Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


GANGGUAN TUMBUH KEMBANG USIA 8 TAHUN AKIBAT
CEREBRAL PALSY SPASTIK DIPLEGI
DI YPAC (JAKARTA CP CENTER)
JAKARTA SELATAN
TAHUN 2018

Disusun oleh :
KELOMPOK 17

ARDIA PUTRI GITA PRAMESTI P3.73.26.1.15.005


BERLINDA NURCAHYA FEBRIANTI P3.73.26.1.15.008
ISNAENY ERA KARTIKA P3.73.26.1.15.063
MARTHALIA FAUSTINA P3.73.26.1.15.033

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III
JURUSAN FISIOTERAPI
PROGRAM STUDI D-IV FISIOTERAPI
TAHUN 2018
LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


GANGGUAN TUMBUH KEMBANG USIA 8 TAHUN AKIBAT
CEREBRAL PALSY SPASTIK DIPLEGI
DI YPAC (JAKARTA CP CENTER)
JAKARTA SELATAN
TAHUN 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Praktik Fisioterapi
Komprehensif I

Disusun oleh :
Isnaeny Era Kartika P3.73.26.1.15.063
Ardia Putri Gita Pramesti P3.73.26.1.15.005
Berlinda Nurcahya Febrianti P3.73.26.1.15.008
Marthalia Faustina P3.73.26.1.15.033

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III
JURUSAN FISIOTERAPI
PROGRAM STUDI D-IV FISIOTERAPI
TAHUN 2018
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


GANGGUAN TUMBUH KEMBANG USIA 8 TAHUN AKIBAT
CEREBRAL PALSY SPASTIK DIPLEGI
DI YPAC (JAKARTA CP CENTER)
JAKARTA SELATAN
TAHUN 2018

Laporan kasus ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk
dipertahankan dihadapan penguji

Pembimbing Pendidikan, Pembimbing Lahan,

Zahra Sativani, S.Tr.Ftr., M.Kes Qoryatullistya, SST.Ft


NIP. 199207042018012001 NIP. 1381107
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


GANGGUAN TUMBUH KEMBANG USIA 8 TAHUN AKIBAT
CEREBRAL PALSY SPASTIK DIPLEGI
DI YPAC (JAKARTA CP CENTER)
JAKARTA SELATAN
TAHUN 2018

Laporan kasus ini telah diujikan dalamkonferensi kasus pada tanggal 1 bulan 10
tahun 2018

Pembimbing Pendidikan, Pembimbing Lahan,

Zahra Sativani, S.Tr.Ftr., M.Kes Qoryatullistya, SST.Ft


NIP. 199207042018012001 NIP. 1381107
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Ynag Mah Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyusun laporan konferensi kasus yang berjudul
“Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Gangguan Tumbuh Kembang Usia 8
Tahun akibat CP Spastik Diplegi di Jakarta CP Center (YPAC Jakarta)” dengan
lancar.
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas komprehensif I
semester VII. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis banyak sekali
mendapatkan bantuan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Ratu Karel Lina, SST.Ft, SKM, MPH selaku Ketua Jurusan dan Nia Kurniawati,
SST.Ft, M.Fis selaku Sekretaris Jurusan Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Jakarta
III
2. Direktur CP Center (YPAC Jakarta) yang telah mengizinkan kami melakukan
praktik klinik komprehensif II di unit fisioterapi.
3. Staff dan Jajaran manajemen CP Center (YPAC Jakarta).
4. Ibu Qoryatullistya, SST.Ft selaku Pembimbing Lahan Fisioterapi CP Center
(YPAC Jakarta).
5. Ibu Zahra Sativani, S.Tr.Ftr., M.Kes selaku Pembimbing Akademik Poltekkes
Jakarta III.
6. Seluruh Fisioterapis Jakarta CP Center (YPAC Jakarta) yang telah memberikan
ilmu serta pengalaman yang berharga.
7. An. A dan keluarga yang telah berkenan untuk menjadi pasien kami.
8. Orangtua kami tercinta yang sudah mendukung kami dalam bentuk moril dan
materi.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
bagi para pembaca mengenai Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Gangguan
Tumbuh Kembang Usia 8 Tahun Akibat Cerebral Palsy Spastik Diplegi.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam makalah
ini, tetapi makalah ini telah memberikan pengalaman berharga dimana penulis
dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama kegiatan perkuliahan.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kebaikan di masa
mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, November 2018

Tim Penulis

i
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
DAFTAR ISI

LAPORAN KASUS
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3
D. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Biomekanik ............................................................................ 4
B. Definisi Osteoarthritis ................................................................................ 15
C. Definisi Valgus .......................................................................................... 16
D. Epidemiologi .............................................................................................. 17
E. Etiologi ....................................................................................................... 18
F. Patofisiologi ............................................................................................... 19
G. Manisfestasi Klinik .................................................................................... 21
H. Prognosis .................................................................................................... 21
I. Teknologi Fisioterapi ................................................................................. 22
J. Penatalaksanaan Fisioterapi ....................................................................... 25
K. Kerangka Pikir Studi Kasus ....................................................................... 33
BAB III URAIAN KASUS
A. Identitas Pasien........................................................................................... 34
B. Asesmen / Pemeriksaan.............................................................................. 34
C. Diagnosa Fisioterapi................................................................................... 37
D. Perencanaan Fisioterapi ............................................................................. 38
E. Intervensi Fisioterapi .................................................................................. 39
F. Evaluasi ...................................................................................................... 42
BAB IV PEMBAHASAN
A. Hasil penatalaksanaan Fisioterapi .............................................................. 53
B. Keterbatasan ............................................................................................... 54
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56
LEMBAR KONSULTASI .................................................................................... 59

ii
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
DAFTAR GAMBAR

iii
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
DAFTAR TABEL

iv
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
DAFTAR DIAGRAM

v
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cerebral Palsy pertama kali dijelaskan pada tahun 1862 oleh seorang ahli

bedah ortopedi bernama william James Little. Sebuah gangguan motorik yang

di sebabkan oleh kerusakan yang tidak progresif pada perkembangan otak. Pada

dasarnya cerebral palsy akan menunjukkan berbagai macam gangguan klinis

dari kerusakan korteks serebral atau kerusakan subkortikal yang terjadi selama

awal tahun kehidupan. Cerebral palsy sangat beresiko tinggi terjadi pada bayi

premature (1)

Diplegi adalah paralisis yang menyertai kedua sisi tubuh, paralisis bilateral

(Dorlan, 2005). Diplegi merupakan salah satu bentuk CP yang mengenai kedua

belah kaki. Cerebral Palsy Spastik Diplegi adalah suatu gangguan tumbuh

kembang motorik anak yang disebabkan karena adanya kerusakan pada otak

yang terjadi pada periode sebelum, selama dan sesudah lelahiran yang ditandai

dengan kelemahan pada anggota gerak bawah yang lebih berat dari pada anggota

gerak atas. Kelainan neuropatologi pada cerebral palsy bermacam-macam

tergantung pada bentuk dan besarnya hasil dan juga pada tingkat perkembangan

system saraf pusat (Molnar, 1992). Terdapat tiga jenis lesi neuropati (1) lesi yang

dihasilkan oleh perdarahan dibawah lapisan ventrikel (subependimal), (2)

enchepalopathy yang disebabkan oleh anoxia dan hypoxia, (3) neuropathy akibat

malformasi system saraf pusat.


Mekanisme patologi meliputi necrosis neurology selective dan ischemic

cerebral. Cerebral ischemic necrosis meliputi focal dan multifocal, sedangkan

tipe ischaemic lesi meliputi lesi hemorargic dan periventricular leukomalacia

(Hill and Volpe, dikutip oleh Shepherd, 1995).

Cerebral palsy selalu dikaitkan dengan banyak defisit seperti

keterbelakangan mental, gangguan bicara,bahasa dan oromotor. Penilaian

menyeluruh terhadap perkembangan saraf anak dengan Cerebral Palsy harus

mencakup evaluasi terkait defisit sehingga Program intervensi dini yang

komprehensif dapat direncanakan dan dilaksanakan.(2)

Fisioterapi pada kasus CP berperan dalam memperbaiki postur, mobilitas

postural, control gerak, dan mengajarkan pola gerak yang benar. Cara yang

digunanakan yaitu dengan mengurangi spastisitas, memperbaiki pola jalan, dan

mengajarkan pada anak gerakan-gerakan fungsional sehingga diharapkan anak

mampu mandiri untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari (Wikipedia Project,

2007).

B. Identifikasi Masalah

1. Terdapat beberapa masalah yang timbul akibat kasus cerebral palsy spastik

diplegi, antara lain sebagai berikut:

a. Spastisitas

b. Inactive trunk

c. Immobility pelvic

d. Poor movement of legs

2
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
e. Sitting imbalance

f. Standing imbalance

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis membatasi

permasalahan yang akan ditangani untuk sitting imbalance dan standing

balance.

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah :

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh penatalaksanaan fisioterapi pada kasus

cerebral palsy spastik diplegi meningkatkan sitting balance dan standing

balance.

2. Tujuan khusus

Untuk mengetahui pengaruh penatalaksanaan fisioterapi pada kasus cerebral

palsy spastik diplegi terhadap siting balance dan standing balance.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

1. Bagi Institusi Pendidikan

Menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada

di institusi, khususnya mengenai fisioterapi neuromuskular.

2. Bagi Profesi Fisioterapi

3
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Ikut serta dalam menambah wawasan dan wacana ilmu pengetahuan

yang terbaru khususnya tentang penatalaksanaan fisioterapi pada kasus

cerebral palsy spastik diplegi.

3. Bagi Pasien

Untuk mendapatkan manfaat dari penatalaksanaan fisioterapi pada

kasus cerebral palsy spastik diplegi sehingga pasien dapat mempertahankan

sitting balance dan standing balance.

4
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi Cerebral Palsy (CP) Spastik Diplegi

Dalam kamus kedokteran dorlan (2005) definisi CP yaitu setiap kelompok

gangguan motorik yang menetap, tidak progresif, yang terjadi pada anak kecil

yang disebabkan oleh kerusakan otak akibat trauma lahir atau patologi intra

uterine (Waluyo, 2010). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia

(2005), CP adalah suatu kelainan gerak dan postur tubuh yang tidak progresif,

dan disebabkan oleh karena kerusakan atau gangguan disel-sel motorik pada

susunan saraf pusat yang sedang dalam proses pertumbuhan.

Spastik adalah suatu keadaan dimana tonus otot lebih tinggi dari normal.

Menurut kamus kedokteran dorlan (2005), spastik adalah bersifat atau ditandai

dengan spasme dan hipertonik, dengan demikian otot-otot kaku dan gerakan

kaku. Diplegi adalah paralisis yang menyertai kedua sisi tubuh, paralisis

bilateral. Diplegia merupakan salah satu bentuk CP yang utama mengenai kedua

belah kaki. (Dorland, 2005)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Cerebral Palsy Spastik

Diplegia adalah suatu gangguan tumbuh kembang motorik anak yang

disebabkan karena adanya kerusakan pada otak yang terjadi pada periode

sebelum, selama dan sesudah kelahiran yang ditandai dengan kelemahan pada

anggota gerak bawah yang lebih berat daripada anggota gerak atas, dengan

5
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
karakteristik tonus postural otot yang tinggi terutama pada regio trunk bagian

bawah menuju ekstremitas bawah. (Waluyo, 2010)

B. Anatomi dan Biomekanik

Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat

darisemua anggota gerak tubuh. Otak adalah inti sistem saraf yang terdiri dari 3

bagian yaitu cerebrum, cerebellum, batang otak dan medulla spinalis (Irfan,

2012)

1. Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian SSP yang paling besar dan paling

menonjol, terletak di dalam cavum cranii. Cerebrum itu sendiri terdiri dari 2

belahan otak yaitu Hemispherium Cerebri Sinistra dan Hemispherium

Cerebri Dextra oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fissura

longitudinalis mayor. Bagian terluar cerebrum adalah substantia grisea yang

disebut sebagai cortex cerebri dan pada bagian dalamnya terdapat centrum

semiovale, ganglia basalis, dan hippocampus (Price, 2006).

a) Lobus frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih

tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca

di hemisfer kiri), dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan

gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat

area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca

6
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar,

perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004).

Pada lobus frontalis terdiri dari beberapa area yaitu area 4 Brodmann yang

merupakan daerah motorik utama, area 6 yang merupakan bagian dari

sirkuit traktus ekstrapiramidalis, area 8 yang berhubungan dengan

pergerakan mata dan juga perubahan pupil, serta area 9, 10, 11, dan 12

yang merupakan daerah asosiasi frontalis (Chusid, 1993).

b) Lobus temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan

ke bawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-

oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat

verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan

perkembangan emosi. Area 41 adalah daerah auditorius primer. Area 42

merupakan korteks auditoris sekunder atau asosiatif. Area 38, 40, 21, dan

22 adalah daerah asosiasi (Chusid, 1993).

c) Lobus parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus

post sentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran

(White, 2008). Pada lobus parietalis terdiri dari area 3, 1, dan 2 yang

merupakan daerah sensorik postsentralis yang utama, serta area 5 dan 7

yang merupakan daerah asosiasi sensorik (Chusid, 1993).

d) Lobus oksipitalis

7
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi

penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari

nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf

lain & memori (White, 2008). Pada lobus ossipitalis terdiri dari area 17

yang merupakan korteks striata, korteks visual yang utama, serta area 18,

dan 19 yang merupakan daerah asosiasi visual (Chusid, 1993).

Gambar 2.1. Lobus dari Cerebrum, dilihat dari atas dan samping

Sumber : ADAM, 2007

2. Basal Ganglia

Istilah Basal Ganglia (nukleus basalis) secara umum dipakai untuk lima

struktur di kedua sisi otak, yaitu nukleus kaudatus, putamen, globus palidus,

nukleus subtalamikus, serta substansia nigra. Basal ganglia memiliki peran

8
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
kompleks dalam mengontrol gerakan. Basal ganglia penting dalam

menghambat tonus otot di seluruh tubuh (tonus otot yang sesuai biasanya

dipertahankan oleh keseimbangan antara masukan inhibitorik dan eksitorik

ke neuron-neuron yang mempersarafi otot rangka), memilihi dan

mempertahankan aktivitas motorik bertujuan sementara menekan pola

gerakan yang tidak berguna, dan membantu memantau dan

mengkoordinasikan kontraksi-kontraksi menetap yang lambat, terutama

kontraksi yang berkaitan dengan postur dan penunjang (Irfan, 2012).

Gambar 2.2. Basal Ganglia

Sumber : Blaus, 2014

3. Cerebellum

Cerebellum terletak dalam fossa cranial posterior, di bawah tentorium

cerebellum bagian posterior dari pons varoli dan medula oblongata.

Cerebellum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh fermis. Berat

cerebellum sekitar 150 gram. Fungsi cerebellum yaitu mengembalikan tonus

9
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
otot di luar kesadaran yang merupakan suatu mekanisme saraf yang

berpengaruh dalam pengaturan dan pengendalian terhadap:

a. Perubahan ketegangan dalam otot untuk mempertahankan

keseimbangan dan sikap tubuh

b. Terjadinya kontraksi dengan lancar dan teratur pada gerakan di

bawah pengendalian kemauan dan mempunyai aspek keterampilan.

Setiap pergerakan memerlukan koordinasi pada setiap otot. Otot

antagonis harus mengalami relaksasi secara teratur dan otot sinergis

berusaha memfiksasi sendi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh

berbagai gerakan.

Serebelum terdiri dari tiga bagian yang secara fungsional berbeda

dengan peran berbeda yang terutama berkaitan dengan kontrol bawah

sadar aktivitas motorik. Secara spesifik, bagian-bagian screbelum

melakukan fungsi-fungsi berikut (Sherwood, 2016):

a. Vestibulocerebellum, penting untuk mempertahankan

keseimbangan dan kontrol gerakan mata.

b. Spinocerebellum, meningkatkan tonus otot dan mengoordinasikan

gerakan volunter terampil. Bagian otak sangat penting dalam

memastikan waktu yang tepat kontraksi berbagai otot untuk

mengoordinasikan gerakan yang melibatkan banyak sendi.

c. Cerebrocerebellum, berperan dalam perencanaan dan inisiasi

aktivitas volunter dengan memberikan masukkan ke daerah motorik

10
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
korteks. Ini juga merupakan bagian cerebellum yang menyimpan

ingatan prosedural.

4. Brainstem

Batang otak merupakan pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara

medulla spinalis dan otak. Batang otak tersusun empat segmen yaitu:

(Syaifuddin, 2006)

Gambar 2.3. Brainstem

Sumber : pmc.anatomy

a Diensefalon, merupakan bagian batang otak paling atas dan

terdapat diantara cerebellum dengan mesensefalon. Kumpulan

dari sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus temporal

terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.

Fungsi dari diensefalon yaitu vasokonstriktor (mengecilkan

pembuluh darah), respiratori (membantu proses pernapasan),

mengontrol gerakan refleks dan membantu kerja jantung.

11
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
b Mesensefalon, terdiri dari empat bagian. Dua di bagian atas

disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua di bagian bawah

disebut korpus kuadrigeminus inferior. Serat saraf okulomotor

berjalan ke ventral di bagian medial. Serat saraf troklear berjalan

ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain. Fungsi

mesensefalon yaitu membantu pergerakan mata dan mengangkat

bola mata dan memutar mata dan pusat pergerakan mata

c Pons varoli, terletak di depan cerebellum di antara otak tengah

dan medula oblongata dan terdapat premotoksid yang mengatur

gerakan pernapasan dan refleks. Fungsi pons varoli yaitu

penghubung antara kedua bagian cerebellum dan juga antara

medula oblongata dengan cerebellum dan pusat saraf nerve

trigeminus.

d Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang

paing bawah yang menghubungka pons varoli dengan medulla

spinalis. Fungsi medula oblongata yaitu mengontrol kerja

jantung, mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriktor), pusat

pernapasan, dan mengontrol gerakan refleks.

5. Anatomi Peredaran Darah Otak

Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang

diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat

mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus

dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan

12
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu

dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk

sel.

a Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis

dan arteri karotis internal, yang bercabang dan beranastosmosis

membentuk circulus willisi. Arteri karotis internal dan eksternal bercabang

dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan

arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis internal, dari pembuluh

darah ini keluar arteri communicans posterior yang bersatu kearah kaudal

dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan

melalui arteri communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan

berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan

merupakan cabang dari arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri

merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki

tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula

oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris.

13
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Gambar 2.4. Vaskularisasi Otak

Sumber: Anatomy of the Braim

Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu : a. karotis interna

dan a. vertebralis. Di dalam rongga cranium, keempat arteri ini saling

berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus arteri

Willisi. Dua pertiga jatah darah serebral dialirkan ke sebagian besar

serebrum dan diensefalon melalui sistem karotis; dan sepertiga sisanya

dialirkan ke medula oblongata, pons, otak tengah, lobus temporal

bagian medial, dan inferior, lobus parietal, lobus oksipital, dan

serebelum melalui sistem vertebralis. (Satyanegara, 1998)

b. Sistem Karotis

Arteri karotis komunis di dalam leher akan terbagi menjadi 2 (pada

ketinggian kartilago tiroid) menjadi a. karotis eksterna dan a. karotis

interna. Arteri karotis eksterna merupakan percabangan dari arteri karotis

komunis pada region region midservikal. Bagian proksimal dari arteri ini

14
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
berjalan anteromedial arteri karotis interna, namun selaras berjalan naik

arteri ini menuju posteromedial untuk mensuplai bagian-bagian wajah.

Arteri karotis eksterna memiliki sembilan cabang utama yaitu : a. tiroid

superior, a. pharygeal ascending, a. lingualis, a. facialis, a. occipitalis, a.

auricularis posterior, a. maxillaris, a. facialis transversum, dan a.

temporalis superficialis. (Goetz, 2007)

Arteri karotis interna dibagi menjadi empat bagian, yaitu : Pars

servikalis (berasal dari arteri karotis komunitis dalam trigonum karotikum

sampai ke dasar tengkorak), Pars petrosa (Terletak dalam os petrosum

bersama-sama dengan pleksus venous karotikus internus. Setelah

meninggalkan kanalis karotikus, di sisi depan ujung puncak piramid pars

petrosa hanya dipisahkan dari ganglion trigeminal yang terletak di sisi

lateral oleh septum berupa jaringan ikat atau menyerupai tulang pipih),

Pars kavernosa (Melintasi ujung kavernosus, membentuk lintasan berliku

menyerupai huruf “S” yang sangat melengkung, dinamakan

Karotisspphon), dan Pars serebralis (dalam lamela duramater kranial

arteri ini membentuk cabang arteri oftalmika, yang segera membelok ke

rostraldan berjalan di bawah nervus optikus dan ke dalam orbita).

(Marjono M, 2004)

c. Sistem Vertebralis

Sistem ini disusun oleh 2 buah a. vertebralis yang merupakan

cabang a. subclavia yang berjalan ke arah kranial disepanjang

permukaan anterolateral medula oblongata dan kemudian bergabung

15
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
menjadi a. basilaris yang berjalan di tengah permukaan ventral pons dan

otak tengah (Satyanegara, 1998). Cabang-cabang penting arteri

vertebralis adalah arteri spinalis anterior dan arteri serebralis posterior

inferior. Cabang arteri basilaris adalah Sepasang arteri serebralis

anterior inferior yang mengurus permukaan serebellum bagian bawah

depan, arteri auditiva interna, dan arteri serebralis superior yang

mengurus permukaan atas cerebellum.

Gambar 2.5. Circulus Wilisi

Sumber: Anatomy of the Brain

C. Epidemiologi

Klasifikasi topografi CP adalah monoplegia, hemiplegia, diplegia, dan

quadriplegia, monoplegia dan triplegia relatif jarang. Ada tumpang tindih yang

besar pada daerah yang terkena. Dalam 2 kebanyakan studi, diplegia adalah

bentuk paling umum (30% - 40%), hemiplegia adalah 20% - 30%, dan untuk

16
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
quadriplegia terhitung 10% - 15%. Dalam sebuah analisis dari 1.000 kasus CP

dari India, ditemukan bahwa quadriplegia dengan kejang merupakan 61% kasus

diikuti oleh diplegia 22% (Sankar et al., 2005). Prevalensi CP terus meningkat

dari 1,5 anak per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1960an menjadi 2,5 anak per

1000 kelahiran hidup pada tahun 1990an (Odding et al., 2006). Menurut Cans et

al., (2008), bahwa prevalensi terjadinya CP di Eropa adalah 2 per 1000 anak, dan

diperkirakan jumlahnya masih tetap selama 30 tahun terakhir, sehingga dapat

diperkirakan terdapat sekitar 650.000 orang yang menderita CP.

D. Etiologi

Penyebab cerebral palsy sangat bervariasi biasanya tergantung pada suatu

klasifikasi yang luas yang meliputi terminology tentang anak yang secara

neurologic sakit sejak dilahirkan, anak yang lahir kurang bulan dengan berat

badan lahir rendah yang beresiko cerebral palsy dan terminology tentang anak

yang lahir dalam keadaan sehat dan mereka yang mengalami resiko cerebral

palsy setelah masa kanak-kanak (Swaiman,1998). Periode terjadinya kerusakan

otak dikelompokan dalam 3 katergori yaitu masa prenatal, perinatal, dan post

natal. (Campbell, 1991)

1. Prenatal

Pada masa ini banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan

otak, antara lain :

a. faktor herediter atau genetic

b. infeksi virus (rubella, herpes), bakteri dan parasit (toxoplasmosis),

17
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
c. anoxia janin yang disebabkan oleh perdarahan akibat pemisahan plasenta

yang terlalu dini atau kelainan pertumbuhan plasenta

d. inkompatibilitas rhesus (Rh) yang meliputi : anemia hemolitik,

hiperbilirubinemia, dan eritroblastosis janin

e. gangguan metabolik ibu : diabetus mellitus

f. gangguan perkembangan yang meliputi kelainan pertumbuhan otak,

vaskuler, struktur skeletal.

2. Perinatal

Pada masa ini faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan otak

diantaranya :

a. pecahnya pembuluh darah otak

b. kompresi otak akibat proses persalinan yang lama atau sulit

c. asfiksia akibat sedasi obat

d. gawat janin dalam persalinan

e. solutio placentae

f. placentae previa

g. prematuritas.

3. Post natal

Pada masa ini faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan otak

diantaranya :

a. gangguan pembuluh darah otak

b. cedera kepala

c. infeksi otak yang disebabkan bakteri atau encephalopati virus

18
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
d. keadaan toksik seperti keracunan Pb (plumbum / timah hitam),

e. anoxia karena tenggelam

f. serangan epilepsy

g. tumor

h. cardiac arrest

E. Patofisiologi

Seperti di ketahui sebelumnya bahwa cerebral palsy merupakan kondisi

neurologis yang di sebabkan oleh cedera pada otak yang terjadi sebelum

perkembangan otak sempurna. Karena perkembangan otak berlangsung selama

dua tahun pertama. Cerebral palsy dapat di sebabkan oleh cedera otak yang

terjadi selama periode prenatal , perinatal, dan postnatal. Trauma cerebral yang

menyangkut trauma dari arteri cerebral media adalah rangkaian patologis yang

paling sering di temukan dan dikonfirmasi dari pasien dengan cerebral palsy

spastic hemiplegia dengan menggunakan evaluasi dari computed tomography

(CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) .

Penilaian tersebut telah menunjukkan kehilangan jaringan (nekrosis dan

atrofi) dengan atau tanpa gliosis. Beberapa anak dengan cerebral palsy

hemiplegia mengalami atrofi periventricular, menunjukkan adanya

ketidaknormalan pada white matter. Pada pasien dengan cerebral palsy bergejala

quadriplegia, gangguan motorik yang terjadi pada kaki bisa sama sampai lebih

berat daripada tangan. Yang terkait dengan cerebral palsy bentuk ini adalah

adanya rongga yang terhubung dengan ventrikel lateral , multiple cystic lesion

19
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
pada white matter, diffuse cortical atrophy, dan hydrocephalus. Cerebral palsy

bentuk coreoathetoid yang kadang mengalami spastisitas cenderung terjadi bayi

pada cukup 12 bulan, dystonia dari ekskremitas juga sering terjadi bersama

spastisitas tapi cenderung tidak dikenali. Hipotonus yang menetap atau atonic

pada cerebral palsy menunjukkan adanya keterlibatan cerebellar pathways.

Long-track signs seperti reflex deep-tendon cepat dan respon plantar extensor

cenderung disertai hipotonia. Pembesaran sistem ventricular adalah yang paling

sering dihubungkan pada neuro-imaging.

Prevalensi dari spastic diplegia atau quadriplegia meningkat di Australia,

swedia, dan united kingdom pada tahun 1970 seiring dengan meningkatnya

tingkat kelahiran bayi premature. Selama 30 tahun terakhir , neuropathologist

telah memaparkan bahwa periventricular white matter merupakan lokasi

terpenting dari kelainan yang menyebabkan disfungsi motorik kongenital.

Periventricular leukomalacia adalah istilah untuk karakteristik lesi necrosis

koagulatif pada white matter yang dekat dari ventrikel lateral , dengan

menggunakan pemeriksaan ultrasound mencari tanda adanya trauma pada white

matter secara virtual seperti kedua area hiperechoic (echodense) dan hipoechoic

(echolusent). Bayi yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu

beresiko tinggi terhadap kedua lesi hiperechoic dan hipoechoic.

Umumnya lesi hiperechoic menandakan kongesti vascular atau hemorrhage

dan penampakan dini dari kerusakan jaringan. Sedangkan lesi hipoechoic

tampak pencerminan dari pelepasan/kehilangan jaringan nekrotik dan

perkembangan struktur seperti kista.

20
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Gambar Area pada Otak yang Menyebabkan Diplegi. Pada diplegia

spastic dan periventrikular leukomalacia, tungkai lebih terganggu

dibandingan lengan dan wajah. Tidak terdapat cedera kortikal.

Sumber : (Analauw, 2017)

F. Manisfestasi Klinik

Pada anak dengan CP Spastik Diplegia biasanya ditandai dengan kelemahan

anggota gerak bawah. Adanya spastisitas pada tungkai bawah. Adanya gangguan

keseimbangan dan koordinasi pada gerakan ekstrimas bawah serta gangguan

pola jalan. Pada gangguan pola jalan terdapat ciri khas yaitu pola jalan

menggunting (scissor gait) dengan fleksi hip dan knee, endorotasi dan adduksi

hip, plantar fleksi dan inversi kaki. (Shepherd, 1995)

Upaya klasifikasi klinik cerebral palsy di perkirakan di awali oleh Sachs

pada tahun 1891 , yang menyarankan pengelompokan kasus berdasarkan waktu

dari faktor etiologi dan berdasarkan distribusi dan tipe gangguan klinik (diplegia,

paraplegia, hemiplegia, ataxia, choreic, dan gangguan athetoid) . Pada tahun

1843 dan 1862 Little telah mendeskripsikan tiga kategori dari paralysis yaitu

hemiplegic rigidity, paraplegia atau generalized rigidity, dan kondisi dengan

21
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
gangguan pergerakan. Hemiplegia rigidity disebut sebagai kongenital

hemiplegia . kategori Little yang kedua yaitu paraplegia atau generalized rigidity

di kenal dengan sebutan Little’s disease kemudian disebut diplegia. Kategori

ketiganya yaitu gangguan pergerakan yang di kenal beberapa tahun kemudian

pada tahun 1871 Hammond Coined mengistilahkannya sebagai athetosis untuk

mendeskripsikan gerakan yang tidak disadari pada jari yang terlihat pada

beberapa pasien hemiplegia.

Element penting gangguan motorik pada cerebral palsy adalah munculnya

reaksi postural primitive atau reflex, seperti reflex tonus leher, assimetris dan

simetris ,reflex moro, dan reaksi berjalan dan penempatan otomatis. Berat dan

persisten nya reaksi tersebut beberapa hal berhubungan dengan berat dan tipe

dari cerebral palsy . faktor penting lainnya dalam hal pengklasifikasian seorang

anak dengan cerebral palsy adalah ada dan beratnya kecacatan yang di sebabkan

oleh gangguan motorik. Oleh karena itu retardasi mental dan epilepsy biasa

terjadi pada anak dengan 14 cerebral palsy dan kecacatan bisa menjadi lebih

gawat dari gangguan motorik itu sendiri dalam hal terbatasnya potensi untuk

perbaikan fungsional.

Gangguan motorik pada cerebral palsy dapat di bagi berdasarkan :

1. Disfungsi Motorik

a. Spastisitas : lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada

traktus kortikospinal. Pada spastisitas terjadi peningkatan konstan pada

tonus otot , peningkatan reflex otot kadang di sertai klonus (reflex

peregangan otot yang meningkat) dan tanda Babinski positif. Tonic

22
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
neck reflex muncul lebih lama dari normal namun jarang terlihat jelas,

dan reflex neonatus lainnya menghilang pada waktunya. Hipertonik

permanent dan tidak hilang selama tidur. Peningkatan tonus otot tidak

sama pada sesuatu gabungan otot. Lengan adduksi, siku dan

pergelangan tangan flexi, tangan pronasi, jari flexi dengan jempol

melintang di telapak tangan. kaki adduksi, panggul dan lutut flexi, kaki

plantar-flexi dengan tapak kaki berputar ke dalam. Golongan spastisitas

ini meliputi 2/3-3/4 penderita cerebral palsy.

Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan

besarnya kerusakan ,yaitu :

1) Monoplegia/monoparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak

tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya. 15

2) Hemiplegia/hemiparesis : kelumpuhan lengan dan tungkai di pihak

yang sama

3) Diplegia/diparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi

tungkai lebih hebat daripada tangan.

4) Tetraplegia/tetraparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak ,tetapi

lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.

b. Perubahan tonus otot : lokasi lesi yang menyebabkan ketidaknormalan

tonus otot terutama pada brain stem . bayi pada golongan ini pada usia

bulan pertama tampak flaksid dan berbaring dengan posisi seperti katak

terlentang dan mudah di kelirukan dengan bayi dengan kelainan motor

neuron menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot

23
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
daari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak flaksid dan

sikap seperti katak terlentang namun bila dirangsang atau mulai

diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastis .reflex otot normal atau

sedikit meningkat dan klonus jarang ditemukan. Tanda Babinski bisa

positif maupun tidak. Karakteristik dari cerebral palsy tipe ini adalah

reflex neonatus dan tonic neck reflex menetap, kadang terbawa hingga

masa kanak-kanak. Reflex tonus otot dan reflex moro sangat jelas.

Sindrom dari perubahan tonus otot dapat disertai dengan

choreoathetosis dan ataxia. Sekitar 10-25 persen anak dengan cerebral

palsy mengalami sindrom ini.

c. Choreoathetosis :lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini

adalah ganglia basalis . 5-25 persen anak dengan cerebral palsy

menunjukkan choreoathethosis. Anak dengan choreoathetosis memiliki

gangguan pergerakan dengan karakteristik pergerakan yang tidak

disadari dan sikap yang abnormal. Pasien biasanya flaccid pada 6 bulan

pertama lahir dan kadang di salah diagnosiskan dengan gangguan motor

unit. Gerakan yang tidak disadari dan kelainan sikap biasanya

berkembang selama pertengahan tahun kedua . reflex neonatus kadang

tampak, spastisitas dan ataxia bisa ditemukan. Kecacatan motorik

kadang berat, kelainan postur mengganggu fungsi normal eksremitas.

d. Ataxia : lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah

cerebellum. 1-15 persen anak dengan cerebral palsy menunjukkan

ataxia. Pasien dengan kondisi ini biasanya flaccid ketika bayi dan

24
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
menunjukkan perkembangan retardasi motorik. Menjelang akhir tahun

pertama ketika mereka memulai menjangkau suatu objek dan mencoba

berdiri, itu mulai tampak dan mereka tidak seimbang. Ketidaknormalan

akibat rendahnya tonus otot menetap hingga kanak-kanak. Reflex otot

normal dan reflex neonatus hilang sesuai umur normal.

e. Bentuk campuran : choreoathetosis di sertai spastisitas atau dengan

sindrom perubahan tonus adalah tipe campuran 17 yang paling sering

dari disfungsi motorik, tapi semua jenis kombinasi dapat terjadi.

2. Disfungsi Nonmotorik

a. Gangguan perkembangan mental : hal ini ditemukan pada sekitar setengah

dari seluruh pasien cerebral palsy . perkembangan mental harus selalu di

nilai dengan perhatian besar pada anak dengan retardasi perkembangan

motorik. Kecacatan motorik harus selalu dapat dimengerti dan latih

potensi terbaik anak sebelum perkembangan intelektual mereka di

evaluasi. Tipe lain dari gangguan perkembangan motorik bisa terlihat pada

anak dengan cerebral palsy , beberapa dari mereka menunjukkan gejala

perhatian yang mudah teralih, kurang konsentrasi, gelisah, dan prilaku

tidak di duga.

b. Konvulsi : konvulsi adalah gambaran klinik yang kompleks , biasanya

pada anak tetraparesis dan hemiparesis . pemeriksaan

electroencephalogram harus di lakukan pada kondisi tersebut.

c. Retardasi pertumbuhan : retardasi pertumbuhan terlihat pada semua jenis

gangguan pergerakan . retardasi pertumbuhan paling signifikan pada

25
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
hemiparesis, ukuran tangan,kaki, kuku yang tidak sama adalah tanda

diagnostic yang penting.

d. Gangguan sensorik : gangguan sensasi adalah hal biasa yang di temukan

pada hemiparesis.

e. Gangguan penglihatan : paling sering adalah strabismus yang biasa di

temukan pada pasien dengan spastic diparesis. Katarak terlihat utamanya

pada anak dengan asphyxia pada periode perinatal yang berat, scar setelah

koreoretinitis terlihat pada anak dengan infeksi fetus.

f. Gangguan pendengaran : di temukan 5-10 persen dari seluruh anak yang

menderita cerebral palsy. gangguan pendengaran ditemukan paling banyak

pada anak dengan choreoathetosis dan syndrome perubahan tonus otot.

g. Kesulitan berbicara : dapat ringan hingga berat. Pada choreoathetosis

biasanya pergerakan involunter juga mempengaruhi bibir dan otot lidah .

G. Prognosis

Di Negara yang telah maju misalnya inggris dan skandinvia terdapat 20-

25 % penderita cerebral palsy sebagai buruh penuh dan 30-50-% butuh

penanganan dan perawatan di institute cerebral palsy . prognosis pada penderita

dengan gejala motorik ringan adalah baik. Makin banyak gejala penyertanya dan

makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya. Komplikasi seperti

retardasi mental, epilepsy, gangguan pendengaran dan visual. 25 Anak-anak

dengan cerebral palsy berat dan keterbelakangan mental juga kadang mengalami

epilepsy dan beresiko tinggi mengalami chest infection, status epilepticus dan

26
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
masalah lainnya. Cerebral palsy berat juga menyebabkan prognosis yang buruk

pada pasien yang lebih tua. Perkiraan yang tepat dari kelangsungan hidup dari

cerebral palsy berat sangat sulit, tapi yang penting adalah perencanaan untuk

kebutuhan pasien dan keperluan tujuan medikolegal. (3, 7)

H. Teknologi Fisioterapi

Program konvensional adalah khusus pasien dan terutama terdiri dari

fisioterapi, seperti fasilitasi, peregangan, mobilisasi pasif, dan latihan rentang-

gerak untuk sisi hemiparetik, berjalan di antara bar paralel, dan terapi okupasi

dan asuhan keperawatan. Selain itu, kegiatan trunk yang terintegrasi dalam

kontrol postural dan gerakan yang diarahkan tugas dilakukan. (Valdes & Calafat,

The Effect of Additional Core Stability Exercises on Improving Dynamic Sitting

Balance and Trunk Control for Subacute Stroke Patients: A Randomized

Controlled Trial, 2015)

I. Penatalaksanaan Fisioterapi

Dalam memberikan pelayanan kepada pasien terdapat beberapa proses

fisioterapi yang harus dilakukan yaitu pengkajian data identitas pasien, asesmen

(anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan khusus, dan lain-lain), pembuatan

diagnosa, prognosis, rencana tujuan terapi, penatalaksanaan fisioterapi dan

evaluasi.

1. Data identitas pasien terdiri dari:

a. Nama b. Jenis kelamin

27
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
c. Tempat/Tanggal Lahir f. Alamat

d. Nama ayah g. Diagnosa medis

e. Nama ibu

2. Anamnesis

Anamnesis adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu

percakapan antara seorang terapis dengan pasiennya secara langsung atau

dengan orang lain yang mengetahui tentang kondisi pasien, untuk

mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya. Ada dua jenis

anamnesis yang umum dilakukan yaitu, auto anamnesis yang dilakukan

langsung kepada pasiennya, dan allo anamnesis dilakukan pada pengantar

atau wali pasien. Anamnesis terdiri dari:

a. Keluhan

1) Keluhan utama

Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan atau yang

paling berat sehingga mendorong pasien atau keluarga pasien datang

berobat atau mencari pertolongan medis. Keluhan utama akan

memberikan acuan kepada terapis apa yang diinginkan oleh pasien

sehingga ini akan menjadi goal dari intervensi yang dilakukan terapis.

2) Keluhan penyerta

Keluhan penyerta adalah keluhan yang menyertai keluhan utama

pasien.

b. Riwayat

1) Riwayat penyakit sekarang

28
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Tahapan anamnesa bagian inilah yang paling penting untuk

menegakkan diagnosis. Terdapat 4 unsur utama dalam anamnesis

riwayat penyakit sekarang, yaitu kronologi atau perjalanan penyakit,

gambaran atau deskrpsi keluhan utama, keluhan atau gejala

penyerta,dan usaha berobat.

2) Riwayat penyakit dahulu

Mendapatkan informasi tentang riwayat penyakit yang pernah

dialami yang tidak berkesinambungan dengan munculnya keluhan

sekarang.

c. Riwayat kehamilan dan kelahiran

Riwayat kehamilan merupakan informasi mengenai riwayat

kehamilan ibu yang mencakup kejadian yang dialami oleh ibu mulai dari

proses kehamilan, mencakup usia ibu saat hamil, kehamilan direncanakan

atau tidak, apakah saat hamil ibu mengalami terpapar virus, ketuban

pecah,trauma, perdarahan, dan menderita penyakit lainnya sampai di rawat

atau tidak, mengonsumsi obat-obatan atau jamu-jamuan tidak.

Riwayat kelahiran berisi Informasi – informasi yang dapat kita cari

dari kejadian-kejadian yang dialami bayi yang berkaitan dengan kondisi

bayi pada saat ini, Informasi tersebut mencakup usia kehamilan, lahir

secara normal atau Caesar, langsung menangis atau tidak. Dan saat lahir

apakah anak berwarna biru atau kuning tidak, masuk inkubator atau

tidak,dll.

d. Riwayat penyakit keluarga

29
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Mendapatkan riwayat penyakit keluarga dengan menanyakan

penyakit orang tuanya atau riwayat kakek atau nenek, sehingga dapat

terdeteksi siapa saja yang mempunyai potensi untuk menderita penyakit

yang sama.

e. Riwayat tumbuh kembang

Riwayat tumbuh kembang merupakan penjelasan dari pihak pasien

mengenai pertumbuhan dan perkembangan pasien mulai dari neonatus

sampai usia saat ini.

f. Riwayat imunisasi

Riwayat imunisasi merupakan riwayat pemberian imunisasi pada

pasien, terdiri dari BCG, polio, DPT, hepatitis , dan campak.

g. Pemeriksaan

1) Pemeriksaan umum

a) Kesadaran

(1) Compos mentis adalah kesadaran penuh, sadar sepenuhnya,

pasien dapat menjawab pertanyaan terapis dengan baik.

(2) Apatis adalah keadaan dimana pasien terlihat mengantuk tetapi

mudah dibangunkan dan reaksi pengelihatan, pendengaran serta

perabaan normal.

(3) Somnolen adalah kesadaran menurun, respon psikomotor

lambat,mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila

dirangsang tetapi jatuh tertidur lagi bila rangsangan berhenti,

mampu memberi jawaban verbal.

30
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
(4) Sopor adalah sudah tidak mengenali lingkungan, kantuk

meningkat, dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat

tapi kesadaran menurun.

(5) Sopor koma adalah keadaan seperti tertidur lelap. Reflek motoris

terjadi hanya bila dirangsang nyeri.

(6) Koma adalah tidak bisa dibangunkan, tidak ada repon terhadap

rangsangan apapun (tidak ada repon kornea maupun reflek

muntah).

b) Denyut nadi

Denyut nadi adalah pelebaran dan recoil arteri elastic berirama

pada saat ventrikel memopakan darah ke dalam sirkulasi.

Pengukuran denyut nadi lakukan dengan meletakan 2 atau 3 jari

(bukan ibu jari) pada arteri radialis pergelangan tangan, arteri

brachialis pada siku bagian dalam, arteri karotis pada leher, arteri

temporalis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis yang dilakukan

selama satu menit.

Usia Denyut Nadi

Prematur 120-170

0-3 bulan 100-150

3-6 bulan 90-120

6-12 bulan 80-120

1-3 tahun 70-110

3-6 tahun 65-110

31
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
6-12 tahun 60-95

>12 tahun 55-85

(Agrawal, 2008)

c) Pernapasan

Pernapasan adalah jumlah seseorang mengambil nafas per

menit.pernapasan biasanya dinilai dengan mengamati pergerakan

dinding dada atau perut. Hal ini sangat penting bahwa pasien tidak

menyadari ketika kita sedang mengamati pergerakan tersebut.

Usia Pernapasan

Prematur 40-70

0-3 bulan 35-55

3-6 bulan 30-45

6-12 bulan 25-40

1-3 tahun 20-30

3-6 tahun 20-25

6-12 tahun 14-22

>12 tahun 12-18

(Agrawal, 2008)

d) Suhu tubuh

Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang

diproduksi oleh proses tubuh dan jumlah panas yang hilng ke

lingkaran luar.

e) Lingkar kepala

32
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Mengukur lingkar kepala berfungsi untuk menilai pertumbuhan

anak melalui pengukuran lingkar kepala untuk mengetahui

perkembangan otaknya. Meskipun ukuran lingkar kepala anak tidak

berpengaruh pada tingkat kecerdasanya,namun ukuran lingkar

kepala berkaitan dengan volume otaknya. Lingkar kepala anak akan

berthambah sesuai dengan usia dan juga dipengaruhi oleh jenis

kelamin.

f) Berat badan

Berat anak yang ditimbang dalam keadaan berpakaian minimal

tanpa perlengkapan apapun.

g) Tinggi badan

Tinggi badan diukur dari tumit sampai puncak kepala, posisi

berdiri tegak, pandangan lurus ke depan, dan kaki menapak pada

alas. Tinggi badan anak dengan kasus CP biasanya di bawah tinggi

badan normal pada usianya.

2) Pemeriksaan khusus

a) Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan

mengamati. Ada dua macam yaitu inspeksi statis dan inspeksi

dinamis. Inspeksi statis adalah inspeksi dimana pasien dalam

keadaan diam, sedangkan inspeksi dinamis adalah inspeksi dimana

pasien dalam keadaan bergerak. Komponen yang harus diperhatikan

saat melakukan inspeksi antara lain :

33
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
(1) Cara datang

(2) Kemampuan pasien

(3) Pola postural

b) Palpasi

Palpasi adalah suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan

dengan perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan

jari atau tangan. Palpasi dapat digunakan untuk mendeteksi suhu

tubuh, adanya getaran, pergerakan, bentuk, kosistensi dan ukuran,

rasa nyeri tekan dan kelainan dari jaringan atau organ tubuh

c) Pemeriksaan fungsi

(1) Sensorik

Keadaan sensorik pasien berdasarkan tujuh sensorik primer,

yaitu: taktik, propioseptif, vestibular, visual, auditori, olfaktori,

dan gustatori.

(2) Keseimbangan

Kemampuan yang dimiliki untuk mempertahakan posisi

tubuh.

(3) Gerak dan fungsional

Sebagai acuan untuk melihat adanya delay development pada

anak.

d) Deformitas

e) Tes khusus

(1) Antropometri

34
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Antropometrii merupakan ilmu pengukuran komposisi tubuh

mengenai bentuk dan dimensi tubuh yang akan diintegrasikan

dengan temuan riwyaat dan system review dengan hasil lainnya

yang digunakan untuk penegakan diagnosa. Berikut adalah

pengukuran panjang tungkai: (Irfan)

(a) True length ukur tungkai dar SIAS ke malleolus meialis

dengan melalui patella

(b) Apperence length ukur dari umbilicus ke malleolus lateralis

melalui patella

(2) Asworth scale

Pemeriksaan tonus otot pada bayi atau anak-anak dapat

menggunakan asworth scale. (Tecklin, 2001)

Nilai Kriteria

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada sedikit peningkatan tonus otot, ditandai

dengan adanya tahanan minimal pada akhir ROM

saat sendi digerakan.

1+ Ada sedikit peningkatan tonus otot, ditandai

dengan adanya tahanan sebelum pertengahan ROM

saat sendi digerakan.

2 Ada peningkatan tonus pada hampir sepanjang

ROM tetapi sendi masih mudah digerakan.

3 Peningkatan tonus otot semakin bertambah

35
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
sepanjang ROM, dan gerak pasif sulit.

4 Peningkatan tonus otot sangat nyata, gerak pasif

sulit dilakukan. Sendi kaku/rigid pada saat

digerakan.

(3) Gross Motor Functional Classification System (GMFCS)

Berdasarkan faktor dapat tidaknya beraktifitas atau

ambulation, Gross Motor Functional Classification System

(GMFCS) secara luas digunakan untuk menentukan derajat

fungsional penderita CP. Sistem klasifikasi ini terdiri dari lima

level. Setiap level memiliki kriteria klinis yang bermakna.

Perbedaan antar level fungsi motorik berdasarkan keterbatasan

fungsi, kebutuhan akan menggunakan teknologi alat bantu

(assisted device), termasuk alat bantu mobilisasi (berupa walkers,

crutches, and canes) dan alat bantu beroda, dan kualitas dari

gerakan. (Palisano, Rosenbaum, & Walter, 1997)

Fokus penentuan level pada GMFCS adalah mewakili

kemampuan dan keterbatasan fungsi motorik pada anak.

Penekanan penentuan ini berdasarkan pada performa anak di

rumah, sekolah, dan lingkungan. Tujuan dari penentuan level

adalah untuk mengklasifikasikan gross motor function, bukan

untuk menentukan kualitas gerakan atau potensi untuk perbaikan.

(Alexander & Mattews, 2010)

36
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Pembagian derajat fungsional CP menurut GMFCS, dibagi

menjadi 5 level dan berdasarkan kategori umur dibagi menjeadi 4

kelompok, yaitu kurang dari 2 tahun, antara 2-3 tahun, antara 4-6

tahun, dan antara 6-12 tahun. Berikut klasifikasi pada umur 6-12

tahun: (Hahn)

Gross Motor Functional Classification System (GMFCS)

Level 1

Anak berjalan di dalam dan di luar

ruangan, naik tangga tanpa

keterbatasan. Anak menunjukkan

performa fungsi motorik kasar

termasuk lari dan lompat, tetapi

kecepatan, keseimbangan dan

koordinasi berkurang.

Level 2

Anak berjalan di dalam dan di luar

ruangan dan naik tangga dengan

berpegangan di tepi tangga, tetapi

terdapat keterbatasan berjalan pada

permukaan yang rata dan mendaki,

dan berjalan di tempat ramai atau

tempat yang sempit. Anak dapat

melakukan kemampuan motorik

37
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
kasar, seperti berlari atau melompat

yang minimal.

Level 3

Anak berjalan di dalam dan di luar

ruangan pada permukaan yang rata

dengan bantuan alat bantu gerak

(berpegangan pada tangan orang tua

atau benda lain). Anak masih

mungkin dapat naik tangga dengan

pegangan pada tepi tangga.

Tergantung fungsi dari tangan, anak

menggerakan kursi roda secara

manual atau dibantu bila melakukan

aktifitas jarak jauh atau diluar

ruangan pada jalan yang tidak rata.

Level 4

Anak bisa dengan level fungsi yang

sudah menetap dicapai sebelum usia

6 tahun atau lebih mengandalkan

mobilitas menggunakan kursi roda

dirumah, disekolah dan ditempat

umum. Anak dapat melakukan

38
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
mobilitas sendiri dengan kursi roda

bertenaga listrik.

Level 5

Kelainan fisik membatasi

kemampuan kontrol gerakan,

gerakan kepala dan postur tubuh.

Semua area fungsi motorik terbatas.

Keterbatasan untuk duduk dan

berdiri yang tidak dapat

dikompensasi dengan alat bantu,

termasuk yang menggunakan

teknologi. Anak tidak dapat

melakukan aktifitas mandiri dan

dibantu untuk mobilitas. Sebagian

anak dapat melakukan mobilitas

sendiri menggunakan kursi roda

bertenaga listrik dengan sangat

membutuhkan adaptasi.

(4) Reflek

Menurut Hariandja (2014) refleks primitif sebaiknya

dilakukan dimulai dari level terendah kemudian ke level tertinggi.

Beberapa pemeriksaan refleks primitif meliputi:

39
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Level Reflek Keterangan

Reflek

Spinal Respon berupa gerakan

jari-jari mencengkram

ketika bagian bawah kaki

Babinsky diusap dan menyebabkan

jari-jari kaki menyebar dan

jempol kaki ekstensi.

(0-3 bulan)

Pada saat kulit di sepanjang sisi

punggung bayi digosok dengan

jari dari caudal ke cranial, maka


Gallant
bayi akan berayun menuju sisi

yang digosokan.

(4-6 bulan)

Respon berupa gerakan ekstensi

tungkai terhadap stimulus

goresan atau atau sentuhan pada


Extensor thrust
telapak kaki pada tungkai yang

sama.

(0-2 bulan)

Brain Asymetrical Respon berupa gerakan

stem Tonic Neck

40
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Reflex fleksi tungkai pada satu sisi

(ATNR) sedangkan tungkai sisi yang

berlawanan ekstensi, terhadap

stimulus berupa rotasi kepala ke

salah satu sisi.

(2-4 bulan)

respon berupa gerakan

fleksi kedua lengan dan ekstensi

kedua tungkai terhadap stimulus

Symetrical berupa fleksi kepala bayi atau

Tonic Neck respon berupa gerakan ekstensi

Reflex (STNR) kedua lengan dan fleksi kedua

tungkai terhadap stimulus berupa

ekstensi kepala bayi.

(0-6 bulan)

Mid respon berupa ikut

brain berputarnya seluruh badan sesuai

arah stimulus berupa rotasi


Neck righting
kepala pada satu sisi secara aktif

atau pasif.

(0-6 bulan)

Kortikal Reflex ini dilakukan dengan tiba-


Paracute
tiba menurunkan bayi ke arah

41
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
permukaan (tempat tidur atau

meja bayi). Lengan akan

membentang untuk melindungi

dirinya dari jatuh.

(6-9 bulan)

Posisikan anak berdiri handling

pemeriksa pada axilla, tempelkan

sisi dorsal kaki anak pada meja,


Foot
positif jika anak mau merespon
placement
naik keatas meja seperti ingin

melangkah menaiki tangga.

(0-6 bulan)

3) Pemeriksaan penunjang

X-ray atau rontgen adalah alat yang menggunakan sinar x atau

sinar gamma sebagai media untuk menembus bagian tubuh manusia,

sehingga dapat dimanfaatkan untuk memotret bagian- bagain dalam

tubuh. Rontgen membantu untuk menegakan diagnosa.

3. Diagnosis fisioterapi

Berisikan tentang penegakkan diagnosa fisioterapi yang didapat dari

permasalahan fisioterapi yang terdiri aktivtas/partisipasi level dan body

function/structure level. Diagnosa fisioterapi berhubungan dengan fungsi,

kelainan anatomi, fisiologi dan psikologi dalam organ-organ tertentu dalam

sistem tubuh, ketidakmampuan antara membentuk suatu aktivitas fungsional

42
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
normal, transfer dan ambulasi dalam ketidakmampuan dalam bersosialisasi

maupun mengikuti kegiatan-kegiatan diluar rumah.

4. Perencanaan fisioterapi

a. Tujuan jangka panjang

Tujuan yang dibuat berdasarkan prioritas masalah, tetapi bukan

masalah utama atau segera. Tujuan jangka panjang harus realistis sesuai

dengan patologi dan kondisi pasien.

b. Tujuan jangka pendek

Tujuan jangka pendek biasanya dibuat berdasarkan prioritas masalah

yang utama. Dalam membuat tujuan jangka pendek ini harus disertai

dengan bagaimana tujuan atau rencana tersebut akan dicapai, alokasi

waktu pencapaian, dan kondisi-kondisi seputar pasien dan lingkungan

yang memungkinkan tujuan tersebut dapat tercapai.

5. Intervensi fisioterapi

Implementasi dan modifikasi teknologi fisioterapi termasuk manual terapi,

peningakat gerak, peralatan, pelatihan fungsi, penyediaan alat bantu,

pendidikan pasien, kordinasi dan komunikasi

6. Program untuk di rumah

Program latihan yang diberikan kepada pasien yang dapat dilakukan sendiri

atau dengan bantuan keluarga dirumah agar latihan menjadi lebih maksimal

7. Evaluasi

43
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Dilakukan oleh fisioterapis sesuai tujuan perencanaan intervensi, dapat

berupa kesimpulan, termasuk dan tidak terbatas pada rencana penghentian

program atau merujuk pada professional lain.

J. Kerangka Pikir Studi Kasus

44
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
BAB III

URAIAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : An. A

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/Tgl. Lahir : 9 Februari 2010

Nama Ayah : Yusri Amri

Nama Ibu : Fitri Harlisah

Alamat : Tanah Kusir Jakarta Selatan

Hobi : bermain sepak bola

Diagnosa Medis : CP Spastic Diplegia

B. Anamnesis

1. Keluhan

a. Utama

Anak kesulitan duduk lama dengan tegak

b. Penyerta

2. Riwayat

a. Riwayat penyakit sekarang

Usia ibu saat hamil 33 th dan 2 tahun sebelum hamil An. A, ibu

mengalami hamil diluar kandungan. An. A dilahirkan secara Caesar karena

sudah keluar air ketuban saat usia kandungan 8 bulan di RS Harapan Ibu

45
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Medan. Saat lahir An. tidak menangis dan saat ditepuk-tepuk tidak

menangis. Ibu Medan. ASI (+), imunisasi lengkap, pada usia 18 bulan

orang tua baru menyadari perkembangan anak lalu dibawa ke dokter

ortopedi.

b. Riwayat penyakit dahulu

Infeksi saluran pernafasan. Tidak pernah mengalami kejang

3. Riwayat kehamilan dan kalahiran

a. Riwayat prenatal

Usia ibu saat hamil An. A 33 tahun setelah 2 tahun sebelum hamil

mengalami hamil di luar kandungan. Selama 8 bulan hamil tidak ada

keluhan.

b. Riwayat perinatal

Lahir prematur saat usia kandungan 8 bulan secara Caesar. An. tidak

menangis saat lahir walaupun sudah ditepuk-tepuk. Lahir dengan berat

badan 3,2 kg dan panjang badan 48 cm.

c. Riwayat postnatal

Saat lahir mengalami infeksi saluran pernafasan dan dirawat selama 14

hari serta di incubator selama 10 hari.

4. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

5. Riwayat tumbuh kembang

 Jatuh dari tempat tidur usia kurang dari 1 tahun

 Ke tengkurap usia 1 tahun lebih

46
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
 Ke duduk usia 2 tahun

 Bicara usia 2,5 tahun

 Berdiri dengan pegangan usia 4 tahun

6. Riwayat imunisasi

BCG : Dilakukan

Polio : Dilakukan

DPT : Dilakukan

Hepatitis B : Dilakukan

Campak : Dilakukan

C. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan umum

Kesadaran : Compos mentis

Denyut nadi :

Pernapasan :

Suhu tubuh : Afebris

Lingkar kepala : 54 cm

Berat badan :

Tinggi badan :

2. Pemeriksaan khusus

a. Inspeksi

1) Cara datang

Berjalan dengan kaki plantar fleksi

47
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
2) Kemampua pasien

 Sudah bisa duduk dengan hand support

 Sudah bisa berjalan

3) Pola postural

Posisi duduk tidak


Posisi Supine-lying
Regio bersandar

Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Head Deviasi ke kanan Lateral fleksi kanan

Neck Netral Lateral fleksi kanan

Shoulder Netral Elevasi Netral Elevasi

Elbow Netral Netral Netral Netral

Wrist Netral Netral Netral Netral

Finger Fleksi Netral Netral Netral

Trunk Netral Rotasi kanan, round back

Pelvic Netral Posterior tiliting

Hip Semi fleksi Semi fleksi Fleksi Fleksi

Knee Semi fleksi Semi fleksi Fleksi Fleksi

Plantar Plantar Plantar Plantar

Ankle fleksi, fleksi, fleksi, fleksi,

inversi inversi inversi inversi

Toes Netral Netral Fleksi Fleksi

b. Palpasi

Tonus : Hipertonus pada ekstremitas bawah

48
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
c. Pemeriksaan fungsi

1) Sensorik

Tactile : Baik, mampu merasakan dan memberi respon

rangsangan yang diberikan

Propioceptif : Kurang, tidak bisa menempatkan ankle dengan benar

Vestibular : Tidak dapat mempertahankan tubuhnya pada posisi

duduk dan berdiri

Visual : Distrak, perlu instruksi beberapa kali untuk melakukan

sesuatu

Auditory : Hipersensitif

Olfaktori : Kurang, An. sedang flu

Gustatory : Baik, dapat berkomunikasi dan dapat makan makanan

padat

2) Keseimbangan

Tidak dapat mempertahankan tubuhnya pada posisi duduk dan berdiri

3) Gerak dan fungsional

No Kemampuan fungsional Acuan normal sesuai usia

saat ini

1. Dapat duduk dengan hand Tidak dapat duduk lama

support dengan tegak

2. Dapat berjalan dengan ankle Tidak dapat berdiri lama

plantar fleksi dengan tegak

49
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
d. Deformitas

e. Gambar (tandai yang bermasalah)

f. Tes khusus

No Nama Tes (+) / Nilai / Keterangan

(-) Skor

1 Tes reflek

Level spinal:

Babinsky -

Gallant -

Extensor thrust -

Level brainstem:

ATNR -

STNR -

Level midbrain:

50
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Neck righting -

Level kortikal:

Paracute

Foot placement

2 Asworth scale

3 Antropometri

- True length

Dextra 63 cm

Sinistra 68 cm

- Apprence length

Dextra 74 cm

Sinistra 74 cm

4 GMFCS Level 3 An. saat berjalan

masih dengan bantuan

berpegangan dengan

orang lain

3. Pemeriksaan penunjang

Tidak ada

D. Prognosis

E. Diagnose (berdasarkan ICF)

1. Body structure dan function

- Spastik pada ekstremitas bawah

51
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
- Shortening tendon achilles

2. Activity limitation

- Belum bisa duduk lama dengan tegak

- Belum bisa berdiri dengan seimbang

3. Participation restriction

- Tidak bisa melakukan hobinya yaitu bermain sepak bola

Berdasarkan ICF

F. Intervensi

No Bentuk Latihan dan Dosis Metode dan Pelaksanaan

(FIT) Teknik

1 Mobilisasi pelvic

2 Lengthening tendon Achilles

3 Aktivasi/ stimulasi core muscle

4 Stimulasi duduk ke berdiri

G. Home program

H. Evaluasi

1. Evaluasi 1 (19 November 2018)

Tabel 3.5. Evaluasi 1

Cerebral Palsy Spastik Diplegi

52
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Body structure/Function Activities limitation Participation restriction

Impairment

Subjektif

Tidak bisa melakukan

hobinya yaitu bermain

sepak bola

Objektif

- Asworth scale: - Belum bisa duduk Tidak bisa melakukan

lama dengan tegak hobinya yaitu bermain

- GMFCS: level 3 - Belum bisa berdiri sepak bola

dengan seimbang

- Berjalan dengan

kaki plantar fleksi

Contextual Faktors

Personal factors Environmental factors

1.Motivasi (+) 1.Keluarga mendukung pengobatan

2.Koperatif (+) pasien

53
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
3`Kognisi baik 2. Tenaga kesehatan sangat

4.Penglihatan dan pendengaran mendukung pengobatan pasien

5. Tidak memakai AFO

54
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Hasil penatalaksanaan Fisioterapi

Setelah dilakukan treatment dan evaluasi yang dilakukan satu kali pada An.

A berusia 8 tahun dengan diagnosa CP spastik diplegi, berdasarkan hasil asworth

scale dan GMFCS pada level 4 belum didapatkan perubahan yang signifikan.

Seperti yang telah dijelaskan pada uraian tindakan bahwa kondisi awal pasien

saat ditangani adalah belum dapat mempertahankan posisi trunk pada saat duduk

dan berdiri. Sampai saat ini, kondisi pasien masih tetap sama.

B. Keterbatasan

Adapun beberapa faktor yang menghambat saat treatment berlangsung yaitu:

1. Keterbatasan waktu dalam pemberian intervensi

2. Prognosa yang lama

3. Kemungkinan human error dalam pelaksanaan pengukuran

4. Karena lingkungan yang ramai membuat anak mudah mengalami visual

distraksi sehingga terapi kurang maksimal

55
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran

Berdasarkan simpulan diatas, penulis memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Bagi pasien

Pasien diharapkan dapat melanjutkan latihan secara rutin yang telah

diberikan selama intervensi.

2. Bagi peneliti

Dapat memberikan program latihan atau intervensi dengan dosis dan teknik

yang tepat, sesuai dengan permasalahan pasien agar dapat menghasilkan goal

yang diinginkan.

3. Bagi institusi pendidikan dan rumah sakit

Dapat dijadikan materi tambahan pada penanganan kasus musculoskeletal

khususnya kasus Osteoarthritis.

56
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, S. (2008). Normal vital Signs in Children: Hearth Rate, Respirations,


Temperature, and Blood Pressure. Retrieved from Complex Child E-
magazine: www.ComplexChild.com
Alexander , M., & Mattews, D. (2010). Pediatric Rehabilitation : Priciples and
practice Fourth Edition. Demosmedical.
Analauw, I. (2017). Gangguan Gait pada Cerebral Palsy. Manado: Universitas
Sam Ratulangi.
Batson, G. (2009). Update on Proprioception. Journal of Dance Medicine &
Science, 13(2), 35–41. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19508807
Campbell, S. (1991). Central Nervous Dystem Dysfunction in Children. Pediatric
Neurological Physical Therapy, 1-17.
Dorland, W. (2005). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Goetz, C. (2007). Textbook of Clinical Neurology (Third). Philadelphia: Saunders.
Hahn, S. (n.d.). Hypoxic - Ischemic Brain Injury of the Newborn and Cereral
Palsy. Retrieved from Living with Cerebral Palsy:
http:http://www.livingwithcerebralpalsy.com/Cerebral%20Palsy%20and%
20New%20Born.pdf.htm
Irfan, M. (2012). Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Irfan, M. (n.d.). Modul Praktikum: Pengukuran Fisioterapi. Jakarta: Universitas
Esa Unggul.
Marjono M, S. (2004). Sistem Vaskularisasi Otak. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Palisano, R., Rosenbaum, P., & Walter, S. (1997). Gross Motor Function
Classification System for Cerebral Palsy. Dev Med Child Neurol, 39, 214-
223.
Price, & Sylvia, A. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
ed.6. Jakarta: EGC.
Satyanegara. (1998). Ilmu Bedah Saraf. (L. Listiono, Ed.) Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Shepherd, R. (1995). Physiotherapi in Paediatrics Third Edition. Oxford.
Sherwood, L. (2016). Human Physiology: From Cells to System (Ninth). Boston:
Cengage Learning. Retrieved from www.cengage.com/globa

57
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3.
(M. Ester, Ed.) Jakarta: EGC.
Tecklin, S. (2001). Pediatric Physical Therapy (5 ed.). Wolters Kluwer.
Valdes, R., & Calafat, C. (2015). The Effect of Additional Core Stability
Exercises on Improving Dynamic Sitting Balance and Trunk Control for
Subacute Stroke Patients: A Randomized Controlled Trial. Clinical
Rehabilitation, 1-10.
Waluyo, T. (2010). Pengaruh Mobilissi Trunk Terhadap Penurunan. Jurnal Pena,
19(1), 69-77.

58
Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Lampiran 1
LEMBAR KONSULTASI

LEMBAR KONSULTASI

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


GANGGUAN TUMBUH KEMBANG USIA 8 TAHUN AKIBAT
CEREBRAL PALSY SPASTIK DIPLEGI
DI YPAC (JAKARTA CP CENTER)
JAKARTA SELATAN
TAHUN 2018

NAMA MAHASISWA :
 Ardia Putri Gita Pramesti
 Berlinda Nurcahya Febrianti
 Isnaeny Era Kartika
 Marthalia Faustina
NAMA PEMBIMBING :
No Tanggal Bahan Rekomendasi Tanda
Konsultasi Pembimbing Tangan

Anda mungkin juga menyukai