baik itu untuk
mengerjakan tugas ataupun untuk berdiskusi dapat menurunkan fungsi fisiologi dari otot
maupun dari struktur tulang cervical. Di samping itu leher juga daerah yang paling banyak
mendapat ketegangan atau stress, baik waktu istrahat maupun saat bekerja serius, misalnya
sewaktu duduk di kantor sepanjang hari dengan posisi duduk atau kursinya kurang nyaman,
hal ini akan mempercepat terjadinya nyeri leher utamanya pada otot ekstensor yang berperan
besar dalam mempertahankan postur leher dan menopang kepala, akibatnya otot ekstensor
cervical sering mengalami gangguan berupa spasme atau tightness yang memicu terjadinya
nyeri pada leher (Ariotejo, 2010).

Tortikolis merupakan salah satu yang menjadi keluhan utama mahasiswa, tortikolis
ditandai dengan kontraksi otot leher yang menyebabkan bagian kepala menjadi miring atau
berputar ke satu sisi. Istilah tortikolis ini hanya deskriptif dan tidak boleh dianggap diagnosis.
Salah satu sebaiknya mencari penyakit yang mendasarinya. Tortikolis biasanya dianggap
berasal dari kerusakan tulang, ligamen atau jaringan lunak ke leher. Tapi, tortikolis dapat
terjadi sekunder untuk penyakit sistem saraf pusat menyebabkan dystonia dari otot-otot leher.
2

Tortikolis dapat terjadi sejak lahir, congenital muscular tortikolis (CMT), atau di dapat
saat dewasa, acquired tortiklolis. Congenital muscular tortikolis (CMT) merupakan kelainan
musculoskeletal congenital terbanyak ketiga setelah dislokasi panggul dan clubfoot. Kelainan
congenital ini tandai dengan pemendekan otot sternokleudomastoideus unilateral.

Tortikolis dikelompokkan dalam kelainan cervical yang bukan disebabkan karena


kelainan saraf/anatomi; data bulan Juli-Desember 1997 didapat 42 kasus atau 11,3% dari
jumlah tersebut lebih banyak dijumpai pada usia tua yaitu 40-49 tahun dan >50 tahun sebesar
23,8% dan 66,3%. Nyeri pada leher/tengkuk ini dapat disertai nyeri kepala,nyeri radikuler
atau setempat; yang dibicarakan di sinitermasuk nyeri leher setempat yang disebut torticolis
akut, "salah bantal" atau"salah tidur" dinamai demikian karena penyakit ini biasa dimulai
pagi hari saat bangun tidur, penderita merasa lehernya kaku dan nyeri yang berkurang
bilakepala dimiringkan/leher dalam posisi berputar. Kasus ini lebih banyak ditemui pada
wanita (12%) dibanding pria (9%), dengan atau tanpa disertai nyeri lengan.

Insidensi CMT kurang dari 2% dan diyakini disebabkan oleh trauma lokal pada jaringan
lunak leher sebelum atau selama persalinan, khususnya pada persalinan dengan presentasi
bokong dan persalinan sulit yang dibantu dengan forceps. Sedangkan pada orang dewasa,
setiap abnormalitas atau trauma pada tulang cervical bisa menyebabkan tortikolis termasuk
trauma minor (tegangan/regangan), fraktur, dislokasi dan subluksasi sering menyebabkan
spasme spasme dari otot leher. Ada banyak pengobatan yang harus di lakukan ketika
mendapati tortikolis sala satunya meliputi myofascial release (MFR) dan contract relax
stretching.

Myofascial release (MFR) adalah pengobatan terapi manual yang digunakan secara luas
melibatkan secara spesifik diarahkan pada beban rendah, lama durasi kekuatan mekanik
untuk memanipulasi kompleks myofascial, dimaksudkan untuk mengembalikan panjang yang
optimal, mengurangi nyeri, dan memperbaiki fungsi. MFR bila digunakan dalam
hubungannya dengan pengobatan konvensional dikatakan efektif untuk memberikan bantuan
langsung dari rasa sakit dan jaringan nyeri. Telah dihipotesiskan bahwa pembatasan fasial di
satu wilayah tubuh menyebabkan stres yang tidak semestinya di daerah lain di tubuh karena
kelangsungan fasial. Hal ini dapat mengakibatkan stres pada setiap struktur yang meliputinya,
terbagi, atau didukung oleh fasial. Praktisi myofascial mengklaim bahwa dengan
mengembalikan panjang dan kesehatan jaringan ikat dibatasi, tekanan dapat lega pada
struktur sensitif nyeri seperti saraf dan pembuluh darah.
3

Contract relax stretching melibatkan kontraksi isotonik melawan tahanan pada otot
yang mengalami ketegangan yang kemudian diikuti dengan pemberian fase relaksasi. Tujuan
dari pemberian contract relax stretching adalah untuk memanjangkan struktur jaringan lunak
seperti otot, fasia, tendon dan ligamen sehingga akan dapat menimbulkan peningkatan LGS
dan penurunan nyeri akibat pemendekan otot. Intervensi contract relax stretching terdiri dari
dua jenis metode, yaitu direct dan indirect. Dimana metode direct kontraksi otot difokuskan
pada grup otot yang mengalami ketegangan. Otot antagonis dikontraksikan secara isotonik
dengan melawan tahanan dari terapis yang dilanjutkan dengan fase relaksasi dan peningkatan
LGS. Metode direct mengaplikasikan mekanisme post-isometric relaxation.

Dalam kasus ini peneliti memberikan intervensi fisioterapi, yaitu dengan pemberian
myofascial release dan contract relax stretching direct, di maksudkan untuk meningkatkan
relaksasi otot sehingga mengurangi ketegangan/spasme atau kram otot. membantu
menghancurkan myloglosis, yaitu timbunan sisa-sisa pembakaran energi (asam laktat) yang
terdapat pada otot yang menyebabkan pengerasan pada otot dan mencegah terjadinya
kontraktur otot.
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang di atas, penulis dengan ini merumuskan masalah
yang di kaji:

Bagaimana efektivitas pemberian myofascial release dengan contract relax stretching direct
terhadap penambahan keterbatasan gerak akibat tortikolis?
1.3. Tujuan

a) Tujuan Umum:

Untuk mengetahui perbandingan pemberian myofascial release dengan contract relax


stretching direct terhadap penurunan gejala tortikolis.

b) Tujuan Khusus:
Mengidentifikasi pemberian myofascial release terhadap keterbatasan gerak akibat
tortikolis.
Mengidentifikasi pemberian contract relax stretching direcr terhadap terhadap
keterbatasan gerak akibat tortikolis.
Untuk mengetahui yang lebih efektif dalam pemberian myofascial release dengan
contract relax stretching direct terhadap keterbatasan gerak akibat tortikolis.
4

1.4. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan proposal penelitian ditemukan beberapa manfaat:

a) Untuk Peneliti:
Dapat melakukan langkah fisioterapi terhadap keterbatasan gerak akibat tortikolis.
Untuk mengaplikasikan ilmu fisioterapi yang diperoleh selama masa kuliah dan bisa
memilah treatment apa yang bisa diberikan terhadap keterbatasan gerak akibat tortikolis.
b) Untuk Penelitian:
Memberikan perbandingan dalam pemberian myofascial release dengan contract relax
stretching direct terhadap keterbatasan gerak tortikolis.
Dapat mengidentifikasi beberapa treatment yang dapat dilakukan terhadap keterbatasan
gerak akibat tortikolis.
Mengetahui landasan teori terhadap pemberian treatment pada keterbatasan gerak akibat
tortikolis.
c) Untuk Institusi Pendidikan:

Untuk memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan mahasiswa terhadap pemberian


myofascial release dengan contract relax stretching direct terhadap keterbatasan gerak akibat
tortikolis.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mahasiswa
a) Definisi

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar
dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang
terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2012: 5).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar
di Perguruan Tinggi (Kamus Bahasa Indonesia Online, kbbi.web.id) Menurut Siswoyo (2007:
121) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat
perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan
perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan
dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat
dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang
merupakan prinsip yang saling melengkapi. Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap
perkembangan yang usianya 18 sampai 25 tahun.

Tahap ini dapat digolongkan pada 19 masa remaja akhir sampai masa dewasa awal dan
dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah
pemantapan pendirian hidup (Yusuf, 2012: 27). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa mahasiswa ialah seorang peserta didik berusia 18 sampai 25 tahun yang terdaftar dan
menjalani pendidikannnya di perguruan tinggi baik dari akademik, politeknik, sekolah tinggi,
institut dan universitas. Sedangkan dalam penelitian ini, subyek yang digunakan ialah dua
mahasiswa yang berusia 23 tahun dan masih tercatat sebagai mahasiswa aktif.

b) Problematik Mahasiswa
Stress

Menurut Vincent Cornelli, sebagaimana yang dikutip oleh Grant Brecht stres adalah
gangguan pada fisik dan psikis yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan,
yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu didalam lingkungan
tersebut. Selaras dengan pendapat Vincent, pendapat Richard S. Lazarus mengungkapkan
bahwa stres adalah suatu kondisi atau perasaan yang dialami ketika seseorang menganggap
bahwa tuntutan-tuntutan melebihi sumber daya sosial dan personal yang mampu dikerahkan
6

seseorang. Sedangkan, Soeharto Heerjan mendefinisikan stres sebagai suatu kekuatan yang
mendesak atau mencekam yang menimbulkan suatu ketegangan dalam diri seseorang.

Stres dapat memicu hipotalamus untuk mengaktifkan saraf simpatis. Respon umum atau
general adaption syndrome dikendalikan oleh hipotalamus, hipotalamus menerima masukan
mengenai stresor fisik dan psikologis dari hampir semua daerah di otak dan dari banyak
reseptor diseluruh tubuh. Sebagai respon hipotalamus secara langsung mengaktifkan sistem
saraf simpatis, mengeluarkan CRH untuk merangsang sekresi ACTH dan kortisol, dan
memicu pengeluaran Vasopresin. Stimulasi simpatis menyebabkan sekresi epinephrine
dimana keduanya memiliki efek sekresi terhadap insulin dan glukagon oleh pancreas. Selain
itu, terjadi vasokonstriksi di ginjal oleh katekolamin secara tidak langsung memicu sekresi
rennin dengan menurunkan aliran darah (oksigen menurun) ke ginjal, renin kemudian
mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosteron. Dengan cara ini, selama stres
hipotalamus mengintegrasikan berbagai respon baik dari sistem saraf simpatis maupun sistem
endokrin.

Mengantuk

Seorang mahasiswa yang cepat mengantuk berisiko mengalami penurunan produktivitas


sehingga semua tugas dan tanggung jawab yang dikerjakan tidak berhasil secara maksimal.
Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian mengantuk antara lain asupan zat gizi, status gizi,
dan aktivitas sehari-hari. Pada tahun 2009 dilaporkan bahwa hanya 28% orang Amerika yang
tidur 8 jam per hari. Jumlah tersebut menurun dari tahun 2001 yang mencapai 38%. Kurang
tidur berhubungan dengan pola makan yang tidak sehat. Sebagian besar remaja mempunyai
durasi tidur yang kurang, hanya 15% yang dilaporkan mempunyai durasi tidur selama 8 jam
30 menit pada hari libur. Pada tahun 2009 dilaporkan bahwa proporsi orang yang mengantuk
adalah 22%. Dari jumlah tersebut, yang mempunyai pola makan sehat sekitar 6%. Penelitian
di Finlandia menemukan bahwa anak sekolah yang mengantuk karena kurang tidur lebih
sering mengonsumsi makanan tinggi energi seperti fast food dan jarang mengonsumsi buah
dan sayur. Konsumsi makanan tinggi energi, terutama yang berasal dari karbohidrat, dapat
meningkatkan konsentrasi triptofan di dalam otak yang merupakan prekursor dari serotonin,
hormon penyebab tidur, yang menyebabkan seseorang jatuh tertidur lebih cepat.
2.2. Tortikolis
a) Definisi
7

Tortikolis berasal dari bahasa Latin, torus berarti bengkok, dan collum berarti leher.
Pada tortikolis terjadi kekakuan leher yang menimbulkan spasme otot yang secara klinis
bermanifestasi sebagai leher yang bengkok atau terputar. Tortikolis bukan merupakan suatu
diagnosis melainkan kumpulan gejala dengan berbagai gangguan yang mendasarinya.

Torticollis adalah suatu keadaan keterbatasan gerakan leher dimana kepala miring kesisi
yang terkena dan dagu mengarah ke sisi berlawanan, yang disebabkan oleh pemendekan otot
sternokleidomastoideus (Tandiyo, 2012). Torticollis adalah suatu kondisi dimana otot
sternocleidomastoideus memendek pada satu sisi (Nelson, 1997). Sedangkan menurut Ji Eun
Juni (2007) Torticollis adalah keadaan dimana otot sternocleidomastoideus yang mengalami
pemendekan pada sisi yang terlibat dengan fibrosis, yang menyebabkan kemiringan
ipsilateral dan kontralateral rotasi wajah dan dagu. Jadi Torticollis adalah suatu keadaan
dimana terjadi keterbatasan gerak pada leher yang disebabkan oleh pemendekan otot
sternocleidomastoideus pada salah satu sisi dan mengakibatkan kepala dipertahankan pada
sisi yang mengalami gangguan yang menyebabkan kontralateral pada dagu. Pada kasus ini
otot yang mengalami masalah adalah otot sternocleidomastoideus yang fungsi utamnya yaitu
untuk memutar kepala ke arah berlawanan, fleksi kepala jika bergeraknya bersamaan dan
membantu mengangkat costa.

Gambar 2.1 Tortikolis (construct health physiotherapy)

b) Patologi

Keadaan iskemik pada otot SCM akan mengakibatkan otot tersebut mengalami fibrosis dan
tidak akan berkembang seperti otot lainnya. Bila terjadi pada salah satu sisi otot SCM saja,
maka akan menimbulkan manifestasi yang membuat kepala anak menjadi miring ke arah sisi
yang terkena tersebut (Nelson, 1997).
8

Gambar 2.2 Otot Sternocleidomastoideus (Construct Health Physiotherapy)

c) Etiologi

Torticollis sering terjadi pada anak yang dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: bawaan
(congenital) dan yang didapat setelah lahir (acquired). Pada torticollis congenital, terjadi
kontraktur/ kekakuan otot sterncleidomastoid pada satu sisi. Otot sternocleidomastoid adalah
otot pada leher yang berfungsi untuk menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Kekakuan
pada otot ini akan mengakibatkan terjadinya keterbatasan pergerakan leher bayi karena
pemendekan serabut-serabut otot tersebut. Sedangkan Torticollis yang di dapat setelah lahir
(acquired) biasanya terjadi beberapa bulan setelah kelahiran, ada faktor yang lebih jelas yang
mendasarinya dan tidak terjadi asymetri wajah (Nelson, 2002). Faktor utama masih belum
diketahui (idiopatik), sedangkan faktor-faktor resiko terjadinya Torticollis yaitu:

1) Iskemik otot SCM di intrauterine karena posisinya yang menyimpang (presentasi bokong)

2) Trauma saat kelahiran

3) Riwayat lahir sungsang

4) Kebiasaan posisi yang salah pada leher

Gambar 2.3 tortikolis congenital (Klinik Fisioterapi Satria, 2012)


2.3. Myofascial Release
a) Definisi
9

Myofascial release (MFR) adalah suatu pengobatan terapi manual banyak diaplikasikan
yang melibatkan panduan secara spesifik beban rendah, lama durasi kekuatan mekanik untuk
memanipulasi kompleks myofascial, dimaksudkan untuk mengembalikan panjang yang
optimal, mengurangi nyeri, dan memperbaiki fungsi (Barnes., 1990). MFR bila digunakan
dalam hubungannya dengan pengobatan konvensional dikatakan efektif untuk memberikan
bantuan langsung dari rasa sakit dan nyeri jaringan (Hou et al., 2002, McKenney et al., 2013).
Telah dihipotesiskan bahwa pembatasan fasia di satu wilayah tubuh menyebabkan stres yang
tidak semestinya di daerah lain di tubuh karena kelangsungan fasia. Hal ini dapat
mengakibatkan stres pada setiap struktur yang meliputinya, terpisah, atau didukung oleh fasia
(Schleip., 2003). praktisi myofascial mengklaim bahwa dengan mengembalikan panjang dan
kesehatan jaringan ikat dibatasi, tekanan dapat lega pada struktur sensitif nyeri seperti saraf
dan pembuluh darah.

Gambar 2.4 Myofascial Release (Muhammad Nazli, 2014)

b) Metode

MFR umumnya melibatkan lambat, tekanan terus menerus (120-300 s) diterapkan untuk
lapisan dibatasi fasia baik secara langsung (direct teknik MFR) atau tidak langsung (indirect
teknik MFR). Direct teknik MFR diduga bekerja langsung di atas membatasi fasia: praktisi
menggunakan buku jarinya atau siku atau alat-alat lain untuk perlahan-lahan tenggelam
dalam fasia, dan tekanan diterapkan adalah beberapa kilogram kekuatan untuk menghubungi
yang dibatasi fasia, menerapkan ketegangan, atau meregangkan fasia. Indirect MFR
melibatkan peregangan lembut dipandu sepanjang jalur yang paling perlawanan sampai
gerakan bebas dicapai (GOT, 2009). Tekanan diterapkan adalah beberapa gram kekuatan, dan
tangan cenderung mengikuti arah pembatasan fasia, tahan peregangan, dan memungkinkan
fasia untuk melonggarkan sendiri (Ajimsha et al., 2013) Alasan untuk teknik ini dapat
ditelusuri ke berbagai penelitian yang menyelidiki plastik, viskoelastik, dan sifat piezoelektrik
dari jaringan ikat (Schleip, 2003,2012;.. Pischinger, 1991;. Greenman, 2003).
10

Gambar 2.5 Metode Myofascial Release (Northern Health Chiropractic, 2016)

c) Tujuan

Tujuan dalam memberikan myofascial release adalah:

Mengurangi nyeri otot & menghilangkan stres sendi,


Meningkatkan perluasan persimpangan musculotendinous,
Menurunkan neuromuskular hipertonus,
Meningkatkan efisiensi neuromuscular,
Memperbaiki ketidakseimbangan otot,
Meningkatkan lingkup gerak sendi,
Menjaga panjang otot yang normal dan fungsionalnya (Manheim, 2001).
d) Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari Myofascial Release Technique yakni nyeri akut atau kronis yang tidak dapat
disembuhkan oleh pengobatan fisioterapi tradisional, nyeri kompleks / global / spesifik yang
tidak mengikuti arah dermatome, myotome atau nyeri pola rujukan visceral, tightness,
fibromyalgia, nyeri akibat asimetri postural, dan kelemahan otot (Manheim, 2001). Kontra
indikasi dari Myofascial Release Technique yakni pasien dengan angina yang tidak stabil,
dermatitis, pasien yang mengonsumsi alkohol, pasien dengan penyakit menular atau infeksi
(Ward, 2003).
2.4. Contract Relax Stretching Direct
a) Definisi

Salah satu teknik dengan mengontraksikan otot secara isometrik dengan kekuatan kontraksi
sebesar 20% dan secara bertahap dinaikan menjadi tidak kurang dari 50% yang bertujuan
untuk relaksasi pada otot yang mengalami hipertonus dan dikombinasi dengan peregangan
otot (Chaitow, 2001).

b) Metode
11

Contract relax stretching melibatkan kontraksi isotonik melawan tahanan pada otot yang
mengalami ketegangan yang kemudian diikuti dengan pemberian fase relaksasi. Tujuan dari
pemberian contract relax stretching adalah untuk memanjangkan struktur soft tissue seperti
otot, fasia, tendon dan ligamen sehingga akan dapat menimbulkan peningkatan LGS dan
penurunan nyeri akibat pemendekan otot. Intervensi contract relax stretching terdiri dari dua
jenis metode, yaitu direct dan indirect.

Dimana metode direct kontraksi otot difokuskan pada grup otot yang mengalami
ketegangan. Otot antagonis dikontraksikan secara isotonik dengan melawan tahanan dari
terapis yang dilanjutkan dengan fase relaksasi dan peningkatan LGS. Metode direct
mengaplikasikan mekanisme post-isometric relaxation. Penggunaan intervensi contract relax
stretching direct lebih sering digunakan dibandingkan dengan contract relax stretching
indirect. Hal tersebut terjadi karena intervensi contract relax stretching direct langsung
diaplikasikan pada otot yang mengalami pemendekan.

Gambar 2.6 Metode Contract relax Stretching

c) Tujuan

Tujuan dari pemberian contract relax stretching direct adalah untuk memanjangkan struktur
soft tissue seperti otot, fasia, tendon dan ligamen sehingga akan dapat menimbulkan
peningkatan LGS dan penurunan nyeri akibat pemendekan otot.

d) Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi untuk contract relax stretching direct untuk otot yang mengalami hipertonus dengan
ciri-ciri seperti spasme, nyeri tekan, kelemahan, trauma akibat kecelakaan, keram atau kejang
otot, kontraktur, keterbatasan lingkup gerak sendi dan postur serta untuk tendon dan sendi
(Chaitow, 2001). Kontraindikasi dari teknik ini yakni apabila diduga terdapat penyakit
patologi seperti osteoporosis, arthritis, dan sebagainya penggunaan teknik ini harus
disesuaikan dosisnya. Dosis yang dimaksud meliputi kekuatan kontraksi otot, repetisi, dan
penggunaan peregangan atau stretching (Chaitow, 2001).
12

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESI
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Input Proses Output
Variabel Independen Variabel Dependen
c
Mahasiswa Kelompok Intervensi
UMM
dengan Perlakuan
tortikolis Diberikan
dengan Myofascial
karakteristik: release
Penurunan
Nyeri, keterbatasan gerak
keram, dan Perlakuan pada tortikolis.
terbatas
pergerakan Diberikan
di daerah Contract
leher relax
Stretching
Direct

Keterangan: Variabel Confounding


Ditelit
Tidak diteliti Dyskinesia
Cervical Root Syndrome

3.2. Hipotesis Penelitian

Dari hasil kerangka konsep diatas dapat di berikan hipotesa:

H1: Ada pengaruh pemberian myofascial release terhadap penurunan keterbatasan gerak
akibat tortikolis pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
13

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian Quasi Experimental dimana penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan melibatkan kelompok kontrol
disamping kelompok experiment namun pemilihan kedua kelompok tersebut dengan teknik non-
random. Bentuk penelitian Quasi Experimental adalah penelitian Non-Equivalen Group karena group
krontol dan kelompok experiment di bandingkan tanpa melalui proses random, dua kelompok
tersebut diberikan pretest kemudian diberikan perlakuan dan terakhir diberibakan posttest

01 x 02 kelompok eksperimental
03 x 04 kelompok kontrol
Keterangan
01: Pengukuran luas gerak leher sebelum diberikan myofascial release.
02: Pengukuran luas gerak leher setelah diberikan myofascial release.
03: Pengukuran luas gerak leher sebelum diberikan Contract Relax Stretching.
04: pengukuran luas gerak leher setelah diberikan Contract Relax Stretching.

4.2. Kerangka Penelitian

Quasi Experimental dengan bentuk Non Equivalen Group

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Teknik sampling yaitu Quota Sampling

Mahasiswa dengan gangguan keterbatasan gerak pada leher

Variabel Independent Variabel Dependent

Tortikolis
14

Kelompok 1 Kelompok 2
Diukur menggunakan goneometer
mendapatkan mendapatkan
intervensi berupa intervensi
Myofascial Release berupa Contract
Relax Stretching

Ananlisa data yang digunakan ada jenis uji T

Efektivitas pemberian Myofascial Release dengan Contract Relax


Stretching terhadap penurunan keterbatasan gerak akibat
tortikolis pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Kesimpulan

H1: Terdapat efektivitas H1: Terdapat efektivitas pemberian


pemberian Myofascial Release Contract Relax Stretching terhadap
terhadap penurunan keterbatasan penurunan keterbatasan gerak
gerak akibat tortikolis akibat tortikolis

4.3. Populasi, Sampel dan Sampling

A. Populasi
Populasi yang diteliti adalah mahasisawa Univesitas Muhammadiyah Malang dengan
jumlah populasi sebesar 30 mahasiswa/i.
B. Sampel
Sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari populasi mahasiswa/i yang
sedang atau pernah mengalami tortikolis di Universitas Muhammadiyah Malang
sejumlah 30 orang, yang didapatkan dari hasil hitung pengambilan sampel
berdasarkan rumus Taro Yamane sebagai berikut :
15

Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan= 0,052


n = . 2 + 1
30
n=
30 . 0,52 + 1
30
n=
1,075

n = 28
Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan menggunakan teknik quota
sampling dimana peneliti memberikan batasan terhadap sampel yang diberikan intervensi.

4.4. Definisi Operasional


Variabel Definisi Instrumen parameter Skala data
Operasional
Myofascial Memberikan SOP - -
release dengan perlakuan
contract miofascial release
selama 10 menit
dan contract relax
stretching 15
detik-30 detik
Keterbatasan Keterbatasan goneometer - Rasio
gerak akibat gerak leher secara
tortikolis full ROM akibat
tortikolis
4.5. Tempat Penelitian

Tempat diadakan penelitian di ruang praktikum gymnasium Rumah Sakit Universitas


Muhammadiyah Malang

4.6. Waktu Penelitian

Waktu penelelitian yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 17 Agustus 2016 pukul 14.00
WIB.
16

4.7. Etika Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti mengedepankan anonymity (merahasiakan identitas responden)


untuk mengantisipasi masalah individu responden, tidak hanya itu juga responden di minta
kesediaannya untuk mengikuti prosedur penelitian (informed conset) sehingga peneliti bisa
merahasiakan data-data pribadi responden.

4.8. Instrumen Pengumpulan Data

1. Tes

Dalam melakukan penelitian, peneliti melakukan beberapa tes guna untuk mengevaluasi hasil
proses atau untuk mendapatkan kondisi awal sebelum proses treatment diberikan.

a) Mengukur ROM baik sebelum di berikan intervensi maupun setelah diberikan intervensi.
b) Untuk mengetahui tingkatan rasio yang didapat oleh responden.
2. Goneometer
1. Fleksi Cervical
Subjek dalam posisi duduk, dengan trunk tegak, leher
dalam posisi anatomis, posisi tangan menggantung, bahu rileks.
Letakkan goniometer pada axis external auditory meatus
Ukur ROM fleksi cervical

2. Ekstensi Cervical
Subjekdalamposisiduduk, dengan trunk tegak, leher dalam
posisi anatomis, posisi tangan menggantung, bahu rileks.
Letakkan goniometer pada axis external auditory meatus
Ukur ROM ekstensi cervical

3. Rotasi Cervical
Subjekdalamposisiduduk, dengan trunk tegak, leher
dalam posisi anatomis, posisi tangan menggantung, bahu rileks.
Letakkan goniometer pada axis pada bagian atas
tengah/pusat dari kepala (centre of the top of head )
Ukur ROM rotasi cervikal dengan orientasi moving arm
17

pada hidung

4. Lateral fleksi cervical


Subjek dalam posisi duduk, dengan trunk tegak, leher dalam
posisi anatomis, posisi tangan menggantung, bahu rileks.
Letakkan goniometer pada axis processus spinosus C7
Ukur ROM lateral fleksi cervikal dengan orientasi moving arm
pada protuberaatia occipital external (POE) dari os.occipital

4.9. Prosedur Penelitian

1. Persiapan alat
a) Menyiapkan meja/bed/kursi untuk pemeriksaan.
b) Menyiapkan goniometer.
c) Menyiapkan alat pencatat hasil pengukuran LGS.
2. Persiapan terapis
a) Membersihkan tangan sebelum melakukan pengukuran.
b) Melepas semua perhiasan/asesoris yang ada di tangan.
c) Memakai pakaian yang bersih dan rapih. 3. Persiapan pasien.
d) Mengatur posisi pasien yang nyaman, segmen tubuh yang diperiksa mudah dijangkau
pemeriksa.
e) Segmen tubuh yang akan diperiksa bebas dari pakaian, tetapi secara umum pasien masih
berpakaian sesuai dengan kesopanan
3. Pelaksanaan pemeriksaan
a) Mengucapkan salam, memperkenalkan diri dan meminta persetujuan pasien secara lisan.
b) Menjelaskan prosedur & kegunaan hasil pengukuran LGS kepada pasien.
c) Memposisikan pasien pada posisi tubuh yang benar (anatomis), kecuali gerak rotasi
(Bahu dan Lengan bawah).
d) Sendi yang diukur diupayakan terbebas dari pakaian yang menghambat gerakan.
e) Menjelaskan dan memperagakan gerakan yang hendak dilakukan pengukuran kepada
pasien.
f) Melakukan gerakan pasif 2 atau 3 kali pada sendi yang diukur, untuk mengantisipasi
gerakan kompensasi.
18

g) Memberikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal sendi yang diukur, bilamana
diperlukan.
h) Menentukan aksis gerakan sendi yang akan diukur.
i) Meletakkan goniometer :
Aksis goniometer pada aksis gerak sendi.
Tangkai statik goniometer sejajar terhadap aksis longitudinal segmen tubuh yang statik.
Tangkai dinamik goniometer sejajar terhadap aksis longitudinal
a. Membaca besaran LGS pada posisi awal pengukuran dan mendokumentasikannya
dengan notasi ISOM.
b. Menggerakkan sendi yang diukur secara pasif, sampai LGS maksimal yang ada.
Memposisikan goniometer pada LGS maksimal sebagai berikut:
Aksis goniometer pada aksis gerak sendi.
Tangkai statik goniometer sejajar terhadap aksis longitudinal segmen tubuh yang statik.
Tangkai dinamik goniometer sejajar terhadap aksis longitudinal segmen tubuh yang
bergerak.
Membaca besaran LGS pada posisi LGS maksimal dan mendokumentasikannya dengan
notasi International Standard Orthopedic Measurement (ISOM).
4. Pengelolaan data ROM Cervical

Menurut Potter dan Perry, (2005), ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai
berikut:

a) Flexi rentang 450


b) Ekstensi rentang 450
c) Rotasi cervical rentang 1800
d) Fleksi lateral cervical rentang 40-450

4.10. Analisa Data Penelitian

Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Sebelum
model regresi digunakan untuk menguji hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian
asumsi klasik. Tujuan pengujian ini untuk mengetahui keberartian hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen sehingga hasil analisis dapat diinterpretasikan dengan
lebih akurat, efisien, dan terbatas dari kelemahan-kelemahan yang terjadi karena masih
adanya gejala-gejala asumsi klasik. Dalam penelitian ini, teknik analisis data dilakukan
19

dengan bantuan program SPSS. Dalam penelitian ini uji asumsi klasik yang dilakukan adalah:
Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas berguna untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi
antar variable bebas. Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai tolerance atau variance inflation
factor (VIF). Jika ada tolerance lebih dari 10% atau VIF kurang dari 10% maka dikatakan
tidak ada multikolinearitas (Ghozali, 2006). Untuk nilai toleransi yang diberikan pada saat
diberikan intervensi sebesar 5 jika responden memberukan nilai toleransi dibawah 5 maka di
katakan tidak ada pengaruh pemberian myofascial release dengan contract relax stretching
direct terhadap keterbatasan gerak akibat tortikolis.
20

DAFTAR PUSTAKA

Med, unhas, 2016, Pengukuran ROM Ekstremitas Superior


(http://med.unhas.ac.id/fisioterapi/wp-content/uploads/2016/12/PENGUKURAN-ROM.pdf,
diakses tanggal 21 Mei 2017)

Rizar, Ernila, Tortikolis (https://id.scribd.com/doc/179646758/tortikolis-doc, diakses tanggal


21 Mei 2017)

P, Luqman, 2013, pemeriksaan ROM dan kekuatan otot


(http://yamaluck.blogspot.co.id/2013/09/pemeriksaan-rom-dan-kekuatan-otot.html, diakses
tanggal 21 Mei 2017)

Haritha, dkk. (2015). Efficacy of Post Isometric Relaxation versus Static Stretching In
Subjects with Chronic Non Specific Neck Pain. Indian: Int J Physiother. Vol 2, No. 6.

N.A., dkk. (2005). the Effects of Static Stretch Duration on the Flexibility of Hamstring
Muscles. Nigeria: African Journal of Biomedical Research, Vol. 8, No.79-82.

Suprawesta, dkk (2015). Pelatihan Hold Relax Dan Terapi Manipulasi Lebih Meningkatkan
Aktivitas Fungsional Daripada Pelatihan Contract Relax Dan Terapi Manipulasi Pada
Penderita Frozen Shoulder. Diambil dari: http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-
1626-838727429-jurnal_pdf.pdf. (14 Mei 2017).

Ajimsha, dkk (2014). Effectiveness of myofascial release: systematic review of randomized


controlled trials.Qatar: journal of Bodywork & Movement Therapies.
Wiguna, dkk. Intervensi Contract Relax Stretching Direct Lebih Baik Dalam Meningkatkan
Fleksibilitas Otot Hamstring Dibandingkan Dengan Intervensi Contract Relax Stretching
Indirect Pada Mahasiswa Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Bali: Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Vol.2, Nomor 1.

Anda mungkin juga menyukai