Anda di halaman 1dari 26

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hamstring
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Otot Hamstring
Hamstring adalah otot yang cenderung mudah beradaptasi untuk
memendek dibandingkan dengan grup otot lain. Hamstring terdiri dari tiga
otot yang berada di paha belakang yang berfungsi sebagai penggerak fleksi
lutut dan ekstensi panggul. (Ramesh dan Sivasankar, 2014).

Gambar 2.1 Otot-otot Hamstring (Paha Belakang)


(Sumber : Cael, 2010)

10

Universitas Sriwijaya
11

2.1.2 M.Biceps Femoris


1) Perlekatan
Origo : Caput longum : tuberositas ischium
Origo : Caput brevis : bibir lateral dari linea aspera
Insersio : Fibula, caput dan kondilus lateral dari os tibia

Gambar 2.2 Biceps femoris


(Sumber : Cael, 2010)
2) Gerakan
a. Ekstensi panggul
b. Rotasi eksternal panggul
c. Fleksi lutut
d. Rotasi eksternal dari lutut dalam posisi fleksi

Universitas Sriwijaya
12

3) Persarafan
a. Nervus isiadikus
b. L5-S3
4) Anatomi Fungsional

Biceps femoris adalah otot hamstring yang terletak paling lateral.


Letaknya paling superfisial, tetapi ketika di dekat origonya, posisi biceps
femoris berada di bawah otot gluteus maximus. Grup hamstring termasuk
juga semimembranosis dan semitendinosis. Kedua otot ini berfungsi
sebagai postural stabilisator melebihi otot antagonisnya quadriceps. Otot-
otot ini membantu gluteus maximus dan rectus abdominis
mempertahankan posisi posterior tilt pelvis. Seperti rectus femoris, biceps
femoris adalah otot yang melewati dua sendi yaitu lutut dan panggul (Cael,
2010).
Biceps femoris, bersama dengan Semimembranosus dan
Semitendinosis, meluruskan panggul dan menarik femur ke belakang
ketika ekstremitas bawah tidak dalam posisi normal. Gerakan ini
digunakan ketika kita mengayunkan tungkai ke belakang selama berjalan
dan berlari. Otot hamstring berkontraksi secara eksentrik untuk
memperlambat gerakan-gerakan ini (Cael, 2010).
Ketika ekstremitas bawah sudah dalam posisi yang tepat, otot-otot
hamstring, bersama dengan gluteus maximus yang kuat, meluruskan
tubuh, menarik pelvis ke belakang melalui lutut dan kaki. Fungsi "hip-
hinging" ini sangat penting selama gerakan berdiri, mengangkat, dan
mendorong dengan kaki atau melompat (Cael, 2010).
Paha belakang juga berfungsi menekuk lutut dan bisep femoris
memutar ke arah rotasi eksternal. Rotasi di lutut hanya mungkin bila lutut
sedikit menekuk. Gerakan ekstensi penuh akan mengunci sendi
tibiofemoral dan mencegah rotasi. Posisi ini juga dikenal dengan istilah
closed pack position (CPP). Rotasi pada lutut tertekuk dapat dilakukan
ketika berat badan berpindah bergeser untuk mengubah arah gerakan di
ekstremitas bawah. Gerakan ini, umumnya dikenal sebagai plant dan pivot

Universitas Sriwijaya
13

(poros), sangat penting dalam olahraga seperti tenis, sepak bola, dan bola
basket (Cael, 2010).

2.1.3 M.Semimembranosus
1) Perlekatan
a. Origo : Ischium, tuberositas ischium
b. Insersio : Tibia, bagian posteromedial dari kondilus medial

Gambar 2.3 Semimembranosus


(Sumber : Cael, 2010)

2) Gerakan
a. Meluruskan panggul (hip)
b. Memutar panggul kearah internal
c. Menekuk lutut
d. Memutar lutut yang tertekuk kearah internal

Universitas Sriwijaya
14

3) Anatomi fungsional
Semimembranosus adalah otot yang paling medial pada kelompok
hamstring, yang terletak di antara otot adduktor magnus dan
semitendinosus. Semimembranosus letaknya superfisial di paha posterior,
tetapi pada bagian distal dari origonya terletak di bawah gluteus maximus
(Cael, 2010).

2.1.4 Semitendinosus
1) Perlekatan
a. Origo : Ischium, ischial tuberosity
b. Insersio : Tibia, poros medial melalui tendon pes anserinus

Gambar 2.4 Semitendinosus


(Sumber : Cael, 2010)

Universitas Sriwijaya
1

15

2) Gerakan
a. Meluruskan pinggul (hip)
b. Memutar pinggul kearah internal
c. Menekuk lutut
d. Memutar lutut yang tertekuk kearah internal
3) Persarafan
a. N. Isiadikus
b. L4-S2
4) Anatomi Fungsional
Otot ramping ini terletak di sebelah medial otot bisep femoris dan
di atas semimembranosus. Sama seperti bisep femoris dan
semimembranosus, semitendinosis letaknya superfisial di paha posterior,
tetapi pada bagian distal dari origonya terletak di bawah gluteus maximus
(Cael, 2010).
Semitendinosus juga membentuk bagian posterior kelompok pes
anserine. Otot-otot hamstring menstabilkan postur dan membantu gluteus
maximus dan rektus abdominis mempertahankan kemiringan posterior
pada panggul. Seperti rektus femoris dan bisep femoris, semimembranosus
adalah otot dua sendi karena melintasi sendi hip (pinggul) dan lutut (Cael,
2010).

2.1.5 Fleksibilitas Sendi Panggul


Fleksibilitas menurut (Smith et al., 2008, Sharon et al., 1993 cit. Ramesh
and Sivasankar, 2014) didefinisikan sebagai kemampuan otot untuk
memanjang sehingga memungkinkan satu atau lebih sendi untuk dapat
bergerak mencapai Range of Motion (ROM). Pendapat ini senada dengan
(McClure, 1986; Kendall, et al., 2005 cit. Kisner, 2007) yang menyebutkan
bahwa fleksibilitas adalah kemampuan sendi untuk bergerak dengan lancar,
tanpa hambatan, tanpa rasa nyeri, dan full ROM.
Panjang otot, dalam hubungannya dengan integritas sendi dan
ekstensibilitas jaringan lunak periartikular sangat menentukan fleksibilitas
(APTA, 2001 cit. Kisner, 2007). Fleksibilitas berhubungan dengan
ekstensibilitas unit muskulotendinous yang melewati sendi, berdasarkan

Universitas Sriwijaya
16

kemampuan unit tersebut untuk relaksasi dan kekuatan ketika diulur.


Arthrokinematik (kemampuan permukaan sendi untuk berputar dan bergeser)
dari suatu sendi, serta kemampuan jaringan ikat periartikular untuk bergerak
juga mempengaruhi ROM sendi dan fleksibilitas individu.
Menurut Bloomfield (1994) fleksibilitas didefinisikan sebagai lingkup
gerak sendi (ROM) atau beberapa sendi. Fleksibilitas dapat dicapai melalui
penguluran jaringan lunak terutama di sekitar sendi. Penguluran ini sangat
penting terutama bagi atlet karena dapat meningkatkan performa atlet secara
bermakna, mencegah terjadinya cedera dan juga pada program pemulihan.
Sehingga, seorang atlet sering kali diberikan program latihan penguluran.
(Corbin dan Noble, 1980 cit. Bloomfield, 1994).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fleksibilitas
otot panggul dapat dicapai apabila hamstring dapat diulur secara maksimal
dan mencapai ROM maksimal. Otot hamstring dapat diulur dengan cara
melakukan gerakan fleksi hip hingga full ROM. ROM fleksi hip adalah 125o
(Kendall et.al, 1971 cit. Bloomfield, 1994).

2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Fleksibilitas


1. Usia
Menurut Corbin dan Noble (1980) cit. Bloomfield (1994) fleksibilitas
dicapai pada masa anak-anak hingga dewasa. Setiap orang di semua
umur dapat mencapai fleksibilitas, tetapi semakin dewasa seseorang
akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai
fleksibilitas. Hal ini berkaitan dengan perubahan pada sistem
muskuloskeletal.
2. Jenis kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh Pillips (1955) dan Kircner dan
Glines (1957) cit.Bloomfield (1994) menunjukkan bahwa anak
perempuan lebih fleksibel dibandingkan dengan anak laki-laki
pada usia sekolah dasar. Pada orang dewasa pun wanita
cenderung lebih fleksibel dibandingkan dengan pria (Appleton,

Universitas Sriwijaya
17

1996vcit. Bloomfield, 1994) dikarenakan struktur tulang dan otot


pada wanita cenderung lebih kecil dibandingkan dengan pria.
3. Suhu
Ketika jaringan muskulotendinogen meningkat suhunya, maka akan
lebih mudah untuk diulur, sehingga fleksibilitas akan lebih mudah
dicapai. Suhu otot dapat ditingkatkan dengan cara melakukan
pemanasan terlebih dahulu sebelum penguluran. Ketika suhu otot
meningkat hingga 45oC, maka akan meningkatkan fleksibilitas
sebanyak 20% (DeVries, 1986 cit. Bloomfield, 1994).
4. Efek Psikologis
Melakukan program latihan penguluran secara bersama-sama/tim
dapat meningkatkan fleksibilitas (Alter, 1988 cit. Bloomfield, 1994).
Peningkatan ini terjadi karena setiap anggota tim dapat saling
membantu dalam melakukan stretching. Mereka bisa berperan sebagai
model dan guide. Ketika berperan sebagai guide maka mereka dapat
membantu rekannya dalam mencapai fleksibilitas yang diinginkan.
Dengan adanya rekan, dapat membantu memotivasi seseorang untuk
mencapai fleksibilitas yang diinginkan.

2.1.7 Hamstring Tightness


Kekakuan otot (muscular tightness) sering didefinisikan sebagai salah
satu faktor instrinsik yang dapat mengakibatkan cedera otot (Nagarwal, 2010).
Untuk mencegah terjadinya cedera dan resiko cedera berulang, sangat
diperlukan mobilitas jaringan lunak yang adekuat (Kisner and Colby 2002 cit.
Ramesh and Sivasankar, 2014). Posisi jaringan lunak yang memendek
menyebabkan berkurangnya mobilitas, sehingga mengurangi elastisitas
jaringan lunak tersebut, perubahan panjang, ketegangannya, penurunan
fleksibilitas, dan akhirnya mengakibatkan hamstring tightness. Kondisi tight
pada otot hamstring akan mengurangi kekuatan otot, disfungsi otot quadricep
saat berjalan dan deviasi postur misalnya lordosis lumbal (Zachazewski et al,
1989 cit. Ramesh and Sivasankar, 2014).

Universitas Sriwijaya
18

Fleksibilitas erat kaitannya dengan ekstensibilitas. Ekstensibilitas


adalah kemampuan otot untuk memanjang atau diulur hingga melewati
panjang otot tersebut saat dalam posisi istirahat. Ekstensibilitas seseorang
dapat mengalami penurunan. Penurunan ekstensibilitas pada hamstring dapat
diketahui melalui beberapa pemeriksaan spesifik. Pemeriksaan spesifik
tersebut antara lain Forward Bending tes, Straight Leg Raise (SLR) tes, dan
Sit and Reach Box tes (Jackson & Baker, 1986; Hoeger et al, 1990; Hui
&Yuen, 2000 cit. Bakirtzoglou, et al., 2010). Seseorang dikatakan mengalami
penurunan fleksibilitas dan ekstensibilitas jika pada forward bending tes
menunjukkan ada jarak antara lantai dan jari tangan, sedangkan pada SLR tes
dihasilkan ROM fleksi hip <80o. (Göeken and Hof, 1993 cit.Raftry dan
Marshall, 2012). Pada Modified Sit and Reach box tes jika jari-jari tangan
tidak dapat melewati jari-jari kaki, maka menunjukkan adanya penurunan
fleksibilitas dan pemendekan otot hamstring.
Diperkirakan bahwa penurunan fleksibilitas panggul karena
pemendekan hamstring akan menarik pelvis rotasi ke posterior yang
mempengaruhi postur normal sehari-hari, sehingga mengubah kurval umbal,
menyebabkan pola gerakan kompensasi dari lumbal dan kemudian
meningkatkan tekanan pada jaringan lunak tulang belakang dan kemungkinan
peningkatan resiko cedera (Pearcy et al., 1985; Kendall et al., 1993; Esola et
al., 1996; Van Dillen et al., 2007 cit. Raftry and Marshall, 2012).
Kendall and McCreary, 1983 cit. Li et al, 1996 berpendapat sebaliknya
bahwa orang yang kurva lumbalnya berkurang atau sering disebut dengan
“flat back”, ketika dalam posisi berdiri akan cenderung memiliki hamstring
yang memendek. Mereka berasumsi bahwa hamstring yang pendek akan
membuat pelvis berotasi ke posterior, sehingga menyebabkan berkurangnya
kurva lordosis dari lumbal. Di sisi lain, ada juga penelitan yang menyebutkan
bahwa penurunan ekstensibilitas hamstring sebagian dapat dijelaskan, yaitu
disebabkan oleh peningkatana kekakuan jaringan pasif (Marshall et al., 2009
cit. Raftry and Marshall, 2012).
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa berkurangnya fleksibilitas
panggul akibat tightness pada otot hamstring dapat disebabkan oleh perubahan

Universitas Sriwijaya
19

postur yaitu penurunan kurva lumbal, dimana berlaku sebaliknya bahwa


memendeknya otot hamstring juga akan mengakibatkan berkurangnya kurva
lumbal dan mengurangi fleksibilitas panggul.

2.1.8 Fleksibilitas Sendi Panggul dan Kemampuan Membungkuk


Ketika ekstensibilitas dan fleksibilitas otot hamstring menurun, maka
gerakan pelvis terbatas sehingga menyebabkan perubahan pada gerakan
lumbo-pelvic. Jika otot hamstring memendek, gerakan fleksi lumbal akan
lebih luas dikarenakan terjadi rotasi pelvis ke posterior ketika tungkai diangkat
ke atas (SLR). Rotasi pelvis ke posterior terjadi khususnya ketika tubuh
membungkuk ke depan dalam posisi berdiri, dan rotasi ini membatasi gerakan
fleksi sendi panggul (Neumann, 2002; Kendall, et al., 1993; Sahmann, 2002
cit. Jang, et al., 2013). Oleh karena terbatasnya gerakan fleksi sendi panggul,
maka terbatas pula fleksibilitas otot hamstring dan kemampuan membungkuk.
Fleksibilitas panggul dapat diukur melalui berbagai cara diantaranya
dengan tes Straight Leg Raise tes, yaitu dengan melihat nilai ROM (Göeken
dan Hof, 1993 cit. Raftry and Marshall, 2012), Modified Sit and Reach Box
test (Wells and Dillon, 1952 cit. Bakirtzoglou, et al., 2010), Forward Bending
test (Jang, et al., 2013), dan lain-lain. Cara tersebut sering digunakan dalam
penelitian karena prosedur pelaksaannya sederhana, mudah dilakukan, dan
tidak memerlukan keahlian khusus untuk melakukannya (Bakirtzoglou, et al.,
2010)
Mengukur fleksibilitas panggul dapat dilakukan dengan menggunakan
forward bending test. Caranya partisipan berdiri dengan jarak kedua kaki
selebar panggul. Kemudian partisipan diinstruksikan untuk membungkukkan
badan kedepan dengan kedua lengan diulur kebawah. Ulur lengan sejauh
mungkin hingga menyentuh lantai, tetapi jangan sampai menimbulkan nyeri.
Jarak antara jari tengah dengan lantai adalah nilai hasil ukurnya (Jang, et al.,
2013).
Cara yang lain dan cukup populer adalah dengan menggunakan
instrumen pengukuran Modified Sit and Reach (MSR) Box tes. Untuk
standarisasi skala pengukuran dari Modified Sit and Reach, standar ukuran

Universitas Sriwijaya
20

yang dipakai adalah sentimeter yang ditempatkan pada di atas MSR box,
dengan posisi telapak kaki menempel pada dinding boks (Bakirtzoglou, et al.,
2010). Alat ini sering digunakan untuk mengukur fleksibilitas dari punggung
bawah dan sendi panggul, tetapi ternyata (MSR) Box tes lebih valid dalam
mengukur fleksibilitas hamstring (Minkler and Patterson 1994 cit.Hoffman,
2006)
Cara pengukuran MSR tes yaitu partisipan duduk di lantai dengan
memakai sepatu, posisi kedua tungkai diluruskan dua kaki sehingga telapak
kaki sejajar dengan dinding box. Selanjutnya partisipan meluruskan dan
memanjangkan kedua lengan ke depan, menempatkan satu tangan di atas yang
lain. Posisi punggung lurus 90o. Dengan posisi telapak tangan menghadap ke
bawah, partisipan diinstruksikan untuk memanjangkan tangan sejauh mungkin
hingga melewati telapak kaki tanpa menekukkan kedua lutut. Ulangi gerakan
ini sebanyak tiga kali. Catat jarak yang dicapai dan ambil rata-ratanya
(Bakirtzoglou, et al., 2010).

Gambar 2.5Modified Sit and Reach Box test


(sumber: http://www.ptonthenet.com/articles/Sit-and-Reach-Flexibility-Test-3146
diakses pada 30 Desember 2014)

2.2 Muscle Energy Techniques (MET)


2.2.1 Fisiologi Muscle Energy
1) Definisi Muscle Energy
Muscle energy adalah suatu prosedur mobilisasi otot yang melibatkan
kontraksi volunter pada arah yang telah ditetapkan dan terkontrol, pada
level intensitas yang bervariasi (Greenman, 2003 cit. Grubb et.al, 2010).

Universitas Sriwijaya
21

2) Fungsi Muscle Energy


Muscle energy digunakan untuk memanjangkan otot yang memendek,
tegang, atau bahkan spastik, untuk meningkatkan kekuatan otot atau grup
otot yang secara fisiologis melemah, untuk mengurangi edema,
mengurangi kongesti, untuk memobilisasi persendian yang mengalami
keterbatasan, dan untuk mengurangi nyeri akibat myofascial dan trigger
point (Grubb et.al, 2010).
3) Serabut penyusun otot
Otot terdiri dari serabut ekstrafusal dan intrafusal.
a) Serabut Ekstrafusal
Selama istirahat, hanya beberapa serabut ekstrafusal yang berkontraksi
sementara yang lainnya relaksasi sehingga otot dalam keadaan
relaksasi atau tidak berkontraksi.
b) Serabut Intrafusal, sama seperti muscle spindles
Serabut intrafusal berfungsi untuk memonitor panjang otot dan tonus
otot. Serabut ini sensitif terhadap perubahan panjang otot. Serabut
intrafusal diinervasi oleh serabut saraf gamma yang berfungsi
mengontrol panjang dan tonus otot.
Telah diketahui dan dibuat teori bahwa seluruh otot mempunyai
kombinasi serabut cepat (fast twitch fibers) dan serabut lambat (slow twitch
fibers). Disfungsi otot postural akan menyebabkan otot menjadi hipertonik,
memendek, dan tegang. Sedangkan disfungsi otot fasik akan menyebabkan
otot menjadi lemah dan terinhibisi.
4) Golgi tendon apparatus
Golgi tendon apparatus terletak dekat dengan serabut ekstrafusal
dan bersifat peka terhadap ketegangan otot. Ketika otot berkontraksi atau
otot diulur secara pasif, maka akan timbul ketegangan di golgi tendon
apparatus yang akan menghambat output alpha motorneuron (melalui
serabut saraf aferen ke spinal cord melalui serabut 1B) sehingga
menyebabkan otot relaksasi (Grubb et.al, 2010).

Universitas Sriwijaya
22

2.2.2 Postisometric Relaxation (PIR) dan Reciprocal Inhibition (RI)


Efek utama MET dapat dijelaskan melalui dua proses fisiologis yang
berbeda yaitu postisometric relaxation (PIR) dan reciprocal inhibition (RI).
Pengaruh neurologis tertentu terjadi selama MET, tapi sebelum membahas
PIR dan RI, ada dua jenis reseptor yang berperan dan terlibat dalam
mekanisme 'stretch reflex' (Gambar 2.6) yaitu:
1. Muscle spindles yang sensitif terhadap perubahan panjang dan kecepatan
kontraksi serabut otot
2. Golgi tendon organ yang mendeteksi perubahan ketegangan otot yang
berkepanjangan

Gambar 2.6 Stretch reflex


(sumber : www.fht.org.uk, diakses pada 19 Agustus 2014)

Peregangan otot menyebabkan terjadinya peningkatan impuls yang


ditransmisikan dari muscle spindle ke posterior horn cell (PHC) medulla
spinalis. Sehingga anterior horn cell (AHC) mengirimkan peningkatan impuls
motor ke serabut otot, yang menciptakan ketegangan protektif yang melawan
peregangan (Gibbons, 2011).
Tetapi peningkatan ketegangan yang berlangsung selama beberapa
detik dirasakan oleh Golgi tendon organs, sehingga GTO mengirim impuls ke
PHC dan menyebabkan efek penghambatan pada peningkatan stimulus
motorik di AHC. Efek penghambatan ini menyebabkan penurunan impuls
motorik dan terjadi relaksasi otot. Hal ini menunjukkan bahwa peregangan

Universitas Sriwijaya
23

otot yang berkepanjangan akan meningkatkan kemampuan regangan otot


secara keseluruhan dikarenakan relaksasi protektif dari GTO yang menekan
kontraksi protektif. Tetapi, jika terjadi penguluran cepat dan singkat dari
muscle spindle akan menyebabkan kontraksi otot langsung dan tidak akan
menimbulkan aksi penghambatan (Gibbons, 2011).
Ketika kontraksi isometrik berlanjut, umpan balik neurologis melalui
medulla spinalis ke otot tersebut akan menghasilkan relaksasi pasca-isometrik
(PIR), yang menyebabkan penurunan tonus otot yang berkontraksi. Hal ini
dapat berlangsung hingga 20 sampai 25 detik. Dengan adanya relaksasi pasca
isometrik ini maka otot akan lebih mudah dimanipulasi dan diulur menjadi
lebih panjang saat istirahat.
Selama inhibisi resipkrokal (RI) (Gambar 2.7), penurunan tonus
bergantung pada efek inhibisi fisiologis pada otot antagonisnya selama
kontraksi otot agonis. Ketika neuron motorik dari otot agonis menerima
impuls rangsang dari jalur aferen, neuron motorik dari otot antagonis
menerima impuls inhibisi dari jalur aferen. Oleh karena itu kontraksi atau pun
peregangan yang lama pada otot agonis akan menimbulkan relaksasi atau
menghambat otot antagonis, dan penguluran yang cepat pada otot agonis akan
memfasilitasi sebuah kontraksi.

Gambar 2.7 Reciprocal inhibition


(sumber : www.fht.org.uk, diakses pada 19 Agustus 2014)

Universitas Sriwijaya
24

2.2.3 Manfaat MET


Manfaat Muscle Energy Tehniques menurut Gibbons (2007) antara lain :
1. Mengembalikan tonus normal pada otot yang hipertonus
Fisioterapis menggunakan MET untuk mencoba membantu
merelaksasi otot yang memendek dan hipertonik. Jika suatu sendi
memiliki ROM terbatas, maka tehnik ini dapat membantu
mengembalikan ROM ke nilai normal. Penambahan masas setelah
MET dapat membantu peningkatan relaksasi otot yang tight.
2. Meningkatkan kekuatan otot yang lemah
MET juga dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kekuatan
otot yang lemah, atau bahkan otot yang flaccid. Tehnik MET
dilakukan dengan cara mengkontraksikan otot yang lemah melawan
resisten yang diberikan oleh terapis (kontraksi isometrik). Waktu yang
diperlukan dapat bervariasi, misalnya, klien melakukan gerakan untuk
sekitar 20 – 30% dari kemampuan mereka selama 5-10 detik, lalu
rileksasi/istirahat selama 10-15 detik, dan kemudian mengulangi
proses tersebut 5-8 kali. Waktu ini dapat ditingkatkan dari waktu ke
waktu tergantung perkembangan klien.
3. Mempersiapkan otot sebelum diulur
Umumnya semua orang bisa mendapatkan manfaat dari peningkatan
fleksibilitas, dan meskipun fokus MET adalah untuk mencapai ROM
'normal', pendekatan MET secara lebih intensif dapat digunakan untuk
meningkatkan fleksibilitas. Untuk meningkatkan fleksibilitas
dibutuhkan kontraksi otot 10 - 20% lebih kuat dari kemampuan otot
itu berkontraksi dalam keadaan normal.
4. Meningkatkan mobilitas sendi
Sendi yang yang kaku dapat menyebabkan otot menjadi tegang (tight),
begitu juga sebaliknya. MET dapat meningkatkan mobilitas sendi,
bahkan ketika otot-otot dalam keadaan rileks pada awalnya. Relaksasi
yang terjadi setelah kontraksi otot dapat membantu untuk mencapai
ROM baru.

Universitas Sriwijaya
25

2.2.4 Tehnik Pelaksanaan MET


Peneliti berada dalam posisi berdiri, dan secara pasif mendorong
tungkai klien kearah fleksi hingga dirasakan adanya tahanan pada otot
hamstring klien. Pada posisi inilah tungkai bawah klien diletakkan diatas bahu
peneliti.
Selanjutnya, instruksikan klien untuk mengkontraksikan otot
hamstringnya dengan cara mendorong tungkai ke bawah melawan tahanan
dari bahu peneliti selama 5-10 detik. Setelah itu relaksasi selama 10-15 detik.
Selama fase relaksasi, peneliti secara pasif mendorong tungkai klien kearah
fleksi yang lebih jauh. Ulangi sebanyak 3 kali. Biasanya setelah kontraksi
isometrik, didapatkan penambahan ROM fleksi hip.

Gambar 2.8 Penerapan MET


(sumber : www.fht.org.uk, diakses pada 19 Agustus 2014)

Gambar 2.9 Penambahan ROM Fleksi Hip


(sumber : www.fht.org.uk, diakses pada 19 Agustus 2014)

Universitas Sriwijaya
26

2.2.5 MET dan Fleksibilitas Sendi Panggul


Diharapkan dengan tercapainya ROM baru pada penerapan MET pada
otot hamstring, maka akan menghasilkan peningkatan panjang otot hamstring,
dan peningkatan fleksibilitasnya sehingga otot hamstring akan lebih mudah
diulur dan kemampuan membungkuk akan lebih meningkat.

2.3 Latihan Isometrik


Latihan isometrik adalah bentuk statis dari latihan di mana otot
berkontraksi dan menghasilkan kekuatan tetapi tidak terjadi perubahan
panjang otot dan tidak ada gerakan (Hislop, 1963; Sodenberg, 1992; Smith, et
al., 1996; Lavangie, et al., 2001 cit. Kisner dan Colby, 2007). Meskipun tidak
ada energi mekanik yang muncul (gaya x jarak), tetapi ketegangan otot dan
output tenaga yang dihasilkan oleh otot dapat dilihat dan diukur. Latihan
isometrik sangat penting dalam meningkatkan stabilitas dan daya tahan otot.
Telah diketahui bahwa daya tahan otot memainkan peran yang lebih
penting daripada kekuatan otot dalam mempertahankan stabilitas postural
yang cukup dan mencegah cedera selama aktivitas kehidupan sehari-hari
(McArdle, et al., 2000 cit. Kisner dan Colby, 2007) misalnya, otot-otot
postural pada batang tubuh dan ekstremitas bawah harus berkontraksi secara
isometrik untuk menahan tubuh tetap tegak melawan gravitasi dan
memberikan stabilitas untuk keseimbangan dan gerakan fungsional dalam
posisi tegak (O’Sullivan, 2001; Sullivan dan Markos, 1995 cit. Kisner dan
Colby, 2007).

2.3.1 Latihan Stabilisasi


Latihan stabilisasi adalah bentuk latihan isometrik yang digunakan
untuk mengembangkan kontraksi otot submaksimal tetapi untuk
meningkatkan stabilitas postural atau stabilitas dinamis dengan cara kontraksi
isometrik melawan tahanan posisi anti-gravitasi dan tahanan dari berat badan
(McGill dan Cholewicki, 2001 cit. Kisner dan Colby, 2007). Berat badan atau
tahanan manual sering merupakan sumber tahanan. Latihan Core Stability
menggunakan berat badan sebagai sumber tahanan dalam melakukan latihan.

Universitas Sriwijaya
27

2.3.2 Karakteristik Latihan Isometrik


Dalam melakukan program latihan yang efektif, perlu diketahui
beberapa karakteristik dari latihan isometrik. Karakteristik tersebut adalah:
1. Intensitas Kontraksi Otot
Jumlah ketegangan yang dapat dihasilkan selama kontraksi otot isometrik
tergantung pada posisi sendi dan panjang otot pada saat berkontraksi
(Hislop dan Montgomery, 2002; Weir, et al., 1994 cit. Kisner dan Colby,
2007). Intensitas atau beban yang digunakan untuk latihan cukup sebesar
60% s/d 80% dari kapasitas otot untuk meningkatkan kekuatan (Knapik et
al., 1983; Weir, et al., 1994 cit. Kisner and Colby, 2007). Selanjutnya,
intensitas ditingkatkan secara bertahap seiring dengan peningkatan
kekuatan otot.
2. Durasi Aktivasi Otot
Untuk mencapai perubahan adaptif dalam kinerja otot statis, kontraksi
isometrik harus diadakan selama 6 detik dan tidak lebih dari 10 detik
karena akan menyebabkan kelelahan otot yang cepat. Dalam rentang
waktu tersebut memungkinkan otot mencapai puncak ketegangannya
untuk berkembang dan untuk perubahan metabolik yang terjadi di otot
(Hettinger dan Muller, 1953; McArdle, et al., 20001994 cit. Kisner dan
Colby, 2007).
3. Repetisi Kontraksi
Kontraksi yang berulang yang dilakukan selama 6 sampai 10 detik
masing-masing, dapat mengurangi kram otot dan meningkatkan efektivitas
kontraksi isometrik (Cullan dan Peat, 1993; Liberson, 1978 cit. Kisner dan
Colby, 2007.

2.4 Core Stability


2.4.1 Definisi Core Stability
Secara anatomis, “core”atau “inti” adalah otot-otot yang mengelilingi
wilayah lumbo-pelvic. Otot-otot tersebut termasuk otot perut anterior,
paraspinals dan gluteus posterior, otot dasar panggul inferior, hip abduktor dan
rotator lateral, serta diafragma superior. Semua otot ini memiliki perlekatan

Universitas Sriwijaya
28

langsung atau tidak langsung dengan fasia torakolumbalis dan tulang belakang
yang menghubungkan lengan atas dan bawah. Oleh karena itu, otot-otot inti
dan fasia torakolumbalis memainkan peran yang sangat penting dalam rotasi
trunk, transfer beban, dan stabilitas wilayah lumbopelvic (Vleeming et al,
1995 cit. Bliss dan Teeple, 2005).
Stabilitas inti telah menjadi tren kebugaran populer yang sudah mulai
merambah ke dunia kedokteran olahraga. Program kebugaran populer seperti
Pilates, Yoga, dan Tai Chi, mengikuti prinsip-prinsip penguatan inti. Manfaat
yang luas dari stabilisasi inti telah disebut-sebut, dari meningkatkan kinerja
atletik dan mencegah cedera, hingga mengurangi nyeri punggung bawah
(Akuthota, et al., 2008).

2.4.2 Fungsi Core Stability


Core Stability atau stabilitas inti adalah istilah yang muncul untuk
menjelaskan struktur yang memberikan stabilitas pada tulang belakang.
Struktur tersebut adalah jaringan lunak yang menghubungkan tulang panggul,
tulang belakang, tulang rusuk dan bahu yang memiliki tanggung jawab yang
spesifik dalam hal menciptakan suatu gerakan, stabilitas dan fungsi gabungan.
Struktur tersebut merupakan komponen penting yang dibutuhkan untuk
memberikan stabilitas inti yang memadai (McLean, 2006).
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa untuk menghasilkan gerakan
pada ekstremitas bawah, maka sistem saraf pusat akan membangun pondasi
yang stabil terlebih dahulu melalui aktivasi dari otot transversus abdominis
dan multifidus (Willson, et al., 2005). Hal ini memberikan gambaran bahwa
otot-otot core merupakan pusat koordinasi dan keseimbangan dari gerakan
yang akan dihasilkan oleh ekstremitas.
Fungsi lain dari kuat dan stabilnya otot core adalah untuk mencegah
terjadinya cedera muskuloskeletal. Selain itu fungsi otot core telah dicatat
sebagai suatu komponen yang mempengaruhi struktur tubuh mulai dari
pinggang hingga pergelangan kaki (Willson, et al., 2005). Contohnya, daya
tahan otot ekstensor punggung bawah yang buruk sering menjadi faktor risiko

Universitas Sriwijaya
29

terjadinya LBP di kalangan orang dewasa bekerja (Biering-Sørensen, 1984


dan Luoto, et al., 1995 cit. Willson, et al., 2005).

2.4.3 Fisiologi Core Stability


Core stability adalah hal yang sangat diperlukan terutama pada kondisi
ketidakstabilan tulang belakang. Ketidakstabilan tulang belakang diketahui
berdasarkan pemeriksaan raidografik dimana terdapat displasemen pada
vertebra. Hal ini terjadi terkait dengan defisit neurologis dan deformitas
(Akuthota, et al., 2008).
Namun, ketidakstabilan fungsional maupun klinis tidak mudah
didefinisikan. Menurut Panjabi, ketidakstabilan klinis adalah hilangnya
kemampuan tulang belakang untuk mempertahankan pola-pola
gerakan/perpindahan yang berlangsung dibawah pembebanan fisiologis
sehingga tidak ada defisit neurologis awal ataupun tambahan, tidak ada
deformitas yang berat, dan nyeri yang melumpuhkan (Panjabi, 2003 cit.
Akuthota, et al., 2008). Sistem Stabilitas tulang belakang terdiri dari unsur-
unsur yang saling berinteraksi berikut:
1. Kontrol Neuromuskular (elemen saraf)
2. Subsistem pasif (elemen tulang dan ligamen)
3. Subsistem aktif (elemen otot)
Subsistem pasif terdiri dari tulang belakang, discus, kapsul sendi dan
ligamen (Panjabi, 1992 cit. McLean 2006). Subsistem aktif digambarkan
terdiri dari otot-otot dan tendon di sekitar tulang belakang. Ketiga, subsistem
saraf dan umpan balik yang terletak di ligamen, tendon, dan otot, dan di pusat-
pusat kontrol saraf. Stabilitas inti dapat digambarkan sebagai interaksi antara
ketiga komponen tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa stabilitas tulang belakang tidak hanya
bergantung pada kekuatan otot, tetapi juga input sensorik yang tepat yang
memberikan informasi kepada sistem saraf pusat tentang interaksi yang terjadi
antara tubuh dan lingkungan, memberikan umpan balik yang konstan dan
memungkinkan perbaikan pola gerak. Maka dari itu, program stabilisasi inti
yang lengkap akan mempertimbangkan komponen sensorik dan motorik yang

Universitas Sriwijaya
30

terkait dengan sistem ini demi stabilisasi yang optimal dari tulang belakang
(Hodges, 2003 cit.Akuthota, et al., 2008).
Kelompok fisioterapis di Queensland melakukan penelitian yang
memberikan perhatian khusus pada otot-otot inti yang letaknya dalam,
khususnya transversus abdominis dan multifidus, untuk stabilitas inti
(Richardson, et al., 1999 cit. Akuthota, 2008). Namun, McGill dan ahli
biomekanik lainnya lebih menaruh perhatian pada otot ''prime mover'' yang
lebih besar seperti abdominal obliques dan kuadratus lumborum, dalam
memberikan stabilitas (McGill, 2002 cit.Akuthota, 2008). Kontraksi yang
terkoordinasi dari semua otot inti yang letaknya dalam dan dangkal diperlukan
untuk mencapai stabilitas tulang belakang yang optimal (Akuthota, 2004 cit.
Akuthota, 2008)

2.4.4 Program Latihan Core stability


Sebuah program latihan core harus dilakukan secara bertahap dengan
perkembangan bertahap pula. Latihan harus dimulai dengan pemulihan
panjang otot yang normal dan mobilitas untuk memperbaiki
ketidakseimbangan otot yang ada. Panjang otot yang normal dan fleksibilitas
sangat diperlukan untuk fungsi sendi yang tepat dan gerakan efisien.
Ketidakseimbangan otot dapat muncul di mana otot-otot agonis menjadi lebih
dominan dan memendek sementara otot antagonis akan menjadi penghambat
dan lemah. Salah satu contoh dari pola ketidakseimbangan otot adalah
tightness dan over-aktivitas dari otot fleksor pinggul primer (iliopsoas), yang
pada gilirannya menyebabkan inhibisi resiprokal (penghambatan timbal balik)
dari otot ekstensor hip primer (gluteus maximus) (Akuthota, et al., 2008).
Suatu penelitian membuktikan bahwa klien yang sehat dapat dengan
mudah mengaktifkan otot transversus abdominis selama latihan core stability
dibawah instruksi yang benar. Latihan tersebut terdiri dari lima gerakan yaitu
bridging, bridging dengan tungkai kanan diangkat, crook lying dengan tungkai
kanan diangkat, bird dog dengan tungkai kanan diangkat, dan bird dog dengan
tungkai kanan dan lengan kiri diangkat. Hasil penelitian ini adalah bahwa otot
transversus abdominis tiga kali lebih besar teraktivasi dengan instruksi

Universitas Sriwijaya
31

sederhana dibandingkan dengan otot rectus abdominis (Bjerkerfors, et al.,


2010 cit. Anderson, et al., 2013).
Selain itu, hanya dibutuhkan 5-10% dari kontraksi maksimal otot
abdomen dan multifidus untuk menegakkan vertebra. Otot transversus
abdominis dan obliques abdominis hanya butuh diaktivasi sebanyak 10%
untuk meningkatkan stabilitas tulang belakang, sementara rectus abdominis
cenderung akan menurunkan stabilitas (Anderson, et al., 2013).
Dari uraian diatas, program latihan core stability exercise harus lebih
fokus pada aktivasi otot-otot yang letaknya lebih dalam seperti transversus dan
obliques abdominis, multifidus, dan sebagainya untuk meningkatkan stabilitas
core.
1. Pemanasan
Sebuah program latihan core sebaiknya dimulai dengan
pemanasan. Latihan pemanasan yang dapat dilakukan bermacam-macam,
misalnya lari. Selain itu pemanasan di tempat juga dapat dilakukan dengan
melakukan gerakan penguluran (stretching) seperti gerakan Cat and
Camel. Gerakan ini dilakukan dengan cara:
Posisi awal: posisi tubuh seperti merangkak dengan tumpuan pada kedua
tangan dan lutut.
Gerakan: Melengkungkan tulang belakang ke atas dan ke bawah.
Repetisi: Lakukan gerakan ini selama 10 repetisi dalam 1 set dan lakukan
sebanyak 3 set.

Gambar 2.10 Cat and Camel


(Sumber : www.stmichaelsfoundation.com, diakses tanggal
24 Desember 2014)

Universitas Sriwijaya
32

2. Aktivasi Transversus Abdominis


Gerakan pertama dan sangat esensial pada rogram latihan core adalah
aktivasi otot transversus abdominis. Gerakan ini dilakukan dengan
cara:
Posisi awal: Berbaring telentang. Tempatkan jari 2 cm dari krista
iliaca (puncak pinggul).
Gerakan: Tidak ada gerakan.
Aksi: kontraksi otot dasar panggul, pada wanita, gerakan seperti
menahan buang air kecil dan pada laki-laki gerakan mengangkat
skrotum. Bersamaan dengan itu lakukan gerakan sedikit menarik pusar
dengan usaha 30%. Tahan kontraksi otot selama 10 detik.
Repetisi: 1 set - 10 repetisi, lakukan sebanyak 3 set

Gambar 2.11 Aktivasi Transversus Abdominis


(Sumber : Hopkins, 2009)

3. Bridging
Posisi awal : berbaring terlentang dengan kedua lutut ditekuk.
Gerakan : angkat bokong ke atas hingga tulang belakang sejajar
dengan lutut dan bahu. Pertahankan posisi ini selama 10 detik.
Repetisi: 1 set - 10 repetisi, lakukan sebanyak 3 set

Gambar 2.12 Bridge/pelvic tilt


(Sumber : Hopkins, 2009)

Universitas Sriwijaya
33

4. Curl Up
Gerakan ini bertujuan untuk mengkontraksikan otot perut bagian
superfisial yaitu rectus abdominis.
Posisi awal: berbaring terlentang dengan kedua lutut ditekuk. Kedua
lengan lurus disamping badan
Gerakan: angkat kepala dan bahu, lalu turunkan
Repetisi: 1 set - 10 repetisi, lakukan sebanyak 3 set

Gambar 2.13 Curl Up


(Sumber : https://gustavus.edu/hes/hplab/acsmsitup.php,
diakses tanggal 24 Desember 2014)

5. Bird dog
Gerakan ini dilakukan secara bertahap mulai
Posisi awal: posisi tubuh seperti merangkak dengan tumpuan pada
kedua tangan dan lutut.
Gerakan:
a. Mengangkat satu lengan secara bergantian
b. Mengangkat satu tungkai secara bergantian
c. Mengangkat satu lengan dan satu tungkai sisi yang lain secara
bersamaan
d. Lakukan gerakan pada poin c. diatas dengan sisi yang berlawanan
Repetisi: 1 set - 10 repetisi, lakukan sebanyak 3 set pada masing-
masing gerakan

Universitas Sriwijaya
34

Gambar 2.14 Bird Dog


(Sumber : www.stmichaelsfoundation.com,
diakses tanggal 24 Desember 2014)

6. Side Plank
Posisi awal: posisikan satu siku di bawah bahu sebagai tumpuan.
Gerakan: Tidak ada gerakan.
Tindakan: Tahan tubuh tetap di atas lantai dengan tumpuan utama
pada siku dan lutut. Jaga punggung tetap lurus.
Repetisi: 1 set - 10 repetisi, lakukan sebanyak 3 set pada masing-
masing gerakan
Lakukan bergantian dengan sisi yang berlawanan

Gambar 2.15 Side Plank


(Sumber : Hopkins, 2009)

2.4.5 Core Stability dan Fleksibilitas Sendi Panggul


Dengan dicapainya kekuatan dan stabilitas otot-otot core, diharapkan
akan memperbaiki muscle imbalance dan postural alignment. Muscle
imbalance dan postural alignment ini diharapkan akan berakibat pada
pengurangan tightness pada otot hamstring dan pada akhirnya akan

Universitas Sriwijaya
35

meningkatkan ekstensibilitas dan fleksibilitas hamstring dan sendi panggul.


Dengan meningkatkan ekstensibilitas dan fleksibilitas sendi panggul maka
akan dicapai peningkatan kemampuan membungkuk pada saat sholat.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai