Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun Oleh :

NAMA : Alfi Nur Lailatul Farikha

NIM : 2230003

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

2022
A. DEFINISI

Chronic Kidney Disease (CKD) disebut juga sebagai ginjal kronis (GGK). Gagal
ginjal kronis atau penyakit gagal ginjal stadium akhir adalah gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemapuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu
retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2013).

Gagal ginjal kronis merupakan penyakit pada ginjal yang perisisten (berlangsung
lebih dari 3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan Glomerular Fitration Rate
(GRF) dengan angka GRF lebih dari 60 ml/menit/1.73 m2 (Prabowo & Pranata, 2014).

B. ETIOLOGI
Menurut data (Indonesian Renal Registry (IRR), 2018) muncul penyebab gagal
ginjal kronik, antara lain:

1. Glomerupati Primer
Biasanya muncul tanda seperti tubuh sembab, hipertensi (tekanan darah tinggi) serta
bendungan sirkulasi, proteinuria, hematuria, mikrokospik / makroskopik dengan
silinder eritrosit, tidak disertai penyakit sistemik ataupun penyakit ginjal lainnya.
2. Nefropati Diabetika
Nefropati diabetika biasnaya ditandai dengan riwayat diabetes melitus, proteinuria
pada funduskopi serta terdapat mikro aneurisma kapiler, tidak terdapat bukti riwayat
penyakit ginjal.
3. Nefropati Lupus
Ditandai dengan adanya gambaran klinik SLE, hasil laboratorium urin terdapat
proteinuria persisten, hematuria, kelainan sedimen aktif, kenaikan ANA (antinuclear
antibody) dan DNA (deoksiribonukleat).
4. Penyakit Ginjal Hipertensif
Terdapat riwayat hipertensi yang biasanya muncul tanda seperti proteinuria,
hematuria mikroskopik, serta adanya target organ damage yang lain, seperti LVH
(hypertensive heart disease), reinopati hipertensi.
5. Ginjal Polikistik
Biasanya muncul tanda pembesaran ginjal pada perabaan dengan salah satu atau
semua gejala seperti proteinuria, hematuria, infeksi saluran kemih berulang,
peningkatan hipertensi serta nyeri pada pinggang.
6. Nefropati Asama Urat
Adanya riwayat gout artritis yang berulang serta infeksi saluran kemih juga. Hasil
laboratorium kadar asam urat biasanya >13mg% pada laki-laki dan >10mg% pada
perempuan, terdapat proteinuria tanpa hematuria tanpa keluhan.
7. Nefropati Obstruktif
Terdapat riwayat obstruksi saluran kemih pada lithiasis, BPH vesicouretral reflux, Ca
vesica urinia, Ca prostat ataupun Ca servix. Biasanya ditandai dengan adanya infeksi
saluran kemih berulang, tekanan darah tinggi dan hidronefrosis.
8. Pielonefritis Kronik / PNC
Adanya proteinuria asimtomatik tanpa hematuria, infeksi saluran kemih berulang,
tekanan darah tinggi, gambar USG, kedua ginjal mengisut.

Menurut Prabowo (2014) Gagal Ginjal kronis sering menjadi penyakit kompliksi
dari penyakit lainya, sehingga merupakan penyakit sekunder atau secondary illness.
Penyebab yang sering ditemukan adalah hipertensi dan diabetes militus. Selain itu, ada
beberapa penyebab lain gagal ginjal kronis seperti :

a. Penyakit glomerular kronis ( glomerulonephritis)


b. Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis)
c. Kelainan kongenital (polikistik ginjal)
d. Peyakit vaskuler (renal nephrosclerosis)
e. Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
f. Penyakit kolagen (systemic lupus atosus)
erythem
g. Obat-obatan nefrotik (aminoglikosida)
C. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala dari gagal ginjal kronik yang terjadi pada pasien sesuai
dengan tingkat kerusakan ginjal antara lain yaitu:

1. Gangguan Jantung
Terjadi hipertensi, kardiomiopati, uremik perikarditis, gagal jantung, edema
paru dan perikarditis.
2. Gangguan Kulit
Kulit terlihat pucat dan mudah lecet, rapuh, kering serta bersisik, timbul bintik-
bintik hitam dan gatal akibat dari ureum ataupun kalsium yang tertimbun
dikulit. Kulit berwarna putih seperti berlilin yang terjadi akibat pigmen kulit
dipenuhi urea maupun anemia. Terjadi perubahan warna rambut serta
penimbunan urea di kulit dapat mengakibatkan terjadinya pruritus.
3. Gangguan Pencernaan
Pen2mbunan ureum di saluran pencernaan akan berakibat terjadinya inflamasi
serta ulserasi di mukosa saluran pencernaan sehingga terjadi stomatitis,
perdarahan gusi, parotitis, esofagitis, gastritis, ulseratif duodenal, lesi pada
usus, pankreatitis. Reaksi lain yang timbul berupa mual, muntah, penurunan
nafsu makan, cegukan, rasa haus dan penurunan aliran saliva mengakibatkan
mulut menjadi kering.
4. Gangguan muskuloskeletal
Ureum yang tertimbun di otot dan saraf akan mengakibatkan penderita sering
mengeluh tungkai bawah sakit serta selalu menggerak-gerakkan kaki (restless
leg syndrome) terasa panas pada kaki, gangguan saraf dapat pula berupa
kelemahan, demineralisasi tulang, fraktur patologis maupun klasifikasi.
5. Gangguan Hematologi
Gangguan Hematologi akan mengakibatkan penurunan eritropoietin dalam
membentuk eritrosit dan gangguan penurunan masa hidup eritrosit. Tindakan
hemodialisis juga akan mengakibatkan anemia karena perdarahan yang terjadi
akibat terganggunya fungsi trombosit dan perdarahan ditandai dengan
munculnya purpura, petechiae dan ekimosis. Pasien yang mengalami penurunan
fungsi ginjal juga dapat terinfeksi akibat penurunan daya tahan tubuh, akibat
berkurangnya kemampuan leukosit dan limposit dalam mempertahankan
pertahanan seluler.
6. Gangguan Neurologi
Kadar ureum yang tinggi dapat menembus sawar otak sehingga akan
mengakibatkan mental yang kacau, gangguan konsentrasi, kedutan otot, kejang
serta dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran, gangguan tidur,
gangguan konsentrasi, dan tremor.
7. Gangguan Endokrin
Gangguan endokrin akan mengakibatkan terjadinya gangguan infertilitas,
penurunan libido, gangguan amenorrhea dan siklus menstruasi pada wanita,
impoten, penurunan pengeluaran sperma, peningkatan pengeluaran aldosterone
dan mengakibatkan rusaknya metabolime karbohidrat.
8. Gangguan Respiratori
9. Akan berakibat terjadinya edema paru, nyeri pleura, sesak nafas, friction
rub, krakles, sputum kental, serta peradangan lapisan pleura (Siregar,
2020)
D. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Haryono (2013) & Robinson (2013) CKD memiliki tanda dan gejala sebagai
berikut:

1. Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi maka akan muncul hipotensi
karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dan gangguan
reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut terbuang bersama urine sehingga tidak bisa
menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi uremia maka akan merangsang reflek
muntah pada otak.
2. Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati,
pitting edema, pembesaran vena leher
3. Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri
pleura, nafas dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat
4. Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-
kuningan kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie,
timbunan urea pada kulit, warna kulit abu-abu mengilat, pruritus,
kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis
dan kasar
5. Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada
lengan dan kaki, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk
meningkat.
6. Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan
siklus menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme
karbohidrat.
7. Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot,
fraktur tulang.
8. Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis

E. KLASIFIKASI
Penyakit CKD selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFRyang tersisa (Muttaqin &
Sari, 2011). Price dan Wilson (2012) menjelaskan perjalanan klinis umum CKD progresif
dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
a. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Pada stadium pertama kreatinin serum dan kadar BUN normal dan asimtomatik.
Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine. Muttaqin dan Sari (2011)
menjelaskan penurunan cadangan ginjal yang terjadi apabila GFR turun 50% dari
normal.

b. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)


Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini BUN mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin
serum mulai meningkat melebihi kadar normal, azotemia ringan, timbul
nokturia dan poliuri.
c. Stadium 3 (gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Stadium ketiga disebut penyakit ginjal stadium akhir (ERSD) yang dapat terjadi
apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai GFR 10% dari keadaan normal,
dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml permenit atau kurang. Pada
tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN meningkat sangat menyolok sebagai
respons terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan.

Klasifikasi dari gagal ginjal kronik menurut laju filtrasi glomerulus.


Derajat LFG (ml/menit/1,732) Penjelasan
1 >90 Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan LFG
menurun ringan
3A 45-59 Kerusakan ginjal dengan LFG
menurun ringan – sedang
3B 30-44 Kerusakan ginjal dengan LFG
menurun sedang – berat
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan LFG
menurun berat
5 <15 atau dialis Gagal ginjal

F. PATOFISIOLOGI
1. Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatini. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens
kreatinin akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah
(BUN) juga akan meningkat.
2. Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glumeruli yang berfungsi, menyebabkan penurunan klirens (subtansi darah
yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
3. Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsetrasi atau mengencerkan urin
secara normal. Terjadi penahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.
4. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritroprotein yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
terjadi pendarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
5. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling timbal
balik, jika salah satunya meningkat yang lain akan turun. Dengan menurunnya
GFR maka tejadi peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan
kadar kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi paratormon,
namun dalam kondisi gagal ginjal, tubuh tidak berespon terhadap peningkatan
sekresi parathormon, akibatnya kalsium di dalam tulang menurun
menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang.
6. Penyakit tulang uremik (osteodiostrofi)
Terjadi perubahan kompleks kalsium fosfat dan keseimbangan parathormon

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik pada sistem ginjal menurut (Priscilla LeMone, 2016) yaitu:

1. Hemoglobin Pemeriksaan darah ini digunakan untuk memeriksa kadar protein yang ada
di dalam sel darah merah. Nilai normalnya : untuk pria 14-18 g/dl, dan untuk perempuan
12-16 g/dl.

2. Albumin Pemeriksaan darah ini digunakan untuk memeriksa fungsi organ ginjal. Nilai
normalnya : 3,4-5,4 g/dl.

3. Nitrogen Urea Darah (BUN) Pemeriksaan darah ini mengukur urea. Nilai normalnya : 5-
25 mg/dl.

4. Kreatinin (Serum) Pemeriksaan darah ini digunakan untuk mendiagnosis disfungsi ginjal.
Kreatinin adalah sisa pemecahan otot yang diekskresikan oleh ginjal. Perbandingan nilai
normal BUN/kreatinin yaitu 10:1. Nilai normal : serum 0,5-1,5 mg/dl.

5. Klirens Kreatinin Pemeriksaan urine 24 jam untuk mengidentifikasi disfungsi ginjal dan
memonitor fungsi ginjal. Nilai normal : 85-135/menit.

6. Sistasin C Pemeriksaan darah ini dapat digunakan untuk alternatif pemeriksaan kreatinin
guna melakukan skrining dan memonitor ginjal pada orang yang diduga mengalami
penyakit ginjal. Sistain C merupakan inhibitor proteinase sistein yang disaring oleh
ginjal.

7. CT Scan Ginjal CT scan digunakan untuk mengevaluasi ukuran ginjal, tumor, abses,
massa suprarenal dan obstruksi.

8. Sistometogram (CMG, cystometogram) / (Sistogram berkemih) Pemeriksaan ini


dilakukan untuk mengevaluasi kapasitas kandung kemih dan fungsi neuromuskular
kandung kemih, tekanan uretra, dan penyebab disfungsi kandung kemih.

9. GFR terukur (estimed GFR, eGFR) GFR terukur dianggap sebagai cara yang paling
akurat mendeteksi perubahan fungsi ginjal. Nilai normal : 90-120 ml/menit.

10. IVP (intravenous pyelogram) IVP merupakan pemeriksaan radiologi yang dilakukan
untuk memvisualisasikan seluruh saluran ginjal untuk mengidentifikasi ukuran, bentuk,
dan fungsi ginjal yang abnormal.

11. MRI ginjal MRI digunakan untuk memvisualisasikan ginjal dengan mengkaji gelombang
frekuensi radio dan perubahan medan magnetik yang ditunjukkan pada layar komputer.

12. Scan kandung kemih ultrasonik portabel Pemeriksaan ini digunakan untuk mendapatkan
informasi mengenai urine residual.

13. Erteriogram atau angiogram ginjal Pemeriksaan radiologi ini dilakukan untuk
memvisualisasikan pembuluh darah ginjal guna mendeteksi stenosis arteri renalis,
trombosis atau embolisme ginjal, tumor, kista.
14. Biopsi ginjal Biopsi ginjal dilakukan untuk menentukan penyebab penyakit ginjal,
mencegah terjadinya metastasis kanker ginjal, atau bila ada penolakan dengan
transplantasi ginjal.

15. Scan ginjal Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi aliran darah, lokasi, ukuran,
dan bentuk ginjal, serta untuk mengkaji perfusi ginjal dan produksi urine.

16. Ultrasonografi ginjal Pemeriksaan non invasif dilakukan untuk mendeteksi massa ginjal
atau perirenal, mengidentifikasi obstruksi, dan mendiagnosis kista ginjal.

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a. Konservatif

1. Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin

2. Observasi balance cairan

3. Observasi adanya odema

4. Batasi cairan yang masuk

b. Dialysis

1. peritoneal dialysis

biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis


yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD
( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )

2. Hemodialisis

Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan


menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
3. AV fistule : menggabungkan vena dan arteri

4. Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke


jantung)
c. Operasi

1. Pengambilan batu
2. transplantasi ginjal
I. KOMPLIKASI

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2015) yaitu :

a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik,


katabolisme dan masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
rennin-angiostensin-aldosteron
J. PATHWAY
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada
kulit.
3. Riwayat penyakit
a. Sekarang: Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis,
renjatan kardiogenik.
b. Dahulu : Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi.
c. Keluarga : Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
5. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola Aktivitas / Istirahat
Biasanya pasien mengalami kelelahan ekstrim,kelemahan, malaise, gangguan
tidur (insomnia/gelisah atau samnolen), penurunan rentang gerak (Haryono,
2013).
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya pasien mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat,
peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi),
nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia)
(Haryono,2013).
3) Pola Eliminasi
Biasanya pada pasien terjadi penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria
(gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna
urin (Haryono 2013).
4) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak, ansietas,
takut, marah, mudah, perubahan kepribadian, kesulitan menentukan kondisi,
contoh tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran.
5) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas(Haryono, 2013).
6. Pemeriksaan Fisik

1) Keluhan umum dan tanda-tanda vital

Keadaan umum pasien lemah dan terlihat sakit berat. Tingkat kesadaran
menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi system
saraf pusat. Pada hasil pemeriksaan vital sign, sering didapatkan adanya
perubahan pernafasan yang meningkat, suhu tubuh meningkat serta terjadi
perubahan tekanan darah dari hipertensi ringan hingga menjadi berat
(Muttaqin & Sari,2011).

2) Pengukuran antropometri: Penurunan berat badan karena kekurangan nutrisi,


atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
3) Kepala

a) Mata : konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan


kabur, edema periorbital.
b) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.

c) Hidung : biasanya ada pernapasan cuping hidung

d) Mulut : nafas berbau amonia, mual,muntah serta cegukan,


peradangan mukosa mulut.
4) Leher : terjadi pembesaran vena jugularis.

5) Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan


dangkal dan kusmaul serta krekels, pneumonitis, edema pulmoner,
friction rub pericardial.
6) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.

7) Genital : atropi testikuler, amenore.

8) Ekstremitas : Capitally revil time > 3 detik, kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, edema, akral dingin, kram otot
dan nyeri otot, nyeri kaki, dan mengalami keterbatasan gerak
sendi.
9) Kulit : ekimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritus), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema.
7. Pemeriksaan Penunjang

1) Laboratorium

Menurut Muttaqin (2011) dan Rendi & Margareth (2012) hasil


pemeriksaan laboratoium pada pasien gagal ginjal kronik adalah :

a) Urine, biasanya kurang dari 400ml / 24 jam (oliguria) atau


urine tidak ada (anuria). Warna secara abnormal urine keruh
mungkin disebabkan pus, bakteri, lemak fosfat, dan urat
sedimen kotor. Kecoklatan menunjukkan adanya darah.
Berat jenis urine kurang dari 0,015 (metap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat). Protein, derajat tinggi
proteinuria (3-4) secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus.
b) Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya
anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia normoster
normokrom dan jumlah retikulosit yang rendah.
c) Ureum dan kreatinin meninggi, biasanya perbandingan
antara ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1. Perbandingan
bisa meninggi oleh karena perdarahan saluran cerna, demam,
luka bakar luas, pengobatan steroid dan obstruksi saluran
kemih. Perbadingan ini berkurang ketika ureum lebih kecil
dari kreatinin, pada diet rendah protein dan tes Klirens
Kreatinin yang menurun.
d) Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan.
Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut
bersama dengan menurunnya diuresis.
e) Hipoklasemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena
berkurangnya sintesis vitamin D3 pada pasien CKD.
f) Alkalin fosfat meninggi akibat gangguan metabolisme
tulang, terutama isoenzim fosfatase lindin tulang.
g) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya
disebabkan gangguan metabolisme dan diet rendah protein.

h) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme


karbohidrat pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh
insulin pada jaringan perifer).
i) Hipertrigleserida, akibat gangguan metabolisme lemak,
disebabkan peninggian hormon insulin dan menurunnya
lipoprotein lipase.
j) Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi
menunjukkan Ph yang menurun, HCO3 yang menurun,
PCO2 yang menurun, semua disebabkan retensi asam-asam
organik pada gagal ginjal.
2) Pemeriksaan Diagnostik lain

Pemeriksaan radiologis menurut Sudoyo,dkk (2009) dan Muttaqin &


Sari (2011) meliputi :

a) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal


(adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan
memperburuk keadaan ginjal, bisa tampak batu radio –
opak, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
b) Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem
pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai
resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam
urat. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping
kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c) Ultrasonografi (USG) untuk menilai besar dan bentuk
ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih dan prostat.

d) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri,


lokasi dari gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi) serta
sisa fungsi ginjal.
e) Elektrokardiografi (EKG) untuk melihat kemungkinan:
hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda pericarditis, aritmia,
gangguan elektrolit (hiperkalemia).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Defisit nutrisi
2. Neusea
3. Nyeri akut
4. Gangguan pertukaran gas
5. Hipervolemia
6. resiko penurunan curah jantung
7. intoleransi aktivitas
8. perfusi perifer tidak efektif
9. Gangguan intregritas kulit
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

SDKI SLKI SIKI

Defisit nutrisi (D.0019) Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi


Asupan nutrisi tidak tindakan keperawatan (I.03119)
selama 3x24 jam
cukup untuk memenuhi Observasi
diharapkan pemenuhan
1. Identifikasi status
kebutuhan metabolisme kebutuhan nutrisi pasien nutrisi
tercukupi dengan 2. Identifikasi alergi
kriteria hasil: Status dan intoleransi
Nutrisi Membaik makanan
(L.03030) 3. Identifikasi
1. intake nutrisi tercukupi makanan yang
2. asupan makanan dan disukai
cairan tercukupi 4. Identifikasi
kebutuhan kalori
dan jenis nutrient
5. Identifikasi
perlunya
penggunaan selang
nasogastrik
6. Monitor asupan
makanan
7. Monitor berat
badan
Monitor
8. hasil
pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik

1. Lakukan oral hygiene


sebelum makan, jika
perlu
2. Fasilitasi
menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3. Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
4. Berikan makan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
5. Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
6. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasigastrik jika
asupan oral dapat
ditoleransi

Edukasi

1. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika
perlu
2. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Ukuran
intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan dan
tindakan untuk memperbaiki kondisi dan pendidikan untuk klien-keluarga ataupun
tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.
prosesnya harus berpusat pada kebutuhan klien dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kebutuhan keperawatan, strategi implemetasi keperawatan dan kegiatan komunikasi.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi keperawatan adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara
obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya. Evalusi
merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah tindakan keperawatan
yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi masalah. Pada tahap ini
perawat dapat mengetahui seberapa jauh diagnose keperawtan, rencana tindakan dan
pelaksanaan telah tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Hutagaol, E. V. (2017). Peningkatan Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui Psychological Intervention Di Unit
Hemodialisa RS Royal Prima Medan Tahun 2016. Jumantik, 2(1).

Haryanti, I. A. P., & Nisa, K. (2015). Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai
Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik. Majority, 4, 49–54.

Indonesian Renal Registry (IRR). (2018). Report Of Indonesian Renal Registry 2018. Irr, 1–
46. https://www.indonesianrenalregistry.org/data/IRR 2018.pdf

Nasution, S. H., Syarif, S., & Musyabiq, S. (2020). Penyakit Gagal Ginjal Kronis Stadium 5
Berdasarkan Determinan Umur , Jenis Kelamin , dan Diagnosa Etiologi di Indonesia
Tahun 2018 Chronic Kidney Failure Disease Stage 5 Based on Determinants of Age ,
Gender , and Diagnosis of Etiology in Indonesia in 201. JK Unila, 4(2), 157–160.

Rivandi, J., & Yonata, A. (2015). Hubungan Diabetes Melitus Dengan Kejadian Gagal Ginjal
Kronik. Jurnal Majority, 4(9), 27–34.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1404/1246

Sebayang. 2020. Jurnal JIMKI. Arteriovenous Shunt Sebagai Akses Hemodialisis Pada Pasien
Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Vol. 8, No. 2.

Siregar, C. T. (2020). Buku Ajar Managemen Komplikasi Pasien Hemodiaisa (R. A. Ariga
(ed.)). Deepublish publisher.

Anda mungkin juga menyukai