Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN


SISTEM SYARAF PADA KASUS GUILLAIN – BARRE
SYNDROME (GBS) DI RUANG PICU RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8 :

1. DIMAS ARYA TRIWARDI


2. FATMAWATI
3. MELISA DEWI UTAMI
4. NIA USNIAH
5. NUR ZEN APRIANTI
6. YENI SARI
7. YUNI KARTINA

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG NERS
MATARAM
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus
yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, di
mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya
yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita
mengalami baal atau mati rasa. (1, 2).
Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya
tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut,
kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase
penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun.
Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada
beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap.
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara
1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih
belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak
di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan
dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata
23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada
usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang
juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS
menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3
bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi
penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. (1, 2, 3).
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain – Barre Syndrome.
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain – Barre
Syndrome memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal
napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian (1, 2).
Oleh karena itu, penderita Guillain – Barre Syndrome memerlukan pengawasan
dan perawatan yang baik untuk mempercepat pernyembuhan dan mencegah
komplikasi. Pengetahuan dan keterampilan perawat khususnya asuhan
keperawatan pada penderita Guillain – Barre Syndrome sangat penting untuk
meningkatkan asuhan keperawatan yang profesional.
B. Tujuan
1) Tujuan umum
Mampu memahami konsep klinis Guillain – Barre Syndrome dan
pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan
dengan masalah utama Guillain – Barre Syndrome.
2) Tujuan khusus
a. Mampu menjelaskan konsep dasar Guillain – Barre Syndrome meliputi
definisi, penyebab, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
diagnostik, dan penatalaksanaan umum.
b. Mampu menjelaskan konsep asuhan keperawatan Guillain – Barre
Syndrome meliputi pengkajian data fokus, diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul, dan rencana keperawatan.
c. Mampu melakukan asuhan keperawatan klien dengan Guillain – Barre
Syndrome dengan pendekatan proses keperawatan meliputi: pengkajian,
diagnosa, dan rencana keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep dasar penyakit


1. Definisi
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang
ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer
dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput
myelin dan saraf perifer cranial.
GBS merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis
tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer .
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem saraf
akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-
kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Parry mengatakan bahwa GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah
infeksi akut .
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa GBS merupakan suatu sindroma
klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.

2. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu
kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun
immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis
memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh
suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi
sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut
spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan di medula spinalis dan
medula oblongata. (2)
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
1. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%
- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut
yang berhubungan dengan GBS :
a. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox,
Influenza, Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo.
b. Bakteri: Campylobacter, Jejeni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid,
Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella,
Listeria.
2. Vaksinasi
3. Pembedahan, anestesi
4. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,
tiroiditis, dan penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
6. Gangguan endokrin

3. Manifestasi Klinis
a) Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya
dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar
antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada
gejala klinis yang timbul.
b) Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-
kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan
dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara
asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-
kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-
otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya
derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian
distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat
dari bagian proksimal.
2) Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka
juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki
dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari
pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti
rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3) Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera
menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi.
Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia
bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia
dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena
paralisis n. laringeus.
4) Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus
bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse
diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai.
Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua
minggu.
5) Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan
ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot
pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan
otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga
absorbsi cairan otak berkurang.

4. Patofisiologi
Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding
akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan
dalam selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel
akson dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat permeabel pada nodus
tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar
akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier, sehingga impuls-
impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke
nodus lain (konduksi salsatori) dengan cukup kuat.
Pada GBS, selaput mielin yang mengelilingi akson hilang. Selaput
mielin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi,
termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskular, dan
reaksi imunologi. Demielinasi adalah respons umum dari jaringan saraf
terhadap banyak kondisi yang merugikan ini. Kehilangan serabut mielin pada
Guillain – Barre Syndrome membuat konduksi salsatori tidak mungkin
terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi
(proses respon antibodi terhadap virus atau bakteri) yang menimbulkan
kerusakan pada syaraf tepi hingga terjadi kelumpuhan.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului GBS akan
timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf
perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma
pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput
araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis.
Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks
ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis
terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka
radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang
paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu
kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak,
kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan
tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai
atau otot-otot anggota gerak. Secara patologis ditemukan degenerasi mielin
dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas
sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran
kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada
permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf
mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada
segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer.
Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas
antara darah dan saraf pada daerah tersebut. (2, 8)

Perjalanan penyakit
Perjalanan alamiah GBS, skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita GBS. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3
fase, yaitu :
1. Fase progresif
Dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung
beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase plateau
Kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek
selama 2 hari, aling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.
3. Fase rekonvalesen
Ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit GBS ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan
penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari
sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan
sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon
imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada
limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/ terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain
akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell
= APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4).
Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan
pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi
sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.(2)

5. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel
dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian
kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset
penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel
mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil
penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
b) Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor
retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di
samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis
juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan
potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih
lama dan tidak sembuh sempurna.

6. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif.
a. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan
gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.
Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera
dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan
diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat
penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan
timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan
irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya
diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-
acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol.
Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat
diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara
pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3
minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14
hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau
plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma
pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma.
d. Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium
karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi
disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
e. Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga
parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
2. Perawatan umum :
a. Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi
tidur.
b. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
c. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh,
d. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada
kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
e. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
f. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
g. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
3. Pengobatan
a. Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous
menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon
dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang
tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam
setelah 48 jam pengobatan intravenous.
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan
sakit kepala.
b. Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara
subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned
LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens
terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan
salah satu sekuele utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat
dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient
compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic
disease (TED) hose).
c. Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian
immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti
halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan
perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya
mahal. Dosis aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai
untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan
Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama
5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi
IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi
IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin
(6-MP).
7. Komplikasi
Paralysis yang persisten, kegagalan pernafasan, ventilasi mekanik,
hipotensi atau hipertensi, tromboembolisme, pneumonia, kulit yang pecah,
aritmia kardial, ieus, aspirasi, retensi urinae, problem psikiatrik (seperti :
depresi dan ansietas).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
1. Identitas
a) identitas klien
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Suku/ bangsa
f. Agama
g. Pendidikan
h. Pekerjaan
b) Identitas wali
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Hubungan dengan klien
2. Riwayat kesehatan
a) Riwayat keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering diungkapkan klien adalah
kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal.
b) Riwayat kesehatan terdahulu
Tanyakan pada klien penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Tanyakan pada klien obat-obat yang sering digunakan seperti obat
kortikosteroid, pemakaian obat antibiotik dan reaksinya.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut
diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia
(kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan otot
dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul mengarah pada aspirasi. Keluhan
kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan
klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan
dari fungsi kardiovaskular, yang memungkinkan terjadinya gangguan
sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan
distritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan
dalam tanda-tanda vital.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada keluarga klien apakah ada anggota yang pernah
mengalami gangguan kesehatan yang sama dengan klien, dan tanyakan
pula apakah ada anggota keluarga yang pernah menggalami gangguan
ISPA ataupun yang lainnya.
3. Pemeriksaan fisik (data dasar pengkajian klien)
a) Aktivitas /istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya
berkembang cepat kerah atas.
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
b) Sirkulasi
Tanda :Perbahan tekanan darah (hipotensi dan hipertensi).
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan,diaforesis.
c) Integritas ego
Gejala :Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi
Tanda :Tampak takut dan binggung.
d) Eliminai
Gejala :Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda :kelemahan pada otot-otot abdomen .
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks
sfinger.
e) Makanan/ cairan
Gejala :Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
f) Neurosenori
Gejala :
Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan).
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri,
sensasi tubuh.
Perubahan dalam ketajaman penglihatan.
Tanda :
Hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak
mata (keterlibatan saraf karnil).
Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
g) Nyeri/kenyamanan
Gejala :Nyeri tekan otot; seperti terbakar, mengganggu, sakit nyeri
(terauma pada bahu, pelvis pinggang, punggung dan bokong).
Hipersensitif terhadap sentuhan
h) Pernapasan
Gejala :Kesulitan dalam bernapas, napas pendek
Tanda :
Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas,
apnea,penurunan/hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru-paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks gag/ menelan/ batuk.
i) Keamanan
Gejala :
Infeksi virus nonspesivik (seperti, infeksi saluran pernafasan
atas) kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda serangan.
Adanya riwayat terkena herpes zoster, sitomegalovirus
Tanda :
Suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu
lingkungan).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parestesia.
j) Interaksi sosial
Tanda :
Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.
4. Pemeriksaan penunjang
a) Pungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari
tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan
peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan
protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin
diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk
beberapa kali).
b) Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan
sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi syaraf diperlambat pelan.
Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama)
umumnya terjadi pada fase akhir.
c) Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal
d) Foto ronsen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari
gangguan pernafasan, seperti atelektasis dan pnemonia.
e) Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan
kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
2. Diagnosa dan Intervensi
N DIAGNOSA
TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI TTD
O KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
tak efektif keperawatan diharapkan klien dapat 1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan
kesimetrisan pernafasan. Catat peningkatan kerja nafas
berhubungan dengan mendemonstrasikan ventilasi
dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
kelemahan/ paralisis adekuat, dengan kriteria hasil : R : Peningkatan distress pernafasan menandakan
otot pernafasan, 1. Tak ada tanda distress pernafasan adanya kelelahan pada otot pernafasan.
2. Bunyi nafas bersih
kerusakan refleks 2. Kaji adanya perubahan sensasi terutama
3. GDA dalam batas normal.
penurunan respons pada T8 atau daerah lengan
menelan.
atas/bahu.
R : Penurunan sensasi seringkali mengarah kepada
kelemahan motorik: seperti kehilangan pada tingkat
T8 dapat mempengaruhi otot interkostal. Oleh
karenanya tangan/lengan yang terkena seringkali
mengarah pada masalah gagal nafas.
3. Catat adanya kelemahan pernafasan selama
berbicara
R : Indikator yang baik terhadap gangguan fungsi
pernafasan/ menurunnya kapasitas vital paru.
4. Auskultasi bunyi nafas, catat tidak adanya
bunyi/suara tambahan seperti ronki, mengi.
R: Peningkatan resistensi jalan nafas dan atau
akumulasi sekret akan mengganggu proses difusi
gas dan mengarah pada komplikasi pernafasan
(pneumonia).
5. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan
pasien pada posisi duduk bersandar.
R : Meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk,
menurunkan kerja pernafasan dan membatasi
terjadinya risiko aspirasi sekret.
6. Evaluasi refleks batuk, refleks gag, atau
refleks menelan secara periodik.
R : Jika otot kepala dan otot leher terkena, maka
evaluasi ulang terhadap refleks tersebut harus
dilakukan untuk mencegah aspirasi, infeksi
pulmonia, dan gagal nafas.
7. Lakukan penghisapan sekret, catat warna dan
jumlah dari sekret (sputum)
R : Kehilangan kekuatan dan fungsi otot mungkin
mengakibatkan ketidakmampuan pasien untuk
mempertahankan dan atau membersihkan jalan nafas.

Kolaborasi :
1. Lakukan pemantauan terhadap analisa gas
darah, aksimteri nadi secara teratur.
R : Menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang
dan kebutuhan untuk keefektifan dari intervensi.
2. Tinjau ulang foto ronsen
R: Adanya perubahan merupakan indikasi dari
kongesti paru dan atau atelektasis.
3. Berikan terapi suplementasi oksigen sesuai
indikasi, dengan menggunakan cara pemberian yang
sesuai kanula, masker oksigen, atau ventilator mekanik.
R : Mengatasi hipoksia. Pelembaban terhadap sekret
(agar mudah dikeluarkan) dan menjaga kelembaban
membran mukosa karena hal tersebut dapat
menurunkan iritasi jalan nafas.
4. Berikan obat/bantu dengan tindakan
pembersihan pernafasan, seperti latihan pernafasan,
perkusi dada, vibrasi, dan drainase postural.
R : Mempebaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis
dengan memobilisasi sekret dan meningkatkan
ekspansi alveoli paru.
5. Siapkan untuk/mempertahankan inkubasi,
ventilator mekanik sesuai kebutuhan.
R : 10%-20% pasien mengalami gangguan pernafasan
yang cukup berarti yang memerlukan intervensi
yang terus-menerus.
6. Berikan perawatan trukeostomi jika ada
R : Mungkin diperlukan untuk penatalaksanaan jalan
nafas dan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
fisik berhubungan keperawatan diharapkan klien 1. Kaji kekuatan motorik dengan menggunakan
skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur.
dengan kerusakan mampu mempertahan mobilitas fisik
R : Menentukan perkembangan/munculnya kembali
neuromuskuler tanpa ada komplikasi dengan kriteria
tanda yang menghambat tercapainya tujuan.
hasil:
2. Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa
1. Tidak ada laporan kontraktur, nyaman. Lakukan perubahan posisi dengan jadwal
dekubitus. yang teraur sesuai kebutuhan secara individual.
2. Meningkatkan kekuatan otot dan R : Menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi,
fungsi bagian yang sakit.
menurunkan risiko terjadinya iskemia/kerusakan
3. Mendemonstrasikan
teknik/perilaku yang pada kulit.
memungkinkan melakukan
3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan
kembali aktivitas yang
bantal, crochanter roll, papan kaki.
diinginkan.
R : Mempertahankan ekstremitas dalam posisi
fisiologis, mencegah kontraktur dan kehilangan
fungsi sendi.
4. Lakukan latihan rentang gerak positif. Hindari
latihan aktif selama fase akut.
R : Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot
dan meningkatkan mobilisasi sendi.
5. Koordinasikan asuhan yang diberikan dan
periode istirahat tanpa gangguan.
R: Penggunaan otot secara berlebihandapat
meningkatkan waktu yang diperlukan untuk
remielinisasi, karenanya dapat memperpanjang
waktu penyembuhan.
6. Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus
dikembangkan, seperti duduk di sisi tempat tidur
dengan sokongan, bangkit dari kursi, dan kemudian
ambulasi sesuai kemampuan.
R : Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena
yang ditingkatkan secara bertahap, meningkatkan
fungsi organ normal dan memiliki efek psikologis
yang positif.
7. Berikan lubrikasi/minyak artifisial sesuai
kebutuhan.
R : Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh yang
halus ketika pasien tidak dapat
menutup/mengedipkan mata secara memadai.
Kolaborasi :
1. Konfirmasikan dengan atau rujuk ke bagian terapi
fisik/terapi okupasi.
R : Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot
secara individual/ latihan terkondisi dan program
latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu.
3. Devisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
berhubungan dengan keperawatan diharapkan tidak terjadi 1. Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk,
pada keadaan yang teratur.
kerusakan perubahannutrisi kurang dari
R: Kelemahan otot dan refleks yang
neuromuscular yang kebutuhan, dengan kriteria hasil
hipoaktif/hiperaktif dapat mengindikasikan
mempengaruhi refleks klien mampu:
kebutuhan akan metode makasi alternatif, seperti
gagal/batuk/menelan 1. Mendemonstrasikan berat badan
melalui selang NG dan sebagainya.
stabil.
dan fungsi GI.
2. Normalisasi nilai-nilai 2. Auskultasi bising usus, evaluasi adanya distensi
laboratorium. abdomen.
3. Tidak ada tanda malnutrisi (mata R : Perubahan fungsi lambung sering terjadi akibat
cekung, konjungtiva anemis,
dari paralisis/ imobilisasi.
kurus, tilang dada menonjol)
3. Catat masukan kalori setiap hari.
R : Mengidentifikasi kekurangan makanan dan
kebutuhannya.
4. Catat makanan yang disukai atau tidak disukai oleh
pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang
dikehendaki.
R: Meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat
meningkatkan usaha untuk makan.
5. Berikan makanan setengah padat/cair
R : Makanan lunak/setengah padat menurunkan risiko
terjadinya aspirasi.
6. Anjurkan untuk makan sendiri. Izinkan untuk makan
sesuai waktu yang diinginkan atau yang
memungkinkan bagi pasien untuk terus berusaha
sendiri. Beri bantuan/beri makan kebutuhan.
R : Derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi
kemampuan untuk makan sendiri.
7. Anjurkan orang terdekat ikut berpartisipasi pada waktu
makan, seperti memberi makan dan membawa
makanan kesukaan pasien dari rumah.
R : Memberikan waktu bersosialisasi yang dapat
meningkatkan jumlah masukan makanan pada
pasien.
8. Timbang berat badan setiap hari.
R: Mengkaji keefektifan aturan diet.

Kolaborasi :
1. Berikan diet tinggi kalori atau protein nabati.
R : Makanan suplementasi dapat meningkatkan
pemasukan nutrisi.
2. Pasang/pertahankan selang NG. berikan makanan
enteral/parenteral.
R : Dapat diberikan jika pasien tidak mampu untuk
menelan, untuk pemasukan makanan kalori,
elektrolit dan mineral.
4. Resiko tinggi konstipasi/ Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
diare berhubungan keperawatan diharapkan klien 1. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000
ml/hari (jika pasien dapat menelan)
dengan kerusakan mampu mempertahankan pola
R : Makanan suplementasi dapat meningkatkan
neuromuskuler eliminasi usus tanpa ileus.
pemasukan nutrisi.
(kehilangan sensasi dan
2. Berikan privasi dan posisi fowler pada tempat tidur
refleks anal), imobilitas, dengan teratur.
R : Meningkatkan usaha evakuasi feses.
perubahan pada
3. Auskultasi bising usus, catat adanya/tidak atau
masukan diet/ cairan.
perubahan bising usus.
R : Penurunan/hilangnya bising usus dapat merupakan
indikasi adanya ileus paralitik yang berarti
hilangnya motilitas usus dan atau
ketidakseimbangan elektrolit.
4. Catat adanya distensi abdomen, nyeri tekan. Ukur
lingkar perut sesuai kebutuhan.
R : Dapat mencerminkan perkembangan ileus paralitik
atau adanya impoksi fekal.
5. Pantau adanya mual, muntah, penghentian feses.
R : Kecepatan perkembangan pada ileus yang komplit
dapat bervariasi tetapi dapat diperkirakan.

Kolaborasi:
1. beri obat pelembek feses, supositoria, laksatif, atau
penggunaan selang cektal sesuai kebutuhan.
R : Mencegah konstipasi, menurunkan distensi
abdomen dan membantu dalam keteraturan fungsi
defekasi.
2. Tingkatkan diet makanan yang berserat atau perubahan
kecepatan dan jenis dari makanan sonde jika ada
kebutuhan.
R : Membantu dalam mengatur konsistensi fekal dan
menurunkan konstipasi.
3. Pasang/pertahankan selang NGT jika ada kebutuhan.
R : Menurunkan mual dan muntah dan melakukan
dekompresi pada distensi abdomen yang
berhubungan dengan hilangnya peristaltik,
munculnya ileus paralitik
5. Ansietas/ ketakutan Setelah dilakukan tindakan Mandiri:
berhubungan dengan keperawatan diharapkan ansietas 1. Tempatkan pasien dekat dengan ruang perawat, periksa
pasien secara teratur.
krisis situasional, klien berkurang sampai tingkat yang
R : Memberikan keyakinan bahwa bantuan segera
ancaman kematian/ dapat diatasi, dengan kriteria hasil
dapat diberikan.
perubahan dalam status klien mampu:
2. Berikan bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan.
kesehatan. 1. Menerima dan mendiskusikan R : Menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan
rasa takut.
terisolasi.
2. Mengungkapkan pengetahuan
yang akurat tentang situasi. 3. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan
3. Tampak rileks dan melaporkan hilangnya kemampuan yang menetap, kehilangan
ansietas berkurang sampai fungsi, kematian masalah mengenai kebutuhan
tingkat dapat diatasi. penyembuhan.
R : Membawa perasaan takut secara terbuka,
memberikan kesempatan untuk mengkaji
persepsi/informasi yang salah dari pasien dan
memberikan pemecahan masalah.
4. Berikan penjelasan singkat mengenai perawatan,
rencana perawatan dengan orang terdekat.
R : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerja
sama pasien dalam kebutuhan akan melakukan
aktivitas. Pelibatan pasien dan orang terdekat dapat
mempertahankan beberapa perasaan kontrol yang
akan meningkatkan harga diri.
6. Resiko Tinggi terhadap Setelah dilakukan tindakan 1. Beri pasien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring
ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.
cedera berhubungan keperawatan diharapkan tidak ada
R : Menurunkan tekanan pada mata yang sakit.
dengan gangguan laporan cidera, dengan kriteria hasil
2. Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba-tiba,
penglihatan dan klien mampu: menggosok mata, mengbongkok.
3. Dorong nafas dalam, batuk untuk bersihan paru.
gangguan 1. Menyatakan pemahaman faktor
R : Batuk meningkatkan T10.
yang terlibat dalam kemungkinan
keseimbangan dan
cedera. 4. Anjurkan menggunakan teknik manajemen stress
pendengaran. 2. Menunjukkan perubahan contoh: bimbingan imajinasi, visualisasi, nafas dalam
perilaku, pola hidup untuk dan latihan relaksasi.
menurunkan faktor risiko dan R : Meningkatkan relaksasi dan koping, menurunkan
untuk melindungi diri dari
T10.
cedera.
3. Mengubah lingkungan sesuai 5. Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi.
indikasi untuk meningkatkan R : Digunakan untuk melindungi dari cedera
keamanan.
kecelakaan dan menurunkan gerakan mata.

Kolaborasi :
1. Berikan obat sesuai indikasi
a. Antiemetic, contoh: proklorperozin (compazine)
R : Mual/muntah dapat meningkatkan T10,
memerlukan tindakan segera untuk
mencegah cedera.
b. Asetazolamid (diamox)
R : Diberikan untuk menurunkan T10 bila terjadi
peningkatan. Membatasi kerja enzim pada
produksi akueous homor.
c. Analgetik, contoh: Empirin dengan kodein,
asetaminofen (tyenol)
R : Digunakan untuk ketidaknyamanan ringan,
meningkatkan istirahat/mencegah gelisah, yang
dapat mempengaruhi T10.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan
sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan.

B. Saran
1. Keilmuan
Kelumpuhan pada penderita GBS memerlukan penatalaksanaaan yang baik
untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan prognosa, salah satunya
latihan gerak pasif. Perlu adanya penelitian tentang efektivitas latihan gerak
pada GBS.
2. Perawat
Perawat hendaknya senantiasa mengembangkan diri dan menambah
pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien
dengan GBS terutama tentang perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya.
Penderita GBS memerlukan perawatan yang baik untuk meningkatkan
kesembuhan dan mencegah komplikasi. Kelumpuhan pada GBS memerlukan
latihan gerak pasif yang sebaiknya dilakukan sesuai batas toleransi klien
untuk mencegah kontraktur dan paralisis lebih lanjut. Keterlibatan keluarga
dalam intervensi hendaknya ditingkatkan sehingga tujuan yang ingin dicapai
klien juga ikut benar-benar berperan dan berusaha mencapai tujuan yang
direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes,Mailynn E. (2012) . Rencana Asuhan Keperwatan.. Penerbit Buku


kedokteran EGC. Jakarta

Muttaqin, Arif. (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta

Muttaqin, Arif. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperwatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Penerbit salemba medika. Jakarta

Wilkinson, Judith M.(2012).Buku Saku Diagnosa keperwatan NANDA NIC


NOC.Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesi . 2011. Guillain Barre Sindrom . (online).


(www.depkes.go.id,diakses diakses pada tanggal 21 September 2014)

The WHO Weekly Epidemiological Record. 2008. Global Advisory Committee on


Vaccine Safety, 12-13 December 2007.(online).(www.who.int diakses pada
tanggal 21 september 2014)

Anda mungkin juga menyukai