Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia
tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin.
Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang siapa saja yang menderita penyakit serius
atau terluka dimana hal itu berdampak langsung pada ginjal itu sendiri. Penyakit gagal
ginjal lebih sering dialami mereka yang berusia dewasa, terlebih pada kaum lanjut usia.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal ginjal akut ( acute renal
failure=ARF) dan gagal ginjal kronik (chronic renal failure=CRF. Pada gagal ginjal
akutterjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau
beberapa minggu dan ditandaidengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan
kreatinin darah) dan kadar urea nitrogen dalam darah ynag meningkat.sedang pada
gagal ginjal kronis, penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan. Sehingga
biasanya diketahui setelah jatuh pada kondisi parah. Gagal ginnjal kronik tidak dapat
disembuhkan . pada penderita gagal ginjal kronik, kemungkinan terjadinya kematian
sebesar 85%.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Congestif Renal Falure (CRF)


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung perlahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksin uremik) sehingga
ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala
sakit (Hudak & Gallo, 1996).
Long (1996 : 368) mengemukakan bahwa gagal ginjal kronik adalah ginjal
sudah tidak mampu lagi mempertahankan lingkugan internal yang konsisten
dengan kehidupan dan pemulihan fungsi sudah tidak ada.
Gagal ginjal kronik merupakan penurunan faal ginjal yang menahun yang
umumnya tidak riversibel dan cukup lanjut. (Suparman, 1990: 349).
2.1.2 Etiologi
Umumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsic difus dan
menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir
dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal, missal nefropati
obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsic dan berakhir dengan
gagal ginjal kronik.
Glomerulonefritis hipertensi essensial dan pielonefritis merupakan penyebab
paling sering dari gagal ginjal kronik kira-kira 60%. Gagal ginjal kronik yang
berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya
15 – 20 %. Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal
progresif dan difus, seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Laki-laki
lebih sering dari wanita, umur 20 – 40 tahun. Sebagian besar pasien relatif
muda dan merupakan calon utama untuk transplantasi ginjal.
Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit system
(Glomerulonefritis sekunder) seperti Lupus Eritomatosus Sitemik, Poliarthritis
Nodosa, Granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (Glomerulopati) yang
berhubungan dengan diabetes melitus (Glomerulosklerosis) tidak jarang
dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis
yang berhubungan dengan amiloidosis sering dijumpai pada pasien-pasien
dengan penyakit menahun sperti tuberkolosis, lepra, osteomielitis, dan arthritis
rheumatoid, dan myeloma.
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nefrosklerosis) merupakan salah satu
penyebab gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi essensial berat yang berekhir
dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10 %. Kira-kira 10 -15% pasien-pasien
dengan gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal
Pada orang dewasa, gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi
saluran kemih dan ginjal (Pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai,
kecuali tuberculosis, abses multiple, nekrosis papilla renalis yang tidak
mendapatkan pengobatan adekuat.
Seperti diketahui,nefritis interstisial menunjukkan kelainan histopatologi
berupa fibrosis dan reaksi inflamasi atau radang dari jaringan interstisial
dengan etiologi yang banyak. Kadang dijumpai juga kelainan-kelainan
mengenai glomerulus dan pembuluh darah, vaskuler. Nefropati asam urat
menempati urutan pertama dari etiolgi nefrotis interstisial.
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronik menjadi, 5 stadium :
2.1.3.1 Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan
dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat
ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akanmengalami polyuria.
Perubahan ini diyakiini dapat menyebabkan glomerulusklerosis
fokal, terdiri dari penebalan difusi matriks mesangeal dengan bahan
eosinofilik disertai penebalan membran basalin kapiler.
2.1.3.2 Stadium 2, insufisiensi ginjal dimana lebih dari 75% jaringan telah
rusak, Blood Urea Nitrogen (BUN) meningkat, dan kreatinin serum
meningkat
2.1.3.3 Stadium 3,glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa
kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang
menetap, dan terjadi hipertensi
2.1.3.4 Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR.
Retinopati dan hipertensi hamper selalu ditemui
2.1.3.5 Satdium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN
dan kreatinin plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat
2.1.4 Patofisologis
Pada waktu terjadi kegagalann gnjal sebagai nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat dosertai rebsorpsi walaupun dalam keadaan penuurunan GFR/
daya saring. Metode adaptif memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai1/4
dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
dari pada yang bias direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poluri dan
haus.selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguria
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. (Barbara C Long,1996,368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya
diekresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik
setelah dialysis.( Brunner & Suddarth, 2001:1448)
2.1.5 Manifestasi klinis
Pada gagal ginjal kronis, gejala-gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium.Pada gagal ginjal kronis ringan
sampai sedang, gejalanya ringan meskipun terdapat peningkatan urea dalam
darah. Pada stadium ini terdapat nokturia dan hipertensi. Sejalan dengan
perkembangan penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar
ureum darah semakin tinggi.Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala-
gejala: letih, mudahlelah, sulitkonsentrasi,nafsumakanturun, mual muntah,
cegukan, tungkai lemah, parastesi, keramotot-otot, insomia, nokturai,
oliguria,sesaknafas, sembab, batuk, nyeri perikardial,malnutrisi, penurunan
berat badan letih.
Pada stadium yang sudah sangat lanjut, penderita bisa menderita ulkus dan
perdarahan saluran pencernaan. Kulitnya berwarna kuning kecoklatan dan
kadang konsentrasi urea sangat tinggi sehingga terkristalisasi dari keringat dan
membentuk serbuk putih di kulit (bekuan uremik). Beberapa penderita
merasakan gatal di seluruh tubuh.
Menurut Suhardjono (2001), manifestasi klinik yang muncul pada pasien
dengan gagal ginjal kronik yaitu:
2.1.5.1 Gangguan pada sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan
gangguan metaboslime protein dalam usus.
b. Mulut bau amonia disebabkan oleh ureum yang berlebihan
pada air liur.
c. Cegukan (hiccup)
2.1.5.2 Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.
a. Sistem Integumen
 Kulit berwarna pucat akibat anemia. Gatal dengan
ekskoriasi akibat toksin uremik.
 Ekimosis akibat gangguan hematologis
 Urea frost akibat kristalisasi urea
 Bekas-bekas garukan karena gatal
 Kulit kering bersisik
 Kuku tipis dan rapuh
 Rambut tipis dan kasar
b. Sistem Hematologi
 Anemia
 Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
 Gangguan fungsi leukosit.
c. Sistem saraf dan otot
 Restles leg syndrome
 Burning feet syndrome
 Ensefalopati metabolic
 Miopati
d. Sistem Kardiovaskuler
 Hipertensi
 Akibat penimbunan cairan dan garam.
 Nyeri dada dan sesak nafas
 gangguan irama jantung
 Edema akibat penimbunan cairan.
e. Sistem Endokrin
 Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi
menurun pada laki-laki.
 Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin,
dan gangguan sekresi insulin.
 Gangguan metabolisme lemak.
 Gangguan metabolisme vitamin D.

2.1.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang gagal ginjal kronik, yaitu :
2.1.6.1 laboraturium : urinalis, urem, Creatini, darah lengakp, elektrolit,
protein (albumin). CCT, analis gas darah dan gula darah
2.1.6.2 Radiologi : foto polos abdomen USG ginjal, IVP, RPG, foto thoraks
dan tulang
2.1.6.3 Biopsy ginjal
2.1.6.4 ECG untuk mengetahui adanya perubahan irama jantung
2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan pasien dengan gagal ginjal kronik adalah :
2.1.7.1 Konservatif
a. Dilakukan pemeriksaan laboraturium darah dan urin
b. Observasi balance cairan
c. Observasi adanya odema
d. Batasi cairan yang masuk
2.1.7.2 Dialisys
a. Peritoneal dialysis biasanya dilakukan pada kasus-kasus
emergency
b. Sedangkan dialysis yang biasa dilakukan dimana saja tidak
bersifat akut adalah CAPD (Continues Ambulatory Perionial
Dialysis)
2.2 Konsep akibat kecelakaan : Coup Contrecoup, COB
2.2.1 Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut
Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
(Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm
substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin,
2008)
2.2.2 Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak. (Arif Muttaqin, 2008)
Macam-macam Pendarahan pada Otak :
2.2.2.1 Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada
dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang
kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan
didapatkan adanya daerah hiperdens yang diindikasi dilakukan
operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm, perifer, adanya
pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut
dapat menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi
yang dilakukan biaSanya adalah evakuasi hematoma disertai
dekompresi dari tulang kepala.

2.2.2.2 Subdural hematoma (SDH)


Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura
mater dan jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi akibat
pecahan pembuluh darah vena/jematan vena yang biasanya
terdapat diantara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit.
Pengertian lain dari subdural hematoma adalah hematoma yang
terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber perdarahan
dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical,
sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan
maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural
hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural
hematoma subakut terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan subdural
hematoma kronis jika peardarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling
sering berupa hemiparere/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan
didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit
(cresent).
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition
(EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih
dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma,
menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi
biasanya tulang tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan
sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat
operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi
penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan GCS
kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah GCS maka
semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin
jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek
prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala,
bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir
(berpikir lambat), kejang, dan edema pupil.
2.2.2.3 Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura
mater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
sobeknya arteri meningica media(paling sering), vena diploica
(oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus
venosus duralis.
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai
lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi
kiri dan kanan tubuh) yanag dapat berupa
hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis
satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan
lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala
letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan
hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi
EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH
karena dapat terjadi pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi
lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosisnya.
Semakin panjang lucid interval maka semakin baik prognosisnya
klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk
melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap
tidak hilang pemberian analgetik.
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area hiperdens
dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya
perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau
dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma,
menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat
dikemangkan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanaya edema
serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika saat operasi
didapatkan dura mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
2.2.3.1 Minor SKG 13 – 15·
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.· Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
cerebral, hematoma.
2.2.3.2 Sedang SKG 9 – 12·
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.· dapat mengalami fraktur tengkorak.·
2.2.3.3 Berat SKG 3 – 8·
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam.· Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.·
2.2.4 Patofisiologis
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi
yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba
subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan
penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
2.2.4.1 Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera
primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson
difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan
oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung
pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam,
percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial,
robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada daerah
yang terkena.
2.2.4.2 Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia(kekurangan
o2 dlm jaringan) dan hipotensi merupakan gangguan yang paling
berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga
mengakibatkan terjadinya iskemi(defisiensi darah suatu bagian) dan
infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan
berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran
darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran
bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses
primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis
yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang
lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain.
Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui
setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan
dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada
lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan
dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio
optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena.
Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah
trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari
daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga
disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan
atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks
medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan
oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi
pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas
deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam
fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks
serebri terputus.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Menurut Elizabeth (2001), gambaran klinis cedera kepala adalah
2.2.5.1 pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran. Pada hematom kesadaran dapat
hilang segera atau secara bertahap seiring dengan membesarnya hematom atau
edema interstisium.
2.2.5.2 Pola pernafasan dapat secara progresif menjadi abnormal
2.2.5.3 Respon pupil dapat lenyap atau secara progresif memburuk
2.2.5.4 Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan TIK
2.2.5.5 Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan TIK
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala
meliputi :
2.2.6.1 CT scan ( dengan/tanpa kontras)Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
2.2.6.2 MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
2.2.6.3 Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan
otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
2.2.6.4 Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
2.2.6.5 Sinar X
2.2.6.6 Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
2.2.6.7 BAER
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil
2.2.6.8 PET
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
2.2.6.9 CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid
2.2.6.10 Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
intracranial
2.2.6.11 Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
2.2.6.12 Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area
pleural.
2.2.6.13 Toraksentesis, menyatakan darah/cairan
2.2.6.14 Analisa gas darah (A’GD/astrup)
Analisa gas darah (A’GD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik
untuk menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat
digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenisasi dan status asam basa
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi.
Keadaan ni dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun
pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa
yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan
oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial, ini dapat dilakukan
dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha
untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal,
hiperventilasi. Tin membuat intermitten, iatrogenic paradisis. Intubasi
dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah
terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur
dapat mencegah peningkatan tekanan kraanial. Penatalaksanaan konservatif
meliputi :
2.2.7.1 Bedrest total
2.2.7.2 Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
2.2.7.3 Pemberian obat-obatan
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya traughma
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk
mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu
manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak
(panisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidasol.
2.2.7.4 Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%,
aminofusin, aminopel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
2.2.7.5 Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu
banyak cairan. Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam
kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube
(25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya. (Arif Muttaqin, 2008)
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala adalah (Arif Muttaqin, 2008) :
2.2.8.1 Kebocoran cairan serobospinal akibat fraktur pada fossa anterior
dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari
tulang temporal.
2.2.8.2 Kejang-kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam
pertama dini , minggu pertama) atau selanjutnya (setelah satu
minggu).
2.2.8.3 Diabetes insipidus, Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada
rangkai hipofisis menyulitkan penghentian sekresi hormon
antidiuretik

BAB III

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 4. Balai Penerbitan Dep. IPP. FKUI. Jakarta

Lintong, Poppy M. 2005. Ginjal Dan Saluran Kencing Bagian Bawah. Bagian Patologi

Guyton and Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC. Jakarta

Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga

Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salema Medika

Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999

Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai