Anda di halaman 1dari 94

LAPORAN KASUS KLINIK

RS TK. II PELAMONIA

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA HYPOMOBILE CERVICAL WITH


RADICULAR PAIN ET CAUSA HERNIA NUCLEUS PULPOSUS GRADE II
WITH STENOSIS FORAMEN INTERVERTEBRALIS C6-C7

DISUSUN OLEH :

YUSNITA

PO. 71.424.1.16.1.079

Tingkat IV kelas B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN FISIOTERAPI
PROGRAM STUDI D.IV
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus praktek klinik atas nama Yusnita dengan NIM PO714241161079

di Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik RS TK. II Pelamonia dengan judul kasus

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Hypomobile Cervical With Radicular Pain Et

Causa Hernia Nucleus Pulposus Grade II With Stenosis Foramen Intervertebralis

C6-C7”. Telah disetujui oleh Pembimbing Lahan (Clinical Educator) sebagai salah satu

persyaratan dalam menyelesaikan praktek klinik di Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi

Medik RS TK. II Pelamonia.

Makassar, 20 Mei 2020

Clinical Educator Preceptor

Andi Adriana,.S.Ft,.Physio Sudaryanto, S.ST.Ft., M.Fis


NIP. 19760620 20007 12 2001 NIP. 19720421 199003 1 002
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat

rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun laporan

kasus ini yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Hypomobile

Cervical With Radicular Pain Et Causa Hernia Nucleus Pulposus Grade II

With Stenosis Foramen Intervertebralis C6-C7

Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas praktek klinik di

Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik RS TK. II Pelamonia. Selain itu juga

laporan kasus ini bertujuan memberikan informasi mengenani penatalaksaan

fisioterapi untuk kasus tersebut.

Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada :


1. Bapak / Ibu dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar
2. Bapak / Ibu pembimbing Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik RS TK. II
Pelamonia selaku Clinical Edukator
3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
Laporan Kasus ini.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak

kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Dan semoga

dengan selesainya laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman

yang membutuhkan.

Makassar, 20 Mei 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Banyak orang yang menderita akibat mengalami nyeri pada leher, bahu, dan

lengan. Nyeri tumpul maupun tajam yang bersifat menjalar dari leher hingga

ke lengan dan jari, dan kadang juga disertai dengan rasa tebal dan

kesemutan. Bahkan pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan motorik

ekstremitas bawah. gejala – gejala tersebut sering disebut dengan nyeri

radix cervical (Radicular Cervical Pain) yang paling sering disebabkan

oleh herniasi diskus intervertebralis cervikalis sehingga

menekan radix (akar saraf) pada cervikal dan menyebabkan nyeri pada

daerah yang dipersarafi radix tersebut. Keadaan ini disebut sebagai HNP cervikalis

atau Hernia Nukleus Pulposus Cervikal (Helmi, 2014).

HNP cervikalis dapat terjadi akibat proses degeneratif maupun trauma

yang mencederai vertebra cervikalis. Proses degeneratif dan trauma ini

menyebabkan perubahan pada struktur diskus intervertebralis yang terletak diantara

masing masing badan (corpus) vertebracervicalis, sehingga fungsinya sebagai

penahan tekanan (shock absorbes) terganggu danmenyebabkan substansi diskus

keluar (herniasi) hingga menekan radix saraf bahkan medulaspinalis dan

menyebabkan gejala-gejala tersebut. Ketika materi lunak dari nucleus pulposus

mengalami herniasi melalui robekan pada annulus fibrosus,maka disebut "soft disc

herniation" karena material dari diskus yang mengalami herniasi mempunyai

konsistensi yang lunak. Namun demikian, tanpa adanya robekan atau defek pada

annulus fibrosus, gejala dari kelainan vertebra cervical tetap dapat terjadi akibat
pembentukan bone spur (pertumbuhan yang berlebihan dari spikula tulang) pada

tepi vertebra sehingga menekan saraf atau medulla (Helmi, 2014).

HNP secara umum dapat terjadi pada semua columna vertebralis, dari cervikal

hinggalumbal. HNP cervikalis merupakan HNP tersering kedua setelah kasus HNP

lumbalis. Sekitar 51% dari orang dewasa pernah mengalami periode nyeri

pada leher dan lengan sepanjanghidupnya. 25% diantaranya terdapat

gambaran herniasi diskus pada hasil MRI ( Magnetic Resonance Imaging)

yang terjadi pada kelompok usia kurang dari 40 tahun, dan 60% diantaranya terjadi

pada kelompok usia lebih dari 60%. Di Indonesia angka kejadian

HNPcervikalis sekitar 5-10% dari seluruh populasi penderita HNP. Sekitar 60%

diantaranya terjadi pada kelompok usia lebih dari 30-40 tahun. Pada penderita HNP

Cervical umumnya lebih banyak terjadi pada pria secara radiologis miolepati

servical muncul pada pria diusia dekade ketiga sebanyak 13 % dan 100% pada usia

70 tahun keatas. Pada wanita mileopati muncul sebanyak 5 % didekade keempat

dan 96 % diatas usia 70 tahun Pasien biasa mengeluh nyeri pada leher akan

memburuk saat bergerak, tertawa, bersin dan batuk, pasien juga mengalami

kelemahan pada otot sehingga menurunkan kemampuan penderita dalam bergerak.

Pasien biasa mengalami kesemutan serta pada tingkat tertentu pasien merasakan

mati rasa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kasus Hernia Nucleus Pulposus Cervical

1. Definisi Hernia Nucleus Pulposus Cervical

Hernia Nucleus Pulposus cervikal adalah saraf terjepit juga sering

terjadi di daerah leher. Herniated nucleus pulposus (HNP) secara umum

digunakan untuk kelainan pada vertebra cervicalis, pergeseran (displacement)

nucleus pulposus tidak selalu merupakan Herniasi vertebra cervicalis dapat

dikategorikan menjadi tiga tipe : (1) herniasi tipe lunak (soft disc herniation)

yang meliputi herniasi nucleus pulposus melalui robekan pada annulus

fibrosus, (2) herniasi tipe keras (hard disc protrusion) yang meliputi

pembentukan bone spur, atau (3) kombinasi keduanya. Ketika materi lunak

dari nucleus pulposus mengalami herniasi melalui robekan pada annulus

fibrosus,maka disebut "soft disc herniation" karena material dari diskus yang

mengalami herniasi mempunyai konsistensi yang lunak. Namun demikian,

tanpa adanya robekan atau defek pada annulus fibrosus, gejala dari kelainan

vertebra cervical tetap dapat terjadi akibat pembentukan bone spur

(pertumbuhan yang berlebihan dari spikula tulang) pada tepi vertebra

sehingga menekan saraf atau medula spinalis. Hal ini disebut "hard disc

herniation" karena terbentuk dari bone spur (Helmi, 2014).


2. Anatomi biomekanik cervical

a. Anatomi segmen cervical

Secara keseluruhan, cervical terdiri atas 2 segmen anatomikal dan

fungsional yang terdiri dari :

1) Segmen superior (suboccipital), terdiri atas C1 atau yang biasa disebut

atlas dan C2 atau yang biasa disebut axis yang dianggap sebagai upper

cervical spine. Struktur tulang atlas dan axis berbeda dengan struktur

tulang vertebra cervical lainnya (Shen et al., 2015).

a) Atlas atau C1

Atlas adalah segmen pertama dari vertebra cervical, bersumber

di occiput empat dan scleretomes cervical pertama. Atlas memiliki

tiga letak ossifikasi yaitu anterior arch atau centrum dan dua neural

arch yang akan menyatu menjadi posterior arch. Cincin dari atlas

terdiri dari 1 sampai 5 anterior arch, 2 sampai 5 posterior arch, dan

sisanya 2 sampai 5 adalah massa lateral. Atlas memiliki 2 massa

lateral yaitu facies artikularis superior yang bersendi dengan

condylus occipital, dan facies artikularis inferior yang bersendi

dengan facies artikularis superior axis (Boriani et al., 2017).

Atlas berbentuk seperti cincin dengan diameter transversal

yang lebih besar daripada diameter anteroposterior. Atlas dianggap

sebagai cincin antara occiput dan axis. Atlas memiliki ciri khas yang

berbeda diantara segmen vertebra lainnya yaitu tidak memiliki

corpus dan processus spinosus (Moore et al., 2018) (Gambar 2.1).


Gambar 2.1
Atlas (C1) sisi superior
Sumber : Moore et al (2018)

Atlas memiliki 2 massa lateral yang berbentuk oval dan

berjalan secara oblique, anterior dan medial. Kedua massa tersebut

adalah facies artikularis superior yang bersendi dengan condilus

occipitalis dan facies artikularis inferior yang bersendi dengan

facies artikularis axis superior. Pada arkus anterior terdapat facet

artikular yang berbentuk oval kecil dan bersendi dengan processus

odontoid axis dan processus transversal atlas memiliki foramen

untuk lintasan arteri vertebralis yang dikenal dengan foramen

tranversum (Shen et al., 2015).

b) Axis atau C2

Axis adalah segmen kedua dari vertebra cervical dan dikenal

juga sebagai opistropeus secara harfiah artinya tikungan karena

dilihat dari susunannya itu membentuk sebuah sumbu untuk atlas

dan merupakan kepala dari rotasi. Axis memiliki lima letak pusat

osifikasi yaitu satu di badan, satu di setiap vertebral arch dan dua di

processus odontoid (Boriani et al., 2017).


Axis merupakan vertebra cervicalis paling kuat. C1 yang

membawa cranium berotasi pada C2, seperti orang menggelengkan

kepala untuk mengatakan “tidak”. Axis memiliki dua permukaan

yang rata dan besar yaitu facies articularis superior, yang

membentuk sendi dengan atlas dengan menghasilkan gerakan rotasi.

Ciri khas axis adalah dens menyerupai gigi tumpul (processus

odontoid), yang berproyeksi kearah superior pada corpus atlas. Baik

dens maupun medulla spinalis dengan selubungnya dikelilingi oleh

atlas. Dens terletak pada bagian anterior dari medulla spinalis dan

berperan sebagain poros rotasi. Dens ditahan dalam posisinya

melawan aspek posterior arcus anterior atlas oleh ligamentum

transversum atlantis. Ligament tersebut memanjang dari satu massa

lateral atlas ke yang lain, yang berjalan diantara dens dan medulla

spinalis, membentuk dinding posterior “socket” yang membungkus

dens. Oleh karena itu, ligament tersebut mencegah pergeseran dens

ke posterior dan pergeseran atlas ke anterior. Setiap pergeseran akan

mengganggu bagian foramen vertebralis C1 yang memberikan jalur

bagi medulla spinalis. C2 memiliki processus spinosus bifida yang

besar dan dirasakan disebelah dalam pada sulcus nuchae, sulcus

vertical superfisial pada bagian belakang cervical (Moore et al.,

2018)
Gambar 2.2
Axis (C2), sisi posterosuperior
Sumber : Moore et al (2018)

Facies artikularis superior dari C2 bersendi dengan facies

artikularis inferior dari atlas, sedangkan facies artikularis posterior

bersendi dengan ligament atlas tranversal. Foramen vertebra C2

lebih kecil daripada vertebra cervical lainnya dan berbentuk segitiga

(Moore et al., 2018).

2) Segmen Inferior

Segmen lower cervical memiliki ciri khas yaitu memiliki corpus

vertebra yang kecil, lebar dan berperan dalam weight-bearing. Permukaan

superior pada setiap sisi yang bentuknya seperti tempat duduk akan

membentuk processus uncinatus. Processus uncinatus bersambung dengan

facet diatasnya yang sama membentuk uncovertebral joint atau joints of

Luscka (Atkins et al., 2010).

Facies artikularis yang hampir horizontal pada processus articularis

juga memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi dan lateral fleksi. Tepi

superolateral yang meruncing adalah processu uncinatus. Processus

spinosus vertebra C3-C6 pendek dan biasanya berbentuk bifida pada orang
kulit putih tetapi biasanya tidak bifida pada orang keturunan Afrika. C7

adalah vertebra yang paling menonjol, ditandai dengan processus

spinosusnya yang panjang. Oleh karena processus spinosusnya sangat

menonjol pada C7 maka disebut dengan vertebra prominens. (Moore et al.,

2018).

Segmen middle dan lower cervical memiliki gambaran anatomi dan

fungsional yang sama, terdiri atas : 2 corpus vertebra, diskus

intervertebralis, facet joint beserta dengan struktur ligamen dan kapsular.

Setiap vertebra cervical terdiri atas 3 pilar yang membentuk 3 columna

vertebra yang paralel dan berfungsi menopang beban cervical spine. Pilar

anterior adalah corpus vertebralis, yang diikat oleh diskus intervertebralis

untuk membentuk columna anterior. Dua columna posterior terbentuk dari

pilar artikular, yaitu facet superior dan inferior yang berlawanan satu sama

lain dan diikat oleh kapsul sendi. Orientasi permukaan facet yang spesifik

memungkinkan facet joint dapat menopang berat segmen cervical di

atasnya dan mencegah dislokasi (Menchetti, 2016).

Komponen bangunan pada setiap segmen gerak vertebra terdiri atas

diskus intervertebralis, facet joint dan ligament

1) Discus intervertebralis

Diskus intervertebralis adalah struktur avaskular yang ada di antara

corpus vertebra yang berdekatan, kecuali pada atlantooccipital dan

persimpangan atlantoaksial. Setiap cakram memiliki lapisan luar yang

disebut annulus fibrosus dan bagian dalam yang disebut nukleus pulposus

(Gambar 2.4). Perbatasan diskus dengan corpus vertebra dibatasi oleh


lapisan ujung kartilago. Selain struktur ligamen dan sendi facet, annulus

fibrosus menambah stabilitas segmen gerak (Shen et al., 2015).

Segmen gerak didefinisikan sebagai dua corpus vertebra yang

berdekatan dan diantaranya terdapat diskus intervertebralis. Nukleus

pulposus berfungsi sebagai shock absorber. Annulus fibrosus tersusun oleh

sekitar 90% serabut konsentrik jaringan collagen yang nampak menyilang

satu sama lainnya secara oblique dan menjadi lebih oblique kearah sentral.

Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya dan

mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus

berperan sebagai coiled spring atau gulungan pegas terhadap beban

tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan

melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola (Shen et

al., 2015).

Bertambahnya usia menyebabkan lapisan annulus fibrosus menjadi

tipis. Pada umur di atas 50 tahun, nukleus pulposus menjadi sulit

diidentifikasi karena menjadi fibrocartilago yang menyerupai annulus

fibrosus secara struktural. Annulus fibrosus terdiri dari cincin dengan

orientasi serabut membentuk lamella. Serabut dari masing-masing lamella

berorientasi dalam bidang tegak lurus terhadap lamella yang berdekatan.

Serabut-serabut dari bagian posterior diskus lebih vertikal daripada miring,

sehingga sebagian menjelaskan frekuensi relatif dari robekan radial yang

terlihat dalam gerakan (Shen et al., 2015).

Diskus cervical akan bertambah tinggi dari 0,3 menjadi 0,7 inchi

sejak lahir hingga remaja. Pertumbuhan tinggi diskus lebih lambat


daripada tinggi corpus vertebra. Sepertiga dari panjang tulang belakang

berhubungan dengan tinggi diskus saat lahir. Diskus intervertebralis

membentuk seperlima dari total panjang tulang belakang setelah usia 7

tahun. Pada bidang coronal, permukaan superior diskus berbentuk cekung

dan permukaan inferiornya berbentuk cembung untuk menyesuaikan

bentuk corpus vertebra yang berdekatan (Shen et al., 2015).

Pada bagian anterior diskus lebih tebal daripada bagian posterior

untuk memfasilitasi kurva lordosis pada cervical. Gerakan di bidang

koronal dibatasi oleh processus uncinate. Namun, diskus memungkinkan

untuk melakukan gerakan anteroposterior. Hernia diskus kearah

posterolateral lebih sedikit kejadiannya, hal ini kemungkinan akibat lokasi

dari processus uncinate pada bagian posterolateral. Meskipun demikian,

robekan radial pada diskus sisi posterior mungkin lebih relevan secara

klinis, konsentris, transversus, dan robekan radial juga terjadi pada diskus

cervical (Shen et al., 2015).

2) Ligament

Ligament adalah jaringan konektif khusus yang sifat biomekaniknya

memungkinkan untuk beradaptasi dan menjalankan fungsi kompleks yang

dibutuhkan tubuh. Ligament terdiri dari pita-pita padat dari jaringan

kolagen yang mmenghubungkan sendi. Ligament berfungsi sebagai

stabilisasi pasif yang akan menginhibisi gerakan sendi yang abnormal

(Cereatti et al., 2011).

a) Ligament longitudinal anterior dan longitudinal posterior


Ligamen longitudinal anterior dan longitudinal posterior

membentuk serabut terluar annulus fibrosus. Ligamen longitudinal

anterior berjalan dari dasar tengkorak sebagai membran atlanto-

oksipital anterior dan berlanjut ke inferior yaitu sacrum pada sisi

anterior dari diskus vertebra. Ligamen longitudinal posterior

berdekatan dengan membran tectorial dan meluas ke sakrum di dalam

canal vertebralis di sepanjang sisi posterior diskus dan corpus vertebra.

Ligamen longitudinal posterior memiliki dua lapisan, di mana serabut

lapisan yang lebih dalam bersambung dengan annulus fibrosus dan

foramina intervertebralis, dan lapisan superfisial membungkus

duramater, akar saraf, dan arteri vertebra sebagai lapisan jaringan ikat

(Shen et al., 2015).

Gambar 2.3
Ligament anterior dan posterior longitudinal vertebra

Sumber : Shen et al (2015)


b) Ligament flavum

Ligament flavum menghubungkan lamina yang berdekatan dari

aksis ke sakrum (Gambar 2.6). Hal ini berjalan miring dari sisi anterior

lamina cephalad ke lapisan superior lamina caudal. Ligament flavum

berlanjut ke lateral menuju foramina intervertebralis, yang terdiri dari

serabut elastis. Seiring bertambahnya usia, sifat elastis ligamen flavum

mengalami penuruna. Selama ekstensi trunk, berkurangnya elastisitas

ligamen dapat menyebabkan ligament bagian anterior tertekuk ke canal

vertebralis, sehingga dapat menimbulkan kompresi pada medula

spinalis. Vena keluar melalui celah garis tengah di ligament flavum

(Shen et al., 2015).

Gambar 2.4

Ligament flavum

Sumber : Shen et al (2015)

c) Ligament interspinosus

Ligament interspinosus menghubungkan processus spinosus yang

berdekatan (Gambar 2.5). Ligament ini berjalan di antara ligament

flavum anterior dan ligament supraspinosus posterior. Di daerah


cervical, ligamen interspinosus agak tipis dan tidak berkembang dengan

baik. Ligamen ini menempel miring dari sisi posterosuperior processus

spinosus ke caudal (Shen et al., 2015)

Gambar 2.5
Ligament interspinosus
Sumber : Shen et al (2015)

d) Ligament supraspinosus

Ligament supraspinosus menghubungkan ujung posterior dari

processus spinosus (Gambar 2.6). Karena tidak ada ligament

supraspinosus pada level cervical ini, ligament nuchae menjadi

perpanjangan ligament supraspinosus. Ligament nuchae memanjang

dari tonjolan occipital eksternal ke C7 dan berfungsi sebagai titik

perlekatan untuk otot yang berdekatan (Shen et al., 2015).

Gambar 2.6
Ligament supraspinosus dan ligament nuchae
Sumber : Shen et al (2015)

e) Ligament intertransversal

Ligament ini melekat pada tuberculum accesori dari processus

transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligament ini

berperan sebagai stabilisator pasif pada gerakan lateral fleksi (Shen et

al., 2015).

3) Facet joint dan uncovertebralis joint

Facet joint adalah synovial joint sejati yang mengandung artikular

kartilago dan meniscus yang dibungkus oleh ligament capsular dan

dilapisi oleh sinovium. Facet joint memfasilitasi gerak fleksi dan ekstensi

pada regio cervical. Garis facet joint tampak lebih horizontal dengan tepi

bulat ketika dilihat dari aspek posterior. Jarak interfacet bervariasi mulai

dari 9 mm sampai 16 mm (Shen et al., 2015).

Uncovertebral joint atau joint of Luschka dibentuk antara processus

uncinatus dan facet pada corpus vertebra diatasnya. Uncovertebral joint

hanya terdapat pada cervical spine yang berkontribusi untuk mobilitas

yang menyediakan komponen tranlasi gliding saat fleksi dan ekstensi

dengan stabilitas spine yang baik dengan membatasi side fleksi.

Uncovertebral joint memberikan proteksi tulang ke akar saraf dari

pemindahan discus posterolateral (Atkins et al., 2010).

Setiap facet joint dibungkus oleh kapsul fibrous, dibatasi oleh

membran sinovial, serta terdapat cartilago dan meniskus. Cervical facet

joint juga memiliki jaringan intraartikular yang meliputi beragam bentuk


dan ukuran, yang terdiri dari jaringan fibrous dan jaringan adipose.

Penelitian Inami et al terhadap 20 cadaver menjelaskan bahwa komposisi

lipatan sinovial atau meniscoid merupakan struktur yang berkembang baik

didalam jaringan intraartikular. Para peneliti tersebut menemukan 3 tipe

lipatan sinovial dengan jumlah jaringan fibrous dan adipose yang

bervariasi, sehingga dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan level

stress mekanikal yang terjadi pada struktur ini, dan lipatan sinovial ini

berperan penting sebagai sumber nyeri facet cervical joint. Penelitian

Kallakuri et al terhadap kapsul sendi facet cervical pada cadaver

menemukan bahwa kapsul facet cervical joint terlibat langsung sebagai

generator nyeri pada cervical spine (Atkins et al., 2010).

Bogduk menjelaskan tentang innervasi facet cervical joint, dimana

facet joint C3 – C4 sampai C8 – Th1 diinnervasi oleh cabang medial ramus

dorsalis cervical pada atas dan bawah sendi sebagaimana cabang ini

berjalan mengelilingi kedua pilar artikular. Facet joint C2 – C3 diinnervasi

oleh 2 cabang ramus dorsalis C3 yang berbeda yaitu cabang medial yang

disebut dengan saraf occipital ketiga dan cabang artikular yang terpisah

muncul dari cabang yang berdampingan (Gambar 2.9). Sendi sinovial

upper cervical (atlanto-occipital dan atlanto-axial joint) tidak diinnervasi

oleh ramus dorsalis cervical tetapi oleh cabang ramus ventral C1 dan C2

(Atkins et al., 2010).


Gambar 2.7
Struktur Facet Joint Cervical
Sumber : Atkins et al., 2010

b. Anatomi muscle dan fascia

Otot-otot posterior cervical dibagi menjadi tiga kelompok: superfisial,

menengah, dan dalam.

1) Kelompok superfisial diantarnya otot trapezius, yang dipersarafi oleh saraf

kranial kesebelas atau saraf aksesori tulang belakang (Gambar 2.8). Otot

trapezius berasal dari ligament nuchae dan tonjolan oksipital eksternal,

berlanjut ke processus spinosus T12, dan termasuk tulang scapula,

akromion, dan sepertiga lateral clavicula. Otot trapezius berfungsi untuk

mengangkat, menambah, dan menekan skapula (Shen et al., 2015).

Gambar 2.8
Otot trapezius
Sumber : Shen et al (2015)
2) Otot-otot di lapisan tengah adalah splenius capitis dan splenius cervicis

(Gambar 2.9). Otot-otot ini berasal dari processus spinosus vertebra

servicothoracal dan masuk ke processus transversus vertebra servical atas

dan pangkal tulang oksipital. Ketika berkontraksi secara bilateral, maka

gerakannya ekstensi leher, dan ketika berkontraksi secara unilateral, setiap

otot maka gerakannya lateral fleksi ipsilateral (Shen et al., 2015).

Gambar 2.9
Gambar 2.9
Grup otot spinotransversales (splenius capitis and splenius cervicis)
Sumber : Shen et al (2015)

3) Otot-otot dalam posterior dipersarafi oleh rami primer posterior, dan

suplai darah yang berasal dari pembuluh servical bagian dalam. Lapisan

dalam terdiri dari permukaan yang dangkal dan otot erector spine bagian

dalam. Dari lateral ke garis tengah, otot erector spine bagian dalam

meliputi iliocostalis cervicis, longissimus capitis, longissimus cervicis, dan

spinalis cervicis (Gambar 2.10). Semispinalis cervicis, multifidus dan

rotator cuff adalah otot-otot transversospinalis dari tulang belakang

posterior yang mewakili otot-otot erector spine bagian dalam (Gambar

2.11). Otot-otot ini berasal dari processu transversus dan disisipkan pada
procesuss spinosus dengan cara miring, melintasi sejumlah segmen tulang

belakang tertentu (Shen et al., 2015).

Gambar 2.10
Grup otot erector spine
Sumber : Shen et al ( 2015)

Gambar 2.11
Grup otot transversospinales and segmental muscles
Sumber : Shen et al (2015)

Di regio upper cervical, otot-otot suboccipital melekat dari oksiput ke

atlas dan akxis (Gambar 2.11). Rami primer posterior mempersarafi otot-otot

ini. Otot rektus capitis posterior mayor berasal dari processus spinosus aksis

dan memasukkan ke dalam garis nuchal inferior oksiput. Otot rektus capitis

posterior minor berasal dari atlas tuberkulum posterior dan masuk ke dalam

oksiput. Otot inferior capitis obliquus berasal dari processus spinosus aksis
dan masuk ke processus transversus atlas. Otot superior obliquus capitis

berasal dari processu transversus atlas dan masuk di antara garis nuchal

superior dan inferior ke oksiput (Shen et al., 2015)

Segitiga suboksipital dibentuk oleh batas-batas rektus capitis mayor

posterior dan otot obliquus capitis superior dan inferior. Segitiga

suboksipital terdiri dari arteri vertebralis, saraf suboksipital (rami dorsal C1),

dan pleksus vena suboksipital. Otot-otot ini terlibat dalam gerakan ekstensi

leher dan kepala yang lebih halus (Shen et al., 2015).

Gambar 2.12
Grup otot suboccipital dan segitiga suboccipital
Sumber : Shen et al (2015)

Otot servical anterolateral terdiri dari platysma, sternocleidomastoid

(SCM), otot hyoid, otot pengikat laring (omohyoid, thyrohyoid, sternohyoid,

dan sternothyroid), scaleni, longus colli, dan longus capitis. Platysma, otot

yang paling dangkal, memanjang dari pectoralis mayor dan fasia deltoid dan

berlanjut dari sisi medial dan superior di atas klavikula melekat pada

mandibula, otot-otot bibir, dan kulit bagian bawah wajah. Saat berkontraksi,
otot platysma menyebabkan depresi bibir dan rahang bawah, serta kerutan

pada kulit di atasnya. Pada sudut mandibula dan dalam ke platysma, vena

jugularis eksternal dapat terlihat turun (Shen et al., 2015).

Otot Sternocledomastoideus terletak jauh ke dalam platysma dan

memiliki dua kepala: sternum dan klavikula medial. Sternocledomastoideus

masuk ke garis nuchal mastoid superior (Gambar 2.13). Jika hanya satu

sternocledomastoideus yang berkontraksi maka menyebabkan kepala miring

ke sisi ipsilateral dan dagu berputar ke sisi kontralateral. Jika kedua otot

sternocledomastoideus berkontraksi, akan menyebabkan fleksi leher.

Sternocledomastoideus dipersarafi oleh saraf aksesori tulang belakang dan

saraf tulang belakang C2. Kontraktur sternocledomastoideus terlibat dalam

patogenesis tortikolis (Shen et al., 2015).

Gambar 2.13
Otot segitiga superior
Sumber : Shen et al (2015)

Kelompok otot yang melekat pada hyoid termasuk digastrik, stylohyoid,

mylohyoid, geniohyoid, dan omohyoid. Sternohyoid dan sternothyroid terdiri

dari otot-otot laring. Otot-otot ini penting sebagai petanda selama medekati
sisi anterior ke tulang belakang leher karena tidak secara langsung

mengontrol gerakan servical (Shen et al., 2015).

Otot longus colli dan longus capitis terletak di bagian anterior tulang

servical dan merupakan bagian dari otot prevertebral. Longus colli berasal

dari tuberkel anterior dari processus transversus C3 ke C6 dan membentang

dari C1 ke T3 dengan cara miring untuk dimasukkan ke sisi anterior atlas.

Berasal dari tuberkulum anterior dari processus transversus C3 ke C6, otot

longus capitis menempel pada permukaan inferior bagian basilar dari tulang

oksipital. Jauh ke dalam longus capitis, otot rectus capitis anterior berasal

dari sisi lateral atlas dan masuk ke dalam pangkal tulang oksipital. Rektus

capitis lateralis berasal dari processus transversus atlas dan masuk ke

permukaan inferior dari processus jugularis oksiput. Berasal dari tuberculum

anterior processus transversus C3 ke C6, otot anterior skalenus masuk ke

tulang rusuk pertama. Otot skalenus medius berasal dari tuberculum posterior

processus transversus C2 ke C7 dan masuknya pada tulang rusuk pertama.

Scalenus posterior berasal dari tuberkel posterior processus transversus C4

ke C6 dan masuk ke permukaan superior lateral tulang rusuk kedua (Shen et

al., 2015).

Leher anterior terdiri dari fascia yang melekat pada otot-otot dan

viscera dalam kompartemen terpisah yang dapat digunakan untuk pedoman

dalam pembedahan. Fascia superfisial terletak di antara kulit dan fascia

profunda, mengandung lemak dan jaringan areolar. Fascia ini membungkus

otot platysma, vena jugularis eksternal, dan saraf sensorik kulit. Jauh dari

fascia superfisial, terdapat tiga lapisan fascia profunda: fasia lapisan luar,
fascia cervical tengah, dan fascia prevertebralis. Lapisan terluar fascia

profunda memanjang ke otot trapezius, berlanjut ke anterior di atas segitiga

posterior, dan membelah untuk mengelilingi otot sternocledomastoideus.

Lapisan tengah fascia servical yang dalam membungkus otot omohyoid, tali

otot dan berlanjut ke lateral skapula. Kelenjar tyroid, laring, trachea, pharing,

dan kerongkongan tertutup oleh fascia visceral pada aspek yang lebih dalam

dari lapisan tengah. Alar fascia sering digambarkan sebagai bagian dari fascia

prevertebralis dan meluas ke esophagus posterior dan menutupi selubung

karotis di lateral. Isi selubung karotis adalah arteri karotis, vena jugularis

interna, dan saraf vagus. Otot scalenus, longus colli, dan ligamen longitudinal

anterior berhubungan dengan lapisan terdalam fascia dalam yang dikenal

sebagai fascia prevertebralis (Shen et al., 2015).

c. Biomekanik cervical

1) Upper Cervical

a) Atlanto-occipital (C0 –C1)

Atlanto occipital joint atau C0 – C1, gerakan terjadi pada bidang

sagital. Gerakan yang terjadi pada atlanto occipital joint adalah fleksi

dan ekstensi. Selama gerakan fleksi, condylus occipital akan rool ke

depan dan translasi ke belakang terhadap massa lateral sedangkan

atlas translasi ke belakang terhadap occiput. Selama gerakan ekstensi,

massa lateral akan rool ke depan dan condyluss occipital translasi ke

belakang (Mc Kenzie and May, 2012).

Atlanto-occipital joint memberikan gerakan fleksi-ekstensi dan

meminimalkan derajat lateral fleksi dan rotasi, sedangkan atlanto-axial


joint bekerja dalam dua gerakan sekaligus, yaitu rotasi ditambah

dengan sedikit lateral (Tabel 2.1). Gerakan fleksi-ekstensi C1

(misalnya, gerakan mengangguk) terjadi karena permukaan artikularis

superior C1 berbentuk konkaf atau cekung sedangkan condylus

occipitalis berbentuk konveks atau cembung (Menchetti, 2016).

Tabel 2.1
Batas pergerakan craniocervical

Joint Motion ROM


C0 – C1 Fleksi/Ekstensi 25
Lateral fleksi (unilateral) 5
Rotasi axial (unilateral) 5
C1 – C2 Fleksi/Ekstensi 25
Lateral fleksi (unilateral) 5
Rotasi axial (unilateral) 40
Sumber : Menchetti (2016)

(1) Gerakan fleksi dihasilkan melalui gerakan roll condylus ke depan

dan sliding ke belakang melewati dinding anterior cekungan

occipital. Sebaliknya, kombinasi gerakan terjadi pada ekstensi.

Gaya axial dibawa oleh massa kepala dan otot-otot dapat mencegah

berpindahnya condylus ke atas, mempertahankan condylus tetap

berada di dalam dasar rongga. Total ROM normal fleksi-ekstensi

pada atlanto-occipital joint memiliki nilai rata-rata antara 14 dan

35°, berkisar dari 0 hingga 25° atau nilai rata-rata 14° dengan

standar deviasi 15°. Selama gerakan ini, telah diobservasi terjadi

translasi kearah anterior atau posterior. Selain itu, tahanan lain

terhadap gerakan fleksi berasal dari benturan pada dasar tengkorak,

ketegangan otot-otot posterior, kapsul sendi dan kontak jaringan

submandibular terhadap tenggorokan (Menchetti, 2016).


(2) Gerakan ekstensi dibatasi oleh kompresi otot-otot suboccipital

terhadap occiput. Gerakan rotasi dan lateral fleksi dari atlanto-

occipital joint sangat terbatas, sekitar 5°, karena adanya hambatan

dari cekungan atlantal yang lebih dalam pada saat condylus

occipital dalam posisi rest. Dalam pandangan biomekanik, selama

gerakan rotasi aksial ke satu sisi, condilus occipital kontralateral

kontak dengan dinding anterior dari cekungan atlantal, sementara

condylus occipital ipsilateral terbentur pada dinding posterior

atlantal. Oleh karena itu, sebagian besar stabilitas sendi berasal

dari kedalaman cekungan C1; dinding kedua sisinya dapat

mencegah translasi lateral, dinding bagian depan dan belakang

dapat mencegah dislokasi anterior dan posterior (Menchetti, 2016).

b) Atlanto-axial joint (C1 – C2)

Atlanto axial joint atau C1 – C2 adalah sendi yang paling mobile

saat bergerak diantara segmen lainnya dengan total 60° sampai 70° dari

rotasi aksial. Selama rotasi, atlas dan occiput bergerak dalam satu unit,

berputar pada processus odontoid dari axis (Mc Kenzie and May,

2012).

Complex atlanto-axial joint terbentuk oleh dua lateral facet joint,

yaitu atlantodental joint yang unik dan sendi antara permukaan

posterior odontoid dan ligament transversal, merupakan sendi sinovial

jenis sendi putar, yang terbentuk oleh 3 sendi yaitu 1 sendi middle yang

dibentuk oleh atlas arc (arkus anterior) dengan dens (proc. odontoid)

dan 2 sendi lateral yang dibentuk oleh 2 massa lateralis yaitu facies
artikularis inferior atlas yang bersendi dengan facies artikularis

superior axis. Sendi ini juga tidak memiliki diskus intervertebralis

(Menchetti, 2016).

Stabilitas pada sendi yang sangat mobile ini sangat bergantung

pada struktur ligament, karena beberapa kapsul lateral sendi berbeda

dengan atlanto-occiipital joint yang lunak. Fungsi utamanya adalah

untuk menahan beban axial dari kepala dan atlas serta untuk

mentransmisikan beban tersebut kedalam cervical dibawahnya. Untuk

fungsi ini, kearah lateral C2 terdapat facet artikularis superior yang

luas sehingga dapat menopang massa lateral C1 dan membentuk sendi

lateral atlanto-axial. Kearah sentral terdapat processus odontoid yang

bertindak sebagai "pivot" dan membentuk sendi median atlanto-aksial

joint (Menchetti, 2016).

Untuk mencapai gerakan rotasi axial, arkus anterior atlas

berputar dan sliding disekitar pivot. Oleh karena itu, gerakan rotasi

axial ini, kearah anterior ditahan oleh sendi median atlanto-axial dan

kearah inferior ditahan oleh sendi lateral atlanto-aksial, yang juga

subluksasi. Secara khusus, massa lateral ipsilateral C1 slide kearah

belakang dan medial, sedangkan massa lateral kontralateral C1 slide ke

depan dan medial (Menchetti, 2016) (Gambar 2.16).

Selama rotasi aksial, sendi atlanto-axial lateral slide melintasi

permukaan datar tulang cervical. Tetapi, kartilago sendi pada facet

atlantial dan axial adalah konveks dalam bidang sagital, sehingga

membentuk sendi bikonveks dalam strukturnya. Selain gambaran


anatomis tersebut, ruang anterior dan posterior yang dibentuk oleh

permukaan articularis, terisi oleh meniscoid intra-artikular yang besar,

yang berfungsi mempertahankan film cairan sinovial pada permukaan

artikular (Menchetti, 2016).

Ketika C1 berotasi, facet atlantial ipsilateral mengalami slide ke

bawah posterior slope dari setiap facet aksial, sementara salah satu

facet kontralateral akan slide ke bawah anterior slope dari facet aksial.

Setelah rotasi kebalikannya, C1 naik kembali ke puncak facetnya. Jadi,

rotasi aksial C1 membutuhkan anterior displacement dari salah satu

massa lateral dan reciprocal posterior displacement pada massa lateral

kontralateral. Jika cartilagi sendi asimetris, maka terjadi amplitudo kecil

lateral fleksi yang menyertai rotasi axial. Struktur utama yang menahan

rotasi aksial adalah ligamen alar dan kapsul sendi; untuk membatasi

rotasi, lateral atlanto-axial joint hampir mengalami subluksasi. ROM

normal rotasi C1 di atas C2 adalah bervariasi (Menchetti, 2016).

Saat ini, beberapa ahli telah mengukur kinematik normal upper

cervical dengan MRI dalam posisi netral dan selama fleksi-rotasi

Dvorak’s test. Hasil pengukuran melaporkan rotasi segmental C1-C2

dalam posisi netral sebesar 77,6o dan dalam posisi fleksi-rotasi test

sebesar 65o. Gerakan dalam bidang sagital (fleksi-ekstensi) pada C1-C2

telah dilaporkan oleh beberapa ahli menunjukkan nilai rerata 11 o dan

dapat difasilitasi oleh ujung processus odontoid yang disekitarnya

(Menchetti, 2016).
Selain itu, ketika seluruh cervical fleksi maka terjadi ekstensi

pada C1 dan ketika cervical spine ekstensi maka C1 akan fleksi.

Gerakan sliding C1 ke belakang dibatasi oleh benturan arkus anterior

C1 melawan processus odontoid, sementara tergelincirnya C1 ke depan

dicegah oleh ligamen transverse dan ligamen alar. Adanya subluksasi

atau dislokasi dapat menyebabkan kerusakan kedua ligamen. Translasi

anterior C1 diatas C2 sampai 3 mm dianggap normal dengan

pengukuran anterior atlantodental interval. Jika hasil pengukuran AADI

meningkat menjadi 5 mm atau lebih, maka ligamen transverse dan

asesori dianggap rusak. Ketika ligamen transverse rusak maka dislokasi

rotiasi juga dapat terjadi pada 45o rotasi (Menchetti, 2016).

Gambar 2.14

Rotasi axial (C1-C2) : (a). axial view, lengkungan anterior C1 bergeser disekitar

processus odontoid (arrows). (b). sagital view, massa lateral C1 subluksasi

(arrow) bergerak ke depan melintasi artikularis superior C2

Sumber : Menchetti (2016)

c) Vertebroaxial joint (C2-C3)

Meskipun C2-C3 sering dianggap sendi lower cervical, namun

sendi ini memeliki beberapa perbedaan yang khas dalam morfologi.

Sebuah pilar yang menunjukkan axis pada corpus terlihat menyerupai


"akar" yang dalam pada cervical spine yang khas, mempertahankan

upper cervical tetap pada columna cervical. Bahkan, orientasi facet

joint C2-C3 terlihat unik; orientasi facetnya inklinasi kearah medial

sekitar 40o dan kearah bawah, sementara facet joint level lower secara

khas dalam arah transversal (Menchetti, 2016).

Kinematik utama dari sendi C2-C3 terjadi selama rotasi axial plus

lateral fleksi. Menurut Mimura et al, rotasi axial C2-C3 adalah sama

dengan rotasi segmen lower servical, dengan nilai rerata 7o, sedangkan

lateral fleksi secara signifikan adalah berbeda, dengan nilai rerata -2 o

pada C2-C3 dibandingkan level C3-C4 dan C4-C5. Dengan kata lain,

tilting kearah sisi yang sama terjadi saat C2-C3 berotasi kearah lateral

fleksi ipsilateral (Menchetti, 2016).

2) Mid dan Lower Cervical Spine

Mulai dari C2 ke bawah terbentuk intervertebral joint atau facet joint

dimana terletak lebih kearah bidang transversal. Facet joint dibentuk oleh

processus artikular inferior vertebra atas dengan processus artikular

superior vertebra bawah, sehingga memungkinkan gerakan leher ke segala

arah. Disamping facet joint, juga terbentuk uncovertebralis joint yang

bukan merupakan sendi sebenarnya tetapi merupakan pertemuan tepi

lateral dari corpus vertebra cervical (Menchetti, 2016).

Gerakan pada segmen C2-C3 sampai C6-C7 melibatkan diskus

intervertebralis dan 4 sendi yaitu 2 sendi facet dan 2 sendi uncovertebralis

(joint of Luschka). Karena orientasi facet joint lebih kearah bidang

transversal maka lateral fleksi dan rotasi terjadi secara bersamaan dalam
arah yang sama, sehingga tidak pernah terjadi lateral fleksi murni atau

rotasi murni (Menchetti, 2016).

Pada segmen C3 – C7 dapat menghasilkan luas gerak sendi yang

paling luas pada leher. Inklinasi dari permukaan facet pada vertebra C3 –

C7 adalah 45° kearah bidang horizontal. Seperti pada segmen C2 – C3,

lateral fleksi dan rotasi pada segmen C3 – C7 terjadi secara bersamaan

dalam arah yang sama karena permukaan sendi dalam bidang oblique.

Bagaimanapun juga, pada setiap segmen gerak terjadi slide yang

berlawanan arah dalam permukaan sendi. Sebagai contoh, pada saat rotasi

kanan atau lateral fleksi kanan maka facet articular superior sisi kiri akan

slide kearah superior – anterior sementara facet articular superior sisi

kanan akan slide kearah posterior – inferior diatas permukaan articular

inferior. Total Luas gerak sendi lateral fleksi pada regio ini adalah 35 –

37°, dan total rotasi adalah 45°. Pada saat fleksi dan ekstensi murni maka

kedua facet superior pada setiap segmen gerak akan slide dalam arah yang

sama. Pada saat fleksi, kedua facet bergerak kearah superior, dan pada saat

ekstensi kedua facet bergerak kearah inferior. Total luas gerak sendi fleksi

– ekstensi pada lower cervical adalah 100 – 120° (Menchetti, 2016).

3. Etiologi Hernia Nucleus Pulposus Cervical

Penyebab dari Hernia Nucleus Pulposus biasanya didahului dengan

perubahan degeneratif. Kehilangan protein polisakarida dalam discus

menurunkan kandungan air. Perkembangan pecah yang menyebar di anulus


melemahkan pertahanan pada herniasi nucleus. HNP kebanyakan oleh karena

adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang pada discus

intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada

kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat. Kemudian pada generasi

diskus kapsulnya mendorong kearah medulla spinalis, memungkinkan

nucleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal

saat muncul dari kolumna spinal (Helmi, 2014).

4. Proses Patologi Hernia Nucleus Pulposus Cervical

Diskus intervertebralis didesain untuk mengabsorbsi goncangan dan

tekanan yang ditransmisikan melalui struktur rangka tubuh. Bagian tengah

diskus intervertebralis tersusun dari bahan mirip gel yang disebut nucleus

pulposus. Nucleus tersebut dikelilingi oleh jaringan ikat kolagen yang

menyusun batas luar discus disebut annulus fibrosus. HNP (Herniated

Nucleus Pulposus) terjadi akibat adanya beban tekanan terhadap tulang

belakang yang terjadi secara tiba-tiba atau dalam jangka waktu lama. Ketika

terjadi beban tekanan pada diskus intervertebralis, nucleus akan terdorong ke

arah dinding annulus. Seiring dengan terjadinya peningkatan beban tekanan,

maka mulai terjadi robekan pada serat annulus dan terjadi perubahan bentuk

diskus intervertebralis. Diskus biasanya akan terdorong kearah postero-lateral

(49 % kasus), posterocentral (8%), lateral/foraminal (<10%), intraosseous/

vertical (14%): "Schmorl node",extraforaminal/anterior (29%) (Helmi, 2014).

HNP sering ditemukan pada arah posterolateral karena bagian

posterolateral merupakan bagian paling lemah dimana di daerah tersebut

banyak terdapat persarafan di daerah leher, oleh karena itu herniasi sering
menyebabkan penekanan terhadap saraf sehingga menimbulkan disfungsi

saraf sensorik atau motorik. HNP cervical sering ditemukan pada verterbra

cervicalis bagian bawah (level vertebra C6-C7). Di daerah ini terdapat

persarafan yang menyusun pleksus brachialis. Saraf-saraf dari pleksus

brachialis berjalan mempersarafi sepanjang ekstremitas atas, sehingga gejala-

gejala akibat kompresi saraf dapat timbul pada seluruh atau sebagian

ekstremitas atas. Pada beberapa kasus, herniasi terjadi akibat trauma akut

akibat beban tekanan yang tiba-tiba pada vertebra cervicalis. Sebagai contoh,

herniasi terjadi ketika individu yang terbentur kepalanya pada waktu

menyelam di kolam renang yang dangkal. HNP cervical akibat trauma akut

merupakan penyebab utama dari central cord syndrome (Helmi, 2014).

Gejala utama pada HNP cervical adalah rasa nyeri, parestesia atau

kelemahan pada daerah leher atau ekstremitas atas. Rasa nyeri atau parestesia

dapat timbul pada seluruh atau sebagian ekstremitas atas. Penelitian lain

menunjukkan bahwa nucleus pulposus mengandung bahan-bahan kimia

(phospholipise A, bradykinin, stromeolysn, histamine, VIP, and substance P)

yang dapat mengiritasi saraf sehingga menimbulkan pembengkakan dan

timbul rasa nyeri akibat perasangan chemoreceptors. HNP akut sering

menyebabkan nyeri radicular melalui radikulitis kimiawi akibat terjadi

pelepasan proteoglikans dan fosfolipase yang dilepaskandari nucleus

pulposus sehingga menyebabkan inflamasi kimiawi dan atau kompresi saraf

langsung. Mediator kimiawi interleukin 6 dan nitric oxide juga dilepaskan

dari diskus intervertebralis dan ikut berperan dalam kaskade inflamasi.

Radikulitis kimiawi merupakan kunci pokok penyebab rasa nyeri pada HNP
karena kompresi saraf saja tidak selalu menimbulkan rasa nyeri kecuali

ganglion saraf dorsal juga terlibat. Terkadang fragmen dari annulus fibrosus

yang pecah dapat terdesak sampai ke kanalis spinalis. Herniasi juga dapat

menginduksi demielinisasi saraf yang mengakibatkan gejalagejala neurologik.

HNP akibat trauma yang jarang ditemukan pada vertebra cervical level C2- 3

memiliki manifestasi berupa rasa nyeri pada daerah leher dan bahu yang non-

spesifik,hipestesia perioral, gejala radikulopati lebih menonjol daripada

mielopati, dan disfungsi motorik dan sensorik tungkai atas lebih sering

ditemukan daripada tungkai bawah (Helmi, 2014).

5. Gambaran Klinis Patologi Hernia Nucleus Pulposus Cervical

Karakteristik Tidak semua HNP menimbulkan gejala, bahkan pada

beberapa individu HNP ditemukan secara tidak sengaja pada waktu dilakukan

pemeriksaan X-ray untuk indikasi yang berbeda. Gejala yang timbul dapat

dikategorikan menjadi tiga kelompok:

a. Kelompok pertama (Axial Joint Pain) meliputi: rasa nyeri didaerah leher,

nyeri menjalar sampai di daerah skapula (scapular pain) dinding

dada,atau daerah bahu, nyeri pada bagian belakang kepala, kesulitan

dalam pergerakan kepala, dan dizziness ,khususnya jika leher digerakkan

ke belakang atau dimiringkan. Tidak ditemukan adanya tanda-tanda

defisit neurologik. Gejala ini timbul akibat kompresi lokal dari ligamen

dan struktur anatomi sekitar (Helmi, 2014).

b. Kelompok kedua (Cervical Radiculopathy) meliputi :

Rasa nyeri di sepanjang bahu, lengan atas dan tangan, rasa baal di

tangan dan jari-jari, dan kelemahan pada lengan atas. Gejala-gejala pada
kelompok kedua ini diakibatkan oleh kombinasi kompresi saraf yang

melewati daerah herniasi (pada level vertebra C5-6 atau C6-7) inflamasi

pada saraf spinal. Jika yang terkena adalah pada level vertebra C5 6,

gejala yang dapat timbul meliputi penurunan reflex brachialis radialis,

kelemahan pada otot bisep dan rasa nyeri / parestesia yang menjalar ke

ibu jari dan jari telunjuk. Jika yang terkena adalahpada level vertebra C6-

7, maka gejala yang dapat timbul adalah kehilangan reflex

trisep,kelemahan otot trisep, dan rasa nyeri atau parestesia yang menjalar

ke jari tengah. Gejala lain yang dapat ditemukan (sensitifitas 50 %)

adalah: Spurling sign (rasa nyeri timbul akibat ekstensi, fleksi lateral

dan axial load pada area yang terkena. Rasa nyeri hilang dengan traksi

pada leher Rasa nyeri berkurang jika pasien meletakkan lengan atas di

atas kepalanya (Helmi, 2014).

c. Kelompok ketiga (Cervical Myelopathy) merupakan gejala yang

memerlukan perhatian khusus karena adanya potensi menyebabkan

kerusakan pada keempat ekstremitas, kelemahan pada keempat

ekstremitas dengan disertai hilangnya rangsang sensorik (rasa baal) ,

reflex fisiologis meningkat, timbulnya reflex patologis (Hoffmans dan

atau Babinski signs), keseimbangan terganggu, gangguan dalam cara

berjalan (gait disorder), clumsy spastic legs, gangguan dalam fine motor

movements dan kesulitan dalam kontrol buang air besar dan buang air

kecil (akibat peningkatan tonus otot pada dinding kandung kemih

sehingga menimbulkan frekuensi dan nokturia). Pada kelompok ketiga

ini gejala timbul akibat kompresi dari medula spinalis baik akut maupun
kronik. Deteksi dini merupakan hal yang penting, karena jika telah

ditemukan gejala defisit neurologik yang berat, maka sulit untuk sembuh

secara spontan, bahkan dengan terapi bedah sekalipun, fungsi yang

hilang tidak dapat kembali. Secara umum gejala yang dapat ditemukan

pada HNP cervical meliputi:

1) Nyeri di daerah leher khususnya pada bagian belakang dan

samping.

2) Rasa nyeri yang dalam di dekat atau sekitar bahu pada bagian yang

terkena

3) Rasa nyeri yang menjalar ke bahu, lengan atas dan bawah, dan

yang jarang pada tangan, jari-jari atau dada (Referred pain)

4) Rasa nyeri memburuk dengan batuk, peregangan atau tertawa

5) Peningkatan rasa nyeri ketika fleksi leher atau menengokkan kepala

6) Spasme dari otot-otot leher

7) Kelemahan otot-otot lengan

8) Rasa baal atau tingling (a "pins-and-needles" sensation) di daerah

bahu atau lengan

9) Posisi atau pergerakan leher tertentu dapat menimbulkan rasa nyeri

Gejala kompresi medula spinalis meliputi awkward or stumbling gait,

kesulitan dalam gerakan motorik terampil pada tangan dan lengan, dan

rasa kesemutan yang menjalar sampai ke kaki. Gejala ini dapat bervariasi

tingkat keparahannya dan tidak seluruhnya ditemukan pada pasien

(Helmi, 2014).
B. Tinjauan Tentang Assesment Fisioterapi Pada Kasus Hernia Nucleus Pulposus

Cervical

1. History taking

Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan oleh

pasien melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang

pemeriksa sudah mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam

pemeriksaan klinis selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik

membawa kita menempuh setengah jalan kearah diagnosis yang tepat. Secara

umum sekitar 60-70 % kemungkinan diagnosis yang benar dapat ditegakkan

hanya dengan anamnesis yang benar (Ahmad, 2018).

Hasil penelitian oleh Magee (1997) dalam buku yang berjudul

“Orthopedic Physical Assement”. History taking pada penderita hernia

nucleus pulposus umumnya usia 17-60 tahun, mengeluh nyeri leher menjalar

ke interscapula dan lengan. Nyeri meningkat pada saat pasien menunduk,

melihat ke atas dan menoleh serta pada aktivitas yang berat dengan posisi

kepala menetap. Nyeri berkurang pada saat istirahat.

2. Inspeksi/observasi

Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan

pemerikssan observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan kecepatan

menganalisa pasien dalam waktu yang singkat.

Hasil penelitian oleh cook (2007) dalam buku yang berjudul

“Orthopedic Manual Therapy An Evidence-Based Approach”. Observasi


pada penderita hernia bucleus pulposus cervical umumnya ditemukan

penurunan kurva lordosis pada cervical atau flat neck, forward head, bahu

asimetris dan pasien kesulitan mengerakkan leher dan lengan karena adanya

radicular pain (Cook, 2007)

3. Red flag

Red flag dapat secara signifikan berpotensi untuk membuat faktor

patologis menjadi kronis jika tidak dapat ditemukan secepatnya. Sangat

penting untuk menghindari Red Flags serta faktor lainnya yang dapat

memperlambat hasil terapi atau memicu kondisi kearah kronis. Meskipun

jarang, nyeri leher kadang-kadang bisa menjadi tanda peringatan kanker,

infeksi, penyakit autoimun, atau beberapa jenis masalah struktural seperti

cedera tulang belakang atau ancaman terhadap pembuluh darah yang penting.

Seperti contoh Myelopathy serviks kondisi neoplastik serviks atas

ketidakstabilan ligamen insufisiensi arteri vertebral penyakit peradangan atau

sistemik fraktur serviks. Tanda dan gejalanya kelemahan multisegmental,

sensor perubahan multisegmental, umur lebih dari 50 tahun, penurunan berat

badan secara berlebihan, nyeri terus-menerus, tidak berkurang dengan

istirahat, Sakit kepala dan mati rasa oksipital, keterbatasan parah selama

rentang gerakan aktif leher (AROM) di semua arah (Cook, 2007)

4. Quick Test

Quick test adalah tes provokasi untuk mengungkap letak kelainan yang

dikeluhkan penderita baik segmental maupun regional, yang bersifat umum

dan praktis.

a. Fleksi – ekstensi cervical


pada pasien hernia nucleus pulposus cervical saat fleksi timbul nyeri

mengindikasi problem pada diskus, saat ekstensi timbul nyeri lokal

karena disfungsi facet.

b. Gerakan 3 dimensi ekstensi cervical jika timbul nyeri lokal pada sisi

ipsilateral maka indikasi pada facet & uncinate joint, nyeri lokal pada

sisi kontralateral maka indikasi pada otot sisi kontralateral dan kapsul-

ligamen facet sisi kontralateral. Jika timbul nyeri referred ke lengan

dan/atau interscapula maka indikasi stenosis foramen intervertebralis

(lengan), spondylosis (interscapula), hernia nucleus pulposus.

c. Abduksi – elevasi shoulder jika timbul painful arch maka indikasi

bursitis subacromialis atau tendinitis supraspinatus (Cook, 2007).

5. Pemeriksaan fungsi gerak dasar

Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan pada alat gerak tubuh

dengan cara melakukan gerakan fungsional dasar pada region tertentu untuk

melacak kelainan struktur region tersebut.

a. Aktif

Adalah suatu gerakan pemeriksaan yang dilakukan sendiri oleh

penderita, sesuai petunjuk pemeriksa. Informasi yang diperoleh dari

pemeriksaan ini masih bersifat global sebab masih melibatkan berbagai

struktur seperti neuromuscular, arthrogen, vegetative mechanism.

Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi berupa :

1) Koordinasi gerak

2) Pola gerak

3) Nyeri
4) ROM aktif

Pada pasien hernia nucleus pulposus cervical umumnya

ditemukan nyeri pada beberapa gerakan utamanya saat gerakan fleksi

cervical, rotasi dan lateral fleksi. Hilangnya lingkup gerak cervical pada

hernia nucleus pulposus cervical sangat berhubungan dengan nyeri

yang diikuti oleh minor positional fault pada facet joint dan muscle

guarding/splinting pada oto-totot paravertebralis cervical, levator

scapulae, dan upper trapezius (Magee, 1997).

b. Pasif

Adalah suatu gerakan pemeriksaan terhadap pasien yang

dilakukan oleh pemeriksa tanpa melibatkan pasien secara aktif. Dengan

demikian pemeriksaan ini banyak ditujukan untuk struktur athrogen dan

myotendinogen secara pasif. Sebelum melakukan pemeriksaan

usahakan agar region yang akan digerakkan dalam keadaan rileks dan

pada saat digerakkan usahakan mencapai ROM seoptimal mungkin

dengan memeperhatikan keluhan penderita, sehingga pada satu sisi

akan terjadi penguluran dan pada sisi yang lain mengalami kompresi.

Indormasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini adalah :

1) ROM Pasif

2) Stabilitas sendi

3) Rasa nyeri

4) End feel

5) Capsular pattern
Sama halnya dengan gerakan aktif, pada gerakan pasif pasien

hernia nucleus pulposus umumnya ditemukan nyeri dan keterbatasan

pada beberapa gerakan utamanya saat gerakan fleksi, rotasi cervical dan

lateral fleksi. Umumnya end feel yang ditemukan yaitu springy endfeel.

c. Gerak Isometrik Melawan Tahanan (TIMT)

Adalah pemeriksaan yang ditujukan pada musculotendinogen dan

neurogen. Caranya penderita melakukan gerakan dengan melawan

tahanan yang diberikan oleh pemeriksa tanpa terjadi gerakan yang

merubah posisi ROM sendi pada regio yang diperiksa. Informasi yang

dapat diperoleh dari pemeriksaan ini adalah :

1) Nyeri pada musculotendinogen

2) Kekuatan otot secara isometric

3) Kualitas saraf motoric

Pada tes isometrik melawan tahanan pasien hernia nucleus

pulposus umumnya ditemukan nyeri musculostendinogen, kekuatan

otot menurun dan kualitas saraf terganggu (Cook, 2007).

6. Pemeriksaan spesifik

Adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila informasi yang diperoleh

melalui anamnesis, inspeksi dan pemeriksaan fungsi belum cukup untuk

menegakkan diagnosis suatu penyakit atau problematik fisioterapi terhadap

penderita. Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mengungkap ciri khusus

serta jenis gangguan dari suatu struktur atau jaringan tertentu.

a. Palpasi
Palpasi merupakan cara pemeriksaan dengan cara meraba,

menekan dan memegang organ atau bagian tubuh pasien dimana untuk

mengetahui adanya nyeri tekan, spasme otot, suhu local, tonus otot, dan

oedema. Tes ini dilakukan untuk mendeteksi nyeri dan spasme otot

pada bagian yang di palpasi. Factor patogenik yang berkontribusi

terhadap nyeri biasanya dikaitkan dengan stenosis tulang belakang

lumbar atau disk hernia yang telah didiagnosis menggunakan temuan

MRI. Namun demikian, banyak dari orang-orang memiliki gangguan

biomekanik dan jaringan lunak yang bertanggung jawab atas gejala

mereka. Lebih lanjut, gangguan nyeri yang mendasarinya, seperti nyeri

miofasial upper trapezius dan levator scapula.. Palpasi pada pasien

hernia nucleus pulposus, umumnya ditemukan spasme pada otot-otot

cervical. Maka dari itu pada lapsus ini melakukan palpasi sensorik dan

palpasi pada upper trapezius, levator scapula dan spelinius

capitsi/cervicis untuk mengidentifikasi myofascial yang kemungkinan

terjadi pada kondisi hernia nucleus pulposus (Mardjono M., Sidharta P.

2012)

b. Spurling test

Spurling test adalah tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada

tidaknya penekanan di foramen intervertebralis bagian cervical, tes ini

dikatakan positif apabila timbul nyeri sesuai dengan tingkat kompresi.

Foraminal compression atau spurling pada pasien hernia nucleus

pulposus, umumnya ditemukan pada saat ekstensi dan lateral fleksi

nyeri meningkat pada leher hingga ke lengan ipsilateral. Pemeriksaan


ini sangat spesifik namun tidak sensitif guna mendeteksi adanya

sindrom radikular servikal (Mardjono M., Sidharta P. 2012)

c. Maximum cervical compression test

Pada saat tes dilakukan lateral fleksi dan rotasi pada sisi yang

sama kemudian kepala kearah ekstensi dan diaplikasikan kompressi

Jika timbul nyeri pada sisi ipsilateral maka indikasi patologi facet joint

atau akar saraf. Jika timbul nyeri pada sisi kontralateral maka indikasi

strain otot. Posisi lateral fleksi dan rotasi sisi yang sama juga dapat

mengompresi arteri vertebralis, jika dipertahankan selama 20 – 30 detik

muncul gejala – gejala seperti pusing, nystagmus, perasaan spt jatuh,

mual maka indikasi kompresi arteri vertebralis. (Mardjono M., Sidharta

P. 2012)

Maximum cervical compression test pada pasien hernia nucleus

pulposus, umumnya ditemukan pada saat ekstensi dan lateral fleksi

nyeri meningkat pada leher hingga ke lengan ipsilateral. Ini adalah

salah satu tes neurologis paling umum pada ekstremitas bawah.

(Mardjono M., Sidharta P. 2012)

d. Joint Play Movement,

Dalam test ini, terdiri dari PACVP. PACVP atau postero-anterior

central vertebra pressure. Tes ini dilakukan untuk mengetahui letak

kelainan secara segmentasi region cervical. Terapis menilai kualitas

gerakan melalui jangkauan dan perasaan akhir dan membandingkannya

dengan level di atas dan di bawah. Catatan jangkauan pertengahan


gerakan dorong pasif (uji pegas) juga dapat digunakan dengan teknik

ini untuk menilai resistensi jaringan dan provokasi nyeri. Respons

positif adalah gerakan yang mereproduksi tanda yang sebanding (rasa

sakit atau resistensi). (Mardjono M., Sidharta P. 2012).

PACVP pada pasien hernia nucleus pulposus umumnya

ditemukan nyeri segmental dan springy end feel (Mardjono M.,

Sidharta P. 2012).

e. Bakody’s Sign Test

Bakody’s sign test digunakan untuk pasien yang mengeluh gejala

radikulal selama pemeriksaan. Tes ini digunakan untuk meringankan

gejala. Tes ini juga dapat digunakan untuk memeriksa tanda-tanda

radikular merujuk ke kompleks bahu anterior atau posterior. Jika pasien

abduksi lengan saat traksi diterapkan, gejalanya sering berkurang pada

leher atau berkurang di bahu. Tes ini menunjukkan penekanan akar

saraf pada leher (Magee, 1997).

Bakody’s sign test pada pasien hernia nucleus pulposus

umumnya ditemukan pada saat abduksi shoulder dan lengan bawah atau

tangan dalam posisi rest di atas kepala pasien maka nyeri radicular

berkurang (Ahmad, 2018).

f. Distraction test

Tes ini digunakan untuk pasien yang memiliki keluhan dengan

gejala radicular pain. Tes ini digunakan untuk meringankan gejala. Tes ini

juga dapat digunakan untuk memeriksatanda-tanda radikular merujuk ke

kompleks bahu anterior atau posterior. Jika pasien abduksi lengan saat traksi
diterapkan, gejalanya sering berkurang atau berkurang di bahu. Pada kasus ini,

tes masih akan menunjukkan tekanan akar saraf di tulang belakang leher,

bukan patologi bahu.

Distraction test pada pasien hernia nucleus pulposus umumnya

ditemukan pada saat kepala ditarik kea rah atas maka nyeri radicular

berkurang (Ahmad, 2018).

g. Shoulder Depressione test

Shoulder depressione test adalah prosedur pemeriksaan tulang

belakang leher yang menguji radikulopati, keseleo atau regangan. Tes

ini juga digunakan untuk mengevaluasi pleksus brakialis untuk lesi dan

untuk menilai pleksopati.

Shoulder depressione test pada paien hernia nucleus pulposus

umumnya pada saat menggerkkan kepala pasien ke arah lateral fleksi,

tangan fisioterapi memberikan tekanan pada bahu pasien ke arah bawah

maka nyeri leher meningkat sampai ke lengan (Magee, 1997).

h. Dermatom Test

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu

saraf spinalis. Ada 8 saraf cervical, 12 saraf thoracal, 5 saraf lumbal

dan 5 saraf sacral. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari

kulit yang dipersarafinya ke otak.

Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk

menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena kesakitan


terbatas dermatom adalah gejala bukan penyebab dari masalah yang

mendasari, operasi tidak boleh sekalipun ditentukan oleh rasa sakit

Sakit di daerah dermatom mengindikasikan kekurangan oksigen ke

saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu tempat di

sepanjang jalur saraf.

Gambar 2.15 Area Dermatom Manusia


(Julfiana Mardatillah, 2018)

i. Myotome Test

Myotome adalah sekumpulan otot yang diinervasi oleh spinal

cord (syaraf di tulang belakang manusia). Test ini dilakukan untuk

mengatahui akar saraf yang terganggu sehingga terjadi gangguan pada

otot. Area inervasi yang terganggu dapat pula diketahui dengan

melakukan Myotome test.


Gambar 2.16 Area Myotome Manusia
(Julfiana Mardatillah, 2018)

C. Tinjauan Pengukuran Fisioterapi Pada Hernia Nucleus Pulposus

1. VAS

Metode VAS adalah alat ukur intensitas nyeri yang meliputi 10 cm garis,

dengan setiap ujungnya ditandai dengan tingkat intensitas nyeri (ujung kiri

diberi tanda “no pai” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain”). Pasien diminta

untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan tingkat intensitas nyeri

yang dirasakan pasien, kemudia jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada

tanda yang diberi oleh pasien dan itulah tingkat intensitas nyeri pasien. Skor

tersebut dicatat dan digunakan untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi

selanjutnya. Secara potensial, untuk mengukur nyeri pada cervical VAS lebih

sensitive terhadap intensitas nyeri dibandingkan pengukuran lainnya (Munoz et

al., 2004).
Gambar 2.17 Visual Analogue Scale

skala 0 - 1 = tidak terasa nyeri;

skala 1 - 3 = nyeri ringan;

skala 3 - 7 = nyeri sedang ;

skala 7 - 9 = nyeri berat;

skala 9 – 10 = nyeri sangat berat

2. Keterbatasan Luas Gerak Sendi (Goniometer)

Lingkup gerak sendi (LGS) adalah luas lingkup gerakan sendi yang

mampu dicapai atau dilakukan oleh sendi. Pengukuran lingkup gerak sendi yang

sering digunakan adalah goniometri, tapi untuk sendi tertentu. Istilah goniometer

berasal dari dua kata dalam bahasa yunani yaitu gonia yang berarti sudut dan

metron yang berarti ukur. Oleh karena itu goniometer berkaitan dengan

pengukuran sudut, khususnya sudut yang dihasilkan dari sendi melalui tulang-

tulang ditubuh manusia. Ketika menggunakan universal goniometer, fisioterapis

dapat mengukur dengan menempatkan bagian dari instrument pengukuran

sepanjang tulang bagian proksimal dandistal dari sendi yang dievaluasi.

Goniometer dapat digunakan untuk menentukan posisi sendiyang tepat dan

jumlah total dari gerakan yang dapat terjadi pada suatu sendi.

Pengukuran LGS cervical dengan goniometer dapat dilakukan pada

gerakan fleksi ekstensi titik fulcrumnya pada garis tengah telinga dengan lengan

goniometer sejajar dengan ujung hidung, lateral fleksi cervical titik fulcrumnya

pada prosessus mastoideus dan lengan goniometer tegak lurus dengan kepala
dan pada saat rotasi titi fulcrumnya pada garis tengah atas kepala, lengan

goniometer sejajar dengan ujung hidung (Nancy and William, 2002).

Goniometer digunakan untuk mengukur dan mendata kemampuan gerakan

sendi aktif dan pasif. Data dari goniometer dihubungkan dengan data-data

lainnya dapat dijadikan dasar untuk : (Nancy and William, 2002).

1. Menentukan ada atau tidak adanya disfungsi

2. Menegakkan diagnosis.

3. Menentukan tujuan dari tidakan atau intervensi.

4. Mengevaluasi peningkatan atau penurunan dari target intervensi.

3. Neck Disability Index (NDI)

Neck Disability Index merupakan pengukuran kemampuan fungsi leher

yang berkaitan dengan intensitas nyeri, perawatan diri, aktivitas membaca, nyeri

kepala, konsentrasi, aktivitas pekerjaan, aktivitas menyetir, aktivitas tidur dan

rekreasi. Neck Disability Index telah menjadi instrument standar yang digunakan

oleh semua peneliti untuk mengukur ketidakmampuan gerak fungsional cervical

kaitannya dengan nyeri leher (Joshua et al, 2011).

Neck Disability Index telah dirancang untuk membantu fisioterapis atau

peneliti didalam memahami bagaimana neck pain dapat mempengaruhi

kemampuan gerak fungsional pasien dalam mengelola kegiatan (Joshua et al,

2011).

Kuesioner neck disability index digunakan untuk mengukur kemampuan

fungsional leher dimana terapis memberikan kuisioner kepada pasien untuk

kemudian diisi dan dievaluasi oleh terapis.


SESI 1-Tingkatan Nyeri SESI 6- Konsentrasi
A. Sekarang saya tidak A. Saya dapat konsentrasi dengan
merasakan nyeri. baik tanpa adanya kesulitan.
B. Sekarang saya merasakan B. Saya sedikit kesulitan
nyeri sangat ringan. konsentrasi, tetapi masih dapat
C. Sekarang saya merasakan konsentrasi dengan baik.
nyeri sedang. C. Saya sedikit kesulitan
D. Sekarang saya merasakan konsentrasi.
nyeri cukup hebat. D. Saya memiliki kesulitan yang
E. Sekarang saya merasakan cukup besar unutk konsentrasi.
nyeri sangat hebat. E. Saya memiliki kesulitan yang
F. Sekarang nyeri yang saya sangat besar untuk konsentrasi.
rasakan tidak tertahan. F. Saya tidak dapat konsentrasi
pada semua hal.
SESI 2-Perawatan Diri(Mencuci, SESI 7- Bekerja
berpakaian,dll) A. Saya dapat melakukan
A. Saya dapat melakukan pekerjaan, sebanyak yang saya
aktivitas fungsional sehari-hari inginkan.
tanpa adanya nyeri yang B. Saya dapt melakukan pekerjaan
bermakna. sehari-hari, tetapi tidak
B. Saya dapat melakukan berlebihan.
aktivitas fungsional, tetapi C. Saya dapat melakukan pekrjaan
saya merasakan nyeri. sehari-hari, sesuai yang saya
C. Saya merasa nyeri saat inginkan.
melakukan aktifitas sehari-hari D. Saya tidak dapat melakukan
dan saya melakukan perlahan pekerjaan sehari-hari. E.Saya
dan hati-hati. kesulitan melakukan seluruh
D. Saya butuh bantuan untuk pekerjaan.
melakukan aktifitas fungsional E. Saya tidak dapat melakukan
sehari-hari, tetapi saya dapat seluruh pekerjaan.
melakukan aktifitas tertentu. F. Saya tidak dapat melakukan
E. Saya butuh bantuan pada seluruh pekerjaan.
semua aktifitas fungsional
sehari-hari.
F. Saya sulit untuk melakukan
aktifitas fungsional sehari-hari
dan hanya ditempat tidur.
SESI 3-Mengangkat SESI 8- Mengendarai
A. Saya dapat mengangkat A. Saya dapat mngendarai sendiri
sesuatu tanpa adanya nyeri. kendaraan saya, tanpa adanya
B. Saya dapat mengangkat nyeri pada leher.
sesuatu, tetapi adanya nyeri. B. Saya dapat mengendarai sendiri
C. Saya harus dengan posisi kendaraan saya, walaupun ada
tertentu yang benar untuk nyeri ringan pada leher.
mengangkat sesuatu, supaya C. Saya dapat mengendarai sendiri
tidak nyeri. kendaraan saya, walaupun ada
D. Saya dapat mengangkat nyeri sedang pada leher.
sesuatu yang ringan sampai D. Saya tidak dapat mengendarai
sedang dengan posisi tertentu sendiri kendaraan saya, karena
yang benar, supaya tidak ada nyeri sedang pada leher.
nyeri. E. Saya kesulitan mengendarai
E. Saya dapat mengangkat sendiri kendaraan saya, karena
sesuatu yang sangat ringan. nyeri hebat pada leher.
F. Saya tidak dapat mengangkat F. Saya tidak dapat mengendarai
apapun. sendiri kendaraan saya.
SESI 4-Membaca SESI 9-Tidur
A. Saya dapat membaca apapun, A. Saya tidak memiliki gangguan
tanpa menimbulkan nyeri pada tidur.
leher. B. Ada sedikit gangguan tidur
B. Saya dapat membaca apapun, (kurang dari 1 jam, tak dapat
disertai nyeri sangat ringan tidur).
pada leher. C. Ada gangguan tidur (1-2 jam,
C. Saya dapat membaca apapun, tak dapat tidur).
dengan nyeri sedang pada D. Ada gangguan tidur yang cukup
leher. (2-3 jam, tak dapat tidur).
D. Saya tidak dapat membaca E. Tidur saya sangat terganggu (3-
sebanyak yang saya mau, 5 jam, tak dapat tidur).
karena ada nyeri sedang pada F. Saya tidak dapat tidur sama
leher. sekali(5-7 jam).
E. Saya tidak dapat membaca
sebanyak yang saya mau,
karena sangat nyeri pada
leher.
F. Saya tidak dapat membaca
apapun.
SESI 5- Sakit Kepala SESI 10- Rekreasi
A. Saya tidak mengeluh sakit A. Saya dapat melakukan semua
kepala. aktivitas rekreasi, tanpa ada
B. Jarang sekali, saya mengeluh nyeri leher.
sedikit sakit kepala. B. Saya dapat melakukan semua
C. Jarang sekali, saya mengeluh aktivits rekreasi, walaupun ada
sakit kepala sedang. sedikit nyeri pada leher.
D. Sering sekali, saya mengeluh C. Ada aktivitas rekreasi tertentu
sakit kepala sedang. yang tidak dapat saya lakukan,
E. Sering sekali, saya mengeluh karena nyeri pada leher.
nyeri kepala hebat. D. Saya hanya dapat melakukan
F. Saya mengeluh nyeri kepala beberapa aktivitas rekreasi,
hampir setiap saat. karena nyeri pada leher.
E. Saya kesulitan untuk
melakukan aktivitas rekreasi,
karena nyeri pada leher.
F. Saya tidak dapat melakukan
semua aktivitas rekreasi.

Kriteria Objektif

0 – 20 % : Minimal Disabilitas (ringan)

20 – 40 % : Moderate Disabilitas (sedang)

40 – 60 % : Severe Disabilitas (berat)

60 – 80 % : Crippled (lumpuh)

80 – 100 % : -

D. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi Pada Hernia Nucleus Pulposus

1. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)

a. Pengertian

Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS) merupakan suatu

cara penggunaan energi listrik guna merangsang sistem saraf melalui

permukaan kulit. Dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai tipe nyeri.

Pada TENS mempunyai bentuk pulse Monophasic mempunyai bentuk

gelombang rectanguler, tianguler dan gelombang separuh sinus searah,

biphasic bentuk pulse rectanguler biphasic simetris dan sinusoidal biphasic

simetris, pola polyphasic ada rangkaian gelombang sinus dan bentuk

interferensi atau campuran. Pulse monophasic selalu mengakibatkan


pengumpulan muatan listrik pulsa dalam jaringan sehingga akan terjadi

reaksi elektrokimia dalam jaringan yang ditandai dengan rasa panas dan

nyeri apabila penggunaan intensitas dan durasi terlalu tinggi.

Menurut Venosa et al (2018), penggunaan TENS dengan frekuensi

70Hz selama 20 menit dengan intensitas 100µs dapat mengurangi nyeri

pada pasien dengan gangguan neurologi pada cervical..

b. Efek TENS

1) Efek Fisiologis

a) Terhadap saraf sensorik:

(1.) Merangsang saraf sensorik rasa tusuk lebih nyata

(2.)Efek sekunder hiperaemi lebih nyata

(3.)Merangsang saraf sensorik bermyelin tebal, relatif lebih kecil

b) Terhadap saraf motorik: Lebih menimbulkan kontraksi otot

c) Peningkatan sirkulasi darah : Lebih nyata akibat adanya kontraksi

otot

d) Kedalaman penetrasi : Lebih dangkal

2) Efek Terapeutik

a) Nyeri

Mengurangi nyeri terhadap nyeri terutama pada jaringan

yang lebih dangkal melalui sistem neurotransmitter lain yaitu

perubahan sistem serotonin dan substansia P.

b) Kontraksi Otot:

(1.)Memperkuat kontraksi otot

(2.)Relaksasi
(3.)Sirkulasi darah : meningkatkan sirkulasi darah lebih nyata

3) Indikasi dan Kontraindikasi

a) Indikasi

(1.)Kondisi LMNL (Lower Motor Neuron Lesion) baru yang

masih disertai keluhan nyeri,

(2.)Kondisi sehabis trauma/operasi urat saraf yang

konduktifitasnya belum membaik,

(3.)Kondisi LMNL kronik yang sudah terjadi partial/total dan

enervated muscle,

(4.)Kondisi pasca operasi tendon transverse, kondisi keluhan

nyeri pada otot,

(5.)Sebagai irritation/awal dari suatu latihan,

(6.)Kondisi peradangan sendi (Osteoarthritis, Rheumatoid

Arthritis dan Tennis Elbow),

(7.)Kondisi pembengkakan setempat yang belum 10 hari.

b) Kontraindikasi

(1.) Sehabis operasi tendon transverse sebelum 3 minggu,

(2.) Adanya ruptur tendon/otot sebelum terjadi penyambungan,

(3.) Kondisi peradangan akut/ penderita dalam keadaan panas,

(4.) Pasien ketergantungan alat pacu jantung,

(5.) Luka terbuka yang besar, Infeksi.

(6.) Gangguan sensoris

2. Ultrasound
Merupakan alat terapi yang menggunakan energi magnetik yang dihasilkan

oleh arus bolak-balik frekuensi tinggi. Ultrasound atau biasa disingkat dengan

US adalah salah satu modalitas fisioterapi yang paling banyak digunakan dalam

praktek fisioterapi. Ultrasound memiliki efek terapi yang ditujukan untuk

mengurangi nyeri, spasme otot serta untuk perbaikan joint contractur dan

pemulihaan jaringan yang telah mengalami cidera (Katsuyuki et al., 2014).

Ultrasound pada penderita hernia nucleus pulposus sangat efektif untuk

mengurangi nyeri, spasme otot dan meningkatkan LGS. Ultrasound dapat

mengakibatkan penurunan nyeri dan memberikan beberapa efek yaitu efek

mekanik adalah gelombang ultrasound yang masuk kedalam tubuh maka akan

menimbulkan peregangan pada jaringan yang disebabkan oleh adanya micro

massage yang memberikan efek terapeutik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

rata-rata keterbatasan lateral fleksi dan rotasi yang dialami sampel adalah. Rasa

nyeri umumnya dirasakan pada akhir keterbatasannya. Sumber nyeri yang

membatasi gerak lateral fleksi dan rotasi cervical adalah munculnya spasme

atau tightness otot. Otot upper trapezius dan levator scapula merupakan

kelompok otot yang berperan penting dalam gerakan lateral fleksi dan rotasi

cervical sehingga adanya patologi pada kedua otot tersebut sangat

mempengaruhi luasnya LGS lateral fleksi dan rotasi cervical (Carol, 2009)

Ultrasound memiliki banyak efek terapeutik. Efek thermal dari ultrasound

dapat mempengaruhi otot yang mengalami spasme atau tight. Efek thermal yang

terlokalisir pada area tenderness otot yang spasme atau tight dapat

mempengaruhi ekstensibilitas serabut otot dan serabut konektif pada otot.

Perubahan ekstensibilitas tersebut akan diikuti dengan peningkatan aliran darah


dan metabolisme pada area yang diobati. Kondisi tersebut dapat memfasilitasi

penurunan tonus otot. Menurut David et al (2014), penggunaan ultrasound

dengan frekuensi 3 MHz selama 6 menit dengan intensitas 1 W/cm 2 dapat

mengurangi nyeri, dan efek thermal ultrasound juga dapat memberikan efek

relaksasi pada otot. Penelitian terbaru oleh Manka (2014) menyimpulkan bahwa

ultrasound memiliki efek yang besar terhadap pengurangan nyeri dan

meningkatkan ekstensibilitas otot (James et al, 2016).

Ada dua penjelasan mengenai efek ultrasound terhadap peningkatan

fleksibilitas otot. Yang pertama yaitu mekanisme vaskular yang terjadi sebagai

akibat dari efek thermal continous ultrasound. Kedua, jaringan dapat dibedakan

berdasarkan kepadatan dan kecepatan gelombang ultrasound melewatinya.

Penyerapan gelombang ultrasound yang rendah pada jaringan yang memiliki

kadar air tinggi seperti lemak, sedangkan penyerapannya lebih tinggi pada

jaringan yang kaya protein seperti otot rangka. Ziskin et al., menyatakan bahwa

peningkatan panjang tendon setelah terapi continuous US disebabkan oleh

perubahan viskositas dan fleksibilitas jaringan konektif, sehingga efek thermal

dari ultrasound dapat meningkatkan LGS. Peningkatan suhu jaringan kolagen

akan mempengaruhi karakteristik mekanik dan fisik jaringan serta memfasilitasi

deformasi kolagen. Dengan demikian, nyeri dan ketidaknyamanan akan

berkurang selama pengaplikasian stretching pada otot yang spasme atau tight

dan kemampuan serabut kolagen untuk mentolerir kekuatan yang lebih besar

akan meningkat (Akbari et al, 2016).

3. MET (Muscle Energy Technique)


Muscle energy technique merupakan teknik relaksasi otot dengan cara

pemberian kontraksi isometrik sebelum dilakukan stretching yang

bertujuansebagai proprioceptive neuromuscular facilitation untuk menghindari

kerusakan jaringan lebih lanjut. Penerapan muscle energy technique didasarkan

pada penggunaan otot pasien, selanjutnya dilakukan relaxasi dan stretching pada

ototagonis dan antagonis, yang bertujuan untuk penguatan atau meningkatkan

tonus otot yang lemah, melepaskan hipertonus, stretching ketegangan otot dan

fascia, meningkatkan fungsi muskuloskeletal, mobilisasi sendi pada keterbatasan

gerak sendi, dan meningkatkan sirkulasi lokal, dan mengurangi nyeri.

Muscle Energy Technique dapat memberikan peningkatan LGS lateral

fleksi dan rotasi cervical secara bermakna pada penderita hernia nucleus

pulposus efektif untuk mengurangi nyeri, spasme otot dan meningkatkan LGS.

Berdasarkan pengamatan peneliti dari hasil pemeriksaan pada sampel

menunjukkan bahwa problem keterbatasan lateral fleksi dan rotasi cervical

umumnya disebabkan oleh muscle spasm atau muscle tightness pada otot-otot

leher terutama upper trapezius dan levator scapula. Problem keterbatasan

ekstensi, lateral fleksi dan rotasi cervical dapat diatasi dengan teknik Muscle

Energy Technique. Peningkatan LGS cervical dihasilkan oleh adanya efek post

isometric relaxasi (PIR) dan reciprocal inhibition (RI).

Menurut Chaitow (2013), efek PIR dan RI dapat menghasilkan refleks

relaksasi dan perubahan otot terhadap toleransi stretch, sehingga efek tersebut

menyebabkan penurunan tonus atau ketegangan otot. Telah dijelaskan oleh

Mishra et al. (2018), bahwa muscle spasm atau muscle tightness merupakan

salah satu penghambat restriktif terhadap lingkup gerak sendi. Efek PIR dapat
mengaktivasi golgi tendon organ (GTO) pada otot yang bersangkutan. Golgi

tendon organ dapat menghasilkan refleks relaksasi pada otot setelah kontraksi

isometrik karena GTO memiliki sifat inhibitor yang dapat mempengaruhi

sekumpulan motor neuron (Chaitow, 2010). Ketika tension berkembang pada

otot, impuls GTO dapat menginhibisi aktivitas γ motor neuron dan α motor

neuron sehingga dapat mencegah kontraksi lebih lanjut, tonus otot menurun,

yang pada gilirannya menyebabkan otot agonis rileks dan memanjang (Sonal,

2016). Kemudian, efek RI yang dihasilkan oleh MET dengan mengaktivasi

kontraksi otot antagonist (otot yang sehat) dapat menginhibisi tonus otot agonis

yang spasme/tightness sehingga akan menunjukkan penurunan tonus dengan

cepat setelah kontraksi (Chaitow, 2013). Adanya penurunan tonus otot yang

dihasilkan oleh Muscle Energy Technique dapat mengeliminir penghambat

restriktif sehingga akan terjadi peningkatan luas gerak sendi lateral fleksi dan

rotasi cervical.

Hasil penelitian El Laithy and Fouda (2018) mendukung hasil penelitian

ini, dengn topik “Effect of post isometric relaxation technique in the treatment of

mechanical neck pain”, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian

Muscle Energy Technique dengan metode PIR dapat mengurangi nyeri serta

meningkatkan LGS cervical.

4. Ischemic Compression

schemic Compression adalah aplikasi dengan penekanan kuat pada

trigger point dengan intensitas nyeri ditoleransi dengan menggunakan

tekanan jempol atau tekanan algometer, dan sebagai derajat penurunan untuk
menghilangkan nyeri pada trigger point. Pada saat melakukan Ischemic

Compression pada jaringan terjadi pemulihan dengan reperfusi sehingga

menghilangkan sumbatan aliran darah sementara (Ravichandran et al, 2016).

Ischemic Compression merupakan suatu teknik pijatan yang dilakukan

dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dengan terjadinya hyperemia reaktif

pada trigger point serta adanya mekanisme spinal refleks yang memulihkan

spasme otot. Sasarannya adalah pada substansia gelatinosa dengan tujuan

memberikan inhibisi transmisi stimulasi nyeri. Dengan dilakukannya

penekanan pada area trigger point dari jaringan myofacial diharapkan agar

terjadi pengeluaran zat – zat sisa iritan dengan adanya limpahan aliran darah

pada adhesi yang merupakan sisa metabolisme yang menumpuk pada jaringan

myofacia, sehingga terjadi penyerapan zat – zat iritan penyebab nyeri dan

akan menurunkan allodynia dan hiperalgesia pada sistem saraf (Anggraeni,

2013).

Dalam penelitian Anggrraeni (2015) menyatakan bahwa pemberian

ischemic compression technique dapat memfasilitasi pengisian arteri yang

dapat mengurangi penumpukan zat iritan pada otot, sehingga perubahan ini

pada akhirnya dapat mengurangi rasa nyeri, dengan adanya penurunan nyeri

maka akan terjadi relaksasi pada otot sehingga kerja otot tersebut kembali

pulih dan dapat meningkatkan kemampuan fungsionalnya termasuk

peningkatan LGS cervical. Jadi dapat disimpulkan bahwa ischemic

compression technique dapat meningkatkan LGS cervical (Tanusree et al,

2018).

5. Core Stability Exercise


Core Stability berpengaruh terhadap kemampuan mengontrol dan

mengendalikan posisi dan gerakan sentral pada tubuh diantaranya: head and

neck alignment, alignment of vertebral column thorax and pelvic

stability/mobility, dan ankle and hip strategies (Saunders, 2008). Peningkatan

lingkup gerak sendi, koordinasi gerak, pengontrol kondisi kekuatan otot,

memperhalus gerakan, menigkatkan penampilan gerak akan efisien dan lebih

baik bila dilakukan core stability exercise, ini juga membantu mengurangi risiko

terjadi cidera akibat kurang optimalnya postur tubuh (Irfan, 2010).

Kerja core stability memberikan suatu pola adanya stabilitas proksimal

yang digunakan untuk mobilitas pada distal. Pola proksimal ke distal merupakan

gerakan berkesinambungan yang melindungi sendi pada distal yang digunakan

untuk mobilisasi saat bergerak. Saat bergerak otot-otot core meliputi trunk dan

pelvic, sehingga membantu dalam aktivitas, disertai perpindahan energi dari

bagian tubuh yang besar hingga kecil selama aktifitas. Pemberian latihan core

stability akan memelihara postur yang baik dalam melakukan gerak serta

menjadi dasar untuk semua gerakan pada lengan dan tungkai. Core stability juga

berpengaruh terhadap stabilitas yang berpengaruh terhadap gangguan stabilitas

gerakan leher ( Kibler, 2006).

6. Mc Kenzie Neck Exercixe

McKenzie Neck Exercise pada hernia nucleus pulposus mempunyai

beberapa efek terapeutik pada posture FHP ( Forward Head Posture),

diantaranya adalah untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan limitasi ROM


pada sendi servikal (leher), memulihkan mobilitas dan fungsi servikal dengan

menghilangkan stres dan mengembalikan posisi mobile segment ke posisi

normal, dan relaksasi otot yang spasme dengan mengulur dan memperbaiki

postur leher (Medika Fisioterapi Poltekkes, 2010).

7. Traksi Cervical

Fisioterapi meberikan kekuatan traksi ringan sekitar 5-10 kilogram,

traksi ditahan selama sekitar 1 menit dan evaluasi kembali pasien. Kekuatan dan

waktu dimodulasi berdasarkan respons pasien. Dalam kebanyakan kasus, tidak

diperlukan untuk memberikan kekuatan yang sangat tinggi untuk traksi kekuatan

yang lebih

BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Proses Assemen Fisioterapi

1. Identitatas Umum Pasien


Nama : Tn. M

Umur : 32 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Paccerakkang

Pekerjaan : Akuntan

2. Anamnesis Khusus

1. Keluhan Utama : Nyeri leher sisi kiri yang menjalar ke lengan kiri.

2. Lokasi Keluhan : leher sisi kiri dan lengan sisi kiri

3. Lama keluhan : 2 minggu

4. Riwayat Perjalanan Penyakit : Pasien merasakan keluhan nyeri leher sisi kiri

yang menjalar ke lengan kiri dan interscapula kiri sejak 2 minggu yang lalu.

Nyeri pada lengan kiri terasa pada bagian posterior lengan sampai jari ke-2, 3

dan 4. Pasien memiliki riwayat nyeri leher yang ringan dan biasanya hilang

dalam 2 – 3 hari. Jika pasien duduk lebih dari 10 menit maka muncul nyeri

leher sisi kiri dan lebih dari 30 menit muncul nyeri ke lengan kiri seperti

kesetrum, jika melihat ke atas dan menoleh ke kiri dapat meningkatkan nyeri

pada leher dan lengan kiri, pada saat mengangkat tas koper dengan tangan

kiri dapat meningkatkan nyeri leher dan interscapula kiri. Nyeri leher

berkurang jika pasien berbaring terlentang dan nyeri lengan berkurang jika

berbaring terlentang sambil lengan kiri di atas kepala. Pasien hanya dapat

tidur selama 2 – 3 jam di malam hari. Pasien mengonsumsi obat analgetik.

3. Inspeksi/Observasi

d. Statis
1) Dari arah anterior terlihat adanya asimetris bahu dengan sisi kanan lebih

rendah dibandingkan bahu kiri

2) Dari arah lateral, flat neck, forward head postur

3) Dari arah posterior asimetris bahu dengan sisi kanan lebih rendah

dibandingkan bahu kiri

e. Dinamis

Pasien tampak kesulitan untuk menggerakan daerah cervical seperti

menunduk, melihat ke atas dan menoleh.

4. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

a. Quick Test

1) Fleksi – ekstensi cervical (aktif)

a) Tujuan : untuk mengetahuin adanya nyeri dan keterbatasan gerak.

b) Prosedur pemeriksaan

(1.)Posisi pasien : duduk

(2.)Posisi fisioterapi : berdiri di depan atau samping pasien

(3.)Teknik pelaksanaan : Pasien diminta untuk melakukan

gerakan fleksi – ekstensi cervical secara mandiri.

Fisioterapis sebelumnya memberikan contoh terlebih

dahulu kemudian pasien mengikuti gerakan yang sudah

dicontohkan.

(4.)Hasil pemeriksaan : pada saat ekstensi dan fleksi nyeri

leher hingga ke lengan.

(5.)Interpretasi: indikasi stenosis foramen intervertebralis dan

problem pada diskus.


Gambar 3.1
Quick test fleksi-ekstensi cervical
Sumber : Sudaryanto (2020)

2) Gerakan 3 dimensi ekstensi cervical

a) Tujuan : untuk mengetahuin adanya nyeri dan keterbatasan gerak.

b) Prosedur pemeriksaan

(1.)Posisi pasien : duduk

(2.)Posisi fisioterapi : berdiri di depan atau samping pasien

(3.)Teknik pelaksanaan : pasien diminta untuk melakukan

gerakan lateral fleksi, rotasi kemudian ekstensi cervical

secara aktif.

(4.)Hasil pemeriksaan : nyeri menjalar ke interscapula hingga

kelengan pada sisi ipsilateral.

(5.)Interpretasi: indikasi disfungsi facet, stenosis foramen

intervertebralis.
Gambar 3.2
Quick test 3 dimensi ekstensi cervical
Sumber : Sudaryanto (2020)

3) Gerakan abduksi elevasi shoulder :

a) Teknik pelaksanaan

(1.)Posisi pasien berdiri

(2.)Pasien diminta untuk melakukan gerakan abduksi pada

kedua lengan secara bersamaan.

(3.)Fisioterapi secara hati-hati mengevaluasi gerakan simetris

dan koordinasi gerakan.

(4.)Pasien diminta untuk menurunkan kedua lengan secara

bersamaan, fisioterapis dengan hati-hati mengevaluasi

gerakan untuk simetris dan koordinasi gerakan.

b) Hasil : tidak nyeri dan full ROM

c) Interpretasi : Tidak ada gangguan pada shoulder


Gambar 3.3
Bileteral fleksi elevasi shoulder

Sumber : sudaryanto, 2018

b. Pemeriksaan gerak aktif pada region cervical

1) Teknik Pelaksanaan

Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi – ekstensi cervical,

lateral fleksi cervical, dan rotasi cervical secara mandiri. Fisioterapis

sebelumnya memberikan contoh terlebih dahulu kemudian pasien

mengikuti gerakan yang sudah dicontohkan.

2) Hasil : ketika fleksi timbul nyeri hebat, ekstensi, lateral fleksi dan rotasi

kiri terbatas dan timbul nyeri menjalar hingga ke lengan.


3) Interpretasi : fleksi, lateral fleksi dan rotasi timbul nyeri menjalar

ipsilateral indikasi problem pada diskus, disfungsi facet dan stenosis

foramen intervertebralis.

Fleksi cervical Ekstensi cervical

Lateral fleksi cervical Rotasi cervical

c. Pemeriksaan gerak pasif pada region cervical

1) Hasil : ketika fleksi, ekstensi, lateral fleksi dan rotasi kiri terbatas,

timbul nyeri menjalar hingga ke lengan kiri dan firm end feel.

2) Interpretasi : ekstensi, lateral fleksi dan rotasi timbul nyeri menjalar

ipsilateral indikasi disfungsi facet dan stenosis foramen intervertebralis.

Timbul nyeri kontralateral indikasi muscle thigth


d. Tes isometric melawan tahanan pada region cervical

Gerakan Nyeri Kekuatan otot Kualitas saraf


Fleksi Nyeri Lemah Baik
Ekstensi Nyeri Lemah Baik
Lateral fleksi kiri Nyeri Lemah Baik
Lateral fleksi kanan Tidak nyeri Kuat Baik
Rotasi kiri Nyeri Lemah Baik
Rotasi kanan Tidak nyeri Kuat Baik

Interpretasi : Kelemahan otot

5. Pemeriksaan Spesifik

a. Palpasi otot upper trapezius, levator scapula, spelinius capitsi/cervicis

sampai di inferior scapula sebelah kiri.

1) Tujuan: Untuk mengetahui otot upper trapezius, levator scapula,

spelinius capitsi/cervicis

2) Prosedur pemeriksaan:

(1)Posisi pasien: pasien dalam posisi duduk dan relax

(2) Posisi fisioterapis: berdiri di belakang pasien

3) Tehnik pelaksanaan: Terapis menggunakan bantalan indeks jari-jari

untuk meraba, memegang bagian tubuh dan menekan, lapisan jaringan

otot. Palpasi otot upper trapezius, levator scapula, spelinius

capitsi/cervicis sampai di inferior scapula.

4) Hasil : nyeri tekan pada otot upper trapezius, levator scapula, spelinius

capitsi/cervicis sisis kiri

5) Interpretasi: terdapat spasme otot pada upper trapezius, levator scapula,

spelinius capitsi/cervicis sisi kiri.


b. Foraminal Compression tes ( Spurling tes)

1) Tujuan : Tes ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya nyeri atau

parasthesia pada shoulder atau upper limb dikarenakan adanya iritasi

pada akar saraf yang terjadi di cervical spine, melokalisir nyeri leher

akibat adanya suggest dari facet di bagian posterior.

2) Prosedur pemeriksaan

a) Posisi pasien : Duduk

b) Posisi fisioterapi : Berdiri di belakang pasien

c) Teknik pelaksanaan : Dilakukan dalam posis netral, ekstensi, lateral

fleksi

(1.) Tahap pertama : cervical dalam posisi netral dan diasumsikan

kompresi.

(2.) Tahap kedua : kepala posisi ekstensi kemudian kompresi

Nilai gejalanya. Jika nyeri radikuler hadir, tes positif.

(3.) dan tahap akhir: adalah dengan kepala dalam ekstensi dan

merotasikan kepala pasien ke arah lateral fleksi ke arah sisi

keluhan dengan kompresi. Tes dilakukan secara bilateral

Gambar 3. 4
Spurling test
Sumber : Ahmad, 2018

d) Hasil : pada saat fleksi, ekstensi dan lateral fleksi nyeri meningkat

pada leher, lengan bagian posterior sampai jari ke-2, 3 dan 4

ipsilateral.

e) Interprestasi : mengindikasikan disfungsi facet, HNP cervical dan

stenosis foramen intervertebralis C6-C7.

c. Maximum cervical compression test

1) Tujuan : Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya patologi facet joint

dan penekan pada akar saraf cervical.

2) Prosedur pemeriksaan

a) Posisi pasien : Duduk

b) Posisi fisioterapis : berdiri di belakang pasien

c) Teknik pelaksanaan : Lakukan gerakan lateral fleksi dan rotasi kiri

pada sisi yang sama kemudian kepala kearah ekstensi dan

diaplikasikan kompressi

Gambar 3.5
Spurling test
Sumber : Cook, 2007
d) Hasil : Timbul nyeri menjalar ke lengan bagian posterior sampai jari

ke-2, 3 dan 4 sisi kiri.

e) Interprestasi : indikasi disfungsi facet dan akar saraf C6-C7

d. Bakody’s Sign Test

1) Tujuan : Tes ini bertujuan untuk mengidentifikasi gejala radicular pain

khususnya melibatkan akar saraf C5-C6

2) Prosedur pemeriksaan

a) Posisi pasien : Duduk

b) Posisi fisioterapis : berdiri di depan pasien

c) Teknik pelaksanaan : secara pasif atau pasien secara aktif

mengelevasikan lengan melalui abduksi shoulder, dimana lengan

bawah atau tangan dalam posisi rest di atas kepala pasien.

3) Hasil : nyeri radicular berkurang

4) Interprestasi : indikasi penjebakan akar saraf

Gambar 3.5
Bakody’s Sign Test
Sumber : (Ahmad, 2018)
e. Distraction test

1) Tujuan : Tes ini digunakan untuk pasien yang memiliki keluhan dengan

gejala radicular pain.

2) Teknik pelaksanaan

a) Posisi pasien : Duduk

b) Posisi fisioterapis : berdiri di belakang pasien

c) Teknik pelaksanaan : fisioterapis meletakkan kedua ibu jari tangan

disekitar occiput dan jemari lainnya disekitar temporal kepala pasien.

Lalu, secara perlahan lakukan distraksi (angkat kepala pasien).

Gambar 3.6
Traction tes
Sumber Chad E, cook (2010)

3) Hasil : nyeri radicular berkurang

4) Interprestasi : indikasi penjebakan akar saraf

f. Shoulder Depressione test

1) Tujuan : Tes Depresi Bahu adalah prosedur pemeriksaan tulang belakang

leher yang menguji radikulopati, keseleo atau regangan. Tes ini juga


digunakan untuk mengevaluasi pleksus brakialis untuk lesi dan untuk

menilai pleksopati.

2) Teknik pelaksanaan

a) Posisi pasien : Duduk

b) Posisi fisioterapis : berdiri di belakang pasien

c) Teknik pelaksanaan : fisioterapis menggerkkan kepala pasien ke arah

lateral fleksi, tangan fisioterapi memberikan tekanan pada bahu pasien

ke arah bawah.

3) Hasil : nyeri leher meningkat sampai ke lengan.

4) Interpretasi : mengindikasikan radikulopati. ini menunjukkan iritasi atau

kompresi akar saraf atau perambahan foraminal seperti osteofit di area di

sisi yang dikompresi.

g. Upper Limb Tension Tess

1) Teknik pelaksanaan

a) ULTT 1 : depresikan bahu pasien kemudian gerakkan abduksi

shoulder 1100 ,fleksi elbow 900 , eksorotasi shoulder,ekstensi wrist

dan finger kemudian secara perlahan ekstensikan elbow.

b) ULTT 1 : depresikan bahu pasien kemudian gerakkan abduksi

shoulder 100 ,fleksi elbow 900 , supinasi, dan ekstensi wrist dan finger

kemudian secara perlahan ekstensikan elbow.

c) ULTT 1 : depresikan bahu pasien kemudian gerakkan abduksi

shoulder 100 ,fleksi elbow 900 , pronasi dan fleksikan wrist dan

finger kemudian secara perlahan ekstensikan elbow.


2) Hasil : Di rasakan nyeri meningkat, kesemutan atau mati rasa dari leher

hingga lengan

3) Interpretasi : indikasi sensitizing pada stuktur saraf.

h. Joint Play Movement pada cervical

1) Tujuan : Tes ini digunakan untuk gerakan aksesori pasif atau provokasi

nyeri pada segmen cervical.

2) Teknik pelaksanaan

PACVP dan LPAVP. PACVP atau postero-anterior central vertebra

pressure diaplikasikan dalam posisi tidur tengkurap dengan memberikan

kompresi pada proc. spinosus setiap segmen. Sedangkan LPAVP atau

lateral-posterior vertebral pressure juga dalam posisi yang sama tetapi

kompressi diberikan pada facet joint tepat disamping proc.sponosus.

3) Hasil yang diperoleh dari PACVP di C6 – C7 terdapat nyeri segmental

4) Interprestasi : indikassi intervertebral disfungsi

Gambar 3.7
JPM PACVP
Sumber: Cook, 2010

i. Dermatom test
1) Tujuan: Untuk melakukan pemeriksaan terhadap daerah dermatom C6-C7

2) Prosedur pemeriksaan:

a) Posisi pasien: pasien dalam posisi tidur terlentang dan menutup mata

b) Posisi fisioterapis: berdiri disamping lengan yang akan di palpasi

c) Tehnik pelaksanaan: fisioterapis melakukan palpasi di daerah

posterior ke arah anterior lengan hingga ke jari 2,3 dan 4 kemudian

menanyakan ke pasien apakah ada rasa kebas atau mati rasa

(numbness).

3) Hasil: pasien merasakan kebas pada daerah tersebut

4) Interpretasi: terdapat penekanan pada akar saraf C6-C7

j. Miotom test

1) Teknik pelaksaaan

Pemeriksaan menempatkan sendi pada posisi netral atau posisi

rileks dan kemudian menerapkan gerakan isometric melawan tahanan,

kontraksi ditahan kurang lebih selama 5 detik untuk melihat adanya

kelemahan. Jika memungkinkan pemeriksa akan memeriksa dua sisi

sekaligus untuk mendapatkan perbandingan.

2) Hasil : Terjadi kelemahan pada saat melakukan gerakan ekstensi elbow.

3) Interpretasi : indikasi gangguan akar saraf C6-C7

k. Tes refleks

1) Bicep

Posisi pasien fleksi elbow kemudian ketuk diatas tendon bicep. Normalnya

kontraksi bicep menyebabkan lengan bawah fleksi.

Hasil :Normal
2) Tricep

Sanggah elbow pasien dengan satu tangan kemudian ketuk diatas tendon

tricep. Normalnya kontraksi tricep menyebabkan lengan bawah ekstensi.

Hasil : tricep reflex menurun

6. Pengukuran Fisioterapi

a. MMT ( Manual Musclte Testing )

Gerakan Hasil
Capital extension 4
(otot deep ekstensor neck)
Capital flexion 4
(otot deep flexor neck)
Cervical ekstension 5
(otot ekstensor neck)
Cervical flexion 5
(otot flexor neck)

b. Pengukuran Luas Gerak Sendi Cervical dengan Goniometer

Gerakan Hasil Normal


Ekstensi/fleksi S. 65 ° - 0° - 30° S. 80° – 0° – 60°
Lateral Fleksi Dextra/sinista F. 40° – 0° – 35° F. 45° – 0° – 45 °
Rotasi Dextra/snistra R. 70 °– 0 °– 60° R. 80° – 0 °– 80 °

Interprestasi : Terbatas pada gerakan fleksi, ekstensi, lateral fleksi dan rotasi

kiri cervical.

c. VAS

1) Teknik pelaksanaan : Terapis memberikan provokasi nyeri kepada

pasien. pasien akan menunjukkan seberapa nyeri yang ia rasakan. Pasien

diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan tingkat


intensitas nyeri yang dirasakan pasien, kemudia jaraknya diukur dari

batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien dan itulah tingkat

intensitas nyeri pasien. Skor tersebut dicatat dan digunakan untuk

melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya.

2) Kriteria objektif

skala 0 – 1 : tidak terasa nyeri;

skala 1 – 3 : nyeri ringan;

skala 3 – 7 : nyeri sedang ;

skala 7 – 9 : nyeri berat;

skala 9 – 10 : nyeri sangat berat

3) Hasil :

1) Nyeri diam : skala 3,5

2) Nyeri gerak : skala 6,4

3) Nyeri tekan : skala 7,3

4) Interprestasi :

1) Nyeri diam : nyeri sedang

2) Nyeri gerak : nyeri sedang

3) Nyeri tekan : nyeri berat

d. Neck disability index (NDI)

1) Teknik pelaksanaan

Terapis memberikan kuisioner kepada pasien untuk kemudian diisi dan

dievaluasi oleh terapis.

2) Kriteria objektif

0 – 20 % : Minimal Disabilitas (ringan)


20 – 40 % : Moderate Disabilitas (sedang)

40 – 60 % : Severe Disabilitas (berat)

60 – 80 % : Crippled (lumpuh)

80 – 100 % : -

3) Hasil : 30 %

4) Interprestasi : Pasien mengalami disabilitas sedang.

7. Diagnosa Fisioterapi

”Hypomobile Cervical with Radicular Pain et causa Hernia Nucleus Pulposus

with Senosis Foramen Intervertebralis”

8. Problematik Fisioterapi

N
Pemeriksaan/Pengukuran
o Komponen ICF
Yang Membuktikan
.
1. IMPAIRMENT
Tes gerak aktif, tes gerak
pasif, skala Vas, spurling test,
a. Nyeri radikuler ke lengan kiri maximum cervical
compression test, dan
shoulder depression test.
b. Prolapse diskus C6-C7 MRI
c. Spasme otot upper trapezius,
levator scapula, scaleni dan Palpasi
capitis/cervicis sisi kiri
d. Deviasi postural : forward head
Inspeksi
posture
e. Hipomobility cervical akibat Tes gerak aktif, tes gerak
disfungsi facet joint pasif dan rom tes
f. Kelemahan otot deep ekstensor dan Tes Isometrik Melawan
deef fleksor neck Tahanan Dan MMT
2. ACTIVITY LIMITATION
a. pasien merasa nyeri ketika Tes Isometrik Melawan
mengangkat beban berat Tahanan dan shoulder
menggunakan tangan kiri depression test
b. Gangguan saat duduk dalam jangka
History taking
waktu yang lama
a. Ganguan fungsional menengadah Tes gerak aktif, tes gerak
pasif, quick test, spurling test
dan menoleh dan pengukuran fungsional
cervical (NDI)
3. PARTICIPATION RESTRICTION
a.Gangguan bekerja dengan
menggunakan komputer dalam Neck disability indeks
waktu lama
b. Gangguan berkendara Neck disability indeks

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Intervensi Fisioterapi

a. Tujuan jangka pendek

1) Mengurangi nyeri radikuler ke lengan kiri

2) Mengurangi spasme otot upper trapezius, levator scapula, scaleni dan

splenius capitis/cervicis.

3) Koreksi postur

4) Meningkatkan mobilitas cervical.

5) Meningkatkan kekuatan otot cervical

b. Tujuan jangka Panjang

1) Memperbaiki kemampuan fungsional seperti menengadah dan menoleh.

2) Memperbaiki kemampuan untuk mengangkat beban, bekerja

menggunakan komputer dan berkendara.

2. Program Intervensi Fisioterapi

No Jenis Intervensi
Komponen ICF
. Tujuan Intervensi
1. IMPAIRMENT
a. Nyeri radikuler ke lengan kiri TENS
akibat prolapse pada diskus C6- Mengurangi nyeri MET
C7 Mobilisasi saraf
b. Spasme otot upper trapezius, Mengurangi spasme Ultrasound
levator scapula, scaleni dan MET
capitis/cervicis sisi kiri IC
Core stability
c. Deviasi postural : forward
Koreksi postur SittingChin
head posture
Retraction
MET
Traksi cervical
d. Hipomobility cervical Menambah ROM
Manualtraksi
MC kenzie
e. Kelemahan otot deep ekstensor Meningkatkan kekuatan
Core stability
dan deep fleksor neck otot
2. ACTIVITY LIMITATION
a. pasien merasa nyeri
a. pasien merasa nyeri ketika ketika mengangkat
mengangkat beban berat beban berat
menggunakan tangan kiri menggunakan tangan
kiri
b. Gangguan saat duduk
b. Gangguan saat duduk dalam
dalam jangka waktu
jangka waktu yang lama
yang lama
c. Ganguan fungsional
b. Ganguan fungsional
menengadah dan
menengadah dan menoleh
menoleh
PARTICIPATION
3.
RESTRICTION
a. Gangguan bekerja
a. Gangguan bekerja dengan
dengan menggunakan
menggunakan komputer dalam
komputer dalam
waktu lama
waktu lama
b. Gangguan berkendara b. Gangguan berkendara

a. TENS (Trancutaneus Electrical Nervus Stimulation)

1) Tujuan

Ditujukan untuk mengurangi nyeri, dan melancarkan sirkulasi.

2) Persiapan alat

Sebelum pelaksanaan terapi alat terlebih dahulu disiapkan, semua

saklar dalam panel kontrol dalam keadaan netral.

3) Persiapan pasien
Sebelum melakukan terapi kepada pasien, pasien dijelaskan tujuan

terapi yang akan dilakukan. Kemudian pasien juga diberitahu bahwa

terapi ini bukan kontraindikasi. Dijelaskan pula apa yang akan dirasakan

pasien selama terapi. Beritahu juga kepada pasien untuk memberitahukan

kepada terapis tentang keluhan-keluhan yang terjadi selama terapi.

Sebelum terapi dimulai terlebih dahulu dilakukan tes sensasi.

4) Pelaksanaan terapi

Pastikan alat sudah tuning naikkan intensitasnya sampai pasien

merasa hangat atau sesuai toleransi pasien. Selama terapi harus dimonitor

rasa panas dan keluhan yang dirasakan pasien. Setelah waktu selesai

kembalikan intensitas ke posisi nol, putar tombol “off”, kemasi elekrode

dan kabel, cek keadaan kulit. Dosis yang diberikan

F : 3 kali seminggu

I : high frequency

I : metode nervs segmental

T : 10 menit

b. Ultrasound

1) Tujuan

Ditujukan untuk mengurangi nyeri, spasme otot serta untuk perbaikan

joint contractur dan pemulihaan jaringan yang telah mengalami cidera.

2) Persiapan Alat

a) Siapkan Ultrasound gel sebagai media penghantar dan mengecek kabel-

kabel yang terpasang di alat.

b) Bersihkan head transducer dengan alkohol


c) Nyalakan alat dengan menekan tombol ON/OFF.

3) Persiapan pasien

a) Fisioterapis menjelaskan kepada pasien mengenai prosedur dan tujuan

dari pemberian ultrasound

b) Pasien dalam posisi tidur tengkurap.

c) Daerah yang akan diterapi (area leher) bebas dari pakaian.

d) Fisioterapis mengoleskan gel secukupnya pada area otot upper

trapezius dan/atau levator scapula

4) Teknik aplikasi

a) Fisioterapis melakukan settingan dosis terapi yang akan diterapkan.

b) Dosis terapi yang digunakan adalah frekuensi 3 MHz, pulse ratio 50 –

100%, intesitas 1 W/cm2, ERA transducer 5 cm, waktu 6-8 menit,

jumlah intervensi sebanyak 6 kali

e) Fisioterapis meletakkan head transduser pada area otot upper trapezius

dan/atau levator scapula.

c) Fisioterapis menekan tombol Start/Stop, kemudian menggerakkan

transduser secara lambat disekitar area otot tersebut secara transversal.

b. Muscle Energy Techniques

1) Tujuan: untuk mengurangi nyeri, merileksasi otot dan menambah ROM

cervical.
2) Posisi pasien : posisikan kepala pasien kearah lateral fleksi dan sedikit

rotasi kontralateral sehingga terjadi pemanjangan pada otot upper trapezius

dan/atau levator scapula

3) Peletakan tangan fisioterapis : satu tangan fisioterapis berada di sisi lateral

kepala pasien, dan tangan lainnya berada di atas bahu pasien.

4) Teknik pelaksanaan :

a) Sampel diinstruksikan untuk menahan dorongan tangan fisioterapis

di kepala kearah lateral fleksi dengan kontraksi isometrik ringan (10

– 20%), dan menahan dorongan tangan fisioterapis di bahu kearah

depresi dengan kontraksi isometrik ringan (10 – 20%).

b) Pasca kontraksi isometrik, pasien diminta relaks sambil atur napas,

setelah itu sampel diminta untuk menggerakkan bahunya kearah

depresi sambil tangan fisioterapis membantu mendorong bahu

pasien kearah depresi.

c) Dosis yang diberikan adalah kontraksi isometrik dipertahankan

selama 6 – 8 detik, diulang 2 – 3 kali, 1 kali active assisted

stretching.

Gambar 3.8
Muscle energy technique
d. Ischemic Compression

1) Tujuan : untuk mengurangi nyeri, merileksasi otot dan menambah ROM

cervical.

2) Posisi pasien : duduk

3) Posisi fisioterapis : berdiri di belakang pasien

4) Teknik pelaksanaan :

a) Kepala pasien diposisikan lateral fleksi sedikit rotasi untuk

memanjangkan otot upper trapezius dan/atau levator scapula yang

mengalami spasme/tight pada sisi kontralateral.

b) Tekanan ibu jari diaplikasikan pada titik nyeri dari otot upper

trapezius dan/atau levator scapula.

c) Dosis yang diberikan adalah tekanan berat/keras, tekanan statik

selama 60 detik,

Gambar 3.9
Teknik Ischemic Compression

e. Traksi Cervical

1) Tujuan : mengurangi nyeri dan memelihara ROM

2) Posisi pasien : tidur terlentang


3) Posisi awal pasien : kepala pasien dibiarkan sedikit keluar diatas bed

4) Posisi fisioterapis : berdiri di bagain atas bed pasien

5) Peletakan tangan fisioterapis : satu tangan fisioterapis memegang dagu

pasien dan satu tangan fisioterapis lainnya memegang bagian occipital grid

6) Teknik pelaksanaan :

a) Instruksikan pasien untuk relaks

b) Tangan fisioterapis berperan sebagai penggerak melakukan gerak

traksi

c) Dosis yang diberikan adalah 3 kali seminggu gerakan ditahan 5- 8

detik, 3 kali repetisi.

Gambar 3.9
Traksi cervical
Sumber Chad E, cook (2010)

f. Manual traksi ekstensi Mc. Kenzie

1) Tujuan :Mengurangi nyeri dan menambah ROM

2) Posisi pasien : tidur terlentang

3) Posisi awal pasien : kepala pasien dibiarkan sedikit keluar diatas bed

4) Posisi fisioterapis : berdiri di bagain atas bed pasien


5) Peletakan tangan fisioterapis : satu tangan fisioterapis memegang dagu

pasien dan satu tangan fisioterapis lainnya memegang bagian occipital grid

6) Teknik pelaksanaan :

d) Instruksikan pasien untuk relaks

e) Tangan fisioterapis berperan sebagai penggerak melakukan gerak

traksi, sambil melakukan traksi kepala pasien digerakkan kea rah

ekstensi.

f) Dosis yang diberikan adalah 3 kali seminggu gerakan ditahan 5- 8

detik, 3 kali repetisi.

Gambar 3.9
Manual traksi ekstensi Mc. Kenzie
Sumber : Sudaryanto (2018)

g. Mobilisasi saraf

1) Posisi pasien : supine lying

2) Posisi fisioterapis : Berdiri di samping pasien

3) Posisi tangan fisioterapis : Satu tangan terapis berada di lengan dan lainnya

berada di shoulder
4) Teknik pelaksanaan :

a) ULTT 1 : depresikan bahu pasien kemudian gerakkan abduksi

shoulder 1100 ,fleksi elbow 900 , eksorotasi shoulder,ekstensi wrist

dan finger kemudian secara perlahan ekstensikan elbow.

b) ULTT 1 : depresikan bahu pasien kemudian gerakkan abduksi

shoulder 100 ,fleksi elbow 900 , supinasi, dan ekstensi wrist dan

finger kemudian secara perlahan ekstensikan elbow.

c) ULTT 1 : depresikan bahu pasien kemudian gerakkan abduksi

shoulder 100 ,fleksi elbow 900 , pronasi dan fleksikan wrist dan

finger kemudian secara perlahan ekstensikan elbow.

Gambar 3.10
Mobilisasi saraf ULTT 1
Sumber : Cook, 2010

h. Core stability cervical

1) Tujuan : koreksi postur dan stabilitas cervical

2) Posisi pasien : berbaring terlentang

3) Posisi fisioterapi : berdiri di samping pasien

4) Teknik pelaksanaan
Pasien berbaring lalu di bawah leher pasien diberikan handuk, pasien

diminta untuk menekan handuk menggunakan leher ke arah bed, kemudian

tahan hingga beberapa detik.

5) Dosis

F : 3 kali seminggu

I : optimal resisted 8x repetisi

T: kontraksi isometrik

T: 5 menit

Gambar 3.11
Core stability cervical
Sumber: Sudaryanto, 2018

i. Sitting Chin Retraction

1) Tujuan : Memulihkan kecepatan refleks, dekompresi elemen saraf serviks,

dan mengurangi nyeri.

2) Posisi pasien : Duduk

3) Posisi fisioterapis : berdiri di depan pasien

4) Teknik pelaksanaan :

a) Instruksikan pasien untuk relak


b) Minta pasien untuk menekan dagu menggunakan dua jari kearah

dalam leher lalu tahan selama 8 detik

c) Dosis yang diberikan adalah 3 kali seminggu, 8 kali hitungan dan 3

kali repetisi

Gambar 3.12
Sitting Chin Retraction
Sumber Chad E, cook (2010)

C. EVALUASI

1. VAS

Nyeri Sebelum Sesudah


Nyeri diam Skala 3,5 Skala 3
Nyeri gerak Skala 6,4 Skala 5
Nyeri tekan Skala 7,3 Skala 6,5

2. Luas Gerak Sendi Cervical

Gerakan Sebelum Sesudah


Ekstensi/fleksi S. 65 ° - 0° - 30° S. 70° – 0° – 40°
Lateral Fleksi Dextra/sinista F. 40° – 0° – 35° F. 45° – 0° – 40 °
Rotasi Dextra/snistra R. 70 °– 0 °– 60° R. 75° – 0 °– 70 °

D. Home program
Pada home program fisioterapi menjalaskan kembali intervensi yang telah

diberikan agar pasien melakukan secara mandiri di rumah. Seperti : core stability

dan sitting chin restriction.

BAB IV

PENUTUP

HNP cervikalis dapat terjadi akibat proses degeneratif maupun trauma

yang mencederai vertebra cervikalis. Proses degeneratif dan trauma ini menyebabkan

perubahan pada struktur diskus intervertebralis yang terletak diantara masing masing

badan (corpus) vertebracervicalis, sehingga fungsinya sebagai penahan tekanan

(shock absorbes) terganggu danmenyebabkan substansi diskus keluar (herniasi)

hingga menekan radix saraf bahkan medulaspinalis dan gejala yang secara umum

dapat ditemukan pada HNP cervical meliputi:

1. Nyeri di daerah leher khususnya pada bagian belakang dan samping

2. Rasa nyeri yang dalam di dekat atau sekitar bahu pada bagian yang terkena

3. Rasa nyeri yang menjalar ke bahu, lengan atas dan bawah, dan yang jarang pada

tangan, jari-jari atau dada (Referred pain)

4. Rasa nyeri memburuk dengan batuk, peregangan atau tertawa

5. Peningkatan rasa nyeri ketika fleksi leher atau menengokkan kepala

6. Spasme dari otot-otot leher

7. Kelemahan otot-otot lengan


8. Rasa baal atau tingling (a "pins-and-needles" sensation) di daerah bahu atau

lengan

Adapaun Rencana intervensi fisioterapi yang diberikan kepada pasien HNP

Cervical yaitu : TENS, ultrasound, muscle energy technique, ischemic compression

traksi cervical, manual traksi ekstensi (Mc. Kenzie), mobilisasi saraf, core stability

dan sitting chin retraction.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, N.C. 2013. Penerapan Integrated Neuromuscular Inhibition Technique

dengan Deep Transverse Friction dalam Menurunkan Nyeri pada Sindroma

Miofascial Trigger Point Syndrome Otot Upper Trapezius. Denpasar: Universitas

Udayana.

Apoorva, P., Nilima, B., Ashok, S., Parag, S. 2016. Effect of muscle energy technique

and static stretching on pain and functional disability in patients with mechanical

neck pain. Journal Hong Kong Physiotherapy: Vol 35: 5- 11.

Cesar, F., Joshua, A., Peter A. 2011. Neck and arm pain sydromes. Cihina: Elsevier.

Chaitaw, L. 2013. Muscl Energy Technique. Fourth Edition. China:

Elsevier

Chaitow, L. 2006. Muscle Energy Technique. 3rdEd. Churchill Livingstone: Edinburgh

Cook, C.E. 2011. Orthopedic Manual Therapy An Evidence-Based Approach. Second

Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Francis, H., Dino, S., Richard, G. 2015. Cervical Spine. China: Elsevier Saunders.
Jonas, W., Frield, K.2007.Human Performance Optimization: An Evolving Charge to

the Department of Defense. US National Library of MedicineNational Institutes

of Health: Mill Med, 172(11): 1133-1137.

Joshua, Lara, P., Inmaculada, Fernadez, Cesar. 2012. Short-Term Effect of Kinesio

Tapping Versus Cervical Thrust Manipulation in Patiens With Mechanical Neck

Pain. A Randomized Clinical Trial.

Keith, L., Arthur, F., Anne, M. 2018. Clinically Oriented Anatomy. Eighth Edition.

China: Wolters Kluwer.

Mardjono M., Sidharta P. 2012. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

McKenzie, R., Kubey, C. 2000. 7 Steps To A Pain-Free Life. New York: Penguin Group

Inc.

McKenzie, R., May, S. 2008. The Cervical & Thoracic Spine Mechanical Diagnosis &

Therapy. Volume One. New Zealand: Spinal Publications.

Menakam, P. T., Kalaichandram. 2015. Effect of Ischemic Compression Followed by


Stretching on Myofascial Trigger Points. International Journal of Scientific and
Research Publications: Vol.5 No.1
Penguin Group LLC.

Pier, P. 2016. Cervical Spine. New York Dordrecht London: Springer International

Publishing Switzerland.

Ravichandran, P., Ponni, Kartikha. H., Aseer, P. Antony. Leo. 2016. Effectiveness Of

Ischemic Compression On Trapezius Myofascial Trigger Poin In Neck Pain.

International J Physiotherapy Vol3 (2): 187-188.

Robin, M. 2014. Seven Step to A Pain-Free Life. United states Amerika Serikat:

Tanusree, B., Tapas, K. Pal., Munmun S., Shabnam A. 2018. A Comparative Study on
the Efficacy of Ischaemic Compression and Dry Needling with Muscle Energy
Technique in Patients with Upper Trapezius Myofascial Trigger Points.
International Journal of Health Sciences and Research: Vol.8 Issue 4

Anda mungkin juga menyukai