Anda di halaman 1dari 37

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Variabel Studi Kasus

2.1.1 Defenisi Sprain ankle

Ankle adalah sendi yang paling utama bagi tubuh guna menjaga

keseimbangan tubuh saat melakukan aktivitas, hal tersebut membuat ankle

menjadi salah satu lokasi tubuh yang sering mengalami cedera. Umumnya

cedera ankle terjadi pada saat kaki melakukan belokan atau memutar

sehingga membuat pergelangan kaki meregang pada titik dimana akan

merobek ligamen atau retak tulang persendiaan pergelangan kaki (Umaya,

2017)

Sprain ankle juga dikenal sebagai cedera ankle atau cedera ligament

ankle. Pada umumnya sprain ankle ini terjdi karena robeknya sebagian dari

ligament (torn partial ligament) atau keseluruhan dari ligament (torn

ligament) dan hampir 85% kasus sprain ankle ini mengenai ligament

talofibular anterior (Puspitasari dan Yulia, 2019).

Sprain Ankle terjadi akibat penguluran dan kerobekan (overstretch)

terutama pada ligamentum lateral complex, karena adanya gaya inversi dan

plantar fleksi yang tiba-tiba terjadi saat kaki tidak menumpu dengan

sempurna pada lantai atau tanah, dimana umumnya terjadi pada permukaan

lantai atau tanah yang tidak rata. Ligament-ligament yang terkena adalah

ligament talofibular anterior, ligament talofibular posterior, ligament

9
10

calcaneocuboideum, ligament talocalcaneus dan ligament calcaneofibular

(Board et al., 2018) .

Sprain ankle grade 1 disebut dengan sprain ringan, hasil dari

regangan ligament tanpa ada robekan makroskopis, sedikit pembengkakan

dan tender, tidak ada instabilitas mekanis pada pemeriksaan tidak ada

kehilangan fungsi atau gerak (Hermansyah, 2014).

2.1.2 Nyeri pada Sprain ankle grade I

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

Nyeri timbul sebagai bentuk respon sensori setelah menerima rangsangan

nyeri. Nyeri dapat disebabkan karena adanya kerusakan jaringan dalam

tubuh sebagai akibat dari adanya cedera, kecelakaan, maupun tindakan

medis seperti operasi (Ratnasari, 2013).

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial

atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah

suatu pengalaman sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat

berbeda dalam intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti

terbakar, tajam), durasi (transien, intermiten, persisten), dan penyebaran

(superfisial atau dalam, terlokalisir atau difus). Meskipun nyeri adalah suatu

sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang

digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan

reflex menghindar dan perubahan output otonom (Bahrudin, 2017).


11

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu

nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,

eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara

stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat

Proses terjadinya nyeri: Tranduksi, Transmisi, Modulasi, dan Persepsi yaitu

(Baharudin, 2017).

a. Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen

menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls

nosiseptor. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini,

yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara

maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai

serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta

dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,

merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi

eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.

b. Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu

dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju

otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif

dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis

medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron

spinal.

c. Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain

related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis

medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian


12

reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu

dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari

korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah

(midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis.

Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan

penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.

d. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi

merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,

aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri

adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf

bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang

secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociseptor,

secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan

ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen (Tamsuri, 2006).

a. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat di klasifikasikan menjadi 2 yaitu :

1. Nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogenik

Nyeri yang dirasakan pada anggota gerak akibat proses

patologik pada jaringan yang dilengkapi dengan serabut nyeri.

Misalnya altralgia yaitu nyeri yang disebabkan karena proses

patologik pada persendian, mialgia merupakan nyeri yang

disebabkan proses patologis pada otot, dan entesialgia merupakan


13

proses patologis yang terjadi akibat proses patologis ditendon, fasia,

jaringan miofasial dan periosteum. Proses patologis tersebut bisa

disebabkan karena adanya bakteri, proses imunologis, non-infeksi

atau perdarahan sehingga menyebabkan inflamasi pada daerah

tersebut. Nyeri bisa diungkapkan dengan ketika dengan penekanan

atau ketika anggota tubuh tersebut digerakkan secara pasif atau aktif.

2. Nyeri neuromuskuloskeletal neurogenic

Nyeri yang diakibatkan iritasi langsung pada serabut saraf


sensorik perifer. Ciri khas dari nyeri neurogenik adalah nyeri
menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang bersangkutan dan
penjalaran nyeri berpangkal pada saraf yang terkena. Serabut syaraf
sensorik perifer menyusun radiks posterior, saraf spinal, pleksus,
fasikel dan segenap saraf perifer.

2.1.3 Kelemahan Otot Gastrocnemius

Otot Gastrocnemius merupakan anggota gerak bawah yang

tersusun dari kelompok-kelompok penting dalam pergerakan. Otot ini

bertujuan terhadap aktivitas berjalan. Otot betis atau otot gastrocnemius

merupakan otot tipe slow twitch (tipe 1). Otot gastrocnemius ini adalah satu

kelompok dengan otot soleus yaitu masuk kedalam kelompok otot betis.

Otot gastrocnemius berkontraksi pada saat berjalan, naik turun tangga dan

berlari. Misalkan saja dalam aktifitas berjalan dan berlari jalan merupakan

salah satu dari ambulasi, pada manusia ini dilakukan dengan cara bipedal

(dua kaki) (Irfan, 2009 ).


14

Otot yang baik adalah otot yang dapat melakukan gerakan

semaksimal mungkin dan memiliki fleksibilitas yang bagus, terlebih lagi

untuk melakukan pekerjaan yang berat dalam jangka waktu lama

tanpamengalami kelelahan yang berarti. Kerja otot yang maksimal dapat

meningkatkan kemampuan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan

prestasi. Performa otot yang tinggi tersebut ditentukan oleh kekuatan dan

daya tahan otot. Dengan kata lain kemampuan suatu otot untuk

menghasilkan gaya dalam suatu kontraksi otot atau yang dikenal dengan

istilah muscle strength dan daya tahan otot dalam mempertahankan

kontraksi atau disebut juga muscle endurance (Kisner, 2007).

Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk mengulangi

kontraksi dalam jumlah tertentu. Secara umum serabut otot terbagi atas

serabut otot cepat dan serabut otot lambat. Kedua serabut otot tersebut

dikenal dengan nama slow twicht muscle dan fast twicht muscle. Pada otot

tipe slow twitch (tipe 1) ketahanan terhadap kelelahan tinggi sehingga otot

tersebut relatif memiliki daya tahan yang lebih baik. Sedang otot tipe fast

twicth (tipe 2) memiliki ketahanan terhadap kelelahan rendah sehingga

relatif lebih lemah (Lesmana, 2008).

Faktor yang mempengaruhi daya tahan otot Gastrocnemius:

1. Kekuatan otot

Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau grup otot

menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara

dinamis maupun statis.


15

2. Fleksibilitas Kemampuan sendi untuk melakukan suatu gerakan dalam

ruang gerak sendi secara maksimal. Kelenturan diarahkan kepada

kebebasan lingkup gerak sendi atau Range Of Motion (ROM).

3. Keseimbangan

Keseimbangan adalah kemampuan mempertahankan sikap dan

posisi tubuh secara tepat pada saat berdiri (static balance) atau pada

saat melakukan gerakan (dynamic balance) (Irfan, 2009).

2.2 Kajian Terkait

2.2.1 Anatomi Sprain Ankle

Ankle adalah sendi yang menopang tubuh untuk menjaga

keseimbangan bila berjalan dipermukaan yang tidak rata. Sendi ini tersusun

oleh tulang, ligamen, tendon, dan seikat jaringan penghubung (Taylor,

2002).

Sendi ankle adalah sendi yang paling utama bagi tubuh untuk menjaga

keseimbangan saat berjalan dipermukaan yang tidak rata. Sendi ini tersusun

dari tulang, ligamen, tendon, dan seikat jaringan penghubung (Paul, 2002).

Sendi ankle dibentuk oleh empat tulang yaitu tibia, fibula, talus dan

calcaneus. Pergerakan utama dari sendi ankle terjadi pada tulang tibia, talus

dan calcaneus (Graha dan Priyonoadi, 2012).

a. Tulang

Tulang merupakan struktur fudamental gerak, tulang memberi

arsitekstur rumit pada tubuh manusia dan sistem pengungkit yang


16

ditarik oleh otot dan tendon untuk menciptakan gerak. Tulang mudah

dipalpasi dan memberi penandaan tulang penting untuk menentukan

otot, tendon dan ligament. Disebut juga jaringan oseus, tulang

merupakan tipe jaringan ikat penyokong yang tersusun atas serat

kolagen dan mineral yang memebentuk skeleton tubuh manusia (Cael,

2018).

Os. Femur

Os. Patela

Os. Fibula Os. Tibia

Os. Ankle

Gambar 2.2 Tungkai Bawah


Sumber: Paulsen dan Wasckhe 2015
b. Otot

Otot adalah satu dari empat tipe utama jaringan tubuh. Otot

bukan jaringan ikat, otot menghasilkan gerakan menarik jaringan ikat

padat yang membentuk tendon dan melekat pada periosteum tulang.

Fungsi utama otot adalah mengeluarkan tarikan pada tulang, dan

menciptkan gerakan. Mengkontraksi otot menyebabkan kaki melngkah,


17

lengan menganyun dan menyebabkan bibir mencucu dan bersiul. Otot

memiliki origo dan insertio tempat perlekatan di tulang (Cael, 2018).

1
2

4 3
5

Gambar: 2.2 Otot posterior tungkai bawah

Sumber: Paulsen dan Wasckhe 2015

Keterangan 2.2 :

1. M. Gluteus Medius 5. M. Gracilis

2. M. Gluteus Maximus 6. M. Semimembranosus

3. M. Bicep Femoris 7. M. Gastrocnemius

4. M. Semitendinosu 8. M. Soleus
18

Tabel 2.2 Otot Posterior Tungkai Bawah


Nama Otot Origo Insertio Fungsi
M. Gluteus Medius Permukaan Permukaan lateral Abduksi pinggu,
eksternal ilium trochanter mayor fleksi pinggul,
antara garis femur rotasi internal
anterior dan pinggul ekstensi
posterior pinggul.
M. Gluteus Maximus Permukaan Batas anterior Abduksi pinggul
eksternal ilium trochanter mayor Rotasi pinggul
antara garis glutea femur Sedikit fleksi
anterior dan pinggul
inferior
M. Bicep femoris Caput longum, Caput fibul Ekstensi pinggul,
tuberositas iskial, flkesi lutut, rotasi
caput breve, bibir eksternal pinggul
lateral linea
aspera
Tuberositas iskial
M. Semitendinosus Tuberositas iskial Corpus medial Ekstensi pinggul,
tibia melalui pes Rotasi internal
ansesorius pinggul
Fleksi lutut
M. Gracilis Ramus pubis Corpus medilis Abduksi pinggul
inferior tibia melalui Fleksi pinggul
tendon pes Fleksi lutut
ansesorius
M. Semimembranosus Tuberositas iskial Bagian postero Ekstensi
medial condylus panggul, rotasi
medialis tibiae internal pinggul,
fleksi lutut
M. Gastrocnemius Caput medial, Permukaan Plantar fleksi
permukaan calcanesus pergelangan kaki
condylus medialis melalui tendon dan fleksi lutut
femoris. achiles
Caput lateral ,
permukaan
posterior
Condylus lateral
femoris
M. soleus Garis soleal dan Permukaan Plantar fleksi
permukaan posterior pergelangan
posterior tibia calcaneus kaki
dan caput tendon achilles
posterior serta
permukaan
proksimal fibula
Sumber : Cael, 2018
19

1
Gambar 2.2 Otot Lateral Ankle
Sumber: Paulsen dan Wasckhe 2015
Keterangan 2.2 :
1. M. Ekstensor digitorum brevis

2. M. Ekstensor Halucis Brevis

3. M. Interosei Dorsal

4. M. Interosei Plantar

Tabel 2.2 Otot Ankle


Nama otot Origo insertio Fungsi
M. Ekstensor Calcaneus lateral Aponeurosis dorsal Mengangkat jari
digitorum brevis dan dorsal jari kaki 2-4 kaki 2-4 saat
berjalan, membantu
dorso fleksi
M. Ekstensor Calcaneus dorsal Dasar phalang distal Mengangkat ibu jari
halusis brevis pertama kaki saat berjalan,
membantu dorso
fleksi
M. Interosei dorsal Sisi metatarsal yang Dasar phalang Mengatur posisi kaki
berdekatan prosikmal dan dan jari kaki untuk
ekspansi digital keseimbangan
dorsal
M. Interosei plantar Dasar dan sisi Sisi medial dasar Mengatur posisi kaki
medial metatarsal 3- phalang proksimal dan jari kaki untuk
5 3-5 keseimbangan

Sumber: Cael, 2018


20

c. Ligament

Ligament adalah struktur fibrosa yang tersusun atas jaringan ikat

padat yang menghubungkan tulang satu sama lain. Ligament mencegah

gerak pada sendi dan memberi stabilitas sendi. Otot dan tendon

dianggap sebagai penstabil dinamik karena kemampuannya unuk

kontaraksi dan meregang, sehingga menimbulkan gerakan. Sementara

itu, ligament dianggap sebagai penstabil statik karena menahan

tegangan tanpa kontarksi.

Ligament tersusun atas jaringan serat kolagen yang kompleks

menahan tekanan dari berbagai arah. Ligament ada di ujung tulang

tempat ligament membantu membentuk sendi, jejaring ligament

membentuk seluruh sendi, dan membentuk kapsul sendi. Ligament

adalah membran interoseus yaitu lapisan luas jaringan ikat padat yang

lebih tipis ketimbang ligament dan menghubungkan tulang disepanjang

batangnya (Cael, 2018).

Ligament Talofibular Anterius Ligament Talocalcaneum Lateral

Ligament Talocalcaneum Interoseus


Ligament Calcaneofibulare

Gambar 2.2 Ligament Lateral Ankel


Sumber: Palusen dan Wasckhe, 2015
21

2.2.2 Biomekanik Ankle


Gerakan sendi ini dapat melakukan gerakan dorso fleksi, plantar fleksi,

inversi dan eversi. ROM (Range of Motion) dalam keadaan normal untuk

dorso fleksi adalah 20˚, plantar fleksi adalah 50˚, gerakan eversi adalah 20˚,

dan gerakan inversi adalah 40˚. Penulisan yang disesuaikan dengan standar

ISOM (Internaional Standard Orthopaedic Meassurement) untuk gerak

dorso fleksi dan 12 plantar fleksi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi

dan eversi tertulis (S) 20-0- 40 (Nugroho, 2016).

Berdasarkan dari bentuk persendiannya, Pieter dan Gino (2014)

mengklasifikasikan sendi ankle sebagai sendi ginglimus dengan gerakan yang

mungkin terjadi adalah dorso fleksi (fleksi) dan plantar fleksi (ekstensi)

dengan jangkauan gerakan yang bervariasi untuk dorso fleksi antara 13-33˚

dan plantarfleksi 23 - 56˚. Sementara Christy Cael (2009) menggambarkan

jangakauan gerak sendi ankle adalah dorso fleksi 20˚ dan plantar fleksi 50o.

2.2.3 Fisiologi Sprain Ankle

Sendi ankle terdiri atas sendi talocrularis dan sendi talotarsalis. Secara

gerakan sendi ini dapat melakukan gerakan dorso fleksi, plantar fleksi, eversi,

dan inversi. Range Of Motion (luas gerakan sendi) dalam keadaan normal

untuk dorsofleksi 20° plantarfleksi 30-50°, 11 gerakan inversi 45-60° dan

gerakan eversi 15-30° (Anderson, 2009).

2.3 Patologi

Kerusakan ligamen dapat menyebabkan instabilitas kaki sehingga mudah

terjadinya sprain ulang, atau penyembuhan terhambat , gangguan stabilitas hingga


22

ligamen laxity (pasif stability) dan penurunana fungsi neuromuscular (active

stability). Trauma penyebab ligament ditandai melebihi elastisitasnya sehingga

terjadi kerobekan mikrokopis hingga makrokopis, akibat kerobekan jaringan

lunak yang di ikuti proses inflamasi (Fong, 2009). Pada sprain ankle memiliki 3

derajat sesuai tingkat kerusakannya ( Young, 2005) yaitu:

a. Derajat I, ditandai dengan : ligametum teregang tetapi tidak mengalami

kerobekan, pergelangan kaki biasanya tidak terlalu membengkak, nyeri

ringan dan sedikit bengkak namun dapat meningkatkan resiko terjadinya

cedera berulang.

b. Derajat II, ditandai dengan: sebagian ligamen mengalami kerobekan,

pembengkakan dan memar tampak dengan jelas, nyeri hebat (aktualitas

tinggi), penurunan fungsi ankle (gangguan berjalan) dan biasanya berjalan

menimbulkan nyeri.

c. Derajat III, ditandai dengan: ligamen mengalami robekan total, sehingga

terjadi pembengkakan dan kadang perdarahan di bawah kulit. Akibatnya

pergelangan kaki menjadi tidak stabil dan tidak mampu menahan beban.

2.3.1 Etiologi

Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya sprain ankle yakni,

faktor intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk didalam faktor ekstrinsik yaitu

kesalahan pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang salah dan menapak pada

permukaan yang tidak rata, sedangkan untuk faktor intrinsik terdiri dari

kerusakan jaringan penyangga, ketidak stabilan aktif oleh otot-otot penggerak


23

kaki dan ankle (muscle weaknes), poor proprioceptive, hypermobile kaki dan

ankle (Kisner dan Colby, 2012).

Faktor Resiko terjadinya sprain ankle:

a. Usia

Proses degenerasi tubuh akan dialami oleh semua orang, pada

umumnya proses degenerasi mulai terjadi saat usia 30 tahun. Fungsi

tubuh akan berkurang sekitar 1% per tahun. Hal ini membuat tubuh akan

menurun sesuai proses degenerasi yang semakin rentan dengan

kerusakan akibat trauma.

b. Jenis Kelamin

Perbedaan anatomi pada pria dan wanita menimbulkan masalah

pada olahraga jenis tertentu,terutama berkaitan dengan anatomi organ

reproduksi. Hal ini berkaitan dengan pemberian proteksi pada alat

kelamin untuk mencegah terjadinya cedera. Perbedaan kapasitas sistem

muskuloskeletal antara pria dan wanita akan berpengaruh terhadap

tingkat keparahan cedera yang terjadi.

c. Jenis Olahraga

Olahraga tertentu akan menimbulkan cedera yang lebih besar.

Olahraga kontak yang dengan sengaja menimbulkan cedera terhadap

lawan tanding untuk mendapat nilai sudah pasti akan menimbulkan risiko

cedera paling besar. Olahraga kontak kemungkinan akan menimbulkan


24

luka robek, sedangkan pada atlet tenis, sepak bola atau bulu tangkis lebih

sering terjadi sprain atau strain.

d. Pengalaman Melakukan Teknik Olahraga

Penguasaan terhadap teknik yang digunakan akan berpengaruh

terhadap risiko cedera. Gerakan yang berlebihan dengan frekuensi yang

berlebihan akan menyebabkan cedera overuse pada ekstremitas yang

dominan digunakan.

e. Sarana Olahraga dan Peralatan Olahraga

Lingkungan olahraga yang kondusif akan menunjang

kenyamanan dalam berolahraga dan meminimalkan risiko terjadinya

cedera. Olahraga yang dilakukan 16 dilingkungan ekstrim akan

meningkatkan faktor risiko. Penggunaan alat olahraga yang tepat juga

diperlukan untuk mencegah terjadinya cedera.

f. Faktor Gizi

Faktor gizi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap

kapasitas jaringan dan ketahanan fisik. Pengaturan kalori, protein serta

zat gizi lainnya yang tepat akan sangat menjaga kebugaran dan ketahanan

atlet. Beberapa jenis cedera yang sering terjadi pada kegiatan olahraga

antara lain adalah kontusio dan hematoma (benturan), strain (cedera pada

otot atau tendon yang menggerakkan suatu sendi atau tulang), sprain

(cedera pada ligamen yang menopang sendi), subluksasi dan dislokasi

(geser dan keluarnya sendi dari tempatnya), fraktur (Rizal, 2014).


25

2.3.2 Tanda Dan Gejala

a. Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial

atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah

suatu pengalaman sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat

berbeda dalam intensitas (ringan, sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti

terbakar, tajam), durasi (transien, intermiten,persisten), dan penyebaran

(superfisial atau dalam, terlokalisir atau difus). Meskipun nyeri adalah

suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang

digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan

dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom (Bahrudin,

2017).

b. Odema

Odema merupakan pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh

cairan dan beberapa sel yang berpindah dari aliran darah ke jaringan

interstitial (Robbins et al, 2015). Edema adalah salah satu tanda adanya

inflamasi. Inflamasi merupakan reaksi pertahanan organisme dan

jaringan terhadap kerusakan, tujuannya adalah memperbaiki kerusakan

atau paling tidak membatasinya serta menghilangkan penyebab

kerusakan, seperti bakteri atau benda asing (Silbernagl dan Florian,

2013).
26

c. Hematoma

Hematoma atau memar luka tertutup dimana kerusakan jaringan

di bawah kulit hanya tampak sebagai benjolan jika dilihat dari luar. Nyeri

pada memar biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan yang

menyertai sedang sampai berat. Adapun memar yang mungkin terjadi

pada daerah kepala, bahu, siku, tangan, dada, perut dan kaki. Benturan

yang keras pada kepala dapat mengakibatkan memar dan memungkinkan

luka (Meikahani dan Kriswanto, 2015)

2.3.3 Patofisiologi

Sprain ankle dapat terjadi karena overstretch pada ligament complex

lateral ankle dengan posisi inversi dan plantar fleksi yang terjadi secara tiba-

tiba saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai atau tanah, dimana

umumnya terjadi pada permukaan lantai atau tanah yang tidak rata, sehingga

hal ini menyebabkan struktur panjang teregang melampaui panjang fisiologis

dan fungsi normalnya (Calatayud et al., 2014).

Terkilir pada pergelangan kaki biasanya disebabkan oleh gerakan ke

sisi luar (lateral) dan sisi (medial) dari pergelangan kaki yang terjadi secara

mendadak. Terkilir secara invesi yaitu kaki berbelok atau membengkok ke

dalam dan terbalik. Tipe ini merupakan cedera yang paling umum terjadi pada

pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tulang stabilisasi pada

sisi lateral yang mengakibatkan tekanan pada kaki menjadi terbalik. Jika

kekuatan tersebut cukup besar, pergerakan dari pergelangan kaki terjadi

sampai ke medial malleolus, sehingga kehilangan stabilitasnya dan


27

menciptakan titik tumpu untuk lebih membalikkan pergelangan kaki

(Sumartiningsih, 2012).

Cedera ankle dapat terjadi karena terkilir secara mendadak dilanjutkan

adanya respon dari tubuh dengan ditandai peradangan yang terdiri dari rubor

(merah), kalor (panas), tumor (bengkak), dolor (nyeri), dan functiolaesa

(penurunan fungsi). Pembuluh darah dilokasi cedera atau bagian ankle akan

melebar yaitu terjadi vasodilatasi untuk mengirim lebih banyak nutrisi dan

oksigen dalam mendukung penyembuhan. Pelebaran pembuluh darah itulah

yang mengakibatkan bagian ankle yang cedera terlihat memerah (rubor).

Cairan darah yang banyak dikirim ke lokasi cedera akan merembes keluar

dari kapiler menuju ruang antar sel dan menyebabkan bengkak (tumor).

Dengan dukungan banyak nutrisi dan oksigen, metabolisme dilokasi cedera

akan meningkat dengan sisa metabolisme yang berupa panas.

Kondisi itulah yang menyebabkan lokasi daerah ankle yang

mengalami cedera akan lebih panas (kalor) dibandingkan dengan lokasi lain

yang tidak mengalami cedera. Tumpukan sisa metabolisme dan zat kimia lain

akan merangsang ujung saraf dibagian ankle yang mengalami cedera dan

akan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri tersebut juga dipicu oleh

tertekannya ujung saraf karena pembengkakan yang terjadi dilokasi cedera.

Tanda peradangan tersebut akan menurunkan fungsi organ atau sendi

dislokasi cedera yang dikenal dengan istilah penurunan sendi atau functional

(Kushartanti, 2007).
28

2.3.4 Mekanisme nyeri dan kelemahan otot Gastrocnem

Nyeri terjadi karena rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada

kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta

oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein

intraseluler. Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan menyebabkan

depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan

menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan atau

kerusakan jaringan.

Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien,

prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga

rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri

(hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor

pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan

merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan terjadi

iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K+ ekstraseluler dan H+ yang

selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan prostaglandin

E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh

darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat dan

juga terjadi Perangsangan nosisepto.

Bila nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan substansi

peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang akan

merangsang proses inflamasi pada kerusakan jaringan dan juga menghasilkan

vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.


29

Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi. Peransangan

nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri (Baharudi, 2017).

Rangsang nyeri dari nosiseptor dilepaskan ke tubuh sehingga terjadi

nya kelamahan otot, untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot ialah

keadaan anaerobik dalam otot yang disebabkan oleh karena adanya ischaemia

(kekurangan darah). Keadaan ini terjadi pada waktu dan selama otot

berkontraksi. Pada waktu dan selama otot berkontraksi, peredaran darah

dalam otot terhenti oleh karena pembuluh-pembuluh darah didalam otot

terjepit selama terjadinya kontraksi itu. Keadaan demikian dijumpai pada

kontraksi isometrik. Demikian pula pada kontraksi isotonik yang

menggunakan beban yang cukup berat, karena dengan makin beratnya beban

yang harus diangkat maka makin panjang dan makin besar pula komponen

kontraksi isometriknya, sampai akhirnya kontraksinya hanya tinggal

komponen kontraksi isometriknya saja yaitu tatkala beban itu sama sekali

tidak terangkat. Dengan demikian maka makin panjang komponen kontraksi

isometriknya berarti makin panjang keadaan anaerobik yang terjadi, yang

berarti juga makin besar rangsangan anaerobiknya.

Bila ditinjau dari segi otot itu sendiri, maka makin panjang keadaan

anaerobik itu berarti makin tidak mampu otot itu mengatasi beban. Kekuatan

otot dengan jalan menambah kemampuan menyediakan energinya (olahdaya)

secara anaerobik, menambah kekuatan kontraksi mekanisnya dengan

menambah jumlah unsur-unsur kontrakstilnya (actin dan myosinnya).


30

Bertambahnya kekuatan otot dimaksudkan untuk mempersingkat

keadaan anaerobik (kondisi iskemik) yang terjadi, yang ditinjau dari segi

kehidupan sel-sel (otot) bersifat membahayakan. Artinya keadaan anaerobik

yang berkepanjangan akan menimbulkan gangguan homeostasis yang dapat

menimbulkan kerusakan sel (nekrosis) dan kematian selsel otot. Dengan

makin bertambahnya kemampuan olahdaya anaerobik dan kemamppuan

mekanisnya, maka berarti bertambahlah kekuatan dan daya tahan statisnya

atau dengan perkataan lain makin besar kekuatan maupun durasi kontraksi

isometriknya. Dengan demikian tersimpul jelas bahwa kekuatan dan daya

tahan statis akan diperoleh secara bersamaan, oleh karena rangsangnya

memang juga sama yaitu nyeri (Giriwijoyo, 2011).

a. Anatomical impairment, adanya kerusakan jaringan pada anterior

talofibular ligament (ATFL) dan otot ekstensor digitorum brevis , adanya

odema dan hematoma pada medial kaki.

b. Functional impairment, adanya nyeri tekan pada ankle karena kerusakan

jaringan, adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada gerakan, dorso

fleksi, plantar fleksi, dan eversi ankle, penurunan kekuatan otot

gastrocnemius.

c. Limitation in activity, pasien kesuliatan melakukan aktivitas berjalan,

berdiri lama dan melakukan aktivitas dirumah.

d. Participan retraction, pasien tidak mampu melakukan olahraga seperti

biasanya.
31

2.3.5 Pemeriksaan dan Pengukuran

1. Pemeriksaan dengan Tes khusus (Aras, 2014):

a. Ankle Anterior Drawer Test

Tujuan : tes ini dilakukan untuk mendeteksi sprain Anterior

talofibular atau capsular sprain

Prosedur tes : pasien duduk ditepi bed dengan posisi knee

fleksi. Praktik meletakan satu tangan untuk memfiksasikan tungkai

bawah pasien sisi lateral distal dan tangan satunya untuk menyanggah

tumit pasien dalam posisi sedikit plantar fleksi (sekitar 20 derajat) dan

sedikit inversi (derajat minimal). Praktik selanjutnya secara pasif

menarik calcaneus dan talus pasien ke anterior dan sedikit ke medial.

Positif test : timbul nyeri atau clunk.

Interpretasi : positif tes mengindikasikan adanya sprain ligament atau

capsular sprain.

Gambar 2.3.4 Ankle Anterior Drawer Test


Sumber: Aras, 2014
32

b. Inversion Talar Tilt Test


Tujuan : tes ini ditunjukan untuk mendeteksi sprain pada ligament

talofibular anterior, ligament calcaneocuboid.

Prosedur tes : pasien duduk dengan posisi kedua tungkai diluar tepi

bed. Praktik meletakkan satu tangan untuk menggenggam calcaneus

pasien pada sisi lateral dan tangan satunya menstabilisasi tungkai

bawah pasien pada sisi medial distal. Praktik selanjutnya secara pasif

menggerakkan calcaneus kea rah plantar fleksi disertai plantar fleksi

dan inversi dorsum kaki untuk mengetes Ligament Talofibular

Anterior. Untuk mengetes ligament Calcaneocuboid, fiksasi

calcaneus pada posisi netral, lalu aplikasikan gerak kombinasi

adduksi dan inversi pada forefoot.

Positif test: Talus Tilt atau nyeri timbul.

Interpretasi: Positif tes mengindikasikan adanya implikasi sprain

ligament.

Gambar 2.3.4 Inversion Talar Tilt Test


Sumber: Aras, 2014
33

2. Pengukuran nyeri dan kekuatan otot

a. Visual Analog Scale

Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak

digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan

secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang

pasien.

Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan

atau tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis

ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif (Mardana, 2017)

Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung

yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala

dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi

menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri (Mardana, 2017).

Gambar 2.3.4 Pengukuran Visual Anlog Scale


Sumber: (Afifah, 2016)

Visual Analog Scale (VAS) merupakan alat ukur intensitas

nyeri yang dianggap paling efisien yang telah digunakan dalam

penelitian dan pengaturan klinis. Dalam perkembangannya VAS

menyerupai NRS yang cara penyajiannya diberikan angka 0-10 yang

masing-masing nomor dapat menunjukkan intensitas nyeri yang


34

dirasakan oleh pasien. Kekurangan dari skala ini adalah VAS

memerlukan pengukuran yang lebih teliti dan sangat bergantung pada

pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut (Jaury et al, 2013).

Tabel 2.3.4 Skala Visual Analog Scale

Skala Visual Analog Scale Interpretasi

>0-<10 mm Tidak Nyeri

≥10-30 mm Nyeri Ringan

≥30-70 mm Nyeri sedang

≥70-90 mm Nyeri berat

≥90-100 mm Nyeri Sangat Berat

Sumber: Afifah, 2016

b. Manual Muscle Tensting adalah

Manual Muscle Testing (MMT) adalah merupakan salah satu

bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering digunakan. Hal

tersebut karena penatalksanan, interprestasi hasil serta validitas dan

realibitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, manual muscle

testing tidak mampu untuk mengukur otot secara individual

melainkan group atau kelompok otot. Penilaian manual muscle testing

didesain untuk orang dewasa, misalnya anak-anak dan orang tua dapat

disesuaikan (Trisnowiyanto, 2012).


35

Tabel 2.3.4 Nilai Kekuatan Otot


Nilai Keterangan
Niali 0 Tidak ada kontraksi
Nilai 1 Ada kontraksi otot tapi tidak terjadi
gerakan
Nilai 2 Mampu bergerak dengan LGS penuh
melawan gravitasi
Nilai 3 Mampu bergerak penuh dengan LGS
penuh melawan gravitasi tahanan
minimal
Nilai 4 Mampu bergerak penuh dengan LGS
penuh melawan gravitasi dan
melawan tahanan moderat

Sumber: Trisnowiyanto, 2012


Tujuan pengukuran kekuatan otot denga MMT adalah untuk

membantu menegakkan diagnosa, menentukan jenis-jenis terapi

latihan yang harus diberikan, menentukan jenis-jenis alat bantu yang

diperlukan oleh pasien, untuk menentukan prognosis (Helen et al,

2014).

2.4 Metode dan Intervensi

2.4.1 Neuromuscular Taping

Neuromuscular Taping (NMT) adalah aplikasi spesifik dari pita

perekat elastis ke permukaan kulit dengan teknik stimulasi eksentrik

menghasilkan dekompresi dan dilatasi pada daerah yang tertutupi yang

digunakan untuk tujuan terapeutik. Dalam rehabilitasi, Neuromuscular

Taping diterapkan menggunakan protokol yang dirancang untuk

mengurangi sumbatan dari cairan tubuh, meningkatkan sirkulasi pembuluh

darah dan kelenjar getah, menurunkan kelebihan panas, dan memperbaiki


36

homoestasis jaringan, mengurangi peradangan dan hipersensitivitas

reseptor nyeri (Hargiani, 2019)

Neuromuscular Taping (NMT) yaitu teknik terapi biomekanikal

dengan menggunakan taping elastis yang ditempelkan pada kulit ditujukan

untuk memberikan efek terapi lokal berupa peningkatan sirkulasi darah

dan limfe, menurunkan nyeri, bengkak dan persarafan melalui

pembentukan lipatan kulit. Hal tersebut dapat memberikan 4 efek berupa

peningkatan sirkulasi darah dan getah bening, mengurangi panas yang

berlebih dan memulihkan homeostatis jaringan, mengurangi terjadinya

peradangan dan hipersensitifitas dari reseptor nyeri. Selain itu, dapat

mempengaruhi arthrokinematik, bertindak pada otot dan kondisi mekanis

fasia dan reseptornya, sehingga kinerja otot berubah dan mempengaruhi

sendi (Blow, 2012).

Efek Neuromuscular Taping penerapan NMT mampu merangsang

mechanoceptors kulit. Reseptor ini mengaktifkan impuls saraf ketika

beban mekanik (sentuhan, tekanan, getaran, peregangan dan gatal)

membuat deformasi. Aktivasi oleh stimulus yang memadai menyebabkan

depolarisasi lokal, yang memicu impuls saraf di sepanjang serabut aferen

bepergian ke sistem saraf pusat. Efek terapeutik NMT dengan

menggunakan rangsangan decompressive untuk mendapatkan efek positif

dalam muskuloskeletal, pembuluh darah, limfatik dan sistem saraf,

meningkatkan sirkulasi darah, dan menghilangkan rasa sakit. Aplikasi

yang benar juga dapat membantu untuk memperbaiki keselarasan sendi,


37

otot, dukungan selama gerakan, dan meningkatkan stabilitas dan postur

tubuh (Hargiani, 2019)

Penggunaan Neuromuscular Taping (NMT) berfungsi pada kulit,

otot, sistem vena dan limfatik dan sendi, NMT mempunyai enam tujuan

utama yaitu meringankan rasa sakit, menormalkan ketegangan

otot,menghilangkan kongesti limfatik dan vena, meningkatkan

vaskularisasi darah, mengoreksi keselarasan bersama dan meningkatkan

postur tubuh. Oleh karena itu, Neuromuscular Taping (NMT) bertindak

pada tingkat yang berbeda (Hargiani, 2019).

1. Sensory untuk merangsang reseptor cutaneous, otot dan sendi serta

mengontrol rasa sakit.

2. Muscular mengurangi kelelahan otot, meningkatkan kontraksi otot,

mengurangi relaksasi otot yang berlebihan dan mengurangi kontraksi

otot yang berlebihan.

3. Limfatik dan hematik mengurangi peradangan lokal, meningkatkan

sirkulasi darah dan meningkatkan drainase limfatik.

4. Artikular Menstabilkan pada tingkat fasciae, meningkatkan

jangkauan gerak (ROM) dan mengurangi rasa sakit.

Mekanisme Neuromuscular Taping pengaplikasian

Neuromuscular Taping (NMT) dengan teknik decompression akan

membentuk lipatan-lipatan pada kulit. Sehingga memberikan efek yang

dapat meredakan rasa nyeri, menormalkan ketegangan otot, meningkatkan


38

sirkulasi darah dengan memperbesar ruang intestinal dalam jaringan

dengan lipatan-lipatan dari efek decompression.(Hargiani, 2019)

Gambar 2.4 Neuromuscular Taping Ankle


Sumber: Blow, 2013

2.4.2 Theraband Exercise

Theraband Exercise adalah merupakan salah satu bentuk terapi

latihan berupa karet yang berfungsi untuk pemulihan cedera dan

membantu memperkuat fungsi kerja otot, seperti yang diungkapkan Laura

(2011) theraband adalah kekuatan karet tipis atau tabung yang digunakan

sebagai media penyembuhan yang berfungsi untuk merehabilitasi cedera,

meningkatkan kekuatan, fungsional, dan mobilitas sendi. Metode ini

sering digunakan oleh para fisioterapis untuk pemulihan cedera pada

ankle. Theraband memiliki ukuran meliputi tipis, sedang, dan tebal sesuai

dengan kebutuhan yang digunakan, dapat dilihat pada gambar dibawah:


39

Gambar 2.4 Theraband Exercise


Sumber: Laura, 2011
Tabel 2.4 Ketebalan Theraband exercise

Theraband color Resistance Level Workout Level


Tan Sangat Tipis Biginner
Kuning Tipis Pemula
Merah Sedang Pemula atau Menengah
Hijau Berat Menengah
Biru Sangat Berat Menengah atau Tinggi
Hitam Special Berat Tinggi
Perak Super Berat Tinggi*
Emas Maksimal Tinggi**
Sumber: Ghifari, 2017
Theraband mempunyai warna kode band yang berbeda-beda sesuai

tingkatan dan ketebalan, warna kode band tersebut adalah warna Tan,

Kuning, Merah, Hijau, Biru, Hitam, Silver, dan Gold (PRMOB, 2011).

Latihan Penguatan Metode latihan penguatan menurut (Juliantie et

al, 2007) terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu metode isotonis, isometrik,

dan isokinetis. Kontraksi isotonic selalu didahului oleh kontraksi isometric

sampai ketegangan yang ditimbulkan dapat mengatasi beban luar yang

harus diangkat, makin berat beban luar yang harus diangkat, makin panjang
40

dan makin besar komponen kontraksi isometriknya (Sidik dan Giriwijoyo,

2012).

Latihan isometrik merupakan kontraksi sekelompok otot untuk

mengangkat atau mendorong beban yang tidak bergerak dengan tanpa

gerakan anggota tubuh, dan panjang otot tidak berubah, seperti mendorong,

mengangkat atau menarik benda yang tidak bergerak. Waktu perlakuan

sekitar 10 detik pengulangan 3 kali dan istirahat 20-30 detik. Pada

permulaan latihan hasil baik dilaksanakan frekuensi selama 3 hari per

minggu, sedangkan lama latihan adalah 4-6 minggu (Juliantie et al, 2007).

Adapun metode latihan menggunakan theraband sebagai berikut :

1. Theraband Plantar flexion Tempatkan theraband sekitar terlibat kaki

seperti yang digambarkan. Kaki melawan tarikan pita tahan dan

mengontrol, gerakan kembali, pengulangan 8 kali repetisi, dua set.

Gambar 2.4 Plantar Fleksi


Sumber : Juliante et al, 2007

2. Theraband Dorso flexion Tempatkan theraband sekitar terlibat kaki

seperti yang digambarkan. Kaki melawan tarikan pita tahan dan

mengontrol, gerakan kembali, pengulangan 8 kali repetisi, dua set.


41

Gambar 2.4 Plantar Fleksi


Sumber : Juliante et al, 2007
3. Theraband Eversion Duduk kemudian ikat kaki dengan theraband

pada pangkal jari kaki yang cedera dan kaki satunya menginjakkan

tali. Tarik kaki ke arah eversion atau luar dengan di tahan

menggunakan tali dengan posisi tumit menyentuh lantai,

pengulangan 8 kali repetisi, dua set.

Gambar 2.4 Plantar Fleksi


Sumber : Juliante et al, 2007

4. Theraband inversion Duduk kemudian ikat kaki dengan theraband

pada pangkal jari kaki yang cedera dan silangkan kaki satunya untuk

menginjakkan tali. Tarik kaki kearah inversi atau dalam dengan

ditahan menggunakan tali dengan posisi tumit menyentuh lantai,

pengulangan 8 kali repetisi, dua set.


42

Gambar 2.4 Plantar Fleksi


Sumber : Juliante et al, 2007
2.5 Kerangka Berfikir

Sprain ankle juga dikenal sebagai cedera ankle atau cedera ligament

ankle. Pada umumnya sprain ankle ini terjdi karena robeknya sebagian dari

ligament (torn partial ligament) atau keseluruhan dari ligament (torn ligament)

dan hampir 85% kasus sprain ankle ini mengenai ligament talofibular anterior

(Puspitasari dan Yulia, 2019).

Sprain Ankle terjadi akibat penguluran dan kerobekan (overstretch)

terutama pada ligamentum lateral complex, karena adanya gaya inversi dan

plantar fleksi yang tiba-tiba terjadi saat kaki tidak menumpu dengan sempurna

pada lantai atau tanah, Dimana umumnya terjadi pada permukaan lantai atau

tanah yang tidak rata. Ligament-ligament yang terkena adalah ligament

talofibular anterior, ligament talofibular posterior, ligament

calcaneocuboideum, ligament talocalcaneus dan ligament calcaneofibular

(Board et al., 2018)

Sprain ankle grade 1 disebut dengan sprain ringan, hasil dari regangan

ligament tanpa ada robekan makroskopis, sedikit pembengkakan dan tender,


43

tidak ada instabilitas mekanis pada pemeriksaan tidak ada kehilangan fungsi atau

gerak (Hermansyah, 2014)

Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya sprain ankle yakni, faktor

intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk didalam faktor ekstrinsik yaitu kesalahan

pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang salah dan menapak pada permukaan

yang tidak rata, sedangkan untuk faktor intrinsik terdiri dari kerusakan jaringan

penyangga, ketidakstabilan aktif oleh otot - otot penggerak kaki dan ankle

(muscle weaknes), poor proprioceptive, hypermobile kaki dan ankle (Kisner dan

Colby, 2012). Faktor resikonya yaitu Usia, jenis kelamin, olahraga, Pengalaman

Melakukan Teknik Olahraga, Sarana Olahraga dan Peralatan Olahraga, Faktor

Gizi.

Pada kasus Sprain Ankle grade I, Anatomical impairment, adanya

kerusakan jaringan pada anterior talofibular ligament (ATFL) dan otot

ekstensor digitorum brevis , adanya odema dan hematoma pada medial kaki.

Functional impairment, adanya nyeri tekan pada ankle karena kerusakan

jaringan, adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada gerakan, dorso fleksi,

plantar fleksi, dan eversi ankle, penurunan kekuatan otot gastrocnemius.

Limitation in activity, pasien kesuliatan melakukan aktivitas berjalan, berdiri

lama dan melakukan aktivitas dirumah. Participan retraction, pasien tidak

mampu melakukan olahraga seperti biasanya.

Pemeriksaan dengan Tes khusus Ankle Anterior Drawer Test dan

Inversion Talar Tilt Test. Pengukuran dilakukan dengan Vas (Visual Analog

Scale) dan MMT (Manual Muscle Testing)


44

Theraband Exercise adalah merupakan salah satu bentuk terapi latihan

berupa karet yang berfungsi untuk pemulihan cedera dan membantu

memperkuat fungsi kerja otot, seperti yang diungkapkan Laura (2011)

Theraband adalah kekuatan karet tipis atau tabung yang digunakan sebagai

media penyembuhan yang berfungsi untuk merehabilitasi cedera, meningkatkan

kekuatan, fungsional, dan mobilitas sendi.

Neuromuscular Taping (NMT) adalah aplikasi spesifik dari pita perekat

elastis ke permukaan kulit dengan teknik stimulasi eksentrik menghasilkan

dekompresi dan dilatasi pada daerah yang tertutupi yang digunakan untuk tujuan

terapeutik. Dalam rehabilitasi, Neuromuscular Taping diterapkan menggunakan

protokol yang dirancang untuk mengurangi sumbatan dari cairan tubuh,

meningkatkan sirkulasi pembuluh darah dan kelenjar getah, menurunkan

kelebihan panas, dan memperbaiki homoestasis jaringan, mengurangi

peradangan dan hipersensitivits reseptor nyeri (Hargiani, 2019).


45

2.6 Skema Kerangka Berfikir


Faktor Ekstrinsik : Faktor Intrinsik :
1. Kesalahan pelatihan 1. Kerusakan jaringan
penyangga
2. Kinerja yang buruk
2. Ketidakstabilan aktif otot-
3. Teknik yang salah
otot penggerak ankle
4. Menapak pada
3. Poor proprioceptive dan
permukaan tidak rata
hypermobile ankel

Pemeriksaan :
1. Anterior Drawer Tes
2. Inversion Talar Till Tes

Sprain Ankle Grade I

Anatomical impairment Functional impairment Limitation in activity Participan retraction


a. kerusakan jaringan pada a. Nyeri tekan pada ankle a. pasien kesuliatan a. pasien tidak
anterior talofibular karena kerusakan melakukan mampu
ligament (ATFL) dan otot jaringan aktivitas berjalan melakukan
ekstensor digitorum olahraga seperti
b. keterbatasan lingkup b. berdiri lama dan
brevis biasanya
gerak sendi pada melakukan
b. odema dan hematoma gerakan, dorso fleksi, aktivitas dirumah
pada medial kaki plantar fleksi, dan
eversi ankle
c. penurunan kekuatan
otot gastrocnemius.

1. Nyeri
2. Penurunan MMT M. Gastrocnemius
Neuromuscular Taping Theraband Exercise

a. Mengurangi nyeri a. Menguatkan kekuatan


otot
b. Meningkatkan sirkulasi
darah b. Meningkatkan lingkup
gerak sendi
c. Melancarkan drainase
Limfatik

Penurunan nyeri dan penguatan


VAS dan MMT otot Gastrocnemius

Skema 2.5 Kerangka Berfikir

Anda mungkin juga menyukai