Anda di halaman 1dari 75

USULAN

PENELITIAN PENDANAAN INTERNAL

SKIM PENELITIAN KOMPETITIF I

Disusun Oleh:

Ns. Teguh Purwanto,S.Kep., M.Kep.,Sp.Kep.MB (28963410021)

UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA

SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb,

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun usulan
penelitian pendanaan internal ini dengan judul “ Perbedaan Efektifitas Jalan Kaki
dan Latihan Isometrik Kuadrisep Terhadap Nyeri dan Rentang Gerak Sendi Lutut
Pada Pasien Osteoartritis Lutut”.

Pada pembuatan usulan penelitian pendanaan internal ini, penulis banyak


menghadapi kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan berbagai pihak, maka
kami dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Oleh karena itu, atas selesainya
proposal penelitian ini tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-
banyaknya pada yang terhormat:

1. Bapak Setiyawan, S.Kep.,Ns., M.Kep selaku Rektor Universitas Kusuma


Husada Surakarta.
2. Ibu Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Kusuma Husada Surakarta.
3. Ibu Febriana Sartika Sari, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Kepala Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Kusuma Husada Surakarta.
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu
Semoga amal baik yang telah dilakukan mendapat imbalan yang sebaik baiknya
dari Allah SWT.

Surakarta, Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... v
DAFTAR TABEL............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii
RINGKASAN................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian........................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 8
E. Luaran Penelitian........................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka ............................................................................. 10
B. Kerangka Teori.............................................................................. 32
C. Kerangka Konsep........................................................................... 33
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................... 34
B. Populasi dan Sampel Penelitian..................................................... 34
C. Tempat dan Waktu Penelitian........................................................ 36
D. Variabel Penelitian......................................................................... 37
E. Definisi Operasional....................................................................... 37
F. Alat Ukur dan Cara Pengumpulan Data......................................... 40
G. Pengelolaan Data dan Analisis Data.............................................. 44
E. Etika Penelitian.............................................................................. 44
I. Keabsahan.......................................................................................
BAB IV BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
A. Anggaran Biaya ........................................................................... 45
B. Jadwal Kegiatan............................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Luaran Penelitian ............................................................................. 30


Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................ 37
Tabel 4.1 Anggaran Biaya .............................................................................. 46
Tabel 4.2 Jadwal Kegiatan................................................................................ 46

.......................................................................................................................... 47
DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Kerangka Teori .............................................................................. 32


Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .......................................................... 33
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Visual Analog Scale (VAS).......................................................... 23


Gambar 2.2 Verbal Descriptive Scale ............................................................. 23
Gambar 2.3 Numerical Rating Scale (NRS) .................................................... 23
Gambar 2.4 Pengukuran rentang gerak sendi lutut menggunakan goniometer 25
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Penelitian


Lampiran 2 Surat Persetujuan Bersedia Sebagai Responden Penelitian
Lampiran 3 Kuesioner Pengumpulan Data
Lampiran 4 Skala Pengukuran Nyeri Menggunakan VAS
Lampiran 5 Panduan Pengukuran Skala Nyeri Menggunakan VAS
Lampiran 6 Panduan latihan jalan kaki
Lampiran 7 Panduan Pengukuran Rentang Gerak Sendi Lutut Menggunakan Goniometer
Lampiran 8 Panduan Latihan Isometrik kuadrisep
Lampiran 9 Keterangan Lolos Kaji Etik FIK UI
Lampiran 10 Permohonan Ijin Penelitian kepada Direktur RSUD Mardi Waluyo Kota
Blitar
Lampiran 11 Surat Keterangan selesai penelitian dari RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar

Ringkasan

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai sendi bersifat kronis
dan progresif, berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi serta penyebab utama kecacatan.
Nyeri merupakan gejala utama pasien dengan OA, dan berdampak terhadap gangguan
fungsional serta kualitas hidup yang menurun. Pasien OA lutut disamping mendapatkan
pengobatan, juga perlu melakukan latihan untuk mengurangi keluhan. Hasil studi
pendahuluan di Poliklinik Orthopedi RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadi
menunjukkan data kunjungan pasien OA lutut dalam 6 bulan terakhir sebanyak 584 pasien
atau sekitar 35 % dari total kunjungan. Pasien OA lutut datang berkunjung dengan keluhan
utama yaitu nyeri dan kekakuan pada lutut. Latihan isometrik merupakan latihan penguatan
otot kuadrisep sudah menjadi gold standart terapi latihan pada pasien OA. Hasil
wawancara di RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadipada 6 pasien Osteoartritis lutut
yang sudah melakukan latihan isometrik antara 2-3 minggu, 2 pasien mengatakan nyerinya
sangat berkurang, sedangkan 4 pasien mengatakan nyerinya tidak banyak berkurang.
Beberapa pasien mengatakan bahwa latihan tersebut tidak mudah untuk dilakukan sehingga
jarang di praktekkan, kadang ketika akan memulai aktifitas latihan setelah bangun tidur
nyerinya bertambah sehingga latihan tidak dilakukan. latihan isometrik kuadrisep dan
Jalan kaki bisa menjadi alternatif latihan pada pasien OA lutut. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi perbedaan efektifitas jalan kaki dan latihan isometrik kuadrisep
terhadap nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien dengan osteoartritis lutut. Desain
penelitian ini menggunakan quasi-experimental design dengan pendekatan rancangan non
equivalent control group before–after design. Jumlah sampel dalam penelitian ini terdiri
dari 17 responden kelompok intervensi I dan 17 respoden kelompok intervensi II. Teknik
pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling.

Kata kunci: Latihan Jalan Kaki, Latihan Isometrik Kuadrisep, Nyeri, Rentang Gerak Sendi,
Osteoartritis lutut
1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai sendi


bersifat kronis serta progresif, berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi (Setiati
et al., 2014; Black & Hawk, 2014). OA juga bisa mengalami peradangan akibat
erosi progresif pada pembungkus sendi sehingga terjadi penekanan pada ujung saraf
dan menyebabkan nyeri (Goncharov & Priorov, 2011). OA merupakan bentuk
arthritis yang paling umum yang sering mengenai sendi lutut dan penyebab utama
kecacatan pada orang dewasa (Litwic et al., 2013; Johnson et al., 2014).
Osteoartritis merupakan penyebab utama kecacatan yang mempengaruhi
sekitar 10% penduduk dunia barat, dan meningkat secara signifikan seiring dengan
bertambahnya usia. Sekitar 50% penduduk berusia di atas 65 tahun yang
mengalami keluhan musculoskeletal mayoritas karena osteoartritis (Sambrook et
al., 2015). Prevalensi osteoartritis di Amerika Serikat berdasarkan data dari Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2017, prevalensi radang sendi
yang didiagnosis dokter diperkirakan meningkat dalam beberapa dekade
mendatang. Tahun 2040, sekitar 78,4 Juta orang dewasa yang berusia lebih dari 18
tahun akan menderita radang sendi, di bandingkan dengan 54,4 juta orang dewasa
pada tahun 2013-2015. Dua pertiga dari mereka adalah wanita.
Di Indonesia, osteoartritis merupakan penyakit radang sendi yang paling
banyak ditemukan pada golongan usia lanjut. Seiring meningkatnya usia harapan
hidup, menurut WHO pada tahun 2025 populasi usia lanjut di Indonesia
diperkirakan meningkat sebesar 41,4% dibanding tahun 1990. Prevalensi OA lutut
radiologis mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berusia 40-60
tahun (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014). Menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas, 2013), prevalensi penyakit sendi di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 11,9% dan berdasarkan diagnosis atau gejala
sebesar 24,7%. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
di Jawa Barat (32,1%), Bali (30%), dan di Jawa Timur sebesar 26,9%. Prevalensi
tertinggi terjadi pada usia > 75 tahun ( 54,8%). Prevalensi berdasarkan jenis
1
2

kelamin yaitu perempuan (13,4%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (10,3%),


demikian juga yang didiagonosis tenaga kesehatan atau gejala pada perempuan
(27,5%) lebih tinggi dari laki-laki.

Osteoartritis lutut memiliki gejala klinis yang khas yaitu nyeri, kekakuan
pada sendi, terutama setelah aktivitas berkepanjangan, keterbatasan rentang gerak
sendi dan ketidakstabilan sendi (Firestein et al., 2013;Yadav & Attrey, 2017). Nyeri
merupakan gejala utama pasien dengan OA (Perrot S, 2015). Terjadinya nyeri pada
OA disebabkan karena ada rangsangan nosiseptor oleh mediator inflamasi seperti
serotonin, bradikinin, calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan substance P
(SP), yang dilepaskan saat terjadinya kerusakan jaringan (Enohumah et al., 2008).
Nyeri yang terjadi pada OA lutut berhubungan dengan menurunnya kekuatan otot
kuadrisep. Periode inaktivitas pada waktu yang lama karena nyeri sendi
menyebabkan disuse atrophy dan kekuatan otot berkurang 3% dalam 1 minggu
(Roos et al., 2011). Hasil penelitian Muraki et al. (2017) bahwa kekuatan otot
kuadrisep berhubungan secara signifikan dengan nyeri pada pasien dengan
osteoartritis lutut. Nyeri kaki bilateral dan ipsilateral dapat mempengaruhi status
dan fungsi kesehatan pada OA lutut (Paterson et al., 2015).

Dampak OA lutut dapat menyebabkan gangguan fungsional yaitu


gangguan kemampuan dalam melakukan aktivitas (Davison et al., 2016).
Ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas disebabkan karena nyeri dan
kekakuan pada sendi lutut. Keterbatasan fungsi yang melibatkan pergerakan sendi
lutut berdampak juga terhadap penurunan status kesehatan serta kualitas hidup yang
menurun. Hasil penelitian Olagbegi et al. (2016) pada 94 pasien dengan OA lutut di
Departemen fisioterapi Federal Medical Centre di Owo Nigeria menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara nyeri dan fungsi fisik dengan kualitas hidup pasien
osteoarthritis lutut. Nyeri lutut pada pasien dengan OA memiliki kualitas hidup
yang lebih rendah pada aspek mobilitas, self care, aktivitas biasa, kenyamanan,
psikologis (kecemasan) dibandingkan dengan pasien yang mengalami nyeri lutut
tapi bukan OA (Kiadaliri et al., 2016).

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA) merekomendasikan


penatalaksanaan OA dengan menggunakan kombinasi terapi farmakologi dan
3

nonfarmakologi. Penatalaksanaan OA terutama ditujukan untuk mengendalikan


atau menghilangkan nyeri, memperbaiki gerak dan fungsi sendi serta meningkatkan
kualitas hidup. Namun hingga saat ini belum ada terapi yang bisa menyembuhkan
OA. Terapi non farmakologis yang direkomendasikan IRA adalah edukasi, program
penatalaksanaan mandiri (melalui modifikasi gaya hidup), program penurunan berat
badan, program latihan aerobik, terapi fisik yaitu latihan untuk memperbaiki
rentang gerak sendi, penguatan otot-otot kuadrisep dan alat bantu gerak sendi,
terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi, penggunaan splint dan
alat bantu gerak sendi untuk aktifitas sehari-hari (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014).

Latihan penguatan (strengthening exercise) dibagi menjadi tiga jenis


latihan utama yaitu isometrik/static contraction, isotonik/dynamic contraction dan
isokinetik. Latihan isometrik merupakan latihan kontraksi otot di mana panjang otot
tetap konstan sementara ketegangan otot bertambah. Kontraksi isometrik dapat
membantu meningkatkan kekuatan otot serta stabilitas sendi yang penting untuk
arthrokinematika sendi. Selama rehabilitasi, sering direkomendasikan agar otot
berkontraksi secara isometrik selama 10 detik pada frekuensi 10 atau lebih
kontraksi. Latihan isometrik juga dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam
program penguatan otot (Hoogenboom et al., 2014).

Latihan isometrik merupakan program latihan fisik untuk penguatan pada


otot kuadrisep. Hasil beberapa penelitian tentang latihan isometrik menunjukkan
bahwa latihan tersebut dapat mengurangi nyeri pada pasien osteoartritis lutut
(Bokaeian et al., 2017). Hasil Penelitian yang dilakukan Akodu et al. (2017)
menunjukkan bahwa latihan isometrik dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan
range of motion (ROM) pada pasien osteoartritis lutut. Hasil evaluasi penurunan
rerata skor nyeri pada minggu ke empat hanya sebesar 2,43 dan pada minggu ke
delapan 4,58. Hasil evaluasi peningkatan rerata ROM minggu ke empat yaitu sendi
lutut kiri sebesar 2,5 derajat dan sendi lutut kanan sebesar 4,2 derajat. Sedangkan
peningkatan rerata ROM pada minggu ke delapan yaitu sendi lutut kiri sebesar 4,6
derajat dan sendi lutut kanan sebesar 6,9 derajat. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut bahwa dalam waktu 4 minggu latihan isometrik sudah dapat menurunkan
4

nyeri, akan tetapi untuk mendapatkan efek yang lebih optimal perlu kombinasi
latihan yang sinergis yang dapat memberikan efek penurunan nyeri lebih cepat.

Nyeri merupakan keluhan utama pada OA (Lolascon et al., 2017;


Kappetihn, Trijffel, Lucas, 2014; Paterson, 2015), hal ini menyebabkan kepatuhan
terhadap regimen terapi menurun. Hasil tinjauan sistematik oleh Mazieres et al.,
2008 dari 12 artikel utama tentang kepatuhan pasien OA terhadap program latihan
didapatkan bahwa pasien OA lutut yang patuh terhadap regimen terapi latihan
sekitar 31%-80%. Ketidakpatuhan pasien OA dalam melakukan program latihan
disebabkan karena latihan fisik dapat menginduksi nyeri (Mazieres et al., 2008;
Mark, 2011;Veenhof et al., 2011). Selain itu, latihan penguatan otot seperti latihan
isometrik merupakan program latihan yang bersifat kompleks sehingga
memerlukan pemahaman yang baik untuk melaksanakan program tersebut.
Ketidakpahaman akibat kompleksitas dari program latihan menyebabkan seseorang
tidak mematuhi (Mark, 2011).

Jalan kaki merupakan latihan aktifitas yang sederhana serta sebagai bagian
dari aktifitas kehidupan sehari-hari. Jalan kaki bisa menjadi alternatif latihan pada
pasien OA karena aman, mudah untuk dilakukan serta memiliki risiko cedera
musculoskeletal yang rendah, terutama disukai oleh individu yang tidak aktif
melakukan aktifitas fisik sehingga dapat meningkatkan kepatuhan terhadap latihan
tersebut (Connor et al., 2014; Hamer & Chida, 2014). Berjalan membutuhkan
koordinasi yang baik dari beberapa otot yang berbeda. Koordinasi aktifitas dari
otot-otot tungkai bawah diperlukan tidak hanya untuk gerakan dan keseimbangan
tetapi untuk pemeliharaan stabilitas sendi. Stabilisasi sendi dibantu oleh kerja dari
reseptor sensorik melalui sistem otot gamma untuk menyesuaikan terhadap aktifitas
otot yang ada di sekitar sendi (Khademi et al., 2017). Proses jalan kaki juga mampu
melatih otot-otot yang dapat menjaga fleksibilitas sendi lutut sehingga jangkauan
gerak sendi meningkat dan kekakuan sendi berkurang (Ambrose & Golightly,
2015).

Jalan kaki yang dilakukan secara rutin bermanfaat untuk kesehatan sendi
lutut, memperbaiki pertumbuhan tulang, menjaga keseimbangan, mencegah
kontraktur, meningkatkan mobilitas, menimbulkan perasaan lebih baik,
5

meningkatkan harga diri, meningkatkan fungsi kognitif, dan hidup terasa lebih
berkualitas (Farrokhi et al., 2017;Kelly et al., 2017; Khademi et al., 2017). Manfaat
lain dari jalan kaki adalah dapat menurunkan nyeri. Berdasarkan hasil penelitian
Farrokhi et al. (2017) menunjukkan bahwa latihan jalan kaki yang dilakukan kurang
dari 30 menit dapat menurunkan nyeri dan aman untuk pasien OA karena tidak
menambah beban pada sendi lutut.

Jalan kaki memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan latihan


isometrik sehingga jalan kaki bisa menjadi alternatif latihan pada pasien OA.
Latihan isometrik dapat mengurangi nyeri melalui mekanisme penguatan otot
kuadrisep. Sedangkan berkurangnya nyeri pada saat jalan kaki terjadi karena
perbaikan mood melalui stimulasi pengeluaran endorphin dan melalui stimulasi
adaptasi yang dapat meningkatkan massa otot, tulang dan meningkatkan kekuatan
atau ketahanan otot kuadrisep (Rokade, 2011; Kelly et al., 2017).

Hasil studi pendahuluan di Poliklinik Orthopedi RSUD Dr.Soedjati


Soemodiarjo Purwodadi menunjukkan data kunjungan pasien OA lutut dalam 6
bulan terakhir sebanyak 584 pasien atau sekitar 35 % dari total kunjungan. Pasien
OA lutut datang berkunjung dengan keluhan utama yaitu nyeri dan kekakuan pada
lutut. Latihan isometrik merupakan latihan penguatan otot kuadrisep sudah menjadi
gold standart terapi latihan pada pasien OA. Hasil wawancara di RSUD Dr.Soedjati
Soemodiarjo Purwodadi pada 6 pasien Osteoartritis lutut yang sudah melakukan
latihan isometrik antara 2-3 minggu, 2 pasien mengatakan nyerinya sangat
berkurang, sedangkan 4 pasien mengatakan nyerinya tidak banyak berkurang.
Beberapa pasien mengatakan bahwa latihan tersebut tidak mudah untuk dilakukan
sehingga jarang di praktekkan, kadang ketika akan memulai aktifitas latihan setelah
bangun tidur nyerinya bertambah sehingga latihan tidak dilakukan. Berdasarkan
keterangan pasien kondisi tersebut kadang membuat malas untuk melakukan
latihan. Selain itu, pasien juga mendapatkan terapi farmakologis seperti Meloxicam,
Glukosamin, Neurodex. Obat tersebut cenderung dikonsumsi dalam waktu yang
relatif lama, padahal efek analgetik pada lambung bersifat iritatif terutama rentan
pada usia lansia. Menurut keterangan pasien bahwa dampak dari nyeri dan
6

kekakuan sendi yang dikeluhkan oleh pasien menyebabkan produktivitas pekerjaan


menurun.

Berdasarkan hasil penelitan dan studi pendahuluan diatas bahwa latihan


isometrik termasuk latihan yang bersifat komplek, dapat menginduksi nyeri serta
tidak mudah untuk dilakukan, sehingga membuat pasien malas untuk melakukan
program latihan. Jalan kaki merupakan latihan yang aman dan mudah untuk
dilakukan karena merupakan bagian dari aktifitas sehari-hari serta memiliki risiko
cedera musculoskeletal yang rendah. Jalan kaki memberikan manfaat bukan hanya
kesehatan fisik, menurunkan keluhan nyeri, tetapi bermanfaat juga untuk kesehatan
mental karena membuat pikiran lebih tenang dan rileks melalui stimulasi
pengeluaran endorphin. Efek sinergi antara stimulasi pengeluaran endorphin dan
penguatan otot kuadrisep pada saat jalan kaki berpotensi bisa memberikan efek
yang lebih baik dibandingkan dengan latihan isometrik. Hal ini membuat peneliti
ingin membandingkan efektifitas jalan kaki dan latihan isometrik terhadap nyeri
dan rentang gerak sendi pada pasien osteoartritis. Perbandingan antara jalan kaki
dan latihan isometrik belum ada laporan penelitian.

Berdasarkan uraian diatas bahwa jalan kaki berpotensi bisa memberikan


efek yang lebih baik dalam menurunkan nyeri dan meningkatkan rentang gerak
sendi dibandingkan dengan latihan isometrik pada pasien OA, maka peneliti ingin
membandingkan efektifitas jalan kaki dan latihan isometrik terhadap nyeri dan
rentang gerak sendi pada pasien osteoartritis lutut di Poliklinik Orthopedi RSUD
Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadi.

B. Rumusan masalah

Osteoartritis (OA) lutut merupakan bentuk arthritis yang paling umum dan
penyebab utama kecacatan pada orang dewasa serta meningkat secara dramatis
seiring dengan bertambahnya usia. Kelainan fisik yang umum terkait dengan OA
lutut adalah nyeri, penurunan lingkup gerak sendi serta kelemahan otot-otot
kuadrisep sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan untuk melakukan
aktifitas sehari-hari. Nyeri merupakan gejala utama pada pasien osteoartritis yang
disebabkan karena terangsangnya nosiseptor oleh mediator inflamasi yang
7

dilepaskan saat terjadinya kerusakan jaringan serta berhubungan erat dengan


menurunnya kekuatan otot kuadrisep. Adanya keluhan nyeri lutut menyebabkan
seseorang takut melakukan aktifitas atau gerakan sehingga menurunkan kualitas
hidupnya.

Berdasarkan data 6 bulan terakhir di RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo


Purwodadi sebanyak 584 kasus OA dengan keluhan utama nyeri. Intervensi
nonfarmakologis yang bisa dilakukan untuk mengatasi nyeri dan rentang gerak
sendi pada pasien OA lutut adalah latihan jalan kaki dan isometrik pada otot
kuadrisep. Latihan tersebut merupakan latihan mandiri yang mudah untuk
diaplikasikan di rumah pada pasien dengan OA lutut sehingga pasien bisa
melakukan secara mandiri tanpa harus ketergantungan pada latihan-latihan secara
pasif yang dilakukan oleh terapis, dan terapi farmakologis untuk mengatasi nyeri.
Efek sinergi antara stimulasi pengeluaran endorphin dan penguatan otot kuadrisep
pada saat jalan kaki berpotensi bisa memberikan efek yang lebih baik dibandingkan
dengan latihan isometrik. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah
penelitian” Bagaimanakah perbedaan efektifitas jalan kaki dan latihan isometrik
otot kuadrisep terhadap nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien dengan
osteoartritis lutut di Poli Orthopedi di RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadi?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi perbedaan efektifitas jalan kaki dan latihan isometrik otot
kuadrisep terhadap nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien dengan
osteoartritis lutut.

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik pasien OA lutut yang menjadi responden
penelitian
b. Mengidentifikasi perbedaan nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien
osteoartritis lutut sebelum dan sesudah diberikan latihan jalan kaki
8

c. Mengidentifikasi perbedaan nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien


osteoartritis lutut sebelum dan sesudah diberikan latihan isometrik otot
kuadrisep
d. Mengidentifikasi perbedaan nyeri dan rentang gerak sendi osteoartritis lutut
pada kelompok yang diberikan latihan jalan kaki dengan kelompok yang
diberikan latihan isometrik otot kuadrisep
e. Mengidentifikasi konstribusi faktor perancu: usia, indeks masa tubuh (IMT),
jenis kelamin, derajat OA, penggunaan terapi analgetik, lamanya OA lutut
terhadap nyeri dan rentang gerak sendi akibat osteoartritis lutut.
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pelayanan Keperawatan


Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai informasi dan masukan dalam
manajemen nonfarmakalogis untuk menunjang terapi farmakologis pada pasien
dengan osteoartritis lutut.
2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Keperawatan sebagai profesi yang didukung oleh body of knowledge perlu
dilakukan inovasi dengan evidence based practice. Hasil dari penelitian ini
diharapkan mampu memberikan inovasi pada ilmu keperawatan khususnya
keperawatan medikal bedah tentang latihan mandiri pada pasien dengan
osteoartritis lutut.
3. Bagi Peneliti Keperawatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai data
dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya khususnya pada area
keperawatan medikal bedah tentang laihan jalan kaki dan latihan isometrik yang
berhubungan dengan nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien osteoartritis
lutut.
9

E. Target Luaran

Tabel 1.1 Luaran Penelitian

No Jenis Luaran Indikator


1 Publikasi di Jurnal Nasional Terakriditasi Sinta Publish
2 Pemakalah dalam temu ilmiah Terdaftar
3 HKI Publis
4
10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Osteoartritis (OA) lutut


a. Pengertian
Osteoartritis (OA) adalah kelainan degeneratif kronis dengan penyebab
multifaktorial yang ditandai dengan kehilangan artikular kartilago, hipertrofi
pada margin tulang, perubahan morfologis dan biokimia pada kapsul sendi
(Pal et al., 2016). OA sebagai penyakit degeneratif yang mengenai sendi
yang sangat terkait dengan adanya kerusakan pada kartilago sendi, bersifat
kronis dan progresif (Setiati et al., 2014; Black & Hawk, 2014). Dalam
beberapa kasus, selain terjadinya kerusakan atau hilangnya artikular
kartilago, pada OA juga terjadi peradangan pada menbran sinovial
(Anderson & Loeser, 2010).
b. Faktor Risiko OA
Faktor risiko perkembangan osteoartritis lutut dibagi menjadi dua katagori.
Katagori pertama adalah katagori yang tidak dapat diubah, dan katagori
kedua adalah katagori yang kemungkinan dapat diubah. Faktor risiko yang
tidak dapat yaitu usia, jenis kelamin, ras, genetik serta riwayat keluarga.
Faktor risiko kemungkinan dapat diubah antara lain obesitas, injuri,
keganasan pada sendi, bekerja yang berlebihan dan trauma (Sambrook et al,
2015). Sedangkan kegemukan, genetik serta jenis kelamin merupakan faktor
risiko umum yang penting (Setiati et al, 2014). Hasil penelitian Huétink,
Stoel, & Watt, (2015) bahwa usia, body mass index (BMI), lesi anterior
cruciate ligament (ACL), riwayat keluarga dengan OA, aktifitas yang
berlebihan berhubungan signifikan dengan timbulnya perkembangan OA
lutut secara radiografi, sedangkan jenis kelamin tidak ada perbedaan
bermakna antara pria dan wanita terhadap timbulnya perkembangan OA
lutut.

9
11

Usia merupakan faktor risiko terkuat pada osteoartritis (Firestein et al.,


2013). Terjadi peningkatan secara dramatis dalam insidensi dan prevalensi
osteoartritis seiring dengan bertambahnya usia. Kenaikan eksponensial dari
sekitar usia 55 tahun, kemudian terjadi fase plateu pada usia sekitar 75-80
tahun. Usia tua mengalami peningkatan kerusakan matriks sendi akibat
meningkatnya produksi Reactive Oxygen species (ROS) yang mengaktivasi
kaskade catabolic signaling pathway dan menginhibisi anabolic pathway.
Sel pada lansia mengalami proses penuaan sehingga kurang berespon
terhadap faktor pertumbuhan mengakibatkan proses degradasi dalam
matriks sendi pun berlanjut, keadaan ini menyebabkan aktivitas katabolik
relatif lebih besar daripada aktivitas anabolik, atau degradasi jauh lebih
cepat dari pada kemampuan perbaikan sendi (Loeser, 2009).
Faktor risiko osteoartritis berikutnya adalah obesitas. Obesitas menjadi
faktor risiko terjadinya OA (Zhang & Jordan, 2010). Sebuah penelitian
kohort secara prospektif mengungkapkan bahwa berat badan (≥ 2 BMI unit)
dikaitkan dengan penurunan 50% dalam risiko OA (Felson, Lawrence, PA,
R, & Helmick CG, Jordan JM, 2000). Obesitas dapat mengakibatkan beban
mekanik pada tubuh secara berlebihan serta peningkatan beban pada sendi
lutut yang dapat menyebabkan rusaknya tulang rawan (Brosseau et al.,
2011).
Obesitas berhubungan dengan perkembangan osteoartritis pada jenis
kelamin, tetapi hubungannya paling kuat pada jenis kelamin wanita.
Obesitas merupakan prediktor terjadinya kecacatan berhubungan dengan
perubahan radiografi (Sambrook et al, 2015). Peningkatan tekanan mekanik
akibat pembebanan berat badan pada sendi merupakan faktor utama yang
menyebabkan degenerasi sendi. Obesitas tidak hanya meningkatkan tekanan
pada sendi akibat pembebanan berat badan tetapi juga dapat mengubah
postur, gaya berjalan, dan tingkat aktivitas fisik, yang mungkin bisa
berkontribusi pada perubahan biomekanika sendi (Firestein et al, 2013).
Hasil penelitian Xie el al, (2017) bahwa sindroma metabolik (obesitas,
hipertensi, hyperlipidemia) berhubungan dengan prevalensi osteoartritis
lutut radiografi.
12

Faktor risiko herediter berperan penting pada timbulnya osteoartritis.


Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk
unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein
pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya
kecenderungan familial pada OA tertentu terutama OA banyak sendi (Setiati
el al, 2014; Moskowitz et al., 2007). Hasil penelitian Heutink et al. (2015)
bahwa riwayat keluarga dengan OA berhubungan signifikan dengan
timbulnya perkembangan OA lutut secara radiografi.
c. Gejala Klinis
Gejala klinis osteoartritis menurut Setiati et al. (2014) yaitu; 1) Nyeri sendi
merupakan keluhan yang paling dirasakan pasien osteoartritis. 2)
Keterbatasan gerakan sendi yang biasanya semakin bertambah berat sejalan
dengan bertambahnya nyeri. 3) Kekakuan sendi pagi hari (stiffness)
biasanya terjadi setelah imobilitas. 4) kadang terdapat krepitasi pada sendi
yang sakit. 5) Sering terjadi deformitas pada sendi lutut. 6) Perubahan Gaya
Berjalan.
Gejala klinis yang tampak pada saat fase akut (inflamasi) yaitu nyeri yang
disertai adanya bengkak pada sendi, dengan perabaan terasa hangat dan
disertai adanya kemerahan pada kulit (IRA, 2014; Price & Wilson, 2012).
Inflamasi lokal akibat kerusakan jaringan menyebabkan dikeluarkannya
phospholipase, cyclooxygenase, lipo-oxygenase leukotrienes, radikal bebas
dikeluarkannya mediator inflamasi yang lain seperti serotonin, bradikinin,
calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan substance P (SP), sehingga
menyebabkan tulang rawan artikular akan menebal dan membengkak.
(Black & Hawk, 2014; Perrot et al., 2015; Enohumah et al., 2008).
d. Tipe Osteoartritis
Osteortritis terdiri dari dua tipe. Tipe pertama adalah osteoartritis primer.
Pada tipe ini tidak memilliki riwayat kelainan atau kerusakan pada sendi
sebelumnya yang menyebabkan degenerasi progresif. Tipe kedua adalah
osteoartritis sekunder. Pada tipe ini ada kelainan atau kerusakan pada sendi
sebelumnya yang berhubungan dengan timbulnya degenerasi progresif
(Shenoy, 2014).
13

e. Patofisiologi
Kartilago artikular yang sehat tampak rata, berkilau, dan berwarna putih.
Hal ini menunjukkan vikoelastisitas dan kemampuan kompresif yang
berkaitan dengan kemampuannya menahan goncangan. Kondrosit
memproduksi matriks kartilago dengan cara menghasilkan dua tipe kolagen
dan proteoglikan. Proteoglikan yang bersifat hidrofolik (menarik air) secara
signifikan menambah kemampuan kartilago untuk menahan beban berat
pada penggunaan sendi. Osrteoartritis dapat di deskripsikan sebagai sebuah
proses degradasi matriks kartilago yang diikuti dengan ketidakefektifan
usaha tubuh dalam memperbaiki. Perubahan patologis dini adalah
pengurangan proteoglikan dalam matriks, yang dikuti dengan pelunakan dan
hilangnya elastisitas pada kartilago. Ketika tubuh berusaha mengompensasi,
pertama kali kondrosit akan berproliferasi dan meningkatkan produksi
sintesis proteoglikan dan kolagen. Destruksi yang progresif oleh enzim
lisosom akan meningkatkan produksi melampaui batas, sehingga kartilago
menjadi rentan pada pergerakan sendi. Perubahan pada sintesis kolagen juga
akan terjadi, meminimalkan kemampuan kompresif dari kartilago (Black &
Hawk, 2014).
Pada tingkat biokimia, perubahan utama pada osteoarthritis terjadi
peningkatan kandungan air pada kartilago artikular, penurunan konsentrasi
proteoglikan dan hilangnya jaringan kolagen. Pada tahap awal, tulang rawan
artikular akan menebal dan membengkak karena peningkatan air dan
peningkatan sintesis proteoglikan. Namun, perubahan ini membuat kartilago
kurang kompresibel, lebih rentan terhadap kerusakan jaringan akibat
menahan beban. Jaringan kolagen juga mengalami kerusakan akibat enzim
yang dilepaskan dari chondrocytes dan sel lapisan sinovial yang mengalami
tekanan. Enzim tersebut termasuk dalam famili yang disebut
metalloproteinase (MMPs), dimana kolagenase termasuk dalam anggota
MMPs. MMPs disekresikan sebagai zymogens dan harus diaktifkan secara
ekstraselular dimana aktivitasnya dikendalikan oleh penghambat jaringan
metaloproteinase (TIMPs). Sementara OA sering dianggap sebagai
arthropati non-inflamasi, sitokin yang merupakan turunan dari chondrocyte
14

seperti IL-1 dan TNF diketahui memainkan peranan secara langsung dalam
degradasi kartilago manusia oleh MMPs (Sambrook et al, 2015).
Rusaknya karilago pada permukaan artikular, pertumbuhan tulang
meningkat pada batas sendi, pertumbuhan osteosit menghasilkan
ketidakseimbangan pada permukaan tulang. Distribusi normal akibat
tekanan normal akan berubah, mengakibatkan nyeri dan pergerakan yang
terbatas. Cairan sinovium juga akan berespon terhadap sekresi yang
berlebihan dari cairan synovial, menjadi inflamasi dan pembengkakan
kapsul sendi (Black & Hawk, 2014).
f. Diagnosis OA
Penegakan diagnosa OA didasarkan pada manifestasi klinis dan radiografi
(Setiati et al., 2014). Menurut kriteria American College of Rheumatology
(ACR) yaitu adanya nyeri sendi dan osteofit disertai paling sedikit 1 dari 3
kriteria diantaranya kaku sendi, usia> 50 tahun dan krepitus pada
pergerakan sendi aktif (IRA, 2014).
Derajat dan kriteria osteoarthritis berdasarkan radiologis diagnostik menurut
Kellgren & Lawrence dalam Hochberg et al., (2015) yaitu ;
a. Derajat 0 (Normal) : Tidak ada tanda osteoarthritis
b. Derajat 1(Meragukan) : sedikit osteofit, meragukan
c. Derajat 2 (Minimal) : Osteofit nyata, tidak ada penyempitan celah
sendi
d. Derajat 3 (Sedang) : Osteofit nyata, penyempitan nyata pada celah
sendi
e. Derajat 4 (Berat) : Penyempitan berat pada celah sendi, sklerosis
pada tulang subchondral

g. Penatalaksanaan
Manajemen OA meliputi terapi non farmakologis dan farmakologis.
Kombinasi terapi non farmakologis dan farmakologis sangat dibutuhkan
untuk manjemen pasien dengan OA (Nelson et al, 2014). Berdasarkan
rekomendasi Osteoarthritis Research Society International (OARSI) untuk
manajemen osteoarthritis lutut atau HIP terdiri dari terapi non farmakologis,
15

farmakologis dan intervensi bedah. Terapi non farmakologis diantaranya


adalah edukasi pasien, latihan (exercise), penurunan berat badan, brace,
cane/tongkat, kontak telepon, massage, local heat/ice, akupunktur, TENS,
yoga, low-energy lasers, ultrasound. Terapi farmakologis terdiri dari
acetaminophen (parasetamol), NSAID, cyclooxygenase-2-selective
inhibitor, topikal NSAID, analgesik opioid, diacerein, glusamine sulfat,
chondroitin sulfat, kortikosteroid intraarticular, asam hyaluronic
intraarticular, kortikosteroid oral. Sedangkan intervensi bedah adalah lavase
sendi, arthroscopic debridement, osteotomy, total knee replacement, knee
fusion (Hochberg et al., 2015).
Menurut Raveendran et al. (2017) rekomendasi untuk manajemen OA
terdiri dari rekomendasi inti (Core recommendations) yang selalu
direkomendasikan yaitu selft management programs, exercise (latihan),
edukasi, rencana pengobatan individu, penurunan dan kontrol berat badan.
Terapi yang direkomendasikan untuk kebanyakan situasi (jika sesuai untuk
situasi klinis, komorbiditas) yaitu injeksi kortikosteroid intra-artikular, obat
antiinflamasi non steroid topical (NSAID), asetaminofen, oral NSAID atau
inhibitor COX-2, alat bantu jalan, modalitas termal, rujukan terapi fisik atau
terapi okupasional. Terapi yang di pertimbangkan dalam beberapa situasi
(misalnya, populasi pasien tertentu) yaitu duloxetine, capsaicin, mind and
body therapies (misalnya yoga, Tai Chi, akupunktur), splinting and bracing,
TENS, intervensi bedah (penggantian sendi secara khusus). Terapi yang
masih menjadi kontroversial yaitu injeksi asam hyaluronic intra-artikular,
perawatan intra-artikular lainnya (misalnya plasma kaya trombosit, stem
cells), glukosamin/kondroitin, intervensi bedah lainnya (misalnya
osteotomy, penggantian parsial sendi), pengobatan herbal. Terapi yang tidak
direkomendasikan adalah terapi ultrasound, needle lavage, artroskopi
dengan debridemen.

2. Nyeri Osteoartritis
a. Pengertian
Nyeri merupakan suatu sensori subyektif dan pengalaman individu yang tidak
menyenangkan bersifat komplek yang melibatkan komponen fisik,
16

emosional dan kognitif yang dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan yang
aktual maupun potensial (Perry & Potter, 2009; Craven et al, 2013; Smeltzer,
2008; Shankman, 2011).
b. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan perjalanannya, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan kronis.
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi secara mendadak dalam waktu kurang
dari 3 (tiga) bulan, sedangkan nyeri kronik adalah nyeri yang terjadi secara
perlahan-lahan, menetap dan berlangsung lebih dari 3 bulan. Berdasarkan
penyebabnya, nyeri dikatagorikan menjadi dua yaitu nyeri nosiseptif
(nociceptive pain) dan nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri nosiseptif
adalah nyeri yang disebabkan karena adanya kerusakan jaringan somatik
ataupun visceral. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang terjadi akibat
ketidaknormalan proses input sensoris pada daerah perifer ataupun pada
sistem syaraf pusat (Lewis, et al, 2011).
c. Mekanisme nyeri
Nyeri OA termasuk suatu kondisi nyeri nosiceptif prototipikal (prototypical
nociceptive pain) yang dijadikan sebagai sinyal alarm, berhubungan dengan
intensitas degradasi sendi (Perrot et al., 2015). Konsep nyeri nosiceptif
meliputi 4 (empat) hal yaitu tranduksi, transmisi, persepsi dan modulasi
(D’Arcy, 2007; Perrot et al., 2015).
Menurut Perrot et al. (2015) Patofisiologi nyeri mencakup empat proses yang
berbeda meliputi:
1. Transduksi
Transduksi merupakan suatu konversi energi yang disebabkan oleh
stimulus nyeri seperti mekanis, termal, dan kimia menjadi suatu energi
listrik oleh reseptor yang spesifik ( Perrot et al., 2015).
Lebih dari 80% serabut syaraf di dalam sendi adalah serabut yang tidak
bermyelin, yang tersebar di antara serabut C dan serabut syaraf simpatis).
Stimulasi mekanis dapat menginduksi nyeri sendi. Dalam sendi normal,
tekanan intra-artikular berkisar antara 2 dan 10 mm Hg. Dalam kasus
radang atau lesi artikular lokal, tekanan bisa meningkat hingga 20mmHg.
Kerusakan tulang rawan dapat menyebabkan tekanan yang berlebihan pada
17

subchondral tulang. Pada sendi, ada nociceptors spesifik yang secara


khusus diaktifkan oleh mekanik stimulus (Perrot et al., 2015).
Rangsangan inflamasi dapat menginduksi nyeri OA. Pada sendi, dalam
konteks OA, peradangan lokal dengan pelepasan fosfolipase,
siklooksigenase, lipo-oksigenase, leukotrien dan radikal bebas terlibat
dalam mekanisme nyeri (Perrot et al., 2015). Kerusakan jaringan juga akan
menstimulasi pelepasan substansi P, hidrogen dan adenosyn tripospate
dari jaringan tersebut, sel mast juga akan mengeluarkan serotonin,
bradikinin, dan prostaglandin dimana unsur kimia tersebut akan
mengaktivasi nociceptor melalui serabut syaraf delta A dan delta C (Lewis
et al., 2011).
Dalam sendi, serabut C, juga disebut peptidergik, ekspres reseptor
tropomiosin kinase A (TRKA), reseptor untuk NGF (neuronal growth
factor), reseptor P2X3 untuk ATP, dan juga GDNF (glial-derived
neurotrophic factor) reseptor. Mediator dari serabut tersebut adalah
substansi P, dan vasoactive intestinal peptide (VIP) semua berada pada
struktur sendi kecuali di tulang rawan. NGF adalah komponen penting dari
serat C, yang berperan penting dalam nyeri sendi ( Perrot et al, 2015).
2. Transmisi
Transmisi merupakan Perjalanan impuls nyeri dari perifer ke pusat
(sumsum tulang belakang dan otak), dengan jalur yang spesifik (Perrot et
al., 2015). Temuan terbaru menunjukkan bahwa berbagai jenis nyeri dapat
dikaitkan dengan beberapa aktivasi di daerah otak (Brain activation) yang
berbeda: nyeri spontan terutama terkait dengan area kortikal
prefrontalelimbik medial, daerah yang terlibat dalam status emosional.
Sebaliknya, stimulus bisa menimbulkan nyeri yang berlebihan
berhubungan dengan proses yang ada pada daerah nosiseptif
somatosensory. Begitu juga beberapa penelitian telah menganalisis aktivasi
otak dan menunjukkan bahwa nyeri OA, kebanyakan karena nyeri kronis,
yang berhubungan dengan sensitisasi sentral (brain sensitization). Secara
klinis, sensitisasi sentral berhubungan dengan nyeri sendi menginduksi
nyeri sebagai respons terhadap rangsangan (Perrot et al., 2015).
18

Jaringan yang mengandung nosiseptor seperti tulang subkondral,


periosteum, sinovium, ligamen serta kapsul sendi bisa menjadi sumber
nyeri pada OA. Stimulus nyeri yang diterima oleh nosiseptor akan
merangsang serabut aferen yang mempersyarafi sendi diantaranya serabut
A𝜶, Aβ, A𝜹 serta C. Stimulus tersebut akan diteruskan ke korno dorsalis
medula spinalis dimana serabut aferen akan bersinap dengan second order
neuron. Impuls nyeri akan diproyeksikan melalui serabut akson yang
menyilang ke sisi kontralateral dan bersinap dengan third order neuron di
midbrain, selanjutnya akan mengirim serabutnya ke korteks serebri
dimana nyeri akan dipersepsikan. Iritasi yang mengenai periostal,
kompresi jaringan lunak oleh osteofit, mikrofraktur tulang subkondral,
efusi, dan spasme otot sekitarnya memberikan kontribusi dalam timbulnya
keluhan nyeri yang dirasakan pasien (Enohumah et al., 2008).
3. Persepsi
Persepsi nyeri terjadi pada daerah korteks otak (Perrot et al., 2015).
Persepsi nyeri merupakan proses dimana individu menyadari dan
menginterpretasikan terhadap pengalaman tentang nyeri ketika informasi
tersebut di proses di korteks sensorik dan sistem limbik (Craven et al.,
2013). Beberapa tahun terakhir sejumlah penelitian berbasis imaging telah
mempersempit perbedaan antara temuan kelainan struktural pada imaging
dan gejala. Penafsiran nyeri pada OA masih membingungkan dan sulit
diatasi (Hunter et al., 2013).
4. Modulasi
Modulasi dilakukan oleh struktur otak dan tulang belakang, dengan cara
menghambat dan memfasilitasi, hal ini sangat penting untuk mengurangi
sensasi nyeri (Perrot et al., 2015). Modulasi merupakan kemampuan otak
untuk memfasilitasi ataupun menghambat impuls nyeri, sehingga akan
mempengaruhi transmisi nyeri pada tulang belakang (D’Arcy, 2007).
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
1. Usia
Usia merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi nyeri, terutama
anak-anak dan lansia. Lansia memiliki resiko tinggi mengalami situasi
yang membuat mereka merasakan nyeri. Nyeri bukanlah bagian yang tak
19

terelakkan dari proses penuaan. Bagaimanapun, lansia memiliki peluang


lebih besar untuk mengalami keadaan patologis yang disertai nyeri (Perry
& Potter, 2009).
Usia merupakan faktor risiko terkuat berkaitan dengan osteoartritis
(Firestein et al., 2013). Terjadi peningkatan secara dramatis dalam
insidensi dan prevalensi osteoartritis seiring dengan bertambahnya usia.
Kenaikan eksponensial dari sekitar usia 55 tahun, kemudian terjadi fase
plateu pada usia sekitar 75-80 tahun. Gangguan muskuloskeletal seperti
penyakit osteoartritis erat kaitannya dengan usia (Anahdi et al., 2012).
Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan terjadi degenerasi kartilago
pada persendian sehingga menyebabkan hilang atau rusaknya bantalan
tulang, menyebabkan terjadinya gesekan permukaan antar tulang pada
persendian sehingga meyebabkan erosi dan nyeri (Moskowitz et al., 2007).
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor yang signifikan dalam respon nyeri, pria
jarang melaporkan dan mengekspresikan serta kurang dapat menunjukkan
nyeri secara terbuka dibandingkan wanita (Black & Hawks, 2014).
Sedangkan berdasarkan prevalensi OA lutut berdasarkan jenis kelamin
yaitu perempuan (13,4%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (10,3%),
demikian juga yang didiagonosis tenaga kesehatan atau gejala pada
perempuan (27,5%) lebih tinggi dari laki-laki (Riskesdas, 2013).
3. Kebudayaan
Nilai budaya serta keyakinan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang
mengatasi nyeri. Seseorang biasanya belajar apa yang diharapkan dan bisa
diterima oleh budaya mereka, termasuk bagaimana berespon terhadap
nyeri. Respon terhadap nyeri cenderung merefleksikan moral budaya
masing-masing (Perry & Potter, 2009; Black & hawks, 2014).
4. Pengalaman masa lalu terhadap nyeri
Pengalaman sebelumnya tentang nyeri mempengaruhi persepsi akan nyeri
yang dialami saat ini, pengalaman nyeri yang sama kemudian berhasil
dihilangkan akan lebih memudahkan individu untuk menginterpretasikan
sensasi nyeri (Perry & Potter, 2009; Black & hawks, 2014).
20

5. Perhatian
Perhatian yang berlebihan berhubungan dengan nyeri yang meningkat,
karena perhatian individu yang terfokus pada nyeri bisa mempengaruhi
persepsi nyerinya. Sedangkan upaya pengalihan seperti distraksi dikaitkan
dengan penurunan respon nyeri (Perry & Potter, 2009).
6. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri bagi individu, tetapi nyeri
juga dapat menimbulkan suatu perasan ansietas, sehingga hubungan antara
nyeri dan kecemasan merupakan hal yang kompleks.. Individu yang sehat
secara emosional biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga
berat dari pada individu yang memiliki status emosional yang kurang
stabil. Pasien yang menderita penyakit kronis seringkali mengalami
kesulitan mengontrol lingkungan dan perawatan diri, memiliki tingkat
kecemasan yang tinggi (Perry & Potter, 2009).
7. Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran keluarga serta teman dekat sering membuat stress berkurang
sehingga nyeri berkurang, hal ini Karena individu yang mengalami nyeri
sering tergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk
mendapatkan dukungan, bantuan, maupun perlindungan (Perry & Potter,
2009).
Faktor lain yang berkorelasi dengan nyeri OA dan perkembangan OA
adalah
1) Derajat OA
Derajat OA berkaitan dengan derajat degradasi sendi (Perrot et al.,
2015). Pasien OA digambarkan dengan adanya osteofit, terdapat
penyempitan nyata pada celah sendi, bahkan pada OA yang lanjut
terdapat penyempitan berat pada celah sendi serta sklerosis pada
tulang subchondral (Hochberg et al., 2015). Osteoartritis umumnya
terdapat pada sendi synovial, dimana kartilago sendi terjadi degenerasi
serta pembentukan tulang baru pada subkondrium sendi. Degenerasi
atau perubahan struktur tersebut terjadi karena kondrosit mengalami
kerusakan, semakin tinggi derajat OA maka akan semakin banyak
tingkat kerusakan kartilago sendi dan osteofit semakin nyata.
21

Menurut Heidari, B (2011) bahwa nyeri pada OA lutut berhubungan


dengan derajat OA berdasarkan radiologis, dimana pasien dengan OA
derajat berat lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan derajat
dibawahnya. Hal ini karena osteofit pada sendi lutut akan terbentuk
pada bagian tepi sendi, pada saat terjadi erosi kartilago maka akan
timbul perubahan pada kontur tulang, pembesaran tulang serta dapat
menyebabkan nyeri (Kowalak, Welsh & mayer, 2011). Nyeri pada OA
merupakan nociceptive terjadi karena adanya kerusakan pada jaringan
lokal. Transmisi sinyal nyeri dari sendi ke spinal cord dapat stimulasi
oleh mekanik maupun kimia nociceptors, sehingga naik ke traktus
spinotalamikus masuk kedalam pusat kortikal untuk diinterpretasikan
(Perrot et al., 2015; Lee et al., 2013).
2) Indeks masa tubuh (IMT)
Indeks masa tubuh (IMT) merupakan pengukuran yang dugunakan
untuk mengetahui atau memantau kekurangan, kelebihan berat badan
serta menilai status gizi (Supariasa, 2002). IMT didapat dari
perbandingan antara berat badan (kg) dengan tinggi badan (m2).
Klasifikasi yaitu IMT< 18,5= kurus, IMT ≥18,5-<24,9= normal,
IMT≥ 25,0-<27=lebih dan IMT≥ 27= Obesitas (Kemkes, 2013).
Indeks masa tubuh (IMT) berhubungan signifikan dengan timbulnya
perkembangan OA lutut secara radiografi (Huétink, Stoel, & Watt,
2015). Individu dengan obesitas lebih mungkin tidak aktif secara fisik
dibandingkan individu dengan berat badan normal (Petersen, Schnohr
& Sorencen, 2004). Pasien OA lutut dengan obesitas kecenderungan
mengalami penurunan mobilitas karena nyeri pada sendi lutut akibat
menahan beban mekanik pada tubuh yang berlebihan menyebabkan
semakin rusaknya tulang rawan sehingga mengalami nyeri dan
keterbatasan fisik (Brosseau et al., 2011; Raval & Gadhavi, 2017).
3) Penggunaan terapi analgetik.
Obat non steroid anti inflamasi (NSAID) merupakan obat yang paling
umum digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi pada pasien
OA (Raveendran et al., 2017; Hochberg et al., 2015). Cyclooxygenase-
2 (COX-2) inhibitor telah terbukti efektif dapat menurunkan
22

terjadinya apoptosis kondrosit pada tulang rawan dan dapat


mengurangi produksi prostaglandin, nyeri maupun peradangan
(Kumagai et al., 2013; Hinkle & Cheever, 2014). Obat anti inflamasi
nonsteroid harus dimulai dengan dosis analgetik yang rendah dan bisa
ditingkatkan hingga dosis maximal hanya ketika dengan dosis rendah
kurang efektif, namun penghentiannya harus dilakukan secara
bertahap agar dipertimbangkan untuk meningkatkan kepatuhan dan
kenyamanan (IRA, 2014).
4) Lamanya OA lutut
Lamanya mengalami penyakit OA lutut dapat mempengaruhi
kemampuan fungsi fisik akibat nyeri dan penurunan celah sendi lutut
sehingga menyebabkan penurunan rentang gerak sendi. Hasil Studi
menunjukan bahwa pasien OA lutut yang mengalami OA lutut lebih
dari 3 tahun mengalami penurunan kemampuan fungsi fisik (Sharma
et al., 2003). Hal ini di sebabkan karena terjadinya peningkatan
penyempitan celah pada sendi lutut (Creamer et al., 2000). Sehingga
menyebabkan penurunan pada rentang gerak sendi, dan pasien akan
mengalami keterbatasan dalam beraktivitas, rasa sakit yang meningkat
dan menurunnya mobilitas (Pisters et al., 2012).
h. Pengukuran Nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan dapat
dipercaya dalam menentukan intensitas nyeri klien. Praktisi kesehatan harus
memilih cara penilaian intensitas nyeri yang menurutnya paling tepat untuk
digunakan, dan digunakan secara rutin. Beberapa instrument yang dapat
digunakan untuk mengkaji skala nyeri diantaranya:
1. Visual Analog Scale (VAS)
VAS adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri
yang secara khusus digambarkan dalam garis lurus sepanjang 10 cm.
Skala ini memberi kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. Dengan menggunakan VAS dapat diukur sensitifitas keparahan
nyeri karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada garis VAS bisa
horizontal atau vertikal. Garis VAS menggambarkan intensitas nyeri
23

mulai dari tidak nyeri (no pain) di satu ujung dan nyeri tak tertahankan
(unbearable pain) pada sisi lainnya (Potter & Perry, 2009).
Gambar 2.1 Visual Analog Scale (VAS)

Tidak Nyeri Nyeri Tak


tertahankan

Sumber: Potter & Perry (2009)

2. Verbal Descriptive Scale


Skala ini menggunakan garis horisontal yang dibagi luasnya sedemikian
rupa dan berisi kata-kata sebagai berikut no pain, mild pain, moderate
pain, severe pain, dan Unbearable pin (Potter & Perry, 2009).

Gambar 2.2 Verbal Descriptive Scale

Tidak Nyeri Nyeri ringan Nyeri berat Nyeri Tak


tertahankan

Sumber: Potter & Perry (2009)

3. Numerical Rating Scale


Skala ini berupa garis horizontal yang dibawahnya dituliskan angka 0
sampai dengan angka 10 menunjukkan intensitas nyeri yang semakin
meningkat (Potter & Perry, 2009).

Gambar 2.3 Numerical Rating Scale

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Nyeri Nyeri Tak
Nyeri sedang tertahankan

Sumber: Potter & Perry (2009)


24

4. Rentang Gerak Sendi Lutut


Sendi merupakan unit fungsional dari sistem musculoskeletal. Rentang
gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan
sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh: sagital, frontal dan
transversal. Tipe gerakan range of motion (ROM) pada sendi lutut terdiri
dari fleksi dan ektensi dengan range (degree) yaitu 120-1300 (Potter &
Perry, 2009).
Penurunan rentang gerak sendi biasanya disebabkan oleh karena nyeri
dan kontraktur. Nyeri pada gangguan musculoskeletal biasanya bersifat
akut atau kronis dan seringkali disertai adanya pembengkakan,
peradangan dan perubahan bentuk. Nyeri biasanya terjadi pada sendi,
otot, dan tulang serta kualitasnya seringkali sangat bervariasi tergantung
pada penyebab dan lokasi. Nyeri tulang cenderung dimanifestasikan
sebagai rasa sakit atau nyeri berdenyut, yang mungkin terlokalikasi atau
menyebar. Jika nyeri tulang disebabkan oleh infeksi, seperti pada
osteomielitis, rasa nyerinya cenderung lebih berat. Nyeri otot dapat
dimanifestasikan sebagai rasa sakit yang diperberat oleh gerakan, atau
mungkin bisa bersifat akut misal pada keadaan sprain atau spasme.
Sedangkan nyeri sendi sering karena peradangan akibat rusaknya struktur
jaringan sendi yang bisa diperberat oleh gerakan. Sehingga pada pasien
OA yang berada pada saat fase akut (inflamasi), maka sendi yang
bersangkutan tidak boleh dilakukan manipulasi (gerakan/exercise)
(Halstead, 2006).
Menilai rentang gerak (ROM) merupakan salah satu teknik penilaian
yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan atau cedera pada
sendi. Mengukur rentang gerak sendi, dapat menjawab pertanyaan terkait
dengan kekakuan sendi, pembengkakan, nyeri, gerakan terbatas dan
gerakan yang tidak seimbang. Rentang gerak yang terbatas sering
mengindikasikan adanya inflamasi seperti artritis, cairan di sendi,
gangguan syaraf atau kontraktur (Potter & Perry, 2009). Rentang gerak
sendi (ROM) diukur dengan menggunakan alat sejenis protraktor yang
disebut dengan goniometer. Instrumen ini memiliki dua lengan yang
fleksibel dengan sudut protraktor 180 derajat di tengahnya (Black &
25

Hawks, 2014; Potter & Perry, 2009). Saat memeriksa dan melakukan
rentang gerak sendi harus dilakukan dengan hati-hati, tidak boleh
melewati titik nyeri yang dirasakan pasien (Halstead, 2006).

Menurut Potter & Perry (2009) Langkah-langkah pengukuran rentang


gerak sendi:

1) Pelajari terminologi yang benar untuk gerakan yang dapat dilakukan


oleh sendi yang akan diukur
2) Tunjukkan pada klien berbagai gerakan sesuai dengan gerakan sendi
yang akan di ukur
3) Instruksikan klien untuk melakukan rentang gerak pada sendi yang
akan di ukur.
4) Untuk menilai ROM secara pasif, mintalah klien untuk rileks dan
kemudian secara pasif melakukan gerakan ekstremitas melalui
rentang gerak.
5) Posisikan pusat protraktor pada bagian tengah sendi yang akan ukur,
kemudian lakukan pengukuran sudut sendi.

Gambar 2.4 Pengukuran rentang gerak sendi lutut menggunakan goniometer

Sumber: Hoongenboom, et al (2014)

Gambar 2.5 Pengukuran rentang gerak sendi lutut menggunakan goniometer


Pada posisi supinasi (terlentang)
26

Sumber: Hanna et al. ( 2015)

3. Asuhan Keperawatan Osteoartritis


a. Pengkajian
Manifestasi klinis utama pada pasien OA adalah nyeri, kekakuan pada
sendi, gangguan fungsional (Hinkle & Cheever, 2014; Firestein et al., 2013;
Yadav & Attrey, 2017; Perrot, 2015). Hasil penelitian Radha & Gangadhar,
(2015) menunjukkan bahwa dari 150 pasien dengan osteoartritis primer
menunjukkan bahwa mayoritas (63,33%) mengalami nyeri sedang dan
sebanyak 51,33 % mengalami kekakuan sendi lutut. Hasil pemeriksaan fisik
biasanya ditemukan adanya nyeri tekan ringan pada sendi yang terkena,
penurunan rentang gerak sendi, krepitus pada saat dipalpasi, effusi sendi
(Black & Hawks, 2014; Hinkle & Cheever, 2014). Pada pemeriksaan
radiologi menunjukkan adanya penyempitan celah sendi dan adanya osteofit
(Hinkle & Cheever, 2014; Hochberg et al., 2015).

b. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respon manusia
terhadap gangguan kesehatan. Diagnosis keperawatan utama yang muncul
pada pasien OA adalah nyeri kronis berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal kronis, kerusakan jaringan. Sedangkan diagnosis
keperawatan utama yang lain adalah gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan penurunan rentang gerak sendi, dan nyeri (Herdman & Kamitsuru,
2015; Hinkle & Cheever, 2014).
27

c. Manajemen Keperawatan
Tujuan utama intervensi keperawatan pada OA adalah manajemen nyeri dan
perbaikan mobilitas. Manajemen nyeri meliputi farmakologi dan non
farmakologi. Manajemen non farmakologi diantaranya adalah edukasi,
exercise (latihan), penurunan dan kontrol berat badan, penggunaan
cane/tongkat, massage, local heat/ice dan teknik relaksasi. Sedangkan
farmakologis yaitu pemberian analgetik golongan NSAID (Black & Hawks,
2014; Hinkle & Cheever, 2014; Hochberg et al., 2015).

4. Latihan Isometrik
a. Pengertian
Latihan isometrik merupakan salah satu bentuk latihan penguatan, latihan
kontraksi otot di mana panjang otot tetap konstan sementara ketegangan otot
bertambah (Hoogenboom et al., 2014). Latihan isometrik merupakan latihan
dengan kontraksi otot tanpa pergerakan sendi sehingga tidak terjadi
perubahan pada panjang otot. Latihan isometrik dapat meningkatkan
ketegangan otot, tetapi tidak menambah ukuran otot. Latihan isometrik
sedikit meningkatkan heart rate dan cardiac output, tetapi tidak
meningkatkan secara khusus aliran darah ke bagian tubuh tertentu (Frandsen
et al., 2016).

b. Manfaat
Menurut Maher, Salmond, Pellino (2002) keuntungan dari latihan isometrik
adalah meningkatkan kekuatan otot sehingga meminimalkan potensi atrofi
otot, risiko minimal memprovokasi iritasi sendi, cocok untuk otot apapun,
merangsang mechano-reseptor dari sendi, dan tidak ada peralatan khusus
yang diperlukan. Thakur et al. (2017) latihan penguatan otot quadrisep yang
diberikan selama 2 minggu 3 kali per hari efektif dalam mengurangi nyeri
dan memperbaiki aktivitas fungsional pada penderita osteoartritis lutut yang
signifikan (pvalue < 0.001). Hasil penelitian terkait dengan manfaat latihan
isometrik yang dilakukan oleh Akodu et al. (2017) bahwa latihan isometrik
28

yang diberikan 2 kali sehari yang di evaluasi selama 4 minggu dan 8 minggu
dapat mengurangi rerata nyeri sebesar 4,63 (62,9 %), dan juga dapat
meningkatkan rerata range of motion (ROM) sebesar 4.51 pada pasien
dengan osteoartritis lutut dengan signifikansi (p value = 0.001).

Penelitian yang dilakukan Elbadawy (2017) bahwa home exercise (latihan


penguatan otot) yang di kombinasikan dengan TENS dapat menurunkan
rerata skor nyeri sebesar 3,81 dengan standard deviasi sebesar 0,45
(Pvalue=0.000) serta dapat meningkatkan kemampuan fungsional dengan
signifikan pada pasien osteoarthritis tahap lanjut (p value=0.000). Hasil
penelitian Sorour et al. (2014) menunjukkan bahwa latihan isometrik efektif
dalam mengurangi kekakuan dan fungsi fisik pada pasien dengan OA lutut.
Hasil penelitian Hernandez Rosa et al. (2012) menunjukkan bahwa latihan
isometrik dapat menurunkan rerata skor nyeri sebesar 2.67 poin.

c. Tipe latihan isometrik (isometric exercise)


Latihan penguatan isometrik otot kuadrisep dapat dilakukan dengan
berbagai tipe latihan. Pertama adalah latihan quadriceps setting, latihan ini
merupakan latihan penguatan isometrik otot kuadrisep dengan berfokus
pada kontraksi vastus medialis oblique. Kedua adalah latihan straight leg
raising (SLR), latihan ini merupakan latihan penguatan isometrik otot
kuadrisep dengan berfokus pada otot rectus femoris. Ketiga adalah latihan
isometrik dengan tahanan, latihan ini digunakan untuk mendapatkan
feedback proprioseptif saat otot berkontraksi isometrik melawan tahanan
( Nugraha & Kambayana, 2017).

d. Prinsip latihan isometrik (isometric exercise)


Latihan isometrik atau static exercise lebih ditujukan untuk kelainan
struktur sendi, kelemahan otot, terutama otot kuadrisep. Penguatan otot
kuadrisep menjadi focus latihan penguatan pasien OA lutut. Latihan
Quadricep setting dapat dilakukan dengan posisi berbaring (supine) atau
29

duduk, lutut ekstensi ekstensi, pergelangan kaki dorsofleksi. Pasien


diperintahkan untuk “ menekan lututnya ke bawah kemudian kencangkan
otot paha”. Selanjutnya kontraksi ditahan selama 10 detik, setelah kontraksi
selesai kemudian istirahat beberapa detik, setelah itu melakukan kontraksi
lagi. Latihan dilakukan 8-12 kali repitisi, bisa diulang beberapa kali sehari.
Apabila pasien merasa kurang nyaman, biisa ditambahkan gulungan handuk
di bawah lutut. Latihan straight leg raising (SLR) dilakukan dengan posisi
berbaring dengan lutut ekstensi, lutut kontralateral diposisikan fleksi
kemudian pasien diperintahkan untuk mengkontraksikan otot kuadrisep, lalu
tungkai diangkat sekitar 45 derajat fleksi panggul sambil tetap dalam
keadaan ekstensi. Tungkai di tahan pada posisi tersebut selama 10 hitungan,
kemudian tungkai diturunkan secara bertahap 30 atau 15 derajat untuk
menambah beban pada otot kuadrisep (Nugraha & Kambayana, 2017).

Prinsip latihan isometrik otot kuadrisep menurut Elbadawy (2017);


Kawasaki et al. (2009) yaitu kaki pasien dalam posisi ekstensi kemudian
diangkat dari lantai sekitar 10 cm atau bisa di letakkan gulungan handuk
dibawah lutut. Pasien diminta untuk mengkontraksikan otot kuadrisep
(paha) dan pergelangan kaki dorsofleksi selama 10 detik dan diikuti
relaksasi selama 5 detik dengan repitisi 10 kali. Prinsip latihan isometrik
menurut Maher, Salmond, Pellino (2002) yaitu saat melakukan latihan
kuadriseps klien diberi tahu untuk mengencangkan lutut dan
menkontraksikan otot paha depan tanpa gerakan sendi lutut. Latihan
isometrik yang maksimal dan latihan berulang telah terbukti menjadi
protokol efektif untuk meningkatkan kekuatan otot. Latihan isometrik
dilakukan maksimal 6 detik untuk kontraksi isometrik, diikuti dengan
istirahat 20 detik.

Gambar 2.6 Latihan isometrik untuk musculus quadriceps


30

Sumber: Nugraha & Kambayana, 2017

5. Jalan kaki
Jalan kaki merupakan aktifitas manusia yang fundamental dan sebagai alternatif
dari latihan fisik yang direncanakan, terstruktur dan adanya pengulangan atau
repetitif serta dapat meningkatkan fungsi pernafasan dan peredaran darah
(Sudoyo, 2009; Sittipornvorakul et al., 2018). Jalan kaki membutuhkan
koordinasi sejumlah otot dan sendi. Latihan jalan kaki sebagai latihan weight
bearing yang tidak membebani otot dan tulang secara berlebihan namun dapat
menstimulasi adaptasi yang dapat meningkatkan massa otot dan tulang serta
meningkatkan kekuatan atau ketahanan otot (Kelly et al., 2017).
Jalan kaki merupakan aktifitas ritmik dinamis, terutama melibatkan kontraksi
otot ekstremitas bawah terutama otot paha (Kelly et al., 2017). Saat berjalan, tiap
ektremitas mengalami satu stance phase dan satu swing phase. Proses stance
phase diawali dengan tumit menyentuh lantai dan berakhir saat mengangkat ibu
jari pada kaki yang sama. Otot-otot yang terlibat dalam stance phase meliputi
musculus quadricep femoris, otot-otot dorsoflexor: musculus tibialis anterior,
extensor digitorum longus, dan ekstensor halucis longus, musculus gluteus
medius dan gluteus maximus, serta musculus gastrocnemius, musculus soleus,
dan musculus flexor halucis longus. Swing phase merupakan proses jalan kaki
yang diawali dengan terangkatnya ibu jari dan berakhir dengan tumit menyentuh
lantai. Otot-otot yang terlibat dalam swing phase meliputi otot dorsoflexor,
musculus hamstring, musculus quadriceps, musculus iliopsoas, musculus
adductor longus dan magnus ( Hoppenfield, 2001; Nielsen, 2013).
Saat berjalan dibutuhkan koordinasi yang baik dari beberapa otot yang berbeda.
Aktifitas dan koordinasi dari otot-otot ekstremitas bawah tidak hanya untuk
gerakan dan keseimbangan, tetapi diperlukan juga untuk pemeliharaan stabilitas
sendi. Stabilisasi sendi dibantu oleh kerja dari reseptor sensorik melalui sistem
31

otot gamma untuk menyesuaikan terhadap aktifitas otot yang ada di sekitar sendi
(Khademi et al., 2017). Jalan kaki juga mampu melatih otot-otot yang dapat
menjaga fleksibilitas sendi lutut sehingga dapat meningkatkan jangkauan gerak
sendi sera kekakuan sendi berkurang (Ambrose & Golightly, 2015).
Beberapa penelitian menunjukkan manfaat dari jalan kaki diantaranya kesehatan
sendi lutut, menimbulkan perasaan lebih baik, meningkatkan harga diri,
meningkatkan fungsi kognitif, dan hidup terasa lebih berkualitas (Farrokhi et al.,
2017; Kelly et al., 2017). Penelitian lain juga menunjukkan manfaat dari jalan
kaki berupa menurunkan fatigue serta meningkatkan kesehatan mental dan fisik
(Lee, Kilgour, & Lau, 2012). Jalan kaki adalah aktifitas yang mudah dan
sederhana, tidak hanya memiliki keuntungan untuk kesehatan fisik dan mental.
Namun jalan kaki juga dapat meningkatkan kekuatan otot kuadrisep dan
menurunkan nyeri khususnya pada pasien OA (Hiyama et al., 2011).
Berkurangnya nyeri pada saat jalan kaki terjadi karena stimulasi adaptasi yang
dapat meningkatkan massa otot, tulang serta meningkatkan kekuatan atau
ketahanan otot kuadrisep dan perbaikan mood melalui stimulasi pengeluaran
endorphin (Kelly et al., 2017). Hal ini diperkuat oleh Rokade, (2011) yang
menunjukkan bahwa endorphin di produksi dan dilepaskan oleh kelenjar
pituitary yang di stimulasi dari jalan kaki yang kontinyu dan teratur.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wallis et al. (2015) menjelaskan
bahwa batas toleransi waktu maximal yang dibutuhkan untuk latihan jalan kaki
pada pasien OA adalah 70 menit per minggu. Sedangkan hasil penelitian
Farrokhi et al. (2017) menunjukkan bahwa latihan jalan kaki yang dilakukan
kurang dari 30 menit dapat menurunkan nyeri dan aman (tidak menambah beban
pada sendi lutut) pada pasien OA. Hasil penelitian Peiris et al. (2017)
menjelaskan bahwa batas toleransi waktu maximal yang dibutuhkan untuk
latihan jalan kaki pada pasien hip fraktur untuk proses pemulihan pascaoperasi
adalah 100 menit per minggu. Setelah 1 minggu latihan jalan kaki menunjukkan
peningkatan mobilitas (perbedaan mean 5.3, 95% CI 1.7-8.9, pvalue= 0.006).
sedangkan hasil penelitian Loew et al, (2017) menunjukkan bahwa jalan kaki
yang dilakukan tiga kali seminggu dengan durasi 25 menit pada bulan pertama,
32

selanjutnya dinaikkan 5 menit pada bulan berikutnya dapat menurunkan


kekakuan (nyeri sendi) pada pasien OA lutut (P< 0.01).

B. Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa konsep yang telah dijelaskan di bab 2, maka dapat
dikembangkan kerangka teori penelitian sebagai panduan penelitian. Hal ini
tergambar pada skema 2.1

Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Osteortritis lutut

Degradasi matriks kartilago

Nyeri lutut Rentang


menurun gerak sendi
Perasaan tenang, Pengurangan proteoglikan dan meningkat
rileks dan kartilago dalam matriks
nyaman
Rusaknya permukaan artikular
Penurunan kerusakan
Merangsang matriks kartilago
Pertumbuhan osteofit
pengeluaran endorphin menurun
dan enchepalin oleh
Perubahan struktur sendi Pelepasan
kelenjar pituitari
metalloproteinase (MMPs)
Ketidakseimbangan kolagenolitik oleh
Oksigenasi sel baik permukaan tulang cytokines menurun
(otot dan otak)

Nyeri lutut
Stres mekanikal
Latihan jalan
menurun
kaki Pergerakan sendi
Faktor yang terbatas Kekuatan otot
mempengaruhi
kuadrisep, dan
Usia
Jenis kelamin Latihan isometrik otot kuadrisep stabilisasi lutut
IMT meningkat
Derajat OA
Penggunaan terapi
analgetik
Lamanya mengalami
OA
33

C. Kerangka Konsep

Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Latihan Jalan kaki


Nyeri dan rentang
gerak sendi
Latihan isometrik
otot kuadrisep

Variabel confounding:
Usia
Jenis kelamin
Indeks Masa Tubuh
(IMT)
Derajat OA
Penggunaan terapi
analgetik
Lamanya mengalami
OA lutut
34

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, menggunakan quasi-
experimental design dengan pendekatan rancangan non equivalent control
group before–after design, dimana desain ini melibatkan dua atau lebih
kelompok yang akan di obeservasi sebelum dan sesudah intervensi (Polit &
Beck, 2010). Penelitian ini terdiri dari dua kelompok intervensi yaitu kelompok
intervensi I diberikan latihan jalan kaki, sedangkan kelompok intervensi II
diberikan latihan isometrik kuadrisep. Terapi analgetik standart tetap diberikan
pada kedua kelompok. Penelitian ini untuk menilai perbedaan efektifitas jalan
kaki dan latihan isometrik quadrisep terhadap nyeri dan rentang gerak sendi lutut
sebelum dan sesudah dilakukan perlakukan/intervensi.
B. Populasi dan Sampel
Penelitian ini menggunakan populasi terjangkau yaitu seluruh pasien
osteoartritis (OA) lutut di Poliklinik Orthopedi RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo
Purwodadi. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien OA lutut di RSUD
Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
Pengambilan sampel penelitian dilakukan menggunakan non probability
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari anggota populasi secara tidak
acak. Teknik yang dipakai untuk pengambilan sampel menggunakan consecutive
sampling yaitu suatu metode pemilihan sampel dengan memilih semua individu
yang ditemui serta berdasarkan kriteria pemilihan (Darma, 2011). Adapun
kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi
a. Pasien rawat jalan yang didiagnosis OA lutut berdasarkan diagnosis
medis
b. Pasien OA lutut unilateral
c. Usia ≥ 50 tahun
35

d. Pasien OA derajat 2 atau lebih yang tidak sedang dalam fase akut
(inflamasi) seperti bengkak dan kemerahan pada sendi lutut
e. Mengalami nyeri dengan skala nyeri 3-6
f. Mengalami penurunan rentang gerak sendi
g. Kooperatif dan Komunikatif
h. Bersedia menjadi responden penelitian
2. Kriteria ekslusi
a. Pasien OA lutut pasca pembedahan
b. Pasien OA lutut yang baru mengalami injury (cedera) lutut
c. Pasien OA lutut yang mengalami gangguan neurologis/gangguan
motorik
3. Kriteria drop out (DO)
a. Responden tidak melakukan latihan lebih dari 2 kali/minggu
b. Responden yang mengalami eksaserbasi yang ditandai bengkak pada
lutut disertai kemerahan dan nyeri yang semakin bertambah berat
Perhitungan besar sampel untuk penelitian analitik numerik uji
hipotesis beda rata-rata tidak berpasangan (independen) menggunakan rumus
sebagai berikut:
[Z𝜶+Zβ] S 2

n1= n2= 2
(X1 - X2)
Keterangan;

n = Besar sampel
Z𝜶 = Derivat baku alfa, Z𝜶 sebesar 95% = 1,96
Zβ = Derivat baku beta, Zβ sebesar 80% = 0,842
S = Simpangan baku dua kelompok (gabungan) pada penelitian
sebelumnya
X1-X2 = Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna
Berdasarkan hasil penelitian oleh Akodu et al. (2017) tentang latihan
isometrik terhadap nyeri, didapatkan simpangan baku gabungan dua kelompok
adalah 0,59; sedangkan selisih minimal rerata yang dianggap bermakna adalah
0,6; derajat kemaknaan 5% dan power 80%. Berdasarkan rumus di atas maka
36

jumlah sampel minimal pada penelitian ini sebesar 15 responden yang diperoleh
melalui perhitungan sebagai berikut:
[1,96+0.842]2 x (0,59)2
n1= n2=2
(0.6)2

(7,84) x (0,34)
n1= n2=2
0,36

n1= n2= 2 (7,4) = 14,8 ⩯ 15

Mengantisipasi kemungkinan responden yang drop out maka


menggunakan penghitungan koreksi besar sampel menggunakan rumus sebagai
berikut (Sastroasmoro & Ismael, 2011)

N
n’=
( 1-f )

Keterangan:
n' = Jumlah sampel yang direncanakan diteliti
n = Besar sampel yang dihitung
f = Perkiraan proporsi dropout
Setelah dihitung dengan koreksi sebesar 10%, maka besar sampel minimal
adalah 17 responden untuk masing-masing kelompok intervensi I dan kelompok
intervensi II yang diperoleh melalui perhitungan:

15
n’= = 16,7⩯17
(1-0,1)

C. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Orthopedi RSUD Dr.Soedjati
Soemodiarjo Purwodadi. Tempat ini dipilih karena rumah sakit ini termasuk
pusat rujukan kasus orthopedi untuk wilayah Purwodadi dan sekitarnya, jumlah
pasien yang memungkinkan untuk dilakukan penelitian, mudah dijangkau oleh
31

37

peneliti, dan belum pernah dilakukan penelitian terkait dengan topik diatas.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2022.

D. Variabel Penelitian
Penelitian ini menggambarkan hubungan dua jenis variabel yaitu
variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen dalam
penelitian ini adalah Jalan kaki dan latihan isometrik otot kuadrisep. Sedangkan
variabel dependennya adalah nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien
osteoartritis lutut. Kemudian beberapa faktor yang berkonstribusi terhadap nyeri
dan rentang gerak sendi osteoartritis lutut seperti usia, Indeks Masa Tubuh
(IMT), jenis kelamin, derajat OA, penggunaan terapi analgetik dan lamanya
mengalami OA lutut dimasukkan sebagai variabel confounding (perancu) dalam
penelitian ini.

Tabel 3.1 Variabel Penelitian

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala


dan Alat Ukur Ukur
A. Variabel Independen
1. Latihan Serangkaian gerakan maju Panduan 1= Jalan kaki Nominal
Jalan kaki dari suatu tempat menuju Pelaksanaan
tempat yang lain tanpa Latihan jalan 2= Latihan
terputus, dilakukan secara kaki Isometrik
ritmis dan sistematis. Otot
Latihan dilakukan pada Kuadrisep
pagi hari selama 15 menit
kontinyu (tanpa putus), 5
kali dalam seminggu
selama 2 minggu.

2. Latihan Melakukan kontraksi pada Panduan


Isometrik otot kuadrisep dengan Pelaksanaan
kuadrisep posisi kaki dalam keadaan Latihan
ekstensi dan pergelangan Isometrik
kaki dorsofleksi dengan Kuadrisep
meletakkan gulungan
handuk dibawah lutut.
Kontraksi dipertahankan
selama 10 detik dan diikuti
relaksasi selama 5 detik
dengan repitisi 10 kali,
dilakukan 5 kali dalam
seminggu dengan frekuensi
38

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala


dan Alat Ukur Ukur
A. Variabel Independen
1 kali sehari pada pagi hari
selama 2 minggu.

B. Variabel Dependen

1. Nyeri Intensitas nyeri pada lutut Nyeri diukur Nilai Skala Rasio
yang dirasakan sebagai sebelum dan Nyeri 0-10
suatu ketidaknyamanan sesudah pada visual
pada pasien osteoarthritis intervensi analog scale
lutut sebelum dan sesudah melalui laporan (VAS)
dilakukan intervensi pasien dengan (Potter &
menunjukkan Perry, 2009)
skor nyeri pada
rentang visual
analog scale
(VAS)

2. Rentang Besarnya gerakan Rentang gerak Nilai rentang Rasio


Gerak sendi maksimum yang dapat sendi diukur gerak sendi
dicapai oleh salah satu sesuai yang pada lutut
sendi lutut dalam satuan mampu paling rendah
derajat melalui gerakan dilaksanakan 00 dan paling
fleksi dan ekstensi lutut klien tinggi pada
sampai adanya nyeri menggunakan gerakan
goniometer fleksi= 1200-
1300
dan gerakan
ekstensi=
1200-1300
(Potter &
Perry, 2009)
C. Variabel Confounding (Perancu)
1. Usia Jumlah tahun mulai saat Kuesioner Dinyatakan Interval
responden dilahirkan karakteristik dalam tahun
sampai dilakukan penelitian responden
≥ 50 tahun tentang usia
dalam tahun

2. Jenis Identitas seksual responden Kuesioner Dinyatakan Nominal


Kelamin karakteristik dalam:
responden 1. Laki-laki
tentang jenis 2. Perempun
kelamin

3. Indeks masa Ukuran antropometri yang Pengukuran Dinyatakan Ordinal


tubuh di ukur dengan berat badan dalam:
39

menggunakan dengan 1. IMT<


perbandingan berat badan timbangan BB 18,5=
(kg) dan tinggi badan dan tinggi badan kurus
dengan meteran. 2. IMT 18,5-
Hasil 24,9=
pengukuran normal
kemudian 3. IMT≥
dimasukkan 25,0= lebih
menggunakan (Kemenkes
rumus BMI = , 2013)
BB (kg)
/TB2(m2)

4. Derajat OA Kondisi tulang dan sendi Data rekam Dinyatakan Ordinal


lutut berdasarkan diagnosis medik pasien dalam:
medis berkaitan 1. Derajat 2
dengan derajat 2. Derajat 3
OA 3. Derajat 4
(Kellgren &
Lawrence
dalam
Hochberg et
al., 2015)

5. Penggunaan Obat anti nyeri golongan Data rekam Dinyatakan Nominal


Terapi NSAID yang di konsumsi medik dan dalam:
Analgetik oleh responden berdasarkan kuesioner 1. Diminum
resep dan petunjuk dokter Sesuai
anjuran/
petunjuk
dokter
2. Diminum
tidak sesuai
anjuran/
petunjuk
dokter

6. Lamanya Jumlah waktu dalam bulan Kuesioner Dinyatakan Interval


OA lutut mulai responden karakteristik dalam bulan
mengalami OA lutut hingga responden
saat pengambilan data tentang berapa
lama mengalami
OA

.
40

E. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data

1. Kuantitatif

Data primer adalah data yang d Ikumpulkan oleh peneliti secara


langsung pada responden saat penelitian dilakukan.

Pengukuran skala nyeri menggunakan instrument visual analog scale


(VAS). Hasil pengukuran nyeri didapatkan dengan cara responden
menyampaikan atau melaporkan keadaan nyerinya menggunakan VAS.
Responden menunjukkan keadaan nyerinya pada sebuah rentang garis lurus
sepanjang 10 cm, mulai dari tidak nyeri (no pain) pada ujung kiri dan nyeri
tak tertahankan (unbearable pain) pada ujung kanan. Instruksikan pada
pasien untuk memberikan titik pada rentang garis lurus diantara titik tidak
merasakan nyeri sampai dengan nyeri tidak tertahankan sesuai dengan
kondisi nyeri yang di rasakan saat ini. Kemudian hasilnya diukur dengan
menggunakan penggaris.

Rentang gerak sendi diukur menggunakan alat goniometer. Instrumen ini


memiliki dua lengan yang fleksibel dengan sudut protraktor 360 derajat.
Satuan hasil pengukuran adalah derajat. Anjurkan klien untuk rileks,
kemudian klien diminta untuk melakukan gerakan fleksi pada sendi lutut
yang akan di ukur sampai ada tahanan. Posisikan pusat protraktor dari
goniometer pada bagian tengah sendi lutut yang akan ukur, kemudian
lakukan pengukuran sudut sendi dan baca hasilnya.

IMT di ukur dengan menggunakan perbandingan berat badan (kg) dan


tinggi badan (IMT = BB (kg) /TB2(m2)). Berat badan diukur menggunakan
pengukur berat badan digital dan TB diukur menggunakan pengukur tinggi
badan (meteran).

Data sekunder adala data yang didapat dari rekam medik pasien (status
pasien) yang ada di poliklinik orthopedi RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo
Purwodadi. Data sekunder terdiri dari karakteristik responden yang meliputi
nama, jenis kelamin, usia, derajat OA dan penggunaan terapi analgetik.
41

2. Rencana Jalannya Penelian

Proses jalannya penelitian dilakukan peneliti pada penelitian ini adalah


sebagai berikut:

1. Tahap Perencanaan
a. Mengajukan surat permohonan ijin penelitian (RSUD Dr.Soedjati
Soemodiarjo Purwodadi).
b. Survey pendahuluhan di RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadi.
c. Penyusunan lembar observasi.
2. Tahap Pengambilan Data
a. Pre Intervensi : Setelah mendapatkan ijin penelitian dari RSUD
Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadi kemudian peneliti mengadakan
sosialisasi kepada dokter, penanggung jawab poli dan staf perawat
poliklinik orthopedi mengenai maksud, tujuan dan prosedur penelitian.
Peneliti dibantu oleh 1 orang asisten peneliti dengan pendidikan S1
keperawatan (ners) untuk bekerjasama dengan peneliti dalam proses
pengumpulan data. Asisten peneliti terlibat dalam memberikan
intervensi latihan jalan kaki pada kelompok intervensi I dan latihan
isometrik kuadrisep pada kelompok intervensi II, serta pengumpulan
data karakteristik responden. Asisten peneliti sebelumnya diberikan
pelatihan singkat berdasarkan panduan yang telah dibuat peneliti
tentang jalan kaki dan latihan isometrik kuadrisep. Peneliti dan asisten
peneliti mengidentifikasi karakteristik responden yang menjadi anggota
populasi, kemudian menentukan calon responden berdasarkan kriteria
inklusi dan ekslusi dari subjek penelitian. Peneliti dan asisten peneliti
menjelaskan tujuan, manfaat serta prosedur penelitian kepada calon
responden. Setelah responden mengerti dan memahami serta setuju
untuk terlibat dalam penelitian, responden diminta menandatangani
surat persetujuan untuk menjadi responden penelitian (informed consent
terlampir: lampiran 2). Peneliti membagi responden menjadi dua
kelompok yaitu kelompok intervensi I (latihan jalan kaki) dan
kelompok intervensi II (latihan isometrik kuadrisep). Pembagian
42

kelompok sesuai urutan pasien yang masuk ke ruang poliklinik


orthopedi RSUD Soemodiarjo Purwodadi. Sampel yang diambil
pertama adalah kelompok intervensi I sebanyak 17 orang, setelah
kelompok intervensi I terpenuhi, berikutnya diambil 17 orang sebagai
kelompok intervensi II.
b. Intervensi , Kelompok Intervensi I: Latihan Jalan Kaki, Peneliti dibantu
asisten peneliti melakukan pengukuran skor nyeri menggunakan VAS
dan rentang gerak sendi menggunakan goniometer pada responden
sebagai data awal (pre test) dan kemudian hasilnya didokumentasikan
pada lembar pengumpulan data, Peneliti kemudian memberikan
pengetahuan dan penjelasan tentang latihan jalan kaki pada kelompok
intervensi I, serta selama latihan responden tetap dianjurkan
mengkonsumsi obat analgetik sesuai petunjuk dokter. Setelah
memberikan pengetahuan dan penjelasan tentang latihan tersebut,
kemudian peneliti memberikan contoh dan selanjutnya
mendemonstrasikan secara langsung pada responden (prosedur latihan .
Sebelum melakukan latihan jalan kaki, jika responden masih ragu untuk
melakukan latihan tersebut karena nyerinya, responden menghubungi
peneliti pertelfon. Kemudian peneliti menanyakan skala nyeri
menggunakan numeric rating scale (NRS) terlebih dahulu. Kemudian
jika hasil skor nyerinya diatas 6 maka untuk sementara latihan ditunda
pada hari berikutnya, tetapi jika skor nyerinya kurang dari enam (6)
tanpa disertai pembengkakan pada lutut maka responden boleh
melakukan latihan. Responden dianjurkan untuk meminum analgetik
terlebih dahulu sebelum latihan. Latihan jalan kaki diawali dengan
melakukan latihan nafas dalam terlebih dahulu sebanyak 10 kali.
Kemudian melakukan latihan jalan kaki selama 15 menit secara
kontinyu (tanpa putus/berhenti) pada jalan yang datar, dilakukan satu
(1) kali pada pagi hari secara rutin, lima (5) kali seminggu selama dua
(2) minggu.
Pada Latihan rentang gerak sendi, peneliti dibantu asisten peneliti
melakukan pengukuran skor nyeri menggunakan VAS dan rentang
43

gerak sendi menggunakan goniometer pada responden sebagai data


awal (pre test) dan kemudian hasilnya didokumentasikan pada lembar
pengumpulan data. Peneliti kemudian memberikan pengetahuan dan
penjelasan tentang latihan isometrik kuadrisep pada kelompok
intervensi II, serta selama latihan responden tetap dianjurkan
mengkonsumsi obat analgetik sesuai petunjuk dokter. Setelah
memberikan pengetahuan dan penjelasan tentang latihan tersebut,
kemudian peneliti memberikan contoh dan selanjutnya
mendemonstrasikan secara langsung pada responden. Sebelum
melakukan latihan latihan isometrik kuadrisep, jika responden masih
ragu untuk melakukan latihan tersebut karena nyerinya, responden
menghubungi peneliti pertelfon. Kemudian peneliti menanyakan skala
nyeri menggunakan numeric rating scale (NRS) terlebih dahulu.
Kemudian jika hasil skor nyerinya diatas enam (6) maka untuk
sementara latihan ditunda pada hari berikutnya, tetapi jika skor nyerinya
kurang dari enam (6) tanpa disertai pembengkakan pada lutut maka
responden boleh melakukan latihan. Responden dianjurkan untuk
meminum analgetik terlebih dahulu sebelum latihan. Latihan isometrik
kuadrisep diawali dengan melakukan latihan nafas dalam terlebih
dahulu sebanyak 10 kali. Kemudian melakukan latihan isometrik
kuadrisep dengan mengkontraksikan otot kuadrisep sebanyak 10 kali
repitisi, dilakukan satu (1) kali pada pagi hari secara rutin, lima (5) kali
seminggu selama dua (2) minggu.
c. Post Intervensi : Peneliti dan asisten peneliti melakukan penguatan
(home visite) 2 kali seminggu dan dilakukan monitoring per telfon
setiap hari oleh peneliti. Evaluasi nyeri dan rentang gerak sendi
dilakukan pada hari ke tujuh (7) dan hari ke empat belas (14).
3. Tahap Analisis Data
Data dianalisis menggunakan analisis ;
a. analisis data demografi responden menggunakan distribusi rekuensi
b. Analisis nyeri dan rentang gerak sendi menggunakan distribusi
frekuensi
44

c. Uji Normalitas
d. Apabila distribusi data Normal maka menggunakan uji Paired-T tes,
namun jika distribusi data tidak normal menggunakan uji Wilcoxon.

F. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui


langkah-langkah sebagai berikut:

a. Edit data (editing)


Data yang sudah dikumpulkan diperiksa kelengkapan dan kesesuaiannya. Jika
data kurang lengkap atau kurang jelas maka dilakukan konfirmasi untuk
memperoleh data yang sebenarnya.
b. Pemberian kode (coding)
Data diklasifikasikan menurut masing-masing kategori. Setiap kategori
jawaban diberi kode yang berbeda untuk mempermudah pengolahan data.
c. Memasukkan data (entry/processing)
Data yang sudah diberi kode Data yang sudah diberi kode selanjutnya
dimasukkan ke program komputer untuk dilakukan analisis dengan
menggunakan software statistik.
d. Pengecekan data (cleaning)
Pengecekan data dilakukan untuk memastikan bahwa data telah bersih dari
kesalahan seperti pengkodean atau kesalahan pada saat entry data.
e. Analisis Data
Menggunakan distribusi frekuensi dan uji Paired-T tes atau Wilcoxon

G. Etika Penelitian

Pada penelitian ini memperhatikan hal yang menyakut etika peelitian sebagai
berikut ;
1. Self determinant
Responden diperlakukan secara manusiawi. Responden mempunyai hak
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi responden atau tidak, tanpa
adanya sangsi apapun atau akan berakibat bagi kesembuhannya. Artinya
45

responden tetap mendapatkan pelayanan baik medis maupun keperawatan


seperti biasa sesuai dengan prosedur yang ada.
2. Privacy & Anonimity
Responden mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan bersifat
rahasia (confidentiality). Semua data yang dikumpulkan selama penelitian
disimpan dan dijaga kerahasiaannya, dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian. Identitas responden berupa nama diganti dengan inisial, alamat
dan nomor telepon dicantumkan atas kesepakatan bersama.
3. Confidentialty
Kerahasiaan semua responden yang diperoleh dan subjek-subjek penelitian
dijamin oleh peneliti. Semua catatan dan data responden disimpan sebagai
dokumentasi penelitian. Data akan dimusnahkan setelah selesai diteliti dan
tidak digunakan dalam penelitian yang lain.
4. Protection from discomfort
Peneliti mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang akan berakibat
kepada responden.
5. Justice
Responden berhak mendapatkan perlakuan yang adil baik sebelum, selama,
dan setelah berpartisipasi dalam penelitian, tanpa adanya diskriminasi.
6. Informed Consent
Informed consent diberikan sebelum penelitian dilakukan agar subjek
mengerti tujuan dan maksud.
46

BAB IV

A. Anggaran Biaya
Tabel 4.1 Anggaran Biaya
No Jenis Kegiatan Pengeluaran
Honorarium
1 1.500.000
2 Pembelian bahan habis pakai untuk
ATK, fotocopy,tinta printer surat
menyurat, penyusunan laporan,
cetak, penjilidan laporan, publikasi, 4.800.000
pulsa, internet, penjilidan proposal
(maks.60%)

3 Perjalanan untuk biaya


survey/sampling data,
seminar/workshop DN-LN, biaya 1.700.000
akomodasi konsumsi,
perdiem/lumsum, transport (maks.
40%)
Jumlah Rp 8.000.000

B. Jadwal Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Tahun 2022

Sep Okt Nov Des

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Persiapan Proposal

2 Revisi Proposal Penelitian

3 Pengajuan Ijin Penelitian

4 Pelaksanaan Penelitian

5 Seminar Hasil
47

DAFTAR PUSTAKA

Akodu, A.K., Fapojuwo, O.A., Quadri, A.A (2017)Ambrose, K. R., & Golightly, Y. M.
(2015). Best Practice & Research Clinical Rheumatology Physical exercise as non-
pharmacological treatment of chronic pain : Why and when, 29, 120–130.
48

https://doi.org/10.1016/j.berh.2015.04.022

Anderson, A., & Loeser, R. F. (2010). Why is osteoarthritis an age-related disease? Best
Practice and Research: Clinical Rheumatology, 24(1), 15–26.
http://doi.org/10.1016/j.berh.2009.08.006

Black, J.M. & Hawk, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah:Manajemen Klinis


untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi 8. Buku 1. Jakarta: Salemba Medika

Bokaeian, H. R., Bakhtiary, A. H., Mirmohammadkhani, M., & Moghimi, J. (2017).


Quadriceps strengthening exercises may not change pain and function in knee
osteoarthritis. Journal of Bodywork and Movement Therapies.
https://doi.org/10.1016/j.jbmt.2017.06.013
Brosseau, L., Taki, J., Desjardins, B., Thevenot, O., Fransen, M., Wells, G. A., …
Gifford, W. (2017). The Ottawa panel clinical practice guidelines for the
management of knee osteoarthritis . Part two : strengthening exercise programs.
https://doi.org/10.1177/0269215517691084
Brosseau, L., Wells, G. a, Tugwell, P., Egan, M., Dubouloz, C.-J., Casimiro, L., …
Teav, A. (2011). Ottawa Panel evidence-based clinical practice guidelines for the
management of osteoarthritis in adults who are obese or overweight. Physical
Therapy, 91(6), 843–861. http://doi.org/10.2522/ptj.20100104
Connor, S. R. O., Tully, M. A., Ryan, B., Bleakley, M., Baxter, G. D., Bradley, J. M., &
Suzanne, M. (2014). UKCRC Centre of Excellence for Public Health ( Northern
Ireland ), United Kingdom. Archives of physical medicine and rehabilitation,
(2015). https://doi.org/10.1016/j.apmr.2014.12.003

Craven, R.F., Hirnle, C.J., Jensen, S (2013) Fundamental of Nursing Human Health and
Function. 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Creamer, P., & Hochberg, M. C. (2000). Factors associated with functional impairment
in symptomatic knee osteoarthritis, 490–496.

Davison, M. J., Ioannidis, G., Maly, M. R., Adachi, J. D., & Beattie, K. A. (2016).
Intermittent and constant pain and physical function or performance in men and
women with knee osteoarthritis : data from the osteoarthritis initiative, 371–379.
http://doi.org/10.1007/s10067-014-2810-0
Dahlan, S. M. (2014). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat,
dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi Menggunakan SPSS. Edisi 6. Jakarta:
Epidemiologi Indonesia
Dharma, K.K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media
D’Arcy, (2007). Pain Management ; Evidence Based Tools and Techiques for Nursing
Professional. United States of America; HCPro Inc.
49

Elbadawy, M. A. (2017). Effectiveness of Periosteal Stimulation Therapy and Home


Exercise Program in the Rehabilitation of Patients With Advanced Knee
Osteoarthritis, 33(3), 254–263. https://doi.org/10.1097/AJP.0000000000000404
Enohumah, K.O., Imarengiaye, C.O (2008) Pain in Osteoarthritis. African Journal of
Biomedical Research. 11; 119 - 128
Farrokhi, S., Jayabalan, P., Gustafson, J. A., Klatt, B. A., Sowa, G. A., & Piva, S. R.
(2017). Gait & Posture The in fl uence of continuous versus interval walking
exercise on knee joint loading and pain in patients with knee osteoarthritis. Gait &
Posture, 56(May 2016), 129–133. https://doi.org/10.1016/j.gaitpost.2017.05.015

Felson, Lawrence, PA, D., R, H., & Helmick CG, Jordan JM, E. (2000). al.
Osteoarthritis: new insights. Part 1: the disease and its risk factors. Annals of
Internal Medicine, 133(8), 637–639. http://doi.org/10.7326/0003-4819-133-8-
200010170-00016

Firestein G.S, Budd R.C, Gabriel S.E, McInnes I.B, O’Dell J.R (2013) Kelley’s
Textbook of Rheumatology. Ninth Edition. Vol II. Philadelphia: Elsevier

Frandsen, G., Snyder, S.J., Berman, A. (2016). Kozier and Erb’s Fundamentals of
nursing, concept, process and practic, 10th Edtion. New Jersey : Pearson
Education.

Goncharov, N., & Priorov, N. N. (2011). Osteoarthritis Etiology : Pain as a Basis of


Local Therapy, 6(3), 142–145.

Halstead, J.A. (2006). Orthopedic Nursing: Caring for Patients with Musculoskeletal
Disorders. Western Schools. American Nurses Credentialing Center (ANCC).
Brockton

Hamer, M., & Chida, Y. (2007). Walking and primary prevention : a meta-analysis of
prospective cohort studies. https://doi.org/10.1136/bjsm.2007.039974

Hanna Lestari, H., Nurul, D.I., Rachmat, N., Setyawan, D., Saputra, E., Ismail, R.
(2012). Pengukuran Jangkauan Gerak Pada Lutut Orang Indonesia Sebagai Data
Awal Perancangan Kaki Tiruan Atas Lutut, 64–69.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2015). NANDA International, Inc. Diagnosis
Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Ed.10. Jakarta: EGC.

Hernández Rosa, U., Velásquez Tlapanco, J., Lara Maya, C., Villarreal Ríos, E.,
Martínez González, L., Vargas Daza, E. R., & Galicia Rodríguez, L. (2012).
Comparison of the Effectiveness of Isokinetic vs Isometric Therapeutic Exercise in
Patients With Osteoarthritis of Knee. Reumatología Clínica (English Edition),
8(1), 10–14. https://doi.org/10.1016/j.reumae.2011.08.003

Heidari, B. (2011). prevalence, risk factors, pathogenesis and features: Part I, (Md).
Caspian J Intern Med 2 (2)
50

Heijink, A., Vanhees, M., van den Ende, K., van den Bekerom, M. P., van Riet, R. P.,
Van Dijk, C. N., & Eygendaal, D. (2016). Biomechanical considerations in the
pathogenesis of osteoarthritis of the elbow. Knee Surgery, Sports Traumatology,
Arthroscopy, 24(7), 2313–2318. http://doi.org/10.1007/s00167-015-3518-7

Hinkle, J.L & Cheever, K.H (2014). Brunner and Sudarth’s TextBook of Medical
Surgical Nursing, 13th Edition. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins

Hiyama, Y., Yamada, M., Kitagawa, A., Tei, N., & Okada, S. (2011). A four-week
walking exercise programme in patients with knee osteoarthritis improves the
ability of dual-task performance : a randomized controlled trial, 1–4.
https://doi.org/10.1177/0269215511421028

Hochberg, M.C., Silman, A.J., Smolen, J.S., Weinblatt, M.E., Weisman, M.H (2015)
Rheumatology, 6th Edition, Philadelphia; Mosby Elsevier.

Hoogenboom B.J., Voight M.l., Prentice W.E (2014) Musculoskeletal Interventions:


Techniques for therapeutic Exercise. 3th Edition. McGraw-Hill Education

Hoppenfield, S. (2001). Physical Examination of the Spine and Extremitas. Appleton


Century Crofts

Huétink, K., Stoel, B. C., & Watt, I. (2015). Identification of factors associated with the
development of knee osteoarthritis in a young to middle-aged cohort of patients
with knee complaints, 1769–1779. https://doi.org/10.1007/s10067-014-2774-0

Hunter, D. J., Guermazi, A., Roemer, F., Zhang, Y., & Neogi, T. (2013). Structural
correlates of pain in joints with osteoarthritis. YJOCA, 21(9), 1170–1178.
https://doi.org/ 10.1016/j.joca.2013.05.017
Johnson VL, Hunter DJ (2014) The epidemiology of osteoarthritis. Best Pract Res Clin
Rheumatol 28(1):5–15. https://doi.org/10.1016/j.berh.2014.01.004

Kappetijn, O., van Trijffel, E., & Lucas, C. (2014). Efficacy of passive extension
mobilization in addition to exercise in the osteoarthritic knee: An observational
parallel-group study. Knee, 21(3), 703–709.
https://doi.org/10.1016/j.knee.2014.03.003

Kawasaki, T., Kurosawa, H., Ikeda, H., Takazawa, Y., Ishijima, M., Kubota, M.,
Kajihara, H., Maruyama, Y., & Kanazawa, H. (2009). Therapeutic home exercise
versus intraarticular hyaluronate injection for osteoarthritis of the knee : 6-month
prospective randomized open-labeled trial, 14(8), 182-191. DOI: 10.1007/s00776-
008-1312-9

Kelly, P., Murphy, M., & Mutrie, N. (2017). The health benefits of walking.
https://doi.org/10.1108/S2044-994120170000009004
51

Kementerian Kesehatan RI. (2013) Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:


Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/buku_laporan/lapnas_riskesdas20
13/Laporan_riskesdas_2013.pdf.

Khademi-kalantari, K., Rahimi, F., & Jaberzadeh, S. (2017). ScienceDirect Lower limb
muscular activity during walking at different speeds : Over-ground versus treadmill
walking : A voluntary response evaluation, 605–611.
https://doi.org/10.1016/j.jbmt.2016.09.009

Kiadaliri, A. A., Lamm, C. J., de Verdier, M. G., Engström, G., Turkiewicz, A.,
Lohmander, L. S., & Englund, M. (2016). Association of knee pain and different
definitions of knee osteoarthritis with health-related quality of life: A population-
based cohort study in southern Sweden. Health and Quality of Life Outcomes,
14(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12955-016-0525-4

Kowalak, Welsh, & Mayer. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Kumagai, K., Kubo, M., Imai, S., Toyoda, F., Maeda, T., Okumura, N., … Matsusue, Y.
(2013). The COX-2 Selective Blocker Etodolac Inhibits TNFα-Induced Apoptosis
in Isolated Rabbit Articular Chondrocytes. International Journal of Molecular
Sciences, 14(10), 19705–19715. http://doi.org/10.3390/ijms141019705

Kunduracilar, Z., Guvenir, H., Sonmezer, E., & Sozay, S. (2018). Complementary
Therapies in Clinical Practice The effects of two different water exercise trainings
on pain , functional status and balance in patients with knee osteoarthritis.
Complementary Therapies in Clinical Practice, 1–5.
https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2018.01.004
Lee, C. E., Kilgour, A., & Lau, Y. K. J. (2012). Efficacy of walking exercise in
promoting cognitive-psychosocial functions in men with prostate cancer receiving
androgen deprivation therapy, 1–7.
Lee, A., Ellman, M. B., Yan, D., Kroin, J. S., Cole, B. J., & Andre, J. (2014). A Current
Review of Molecular Mechanisms Regarding Osteoarthritis and Pain, 527(2), 440–
447. http://doi.org/10.1016/j.gene.2013.05.069.
Lewis, S.L., Driksen, S.R., Heitkemper, M., Butcher, L., & Camera, I.M. (2011).
Medical Surgical Nursing ; Assessment and Management of Clinical Problems. 8th
Edition. St Louis, Missouri: Elseiver.

Loeser F Richard, Delbono Osvaldo. (2009).Hazzard’s Geriatric Medicine and


Gerontology. 6th. Edition. New York : MCGraw-Hill

Loew, L., Brosseau, L., Kenny, G. P., Durand-bush, N., Poitras, S., Angelis, G. De, &
Wells, G. A. (2017). An evidence-based walking program among older people with
knee osteoarthritis : the PEP ( participant exercise preference ) pilot randomized
controlled trial, 1607–1616. https://doi.org/10.1007/s10067-017-3606-9
52

Iolascon, G., Gimigliano, F., Moretti, A., Sire, A. De, & Migliore, A. (2017).
ScienceDirect Early osteoarthritis : How to define , diagnose , and manage . A
systematic review. European Geriatric Medecine, 8(5–6), 383–396.
https://doi.org/10.1016/j.eurger.2017.07.008

Litwic A, Edwards MH, Dennison EM, Cooper C (2013) Epidemiology and burden of
osteoarthritis. Br med bull 105:185–199. https://doi.org/10.1093/bmb/lds038
Madry, H., Kon, E., Condello, V., Peretti, G. M., Steinwachs, M., Seil, R., … Angele,
P. (2016). Early osteoarthritis of the knee. Knee Surgery, Sports Traumatology,
Arthroscopy, 24(6), 1753–1762. https://doi.org/10.1007/s00167-016-4068-3
Maher, A.B., Salmond, S.W., Pellino, T.A (2002) Orthopaedic Nursing. 3th Edition.
Philadelphia. W.B Saunders Company

Malrina, T.T., (2015) Efektivitas Latihan Lutut terhadap Penurunan Intensitas Nyeri
Pasien Osteoartritis Lutut di Yogyakarta. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, Volume 2
- Nomor 1, Januari 2015, ISSN No 2355 5459

Marks, R. (2012). Knee Osteoarthritis and Exercise Adherence: A Review. Current


Aging Science, 5(1), 72–83. https://doi.org/10.2174/1874609811205010072

Marks, R. (2007). Obesity Profiles with Knee Osteoarthritis : Correlation with Pain ,
Disability , Disease Progression, 15(7), 1867–1874.
Mazières, B., Thevenon, A., Coudeyre, E., Chevalier, X., Revel, M., & Rannou, F.
(2008). Adherence to, and results of, physical therapy programs in patients with
hip or knee osteoarthritis. Development of French clinical practice guidelines. Joint
Bone Spine, 75(5), 589–596. https://doi.org/10.1016/j.jbspin.2008.02.016

Moskowitz, R., Altman, R., Hochberg, M., Buckwalter, J., & Goldberg, V. (2007).
Diagnosis and medical/surgical management fourth edition (Fourth Edi).
Lippincott Williams & Wilkins.

Peiris, C., Shields, N., Kingsley, M., Yeung, J., Hau, R., & Taylor, N. (2017). The
maximum tolerated dose of walking for community-dwelling people recovering
from hip fracture: a dose-response trial. Archives of physical medicine and
rehabilitation. https://doi.org/10.1016/j.apmr.2017.03.027

Perrot, S. (2015). Best Practice & Research Clinical Rheumatology Osteoarthritis pain.
Best Practice & Research Clinical Rheumatology, 1–8.
https://doi.org/10.1016/j.berh.2015.04.017
Petersen, L., Schnohr, P., & Sørensen, T. I. A. (2004). Longitudinal study of the long-
term relation between physical activity and obesity in adults, 105–112.
https://doi.org/10.1038/sj.ijo.0802548
Pisters, M. F., Veenhof, C., van Dijk, G. M., Heymans, M. W., Twisk, J. W. R., &
Dekker, J. (2012). The course of limitations in activities over 5 years in patients
with knee and hip osteoarthritis with moderate functional limitations: Risk factors
53

for future functional decline. Osteoarthritis and Cartilage, 20(6), 503–510.


http://doi.org/10.1016/j.joca.2012.02.002
Polit, Denise.F & Cheryl Tatano Beck (2010) Essential of Nursing Research:Appraising
Evidence For Nursing Practice. 7th Edition. Philadelphia : Lippincott

Potter, A.P., & Perry, A. (2009). Fundamental of nursing. 4th Edition. St.Louis
Missouri: Mosby-Year Book, Inc.

Price and Wilson. (2012). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6th
Edition. Jakarta: EGC.

Radha, M. S., & Gangadhar, M. R. (2015). Research Article Prevalence Of Knee


Osteoarthritis Patients In Mysore City , Karnataka, 6, 3316–3320.
Raval, M., & Gadhavi, B. (2017). Effect Of Body Mass Index On Dynamic Balance
And Functional Activity In Persons With Osteoarthritis Of Knee : A Cross
Sectional, 34, 1–6.

Raveendran, R., & Nelson, A. E. (2017). Lower extremity osteoarthritis: management


and challenges. North Carolina Medical Journal, 78(5), 332–336. Retrieved from
http://www.ncmedicaljournal.com/content/78/5/332.
Rokade, P. B. (2011). Release of Endomorphin Hormone and Its Effects on Our Body
and Moods : A Review, 431127(215), 436–438.

Roos, E. M., Herzog, W., Block, J. A., & Bennell, K. L. (2010). muscle weakness ,
afferent sensory dysfunction and exercise in knee osteoarthritis. Nature Publishing
Group, 7(1), 57–63. https://doi.org/10.1038/nrrheum.2010.195
Sambrook P, Schrieber L, Taylor T, Ellis A (2015) The Musculoskeletal System. Basic
Science and Clinical Condotions. Second Edition. Churchill Livingstone: Elsevier.
Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2011) Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi
ke-4. Jakarta: Sagung Seto
Setiati S, Alwi A, Sudoyo A.W, Marcellus S.K, Setiyohadi B, Syam A.F (2014) Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Internal Publishing

Shankman, Gary A., Manske., & Robert C. (2011) Fundamental orthopaedic


management for the physical therapist assistant. 3rd ed. St.Louis: Elsevier Mosby.
Sharma, L., Cahue, S., Song, J., Hayes, K., Pai, Y. C., & Dunlop, D. (2003). Physical
Functioning over Three Years in Knee Osteoarthritis: Role of Psychosocial,
Local Mechanical, and Neuromuscular Factors. Arthritis and Rheumatism,
48(12), 3359–3370. http://doi.org/10.1002/art.11420

Shenoy, R.M. (2014). Essentials of Orthopedics. Second edition. New Delhi. Jaypee
Brothers Medical Publishers.
54

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L. & Cheever, K.H. (2008) Brunner & Suddarth’s
Textbook of medical-surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins.

Sorour, A. S., Ayoub, A. S., & Abd El Aziz, E. M. (2014). Effectiveness of acupressure
versus isometric exercise on pain, stiffness, and physical function in knee
osteoarthritis female patients. Journal of Advanced Research, 5(2), 193–200.
https://doi.org/10.1016/j.jare.2013.02.003

Sudoyo, W., Setiyohadi, B., Alwi, I., & Setiati, A. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing
Supariasa, et al. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Zhang, Y., & Jordan, J. M. (2010). Epidemiology of osteoarthritis. TL - 26. Clinics in
Geriatric Medicine, 26 VN-r(3), 355–369.
http://doi.org/10.1016/j.cger.2010.03.001

Zhang Shao-lan, et al. (2013). Effects of exercise therapy on knee joint function and
synovial fluid cytokine levels in patients with knee osteoarthritis. Molecular
medicine reports 7: 183-186,2013. www.spandidos-publications.com
55

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

Kepada Yth .
Calon Responden
di tempat

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Teguh Purwanto, M.Kep,Sp.Kep,MB
NIK : 8963410021
Saya adalah dosen Universitas Kusuma Husada Surakarta. Saya bermaksud melakukan
penelitian tentang Perbedaan efektifitas jalan kaki dan latihan isometrik otot kuadrisep
terhadap nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien dengan osteoartritis lutut di Poli
Orthopedi di RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo Purwodadi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan efektifitas jalan kaki dan
latihan isometrik otot kuadrisep terhadap nyeri dan rentang gerak sendi pada pasien
dengan osteoartritis lutut di Poli Orthopedi di RSUD Dr.Soedjati Soemodiarjo
Purwodadi

Penelitian ini tidak akan menimbulkan risiko apapun. Tetapi jika Bapak/Ibu/Saudara
saat mengisi kuesioner merasa kelelahan supaya memberitahu peneliti, pengisian
kuesioner akan ditunda dan dilanjutkan kembali sesuai keinginan Bapak/Ibu/Saudara.
Informasi yang Bapak/Ibu/Saudara berikan selama prosedur penelitian akan peneliti
jamin kerahasiaannya. Dalam pembahasan atau laporan nama Bapak/Ibu/Saudara tidak
akan disebutkan.

Purwodadi, Agustus 2022


56

Teguh Purwanto, M.Kep,Sp.Kep,MB

Lampiran 2

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA BERPARTISIPASI SEBAGAI


RESPONDEN PENELITIAN

Yang bertandatangan di bawah ini saya:

Nama :

Umur :

Alamat :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti, dengan ini saya menyatakan bersedia
berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian yang berjudul Perbedaan efektifitas
jalan kaki dan latihan isometrik otot kuadrisep terhadap nyeri dan rentang gerak sendi
pada pasien dengan osteoartritis lutut di Poli Orthopedi di RSUD Dr.Soedjati
Soemodiarjo Purwodadi.
Adapun bentuk kesediaan saya adalah :
1. Meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner
2. Memberikan informasi yang benar dan sejujurnya terhadap apa yang diminta atau
ditanyakan peneliti

Keikutsertaan saya ini sukarela tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun.
Demikian surat pernyataan ini saya buat, untuk dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya..

Purwodadi ...Agustus, 2022

Mengetahui Yang membuat


pernyataan

Peneliti

(Ns.Teguh Purwanto, M.Kep,Sp.Kep.MB)


……………………………..
57

Lampiran 3

KUESIONER PENGUMPULAN DATA


(diisi oleh peneliti)

No. Responden :………………


Kode Responden : Kelompok Intervensi I/Kelompok Intervensi II
Hari/Tanggal :………………………………
No. Telf :………………………………

I. Karakteristik Responden
1. Jenis Kelamin :
2. Umur :
3. Derajat OA :
4. IMT : BB=………cm, TB=…………kg
: Hasil penghitungan IMT=……………..
5. Penggunaan Terapi Analgetik standart:………………………
a. Diminum sesuai dengan anjuran/petunjuk dokter
b. Diminum tidak sesuai dengan anjuran/petunjuk dokter
6. Lamanya OA lutut: berapa lama mengalami OA lutut ?………...Tahun/Bulan
II. Catatan Perkembangan Nyeri
Skala Nyeri Sebelum Intervensi
Skala Nyeri Sesudah Intervensi
58

1 Minggu (hari ke 7) 2 Minggu (hari ke 14)

III. Catatan Perkembangan Rentang Gerak Sendi Lutut (ROM Lutut)


ROM Sebelum Intervensi ROM Sesudah Intervensi
1 Minggu (hari ke 7) 2 Minggu (hari ke 14)
59

Lampiran 4

SKALA PENGUKURAN NYERI DENGAN


VISUAL ANALOG SCALE (VAS)

No. Responden :………………


Kode Responden : Kelompok Intervensi I/Kelompok Intervensi II
Hari/Tanggal :………………………………

Petunjuk Pengukuran Nyeri


Mohon Bapak/Ibu memberikan titik pada rentang garis mulai tidak nyeri sampai
dengan nyeri tidak tertahankan sesuai dengan rasa nyeri yang Bapak/Ibu rasakan saat
ini.

Tidak Nyeri Nyeri Tak


tertahankan

Nilai Skala Nyeri:…………

Sumber: Perry & Potter (2009)


60

Lampiran 5

PANDUAN PENGUKURAN SKALA NYERI MENGGUNAKAN


VISUAL ANALOG SCALE (VAS)

No PROSEDUR
1 Jelaskan maksud dan tujuan pengukuran
2 Letakkan skala nyeri VAS (0-10 cm) didepan responden sesuai dengan jarak baca
3 Jelaskan tentang rentang skala nyeri VAS bahwa rentang skala nyeri di mulai
dari titik tidak merasakan nyeri sampai dengan nyeri tidak tertahankan
4 Beri waktu pada responden untuk memperhatikan skala nyeri yang berada di
hadapannya, kemudian instruksikan pada pasien untuk memberikan titik (tanda)
pada rentang garis lurus diantara titik tidak merasakan nyeri sampai dengan nyeri
tidak tertahankan sesuai dengan kondisi nyeri yang di rasakan saat ini
5 Peneliti memvalidasi titik (tanda) yang telah di diletakkan oleh responden pada
rentang skala VAS, kemudian diukur dengan menggunakan penggaris
6 Dokumentasikan hasil pengukuran skala nyeri pada lembar catatan
perkembangan nyeri yang telah disediakan.

Sumber: Perry & Potter (2009); Black & Hawk, (2014)


61

Lampiran 6

PANDUAN LATIHAN JALAN KAKI

No PROSEDUR
1 Anjurkan responden untuk menggunakan alas kaki yang nyaman pada saat jalan
kaki
2 Sebelum melakukan latihan, responden diminta untuk menyiapkan alat penunjuk
waktu (jam)
3 Jika responden masih ragu untuk melakukan latihan tersebut karena nyerinya,
responden menghubungi peneliti pertelfon untuk mengukur skala nyeri dengan
menggunakan numeric rating scale (NRS) terlebih dahulu.
4 Jika hasil skor nyerinya diatas 6 maka untuk sementara latihan ditunda pada hari
berikutnya, tetapi jika nyerinya kurang dari enam (6) tanpa disertai
pembengkakan pada lutut maka responden boleh melakukan latihan. Responden
dianjurkan untuk meminum analgetik terlebih dahulu sebelum latihan.
5 Sebelum melakukan latihan jalan kaki, responden melakukan latihan nafas dalam
terlebih dahulu dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Anjurkan dalam posisi duduk dengan nyaman dan rileks
b. Letakkan tangan kanan di atas perut/diafragma/bawah tulang rusuk, dan
tangan kiri pada pertengahan dada, rasakan kembang kempis perut dengan
pernafasan biasa
c. Menarik nafas secara perlahan dan dalam melalui hidung selama 4 detik (4
hitungan) kemudian tahan nafas selama selama 4 detik (4 hitungan)
d. Mengeluarkan udara secara perlahan melalui mulut dengan menguncupkan
bibir selama 4 detik (4 hitungan)
e. Istirahat selama 4 detik (4 hitungan) sebelum memulai langkah seperti pada
huruf c
f. Lakukan secara berirama dan konstan sebanyak 10 kali
62

g. Setelah melakukan nafas dalam, kemudian berdiri untuk mempersiapkan


latihan jalan kaki
4 Sebelum mulai latihan jalan kaki, responden melihat alat penunjuk waktu terlebih
dahulu, kemudian melakukan jalan kaki biasa selama 15 menit secara kontinyu
(tanpa putus/berhenti) pada jalan yang datar
5 Jika pada saat jalan kaki, responden tidak bisa mencapai 15 menit karena merasa
kesakitan, maka latihan dihentikan dan dilanjutkan pada hari berikutnya
6 Latihan jalan kaki dilakukan 5 kali seminggu pada pagi hari selama 2 minggu

Sumber: Wallis et al., (2015); Lewis, et al., (2011); Khan & Weisman, (2007); Hinkle &
Cheever, (2014)
63

Lampiran 7

PANDUAN PENGUKURAN RENTANG GERAK SENDI LUTUT


MENGGUNAKAN GONIOMETER
No PROSEDUR
1 Responden dalam posisi terlentang di tempat tidur
2 Tunjukkan gerakan fleksi dan ekstensi lutut pada klien
3 ROM fleksi: Instruksikan klien untuk rileks, meletakkan goniometer di
epicondylus lateral, kemudian klien diminta untuk melakukan gerakan fleksi
pada sendi lutut yang akan di ukur sampai titik nyeri (tidak boleh melewati titik
nyeri maksimal).
4 Intruksikan pada klien untuk menahan gerakan tersebut sampai pengukuran
selesai.
5 Membaca dan mencatat hasil pengukuran pada lembar catatan perkembangan
rentang gerak sendi
6 ROM Ekstensi: Instruksikan klien untuk rileks, meletakkan goniometer di
epicondylus lateral, kemudian klien diminta untuk melakukan gerakan ekstensi
pada sendi lutut yang akan di ukur sampai titik nyeri (tidak boleh melewati titik
nyeri maksimal).
7 Intruksikan pada klien untuk menahan gerakan tersebut sampai pengukuran
selesai.
8 Membaca dan mencatat hasil pengukuran pada lembar catatan perkembangan
rentang gerak sendi

Sumber: Potter & Perry (2009); Black & Hawks (2014)


64

Gambar 1.1 Alat goniometer

Sumber: Lestari, et al ( 2015)

Gambar 1.2 Pengukuran rentang gerak sendi lutut menggunakan goniometer

Sumber: Hoongenboom, et al (2014)

Gambar 1.3 Pengukuran rentang gerak sendi lutut menggunakan goniometer


Pada posisi supinasi (terlentang)
65

Lampiran 9
Sumber: Lestari, et al ( 2015)

PANDUAN LATIHAN ISOMETRIK KUADRISEP

No PROSEDUR
1 Anjurkan responden untuk mempersiapkan gulungan handuk, menyiapkan alat
penunjuk waktu (jam) terlebih dahulu
2 Jika responden masih ragu untuk melakukan latihan tersebut karena nyerinya,
responden menghubungi peneliti pertelfon untuk mengukur skala nyeri dengan
menggunakan numeric rating scale (NRS) terlebih dahulu.
3 Jika hasil skor nyerinya diatas 6 maka untuk sementara latihan ditunda pada hari
berikutnya, tetapi jika nyerinya kurang dari enam (6) tanpa disertai
pembengkakan pada lutut maka responden boleh melakukan latihan. Responden
dianjurkan untuk meminum analgetik terlebih dahulu
4 Sebelum melakukan latihan, responden melakukan latihan nafas dalam terlebih
dahulu dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Ambil posisi terlentang dengan nyaman dan rileks

b. Letakkan tangan kanan di atas perut/diafragma, dan tangan kiri pada


pertengahan dada, rasakan kembang kempis perut dengan pernafasan biasa
c. Menarik nafas secara perlahan dan dalam melalui hidung selama 4 detik (4
66

hitungan) kemudian tahan nafas selama selama 4 detik (4 hitungan)


d. Mengeluarkan udara secara perlahan melalui mulut dengan menguncupkan
bibir selama 4 detik (4 hitungan)
e. Istirahat selama 4 detik (4 hitungan) sebelum memulai langkah seperti pada
huruf c
f. Lakukan secara berirama dan konstan sebanyak 10 kali
Setelah melakukan nafas dalam, kemudian melakukan latihan isometrik, posisi
5 masih dalam keadaan terlentang
Lutut dalam posisi lurus (posisi ekstensi) dan pergelangan kaki tekuk kebelakang
6 (dorsofleksi)

Tambahkan gulungan handuk di bawah lutut untuk meningkatkan kenyamanan


7

Kemudian kencangkan otot paha, dan ditahan selama 10 detik, kemudian


8 istirahatkan 5 detik. Ulangi gerakan tersebut sebanyak 10 kali.
Latihan dilakukan 1 kali sehari (Pagi hari), 5 kali dalam seminggu selama 2
9 minggu

Sumber: Nugraha & Kambayana (2017); Elbadawy (2017); Maher, Salmon, Pellino
(2002); Perry & Potter (2009); Craven, at al (2013); Lewis, et al., (2011);
Khan & Weisman, (2007); Hinkle & Cheever, (2014)
67

Anda mungkin juga menyukai