Anda di halaman 1dari 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Gagal ginjal kronik (chronic renal desease) atau sering disebut

dengan CKD (Chronic Kidney Desease) adalah kerusakan ginjal

progresif yang berakibat fatal dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

menyebabkan ezotemia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam

darah). Penyakit ini juga juga dikenal dengan penyakit ginjal tahap akhir

(End Stage Renal Disease/ESRD) (Diyono & Mulyani 2019).

Gagal ginjal kronik juga didefinisikan sebagai penurunan dari

fungsi jaringan ginjal secara progresif di mana massa di ginjal yang masih

ada tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internal tubuh. Gagal

ginjal kronis juga diartikan sebagai bentuk kegagalan fungsi ginjal

terutama di unit nefron yang berlangsung perlahan-lahan karena

penyebab yang berlangsung lama, menetap dan mengakibatkan

penumpukan sisa metabolit atau toksik uremik, hal ini menyebabkan

ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan seperti biasanya sehingga

menimbulkan gejala sakit (Black & Hawks, 2014).

Berdasarkan pengertian diatas peneliti menyimpulkan, gagal

ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal terutama pada unit nefron

yang terjadi secara bertahap sehingga menyebabkan tubuh gagal


10

mempertahankan metabolisme, dan keseimbangan cairan elektrolit yang

dapat menyebabkan penumpukan toksik atau ezotomia.

2.1.2 Etiologi

Selain karena kelanjutan dari gagal ginjal akut, menurut Diyono

& Mulyani (2019) gagal ginjal kronis dapat disebabkan karena kondisi

sebagai berikut:

1. Penyakit sistemik terutama Hipertensi dan Diabetes Militus.

Penigkatan tekanan intraglomeruler pada hipertensi dan peningkatan

glikolasi pada diabetes militus dapat memicu kerusakan pada ginjal.

2. Infeksi ginjala kronis (Glomerulonefritis, pyelonephritis)

Menyerang tubulus dan parenkim ginjal sehingga menghambat

perfusi dan aliran darah ke ginjal.

3. Genetik autosomal

Kelainan ginjal genetik dimana pembentukan ginjal tidak sempurna

dan dapat memicu timbulnya massa dalam ginjal.

4. Obstruksi saluran kemih

Penyumbatan pada pangkal kandungkemih yang dapat menghentikan

atau mengurangi aliran urine ke uretra.

5. Obat-obatan dan zat kimia nefrotoxic

penggunaan obat obatan dalam jangka panjang menyebabkan

terjadinya vasokontruksi pada arteri koroner yang diikuti dengan

peningkatan tekanan pembuluh darah ginjal sehingga terjadi

penurunan filtrasi glomerulus.


11

2.1.3 Faktor Resiko

Selain karena berbagai etiologi, gagal ginjal kronis dapat terjadi karna

beberapa faktor resiko antara lain :

1. Usia

Usia menjadi salah satu faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronik,

hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin

berkurang fungsi ginjal. Secara klinik pasien usia >60 tahun

mempunyai risiko 2,2 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronik

dibandingkan pasien usia <60 tahun (Delima dkk, 2014).

2. Jenis Kelamin

Secara klinik laki-laki mempunyai resiko mengalami gagal ginjal

kronik 2 kali lebih besar dari pada perempuan. Hal ini dimunkinkan

karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola

hidup dibandingkan laki-laki (Restu, 2015).

3. Riwayat Penyakit

Penyakit hipertensi dan diabetes melitus merupakan penyakit yang

menjadi faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronik. Hipertensi

menyebabkan terjadinya penigkatan tekanan intraglomeruler yang

menimbulkan gangguan struktural dan gangguan fungsional pada

glomerulus. Tekanan vaskuler yang tinggi dialirkan melalui arteri

aferen ke dalam gromerulus, dimana arteri aferen mengalami

konstriksi akibat hipertensi. Sedangkan pada pasien dengan diabetes

militus terjadi peningkatan produk glikolasi, peningkatan reaksi jalur

poliol, glukotoksisitas, dan protein kinase C yang memberikan


12

kontribusi pada kerusakan ginjal. Sehingga pada keadaan diabetes

melitus beresiko 4,1 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronik

(Delima dkk, 2014).

4. Gaya Hidup

Riwayat merokok, penggunaan suplemen energi, penggunaan obat

analgetik dan OAINS dalam jangka panjang memiliki resiko 2 kali

lebih besar untuk mengalami gagal ginjal kronik karna hal tersebut

dapat menyebabkan peningkatan pacuan tekanan darah, takikardi,

dan penumpukan ketokolamin dalam sirkulasi, yang menyebabkan

terjadinya vasokontruksi pada arteri koroner yang diikuti dengan

peningkatan tekanan pembuluh darah ginjal sehingga terjadi

penurunan filtrasi glomerulus (Restu, 2015).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Diyono & Mulyani (2019) Pada pasien dengan gagal ginjal

kronis dapat ditemukan beberapa manifestasi klinis antara lain:

1. Respirasi: edema paru, efusi pleura, pleuritic

2. Gastrointestinal: ulserasi saluran pencernaan, dan perdarahan,

anoreksia, nausea, vomitus, stomatitis.

3. Cairan dan elektrolit: gangguan asam basa menyebabkan kehilangan

sodium sehingga terjadi dehidrasi, asidosis, hyperkalemia,

hipermagnesemia, hipokalsemia

4. Neuromuskuler: lemah, gangguan tidur, sakit kepala, latergi,

gangguan muscular, neuropati perifer, bingung, dan koma.

5. Hematologi: anemia, defek kwalitas platelet, perdarahan meningkat.


13

6. Dermatologi: pucat, hiperpigmentasi, kulit bersisik, eksimosis,

uremia frost.

7. Kardiovaskuler: hipertensi, pericarditis.

8. Metabolic/ endokrin: gangguan hormone seks menyebabkan

penurunan libido dan impoten.

9. Psikologi : denial, cemas, depresi, dan psikosis.

2.1.5 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronik dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan

pada LFG dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3

biasanya belum terdapat gejala apapun (asimptomatik). Manifestasi

klinis muncul pada fungsi ginjal yang rendah yaitu terlihat pada derajat 4

dan 5 (Arora, 2015).

Tabel 2.1 Klasifikasi GGK (KDIGO, 2013)


Derajat LFG (ml/mnt/1.732m2) Penjelasan
1 ≥ 90 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan
LFG normal atau meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun ringan
3A 45-59 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun dari ringan sampai sedang
3B 30-44 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun dari sedang sampai berat
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG
turun berat
5 < 15 Gagal ginjal

2.1.6 Patofisiologi

Gagal ginjal kronik terjadi setelah sejumlah keadaan yang

menghancurkan masa nefron ginjal. Keadaan ini mencangkup penyakit

parenkin ginjal difus bilateral, juga lesi obstruksi pada traktus urinarius.

Mula-mula terjadi beberapa serangan penyakit ginjal terutama


14

menyerang gromerulus (Glumerolunefritis), yang menyerang tubulus

ginjal (pyelonephritis) yang dapat mengganggu perfusi dan fungsi darah

pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Perubahan patologi CRF melalui

3 tahap yaitu:

1. Reduced Renal Reserve

Ditandai dengan hilangnya 40-60% fungsi nefron. Biasanya belum

muncul gejala, karena nefron masih mampu menjalankan fungsi

ginjal dengan baik.

2. Renal Insuffiency

Dimulai ketika nefron yang rusak mencapai 65-90%. Pasien akan

mengeluh polyurine dan noctoria. Ureum kreatinin mulai naik kerena

ginjal tidak mampu mengeluarkannya bersama urine. Kadang pada

fase ini anemia mulai muncul.

3. ESRD (End Stage Renal Desease)

Terjadi ketika nefron yang berfungsi tinggal 10%. Gejala kegagalan

dalam menjalankan fungsi ginjal semakin tampak yang ditandai

dengan peningkatan kadar kreatinin, BUN, ketidakseimbangan

elektrolit dan asam basa. Pada tahap ini pasien biasanya

membutuhkan terapi dialisis (Diyono & Mulyani 2019).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dibagi menjadi 2 yaitu terapi

konservatif dan terapi pengganti ginjal. Penatalaksanaan awal gagal

ginjal kronik dilakukan secara konservatif dengan pengaturan diet protein

yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi azetomia, diet kalium


15

untuk mencegah terjadinya hyperkalemia yang membahayakan pasien,

diet kalori untuk menambah energi pasien gagal ginjal yang sering

mengalami malnutrisi dan dan pengaturan kebutuhan cairan, mineral, dan

elektrolit yang berguna untuk mengurangi kelebihan beban sirkulasi dan

intoksikasi cairan. Jika penanggulangan konservatif tidak lagi dapat

mempertahankan fungsi ginjal maka dilakukan terapi pengganti ginjal

yaitu hemodialisis, CAPD (Continuous Dialisysis Ambulatory Peritoneal

Dialisis) dan trasplantasi ginjal (Agustin, 2015).

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik

Pada kasus gagal ginjal kronik dapat dilakukan beberapa

pemeriksaan antara lain: (Diyono & Mulyani 2019).

1. Pemeriksaan Hematologi

Laboraturium penilaian CRF dengan gangguan yang serius dapat

dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium seperti kadar serum

sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum fosfat, kadar

Hb, hematocrit, kadar urea dalam darah (BUN), serum, kreatinin

dalam urine, urinealisis.

2. Pemeriksaan Radiologi, terdiri dari:

a. Flat Plat Radiografi

Untuk mengetahui keadaan ginjal, ureter dan vesika urinaria serta

untuk mengetahui bentuk, ukuran, posisi dan klasifikasi dari

ginjal.
16

b. Comuted Tomography (CT)

Scan digunakan untuk melihat secara jelas struktur anatomi ginjal

yang pengguanaannya dengan memakai kontras atau tampa

kontras.

c. Intervenous Pyelography (IVP)

Untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal adalah dengan

memakai kontras. IVP digunakan pada kasus gangguan ginjal

disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali, konginetal,

kelainan prostat, calculi ginjal, abses/batu ginjal obstruksi saluran

kemih.

d. Aorta-Renal Angiography

Digunakan untuk mengetahui system arteri, vena, dan kapiler

pada ginjal dengan menggunakan kontras.

e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Digunakan untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh

obstruksi uropati, ARF, proses infeksi pada ginjal serta

transplantasi ginjal.

f. Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal adalah untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan

mengambil jaringan ginjal lalu dianalisis. Biasanya biopsi

digunakan pada kasus glumerulonefritis, neprotik sindrom,

penyakit ginjal bawaan, perencanaan transplantasi ginjal.


17

2.1.9 Komplikasi

Pada kasus gagal ginjal kronik dapat terjadi beberapa komplikasi

antara lain :

1. Anemia

Anemia pada pasien GGK dapat disebabkan oleh berbagai

mekanisme (defisiensi besi, difesiensi asam folat, defisiensi vitamin

B12, perdarahan gastrointestinal hiperparatiroidisme dan inflamasi

sistemik), namun pada umumnya disebabkan oleh insufiensi dari

produksi hormone Eritropitein (EPO). EPO berfungsi merangsang

produksi sel darah merah (eritrosit). Sebagian besar EPO diproduksi

oleh sel endhotelial di bagian proksimal tubula renalis ginjal sehingga

produksi EPO akan menurun seiring dengan penurunan fungsi ginjal

(Gupta & Wish, 2017).

2. Inflamasi

Berdasarkan Indonesia Renal Registry (IRR) tahun, 2016 sebanyak

98% penderita gagal ginjal tahap terminal menjalani terapi

hemodialis dan 2% sisanya menjani terapi peritoneal dialisis. Selama

proses dialisis, membrane dialisis dapat menimbulkan respon

imunologis yang diperantarai oleh igG, komponen komplemen serta

granulosit. Granulosit yang teraktivasi dalam darah menstimulasi

pelepasan reactive oxygen spesies (ROS) sehingga memperburuk

stress oksidatif. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat

penurunan trace element pada pasien post dialisis seperti copper, zinc

dan superoxide dismutase (SOD). Selain itu kondisi kerusakan pada


18

ginjal akan memicu kondisi inflamasi yang mengaktifkan makrofag,

dan menstimulasi IL-1 (Vadakedath, 2017).

3. Penyakit Jantung Koroner

Inflamasi terutama C- reactiveprotein (CRV) mempunyai efek

langsung pada pembentukan atherosclerosis. CRP akan

meningkatkan sel-sel yang rusak yang akan mengaktivasi sistem

komplemen, menunjukan ikatan kalsium dependen, dan agregasi dari

LDL dan VLDL, sehingga CRP merupakan indikator jumlah plak

atherosklorosis dan ketebalan tunika intima-media arteri koronaria

baik pada pasien yang sudah atau belum menjalani hemodialisa

(Tiffani dkk, 2018).

4. Gangguan psikologis

Pasien gagal ginjal kronik tahap akhir harus menjalani terapi

hemodialisa. Pasien yang7 menjalani terapi hemodialisis mengalami

kurangnya control atas aktivitas kehidupan sehari-hari dan social,

kehilangan kebebasan, pensiun dini, tekanan keuangan, gangguan

dalam kehidupan keluarga, perubahan citra diri dan berkurangnya

harga diri. Hal ini mengakibatkan masalah dalam dalam psikososial,

seperti kecemasan, depresi, isolasi social, kesepian, tidak berdaya,

dan putus asa (Befly dkk, 2015).

2.2 Konsep Dasar Hemodialisa

2.2.1 Pengertian

Dialisa adalah proses pembuangan limbah metabolik dan

kelebihan cairan dari tubuh. Ada tiga metode dialisa, yaitu hemodialisa,
19

dialisa peritoneal dan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis). Pada hemodialisa, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan

dipompa kedalam mesin yang akan menyaring zat-zat racun keluar dari

darah. Kemudian, darah yang sudah bersih dikembalikan lagi ke dalam

tubuh pasien. Jumlah total cairan yang yang dikembalikan dapat

disesuaikan (Diyono & Mulyani 2019).

Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisa

yang berarti menyaring atau mengeluarkan sisa. Hemodialisa dapat

diartikan sebagai suatu teknik menggerakkan atau mengalirkan darah dan

zat yang terlarut didalamnya melewati alat penyaring pengganti ginjal

(dialyser) (Diyono & Mulyani 2019).

Berdasarkan pengertian diatas peneliti menyimpulkan,

hemodialisa adalah pembuangan limbah dan zat racun sisa metabolisme

dari dalam darah, dengan cara darah dikeluarkan dari tubuh dan disaring

menggunakan dialiser, kemudian darah yang bersih dikembalikan ke

tubuh pasien.

2.2.2 Indikasi Hemodialisa

Menurut Diyono & Mulyani (2019) hemodialisa dilakukan pada

pasien yang mengalami penurunan atau kegagalan fungsi ginjal untuk

sementara sampai fungsi ginjalnya membaik. Namun tidak jarang

hemodialisa dibutuhkan secara kontinyu karena kerusakan fungsi ginjal

yang tidak dapat kembali (ireversible). Pada prinsipnya hemodialisa

dilakukan pada kondisi klinis sebagai berikut:


20

1. Hiperkalemia

2. Asidosis

3. Kegagalan terapi konservatif

4. Kadar ureum > 200 miligram, kreatinin <15 mililiter/menit dan LFG

<15 ml/menit

5. Kelebihan cairan

6. Mual dan muntah hebat

2.2.3 Kontraindikasi Hemodialisa

Menurut PERNEFRI (2003) dalam Efendi (2013) kontraindikasi

dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada

hemodialisa, akses vaskuler sulit, iritabilitas hemodinamik dan koagulasi.

Kontraindikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit

Alzheimer, dimensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut

dengan enselopati dan keganasan lanjut.

2.2.4 Akses Sirkulasi Darah pada Hemodialisa

Akses pembuluh darah merupakan pembuluh darah dari pasien yang

akan digunakan untuk mengeluarkan darah menuju dialiser dan

mengembalikan darah dari dialiser ke tubuh pasien. Pembuluh darah

harus dipilih secara tepat sehingga memungkinkan kuat dan aman untuk

dilewati cairan 200-800 ml/menit dalam waktu 4-6 jam. Ada beberapa

akses pembuluh darah yang sering dipakai dalam proses hemodialisa,

yaitu : (Diyono & Mulyani, 2019)


21

1. Vena Subclavia, Femoralis dan Jugularis Internal

Digunakan pada hemodialisa akut dengan menusukkan jarum atau

kateter vena dobel lumen. Biasanya kateter dipertahankan dengan

fiksasi dalam beberapa minggu sesuai kebutuhan dilepas lalu

dipasang lagi pada saat hemodialisa. Komplikasi yang sering muncul

dengan akses ini adalah terjadinya hematoma, pnemothorak, emboli,

infeksi, thrombosis, dan aliran tidak adekuat. Resiko yang paling

sering muncul adalah harus melakukan penusukan/akses vena yang

sering sehingga vena cepat rusak dan menghambat proses

hemodialisa.

2. Fistula (Shunt)

Merupakan akses vaskuler yang lebih lama atau bahkan permanen.

Dibuat jika pada pasien akan dilakuakan hemodialisa kontinu atau

terus menerus dan terjadwal. Dilakukaan dengan pembedahan pada

tangan bagian depan untuk menghubungkan arteri dan vena

(anastomosis). Anastomosis atau Shunt (AV Shunt) dilakukan

dengan menyambungkan arteri arteri radialis dengan vena basalica

sehingga arteri dan vena menyatu membentuk satu saluran. Fistula ini

kemudian kan dipakai sebagai akses vaskuler dimana segmen arteri

untuk mengalirkan darah dari pasien.

3. AV Graft

AV Graft (Artery Venous Graft) adalah tindakan pembedahan untuk

membuat menanam atau memasangalat atau bahan mirip vaskuler di

subkutan untuk menghubungkan arteri dan vena. Bahan vaskuler


22

dapat terbuat dari bahan biologis, semibiologis, atau sintetis. Bahan

sintetis yang paling sering dipakai adalah polytetrafluoroethylene

(PTFE). Akses ini dipilih jika pembuatan fistule/AV Shunt tidak

memungkinkan misalnya pada pasien Diabetes Melitus (DM) atau

gangguan pembuluh darah sehingga tidak memungkiankan arteri dan

vena di gabung sehingga fistula tidak jadi atau matang. Pemasangan

alat ini dapat ditangan bagian depan, bagian belakang, bahkan

samping.

2.2.5 Standar Operasional Prosedur Hemodialisa

1. Perawatan sebelum hemodialisa

a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa

b. Kran air dibuka

c. Pastikan selang pembuangan air dan mesin hemodialis sudah

masuk ke lubang atau saluran pembuangan

d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak

e. Hidupkan mesin

f. Pastikan mesin pada posisi tense selama 20 menit

g. Matikan mesin hemodialisis

h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.

i. Sambungkan selang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin

hemodialisis

j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)


23

2. Menyiapkan sirkulasi darah

a. Bukalah alat-alat dialisis dari set-nya

b. Tempatkan dialyzer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda

biru) di bawah

c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inlet” dari

dialyzer

b. Hubungkan ujung biru dari VBL dengan ujung “outlet”dari

dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah

c. Set infuse ke botol NaCl 0,9%, -500cc

d. Hubungkan set infuse ke selang arteri

e. Bukalah klem NaCl0,9%, isi selang arteri sampai ke ujung

selang lalu diklem.

f. Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” dibawah dan

“outset” di atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara

g. Tutup klem dari selang untuk tekanan arteri, vena, heparin

h. Buka klem dari infuse set ABL, VBL

i. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula

100ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan

200 ml/menit

j. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan

k. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan

udara dari dalam dializer, lakukan sampai dengan dializer bebas

udara (tekanan lebih dari 200 mmHg)


24

l. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9%

sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf), sisanya

ditampung pada gelas ukur.

m. Ganti kalf NaCl 0,9 yang kosong dengan kalf 0,9% baru

n. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan

menggunakan konektor

o. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-

20 menit serta untuk dializer reuse dengan aliran 200-250

ml/menit

p. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet”di

atas dan “outlet” di bawah

q. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10

menit. Siap untuk dihubungkan dengan pasien soak-ing.

3. Persiapan pasien

a. Menimbang berat badan

b. Mengatur posisi

c. Observasi keadaan umum

d. Observasi keadaan vital

e. Melakukan kanulasi akses vaskuler (Diyono & Mulyani 2019).

2.2.6 Komplikasi

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami berbagai masalah

yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal baik masalah fisik maupun

psikologis. Masalah fisik yang biasanya ditemui seperti demam, alergi,

hipotensi, gangguan irama jantung, sakit kepala, mual, muantah, keram


25

otot, nyeri dada dan nyeri punggung. Sedangkan masalah psikologis yang

sering ditemui pada pasien hemodialisa antara lain kecemasan, depresi,

disorientasi isolasi sosial, kesepian, tidak berdaya dan putus asa (Befly,

2015).

2.3 Konsep Dasar Kecemasan

2.3.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan menurut Sadock, Kaplan, and Grebb (2010) dalam

Abdul (2019) adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan

adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang

mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Menurut Videbeck

(2008) dalam Dian (2013) kecemasan adalah perasaan takut yang tidak

jelas dan tidak didukung oleh situasi. Kecemasan merupakan alat

peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu.

Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok

mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam

merespon ancaman yang tidak jelas. Kecemasan akibat terpejan pada

peristiwa traumatik yang dialami individu yang mengalami, menyaksikan

atau menghadapi satu atau beberapa peristiwa yang melibatkan kematian

aktual atau ancaman kematian atau cedera serius atau ancaman fisik diri

sendiri (Doenges, 2010).

Berdasarkan pengertian diatas peneliti menyimpulkan kecemasan

adalah perasaan takut dan gelisah yang disebabkan karena adanya

ancaman berupa suatu masalah dari suatu peristiwa traumatic yang

dialami oleh individu


26

2.3.2 Etiologi

Menurut Smith et.al (2015) beberapa hal yang dapat menyebabkan

kecemasan adalah sebagai berikut :

1. Threat (ancaman)

Ancaman dapat disebabkan oleh sesuatu yang benar-benar realistis

dan juga yang tidak realistis, contohnya: anacaman terhadap tubuh,

jiwa atau psikisnya (seperti kehilangan kemerdekaan dan arti hidup,

maupun ancaman terhadap eksistensinya).

2. Conflict (pertentangan)

Timbul karena adanya dua keinginan yang keadaannya bertolak

belakang. Setiap konflik mempunyai dan melibatkan dua alternatif

atau lebih yang masing-masing mempunyai sifat apptoach dan

avoidance.

3. Fear (ketakutan)

Ketakutan akan segala hal dapat menimbulkan kecemasan dalam

menghadapi ujian atau ketakutan akan penolakan menimbulkan

kecemasan setiap kali harus berhadapan dengan orang baru.

4. Umneed need (kebutuhan yang tidak terpenuhi)

Kebutuhan manusia begitu kompleks dan sangat banyak. Jika tidak

terpenuhi maka hal itu akan menimbulkan rasa cemas

2.3.3 Manifestasi Klinis

Menurut Melinda Smith dkk (2015) gejala dari kecemasan (ansietas)

sangat bervariasi dan setiap orang akan berbeda. Namun, secara umum

gejala kecemasan dikelompokan secara emosional dan secara fisik.


27

Selain gejala utama dari ketakutan irasional berlebihan dan khawatir,

gejala emosional umum lainnya kecemasan meliputi: Perasaan ketakutan,

sulit berkonsentrasi, merasa tegang dan gelisah, mengantisipasi terburuk,

mudah marah atau tersinggung, mengamati tanda-tanda bahaya dan

merasa seperti pikiran sudah kosong. Sedangkan gejala fisik umum dari

kecemasan meliputi: jantung berdebar, berkeringat, gangguan perut atau

pusing, sering buang air kecil atau diare, sesak napas, tremor dan

berkedut, ketegangan otot, sakit kepala, kelelahan, susah tidur.

2.3.4 Tingkat Kecemasan

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan

tidak berdaya. Menurut peplau (1952) dalam susilawati (2014) ada empat

tingkatan yaitu:

1. Kecemasan Ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. individu

masih waspada serta lapang persepsinya meluas menajamkan indera.

Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan

masalah serta efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

2. Kecemasan Sedang

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya,

terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan

sesuatu dengan arahan orang lain.

3. Kecemasan Berat

Lapang persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada

detail yang kecil dan spesifik dan tidak dapat berfikir hal-hal lain.
28

Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan

perlu banyak perintah/arahan untuk terfokus pada area lain.

4. Panik

Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian hilang. Karena

hilangnya control, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun

dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik,

berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain,

penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu

berfungsi secara efektif. Biasanya disertai dengan disorganisasi

kepribadian.

2.3.5 Cara Mengukur Kecemasan

Alat ukur yang sering digunakan untuk mengkur kecemasan

salah satunya adalah Hamilton Anxiety Range of Scale (HARS). Alat

ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok

dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing

kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya

nilai 0 = Tidak ada gejala sama sekali, 1 = Satu dari gejala yang ada, 2

= Sedang/ separuh dari gejala yang ada, 3 = Berat/lebih dari ½ gejala

yang ada, 4 = Sangat berat/semua gejala ada. Penentuan derajat

kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan

hasil: Skor kurang dari 14 = tidak ada kecemasan, skor 14-20 =

kecemasan ringan, skor 21-27= kecemasan sedang, skor 28-41=

kecemasan berat, skor 42-56= kecemasan berat sekali (panik) (Hawari,

2011).
29

2.3.6 Penatalaksanaan Kecemasan

1. Penatalaksanaan Farmakologi

Terapi farmakologis yang diberikan untuk menurunkan kecemasan

terdiri dari obat anxiolytic dan psikoterapi. Anxiolytic mempunyai

keunggulan efek terapeutik cepat dalam menurunkan tanda dan

gejala kecemasan tetapi mempunyai kerugian risiko adikasi. Obat

anxiolytic diberikan sampai 2 minggu pengobatan, kemudian

dilakukan psikoterapi yang dimulai pada awal minggu kedua. Saat

psikoterapi diberikan, obat anxiolytic masih tetap diberikan tetapi

secara bertahap diturunkan dosisnya (tapering off sampai minggu

keempat pengobatan). Jenis obat yang digunakan sebagai agen

anxiolytic yaitu golongan benzodiazepin, nonbenzodiazepin, anti-

depresan: trisiklik, Monoamin Oxidase Inhibitor (MAOI),

Serotonin Reuptake Inhibitor (SRI), Spesific Serotonin Reuptake

Inhibitor (SSRI) (Sutrimo, 2012).

2. Penatalaksanaan Non Farmakologi

a. Distraksi

Distraksi merupakan pengalihan perhatian terhadap hal lain

sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap cemas,

bahkan meningkatkan toleransi terhadap cemas (Mono &

Enimarini, 2017). Salah satu distraksi yang efektif adalah

dengan memberikan terapi spiritual seperti membacakan atau

memperdengarkan shalawat, murrotal, dzikir dan doa yang

dapat meningkatkan keyakinan individu kepada Allah dalam


30

memberikan kesembuhan dan ketenangan jiwa, sehingga sistem

saraf otonom berkurang dan menurunkan respon fisiologis

(soliman & Mohammed, 2013)

b. Relaksasi

Terapi relaksasi yang dilakukan dapat berupa relaksasi

meditasi, relaksasi imajinasi dan visualisasi serta relaksasi

progresif (Isaacs, 2015)

2.4 Konsep Dasar Shalawat

2.4.1 Pengertian shalawat

Shalawat secara umum berarti doa. Shalawat juga bermakna rahmat

dan kemuliaan yang dianugerahkan Allah swt, kepada rasulnya. Selain

itu, shalwat juga berarti permohonan rahmat dan kemuliaan dari kita

selaku umat islam kepada Allah swt, untuk baginda Nabi Muhammad

saw (Imam & Ristianto, 2013). Shalawat menurut Bahasa adalah: Do’a

sedangkan menurut istilah adalah sholawat Allah SWT, sholawat dari

malaikat dan sholawat dari orang-orang yang beriman (manusia dan jin)

berupa permohonan rahmat dan kemuliaan kepada Allah SWT untuk

Nabi Muhammad SAW (Kamaluddin, 2016).

Shalawat Thibbil Qulub adalah salah satu shalawat ghairu ma’tsurah

yang di susun oleh ulama al-imam Abu al-Barakat Ahmad bin

Muhammad. Shalawat ini dikenal sebagai shalawat shifa (penyembuh)

karena di dalamnya mengandung doa dan permohonan rahmat dari Allah

SWT kepada nabi Muhammad SAW dimana maknanya khusus untuk


31

memohon kesembuhan, serta selalu dijaganya kesehatan. Bacaan dari

shalawat tersebut adalah sebagai berikut:

‫ضيَا ِّئ َها‬


ِّ ‫ار َو‬ َ ‫ان َو ِّشفَائِّ َها َونُ ْو ِّر اْأل َ ْب‬
ِّ ‫ص‬ ِّ ‫ب ْالقُلُ ْو‬
ِّ َ‫ب َودَ َوائِّ َها َو َعافِّيَ ِّة اْأل َ ْبد‬ َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
َ ‫ص ِّل َعلَى‬
ِّ ‫س ِّي ِّدنَا ُم َح َّم ٍد ِّط‬

. ‫س ِّل ْم‬ َ ‫ت اْأل َ ْر َواحِّ َو ِّغذَائِّ َها َو َعلَى آ ِّل ِّه َو‬
َ ‫صحْ بِّ ِّه َو‬ ِّ ‫َوقُ ْو‬

Artinya :

Ya Allah, limpahkanlah shalawat-mu kepada junjungan kami

Muhammad penawar hati dan obatnya, penyehat badan dan

penyembuhnya, cahaya mata dan penerangnya, makanan pokok jiwa dan

penguatnya, dan kepada para keluarga dan sahabatnya, dan limpahkanlah

salam penghormatan kepada mereka (Idrus, 2016).

Menurut al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki,

dalam kitabnya al-Asrar al-Rabbaniyyah, Shalawat Thibbil al-Qulub ini

memiliki khasiat luar biasa dalam menyembuhkan penyakit apapun, baik

penyakit luar, maupun penyakit dalam, penyakit fisik, maupun penyakit

hati (Idrus, 2016).

2.4.2 Manfaat dan Keutamaan Shalawat

Menurut Imam & Ristianto (2013) beberapa manfaat dari shalawat

antara lain :

1. Memberikan ketenangan hati dan pikiran

Ketika Allah dihadirkan dalam diri kita, maka jiwa kita akan

tentram, demikian pula ketika menghadirkan rasulullah. Itu semua

sudah menjadi janji allah dalam Al-Qur’an. ‘‘Dengan mengingat

Allah hati menjadi tenang ’’ (Ar-Ra’d: 28)


32

2. Menghapus kesalahan

Rasulullah saw. Bersabda: “Barangsiapa yang membaca shalawat

atasku satu shalawat, Allah akan menurunkan sepuluh rahmat

kepadanya dan menghapuskan sepuluh kesalahannya.” (HR. An-

Nasai)

3. Membersihkan dosa

Rasulullah saw. Bersabda: “bacalah shalawat atasku karena

sesungguhnya shalawat atasku membersihkan dosa-dosamu, dan

mintalah kepada Allah untukku wasilah.” Para sahabat bertanya,

apakah wasilah itu?” Beliau menjawab, “Derajat yang paling tinggi

di surga yang hanya seorang saja yang akan memperolehnya dan aku

berharap akulah yang akan memperolehnya,” (HR.Ahmad)

4. Mengabulkan doa

Umar bin Khattab ra. berkata, “Saya mendengar bahwa doa itu

ditahan di antara langit dan bumi, tidak akan dapat naik, kecuali

dibacakan shalawat atas Nabi muhammad saw.” (HR.Tirmidzi).

5. Mengangkat derajat manusia

Rasulullah saw. Bersabda: “Barangsiapa di antara umatku

membacakan shalawat atasku satu kali dengan iklas dari lubuk

hatinya, Allah akan menurunkan sepuluh rahmat kepadanya,

mengangkat sepuluh derajatnya, dan menghapus sepuluh

kesalahannya. (HR.An-Nasai)

6. Mengabulkan hajat di dunia dan akhirat


33

Rasulullah saw. Bersabda: “Barang siapa yang membacakan

shalawat untukku pada suatu hari serratus kali, Allah akan

memenuhi serratus hajatnya, 60 diantaranya nanti di akhirat dan 30

di dunia.” (Jam’ul Jamawi).

7. Menjadi orang yang paling utama pada hari kiamat

Rasulullah saw. Bersabda: “Manusia yang paling utama pada hari

kiamat adalah orang yang paling banyak bershalawat.” (HR.

Tirmidzi)

8. Dibalas Allah sepuluh kali

Rasulullah saw. Bersabda: “barangsiapa yang bershlawat atasku satu

kali shalawat, Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali,”

(HR.Muslim)

2.4.3 Pengaruh Shalawat Terhadap kecemasan

Di kalangan umat islam, keyakinan Tuhan (Allah) dapat membantu

mereka jika terjadi suatu hal yang salah dalam kehidupan seperti

mengalami masalah atau sakit. Mereka percaya, permohonan mereka

akan diterima sehingga dapat membantu mereka untuk memperkuat jiwa,

tubuh, dan pikiran. Setelah latihan meditasi dzikir dilakukan, rangsangan

sistem saraf otonom berkurang sehingga akan menurunkan respon

fisiologis (Soliman & Mohamed, 2013)

Pada waktu orang mengalami ketegangan dan kecemasan yang

bekerja adalah sistem syaraf simpatis, sedangkan pada waktu rileks yang

bekerja adalah sistem syaraf parasimpatis. Relaksasi berusaha

mengaktifkan kerja syaraf parasimpatis. Keadaan rileks menurunkan


34

aktivitas emygdala, mengendurkan otot, dan melatih individu

mengaktifkan kerja sistem syaraf parasimpatis sebagai counter aktivitas

sistem syaraf simpatis. Relaksasi merupakan metode atau teknik yang

digunakan untuk membantu manusia belajar mengurangi atau

mengontrol reaktivitas fisiologis yang menimbulkan masalah bagi

dirinya. Tujuan relaksasi adalah untuk mengurangi tingkat gejolak

fisiologis individu dan membawa individu ke keadaan yang lebih baik

secara fisik maupun psikologis (Maemunah, 2011).

Pada prinsipnya, dalam tubuh manusia terdapat jaringan ppsiko-

neuro-endokrin yang berpengaruh pada factor- factor kejiwaan

seseorang. Jaringan ini berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Dzikir

yang antara lain digunakan sebagai terapi psikoreligius akan mampu

menaikan kekebalan tubuh manusia melalui jaringan psiko-neuro-

endokrin tersebut. Respon emosional yang positif atau dari pengaruh

terapi psikoreligius dengan doa dan dzikir ini berjaln mengalir dalam

tubuh dan diterima oleh batang otak. Setelah di format dengan Bahasa

otak, kemudian di transmisikan ke salah satu bagian otak besar yakni

thalamus, kemudian, thalamus mentransmisikan impuls hipokampus

(pusat memori yang vital untuk mengkoordinasikan segala hal yang di

serap indra) untuk mensekresikan GABA (Gama Amino Batiric Acid)

yang bertugas sebagai pengontrol respon emosi dan menghambat

asetilkolin, serotonin, dan neurotransmiter yang lain yang memproduksi

sekresi kortisol. Sehingga akan terjadi proses homeostasis

(keseimbangan). Semua protector yang ada di dalam tubuh manusia


35

bekerja dengan ketaatan beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Allah

SWT dan pandai bersyukur sehingga tercipta suasana keseimbangan dari

neuritransmiter yang ada di dalam otak (Sholeh, 2015).

2.5 Penelitian Terkait

Beberapa penelitian terkait yang membahas mengenai shalawat dan

kecemasan diantara yaitu, Penelitian yang dilakukan oleh (Rudi, 2018) tentang

pengaruh terapi shalawat thibbil qulub terhadap tingkat kecemasan atlit futsal

saat menghadapi turnamen dimana dengan mendengar shalawat selama 30

menit menunjukan adanya penurunan tingkat kecemasan yang signifikan

dengan nilai (p value ) = 0,000. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Iin, 2016)

tentang pengaruh relaksasi dzikir terhadap tingkat kecemasan pasien gagal

ginjal kronis yang menjalani hemodialisa, menunjukan perbedaan yang

bermakna antara tingkat kecemasan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi

dengan nilai (p<0.005). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Anida,

2016) tentang pengaruh distraksi audio murrotal Al-Qur’an terhadap tingkat

kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa

menunjukan adanya penurunan tingkat kecemasan pada pasien setelah

diberikan terapi murrotal Al- Qur’an dengan nilai p (0,000<0,05).


36

2.6 Kerangka Teori

Etiologi (Diyono & Mulyani 2019). Faktor Resiko (Delima


dkk, 2015) ; (Restu, 2014).
1. Diabetes Melitus
2. Hipertensi 1. Usia
3. Glumerulonefritis 2. Jenis kelamin
4. Pielonefritis 3. Riwayat penyakit
5. Genetic autosomal 4. Pola hidup
6. Obstruksi saluran kemih
7. Obat-obatan

Gagal Ginjal Kronik

Terapi Pengganti Ginjal Terapi Konservatif (Pengaturan


Diit Protein, kalium dan kalori)

- Hemodialisa
- CAPD - Dampak Fisik
- Transplantasi Ginjal
- Dampak Psikologis
(kecemasan)

Terapi Farmakologi
- Mendengar shalawat Terapi Non Farmakologi
thibbil qulub - Distraksi (Mendengar
- Doa yang didengarkan Shalawat Thibbil Qulub )
berualang-ulang
- Lingkungan yang tenang - Relaksasi
- Posisi yang nyaman

Gambar 2.1 : Kerangka teori Pengaruh Shalawat Thibbil Qulub Terhadap


Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisa (Modifikasi Atik, 2017 ; Delima dkk, 2015 ;
Diyono & Mulyani 2019 ; Restu, 2014).

Anda mungkin juga menyukai