Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN HEMODIALISA DENGAN

DIAGNOSA MEDIS GAGAL GINJAL KRONIK

DI SUSUN OLEH

VINA ERVIANA

KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAYAPURA

TAHUN AJARAN 2020/2021


LAPORAN PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan suatu penurunan fungsi jaringan
ginjal secara progresif sehingga masa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan internal tubuh. Data WHO (World Health
Organization) pada tahun 2016 mengemukakan bahwa angka kejadian GGK di
seluruh dunia mencapai 10% dari populasi, sementara itu pasien GGK yang
menjalani hemodialisa diperkirakan mencapai 1,5 juta orang di seluruh dunia.
Angka kejadiannya diperkirakan meningkat 8% setiap tahunnya. GGK
menempati penyakit kronis dengan angka kematian tertinggi ke-20 di dunia
(Indonesia Renal Registry, 2015).
Saat ini hemodialisa merupakan terapi pengganti ginjal yang paling
banyak dilakukan dan jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat. Data dari
USRDS menyebutkan bahwa di Amerika Serikat lebih dari 65% klien dengan
ESRD mendapatkan terapi hemodialisa (Smeltzer, et al, 2011). Hemodialisa
merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa zat
terlarut (solut) dan air yang berada dalam darah melalui membran
semipermeabel atau yang disebut dialyzer (Price & Wilson,2010), dimana proses
dialisis tergantung pada prinsip fisiologis, yaitu difusi dan ultra filtrasi. Tujuan
utama dari hemodialisa adalah mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada klien penyakit ginjal kronik
(Kallenbach, et al, 2008). Hal ini dikarenakan sistem ginjal buatan yang
dilakukan oleh dializer memungkinkan terjadinya pembuangan sisa
metabolisme berupa ureum, creatinin dan asam urat, pembuangan cairan,
mempertahankan sistem buffer tubuh, serta mengembalikan kadar elektrolit
tubuh (Lewis, 2010).
Hemodialisa terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa
metabolisme tubuh, dan pada klien penyaki ginjal tahap akhir membantu
kelangsungan hidup klien dengan menggantikan fungsi ginjal. Jika tidak
dilakukan terapi pengganti ginjal maka klien akan meninggal. Prosedur
hemodialisa sangat bermanfaat bagi klien penyakit ginjal tahap akhir, namun
bukan berarti tidak berisiko dan tidak mempunyai efek samping. Berbagai
permasalahan dan komplikasi dapat terjadi pada klien yang menjalani
hemodialisa. Komplikasi hemodialisa dapat menimbulkan ketidaknyamanan,
meningkatkan stress dan mempengaruhi kualitas hidup klien. Dengan kata lain
tindakan hemodialisa secara signifikan berdampak atau mempengaruhi
kualitas hidup dari klien diantaranya kesehatan fisik, psikologis, spiritual, status
sosial ekonomi dan dinamika keluarga (Charuwanno, 2008).

II. PENGERTIAN

Gagal ginjal kronik, atau chronic kidney disease (CKD) adalah


gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversible, dimana
kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit gagal yang menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2007).

Gagal ginjal kronik merupakan suatu penyakit yang menakutkan bagi


sebagian masyarakat karena pasien harus menjalani cuci darah (hemodialisa)
sebagai salah satu pengobatannya. Pasien yang menjalani tindakan hemodialisa
lebih dari 20 kali seringkali mengalami kecemasan karena hal-hal berikut ini yaitu
masalah akses vaskuler, lamanya tindakan hemodialisa dan akibat yang
dirasakan saat hemodialisa berlangsung seperti kram otot, hipotensi, sakit
kepala, mual, muntah dan nyeri dada (Situmorang, 2010).

Hemodialisa adalah salah satu tindakan yang bertujuan untuk


membuang zat-zat nitrogen yang bersifat toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebih pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
(Smeltzer & Bare, 2007).
III. ETIOLOGI
Menurut Prince dan Wilson (2005). Corwin (2000). Klasifikasi
penyebab gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:
a. Penyakit infeksi tubolointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluksnefropati
b. Penyakit peradangan: Glomeluronefritis
c. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosisbenigna, Nefrosklerosis
maligna, Stenosis arteria renalis
d. Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritisnodosa,
Sklerosis sistemik progresif
e. Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik, Asidosis
tubulus ginjal
f. Penyakit metabolik: Diabetesmillitus, Gaout, Hiperparatiroidisme, Amiloidosis

IV. FISIOLOGI
1. Fungsi Ginjal
Berbagai fungsi ginjal anatara lain adalah fungsi ginjal Menurut Prince dan
Wilson (2005). Ginjal mempunyai beberapa macam fungsi yaitu ekresi dan
fungsi non-ekresi. Fungsi ekresiantara lain:
a. Mengekresikan sebagian terbesar produk akhir metabolisme tubuh (sisa
metabolisme dan obat obatan).
b. Mengontrol sekresi hormon - hormon aldosterondan ADH dalam mengatur
jumlah cairan tubuh.
c. Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D.
d. Menghasilkan beberapa hormon antara lain.
1) Eritropoetin yang berfungsi sebagai pembentukan sel darah merah.
2) Renin yang berperan dalam mengatur tekanan darah serta hormon
prostaglandin. (Setiadi,2007)
2. Proses pembentukan urine
Ada 3 tahap proses pembentukan urine:
a. Proses filtrasi : Terjadi di glumelurus, proses ini terjadi karena permukaan
aferent lebih besar dari permukaan aferent maka terjadi penyerapan
darah, sedangkan bagian yang tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein, cairan yang tertampung oleh simpai bowmen yang terdiri
dari glukosa airsodium klorida sulfat bikarbonat dll, diteruskan ke
tubulusginjal.
b. Proses reabsobsi : Pada proses ini penyerapan kembali sebagian besar
dari glukosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapa ion bikarbonat.
Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsopsi
terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah
terjadi kembali penyerapan dari sodium dan ion bikarbonat, bila
diperlukan akan diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah,
penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorpsi fakultatif
dan sisanya dialirkan pada papil renalis.
c. Proses sekresi : Sisanya penyerapan kembali yang terjadi pada tubulus
dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan keluar (Syaefudin,
2006).

V. PATOFISIOLOGI
Fungsi rena menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekresikan kedalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat sehingga menyebabkan:
1. Gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glumerulus yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal.
2. Penurunan laju filtrasi gomerulus (GFR), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan kliren kreatitin. Menurunya
filtasi glumelurus (akibat tidak berfungsinya glumeluri) klirens kreatinin akan
menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadarnitrogen
urea darah (BUN) biasanya meningkat.
3. Retensi cairan dan natrium, Ginjal juga tidak mampu untuk
mengosentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit
ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi pasien sering menahan natrium
dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongesti,
dan hipertensi.
4. Asidosis, Dengan berkembangnya peyakit renal, terjadi asidosis metabolik
seiring ketidakmampuan ginjal mengsekresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Sekresi asam terutama, akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natriumbikarbonat
(HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
5. Anemia, anemia terjadi karena akibat eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal.
6. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat, abnormalitas utama yang lain pada
gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang
lain menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glumelurus ginjal
terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjarparatoid.
7. Penyakit tulang uremik, Sering disebut osteodistrofienal, terjadi dari
perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju
penurunan fungsi ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari,
ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan
secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan
darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yang tidak
mengalami kondisi ini (Smelzer,2001).
VI. PATHWAY

GGK

Sekresi Protein
Terganggu

Sindrom Produksi HB Perubahan Status


Uremia Menurun Kesehatan

Krisis Situasi Anemia Kurang Pengetahuan

Perubahan Aktifitas Ansietas


Warna Kulit Terbatas

Gangguan Intoleransi
Body Image Aktifitas

VII. STADIUM GAGAL GINJAL KRONIK


Stadium gagal ginjal kronik Tahap cronic kidney disease (CKD) menurut
kidney. org/professionals (2007) dan Kidney.org.uk (2007) adalah
1. Tahap I: kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat, GFR > 90
ml/menit/1,73 m.
2. Tahap II: penurunan GFR ringan, GFR 60-89 ml/menit/1,73 m.
3. Tahap III: penurunan GFR sedang yaitu 30-59 ml/menit/1,73 m.
4. Tahap IV: penurunan GFR berat yaitu 15-29 ml/menit/1,73 m.

VIII. MANIFESTASI KLINIS


1. Kardiovaskuler: Hipertensi, gagal jantung kongestif, dan edema pulmoner.
2. Hermatologi: Rasa gatal yang parah (pruritis), butiran uremik.
3. Gastrointestinal: Mual, muntah, cegukan.
4. Perubahan neuromuskuler: mencangkup perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang.
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi penyaki gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2001)
yaitu
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiostensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan
darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.

X. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes darah. Tes ini untuk mengetahui kerja ginjal dengan melihat kadar limbah
dalam darah, seperti kreatinin dan ureum.
2. Tes urine. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi tidak normal
yang mengindikasikan kerusakan ginjal. Dalam tes ini, kadar albumin dan
kreatinin dalam urine diperiksa, begitu juga keberadaan protein atau darah dalam
urine.
3. Pemindaian. Pemindaian ini bertujuan melihat struktur dan ukuran ginjal, dan
dapat dilakukan dengan USG, MRI, dan CT scan.
4. Biopsi ginjal. Biopsi dilakukan dengan mengambil sampel kecil dari jaringan
ginjal, yang selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk menentukan penyebab
kerusakan ginjal.
5. Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus atau LFG.

XI. PENATALAKSANAAN HEMODIALISA


1. Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau
tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat
membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat
dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita.
Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita
pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan
pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma, 2008).
2. Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak
mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat
asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan
toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal
sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan
dengan demikian meminimalkan gejala (Smeltzer & Bare, 2001).
3. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairanjuga
merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan
hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun
biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan
protein, natrium, kalium dan cairan (Smeltzer & Bare, 2001)

XII. ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Anamnesa meliputi:
1) Identitas pasien
2) Keluhan utama
3) Riwayat penyakit saat ini
4) Riwayat penyakit dahulu
5) Riwayat Nutrisi
6) Riwayat Kesehatan Keluarga
b. Pengkajian fisik

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan body image berhubungan dengan krisis situasi
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

3. PERENCANAAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1 Gangguan Setelah dilakukan 1. Bersikap realistik dan 1. Meningkatkan
body image tindakan positif selama kepercayaan dan
berhubungan keperawatan pengobatan dan mengadakan hubungan
dengan krisis diharapkan memberikan setara pasien dan
situasi gangguan body penyuluhan kesehatan perawat.
image teratasi 2. Berikan harapan dalam 2. Meningkatkan perilaku
dengan Kriteria parameter situasi positif dan memberikan
hasil : individu kesempatan untuk
Memasukan menyusun tujuan dan
perubahan rencana untuk massa
dalam konsep depan berdasarkan
diri tanpa realitas.
harga diri 3. Berikan penguatan 3. Kata - kata penguatan
negatif. positif dapat mendukung
terjadinya perilaku koping
positif
2 Intoleransi Setelah dilakukan 1. Kaji faktor yang 1. Menyediakan informasi
aktivitas tindakan menyebabkan keletihan tentang indikasi tingkat
berhubungan keperawatan keletihan
dengan diharapkan 2. Tingkatkan kemandirian 2. Meningkatkan aktivitas
keletihan Toleransi aktivitas dalam aktivitas ringan/sedang dan
dapat terpenuhi perawatan diri yang memperbaiki harga diri.
Dengan kriteria dapat ditoleransi
hasil: 3. Anjurkan aktivitas 3. Mendorong latihan dan
Klien dapat alternatif sambil aktivitas dalam batas-
beraktivitas seperti istirahat. batas yang dapat
biasa ditoleransi dan istirahat
yang adekuat.
3 Ansietas Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat kecemasan 1. Dapat mengetahui
berhubungan tindakan klien tingkat kecemasan klien
dengan perawatan 2. Berikan tekhnik 2. Dapat mengurangi
perubahan diharapkan relaksasi nafas dalam kecemasan
status ansietas 3. Berikan tekhnik hipnotis 3. Dapat mengurangi
kesehatan berkurang lima jari kecemasan dan memberi
Dengan kriteria rasa rileks
hasil:
Klien tidak merasa
cemas lagi

4. EVALUASI

Tanggal Diagnosa Evaluasi TTD


Gangguan body image berhubungan Memasukan perubahan dalam
dengan krisis situasi konsep diri tanpa harga diri
negatif.
Intoleransi aktivitas berhubungan Klien dapat beraktivitas seperti
biasa
dengan keletihan
Ansietas berhubungan dengan Klien tidak merasa cemas lagi
perubahan status kesehatan

5. DAFTAR PUSTAKA
a. http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/496/1/ENDANG%20TUMIASIH%20NIM.
%20A01401886.pdf
b. http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/502/1/FERO%20PRIMA%20LUCKYSTIEN
%20NIM.%20A01401895.pdf
c. http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/126/jtptunimus-gdl-aenulrofiq-6293-2-
babii.pdf
d. https://www.alodokter.com/gagal-ginjal-kronis/diagnosis
e. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63327/Chapter
%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai