Anda di halaman 1dari 85

PROPOSAL SKRIPSI

BEDA PENGARUH ANTARA IBUPROFEN PHONOPHORESIS DENGAN


ULTRASOUND TERHADAP PERBAIKAN FUNGSIONAL KNEE PADA
PENDERITA OSTEOARTHRITIS KNEE RSAD. TK. II PELAMONIA

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKHNIK KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN D4 FISIOTERAPI
HALAMAN PERSETUJUAN

Dengan judul

"Beda Pengaruh Antara Ibuprofen Phonophoreais Dengan Ultrasound


Terhadap Perbaikan Fungsional Knee Pada Penderita
Oatmiarthritia Knee RSAD. TKH Peleotonia"

Telah Disetujui Oleh Pembimbing Skripsi

Maturer, 16 Juli 2020

Pembimbing I Pembimbing II

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i

LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………….. ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iii

DAFTAR TABEL.......................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ……………………………….…....….…….. 1


A. Latar Belakang…………………….…………………………. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………….…….…….. 4
C. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 4
D. Manfaat Penelitian…………………………………………… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………… 6


A. Tinjauan tentang Osteoarthritis Knee.........…… …………… 6
B. Tinjauan tentang Fungsional Berjalan …………...................... 24
C. Tinjauan tentang Ultrasound .........................................……… 29
D. Tinjauan tentang Mobilization With Movement ..........……… 56

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ……………………. 64


A. Kerangka Konsep ..................................................................... 64
B. Hipotesis ……………............................................................... 65

BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………….. 66


A. Rancangan Penelitian………………………………………… 66
B. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………. 67
C. Populasi dan Sampel…………………………………………. 68
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……………….. 69
E. Instrument Penelitian………………………………………… 71
F. Prosedur Penelitian…………………………………………… 71
G. Prosedur Kerja ……………………………………………….. 73
H. Analisis Data...……………………………………………….. 78
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 79
LAMPIRAN...........................................................................................................81
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik Osteoarthtritis...............................................................................23

Tabel 2.2 Penetration Depth dari tiap-tiap media..............................................................38

Tabel 2.3 Rasional Penggunaan US selama penyembuhan luka/cidera..............................47

Tabel 2.4 Ultrasound transmission oleh media phonoporesis............................................55

iv
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang

Sepanjang daur kehidupan, sendi-sendi sinovial sering menerima gaya

beban kompresi khususnya pada knee joint. Pada sendi yang sehat, lapisan

cartilago hyaline yang melapisi kedua ujung tulang dengan ketebalan dalam

millimeter mampu mengatasi beberapa beban atau gaya yang terjadi padanya.

Kemampuan cartilago hyaline akan menurun seiring dengan bertambahnya

usia dan beban mekanikal yang frekuensinya tinggi pada sendi tersebut dapat

menyebabkan kerusakan cartilago. Kerusakan cartilago sendi akan

menyebabkan terjadinya radang sendi yang dikenal sebagai “Osteoarthritis”

(Stuart, 2003).

Osteoarthritis (OA) knee adalah penyakit sendi yang paling sering

terjadi pada orang tua dan dikaitkan dengan cacat fisik yang signifikan.

Kelainan radiografi ditemukan lebih dari 30% populasi yang berusia ≥ 65

tahun; dan ditemukan sekitar 40% yang menimbulkan gejala (Tazcioglu,

2010).

Osteoartritis (OA) juga dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif,

berhubungan dengan degradasi kartilago artikular, yang mendasarinya

pembentukan osteofit pada bagian sendi (Larmer et al., 2014). OA knee

memiliki prevalensi meningkat pada pertengahan usia (usia 40-an) dan

perempuan lebih cenderung dibanding laki-laki (NICE, 2008 dalam Ramya V

et al, 2017)

1
2

Osteoartritis (OA) knee merupakan penyakit persendian yang

kasusnya paling umum dijumpai secara global. Diketahui bahwa OA knee

diderita oleh 151 juta jiwa di seluruh dunia dan mencapai 24 juta jiwa di

kawasan Asia Tenggara (WHO, 2004). Prevalensi OA knee juga terus

meningkat secara dramatis mengikuti pertambahan usia. Beberapa penelitian

cross-sectional menemukan bahwa adanya cidera sebelumnya pada knee joint

secara signifikan berhubungan dengan insiden osteoarthritis knee.

Osteoarthritis knee telah menjadi issue kesehatan utama dan penyebab nyeri

kronik serta disabilitas bagi kelompok usia tua pada sebagian besar negara

berkembang (Muraki et al, 2013).

Hasil observasi peneliti di RSAD Tk. II Pelamonia ditemukan sekitar

37 pasien osteoarthritis knee yang berkunjung ke Poliklinik Fisioterapi mulai

bulan Oktober – Desember 2017. Berdasarkan pengamatan peneliti

ditemukan bahwa pada umumnya penderita osteoarthritis knee mengalami

hambatan saat aktivitas berjalan.

Berdasarkan data Koninklijk Nederlands Genootschap Voor

Fysiotherapie (KNGF) menunjukkan bahwa beberapa kasus osteoarthritis

knee dapat menyebabkan penurunan aktivitas fungsional knee terutama

aktivitas fungsional berjalan, hal ini akibat adanya penurunan mobilitas sendi

dan kekuatan otot, instabilitas sendi dan krepitasi (KNGF Guideline, 2010).

Beberapa intervensi dapat diterapkan untuk mengurangi gejala OA

knee, antara lain program latihan strengthening, latihan fleksibilitas dan

latihan stabilisas. Fisioterapi diketahui berperan penting dalam


menghilangkan rasa sakit, pemulihan mobilitas dan fungsional knee yang

mencakup serangkaian latihan gerak untuk knee joint, dan penguatan otot

knee joint (latihan tahanan isometrik atau dinamis). Modalitas elektroterapi

juga dapat mengurangi nyeri seperti ultrasound therapy (Pag et al., 2011).

Pengobatan thermal dapat diterapkan pada OA knee berupa ultrasound.

Ultrasound adalah suatu terapi yang banyak digunakan untuk mengurangi

rasa sakit pada penderita OA knee. Ultrasound menghasilkan bentuk

gelombang suara, yang kemudian berubah menjadi energi thermal saat

melewati jaringan dengan berbagai hambatan (Wanwade et al, 2013).

Phonophoresis adalah metode penyerapan obat melalui aplikasi

ultrasound. Iboprofen phonophoresis adalah metode melarutkan ibuprofen ke

dalam jaringan melalui penggunaan ultrasound. Ibuprofen merupakan obat

anti-inflamasi atau anaestesi, untuk penanganan rasa sakit pada cedera yang

berhubungan dengan muskuloskeletal seperti osteoarthritis. Penggunaan

ultrasound pada ibuprofen bertujuan untuk meningkatkan penyerapan obat

ibuprofen melalui kulit. Obat topikal yang digunakan dengan teknik ini

meliputi kortikosteroid dan anaestesi topikal yaitu ibuprofen. (Wanwade et al,

2013)

Manual terapi berupa mobilization with movement adalah metode

mobilisasi aktif/pasif dari pasien disertai gerak asesori yang dihasilkan oleh

fisioterapis. Mobilization with movement dapat menghasilkan perbaikan

mobilitas dan fungsi knee joint. Mobilization with movement telah banyak

digunakan secara klinis untuk menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan


mobilitas knee joint. Namun masih kurang bukti penelitian yang mendukung

penggunaan mobilization with movement pada osteoarthritis knee (Ramya V

2017).

Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk mengambil topik

penelitian tentang “Beda Pengaruh antara Ibuprofen Phonophoresi dan

Mobilization with Movement Tibio Femoral Joint dengan ultrasound dan

mobilization with movement tibiofemoral joint terhadap perbaikan

Fungsional Knee pada penderita Osteoarthritis Knee”.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti dapat

merumuskan penelitian ini yaitu “Apakah ada perbedaan pengaruh antara

ibuprofen phonophoresis dan mobilization with movement tibiofemoral joint

dengan ultrasound dan mobilization with movement tibiofemoral joint

terhadap perbaikan fungsional knee pada penderita osteoarthritis knee di

RSAD tk II Pelamonia ?”

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara ibuprofen phonophoresis

dan mobilization with movement tibiofemoral joint dengan ultrasound dan

mobilization with movement tibiofemoral joint terhadap perbaikan fungsional

knee pada penderita osteoarthritis knee di RSAD tk II Pelamonia


2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh ibuprofen phonophoresis dan mobilization

with movement tibiofemoral joint terhadap perbaikan fungsional knee

pada penderita osteoarthritis knee di RSAD tk II Pelamonia

b. Untuk mengetahui pengaruh ultrasound dan mobilization with

movement tibiofemoral joint terhadap perbaikan fungsional knee pada

penderita osteoarthritis knee di RSAD tk II Pelamonia

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah

Secara ilmiah, penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis

bagi pengembangan IPTEK tentang efek ibuprofen phonophoresis dan

mobilization with movement tibiofemoral joint dengan ultrasound dan

mobilization with movement tibiofemoral joint pada kasus-kasus OA knee

joint. Di samping itu penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian untuk

pengembangan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, diharapkan dapat menambah informasi bagi

fisioterapis di Rumah Sakit atau lahan praktek tentang efek- efek

ibuprofen phonophoresis dan mobilization with movement tibiofemoral

joint dengan ultrasound dan mobilization with movement tibiofemoral

joint terhadap perbaikan fungsional knee penderita osteoarthritis knee.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Osteoarthritis (OA) Knee

1. Definisi

Osteoarthritis dikenal sebagai “wear and tear” arthritis, yaitu suatu

kondisi yang menimbulkan kerusakan alamiah dari permukaan cartilago

sendi, akibatnya tulang pembentuk sendi mengalami gesekan satu sama

lain karena menurunnya efek shock-absorber dari cartilago. Gesekan

tersebut menimbulkan nyeri, bengkak, kekakuan, menurunnya kemampuan

untuk bergerak dan terbentuknya formasi spur tulang (David, 2014).

Osteoarthritis didefinisikan sebagai kelompok kondisi heterogen

yang menyebabkan gejala dan tanda-tanda pada sendi, yang berhubungan

dengan kerusakan integritas kartilago sendi. Osteoarthritis (OA) juga

dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif, berhubungan dengan degradasi

kartilago artikular, kemudian mempengaruhi penyebab tulang yang

mendasarinya pembentukan osteofit pada bagian sendi (Larmer et al.,

2014)

Osteoarthritis knee joint adalah penyakit degenerasi sendi yang

menyebabkan kerusakan cartilago pada knee joint, atau penyakit sendi

yang ditandai dengan hilangnya dan erosi kartilago knee joint serta

pertumbuhan tulang baru (osteofit) pada tepi-tepi sendi knee (Stuart,

2003).

6
7

2. Anatomi Biomekanik

a. Sendi

Knee joint kompleks merupakan sendi yang paling besar dan

paling kompeks dari segi anatomi dan bimekanik pada tubuh manusia.

Knee joint terdiri atas 2 sendi yaitu: tibiofemoral joint dan

patellofemoral joint (Levangie and Norkin, 2005).

1) Tibiofemoral joint

Tibiofemoral joint dibentuk oleh 2 condylus femur yang

konveks dan 2 dataran tibia yang konkaf. Tibiofemoral joint

merupakan modified hinge joint yang memiliki 2 axis gerak.

Condylus medial femur lebih panjang daripada condylus lateral

femur sehingga memberikan kontribusi terhadap mekanisme

penguncian di knee. Diantara kedua permukaan sendi terdapat 2

meniskus yaitu meniskus medial dan meniskus lateral. Kedua

meniskus dapat memperbaiki kongreunitas permukaan sendi.

Dibagian dorsal knee terdapat fossa poplitea yang dibentuk oleh

tendon otot biceps femoris, tendon otot semimembranosus

semitendinosus, dan 2 caput gastrocnemius.

2) Patellofemoral joint

Patellofemoral joint dibentuk oleh os patella yang bersendi

dengan sulcus intercondylaris (trochlear groove) pada bagian

anterior dari distal femur. Os patella merupakan tulang sesamoid

pada tendon quadriceps. Permukaan sendinya dilapisi oleh cartilago

hyaline yang halus. Patella melekat pada bagian anterior kapsul


sendi dan dihubungkan ke tibia melalui ligament patellaris. Banyak

bursa yang mengelilingi patella yaitu bursa prepatellaris,

infrapatellaris, dan suprapatellaris.

Gambar 2.1 Tulang dan sendi knee


Sumber : Kisner dan Colby (2012)

b. Ligament

Adapun stabilitas pasif sendi lutut yaitu ligament collateral

lateral dan medial, ligament cruciatum anterior – posterior, ligament

transversal, dan ligament popliteal oblique. Ditambah dengan ligament

patellaris dan traktus iliotibial band (Levangie and Norkin, 2005).

1) Ligamen collateral medial: ligament ini luas dan datar pada sisi

medial sendi yang berperan menstabilisasi sendi bagian medial knee

da membatasi gerakan abduksi atau valgus knee.

2) Ligament collateral lateral: ligament ini kuat, berbentuk tali bulat,

berperan menstabilisasi sendi bagian lateral knee dan membatasi

gerakan adduksi atau varus knee.


3) Ligament cruciatum: terdapat 2 ligamen yang kuat, seperti tali yang

melekat didalam sendi meskipun tidak terbungkus didalam kapsul

sendi. Ligament ini terdiri dari ligament cruciatum anterior dan

posterior. Ligamen cruciatum anterior dan posterior berperan

menstabilisasi knee saat terjdi gerakan squat dan membatasi gerakan

eksternal dan internal rotasi.

4) Ligament transversal: ligament yang pendek, kecil, seperti tali,

menghubungkan tepi anterior meniscus lateral yang konveks dengan

ujung anterior meniscus medial.

5) Ligament popliteal oblique: ligament yang luas, datar, dan

membungkus dorsal knee joint. Ligament ini berperan membatasi

gerakan ekstensi knee.

6) Ligament patellaris: ligament yang kuat, menghubungkan tepi

inferior patella dengan tuberositas tibia. Ligament ini berjalan

didepan patella dan bersambung dengan serabut tendon quadriceps

femoris, berperan menstabilisasi patellofemoral joint dan membatasi

gerakan fleksi knee.

7) Tractus iliotibialis: tractus iliotibial bekerja seperti ligament yang

tegang, menghubungkan crista iliaca dengan condylus lateral femur

dan tuberculum tibia bagian lateral, berperan membatasi terjadinya

gerakan adduksi atau varus knee yang berlebihan.


Gambar 2.2 Ligamen pada knee joint
Sumber : Kisner dan Colby (2012)

c. Otot

Otot-otot yang memperkuat knee joint adalah (Hamilton and

Hettgens, 2002) :

1) Otot quadriceps femoris: terdiri atas 4 otot yaitu rectus femoris,

vastus medialis, vastus lateralis dan vastus intermedius. Otot ini

terletak pada bagian anterior yang melewati axis knee dan

primemover ekstensi knee. Patella dapat memperbaiki lever/

pengungkit dan gaya ekstensor melalui peningkatan jarak tendon

quadriceps dari axis knee joint.

2) Otot hamstring: terdiri atas 3 otot yaitu biceps femoris,

semitendinosus dan semimembranosus. Otot ini merupakan

primemover fleksi knee dan juga mempengaruhi rotasi tibia terhadap

femur.

3) Otot popliteus: otot ini menopang kapsul sendi bagian posterior dan

bekerja untuk melepaskan penguncian pada knee.


4) Otot gastrocnemius: otot ini juga berfungsi sebagai fleksor knee,

tetapi fungsi utamanya adalah saat knee menumpu berat badan maka

otot gastrocnemius menopang kapsul bagian posterior melawan gaya

hiperekstensi knee.

5) Grup otot pes anserinus yaitu otot sartorius, gracilis dan

semitendinosus. Kelompok otot ini memberikan stabilitas medial

knee joint dan mempengaruhi rotasi tibia dalam closed kinematic

chain.

d. Biomekanik cartilago

Kartilago hyalin adalah jaringan khusus dan benar-benar sesuai

dengan fungsinya. Resistansi gesekan pada kartilago hyalin normal

terhadap dirinya sendiri mungkin hanya 1/10 gesekan antara es skate dan

es. Pada kartilago sendi sangat diperlukan keseimbangan diantara

kerusakan dan perbaikan. Jika keseimbangan ini terganggu ada

konsekuensi yang buruk. Kartilago hyalin pada usia dewasa tidak

mendapatkan suplai darah, pembuluh limpha atau saraf.

Kartilago sendi dapat terkompresi hingga 1/5 dari ketebalan awal

selama menahan beban. Sumber nutrisi hanya bersumber pada cairan

sinovial yang larut melewati permukaan sendi selama terjadi gerakan,

memberikan nutrisi. Ini dikenal sebagai sinovial sweep.

Sumber nutrisi penting lainnya terjadi saat pembebanan sendi,

ketika cairan sinovial dipaksa masuk ke dalam matriks kartilago.

Selama beban kompresi pada sendi, secara keseluruhan terjadi


perubahan bentuk kartilago, dan sendi yang permukaan artikularnya

tidak penuh kongruen juga terjadi perubahan.

Kartilago hyalin sendi terdiri dari 10% kondrosit, sampai 10%

proteoglikan, 10-30% kolagen tipe 2, 50-70% air, garam, lipid dan zat

lainnya. Tipe kolagen lainnya yang memberikan kontribusi terhadap

matriks meliputi tipe III, VI , IX, X XI, XII dan XV.

Sebanyak 70% kadar air pada kartilago hyalin adalah interseluler

(diantara sel-sel), bukan intraselular (di dalam sel), sehingga bebas

bergerak dalam kondisi pembebanan sendi. Ini adalah sifat biomekanik

penting dari kartilago hialin, dimana sifatnya menyerupai spons yang

basah, terdiri dari fase cairan dan solid.

Ketika sendi terbebani, air terperas keluar dari matriks. Hal ini

mendorong proteoglikan saling mendekat secara bersamaan, sehingga

lebih tahan terhadap deformasi lebih lanjut. Ketika pembebanan

dilepaskan, tulang rawan mengaborbsi air dan kembali ke bentuk

semula.

Kartilago sendi kelihatan halus dengan mata telanjang, tapi

pemeriksaan detail dengan scanning elektron mikroskop menunjukkan

lubang kecil di permukaannya, 20-40 µm diameternya. Teori ini

menerangkan bahwa kartilago sendi dapat memberikan lokasi untuk

perlekatan filamen glikoprotein yang membantu dalam pelumasan

sendi. (Stuart,2003)

e. Kinematika Knee Joint


Gerakan yang dihasilkan oleh tibiofemoral joint adalah gerak

fleksi-ekstensi, dan eksorotasi-endorotasi. Gerak eksorotasi-endorotasi

terjadi pada posisi fleksi knee karena ligament collateral lateral dan

medial dalam keadaan kendur dan tidak terjadi penguncian. Ligament-

ligamen pada knee joint berperan sebagai stabilitas pasif sendi,

penghambat gerakan atau mencegah terjadinya gerakan yang berlebihan

dan setiap ligament berperan pada setiap gerakan knee joint yaitu (Hall,

2003).

1) Fleksi knee: pada akhir fleksi, ligament patellaris terulur (tegang)

yang disertai dengan tendon quadriceps femoris.

2) Ekstensi knee: pada akhir ekstensi, ligament collateral lateral dan

medial menjadi tegang, dan ligament cruciatum ikut tegang.

Sedangkan pada hiperekstensi, ligament popliteal menjadi tegang

untuk memproteksi knee joint.

3) Eksorotasi knee: pada akhir eksorotasi, ligament collateral medial

menjadi tegang dan ligament cruciatum saling bersilangan.

4) Endorotasi knee: pada akhir internal rotasi, ligament collateral lateral

menjadi tegang/terulur dan ligament cruciatum saling terpisah.

Pada knee joint terjadi gerak rotasi antara condylus femur dan

tibia selama akhir ekstensi knee, yang dikenal sebagai mekanisme

screw-home (locking) yaitu (Margareta and Victor, 2009) :

1) Ketika tibia bebas (open kinematic chain), akhir gerakan ekstensi

menghasilkan rotasi tibia kearah eksternal terhadap femur sehingga


terjadi penguncian pada akhir ekstensi. Untuk melepaskan

penguncian maka tibia dirotasikan kearah internal.

2) Ketika tibia terfiksir (close kinematic chain), akhir ekstensi

mengasilkan rotasi femur kearah internal (condylus medial slide

lebih jauh kearah dorsal daripada lateral) sehingga terjadi

penguncian pada akhir ekstensi.

3) Pada close kinematic chain, secara bersamaan hip dan knee menjadi

ekstensi. Jika sesorang mengalami gangguan pada ekstensi hip maka

penguncian pada knee tidak dapat terjadi.

Pada patellofemoral joint, gerakan yang terjadi merupakan gerak

penyerta dimana patella hanya slide disepanjang sulcus intercondylaris

selama gerakan fleksi-ekstensi knee. Pada saat ekstensi knee, maka

patella akan slide kearah cranial, sedangkan pada saat fleksi knee,

maka patella akan slide kearah caudal. Jika gerakan patella terganggu

atau terbatas, maka dapat mempengaruhi ROM fleksi knee dan

memberikan kontribusi terhadap laju ekstensor pada aktif ekstensi knee

(Margareta and Victor, 2009).


Gambar 2.3 Arthrokinematika knee joint
Sumber: Lynn S (2006)

3. Etiologi

Saat ini para peneliti telah mempertimbangkan beberapa teori

menjadi jalur perjalanan penyakit osteoarthritis dari sejumlah kondisi yang

beragam. Kelihatannya, kartilago memiliki ambang batas fungsional.

Dalam batas ambang ini kartilago mampu melindungi dan berfungsi secara

normal. Osteoarthritis dapat berkembang ketika melampaui batas ambang

ini (Stuart, 2003).

Osteoarthritis dianggap sebagai penyakit kartilago hialin. Saat ini

menjadi pertanyaan, dan evidence based (fakta) telah menjelaskan bahwa

proses penyakit tidak berasal dari kartilago, tetapi diawali dengan

perubahan pada tulang subchondral. Perubahan ini meliputi redistribusi

suplai darah dengan hipertensi di dalam sumsum tulang subchondral,

edema dan mikro-nekrosis, yang kemudian mengakibatkan degenerasi


kartilago hialin yang bersifat sekunder. Akumulasi mikro – fraktur

didalam tulang subchondral membuatnya lebih rapuh, yang selanjutnya

menyebabkan stres yang besar pada kartilago sendi (Stuart, 2003).

Beberapa sendi yang tidak bergerak rentan terjadinya perkembangan

osteoarthritis. Kandungan proteoglican yang rendah ditemukan dalam

kartilago sendi yang tidak bergerak disertai dengan penurunan volume

cairan sinovial. Perubahan ini berhubungan dengan degenerasi kartilago

sendi. Gerakan abnormal sendi dapat menjadi faktor predisposisi

osteoarthritis pada sendi, seperti terjadi pada sendi lutut pasca ruftur

ligamen cruciatum anterior. Hipermobilitas sendi memiliki korelasi positif

terhadap risiko berkembangnya osteoarthritis (Stuart, 2003).

Lebih jelasnya etiologi osteoarthritis dapat diketahui berdasarkan

klasifikasi osteoarthritis. Klasifikasi osteoarthritis terdiri atas

osteoarthritis primer dan sekunder.

a. Osteoarthritis primer

Pada osteoarthritis primer, tidak diketahui penyebabnya yang

jelas hal ini dapat disebabkan oleh perubahan instrinsik dari jaringan

sendi itu sendiri. Osteoarthritis primer dapat mempengaruhi beberapa

sendi dalam pola yang klasik dan umumya terjadi pada wania pasca

menopause yang secara khas memperlihatkan nodul heberden (Stuart,

2003).

Faktor genetik yang terlibat dalam osteoarthritis primer, dimana

node heberden menjadi 10 kali lebih berisiko terjadi osteoarthritis pada

perempuan dibandingkan laki-laki, juga ibu dan saudara perempuannya


yang terkena menjadi 2-3 kali lebih berisiko terjadi osteoarthritis

primer. Peningkatan frekuensi human leukosit antigen (HLA) Al dan

B8 dapat terjadi pada orang-orang dengan kondisi osteoarthritis.

Proinflammatory cytokines dapat terlibat dalam proses terjadinya

osteoarthritis, dan terdapat bukti/fakta yang kuat bahwa nitricoxide

yang merupakan inorganic radikal bebas dapat berperan besar terhadap

degradasi kartilago. Iklim tampaknya tidak secara langsung terkait

dengan perubahan patologis osteoarthritis, tetapi setiap orang yang

tinggal didaerah dingin sering mengalami nyeri yang hebat akibat iklim

lembab (Stuart, 2003).

b. Osteoarthritis Sekunder

Osteoarthritis sekunder muncul sebagai konsekuensi dari

kondisi lain. Penyebab osteoarthritis sekunder dapat dibagi kedalam

empat kategori yaitu: metabolism, anatomical, traumatic atau inflamasi

(Stuart, 2003).

Osteoarthritis lebih sering muncul pada orang-orang yang

memiliki riwayat cedera atau fraktur sebelumnya pada sendi tertentu.

Trauma ringan atau kecil yang berulang-ulang dapat menyebabkan

mikro fraktur dan akhirnya terjadi osteoarthritis. Faktor-faktor

pekerjaan dianggap penting dalam perkembangan munculnya

osteoarthritis sekunder. Knee joint pada penambang memilki resiko

terkena osteoarthritis, sendi carpometacarpal dan metacarpopalangeal

pertama pada penjahit juga memiliki risiko terkena osteoarthritis,

elbow
dan shoulder pada operator bor juga memiliki resiko terkena

osteoarthritis (Stuart, 2003).

Adanya deformitas dapat meningkatkan resiko terjadinya

osteoarthritis, sebagai contoh fraktur yang menyebabkan perubahan

biomekanik atau kerusakan kartilago secara langsung jika faraktur

melibatkan permukaan sendi (Stuart, 2003).

Hubungan antara obesitas dan osteoarthritis adalah kompleks

dan masih belum dipahami secara jelas. Overweight sangat

berhubungan dengan perkembangan osteoarthritis pada beberapa sendi

yang menumpu berat badan namun tidak terjadi pada sendi lain.

Beberapa penelitian menunjukkan ada korelasi antara indeks massa

tubuh yang tinggi dengan osteoarthritis knee, dimana dapat diakibatkan

oleh deformitas varus pada orang obesitas (Stuart, 2003).

Overweight dapat menyebabkan kelelahan otot yang premature,

selanjutnya dapat menyebabkan abnormal kinematika dan akhirnya

berkembang osteoarthritis. Overweight tampaknya memiliki hubungan

yang lebih kuat pada wanita. Peningkatan beban di sendi jelas sangat

berpengaruhi, tetapi kelainan hormonal yang berhubungan dengan

obesitas juga dapat menjadi penyebab, sebagaimana telah dijelaskan

adanya peningkatan, meskipun sederhana, dapat menyebabkan

osteoarthritis pada wanita obesitas. Osteoarthritis merupakan penyakit

yang bersumber dari mekanikal, tetapi dimediasi secara kimiawi

(Stuart, 2003).
4. Patofisiologi

Osteoarthritis terutama mempengaruhi kartilago, jaringan yang keras

tapi licin, yang menutupi ujung-ujung tuang yang bertemu membentuk

suatu sendi. Kartilago yang sehat memungkinkan tulang saling bergerak

dan luwes satu sama lain. Kartilago juga mengabsorbsi energi dari

guncangan akibat perpindahan fisik. Sedangkan pada osteoarthritis, terjadi

pengikisan kartilago.

Fibrilasi atau keretakan dalam menit dan hilangnya kadar air dapat

menyebabkan pelunakan, pemecahan dan fragmentasi kartilago. Hal ini

terjadi pada area permukaan sendi yang menumpu berat badan dan yang

tidak menumpu berat badan. Serat kolagen terpecah dan terjadi

disorganisasi pada hubungan normal proteoglycan – kolagen. Sebagai

akibatnya, air tertarik kedalam matriks kartilago sehingga menyebabkan

pelunakan dan penglupasan yang lebih berat (Stuart, 2003).

Serpihan-serpihan kartilago yang rusak/pecah tersebut akan

terambang bebas didalam sendi, dan dampaknya diantara permukaan sendi

adalah terjadi penguncian, peradangan dan iritasi synovial. Proliferasi

terjadi di kartilago perifer dan kondrosit berusaha memperbaiki kerusakan,

tetapi hasil akhirnya tidak mampu menahan stress mekanikal. Hal ini akan

mengawali terjadinya proses patologis yang berat pada jaringan lainnya

(Stuart, 2003).

Pada osteoarthritis terjadi tingkat remodeling tulang dan upaya

perbaikan. Remodeling ini dapat terlihat pada tulang subchondral yang

telah menjadi eburnasi (menyerupai gading dan mengkilap) dan pada X-


Ray nampak putih, padat, sklerotik. Kedua ujung tulang menjadi keras dan

padat secara abnormal, sebagai proteksi terhadap kartilago diatasnya yang

hilang atau rusak. Kista bias terbentuk didalam tulang subchondral dan

karena tulang yang eburnasi menjadi rapuh maka mikro-fraktur dapat

terjadi, sehingga memungkinkan lewatnya cairan synovial kedalam tulang

yang lebih dalam (Stuart, 2003).

Kongesti vena terjadi didalam tulang subchondral, dan osteofit

(tulang taji) terbentuk pada tepi permukaan sendi dimana osteofit tersebut

berproyeksi keluar atau kedalam sendi, mengiritasi kapsul dan ligament

yang menyebabkan nyeri tajam yang menusuk. Jika osteofit cukup besar

maka dapat menyebabkan obstruksi mekanikal pada gerakan sendi (Stuart,

2003).

Akibat osteoarthritis, membrane synovial dapat mengalami

hipertropi dan menjadi edema. Beberapa serpihan kartilago yang telah

patah atau rusak menjadi iritan bagi membrane synovial, dan

menyebabkan efusi yang berulang. Kapsul sendi dan ligament akan

mengalami degenerasi fibrous dan pemendekan adapti jika terjadi

perkembangan penyakit. Perubahan inflammatory kronik low-grade

seringkali terlihat, meskipun definisi OA adalah degenerative dan bukan

inflammatory. Beberapa ligament mengalami perubahan yang sama seperti

kapsul, yaitu mengalami pemendekan atau elongasi. Jika space sendi

menurun sampai derajat yang signifikan maka ligamen-ligamen yang telah

mengalami pemanjangan sedang dapat menjadi pemanjangan yang lebih

besar ketika ruang sendi menurun sehingga ligamen-ligamen tidak akan


mampu lagi menopang sendi atau memberikan proprioceptive feedback

sendi yang cukup (Stuart, 2003).

Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis knee dalam

pemeriksaan radiologis diklasifikasikan sebagai berikut :

Grade 1: Belum terjadi penyempitan pada celah sendi dan kemungkinann

belum nampak osteofit

Grade 2: Osteofit sudah mulai nampak dan sudah terjadi penyempitan pada

celah sendi

Grade 3: Celah sendi sudah menyempit, osteofit semakin banyak dan

sudah terjadi hypertropi tulang pembentuk sendi

Grade 4: Osteofit semakin membesar, celah sendi sudah tidak nampak,

hypertropi tulang sudah semakin besar dan sudah terjadi deformitas.

Gambar 2.4 Derajat beratnya osteoarthtritis knee


Sumber : Dr Prakash Shah, 2017

5. Gambaran Klinis

a. Nyeri

Merupakan gambaran yang paling sering pada pasien OA. Gejala

rasa nyeri ini biasanya bersumber dari sinovium karena adanya

inflamasi, tulang karena adanya peningkatan tekanan medullar dan


fraktur subkondral, osteofit karena adanya reaksi periosteal dan tekanan

pada saraf, kapsul sendi karena adanya distensi dan instabilitas serta

otot dan ligamen karena adanya peregangan pada keduanya (Stuart,

2003).

b. Kekakuan pada pagi hari

Jika terjadi, biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila

dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh

arthritis reumathoid yang terjadi lebih lama dan spasme otot pada

daerah terganggu adalah sumber nyeri. Pada beberapa pasien kaku pagi

dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk dikursi atau mobil dalam

waktu cukup lama atau setelah bangun tidur.

c. Hambatan gerak sendi

Hambatan gerak pada OA disebabkan oleh nyeri, inflamasi, fleksi

menetap, kelainan sendi atau deformitas. Hambatan gerak tergantung

pada lokasi dan beratnya kelainan sendi yang terkena. Gangguan ini

biasanya bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan

bertambahnya rasa nyeri.

d. Pembesaran sendi (Deformitas)

Deformitas dapat terjadi pada sendi secara signifikan, tetapi tidak

seperti arthritis rheumathoid, tidak terjadi fusi sendi. Pasien biasanya

menunjukkan bahwa salah satu sendinya (lutut atau tangan) secara

pelan-pelan membesar.

e. Krepitasi
Suara berderak akibat permukaan yang terpajan yang saling

bergesekan, sering terdengar pada kasus yang berat.

f. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir

semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut, atau punggung

berkembang menjadi pincang.

Adapun karakteristik osteoarthritis knee joint dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 2.1
Karakteristik Osteoarthritis

No Bagian sendi yang terlibat Karakteristik


1. Kartilago artikular Fibrilasi – pelunakan, pemecahan,
dan fragmentasi
Pemecahan serat kolagen
Disorganisasi proteoglikan
Kartilago mengabsorpsi air
Fragmen pecah dan menyebabkan
sumbatan pada sendi
2. Tulang Eburnasi ujung tulang- licin dan
halus
Kista dibawah permukaan ujung
tulang
Osteofit pada tepi sendi
Perubahan pada bentuk ujung
tulang – pendataran
3. Membran sinovial Hipertrofi
Penurunan produksi cairan sinovial
menyebabkan penurunan nutrisi
untuk kartilago
4. Kapsul Degenerasi fibrosa inflamasi kronik
5. Ligamen Terkontraksi atau teregang
6. Otot Atrofi akibat tidak digunakan
Sumber : Penelope J. Lescher 2014
6. Algoritma Osteoarhtritis Knee

History Taking :
Morning stiffness > 30 menit, nyeri saat
menumpu berat badan (berdiri, berjalan, naik-
turun tangga), saat memulai gerakan (starting

Inspeksi :
Nampak genu varus/fleksi knee gait,
pembesaran tulang terutama sisi

Pemeriksaan fisik

Jika tidak Algoritma kondisi lain

f : Keterbatasan gerak dengan fleksiknee100odan semifleksi


Palpasi : 10o (tidak mampuTes
fullstabilitas
extensi) sendi : valgus test +/- Tes JPM :
Nyeri tekan pada sisi medial knee Firm endfeel (JPM)

Palpasi Menentukan
: grade OA dengan foto X-Ray
Nyeri tekan pes anserine Tes provokasi patella : patellar aprehension test + Tes strength otot VM

With muscle spasm, muscle weak VMO, patellofem


Diagnosa ICF :
Knee pain with hypomobile et causa Osteoarthritis Knee

Gambar 2.5 Alghoritma Osteoarthritis


Sumber : (Peter et al, 2010)

B. Tinjauan Tentang Fungsional Knee

1. Fungsional Knee

Knee berperan mentransmisikan berbagai beban, berpartisipasi

dalam gerakan, membantu terjadinya momentum, dan memberikan gaya


kopel untuk berbagai aktivitas yang melibatkan tungkai. Knee mampu

menopang gaya dan momentum yang tinggi, serta terletak antara dua level

yang panjang yaitu femur dan tibia, sehingga regio knee lebih mudah

mengalami cidera (Margareta and Victor, 2009).

Pada tibiofemoral joint, gerakan terjadi pada semua bidang gerak

tetapi lingkup gerak yang paling besar terjadi pada bidang sagital. Gerakan

pada bidang ini terjadi dari ekstensi penuh sampai fleksi penuh yaitu dari

0o atau 5osampai 140o. Gerakan pada bidang transversal yaitu internal dan

external rotasi dipengaruhi oleh posisi sendi dalam bidang sagital. Pada

saat knee dalam posisi ekstensi penuh, gerak rotasi hampir secara

sempurna dibatasi oleh adanya interlocking antara condylus femur dan

condylus tibialis, yang secara utama terjadi akibat condylus femur bagian

medial lebih panjang daripada bagian lateral. Lingkup gerak rotasi

meningkat saat fleksi knee dimana mencapai maksimum pada 90o fleksi

yaitu lingkup gerak external rotasi mencapai sekitar 45o dan lingkup gerak

internal rotasi mencapai sekitar 30o. Melewati 90o fleksi, lingkup gerak

internal dan external rotasi mengalami penurunan karena secara utama

akibat jaringan lunak yang membatasi rotasi (Margareta and Victor, 2009).

Gerakan pada bidang frontal yaitu abduksi dan adduksi juga dipengaruhi

oleh lingkup gerak fleksi knee. Pada posisi ekstensi penuh hampir tidak

terjadi gerakan pada bidang frontal, namun abduksi dan adduksi pasif

terjadi peningkatan lingkup gerak saat fleksi knee 30o dengan lingkup

gerak maksimum hanya beberapa derajat. Saat fleksi knee melewati 30o,

gerakan pada bidang frontal akan menurun kembali karena


jaringan lunak membatasi fungsional gerakan (Margareta and Victor,

2009).

Lingkup gerak tibiofemoral joint diperlukan pada performa aktivitas

fisik yang beragam. Gerakan pada tibiofemoral joint terjadi selama

berjalan terutama gerakan dalam bidang sagital. Selama siklus berjalan,

ternyata knee (tibiofemoral joint) tidak pernah terjadi ekstensi penuh tetapi

hanya mendekatinya sekitar 5o fleksi, yang terjadi pada awal stance phase

yaitu heel strike dan pada akhir stance phase sebelum toe-off. Sedangkan

maksimum fleksi sekitar 75o terjadi selama middle swing phase

(Margareta and Victor, 2009).

Gerakan tibiofemoral joint pada bidang gerak transversal juga terjadi

selama siklus berjalan. Levens et al menemukan adanya gerakan total

rotasi tibia terhadap femur yang berkisar dari 4,1o sampai 13,3o dengan

nilai rata-rata 8,6o pada 12 orang responden. Sedangkan menurut

Kettelkamp et al yang menggunakan elektrogoniometer pada 22 orang

coba, menemukan adanya gerakan rotasi selama siklus berjalan dengan

lingkup gerak sedikit lebih besar daripada penemuan Levens et al.

Kettelkamp et al juga menemukan bahwa external rotasi terjadi selama

extensi knee pada saat stance phase dan mencapai puncaknya pada akhir

swing phase tepat sebelum heel strike, dan internal rotasi terjadi selama

fleksi knee pada saat swing phase (Margareta and Victor, 2009).

Gerakan tibiofemoral joint pada bidang frontal juga terjadi selama

siklus berjalan. Kettelkamp et al menemukan bahwa maksimal abduksi

terjadi selama extensi knee pada saat heel strike dan awal stance phase,
sedangkan maksimal adduksi terjadi selama fleksi knee pada swing phase,

dengan responden sebanyak 22 orang. Total gerakan tersebut (abduksi &

adduksi) adalah sekitar 11o (Margareta and Victor, 2009).

Selama aktivitas kegiatan sehari-hari, umumnya terjadi gerakan

tibiofemoral joint pada bidang gerak sagital. Kettelkamp et al dan

Laubenthal et al menemukan lingkup gerak tibiofemoral joint pada

aktivitas berjalan, menaiki tangga, menuruni tangga, duduk di bawah

(melantai), mengikat sepatu, dan mengangkat suatu obyek. Pada aktivitas

berjalan menghasilkan lingkup gerak sebesar 67o kearah fleksi, menaiki

tangga terjadi lingkup gerak sebesar 83o kearah fleksi, menuruni tangga

terjadi lingkup gerak sebesar 90o kearah fleksi, duduk di bawah (melantai)

terjadi lingkup gerak sebesar 93o kearah fleksi, mengikat sepatu terjadi

lingkup gerak sebesar 106o kearah fleksi, dan mengangkat suatu obyek

menghasilkan lingkup gerak sebesar 117o kearah fleksi (Margareta and

Victor, 2009).

Gaya reaksi sendi akan mencapai 2 – 3 kali berat badan pada saat

heel strike, yang dihasilkan oleh kontraksi otot hamstring. Selama fleksi

knee pada awal stance phase (foot flat – awal trunk glide), gaya reaksi

sendi mencapai sekitar 2 kali berat badan yang dihasilkan oleh kontraksi

otot quadriceps femoris. Gaya reaksi sendi yang maksimal terjadi selama

akhir stance phase tepatnya sebelum toe-off (sekitar 2 – 4 kali berat

badan), yang dihasilkan oleh kontraksi otot gastrocnemius, dimana

bervariasi pada setiap individu. Pada akhir swing phase, kontraksi otot

hamstring menghasilkan gaya reaksi sendi yang sama dengan berat badan.
Pada laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan yang signifikan tentang

besarnya gaya reaksi sendi (Margareta and Victor, 2009).

Pada knee normal, gaya reaksi sendi disanggah oleh meniskus dan

kartilago sendi. Penelitian Sedhom et al yang memeriksa distribusi stress

pada knee dengan dan tanpa meniskus pada in vitro menunjukkan bahwa

dalam kondisi penumpuan berat badan, besarnya stress pada tibiofemoral

joint ketika meniskus telah robek akan mencapai 3 kali lebih besar

daripada meniskus yang masih utuh (Margareta and Victor, 2009).

Gaya yang ditopang oleh ligamen-ligamen lebih rendah daripada

gaya yang bekerja pada dataran tibia. Morrison telah menghitung gaya

yang bekerja pada ligamen-ligamen knee selama siklus berjalan, dimana

Morrison menemukan bahwa ligamen cruciatum posterior menopang gaya

yang paling tinggi sekitar ½ berat badan, dimana terjadi pada saat heel

strike dan pada akhir stance phase (Margareta and Victor, 2009).

2. Pengukuran fungsional knee

Beberapa aktivitas fungsional yang melibatkan knee joint dapat

diperiksa dengan beragam tes fungsional untuk knee. Rangkaian gerak

fungsional knee joint yang dapat diperiksa adalah berjalan, menaiki tangga

dan menuruni tangga, squat, meloncat (jumping), dan berlari. Terdapat

beberapa tes fungsional yang populer saat ini seperti WOMAC index dan

Knee Injury and Osteoarthritis Outcome Score (KOOS) (David, 2009)

Knee Injury and Osteoarthritis Outcome Score (KOOS) adalah suatu

alat atau instrument yang berbentuk kuesioner yang berisi secara spesifik
untuk memeriksa pendapat seseorang mengenai adanya gangguan pada

lutut. KOOS dapat digunakan baik pada masa akut maupun kronik yang

berhubungan dengan cidera pada lutut dan cocok untuk usia produktif

yaitu antara 18-46 tahun yang memiliki tingkat aktifitas fisik yang tinggi.

KOOS berisi 42 macam pertanyaan yang terbagi dalam 5 kategori yaitu

dilhat dari gejalanya, nyeri, aktifitas fungsional sehari-hari (ADL), aktifitas

saat olahraga dan rekreasi, dan aktifitas yang berhubungan dengan kualitas

hidup.. Instrumen KOOS terdiri dari 42 pertayaan dalam 5 kategori skor

yang terdiri dari :

a. Pain (9 item)

b. Symptom (7 item)

c. Activities Daily Living (ADL) (17 item)

d. Sport and Recreation Recreation (5 item)

e. Knee- Related Quality of Life (4 item)

KOOS adalah intrumen yang diisi secara langsung oleh pasien dan

dibutuhkan waktu 10 menit untuk mengisi format tersebut. Skala likert

digunakan pada semua item yang memiliki 5 pilihan jawaban yaitu dari

skor 0 (tidak ada masalah), skor 1 (ringan), skor 2 (sedang), skor 3 (parah)

dan skor 4 (berat), skor masing-masing item dihitung dan dijumlahkan

sebagai hasil skor KOOS.

Skor ditransformasikan menjadi skala 0 – 100, nilai 0 mewakili lutut

mengalami masalah berat sedangkan nilai 100 tidak mengalami masalah

pada lutut seperti pada skala orthopedi dan pengukuran generic. Skor
antara 0 – 100 mewakili persentasi dari total yang mungkin dicapai. (Ewa

et al, 2003)

C. Tinjauan tentang Ultrasound (US)

1. Pengertian

Ultrasound adalah modalitas terapeutik yang biasa digunakan untuk

memperbaiki ekstensibilitas jaringan ikat, termasuk mengatasi jaringan

parut, memfasilitasi penurunan nyeri pada cedera muskuloskeletal, serta

meningkatkan penyembuhan jaringan dan remodeling dalam intervensi

pada tendinopati. Terdapat bukti yang jelas dari beberapa penelitian

terhadap hewan yang menunjukkan bahwa ultrasound memiliki beberapa

efek positif terhadap karakteristik jaringan ikat, nyeri dan inflamasi

jaringan, serta penyembuhan (Susan et al, 2012)

Ultrasound didefinisikan sebagai bentuk suara yang tidak terdengar,

vibrasi akustik yang berfrekuensi tinggi dan dapat menghasilkan efek

fisiologis thermal atau nonthermal. Ultrasound lebih banyak menghasilkan

energi akustik daripada energi elektromagnetik. Secara tradisional,

ultrasound merupakan modalitas thermal karena dapat meningkatkan

temperatur jaringan. Salah satu keuntungan dari ultrasound dibandingkan

modalitas thermal lainnya seperti warm whirlpool, paraffin bath dan hot

pack adalah ultrasound dapat memberikan panas pada jaringan yang lebih

dalam (deep heating) (Wiliam, 2003)

2. Prinsip fisika dasar

Ultrasound adalah bentuk akustik, atau suara, energi. Gelombang

suara adalah gelombang tekanan mekanikal. Tidak seperti transmisi energi


elektromagnetik, di mana beberapa partikel seperti foton atau elektron

dapat berjalan tanpa hambatan melalui sebuah vakuum, yakni transmisi

energi akustik yang membutuhkan media seperti gel ketika mengobati

jaringan manusia. Gelombang suara berjalan secara mekanikal yang

menghasilkan perubahan atau vibrasi molekul. Suatu molekul yang

tervibrasi akan bertabrakan dengan molekul disekitarnya, sehingga

gerakan molekul disekitarnya menimbulkan transfer energi. Reaksi rantai

molekul ini berlanjut terus sampai menyebar ke seluruh komponen

jaringan dan sampai energi dilepaskan (yaitu diabsorbsi jaringan). Molekul

yang berdekatan saling bertabrakan lebih cepat daripada molekul yang

tersebar luas. Hal ini berarti bahwa energi suara bergerak lebih cepat

melalui jaringan penghubung yang padat, seperti tendon dan tulang.

Meskipun demikian, energi lebih cepat hilang, mengatasi tahanan yang

besar terhadap vibrasi molekular pada komponen jaringan lebih padat.

Jumlah osilasi yang dialami molekul selama 1 detik menunjukkan

frekuensi gelombang suara yang diukur dalam hertz (Hz): 1 Hz = 1

siklus/detik; 1 MHz = 1 juta siklus/detik. Rentang suara yang dapat

didengar oleh manusia berkisar antara 16 dan 20.000 Hz. Energi suara

pada frekuensi yang lebih besar dari 20.000 Hz didefinisikan sebagai

ultrasound.

Pada umumnya, gelombang suara frekuensi rendah menyebar ke

seluruh arah sebagaimana meninggalkan sumber energi, menyerupai

cahaya dari api yang menyala. Pada frekuensi yang tinggi, gelombang

suara lebih fokus, kurang menyebar sebagaimana meninggalkan sumber


energi, menyerupai cahaya senter. Beberapa frekuensi yang digunakan

untuk peralatan ultrasound therapy menghasilkan gelombang silinder yang

terfokus.

Gelombang suara bergerak dalam pola sinusoidal saat gelombang

berjalan melalui suatu medium. Suatu fase tekanan positif, dimana

molekul yang berdekatan dengan sumber energi terkompresi secara

bersamaan, diikuti oleh fase tekanan negatif, dimana molekul didaerah

yang sama terlepas. Sebagaimana gelombang menyebar, beberapa molekul

tambahan mengalami compression dan dispersion. Area compression atau

kepadatan molekular yang meningkat disebut sebagai kondensasi, dan

daerah kepadatan molekul yang menurun disebut sebagai rarefactions

(Susan et al, 2012).

Gambar 2.6 Diagram gelombang fokus ultrasound


Sumber : Susan L et al (2012)

3. Karakteristik gelombang ultrasound

Ultrasound memiliki karakteristik berdasarkan frekuensi, bentuk,

dan intensitas.

a. Frekuensi : 1 atau 3 MHz


Sebagian besar mesin ultrasound therapy dalam penggunaan

klinis adalah menggunakan dua unit frekuensi, sehingga operator dapat

memilih frekuensi yang diinginkan, apakah 1 MHz atau 3 MHz. Pada

frekuensi yang tinggi, lebih banyak terjadi oscillasi molekular, dan

diperlukan peningkatan kerja gelombang suara dalam mengatasi

gesekan molekular. Secara teoritis, hal ini berarti bahwa lebih banyak

energi yang diabsorbsi pada jaringan superfisial dan kurang diabsorbsi

untuk transmisi jaringan yang lebih dalam. Pada umumnya, frekuensi 3

MHz dipilih ketika target jaringan antara 1 – 2 cm dari permukaan

tubuh, dan frekuensi 1 MHz digunakan ketika target jaringan lebih

dalam daripada 2 cm dibawah kulit

b. Bentuk : gelombang continuous atau pulsed

Gelombang ultrasonik dapat menghasilkan dua bentuk : suatu

aliran gelombang yang kontinyu atau dalam interval periodik dimana

energi ditransmisikan dalam durasi yang singkat (dalam millisecond,

atau msec) dan kemudian tidak ada energi yang ditransmisikan (dalam

msec).

Ketika transmisi gelombang ultrasound ke jaringan tidak terputus-

putus maka dikenal bentuk gelombang kontinyu, dan jika

ditransmisikan dengan interval periodik, maka disebut sebagai bentuk

gelombang pulsed. Karakteristik bentuk pulsed ultrasound adalah

memiliki duty cycle, dimana terjadi fraksi waktu gelombang ultrasound

selama satu periode pulse, biasanya dinyatakan dalam persentase.


Gelombang kontinyu ultrasound seringkali berkaitan dengan

penggunaan efek thermal. Pulsed ultrasound dengan dosis 20%

digunakan untuk efek non-thermal, dan pulsed ultrasound dengan dosis

50% paling banyak menghasilkan efek thermal yang sangat minimal.

Tetapi, dengan dosis 50% duty cycle, puncak energi ultrasound dapat

menghasilkan efek mekanikal positif terhadap gerakan ion-ion melewati

membran sel.

Sebagian besar mesin ultrasound therapy memungkinkan

pengguna untuk memilih dosis duty cycle antara 5% dan 50%, namun

sebagian besar penelitian tentang efek ultrasound pada jaringan

umumnya menggunakan duty cycle 20% atau 50%.

c. Intensitas : Watts/cm2

Kekuatan gelombang ultrasound ditentukan oleh kuantitas energi,

atau power akustik, yang dihasilkan oleh transduser ultrasound dan

diukur dalam watt (W). Power yang dipancarkan tidak seragam

melewati permukaan transduser ultrasound. Tepi luar dari kristal

piezoelectric dilindungi sampai permukaan bawah dari metal end plate;

Akibatnya, kurang terjadi vibrasi sepanjang pinggiran transduser

dimana relatif terjadi pada bagian tengah kristal. Selain itu, gelombang

yang dipancarkan dari berbagai titik yang berbeda dapat melewati

permukaan kristal yang saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini

berarti bahwa beberapa area gelombang ultrasound akan lebih kuat pada

area transduser dibandingkan dengan area diluar dari transduser.


Effective radiating area (ERA) dari sebuah transduser adalah

suatu pengukuran area cross-sectional yang aktual dari gelombang

ultrasound yang keluar dari metal end plate dan dinyatakan dalam satu

cm2. ERA ditentukan oleh ukuran transduser dan sifat vibrational dari

kristal piezoelectric dan ERA selalu lebih kecil daripada area cross-

sectional dari metal end plate.

Istilah spatial peak intensity (ISP) mengacu pada kekuatan

akustik gelombang ultrasonik pada titik tertinggi. Secara khas, puncak

ini terjadi di 1/3 sentral dari ERA. Intensitas spatial rata-rata (ISA),

adalah suatu ukuran kekuatan akustik rata-rata di seluruh ERA dan

dinyatakan dalam watt per sentimeter persegi (W/cm 2). Ukuran ini

biasanya disebut secara klinis sebagai intensitas dan diberi label seperti

pada meter keluaran unit ultrasound. Beam-non-uniformity ratio (BNR)

transduser adalah rasio antara spatial peak intensity dan intensitas

spatial rata-rata. Rasio yang lebih kecil menunjukkan gelombang

ultrasound yang lebih seragam. BNR ditentukan oleh kualitas kristal

dan konstruksi transduser. Unit ultrasound dengan BNR yang rendah

secara khas lebih mahal untuk diproduksi dan dibeli. Umumnya, rasio

yang kurang daripada atau sama dengan 6 : 1 dianggap dapat diterima

untuk penggunaan klinis. Di Amerika Serikat, Food and Drug

Administration (FDA) memerlukan manufactur yang menunjukkan

BNR yang tertera pada unit ultrasound. Hal ini sering diberi label pada

kabel coaxial aplikator ultrasound.


Dalam ultrasound bentuk pulsed, intensitas harus dikualifikasikan

lebih lanjut karena duty cycle mempengaruhi kuantitas total energi yang

dibangkitkan. Istilah spatial average temporal peak intensity (ISATP)

mengacu pada intensitas rata-rata spatial dari gelombang ultrasound

antara interval selama aplikasi pulsed ultrasound. Ukuran ini memiliki

kegunaan yang terbatas, karena tidak mengukur derajat penurunan

energi output ketika menggunakan dosis duty cycle. Sebaliknya, spatial

average temporal peak intensity (ISATA) berdampak pada dosis duty

cycle. Hal ini dihitung dengan mengalikan ISATP dengan duty cycle :

ISATA = ISATP x duty cycle

Sebagai contoh, ultrasound yang dengan intensitas 2,0 W/cm 2

menggunakan duty cycle 20% diperoleh hasil ISATA = 0,4 W/cm2.

Dalam praktik fisioterapi, khususnya di Amerika Serikat, penggunaan

istilah ISATA ini sangat jarang. Sebaliknya, secara khas intensitas

digambarkan dalam intensitas rata-rata spatial dan duty cycle.

Keuntungan menggunakan ISATA adalah memungkinkan perbandingan

energi output yang mudah antara pengobatan bentuk kontinyu dan

pulsed ultrasound. Sebagai contoh, asumsi bahwa durasi pengobatan

adalah sama, pada continuous ultrasound dengan ISA = 0,5 W/cm2 dapat

membangkitkan output energi bersih yang sama dengan pulsed

ultrasound pada 1.0 W / cm2 menggunakan duty cycle 50% (ISATA = 0,5

W/cm2). Namun, kemungkinan beberapa efek pulsed ultrasound

berkaitan dengan intensitas puncak.


Gambar 2.7
Grafik Hydrophone dari Gelombang Ultrasound
Sumber : Susan et al, 2012

4. Transmisi ultrasound

Seluruh jaringan akan memiliki tahanan (impedansi) terhadap jalur

gelombang ultrasound. Tahanan spesifik dari jaringan akan ditentukan

berdasarkan kepadatan dan elastisitas. Perbedaan impedansi yang besar

pada setiap jaringan akan menyebabkan refleksi yang besar sehingga

besarnya energi yang ditransfer menjadi kecil. Perbedaan impedansi yang

paling besar terjadi pada besi atau udara sehingga harus dihindari untuk

mencapai jaringan. Untuk meminimalkan perbedaan impedansi tersebut

maka perlu digunakan coupling medium yang cocok. Jika terdapat gap

yang kecil antara transduser dengan kulit (adanya udara) maka proporsi

ultrasound akan direfleksikan sekitar 99,9% sehingga transmisi gelombang

ultrasound ke jaringan tidak efektif.

Coupling medium yang dapat digunakan adalah air, beragam

minyak, cream, dan gel. Pada saat ini, gel menjadi media yang lebih baik

daripada minyak dan cream karena air dapat menjadi media alternatif yang

efektif. Dalam aplikasi klinis, treatment head harus selalu dibersihkan


dengan alkohol untuk meminimalkan potensial transmisi mikrobakteri

agent diantara pasien. Penelitian Spratt et al (2014) melaporkan bahwa

diatas 50% botol gel terkontaminasi dimana beberapa diantara positif

MRSA, sedangkan 35% treatment head ultrasound juga terkontaminasi

meskipun tidak terdapat MRSA. Para peneliti menganjurkan penggunaan

teknik disinfektan yang cukup untuk meminimalkan terjadinya

kontaminasi (Wiliam 2003).

Tabel 2.2
Penetration Depth dari tiap-tiap media

Media 1 MHz 3 MHz


Tulang 7 mm -
Kulit 37 mm 12 mm
Tulang Rawan 20 mm 3 mm
Udara 20 mm 3 mm
Tendon 21 mm 7 mm
Otot 30 mm* 10 mm*
82 mm** 27 mm**

Lemak 165 mm 55 mm
Air 38330 mm 12770 mm
**
Keterangan : * : tegak lurus, : sejajar

5. Absorbsi ultrasound

Absorbsi energi ultrasound mengikuti pola exponential yaitu lebih

banyak energi yang diabsorbsi oleh jaringan superfisial dibandingkan

dengan jaringan deep. Agar energi memiliki efek maka energi ultrasound

harus diabsorbsi oleh jaringan target sehingga sangat berhubungan dengan

dosis ultrasound yang diaplikasikan. Karena absorbsi (penetrasi) bersifat

exponential maka secara teoritis tidak ada titik yang mengabsorbsi seluruh

energi ultrasound karena terdapat suatu titik yang tidak cukup


mengabsorbsi level energi ultrasound sehingga tidak menghasilkan efek

terapeutik. Half value depth (HVD) seringkali digunakan sebagai acuan

penetrasi ultrasound yang mewakili kedalaman energi ultrasound didalam

jaringan dimana ½ energi permukaan masih ada. Hal ini akan berbeda pada

setiap jaringan dan berbeda pula untuk setiap frekuensi ultrasound

(Wiliam, 2003).

6. Efek Ultrasound Sebagai Dasar Penggunaan Terapeutik

a. Efek Termal dan Mekanik

Ketika jaringan mengabsorbsi energi ultrasound maka energi

kinetik meningkat, gesekan antara molekul-molekul menghasilkan

produksi panas. Bergantung pada intensitas dan durasi waktu ultrasound

yang diterapkan dan sifat fisik jaringan tersebut, suatu peningkatan suhu

jaringan dapat terjadi. Peningkatan suhu jaringan berhubungan dengan

perubahan potensial fisiologis yang diinginkan, seperti penurunan

muscle guarding (spasme otot), penurunan persepsi nyeri, peningkatan

extensibilitas jaringan, dan peningkatan aliran darah. Karena ultrasound

dikategorikan sebagai "modalitas deep heating," perubahan fisiologis

yang sama ini biasanya dianggap sebagai efek, meskipun

pengobatannya tidak langsung. Dengan demikian, hal penting dalam

realisasi bahwa untuk menghasilkan efek thermal, maka harus terjadi

peningkatan suhu jaringan spesifik. Lehman dan rekannya melaporkan

bahwa kenaikan suhu jaringan 1°C (1,8°F) dapat meningkatkan tingkat

metabolisme. Peningkatan suhu dengan kisaran 2°C (3,6°F) sampai 3°C

(5,4°F) dapat menurunkan spasme otot dan nyeri serta meningkatkan


aliran darah, dan kenaikan suhu 4°C (7,2°F) atau lebih besar diperlukan

untuk memicu terjadinya extensibilitas jaringan kolagen dan

menginhibisi aktivitas saraf simpatis.

Namun, selain dari produksi panas akibat gesekan molekul,

ultrasound therapy juga diduga dapat menyebabkan efek mekanikal

lainnya pada jaringan. Beberapa ion di dalam dan di sekitar sel, serta

cairan intraseluler dan ekstraselular pada jaringan yang terpapar energi

ultrasound, mengalami beberapa gerakan kecil. Aliran gelombang

ultrasound tersebut disebut sebagai microstreaming dan telah

menunjukkan perubahan permeabilitas membran sel dan aktivitas

seluler yang ditemukan saat mengaplikasikan intensitas ultrasound

therapy. Gelembung gas-gas yang kecil dapat terjadi pada cairan tubuh

yang terpapar gelombang ultrasound yang menimbulkan kompresi

selama kondensasi dan ekspansi selama rarefaction. Pulsasi gelembung

gas ini disebut cavitation dan dapat menyebabkan perubahan diffusi

melewati membran sel sehingga mengubah fungsi seluler. Pada

intensitas ultrasound yang tinggi, terjadi kolaps yang hebat atau ledakan

kuat gelembung gas yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan.

Hal ini disebut sebagai unstabil cavitation dan sangat tidak diinginkan

terjadi selama aplikasi intensitas ultrasound.

Efek non thermal ultrasound dihasilkan oleh bentuk continuous

dan pulsed ultrasound, tetapi umumnya pulsed ultrasound digunakan

untuk efek mekanikal ini, mencakup stable cavitation dan acoustic

streaming.
b. Efek non – thermal

Secara sederhana, cavitation berkaitan dengan formasi gas yang

mengisi suatu space didalam jaringan dan cairan tubuh. Rongga (cavity)

yang terbentuk berperan untuk meningkatkan fenomena acoustic

streaming sehingga menghasilkan efek yang bermanfaat. Acoustic

streaming adalah pusaran air skala kecil didekat struktur yang bergetar

seperti membran sel dan pada permukaan stable cavitation dimana

fenomena ini dapat mempengaruhi kecepatan difusi dan permeabilitas

membran.

Permeabilitas ion sodium berubah akibat adanya perubahan

potensial membran sel. Transportasi ion kalsium dimodifikasi sehingga

menyebabkan perubahan mekanisme kontrol enzim didalam proses

metabolik yang beragam, khususnya yang berkaitan dengan sintesis

protein dan sekresi seluler. Adanya efek stable cavitation dan acoustic

streaming menyebabkan membran sel teraktivasi yang meningkatkan

level aktivitas dari seluruh sel, hal inilah yang dipicu oleh energi

ultrasound (Wiliam, 2003).

c. Efek pada otot

Draper dan rekannya menggambarkan efek panas dari ultrasound

therapy dengan berbagai intensitas di otot triceps surae yang sehat pada

24 mahasiswa. Hasil penelitiannya disimpulkan dalam tabel dibawah

ini. Suhu otot diukur pada kedalaman 0,8 dan 1,6 cm di bawah kulit

selama ultrasound 3 MHz dan kedalaman 2,5 dan 5 cm di bawah kulit

selama ultrasound 1 MHz. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada


perbedaan suhu antara dua otot dengan kedalaman berbeda selama

pengobatan. Area pengobatan adalah dua kali ERA dari kepala

transduser. Tingkat dan besarnya pemanasan otot tidak hanya

bergantung pada intensitas dan durasi pengobatan, namun juga pada

frekuensi. Rata-rata, suhu otot superfisial meningkat 4°C (7,2°F) di atas

baseline dalam waktu 2,5 menit ketika diobati dengan intensitas 2,0

W/cm2 pada frekuensi 3 MHz, namun peningkatan suhu yang sama

pada jaringan otot yang lebih dalam dibutuhkan waktu 10 menit untuk

mencapai suhu tersebut saat diberikan pada intensitas 2,0 W/cm 2 dan

frekuensi 1 MHz. Ketika diaplikasikan intensitas pada 0,5 W/cm2 dan

frekuensi 1 MHz, kenaikan suhu tidak pernah mencapai 1°C (1,8°F),

bahkan setelah 10 menit pengobatan. Namun, pada frekuensi 3 MHz,

dengan intensitas pengobatan yang sama dapat menghasilkan

peningkatan 3°C (5,4°F) di atas 10 menit pengobatan.

Dengan demikian, implikasinya bahwa waktu pengobatan yang

lebih lama dengan intensitas yang tinggi diperlukan untuk mencapai

panas otot yang tinggi ketika target jaringan terletak dalam (deep) dan

digunakan frekuensi 1 MHz daripada ketika target jaringan otot terletak

lebih superfisial maka diaplikasikan dengan menggunakan frekuensi 3

MHz.

d. Jaringan Penghubung (Tendon / Ligamentum)

Ultrasound digunakan untuk meningkatkan extensibilitas jaringan

dan menyebabkan perubahan jaringan parut. Relatif sama dengan otot,

nampaknya bahwa peningkatan suhu yang besar dapat dicapai dengan


cepat ketika jaringan yang diterapi oleh ultrasound adalah jaringan

penghubung yang padat seperti tendon. Dengan demikian, ultrasound

akan menjadi pilihan yang tepat untuk mencapai tujuan pengobatan

tersebut. Salah satu alasan bahwa tendon dapat panas lebih cepat dan

lebih tinggi daripada otot selama pengobatan ultrasound adalah karena

tendon memiliki kandungan kolagen yang tinggi, namun alasan

kemungkinan lainnya adalah bersifat relatif avaskuler. Dalam jaringan

yang vaskularisasi baik seperti otot, mekanisme pendinginan

homeostasis dari vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal terjadi

sebagai respons terhadap peningkatan suhu jaringan. Respons ini

menurun ketika hanya sedikit kapiler pembuluh darah, seperti pada

tendon dan ligamen.

Chen dan rekannya menggambarkan efek panas dari 3 MHz

ultrasound yang diterapkan pada 1,0 W/cm2 selama 4 menit di atas

tendon patela sehat pada 16 mahasiswa. Ketika area pengobatan dua

kali lebih besar dari ERA transduser (2 x ERA), maka peningkatan suhu

rata-rata pada tendon adalah 8°C (14,4°F) segera setelah pengobatan,

dan suhu tidak kembali ke baseline sampai 20 menit pasca terapi.

Ketika area pengobatan adalah 4 x ERA, maka peningkatan suhu segera

terjadi pasca terapi yaitu sekitar 5°C (9°F), dan suhu kembali ke

baseline dalam waktu 15 menit. Semenjak suhu meningkat 4°C (7,2°F)

atau lebih besar maka hal ini diperlukan untuk memperbaiki

extensibilitas jaringan penghubung, sebagai alasan klinis yang kuat

bahwa latihan stretching harus diberikan pada sesi pengobatan dalam


kerangka intervensi fisioterapi. Dalam penelitian ini, pada area 2 x

ERA, suhu meningkat lebih besar dari 4°C (7,2°F) dapat dicapai

setengahnya melalui durasi pengobatan 4 menit dan dipertahankan

selama 4 menit tambahan setelah penghentian pengobatan. Sedangkan

pengobatan yang menggunakan area 4 x ERA juga mampu

menghasilkan peningkatan suhu yang lebih besar dari 4°C (7.2°F),

dengan waktu dibutuhkan lebih dari 3 menit dan hanya dipertahankan

selama 2 menit setelah pengobatan, yang berarti bahwa efek terapeutik

untuk latihan stretching menurun 50%.

e. Efek terhadap nyeri sendi

Ultrasound umumnya telah digunakan untuk mengurangi

kekakuan dan nyeri sendi pada pasien arthritis. Salah satu penelitian

terbaru terhadap kontrol nyeri layak untuk dijelaskan, bahwa aplikasi

continuous ultrasound dengan frekuensi 1 MHz, intensitas 1.0 W/cm2

selama 5 menit mampu mengurangi nyeri pada kedua knee pasien

dengan osteoartritis. Dalam penelitian control randomisasi, dimana

ultrasound dibandingkan dengan ultrasound semu (placebo) ditemukan

efek yang lebih signifikan.

f. Efek hemodinamik

Suatu ide teoritis menjelaskan bahwa kemampuan potensial ultrasound

untuk meningkatkan aliran darah adalah berbanding lurus. Sebagaimana

energi ultrasound diabsorbsi oleh jaringan, maka akan terjadi

peningkatan suhu. Sebagai respon terhadap peningkatan suhu pada

jaringan yang sehat, aliran darah lokal pada area pengobatan dapat
meningkatkan kehilangan panas dan memulihkan homeostasis suhu.

Studi awal yang meneliti efek ultrasound terhadap aliran darah sangat

bervariasi dan seringkali tidak lengkap menggunakan parameter

pengobatan, model, dan metodologi pengukuran yang bervariasi secara

luas dan seringkali tidak lengkap. Tidak mengherankan, temuan

biasanya membingungkan, dimana beberapa kelompok melaporkan

adanya perubahan dan penelitian lainnya tidak menunjukkan perubahan.

Baru-baru ini, Robinson dan Buono meneliti efek ultrasound 1 MHz

dengan intensitas 1,5 W/cm2 selama 5 menit pada kutaneous dan aliran

darah otot di lengan bawah terhadap 20 orang dewasa sehat. Robinson

dan Buono melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara

kelompok yang diobati dan kelompok kontrol segera setelah

pengobatan. Area pengobatannya adalah 16 sampai 25 kali ERA.

Sebaliknya, peningkatan aliran darah ditunjukkan pada arteri poplitea

selama dan setelah aplikasi continuous ultrasound 1 MHz pada triceps

surae dengan intensitas 1,0 atau 1,5 W/cm 2 terhadap 20 orang dewasa

yang sehat. Area pengobatan dua kali ERA. Secara statistik

perubahannya tetap sama, dan tidak ada peningkatan aliran darah yang

lebih besar saat waktu pengobatan lebih dari 5 menit. Ultrasound pada 3

MHz tidak efektif untuk peningkatan aliran darah. Perbedaan utama

antara perlakuan dalam studi Robinson dan Buono serta studi oleh

Fabrizioet al.14 at1 MHz adalah ukuran area perlakuan. Berdasarkan

pada karya Draper, dapat dibuat hipotesis bahwa hasil penelitian

Fabrizio and rekannya menunjukkan adanya peningkatan suhu sekitar


1,75°C (31,8°F) selama pengobatan 5 menit dengan intensitas 1,5

W/cm2 dan peningkatan suhu sekitar 1°C (1,8°F) selama pengobatan 5

menit pada intensitas 1,0 W/cm2. Penggunaan area pengobatan yang

sangat luas oleh Robinson dan Buono, maka tidak mungkin terjadi

perubahan suhu pada otot. Sayangnya, tidak ada penelitian tunggal yang

menunjukkan korelasi secara langsung antara peningkatan suhu dan

respon aliran darah selama pengobatan ultrasound. Efek non-thermal

yang dihasilkan oleh Ultrasound juga melibatkan respon hemodinamik

selama pengobatan. Lota menemukan peningkatan aliran darah

superfisial di kaki selama penerapan ultrasound di atas regio paraspinal

lumbal. Hipotesis Lota menunjukkan bahwa peningkatan aliran darah

terjadi akibat refleks vasodilatasi sekunder dari efek stimulasi pada

ganglia sympathetic lumbal. Hipotesis Fabrizio et al menunjukkan

bahwa perubahan permeabilitas membran sel terjadi selama penerapan

ultrasound yang merangsang pelepasan histamin lokal dan perubahan

tonus vaskular.

d. Efek Posttraumatic: Bengkak dan Perbaikan Jaringan

Rasional penggunaan ultrasound mulai dari cidera sampai

pemulihan dapat dilihat pada tabel. Beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa ultrasound memiliki efek stimulasi pada active cell

selama inflamasi akut dan perbaikan jaringan. Harvey dan rekannya

menemukan bahwa pengobatan ultrasound 3 MHz dengan intensitas 0,5

sampai 2,0 W / cm2 sangat berkaitan dengan peningkatan sintesis

protein melalui kultur fibroblast. Dalam suatu penelitian kultur


fibroblast menggunakan tikus neonatal dengan model simulasi cidera

(injury), Ramirez and rekannya menyimpulkan bahwa aplikasi

ultrasound 1 MHz pada intensitas 0,4 W/cm2 dapat merangsang sintesis

kolagen dan proliferasi seluler. Makrofag adalah jenis sel yang dominan

ditemukan pada luka/cidera selama 4 atau 5 hari pasca cidera, sekresi

faktor yang merangsang proliferasi fibroblast. Young dan Dyson

menemukan bahwa kultur makrofag yang diobati dengan ultrasound

pada frekuensi 0,75 atau 3 MHz intensitas 0,5 W/cm2 memiliki efek

mitogenik pada proliferasi fibroblast. Dalam penelitian Mortimer dan

Dyson, secara khas serapan kalsium, menunjukkan adanya aktivitas

seluler, meningkatkan kultur fibroblast setelah terpapar ultrasound

selama 5 menit menggunakan duty cycle 20%, 1 MHz, pada intensitas

0,5 sampai 1,0 W / cm2.

Tabel 2.3
Rasional Penggunaan US selama penyembuhan luka/cidera

Fase Penyembuhan Rasional Penggunaan US


Fase Inflamasi US dapat merangsang pelepasan growth
factor (level 5 evidence based)
Angiogenesis dapat difasilitasi dengan
Pulsed Ultrasound (level 5 evidence based)
Menurunkan inflamasi melalui transmisi
obat-obatan transcutaneus (Phono
phoresis)
Fase Proliferatif Angiogenesis dapat difasilitasi oleh Pulsed
Ultrasound (level 5 evidence based)
Fibroplasia dapat difasilitasi oleh Pulsed
Ultrasound (level 5 evidence based)
Fase Remodeling Penggunaan US dengan continuous dapat
Memperbaiki meningkatkan suhu jaringan
extensibilitas jaringan Efek terhadap jaringan scar (butuh
penghubung evidence based)
Sumber : Susan et al, 2012
7. Teknik aplikasi

a. Gerakan transduser

Teknik menggerakkan transduser lebih baik untuk penerapan

ultrasound terapi. Hal ini karena BNR dengan intensitas puncak spasial

yang tinggi terdapat pada pusat BNR, sehingga distribusi energi di

bawah transduser yang statis tidak merata. Beberapa area pengobatan

yang kecil di bawah transduser dapat menerima persentase pancaran

energi yang tidak proporsional, dan area pengobatan lainnya dapat

menerima sangat sedikit energi. Selain itu, potensial gelombang tegak

lurus yang dipantulkan pada area pengobatan juga meningkat jika

transduser bersifat statis. Ketika diaplikasikan ultrasound dalam bentuk

continuous dengan intensitas yang cukup dan transduser statis, maka

area pengobatan di bawah transduser dapat terjadi nyeri hebat dan panas

yang tinggi (sering disebut sebagai "titik panas") dan potensial terjadi

kerusakan jaringan. Sebaliknya, ketika transduser digerakkan secara

perlahan dalam pola yang halus dan berirama di atas area pengobatan,

maka distribusi energi spasial menjadi lebih merata. Gerakan transduser

yang digunakan adalah stroking longitudinal atau overlap circular.

Transduser juga dapat digerakkan lebih cepat tanpa kehilangan efek

terapeutik. Kuncinya adalah tetap mempertahankan kontak yang baik

dengan gel ultrasound di atas permukaan kulit.

Secara logis, ketika ukuran area pengobatan meningkat, dosis

efektif yang diaplikasikan ke salah satu area akan menurun, karena


potensial terjadi efek terapeutik thermal. Sebagai aturan umum, area

total pengobatan harus 1,5 sampai 2 kali ERA transduser.

Aplikasi pulsed ultrasound dengan intensitas sangat rendah dapat

memfasilitasi penyembuhan fraktur, dimana secara khas menerapkan

transduser secara statis yang langsung di atas lokasi fraktur. Sebagian

besar unit ultrasound yang didesain untuk penggunaan tersebut

memasukkan parameter tetap untuk memastikan keselamatan pasien

dan dapat menyetel dengan baik energi ultrasound daripada kebanyakan

unit ultrasound tradisional yang tersedia dalam program rehabilitasi.

b. Aplikasi kontak langsung

Gelombang ultrasound tidak berjalan efektif melalui udara. Oleh

karena itu, harus digunakan coupling medium untuk mentransmisikan

energi ultrasound antara transduser dan tubuh pasien. Ketika area

permukaan pengobatan relatif datar dan kecil tidak sebesar permukaan

transduser, maka metode aplikasi ultrasound yang paling sederhana dan

mudah digunakan adalah kontak langsung. Secara khas, lapisan tipis

dari gel transmisi tinggi (mudah larut di air) disebar pada area

pengobatan, dan transduser diaplikasikan dengan kontak langsung

dengan kulit yang dilapisi gel. Tujuan dari coupling gel adalah untuk

menghilangkan pengaruh udara sebanyak mungkin antara transduser

dan kulit, sehingga memaksimalkan jumlah energi ultrasound yang

masuk ke dalam tubuh pasien. Coupling gel yang cukup sangat

dibutuhkan karena pemantulan sempurna dari gelombang ultrasound


akan terjadi pada interface antara metal transduser dan gelembung-

gelembung udara yang ada didalam gel.

Dari sudut pandang terapeutik, energi yang dipancarkan dari area

transduser yang tidak kontak dengan tubuh akan terbuang sia-sia,

namun energi yang dipantulkan dapat menyebabkan panas berlebihan

dan dapat merusak transduser itu sendiri. Oleh karena itu, terapis harus

memilih ukuran transduser yang tepat. Pengobatan di regio tulang

menonjol yang kecil (contohnya malleolus lateral ankle atau

epicondilus medial elbow) dan permukaan tidak beraturan yang kecil

seperti jari tangan dan kaki memerlukan transduser yang kecil. Gel

yang tersedia secara komersial, sebagian besar adalah gel yang dapat

larut dalam air dan paling sering digunakan untuk aplikasi kontak

langsung ultrasound, namun lotion yang mudah larut dalam air juga

tersedia, yang secara spesifik didesain untuk aplikasi ultrasound.

Meskipun jarang digunakan, sekarang banyak gel ultrasound dan lotion

yang tersedia dengan biaya terjangkau, minyak mineral dapat juga

berperan sebagai media coupling langsung.

8. Indikasi dan Kontraindikasi

Dengan pemilihan parameter yang tepat, ultrasound terapeutik dapat

menjadi efektif meningkatkan suhu jaringan yang sementara atau aliran

darah di area pengobatan yang kecil. Ultrasound dengan intensitas rendah

dapat menjadi indikasi untuk memfasilitasi penyembuhan jaringan.

Parameter atau petunjuk pemilihan dosis yang tepat dapat memfasilitasi

penyembuhan jaringan. Adapun indikasi ultrasound therapy adalah :


a. Sebagai modalitas deep heating maka indikasinya adalah :

1) Kontraktur sendi dan jaringan parut (scar tissue)

2) Nyeri dan spasme otot

3) Inflamasi jaringan lunak subacute atau kronik (ketika suhu jaringan

meningkat atau diinginkan peningkatan aliran darah)

b. Untuk memfasilitasi penyembuhan, maka indikasinya adalah :

1) Cidera akut atau inflamasi jaringan lunak

2) Cidera akut atau inflamasi jaringan saraf

3) Luka terbuka

4) Fraktur (menggunakan peralatan khusus)

Parameter pemilihan dosis ultrasound selama fase penyembuhan

jaringan adalah durasi waktu 5 menit dengan area pengobatan 1,5 sampai 2

kali ERA, sebagai berikut :

a. Fase inflamasi : Pulsed 20%, intensitas sampai 1,0 W/cm2.

b. Fase proliferasi : Pulsed 20% sampai 50%, intensitas sampai 1,0

W/cm2.

c. Fase remodeling : continuous ultrasound, intensitas sampai 1,5 W/cm2.

Sedangkan kontraindikasi ultrasound therapy adalah :

a. Pada regio cardiac pacemaker.

b. Pada regio di atas pelvic, abdominal atau regio lumbal selama

kehamilan.

c. Pada regio perdarahan aktif atau infeksi.

d. Pada regio tumor/malignancy.

e. Pada regio deep vein thrombosis atau thrombophlebitis.


f. Di atas jantung, stellate cell, atau ganglia cervical.

g. Di atas epiphyseal plate dari pertumbuhan tulang.

9. Ibuprofen Phonophoresis

Istilah Phonophoresis menunjukkan pada penggunaan ultrasound

untuk meningkatkan transmisi obat-obatan melalui kulit. Berdasarkan

sejarah fisioterapi, sebagian besar aplikasi phonophoresis telah digunakan

untuk mengobati kondisi inflamasi muskuloskeletal. Obat steroid anti-

inflamasi (seperti hydrocortisone atau dexamethasone) dicampur kedalam

gel ultrasound atau secara komersial dipersiapkan lotion yang mengandung

obat non-steroid anti-inflamasi seperti methyl salicylate yang digunakan

sebagai coupling medium. Secara teoritis, ultrasound dapat meningkatkan

difusi transdermal dari obat-obatan melalui mekanisme dilatasi titik entry

(seperti folikel rambut, kelenjar keringat), meningkatkan sirkulasi lokal,

meningkatkan energi kinetik antara obat-obatan dan sel-sel lokal, serta

dapat meningkatkan permeabilitas membran sel. Meskipun demikian, saat

ini terdapat bukti penelitian yang menunjukkan efisiensi dan efektifitas

phonophoresis untuk mengobati kondisi inflamasi muskuloskeletal.

Penggunaan phonophoresis dalam fisioterapi telah dipatenkan secara

meluas berdasarkan hasil kedua penelitian tersebut. Pada tahun 1967,

Griffin et al telah mempublikasikan hasil penelitian double-blind yang

membandingkan hydrocortisone phonophoresis dengan ultrasound,

menggunakan parameter yang sama terhadap beberapa pasien dengan

arthritis pada beragam sendi. Griffin et al menemukan bahwa kombinasi

ultrasound dan steroid lebih efektif menurunkan nyeri dibandingkan hanya


ultrasound. Dalam penelitian terdahulu, Kleinhort dan Wood

membandingkan phonophoresis dengan 1% unsur hydrocortisone atau

10% unsur hydrocortisone terhadap pasien dengan kondisi inflmasi

muskuloskeletal yang bervariasi. Beberapa pasien yang diobati dengan

10% hydrocortisone phonophoresis lebih besar menurunkan nyeri

dibandingkan dengan pasien yang diobati menggunakan konsentrasi

hydrocortisone rendah.

Cameron dan Monroe meneliti transmisi relatif dari ultrasound

melalui media yang umumnya digunakan untuk phonophoresis,

menemukan bahwa hydrocortisone yang tercampur dengan gel dan

sebagian besar preparasi salicylate secara efektif dapat memblokade

transmisi gelombang ultrasound. Lidex gel (mengandung corticosteroid

fluocinonide), Theragesic cream (mengandung menthol dan methyl

salicylate), dan betamethasone 0,05% didalam gel ultrasound ditemukan

sebagai transmitter yang baik sehingga memberikan sekitar 80% transmisi

gelombang ultrasound.

Ibuprofen merupakan suatu obat yang dikenal sebagai obat non-

steroidal anti-inflammatory. Secara sederhana, ibuprofen dikenal sebagai

anti-inflammatory, atau kadang-kadang dinamakan sebagai “NSAID”.

Ibuprofen bekerja dengan mencegah produksi beberapa zat kimia didalam

tubuh yang menyebabkan nyeri dan inflamasi. Ibuprofen cream adalah

salah satu obat yang banyak digunakan dan lebih dari cukup untuk

menghambat enzim inflamasi bahkan setelah aplikasi topikal. Efek


samping dari ibuprofen cream adalah dapat menimbulkan iritasi pada kulit

atau rasa gatal di kulit.

Telah dilaporkan bahwa konsentrasi tinggi dari unsur aktif dapat

diperiksa didalam cairan sinovial dalam waktu 14 jam setelah aplikasi

ibuprofen cream terakhir. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh

Dominkus et al membandingkan antara topical ibuprofen dan oral tablet

ibuprofen yang sama. Level obat dapat ditentukan pada jaringan yang

berbeda saat arthroplasty, dan ditemukan bahwa level ibuprofen yang

tinggi ditemukan di dalam plasma, cairan sinovial dan fascia setelah

pemberian oral sedangkan level ibuprofen yang tinggi ditemukan di dalam

otot dan jaringan subcutaneous setelah pemberian topikal.

Dalam penelitian Erkan et al, menjelaskan bahwa penetrasi

ibuprofen ke jaringan yang lebih dalam dapat ditingkatkan oleh

phonophoresis, sehinggan menghasilkan manfaat tambahan dibandingkan

dengan ultrasound konvensional terapeutik.

Phonoporesis adalah teknik dimana ultrasound digunakan untuk

meningkatkan pengiriman obat ke dalam jaringam. Keuntungan dari

phonoporesis yaitu pengobatan diberikan melaui teknik yang aman, tidak

menyakitkan dan tidak invasif seperti halnya dengan ionthoporesis yang

menggunakan energi listrik untuk memberikan pengobatan.

Tidak seperti dengan iontophoresis, phonophoresis mendorong

seluruh molekul kedalam jaringan sebagaimana ion-ion yang saling tolak

menolak. Phonophoresis berbeda dengan iontophoresis, dimana

phonophoresis tidak merusak atau membakar kulit. Begitu pula, potensial


kedalaman penetrasi dengan phonophoresis secara substansial lebih besar

ddibandingkan dengan iontophoresis. Obat-obat yang paling sering

diaplikasikan melalui phonoporesis adalah salah satu obat anti-inflamasi

seperti hydrocortisone, cortisol, salicylates, atau dexamethasone, atau

analgesic seperti lidocaine.

Ketika menerapkan phonoporesis, penting untuk memilih obat yang

tepat dengan kondisi patologi. Semenjak phonoporesis dapat

meningkatkan penetrasi obat maka dapat juga meningkatkan manfaat

klinis serta risiko penerapan obat topikal. Fisioterapis harus

memperhatikan bahwa sebagian besar obat yang digunakan dalam

phonoporesis harus diresepkan oleh dokter

Tabel 2.4
Ultrasound transmission oleh media phonoporesis

PRODUK Transmission Relative Terhadap


Air (%)
MEDIA YANG DITRANSMISIKAN
DENGAN BAIK
Lidex gel, fluocinonide 0,05 % a 97
Thera-Gesic cream, methyl sallicylate 97
15%b
Mineral oilc 97
US gel d 96
US lotione 90
Betamethasone 0.05% in US geld 88
MEDIA YANG DITRANSMISIKAN
DENGAN KURANG BAIK
Diprolene ointment, betamethasone 36
0.05%g
Hydroocortisone (HC) POWDER 1%b in 29
US geld
HC powder 10%b in US geld 7
Cortril ointment, HC 1%I 0
Eucerin creamj 0
HC cream 1%k 0
HC cream 10%k 0
Hc cream 10%k mixed with equal weight 0
US geld
Myoflex cream, trolamine salicylate 10%j 0
Triamicinolone acetonide cream 0.1%k 0
Velva HC CREAM 10%b 0
Velva HC cream 10%b with equal weight 0
US geld
White petrolatumm 0
MEDIA LAINNYA 0
Chempad-Ln 68
Polyethylene wrapo 98
Sumber : William, 2003

D. Tinjauan tentang Mobilization With Movement (MWM)

1. Introduksi Mobilization With Movemen

Mobilisasi dengan gerakan (mobilization with movement, MWM)

merupakan aplikasi mobilisasi asesoris terus-menerus oleh terapis yang

disertai dengan gerakan fisiologis aktif sampai akhir lingkup gerak yang

ada oleh pasien. Overpressure dari bantuan tangan pasien sendiri dapat

diaplikasikan pada akhir lingkup gerak atau peregangan, diberikan tanpa

menimbulkan nyeri. Teknik ini selalu diaplikasikan ke arah bebas nyeri

dan berperan mengoreksi jalur sendi dari posisi yang salah. Brian Mulligan

dari New Zealand adalah orang pertama yang menjelaskan teknik ini.

Teknik MWM terkait dengan daerah sendi perifer spesifik.

Mobilization with movement (MWM) adalah bentuk terapi manual

khusus yang diterapkan pada area yang mengalami keterbatasan gerak

sendi untuk menghilangkan rasa sakit dan gangguan fungsional.

Konsep mobilisasi dengan gerakan oleh Brian Mulligan (MWM)

adalah kelanjutan peningkatan alami pada perkembangan manual terapi

dari latihan peregangan mandiri aktif hingga gerakan fisiologis pasif yang
diaplikasikan terapis hingga teknik mobilization aksesoris bebas nyeri

yang dilakukan berbarengan dengan gerakan fisiologis aktif atau pasif.

Penekanan berlebihan kelingkup gerak akhir pasif atau peregangan

kemudian diaplikasikan tanpa dihalangi nyeri. (Carolyn et al, 2016)

Teknik ini dapat diapliksikan jika :

a. Tidak ada kontraindikasi untuk manual terapi

b. Telah dilakukan pemeriksaan ortopedik penuh, dan hasil evaluasi

mengindikasikan patologi muskuloskeletal lokal.

c. Analisis biomekanik spesifik menunjukkan penurunan gerakan dan/atau

nyeri yang berhubungan dengan fungsi.

d. Tidak ada nyeri yang terjadi selama atau segera setelah aplikasi teknik

Mobilization with movement telah banyak digunakan secara klinis

untuk menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan mobilitas Osteoarthritis

Knee. Namun bukti penelitan mendukung penggunaan teknik mobilisasi

pada intervensi Osteoarthritis tidak cukup.

Mobilisasi dengan Gerakan (MWM) didasarkan pada konsep minor

kesalahan posisi sendi yang terjadi dalam permukaan persendian setelah

cedera atau ketegangan yang terjadi. Perpindahan posisi sendi dan nyeri

diperparah oleh kontraksi otot yang aktif dalam keadaan malposition

(Mulligan, 2011). Dengan demikian, MWM melibatkan gerakan asesoris

pasif sebagai teknik korektif, diterapkan oleh terapis tegak lurus terhadap

bidang sendi untuk memperbaiki kesalahan posisi dikombinasikan dengan

gerakan fisiologis yang dilakukan secara aktif oleh pasien dan

dipertahankan untuk beberapa pengulangan, rasa sakit harus selalu


dikontrol (rasa nyeri berkurang). Rasa nyeri harus diminimalisasi selama

aplikasi dan gerak fungsi yang bebas nyeri harus dipulihkan (Ramya V,

2017)

2. Prinsip dan Aplikasi Mobilization with Movement

a. Tanda-tanda selalu dibandingkan ; terdapat satu atau lebih tanda yang

selalu dibandingkan selama pemeriksaan. Tanda yang dibandingkan

adalah tanda tes positif yang dapat diulangi setelah manuver terapeutik

guna menentukan efektivitas manuver, misalnya tanda tergantikan dapat

mencakup penurunan gerak joint play, penurunan ROM, atau nyeri

akibat gerakan selama aktifitas fngsional spesifik.

b. Teknik Pasif ; Mobilisasi sendi pasif diaplikasikan prinsip yang telah

dijelaskan dalam bagian sebelumnya setelah prinsip kalternborn.

Dengan menggunakan pengetahuan mengenai anatomi dan ekanik

sendi, rasa tegangan jaringan, dan penalaran teknis yang baik, terapis

meneliti bebagai kombinasi glide aksesori pararel atau tegak lurus guna

menemukan arah gerakan dan derajat gerakan aksesori yang bebas

nyeri. Hal ini dapat berupa glide, putaran, distraksi, atau kombinasi

gerak. Gerak asesori ini harus bebas nyeri

c. Glide asesori pada tanda yang dibandigkan secara aktif ; Saat terapis

mempertahankan gaya aksesori bebas nyeri, pasien diminta untuk

melakukan tanda yang dibandingkan. Tanda yang dibandingkan

seharusnya telah meningkat secara signifikan yaitu seharusnya terjadi

peningkatan ROM, dan gerakan seharusnya telah bebas dari nyeri

asalnya.
d. Tidak nyeri ; Terapis harus terus-menerus mengawasi reaksi pasien

untuk memastikan tidak ada nyeri. Kegagalan untuk memperbaiki tanda

terbandingkan akan mengindikasikan bahwa terapis belum menemukan

arah gerakan asesori yang benar, derajat gerakan, atau bahwa teknik

memang tidak diindikasikan.

e. Repetisi ; Gerakan atau aktivitas sebelumnya terbatas atau nyeri

diulangi 6-10 kali oleh pasien sementara terapis melanjutkan untuk

mempertahankan mobilisasi aksesorii yang benar. Pencapaian lebih

lanjut diharapkan dapat terjadi dengan repetisi selama sesi terapi,

terutama ketika penekanan berlebihan pasif bebas nyeri diaplikasikan

untuk mencapai pembebanan lingkup gerak akhir.

f. Penjelasan teknik ; Teknik yang dapat diaplikaskan pada sendi

ekstremitas dijelaskan di dalam buku ini pada bagian terapi untuk

berbagai kondisi.(Carolyn dkk, 2016)

3. Bidang Pengobatan

Terbentuknya konsep Mulligan berdasarkan pada bidang pengobatan

Kaltenborn. Bidang pengobatan Kaltenborn berjalan melalui permukaan

sendi dan terletak pada sudut tegak lurus dengan garis yang berjalan dari

axis rotasi partner tulang konveks terhadap bagian yang terdalam dari

permukaan sendi yang konkaf. Untuk tujuan praktis, dapat ditentukan

dengan cepat bidang pengobatan dengan cara membayangkan bahwa

bidang pengobatan terletak pada permukaan sendi yang konkaf

(Kaltenborn, 2003).
Bidang pengobatan Kaltenborn tetap mengacu pada permukaan sendi

konkaf tanpa memperhatikan apakah partner sendi yang bergerak adalah

konveks atau konkaf. Dalam bidang pengobatan Kaltenborn selalu

melakukan tes joint play (JPM) atau memobilisasi suatu sendi dengan

menggerakkan tulang secara paralel terhadap tulang partnernya atau tegak

lurus dengan axis rotasi dari tulang partnernya (Kaltenborn, 2003).

a. b.

Gambar 2.8
Bidang pengobatan Kaltenborn terletak pada permukaan konkaf
a. Arah tarikan permukaan konkaf terhadap konveks
b. Arah tarikan permukaan konveks terhadap
konkaf Sumber : Kaltenborn (2003)

4. Teknik mobilization with movement

Mobilization with movement harus selalu dilakukan jika terdapat

gangguan gerakan yang jelas bukan akibat trauma serius. Terdapat 2 teknik

mobilization with movement yaitu medial glide dan dorsal glide (Brian R,

2010).

a. Medial Glide

Medial glide merupakan salah satu teknik mobilization with

movement yang mengaplikasikan gerak asesoris glide tibia bagian

proksimal kearah medial disertai dengan gerak fisiologis fleksi knee


secara aktif oleh pasien. Medial glide diperuntukkan pada kondisi yang

menimbulkan nyeri sisi medial knee.

Teknik medial glide dilakukan dalam posisi tidur terlentang atau

tengkurap, dengan bantuan belt mulligan atau tanpa belt mulligan. Pada

kondisi osteoarthritis knee, teknik medial glide berperan mengoreksi

posisi tibia yang cenderung genu varus sehingga ruang sisi medial knee

mengalami kompresi secara terus menerus. Dengan teknik medial glide

maka dapat mengurangi beban kompresi pada ruang sisi medial knee

(Brian R, 2010).

b. Dorsal glide

Dorsal glide juga sebagai salah satu teknik mobilization with

movement yang mengaplikasikan gerak asesoris glide tibia bagian

proksimal kearah dorsal disertai dengan gerak fisiologis fleksi knee

secara aktif oleh pasien. Teknik dorsal glide digunakan untuk

menambah ROM fleksi knee dan memperbaiki gerak asesoris glide tibia

saat fleksi knee.

Teknik dorsal glide dilakukan dalam posisi tidur terlentang atau

tengkurap, dengan bantuan belt mulligan atau tanpa belt mulligan.

Osteoarthritis knee joint umumnya menimbulkan keterbatasan gerak

fleksi knee yang menyebabkan gerak asesoris glide tibia kearah dorsal

mengalami hambatan. Dengan teknik dorsal glide, maka terjadi

perbaikan gerak asesoris dorsal glide saat fleksi knee sehingga secara

progresif dapat menambah ROM fleksi knee.

5. Efek Terapeutik
Efek terapeutik yang dihasilkan adalah efek mekanikal dan efek

neurofisiologi.

Pada umumnya efek mekanikal yang dihasilkan oleh teknik

mobilisasi adalah sebagai berikut :

a. Gerakan sendi dapat merangsang aktivitas biologis oleh adanya gerakan

cairan sinovial yang membawa nutrisi-nutrisi ke cartilago yang

avaskular didalam permukaan sendi dan ke jaringan fibrocartilago

intra-articular (meniskus).

b. Gerakan sendi dapat memelihara ekstensibilitas dan kekuatan regangan

dari jaringan sendi dan periartikular.

Dengan efek mekanikal tersebut maka teknik mobilisasi digunakan

untuk mengobati kekakuan sendi (stiffness) atau hipomobilitas sendi,

dimana dapat menghasilkan peningkatan mobilitas kapsul-ligamentair dan

deformasi plastic serta menghasilkan stretching pada jaringan lunak yang

memendek (Mulligan, 2001). Secara khusus, teknik mobilisasi Mulligan

bertujuan untuk mengoreksi kegagalan positional dari facet joint akibat

adanya minor sprain/strain (Exelby, 2002).

Sedangkan efek neurofisiologi berkaitan dengan mekanoreseptor dan

receptor nyeri didalam sendi. Aktivasi impuls saraf afferent dari receptor

sendi merupakan respon terhadap gerakan sendi yang akan ditransmisikan

informasi tersebut ke sistem saraf pusat, dan oleh karena itu akan

memberikan kesadaran posisi sendi dan gerak sendi.

Efek neurofisiologi tersebut digunakan dalam teknik mobilisasi

untuk menurunkan nyeri. Penurunan nyeri terjadi melalui neuromodulasi


pada innervasi sensorik mekanoreseptor sendi sehingga pintu gerbang

nyeri tertutup oleh inhibisi transmisi stimulus nosiseptive pada spinal cord

dan level batang otak (Mulligan, 2001). Mekanoreseptor sendi yang

teraktivasi oleh teknik mobilisasi oscillasi adalah tipe I, II dan III.

6. Indikasi dan Kontraindikasi

Semua kondisi muskuloskeletal yang menimbulkan nyeri dan

keterbatasan gerak pada sendi merupakan indikasi dari teknik Mulligan.

Yang bukan menjadi indikasi dari teknik Mulligan adalah hipermobile,

fraktur, ruptur kapsul-ligamen, infeksi arthritis, penyakit metabolik tulang,

ankylosis atau penyatuan tulang (fusion), neoplasma pada tulang,

osteomyelitis, adanya malignancy pada area pengobatan (Mulligan, 2001).


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Osteoarthritis Knee joint adalah penyakit degenerasi sendi yang

menyebabkan kerusakan cartilago pada knee joint. Kerusakan cartilago sendi

berhubungan erat dengan akumulasi mikro fraktur didalam tulang subcondral,

menurunnya kandungan proteoglycan didalam cartilago sendi dan gerakan

abnormal pada sendi.

Pada kondisi osteoarthritis knee, serpihan-serpihan kartilago yang

rusak/pecah tersebut akan terambang bebas didalam sendi, dan dampaknya

diantara permukaan sendi adalah terjadi penguncian, peradangan, dan iritasi

sinovial. Kapsul sendi dan ligamen akan mengalami degenerasi fibrous dan

pemendekan adaptif jika terjadi perkembangan penyakit. Hal ini yang

menyebabkan timbulnya nyeri dan keterbatasan gerak pada knee joint. Problem

nyeri dan keterbatasan gerak merupakan sumber terjadinya gangguan fungsional

pada knee.

Intervensi Ultrasound pada kasus osteoarthritis knee ditujukan pada

kapsul-ligamen disekitar sendi sehingga diharapkan terjadi peningkatan

elastisitas jaringan. Peningkatan elastisitas jaringan dapat memudahkan aplikasi

mobilization with movement dalam memperbaiki mobilitas dan fungsional knee

joint, yang akhirnya terjadi perbaikan fungsional berjalan.

Sedangkan pemberian Ibuprofen Phonophoresis pada kasus osteoarthritis

knee adalah mengirimkan obat analgetik anti-inflammatory ke jaringan kapsul-

64
65

ligamen melalui ultrasound sehingga dengan mudah diabsorbsi kandungan obat

tersebut. Hal ini akan menimbulkan efek penurunan nyeri, sehingga

memudahkan aplikasi mobilization with movement dalam memperbaiki mobilitas

dan fungsional knee joint, serta akhirnya memperbaiki fungsional berjalan.

Bentuk kaki yang abnormal


Usia Berat badan

Osteoarthritis (OA)

Penurunan fungsional knee


Ibuprofen phonoporesis dan MWM Ultrasound dan MWM

Perbaikan fungsional knee


Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Keterangan:
: yang tidak di teliti

: yang di teliti

B. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah : “Ada perbedaan pengaruh ibuprofen

phonophoresis dan mobilization with movement tibiofemoral joint dengan

ultrasound dan mobilization with movement tibiofemoral joint terhadap

perbaikan fungsional knee pada penderita osteoarthritis knee”.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beda pengaruh antara

ibuprofen phonophoresi dan mobilisasi with movement tibio femoral joint

dengan ulrasound dan mobilisasi with movement tibio femoral joint terhadap

perbaikan fungsional knee pada penderita osteoarthritis knee sehingga

berdasarkan tujuan tersebut maka jenis penelitian ini adalah penelitian

eksperimen dengan randomized pre test – post test control group design.

P1
O1 O2

S R
P2
O3 O4

Gambar 4.1
Desain penelitian two group pre test – post test control design

Keterangan :

S = Sampel

R = Random alokasi

O1 = Pre test KOOS (kelompok kontrol)

O2 = Post test KOOS (kelompok kontrol)

P1 = Intervensi Ultrasound dan Mobilization with Movement (kelompok

kontrol)

66
67

O3 = Post test KOOS (kelompok perlakuan )

O2 = Post test KOOS (kelompok perlakuan)

P2 = Intervensi Ibuprofen Phonophoresis dan Mobilization With

Movement (kelompok perlakuan)

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSAD. Tk. II Pelamonia

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Mei – Juni 2018.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi

Populasi penelitian adalah semua penderita osteoarthritis yang

datang berkunjung di Poliklinik Fisioterapi RSAD. Tk. II Pelamonia.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian adalah penderita osteoarthritis knee

berdasarkan pada kriteria inklusi dalam pengambilan sampel. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.

3. Kriteria inklusi dan eksklusi

a. Kriteria inklusi

1) Penderita osteoarthritis knee berdasarkan algorhitma hasil

pemeriksaan fisioterapi.

2) Penderita yang berusia > 40 tahun.

3) Hasil pemeriksaan radiologi menunjukkan penderita osteoarthritis

knee grade 2 dan 3


4) Bersedia menjadi responden dan bersedia menjalani terapi sebanyak

6 kali terapi.

b. Kriteria eksklusi

1) Penderita osteoarthritis knee yang memiliki IMT dalam kategori

overweight

2) Penderita osteoarthritis knee yang memiliki riwayat alergi kulit

4. Besar sampel

Besar sampel di tentukan berdasarkan rumus federer (Supranto J,

2000). Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus federer

di peroleh jumlah sampel sebanyak 12 orang. Jumlah sampel tersebut

dirandom alokasi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok control sebanyak 6

orang dan kelompok perlakuan sebanyak 6 orang.

Dengan demikian dapat di hitung besaran sampel sebagai berikut

dengan rumus: (t-1) (r-1) > 15, dimana : t = banyaknya kelompok

perlakuan

(t-1) (r-1) ≥ 15

(2-1) (r-1) ≥ 15

1 (r-1) ≥ 15

(r-1) ≥ 15/1 = 15

r = 1/(1-0,2) x 15 = 1/(0,8) x 15 = 12

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


1. Identifikasi Variabel

a. Variabel bebas :
1) Ibuprofen Phonoporesis dan Mobilization With Movement

2) Ultrasound dan Mobilization With Movement

b. Variabel terikat :

1) Fungsional knee

2) Osteoarthritis knee

2. Definisi Operasional

a. Ibuprofen phonoporesis dan Mobilization With Movement

1) Ibuprofen Phonophoresis adalah memasukkan Ibuproven cream yang

dicampur dengan gel ultrasound melalui modalitas ultrasound. Dosis

terapi yang digunakan adalah frekuensi 1 MHz, pulse ratio 50% -

100%, intensitas 1 W/cm2, ERA tranducer 5 cm, waktu 10 menit,

jumlah intervensi sebanyak 6 kali.

2) Mobilization with Movement

Mobilization with movement (MWM) adalah aplikasi gerak asesoris

glide kearah medial dan dorsal pada tibia proksimal disertai dengan

gerak aktif fleksi knee dari pasien. Dosis yang digunakan adalah

repetisi gerak aktif fleksi sebanyak 8 – 10 kali dengan 2 set, jumlah

intervensi sebanyak 6 kali.

b. Ultrasound dan Mobilization with Movement

1) Ultrasound

Ultrasound adalah modalitas fisioterapi yang menghasilkan energi

akustik pada jaringan kapsul-ligamen, sehingga terjadi efek thermal

yang terlokalisir pada kapsul-ligamen. Efek thermal pada kapsul-


ligamen dalam waktu di atas 5 menit dapat menyebabkan

peningkatan elastisitas jairngan. Dosis terapi yang digunakan adalah

frekuensi 1 MHz, pulse ratio 50% - 100%, intensitas 1 W/cm2, ERA

tranducer 5 cm, waktu 10 menit, jumlah intervensi sebanyak 6 kali

2) Mobilization with Movement

Mobilization with movement (MWM) adalah aplikasi gerak asesoris

glide kearah medial dan dorsal pada tibia proksimal disertai dengan

gerak aktif fleksi knee dari pasien. Dosis yang digunakan adalah

repetisi gerak aktif fleksi sebanyak 8 – 10 kali dengan 2 set, jumlah

intervensi sebanyak 6 kali.

c. Fungsional knee adalah pengukuran fungsional yang menggunakan

skala KOOS. Kriteria penilaian KOOS adalah :

1) Mendekati 0% adalah disabilitas

2) Mendekati 100% adalah normal

d. Osteoarthritis knee adalah keluhan nyeri lutut dan rasa kaku sendi lutut

saat bangun pagi, saat ambulasi (duduk ke berdiri), saat berjalan, dan

saat menaiki – menuruni tangga.

E. Instrumen Penelitian

1. Blanko penilaian skala KOOS

2. Timbangan berat badan

3. Belt Mulligan
F. Prosedur Penelitian

Pada tahap awal, peneliti menyeleksi populasi yang berkunjung di

Poliklinik Fisioterapi RSAD. Tk. II Pelamonia. Berdasarkan kriteria inklusi

maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 12 orang. Jumlah sampel yang

didapatkan kemudian diminta untuk bersedia menjadi responden dengan

menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden.

Pada tahap pelaksanaan, setiap sampel diukur kemampuan fungsional

knee dengan skala KOOS sebagai data pre test. Kemudian diberikan

perlakuan yang sama pada setiap sampel dalam kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan sebanyak 6 orang diberikan

intervensi Ibuprofen Phonoporesis dan Mobilization With Movement,

sedangkan kelompok kontrol sebanyak 6 orang diberikan intervensi

Ultrasound dan Mobilization With Movement. Setelah itu, pada akhir

penelitian diukur kembali kemampuan fungsional knee dengan skala KOOS

sebagai data post test.

Data pre test dan post test pada kelompok akan dianalisis untuk

melihat apakah ada beda pengaruh. Hasil penelitian akan disajikan dalam

bentuk tabel dan narasi, serta dikaji dalam pembahasan, kemudian dibuat

kesimpulan dan saran


Populasi

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Sampel n = 12

Random Alokasi

Kelompok perlakuan Kelompok Kontrol

Pre Pre test : KOOS


test :
KOOS

Ibuprofen Ultrasound dan MWM


phonoporesis
dan MWM
Pos test : KOOS Pos test : KOOS

Analisis Data

Penyajian data dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran


Gambar 4.2 Prosedur Penelitian
G. Prosedur Kerja

1. Pre test

Pre test dilakukan sebelum diberikan intervensi pada kelompok perlakuan

dan sebelum diberikan intervensi pada kelompok kontrol. Pre test yang

dilakukan adalah pengukuran KOOS , dengan prosedur tes adalah sebagai

berikut:

a. Alat yang digunakan : Lembar kuesioner KOOS


b. Prosedur pelaksanaan :

1) Jelaskan ke pasien bahwa tes ini adalah mengukur kemampuan

fungsional knee

2) Pasien mencentang pertanyaan kuesioner sesuai apa yang dialami

pasien

c. Evaluasi : Kriteria penilaian KOOS adalah

Mendekati 0% adalah disabilitas

Mendekati 100% adalah normal

2. Prosedur Pelaksanaan Intervensi

a. Ibuprofen Phonophoresis

1) Persiapan Alat

a) Siapkan Ibuprofen cream dan gel ultrasound sebagai media

penghantar, tidak ada kerusakan pada kabel-kabel yang terpasang.

b) Alat ultrasound tidak bisa dijangkau oleh pasien

2) Persiapan pasien

a) Fisioterapis menjelaskan kepada pasien mengenai prosedur dan

tujuan dari pemberian ibuprofen phonophoresis

b) Pasien dalam posisi tidur terlentang

c) Daerah yang akan diterapi bebas dari pakaian

3) Teknik aplikasi

a) Oleskan gel ultrasound pada sisi medial knee yang mengalami

nyeri.

b) Campurkan ibuprofen cream pada gel ultrasound.


c) Ultrasound dihidupkan dan transduser diletakkan di atas sisi

medial knee.

d) Tranduser digerakkan secara perlahan dalam gerakan horizontal

di atas sisi medial knee.

e) Dosis terapi adalah : frekuensi 1 MHz, pulse ratio 50% - 100%,

intensitas 1 w/cm2, ERA tranducer 5 cm, waktu 10 menit, jumlah

intervensi sebanyak 6 kali

b. Ultrasound

1) Persiapan Alat

a) Siapkan gel Ultrasound sebagai media penghantar, tidak ada

kerusakan pada kabel-kabel yang terpasang.

b) Alat ultrasound tidak bisa dijangkau oleh pasien

2) Persiapan pasien

a) Fisioterapis menjelaskan kepada pasien mengenai prosedur dan

tujuan dari pemberian ultrasound

b) Pasien dalam posisi tidur terlentang

c) Daerah yang akan diterapi bebas dari pakaian

3) Teknik aplikasi

a) Oleskan gel ultrasound pada sisi medial knee yang mengalami

nyeri

b) Ultrasound dihidupkan dan transduser diletakkan di atas sisi

medial knee
c) Tranduser digerakkan secara perlahan dalam gerakan horizontal

di atas sisi medial knee.

d) Dosis terapi adalah : frekuensi 1 MHz, pulse ratio 50% - 100%,

intensitas 1 w/cm2, ERA tranducer 5 cm, waktu 10 menit, jumlah

intervensi sebanyak 6 kali

c. Mobilization With Movement

1) Medial Glide

Gambar 4.2 Medial Glide

a) Persiapan pasien

(1) Pasien dalam posisi tengkurap.

(2) Knee diposisikan pada awal keterbatasannya

b) Persiapan fisioterapis dan peletakan tangan/belt :

a. Fisioterapis berdiri kontralateral dari sisi tungkai yang diterapi

b. Pasang belt di ujung proksimal tibia pasien dan dibawah bokong

fisioterapis.
c. Satu tangan fisioterapis sebagai stabilisasi pada sisi medial knee

pasien dan satu tangan fisioterapis pada distal tibia pasien

c) Teknik Pelaksanaan

(1) Fisioterapis menarik belt kearah medial melalui bokongnya

sementara satu tangan fisioterapis menstabilisasi knee joint

pasien.

(2) Kemudian, pasien diminta untuk menggerakkan knee kearah

fleksi sementara tangan fisioterapis dapat memberikan

overpressure pada akhir gerakan

2) Dorsal Glide

Gambar 4.3 Dorsal Glide

a) Persiapan pasien

(1) Pasien dalam posisi terlentang .

(2) Knee diposisikan pada awal keterbatasannya

b) Persiapan fisioterapis dan peletakan tangan/belt :

(1) Fisioterapis berdiri di samping tungkai pasien.


(2) Pasang belt di ujung distal tibia – ankle pasien dan di tangan

pasien.

(3) Satu tangan fisioterapis sebagai di tuberositas tibia dan satu

tangan fisioterapis pada distal tibia pasien

c) Teknik Pelaksanaan

(1) Tangan fisioterapis mendorong tuberositas tibia kearah dorsal

sementara tangan pasien menarik belt kearah fleksi.

(2) Pada saat tangan pasien menarik belt kearah fleksi maka tangan

fisioterapis dapat memberikan overpressure pada akhir gerakan.

3. Post test

Post test dilakukan setelah diberikan intervensi pada kelompok perlakuan

dan setelah diberikan intervensi pada kelompok kontrol. Post test yang

dilakukan adalah pengukuran KOOS , dengan prosedur tes adalah sebagai

berikut:

a. Alat yang digunakan : Lembar kuesioner KOOS

b. Prosedur pelaksanaan :

1) Jelaskan ke pasien bahwa tes ini adalah mengukur kemampuan

fungsional knee

2) Pasien mencentang pertanyaan kuesioner sesuai apa yang dialami

pasien

c. Evaluasi : Kriteria penilaian KOOS adalah

Mendekati 0% adalah disabilitas

Mendekati 100% adalah normal


H. Analisa Data

Dalam menganalisis data penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti

menggunakan beberapa uji statistic sebagai berikut :

1. Uji statistik deskriptif, untuk memaparkan karakteristik sampel

berdasarkan usia dan jenis kelamin.

2. Uji normalitas data, menggunakan uji Shapiro Wilk untuk mengetahui data

berdistribusi normal (p>0,05) atau tidak berdistribusi normal (p<0,05).

3. Uji analisis komparatif (ujihipotesis), jika hasil uji normalitas data

menunjukkan data berdistribusi normal sehingga digunakan uji statistic

parametrik yaitu uji paired t sample dan uji independent t sample. Jika

hasil uji normalitas data tidak berdistribusi normal maka digunakan uji

statistik non-parametrik yaitu uji Wilcoxon dan uji Mann-Whitney.


DAFTAR PUSTAKA

Brian R Mulligan. 2010. Manual Therapy NAGS, SNAGS, MWMS etc. Sixth Edition. New
Zealand : FNZSP (Hon), Dip MT

Carol, A.O. 2009. Kinesiology : The Mechanics and Pathomechanics of Human Movement.
Second Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins

Carolyn Kisner, Lynn Allen Colby. 2016. Terapi Latihan Dasar dan Teknik. Vol 1 Edisi 6.
EGC.Jakarta

David, Z. 2014. Osteoarthritis of the Knee (Degenerative Arthritis of the Knee). WebMD
Medical Reference.

Erkan Kozanoglu, Sibel Basaran, Rengin Guzel, Fusun Guler-Uysal.2003. Short term
Efficacy Of Ibuprofen Phonophoresis Versus Continous Ultrasound Therapy In Knee
Osteoarthritis. Departemet Of Physical Medicine and Rehabilitation Faculty Of
Medicine, Cukurova University, Adana, Turkey;133:333- 338

Fiona Dobson, Kim L. Bennell Rana S. Hinman, J Haxby Abbott, Ewa M. Roos. 2012.
Recommended Performance- Based Tests to Assess Physical Function in People
Diagnosed with Hip or Knee Osteoarthtritis. Center For Health Exercise and Sports
Medicine Departement of Physiotherapy University of Melbourne, Australia

F Tascioglu, S Kuzgun, O Armagan And G Ogutler. 2010. Short-term Effectiveness Of


Ultrasound Therapy In Knee Osteoarthritis. Journal Of Internasional Medical
Research: Vol. 38; 1233-1242.

Hall, S.J. 2003. Basic Biomechanic. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Company

Hamilton, N., Hettgens, K. 2002. Kinesiology Scientific Basis of Human Motion. Tenth
Edition. New York: McGraw-Hill Company.

Levangie, P.K., Norkin, C.C. 2005. Joint Structure and Function : A Comprehensive
Analysis. Fourth Edition. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Margareta, N., Victor, H.F. 2009. Basic Biomechanic Of The Skeletal System. Philadelphia:
Lea and Febiger.

Muraki et al, 2013). Muraki, S., Tanaka, S., Yoshimura, N. 2013. Epidemiology of knee
osteoarthritis. Journal of Sports Medicine: Vol. 21; page 1 – 6.
Petersson I. F., Boegard T., Saxne T., Silman A. J., Scensson B., 2014. Radiographic
osteoarthritis of the knee classified by the Ahlback and Kellgren & Lawrence system
for the tibiofemoral joint in people aged 35 54 years with chronic knee pain. Annals
of the Rheumatic Diseases; 56:493–496. Dipublikkan oleh group.bmj.com

Ramya V. Rao, Ganesh Baltillaya, Anupamu Prabu, -- Asha Kamath . 2017. Immediate Effect
Of Maitland Mobilization Versus Mulligan Mobilization With Movement
In

79
Osteoarthritis Knee – A Randomized Crossover Trial. Journal Bodywork & Movement
Therapies(2017).

Steven. 2008. Hubungan Derajat Spastisitas Maksimal Berdasarkan Modified Ashworth


Scale Dengan Gangguan Fungsi Berjalan Pada Penderita Stroke Iskemik. Tesis.
Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Stuart, B.P. 2003. Tyd’s Physiotherapy. Thirteenth Edition. Edinburgh: Butterworth


Heinemann.
Susan L, James W Bellew, Thomas P. Nolan JR. 2012. Modalities For Therapeutic
Intervention. Fifth Edition. United States of America: F.A. Davis Company
Wanwade Luksurapan, MD, Jariya Boonhong, MD. 2013. Effects Of Phonophoresis Of
Piroxicam and Ultrasound On Symptomatic Knee Ostaoarthritis. Archives Of
Physical Medicine and Rehabilitation 2013; 94 : 250 – 5

William, E.P. 2003. Therapeutic Modalaties For Sport Medicine and Athletic Training. Fifth
Edition. New York: Mc Graw Hill.

79

Anda mungkin juga menyukai