Anda di halaman 1dari 74

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Sistem Perkemihan
1.1 Gagal Ginjal Kronis
A. Definisi

Gagal ginjal kronis merupakan terminal dektruksi jaringan dan


kehilangan fungsi ginjal yang berlangsung berangsur-angsur. Keadaan ini
pula dapat terjadi karena penyakit progresif cepat yang disertai awitan
mendadak yang menghancurkan nefron dan menyebabkan kerusakan
ginjal yang irreversible (Kowalak, 2011).

Menurut M. Clevo R, 2012 gagal ginjal kronik adalah penyakit


ginjal tahap akhir yang menahun yang bersifat progresif, dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme atau
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (Retensi urea
dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Asriani, dkk., 2014).

Gagal ginjal kronis disebut juga sebagai Chronic Kidney Disease


(CKD). Perbedaan kata kronis disini dibanding dengan akut adalah
kronologis waktu dan tingkat fisiologis filtrasi. Berdasarkan Mc Clellan
(2006) dijelaskan bahwa gagal ginjal kronis merupakan kondisi penyakit
pada ginjal yang persisten (keberlangsungan ≥ 3 bulan) dengan:

1. Kerusakan ginjal; dan


2. Kerusakan Glomerular Filtration Rae (GFR) dengan angka GFR ≤
60 ml/menit/1.73 m2.

Berdasarkan analisa definisi di atas, jelas bahwa gagal ginjal kronis


merupkan gagal ginjal akut yang sudah berlangsung lama, sehingga
mengakibatkan gangguan yang persisten dan dampak yang bersifat
kontiny. Sedangkan National Kidney Foundation (KNF) mendefinisikan
dampak dari kerusakan ginjal adalah sebagai kondisi
mikroalbuminuria/over proteinuria, abnormalitas sedimentasi, dan

9
abnormalitas gambaran ginjal. Oleh karena itu perlu diketahui klasifikasi
dari derajat gagal ginjal kronis untuk mengetahui prognosanya (Prabowo
dan Pranata, 2014).

GFR
Stage Deskripsi
(ml/menit/1.73 m2)
1 Kidney damage with normal or increase of ≥90
GFR
2 Kidney damage with mild decrease of GFR 60-89
3 Moderate decrease of GFR 30-59
4 Severe decrease of GFR 15-29
5 Kidney Failure < 15(or dialysis)
Sumber: Mc Clellan (2006), Clinical Management of Chronic Kidney
Disease (Prabowo dan Pranata, 2014).

B. Etiologi

Menurut Robbinson, 2013 dalam buku Prabowo dan Pranata, 2014


gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya, sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness).
Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Selain itu,
ada beberapa penyebab lainnya dari gagal ginjal kronis, yaitu:

1. Penyakit glomerular kronis. glomerulonefritis atau yang biasa


disebut dengan radang pada glomelurus (unit penyaring ginjal) dapat
merusak ginjal, sehingga ginjal tidak bisa lagi menyaring zat-zat
metabolisme tubuh dan menjadi penyebab gagal ginjal.
2. Infeksi kronis, misalnya pielonefritis kronis dan tuberculosis.
3. Kelainan kongenital seperti polikistik ginjal.
4. Penyakit vascular seperti renal nephrosclerosis.
Obstruksi saluran kemih seperti nephrolithisis.
5. Penyakit kolagen misalnya lupus (Systemic Lupus Erythmatous).
Lupus ini terjadi ketika antibody dan komplemen terbentuk diginjal
yang menyebabkan terjadinya proses peradangan yang biasanya
menyebabkan sindrom nefrotik (pengeluaran protein yang besar) dan
dapat cepat menjadi penyebab gagal ginjal.

10
C. Manifestasi Klinis

Menurut Robbinson, 2013; Judith, 2006 dalam buku Prabowo dan


Pranata, 2014 tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis
dikarenakan gangguan yang bersifatsitemik. Ginjal sebagai organ
koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak (organs
multifunction), sehingga kerusakan kronis secara fisiologis ginjal akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut
ini adalah tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis:

1. Ginjal dan gastrointestinal


Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut
kering, penurunan yurgor kulit, kelemahan, fatigue, dan mual.
Kemudian terjadi penurunan kasadaran (somnolen) dan nyeri kepala
yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah peningkatan
iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan
cairan yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis
metabolik. Tanda paling khas adalah terjadinya penurunan urine
otuput dengan sedimentasi yang tinggi.
2. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomiopati, uremic
percarditis, effusi perikardial (kemungkinan bisa terjadi temponade
jantung), gagal jantung, edema periorbital dan edema perifer.
3. Respiratory system
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi
pleura, crackles, sputum yang kental, uremic pleuritis, dan uremic
lung, dan sesak napas.
4. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan
kemungkinan juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis, ulseratif
duodenal, lesi pada usus halus/usus besar, colitis, dan pankreatitis.

11
Kejadian sekunder biasanya mangikuti seperti anoreksia, nausea dan
vomiting.
5. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp.
Selain itu, biasanya juga menujukkan adanya purpura, ekimosis,
petechiae, dan timbunan urea pada kulit.
6. Neurologis
Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri, gatal
pada lengan dan kaki. Selain itu, juga adamya kram pada otot dan
refleks kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk
menigkat, iritabilitas, pusing, koma, kejang. Dari hasil EEG
menunjukkan adanya perubahan metabolik encephalophaty.
7. Endokrin
Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan
gangguan siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi
sperma, peningkatan sekresi aldosteron, dan kerusakan matabolisme
karbohidrat.
8. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,
trombositopenia (dampak dari dialisis), dan kerusakan platelet.
Biasanya masalah yang serius pada sistem hematologi ditunjukkan
dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis, dan petechiae).
9. Muskuloskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur patologis,
dan kalsifikasi) otak, mata, gusi, sendi, miokard).

D. Patofisiologi

Gagal ginjal kronis sering berlangsung progresif melalui empat


stadium. Penurunan cadangan ginjal memperlihatkan laju filtrasi
glomerulus sebesar 35% hingga 50% laju filtrasi normal. Insufisiensi
renal memiliki laju filtrasi glomerulus sebesar 20% hingga 35% laju
filtrasi normal. Gagal ginjal mempunyai laju filtrasi glomerulus sebesar

12
20% hingga 25% laju filtrasi normal, sementara penyakit ginjal stadium
terminal (end-stage renal discare) memiliki laju filtrasi glomerulus
kurang dari 20% laju filtrasi normal (Kowalak, 2011).

Kerusakan nefron berlangsung progresif, nefron yang sudah rusak


tidak dapat berfungsi dan tidak bisa pulih kembali. Ginjal dapat
mempertahankan fungsi yang relatif normal sampai terdapat sekitar 75%
nefron yang tidak berfungsi. Nefron yang masih hidup akan mengalami
hipertrofi dan meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, serta sekresi.
Ekskresi kompensasi terus berlanjut ketika laju filtrasi glomerulus
semakin menurun (Kowalak, 2011).

Urine dapat mengandung protein, sel darah merah dan sel darah
putih atau sedimen (endapan) dalam jumlah abnormal. Produk akhir
ekskresi yang utama pada dasarnya masih normal dan kehilangan nefron
menjadi signifikan. Karena terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus,
kadar kreatinin plasma meninggi secara proporsional jika tidak dilakukan
penyesuaian untuk mengaturnya. Ketika pengangkutan natrium ke dalam
nefron meningkat maka lebih sedikit natrium yang direabsorpsi sehingga
terjadi kekurangan natrium dan deplesi volume. Ginjal tidak mampu lagi
memekatkan dan mengencerkan urine (Kowalak, 2011).

Jika penyebab gagal ginjal kronis tersebut adalah penyakit intertisial


tubulus, maka kerusakan primer pada tubule renal, yaitu nefron dalam
medulla renal, akan mendahului gagal ginjal sebagaimana permasalahan
yang ditemukan pada asidosis tubulus renal, yaitu deplesi garam dan
gangguan pengenceran serta pemekatan urine. Jika penyebab primernya
adalah kerusakan vaskuler atau glomerulus, maka gejala proteinuria,
hematuria, dan sindrom nefrotik lebih menonjol (Kowalak, 2011).

Perubahan keseimbangan asam-basa akan memengaruhi


keseimbangan kalsium dan fosfor. Ekskresi fosfat melalui ginjal dan
sintesis 1,25 (OH), vitamin D, oleh ginjal akan berkurang. Hipokalsemia
mengakibatkan hipoparatiroidisme sekunder, penurunan laju filtrasi

13
glomerulus, hiperfosfatemia yang progresif, hipokalsemia, dan disolusi
tulang. Pada insufisiensi ginjal yang dini terjadi peningkatan ekskresi
asam dan reabsorpsi fosfat untuk mempertahankan pH pada nilai normal.
Ketika laju filtrasi glomerulus menurun hingga 30% sampai 40% maka
terjadi asidosis metabolic yang progresif dan sekresi kalium dalam
tubulus renal meningkat. Kadar kalium total tubuh dapat meningkat
hingga taraf yang dapat menyebabkan kematian dan memerlukan dialysis
(Kowalak, 2011).

Pada glomerulosklerosis terjadi distorsi lubang filtrasi dan erosi sel


epitel glomerulus yang meningkatkan transportasi cairan melalui dinding
glomerulus. Protein berukuran besar melintasi lubang tersebut tetapi
kemudian terperangap dalam membrane basalis glomerulus dan
menyumbat kapiler glomerulus. Cedera epitel dan endotel menyebabkan
proteinuria. Proliferasi sel mesangial, peningkatan produksi matriks
ekstrasel, dan koagulasi intraglomerulus menyebabkan sklerosis
(Kowalak, 2011).

Cedera tubulointerstisial terjadi karena toksin atay kerusakan


iskemik pada tubulus renal seperti halnya nekrosis tubuler akut. Debris
dan endapan kalsium menyumbat tubulus. Defek transportasi tubulus
yang diakibatkan akan disertai edema interstisial, infiltrasi leukosit, dan
nekrosis tubuler. Cedera vaskuler menyebabkan iskemia difus atau local
pada parenkim renal yang disertai penebalan, fibrosis, atau lesi lokal
pembuluh darah ginjal. Kemudian penurunan aliran darah menimbulkan
atrofi tubulus, fibrosis intestisial dan disrupsi fungsional pada filtrasi
glomerulus, gradient medulla renal, dan pemekatan (Kowalak, 2011).

Perubahan structural memicu respon inflamasi. Endapan fibrin mulai


terbentuk di sekitar interstisium. Mikroaneurisma terjadi karena
kerusakan dinding vaskuler dan peningkatan tekanan yang timbul
sekunder akibat obstruksi atau hipertensi. Kehilangan nefron yang
akhirnya terjadi akan memicu hiperfungsi kompensasi pada nefron yang

14
belum mengalami cedera dan keadaan ini memulai suatu lingkaran balik
positif karena terjadi peningkatan kerentanan (Kowalak, 2011).

Pada akhirnya, glomerulus yang sehat menanggung beban kerja yang


terlalu berlebihan sehingga organ ini mengalami sklerosis, menjadi kaku,
dan nekrosis. Zat-zat toksik menumpuk dan perubahan yang potensial
membawa kematian terjadi pada semua organ penting (Kowalak, 2011).

15
E. WOC (Prabowo dan Pranata, 2014)

Glomerulonefritis

Infeksi Kronis

Kelainan Kongenital

Penyakit Vaskuler Gagal Ginjal Kronis

Nephrolithiasis
Gangguan Produksi urin
SLE
reabsorbsi turun
Obat Nefrotoksik

Hipernatremia
Gangguan
Proses hemodialisa eliminasi urin
kontinyu Retensi cairan Permeabilitas
kapiler
Tindakan ivasif terganggu
Vol. Vaskuler
berulang meningkat
Penurunan
oksigenasi Hipoksemia
Injury jaringan
Permeabilitas sirkulasi
kapiler meningkat
Resiko infeksi Hipoksia sel

Oedema
Kelebihan Volume
Informasi inadekuat Cairan
Stagnasi vena

Kerusakan
Ansietas Infiltrasi Jaringan Kulit

Stress ulcer
Ketidakefektifan Perfusi
Oedema pulmonal Jaringan Perifer
Hcl. meningkat
Retensi CO2
Ekspansi paru turun
Mual muntah

Dsypneu Asidosis respiratorik

Ketidakseimbangan Nutirsi:
Kurang dari Kebutuhan Tubuh Gangguan pertukaran
Ketidaefektifan pola 16
nafas gas
F. Pemeriksaan

Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk


menegakkan diagnosa gagal ginjal kronis (Prabowo dan Pranata, 2014):

1. Biokimiawi
Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum dan
kreatinin plasma. Untuk hasil yang lebih akurat untuk mengetahui
fungsi ginjal adalah dengan analisa creatinine clearence (klirens
kreatinin). Selain pemerikasaan fungsi ginjal (Renal Function Test),
pemeriksaan kadar elektrolit juga harus dilakukan untuk mengetahui
status keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai bentuk kinerja
ginjal.
2. Urinalisis
Urinalisis dilakukan untuk manpis ada/tidaknya infeksi pada ginjal
atau ada/tidaknya perdarahan aktif akibat inflamasi pada jaringan
parenkim ginjal.
3. Ultrasonografi Ginjal
Imaging (gambaran) dari ultrasonografi akan memberikan informasi
yang mendukung untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal. Pada
klien gagal ginjal biasanya menunjukkan adanya obstruksi atau
jaringan parut pada ginjal. Selain itu, ukuran dari ginjal pun akan
terlihat.

G. Penatalaksanaan

Menurut Robinson, 2013; Baughman, 2000 dalam buku Prabowo


dan Pranata, 2014 mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk
dilakukan pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal
ginjal kronis adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan
mempertahankan keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang
harapan hidup klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal
kronis membutuhkan penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga kan
meminimalisir komplikasi dan meningkatkan harapan hidup klien. Oleh

17
karena itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
penatalaksanaan pada klien gagal ginjal kronik:

1. Pantau adanya hiperkalemia


Hiperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/kram
pada lengan dan abdomen, dan diarea. Selain itu pemantauan
hiperkalemia dengan hasil ECG. Hiperkalemia bisa diatasi dengan
dialisis.
2. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia bisa diatasi dengan
pemberian antasida (kandungan alumunium/kalsium karbonat).
3. Kaji status hidrasi dengan hati-hati
Dilakukan dengan memeriksa ada/tidaknya distensi vena jugularis,
ada/tidaknya crackles pada auskultasi paru. Selain itu, status hidrasi
bisa dilihat dari keringat berlebih pada aksila, lidah yang kering,
hipertensi, dan edema perifer. Cairan hidrasi yang diperbolehkan
adalah 500-600 ml atau lebih dari haluaran urine 24 jam.
4. Kontrol tekan darah
Tekanan diupyakan dalam kondisi normal, hipertensi dicegah
dengan mengontrol volume intravaskular dan obat-obatan
antihipertensi.
5. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan
Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit klien. Pemberian heparin
selama klien menjalani dialisis harus disesuaikan dengan kebutuhan.
6. Terapi Medika Mentosa
a) Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala,
meminimalkan komplikasi dan memperlambat perkembangan
penyakit. Langkah yang dilakukan adalah mencari factor-faktor
pemburuk pada gagal ginjal kronik (Kowalak, 2011):
a. Infeksi traktus urinarus
b. Obstruksi traktus urinarus
c. Hipertensi

18
d. Gangguan perfusi/aliran darah ginjal
e. Gangguan elektrolit
f. Pemakaian obat-obat nefrotoksik, termasuk bahan kimia dan
obat tradisional.
Agen alkalisi (seperti natrium bikarbonat dan shohl), pertukaran
kation resin mengikat kalium, antibiotic, antacid aluminium
hidroksida atau aluminium karbonat untuk mengikat fosfor,
agen hipertensi dan diuretic merupakan tindakan pengobatan
yang paling sering digunakan.
b) Pencucian darah
Cuci darah (dialysis) ada 2 macam, prinsip kerjanya berdasarkan
proses difusi osmosis (Kowalak, 2011).:
1) Hemodialisis: Dipergunakan membrane semipermeabel
buatan (dialiser)
2) Peritoneal dialysis: Menggunakan selaput dindin perut
(peritoneum) pasien sendiri sebagai membrane
semipermeabel.
Sisa metabolisme akan berpindah dari pasien kecairan
dialisa setelah melalui membrane tersebut, sehingga darah
pasien menjadi bersih. Pada gagal ginjal kronik diperlukan
terapi cuci darah seumur hidup sebagai terapi pengganti ginjal
kecuali dilakukan operasi cangkok ginjal untuk mengganti ginjal
yang rusak.
Idealnya cuci darah dilakukan 2-3 kali dalam seminggu.
Apabila pasien ingin mengurangi frekuensi dialysis, maka harus
membatasi diet protein dan air lebih ketat, yang mempunyai
konsekuensi terjadi malnutrisi kurang disarankan. Penundaan
cuci darah dapat terjadi beresiko tinggi komplikasi seperti
pembengkakan paru-paru, kejang-kejang, penurunan kesadaran,
gangguan eletrolit yang berat, perdarahan saluran cerna, gagal
jantung bahkan bisa menimbulkan kematian.

19
c) Transplantasi Ginjal atau pencangkokan ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti ginjal yang
melibatkan pencangkokan ginjal dari orang hidup atau orang
mati kepada orang yang membutuhkan. Transplantasi ginjal
adalah terapi pilihan untuk sebagian besar pasien dengan gagal
ginjal kronis. Transplantasi ginjal menjadi pilihan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (Kowalak, 2011)..
Transplantasi ginjal biasanya diletakkan difossa illiaka
bukan diletakkan ditempat ginjal yang asli. Sehingga diperlukan
pasokan darah yang berbeda, seperti arteri renalis yang
dihubungkan ke arteri iliaka eksterna dan vena renalis yang
dihubungkan ke vena iliaka eksterna (Kowalak, 2011)..
Terdapat sejumlah komplikasi setelah transplantasi, seperti
penolakan (rejeksi), infeksi, sepsis, gangguan poliferasi limfa
pasca transplantasi, ketidakseimbangan elektrolit (Kowalak,
2011).
7. Terapi Gizi
Seiring penderita gagal ginjal kronik mengalami mual dan
muntah oleh sebab itu porsi makanan diusahakan kecil tapi bernilai
gizi dan diberikan dalam frekuensi yang lebih sering. Makanan
dihidangkan secara menarik, bervariasi sesuai dengan kebutuhan
penderita. Karena penderita sering mengalami mal nutrisi maka perlu
diperhatikan asupan energy dan protein. Karbohidrat, protein dan
lemak merupakan sumber energy. Pemenuhan asupan energy
terutama diperoleh dari bahan makanan pokok. Syarat diet
(Kowalak, 2011):
a. Energy cukup yaitu 30-35 kkal/kgBB. Asupan energy harus
optimal dari golongan bahan maknan nonprotein.
b. Protein 0,6-0,75 g/KgBB pembatasan protein dilakukan
berdasarkan berat badan, derajat insufisiensi renal, dan tipe
dialysis yang akan dialami. Protein hewani lebih dianjurkan
karena nilai biologisnya lebih tinggi daripada protein hewani.

20
c. Lemak cukup 20-30% dari total kebutuhan energy total.
Diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Perbadingan lemak jenuh
dan tidak jenuh adalah 1:1.
d. Karbohidrat cukup, yaitu kebutuhan energy total dikurangi
energy yang berasal dari protein dan lemak. Karbohidrat yang
diberikan pertama adalah karbohidrat kompleks.
e. Natrium yang diberikan antara 1-3 g. pembatasan natrium dapat
membantu mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat
mencegah kelebihan asupan cairan.
f. Kalium dibatasi (40-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium
darah > 5,5 mEq), oliguria, atau anuria.
g. Kalsium dan fosfor hendaknya dikontrol keadaan hipokalsium
dan hiperpospatemia, ini untuk menghindari terjadinya
hiperparatiroidisme dan seminimal mungkin mencegah
klasifikasi dari tulang dan jaringan tubuh. Asupan phosphor
400-500 ml/hari, kalsium 1000-1400 mg/hari.
h. Cairan dibatasi yaitu sebanyak jumalah urine sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dana pernafasan.
i. Vitamin cukup, vitamin C dan vitamin D.

H. Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronis


Untuk dapat menghindari dan mengurangi resiko gagal ginjal kronis
ini, anda perlu menerapkan beberapa tips berikut ini :
1. Jika anda pengkonsumsi minuman beralkohol, minumah dengan
tidak berlebihan. Namun alangkah lebih baik jika anda menghindari
minuman tersebut.
2. Jika anda menggunakan obat tanpa resep yang dijual bebas, ikutilah
petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan. Penggunaan obat
dengan dosis yang terlalu tinggi dan berlebihan akan dapat merusak
ginjal. Jika anda mempunyai sejarah keturunan berpenyakit ginjal,
konsultasikan pada dokter tentang obat apa yang sesuai dengan anda.
3. Jagalah berat badan anda dengan selalu berolahraga secara teratur.

21
4. Jangan merokok dan jangan pernah berniat untuk mencoba merokok.
5. Selalu kontrol kondisi medis anda dengan bantuan dokter ahli untuk
mengetahui kemungkinan peningkatan resiko gagal ginjal agar
segera diatasi.

I. Asuhan Keperawatan Teori Gagal Ginjal Kronik (GGK)


1. Pengkajian
Pengkajian gagal ginjal kronis sebenarnya hampir sama dengan gagal
ginjal akut, namun disini pengkajian lebih penekanan pada support
system untuk mempertahankan kondisi keseimbangan dalam tubuh
(hemodynamically process). Dengan tidak optimalnya gagalnya fungsi
ginjal, maka tubuh akan melakukan upaya kompensasi selagi dalam
batas ambang kewajaran. Tetapi, jika kondisi berlanjut (kronis), maka
akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis yang menandakan
gangguan sistem tersebut. Berikut ini pengkajian keperawatan pada
klien dengan gagal ginjal kronis (Prabowo dan Pranata, 2014):
1. Biodata
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namum
laki-laki sering memiliki risiko lebih tinggi terkait dengan
pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal ginjal kronis merupakan
periode lanjut dari insidensi gagal ginjal akut sehingga tidak
berdiri sendiri.
2. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit
sekunder yang menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang
menurun (oliguria) sampai pada sistem sirkulasi-ventilasi,
anoreksia, mual dan muntah, napas berbau urea dan pruritus.
Kondisi ini dipicu oleh karena penumpukan (akumulasi) zat sisa
metabolism/toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami
kegagalan filtrasi.

22
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien gangguan gagal ginjal kronis biasanya terjadi
penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola
napas karena dari gangguan sistem ventilasi, fatigan, perubahan
fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena berdampak
pada proses metabolisme (sekunder karena intoksikasi), maka
akan terjadi anoreksi, nausea dan vomit sehingga berisiko untuk
terjadinya gangguan nutrisi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut
dengan berbagai penyebab (multikausa). Oleh karena itu,
informasi penyakit terdahulu akan menegaskan untuk penegakan
masalah. Kaji riwayat penyakit ISK, payah jantung, penggunaan
obat berlebihan (overdosis) khususnya obat yang bersifat
nefrotoksik, BPH dan lain yang mampu mempengaruhi kerja
ginjal. Selain itu, ada beberapa penyakit yang langsung
mempengaruhi/menyebabkan gagal ginjal, yaitu diabetes melitus,
hipertensi, batu saluran kemih (urolithiasis).
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun,
sehingga silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit
ini. Namun, pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi
memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronis,
karena penyakit tersebut bersifat herediter. Kaji pola kesehatan
keluarga yang diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit,
misalnya minum jamu saat sakit.
6. Riwayat Psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping
adaptif yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya
perubahan psikososial terjadi pada waktu klien mengalami
perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani proses
pengobatan. Klien akan mengurung diri dan lebih banyak berdiam

23
diri (murung). Selain itu, kondisi ini juga dipicu oleh biaya yang
dikeluarkan selama proses pengobatan, sehingga klien mengalami
kecemasan.
7. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Kondisi klien gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat
kesadaran bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan
TTV sering didapat RR meningkat (tachypneu), hipertensi,
hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif.
8. Sistem Pernapasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi
asidosis/alkalosis respiratorik maka kondisi pernapasan akan
mengalami patologis gangguan. Pola napas akan semakin cepat
dan dalam sebagai bentuk kompensasi tubuh mempertahankan
ventilasi (Kussmaull).
9. Sistem Hematologi
Ditemukan adanya friction rub pada kondisi uremia berat. Selain
itu, biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin. CRT > 3 detik,
palpitasi jantung, chest pain gangguan irama jantung dan
gangguan sirkulasi lainnya. Kondisi ini akan semakin parah jika
zat sisa metabolisme semakin tinggi dalam tubuh karena tidak
efektif dalam ekskresinya. Selain itu, pada fisiologis darah sendiri
sering ada gangguan anemia karena penurunan eritropoetin.
10. Sistem Neuromuskuler
Penurunan kesadaran akan terjadi jika telah mengalami
hiperkarbic dan sirkulasi cerebral terganggu. Oleh karena itu,
penurunan kognitif dan terjadinya disorientasi akan dialami klien
gagal ginjal kronis.
11. Sistem Kardiovaskuler
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal
ginjal kronis salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang
tinggi di atas ambang kewajaran akan mempengaruhi volume

24
vaskuler. Stagnansi ini akan memicu restensi natrium dan air
sehingga akan meningkatkan beban jatung.
12. Sistem Endokrin
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal
kronis akan mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan
hormon reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis
berhubungan dengan penyakit diabetes melitus, maka akan ada
gangguan dalam sekresi urine yang berdampak pada proses
metabolisme.
13. Sistem Perkemihan
Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks
(filtrasi, sekresi, reabsorbsi dan ekskresi) maka manifestasi yang
paling menonjol adalah penurunan urine output < 400 ml/hari
bahkan sampai pada anuria (tidak adanya urine output).
14. Sistem Pencernaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit
(stress effect). Sering ditemukan anoreksia, nausea, vomit, dan
diare.
15. Sistem Muskuloskeletal
Dengan penurunan/kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka
berdampak pada proses demineralisasi tulang, sehingga resiko
terjadinya osteoporosis tinggi.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan perfusi jaringan renal berhubungan dengan kerusakan
nefron.
2) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan
natrium.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan pembatasan intake (diit).

25
3. Intervensi Keperawatan
1) Diagnosa Keperawatan: Gangguan perfusi jaringan renal
berhubungan dengan kerusakan nefron.
a. Kaji Perubahan EKG, Respirasi (Kecepatan dan kedalamannya)
serta tanda – tanda chvostek dan Trousseau.
Rasional: Tingginya gelombang T, Panjangnya interval PR dan
Lebarnya kompleks QRS dihubungkan dengan serum Kalium;
Pernapasan kusmaul dihubungkan dengan asidosis, kejang yang
mungkin terjadi dihubungkan dengan rendahnya kalsium.
b. Monitor data-data laboratorium: Serum pH, Hidrogen, Potasium,
bicarbonat, calsium magnesium, Hb, HT, BUN dan serum
kreatinin.
Rasional: Nilai laboratorium merupakan indikasi kegagalan ginjal
untuk mengeluarkan sisa metabolisme dan kemunduran fungsi
sekretori ginjal.
c. Jangan berikan obat – obat Nephrothoxic.
Rasional: Obat – obat nephrotoxic akan memperburuk keadaan
ginjal.
d. Berikan pengobatan sesuai anjuran dokter dan kaji respon
terhadap pengobatan.
Rasional: Dosis obat mungkin berkurang dan intervalnya menjadi
lebih lama. Monitor respon terhadap pengobatan untuk
menentukan efektivitas obat yang diberikan dan kemungkinan
timbulnya efek samping obat.
2) Diagnosa Keperawatan: Kelebihan volume cairan berhubungan
dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan,
kelebihan asupan natrium.
a. Timbang berat badan pasien setiap hari, ukur intake dan output
tiap 24 jam, ukur tekanan darah (posisi duduk dan berdiri), kaji
nadi dan pernapasan (termasuk bunyi napas) tiap 6-8 jam, kaji
status mental, monitor oedema, distensi vena jugularis dan ukur
CVP.

26
Rasional: Untuk mengidentifikasi status gangguan cairan dan
elektrolit.
b. Monitor data laboratorium: Serum Natrium, Kalium, Clorida dan
bikarbonat.
Rasional: Untuk mengidentifikasikan acumulasinya elektrolit.
c. Monitor ECG
Rasional: Peningkatan atau penurunan Kalium dihubungkan
dengan disritmia. Hipokalemia bisa terjadi akibat pemberian
diuretik.
d. Berikan cairan sesuai indikasi.
Rasional: Untuk mencegah kemungkinan terjadinya dehidrasi sel.
e. Berikan Diuretic sesuai pesanan dan monitor terhadap responnya.
Rasional: Untuk menentukkan efek dari pengobatan dan observasi
tehadap efek samping yang mungkin timbul seperti: hipokalemia
dll.
3) Diagnosa Keperawatan: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan pembatasan intake (diit).
a. Kaji terhadap adanya mual, muntah dan anorexia.
Rasional: Keadaan–keadaan seperti ini akan meningkat
kehilangan kebutuhan nutrisi.
b. Monitor intake makanan dan perubahan berat badan, monitor data
laboratorium: serum protein, lemak, kalium dan natrium.
Rasional: Untuk menentukkan diet yang tepat bagi pasien.
c. Berikan makanan sesuai diet yang dianjurkan dan modifikasi
sesuai kesukaan klien.
Rasional: Meningkatkan kebuthan nutrisi klien sesuai diet .
d. Bantu atau anjurkan pasien untuk melakukan oral hygiene
sebelum makan.
Rasional: Menghilangkan rasa tidak enak dalam mulut sebelum
makan.
e. Berikan antiemetik dan monitor responya.
Rasional: Untuk mengevaluasi kemungkinan efek sampingnya.

27
f. Kolaborasi denga ahli diet untuk pemberian diit yang tepat bagi
pasien.
Rasional : Kerjasama dengan profesi lain akan meningkatan hasil
kerja yang baik. Pasien dengan GGK butuh diit yang tepat untuk
perbaikan keadaan dan fungsi ginjalnya.

1.2 Trauma Ginjal


A. Pengertian Trauma Ginjal
Trauma ginjal adalah cedera yang mengenai ginjal yang memberikan
manifestasi memar, laserasi, atau kerusakan pada struktur (Arif Muttaqin
dan Kumala Sari, 2012). Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan
terlindung oleh otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ
intraperitoneal di sebelah anteriornya; karena itu cedera ginjal tidak jarang
diikuti cedera organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma
terbanyak pada sitem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada
abdomen mencederai ginjal (Purnomo, 2012).
Cedera ginjal dapat terjadi secara: (1) langsung akibat benturan yang
mengenai daerah pinggang atau (2) tidak langsung yaitu merupakan cedera
deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba didalam rongga
retroperitoneum. Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat merupkan
cedera tumpul, luka tusuk, atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam
rongga retroperitoneum menyabbakan regangan pedikel ginjal sehingga
menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan
memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat
menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya
(Purnomo, 2012).

28
B. Etiologi Trauma Ginjal
Mekanisme cedera yang dapat menyebabkan injuri pada ginjal adalah
sebagai berikut (Muttaqin dan Sari, 2012) :
a. Trauma penetrasi benda tajam (misalnya : luka tembak, luka tusuk
atau tikam) menyebabkan trauma pada ginjal sehingga terjadi syok
akibat trauma multisistem.
b. Trauma tumpul (misalnya : cedera atletik, kecelakaan lalu lintas,
akibat pukulan) menyebabkan ginjal malposisi, dan kontak dengan iga
(tulang belakang).
c. Cedera iatrogenik (misalnya : prosedur endourologi, ESWL, biopsi
ginjal, prosedur per kutaneus pada ginjal).
d. Intraoperatif (misalnya : diagnostik peritoneal lavage).
e. Lainnya (misalnya: penolakan transplantasi ginjal, melahirkan [dapat
menyebabkan laserasi spontan ginjal).

C. Manifestasi Klinis Trauma Ginjal


Cedera ginjal yang paling sering adalah kontusi, laserasi, ruptur dan
cedera pedikel renal atau laserasi internal kecil pada ginjal. Secara
fisiologis, ginjal menerima setengah dari aliran darah aorta abdominal,
oleh karena itu meskipun hanya terdapat laserasi renal yang kecil, namun
hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang banyak (perdarahan masif)
(Muttaqin dan Sari, 2012).
Manifestasi klinis meliputi (Prabowo dan Pranata, 2014):
a. Nyeri daerah panggul
Nyeri area panggul terjadi karena adanya iritabilitas jaringan karena
adanya truma. Hipervaskularisasi menyebabkan pelepasan reseptor
nyeri. Selain itu, akumulasi darah (perdarahan) pada area trauma
ginjal akan meningkatkan dekompresi ginjal dari jaringan sekitarnya
sehingga akan menimbulkan nyeri hebat.
b. Hematuria.
Hematuria makroskopik atau mikroskopik merupakan tanda utama
cedera saluran kemih. Hematuria merupakan salah satu faktor yang

29
perlu dipertimbangkan untuk tindakan selanjutnya. Pada trauma
tumpul, hematuria mikroskopik tanpa adanya syok tidak
memerlukan pencitraan apapun kecuali terdapat trauma penyerta
(intra abdominal atau trauma deselerasi cepat) yang memungkinkan
terjadinya cedera vaskuler. Pada trauma tajam semua hematuria
(gross atau mikroskopik) memerlukan pencitraan. Derajat hematuria
tidak berbanding langsung dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu
diperhatikan bahwa bila tidak ada hematuria, kemungkinan cedera
berat, seperti putusnya pedikel dan ginjal atau ureter dari pelvis
ginjal tetap ada.
c. Syok
Ginjal sangat kaya akan vaskuler, sehingga injury pada jaringan
ginjal akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Volume
intravaskuler akan mengalami penurunan secara drastis dan
berpindah ke rongga peritoneum. Pembuluh darah akan kolaps dan
proses desak ruang dalam cavum peritoneum akan meningkat. Inilah
awal mula dari syor hipovolemi dan syor neurogenik (karena nyeri
hebat).
d. Massa pada daerah panggul
Akumulasi darah pada area trauma ginjalakan menimbulkan
timbunan semi padat dan teraba dalam palpasi.
e. Defence muscularis/ rigiditas abdomen
Perdarahan internal yang hebat akan membuat volume intraabdomen
meningkat. Selain itu, massa ginjal akan mengalami inflamasi
sehingga akan teraba rigisitas pada abdomen.

D. Klasifikasi Trauma Ginjal


Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal
dibedakan menjadi: (1) cedera minor, (2) cedera major, dan (3) cedera
pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Pembagian sesuai dengan skala
cedera organ (organ injury scale) cedera ginjal dibagi dalam 5 derajat
sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan pencitraan maupun hasil

30
eksplorasi ginjal. Sebagian besar 85% trauma ginjal merupakan cedera
minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera major (derajat III dan IV),
dan 19% termasuk cedera pedikel ginjal (Purnomo, 2012).
Tabel Penderajatan Trauma Ginjal

Derajat Jenis Kerusakan


Derajat I Kontusio ginjal/ hematoma perirenal
Derajat II Laserasi ginjal terbatas pada korteks
Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat
Derajat III
trombosis arteri segmentalis
Derajat IV Laserasi sampai mengenai sistem kalises ginjal
Avusi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteria renalis
Derajat V
Ginjal terbelah (shatered)

(Purnomo, 2012).

E. Patofisiologi Trauma Ginjal


Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindungi oleh otot-otot
punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di
sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh
cedera organ-organ yang mengitarinya (Purnomo, 2012).
Adanya cedera traumatik, menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga
paling bawah sehingga terjadi kontusi dan ruptur, fraktur iga atau fraktur
prosesus transversus lumbar vertebra atas dapat dihubungkan dengan
kontusi renal atau laserasi. Cedera dapat tumpul (kecelakaan lalu lintas,
jatuh, cedera atletik, akibat pukulan), dapat ditemukan jejas pada daerah

31
lumbal atau atau penetrasi (luka tembak, luka tikam) tampak luka
(Muttaqin dan Sari, 2012).
Kelalaian dalam menggunakan sabuk pengaman akan memberikan
reaksi goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum dan
menyebabkan regangan pedikel ginjal (batang pembuluh darah renal dan
ureter) sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis.
Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang
selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-
cabangnya. Kondisi adanya penyakit pada ginjal seperti hidronefrosis,
kista ginja, atau tumor ginjal akan memperberat suatu trauma pada
kerusakan struktur ginjal (Muttaqin dan Sari, 2012).

32
F. WOC Trauma Ginjal

Kecelakaan, Tembakan senjata Tindakan medis


Jatuh api/tusukan benda (operasi,
tajam radiologi,
biopsi)
Goncangan
rongga Mencederai
peritoneum abdomen/pinggang/ Mencederai
punggung ginjal
P tekanan
subcortical Menembus ginjal
& intra
caliceal

Ruptur

Trauma Ginjal

Fungsi ginjal
Merangsang Perdarahan Kurang Invasi bakteri
terganggu
reseptor masif pada terpapar ke ginjal
Invasi darah
nyeri retroperitineal informasi
ke cavum
peritoneum P GFR
Resiko Tinggi
Menyentuh Risiko Ansietas Infeksi
ujung syaraf Perdarahan
Distensi Disuria
nyeri
abdomen

Perubahan Pola
Gangguan Mual Eliminasi Urine
Rasa Nyaman: muntah
Nyeri Resiko syok
hipovolemik
Anoreksia

Resiko Tinggi
Ketidakseimbangan
Kekurangan
Nutrisi Kurang dari
Volume
Kebutuhan Tubuh

33
G. PemeriksaanDiagnostik Trauma Ginjal
1. IVP : memberikan konfirmasi cepat trauma ginjal, guna menilai
tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral yaitu
caranya dengan menyuntikkan zat kontras dosis tinggi ± 2 ml/kg/bb.
Indikasi : luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal, cedera
tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik,
dan cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
mikroskopik dengan disertai syok (Muttaqin dan Sari, 2012).
2. USG ginjal : untuk menentukan lokasi cedera. Dengan menggunakan
USG diharapkan dapat menemukan adanya kontusio parenkim ginjal
atau hematoma subkapsuler dan robekan kapsul ginjal (Purnomo,
2012).
3. CT scan : pemeriksaan ini dilakukan jika pemeriksaan IVP belum bisa
menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non visualized).
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal,
ekstravasasi kontras yang luas, adanya nekrosis jaringan ginjal dan
pada organ lainnya (Muttaqin dan Sari, 2012).

H. Penatalaksanaan Trauma Ginjal


Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus
difikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma
tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi yang dikerjakan
pada trauma ginjal adalah (Purnomo, 2012):
a. Konservatif
1) Tindakan ini ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini
dilakukan observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi
lokal (tanda-tanda vital), kemungkinan adanya penambahan
massa di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut, penurunan
kadar hemoglobin darah, hematokrit dan perubahan warna urine
pada pemeriksaan urine serial.
Pasien trauma minor agar dianjurkan tirah baring sampai
hematuria hilang. Infus intravena mungkin diperlukan karena
perdarahan retroperitoneal dapat menyebabkan reflek ileus

34
paralitik. Medikasi antimikrobial dapat diresepkan untuk
mencegah infeksi akibat hematoma perirenal atau urinoma
(sebuah kista yang mengandung urine) pasien harus dievaluasi
dengan sering selama hari-hari pertama setelah cedera untuk
mendeteksi nyeri panggul dan abdominal, spasme otot, serta
bengkak di panggul.
Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda
perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi,
harus segera dilakukan tindakan operasi.
2) Pasien dengan cedera major dapat ditangani secara konservatif,
jika cedera tidak terlalu parah. Jika kondisi pasien dan asal
cederanya tidak dapat ditangani secara konservatif maka dapat
dilakukan operasi.
b. Operasi
1) Trauma ginjal major dengan tujuan untuk menghentikan
perdarahan. Selanjutnya mungkin pelu dilakukan debridement,
reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan vaskuler)
atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan
nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.
2) Trauma ginjal kritikal dan kebanyakan cedera penetrasi
memerlukan bedah eksplorasi akibat tingginya insidens
keterlibatan organ lain dan seriusnya komplikasi yang terjadi jika
cedera tidak ditangani. Ginjal yang rusak harus diangkat
(nefrektomi).
3) Komplikasi dini pasca operatif (dalam 6 bulan) mencakup
perdarahan ulang, abses, sepsis, ekstravasasi urine, dan
pembentukan batu, infeksi ginjal, aneurisma vaskuler, dan
hilangnya fungsi renal.

35
I. Konsep Teori Asuhan Keperawatan Trauma Ginjal
a. Pengkajian Anamnesa
Data Primer
A: Airway
Tidak ada obstruksi jalan nafas.
B: Breathing
Ada dispnea, penggunaan otot bantu nafas dan nafas cuping hidung.
C: Circulation
Hipotensi , perdarahan, adanya tanda (Bruit), takikardia, diaforesis.
D: Disabiliti
Nyeri, penurunan kesadaran.

Data Sekunder
1) Biodata: Data identitas klien dan dan tidak ada kaitan jenis kelamin
dan usia atas kejadian tauma fraktur genitourinarius.
2) Keluhan utama: pada trauma ginjal nyeri terjadi pada pinggang
(kostovertebrae).
3) Riwayat penyakit: trauma terjadi karena benturan primer maupun
sekunder (proses desak ruang akibat trauma tumpul abdomen).
4) Pemeriksaan fisik:
a. Inspeksi: Pemeriksaan secara umum, klien terlihat sangat
kesakitan oleh adanya nyeri kolik ginjal. Pada status lokalis
biasanya didapatkan adanya jejas pada pinggang atau punggung
bawah. Terlihat tanda ekimosis dan laserasi atau luka di abdomen
lateral dan rongga panggul. Pemeriksaan urine output didapatkan
adanya hematuria. Pada trauma ruptur pedikel, klien sering kali
datang dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma yang
makin lama makin membesar.
b. Palpasi: Didapatkan adanya massa pada rongga panggul. Nyeri
tekan pada regio kostovertebra.

36
c. Auskultasi: Auskultasi kuadran atas abdomen dilakukan untuk
mendeteksi bruit (suara vaskuler yang dapat menunjukkan
stenosis pembuluh arteri renal).
5) Aktifitas/istirahat: pusing, sakit kepala, nyeri, mulas, perubahan
kesadaran, masalah dalam keseimbangan cedera (trauma), keletihan,
kelemahan, dan malaise kelemahan otot, kehingan tonus otot.
6) Integritas ego: perubahan tingkah laku/kepribadian (tenang atau
dramatis), cemas, bingung, depresi.
7) Eliminasi: inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi, perubahan pola berkemih, nyeri ketika berkemih,
perubahan warna urine, distensi urine, hematuria, urine pekat, merah.
8) Makanan dan cairan: mual, muntah, dan mengalami perubahan
selera makan, mengalami distensi abdomen, peningkatan berat badan
(edema), anoreksia, nyeri ulu hati, perubahan turgor kulit, edema
(umumnya bagian bawah).
9) Neurosensori: kehilangan kesadaran sementara, vertigo, perubahan
kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, kesulitan
dalam menentukan posisi tubuh, sakit kepala, pengelihatan kabur,
kram otot, kejang, penurunan tingkat kesadaran (azotemia,
ketidakseimbangan elektrolit).
10) Nyeri dan kenyamanan: sakit pada abdomen dengan intensitas dan
lokasi yang berbeda, biasanya lama, wajah meringis, gelisah,
merintih, nyeri abdomen kiri/kanan atas, insomnia, perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah, mengeluh nyeri.
11) Keamanan: trauma baru/trauma karena kecelakaan, dislokasi
gangguan kognitif, gangguan rentang gerak.
12) Sirkulasi: hipotensi, hipertensi, distrimia jantung, nadi lemah dan
halus, edema jaringan umum, pucat kecenderungan perdarahan.
13) Pernapasan: napas pendek, takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi.

37
b. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan robekan pada abdomen dan ginjal.
b) Aktual/risiko syok hipovolemik berhubungan dengan pengeluaran
darah masif pada arteri renal.
c) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan pada
ginjal.

c. Intervensi

Diagnosa Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan Rasional


Keperawatan
Nyeri akut Tujuan: Mandiri
berhubungan Nyeri dapat - Kaji intensitas nyeri, - Hasil pengkajian
dengan terkontrol. perhatikan lokasi dan membantu evaluasi
robekan pada Kriteria hasil: karakteristik. derajat ketidaknyamanan
abdomen dan - Nyeri menurun dan ketidakefektifan
ginjal sampai tingkat analgesik atau
yang dapat menyatakan adanya
diterima oleh komplikasi.
klien atau - Bedrest dan berikan - Posisi yang nyaman
sampai klien tindakan untuk memberikan dapat membantu
tidak rasa nyaman seperti posisi meminimalkan nyeri dan
mengalami yang nyaman, mengelap tindakan tersebut akan
nyeri. bagian punggung pasien, meningkatkan relaksasi.
- Suhu tubuh mengganti alat tenun yang Pelembab membantu
normal. kering setelah diaforesis, mencegah kekeringan
memberi minum hangat, dan pecah-pecah di mulut
lingkungan yang tenang dan bibir.
dengan cahaya yang redup
dan sedatif ringan jika
dianjurkan berikan
pelembab pada kulit dan
bibir.
- Kompres air hangat. - Kompres air hangat dapat
mengurangi rasa nyeri
karena air hangat
memvasodilatasi
Kolaborasi vaskuler.
- Berikan analgesik sesuai - Analgesik membantu
dengan resep. mengontrol nyeri dengan
memblok jalan rangsang
nyeri. Nyeri pleuritik
yang berat sering kali
memerlukan analgetik
narkotik untuk

38
Diagnosa Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
mengontrol nyeri leboh
efektif.
Aktual/risiko Tujuan : Mandiri
Dalam waktu 1 x - Monitoring status cairan - Jumlah dan tipe cairan
syok pengganti ditentukan
24 jam gangguan (turgor kulit, membran
hipovolemik volume dan syok mukosa, urine output). dari keadaan status
hipovolemi teratasi. cairan. Penurunan
berhubungan volume cairan
Kriteria hasil :
dengan - Klien tidak mengakibatkan
mengeluh menurunnya produksi
pengeluaran urine, monitoring yang
pusing.
darah masif - Membran ketat pada produksi urine
mukosa lembab. < 600 ml/hari karena
pada arteri merupakan tanda-tanda
- Turgor kulit
renal normal. terjadinya syok
- TTV dalam - Kaji perdarahan dalam. hipovolemik.
batas normal - Perdarahan harus
- CRT > 3 detik. - Auskultasi tekanan darah, dikendalikan.
- Urine > 600 bandingkan kedua lengan, - Hipotensi dapat terjadi
ml/hari. ukur dalam keadaan pada hipovolemik yang
- Laboraturium : berbaring, duduk, atau memberikan manifestasi
nilai hematokrit berdiri bila memungkinkan. sudah terlibatnya sistem
dan protein kardiovaskuler untuk
serum melakukan kompensasi
meningkat. mempertahankan
- BUN/kreatinin - Kaji warna kulit, suhu, tekanan darah.
menurun. sianosis, nadi perifer, dan - Mengetahui adanya
diaforesis secara teratur. pengaruh peningkatan
perifer.
- Pantau frekuensi jantung
dan irama. - Perubahan frekuensi dan
irama jantung
Kolaborasi menunjukkan komplikasi
- Pertahankan pemberian disritmia.
cairan intravena.
- Jalur yang paten penting
untuk pemberian cairan
cepat dan memudahkan
perawat dalam
melakukan kontrol
- Pembedahan perbaikan.
intake dan output cairan.
- Pembedahan ditujukan
pada trauma ginjal
mayor dengan tujuan
untuk segera
menghentikan

39
Diagnosa Tujuan/Kriteria Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan
perdarahan. Selanjutnya
mungkin perlu dilakukan
debridement, reparasi
ginjal (berupa renorafi
tau penyambungan
vaskuler) atau
tidakjarang harus
dilakukan nefrektomi
parsial bahkan
nefrektomi total karena
kerusakan ginjal yang
sangat berat.
-
Gangguan Tujuan : - Monitor intake dan output - Hasil monitoring
Eliminasi urine urine. memberikan informasi
eliminasi urine
cukup atau kembali tentang fungsi ginjal dan
berhubungan normal. adanya komplikasi.
Contohnya infeksi dan
dengan
perdarahan.
kerusakan - Monitor paralisis ilcus - Gangguan dalam
(bising usus). kembalinya bising usus
pada ginjal
dapat mengindikasikan
adanya komplikasi,
contoh peritonitis,
- Inspeksi dan bandingkan obstruksi mekanik.
setiap specimen urine. - Berguna untuk
mengetahui aliran urine
- Lakukan kateterisasi bila dan hematuria
diindikasikan. - Kateterisasi
meminimalkan kegiatan
berkemih pasien yang
kesulitan berkemih
- Pantau posisi selang manual.
drainase dan kantung - Hambatan aliran urine
sehingga memungkinkan memungkinkan
tidak terhambatnya aliran terbentuknya tekanan
urine. dalam saluran
perkemihan, membuat
resiko kebocoran dan
kerusakan parenkim
ginjal.

40
2. Sistem Pencernaan
2.1 Trauma Abdomen
A. Definisi Trauma Abdomen
Trauma adalah cedera fisik, kekerasan yang mengakibatkan cedera
(Sjamsuhidayat, 1997). Trauma pada abdomen dapat dibagi menjadi dua
jenis. Trauma penetrasi dan Trauma non penetrasi (Musliha, 2010).
1. Trauma penetrasi
a. Trauma tembak
b. Trauma tumpul
2. Trauma non penetrasi
a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri dari kontusio dan laserasi.

1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non enetrasi.


Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan ada organ


abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi
gangguan metabolisme, kelainan imunoogi dan gangguan faal berbagai
organ.

Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Sjamsuhidayat (1997)


terdiri dari :

1. Cedera pada isi abdomen mungkin disertai oleh bukti adanya cedera
pada dinding abdomen

41
2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen. Luka tusuk pada
abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3. Cedera torak abdomen setiap luka pada thorak yang mungkin
menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus
dieksplorasi.

B. Etiologi Trauma Abdomen


1. Penyebab trauma penetrasi
a. Luka akibat terkena tembakan
b. Luka akibat tikaman benda tajam
c. Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non penetrasi
a. Tekanan kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil)
c. Terjepit sabuk pengaman karena terlalu menekan perut
d. Cedera ekselerasi atau deserasi karena kecelakaan olah raga

C. Manifetasi Klinis Trauma Abdomen


Klinis kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi
klinis menurut sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah
abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual, dan muntah,
takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan. Pada trauma non
penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya
jejas atau ruptur dibagian dalam abdomen. Terjadi perdarahan intra
abdominal. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi terganggu sehingga
fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis
dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena) (Musliha, 2010).
Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah
trauma. Cedera serius dapat terjadi walaupun tidak terlihat tanda kontusio
pada dinding abdomen. Pada trauma penetrasi biasanya terdapat luka
robekan pada abdomen, luka tususk sampai meembus abdomen, biasanya

42
organ tyang terkena penetrasi bisa pendarahan atau memperparah
keadaan keluar dari dalam abdomen (Musliha, 2010).

D. Patofisiologi Trauma Abdomen


Jika terjadi trauma penetrasi atau non penetrasi kemungkinan terjadi
pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatakan
tanda-tanda iritai yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang
akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral
mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi
peritoneum cepat tampak. Tanda-tanda abdomen tersebut meliputi nyeri
tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usu
bila telah terjadi prioritas umu. Bila shok telah lanjut pasien akan
mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat
leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum nampak.
Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul.
Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi
harus dilakukan (Musliha, 2010).

43
E. WOC Trauma Abdomen
F.
Trauma Abdomen
Trauma Tumpul Trauma Tajam

Trauma pada dinding abdomen


Kecelakaan, terjatuh, Tembakan dan tusukan
dan pukulan benda
Terjadi perforasi lapisan abdomen
tumpul Melukai rongga abdomen dan banyak
Hanya satu organ yang organ yang terkena hati, usus halus
terkena: hati, limpa, Kontusio Laserasi dan jejas dan besar
pankreas, ginjal Inkontinuitas jaringan saraf vaskuler
Ekimosis/ penimbunan Terdapat luka pada abdomen
darah pada jaringan lunak dan menembus ke rongga
Cidera akselerasi dan distensi Terpecahnya dan robek pembuluh darah
Tumor Perdarahan pada jaringan
Kerusakan vaskuler Perdarahan Takikardi
Resiko infeksi lunak dan rongga abdomen
Isperasi
Motilitas usus menurun Syok hipovolemik
Rupture pada segmen Hematoma pada Terjadinya
intra abdomen visera perforasi pada Penurunan volume darah
organ visera Disfungsi usus
Perdarahan pada Penumpukan
Defisit volume cairan
intra abdomen cairan pada visera Iritasi pada Refluk usus dan
peritonium mengeluarkan
Terjadinya penurunan Kelebihan cairan berlebihan
sel darah merah cairan pada Distensi abdomen tanpa Gangguan cairan
visera bising usus dan elektrolit
Syok hemoragic
Nyeri Akut Peritonitis Kelemahan
Defisit volume cairan 44
Nyeri spontan, nyeri tekan, nyeri lepas Gangguan mobilitas
F. Pemeriksaan Trauma Abdomen
Penanganan pada trauma benda tumpul dirumah sakit (Musliha, 2010):
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah diambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
labolatorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan labolatorium khusus
seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilae.
b. Pemeriksaan rongten
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multi
trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di
retroperitoneum atau udara bebas dibawah diafragma, yang keduanya
memerlukan aparotomi segera .
c. Study kontras Urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada ceder yang meliputi: daerah dudenum, kolon
ascendens atau decendens dan dubur.

G. Penatalaksanaan Trauma Abdomen


Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi
dilokasi kejadian, paramedik mungkin harus melihat apbila sudah
ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainya, maka harus segera
ditangani penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika
korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan nafas
(Musliha, 2010).
1. Airway, dengan Kontrol Tulang Belakang
Membuka jalan nafas menggunakan teknik “head tilt, chin lift” atau
mengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda
asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Mntahan,
maknan, darah, atau benda asing yang lainnya.
2. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Memeriksa pernafasan dengan menggunakan cara “ lihat dengar dan
rasakan” tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada

45
napas atau tidak. Selanjutnya, lakukan emeriksaan status respirasi
korban (kecepatan, retime dan adekuat tidaknya pernafasan).
3. Circulation, dengan kontrol perdarahan hebat
Jika pernafasan korban tersenggal-senggal dan tidak adekuat, maka
bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi,
lakukan resusitasi jantung segera. Rasio kompresi dada dan bantuan
napas dalam RJP adalah 15:2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali
bantuan napas).

Penanganan awal trauma non penentrasi (trauma tumpul)


a. Stop makanna dan minuman
b. Imobilisasi
c. Kirim kerumah sakit
d. Diagnosyic peritonial lavage (DPL)
Dilakukan pada trauma abdomen perdarahan intra abdomen, tujuan
dari DPL adalah untuk mengetahui lokasi perdarahan intra abdomen.
Indikasi untuk melakukan DPL, antara lain :
1. Nyeri abdomen yang tidak bisa dijelaskan sebabnya
2. Trauma bagian bawah dari dada
3. Hipotensi, hematrokit turun tanpa ada alasan yang jelas
4. Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,
alkohol, cedera otak)
5. Pasien cedera abdominalis dan cedera medula spinalis (sumsum
tulang belakang)
6. Patah tulang pelvis

Pemeriksaan DPL dilakukan mellaui anus, jika terdapat darah


segar dalam BAB atau sekitar anus berarti trauma non penentrasi
(trauma tumpul) mengenai koln atau usus besar, dan apabila darah
hitam terdapat BAB atau sekitar anus berarti trauma non penetrasi
(trauma tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah dietahui
diagnostic peritoneal lavage (DPL), seperti adanya darah pada
rektum atau pada saat BAB. Perdarahan dinyatakan positif bila el

46
darah merah lebih dari 100.000 sel/mm3 dari 500 sel/mm3, empedu
atau amilase dalam jumlah yang cukup juga merupakan indikasi
untuk ceera abdomen. Tindakan selanjutnya akan dilakukan prosedur
laporatomi.

Kontra indikasi dilakukan diagnostik. Peritoneal lavage (DPL)


antara lain :

1. Hamil
2. Pernah operasi abdominal
3. Operator tidak berpengalaman
4. Bila hailnya tidak akan merubah penatalaksanaan

Penanganan awal trauma penetrasi (trauma tajam)


1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam
lainya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2. Penangananya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi
pisau sehingga tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut
tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian
organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila
ada verban steril.
4. Imobilisasi pasien
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
6. Apabila ada luka terbuka lainya maka dibalut luka dengan
menekang
7. Kirim ke rumah sakit.

47
H. Konsep Teori Asugan Keperawatan Trauma Abdomen
1. Pengkajian Data
Dasar pemeriksaan fisik “head to toe” harus dilakukan dengan
singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.
Pengkajian data dasar menurut doenges (2000) dalam buku Musliha,
2010:
1. Aktifitas/istirahat
Data subjektif : pusing, sakit kepala, nyeri, mulas.
Data objektif: perubahan kesadaran, masalah dalam
keseimbangan cedera (trauma).
2. Sirkulasi
Data objektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola nafas
(hipoventilasi, hiperventilasi, dll).
3. Integritas ego
Data subyaktif: perubahan tingkah laku,/ kepribadian (tenang atau
dramatis).
Data obyektif: Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
Data subyektif: inkontinensia kandung kemih atau usus atau
mengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
Data subyektif: mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
makan.
Data subyektif: mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori
Data subyektif : kehilangan kesadaran sementara, vetigo.
Data obyektif: perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
Data subyektif: sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi
yang berbeda, biasanya lama.
Data obyektif: wajah mringis, gelisah, merintih.

48
8. Pernafasan
Data obyektif: perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data subyektif.: trauma baru atau trauma karena kecelakaan.
Data obyektif: dislokasi gangguan kognitif. Gangguan rentang
gerak.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan denyugan
perdarahan.
2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka
penetrasi abdomen.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh.
4. Ganguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik.

3. Intervensi
1. Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
perdarahan.
Tujuan: terjadi keseimbangan volume cairan.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: untuk mengidentifikasi defisit volume cairan
b. Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan
vitamin.
Rasional: mengidentifikasi keadaan perdarahan.
c. Kaji tetesan infuse.
Rasiona: awasi tetesan untuk mengidentifikasi kebutuhan
cairan.
d. Kolaborasi : berikan cairan parenteral sesuai indikasi
Rasional: cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan
nutrisi tubuh.

49
e. Transfusi darah.
Rasional: menggantikan darah yang keluar.
2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka
penetrasi abdomen ( Doenges, 2000).
Tujuan: nyeri teratasi.
Intervensi:
a. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: mengetahui tingkat nyeri klien.
b. Beri posisi semi fowler.
Rasional: mengurangi kontraksi abdomen.
c. Anjurkan teknik manajeman nyeri seperti distraksi.
Rasional: membantu mengurangi rasa nyeri dengan
mengalihkan perhatian.
d. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional: analgetik membantu mengurangi rasa nyeri.
e. Manajemen lingkungan yang nyaman.
Rasional: lingkungan yang nyaman dapat memeberikan rasa
nyaman klien.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh.
Tujuan : tidak terjadi infeksi.
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: mengidentifikasi adanya resiko infeksi lebih din.i
b. Kaji keadaan luka.
Rasiona: keadaan luka yang diketahui lebih awal dapat
mengurangi resiko infeksi.
c. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: suhu tubuh naik dapat mengindikasikan adanya roses
infeksi.

50
d. Perawatan luka dengan prinsip sterilisasi
Rasional: teknik aseptik dapat menurunkan resiko infeksi
nososkomial.
e. Kolaborasi pemberian antibiotic.
Rasional: antibiotik mencegah adanya infeksi bakteri dari luar.
4. Ganguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
(Doenges, 2000).
Tujuan : dapat bergerak bebas.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan pasien untuk bergerak.
Rasional: identifiasi kemampuan klien dalam mobilisasi.
b. Dekatkan peralatan yang dibutuhkan pasien.
Rasional: meminimalisir pergerakan klien.
c. Berikan latihan gerak aktif pasif.
Rasional: melatih otot-otot klien.
d. Bantu kebutuhan pasien.
Rasional: membantu dalam mengatasi kebutuhan dasar klien.
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
Rasional: terapi fisioterapi dapat memulihkan kondisi klien.

2.2 Gatroenteritis
A. Pengertian Diare (Gastroenteritis)
Istilah gastroenteritis digunakan secara luas untuk menguraikan
pasien yang mengalami perkembangan diare dan atau muntah akut,
istilah ini mengacu pada terdapat proes inflamasi dalam lambung dan
usus, walaupun pada bebrapa kasus tidak selalu demikian seperti pada
kondisi seperti kolera atau apa yang dihasilkan oleh E coli diman mukosa
usus dan gaster secara struktural dan kecendrungan normal. Diare adalah
defekasi lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa darah dan lendir
dalam feses, sedangkan diare akut sendiri didefinisikan dengan diare
yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak-anak yang sebelumnya
sehat (Sodikin, 2011).

51
Diare didefinisikan sebagai pasase feses cair lebih dari tiga kali
dalam sehari disertai kehilangan banyak cairan danelektrolit melalui
feses (waston, dikutip Jones & Irving, 1996 : Berham, Kliegman, &
Arvin, 1996). Secara epidemiologik biasanya diare didefinisikan dengan
keluarnya feses lunak atau cairan tiga kali atau lebih dalam satu hari,
namun para ibu mungkin menggunakan istilah yang berbeda untuk
menggambarkan diare. Depkes RI & DITJEN PPM & PLP (1999), lebih
raktis mendefinisikan diare sebagai meningkatkannya frekuensi feses
atau konsistensinya menjadi lebih lunak sehingga dianggap abnormal
oleh ibunya (Sodikin, 2011).
Sedangkan dehidrasi adalah ketidakseimbangan cairan tubuh
dikarenakan pengeluaran cairan lebih besar dari pada pemasukan
(Almatsier, 2009).

B. Etiologi Gastroenteritis
Behrman, Kiegman & Arvin, Nelson (1996) dalam buku Sodikin,
2011 menjelaskan bahwa penyebab diare secara umum dapat dilihat pada
tabel 12-1.

TABEL 12-1 Penyebab Diare Akut dan Kronik pada Bayi, Anak-Anak,
dan Remaja

Jenis Diare Bayi Anak Remaja


Akut Gastroenteritis Gastroentritis Gastroentritis
Infeksi sistemik Keracunan makanan Keracunan makanan
Akibat pemakaian Infeksi sistemik Akibat pemakaian
antibiotik Akibat pemakaian Antibiotik
Antibiotik
Kronik Pascainfeksi Pascainfeksi Penyakit radang usus
Defisiensi disakaridase Defisiensi disakaridase Intoleransi laktosa
Sekunder Sekunder Giardiasis
Intoleransi protein susu Sindrom iritabilitas Penyalahgunaan
Sindrom iritabilitas Kolon laktasif (anoreksia
Kolon Penyakit seliak nervosa)
Fibrosis kistik Intoleransi laktosa
Penyakit seliakus Giardiasis
Sindrom usus pendek
Buatan

52
Hampir sekitar 70-90% penyebab diare sudah dapat pastikan. Secara
garis besar penyebab diare dikelompokkan menjadi penyebab langsung
atau faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempercepat
terjadinya diare (Sodikin, 2011).

Penyebab diare akut dibagi menjadi dua golongan, diare sekresi


(secretory diarrhorea) dan diare osmotik (osmotik diarrhoea). Diare
sekresi dapat disebabkan oleh faktor-faktor antara lain : (a) infeksi virus,
kuman-kuman patogen., atau penyebab lainya (seperti keadaan gizi/ atau
gizi buruk, hygine dan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, sosial
budaya dan sosial Ekonomi): (b) hiperperistaltik usus halus yang dapat
disebabkan oleh bahan-bahan kimia, makanan(seperti: keracunan
makanan, makanan yang pedas atau terlalu asam), gangguan psikis
( ketakutan gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi, dan sebagainya;
(c) defisiensi imun terutama SigA (secretory immunoglobin A) yang
mengakibatkan berlipatgandanya bakteri atau flora usus dan jamur
(terutama Candida). Diare osmotik (osmotic diarrhoea) disebabkan oleh
malabsorbsi makanan, kekurangan kalori protein (KKP), bayi berat
badan lahir rendah (BBLR), dan bayi baru lahir (Sodikin, 2011).

C. Klasifikasi Gastroenteritis
Secara klinik, diare dibedakan menjadi tiga macam sindrom, masing-
masing mencerminkan patogenesis berbeda dan memerlukan pendekatan
yang berlainan dalam pengobatannya. (Sodikin, 2011).
a. Diare akut (gatroenteritis)
Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi
dan anak yang sebelumnnya sehat. Diare berlangsung kurang dari 14
hari (bahkan kebanyakan kurang dari tujuh hari) dengan disertai
pengeluaran feses lunak atau cair, sehingga tanpa darah, mungkn
disertai muntah dan panas. Diare akut (berlangsung kurang dari tiga
minggu).

53
Diare lebih sering terjadi padabayi daripada anak yang lebih
besar. Penyebab terpenting diare akut apada anak-anak adalah
rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik. Penyakit diare akut
dapat ditularkan dengan cara fekal oral melalui makanan dan
minuman yang tercemar. Diare cair akut menyebabkan dehidrasi dan
banyak juga yang meninggal disebabkan oleh dehidrasi.
b. Disentri
Disentri didefinisikan dengan diare yang disertai darah dan juga
feses, menyebabkan anoreksia, epnurunan berat badan dengan cepat,
dan kerusakan mkosa usus karena bakteri invasif. Penyebab utama
penyakit disentri akut yaitu Shigella, penyebab lain adalah
campylobacter jejuni, dan penyebab yang jarang ditemui adalah E.
Coli enteroinvasife atau salmonela. Pada orang dewasa mda, disentri
yang serius disebabkan oleh entamoeba histolytica, tetapi jarang
yang menjadi penyebab dientri pada anak-anak.
c. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang pada mulanya bersifat akut
tetapi berlangsung lebih dari 14 hari, kejadian dapatt dimulai sebagai
diare cair atau disentri. Diare jenis itu mengakibatkan kehilangan
berat badan yang nyata, dengan volume fees dalam jumlah yang
banyak sehingga beresiko mengalami dehidrasi. Diare persisten tidak
disebabkan oleh enyebab mikroba tunggal E. Coli enteroinvasife,
shigella, dan Cryptosporidisure, mungkin penyebab lain lebih besar.
Diare persisten tidak boleh dikacaukan dengan diare kronik, yaitu
diare intermiten atau diare hilang timbul, atau berlangsung lama
dengan penyebab non infeksi seperti penyakit sensitif terhadap
gluten atau gangguan metabolisme yang menurun.

54
D. Manifestasi Klinis Gastroenteritis (Sodikin, 2011).
1. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer,
kadang disertai wial dan wiata
2. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena
bercampurempedu
3. Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja
menjadi lebih asam laktat
4. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistisitas kulit
menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan
disertai penurunan berat badan
5. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah
menurun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran
menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat
hipovokanik
6. Diuretis berkurang (oliguria sampai anuria)
7. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan
pernafasan cepat dan dalam (khusmaul).

E. Patofisiologi Gastroenteritis
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare adalah yang pertama
gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat
diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus
meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kealam rongga
usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare (Musliha, 2010).
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding
usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit kedalam rongga
usus dan selanjutnya diare timbul karena dapat peningkatan isi rongga
usus (Musliha, 2010).
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan
mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan
sehingga timbul diare sebalinya bila peristaltik usus menurun akan

55
mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat
menimbulkan diare pula (Musliha, 2010).
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme
hidup kedalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung,
mikrorganisme tersebut berkembang biak kemudian mengeluarkan toksin
dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutna akan
menimbulkan diare (Musliha, 2010).
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai
berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari
pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada
diare. Klasifikasi tingkat dehidrasi:

Gejala Defisit Ringan 3-5% BB Sedang 6-8% BB Berat >10% BB


Turgor Berkurang Menurun Sangat menurun
Lidah Normal Lunak Kecil keriput
Mata Normal Cowong Sangat cowong
Ubun-ubun Normal Cekung Sangat cekung
Rasa haus + ++ +++
Nadi ↑ ↑↑kecil lemah ↑↑↑sangat kecil
Tensi ↓ ↓↓ ↓↓↓tak teratur
Urine ↓ ↓↓pekat ↓↓↓anuria

2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis)


Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja.
Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun
dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya
anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat
karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria atau anuria)
dan terjadinya perpindahan ion Na dari cairan ekstraselularkedalam
cairan intraselular.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemi terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih
sering pada anak yang sebelumnya telah mendrita KKP. Hal ini terjadi
karena adanya gangguan enyimpanan atau penyeian glikogen dalam

56
hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa. Gejala hipoglikemia akan
muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi
dan 50% pada anak-anak.
4. Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini
dibedakan oleh :
a. Makanan sering dihentiksan oleh orang tua karena struktur diare
atau muntah yang bertambah hebat
b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran
dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama
c. Makanan yang sering diberikan sering ditak dapat dicerna dan
diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shook) hipovolemik,
akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis
bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran
menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.

57
F. WOC Gastroenteritis

Bakteri/mikroorganisme masuk ke Stres, ketakutan,


dalam saluran intestinal cemas

Merangsang pusat Eksotosin Inflamasi pada Meningkatkan


pengaturan suhu lambung motivasi usus

Merusak sel mukosa


Hipetermi intestinal Mual muntah Hperperistaltik

Meganggu absorbsi Nafsu makan Penyerapan pada


usus menurun kolon berkurang

Sekresi berlebihan Nutrisi kurang dari Feces banyak


cairan dan elektrolit kebutuhan mengandung air

Fecces mengandung
cairan

Peningkatan isi rongga Diare

Kehilangan Sering BAB


Dehidrasi
Kehilangan cairan
dan elektrolit
Feces mengandung
Membutuhkan Syok hipovolemik
Kurangnya volume asam laktat
perawat di rumah
cairan
sakit
kematian
Iritasi kulit dan
anus
Hospitalisasi

Gangguan
Cemas integritas kulit

58
G. Pemeriksaan Gastroenteritis (Sodikin, 2011).
1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopik dan mikroskopik
b. PH dan kadar gula dalam tinja
c. Bila perlu diadakan uji bakteri
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan
menentukan PH dan cadangan alkali dan analisis gas darah
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan posfat.

H. Penatalaksanaan Gastroenteritis
Pada orang dewasa, penatalaksanaan diare akut akibat infeksi terdiri:
1. Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan.
a. Dehidrasi berat
10 tts/kg /menit dalam 1 jam (RL NS )
5 tts/kg/menit dalam 2 jam
untuk bayi kurang dari 3 bulan ( D 10 : NS 4 : 1 )
bila renjatan belum teratasi beri plasma 10 ml/kg
b. Dehidrasi sedang
3 tts/kg/menit dalam 7 jam ( D5 : RL 4:1 + kcl )
3 tts/kg/menit untuk bayi kurang dari 3 bulan
c. Dehidrasi ringan
2 tts/kg/menit (D5 :RL)
2. Identifikasi penyebab diare akut karna infeksi.
Secara klinis, tentukan jenis diare koleriform atau disentriform.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yang terarah.
3. Terapi simtomatik.
Obat anti diare bersifat simtomatik dan diberikan sangat hati-hati atas
pertimbangan yang rasional. Antimotalitas dan sekresi usus seperti
Loperamid, sebaiknya jangan dipakai pada infeksi salmonela, shigela
dan koletis pseudomembran, karena akan memperburuk diare yang
diakibatkan bakteri entroinvasif akibat perpanjangan waktu kontak

59
antara bakteri dengan epithel usus. Bila pasien amat kesakitan, maka
dapat diberikan obat anti motalitas dan sekresi usus diatas dalam
jangka pendek selama 1 – 2 hari saja dengan 3 – 4 tablet / hari, serta
memperhatikan ada tidaknya glukoma dan hipotropi prostat.
Pemberian antiemetik pada anak dan remaja, seperti metoklopopomid
dapat menimbulkan kejang akibat rangsangan ekstrapiramidal.
4. Terapi Definitif
Pemberian edurasi yang jelas sangat penting sebagai langkah
pencegahan. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunisasi
melalui vaksinasi sangat berarti, selain terapi farmakologi.

I. Pencegahan Gastroenteritis
1. Minumlah air yang direbus hingga mendidih dan makanan yang sudah
dimasak hingga matang
2. Mencuci tangan, mencuci tangan tidak hanya dengan air saja tetapi
dengan menggunakan sabun antiseptik karena mencuci dengan sabun
akan mengurangi insiden terjadinya penyakit diare
3. Jaga kebersihan kuku terutama jika memiliki kuku yang panjang
4. Menjaga kebersihan dapur dan kamar mandi.
5. Menyimpan makanan di kulkas dan tidak membiarkan makanan
tertinggal di bawah paparan sinar matahari atau suhu ruangan.
6. Buang makanan dan minuman yang sudah kedaluarsa.

J. Konsep Teori Asuhan Keperawatan Diare (Gastroenteritis)


1) Pengkajian
Pengkajian Primer
a. Airway: Klien dengan gastroenteritis biasanya didapatkan kondisi
dengan karakteristik adanya mual dan muntah dan diare yang
disebabkan oleh infeksi, alergi atau keracunan zat makanan.
b. Breathing: Pada klien gastroenteritis dapat ditemukan
abnormalitas metabolik atau ketidakseimbangan asam basa yang
dapat menimbulkan gangguan pernapasan.

60
c. Circulation: Pada klien gastroenteritis ditemukan penurunan kadar
kalium darah di bawah 3,0 mEq / liter (SI : 3 mmol / L) sehingga
menyebabkan disritmia jantung (talukardio atrium dan ventrikel,
febrilasi ventrikel dan kontraksi ventrikel prematur).
d. Disability: Pada klien gastroenteritis terjadi penurunan tingkat
kesadaran karena dehidrasi dengan gejala seperti gelisah, kulit
yang lembab, lengket dan dingin dan berkeringat tidak muncul
sampai total volume darah yang hilang sebesar 10-20% sehingga
dapat menyebapkan terjadinya syok hipovolemik
e. Exposure: Klien gastroenteritis biasanya mengalami dehidrasi
akibatnya dapat terjadi peningkatan suhu tubuh karena proses
infeksi sekunder.

Pengkajian Sekunder
a. Identitas: Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi
pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi adalah
golongan umur 6-11 bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang
kekebalan terhadap infeksi, hal ini membantu menjelaskan
penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih besar. Pada
umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk.
Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman
enteric menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi.
Status ekonomi juga berpengaruh terutama dilihat dari pola
makan dan perawatannya.
b. Keluhan Utama: BAB lebih dari 3x.
c. Riwayat Penyakit Sekarang: BAB warna kuning kehijauan,
bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Konsistensi encer,
frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran: 3-5 hari (diare
akut), lebih dari 7 hari (diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari
(diare kronis).
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Pernah mengalami diare sebelumnya.

61
e. Riwayat Nutrisi: Pada anak usia toddler makanan yang diberikan
seperti pada orang dewasa, porsi yang diberikan 3 kali setiap hari
dengan tambahan buah dan susu. kekurangan gizi pada anak usia
toddler sangat rentan. Cara pengelolahan makanan yang baik,
menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan cuci tangan.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga: Ada salah satu keluarga yang
mengalami diare.
g. Riwayat Kesehatan Lingkungan: Penyimpanan makanan pada
suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat
tinggal.
h. Pemeriksaan Fisik:
a) Pemeriksaan psikologis : Keadaan umum tampak lemah,
kesadarana composmentis sampai moma, suhu tubuh tinggi,
nadi cepat dan lemah, pernapasan agak cepat.
b) Pemeriksaan sistematik :
 Inspeksi : mata cekung, ubun-ubun besar, selaput lendir,
mulut dan bibir kering, berat badan menurun, anus
kemerahan.
 Perkusi : adanya distensi abdomen.
 Palpasi : turgor kulit kurang elastis.
 Auskultasi : terdengarnya bising usus.
i. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja, darah lengkap dan abdomen intubation yaitu
untuk mengetahui penyebab secara kuantitatip dan kualitatif.

2) Diagnosa Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan aktif.
2) Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses
infeksi dampak sekunder dari diare.
3) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperperistaltik.

62
3) Intervensi Keperawatan
1) Diagnosa keperawatan: Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan aktif.
Tujuan: Defisit cairan dan elektrolit teratasi.
Kriteria Hasil: Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, mukosa mulut dan
bibir lembab, balan cairan seimbang.
Intervensi:
a. Menjaga asupan intake dan output agar tetap seimbang
(makanan atau cairan yang masuk dan menghitung asupan
kalori harian, yang sesuai.
b. Memantau status dehidrasi (membran mukosa lembab turgor
kulit baik).
c. Memantau status gizi.
d. Memeberikan asupan cairan selama 24 jam sesuai dengan
kebutuhan pasien.
2) Diagnosa keperawatan: Resiko peningkatan suhu tubuh
berhubungan dengan proses infeksi dampak sekunder dari diare.
Tujuan: Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
Kriteria hasil: suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5 °C).
Intervensi :
a. Monitor suhu tubuh setiap 2 jam.
b. Berikan kompres hangat.
c. Berikan Health Edukation tentang panasnya.
d. Berikan minum air putih 2-3 liter / hari.
e. Berikan posisi bedrest.
f. Atur suasana lingkungan (ruangan beri ventilasi).
g. Observasi TTV.
h. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat anti
piretik.

63
3) Diagnosa keperawatan: Gangguan rasa nyaman berhubungan
dengan hiperperistaltik.
Tujuan: rasa nyaman terpenuhi, klien  terbebas dari distensi
abdomen
Kriteria hasil: Klien tidak menyeringai kesakitan, wajah rileks, dan
skala nyeri 0-2.
Intervensi:
a. Anjurkan keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
dalam mengatasi nyeri.
b. Kolaboratif: Berkolaborasi dengan dokter untuk memberikan
obat (antibiotik,. levofloxacin, ciprofloxacin).
c. Ajari dan pantau klien dalam pemberian analgesik sesuai
anjuran medis.
d. Berikan makanan yang halus pada klien (bubur).

64
BAB III

APLIKASI TEORI

Tn. A berusia 53 th masuk IGD RSI. A. Yani dengan keluhan


utama saat masuk adalah sesak nafas. Klien mengatakan sesak yang
dirasakan sudah 3 hari SMRS. Tn. A mengatakan mengalami kekambuhan
jika minum air terlalu banyak. Jika kambuh Tn. A mengalami sesak nafas
lama nya bisa sehari penuh. Klien mengatakan bahwa tidak ada riwayat
alergi, namun klien mengatakan memiliki riwayat penyakit jantung,
tekanan darah tinggi, DM dan penyakit GGK yang sudah lama di derita
klien. Hasil pemerikan fisik yang didapatkan adalah TD 170/130 mmHg,
RR 34x/menit, Nadi 100x/menit, Suhu 37 °C, konjungtivitas anemia dan
mata tampak cekung. Selain itu klien tampak penggunaan otot-otot
pernafasan tambahan, suara nafas terdengar ronchi pada kedua paru,
terdengar bunyi jantung II (Gallop). Pada bagian abdomen tidak teraba
adanya massa, tampak otot-otot perut saat klien bernafas. Terdapat odema
pada bagian ektremitas bawah kanan kiri serta mengalami ganggguan
dalam BAK nya, yaitu BAK tidak lancar, air kencing sedikit dan warna
keruh. Klien tampak agak pucat dan berkeringat dingin. Karena pada saat
periksa keadaan Tn. A dalam kondisi memburuk sehingga dokter
memutuskan untuk rawat inap. Tn. A mengatakan sebelumnya pernah
melakukan perawatan dirumah sakit berkali-kali terakhir saat ini di rawat
di RSI. A. Yani.

Hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan


darah perifer kadar GDS: 322 mg/dl, ureum: 108 mg/dl, kreatinin: 4,1
mg/dl, Hb: 12,4 g/dl, HCT: 22,4 %.

65
BAB IV

PEMBAHASAN

1. PENGKAJIAN
Tanggal Pengkajian : 28 April 2016 Jam : 09.00 WIB
Tanggal MRS : 28 April 2016
Rumah Sakit : RSI. A. Yani
Ruangan : IGD
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 53 th
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMK
No. Rekam Medik : 3421686
Alamat : Jl. Wonokromo, Surabaya
Diagnosa Medis : Gagal Ginjal Kronis
IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB
Nama : Ny. B
Umur : 48 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
No. Rekam Medik : 3421686
Alamat : Jl. Wonokromo, Surabaya
B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Klien mengatakan sesak nafas.

66
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan sesak yang dirasakan sudah 3 hari SMRS. Tn. A
mengatakan mengalami kekambuhan jika minum air terlalu banyak. Jika
kambuh Tn. A mengalami sesak nafas lama nya bisa sehari penuh.
Karena pada saat periksa keadaan Tn. A dalam kondisi memburuk
sehingga dokter memutuskan untuk rawat inap. Tn. A mengatakan
sebelumnya pernah melakukan perawatan dirumah sakit berkali-kali
terakhir saat ini di rawat di RSI. A. Yani.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Klien mengatakan memiliki riwayat penyakit jantung, tekanan darah
tinggi, DM dan penyakit GGK yang sudah lama di derita klien.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan di keluarganya memiliki riwayat penyakit tekanan
darah tinggi dan DM.
C. PEMERIKSAN FISIK
1. Keadaan Umum : Lemah
2. Tanda-Tanda Vital :
TD 170/130 mmHg
RR 34x/menit
Nadi 100x/menit
Suhu 37 °C
B1 (Breath)
Inspeksi : Tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, dan
pergerakan dada simetris.
Palpasi : Fremitus vokal sama antara kanan dan kiri.
Perkusi : Suara redup
Auskultasi : Suara nafas terdengar ronchi pada kedua paru
B2 (Blood)
- Terdengar bunyi jantung II (Gallop)
- CRT > 2 dtk
- Tekanan Darah 170/130 mmHg

67
- Nadi 100x/menit
- Akral: berkeringat dingin
- Terdapat odema pada bagian ektremitas bawah
B3 (Brain)
Kesadaran menurun (somnolen)
E: 3 V: 2 M: 3 GCS: 8
Sianosis: Tidak ada
Refleks fisioogis: Tidak ada
Meningeal sign: Tidak ada
B4 (Bladder)
Jumlah minum: 1000 cc
Warna urine: Kuning keruh
Jumlah urine: 500 cc
Terpasang kateter dan kesulitan BAK
B5 (bowel)
Mukosa bibir : Kering dan pucat.
Lidah : Kotor
Keadaan gigi : Tidak ada karies dan ada gigi yang tanggal.
Abdomen:
Inspeksi : Tampak penggunaan otot-otot perut saat klien bernafas.
Palpasi : Tidak teraba adanya massa.
Perkusi : Suara timpani.
Auskultasi : Terdengar bising usus 8x/menit.
B6 (Bone)
Terdapat odema pada bagian ektremitas bawah
Turgor kulit: Jelek
Akral: berkeringat dingin
Tampak agak pucat
Perdarahan kulit: tidak ada
D. HASIL PEMERIKSAN PENUNJANG

68
Hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah
perifer kadar GDS: 322 mg/dl, ureum: 108 mg/dl, kreatinin: 4,1 mg/dl, Hb:
12,4 g/dl, HCT: 22,4 %.
E. TERAPI
- Infuse Dextrose 5% life line
- O2 masker 8 lpm
- Pasang alat monitoring
- Injeksi bisovon 1 amp/IV
- Injeksi Furosemid 1 amp/IV
- Injeksi Cetriaxone 1 amp/IV

2. ANALISA DATA

No
DATA ETIOLOGI MASALAH
.
1. DS: Penurunan Ketidakefektifan
- Tn. A mengatakan sesak yang ekspansi paru Pola Nafas
dirasakan sudah 3 hari SMRS (00032)

DO:
- Tampak penggunaan otot-otot
pernafasan tambahan
- Suara nafas terdengar ronchi
pada kedua paru.
- RR: 34 x/menit
- Nadi: 100 x/menit
2. DS: Kelebihan asupan Kelebihan volume
- Tn. A mengatakan kedua cairan (Input cairan (0026)
kakinya mengalami bengkak. cairan > output).

DO:
- CRT pada ektremitas bawah >
2 detik.
- Odema pada bagian
ektremitas bawah kanan kiri.
- Pasien tampak agak pucat dan
berkeringat dingin.
- TD 170/130 mmHg.
- Nadi 100x/menit.
- Pasien terlihat sesak.
- Pasien terlihat gelisah.
3. DS: Obstruksi Gangguan

69
No
DATA ETIOLOGI MASALAH
.
- Tn. A mengatakan mengalami anatomik Eliminasi Urine
ganggguan dalam BAK nya, (kerusakan ginjal) (00016)
yaitu BAK tidak lancar, air
kencing sedikit dan warna
keruh.

DO:
- Urine berwarna keruh.
- Pasien tampak pucat.
- Jumlah urine: 500 cc.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN

No
DIAGNOSA KEPERAWATAN
.
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan Kelebihan asupan cairan
(Input cairan > output).
3. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomik
(kerusakan ginjal).

4. INTERVENSI

No. Tujuan dan


Rencana Tindakan Rasional Paraf
Dx Kriterian Hasil
1. NOC: NIC:
Respiratory Status Airway Management
(Status Pernapasan). (Manajemen Jalan
Tujuan: Nafas)
Setelah dilakukan Aktivitas:
tindakan keperawatan 1. Buka jalan nafas 1. Jalan napas yang Dwina
selama 3x24 jam, pola memakai chin paten dapat
pernapasan pasien lift atau jaw memberikan
kembali ormal dengan thrust. kebutuhan
indikator: 2. Posisikan pasien oksigen di semua
1. Tingkat untuk jaringan tubuh
pernapasan memaksimalkan secara adekuat.
(2→5) potensi ventilasi. 2. Posisi semifowler
2. Auskultasi suara 3. Bersihkan sekret membantu klien
nafas (2→5) dengan batuk memaksimalkan
3. Retraksi dada efektif atau ventilasi sehingga
(2→5) suction. kebutuhan
4. Auskultasi suara oksigen terpenuhi
Keterangan Indikator: pernapasan, catat melalui proses
1 = sangat berat pernapasan.

70
No. Tujuan dan
Rencana Tindakan Rasional Paraf
Dx Kriterian Hasil
2 = berat area yang terjadi 3. Memudahkan
3 = sedang penurunan pengeluaran
4 = ringan ventilasi dan sekret.
5 = tidak ada adanya suara 4. Memastikan suara
gangguan tambahan. nafas vesikuler.
5. Mengatur 5. Kelebihan cairan
asupan cairan dalam tubuh dapat
untuk menyebabkan
mengoptimalkan pembengkakan
keseimbangan dan meningkatkan
cairan. tekanan darah.

NIC:
Respiratory
Monitoring
(Memantau Dwina
Pernapasan)
Aktivitas: 1. Menganalisis
1. Monitor data pasien untuk
frekuensi, irama, memastikan
kedalaman dan kepatenan jalan
pengeluaran napas dan
pernapasan. pertukaran gas
2. Catat pergerakan yang adekuat.
dada, 2. Penggunaan otot
kesimetrisan, bantu pernapasan
penggunaan mengindikasikan
otot-otot klien
tambahan dan menunjukkan
retraksi otot usaha untuk
supraklavikula memenuhi
dan intercosta. kebutuhan
3. Memantau pola oksigen yang
pernapasan tidak dapat
(bradipnea, terpenuhi dengan
takipnea, usaha napas
hiperventilasi, biasa.
dll). 3. Memonitor
4. Perkusi thoraks keadaan
anterior dan pernapasan klien.
posterior dari 4. Suara redup
apeks ke basis diakibatkan
bilateral. adanya sekret.
5. Menentukan 5. Membersihkan
perlunya suction sekret dari jalan
napas agar jalan

71
No. Tujuan dan
Rencana Tindakan Rasional Paraf
Dx Kriterian Hasil
dari hasil napas menjadi
auskultasi untuk paten.
suara crackles 6. Mengetahui
dan ronchi. perbedaan suara
6. Auskultasi suara nafas sebelum
paru setelah dan sesudah
tindakan untuk diberikan
dicatat hasilnya. tindakan
keperawatan.
2. NOC: NIC:
Kidney Function Fluid Management
(Fungsi Ginjal). (Manajemen Cairan)
Tujuan: Aktivitas:
Setelah dilakukan 1. Memantau 1. Status hidrasi Dwina
tindakan keperawatan status hidrasi yang buruk
selama 3x24 jam, (membran menujukkan tanda
fungsi ginjal pasien mukosa, nadi, dan gejala
kembali normal dan tekanan terjadinya
dengan indikator: darah). kekurangan
1. Pengeluaran urin 2. Memantau cairan.
dalam 8 jam indikasi 2. Mengetahui
(3→5) kelebihan cairan keadaan umum
2. Keseimbangan atau retensi klien.
input dan output (cracles, CVP, 3. Mengetahui tanda
dalam 24 jam edema, distensi dan gejala
(2→5) vena leher, kelebihan volume
3. Warna urin asites). cairan.
(2→5) 3. Kaji lokasi dan 4. Memberikan
4. Edema (2→5) luasnya edema. tindakan medis
4. Konsultasi ke lain untuk
Keterangan Indikator: dokter jika tanda mengatasi
1 = sangat berat dan gejala kelebihan volume
2 = berat kelebihan cairan yang
3 = sedang volume cairan semakin
4 = ringan menetap atau memburuk.
5 = tidak ada memburuk.
gangguan
NIC:
Fluid monitoring
(Memantau Cairan) Dwina
Aktivitas:
1. Tentukan faktor 1. Memberikan
resiko yang petunjuk intuk
tepat untuk intervensi secara
keseimbangan dini.
cairan. 2. Menjaga

72
No. Tujuan dan
Rencana Tindakan Rasional Paraf
Dx Kriterian Hasil
2. Pantau intake keseimbangan
dan pengeluaran cairan tubuh.
cairan. 3. Kelebihan cairan
3. Pantau TD, Ht, dalam tubuh dapat
dan pernafasan. meningkatkan
4. Pantau warna, tekanan darah dan
kuantitas, dan terjadi dispnea.
kegawatan yang 4. Secara abnormal
spesifik dari urine keruh
urin. mungkin
disebabkan
pengendapan
sedimen.
3. NOC: NIC:
Urinary Elimination Urinary Elimination
(Eliminasi Urin) Management
Tujuan: (Manajemen
Setelah dilakukan Eliminasi Urin)
tindakan keperawatan Aktivitas:
1. Perubahan Dwina
selama 3x24 jam, 1. Monitor
frekuensi,
eliminasi urin pasien eliminasi urin
konsistensi, bau,
kembali ormal dengan termasuk
volume, dan urin
indikator: frekuensi,
menandakan
1. Pola eliminasi konsistensi, bau,
terjadinya
(2→5) volume, dan
gangguan pada
2. Jumlah urin warna urin.
eliminasi urin.
(2→5) 2. Monitor tanda
2. Meminimalkan
3. Warna urine dan gejala dari
retensi urine dan
(2→5) retensi urin.
distensi
4. Pengosongan 3. Instruksikan
berlebihan pada
kandung kemih pasien atau
kandung kemih.
sepenuhnya keluarga untuk
3. Memantau
(2→5) mencatat output
haluaran urine
urin setiap
Keterangan Indikator: untuk
berkemih.
1 = sangat berat mengevaluasi
4. Ambil urin
2 = berat tindakan yang
bagian tengah
3 = sedang diberikan.
periode untuk
4 = ringan 4. Mengevaluasi
dilakukan
5 = tidak ada kerusakan ginjal
urinalisis.
gangguan lebih lanjut.
5. Atur asupan
5. Mempertahankan
cairan sesuai
keseimbangan
dengan
cairan.
kebutuhan.

73
5. IMPLEMENTASI

Tanggal/ Jam No. Implementasi Paraf


Dx
28 April 2016 1. 1. Memposisikan pasien untuk memaksimalkan Dwina
potensi ventilasi.
09.10 WIB
Respon: Pasien mengatakan sesak yang
dialami hanya sedikit berkurang.
09.12 WIB 2. Membersihkan sekret dengan suction.
Respon: Terdapat sekret berwarna jernih dan
cair.
09.17 WIB 3. Melakukan auskultasi suara pernapasan.
Respon: Suara napas terdengar ronchi di kedua
paru.
09.19 WIB 4. Mengatur asupan cairan untuk
mengoptimalkan keseimbangan cairan.
Respon: Jumlah batasan minum pasien 1000
09.21 WIB cc per hari.
5. Memonitor frekuensi, irama, kedalaman dan
pengeluaran pernapasan.
Respon: RR 34x/menit dan menggunakan otot-
09.22 WIB otot bantu pernapasan.
6. Mencatat pergerakan dada, kesimetrisan,
penggunaan otot-otot tambahan dan retraksi
otot supraklavikula dan intercosta.
Respon: Pergerakan dada simetris dan
09.24 WIB
menggunakan otot-otot tambahan.
7. Perkusi thoraks anterior dan posterior dari
apeks ke basis bilateral.
Respon: Suara perkusi di kedua thoraks redup.
09.26 WIB 8. Melakukan auskultasi suara paru setelah
dilakukan tindakan.
Respon: Suara napas masih terdengar suara
09.28 WIB ronchi.
9. Memantau pola pernapasan.
Respon: RR 34x/menit dan Nadi 100x/menit.
28 April 2016 2. 1. Memantau status hidrasi (membran mukosa, Dwina
nadi, dan tekanan darah).
09. 30 WIB
Resppon: Membran mukosa lembab, nadi
100x/menit, TD 170/30 mmHg.
09.32 WIB 2. Memantau indikasi kelebihan cairan atau
retensi.

74
Tanggal/ Jam No. Implementasi Paraf
Dx
Respon: Pasien mengalami edema pada kedua
09.34 WIB ektremitas bawah.
3. Kaji lokasi dan luasnya edema.
Respon: Edema terdapat di kedua ektremitas
09.36 WIB bawah dari paha sampai ujung kaki.
4. Menentukan factor resiko yang tepat untuk
keseimbangan cairan.
Respon: Pasien mampu mengikuti arahan yang
diberikan perawat.
11.00 WIB
5. Memantau intake dan pengeluaran cairan.
Respon: Pasien mengatakan pengeluaran
cairan mengalami peningkatan walaupun
sedikit.
11.05 WIB 6. Memantau TD, Ht, dan pernafasan.
Respon: TD 170/130 mmHg dan RR
34x/menit.
11.08 WIB 7. Memantau warna, kuantitas, dan kegawatan
yang spesifik dari urin.
Respon: Warna urin pasien kuning keruh,
kuantitas 500 ml, dan tidak ada kegawatan
yang spesifik.
28 April 2016 3. 1. Memonitor eliminasi urin termasuk frekuensi, Dwina
konsistensi, bau, volume, dan warna urin.
11.08 WIB
Respon: frekuensi 2-3x sehari, warna urin
pasien kuning keruh dan volumes 500 ml.
11.13 WIB 2. Memonitor tanda dan gejala dari retensi urin.
Respon: pasien susah BAK dengan frekuensi 2-
3x/hari.
11.15 WIB 3. Menginstruksikan pasien atau keluarga untuk
mencatat output urin setiap berkemih.
Respon: Pasien dan keluarga mengerti untuk
11.20 WIB mencatat output urin setiap berkemih.
4. Ambil urin bagian tengah periode untuk
dilakukan urinalisis.
Respon: pasien kooperatif.

6. EVALUASI

No.
Tanggal/ Jam EVALUASI Paraf
Dx
10 Mei 2016 1. S: Pasien mengatakan memahami cara untuk Dwina
14.00 WIB mengurangi sesak yang dirasakan apabila tiba-tiba
sesak timbul

75
No.
Tanggal/ Jam EVALUASI Paraf
Dx
O:
1. Tingkat pernapasan (5)
2. Auskultasi suara nafas (5)
3. Retraksi dada (5)
A: Tujuan tercapai
P: Tindakan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 dihentikan.
10 Mei 2016 2. S: Pasien mengatakan mampu mengikuti arahan Dwina
14. 05 WIB yang diberikan perawat untuk tidak mengkonsumsi
terlalu banyak air putih dan menjaga keseimbangan
cairan.
O:
1. Pengeluaran urin dalam 8 jam (5)
2. Keseimbangan input dan output dalam 24 jam
(5)
3. Warna urin (5)
4. Edema (5)
A: Tujuan tercapai
P: Tindakan 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 dihentikan.
10 Mei 2016 3. S: Pasien mengatakan BAK saat ini sudah lancar Dwina
14.10 WIB dan tidak mengalami gangguan.
O:
1. Pola eliminasi (5)
2. Jumlah urin (5)
3. Warna urine (5)
4. Pengosongan kandung kemih sepenuhnya (5)
A: Tujuan tercapai
P: Tindakan 1, 2, 3, dan 4 dihentikan.

76
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Sistem Perkemihan
1.1 Gagal ginjal Kronis
1) Gagal ginjal kronis merupakan terminal dektruksi jaringan dan
kehilangan fungsi ginjal yang berlangsung berangsur-angsur.
2) Penyebab dari gagal ginjal kronis, yaitu: penyakit glomerular kronis,
infeksi kronis, kelainan kongenital, penyakit vascular, obstruksi
saluran kemih, penyakit kolagen.
3) Tanda paling khas terjadinya gagal ginjal kronis adalah terjadinya
penurunan urine otuput dengan sedimentasi yang tinggi.
4) Gagal ginjal kronis sering berlangsung progresif melalui empat
stadium dan kerusakan nefron berlangsung progresif, nefron yang
sudah rusak tidak dapat berfungsi dan tidak bisa pulih kembali.
5) Pemeriksaan penunjang antara lain: biokimiawi, urinalisis, dan
ultrasonografi Ginjal.
6) Penatalaksanaan pada klien gagal ginjal kronik: pantau adanya
hiperkalemia, atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia, kaji status
hidrasi dengan hati-hati, kontrol tekan darah, terapi medika mentosa:
pencucian darah transplantasi ginjal, dan terapi gizi.
1.2 Trauma Ginjal
1) Trauma ginjal adalah cedera yang mengenai ginjal yang memberikan
manifestasi memar, laserasi, atau kerusakan pada struktur.
2) Mekanisme cedera yang dapat menyebabkan injuri pada ginjal adalah:
trauma penetrasi benda, trauma tumpul, cedera iatrogenik.
3) Manifestasi klinis meliputi: nyeri daerah panggul, hematuria, syok,
massa pada daerah panggul dan rigiditas abdomen.

77
4) Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal
dibedakan menjadi: (1) cedera minor (derajat I dan II), (2) cedera
major (derajat III dan IV), dan (3) cedera pada pedikel atau pembuluh
darah ginjal.
5) Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindungi oleh otot-otot
punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di
sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh
cedera organ-organ yang mengitarinya (Purnomo, 2012).
6) Pemeriksaan diagnostik trauma ginjal antara lain IVP, USG ginjal dan
CT scan.
7) Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah (Purnomo, 2012):
konservatif yaitu observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi
lokal (tanda-tanda vital), kemungkinan adanya penambahan massa di
pinggang, adanya pembesaran lingkar perut, penurunan kadar
hemoglobin darah, hematokrit dan perubahan warna urine pada
pemeriksaan urine serial dan dilakukan operasi.
2. Sistem Pencernaan
2.1 Trauma Abdomen
1) Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan ada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga
terjadi gangguan metabolisme, kelainan imunoogi dan gangguan faal
berbagai organ.
2) Penyebab trauma penetrasi: luka akibat terkena tembakan, luka akibat
tikaman benda tajam, luka akibat tusukan. Penyebab trauma non
penetrasi: tekanan kompresi atau tekanan dari luar tubuh, terjepit
sabuk pengaman karena terlalu menekan perut dan cedera ekselerasi
atau deserasi.
3) Manifestasi klinis trauma abdomen meliputi: nyeri tekan diatas daerah
abdomen, distensi abdomen, jejas atau ruptur dibagian dalam
abdomen, perdarahan intra abdominal.
4) Jika terjadi trauma penetrasi atau non penetrasi kemungkinan terjadi
pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatakan

78
tanda-tanda iritai yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang
akhirnya gambaran klasik syok hemoragik.
5) Pemeriksaan pada trauma benda tumpul dirumah sakit: pengambilan
contoh darah dan urine, pemeriksaan rongten, dan study kontras
Urologi dan gastrointestinal
6) Apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainya,
maka harus segera ditangani penilaian awal dilakukan prosedur ABC
jika ada indikasi, jika korban tidak berespon, maka segera buka dan
bersihkan jalan nafas (Musliha, 2010).
2.2 Gastroenteritis
1) Diare didefinisikan sebagai pasase feses cair lebih dari tiga kali dalam
sehari disertai kehilangan banyak cairan danelektrolit melalui feses.
Sedangkan dehidrasi adalah ketidakseimbangan cairan tubuh
dikarenakan pengeluaran cairan lebih besar dari pada pemasukan.
2) Penyebab diare akut dibagi menjadi dua golongan, diare sekresi
(secretory diarrhorea) dan diare osmotik (osmotik diarrhoea).
3) Secara klinik, diare dibedakan menjadi tiga macam sindrom: Diare
akut (gatroenteritis), Disentri dan Diare persisten.
4) Manifestasi klinis gastroenteritis: sering buang air besar dengan
konsistensi tinja cair atau encer, terdapat tanda dan gejala dehidrasi,
turgor kulit jelas (elistisitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata
cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan.
Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan
pernafasan cepat dan dalam (khusmaul).
5) Mekanisme dasar yang menyebabkan diare adalah yang pertama
gangguan osmotik dan yang kedua akibat rangsangan tertentu
(misalnya toksin), yang ketiga gangguan motalitas usus. Selain itu
diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup
kedalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung,
mikrorganisme tersebut berkembang biak kemudian mengeluarkan
toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutna
akan menimbulkan diare (Musliha, 2010).

79
6) Pemeriksaan gastroenteritis: pemeriksaan tinja, pemeriksaan gangguan
keseimbangan asam basa dalam darah, pemeriksaan kadar ureum dan
kreatinin, pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan
posfat.
7) Pada orang dewasa, penatalaksanaan diare akut akibat infeksi terdiri:
Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, identifikasi penyebab
diare akut karna infeksi, terapi simtomatik dan terapi definitive.

5.2 Saran
1. Diharapkan seorang perawat agar dapat lebih profesional dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sehingga dapat melakukan
penanganan kegawatdaruratan secara cepat dan tepat.
2. Diharapkan seorang perawat harus lebih terampil dan selalu siap dalam
memberikan pelayanan kesehatan khususnya dalam mendiagnosis suatu
masalah yang di hadapi pasiennya agar tindakan dan pengobatan cepat dan
tepat sesuai kebutuhan klien.
3. Diharapkan seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya dapat
bekerjasama antar tim dan diperlukan ketersediaan prasarana yang
memadai dalam meningkatkan mutu pelayanan asuhan pada klien.

80
DAFTAR PUSTAKA

Asriani, dkk. 2014. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian Gagal Ginjal Di


Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar Periode Januari 2011-Desember 2012.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 4 Nomor 2 Tahun 2014.
http://library.stikesnh.ac.id. Diakses pada tanggal 30 April 2016 Jam 21:
30 WIB.
Bulechek, Gloria M., dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC), Edisi
6. United States of America: ELSEVIER MOSBY.
Herdman, T. Heather & Shigemi Kamitsuru. 2015. Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2015-2017, Edisi 10. Jakarta: EGC.

Kowalak, Jennifer P., dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Morhead, Sue., dkk. 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC):


Measurement of Health Outcomes, Edisi 5. United States of America:
ELSEVIER MOSBY.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Nadhiroh, Meuthia, dkk. 2013. Pengaruh Reuse Dializer Terhadap Penurunan


Ureum Kreatinin Pada Penderita Ggk Di Rsud Raden Mattaher Jambi.
http://online-journal.unja.ac.id. Diakses pada tanggal 8 April 2016 Jam
21.15 WIB.

Prabowo, Eko dan Andi Eka Pranata. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnomo, Basuki P. 2012. Dasar-Dasar Urologi, Edisi ketiga. Jakarta: Sagung


Seto.

81
Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal
dan Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika.

Soemarko, M. 2004. Hubungan Peningkatan Tekanan Intravesika Urinaria


Dengan Perdarahan Intraperitoneal Akibat Trauma Tumpul Abdomen.
Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XX, No.1, April 2004.
http://jkb.ub.ac.id. Diakses pada tanggal 30 April 2016 Jam 21: 50 WIB.
Swasanti, Niluh dan Winkanda Satria Putra. 2014. Pedoman Praktis Pertama
Pada Kedaruratan. Yogyakarta: KATAHATI.

82

Anda mungkin juga menyukai