Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 PENGERTIAN GERONTIK


Gerontik merupakan singkatan dari gerontologi + geriatric. Gerontologi adalah cabang ilmu
yang membahas/menangani tentang proses penuaan/masalah yang timbul pada orang yang
berusia lanjut. Geriatrik berkaitan dengan penyakit atau kecacatan yang terjadi pada orang yang
berusia lanjut.
Jadi, keperawatan Gerontik adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada
ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosio-spritual dan kultural yang
holistik, ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.

1.2 KLASIFIKASI GERONTIK


Menurut DEPKES RI gerontik terbagi sebagai berikut:
1.2.1 Kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 th) sebagai masa VIRILITAS
1.2.2 Kelompok usia lanjut (55 – 64 th) sebagai masa PRESENIUM
1.2.3 Kelompok usia lanjut (65 th > ) sebagai masa SENIUM
Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:
1.2.1 Usia lanjut : 60 – 74 tahun
1.2.2 Usia Tua : 75 – 89 tahun
1.2.3 Usia sangat lanjut : > 90 tahun

1.3 PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA


1.3.1 Perubahan Fisik

Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh, diantaranya
sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,
muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan integumen.
1.3.1.1 Sistem pernafasan pada lansia
1) Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara inspirasi
berkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal.

1
2) Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga potensial terjadi
penumpukan sekret.
3) Penurunan aktivitas paru ( mengembang & mengempisnya ) sehingga jumlah udara
pernafasan yang masuk keparu mengalami penurunan, kalau pada pernafasan yang
tenang kira kira 500 ml.
4) Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang ( luas permukaan normal 50m²), Ù
menyebabkan terganggunya prose difusi.
5) Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu prose oksigenasi dari
hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua kejaringan.
6) CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga menurun yang
lama kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
7) kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret & corpus alium dari saluran
nafas berkurang sehingga potensial terjadinya obstruksi.
1.3.1.2 Sistem persyarafan
1) Cepatnya menurunkan hubungan persyarafan.
2) Lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir.
3) Mengecilnya syaraf panca indera.
4) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf pencium &
perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap
dingin.
1.3.1.3 Perubahan panca indera yang terjadi pada lansia
1) Penglihatan
a) Kornea lebih berbentuk skeris.
b) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).
d) Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, susah melihat dalam cahaya gelap.
e) Hilangnya daya akomodasi.
f) Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas pandang.
g) Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna hijau pada skala.

2
2) Pendengaran
a) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) :
Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap
bunyi suara, antara lain nada nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti
kata kata, 50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.
b) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis.
c) Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya kreatin.
3) Pengecap dan penghidu.
a) Menurunnya kemampuan pengecap.
b) Menurunnya kemampuan penghidu sehingga mengakibatkan selera makan
berkurang.
4) Peraba.
a) Kemunduran dalam merasakan sakit.
b) Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin.
b. Perubahan cardiovaskuler pada usia lanjut.
1) Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
2) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % pertahun sesudah berumur
20 tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
3) Kehilangan elastisitas pembuluh darah.
Kurangnya efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan
posisi dari tidur keduduk ( duduk ke berdiri ) bisa menyebabkan tekanan darah
menurun menjadi 65 mmHg ( mengakibatkan pusing mendadak ).
4) Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah
perifer (normal ± 170/95 mmHg ).
1.3.1.4 Sistem genito urinaria.
1) Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai
50 %, penyaringan diglomerulo menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang
akibatnya kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun
proteinuria ( biasanya + 1 ) ; BUN meningkat sampai 21 mg % ; nilai ambang ginjal
terhadap glukosa meningkat.

3
2) Vesika urinaria / kandung kemih, Otot otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun
sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi BAK meningkat, vesika urinaria susah
dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga meningkatnya retensi urin.
Pembesaran prostat ± 75 % dimulai oleh pria usia diatas 65 tahun.
3) Atropi vulva.
4) Vagina, Selaput menjadi kering, elastisotas jaringan menurun juga permukaan
menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya lebih alkali terhadap
perubahan warna.
5) Daya sexual, Frekwensi sexsual intercouse cendrung menurun tapi kapasitas untuk
melakukan dan menikmati berjalan terus.
1.3.1.5 Sistem endokrin / metabolik pada lansia.
1) Produksi hampir semua hormon menurun.
2) Fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah.
3) Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya ada di pembuluh
darah dan berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH.
4) Menurunnya aktivitas tiriod Ù BMR turun dan menurunnya daya pertukaran zat.
5) Menurunnya produksi aldosteron.
6) Menurunnya sekresi hormon bonads : progesteron, estrogen, testosteron.
7) Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum tulang
serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa (stess).

1.3.1.6 Perubahan sistem pencernaan pada usia lanjut.

1) Kehilangan gigi, Penyebab utama adanya periodontal disease yang biasa terjadi
setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi
yang buruk.
2) Indera pengecap menurun, Adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi
indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap dilidah
terutama rasa manis, asin, asam & pahit.
3) Esofagus melebar.
4) Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun ), asam lambung menurun,
waktu mengosongkan menurun.
5) Peristaltik lemah & biasanya timbul konstipasi.
6) Fungsi absorbsi melemah ( daya absorbsi terganggu ).
7) Liver ( hati ), Makin mengecil & menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya
aliran darah.

4
1.3.1.7 Sistem musculoskeletal

1) Tulang kehilangan densikusnya Ù rapuh


2) Resiko terjadi fraktur.
3) Kyphosis.
4) Persendian besar & menjadi kaku.
5) Pada wanita lansia > resiko fraktur.
6) Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas.
7) Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek ( tinggi badan berkurang ).

a) Gerakan volunter / gerakan berlawanan.


b) Gerakan reflektonik / Gerakan diluar kemauan sebagai reaksi terhadap
rangsangan pada lobus.
c) Gerakan involunter / Gerakan diluar kemauan, tidak sebagai reaksi terhadap suatu
perangsangan terhadap lobus
d) Gerakan sekutu / Gerakan otot lurik yang ikut bangkit untuk menjamin efektifitas
dan ketangkasan otot volunter.
e) Perubahan sistem kulit & karingan ikat.

- Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak.


- Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya
jaringan adipose
- Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik, sehingga tidak
begitu tahan terhadap panas dengan temperatur yang tinggi.
- Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat menurunnya aliran darah
dan menurunnya sel sel yang meproduksi pigmen.
- Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan penyembuhan luka
luka kurang baik.
- Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh.
- Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak serta warna rambut
kelabu.
- Pada wanita > 60 tahun rambut wajah meningkat kadang kadang menurun.
- Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun.
- Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang
banyak rendahnya akitfitas otot.

1.3.1.8 Perubahan sistem reproduksi dan kegiatan sexual

1) Perubahan sistem reprduksi.


a) selaput lendir vagina menurun/kering.
b) menciutnya ovarium dan uterus.
c) atropi payudara.
d) testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur
berangsur.
e) dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik.

5
2) Kegiatan sexual.

Sexualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang


berhubungan dengan alat reproduksi. Setiap orang mempunyai kebutuhan sexual, disini
kita bisa membedakan dalam tiga sisi : 1) fisik, Secara jasmani sikap sexual akan
berfungsi secara biologis melalui organ kelamin yang berhubungan dengan proses
reproduksi, 2) rohani, Secara rohani Ù tertuju pada orang lain sebagai manusia, dengan
tujuan utama bukan untuk kebutuhan kepuasan sexualitas melalui pola pola yang baku
seperti binatang dan 3) sosial, Secara sosial Ù kedekatan dengan suatu keadaan intim
dengan orang lain yang merupakan suatu alat yang apling diharapkan dalammenjalani
sexualitas.
Sexualitas pada lansia sebenarnya tergantung dari caranya, yaitu dengan cara
yang lain dari sebelumnya, membuat pihak lain mengetahui bahwa ia sangat berarti untuk
anda. Juga sebagai pihak yang lebih tua tampa harus berhubungan badan, msih banyak
cara lain unutk dapat bermesraan dengan pasangan anda. Pernyataan pernyataan lain yang
menyatakan rasa tertarik dan cinta lebih banyak mengambil alih fungsi hubungan
sexualitas dalam pengalaman sex.

1.3.1.9 Perubahan-perubahan mental/ psikologis


Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (herediter)
5) Lingkungan
6) Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
8) Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan family
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri dan
perubahan konsep diri

6
10) Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih sering berupa
ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin oleh karena faktor
lain seperti penyakit.

1.4 PENGERTIAN TYPOID


Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di
daerah tropis dan subtropis. (Simanjuntak, 2009)
Demam thypoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan
gangguan kesadaran. (Nursalam, 2005)
Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. (Rampengan, 2007)

1.5 ETIOLOGI
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S.
Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat
hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu
600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :
1.5.1 Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
1.5.2 Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman).
1.5.3 Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi
(berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo, 2009)

1.6 PATOFISIOLOGI

7
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.
Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor
histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis
infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada
sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di
ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat
internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES
di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu makaSalmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella
typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum
terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran
retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam
hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi
sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah
dan juga menstimulasi sistem imunologik. (Soedarmo, dkk., 2012)

1.7 MANIFESTASI KLINIS


Menurut Sjamsuhidayat, (1998) tanda dan gejala demam typoid antara lain:
1.7.1 Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh
berangsur meningkat

8
1.7.2 Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah
(ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan
tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang
kembung.
1.7.3 Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis
sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah
1.7.4 Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat.

1.8 KOMPLIKASI
1.8.1 Komplikasi intestinal
1.8.1.1 Perdarahan usus
1.8.1.2 Perporasi usus
1.8.1.3 Ilius paralitik
1.8.2 Komplikasi extra intestinal
1.8.2.1 Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
1.8.2.2 Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
1.8.2.3 Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
1.8.2.4 Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
1.8.2.5 Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
1.8.2.6 Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
1.8.2.7 Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.

1.9 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
1.9.1 Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-

9
batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi
atau infeksi sekunder
1.9.2 Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
1.9.3 Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil
biakan darah tergantung dari beberapa faktor:
1.9.3.1 Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
1.9.3.2 Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
1.9.3.3 Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
1.9.3.4 Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
1.9.4 Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang
disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :

10
1.9.4.1 Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
1.9.4.2 Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
1.9.4.3 Aglutinin VI, yang dibuat karena rangsangan antigen VI (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

1.10 PENATALAKSANAAN
1.10.1 Observasi
1.10.1.1 Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih
dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perforasi usus.
1.10.1.2 Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
1.10.1.3 Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
1.10.1.4 Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
1.10.2 Diet
1.10.2.1 Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
1.10.2.2 Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
1.10.2.3 Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
1.10.2.4 Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari
1.10.3 Pengobatan
Obat-obatan yang umumnya digunakan antara lain:
1.10.3.1 Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
- Klorampenicol
- Amoxicilin
- Cotrimoxasol
- Ceftriaxon
- Cefotaxim
1.7.3.2 Antipiretik (Menurunkan panas): Paracetamol

11
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik
2.1.2 Keluhan utama
Keluhan utama demam thypoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri
perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
2.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.
2.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.
2.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
2.1.6 Pola-pola fungsi kesehatan
2.1.6.1 Pola nutrisi dan metabolism
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.
2.1.6.2 Pola eliminasi
Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan
eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan.
Klien dengan demam thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak
keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
2.1.6.3 Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
2.1.6.4 Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.

12
2.1.6.5 Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.
2.1.6.6 Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak
mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
2.1.7 Pemeriksaan fisik
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 41°C muka kemerahan.
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


2.2.1 Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma
2.2.2 Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan
peroral yang kurang (mual, muntah)
2.2.3 Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi

2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Tujuan Dan Intervensi Rasional


Dx Kriteria Hasil
1 Setelah dilakukan1. Pantau suhu tubuh pasien 1. Mengetahui suhu tubuh
tindakan setiap 4 jam klien
keperawatan 2. Kolaborasi pemberian 2. Menurunkan demam.
diharapkan suhu antipiretik sesuai anjuran 3. Meningkatkan kenyaman,
tubuh pasien 3. Turunkan panas dengan menurunkan temperatur
dapat turun, melepaskan selimut atau suhu tubuh
kriteria: menanggalkan pakian 4. Perubahan tingkat
- Suhu tubuh stabil yang terlalu tebal, beri kesadaran dapat merupakan
36-37 C kompres pada aksila dan akibat dari hipoksia
- Tanda-tanda vital liatan paha. jaringan
dalam rentang 4. Observasi adanya konfusi5. Menghindari kehilangan
normal disorientasi air natrium klorida dan
5. Berikan cairan IV sesuai kalium yang berlebihan.
yang dianjurkan.
2 Setelah dilakukan1. Jelaskan kepada pasien 1. Agar pasien dapat
tindakan tentag pentingnya cairan mengetahui tentang
keperawatan 2. Monitor dan catat intake pentingnya cairan dan

13
diharapkan dan output cairan dapat memenuhi
kebutuhan cairan3. Kaji tanda dan gejala kebutuhan cairan.
terpenuhi, kriteria dehidrasi hypovolemik,
- Tidak mual riwayat muntah, kehausan2. Untuk mengetahui
- Tidak demam dan turgor kulit keseimbangan intake da
- Suhu tubuh 4. Berikan cairan peroral output cairan
dalam batas pada klien sesuai 3. Hipotensi, takikardia,
normal kebutuhan demam dapat menunjukkan
5. Anjurkan kepada orang respon terhadap dan atau
tua klien untuk efek dari kehilangan caira
mempertahankan asupan
cairan secara dekuat 4. Cairan peroral akan
6. Kolaborasi pemberian membantu memenuhi
cairan intravena kebutuhan caira
5. Asupan cairan secara
adekuat sangat diperlukan
untuk menambah volume
cairan tubuh
6. Pemberian intravena
sangat penting bagi klien
untuk memenuhi kebutuhan
cairan yang hilang

3 Setelah dilakukan 1. Lakukan pegkajian nyeri 1. Respon nyeri sangat


tindakan secara komprehensi individual sehingga
keperawatan 2. Observasi reaksi penangananya pun berbeda
pasien nonverbal dari untuk masing-masing
menunjukkan ketidaknyamanan. individu.
tingkat 3. Kontrol faktor lingkungan 2. Menngetahui tingkat
kenyamanan yang mempengaruhi nyeri kenyamanan
meningkat, seperti suhu ruangan, 3. Lingkungan yang nyaman
kriteria: pencahayaan, kebisingan. dapat membantu klien
- Pasien dapat 4. Ajarkan teknik non untuk mereduksi nyeri.
melaporkan nyeri farmakologis (relaksasi,
4. Pengalihan nyeri dengan
berkurang distraksi dll) untuk relaksasi dan distraksi
Frekuensi nyeri mengetasi nyeri. dapat mengurangi nyeri
- Tanda-tanda vital 5. Berikan analgetik untuk yang sedang timbul.
dalam batas mengurangi nyeri. 5. Pemberian analgetik yang
normal tepat dapat membantu klien
untuk beradaptasi dan
mengatasi nyeri.

14
15
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Susilo. (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika


Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Simanjuntak, C. H. (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin
Dunia Kedokteran No. 83. Jakarta. Nuha
Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Soedarmo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI
Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

16

Anda mungkin juga menyukai